Pencarian

Malaikat Jubah Keramat 1

Pendekar Mabuk 024 Malaikat Jubah Keramat Bagian 1


Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah
lindungan undang-undang.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
1 DARI balik kerimbunan hutan berpohon rapat,
terdengar suara jeritan yang panjang dan memilukan.
Siapa yang menjerit, itu tak jelas. Yang pasti jeritan itu adalah jeritan
kematian. Suaranya yang melengking
menggema panjang itu bagaikan membangunkan setiap
jasad yang sudah terkubur mati.
Sementara itu, hembusan angin cukup kencang dan
menderu. Gumpalan awan hitam bergulung-gulung di
langit, menyekap matahari, membuat alam terasa mati.
Sesekali terdengar gelegar petir melecutkan lidahnya
bagai ingin membelah langit.
Agaknya alam yang memberikan tanda-tanda bagai
kiamat datang itu tak dihiraukan oleh tiga orang berusia sebaya itu. Satu di
antaranya telah terkapar mati tanpa darah. Dua dari mereka masih melanjutkan
pertarungannya dengan sengit.
Rupanya mereka bertarung di atas dataran berbatu
rata. Dataran tersebut adalah lantai dari sebuah petilasan keraton yang telah
hancur sekian puluh tahun yang lalu, bahkan mungkin sekian ratus tahun yang
lalu. Sisa pilar-pilarnya masih tertinggal sebagian, namun tak ada yang utuh.
Sisa dinding-dindingnya juga masih tertinggal
sebagian, tak ada yang utuh sampai ke atap. Petilasan itu ibarat pohon tua yang
sedang meranggas untuk
menunggu tumbang. Tak ada atap, tak ada pagar, tak ada pula ruangan. Reruntuhan
itu hampir rata dengan
tanahnya. Bongkahan batu bekas dinding dan pilar masih terlihat berserakan di
sana-sini. Salah satu dari dua orang yang bertarung di atas
reruntuhan keraton itu tiba-tiba menghentikan
serangannya. Orang itu memakai pakaian biru tua,
berbadan sedikit gemuk, dan berkumis tebal, berusia
sekitar lima puluh tahun. Matanya yang lebar
memandang temannya yang telah tak bernyawa.
Sebentar kemudian mata itu kembali menatap lawannya
yang berbadan kurus, berwajah lonjong dengan dagu
sedikit panjang. Orang yang berbaju biru tua itu berkata,
"Tega betul kau membunuh temanmu sendiri Tapak
Getih!" "Siapa pun yang menghalangi langkahku pasti
kubunuh, Julung Boyo! Tak peduli dia teman sendiri, tak peduli orang lain. Tapak
Getih pantang diganggu
langkahnya!" kata orang kurus berwajah lonjong itu. Dia dikenal dengan nama
Tapak Getih, karena setiap lawan
yang terkena pukulan telapak tangannya, langsung mati tanpa memiliki darah
setetes pun di dalam tubuhnya.
Tapak Getih yang mengenakan jubah merah dan
pakaian dalam serba hitam itu berkata lagi kepada
Julung Boyo. "Sebab itu kuingatkan padamu, Julung Boyo....
Pergilah lekas dari hadapanku dan jangan memaksaku
membunuhmu, seperti yang dialami oleh Cakar Macan
itu!" "Kau benar-benar manusia picik, Tapak Getih! Kau bujuk kami untuk menunjukkan
tempat ini, sekarang kau mau bunuh kami di sini juga! Kau binatang dan aku
binatang, tapi aku masih punya sisa jiwa manusia yang tak akan tega bertindak
seperti dirimu, Tapak Getih!"
"Hem...!" Tapak Getih sunggingkan senyum tipis yang lebih berkesan sebagai
hinaan. "Manusia-manusia bodoh itu adalah kau dan Cakar Macan, Julung Boyo!
Sudah tahu aku berjiwa binatang yang keji, masih saja nekat mau menahan
langkahku untuk mencari pintu
masuk petilasan ini! Kalau aku menjadi kau, lebih baik aku pergi dan tak mau
korbankan nyawa buat petilasan
seperti ini!"
"Mulanya aku hanya ingin mencegahmu agar tidak
diterkam maut yang ada di petilasan ini! Kau adalah sahabatku, dan juga sahabat
si Cakar Macan. Sikap kami hanya semata-mata ingin melindungi seorang sahabat
dari maut yang mengancam! Kami tahu, sudah dua
orang hilang di sini dan tak pernah muncul lagi. Kami tak ingin kau menjadi
seperti itu. Tapi rupanya mata
hatimu buta, Tapak Getih! Dan sekarang sikapku bukan
untuk melindungi kamu, tapi untuk membalas kematian
si Cakar Macan!"
"Haii...! Saudara bukan, adik pun bukan, mengapa kau menjadi sebodoh itu, Julung
Boyo! Hubungan kita bertiga hanya sebatas sahabat! Tak ada ikatan darah apa pun!
Kenapa kau menuntut kematian si Cakar Macan?"
"Karena nyawaku pernah diselamatkan olehnya! Dua kali aku hampir mati terancam
bahaya, dan Cakar Macan berhasil meloloskan aku dari maut itu! Wajar rasanya
kalau aku pun punya rasa bela pati terhadap dia, Tapak Getihi"
"O, jadi kau ingin ikut-ikutan mati seperti Cakar Macan" Baiklah kalau kau
memang ingin ikut-ikutan
mati! Bersiaplah, aku akan mendekatkan arwahmu
dengan arwah si Cakar Macan!"
Orang kurus berambut abu-abu panjang tak terikat
kepala itu mulai mengangkat kedua tangannya. Kakinya
pun bersikap untuk melakukan
satu lompatan menyerang. Julung Boyo mencabut goloknya. Srekk...! Sambil
menggeram dan menggenggam kencang gagang
goloknya, Julung Boyo ucapkan kata,
"Buatku kau sudah bukan lagi manusia utuh,
melainkan iblis yang harus kubantai sekarang juga!"
"Mampukah kau membantai iblis, Orang Bodoh"!
Hiaaah...!"
"Heeaaah....!"
Julung Boyo ternyata melompat lebih dulu, kemudian
Tapak Getih pun melompat menyerang. Julung Boyo
segera tebaskan goloknya membacok kepala Tapak
Getih. Tapi golok itu tidak bisa mengenai sasaran karena Tapak Getih
menangkisnya dengan telapak tangannya.
Dess...! Golok tajam itu bagai memukul benda keras
yang kenyal. Dan karena goloknya tertahan di atas, maka rusuk Julung Boyo
terbuka dan saat itulah Tapak Getih menghantamkan tangan kanannya dengan cepat.
Wuttt...! Blukk...!
"Aaahg...!" Julung Boyo memekik keras. Tubuhnya limbung dan jatuh ke tanah tak
bisa menjaga keseimbangan lagi. Ia rubuh begitu saja bagaikan barang mati yang tak berguna
lagi. Sedangkan Tapak Getih
masih bisa kendalikan keseimbangannya, sehingga ia
menapakkan kakinya tepat di atas sebongkah batu
reruntuhan yang agak besar dan tinggi itu. Jlegg...!
Dari atas batu itu, ia melihat Julung Boyo
menggelinjang beberapa saat dengan mulut ternganga-
nganga dan mata terpejam kuat. Lalu tubuh itu kejang beberapa saat dalam keadaan
terkapar, setelah itu lemas seluruh uratnya, dan Julung
Boyo akhirnya menghembuskan napas terakhir dengan wajah pucat
seputih kapas dan sekujur tubuhnya pun demikian.
Julung Boyo mati tanpa ada darah setetes pun dalam
jasadnya. Tapak Getih menghempaskan napas lega. Ia
melompat turun sambil membatin dalam hatinya,
"Tak ada lagi perintangku! Aku harus cepat mencari pintu masuk ke dalam
reruntuhan ini! Pasti ada jalan
menuju ruang bawah tanah! Harus cepat kucari sebelum
hujan turun!"
Baru tiga langkah Tapak Getih tinggalkan tempat,
tiba-tiba sebuah gerakan berkelebat dari arah kanannya.
Wuttt...! Crapp...! Sebatang tombak berujung garpu tiga mata menancap di sela-
sela bebatuan yang menjadi
lantai petilasan itu. Tombak tersebut datangnya dari arah atas pohon. Kalau
Tapak Getih tidak cepat hentakkan
kaki dan melompat mundur, ia akan dihujam tombak
tersebut tanpa ampun lagi. Beruntung ia mempunyai
gerakan bagus sehingga mampu menghindari maut yang
hampir merenggut nyawa itu.
