Misteri Malaikat Palsu 2
Pendekar Mabuk 062 Misteri Malaikat Palsu Bagian 2
dapat menyusul Pendekar Mabuk dan tak bisa mempunyai perkiraan ke mana arah yang
ditempuh si tampan berkebaya merah jambu itu.
"Setan belang! Memang sinting ilmu si Pendekar Mabuk itu! Aku jadi repot sendiri
mencari jejaknya,"
gerutu Dewi Cintani. "Biar bagaimanapun harus tetap kucari, ia dalam bahaya
besar jika berhadapan dengan Payung Serambi. Aku tak ingin ia terluka seperti
kemarin sore. Kasihan sekali. Aku sayang kepadanya
dan tak rela ia menderita sakit apa pun!"
Pendekar Mabuk tak pedulikan lagi tentang Dewi
Cintani yang ketinggalan di belakangnya itu. Pikirannya hanya satu; mengejar
Payung Serambi untuk dapatkan
kembali pakaiannya. Setelah itu baru berhitung tentang
pembunuhan atas diri Nini Kalong.
Langkah Suto Sinting pun akhirnya dihentikan secara mendadak, ia terkejut ketika
menyadari dirinya sudah berada di perbatasan sebuah desa.
"Wah, kacau...! Aku bisa ditertawakan orang kalau sampai masuk ke desa ini!
Pasti dianggap orang gila atau banci konyol! Sebaiknya kuhindari saja desa ini,
dan... oh, ya, aku butuh mengisi bumbung tuakku. Bagaimana caranya menuju ke kedelai
tanpa ditertawakan orang?"
Otak pun berputar sesaat, lalu hati berkecamuk
menyusun rencana.
"Ah, sebaiknya aku benar-benar berlagak menjadi perempuan saja. Biar disangka
benar-benar perempuan, jadi tidak ditertawakan sebagai banci gila! Hmmm...
daun jati muda bisa kupakai untuk gincu!"
Suto Sinting segera memetik sehelai daun jati muda.
Daun itu dikunyahnya, walau terasa sepet dan kasar, tapi tetap dipaksakan agar
menimbulkan warna merah untuk mengolesi bibirnya.
"Hooek..! Puih, puih...!" Suto Sinting hampir muntah karena menelan getah daun
jati muda yang berwarna
merah. Tapi dengan begitu bibirnya menjadi merah
bagai mengenakan gincu dan mirip wanita. Suto Sinting memetik setangkai bunga
kuning mirip bunga kamboja.
Bunga itu disematkan di telinga kirinya. Kebaya
dikancingkan rapat-rapat. Kain pun dibenahi agar
tampak sedikit rapi dan menyembunyikan bagian yang
robek untuk bagian dalam. Rambut pun disisir dengan lima jari, yang penting
sedikit rapi tidak kelihatan seperti
lelaki. "Demi tuak yang sudah sangat menipis, aku terpaksa berpenampilan seperti ini.
Ya, Dewa... semoga saja
kejadian seperti ini jangan terulang untuk yang kedua kalinya! Samber geledek
betul orang yang mencuri
pakaianku itu!" keluhnya dalam hati sambil
memasukkan dua gumpalan jerami untuk mengisi dada
kanan dan kiri. Dada itu menjadi tampak montok, walau jika diremas bisa bikin
orang pingsan tertawa atau terkencing-kencing menahan geli.
Dengan langkah melenggak-lenggok mirip
perempuan genit, Pendekar Mabuk memasuki desa
tersebut. Beberapa penduduk desa yang berpapasan
dengannya ada yang memperhatikan, ada pula yang acuh tak acuh dan tidak merasa
tertarik. Yang merasa tidak tertarik adalah kaum wanitanya, yang memperhatikan
dan merasa tertarik adalah kaum lelakinya. Karena
dalam keadaan bergincu merah, pemuda tampan itu
tampak seperti gadis yang cantik dan menggairahkan di mata pria. Badannya
kelihatan sekal dan matanya
mengundang selera untuk bercumbu. Bibirnya yang
memang berbentuk indah itu membuat jantung setiap
lelaki berdebar-debar, seakan ingin segera
mencaploknya dan tak akan dilepaskan selama sehari
semalam. "Sial! Justru menjadi bahan perhatian kaum lelakinya.
Apakah memang kelihatan cantik aku ini?" pikirnya sambil melangkah gemulai
mendekati sebuah kedai.
Kebetulan di kedai itu tidak banyak pengunjung, hanya
ada empat orang yang sedang makan dan minum di
kedai tersebut. Suto Sinting langsung memesan tuak, menyuruh pemilik kedai
memenuhi bumbung bambu
dengan air tuak. Tentu saja dalam memesan tuak Suto Sinting menggunakan suara
kecil yang dibuat mirip
suara perempuan genit.
Seorang lelaki berusia sekitar tiga puluh tahun yang sedang menikmati
santapannya terpaksa diam tertegun memandangi kehadiran Pendekar Mabuk. Lelaki
berkumis tipis itu sempat iseng dengan teguran
nakalnya. "Hai, Manis... sendirian saja, ya?"
Suto Sinting diam tak mau layani teguran iseng itu.
Tetapi pria berbaju hitam yang badannya agak gemuk
dengan kumis lebat dan wajah beringas, segera
meninggalkan seorang teman yang duduk bersamanya.
Orang itu mendekati Suto Sinting yang masih berdiri menghadap meja dagangan.
Tiba-tiba orang berbaju
hitam itu menepuk pantat Suto Sinting sambil menyapa nakal.
Plak...! "Eh, kambing...!" Suto Sinting berlagak latah, tapi hatinya dongkol sekali.
"Ha, ha, ha, ha...! Badanmu bagus sekali, Sayang!
Kau pasti seorang tamu yang menyempatkan diri
singgah ke desaku ini. Hmmm... manisnya! Siapa
namamu, Sayang?"
Suto Sinting diam saja, berusaha sembunyikan wajah
dengan melengos ke arah berlawanan dengan datangnya
orang berkumis tebai itu. Ia sengaja tidak menjawab supaya tidak terjadi
percakapan yang panjang. Tapi si baju hitam justru mengusap-usap Suto Sinting
sambil tertawa nakai.
Plak...! Suto Sinting menepiskan tangan lelaki itu
dengan kasar. Wajahnya benar-benar cemberut dongkol, tapi dianggap oleh si
lelaki sebagai cemberut gadis yang malu-malu kucing.
"Kakang punya rumah tak jauh dari sini. Kau bisa bermalam di rumahku saja.
Kebetulan aku seorang duda tanpa anak. Sudah tiga bulan yang lalu aku bercerai
dengan istriku. Temani aku ya, Sayang?"
Orang itu justru meremas-remas pinggul Suto Sinting dengan senyum dan mata
memancarkan kemesuman.
Pendekar Mabuk menghindari remasan tangan lelaki itu, dan teman si lelaki
menertawakan dari tempat duduknya.
"Lembut sedikit, Soglo! Jangan kasar-kasar begitu nanti dia jijik padamu! Ha,
ha, ha, ha...!" teman orang berbaju hitam itu berseru dari tempatnya. Rupanya
orang berbaju hitam itu bernama Soglo dan memang tabiatnya genit-genit
memuakkan, selayaknya seorang mata
keranjang yang kampungan.
"Kau membeli tuak banyak sekali, Sayang" Untuk siapa, hmm..."! Untuk kakekmu
atau untuk nenekmu?"
"Untukku sendiri!" ketus Suto Sinting dengan suara dan lagak wanita judes.
Soglo justru tertawa kegirangan. "Kalau cemberut begitu kau tampak manis sekati,
Iiih... gemas sekali aku!" Soglo mencubit pipi Suto.
Tanpa disadari, gerak naluri Suto Sinting keluar.
Tangan itu segera ditepiskan dengan sentakan cepat, dan kepalan tangan Suto
segera menyodok ke mulut Soglo.
Wuut.... Plak, plook...!
"Uuuhf...!" Soglo tersentak mundur tiga langkah, terhuyung-huyung sambil sedikit
membungkuk dan pegangi mulutnya yang kena jotos itu. Ternyata mulut tersebut berdarah karena
bibirnya pecah. Soglo
mengerang kesakitan, yang lain pun menjadi tegang.
Pada waktu itu, si pemilik kedai segera menyerahkan bumbung yang sudah penuh
tuak dengan rasa takut dan waswas.
"Perempuan liar!" geram teman si Soglo sambil segera bangkit berdiri dan
melompat ke arah Suto
Sinting. Jleeg...! Ia berdiri di depan Suto Sinting ketika murid si Gila Tuak itu
membalikkan badan sambil menenteng bumbung tuaknya.
"Marung, hajar setan betina itu!" seru Soglo sambil kebingungan menghentikan
kucuran darah dari
mulutnya, karena ternyata bukan bibir saja yang pecah akibat hantaman tangan
Suto, melainkan gigi depan pun menjadi rompal dua biji.
Marung, teman si Soglo itu, segera maju dan
menghantamkan pukulannya ke arah wajah Pendekar
Mabuk. "Dasar perempuan keparat! Kau belum tahu siapa kami berdua ini, hah"! Heeah...!"
Wuuut...! Plak...!
Suto Sinting menangkap pukulan itu dengan tangan
kirinya. Lalu genggaman tangan Marung dirematnya
kuat-kuat. Krrrak...!
"Aaauuh...!" Marung menjerit kesakitan, tapi genggamannya belum dilepaskan oleh
Suto Sinting. Suara tulang jari patah serempak terdengar mengerikan bagi pengunjung yang lain.
Mereka cepat-cepat keluar dari kedai dengan wajah ketakutan.
"Aaauh...! Ampuun... ampuun...!" seru Marung sambil menyeringai menahan rasa
sakit yang luar biasa itu.
"Bangsat kau! Hiaah...!" Soglo menyerang dengan tendangan. Tapi kaki Suto
Sinting segera berkelebat lebih cepat sehingga tulang kering kaki Soglo berhasil
ditendangnya lebih dulu. Buuk, prak...!
"Aaauuh...!" Soglo menjerit panjang karena tulang keringnya bagaikan remuk, ia
langsung jatuh terduduk dan memegangi kakinya seperti anak kecil yang kakinya
membentur meja makan.
"Aam... ampun... ampuni aku. Lepaskan tanganku, Nona. Aduuh... sakit sekali. Aku
tak tahan sakitnya, Nona. Aaaadduuh... ampun, Dik. Ampun...!" Marung memohon-
mohon dengan wajah tetap menyeringai
karena rematan tangan Suto Sinting semakin lama
semakin kencang, dan tulang jari yang patah terasa
semakin sakit. "Kulepaskan tanganmu tapi tebus kelancangan
temanmu itu yang berani-beraninya menggerayangi
tubuhku!" kata Suto Sinting dengan suara perempuan.
"Iiya... iya... iya akan kutebus. Bagaimana caranya?"
"Bayar harga tuak yang telah kubeli ini!"
"Iiya... iya akan kubayar. Lepaskanlah aku, Nona."
"Bayar dulu!"
"Bbba... baik... baik akan kubayar sekarang!" Marung keluarkan uang dari sabuk
hitamnya, uang itu
dilemparkan kepada pemilik kedai dan ditangkap dengan gesit oleh si pemilik
kedai. "Cukup uang itu, Pak Tua?" tanya Suto Sinting.
"Cu... cukup, Nona! Malahan sisa banyak."
"Baik!" Suto Sinting melepaskan rematan tangannya.
"Ingat, kalau kalian menggangguku lagi, atau
mengganggu kaum sejenisku, kepala kalian yang akan
kuremat hingga tulang-tulangnya remuk!"
