Pencarian

Bocah Titisan Iblis 1

Pendekar Mabuk 083 Bocah Titisan Iblis Bagian 1


Serial : Pendekar Mabuk
Judul : 14. Bocah Titisan Iblis
Pengarang : "
Penerbit : "
E-book : paulustjing
1 MURID sinting si Gila Tuak sengaja berdiri
bersandar pohon rindang di depan bangunan batu
yang dinamakan Kuil Perawan Ganas itu. Dengan
bumbung tuak menggantung di pundak, pemuda
tampan berambut lurus sepundak tanpa ikat kepala
itu memandang ke arah lembah di kejauhan sana.
Kedua tangannya bersidekap di dadanya yang
bidang dan kekar. Pandangan matanya lurus tak
berkedip bagai menerawang sesuatu yang
mengganggu benaknya selama ini.
Apa yang dipikirkan oleh pendekar muda
bercelana putih kusam dan berbaju coklat tanpa
lengan itu, tentunya adalah sesuatu peristiwa yang belum lama ini dialaminya.
Peristiwa itu termasuk
peristiwa ajaib, misterius dan sekaligus
menjengkelkan hatinya.
"Bertarung dengan tokoh sesakti apa pun sudah pernah," pikir Pendekar Mabuk yang
bernama Suto Sinting itu. "Bertarung melawan orang sebesar apa pun sudah pernah.
Dan aku selalu unggul. Tapi kali ini lawanku adalah anak kecil. Kecil sekali.
Sudah kecil, eeh. . bikin aku lari terbirit-birit, lagi! Ya, ampuuuun. .! Masa seorang
pendekar kondang
melawan anak kecil sampai lari terbirit-birit, ini kan keterlaluan namanya"!"
Rupanya wajah tampan itu murung karena
penyesalan yang menggerogoti hatinya sejak empat
hari yang lalu. Penyesalan atas langkah pelariannya dalam melawan bocah kecil
yang usianya sekitar
kurang dari lima tahun ternyata mengganggu
jiwanya. Ia menjadi resah, bimbang, jengkel sendiri, gemas, dan macam-macam lagi
perasaan yang beraduk-aduk dalam hati Suto sampai merasa mual
merasakan campur aduknya rasa tersebut.
Sejak empat hari yang lalu, bayangan bocah kecil
berkulit kuning keemasan dengan kepala gundul dan
tubuh sedikit gemuk selalu muncul dalam
ingatannya Bocah bermata bundar kecil itu tidak
mengenakan baju melainkan hanya mengenakan
celana semacam cawat yang berwarna keemasan.
Tak heran jika ia dikenal oleh para tokoh silat
khususnya di Pulau Swaladipa sebagai Bocah Emas.
"Kelihatannya bocah itu menyedihkan, tak tega untuk mencubitnya, apalagi
memukulnya sampai
terluka. Bocah itu tampak mengiba hatiku saat ia
memandang ke arahku. Tapi ternyata keganasannya
melebihi iblis yang haus darah. Hampir saja aku mati di tangannya seperti para
korban yang kutemukan
tergeletak dalam keadaan tercabik-cabik itu!" ujar Suto dalam hatinya sambil
terbayang beberapa
korban yang bergelimpangan dalam keadaan
tercabik-cabik mengerikan itu.
Anehnya Elang Samudera tak percaya kalau
Bocah Emas yang ingin ditangkap dan diserahkan
kepada Ratu Remaslega itu adalah bocah yang
ganas dan sangat berbahaya bagi keselamatan jiwa
manusia yang ingin memeliharanya. Elang
Samudera membantah keras saat Suto Sinting
ceritakan pertarungannya dengan si Bocah Emas.
"Kau tak perlu mengada-ada, Suto. Katakan saja kalau kau tak mampu menangkap
bocah itu karena
ada tokoh sakti berilmu tinggi yang menghalangi
langkahmu! Jangan pakai alasan yang tidak masuk
akal, Suto!"
Bantahan Elang Samudera membuat Pendekar
Mabuk hanya menarik napas dan tak bisa berkata
apa-apa lagi. Sayangnya lagi, saksi mata yang saat itu bersama Suto dalam
keadaan pingsan sampai
empat hari belum sadar. Saksi mata itu adalah
Ketua Kuil Perawan Ganas yang bernama Dewi Kun,
yaitu kakak tertua dari tiga gadis kembar: Dewi Mul, Dewi Sun, dan Dewi Kun
sendiri. "Memang aneh sekali dan sukar dijelaskan,"
ujarnya dalam hati. "Aku sendiri sempat terluka di bagian punggung. Tapi dengan
meminum tuak, lukaku bisa sembuh dan tidak membekas sama
sekali. Seandainya Dewi Kun bisa meminum tuak
dari bumbung saktiku ini, pasti sekarang dia sudah sembuh dan lukanya tidak
meninggalkan bekas
sedikit pun. Ia tak akan pingsan sampai empat hari begini!"
Dalam kisah yang lalu diceritakan, bahwa Elang
Samudera ditugaskan oleh Ratu Remaslega untuk
mengambil Bocah Emas dari Gunung Sambara.
Gunung itu ada di Pulau Swaladipa. Elang Samudera
dibantu oleh Pendekar Mabuk dalam menjalankan
tugas tersebut. Tapi kedua pemuda tampan itu
tertawan oleh sekelompok perempuan yang
menguasai sebuah wilayah yang bernama Kuil
Perawan Ganas. Dewi Kun, ketua kuil tersebut, ternyata juga
menginginkan Bocah Emas itu yang menurut
kepercayaan mereka dapat membawa
keberuntungan sendiri, terutama dalam
kekuasaannya yang sukar ditumbangkan oleh siapa
pun. Sedangkan menurut keterangan Dewi Kun,
Bocah Emas itu dalam penjagaan Ratu Lembah
Girang karena Gunung Sambara masuk dalam
wilayah kekuasaan Ratu Lembah Girang.
Untuk mewujudkan keinginannya itu, Dewi Kun
menyandera Elang Samudera sementara Suto akan
dijual kepada Ratu Lembah Girang yang doyan
kemesraan pemuda setampan Suto. Dengan
harapan, pendekatan Suto kepada sang Ratu dapat
membuat sang Ratu akhirnya menyerahkan atau
mengizinkan Bocah Emas dibawa oleh Suto. Bocah
Emas itulah yang nantinya harus diserahkan kepada
Dewi Kun dan ditukar dengan Elang Samudera. Tapi
diam-diam Suto dan Elang Samudera telah
mengatur siasat sendiri untuk rencana tersebut.
Dewi Kun pergi mengantarkan Suto ke Istana
Lembah Girang. Tapi di perjalanan mereka
memergoki si Bocah Emas sendiri yang menyerang
orang Bukit Sulang dan orang-orang Lembah Hitam
dengan ganas serta keji. Dewi Kun penasaran dan
ingin membujuk si Bocah Emas, tapi justru diserang dan terluka di bagian pundak
dan lengannya. Suto
yang menyelamatkan Dewi Kun juga kena getahnya.
la terluka di bagian punggungnya. Luka itu ternyata beracun ganas dan berbahaya.
Suto terpaksa melarikan Dewi Kun pulang ke Kuil Perawan Ganas.
Tetapi saat itu Bocah Emas tampak penasaran dan
masih mengejar Suto, (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode : "Kuil Perawan Ganas").
Setibanya di kuli, Pendekar Mabuk yang sudah
kehilangan banyak tenaga itu bisa mengobati
lukanya dan mengembalikan tenaganya dengan
meminum tuak saktinya itu. Tetapi Dewi Kun masih
tetap pingsan dan tak bisa menelan tuak, karena
mulutnya rapat dan giginya menggegat sukar
dibuka. Akibatnya Dewi Kun terkapar tak sadarkan
diri sampai hari keempat. Tabib andalannya yang
bernama Tabib Sumpah Mada itu tidak mampu
mengobati luka cabikan yang diderita Ratu Kun.
"Kalau sampai nyawa kakakku tidak tertolong,
nyawamu harus siap sebagai gantinya!" ujar Dewi Sun mengancam Suto, karena
memang perempuan
cantik berambut keriting halus itu sudah mempunyai bibit-bibit permusuhan dengan
Suto akibat Suto
dianggap tidak mau memberi kepuasan batin
kepadanya. Tetapi agaknya Tabib Sumpah Mada
kurang setuju jika dalam hal ini, Suto dituding
sebagai pihak yang bersalah dan yang harus
bertanggung jawab. Secara diam-diam, perempuan
berwajah anggun dan bijak itu berkata kepada Suto
dengan suara pelan.
"Akan kuusahakan Dewi Kun selamat walau aku
tak tahu berapa lama ia harus tak sadarkan diri
begini. Kau tak perlu cemas, Pendekar Mabuk. Aku
pernah mengobati racun seperti ini, dan memang
membutuhkan waktu cukup lama. Jika tak hati-hati
memang bisa membuat nyawa korban melayang."
"Terima kasih atas sikap baikmu, Tabib Sumpah Mada," ujar Suto penuh hormat
kepada sang Tabib.
Memang selama ini hanya Tabib Sumpah Mada
yang bersikap ramah dan bijak kepada Suto Sinting
dan Elang Samudera. Perempuan yang seperti masih
berusia tiga puluh tahun walau sebenarnya sudah
berusia banyak itu tampak masih cantik, anggun dan bijaksana. Sikapnya selalu
kalem dan tegang.
Sekalipun begitu, mempunyai ketegasan sendiri
dalam mengambil sikap Tabib Sumpah Mada tidak
seperti perempuan kuil lainnya yang ganas terhadap lelaki dan cara memandang
seorang lelaki tidak
berkesan jalang seperti yang lain.
