Pencarian

Lentera Kematian 1

Pendekar Mabuk 022 Lentera Kematian Bagian 1


Serial : Pendekar Mabuk
Judul : Lentera Kematian
Pengarang : "
Penerbit : "
E-book : paulustjing
1 KEGELAPAN malam bagaikan selubung kematian warna hitam.
Sekalipun langit cerah berbintang tanpa rembulan, tapi tak
sedikit pun bias sinar cerah ada yang menerangi jalanan di
ujung jembatan bambu. Jembatan itulah yang menghubungkan
Tanah Merah dengan Lembah Kabut.
Rindangnya dedaunan di sekitar Jembatan bambu itu yang
membuat kadang sinar rembulan pun tak bisa menerobos masuk
untuk menyinari jalanan penghubung itu. Sementara mereka
yang akan melintas dari Tanah Merah ke Lembah Kabut tak
punya pilihan lain kecuali melewati jalanan tersebut.
Karena di bawah Jembatan bambu yang sering berderit reot
jika terkena angin kencang itu adalah jurang yang amat
dalam dan tak mungkin bisa dilalui orang. Tetapi sudah
tiga malam ini di ujung jembatan nyala api lentera yang cukup
menerangi keadaan sekitarnya. Memang tak bisa sampai ke
seberang jembatan bias sinar lentera itu, tapi
setidaknya bisa digunakan pemandu langkah sebelum memasuki
jembatan bambu.
Seorang berpakaian putih bersama kedua temannya ingin
menyeberangi jembatan tersebut. Meraka dari Lembah Kabut
menuju Tanah Merah. Orang berpakaian putih itu berkata
kepada kedua temannya.
Ada lentera penerang jalan! Lumayan bisa kita bawa sampai
ke ujung jembatan, lalu kita tinggalkan di ujung sana, biar
orang dari sana nanti membawanya kembali dan meninggalkan
di sini!. "Ambillah! Memang sangat beruntung membawa lentera
melintasi jembatan. Setidaknya kaki kita tidak salah
langkah masuk ke jurang sedalam itu!" Orang berpakaian putih
itu mengambil lentera dan menentengnya sambil melangkah
menyeberangi jembatan. Dua temannya mengikuti dari
belakang. Langkah mereka sangat lancar karena penerangan
itu. Sekalipun jembatan bergoyang-goyang tapi langkah
mereka menapak dengan pasti. Dan ketika mereka sampai di
seberang jembatan, lentera itu diletakkan pada sebuah batu,
biar dipakai menyeberang oleh orang lain yang mau menuju
ke Lembah Kabut.
Namun tiga langkah setelah itu, orang berbaju putih
tiba-tiba jatuh, Brukk...! Ia mengerang sebentar. Temannya
menolong, yang berbaju kuning mengangkat kepala orang yang
jatuh, yang berbaju hijau menarik lengannya. Tetapi si baju
putih tiba-tiba mengejang dan berkeringat sekujur tubuhnya.
Kejap berikutnya si baju putih itu pun tersentak, napasnya
tertahan. lalu menghembus lepas dan tak bergerak lagi.
"Wirya...! Wiiir....!" temannya yang berbaju kuning
menepuk-nepuk pipi si baju putih itu.
"Ya, ampuuun... dia mati, Kas!"
"Pasti ada orang yang menyerangnya dengan senjata rahasia!"
kata Kasmo, yang berbaju hijau itu. "Coba periksa seluruh
tubuhnya, Rantu!"
Segera yang berbaju kuning bernama Rantu itu, memeriksa
bagian punggung Wirya. Ternyata tak ada luka seujung jarum
pun. Juga di bagian sekitar tengkuk, leber, lengan, kaki,
tak ada luka bekas tusukan atau goresan senjata rahasia.
Hanya saja, Kasmo dan Rantu menjadi heran melihat keringat
Wirya begitu banyak dan berbau amis, seperti amisnya darah.
"Apa dia kena sambet penunggu jembatan itu ya,Kas?"
"Kurasa... Uhg...! Uuhg...!"
"Kas...! Kasmo...."!"
Kasmo mendelik, ingin mengucapkan sesuatu tak bisa.
Tubuhnya kejang seketika, lalu ia rubuh dalam keadaan kaku.
Matanya terbeliak, tubuhnya berkeringat, makin lama semakin
banyak keringat yang mengucur dari tubuhnya. Kejap
berikutnya, Kasmo pun menghembuskan napas terakhirnya.
"Kasmo..."!" pekik Rantu dengan panik dan ketakutan, ia
memandangi kedua temannya yang tahu-tahu mati secara
misterius itu. Ia segera bangkit dan melarikan dengan sekuat
tenaga. Namun belum sempat tiga tindak ia melangkah,
tiba-tiba tubuhnya pun terasa keras, kejang, dan ia rubuh
ke tanah dalam keadaan menggelepar-gelepar sebentar.
Badannya mengucurkan keringat. Setelah itu napasnya pun tak
tertahankan lagi, lepas begitu saja untuk kemudian diam
selama-lamanya.
Dalam waktu singkat, tiga orang telah menjadi korban.
Padahal mereka adalah orang-orang Lembah Kabut. Orang-orang
Lembah Kabut terkenal kuat dan ganas-ganas. Pada umumnya
berilmu tinggi karena di Lembah Kabut itulah terletak benteng Perguruan Kobra Hitam. Perguruan ini sangat ditakuti di
kalangan dunia persilatan, karena keganasan ilmu yang
dimiliki oleh masing-masing murid perguruan tersebut.
Tapi agaknya kematian yang dialami oleh ketiga orang Lembah
Kabut telah membuat seseorang terkikik geli dan kegirangan
di balik kerimbunan semak belukar itu. Suara kikik tawa yang
tertahan itu segera lenyap setelah terdengar langkah orang
dari arah Tanah Merah. Dua orang melangkah menuju Lembah
Kabut, yang satu berpakaian hitam-hitam, yang satu
mengenakan pakaian putih-putih seperti Wirya tadi. Mereka
melangkah dengan gagahnya, karena di pinggang mereka
terselip golok panjang yang siap cabut dan bacok sewaktu
waktu ada musuh menyerang.
Dua orang gagah berdada kekar itu segera tersentak kaget
melihat ketiga mayat bergelimpangan di jalanan ujung
jembatan bambu.
"Edan!" geram yang berpakaian putih. 'Mereka mati di sini,
Guntolo! Siapa yang menyerang mereka"!"
"Periksa sekeliling tempat ini, Cambang !" perintah yang
berpakaian hitam-hitam.
"Kurasa pembunuhnya belum jauh dari sini!"
Cambang ganti memerintah Guntolo, "Ambil lentera itu, kita
periksa bersama di sebelah timur itu!"
Dengan menenteng lentera mereka memeriksa kerimbunan hutan
sebelah timur. Sebentar kemudian mereka memeriksa
kerimbunan hutan yang di sebelah barat.
"Tak ada manusia disini, Gun!"
"Coba kita periksa sampal di ujung jembatan sana!"
"Bukankah itu wilayah kita?"
"Barangkali orang itu sedang menyusup ke wilayah kita!"
Cambang dan Guntolo bergegas menyeberangi jembatan bambu.
Langkah mereka tampak tergesa-gesa dengan mata memandang
nanar. Tiba-tiba Guntolo yang memegangi lentera itu
tersentak, "Uhg,..!"
"Gun! Kenapa..."!"
"Dadaku sakit!" lentera diletakkan oleh Guntolo di atas
sebuah batu datar setinggi pinggangnya. Selesai meletakkan
lentera tubuhnya limbung dan dipapah oleh Cambang.
"Gun, ada apa..."!" Cambang menjadi tegang dan mulai cemas.
Guntolo mengejang, kejot-kejot sebentar. Tubuhnya berkeringat deras. Amis baunya. Kemudian tubuh itu tersentak
satu kali, untuk kemudian melemas mati.
"Gun..."! Guntolo..."!" Cambang mengguncang-guncang tubuh
temannya itu. Namun beberapapa saat kemudian, ia sendiri
mengalami nasib seperti Guntolo. Kejang, tak bisa bicara,
mendelik, berkeringat banyak, dan bau amis, akhirnya
menghembuskan napas terakhir dengan terkulai lemas.
Suara tawa mengikik dari dalam kerimbunan hutan itu
terdengar lagi. Tapi tawa itu tertutup sesuatu, sepertinya
tangan orang Itu sendiri yang menutup mulutnya.
Lima korban jatuh sudah. Apa penyebabnya, tak jelas. Tapi
sudah pasti ada saksi mata yang melihat kematian aneh itu.
Apakah saksi tersebut juga tahu penyebab kematian aneh
tersebut" Esoknya, gemparlah seluruh Lembah Kabut membicarakan
tentang kematian kelima orangnya. Peristiwa itu sungguh
membuat dunia seakan menjadi heboh, karena kematian lima
korban itu ternyata membawa korban lain.
