Pencarian

Mahesa Wulung 2

Pendekar Naga Geni 1 Mahesa Wulung Bagian 2


juga pukulanku yang kurang mengendap
dan matang seperti ini. Ujar orang tua itu sambil membelai-belai janggutnya
yang putih. Nah sekarang Wulung, cobalah
pukulan sisi telapak tanganmu!
lanjutnya. Di sebelah itu terdapat
batu hitam. Pakailah olehmu sebagai
sasaran, Mata Mahesa Wulung yang mengikuti
arah seperti yang ditunjukkan oleh
jari panembahan tua itu, terbelalak
saking terkejutnya demi terlihat
olehnya batu hitam yang dimaksud oleh gurunya itu, ternyata besarnya sebesar
kerbau yang sedang mendekam.
Namun sekarang ini ia tidak lagi
merasa ragu-ragu menghadapi lawan
seperti apapun.
Begitulah, setelah bersiaga dan
menyalurkan tenaganya ke sisi telapak tangan kanannya, Mahesa Wujung dengan satu
terkaman loncat yang indah tapi
menimbulkan sambaran angin panas itu
memukul batu hitam yang sebesar kerbau dan
kali ini terjadi pula satu
kejadian yang lebih dahsyat dari pada tadi.
Batu hitam ini dengdn satu
letusan yang menggelegar pecah dan
hancur menjadi bubuk pasir setelah
terpukul oleh sisi telapak tangan
Mahesa Wulung. Sekali lagi Mahesa Wulung
terheran-heran melihat ini semua. Ia tidak nyana sama sekali akan memiliki aji
pukulan yang sedahsyat itu. Di
dalam hatinya ia mengucap syukur
kepada Tuhan Yang Maha Besar, atas
pemberian tenaga yang luar biasa ini.
Ia pun berjanji akan tidak sembarangan menggunakan
ajinya ini, kecuali
terhadap mereka-mereka terutama
gerombolan-gerombolan
hitam yang mengacau dan merongrong kewibawaan
pemerintahan Demak serta membuat
kesengsaraan terhadap sesama manusia.
Nah Wulung, itu tadi kesemuanya
engkau hanya menghadapi lawan-lawan
yang tidak bergerak tapi yang akan
menjadi lawan-lawanmu nanti tidak lain juga manusia seperti kita ini dan
mungkin juga dia mempunyai pula ilmu
yang tinggi. Untuk itu, sekarang
lawanlah aku, kita telah mempunyai
ilmu yang sama meskipun kau masih
harus lebih banyak lagi berlatih.
Mahesa Wulung mendengar penuturan
gurunya itu, menjadi tunduk beragu.
Kalau ia kini tahu kehebatan aji Lebur Waja, dan harus menggunakan untuk
melawan gurunya sendiri, ia akan cemas melihat akibatnya.
Hee Wulung! Kali ini kau harus
melawanku sekuat tenaga. Kalau tidak, kau akan kuhajar sendiri dengan aji
"Lebur Waja" sehingga maut. Ayo, lawanlah aku! seru Panembahan Tanah
Putih dengan kerasnya menggelegar
memantul ketebing-tebing lembah
disekitarnya. Saat itu awan yang berarak-arak
kehitaman membawa uap air berjalan, ke arah selatan menghalang-halangi sinar
matahari pagi sehingga lembah itu
sebentar terang dan sebentar gelap
tertimpa bayangan awan hitam.
Uap air yang bertebaran di udara
itu telah membiaskan sinar matahari
menjadi tujuh warna yang melengkung
menambah keseraman lembah itu. Ia
ingat ceritera orang-orang tua yang
mengatakan bahwa pelangi itu adalah
tangga yang digunakan
oleh para bidadari untuk turun ke bumi, karena
keperluan sesuatu.
Apakah para bidadari itu ingin
melihat aku bertempur melawan guruku
sendiri" Ah, pikiran gila! bantahnya sendiri. Biarlah seandainya mereka
turun untuk ini, mereka akan kecewa
sebab aku tidak akan sudi melawan
guruku! Belum habis Mahesa Wulung
berangan-angan itu terpecah oleh suara gurunya yang keras.
Kau tunggu apa lagi Wulung,
begitukah caramu dalam menghadapi
seorang lawan" bentak orang tua itu.
Dahinya mengkerut dan alisnya bertemu sedang pada matanya terpancar sinar
kemarahan. Tapi di sini tidak ada lawanku,
guru. Hanya kita berdua saja. Dan guru bukanlah lawanku! jawab Mahesa Wulung
kecemasan. Lupakanlah basa-basi itu Wulung.
Kalau kau belum bertemu lawan akulah
sendiri yang akan melawanmu sebagai
lawan yang pertama! Mahesa Wulung tak habis herannya melihat perangai
gurunya itu, lalu ia ingat bahwa
orang-orang yang sakti, berilmu tinggi sering mempunyai tabiat-tabiat yang
aneh. Maka ia mengambil keputusan
untuk melawan orang tua itu.
Baiklah guru, kalau itu
kehendakmu, aku akan
melawanmu. Sebelumnya, aku meminta maaf lebih
dulu, kata Mahesa Wulung sambil
mengangguk tunduk, memberi hormat
kepada Panembahan Tanah Putih.
Di tengah saat ia memberi hormat
gurunya itu, tiba-tiba ia merasakan
angin yang bertiup keras sekali dan
gerak naluriahnya membuat ia
secepatnya berkelit ke samping sambil bersiaga. Untung ia telah mempelajari
sikap "Tugu Wasesa". Kalau tidak, pasti ia akan terbanting jatuh. Tidak lain
angin yang keras itu ialah tenaga pukulan dari gurunya sendiri.
Kini ia ganti menyerang dengan
sepakan kaki kirinya mengarah lambung orang tua ini. Mendapat serangan ini
orang tua berjenggot putih itu
secepatnya meloncat mundur sedang
tangan kanannya membabat kaki kiri
Mahesa Wulung. Tapi Mahesa Wulung yang cekatan itu cepat-cepat menarik
kembali serangan kakinya hingga
serangan orang tua itu tidak mengenai sasarannya. Begitu mereka bertempur
dengan serunya disertai gerak-gerak
yang makin lama makin cepat dan
berlingkar-lingkar sukar diikuti
pandangan mata.
Mahesa Wulung bertempur dengan
gigih laksana seekor banteng yang
mengamuk sedang orang tua berjenggot
itu bagaikan seekor rajawali yang
menyambar-nyambar mengincar mangsanya.
Setelah beberapa jurus mereka
bertempur itu; Panembahan Tanah Putih tampak mengambil sikap pukulan
mautnya. Melihat ini Mahesa Wulung
sejenak terkejut, tapi iapun segera
pula menyalurkant tenaga dalamnya dan mengambil sikap pukulan maut yang
serupa siap dilontarkan.
Sebaiknya aku juga menggunakan
pukulan maut Lebur Waja dari pada aku mati konyol begitu saja! pikir Mahesa
Wulung sambil meloncat ke depan.
Sekejap itu terlihatlah dua bayangan
berkelebat saling menerkam dengan
sikap yang sama, dan keduanya tampak
sama-sama terdorong surut ke belakang beberapa langkah. Itulah hebatnya dua aji
Lebur Waja yang beradu menjadi
satu. Masing-masing yang terdorong
tadi kini bersiaga pula untuk
melanjutkan pertempurannya. Benar-
benar mereka itu tangguh.
Panembahan tua itu kini menyerang
Mahesa Wulung dengan menggunakan
tongkatnya sedang Mahesa Wulung
melihat lawannya menggunakan senjata
tongkat, cepat-cepat
ia maraba pinggangnya dan sekejap tergenggamlah pada
tangannya sepucuk keris. Merekapun kembali bertempur dengan
hebatnya. Suatu ketika orang tua itu
memukulkan tongkatnya ke arah dada
Mahesa Wulung. Sayangnya, serangan
dengan tongkat itu kembali menemui
tempat ko-song karena keburu Mahesa
Wulung dalam saat yang genting itu
berkelit ke samping kiri, sementara
keris ditangan kanannya bergerak
menusuk ke arah perut orang tua
berjenggot putih.
Sungguh mengejutkan tusukan keris
Mahesa Wulung bagi orang tua, itu,
maka ia lekas-lekas merubah gerak
tongkatnya meluncur kebawah untuk
menahan keris anak muda yang tengah
ditusukkan itu. Maka kedua senjata itu beradu dan saling melekat sesamanya.
Baik Panembahan Tanah Putih ataupun
Mahesa Wulung sejenak itu berdiam diri masing-masing seperti sedang
beristirahat, walau senjata masing-
masing masih tetap terpegang di
tangan. Hanya kalau kita memperhatikah wajah kedua orang itu, tampaklah
saling tegang menegang, saling
berpandangan tak berkedip matanya.
Mereka sedang mengadu tenaga dalam.
Baik Mahesa Wulung atau
Panembahan Tanah Putih sendiri sama-
sama menyalurkan tenaga dalam,
kesenjata yang terpegang ditangan.
Lama-lama oleh Mahesa Wulung terasa
tangannya yang pemegang keris menahan tindihan tongkat gurunya, menjadi
semutan dan bergetar. Satu pertanda
bahwa meskipun ia mempunyai ilmu yang sama dengan gurunya, ia masih tetap
satu tingkat lebih rendah di bawah
gurunya. Mahesa Wulung masih tetap
bertahan dengan mengerahkan segenap
kekuatan dalamnya menahan tekanan
tongkat sang guru. Pada dahinya terbit bintik-bintik keringat yang makin
besar dan besar lalu mengalir
kemukanya seperti anak sungai.
