Mahesa Wulung 3
Pendekar Naga Geni 1 Mahesa Wulung Bagian 3
orang tua telah bersembunyi dan
mengungsi di sebuah hutan di selatan
Karang Asem sehingga mereka selamat
tak kurang satu apa. Tampak pula sisa-sisa anak buah Ki Sorengrana yang
sibuk merawat orang-orang yang
terluka. Sayang sekali bahwa
kedatangan kami terlambat, kalau tidak tentu kami dapat mengusir, setidak-
tidaknya mencegah agar mereka tidak
dapat membuat korban lebih banyak.
Demikianlah atas keterangan Nyi
Sorengrana kami segera menempatkan
sebagian penjaga di Karang Asem sedang kami berdua berusaha mencari angger
Mahesa Wulung untuk menyampaikan
kejadian tersebut. Mula-mula kami
menuju ke padepokan tanah putih. Di
sana kami bertemu dengan Panembahan
Tanah Putih yang menceriterakan bahwa angger Mahesa Wulung sedang
menyelidiki pusaka Naga Geni di Gunung Brintik. Maka secepatnyalah kami ke
mari mencari angger. Pesan sang
Panembahan, agar angger Mahesa Wulung secepatnya berusaha membebaskan Ki
Sorengrana dan Pandan Arum. Kerpu
mengakhiri ceriteranya.
Hemm, sungguh-sungguh mereka
gerombolan ganas dan licik pula.
Baiklah kalau demikian kami berdua
dengan kakang Gangsiran akan diam-diam menyusup ke Alas Roban dan membebaskan
paman Sorengrana serta adi Pandan
Arum, kata Mahesa Wulung.
Angger Mahesa Wulung, kita atur
saja mulai sekarang untuk menyerang
Alas Rpban. Kami secepatnya akan
kembali ke Asemarang serta menyiapkan penyerangan itu. Dengan gabungan
pasukan pengawal bandar Asemarang
serta sisa-sisa anak buah Ki Soreng-
rana kami akan berkuda menyusuri
pantai utara dan kira-kira seminggu
kami akan tiba di sana. Nah, pada hari itulah kami akan melancarkan serangan
yang mendadak! Baik bapak. Saya setuju dengan
rencana bapak berdua itu, lalu
kapankah bapak Kerpu dan Tambakan
kembali ke Asemarang"
Angger Mahesa Wulung, sebaiknya
kami berangkat pulang sekarang. Lebih cepat kami menyiapkan diri lebih baik.
Begitulah setelah berjabat tangan de-
ngan Mahesa Wulung dan Gangsiran,
mereka cepat mengambil kudanya yang
tertambat di sebuah semak-semak dan
kemudian sebentar saja keduanya telah berpacu ke utara.
Demikian pula Mahesa Wulung dan
Gangsiran segera mengambil kuda-
kudanya tapi mereka berdua tidak
memacu kudanya melainkan cuma berjalan biasa saja, karena jarak yang mereka
tempuh masih cukup jauh, sedang mereka harus menjaga kuda-kudanya agar tidak
terlalu lelah. Tambahan lagi jalan
yang dilalui ke barat itu tidak rata
tapi berbukit-bukit sehingga mereka
harus berhati-hati.
4 SINAR perak sang rembulan serta
bintang-bintang yang bertebaran di
angkasa telah berjasa membantu mereka mencari jalan yang baik. Bunyi dering
jengkerik terdengar di sana sini dari sela-sela rerumputan dan batu-batu.
Sesekali lewat di depan mereka
beberapa ekor kunang-kunang yang
berkedip-kedip cahayanya. Sekarang
keduanya mufai menuruni bukit-bukit,
membelokkan kudanya ke arah utara,
sehingga tibalah mereka di tanah datar yang berhutan-hutan kecil. Mereka
berdua kini melarikan kudanya dengan
kecepatan yang sedang, terus menuju ke utara menyusuri sebuah sungai yang
mengalir di sebelah barat daerah
Asemarang. Tak lama kemudian tibalah
mereka di daerah Kali Banteng. Entah
mengapa tempat itu disebut demikian,
mungkin di situ dahulu sering terlihat banteng.
Kakang Gangsiran, di depan kita
dibalik gerombol pohon-pohon itu
terletak sebuah desa. Apakah kakang
berminat untuk singgah sebentar"
bertanya Mahesa Wulung.
Terima kasih dimas. Aku kira,
kita tidak mengambil jalan yang
melewati desa itu, melainkan kita cari jalan melingkar di selatan desa itu,
jawab Gangsiran pula. Mahesa Wulung
dapat membenarkan pendapat Gangsiran
itu, sebab dengan mengambil jalan itu mereka menjauhi kemungkinan bertemu
dengan orang-orang lain, tanpa
menimbulkan korban yang banyak. Bahkan jika mungkin ia akan berusaha membebaskan
pamannya Ki Sorengrana serta Pandan Arum tanpa melibatkan pasukan
Asemarang dalam pertempuran di Alas
Roban. Malam itu meskipun bulan bersinar
dengan terangnya, namun cahayanya tak dapat menembus kepekatan rimba Alas
Roban, yang hampir sebagian besar
dipenuhi oleh pohon-pohon karet tahun yang tumbuh dengan liarnya. Cabang-
cabangnya serta daunnya saling
bertautan seolah-olah memang sengaja
menghalang-halangi sinar rembulan
memasuki daerahnya, bagaikan tangan-
tangan hantu yang menjaga sarangnya.
Tapi dikepekatan rimba yang
lembab itu jauh di sana, diperut rimba itu terdapatlah rumah-rumah
kayu beberapa buah. Di muka rumah yang
terbesar di antara rumah-rumah itu
terdapat sebuah tanah luas sebagai
halamannya dan terpasanglah di situ
sebuah api unggun dikelilingi oleh
orang-orang bersenjata. Sebagian ada
yang duduk, sebagian lagi berdiri.
Sedang di pojok timur halaman itu
terpasang seperangkat gamelan lengkap dengan penabuh, pesinden serta
penarinya. Tetapi kesemuanya diam
membisu seperti tengah menunggu
sesuatu yang penting dan semua
pandangan mata mereka tertuju ke pintu rumah besar. Tak lama kemudian pintu
rumah besar itupun terbukalah serta
muncul dari dalam rumah, dua sosok
tubuh yang kekar.
Seorang mengenakan kulit harimau
tutul sebagai bajunya dan mukanya
tersembunyi dibalik topeng harimau
yang seram. Tangannya menggenggam se-
buah tombak trisula.
Seorang lagi berbaju hitam dengan
ikat kepala merah berbunga-bunga hitam dan pada pinggangnya tergantung sebuah
pedang panjang. Keduanya berjalan ke tengah lingkaran orang-orang
bersenjata itu, serta berhentilah
mereka, bila keduanya telah tiba di
sana. Di antara orang-orang yang
mengelilingi api unggun itu terdengar bisik membisik sesamanya. Mereka telah
menunggu-nunggu keduanya sejak tadi.
Lihatlah sebentar lagi, Ki Macan
Kuping serta Singalodra pasti akan
segera membuka pesta kemenangan kita.
Dan kita akan mabuk-mabuk minum tuak
sambil menari-nari bersama gadis-gadis itu.
Nah itu-itu lagi yang kau bicarakan, seolah-olah hanya menari
dan mabuk-mabuk yang kau ingat dalam
benakmu. Lho apa salahnya dengan diriku,
bukankah itu hal yang wajar" Menari,
menyanyi serta mabuk-mabuk akan
membuat kita awet muda.
Ya, tapi dengan begitu aku
teringat penyerangan kita ke Karang
Asem, beberapa hari yang lalu, kata
seorang yang masih muda.
Mengapa dengan Karang Asem" tanya
orang yang berkumis tebal teman si
orang muda itu. Kan mereka sudah kita hancurkan.
Dari sebab itulah aku selalu
teringat! Orang-orang kampung itu yang kita binasakan berkaparan di mana-mana,
merintih kesakitan. Dengan
menari-nari itu, seolah-olah kita
menari di atas mayat bangkai mereka.
Ah, sudahlah Dugel. Lupakan saja
hal itu. Aku maklum kau masih anggota baru, belum terbiasa melihat orang
mati. Tetapi jangan kuatir, tunggulah.
Sebentar lagi kau akan biasa
melihatnya. Bahkan kau akan menyesal
bila tidak ikut menyembelih orang
dalam setiap penyerangan gerombolan
kita ke desa-desa.
Hiiii, menyembelih orano" si
orang muda yang bernama Dugel kelihatan bergetar, bulu tengkuknya
berdiri mendengar kata kata temannya
itu. Sudahlah Dugel, kita selesai
ngobrol. Nih, minumlah tuak biar lebih hangat badanmu! kata sikumis tebal
sambil menyorongkan tangannya yang
berisi cangkir tembikar penuh tuak
yang melimpah kepada si Dugel.
Sejurus kemudian mereka
menghentikan bisik-bisiknya, bila Ki
Macan Kuping mengangkat kedua belah
tangannya. Anak-anakku semua, aku berterima
kasih atas keberanianmu yang telah kau perlihatkan dalam penyerangan, ke
Karang Asem. Sekarang pesta ini adalah untuk merayakan kemenangan kita itu.
Nah, malam ini bersuka-sukalah,
menyanyi, menari bersama gadis-gadis
itu, minum tuak sepuas-puasmu, atau
apa saja terserahlah! Besok kita masih punya pekerjaan yang besar!
Begitu selesai Ki Macan Kuping
bicara, serempak gamelan ditabuh orang dan berdirilah para tledek itu serta
memulai tarian-tariannya yang
menggairahkan diseling oleh suara
pesinden yang tidak kalah gairahnya.
Sebentar saja suasana menjadi hangat, dan bertambah hangat bila beberapa
orang telah mulai pada mabuk tuak.
Beberapa orang berdiri dan sambil
sempoyongan, mereka menandak-nandak
terjun ke tengah arena tari itu.
Sambil menari, sebentar-sebentar
diisi mulutnya dengan minuman tuak
hingga berceceran ke tanah. Seorang
lagi lebih lucu, kelihatan menari
sambil mulutnya menggigit setusuk
satai daging yang masih berkepul-kepul kepanasan, melintang pada kedua sudut
mulutnya. Heee, lihat itu Bugelan sedang
beraksi! teriak salah seorang dari
penonton. Mereka tertawa terbahak-
bahak melihat kelucuan Bugelan.
Sementara itu seorang lagi yang menari dengan tangan serabutan laksana
geraknya sapit seekor kalajengking
bergeser-geser mendekati Bugelan.
Wah, itu Sapit Ireng beraksi
pula! seru mereka. Tiba-tiba dengan
gerak yang cepat hampir-hampir sukar
ditangkap mata, Sapit Ireng
menggerakkan kepalanya kemuka kepala
Bugelan dan sekejap itu terlihatlah
mulutnya mencengkam dua iris daging
satai yang terlolos dari tusukan satai di mulut Bugelan.
Hebat kau Sapit Ireng! teriak
seorang penonton. Ia dapat mengambil
tusukan daging satai dari mulut
Bugelan. Tidak hanya penonton saja
yang ketawa, juga Ki Macan Kuping
serta Singalodra ikut pula tertawa
menyaksikan ketangkasan Sapit Ireng.
Ayo, konco-konco, puaskan
gembiramu! Ini adalah pesta untukmu!
teriak Singalodra keras-keras.
Serentak mendengar kata Singalodra
pemimpin mereka itu, beberapa orang
yang mula-mula malu-malu segera
berdiri pula dan terjun ke tengah
arena ikut menari kesenangan.
Irama gamelanpun dipukul semakin
keras, dengan nada yang gila-gilaan.
Bila sudah demikian, gema iramanya
mengalun ke segenap penjuru hutan
sampai ke desa-desa yang terletak di
sekitar Alas Roban. Bahkan, karena
letak Alas Roban itu di tepi pantai
Utara Jawa suara gamelan gila itu
sekali-sekali terdengar sampai ke
Pendekar Naga Geni 1 Mahesa Wulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pantai, membuat siapa saja yang mendengar menjadi meremang bulu tengkuknya,
karena merekapun sadar bahwa suara
gamelan itu berasal dari perut hutan
Alas Roban satu tanda pula kalau
gerombolan hitam Singalodra dari Alas Roban sedang berpesta pora menikmati
kemenangannya. Demikianlah, pesta pora itu
mencapai larut malam dan sekonyong-
konyong saja, kemeriahan pesta agak
terganggu, bahkan beberapa orang cepat menyiapkan senjatanya, manakala derap
kaki kuda terdengar sayup-sayup yang
makin lama terdengar bertambah dekat.
Seorang penjaga pintu gerbang masuk
sarang gerombolan itu yang berdiri di sebelah sana tampak melambai-lambaikan
pedangnya yang terhunus. Serentak
mereka pada menarik napas lega, karena itu adalah tanda aman dan yang datang
tentulah kawan sendiri.
Benarlah isyarat lambaian pedang
itu, sebab tak lama kemudian muncul
seorang berkuda mendekati
mereka dengan tubuhnya yang mandi peluh.
Beberapa goresan luka-luka kecil
terlihat pula pada tubuhnya.
Hee, bukankah itu kakang Sima
Gereng! teriak salah seorang dari
mereka yang serentak berdiri menunggu orang berkuda.
Ya, betul itu Sima Gereng! teriak
yang lain pula. Tapi mengapa ia pulang sendiri" Di mana empat orang kawan
kita yang lain! Sebentar saja mereka
hiruk-pikuk membicarakan Sima Gereng
yang pulang sendirian saja, sementara gamelanpun menjadi reda, semakin reda dan
akhirnya berhenti sama sekali yang diikuti para penarinya segera
menghentikan tariannya pula. Bahkan
beberapa orang penari ikut pula
menggerombol mengelilingi Sima Gereng yang kini telah turun dari kudanya.
Ki Macan Kuping dan Singalodra
tampak pula berjalan mendekati Sima
Gereng. Mengapa engkau pulang sendirian
Sima Gereng, di mana keempat anak
buahmu itu" tanya Singalodra dengan
pandangan matanya yang tajam mengawasi Sima Gereng.
Kami telah menjalankan tugas ki
lurah, tapi ketiwasan! jawab Sima
Gereng sambil menundukkan kepala.
Sedang napasnya turun naik.
Ketiwasan bagaimana" Ayo,
ceriterakan tugasmu. Jangan bicara
sepotong-sepotong! seru Singalodra
dengan marah. Ampun ki lurah, kami berlima
telah berhasil menghadang Mahesa
Wulung yang telah membawa pusaka Naga Geni. Wujud pusaka itu ialah sebatang
cambuk yang menyala kebiruan. Kemudian terjadilah pertempuran dan
kami berusaha merebut pusaka itu, hanya
sayangnya ternyata Mahesa Wulung tidak sendirian tapi membawa teman, seorang
yang pandai melempar pisau.
Hmmm, itu pasti si Gangsiran,
penjudi edan! potong Singalodra dengan geramnya. Teruskan bicaramu goblok,
ayo! Dengan gugup Sima
Gereng meneruskan pula ceriteranya.
Setelah kami bertempur, tiba-tiba
Mahesa Wulung menggunakan pusaka itu
untuk melawan kami dan akibatnya luar biasa. Dua orang anak buah saya yang
terkena cambuknya, seketika jatuh mati dengan tubuh hangus kemerahan seperti
daging satai yang dipanggang api.
Mendengar keampuhan pusaka itu,
orang-orang terperanjat sekali,
termasuk Singalodra serta Ki Macan
Kuping sendiri yang sudah tergolong
tingkatan atas dalam ilmu kesaktian.
Dan juga dengan Mahesa Wultung
sendiri, ternyata orang yang hebat.
Angin pukulannya saja bisa
menumbangkan saya. Untunglah saya
cukup tangkas ki lurah, hingga saya
dapat mengelak menghindarkan serangannya. Plak! plak! plak! tiba-tiba
dengan gesitnya Singalodra menampar
Sima Gereng yang sekaligus jatuh
tertelentang dengan sudut mulutnya
berdarah. Sima Gereng tampak meringis-ringis sambil meraba bibirnya.
Sebentar terdengar keruyuk-keruyuk
dalam mulutnya dan cepat-cepat Sima
Gereng meludah. Tampak darah merah
keluar diikuti tiga buah benda putih
meloncat keluar dari mulutnya, akibat tamparan Singalodra.
Ampun! Aduh, aduh, gigi saya
copot, teriak Sima Gereng kesakitan.
Itulah hukuman bagimu goblog! Kau
berani memuji-muji musuhmu di depanku he! Mengapa kau tidak ikut mampus
bersama keempat anak buahmu sekali,
teriak Singalodra kemarahan sambil
melototkan matanya yang bengis kejam
itu. Ampun Ki Lurah, saya berkata
sebenarnya. Sayapun sudah berjanji
demi setan-setan penjaga Alas Roban
ini, bahwa saya suatu ketika akan
membalas dendam kepada Mahesa Wulung, si keparat itu.
Hem, bagus, bagus, aku akan
pegang sumpahmu itu. Meskipun kau
gagal, saya akan masih mengampunimu!
Dan lagi kita telah berhasil menangkap paman Mahesa Wulung, Ki Sorengrana
serta muridnya sekaligus yang bernama Pandan Arum. Dengan mereka berdua,
kita pancing Mahesa Wulung masuk ke
sarang kita ini. Kita akan tukarkan
kedua orang itu dengan pusaka Naga
Geni. Setelah itu baru kita bereskan
mereka! Hua, ha, ha, ha, bagaimana anak-
anak"! Seru Singalodra.
Akur! Setuju, ki lurah! teriak
orang-orang serempak, menyetujui
pendapat Singalodra.
