Pencarian

Kitab Lorong Zaman 2

Pendekar Mabuk 033 Kitab Lorong Zaman Bagian 2


Idiih... amit-amit!" pikir Suto geli sendiri.
"Kenapa tersenyum-senyum?" sambil orang itu
mendekat dengan gaya perempuannya. "Kenapa
senyum-senyum terus, heh" Ih, benci aku!" lalu ia mencubit lengan Suto Sinting.
Cubitannya lembut, tak
terasa sakit, tapi justru sangat menggelikan bagi Suto.
Akhirnya Suto tak tahan dan ia pun tertawa dengan
mulut tertutup tangan sendiri.
Orang gendut berwajah sangar itu cemberut, buang
muka sebentar, dan melirik genit sambil tangannya
bermain ujung bajunya.
"Diajak bicara malah cengengesan. Genit amat kau, Cah Bagus!" katanya sambil
bersungut-sungut, benar-benar mirip gadis yang sedang sewot.
Suto Sinting mencoba menahan tawa, tapi senyum
gelinya tak bisa hilang.
"Siapa namamu, Paman?"
"Jangan panggil aku paman, ah! Panggil saja... Bibi!"
katanya genit sekali. "Atau... kalau tidak panggil saja; Sayang, gitu!"
Suto terpaksa buang muka, memunggungi orang
berwajah ganas namun bersikap selembut perawan
pingitan itu. Suto memunggunginya bukan lantaran
muak, tapi mencoba sembunyikan tawanya tanpa suara.
Tawa itu hanya mengguncang-guncang badan, membuat
orang gemuk yang ganjen itu kian mendekat dan
mencubit pinggang Suto lagi sambil berkata,
"Ada apa tertawa terus" Suka, ya" Suka..."!"
Tentu saja Suto masih belum bisa menghentikan
tawanya. Bagi Suto perbedaan wajah dengan gaya dan
suara itu sangat menggelikan, karena baru sekarang ia
bertemu orang berwajah angker, sadis, tapi bergaya
perempuan manja.
"Cah bagus, tataplah aku," katanya. Suto
memaksakan diri dengan menahan geli sekali, mencoba
memandang ke arah orang sadis itu.
"Kau tadi menanyakan namaku, bukan?"
"Ya, benar. Sebab... sebab kita baru kali ini
berjumpa."
"Nama julukanku Harimau Jantan."
"Harimau Jantan..."!" Suto menggumam sambil
membatin, "Apa dia bisa mengaum?"
"Seram ya nama julukanku itu?" katanya dengan suara kecil.
"Iya. Seram sekali. Tapi nama aslimu siapa?" Suto sengaja menggoda.
"Nama asliku... Karina Tosi Kusuma Sirna, disingkat Karto Kusir."
Bisa dibayangkan betapa gelinya Pendekar Mabuk
mendengar nama cantik yang disingkat menjadi Karto
Kusir itu. Tak aneh lagi kalau Pendekar Mabuk terkikik-
kikik tak kuat menahan tawa geli yang mengeraskan urat
perut itu. Harimau Jantan hanya memandangi Suto yang
terbungkuk-bungkuk sambil memunggungi. Mungkin
karena tak kuat menahan jengkel akibat ditertawakan,
Harimau Jantan menendang pantat Suto Sinting dengan
keras. Beet...! Buuhk...!
Wuuut...! Gubrass...!
Pendekar Mabuk terjungkal di pasir pantai. Tawanya
terhenti sejenak karena kaget mendapat tendangan keras.
Tulang ekornya sampai terasa ngilu. Suto Sinting cepat
bangkit dan tak marah, karena ia bisa memaklumi
kejengkelan Karina Tosi Kusuma Sirna yang disingkat
Karto Kusir itu. Tapi senyum geli tersembunyi masih
saja mekar di bibir Suto.
"Oh, senyumnya menawan sekali," gumam Harimau Jantan dengan suara lirih yang
didengar Suto. Pandangan matanya berbinar-binar bagaikan merasakan debaran hati
yang sedang berbunga indah.
"Ganteng sekali kau, Cah Bagus. Siapa namamu,
Sayang?" tanyanya setelah mendekat dan menatap penuh bunga-bunga kemesraan yang
membuat Soto merinding.
"Namaku... Suto," jawab Pendekar Mabuk singkat saja.
"Oh, sebuah nama yang bagus, sebagus berlian dari
dasar bumi," puji Karto Kusir dengan gaya seorang
perempuan perayu, ia melangkah ke samping Suto
dengan langkahnya yang meliuk-liuk genit mirip
perempuan gendut cari perhatian. Setelah di samping
Suto, Harimau Jantan yang tidak pantas menjadi harimau
itu berkata dengan gaya perempuannya,
"Suto, Sayang... apakah kau tadi berbicara dengan
seseorang yang berjuluk Urat Setan?"
"Dari mana kau tahu?" dahi Suto mulai berkerut serius.
"Kulihat dikejauhan, sepertinya orang yang bicara denganmu tadi adalah Urat
Setan, dari Perguruan Hantu
Terbang." "Ya, memang benar. Apakah kau ada keperluan
dengannya?"
"Sangat ada," jawab Karto Kusir sambil meremas-remas jemarinya sendiri. "Aku
sedang memburunya
untuk menagih hutang nyawa padanya. Eh, kau tahu ke
mana perginya Urat Setan itu, Sayang?" sambil ia
mendekat, membelai rambut Suto.
Pendekar Mabuk mundur sedikit, karena merinding
dibelai orang sangar bergaya puteri raja itu. Lalu, Suto pun menjawab,
"Arahnya ke selatan. Tapi aku tak tahu ke mana
tujuannya. Dugaanku mengatakan, Urat Setan pergi
mencari Lancang Puri dan bibinya yang bernama Nyai
Gandrik." "Hmm... memang tak salah dugaanku. Sama persis
dengan dugaanmu," kata Harimau Jantan sambil
melenggok manja. "Kalau begitu aku harus
menyusulnya. Aku tahu ke mana ia pergi. Pasti ke Biara
Damai!" Suto Sinting menyahut dengan cepat, "Biara Damai
telah musnah, hilang bagaikan tertelan bumi bersama
seluruh penghuninya yang telah menjadi mayat itu!
Apakah kau belum mengetahuinya, Harimau Jantan?"
"O, ya..."!" ucapnya ganjen sekali. "Kalau begitu ia
pasti pergi ke Biara Genta untuk temui Pendeta Jantung
Dewa, adik Pendeta Mata Lima!"
Hati sang pendekar tampan tersentak kecil, ia baru
ingat bahwa Pendeta Mata Lima yang menjadi guru di
Biara Damai itu memang mempunyai adik di Biara
Genta, bernama Pendeta Jantung Dewa. Jika sekarang
Biara Damai telah lenyap, tentunya Pendeta Jantung
Dewa bisa menjelaskan apa penyebabnya dan siapa
pelaku pembunuhan sadis di Biara Damai itu.
"Aku akan pergi ke sana," kata Harimau Jantan dengan suara wanitanya, kepalanya
pun ikut melenggok-lenggok jika bicara. Kemayu!
"Harimau Jantan, tahukah kau mengapa Urat Setan
pergi ke Biara Genta?"
"Yah, sebab ia mengejar Lancang Puri dan Nyai
Gandrik." "Apakah kau yakin Lancang Puri dan Nyai Gandrik
pergi ke Biara Genta?"
"Yakin sekalilah yaow...!" jawabnya ganjen. Suto menahan tawa.
"Mengapa kau yakin mereka ke sana?"
"Kalau menurutmu tadi Biara Damai sudah lenyap,
berarti sasaran mereka ke Biara Genta. Sebab di sanalah kemungkinan pusaka itu
disimpannya. Tapi...."
Suto Sinting yang mau bertanya tak jadi bersuara
karena kata-kata Harimau Jantan bagaikan sulit diputus.
"Tapi aku ke sana bukan karena ingin merebut pusaka itu. Aku ke sana untuk
selesaikan urusan perguruanku
dengan perguruannya si Urat Setan itu. Dia harus
membayar tiga nyawa muridku yang dibantai seenaknya
oleh Urat Setan!"
"Apakah...."
"Aku tidak takut kepada Urat Setan! Aku berani adu nyawa. Dan aku merasa akan
unggul melawannya."
"Ya. Tapi bolehkah aku...."
"Ilmunya tak terlalu tinggi menurutku. Walaupun
perguruanku hanya perguruan kecil dengan jumlah
murid empat orang, tapi aku merasa sanggup
menumbangkan si Urat Setan."
"Begini, maksudku...."
"Aku punya dua jurus andalan yang sanggup
menumbangkan Urat Setan. Bahkan jika Lancang Puri
dan Nyai Gandrik ikut membelanya, kuhancurkan juga
mereka berdua dengan jurus 'Lamunan Sakti'-ku itu."