Sementara ketegangan itu berlangsung, terjadi pula peristiwa yang
lain menambah ketegangan itu makin tegang.
Satu desingan nyaring mengikuti
seleret sinar yang dengan cepatnya
langsung menuju ke arah Mahesa Wulung.
Tapi Panembahan Tanah Putih dengan
segera menggerakkan tongkatnya yang
sedang menindih keris muridnya dengan setengah lingkaran mencegat sinar itu.
Sesaat kemudian terdengar suara
benturan keras tak disusul dengan
jatuhnya benda kecil di tanah di
samping mereka, ialah sebuah baji,
sejenis pisau kecil runcing.
Panembahan tua itu kini menyerang Mahesa Wulung dengan menggunakan
tongkatnya sedang Mahesa
Wulung melihat lawannya menggunakan senjata tongkat, cepat cepat ia meraba
pinggangnya dan sekejap tergenggamlah pada tangannya sepucuk keris. Merekapun
kembali bertempur dengan hebatnya.
Siapa ini berbuat gila-gilaan!
teriak orang tua itu dengan nada
setengah marah.
Di sana, kira-kira jarak
sepelempar lembing terlihat semak
ilalang yang dikuakkan dan muncullah
seorang bertubuh besar, berbibir tebal dengan kumis dan jenggotnya lebat,
kemudian berjalan ke arah mereka.
Maaf, bapak Panembahan, itu tadi
perbuatanku. Kata orang yang baru
datang itu. Aku tadi melihat anak muda ini begitu lancang berani menyerang
sang Panembahan.
Gangsiran! Kau muncul lagi
sekarang.....dan masih berani berbuat gila-gilaan. Hampir saja kau melukai
pemuda ini. Kata sang panembahan tua.
Tapi.... tapi kulihat tadi ia
menyerang panembahan dengan keris
terhunus. Sebagai bekas murid aku
ingin menunjukkan rasa terima kasihku.
Orang itu berkata sambil menundukkan
kepala karena menghindari tatapan mata orang tua itu yang tajam.
Aku tak butuh pertolongamu
Gangsiran, dan apakah kau sudah lupa
bahwa aku telah mengusirmu dari
padepokan dan melarangmu memasuki
daerah padepokan Tanah Putih!


Pendekar Naga Geni 1 Mahesa Wulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Masih ingat panembahan, waktu itu
aku mabuk tuak. Sekarang aku insaf dan akan meminta ampun kepadamu sang
panembahan. Perkenankanlah aku menjadi muridmu lagi. pinta orang itu.
Tidak! Kau telah menyelewengkan
ajaran-ajaran yang kuberikan. Sekarang lekas berlalu dari sini, sebelum aku
menjadi marah! begitu hardik Panembah-an Tanah Putih kepada Gangsiran. Tak
sudi aku melihat kedatanganmu kemari!
Mendengar itu, Gangsiran
merebahkan diri ke tanah dihadapan
sang Panembahan sambil berkata
menghiba-hiba. Guru mohon dimaafkan guru, aku
sudah insaf. Izinkanlah aku
memperbaiki kesalahan-kesalahan yang telah aku buat. Biarlah Tuhan
mengutukku kalau aku masih berani
menyeleweng. Guru, siapakah dia itu" tanya
Mahesa Wulung yang sejak tadi
memperhatikan adegan yang cukup
mengharukan ini.
Dialah Gangsiran bekas muridnya
dulu. Dia pernah beberapa saat tinggal di padepokan Tanah Putih untuk
mempelajari semua ilmu hidup, tentang keperwiraan, keluhuran budi dan
sebagainya. Sebelum itu berjanji patuh kepadaku, karena ia benar ingin
menjadi muridku. Tapi ia suka minum-
minum tuak dan tidak jarang mencuri-
curi turun ke desa Borang, bahkan
sampai-sampai ke Asemarang untuk
bermain judi. Itulah sebabnya ia
kuusir dari padepokan, orang tua itu
berkata dan sebentar ia menarik napas dalam-dalam.
Tapi apakah guru sampai hati
menolak permintaannya tadi" bukankah
ia telah insaf dan berjanji akan
memperbaikinya, guru" kata Mahesa
Wulung merasa terharu melihat wajah
Gangsiran. Ya, aku bukan seorang yang kejam.
Baiklah, kau Gangsiran. Kau aku terima lagi menjadi muridku asal kau benar-benar
bertobat. O, terima kasih Panembahan,
terima kasih. Seru Gangsiran
keriangan. Air matanya bercucuran
saking gembira dan terharu. Aku akan
sungguh-sungguh mematuhi perintah sang Panembahan.
Nah, Gangsiran lihatlah jelas-
jelas pemuda ini yang hampir-hampir
kau lukai tadi,
Dialah muridku kemenakan Ki Sorengrana dan putra
mendiang muridku Ki Sorengyuda. kata
orang tua itu. Jadi dia .... dia kemenakan Ki
Sorengrana" Ah, aku kenal kepadanya.
Harap dimaafkan aku dimas,
atas kelakuanku tadi. Semula aku mengira
bahwa adi benar-benar menyerang sang
panembahan sebab aku melihat adi
kelihatan bersungguh-sungguh dalam
bertempur dengan panembahan !
Sudahlah kakang Gangsiran,
lupakan sajalah hal itu. Toh kita
masih selamat tak kurang suatu apa.
jawab Mahesa Wulung. Keduanya berjabat tangan erat-erat.
Latihanpun diakhiri oleh mereka
dan ketiganya berjalan pulang menuruni bukit, menerobos hutan dan akhirnya
tibalah mereka di jalan kecil yang menuju ke arah padepokan Tanah Putih.
Matahari berangsur-angsur
bergeser ke arah barat dan makin lama makin condong hingga akhirnya lenyap
di sana di sebelah barat dibalik
pohon-pohonan seperti ditelan oleh
mulut seorang raksasa. Di langit
tampaklah bintang-bintang gemerlapan
ribuan banyaknya dan malampun tibalah.
Kesepian menelan padepokan Tanah Putih yang terpencil itu.
Kedatangan Gangsiran kembali
kepadepokan Tanah Putih itu menambah
kesegaran di situ. Ternyata Gangsiran di samping ahli sebagai pelempar baji atau
pisau kecil, ia juga ahli membuat orang tertawa terpingkal-pingkal.
Gangsiran memang suka be-ceritera dan melucu. Kini ia betul-betul telah
bertobat. Sang panembahan, beberapa waktu
yang lalu, saya pernah singgah di
sebuah kampung dikaki Gunung Brintik
di barat sana. Orang-orang di situ
berceritera kepadaku bahwa di angkasa di atas Gunung Brintik sering terlihat
seekor ular seperti naga yang
melayang-layang dan menyala hijau
kebiru-biruan. Penduduk di situ sering pula menyaksikan ular itu muncul dan
lenyap di sebuah gua di atas Gunung
Brintik dan mereka menduga ular itu
berasal dari sebuah senjata.
Sebuah senjata" tanya Mahesa
Wulung keheranan.
Benar sebuah senjata, tapi apa
macamnya aku tidak tahu dimas.
Begitulah aku pernah mencoba untuk
mendapatkannya tapi tidak berhasii
bahkan diriku hampir saja tewas karena diserang ular itu di dalam gua. Dari
mulutnya menyembur ke luar seperti api yang menyala hijau kebiru-biruan
sangat panasnya melebihi api biasa
yang berwarna merah. Gangsiran
menghentikan ceriteranya.
Memang itu tidak mudah mencari
senjata, sambung Panembahan Tanah
Putih. Pertama orangnya harus berhati bersih dan berbudi luhur serta tidak
sombong. Kedua, orangnya, mesti
mempunyai ilmu yang cukup untuk
menerima pusaka itu, sebab tidak
jarang orang yang tidak berilmu apa-
apa menyimpan sebuah pusaka hingga
pikirannya terguncang dan tidak waras.
Ketiga, pusaka itu sendiri kadang-
kadang tidak mau begitu saja jatuh dan disimpan orang yang tidak
disenanginya. Terhadap sebuah pusaka, kita mesti berhati-hati. Begitu kita
berbuat kesalahan, pusaka itu akan
lenyap dan pergi meninggalkan diri
kita. Tentu kalian masih ingat kisah
keris Sangkelat dan Condong Campur
yang musna dari tempat penyimpanannya karena ia merasa marah dan tidak cocok
dengan keadaan di situ, sebentar
Panembahan tua itu berhenti
berceritera. Ah, kita lupa terlalu
asyik berceritera. Ini diminum kopinya sebelum kebacut dingin.
Sambil menikmati air kopi, Mahesa
Wulung masih memikir-mikirkan ceritera itu tadi. Ia merasa tertarik dengan
kisah ular yang menyala hijau kebiru-
biruan. Guru, apakah kiranya aku
diizinkan jika suatu waktu pergi
menyelidiki pusaka itu" tanya Mahesa
Wulung sambil meletakkan kembali air
kopinya kebalai-balai.
Boleh, kau memang ada perlunya
pergi ke Gunung Brintik untuk
menyelidiki ular pusaka itu. Ajaklah
Gangsiran serta ke sana supaya dapat
membantumu. Mungkin satu minggu lagi
baru ada hari yang baik, ujar orang
tua itu. Dahulu ceritera nenekku,
entah ini benar atau tidak, berkata
bahwa mendekati surutnya
kerajaan Majapahit dan timbulnya pemberontakan-pemberontakan, ada sebuah pusaka
berbentuk cambuk bernama Kyai Naga
Geni yang musna dari gedung pusaka
kerajaan. Mungkin ini tersebab ia
tidak merasa senang menyaksikan
perpecahan antara tokoh-tokoh
Majapahit yang pada hakekatnya sama
dengan merobek-robek dadanya sendiri
dari dalam dan inilah yang mempercepat keruntuhannya. Pusaka tadi ketika
pergi meninggalkan tempatnya berubah
menjadi ular yang menyala hijau
kebiru-biruan terbang ke angkasa. Jika itu ada hubungannya dengan ular yang
sering tampak melayang di atas Gunung Brintik, pastilah bahwa ular itu tidak
lain ialah pusaka Kyai Naga Geni.