Nah, kalau begitu sekarang ayo,
kalian kembali ke tempatnya masing-
masing. Kita teruskan pesta pora ini!
seru Ki Macan Kuping. Kini gamelanpun ditabuh lagi dan kembali
mereka menari-nari, mabuk-mabuk tuak, serta
menyanyi-nyanyi dengan bebasnya tanpa patokan-patokan seni yang ada, tanpa
aturan tata tertib sehingga kadang-
kadang diantaranya timbul pukul
memukul dengan ternannya saking
mabuknya dengan minuman tuak. Jika
sudah begitu teman-teman yang lain
cuma tertawa menyaksikan mereka,
sedang penari-penari malahan tambah
menari dengan gairahnya. Baginya hal-
hal itu, berkelahi, mabuk-mabuk, sudah biasa terjadi di kalangan gerombolan
hitam Alas Roban sehingga mereka tak
usah kuatir. Begitulah suasana pesta
gerombolan hitam Alas Roban terus
berlangsung sampai langit di sebelah
Timur disaput oleh warna-warna merah
sang matahari. Beberapa ayam jantan
mulai berkokoh bersahut-sahutan,
suaranya menggema di perkampungan itu yang tersembunyi letaknya di perut
rimba Alas Roban.
Debu serta kerikil-kerikil
berhamburan oleh kaki-kaki kuda yang
dipacu secepat angin menyusuri jalan
sepanjang pantai Utara Jawa.
Kakang Gangsiran, kita telah
melewati Kali Bodri.
Tapi sayang adi Mahesa Wulung,
kita tidak sempat singgah di perguruan Kyai Kendil Wesi di Kaliwungu. Kalau
singgah, tentu kita mendapat petunjuk-petunjuk yang perlu.
Benar kakang, tapi tak usah kita
cemas. Dengan berjalan terus menyusur pantai ke barat, pasti kita akan
sampai ke Alas Roban. Aku masih ingat jalan-jalannya ke sana, kata Mahesa
Wulung. Memang waktu kita amat sempit dalam tugas kita ini. Lain kali saja
kita usahakan singgah ke sana. Berapa lama keduanya telah berkuda tak lagi
terasa, disebabkan perasaan mereka
yang telah disibuki oleh persoalan-
persoalan yang rumit. Mahesa Wulung
ingin cepat sampai untuk membebaskan
pamannya serta Pandan Arum. Sedang
Gangsiran sibuk pula memikirkan cara-
cara menerobos penjagaan gerombolan
Alas Roban. Sekarang kita mulai memasuki desa
Weleri adi Mahesa Wulung, ujar
Gangsiran. Lihatlah itu di sana! Pintu gerbang masuk ke desa telah dijaga
oleh orang-orang bersenjata.
Ayolah kita cepat-cepat ke sana
kakang. Setiap keterangan pasti
berguna bagi kita, seru Mahesa Wulung sambil mempercepat lari kudanya ke
arah desa itu. Gangsiran tak pula
ketinggalan cepat-cepat ia mengejar
Mahesa Wulung, sehingga tak lama kemudian keduanya telah sampai ke pintu
gerbang masuk desa Weleri. Seorang di antara penjaga-penjaga itu, ketika
melihat dua orang asing mendekati
pintu gerbang, cepat-cepat mendapatkan Mahesa Wulung serta Gangsiran.
Badan orang ini amat tegap, kumis
dan jenggot yang lebat menumbuhi
mukanya yang bulat, menambah
keangkerannya. Maaf, kisanak berdua. Daerah ini
tertutup untuk perjalanan ke barat
sebab gerombolan Alas Roban sedang
merajalela di sana. Reruntuhan rumah-
rumah di pojok itu, adalah hasil
kebiadapan mereka yang telah merampok desa ini dengan kejamnya. Rumah-rumah
mereka bakar, sementara beberapa orang yang mencoba melawannya telah
disembelih mati! kata orang itu sambil mengawasi Mahesa Wulung dan Gangsiran
setengah curiga mulai dari kepala
sampai ke ujung kaki.
Kalau kisanak berdua boleh aku
peringatkan dan masih cinta akan
hidup, sebaiknya kisanak kembali saja ke timur.
Mengapa harus kembali ke timur!
kata Mahesa Wulung tajam. Malah kalau kisanak ingin tahu pula, kami berdua
akan datang ke Alas Roban untuk mem-
bebaskan orang-orang yang tertawan
oleh gerombolan Alas Roban.
Ha, ha, ha, membebaskan tawanan-
tawanan dari tangan Singalodra" Omong kosong! Bualanmu tidak laku di sini
kisanak. Tahukah kisanak, baru-baru
ini sepasukan desa Karang Asem yang
dipimpin oleh Ki Sorengrana, telah
binasa dilabrak oleh gerombolan
Singalodra. Bahkan Sorengrana sendiri kena tertawan oleh mereka, seru orang itu
dengan nada setengah mengejek.
Apalagi kisanak cuma berdua saja!
Mahesa Wulung meloncat turun dari
atas kudanya lalu mendekati orang yang berkata penuh kesombongan itu.
Kisanak, bagi kami berdua tidak
ada satu halanganpun yang kami
takutkan, karena kami hanya percaya
bahwa Tuhan Yang Maha Kuasa akan
memberikan bantuanNya menyelesaikan
tugas ini. Tidak! Kalau Dadapan bilang
tidak, maka tak seorangpun boleh
melanggar kata-katanya. Kata-katanya
adalah juga hukumnya. Nah, sebaiknya
kalian berdua tidak sampai membuat
jengkel kami. Kalau kisanak memaksa,
terpaksa harus berhadapan dengan saya, si Dadapan murid Perguruan Empu Paku
Waja, kata Dadapan sambil menepuk-
nepuk dadanya. Mendengar nama Perguruan Empu
Paku Waja, Mahesa Wulung serta
Gangsiran yang masih duduk di atas
kuda ikut terkejut. Mereka pernah
mendengar keampuhan Empu Paku Waja
yang terkenal itu.
Kami datang ke sini tidak untuk
mencari perselisihan, kisanak, kata
Mahesa Wulung pelan dengan maksud
untuk meredakan suasana yang telah
panas. Tapi Dadapan cepat-cepat
membalasnya. Ha, itu pendapat anak yang manis.
Kalau begitu segeralah berlalu dari
sini, supaya kalian masih bisa
menikmati sinar matahari.
Terima kasih, kami berdua akan
tetap memasuki Alas Roban!
Gila! Berani memaksa Dadapan
bertindak" Nah, kau akan merasakan
sedikit pelajaran dari kekurang
ajaranmu! Mari kita bermain-main
Pendekar Naga Geni 1 Mahesa Wulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebentar untuk memanaskan badan
Dadapan mulai melancarkan
serangannya dengan pedang terhunus.
Sambarannya menimbulkan suara
berdesing dan angin yang dingin
menderu-deru. Mula-mula Mahesa Wulung tak ingin
melayani sikap Dadapan yang sombong
itu. Tapi bila ia telah diserang
dengan pedang terhunus maka tak ada
lagi cara yang baik buat memberi
pelajaran kepada Dadapan selain dengan menyambut serangannya.
Tusukan pertama Dadapan ke arah
lambung dapat dihindarkan oleh Mahesa Wulung dengan memiringkan tubuhnya ke kiri
sambil tangan kanannya diketukkan ke tangan Dadapan yang memegang pedang.
Aaaakh. Dadapan berteriak
setengah tertahan dengan mulutnya yang menyeringai-nyeringai menahan sakit.
Merasakan serangannya gagal, Dadapan
menjadi penasaran.
Segera ia mengeluarkan permainan pedangnya yang hebat. Ujung pedangnya berkelebatan
dengan sinar yang menyilaukan mata
merupakan satu lingkaran yang
mengurung Mahesa Wulung. Diam-diam
Mahesa Wulung memuji ketinggian ilmu
pedang Dadapan, hanya sayang
pemiliknya rupa-rupanya terlalu
sombong memakainya. Pedang di
tangannya, gerakannya kini berganti.
Selain mematuk-matuk ke atas dan ke
bawah, juga membabat dari samping kiri dan kanan.
Mendapat serangan pedang yang
hebat ini, Mahesa Wulung mengerahkan tenaga dalamnya berlambaran ilmunya
Bayu Rasa dan tiba-tiba tubuhnya
melenting ke atas berjungkir balik di udara, kaki ke atas dan kedua
tangannya ke bawah, menerkam Dadapan
bagaikan gerak rajawali menyambar
mangsanya ke bawah. Sekali ini, Mahesa Wulung tidak menggunakan pukulan Lebur
Waja karena ia hanya menggunakannya
bila melawan gerombolan hitam Alas
Roban serta orang-orang jahat lainnya.
Sedang lawannya sekarang. Si Dadapan
ini, bukanlah orang yang jahat, tapi
orang yang sombong karena merasa
dirinya paling berkuasa menjaga
keamanan di tempat itu sehingga orang-orang harus tunduk kepadanya. Dadapan
seketika terkejut melihat gerak Mahesa Wulung, cepat ia bermaksud
menghindarkan terkaman lawan tapi
terlambat! Tahu-tahu tangannya kena
ditangkap oleh Mahesa Wulung sehingga terasa pedangnya yang digenggam kini
merasa bergetar hebat. Tangan Mahesa
Wulung yang mencekam pergelangan
tangan kanannya itu terasa seperti dua buah dinding baja yang menghimpit,
makin lama mengunci semakin keras dan tak lama kemudian tangannya terasa
kesemutan, pandangannya berkunang-
kunang. Dadapan jatuh terduduk dan
pedangnya terlepas dari genggamannya.
Maaf Dadapan aku tak bermaksud
menyakitimu. Itu tadi aku lakukan
karena terpaksa untuk menghindarkan
seranganmu! Percayalah! Mahesa Wulung berkata dengan wajah yang cerah. Sama
sekali ia tidak menaruh benci. Hatinya yang polos itu berkata bahwa musuhnya ini
bukanlah orang yang jahat
seharusnya binasa oleh tangannya.
Mula-mula Dadapan agak curiga
melihat sikap Mahesa Wulung ini.
Jangan jangan itu hanya siasat saja,
namun demi dilihatnya wajah Mahesa
Wulung yang cerah, bahkan kini
mengulurkan tangan untuk menolongnya
berdiri yakinlah bahwa Mahesa Wulung
betul-betul tidak bermaksud
memusuhinya. Kini terbukalah hati
Dadapan bahwa semua itu terjadi karena kesombongannya, karena terlalu
mengandalkan ilmu pedangnya dari Empu Paku Waja, yang tak pernah terkalahkan
itu. Ooh, maaf kisanak. Maafkan semua
tindakanku yang kasar dan tolol itu!
seru Dadapan sambil membungkuk memberi hormat lawannya, ia menyesal sekali
telah memperlakukan Mahesa Wulung
dengan kasar. Lupakan hal itu Dadapan, yang
sudah berlalu biarlah berlalu. Waktu
yang akan datang masih banyak untuk
berlaku lebih bijaksana lagi, Dadapan, aku tadi sangat mengagumi permainan
pedangmu itu, mungkin suatu saat akan kuminta kau mengajariku. Harapanku
hanyalah jangan menggunakan ilmu pe-
dangmu itu untuk menuruti nafsu
kemarahan saja, secara serampangan.
Sebab walau jaya dan perwiranya
manusia itu, jika keperwiraannya tadi dipergunakan untuk maksud-maksud yang
bertentangan dengan kehendak Tuhan
Yang Maha Kuasa, maka akan runtuh dan terkutuklah manusia tadi oleh Nya!
ujar Mahesa Wulung dengan tenang
sambil menghela napas dalam-dalam.
Dadapan mendengar itu,
menundukkan kepalanya ke bawah, tak
terasa matanya berkaca-kaca terharu.
Selama ini ia sering memperlakukan
orang lain dengan kasar sehingga ia
ditakuti oleh kawan-kawannya. Hanya
saja takutnya tadi bukan takut
lantaran cinta atau sayang, tapi
orang-orang pada takut karena saking
bencinya melihat kelakuannya.
Terima kasih Kisanak, terima
kasih. Kau telah membuatku insyaf akan segala kelakuanku yang tidak baik
selama ini, kata Dadapan pelan. Dan
kini sebagai rasa terima kasihku, saya bersedia membantu kisanak untuk
membebaskan tawanan-tawanan dari
cengkeraman gerombolan Alas Goban.
Baiklah Dadapan, saya tidak
keberatan untuk menerima bantuanmu,
kata Mahesa Wulung. Nah, hampir saya
lupa. Ini perkenalkan kakang Gangsiran dari Tanah Putih dan saya sendiri
Mahesa Wulung dari Demak. Betapa
terkejut Dadapan mendengar nama
mereka. Keduanya sudah cukup terkenal di tanah pesisir Utara Jawa terutama
Mahesa Wulung sendiri yang terkenal
sebagai perwira laut Armada Demak,
namanya sangat ditakuti oleh bajak-
bajak laut dan gerombolan-gerombolan
hitam. Ia seorang perwira yang masih muda, tapi bijaksana dan suka membela
kebenaran serta keadilan. Untunglah
pertarungan tadi tidak sampai
berlarut-larut dan sekarang ia tidak
perlu cemas karena Mahesa Wulung yang bijaksana itu telah mengampuninya.
Demikianlah setelah mengaso
sejenak, Mahesa Wulung, Gangsiran dan Dadapan berangkat meneruskan
perjalanannya ke arah barat sedang
beberapa teman Dadapan tetap tinggal
di tempatnya untuk menjaga keamanan
daerah Weleri. Mereka bertiga kini
terus berpacu ke arah barat laut
karena jalan ke barat biasa dijaga
oleh orang-orang dari gerombolan Alas Roban. Dari jauh sudah terlihat warna
hijau kehitaman yang membentang amat
panjangnya. Itulah hutan Alas Roban
yang menjadi sarang gerombolan hitam
pengacau dan perusak keamanan. Hutan
itu yang berdinding tebal dengan
pohon-pohon karet tahun, seperti tak
tertembus oleh siapapun, lebih-lebih
orang di sekitarnya percaya bahwa
hutan itu, tempat tinggal para setan
dan hantu-hantu bersarang sehingga mereka tak pernah mendekati hutan-hutan itu
apalagi sampai mengimpikan masuk
ke dalamnya. Bahkan beberapa orang tua pernah berkata, walau diupah dengan
dinar emas sekalipun mereka tak
bersedia menjamah hutan itu. Rasa
ngeri, takut dan kabar keangkeran
hutan itu selalu ditiup-tiupkan oleh
seorang yang bernama Ki Singa. Ia
cukup terkenal sebagai seorang pawang yang biasa menangkap binatang-binatang
buas, terutama harimau. Satu keanehan pada diri Ki Singa ialah, ia sering
muncul di suatu tempat dengan tiada
terduga. Sebentar muncul di sini,
sebentar lagi muncul di tempat lain
secara tiba-tiba dan orang pun tidak ada yang tahu tempat tinggalnya.
Makin dekat, semakin jelas
terlihat oleh mereka bertiga keadaan
hutan Alas Roban yang terletak di tepi pantai utara. Deburan ombak yang
memecah ke pantai sayup-sayup
terdengar. Bila laut pasang naik, maka sebagian air laut masuk ke dalam hutan
sehingga pohon-pohon karet raksasa
yang tumbuh paling dekat dengan pantai tergenang air, menambah seramnya
keadaan Alas Roban. Itulah kiranya
mengapa hutan itu sampai disebut Alas Roban artinya hutan yang dapat dilanda
banjir (rob). Matahari makin berkurang sinarnya setelah letaknya condong ke
barat, menjadikan tempat itu samar-
samar oleh kabut putih yang mengambang di udara. Baik Mahesa Wulung,
Gangsiran ataupun Dadapan sekarang
lebih hati-hati, sebab kesuraman jalan yang akan mereka tempuh itu yang penuh
dengan akar-akar melintang serta
ceruk-ceruk tanah yang cukup dalam
bisa mencelakakan langkah-langkah kuda mereka. Untuk itu mereke terpaksa
bergerak maju dengan pelan-pelan.
Sekonyong-konyong tanpa dinyana,
ketenangan suasana dipecahkan oleh
berderaknya ranting-ranting serta
dedaunan dan satu bayangan hitam
berkelebat di muka mereka yang muncul tiba-tiba dari balik lekuk-lekuk akar
pohon karet raksasa.
Berhenti!! teriak orang yang baru
muncul itu dengan kedua tangannya
diacungkan ke depan berbareng yang
mana menimbulkan hempasan angin yang
menabrak ketiga pendatang itu.
Apa maksud kisanak bertiga pada
waktu begini keluyuran di tepi hutan
Alas Roban ini!"
Kami bertiga ingih melihat-lihat
pemandangan di sini, jawab Mahesa
Wulung sekaligus meneliti orang itu
dengan pandangan tajam.
Bohong! teriak orang itu dengan
membelalakan satu matanya, sementara
satu matanya tetap menyipit karena ada bekas-bekas luka yang membuatnya begitu.
Aku tahu, kalian mencoba
menipuku. Kalau Ki Singa boleh
memperingatkan kalian, sebaiknya
cepat-cepat angkat kaki dari tempat
ini sebelum satu bencana dari rimba
larangan ini menimpa kisanak bertiga.
Oh, jadi bapaklah yang biasa
disebut Ki Singa itu" seru Dadapan
saking herannya.
Cocok! Akulah yang dipariggil
orang-orang Ki Singa itu. Hi, hi, ha, ha, ha, ha! orang itu tertawa dengan
suara yang mengerikan. Kumisnya yang
melengkung ke bawah itu ikut
terguncang-guncang oleh ketawanya.
