Lentera Kematian 2
Pendekar Mabuk 022 Lentera Kematian Bagian 2
Sinar merah itu membalik arah ke tempat semula dengan lebih
cepat dan lebih besar. Pranawijaya terbeliak kaget, kemudian
berguling-guling di rerumputan semak. Tetapi, satu dari dua
sinar merah itu tak sempat dihindari. Sinar itu mengenai
ujung pundak Pranawijaya. Desss....!
"Aahg...!" Pranawijaya memekik dengan mata terpejam dan
mulut menganga, wajahnya menyeringai.
"Jahanam kau! Hiaaat...!" Kirana yang terkejut melihat
Pranawijaya terkena pukulan balik itu menjadi naik pitam.
Ia melompat dan menebaskan pe dangnya ke leher Suto. Dengan
cepat Suto Sinting merendahkan badan sambil menadahkan
bumbung tuaknya menggunakan dua tangan.
Trakk...! Pedang itu mengenai bumbung tuak. Benturan itu ternyata
mempunyai saluran tenaga dalam yang cukup besar, sehingga
tangan Kirana yang memegang pedang terlempar keras ke
belakang, dan hampir saja copot dari engselnya jika tubuhnya
tidak segera ikut terbawa terlempar dan jatuh berguling-guling.
"Kenapa kau justru menyerangku"! Aku membelamu. Bodoh!"
sentak Suto yang merasa dongkol dengan sikap Karina.
Dilihatnya ke arah Pranawijaya, ternyata pemuda itu sudah
melarikan diri dengan cepatnya sambil mengambil pedangnya
yang menancap di tanah.
"Pranaa...!" teriak Kirana. Tapi ia tak segera mengejarnya
karena ia melihat Pendekar Mabuk bergegas mau mengejar,
sehingga Kirana justru menghadang di depan Suto.
"O, kau tak menghendaki pemuda itu kubawa kemari untuk
meminta maaf kepadamu"!"
"Aku tak membutuhkan jasamu!" jawab Kirana dengan ketus.
"Aneh kau ini!"kata Suto sambil sunggingkan senyum di
bibirnya. "Kau hampir mati. Aku menyelamatkan nyawamu, tapi
kau justru memusuhiku" Begitukah caramu berterima kasih
kepada seorang penolong"!"
"Aku tidak butuh pertotonganmu! teriak Kirana dengan gusar.
Dia tidak mungkin membunuhku!"
"Kenapa?"
"Dia kakakku!"
"Ooo...!" Suto mangut-mangut sambil membuka tutup bumbung
tuak. "Tapi agaknya kau menghalangi cintanya tadi!
Seseorang bisa gelap mata dan tak mengenal saudara jika
sudah terganggu cintanya! Dia bisa menjadi buas dan liar
seperti seekor binatang!"
"Persetan celotehmu! Aku harus mengejar Prana agar tidak
menemui Sedayu dan membocorkan rencanaku!"
"Hei,. tunggu! Aku ingin tahu tentang Cemara Tunggal yang
kau sebutkan tadi , Kirana!"
Kirana tidak peduli saat pemuda itu menyebut namanya, ia
terus berlari mengejar Pranawijaya, kakaknya. Pendekar
Mabuk meneguk tuak sebentar, kemudian segera mengejar
Kirana dengan gerakan jurus silumannya.
Zlappp...! Dalam waktu sekejap, Suto Sinting sudah tiba di depan
Kirana, membuat langkah gadis cantik itu ter henti dan
terperanjat melihat Suto tahu-tahu sudah ada di depan
langkahnya, antara lima tombak.
"Kau tadi kudengar menyebut nyebut tentang Cemara Tunggal!
Aku ingin tahu tentang Cemara Tunggal itu, Kirana!"
"Tanyakan pada nenek moyangmu! Jangan ke padaku!" ketus
Kirana sambil bergegas meninggal kan tempat.
Tapi tangan Suto sempat meraih dan mencekal lengan Kirana,
sehingga gadis itu terhenti dan mengibaskan pegangan tangan
Suto dengan wajah masih cemberut.
"Jangan ganggu aku lagi! Kau dan aku tidak ada hubungan apa
apa, dan tidak punya persoalan apa-apa!" kata Kirana.
"Percayalah padaku, Kirana...! Kalau kau berkeras hati
melarang Pranawijaya bertemu dengan Sedayu, kau pasti akan
dibunuh! Kulihat cahaya cinta Pranawijaya pada Sedayu sangat
berkobar-kobar. Kulihat kobaran itu tampak jelas di kedua
matanya saat kau menghina Sedayu!"
"Aku tak peduli! Dan ingat..., aku tak butuh per tolonganmu!
Jangan melindungi aku!" sentak Kirana dengan amat ketus dan
galak, ia sengaja bersikap begitu, karena sebenarnya ia
merasa takut kepada hatinya sendiri. Hatinya saat itu
berdebar-debar dan menimbulkan letupan-letupan keindahan
pada saat memandang ketampanan Suto Sinting itu. Kirana
ingin membuang letupan indah itu agar ia tidak terperangkap
oleh k hayalannya sendiri dengan bersikap galak. Namun
sikap galak itu justru membuat Suto Sinting melebarkan
senyumannya, dan senyuman itulah yang menjadikan Kirana
semakin gelisah dicekam keindahan yang nyaris menjerat
hatinya. Maka, dengan cepat ia pun melarikan diri menggunakan tenaga
peringan tubuhnya. Dan Pendekar Mabuk mengejarnya terus,
karena ingin tahu tentang Cemara Tunggal yang tadi ia
dengar disebutkan Kirana.
4 Di Lereng Tudung Bumi sedang terjadi keributan. Lereng
Tudung Bumi adalah tempat tinggal Sedayu bersama beberapa
murid-murid peninggalan mendiang gurunya. Sejak gurunya
wafat, Sedayu-lah yang berkuasa di perguruan tersebut dan
menjadi guru bagi para murid yang pada umum-nya terdiri atas
perempuan itu. Tetapi saat ini, Perguruan Tudung Bumi sedang diserang oleh
orang-orang dari Kobra Hitam, dipimpin langsung oleh
Ekayana, yang berjuluk Malaikat Maha Pedang itu. Pada
mulanya Ekayana hanya ingin menangkap Sedayu. Setidaknya
ia ingin berbicara lebih dulu dengan Sedayu tentang
pembunuhan beracun yang menewaskan orang-orang Kobra Hitam
itu. Tetapi Sedayu menanggapinya dengan marah, karena
beberapa orangnya Ekayana yang sudah mengepung perguruan
itu dianggap sudah merupakan penyerangan dengan maksud tak
baik. Sedayu pun segera memerintahkan murid-muridnya untuk
menyerang orang-orangnya Ekayana. Di depan Ekayana, Sedayu
berkata, "Serang mereka! Jangan biarkan satu pun yang mengepung tempat kita! Itu sudah merupakan tindakan yang jelas bermusuhan!"
"Tunggu!" Ekayana berteriak. "Aku perlu bicara dulu padamu
Sedayu! Kalau memang bisa, aku tak ingin ada pertumpahan
darah di antara kita, Sedayu!"
"Kau telah mengawali pertumpahan darah dengan memotong
telinga anak buahku yang berjaga di perbatasan, Ekayana!"
"Karena aku terpaksa dan perlu memberi pelajaran padanya!"
jawab Ekayana membela diri. Tapi Sedayu tetap berkata,
"Itu sudah merupakan tantangan bagi kami!"
"Aku minta maaf!"
"Bisa kumaafkan, tapi harus kau ganti dengan daun telingamu
sendiri yang harus kupotong!"
"Sedayu.."!" geram Ekayana.
Sedayu berseru kepada anak buahnya, "Seraaang,..!"
Ekayana pun berteriak kepada anak buahnya, "Hancurkan
mereka!" Maka, terjadilah pertempuran hebat antara kelompok Ekayana
dengan kelompoknya Sedayu. Anehnya, Ekayana justru
meninggalkan Sedayu dan membabat habis beberapa anak buah
Sedayu. Sementara itu, Sedayu pun cukup banyak menewaskan
anak buah Ekayana yang jumlahnya lebih dari dua puluh lima
orang itu. Sedayu mempunyai kekuatan pertahanan tak seimbang dengan
orang-orang ganas dari Lembah Kabut, Perguruan Kobra Hitam
itu. Dalam waktu tak terlalu lama, tinggal beberapa anak
buahnya yang masih tersisa. Melihat keadaan begitu, Sedayu
segera melarikan diri, dan Ekayana mengejarnya. Pedang yang
sudah bermandikan darah itu masih tergenggam di tangan
Sedayu dan Ekayana.
Pelarian Sedayu tiba di lereng sebuah bukit yang jarang
ditumbuhi oleh pepohonan tinggi, hanya beberapa semak
menggerumbul terpisah di sana-sini, bebatuan yang menjulang
tinggi, dan rumput kering di sekelilingnya. Di sana, Ekayana
ber-hasil melepaskan pukulan jarak jauhnya yang membuat
Sedayu terpelanting dan jatuh. Pelarian Sedayu untuk
sementara waktu terhenti. Kini ia berhadapan dengan
Ekayana, orang yang sering datang membawa segenggam
kemesraan padanya, dan Sedayu pun sering memanfaatkan
kemesraan itu sebagai pengisi hatinya yang kosong, sebagai
pemuas dahaganya yang selalu kerontang jika tak jumpa
Ekayana dalam sepekan.
Tapi agaknya kali ini Ekayana datang tidak membawa segenggam
kemesraan, melainkan segenggam maut di ujung pedang. Sedayu
sendiri siap mencabut maut tersebut dengan petaka yang sudah
disiapkan di ujung pedangnya pula.
Pukulan jarak jauh itu hanya membuat nyeri di tulang
belakang. Tapi Sedayu cepat mengatasi rata nyeri itu dengan
menghirup napas panjang-panjang dan menahannya beberapa
saat. Perempuan berpakaian biru muda itu kini tegak di depan
lelaki berpakaian kulit bulu beruang putih yang tanpa
lengan, menyerupai rompi panjang itu. Mereka saling
berpandangan mata tajam beberapa saat, kemudian Sedayu
yang membuka suara lebih dulu,
"Tak kusangka kau keji padaku, Ekayana!"
"Karena kau pun kejam terhadapku, Sedayu!"
"Di mana letak kekejamanku padamu" Bukankah setiap kau
datang aku selalu menyambutnya dengan hangat?"
"Tapi kau punya rencana busuk di balik kehangatan cintamu,
Sedayu! Kau telah menyebar racun di antara orang-orangku,
sehingga cukup banyak jumlah yang mati termakan racun Getah
Tengkorak yang kau sebar di Lembah Kabut itu!"
"Apa yang kau bicarakan sebenarnya, Ekayana"! Kau seperti
bayi yang tidur siang hari dan sedang mengigau!" kata Sedayu
sambil berkerut dahi menandakan keheranannya.
Ekayana menahan luapan amarahnya sambil sesekali menggelutukkan giginya, dan berkata kepada Sedayu,
"Jangan berpura-pura bodoh, Sedayu! Pasti akulah sasaran
yang akan kau bunuh, karena kau sudah bosan padaku! Kau ingin
menyingkirkan diriku, dan sekaligus ingin menjadikan
perguruanmu menjadi terkuat di jajaran Tanah Selatan ini.
Lalu kau sebarkan racun itu pada malam hari! Entah siapa
yang kau suruh, tapi aku yakin kau ada di balik racun itu
Sedayu!" "Kurobek mulutmu jika berani bicara selancang itu lagi,
Ekayana!" geram perempuan berusia sekitar tiga puluh lima
tahun itu. "Aku tak punya tindakan sebodoh itu! Kalau aku
mau, cukup dengan membunuhmu, aku bisa menggemparkan dunia
persilatan di Jajaran Tanah Selatan!"
"Kalau kau tak bersalah, kau tak akan lari, Sedayu! Dan kemana arah tujuanmu melarikan diri, sudah dapat kuketahui! Pasti
kau akan minta bantuan kepada Pranawijaya! Pria itu yang
sekarang mengisi hatimu. bukan"!"
"Tutup mulutmu, Ekayana!" bentak Sedayu dengan gusar.
Ekayana tertawa keras hingga tubuhnya terguncang-guncang.
Ia kegirangan melihat wajah Sedayu menjadi merah karena
tertebak hatinya. Tapi ia tak tahu bahwa hal itu justru
membuat Sedayu menjadi bertambah benci dan murka kepadanya.
Karena itu, Sedayu pun segera melepaskan serangan pedangnya
lebih dulu. "Hiaaah...!"
Wusss...! Pedang Sedayu menebas leher Ekayana, tapi dengan
cepat Ekayana tahu-tahu sudah berada di belakang Sedayu.
Pedangnya ditebaskan dari atas ke bawah dengan tujuan
membelah punggung Sedayu. Tetapi, Sedayu sudah lebih dulu
berputar balik, sambil kelebatkan arah pedangnya ke arah
Ekayana. Trangng...! Pedang Ekayana yang hampir membelah tubuh Sedayu itu berhasil ditangkis. Tetapi, Ekayana segera memutar badan dan sentakkan
Pendekar Mabuk 022 Lentera Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kaki. Wuttt...! Wess.,.! Plok!
Wajah Sedayu terkena tendangan kuat. Terlambat sedikit saja
kaki Ekayana bergerak mundur setelah menendang, maka ia akan
menjadi buntung dibabat pedang Sedayu. Tapi karena gerakan
kaki begitu cepatnya, maka wajah Sedayulah yang menjadi
sasaran, membuat Sedayu terpental antara tujuh langkah
jauhnya. Pada saat Sedayu dalam keadaan bergegas bangkit, Ekayana
sudah menusukkan pedangnya dari jarak jauh. Maka, seberkas
sinar kuning melesat dari ujung pedang itu.
Zlappp...! Sinar kuning seperti kumpulan benang-benang kasur itu
menghantam tubuh Sedayu.
Tetapi sebelum sempat mencapai tubuh Sedayu, seberkas sinar
putih perak melesat dan mematahkan gerakan sinar kuning
tersebut. Duarrr...! Tubuh Sedayu jatuh tersungkur lagi karena gelombang
ledakan itu menghentak kuat. Ia terguling-guling tiga kali,
kemudian segera berpegangan pada salah satu sisi batu. Ia
menghempaskan napas kelelahan di sana, kemudian cepat
bangkit berdiri dengan bersiap menyerang Ekayana.
Tapi alangkah terkejutnya Sedayu setelah mengetahui,
ternyata di depannya ada Pranawijaya yang sedang
memunggungi, dan berhadapan dengan Ekayana. Sedayu segera
berseru, "Pranawijaya, menyingkirlah! Biar kuhadapi dia!"
Pranawijaya menjawab dengan tanpa memandang Sedayu, tapi
menatap Ekayana yang tampak menyunggingkan senyum tipis
sambil mengusap-usap kumis tipis di wajahnya.
"Istirahatlah, Sedayu! Orang ini bagianku!"
"Aha...! Seorang ksatria datang mau menolong tuan putri yang
cantik"! Duhai.... seperti dongeng sebelum bayi tidur saja!
Ha ha ha ha...!"
"Tutup bacotmu, Ekayana! Kita selesaikan perkara ini secara
jantan...!" tantang Pranawijaya sambil mencabut pedangnya.
Dalam hati ia menggerutu, "Sial! Gara-gara tanganku masih
memar akibat terlempar kerikil di sana, pegangan pedangku
masih belum begitu kuat! Tapi lumayan, luka di pundakku
sudah bisa kusembuhkah dengan hawa murniku sendiri, walaupun
masih terasa mengilukan tulang sebelah kanan...,"
Terdengar suara Ekayana berseru, " Orang gendeng....! Kalau
kau sudah bosan hidup, majulah, biar perempuan itu tahu
bagaimana cara membelah kepalamu seperti membelah sebuah
semangka!"
"Kau benar-benar manusia banyak bacot, Ekayana!
Heaaah....!"
Ekayana diam saja ketika Pranawijaya maju menyerang dalam
satu lompatan. Pedang segera ditebaskan. Tapi serta-merta
Ekayana bergerak menangkis dengan cepat sekali.
Trang...! Brett..!
"Auuhg...!" Pranawijaya terpekik. Gerakan pedang Ekayana
yang berkelebat cepat itu merobek perut Pranawijaya. Segera
tangan kiri Pranawijaya mendekap lukanya dengan jatuh
terlutut di tanah. Kalau pada saat itu, Ekayana segera
menyerang, ia pasti bisa dengan mudah memenggal kepala
Pranawijaya. Tetapi Ekayana segera meninggalkan Pranawijaya, karena
dilihatnya Sedayu segera melarikan diri begitu melihat
Pranawijaya terkena sabetan pedang lawan. Ekayana berlari
mengejar Sedayu sambil berseru,
"Jangan lari kau, Sedayu...! Aku tak akan kehilangan
jejakmu walau kau lari ke lubang semut sekalipun!"
Pranawijaya tak bisa mengejar Ekayana. Ingin rasanya ia
menahan pemuda itu agar tidak mengejar Sedayu. Tetapi luka
di perutnya itu cukup membuat ia gemetar sekujur tubuh dan
panas dingin. Maka, segera ia mencari tempat dan melakukan
semadi secepatnya, ia memompa hawa muminya ke perut, supaya
lukanya tak menjadi parah. Toh luka itu sendiri tidak sampai
ke bagian yang paling dalam. Masih bisa disembuhkan dengan
hawa murninya. Sementara itu, Ekayana benar-benar tak memberi kesempatan
Sedayu untuk melarikan diri, ia berhasil mencegat Sedayu
di tanah datar berpepohonan lebat itu. Sedayu terpaksa
menghentikan langkahnya dan kembali bersiap menghadapi
pedang Ekayana. Dalam hati Sedayu pun mengakui kehebatan
pedang Ekayana,
"Gerakan pedang orang ini memang hebat. Rasa-rasanya aku
sedang dipermainkan olehnya! Kalau dia mau, dia bisa
membunuhku saat Pranawijaya belum datang! Buktinya, ia bisa
lukai Pranawijaya dengan secepat itu!"
