Pencarian

Kuil Perawan Ganas 2

Pendekar Mabuk 082 Kuil Perawan Ganas Bagian 2


dada kiri."
Sambil berkecamuk begitu, mulut Suto tiada hentinya
memagut-magut kedua bukit itu secara bergantian.
Tangan perempuan tersebut juga tak mau tinggal diam.
ia berhasil meraih apa yang disembunyikan Suto di balik
kain putihnya. Perempuan itu memekik ketika berhasil
menggenggamnya.
"Ooow.."! Besar sekali, Suto...."
"Apanya?"
"Semangatmu besar sekali. Ooh... aku suka yang
begini! Aku suka sekali, Suto...! Aaaahh...!"
Perempuan itu mengamuk dalam gerakan liar. Suto
terpelanting dan jatuh telentang. Kini perempuan itu
menerkamnya dengan suara erangan mirip singa
kelaparan. Ia melepaskan kain penutup tubuh Suto secara kasar,
ia juga memagut-magut dada Suto dengan liar. Bahkan
ia menyambar 'jimat antik' itu dengan rakus sekali. Tapi
semua kekasaran, kerakusan, keliaran dan kebuasan itu
justru menghadirkan sejuta kenikmatan bagi Suto
Sinting. Bahkan Suto tak segan-segan untuk berteriak
ketika kenikmatan itu melonjak-lonjak dalam dadanya.
"Ganas sekali dia" Tadi tak seganas ini. Rupanya tadi
dia masih malu-malu padaku, sehingga keganasannya ini
masih disembunyikan," pikir Suto Sinting sambil
meremas lengan perempuan itu.
"Oh, Suto... bangun! Berdirilah... lekas berdiri!"
perintahnya dengan mendesak. Suto pun menuruti
perintah itu, ia berdiri di samping cermin tembus
pandang itu. Perempuan tersebut berlutut di hadapan
Suto, kemudian ia menyapu habis sekitar tempat
tersebut, sehingga Suto terpaksa meremas rambut
perempuan tersebut untuk menahan gejolak rasa
bahagianya. Tetapi tiba-tiba Suto terkejut manakala matanya
memandang ke ruang sebelah, ternyata di sana Elang
Samudera juga sedang dicumbu oleh seorang
perempuan. Elang Samudera sudah tidak mengenakan
selembar benang pun, demikian pula si perempuan. Hal
yang membuat Suto lebih kaget lagi, ternyata perempuan
yang mengganas di sana adalah perempuan bertato
bunga mawar merah pada dada kanannya.
"Tunggu dulu!" sergah Suto. Ia menarik perempuan
itu hingga berdiri. Si perempuan memandang dengan
peluh bercucuran dan napas berhamburan.
"Siapa kau sebenarnya" Kau... kau Dewi Kun"! Oh,
lihat... lihat temanku sedang bercumbu denganmu atau
dengan siapa itu"!"
"Dia bercumbu dengan kakakku."
"Kakakmu siapa?"
"Dewi Kun..."
"Jaa... jadi kau...?"
"Aku Dewi Sun, saudara kembar Dewi Kun!"
"Oooh... pantas kau lebih ganas dari dia."
"Penjelasannya nanti saja. Aku masih ingin
membuaimu!" ucapnya seraya menciumi leher Suto
Sinting dengan tubuh dirapatkan ke badan Suto. Suto
Sinting tak bisa menolak karena gairahnya terasa
semakin lebih besar dari yang pertama tadi.
* ** 5 SEBELUM pelayaran cintai dimulai. Pendekar
Mabuk sempatkan untuk meminum tuaknya, ia biarkan
Dewi Sun terbaring di lantai menunggu lawan cintanya
menyerbu. Namun ketika tuak diminum, saat Pendekar Mabuk
ingin mengawali pelayaran cintanya dengan menunggang perahu asmara yang telah disiapkan Dewi
Sun, tiba-tiba saja gairahnya lenyap dan bayangan Dyah
Sariningium muncul dalam benaknya. Rasa setia dan
cinta terhadap Dyah Sariningrum membakar di sekujur
tubuhnya. Perasaan tak ingin menodai kisah kasihnya
terhadap Ratu Puri Gersang Surgawi itu membalut jiwa
dan hatinya, sehingga hasrat untuk berlayar bersama
Dewi Sun itu pun lenyap seketika.
Ciuman Suto terhenti sebelum tubuhnya menyatu
dengan tubuh Dewi Sun. Ia menarik diri dan
memandangi Dewi Sun dengan perasaan heran.
"Mengapa aku hampir saja menodai cinta suciku
Kepada Dyah?" pikirnya kala itu. "Dewi Sun ataupun
Dewi Kun memang cantik, tapi hatiku tak bisa menerima
kecantikan itu. Hatiku hanya bisa merasakan deburan
gairah tanpa jiwa yang tulus menyayanginya" Untuk apa
kulakukan jika semua itu hanya tipuan rasa saja?"
"Suto, ayolah... tunggu apa lagi, Suto" Aku sudah
siap. Aku sudah siap, Sayang...," rengek Dewi Sun
sambil mengulurkan tangannya ingin memeluk Suto.
Tapi pemuda tampan yang berbadan macho itu justru
tarik diri dan menyambar celananya.
"Hei, kenapa kau begitu, Suto"! Mengapa tak kau
lanjutkan perjalanan cinta kita"!"
"Aku tidak bisa!" tegas Suto.
"Bukankah... bukankah kau telah meminum ramuan
itu?" "Aku tidak punya kesanggupan untuk melanjutkan
permainan cinta kita! Kau lihat sendiri, aku tidak punya
kemampuan seperti tadi, bukan?"
Mata Dewi Sun tertuju pada sesuatu yang dimaksud
Suto. Sesuatu itu sekarang tidur dengan pulasnya, seakan
tak akan terusik oleh godaan apa pun. Dewi Sun sendiri
merasa heran dan berucap lirih bagai bicara pada dirinya
sendiri. "Mengapa jadi begitu" Biasanya ramuan itu akan
membangkitkan gairah lelaki hingga menyala-nyala dan
menjadi buas tiada hentinya. Tapi sekarang mengapa
justru membuatnya loyo begitu"!"
"Kurasa tabibmu salah ramu!" ujar Suto Sinting
sambil mengenakan baju coklatnya yang tanpa lengan
itu. Tentu saja Dewi Sun tak tahu bahwa khasiat jamu
kuat buatan tabibnya itu tak akan mampu mengalahkan
khasiat sakti dari tuak dalam bumbung bernyawa itu.
Seandainya Pendekar Mabuk tidak meminum tuaknya
lebih dulu, maka pelayaran ke laut cinta pun akan terjadi
entah hingga berapa kali. Tetapi karena sebelum
mendayung perahunya Suto merasa kehausan dan perlu
meneguk tuaknya, maka tuak itu langsung memadamkan
api cinta dan gairah yang berkobar-kobar tadi. Tuak itu
mengembankan kesadaran Suto yang nyaris tersirap oleh
pengaruh jamu kuat yang mengandung mantra gaib juga
itu. Sementara di ruang sebelah, Elang Samudera masih
giat melakukan perjalanan cintanya dengan Dewi Kun.
Bahkan meskipun Dewi Kun telah mencapai puncakpuncak kebahagiaannya beberapa
kali, tapi Elang
Samudera masih tangguh dan dengan penuh semangat
mendayung perahu cintanya sesuai dengan selera yang
diinginkan Dewi Kun.
"Kau mengecewakan aku, Suto!" geram Dewi Sun
yang ingin memeluk Suto namun dijauhi oleh pemuda
tampan itu. "Maafkan aku. Aku tak mampu seperti Elang
Samudera!"
"Banci!" sentak Dewi Sun dengan berang. "Percuma
kau menjadi pendekar gagah perkasa begitu, ternyata
kau tidak berguna bagi seorang perempuan! Kau tidak
punya kemampuan apa-apa, Suto! Potong saja 'jimatmu'
itu dan jadilah perempuan sepertiku!"
Senyum Suto mengembang tipis, ia tahu kata- kata itu
sengaja dilontarkan untuk membangkitkan emosi
cintanya. Tapi Suto tetap tak berselera melakukan
percumbuan, ia hanya bisa memaklumi ejekan tersebut
dilontarkan Dewi Sun yang tentu saja sangat kecewa
terhadap kegagalan itu.
"Percuma kau jadi pendekar kondang kesaktiannya
kalau tak mampu membahagiakan perempuan!" omel
Dewi Sun seraya mengenakan pakaiannya kembali.
"Lebih baik kau berikan tugas lain daripada harus
berlayar di lautan cinta denganmu," kata Suto tegastegas.
Dewi Sun menyeka keringatnya yang masih mengalir
di sela-sela belahan dadanya. Wajahnya kusut sekali,
sekusut rambutnya yang tadi diacak-acak Suto saat ia
membuainya dengan ciuman maut.
"Kau harus dihukum, Suto! Karena kau tak mau
melayaniku, tak mau memuaskan keinginanku, maka
kau harus dihukum!"
"Akan kuterima selama aku tak mampu menghindari
hukuman itu! Tapi jika aku bisa menghindari hukuman
itu, barangkali kaulah yang akan berbalik menjalankan
hukumannya!" ujar Suto setengah menantang.
Dewi Sun semakin berang, maka kaki kanannya
segera berkelebat menendang ke arah wajah Suto.
Wuuuut...! Weess...! Suto Sinting hanya menggeloyor ke
samping seperti orang mabuk mau tumbang. Tendangan
itu tak mengenai sasaran sedikit pun.
Wwwu, weess...! Wuuut, wess...! Wuuut, wweess...!
Tiga tendangan beruntun dengan kecepatan tinggi
berhasil dihindari Suto Sinting. Dewi Sun semakin
dongkol, maka ia pun segera menghantamkan telapak
tangannya yang mengandung kekuatan tenaga dalam
tanpa sinar itu. Beeet...!
Suto Sinting sengaja mengadu telapak tangannya
dengan telapak tangan Dewi Sun. Tapi tak lupa ia juga
menyalurkan kekuatan tenaga dalamnya ke dalam tangan
tersebut. Plaaak...! Buuub...!
Asap mengepul dari perpaduan telapak tangan itu.
Dewi Sun terpental ke belakang dan membentur pintu,
sementara Suto Sinting masih tegar berdiri dengan wajah
sunggingkan senyum tipis agak dingin.