Setelah meninggalkan ancaman yang ditakuti oleh
Marung dan Soglo, Pendekar Mabuk segera langkahkan
kaki keluar dari kedai. Di depan kedai ia sempat
menenggak tuak dua teguk, tapi buru-buru dihentikan, karena ingat dirinya tampil
sebagai wanita. Tak layak seorang wanita menenggak tuak di depan kedai seperti
itu. Dengan langkah dipercepat dan melupakan lenggak-
lenggoknya, Suto Sinting segera meninggalkan desa itu.
Bumbung tuaknya digantungkan di pundak, sebagai
kesiapsiagaan jika datang bahaya sewaktu-waktu
kepadanya. Bertepatan dengan keluarnya Suto Sinting dari desa
itu, terdengar pula suara dentuman menggema dari balik bukit kecil yang ada di
depan langkah Suto. Dentuman
itu sempat menggetarkan bumi, getarannya terasa sampai di tanah yang dipijak
Suto Sinting. "Sebuah pertarungan..."!" sentak hati Pendekar Mabuk. "Pasti ada pertarungan di
balik -bukit kecil itu.
Kulihat pendar cahaya merah berkerilap di sebelah sana!
Aku harus segera ke sana, siapa tahu si Malaikat Malam sedang berusaha membunuh
seseorang yang kukenal!"
Zlaaap...! Pendekar Mabuk melesat ke arah bukit
kecil yang tak seberapa tinggi itu. Ia sengaja memanjat bukit itu dengan gerakan
yang lincah, walau untuk itu kain penutup bagian bawahnya robek lagi. Wreeek...!
"Sial! Robek lagi, jadi seperti gelandangan saja kalau begini!" gerutu Suto
Sinting sambil tetap menuju ke puncak bukit kecil itu.
Pendekar Mabuk segera tercengang begitu melihat
siapa yang mengadu ilmu di bawah bukit kecil itu.
Ternyata mereka adalah seorang lelaki muda berusia
sekitar dua puluh lima tahun, berpakaian serba merah, rambut panjang lurus
sepundak dengan ikat kepala
kuning. Lelaki muda yang bersenjata kapak dua mata itu bertubuh tinggi, tegap
dan ganteng. Suto Sinting
mengenalnya sebagai Ranggu Pura, murid mendiang si
Poci Dewa. Sedangkan lawannya adalah seorang gadis
berambut acak-acakan. Gadis itu mengenakan pakaian
ketat seperti dari karet berwarna hitam dengan pedang di punggung bergagang
hitam. Wajahnya cantik tapi
berkesan liar dan ganas.
Gadis berpakaian ketat warna hitam yang montok
dadanya itu tak lain adalah Angin Betina, gadis yang
sangat mencintai Suto Sinting dan bertekad menjadi
perisai bagi sang Pendekar Mabuk. Sedangkan Ranggu
Pura adalah sahabat Suto yang pernah ditolong dari
kelicikan Ayunda, sampai Ranggu Pura berhasil
mengawini Cumbu Bayangan, murid paman gurunya itu.
"Ranggu Pura pasti salah paham," pikir Suto Sinting.
"Tapi bagaimana aku harus bertindak melerai
pertarungan itu" Aku malu muncul di depan Angin
Betina dalam keadaan seperti banci gila begini! Tapi...
haruskah kubiarkan mereka mengadu nyawa?"
Suto Sinting hanya bisa memendam kedongkolan.
Gara-gara ia kehilangan pakaian, maka ruang geraknya menjadi tak bebas. Lebih-
lebih dengan mengenakan
kebaya dan kain perempuan, ia benar-benar tersiksa
menghadapi kenyataan itu. Gerutunya pun terucap
kembali sambil sembunyikan diri di balik batu besar.
"Huuh...! Dapat mayat saja mayat perempuan,
akibatnya aku jadi serba salah kalau begini. Lebih baik tanpa pakaian sama
sekali, tidak disiksa perasaan
bimbang dan salah tingkah begini! Uuh... nasib,
nasib...!"
Pendekar Mabuk akhirnya garuk-garuk kepala
dengan jengkelnya, tapi pandangan mata tetap tertuju pada pertarungan antara
Ranggu Pura dengan Angin
Betina. * * * 6 SEJAK tadi Angin Betina tidak bergeser dari
tempatnya berdiri. Tak ada lompatan yang dilakukan
olehnya saat menerima serangan dari Ranggu Pura.
Pendekar Mabuk 062 Misteri Malaikat Palsu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tebasan kapak yang diarahkan ke lehernya hanya
dihindari dengan meliukkan badan ke belakang dan
mengayun ke kiri, kemudian tangan pemegang kapak
yang telah lewat di depannya itu ditendang kuat dengan gerak tendangan yang
sulit dilihat lawannya. Bet,
Plaak...! Weees...!
Kapak dua mata itu terpental ke samping. Ranggu
Pura rasakan tangannya bagaikan hilang. Tendangan
bertenaga dalam itu telah mematikan rasa pada urat
tangan tersebut. Akibatnya tangan itu tak bisa dipakai untuk memegang sesuatu
dan tak bisa digunakan untuk merasakan rabaan apa pun.
"Setan alas! Tanganku seperti semutan rasanya. Lebih dari semutan! Kalau tak
segera kusalurkan hawa murni ke tangan, bisa-bisa aku mati separo," pikir Ranggu
Pura sambil berjongkok di samping kapaknya yang masih
tergeletak di tanah. Angin Betina hanya pandangi
dengan mata tajam seakan ingin menembus ulu hati
Ranggu Pura. "Sebetulnya kalau Angin Betina mau lakukan
serangan balasan, Ranggu Pura akan mengalami luka
parah. Tapi Angin Betina yang kecepatan geraknya
seperti angin itu tak mau lakukan serangan balasan.
Sebab ia tahu bahwa lelaki tampan itu bukan lawan
tandingnya. Ilmunya masih jauh di bawahnya. Tapi ia
bermaksud memberi pelajaran kepada lawannya agar
lain kali tidak bertindak ceroboh lagi.
Sesaat kemudian, Ranggu Pura mulai peroleh
kekuatan kembali. Tangan kanannya sudah bisa
digunakan sebagaimana mestinya. Hanya saja, kali ini Ranggu Pura tidak langsung
lakukan serangan, ia
mencari celah dan kelengahan sang lawan.
"Hentikan tindakan bodohmu! Kau hanya akan
mencari penyakit jika melawanku!" hardik Angin Betina dengan sorot pandangan
mata dan raut muka tampak
angker-angker cantik.
"Tak akan kuhentikan tindakanku sebelum menebus kematian guruku dengan nyawamu!"
"Aku tidak kenal siapa gurumu!"
"Omong kosong! Eyang Poci Dewa telah kau bunuh secara licik. Luka di punggungnya
akibat tebasan pedangmu menandakan bahwa kau melawan guruku
secara licik!"
"Sekali lagi kutegaskan; aku tidak membunuh Poci Dewa. Tanyakanlah pada arwah
gurumu sendiri!"
"Kau tak perlu mengelak, Iblis Jalang! Semua orang tahu, kaulah si Malaikat
Malam yang berpakaian serba hitam itu!"
"Aku bukan Malaikat Malam! Orang memanggilku
Angin Betina!" kata wanita berambut acak-acakan berkesan angker itu. Suaranya
datar dan dingin membuat tiap kata yang dilontarkan bagai mempunyai kekuatan
gaib yang menggetarkan nyali lawannya. Tetapi agaknya Ranggu Pura tidak peduli
dengan getaran tersebut. Api
dendam kesumat makin berkobar dari pancaran sinar
matanya. "Aku tak peduli! Kau mau mengaku Angin Betina
atau Setan Betina, tetapi hutang nyawa tetap harus
dibalas nyawa! Kematian guruku tak bisa ditebus dengan tipuan nama dan pengakuan
palsu! Sekaranglah kau
harus menghadap guruku di alam baka sana!
Heeeeaat...!"
Ranggu Pura memutar kapaknya satu kali dari
belakang ke depan. Wuuut...! Lalu kapak itu
memercikkan sinar yang menyerupai mata tombak
panjang. Claaap...! Sinar biru melesat cepat ke arah dada Angin Betina.
Gadis berwajah liar namun mengagumkan itu tetap
berdiri di tempatnya. Kedatangan sinar biru itu ditahan dengan telapak tangan
kirinya. Teeeb...! Sinar itu
bagaikan tak bisa menembus telapak tangan yang sudah menyala kuning itu. Dalam
satu gerakan telapak tangan memutar balik, sinar biru panjang itu pun berkelebat
kembali ke arah pemiliknya. Weess...!
Ranggu Pura terkejut, lalu sentakkan kaki dan
tubuhnya melambung ke atas cukup tinggi. Sinar itu
menghantam sebatang pohon di belakang Ranggu Pura.
Blegaaarr...! Ranggu Pura tak pedulikan pohon itu hancur menjadi
serpihan yang berhamburan ke mana-mana. Dari
tempatnya melayang ia lepaskan kembali sinar serupa dari kapaknya. Claap...!
Namun kali ini di belakang sinar itu tampak selarik sinar merah patah-patah
mengikuti gerakan sinar biru. Sinar patah-patah itu keluar dari telapak tangan kiri Ranggu
Pura. Weeess...! Angin Betina tidak bergeser dari tempat, namun ia
sedikit rendahkan badan dari dengan kedua tangannya yang masing-masing
mengeraskan kedua jari itu ia
menolak datangnya kedua sinar tersebut.
Masing-masing ujung kedua jari saling bertemu di
depan mata, dan dari ujung jari itu mengeluarkan sinar putih perak membias lebar
bagai membentengi dirinya.
Slaaap...! Blagaaarr...! Benturan sinar biru-merah pada sinar putih perak
menghasilkan ledakan yang amat dahsyat. Gelombang
ledakan itu sangat kuat, sehingga Angin Betina sendiri tersentak mundur tiga
langkah dan hampir saja jatuh terpelanting. Tetapi Ranggu Pura terpental delapan
tombak jauhnya. Weees...!
Ranggu Pura bagai dilemparkan oleh tenaga yang
amat besar, ia melayang-layang di udara kehilangan
keseimbangan badan. Kemudian jatuh terbanting dalam posisi miring. Brrruk...!
"Aaauh...!" pekiknya menahan sakit. Kapak di tangannya sempat terlepas dan jatuh
dua langkah dari kepalanya.
Tulang pundaknya terasa seperti patah dan tulang
lehernya pun terkilir nyeri, sehingga Ranggu Pura
terpaksa mengerang panjang saat membetulkan letak
sendi tulang lehernya dengan paksa. Klaak...!
"Aoww...!" pekiknya sendiri.
Kemudian ia paksakan untuk berguling ke samping.
Satu gulingan ia sudah berhasil menyambar senjatanya kembali, ia mencoba untuk
bangkit walau sempoyongan.
Saat itulah ia baru sadar bahwa hidungnya telah
mengucurkan darah segar dan tangan kirinya bagaikan lumpuh, tak bisa digerakkan
lagi akibat kejatuhannya tadi.
"Keparat kau, Iblis Betina!" geramnya penuh pancaran nafsu untuk membunuh.