Apakah kisanak bertiga ini belum
pernah dengar bahwa rimba ini sarang
hantu dan setan"
Belum, bapak. Oleh sebab itu kami
ingin sekali melihat penghuni-penghuni rimba, setan-setan dan hantu seperti
yang bapak ceriterakan tadi, jawab Mahesa Wulung. Mendengar itu Dadapan
ikut pula menyambung: Malahan kalau
mungkin, kami akan menangkapnya sekali untuk kami pertontonkan kepada orang-
orang, biar mereka tidak lagi takut
kepada setan dan hantu-hantu.
Hmm, sungguh kurang ajar kisanak
bertiga! Berani mempermainkan kata-
kata serta peringatanku, ha! Baiklah, tapi aku telah katakan semuanya,
tentang bencana-bencana yang datang
dari rimba larangan dan kalian bertiga semoga mampus olehnya! kata Ki Singa
keras-keras diiringi loncatan ke
belakang dan tubuhnya lenyap ditelan
kepekatan rimba Alas Roban dalam
sekejap mata, membuat mereka bertiga
tertegun keheranan. Peristiwa yang
baru lewat seperti mimpi saja, Ki
Singa yang muncul tiba-tiba dan lenyap pula dengan tiba-tiba.
Cahaya bintang-bintang dan bulan
yang sebentar-sebentar tertutup mega
berarak sangat indah dipandang mata,
tapi bagi mereka bertiga, terasa tidak indah setelah mendengar ancaman Ki
Singa itu. Ya, bencana apa yang bakal muncul, mereka belum tahu. Oleh sebab itu
mereka lebih waspada, menghadapi
setiap kemungkinan yang terjadi.
Setelah mencari tempat yang cukup
baik, ketiganya lalu menambatkan
kudanya dalam semak-semak. Di antara
lipatan-lipatan akar-akar sebuah pohon karet tahun yang besar, mereka bertiga
beristirahat. Sebenarnya mereka ingin sekali
melanjutkan penyelidikannya menerobos hutan Alas Roban itu, tapi malam telah
turun, hingga keadaan di dalam hutan
Pendekar Naga Geni 1 Mahesa Wulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu tampak hitam pekat tanpa cahaya
bulan atau bintang yang mampu
menerobosnya. Daun-daun karet sangat
lebatnya. Malam bertambah larut dan semakin
larut. Tak ada sesuatu yang tampak
mencurigakan bagi mereka. Demikianlah antara Mahesa Wulung, Gangsiran dan
Dadapan terjalin rasa persahabatan
yang erat, mereka merasa senasib di
dalam hutan itu, sama-sama bertekad
menumpas gerombolan hitam Alas Roban
yang ganas dan telah sekian lama
merajalela di pantai Utara.
Bergantian mereka tidur dan
berjaga. Embun malam mulai turun dari kabut-kabut yang menebai menyelimuti
tepi hutan itu, berbutir-butir
menempel pada daun-daun
yang berkilat laksana permata.
Bila bulan makin merendah pada
cakrawala barat, langit di sebelah
timurpun mulai cerah dengan saputan
warna-warna merah jingga. Di antara
semak-semak dalam hutan itu tampak
bayangan hitam menyelinap-nyelinap di balik pohon-pohonan. Sebentar-sebentar
bayangan itu mengendap kemudian
bergerak dengan cepatnya, tapi aneh
sekali, langkah-langkahnya tak
menimbulkan suara sedikitpun. Terang
sekali bahwa orang ini memakai ilmu
meringankan tubuh, sampai-sampai
geraknya seperti tidak menginjak
tanah. Heh, mereka yang bercokol di tepi
hutan itu orang-orang berbahaya!
Kinilah saatnya aku binasakan mereka
dengan kucing-kucingku ini. Sekaligus aku ingin tahu sampai di mana kekuatan
mereka. Bayangan hitam itu bergumam
sendiri seperti ada sesuatu yang
diajaknya bicara. Memanglah, ia
dikawan, oleh dua bayangan bermata
biru kehijauan dan menyala ganas yang berdiri di belakangnya seperti
prajurit menunggu perintah atasannya.
Dengan satu tepukan kecil dan
kemudian jari telunjuknya diarahkan ke tepi hutan, dua bayangan bermata hijau
itu melesat menuju kesasarannya.
Telinga Mahesa Wulung yang tajam
itu mula-mula dapat menangkap sayup-
sayup kokok ayam jantan dari tengah-
tengah rimba Alas Roban.
Hmmm ... ini satu tanda bahwa di
tengah hutan pasti ada tanda-tanda,
kehidupan yang lanyak, karena kokok
ayam jantan tadi bukanlah ayam hutan
tapi ayam piaraan.
Tetapi sejurus lagi telinganya
menangkap getaran yang lain pula.
Cepat Mahesa Wulung memperingatkan
kedua sahabatnya.
Kakang Gangsiran dan Dadapan,
hati-hatilah. Aku mendengar sesuatu
yang bergerak di atas pepohonan!
Begitu selesai berkata dan
bersiaga ketiganya, mendadak terdengar auman harimau dari atas pohon di depan
mereka. Dua pasang mata hijau liar
memandang kearah mereka yang kemudian bergerak dengan cepat meluncur dan
menerkamnya bersama-sama.
Awas macan tutul! teriak
Gangsiran sambil mencabut pisau kecil dari ikat pinggangnya dan langsung
dilemparnya kearah binatang itu.
Begitu ia melempar pisaunya, tubuhnya bergerak kesamping.
Di tengah lompatannya, harimau
tutul itu mengaum kesakitan sebab
pisau kecil Gangsiran tepat be-sarang menunjam di antara kedua matanya.
Tubuhnya melayang ke bawah dan begitu menginjak tanah segera ia bangkit dan
menerkam sasaran lainnya di sebelah
kiri. Namun Dadapan telah pula
bersiaga lalu menyambut terkaman
binatang itu dengan sabetan pedangnya yang terkenal tepat merobek leher
harimau tutul. Darah merah menyembur
dari lukanya. Tubuhnya tampak
terhuyung-huyung dan kemudian rebah ke tanah. Mati.
Sementara itu Mahesa Wulung
berhasil menghindar
dari terkaman lawannya. Harimau itu, merasa gagal
serangannya menggeram hebat karena
marah. Tubuhnya kini merendah ke
tanah, yang depan mendatar sedang yang belakang lebih tinggi. Dengan auman
keras, ia menerkam Mahesa Wulung yang telah bersiaga menyalurkan kekuatan
dalamnya dengan aji Lebur Waja.
Setelah berkelit ke
samping dan serangan harimau itu lewat sejengkal
dari tubuhnya, tampak tangannya segera bergerak. Kraaakkk! Suara gemeretak
tulang pecah berbareng dengan auman
bernada tinggi, tubuh harimau tutul
itu melenting tinggi ke atas dan
sesaat lagi terdengar gemuruh tubuhnya jatuh ke tanah tak berkutik lagi.
Akibatnya pukulan Mahesa Wulung hebat sekali. Tubuh harimau itu hangus
kehitaman sedang kepalanya pecah.
Ketika kedua harimau tutul itu
mati, bayangan hitam tadi yang tidak
lain ialah Ki Singa sangat
terperanjat. Kedua binatang itu telah terlatih bertahun-tahun dalam membunuh
orang, kali ini begitu mudah
dikalahkan oleh mangsanya. Dengan
mengutuk-ngutuk Ki Singa meloncat ke dalam hutan kembali, tubuhnya lenyap
di balik semak-semak.
5 PERKAMPUNGAN sarang gerombolan
pagi itu tampak sibuk. Beberapa orang kelihatan tengah memasang tiga tonggak
yang dipancangkan di sebuah halaman
yang luas membelakangi sebuah rumah
terbesar. Begitu banyak orang yang
bekerja, sehingga dalam waktu yang
singkat selesailah kesibukan itu.
Sejurus kemudian terdengar suara
bende yang dipukul tiga kali. Orang-
orang serentak bergerak mengelilingi
tiga tonggak itu dengan memegang
senjata, merupakan pagar manusia yang rapat. Pintu rumah terbesar membuka,
Ki Macan Kuping keluar diikuti
Singalodra. Suasana
menjadi hening seketika. Setelah keduanya memandang
sekeliling, Singalodra memberi
perintah kepada anak buahnya.
Sima Gereng, cepat keluarkan
ketiga tawanan itu kemari dan segera ikat mereka ke tiang-tiangnya itu!
Sima Gereng, diikuti lima orang
berjalan menuju ke sebuah rumah yang
jendelanya beruji besi dan dijaga kuat oleh beberapa orang bersenjata tombak.
Sesaat kemudian tampak tiga orang
keluar dari rumah itu dengan tangan
terikat ke belakang. Mereka dikawal
kuat yang dipimpin oleh Sima Gereng
berjalan ke arah tiang-tiang itu.
Tanpa dapat melawan sedikitpun
ketiganya lalu diikat pada ketiga
tiang itu erat-erat. Hanya dari sinar mata mereka dapat terbaca bahwa mereka
menaruh kebencian kepada gerombolan
itu. Sorengrana dan Pandan Arum
menggeletukkan gigi melihat tingkah
gerombolan-gerombolan, sedang tubuhnya tak dapat berbuat apa-apa akibat
totokan jalan darah oleh Ki Macan
Kuping. Kawan-kawan lihatlah. Kita hari
ini akan melihat pelaksanaan hukuman
kepada tiga orang yang telah berani
menentang gerombolan hitam Alas Roban.
Singalodra berkata kepada anak
buahnya, lalu sekali lagi ia
memberikan isyarat kepada Sima Gereng.
Tapi kita orang-orang pengecut
kalau membunuh begitu saja orang-orang yang tak berdaya. Mereka akan kita
beri kesempatan untuk mempertahankan
diri. Nah, Sima Gereng, lepaskan
tawanan yang ketiga lalu berikan
sebilah pedang biar ia sempat membela diri.
Meski dengan tubuh masih lemas,
orang yang ketiga itu masih dapat
memegang pedang dengan baik dan kedua kakinya kukuh berdiri di tengah arena.
Matanya melirik kepada Ki Sorengrana
yang terikat seperti meminta sesuatu.
Soma, lawanlah mereka sebisamu
agar kau tidak mati sia-sia, tapi mati sebagai perwira, seru Sorengrana
sambil berkaca-kaca matanya. Ia
terharu melihat Soma anak buahnya yang kini berdiri di tengah arena. Begitu
juga dengan Pandan Arum, tak sampai
hati melihat tontonan ini. Diam-diam
ia berdoa semoga Tuhan memberikan
pertolongan-Nya. Tiba-tiba saja ia
merasa rindu kepada Mahesa Wulung yang selama ini selalu membela dirinya.
Tapi kali ini, apakah ia akan tiba" Ah entahlah, hanya Tuhan Yang Maha Tahu.
Terdengar suara bende sekali.
Seorang yang berambut gondrong
tanpa ikat kepala mendatangi Soma dan langsung mengirimkan serangan dengan
penggada. Soma sempat berkelit ke
samping namun tak urung tubuhnya kena keserempet senjata lawan hingga
terpental. Terdengar ketawa riuh serta ejekan-ejekan dari pagar manusia itu.
Sekali lagi musuh mengayunkan
penggadanya, tapi dengan manis Soma
merendahkan tubuhnya dan tangannya
yang berpedang itu bergerak mendatar.
Waaak terdengar suara sobekan disusul teriakan panjang. Tubuh sirambut
gondrong itu terhuyung-huyung lalu
rebah ke tanah. Darah berceceran dari luka perutnya yang memanjang dan
menganga itu. Semua menjadi terkejut
melihat kejadian ini, maka cepat-cepat Singalodra berseru: Ayo, kawan-kawan
apa yang kalian tunggu" Binasakan
tawanan ini dengan cepat.
Laksana gelombang samodra orang-
orang bergerak mengepung Soma.
Meskipun ia masih sempat melawan,
bahkan melukai beberapa orang anak
buah Singalodra, akhirnya ia kerepotan oleh bacokan-bacokan dan tusukan-tusukan
senjata lawan. Sejurus
kemudian Soma rebah ke tanah dengan
luka-luka pada tubuhnya yang
mengerikan. Pengecut! Jahanam, teriak
Sorengrana melihat mengroyokan
terhadap Soma. Sementara itu Pandan
Arum memejamkan mata menyaksikan
kekejaman orang-orang itu.
Lihat ini Sorengrana! Sebentar
lagi tubuhmu akan seperti itu, ha, ha, ha, ha. Singalodra tertawa kegirangan
seperti anak kecil, menang dalam adu
jengkerik. Semua kejadian itu tanpa setahu
mereka terus diikuti oleh enam pasang mata dari tiga jurusan yang berbeda.
Salah seorang dengan bersenjata cambuk mengawasi tontonan itu dari atas
cabang pohon. Dan betapa berdegup
jantung orang itu bila melihat Si-
ngalodra berjalan ke arah Pandan Arum yang terikat pada tonggak itu.
Tapi kau terlalu cantik Arum. Kau
tak kubiarkan mati asalkan bersedia
menjadi istriku wong manis! berkata
begitu Singalodra mendekat lagi untuk memegang dagu Pandan Arum yang runcing
tapi gadis ini secepatnya memalingkan kepalanya.
Cih, aku tak sudi menjadi
istrimu, penjahat tengik! Lebih baik
mati berkalang tanah.
Hi, hi, ha, ha, ha, ha. Orang
cantik kalau marah semakin cantik.
Eman-eman kalau wong ayu seperti kau
mati muda. Arum. Percayalah, kau akan kujadikan ratu Alas Roban
mendampingiku. Hi, hi, hi, ha, ha, ha.
Mata Singalodra dibalik topeng harimau itu mengawasi Pandan Arum yang dadanya
padat itu turun naik menahan marahnya.
Setan. Kalau kalian berani
mengganggu kami, pasti kalian akan
binasa! Tuhan akan menghukummu.
Heh, heh, heh, tikus-tikus kecil
walaupun tak berdaya masih berani
memberi ancaman"! Bagus, kalau kau
berkepala batu, akan kuberi pelajaran.
Sapit Ireng! Cepat tunjukkan ketajaman pisaumu kepada gadis itu. Sayat kulit
wajahnya biar hilang cantiknya dan
sombongnya. Sapit Ireng segera mencabut dua
belati panjangnya dan melangkah
mendekati Pandan Arum. Tapi belum lagi sempat mengangkat pisau belatinya,
tubuhnya jatuh terpelanting seperti
dihantam petir.
Pendekar Naga Geni 1 Mahesa Wulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Semua terkejut. Sebentar tubuhnya
mengejang-ngejang kemudian diam tak
bergerak. Pada dahi Sapit Ireng
terpancang dalam-dalam sebuah pisau
kecil. Belum habis herannya mereka,
tiba-tiba dari atas pohon melesat satu bayangan bersenjata cambuk terjun ke
tengah arena. Hi, hi, hi, ha, ha, ha. Inilah
yang kutunggu-tunggu. Nah, Mahesa
Wulung serahkan pusaka cambukmu itu
untuk kami tukar dengan paman dan
gadismu itu! Sudah cukup banyak tingkahmu
selama ini, Singalodra. Nah,
sekaranglah kita bertemu muka untuk
membuat satu perhitungan yang pasti.
Singalodra tidak menjawab tapi
langsung menyerang dengan tombaknya
yang bermata tiga itu dan bergerak
luar biasa cepatnya seolah-olah, mata tombaknya berubah dari tiga menjadi
ratusan hingga menimbulkan pusaran
angin dingin. Namun ia terperanjat
bahwa Mahesa Wulung setiap kali dengan mudah dapat menghindarkan serangannya
dengan putaran cambuknya yang dahsyat melebihi kecepatan baling-baling.
Sinar putaran cambuk Mahesa Wulung
kelihatan menyala biru dengan sambaran angin panas.
Beberapa orang yang mencoba
mengeroyok Mahesa Wulung terkena
sabetan cambuk Mahesa Wulung, Kiai
Naga Geni seketika jatuh mati dengan
badan hangus kehitaman. Melihat ini
Singalodra berdesir hatinya. Kini
serangannya lebih terperinci. Selama ini belum pernah ada yang sanggup
melawan ilmu tombaknya
Sekali lagi mereka dibuat
terkejut dengan melesatnya dua
bayangan ke tengah arena. Ki Macan
Kuping tak tinggal diam. Tubuhnya
meloncat menyambut bayangan yang
langsung menyerangnya. Begitu pula
Sima Gereng cepat menghadang bayangan yang satu lagi. Kini terjadilah tiga
lingkaran pertempuran yang berlangsung dengan hebatnya. Masing-masing
mengeluarkan ilmu simpanannya untuk
menghadapi lawannya. Mereka bertempur sampai beberapa jurus.
Sima Gereng yang bersenjata
penggada dengan berujung bola besi
berduri itu mendapat perlawanan hebat dari lawannya, Gangsiran yang
bersenjata pisau belati panjang
melengkung. Lingkaran ketiga adalah
Dadapan dengan ilmu pedangnya Empu
Paku waja melawan Ki Macan Kuping yang bersenjata pedang berukuran luar biasa
besarnya, menyambar-nyambar dengan
suara desingan yang menyayat hati.
Belum habis herannya mereka,
tiba-tiba dari atas pohon melesat satu bayangan bersenjata cambuk terjun ke
tengah arena. Ketika matahari makin tinggi dan
membuat bayang-bayang sepanjang tubuh, Mahesa Wulung bergerak makin cepat
maka sesaat kemudian terasalah
Singalodra agak terdesak dan keringat mengalir dari lubang-lubang kulitnya.
Suatu ketika cambuk Mahesa Wulung
membelit tombak trisula Singalodra.