"Laknat kau, Suto!" geram Dewi Sun sambil bangkit
kembali. "Di kamar sesempit ini, kalau kau melawanku, maka
kau akan mati tanpa diketahui oleh siapa pun!" Suto
sengaja menakut-nakuti mental Dewi Sun. Agaknya
ucapan itu membuat Dewi Sun berpikir juga, sehingga ia
terpaksa menahan gejolak kemarahannya dan bergegas
keluar dari kamar tersebut.
"Kuanggap kau telah menghinaku! Ada saatnya
sendiri kau harus menerima ganjaran atas penghinaan
ini, Suto!"
"Kutunggu ganjaran darimu, Dewi Sun!" kata Suto
dengan tegas dan membuat Dewi Sun semakin dongkol
lagi. Brrak...! Pintu ditutup dan dikunci kembali. Dewi
Sun pergi entah ke mana, yang jelas Suto Sinting tertawa
cekikikan sendiri.
"Ramuan jamu kuat"! He, he, he, heh...! Ternyata
sama tuakku masih kalah kuat! Untung aku tadi segera
meminum tuak, kalau tidak, habislah kesucianku
direnggutnya. Ciah... kesucian nih ye..."!" ia tertawa geli
lagi. Pendekar Mabuk akhirnya hanya bisa menyaksikan
tontonan gratis di kamar sebelah melalui cermin tembus
pandang. Elang Samudera terengah-engah kecapekan.
Tetapi agaknya pemuda itu belum mencapai puncak
keindahannya. Sementara itu, Dewi Kun sudah terkulai
tanpa daya. Seandainya tidak, pasti dia masih menyuruh
Elang Samudera untuk mendayung perahunya lagi.
Lantai menjadi basah oleh keringat mereka. Elang
Samudera tak bisa bilang apa-apa karena sibuk bernapas.
Tapi tangannya masih berusaha untuk berbuat nakal,
yang segera dihindari oleh Dewi Kun.
Pendekar Mabuk hanya geleng-geleng kepala melihat
kenakalan itu. "Kalau bukan karena meminum ramuan jamu tadi, tak
mungkin Elang Samudera sampai setangguh itu,"
ujarnya dalam hati.
Secara jujur hati Suto mengakui kehebatan ramuan
tersebut seandainya tanpa dilawan dengan tuak saktinya.
Terbukti Elang Samudera masih tetap bersemangat
memburu kemesraan walaupun Dewi Kun sudah keluar
kamar dan beberapa saat masuk kembali. Ternyata yang
masuk kembali itu bukan Dewi Kun melainkan Dewi
Sun. Elang Samudera juga melayani perempuan itu dengan
semangatnya yang masih menyala-nyala. Tetapi
kehadiran perempuan itu membuat Suto menjadi sangsi
dan berkerut dahi.
Ketika perempuan itu melepaskan rompinya, maka
tampaklah sebuah tato bergambar kupu-kupu yang
merentangkan sayapnya di pertengahan dada. Suto
Sinting sempat bertanya-tanya dalam hati,
"Benarkah dia Dewi Sun"! Tapi melihat keganasan
dalam menyerang lawan bercintanya, keganasan itu
seperti milik Dewi Sun. Hanya saja, kenapa tatonya
berubah menjadi gambar kupu-kupu dan letaknya di
pertengahan dada" Bukankah Dewi Sun tatonya
bergambar seekor kelabang merah dan letaknya di dada
kiri"!"
Klak, klak, klaaang...!
Pintu kamar Suto dibuka. Perempuan berwajah cantik
seperti yang sedang bercumbu dengan Elang Samudera
itu muncul dengan keangkuhannya. Perempuan itu
tampak berlumuran keringat, sehingga rambutnya


Pendekar Mabuk 082 Kuil Perawan Ganas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadi basah dan rompinya pun lengket dengan tubuh.
Napas perempuan itu masih sedikit terengah-engah
menandakan habis melakukan pekerjaan berat.
Begitu melirik ke arah dada, Suto melihat tato
bergambar bunga mawar. Tak salah lagi dugaan hatinya,
bahwa perempuan itu adalah Dewi Kun yang habis
mendapat kepuasan dari Elang Samudera.
Dewi Kun ikut memandang ke arah cermin tembus
pandang. Suto Sinting memperhatikan dengan lirikan
mata dan senyum yang mengembang penuh ketenangan.
"Mengapa kau tidak mau melayani adikku; Dewi
Sun"!"
"Aku tak mampu!" jawab Suto tanpa malu-malu.
"Kau kalah hebat dengan temanmu itu. Lihatlah, dia
masih bersemangat melayani gairah adikku."
"Apakah dia Dewi Sun?"
"Bukan. Dewi Sun sedang murung di serambi dan
kecewa berat karena tingkahmu!"
"Lalu siapa yang sedang bercumbu dengan Elang
Samudera itu?"
"Adik kembarku; Dewi Mul namanya."
"Oooh..."!"
Suto manggut-manggut
dan memperhatikan tato bergambar kupu-kupu yang sesekali
sedang dikecupi oleh Elang Samudera itu.
"Jadi kau kembar tiga orang?"
"Ya, dan masing-masing punya ciri pada tato kami.
Dengan melihat tato kami, kau bisa mengerti siapa yang
kau hadapi; aku, Dewi Sun atau Dewi Mul?"
"Ketiganya... ketiganya punya gairah yang besar
rupanya." "Kurasa begitu!" jawabnya datar. "Dan kami selalu
membunuh pria yang tidak mampu memuaskan gairah
kami, karena pria semacam itu kami anggap tidak akan
berguna bagi kehidupan di dunia!"
Suto Sinting agak kaget. "Jadi kau ingin
membunuhku"!"
"Perlu kupertimbangkan dulu bersama kedua adik
kembarku itu. Karena di satu sisi, aku membutuhkan
tenagamu untuk mengambil Bocah Emas itu!"
"Aku tak akan pergi mengambil Bocah Emas jika
tidak bersama Elang Samudera!"
"Itu tak bisa! Kau harus pergi sendirian dan
mendapatkan Bocah Emas itu!"
"Aku tak tahu jalan menuju ke Gunung Sambara!
Tapi Elang Samudera mengetahui jalan ke sana!"
"Salah satu dari kami akan mendampingimu dan
mengantarmu sampai bertemu dengan Ratu Lembah
Girang." "Apakah kau masih ingin menjualku kepada Ratu
Lembah Girang" Tidakkah kau tahu bahwa aku tidak
punya kemampuan untuk melayani seorang perempuan"
Kurasa Ratu Lembah Girang akan kecewa padaku dan
tidak mau memberikan Bocah Emas itu."
Dewi Kun segera memandang Suto Sinting.
Sepertinya ada sesuatu yang baru diingatnya dan perlu
dipertimbangkan lebih masak lagi.
"Kau benar-benar tidak mampu melayani perempuan?"
"Kau tanyakan saja kepada adikmu; Dewi Sun itu!"
Mulut berbibir ranum itu diam terbungkam. Tapi
kejap berikutnya Dewi Kun memandang Suto lagi seraya
berkata pelan. "Tapi kau pandai membuai kami dengan bibir dan
lidahmu, bukan?"
"Oh, itu hanya kebetulan saja dan... dan...."
"Aku telah merasakannya sendiri. Kau berhasil
menerbangkan jiwaku sampai ke puncak-puncak
keindahan dengan hanya menggunakan mulut dan
jemarimu. Kurasa Ratu Lembah Girang pun akan
menyukainya."
"Tak mungkin," bantah Suto. "Ratu pasti
menghendaki kemesraan yang lebih sempurna dan tidak
sekadar kemesraan seperti yang pernah kau rasakan
dariku itu. Dan untuk memberikan yang sempurna itu
aku tak sanggup!"
"Tabib Sumpah Mada akan kuperintahkan membuat
ramuan yang paling dahsyat dari yang kau minum tadi!
Ramuan itu dapat membangkitkan seleramu, sehingga
kau akan mampu melayani Ratu Lembah Girang sebaik
mungkin." Pendekar Mabuk tertawa pelan. "Percuma saja kau
menyuruh tabibmu membuat ramuan apa saja. Seleraku
tak akan sanggup berkobar jika pada saat ingin
mengarungi lautan cinta bersama perahu cinta sang Ratu.
Tapi jika hanya membuai keindahan, mungkin aku
masih mampu!"
"Kata-katamu itu harus dibuktikan dulu. Aku akan
menghubungi Tabib Sumpah Mada dulu! Yang jelas,
esok pagi kau harus berangkat temui Ratu Lembah
Girang." Dewi Kun ingin keluar dari kamar, namun segera
ditahan oleh tangan Suto yang mencekal pundaknya.
"Tunggu...! Kenapa kau tak perintahkan aku langsung
ke Gunung Sambara saja"!"
"Gunung Sambara dijaga oleh makhluk-makhluk
aneh ciptaan Ratu Lembah Girang. Tanpa membawa
Sambang atau tanda sebagai utusan Ratu Lembah
Girang, kau tak akan mampu mencapai puncak gunung
tersebut. Kau akan mati sia-sia melawan makhlukmakhluk aneh itu jika tidak
membawa aenda atau
lambang dari Ratu Lembah Girang!"
"Kurasa aku mampu menyingkirkan makhlukmakhluk aneh itu, asal bekerja sama
dengan Elang Samudera!" desak Suto.
Dewi Kun gelengkan kepala. "Percuma kau bekerja
sama dengan temanmu itu. Dia sudah kehilangan seluruh
ilmu dan tenaga dalamnya. Makhluk aneh itu tak akan
mampu dikalahkan dengan hanya menggunakan tenaga
luar saja!"
"Kalau begitu... izinkan aku menemui Elang
Samudera lebih dulu sebelum harus berangkat
bersamamu!"
Dewi Kun diam sejenak, mempertimbangkan sesuatu
dalam benaknya. Sebentar kemudian ia memandang
Suto dan perdengarkan suaranya yang serak-serak basah
itu. "Esok pagi kau kutemukan dengan Elang Samudera.
Malam ini tidurlah, dan simpan tenagamu untuk esok.
Tapi lebih dulu, kau harus mencoba ramuan terdahsyat
buatan Tabib Sumpah Mada!"