Tabib cantik berambut sanggul yang gemar
mengenakan jubah serba hijau dengan dalaman
putih tipis itu sebenarnya kurang setuju dengan
perilaku ketiga gadis kembar yang menjadi pentolan di kuil tersebut. Tetapi
mengingat dirinya sebagai abdi dari ketiga gadis kembar: Dewi Kun, Dewi Sun, dan
Dewi Mul, maka rasa kurang setujunya tak
pernah ditonjolkan di depan siapa pun. Bahkan ia
cenderung bersikap masa bodoh dengan tingkah
laku ketiga gadis kembar dan anak buahnya itu. la
lebih gemar menekuni bidang pengobatan yang
selama ini seolah-olah menjadi bagian dari hidupnya.
Tabib cantik yang gemar mengenakan kalung dari
akar hitam lentur seperti karet itu pernah
menyatakan rasa kagumnya terhadap kemujaraban
tuak Suto. Ketika ia melihat Suto terluka dan luka itu menjadi hilang dalam
beberapa kejap setelah Suto meminum tuaknya, tabib berkulit putih dan bertubuh
sekal itu terang-terangan berkata di depan Dewi Sun dan Dewi Mul.
"Tak kusangsikan lagi kehebatan tuakmu itu,
Suto. Ternyata apa yang kudengar selama ini bukan
sesuatu yang mustahil."
"Apa yang kau dengar selama ini"!" sergah Dewi Sun yang kurang suka dengan
pujian tak langsung
sang Tabib terhadap Suto itu.
"Kudengar pemuda yang bergelar Pendekar
Mabuk selain mempunyai ilmu kanuragan yang
tinggi juga mempunyai ilmu penyembuhan yang
menakjubkan. Karenanya, selain dijuluki sebagai
Pendekar Mabuk, ia juga dijuluki sebagai Tabib
Darah Tuak. Dan baru sekarang kulihat sendiri
kesaktiannya dalam ilmu penyembuhan!"
"Jangan mudah menyanjung pemuda macam dia.
Apa yang dimiliki hanya ilmu sihir kecil-kecilan!
Buktinya dia tidak bisa sembuhkan dirinya sendiri.
Kelihatannya memang dia kekar, gagah, sehat,
sakti... tapi sebenarnya dia loyo dan tak punya
kemampuan sebagai seorang lelaki!" kecam Dewi Sun melampiaskan kekecewaannya
yang tak mendapat kepuasan dari Suto Sinting.
Mendengar kecaman itu Suto Sinting hanya
sunggingkan senyum tipis sambil buang muka. la
agak malu dipandang oleh Tabib Sumpah Mada.
Sebenarnya ia ingin jelaskan bahwa ia tak mau
nodai kesucian cintanya terhadap sang calon istri: Dyah Sariningrum, sehingga
tak mau lakukan
perzinaan dengan perempuan mana pun, selain
hanya sekadar cumbuan biasa. Tetapi rasa-rasanya
hal tersebut tidak mungkin dituturkan dalam
keadaan menghadapi luka berbahayanya Dewi Kun
saat itu. Karenanya, Suto tak memberi komentar
apapun saat mendengar kecaman Dewi Sun.
Kini yang menjadi buah pikirannya bukan tentang
kecaman Dewi Sun, melainkan cara menghadapi si
Bocah Emas itu. Dalam hati Suto timbul keyakinan,
cepat atau lambat ia akan berhadapan kembali
dengan Bocah Emas. Sekarang atau besok, Bocah
Emas akan datang menyerang orang-orang Kuil
Perawan Ganas itu. Haruskah Suto bersikap
memihak Kuil Perawan Ganas jika ia dan Elang
Samudera berstatus sebagai tawanan di situ"
Ketika renungan Suto semakin memanjang, tiba-
tiba saja renungan tersebut putus seketika karena
datangnya angin berkecepatan kencang yang
menuju punggung kirinya. Angin kencang itu
menjurus satu tujuan dan menimbulkan rasa curiga
dalam sanubari Suto Sinting.
Seketika itu juga ia berkelebat membalik badan
sambil gerakkan tangan kanannya ke kiri. Wuuut. .!
Teeb. .! Ternyata tangan kanan itu menangkap
sebatang anak panah yang seharusnya menancap di
punggung kirinya.
"Hmmm. . ada orang yang mau membokongku di
atas pohon seberang sana!" pikirnya. Maka, serta-merta tangan yang menggenggam
anak panah itu berkelebat melemparkan benda tersebut. Wuuut. .!
Ternyata anak panah melesat lebih cepat dari saat
dilepaskan dari busurnya. Slaaap...! Juubs...!
"Aaaow. .!!" teriak seseorang yang ada di atas pohon seberang sana. Lalu, orang
tersebut jatuh terjungkal dari atas pohon dalam keadaan anak
panah tadi menancap di betisnya. Brrruk. .!
"Aaaaooow. .!!" Orang itu menjerit makin keras setelah jatuh dengan kepala


Pendekar Mabuk 083 Bocah Titisan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membentur akar pohon
yang keras seperti batu.
Teriakan orang tersebut membuat dua gadis
penjaga gerbang kuil berlarian mendekati Suto
Sinting. Mereka sama-sama mencabut pedangnya
dan berwajah tegang.
"Siapa yang berteriak tadi"!" sentak gadis berbaju biru.
"Aku," jawab Suto pendek, tetap dengan tenang dan kalem.
"Kampret! Bikin orang kaget saja!" gerutu yang berbaju kuning.
"Mengapa kau berteriak"!"
"Iseng saja, habis dari tadi sepi sekali tempat ini!"
jawab Suto seenaknya.
"Lain kali kalau kau berteriak kuadukan kepada Ketua Dua, biar dihukum karena
bikin resah kami!"
Suto Sinting hanya sembunyikan senyum. la tahu
yang dimaksud Ketua Dua adalah Dewi Sun. Tentu
saja ia tak punya rasa takut sedikit pun jika benar-benar diadukan kepada Dewi
Sun. "Kau memang tawanan yang diberi kebebasan
berkeliaran di sini, tapi jangan bikin ulah yang
macam-macam, ya"! Bisa kurobek sendiri mulutmu
kalau bikin ulah lagi!" ancam si baju kuning sok galak, tapi sebenarnya hanya
merasa tersinggung
karena sejak Suto ditawan di situ, Suto tak pernah mau membalas tegurannya,
sedangkan teguran
gadis lain mendapat anggukan dan senyum dari
Suto. Setelah kedua penjaga itu pergi ke tempatnya
semula, Suto bergegas untuk memeriksa semak-
semak di tempat jatuhnya orang yang melepaskan
anak panah padanya tadi. Tapi terlebih dulu
langkahnya tertunda karena kemunculan seorang
perempuan berjubah hijau yang mengenakan kalung
akar hitam lentur itu. Tabib Sumpah Mada muncul
dari sisi lain dan mendekati Suto dengan kalem.
"Aku mendengar suara orang berteriak."
"Akulah yang berteriak, Nyai Tabib."
"Aku kenal dengan suaramu. Dan kudengar
teriakan tadi bukan dari jenis suaramu," sambil Tabib Sumpah Mada memandang mata
Suto dengan tajam namun lembut dan berkharisma.
Suto terpaksa sembunyikan senyum dan alihkan
pandangannya. "Pasti ada orang yang kau lukai!" desak sang Tabib.
"Benar. Tapi aku tak tahu siapa orang itu dan apa alasannya menyerangku dengan
anak panahnya. Dia
jatuh di bawah pohon itu!"
"Sebaiknya kita periksa siapa dia orangnya!"
setelah berkata begitu, tak sampai satu helaan
napas, Tabib Sumpah Mada bergegas menuju
tempat yang tadi dituding Suto. Pemuda itu pun
akhirnya mengikuti langkah sang Tabib, hingga
akhirnya mereka menemukan seorang lelaki pendek
berbadan agak gemuk dan mengenakan ikat kepala
putih, baju dan celananya berwarna hitam.
Orang itu sedang menyeringai kesakitan dan sulit
mencabut anak panah yang menancap di betisnya.
Ketika melihat kedatangan Tabib Sumpah Mada dan
Suto Sinting, orang itu menjadi ketakutan.
Orang itu segera mencabut pisau runcing dan
menikam jantungnya sendiri kuat-kuat. Pendekar
Mabuk terlambat bergerak, orang itu segera
hembuskan napas terakhir dan terkulai berlumur
darah karena jantungnya pecah.
"Gila. .!!" geram Suto Sinting.
"Tak perlu heran. Memang begitulah tugas matamata dari Ratu Lembah Girang," ujar
Tabib Sumpah Mada.
"Nyai Tabib yakin dia mata-mata dari Lembah
Girang?" Perempuan itu anggukkan kepala. "Ikat kepala
merah dan pakaian serba hitam adalah ciri prajurit berani mati dari Lembah
Girang. Jika ia gagal
jalankan tugas ia harus bunuh diri! Tak boleh satu kata pun terkorek dari
mulutnya!"
"Mata-mata edan!" maki Suto. "Belum ditanya ini-itu sudah mati duluan!
Setidaknya dia perlu
perkenalkan diri; siapa namanya, berapa usianya,
bergurunya di mana, punya ayam berapa, apa
kegemarannya, apa alasannya ingin membunuhku
dan sebagainya"!"
"Kita harus mencari tahu sendiri; mengapa Ratu Lembah Girang ingin membunuhmu"!
Apakah kehadiranmu di sini sudah diketahui oleh sang
Ratu?" "Jika benar sang Ratu sudah mengetahuinya, lalu siapa yang memberitahukan
kehadiranku di kuil
ini"!"
"Kurasa itulah yang perlu kita selidiki, di samping mencari kelengahan si Bocah
Emas itu!" ujar sang Tabib dengan tegas.
* * * 2 SEBENARNYA maksud kedatangan Tabib Sumpah
Mada menemui Suto hanya ingin memberitahukan
bahwa Dewi Kun sudah mulai siuman. Tapi karena
ada peristiwa usaha pembunuhan terhadap diri
Pendekar Mabuk, maka mereka sempat mengupas
persoalan itu sesaat. Setelah ditemukan
kesepakatan untuk mencari tahu siapa orang yang
menyampaikan kabar kehadiran Suto di Kuil
Perawan Ganas itu, maka mereka pun bergegas
temui Dewi Kun.