Harimau Jantan berhenti berceloteh. Tapi Suto tidak
mau bicara lagi. Hatinya sedang dongkol karena setiap
perkataannya selalu dipotong oleh celoteh Harimau
Jantan, sehingga ia selalu gagal mengutarakan
maksudnya. Kini mereka sama-sama diam. Harimau
Jantan memandang ke arah lautan. Sebentar kemudian
melirik Suto Sinting dan menghampirinya dengan gaya
seorang wanita penuh kemesraan dan kesetiaan.
Rambutnya dikibaskan ke belakang dengan sentuhan
tangan gemulai.
"Bocah bagus, susullah Bibi ke sana jika kau rindu.
Jangan bertahan memendam rindu, karena memendam
rindu sama saja memendam borok yang tak akan pernah
sembuh kalau belum jumpa dengan orang yang kau
rindukan. Bibi akan menunggumu di sana. Dan kau akan
lihat sendiri bagaimana Bibi melawan Urat Setan. Kau
pasti kagum dengan jurus mautku yang bernama
'Lamunan Sakti' itu, Sayang."
Rasa-rasanya Suto Sinting ingin meludah pada saat
itu karena jijik dengan sentuhan tangan genit si Harimau Jantan itu. Tapi
tentunya hal itu tak mau dilakukan oleh Suto karena takut menyinggung perasaan
lelaki banci itu. Suto hanya tersenyum-senyum tawar sampai
akhirnya membiarkan Harimau Jantan pergi menyusul
Urat Setan untuk bikin perhitungan pribadi.
"Selamat jumpa lagi. Dah, Sutooo...!" ucapnya seraya berjalan melenggok-lenggok
seperti bebek keberatan
pantat, lalu tahu-tahu melesat cepat bagaikan kapas
terhembus angin pantai. Wuuuttt...!
"Tinggi juga ilmu peringan tubuhnya," pikir Suto.
"Tapi benarkah Urat Setan ada di Biara Genta" Pusaka apa yang ingin diperebutkan
oleh mereka?"
* * * 4 RASA penasaran membuat Pendekar Mabuk segera
menuju ke Lembah Canang, tempat Biara Genta berada.
Ketika ia pulang dari negeri dasar laut untuk membantu
Pendeta Agung Dewi Rembulan yang terkena kutuk itu,
ia sempat mampir ke Biara Damai dan Biara Genta.
Sebab itulah Suto tahu ke mana arah Lembah Canang,
tempat berdirinya bangunan dengan dua kuil yang cukup
luas dan lebar, berpagar tembok kokoh warna kuning
bertepian merah. Pendeta Jantung Dewa adalah ketua
sekaligus guru di biara tersebut. Jumlah muridnya konon ada tujuh puluhan lebih.
Aliran silat mereka sangat terkenal di kalangan Lembang Canang dan sekitarnya.
Perjalanan ke Lembah Canang ditempuh dalam waktu
satu malam, karena Suto harus bermalam di sebuah desa
sekaligus mengisi bumbung tuaknya dengan tuak baru
hingga penuh. Pagi hari Suto lanjutkan perjalanan itu
dengan hati tenang sebab bumbung tuaknya terisi penuh,
tak merasa takut kehabisan.
Namun perjalanan pagi itu sempat terhenti karena
melihat sekelebatan sosok seorang wanita yang sudah
dikenalnya. Wanita itu berlari dengan cepat sepertinya terburu-buru. Bergerak
dari lereng bukit menuju ke
hutan yang ada di sebelah timur, berarti yang ada di
depan Pendekar Mabuk. Maka Pendekar Mabuk pun
buru-buru menyusul perempuan itu dengan rasa ingin
tahu. "Lancang Puri," ucap Suto dalam hati. "Ada apa dia"
Kelihatannya terburu-buru dan tegang sekali?"
Untuk sesaat Suto sempat kehilangan jejak Lancang
Puri yang agaknya sudah dibebaskan oleh Nyai Gandrik
dari pengaruh Racun Kuda Binal-nya Dewa Rayu.
Beberapa saat kemudian, Lancang Puri ditemukan Suto
kembali tapi dalam keadaan tidak sendirian. Perempuan cantik berjubah putih itu
sedang berhadapan dengan
orang tinggi besar berkulit hitam dan hanya mengenakan
cawat. Pendekar Mabuk terkejut melihat sosok tinggi
besar dan berkulit hitam itu.
"Logo..."! Anak jin itu ada di sini"!"
Orang tinggi besar berkepala botak tapi mempunyai
kuncir di tengahnya itu memang anak jin hasil
perpaduan cinta antara Sumbaruni dengan Jin Kazmat
yang kala itu menjelma menjadi manusia. Tetapi seingat
Suto, Logo dikabarkan jatuh ke Jurang Petaka. Mengapasekarang masih hidup dan dalam keadaan ganas, tidak
seperti biasanya" (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Ratu Tanpa Tapak" dan "Bandar Hantu Malam").
Anak jin itu mempunyai ilmu silat cukup tinggi,
tentunya ilmu itu diperoleh dari ibunya; Sumbaruni,
yang pernah menjadi panglima perangnya negeri Ringgit
Kencana di dasar laut dengan nama Pelangi Sutera.
Menurut dugaan Suto, Lancang Puri akan tumbang jika
berhadapan langsung dengan Logo. Tenaga yang
dimiliki anak jin itu sangat besar, apalagi sekarang
kelihatan menjadi liar dan ganas. Berulangkali terdengar suara geramnya yang
menggetarkan pepohonan di
kanan-kiri mereka.
Namun agaknya Lancang Puri tidak merasa takut atau
gentar sedikit pun. Dengan keberaniannya yang luar
biasa ia melompat dan menyabetkan pedangnya di udara.
Pedang yang disabetkan itu menyebarkan asap
kehitaman. Asap itu membentuk semacam jala yang
segera menyergap tubuh Logo.
Tetapi sebelum Logo terperangkap asap kehitaman
itu, kedua pipinya segera mengembung dan
dihebuskanlah napas dari mulutnya itu. Wuuusss...!
Yang keluar angin besar mengguncangkan pepohonan,
mematahkan beberapa dahan. Asap kehitaman itu lenyap
dalam sekejap, sedangkan tubuh Lancang Puri sendiri
terpental tujuh langkah jauhnya.
Buuuhg...! Tubuh perempuan cantik itu jatuh
terpuruk tanpa bisa menjaga keseimbangan badan. Logo


Pendekar Mabuk 033 Kitab Lorong Zaman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

segera menerjang dengan satu lompatan kaki yang
telapakannya satu setengah lebih besar dari telapak kaki manusia biasa. Kaki
besar itu ingin menginjak tubuh
Lancang Puri. Sekali injak pasti remuk tulang-tulang di tubuh Lancang Puri.
Melihat keadaan seperti itu, Pendekar Mabuk segera
bertindak. Berkelebat dengan pergunakan gerak
silumannya dan menyambar tubuh yang terpuruk itu.
Wuuusss...! Zlaapp...! Dalam sekejap saja Suto Sinting sudah berada di sisi
lain, sekitar enam langkah dari
Logo. "Oh, kau lagi yang selamatkan aku, Suto"!" ucap Lancang Puri setelah dilepaskan
dari pelukan Pendekar
Mabuk. "Jangan hadapi dia. Larilah. Dia anak jin yang
berilmu tinggi."
"Tapi...."
"Larilah, lekas! Biar kujinakkan anak jin itu! Aku kenal dengannya!"
Lancang Puri segera melesat berlari melalui jalan ke belakang Suto Sinting. Logo
berteriak dengan suaranya
yang menggema memenuhi hutan itu.
"Jangan lari kau! Jangan lari....!"
Bluk, bluk, bluk, bluk...! Langkah Logo mengejar
Lancang Puri mengguncangkan bumi, walau hanya
berupa getaran-getaran kecil, namun terasa jelas bagi
manusia yang ada di sekitarnya. Suto Sinting segera
melompat menghadang langkah anak jin itu.
"Hentikan pengejaranmu, Logo! Pandanglah aku!"
"Gggrrr...!" Logo memandang dengan liar dan buas.
Mulutnya menggeram dengan menganga, seakan
memamerkan giginya yang besar-besar dan kuning itu.
"Siapa kau"! Aku tidak mengenalmu, Monyet!"
Suto Sinting terkesiap. "Tak biasanya ia berlaku
sekasar itu padaku; bahkan sampai tak mengenaliku"
Ada apa pada dirinya?"
"Minggir kau! Atau kuremukkan seluruh tulangmu,
Monyet!" "Logo!" sentak Pendekar Mabuk bermaksud
menyadarkan kemarahan Logo. "Ingatlah padaku! Aku
Pendekar Mabuk! Suto Sinting, teman dari ibumu!"
"Aku tak punya ibu! Minggat kau, heaaaah...!"