"Sedayu!" seru Ekayana. "Mau lari ke mana lagi" Ke tempat
yang rimbun" Merayuku untuk bercumbu" Oh. tidak! Tidak bisa,
Sedayu! Saat ini bukan saat bercumbu, tapi saatku membalas
kematian orang orangku yang kau musnahkan dengan racunmu
itu!" "Aku tidak melakukannya!"
bentak Sedayu. Tapi kalau kau tetap menganggapku begitu, apa pun keinginanmu akan kulayani!
Jangan anggap hanya kau yang jago main pedang! Aku pun bisa
menandingi-mu!"
"Bagus! Aku lebih suka membunuh orang yang punya ilmu pedang,
daripada yang hanya punya ilmu memuncakkan gairah! He he
he...!" "Manusia berotak kotor! Terimalah pedang 'Jegal Baja'-ku
ini! Hiaaat!" Sedayu melompat menyerang, pedangnya menebas
cepat ke kiri dan ke kanan bagai membuat garis silang beberapa
kali. Ekayana sempat mundur dua tindak, kemudian dengan cepat ia kelebatkan pedangnya dari bawah ke atas.
Wrruttt....! Trangng...!
Pedang Sedayu terpental melayang jauh. Perempuan itu menjadi
tegang karena tanpa pedang lagi di tangannya. Ekayana
tersenyum menang. Tapi segera ia menghentakkan kakinya ke
depan, melangkah satu kali dan pedangnya menebas miring dari
bawah kanan ke atas kiri.
Wesst...! Trangngng...!
Sepotong dahan kering melesat menghalangi gerakan pedang
itu. Sepotong dahan itu terbelah menjadi dua, padahal
seharusnya dada Sedayu yang sekal itu yang terbelah menjadi
dua. Ada seseorang yang menyerang dan melemparkan sebatang
dahan itu. Ekayana segera mencari orang itu ke samping
kanan-kiri. Tapi ketika ia menengok ke belakang, tiba-tiba
sebuah kaki menjejak wajahnya dengan sangat kuat dan cepat.
Plokk...! "Uhff...!" Ekayana terpental ke belakang, jatuh terkapar
di rerumputan. Dengan cepat ia kibaskan pedangnya sambil
tiduran ketika sebatang tongkat hendak menancap di dadanya.
Trakk...! Lalu, dengan sentakan pinggang, Ekayana
melenting naik dan berdiri dengan tegap lagi. Kedua tangannya menggenggam pedang, matanya melirik tajam ke arah seseorang
yang ada di samping kirinya.
"Bangsat tua ...! Kau rupanya!" geram Ekayana yang sudah
mengenali tokoh tua bertongkat itu tak lain adalah Nini Pasung Jagat. 5 TERLINTAS dugaan kuat di dalam pikiran Ekayana,
"Jangan-jangan nenek tua ini yang menabur racun di Lembah
Kabut"! Karena sudah tiga kal dia bentrok denganku, satu
kali bentrok dengan Brajawisnu!"
Ekayana membiarkan Sedayu mencari pedangnya yang mental
tadi. Kini perhatian Ekayana lebih tertuju kepada tokoh tua
yang sudah lama dikenal nya. Bahkan sama seperti dulu, setiap
bertemu dengan tokoh tua itu, sepertinya bentrokan harus
terjadi dan tak pernah bisa dielakkan. Kali ini pun tokoh
tua itu sudah memancarkan sinar permusuhan di dalam tatapan
matanya yang cekung dan angker itu.
"Kakekmu sudah kubantai mati!" kata Nini Pasung Jagat.
Terperanjat Ekayana mendengarnya. Jantungnya bagaikan mau
berhenti saat itu juga. Tapi ia bertahan untuk tenang dan
membantah pengakuan tersebut dengan berkala,
"Tidak mungkin! Kau tidak mungkin unggul melawan kakekku!"
"Padmanaba tidak ada sekuku hitamnya jika dibandingkan
dengan kesaktianku, Ekayana! Tengok lah di pesisir,
barangkali bangkainya masih tersisa beberapa bagian, kalau
belum habis dimakan burung!"
"Tidak mungkin!" bentak Ekayana mlaui naik pitam.
"Mungkin saja! Sebab dia tidak mau tunjukkan padaku di mana
dia simpan pusaka itu"! Dia tidak mau serahkan pusaka
peninggalan guru kami, se hingga dia serahkan nyawanya secara cuma-cuma! Hik, hik, hik hik ....! " Nini Pasung Jagat tertawa
terkikik-kikik. Ekayana menggeram. Dadanya naik turun
karena napasnya terengah-engah menahan luapan amarah. Bahkan ia biarkan Sedayu yang diam-diam melarikan diri darinya.
"Agaknya memang benar pengakuan itu," kata Ekayana di dalam
hatinya. Kakek selama ini tidak tahu apa yang kulakukan di
dalam tubuh Perkumpulan Kobra Hitam ini! Kakek selama ini
menganggapku sebagai orang baik-baik yang layak menerima
sebuah pusaka jika memang waktunya tiba dan dirasakan sudah
saatnya harus ada di tanganku. Kakek pernah bilang, bahwa
pusaka itu diincar terus oleh Nini Pasung Jagat. Rupanya
sekaranglah saatnya bagi si nenek tua ini untuk mendesak
Kakek Padmanaba untuk mendapatkan pusaka itu, dan aku
percaya kalau Kakak Padmanaba mempertahankan sampai mati!
Tapi aku tak pernah tahu. apa dan di mana pusaka itu
sebenarnya. Kakek tak pernah mau menceritakannya kepadaku,
sekalipun aku adalah cucu kesayangannya!"
Nini Pasung Jagat segera lontarkan kata kepada Ekayana yang
menatapnya dalam bungkam, tak berkedip, dan tetap
menggenggam pedangnya yang siap tebas itu.
"kalau kau seorang cucu yang cerdas dan pintar, kau tentunya
tidak akan mengikuti jejak kakek mu yang bodoh itu! Kalau
kakekmu bertahan sampai kehilangan nyawanya dan tak mau
serahkan pusaka itu, tentunya kau tak akan ikut-ikutan
menyerahkan nyawa kepadaku jika aku inginkan pusaka itu,
Ekayana. Bukankah begitu. Nak"!"
"Persetan dengan bujukanmu! Aku tak tahu-menahu tentang
putaka itu!" bentak Ekayana dengan marahnya. "Yang
kupikirkan sekarang, bagaimana menanam mayatmu nanti jika
kau telah kupotong-potong dalam satu jurus pedangku ini!"
"Hi hi ni hik...!" Nini Pasung Jagat menertawakan. Bocah
ingusan seperti kamu berlagak mau menggertakku yang tua
begini" O, alaa.. Nak, Nak! Sadarlah bahwa nyawamu tadi sudah
di ujung tongkatku ini! Kalau aku tidak kasihan padamu,
sudah melayang sejak tadi sukmamu itu, Ekayana! Tapi karena
aku yakin, kau pasti tahu di mana pusaka itu disimpan, maka
kuharap kau mau menyebutkannya, walau tak harus mengambilnya
sendiri. Biarlah aku yang mengambilnya!"
"Dasar Nenek budek! Sudah kubilang, aku tak tahu menahu
tentang pusaka itu, tapi masih saja memancing kemarahanku
untuk segera meledak sekarang juga! Kalau memang itu maumu,
terimalah jurus 'Pedang Pembelah Petir' ini, heaaah...!"
Wusss...! Wuttt...!
Ekayana melompat menyerang dengan cepat. Pedangnya ditebaskan
dalam beberapa gerakan tapi kelihatannya hanya satu gerakan.
Dan hal itu membuat Nini Pasung Jagat tersentak mundur lalu
ber salto ke belakang satu kali dan ganti menebaskan tongkatnya
untuk menggempur kepala Ekayana,
Wuesss...! Dengan lincah Ekayana bergerak ke samping dan mengirimkan
tendangan miring kepada lawan nya.
Wuttt...! Degg...!
Tendangan itu ditahan dengan kepala tongkat, kemudian kepala
tongkat menyodok ke depan mengikut gerakan kaki Ekayana.
Pendekar Mabuk 022 Lentera Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Buhgg...! "Ehg...! Ekayana mendelik, perutnya bagai di sodok dengan
batu sebesar gunung. Ia terpental ke belakang hingga
berguling-guling dan membentur pohon tubuhnya. Ekayana tak
bisa bernapas dalam beberapa kejap. Nini Pasung Jagat
menyerangnya lagi sebelum anak muda itu kelihatan segar
kembali. Kali ini ia melepaskan pukulan tenaga dalam melalui
sentakan tangan kirinya.
Wuttt..! Sinar merah terlepas dan melesat menghantam Ekayana, Tapi
oleh Ekayana sinar itu ditangkisnya dengan menghadangkan
pedangnya di depan wajah. Pedang itu keluarkan cahaya perak
berkilauan, seluruh tubuh pedang yang memancar membentuk
perisai. Dan sinar merah itu menghantam cahaya perak yang
berkilauan dengan kuat.
Blarrr...! Mau tak mau Ekayana kembali terpekik tertahan, karena
gelombang ledakan itu sangat kuat menghantam dadanya,
sementara Nini Pasung Jagat hanya tersentak mundur antara
tiga tindak, ia terhuyung-huyung mau jatuh, namun buru-buru
bertahan pada sebuah pohon besar.
"Edan! Pukulan apa tadi yang dilepaskannya padaku"!" pikir
Ekayana sambil bergegas bangkit dengan melalui rambatan pada
sebatang pohon. "Kulit tubuhku terasa mau pecah dan
tercabik-cabik terhantam ledakannya tadi. Untung aku bisa
menahannya, kalau tidak, habislah riwayatku tadi! Agaknya
ia cukup tangguh untuk ditumbangkan! Ia bisa lolos dari
gerakan jurus '"Pedang Pembelah Petir"tadi. Biasanya lawan
yang kuserang dengan jurus itu. tubuhnya akan terpotong-potong menjadi beberapa bagian. Jurus itu sukar
dihindari atau ditangkis! Tapi nenek tua itu ternyata mampu
menyelamatkan diri dari jurus pedangku itu! Luar biasa!"
Napas dihela dalam-dalam beberapa kali. Ekayana memandang
kanan-kiri, melihat arah pelarian Sedayu sambil berpikir,
"Bimbang juga pikiranku, Sedayu atau nenek tua ini yang
sebenarnya menaburkan racun Getah Tengkorak"! Jika nenek
ini yang berbuat, mengapa Sedayu melarikan diri" Pasti dia
menghindar dari maut karena merasa bersalah! Kalau begitu,
Sedayu saja yang kucecer lebih dulu! Urusan nenek edan ini
nanti saja, setelah kuselesaikan urusanku dengan Sedayu,
baru aku menuntut balas atas kemauan kakek dari tangan si
nenek edan ini!"
Tiba-tiba terdengar suara Nini Pasung Jagat menyentak keras,
"Ekayana! Kalau kau bersikeras ingin menyerahkan nyawa
daripada menyerahkan pusaka itu, maka terimalah jurus
'Rembulan Jantan' ini, hiaaah...!"
Sebuah pukulan tongkat yang memutar memercikkan cahaya
kuning bagai piringan. Cahaya kuning itu melayang, melesat
cepat dalam keadaan datar. Clappp...! Begitu cepatnya
sampai-sampai tak memberi kesempatan Ekayana untuk menarik
napas, ia segara kibaskan pedangnya dengan memutar di atas
kepala juga, dan dari kibasan itu keluar percikan sinar merah
yang membentuk piringan bundar pula.
Clapp...! Blarrr...! Glarrr...!
Begitu dahsyatnya ledakan itu hingga bisa terjadi dua kali.
Itu karena kedua sinar maut sama sama berkekuatan tinggi
dan sama sama ingin tetap menyerang lawan. Akibatnya ledakan
kedua adalah ledakan penghabisan dari sebuah serangan yang
dahsyat. Dua kali ledakan dahsyat itu membuat Nini Pasung Jagat
terpental dan tubuhnya jatuh terjepit di sela dua pohon yang
merapat tumbuhnya itu. Sementara Ekayana jatuh di atas semak
semak berduri yang rimbun. Tubuhnya tergores duri bagai
disergap mata pisau ratusan buah. Untunglah Ekayana cepat
gunakan ilmu peringan tubuhnya, sehingga duri duri itu tidak
sempat menancap di kulit tubuhnya dan ia segera melesat
lompat dari sana. Sementara itu, Nini Pasung Jagat terpaksa
menghentakkan kedua tangannya ke kanan kiri dan merubuhkan
dua pohon itu sekaligus dalam satu kali hentakan kuat.
Krakkk...Brukk! Grubukkk...!
Kalau tidak begitu, ia tidak bisa lepas dari himpitan dua
pohon yang tumbuhnya merapat itu. Ia tersangkut dan terjepit
kuat hingga sukar meloloskan diri dengan cara wajar.
Melihat Nini Pasung Jagat berusaha meloloskan diri, Ekayana
segera sentakkan kakinya dan melesat pergi tinggalkan
tempat. Saat itu Nini Pasung Jagat tidak melihat gerakan
minggat Ekayana. Ia hanya tertegun bingung dan celingak-celinguk begitu bisa lepas dari dua pohon yang
menghimpitnya itu. Ia mencari-cari Ekayana yang disangka
mati di suatu tempat. Namun begitu ia melihat kelebatan
Ekayana di kejauhan sana, ia pun menggeram sambil memukulkan
tongkatnya ke tanah. Setelah itu segera mengejar Ekayana
sambil berkata dalam hati.
"Anak itu harus kutemukan, harus kutangkap! Tidak akan
kubunuh sebelum kupaksa ia menjawab di mana pusaka kakeknya
itu berada! Jika memang ia tak tahu atau tetap ngotot,
terpaksa harus kubunuh daripada kelak ia membokongku dari
belakang! Sudah tentu ia tidak akan tinggal diam setelah
tahu akulah yang membunuh kakeknya!"
Kalau tidak karena punya dugaan kuat kepada Sedayu sebagai
orang penyebar racun di Lembah Kabut, Ekayana pasti akan
menggempur terus ke adaan Nini Pasung Jagat tadi. Tapi kali
ini agaknya ia harus melupakan hal itu dan mengejar sedayu
dengan mengandalkan gerak nalurinya.
Sayang di penjalanan ia sempat melihat Tanjung Bagus, yang
berambut panjang selewat punggung, memakai bunga kemboja
putih di atas telinga kanan nya. Cepat-cepat Ekayana
menghampiri lelaki yang berdandanan wanita, dengan wajah
cantik dan ber kesan binal itu. Pakaian pinjung sebatas dada
menutupi gundukan daging yang tak seberapa besar tapi
berkesan montok. Celana dan pinjung ketat warna kuning itu
dirangkapi kain jubah warna merah jambu. Bagi lelaki yang
belum tahu siapa Tanjung Bagus itu, maka ia akan terangsang
melihatnya karena dianggap sebagai perempuan yang punya daya
pikat tinggi dan menggairahkan. Padahal orang itu
sebenarnya seorang lelaki yang punya nama asli Legowo.
Ekayana melompat dan tahu-tahu berdiri di depan Tanjung
Bagus. Orang itu memekik genit dan latah,
"Eh, alah... kadal, babi, kambing, cicak, semut, gajah..!
Iih! Bikin kaget saja kamu!" sambil tangan nya melambai dan
tubuhnya melenggok ganjen.
Kalau Ekayana tidak sedang marah, ia akan ter tawa dan terus
menggoda kelatahan Tanjung Bagus. Tapi karena ia sedang
marah kepada gurunya Tanjung Bagus, maka wajah Ekayana tetap
diam, dingin, dan memancarkan nafsu untuk membunuh. Tanjung
Bagus sedikit curiga, tapi ia hanya meliriknya dengan pasang
gaya genit supaya menarik minat lelaki tampan di depannya.
Bahkan ia berkata,
"Lain kali kalau mau temui aku jangan gitu, ah! Kita kan
kaget , Ekayana!. Mau apa sebenarnya kamu, ha" Mau apa"
Ngomonglah! Aku siap menerima ajakanmu untuk apaaa.. saja!"
lalu ia tersenyum nyengir, Menurutnya senyuman itu manis,
tapi menurut Ekayana memuakkan.
Ekayana diam saja, masih membisu di tempat Tanjung Bagus
memandangnya dengan mata nakal. Senyumnya adalah senyum
jalang yang biasa dipakai menggoda lelaki atau lebih
tepatnya menjebak lelaki yang diminatinya.
"Mau apa kamu menghadangku, Ekayana" Ngomonglah...!"
"Mau membunuhmu!" bentak Ekayana keras membuat Tanjung Bagus
terlonjak kaget dan berucap latah,
"E, alah... babi, kambing, tikus, bebek, kucing,ayam...!