Sedangkan Angin
Betina justru kelihatan tenang-tenang saja, namun
pandangan matanya yang tajam menunjukkan bahwa ia
tetap waspada. Dari atas bukit kecil itu Pendekar Mabuk berkata
pada diri sendiri, "Matilah si Ranggu Pura kalau masih nekat melawan Angin
Betina! Aku harus bisa
menghentikannya agar kesalahpahaman ini tidak
menimbulkan korban jiwa. Hmmm... bagaimana
caranya" Kusambar saja si Ranggu Pura sambil
melepaskan totokan dari jarak jauh, atau kutotok
keduanya dari sini agar Angin Betina tak melihat
kehadiranku dalam pakaian perempuan begini"!"
Ranggu Pura melangkah dengan sempoyongan.
Napasnya terengah-engah diburu dendam. Sambil
menggeram-geram ia mulai memutar-mutar kapaknya di
samping. Putaran kapak itu
keluarkan bunyi
mendengung yang makin lama semakin menyakitkan
gendang telinga. Jelaslah bahwa Ranggu Pura ingin
pergunakan jurus lain berupa bunyi gaung dari
senjatanya untuk memecahkan gendang teiinga lawan.
"Hentikan...!"
Tiba-tiba terdengar suara keras yang mampu
mengungguli bunyi gaung itu. Suara bentakan keras itu datang dari arah timur
mereka. Seorang gadis cantik muncul begitu saja, tak diketahui dari mana asal
kedatangannya. Seperti jatuh dari langit.
Mata murid si Gila Tuak itu terbeialak kaget.
"Payung Serambi..."!" ucapnya dengan nada menggeram. Kedongkolannya mulai
mengusik hati teringat pakaiannya yang lenyap itu. Kemudian hatinya pun berkata,
"Kalau kutemui sekarang, ah... masih ada Angin Betina. Aku malu kalau Angin
Betina melihatku pakai kebaya begini. Amit-amit betul kalau sampai dilihat dia!
Jangan sampailah yauw...!"
Angin Betina melirik tajam kepada Payung Serambi.
Hatinya bertanya, "Siapa perempuan itu dan apa hubungannya dengan murid si Poci
Dewa itu"!"
Sementara di pihak Ranggu Pura pun melirik sinis
dengan gerakan tangan memutar kapak terhenti dengan sendirinya. Hatinya
membatin, "Siapa perempuan cantik itu" Mengapa tiba-tiba tanganku tak bisa kupakai untuk
memutar kapak lagi"
Uh... kaku sekali tangan kananku ini" Kekuatan apa
yang digunakan oleh perempuan cantik itu, sehingga
tanganku jadi tak bisa digerakkan memutar. Tapi
anehnya... anehnya rasa sakit di tulang pundak kiriku menjadi hilang"! Gila!
Apakah semua ini pengaruh dari
pandangan matanya yang lebih sering tertuju padaku
itu"!"
Payung Serambi melangkah lebih mendekati
pertengahan jarak antara Ranggu Pura dan Angin Betina.
Tetapi pandangan matanya lebih sering tertuju kepada Ranggu Pura. Penampilannya
yang punya kesan wibawa
aneh itu membuat Angin Betina diam saja, seakan
membiarkan apa pun yang akan dilakukan gadis cantik itiu.
Terdengar suara bernada tegas dari Payung Serambi
yang ditujukan kepada Ranggu Pura.
"Kau bisa mati konyol kalau harus melawan
perempuan itu! Kematianmu tidak akan menebus
kematian gurumu, karena kau telah salah tuduh dan
bertindak dengan gegabah!"
"Apa urusanmu terhadap persoalanku dengan
perempuan itu"!" sentak Ranggu Pura.
"Aku hanya meluruskan anggapanmu dan merasa
sayang kalau di balik ketampananmu itu tersimpan otak yang dungu serta segunung
kebodohan! Malaikat Malam bukan perempuan itu!"
"Hmmm...!" Ranggu Pura mencibir. "Berapa besar kau diupah olehnya, sehingga kau
mau mendukung kebohongannya"! Kurasa kau, bersekongkol dengan
perempuan jahanam itu! Jika benar begitu, berarti kau pun termasuk orang yang
harus kukirim ke neraka untuk menebus kematian guruku!"
Payung Serambi sunggingkan senyum tipis bernada
sinis. "Apa yang bisa kau lakukan terhadap diriku"
Apakah kau bisa menjamahku, sehingga kau berani
bicara selancang itu"!"
"Keparat! Kurobek perutmu dengan kapakku ini!
Hiaah...!"
Payung Serambi cepat acungkan jarinya ke depan.
Teeb...! Seperti ada tenaga yang keluar dari ujung jari dan menghantam ulu hati
Ranggu Pura dengan sangat
cepat. Kurang dari satu kedipan mata.
"Uuhg...!" Ranggu Pura terpekik dengan suara tertahan. Tubuhnya melengkung ke
depan dan menyeringai kesakitan, ia tak dapat bergerak lagi selain menghela napas dengan
berat sekali. Kepalanya sedikit miring memandang Payung Serambi, tapi oleh
Payung Serambi segera ditinggalkan. Payung Serambi segera
temui Angin Betina, sedangkan Ranggu Pura tetap
seperti patung bongkok.
"Dia bukan tandinganmu. Kurasa tak pantas kau
melawannya!" kata Payung Serambi kepada Angin
Betina. "Aku tidak melawan, hanya mempertahankan diri.
Apakah kau ingin memihak kepadanya" Silakan buka
jurusmu dan aku akan membeli dengan jurusku!" ucap Angin Betina dengan tegas,
berdiri dengan kaki
merenggang, kedua jempol tangannya digantungkan
pada ikat pinggang di depan perut, ia tampak gagah dan penuh keberanian.
Pandangan mata tak berkedip sedikit pun saat beradu dengan sorot mata Payung
Serambi. "Kuhargai, kau cukup berani dalam bicara di
depanku. Kau belum tahu siapa diriku, Sobat!"
"Kau utusan dari Istana Laut Kidul! Kau prajurit pilihan Nyai Kandita! Itu yang
kutahu tentangmu!"
Payung Serambi terperanjat mendengar ucapan tegas
Angin Betina. "Aku tidak mengenalimu. Dari mana kau tahu tentang diriku" Biasanya setiap orang
yang tahu tentang diriku, aku selalu tahu tentang dirinya. Tapi... tapi aku
tidak bisa menembus batinmu. Siapa kau sebenarnya"!"
"Aku harus segera pergi mencari kakakku, ada urusan penting yang akan kami
bicarakan! Sampai jumpa di lain kesempatan, Payung Serambi!"
Blaaass...! Angin Betina melesat begitu saja bagaikan hembusan sang bayu. Payung
Serambi dibuat terbengong-bengong memandanginya, ia tak tahu bahwa Angin Betina sudah
mempelajari Kitab Lorong Zaman,
sehingga ia bisa masuk ke alam mana saja, bahkan bisa berada di zaman akan
datang atau zaman yang telah lalu.
Dari kitab tersebut pun ia peroleh pelajaran menembus batin orang lain dan
menutup batinnya sendiri agar tidak dibaca oleh indera ketujuh orang lain, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Kita Lorong
Zaman"). Pendekar Mabuk menggunakan ilmu 'Sadap Suara'
dari tempat persembunyiannya, sehingga ia bisa
mendengar percakapan mereka, ia juga terkejut
mendengar Angin Betina bisa menyebutkan siapa diri
Payung Serambi sebenarnya.
"Rupanya apa yang dikatakan oleh Dewi Cintani
tentang perempuan berjubah biru itu memang benar.
Keterangan Cintani sama dengan apa yang diucapkan
oleh Angin Betina tadi. Kelihatannya Payung Serambi cukup terkejut, karena tak
menyangka kalau Angin
Betina mengetahui siapa dirinya. Tapi... dari mana
Angin Betina mengetahui tentang Payung Serambi"
Apakah ia pernah datang ke Istana Laut Kidul?"
Suto Sinting pun ternyata tak tahu bahwa ilmu Angin Betina sudah bertambah sejak
berpisah lama dengannya.
Angin Betina memang pernah bertemu Suto beberapa
waktu belakangan ini, tapi ia tidak banyak bicara tentang penambahan ilmunya.
Pertemuannya dengan Angin
Betina tidak terlalu lama, sehingga Suto Sinting belum sempat bicara panjang-
Pendekar Mabuk 062 Misteri Malaikat Palsu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lebar tentang diri mereka.
Kini perhatian Pendekar Mabuk ditujukan kembali
kepada Payung Serambi yang mendekati Ranggu Pura.
Dengan satu kali sentakan tangan menunjuk, totokan
pada diri Ranggu Pura telah terlepas. Ranggu Pura dapat bergerak seperti biasa.
Tapi pandangan matanya masih memancarkan permusuhan, terlebih setelah ia tahu
bahwa Angin Betina sudah tidak ada di tempat itu.
"Keparat kau! Ke mana perginya si Malaikat Malam itu"! Dia belum menebus nyawa
guruku!" "Sudah kukatakan, dia bukan Malaikat Malam!"
sentak Payung Serambi. "Kalau dia Malaikat Malam, kau sudah tidak bernapas sejak
tadi!" "Jangan menutupi kebusukannya!"
"Aku bisa lumpuhkan kau sekarang juga kalau kau masih membandel!" gertak Payung
Serambi dengan mata sedikit melotot. Ranggu Pura pun menjadi tak
berani membantah lagi, lidahnya bagai kelu.
"Pulanglah dan jangan coba-coba melawan
perempuan itu tadi. Kalau dia bertindak dengan
sesungguhnya, saat ini kau sudah tidak punya nyawa
lagi! Yang jelas, dia bukan Malaikat Malam. Dia adalah Angin Betina, seperti
pengakuannya yang kudengar dari tempat tersembunyi tadi. Ilmu 'Tembus Batin'-ku
menangkap getar kejujuran pada saat ia menyebutkan
namanya." "Lalu... lalu siapa Malaikat Malam itu sebenarnya"!"
"Malaikat Malam sudah tidak ada. Yang muncul
sekarang ini adalah Malaikat Palsu! Tanyakan kepada arwah gurumu, maka ia akan
menjawab bahwa Malaikat
Malam dari Pegunungan Sojiyama sudah lama
meninggal karena ketuaannya. Jika sekarang muncul
orang yang berpenampilan seperti Malaikat Malam, itu adalah Malaikat Palsu.
Orang itu sedang diburu oleh beberapa pihak. Kau tak perlu ikut memburunya,
karena ilmu yang kau miliki belum ada sekuku hitam dengan
ilmu yang dimiliki si Malaikat Palsu."
Ranggu Pura terbungkam bagai tak bisa berkata lagi.
"Sekarang pulanglah dan biarkan musuhmu itu diburu orang lain. Kau tinggal
menunggu kabar kematiannya
saja!" "Baik, aku akan pulang!" ucap Ranggu Pura menjadi patuh. Mungkin sorot mata
Payung Serambi mempunyai
kekuatan gaib yang dapat membuat seseorang menjadi
patuh terhadap perintahnya.
Ranggu Pura pergi tinggalkan tempat itu. Payung
Serambi pun bergegas tinggalkan tempat itu. Namun
sebelum ia bergerak, sebuah suara menyapanya dengan keras,
"Payung Serambi...! Tunggu!"
Gadis itu menoleh ke belakang, tampak Pendekar
Mabuk sedang berkelebat secepat kilat dari atas bukit kecil ke tempatnya.
Zlaaap...! Jleeg...!
Tahu-tahu pemuda tampan berkebaya merah jambu
dengan bibir bergincu merah itu sudah berdiri di depan Payung Serambi. Gadis itu
hanya sunggingkan senyum
tipis dengan tubuh bergerak-gerak karena geli melihat penampilan Suto Sinting.