Keduanya menyalurkan tenaga dalamnya
untuk menarik senjata lawannya, namun Singalodra terpaksa terkejut ketika
gagang tombaknya yang dipegang terasa semakin panas laksana bara api.
Ternyata keampuhan cambuk Naga Geni
mulai merayapi tombak trisulanya.
Dengan satu teriakan nyaring, Mahesa
Wulung menghentakkan cambuknya hingga tombak Singalodra terpental ke udara
dan patah menjadi dua, membuat
pemiliknya pucat pasi dan mengutuk
sejadi-jadinya.
Kemudian sekali lagi cambuk
Mahesa Wulung melayang menyambar
mukanya dan topengnya yang selama ini memberi kekuatan sakti, pecah terkena
ujung cambuk Naga Geni. Diam-diam
Mahesa Wulung mengucap syukur kepada
Tuhan yang telah memberi kekuatan luar biasa itu. Sedang sebaliknya,
Singalodra makin hilang semangatnya
karena topeng itu berarti nyawanya
juga. Mahesa Wulung segera dapat
mengenal wajah itu sekarang. Tidak
lain adalah Ki Singa yang pernah
menghadangnya di tepi hutan.
Nah, Singalodra, kau kini tak
bersenjata lagi. Jangan takut, aku tak mau disebut pengecut. Marilah kita
bermain-main tanpa senjata.
Baru saja Mahesa Wulung selesai
mengikatkan cambuk Naga Geni
kepinggangnya, Singalodra telah
mengambil sikap siaga, dua tangannya
dipasang lurus ke depan dengan
memusatkan pikiran dan kekuatan
dalamnya. Tahu sikap lawannya ini
Mahesa Wulung yakin bahwa lawannya
siap melepaskan aji pemungkasnya.
Tak meleset dugaannya. Dari mulut
Singalodra keluar geram dan auman
harimau yang bernada tinggi
menggetarkan udara sekeliling, bahkan lebih dari pada itu, getaran aji
Senggoro Macan cukup dahsyat. Daun-
daun pohon yang sudah tidak muda lagi rontok dari tangkainya. Kelelawar-
kelelawar dan burung-burung beterbangan ke udara, malahan satu,
dua jatuh ke tanah termakan getaran
itu. Beruntung sekali Mahesa Wulung
telah dilatih oleh Panembahan Tanah
Putih untuk menahan getaran-getaran
yang sekeras geledek, maka dalam
menghadapi Singalodra ia tak berkecil hati biarpun pada gertakan pertama ia
tergeser ke belakang beberapa jangkah.
Dalam pada itu ia teringat tiba-tiba
bahwa ia membawa seruling yang
terselip pada ikat pinggangnya. Maka
sekejap kemudian ia telah melolos
serulingnya dan mulai meniupnya.
Suaranya menggema menggelegar
membelit-belit ke udara dengan nada
yang tinggi. Kedua getaran yang
berasal dari dua sumber itu bertemu
dan mengguntur seperti suara rajanya
petir. Beberapa kali suara itu beradu di udara tapi lama kelamaan getaran
dari aji Singalodra makin terdesak dan punah digulung oleh nada seruling
Mahesa Wulung. Merasa adjinya
terkalahkan, Singalodra melesat ke
depan menyerang lawannya dengan tiba-
tiba. Sayangnya lawannya kali ini
adalah murid kinasih gemblengan
Panembahan Tanah Putih, maka Mahesa
Wulungpun tidak ingin memperpanjang
waktu lagi, segera disongsongnya
Singalodra dengan pukulan mautnya
Lebur Waja. Tubuhnya dimiringkan ke
kiri mengelakkan terkaman Singalodra
sekaligus mengirimkan tusukan jarinya ke dada lawan. Tubuh Singalodra
terpental ke belakang dan jatuh ke
tanah. Pada dadanya terlihat dua buah luka bekas tusukan jari Mahesa Wulung
berwarna merah kehitaman seperti
terbakar. Tubuhnya menggeliat, mukanya membayang warna merah menyala, kemudian
berubah putih lalu menjadi
hijau dan sesaat setelah dari dadanya terdengar suara keruyuk-keruyuk,
mulutnya menyeringai mengeluarkan
darah hitam kental dan matilah
Singalodra seketika.
Bersamaan dengan itu terdengar
pula raungan hebat. Kiranya Gangsiran telah menyelesaikan pertempurannya.
Sima Gereng rebah ke tanah dengan be-
lati Gangsiran tertanam pada dadanya.
Melihat Singalodra murid kinasihnya
roboh, Ki Macan Kuping meloncat
meninggalkan Dadapan unjuk menerkam
Mahesa Wulung dengan sabetan pedang
pusakanya yang luar biasa besarnya.
Agak terkejut Mahesa Wulung mendapat
serangan tiba-tiba ini cepat ia
memutar tubuhnya dan menangkis pedang yang hampir membabat kepalanya itu
dengan seruling yang masih dipegangnya pada tangan kiri. Satu benturan keras
terdengar disusul terpentalnya tubuh
Mahesa Wulung ke atas dan seruling di tangannya pecah berkeping-keping.
Demikian pula pedang Ki Macan Kuping
terpental jatuh, tapi tubuhnya tetap
tegak berdiri hanya bergeser sedikit
ke belakang. Memang hebat Ki Macan
Kuping, hanya dialah sanggup bertahan terhadap pukulan Lebur Waja. Mahesa
Wulung yang terpental itu masih sadar akan dirinya hingga ia tiba kembali ke
atas tanah dengan kaki tegak dan cepat bersiaga ini sangat mengherankan Ki
Macan Kuping. Hmm, memang tangguh anak muda
ini. Biasanya siapa yang kena bentur
tenagaku akan terpental dan hancur
tubuhnya. Pandangan Mahesa Wulung masih
berkunang-kunang pening. Hal ini
terlihat oleh Ki Macan Kuping. Cepat
ia meraba sesuatu pada ikat
pinggangnya lalu dilemparnya ke arah
Mahesa Wulung. Hih! Mampus kau bocah bandel. Di
saat yang tegang itu satu bayangan
berkelebat mendekap melindungi tubuh
Mahesa Wulung. Ahhh! terdengar teriakan tertahan
dari mulut orang itu.
Dimas Mahesa Wulung, hati-
hatilah. Dia memakai jarum beracun.
Kakang Gangsiran! Kakang
Gangsiran! teriak Mahesa Wulung sambil mengguncang tubuh Gangsiran yang telah
lemas. Beberapa jarum berbisa dari
lemparan Ki Macan Kuping telah
bersarang ke dalam tubuhnya, berjalan mengalir mengikuti peredaran darahnya.
Bertambah marah Ki Macan Kuping
melihat Mahesa Wulung masih segar-
bugar, cepat ia memungut pedangnya
yang menggeletak di tanah dan segera
menyerang Mahesa Wulung kembali.
Tetapi tak terduga-duga satu bayangan putih melesat memotong jalannya dan
pedangnya bergetar hebat kemudian
lepas setelah tertimpa sabetan tongkat yang ujungnya bercabang dua.
Macan Kuping! Akulah yang akan
menghadapimu. Tua sama tua.
Heh, heh. Kau Bayu Sekti telah
sekian lama mendekam di dalam
kandangmu, kini masih ingin bermain-
main denganku" seru Ki Macan Kuping
membuka serangannya. Keduanya
tenggelam dalam pusaran angin yang
menderu akibat gerakan mereka saling
terkam menerkam. Kalau gerak Ki Macan Kuping seperti harimau, tubuh
Panembahan Tanah Putih yang ringan
seperti kapas itu menyerangnya,
mematuk-matuk seperti burung garuda.
Bersamaan dengan munculnya
Panembahan Tanah Putih, pasukan
Asemarang yang bergerak dengan gelar
tapal kuda itu mengepung sarang
gerombolan Alas Roban. Kedua ujungnya masing-masing dipimpin oleh Kerpu dan
Tambakan, sedang bagian tengah dipimpin oleh Panembahan Tanah Putih
yang kini telah terlibat pertempuran
dengan Ki Macan Kuping.
Sementara itu pula Dadapan telah
melepaskan tali-tali yang mengikat
tubuh Ki Sorengrana dan Pandan Arum
lalu keduanya dibawa ke tempat yang
aman. Gemerincing senjata beradu
menggema di dalam hutan Alas Roban.
Melihat beberapa tokoh-tokoh
andalannya mati, laskar gerombolan
hitam Alas Roban kehilangan
semangatnya. Mahesa Wulung setelah melihat
Gangsiran jatuh terkulai cepat-cepat
membawanya, ke bawah sebuah pohon dan menyandarkannya di situ. Tubuhnya
melesat kembali ke tengah arena
pertempuran itu dengan memutar
cambuknya. Meskipun beberapa orang
datang menyerangnya bersama-sama,
namun dengan mudahnya dapat merobohkan mati mereka satu demi satu. Benar-benar
ia mengamuk setelah tahu, kalau Gangsiran terluka. Begitulah beberapa saat
kemudian laskar gerombolan Alas Roban dapat ditumpas, beberapa orang
yang menyerah ditawan oleh laskar
Asemarang. Tahu bahwa ia tak mungkin
memenangkan pertempuran itu, Ki Macan Kuping cepat melesat ke belakang untuk
kabur. Tapi sebelum itu Panembahan
Tanah Putih sempat mengirimkan pukulan tongkatnya ke dada kiri Macan Kuping
yang seketika terlentang jatuh dengan mulutnya mengeluarkan darah merah.
Memang Ki Macan Kuping punya kekuatan luar biasa. Biar tenaganya telah
hilang separo, tapi ia masih sempat
Pendekar Naga Geni 1 Mahesa Wulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kabur dengan satu loncatan panjang ke dalam semak-semak, tubuhnya lenyap
dalam sekejap mata.
Awas kalian! Tunggulah beberapa
waktu lagi aku datang untuk menebus
kekalahanku ini! teriak ancaman Ki
Macan Kuping menggema. Melihat
musuhnya lari, Panembahan Tanah Putih cuma tersenyum. Kemudian ia berjalan
kearah Ki Sorengrana dan Pandan Arum
yang duduk dengan lemas. Dengan usapan tangannya, ia membebaskan pengaruh
totokan jalan darah pada tubuh Ki
Sorengrana dan Pandan Arum.
Sang Panembahan, cepatlah. Itu di
sana kakang Gangsiran terluka! seru
Dadapan yang datang dengan tergopoh-
gopoh. Merekapun berlompatan ke sana
mengikuti Dadapan. Di balik sebuah
semak terlihatlah pemandangan yang
mengharukan. Mahesa Wulung duduk dan
pada pangkuannya terbaring tubuh Gangsiran yang pucat pasi. Orang tua itu
dengan teliti memeriksa dan mencoba
mengobati tubuh Gangsiran yang
terluka, tapi matanya tampak sayu dan ia menggelengkan kepalanya.
Terlambat sudah. Racun ini
terlalu keras kerjanya... kata orang
tua itu hingga membuat orang-orang di situ terkejut, lebih-lebih Mahesa
Wulung sendiri yang merasa telah
diselamatkan nyawanya oleh Gangsiran.
Guru biarlah ....! Aku telah
menunaikan tugasku...
dimas Mahesa Wulung telah selamat ... apakah guru mengampuni ....
semua kesalahan-
kesalahanku. Anakku Gangsiran. Kau tak lagi
mempunyai kesalahan-kesalahan. Sejak
lama aku telah mengampunimu....
Panembahan Tanah Putih berkata dengan bercucuran air matanya. Demikian pula
Mahesa Wulung, Dadapan, Sorengrana,
Pandan Arum dan lainnya.
Kalau demikian ... aku merasa
lapang ... Guru, aku pergi sekarang
selamat tinggal dimas Mahesa Wulung
... dan semuanya ... aku pamit ... aku kembali kepadaNya ... hhhh!
Gangsiran memejamkan mata,
senyumnya tersungging pada bibirnya
seolah-olah ia merasa berbahagia
sekali. Ya, ia kini berbahagia jiwanya telah kembali ke alam baka. Gangsiran
sudah tidak ada lagi di dunia. Pandan Arum yang berperasaan halus itu tak
tahan melihat pemandangan yang
mengharukan itu. Ia merebahkan kepala di dada Mahesa Wulung yang bidang itu.
Badannya lemah, cepat Mahesa Wulung
yang masih terharu dan bingung itu
menangkap tubuh Pandan Arum sebelum ia terkulai ke tanah. Dan ternyatalah
bahwa Pandan Arum pingsan.
Pandan! Pandan Arum! Kembali
Panembahan Tanah Putih sibuk, ia
memijit-mijit kening gadis itu dan
dikeluarkan sebuah cupu dari saku
jubah putihnya. Serbuk putih dituang
sedikit ke atas tangannya dan
digosokkan ke dahi Pandan Arum, lalu
sedikit lagi diciumkan ke hidung gadis itu dengan sapu tangan yang putih
bersih. Tak lama kemudian mata Pandan Arum tampak bergerak-gerak. Ia telah mulai
sadar. Atas anjuran orang tua
itu dipapahlah Pandan Arum ke sebuah
rumah di tempat itu untuk beristirahat seperlunya.
Begitulah mereka istirahat
sejenak di rumah-rumah perkampungan
gerombolan hitam Alas Roban. Berkat
penyelidikan yang teliti dapatlah
diketemukan beberapa bukti-bukti yang menunjukkan adanya hubungan antara
gerombolan Alas Roban dengan bajak
laut Pulau Ireng dari Karimun Jawa,
berupa surat-surat, mata uang dan
beberapa perhiasan.
Pada suatu sore yang cerah,
tampaklah iring-iringan laskar
berjalan menyusuri pantai utara menuju ke timur. Dari jauh masih membayang
hutan Alas Roban dengan deretan pohon-pohon karet tahun dan sayup-sayup
terdengar hempasan gelombang laut uta-ra. Ketika mereka memasuki wilayah
Asemarang, dari arah timur terlihatlah debu berkepul ke udara dan satu
bayangan orang berkuda mendekati
mereka. Ia mengenakan seragam prajurit Demak dengan baju lengan panjang
putih. Dengan cekatan ia menghentikan kudanya tepat di muka barisan laskar
Asemarang. Ahh, ini kakang Kerpu dan
Tambakan, selamat sore kakang! sapa
orang itu dengan mengangguk hormat
kepada dua orang berkuda yang
terdepan. E, e, e, ini adi Jagayuda.
Selamat sore. Kau kelihatan tergopoh-
gopoh adi. Adakah sesuatu yang pen-
ting" Betul kakang, aku diutus
menyampaikan surat ini oleh Panglima
Faletehan untuk Kakang Mahesa Wulung.
Nah itulah dia yang berkuda di
tengah barisan ini. Sampaikanlah
secepatnya surat itu kepadanya.
Jagayuda segera memacu kudanya ke
tengah barisan.
Kakang Mahesa Wulung, aku diutus
menyampaikan surat ini untukmu.
Terimalah. Jagayuda memberikan gulungan
kertas yang berciri stempel kerajaan
Demak kepada Mahesa Wulung.
Terima kasih adi. Mahesa Wulung
segera membuka surat itu dan
membacanya. Tampak ia menganggukkan
kepala, pertanda bahwa ia mengerti
akan isinya. Sang Panembahan, paman Sorengrana
dan adi Pandan Arum, maafkanlah bahwa saya terpaksa tidak dapat menyertai
perjalanan yang menyenangkan ini
karena saya harus mendahului pulang ke Demak. Ada tugas baru yang amat
penting. Tak apalah angger. Kami sudah
tahu akan tugas yang terpikul oleh
angger Mahesa Wulung. Seorang perwira lebih mendahulukan kepentingan negara dari
pada kepentingan diri pribadi.
Bukankah begitu angger" Nah, selamat
jalan angger. Doa restu kami
menyertaimu. Semoga Tuhan memberkahi
kita semua. Panembahan Tanah Putih
memberikan salamnya kepada Mahesa
Wulung dan keduanya berjabat tangan
dengan eratnya. Setelah itu menyusul
pamannya Ki Sorengrana dan terakhir ia menjabat tangan Pandan Arum. Terasa
getaran aneh mengalir lewat tangannya.
Keduanya seperti terkunci mulutnya tak mampu berkata panjang lebar. Hanya
degupan jantungnya yang berkata-kata : Selamat jalan, kakang!
Selamat tinggal adi Pandan Arum.
Kita akan bertemu lagi! kata Mahesa
Wulung sambil menyentakkan tali kekang kudanya keluar dari barisan.
Selamat jalan adi Mahesa Wulung!
teriak Dadapan dari ekor barisan
sambil melambai-lambaikan pedangnya.
Selamat tinggal semuanya! teriak
Mahesa Wulung dengan memacu kudanya
bersama Jogoyudo meninggalkan barisan itu menuju ke arah timur. Sebentar
saja keduanya sudah merupakan dua
titik kecil dengan debu berkepul-kepul yang makin lama makin lenyap. Mata
Pandan Arum mengikutinya sampai dua
titik itu lenyap dari pandangan
matanya. Tak terasa pipinya telah
basah oleh air mata yang mengalir dari sudut matanya yang indah itu.
Ceritera ini berakhir dengan
tumpasnya gerombolan hitam Alas Roban.
Tapi apakah tugas baru bagi Mahesa
Wulung dan bagaimana dengan Ki Macan
Kuping yang lari itu"
Nah tunggulah ceritera berikutnya
"RAHASIA BARONG MAKARA" yang tak kalah hebatnya. Pembaca akan menjumpai lagi
Mahesa Wulung yang perkasa itu.