Setiap orang yang mengangkut korban tersebut beberapa saat
kemudian mengalami nasib yang sama. Mengejang, kaku, mata
melotot, dan keluarkan keringat amis, setelan itu mati.
Dalam waktu singkat sembilan korban mati dengan keadaan
sama seperti kelima korban malam hari itu.
Kesembilan korban itu segera ditolong, dirawat mayatnya,
tapi toh tetap saja membawa korban baru sehingga jumlah
keseluruhan sampai siang hari ada dua puluh tiga korban
yang mati aneh. Kedua puluh tiga korban itu sama-sama
keluarkan keringat berbau amis.
Perguruan Kobra Hitam ditimpa musibah misterius. Logayo,
sebagai ketua perguruan tersebut segera keluarkan perintah,
"Jangan sentuh lagi mayat-mayat korban!"
"Bagaimana kami mau memakamkan mereka Ketua"!Mengapa Ketua
melarang kami menyentuh mayat-mayat saudara kami ini"!"
Ekayana mengajukan pertanyaan yang bersifat menentang
keputusan dan perintah sang ketua.
Dengan suara penuh kegusaran karena memendam murka, Logayo
berseru kepada Ekayana,
"Matamu buta! Mayat-mayat itu ternyata beracun, tahu"! Siapa
yang menyentuhnya, akan tertular racun dan mengalami mati
yang sama dengan mayat sebelumnya! Dan racun itu amat ganas.
Tak memberi kesempatan bagi orang yang terkena untuk ber-
obat ke mana pun juga! Kalau kau ingin mati seperti mereka,
sentulah mayat mereka, Ekayana!"
"Beracun..."!" Ekayana menggumam, dahinya berkerut "Siapa
yang mempunyai racun seganas itu"!
"Ambil sebagian keringat mereka memakai alat, dan suruh
Brajawisnu menyelidikinya. Racun jenis apa dan siapa
pemiliknya!"
Ekayana adalah orang kedua setelah Logayo. Ia banyak
bertugas sebagai penghubung antara Logayo dengan para
anggota lainnya. Perguruan itu, bukan semata-mata tempat
menimba ilmu dan menuntut kesaktian tinggi, melainkan juga
sebuah perkumpulan orang-orang sesat yang menghalalkan
segala cara untuk memperoleh kesenangan pribadi, atau
keuntungan bersama.
Brajawisnu adalah pakar racun yang juga menjadi guru di situ.
Jika para anggota atau murid Perguruan Kobra Hitam ingin
belajar ilmu racun, Brajawisnu-lah gurunya. Jika mereka
ingin memperdalam ilmu pedang, Ekayana-lah gurunya. Untuk
setiap bagian mempunyai setiap guru sendiri-sendiri.
Ekayana mempunyai julukan sebagai Malaikat Maha Pedang.
Brajawisnu mempunyai julukan Iblis Maha Racun, dan sebagai
ketua perkumpulan orang sesat, Logayo mempunyai julukan
sendiri, yaitu Dewa Murka.
Itulah sebabnya orang-orang Tanah Merah heboh dan saling
mengatakan, "Dewa Murka mengamuk! Dewa Murka marah besar
karena musibah yang menimpa Benteng Kobra Hitam!"
Orang-orang Tanah Merah bukan orang-orang seganas
kelompoknya Logayo. Di Tanah Merah juga ada perguruan, yaitu
di seberang sebuah perkampungan orang-orang kate.
Penduduknya kerdil-kerdil dan mempunyai masyarakat kerdil
tersendiri. Hidup mereka dari bercocok tanam. Karenanya,
perkampungan itu dinamakan Perkampungan Orang Kate, cukup
luas dan banyak penduduknya.
Di seberang Perkampungan Orang Kate itu terdapat sebuah
perguruan yang bernama Perguruan Elang Putih, dipimpin oleh
seorang guru yang beraliran ilmu putih, bergelar si Embun
Salju, ia seorang perempuan tua yang awet muda, Cantik dan
anggun laksana seorang ratu yang bijaksana. Tak banyak tokoh
persilatan yang tahu nama aslinya, karena setiap nama
aslinya disebutkan, maka hujan petir akan turun bersama deru
hembusan badai yang mengamuk. Karenanya, para tokoh rimba
persilatan lebih sering menyebut namanya sebagai Embun
Salju. Bagi mereka yang sudah tahu nama asli Embun Salju,
mereka tetap menyimpan nama itu, karena tak mau kedatangan
hujan petir dan amukan badai.
Perguruan Elang Putih ini benar-benar perguruan murni yang
mengajarkan ilmu-ilmu kebaikan. Mereka menempati sebuah kuil kuno yang letaknya tak seberapa jauh dari pantai. Dan
perguruan ini pernah
diserang oleh Perguruan Kobra Hitam, namun mereka kehilangan
jejak karena kuil tersebut bagaikan lenyap dimakan bumi
beserta para penghuninya.
Itulah sebabnya, Perguruan Kobra Hitam tak berani mendekati
orang-orang Elang Putih. Dewa Murka sendiri mengingatkan
kepada orang-orangnya agar menghindari permasalahan dengan
orang-orang Elang Putih. Tetapi hal itu dilakukan secara
diam-diam supaya tak kentara bahwa Dewa Murka merasa sungkan
dan agak takut kepada Embun Salju.
Melewati wilayah Tanah Merah, terdapat sebuah desa yang
makmur dan berpenduduk padat juga. Desa itu bernama Desa
Kanjengan, karena masih dalam kekuasaan seorang adipati
yang berkuasa sejak turun temurun dan berkedudukan jauh
dari Desa Kanjengan.
Hal yang dipertanyakan oleh orang-orang Lembah Kabut adalah,


Pendekar Mabuk 022 Lentera Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

siapa pemilik racun maut itu" Orang-orang Desa Kanjengan"
Atau salah satu dari Perkampungan Orang Kate" Atau orang
dari Elang Putih" Atau dari tempat lain. Mengingat banyaknya
orang tidak menyukai sikap dan tingkah laku orang-orang
Kobra Hitam, maka Brajawisnu mengatakan kepada mereka yang
hadir dalam pertemuan di bangsal tersebut,
"Orang-orang Kate tidak mungkin berani melintasi jembatan
itu, bahkan mendekatinya pun tak akan berani. Sedangkan
orang-orang Desa Kanjengan sudah gentar lebih dulu jika orang kita ada di sana. Tapi orang-orang dari Elang Putih masih
punya kemungkinan berani menyeberang ka Lembah Hitam ini
dengan menyebar racun di jembatan. Tapi seingatku, orang-orang Elang Putih tidak mempunyai racun jenis ini!"
"Racun apa itu?"
"Ini yang dinamakan Racun Getah Tengkorak. Getah itu
sebenarnya dari sejenis tanaman langka berkayu warna putih
kurus sebesar tulang, bercabang-cabang mirip tengkorak"
"Di mana adanya tanaman itu?" tanya Dewa Murka.
"Setahuku ,"kata Brajawisnu, 'Tanaman aneh itu tumbuh di
hutan bersalju. Tapi tidak setiap hutan bersalju punya
tanaman aneh itu."
"Hutan bersalju"!" gumam Ekayana. "Mungkinkah si Embun Salju
yang membawanya dari suatu tempat yang bersalju?"
"Jangan terkecoh dengan nama dan alam sebenarnya," kata
Brajawisnu. "Embun Salju hanya sebuah nama, bahkan mungkin
belum tentu ia mengenal tanaman aneh dan Racun Getah
Tengkorak ini"
Logayo segera berkata, "Jangan terpancing oleh dugaan yang
gegabah! Bisa-bisa kita bentrok dengan Embun Salju!"
"Mengapa takut?" sela Ekayana. "Mengapa harus jera"!"
Suara Logayo membentak kasar, "Aku bukan takut kepada Embun
Salju!" Tapi aku menghindari pertumpahan darah yang bisa
membuat orang-orang kita banyak yang mati! Sementara
persoalannya belum jelas bahwa Embun Salju yang memiliki
racun itu! Bodoh!"
Ekayana mengambil napas, menahan kesabaran. Ia mengangkat
tangannya sambil berkata, "Baiklah, baiklah...! Kita cari
dulu kemungkinan di tempat lain. Embun Salju adalah
kemungkinan terakhir jika memang di tempat lain tak ada
orang yang memiliki Racun Getah Tengkorak itu!"
Kemudian setelah terjadi hening sekejap, Logayo bertanya
kepada Brajawisnu dengan sisa suara geramnya.
"Siapa lagi yang pantas kita curigai menurutmu?"
"Tabib Cawan Maut!" jawab Brajawisnu.