"Aku tahu kau adalah Pendekar Mabuk, tapi aku tak tahu dari mana kau peroleh
pakaian itu dan sejak kapan kau berubah menjadi banci.".
"Sejak pakaianku kau curi!" jawab Pendekar Mabuk dengan ketus, karena hatinya
menyimpan kedongkolan, ia berkata lagi dengan tegas.
"Kembalikan pakaianku yang kau curi saat aku
tertidur itu. Jika tidak, aku akan bertindak kasar yang mungkin akan
mengecewakan hatimu, Payung Serambi."
"Aku tidak mencuri pakaianmu, Pendekar Tampan!"
jawab Payung Serambi dengan senyum dikulum.
"Agaknya kau perlu dipaksa dengan kekerasan,
Payung Serambi."
"Silakan kalau kau ingin mencoba memaksa orang tak bersalah!" jawab Payung
Serambi dengan tenang, membentangkan kedua tangannya sambil melangkah ke
samping mencari tempat lega untuk mengadu kesaktian.
Pendekar Mabuk pun segera melangkah ke samping,
bumbung tuaknya mulai digenggam dengan tangan
kanan. Matanya tak berkedip pandangi si Payung
Serambi yang punya bibir legit menggiurkan itu. Payung Serambi justru
sunggingkan senyum dan hati Pendekar Mabuk mulai gelisah diguncang oleh getaran
lembut yang mengusik ketenangan batinnya.
"Seranglah aku!" tantang Payung Serambi dengan iringan senyum tipis. "Ayo,
seranglah aku dan kau akan kutangkap dalam pelukan, tak akan kulepas selamanya!"
Pendekar Mabuk hentikan gerakan dan menggerutu
dalam batinnya, "Sial! Kenapa tantangannya jadi seperti itu" Wah, bahaya kalau
kulayani. Bisa-bisa aku jatuh dalam pelukan dan tak mau dilepaskan lagi olehnya.
Celaka tujuh puluh kalau begitu jadinya nanti!"
Pendekar Mabuk masih diam dihinggapi keragu-
raguan, ia seperti banci yang sedang bingung
menentukan arah langkahnya.
* * * 7 KEDUA orang yang ingin bertarung mengadu
kesaktian itu akhirnya sama-sama diam bagai patung
bisu. Tetapi pandangan mata mereka saling beradu
dalam kelembutan tersendiri. Hati mereka saling
memancarkan sinar terang, seakan ditaburi bunga-bunga indah yang tiada pernah
layu. "Agaknya dia ingin menjeratku dengan kekuatan gaib pemikatnya," pikir Pendekar
Mabuk. "Akan kulawan dengan jurus 'Senyuman Iblis' yang tak pernah ada
tandingnya itu. Jika ia bermaksud menundukkan hatiku, maka ia akan menjadi
bertekuk lutut sendiri di
hadapanku!"
Jurus 'Senyuman Iblis' adalah jurus berbahaya bagi
lawan jenis Suto Sinting. Perempuan mana pun, segalak apa pun, seangkuh apa pun
jika terkena pengaruh gaib jurus 'Senyuman Iblis', maka ia akan kasmaran kepada
Pendekar Mabuk dan hasrat ingin bercumbunya
membakar gairah mendesak jiwa. Jurus 'Senyuman Iblis'
ibarat racun cinta yang sukar ditangkal dan dihindari oleh setiap perempuan yang
berhadapan dengan Suto
Sinting. "Hmmm... dia ingin main-main padaku dengan jurus kacangan itu"! Celaka sendiri
dia jadinya jika ingin mengadu kekuatan pemikat denganku. Rasa-rasanya
memang perlu diberi pelajaran biar tidak terlalu angkuh dengan jurus kacangan
itu!" gumam Payung Serambi dalam batinnya.
Maka adu pandangan mata pun makin berlangsung
lama. Bibir Suto Sinting sunggingkan senyum
berkekuatan gaib, penunduk hati seorang wanita.
Sedangkan sorot pandangan mata Payung Serambi
mengandung kekuatan gaib, penakluk hati setiap pria.
"Oh, hatiku berdesir indah. Ada apa ini" Jangan-jangan aku terkena panah asmara
buatan" Oh, tidak. Aku tidak boleh terpikat olehnya!" ujar Pendekar Mabuk
dalam hatinya. Payung Serambi pun membatin, "Aduh, mengapa aku jadi deg-degan" Hatiku berdebar-
debar aneh. Mungkinkah aku terpikat oleh kekuatan gaibnya" Ah,
jangan sampai begitu. Aku tidak boleh terpikat oleh pemuda ini walaupun...
walaupun sebenarnya dia
memang tampan, gagah, menggairahkan, dan.... Oooh,
celaka! Aku semakin gemetar"!"
Dua kekuatan gaib pemikat saling beradu sama kuat.
Hati mereka akhirnya saling terjerat bayangan asmara.
Darah mereka saling berdesir diburu harapan untuk
saling bercumbu.
Pendekar Mabuk maju selangkah bersamaan dengan
langkah pertama Payung Serambi. Langkah itu terhenti sesaat, bagai sedang
diperjuangkan untuk ditahan mati-matian. Namun kian lama kaki mereka bagai
mempunyai kemauan sendiri untuk melangkah maju.
Selangkah, selangkah, selangkah...! Akhirnya mereka berhenti saling berhadapan
kurang dari satu langkah.
Pandangan mata mereka tetap saling beradu. Senyum
mereka saling bermekaran tipis, namun berkesan mesra.
Pendekar Mabuk meraih anak rambut gadis itu yang
meriap di pundak, tepat pada saat tangan Payung
Serambi menggeraikan rambut Suto Sinting yang
melintang di lehernya.
"Kau cantik sekali, Payung Serambi," bisik Suto Sinting.
"Kau pun menawan sekali, Pendekar Mabuk," balas Payung Serambi dalam bisikan
yang amat lembut.
"Boleh aku menyentuh pipimu?"
"Sentuhlah mana yang kau suka, Suto.... Suto
Sayang." Debar-debar di dalam dada semakin keras. Mereka
rasakan debar-debar itu begitu indahnya, hingga
akhirnya mereka saling bersentuhan wajah. Makin lama semakin indah, sehingga
mereka saling bersentuhan
bibir. Mereka bagai terbuai oleh keindahan yang luar biasa besarnya, sampai tak
ingat siapa diri mereka dan di mana mereka berada. Pendekar Mabuk biarkan gadis
itu melumat bibirnya penuh kelembutan. Payung Serambi
biarkan pemuda tampan itu memeluknya penuh
kemesraan. Di pojok sana ada dua orang yang memergoki
kejadian tersebut. Yang seorang berkata seperti bicara pada diri sendiri,
"Manusia sesat! Sama-sama perempuan kok saling berciuman!"
Tapi yang satunya lagi, lebih tua dari yang bicara
tadi, segera mengernyitkan dahi dan mengecilkan
matanya untuk memandang lebih jelas lagi raut wajah kedua orang yang berciuman
sambil berdiri itu.
"Celaka! Itu si Pendekar Mabuk dengan... dengan...
oh, gawat kalau begitu!"
Orang tua itu menjadi tegang, ia berpakaian seperti biksu, kain abu-abu
dililitkan di tubuhnya yang agak gemuk itu. Rambut si orang tua beruban rata
tapi tidak begitu lebat, bahkan berkesan botak. Jenggotnya panjang dan berwarna
putih. Orang itu tak lain adalah Resi Pakar
Pantun dan pelayannya; si Kadal Ginting.
Mereka dari menghadiri pembakaran jenazah Nini
Kalong, mantan kekasih Resi Pakar Pantun. Untuk
membuang kesedihannya, Resi Pakar Pantun segera
tinggalkan Hutan Rawa Kotek sambil mencari orang
berpakaian serba hitam yang dikenal sebagai Malaikat Malam itu. Sang Resi
menyimpan dendam sendiri di
hatinya, karena bagaimanapun juga ia masih mempunyai cinta masa mudanya kepada
Nini kalong, ia merasa perlu menuntut balas kepada si Malaikat Malam, sehingga
sejak melangkah meninggalkan tempat pembakaran
jenazah itu ia sudah bertekad pertaruhkan nyawanya daiam melawan Malaikat Malam.
Tetapi ketika ia jumpai dua sosok manusia lain jenis berpelukan, tiba-tiba saja
dendam dan kemarahannya itu buyar seketika. Perhatiannya tertuju kepada Pendekar
Mabuk yang tampak sedang kasmaran. Padahal Resi
Pakar Pantun tahu, bahwa Pendekar Mabuk adalah
kekasih Dyah Sariningrum. Sang rasi pun tahu, siapa perempuan yang sedang
dipeluk oleh Pendekar Mabuk
itu. "Wah, wah, wah... kalau sedang begitu, ia memang pantas berjuluk Pendekar
Mabuk.... Mabuk Cinta!
Sampai-sampai ia lupa daratan begitu."
Kadal Ginting menyahut, "Lupa daratan bagaimana, Eyang" Bukankah mereka sama-
sama berdiri di
daratan?" "Maksudnya lupa daratan adalah lupa segala-galanya.
Dirinya bagai terbawa terbang bersama khayalan
indahnya. Tapi... oh, Suto tidak boleh terlibat asmara sebegitu jauh dengan
perempuan cantik itu. Ia dalam bahaya jika sampai 'mabuk cinta' dengan perempuan
tersebut!"
Resi Pakar Pantun kembangkan kedua tangannya.
Kakinya yang kiri ditarik mundur sedikit, lalu ia
merendah. Satu tangannya menyilang di depan dada,
tangan yang satunya mengembang di atas kepala, ia
sempat lepaskan pantun yang didengar oleh Kadal
Ginting, pelayannya.
"Kerupuk bantat pusaka sebuah biara,
kecoa nungging memang cari perkara.
Biar asmara sama-sama membara,
tapi jangan pamerkan di depan orang tua."
Lalu tangan yang di atas kepala itu menyentak ke
depan dan seberkas sinar hijau berekor kecil melesat dari tengah telapak tangan
Resi Pakar Pantun. Weeesss...!
Sinar hijau berekor kecil itu melesat menghantam
pertengahan kedua insan yang sedang mengadu mulut
dan saling pagut itu. Sinar itu seakan ingin memisahkan sepasang asmara yang
sedang saling terbuai.
Tetapi kedua orang tersebut tiba-tiba melesat naik, tubuh mereka melambung dalam
keadaan masih tetap
berpelukan dan berpagut bibir. Wuuut...! Mereka
melambung cukup tinggi dalam keadaan tubuh tetap
tegak lurus seperti orang berdiri. Sinar hijau itu melintas di bawah telapak
kaki mereka. Weess...!
Duaarrr...! Sebatang pohon rompal dihantam sinar hijau itu.
Daunnya berguguran, terbang mengikuti arah angin.
Ledakan itu cukup keras, walau tak sampai
mengguncangkan bumi. Tapi setidaknya akan
mengejutkan seseorang yang berada tak jauh dari tempat itu.
Anehnya, Pendekar Mabuk dan Payung Serambi tak
merasa kaget sedikit pun. Dalam keadaan tubuh mereka saling peluk di udara,
mereka masih saling pagut bibir dengan mesra sekali. Bahkan ketika gema ledakan
itu telah menghilang, tubuh mereka bergerak turun pelan dan pelaaan... sekali.
Sedangkan keadaan tubuh mereka tetap lurus bagai orang berdiri di udara.
Akhirnya telapak kaki mereka sama-sama mendarat ke tanah tanpa suara apa pun kecuali
suara kecupan mereka.