T A M A T Scan/Convert/E-Book: Abu Keisel
Tukang Edit: Fujidenkikagawa
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Panji Sakti 12 Dewi Sri Tanjung 9 Terkurung Di Perut Gunung Pendekar Kembar 10
orang tua telah bersembunyi dan
mengungsi di sebuah hutan di selatan
Karang Asem sehingga mereka selamat
tak kurang satu apa. Tampak pula sisa-sisa anak buah Ki Sorengrana yang
sibuk merawat orang-orang yang
terluka. Sayang sekali bahwa
kedatangan kami terlambat, kalau tidak tentu kami dapat mengusir, setidak-
tidaknya mencegah agar mereka tidak
dapat membuat korban lebih banyak.
Demikianlah atas keterangan Nyi
Sorengrana kami segera menempatkan
sebagian penjaga di Karang Asem sedang kami berdua berusaha mencari angger
Mahesa Wulung untuk menyampaikan
kejadian tersebut. Mula-mula kami
menuju ke padepokan tanah putih. Di
sana kami bertemu dengan Panembahan
Tanah Putih yang menceriterakan bahwa angger Mahesa Wulung sedang
menyelidiki pusaka Naga Geni di Gunung Brintik. Maka secepatnyalah kami ke
mari mencari angger. Pesan sang
Panembahan, agar angger Mahesa Wulung secepatnya berusaha membebaskan Ki
Sorengrana dan Pandan Arum. Kerpu
mengakhiri ceriteranya.
Hemm, sungguh-sungguh mereka
gerombolan ganas dan licik pula.
Baiklah kalau demikian kami berdua
dengan kakang Gangsiran akan diam-diam menyusup ke Alas Roban dan membebaskan
paman Sorengrana serta adi Pandan
Arum, kata Mahesa Wulung.
Angger Mahesa Wulung, kita atur
saja mulai sekarang untuk menyerang
Alas Rpban. Kami secepatnya akan
kembali ke Asemarang serta menyiapkan penyerangan itu. Dengan gabungan
pasukan pengawal bandar Asemarang
serta sisa-sisa anak buah Ki Soreng-
rana kami akan berkuda menyusuri
pantai utara dan kira-kira seminggu
kami akan tiba di sana. Nah, pada hari itulah kami akan melancarkan serangan
yang mendadak! Baik bapak. Saya setuju dengan
rencana bapak berdua itu, lalu
kapankah bapak Kerpu dan Tambakan
kembali ke Asemarang"
Angger Mahesa Wulung, sebaiknya
kami berangkat pulang sekarang. Lebih cepat kami menyiapkan diri lebih baik.
Begitulah setelah berjabat tangan de-
ngan Mahesa Wulung dan Gangsiran,
mereka cepat mengambil kudanya yang
tertambat di sebuah semak-semak dan
kemudian sebentar saja keduanya telah berpacu ke utara.
Demikian pula Mahesa Wulung dan
Gangsiran segera mengambil kuda-
kudanya tapi mereka berdua tidak
memacu kudanya melainkan cuma berjalan biasa saja, karena jarak yang mereka
tempuh masih cukup jauh, sedang mereka harus menjaga kuda-kudanya agar tidak
terlalu lelah. Tambahan lagi jalan
yang dilalui ke barat itu tidak rata
tapi berbukit-bukit sehingga mereka
harus berhati-hati.
4 SINAR perak sang rembulan serta
bintang-bintang yang bertebaran di
angkasa telah berjasa membantu mereka mencari jalan yang baik. Bunyi dering
jengkerik terdengar di sana sini dari sela-sela rerumputan dan batu-batu.
Sesekali lewat di depan mereka
beberapa ekor kunang-kunang yang
berkedip-kedip cahayanya. Sekarang
keduanya mufai menuruni bukit-bukit,
membelokkan kudanya ke arah utara,
sehingga tibalah mereka di tanah datar yang berhutan-hutan kecil. Mereka
berdua kini melarikan kudanya dengan
kecepatan yang sedang, terus menuju ke utara menyusuri sebuah sungai yang
mengalir di sebelah barat daerah
Asemarang. Tak lama kemudian tibalah
mereka di daerah Kali Banteng. Entah
mengapa tempat itu disebut demikian,
mungkin di situ dahulu sering terlihat banteng.
Kakang Gangsiran, di depan kita
dibalik gerombol pohon-pohon itu
terletak sebuah desa. Apakah kakang
berminat untuk singgah sebentar"
bertanya Mahesa Wulung.
Terima kasih dimas. Aku kira,
kita tidak mengambil jalan yang
melewati desa itu, melainkan kita cari jalan melingkar di selatan desa itu,
jawab Gangsiran pula. Mahesa Wulung
dapat membenarkan pendapat Gangsiran
itu, sebab dengan mengambil jalan itu mereka menjauhi kemungkinan bertemu
dengan orang-orang lain, tanpa
menimbulkan korban yang banyak. Bahkan jika mungkin ia akan berusaha membebaskan
pamannya Ki Sorengrana serta Pandan Arum tanpa melibatkan pasukan
Asemarang dalam pertempuran di Alas
Roban. Malam itu meskipun bulan bersinar
dengan terangnya, namun cahayanya tak dapat menembus kepekatan rimba Alas
Roban, yang hampir sebagian besar
dipenuhi oleh pohon-pohon karet tahun yang tumbuh dengan liarnya. Cabang-
cabangnya serta daunnya saling
bertautan seolah-olah memang sengaja
menghalang-halangi sinar rembulan
memasuki daerahnya, bagaikan tangan-
tangan hantu yang menjaga sarangnya.
Tapi dikepekatan rimba yang
lembab itu jauh di sana, diperut rimba itu terdapatlah rumah-rumah
kayu beberapa buah. Di muka rumah yang
terbesar di antara rumah-rumah itu
terdapat sebuah tanah luas sebagai
halamannya dan terpasanglah di situ
sebuah api unggun dikelilingi oleh
orang-orang bersenjata. Sebagian ada
yang duduk, sebagian lagi berdiri.
Sedang di pojok timur halaman itu
terpasang seperangkat gamelan lengkap dengan penabuh, pesinden serta
penarinya. Tetapi kesemuanya diam
membisu seperti tengah menunggu
sesuatu yang penting dan semua
pandangan mata mereka tertuju ke pintu rumah besar. Tak lama kemudian pintu
rumah besar itupun terbukalah serta
muncul dari dalam rumah, dua sosok
tubuh yang kekar.
Seorang mengenakan kulit harimau
tutul sebagai bajunya dan mukanya
tersembunyi dibalik topeng harimau
yang seram. Tangannya menggenggam se-
buah tombak trisula.
Seorang lagi berbaju hitam dengan
ikat kepala merah berbunga-bunga hitam dan pada pinggangnya tergantung sebuah
pedang panjang. Keduanya berjalan ke tengah lingkaran orang-orang
bersenjata itu, serta berhentilah
mereka, bila keduanya telah tiba di
sana. Di antara orang-orang yang
mengelilingi api unggun itu terdengar bisik membisik sesamanya. Mereka telah
menunggu-nunggu keduanya sejak tadi.
Lihatlah sebentar lagi, Ki Macan
Kuping serta Singalodra pasti akan
segera membuka pesta kemenangan kita.
Dan kita akan mabuk-mabuk minum tuak
sambil menari-nari bersama gadis-gadis itu.
Nah itu-itu lagi yang kau bicarakan, seolah-olah hanya menari
dan mabuk-mabuk yang kau ingat dalam
benakmu. Lho apa salahnya dengan diriku,
bukankah itu hal yang wajar" Menari,
menyanyi serta mabuk-mabuk akan
membuat kita awet muda.
Ya, tapi dengan begitu aku
teringat penyerangan kita ke Karang
Asem, beberapa hari yang lalu, kata
seorang yang masih muda.
Mengapa dengan Karang Asem" tanya
orang yang berkumis tebal teman si
orang muda itu. Kan mereka sudah kita hancurkan.
Dari sebab itulah aku selalu
teringat! Orang-orang kampung itu yang kita binasakan berkaparan di mana-mana,
merintih kesakitan. Dengan
menari-nari itu, seolah-olah kita
menari di atas mayat bangkai mereka.
Ah, sudahlah Dugel. Lupakan saja
hal itu. Aku maklum kau masih anggota baru, belum terbiasa melihat orang
mati. Tetapi jangan kuatir, tunggulah.
Sebentar lagi kau akan biasa
melihatnya. Bahkan kau akan menyesal
bila tidak ikut menyembelih orang
dalam setiap penyerangan gerombolan
kita ke desa-desa.
Hiiii, menyembelih orano" si
orang muda yang bernama Dugel kelihatan bergetar, bulu tengkuknya
berdiri mendengar kata kata temannya
itu. Sudahlah Dugel, kita selesai
ngobrol. Nih, minumlah tuak biar lebih hangat badanmu! kata sikumis tebal
sambil menyorongkan tangannya yang
berisi cangkir tembikar penuh tuak
yang melimpah kepada si Dugel.
Sejurus kemudian mereka
menghentikan bisik-bisiknya, bila Ki
Macan Kuping mengangkat kedua belah
tangannya. Anak-anakku semua, aku berterima
kasih atas keberanianmu yang telah kau perlihatkan dalam penyerangan, ke
Karang Asem. Sekarang pesta ini adalah untuk merayakan kemenangan kita itu.
Nah, malam ini bersuka-sukalah,
menyanyi, menari bersama gadis-gadis
itu, minum tuak sepuas-puasmu, atau
apa saja terserahlah! Besok kita masih punya pekerjaan yang besar!
Begitu selesai Ki Macan Kuping
bicara, serempak gamelan ditabuh orang dan berdirilah para tledek itu serta
memulai tarian-tariannya yang
menggairahkan diseling oleh suara
pesinden yang tidak kalah gairahnya.
Sebentar saja suasana menjadi hangat, dan bertambah hangat bila beberapa
orang telah mulai pada mabuk tuak.
Beberapa orang berdiri dan sambil
sempoyongan, mereka menandak-nandak
terjun ke tengah arena tari itu.
Sambil menari, sebentar-sebentar
diisi mulutnya dengan minuman tuak
hingga berceceran ke tanah. Seorang
lagi lebih lucu, kelihatan menari
sambil mulutnya menggigit setusuk
satai daging yang masih berkepul-kepul kepanasan, melintang pada kedua sudut
mulutnya. Heee, lihat itu Bugelan sedang
beraksi! teriak salah seorang dari
penonton. Mereka tertawa terbahak-
bahak melihat kelucuan Bugelan.
Sementara itu seorang lagi yang menari dengan tangan serabutan laksana
geraknya sapit seekor kalajengking
bergeser-geser mendekati Bugelan.
Wah, itu Sapit Ireng beraksi
pula! seru mereka. Tiba-tiba dengan
gerak yang cepat hampir-hampir sukar
ditangkap mata, Sapit Ireng
menggerakkan kepalanya kemuka kepala
Bugelan dan sekejap itu terlihatlah
mulutnya mencengkam dua iris daging
satai yang terlolos dari tusukan satai di mulut Bugelan.
Hebat kau Sapit Ireng! teriak
seorang penonton. Ia dapat mengambil
tusukan daging satai dari mulut
Bugelan. Tidak hanya penonton saja
yang ketawa, juga Ki Macan Kuping
serta Singalodra ikut pula tertawa
menyaksikan ketangkasan Sapit Ireng.
Ayo, konco-konco, puaskan
gembiramu! Ini adalah pesta untukmu!
teriak Singalodra keras-keras.
Serentak mendengar kata Singalodra
pemimpin mereka itu, beberapa orang
yang mula-mula malu-malu segera
berdiri pula dan terjun ke tengah
arena ikut menari kesenangan.
Irama gamelanpun dipukul semakin
keras, dengan nada yang gila-gilaan.
Bila sudah demikian, gema iramanya
mengalun ke segenap penjuru hutan
sampai ke desa-desa yang terletak di
sekitar Alas Roban. Bahkan, karena
letak Alas Roban itu di tepi pantai
Utara Jawa suara gamelan gila itu
sekali-sekali terdengar sampai ke
Pendekar Naga Geni 1 Mahesa Wulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pantai, membuat siapa saja yang mendengar menjadi meremang bulu tengkuknya,
karena merekapun sadar bahwa suara
gamelan itu berasal dari perut hutan
Alas Roban satu tanda pula kalau
gerombolan hitam Singalodra dari Alas Roban sedang berpesta pora menikmati
kemenangannya. Demikianlah, pesta pora itu
mencapai larut malam dan sekonyong-
konyong saja, kemeriahan pesta agak
terganggu, bahkan beberapa orang cepat menyiapkan senjatanya, manakala derap
kaki kuda terdengar sayup-sayup yang
makin lama terdengar bertambah dekat.
Seorang penjaga pintu gerbang masuk
sarang gerombolan itu yang berdiri di sebelah sana tampak melambai-lambaikan
pedangnya yang terhunus. Serentak
mereka pada menarik napas lega, karena itu adalah tanda aman dan yang datang
tentulah kawan sendiri.
Benarlah isyarat lambaian pedang
itu, sebab tak lama kemudian muncul
seorang berkuda mendekati
mereka dengan tubuhnya yang mandi peluh.
Beberapa goresan luka-luka kecil
terlihat pula pada tubuhnya.
Hee, bukankah itu kakang Sima
Gereng! teriak salah seorang dari
mereka yang serentak berdiri menunggu orang berkuda.
Ya, betul itu Sima Gereng! teriak
yang lain pula. Tapi mengapa ia pulang sendiri" Di mana empat orang kawan
kita yang lain! Sebentar saja mereka
hiruk-pikuk membicarakan Sima Gereng
yang pulang sendirian saja, sementara gamelanpun menjadi reda, semakin reda dan
akhirnya berhenti sama sekali yang diikuti para penarinya segera
menghentikan tariannya pula. Bahkan
beberapa orang penari ikut pula
menggerombol mengelilingi Sima Gereng yang kini telah turun dari kudanya.
Ki Macan Kuping dan Singalodra
tampak pula berjalan mendekati Sima
Gereng. Mengapa engkau pulang sendirian
Sima Gereng, di mana keempat anak
buahmu itu" tanya Singalodra dengan
pandangan matanya yang tajam mengawasi Sima Gereng.
Kami telah menjalankan tugas ki
lurah, tapi ketiwasan! jawab Sima
Gereng sambil menundukkan kepala.
Sedang napasnya turun naik.
Ketiwasan bagaimana" Ayo,
ceriterakan tugasmu. Jangan bicara
sepotong-sepotong! seru Singalodra
dengan marah. Ampun ki lurah, kami berlima
telah berhasil menghadang Mahesa
Wulung yang telah membawa pusaka Naga Geni. Wujud pusaka itu ialah sebatang
cambuk yang menyala kebiruan. Kemudian terjadilah pertempuran dan
kami berusaha merebut pusaka itu, hanya
sayangnya ternyata Mahesa Wulung tidak sendirian tapi membawa teman, seorang
yang pandai melempar pisau.
Hmmm, itu pasti si Gangsiran,
penjudi edan! potong Singalodra dengan geramnya. Teruskan bicaramu goblok,
ayo! Dengan gugup Sima
Gereng meneruskan pula ceriteranya.
Setelah kami bertempur, tiba-tiba
Mahesa Wulung menggunakan pusaka itu
untuk melawan kami dan akibatnya luar biasa. Dua orang anak buah saya yang
terkena cambuknya, seketika jatuh mati dengan tubuh hangus kemerahan seperti
daging satai yang dipanggang api.
Mendengar keampuhan pusaka itu,
orang-orang terperanjat sekali,
termasuk Singalodra serta Ki Macan
Kuping sendiri yang sudah tergolong
tingkatan atas dalam ilmu kesaktian.
Dan juga dengan Mahesa Wultung
sendiri, ternyata orang yang hebat.
Angin pukulannya saja bisa
menumbangkan saya. Untunglah saya
cukup tangkas ki lurah, hingga saya
dapat mengelak menghindarkan serangannya. Plak! plak! plak! tiba-tiba
dengan gesitnya Singalodra menampar
Sima Gereng yang sekaligus jatuh
tertelentang dengan sudut mulutnya
berdarah. Sima Gereng tampak meringis-ringis sambil meraba bibirnya.
Sebentar terdengar keruyuk-keruyuk
dalam mulutnya dan cepat-cepat Sima
Gereng meludah. Tampak darah merah
keluar diikuti tiga buah benda putih
meloncat keluar dari mulutnya, akibat tamparan Singalodra.
Ampun! Aduh, aduh, gigi saya
copot, teriak Sima Gereng kesakitan.
Itulah hukuman bagimu goblog! Kau
berani memuji-muji musuhmu di depanku he! Mengapa kau tidak ikut mampus
bersama keempat anak buahmu sekali,
teriak Singalodra kemarahan sambil
melototkan matanya yang bengis kejam
itu. Ampun Ki Lurah, saya berkata
sebenarnya. Sayapun sudah berjanji
demi setan-setan penjaga Alas Roban
ini, bahwa saya suatu ketika akan
membalas dendam kepada Mahesa Wulung, si keparat itu.
Hem, bagus, bagus, aku akan
pegang sumpahmu itu. Meskipun kau
gagal, saya akan masih mengampunimu!
Dan lagi kita telah berhasil menangkap paman Mahesa Wulung, Ki Sorengrana
serta muridnya sekaligus yang bernama Pandan Arum. Dengan mereka berdua,
kita pancing Mahesa Wulung masuk ke
sarang kita ini. Kita akan tukarkan
kedua orang itu dengan pusaka Naga
Geni. Setelah itu baru kita bereskan
mereka! Hua, ha, ha, ha, bagaimana anak-
anak"! Seru Singalodra.
Akur! Setuju, ki lurah! teriak
orang-orang serempak, menyetujui
pendapat Singalodra.