Perempuan itu masih berwajah pucat dengan
luka yang belum mengering. Matanya memandang
sayu bukan karena ingin dicumbu melainkan karena
kehilangan semangat hidup. Bibirnya kering dan
sukar keluarkan kata-kata. Dewi Sun dan Dewi Mul
mengajaknya bicara, tapi tak pernah mendapat
jawaban yang benar. Suara Dewi Kun nyaris hilang, bahkan berbisik pun sulit.
Pendekar Mabuk segera memberinya minum
dengan tuak saktinya. Tuak itu dituang ke atas 'suru'
atau sendok dari daun pisang dan segera
didulangkan ke mulut Dewi Kun dengan pelan-pelan.
Seteguk demi seteguk tuak itu terminun oleh Dewi Kun.
Dan suatu keajaiban terjadi di depan mata
mereka. Luka tercabik-cabik yang basah dan hitam
melebar itu dalam beberapa kejap saja tampak
mengering. Luka itu bergerak merayap sedikit demi
sedikit, sampai akhirnya menjadi merapat. Beberapa saat kemudian, luka tersebut
pun akhirnya lenyap
tanpa bekas. Sisa darah yang berada di sekitar luka.
Wajah si sakit menjadi tampak segar kembali.
Bahkan dapat memandang dengan jelas. Suaranya
pun dapat terdengar kembali saat ia memandang
Pendekar Mabuk yang bersebelahan dengan Tabib
Sumpah Mada. "Apa yang terjadi pada diriku. ."!"
"Kau terluka," jawab Tabib Sumpah Mada.
"Ya, kita terluka karena keganasan Bocah Emas itu," timpal Pendekar Mabuk.
Dewi Kun diam sebentar, sejenak kemudian
menarik napas panjang-panjang.
"Hmmm, ya. . aku ingat kembali sekarang. Kita diserang Bocah Emas itu dengan
ganasnya!"
Dewi Sun dan Dewi Mul saling beradu pandang
sebentar. Mereka bukan saja menyimpan
kekaguman dalam hatinya melihat keampuhan tuak
Suto dalam menyembuhkan luka sesingkat itu,
namun juga menyimpan rasa malu karena selama
ini menganggap Suto Sinting telah berkata bohong
tentang keganasan Bocah Emas itu. Semakin jelas
lagi kisah penyerangan Bocah Emas itu setelah Dewi Kun menuturkan peristiwa
tersebut di depan
mereka, dan apa yang dituturkan Dewi Kun itu
ternyata sama persis dengan apa yang dituturkan
Suto sewaktu Dewi Kun dalam keadaan terluka dan
pingsan. "Setahuku Bocah Emas tidak seganas itu!" ujar Dewi Mul. "Cerita tentang Bocah
Emas sering kudengar dari beberapa orang yang pernah bertemu
dengan Ki Jurumomong, si pengasuh Bocah Emas
itu. Bocah tersebut banyak diam dan sangat menurut kepada Ki Jurumomong. Tak
pernah kudengar Bocah
Emas dalam keadaan liar dan ganas begitu."
"Kalau begitu, ada sesuatu yang tak beres pada diri Bocah Emas itu!" timpal
Pendekar Mabuk yang membuat semua mata memandang ke arahnya.
Setelah tercipta kebisuan beberapa helaan napas,
Tabib Sumpah Mada segera angkat bicara dengan
suaranya yang bernada tegas namun penuh
bijaksana. "Perlu diselidiki lebih cermat lagi, benarkah bocah itu adalah Bocah Emas yang
asli"!"
Kini semua mata tertuju kepada Tabib Sumpah
Mada. Bahkan pandangan Pendekar Mabuk pun
terarah kepadanya dengan gerakan kepala
menyentak tipis. Sepertinya ia mengalami
kekagetan begitu mendengar ucapan sang Tabib itu.
"Tak pernah terpikirkan olehku tentang adanya kemungkinan tersebut," ujar
Pendekar Mabuk setelah suasana hening sejurus.
Dewi Kun segera angkat bicara. "Perintahkan
kepada Bintang Semampai untuk menyelidiki
kebenaran tentang Bocah Emas itu!"
Dewi Sun menyahut, "Bintang Semampai sedang
menjaga Elang Samudera!"
"Panggil dia!" tegas Dewi Kun.
Yang berangkat memanggil Bintang Semampai
adalah Dewi Mul. Kebiasaan melakukan
penyelidikan atau kegiatan mata-mata sering
dibebankan kepada Bintang Semampai, karena
gadis itu sangat piawai melakukan penyusupan dan
penyamaran ke mana saja. Bintang Semampai juga
mempunyai ilmu yang cukup bisa diandalkan,
terutama jurus 'Mancala Jelma' yang dimilikinya. la dulu bekas murid mendiang
Resi Sawung Rampak.
Ilmu langka itu diwariskan kepada Bintang
Semampai dan menjadi andalan gadis bermata
jalang nanar itu.
Pada saat itu Bintang Semampai memang
ditugaskan menjaga Elang Samudera yang masih
disekap di dalam kamar. Namun sengaja masuk ke
kamar tersebut pada saat mengantarkan jatah
makan untuk tawanannya.
Tawanan yang tampan membuat gadis berusia
sekitar dua puluh enam tahun dan mengenakan
rompi cekak warna hitam tanpa kancing itu menjadi
sering memandangnya dengan sorot pandangan
mata yang nakal. Celana ketatnya yang pendek
berjarak satu jengkal dari rompinya, sementara di balik rompi itu tidak
mengenakan pelapis apa-apa
lagi. Tak heran jika siapa saja dapat melihat bentuk perut dan pusarnya yang
berwarna kuning langsat
mulus tanpa cacat itu.
Tentu saja pemandangan tersebut membuat
Elang Samudera tergoda dan berdebar-debar dalam
khayal indahnya. Apalagi Bintang Semampai
mempunyai bentuk dada yang menonjol dan sering
tersingkap dari kain rompinya, pria mana pun akan
dibuat menelan ludah jika berhadapan dengannya.
"Aku tak biasa makan sendiri," ujar Elang Samudera saat mereka saling beradu
pandang. "Apa maksudmu 'tak biasa makan sendiri itu?"
pancing Bintang Semampai.
"Biasanya makan secara kendurian!" jawab Elang Samudera dalam canda. Bintang
Semampai tersenyum tapi senyum dan lirikan itu mengandung
makna penuh goda. Elang Samudera mendekatinya
hingga kurang dari satu langkah.
"Kau cantik sekali," bisik Elang Samudera setelah mereka saling pandang penuh
debar-debar keindahan dalam hati.
"Betulkah aku cantik?"
Elang Samudera hanya mengangguk.
"Kalau benar aku cantik, mengapa kau tak ingin menciumku?"
"Aku tak berani."
"Mengapa tak berani?"
"Takut ketagihan."
"Tak apa. Aku suka kalau kau ketagihan."
"Maksudku, ketagihan bayaran."
"Sial! Kau pikir aku akan menagih bayaran
padamu setelah kau cium"!" Bintang Semampai
bersungut-sungut.
"Bayaran kehangatan, maksudku. Tidakkah kau
ingin kubayar dengan kehangatan setelah kucium
dan kukecup bibirmu?"
Bintang Semampai kembali tersenyum. "Itu
memang pasti...," sambil ia memukul manja ke dada Elang Samudera. Pemuda itu
menyambarnya dalam
pelukan dan tawa lirih. Kemudian Bintang
Semampai menengadah dan merekahkan bibirnya.
"Kecuplah. .," desah Bintang Semampai.
Weees. .! Elang Samudera menyambar bibir itu.
Maka pertarungan silat lidah itu terjadi dengan
lincah dan bikin betah.
Brak, brak, brak...!
Mereka tersentak kaget. Bibir mereka saling
merenggang jarak. Suara gedoran pintu membuat
gairah yang baru saja mau melambung sudah harus
turun kembali. "Tugasmu adalah menjaga tawanan kita ini!
Bukan bercumbu dengannya!" bentak Dewi Mul


Pendekar Mabuk 083 Bocah Titisan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepada Bintang Semampai.
"Maaf, Ketua Tiga!"
Gadis berompi hitam yang mempunyai tato
gambar bintang di telapak tangan kanan dan kirinya itu tampak takut kepada Dewi
Mul. la tundukkan
kepala dan tidak berani melirik Elang Samudera
yang berdiri di ambang pintu. Bahkan rambutnya
yang sepunggung dibiarkan terjuntai ke samping
menutupi sebagian wajah cantiknya agar tak terlihat Elang Samudera.
"Lain kali kalau kulihat kau berusaha merayunya kuhukum kau seberat mungkin!"
ancam Dewi Mul.
"Ampun, Ketua Tiga!" ucap Bintang Semampai lirih sekali.
"Kau dipanggil menghadap Ketua Satu!"
"Baik!" jawabnya tegas, kemudian segera pergi tinggalkan tempat itu. Dewi Mul
memandang Elang
Samudera yang seolah-olah sengaja berdiri di
ambang pintu biar pintu kamar tak ditutup lagi.
"Akan kuperlakukan dengan kasar kau jika
kulihat kau mau melayani perempuan lain!" ujar Dewi Mul dengan ketus.
"Apakah tak boleh?" Elang Samudera tampak tenang dan tersenyum-senyum.
"Hanya aku dan kedua kakak kembarku yang
boleh menikmati kehangatan cumbuanmu!"
"Bagaimana kalau aku sekarang ingin
menikmatinya" Siapa yang bersedia kulayani
sekarang juga"!"
Dewi Mul mendengus ketus, melirik lorong
tempatnya datang tadi. Kejap kemudian ia
mendorong tubuh Elang Samudera dan keduanya
masuk ke daiam kamar. Maka pintu pun segera
dikunci oleh Dewi Mul.
"Aku bersedia. .!" katanya sambil melepas pengikat rompi merahnya yang tersimpul
di atas pusar. Elang Samudera hanya tertawa cekikikan
melihat semangat Dewi Mul begitu dipancing dengan
kata-kata tadi.
