Pencarian

Kitab Lorong Zaman 1

Pendekar Mabuk 033 Kitab Lorong Zaman Bagian 1


Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah
lindungan undang-undang.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
1 ASAP masih mengepul tipis pada celah-celah
bebatuan. Warna hitam menghiasi pemandangan sekitar
celah berasap. Warna hitam itu juga terdapat pada tubuh mayat-mayat yang
bergelimpangan di sana-sini. Para
korban menderita mati hangus akibat suatu pukulan
dahsyat. Sudah tentu orang berilmu tinggi yang mampu
melakukan semua itu.
Di atas reruntuhan yang serba hitam dan masih
hangat itulah, sesosok pemuda tampan berambut lurus
sepanjang lewat pundak berdiri memandangi keadaan
sekelilingnya. Pemuda yang mengenakan baju coklat
tanpa lengan dan celana putih kusam itu menahan haru
di dalam hatinya. Mata memandang ke sana-sini dengan
sedih. Bambu bumbung tempat tuak masih disandang di
pundak kanan. Si tampan bertubuh tegap dan gagah itu
tak lain adalah Suto Sinting, Pendekar Mabuk, murid
tokoh aliran putih kesohor; si Gila Tuak.
Setelah menatap sekelilingnya yang serba hitam itu,
sang pendekar tampan melompat ke sana-sini untuk
mencari sosok korban yang dikenalnya. Sosok korban itu
akhirnya ditemukan tergeletak hangus di sela-sela
reruntuhan kuil. Hati Suto kian trenyuh memandangi
korban yang hampir tak bisa dikenalinya lagi itu. Tetapi melihat bentuk wajahnya
dan tasbih batu hitam sebesar
melinjo itu tergeletak tak jauh dari tangan korban, maka Suto Sinting yakin
betul bahwa mayat itu adalah mayat
Pendeta Mata Lima.
Biara Damai hancur menjadi arang. Guru di biara itu,
Pendeta Mata Lima, ikut hancur bersama biaranya.
Mengenaskan sekali. Tak ada satu pun murid Pendeta
Mata Lima yang bisa tertolong dan diselamatkan.
Pendekar Mabuk hanya mengeluh dalam hatinya,
"Terlambat. Aku terlambat tiba di sini. Kurasa biara ini dihancurkan beberapa
saat sebelum aku tiba di sini.
Siapa pelakunya?"
Keluh dalam renungan itu terputus. Pendekar Mabuk
merasa gelombang hawa panas hendak menerpa
tubuhnya. Buru-buru ia hentakkan kaki kirinya ketanah
bebatuan yang dipijaknya. Wuuuttt...! Tubuhnya
melenting ke atas dalam gerakan cepat. Tak berapa lama
ia sudah mencapai sebuah dahan yang ada pada pohon
berdaun lebar dan rindang. Jleegg...! Kakinya mendarat
di pohon itu tanpa timbulkan suara, bahkan tak ada getar sedikit pun pada pohon
tersebut. Ini menunjukkan ilmu
peringan tubuh Pendekar Mabuk sangat tinggi dan
mampu membuat lawan
kebingungan mencari
keberadaannya. Rupanya gelombang hawa panas itu tidak tertuju
kepadanya, tapi ke permukaan tanah bekas biara
tersebut. Seberkas sinar kuning berbentuk bola seukuran genggaman tangan bayi
melesat bagai jatuh dari langit.
Gerakannya lurus ke bumi dan menghantam tanah bekas
biara itu tanpa timbulkan suara gelegar apa pun. Hanya menyerupai suara besi
panas dimasukkan dalam air.
Joosss...! Saat sinar kuning menghantam bumi dan timbulkan
suara aneh, asap mengepul dengan sedikit tebal dan
berwarna kuning indah. Asap kuning itu menyebar,
semakin lama semakin tebal, semakin lebar, sampai
akhirnya menutupi reruntuhan bangunan biara tersebut.
Dari atas pohon tempat persembunyiannya, Suto
Sinting memandang dengan mata penuh keheranan. Kini
yang dapat dilihatnya hanyalah bentangan asap kuning
yang kian menebal dan bergulung-gulung. Semua warna
hitam dari reruntuhan tak dapat terlihat lagi. Mayat-
mayat hangus yang bergelimpangan di sana-sini juga tak
terlihat karena tertutup ketebalan asap kuning yang
menyerupai kabut aneh membungkus permukaan tanah.
"Siapa pemilik sinar kuning aneh itu?" pikir Suto Sinting, matanya memandang
sekeliling dari atas pohon,
tapi ia tidak temukan sosok orang yang dicurigai.
Tempat di sekitar itu tampak sepi, seakan tak ada
kehidupan apa pun kecuali kehidupan dirinya sendiri.
Ilmu lacak jantung dipergunakan oleh Suto, tapi ia tidak menangkap suara detak
jantung orang lain, kecuali
jantungnya sendiri. Itulah sebabnya Pendekar Mabuk
merasa aneh, karena hati kecilnya merasa yakin adanya
seseorang yang mengirimkan sinar kuning tersebut. Tak
mungkin sinar kuning itu jatuh sendiri dari langit, itulah keyakinan Suto
Sinting. Keheranan Suto Sinting semakin besar lagi setelah
melihat asap kuning yang melapisi permukaan tanah
dengan ketebalan setinggi lutut itu, ternyata cepat sekali hilangnya bagaikan
terserap ke dalam bumi. Hilangnya
kabut kuning itu bersamaan pula hilangnya reruntuhan
biara tersebut. Semua benda, baik batu, kayu, maupun
mayat yang bergelimpangan tadi ternyata lenyap
bagaikan ditelan bumi.
"Ajaib sekali!' gumam hati Pendekar Mabuk dengan
mata tak berkedip. "Semuanya lenyap tak berbekas"!
Reruntuhan bekas pilar sebesar itu bisa hilang tanpa
tersisa serpihannya sedikit pun"! Luar biasa hebatnya
sinar kuning tadi" Hampir-hampir aku tak mempercayai
penglihatanku sendiri!"
Memang sulit dipercaya. Tanah di mana semula
terdapat reruntuhan biara yang terbakar habis bersama
penghuninya itu kini menjadi rata. Rata dan berwarna
coklat kehijauan, karena ada rumput-rumput yang
tumbuh pendek bagaikan baru saja bersemi. Tak terlihat
bekas reruntuhan sedikit pun, sehingga bagi orang yang
baru datang akan menyangka di tanah tersebut tak
pernah ada bangunan biara dengan kuil bertingkatnya
yang telah hancur terbakar. Tanah tersebut seperti tanah lapang yang mempunyai
kesuburan tersendiri dan
bersuasana tenang, hening, dan bersih dari sampah dan
kotoran apa pun.
Rasa heran yang begitu besar telah menguasai hati
Pendekar Mabuk, membuatnya tertegun bagaikan patung
di atas sebatang dahan pohon. Karena pada saat itu
terbayang dalam benaknya, seandainya ia tadi tidak
cepat hindari sinar kuning yang datang dari langit, lurus ke kepalanya itu,
pasti saat ini ia sudah ikut lenyap
bersama reruntuhan biara dan para mayat korban. Pasti
saat ini ia tidak bisa berdiri di atas dahan dan
menyaksikan keajaiban yang sulit dipercayai oleh siapa pun jika dituturkannya.
"Ternyata hari ini aku hampir saja musnah dan
berakhir masa hidupku," pikir Suto Sinting setelah ia sadar dari ketertegunannya
dan buru-buru menenggak
tuaknya beberapa teguk. "Apakah si pemilik sinar
kuning tadi bermaksud melenyapkan diriku, atau
melenyapkan sisa reruntuhan biara" Jika ia bermaksud
melenyapkan diriku, berarti dia adalah musuhku. Jika
bermaksud melenyapkan sisa reruntuhan biara, berarti
dialah orang yang menghancurkan biara itu!"
Baru saja Pendekar Mabuk ingin turun dari pohon
untuk mencari seseorang di sebelah timur, tapi niatnya itu tertahan oleh
kemunculan seseorang yang berlari dari suatu arah dan berhenti di tengah tanah
lapang bekas reruntuhan itu. Orang tersebut memandang ke sana-sini
dengan bingung, raut wajahnya penuh dengan perasaan
heran yang membimbangkan hatinya sendiri.
"Siapa perempuan itu?" pikir Suto Sinting dengan hati sedikit berdebar karena
perempuan yang ada di
tengah tanah lapang itu berpakaian seronok dengan
wajah cantik dan tubuh sangat elok menantang gairah
lelaki. "Aku merasa baru kali ini melihatnya. Sepertinya
perempuan itu sedang mencari-cari biara yang lenyap.
Mungkin ia merasa bahwa di situ dulunya ia temukan
sebuah biara, tapi sekarang tak berbekas sedikit pun.