"Apa urusannya orang setua renta begitu masih mau
mengganggu ketenangan kita"!" Ekayana menyanggah, karena
ia tahu, Tabib Cawan Maut sudah sangat tua, bahkan untuk
berjalan pun sudah payah, pelan, terbungkuk-bungkuk,
sempoyongan, dan tertatih-tatih. Tabib Cawan Maut tak
pernah keluar dari pondoknya. Mereka yang butuh obat datang
kepadanya dan ia tak pernah bersedia dibawa keluar dari
rumah. "Mengapa kau mencurigai orang setua Tabib Cawan Maut?" tanya
Logayo kepada Brajawisnu.
"Dia punya pelayan, Jongos Daki namanya. Bisa saja yang
melepaskan racun itu adalah Jongos Daki."
"Alasannya?"
"Kita pernah menghajar Jongos Daki ketika ia
menyembunyikan Shinta dari kejaran kita dulu! Barangkali
dia masih punya dendam kepada kita dan baru dilampiaskan
setelah tiga tahun peristiwa itu terjadi,"
"Kecil kemungkinannya!" sahut Pancakana, guru untuk
jurus-jurus cambuk maut yang bergelar Hantu Naga Belah.
"Kurasa Jongos Daki sudah melupakan peristiwa yang sudah
tiga tahun berlalu itu!"
Logayo manggut-manggut dengan mata masih lebar dan brewoknya
diusap-usap. Lalu, ia bertanya lagi kepada Brajawisnu,
"Selain Jongos Daki dan Tabib Cawan Maut, siapa lagi yang
memungkinkan bisa memiliki Racun Getah Tengkorak itu?"
"Tabib Awan Putih," jawab Brajawisnu.
"Dia tidak punya masalah dengan kita! Dia hanya kenal sama
kita dan tidak bikin perkara apa pun!"
Tapi dia seorang tabib, Tabib dari Cina. Sangat tahu akan
Racun Getah Tengkorak," kata Brajawisnu. "Bisa saja dia
disuruh seseorang dengan upah tinggi untuk menyerang kita
dengan racun ganas ini!"
"Masuk akal,"kata Pancakana, lalu diam lagi,
"Selain Tabib Awan Putih?"
"Orang-orang Sedayu!"
Tiba-tiba Logayo menarik wajahnya dari sedikit maju menjadi
tegak. Ekayana juga terkesiap mendengar nama Sedayu.
Pancakana sendiri menyipitkan mata dengan dahi segera
berkerut. "Mungkinkah mereka menyerang kita?" ucap Logayo pelan.
"Kenapa tidak" Sedayu merasa jengah dan bosan melayani
cinta Ekayana. Ia merasa tak mampu menghindar, maka ia bunuh
kita satu persatu dengan cara seperti yang sudah kita lihat
sendiri" "Bukankah Sedayu mencintai Ekayana?" kata Pancakana.
"Memang. Tapi cinta yang bagaimana" Setelah ia menguasai semua
Jurus pedang Ekayana, apakah dia masih cinta" Jika benar masih
mencintai Ekayana, mengapa dia selalu menolak jika Ekayana
mengajaknya menikah?"
"Jika benar orangnya Sedayu," kata Logayo, lantas, dari mana
dia mendapatkan Racun Getah Tengkorak yang amat langka itu?"
"Pranawijaya...!" jawab Ekayana sendiri.
"Benar!" Brajawisnu menegaskan.
"Pranawijaya seorang pengelana, ia juga mempunyai jurus pedang
yang cukup lumayan, Ia sedang naksir Sedayu, walau Sedayu tidak
nyata-nyata membuka hati untuknya. Tapi dengan bantuan
memberikan Racun Getah Tengkorak, Sedayu dapat terkesan dan
tertarik nyata-nyata kepada Pranawijaya. Mungkin juga
Pranawijaya sendirilah yang menyebarkan racun itu ke tubuh
korban kemarin malam!" kata Ekayana dengan wajah tanpa senyum
dan sedikit memerah.
"Tapi mengapa kita yang diserang sedangkan urusannya adalah
urusan antar pribadi. Kau dan dia !" kata Logayo.
Ekayana yang menjawab lagi, "Mungkin... mungkin Sedayu sendiri
juga tidak suka dengan perkumpulan kita ini! Untuk membuat
perguruannya naik, ia harus menggempur perguruan kita!
Setidaknya jika berhasil, ia akan mendapat pujian dan sorotan
dari para tokoh persilatan! Dan Pranawijaya hadir sebagai pelaku impian Sedayu!"
Logayo menggeram pelan, tapi segera menyentak. "Serang
orang-orang Sedayu!"
2 DEBUR ombak bagaikan nyanyian alam kubur yang terpendam
lama. Ketika lidahnya menghantam batuan karang, sang ombak
pun pecah tak berbentuk lagi. Namun kejap berikut toh ia
datang lagi dengan garangnya menghantam batuan karang tanpa
kenal menyerah dan pasrah. Seperti ombak itulah gemuruh
laga dua tokoh tua yang sedang bertarung di atas dua gugusan
batu karang. Gugusan batu karang itu terpisah antara sepuluh tombak
jauhnya. Di masing-masing gugusan karang itu duduk dua sosok
manusia lanjut usia yang dapat dilihat dari putihnya rambut
mereka, atau keriputnya kulit wajah mereka. Seorang lelaki
berambut panjang dan rata dengan uban itu membiarkan
rambutnya dipermainkan angin laut, hingga sesekali
menyirat di wajahnya yang berkumis dan berjenggot putih itu.
Ia duduk bersila mengenakan jubah putih dalam usia sekitar
tujuh pulu tahun, sedangkan lawannya yang sejak tadi
tampak tangguh menahan kekuatan tenaga dalamnya itu juga
duduk bersila di atas gugusan karang di seberangnya.
Tokoh tua yang satu ini pernah muncul dan berhadapan dengan
Pendekar Mabuk dalam kisah 'Manusia Seribu Wajah'. Orang
itu berbadan kurus seperti lawannya, bermata cekung dan
berkulit keriput, rambutnya putih beruban rata disanggul
tengah, sisanya dibiarkan meriap sekeliling konde itu. Ia
mengenakan jubah hitam dan celana putih. Biasanya tokoh
wanita berilmu tinggi ini bersenjata tongkat lengkung warna
hitam, tapi kali ini tongkat itu diletakkan di sampingnya,
ia tak lain adalah Nini Pasung Jagat. Guru dari si bencong
Tanjung Bagus. Perempuan itu duduk bersila dengan kedua tangan di dada,
yang kiri menyangga pergelangan tangan kanan yang membuka
telapaknya dan menghadap ke samping dalam keadaan tegak
lurus. Matanya sedikit terpejam, bagai tengah mengerahkan
segala kekuatannya untuk menyerang lawannya lagi.
Sementara itu, si Jubah Putih juga duduk bersila dengan kedua
tangan di depan dada, hanya dua telunjuk dan dua ibu jarinya
yang saling bertemu, sisa jari lainnya menggenggam. Orang
itu juga tampak sedang memusatkan segenap jiwa, batin dan
pikirannya untuk mengeluarkan serangan tenaga dalam kepada
lawannya. Mulut mereka sama-sama bungkam mencapai lima puluh helaan
napas. Tetapi tiba-tiba dari ujung jari telunjuk si Jubah
Putih melesat sinar biru memanjang bagaikan sebatang
tongkat kecil. Sinar biru itu melesat menuju Nini Pasung
Jagat. Tetapi dari tengah kening Nini Pasung Jagat mendadak
keluar sinar merah berbentuk bola sebesar jeruk nipis.
Cahaya merah berpendar-pendar itu berkelebat bagai di
panahkan dari tengah dahi Nini Pasung Jagat, kemudian
menghantam sinar biru bagaikan menyongsong serangan sang
lawan. Blarrr...! Entah untuk yang keberapa kalinya bunyi ledekan menggelegar
itu terjadi di atas perairan laut biru itu. Ledakan yang
kali ini ternyata menimbulkan gelombang angin kencang yang
membuat seluruh rambut si Jubah Putih berkelebat ke belakang
dengan kuatnya, jubahnya pun terhempas ke belakang bagai
mau robek dari jahitannya. Sedangkan Nini Pasung Jagat pun
mengalami hal serupa, bahkan tubuhnya sedikit guncang akibat
menahan gelombang angin yang ditimbulkan dari benturan dua
sinar bertenaga dalam tinggi tersebut.
Masih hening sesaat di antara kedua tokoh sakti itu. Mereka
bagai mengumpulkan tenaga kembali, membiarkan suara debur
ombak mengisi keheningan di antara mereka berdua. Hanya
saja, kejap lain sang nenek mulai memperdengarkan suaranya
yang lantang itu,
"Menyerahlah. Padmanaba! Serahkan pusaka itu untuk
kuberikan dan kuwariskan kepada muridku!"
"Berteriaklah sekuatmu memohon begitu, Nini Pasung Jagat!