Sementara di tempat lain, Dewi Kun bicara di
depan Dewi Sun, Bintang Semampai, Pendekar
Mabuk, dan Tabib Sumpah Mada. Dewi Kun bicara
dengan serius dan bersikap tegas sebagai sikap
seorang ketua di hadapan para anak buahnya.
"Jika menurut saran Tabib aku harus beristirahat dulu sementara waktu, akan
kuturuti, tapi kuminta
Tabib menggantikan tugasku mendampingi
Pendekar Mabuk untuk menemui Ratu Lembah
Girang! Sedangkan Bintang Semampai mengamati
segala sepak terjang Bocah Emas!"
"Aku sudah tidak ingin terlibat kekerasan lagi,"
sahut Tabib Sumpah Mada. "Kurasa Pendekar
Mabuk bisa didampingi oleh Dewi Sun!"
"Tak sudi!" sahut Dewi Sun dengan ketus.
Kakaknya segera paham dengan sikap Dewi Sun,
maka sang kakak tertua pun segera berkata lebih
tegas lagi. "Kau tak boleh menolak tugas ini, Tabib! Aku dan kedua adik kembarku akan
bertahan di kuil untuk
melumpuhkan siapa pun yang ingin mengusik kuil
ini!" "Aku setuju jika kepergianku ke Lembah Girang didampingi Nyai Tabib!" sahut Suto
Sinting. Tabib Sumpah Mada memandang Suto dengan
tenang sekali. Namun pandangan itu penuh arti bagi Pendekar Mabuk yang segera
menambahkan ucapannya tadi.
"Tapi bagaimana jika Bocah Emas itu datang
kemari dan menghabisi orang-orang di sini"!"
"Jangan meremehkan kekuatan kami bertiga,
Kampret!" bentak Dewi Sun kepada Suto. "Kekuatan mana yang mampu mengalahkan
gabungan kekuatan kami bertiga, hah"!"
Pendekar Mabuk hanya sentakkan pundak sambil
tersenyum kalem.
"Semoga kau bisa membuktikan ucapanmu itu!"
kata Suto agak sinis walau tetap dengan senyum.
"Aku ingin bicara empat mata denganmu!" Dewi Kun menyela kata. Begitu mendengar
Dewi Kun berkata demikian, yang lainnya segera undurkan diri dan membiarkan Dewi Kun
berdua dengan Pendekar
Mabuk. "Apa yang ingin kau bicarakan empat mata
denganku?" tanya Suto.
"Aku bingung mengambil sikap padamu."
"Mengapa bingung?"
"Kau adalah tawananku, tapi kau menyelamatkan nyawaku. Mengapa tidak kau biarkan
Bocah Emas itu membunuhku"! Bukankah dengan begitu kau
bisa bebas?"
Pendekar Mabuk tertawa pendek tanpa suara
namun penuh daya tarik.
"Mungkin aku memang tawanan yang bodoh."
"Tak mungkin!" sanggah Dewi Kun. "Kau pasti punya otak cerdas dan mengerti betul
tentang akibat dari langkahmu! Katakan terus terang saja,
mengapa kau selamatkan aku"!"
Setelah pandangi Dewi Kun dalam simpul senyum
yang tipis menawan, Pendekar Mabuk pun akhirnya
menjawab dengan suara pelan.
"Aku kasihan padamu."
"Aku bukan orang yang patut mendapat belas
kasihan. Aku bukan perempuan yang lemah!"
"Karena aku suka pada kecantikanmu," ucap Suto semakin lirih.
Dewi Kun berdebar resah, jantungnya berdetak-
detak. Padahal Suto menyelamatkan Dewi Kun agar
dapat memperoleh beberapa keterangan tentang
Bocah Emas itu. Pendekar Mabuk yakin, orang-orang
Kuil Perawan Ganas pasti punya banyak penjelasan
mengenai Bocah Emas, dan tentunya penjelasan itu
tidak dimiliki oleh Elang Samudera. Terutama yang
berhubungan dengan Ratu Lembah Girang yang
sebagai kunci mendapatkan Bocah Emas itu. Suto
yakin Dewi Kun punya banyak informasi mengenai
seluk beluk Istana Lembah Girang. Sebab itulah ia perlu selamatkan nyawa
perempuan tersebut.
Tapi rupanya Suto tidak ingin maksud hatinya
yang sesungguhnya diketahui oleh Dewi Kun. Maka
jawaban 'gombal'-nya tadi dicerna langsung oleh
Dewi Kun dan membuat Dewi Kun sempat salah
tingkah. "Kau sungguh-sungguh menyukaiku?"
"Apakah aku punya keuntungan jika bersungguh-
sungguh menyukaimu?" Suto ganti bertanya.
Dewi Kun diam sebentar, menenangkan
keresahannya. Sesaat kemudian ia berkata dengan
mata memandang lurus ke mata Suto Sinting.
"Mulai sekarang Elang Samudera akan
kubebaskan dan kuanggap sebagai mitra kerjaku
dalam mendapatkan Bocah Emas itu! Dan kau pun
bukan lagi tawananku!"
Rupanya itulah keuntungan yang ditunjukkan
Dewi Kun sebagai jawaban dari pertanyaan Suto
tadi. Maka Suto Sinting pun segera lebarkan
senyumannya dan berkata dengan suara pelan.
"Boleh kukabarkan sendiri hal ini kepada Elang Samudera"!"
"Mengapa tidak"! Pergilah sana dan bawa keluar dia, biar tidak menjadi pemuda
yang kuper, karena
selalu mengurung diri di dalam kamar!"
Pada saat itu sebenarnya Elang Samudera sedang
sibuk menikmati cumbuan Dewi Mul. Gadis berdada
montok dengan tato kupu-kupu di tengah dadanya
itu melonjak-lonjak penuh semangat dalam
mengarungi samudera kemesraannya. Elang
Samudera dibiarkan sebagai perahu yang tinggal
mengikuti irama gelombang lautan saja. Mulut
perempuan itu menghamburkan erangan dan desah
yang tak beraturan hingga menimbulkan kesan
berisik. Tapi suara berisik itulah yang membuat
Elang Samudera semakin bergairah dan akhirnya
meluncur cepat mencapai puncak keindahannya
setelah Dewi Mul minta diperlakukan sebagai seekor serigala. Kedua lutut dan
sepasang tangan Dewi Mul yang menapak di lantai itu menjadi gemetar ketika
Elang Samudera melepaskan puncak keindahannya
bagaikan bendungan yang jebol diterjang badai.
"Aaaaaahh...!!"
Jeritan panjang Dewi Mul membuat perempuan
itu akhirnya jatuh tersungkur dengan beban tubuh
yang memberat di punggung. Suara-suara
kenikmatan, erangan-erangan keindahan, semuanya
masih tetap menghambur menunggu redanya napas
yang memburu bagai habis berlari mengelilingi
Pulau Swaladipa.
Pada saat keduanya sama-sama terkulai
bermandi peluh, pintu pun mulai digedor dengan
sedikit kasar. Ternyata Suto-lah yang menggedornya.
* * * 3 SECARA empat mata Suto Sinting mengatakan
kepada Elang Samudera, bahwa para perempuan di
kuil itu sangat mendambakan ketulusan cinta dari
seorang lelaki. Elang Samudera mengakui
kesimpulan tersebut dan menambahkan kata,
"Kelihatannya Dewi Mul juga mendambakan cinta dariku."
"Ini kesempatan bagi kita," ujar Pendekar Mabuk.
"Kesempatan menikmati cumbuan mereka,
maksudmu"!"
"Bukan begitu, Elang! Ini kesempatan kita untuk dapat bergerak bebas di Pulau
Swaladipa! Yakinkan
bahwa kau pun menyukai dia, supaya dia dan yang
lainnya yakin bahwa kepergian kita nanti tetap akan kembali ke sini! Karena
begitulah yang kulakukan
terhadap Dewi Kun."
"Itu sama saja mengkhianati mereka, Suto.
Mereka bisa semakin buas terhadap kita!"
Pendekar Mabuk tertawa pelan sambil menepuk
pundak si murid Pendeta Darah Api itu.
"Aku berani bilang, bahwa aku suka kepada Dewi Kun. Memang aku suka! Tapi bukan
berarti harus mencintai dan harus mengawini?"
"Tanggapan mereka akan begitu, Suto."
"Itu terserah tanggapan mereka! Yang jelas kita jangan mengumbar janji muluk-
muluk. Suka itu luas
pengertiannya. Soal mereka salah tanggapan, itu
bukan urusan kita!"
Pemuda berpakaian serba ungu itu menarik
napas panjang-panjang. Matanya memandang ke
arah langit-langit kamar sebentar karena sedang
merenungkan ucapan Suto. Setelah itu ia baru
menatap Pendekar Mabuk kembali.
"Jadi apa maksudmu?"
"Kita harus ke Istana Lembah Girang bersama-
sama. Aku tak ingin pergi tanpa dirimu, Elang. Bikin Dewi Mul dan yang lainnya
membebaskan kita untuk
pergi memburu Bocah Emas itu tanpa ada beban
dan pengawasan dari siapa pun. Jika Dewi Mul yakin bahwa kau akan kembali lagi
ke sini karena kau
suka padanya, maka kita akan peroleh kebebasan
bergerak. Jika ada kesulitan justru kita akan dibantu oleh mereka!"
"Siasat yang jitu!" sambil Elang Samudera tertawa dan menusukkan jarinya ke dada
Suto. "Kau
memang jago membual, Suto!"
"Entahlah. Mengapa akhirnya aku pandai
mengatur siasat selama banyak bergaul dengan
perempuan," ujar Suto sambil tertawa pelan.
Usaha itu ternyata berhasil mereka lakukan. Dewi
Kun mengizinkan Suto Sinting pergi bersama Elang
Samudera setelah Dewi Mul mengatakan bahwa ia
suka kepada Elang Samudera dan Elang Samudera
suka kepadanya. Dewi Kun mengubah permusuhan
menjadi perdamaian dengan harapan dapat
menjalin kerja sama yang baik untuk mendapatkan
Bocah Emas. Tetapi tanpa setahu kedua pemuda itu, Dewi Kun
berbisik kepada Tabib Sumpah Mada.