Cepat-cepat Tapak Getih melemparkan
pandangannya ke arah pohon, tempat datangnya tombak
tersebut. Dari atas pohon melayang sesosok tubuh
berpakaian serba kuning. Rambutnya panjang diikat
memakai tali warna coklat. Orang itu ternyata seorang pemuda yang mempunyai
wajah lumayan ganteng.
Usianya sekitar dua puluh delapan tahun,
"Marta Kumba...!" sapa Tapak Getih dengan suara ketus, lalu ia tersenyum sinis.
Marta Kumba, pemuda yang mempunyai badan tegap itu, segera menghampiri
Tapak Getih dengan senyum sinisnya pula.
"Kau mau membunuhku, Marta Kumba"!"
"Ya!" jawab Marta Kumba. "Tapi kau menghindar.
Sayang sekali! Seharusnya kau jangan menghindar
supaya kau mati!"
"Bocah goblok!" geram Tapak Getih.
"Memang goblok!" jawab Marta Kumba seenaknya.
"Untuk apa kau datang ke sini, hah?"
"Mengikuti pamanku, yang ternyata sudah kau bunuh itu!" Marta
Kumba memandang Julung Boyo, pamannya. "Kau mau ikut-ikutan mati seperti pamanmu?"
"Tidak! Aku mau mencari jubah keramat itu!"
"Cuih...!" Tapak Getih jengkel dan meludah.
"Cuih...!" Marta Kumba ikut meludah tanpa mengerti maknanya.
"Urungkan niatmu! Kau masih muda, Marta! Jangan
mau mati gara-gara tergiur oleh jubah keramat itu!"
Marta Kumba memandangi tombak berujung tiga
mata seperti garpu itu, kemudian memandang Tapak
Getih dan berkata dengan nada polos,
"Maksudku kemari juga ingin mengantarkan
senjatamu yang ketinggalan, Paman Tapak Getih! Kau
lupa membawanya waktu makan di kedai sana, jadi aku
menyusui kemari! Terimalah...!"
Wusss...! Dengan gerakan begitu cepat, Marta Kumba
melemparkan tombak itu ke arah Tapak Getih. Gerakan
itu datang dengan sangat tiba-tiba dan mengejutkan
Tapak Getih. Karena cepatnya tombak itu melesat,
Tapak Getih tak bisa menghindari, ia hanya berusaha
menahan dengan kedua telapak tangan terbuka.
Tetapi hentakan tombak itu sangat kuat, sehingga
telapak tangan yang bagaikan kebal tak bisa tertusuk tombak itu mendesak ke
belakang, akibatnya ujung
tombak yang tengah menancap di bawah leher Tapak
Getih. Jrabb...!
"Agrrr...!" Tapak Getih tak bisa berteriak. Matanya mendelik dan mulutnya
menyemburkan darah. Tombak
itu menancap begitu kuatnya dalam keadaan telapak
tangan si Tapak Getih tergencet antara ujung tombak
kanan-kiri dengan dada kanan-kiri. Punggungnya sendiri beradu dengan sisi
dinding petilasan yang masih tersisa agak tinggi itu.
Marta Kumba melangkah santai mendekati Tapak
Getih. Rupanya orang kurus itu belum mati secara
tuntas, ia masih punya usaha untuk mendorong tombak
itu agar lepas dari lehernya. Tapi tenaganya begitu lemah dan tak punya daya
untuk mendorong lebih keras lagi.
Sedangkan Marta Kumba hanya memandanginya saja,
bertolak pinggang sambil geleng-geleng kepala dan
tersenyum. "Kau ini bagaimana?" katanya dengan santai, seenaknya saja bicara, "Kukembalikan
tombakmu malah dipakai buat bunuh diri?"
Tapak Getih melorot turun dari berdirinya yang rapat
ke sisi dinding, lalu jatuh terduduk, dan akhirnya
menggeloso mati. Marta Kumba hanya tertawa geli.
Kembali ia geleng-geleng kepala.
"Payah betul kau ini, Paman Tapak Getih! Akhirnya kalau begini kau mati juga,
bukan" Makanya kalau ada orang melemparkan tombak, jangan ditangkap dari
depannya, tapi tangkaplah gagangnya! Wah, wah, wah...
sudah tua tapi masih bodoh juga kau, Paman! Ya, sudah!
Terserah maumu sajalah...!"
Pemuda berpakaian kuning dengan kumis tipis
menambah ketampanannya itu segera melangkah dengan
pelan, memandangi keadaan sekeliling. Ia
memperhatikan petilasan yang sudah lama dicari-
carinya, yaitu Petilasan Teratai Dewa. Percakapan Tapak Getih dengan si Cakar
Macan dan Julung Boyo di
sebuah kedai ternyata disadap oleh telinga pemuda
berambut ikal sebatas punggung itu. Diam-diam ia
menguntit ketiga orang tua yang menuju ke Petilasan
Teratai Dewa, dan akhirnya ia menemukan tempat itu.
"Lewat mana kalau mau masuk ke ruang bawah
tanah" Tak ada pintu di sini"!" gumamnya sendiri sambil memandangi lantai,
mencari pintu masuk ruang bawah
tanah. Sementara itu, langit tergores kilatan cahaya biru.
Petir menyambar, bunyi menggelegar bagai
mengguncangkan reruntuhan itu. Marta Kumba masih
tetap santai, tidak tampak tergesa-gesa dan tegang, ia masih pandangi tiap
jengkal tempat yang sudah
berantakan itu.
Tiba-tiba ekor matanya menangkap sekilas cahaya di
balik rerimbunan semak. Sekilas cahaya itu seperti
sepasang mata yang mengintainya dari sana. Marta
Kumba berlagak tidak melihat ada yang mengintipnya,
ia berjalan pelan sambil pandang sana-pandang sini.
Begitu tiba di depan semak tempat bersembunyinya
sepasang mata itu, Marta Kumba duduk di atas
sebongkah batu yang menjadi bagian dari reruntuhan
petilasan itu. Dari sana ia berkata dengan keras, tapi nadanya acuh tak acuh,
seperti bicara pada diri sendiri,
"Sepi sekali tempat ini! Sayang tak ada manusia lain.
Kalau saja ada manusia lain, bisa kuajak kerja sama untuk menemukan apa yang
kucari! Atau... barangkali


Pendekar Mabuk 024 Malaikat Jubah Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ada orang yang malu-malu menampakkan diri di
depanku! Mungkin dia punya hidung gerumpung,
sehingga tak berani menampakkan diri di depanku.
Atau... mungkin bibirnya sumbing dan sulit diajak
bicara"!"
Marta Kumba duduk memunggungi semak yang
dipakai bersembunyi sepasang mata itu. Sengaja ia
duduk begitu, memancing diri supaya diserang dari
belakang. Tetapi sejak tadi ia tidak merasakan serangan atau tanda-tanda akan
diserang. Ia kembali bicara
sendiri. "Sebentar lagi hujan turun! Biasanya kalau mau hujan begini, ular-ular yang ada
di semak-semak akan keluar menunggu katak atau mangsa yang akan disantapnya!
Tempat seperti ini tidak mungkin tidak dihuni oleh ular-ular berbisa! Biasanya
semak-semak adalah tempat yang dipakai bersarang oleh ular-ular ganas. Tak lama
lagi pasti akan keluar satu atau dua ekor ular dari salah satu semak di
sini...!" Marta Kumba sengaja bicara seperti itu untuk
menakut-nakuti orang yang mengintai dari balik semak-
semak. Paling tidak akan membuat cemas dan waswas
orang tersebut, sehingga mereka menampakkan diri.
Tapi karena beberapa saat ditunggu tak kunjung muncul juga si pengintai itu,
maka Marta Kumba kembali bicara sendiri dengan keras,
"Biasanya, kalau ular ganas mencium bau darah
manusia, ia akan datang secara tiba-tiba dan mematuk
kaki, atau mungkin melilit leher dari atas sebuah pohon.
Dan kalau ular... kalau ular...."
Marta Kumba berhenti bicara. Matanya terkesiap,
kepalanya tegak, tak berani menengok ke bawah. Karena ia merasakan ada gerakan
lembut yang menjalar
mendekati kakinya. Mata yang terkesiap itu segera
memandang ke bawah pelan-pelan. Marta Kumba
menahan napas. Ada ular sedang merayap melingkari
kakinya. Ular itu sebesar lengannya sendiri.