Tangan Logo menampar wajah Pendekar Mabuk
dengan gerakan cepat. Wuuuss...! Pendekar Mabuk
bermaksud menghindar dengan menarik kepala ke
belakang. Tapi tarikannya itu kurang cepat, sehingga
wajahnya pun terkena tamparan tangan kanan Logo yang
bergerak dari kiri ke kanan. Ploookk...!
Bruus...! Suto Sinting terlempar ke semak-semak, ia
buru-buru bangkit sambil kibaskan kepala. Pandangan
matanya sempat berkunang-kunang. Tamparan tangan
besar itu sungguh keras. Jika orang tak berilmu yang
terkena tamparan itu, pasti seluruh giginya akan rontok dan orang tersebut
langsung kelenger. Untung Suto
punya lapisan tenaga dalam, sehingga ia hanya
terjungkal dan merasa pening sedikit.
"Edan! Bocah itu benar-benar menyerangku. Kupikir
hanya main-main"!" pikir Pendekar Mabuk.
"Tamparannya seperti kayu balok menghantam pipi
kananku. Oh, jangan-jangan rahangku pecah?"
Suto segera memeriksa rahangnya, menggerak-
gerakkan dengan ternganga-nganga. Pada saat itu Logo
mendekatinya dengan suara geram menggetarkan
pepohonan. Suto Sinting kaget, dan segera mundur dua
tindak lalu bersiap siaga jika sewaktu-waktu tamparan keras itu datang lagi.
"Tahan amukanmu, Logo!"
"Setan! Kau membuatku kehilangan buronan! Kau
harus bertanggung jawab, Monyet...! Heaaah...!"
Logo melepaskan pukulan bersinar merah dari
telapak tangan kirinya. Claapp...! Sinar merah itu segera dikembalikan
oleh Pendekar Mabuk dengan
menghadangkan bumbung tuaknya yang terbuat dari
bambu sakti itu. Dees...! Zlaap...! Sinar itu berubah lebih besar dan berbalik
arah lebih cepat. Akibatnya mengenai perut besar Logo dengan telak. Buuuhg...!
Wuuuss...! Tubuh Logo terlempar bagai diseruduk
banteng. Tubuh itu melayang dalam keadaan telentang
dan jatuh berdebam di bumi bagai sebatang pohon besar
yang rubuh. Blaaamm...! Daun-daun pohon berguguran
sebagian karena terguncang oleh getaran jatuhnya Logo
itu. "Gggraaaoww...!" Rupanya ia jatuh dalam keadaan yang menyakitkan hingga
menggeram dengan mulut
terbuka, mengerang kesakitan. Tetapi perutnya yang
terkena sinar merah itu tidak menjadi jebol, hanya saja dari mulut itu keluar
darah merah kehitaman. Matanya terbeliak-beliak walau tetap berusaha untuk
bangkit dengan sempoyongan.
Suto Sinting membiarkan hal itu terjadi sambil
membatin setelah menenggak tuaknya beberapa teguk
untuk menghilangkan rasa sakit di wajahnya.
"Ada perubahan yang tak beres dalam jiwa anak itu.
Dia menjadi liar dan ganas, tak mengenaliku dan tak
mengenali ibunya. Hmm... apakah Sumbaruni sudah
mengetahui keadaan Logo yang sekarang?"
Kabar terakhir yang diterima Suto setelah ia dan
Sumbaruni melawan Raja Tumbal demi selamatkan
negeri Muara Singa, konon Sumbaruni masih
kebingungan mencari anaknya itu. Sekarang waktu
sudah lewat beberapa purnama, apakah Sumbaruni
masih belum bertemu dengan anaknya, atau memang
sang anak sudah dididik untuk menjadi liar dan ganas"
Suto Sinting tak berani lakukan penyerangan yang
berbahaya, karena jika ia membunuh Logo maka
urusannya akan panjang. Sumbaruni pasti akan menuntut
kematian Logo dan bisa jadi perempuan sakti itu akan
membencinya seumur hidup.
Suto Sinting mencoba menyadarkan keganasan Logo
lagi dengan mendekatinya penuh kewaspadaan.
Sikapnya masih tidak bermusuhan, hal itu dilakukan
demi memperlihatkan sikap bersahabat kepada Logo
agar kemarahan Logo berkurang. Tetapi agaknya anak
jin yang bermata lebar dan berhidung lebar pula itu
masih memancarkan sinar permusuhan dari pandangan
matanya dan geraman mulutnya.
"Mengapa kau mengejar perempuan itu, Logo" Ada
persoalan apa?"
"Kau tak perlu tahu, Monyet!"
"Namaku Suto, bukan Monyet."
"Tidak. Aku lebih suka memanggilmu Monyet!"
geram Logo penuh nafsu membunuh.
"Biasanya ia tak bicara sekasar itu dan sebanyak itu.
Pasti ada sesuatu yang membuat jiwanya menjadi tak
beres. Aku harus menyadarkannya. Rupanya aku perlu
melumpuhkan dia agar bisa menjinakkan kembali," pikir Suto sambil pandang segala
gerakan tangan dan kaki
anak jin itu. "Logo, sadarlah. Jangan turuti dorongan murka yang menguasai jiwamu. Kuasailah
dorongan murka itu
supaya...."
"Heaaahh...!"
Suto belum selesai bicara, tahu-tahu Logo sudah
melompat bagaikan singa raksasa ingin menerkam Suto.
Wuutt...! Suto terpaksa bersalto ke belakang dua kali.
Plak, plak...! Dengan sikap berdiri sedikit merendah dan miring jari tangan
Pendekar Mabuk menyentil ke depan
dua kali. Tes, tes...! Jurus 'Jari Guntur' dipergunakan.
Sentilan itu keluarkan tenaga dalam cukup besar.
Deeb, deeb...! Pukulan tenaga dalam dari sentilan itu
tepat kenai ketiak kanan-kiri. Tubuh Logo yang sedang
melayang berjumpalitan di udara dan jatuh dengan
tengkuk membentur tanah lebih dulu.
Bluukk...! Wwrrr...! Daun-gaun berguncang dan bergetaran
kembali akibat jatuhnya tubuh besar itu. Seandainya
bukan Logo yang bertulang leher keras dan besar, pasti tulang leher itu sudah
patah karena terjungkal keras.
Tapi agaknya tulang leher Logo tidak mengalami cedera.
Hanya saja, ia terkapar tak berkutik karena ternyata
sentilan bertenaga besar itu telah menotok jalan darah anak jin tersebut.
"Gggrr...! Ggrrr...!" Logo hanya bisa mengerang dengan mulut terbuka, dan mulut
itu agaknya sudah sulit tertutup. Persendian tulang rahangnya mengunci dalam
keadaan ternganga. Matanya membelalak liar ke sana-
sini, seakan ingin luapkan amarah karena tubuhnya
dibuat lemas seperti tak bertulang dan tak berurat lagi.
Tiba-tiba seberkas sinar hijau berkelebat dari balik
semak-semak. Sinar hijau itu mengarah ke dada Logo.
Dengan cepat Pendekar Mabuk melompat melintasi
tubuh besar yang telentang tak berdaya itu. Bumbung
tuaknya disodokkan ke depan sehingga sinar hijau itu
membentur bumbung tuak dan membalik arah dengan
lebih cepat dan lebih besar. Zlaapp...! Blegaaarrr...!
Semak-semak itu langsung hancur dan menyebar ke
mana-mana. Tempat yang rimbun itu menjadi terang
benderang tanpa tanaman semak sedikit pun. Tapi orang
yang lepaskan sinar hijau itu tidak terlihat ada di sana.
"Seseorang kehendaki Logo mati dalam keadaan
seperti ini. Hmm... siapa orang itu" Di mana dia
sekarang. Kudengar detak jantung orang lain masih ada
di sekitar sini."
Mata Pendekar Mabuk melirik ke sana-sini penuh
selidik. Lalu ia merasakan datangnya gelombang panas yang bergerak dengan cepat
bagaikan tertuju ke arah
kepalanya. Dengan cepat Pendekar Mabuk mendongak
dan sentakkan tangan kanannya hingga melepaskan
pukulan tenaga dalam cukup besar tanpa sinar.
Wuuukkk...! Blegaarr...! Gelombang itu membentur pukulan tak bersinar dan
menimbulkan ledakan yang dahsyat. Jika gelombang
hawa panas itu tidak besar dan tak seberapa hebat,
ledakannya tak akan membuat pohon tumbang. Tapi
karena kedua pukulan tenaga dalam itu ternyata sangat besar, maka tiga-empat
pohon segera tumbang bagaikan
dihempas badai maha dahsyat. Bahkan pohon-pohon
lainnya ada yang mengalami patah dahan dan ada pula
yang miring ke salah satu sisi dalam keadaan akarnya
tercongkel naik.
Ledakan itu membuat tubuh Suto terjungkal ke
belakang, namun segera berdiri tegak kembali dengan
satu sentakan pinggul, ia berdiri di samping tubuh besar yang terkapar, sengaja
menjaga keselamatan Logo.