Pasti dia terheran-heran, dan akan semakin heran jika
kuceritakan apa yang terjadi pada Biara Damai bersama
para penghuninya."
Perempuan itu berambut panjang, digelung sebagian,
mengenakan tusuk konde dari logam putih anti karat
berbentuk bintang dengan satu sisinya runcing
memanjang, ia kenakan pakaian pinjung sebatas dada
warna merah jambu, ketat sekali sehingga gumpalan dua
daging di dadanya sedikit tersumbul, menampakkan
kemulusan kulit putihnya dan kepadatan yang aduhai
mendebarkannya. Pakaian pinjung merah jambu dengan
celana beludrunya yang sama warna itu dilapisi dengan
jubah putih berhias benang emas pada tepiannya, ia
bukan saja tampak cantik, namun juga tampak anggun
dengan wajah bulat telurnya berhidung mancung dan
bermata sedikit lebar, indah tapi punya kesan tegas.
Dilihat dari raut muka dan kecantikannya, perempuan itu menampakkan usia matang
yang mencapai sekitar tiga
puluh tahun. "Tak ada salahnya kalau ia kutemui. Barangkali ia membutuhkan penjelasan dariku
tentang Biara Damai
dan Pendeta Mata Lima," ucap Suto membatin. Sebelum bergegas menemui perempuan
cantik itu, Suto Sinting
lebih dulu meneguk tuaknya beberapa kali sebagai
penyegar semangat.
Tetapi niat Suto untuk turun dari atas pohon tertunda
kembali, karena tiba-tiba ia dikejutkan dengan
munculnya tiga pisau terbang yang masing-masing
berukuran satu jengkal. Tiga pisau terbang itu melesat
berjajar bersamaan menuju ke arah punggung
perempuan berjubah putih sutera itu. Hampir saja tangan Suto menyentak ke depan
untuk melepaskan pukulan
penghancur tiga pisau terbang itu. Namun niat tersebut
tertunda pula karena tiba-tiba perempuan cantik itu
berkelebat membalik dan tahu-tahu telah menyambar
tiga pisau terbang itu dengan pedangnya. Trang, trang, trangl
"Wow...! Gerakan pedangnya cukup hebat. Lincah
dan cepat!" puji Suto dalam hati sambil mengantongi kelegaan. Sesungguhnya
Pendekar Mabuk akan merasa
kecewa jika perempuan anggun itu terluka oleh salah
satu dari tiga pisau terbang tersebut. Maka ketika ia
melihat pisau terbang mental kedua arah dan salah
satunya menancap di sebatang pohon, hati Pendekar
Mabuk merasa senang dan lega sebab perempuan
anggun itu tak jadi terluka.
Sekelebat bayangan melesat cepat bagaikan badai
menerjang perempuan anggun. Wuuuttt! Terjangan itu
kembali disertai kilatan dua logam putih yang tak lain adalah dua pisau terbang
sejenis dan serupa dengan yang tadi. Mestinya kedua pisau itu menancap di dada
perempuan anggun, sebab jarak lemparnya lebih dekat
lagi. Hati Suto Sinting berdesir cemas.
Namun ternyata gerakan perempuan itu tak bisa
dianggap enteng oleh lawan, ia mampu bersalto ke
belakang dan menendangkan kakinya dengan tendangan
tampar menggunakan telapak kaki beralas kulit itu.
Tendangan tamparnya membuat kedua pisau itu
bagaikan dibuang ke arah samping dan keduanya
menancap di sebuah pohon kapuk randu. Jrab, jrab...!
Perempuan itu terhindar lagi dari maut yang
membahayakan jiwanya. Jika ia tergores sedikit saja
oleh pisau terbang itu, maka tubuhnya yang putih mulus
itu akan menjadi busuk, karena memang demikianlah
nasib sebuah pohon yang tertancap pisau terbang yang
dilemparkan pertama tadi. Pohon itu menjadi busuk
sedikit demi sedikit.
"Racun berbahaya ada di mata piaau terbang itu,"
pikir Suto sambil tak berkedip memperhatikan keadaan
di tanah lapang bekas reruntuhan biara tadi. Kini yang
terlihat di depannya adalah seorang perempuan cantik
dan anggun, sedang berhadapan dengan seorang lelaki
tokoh tua berjenggot putih.
"Aku belum pernah melihat tokoh tua itu?" pikir Suto Sinting. "Siapa orang itu
dan ada persoalan apa dengan si cantik berbibir merekah itu?"
Lelaki tokoh tua yang dimaksud Suto berusia sekitar
delapan puluh tahunan, ia mengenakan jubah abu-abu
dengan rambut putihnya yang sedikit panjang tanpa ikat
kepala sehingga meriap-riap diterbangkan angin yang
berhembus agak kencang. Tubuhnya kurus, kulitnya
berkeriput, tapi masih tampak tegar dan kuat. Berdirinya tegak, tanpa bungkuk
sedikit pun. Di pinggangnya
terselip senjata cambuk digulung berwarna hitam
kemerah-merahan.
Suto mendengar perempuan cantik itu menggeram
kepada lawannya dengan mata sedikit menyipit
menandakan benci.
"Manusia licik kau, Urat Setan! Setua itu masih saja mau bertindak curang!
Hmm...! Benar-benar orang tua
yang tak tahu malu, menyerang orang muda dari
belakang. Sama halnya kau telah mengakui bahwa
ilmumu ternyata tak ada sekuku hitamnya dibandingkan
ilmu-ku, Urat Setan!"
Pendekar Mabuk membatin, "O, rupanya dia yang
berjuluk si Urat Setan" Aku pernah dengar namanya
ketika makan di sebuah kedai. Urat Setan atau Ki
Brajalinu adalah ketua Perguruan Hantu Terbang. Pantas
jika di jubahnya terdapat gambar tengkorak bersayap.
Seingatku, orang-orang kedai pernah menyebutkan
bahwa Urat Setan berilmu tinggi, tapi juga termasuk
tokoh pembunuh berdarah dingin, ia pernah ditolak


Pendekar Mabuk 033 Kitab Lorong Zaman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadi pengikut Siluman Tujuh Nyawa, musuh
utamaku yang masih kukejar-kejar itu. Konon penolakan
itu dikarenakan Urat Setan tidak berhasil mencuri sebuah pusaka sebagai syarat
menjadi anggota Siluman Tujuh
Nyawa. Sekarang ia berhadapan dengan perempuan
cantik itu, apakah karena dalam upaya memburu sebuah
pusaka atau karena ada persoalan lama yang perlu
diselesaikan secara tuntas" Hmm... sebaiknya kusimak
saja percakapan mereka itu."
Menurut dugaan dan takaran sepintas, perempuan itu
akan tumbang di tangan ketua Perguruan Hantu Terbang.
Sebagai ketua perguruan, tentunya Urat Setan tidak
berilmu pas-pasan. Dan kemudaan usia perempuan itu
jika dibandingkan dengan usia Urat Setan sangat
menyolok. Kemudian usia tersebut menggambarkan
kerapuhan ilmu si perempuan yang diduga mudah
tumbang oleh ilmunya Urat Setan. Tetapi perempuan
tersebut tampaknya tak gentar sedikit pun menghadapi
musuh tuanya, ia tetap berdiri tegak dengan kedua kaki
sedikit merenggang dan tangannya masih menggenggam
pedang perunggu.
Urat Setan perdengarkan suaranya, "Perempuan binal, kalau kau meremehkan diriku
sama saja kau sedang
menggali liang kuburmu sendiri. Serangan awalku tadi
hanya sebuah permainan iseng untuk mengganggumu.
Kalau aku mau, sangat mudah menghancurkan tubuhmu
yang montok itu dari belakang."
"Kau tak akan mampu, karena itu kau tak
melakukannya, Urat Setan!"
Dengan sikap dingin Urat Setan berkata, "Sangat
mampu, Lancang Puri. Tapi aku tak ingin kau mati
sebelum kau serahkan benda itu padaku!"
"Hmmm...!" perempuan itu mencibir dan mendesis
benci. Hati si tampan di atas pohon itu membatin, "O,
ternyata perempuan cantik itu bernama Lancang Puri.
Hmm... sebuah nama yang bagus dan mudah kuingat.
Tapi siapa sebenarnya Lancang Puri, aku belum tahu
secara pasti. Tak pernah kudengar nama Lancang Puri
disebutkan oleh para tokoh di rimba persilatan. Mungkin dia tokoh dari pulau
lain yang jauh dari tanah ini?"