"Mati aku..!" keluhnya dalam hati. Ia tak berani bergerak sedikit pun. Keringat
dinginnya mengucur
deras dari kening dan leher. Jantungnya berdetak-detak cepat. Wajahnya menjadi
pucat pasi. Ular itu berwarna merah kehitam-hitaman. Jenis ular ganas yang bisa
mengejar lawan dengan satu sentakan terbang. Marta
Kumba tahu, ular itu mempunyai bisa yang luar biasa
mautnya. Sekali gigit orang, dalam lima hitungan orang itu pasti mati. Ular itu
bernama Ular Welang Jantan.
Marta Kumba gemetar, napasnya bagai hilang ketika
ular tersebut merayap sampai ke betis, iklannya terjulur-julur naik. Matanya
yang merah memancarkan
keganasan. Oh, Marta Kumba tak berani menatap mata
ular itu. Sekujur tubuhnya telah dingin, bulu kuduknya pun merinding. Hatinya
berucap kata, "Mati aku... matilah sekarang aku.... Aduh, kenapa dia jadi benar-benar nongol
di sini... mati aku... mati sudah riwayatku...!"
Tiba-tiba sebuah tangan berkelebat menyambar ular
tersebut dan menghantamkan ke salah sebuah dinding
batu. Plokk...! Ular sebesar lengan itu hancur kepalanya dengan sekali sabet.
Kemudian bangkainya yang masih mengggerinjal-gerinjal itu dibuang begitu saja
oleh tangan yang menyambarnya tadi.
Tangan itu milik seorang gadis berpakaian merah
jambu sebatas dada. Pundak dan punggungnya yang
terbuka memancarkan warna kulit kuning langsat itu ditutup dengan baju jubah tak
berlengan. Baju jubahnya itu berwarna hijau muda, tipis, dari bahan kain sutera.
Marta Kumba memandang bengong kepada gadis
cantik berhidung mancung yang punya rambut digulung
naik, tapi sisanya masih meriap ke bawah. Gadis itu
tersenyum, dan senyumnya sungguh elok menawan hati.
Marta Kumba tak mampu bicara sepatah kata pun
setelah ia sadar, ternyata si pengintai yang ditakut-takuti ular tadi adalah
seorang perempuan muda yang cantik
yang berani memegang ular. Perempuan yang
menyelipkan pedang di pinggangnya itu berkata,
"Kalau hari mau turun hujan, memang banyak ular keluar dari sarangnya. Hati-
hati, nanti kau mampus
ditelan ular!"
Malu sekali Marta Kumba mendengar kata-kata itu.
Ia mengusap wajahnya yang berkeringat dan
memenangkan jantungnya yang masih berdebar-debar
dengan kaki dan tangan masih gemetar. Marta Kumba
malu pada ucapannya sendiri, menakut-nakuti tentang
ular, begitu ada ular dia sendiri yang ketakutan setengah
mati. Sebagai penutup rasa malunya, Marta Kumba
berkata, "Aku bukan takut sama ular, cuma merasa jijik!"
"Ya. Jijik boleh-boleh saja, tapi tak perlu sampai berkeringat dingin begitu.
Tak perlu sampai sepucat
mayat begitu. Dan, jijik pun tak perlu sampai gemetaran kaki dan tangannya
begitu...!" gadis cantik berdada sekal itu memalingkan wajah sambil tersenyum,
matanya memandang bangkai ular yang sudah tidak bergerak lagi.
Seribu kata, sejuta bahasa, bagaikan hilang lenyap
dari mulut Marta Kumba menghadapi rasa malu di depan
seorang gadis. Kalau yang menyambar ular tadi seorang kakek atau lelaki berbadan
kurus sekalipun, Marta
Kumba tidak akan malu. Tapi kenyataannya yang
menyelamatkan nyawanya dari ular ganas dan berbahaya
itu justru seorang gadis cantik yang usianya sebaya
dengannya. Sungguh sulit melukiskan rasa malu yang
ada pada diri Marta Kumba, karena sebagai pemuda
berbadan tegap, kekar, ganteng, berkumis, tapi sama ular saja menjadi pucat pasi
dan gemetaran. "Siapa namamu?" tanya gadis yang tampak berjiwa tegas dan pemberani itu.
"Namaku..." Oh, namaku Marta Kumba!"
"Mau apa datang kemari dan membunuh orang tua
itu?" "Mau... mau... mau mencari sesuatu," jawab Maria Kumba dengan sisa kepanikannya.
"Maksudmu, mencari jubah keramat?"
"Ya. Benar. Jubah keramat."
"Kalau begitu, kau harus tarung dulu denganku!"
"Hah..."!"
* * * 2 LIMA ekor kuda berderap lari menuju ke sebuah
lereng bukit. Penunggangnya orang-orang gagah yang
berpakaian mewah. Dua kuda di depan, dua lagi di
belakang, satu kuda ada di tengah-tengah keempatnya.
kuda yang di tengah itu berwarna bulu putih, dan
ditunggangi seorang lelaki berusia sekitar lima puluh tahun dengan pakaian rapat
berwarna ungu, hiasan emas pada bagian dada, berupa rantai yang melengkung
pendek. Kancing pada bagian pergelangan baju juga
terbuat dari emas. Celananya juga berwarna ungu dari
bahan mahal yang dihiasi sulaman benang emas pada
tepiannya. Kelima kuda ini agaknya melaju dengan terburu-buru
karena mendung telah menggantung. Orang yang ada di
atas punggung kuda putih itu agaknya tak mau dirinya sampai kehujanan. Sebagai
orang yang berpenampilan
mewah, menyandang keris di depan perutnya, orang ini
menampakkan dirinya sebagai orang terhormat, yang
kaya akan harta dan punya suatu kedudukan. Keempat
kuda di sekelilingnya itu adalah para pengawalnya yang terpilih.
Orang berpakaian ungu itu mempunyai mata sedikit
besar tapi tajam, memancarkan cahaya kewibawaan.
kumisnya tebal tapi teratur rapi, menambah kesan tegas dalam jiwanya, ia
mengenakan ikat kepala dari kain
batik gelap yang mempunyai bros pada bagian
tengahnya dari emas berbatu berlian tepat di tengah bros bentuk bunga mawar
kecil itu. Derap kaki kuda itu mulai melamban setelah satu
orang pengawal di depan mengangkat tangan memberi
isyarat. Orang itu berpakaian hijau menyandang pedang di punggungnya, dan
pengawal sebelahnya berpakaian
putih, dengan pedang di punggung juga. Mereka
berambut agak panjang tapi rapi. Diikat dengan logam
berbentuk rantai emas dengan hiasan batu merah pada
bagian tengah keningnya
Rupanya kelima kuda itu menuju ke sebuah tanah
lapang yang tidak banyak ditanami pepohonan. Di sana seseorang sudah menunggu
dengan berdiri tegak, dan
kedua tangan terlipat di dada. Orang itu berwajah
angker, dingin, rambutnya kucai, tipis tapi panjang, bertubuh kurus. Tubuh
kurusnya itu dibungkus dengan pakaian abu-abu rangkap jubah hijau tua. Orang ini
tergolong serakah, karena mempunyai dua pedang, satu
pedang di pinggang bergagang cula badak, satu pedang
lagi di punggung berlogam emas sampai pada bagian
gagang dan sarungnya. Pedang itu berukir gambar naga.
Dan pedang itulah yang dinamakan Pusaka Pedang
Wukir Kencana, milik Ki Padmanaba. Pedang itulah
yang dicuri orang tersebut dengan menyamar sebagai
Embun Salju, guru dari Perguruan Kuil Elang Putih.
Orang itulah yang bernama Rangka Cula, bekas anak
buah Logayo dari Perguruan Kobra Hitam (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "Rahasia Pedang
Emas"). Lima kuda berhenti di depan Rangka Cula. Orang
berpakaian ungu itu menghentikan kudanya sejajar
dengan pengawalnya yang bersenjata pedang di
punggung, sedangkan dua pengawal yang bersenjata
tombak dan panah di punggung, mengenakan pakaian
putih-putih itu, tetap mengambil posisi di belakang
mereka bertiga. Matanya memandang ke belakang, ke
samping dan sekeliling, penuh pangawasan ketat.
Orang berpakaian ungu itu segera berkata kepada
Rangka Cula, "Kaukah yang bernama Rangka Cula?"
"Benar," jawab Rangka Cula yang termasuk orang yang jarang bicara itu.
"Sudah tahu tugasmu?"
"Mencari jubah keramat!"