"Bayang-bayangi mereka berdua!"
Sang Tabib berkerut dahi. "Apakah kau belum
percaya kepada mereka?"
Dewi Kun agak bingung menjawabnya. "Hmmm. .
yah, sekadar bayang-bayangi saja. Kalau terjadi
sesuatu yang membahayakan pada diri mereka,
lekas kabarkan kemari!"
Setelah mendapat beberapa petunjuk tentang
arah menuju Istana Lembah Girang, murid si Gila
Tuak dan murid Pendeta Darah Api itu pun segera
berangkat dengan menunggang kuda. Elang
Samudera memperoleh pedangnya kembali yang
bersarung perak dan gagangnya mempunyai ronce-
ronce benang ungu. Sementara itu, Bintang
Semampai yang jago menyusup dan menjadi mata-
mata itu berkelebat ke arah lain mencari tahu
kelemahan si Bocah Emas.
Tetapi rupanya Bintang Semampai mempunyai
rencana sendiri yang tidak diketahui oleh Dewi Kun dan yang lainnya. Arah
kepergiannya hanya sekadar
memutari sebuah bukit, lalu ia berhasil menghadang perjalanan Elang Samudera dan
Pendekar Mabuk.
Rupanya Bintang Semampai masih penasaran
ingin mendapatkan kemesraan dari Elang
Samudera. Karena kemesraannya yang tertunda
karena kemunculan Dewi Mul itu membuat Bintang
Semampai mengancam suatu pertemuan khusus
yang tak diketahui oleh pihak Kuil Perawan Ganas
itu.

Pendekar Mabuk 083 Bocah Titisan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kecupan bibirnya sangat beda dengan lelaki
yang pernah mengecupku," ujarnya dalam hati.
"Caranya membangkitkan gairahku lebih berkesan ketimbang lelaki lainnya. Aku tak
akan bisa mati dengan terpejam sebelum merasakan
kemesraannya yang lebih dalam lagi. Aku harus
mendapatkan kehangatan darinya karena
menurutku dialah satu-satunya pria sejati. Saat
kutemukan 'jimat'-nya dalam genggamanku,
kurasakan betapa hangat dan mantapnya
kemesraan itu ada di sanal"
Benak gadis bertubuh sekal semampai itu mulai
dipenuhi khayalan indah tentang kehangatan
bersama Elang Samudera. Sekalipun dalam hati
kecilnya ia tetap mengakui bahwa ketampanan Suto
Sinting lebih unggul dan lebih menawan, tapi ia tahu Suto Sinting 'milik' Dewi
Kun. la tak berani coba-coba mengusik 'pegangan' si Ketua Satu-nya itu. Jika
sampai ketahuan, hukumannya lebih berat daripada
mengusik 'pegangan' si Ketua Dua atau Ketua Tiga.
Tetapi ketika ia berhenti di balik kaki bukit untuk menghadang langkah Pendekar
Mabuk dan Elang
Samudera, tiba-tiba angin kencang datang
berhembus ke arahnya. Angin itu terasa panas dan
membuat kulit-kulit pohon menjadi terkelupas
sedikit demi sedikit. Angin kencang itu juga
mematahkan ranting-ranting dan tangkai daun,
sehingga berhamburan menerjang tubuh Bintang
Semampai yang masih duduk di punggung kudanya.
"Celaka! Ini angin bukan sembarang angin!"
serunya dalam hati dengan nada tegang. "Ouh. .!
Perih sekali sekujur tubuhku"!"
Bintang Semampai melompat turun dari
punggung kuda. la berlindung di balik batang pohon besar. Sementara itu kuda
tunggangannya meringkik-ringkik dan akhirnya melarikan diri
bagaikan tak kuat menahan rasa panas yang datang
dari hembusan angin tersebut.
"Hei, kenapa dengan kuda itu"!" pikir Bintang Semampai dengan mata membelalak
memperhatikan sang kuda melarikan diri.
"Oh, kuda itu berdarah" Sekujur tubuhnya
mengeluarkan darah"! Celaka!"
Bintang Semampai segera menarik napas dan
menahannya di dada. la pandangi kulit tubuhnya
sendiri ternyata mengalami perubahan aneh. Dari
pori-pori kulitnya yang kuning langsat itu keluarkan bintik-bintik merah seperti
keringat. Ketika tangan mengusapnya ternyata bintik-bintik merah itu adalah
darah. "Gawat! Sekujur tubuhku berdarah"!" gumamnya semakin tegang. "Kurasa angin ini
memang menaburkan racun yang dapat memecahkan
pembuluh darah manusia! Ooh. . harus kulawan
dengan hawa murni dari dalam tubuhku sendiri!"
Sambil berlindung di balik batang pohon besar,
Bintang Semampai mengerahkan hawa murninya
untuk mengatasi racun yang menerpa sekujur
tubuhnya itu. Seluruh urat dikeraskan, napas ditahan dalam dada dan dihembuskan
pelan-pelan melalui
mulutnya. Gerakan tangan menjadi lamban karena
seluruh urat tangan mengencang.
Sementara itu, angin kencang tadi masih
berhembus dan menaburkan daun-daun serta kulit-
kulit pohon yang terkelupas. Beberapa pohon tak
jauh dari tempat perlindungan itu sudah mulai
tampak menjadi layu. Bintang Semampai
menggeram jengkel melihat kenyataan itu. la
merasa diserang oleh seseorang yang tak diketahui
tempat persembunyiannya.
"Kurang ajar! Harus kulawan dengan jurus 'Serat Salju' jika begini!"
Bintang Semampai segera kerahkan tenaga inti
salju yang dimiliki. Wuuus. .!
Kedua tangan yang menyentak dengan tubuh
miring ke kiri itu mengeluarkan asap putih bagai
semburan dari kepundan gunung berapi. Semburan
asap itu segera padam. Tapi asap yang sudah
telanjur mengepul di udara itu menyebar dan
menjadi banyak.
Bersamaan dengan itu, suara angin menderupun
makin keras. Entah dari mana angin itu datangnya
yang jelas hembusannya membawa terbang asap-
asap putih yang mengandung hawa dingin salju.
Daun-daun dan batang pohon mulai memutih di
hinggapi busa-busa salju. Angin panas yang tadi
menerjang ke arah timur, kini bergulung-gulung
berbalik arah ke barat. Dan asap putih itu makin
lama semakin banyak, lalu menggumpal naik bagai
awan putih yang tebal. Dalam satu ketinggian
tertentu, awan putih tersebut akhirnya meledak
dengan memancarkan sinai biru ke berbagai arah.
Blegaaarr...!! Sekalipun tak sampai menggetarkan bumi, tapi
ledakan itu cukup keras dan mengeluarkan
gelombang besar hingga menyentakkan tanaman ke
berbagai penjuru. Untung pohon-pohon di sekitar
tempat itu tidak sampai rusak ataupun tumbang.
Dalam kejap berikutnya, tanaman yang tersentak
tadi menjadi tegak kembali dan udara panas pun
hilang bersama lenyapnya hawa dingin yang tadi
menyebar ke mana-mana itu.
Wuuuuuss...! Tiba-tiba sekelebat bayangan menyambar Bintang
Semampai. Dengan gerakan cepat dan lincah
Bintang Semampai lakukan lompatan ke samping
dan tubuhnya memutar dengan kedua tangan dan
kaki dipakai sebagai jeruji putarnya. Wuuut. .! Satu sentakan tangan ke tanah
membuat tubuh Bintang
Semampai melayang ke atas dan hinggap di salah
satu permukaan tanah yang datar. Jleeg.. !
Bayangan yang tadi menyambarnya sudah berdiri
delapan langkah dari tempatnya berdiri. Kini mereka saling berhadapan dengan
pandangan mata saling
tatap penuh ketajaman.
"Oh, rupanya kau yang mengajakku bermain-
main, Paras Jenazah"!" tegur Bintang Semampai dengan sinis dan ketus kepada
seorang gadis berambut panjang dikelabang empat.
Paras Jenazah adalah gadis cantik mungil
berparas imut-imut menggemaskan. Hidungnya kecil
tapi mancung, bibirnya sekelumit tapi mungil,
matanya pun kecil namun berbentuk bundar indah
berbulu lentik. Gadis yang usianya sekitar dua puluh empat tahun itu mengenakan
jubah merah jambu
dengan penutup dada dan penutup pinggul dari kain
sutera tipis warna abu-abu. Wajah mungil yang
berkesan pucat ternyata mempunyai sorot
pandangan mata yang dingin dan tanpa senyum. la
melangkah empat tindak sambil menenteng
pedangnya di tangan kiri. Bintang Semampai masih
membiarkan pedangnya menyilang di punggung dan
hanya maju dua tindak ke depan.
Tanpa setahu mereka, suara ledakan itu
memancing perhatian dua pemuda tampan yang tak
lain Suto Sinting dan Elang Samudera. Kedua
pemuda itu segera memacu kudanya mendaki bukit
dan mereka segera melihat kedua gadis yang
sedang saling bersitegang itu.
"Bintang Semampai.. "!" bisik Elang Samudera dengan suara mendesah kecil.
"Siapa gadis berjubah merah muda itu?" tanya Suto.
"Kalau aku tahu sudah kusebutkan pula
namanya!" jawab Elang Samudera. "Kita dekati saja
mereka!" "Setuju! Tapi jangan ikut campur dulu. Dengarkan dulu apa persoalan yang mereka
hadapi berdua itu!"
"Bagaimana dengan kuda kita ini"!"
"Tinggalkan dulu di lereng bukit, jangan sampai kelihatan dari sana!"
Dengan merunduk-runduk dan menyelinap dari
pohon ke pohon, kedua pemuda itu mendekati
tempat pertemuan kedua gadis tersebut. Pendekar
Mabuk menggantungkan bumbung tuaknya di
pundak dan dirapatkan dengan pinggangnya agar
tak terlihat dari tempat pertemuan kedua gadis itu.