Aduh, suaramu itu lho! suka bikin jantung cotot, eh... comot,
eh...copot!" Tanjung Bagus bahkan berjalan melenggok
lenggok mendekati
Ekayana seraya berkata lagi, "Datang-datang kok mau membunuhku" Ada masalah apa, Ekayana"
Kamu kalau sedang cemberut gitu ganteng sekali lho! Betul
kok!" Srett...! Wutt,,,! Pedang dicabut, ditebaskan dari bawah
ke atas dalam satu gerakan mencabut.
Crasss...! Tanjung Bagus diam, memandang Ekayana dalam
senyum. Tapi senyumnya itu lama-lama kendor. Tanjung Bagus
tetap tak bergerak dan tak berkedip. Lama lama tubuhnya
mulai meliuk mau tumbang, perut sampai dada robek dalam,
bahkan leher pun sempat robek karena tebasan kilat pedang
Ekayana. Brukkk...! Tanpa bicara 'A', I atau U, Tanjung Bagus rubuh
dan tak bernyawa lagi. Ekayana yang sejak tadi juga diam
dengan pedang terangkat habis dipakai menyabet tubuh
lawannya, kali ini menarik badannya yang melangkah maju
menjadi sejajar tegak. Pedangnya pun sudah diturunkan.
Wajahnya masih berkesan bengis.
"Tak dapat membunuh gurunya, muridnya pun jadi!" katanya.
Tapi ini belum lunas! Nini Pasung Jagat masih harus
membayar nyawa kakek dengan nyawanya sendiri!" sambil
menggumam begitu, Ekayana membersihkan darah dipedangnya
memakai rambut mayat Tanjung Bagus. Dan tanpa ia sadari,
hal itu dilihat oleh Nini Pasung Jagat dari kejauhan
sehingga berteriaklah nenek ganas itu.
Wess...! Ekayana cepat tinggalkan tempat, tak mau melayani
Nini Pasung Jagat yang segera mendekati mayat muridnya. Ia
terperanjat kaget melihat Tanjung Bagus sudah tidak
bernyawa lagi. Ia berseru,
"Banci...! Banci, kau mati, Nak..." Oh, murid ku..."!" Nini
Pasung Jagat meratap. Tanjung Bagus satu-satunya murid yang
setia padanya, karena itu Nini Pasung Jagat sangat sayang
kepada Tanjung Bagus walaupun anak itu banci.
Melihat kematian muridnya, Nini Pasung Jagat meluap
murkanya kepada Ekayana. Bahkan ia berteriak sambil
mengangkat kedua tangannya yang memegangi tongkat di sebelah
kanan itu, "Ekayana...! Aku bersumpah akan membunuh mu untuk menebus
kematian muridku! Tunggu aku, Ekayanaaa...!"
Entah mendengar atau tidak Ekayana saat itu, yang jelas
pemuda berpakaian kulit beruang putih bercelana hitam itu
berlari mengikuti petunjuk nalurinya dalam mengejar
Sedayu. Dan ternyata, Sedayu memang ada dalam arah yang
dituju. Tetapi ternyata Pranawijaya sudah lebih cepat bergerak
memotong jalan dan berhasil menyusul Sedayu. Keadaan luka
di perut PranawiJaya telah tertutup kain pengikat pinggang,
dan beberapa ramuan daun telah dimakan dan diborehkan pada
lukanya itu. Keadaan tersebut membuat Pranawijaya tak ber-
kurang kekuatannya.
"Sedayu...! panggilnya dari belakang. Sedayu menoleh dan
juga berseru kaget,
"Prana...! Oh, Prana... syukurkah kau selamat!"
Sedayu memeluk Pranawijaya. Agaknya memang hati perempuan
itu saat ini sedang tertuju pada Pranawijaya, sehingga
dengan erat dan hangat ia memeluk Pranawijaya, bahkan
menciuminya penuh gairah.
Tetapi kecemasan telah membuat gairah itu surut dan
terpendam untuk sementara waktu.
"Dia masih mengejarmu, Sedayu?"
"Ya. Masih! Tapi tadi kulihat dia bertarungdengan tokoh
tua, dan aku punya kesempatan melarikan diri kemari! Oh,
syukurlah aku bisa bertemu denganmu lagi Prana!" sambil
Sedayu memeluk Pranawijaya lagi.
"Tenangkan hatimu! Aku punya tempat persembunyian yang
cukup aman buat kita, Sedayu!" sambil tangan Pranawijaya
mengusap usap rambut Sedayu yang bersandar di dadanya dengan
hangat. "Di sana kau aman dari gangguan siapa saja. Sedayu!
Kau bisa istirahat dengan tenang!"
Tiba-tiba ada yang menyahut, "Iya. Kuburan itulah tempatnya
beristirahat dengan tenang!"
Pranawijaya terkejut, demikian pula Sedayu, ia buru-buru
menjauhkan jarak dengan Pranawijaya. Keduanya buru-buru
memandang ke atas pohon, ternyata di sana sudah bertengger
seorang gadis cantik berpakaian kuning gading. Dialah
Kirana! Wuggg...! Kirana melompat turun dari atas pohon. Jaraknya hanya tiga
langkah dari depan Sedayu. Matanya memancarkan gairah untuk
membunuh Sedayu. Tetapi Sedayu tak gentar sedikit pun,
bahkan berkata dengan nada menggeram gemas,
"Bocah usil! Begitukah kerjamu setiap hari mengintip orang
yang sedang bermesraan"!"
"Kerjaku setiap hari mengincar kamu untuk ku bunuh, Sedayu!"
Kirana bicara dengan keras dan berani.
"Kirana, jaga bicaramu!" Pranawijaya membentak.
Tapi Kirana justru bersuara lebih keras lagi,
"Kau boleh berada di pihak dia, Prana! Aku tak akan gentar
melawan kalian berdua!"
Sedayu segera berkata. "Bocah bodoh kamu ini! Tak ada masalah
apa apa mau membunuhku"!"
"Kau yang berlagak bodoh. Sedayu! Kau telah membunuh guruku,
tapi berlagak tidak mempunyai masalah apa apa denganku"!"
"Ooo... jadi kau menuntut kematian gurumu itu"!" Sedayu
manggut-manggut sambil pamerkan wajah sinisnya.
"Jangan banyak bicara! Terima saja pembalasanku ini!
Heaah...! Srett...! Wuttt wuttt...!
Dua kali Kirana berkelebat menebaskan pedangnya ke wajah
Sedayu, tapi bisa dihindari oleh Sedayu dengan memiringkan
badan dan merunduk satu kali. Tapi dengan cepat Kirana
membalikkan badan dan dengan tendangan berputar, ia mencapai
Pendekar Mabuk 022 Lentera Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dada Sedayu, lalu menyentakkan kakinya kuat-kuat.
Behgg...! "Uhg...! Sedayu terpekik tertahan karena sentakan itu.
Tubuhnya tersentak ke belakang, dan kini merapat dengan
sebatang pohon. Dengan cepat Kirana melompat dan membabatkan
pedangnya ke arah leher Sedayu.
Crass...! Pedang itu melukai batang pohon, karena Sedayu
segera berguling ke tanah sambil mencabut pedang, kemudian
dengan cepat ia berdiri sigap, menatap Kirana yang sedang
ditahan dari belakang oleh Pranawijaya.
"Hentikan, Kirana! Hentikan...!"
"Setan kau. Prana! Hihh...!" Kirana menendang bagaikan kuda,
Pranawijaya terkena tendangan itu di perutnya yang masih luka,
ia memekik, "Auuh.. . ! " d an terhuyung huyung mundur dua tindak.
Melihat Pranawijaya terkena tendangan yang menyakitkan,
Sedayu segera melepaskan serangan nya dengan jurus pedang
menebas dari atas ke bawah sambil ia memekik keras,
"Hiaaah...!" Wuttt..! Trang...!
Kirana berhasil menangkis pedang itu, tapi oleh Sedayu pedang
tersebut diputar dan disentakkan ke samping. Clakk...! Pedang
itu terlepas dari genggaman Kirana. Segera tubuh Kirana
ditodong ujung pedang Sedayu sambil Sedayu berkata penuh
kegeraman hati,
"Lihat! Betapa mudahnya aku membunuhmu saat ini, bukan"!
Jangan sekali-sekali kau bertingkah di depanku dan berkoar mau
membunuhku! Kau bisa terbunuh sendiri oleh ucapanmu, Kirana!"
"Setan jalang kau, Sedayu!"
Wuttt...! Plakk...!
Di luar dugaannya, Kirana menyentakkan kaki ke atas sambil
tubuhnya melengkung ke belakang dan berjungkir balik dengan
cepat. Gerakan kaki yang dilakukan bersamaan dengan
berjungkir balik, itu telah mengenai tangan Sedayu, sehingga
tangan itu tersentak naik, dan pedangnya terlepas, karena
tulangnya terasa ngilu akibat tendangan kaki berte naga dalam itu. Clap Clap...! Kedua perempuan itu kini sudah kembali menggenggam pedang
masing-masing. Kirana siap-siap menyerang. Tapi tahu-tahu
dari arah belakang ia merasakan ada gerakan dingin yang
mendekatinya dengan cepat. Maka serta-merta ia berlutut satu
kaki dan menadahkan pedang menyilang di atas kepala dengan
tangan kiri menopang ujung pedangnya.
Trangngng...! Gerakan Pranawijaya yang ingin membelah kepala adik sendiri
dengan pedang itu berhasil ditangkis. Tapi tiba-tiba tubuh
Kirana dijatuhkan dan berputar cepat menyabet kaki kakaknya
dengan pedang berkecepatan tinggi.
Wuuttt...! Kaki itu melompat dengan cepat dan menendang wajah Kirana. Plokk...!
"Auh...!" Kirana memekik kesakitan, tulang pipi nya bagaikan
mau pecah akibat tendangan Pranawijaya. Sedayu segera
menyerang dengan pedang menebas ke tanah. Tapi Kirana
berguling ke samping, lalu pedangnya berkelebat menyabet
tangan Sedayu. Wuttt...! Crass...!
Tangan Sedayu terlambat sedikit menghindari sabetan pedang
Kirana, akibatnya tangan itu tergores mata pedang yang
tajam. Untung tak seberapa dalam. Hanya agak panjang lukanya
dan mengeluarkan darah yang membuat mata Pranawijaya
terbelalak marah.
"Kau benar-benar cari mampus, Kirana!" teriak Pranawijaya.
Pada waktu itu, Kirana sudah siap berdiri dengan sigap dan
mengangkat pedangnya ke samping dada kanan dengan kaki
sedikit merendah, rapat antara yang kiri dengan yang kanan.
Tubuhnya sedikit serong, sehingga sewaktu waktu datang
serangan tinggal menebaskan pedangnya.
Wuttt...! Crass...!
"Aahg....!"
Sedayu yang terpekik saat itu. Pranawijaya terkejut dan
menoleh ke belakang, ia tambah terbelalak melihat Ekayana
sudah berada di sana, baru saja berhasil menyabetkan
pedangnya dan melukai punggung Sedayu. Untung tidak terlalu
parah, sehingga Sedayu bisa cepat melompat menjauhinya dan
bergabung dengan Pranawijaya.
"Bangsat! Kau harus menebus lukanya dengan nyawamu, Ekayana!" bentak Pranawijaya lalu cepat maju menyerang bersama
pedangnya. "Hiaaah...!"
Wuttt wuttt., trang trang...! Plok...!
Wajah Pranawijaya menjadi merah. Sebuah tendangan bertenaga
dalam tinggi menghantam wajahnya, membuat ia terpental
mundur empat langkah. Melihat Pranawijaya terjungkal jatuh
dalam keadaan payah, Kirana segera berteriak garang dan
menyerang Ekayana.
"Heaaat...!"
Wuttt, wuttt...! Trang trang trang...! Behgg!
Kini tendangan kaki Kirana yang menghantam telak perut
Ekayana. Pemuda itu tersentak mundur tiga langkah, lalu
berdiri tegak lagi.
"Kau mau ikut campur rupanya!"
"Kau mau membunuh kakakku! Maka aku yang akan berhadapan
denganmu!" kata Kirana, masih saja membela kakaknya walaupun
tadi hampir saja ia mati di ujung pedang Pranawijaya.
"Kepung dia" seru Sedayu dengan masih kuat melakukan
serangan walau sudah terluka punggungnya. Pranawijaya yang
mendengar seruan itu segera bangkit dan mengepung Ekayana.
Kini, Ekayana dikeroyok tiga orang yang masing-masing punya
kemampuan memainkan pedang.
"Sedayu!" kata Ekayana. "Sebaiknya kau menyerah saja dan
kubawa ke Lembah Kabut untuk diadili di sana! Daripada kau
di sini mati di tanganku, lebih baik kau diadili oleh Logayo.
Aku bisa membelamu untuk mendapatkan keringanan hukuman
darinya!" "Cuih...!" Sedayu meludah. 'Lebih baik kau bawa kepalaku
ke sana ketimbang aku harus diadili sementara aku tak
bersalah!"
"Mengakulah.,Sedayu! Orang-orangku sudah banyak yang tahu
bahwa kaulah yang menyebar racun Getah Tengkorak di
tempatku! Kau tak bisa mengelak lagi, Sedayu!"
"Mendengar nama racun itu saja baru dari mulutmu! Bagaimana
mungkin aku bisa menggunakan racun tersebut"! Dari mana aku
mendapatkannya!" Kau jangan mengada-ada, Ekayana! Bilang
saja kau cemburu karena kau tahu aku sekarang berpindah
pelukan pada Pranawijaya!"
"Baiklah kalau kau tetap membandel! Aku; Malaikat Maha
Pedang, terpaksa merampungkan tugasku dengan berat hati!"
"Seraaang...!" teriak Sedayu memberi perintah.
Maka, Pranawijaya dan Kirana pun menyerang Ekayana secara
serempak. Ekayana sendiri hanya diam saja ketika mereka
bertiga bergerak maju, tapi tiba-tiba ia menggunakan jurus
'Pedang Pembelah Petir' nya itu.
Wuttt...! Cras...! Crass...! Trang...!
Dalam satu gerakan cepat, pedang Ekayana telah berhasil
merobek dada Sedayu dan leher Pranawijaya. Sementara
gerakan berikutnya dapat ditangkis oleh Kirana, sehingga
gadis itu hanya terpental akibat kekuatan tenaga dalam yang
mengalir dalam pedang Ekayana.
Begitu Kirana berhasil cepat berdiri, takut diserang lagi,
ia menjadi tertegun melihat kakaknya rubuh tak bernyawa dan
Sedayu pun tergolek mati di samping Pranawijaya.
"Prana..."!" Kirana ingin berteriak, tapi tak mampu,
sehingga yang keluar hanya berupa desah kesedihan mendalam.
Ia pun tak bisa mendekati mayat kakaknya karena serangan
dari Ekayana kembali membahayakan jiwanya. Kirana menangkis
serangan itu dua kali dan berhasil menendang tubuh Ekayana
hingga terjeng kang jatuh sang lawan, kemudian ia cepat-cepat melarikan diri meninggalkan lawannya yang membahayakan
itu. Ia berlari sambil membawa kesedihan atas kematian
kakaknya, namun juga membawa ketegangan karena Ekayana
berlari mengejarnya.
6 KALAU Kirana tidak lari, dia akan mati. Kirana tahu persis
kekuatan ilmu pedang lawannya itu. Ia tak mau mati konyol
melawan sesuatu yang jelas lebih tinggi ilmunya dari ilmu
yang dimilikinya. Yang menjadi masalah sekarang adalah
bagaimana menghindari kejaran dari Ekayana. Agak-nya orang
itu bernafsu juga untuk membunuh Kirana dalam kaitan
pengeroyokannya bersama Pranawija ya dan Sedayu. Sudah pasti
Ekayana menganggap Kirana berkomplot dengan kedua orang
tersebut. Padahal Kirana sendiri sebenarnya merasa tak
menyukai Sedayu dan kecewa sekali Sedayu mati di tangan
Ekayana. Pelarian di ujung senja itu membawa Kirana ke sebuah pantai.
Sampai di sana, Kirana merasa bingung harus bersembunyi di
mana, sementara dia tahu persis, Ekayana masih terus
membuntutinya. Bahkan kali ini Kirana terpekik kaget dengan
pedang cepat berkelebat ke belakang sambil membalikkan
badan, karena ia mendengar suara seorang lelaki di
belakangnya, "Mau menyeberang lautan"!"
Wuttt...! "Hai, tunggu dulu!" seru pemuda itu yang ternyata adalah
Suto Sinting. Untung Suto segera sentakkan badan ke
belakang, sehingga pedang itu lewat di depan perutnya dalam
jarak satu jengkal.
"Oh, kau...!" Kirana menggeram jengkel-jengkel senang.
Napasnya dihempaskan lepas. Cepat-cepat ia buang muka karena
tak mau terlalu lama memandang senyuman Pendekar Mabuk yang
membahayakan hatinya itu.
"Lain kali berteriaklah dulu kalau mau mendekatiku! Jangan
begitu caranya! Hampir saja aku membunuhmu!"
"Bukankah itu lebih baik bagimu?" kata Suto menggoda. "Kau
sudah hampir membunuhku tadi pagi!"
"Aku... aku khilaf!" jawab Kirana. "Sekarang... sekarang
aku dalam bahaya! Aku menghadapi musuh yang punya ilmu pedang
cukup tinggi! Kakakku dan Sedayu kekasihnya, mati di tangan
Ekayana! Dia sedang mengejarku, dan kusangka kau adalah
Ekayana! Karenanya kutebaskan pedangku lebih dulu sebelum
dia membunuhku!"
"O, kau mau dibunuh oleh orang yang bernama Ekayana?"
"Ya. Aku sudah mencoba melawannya, tapi kurasa aku kalah!"