"Betul! Aku sangat membutuhkan jubah itu. Dan aku sudah siapkan hadiah buatmu!"
Orang berpakaian ungu itu mengambil kantong uang dari dalam bajunya,
kantong itu berwarna merah beludru, memakai tali
khusus pada bagian penutupnya. Kantong itu segera
dilemparkan. Wuttt...! Diterima oleh tangan kiri Rangka Cula dengan mata
tetap memandang dingin ke arah orang berpakaian ungu
itu. Crikk...! Rupanya di dalam kantong merah itu berisi uang kepingan dari
emas. "Separo bagianmu sudah kuberikan, Rangka Cula!
Separo lagi akan kuberikan setelah kau serahkan jubah keramat itu padaku!"
Rangka Cula menganggukkan kepala.
"Sudah tahu tempatnya di mana jubah keramat itu
bisa kau dapatkan?"
"Petilasan Teratai Dewa!" jawab Rangka Cula dengan suara datar.
"Bagus! Kapan bisa kudapatkan jubah itu?"
"Secepatnya!"
"Dua hari?"
"Tidak pasti," jawab Rangka Cula tetap dingin dan datar.
"Baiklah. Tapi bagaimana kau bisa
menyampaikannya padaku" Apakah kau tahu di mana
aku tinggal?"
"Kadipaten Lambungbumi!"
Orang berpakaian ungu itu sedikit berkerut dahi.
"Kalau begitu, kau sudah tahu siapa aku?"
"Adipati Lambungbumi!"
Maka orang yang berpakaian ungu itu pun saling
pandang dengan pengawalnya yang berpakaian hijau,
lalu ia berkata,
"Kalau begitu, Sirpakana tidak bisa dipercaya! Dia menyebutkan siapa diriku
sebenarnya kepada Rangka
Culai Padahal sudah kuwanti-wanti agar jangan
menyebutkan siapa diriku!"
"Sirpakana membutuhkan jaminan kepercayaan untuk Rangka Cula. Mungkin begitulah
yang terjadi, Kanjeng
Adipati, sehingga ia terpaksa menyebutkan siapa orang yang membutuhkan jubah
keramat itu!"
"Baiklah. Sudah telanjur, yang penting jubah itu harus benar-benar terbukti ada
di tanganku!"
Kemudian Adipati Lambungbumi segera berkata
kepada Rangka Cula,
"Apa jaminanmu kalau ternyata kau gagal
mendapatkan jubah itu?"
"Nyawa!" jawab Rangka Cula. Singkat, tegas, tapi berkesan ganas.
"Baik. Mudah-mudahan kau berhasil dan nyawamu
tidak melayang!"
Rangka Cula diam saja, memandang dengan lirikan
matanya kepada dua orang pengawal Adipati
Lambungbumi. "Kami pamit!" ucap Adipati Lambungbumi sebelum pergi, dan Rangka Cula yang
berwajah kaku itu hanya
menganggukkan kepala tanpa senyum sedikit pun.
Bahkan ia tetap diam bagaikan patung ketika rombongan Adipati Lambungbumi
meninggalkan tempat, semakin
jauh dan jauh sekali. Tak lama kemudian, Rangka Cula
segera melesat pergi juga setelah memasukkan kantong
uang emas ke dalam balik bajunya yang hijau itu. Tetapi dalam kejap berikutnya,
langkahnya terhenti karena
kemunculan seorang nenek yang berusia antara tujuh
puluh tahunan. Jleggg...! Lompatan nenek itu masih mantap ketika
mendaratkan kakinya ke tanah. Rambutnya sudah
memutih semua, badannya sedikit bungkuk, ia
membawa tongkat penyangga tubuhnya jika berdiri dan
berjalan. Matanya sama cekungnya dengan Rangka
Cula. Nenek itu memakai jubah hitam lusuh dan pakaian dalamnya putih kusam.
Rambutnya yang putih rata itu
dibiarkan meriap tanpa disanggul atau diikat. Wajahnya yang berpipi cekung
kempot itu kelihatan berkulit kisut, berlipat-lipat walau tidak terlalu jelas
lipatannya. Nenek itu berbadan kurus kering, bagian tangan dan kakinya bergusik
putih.

Pendekar Mabuk 024 Malaikat Jubah Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Masih kenal aku, Rangka Cula?" tanyanya dengan suara bergetar.
"Nyai Cungkil Nyawa!"
"Betul! Hik hik hik hik...! Rupanya otakmu masih ada gunanya, Rangka Cula! Dan
aku dengar apa yang kau
bicarakan dengan orang berpakaian ungu itu! Rupanya
kau menjadi orang upahan sang Adipati. Rangka Cula!"
"Benar!" jawab Rangka Cula, setelah itu diam saja.
"Kau mau mencari jubah keramat itu?"
"Ya!"
"Hi hi hi hik...!
Tak mungkin bisa kau
mendapatkannya! Tak mungkin berhasil, Rangka Cula!"
"Bisa!"
"Tidak akan bisa! Selama aku masih hidup, tidak
akan bisa kau mendapatkan jubah itu! Sebab akulah juru taman Keraton Teratai
Dewa yang bertugas menjaga
segala sesuatu yang...."
Buhgg...! Plokk...!
Belum habis Nyai Cungkil Nyawa bicara, pukulan
dan tendangan Rangka Cula sudah menyerang dengan
tiba-tiba. Nenek tua itu terlempar dari tempatnya berdiri, sekitar lima tombak
jauhnya. Rangka Cula memandang
dengan mata ganasnya, ia biarkan nenek itu bangkit dan terhuyung-huyung bersama
tongkatnya. "Bocah sapi!" makinya dari kejauhan. "Mau menyerang tidak bilang-bilang. Benar-
benar bocah tak tahu sopan! Hih...!"
Wessst...! Sinar merah bagaikan kilatan cahaya petir
melesat dari ujung jari yang dikibaskan. Sinar merah itu cepat sekali sampai di
depan hidung Rangka Cula. Tapi ia bergerak cepat menjatuhkan diri dalam posisi
melayang. Tubuhnya melengkung ke belakang dan
tangannya menyanggah di atas tanah. Ketika sinar merah itu melesat lewat, tubuh
Rangka Cula bangkit kembali
dengan gerakan cepat.
Begitu ia bangkit tegak, tahu-tahu Nyai Cungkil
Nyawa sudah ada di depannya. Tangan nenek itu
menghantam dengan telapak tangan yang terbuka.
Desss...! Tepat mengenai mulut Rangka Cula, sehingga Rangka Cula terpental ke
belakang dan terhuyung-huyung nyaris jatuh. Ada antara lima tindak ia tersentak
ke belakang, setelah itu kembali berdiri tegak walau ia merasakan ada sesuatu
yang mengalir dari dalam
hidungnya. Sesuatu itu tak lain adalah darah. Pukulan nenek tua itu jelas
dibarengi dengan tenaga dalam. Jika tidak, tak mungkin bisa membuat hidung
Rangka Cula mengucurkan darah.
Rangka Cula diam saja memandangi Nyai Cungkil
Nyawa. Mata nenek itu mulanya berseri-seri karena bisa membuat hidung Rangka
Cula berdarah. Tapi mata itu
jadi menyipit heran begitu melihat darah yang mengalir dari hidung itu tiba-tiba
meresap hilang, seperti masuk ke dalam pori-pori kulit. Dan wajah Rangka Cula
menjadi bersih tanpa setitik noda merah pun. Bahkan
tangannya yang tadi dipakai mengusap darah itu juga
kering tanpa bekas darah setetes pun.
"Semakin sakti saja kau rupanya!" gumam Nyai Cungkil Nyawa dengan pelan, seakan
bicara pada dirinya sendiri.
Dan tiba-tiba, wukkk...! Api menyala membakar
tanah mengelilingi Nyai Cungkil Nyawa. Api yang
membuat lingkaran besar itu berkobar-kobar dan tetap
dipandangi oleh Rangka Cula dengan mata menyorot
dingin. Nyai Cungkil Nyawa terkurung, sementara api
makin lama semakin besar dan nyaris membakar
tanaman sekelilingnya.
"Ilmu sihirmu cukup lumayan, Rangka Cula!" kata Nyai Cungkil Nyawa. "Tapi sama
sekali tidak membuatku gentar!"
Setelah bicara begitu, nenek bungkuk itu menegakkan
badan serta memejamkan mata. Mulutnya berkomat-
kamit beberapa saat dengan gerakan bibir yang cepat.