Sedangkan dari atap pohon yang tumbang itu segera
meluncur sesosok bayangan hitam yang kemudian
mendarat di tanah seberang Suto.
Seseorang yang mengenakan kerudung kain hitam
dari kepala sampai kaki berdiri tegak dengan
menggenggam tongkat berujung sabit lengkung. Itulah
yang dikenal dengan nama senjata pusaka El Maut.
Wajah dingin, pucat pasi dengan bibir membiru tampak
tersumbul dari balik kain kerudung hitamnya. Melihat
kehadiran tokoh yang tak asing lagi bagi Suto itu, sang Pendekar Mabuk sempat
terperanjat namun segera
bersiap untuk lakukan penyerangan, sebab tokoh itu tak
lain adalah Siluman Tujuh Nyawa.
"Durmala Sanca...! Akhirnya kau muncul juga dari
tempat persembunyianmu selama ini!" ucap Suto dengan nada dingin, wajahnya
memancarkan semangat untuk
menumbangkan tokoh sesat yang ditakuti oleh para
tokoh golongan hitam itu.
Di hati Suto sempat membatin, "Pantas pukulan
tenaga dalamnya besar sekali! Rupanya dia yang
menghendaki kematian Logo. Atau... oh, ya! Aku tahu
sekarang. Dialah orang yang membuat jiwa Logo
menjadi liar dan ganas. Entah dengan cara bagaimana,
maka ia bisa mengendalikan jiwa Logo menjadi sejahat
itu. Hmm... sayang sekali saat ini aku tak membawa
Pedang Kayu Petir. Tapi akan kucoba untuk
memancingnya dengan caraku sendiri."
Saat itu terdengar Siluman Tujuh Nyawa
perdengarkan suaranya yang tenang, kalem, tanpa
perasaan. Wajahnya datar dan dingin. Nada bicaranya
tak bisa jelas dipahami, apakah marah, benci, senang,
atau kecewa. "Sepak terjangmu selama ini sudah membuatku
semakin benci padamu, Suto! Namamu semakin dikenal
dan menjadi kebanggaan para gadis cantik di mana pun
berada. Agaknya memang sekaranglah saatnya
kuhancurkan seluruh kehidupanmu dengan ilmu
baruku!" "Kalau kau merasa mampu, lakukanlah sekarang
juga, Durmala Sanca!"
Tantangan itu bagaikan tidak mendapat balasan.
Wajah putih berkesan muda dan tampan tapi pucat dan
bengis itu tetap datar-datar saja. Matanya menatap bagai ingin membekukan darah.
Pendekar Mabuk sudah siap
hadapi serangan lawannya, karena Siluman Tujuh
Nyawa adalah musuh utama Suto yang dikejar-kejarnya
selama ini. Kepala manusia paling sesat dan kejam itu adalah maskawin bagi Suto
untuk diberikan kepada Ratu
di negeri Puri Gerbang Surgawi yang selama ini menjadi
kekasih Suto dan calon istrinya; Gusti Mahkota Sejati
yang bernama asli Dyah Sariningrum.
Saling bungkam dan saling beradu pandang ternyata
merupakan pertarungan batin mereka dalam kadar ilmu
tinggi. Suto merasakan hawa panas mulai mengalir
bersama darahnya. Semakin lama darahnya terasa
semakin mendidih dan menyengat anggota dalam
tubuhnya. Jantung menjadi lemah dan pernapasan
menjadi sesak. Suto mulai sadar bahwa Siluman Tujuh
Nyawa telah melepaskan serangan melalui pandangan
matanya. Maka Suto Sinting pun tak mau kalah serang.


Pendekar Mabuk 033 Kitab Lorong Zaman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pertama-tama yang dilakukan adalah menyalurkan
hawa murni agar menguasai tubuhnya. Hawa es mulai
meresap ke dalam darah dan memadamkan rasa panas
yang nyaris melumerkan jantung, paru-paru, hati, limpa
dan sebagainya. Hawa panas itu juga hampir saja
memutuskan seluruh otot dan urat nadi. Tapi segera kuat serta kokoh kembali
setelah Suto menyalurkan hawa es
sebagai tandingannya.
Dengan kekuatan pandangan mata pula, hawa es itu
disalurkan oleh Suto dan menyerang Siluman Tujuh
Nyawa. Tubuh orang berkerudung hitam itu tampak
bergerak-gerak menggigil. Bibirnya pun mulai kelihatan
bergetar. Tetapi genggaman tangannya pada tongkat
tampak kian kuat, pertanda Siiuman Tujuh Nyawa juga
melawan kekuatan hawa es yang nyaris membekukan
semua cairan dalam tubuhnya itu.
Tiba-tiba dari kedua mata dingin itu keluar dua
berkas sinar merah yang melesat cepat menuju ke tubuh
Suto. Dua berkas sinar merah itu sangat pendek, dan
ketika melintasi perbatasan jarak warna sinarnya hilang, berubah menjadi dua
mata pisau tanpa gagang. Mata
pisau itu bagaikan terbuat dari logam anti karat yang
ujungnya runcing dan gerakannya cepat.
Suto Sinting tak mau kalah gertak, ia segera
berkelebat, tangannya yang sudah berkuku merah bara
itu bagaikan memercikkan air ke depan. Ternyata yang
keluar adalah percikan bunga api warna merah bintik-
bintik, itulah jurus 'lintang Kesumat' yang jarang
digunakan oleh Pendekar Mabuk. Percikan bunga api
yang keluar dari ujung-ujung kuku itu menyergap dua
benda runcing. Seketika itu kedua benda tersebut
meledak dengan keluarkan gelombang ledakan yang
cukup besar, sentakan anginnya membuat tubuh
Pendekar Mabuk terjungkal ke belakang dan tubuh
Siluman Tujuh Nyawa terpelanting mundur tiga tindak.
Blegaaar...! Pendekar Mabuk jatuh terguling-guling. Rupanya
daya sentak lebih kuat ke arahnya daripada ke arah
Siluman Tujuh Nyawa. Akibatnya, tokoh sangat kejam
dan berdarah dingin itu lebih dulu berdiri tegak
ketimbang Suto Sinting. Pada saat Pendekar Mabuk
bangkit setengah badan, Siluman Tujuh Nyawa segera
angkat tongkat El Maut-nya dan dari ujung mata sabit
tajamnya itu memancarkan tiga larik sinar biru berkelok-kelok bagaikan tiga
benang yang menyergap tubuh
Pendekar Mabuk. Clap, crat, crat, crat...! Jraab...!
Kilatan cahaya biru kenai tubuh Suto. Pendekar
Mabuk pejamkan mata kuat-kuat dengan tubuh kejang
berlutut. Kepalanya mendongak dan mulutnya
mengerang. "Aaahg...!" kulit tubuh Pendekar Mabuk mulai merah, makin lama makin matang,
bahkan berwarna
kebiru-biruan. Tubuh itu bergetar kuat, dan Suto
berusaha menahannya, ia meraih bumbung tuaknya yang
sempat jatuh di tanah dekat lututnya. Ia ingin meminum
tuaknya, namun tiba-tiba tubuh Siluman Tujuh Nyawa
berkelebat menerjangnya. Wuuutt...! Praak...! Bumbung
tuak itu disamparnya dan terlempar ke belakang Suto
Sinting, jauh dari jangkauan.
"Sudah saatnya kau mati di tanganku, Bocah Dungu!"
kata Siluman Tujuh Nyawa dengan suara datar, bagai tak
mempunyai tekanan kebencian. Tetapi senjata pusaka El
Maut segera diangkat dan diayunkan untuk menebas
leher Suto. Wuuutt...! Duaaar...! Tiba-tiba sinar perak berkelebat
menghantam ujung senjata El Maut. Sinar perak itu yang
membuat gerakan tongkat yang diayunkan menjadi
terhenti dan memantul balik, menyentak kuat sekali
sehingga tubuh Siluman Tujuh Nyawa terpelanting ke
belakang. Sekelebat bayangan melintas di atas tubuh Logo yang
masih terkapar tak berdaya. Bayangan yang berkelebat
cepat sekali itu menerjang tubuh Siluman Tujuh Nyawa.
Braass...! Entah dengan tendangan atau pukulan, tak
terlihat dengan jelas serangan yang dilancarkan. Yang
bisa dilihat jelas, tubuh Siluman Tujuh Nyawa terlempar beberapa tindak dari
tempatnya berdiri. Namun tokoh
sesat itu tak sampai jatuh terkapar, ia hanya jatuh
berlutut dan menyangga tubuh dengan berpegangan pada
tongkat El Maut-nya.
Kaki orang yang berkelebat itu segera menendang
bumbung tuak, dan bumbung tuak itu meluncur di
permukaan tanah berumput lalu membentur lutut Suto.