Nah, kalau begitu sekarang ayo,
kalian kembali ke tempatnya masing-
masing. Kita teruskan pesta pora ini!
seru Ki Macan Kuping. Kini gamelanpun ditabuh lagi dan kembali
mereka menari-nari, mabuk-mabuk tuak, serta
menyanyi-nyanyi dengan bebasnya tanpa patokan-patokan seni yang ada, tanpa
aturan tata tertib sehingga kadang-
kadang diantaranya timbul pukul
memukul dengan ternannya saking
mabuknya dengan minuman tuak. Jika
sudah begitu teman-teman yang lain
cuma tertawa menyaksikan mereka,
sedang penari-penari malahan tambah
menari dengan gairahnya. Baginya hal-
hal itu, berkelahi, mabuk-mabuk, sudah biasa terjadi di kalangan gerombolan
hitam Alas Roban sehingga mereka tak
usah kuatir. Begitulah suasana pesta
gerombolan hitam Alas Roban terus
berlangsung sampai langit di sebelah
Timur disaput oleh warna-warna merah
sang matahari. Beberapa ayam jantan
mulai berkokoh bersahut-sahutan,
suaranya menggema di perkampungan itu yang tersembunyi letaknya di perut
rimba Alas Roban.
Debu serta kerikil-kerikil
berhamburan oleh kaki-kaki kuda yang
dipacu secepat angin menyusuri jalan
sepanjang pantai Utara Jawa.
Kakang Gangsiran, kita telah
melewati Kali Bodri.
Tapi sayang adi Mahesa Wulung,
kita tidak sempat singgah di perguruan Kyai Kendil Wesi di Kaliwungu. Kalau
singgah, tentu kita mendapat petunjuk-petunjuk yang perlu.
Benar kakang, tapi tak usah kita
cemas. Dengan berjalan terus menyusur pantai ke barat, pasti kita akan
sampai ke Alas Roban. Aku masih ingat jalan-jalannya ke sana, kata Mahesa
Wulung. Memang waktu kita amat sempit dalam tugas kita ini. Lain kali saja
kita usahakan singgah ke sana. Berapa lama keduanya telah berkuda tak lagi
terasa, disebabkan perasaan mereka
yang telah disibuki oleh persoalan-
persoalan yang rumit. Mahesa Wulung
ingin cepat sampai untuk membebaskan
pamannya serta Pandan Arum. Sedang
Gangsiran sibuk pula memikirkan cara-
cara menerobos penjagaan gerombolan
Alas Roban. Sekarang kita mulai memasuki desa
Weleri adi Mahesa Wulung, ujar
Gangsiran. Lihatlah itu di sana! Pintu gerbang masuk ke desa telah dijaga
oleh orang-orang bersenjata.
Ayolah kita cepat-cepat ke sana
kakang. Setiap keterangan pasti
berguna bagi kita, seru Mahesa Wulung sambil mempercepat lari kudanya ke
arah desa itu. Gangsiran tak pula
ketinggalan cepat-cepat ia mengejar
Mahesa Wulung, sehingga tak lama kemudian keduanya telah sampai ke pintu
gerbang masuk desa Weleri. Seorang di antara penjaga-penjaga itu, ketika
melihat dua orang asing mendekati
pintu gerbang, cepat-cepat mendapatkan Mahesa Wulung serta Gangsiran.
Badan orang ini amat tegap, kumis
dan jenggot yang lebat menumbuhi
mukanya yang bulat, menambah
keangkerannya. Maaf, kisanak berdua. Daerah ini
tertutup untuk perjalanan ke barat
sebab gerombolan Alas Roban sedang
merajalela di sana. Reruntuhan rumah-
rumah di pojok itu, adalah hasil
kebiadapan mereka yang telah merampok desa ini dengan kejamnya. Rumah-rumah
mereka bakar, sementara beberapa orang yang mencoba melawannya telah
disembelih mati! kata orang itu sambil mengawasi Mahesa Wulung dan Gangsiran
setengah curiga mulai dari kepala
sampai ke ujung kaki.
Kalau kisanak berdua boleh aku
peringatkan dan masih cinta akan
hidup, sebaiknya kisanak kembali saja ke timur.
Mengapa harus kembali ke timur!
kata Mahesa Wulung tajam. Malah kalau kisanak ingin tahu pula, kami berdua
akan datang ke Alas Roban untuk mem-
bebaskan orang-orang yang tertawan
oleh gerombolan Alas Roban.
Ha, ha, ha, membebaskan tawanan-
tawanan dari tangan Singalodra" Omong kosong! Bualanmu tidak laku di sini
kisanak. Tahukah kisanak, baru-baru
ini sepasukan desa Karang Asem yang
dipimpin oleh Ki Sorengrana, telah
binasa dilabrak oleh gerombolan
Singalodra. Bahkan Sorengrana sendiri kena tertawan oleh mereka, seru orang itu
dengan nada setengah mengejek.
Apalagi kisanak cuma berdua saja!
Mahesa Wulung meloncat turun dari
atas kudanya lalu mendekati orang yang berkata penuh kesombongan itu.
Kisanak, bagi kami berdua tidak
ada satu halanganpun yang kami
takutkan, karena kami hanya percaya
bahwa Tuhan Yang Maha Kuasa akan
memberikan bantuanNya menyelesaikan
tugas ini. Tidak! Kalau Dadapan bilang
tidak, maka tak seorangpun boleh
melanggar kata-katanya. Kata-katanya
adalah juga hukumnya. Nah, sebaiknya
kalian berdua tidak sampai membuat
jengkel kami. Kalau kisanak memaksa,
terpaksa harus berhadapan dengan saya, si Dadapan murid Perguruan Empu Paku
Waja, kata Dadapan sambil menepuk-
nepuk dadanya. Mendengar nama Perguruan Empu
Paku Waja, Mahesa Wulung serta
Gangsiran yang masih duduk di atas
kuda ikut terkejut. Mereka pernah
mendengar keampuhan Empu Paku Waja
yang terkenal itu.
Kami datang ke sini tidak untuk
mencari perselisihan, kisanak, kata
Mahesa Wulung pelan dengan maksud
untuk meredakan suasana yang telah
panas. Tapi Dadapan cepat-cepat
membalasnya. Ha, itu pendapat anak yang manis.
Kalau begitu segeralah berlalu dari
sini, supaya kalian masih bisa
menikmati sinar matahari.
Terima kasih, kami berdua akan
tetap memasuki Alas Roban!
Gila! Berani memaksa Dadapan
bertindak" Nah, kau akan merasakan
sedikit pelajaran dari kekurang
ajaranmu! Mari kita bermain-main
Pendekar Naga Geni 1 Mahesa Wulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebentar untuk memanaskan badan
Dadapan mulai melancarkan
serangannya dengan pedang terhunus.
Sambarannya menimbulkan suara
berdesing dan angin yang dingin
menderu-deru. Mula-mula Mahesa Wulung tak ingin
melayani sikap Dadapan yang sombong
itu. Tapi bila ia telah diserang
dengan pedang terhunus maka tak ada
lagi cara yang baik buat memberi
pelajaran kepada Dadapan selain dengan menyambut serangannya.
Tusukan pertama Dadapan ke arah
lambung dapat dihindarkan oleh Mahesa Wulung dengan memiringkan tubuhnya ke kiri
sambil tangan kanannya diketukkan ke tangan Dadapan yang memegang pedang.
Aaaakh. Dadapan berteriak
setengah tertahan dengan mulutnya yang menyeringai-nyeringai menahan sakit.
Merasakan serangannya gagal, Dadapan
menjadi penasaran.
Segera ia mengeluarkan permainan pedangnya yang hebat. Ujung pedangnya berkelebatan
dengan sinar yang menyilaukan mata
merupakan satu lingkaran yang
mengurung Mahesa Wulung. Diam-diam
Mahesa Wulung memuji ketinggian ilmu
pedang Dadapan, hanya sayang
pemiliknya rupa-rupanya terlalu
sombong memakainya. Pedang di
tangannya, gerakannya kini berganti.
Selain mematuk-matuk ke atas dan ke
bawah, juga membabat dari samping kiri dan kanan.
Mendapat serangan pedang yang
hebat ini, Mahesa Wulung mengerahkan tenaga dalamnya berlambaran ilmunya
Bayu Rasa dan tiba-tiba tubuhnya
melenting ke atas berjungkir balik di udara, kaki ke atas dan kedua
tangannya ke bawah, menerkam Dadapan
bagaikan gerak rajawali menyambar
mangsanya ke bawah. Sekali ini, Mahesa Wulung tidak menggunakan pukulan Lebur
Waja karena ia hanya menggunakannya
bila melawan gerombolan hitam Alas
Roban serta orang-orang jahat lainnya.
Sedang lawannya sekarang. Si Dadapan
ini, bukanlah orang yang jahat, tapi
orang yang sombong karena merasa
dirinya paling berkuasa menjaga
keamanan di tempat itu sehingga orang-orang harus tunduk kepadanya. Dadapan
seketika terkejut melihat gerak Mahesa Wulung, cepat ia bermaksud
menghindarkan terkaman lawan tapi
terlambat! Tahu-tahu tangannya kena
ditangkap oleh Mahesa Wulung sehingga terasa pedangnya yang digenggam kini
merasa bergetar hebat. Tangan Mahesa
Wulung yang mencekam pergelangan
tangan kanannya itu terasa seperti dua buah dinding baja yang menghimpit,
makin lama mengunci semakin keras dan tak lama kemudian tangannya terasa
kesemutan, pandangannya berkunang-
kunang. Dadapan jatuh terduduk dan
pedangnya terlepas dari genggamannya.
Maaf Dadapan aku tak bermaksud
menyakitimu. Itu tadi aku lakukan
karena terpaksa untuk menghindarkan
seranganmu! Percayalah! Mahesa Wulung berkata dengan wajah yang cerah. Sama
sekali ia tidak menaruh benci. Hatinya yang polos itu berkata bahwa musuhnya ini
bukanlah orang yang jahat
seharusnya binasa oleh tangannya.
Mula-mula Dadapan agak curiga
melihat sikap Mahesa Wulung ini.
Jangan jangan itu hanya siasat saja,
namun demi dilihatnya wajah Mahesa
Wulung yang cerah, bahkan kini
mengulurkan tangan untuk menolongnya
berdiri yakinlah bahwa Mahesa Wulung
betul-betul tidak bermaksud
memusuhinya. Kini terbukalah hati
Dadapan bahwa semua itu terjadi karena kesombongannya, karena terlalu
mengandalkan ilmu pedangnya dari Empu Paku Waja, yang tak pernah terkalahkan
itu. Ooh, maaf kisanak. Maafkan semua
tindakanku yang kasar dan tolol itu!
seru Dadapan sambil membungkuk memberi hormat lawannya, ia menyesal sekali
telah memperlakukan Mahesa Wulung
dengan kasar. Lupakan hal itu Dadapan, yang
sudah berlalu biarlah berlalu. Waktu
yang akan datang masih banyak untuk
berlaku lebih bijaksana lagi, Dadapan, aku tadi sangat mengagumi permainan
pedangmu itu, mungkin suatu saat akan kuminta kau mengajariku. Harapanku
hanyalah jangan menggunakan ilmu pe-
dangmu itu untuk menuruti nafsu
kemarahan saja, secara serampangan.
Sebab walau jaya dan perwiranya
manusia itu, jika keperwiraannya tadi dipergunakan untuk maksud-maksud yang
bertentangan dengan kehendak Tuhan
Yang Maha Kuasa, maka akan runtuh dan terkutuklah manusia tadi oleh Nya!
ujar Mahesa Wulung dengan tenang
sambil menghela napas dalam-dalam.
Dadapan mendengar itu,
menundukkan kepalanya ke bawah, tak
terasa matanya berkaca-kaca terharu.
Selama ini ia sering memperlakukan
orang lain dengan kasar sehingga ia
ditakuti oleh kawan-kawannya. Hanya
saja takutnya tadi bukan takut
lantaran cinta atau sayang, tapi
orang-orang pada takut karena saking
bencinya melihat kelakuannya.
Terima kasih Kisanak, terima
kasih. Kau telah membuatku insyaf akan segala kelakuanku yang tidak baik
selama ini, kata Dadapan pelan. Dan
kini sebagai rasa terima kasihku, saya bersedia membantu kisanak untuk
membebaskan tawanan-tawanan dari
cengkeraman gerombolan Alas Goban.
Baiklah Dadapan, saya tidak
keberatan untuk menerima bantuanmu,
kata Mahesa Wulung. Nah, hampir saya
lupa. Ini perkenalkan kakang Gangsiran dari Tanah Putih dan saya sendiri
Mahesa Wulung dari Demak. Betapa
terkejut Dadapan mendengar nama
mereka. Keduanya sudah cukup terkenal di tanah pesisir Utara Jawa terutama
Mahesa Wulung sendiri yang terkenal
sebagai perwira laut Armada Demak,
namanya sangat ditakuti oleh bajak-
bajak laut dan gerombolan-gerombolan
hitam. Ia seorang perwira yang masih muda, tapi bijaksana dan suka membela
kebenaran serta keadilan. Untunglah
pertarungan tadi tidak sampai
berlarut-larut dan sekarang ia tidak
perlu cemas karena Mahesa Wulung yang bijaksana itu telah mengampuninya.
Demikianlah setelah mengaso
sejenak, Mahesa Wulung, Gangsiran dan Dadapan berangkat meneruskan
perjalanannya ke arah barat sedang
beberapa teman Dadapan tetap tinggal
di tempatnya untuk menjaga keamanan
daerah Weleri. Mereka bertiga kini
terus berpacu ke arah barat laut
karena jalan ke barat biasa dijaga
oleh orang-orang dari gerombolan Alas Roban. Dari jauh sudah terlihat warna
hijau kehitaman yang membentang amat
panjangnya. Itulah hutan Alas Roban
yang menjadi sarang gerombolan hitam
pengacau dan perusak keamanan. Hutan
itu yang berdinding tebal dengan
pohon-pohon karet tahun, seperti tak
tertembus oleh siapapun, lebih-lebih
orang di sekitarnya percaya bahwa
hutan itu, tempat tinggal para setan
dan hantu-hantu bersarang sehingga mereka tak pernah mendekati hutan-hutan itu
apalagi sampai mengimpikan masuk
ke dalamnya. Bahkan beberapa orang tua pernah berkata, walau diupah dengan
dinar emas sekalipun mereka tak
bersedia menjamah hutan itu. Rasa
ngeri, takut dan kabar keangkeran
hutan itu selalu ditiup-tiupkan oleh
seorang yang bernama Ki Singa. Ia
cukup terkenal sebagai seorang pawang yang biasa menangkap binatang-binatang
buas, terutama harimau. Satu keanehan pada diri Ki Singa ialah, ia sering
muncul di suatu tempat dengan tiada
terduga. Sebentar muncul di sini,
sebentar lagi muncul di tempat lain
secara tiba-tiba dan orang pun tidak ada yang tahu tempat tinggalnya.
Makin dekat, semakin jelas
terlihat oleh mereka bertiga keadaan
hutan Alas Roban yang terletak di tepi pantai utara. Deburan ombak yang
memecah ke pantai sayup-sayup
terdengar. Bila laut pasang naik, maka sebagian air laut masuk ke dalam hutan
sehingga pohon-pohon karet raksasa
yang tumbuh paling dekat dengan pantai tergenang air, menambah seramnya
keadaan Alas Roban. Itulah kiranya
mengapa hutan itu sampai disebut Alas Roban artinya hutan yang dapat dilanda
banjir (rob). Matahari makin berkurang sinarnya setelah letaknya condong ke
barat, menjadikan tempat itu samar-
samar oleh kabut putih yang mengambang di udara. Baik Mahesa Wulung,
Gangsiran ataupun Dadapan sekarang
lebih hati-hati, sebab kesuraman jalan yang akan mereka tempuh itu yang penuh
dengan akar-akar melintang serta
ceruk-ceruk tanah yang cukup dalam
bisa mencelakakan langkah-langkah kuda mereka. Untuk itu mereke terpaksa
bergerak maju dengan pelan-pelan.
Sekonyong-konyong tanpa dinyana,
ketenangan suasana dipecahkan oleh
berderaknya ranting-ranting serta
dedaunan dan satu bayangan hitam
berkelebat di muka mereka yang muncul tiba-tiba dari balik lekuk-lekuk akar
pohon karet raksasa.
Berhenti!! teriak orang yang baru
muncul itu dengan kedua tangannya
diacungkan ke depan berbareng yang
mana menimbulkan hempasan angin yang
menabrak ketiga pendatang itu.
Apa maksud kisanak bertiga pada
waktu begini keluyuran di tepi hutan
Alas Roban ini!"
Kami bertiga ingih melihat-lihat
pemandangan di sini, jawab Mahesa
Wulung sekaligus meneliti orang itu
dengan pandangan tajam.
Bohong! teriak orang itu dengan
membelalakan satu matanya, sementara
satu matanya tetap menyipit karena ada bekas-bekas luka yang membuatnya begitu.
Aku tahu, kalian mencoba
menipuku. Kalau Ki Singa boleh
memperingatkan kalian, sebaiknya
cepat-cepat angkat kaki dari tempat
ini sebelum satu bencana dari rimba
larangan ini menimpa kisanak bertiga.
Oh, jadi bapaklah yang biasa
disebut Ki Singa itu" seru Dadapan
saking herannya.
Cocok! Akulah yang dipariggil
orang-orang Ki Singa itu. Hi, hi, ha, ha, ha, ha! orang itu tertawa dengan
suara yang mengerikan. Kumisnya yang
melengkung ke bawah itu ikut
terguncang-guncang oleh ketawanya.