Sampai tenggorokanmu pecah dan mulut tuamu robek, tak akan
aku serahkan benda itu kepadamu!" seru Ki Padmanaba alias
si Jubah Putih itu dengan suara tua yang masih lantang juga.
"Kau benar-benar k eras kepala, Padmanaba! Kau ternyata lebih sayang dengan benda itu daripada dengan nyawamu! Benar-benar
manusia bodoh dan dungu kau, Padmanaba!
"Terserah apa katamu. Pasung Jagat! Yang jelas aku
mempertahankan amanat guru kita, bahwa benda itu tak boleh
jatuh ke tangan orang lain, sekalipun ke tanganmu dan ke
tangan muridku sendiri! Karenanya benda itu tak pernah
kuserahkan kepada siapa pun!. Cucuku pun tak kuwarisi pusaka tersebut apalagi kamu. Pasung Jagat!"
"Benar-benar serakah, geramm Nini Pasung Jagat. Matanya
memandang dengan tajam dan ganas. "Cukup lama pusaka itu
ada padamu, sekarang giliran aku yang harus memegang pusaka
itu, Padmanaba! Kalau kau tak memberikannya, aku akan me
rebut darimu sekalipun harus membunuh nyawa saudara
seperguruan sendiri!"
"Aku siap menerima ancamanmu, Pasung Jagat! Kapan saja kau
ingin mencabut nyawaku, aku telah siap menghadapimu! Hanya
yang kukhawatirkan, apakah kamu sendiri mampu mempertahan
kan nyawamu dari tanganku ini. Pasung Jagat!"
"Jangan kau meremehkan aku. Padmanaba! Ilmu yang kumiliki
bukan saja ilmu dari guru kita, melainkan kuperoleh dari
beberapa tempat, beberapa orang, dan beberapa waktu! Kau
tak akan bisa me nandingi kesaktianku, Padmanaba!
Percayalah, tak akan bisa!"
"Pasti bisa!" jawab Ki Padmanaba dengan tegas dan penuh
keyakinan. "Kau pikir aku tidak mempersiapkan diri untuk


Pendekar Mabuk 022 Lentera Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melawanmu sejak dulu, hah" Aku tahu suatu saat kau akan
merebut pusaka itu dariku! Jadi aku sudah persiapkan jurus
pencabut nyawa untukmu, Pasung Jagat!".
"Keparat busuk kau. Padmanaba!" geram Nini Pasung Jagat,
kemudian kedua tangannya terangkat ke atas dalam keadaan
tetap duduk bersila. Wajahnya menyeringai bengis
memancarkan geram
nafsu untuk membunuh saudara seperguruannya itu.
Tetapi agaknya Ki Padmanaba sendiri tidak kalah siap. la
segera membuka telapak tangannya dan meletakkan ke samping.
Dalam keadaan terbuka menghadap ke bawah ujung
jari-jarinya. Dan ketika dari kedua tangan Nini Pasung Jagat
mengeluarkan sinar hijau berturut-turut dengan cepatnya
menyerang bak senjata rahasia itu, Ki Padmanaba
menyentakkan kedua telapak tangannya ke depan, tak sampai
lurus kedua tangan tersentak, ternyata dari telapak tangan
keduanya menyorotkan sinar biru pecah bagaikan lampu besar
di ujung mercu suar.
Wussst...! Sinar terang warna biru itu membentuk kabut setelah bertemu
dengan sinar hijaunya Nini Pasung Jagat. Kabut itu
membungkus sinar hijau tersebut, hingga terjadi beberapa
kali letupan yang teredam suaranya.
Tub, belp... tubb, tub, bleb...!
Namun Nini Pasung Jagat ternyata sudah menduga akan terjadi
hal seperti itu. Dan ia telah siapkan serangan lain melalui
kedua matanya. Dalam sekejap dari kedua matanya itu melesat
mengeluarkan dua berkas sinar ungu yang melesat cepat meng-
hantam dada Ki Padmanaba. Agaknya sinar ungu itu sangat di
luar dugaan Ki Padmanaba, sehingga ia sangat terkejut ketika
sinar ungu itu melesat menghantam dadanya.
Dabb....! Bagai mendapat dua pukulan besar dada Ki Padmanaba terasa
mau jebol sampai ke belakang. Pukulan itu sangat dahsyat.
Berat dan kuat, sehingga tubuh kurus Ki Padmanaba pun
terpental hebat. Tubuh itu melayang bagaikan dilemparkan
dan jatuh di pasir pantai yang jaraknya dari tempat ia duduk
tadi sekitar lima belas tombak.
Brugggh...! Bruss....!
Tubuh itu sempat menyerosot di pasir pantai dalam keadaan
terkapar. Dada nya menjadi hitam, pakaiannya menjadi hangus.
Dan wajahnya pun pucat pasi, tak bisa bernapas.
Pada waktu itu, seorang pemuda gagah dan tampan, berpakaian
coklat dan celana putih, tiba di pantai tersebut. Langkahnya
terhenti ketika dilihat-nya sesosok tubuh menyerosot ke arah
depan kaki nya. Dan pemuda berambut panjang lemas dan tak
mengenakan ikat kepala itu segera terkesiap mata nya, kaget
melihat wajah orang yang menyerobot di depan kakinya itu.
"Ki Padmanaba..."!" cetusnya kemudian. Pemuda yang
menyandang bumbung tempat tuak di punggungnya itu segera
berjongkok untuk memeriksa keadaan orang sakti yang
dikenalnya itu.
"Ki Padmanaba" Apa yang terjadi"!"
Mata tua yang sedang sekarat itu sempat memandang ke arah
pemuda yang tak lain adalah si Pendekar Mabuk itu. Mulutnya
yang sulit bernapas segera mengucapkan kata pelan,
"Suto.... Sinting..."
"Ya, saya Suto Sinting, murid dari si Gila Tuak, sahabat
Ki Padmanaba itu! Kita pernah bertemu walau satu kali. Masih
ingatkah Ki Padmanaba pada guru saya"
"Selamatkan... pusaka... Pucuk Cemara Tunggal dalam
purnama..." Ki Padmanaba tidak menggubris pertanyaan
Pendekat Mabuk tadi, tapi ia mengucapkan kata kata yang
menyerupai sebuah pesan itu.
"Ki Padmanaba, minumlah tuak saya ini untuk..., untuk...,"
Suto Sinting ingin menuangkan tuak ke mulut Ki Padmanaba
yang berwajah seputih kapas itu. Namun ternyata Ki Padmanaba
sudah tidak bernapas lagi. Matanya terpejam sedikit dengan
mulut ternganga, tubuhnya dingin membeku dan tak bergerak
sedikit pun. "Oh, terlambat aku memberinya minum tuak ini !" gumam Suto
dalam nada penuh kekecewaannya. 'Kalau saja aku sempat
memberinya minum tuak ini, pasti luka hangus di dadanya akan
cepat sembuh, ia akan tertolong jiwanya. Kasihan, Ki
Padmanaba...! Mengapa begitu bertemu denganku lagi pada
saat ia ingin menghembuskan napas terakhirnya" Sungguh tak
kusangka peristiwa ini akan kuhadapi. Dan... dan apa yang
diucapkannya tadi" Seperti sebuah pesan atau amanat"!"
Mendadak Suto dikejutkan dengan kehadiran tokoh tua yang
menjadi lawan Ki Padmanaba tadi. Kesadaran Suto dari
lamunannya membuat pemuda itu berjingkat lompat ke belakang
dan siap menghadapi serangan dengan kuda kuda kekarnya.
Matanya menjadi terkesiap ketika memandang kearah tokoh tua
yang bermata cekung itu,
"Oh, kau rupanya, Nini Pasung Jagat..."!"
"Iyaah...! Aku yang membunuh Ki Padmanaba! Mau apa kau, Suto
Sinting, Pendekar Mabuk"! Mau apa, hah..."!" ucapan Nini
Pasung Jagat pelan, tapi penuh tekanan menggeram dengan
wajah memandang angker.
Terlintas dalam sekejap ingatan Suto pada saat bertemu
dengan tokoh itu di saat ia ingin menyembuhkan si Kembang
Hitam (Baca Serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Manusia
Seribu Wajah")
Teringat pula kehebatan ilmu Nini Pasung Jagat yang
mempunyai Jurus andalan kala itu bernama 'Rembulan Jantan'.
Hampir saja Suto Sinting mati atau celaka oleh Jurus
tersebut. Nenek yang satu ini memang agak berbahaya.
Kelihatannya biasa-biasa saja, tapi serangannya bisa
membawa maut yang sukar dilawan.