Panembahan Tanah Putih mengakhiri
ceriteranya, sementara itu Mahesa
Wulung dan Gangsiran menghabiskan
kopinya. Keadaan kembali menjadi
hening. Di luar terdengar desau angin diseling suara jengkerik bersahut-sahutan
dengan merdunya.
Nah, angger berdua aku terlalu
lama berceritera kepada kalian, sampai aku lupa bahwa malam telah larut.
Baiklah, kita pergi tidur sekarang.
Kita perlu beristirahat. kata
panembahan tua itu sambil berdiri dan lalu disusul oleh Mahesa Wulung serta
Gangsiran berdiri. Mereka pergi ke
kamar masing masing dan pergi tidur.
3 PADEPOKAN TANAH PUTIH banyak
ditumbuhi ilalang dan semak bambu, di samping pohon-pohon pisang serta lain-
lainnya. Pagi itu angin bertiup dari
utara cukup kencang menimbulkan suara gemersik dedaunan. Tidak jauh dari
rumah padepokan, Mahesa Wulung duduk
di atas sebuah batu besar. Ia tengah melamun merindukan kota Demak. Di sana ia
hidup senang tidak kekurangan,
kawan-kawannyapun banyak serta ramah-
ramah. Teringat ia sering berlayar
dengan perahunya menjelajah lautan.
Jiwanya pelaut terasa benar memanggil.
Di sini ia tidak melihat laut yang
luas, yang airnya gemerlapan ditimpa
sinar matahari, tapi hanya tumbuhan-
tumbuh-an dan tanah pegunungan melulu, bergunung-gunung dengan lekuk-lekuk
lembah serta berjurang dengan te-
bingnya yang curam. Di tengah
lamunannya itu terdengar dari samping langkah yang mendekat ke arah
duduknya. Adi Mahesa Wulung, kau di sini
melamun" Aku tadi mencarinya ke mana-
mana, kata orang yang mendekat itu.
Hee, kakang Gangsiran. Sahut
Mahesa Wulung. Benar kakang, aku
tengah melamun merindukan kota Demak.
Apakah adi ingin lekas-lekas
pulang" tanya Gangsiran.
Tidak kakang, aku tidak ingin
lekas pulang sebelum tugas yang
dipikulkan kepundakku selesai dan
beres. Lihat dimas, di sini banyak
tumbuh pohon bambu yang bagus. Dari
pada kau melamun, baiklah kubuatkan
nanti sebuah seruling yang dapat
mengobati rindumu, kata Gangsiran
sambil meraba pinggangnya mengeluarkan pisau kecil lalu pergi kesemak bambu.
Tak lama kemudian kembalilah ia dengan membawa dua potong bambu kuning.
Ini adi Wulung, kubuatkan kau
sebuah dan aku sebuah.
Terima kasih kakang. Gangsiran
memang cekatan dan rajin. Setelah
sesaat menghaluskan potongan bambu
itu, segera membuat lubang-lubang nada sebanyak enam buah dan sebuah lagi
lubang untuk meniup seruling itu.
Hasilnya tidak mengecewakan. Selain
potongan bambu kuning itu dipilih dari batang yang terbaik, pada kedua ujung
seruling masih dibuatnya lagi goresan-goresan semacam hiasan menambah
indahnya. Kini Mahesa Wulung tidak lagi
melamun. Kerinduannya akan kotanya,
ayahnya yang sudah tiada disalurkannya lewat irama sulingnya. Nadanya
mengalun-alun indah dibawa oleh tiupan angin yang berlalu. Kadang-kadang
berirama naik, kadang-kadang menurun mengharukan siapa yang mendengar.
Gangsiran yang mula-mula juga akan
meniup serulingnya, menjadi terpesona mendengarnya.
Tiba-tiba saja seperti digerakkan
oleh suatu ilham yang timbul di dalam hatinya, Mahesa Wulung berpikir.
Ah, betapa seandainya aku
menyalurkan aji "Bayu Rasa" yang telah aku miliki ini lewat irama serulingku"
Maka bibirnyapun segera bergerak
meniup seruling itu dengan dilambari
ilmunya'"Bayu Rasa". Terasa iramanya menjadi lain dari pada tadi. Benar-benar
mengherankan. Suara yang keluar dari seruling itu menjadi beralun-alun dengan
hebat, sesekali berubah
bergulung-gulung sampai memantul ke
tebing-tebing jurang dan lembah
dipojok sana. Beberapa burung elang
yang terbang di angkasa melingkar-
lingkar irama seruling Mahesa Wulung, menari-nari dengan indahnya menuju ke arah
utara. Mahesa Wulung yang kini sedang
asyik meniup serulingnya itu tiba-tiba dipecahkan oleh suara gemerisik di
semak ilalang di sebelah utara.
Keluarlah dari dalam semak berlari-
lari seekor katak yang tengah dikejar seekor ular. Mahesa Wulung terkejut
kemudian dengan nada setengah marah


Pendekar Naga Geni 1 Mahesa Wulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepada ular itu, serulingnya ditiup
dengan nada meninggi seolah-olah
sebagai luapan perasaan marahnya.
Gangsiran yang mengikuti peristiwa
ini, tidak kalah herannya. Suara
seruling bernada tinggi ini seperti
mempunyai daya pukulan. Ular yang
tengah mengejar katak tadi terpental
jatuh ke belakang sambil melingkar-
lingkar kesakitan. Rupanya ular itu
benar-benar timbul kemarahannya karena merasa serangannya gagal. Kepalanya
kembali ditegakkan tinggi-tinggi siap menyerang lagi katak yang tengah
melarikan diri itu. Tapi setiap kali
ia menyerang dan meluncur ke depan
setiap kali pula ia dipukul jatuh oleh suara seruling Mahesa Wulung yang
bernada tinggi.
Akhirnya ular itu merasa
kewalahan dan dengan cepat-cepat
meluncur balik kembali kesemak-semak
ilalang. Katak itu meloncat-loncat dan sejenak berhenti di muka Mahesa Wulung
seolah-olah menyatakan rasa terima
kasihnya karena telah menyelamatkan
dirinya dari bahaya maut. Setelah itu kembali dengan
lompatan-lompatan
panjang berlalu dari tempat itu menuju ke sebuah mata air.
Mahesa Wulung tersenyum melihat
katak itu lenyap dibalik batu-batuan
dan kembali ia menerukan tiupan
serulingnya. Sementara itu Panembahan Tanah
Putih yang tengah membalik-balik kitab daun lontar di padepokan menjadi heran
pula mendengar alunan nada seruling
yang mempunyai tenaga dalam itu. Maka ditutupnya kitab lontar itu dan
disimpannya kembali. Panembahan Tanah Putih bangkit dari duduknya dan pergi
mencari arah sipeniup seruling itu.
Ketika ia menerobos semak-semak
pohon dan tiba di tempat yang
ditumbuhi pohon bambu dan ilalang
terlihatlah seseorang duduk di atas
sebuah batu tengah asyik meniup
seruling. Sedang di sampingnya berdiri pula seorang yang tengah menikmati
suara seruling itu. Setelah
didekatinya, Panembahan tua itu tampak tersenyum sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ah, kau benar-benar hebat Wulung,
Kau telah mengetrapkan aji "Bayu Rasa"
sebaik-baiknya, kata Panembahan tua
itu dari belakang. Mahesa Wulung
terkejut nenghentikan tiupan
serulingnya seraya menoleh ke belakang demikian juga Gangsiran. Tapi irama
serulingnya masih sesaat memantul dan bergema di tebing-tebing jurang di
sebelah selatan.
Oh, sang panembahan, selamat pagi
guru, kata mereka bersama-sama ketika dilihatnya Panembahan Tanah Putih
berdiri di belakang mereka.
Ya, ya, selamat pagi angger
semua. Kata panembahan tua itu seraya duduk pula di atas batu hitam di
samping Mahesa Wulung.
Aku tadi merasa terpikat dengan
tiupan serulingmu, Wulung.
Memang guru, dimas Wulung benar-
benar hebat. Ia telah berhasil
mengusir dan memukul jatuh seekor ular yang sedang mengejar seekor katak.
Juga beberapa burung elang yang sedang terbang di langit ikut menari-nari
mengikuti irama serulingnya. Gangsiran berkata menceriterakan kejadian-kejadian
yang baru saja lewat.
Begitulah memang harapanku
Wulung. Seorang guru kadang-kadang
hanya mengajar seorang muridnya dengan dasar-dasarnya yang pokok, tapi sang
murid itu sendiri mempunyai kewajiban untuk mengembangkan ilmu yang telah
diterima dari gurunya itu sesuai
dengan pribadinya serta pengalaman-
pengalamannya. Kadang-kadang seorang
murid sampai bisa melebihi gurunya
karena ia lebih rajin dan teliti,
menambah ilmunya.
Terima kasih guru! jawab Mahesa
Wulung. Coba aku pinjam sebuah
serulingnya Gangsiran. pinta orang tua itu dan segera pula Gangsiran memberikan
seruling dari tangannya.
Wulung dan Gangsiran, marilah
kita mencoba meniup seruling bersama-
sama dengan aji Bayu Rasa. Aku ingin
tahu bagaimana jadinya nanti.