Apakah kisanak bertiga ini belum
pernah dengar bahwa rimba ini sarang
hantu dan setan"
Belum, bapak. Oleh sebab itu kami
ingin sekali melihat penghuni-penghuni rimba, setan-setan dan hantu seperti
yang bapak ceriterakan tadi, jawab Mahesa Wulung. Mendengar itu Dadapan
ikut pula menyambung: Malahan kalau
mungkin, kami akan menangkapnya sekali untuk kami pertontonkan kepada orang-
orang, biar mereka tidak lagi takut
kepada setan dan hantu-hantu.
Hmm, sungguh kurang ajar kisanak
bertiga! Berani mempermainkan kata-
kata serta peringatanku, ha! Baiklah, tapi aku telah katakan semuanya,
tentang bencana-bencana yang datang
dari rimba larangan dan kalian bertiga semoga mampus olehnya! kata Ki Singa
keras-keras diiringi loncatan ke
belakang dan tubuhnya lenyap ditelan
kepekatan rimba Alas Roban dalam
sekejap mata, membuat mereka bertiga
tertegun keheranan. Peristiwa yang
baru lewat seperti mimpi saja, Ki
Singa yang muncul tiba-tiba dan lenyap pula dengan tiba-tiba.
Cahaya bintang-bintang dan bulan
yang sebentar-sebentar tertutup mega
berarak sangat indah dipandang mata,
tapi bagi mereka bertiga, terasa tidak indah setelah mendengar ancaman Ki
Singa itu. Ya, bencana apa yang bakal muncul, mereka belum tahu. Oleh sebab itu
mereka lebih waspada, menghadapi
setiap kemungkinan yang terjadi.
Setelah mencari tempat yang cukup
baik, ketiganya lalu menambatkan
kudanya dalam semak-semak. Di antara
lipatan-lipatan akar-akar sebuah pohon karet tahun yang besar, mereka bertiga
beristirahat. Sebenarnya mereka ingin sekali
melanjutkan penyelidikannya menerobos hutan Alas Roban itu, tapi malam telah
turun, hingga keadaan di dalam hutan
Pendekar Naga Geni 1 Mahesa Wulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu tampak hitam pekat tanpa cahaya
bulan atau bintang yang mampu
menerobosnya. Daun-daun karet sangat
lebatnya. Malam bertambah larut dan semakin
larut. Tak ada sesuatu yang tampak
mencurigakan bagi mereka. Demikianlah antara Mahesa Wulung, Gangsiran dan
Dadapan terjalin rasa persahabatan
yang erat, mereka merasa senasib di
dalam hutan itu, sama-sama bertekad
menumpas gerombolan hitam Alas Roban
yang ganas dan telah sekian lama
merajalela di pantai Utara.
Bergantian mereka tidur dan
berjaga. Embun malam mulai turun dari kabut-kabut yang menebai menyelimuti
tepi hutan itu, berbutir-butir
menempel pada daun-daun
yang berkilat laksana permata.
Bila bulan makin merendah pada
cakrawala barat, langit di sebelah
timurpun mulai cerah dengan saputan
warna-warna merah jingga. Di antara
semak-semak dalam hutan itu tampak
bayangan hitam menyelinap-nyelinap di balik pohon-pohonan. Sebentar-sebentar
bayangan itu mengendap kemudian
bergerak dengan cepatnya, tapi aneh
sekali, langkah-langkahnya tak
menimbulkan suara sedikitpun. Terang
sekali bahwa orang ini memakai ilmu
meringankan tubuh, sampai-sampai
geraknya seperti tidak menginjak
tanah. Heh, mereka yang bercokol di tepi
hutan itu orang-orang berbahaya!
Kinilah saatnya aku binasakan mereka
dengan kucing-kucingku ini. Sekaligus aku ingin tahu sampai di mana kekuatan
mereka. Bayangan hitam itu bergumam
sendiri seperti ada sesuatu yang
diajaknya bicara. Memanglah, ia
dikawan, oleh dua bayangan bermata
biru kehijauan dan menyala ganas yang berdiri di belakangnya seperti
prajurit menunggu perintah atasannya.
Dengan satu tepukan kecil dan
kemudian jari telunjuknya diarahkan ke tepi hutan, dua bayangan bermata hijau
itu melesat menuju kesasarannya.
Telinga Mahesa Wulung yang tajam
itu mula-mula dapat menangkap sayup-
sayup kokok ayam jantan dari tengah-
tengah rimba Alas Roban.
Hmmm ... ini satu tanda bahwa di
tengah hutan pasti ada tanda-tanda,
kehidupan yang lanyak, karena kokok
ayam jantan tadi bukanlah ayam hutan
tapi ayam piaraan.
Tetapi sejurus lagi telinganya
menangkap getaran yang lain pula.
Cepat Mahesa Wulung memperingatkan
kedua sahabatnya.
Kakang Gangsiran dan Dadapan,
hati-hatilah. Aku mendengar sesuatu
yang bergerak di atas pepohonan!
Begitu selesai berkata dan
bersiaga ketiganya, mendadak terdengar auman harimau dari atas pohon di depan
mereka. Dua pasang mata hijau liar
memandang kearah mereka yang kemudian bergerak dengan cepat meluncur dan
menerkamnya bersama-sama.
Awas macan tutul! teriak
Gangsiran sambil mencabut pisau kecil dari ikat pinggangnya dan langsung
dilemparnya kearah binatang itu.
Begitu ia melempar pisaunya, tubuhnya bergerak kesamping.
Di tengah lompatannya, harimau
tutul itu mengaum kesakitan sebab
pisau kecil Gangsiran tepat be-sarang menunjam di antara kedua matanya.
Tubuhnya melayang ke bawah dan begitu menginjak tanah segera ia bangkit dan
menerkam sasaran lainnya di sebelah
kiri. Namun Dadapan telah pula
bersiaga lalu menyambut terkaman
binatang itu dengan sabetan pedangnya yang terkenal tepat merobek leher
harimau tutul. Darah merah menyembur
dari lukanya. Tubuhnya tampak
terhuyung-huyung dan kemudian rebah ke tanah. Mati.
Sementara itu Mahesa Wulung
berhasil menghindar
dari terkaman lawannya. Harimau itu, merasa gagal
serangannya menggeram hebat karena
marah. Tubuhnya kini merendah ke
tanah, yang depan mendatar sedang yang belakang lebih tinggi. Dengan auman
keras, ia menerkam Mahesa Wulung yang telah bersiaga menyalurkan kekuatan
dalamnya dengan aji Lebur Waja.
Setelah berkelit ke
samping dan serangan harimau itu lewat sejengkal
dari tubuhnya, tampak tangannya segera bergerak. Kraaakkk! Suara gemeretak
tulang pecah berbareng dengan auman
bernada tinggi, tubuh harimau tutul
itu melenting tinggi ke atas dan
sesaat lagi terdengar gemuruh tubuhnya jatuh ke tanah tak berkutik lagi.
Akibatnya pukulan Mahesa Wulung hebat sekali. Tubuh harimau itu hangus
kehitaman sedang kepalanya pecah.
Ketika kedua harimau tutul itu
mati, bayangan hitam tadi yang tidak
lain ialah Ki Singa sangat
terperanjat. Kedua binatang itu telah terlatih bertahun-tahun dalam membunuh
orang, kali ini begitu mudah
dikalahkan oleh mangsanya. Dengan
mengutuk-ngutuk Ki Singa meloncat ke dalam hutan kembali, tubuhnya lenyap
di balik semak-semak.
5 PERKAMPUNGAN sarang gerombolan
pagi itu tampak sibuk. Beberapa orang kelihatan tengah memasang tiga tonggak
yang dipancangkan di sebuah halaman
yang luas membelakangi sebuah rumah
terbesar. Begitu banyak orang yang
bekerja, sehingga dalam waktu yang
singkat selesailah kesibukan itu.
Sejurus kemudian terdengar suara
bende yang dipukul tiga kali. Orang-
orang serentak bergerak mengelilingi
tiga tonggak itu dengan memegang
senjata, merupakan pagar manusia yang rapat. Pintu rumah terbesar membuka,
Ki Macan Kuping keluar diikuti
Singalodra. Suasana
menjadi hening seketika. Setelah keduanya memandang
sekeliling, Singalodra memberi
perintah kepada anak buahnya.
Sima Gereng, cepat keluarkan
ketiga tawanan itu kemari dan segera ikat mereka ke tiang-tiangnya itu!
Sima Gereng, diikuti lima orang
berjalan menuju ke sebuah rumah yang
jendelanya beruji besi dan dijaga kuat oleh beberapa orang bersenjata tombak.
Sesaat kemudian tampak tiga orang
keluar dari rumah itu dengan tangan
terikat ke belakang. Mereka dikawal
kuat yang dipimpin oleh Sima Gereng
berjalan ke arah tiang-tiang itu.
Tanpa dapat melawan sedikitpun
ketiganya lalu diikat pada ketiga
tiang itu erat-erat. Hanya dari sinar mata mereka dapat terbaca bahwa mereka
menaruh kebencian kepada gerombolan
itu. Sorengrana dan Pandan Arum
menggeletukkan gigi melihat tingkah
gerombolan-gerombolan, sedang tubuhnya tak dapat berbuat apa-apa akibat
totokan jalan darah oleh Ki Macan
Kuping. Kawan-kawan lihatlah. Kita hari
ini akan melihat pelaksanaan hukuman
kepada tiga orang yang telah berani
menentang gerombolan hitam Alas Roban.
Singalodra berkata kepada anak
buahnya, lalu sekali lagi ia
memberikan isyarat kepada Sima Gereng.
Tapi kita orang-orang pengecut
kalau membunuh begitu saja orang-orang yang tak berdaya. Mereka akan kita
beri kesempatan untuk mempertahankan
diri. Nah, Sima Gereng, lepaskan
tawanan yang ketiga lalu berikan
sebilah pedang biar ia sempat membela diri.
Meski dengan tubuh masih lemas,
orang yang ketiga itu masih dapat
memegang pedang dengan baik dan kedua kakinya kukuh berdiri di tengah arena.
Matanya melirik kepada Ki Sorengrana
yang terikat seperti meminta sesuatu.
Soma, lawanlah mereka sebisamu
agar kau tidak mati sia-sia, tapi mati sebagai perwira, seru Sorengrana
sambil berkaca-kaca matanya. Ia
terharu melihat Soma anak buahnya yang kini berdiri di tengah arena. Begitu
juga dengan Pandan Arum, tak sampai
hati melihat tontonan ini. Diam-diam
ia berdoa semoga Tuhan memberikan
pertolongan-Nya. Tiba-tiba saja ia
merasa rindu kepada Mahesa Wulung yang selama ini selalu membela dirinya.
Tapi kali ini, apakah ia akan tiba" Ah entahlah, hanya Tuhan Yang Maha Tahu.
Terdengar suara bende sekali.
Seorang yang berambut gondrong
tanpa ikat kepala mendatangi Soma dan langsung mengirimkan serangan dengan
penggada. Soma sempat berkelit ke
samping namun tak urung tubuhnya kena keserempet senjata lawan hingga
terpental. Terdengar ketawa riuh serta ejekan-ejekan dari pagar manusia itu.
Sekali lagi musuh mengayunkan
penggadanya, tapi dengan manis Soma
merendahkan tubuhnya dan tangannya
yang berpedang itu bergerak mendatar.
Waaak terdengar suara sobekan disusul teriakan panjang. Tubuh sirambut
gondrong itu terhuyung-huyung lalu
rebah ke tanah. Darah berceceran dari luka perutnya yang memanjang dan
menganga itu. Semua menjadi terkejut
melihat kejadian ini, maka cepat-cepat Singalodra berseru: Ayo, kawan-kawan
apa yang kalian tunggu" Binasakan
tawanan ini dengan cepat.
Laksana gelombang samodra orang-
orang bergerak mengepung Soma.
Meskipun ia masih sempat melawan,
bahkan melukai beberapa orang anak
buah Singalodra, akhirnya ia kerepotan oleh bacokan-bacokan dan tusukan-tusukan
senjata lawan. Sejurus
kemudian Soma rebah ke tanah dengan
luka-luka pada tubuhnya yang
mengerikan. Pengecut! Jahanam, teriak
Sorengrana melihat mengroyokan
terhadap Soma. Sementara itu Pandan
Arum memejamkan mata menyaksikan
kekejaman orang-orang itu.
Lihat ini Sorengrana! Sebentar
lagi tubuhmu akan seperti itu, ha, ha, ha, ha. Singalodra tertawa kegirangan
seperti anak kecil, menang dalam adu
jengkerik. Semua kejadian itu tanpa setahu
mereka terus diikuti oleh enam pasang mata dari tiga jurusan yang berbeda.
Salah seorang dengan bersenjata cambuk mengawasi tontonan itu dari atas
cabang pohon. Dan betapa berdegup
jantung orang itu bila melihat Si-
ngalodra berjalan ke arah Pandan Arum yang terikat pada tonggak itu.
Tapi kau terlalu cantik Arum. Kau
tak kubiarkan mati asalkan bersedia
menjadi istriku wong manis! berkata
begitu Singalodra mendekat lagi untuk memegang dagu Pandan Arum yang runcing
tapi gadis ini secepatnya memalingkan kepalanya.
Cih, aku tak sudi menjadi
istrimu, penjahat tengik! Lebih baik
mati berkalang tanah.
Hi, hi, ha, ha, ha, ha. Orang
cantik kalau marah semakin cantik.
Eman-eman kalau wong ayu seperti kau
mati muda. Arum. Percayalah, kau akan kujadikan ratu Alas Roban
mendampingiku. Hi, hi, hi, ha, ha, ha.
Mata Singalodra dibalik topeng harimau itu mengawasi Pandan Arum yang dadanya
padat itu turun naik menahan marahnya.
Setan. Kalau kalian berani
mengganggu kami, pasti kalian akan
binasa! Tuhan akan menghukummu.
Heh, heh, heh, tikus-tikus kecil
walaupun tak berdaya masih berani
memberi ancaman"! Bagus, kalau kau
berkepala batu, akan kuberi pelajaran.
Sapit Ireng! Cepat tunjukkan ketajaman pisaumu kepada gadis itu. Sayat kulit
wajahnya biar hilang cantiknya dan
sombongnya. Sapit Ireng segera mencabut dua
belati panjangnya dan melangkah
mendekati Pandan Arum. Tapi belum lagi sempat mengangkat pisau belatinya,
tubuhnya jatuh terpelanting seperti
dihantam petir.
Pendekar Naga Geni 1 Mahesa Wulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Semua terkejut. Sebentar tubuhnya
mengejang-ngejang kemudian diam tak
bergerak. Pada dahi Sapit Ireng
terpancang dalam-dalam sebuah pisau
kecil. Belum habis herannya mereka,
tiba-tiba dari atas pohon melesat satu bayangan bersenjata cambuk terjun ke
tengah arena. Hi, hi, hi, ha, ha, ha. Inilah
yang kutunggu-tunggu. Nah, Mahesa
Wulung serahkan pusaka cambukmu itu
untuk kami tukar dengan paman dan
gadismu itu! Sudah cukup banyak tingkahmu
selama ini, Singalodra. Nah,
sekaranglah kita bertemu muka untuk
membuat satu perhitungan yang pasti.
Singalodra tidak menjawab tapi
langsung menyerang dengan tombaknya
yang bermata tiga itu dan bergerak
luar biasa cepatnya seolah-olah, mata tombaknya berubah dari tiga menjadi
ratusan hingga menimbulkan pusaran
angin dingin. Namun ia terperanjat
bahwa Mahesa Wulung setiap kali dengan mudah dapat menghindarkan serangannya
dengan putaran cambuknya yang dahsyat melebihi kecepatan baling-baling.
Sinar putaran cambuk Mahesa Wulung
kelihatan menyala biru dengan sambaran angin panas.
Beberapa orang yang mencoba
mengeroyok Mahesa Wulung terkena
sabetan cambuk Mahesa Wulung, Kiai
Naga Geni seketika jatuh mati dengan
badan hangus kehitaman. Melihat ini
Singalodra berdesir hatinya. Kini
serangannya lebih terperinci. Selama ini belum pernah ada yang sanggup
melawan ilmu tombaknya
Sekali lagi mereka dibuat
terkejut dengan melesatnya dua
bayangan ke tengah arena. Ki Macan
Kuping tak tinggal diam. Tubuhnya
meloncat menyambut bayangan yang
langsung menyerangnya. Begitu pula
Sima Gereng cepat menghadang bayangan yang satu lagi. Kini terjadilah tiga
lingkaran pertempuran yang berlangsung dengan hebatnya. Masing-masing
mengeluarkan ilmu simpanannya untuk
menghadapi lawannya. Mereka bertempur sampai beberapa jurus.
Sima Gereng yang bersenjata
penggada dengan berujung bola besi
berduri itu mendapat perlawanan hebat dari lawannya, Gangsiran yang
bersenjata pisau belati panjang
melengkung. Lingkaran ketiga adalah
Dadapan dengan ilmu pedangnya Empu
Paku waja melawan Ki Macan Kuping yang bersenjata pedang berukuran luar biasa
besarnya, menyambar-nyambar dengan
suara desingan yang menyayat hati.
Belum habis herannya mereka,
tiba-tiba dari atas pohon melesat satu bayangan bersenjata cambuk terjun ke
tengah arena. Ketika matahari makin tinggi dan
membuat bayang-bayang sepanjang tubuh, Mahesa Wulung bergerak makin cepat
maka sesaat kemudian terasalah
Singalodra agak terdesak dan keringat mengalir dari lubang-lubang kulitnya.
Suatu ketika cambuk Mahesa Wulung
membelit tombak trisula Singalodra.