Setelah berkata demikian, Dewi Kun segera keluar
dari pintu. Suto Sinting bermaksud ingin menerobos
keluar, tapi ia ingat keadaan Elang Samudera yang
mudah dijadikan sasaran kemarahan tiga perempuan
kembar itu. Apalagi Elang Samudera dalam keadaan
kehilangan tenaga dalamnya, maka ia akan mudah
dilumpuhkan oleh ketiga dewi kembar itu. Suto pun
akhirnya membatalkan niatnya untuk menerobos keluar,
ia masih harus bersabar sampai saatnya nanti tiba.
* * * 6 MENURUT dugaan Suto, ia sudah setengah hari satu
malam berada di Kuil Perawan Ganas itu. Baru kali ini
ia keluar dari kamar penyekapannya ketika Dewi Kun
muncul dan membawanya untuk bertemu dengan Elang
Samudera. Sebelum Dewi Kun membawa Suto keluar kamar,
Dewi Kun sempat berkata kepada Suto, terutama setelah
mengetahui keadaan Suto biasa-biasa saja.
"Apakah jamu ramuan dari Tabib Sumpah Mada
belum kau minum?"
"Sudah. Aku meminumnya sampai habis. Tabib
Sumpah Mada sendiri yang semalam mengantarkannya
dan menungguiku meminum ramuan tersebut."
Dewi Kun diam sebentar, sepertinya bingung mau
berkata apa kepada Suto, Tapi dari sorot matanya
perempuan itu tampak sedang memendam perasaan
heran melihat Suto biasa-biasa saja.
"Kenapa kau bertanya begitu" Apakah kau tak
percaya dengan pengawan tabibmu sendiri"!"
"Wajahmu biasa-biasa saja," ujar Dewi Kun datar
sekali. "Maksudmu, setelah meminum ramuan itu wajahku
harus berubah seperti monyet"!"
Dewi Kun tersenyum dingin. Baru sekarang
perempuan itu tampak tersenyum.
"Cantik juga kalau kau tersenyum," ujar Suto pelan,
tapi Dewi Kun berlagak tidak mendengar pujian itu.
"Seharusnya wajahmu berubah kemerah-merahan dan
matamu menjadi nanar, jalang, tanganmu juga nakal,
tapi... sepertinya kau tak mengalami hal itu."
"Pecat saja tabibmu itu! Dia tidak bisa membuat
ramuan berkhasiat dahsyat, seperti katamu itu!"
Dewi Kun bingung sendiri, akhirnya hanya menarik
napas dan segera membawa Suto bertemu dengan Elang
Samudera. Dalam hati Suto tertawa geli, karena tanpa setahu
Tabib Sumpah Mada, tuak sakti itu segera diminumnya
setelah Suto selesai meminum ramuan jamu kuat yang
katanya paling dahsyat itu. Dengan meminum tuak
saktinya, maka pengaruh jamu kuat itu sirna tanpa bekas.
Tentu saja Tabib Sumpah Mada nanti akan bingung
sendiri jika mendengar kecaman Dewi Kun.
"Suto..."!" sambut Elang Samudera dengan riang.
"Kusangka mereka mendustaiku dengan mengatakan kau
masih selamat. Ternyata omongan mereka itu benar. Oh,
aku senang sekali melihatmu masih tetap segar begini,
Suto." "Aku ada di kamar sebelahmu. Aku melihat apa yang
kau lakukan bersama Dewi Mul dan dia," sambil Suto
melirik Dewi Kun.
"Kurasa itu tak perlu dibicarakan, Suto!" tegur Dewi
Kun dengan sedikit malu.
"Tinggalkan kami. Biarkan kami bicara berdua. Jika
kau tak izinkan kami bicara, aku tak akan berangkat
memenuhi perintahmu!" kata Suto dengan pelan tapi
tegas. Dewi Kun akhirnya tinggalkan kamar itu dengan
tak lupa mengunci pintunya.
Setelah Dewi Kun pergi, Suto buru-buru
menyerahkan bumbung tuaknya.
"Minum tuak ini, lekas!"
Elang Samudera bingung. "Aku... aku tidak apa-apa,
Suto! Aku sehat-sehat saja!"
"Lekas minum tuak ini sebelum mereka melihat dari
cermin tembus pandang itu!"
Karena desakan Suto menegangkan, maka Elang
Samudera pun buru-buru menenggak tuak tersebut.
Bumbung tuak buru-buru direbut Suto, sehingga
seandainya ada yang mengintai dari cermin tembus
pandang tidak akan melihat Elang Samudera meminum
tuak. "Ada apa sebenarnya?" tanya Elang Samudera
dengan lirih. Suto bersikap tenang, supaya jika Dewi Kun
melihatnya dari kamar sebelah tidak timbul kecurigaan
apa-apa. "Tetaplah tenang," kata Suto mengawali percakapan
seriusnya. "Kau yang kelihatan tidak tenang, Suto!"
"Elang, dengar kataku.... Aku tahu kau kehilangan
tenaga dalammu."
"lyy... iya, benar! Aku jadi tidak punya kekuatan
dahsyat yang biasanya bisa kukeluarkan lewat tangan,
jari, kaki, atau yang lainnya." Elang Samudera tampak
mulai tegang. "Aku juga tahu gairahmu telah dibakar oleh jamu
yang kau minum kemarin saat habis mendapat suguhan
makan itu. Jamu itu membuatmu kuat melayani mereka."
"Hmmm... hmmm... iya, sepertinya memang begitu,"
jawab Elang Samudera dengan malu-malu.
"Tuakku tadi akan mengembalikan kekuatan tenaga
dalammu dan melumpuhkan pengaruh jamu yang kau
minum." "O, ya..."! Elang Samudera tampak girang, ia segera
ingin mencobanya dengan menggunakan tangan yang
akan dihantamkan kearah pintu. Tapi Suto Sinting segera
mencegah perbuatan itu.
"Jangan lakukan di sini! Kau harus berpura-pura tetap
tidak mempunyai kekuatan tenaga dalam. Kau juga
harus berpura-pura masih bergairah dengan mereka."
"Mengapa begitu"!"
"Mereka ingin menjualku kepada Ratu Lembah
Girang." "Hahh..."!"
"Tenang dan bersikaplah wajar-wajar saja!" Suto
mengingatkan dengan berlagak kalem.
"Tugasku membujuk Ratu Lembah Girang untuk
mengambil Bocah Emas itu. Bocah Emas harus
kuserahkan kepada orang-orang disini. Kau dijadikan
sandera oleh mereka. Jika aku menolak, kau akan
dibunuhnya."
"Biadab...!"


Pendekar Mabuk 082 Kuil Perawan Ganas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tenang, tenang...! Semua sudah kuatur dalam
otakku," ujar Suto mengingatkan emosi Elang Samudera.
"Jadi... kau menerima tawaran itu"!"
"Aku jadi banyak mengetahui tentang keadaan di
Gunung Sambara. Agaknya kunci untuk mendapatkan
Bocah Emas itu ada di tangan Ratu Lembah Girang. Aku
memang harus menemui ratu itu. Kau tetap saja di sini
dengan berpura-pura tanpa tenaga dalam dan masih
bersemangat dalam bercinta. Tapi kalau bisa tolak saja
ajakan kencan mereka dengan cara yang tidak kentara."
"Baik, aku akan mengikuti saranmu."
"Tugasmu di sini adalah menahan mereka agar jangan
menyusulku. Aku hanya akan didampingi oleh Dewi
Kun, atau mungkin salah satu dari tiga perempuan
kembar itu."
"Oh, jadi mereka itu kembar tiga" Kusangka hanya
satu orang" Pantas gairah mereka seperti tak kunjung
padam!" "Jika Bocah Emas itu sudah kudapatkan, siapa pun
yang mendampingiku akan kulumpuhkan. Kemudian
Bocah Emas itu akan kusimpan dalam perahu kita. Aku
akan datang menjemputmu kemari dengan tidak
menimbulkan keonaran. Jika sampai terjadi keributan,
pergunakan tenaga dalammu. Lalu kita akan pergi
tinggalkan tempat ini bersama Bocah Emas itu."
"Bagaimana jika mereka mengejar kita?"
"Lumpuhkan ketiga perempuan kembar itu, maka
yang lain tidak akan bertindak apa-apa! Tugasmu adalah
mempelajari kelemahan-kelemahan yang ada di sini.
Usahakan kau mengetahui kelemahan mereka sebelum
aku datang menjemputmu."
"Baik. Akan kuusahakan hal itu secepatnya!" kata
Eiang Samudera penuh semangat.
"Jika dalam empat hari aku tidak datang kembali,
berarti aku tewas di perjalanan."
"Kuharap kau kembali dalam keadaan sehat!"
"Atau jika aku tidak kembali dalam empat hari,
mungkin aku tertawan di tangan Ratu Lembah Girang.
Kau harus berusaha pulang dan cari bantuan untuk
membebaskanmu. Terutama hubungi Sumbaruni,
Merpati Liar, Angin Betina, dan si Rupa Setan alias
Anjardini."
"Ya, aku ingat nama-nama itu. Aku akan minta
bantuan kakak perempuanku untuk menghubungi
mereka jika sampai terjadi sesuatu pada dirimu," kata
Elang Samudera dengan mantap.
"Jika mereka memberimu minuman jamu lagi,
usahakan jangan kau minum, buanglah di tempat lain
entah dengan cara bagaimana saja!"
"Baik," Elang Samudera mengangguk bagai orang
yang patuh kepada perintah atasannya.
"Ada satu hal yang perlu kau ingat, Suto," tambah
Elang Samudera. "Bawalah Bocah Emas itu dalam
keadaan dibungkus kain atau dedaunan. Maksudnya
jangan sampai kulitnya memantulkan cahaya saat
terkena sinar matahari. Jika sampai memantulkan
cahaya, maka ke mana pun kau pergi akan diketahui oleh
musuh. Dan lagi, Bocah Emas itu menyebarkan aroma
wangi cendana. Jadi jika dibungkus kain atau apa saja,
maka aroma itu tidak menyebar ke mana-mana."
Pendekar Mabuk manggut-manggut. "Ya, akan
kuperhatikan pesanmu itu."
"Satu lagi, jangan sampai bocah itu menangis. Jika ia
menangis, air matanya akan berubah menjadi emas, dan
pihak musuh dapat memunguti emas itu yang akhirnya
akan menemukan arah pelarianmu."
"Akan kuusahakan agar bocah itu tertawa terus," kata
Suto dengan senyum mantap. Pundak sahabatnya
ditepuk satu kali. Pluuuk...!