Murid sinting si Gila Tuak sempat berbisik kepada
Elang Samudera.
"Cantik sekali gadis berjubah merah jambu itu"
Walau wajahnya pucat, tapi kecantikannya
menggemaskan. Ingin sekali aku meremas
wajahnya yang bagai hanya sekelumit itu."
"Kau pikir wajah itu nasi tumpeng, mau diremas begitu saja!" gerutu Elang
Samudera sambil
bersungut-sungut. Kemudian ketika ia mau berkata
lagi, Suto Sinting memberi isyarat agar diam dan
menyimak "Apa maksudmu pamer ilmu seperti tadi di
depanku, Paras Jenazah"!" suara Bintang Semampai berkesan meremehkan sekali
kemampuan si Paras
Jenazah. "Kau telah bebas tugas!" jawab Paras Jenazah dengan nada dingin.
"Apa maksudmu bebas tugas"!"
"Sudah waktunya disingkirkan dari permukaan
bumi!" "Keparat kau! Hati-hati bicaramu, Paras Jenazah!"
gertak Bintang Semampai.
"Aku datang sebagai El Maut bagi hidupmu!
Tugasku menyingkirkan nyawamu yang sudah tidak
berguna lagi itu, Bintang Semampai! Ratu Lembah
Girang sudah tak sudi memakaimu lagi!"
"Lancang sekali mulutmu! Hiaaah. .!"
Bintang Semampai menyentakkan tangan kirinya
ke depan dan selarik sinar kuning berbentuk bintang melesat ke arah Paras
Jenazah. Dengan gerakan
tangan bagaikan menampar sesuatu, Paras Jenazah
telah berhasil melepaskan percikan sinar merah
yang segera menyergap sinar kuning berbentuk
bintang itu. Zaaarrb...! Buuuss...! Tak ada ledakan yang terdengar keras kecuali
letupan yang mengepulkan asap hitam ke atas. Paras Jenazah
masih tampak tenang, tanpa memasang kuda-kuda
seperti yang dilakukan Bintang Semampai.
Sementara itu, Suto Sinting berbisik kepada Elang
Samudera. "Apakah Bintang Semampai ada hubungan
dengan Ratu Lembah Girang"!"
"Mana kutahu"!" jawab Elang Samudera, lalu menyuruh Suto diam dengan isyarat.
Bintang Semampai lakukan lompatan untuk
menendang Paras Jenazah. Wuuut. .! Tapi gadis
berwajah cantik pucat itu mengibaskan jubahnya
yang tak dikancingkan. Wuuuk. .!
Weeess. .! Tubuh Bintang Semampai terpental
dalam satu kibasan jubah. Tubuh itu melayang
mundur dan membentur sebatang pohon dengan
keras. Duuurr...! Daun-daun pohon pun berguguran
karena daya getar benturan keras tersebut.
"Uuhk. .!" Bintang Semampai menyeringai
menahan sakit pada tulang punggungnya. Paras
Jenazah tetap di tempat dan pandangi lawannya
tanpa gerakan sedikit pun. Wajah cantik itu semakin tampak angker bila dalam
keadaan seperti itu.
"Bangkai monyet kau!" geram Bintang
Semampai. "Rupanya kau tidak main-main
kepadaku, Paras Jenazah!"
"Aku sudah puas bermain sejak kecil, sekarang sudah bukan waktunya lagi untuk
main-main, Bintang Semampai!!"
Gadis yang naksir Elang Samudera itu bergegas
maju kembali dengan wajah berang.
"Mengapa Ratu menyuruhmu membunuhku"!
Kurasa ini hanya alasan dustamu belaka, Paras
Jenazah!" "Ratu tidak suka mata-mata dua muka! Ratu
telah mengirimkan dua mata-mata lainnya ke Kuil
Perawan Ganas. Mereka melihatmu sedang
bersekutu dengan Tiga iblis kembar itu! Bahkan
salah seorang dari mata-mata itu melihat kau
sedang mendekati seorang pemuda yang menjadi
tawanan Dewi Kun. Kau tertarik pada pemuda yang
berbaju ungu itu!"
Pendekar Mabuk dan Elang Samudera saling
pandang dengan wajah terkejut. Mereka tahu yang
dimaksud pemuda berpakaian ungu adalah Elang
Samudera. Jantung Elang Samudera pun menjadi
ikut berdebar-debar karena tegang.
"Ketahuilah, Bintang Semampai. . salah satu dari dua pemuda tawanan Dewi Kun
telah memergoki
seorang mata-mata kita. Dan mata-mata kita terluka oleh panahnya sendiri, lalu
ia bunuh diri di depan pemuda tersebut. Teman mata-matanya segera
larikan diri dan mengabarkan hal itu kepada Ratu
Lembah Girang."
"Itu urusan mereka!" sentak Bintang Semampai.
Elang Samudera memandang Suto dengan curiga,
Suto tak enak hati akhirnya menceritakan tentang
seorang mata-mata berikat kepala putih yang bunuh
diri di depannya ketika Suto berhasil melumpuhkan
orang tersebut. Elang Samudera hanya manggut-
manggut, lalu memusatkan perhatiannya kembali ke
arah kedua gadis itu.
"Ratu telah mencium gelagat kelicikanmu!" ujar Paras Jenazah. "Cepat atau
lambat, kau juga akan menukar rahasia Istana Lembah Girang agar
mendapat kesempatan berhubungan dengan
tawanan berpakaian serba ungu itu. Maka sebelum
segalanya telanjur, Ratu mengutusku untuk
mencabut hakmu sebagai mata-mata Lembah


Pendekar Mabuk 083 Bocah Titisan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Girang dan mencabut nyawamu agar tak berguna
lagi dalam kehidupanmu!"
Suto menggumam lirih, "Ooo, jadi yang memberi kabar tentang kedatangan kita di
Kuil Perawan Ganaa itu adalah si Bintang Semampai sendiri"!"
"Tak kusangka, ternyata dia adalah mata-mata
Lembah Girang!" geram Elang Samudera.
Tiba-tiba mereka terbungkam karena mendengar
seruan Bintang Semampai.
"Kalau begitu, tak ada pilihan lain bagiku! Kita beadu nyawa sekarang juga,
Paras Jenazah! Cabut
pedangmu!"
Sreet. .! Bintang Semampai mencabut pedang
lebih dulu, dan tahu-tahu tubuhnya melayang
menerjang Paras Jenazah. Werrs...!
Traaang. .! Kibasan pedang Bintang Semampai
ditangkis oleh pedang Paras Jenazah yang masih
bersarung itu. Tapi kejap kemudian, pedang tersebut dicabut juga dari sarungnya
dan bertarunglah kedua gadis itu saling beradu ketangkasan jurus pedang
masing-masing. Trang, trang, triing, trang, trri ng...!
Tiba-tiba Pendekar Mabuk merasa tak enak hati.
la mencium wangi cendana di sekitarnya. Semula ia
menduga, wangi cendana itu menyebar dari
pedangnya si Paras Jenazah. Tetapi ia segera ingat tentang Bocah Emas yang juga
menyebarkan wangi
cendana. Maka, pandangan mata Pendekar Mabuk
tidak terpusat sepenuhnya ke pertarungan tersebut.
la melirik kanan, kiri, belakang, atas, dan... ooh..."!
Bulu kuduknya langsung, merinding.
Jantung Suto Sinting mulai berdetak-detak cepat.
Matanya masih menatap ke atas karena di atas
pohon tempatnya bersembunyi itu, tampak cahaya
emas yang redup. Cahaya itu membentuk wujud
bocah yang berkulit kuning emas, mengenakan
cawat dari kain berlumur emas. Bocah gundul itu
tanpa mengenakan baju dan tingginya hanya
setinggi pinggul Suto. Badannya yang agak gemuk
berkaki polos tanpa alas. Bocah Emas itu tepat di
atas kepala Suto, berdiri pada sebuah dahan yang
jaraknya sekitar lima tombak, dari tempat Suto dan Elang Samudera bersembunyi..
Pendekar Mabuk segera dekatkan mulutnya ke
telinga Elang Samudera.
"Merendahlah pelan-pelan. Sangat pelan sekali.
Jangan timbulkan suara apa pun!"
"Maksudmu..."!"
"Ssstt. .!" sambil tangan Suto menekan pundak Elang Samudera, lalu kedua pemuda
itu merendahkah badan dengan berjongkok bagai
tenggelam dalam semak-semak.
"Kalau begini tak bisa melihat. ."
"Sssstt. .!" Suto berdesis makin lirih, membuat Elang Samudera bertambah curiga
dan merasa aneh. "Ada apa sebenarnya"!" bisik Elang Samudera ikut-ikutan lirih sekali.
"Bocah Emas itu ada di atas kita. ."
Elang Samudera mendongak pelan-pelan.
Matanya segera terbelalak melihat Bocah Emas
berdiri di dahan dan sedang perhatikan ke arah
pertarungan. "It...!" Elang Samudera ingin tersentak kaget sambil menuding ke atas. Tapi
mulutnya buru-buru
dibungkam oleh tangan Suto rapat-rapat.
"Sekali dia mendengar kata, mampuslah kita
berdua, Tolol!" bisik Suto Sinting sambil menahan napas. "Diam dan jangan
bersuara apa pun!"
Elang Samudera akhirnya tak berani bersuara,
tapi hatinya berdebar-debar dan keringat dinginnya mulai keluar. Mereka tak
berani memandang ke
atas lagi karena Bocah Emas itu ternyata melompat
ke dahan yang lebih rendah lagi.
"Celaka! Mati aku kalau begini," gumam Suto Sinting dalam hati sambil persiapkan
satu pukulan maut yang akan dipakai untuk menghantam
serangan tiba-tiba dari atas kepalanya. la
menundukkan kepala dan tak berani mendongak
seperti tadi. * * * 4 PERTARUNGAN adu kecepatan pedang membuat
Bintang Semampai terdesak oleh serangan Paras
Jenazah. Sayang sekali hal itu tak bisa dilihat oleh Pendekar Mabuk maupun Elang
Samudera, karena
pandangan mata mereka tertutup oleh kerimbunan
semak dan akar-akar pohon. Mereka hanya
mendengar denting pedang beradu dengan sesekali
diselingi suara letusan kecil dan pekikan dari mulut Bintang Semampai.