Dan tiba-tiba lingkaran api yang mengurungnya itu
padam seketika. Zrubbb...! Tanah mengepulkan asap,
dan angin meniup asap itu ke arah Rangka Cula.
Kejap berikutnya, Rangka Cula jatuh terlutut.
Tanaman di belakang Rangka Cula layu, dan segera
mengerut. Pohon besar menjadi berkeriput dan mengerti.
Rumput menjadi keriting kecil-kecil, batu menjadi rapuh dan berguguran bagai
gundukan abu. Rangka Cula menundukkan kepalanya. Menahan
napas dengan keringat mulai membasah di tubuhnya.
Nyai Cungkil Nyawa masih berkomat-kamit dalam sikap
berdiri tegak, seakan menghilangkan bungkuk badannya.
Sedangkan tanah masih mengepulkan asap putih yang
terbawa angin menerpa tubuh Rangka Cula.
"Tak ada yang bisa menghindari 'Asap Kematian' ini, Rangka Cula!" geram Nyai
Cungkil Nyawa dengan
suara tuanya. Tiba-tiba Rangka Cula yang berlutut lemas itu
menghentakkan tangannya, memukul tanah satu kali.
Blukkk...! Dan seketika itu pula tubuh Nyai Cungkil
Nyawa terlonjak terbang bersamaan dengan tubuh
Rangka Cula yang terlonjak ke atas juga.
Tapi pada saat itu Rangka Cula segera bersalto satu
kali, dan kakinya menjejak tubuh Nyai Cungkil Nyawa
dengan keras. Beggh...! Tepat mengenai dadanya.
Tak heran jika tubuh kering yang tua renta itu
terlempar cukup jauh dan membentur batang pohon
dengan kerasnya. Buhggg...! Wrrr...! Pohon itu
terguncang hebat. Daun-daunnya berguguran. Tubuh
Nyai Cungkil Nyawa melorot sampai ke tanah dalam
keadaan memuntahkan darah pada bagian mulut dan
hidungnya. Jelas tendangan itu adalah tendangan
bertenaga dalam tinggi. Masih untung dada itu tidak
jebol. Jika Nyai Cungkil Nyawa tidak memiliki lapisan
tenaga dalam cukup tinggi pula, maka dadanya akan
jebol oleh tendangan kedua kaki Rangka Cula.
Tubuh tua yang telah terluka parah itu segera
dihantam oleh pukulan jarak jauh Rangka Cula yang
berwarna hijau berpendar-pendar. Pukulan sinar hijau itu keluar dari genggaman
tangan Rangka Cula. Zlappp...!
Cepat sekali gerakannya, sehingga tak punya waktu
lagi Nyai Cungkil Nyawa menghindarinya. Tetapi tiba-
tiba sekelebat bayangan menyambar tubuhnya dari
samping kanan. Wutt...!
Blarrr...! Sinar hijau itu menghantam pohon yang tadi rontok
daunnya. Pohon itu pecah terbelah memanjang dari
bawah sampai ke atas, menjadi potongan-potongan kayu
panjang antara sepuluh bagian.
Rangka Cula menggerakkan matanya memandang ke
arah hilangnya Nyai Cungkil Nyawa. Tapi tak terlihat
lagi seseorang di sana, tak terlihat pula bayangan yang berkelebat menyelamatkan
tubuh Nyai Cungkil Nyawa
itu. Rangka Cula masih diam di tempat, menyapu
keadaan sekelilingnya dengan lirikan mata ganasnya.
"Ha ha ha ha...!" tiba-tiba terdengar suara tawa dari arah belakang Rangka Cula.
Segera orang kurus
berjubah abu-abu itu berpaling ke belakang. Gerakannya cukup gesit dan tampak
liar. Ia memandang seorang
lelaki yang berbadan agak gemuk mengenakan pakaian
dari kulit rusa. Celana dan rompi tanpa lengan berwarna coklat kulit rusa. Tapi
diberi sabuk hitam besar pada pinggangnya. Sabuk hitam itu digunakan untuk
menyelipkan sebilah golok besar bergagang hitam.
Golok itu adalah golok pemenggal leher, bukan untuk membeset kulit. Tetapi tentu
saja jika keadaan memaksa, bisa saja dipakai untuk membeset kulit. Panjang golok
itu antara separo tombak lebih sedikit, dan besarnya
seukuran paha manusia.
"Kau kehilangan mangsamu, Rangka Cula" Ha ha ha
ha...!" orang berkumis lebat dan berambut pendek tanpa ikat kepala itu tertawa
geli melihat Rangka Cula
kebingungan mencari mangsanya tadi.
Mendengar orang itu menertawakan dirinya, Rangka
Cula diam saja. Wajahnya tak ada kesan damai sedikit
pun. Ia menatap orang itu tanpa berkedip. Tajam sekali pandangan matanya itu,
sehingga sulit dilawan dengan
sinar matahari.
"Kau pasti lupa padaku, Rangka Cula, karena cukup lama kita tidak bertemu!"
"Setan Bangkai."
"Oh ohh... oho oho ho ho...!" orang itu semakin tertawa. "Ternyata kau masih
ingat namaku, Rangka Cula"! Ya. Benar. Akulah si Setan Bangkai! Syukurlah
kalau kau masih ingat aku. Berarti kau masih ingat
dengan istriku yang kau bunuh seenaknya di Rawa Kebo
itu, hah"! Masih ingat"!"
"Masih!" jawab Rangka Cula dengan tegas.
"Bagus!" Setan Bangkai segera mencabut goloknya pelan-pelan dan berkata tanpa
senyum, juga tanpa tawa.
"Kalau begitu kau masih ingat, bahwa kau punya hutang nyawa padaku, Rangka
Cula"!"
"Ya!"
"Kalau waktu itu aku terluka oleh ilmumu, tapi
sekarang kau tak akan bisa melukaiku lagi! Sudah
kusiapkan jurus istimewa untuk memenggal kepalamu,
Rangka Cula!"
"Silahkan!"
"Tapi terlebih dulu aku ingin kau menjawab
pertanyaanku!"
"Katakan."
"Mana si raksasa yang bergelar Dewa Murka itu"!
Mana Logayo"!"
"Sudah mati!"
"Setan!" geram orang yang wajahnya mulai sama-sama ganas itu.
"Siapa yang berani lancang membunuh Logayo"!
Apakah orang itu tidak tahu bahwa nyawa Logayo itu
jatahku"! Siapa yang membunuhnya"! Jawaaab...!"
"Kirana!"
"Siapa itu Kirana"!" bentaknya lagi.
"Entah!"
"Biadab! Kalau begitu, aku hanya bisa membunuh
satu musuhku! Kau...!" mulutnya sambil maju ke depan dengan penuh dendam.
"Kaulah satu-satunya musuhku yang belum mati, dan sekarang akan mati!"
Rangka Cula tetap berwajah dingin dan diam saja.
Matanya tak beralih pandang sedikit pun, sehingga ia
tahu kaki Setan Bangkai mulai mau bergerak maju untuk melompat. Maka, Rangka
Cula mendahului melompat
dengan pedang tercabut seketika.
Wut...! Crasss...!
"Aaah...!" Setan Bangkai menyeringai kesakitan.
Rangka Cula bagaikan angin lewat di samping kirinya
dan berhasil melukai lengan kirinya. Tahu-tahu orang kurus itu sudah ada di
belakang Setan Bangkai dan
memunggunginya. Pedang bergagang Cula badak masih
digenggam dengan satu tangan. Dan seketika Setan
Bangkai berbalik arah sambil mengibaskan golok
besarnya ke arah leher Rangka Cula, berkelebatlah
tangan Rangka Cula yang memegangi pedangnya itu.
Gerakannya cepat, kelebatan itu tepat mengenai golok
besar. Trangng...! Wess...! Golok tersingkirkan dari arah leher Rangka Cula.
Lalu, dengan tersingkirnya golok besar itu, Rangka
Cula punya kesempatan membabatkan pedangnya ke
arah perut Setan Bangkai. Wutt! Crasss...!
"Aahg...!"
Robek perut Setan Bangkai seketika itu pula. Darah
meluap keluar. Tapi isi perut tak sempat keluar. Setan Bangkai masih bertahan
dengan mundur dua tindak, dan
segera mendekap lukanya. Luka itu diusap dengan
telapak tangan kirinya. Seet...! Luka itu hilang dan
perutnya kembali utuh. Demikian pula lengan kiri yang terluka tadi, diusap
memakai tangan kanan. Seet...! Luka tersebut lenyap, lengan kiri itu kembali
utuh, seperti tak pernah terluka.