Pendekar Mabuk tertawa, "Kalau tak kalah, tak mungkin kau
lari sampai ke sini!"
Kirana ingin mengucapkan kata kala lagi, tapi ia bimbang,
bingung, dan akhirnya hanya menghempaskan napas sambil
angkat bahu. Ia duduk di atas sebuah batu yang tingginya
sebatas pinggulnya. Ia masih memegangi pedang di
tangannya. Sementara itu, Suto Sinting menenggak tuaknya
beberapa teguk dan merasakan kesegaran tuak melalui
hembusan napas lewat mulutnya.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Kiran setelah membisu beberapa
saat. Ia memandang Suto sekejap,lalu buru-buru memandang
laut yang ingin menelan matahari senja itu.
"Kau mulai ramah padaku rupanya! Mungkin kau punya maksud
tersembunyi di balik keramahan mu?"
"Yang ingin kutahu, siapa dirimu!" Kirana membelalakkan
mata seperti dipaksakan untuk menjadi galak lagi.
Suto menertawakan sekejap, kemudian ia menjawab dengan
suaranya yang lembut, melenakan kalbu,
'Namaku Suto Sinting! Secara kebetulan saja aku sedang
mencari apa arti Cemara Tunggal!"
"Arti Cemara Tunggal "!" Kirana berkerut dahi memandang Suto. "Maksudku, aku tidak tahu apakah Cemara Tunggal itu nama
sebuah tempat, nama pusaka, nama tokoh tua., atau nama
makanan!" Kirana diam. Tapi kemudian ia tertawa berderai. Suto
sedikit malu tersipu, namun ia segera berkata lagi,
"Aku memang bodoh dalam hal itu!"
"Aku bisa menolongmu, tapi kau harus menolongku!"
Pendekar Mabuk 022 Lentera Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
'Apa yang harus kulakukan untuk menolongmu?"
"Menghadapi Ekayana!"
Pendekar Mabuk makin melebarkan senyum, bahkan tertawa
dalam nada gumam. Kirana berkata lagi,
"Kau bersedia?"
"Sebenarnya bersedia, tapi karena kau tadi pagi sudah
mengatakan bahwa dirimu tak butuh pertolonganku, maka
kuurungkan pertolonganku untukmu!" goda Suto sambil mulai
membuka tutup bumbung tuaknya.
"Kalau kau tak mau menolongku, aku juga tak mau menolongmu!
Padahal aku tahu banyak ten-tang Cemara Tunggal!" Kirana
membuang muka ber-lagak acuh tak acuh. Suto membiarkannya,
malahan ia menenggak tuak beberapa teguk. Setelah itu ia
melangkah bersebelahan dengan Kirana. Ikut memandang ke
arah lautan lepas.
"Indah sekali pemandangan senja di tepi pantai itu! Hampir
setiap ada kesempatan, aku selalu meluangkan waktu untuk
menikmati keindahan seperti saat ini!"
"Hei, bagaimana dengan tawaranku tadi"!" Kirana merasa
sedang dialihkan bicaranya, sehingga ia tak mau melayani
pembicaraan Suto, namun memaksa Suto untuk kembali ke
percakapan semula. Suto Sinting hanya memandang dengan
senyum menawan tersungging di bibirnya yang masih tampak
basah karena tuak tadi.
"Apakah kau benar benar membutuhkan bantuanku?"
"Ya," jawab Kirana dengan tegas dan jelas.
"Kau tidak kecewa seperti saat mendapat pertolongan dariku
tadi pagi"!"
"Tidak akan! Karena ini demi menyelamatkan nyawaku!"
"Yang kulakukan tadi pagi juga demi menyelamatkan nyawa mu
!" "Tapi lawanku adalah kakak sendir! Dan aku tak yakin dia
akan tega membunuhku! Tapi kali ini, Ekayana yang menjadi
lawanku. Dia orang buas dari sekian banyak manusia bejat
yang tinggal di Lembah Kabut dan dalam benteng Perguruan
Kobra Hitam! Kurasa dia benar- benar ingin membunuhku, dan
aku butuh pelindung!"
"O,begitu?" Suto sengaja menggoda dengan lagak acuh tak
acuhnya, dan juga lagak bodohnya. Kirana ingin marah karena
merasa sedang dipermainkan, tapi sisi hatinya yang lain
merasa senang dengan cara Suto mempermainkannya.
"Baiklah," kata Pendekar Mabuk akhirnya. "Ku ingatkan saja
padamu, lain kali jangan kau sesumbar dan sesombong begitu!
Sekarang aku akan menolongmu!"
"Kalau kau tak suka, tak apalah! Aku tak akan memaksamu
minta tolong," kata Kirana dengan sikap angkuhnya
ditonjolkan. Pendekar Mabuk geleng-geleng kepala, merasa aneh dengan lagak gadis cantik berhidung mancung itu.
"Sebutkan dulu, apa nama Cemara Tunggal itu?"
"Setahuku itu nama sebuah tempat , letaknya di Bukit Canang!
Disana memang ada sebuah cemara yang tumbuh sendirian, tanpa
tanaman lain, berben tuk lurus, tinggi, seperti sebuah
menara atau prasasti tugu bersejarah. Hanya ada satu cemara
di sekitar Bukit Canang."
"Hmm... di mana tempat itu" Maksudku, Bukit Canang terletak
di sebelah mana?" tanya Sulo semakin serius.
Tapi tiba-tiba Kirana terperanjat. Matanya melebar
seketika, karena ia melihat sekelebat sinar hijau tua yang
melesat ke arahnya dengan kecepatan tinggi. Kirana yang
terkesiap dan tak sempat menghindar itu dihantam sinar
hijau tua dalam bentuk seperti ujung anak panah.
Melihat hal itu, Suto bergerak cepat di luar dugaan Kirana.
Bumbung tuaknya dihadangkan di depan Kirana, dan sinar
hijau itu membentur bumbung tersebut.
Trangng...! Bagai dua besi baja beradu suara nya. Sinar hijau itu
membalik kearah pemiliknya dengan lebih besar dan lebih
cepat gerakan terbangnya.
Zlappp...! Duarrr...! Brrrukk...!
Sebatang pohon kelapa menjadi sasaran sinar hijau tersebut,
sebab pemiliknya segera melompat menghindari sinar yang
membalik. Dan pohon kelapa itu pecah berantakan pada bagian
yang terkena sinar hijau, sehingga sisanya di bagian atas
tumbang tanpa ampun lagi. Bau terbakar menyengat hidung.
Bagian batang kelapa yang hancur kepulkan asap dalam keadaan
hangus, bahkan masih terdapat bara api yang menyala di sana.
Sedangkan buahnya menggelinding berserakan di pasir pantai
tersebut. "Itu yang bernama Ekayana!" bisik Kirana. Bisikan itu
terucap setelah mereka sama-sama memandang kemunculan
Ekayana yang tadi bersalto di udara menghindari sinar
hijaunya yang membalik arah itu.
"Diamlah di sini, biar aku yang menemui dia!" bisik Suto
Sinting. "Hati-hati, dia jago pedang!"
"Aku jago lari" jawab Suto seenaknya saja sambil
meninggalkan Kirana sendirian. Ia melangkah mendekati
Ekayana yang berdiri dengan pedang telah tergenggam di
tangannya. Ekayana berkerut dahi merasa asing dengan wajah Suto
Sinting yang baru kali itu ditemuinya. Kerutan dahi membuat
wajah Ekayana yang berkumis tipis dan tampak ganteng pula
itu menjadi berkesan tegang. Sementara itu, Suto tetap tampak lebih tenang dan kalem penampilannya.
"Kekasihmukah itu?" tanya Ekayana dengan nada sinis dan
keras. Kirana yang mendengar menjadi deg-degan. Lebih deg-
degan lagi saat Suto menjawab,
"Ya, dia kekasihku! Mau apa kau"!"
"Dia akan kubunuh!"
"Silahkan!" jawab Suto seenaknya saja. Kemudian ia menyisih,
seakan membuka jalan untuk Ekayana. Kirana menjadi
kebingungan. "Sinting betul itu orang! Disuruh melindungiku malah
membiarkan orang itu akan membunuhku"!" pikir Kirana dengan
ketegangan yang disembunyikan.
Ekayana sendiri menjadi curiga melihat Pendekar Mabuk
memberi jalan kepadanya. Ekayana tidak segera bergerak
melangkah mendekati Kirana. Ia bahkan menatap Suto dengan
mata sedikit menyipit, memperlihatkan sikap permusuhannya.
"Silahkan...! ulang Suto dengan kalem, tangannya bergerak
melambai, selayaknya orang memper silakan tamu yang mau
lewat. "Kau tak kecewa dan tak menyesal kalau sampai kekasihmu itu
mati di ujung pedangku"!"
"Tidak!" jawab Suto terang-terangan dan nyeplos begitu
saja. "Kenapa kau tidak menyesal kalau dia mati?"
"Karena aku yakin kau tidak akan bisa menggerakkan
pedangmu!" Jawab Pendekar Mabuk.
"Hm...!" Ekayana tersenyum sinis.
Pendekar Mabuk segera membuka bumbung tuak, dan
menenggaknya beberapa saat. Kemudian melangkah mendekati
Kirana. "Jangan sakit hati pada ucapanku!" bisik Suto.
"Kau mempersilakan dia membunuhku! Bagaimana aku tak sakit
hati?" "Percayalah, dia tak akan bisa menggerakkan tangannya!
Pedang itu tak akan bisa ditebaskan ke tubuhmu, walau
kakinya bisa berjalan mendekatimu! Lihat saja nanti!"
Benar saja apa yang dikatakan Pendekar Mabuk itu. Ekayana
ingin menggerakkan pedangnya yang sudah terangkat di atas
pundak kanan dengan menggunakan kedua tangan. Pedang itu
sebenar nya sudah siap menebas lawan. Tapi Ekayana
kebingungan menggerakkan kedua tangan, Bahkan untuk
membungkukkan badannya saja terasa kaku, tak bisa ditekuk
sedikitpun. Kedua tangan itu bagaikan membeku, urat-uratnya
sangat keras dan kaku. Sedikit pun jarinya tak ada yang bisa
digerakkan. Tetap saja menggenggam gagang pedang dengan
keras. "Bangkai busuk kenapa tangan dan badanku jadi kaku begini"!
Apakah pemuda brengsek itu telah menotok jalan darahku
untuk bagian tangan dan badan" Sejak kapan dia
menotokku"!" pikir Ekayana dengan terheran-heran.
Kirana sendiri memandangnya dengan heran sekali. Dalam
hatinya ia berkata, "Orang tampan ini sintingnya kelewat
batas! Tak kulihat gerakan menotoknya, tapi tahu-tahu
Ekayana tak bisa menggerakkan kedua tangannya"! Tinggi juga
ilmu Suto Sinting ini" Murid siapa dia"!"
Pendekar Mabuk hanya tersenyum-senyum memandangi Ekayana,
yang mirip patung sedang jadi tontonan itu.
Kemudian, Kirana berbisik,
"Sejak kapan kau menotoknya?"
"Lewat gerakan tanganku waktu mempersilakan dia berjalan!"
"Ooo...," Kirana manggut-manggut, namun dalam hatinya
berkata, "Memang edan dia ini ! Hanya dengan gerakan tangan
selembut itu ia bisa kirimkan tenaga dalam untuk menotok
Iawan dalam jarak tiga langkah di depannya! Luar biasa
sekali ilmunya!"
Ekayana bersusah payah melepaskan diri dari pengaruh
totokan tersebut . Bahkan ia berlari ke dekat pohon kelapa,
dan dibentur-benturkan badannya ke sana, tangannya yang
jadi sasaran pembenturan itu. Tapi pengaruh totokan
tangannya belum bisa terlepas. Masih saja tangan itu kaku.
Keduanya memegang gagang pedang yang sudah ada di atas
pundaknya. Punggungnya sendiri tak bisa ditekuk, walau ia
telah menggerakkan tenaganya sekuat mungkin.
"Hoi...! Monyet...!" panggil Ekayana.
"Kau memanggil dirimu sendiri atau memanggil orang lain"!"
tanya Suto dengan nada melecehkan.
Ekayana hanya menggeram dengan wajah merah menahan amarah.
"Bebaskan aku dari pengaruh totokanmu! Jangan berani-beranian mempermainkan orang Kobra Hitam begini,
Kunyuk!" "Kobra Hitam"! Apa hebatnya Kobra Hitam itu" Mengapa kau
sombongkan di depanku"! Kalau orang Kobra Hitam itu orang
kuat , sakti, jagoan, tidak mungkin bisa meratap ratap
minta dibebaskan totokan jalan darahnya!" Pendekar Mabuk
tertawa pelan. Luapan amarah sudah tak terbendung lagi sebenarnya. Tapi
Ekayana terpaksa tak bisa melampias-kan selain hanya bisa
berah-uh-ah-uh, memaksakan tenaga untuk melepaskan diri
dari pengaruh totokan itu.
"Bangsat kaut" geram Ekayana. "Kalau kau merasa berilmu
tinggi, mari kita bertarung secara kesatria! Ambil pedang
dan kita beradu nyawa dengan pedang!"
"Aku tidak mau!" jawab Suto sambil menggeleng-gelengkan
kepala. "Aku tidak bisa jurus pedang! Tapi kalau jurus
memenggal kepala tanpa menggunakan pedang atau senjata apa
pun, aku bisa!"
"Manusia busuk kau! Banci! Cengeng dan kecil nyalimu!"
Ekayana sengaja memancing kemarahan Pendekar Mabuk. Tapi
Suto hanya tertawa sambil tetap berada di samping Kirana.
"Kau mengatai dirimu sendiri!" kata Suto. "Kalau kau tidak
merasa banci, cengeng, dan kecil nyalimu, coba kau lepaskan
diri dari pengaruh totokan itu! Coba!" tantang Suto makin
memanaskan hati Eka yana.
Saat itu, darah Ekayana benar-benar mendidih. Tapi karena
tak bisa berbuat apa-apa, Ekayana hanya bisa menggeram penuh
kejengkelan. "Tunggu! Jangan pergi ke mana pun kalian! Aku akan datang
kembali menemui kalian di sini!" setelah berkata begitu,
Ekayana segera pergi meninggalkan pantai dengan berlari
lari, tangan keduanya masih menggenggam pedang di atas
pundak kanannya. Suto menertawakan dan Kirana pun cekikikan
geli melihat Ekayana lari dalam keadaan seperti itu. Mereka
tak tahu apa yang dicemaskan hati Ekayana sebelum berlari
meninggalkan tempat,
"Nini Pasung Jagat pasti sedang memburuku! Kalau aku dalam
keadaan seperti ini. Nini Pasung Jagat pasti dengan mudah
membunuhku. Sebelum nenek setan itu muncul, aku harus
melarikan diri lebih dulu. Kurasa Brajawisnu ataupun
Pancakana, dapat menolongku membebaskan pengaruh totokan
iblis ini! Kelak jika aku berhadapan dengan pemuda
ber-bumbung tuak itu, aku harus lebih waspada lagi! Memang
edan ilmu yang dimiliki pemuda itu!"
Nini Pasung Jagat adalah orang yang ditakuti Ekayana pada
saat mengalami nasib seperti itu. Tetapi, Kirana mempunyai
dugaan lain, dan segera berkata kepada Pandekar Mabuk,
"Pasti dia pulang untuk memanggil orang orangnya! Sebaiknya
kita cepat menyingkir dari tempat ini, Suto!"
"Mengapa harus menyingkir" Biar saja ia datang bersama
orang-orangnya! Tak ada salahnya dia ke sini membawa teman,
barangkali butuh ngobrol bersama di tepi pantai!"
"Suto! Orang orang Kobra Hitam itu ganas-ganas dan berilmu
tinggi. Kau jangan meremehkan mereka!" Kirana tampak cemas.
"Kalau aku meremehkan mereka, kenapa?"
"Kau bisa dibunuh oleh mereka!" sentak Kirana tak sabar.
"Kalau aku dibunuh mereka?"
Pendekar Mabuk 022 Lentera Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Matilah kau!"
"Ya, sudah. Biar saja mati. Memangnya kenapa kalau aku mati"
Apa kau merasa rugi"!"
Kirana gelisah dan jengkel sendiri, akhirnya menjawab dengan
wajah cemberut ketus, "Tidak!"
Dan Pendekar Mabuk tahu perasaan hati Kirana sebenarnya,
karena itu ia menertawakan gadis itu. Sang gadis semakin
tersipu dongkol.
7 RUMAH terdekat dari pantai itu adalah tempat kediaman Tabib
Cawan Maut. Rumah itu ada di tepi laut, tapi di sebuah bukit
karang yang sepi oleh penghuni, sunyi oleh binatang burung,
ka rena tak ada tanaman di atas bukti karang itu. Bukit
tersebut jika lewat siang hari tertutup bayangan tebing
karang yang tinggi, letaknya di seberang bukit karang. Antara bukit tersebut dengan tebing karang yang tinggi terdapat
selat berombak besar. Curam dan berkesan ganas alam di bawah
bukit itu. Tabib Cawan Maut membuat atap lebar dan panjang dari daun
kelapa dan nipah. Dengan adanya tempat bernaung yang panjang
dan lebar itu, rumah gubuk kediaman Tabib Cawan Maut menjadi
teduh dan nyaman ditempati. Di situ ia tinggal dengan seorang
pelayannya, lelaki berusia sekitar lima puluh tahun yang
bernama Jongos Daki. Dulu kerjanya mendaki gunung untuk
Pertemuan Di Kotaraja 10 Pendekar Bayangan Sukma 3 Petaka Cinta Berdarah Pendekar Riang 11
Sinar merah itu membalik arah ke tempat semula dengan lebih
cepat dan lebih besar. Pranawijaya terbeliak kaget, kemudian
berguling-guling di rerumputan semak. Tetapi, satu dari dua
sinar merah itu tak sempat dihindari. Sinar itu mengenai
ujung pundak Pranawijaya. Desss....!