"Percayalah, semua akan berjalan lancar! Kau tak
perlu cemas dan tetap bertindak sebagaimana yang kita
rencanakan tadi."
"Baik. Hanya saja...," ucapan itu terhenti karena
mereka mendengar suara kunci pintu dibuka. Wajah
cantik berhidung mancung muncul. Suto segera melirik
pada belahan dada perempuan itu. Ternyata dada itu
mempunyai tato bergambar kelabang merah. Berarti
bukan Dewi Kun yang datang, melainkan Dewi Sun.
"Sudah tak ada waktu lagi untuk bersantai ria,
Pendekar Banci!" ucap Dewi Sun, rupanya masih
dongkol dengan kegagalannya bercumbu dengan Suto.
"Aku butuh waktu sebentar lagi. Ada yang ingin
kubicarakan dengan Elang Samudera!"
"Tidak ada waktu lagi!" gertaknya. "Kakakku
memanggilmu. Kalian akan segera berangkat!"
"Maksudmu, aku dan Elang Samudera?"
"Kau dan kakakku!" sentak Dewi Sun tampak
bermusuhan sekali dengan Suto.
Pendekar Mabuk menarik napas dalam-dalam.
Matanya memandang Elang Samudera yang tampak
menggeram ingin lepaskan pukulan kepada Dewi Sun.
Tapi satu kedipan mata Suto sudah cukup sebagai isyarat
agar Elang Samudera menahan emosinya.
Dewi Sun segera membawa Pendekar Mabuk ke
serambi depan. Ternyata serambi yang dimaksud adalah
ruangan besar tanpa dinding samping kanan-kiri, seperti
pendopo. Di sana telah berkumpul beberapa wanita
muda yang mempunyai paras cantik-cantik. Jumlahnya
sekitar dua puluh lima orang. Tetapi dua wajah kembar
berada di sisi lain. Dua wajah kembar itu adalah Dewi
Kun dan Dewi Mul. Mereka segera pandangi Suto
Sinting yang melangkah bersama Dewi Sun dengan
senyum tipis membias bak menyebarkan daya tarik
kepada setiap mata yang ada di situ.
Dewi Sun hentikan langkah di samping Dewi Kun,
sedangkan Suto berada di sebelah kiri Dewi Sun. Tapi
kejap kemudian tangannya ditarik oleh Dewi Kun,
hingga ia berdiri berdampingan dengan Dewi Kun
menghadap para wanita cantik yang berpakaian seronok
itu. Dewi Kun bicara kepada mereka dengan berwibawa.
"Hari ini aku akan berangkat mencari Bocah Emas
didampingi oleh Pendekar Mabuk ini!"
"Oooo..."!" mereka menggumam kagum, sepertinya
baru tahu bahwa pemuda tampan itu adalah orang yang
sering didengar kabarnya melalui percakapan dari mulut
ke mulut. Agaknya mereka belum tahu bahwa ketua
mereka telah berhasil menawan Pendekar Mabuk,
sehingga gumam kekaguman mereka terdengar secara
serempak. "Kalian dan kedua adikku; Dewi Mul serta Dewi Sun,
bertugas mempertahankan kuil ini dari gangguan siapa
pun, terutama orang-orang Bukit Sulang. Dalam waktu
empat hari, aku akan kembali baik tanpa Pendekar
Mabuk maupun bersama Pendekar Mabuk. Jika dalam
waktu empat hari aku tidak kembali, berarti aku tewas di
perjalanan atau di tangan Ratu Lembah Girang. Jika
dalam empat hari Pendekar Mabuk tidak kembali ke sini
membawa Bocah Emas, maka temannya yang bernama
Elang Samudera harus kalian bunuh sebagai imbalan
kegagalannya mendapatkan Bocah Emas itu!"
Pendekar Mabuk hanya manggut-manggut sambil
tersenyum-senyum. Seakan ia tak merasa kaget dan
khawatir dengan ancaman yang baru saja dilontarkan
Dewi Kun itu. Setelah meninggalkan berbagai pesan, Dewi Kun
segera berangkat bersama Pendekar Mabuk menuju ke
istana Lembah Girang. Mereka pergi dengan
menunggang seekor kuda secara berboncengan. Dewi
Kun yang duduk di belakang, sedangkan Suto Sinting
sebagai pengemudinya. Tetapi arah gerakan kuda
tergantung petunjuk dari Dewi Kun.
Dewi Kun sengaja duduk di belakang sambil
memeluk Suto Sinting, agar jika terjadi sesuatu ia
terlindung oleh tubuh Suto, dan jika Suto ingin berbuat
sesuatu ia leluasa mencegahnya. Karena Dewi Kun
memeluknya dari belakang, maka bumbung tuak
terpaksa disilangkan ke depan dada. Dengan begitu
pelukan Dewi Kun tidak terganjal oleh bumbung tuak.
Sebelum berangkat tadi, Suto sempat meminta agar
bumbungnya dipenuhi oleh tuak. Dewi Sun
mengambilkan tuak terjelek dan rasanya tak sedap.
Tetapi ia tidak tahu, bahwa tuak apa pun yang masuk ke
bumbung sakti itu akan menjadi tuak yang sedap dan
berkhasiat tinggi.
Perjalanan menuju ke istana Lembah Girang
ditempuh dengan berkuda memakan waktu setengah
hari. Hanya saja, baru mencapai seperempat hari tibatiba kuda itu harus
memperlambat larinya.
"Ada mayat di sebelah sana!" ujar Dewi Kun sambil
menunjuk ke suatu arah. Suto Sinting diperintahkan
mendekati mayat itu. Ternyata ada tiga mayat yang
tergeletak dalam keadaan luka parah. Dewi Kun
memeriksanya dari atas punggung kuda.
"Sepertinya mayat orang-orang Lereng Hitam!" kata
Dewi Kun. "Apakah kau kenal dengan orang-orang Lereng
Hitam?" "Kukenali dari ikat kepala mereka yang selalu
berbentuk runcing ke atas!"
"Hmmm...!"
Suto-menggumam sambil ikut memandangi tiga mayat itu dengan menggerakkan
kudanya memutari mayat tersebut.
"Sepertinya mereka luka tercabik-cabik oleh binatang
buas," tambah Suto setelah Dewi Kun lama tidak
memberi komentar apa-apa.
"Ya, sepertinya memang mereka dimangsa oleh
binatang buas. Tapi perhatikan, tidak ada bagian tubuh
mereka yang hilang dimakan binatang buas. Seandainya
seekor singa atau harimau hutan, pasti salah satu anggota
tubuh mereka ada yang hilang. Tapi nyatanya mereka
hanya tercabik-cabik dan keadaan dadanya jebol."
"Mungkin bagian dalam tubuh mereka yang diambil,
seperti jantung, paru-paru atau yang lainnya!"
"Entahlah. Yang jelas, mereka tampak baru saja
mengalami kematiannya. Darah mereka belum sempat
kering betul. Dan menurut dugaanku, bukan binatang
buas yang melakukannya. Pasti dari pihak musuh
mereka." "Siapa musuh orang-orang Lereng Hitam itu"!"
"Siapa lagi kalau bukan orang-orang Bukit Sutang
yang rakus akan wilayah kekuasaan."
Suto memandang ke arah sekeliling. Tiba-tiba ia
temukan bayangan mayat tergeletak di bawah pohon
seberang sana. "Sepertinya di sana juga ada korban lagi!" Lalu tanpa
menunggu perintah Dewi Kun, ia memacu kudanya ke
arah yang dimaksud.
"Hmmm... dugaanku pasti benar. Mereka orang-orang
Lereng Hitam yang dibunuh oleh orang-orang Bukit
Sulang," ujar Dewi Kun setelah memperhatikan
sekeping logam yang menancap di pohon tersebut.
Logam itu berbentuk seperti kelopak bunga.
"Ini senjata milik orang-orang Bukit Sulang!"
"Tapi apakah karena senjata itu maka mayat-mayat
ini mati dalam keadaan tercabik-cabik begitu"!"
"Seharusnya kematian mereka tidak separah ini!"
sambil Dewi Kun membuang senjata rahasia berbentuk
kelopak bunga yang tadi dicabutnya dari pohon.
Kemudian ia naik kembali ke punggung kuda, karena
saat mau mencabut senjata rahasia itu ia sempatkan diri
untuk turun dari punggung kuda.
Namun baru saja Dewi Kun duduk di belakang Suto,
tiba-tiba sekeping logam menyambar mereka dari arah
kanan. Ziiing...!
"Awas!" seru Pendekar Mabuk sambil tangan
kanannya berkelebat ke samping. Teeb...! Tahu-tahu dua
jarinya telah menjepit sekeping logam bundar berbentuk
kelopak bunga yang bagian tepinya mempunyai
keruncingan dan ketajaman melebihi mata pisau.
Dewi Kun sempat terkejut dan menjadi tegang setelah
mengetahui jari Suto menjepit senjata rahasia seperti
yang tadi dicabut dari pohon. Dewi Kun segera berbisik
pelan dari belakang Pendekar Mabuk.
"Turun! Orang-orang Bukit Sulang ada di sekitar
sini!" "Apakah menurutmu kita telah terkepung"!"
"Kita lihat saja nanti!" sambil Dewi Kun mendahului
lompat dari punggung kuda. Wees...! Jleeg...!
* * * 7 PENDEKAR MABUK justru turun dari kuda dengan
pelan-pelan. Ia bersikap tenang sekali, walau sebenarnya
memasang kewaspadaan tinggi. Bahkan ia sempat
mengikat tali kekang kuda ke ranting-ranting semak.
Setelah itu baru melangkah dekati Dewi Kun sambil
memandang ke sekelilingnya. Sedangkan Dewi Kun
tampak tegang dan sudah menghunus pedangnya yang
menyilang di punggung.
"Jangan santai-santai saja, Tolol! Kita diancam
bahaya tak diketahui dari mana datangnya!" omel Dewi
Kun dengan nada gerutu dari suara pelan seperti orang
menggeram. Suto Sinting memindahkan bumbung tuaknya yang
menyilang di dada ke pundak. Kini bumbung tuak itu
tergantung di pundak dan sewaktu-waktu siap


Pendekar Mabuk 082 Kuil Perawan Ganas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

digunakan. "Kita tunggu saja serangan berikutnya," ujar Suto.
"Perhatikan arah datangnya serangan berikutnya nanti.
Maka kita akan mengetahui di mana bahaya itu berada!"