Baik sang panembahan.
Tapi jangan lupa mengetrapkan
sikap Tugu Wasesa agar kalian tahan
dengan getaran-getaran yang timbul
dari seruling ini.
Demikianlah setelah mereka
mengetrapkan sikap Tugu Wasesa.
Panembahan Tanah Putih dan Mahesa
Wulung bersama-sama meniup serulingnya sedang Gangsiran diam mendengarkan
iramanya. Mula-mula irama mereka sama.
Terasa getaran di udara mengalun indah berlingkar-lingkar saling melilit.
Sejurus kemudian mulailah mereka
memperdengarkan irama yang berlainan.
Kedua getaran iramanya kini saling
berkejaran dan terkam menerkam seperti dua ekor naga yang tengah berkelahi.
Sesaat lagi yang satu berirama rendah sehingga seolah-olah menukik turun ke
bawah. Sedang yang kedua berirama
tetap tinggi. Tiba-tiba yang pertama tadi berirama tinggi kembali seperti
mengejar suara yang kedua. Melihat hal ini maka suara seruling yang kedua
tidak tinggal diam, maka iapun menjadi rendah menyambut suara pertama yang
tengah naik ke atas. Maka terdengarlah dua benturan yang keras menggelegar di
udara seperti puluhan petir.
Beberapa ekor burung yang tengah
hinggap di ranting-ranting semak
terkejut dan terbang sembari
berteriak-teriak. Ketiga-tiganya
tampak pula terperanjat melihat akibat tiupan seruling mereka. Baik
Panembahan Tanah Putih maupun Mahesa
Wulung sendiri tidak nyana kalau
benturan irama seruling yang dilambari aji Bayu Rasa bisa sedemikian hebatnya.
Gangsiran yang rupa-rupanya belum
sempurna sikap Tugu Wasesanya terpaksa menutup kedua belah telinganya karena
kurang tahan mendengar getaran irama
seruling yang beradu itu. Mereka
bertiga akhirnya menghentikan
permainan seruling yang mana kala
matahari mulai lewat di atas kepala
mereka dan berangsur-angsur bergeser
ke barat, dan pulanglah mereka bertiga kembali kepadepokan Tanah Putih.
Malamnya Mahesa Wulung dan Gangsiran
dipanggil oleh Panembahan Tanah Putih untuk bercakap-cakap dipendapa.
Wulung, besok adalah hari baik
yang telah kita nanti-nantikan itu.
Apakah kau masih berminat menyelidiki ular pusaka Kyai Naga Geni" tanya tua itu.
Masih berminat, guru, kata Mahesa
Wulung ingin sekali
menyatakan ceritera tentang pusaka itu.
Nah, kalau begitu kalian boleh
berangkat besok pagi-pagi sekali. Dari padepokan sini, kamu berdua naik kuda
saja ke arah Barat lewat tanah
pegunungan. Bawalah
bekal, kamu mungkin nanti tidak menjumpai kampung dijalanan. Ingat, segala sesuatu yang
telah aku ajarkan kepada kalian,
hendaknya dipergunakan sebaik-baiknya.
Terima kasih Sang Panembahan.
Apakah kiranya kami diizinkan untuk
mempersiapkan segala sesuatu malam ini juga".
Ya, ya, itu lebih baik. Dengan
demikian kalian bisa pagi-pagi memulai perjalanan kata orang tua itu.
Saya akan senantiasa berdoa agar
cita-cita dan tugasmu berhasi!, Wulung
! Percakapan singkat malam, itupun
selesailah, karena Mahesa Wulung dan
Gangsiran akan segera mengatur barang-barangnya. Sebenarnya, mereka itu
masih lelah sebab seharian telah
bekerja dan berlatih, tapi itupun tak terasa sekali, karena mereka memang
orang-orang yang suka bekerja.
Udara pagi amat cerah, secerah
wajah-wajah yang berdiri di halaman
padepokan Tanah Putih. Sang Panembahan berjanggut putih dan beberapa orang
murid kini berjabat tangan dengan
Mahesa Wulung dan Gangsiran yang
berdiri di dekat kudanya.
Selamat jalan angger Mahesa
Wulung dan Gangsiran. Semoga Tuhan
akan melindungi kalian diperjalanan,
kata Panembahan Tanah Putih itu,
sementara matanya yang telah tua
tampak berkaca-kaca.
Selamat tinggal Sang Panembahan
dan para kisanak semua mudah-mudahan
kita akan berjumpa pula dengan tiada kurang suatu apa, seru mereka sambil
meloncat kepunggung kudanya masing-
masing. Sekali lagi sang Panembahan
mendekati Gangsiran sambil berkata.
Gangsiran, jagalah angger Mahesa Wu-
lung baik-baik dan aku mengampuni
segala dosa-dosamu.
Baik guru, aku akan jaga dia
baik-baik seperti menjaga nyawaku
sendiri, Gangsiran berkata penuh haru, lalu kekang kudanya ditarik dan
dipukulkan ke leher kudanya untuk
menyusul Mahesa Wulung yang telah
berjalan lebih dahulu didepannya.
Merekapun meninggalkan padepokan
itu dengan memacu kuda-kudanya segera ke arah barat melewati tanah
pegunungan yang penuh lekuk-lekuk
jurang itu. Sepanjang perjalanan
terlihat semak-ilalang dan rumput-
rumput liar lainnya tumbuh di sana
sini berombak-ombak bagaikan riak air laut yang tersapu oleh angin. Sedang
pohon-pohon besar tumbuh tidak
terlampau rapat letaknya, seperti
pohon siwalan yang terlihat berjejer-
jejer tumbuh dengan suburnya.
Adi Mahesa Wulung, aku merasa
seperti tidak akan pernah sampai lagi kepadepokan Tanah Putih, suara
Gangsiran memecah kesunyian.
Mengapa kakang" tanya Mahesa
Wulung keheranan.
Entahlah, sebabnya tak dapat aku
jelaskan dimas. Akupun hanya
merasakannya secara tiba-tiba.
Janganlah itu dirisaukan kakang.
Serahkan saja hal itu kepada Tuhan.
Kepada Nyalah kita berlindung dan
kepada Nya pula kita memohon.
Benar dimas kata-katamu itu.
Terima kasih atas nasehatmu.
Sementara mereka berdua melarikan
kudanya ke arah barat, jauh di atas
sana, di atas tebing jalan itu
terkuaklah semak ilalang oleh jari-
jari tangan dan sepasang mata dengan
tajam mengawasi gerak perjalanan
Mahesa Wulung dan Gangsiran.
Hmm, mereka memacu kudanya ke
arah barat. Rupa-rupanya mereka menuju ke Gunung Brintik dan menaruh minat
terhadap pusaka Kyai Naga Geni. Ha,
ha, ha bagus. Manakala mereka berhasil mendapatkan pusaka itu, segera disaat itu
pula sang Naga Geni pasti pindah
ketanganku. Bayangan tadi berkelebat dengan
cepat mendapatkan beberapa orang
temannya yang telah menunggunya sejak tadi di balik rumpun bambu.
Ayo cepat naik ke kudamu masing-
masing. Kita buntuti mereka dari jauh!
Kali ini Sima Gereng akan membuat
perhitungan dengan Mahesa Wulung, ha, ha, ha !
Segera mereka berlompatan dan
naik kekudanya masing-masing, lalu
memacunya turun dari atas tebing
mengikuti jejak jejak kedua mangsanya.
Mereka sengaja untuk membiarkan Mahesa Wulung lebih dahulu berusaha
mendapatkan pusaka Kyai Naga Geni itu, setelah berhasil barulah mereka akan
merebutnya. Itulah sebabnya mereka
tidak akan mengganggu kedua mangsanya lebih dahulu. Sima Gereng dan orang-
orangnya itu sebenarnya kurang menaruh minat terhadap pusaka itu, sedang
bentuknya pun mereka belum pernah
tahu. Yang mereka tahu hanyalah, se-
tiap orang bahkan anak buahnya pun
sendiri yang pernah mencoba masuk ke gua dan mencari pusaka itu, pada mati
konyol dengan badan yang hangus-hangus setelah bertempur melawan seekor ular
besar yang menyala biru kehijau-hijauan. Hingga semenjak itu tak
seorangpun berani mencoba memasuki gua itu lagi. Kini dengan tiba-tiba saja
Sima Gereng tahu bahwa Mahesa Wulung
akan berusaha mendapatkan pusaka itu.
Heh, heh, heh, inilah kesempatan


Pendekar Naga Geni 1 Mahesa Wulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk membuat jasa untuk Ki Singalodra dan untuk menyerahkan pusaka itu
kepadanya, ia bersedia menukar dengan emas, intan dan uang yang berlimpah.
Ini namanya menangguk ikan di air
keruh, pikir Sima Gereng diam-diam,
kemudian berpesan kepada anak buahnya.
Awas jangan ganggu mereka, sebelum
pusaka itu diperolehnya.
Mereka dengan diam-diam mengikuti
Mahesa Wulung dan Gangsiran, sedang
jaraknyapun mereka jaga benar-benar
agar selalu cukup jauh dan langkah-
langkah mereka tidak terdengar oleh
Mahesa Wulung yang bertelinga tajam
itu. Setelah beberapa lama mereka
berjalan menempuh tanah pegunungan
yang berlembah dan bertebing-tebing
itu sampailah di kampung Bergota yang dulu disebut juga Pulau Tirang.
Disinilah pernah tinggal Pangeran Mode Pandan putera Adipati Junus, raja
Demak yang terkenal pula dengan nama
Pangeran Sabrang Lor karena suka
berlayar ke Utara bertempur melawan
orang-orang Portugis. Di Pulau Tirang itu Pangeran Mode Pandan mendirikan
Perguruan Agama dan tinggalah di sana bersama puteranya Raden Pandan Aran.