Rupanya itulah ilmu andalan Setan Bangkai dalam
melawan Rangka Cula kali ini. Ia menyeringai dengan
bangga memamerkan kesaktian barunya. Rangka Cula
diam saja, tanpa ada rasa heran ataupun kagum.
Terkesiap pun tidak.
Tapi Rangka Cula segera memasukkan pedangnya ke
tempat semula. Agaknya ia merasa percuma melawan
Setan Bangkai memakai pedang, karena setiap luka
dapat disembuhkan seketika dengan usapan tangan.
"Ayo, majulah! Tebas tubuhku yang mana saja,
silahkan pilih!" kata Setan Bangkai sambil memajukan perutnya.
"Ayo, maju! Pilih sendiri mana yang mau kau
tebas...!"
Wutt...! Dasss...!
Tanpa banyak bicara, tahu-tahu pukulan tenaga dalam
dilepaskan oleh Rangka Cula. Pukulan yang
memancarkan sinar merah itu dengan telaknya mengenai
dada Setan Bangkai. Dada itu menjadi hitam sebesar
piring nasi. Setan Bangkai menyeringai kesakitan. Kali ini ia terluka dalam dan
tak mungkin bisa dijamah
tangannya. "Bangsat kau!" geramnya. "Tunggu beberapa waktu lagi...!"
Wuttt...! Setan Bangkai pun cepat menghilang pergi,
ia tak sanggup melawan Rangka Cula, karena Rangka
Cula tidak menggunakan pedang, ia tak mampu
mengobati lukanya jika Rangka Cula melukai bagian
dalam tubuhnya. Rangka Cula sendiri diam saja
memandangi kepergian lawannya.
* * * 3 LANGIT tak jadi sebarkan hujan ke bumi. Entah
mengapa, mendung berjalan santai meninggalkan
matahari. Tapi karena sore telah tiba, sinar mentari pun surut ditelan senja.
Di dalam sebuah gubuk kosong yang reot tanpa
penghuni itu, Nyai Cungkil Nyawa dibaringkan.
Tergeletak di lantai beralaskan tikar dari anyaman daun kelapa kering. Orang
yang membawanya ke gubuk itu
adalah pemuda tampan berpakaian coklat putih,
menyandang bumbung tuak. Siapa lagi jika bukan Suto


Pendekar Mabuk 024 Malaikat Jubah Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sinting, si Pendekar Mabuk yang tak pernah pakai ikat kepala itu.
Nyai Cungkil Nyawa diberi minum tuak dalam
keadaan setengah pingsan. Tuak diteguk oleh nenek
bungkuk, beberapa saat kemudian luka-luka di dalam
tubuhnya pun mulai membaik. Napasnya mulai lancar,
kepucatan wajahnya mulai sirna, dan menjadi tampak
segar. Pertama kali membuka matanya, ia menyipit
memandang pemuda tampan yang ada di sampingnya, ia
berkata seperti bicara pada dirinya sendiri,
"Apakah aku sudah berada di surga..."!"
Pemuda tampan yang tak lain adalah Suto Sinting itu
hanya tersenyum menahan geli. Tanpa bicara ia segera
menjauhkan diri dari nenek bergusik itu.
Sang nenek segera berkata,
"Dewa, jangan tinggalkan aku...!"
"Kau belum mati, Nek!" kata Suto sambil tertawa
pelan. "Kau masih hidup di bumi!"
"Masih hidup..."! Bukankah... bukankah aku tadi
dibunuh oleh Rangka Cula"!"
"Belum sempat!" jawab Suto, kemudian ia
menenggak tuaknya.
"Jadi, kau menyelamatkan aku?"
"Yang kuasa yang menyelamatkan kamu, Nek. Cuma,
akulah yang dijadikan perantara sementara ini!" kata Suto merendahkan diri.
Nenek itu pelan-pelan bangkit
dan duduk sambil menghembuskan napas kelegaan.
"Kamu siapa, Nak?" tanyanya.
"Namaku Suto Sinting!"
"Ooo... bocah sinting."
"Suto Sinting, Nek! Bukan bocah sinting!"
"Lha, iya...! Suto itu anak, sinting itu..., ya sinting!
Jadi Suto Sinting itu bocah sinting!"
Tawa pun terdengar pelan. Pendekar Mabuk segera
menutup bumbung tuaknya. Nenek itu bertanya setelah
memandang keadaan gubuk tersebut,
"Ini rumahmu, Suto?"
"Bukan."
"Lalu, rumah siapa yang begini bagusnya?" sindir Nyai Cungkil Nyawa. Suto
tersenyum sambil menjawab.
"Aku sendiri tidak tahu, Nek. Kutemukan gubuk reot ini dalam keadaan kosong.
Kupikir tadi mau hujan, jadi untuk sementara kau kubawa kemari! Kalau kau tak
suka tinggal di sini, aku tak keberatan kalau kau mau cari penginapan di desa
terdekat sini, Nek."
"Aku tidak bilang begitu. Aku cuma tanya saja!"
katanya sambil bersungut-sungut, lalu bangkit dengan menggunakan tongkatnya.
Rupanya tongkat itu pun tetap tergenggam di tangan saat ia terlempar dan
membentur pohon tadi. Dan Suto pun menyelamatkan nenek itu
tanpa sadar kalau sang nenek masih menggenggam
tongkatnya. "Suto Sinting...."
"Ada apa?"
"Aku hanya menggumam sendiri! Aku seperti pernah mendengar nama Suto Sinting!
Nyai Cungkil Nyawa
berkerut dahi sambil mengulang-ulang menyebut nama
Suto Sinting. "Sudahlah, tak perlu diingat-ingat," kata Suto. "Yang penting aku pun tahu
namamu adalah Nyai Cungkil
Nyawa." "Dari mana kau tahu namaku?"
"Kudengar percakapanmu dengan Rangka Cula
sebelum kalian saling beradu kesaktian dan ilmu sihir tadi!"
"O, begitu"! Lalu, mengapa kau tidak segera
menolongku?"
"Karena kulihat tadinya kau imbang melawan Rangka Cula. Aku sendiri sedang
mengincarnya. Pikirku, kalau kau lari darinya, aku akan maju menghadapi dia!
Tapi kulihat kau kewalahan dan dalam bahaya, Nek. Jadi,
kuutamakan menyelamatkan nyawamu lebih dulu."
"Manusia yang satu itu sukar dikalahkan! Tapi suatu saat dia akan mati di
tanganku!"
"Mudah-mudahan harapanmu terkabul, Nek!"
Tiba-tiba nenek itu menatap Suto dengan curiga dan
bertanya, "Apa maksudmu menolong nyawaku?"
"Apa itu hal yang buruk?" Suto ganti bertanya.
"Kurasa kau punya maksud-makaud tertentu! Kurasa kau ingin memiliki jubah
keramat itu!"
Ails Pendekar Mabuk itu berkerut hingga nyaris
beradu. Heran sekali Suto dituduh begitu, sementara dia sendiri ingin tahu apa
yang dimaksud jubah keramat
dalam percakapan Nyai Cungkil Nyawa dengan Rangka
Cula dipertarungkan itu. Maka, Suto pun bertanya,
"Jubah apa maksudmu, Nek?"
"Jubah keramat! Apa kau belum dengar tentang jubah keramat?"
Suto menggelengkan kepala. "Aku justru ingin
dengar dari mulutmu, Nek! Ceritakanlah, karena aku
percaya kau tokoh tua di rimba persiiatan yang tahu
banyak tentang jubah keramat itu!"
"Ya, memang aku tahu banyak tentang jubah
keramat! Karena akulah penjaga Petilasan Teratai Dewa itu!"
"Apa pula Teratai Dewa itu?" tanya Suto semakin heran.
"Banyak orang menyangka, Petilasan Teratai Dewa adalah sebuah keraton yang sudah
runtuh. Mungkin
karena luasnya dan ada bekas pilar-pilarnya, maka orang menyangka petilasan itu
adalah reruntuhan sebuah
istana. Padahal bukan!"
"Dari mana kau tahu kalau petilasan itu bukan
reruntuhan sebuah istana?" tanya Suto semakin
terpancing ingin tahu.
"Karena akulah penjaga Teratai Dewa! Dari sejak
cicitku, canggahku, buyutku, kakekku, bapakku, sampai akhirnya aku... adalah
juru kunci atau penjaga makam tersebut."
"Makam yang mana?"