Dewi Kun yang sedikit membungkuk dengan
memasang kuda-kuda dan menggenggam pedang, kini
menjadi tegak dan tidak setegang tadi. Karena setelah
ditunggu beberapa saat lamanya, ternyata serangan
berikutnya tidak kunjung tiba. Sedangkah senjata rahasia
yang tadi ditangkap Suto Sinting itu tidak diketahui dari
mana datangnya. Memang berasal dari sebelah kanan
mereka alias sebelah barat, tapi di sebelah barat banyak
pohon rimbun dan semak belukar. Tak bisa dipastikan
apakah penyerangnya ada di atas pohon atau di bawah
pohon. Jurus 'Lacak Jantung' segera digunakan oleh
Pendekar Mabuk. Dengan menggunakan jurus 'Lacak
Jantung' maka ia dapat mendengarkan detak jantung
seseorang selain dari mereka berdua.
"Oh, gawat!" gumam SutoSinting baru mulai sedikit
menegang. "Ada apa"!" tanya Dewi Kun yang tak mengerti
bahwa Suto mempunyai jurus 'Lacak Jantung' itu.
"Ternyata kita telah terkepung."
"Dari mana kau tahu"!"
Suto mulai melilitkan tali bumbung tuaknya di tangan
kanan sebagai persiapan hadapi serangan lawan.
"Aku menangkap detak jantung yang lebih dari tujuh
orang, selain kita berdua. Detak jantung itu kudengarkan
berasal dari depan kita, kiri, kanan dan belakang kita.
Suaranya riuh gaduh, pertanda jumlah mereka lebih dari
tujuh orang."
"Kalau begitu bersiaplah! Jangan santai-santai saja!"
"Apakah kau melihat aku masih santai-santai saja"!
Lihat gayaku ini, hmmm... ini gaya orang yang siap
tempur!" ujar Suto agak konyol dengan memamerkan
gayanya yang sedikit merundukkan badan dan
menggenggam tali bumbung tuak kuat-kuat.
"Lihat lirikan mataku ini," ujarnya lagi bernada
konyol. "Hmmm... ini lirikan mata menangkap mangsa.
Terutama wanita...," sambil Suto memperagakan lirikanlirikan matanya yang
diterima Dewi Kun sebagai
kekonyolan tak lucu.
Sebelum Dewi Kun katakan sesuatu, tiba-tiba mereka
diserang dengan beberapa senjata rahasia yang meluncur
dari berbagal arah. Ziing, ziing, ziing, ziiing...!
"Awas!" seru Suto Sinting sambil lakukan satu
lompatan melambung ke atas melebihi ketinggian bendabenda terbang itu. Wuuut...!
Sementara Dewi Kun tetap
di tempat dan mengibaskan pedangnya dengan cepat ke
berbagai arah, bahkan sempat berputar dengan gerakan
seperti gangsing.
Wees...! Trang, tring, tring, trang, triiing...!
Jleeg...! Suto Sinting daratkan kaki ke tanah. Tepat
ketika itu senjata-senjata rahasia sudah tersingkirkan
oleh tebasan pedang Dewi Kun.
Suasana menjadi sepi kembali. Tak ada gerakan tak
ada suara. Mata Dewi Kun memandang liar dengan sikap
berjaga-jaga. Suto Sinting agak tenang sedikit walau
tetap melirik dengan jeli ke keadaan sekitarnya.
Sesaat kemudian, Dewi Kun berbisik kepada Suto.
"Pancing dengan pukulan jarak jauhmu!"
"Pukulanku tidak boleh jauh-jauh," kata Suto. "Kalau
jauh-jauh nanti nyasar!"
"Kau tidak bersungguh-sungguh menghadapi bahaya
ini!" geram Dewi Kun yang merasa mendapat jawaban
konyol. Akhirnya ia sendiri yang melakukan pukulan
jarak jauh. Tangan kirinya menyentak ke depan, dan dari telapak
tangan melesat sinar merah sebesar jari kelingking.
Claaap...! Blaaarr...!
Krraaaak... brruuk...!
Sebatang pohon tumbang dalam keadaan mengepulkan asap karena dihantam oleh sinar merah itu.
Clap, clap, clap...!
Blarr, blaar, blaar...!
Beberapa pohon menjadi rusak. Hancur dan tumbang
tak tentu arah. Tetapi satu pun tak ada suara pekikan
yang didengar mereka. Berarti pukulan-pukulan jarak
jauhnya Dewi Kun tidak kenai lawan yang bersembunyi.
Suasana menjadi hening kembali. Hanya suara
dedaunan yang gemerisik karena hembusan angin. Satu
suara batuk pun tak didengar oleh mereka. Pendekar
Mabuk kembali pergunakan jurus 'Lacak Jantung'-nya
yang tadi. "Lho..." Lho, kok begini"!" gumamnya pelan, namun
terdengar di telinga Dewi Kun.
"Ada apa lagi"!"
"Tak ada suara detak jantung satu pun, kecuali
jantungku dan jantungmu! Aneh..."!" Pendekar Mabuk
kerutkan dahi sambil bergeser memutar pelan-pelan.
"Mengapa jadi sepi sekali begini"! Tadi kudengar
banyak suara detak jantung dari berbagai arah. Sekarang
tak satu pun ada suara detak jantung selain detak jantung
kita. Apakah Jurus 'Lacak Jantung'-ku sudah rusak"!"
Setelah ditunggu sampai beberapa saat lamanya tak
muncul serangan lagi, Dewi Kun memutuskan untuk
lanjutkan langkah dan tidak perlu hiraukan serangan
mereka. Suto Sinting akhirnya sepakat untuk lanjutkan
perjalanan. Tapi baru saja mereka mendekati kuda hitam yang
tadi mereka tunggangi, tiba-tiba tiga benda mengkilap
melesat dari tiga arah. Zing, zing, zing...! Suto Sinting
yang lebih dulu dekat dengan kuda segera bersalto ke
belakang sambil berteriak cepat.
"Mundur!"
Dewi Kun yang belum memasukkan pedangnya ke
sarung pedang juga segera lakukan lompatan bersalto ke
belakang dengan lincahnya.
Wuk, wuk...! Jleeg...! Kini keduanya sama-sama berdiri tiga
langkah dari kuda hitam. Benda-benda yang melayang
cepat itu memang tidak mengenai kulit tubuh mereka.
Tetapi malang bagi sang kuda, benda-benda itu akhirnya
menancap di tubuh kuda hitam. Jrub, jrub, jruub...!
"Hieeeekhhh...!"
Kuda itu meringkik panjang bagai menjerit kesakitan.
Kaki depannya naik ke atas dan mengais-ngais.
Kemudian kuda itu segera roboh sambil kelojotan
membuat Dewi Kun dan Pendekar Mabuk sama-sama
tegang. Mereka saling beradu punggung dan bergerak
memutar sambil memandang penuh waspada.
Suasana jadi tenang kembali. Suara kuda pun sudah
tak ada karena kuda ttu sudah tak mau bernapas lagi
alias mati. Badan kuda tampak berasap tipis, luka akibat
ditembus senjata rahasia itu mengepulkan asap agak
tebal. Darah yang keluar dari luka berwarna hitam,
menandakan racun yang ada pada senjata rahasia itu
sangat ganas dan mematikan.
"Jahanam! Mereka membunuh si Keling!" ujar Dewi
Kun dengan geram kemarahan melihat kudanya yang
bernama si Keling mati secara mengenaskan.
"Agaknya mereka ingin mempermainkan kita!
Berjaga-jagalah di sini, aku akan mengelilingi tempat
ini!" Sebelum mendapat izin atau keputusan dari Dewi
Kun, Pendekar Mabuk sudah lebih dulu melesat
menggunakan jurus 'Gerak Siluman'.
Zlaaap, zlaap, zlaap...!
Dewi Kun bengong melihat gerakan Suto yang
kecepatannya menyamai kecepatan cahaya itu, ia tak
menyangka kalau Pendekar Mabuk mampu bergerak
secepat itu. Bahkah menurutnya kecepatan gerak
tersebut melebihi kecepatan setan lari terbirit-birit.
Suto mengelilingi tempat tersebut. Matanya
memandang dengan tajam dan teliti sekali. Namun
ternyata tak satu pun manusia yang ditemukan di sekitar
tempat itu. ia segera kembali temui Dewi Kun. Zlaaap...!
Namun alangkah kagetnya ketika ia menemukan
tempat itu telah kosong. Dewi Kun tidak ada di
tempatnya semula. Mata Suto memandang sekeliling
kembali, mencari gerakan Dewi Kun, tapi ia tetap tidak
menemukan gerakan apa-apa.
"Dewi Kun...! Dewi Kun...!" panggilnya sambil
bergerak memutar pelan-pelan.
"Kuuun...! Kuntilanak...!" teriaknya sengaja meledek
supaya Dewi Kun berang dan keluar dari suatu tempat.
Namun pancingan itu ternyata tidak membuat Dewi Kun
menampakkan diri dari suatu tempat. Hal itu membuat
Suto menjadi bingung dan curiga.
"Ke mana dia"! Apakah ditelan bumi" Hmmm...
sepertinya tak mungkin," sambil Suto memandangi tanah
tempatnya berpijak.
"Tak ada tanda-tanda tanah habis retak. Berarti Dewi
Kun tidak ditelan bumi. Lalu... ditelan siapa kalau
begitu"!"
Pendekar Mabuk berjalan mengelilingi tempat itu.
Tak terlalu jauh dari tempat bangkai kuda tergeletak dan
sekarang dalam keadaan menjadi lunak hampir
membusuk. Tapi yang tercium oleh Suto kala itu bukan
bau bangkai yang membusuk, melainkan bau wangi
cendana yang samar-samar. Pendekar Mabuk sempat
merinding dicekam ketegangan yang misterius sekali.
Untuk menghilangkan ketegangan itu, Pendekar Mabuk
terpaksa berteriak-teriak memanggil Dewi Kun kembali
"Dewi Kuuun...! Kuuun...! Kuntilanaaak...!"
Lalu hati pun membatin, "Wah, kalau yang keluar
benar-benar kuntilanak, repot aku!"
Setelah memeriksa sekeliling ternyata tidak ada Dewi
Kun, dan pedangnya pun tak ada, tetesan darah juga tak
ada, akhirnya Suto memutuskan untuk meninggalkan
tempat itu, kembali ke Kuil Perawan Ganas. Karena jika
ia teruskan langkah, ia tidak tahu arah Gunung Sambara
atau arah istana Lembah Girang.