Rupanya mereka sama-sama menggunakan ilmu
peringan tubuh yang cukup tinggi, sehingga mampu
melayang di udara dengan cepat dan turun dengan pelan-pelan. Keduanya sama-sama
mempunyai ilmu peringan
tubuh yang setara dan setingkat, sehingga tak satu pun ada yang merasa kewalahan
menghadapi keadaan seperti itu.
Resi Pakar Pantun geleng-geleng kepala melihat
tingkah mereka yang mampu menghindari sinar
hijaunya. Niat memisahkan mereka berdua semakin
membuatnya penasaran. Maka sang Resi pun segera
bertindak dengan lakukan lompatan beberapa kali. Wut, wut, wut...! Kemudian ia
pun menerjang kedua insan
yang sedang berkasih-kasihan itu dengan kedua kaki menendang ke samping kanan-
kiri. Wuuut;..! Brrruss...!
"Oouh...!" Pendekar Mabuk dan Payung Serambi terpental dalam keadaan terpisah.
Mereka sama-sama
Pendekar Mabuk 062 Misteri Malaikat Palsu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terpekik seakan baru menyadari adanya bahaya yang
ingin merusak kebahagiaan kasih mereka. Pendekar
Mabuk dan Payung Serambi sama-sama jatuh
terpelanting, namun sama-sama cepat bangkit dan berdiri sigap memandang tajam
pada Resi Pakar Pantun.
"Lancang betul kau, Tua Keropos!" gertak Payung Serambi dengan wajah memancarkan
kemarahan. "Resi Pakar Pantun! Apa maksudmu menyerang
kami"!" bentak Suto Sinting dengan dada bergemuruh karena menahan marah.
Napasnya mulai menyemburkan
kekuatan 'Napas Tuak Setan' yang sempat membuat
tanah di depannya menyebar ke sana-sini bagai
dihembus oleh cerobong angin.
"Suto, kau dalam bahaya!" ujar Resi Pakar Pantun sambil melangkah dekati Suto
Sinting. "Sadarlah, Suto...! Kau tak boleh bercinta dengan dia, karena
ketahuilah bahwa dia adalah orang Istana Laut Kidul.
Kau bisa celaka jika menjalin hubungan cinta
dengannya!"
Kadal Ginting ikut dekati Suto dan berkata,
"Turutilah saran Eyang Resi, Suto!"
Napas ditarik panjang-panjang sebagai penahan
gejolak kemarahan. Pendekar Mabuk segera meneguk
tuaknya, sementara Payung Serambi yang sudah
mengenal siapa Resi Pakar Pantun itu segera berkata dengan nada menggeram
jengkel. "Kau tak berhak memisahkan kemesraan kami, Pakar Pantun! Kuhajar kau kalau
sekali lagi lakukan hal itu!"
"Payung Serambi... kalau kau bercinta dengan
Pendekar Mabuk, alangkah nistanya" Kau orang
terhormat di Istana Laut Kidul, sedangkan Pendekar
Mabuk hanya seorang bocah ingusan. Nyai Kandita pun dapat murka kepadamu jika
kau terlibat cinta dengan Suto Sinting. Dia bukan keturunan darah biru," ujar
Resi Pakar Pantun dengan suara pelan, seakan sedang
mempengaruhi pikiran Payung Serambi.
Gadis itu menjadi diam, memandang lurus ke arah
Pendekar Mabuk, namun tampak sedang lakukan
pertimbangan dalam pikirannya. Pendekar Mabuk pun
tampak mulai sadar dengan apa yang ia lakukan tadi. Ia melangkah mendekati
Payung Serambi sambil berucap
dalam batinnya.
"Sepertinya aku telah terkena jurus pemikatnya. Oh, bahaya sekali kalau sampai
aku tak bisa lepaskan diri dari pemikat itu."
Sedangkan dalam batin Payung Serambi pun berkata,
"Aneh. Mengapa aku jadi mau berciuman dengannya"
Apakah aku telah terperangkap oleh gaib kasmarannya"
Oh, aku tidak boleh sampai terperangkap begitu. Aku harus segera lepaskan diri
dari pengaruh kekuatan
pemikatnya. Tapi... tapi bagaimana mungkin hal itu bisa kulakukan jika ternyata
sangat indah dan sangat
berkesan di hatiku. Oh, kacau sekali kalau begini
jadinya!" Keduanya sama-sama ingin membatasi diri, namun
jiwa mereka bicara, batin mereka tetap mengharap
kemesraan yang indah. Akibatnya mereka hanya bisa
berusaha menutupi gejolak tuntutan batin mereka dengan mengalihkan pembicaraan
pada masalah kematian Nini
Kalong. "Resi Pakar Pantun, apakah benar kematian Nini Kalong akibat ulah si Malaikat
Malam?" "Malaikat Malam sudah tiada," jawab Resi Pakar Pantun. "Kalau sekarang ada yang
menyamar sebagai Malaikat Malam, berarti ada pihak lain yang ingin
gunakan nama besar itu untuk kepentingan pribadi. Aku tak dapat mengira-ngira
siapa sebenarnya orang
berpakaian serba hitam itu. Tetapi jika aku bertemu dengannya, barangkali hanya
ada dua pilihan; nyawaku atau nyawanya yang melayang."
Pendekar Mabuk melirik Payung Serambi, lalu
berkata kepada gadis itu,
"Kuingat kau pernah mengancamku dengan pedang
hanya untuk mengetahui di mana letak Hutan Rawa
Kotek. Kau ingin menemui Nini Kalong dan tampak
bernafsu sekali."
"Memang. Apakah itu berarti kau menuduhku sebagai Malaikat Malam"!"
"Bukan salahku jika aku menaruh curiga padamu, karena kau memaksaku menunjukkan
tempat kediaman
Nini Kalong."
"Jadi, kaulah orangnya yang mampu tumbangkan
Poci Dewa dan Nini Kalong"!" Hardik Resi Pakar Pantun dengan mengepalkan
tangannya, ia tampak ingin
lakukan serangan kepada Payung Serambi.
"Tunggu!" sergah Payung Serambi. "Jangan dengarkan fitnah si tampan sinting
itu!" Suto pun segera berkata, "Untuk apa kau bernafsu sekali ingin menemui Nini
Kalong kalau bukan untuk
membunuhnya"!"
"Otak bodohmu keterlaluan, Suto! Aku datang justru ingin memberitahukan bahwa
Nini Kalong terancam
bahaya! Aku ingin mencegat bahaya itu, namun ternyata aku terlambat. Demikian
juga halnya dengan Poci Dewa dan Pendeta Kembang Ayu. Aku terlambat mencegat
bahaya itu sehingga akhirnya mereka menjadi korban.
Keterlambatanku itu karena aku tak tahu persis di mana letak kediaman mereka."
"Kau pandai memutar lidah rupanya!" kata Suto Sinting.
"Kau sendiri menyukainya, bukan?"
"Maksudku, pandai bermain kata-kata. Bukan
memutar lidah dalam arti sebenarnya!" sentak Suto Sinting menutupi rasa malunya,
sambil berusaha
membuang bayangan saat mereka berciuman tadi.
"Payung Serambi," ujar Resi Pakar Pantun. "Apakah maksud kedatanganmu ke tanah
Jawa ini sebenarnya?"
"Nyai Kandita mengutusku untuk lakukan
penyelamatan terhadap beberapa tokoh yang terancam
bahaya." "Apakah bisa kupercaya kata-katamu itu?"
"Aku tak memaksamu untuk percaya, tapi aku akan berkata apa adanya," ujar Payung
Serambi, ia menatap
Suto Sinting sebentar, kemudian kembali memandang
Resi Pakar Pantun dan berkata dengan tegas.
"Delapan tokoh aliran putih yang tinggal di tanah Jawa ini terancam bahaya.
Wajah-wajah mereka tampak menguning dalam penglihatan Nyai Kandita."
"Siapa saja"!" sergah sang Resi.
"Pendeta Kembang Ayu, Poci Dewa, Nini Kalong,
Sumbaruni...."
"Siapa"! Sumbaruni"!" potong Resi Pakar Pantun sebelum Pendekar Mabuk terpekik
kaget juga. "Celaka! Sumbaruni terancam kematian pula
rupanya"!" gumam Suto Sinting dengan tegang, sebab ia tahu Sumbaruni adalah
wanita yang amat mencintainya dan bersikap baik padanya selama ini.
"Sumbaruni..."! Gawat!" kata sang Resi. "Baru saja Sumbaruni menuju ke Lembah
Hijau bersama Kidung
Laras dan muridnya; Pakis Ratu. Aku harus
mengabarkan hal ini kepada Sumbaruni!"
"Sebaiknya begini saja, Eyang Resi...," kata Suto, namun terpotong oleh ucapan
sang Resi sendiri.
"Pikirkan saja keadaanmu, Suto. Jangan seperti pendekar konyol, pakai kebaya
segala! Gantilah
pakaianmu sebelum Sumbaruni pun tahu kau menjadi
banci kesiangan! Aku akan berangkat temui Sumbaruni sekarang juga!"
Weeess...! "Tunggu dulu, Pakar Pantun...!" sergah Payung Serambi. Tetapi sang Resi sudah
lebih dulu berkelebat pergi dengan kecepatan tinggi.
Pelayannya yang sejak tadi memendam perasaan
heran melihat Suto Sinting mengenakan kain dan
kebaya, sempat tertinggal walau tetap berlari-lari sambil berseru,
"Eyang...! Eyang, Resi...! Tunggu saya, Eyang...!"
Pendekar Mabuk masih terpaku di tempat dengan
mulut terbengong melompong karena kaget mendengar
kabar itu. Payung Serambi pun tertegun di tempat karena tak berhasil cegah
kepergian Resi Pakar Pantun. Kejap berikutnya mereka bagaikan baru sadar dari
lamunan. Payung Serambi berkata, "Bodoh amat si tua Pakar Pantun itu!"
"Dia kenal baik dengan Sumbaruni dan...."
"Memang. Tapi sebetulnya aku ingin katakan bahwa delapan orang yang akan
terancam maut itu termasuk
dirinya sendiri."
"Hahh.. "! Maksudmu... maksudmu, Resi Pakar
Pantun juga termasuk delapan orang yang terancam
kematian menurut penglihatan Nyai Kandita?"
"Benar!"
"Celaka!" Pendekar Mabuk ingin bergerak, tetapi tangannya ditahan oleh Payung
Serambi. "Dengarkan dulu penjelasanku! Jangan menjadi
bodoh seperti si tua Pakar Pantun itu!"
Payung Serambi anggukkan kepala. "Kuulangi lagi; Pendeta Kembang Ayu, Poci Dewa,
Nini Kalong, Sumbaruni, Pakar Pantun, Pendeta Darah Api, Resi
Wulung Gading, dan.... Gila Tuak!"
Bagai petir menyambar wajah, Pendekar Mabuk
tersentak kaget, matanya mendelik dan kulit wajahnya menjadi merah. Nama gurunya
masuk dalam urutan
orang-orang yang terancam maut, hal itu sama saja
sebatang tombak menghujam di jantungnya. Tak heran
jika tubuh Sutto Sinting pun akhirnya gemetar
membayangkan kematian gurunya. Darah bagaikan
mendidih karena bangkitnya sang murka dan duka yang bergumul menjadi satu,
sampai akhirnya membentuk
suatu kegelisahan yang tak pasti.
"Delapan nama itu adalah orang-orang yang pernah datang ke Istana Laut Kidul dan
bertemu dengan Nyai Ratu."