Terdengar lagi suara Lancang Puri yang merdu itu
berkata lantang sementara sikap bermusuhannya kian
tampak jelas, "Urat Setan! Perguruanmu tak pernah punya
persoalan dengan perguruanku. Selama ini kami selalu
menghindari bentrokan dengan perguruanmu, karena
kita satu Eyang Guru, satu aliran silat. Tapi jangan
anggap hal itu disebabkan karena pihak perguruanku
takut kepadamu, Urat Setan! Jika sekarang kau membuat
persoalan denganku, maka akan kutumpas habis seluruh
anggota perguruanmu yang kudengar mulai mempunyai
aliran menyimpang dari ajaran Eyang Guru Resi
Demang Sudra!"
Pendekar Mabuk kembali membatin, "Berani amat
Lancang Puri mengancam seperti itu" Lagi pula, ia
membawa-bawa nama Resi Demang Sudra, apakah ada
hubungannya dengan Eyang Begawan Demang Budana
atau Nyai Demang Ronggeng?" (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode: "Keris Setan Kobra" dan "Tandu Terbang").
Tokoh tua yang benar-benar tidak sebanding jika
melawan perempuan semuda itu, ternyata masih tetap
berpenampilan dingin, seakan tak punya perasaan apa
pun. Pandangan matanya tampak datar dalam menatap
Lancang Puri. Kedua tangannya terlipat di dada.
Berdirinya tetap tegak, bagaikan tonggak batu yang tak
akan tumbang walau diterjang badai besar.
"Tak perlu banyak sesumbar Lancang Puri. Yang
kuinginkan hanyalah pusaka itu. Serahkan padaku dan
aku tak akan mengganggumu lagi!"
"Pusaka apa"!" Lancang Puri berkerut dahi walau bernada kesal. "Aku tak tahu
arah pembicaraanmu, Urat Setan!"
"Jika begitu, aku harus membuatmu tahu dengan
kekerasanku!"
"Sejak tadi sudah kutunggu tindakan jantanmu, Urat Setan. Mengapa justru kau
berhenti menyerangku"
Apakah kau ingin menyerangku dari belakang lagi?"
"Sungguh bocah dungu tak tahu dikasih ampun kau
ini!" geram Urat Setan, tiba-tiba ia sentakkan kedua tangannya ke samping,
membentang lebar-lebar, lalu
telapak tangannya saling beradu di depan dada.
Plakkk...! Dari ujung perpaduan kedua telapak tangan itu melesat sinar merah
yang menerjang dada Lancang Puri.
Claapp...! Selarik sinar merah itu besarnya seukuran
kelingking. Gerakannya sangat cepat, walau ternyata
masih kalah cepat dengan gerakan Lancang Puri yang
bagai tanpa menghentakkan kaki tahu-tahu sudah
melesat ke atas dan bersalto maju dua kali. Wuusss!
Wut, wutt...! Jlaabb...! Durrb...!
Sinar merah menghantam pohon besar, bunyi
ledakannya bagai punya peredam. Tak menggelegar,
namun cukup membuat pohon besar itu tumbang dalam
terpotong-potong menjadi puluhan bagian. Beerrk...!
Pohon itu menumpuk tanpa menimbulkan suara keras.
"Maut juga sinar merahnya itu!" gumam Suto dalam hati, namun matanya segera
berpindah ke arah tubuh
Lancang Puri yang bergerak turun dari udara tepat di
depan Urat Setan. Pedang perempuan itu menebas cepat
ke berbagai sisi sehingga tak terlihat gerakan mata
pedangnya. Yang terdengar hanya desing suara tebasan
bagal hembusan angin kencang terpotong-potong. Wus,
wus, wus, wus! Blaabb...! Tiba-tiba seberkas sinar putih lebar menghantam
tubuh Lancang Puri. Rupanya tebasan pedang itu dapat
dihindari oleh gerakan kilat Urat Setan yang tidak
bergeser dari tempatnya kecuali meliuk ke kanan, kiri,
dan belakang. Tak satu pun ada tebasan yang kenai
sasaran. Sebaliknya justru Urat Setan dapat memukul
Lancang Puri dengan pukulan tenaga dalam bersinar
putih silau keluar dari telapak tangannya.
Akibat pukulan itu, tubuh Lancang Puri tersentak
kuat-kuat, melayang ke belakang bagaikan daun kering
terhempas badai, ia tak dapat menjaga keseimbangan
tubuhnya, akhirnya jatuh terpuruk tepat di dekat pohon
yang terpotong menjadi beberapa puluh bagian itu.
Bruukk...! "Wah, matilah perempuan itu!" pikir Suto agak tegang.
Tapi ternyata dugaan hati Pendekar Mabuk masih
salah. Dalam beberapa kejap saja Lancang Puri sudah
mampu berdiri tegak walau mulutnya melelehkan darah
tak seberapa banyak. Itu sudah merupakan tanda,
Lancang Puri terluka bagian dalamnya. Agaknya luka itu
tak dipedulikan dan tak mengurangi ketegarannya, ia
berdiri dengan kedua kaki agak renggang dan pedang
masih di tangan kanannya.
Pedang itu segera disabetkan ke depan. Wuusss...!
Urat tubuhnya yang mengencang menandakan tenaga
dalamnya sedang disalurkan menyentak ke pedang
tersebut. Dan dari pedang itu keluarlah puluhan jarum
emas yang menyerang ke tubuh Urat Setan. Jarum-jarum
emas itu bagaikan disemburkan dari ujung pedang yang
runcing lurus itu. Zraabb...!
Entah berapa jumlah jarum yang melesat dari ujung
pedang itu, Suto Sinting tak sempat menghitungnya.
Namun yang jelas jarum-jarum emas itu menyambar
lebar bagai hendak mengurung tubuh Urat Setan. Apa
yang terjadi jika jarum-jarum kuning emas itu mengenai
tubuh Urat Setan" Suto juga tak tahu, karena ternyata
Urat Setan sudah berpindah tempat dengan cepat dan
nyaris tak terlihat gerakannya, sehingga jarum-jarum itu menancap di beberapa
pohon. Jraabbb...! Tiga pohon yang menjadi sasaran jarum-jarum emas
itu tiba-tiba berubah warnanya dari hijau menjadi coklat,
dan kian lama cepat berubah menjadi hitam. Daun-
daunnya rontok dalam keadaan kering garing. Tiga
pohon itu dalam waktu dua helaan napas sudah berubah
menjadi kayu bakar yang berasap dan masih berdiri
menunggu angin kencang menumbangkannya.
"Gila! Pohon itu langsung menjadi arang. Alangkah
dahsyatnya jarum-jarum itu. Untung Urat Setan mampu
bergerak secepat kilat, sehingga selamat dari ancaman
hangus jarum-jarum emas itu!" pikir Suto terbengong kagum.
Gerakan Urat Setan yang amat cepat itu membuat
Lancang Puri nyaris terlambat bergerak, karena tiba-tiba dari arah sampingnya
melesat sinar merah berbentuk
pisau terbang, jumlahnya tiga sinar yang menerjang
berjejeran. Sraabb...! Sinar merah berbentuk pisau
terbang itu keluar dari lengan berjubah longgar yang
disentakkan ke depan. Wuuttt...!
Tubuh Urat Setan tahu-tahu seperti menghilang,
padahal bergerak sangat cepat dan kini sudah berdiri di sebelah kirinya Lancang
Puri. Pada waktu itu Lancang
Puri sedang sibuk menghindari sinar merah berbentuk
pisau itu. Di luar dugaannya ia sudah diserang lagi dari sisi yang berlawanan
dengan sinar merah yang sama,
berbentuk tiga pisau terbang. Claapp...!
Boleh jadi Lancang Puri dapat hindari sinar merah
dari kanannya, tapi ia tak akan bisa hindari tiga sinar merah dari sebelah
kirinya yang mempunyai jarak lebih
dekat dan kecepatan lebih tinggi dari sinar sebelah
kanan. Lancang Puri pasti terkena sinar dari sebelah
kirinya itu. Mungkin akan mati hancur atau hangus atau
entah bagaimana saja hasilnya, yang jelas menurut
dugaan Suto perempuan itu akan mati di tangan Urat
Setan. Merasa sayang melihat perempuan cantik mati dalam
keadaan terdesak, Suto Sinting beranikan diri
melepaskan pukulan jarak jauhnya yang bernama jurus
'Tangan Guntur'. Kedua tangan disentakkan ke depan
dari atas pohon, lalu melesat sinar biru bagaikan kilat dan menyambar tiga sinar
merah berbentuk pisau
terbang itu. Claappp...!
Blaarr...! Urat Setan terpelanting karena sentakan gelombang
ledak itu sampai tubuhnya berputar empat kali dan
menabrak pohon. Bruusss...! Sedangkan Lancang Puri
terpental dalam keadaan tubuh melayang dan jatuh
terjungkal, hampir saja pedangnya menembus perut
sendiri. Di sana ia terkapar dan mengerang lirih.
"Jahanam kau, Lancang Puri!" seru Urat Setan yang kini nyata-nyata tampak marah.