Deeg! Dengan susah payah Suto berusaha gerakkan
tangannya untuk ambil
bumbung tuaknya dan
menenggak tidak beraturan. Air tuak meleleh ke mana-
mana membasahi wajah dan sebagian tubuhnya. Tapi
beberapa bagian tuak sudah bisa diteguknya.
Siluman Tujuh Nyawa segera tegakkan kepala,
pandangi tokoh yang baru datang itu. Tapi ia sempat
terperanjat melihat tokoh itu ternyata sudah bergerak
amat dekat dengannya dengan menebaskan pedangnya
dalam gerakan yang nyaris tak bisa terlihat. Secepatnya tongkat El Maut
dihadangkan sebagai jurus penangkis
pedang lawan. Dan pedang itu tiba-tiba tersentak mental sebelum menyentuh dan
beradu dengan senjata pusaka
Ei Maut. Wuuttt...! Gelombang sentakan dari senjata El Maut
begitu besar, membuat pedang itu lepas dari tangan
pemiliknya dan melayang jatuh di seberang sana.
Dengan cepat Siluman Tujuh Nyawa bangkit dan
sodokkan tongkatnya ke arah depan. Keluarlah segepok
jarum merah dari ujung tongkat bersabit lengkung
panjang itu. Gerombolan jarum merah itu menerjang
tubuh lawan. Namun dengan gerakan cepat sang lawan
menghindar. Tiba-tiba ia telah melompat dan berada di atas pohon. Jarum-jarum
merah yang menggerombol itu
menerjang pohon di seberang, dan pohon itu lenyap
menjadi debu-debu coklat yang berserakan. Zrrrub...!
Jraab... Jraasss...! Debu-debu
coklat berhamburan, mengerikan jika dibayangkan seandainya tubuh manusia
yang terkena jarum-jarum merah tadi. Tetapi tokoh yang
ada di atas pohon itu tak mau terlalu lama
membayangkan hal itu, maka secepatnya ia lepaskan
pukulan bersinar putih perak lagi ke arah Siluman Tujuh Nyawa. Clap, clap...!
Kali ini dua sinar putih perak
dilepaskannya. Siluman Tujuh Nyawa hanya menudingkan satu jari
telunjuk kirinya. Jari itu keluarkan gelombang getar
yang tak terlihat
wujudnya. Gelombang getar
menangkap dua sinar putih, lalu mengadukan di udara
sehingga dua sinar tersebut saling berbenturan sendiri.
Blaarr...! Akibatnya ledakan dahsyat kembali terdengar berkat
benturan dua sinar sejenis itu. Gelombang ledaknya
membuat tubuh si tokoh di atas pohon terpental dan
jatuh ke tanah dalam keadaan hilang keseimbangan.
Siluman Tujuh Nyawa segera menyambarnya dengan
tebasan sabit lengkung di ujung tongkat El Maut-nya.
Tetapi gerakan tersebut menjadi berbeda arah karena
Suto kirimkan pukulan jarak jauhnya yang dinamakan
jurus 'Pecah Raga'. Sinar hijau melesat dari telapak
tangan Suto. Sinar itu tepat kenai lambung Siluman
Tujuh Nyawa. Tubuh berkerudung hitam itu terjungkal hingga
membentur pohon dan kayu pohon itu menjadi retak
sampai di bagian atas, di persimpangan dahan.
Duuurr...! Kraakk...!
Biasanya jurus 'Pecah Raga' adalah jurus yang
membuat lawan menjadi pecah raganya jika terkena
sinar hijau itu. Tetapi tokoh yang satu ini memang kuat dan alot, sukar
dikalahkan. Tubuhnya masih utuh,
bahkan masih mampu berdiri dengan sedikit limbung.
Tentu saja ia mempunyai lapisan tenaga dalam yang
amat tebal dan besar sehingga bisa menjadi perisai bagi serangan bersinar
seperti tadi. Namun keadaannya sudah
tak setegar tadi. Agaknya ia mengalami luka dalam
akibat sinar hijau dari tangan Suto Sinting tadi.
Mulutnya yang berbibir biru itu melelehkan darah kental walau bibir tersebut
tetap terkatup.
Suto Sinting yang sudah segar kembali akibat minum
tuaknya segera persiapkan jurus 'Manggala' untuk
menyerang Siluman Tujuh Nyawa. Jurus 'Manggala'
adalah gerakan tangan menyentak ke depan dalam
keadaan miring dan mampu keluarkan pisau-pisau kecil
yang jumlahnya tergantung hentakan napas pada saat itu.
Jurus 'Manggala' dapat membuat lawan mati berdiri
dalam keadaan tubuh sudah menjadi gumpalan debu,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Bandar Hantu Malam" dan "Cermin
Pemburu Nyawa"). Jurus itu adalah jurus sakti pemberian Ratu Kartika Wangi,
calon mertua Pendekar Mabuk yang menjadi ratu di negeri
alam gaib. Tetapi gerakan Suto itu terlambat setengah kedipan.
Siluman Tujuh Nyawa lebih dulu sentakkan kakinya dan
melesat pergi. Gerakannya begitu cepat, lalu hilang
bagai memasuki lapisan udara yang tak bisa terlihat mata manusia biasa. Pendekar
Mabuk menggeram kesal.
"Dia masuk ke alam gaib! Aku harus mengejarnya!"
Sebenarnya Pendekar Mabuk bisa mengejar masuk ke
alam gaib, karena ia mempunyai tanda merah di
keningnya yang hanya bisa dilihat oleh tokoh berilmu
tinggi. Dengan mengusap tanda merah di keningnya
menggunakan tangan kanannya. Tetapi niat itu tertunda
karena suara erangan lirih yang terdengar menyayat
kalbu. Erangan itu datang dari tokoh yang tadi sempat
jatuh dari atas pohon dan kini sedang terkapar dengan
mulut dan hidung berdarah.
"Dia telah selamatkan aku dari kematian yang
mengerikan. Jika bumbung tuakku tidak ditendangnya,
aku tak bisa meraihnya lagi dan tak mungkin bisa
terhindar dari luka dalam yang amat parah tadi.
Sebaiknya aku harus selamatkan dulu jiwanya sebelum
kukejar kembali Durmala Sanca, si manusia sesat itu!"
Tokoh yang punya keberanian tinggi, dan berhasil
membuat Siluman Tujuh Nyawa nyaris tumbang tadi,
terpaksa mau meneguk tuak dari bumbungnya. Sebab
keadaan tokoh itu sangat parah. Jika tidak menenggak
tuak maka diperkirakan nyawanya akan lenyap dari
tubuh dalam waktu dua puluh helaan napas lagi.
Rupanya pertarungan itu ada yang mengintainya.
Orang yang mengintai pertarungan tersebut hanya
bertanya dalam hati, "Siapa tokoh yang berani
menyerang Siluman Tujuh Nyawa itu" Hampir saja ia
mati kalau Suto tidak segera lepaskan sinar hijaunya
tadi. Dan... ternyata Pendekar Mabuk memang
mempunyai kesaktian tinggi, dapat sembuh dari luka
separah itu dengan meminum tuaknya. Sungguh-
sungguh mengagumkan. Lalu... orang hitam yang hanya
bercawat itu bagaimana" Apakah dia sekarang sudah
mati karena serangan Suto tadi?"
* * * 5 BUKAN hanya si penolong saja yang mendapat
pengobatan melalui tuak Suto, melainkan Logo juga
mendapatkannya. Mulutnya yang ternganga tak bisa
terkatup lagi karena totokan jalan darahnya itu membuat Suto mudah menuangkan
tuaknya ke mulut itu, seperti
menuang air dalam selokan kecil. Krucuk, krucuk,
krucuk...! Glek, glek, glek...! Mau tak mau tuak itu
terminum dengan sendirinya. Setelah beberapa saat, Suto pun membebaskan
totokannya pada Logo. Sementara
orang yang tadi menyelamatkan Suto dari pancungan
senjata Siluman Tujuh Nyawa itu segera mengambil
pedangnya yang terlempar jauh. Pedang itu kini
dimasukkan ke dalam sarung pedang dan digenggam
dengan tangan kirinya.
Sang pengintai yang tadi mengikuti pertarungan itu
segera pergi, karena menurutnya tak ada sesuatu yang
perlu disimak lagi. Jurus-jurus maut yang dikeluarkan dalam pertarungan tadi
sudah dicatat dalam benaknya, ia merasa lebih penting melanjutkan perjalanannya
daripada menyimak percakapan antara Suto Sinting
dengan tokoh perempuan berambut acak-acakan yang
gemar kenakan pakaian seperti terbuat dari karet yang
ketat sekali dengan tubuhnya dan berwarna hitam.
Perempuan itu berwajah cantik, namun berkesan liar
karena rambutnya tak pernah tertata rapi dan selalu acak acakan seperti
perempuan gila. Perempuan itu tak lain
adalah Angin Betina, orang yang terang-terangan
mencintai Suto Sinting dan tak pernah rela melihat Suto disakiti orang lain.