"Aahg...!" Pranawijaya memekik dengan mata terpejam dan
mulut menganga, wajahnya menyeringai.
"Jahanam kau! Hiaaat...!" Kirana yang terkejut melihat
Pranawijaya terkena pukulan balik itu menjadi naik pitam.
Ia melompat dan menebaskan pe dangnya ke leher Suto. Dengan
cepat Suto Sinting merendahkan badan sambil menadahkan
bumbung tuaknya menggunakan dua tangan.
Trakk...! Pedang itu mengenai bumbung tuak. Benturan itu ternyata
mempunyai saluran tenaga dalam yang cukup besar, sehingga
tangan Kirana yang memegang pedang terlempar keras ke
belakang, dan hampir saja copot dari engselnya jika tubuhnya
tidak segera ikut terbawa terlempar dan jatuh berguling-guling.
"Kenapa kau justru menyerangku"! Aku membelamu. Bodoh!"
sentak Suto yang merasa dongkol dengan sikap Karina.
Dilihatnya ke arah Pranawijaya, ternyata pemuda itu sudah
melarikan diri dengan cepatnya sambil mengambil pedangnya
yang menancap di tanah.
"Pranaa...!" teriak Kirana. Tapi ia tak segera mengejarnya
karena ia melihat Pendekar Mabuk bergegas mau mengejar,
sehingga Kirana justru menghadang di depan Suto.
"O, kau tak menghendaki pemuda itu kubawa kemari untuk
meminta maaf kepadamu"!"
"Aku tak membutuhkan jasamu!" jawab Kirana dengan ketus.
"Aneh kau ini!"kata Suto sambil sunggingkan senyum di
bibirnya. "Kau hampir mati. Aku menyelamatkan nyawamu, tapi
kau justru memusuhiku" Begitukah caramu berterima kasih
kepada seorang penolong"!"
"Aku tidak butuh pertotonganmu! teriak Kirana dengan gusar.
Dia tidak mungkin membunuhku!"
"Kenapa?"
"Dia kakakku!"
"Ooo...!" Suto mangut-mangut sambil membuka tutup bumbung
tuak. "Tapi agaknya kau menghalangi cintanya tadi!
Seseorang bisa gelap mata dan tak mengenal saudara jika
sudah terganggu cintanya! Dia bisa menjadi buas dan liar
seperti seekor binatang!"
"Persetan celotehmu! Aku harus mengejar Prana agar tidak
menemui Sedayu dan membocorkan rencanaku!"
"Hei,. tunggu! Aku ingin tahu tentang Cemara Tunggal yang
kau sebutkan tadi , Kirana!"
Kirana tidak peduli saat pemuda itu menyebut namanya, ia
terus berlari mengejar Pranawijaya, kakaknya. Pendekar
Mabuk meneguk tuak sebentar, kemudian segera mengejar
Kirana dengan gerakan jurus silumannya.
Zlappp...! Dalam waktu sekejap, Suto Sinting sudah tiba di depan
Kirana, membuat langkah gadis cantik itu ter henti dan
terperanjat melihat Suto tahu-tahu sudah ada di depan
langkahnya, antara lima tombak.
"Kau tadi kudengar menyebut nyebut tentang Cemara Tunggal!
Aku ingin tahu tentang Cemara Tunggal itu, Kirana!"
"Tanyakan pada nenek moyangmu! Jangan ke padaku!" ketus
Kirana sambil bergegas meninggal kan tempat.
Tapi tangan Suto sempat meraih dan mencekal lengan Kirana,
sehingga gadis itu terhenti dan mengibaskan pegangan tangan
Suto dengan wajah masih cemberut.
"Jangan ganggu aku lagi! Kau dan aku tidak ada hubungan apa
apa, dan tidak punya persoalan apa-apa!" kata Kirana.
"Percayalah padaku, Kirana...! Kalau kau berkeras hati
melarang Pranawijaya bertemu dengan Sedayu, kau pasti akan
dibunuh! Kulihat cahaya cinta Pranawijaya pada Sedayu sangat
berkobar-kobar. Kulihat kobaran itu tampak jelas di kedua
matanya saat kau menghina Sedayu!"
"Aku tak peduli! Dan ingat..., aku tak butuh per tolonganmu!
Jangan melindungi aku!" sentak Kirana dengan amat ketus dan
galak, ia sengaja bersikap begitu, karena sebenarnya ia
merasa takut kepada hatinya sendiri. Hatinya saat itu
berdebar-debar dan menimbulkan letupan-letupan keindahan
pada saat memandang ketampanan Suto Sinting itu. Kirana
ingin membuang letupan indah itu agar ia tidak terperangkap
oleh k hayalannya sendiri dengan bersikap galak. Namun
sikap galak itu justru membuat Suto Sinting melebarkan
senyumannya, dan senyuman itulah yang menjadikan Kirana
semakin gelisah dicekam keindahan yang nyaris menjerat
hatinya. Maka, dengan cepat ia pun melarikan diri menggunakan tenaga
peringan tubuhnya. Dan Pendekar Mabuk mengejarnya terus,
karena ingin tahu tentang Cemara Tunggal yang tadi ia
dengar disebutkan Kirana.
4 Di Lereng Tudung Bumi sedang terjadi keributan. Lereng
Tudung Bumi adalah tempat tinggal Sedayu bersama beberapa
murid-murid peninggalan mendiang gurunya. Sejak gurunya
wafat, Sedayu-lah yang berkuasa di perguruan tersebut dan
menjadi guru bagi para murid yang pada umum-nya terdiri atas
perempuan itu. Tetapi saat ini, Perguruan Tudung Bumi sedang diserang oleh
orang-orang dari Kobra Hitam, dipimpin langsung oleh
Ekayana, yang berjuluk Malaikat Maha Pedang itu. Pada
mulanya Ekayana hanya ingin menangkap Sedayu. Setidaknya
ia ingin berbicara lebih dulu dengan Sedayu tentang
pembunuhan beracun yang menewaskan orang-orang Kobra Hitam
itu. Tetapi Sedayu menanggapinya dengan marah, karena
beberapa orangnya Ekayana yang sudah mengepung perguruan
itu dianggap sudah merupakan penyerangan dengan maksud tak
baik. Sedayu pun segera memerintahkan murid-muridnya untuk
menyerang orang-orangnya Ekayana. Di depan Ekayana, Sedayu
berkata, "Serang mereka! Jangan biarkan satu pun yang mengepung tempat kita! Itu sudah merupakan tindakan yang jelas bermusuhan!"
"Tunggu!" Ekayana berteriak. "Aku perlu bicara dulu padamu
Sedayu! Kalau memang bisa, aku tak ingin ada pertumpahan
darah di antara kita, Sedayu!"
"Kau telah mengawali pertumpahan darah dengan memotong
telinga anak buahku yang berjaga di perbatasan, Ekayana!"
"Karena aku terpaksa dan perlu memberi pelajaran padanya!"
jawab Ekayana membela diri. Tapi Sedayu tetap berkata,
"Itu sudah merupakan tantangan bagi kami!"
"Aku minta maaf!"
"Bisa kumaafkan, tapi harus kau ganti dengan daun telingamu
sendiri yang harus kupotong!"
"Sedayu.."!" geram Ekayana.
Sedayu berseru kepada anak buahnya, "Seraaang,..!"
Ekayana pun berteriak kepada anak buahnya, "Hancurkan
mereka!" Maka, terjadilah pertempuran hebat antara kelompok Ekayana
dengan kelompoknya Sedayu. Anehnya, Ekayana justru
meninggalkan Sedayu dan membabat habis beberapa anak buah
Sedayu. Sementara itu, Sedayu pun cukup banyak menewaskan
anak buah Ekayana yang jumlahnya lebih dari dua puluh lima
orang itu. Sedayu mempunyai kekuatan pertahanan tak seimbang dengan
orang-orang ganas dari Lembah Kabut, Perguruan Kobra Hitam
itu. Dalam waktu tak terlalu lama, tinggal beberapa anak
buahnya yang masih tersisa. Melihat keadaan begitu, Sedayu
segera melarikan diri, dan Ekayana mengejarnya. Pedang yang
sudah bermandikan darah itu masih tergenggam di tangan
Sedayu dan Ekayana.
Pelarian Sedayu tiba di lereng sebuah bukit yang jarang
ditumbuhi oleh pepohonan tinggi, hanya beberapa semak
menggerumbul terpisah di sana-sini, bebatuan yang menjulang
tinggi, dan rumput kering di sekelilingnya. Di sana, Ekayana
ber-hasil melepaskan pukulan jarak jauhnya yang membuat
Sedayu terpelanting dan jatuh. Pelarian Sedayu untuk
sementara waktu terhenti. Kini ia berhadapan dengan
Ekayana, orang yang sering datang membawa segenggam
kemesraan padanya, dan Sedayu pun sering memanfaatkan
kemesraan itu sebagai pengisi hatinya yang kosong, sebagai
pemuas dahaganya yang selalu kerontang jika tak jumpa
Ekayana dalam sepekan.
Tapi agaknya kali ini Ekayana datang tidak membawa segenggam
kemesraan, melainkan segenggam maut di ujung pedang. Sedayu
sendiri siap mencabut maut tersebut dengan petaka yang sudah
disiapkan di ujung pedangnya pula.
Pukulan jarak jauh itu hanya membuat nyeri di tulang
belakang. Tapi Sedayu cepat mengatasi rata nyeri itu dengan
menghirup napas panjang-panjang dan menahannya beberapa
saat. Perempuan berpakaian biru muda itu kini tegak di depan
lelaki berpakaian kulit bulu beruang putih yang tanpa
lengan, menyerupai rompi panjang itu. Mereka saling
berpandangan mata tajam beberapa saat, kemudian Sedayu
yang membuka suara lebih dulu,
"Tak kusangka kau keji padaku, Ekayana!"
"Karena kau pun kejam terhadapku, Sedayu!"
"Di mana letak kekejamanku padamu" Bukankah setiap kau
datang aku selalu menyambutnya dengan hangat?"
"Tapi kau punya rencana busuk di balik kehangatan cintamu,
Sedayu! Kau telah menyebar racun di antara orang-orangku,
sehingga cukup banyak jumlah yang mati termakan racun Getah
Tengkorak yang kau sebar di Lembah Kabut itu!"
"Apa yang kau bicarakan sebenarnya, Ekayana"! Kau seperti
bayi yang tidur siang hari dan sedang mengigau!" kata Sedayu
sambil berkerut dahi menandakan keheranannya.
Ekayana menahan luapan amarahnya sambil sesekali menggelutukkan giginya, dan berkata kepada Sedayu,
"Jangan berpura-pura bodoh, Sedayu! Pasti akulah sasaran
yang akan kau bunuh, karena kau sudah bosan padaku! Kau ingin
menyingkirkan diriku, dan sekaligus ingin menjadikan
perguruanmu menjadi terkuat di jajaran Tanah Selatan ini.
Lalu kau sebarkan racun itu pada malam hari! Entah siapa
yang kau suruh, tapi aku yakin kau ada di balik racun itu
Sedayu!" "Kurobek mulutmu jika berani bicara selancang itu lagi,
Ekayana!" geram perempuan berusia sekitar tiga puluh lima
tahun itu. "Aku tak punya tindakan sebodoh itu! Kalau aku
mau, cukup dengan membunuhmu, aku bisa menggemparkan dunia
persilatan di Jajaran Tanah Selatan!"
"Kalau kau tak bersalah, kau tak akan lari, Sedayu! Dan kemana arah tujuanmu melarikan diri, sudah dapat kuketahui! Pasti
kau akan minta bantuan kepada Pranawijaya! Pria itu yang
sekarang mengisi hatimu. bukan"!"
"Tutup mulutmu, Ekayana!" bentak Sedayu dengan gusar.
Ekayana tertawa keras hingga tubuhnya terguncang-guncang.
Ia kegirangan melihat wajah Sedayu menjadi merah karena
tertebak hatinya. Tapi ia tak tahu bahwa hal itu justru
membuat Sedayu menjadi bertambah benci dan murka kepadanya.
Karena itu, Sedayu pun segera melepaskan serangan pedangnya
lebih dulu. "Hiaaah...!"
Wusss...! Pedang Sedayu menebas leher Ekayana, tapi dengan
cepat Ekayana tahu-tahu sudah berada di belakang Sedayu.
Pedangnya ditebaskan dari atas ke bawah dengan tujuan
membelah punggung Sedayu. Tetapi, Sedayu sudah lebih dulu
berputar balik, sambil kelebatkan arah pedangnya ke arah
Ekayana. Trangng...! Pedang Ekayana yang hampir membelah tubuh Sedayu itu berhasil ditangkis. Tetapi, Ekayana segera memutar badan dan sentakkan
Pendekar Mabuk 022 Lentera Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kaki. Wuttt...! Wess.,.! Plok!
Wajah Sedayu terkena tendangan kuat. Terlambat sedikit saja
kaki Ekayana bergerak mundur setelah menendang, maka ia akan
menjadi buntung dibabat pedang Sedayu. Tapi karena gerakan
kaki begitu cepatnya, maka wajah Sedayulah yang menjadi
sasaran, membuat Sedayu terpental antara tujuh langkah
jauhnya. Pada saat Sedayu dalam keadaan bergegas bangkit, Ekayana
sudah menusukkan pedangnya dari jarak jauh. Maka, seberkas
sinar kuning melesat dari ujung pedang itu.
Zlappp...! Sinar kuning seperti kumpulan benang-benang kasur itu
menghantam tubuh Sedayu.
Tetapi sebelum sempat mencapai tubuh Sedayu, seberkas sinar
putih perak melesat dan mematahkan gerakan sinar kuning
tersebut. Duarrr...! Tubuh Sedayu jatuh tersungkur lagi karena gelombang
ledakan itu menghentak kuat. Ia terguling-guling tiga kali,
kemudian segera berpegangan pada salah satu sisi batu. Ia
menghempaskan napas kelelahan di sana, kemudian cepat
bangkit berdiri dengan bersiap menyerang Ekayana.
Tapi alangkah terkejutnya Sedayu setelah mengetahui,
ternyata di depannya ada Pranawijaya yang sedang
memunggungi, dan berhadapan dengan Ekayana. Sedayu segera
berseru, "Pranawijaya, menyingkirlah! Biar kuhadapi dia!"
Pranawijaya menjawab dengan tanpa memandang Sedayu, tapi
menatap Ekayana yang tampak menyunggingkan senyum tipis
sambil mengusap-usap kumis tipis di wajahnya.
"Istirahatlah, Sedayu! Orang ini bagianku!"
"Aha...! Seorang ksatria datang mau menolong tuan putri yang
cantik"! Duhai.... seperti dongeng sebelum bayi tidur saja!
Ha ha ha ha...!"
"Tutup bacotmu, Ekayana! Kita selesaikan perkara ini secara
jantan...!" tantang Pranawijaya sambil mencabut pedangnya.
Dalam hati ia menggerutu, "Sial! Gara-gara tanganku masih
memar akibat terlempar kerikil di sana, pegangan pedangku
masih belum begitu kuat! Tapi lumayan, luka di pundakku
sudah bisa kusembuhkah dengan hawa murniku sendiri, walaupun
masih terasa mengilukan tulang sebelah kanan...,"
Terdengar suara Ekayana berseru, " Orang gendeng....! Kalau
kau sudah bosan hidup, majulah, biar perempuan itu tahu
bagaimana cara membelah kepalamu seperti membelah sebuah
semangka!"
"Kau benar-benar manusia banyak bacot, Ekayana!
Heaaah....!"
Ekayana diam saja ketika Pranawijaya maju menyerang dalam
satu lompatan. Pedang segera ditebaskan. Tapi serta-merta
Ekayana bergerak menangkis dengan cepat sekali.
Trang...! Brett..!
"Auuhg...!" Pranawijaya terpekik. Gerakan pedang Ekayana
yang berkelebat cepat itu merobek perut Pranawijaya. Segera
tangan kiri Pranawijaya mendekap lukanya dengan jatuh
terlutut di tanah. Kalau pada saat itu, Ekayana segera
menyerang, ia pasti bisa dengan mudah memenggal kepala
Pranawijaya. Tetapi Ekayana segera meninggalkan Pranawijaya, karena
dilihatnya Sedayu segera melarikan diri begitu melihat
Pranawijaya terkena sabetan pedang lawan. Ekayana berlari
mengejar Sedayu sambil berseru,
"Jangan lari kau, Sedayu...! Aku tak akan kehilangan
jejakmu walau kau lari ke lubang semut sekalipun!"
Pranawijaya tak bisa mengejar Ekayana. Ingin rasanya ia
menahan pemuda itu agar tidak mengejar Sedayu. Tetapi luka
di perutnya itu cukup membuat ia gemetar sekujur tubuh dan
panas dingin. Maka, segera ia mencari tempat dan melakukan
semadi secepatnya, ia memompa hawa muminya ke perut, supaya
lukanya tak menjadi parah. Toh luka itu sendiri tidak sampai
ke bagian yang paling dalam. Masih bisa disembuhkan dengan
hawa murninya. Sementara itu, Ekayana benar-benar tak memberi kesempatan
Sedayu untuk melarikan diri, ia berhasil mencegat Sedayu
di tanah datar berpepohonan lebat itu. Sedayu terpaksa
menghentikan langkahnya dan kembali bersiap menghadapi
pedang Ekayana. Dalam hati Sedayu pun mengakui kehebatan
pedang Ekayana,
"Gerakan pedang orang ini memang hebat. Rasa-rasanya aku
sedang dipermainkan olehnya! Kalau dia mau, dia bisa
membunuhku saat Pranawijaya belum datang! Buktinya, ia bisa
lukai Pranawijaya dengan secepat itu!"