"Rupanya kau telah
kuasai ilmu 'Pantulan Cakra' secara diam-diam! Tunggu
aku di sini! Akan kuambilkan Cermin Neraka untuk
melawanmu!"
Wuuttt...! Urat Setan melesat pergi dengan cepat.
Namun Suto Sinting melihat jenggot orang itu terbakar
sebagian dan wajahnya pucat pasi.
* * * 2 SETIDAKNYA Lancang Puri akan menderita luka
parah yang mengancam jiwa jika sinar merah itu tidak
segera dipatahkan oleh Pendekar Mabuk. Lancang Puri
juga akan sekarat dan mati jika Pendekar Mabuk tidak
segera muncul dari persembunyiannya dan memberikan
pertolongan dengan tuaknya. Karena perempuan itu
meneguk tuak dari bumbung dengan cara terpaksa, maka
luka dalam yang dideritanya itu lenyap dalam beberapa saat, tubuhnya menjadi
segar kembali. Melihat siapa yang menolongnya, Lancang Puri
memandang dengan sikap ragu dan heran. Akhirnya
tercetus pula kata tanya yang mewakili keheranan dan
keraguan dalam hatinya itu,
"Apakah kau yang bernama Suto Sinting, si Pendekar Mabuk yang kesohor itu?"
Dengan senyum ramah menawan hati, pendekar
tampan itu berkata, "Namaku memang Suto Sinting,
gelarku memang Pendekar Mabuk, namun aku bukan
orang kesohor. Aku orang biasa-biasa saja."
"Oh, syukurlah aku bisa jumpa kau," ucap Lancang Puri dengan wajah kian menjadi
cerah ceria. Hatinya
membatin, "Tak kusangka akhirnya aku akan
berhadapan muka dengan pendekar yang digembar-
gemborkan ketampanannya itu. Dan ternyata memang
tampan, pantas jika para tokoh wanita di rimba
persilatan banyak yang menyanjung dan
membicarakannya. Kuakui dia memang tampan dan
sangat menawan hati, tapi haruskah aku seperti wanita
lain yang selalu ingin berdekatan dengannya" Oh, tidak!
Aku tidak boleh sama seperti mereka!"
Hati membatin demikian, tapi mulut berkata lain,
"Apakah kau yang menolongku" Maksudku, kau yang
selamatkan aku dari serangan Urat Setan tadi?"
Dengan canda Suto menjawab, "Bukan. Mungkin
orang lain." Tapi tentu saja Lancang Puri tidak percaya dan mengerti jawaban itu
hanya sebuah kelakar.
Lancang Puri membalas kelakar itu dengan tawa kecil,
senyum lembut yang tipis. Senyum itu yang membuat
kecantikannya terlipat ganda dan mendebarkan hati.
"Terima kasih atas pertolongan dan penyelamatanmu
ini. Aku tak tahu dengan cara bagaimana harus
membalas budi baikmu ini, Pendekar Mabuk."
"Kurasa dengan menceritakan siapa dirimu, kau
sudah membalas budi baik yang kau maksud itu,
Lancang Puri."
"Oh, aku baru saja mau ceritakan siapa aku, tapi
ternyata kau sudah tahu namaku" Bagaimana mungkin
kau bisa mengetahuinya, Pendekar Mabuk?"


Pendekar Mabuk 033 Kitab Lorong Zaman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kudengar percakapanmu dengan si Urat Setan itu.
Kudengar ia memanggilmu dengan nama Lancang Puri."
Perempuan itu sempat membatin, "Dia cukup cerdas.
Kurasa aku harus hati-hati jika bicara dengannya."
Perempuan yang mempunyai kecantikan matang itu
berkata pula, "Aku memang punya persoalan sedikit
dengan Urat Setan. Repotnya, jika aku berhadapan
dengannya, hatiku selalu tak tega untuk membunuhnya.
Bagaimanapun juga kami sebenarnya masih satu aliran
ilmu silat warisan Eyang Guru kami."
"Resi Demang Sudra?"
"Benar," jawab Lancang Puri sambil membatin, "Ah, dia benar-benar tahu segalanya
kalau begitu."
"Siapakah Eyang Guru Resi Demang Sudra itu?"
tanya Suto Sinting dengan sorot pandangan mata lembut
penuh persahabatan tertuju ke wajah Lancang Puri.
Tambah Suto lagi, "Apakah ada hubungannya dengan
Begawan Demang Buwana dan Nyai Demang
Ronggeng?"
Lancang Puri justru terkesiap. "Kau mengenal nama
mereka berdua?" katanya lirih bagai menggumam.
"Aku pernah bertemu dengan mereka," jawab Suto dengan kalem. Jawaban itu membuat
Lancang Puri kian
terkesiap dan merasa heran.
"Jika kau bertemu dengan Nyai Demang Ronggeng,
Itu hal yang wajar dan sangat memungkinkan, karena
Nyai Demang Ronggeng adalah adik bungsu dari
delapan bersaudara. Tapi aku tak yakin mendengar
pengakuanmu, bahwa kau pernah bertemu dengan Eyang
Begawan Demang Buwana, sebab menurutku beliau
sudah meninggal sebelum kau lahir. Eyang Guru Resi
Demang Sudra adalah adik kedua Eyang Demang
Buwana. Ketika aku diangkat sebagai murid dari Resi
Demang Sudra, kakak beliau itu sudah tiada. Sudah lama
moksa." "Aku tak begitu berharap kau mempercayai
pengakuanku itu, karena memang aku sendiri kaget
ketika diberi tahu bahwa Begawan Demang Buwana itu
sebenarnya sudah lama meninggal sebelum pertemuanku
dengan beliau itu. Yang ingin kutanyakan, apakah Urat
Setan itu memang benar satu guru denganmu?"
"Ya. Tapi dia jauh lebih lama menjadi murid Eyang Guru Resi Demang Sudra. Bahkan
ketika ia murtad dan
terusir dari padepokan, aku belum menjadi murid Resi
Demang Sudra, itulah sebabnya kuakui ilmuku dibawah
ilmu si Urat Setan, karena hampir semua Ilmu Eyang
Guru diwariskan padanya. Tapi ada beberapa ilmu
andalan yang tidak diwariskan kepadanya, melainkan
diwariskan kepadaku. Jadi aku merasa berani dan merasa
mampu jika harus bertarung melawan Urat Setan."
"Kudengar ia menghendaki sebuah pusaka darimu.
Kalau boleh kutahu, pusaka apa itu?" tanya Suto setelah diam beberapa kejap.
Lancang Puri tidak langsung menjawab, ia
memandang keadaan sekeliling, bagaikan ingin mencari
letak biara yang hilang. Bahkan ia perdengarkan
suaranya yang mirip orang menggumam itu,
"Aneh sekali. Mengapa tidak ada di sini?"
"Maksudmu... Biara Damai?" sahut Suto.
Perempuan itu cepat palingkan wajah pandangi
Pendekar Mabuk.
"Apakah kau tahu tentang Biara Damai?"
"Aku juga kenal dengan Pendeta Mata Lima."
"Oh, kalau begitu... kalau begitu kau tahu di mana kakekku itu berada?"
"Kakekmu" Maksudmu Pendeta Mata Lima itu?"
"Benar. Beliau adalah kakekku yang sudah lama tidak
kutengok. Tapi ketika aku datang ke sini, sepertinya aku salah alamat. Mengapa
di sini tidak ada bangunan biara
dengan kuil-kuilnya" Padahal seingatku bangunan itu
dulu ada di sini, di tanah lapang ini. Seandainya pindah, setidaknya sisa
petilasannya ada walau hanya berupa
tonggak batu. Mengapa kenyatasnnya tanah ini menjadi
bersih tanpa jejak petilasan biara itu?"
"Biara Damai telah hancur, hangus menjadi arang,
dan lenyap secara aneh bersama korban-korban yang
bergelimpangan di sana-sini, termasuk Pendeta Mata
Lima." "Oh..."! Benarkah itu, Suto"!" Lancang Puri
terbelalak kaget dengan mata melebar dan mulut
ternganga kecil.
"Waktu aku tiba di sini beberapa saat sebelum
kemunculanmu tadi, puing reruntuhan biara masih ada,
termasuk jenazah kakekmu. Tapi beberapa saat
kemudian seberkas sinar kuning datang dan
menyebarkan kabut tebal, lalu kabut itu lenyap bersama
petilasan biara. Semua yang ada di atas tanah ini
bagaikan tersedot ditelan bumi. Seseorang telah
melakukan hal itu dengan maksud yang tak kuketahui.
Siapa orangnya pun aku tak bisa menerkanya, karena
setahuku musuh utama Pendeta Mata Lima adalah Raja
Tumbal. Tapi sekarang Raja Tumbal sudah tiada.