Pendekar Mabuk sempat terbungkam beberapa waktu
lamanya, ia sendiri tak tahu kalau Gila Tuak, sang Guru, pernah datang ke Istana
Laut Kidul, karena hal itu tak pernah diceritakan oleh sang Guru. Detak jantung
yang menjadi cepat membuatnya menenggak tuaknya kembali
untuk mengurangi perasaan gelisah yang mendebarkan
itu. "Bagaimana dengan Ki Lurah Gontang, yang
keluarganya dibantai oleh Malaikat Malam dan...."
"Itu bukan pekerjaan si Malaikat Malam," sahut Payung Serambi. "Kudengar kabar
itu dan kuselidiki sendiri, ternyata yang melakukan adalah perampok
tunggal yang punya kegemaran memperkosa perawan.
Jika ada yang melihat si pelaku berpakaian hitam, itu hanyalah suatu hal yang
kebetulan saja."
Suto Sinting hembuskan napas panjang-panjang agar
kian peroleh ketenangan batinnya.
"Lalu... siapa sebenarnya orang yang meniru
penampilan Malaikat Malam itu?"
Payung Serambi gelengkan kepala.
"Mengapa orang itu yang menjadi El Maut bagi
nyawa para korban?"
"Itu tugas keduaku," jawab Payung Serambi. "Tugas pertama adalah menahan
datangnya sang maut pada diri delapan orang itu. Tugas kedua menyelidiki, siapa
sebenarnya yang biang petaka dalam perkara ini" Tugas ketiga, menghancurkan si
biang petaka itu!"
"Kalau begitu," kata Suto Sinting setelah menenggak tuaknya kembali. "Kita harus
segera temui mereka dan memberitahukan hal ini. Aku akan membantumu
menemui mereka, karena aku tahu tempat tinggal
mereka, kecuali Pendeta Darah Api. Aku belum pernah ke Teluk Merah. Tapi aku
tahu orang yang bisa antar kita ke Teluk Merah."
"Kurasa memang tak ada waktu lagi, sekarang juga kita harus bergerak, karena aku
sudah gagal selamatkan tiga nyawa."
"Baik. Tapi bagaimana aku bisa bergerak bebas jika pakaianku tak kau
kembalikan."
"Kau gila! Sudah kubilang, aku tidak mencuri
pakaianmu!"
"Lalu, siapa jika bukan kau"!" sentak Suto Sinting dengan jengkel dan cemas.
"Sudahlah, pakai pakaian begitu saja. Kau tampak semakin menggoda hatiku jika
begitu," ujar Payung Serambi sambil sunggingkan senyum. "Untuk apa kau
butuh pakaian, toh aku sudah melihat seluruhnya saat kau tertidur di bawah
pohon." "Sial!" Pendekar Mabuk bersungut-sungut.
* * * 8 LANGKAH pertama yang dilakukan Suto Sinting
adalah mengejar Resi Pakar Pantun yang menuju ke
Lembah Hijau. Tokoh tua jago berpantun itu perlu
mengetahui, bahwa dirinya sendiri terancam oleh
kematian, seperti halnya Sumbaruni dan yang lainnya.
Alangkah bodohnya jika ia bersusah payah
mengabarkan bencana itu kepada Sumbaruni, sementara dirinya sendiri menghadapi
bencana yang sama dan
mungkin malahan lebih dulu merenggut jiwanya.
Sungguh suatu peristiwa yang amat menyedihkan bagi
orang yang mengetahui siapa sasaran si Malaikat Palsu itu.
Payung Serambi tak mau biarkan Suto Sinting
menempuh bahaya sendirian, ia mendampingi Suto
Sinting sambil memasang kewaspadaan demi
keselamatan si pendekar tampan itu. Sementara di pihak Suto Sinting sendiri
merasa bangga dan hatinya
berbunga kala menyadari Payung Serambi tetap
mendampinginya. Barangkali pengaruh kekuatan gaib
pemikat yang mereka lepaskan masih saling menjerat
hati, sehingga keduanya sama-sama merasa berat jika harus berpisah.
Tiba-tiba terdengar suara ledakan yang sempat
mengguncangkan bumi dan pepohonan sekitarnya.
Blegaaarrr...! Pendekar Mabuk cepat-cepat hentikan langkahnya.
Payung Serambi ikut-ikutan hentikan langkah, ia
mendengar suara batin Suto Sinting yang berkata pada diri sendiri,
"Ada pertarungan seru di sebelah utara sana!
Hmmm... jangan-jangan di sana Guru sedang bertarung dengan Malaikat Palsu itu!"
Kata hati yang mampu didengar oleh Payung Serambi
itu segera mendapat jawaban lewat suara tegas
perempuan itu. "Sebaiknya kita tengok saja, daripada kau menerka-nerka penuh kecemasan!"
"Saran yang sangat bagus bagiku!" ujar Suto Sinting, kemudian mereka berkelebat
ke arah utara. Di sebuah lembah berhutan renggang, memang
terjadi pertarungan seru. Mula-mula dilakukan oleh dua orang yang saling
kerahkan tenaga untuk tumbangkan
lawan. Mereka adalah Dewi Cintani yang memergoki si Malaikat Palsu sedang
Pendekar Mabuk 062 Misteri Malaikat Palsu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menguntit perjalanan Sumbaruni bersama Nyai Kidung Laras dan Pakis Ratu.
Manusia berselubung kain hitam dari kepala sampai
kaki kecuali bagian mata saja itu tidak menduga kalau akan datang serangan dari
arah belakangnya. Seberkas sinar kuning lurus telah melesat menghantam
punggungnya. Claap...!
Tetapi sebelum sinar kuning itu kenai punggung,
Malaikat Palsu telah balikkan badan karena gerak naluri adanya bahaya datang.
Sambil berbalik badan tangannya berkelebat. Kedatangan sinar kuning lurus itu
segera ditahan dengan telapak tangannya. Zrruub...! Tangan itu cepat-cepat
menggenggam, membuat sinar kuning itu
bagai ditampung dalam telapak tangan itu.
Buuusss...! Asap kuning samar-samar keluar dari
genggaman tangan si Malaikat Palsu, pertanda kekuatan sinar kuning itu telah
dijinakkan, tak ada ledakan, tak ada luka, lenyap begitu saja.
Dewi Cintani sempat terperanjat melihat kejadian itu.
Saat ia terperanjat itulah si Malaikat Palsu
menyerangnya dengan senjata rahasia yang bentuk dan ukurannya sama dengan
senjata rahasia yang pernah
lukai Suto Sinting itu.
Ziiing ..! "
"Hiaaat...!" Dewi Cintani sentakkan kaki ke tanah dan tubuhnya melenting ke atas
sambil cabut pedangnya.
Pedang itu berkelebat cepat menangkis sanjata rahasia tersebut. Triiing...!
Senjata rahasia itu melesat ke arah lain, tak diketahui apakah menancap pada
batang pohon atau jatuh di
semak yang ada di kejauhan sana. Yang jelas, Malaikat Palsu segera lakukan
serangan dengan sentakkan tangan kirinya dalam keadaan seperti melemparkan
pisau. Wuuuurrrsss...!
Dari tangan itu menyembur serbuk putih bagai
serpihan besi mengkilat. Kelembutan serbuk itu
menyerupai kelembutan pasir pantai putih. Serbuk putih
itu menyebar ke arah wajah Dewi Cintani. Zrraaak...!
"Aaauh...!" Dewi Cintani terpekik, wajahnya menjadi merah berbintik-bintik
hitam. Rasa panas dan perih
menjadi satu, hingga ia hanya bisa mengerang sambil berusaha meraup wajahnya.
Tetapi serbuk beracun itu kian menyerang kulit dan daging hingga wajah itu
menjadi memborok dalam beberapa kejap saja. Wajah
cantik itu menjadi hancur dan mengerikan.
Sraang...! Samurai di punggung si Malaikat Palsu
dicabutnya. Kemudian samurai itu segera dibabatkan
untuk membuntungi kedua lengan Dewi Cintani.
Wuuusss...! Traaang...! Tiba-tiba gerakan samurai itu tertahan oleh sebatang ranting yang tahu-tahu
menghadang di depannya.
Ranting itu telah dialiri tenaga dalam, sehingga
menyerupai besi baja yang tak bisa mudah patah walau ditebas samurai setajam
mata silet. Justru benturan samurai dengan ranting sempat memercikkan bunga api
yang mengejutkan si Malaikat Palsu.
Ternyata pada saat yang sangat rawan bagi Dewi
Cintani itulah, Resi Pakar Pantun lewat lembah tersebut dan memergoki
pertarungan tak seimbang, ia mengenali Dewi Cintani sebagai perwira Pulau
Sangon, karenanya ia segera bertindak menyambar ranting kering yang
tergeletak di tanah, lalu menghadang gerakan samurai tersebut. Begitu samurai
tertahan, Resi Pakar Pantun segera kelebatkan ranting bertenaga dalam itu ke
arah dagu si Malaikat Palsu.
Wuuut...! Orang berselubung kain hitam itu dongakkan kepala
sambil melengkung ke belakang, sehingga dagunya lolos dari sabetan ranting sang
Resi. Tapi sebelum ia tegak kembali, sang Resi sudah lebih dulu menyabetkan
rantingnya ke arah dada orang tersebut. Wuuut..!
Trrang...! Ranting itu ditahan dengan samurai. Begitu berhasil menahan sabetan
ranting, samurai itu berkelebat dari atas ke bawah, sasarannya membelah kepala
Resi Pakar Pantun.
Wuuut...! Weeess...! Sang Resi tahu-tahu sudah tidak ada di
tempat. Ternyata ia sudah berada di belakang lawannya dan segera lepaskan
pukulan telapak tangan bercahaya biru membara.
Wuuut...! Malaikat Palsu balikkan badan dan hantamkan
telapak tangan kirinya, sehingga kedua telapak tangan itu beradu. Plak...!
Blegaaarrr...! Dua tenaga dalam tinggi beradu melalui pertemuan
dua telapak tangan. Akibatnya ledakan dahsyat terjadi saat itu pula, dan tanah
serta pepohonan pun berguncang bagai dilanda gempa. Sedangkan dua tubuh tersebut
saling terpental ke belakang, masing-masing berjarak lima langkah dari tempat
mereka semula. Sedangkan
gadis perwira Pulau Sangon itu masih merintih kesakitan sambil berlutut di bawah
sebatang pohon rindang.
Wajahnya semakin membusuk dan amat buruk.
Gelegar ledakan itulah yang ditangkap pendengaran
Suto Sinting, sehingga Pendekar Mabuk dan Payung
Serambi bergegas hampiri tempat tersebut. Mereka
sedikit terperanjat melihat Resi Pakar Pantun sedang lakukan pertarungan dengan
Malaikat Palsu.
"Cintani..."!" gumam Suto Sinting dengan mata terbelalak tegang. "Payung
Serambi, kau bantu Resi Pakar Pantun, aku akan tolong si murid Pendeta
Kembang Ayu itu!" ujar Suto Sinting yang segera bergegas temui Dewi Cintani.
Payung Serambi tak bisa tolak perintah itu karena
keadaan tidak memungkinkan untuk berdebat. Maka
gadis itu segera lepaskan pukulan tanpa sinar.
Deeeb...! Bruuuss...! Malaikat Palsu terjungkal ke depan bagai mendapat tendangan cukup
kuat. Namun ia cepat
bersalto dengan menancapkan samurai di tanah dan
gagang samurai dipakai sebagai tumpuan tangannya.
Wuut...! Gerakan saltonya itu begitu lincah dan cepat, membuat Resi Pakar Pantun
yang hendak lepaskan
pukulan tenaga dalam itu terperanjat. Karena tiba-tiba kedua kaki si Malaikat
Palsu itu lakukan tendangan
beruntun yang tepat kenai dada sang Resi.