Sementara itu Sima Gereng bersama anak buahnya mengambil jalan lain untuk
menjauhi kampung Bergota agar tidak
diketahui oleh siapapun. Mahesa Wulung dan Gangsiran singgah di desa itu
beberapa saat untuk melepaskan
lelahnya sebeium meneruskan tujuannya ke Gunung Brintik yang letaknya ada di
sebelah barat kampung Bergota. Mahesa Wulung dan Gangsiran yang singgah di
desa itu sempat pula bercakap-cakap
dengan Ki Waru sahabat lama Gangsiran.
Benar-benarkah kisanak berkeras
hati untuk menyelidiki Pusaka Naga
Geni dari Gunung Brintik itu" tanya Ki Waru dengan wajah yang ragu-ragu.
Benar Ki Waru. Jawab Mahesa
Wulung. Kalau boleh saya nasehati,
sebaiknya Kisanak tidak usah
meneruskan maksud itu. Telah berapa
saja jatuh menjadi korban karena
mencoba mendapatkan Pusaka Kyai Naga Geni yang belum pernah diketahui
bentuknya itu! Terima kasih atas nasehat itu
bapak. Tapi kami akan tetap dengan
sungguh-sungguh menyelidiki Pusaka itu supaya kami tahu apakah itu benar-benar
ada atau hanya kabar bohong
belaka. Tentang berhasil atau
tidaknya, itu tidak menjadi soal bagi kami. Kita manusia wajib berusaha
tetapi Tuhanlah yang akan menentukan.
Dengan demikian kami tidak akan
berkecil hati seandainya kami tidak
berhasil mendapatkan Pusaka itu.
Demikian Mahesa Wulung berkata dengan tenangnya sampai membuat Ki Waru
mengangguk-angguk karena saking
kagumnya akan kekerasan tekat kedua
tamunya itu. Ah, kisanak, kau memang benar-
benar berjiwa perwira. Aku turut
bangga berkenalan dan bercakap-cakap
dengan kisanak berdua. Mereka bertiga sangat akbrabnya, berbagai hal mereka
bicarakan dengan ramahnya tapi bagi Ki Waru sangat merasa sayang karena
waktunya sangat sebentar dan tamunya
harus meminta diri untuk segera
melanjutkan perjalanannya ke Gunung
Brintik. Mahesa Wulung dan Gangsiran
kini melanjutkan perjalanannya ke arah barat serta memacu kudanya.
Kita usahakan untuk tiba di sana
sebelum matahari terbenam kakang.
Sebab kalau kemalaman, kita sukar
mencari letak gua itu diwaktu gelap,
kata Mahesa Wulung seraya menambah
kecepatan lari kudanya.
Benar adi Wulung. sahut
Gangsiran, Ayo kita cepat-cepat. Maka keduanyapun memacu kuda-kudanya yang
kini lari cepat seperti dikejar setan itu, dan tak lama kemudian setelah
membelok ke barat daya sampailah
mereka di daerah Gunung Brintik.
Setelah keduanya turun dari kuda,
segera menuju ke semak-semak di bawah pohbn siwalan serta mengikatkan kedua
binatang itu pada sebuah pohon yang
tersembunyi letaknya. Sinar matahari
yang masih cukup terang itu memberikan bantuan kepada mereka untuk menemukan
letak gua tersebut.
Pada mulut gua tumbuh semak-semak
seperti melindungi tempat itu dari
pandangan mata, sedang dinding-dinding mulut gua itu penuh ditumbuhi lumut
liar coklat kehijauan diseling-seling tumbuhnya pohon paku di sana sini
menambah keseraman suasana.
Kakang Gangsiran, kau menunggu
aku di luar gua sampai aku keluar
membawa pusaka itu. Kalau terjadi apa-apa, lekas beri tahu aku.
Baik adi Wulung, berhati-hatilah.
Nah, kakang aku masuk sekarang
juga, kata Mahesa Wulung, lalu
bergegas memasuki gua itu. Sungguh
seram bentuk gua itu. Di samping
lumut-lumut liar, pada dindingnya,
yang lembab oleh air muncul pula akar-akar pohon yang bergantung-gantung
seperti ular menantikan mangsanya.
Dari arah perut gua itu terdengar
bunyi tetes-tetes air berirama seperti lagu maut. Ketika Mahesa Wulung lebih
masuk lagi, kakinya terantuk sesuatu
yang berwarna putih dengan tiba-tiba
dan betapa terkejutnya demi dikeruk-
keruk tanah yang menutup benda putih
itu, muncul tengkorak manusia! Bulu
tengkuk Mahesa Wulung berdiri
seketika, tapi disaat itu pula
diucapkan doa dan segera tenanglah
hatinya. Setelah lima jangkah lagi
Mahesa Wulung bergerak maju, tampaklah sebuah batu hitam besar, licin dengan
permukaan datar. Di samping batu agak jauh letaknya terlihat pula kerangka
manusia! Rupanya batu itu biasa
digunakan oleh orang-orang untuk
tempat duduk di dalam ruangan gua yang luas itu.
Mahesa Wulung lalu duduk bersila
di atas batu itu dengan tenangnya
untuk beristirahat sejenak. Kini senja telah tiba. Sebentar lagi gua ini akan
bertambah gelap dan untuk menyelidiki tentang pusaka itu sudah tidak mungkin
lagi. Baiklah aku lanjutkan
saja penyelidikanku besok pagi pikir Mahesa Wulung dengan tidak lupa memasang
kewaspadaannya.
Keesokan harinya, Mahesa Wulung
menyelidiki keadaan gua sampai ke
lekuk-lekuk dindingnya. Tapi tidak ada tanda-tanda adanya sebuah pusaka,
bahkan ular naga yang sering disebut-
sebut orang itu juga tidak tampak.
Namun Mahesa Wulung belum
berputus asa, maka hari demi hari
ditunggunya sesuatu yang mungkin
terjadi yang bisa menunjukkan tanda-tanda, pusaka itu.
Sima Gereng yang membuntuti
Mahesa Wulung dan Gangsiran tiba pula di tempat itu. Mereka lalu mencari
tempat tersembunyi untuk menunggu
mangsanya. Tampak pula oleh mereka
Gangsiran yang dengan enaknya duduk
diantara semak-semak di muka gua.
Anak-anak, lihat dan awasi betul-
betul gua itu. Jika kau lihat
seseorang keluar dari dajam gua segera kita serang bersama-sama. Kini kita
bergantian istirahat!
Tepat pada hari yang kelima pada
suatu senja, terlihat cahaya terang di langit, berwarna hijau kebiru-biruan
meluncur dengan cepatnya ke atas Gu-
nung Brintik. Itulah agaknya yang
biasa disebut orang-orang dengan nama NDARU yang menurut kata, barang siapa
kejatuhan ndaru akan mendapat
kebahagiaan. Sementara itu Gangsiran
yang berjaga-jaga
di depan gua tertidur kelelahan sehingga ia tidak
melihat cahaya itu. Sebaliknya dengan Sima Gereng serta anak buahnya dapat
menyaksikan cahaya kebiru-biruan itu.
Mula-mula cahaya itu setelah tiba di
atas bukit tempat gua itu terletak,
melayang-layang berputar. Sedang Sima Gereng dengan anak buahnya menjadi
terkejut demi terlihat oleh mereka
diantara sinar kebiruan itu tampak
bentuk ular naga berwarna hijau
kebiru-biruan dengan mulutnya yang
sebentar-bentar ternganga serta
mengeluarkan api dengan warna yang
serupa kulit tubuhnya. Akhirnya ular
itu melayang turun dan masuk ke dalam gua.
Cahaya terang yang tiba-tiba
menyinari gua itu sangat mengejutkan
Mahesa Wulung lebih-lebih lagi dengan masuknya ular besar seperti naga
berwarna hijau kebiru-biruan itu.
Agaknya ular itupun terkejut pula
melihat Mahesa Wulung yang tengah
duduk bersila. Kepalanya segera
diangkat tinggi dan menyambar ke arah Mahesa Wulung duduk itu, tapi Mahesa
Wulung yang sudah digembleng oleh
Panembahan Tanah Putih itu cukup
waspada maka begitu ular itu
menyambar, secepat itu pula ia
mengelak ke samping. Ternyata sambaran ular itu menimbulkan angin yang hebat,
terlihat dari pasir-pasir yang
terhambur karenanya. Sang ularpun kini terhenti sejenak sambil tajam
mengawasi Mahesa Wulung.
Rupa-rupanya ia keheranan melihat
mangsanya dengan mudah dapat
menyelamatkan diri dari serangannya,
kembali ular itu bersiap-siap
menyerang. Mulutnya ternganga lebar.
Melihat ini Mahesa Wulung ingat
ceritera tentang ular itu yang biasa
menggunakan semburan apinya dalam
membinasakan lawannya, lalu bersiap-
siap pula. Ternyata tepatlah
perhitungannya, ular itu cepat
menyemburkan api hijau kebiruan dari mulutnya. Mahesa Wulung sekali lagi
mengelak ke kiri hingga api semburan
ular itu terkena dinding dan
terlihatlah betapa lumut-lumut liar
serta dinding gua yang hangus dan
terbakar habis menjadi abu, sedang
dindingnya terlihat berkepul
mengeluarkan asap karena kepanasan.
Mahesa Wulung kini lebih berhati-hati lagi, ia tidak berani menganggap
ringan ular itu.