Mengapa setelah kematian Raja Tumbal justru bencana
itu datang dengan sangat menyedihkannya bagi Biara
Damai" Aku turut berduka cita sedalam-dalamnya atas
kematian kakekmu itu, Lancang Puri."
Perempuan itu tundukkan kepala dengan murung.
Cukup lama ia membungkam mulut, bagaikan sedang
meresapi sebuah duka atas kematian seorang kakek.
"Lancang Puri," Suto memecah kebisuan di antara mereka. "Kudengar tadi Urat
Setan mau mengambil
Cermin Neraka, apa itu sebenarnya Cermin Neraka?"
Setelah menarik napas bagai menyimpan duka,
Lancang Puri menjawab, "Cermin Neraka adalah sebuah senjata dari kaca yang dapat
memantulkan serangan
lawan sebelum serangan itu melesat lebih jauh dari
tangan lawan, ia menduga sinar biru tadi datang dari
pantulan mataku, sebab ia menyangka aku memiliki
Ilmu 'Pantulan Cakra'. Padahal Ilmu 'Pantulan Cakra'
belum sempat diturunkan oleh Eyang Guru kepadaku,
tapi Eyang Guru sudah wafat lebih dulu."
Pendekar Mabuk menggumam lirih sambil mangut-
manggut. Lalu katanya, "Agaknya Urat Setan bernafsu sekali ingin membunuhmu jika
kau tidak serahkan
pusaka yang dimaksud kepadanya. Aku ingin tahu,
pusaka apa itu?"
Perempuan itu menatap dengan bibir terkatup.
Sepertinya ada kebimbangan yang sedang dilawan dalam
hatinya. Sayang sekali sebelum ia menjawab pertanyaan
yang sudah dua kali dilontarkan Suto itu, tiba-tiba
tubuhnya harus bergerak melesat. Tubuh berjubah putih
itu melenting di udara dan bersalto dua kali melintasi atas kepala Suto.
Jleegg...! Ia mendaratkan kedua
kakinya tepat di belakang Suto, membuat pendekar
tampan itu cepat balikkan badan.
Ternyata Lancang Puri sedang sentakkan tangan
kirinya ke depan, sebuah sinar merah lebar melesat dari tangan kanan itu. Sinar
tersebut menyongsong datangnya
sinar hijau lurus dari segerombol semak ilalang.
Claapp...! Blaarr...! Sinar hijau itu dipecahkan oleh sinar merah lebar,
bunyi ledakannya cukup menggelegar pertanda kedua
sinar itu mempunyai tenaga dalam tinggi dan saling
beradu di pertengahan jarak. Hentakan gelombang
ledaknya membuat tubuh Lancang Puri tersentak
mundur. Hampir saja jatuh kalau tidak segera diterima
oleh kedua tangan Suto, sehingga perempuan itu
bagaikan jatuh dalam pelukan pendekar tampan.
Rupanya ada seseorang yang ingin menyerang
Pendekar Mabuk dari belakang. Kilatan cahaya hijau
yang baru sekelebat itu ditangkap mata Lancang Puri,
lalu perempuan itu bergegas menahan dan mematahkan
sinar hijau yang ingin membunuh Pendekar Mabuk.
Menurutnya, jika ia tidak segera bertindak maka
Pendekar Mabuk akan dihantam sinar hijau itu, kecilnya
akan terluka parah, besarnya akan mati dalam keadaan
tubuh hancur atau terbakar bagian dalamnya. Lancang
Puri merasa sayang jika pemuda tampan itu harus mati
di depan matanya, sehingga ia cepat lakukan
penyelamatan sekaligus membalas hutang budinya
terhadap penyelamatan Suto atas dirinya tadi.
Padahal sebelum Lancang Puri bergerak, Suto sudah
rasakan ada sesuatu yang tak beres di belakangnya yang
membuat nalurinya memaksa untuk berpaling ke
belakang. Hanya saja gerakan berpaling ke belakang itu
belum sempat dilakukan sudah didului oleh gerakan
terbang bersalto dari Lancang Puri. Maka Pendekar
Mabuk pun hanya tersenyum dalam hati, karena ia tahu
perempuan tersebut bermaksud membalas budi baik
yang diterimanya tadi.
"Seseorang ingin membunuhmu, ia berada di semak-
semak sebelah timur itu!" kata Lancang Puri. "Akan kupaksa keluar dengan caraku
sendiri!" tambahnya.
Suto ingin mencegah, tapi tangan Lancang Puri sudah
lebih dulu bergerak cepat, menghentak ke depan seperti
tadi, dan sinar merah lebar melesat dari telapak
tangannya. Sinar itu menghantam semak ilalang rimbun.
Wuuttt...! Zaark!
Duaar...! Wut, wut, wut...! Sesosok tubuh melenting di udara
dan bersalto tiga kali, keluar dari balik semak yang kini sedang terbakar karena
serangan sinar merah.
Seorang pemuda ganteng berdiri di depan Suto dan
Lancang Puri. Pemuda itu kenakan baju ungu satin, rapi, dan bersih. Rambutnya
yang ikal panjang dilapisi
dengan ikat kepala dari lempengan perak hias berwarna
merah dan hijau. Pedang pendek di pinggang bersarung
logam kuningan ukir. Melihat kumis tipis pemuda itu,
Suto merasa pernah bertemu dengan orang tersebut.
Setelah diingatkan sebentar, Suto pun segera tahu bahwa pemuda itulah yang
bernama Dewa Rayu, yang tempo
hari diintip Suto hendak bermesraan dengan gadis dari
Ringgit Kencana, anak buah Rindu Malam yang
bernama Kusuma Sumi, (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode: "Seruling Malaikat").
"Apakah kau mengenalnya?" tanya Lancang Puri
berbisik di samping Suto.
"Namanya Dewa Rayu. Putera raja Pengging yang
dibuang, lalu menjadi muridnya Patih Janur Sulung di
Bukit Karangapus, tapi ia memihak perguruan Pasir
Tawu karena setelah kematian sang guru ia ikut dengan
adik gurunya yang bernama Dwipajati alias si Jejak
Iblis." "Jejak Iblis...!" suara Lancang Puri menggeram bagai menyimpan dendam
tersendiri. Suto segera tambahkan
bisikannya. "Tapi orang yang bernama Jejak Iblis itu sekarang
sudah mati di tangan Rindu Malam, orang dari negeri
Ringgit Kencana."
Lancang Puri tampak terperanjat sedikit dan cepat
melirik Pendekar Mabuk. Tapi sang pendekar murid Gila
Tuak itu tetap tenang menatap Dewa Rayu yang juga
berpenampilan tenang namun bersikap sinis kepada
Suto. Terdengar Suto menyapa Dewa Rayu yang pernah
dibuatnya malu di depan Rindu Malam itu, "Apa
maksudmu menyerangku dari belakang, Dewa Rayu?"
"Biar kau mati!" jawab Dewa Rayu dengan
seenaknya, tapi segera lemparkan pandangan ke arah
Lancang Puri. Perempuan cantik yang selayaknya sudah
bersuami itu menatap dengan mata tak berkedip. Hatinya
sempat membatin,
"Ganteng juga dia"! Aku menyukai pria berkumis
tipis seperti dia. Tapi... ah, lupakan saja dulu. Ada hal lain yang harus
kupikirkan dengan sungguh-sungguh.
Tak mau tercampur aduk oleh perasaan asmaraku."
"Mengapa kau inginkan kematianku, Dewa Rayu?"
tanya Suto setelah meneguk tuaknya beberapa kali.
"Karena kau adalah satu-satunya orang yang menjadi penghalangku."
"Penghalang dalam hal apa?"
"Jika tak ada kau, Rindu Malam akan jatuh dalam
pelukanku."
Suto Sinting sungglngkan senyum geli. "O, rupanya
kau punya hati kepada Rindu Malam?"
"Aku mencintainya dan ingin mengawininya."
"Bagus. Itu sikap seorang lelaki yang jantan," kata Suto sambil menghabiskan
sisa senyumnya.
"Karena itu," kata Dewa Rayu, "Kita harus bertarung pertaruhkan nyawa untuk
tentukan siapa yang berhak
menjadi suami Rindu Malam!"
"Tunggu...," Suto belum selesai bicara, tahu-tahu Dewa Rayu berkelebat cepat
menerjang Pendekar
Mabuk dengan gerakan tubuh memutar cepat. Kakinya
menampar wajah Pendekar Mabuk. Plookk...! Wuuttt...!
Pendekar Mabuk nyaris terlempar bagaikan sehelai daun
kering. Tendangan itu cukup keras. Tapi urat di wajah
Suto cepat mengencang dan membuat tendangan keras
itu tidak menyakitkan kecuali hanya menyentak dan
membuatnya terhuyung-huyung ke samping belakang.