"Sedayu!" seru Ekayana. "Mau lari ke mana lagi" Ke tempat
yang rimbun" Merayuku untuk bercumbu" Oh. tidak! Tidak bisa,
Sedayu! Saat ini bukan saat bercumbu, tapi saatku membalas
kematian orang orangku yang kau musnahkan dengan racunmu
itu!" "Aku tidak melakukannya!"
bentak Sedayu. Tapi kalau kau tetap menganggapku begitu, apa pun keinginanmu akan kulayani!
Jangan anggap hanya kau yang jago main pedang! Aku pun bisa
menandingi-mu!"
"Bagus! Aku lebih suka membunuh orang yang punya ilmu pedang,
daripada yang hanya punya ilmu memuncakkan gairah! He he
he...!" "Manusia berotak kotor! Terimalah pedang 'Jegal Baja'-ku
ini! Hiaaat!" Sedayu melompat menyerang, pedangnya menebas
cepat ke kiri dan ke kanan bagai membuat garis silang beberapa
kali. Ekayana sempat mundur dua tindak, kemudian dengan cepat ia kelebatkan pedangnya dari bawah ke atas.
Wrruttt....! Trangng...!
Pedang Sedayu terpental melayang jauh. Perempuan itu menjadi
tegang karena tanpa pedang lagi di tangannya. Ekayana
tersenyum menang. Tapi segera ia menghentakkan kakinya ke
depan, melangkah satu kali dan pedangnya menebas miring dari
bawah kanan ke atas kiri.
Wesst...! Trangngng...!
Sepotong dahan kering melesat menghalangi gerakan pedang
itu. Sepotong dahan itu terbelah menjadi dua, padahal
seharusnya dada Sedayu yang sekal itu yang terbelah menjadi
dua. Ada seseorang yang menyerang dan melemparkan sebatang
dahan itu. Ekayana segera mencari orang itu ke samping
kanan-kiri. Tapi ketika ia menengok ke belakang, tiba-tiba
sebuah kaki menjejak wajahnya dengan sangat kuat dan cepat.
Plokk...! "Uhff...!" Ekayana terpental ke belakang, jatuh terkapar
di rerumputan. Dengan cepat ia kibaskan pedangnya sambil
tiduran ketika sebatang tongkat hendak menancap di dadanya.
Trakk...! Lalu, dengan sentakan pinggang, Ekayana
melenting naik dan berdiri dengan tegap lagi. Kedua tangannya menggenggam pedang, matanya melirik tajam ke arah seseorang
yang ada di samping kirinya.
"Bangsat tua ...! Kau rupanya!" geram Ekayana yang sudah
mengenali tokoh tua bertongkat itu tak lain adalah Nini Pasung Jagat. 5 TERLINTAS dugaan kuat di dalam pikiran Ekayana,
"Jangan-jangan nenek tua ini yang menabur racun di Lembah
Kabut"! Karena sudah tiga kal dia bentrok denganku, satu
kali bentrok dengan Brajawisnu!"
Ekayana membiarkan Sedayu mencari pedangnya yang mental
tadi. Kini perhatian Ekayana lebih tertuju kepada tokoh tua
yang sudah lama dikenal nya. Bahkan sama seperti dulu, setiap
bertemu dengan tokoh tua itu, sepertinya bentrokan harus
terjadi dan tak pernah bisa dielakkan. Kali ini pun tokoh
tua itu sudah memancarkan sinar permusuhan di dalam tatapan
matanya yang cekung dan angker itu.
"Kakekmu sudah kubantai mati!" kata Nini Pasung Jagat.
Terperanjat Ekayana mendengarnya. Jantungnya bagaikan mau
berhenti saat itu juga. Tapi ia bertahan untuk tenang dan
membantah pengakuan tersebut dengan berkala,
"Tidak mungkin! Kau tidak mungkin unggul melawan kakekku!"
"Padmanaba tidak ada sekuku hitamnya jika dibandingkan
dengan kesaktianku, Ekayana! Tengok lah di pesisir,
barangkali bangkainya masih tersisa beberapa bagian, kalau
belum habis dimakan burung!"
"Tidak mungkin!" bentak Ekayana mlaui naik pitam.
"Mungkin saja! Sebab dia tidak mau tunjukkan padaku di mana
dia simpan pusaka itu"! Dia tidak mau serahkan pusaka
peninggalan guru kami, se hingga dia serahkan nyawanya secara cuma-cuma! Hik, hik, hik hik ....! " Nini Pasung Jagat tertawa
terkikik-kikik. Ekayana menggeram. Dadanya naik turun
karena napasnya terengah-engah menahan luapan amarah. Bahkan ia biarkan Sedayu yang diam-diam melarikan diri darinya.
"Agaknya memang benar pengakuan itu," kata Ekayana di dalam
hatinya. Kakek selama ini tidak tahu apa yang kulakukan di
dalam tubuh Perkumpulan Kobra Hitam ini! Kakek selama ini
menganggapku sebagai orang baik-baik yang layak menerima
sebuah pusaka jika memang waktunya tiba dan dirasakan sudah
saatnya harus ada di tanganku. Kakek pernah bilang, bahwa
pusaka itu diincar terus oleh Nini Pasung Jagat. Rupanya
sekaranglah saatnya bagi si nenek tua ini untuk mendesak
Kakek Padmanaba untuk mendapatkan pusaka itu, dan aku
percaya kalau Kakak Padmanaba mempertahankan sampai mati!
Tapi aku tak pernah tahu. apa dan di mana pusaka itu
sebenarnya. Kakek tak pernah mau menceritakannya kepadaku,
sekalipun aku adalah cucu kesayangannya!"
Nini Pasung Jagat segera lontarkan kata kepada Ekayana yang
menatapnya dalam bungkam, tak berkedip, dan tetap
menggenggam pedangnya yang siap tebas itu.
"kalau kau seorang cucu yang cerdas dan pintar, kau tentunya
tidak akan mengikuti jejak kakek mu yang bodoh itu! Kalau
kakekmu bertahan sampai kehilangan nyawanya dan tak mau
serahkan pusaka itu, tentunya kau tak akan ikut-ikutan
menyerahkan nyawa kepadaku jika aku inginkan pusaka itu,
Ekayana. Bukankah begitu. Nak"!"
"Persetan dengan bujukanmu! Aku tak tahu-menahu tentang
putaka itu!" bentak Ekayana dengan marahnya. "Yang
kupikirkan sekarang, bagaimana menanam mayatmu nanti jika
kau telah kupotong-potong dalam satu jurus pedangku ini!"
"Hi hi ni hik...!" Nini Pasung Jagat menertawakan. Bocah
ingusan seperti kamu berlagak mau menggertakku yang tua
begini" O, alaa.. Nak, Nak! Sadarlah bahwa nyawamu tadi sudah
di ujung tongkatku ini! Kalau aku tidak kasihan padamu,
sudah melayang sejak tadi sukmamu itu, Ekayana! Tapi karena
aku yakin, kau pasti tahu di mana pusaka itu disimpan, maka
kuharap kau mau menyebutkannya, walau tak harus mengambilnya
sendiri. Biarlah aku yang mengambilnya!"
"Dasar Nenek budek! Sudah kubilang, aku tak tahu menahu
tentang pusaka itu, tapi masih saja memancing kemarahanku
untuk segera meledak sekarang juga! Kalau memang itu maumu,
terimalah jurus 'Pedang Pembelah Petir' ini, heaaah...!"
Wusss...! Wuttt...!
Ekayana melompat menyerang dengan cepat. Pedangnya ditebaskan
dalam beberapa gerakan tapi kelihatannya hanya satu gerakan.
Dan hal itu membuat Nini Pasung Jagat tersentak mundur lalu
ber salto ke belakang satu kali dan ganti menebaskan tongkatnya
untuk menggempur kepala Ekayana,
Wuesss...! Dengan lincah Ekayana bergerak ke samping dan mengirimkan
tendangan miring kepada lawan nya.
Wuttt...! Degg...!
Tendangan itu ditahan dengan kepala tongkat, kemudian kepala
tongkat menyodok ke depan mengikut gerakan kaki Ekayana.
Pendekar Mabuk 022 Lentera Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Buhgg...! "Ehg...! Ekayana mendelik, perutnya bagai di sodok dengan
batu sebesar gunung. Ia terpental ke belakang hingga
berguling-guling dan membentur pohon tubuhnya. Ekayana tak
bisa bernapas dalam beberapa kejap. Nini Pasung Jagat
menyerangnya lagi sebelum anak muda itu kelihatan segar
kembali. Kali ini ia melepaskan pukulan tenaga dalam melalui
sentakan tangan kirinya.
Wuttt..! Sinar merah terlepas dan melesat menghantam Ekayana, Tapi
oleh Ekayana sinar itu ditangkisnya dengan menghadangkan
pedangnya di depan wajah. Pedang itu keluarkan cahaya perak
berkilauan, seluruh tubuh pedang yang memancar membentuk
perisai. Dan sinar merah itu menghantam cahaya perak yang
berkilauan dengan kuat.
Blarrr...! Mau tak mau Ekayana kembali terpekik tertahan, karena
gelombang ledakan itu sangat kuat menghantam dadanya,
sementara Nini Pasung Jagat hanya tersentak mundur antara
tiga tindak, ia terhuyung-huyung mau jatuh, namun buru-buru
bertahan pada sebuah pohon besar.
"Edan! Pukulan apa tadi yang dilepaskannya padaku"!" pikir
Ekayana sambil bergegas bangkit dengan melalui rambatan pada
sebatang pohon. "Kulit tubuhku terasa mau pecah dan
tercabik-cabik terhantam ledakannya tadi. Untung aku bisa
menahannya, kalau tidak, habislah riwayatku tadi! Agaknya
ia cukup tangguh untuk ditumbangkan! Ia bisa lolos dari
gerakan jurus '"Pedang Pembelah Petir"tadi. Biasanya lawan
yang kuserang dengan jurus itu. tubuhnya akan terpotong-potong menjadi beberapa bagian. Jurus itu sukar
dihindari atau ditangkis! Tapi nenek tua itu ternyata mampu
menyelamatkan diri dari jurus pedangku itu! Luar biasa!"
Napas dihela dalam-dalam beberapa kali. Ekayana memandang
kanan-kiri, melihat arah pelarian Sedayu sambil berpikir,
"Bimbang juga pikiranku, Sedayu atau nenek tua ini yang
sebenarnya menaburkan racun Getah Tengkorak"! Jika nenek
ini yang berbuat, mengapa Sedayu melarikan diri" Pasti dia
menghindar dari maut karena merasa bersalah! Kalau begitu,
Sedayu saja yang kucecer lebih dulu! Urusan nenek edan ini
nanti saja, setelah kuselesaikan urusanku dengan Sedayu,
baru aku menuntut balas atas kemauan kakek dari tangan si
nenek edan ini!"
Tiba-tiba terdengar suara Nini Pasung Jagat menyentak keras,
"Ekayana! Kalau kau bersikeras ingin menyerahkan nyawa
daripada menyerahkan pusaka itu, maka terimalah jurus
'Rembulan Jantan' ini, hiaaah...!"
Sebuah pukulan tongkat yang memutar memercikkan cahaya
kuning bagai piringan. Cahaya kuning itu melayang, melesat
cepat dalam keadaan datar. Clappp...! Begitu cepatnya
sampai-sampai tak memberi kesempatan Ekayana untuk menarik
napas, ia segara kibaskan pedangnya dengan memutar di atas
kepala juga, dan dari kibasan itu keluar percikan sinar merah
yang membentuk piringan bundar pula.
Clapp...! Blarrr...! Glarrr...!
Begitu dahsyatnya ledakan itu hingga bisa terjadi dua kali.
Itu karena kedua sinar maut sama sama berkekuatan tinggi
dan sama sama ingin tetap menyerang lawan. Akibatnya ledakan
kedua adalah ledakan penghabisan dari sebuah serangan yang
dahsyat. Dua kali ledakan dahsyat itu membuat Nini Pasung Jagat
terpental dan tubuhnya jatuh terjepit di sela dua pohon yang
merapat tumbuhnya itu. Sementara Ekayana jatuh di atas semak
semak berduri yang rimbun. Tubuhnya tergores duri bagai
disergap mata pisau ratusan buah. Untunglah Ekayana cepat
gunakan ilmu peringan tubuhnya, sehingga duri duri itu tidak
sempat menancap di kulit tubuhnya dan ia segera melesat
lompat dari sana. Sementara itu, Nini Pasung Jagat terpaksa
menghentakkan kedua tangannya ke kanan kiri dan merubuhkan
dua pohon itu sekaligus dalam satu kali hentakan kuat.
Krakkk...Brukk! Grubukkk...!
Kalau tidak begitu, ia tidak bisa lepas dari himpitan dua
pohon yang tumbuhnya merapat itu. Ia tersangkut dan terjepit
kuat hingga sukar meloloskan diri dengan cara wajar.
Melihat Nini Pasung Jagat berusaha meloloskan diri, Ekayana
segera sentakkan kakinya dan melesat pergi tinggalkan
tempat. Saat itu Nini Pasung Jagat tidak melihat gerakan
minggat Ekayana. Ia hanya tertegun bingung dan celingak-celinguk begitu bisa lepas dari dua pohon yang
menghimpitnya itu. Ia mencari-cari Ekayana yang disangka
mati di suatu tempat. Namun begitu ia melihat kelebatan
Ekayana di kejauhan sana, ia pun menggeram sambil memukulkan
tongkatnya ke tanah. Setelah itu segera mengejar Ekayana
sambil berkata dalam hati.
"Anak itu harus kutemukan, harus kutangkap! Tidak akan
kubunuh sebelum kupaksa ia menjawab di mana pusaka kakeknya
itu berada! Jika memang ia tak tahu atau tetap ngotot,
terpaksa harus kubunuh daripada kelak ia membokongku dari
belakang! Sudah tentu ia tidak akan tinggal diam setelah
tahu akulah yang membunuh kakeknya!"
Kalau tidak karena punya dugaan kuat kepada Sedayu sebagai
orang penyebar racun di Lembah Kabut, Ekayana pasti akan
menggempur terus ke adaan Nini Pasung Jagat tadi. Tapi kali
ini agaknya ia harus melupakan hal itu dan mengejar sedayu
dengan mengandalkan gerak nalurinya.
Sayang di penjalanan ia sempat melihat Tanjung Bagus, yang
berambut panjang selewat punggung, memakai bunga kemboja
putih di atas telinga kanan nya. Cepat-cepat Ekayana
menghampiri lelaki yang berdandanan wanita, dengan wajah
cantik dan ber kesan binal itu. Pakaian pinjung sebatas dada
menutupi gundukan daging yang tak seberapa besar tapi
berkesan montok. Celana dan pinjung ketat warna kuning itu
dirangkapi kain jubah warna merah jambu. Bagi lelaki yang
belum tahu siapa Tanjung Bagus itu, maka ia akan terangsang
melihatnya karena dianggap sebagai perempuan yang punya daya
pikat tinggi dan menggairahkan. Padahal orang itu
sebenarnya seorang lelaki yang punya nama asli Legowo.
Ekayana melompat dan tahu-tahu berdiri di depan Tanjung
Bagus. Orang itu memekik genit dan latah,
"Eh, alah... kadal, babi, kambing, cicak, semut, gajah..!
Iih! Bikin kaget saja kamu!" sambil tangan nya melambai dan
tubuhnya melenggok ganjen.
Kalau Ekayana tidak sedang marah, ia akan ter tawa dan terus
menggoda kelatahan Tanjung Bagus. Tapi karena ia sedang
marah kepada gurunya Tanjung Bagus, maka wajah Ekayana tetap
diam, dingin, dan memancarkan nafsu untuk membunuh. Tanjung
Bagus sedikit curiga, tapi ia hanya meliriknya dengan pasang
gaya genit supaya menarik minat lelaki tampan di depannya.
Bahkan ia berkata,
"Lain kali kalau mau temui aku jangan gitu, ah! Kita kan
kaget , Ekayana!. Mau apa sebenarnya kamu, ha" Mau apa"
Ngomonglah! Aku siap menerima ajakanmu untuk apaaa.. saja!"
lalu ia tersenyum nyengir, Menurutnya senyuman itu manis,
tapi menurut Ekayana memuakkan.
Ekayana diam saja, masih membisu di tempat Tanjung Bagus
memandangnya dengan mata nakal. Senyumnya adalah senyum
jalang yang biasa dipakai menggoda lelaki atau lebih
tepatnya menjebak lelaki yang diminatinya.
"Mau apa kamu menghadangku, Ekayana" Ngomonglah...!"
"Mau membunuhmu!" bentak Ekayana keras membuat Tanjung Bagus
terlonjak kaget dan berucap latah,
"E, alah... babi, kambing, tikus, bebek, kucing,ayam...!
Aduh, suaramu itu lho! suka bikin jantung cotot, eh... comot,
eh...copot!" Tanjung Bagus bahkan berjalan melenggok
lenggok mendekati
Ekayana seraya berkata lagi, "Datang-datang kok mau membunuhku" Ada masalah apa, Ekayana"
Kamu kalau sedang cemberut gitu ganteng sekali lho! Betul
kok!" Srett...! Wutt,,,! Pedang dicabut, ditebaskan dari bawah
ke atas dalam satu gerakan mencabut.