Hemm, aku tak boleh hanya
mengelakkan serangannya dan selalu
bertahan saja tapi akupun harus pula
menyerangnya. Maka secepatnya Mahesa
Wulung meloncat menyerang ular itu ke arah kepalanya dengan pukulan sisi
telapak tangannya, Tapi sekali ini
ganti Mahesa Wulung yang dibikin
terkejut melihat ular itu dengan
tenangnya memiringkan kepalanya
sehingga pukulan. Mahesa Wulung lewat sejengkal dari kepalanya mengenai
udara kosong. Dengan begitu Mahesa
Wulung tiba di samping ular itu dan
kini ular itupun segera membalas
serangan lawannya dengan memukulkan
ekornya ke tubuh Mahesa Wuluhg.
Mendapat serangan demikian Mahesa
Wujung secepat kilat meloncat ke kanan hingga ekor ular itu tidak, mengenai
tubuhnya tetapi memukul dinding gua.
Beberapa batu-batu kerikil dan lumut-
lumut liar rontok dari dinding gua
akibat sabetan ekor ular itu.
Dalam pertempuran di dalam gua
itu Mahesa Wulung selalu mudah
mematahkan serangan-serangan ular itu karena sinar biru kehijauan yang
memancar dari ular itulah yang telah menolong pandangan Mahesa Wulung,
sehingga ia dapat mengetahui setiap
gerak dari serangan-serangannya. Gerak Mahesa Wulung kini masih bertambah
garang bahkan selalu dapat menyusup
diantara gerakan-gerakan tubuh ular
yang menyerangnya, laksana burung
sikatan yang terbang diantara celah
pohon-pohonan. Tiba-tiba disaat pertempuran
melawan ular itu Mahesa Wulung
teringat pesan gurunya, untuk setiap
kali menggunakan semua pengalaman-
pengalamannya. Ya ia ada membawa
seruling yang pernah dicobanya
dipadepokan Tanah Putih. Mengapa ia
kini tidak mempergunakannya" Mahesa
Wulung teringat akan hal ini cepat-
cepat menarik serulingnya lalu
ditiupnya dengan lambaran ilmunya Bayu Rasa. Suaranya mengalun merdu penuh


Pendekar Naga Geni 1 Mahesa Wulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rasa kasih sayang dan kelembutan.
Memang, Mahesa Wulung, berusaha
mempengaruhi ular untuk kemudian
ditangkapnya hidup-hidup, karena iapun
merasa heran terhadap ular ini yang
tubuhnya memancarkan cahaya biru
kehijauan. Mungkinlah ini petunjuk
tentang pusaka Naga Geni yang
dicarinya! Terkena oleh suara serulingnya,
ular itu tidak lagi menyerang Mahesa
Wulung, seakan-akan ia terpesona akan iramanya. Kini ia menjadi tenang,
kepalanya diangkat serta mengangguk ke
sana ke mari. Malahan oleh Mahesa
Wulung terlihatlah bahwa mata ular itu berkaca-kaca seperti mata seseorang
yang rindu atau mengharukan sesuatu.
Mahesa Wulung sangat terkejut dan herannya melihat hal ini, karena
selenyap ular itu, di kedua belah tangannya tergenggam sebuah cambuk yang
mengeluarkan cahaya
biru kehijau- hijauan. Dengan gemetar cambuk yang ada di tangannya itu diamat-amatinya.
Sekarang Mahesa Wulung akan
mencoba mengakhiri tiupan serulingnya serta menangkap ular itu. Begitu cepat ia
menyelipkan serulingnya
kepinggangnya, kembali, serta menerkam ke arah ular itu. Satu tangan
mencengkeram kepala, satu tangan lagi ke tubuh ular. Sementara sisa-sisa
tiupan serulingnya masih menggema di
ruang gua itu. Ular yang tubuhnya
dicengkeram oleh kedua tangan Mahesa
Wulung berlandaskan aji Lebur Waja itu tak dapat bergerak lagi, hanya ia
menggetarkan tubuhnya, setelah itu
terlihat tubuhnya mengeluarkan asap
dan sedikit demi sedikit tubuhnya
makin mengecil, kecil dan akhirnya
lenyap sama sekali. Mahesa Wulung
sangat terkejut dan herannya melihat
hal ini, karena selenyap ular itu,
dikedua belah tangannya tergenggam
sebuah cambuk yang mengeluarkan cahaya biru kehijau-hijauan. Dengan gemetar
cambuk yang ada ditangannya itu
diamat-amatinya. Ternyata pegangan
cambuk itu berbentuk kepala ular
sampai kelehernya, sedang batang tubuh cambuk sampai keujungnya beranyam-anyam
menyerupai sisik ular. Sambil
mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang
Maha Besar, diciumnya cambuk itu,
sebagai pernyataan gembira karena
Tuhan telah mengizinkan mendapat
pusaka itu, pusaka kyai Naga Geni yang berwujud cambuk.
Mahesa Wulung cepat bergegas
keluar dari gua itu yang kini kembali sunyi, hanya terdengar tetes-tetes air
saja. Di depan mulut gua itu
didapatinya Gangsiran menunggu dengan berdiri kecemasan. Begitu dilihatnya
Mahesa Wulung muncul dari dalam gua,
segera mendapatkannya,
Ah, adi Mahesa Wulung. Apakah adi
sehat-sehat saja " O, Syukur adi
Mahesa Wulung telah mendapatkannya.
Aku pun turut menyatakan gembira adi.
Tiupan serulingmu sungguh-sungguh
hebat. Bersamaan kata-kata Gangsiran
selesai, sekonyong-konyong
berlompatanlah kelima orang mengepung mereka berdua. Walaupun hanya dalam
kegelapan senja Mahesa Wulung dapat
mengenal mereka.
Hemm, diantara mereka pernah
kukenal dalam pertempuran dipadepokan Tanah Putih. pikir Mahesa Wulung.
Hee, apa maksudmu mengepung kami
berdua! serunya pula.
Ha, ha, ha, kau mau tahu
maksudku" Serahkan saja pusaka yang
baru kau dapat itu kepada kami.
Sebagai gantinya nyawa kalian akan
selamat, ha, ha, ha. teriak Sima
Gereng sambil mengacungkan penggadanya yang berujung bola besi berduri.
Engkau ingin pusaka ini" Boleh
kau dapat setelah melayang nyawaku.
Mari ambil sendiri kalau kau ingin
pusaka ini! Mendengar kata Mahesa Wulung itu,
Sima Gereng menjadi marah. Sambil
berteriak nyaring, Sima Gereng
bergerak menyerang yang segera pula
diikuti oleh keempat anak buahnya.
Terjadilah di muka gua itu
pertempuran yang cukup dahsyat. Mahesa Wulung sibuk melayani tiga orang
lawan, seorang diantaranya adalah Sima Gereng sendiri, sedang yang dua lagi
bersenjata pedang pendek. Untuk kedua kalinya Sima Gereng menjadi kecewa
melihat Mahesa Wulung dengan mudahnya mematahkan setiap serangan-serangan.
Bahkan dengan cambuknya yang bergulung rapi itu ia dapat mendesak mundur Sima
Gereng dengan kedua anak buahnya. Sima Gereng menjadi semakin marah.
Ayo, Mahesa Wulung, cepat berikan
pusaka itu supaya kau masih sempat
menikmati cahaya matahari besok pagi, teriak Sima Gereng sambil bertempur
gerakannya bertambah ganas.
Hee, Sima Gereng, boleh kau
kerahkan semua tenagamu. Mahesa Wulung tidak takut dengan gertak sambalmu.
Balas Mahesa Wulung yang mana kata-
kata itu makin membuat darah Sima
Gereng terasa makin mendidih.
Adapun Gangsiran yang dikeroyok
oleh dua orang bersenjata pedang
pendek itu dengan baiknya menangkis
serangan-serangan pedang lawannya yang menyambar bergulung-gulung mengerikan.
Sekali-kali ia melirik ke arah Mahesa Wulung yang tengah menghadapi tiga
orang lawannya. Dalam pada itu
Gangsiran teringat akan janjinya bahwa ia dengan sungguh-sungguh akan menjaga
temannya, Mahesa Wulung. Maka
secepatnya ia bermaksud mengakhiri
pertarungan itu serta membantu pula
Mahesa Wulung. Gangsiran yang selama ini
menghadapi lawan-lawannya, hanya
menggunakan senjata pisau belati
panjang, sedang pisau-pisau kecilnya
kali ini belum sempat mempergunakannya karena jarak untuk melemparkannya
harus cukup jauh. Kini kedua lawan
Gangsiran makin mendesak dari dua arah samping kiri dan kanan
disertai bacokan-bacokan pedang pendeknya.
Untunglah bahwa ia cukup tangkas,
bahkan ketika sebuah pedang lawan
hampir mendarat dikepalanya, secepat
itu pula Gangsiran berkelit ke samping lawan dan tangannya yang bersenjata
pisau belati panjang bergerak dengan
cepat. Tahu-tahu lawannya tadi
menggeliat, pedangnya terlepas sedang kedua tangannya mencoba memegang
pinggangnya sambil mengeluarkan
teriakan tertahan. Terlihat diantara
sela-sela jari mengalir darah merah
dan kemudian rebah ke tanah.
Sementara itu, Mahesa Wulung yang
dikeroyok ketiga lawannya dapat
bergerak dengan lincahnya dan seperti kilat ia meloncat menghindari setiap
serangan senjata yang tertuju
kepadanya, kemudian dengan berjungkir batik di udara seperti burung sikatan,
melenting tinggi dan akhirnya mendarat di atas tanah kembali. Ketiga lawannya
berdesir melihat cara Mahesa, Wulung
bergerak dan diam-diam mereka mengeluh di dalam hati mengapa sampai terlibat
dalam pertempuran dengan orang ini.