Sebenarnya Pendekar Mabuk bisa saja menangkis
tendangan itu. Tapi ia merasa tak perlu lakukan karena
sempat melihat tangan Lancang Puri berkelebat menahan
gerakan kaki Dewa Rayu. Suto tak sangka kalau
tangkisan Lancang Puri ternyata meleset dan akhirnya
tendangan itu kenai wajah Suto. Namun hati Pendekar
Mabuk masih bersabar dan tak merasa sakit hati, sebab
ia tahu bahwa Dewa Rayu salah anggapan, menyangka
Rindu Malam kekasih Suto.
Tetapi agaknya tindakan itu tidak bisa diterima di hati Lancang Puri. Serangan
Dewa Rayu yang kenai wajah
Suto membuat Lancang Puri marah, karena merasa


Pendekar Mabuk 033 Kitab Lorong Zaman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sayang jika Suto diserang orang. Menurut Lancang Puri,
ketampanan Suto sungguh lebih menawan dan seperti
bola kristal yang amat disayangkan jika disentuh dengan kasar. Sebab itulah
Lancang Puri segera membalaskan
serangan yang mengenai wajah Suto itu dengan sebuah
tendangan kaki bergerak memutar cepat ke udara.
Dengan melompat ke atas, tubuh berputar cepat, kedua
kakinya pun berhasil menampar wajah Dewa Rayu
secara berturut-turut. Plak, plak, plak!
Dewa Rayu terpelanting tak tentu arah. Wajahnya
bagai dihantam godam. Pandangan matanya sempat
gelap sesaat. Pada saat itulah Lancang Puri menerjang
Dewa Rayu dengan tendangan menyerupai seekor kuda
betina mengamuk.
Bruusss...! Kuuuttt...! Bluugh...!
Tubuh Dewa Rayu tahu-tahu terkapar di bawah
pohon yang jaraknya tujuh langkah dari tempatnya
semula, ia mengerang lirih sambil berusaha bangkit
dengan wajah menyeringai. Dadanya dipegangi karena
merasa sakit, seolah-olah tulang dadanya remuk karena
tendangan terakhir tadi.
"Lancang Puri! Tahan seranganmu!" seru Suto
Sinting, karena ia melihat Lancang Puri bergegas hendak lakukan serangan lagi
kepada Dewa Rayu. Seruan itu
berhasil menahan gerakan Lancang Puri, sehingga
perempuan itu hanya hempaskan napas panjang sambil
tetap pandangi Dewa Rayu.
"Dia salah pengertian, Lancang Puri. Jangan layani serangannya."
"Aku jengkel dengannya!" geram Lancang Puri.
"Setelah kutahu namanya, baru kuingat bahwa dia
pernah mempermainkan cinta anak buahku dan membuat
anak buahku itu mati bunuh diri karena cintanya
dikhianati oleh tikus itu!"
"Tahan amarahmu," kata Suto pelan bernada sabar.
"Ingin rasanya aku meremukkan mulut dan leher si
mata keranjang itul"
Rupanya ucapan tersebut didengar oleh Dewa Rayu
yang sudah berdiri dan mengendalikan rasa sakit dengan
tarikan napasnya beberapa kali. Dewa Rayu pun segera
berkata penuh kegeraman dan kejengkelan,
"Jangan sesumbar di depanku, Perempuan gatal! Aku
bisa membuatmu bertekuk lutut di depanku dan
mengemis cinta padaku!"
"Semudah itukah kau membayangkannya"! Hmm...,
Justru kau yang akan merangkak di depanku dan
menangis-nangis memohon kehangatan dariku!"
"Kalau begitu kita buktikan siapa yang akan
mengemis cinta di antara kita! Hiaaatt...!" Dewa Rayu melompat maju sambil
menyentakkan tangan kirinya
dalam keadaan telapak tangan terbuka. Dari telapak
tangan itu menyembur asap kuning tipis ke arah wajah
Lancang Puri. "Racun Kuda Binal!" seru Dewa Rayu pada saat asap kuning itu menyembur.
Rupanya Lancang Puri tak mau kalah, ia pun segera
sentakkan tangan kanannya yang berjari lurus dan rapat, bagai menusukkan sebilah
pedang. Wuuttt...!
"Racun Edan Cumbu!" seru Lancang Puri bersamaan menyemburnya asap hijau dari
ujung jari-jarinya.
Wuusss...! Asap itu menerpa asap kuningnya Dewa
Rayu. Wajah pemuda itu bagaikan disambar asap
tersebut, sedangkan wajah Lancang Puri juga diterpa
asap kuning. Pada saat kedua asap itu saling bertabrakan di pertengahan jarak,
memerciklah bunga api berbintik-bintik mirip ratusan kunang-kunang, namun segera
lenyap setelah kedua asap itu tetap melesat ke arah
masing-masing. Suto Sinting berkerut dahi dari tempatnya, ia sempat
melompat mundur karena tak mau diterpa asap dari siapa
pun. Bahkan ia juga menahan napas beberapa saat
supaya asap itu tidak ada yang terhirup masuk ke
pernapasannya. Sebab dalam benak Pendekar Mabuk
segera berpikir, "Kedua asap beracun, mungkin sangat berbahaya. Kalau aku ikut
menghirup asap itu, aku pun
bisa jadi korban kedua racun tersebut."
Kini Pendekar Mabuk sengaja berdiri di bawah pohon
sambil menenggak tuak, sebagai sikap jaga-jaga kalau-
kalau ada uap racun yang terhirup maka tuaknya akan
menawarkan racun tersebut. Setelah itu, Pendekar
Mabuk jadi berkerut dahi memandangi Dewa Rayu dan
Lancang Puri. "Aneh..."! Kok mereka jadi begitu?" pikir Suto Sinting.
Dewa Rayu berdiri tegak memandangi lurus ke arah
Lancang Puri. Perempuan itu pun berdiri tegak
menampakkan sikap tegasnya dan tak mau menyerah
kalah. Tetapi kejap berikutnya, mata Dewa Rayu
menjadi redup, mata Lancang Puri menjadi sayu.
Keduanya melangkah pelan-pelan menempuh jarak yang
sebenarnya bisa dicapai dalam empat langkah saja.
Setelah jarak mereka kurang dari satu langkah,
mereka sama-sama berhenti. Suto Sinting melihat Dewa
Rayu mulai bernapas tidak teratur. Keringatnya mulai
tersumbul berbintik-bintik di kening, pelipis, dan sekitar hidung. Lancang Puri
sendiri kelihatan menahan sesuatu
yang bergejolak dalam hatinya, ia tampak berjuang
mengalahkan sesuatu yang bergejolak itu sampai-sampai
kedua tangannya menggenggam dengan gemetar.
Napasnya pun mulai tampak tidak teratur. Lalu,
Pendekar Mabuk mendengar suara pelan yang diucapkan
oleh Dewa Rayu,
"Kau... kau menggairahkan sekali, Sayangku."
Lancang Puri membalas dengan ucapan lembut yang
lebih lirih, "Kau pun... kau pun demikian. Oh... peluklah aku. Peluklah,
lekas...!" rintihnya pelan.
Tangan Dewa Rayu bergerak pelan, ragu-ragu,
sementara Lancang Puri memandang penuh gairah
dengan menggigit bibir beberapa kali. Akhirnya karena
Dewa Rayu hanya menyentuh kedua pundaknya saja,
Lancang Puri menerkam tubuh pemuda berkumis tipis
itu. Ia memeluk dengan penuh ungkapan gairah. Pelukan
itu disambut hangat oleh Dewa Rayu. Wajah Lancang
Puri diciuminya dengan penuh nafsu. Bibir perempuan
itu dilumat habis, dan perempuan itu pun melumat pula
dengan lebih bersemangat lagi. Tangan mereka mulai
meremas apa saja yang bisa mendatangkan rasa nikmat,
sampai-sampai Lancang Puri membantu Dewa Rayu
melepaskan jubah yang dipakainya.
"Gawat..."!" pikir Suto dalam ketegangan. "Keduanya jadi bergairah"! Itu berarti
keduanya saling terkena racun masing-masing. Lancang Puri terkena asap Racun
Kuda Binal-nya Dewa Rayu, dan Dewa Rayu terkena asap
Racun Edan Cumbu-nya Lancang Puri. Akhirnya
keduanya sama-sama bertekuk lutut dan saling
bergairah. Ya, ampuuun... mimpi apa aku semalam
sehingga siang ini punya tontonan gratis seperti ini"!"
Suto Sinting sendiri hanya tersenyum-senyum geli
dengan jantung berdebar-debar karena memandangi
mereka berdua sudah sama-sama berada di permukaan
tanah berumput, saling bercumbu dan bergulat walau
belum tiba pada puncak keinginan. Mereka masih sama-
sama kenakan pakaian walau sudah berantakkan tak
seperti semula.