Zaaph, wees...!
Bocah Emas di atas pohon pindah tempat dalam
bentuk pancaran sinar kuning emas. Dalam sekejap
saja Bocah Emas sudah bertengger di dahan pohon
seberang dan masih memperhatikan pertarungan
sengit kedua gadis tersebut.
"Ssst, sudah pergi!" bisik Elang Samudera kepada Suto.
"Kupingmu budek!" sentak Suto dengan suara bisik. "Apa kau tak dengar suara
denting pedang itu"!"
"Maksudku, bukan kedua gadis itu yang pergi,
tapi si Bocah Emas."
"Ah, yang benar"!" Pendekar Mabuk mendongak pelan-pelan. "Oh, ya... dia sudah
pergi. Ke mana pergi-nya"!"
"Itu. . di seberang sana!" Elang Samudera menuding tempat bertenggernya si Bocah
Emas. "Hmmm. . syukurlah kalau dia pindah ke sana,"
gumam Suto Sinting, lalu keduanya sama-sama
tegakkan badan walau masih jongkok. Kepala
mereka tersumbul pelan-pelan dari kedalaman
semak agar bisa melihat pertarungan tersebut.
Bintang Semampai pergunakan kedua tangannya
dalam mempertahankan tebasan pedang Paras
Jenazah yang bertubi-tubi itu. Tapi dalam satu
kesempatan, Bintang Semampai sempat lakukan
sentakan mundur bagaikan terbang ke belakang
dalam keadaan pedang tetap tergenggam dan tubuh
tetap sedikit membungkuk. Wuuut...! Jleeg!
Paras Jenazah tak banyak bicara tak ada
pekiknya. la melesat mengejar Bintang Semampai
dengan pedangnya berkelebat memutari tubuh
dengan cepatnya. Putaran pedang itu memancarkan
sinar merah bagai cahaya matahari terbit. Zaarrrb. .!
Tubuh cantik mungil itu jadi bersinar di sekeliling tepiannya.
Bintang Semampai tampak terkejut. Namun ia
segera lakukan gerakan plik-plak ke belakang dua
kali. Wut, wut...!
Buuuss...! Tiba-tiba asap menyembur naik lalu
sirna dalam waktu sekejap. Hilangnya asap itu
membuat Paras Jenazah hentikan gerakan. la tak
jadi menghujamkan pedangnya ke tubuh lawan,
karena orang yang ada di depannya itu ternyata
bukan lagi Bintang Semampai, melainkan seorang
lelaki berambut abu-abu dengan kumis dan
janggutnya yang pendek juga berambut abu-abu. la
mengenakan jubah hijau tua dan ikat pinggang kain
lebar warna hitam. Tangan kanannya menggenggam
tongkat kayu yang bagian atasnya berbentuk kepala
ikan lele. Lelaki kurus dan agak tinggi itu
memandang dengan tajam tapi berkesan penuh
kharisma. "Ooh. ."!" Paras Jenazah terkejut sekali dan membelalakkan matanya yang kecil
itu. "Siapa orang tua itu?" bisik Suto Sinting.
"Entah. Mana kukenal dia" Kita sama-sama
bukan orang sini!" jawab Elang Samudera. Tapi kedua pemuda itu segera paham
setelah melihat
Paras Jenazah berlutut sambil meletakkan
pedangnya di tanah dan bersujud di depan lelaki
berjubah hijau itu.
"Ampun, Guru! Saya tidak tahu kalau Guru-lah
yang menjelma menjadi Bintang Semampai!" ucap Paras Jenazah penuh hormat.
"Ooo.. dia gurunya si Paras Jenazah"!" bisik Suto Sinting kepada Elang Samudera
yang ikut manggut-manggut.
"Bangunlah muridku yang cantik!" ujar lelaki berjubah hijau itu sambil
menggerakkan tangan
kirinya, memberi isyarat agar Paras Jenazah bangkit.
Suto terkejut dan segera berbisik kepada Elang
Samudera. "Hei, lihat telapak tangan Pak Tua itu.
Ada tato bintang di telapak tangan itu, seperti
telapak tangan Bintang Semampai."
"Hmmm. . benar. Apakah Bintang Semampai
sebenarnya juga muridnya Pak Tua itu"!"
"Kurasa.. kurasa Bintang Semampai
menggunakan ilmu andalannya yang bernama
'Mancala Jelma'. Sebuah ilmu yang bisa mengubah
wujudnya menjadi siapa saja. Mungkin Bintang
Semampai pernah bertemu dengan gurunya Paras
Jenazah sehingga ia bisa menyamar sebagai gurunya
Paras Jenazah."
"O, jadi dia punya ilmu sehebat itu"!"
"Yang kudengar memang dia hanya punya jurus
andalan 'Mancala Jelma'. Karena itulah ia sangat
lihai untuk menjadi seorang mata-mata dan jago
menyusup ke pertahanan lawan."
Penjelasan Suto terhenti karena Paras Jenazah
segera bangkit sambil menggenggam pedangnya
kembali. Pandangan matanya tampak tak sehormat
tadi. Lelaki tua berjubah hijau itu berkata dengan
wibawa. "Hentikan tindakanmu, Muridku!"
"Guru tak pernah menyuruhku berdiri!" geram Paras Jenazah. "Jadi kurasa kau
bukan guruku!"
Wees. .! Pedang dikibaskan dari bawah kiri ke
atas kanan. Hampir saja merobek dada lelaki tua itu jika tongkat berkepala ikan
lele itu tidak segera dipakai untuk menangkisnya. Trak. .! Tongkat itu
patah terpotong sepertiga dari bawah.
Lelaki berjubah hijau itu segera melompat hindari
tebasan pedang berikutnya. Gerakannya begitu
cepat dan bersalto ke sana-sini. Teb, tab, tab...!
Jleg.. ! la tiba di tempat kosong, berdiri tegak
dengan tongkat tergenggam bagai menggenggam
pedang. Namun, dengan pandangan mata sejelas
mungkin, Elang Samudera dan Pendekar Mabuk
melihat Bocah Emas itu melompat dan melesat
cepat menerjang lelaki tua berjubah hijau dari arah belakang lelaki itu.
Wees. .! Brraass...!
"Aaahk. .!" satu pekikan terlontar pendek dari lelaki berjubah hijau. Mata Elang
Samudera terbelalak lebar sementara mata Pendekar Mabuk
justru mengecil dengan seringai kengerian.
"Edan. .!" geram Elang Samudera tampak shock sekali melihat Bocah Emas itu
menjebol punggung
lelaki tua berjubah hijau hingga tembus ke depan
dan hinggap di atas salah satu gundukan batu tak
seberapa tinggi. Jleeg. .!
Lelaki berjubah hijau diam mematung dengan
mata melebar dan mulut ternganga. Dadanya telah
bolong besar hingga pemandangan di belakangnya
dapat terlihat dari lubang besar tersebut. Brrruk. .!
Lelaki itu jatuh ke depan bagaikan sebatang kayu
tanpa nyawa lagi. Sementara si Bocah Emas
menggenggam sesuatu di tangan kirinya. Sesuatu
yang segera dimakannya itu tak lain adalah jantung lelaki berjubah hijau itu.
"Uuhk...!" Elang Samudera ingin muntah melihat kejadian mengerikan tersebut.
Tapi Pendekar Mabuk
segera membungkam mulut Elang Samudera dan
menekan pundak agar Elang Samudera
merendahkan badan, biar tak terlihat dari arah si
Bocah Emas berada.
"Tahan, tahan. .!" bisik Pendekar Mabuk dengan suara lirih sekali.
Elang Samudera berhasil menahan untuk tak jadi
muntah, tapi napasnya terengah-engah dan keringat
dinginnya kian keluar. Matanya masih pandangi si
Bocah Emas yang menghabiskan jantung itu dalam
waktu singkat, sementara ceceran darah yang
berlumuran di sekitar mulut, tangan, dan tubuh
lainnya itu mengering bagai terserap angin.
"Suto, lihat.. ! Pak Tua itu ternyata telah berubah menjadi Bintang Semampai"!"
"Sudah kuduga, akhirnya dia akan kembali ke
wujud aslinya!" gumam Suto sangat pelan, berupa bisikan mendesah.
"Dan. . dan sepertinya Bocah Emas itu mulai akan menyerang Paras Jenazah!"
Kata-kata Elang Samudera itu memang betul.
Bocah Emas tampak memandangi Paras Jenazah
dengan sorot pandangan mata menyeramkan. Gadis
berwajah cantik imut-imut yang mempunyai
pandangan mata dingin itu menjadi undurkan
langkah beberapa tindak. Pedangnya segera
dimasukkan ke dalam sarung pedang. la tampak
tegang dan diliputi kecemasan yang dalam.
Pendekar Mabuk melihat kedua tangan Bocah
Emas mulai sedikit merenggang. Suto ingat,
biasanya jika kedua tangan Bocah Emas mulai
sedikit merenggang, itu pertanda ia akan lakukan
lompatan cepat seperti yang dilakukan kepada
Bintang Semampai tadi. Suto sudah mulai cemas
dan berkata lirih sekali bagai bicara pada diri sendiri.
"Wah, mati dia! Mati juga si Paras Jenazah itu sebentar lagi!"
Elang Samudera menjadi ikut tegang dan resah.
"Apa maksudmu"!"
"Bocah Emas itu akan menyerang Paras Jenazah!'


Pendekar Mabuk 083 Bocah Titisan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau begitu cepat kita cegah!"
"Tunggu dulu!" sergah Suto Sinting dalam bisikan amat lirih.