Sima Gereng yang telah habis
beberapa jurus dalam menyerang Mahesa Wulung rupanya sudah tidak sabar lagi
memperpanjang waktu. Sekonyong-konyong tangannya meraba ikat pinggangnya dan
berkelebat dengan cepat, maka
melayanglah beberapa butir bulatan
logam ke arah Mahesa Wulung. Namun
Mahesa Wulung yang telah sejak semula curiga melihat Sima Gereng makin
menjauh dari titik pertempuran, dengan tangkasnya mengibaskan cambuknya ke
udara dan sejurus kemudian butir-butir logam
yang melayang itu tersapu,
bersih berjatuhan ke tanah. Sima
Gereng amat terkejut melihat senjata
rahasianya gagal dalam tugasnya.
Selama ini belum pernah seorang
lawanpun bisa lolos begitu mudah.
Kini ganti kedua anak buah Sima
Gereng menyerang. Bersamaan dengan
kedua lawannya yang berbareng
membacokkan pedang pendeknya kearah
dada, Mahesa Wulung sekali lagi
melayangkan cambuknya ke arah mereka
sambil berseru: Kalian ingin pusaka
ini, nih ambillah olehmu.
Kedua lawan Mahesa Wulung
terpental hebat ketika ledakan cambuk pusaka itu menimpa mereka, laksana dua
batang pohon yang kesambar petir
keduanya tumbang ke tanahdengan kulit tubuhnya terbakar hangus.
Baik Mahesa Wulung dan lebih-
lebih Sima gereng sendiri sangat
terkejut menyaksikan kehebatan pusaka cambuk Naga Geni ini. Maka dengan
suwitan nyaring Sima gereng
berloncatan mundur kesemak-semak
diikuti oleh anak buahnya yang tinggal seorang itu. Tapi sekali ini Gangsiran
tidak mau begitu saja ditinggal lari
oleh lawannya. Begitu ia mencoba meloncat
mundur, Gangsiran menghentikannya
dengan lemparan pisau belati
panjangnya hingga lawannya terhenyak
dan jatuh terkapar di atas ilalang
dengan sebuah belati menghias dadanya.
Sementara itu Sima Gereng yang
tengah meloncat melarikan diri
terlihat oleh Gangsiran yang segera
pula mengejarnya. Cahaya merah di
langit barat telah lenyap diganti oleh sinar-sinar perak yang purnama dan
bintang-bintang lainnya yang kini
tampak bertebaran di langit. Kegelapan semak-semaklah yang
menolong Sima Gereng dapat lolos dari kejaran
Gangsiran. Kini Gangsiran berdiri di atas
rumpun ilalang diantara dua gerumbul
semak setelah menghentikan kejarannya.
Ia mencoba-coba mencari arah lenyapnya Sima Gereng. Ketika itu terdengar
desir daun-daunan dari sebuah semak-
semak, lalu berkelebatlah sebuah
bayangan kearahnya dan langsung
menyerangnya dengan tusukan keris.
Gangsiran amat terkejut, tapi segera
dapat menguasai keadaan dan
keduanyapun segera terlibat dalam
perkelahian. Mula-mula sekali
Gangsiran mengira bahwa yang
menyerangnya itu setidak-tidaknya anak buah dari Sima Gereng tapi melihat
senjata keris lawan
serta cara berpakaiannya yang rapih, tidak
mungkinlah bahwa orang itu dari
gerombolan hitam Alas Roban. Belum
habis keheranannya, sekali lagi
hatinya dibikin tergoncang ketika dari gerumbul semak yang sama meloncat pula
sebuah bayangan yang segera terjun
menyerang dirinya. Dua orang lawan
kini yang harus dihadapi dan
keduanyapun bersenjata keris. Mahesa
Wulung yang melihat Gangsiran mengejar Sima Gereng mula-mula diam
membiarkannya, tapi setelah lama
Gangsiran tidak muncul kembali bahkan terdengar olehnya derak ilalang
terpijak-pijak oleh kaki maka
secepatnya ia meloncat ke arah suara
itu. Hee, pasti ada sesuatu yang
terjadi dengan kakang Gangsiran, pikir Mahesa Wulung serta mempercepat
larinya. Pikirannya memang benar sebab begitu ia tiba di tempat itu tampak
tiga bayangan yang tengah terlibat
dalam satu perkelahian. Persis seperti Gangsiran, mula-mula Mahesa Wulung pun
mengira bahwa dua orang yang menyerang Gangsiran itupun dari gerombolan hitam
Alas Roban. Tapi begitu ia mendekati
lingkaran perkelahian
itu serta melihat senjata mereka keris, Mahesa
Wulungpun beragu. Tambahan lagi begitu ia melihat cara mereka berpakaian
rapih dan melihat ikat pinggangnya
menyebabkan Mahesa Wulung berteriak:
Berhenti. Ternyata mereka berikat
pinggang merah. Ketiganya terhenti
setelah mendengar teriakan yang
mengguntur itu dan bersama-sama
menoleh ke arah itu. Terlihatlah
Mahesa Wulung berjalan dengan tenang
mendekati mereka. Ditangannya
tergenggam gulungan cambuk berwarna
biru kehijauan.
Ooooh, benarkah ini anak mas
Mahesa Wulung" seru kedua orang itu


Pendekar Naga Geni 1 Mahesa Wulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sambil menyarungkan kerisnya. Mahesa
Wulung sendiri segera dapat mengenali mereka, ialah kedua orang penjaga
bandar Asemarang yang pernah
meminjamkan kuda kepadanya. Mereka
adalah Kerpu dan Tambakan.
Ya, bapak berdua, inilah aku
Mahesa Wulung! Kedua orang itu yang
dengan ramahnya segera menjabat tangan Mahesa Wulung bergantian.
Bapak Kerpu dan Tambakan, mungkin
tadi terjadi salah paham. Apakah bapak berdua tahu siapa tadi yang bapak
serang" Belum anak mas, kami memang belum
tahu. Kalau begitu apakah kami boleh
mengetahui siapakah kisanak ini yang tadi telah mengadu tenaga dengan kami"
tanya Kerpu sambil melemparkan
pandangan ke arah Gapgsiran yang masih tegak kebingungan.
Nah, bapak berdua, perkenalkan
ini kakang Gangsiran kakang
seperguruanku, murid Panembahan Tanah Putih.
Murid Panembahan Tanah Putih"
berseru mereka setengah terkejut, demi mendengar nama Panembaban Tanah Putih
disebut. Memang benar kami telah salah
paham kalau begitu. Wah untung belum
sampai terjadi korban. Anak mas
Gangsiran, maafkan kami berdua atas
kekeliruan tadi. Semula kami sewaktu
melihat angger berlari-lari mengira
bahwa angger termasuk salah seorang
gerombolan Alas Roban.
Tidak apalah bapak berdua.
Kesalahan serta kekeliruan-kekeliruan antara sesama manusia dalam kehidupan kita
adalah kejadian yang wajar.
Selama kita sadar bahwa kesalahan-
kesalahan itu dapat diperbaiki, maka
kesalahan itupun akan membuat kita
lebih dewasa dalam berpikir dan
bertindak agar hal-hal yang keliru
tadi tidak terulang kembali, kata
Gangsiran kepada kedua orang bekas
lawannya. Maka diam-diam Kerpu dan
Tambakan manggut-manggut serta memuji dalam hati atas kata-kata Gangsiran
yang bening keluar dari pikiran yang
cerah. Pertanda bahwa Gangsiran bukan orang yang suka mendendam.
Maaf anakmas Mahesa Wulung,
apakah sebenarnya yang baru terjadi
disini" bertanya pula Kerpu kepada
Mahgsa Wulung. Beberapa gerombolan hitam Alas
Roban telah menyerang kami berdua,
bapak. Begitulah memangnya angger.
Mereka mulai mengganas di mana-mana
dengan kejamnya tanpa takut akan dosa atas perbuatannya. Dan hal inilah yang
membuat kami sampai di sini karena
mencari-cari angger Mahesa Wulung.
Apakah sesuatu yang telah
terjadi" tanya Mahesa Wulung.
Benar. Sesuatu telah terjadi dan
telah melanda kampung Karang Asem!
jawab Kerpu dan seketika kelihatan
wajah Mahesa Wulung menjadi tegang.
Pikirannya berlari ke arah pamannya Ki Sorengrana.
Melihat angger Mahesa Wulung,
kami akan menceritakan kejadian itu
selengkapnya. Tiga hari yang lalu
ketika kami tengah bertugas di bandar Asemarang, seorang petani telah
menemui kami dan melaporkan bahwa
kampung Karang Asem pagi itu telah
diserang oleh gerombolan hitam Alas
Roban. Kali ini penyerangan dipimpin
sendiri oleh Singalodra dengan puluhan anak buahnya. Pamanmu dan para
penduduk di situ rupa-rupanya sudah
tahu akan kabar penyerangan itu,
ternyata bahwa mereka telah bersiap-
siap lebih dulu sehingga dengan gegap gempita merekapun pergi menyongsong
kedatangan Singalodra beserta anak
buahnya, dan terjadilah saat itu juga pertempuran hebat. Jerih payah pamanmu Ki
Sorengrana yang telah melatih
mereka menggunakan senjata tidak sia-
sia. Beberapa saat kemudian, beberapa orang gerombolan kena dirobohkan oleh
pukulan maut Lebur Waja dari Ki
Sorengrana. Sementara itu pula ada
satu, dua anak buah Ki Sorengrana
tewas di ujung senjata gerombolan Alas Roban. Darah merah yang memercik dari
luka-luka serta teriak kesakitan
diseling gemerincingnya senjata yang
beradu membikin pertempuran itu makin lebih berkobar, dan makin gila. Gila
karena manusia-manusia di saat itu
saling berbunuhan. Kata-kata damai
telah hilang dari kamus pikiran. Kini mereka hanya teringat semboyan :
Dimatikan oleh musuh atau mematikan
musuh. Dalam pertempuran ini tampak
jelas kekejaman dan kebuasan
gerombolan Alas Roban. Mereka
menggunakan apa saja dalam menyerang
musuhnya. Seperti penggada berujung
bola besi berduri, kampak, rantai,
disamping senjata-senjata biasa
lainnya. Sambil mendobrak pertahanan
Ki Sorengrana, Singalodra berteriak
nyaring: Hee, tikus-tikus kecil, rasakan
sekarang pembalasanku. Inilah hukuman bagi orang-orang yang mencoba
menghalangi gerombolan Alas Roban!