Duhg, duhg, duhg...!
"Aaahg...!" Resi Pakar Pantun terlempar ke belakang sambil semburkan darah segar
dari mulutnya. Dadanya terasa seperti jebol akibat tendangan beruntun yang tak
diduga-duga itu.
Wuuut, jleeeg...! Si Malaikat Palsu telah berdiri tegak
kembali dengan samurai tercabut dari tanah dan kini berada di tangan kanannya,
ia memasang kuda-kuda
rendah, samurainya diangkat sebatas telinga, tangan kirinya melintang ke depan
dagu. "Akulah lawanmu, Keparat!" geram Payung Serambi sambil melangkah dekati
lawannya. Dalam jarak lima
langkah ia berhenti dan mencabut pedangnya. Sraaang...!
Pada waktu itu, Suto Sinting telah berhasil
meminumkan tuak kepada Dewi Cintani. Tetapi ia
segera berkelebat menolong Resi Pakar Pantun yang
tampaknya nyaris tak bisa bernapas lagi itu. Sang Resi pun dipaksakan untuk
meneguk tuaknya.
Terdengar suara Payung Serambi menghardik si
Malaikat Palsu,
"Buka penutup kepalamu, atau kupaksa dengan
pedangku"!"
Malaikat Palsu diam saja, matanya tampak
memandang dengan tajam. Pendekar Mabuk sempat
berkerut dahi saat memperhatikan sepasang mata di balik penutup wajah dari kain
hitam itu. Ada kecurigaan yang disembunyikan Suto Sinting pada saat itu. Namun
ia sengaja diam dulu, memberi kesempatan pada Payung
Serambi untuk selesaikan tugasnya, menghancurkan si biang bencana bagi kedelapan
tokoh yang pernah datang ke Istana Ratu Kidul itu.
"Sebutkan siapa dirimu, atau pedangku akan merobek mulutmu agar bicara keras-
keras?" ancam Payung Serambi. Tetapi lawannya tak bergeming sedikit pun.
Agaknya sang lawan tidak merasa gentar mendengar
ancaman tersebut.
Payung Serambi geram dan merasa ditantang. Maka
dengan gerakan secepat kilat ia menerjang lawannya
bersama pedang runcing ditebaskan ke sana-sini.
Weees...! Wut, wut, wut, trang...!
Malaikat Palsu pun lakukan lompatan menyambut
gerakan melayang Payung Serambi. Akibatnya mereka
beradu kecepatan memainkan pedang di udara. Hanya
sekejap mereka mengadu kecepatan memainkan pedang
itu, kemudian keduanya sudah sama-sama daratkan kaki ke bumi dan saling
memunggungi dalam keadaan
bertukar tempat.
Trang, tring, wuus, breeet, breet, crass...!
Keduanya sama-sama diam sesaat. Malaikat Palsu
sedikit menekuk kedua kakinya yang berdiri merapat
dengan samurai di samping kanan, digenggam dengan
dua tangan. Sedangkan Payung Serambi juga diam
sesaat. Tapi pinggangnya tampak melelehkan darah.
Pendekar Mabuk terperanjat dan berkata dalam hatinya dengan cemas,
"Oh, dia terluka"!"
Baru saja Suto Sinting akan bergerak mengobati
Payung Serambi, tiba-tiba tangan gadis itu menangkap lukanya sendiri. Plaaak...!
Tangannya diusapkan pada luka, dan ternyata luka itu lenyap dengan sangat ajaib.
Hilang tak berbekas sedikit pun. Kain yang robek pun kembali rapat seperti
sediakala. Pendekar Mabuk yang melebarkan matanya itu segera
memandang ke arah Malaikat Palsu. Ternyata kain hitam penutup kepala dan wajah
itu telah terbelah menjadi empat bagian. Kain itu terkelupas dengan sendirinya,
sehingga kepala dan wajah si Malaikat Palsu itu terlihat dengan jelas. Kepala
itu tetap utuh, tak satu pun rambut yang ikut terpotong. Ini menandakan jurus
pedang yang digunakan Payung Serambi benar-benar hebat.
Payung Serambi dan Malaikat Palsu sama-sama
membalik badan hingga mereka saling berhadapan
bertatap muka kembali. Tapi mata indah Payung
Serambi tampak terbelalak kaget begitu mengetahui
siapa orang yang seiama ini berkerudung kain hitam itu.
"Galih Rembulan..."!" gumam Payung Serambi, ia terkejut karena mengenal betul
wajah di balik pakaian hitam itu, sedangkan Pendekar Mabuk terkejut karena
ternyata si Malaikat Palsu itu seorang wanita cantik yang mempunyai kemiripan
wajah dengan Payung Serambi.
Pendekar Mabuk sempatkan berbisik kepada Payung
Serambi, "Siapa dia"!"
"Galih Rembulan, kakak tiriku yang pernah menjadi panglima Istana Laut Kidul.
Tapi karena ia melakukan suatu kesalahan yang membuat Nyai Kandita murka,
maka ia diusir dari Istana Laut Kidul. Ah, Suto...
minggirlah dulu, ini sudah menyangkut urusan pribadi antara aku dan dia."
"Agaknya memang harus begitu," ujar Suto Sinting sambil menyingkir ke arah Resi
Pakar Pantu yang mulai sehat kembali, seperti halnya Dewi Cintani.
"Galih Rembulan, mengapa hal ini kau lakukan?" ujar
Payung Serambi dengan wajah duka. Ia melangkah
dekati kakak tirinya.
"Aku telah terbuang dari wilayah Laut Kidul. Aku ingin kuasai tanah Jawa. Untuk
itu aku harus bunuh
orang-orang yang pernah melihatku sebagai panglima
Istana Laut Kidul. Kelak jika aku sudah berkuasa di tanah Jawa dan menghimpun
kekuatan besar, maka akan kubalas sakit hatiku terhadap Nyai Kandita."
"Galih Rembulan, langkahmu salah. Sadarlah bahwa kau tak akan mampu tumbangkan
Nyai Ratu, siapa pun
tak akan mampu! Hentikan tindakanmu ini, Galih
Rembulan. Hentikanlah, kakakku!"
Galih Rembulan yang berparas cantik jelita itu diam terbungkam. Sepertinya ia
sedang dihinggapi
kebimbangan yang menghadirkan berbagai
pertimbangan. Sementara itu, Pendekar Mabuk sempat
berbisik kepada Resi Pakar Pantun.
"Cantik sekali dia. Bagaimana menurutmu, Eyang Resi?"
"Setahuku, dia memang cantik tapi ganas terhadap lelaki. Dulu dia dikenal
sebagai panglima yang binal dan jalang."
"Kalau begitu, kurasa dia itulah orangnya yang menelanjangiku sewaktu aku
tidur." "Bisa jadi memang dia, karena dia memang gemar melihat lelaki tanpa busana."
"Tentunya hanya lelaki tampan sepertiku, bukan?"
"Ya, kalau lelaki sepertiku, dia akan suka melihatnya dalam keadaan tidak
berkulit lagi."
Pendekar Mabuk ingin tertawa, tapi tawanya segera
hilang karena melihat Galih Rembulan membuang
samurainya dengan wajah lesu. Perempuan cantik seperti berusia dua puluh tujuh
tahun itu melangkah dekati
Payung Serambi dengan tangan terbentang tanda
menyerah. "Tangkaplah aku daripada aku harus melawan adik tiriku sendiri, Payung Serambi."
Payung Serambi menjadi semakin iba dan ragu. Ia
diam saja saat kakak tirinya mendekati dengan tangan terbuka. Tetapi di luar
dugaan, ketika mereka
berhadapan dalam jarak kurang dari satu langkah, tiba-tiba dari sarung tangan
yang dikenakan Galih Rembulan keluar beberapa jarum beracun. Craak, craak ..!
Jarum-jarum itu muncul di masing-masing telapak tangan,
jumlahnya sekitar dua puluh jarum untuk tiap telapak tangan. Payung Serambi
terperanjat tegang.
Belum habis rasa kagetnya Payung Serambi, tiba-tiba Galih Rembulan sentakkan
kedua tangannya ke depan,
jarum-jarum di telapak tangannya menancap di dada
montok Payung Serambi. Kedua tangan itu pun
menyentak ke samping kanan-kiri. Breeet...!
"Aaahg...!" Payung Serambi memekik keras.
Dadanya robek seketika. Pedangnya sempat terpental
dan jatuh di depan Suto Sinting.
Galih Rembulan membabi-buta mengoyak habis
tubuh dan wajah Payung Serambi dengan jarum-jarum
beracun itu. Bret, bret, bret, bret...!
Payung Serambi memekik panjang sambil melangkah
mundur dengan limbung, ia masih dicecar serangan
Galih Rembulan yang merobek tiap kulit dan daging
adik tirinya itu.
Pendekar Mabuk, Resi Pakar Pantun, Dewi Cintani
sama-sama terkesima tegang melihat tindakan ganas
yang di luar dugaan itu. Kadal Ginting yang dari tadi sudah ada di balik pohon
juga tercengang tegang dengan lutut gemetar. Galih Rembulan bagai tak pedulikan
lagi jeritan Payung Serambi yang telah bermandi darah dan terpojok pada sebatang
pohon. "Aaaa...!!"
Pendekar Mabuk cepat bertindak di luar
kesadarannya. Kakinya menendang gagang pedang yang
tergeletak di tanah depannya. Duus...! Pedang pun
Pendekar Mabuk 062 Misteri Malaikat Palsu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melayang cepat karena tendangan itu bertenaga dalam.
Weeet...! Jrrrub...! "Aaahg...!" Galih Rembulan mengejang dengan keluarkan suara pekik tertahan.
Pedang runcing itu
menancap tembus di leher Galih Rembulan dari arah
samping kiri tembus ke kanan.
Zlaaap...! Brrrus...!
Pendekar Mabuk menerjang Galih Rembulan hingga
tubuh yang telah tertusuk pedang lehernya itu terpental sejauh lima langkah,
kemudian roboh tak berkutik
selamanya. "Oouh...!" Payung Serambi merintih dan dalam keadaan tubuhnya hancur tercabik-
cabik. Dewi Cintani berseru sambil dekati Payung Serambi,
"Suto... lekas selamatkan dia dengan tuakmu!"
Dewi Cintani yang wajahnya sudah ayu kembali
sejak meneguk tuaknya Suto itu tampak lega begitu tuak tersebut dituang ke mulut
Payung Serambi. Beberapa saat kemudian luka cabikan yang beracun itu menjadi
lenyap, Payung Serambi lolos dari maut. Resi Pakar
Pantun hembuskan napas lega lalu berkata kepada
mereka, "Jadi aku pun sebenarnya telah lolos dari dendam si panglima binal itu?"
"Benar, Turangga," jawab Payung Serambi dengan menyebutkan nama asli Resi Pakar
Pantun. "Galih Rembulan tak ingin kau dan yang lainnya tahu bahwa ia bekas
panglima Istana Laut Kidul yang jalang dan binal.
Tapi... sekarang segaianya sudah berakhir. Kakak tiriku itu telah menerima
hukuman yang setimpal dari
Pendekar Mabuk. Dengan begitu, lima nyawa yang
seharusnya melayang menjadi terselamatkan."
Payung Serambi menatap Suto Sinting dengan
senyum memikat hati.
"Dan kaulah penyelamat kelima nyawa itu, Suto."
Pendekar Mabuk berlagak acuh tak acuh, namun
segera berkata penuh sindiran.