Paras Jenazah segera berlutut satu kaki. Kaki
kirinya tetap menapak di tanah dengan lutut
tertekuk, sedangkan kaki kanannya jelas-jelas
berlutut hingga menyentuh tanah. Kemudian tangan
kanannya mengepal kuat-kuat dan kepalan itu
ditempelkan ke tanah dalam keadaan lurus. Kepala
gadis itu sedikit ditundukkan bagai memberi hormat kepada si Bocah Emas.
Kira-kira lima helaan napas mereka saling
bungkam. Si Bocah Emas pandangi Paras Jenazah
dengan dahi berkerut seperti diliputi kebimbangan.
Namun kejap berikutnya kerutan dahi pun hilang, si Bocah Emas tidak berwajah
menyeramkan lagi. la
justru melangkah ke samping seperti layaknya
bocah berusia lima tahun kurang yang sedang
hampiri tanaman berbunga liar.
"Kalau begitu kau orangnya Nyai Ratu"!" suara Bocah Emas terdengar benar-benar
seperti bocah. "Benar. Aku utusan Nyai Ratu Lembah Girang!"
jawab Paras Jenazah dengan tegas, lalu ia berdiri
kembali dengan tegak.
Pendekar Mabuk dan Elang Samudera saling
pandang dengan rasa heran.
"Dia tak jadi menyerang Paras Jenazah," bisik Elang Samudera.
"Mungkin karena ia segera mengenali bahwa
gadis itu di pihak Ratu Lembah Girang."
Elang Samudera manggut-manggut. Pandangan
matanya diarahkan kepada Bocah Emas kembali.
Bocah itu bermain setangkai bunga yang
mempunyai tangkai panjang. Wajahnya polos, sama
sekali tak ada kesan sebagai pembunuh terkeji di
dunia. "Mengapa hanya merampungkan cecunguk
seperti si Bintang Semampai saja kau tak becus"!"
Bocah Emas itu mengecam Paras Jenazah tanpa
memperhatikan orang yang dikecam. Perhatiannya
tertuju pada bunga bertangkai panjang itu.
"Sebenarnya satu jurus lagi Bintang Semampai
mati di ujung pedangku. Tapi kau bertindak lebih
dulu, dan aku kehilangan kesempatan untuk
melaksanakan tugas dari Nyai Ratu."
"O, begitu"!" nada bicara si Bocah Emas seperti sudah dewasa.
"Sekarang apa yang akan kau lakukan lagi, Paras Jenazah?"
"Pulang ke Istana Lembah Girang, menghadap
Nyai Ratu dan melaporkan tugas yang sudah
kuselesaikan ini!"
"Tugasmu belum selesai," ujar si Bocah Emas dengan tegas.
"Nyai Ratu hanya memberiku tugas membunuh
Bintang Semampai."
"Ya, tapi Bintang tidak sendirian."
"Apa maksudmu?"
"Bintang lebih berpihak kepada Kuil Perawan
Ganas. Sebaiknya habiskan sekalian orang Kuil
Perawan Ganas itu. Aku benci dengan ketiga ketua
kuil tersebut."
"Mengapa kau membencinya?"
Bocah Emas dekati batu yang ada di depan Paras
Jenazah, lalu melompat ke atas batu itu. Huup....!
Kini tinggi bocah tersebut sedada Paras Jenazah!
"Dewi Kun gagal kubunuh gara-gara tamu
tampannya yang bernama Pendekar Mabuk itu!"
kata Bocah Emas kepada Paras Jenazah.
"Hancurkan mereka! Aku akan menghancurkan
pihak Bukit Sulang dan orang-orang Lereng Hitam!"
"Tapi. . aku hanya akan jalankan perintah dari Nyai Ratu saja!"
Suut...! Bocah Emas menudingkan jarinya ke
depan. Sebatang jarum kuning melesat nyaris tak
terlihat. Jarum itu hampir saja menancap di dada
Paras Jenazah. Untung Paras Jenazah segera
mengangkat pedangnya yang tetap bersarung,
sehingga jarum itu kenai gagang pedang dan pecah
bersama letusan kecil yang memercikkan bunga api.
Trak, daarr...!
Paras Jenazah mundur dua langkah dengan
tegang dan terkejut.
"Kalau kau tak mau kuperintah, maka kau harus rela menyusul si Bintang Semampai.
Tahukah kau, bahwa kedudukanku lebih tinggi daripada Nyai
Ratu"!"
Paras Jenazah terpaksa membungkuk agak
rendah dengan kedua tangan memegangi pedang di
dada dalam keadaan gagang pedang menghadap ke
atas. Sikap hormat yang cenderung berkesan patuh
itu tampak melegakan si Bocah Emas.
"Bunuh si Pendekar Mabuk agar tak halangi
rencana kita!" perintah Bocah Emas dengan tegas lagi.
"Baik! Akan kukerjakan!" jawab Paras Jenazah.
"Bunuh pula temannya, dan juga tiga perempuan kembar kuil tersebut. Mereka
sangat membahayakan pihak kita!"
"Baik. Mereka akan kuhabisi dalam waktu
singkat!" "Kalau kau tak mampu hadapi Pendekar Mabuk,
panggil aku!"
"Aku mengerti."
"Kau juga mengerti bagaimana cara
memanggilku"!"
"Ya, aku mengerti. Nyai Ratu sudah jelaskan
semuanya."
"Bagus! Berangkatlah sekarang. Aku akan ke
Bukit Sulang dan menciptakan wabah kematian di
sana," kata Bocah Emas yang cenderung serupa
dengan bocah titisan iblis itu.
Laaab. .! Bocah Emas melesat dalam bentuk
cahaya emas yang memancar terang. Gerakan
cahaya itu menembus pepohonan, dan pepohonan
yang ditembusnya menjadi rusak tanpa suara, bagai
tercabik-cabik binatang buas. Bahkan pohon atau
tanaman yang ada di kanan kiri pohon rusak itu ikut-ikutan menjadi hancur bagai
tercabik-cabik binatang berkuku tajam. Sedangkan Paras Jenazah masih
berdiri di tempat pandangi kepergian cahaya kuning emas tersebut.
"Akan kuikuti cahaya emas itu!" ujar Elang Samudera.
"Tunggu!" cegah Pendekar Mabuk. "Kau tahu sendiri bocah itu seganas iblis lapar.
Apakah kau tetap ingin menangkapnya dan menyerahkan
kepada Ratu Remaslega?"
Elang Samudera diam, tak jadi bergerak, juga tak
ucapkan kata apa pun. la tertegun beberapa saat
merenungkan pertanyaan Pendekar Mabuk itu.
"Jika kau tetap ingin menangkapnya, berarti kau harus sudah siap untuk mati
seperti Bintang
Semampai itu," tambah Suto.
"Aku.. aku tak tahu harus bagaimana. Tapi yang jelas, aku akan mengikuti si
Bocah Emas itu. Apa
yang akan dilakukan olehnya, aku ingin tahu lebih
banyak dari apa yang sudah kulihat ini!" ujar Elang Samudera sambil memandang ke
selatan, ke arah
kepergian si Bocah Emas.
"Bagaimana dengan gadis itu"!"
"Dia mencari kita. Dia akan membunuh kita.
Kurasa kau lebih tahu apa yang harus kau lakukan
tanpa aku, Suto. Kalau kau ingin mati di tangannya, temui saja dia sekarang.
Kalau tak ingin mati di
tangannya, habisi dia lebih dulu!"
Kini Pendekar Mabuk yang tertegun dalam
bungkam. la harus menghabisi nyawa Paras Jenazah
yang imut-imut itu. Oh, alangkah sayangnya jika
gadis itu mati di tangannya"
"Tak adakah jalan lain kecuali harus membunuh Paras Jenazah?"
* * * E-book by: paulustjing
Email: paulustjing@yahoo.com
5 SUTO lebih setuju mengejar Bocah Emas yang
lebih berbahaya daripada Paras Jenazah. Diam-diam
dalam hati Suto Sinting mengkhawatirkan
keselamatan Elang Samudera jika harus mengikuti
Bocah Emas sendirian. Tidak menutup kemungkinan
Bocah Emas akan menyerang Elang Samudera di
luar dugaan si murid Pendeta Darah Api itu.
"Kudengar dia menuju ke Bukit Sulang. Kau tahu di mana Bukit Sulang berada?"
Suto Sinting gelengkan kepala. "Tapi kita bisa melacaknya lewat aroma cendana
yang tertinggal
dalam tiap gerakannya."
Aroma wangi cendana itu belum hilang sama
sekali. Masih bisa tercium dan diikuti arah
ketajamannya. Semakin tajam baunya semakin
dekat gerakan mereka dengan si Bocah Emas itu.
Sebaliknya semakin hilang baunya semakin salah
arah yang mereka tuju ke Bukit Sulang.
Tetapi semakin jauh mereka memburu ternyata
aroma cendana itu semakin hilang. Pendekar Mabuk
menyuruh Elang Samudera untuk hentikan langkah
sementara. Hidung mereka mendengus-dengus
mencari sumber aroma wangi cendana.
"Tak tercium sedikit pun," ujar Elang Samudera.
Baru saja Pendekar Mabuk ingin ucapkan sesuatu
tiba-tiba sebuah suara lain terdengar di belakang
mereka berdua. "Apa yang kau cari, Anak Muda"!"
Elang Samudera dan Pendekar Mabuk kaget, lalu
keduanya sama-sama palingkan wajah ke belakang.
Ternyata di belakang mereka telah berdiri seorang lelaki tua berjubah abu-abu
tanpa lengan, bertubuh tinggi dan kurus. Kulitnya berwarna aneh; coklat
berkerut-kerut seperti kayu terjemur. Bahkan bentuk jari-jari tangannya juga
menyerupai ranting.
Rambutnya yang panjang sepundak itu berwarna
hitam kehijau-hijauan, mirip serat-serat daun
cemara. Tongkat kayu yang digenggamnya nyaris tak
ada bedanya dengan bentuk tangannya.
"Agaknya ada sesuatu yang hilang dari
pengejaran kalian, Anak-anak Muda"!" tambah
Pengejaran Ke Masa Silam 1 Dewi Ular 88 Misteri Bencana Kiamat Pendekar Misterius 6
^