(Tentang Angin Betina, baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Pedang Kayu
Petir"). Wanita berhidung kecil tapi mancung, berbibir sedikit
tebal tapi indah itu segera dekati Pendekar Mabuk yang
sedang bicara dengan Logo, anak jin. Orang gundul
berkuncir dan kenakan anting satu di sebelah kiri itu
duduk bersandar pada sebatang pohon yang belum
sempat tumbang akibat pertarungan tadi. Keadaan Logo
sudah kembali seperti semula; polos, jujur, dan kekanak-kanakan.
"Kau ingat siapa diriku?" tanya Suto mencoba ingatan Loga.
"Suto Sinting," jawab Logo dengan polos, matanya memandang lugu.
"Siapa ibumu?"
"Ibu Sumbaruni," jawabnya lagi.


Pendekar Mabuk 033 Kitab Lorong Zaman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagus. Kau sudah memperoleh jati dirimu kembali,"
kata Suto sambil berdiri dari jongkoknya, ia segera
memandang Angin Betina dan bertanya,
"Bagaimana keadaanmu?"
"Tak apa. Sudah segar kembali berkat tuakmu."
"Sepertinya aku tak percaya kalau ada perempuan
yang berani menyerang Siluman Tujuh Nyawa dalam
keadaan sedang murka seperti tadi. Kupikir tadi bukan
kau yang datang menolongku. Sungguh aku kagum
dengan keberanianmu, Angin Betina."
Wanita tanpa senyum itu hanya menghela napas satu
kali dan berkata, "Aku sendiri tak sangka kalau punya keberanian seperti itu.
Padahal aku tahu persis ilmuku
tidak ada sekuku hitamnya dengan Siluman Tujuh
Nyawa. Dulu mendiang guruku; Nyai Pancungsari
berpesan wanti-wanti padaku agar hindari pertemuan
dengan Siluman Tujuh Nyawa. Tapi sekarang justru aku
hampiri tokoh sesat itu dan menyerangnya. Kurasa ini
karena hatiku tak rela jika melihat kau disakiti orang
lain, dan aku sudah berjanji pada dirimu akan
melindungimu. Jika kau mati, pada saat itulah aku sudah menjadi bangkai. Aku tak
ingin kau mati lebih dulu
dariku, Suto."
Suto Sinting hanya tersenyum, diam-diam merasa
kagum dengan kesetiaan cinta Angin Betina yang sudah
berulangkali ditolak tapi masih saja ngotot ingin
mencintai Suto Sinting. Sebaris kalimat yang pernah
diucapkan Angin Betina selalu terbayang dalam ingatan
Suto; "Kau boleh menolak cintaku tapi jangan larang aku untuk tetap mencintaimu!"
Ungkapan hati itu sekarang pun terngiang kembali di
hati Suto Sinting. Ada keharuan yang membersit di
tepian hati, namun Suto Sinting tak mau hanyut dalam
keharuan itu, sehingga ia segera alihkan percakapan ke
masalah lain. "Bagaimana kau tahu kalau aku ada di sini?"
"Aku baru saja pulang dari pondoknya Resi Wulung
Gading. Kudengar suara gelegar ledakan dari sini, lalu
aku penasaran dan ingin melihat siapa orang bertarung.
Ternyata kau dan Siluman Tujuh Nyawa. Aku tak tahu
orang hitam keling ini ada dipihakmu atau di pihak
Siluman Tujuh Nyawa. Yang kutahu, aku harus
selamatkan dirimu dari pancungan si raja sesat itu!"
Logo bangkit dan berkata dengan nada protes, "Aku
bukan hitam keling. Kata ibu aku hitam manis!"
"Iya, benar. Kau hitam manis. Angin Betina salah
ucap!" kata Suto yang segera menenangkan Logo
kembali. Angin Betina hanya sunggingkan senyum tipis.
Matanya melirik Suto pada saat Pendekar Mabuk itu
berkata, "Dia anaknya Sumbaruni yang sedang dicari-cari."
Angin Betina manggut-manggut samar, nyaris tak
terlihat gerakan kepalanya, ia hanya berkata dengan nada ketus karena
dipengaruhi rasa cemburu,
"Maksudmu, Sumbaruni yang jatuh cinta padamu
itu?" Suto tidak menjawab. Hanya tersenyum kecil, karena
ia tahu jika pertanyaan itu dijawab dengan sanggahan
akan menghadirkan perang mulut saat itu juga. Suto
Sinting bahkan segera alihkan pembicaraan lagi ke arah
Logo. "Logo, apakah kau ingat mengapa kau mengejar-
ngejar perempuan tadi?"
"Karena disuruh."
"Siapa yang menyuruh?"
"Siluman Tujuh Nyawa."
"Bagaimana kau bisa mengenalnya?"
"Ditolong dia."
"Sejak kapan?"
"Sejak jatuh dari atas jurang."
"Hmmm..."!" Suto manggut-manggut
sambil menggumam. Rupanya saat Logo dikabarkan jatuh
terpeleset di Jurang Petaka, ia segera diselamatkan oleh Siluman Tujuh Nyawa.
Lalu hidup bersama tokoh sesat
itu selama beberapa waktu. Agaknya Logo mendapat
pengaruh buruk dari tokoh sesat itu, atau jiwanya
berhasil dipecundangi oleh Siluman Tujuh Nyawa,
sehingga Logo menjadi pengikutnya yang setia dengan
perintah dan tugas-tugasnya. Pantas jika Siluman Tujuh
Nyawa ingin membunuh Logo, sebab ia takut Logo buka
rahasia tentang tempat persembunyiannya selama ini.
Tentunya Siluman Tujuh Nyawa tahu, bahwa kesadaran
Logo bisa dipulihkan kembali oleh Suto, sehingga anak
jin itu akan ingat tentang dirinya dan tentang hal-hal
yang dilakukan di Jurang Petaka bersama si tokoh sesat
itu. Logo mengaku pernah mendapat siraman cahaya dari
sepasang mata dinginnya Siluman Tujuh Nyawa,
sehingga ia merasa semua orang adalah musuhnya. Yang
dianggap sahabat atau orang baik hanyalah Durmala
Sanca atau Siluman Tujuh Nyawa itu.
"Lalu, mengapa Siluman Tujuh Nyawa menyuruhmu
mengejar-ngejar perempuan itu" Apa yang ia harapkan"
Apakah kau tahu?"
"Tahu," jawab Logo, tapi setelah itu diam saja, tak
menjelaskan apa yang diketahuinya. Pada saat itu Angin
Betina merasa kurang tertarik dengan percakapan
tersebut, sehingga ia memotong dengan kata-kata,
"Resi Wulung Gading menyuruhku menengok Biara
Genta. Menurut firasat beliau, ada bahaya di sana. Aku
sekarang mau ke Biara Genta, apakah kau mau ikut
denganku atau mengantar bocah itu sambil memadu
rindu kepada ibunya?"
Suto sengaja tak menanggapi sungguh-sungguh,
karena hanya akan memancing pertengkaran mulut.
Nada cemburu itu hanya dibiarkan saja, kecuali sepatah
kata melintas, "Sebentar...," setelah itu Suto kembali bicara kepada Logo.
"Jika kau tahu apa yang diharapkan Siluman Tujuh
Nyawa, tolong jelaskan!"
"Aku disuruh merebut."
"Merebut perempuan itu tadi?"
Logo menggelengkan kepala dengan mulut melongo.
"Lantas disuruh merebut apa?"
"Pusaka."
"Pusaka apa?"
"Kitab!" jawab Logo pendek-pendek, karena memang itu kebiasaannya bicara.
Begitulah keadaan Logo
aslinya, bicara selalu pendek dan apa perlunya saja.
Tapi mendengar Logo disuruh merebut pusaka dan
pusaka itu adalah sebuah kitab, kening Suto menjadi
berkerut. Angin Betina juga memandang penuh
perhatian, karena merasa tertarik ingin mengetahui
tentang kitab yang dimaksud Logo itu. Maka Angin
Betina pun segera ajukan pertanyaan.
"Kitab pusaka apa" Kau ingat namanya?"
"Tidak," jawab Logo sambil menggeleng iugu.
"Coba ingat-ingat... apa nama kitab itu?" kata Suto.
Logo berkerut dahi, tundukkan kepala beberapa saat, lalu ia pandangi Suto dan
menggeleng. "Jadi, kau tak ingat nama kitab itu?"
"Tidak."
"Apakah Siluman Tujuh Nyawa tak sebutkan nama
kita itu?"
"Memang tidak."
"Pantas," gerutu Angin Betina. "Biar disuruh mengingat satu tahun penuh tak akan
ingat namanya, sebab memang nama kitab itu tak disebutkan."
"Siluman Tujuh Nyawa hanya suruh aku rebut kitab
yang ada pada perempuan itu," kata Logo agak panjang setelah diam beberapa saat
dan menyusun kalimat seperti itu dalam benaknya.