Keduanya menyalurkan tenaga dalamnya
untuk menarik senjata lawannya, namun Singalodra terpaksa terkejut ketika
gagang tombaknya yang dipegang terasa semakin panas laksana bara api.
Ternyata keampuhan cambuk Naga Geni
mulai merayapi tombak trisulanya.
Dengan satu teriakan nyaring, Mahesa
Wulung menghentakkan cambuknya hingga tombak Singalodra terpental ke udara
dan patah menjadi dua, membuat
pemiliknya pucat pasi dan mengutuk
sejadi-jadinya.
Kemudian sekali lagi cambuk
Mahesa Wulung melayang menyambar
mukanya dan topengnya yang selama ini memberi kekuatan sakti, pecah terkena
ujung cambuk Naga Geni. Diam-diam
Mahesa Wulung mengucap syukur kepada
Tuhan yang telah memberi kekuatan luar biasa itu. Sedang sebaliknya,
Singalodra makin hilang semangatnya
karena topeng itu berarti nyawanya
juga. Mahesa Wulung segera dapat
mengenal wajah itu sekarang. Tidak
lain adalah Ki Singa yang pernah
menghadangnya di tepi hutan.
Nah, Singalodra, kau kini tak
bersenjata lagi. Jangan takut, aku tak mau disebut pengecut. Marilah kita
bermain-main tanpa senjata.
Baru saja Mahesa Wulung selesai
mengikatkan cambuk Naga Geni
kepinggangnya, Singalodra telah
mengambil sikap siaga, dua tangannya
dipasang lurus ke depan dengan
memusatkan pikiran dan kekuatan
dalamnya. Tahu sikap lawannya ini
Mahesa Wulung yakin bahwa lawannya
siap melepaskan aji pemungkasnya.
Tak meleset dugaannya. Dari mulut
Singalodra keluar geram dan auman
harimau yang bernada tinggi
menggetarkan udara sekeliling, bahkan lebih dari pada itu, getaran aji
Senggoro Macan cukup dahsyat. Daun-
daun pohon yang sudah tidak muda lagi rontok dari tangkainya. Kelelawar-
kelelawar dan burung-burung beterbangan ke udara, malahan satu,
dua jatuh ke tanah termakan getaran
itu. Beruntung sekali Mahesa Wulung
telah dilatih oleh Panembahan Tanah
Putih untuk menahan getaran-getaran
yang sekeras geledek, maka dalam
menghadapi Singalodra ia tak berkecil hati biarpun pada gertakan pertama ia
tergeser ke belakang beberapa jangkah.
Dalam pada itu ia teringat tiba-tiba
bahwa ia membawa seruling yang
terselip pada ikat pinggangnya. Maka
sekejap kemudian ia telah melolos
serulingnya dan mulai meniupnya.
Suaranya menggema menggelegar
membelit-belit ke udara dengan nada
yang tinggi. Kedua getaran yang
berasal dari dua sumber itu bertemu
dan mengguntur seperti suara rajanya
petir. Beberapa kali suara itu beradu di udara tapi lama kelamaan getaran
dari aji Singalodra makin terdesak dan punah digulung oleh nada seruling
Mahesa Wulung. Merasa adjinya
terkalahkan, Singalodra melesat ke
depan menyerang lawannya dengan tiba-
tiba. Sayangnya lawannya kali ini
adalah murid kinasih gemblengan
Panembahan Tanah Putih, maka Mahesa
Wulungpun tidak ingin memperpanjang
waktu lagi, segera disongsongnya
Singalodra dengan pukulan mautnya
Lebur Waja. Tubuhnya dimiringkan ke
kiri mengelakkan terkaman Singalodra
sekaligus mengirimkan tusukan jarinya ke dada lawan. Tubuh Singalodra
terpental ke belakang dan jatuh ke
tanah. Pada dadanya terlihat dua buah luka bekas tusukan jari Mahesa Wulung
berwarna merah kehitaman seperti
terbakar. Tubuhnya menggeliat, mukanya membayang warna merah menyala, kemudian
berubah putih lalu menjadi
hijau dan sesaat setelah dari dadanya terdengar suara keruyuk-keruyuk,
mulutnya menyeringai mengeluarkan
darah hitam kental dan matilah
Singalodra seketika.
Bersamaan dengan itu terdengar
pula raungan hebat. Kiranya Gangsiran telah menyelesaikan pertempurannya.
Sima Gereng rebah ke tanah dengan be-
lati Gangsiran tertanam pada dadanya.
Melihat Singalodra murid kinasihnya
roboh, Ki Macan Kuping meloncat
meninggalkan Dadapan unjuk menerkam
Mahesa Wulung dengan sabetan pedang
pusakanya yang luar biasa besarnya.
Agak terkejut Mahesa Wulung mendapat
serangan tiba-tiba ini cepat ia
memutar tubuhnya dan menangkis pedang yang hampir membabat kepalanya itu
dengan seruling yang masih dipegangnya pada tangan kiri. Satu benturan keras
terdengar disusul terpentalnya tubuh
Mahesa Wulung ke atas dan seruling di tangannya pecah berkeping-keping.
Demikian pula pedang Ki Macan Kuping
terpental jatuh, tapi tubuhnya tetap
tegak berdiri hanya bergeser sedikit
ke belakang. Memang hebat Ki Macan
Kuping, hanya dialah sanggup bertahan terhadap pukulan Lebur Waja. Mahesa
Wulung yang terpental itu masih sadar akan dirinya hingga ia tiba kembali ke
atas tanah dengan kaki tegak dan cepat bersiaga ini sangat mengherankan Ki
Macan Kuping. Hmm, memang tangguh anak muda
ini. Biasanya siapa yang kena bentur
tenagaku akan terpental dan hancur
tubuhnya. Pandangan Mahesa Wulung masih
berkunang-kunang pening. Hal ini
terlihat oleh Ki Macan Kuping. Cepat
ia meraba sesuatu pada ikat
pinggangnya lalu dilemparnya ke arah
Mahesa Wulung. Hih! Mampus kau bocah bandel. Di
saat yang tegang itu satu bayangan
berkelebat mendekap melindungi tubuh
Mahesa Wulung. Ahhh! terdengar teriakan tertahan
dari mulut orang itu.
Dimas Mahesa Wulung, hati-
hatilah. Dia memakai jarum beracun.
Kakang Gangsiran! Kakang
Gangsiran! teriak Mahesa Wulung sambil mengguncang tubuh Gangsiran yang telah
lemas. Beberapa jarum berbisa dari
lemparan Ki Macan Kuping telah
bersarang ke dalam tubuhnya, berjalan mengalir mengikuti peredaran darahnya.
Bertambah marah Ki Macan Kuping
melihat Mahesa Wulung masih segar-
bugar, cepat ia memungut pedangnya
yang menggeletak di tanah dan segera
menyerang Mahesa Wulung kembali.
Tetapi tak terduga-duga satu bayangan putih melesat memotong jalannya dan
pedangnya bergetar hebat kemudian
lepas setelah tertimpa sabetan tongkat yang ujungnya bercabang dua.
Macan Kuping! Akulah yang akan
menghadapimu. Tua sama tua.
Heh, heh. Kau Bayu Sekti telah
sekian lama mendekam di dalam
kandangmu, kini masih ingin bermain-
main denganku" seru Ki Macan Kuping
membuka serangannya. Keduanya
tenggelam dalam pusaran angin yang
menderu akibat gerakan mereka saling
terkam menerkam. Kalau gerak Ki Macan Kuping seperti harimau, tubuh
Panembahan Tanah Putih yang ringan
seperti kapas itu menyerangnya,
mematuk-matuk seperti burung garuda.
Bersamaan dengan munculnya
Panembahan Tanah Putih, pasukan
Asemarang yang bergerak dengan gelar
tapal kuda itu mengepung sarang
gerombolan Alas Roban. Kedua ujungnya masing-masing dipimpin oleh Kerpu dan
Tambakan, sedang bagian tengah dipimpin oleh Panembahan Tanah Putih
yang kini telah terlibat pertempuran
dengan Ki Macan Kuping.
Sementara itu pula Dadapan telah
melepaskan tali-tali yang mengikat
tubuh Ki Sorengrana dan Pandan Arum
lalu keduanya dibawa ke tempat yang
aman. Gemerincing senjata beradu
menggema di dalam hutan Alas Roban.
Melihat beberapa tokoh-tokoh
andalannya mati, laskar gerombolan
hitam Alas Roban kehilangan
semangatnya. Mahesa Wulung setelah melihat
Gangsiran jatuh terkulai cepat-cepat
membawanya, ke bawah sebuah pohon dan menyandarkannya di situ. Tubuhnya
melesat kembali ke tengah arena
pertempuran itu dengan memutar
cambuknya. Meskipun beberapa orang
datang menyerangnya bersama-sama,
namun dengan mudahnya dapat merobohkan mati mereka satu demi satu. Benar-benar
ia mengamuk setelah tahu, kalau Gangsiran terluka. Begitulah beberapa saat
kemudian laskar gerombolan Alas Roban dapat ditumpas, beberapa orang
yang menyerah ditawan oleh laskar
Asemarang. Tahu bahwa ia tak mungkin
memenangkan pertempuran itu, Ki Macan Kuping cepat melesat ke belakang untuk
kabur. Tapi sebelum itu Panembahan
Tanah Putih sempat mengirimkan pukulan tongkatnya ke dada kiri Macan Kuping
yang seketika terlentang jatuh dengan mulutnya mengeluarkan darah merah.
Memang Ki Macan Kuping punya kekuatan luar biasa. Biar tenaganya telah
hilang separo, tapi ia masih sempat
Pendekar Naga Geni 1 Mahesa Wulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kabur dengan satu loncatan panjang ke dalam semak-semak, tubuhnya lenyap
dalam sekejap mata.
Awas kalian! Tunggulah beberapa
waktu lagi aku datang untuk menebus
kekalahanku ini! teriak ancaman Ki
Macan Kuping menggema. Melihat
musuhnya lari, Panembahan Tanah Putih cuma tersenyum. Kemudian ia berjalan
kearah Ki Sorengrana dan Pandan Arum
yang duduk dengan lemas. Dengan usapan tangannya, ia membebaskan pengaruh
totokan jalan darah pada tubuh Ki
Sorengrana dan Pandan Arum.
Sang Panembahan, cepatlah. Itu di
sana kakang Gangsiran terluka! seru
Dadapan yang datang dengan tergopoh-
gopoh. Merekapun berlompatan ke sana
mengikuti Dadapan. Di balik sebuah
semak terlihatlah pemandangan yang
mengharukan. Mahesa Wulung duduk dan
pada pangkuannya terbaring tubuh Gangsiran yang pucat pasi. Orang tua itu
dengan teliti memeriksa dan mencoba
mengobati tubuh Gangsiran yang
terluka, tapi matanya tampak sayu dan ia menggelengkan kepalanya.
Terlambat sudah. Racun ini
terlalu keras kerjanya... kata orang
tua itu hingga membuat orang-orang di situ terkejut, lebih-lebih Mahesa
Wulung sendiri yang merasa telah
diselamatkan nyawanya oleh Gangsiran.
Guru biarlah ....! Aku telah
menunaikan tugasku...
dimas Mahesa Wulung telah selamat ... apakah guru mengampuni ....
semua kesalahan-
kesalahanku. Anakku Gangsiran. Kau tak lagi
mempunyai kesalahan-kesalahan. Sejak
lama aku telah mengampunimu....
Panembahan Tanah Putih berkata dengan bercucuran air matanya. Demikian pula
Mahesa Wulung, Dadapan, Sorengrana,
Pandan Arum dan lainnya.
Kalau demikian ... aku merasa
lapang ... Guru, aku pergi sekarang
selamat tinggal dimas Mahesa Wulung
... dan semuanya ... aku pamit ... aku kembali kepadaNya ... hhhh!
Gangsiran memejamkan mata,
senyumnya tersungging pada bibirnya
seolah-olah ia merasa berbahagia
sekali. Ya, ia kini berbahagia jiwanya telah kembali ke alam baka. Gangsiran
sudah tidak ada lagi di dunia. Pandan Arum yang berperasaan halus itu tak
tahan melihat pemandangan yang
mengharukan itu. Ia merebahkan kepala di dada Mahesa Wulung yang bidang itu.
Badannya lemah, cepat Mahesa Wulung
yang masih terharu dan bingung itu
menangkap tubuh Pandan Arum sebelum ia terkulai ke tanah. Dan ternyatalah
bahwa Pandan Arum pingsan.
Pandan! Pandan Arum! Kembali
Panembahan Tanah Putih sibuk, ia
memijit-mijit kening gadis itu dan
dikeluarkan sebuah cupu dari saku
jubah putihnya. Serbuk putih dituang
sedikit ke atas tangannya dan
digosokkan ke dahi Pandan Arum, lalu
sedikit lagi diciumkan ke hidung gadis itu dengan sapu tangan yang putih
bersih. Tak lama kemudian mata Pandan Arum tampak bergerak-gerak. Ia telah mulai
sadar. Atas anjuran orang tua
itu dipapahlah Pandan Arum ke sebuah
rumah di tempat itu untuk beristirahat seperlunya.
Begitulah mereka istirahat
sejenak di rumah-rumah perkampungan
gerombolan hitam Alas Roban. Berkat
penyelidikan yang teliti dapatlah
diketemukan beberapa bukti-bukti yang menunjukkan adanya hubungan antara
gerombolan Alas Roban dengan bajak
laut Pulau Ireng dari Karimun Jawa,
berupa surat-surat, mata uang dan
beberapa perhiasan.
Pada suatu sore yang cerah,
tampaklah iring-iringan laskar
berjalan menyusuri pantai utara menuju ke timur. Dari jauh masih membayang
hutan Alas Roban dengan deretan pohon-pohon karet tahun dan sayup-sayup
terdengar hempasan gelombang laut uta-ra. Ketika mereka memasuki wilayah
Asemarang, dari arah timur terlihatlah debu berkepul ke udara dan satu
bayangan orang berkuda mendekati
mereka. Ia mengenakan seragam prajurit Demak dengan baju lengan panjang
putih. Dengan cekatan ia menghentikan kudanya tepat di muka barisan laskar
Asemarang. Ahh, ini kakang Kerpu dan
Tambakan, selamat sore kakang! sapa
orang itu dengan mengangguk hormat
kepada dua orang berkuda yang
terdepan. E, e, e, ini adi Jagayuda.
Selamat sore. Kau kelihatan tergopoh-
gopoh adi. Adakah sesuatu yang pen-
ting" Betul kakang, aku diutus
menyampaikan surat ini oleh Panglima
Faletehan untuk Kakang Mahesa Wulung.
Nah itulah dia yang berkuda di
tengah barisan ini. Sampaikanlah
secepatnya surat itu kepadanya.
Jagayuda segera memacu kudanya ke
tengah barisan.
Kakang Mahesa Wulung, aku diutus
menyampaikan surat ini untukmu.
Terimalah. Jagayuda memberikan gulungan
kertas yang berciri stempel kerajaan
Demak kepada Mahesa Wulung.
Terima kasih adi. Mahesa Wulung
segera membuka surat itu dan
membacanya. Tampak ia menganggukkan
kepala, pertanda bahwa ia mengerti
akan isinya. Sang Panembahan, paman Sorengrana
dan adi Pandan Arum, maafkanlah bahwa saya terpaksa tidak dapat menyertai
perjalanan yang menyenangkan ini
karena saya harus mendahului pulang ke Demak. Ada tugas baru yang amat
penting. Tak apalah angger. Kami sudah
tahu akan tugas yang terpikul oleh
angger Mahesa Wulung. Seorang perwira lebih mendahulukan kepentingan negara dari
pada kepentingan diri pribadi.
Bukankah begitu angger" Nah, selamat
jalan angger. Doa restu kami
menyertaimu. Semoga Tuhan memberkahi
kita semua. Panembahan Tanah Putih
memberikan salamnya kepada Mahesa
Wulung dan keduanya berjabat tangan
dengan eratnya. Setelah itu menyusul
pamannya Ki Sorengrana dan terakhir ia menjabat tangan Pandan Arum. Terasa
getaran aneh mengalir lewat tangannya.
Keduanya seperti terkunci mulutnya tak mampu berkata panjang lebar. Hanya
degupan jantungnya yang berkata-kata : Selamat jalan, kakang!
Selamat tinggal adi Pandan Arum.
Kita akan bertemu lagi! kata Mahesa
Wulung sambil menyentakkan tali kekang kudanya keluar dari barisan.
Selamat jalan adi Mahesa Wulung!
teriak Dadapan dari ekor barisan
sambil melambai-lambaikan pedangnya.
Selamat tinggal semuanya! teriak
Mahesa Wulung dengan memacu kudanya
bersama Jogoyudo meninggalkan barisan itu menuju ke arah timur. Sebentar
saja keduanya sudah merupakan dua
titik kecil dengan debu berkepul-kepul yang makin lama makin lenyap. Mata
Pandan Arum mengikutinya sampai dua
titik itu lenyap dari pandangan
matanya. Tak terasa pipinya telah
basah oleh air mata yang mengalir dari sudut matanya yang indah itu.
Ceritera ini berakhir dengan
tumpasnya gerombolan hitam Alas Roban.
Tapi apakah tugas baru bagi Mahesa
Wulung dan bagaimana dengan Ki Macan
Kuping yang lari itu"
Nah tunggulah ceritera berikutnya
"RAHASIA BARONG MAKARA" yang tak kalah hebatnya. Pembaca akan menjumpai lagi
Mahesa Wulung yang perkasa itu.
T A M A T Scan/Convert/E-Book: Abu Keisel
Tukang Edit: Fujidenkikagawa
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Panji Sakti 12 Dewi Sri Tanjung 9 Terkurung Di Perut Gunung Pendekar Kembar 10