Lekas menyerah semua sebelum kalian
kucincang habis.
Teriakan ancaman Singalodra
memang cukup mengerikan tapi itu tidak digubris sama sekali oleh Ki
Sorengrana dan anak buahnya, sebab
mereka telah bertekad lebih baik
mereka mati membela keadilan dan
kebenaran dari pada menyerah kepada
gerombolan Alas Roban. Kemarahan
Singalodra menjadi-jadi setelah
melihat bahwa ancamannya tidak
digubris. Cepat basmi tikus-tikus itu,
jangan beri ampun! perintahnya kepada anak buahnya dan pertempuranpun
semakin seru. Beberapa anak buah Ki
Sorengrana mencoba mengepung
Singalodra. Melihat itu hantu Alas
Roban ini menggemakan tertawanya dari balik topeng harimaunya. Topengnya
yang berbentuk sederhana ternyata
mempunyai pengaruh luar biasa bagi
setiap lawan yang menghadapinya. Para pengepung itu merasa ngeri memandang
topeng Singalodra sehingga sebagian
besar pengamatan mereka hilang
karenanya. Maka mudahlah Singalodra
menangkis setiap serangan
pengepungannya bahkan dua orang di
antaranya rebah ke tanah termakan
ujung senjata trisulanya. Namun
beberapa orang anak buah Ki Sorengrana lainnya terjun pula ke situ ikut
mengepungnya. Malahan beberapa di
antaranya segera melepaskan anak
panahnya ke arah Singalodra. Untuk
serangan anak panah inipun Singalodra cuma memperdengarkan tertawanya yang
seram dan sekali menggerakkan
trisulanya setengah lingkaran ke udara tersapu bersihlah semua anak
panah serta berjatuhan ke tanah. Para pengepung sangat terkejut melihat hal ini
dan sebelum mereka sadar
terdengarlah pula gema tertawa
Singalodra dari balik topengnya yang
makin lama makin bernada tinggi,
membikin nyeri rongga dada para
pengepungnya. Itulah kalau Singalodra mulai merancarkan aji
pemunahnya. Senggara Madan. Tertawanya terus
menanjak tinggi lalu berubah seperti
geram dari auman harimau yang marah.
Akibatnya hebat sekali, satu persatu
lawannya menjadi pucat pasi dan
perlahan-lahan jatuh terduduk sambil
menekankan kedua tangan ke atas dada
seperti mencoba menahan sesuatu yang
tengah terjadi.
Memanglah, sesuatu
telah terjadi pada isi rongga dada
mereka yang mulai rontok akibat ketawa dan auman Singalodra. Yang dilambari aji
Senggara Macan. Akhirnya, sebentar kemudian rebah ke tanah dengan darah
mengalir dari mulutnya, sedang
sebagian melarikan diri sambil
berteriak-teriak.
Belum habis Singalodra menikmati
kemenangannya mendadak satu bayangan
berkelebat cepat menyerangnya. Namun
bagi hal ini tidak mengejutkan
Singalodra, meski diam-diam ia kagum, masih ada orang yang berani
menyerangnya selagi ia tengah
melancarkan aji Senggara Macannya.
Pantas. Rupanya inilah jagoan
dari Karang Asem, serunya.
Benar! Akulah Sorengrana yang
akan melawanmu! teriak Ki Sorengrana
sambil menyerangnya dengan pedangnya.
Ketika Singalodra merasakan bahwa
serangan Ki Sorengrana cukup berat, ia tidak mau bermain-main lagi maka
geraknyapun menjadi semakin ganas.
Persis seperti harimau kelaparan yang sedang menyerang mangsanya dengan
rakus. Dengan senjatanya Trisula yang bergulung-gulung seperti badai itu, ia
mampu menangkis setiap serangan pedang Ki Sorengrana.
Tetapi Ki'Sorengrana cukup
tangguh memainkan pedangnya yang sudah matang terlatih, sehingga yang
terlihat hanyalah kilatan sinar
menyambar-nyambar serta mematuk-matuk mengerikan menyerang gulungan tombak
lawan. Begitulah pertempuran berlangsung
dengan dahsyatnya. Singalodra yang
telah banyak terlatih serta murid
kinasih Ki Macan Kuping, hantu Alas
Roban itu beberapa kali menyerbu
kampung-kampung di sepanjang pantai
utara Jawa. Karena mereka tidak mau
membayar pajak yang telah ditetapkan
oleh Singalodra. Beberapa orang pula
yang telah cukup terkenal ketika
mencoba menentang perbuatannya telah
dicintainya dan berakhir dengan
bertekuknya lutut mereka serta
bersedia membayar pajak itu. Dan
sekali inilah masih ada orang yang
berani mencoba menentangnya, sehingga ia bertekat akan membinasakan lawannya
Singalodra telah terbiasa oleh
pekerjaannya. Merampok, menyiksa dan
membuat baginya seolah-olah nyawa
adalah barang permainan yang mudah
didapat. Satu ketika tusukan tombak
Singalodra ditangkis oleh sabetan
pedang Ki Sorengrana. Keduanya sama-
sama mengerahkan tenaga dalamnya
hingga benturan kedua senjata itu
telah mengakibatkan keduanya terdorong mundur beberapa langkah. Bahkan lebih
dari itu sebab Ki Sorengrana
mengetrapkan pukulan Lebur Wajanya
menyebabkan Singalodra setelah
terdorong surut lalu jatuh terduduk
dengan kedua belah tangan masih
menggenggam trisulanya. Kejadian itu
seperti sekejap mata saja, sebab tiba-tiba dengan cepat Singalodra berdiri
pula tegak tanpa cacat sedikitpun.
Melihat ini, Ki Sorengrana dengan
geramnya melangkah ke arah Singalodra untuk menyerangnya kembali.
Meskipun masih agak berkunang-
kunang, ternyata Singalodra dapat
mengatasi pukulan Lebur Waja. Dalam
saat tegang ini, di kala Ki Sorengrana melangkahkan kakinya untuk menyerang
Singalodra yang masih berdiri
kepeningan itu, satu bayanqan melesat ke belakang Ki Sorengrana dengan dua
ujung jarinya langsung menotok
punggung Ki Sorengrana dan sejurus
kemudian iapun jatuh terkulai lemas ke tanah. Ternyata jalan darahnya telah
tertotok oleh orang ini yang berbaju hitam panjang, berikat kepala merah
soga berbencah-bencah hitam serta
mengenakan ikat pinggang kulit harimau tutul, sehingga Ki Sorengrana tak
berdaya lagi. Hi, hi, hi, ha, ha, ha. Nah lihat
Singalodra, musuh mu telah aku
rubuhkan dengan totokan jalan darah.
Dengan hal yang sama telah aku
rubuhkan pula murid perempuannya yang bernama Pandan Arum! Ayo, cepat ikat
mereka berdua. Kita akan bawa mereka
ke sarang kita di Alas Roban. Kita


Pendekar Naga Geni 1 Mahesa Wulung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gunakan mereka untuk memancing Mahesa Wulung datang ke sana. Ha, ha, ha, ha!
Macan Kuping tertawa sambil mengelus-
elus kumisnya. Melihat Ki Sorengrana jatuh tak
berdaya, anak buahnya menjadi cerai-
berai bagaikan anak ayam kehilangan
induknya. Sebagian melarikan diri mencari
selamat, sedang sebagian lagi yang
masih mencoba melawan, dengan mudah
dirubuhkan mati oleh anak buah
Singalodra tanpa ampun. Nah, begitulah cerita petani tadi kepada kami berdua.
Dialah salah seorang dari
pengepung-pengepung Singalodra yang
melarikan diri.
Kerpu sejenak menghentikan
ceritanya. Keempatnya diam membisu,
masing-masing sibuk dengan pikirannya.
Keheningan malam telah terasa betul-
betul mencekam suasana. Kemudian ia
melanjutkan lagi.
Begitulah setelah kami menerima
laporan dari petani itu segera kami
menyiapkan dua regu penjaga keamanan
bandar Asemarang menuju ke kampung
Karang Asem. Rumah yang habis terbakar masih kelihatan mengepulkan asap hitam
dengan tiang-tiangnya yang telah hitam menjadi arang. Beberapa orang
perempuan tampak meratapi beberapa
korban keganasan gerombolan Alas Roban yang berkaparan di sana-sini, maka
secepatnya kami turun tangan membantu mereka serta mengubur para korban itu.
Di antara perempuan-perempuan, itu
kelihatan Nyi Sorengrana. Setelah kami mendapatkannya, tahulah kami bahwa
jauh sebelum penyerangan itu, perempu-an-perempuan, anak-anak dan orang-
Bergelut Dalam Kemelut Takhta Dan Angkara 8 Anak Berandalan Karya Khu Lung Telapak Setan 10
^