Namun baru saja ia ingin bergerak pulang, tiba-tiba
melesatlah dua logam dari arah kanan-kirinya yang
menerjang ke tubuhnya. Ziiing, ziiing...!
Dengan merendahkan satu kaki ke belakang dan
mengibaskan bumbung tuaknya, dua benda melayang itu
berhasil ditangkis menggunakan bumbung tuak tersebut.
Trang, trang...! Suara benda membentur bambu tuak
seperti logam membentur bumbung besi. Bagi Suto itu
bukan hal aneh. Yang paling aneh adalah munculnya
senjata rahasia tadi. Gerakan mata Suto sempat
menangkap keluarnya benda berbahaya itu yang ternyata
dari dalam batang pohon.
"Benda itu tadi keluarnya bukan dari atas pohon,
melainkan dari dalam batang pohon"! Aneh sekali"!
Apakah aku salah lihat"!" gumamnya sambil berkerut
dahi dan pandangi salah satu pohon yang dilihatnya
mengeluarkan senjata rahasia beracun ganas itu. Lalu,
pohon tersebut dihampirinya dan diperiksa. Ternyata
pada salah satu sisinya tampak ada bekas lubang pipih
yang seukuran dengan lebarnya senjata rahasia tadi.
"Hmmm...! Dari lubang ini benda itu tadi muncul dan
menyerangku. Aneh sekali dan baru kali ini kutemukan
ada pohon bisa keluarkan senjata rahasia. Apakah di
dalamnya ada orang yang melemparkan senjata itu"!"
Rasa penasaran membuat Suto Sinting akhirnya
menghantam pohon itu dengan jurus 'Mabuk Lebur
Gunung', yaitu gerakan menggeloyor seperti mau jatuh
namun ternyata menyodokkan bumbung tuaknya ke
pohon tersebut. Wuuk, duuukh...!
Beewwrr...! Krraaak...!
Daun pohon itu rontok semua. Pohon itu sendiri
segera terbelah menjadi dua memanjang dari bawah ke
atas. Tapi di dalamnya ternyata tidak ada manusia siapa
pun. Akibat sodokan bambu tuak tadi, tubuh Suto
menjadi dihujani daun-daun yang berguguran. Akhirnya
ia menggerutu sendiri sambil menebah-nebah tubuhnya,
menyingkirkan daun-daun yang menghujaninya.
"Sialan! Tubuhku malah jadi seperti sarang burung
begini!" gurutunya dalam hati, tapi mata tetap waspada
memandang keadaan sekeliling.
"Ternyata tak ada orang di dalam batang pohon itu!
Tapi mengapa bisa keluarkan senjata rahasia"! Anehnya,
senjata itu bisa diarahkan tepat ke tubuhku. Kalau aku
tak segera lakukan tangkisan, nasibku bisa seperti kuda
si Keling itu!"
Pendekar Mabuk merasa menghadapi tantangan yang
aneh dan baru kali ini dialaminya, ia terpaksa memeriksa
pohon yang satunya lagi. Di pohon itu juga ada bekas
keluarnya senjata rahasia, ia memeriksa bagian
belakangnya, ternyata tak ada lubang tempat masuknya
senjata tersebut.
"Bagian sini rapat! Berarti senjata itu tidak
dilemparkan dari sisi sini dan menembus batang pohon!
Tapi memang keluar dari dalam batang pohon. Hmmm...
apakah pohon itu adalah pohon setan"! Bisa menyerang
orang yang tidak disukai dengan senjata rahasia seganas
itu"! Tapi jenis pohon ini dengan jenis pohon yang
kupecahkan tadi berbeda. Kenapa bisa sama-sama
keluarkan senjata rahasia" Ah, kurasa ada sesuatu yang
tak beres di tempat ini!" ucapnya membatin sambil
bergidik merinding.
Tiba-tiba kesunyian itu dipecahkan oleh suara jeritan


Pendekar Mabuk 082 Kuil Perawan Ganas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang melengking panjang dan berasal dari kejauhan.
"Aaaaa...!"
"Apa lagi itu"!" gumamnya dalam hati sambil mata
memandang arah datangnya jeritan. "Jangan-jangan
Dewi Kun"!"
Pendekar Mabuk pun bergegas melesat ke arah
datangnya jeritan tadi. Dengan menerabas semak ia
berkelebat cepat menggunakan jurus 'Gerak Siluman'.
Dalam waktu singkat ia tiba di suatu tempat yang
berpohon renggang. Di sana ia temukan seseorang
sedang kelojotan dalam keadaan tubuhnya berlubang
pipih. Ada tiga tempat yang mengalami luka seperti
ditancap oleh senjata rahasia, yaitu ba gian ulu hati, leher
dan tengah dahi.
Ketika Suto mendekati orang itu, nyawa orang itu
terburu-buru pergi sehingga orang tersebut tak bisa
diajak bicara. Orang itu adalah seorang lelaki gemuk,
brewokan, berkulit gelap, dan berwajah sangar. Ketika
menghembuskan napas terakhir, matanya terbuka lebar
dan tak mau terpejam lagi selamanya. Suto merasa ngeri
memandang wajah mayat yang mulutnya terbuka dan
lidahnya terjulur itu.
"Gila! Senjata rahasia itu terbenam habis ke dalam
tubuhnya!'' ujarnya membatin sambil tinggalkan mayat
berpakaian serba hitam yang mengenakan ikat kepala
merah itu. Kemudian ia memandangi semak-semak dan
pohon di sekitar tempat itu. Ternyata tak ada satu pun
manusia yang terlihat bersembunyi di semak ataupun
pohon tersebut.
Suasana menjadi lengang kembali. Sepi tanpa suara
dan gerakan mencurigakan. Hanya gemerisik dedaunan
yang terdengar karena hembusan angin. Namun
hembusan angin itu juga menyebarkan aroma cendana
yang lebih jelas lagi dari saat berada di dekat bangkai
kuda. Wangi cendana itu membuat Suto Sinting
merinding, bulu kuduknya jadi berdiri, ia seperti
terancam bahaya yang mengelilinginya. Bahkan ia
merasa nyawanya tinggal seujung jarum lagi.
* * * E-book by: paulustjing
Email: paulustjing@yahoo.com
8 SEKELEBAT bayangan kali ini terlihat melintasi
pepohonan bambu hijau yang tumbuh lurus-lurus.
Bayangan orang berlari menjauhi tempat itu tampak
mengenakan pakaian merah. Pendekar Mabuk langsung
teringat rompi dan celana mini Dewi Kun yang juga
berwarna merah.
"Tak salah lagi, pasti dialah orangnya!" pikir Suto. Ia
pun berseru memanggil, "Dewi Kun...! Hei, tunggu...!"
Zlaaaap...! Zlaaap...!
Pengejaran dilakukan dengan gunakan jurus 'Gerak
Siluman'. Tapi pengejaran pun segera dihentikan ketika
di sisi lain tampak sekelebat bayangan berlari searah
dengan gerakan Suto. Bayangan itu berada di sebelah
kirinya, sehingga Suto menjadi bingung. Mana yang
harus diburunya; bayangan merah atau bayangan hitam
yang di sebelah kirinya"
"Orang berbaju merah tadi yang harus kukejar lebih
dulu, karena aku yakin dia adalah Dewi Kun!"
Zlaaap...! Zlaaap...!
Dari sela-sela rumpun bambu yang tumbuh secara
renggang itu, Pendekar Mabuk nyaris kehilangan jejak
bayangan merah yang dikejarnya. Setitik warna merah
yang bergerak menjauhinya masih tertangkap oleh
pandangan mata. Tetapi mendadak muncul bayangan
lain di sebelah kanannya yang bergerak cepat bagaikan
angin. Bayangan berwarna biru itu melesat cepat searah
dengan pelarian bayangan merah juga. Ia menelusup di
antara sela-sela batang bambu yang tumbuh lurus dan
berjarak renggang. Wes, wes, wes...!
"Ada tiga bayangan yang bergerak searah"! Jarak
mereka memang saling berjauhan, tapi mengapa
gerakannya searah" Siapa yang dikejar dan yang
mengejar sebenarnya"!"
gumam Suto dalam kebingungan. Tetapi kejap berikutnya Pendekar Mabuk dikejutkan
oleh munculnya cahaya kuning yang melompat dari
pohon bambu ke pohon bambu lainnya. Cahaya kuning
itu meluncur cepat dalam ketinggian yang sukar
dijangkau. Laaap, laaap, laaap...!
Di samping gerakannya sangat cepat, perpindahan
tempatnya tidak beraturan. Kadang lurus, kadang ke kiri,
kadang nyelonong ke kanan. Bayangan memancarkan
cahaya kuning itu berbentuk seperti gumpalan asap,
namun tidak mengepul dan tidak buyar. Bahkan
cenderung seperti benda padat yang dilapisi cahaya
kuning seluruhnya. Dari tempat Suto berdiri, cahaya
kuning itu berukuran sebesar buah nangka.
"Sial! Makin bingung saja aku dibuatnya. Mana yang
harus kukejar atau kuikuti gerakannya"! Tapi cahaya
kuning itu juga menarik perhatian dan membuatku
penasaran. Apa sebenarnya cahaya kuning itu?"
Akhirnya Suto memutuskan untuk mengejar cahaya
kuning itu. Tapi gerakan cahaya kuning lebih cepat dari
gerakan bayangan lainnya. Pendekar Mabuk terpaksa
kerahkan tenaga untuk menyusul cahaya kuning dan jika
memungkinkan ingin menangkap atau melumpuhkan
cahaya kuning tersebut. Sambil berlari cepat Suto selalu
mendongak ke atas mengikuti gerakan cahaya kuning
yang berpindah tempat dengan arah membingungkan.
Tak disadari ternyata dirinya sampai di sebuah
gundukan tanah cadas yang menyerupai bukit rendah.
Gundukan tanah cadas itu mempunyai permukaan tak
rata karena banyak bebatuan yang bertonjolan dan
membentuk sekat-sekat sempit. Pendekar Mabuk
akhirnya berhenti di balik bebatuan pipih yang mirip
lempengan dinding itu.