"Aku akan menuju Biara Genta. Kalau kau tak mau
ikut, akan kutinggalkan," kata Angin Betina yang mulai tidak tertarik dengan
kebodohan Logo lagi.
"Aku juga akan ke sana," kata Suto. "Perjalananku terhenti karena melihat
Lancang Puri bertarung melawan
Logo." "Lancang Puri..."!" gumam Angin Betina dengan dahi berkerut.
"Dia adalah cucunya Pendeta Mata Lima."
Kerutan dahi Angin Betina kian tajam. "Cucu..."!
Setahuku Pendeta Mata Lima dan Pendeta Jantung Dewa
tidak pernah kawin. Bagaimana mungkin dia bisa punya
cucu?" "Hmmm... yah, mungkin cucu angkatnya"!"
"Aku curiga!" kata Angin Betina. "Aku kenal Lancang Puri, keponakan dari tokoh
berdarah dingin
yang menguasai Pulau Lanang, hidupnya tergantung dari
kemesraan seorang lelaki. Nama perempuan itu adalah
Nyai Gandrik!"
"Tepat sekali dugaanmu. Lancang Puri memang
bersama Nyai Gandrik."
"Hati-hati jika bertemu dengan Nyai Gandrik.
Kesaktian dan kekuatannya ada pada cumbuan asmara
seorang lelaki. Kau akan dibuat jatuh berlutut jika sudah berhadapan dengannya.
Karena dia punya penyakit
kutukan, dalam satu purnama tak bergumul dengan
lelaki, ia akan mati lemas."
Pendekar Mabuk menjadi sangat tertarik dengan
cerita itu, terutama tentang pengakuan Lancang Puri,
sebagai cucu Pendeta Mata Lima. Atas persetujuan
Angin Betina, akhirnya Logo diizinkan ikut ke Biara
Genta, karena Suto Sinting merasa khawatir jika Logo
disuruh pulang ke gua pantai Bukit Semberani sendirian.
Takut dikuasai oleh Siluman Tujuh Nyawa lagi. Maka
sambil melangkah menuju Biara Genta, Suto Sinting
mendesak agar Angin Betina lanjutkan ceritanya tentang
Nyai Gandrik dan Lancang Puri.
"Percayalah padaku, Lancang Puri bukan cucunya
Pendeta Mata Lima. Tak ada hubungan apa pun dengan
pendeta kakak beradik itu. Mendiang guruku sangat
kenal dengan Nyai Gandrik, beberapa kali aku pernah
ikut dalam pertemuan mereka. Lancang Puri mempunyai
perguruan sendiri yang bernama Perisai Sakti. Aliran
silatnya merupakan aliran silat gabungan antara jurus-
jurusnya Resi Demang Sudra dan jurus-jurus Nyai
Gandrik. Sebab di dalam perguruan itu, Nyai Gandrik
adalah sesepuh dan guru agung."
"Kau pernah jumpa dengan Lancang Puri?"
"Pernah satu kali, tapi ia tidak kenal diriku. Akupun tak berminat mengenalnya
karena kesombongannya
sebagai guru di antara para muridnya."
"Masih semuda itu sudah menjadi guru?"
"Sebenarnya yang banyak berperan dalam perguruan
Perisai Sakti adalah Nyai Gandrik. Jabatan guru
disandangnya sebagai bahan kebanggaan dan angkuh-
angkuhan saja. Sebenarnya Lancang Puri ilmunya belum
seberapa. Aku masih sanggup menumbangkannya."
"Apakah kau juga tahu tentang Urat Setan?"
Langkah perempuan berwajah cantik tapi berkesan
liar itu terhenti sesaat. Matanya menatap lurus kepada Suto Sinting.
"Kau mengenal Urat Setan juga?"
"Kulihat Lancang Puri bertarung melawan Urat Setan gara-gara rebutan sebuah
pusaka." "Urat Setan satu perguruan dengan Lancang Puri, tapi beda masa. Urat Setan sudah
pergi dari perguruan dan
diusir oleh Resi Demang Sudra, lalu beberapa saat
barulah sang Resi mengangkat murid lagi yaitu Lancang
Puri. Jika mereka berebut pusaka, pastilah pusaka
peninggalan gurunya itu."
"Kalau begitu, pusaka tersebut adalah kitab, dan kitab itu sekarang ada di
tangan Lancang Puri. Buktinya Logo
diperintahkan Siluman Tujuh Nyawa untuk merebut
kitab tersebut."
"Kurasa memang begitu. Tapi sebaiknya kita tak
perlu ikut campur karena itu urusan perguruan mereka."
"Aku setuju. Tapi aku masih merasa heran, mengapa
Lancang Puri harus mengaku sebagai cucu dari Pendeta
Mata Lima. Ia sangat sedih ketika mengetahui Biara
Damai lenyap tak berbekas dan...."
"Lenyap..."!" Angin Betina memotong dengan nada heran. Langkahnya terhenti lagi,
dan telinganya menyimak baik-baik cerita dari Suto tentang nasib Biara Damai dan Pendeta Mata
Lima yang bagaikan ditelan
bumi setelah reruntuhan itu terbungkus asap kuning.
Wajah cantik berkesan ganas itu menjadi tegang.
Kecemasan tersembunyi di balik sikap diamnya itu.
Lalu, ia segera berkata, "Kalau begitu kita harus lekas-lekas tiba di Biara
Genta. Mungkin hal itulah yang
diterima firasat Resi Wulung Gading sebagai firasat tak baik tentang kedua biara
tersebut."
Gerak langkah mereka kian dipercepat, sepertinya
sangat terburu-buru. Ternyata dalam waktu lebih singkat lagi mereka sudah sampai
di Lembah Canang. Tetapi
mereka sama-sama tertegun bengong mencari Biara
Genta. Mereka berdiri di atas tanah lapang berumput
tipis tanpa pohon kecuali di tepian jauh sana, wajah
Angin Betina kian menampakkan kecemasannya.
"Hilang..."!" gumam Suto Sinting seperti bicara pada diri sendiri.
"Tak mungkin. Kurasa kita salah alamat."
"Tidak, Angin Betina! Aku ingat betul, di sinilah letak bangunan Biara Genta
berdiri. Aku masih ingat
patokannya, yaitu, tiga pohon pinang tinggi yang
tumbuh di kaki bukit itu. Tiga pohon pinang tinggi itu
tumbuh tepat membentuk garis lurus dengan pintu
gerbang biara tersebut. Dan di sinilah letak garis lurus itu, Angin Betina."
"Ya," jawab Angin Betina pelan sekali dengan wajah tegang. "Berarti nasib
Pendeta Jantung Dewa dan
biaranya sama persis dengan nasib Pendeta Mata Lima
dan biaranya juga"!"
"Maksudmu, seseorang telah membantai habis


Pendekar Mabuk 033 Kitab Lorong Zaman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penghuni biara beserta Pendeta Jantung Dewa, lalu
orang itu memusnahkan reruntuhan dan korbannya
dengan cara seperti yang kulihat di Biara Damai itu?"
"Tepat! Kurasa begitu."
"Lalu, menurutmu siapa yang melakukan
pemusnahan seperti ini"!"
Bingung juga menjawab pertanyaan itu. Angin Betina
hanya diam sambil matanya memandang ke sana-sini
dengan tegang, ia sedang berpikir, siapa pelakunya" Dan pada saat hening itu,
tiba-tiba Logo berkata kepada Suto,
"Aku mendengar suara orang merintih di kejauhan
sebelah utara sana!"
"Orang merintih" Hmmm... mari kita periksa, Logo!"
Suto Sinting dan Logo bergerak ke arah utara. Angin
Betina masih terpaku heran di tempat berdirinya, ia
hampir-hampir tak percaya melihat bangunan biara
sekokoh dan sebesar itu bisa lenyap dengan ajaib sekali.
Tak bisa dibayangkan ilmu apa sebenarnya yang
dipergunakan untuk melenyapkan bangunan sebesar itu
bersama para penghuninya" Apakah para penghuninya
dibunuh dulu semuanya, baru dilenyapkan"
Angin Betina bergegas menyusul Suto dan Logo.
Ternyata kedua orang itu telah menemukan seorang
korban yang terjepit di sela-sela dua batu. Entah terjepit secara tak sengaja
atau memang sengaja bersembunyi di
dua batu besar lalu tak bisa keluar karena dadanya
terluka parah, yang jelas orang itu masih hidup. Dilihat dari pakaiannya yang
serba kuning dan kepalanya polos
tanpa rambut, orang berusia sekitar empat puluh tahun
dan bertubuh kurus itu pasti murid dari Biara Genta yang sempat larikan diri.
Luka di dadanya itu menghitam
bekas torehan pedang atau senjata tajam lainnya. Luka
itu tidak hanya menghitam, namun juga membusuk
sehingga tumbuh belatung yang merayap ke sekitar luka,
bagaikan menggerogoti sisa daging yang masih ada.