Terasa heran Suto mendengar pengakuan Nini Pasung Jagat
telah membunuh Ki Padmanaba. Padahal Ki Padmanaba ilmunya
cukup tinggi, hampir memadai dengan Ki Jangkar Langit atau
hampir menyamai ilmu bibi Guru Suto yang bernama Bidadari
Jalang itu. Jika Ki Padmanaba bisa terbunuh oleh Nini Pasung
Jagat, berarti Nini Pasung Jagat setidaknya mempunyai ilmu
seimbang dengan Ki Padmanaba, bisa jadi lebih tinggi. Atau
karena saat pertarungan Ki Padmanaba agak lengah"
Pendekar Mabuk tidak tahu bahwa Ki Padmanaba dan Nini Pasung
Jagat adalah saudara seperguruan. Hanya saja, selepasnya
Nini Pasung Jagat dari gunung tempat dirinya digembleng itu,
ia segera mencari guru lain dan menekuni beberapa kitab pu-
saka yang pernah dipinjam, dicuri, atau ditemukan secara
tak sengaja. Itulah yang membuat Nini Pasung Jagat kelihatan
lebih unggul dari Ki Padmanaba. Suto pun tidak tahu persoalan
sebenarnya antara kedua tokoh tua itu, tapi ia didesak oleh
Nini Pasung Jagat.
"Apa yang ia katakan tadi, Suto"!"
"Apa maksudmu?" Suto berlagak bego.
"Kulihat di kejauhan tadi, ia bicara padamu! Apa yang ia katakan padamu"! Katakanlah pula padaku, Bocah Sinting"!" perempuan
tua yang masih tersisa rias kecantikan usangnya itu
menggertak bagai mengancam maut kepada Suto Sinting. Tapi
pemuda tampan yang murah senyum itu justru meneguk tuaknya
beberapakali dengan cara mendongak dan menuangkan bumbung
tuak tersebut. "Benar-benar sinting kau! Diajak bicara orang tua malah
menenggak tuak! Hihh...!"
Wutt....! Pukulan tenaga dalam jarak jauh dilepaskan dari sentakan
pendek tangan kiri Nini Pasung Jagat. Pukulan Jarak Jauh
itu tidak bercahaya, namun dapat dirasakan oleh Suto
hembusan anginnya yang menuju ke arah pinggangnya. Maka,
dengan kalem Suto menyentitkan Jari telunjuknya, mengirim
tenaga dalam melalui Jurus 'Jari Guntur'-nya itu. Wuttt...!
Dubbb...! Nini Pasun g Jagat terguncang sedikit tubuhnya. Pukulan
tenaga jarak jauhnya bagaikan membalik sebagian dan
menghentak perutnya, ia menjadi lebih geram dengan mata
memandang penuh ketajaman permusuhan. Di dalam hatinya ia
membatin, "Bocah ini memang tak bisa dianggap sepele! Seluruh
kekuatan dan kesaktian dia ada dalam diri bocah ini!' sambil
sang nenek membayangkan seraut wajah yang menjadi gurunya
Suto Sinting, yaitu seraut wajah si Gila Tuak yang punya nama
asli Sabawana. "Bocah sinting!" seru Nini Pasung Jagat, "Aku tahu, Ki Padmanaba adalah sahabat
gurumu! Pasti ada pesan rahasia yang
disampaikan oleh Padmanaba sebelum ia menghembuskan napas
terakhirnya tadi, sebab ia pun pasti tahu bahwa kau adalah
murid sahabatnya. Pertemuan di ambang kematiannya, adalah
suatu keberuntungan besar bagi Ki Padmanaba. Tapi sekalipun
hanya berupa pesan, aku harus merebut pesan itu darimu,
Suto!" "Apa yang diucapkan tadi oleh Ki Padmanaba, sedang
kupikirkan, Nini! Sebab aku lupa!' jawab Pendekar Mabuk
dengan senyum tenangnya.
"Sabawana tidak akan mempunyai murid bodoh, pasti ia
memilih murid yang cerdas! Jadi aku tidak percaya, kalau
kau lupa dengan pesan Padmanaba tadi, Bocah Sinting!"
Suto tertawa pelan, geli sendiri melihat sikap si nenek yang
sangat penasaran itu. Kemudian tetap dengan kalem Suto pun
berkata kepada Nini Pasung Jagat,
"Manusia itu mempunyai kodrat yang sama, ingat dan lupa
selalu ada pada diri setiap manusia,Nini!"
"Tak perlu bertele-tele kau bicara padaku, Suto! Katakan
apa yang diucapkan Padmanaba tadi"! Lekas!" sambil Nini
Pasung Jagat mulai mengangkat tongkatnya.
"Apa maumu menggertakku begitu. Nini" Bukankah lebih baik
kita tidak saling bermusuhan, ketimbang harus saling
membunuh?"
"Apa pun yang terjadi, kau memang harus kubunuh,Suto!"
"Hanya untuk sebuah pesan dari mulut orang yang sudah mati,
kau tega membunuhku, Nini?"
"Bukan hanya karena itu!" gertak Nini Pasung Jagat dengan
suara semakin keras dan wajah kian beringas.
"Jadi karena apa lagi jika bukan karena itu?"
"Kau murid si Gila Tuak! Itulah sebabnya aku harus
membunuhmu!"
Berkerut tajam dahi Suto Sinting mendengar jawaban tersebut,
ia pun segera bertanya dengan nada heran,
'Mengapa sebab itu" Apa salahnya aku menjadi murid si Gila
Tuak di matamu" Aku tak pernah mengganggu ketenangan dan
kedamaianmu, bahkan kau yang menggangguku dan menyerangku
lebih dulu pada waktu kita Jumpa di Pulau Hitam itu"!"
"Hm...!" Nini Pasung Jagat mencibir sinis,, melangkah pelan
mengelilingi Suto Sinting dengan mata tertuju ke arah Suto.
Tajam. "Kau tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi antara
aku dan gurumu!"
Hati Pendekar Mabuk semakin tertarik dan menjadi ingin
tahu, apa sebenarnya yang terjadi antara Nini Pasung Jagat
dengan si Gila Tuak, gurunya itu. Sengaja Pendekar Mabuk
tak bertanya apa apa, tapi dengan kerutan dahinya yang
dipamerkan semakin tajam itu, Nini Pasung Jagat merasa
mendapat pertanyaan yang membuat ia harus melanjutkan
ucapannya. Langkahnya terhenti lebih dulu, baru mulut sang
nenek mulai bicara kembali.
"Entah beberapa puluh tahun yang lalu, lebih dari setengah
abad, ada seorang gadis yang mencintai Sabawana. Begitu
besar cintanya, sehingga gadis itu mau berkorban
meninggalkan keluarganya, meninggalkan adik-adiknya,
ayahnya, ibunya, hanya untuk mengikuti pengembaraan
Sabawana. Beratap langit, bertudung hujan, gadis itu dengan
setianya mendampingi Sabawana! Tetapi alangkah sakit hati
gadis itu, setelah tahu Sabawana ternyata tidak bersedia
menikah dengan gadis itu. Bahkan ia jatuh cinta dengan
perempuan lain! Sekalipun mahkota sang gadis masih tetap
terjaga, tapi pengorbanannya yang meninggalkan seluruh
keluarga serta kampung halaman, kesetiaannya yang tak
pernah lapuk dipanggang mentari serta digores badai hujan
itu, adalah suatu hal yang amat menyakitkan jika dikhianati!
Sampai sekarang gadis itu masih sakit hati kepada Sabawana
alias si Gila Tuak. Dan gadis itu adalah aku sendiri, Suto!
"Oh..."!" Pendekar Mabuk terperanjat sekejap, kemudian
segara kembali menenangkan hati dan jiwa nya.
"Sampai sekarang aku masih mendendam kepada gurumu, Suto!
Empat kali aku bertemu dengannya dan mencoba membunuhnya
untuk melampiaskan sakit hatiku, tapi selalu gagal. Dia
memang jauh lebih sakti dariku! Tapi setelah usiaku mencapai
se tua ini, tentunya ilmuku terus bertambah! Akan kucari
si Gila Tuak untuk kubunuh!'
"Kau tak akan berhasil. Nini!"
"Harus berhasil" jawab Nini Pasung Jagat dengan menyentak
keras. "Kau pikir aku akan gagal membunuh si Gila Tuak itu
karena dia mempunyai murid yang lebih muda, lebih tangguh
dan lebih per- kasa ini"! Hmm...! Tidak! Aku tidak akan gagal
membunuhnya, Suto! Karena sebelum aku membunuh- nya, mungkin
aku harus membunuh muridnya dulu!
Karena aku benci pada ilmu yang dimiliki oleh si Gila Tuak,
dan ilmu itu ada padamu, maka aku harus membunuhmu! Kalau
toh tidak berhasil membunuhmu lebih dulu, tentu saja aku
membunuh Gila Tuak lebih dulu, baru menyusul membunuh
muridnya! Berdetak setiap denyut nadi yang ada dalam diri Suto.