"Mau dipisah, sayang. Tidak dipisah, jalang. Ah,
serba bingung kalau begini, serba salah aku jadinya!"
pikir Suto dengan jengkel sendiri.
Wuutt...! Tiba-tiba sesosok bayangan hitam
menyambar tubuh dan jubah Lancang Puri ketika Dewa
Rayu berada dibawahnya. Suto Sinting sempat kaget dan
tak menduga kalau ada orang yang tega lakukan hal itu.
Tentu saja Dewa Rayu berteriak berang karena
kemesraannya terputus.
"Bangsat! Mau dibawa ke mana kekasihku itu!"
Lancang Puri berteriak pula, "Lepaskan aku! Aku
ingin dalam pelukannya! Lepaskan aku, Bibi!"
Perempuan itu bagai ingin menangis.
Perempuan tua, berpakaian serba hitam dan berusia
sekitar lima puluh tahun itu segera mengenakan jubah
putih ke tubuh Lancang Puri sambii membentak, "Ada tugas lain, Lancang Puri!
Kita harus cepat tangani!"
"Tidak! Tidak... mau! Aku ingin dalam pelukan Dewa Rayu. Aku cinta kepadanya,
Bibi! Lepaskan aku...!"
Dewa Rayu pun bergegas merebut Lancang Puri
sambil berseru, "Lepaskan kekasihku atau kubunuh kau, Nyai Gandrik! Hiaaat...!"
Wuutt...! Claap...! Dess...!
Sinar merah kecil melesat dari tangan orang yang
dipanggil dengan nama Nyai Gandrik itu. Sinar tersebut
membuat Dewa Rayu tersentak ke tempat semula dan
mengerang panjang dengan dada bagaikan terbakar
hebat bagian dalamnya.
"Aaaahh...! Lancang Puri... peluklah aku! Peluklah aku, Puriii...!"
"Dewa Rayu... aku ikut! Aku ikut kau! Ambillah aku, Sayang...!"
Lancang Puri yang meronta-ronta saat dibetulkan
letak pakaiannya itu akhirnya ditotok oleh Nyai Gandrik.
Teess...! "Racun Kuda Binal memang berbahaya bagimu,
Lancang Puri! Aku harus segera menawarkan racun itu
dulu! Ingat pusaka itu, Lancang Puri! Ingat!"
Weesss...! Lancang Puri dipanggul dan segera dibawa
pergi oleh perempuan bersanggul utuh dengan rambut
bercampur uban sebagian. Sementara itu Dewa Rayu
masih menggeliat dan mengerang-erang bagaikan
merasakan luka bakar di dalam dadanya.
Suto Sinting hanya geleng-geleng kepala
memandangi kejadian itu sambil menggumam lirih,
"Siapa perempuan yang dipanggil sebagai Bibi dan oleh Dewa Rayu dipanggil Nyai
Gandrik itu" Ia juga
menyebut-nyebut pusaka. Hmm... pusaka apa
sebenarnya" Aku jadi penasaran sekali. Tapi, oh...
hampir saja aku lupa. Dewa Rayu butuh pertolongan.
Racun Edan Cumbu itu agaknya akan semakin
menghancurkan tubuhnya yang terkena pukulan sinar
merahnya Nyai Gandrik tadi!"
Pendekar Mabuk segera bergegas hampiri Dewa
Rayu. Tapi pemuda berkumis tipis itu justru mendelik
dan berteriak keras,
"Minggir kau! Kau bukan Lancang Puri, tak pantas
memelukku. Minggir!"
"Siapa yang mau memelukmu"!" sentak Suto agak jengkel.
"Aku tak mau bercumbu denganmu!"
"Aku juga tak mau! Kau kira aku sudah gila"! Mau
diobati malah menuduh yang bukan-bukan." gerutu Suto sambil mencoba memaklumi
keadaan yang terjadi.
* * * 3 RACUN Edan Cumbu ternyata cukup berbahaya.
Sulit ditawarkan dengan tuaknya Suto. Sudah tiga kali
Suto berhasil paksa Dewa Rayu untuk meminum
tuaknya, tapi Dewa Rayu masih berceloteh menyebut-
nyebut nama Lancang Puri. Bahkan Dewa Rayu sempat
menangis seperti anak kecil, duduk di tanah sambil
menyentak-nyentakkan kakinya.
"Aku ingin dipeluk Lancang Puri. Aku ingin dicium
dia! Aku tidak mau dicium sapi, aku mau dicium dia!'
Lancaaang...! Lancang Puriii...! Aku rindu padamu,
Sayangku. Oooh... di mana kau sayang..."!"
"Celaka!" pikir Suto Sinting. "Ternyata Racun Edan Cumbu sulit disembuhkan.
Lebih berbahaya dari Racun
Kuda Binal-nya pemuda malang ini. Hmmm...
bagaimana cara menawarkan racun itu?"
Selagi Suto berpikir dalam renungannya, tiba-tiba
Dewa Rayu bangkit dan melepaskan bajunya. Suto
Sinting kaget dan buru-buru mencegah,
"Hei, mau apa kau melepas baju"! Jangan dilepas!
Memalukan!"
"Persetan dengan laranganmu, Beruk Hitam! Aku
mau tidur bersama Lancang Puri. Aku mau bercumbu
dengannya."
"Tapi di sini tidak ada Lancang Puri!"
"Itu...! Itu dia ada di situ!"
"Mana" Itu pohon kapuk randu. Batangnya berduri.
Kalau kamu memeluknya dan bercumbu dengannya,
tubuhmu bisa tercabik-cabik!"
"Omong kosong!" bentak Dewa Rayu sambil
menghindari jangkauan tangan Suto. "Nah, itu dia...! Itu Lancang Puri lari ke
sana!" sambil Dewa Rayu
menuding seekor landak jantan yang berkelebat masuk
ke semak-semak. "Lancaaang...!" Teriaknya sambil melompat masuk ke semak-semak.
Bruusss...! "Aaaa...!" Dewa Rayu berteriak, keluar dari semak tubuhnya berdarah terutama
bagian kedua lengannya.
Karena ketika ia menerkam makhluk yang dianggap
Lancang Puri itu, ternyata yang diterkam dan dipeluknya adalah seekor landak
berduri tajam. Sambil meraung kesakitan, Dewa Rayu berlari-lari
menuju tempat tak pasti. Gerakannya cepat sekali,
sambil sebentar-sebentar terdengar suaranya yang
memanggil-manggil Lancang Puri. Suto Sinting yang
melihat keadaan itu menjadi sangat kasihan, maka ia
segera menyusul Dewa Rayu.
"Bocah itu harus diselamatkan. Jika tidak, bisa-bisa ia
menjadi seorang pemerkosa berdarah dingin. Kebutuhan
batinnya-yang menggila karena racun itu dapat
membuatnya beranggapan setiap wanita adalah Lancang
Puri!" Suto Sinting memang tidak pergunakan gerak
siluman yang mampu berlari dan bergerak secepat badai,
dua kali kecepatan anak panah yang melesat dari
busurnya. Suto hanya berlari biasa, karena menganggap
Dewa Rayu tak akan berlari cepat. Tapi ternyata Suto


Pendekar Mabuk 033 Kitab Lorong Zaman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kehilangan jejak pemuda berkumis tipis itu, sehingga
tiba di suatu tempat, matanya memandang ke sana-sini
dengan clingukan. Ia menyimak suara, tapi tak ada
seruan Dewa Rayu yang memanggil-manggil Lancang
Puri. "Ke mana bocah itu?" pikir Suto sambil melangkah yang akhirnya membawanya tiba
di sebuah pantai.
Pandangan matanya dilemparkan ke arah lautan. Tak ada
siapa-siapa di lautan sana. Dewa Rayu tak tampak di
sela-sela karang atau di atas bebatuannya.
Tetapi tiba-tiba gelombang panas datang dari arah
belakang Suto Sinting. Dengan cepat Suto Sinting
lakukan lompatan ke atas dan bersalto satu kali.
Wuuuttt...! Jleeg...! Dalam kejap berikutnya ia sudah
berdiri di atas gugusan batu karang yang permukaannya
datar. Gelombang hawa panas itu menghantam gugusan
batu karang yang tumbuh di permukaan air laut.
Duaaarr...! Gugusan batu karang itu pecah menyebar dan
tak terlihat lagi wujudnya.