"Ya makam Teratai Dewa itu!" sentak nenek bergusik rada dongkol. "Petilasan
Teratai Dewa itu sebenarnya sebuah makam. Jelasnya, sebuah makam yang di atasnya
dibangun pesanggrahan bagi para leluhur dan ahli waris berkumpul. Lalu, di situ
menjadi suatu tempat untuk
mengolah ilmu kanuraga dan tenaga batin. Maka
muncullah sebuah nama perguruan yang pada masa itu
disegani orang, yaitu Perguruan Teratai Dewa!"
"Hmmm...!" Suto manggut-manggut. "Lalu, makam yang ada di bawahnya itu makam
siapa, Nek?"
"Itu makam Prabu Indrabayu, seorang raja dari
Lereng Gangga yang melarikan diri karena serangan
musuh, hingga sampai di tanah Jawa dan kawin dengan
puteri raja di tanah Jawa ini. Ketika beliau wafat, sang puteri, yaitu istrinya,
minta supaya jenazah suaminya dimakamkan di tanah tempat pertama kali mereka
berjumpa. Maka dibangunlah makam di dalam hutan
sana, dan menjadi sebuah pesanggrahan keramat.
Menurut kabarnya, pada masa tempat itu menjadi
pesanggrahan, para murid Perguruan Teratai Dewa itu,
sering didatangi arwah Prabu Indrabayu, atau melihat
kelebatan sang Prabu memakai jubah saktinya!"
"Ooo... jadi Prabu Indrabayu itu mempunyai jubah sakti?"
"Iya! Dan jubah itu ikut dimakamkan juga di
kuburannya itu!"
"Seberapa tinggi kesaktian jubah itu, Nek?"
"Tinggi sekali, sampai bisa disambar petir segala!"
jawab nenek itu seenaknya saja.
"Maksudku, kesaktiannya itu bagaimana" Seberapa
hebatnya kok sampai kelihatannya diincar betul oleh
Rangka Cula"!"
"Rangka Cula hanya orang upahan sang Adipati
Lambungbumi! Dan karena ulah mulut sang Adipati
itulah maka jadi banyak orang mengincar jubah keramat itu! Sebab sang Adipati
tahu adanya jubah keramat
peninggalan Prabu Indrabayu, karena dulu kakek
moyangnya ikut membangun makam Prabu Indrabayu."
"Yang kutanyakan, kehebatan jubah itu!" tegas Suto lagi.
"Ooo... kehebatannya?" nenek itu terbatuk sebentar, setelah itu melanjutkan
ceritanya, "Jubah itu mampu menciptakan khayalan menjadi
kenyataan...."
"Maksudnya... maksudnya bagaimana?" Suto
mendekat semakin tertarik.
"Seseorang yang mengenakan jubah itu, bisa
mempunyai kekuatan indera ketujuh, yaitu kekuatan
menghadirkan sesuatu yang ada dalam pikirannya. Dari sesuatu yang tidak ada
menjadi ada, yang ada bisa
menjadi tidak ada! Jadi misalnya begini...," nenek
bergusik itu pun bersemangat sekali menuturkan
kehebatan Jubah Keramat tersebut.
"Misalnya kau memakai jubah itu, maka apa yang
kau bayangkan dalam benakmu bisa menjadi kenyataan.
Kalau misalnya kau menghadapi lawanmu, lalu kau
membayangkan lawanmu terpenggal kepalanya, maka
dalam beberapa kejap saja lawanmu benar-benar
terpenggal kepalanya tanpa ada yang menyentuhnya,
tanpa ada yang memenggalnya. Misalnya lagi, kau
membayangkan batu di depan gubuk ini pecah, maka
tanpa kau ucapkan, tanpa kau sentuh, batu itu akan pecah sendiri seperti apa
yang kau bayangkan. Mungkin pecah menjadi dua atau menjadi seratus, itu
tergantung yang ada dalam benakmu!"
"Wah, hebat sekali jubah itu!" gumam Suto dengan kagum.
"Kalau tak hebat, tak akan jadi bahan rebutan!" kata sang nenek dengan cepat dan
merasa bangga bisa
menceritakan kehebatan jubah keramat itu. Lalu,
sambungnya lagi,
"Jubah itu diperoleh sang Prabu Indrabayu ketika bertapa di kedalaman Gunung
Wijayakusuma, yaitu
tempat asal tanaman kembang Wijayakusuma. Jadi kalau
kau memakai jubah itu, lalu kau membayangkan
perempuan cantik maka kau bisa benar-benar
mendapatkan perempuan cantik sesuai dalam bayangan
benakmu. Orang yang mempunyai jubah keramat itu
harus orang yang bersih pikirannya, bersih hatinya,
bersih pula khayalannya. Kalau tidak, akan
menimbulkan malapetaka di mana-mana! Kalau setiap
orang dibayangkan buntung kepalanya, maka di tanah
Jawa ini akan penuh dengan manusia tanpa kepala! Nah, jadi hanya orang yang
berjiwa bersih yang pantas
memiliki atau memakai jubah tersebut! Tugas leluhurku adalah menjaga agar jangan
sampai jubah itu dicuri
maling! Tapi karena mulut Adipati Lambungbumi
berkoar ke mana-mana, mengupah setiap orang untuk
mencari jubah keramat itu, nah... akhirnya banyak
maling yang mengincar Jubah keramat itu!"
Pendekar Mabuk manggut-manggut, lalu ia merenung
panjang ketika matahari makin surut dan petang pun
tiba. Nenek bergusik itu keluar sebentar dari gubuk.
Ketika ia kembali lagi sudah membawa sebongkah batu
satu genggaman tangan. Batu itu cekung di
permukaannya, lalu diberinya tuak sedikit dengan
meminta tuaknya Suto, diberi pula kain sedikit dari
sobekan ikat pinggangnya sendiri, dan dengan satu kali tunjuk jari, terpeciklah
api yang segera menyambar kain bagaikan sumbu lentera itu, lalu menyala kain
tersebut menjadi sebuah pelita yang cukup ajaib. Dengan bahan
bakar tuak, bisa menyala sampai beberapa saat lamanya, bahkan sampai besok pagi
pun bisa, begitu kata si nenek bergusik itu.
Rupanya percakapan itu ada yang menyadap dari luar
gubuk. Nenek bergusik itu berkata lirih pada Pendekar Mabuk.
"Ada maling!"
Suto berkerut dahi, menelengkan telinganya, mencari
dengar suara yang mencurigakan. Nenek itu berkata lagi dengan lirih,
"Kau mendengar degub jantungnya?"
"Tidak."
"Bodoh kamu!" ucap nenek itu seenaknya saja. "Aku mendengar degub jantungnya.
Keras. Itu tandanya dia
deg-degan!"
"Aku hanya mendengar desir darahnya mengalir di
sekujur tubuh."
"Wah, itu lebih hebat! Suara desiran darah bisa
sampai di telingamu, itu hebat!"
"Tapi sepertinya darahmu sendiri yang kudengar, Nek!"
"Wah, itu bodoh namanya! Karena aku berada di
dekatmu jadi kau mendengar desir darahku! Eh, tapi...
tadi agaknya maling itu makin mendekati kita, Suto!
Degub jantungnya makin kudengar jelas!"
Pendekar Mabuk bergegas keluar dari gubuk itu. Tapi
Nyai Cungkil Nyawa segera menahannya dan berbisik
makin pelan, "Diam saja di tempat. Seolah-olah kita tidak
mengetahui kehadirannya. Diam saja! Kita bicara soal
lain!" Suto manggut-manggut tanda setuju. Kemudian, Suto
segera bertanya,
"Sebenarnya, nama aslimu siapa, Nek?"
"Nama asliku sewaktu masih gadis cantik adalah
Sendang Katon."
"Kenapa diganti dengan nama Nyai Cungkil Nyawa?"
"Biar seram! Hik hik hik...!" nenek itu tertawa. Lalu tambahnya lagi,
"Pekerjaanku dulu tukang mencungkil nyawa orang yang mau mengganggu makam Prabu
Indrabayu. Jadi kuberi nama julukan Cungkil Nyawa."
"Apa sekarang kau masih bisa mencungkil nyawa
orang?" "Kalau ada yang berbuat kurang ajar padaku, tentu saja aku bisa mencungkil
sepuluh nyawa dalam satu kali cungkilan!"
Setelah bicara begitu, Nyai Cungkil Nyawa berbisik
di dekat telinga Suto. "Dia semakin dekat. Sekarang ada di pintu masuk!"