Merah telinganya mendengar kata-kata Nini Pasung Jagat. Tak
ketinggalan gigi

Pendekar Mabuk 022 Lentera Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pun menggeletuk kuat-kuat menahan amarahnya. Apalagi setelah Suto Sinting mendengar kata-kata Nini
Pasung Jagat selanjutnya itu, yang mengatakan,
"Gila Tuak di mataku saat ini tidak lebih dari seekor semut
yang siap digilas kapan saja! Seluruh ilmu dan kesaktian
Gila Tuak ada di telapak kakiku, sebagian ada di pantatku,
tahu"! Dan menurutku. Gila Tuak memang pantas mati dalam
keadaan tercabik-cabik tubuhnya, biar semua orang tahu,
bahwa Gila Tuak telah modar tak bergeming lagi namanya yang
besar itu!' Darah Pendekar Mabuk bagaikan mendidih, ia selalu tak rela
dan marah jika nama gurunya dijelek-jelekkan atau dihina.
Dan apabila Suto Sinting mulai marah, napasnya pun berubah
menjadi napas yang mengerikan. Jika ia saat itu
menyentakkan napasnya ke arah Nini Pasung Jagat, maka nenek
tua itu sudah pasti akan melayang terbang terhempas badai
yang amat dahsyat. Pepohonan akan tumbang, batu-batu besar
akan beterbangan, awan hitam datang dan bergulung-gulung
di langit, sambil sang petir menghujani bumi.
Itulah kedahsyatan ilmu Napas Tuak Setan yang ada dalam
diri Pendekar Mabuk. Napas maut itu tidak akan ada
seandainya Suto tidak menelan Pusaka Tuak Setan, yang
mestinya dimusnahkan namun secara tidak sengaja tertuang
masuk ke dalam mulutnya dan tertelan. (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode: "Darah Asmara Gila").
Tetapi Pendekar Mabuk itu selalu berusaha agar tidak
menggunakan jurus 'Napas Tuak Setan' yang bisa mendatangkan
bencana dan korban bagi pihak tak bersalah. Hanya dalam
keadaan sangat terpaksa saja, maka Suto mau tak mau
melepaskan jurus "Napas Tuak Setan" tersebut.
Seperti saat ini Suto Sinting masih berusaha menahan diri
agar tidak melepaskan Napas Tuan Setan nya. Sekalipun
demikian, karena di dalam hati Suto bergemuruh darah murka
akibat gurunya dihina sedemikian rupa oleh Nini Pasung Jagat, maka napas biasanya saja sudah bisa membuat pasir-pasir
pantai beterbangan. Butiran pasar di bawah kaki Suto yang
terkena hembusan napas biasanya itu menjadi cekung dalam,
karena pasir itu menyirat ke mana mana terkena angin kencang
dari napas Pendekar Mabuk.
Pendekar Mabuk berdiri tegak dengan mata memandang dingin
ke arah Nini Pasung Jagat, ia tak mau menundukkan kepala,
takut napasnya membuat tanah di bawah kaki menjadi kian
cekung ke dalam. Tetapi dengan keadaan berdiri tegak, mata
me mandang Nini Pasung Jagat, wajah terangkat datar ke depan,
napasnya toh masih membuat rambut Nini Pasung Jagat
meriap-riap ke belakang, bagaikan mendapat semburan angin
dari arah depannya.
Di dalam hatinya Nini Pasung Jagat mulai berkata dalam
kecemasan. "Celaka! Kurasa bocah sinting ini juga punya "Napas Tuak
Setan'! Apakah Sabawana memberikan Pusaka Tuak Setan
kepada bocah ini" Oh, sinting betul si Sabawana jika benar
begitu! Bukankah dia sendiri tak berani meminum Tuak Setan
karena takut mencelakai orang tak bersalah melalui
napasnya"! Tapi mengapa bocah bau kencur ini bisa
mengeluarkan napas sekuat dan sepanas ini" Padahal ia
bernapas dengan biasa-biasa saja"! Oh, kulit wajahku yang
kena napasnya ini menjadi seperti berada di depan kawah
gunung berapi. Panas sekali. Rambutku bisa keriting
terbakar kalau terlalu lama berada di depan bocah sinting
ini! Agaknya aku memang ha rus menyingkir lebih dulu! Pusaka
itu harus kutemukan, setelah itu baru aku melawan bocah
sinting ini!' Terdengar Pendekar Mabuk berkata dengan suara datar
menandakan sedang memendam kemarahan besar dalam hatinya,
"Jangan sekali-sekali menghina Guru di depanku, Nini Pasung
Jagat! Kau tak akan mendapat ampun sedikit pun dariku jika
hal itu kau lakukan lagi! Kau tak akan mendapat kesempatan
untuk menyerangku jika aku sudah menuntut penghinaan itu
padamu, Nini! Ingatlah kata kataku ini!
"Persetan dengan kata katamu! Aku tetap akan mencari Si Gila
Tuak lebih dulu untuk membunuhnya!'' kata Nini Pasung Jagat
memaksakan diri agar tidak kelihatan gentar. Tetapi untuk
sementara ini, ada yang kucari dan lebih penting dari urusanku denganmu dan si Gila Tuak, Suto! Aku harus menemu kan apa
yang kucari itu lebih dulu, setelah itu aku datang padamu
untuk membunuhmu! Tak peduli kau punya 'Napas Tuak Setan',
aku sanggup membunuhmu, Juga menginjak-injak
kepala gurumu!' "Nini...! bentak Suto dengan kemarahan meluap. Bentakan itu
tiba-tiba mendatangkan angin kencang yang sempat membuat
tubuh Nini Patung Jagat terpental mundur lebih dari lima
tombak. Brukk...! Ia jatuh di tanah dengan wajah tegang dan
cemas. "Edan! Membentak saja suaranya sampai bikin heboh bumi! Oh.
batu itu menjadi pecah dan pohon itu pun kulitnya
mengelupas"! Benar-benar sinting murid si Gila Tuak itu!
Aku harus segera pergi!"
Tanpa banyak bicara lagi. Nini Pasung Jagat segera
melarikan diri. Suto Sinting bergegas mengejarnya, karena
ia takut Nini Pasung Jagat membunuh si Gila Tuak sebelum
Pendekar Mabuk sempat membunuh perempuan tua itu.
3 Nenek tua yang ternyata usianya jauh lebih muda dari dugaan
banyak orang itu, ternyata pula mempunyai kecepatan berlari
seperti kilatan anak panah yang dilepaskan dari busurnya.
Suto Sinting mempunyai Jurus gerak siluman dalam melarikan
diri, yang mempunyai kecepatan melebihi badai .Tetapi
mungkin karena ia salah arah, sehingga ia kehilangan jejak
Nini Pasung Jagat.
Terlalu lama ia mencari Nini Pasung Jagat, sehingga tanpa
disadari kemarahan di dalam hatinya sudah menurun dengan
sendirinya. Terutama setelah dalam hatinya menemukan suatu
pendapat yang menenangkan jiwa, kemarahan itu menjadi susut
se-dikit demi sedikit.
"Sekalipun Nini Pasung Jagat bisa bertemu dengan Guru, tak
mungkin ia bisa mengalahkan kesaktian Guru. Aku percaya,
Guru tak akan kalah jika menghadapi amukan dendam cinta masa
mudanya Nini Pasung Jagat. Bisa jadi Nini Pasung Jagat jatuh
berlutut dan mengharapkan cinta pada Guru, karena Guru
mempunyai Ilmu 'Sukma Kasmaran Tumbang". Sudah berpuluh-puluh tahun Ilmu itu tidak digunakan oleh Guru,
hanya semasa mudanya ilmu itu digunakan untuk menundukkan
perempuan sejahat apa pun menjadi pasrah kepada beliau. Tapi
jika sekarang guru masih mau gunakan ilmu itu, pasti Nini
Pasung Jagat tidak akan bisa berkutik lagi!" Pendekar Mabuk
bahkan tersenyum. "Biarlah dua asmara usang bertemu lagi
dalam kenangan masing-masing, Kurasa aku tak perlu
mencemaskan keadaan Guru. Tapi... tapi bagaimana jika ilmu
'Sukma kasmaran Tumbang' itu sudah tidak dimiliki Guru
lagi" Bukankah ilmu itu telah diwariskan kepadaku" Walau
tak pernah kugunakan, tapi aku merasakan jelas kehadiran
iImu "Sukma Kasmaran Tumbang' itu. Dan... Guru bisa
berbahaya dalam menghadapi Nini Pasung Jagat"!"
Gundahnya hati Suto saat itu, terbawa lelap di alam tidumya
yang ada di atas pohon. Pada saat tidur itulah, segala amarah
dan kecemasan mengendap diam di lubuk hati, tertutup oleh
selaput ketenangan jiwa. Sehingga, pada saat ia bangun esok
paginya, tak ada lagi kecemasan dan kegundahan selain hanya
hasrat untuk menguntit kepergian Nini Pasung Jagat, ingin
tahu apakah nenek tua itu pergi menemui si Gila Tuak, atau
mencari benda yang dimaksud"
'Apa benda yang dimaksud itu"' pikir Suto Sinting . "Mengapa
ia mendesakku untuk mendengar pesan yang diucapkan oleh Ki
Padmanaba sebelum menghembuskan napas terakhirnya itu"!"