Crasss...! Tanjung Bagus diam, memandang Ekayana dalam
senyum. Tapi senyumnya itu lama-lama kendor. Tanjung Bagus
tetap tak bergerak dan tak berkedip. Lama lama tubuhnya
mulai meliuk mau tumbang, perut sampai dada robek dalam,
bahkan leher pun sempat robek karena tebasan kilat pedang
Ekayana. Brukkk...! Tanpa bicara 'A', I atau U, Tanjung Bagus rubuh
dan tak bernyawa lagi. Ekayana yang sejak tadi juga diam
dengan pedang terangkat habis dipakai menyabet tubuh
lawannya, kali ini menarik badannya yang melangkah maju
menjadi sejajar tegak. Pedangnya pun sudah diturunkan.
Wajahnya masih berkesan bengis.
"Tak dapat membunuh gurunya, muridnya pun jadi!" katanya.
Tapi ini belum lunas! Nini Pasung Jagat masih harus
membayar nyawa kakek dengan nyawanya sendiri!" sambil
menggumam begitu, Ekayana membersihkan darah dipedangnya
memakai rambut mayat Tanjung Bagus. Dan tanpa ia sadari,
hal itu dilihat oleh Nini Pasung Jagat dari kejauhan
sehingga berteriaklah nenek ganas itu.
Wess...! Ekayana cepat tinggalkan tempat, tak mau melayani
Nini Pasung Jagat yang segera mendekati mayat muridnya. Ia
terperanjat kaget melihat Tanjung Bagus sudah tidak
bernyawa lagi. Ia berseru,
"Banci...! Banci, kau mati, Nak..." Oh, murid ku..."!" Nini
Pasung Jagat meratap. Tanjung Bagus satu-satunya murid yang
setia padanya, karena itu Nini Pasung Jagat sangat sayang
kepada Tanjung Bagus walaupun anak itu banci.
Melihat kematian muridnya, Nini Pasung Jagat meluap
murkanya kepada Ekayana. Bahkan ia berteriak sambil
mengangkat kedua tangannya yang memegangi tongkat di sebelah
kanan itu, "Ekayana...! Aku bersumpah akan membunuh mu untuk menebus
kematian muridku! Tunggu aku, Ekayanaaa...!"
Entah mendengar atau tidak Ekayana saat itu, yang jelas
pemuda berpakaian kulit beruang putih bercelana hitam itu
berlari mengikuti petunjuk nalurinya dalam mengejar
Sedayu. Dan ternyata, Sedayu memang ada dalam arah yang
dituju. Tetapi ternyata Pranawijaya sudah lebih cepat bergerak
memotong jalan dan berhasil menyusul Sedayu. Keadaan luka
di perut PranawiJaya telah tertutup kain pengikat pinggang,
dan beberapa ramuan daun telah dimakan dan diborehkan pada
lukanya itu. Keadaan tersebut membuat Pranawijaya tak ber-
kurang kekuatannya.
"Sedayu...! panggilnya dari belakang. Sedayu menoleh dan
juga berseru kaget,
"Prana...! Oh, Prana... syukurkah kau selamat!"
Sedayu memeluk Pranawijaya. Agaknya memang hati perempuan
itu saat ini sedang tertuju pada Pranawijaya, sehingga
dengan erat dan hangat ia memeluk Pranawijaya, bahkan
menciuminya penuh gairah.
Tetapi kecemasan telah membuat gairah itu surut dan
terpendam untuk sementara waktu.
"Dia masih mengejarmu, Sedayu?"
"Ya. Masih! Tapi tadi kulihat dia bertarungdengan tokoh
tua, dan aku punya kesempatan melarikan diri kemari! Oh,
syukurlah aku bisa bertemu denganmu lagi Prana!" sambil
Sedayu memeluk Pranawijaya lagi.
"Tenangkan hatimu! Aku punya tempat persembunyian yang
cukup aman buat kita, Sedayu!" sambil tangan Pranawijaya
mengusap usap rambut Sedayu yang bersandar di dadanya dengan
hangat. "Di sana kau aman dari gangguan siapa saja. Sedayu!
Kau bisa istirahat dengan tenang!"
Tiba-tiba ada yang menyahut, "Iya. Kuburan itulah tempatnya
beristirahat dengan tenang!"
Pranawijaya terkejut, demikian pula Sedayu, ia buru-buru
menjauhkan jarak dengan Pranawijaya. Keduanya buru-buru
memandang ke atas pohon, ternyata di sana sudah bertengger
seorang gadis cantik berpakaian kuning gading. Dialah
Kirana! Wuggg...! Kirana melompat turun dari atas pohon. Jaraknya hanya tiga
langkah dari depan Sedayu. Matanya memancarkan gairah untuk
membunuh Sedayu. Tetapi Sedayu tak gentar sedikit pun,
bahkan berkata dengan nada menggeram gemas,
"Bocah usil! Begitukah kerjamu setiap hari mengintip orang
yang sedang bermesraan"!"
"Kerjaku setiap hari mengincar kamu untuk ku bunuh, Sedayu!"
Kirana bicara dengan keras dan berani.
"Kirana, jaga bicaramu!" Pranawijaya membentak.
Tapi Kirana justru bersuara lebih keras lagi,
"Kau boleh berada di pihak dia, Prana! Aku tak akan gentar
melawan kalian berdua!"
Sedayu segera berkata. "Bocah bodoh kamu ini! Tak ada masalah
apa apa mau membunuhku"!"
"Kau yang berlagak bodoh. Sedayu! Kau telah membunuh guruku,
tapi berlagak tidak mempunyai masalah apa apa denganku"!"
"Ooo... jadi kau menuntut kematian gurumu itu"!" Sedayu
manggut-manggut sambil pamerkan wajah sinisnya.
"Jangan banyak bicara! Terima saja pembalasanku ini!
Heaah...! Srett...! Wuttt wuttt...!
Dua kali Kirana berkelebat menebaskan pedangnya ke wajah
Sedayu, tapi bisa dihindari oleh Sedayu dengan memiringkan
badan dan merunduk satu kali. Tapi dengan cepat Kirana
membalikkan badan dan dengan tendangan berputar, ia mencapai
Pendekar Mabuk 022 Lentera Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dada Sedayu, lalu menyentakkan kakinya kuat-kuat.
Behgg...! "Uhg...! Sedayu terpekik tertahan karena sentakan itu.
Tubuhnya tersentak ke belakang, dan kini merapat dengan
sebatang pohon. Dengan cepat Kirana melompat dan membabatkan
pedangnya ke arah leher Sedayu.
Crass...! Pedang itu melukai batang pohon, karena Sedayu
segera berguling ke tanah sambil mencabut pedang, kemudian
dengan cepat ia berdiri sigap, menatap Kirana yang sedang
ditahan dari belakang oleh Pranawijaya.
"Hentikan, Kirana! Hentikan...!"
"Setan kau. Prana! Hihh...!" Kirana menendang bagaikan kuda,
Pranawijaya terkena tendangan itu di perutnya yang masih luka,
ia memekik, "Auuh.. . ! " d an terhuyung huyung mundur dua tindak.
Melihat Pranawijaya terkena tendangan yang menyakitkan,
Sedayu segera melepaskan serangan nya dengan jurus pedang
menebas dari atas ke bawah sambil ia memekik keras,
"Hiaaah...!" Wuttt..! Trang...!
Kirana berhasil menangkis pedang itu, tapi oleh Sedayu pedang
tersebut diputar dan disentakkan ke samping. Clakk...! Pedang
itu terlepas dari genggaman Kirana. Segera tubuh Kirana
ditodong ujung pedang Sedayu sambil Sedayu berkata penuh
kegeraman hati,
"Lihat! Betapa mudahnya aku membunuhmu saat ini, bukan"!
Jangan sekali-sekali kau bertingkah di depanku dan berkoar mau
membunuhku! Kau bisa terbunuh sendiri oleh ucapanmu, Kirana!"
"Setan jalang kau, Sedayu!"
Wuttt...! Plakk...!
Di luar dugaannya, Kirana menyentakkan kaki ke atas sambil
tubuhnya melengkung ke belakang dan berjungkir balik dengan
cepat. Gerakan kaki yang dilakukan bersamaan dengan
berjungkir balik, itu telah mengenai tangan Sedayu, sehingga
tangan itu tersentak naik, dan pedangnya terlepas, karena
tulangnya terasa ngilu akibat tendangan kaki berte naga dalam itu. Clap Clap...! Kedua perempuan itu kini sudah kembali menggenggam pedang
masing-masing. Kirana siap-siap menyerang. Tapi tahu-tahu
dari arah belakang ia merasakan ada gerakan dingin yang
mendekatinya dengan cepat. Maka serta-merta ia berlutut satu
kaki dan menadahkan pedang menyilang di atas kepala dengan
tangan kiri menopang ujung pedangnya.
Trangngng...! Gerakan Pranawijaya yang ingin membelah kepala adik sendiri
dengan pedang itu berhasil ditangkis. Tapi tiba-tiba tubuh
Kirana dijatuhkan dan berputar cepat menyabet kaki kakaknya
dengan pedang berkecepatan tinggi.
Wuuttt...! Kaki itu melompat dengan cepat dan menendang wajah Kirana. Plokk...!
"Auh...!" Kirana memekik kesakitan, tulang pipi nya bagaikan
mau pecah akibat tendangan Pranawijaya. Sedayu segera
menyerang dengan pedang menebas ke tanah. Tapi Kirana
berguling ke samping, lalu pedangnya berkelebat menyabet
tangan Sedayu. Wuttt...! Crass...!
Tangan Sedayu terlambat sedikit menghindari sabetan pedang
Kirana, akibatnya tangan itu tergores mata pedang yang
tajam. Untung tak seberapa dalam. Hanya agak panjang lukanya
dan mengeluarkan darah yang membuat mata Pranawijaya
terbelalak marah.
"Kau benar-benar cari mampus, Kirana!" teriak Pranawijaya.
Pada waktu itu, Kirana sudah siap berdiri dengan sigap dan
mengangkat pedangnya ke samping dada kanan dengan kaki
sedikit merendah, rapat antara yang kiri dengan yang kanan.
Tubuhnya sedikit serong, sehingga sewaktu waktu datang
serangan tinggal menebaskan pedangnya.
Wuttt...! Crass...!
"Aahg....!"
Sedayu yang terpekik saat itu. Pranawijaya terkejut dan
menoleh ke belakang, ia tambah terbelalak melihat Ekayana
sudah berada di sana, baru saja berhasil menyabetkan
pedangnya dan melukai punggung Sedayu. Untung tidak terlalu
parah, sehingga Sedayu bisa cepat melompat menjauhinya dan
bergabung dengan Pranawijaya.
"Bangsat! Kau harus menebus lukanya dengan nyawamu, Ekayana!" bentak Pranawijaya lalu cepat maju menyerang bersama
pedangnya. "Hiaaah...!"
Wuttt wuttt., trang trang...! Plok...!
Wajah Pranawijaya menjadi merah. Sebuah tendangan bertenaga
dalam tinggi menghantam wajahnya, membuat ia terpental
mundur empat langkah. Melihat Pranawijaya terjungkal jatuh
dalam keadaan payah, Kirana segera berteriak garang dan
menyerang Ekayana.
"Heaaat...!"
Wuttt, wuttt...! Trang trang trang...! Behgg!
Kini tendangan kaki Kirana yang menghantam telak perut
Ekayana. Pemuda itu tersentak mundur tiga langkah, lalu
berdiri tegak lagi.
"Kau mau ikut campur rupanya!"
"Kau mau membunuh kakakku! Maka aku yang akan berhadapan
denganmu!" kata Kirana, masih saja membela kakaknya walaupun
tadi hampir saja ia mati di ujung pedang Pranawijaya.
"Kepung dia" seru Sedayu dengan masih kuat melakukan
serangan walau sudah terluka punggungnya. Pranawijaya yang
mendengar seruan itu segera bangkit dan mengepung Ekayana.
Kini, Ekayana dikeroyok tiga orang yang masing-masing punya
kemampuan memainkan pedang.
"Sedayu!" kata Ekayana. "Sebaiknya kau menyerah saja dan
kubawa ke Lembah Kabut untuk diadili di sana! Daripada kau
di sini mati di tanganku, lebih baik kau diadili oleh Logayo.
Aku bisa membelamu untuk mendapatkan keringanan hukuman
darinya!" "Cuih...!" Sedayu meludah. 'Lebih baik kau bawa kepalaku
ke sana ketimbang aku harus diadili sementara aku tak
bersalah!"
"Mengakulah.,Sedayu! Orang-orangku sudah banyak yang tahu
bahwa kaulah yang menyebar racun Getah Tengkorak di
tempatku! Kau tak bisa mengelak lagi, Sedayu!"
"Mendengar nama racun itu saja baru dari mulutmu! Bagaimana
mungkin aku bisa menggunakan racun tersebut"! Dari mana aku
mendapatkannya!" Kau jangan mengada-ada, Ekayana! Bilang
saja kau cemburu karena kau tahu aku sekarang berpindah
pelukan pada Pranawijaya!"
"Baiklah kalau kau tetap membandel! Aku; Malaikat Maha
Pedang, terpaksa merampungkan tugasku dengan berat hati!"
"Seraaang...!" teriak Sedayu memberi perintah.
Maka, Pranawijaya dan Kirana pun menyerang Ekayana secara
serempak. Ekayana sendiri hanya diam saja ketika mereka
bertiga bergerak maju, tapi tiba-tiba ia menggunakan jurus
'Pedang Pembelah Petir' nya itu.
Wuttt...! Cras...! Crass...! Trang...!
Dalam satu gerakan cepat, pedang Ekayana telah berhasil
merobek dada Sedayu dan leher Pranawijaya. Sementara
gerakan berikutnya dapat ditangkis oleh Kirana, sehingga
gadis itu hanya terpental akibat kekuatan tenaga dalam yang
mengalir dalam pedang Ekayana.
Begitu Kirana berhasil cepat berdiri, takut diserang lagi,
ia menjadi tertegun melihat kakaknya rubuh tak bernyawa dan
Sedayu pun tergolek mati di samping Pranawijaya.
"Prana..."!" Kirana ingin berteriak, tapi tak mampu,
sehingga yang keluar hanya berupa desah kesedihan mendalam.
Ia pun tak bisa mendekati mayat kakaknya karena serangan
dari Ekayana kembali membahayakan jiwanya. Kirana menangkis
serangan itu dua kali dan berhasil menendang tubuh Ekayana
hingga terjeng kang jatuh sang lawan, kemudian ia cepat-cepat melarikan diri meninggalkan lawannya yang membahayakan
itu. Ia berlari sambil membawa kesedihan atas kematian
kakaknya, namun juga membawa ketegangan karena Ekayana
berlari mengejarnya.
6 KALAU Kirana tidak lari, dia akan mati. Kirana tahu persis
kekuatan ilmu pedang lawannya itu. Ia tak mau mati konyol
melawan sesuatu yang jelas lebih tinggi ilmunya dari ilmu
yang dimilikinya. Yang menjadi masalah sekarang adalah
bagaimana menghindari kejaran dari Ekayana. Agak-nya orang
itu bernafsu juga untuk membunuh Kirana dalam kaitan
pengeroyokannya bersama Pranawija ya dan Sedayu. Sudah pasti
Ekayana menganggap Kirana berkomplot dengan kedua orang
tersebut. Padahal Kirana sendiri sebenarnya merasa tak
menyukai Sedayu dan kecewa sekali Sedayu mati di tangan
Ekayana. Pelarian di ujung senja itu membawa Kirana ke sebuah pantai.
Sampai di sana, Kirana merasa bingung harus bersembunyi di
mana, sementara dia tahu persis, Ekayana masih terus
membuntutinya. Bahkan kali ini Kirana terpekik kaget dengan
pedang cepat berkelebat ke belakang sambil membalikkan
badan, karena ia mendengar suara seorang lelaki di
belakangnya, "Mau menyeberang lautan"!"
Wuttt...! "Hai, tunggu dulu!" seru pemuda itu yang ternyata adalah
Suto Sinting. Untung Suto segera sentakkan badan ke
belakang, sehingga pedang itu lewat di depan perutnya dalam
jarak satu jengkal.
"Oh, kau...!" Kirana menggeram jengkel-jengkel senang.
Napasnya dihempaskan lepas. Cepat-cepat ia buang muka karena
tak mau terlalu lama memandang senyuman Pendekar Mabuk yang
membahayakan hatinya itu.
"Lain kali berteriaklah dulu kalau mau mendekatiku! Jangan
begitu caranya! Hampir saja aku membunuhmu!"
"Bukankah itu lebih baik bagimu?" kata Suto menggoda. "Kau
sudah hampir membunuhku tadi pagi!"
"Aku... aku khilaf!" jawab Kirana. "Sekarang... sekarang
aku dalam bahaya! Aku menghadapi musuh yang punya ilmu pedang
cukup tinggi! Kakakku dan Sedayu kekasihnya, mati di tangan
Ekayana! Dia sedang mengejarku, dan kusangka kau adalah
Ekayana! Karenanya kutebaskan pedangku lebih dulu sebelum
dia membunuhku!"
"O, kau mau dibunuh oleh orang yang bernama Ekayana?"
"Ya. Aku sudah mencoba melawannya, tapi kurasa aku kalah!"
Pendekar Mabuk tertawa, "Kalau tak kalah, tak mungkin kau
lari sampai ke sini!"