Dari atas gundukan tanah cadas itu, mata Suto dapat
melihat sesosok tubuh berpakaian hitam yang berdiri di
tengah tanah datar dikelilingi pohon bambu yang
tumbuh lurus dan renggang itu. Orang berpakaian hitam
yang tadi terlihat bergerak cepat di samping kiri Suto
ternyata seorang lelaki berkumis lebat dengan ikat
kepala dari kain batik berbentuk runcing ke atas.
Menurut penjelasan Dewi Kun, bentuk ikat kepala yang
runcing ke atas itu adalah ciri orang-orang Lereng
Hitam. "Kurasa dia memang orang Lereng Hitam yang
sedang dikejar orang Bukit Sulang. Mungkinkah
bayangan biru tadi adalah orang Bukit Sulang"!"
Pendekar Mabuk masih memperhatikan dari satu
celah di antara dua batu pipih. Orang berpakaian hitam
itu tampak kebingungan dan berwajah tegang.
Senjatanya yang berupa kampak digenggam dengan
tangan kanan, sementara tangan kirinya merentang bagai
menghadang gerakan lawan.
Tiba-tiba mata Suto menangkap gerakan halus yang
ada di atas salah satu pohon bambu hijau itu. Gerakan
halus tersebut ternyata adalah cahaya kuning yang
berkilauan bagaikan emas menggantung di batang pohon
bambu. Karena pancaran sinarnya menyilaukan, maka
Suto Sinting terpaksa mengecilkan pupil matanya untuk
menangkap bentuk di balik cahaya kuning menyilaukan
itu. Tetapi sebelum matanya berhasil menangkap bentuk
asli cahaya kuning menyilaukan itu, tiba-tiba
pandangannya harus berpindah ke arah lain. Di sana
muncul seorang berpakaian serba biru yang berambut
panjang dan berkumis serta brewokan. Orang itu
menggenggam sebilah pedang besar dan bersikap
menghadang orang berpakaian hitam.
"Oh, itu tadi orang yang berlari di sebelah kananku"!
Hmmm... dilihat dari sikapnya dalam berhadapan
dengan orang berpakaian hitam, tampaknya mereka
bermusuhan. Tapi sebaiknya kutunggu saja di sini apa
yang terjadi di antara mereka berdua."
Jarak Suto dengan kedua orang itu tak seberapa jauh,
sehingga percakapan mereka dapat didengar dari celah
dua batu pipih itu. Yang berpakaian biru berseru lebih
dulu dengan nada berang.
"Ke mana pun kau bersembunyi dan melarikan diri,
tetap saja akan bertemu denganku, Sargulo!"
"Jangan salah duga, Bawoka! Aku bukan lari dari
tantanganmu! Ada sesuatu yang lebih ganas dari orangorang Bukit Sulang
sepertimu, Bawoka!"
"Kau hanya beralasan untuk hindari hutang
nyawamu, Sargulo! Kau harus menebus kematian
kakakku; si Gembongsuro yang pasti telah kau bunuh
secara licik! Tiga lubang kutemukan di tubuh kakakku;
Gembongsuro. Satu di ulu hati, satu di leher dan satu
lagi di Jengah kening. Kau pasti melepaskan senjata
rahasia secara sembunyi-sembunyi. Jika tidak, tak
mungkin Gembongsuro tewas di tanganmu!"
"Aku tidak membunuh Gembongsuro!" bentak si baju
hitam yang bernama Sargulo itu. "Kalau aku bisa
membunuh Gembongsuro, mengapa aku harus lari.
Justru itu merupakan kebanggaanku! Jika aku bisa
membunuhnya, mengapa aku harus takut padamu!
Bukankah aku akan lebih mudah membunuh adiknya
daripada si Gembongsuro sendiri"!"
"Jangan banyak bacot! Hadapi saja pembalasanku
ini...!" Bawoka baru mau bergerak mengangkat pedang
besarnya, tiba-tiba Suto melihat dari dalam sebatang
pohon bambu keluar cahaya putih yang ternyata adalah
sekeping logam berbentuk kelopak bunga yang
merupakan senjata rahasia beracun mematikan itu.
Ziiiing...! Gerakan itu dapat dilihat Suto dengan jelas, karena
pada waktu itu kebetulan Suto sedang menatap gerakan
bayangan merah yang bersembunyi di balik tiga pohon
bambu yang tumbuh merapat. Di depan tiga pohon
bambu itu ada sebatang pohon bambu pula yang tumbuh
lurus sendirian, dan dari pohon bambu itulah senjata
rahasia itu melesat menghantam tengkuk kepala
Bawoka. Jraaab...! "Aaaakh...!" Bawoka mendelik dengan tubuh kejang.
Ia masih memaksakan diri untuk melangkah dekati
Sargulo, tetapi baru dua langkah sudah roboh dalam
keadaan tak bernyawa lagi. Dari luka di tengkuknya
mengalir darah hitam seperti yang dialami nasib kuda si
Keling itu. Sargulo justru terbengong di tempat melihat kematian
lawannya yang tak diduga-duga itu. Wajah tegang lelaki
bertubuh besar itu membuat Suto Sinting memperhatikan
dengan tegang pula. Sekejap kemudian mata Suto
berpindah ke bayangan merah yang bersembunyi di
balik tiga bambu yang tumbuh merapat itu.
Namun pandangan itu segera terhenti pada sebatang
bambu yang tumbuh lurus sendirian dalam jarak tak jauh
dari persembunyian si bayangan merah.
Pandangan Suto tertuju di bagian atas bambu
tersebut. Ternyata di sana telah bertengger cahaya
kuning yang sekarang tidak menyilaukan lagi. Cahaya
itu meredup dan sosok wujud di balik cahaya itu
menampakkan diri. Pendekar Mabuk terkejut sekali
melihat bocah kecil berkepala gundul tapi berkulit
kuning keemasan sedang berdiri di salah satu ranting
kecil dari pohon bambu itu. Tanpa ilmu peringan tubuh,
ranting itu pasti akan patah ditumpangi tubuh bocah
tersebut. Suto sempat terbengong melompong melihat
bocah kecil telanjang dada hanya mengenakan celana
model cawat berwarna kuning keemasan pula.
"Bocah Emas..."!" pekik hati Suto begitu menyadari
apa yang dipandangnya sejak tadi.
Bocah yang tingginya hanya seukuran tinggi pinggul
Suto sedang bertolak pinggang memandangi Sargulo.
Dan tiba-tiba pandangan matanya beralih pada sebatang
pohon bambu yang tumbuh di samping kiri Sargulo.
Tangan bocah itu menuding ke arah pohon bambu, lalu
bergerak cepat menuding Sargulo. Pada saat itu juga
Suto Sinting melihat sekeping senjata rahasia keluar dari
dalam pohon bambu dan menyerang Sargulo. Ziiiing...!
"O, rupanya dia yang mengeluarkan senjata rahasia
dari batang-batang pohon melalui kekuatan gaibnya.
Mungkin dengan cara memandangi pohon itu, sudah
dapat keluarkan pisau dari pohon tersebut!" gumam Suto
Sinting dengan nada kaget. "Dan rupanya dia pula yang
sejak tadi menyebarkan bau wangi cendana. Terbukti
bau cendana sekarang semakin tajam dan semerbak
kuat." Tapi pada saat itu Sargulo cepat tanggap akan
datangnya bahaya dari sisi kirinya. Kampaknya segera
berkelebat ke kiri dengan tubuh bergerak setengah
putaran. Wuuuut, trrriing...!
Senjata rahasia itu berhasil dihalau oleh kampak
Sargulo dan mental entah ke mana. Namun bocah di atas
pohon bambu itu menuding pohon lainnya, dam dari
pohon itu melesat kembali sekeping logam berkilat yang
mengarah ke punggung Sargulo. Ziiiing...!
Sargulo merasakan ada angin cepat mengarah ke
punggungnya. Dengan gerakan mengibaskan kapak
setengah lingkaran, senjata rahasia itu berhasil terhadang


Pendekar Mabuk 082 Kuil Perawan Ganas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

oleh mata kapak tersebut. Wuuuuuut, trriiing...! Pluk...!
Senjata rahasia itu jatuh di depan kaki Sargulo.
Dua kali Sargulo berhasil lolos dari serangan maut
yang sungguh aneh itu. Tetapi kali ini Bocah Emas itu
melayang cepat dari atas pohon bambu dan menerjang
Sargulo dari depan. Wees...! Bocah itu berkelebat dalam
bentuk cahaya merah dan dalam sekejap terdengarlah
suara pekikan suara Sargulo yang kesakitan.
"Uaaaakhh...!"
Jleeeg...! Bocah itu berdiri di atas batu setinggi betis.
Tubuhnya sudah tidak bercahaya lagi. Matanya yang
bundar kecil itu memandang ke arah Sargulo yang
mengerang kesakitan. Suto Sinting membelalakkan mata
juga melihat tangan Sargulo yang tadi memeganggi
kapak telah robek bagai tercabik-cabik dari batas siku
sampai telapak tangan. Kapak pun jatuh depan kaki
Sargulo. Tapi yang membuat Suto heran, tangan Sargulo
seperti habis dicakar-cakar oleh kuku binatang buas
sejenis beruang atau singa. Padahal Suto melihat sendiri
bahwa tangan itu tadi hanya disambar oleh cahaya
kuning dari Bocah Emas itu.
"Berarti mayat-mayat yang kutemukan mati dalam
keadaan tercabik-cabik itu adalah orang yang dibunuh
oleh Bocah Emas itu sendiri"! Oooh... alangkah
ganasnya si Bocah Emas itu"!" pikir Suto Sinting.
Sargulo terkejut mengetahui penyerangnya si Bocah
Emas. Ia ragu-ragu untuk membalas serangan bocah itu,
karena tentunya Sargulo tahu keistimewaan Bocah Emas
tersebut. Tetapi begitu tangannya yang terluka parah
dirasakan sangat sakit, Sargulo menggeram dan
bermaksud menerkam bocah itu dengan satu lompatan
bagai seekor singa memburu mangsanya.
"Haaaahhrr...!"
Bocah Emas itu tiba-tiba juga melesat maju dengan
kecepatan tinggi. Weess...! Ia sengaja menabrakkan diri
ke dada Sargulo. Bruuuss...! Plooss...!
Pendekar Mabuk terbelalak kaget, ia menyaksikan
dengan jelas tubuh bocah itu menembus dada Sargulo
hingga dada itu jebol dan Sargulo pun tumbang tanpa
nyawa setelah berkelejot sesaat. Bocah itu berdiri
memunggungi Sargulo tanpa bekas darah. Namun di
tangannya telah menggenggam sesuatu yang merah, dan
sesuatu yang merah itu ternyata adalah jantung Sargulo.