Dalam renungannya, Suto menjadi terngiang kata-kata Ki
Padmanaba yang berbunyi, "Selamatkan pusaka Pucuk Cemara
Tunggal dalam purnama...!
Suto bicara sendiri dengan suara pelan. "Tak jelas apa
maksudnya! Pusaka Pucuk Cemara Tunggal... pusaka bentuk apa
itu" Di mana letaknya" Sepintas kelihatannya Ki Padmanaba
menyuruhku menyelamatkan pusaka, tapi dimana aku harus
menemukan pusaka itu, sebab ia tidak menyebutkan tempatnya.
Apa yang dimaksud dalam purnama itu" Apakah aku harus pergi
ke bulan untuk mendapat kan pusaka di sana" Mustahil sekali
kedengaran! Tapi agaknya pusaka itulah yang diinginkan oleh
Nini Pasung Jagat. Dan pasti pusaka itu sangat berbahaya
Jika jatuh di tangan orang seperti Nini Pasung Jagat,
sehingga Ki Padmanaba menyuruhku menyelamatkan pusaka
tersebut. Ah, membingungkan sekali pesan terakhir Ki
Padmanaba itu! Sungguh tak jelas ke mana arah langkahku
untuk memenuhi pesannya tersebut, tak jelas apa yang harus
kutemukan: kitab, pedang, tombak, keris, atau batu atau
apa...." Dan anehnya, mengapa aku sejak saat itu jadi
mempunyai kewajiban besar, yaitu kewajiban memenuhi pesan
yang disampaikan menyerupai perintah tersebut" Mengapa aku
jadi punya rasa harus menyelamatkan pusaka tersebut"
Bukankah aku tidak menjadi pewaris pusaka itu dan tidak
berhak memilikinya"!"
Luar biasa bingungnya Suto menghadapi teka-teki tersebut.
Karena timbulnya perasaan aneh di dalam hatinya itulah
yang membuat Pendekar Mabuk jadi repot sendiri memikirkan
pusaka Pucuk Cemara Tunggal. Suara hati kecil yang
mengatakan,"Aku
harus mendapatkan pusaka itu!" adalah sebuah kata hati yang lahir tanpa kehendak hati nurani Suto
sendiri. Sepertinya ada kekuatan yang memaksa Suto harus
mencari pusaka itu dan menyelamatkannya dengan sekuat
tenaga. Ini yang kadang membuat Pendekar Mabuk jadi bertanya
tanya, "Apakah arwah Ki Padmanaba bermukim dalam hati kecilku dan
memerintahku seperti ini"!"
Renungan Pendekar Mabuk terhenti sebentar. Matanya melihat
sekelabat manusia lewat menembus dedaunan semak hutan.
Arahnya tidak menuju ke tempatnya. Tapi mata Suto tak bisa
dibohongi, bahwa manusia yang berkelebat dengan pakaian
kuning itu tak lain adalah seorang perempuan. Muda atau tua,
belum bisa dipastikan. Hanya saja, melihat langkahnya yang
cepat dan memburu itu, Suto menjadi ingin tahu, apa yang
diburu oleh perempuan itu,
"Jangan-jangan ia dikejar oleh Nini Pasung Jagat"!" pikir
Pendekar Mabuk yang membuat ia semakin ingin mengikuti
perempuan berpakaian kuning gading itu.
Rupanya ia seorang gadis yang menyandangi pedang di
punggungnya. Tubuhnya sekal, padat, tidak terlalu kurus,
tidak pula gemuk. Rambutnya pendek berponi tanpa ikat
kepala, Gerakannya cukup lincah. Gadis itu juga punya ilmu
peringan tubuh yang bisa membuatnya melesat naik ke atas
dahan sebuah pohon dengan satu kali kaki menjejak bumi.
Bahkan ia mampu melompat dari dahan ke dahan tanpa timbulkan
banyak suara. Sampai pada suatu saat, ia melompat turun
dengan bersalto satu kali. Wuttt...! Jlegg....!
Ia mendarat di depan langkah seorang pemuda berwajah tampan
dan bertubuh tegap, gagah, berambut pendek, dengan ikat
kepala kuning emas. Pemuda itu mengenakan pakaian serba
hijau, dengan ikat pinggangnya kain rajutan benang emas.
Pedangnya ada di pinggang kiri.
Pemuda itu menghembuskan napas kesal melihat gadis
berpakaian kuning gading itu tahu-tahu menghadang langkah
di depannya. Ia tampak gemas namun kegemasan itu tertahan
melalui hembusan napasnya yang mendengus tanda kesal hati
nya. "Mau apa lagi kau, Kirana"!" geram pemuda berpakaian hijau
itu. Si gadis yang ternyata bernama Kirana itu segera menjawab
dengan wajah cemberut ketus,
"Jawab dulu pertanyaanku tadi! Ke mana kau akan pergi,
Pranawijaya"! Kau tadi belum menjawab pertanyaanku tapi
sudah kabur!"
Pranawijaya, pemuda tampan itu, tertawa kecil di sela
kedongkolan hatinya, kemudian berkata,
"Kirana, aku sudah dewasa, sudah besar, sama halnya dengan
dirimu. Ke mana aku akan pergi, tak perlu kau tahu, Kirana!
Kau memang punya perhatian padaku! Tapi tidak harus
mengetahui segala hal sekecil apa pun dari apa yang


Pendekar Mabuk 022 Lentera Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kulakukan. Kita sudah sama-sama dewasa,jangan sama sama
mengusik 'pribadi masing-masing!"
"Hmmm...! Kirana mencibir, semakin cantik ia jika mencibir
dengan matanya yang bundar bening itu kian indah
dipandangnya. Kirana berkata dengan wajah cemberut.
"Pasti kau mau menemui Sedayu!"
Pranawijaya tersenyum, lalu tertawa dalam gumam dengan satu
tangan bertolak pinggang,
"Kalau memang benar begitu, kau mau apa"!" kata Pranawijaya.
"Jauhi dia!" Jawab Kirana dengan tegas dan ketus sekali.
Pranawijaya semakin memperpanjang tawanya.
"Dengar kataku, Prana!" bentak Kirana. Masih banyak
perempuan lain yang layak kau jadikan sahabat atau layak
kau cintai, tapi jangan Sedayu!"
"Cinta tidak bisa dirakit dan direncanakan, Kirana! Cinta
tidak bisa diperintah, karena dia bergerak secara naluriah!"
"Pokoknya jangan kau dekati lagi Sedayu!" bentak Kirana.
"Aku justru tega membunuhmu jika kau bercinta dengan Sedayu.
Prana!" Berkerut dahi Pranawijaya memandang tajam matanya kepada
Kirana yang tampaknya bersungguh-sungguh
itu. Perasaan heran dipendam dalam hati Pranawijaya ketika ia berkata,
"Kau tak bisa melarangku, Kirana!"
"Aku melarangmu karena aku tak ingin membunuhmu! Tapi jika
kau tak mau hiraukan laranganku itu maka jangan salahkan
aku jika aku pun terpaksa tega membunuhmu. Prana!"
"Apa alasanmu" Apa alasanmu melarangku jatuh cinta pada
Sedayu?" "Kau tak perlu tahu alasanku!" ucap Kirana dengan wajah
semakin kelihatan sangar-sangar cantik.
"Sedayu sangat baik padaku! Sedayu cantik dan ia
mencintaiku juga, tapi ia tidak berani ucapkan sebelum aku
mendului mengucapkan cintaku di depannya!"
"Tapi dia adalah perempuan iblis yang layak dibunuh!"
"Kirana!" sentak Pranawijaya kelihatan mulai geram kepada
gadis berdada sekal dan montok itu. "Jangan kau memancing
perselisihan denganku, Kirana! Aku pun bisa tega
membunuhmu kalau kau memusuhi Sedayu, mengerti"!"
"Kau pikir aku takut dengan gertakan dan ancamanmu"!
Hmm....! Sama sekali tidak, Pranawijiya! Aku tetap akan
membunuh Sedayu jika bertemu dengannya!"
"Kenapa"!" bentak Pranawijaya tak sabar lagi.
"Karena dialah yang membunuh guruku, Prana! Dia membunuh
guruku dari belakang! Bukankah sikap seperti itu adalah
sikap perempuan berjiwa iblis"!"
"Tutup mulutmu, Kirana"!" teriak Pranawijaya.
"Aku tak akan tutup mulut sebelum kau mau menuruti
permintaanku, jangan dekati Sedayu dan jangan jatuh cinta
dengan perempuan laknat itu!" kata Kirana dengan nada makin
lama semakin tinggi.