Keadaan orang itu sudah parah. Sangat pucat,
menyerupai kertas putih. Tapi Suto Sinting segera
menuangkan tuak ke mulut orang itu, meminumkannya
beberapa teguk. Logo diperintahkan menyingkirkan
salah satu batu besar yang menghimpit tubuh kurus itu.
Orang tersebut akhirnya berhasil diangkat dari celah-
celah dua batu besar, ia dibaringkan di bawah pohon.
Tapi keadaannya bukan semakin sembuh namun
semakin parah. Napasnya tersengal-sengal dengan mata
mulai terbeliak-beliak.
Ia hanya sebutkan kata, "Kitab... Lorong Zaman...
dicuri... orang...."
Wajah Angin Betina tersentak kaget dan kian tegang.
Padahal kitab itulah yang membuatnya ingin masuk ke
perguruan salah satu dari dua pendeta kakak-beradik itu.
Ia ingin pelajari isi Kitab Lorong Zaman.
"Mengapa ia menjadi bertambah parah setelah minum
tuakku?" gumam Suto seperti bicara pada diri sendiri.
Rupanya gumaman itu sempat didengar oleh si sakit, dan
si sakit berkata terputus-putus.
"Aku... telah... bersumpah... tidak akan... minum tuak lagi. Jika aku minum...
tuak... maka aku... akan mati....
Dan, sekarang... aku meminumnya...."
"Ya, ampun..."! Maafkan aku, aku tidak tahu kalau kau punya sumpah seperti itu.
Maafkan aku!" kata Suto penuh sesal karena telah meminumkan tuaknya dengan
maksud mengobati orang tersebut. Tetapi justru orang
tersebut sekarang menghembuskan napas terakhirnya
tanpa memberi penjelasan siapa orang yang datang
menyerang biara dan mencuri Kitab Lorong Zaman.
Angin Betina diam dalam keadaan murung di
kejauhan sana. Suto Sinting tahu, Angin Betina sangat
kecewa. Sebab ketika ia utarakan maksudnya kepada
Suto untuk menjadi murid salah satu dari kedua pendeta
itu, Suto sarankan agar Angin Betina tinggalkan jalan
sesatnya. Dan ternyata wanita itu sudah menuruti kata-
kata Suto. Ia tidak lagi menjadi tokoh silat beraliran
hitam, ia bahkan menjadi prajurit di istana Muara Singa, kepala pengawal Ratu
dan termasuk orang andalan Ratu
Galuh Puspanagari.
Tapi keinginannya untuk pelajari isi Kitab Lorong
Zaman cukup besar, sehingga ia mengundurkan diri dari
jabatan itu dan ingin bergabung dengan salah satu
pendeta kakak-beradik itu. Sebelumnya ia perlu meminta
saran kepada Resi Wulung Gading, tapi justru Resi
Wulung Gading menyarankan agar Angin Betina
selekasnya datang ke Biara Genta, karena firasat sang
Resi mengatakan ada sesuatu yang membahayakan Biara
Genta. Karenanya Angin Betina segera menuju ke Biara
Genta dan bertemu Suto di perjalanan tadi.
Kitab Lorong Zaman itu ternyata telah dicuri oleh
seseorang. Biara Genta dan Biara Damai telah lenyap
bagaikan tak pernah ada di permukaan bumi. Semua
penghuninya ikut lenyap kecuali seorang korban yang
baru saja menghembuskan napas terakhir. Hati Angin
Betina sangat sedih memendam kekecewaan. Padahal
Kitab Lorong Zaman itu mempunyai ilmu yang istimewa
dan sangat menarik untuk dipelajari. Kitab itu yang
membuat seseorang bisa mempunyai ilmu 'Tembus
Waktu' sehingga bisa melompat ke kehidupan masa lalu
atau masa mendatang.
"Siapa pencurinya" Lancang Puri-kah" Tapi sehebat
itukah ilmu Lancang Puri?" pikir Angin Betina dalam kesendirian.
* * * 6 PELARIAN Lancang Puri tertahan karena rubuhnya
dua pohong menghadang langkahnya. Brruuk,
gusraak...! Andai saja Lancang Puri tidak hentikan
langkah secara mendadak, tubuhnya akan tertimpa dua
pohon yang tumbang dari kanan-kirinya. Secepat kilat
Lancang Puri sentakkan kaki, melenting ke atas dan
bersalto mundur dua kali. Wuk, wuuk...! Jleg! Hati
perempuan itu mulai curiga, dan kecurigaannya ternyata
benar. Tumbangnya pohon itu disebabkan ulah
seseorang yang pasti sudah dikenalnya. Orang tersebut
tak lain adalah si Urat Setan. Wajah tuanya muncul dari sisi kiri dengan tenang
dan dingin. Tapi Lancang Puri
tampak sedikit tegang. Tidak setenang waktu berhadapan
di petilasan Biara Damai itu.
"Kali ini kau tak bisa menyangkal anggapanku lagi, Lancang Puri. Kulihat sendiri
Biara Genta telah kau
lenyapkan bersama Nyai Gandrik, bibimu! Tentunya
Kitab Lorong Zaman telah ada di balik jubahmu itu!"
Sambil berkata demikian, Urat Setan melangkah
tenang dekati Lancang Puri hingga jaraknya mencapai
tiga tombak. Lancang Puri memandang sengit kepada
Urat Setan. Mulutnya masih terbungkam dengan sikap
berdiri sedikit merenggang.
"Demi keselamatan nyawamu, Lancang Puri,
sebaiknya serahkan saja kitab pusaka itu padaku!"
"Kitab itu tidak ada padaku! Kalau
kau menginginkannya, kejarlah bibiku yang menuju Pulau
Lanang itu!"
"Aku bukan anak kecil yang mudah kau bodohi,
Lancang Puri. Jika kitab itu ada pada bibimu, kau tak
akan beri tahukan hal itu padaku. Jadi, aku semakin
yakin bahwa kitab pusaka itu ada padamu!"
"Kau tak akan memperoleh apa-apa jika mendesakku.
Mungkin malah akan memperoleh celaka yang
membuatmu menyesal seumur hidup, Urat Setan!"
Mata Urat Setan memandang penuh selidik.
Dilihatnya Lancang Puri tidak membawa benda apa pun.
Tapi Urat Setan masih curiga dengan keadaan di balik
jubah putih Lancang Puri.
"Setidaknya kitab itu disembunyikan di pinggang
belakang," pikirnya dengan mulut terkatup rapat. "Aku harus bisa memastikan
adakah sesuatu di pinggang
belakangnya itu?"
Sesaat kemudian, Urat Setan perdengarkan suaranya,
"Jika kau masih bersikeras sembunyikan kitab itu di pinggang belakangmu, maka
aku pun tak akan ragu-ragu
lagi untuk mengakhiri riwayat hidupmu, Lancang Puri!"
"Gertakanmu tidak membuatku ciut nyali, Urat Setan!
Bertindaklah sekehendak hatimu, aku akan melayani
dengan tanpa ragu pula!"
"Keparat kau!" geram Urat Setan mulai tak bisa bersabar lagi. Tiba-tiba tubuhnya
tersentak maju dan
melayang di udara. Wuuuttt...!
Lancang Puri tidak menghindar, melainkan justru
menyambut serangan itu dengan gerakan melesat ke
depan, kedua tangannya siap dihantamkan lawan.
Wuuuttt...! Plak, plak, plak, duaarr...!
Beradu kecepatan pukulan
tangan di udara menghasilkan bunyi ledakan yang membuat mereka
sama-sama terpental. Bunyi ledakan tadi terjadi ketika
telapak tangan mereka beradu dan memercikkan sinar
merah terang. Rupanya mereka sama-sama pergunakan
jurus serupa dan mempunyai kekuatan yang seimbang.
Perpaduan dua jurus serupa hanya membuat tubuh
mereka sama-sama terpental tanpa luka sedikit pun.
Dalam kejap berikutnya, mereka sudah sama-sama
terpental berdiri sigap dan siap lakukan serangan
berikutnya. Urat Setan mengambil sikap berdiri tegak, kedua
kakinya merenggang dan sedikit merendah. Lalu kedua
tangannya bertelapak mengembang, tapi ibu jarinya
terlipat sementara jari-jari lainnya merapat lurus. Kedua tangan itu berada di
masing-masing pinggang dalam
keadaan telapakannya terbuka ke atas. Dengan sentakan
tak bernapas, kedua telapak tangan itu disodokkan lurus ke depan, namun tak
sampai membuat sikunya tegak.
Suuutt...! Clap, clap...! .
Dua sinar merah lebar melesat dari kedua tangan
tersebut. Sebelum mencapai pertengahan jarak, sinar itu bergabung menjadi satu
Pendekar Pedang Sakti 6 Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja Pendekar Riang 8
^