Suto tetap tenang dan melirik sekejap ke arah pintu
masuk, ia kembali berpura-pura asyik ngobrol dengan
nenek itu. "Apa kerjamu sehari-hari ini, Nyai?"
"Yah, tidak tentu! Kadang-kadang aku menjadi dukun bayi, atau tukang masak jika
ada orang punya hajat
dan...," Nyai Cungkil Nyawa tidak melanjutkan
bicaranya. Matanya memandang ke arah pintu masuk.


Pendekar Mabuk 024 Malaikat Jubah Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suto Sinting pun ikut memandang ke sana, dan menjadi
sangat terkejut begitu melihat 'maling' yang dikatakan Nyai Cungkil Nyawa itu
sudah ada di depan pintu dan
sedang memandang ke arah Suto.
Maling itu adalah seekor harimau loreng bermain
merah. Jantung Suto hampir saja putus karena kagetnya.
Harimau itu tampak ganas dan mulai menggeram dengan
kepala merendah, itu tandanya dia siap menerkam
mangsanya. Suto Sinting berkata dengan sedikit cemas,
"Ini bukan saja maling, Nek! Ini lebih berbahaya daripada maling!"
"Ggrrrr...!" harimau loreng berbadan besar itu menggeram dengan mulut
menyeringai, menampakkan
taringnya yang menyeramkan.
"Tenang saja... tenang...," ucap nenek itu. Ia sendiri kelihatan agak gemetar.
Lalu mulutnya komat-kamit
entah membaca mantera apa, Suto tak tahu. Yang
dilakukan Suto adalah memandang mata harimau yang
berwarna merah itu. Maka timbul keyakinan dalam diri
Suto Sinting bahwa harimau itu bukan sembarang
harimau. "Gggrrr... aaaoow...!" harimau itu mengaum, suaranya bagai mau merubuhkan bambu-
bambu penyangga atap gubuk itu. Nenek bergusik itu gemetar
dan tetap membaca mantera. Sedangkan Pendekar
Mabuk buru-buru meraih bumbung tuaknya, dan
menenggak tuak dengan cepat. Tuak tidak ditelan tapi
ditampung di mulut. Maka ketika harimau itu pada
akhirnya benar-benar melompat dan menerkam ke arah
si nenek, Suto segera menyemburkan tuak di dalam
mulutnya yang dinamakan ilmu 'Sembur Siluman'.
Brusss...! Clappp...! Brukkk...! Nenek itu jatuh telentang ditindih oleh
sesosok tubuh manusia berpakaian hitam-hitam. Lelaki
berpakaian hitam itu segera disentakkan tubuhnya oleh nenek bergusik dan jatuh
terlempar di dekat pintu masuk
tadi. Brakkk...!
Gubuk hampir saja ambruk. Tubuh orang berpakaian
hitam itu membentur tiang penyangga pintu. Nenek
bergusik segera memaki,
"Monyet kusut! Rupanya kau yang berubah menjadi harimau tadi, Sonokeling"!"
Orang berpakaian hitam itu tertawa terkekeh-kekeh.
Usianya hampir sama dengan Nyai Cungkil Nyawa.
Rambutnya juga putih dan kulitnya sudah keriput.
Tubuhnya pun sama kurusnya dengan nenek bergusik
itu. "Memang aku, Nyai," kata orang yang ternyata bernama Sonokeling itu.
"Kambing bandot kumis kucing!" serapah nenek itu.
"Sekali lagi kau berusaha menciumku dengan cara apa pun kubunuh kau saat itu
juga, Sonokeling!"
"Siapa dia, Nek?" tanya Suto.
"Orang gila!" jawab Nyai Cungkil Nyawa dengan seenaknya saja.
Kemudian nenek itu bicara kepada orang yang
bernama Sonokeling,
"Apa maksudmu datang kemari, hah"!"
"Aku... aku rindu padamu, Nyai!"
"Puih...! Rindu, rindu...!" Nyai Cungkil Nyawa bersungut-sungut cemberut. Suto
Sinting segera paham
siapa orang itu, lalu ia tersenyum, dan Nyai Cungkil
Nyawa melirik Pendekar Mabuk, kemudian berkata
kepada orang berpakaian hitam itu,
"Tidak malu sama anak muda ini! Sudah tua peot
masih bicara soal rindu! Mengacalah dulu, Sonokeling"!
Lihatlah dirimu, masih muda atau sudah tua"!"
"Apa yang boleh punya rindu hanya anak muda"!" Ki Sonokeling duduk melonjorkan
kaki seenaknya saja.
"Sudah tak pantas orang seusia kita bicara soal
rindu!" "Kalau tak pantas ya sudah!" kata Ki Sonokeling kemudian. "Aku ke sini juga mau
kasih tahu kamu, Nyai! Tempatmu disatroni pencuri!"
"Apa..."!" nenek bergusik kaget.
"Kulihat ada tiga mayat lagi yang tergeletak di atas petilasan itu! Dan kulihat
juga ada sepasang muda-mudi di sana!"
"Siapa mereka"!"
"Entah. Aku tak menegur muda-mudi itu! Waktu
kutinggalkan mencari kamu, mereka sedang bertarung!
Pokok masalahnya sudah pasti soal jubah keramat itu!"
"Suto!" kata nenek itu kemudian, "Aku harus segera ke petilasan! Aku harus
mencegah kedua anak muda itu
saling berebut jubah keramat! Mereka harus kuberi
pelajaran agar tidak seenaknya menginjak-injak
Pesanggrahan Teratai Dewa!"
"Kalau begitu, aku ikut de...."
Clappp...! Suto terkejut, nenek itu lenyap begitu saja. Entah
kemana perginya dan entah bagaimana bergeraknya.
Suto hanya merasakan hembusan angin melesat di
depannya. Tetapi Ki Sonokeling masih ada di tempatnya sedang garuk-garuk kepala.
* * * 4 SEPERTI apa yang dikatakan Ki Sonokeling, di
pelataran Petilasan Teratai Dewa terdapat tiga mayat.
Tentu saja mayat itu adalah mayat si Cakar Macan,
Julung Boyo dan Tapak Getih. Tetapi dua remaja yang
dikatakan Ki Sonokeling itu tidak ada.
Nyai Cungkil Nyawa mencari-cari kedua muda-mudi
itu ke beberapa tempat sambil menggerutu,
"Jangan-jangan mereka sedang mesra-mesraan di
sini! Kugepruk habis kalau ketemu! Tempat suci kok
mau dipakai remas-remasan"!"
Dalam keremangan cahaya langit yang sudah menjadi
cerah dengan rembulan kece mengintip sangat sedikit, Nyai Cungkil Nyawa
menyusuri tempat-lempat yang
paling tidak memungkinkan dijamah manusia. Tetapi
tetap saja dua remaja yang dikatakan Ki Sonokeling itu tidak ia temukan.
Akhirnya Nyai Cungkil Nyawa kembali ke
reruntuhan bagian depan. Mayat-mayat itu diseretnya
satu persatu untuk dibuang ke jurang yang jaraknya tak seberapa jauh dari
petilasan itu. Sambil menyeret mayat-mayat itu Nyai Cungkil Nyawa menggerutu,
"Sampai kapan orang-orang bodoh ini habis dari
permukaan bumi"! Semakin banyak orang bodoh, maka
akan semakin banyak lagi pekerjaanku menyeret mayat,
membuangi mayat, menjadikan mereka mayat dan
semua ini sungguh pekerjaan yang membosankan
bagiku! Dari hari ke hari pekerjaanku hanya urusan
kematian terus. Padahal aku tidak pernah punya cita-cita untuk menjadi petugas
kematian!"
Nyai Cungkil Nyawa tertidur di pelataran reruntuhan,
ia kecapekan menyeret tiga mayat sambil menggerutu.
Suara dengkurnya samar-samar terdengar berirama
naik turun. Kadang tinggi, kadang rendah, kadang pelan, kadang keras. Sesekali
di sela sepinya malam ia
terbatuk-batuk, lalu lelap lagi dan hadir kembali suara naik turun dari
dengkurnya yang tidak punya kemerduan sama sekali itu.
Sebenarnya Suto Sinting sudah bisa sampai di
petilasan sebelum nenek itu tertidur. Tapi agaknya Suto jadi punya urusan lain
dengan Ki Sonokeling. Lelaki
berpakaian serba hitam itu merasa kagum terhadap ilmu
'Sembur Siluman' milik Suto yang bisa membuat
penyamarannya dari seekor harimau loreng menjadi
Heng Thian Siau To 2 Istana Yang Suram Karya S H Mintardja Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong 7
^