"Soal dia membunuh gurumu, itu urusan pribadimu! Tak ada
sangkut-pautnya dengan urusan pribadiku! Tak akan membuat
aku berhenti mengejar cinta Sedayu!"
Kirana menghempaskan napas, mencoba menahan kemarahannya
yang hampir saja meledakkan dada itu. Kemudian ia berkata
dengan suara agak rendah,
"Kalau kau mencintai dia, sedangkan aku harus membunuhnya,
itu berarti kau akan membela dia dan kau akan bertarung
denganku!"
"Apa boleh buat!"
"Kau bilang kita punya urusan pribadi masing-masing dan tak
boleh saling mencampuri! Lalu aku punya urusan pribadi
dengan Sedayu karena dia membunuh guruku. Jika kau ikut
campur apakah itu namanya bukan kau ikut campur urusan
pribadi ku?"
"Karena urusan pribadimu menyangkut urusan pribadiku,
Kirana! Cinta adalah sesuatu yang sangat pribadi, hingga
terasa pantas jika harus dibela sampai mati!"
"Tahi kucing soal cinta!" bentak Kirana meninggi lagi
suaranya. "Mungkin dugaanmu tentang pembunuh gurumu itu salah, Kirana.
Mungkin bukan Sedayu yang membunuhnya!"
"Jelas Sedayu yang membunuhnya! la tinggalkan guruku setelah
melemparkan tiga senjata rahasianya dari belakang. Guruku
terkapar di bawah Cemara Tunggal, ia sangka saat itu Guru
sudah mati, tapi ketika bertemu denganku, Guru masih sempat
memberitahu siapa pelaku penyerangan itu. Setelah
menyebutkan nama Sedayu. Guru pun wafat dan aku segera
membawanya pergi dari Cemara Tunggal!"
"Ada apa gurumu ke Cemara Tunggal?"
"Itu urusan Guru, aku tidak tahu! Yang jelas sekarang,
jauhi Sedayu atau kita bertarung lebih dulu sebelum tiba
saatnya aku membunuh perempuan iblis itu!"
Srett...! Kirana segera mencabut pedang dari punggungnya.
Matanya telah memperlihatkan sikap bermusuhan yang siap
tarung itu. Maka Pranawijaya pun melayaninya dengan
mencabut pedangnya dari pinggang.
"Baiklah kalau kau memaksa, Kirana!" Kusanggupi desakanmu
ini! Bersiaplah untuk mati demi membela gurumu, Kirana!"
"Kau pun bersiaplah untuk mati demi membela perempuan liar
yang bersekutu dengan orang-orangKobra Hitam itu!"
"Omong kosong!" bentak Pranawijaya dengan marah sekali.
Lalu,ia pun segera melompat maju dengan kilatan pedangnya
menyambar dada Kirana. Dengan cepat Kirana menangkisnya
dalam satu ke lebatan.
Trangng...! Begitu pedang tertangkis, kaki Kirana menjejak ke depan
dengan kuatnya.
Wuttt...! Beggh...!
Perut Pranawijaya menjadi sasaran empuk tendangan cepat
itu. Pranawijaya mundur dua tindak. Tapi ia tidak merasa
gentar sedikit pun. Ia kembali menebaskan pedangnya dengan
satu sentakan kaki maju ke depan.
Wuttt...! Kirana menghindar ke samping hingga tebasan dari atas ke
bawah yang seharusnya memenggal pundaknya itu terhindar
jelas-jelas. Kirana membalas dengan menebaskan pedang nya bertubi-tubi
ke tubuh Pranawijaya. Kegeraman-nya tercurah sambil
melontarkan pekik,
"Hiaaat....!"
Trang tang trang trang,..! Wugggh...! Trang! Behgg...!
Plokk...! Pukulan Pranawijaya mengenai wajah Kirana, tendangan kakinya yang memutar, menampar wajah itu juga. Kirana terhempas ke
samping, dan jatuh dalam posisi tengkurap. Pada waktu itu
Pranawijaya segera menebaskan pedangnya ke punggung Kirana
sambil berteriak penuh amarah yang meluap,
"Demi cintaku pada Sedayu, aku terpaksa harus membunuhmu,
Kirana. Hiaaat...!"
Wuttt...! Tubb...!
"Aaaah...!"
Teriakan itu cukup keras dan mengejutkan. Bukan Kirana yang
berteriak, melainkan Pranawijaya yang kesakitan sambil
memegangi pergelangan tangannya, dan pedangnya sendiri
jatuh ke tanah di depannya.
Kirana terkejut melihat Pranawijaya mengalami pembengkakan
pada punggung tangan kanannya yang tadi dipakai menggenggam
pedang itu. Punggung tangan tersebut menjadi bengkak dan
membiru, Kirana tak tahu, bahwa pada saat Pranawijaya
hendak mengayunkan pedangnya untuk membabat punggung,
tiba-tiba sebulir batu kecil sebesar butiran jagung
melayang dengan cepat. Mencelat dari satu sisi dan menghantam punggung lengan tersebut.
Pada saat itulah, Pranawijaya menjadi kesakitan, karena
punggung tangannya bagaikan dihantam kuat kuat dengan
sepotong besi baja. Sekujur tubuhnya terasa sakit,
sepertinya ada urat yang ditarik dengan paksa. Rasa sakit
itu membuat tubuh Prana-wijaya lemas sekejap, hingga
pedangnya jatuh. Ketika rasa sakit seluruh tubuhnya lenyap,
kini se olah-olah semua rasa sakit bersarang di punggung
tangannya. Kirana yang merasa tidak melakukan hal itu segera
membelalakkan mata dan berkata,
"Siapa yang melakukan"!"
'Aku!" Jawab seseorang yang tahu-tahu sudah berada di
belakang Kirana. Cepat-cepat Kirana ber paling memandang ke
belakang, dan dilihatnya se orang pemuda tampan seusia
Pranawijaya telah ber diri dengan badan tegap, tinggi, dan
wajah sangat menawan. Kirana terperanjat sesaat memandangi
pemuda yang belum dikenalnya itu, kemudian wajah
terperanjat itu berubah menjadi ketus dan berkesan benci.
Pranawijaya bergegas mengambil pedangnya dengan tangan kiri, kemudian berseru kepada si pelempar batu kerikil tadi,
yang tak lain adalah Suto Sinting si Pendekar Mabuk.
"Apa perlumu mengganggu urusan kami, heh"!" bentak
Pranawijaya. "Kau kejam! Kau ingin membunuhnya dari belakang!" Jawab
Pendekar Mabuk. "Kalau memang kau kesatria berjiwa pendekar,
hadapi dia dari depan, dan bunuh dia dari depan juga!"
"Persetan dengan omonganmu! Membunuhmu dari depan pun aku
sanggup, Manusia usil! Hiaaat...!
Pranawijaya menyerang Suto dengan menggunakan pedang di
tangan kiri. Pedang itu ditebaskan ke perut Suto, tapi dengan
sigap Pendekar Mabuk sedikit melompat mundur dan
menangkisnya dengan gerakan bumbung yang sejak tadi sudah
dijinjing nya itu. Trakk...!
Cepat-cepat pula tangan itu ditendang dari bawah oleh Suto
Sinting. Plakkk..! Tangan pemegang pedang tersentak naik
ke atas bagaikan disambar petir dari bawah. Karena keras
sentakan tangan itu, pedang yang digenggamnya terlempar ke
belakang. Wurrsss..! Jrab! Padang itu menancap ke tanah.
Sedangkan Pendekar Mabuk cepat membuat gerakan berputar,
dan kakinya menampar wajah Pranawijaya dengan kuat kuat
Plakkk...! Pranawijaya terjerembab ke belakang. Kepalanya memnbentur
batu. Dugggh...! Tulang pipinya yang menjadi sasaran, hingga
tulang pipi itu sedikit bengkak memerah.
Semua gerakan yang dilakukan Suto begitu cepat dan tak
tertangkap pandangan mata Pranawijaya maupun Kirana.
Menyadari gerakan secepat itu dari lawannya, Pranawijaya
segera menggunakan pukulan jarak jauh. Ia melepaskan pukulan
lewat dua jari telunjuk dan jari tengah yang disentakkan
ke depan, seperti dicolokkan ke alam bebas.
Zlapp. zlapp...!
Dua sinar merah berbentuk pipih seperti dua lembar daun
beringin, melesat mengarah ke tubuh Pendekar Mabuk. Tapi
dengan gerakan cepat pula, Pendekar Mabuk menghadangkan
bumbung tuak nya, sehingga dua sinar merah itu menghantam
bumbung tuak tersebut. Tubb tubb...!
Wosss, wosss...!
Pendekar Aneh Naga Langit 13 Gento Guyon 8 Topeng Kedua Mahluk Seberang Zaman 1
^