Ternyata penyerangnya itu adalah Urat Setan yang
segera muncul dari balik sebuah pohon besar. Rupanya
Urat Setan saat lari dari pertarungan dengan Lancang
Puri tidak pergi jauh, melainkan bersembunyi di suatu
tempat untuk mengintai apakah Lancang Puri mati atau
luka parah. Ternyata Urat Setan semakin tertarik dengan pengintaiannya setelah
tahu bahwa sinar biru yang
menghancurkan sinar merahnya itu ternyata berasal dari
tangan Pendekar Mabuk. Dan baru kali itu ia tahu sosok
Pendekar Mabuk yang dikenalnya dari mulut orang-
orang persilatan. Rasa kecewanya atas ikut campurnya
Suto dalam pertarungan dengan Lancang Puri membuat
Urat Setan mencari kesempatan baik untuk membalas
serangan Suto tadi. Dan ternyata di pantai itulah Urat
Setan merasa memperoleh kesempatan bagus untuk
melepaskan pembalasannya.
"Tak perlu berbasa-basi lagi, aku sudah tahu, bahwa kaulah orang yang mematahkan
seranganku terhadap
Lancang Puri!" ucap Urat Setan dengan nada dingin.
"Aku hanya mencegah agar di antara kalian jangan
saling membunuh," kata Suto beralasan, lalu ia cepat-cepat menenggak tuaknya.
Urat Setan merasa disepelekan oleh sikap kalemnya
Suto yang tidak punya rasa kaget dan takut atas
kemunculannya. Maka ketika Suto sedang menenggak
tuaknya, sebuah pukulan bersinar merah dalam bentuk
pisau terbang dilepaskan. Claaapp...! Sinar merah
berbentuk pisau terbang itu menghantam pinggang Suto.
Tetapi karena Suto cepat-cepat turunkan bumbung
tuaknya, maka sinar itu menghantam bumbung tuak
tersebut. Trak... deesss...!
Sinar merah itu berbalik arah dengan gerakan lebih
cepat. Bentuknya yang menyerupai pisau terbang itu
menjadi lebih besar, sehingga layak dikatakan berbentuk golok terbang. Hal itu
sangat mengejutkan Urat Setan,
sehingga hampir saja orang itu mati karena sinarnya
sendiri kalau tak segera melompat ke samping dan
berguling-guling di pasir pantai.
Wuuuss...! Blegaarr...!
Dentuman keras menggema di pantai itu. Dentuman
tersebut terjadi karena sinar merah besar telah
membentur sebatang pohon di hutan pantai. Pohon itu
pecah menjadi potongan-potongan sebesar lengan bayi
dan menumpuk di tempatnya. Kejadian itu membuat
Urat Setan tertegun memandanginya dan membatin,
"Gila! Bisa seperti itu jadinya" Aku harus hati-hati melawan anak muda itu.
Kalau perlu kutinggalkan saja,
karena tak punya urusan penting denganku!"
Tetapi agaknya Urat Setan perlu mengatakan sesuatu
kepada Suto Sinting, sehingga dengan sikapnya yang
kembali dingin itu, ia berseru dari tempatnya yang
berjarak sekitar tujuh langkah dari batu yang dipijak Suto.
"Pendekar Mabuk, kusarankan agar lain kali kau tak perlu ikut campur dengan
urusanku. Pembelaanmu
terhadap Lancang Puri adalah tindakan yang sia-sia. Kau akan kecewa jika berada
di pihaknya, karena Lancang
Puri bukan perempuan baik-baik. Dia perempuan keji
yang mewarisi watak bibinya; Nyai Gandrik. Seperti kau
ketahui sendiri, Lancang Puri mempunyai Racun Edan
Cumbu yang tak akan bisa disembuhkan dengan obat
penawar apa pun, seperti yang dialami pemuda yang tadi
kau panggil sebagal Dewa Rayu itu. Racun itu amat
kejam. Dapat membuat penderitanya menjadi gila
cumbuan, gila gairah, tak segan-segan melampiaskan
kepada siapa pun dan apa pun. Dalam waktu kurang dari
tiga hari Racun Edan Cumbu akan merusak urat syaraf
penderitanya. Bukan saja menjadi gila, namun juga
menghancurkan hati, jantung, paru-paru, dan limpanya!"
"Haruskah aku mempercayai kata-katamu Urat
Setan"!"
"Terserah dirimu! Tetapi kau bisa buktikan
kebenarannya. Tunggu tiga hari lagi, dan lihatlah nasib si Dewa Rayu itu. Jika
ia tidak terbunuh oleh orang lebih dulu, maka dalam tiga hari kau akan temukan
Dewa Rayu mati dalam keadaan membusuk dan berbelatung di
sekujur tubuhnya."
"Sebutkan obat penawarnya. Kau pasti tahu, Urat
Setan!" "Tidak. Aku tidak tahu, sebab Racun Edan Cumbu itu bukan milik guru kami,
melainkan milik Nyai Gandrik,
bibinya Lancang Puri. Jika kau ingin mencari obat
penawar racun itu, carilah pada Nyai Gandrik. Tapi aku
sangsi, mungkin kau tak akan mampu menghadapi
ilmunya yang lumayan tinggi itu."
Suto Sinting diam memandangi lawannya dengan
mata tajam tak berkedip. Ada beberapa pertimbangan
yang berkecamuk dalam benaknya. Namun sebelum ia
sempat bicara, ternyata Urat Setan lebih dulu berkata,
"Baiklah. Kita tak punya urusan apa-apa. Jangan
bikin persoalan lagi kepadaku, Pendekar Mabuk!"
"Tunggu!" sergah Suto sambil lompat dari atas gugusan batu dan turun ke bumi.
Langkah Urat Setan
yang ingin tinggalkan tempat itu menjadi terhenti, ia
berpaling menatap Suto kembali dengan sorot
pandangan matanya yang dingin.
"Aku tahu kau dan Lancang Puri memperebutkan
sebuah pusaka. Aku ingin tahu, pusaka apa itu" Hanya
sekadar ingin tahu biar hatiku tak penasaran!"
"Aku bukan orang bodoh. Kalau kau tahu, kau akan
ikut memperebutkannya juga, Pendekar Mabuk. Aku tak
mau ada pihak lain yang ikut memperebutkannya!"
"Aku berjanji tidak akan ikut memperebutkan pusaka itu jika kau memberitahukan
padaku apa pusaka yang
kalian perebutkan itu"'
"Aku tak punya waktu lagi! Aku harus segera susul
Lancang Puri dan Nyai Gandrik sebelum mereka kuasai
pusaka itu secara nyata!"
Weesss...! Setelah bicara begitu, Urat Setan bagaikan
menghilang. Gerakan kepergiannya disertai gerakan
ilmu peringan tubuh, sehingga ia seperti menghilang.
Suto bisa saja mengimbangi gerakan itu, tapi ia tak mau mengejar Urat Setan
karena lebih tertarik merenungi
kata-kata Urat Setan tadi tentang Racun Edan Cumbu.
Benarkah tak bisa ditawarkan" Benarkah obat
penawarnya hanya ada pada diri Nyai Gandrik"
Belum lama Urat Setan pergi, muncul sekelebat
bayangan dari arah berlawanan. Bayangan itu segera
menjelma menjadi sesosok tubuh gemuk dan beralis
tebal. Seorang lelaki berwajah galak itu mempunyai
kumis lebat dengan kulit wajah hitam, bagaikan terlalu sering terbakar sinar
matahari. Matanya lebar dan
rambutnya lebat, diikat dengan kain biru separo
selendang. Orang gemuk itu mengenakan pakaian serba
hijau tua, tapi bajunya tidak dikancingkan, sehingga
dadanya yang berbulu tampak berminyak dan
membusung seperti sebongkah batu gunung yang amat
keras, ia mengenakan gelang akar bahar di tangan
kirinya. Senjata yang ada di pinggangnya adalah sebilah golok bergagang kepala
singa. Usianya sekitar lima
puluh tahun, tapi rambutnya belum ada yang beruban.
"Angker sekali wajah orang ini?" pikir Suto. "Kurasa dia orang yang galak dan
berdarah dingin. Mudah
tersinggung dan mudah mencabut nyawa orang.
Wajahnya yang sadis itu dapat mengecilkan nyali lawan
sebelum bertarung dengannya. Hmm... tapi siapa orang
ini" Aku merasa baru melihatnya sekarang."
Mata lebar itu melirik ke kanan-kiri sebentar, seakan
memeriksa keadaan sekelilingnya demi keamanan jiwa.
Sebentar-sebentar ia mengusap kumisnya yang lebat
dengan lagaknya yang benar-benar menakutkan nyali
orang awam. "Apa maksudmu menemuiku di sini, Paman?" Suto menyapa dengan sopan, walau penuh
curiga dan waspada terhadap orang tersebut.
"Aku mencari seseorang," jawabnya. Dan Suto
Sinting terkejut sekali serta menahan tawa dalam hati.
"Ya, ampun..."! Suaranya seperti suara perempuan
manja"! Mirip gadis pingitan yang sedang kasmaran.
Jodoh Rajawali 10 Dewi Ular Misteri Gadis Tengah Malam Kitab Ajian Dewa 3
^