"Gila..."!" Pendekar Mabuk menggumam lirih dengan
tegang, bulu kuduknya pun merinding dan jantungnya
berdebar-debar.
Bocah Emas itu berpaling memandang mayat Sargulo
dengan sorot pandangan mata dingin. Jantung itu segera
dimakannya, dikunyah seenaknya seakan menikmati
hidangan yang lezat. Pendekar Mabuk semakin
merinding menyaksikan adegan itu.
"Ternyata bocah itu iblis yang ganas! Mengapa Ratu
Remaslega ingin memiliki bocah itu" Oh, kasihan Elang
Samudera jika tidak tertahan di Kuil Perawan Ganas.
Nasibnya pasti akan serupa dengan Sargulo dan yang
lainnya," ujar Suto membatin.
Saat memakan jantung Sargulo, mulut bocah itu
berlumuran darah. Tetapi darah tersebut cepat hilang
bagai terserap ke dalam kulit kuningnya itu atau
menguap diserap angin. Dalam sekejap bocah itu bersih
kembali tanpa noda darah setetes pun.
"Apa yang harus kulakukan jika begini"!" pikir Suto
Sinting. Selagi ia berpikir dalam kebingungannya, tiba-tiba ia
melihat sekelebat bayangan merah yang sejak tadi
bersembunyi di balik tiga pohon bambu yang tumbuh
merapat itu keluar dari persembunyiannya. Ternyata
orang tersebut memang Dewi Kun. Perempuan itu
mendekati Bocah Emas dari arah belakang.
Pendekar Mabuk menjadi tegang sekali. "Wah, mati
kau, Dewi!" gumamnya tanpa suara.
Pendekar Mabuk cepat-cepat keluar dari persembunyiannya. Namun Bocah Emas ternyata telah
berbalik lebih dulu menghadapi Dewi Kun. Dari gerakan
tangannya yang sedikit merenggang, Suto dapat
menduga apa yang akan dilakukan Bocah Emas itu. Pasti
akan menerjang tubuh Dewi Kun seperti yang dilakukan
terhadap Sargulo tadi.
Pendekar Mabuk mendahului bergerak dengan jurus
'Gerak Siluman'-nya. Zlaaapp...!
Tepat saat itu si Bocah Emas juga lakukan lompatan
menerjang Dewi Kun. Weess...!
Tapi Pendekar Mabuk lebih cepat sampai di tempat
dan menyambar tubuh Dewi Kun dengan cepat.
Wuuut...! Craaas...!
"Aaaakh...!" Dewi Kun memekik. Bocah Emas
memang tertambat menerjang Dewi Kun, tapi angin
terjangannya bagai menyebarkan serbuk beling yang
tajam dan merobek lengan Dewi Kun yang tak terhalang
tubuh Suto. Zlaaap, zlaaap...! Suto Sinting membawanya
menjauhi tempat itu, yakni ke atas gundukan tanah cadas
tempatnya bersembunyi tadi.
"Lepaskan aku! Aku harus menangkap Bocah Emas
itu!" Dewi Kun meronta dengan suara keras.
"Kau akan mati jika mendekati bocah itu! Apa kau
tak tahu keganasan bocah itu"!" bentak Suto Sinting.
"Dia bisa dibujuk! Dia tidak akan ganas terhadap
orang yang bersikap baik kepadanya!"
"Lihat lukamu! Ini menandakan dia tak bisa diajak
ramah oleh siapa pun!"
"Ini karena kau datang mengejutkan dirinya dan
membuatnya liar!" sentak Dewi Kun sambil meronta dan
berhasil melepaskan diri dari genggaman tangan Suto. Ia
segera keluar dari balik bebatuan pipih itu. Pendekar
Mabuk mengejarnya sambil berseru mengingatkan sekali
lagi. "Dewi Kun, lukamu beracun ganas! Tinggalkan
bocah itu!"
Dewi Kun baru saja mau menuruni gundukan cadas
yang membukit, tapi langkahnya ternyata sudah
dihadang oleh si Bocah Emas yang memandang dengan
sorot mata sedingin salju.
"Hai, Bocah Emas...," Dewi Kun mencoba bersikap
ramah dan tersenyum kaku. Pendekar Mabuk terpaksa
hentikan gerakannya dan ingin melihat sejauh mana
Dewi Kun bisa membujuk bocah itu.
"Jangan marah kepadaku, Bocah Emas. Aku bukan
orang Lereng Hitam atau orang Bukit Sulang. Aku
adalah orang Kuil Perawan Ganas. Aku tidak
bermusuhan denganmu, Bocah Emas," seraya Dewi Kun
melangkah setapak demi setapak.
"Kau ingin menangkapku juga, Iblis Betina!" seru
Bocah Emas dengan suara kecilnya yang lengking.
"Oh, tidak begitu, Bocah Emas. Aku hanya akan
merawatmu. Aku ingin mengangkatmu sebagai anak
asuh. Mari, dekatlah padaku dan jangan memusuhiku,
Bocah Emas," bujuk Dewi Kun sambil terus mendekati
si Bocah Emas. "Kau Dewi Kun, salah satu dari tiga gadis kembar
penghuni Kuil Perawan Ganas!" seru Bocah Emas.
"Ya, benar. Aku Dewi Kun! Kita pulang ke kuil,
yuk"!"
"Kau perempuan busuk! Kerjamu hanya mencari
kepuasan dari seorang lelaki!"
Dewi Kun kaget, melirik Suto yang ada di
belakangnya. Ia tampak malu ketika Suto sunggingkan
senyum tipis. "Jangan berkata begitu, Bocah Emas. Sebaiknya
lupakan saja tentang itu dan mari kita hidup bersama di
dalam kuil yang akan membuatmu aman dari gangguan
siapa pun!"
"Kau penentang kekuasaan Ratu Lembah Girang!
Kau ingin memelihara diriku untuk menyerang Ratu
Lembah Girang dan merebut kekuasaan di sana! Kau
pun harus mati, Dewi Kun!"
"Bocah Emas, kau salah duga. Aku...."
Weeess...! Bocah Emas itu bagai tak sabar menunggu
ucapan Dewi Kun. Ia langsung melompat dan menerjang
bagian dada Dewi Kun.
Tetapi Suto Sinting sangat waspada. Ketika kedua
tangan bocah itu sedikit merenggang pertanda ingin
lakukan lompatan, Suto segera berkelebat menyambar
tubuh Dewi Kun.
Zlaaap...! Wuuut...!
"Aaaakh...!" Suto Sinting dan Dewi Kun sama-sama
terpekik keras. Angin terjangan itu bagaikan serat-serat
mata pisau yang merobek kulit tubuh mereka.
"Gila! Kekuatan iblis macam apa ini"!"
Punggung Suto robek bagai disabet kuku-kuku
setajam pisau, sedangkan pundak Dewi Kun semakin
koyak dan menyemburkan darah ke atas pertanda
robekan itu sangat dalam.
Suto meletakkan Dewi Kun yang kehilangan tenaga
karena rasa sakit begitu tinggi.
"Sutooo... selamatkan ak... aku...."
"Bertahanlah! Ini kesalahanmu sendiri!" ujar Suto
dengan suara berat karena sambil menahan sakit.
"Seandainya kau tidak pergi meninggalkan aku, kita
dapat selalu berunding dalam menentukan langkah
selanjutnya!"
"Maa... maafkan aku. Aku pergi saat... saat kau
memeriksa keadaan tempat si Keling mati tadi, kar...
karena... karena aku melihat Gembongsuro melarikan
diri. Tap... tapi ternyata Gembongsuro mati tanpa
kuketahui siapa pembunuhnya dan... dan aku segera
melarikan diri lagi begitu melihat cahaya emas di atas
pohon... ooouh, sakit sekali sekujur tubuhku, Suto. Ak...
aku tak kuat...!"
"Bertahanlah! Minumlah tuak ini, dan...," Suto
Sinting hentikan ucapannya, ia tak jadi meminumkan
tuak ke mulut Dewi Kun. Karena pada saat itu, Bocah
Emas terbang dengan cepat ke arah Pendekar Mabuk.
Dengan menahan rasa sakit di punggung, Suto segera
menghantamkan bumbung tuaknya ke arah Bocah Emas
itu. Wuuuut...! Blaaarrr...!
Ledakan keras terjadi ketika tubuh Bocah Emas itu
dihantam dengan bumbung tuak. Pendekar Mabuk
terpental ke belakang dan terguling-guling. Dadanya
terasa sakit bagaikan dihantam palu godam, ia
memuntahkan darah kental dari mulutnya. Sedangkan
Bocah Emas itu juga terpental jauh dan terjepit di selasela dua dari tiga pohon
bambu yang tumbuh merapat
itu. "Eaaaakh...!"
Bocah Emas berseru menyeramkan, ia sedang
merentangkan dua pohon bambu itu untuk bisa loloskan
diri. Pendekar Mabuk tak mau ambil risiko terlalu
berbahaya, ia segera menyambar tubuh Dewi Kun dan
membawanya lari pulang ke Kuil Perawan Ganas.
Zlaaap, zlaap, zlaaap...!
Luka Dewi Kun telah menjadi hitam, terutama luka di
lengannya. Dewi Kun dalam keadaan tak sadar.
Wajahnya pucat bagaikan mayat. Sementara itu, tenaga
Suto sendiri makin lama semakin berkurang.
Gerakannya mulai lemah dan lamban. Padahal di
belakangnya, si Bocah Emas tampak sedang lakukan
pengejaran dalam bentuk cahaya emas.
Berhasilkah Suto meloloskan diri dari pengejaran si
Bocah Emas itu" Haruskah ia dan Elang Samudera tetap
berusaha menangkap Bocah Emas dan diserahkan
kepada Ratu Remaslega"
Bocah Emas akan semakin mengganas dalam episode
mendatang: "Bocah Titisan Iblis". Tentu saja lebih seru,
lebih menegangkan dan... so pasti lebih panas lagi dong!
SELESAI PENDEKAR MABUK Segera terbit!!!
BOCAH TITISAN IBLIS
E-book by: paulustjing
Email: paulustjing@yahoo.com
Pedang Pelangi 9 Joko Sableng Tabir Asmara Hitam Golok Halilintar 13
^