Kirana ingin mengucapkan kata kala lagi, tapi ia bimbang,
bingung, dan akhirnya hanya menghempaskan napas sambil
angkat bahu. Ia duduk di atas sebuah batu yang tingginya
sebatas pinggulnya. Ia masih memegangi pedang di
tangannya. Sementara itu, Suto Sinting menenggak tuaknya
beberapa teguk dan merasakan kesegaran tuak melalui
hembusan napas lewat mulutnya.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Kiran setelah membisu beberapa
saat. Ia memandang Suto sekejap,lalu buru-buru memandang
laut yang ingin menelan matahari senja itu.
"Kau mulai ramah padaku rupanya! Mungkin kau punya maksud
tersembunyi di balik keramahan mu?"
"Yang ingin kutahu, siapa dirimu!" Kirana membelalakkan
mata seperti dipaksakan untuk menjadi galak lagi.
Suto menertawakan sekejap, kemudian ia menjawab dengan
suaranya yang lembut, melenakan kalbu,
'Namaku Suto Sinting! Secara kebetulan saja aku sedang
mencari apa arti Cemara Tunggal!"
"Arti Cemara Tunggal "!" Kirana berkerut dahi memandang Suto. "Maksudku, aku tidak tahu apakah Cemara Tunggal itu nama
sebuah tempat, nama pusaka, nama tokoh tua., atau nama
makanan!" Kirana diam. Tapi kemudian ia tertawa berderai. Suto
sedikit malu tersipu, namun ia segera berkata lagi,
"Aku memang bodoh dalam hal itu!"
"Aku bisa menolongmu, tapi kau harus menolongku!"
Pendekar Mabuk 022 Lentera Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
'Apa yang harus kulakukan untuk menolongmu?"
"Menghadapi Ekayana!"
Pendekar Mabuk makin melebarkan senyum, bahkan tertawa
dalam nada gumam. Kirana berkata lagi,
"Kau bersedia?"
"Sebenarnya bersedia, tapi karena kau tadi pagi sudah
mengatakan bahwa dirimu tak butuh pertolonganku, maka
kuurungkan pertolonganku untukmu!" goda Suto sambil mulai
membuka tutup bumbung tuaknya.
"Kalau kau tak mau menolongku, aku juga tak mau menolongmu!
Padahal aku tahu banyak ten-tang Cemara Tunggal!" Kirana
membuang muka ber-lagak acuh tak acuh. Suto membiarkannya,
malahan ia menenggak tuak beberapa teguk. Setelah itu ia
melangkah bersebelahan dengan Kirana. Ikut memandang ke
arah lautan lepas.
"Indah sekali pemandangan senja di tepi pantai itu! Hampir
setiap ada kesempatan, aku selalu meluangkan waktu untuk
menikmati keindahan seperti saat ini!"
"Hei, bagaimana dengan tawaranku tadi"!" Kirana merasa
sedang dialihkan bicaranya, sehingga ia tak mau melayani
pembicaraan Suto, namun memaksa Suto untuk kembali ke
percakapan semula. Suto Sinting hanya memandang dengan
senyum menawan tersungging di bibirnya yang masih tampak
basah karena tuak tadi.
"Apakah kau benar benar membutuhkan bantuanku?"
"Ya," jawab Kirana dengan tegas dan jelas.
"Kau tidak kecewa seperti saat mendapat pertolongan dariku
tadi pagi"!"
"Tidak akan! Karena ini demi menyelamatkan nyawaku!"
"Yang kulakukan tadi pagi juga demi menyelamatkan nyawa mu
!" "Tapi lawanku adalah kakak sendir! Dan aku tak yakin dia
akan tega membunuhku! Tapi kali ini, Ekayana yang menjadi
lawanku. Dia orang buas dari sekian banyak manusia bejat
yang tinggal di Lembah Kabut dan dalam benteng Perguruan
Kobra Hitam! Kurasa dia benar- benar ingin membunuhku, dan
aku butuh pelindung!"
"O,begitu?" Suto sengaja menggoda dengan lagak acuh tak
acuhnya, dan juga lagak bodohnya. Kirana ingin marah karena
merasa sedang dipermainkan, tapi sisi hatinya yang lain
merasa senang dengan cara Suto mempermainkannya.
"Baiklah," kata Pendekar Mabuk akhirnya. "Ku ingatkan saja
padamu, lain kali jangan kau sesumbar dan sesombong begitu!
Sekarang aku akan menolongmu!"
"Kalau kau tak suka, tak apalah! Aku tak akan memaksamu
minta tolong," kata Kirana dengan sikap angkuhnya
ditonjolkan. Pendekar Mabuk geleng-geleng kepala, merasa aneh dengan lagak gadis cantik berhidung mancung itu.
"Sebutkan dulu, apa nama Cemara Tunggal itu?"
"Setahuku itu nama sebuah tempat , letaknya di Bukit Canang!
Disana memang ada sebuah cemara yang tumbuh sendirian, tanpa
tanaman lain, berben tuk lurus, tinggi, seperti sebuah
menara atau prasasti tugu bersejarah. Hanya ada satu cemara
di sekitar Bukit Canang."
"Hmm... di mana tempat itu" Maksudku, Bukit Canang terletak
di sebelah mana?" tanya Sulo semakin serius.
Tapi tiba-tiba Kirana terperanjat. Matanya melebar
seketika, karena ia melihat sekelebat sinar hijau tua yang
melesat ke arahnya dengan kecepatan tinggi. Kirana yang
terkesiap dan tak sempat menghindar itu dihantam sinar
hijau tua dalam bentuk seperti ujung anak panah.
Melihat hal itu, Suto bergerak cepat di luar dugaan Kirana.
Bumbung tuaknya dihadangkan di depan Kirana, dan sinar
hijau itu membentur bumbung tersebut.
Trangng...! Bagai dua besi baja beradu suara nya. Sinar hijau itu
membalik kearah pemiliknya dengan lebih besar dan lebih
cepat gerakan terbangnya.
Zlappp...! Duarrr...! Brrrukk...!
Sebatang pohon kelapa menjadi sasaran sinar hijau tersebut,
sebab pemiliknya segera melompat menghindari sinar yang
membalik. Dan pohon kelapa itu pecah berantakan pada bagian
yang terkena sinar hijau, sehingga sisanya di bagian atas
tumbang tanpa ampun lagi. Bau terbakar menyengat hidung.
Bagian batang kelapa yang hancur kepulkan asap dalam keadaan
hangus, bahkan masih terdapat bara api yang menyala di sana.
Sedangkan buahnya menggelinding berserakan di pasir pantai
tersebut. "Itu yang bernama Ekayana!" bisik Kirana. Bisikan itu
terucap setelah mereka sama-sama memandang kemunculan
Ekayana yang tadi bersalto di udara menghindari sinar
hijaunya yang membalik arah itu.
"Diamlah di sini, biar aku yang menemui dia!" bisik Suto
Sinting. "Hati-hati, dia jago pedang!"
"Aku jago lari" jawab Suto seenaknya saja sambil
meninggalkan Kirana sendirian. Ia melangkah mendekati
Ekayana yang berdiri dengan pedang telah tergenggam di
tangannya. Ekayana berkerut dahi merasa asing dengan wajah Suto
Sinting yang baru kali itu ditemuinya. Kerutan dahi membuat
wajah Ekayana yang berkumis tipis dan tampak ganteng pula
itu menjadi berkesan tegang. Sementara itu, Suto tetap tampak lebih tenang dan kalem penampilannya.
"Kekasihmukah itu?" tanya Ekayana dengan nada sinis dan
keras. Kirana yang mendengar menjadi deg-degan. Lebih deg-
degan lagi saat Suto menjawab,
"Ya, dia kekasihku! Mau apa kau"!"
"Dia akan kubunuh!"
"Silahkan!" jawab Suto seenaknya saja. Kemudian ia menyisih,
seakan membuka jalan untuk Ekayana. Kirana menjadi
kebingungan. "Sinting betul itu orang! Disuruh melindungiku malah
membiarkan orang itu akan membunuhku"!" pikir Kirana dengan
ketegangan yang disembunyikan.
Ekayana sendiri menjadi curiga melihat Pendekar Mabuk
memberi jalan kepadanya. Ekayana tidak segera bergerak
melangkah mendekati Kirana. Ia bahkan menatap Suto dengan
mata sedikit menyipit, memperlihatkan sikap permusuhannya.
"Silahkan...! ulang Suto dengan kalem, tangannya bergerak
melambai, selayaknya orang memper silakan tamu yang mau
lewat. "Kau tak kecewa dan tak menyesal kalau sampai kekasihmu itu
mati di ujung pedangku"!"
"Tidak!" jawab Suto terang-terangan dan nyeplos begitu
saja. "Kenapa kau tidak menyesal kalau dia mati?"
"Karena aku yakin kau tidak akan bisa menggerakkan
pedangmu!" Jawab Pendekar Mabuk.
"Hm...!" Ekayana tersenyum sinis.
Pendekar Mabuk segera membuka bumbung tuak, dan
menenggaknya beberapa saat. Kemudian melangkah mendekati
Kirana. "Jangan sakit hati pada ucapanku!" bisik Suto.
"Kau mempersilakan dia membunuhku! Bagaimana aku tak sakit
hati?" "Percayalah, dia tak akan bisa menggerakkan tangannya!
Pedang itu tak akan bisa ditebaskan ke tubuhmu, walau
kakinya bisa berjalan mendekatimu! Lihat saja nanti!"
Benar saja apa yang dikatakan Pendekar Mabuk itu. Ekayana
ingin menggerakkan pedangnya yang sudah terangkat di atas
pundak kanan dengan menggunakan kedua tangan. Pedang itu
sebenar nya sudah siap menebas lawan. Tapi Ekayana
kebingungan menggerakkan kedua tangan, Bahkan untuk
membungkukkan badannya saja terasa kaku, tak bisa ditekuk
sedikitpun. Kedua tangan itu bagaikan membeku, urat-uratnya
sangat keras dan kaku. Sedikit pun jarinya tak ada yang bisa
digerakkan. Tetap saja menggenggam gagang pedang dengan
keras. "Bangkai busuk kenapa tangan dan badanku jadi kaku begini"!
Apakah pemuda brengsek itu telah menotok jalan darahku
untuk bagian tangan dan badan" Sejak kapan dia
menotokku"!" pikir Ekayana dengan terheran-heran.
Kirana sendiri memandangnya dengan heran sekali. Dalam
hatinya ia berkata, "Orang tampan ini sintingnya kelewat
batas! Tak kulihat gerakan menotoknya, tapi tahu-tahu
Ekayana tak bisa menggerakkan kedua tangannya"! Tinggi juga
ilmu Suto Sinting ini" Murid siapa dia"!"
Pendekar Mabuk hanya tersenyum-senyum memandangi Ekayana,
yang mirip patung sedang jadi tontonan itu.
Kemudian, Kirana berbisik,
"Sejak kapan kau menotoknya?"
"Lewat gerakan tanganku waktu mempersilakan dia berjalan!"
"Ooo...," Kirana manggut-manggut, namun dalam hatinya
berkata, "Memang edan dia ini ! Hanya dengan gerakan tangan
selembut itu ia bisa kirimkan tenaga dalam untuk menotok
Iawan dalam jarak tiga langkah di depannya! Luar biasa
sekali ilmunya!"
Ekayana bersusah payah melepaskan diri dari pengaruh
totokan tersebut . Bahkan ia berlari ke dekat pohon kelapa,
dan dibentur-benturkan badannya ke sana, tangannya yang
jadi sasaran pembenturan itu. Tapi pengaruh totokan
tangannya belum bisa terlepas. Masih saja tangan itu kaku.
Keduanya memegang gagang pedang yang sudah ada di atas
pundaknya. Punggungnya sendiri tak bisa ditekuk, walau ia
telah menggerakkan tenaganya sekuat mungkin.
"Hoi...! Monyet...!" panggil Ekayana.
"Kau memanggil dirimu sendiri atau memanggil orang lain"!"
tanya Suto dengan nada melecehkan.
Ekayana hanya menggeram dengan wajah merah menahan amarah.
"Bebaskan aku dari pengaruh totokanmu! Jangan berani-beranian mempermainkan orang Kobra Hitam begini,
Kunyuk!" "Kobra Hitam"! Apa hebatnya Kobra Hitam itu" Mengapa kau
sombongkan di depanku"! Kalau orang Kobra Hitam itu orang
kuat , sakti, jagoan, tidak mungkin bisa meratap ratap
minta dibebaskan totokan jalan darahnya!" Pendekar Mabuk
tertawa pelan. Luapan amarah sudah tak terbendung lagi sebenarnya. Tapi
Ekayana terpaksa tak bisa melampias-kan selain hanya bisa
berah-uh-ah-uh, memaksakan tenaga untuk melepaskan diri
dari pengaruh totokan itu.
"Bangsat kaut" geram Ekayana. "Kalau kau merasa berilmu
tinggi, mari kita bertarung secara kesatria! Ambil pedang
dan kita beradu nyawa dengan pedang!"
"Aku tidak mau!" jawab Suto sambil menggeleng-gelengkan
kepala. "Aku tidak bisa jurus pedang! Tapi kalau jurus
memenggal kepala tanpa menggunakan pedang atau senjata apa
pun, aku bisa!"
"Manusia busuk kau! Banci! Cengeng dan kecil nyalimu!"
Ekayana sengaja memancing kemarahan Pendekar Mabuk. Tapi
Suto hanya tertawa sambil tetap berada di samping Kirana.
"Kau mengatai dirimu sendiri!" kata Suto. "Kalau kau tidak
merasa banci, cengeng, dan kecil nyalimu, coba kau lepaskan
diri dari pengaruh totokan itu! Coba!" tantang Suto makin
memanaskan hati Eka yana.
Saat itu, darah Ekayana benar-benar mendidih. Tapi karena
tak bisa berbuat apa-apa, Ekayana hanya bisa menggeram penuh
kejengkelan. "Tunggu! Jangan pergi ke mana pun kalian! Aku akan datang
kembali menemui kalian di sini!" setelah berkata begitu,
Ekayana segera pergi meninggalkan pantai dengan berlari
lari, tangan keduanya masih menggenggam pedang di atas
pundak kanannya. Suto menertawakan dan Kirana pun cekikikan
geli melihat Ekayana lari dalam keadaan seperti itu. Mereka
tak tahu apa yang dicemaskan hati Ekayana sebelum berlari
meninggalkan tempat,
"Nini Pasung Jagat pasti sedang memburuku! Kalau aku dalam
keadaan seperti ini. Nini Pasung Jagat pasti dengan mudah
membunuhku. Sebelum nenek setan itu muncul, aku harus
melarikan diri lebih dulu. Kurasa Brajawisnu ataupun
Pancakana, dapat menolongku membebaskan pengaruh totokan
iblis ini! Kelak jika aku berhadapan dengan pemuda
ber-bumbung tuak itu, aku harus lebih waspada lagi! Memang
edan ilmu yang dimiliki pemuda itu!"
Nini Pasung Jagat adalah orang yang ditakuti Ekayana pada
saat mengalami nasib seperti itu. Tetapi, Kirana mempunyai
dugaan lain, dan segera berkata kepada Pandekar Mabuk,
"Pasti dia pulang untuk memanggil orang orangnya! Sebaiknya
kita cepat menyingkir dari tempat ini, Suto!"
"Mengapa harus menyingkir" Biar saja ia datang bersama
orang-orangnya! Tak ada salahnya dia ke sini membawa teman,
barangkali butuh ngobrol bersama di tepi pantai!"
"Suto! Orang orang Kobra Hitam itu ganas-ganas dan berilmu
tinggi. Kau jangan meremehkan mereka!" Kirana tampak cemas.
"Kalau aku meremehkan mereka, kenapa?"
"Kau bisa dibunuh oleh mereka!" sentak Kirana tak sabar.
"Kalau aku dibunuh mereka?"
Pendekar Mabuk 022 Lentera Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Matilah kau!"
"Ya, sudah. Biar saja mati. Memangnya kenapa kalau aku mati"
Apa kau merasa rugi"!"
Kirana gelisah dan jengkel sendiri, akhirnya menjawab dengan
wajah cemberut ketus, "Tidak!"
Dan Pendekar Mabuk tahu perasaan hati Kirana sebenarnya,
karena itu ia menertawakan gadis itu. Sang gadis semakin
tersipu dongkol.
7 RUMAH terdekat dari pantai itu adalah tempat kediaman Tabib
Cawan Maut. Rumah itu ada di tepi laut, tapi di sebuah bukit
karang yang sepi oleh penghuni, sunyi oleh binatang burung,
ka rena tak ada tanaman di atas bukti karang itu. Bukit
tersebut jika lewat siang hari tertutup bayangan tebing
karang yang tinggi, letaknya di seberang bukit karang. Antara bukit tersebut dengan tebing karang yang tinggi terdapat
selat berombak besar. Curam dan berkesan ganas alam di bawah
bukit itu. Tabib Cawan Maut membuat atap lebar dan panjang dari daun
kelapa dan nipah. Dengan adanya tempat bernaung yang panjang
dan lebar itu, rumah gubuk kediaman Tabib Cawan Maut menjadi
teduh dan nyaman ditempati. Di situ ia tinggal dengan seorang
pelayannya, lelaki berusia sekitar lima puluh tahun yang
bernama Jongos Daki. Dulu kerjanya mendaki gunung untuk
Pertemuan Di Kotaraja 10 Pendekar Bayangan Sukma 3 Petaka Cinta Berdarah Pendekar Riang 11