"Ya, nyawa mereka memang selamat, tapi bagaimana dengan pakaianku" Apakah masih
selamat juga" Lihat, kain ini menjadi robek semakin panjang gara-gara
kupakai untuk menendang pedangmu tadi."
Dewi Cintani dan Payung Serambi cekikikan sambil
buang muka, karena mereka segera menyadari bahwa
kain yang dikenakan Suto Sinting itu telah robek
panjang, dari bawah sampai ke perut, membuat sesuatu yang tersembuyi itu dapat
terlihat sewaktu-waktu,
terutama jika belahan kain yang robek tersingkap oleh hembusan angin.
"Suto," ujar Payung Serambi, "ikutlah aku, kita cari pakaianmu di tempatmu
tertidur waktu itu. Kurasa Galih Rembulan yang menelanjangimu dan menyembunyikan
pakaianmu di lapisan alam gaib; antara alam nyata dan alam tak nyata. Aku bisa
menemukannya!"
Pendekar Mabuk pun akhirnya pergi bersama Payung
Serambi, dan ternyata apa yang dikatakan gadis utusan Istana Laut Kidul itu
memang benar; pakaian itu
disembunyikan di lapisan gaib, antara alam nyata dan alam tak nyata.
"Kurasa Galih Rembulan sengaja membuatmu tanpa busana dengan cara gaib untuk
menghambat gerakanmu
agar tak bisa ikut campur dalam urusannya itu," kata Payung Serambi sambil
menunggu Suto Sinting ganti
pakaian di balik semak. Sesekali matanya melirik
mencoba mengintip dengan hati berdebar-debar karena masih ada pengaruh gaib
pemikat dari jurus 'Senyuman iblis' itu.
SELESAI PENDEKAR MABUK Segera menyusul:
PEMBURU DARAH SATRIA
Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Pemikat Iblis 2 Sepasang Pendekar Daerah Perbatasan Giok Bun Kiam Lu Karya Chin Yung Pendekar Lembah Naga 31
dapat menyusul Pendekar Mabuk dan tak bisa mempunyai perkiraan ke mana arah yang
ditempuh si tampan berkebaya merah jambu itu.
"Setan belang! Memang sinting ilmu si Pendekar Mabuk itu! Aku jadi repot sendiri
mencari jejaknya,"
gerutu Dewi Cintani. "Biar bagaimanapun harus tetap kucari, ia dalam bahaya
besar jika berhadapan dengan Payung Serambi. Aku tak ingin ia terluka seperti
kemarin sore. Kasihan sekali. Aku sayang kepadanya
dan tak rela ia menderita sakit apa pun!"
Pendekar Mabuk tak pedulikan lagi tentang Dewi
Cintani yang ketinggalan di belakangnya itu. Pikirannya hanya satu; mengejar
Payung Serambi untuk dapatkan
kembali pakaiannya. Setelah itu baru berhitung tentang
pembunuhan atas diri Nini Kalong.
Langkah Suto Sinting pun akhirnya dihentikan secara mendadak, ia terkejut ketika
menyadari dirinya sudah berada di perbatasan sebuah desa.
"Wah, kacau...! Aku bisa ditertawakan orang kalau sampai masuk ke desa ini!
Pasti dianggap orang gila atau banci konyol! Sebaiknya kuhindari saja desa ini,
dan... oh, ya, aku butuh mengisi bumbung tuakku. Bagaimana caranya menuju ke kedelai
tanpa ditertawakan orang?"
Otak pun berputar sesaat, lalu hati berkecamuk
menyusun rencana.
"Ah, sebaiknya aku benar-benar berlagak menjadi perempuan saja. Biar disangka
benar-benar perempuan, jadi tidak ditertawakan sebagai banci gila! Hmmm...
daun jati muda bisa kupakai untuk gincu!"
Suto Sinting segera memetik sehelai daun jati muda.
Daun itu dikunyahnya, walau terasa sepet dan kasar, tapi tetap dipaksakan agar
menimbulkan warna merah untuk mengolesi bibirnya.
"Hooek..! Puih, puih...!" Suto Sinting hampir muntah karena menelan getah daun
jati muda yang berwarna
merah. Tapi dengan begitu bibirnya menjadi merah
bagai mengenakan gincu dan mirip wanita. Suto Sinting memetik setangkai bunga
kuning mirip bunga kamboja.
Bunga itu disematkan di telinga kirinya. Kebaya
dikancingkan rapat-rapat. Kain pun dibenahi agar
tampak sedikit rapi dan menyembunyikan bagian yang
robek untuk bagian dalam. Rambut pun disisir dengan lima jari, yang penting
sedikit rapi tidak kelihatan seperti
lelaki. "Demi tuak yang sudah sangat menipis, aku terpaksa berpenampilan seperti ini.
Ya, Dewa... semoga saja
kejadian seperti ini jangan terulang untuk yang kedua kalinya! Samber geledek
betul orang yang mencuri
pakaianku itu!" keluhnya dalam hati sambil
memasukkan dua gumpalan jerami untuk mengisi dada
kanan dan kiri. Dada itu menjadi tampak montok, walau jika diremas bisa bikin
orang pingsan tertawa atau terkencing-kencing menahan geli.
Dengan langkah melenggak-lenggok mirip
perempuan genit, Pendekar Mabuk memasuki desa
tersebut. Beberapa penduduk desa yang berpapasan
dengannya ada yang memperhatikan, ada pula yang acuh tak acuh dan tidak merasa
tertarik. Yang merasa tidak tertarik adalah kaum wanitanya, yang memperhatikan
dan merasa tertarik adalah kaum lelakinya. Karena
dalam keadaan bergincu merah, pemuda tampan itu
tampak seperti gadis yang cantik dan menggairahkan di mata pria. Badannya
kelihatan sekal dan matanya
mengundang selera untuk bercumbu. Bibirnya yang
memang berbentuk indah itu membuat jantung setiap
lelaki berdebar-debar, seakan ingin segera
mencaploknya dan tak akan dilepaskan selama sehari
semalam. "Sial! Justru menjadi bahan perhatian kaum lelakinya.
Apakah memang kelihatan cantik aku ini?" pikirnya sambil melangkah gemulai
mendekati sebuah kedai.
Kebetulan di kedai itu tidak banyak pengunjung, hanya
ada empat orang yang sedang makan dan minum di
kedai tersebut. Suto Sinting langsung memesan tuak, menyuruh pemilik kedai
memenuhi bumbung bambu
dengan air tuak. Tentu saja dalam memesan tuak Suto Sinting menggunakan suara
kecil yang dibuat mirip
suara perempuan genit.
Seorang lelaki berusia sekitar tiga puluh tahun yang sedang menikmati
santapannya terpaksa diam tertegun memandangi kehadiran Pendekar Mabuk. Lelaki
berkumis tipis itu sempat iseng dengan teguran
nakalnya. "Hai, Manis... sendirian saja, ya?"
Suto Sinting diam tak mau layani teguran iseng itu.
Tetapi pria berbaju hitam yang badannya agak gemuk
dengan kumis lebat dan wajah beringas, segera
meninggalkan seorang teman yang duduk bersamanya.
Orang itu mendekati Suto Sinting yang masih berdiri menghadap meja dagangan.
Tiba-tiba orang berbaju
hitam itu menepuk pantat Suto Sinting sambil menyapa nakal.
Plak...! "Eh, kambing...!" Suto Sinting berlagak latah, tapi hatinya dongkol sekali.
"Ha, ha, ha, ha...! Badanmu bagus sekali, Sayang!
Kau pasti seorang tamu yang menyempatkan diri
singgah ke desaku ini. Hmmm... manisnya! Siapa
namamu, Sayang?"
Suto Sinting diam saja, berusaha sembunyikan wajah
dengan melengos ke arah berlawanan dengan datangnya
orang berkumis tebai itu. Ia sengaja tidak menjawab supaya tidak terjadi
percakapan yang panjang. Tapi si baju hitam justru mengusap-usap Suto Sinting
sambil tertawa nakai.
Plak...! Suto Sinting menepiskan tangan lelaki itu
dengan kasar. Wajahnya benar-benar cemberut dongkol, tapi dianggap oleh si
lelaki sebagai cemberut gadis yang malu-malu kucing.
"Kakang punya rumah tak jauh dari sini. Kau bisa bermalam di rumahku saja.
Kebetulan aku seorang duda tanpa anak. Sudah tiga bulan yang lalu aku bercerai
dengan istriku. Temani aku ya, Sayang?"
Orang itu justru meremas-remas pinggul Suto Sinting dengan senyum dan mata
memancarkan kemesuman.
Pendekar Mabuk menghindari remasan tangan lelaki itu, dan teman si lelaki
menertawakan dari tempat duduknya.
"Lembut sedikit, Soglo! Jangan kasar-kasar begitu nanti dia jijik padamu! Ha,
ha, ha, ha...!" teman orang berbaju hitam itu berseru dari tempatnya. Rupanya
orang berbaju hitam itu bernama Soglo dan memang tabiatnya genit-genit
memuakkan, selayaknya seorang mata
keranjang yang kampungan.
"Kau membeli tuak banyak sekali, Sayang" Untuk siapa, hmm..."! Untuk kakekmu
atau untuk nenekmu?"
"Untukku sendiri!" ketus Suto Sinting dengan suara dan lagak wanita judes.
Soglo justru tertawa kegirangan. "Kalau cemberut begitu kau tampak manis sekati,
Iiih... gemas sekali aku!" Soglo mencubit pipi Suto.
Tanpa disadari, gerak naluri Suto Sinting keluar.
Tangan itu segera ditepiskan dengan sentakan cepat, dan kepalan tangan Suto
segera menyodok ke mulut Soglo.
Wuut.... Plak, plook...!
"Uuuhf...!" Soglo tersentak mundur tiga langkah, terhuyung-huyung sambil sedikit
membungkuk dan pegangi mulutnya yang kena jotos itu. Ternyata mulut tersebut berdarah karena
bibirnya pecah. Soglo
mengerang kesakitan, yang lain pun menjadi tegang.
Pada waktu itu, si pemilik kedai segera menyerahkan bumbung yang sudah penuh
tuak dengan rasa takut dan waswas.
"Perempuan liar!" geram teman si Soglo sambil segera bangkit berdiri dan
melompat ke arah Suto
Sinting. Jleeg...! Ia berdiri di depan Suto Sinting ketika murid si Gila Tuak itu
membalikkan badan sambil menenteng bumbung tuaknya.
"Marung, hajar setan betina itu!" seru Soglo sambil kebingungan menghentikan
kucuran darah dari
mulutnya, karena ternyata bukan bibir saja yang pecah akibat hantaman tangan
Suto, melainkan gigi depan pun menjadi rompal dua biji.
Marung, teman si Soglo itu, segera maju dan
menghantamkan pukulannya ke arah wajah Pendekar
Mabuk. "Dasar perempuan keparat! Kau belum tahu siapa kami berdua ini, hah"! Heeah...!"
Wuuut...! Plak...!
Suto Sinting menangkap pukulan itu dengan tangan
kirinya. Lalu genggaman tangan Marung dirematnya
kuat-kuat. Krrrak...!
"Aaauuh...!" Marung menjerit kesakitan, tapi genggamannya belum dilepaskan oleh
Suto Sinting. Suara tulang jari patah serempak terdengar mengerikan bagi pengunjung yang lain.
Mereka cepat-cepat keluar dari kedai dengan wajah ketakutan.
"Aaauh...! Ampuun... ampuun...!" seru Marung sambil menyeringai menahan rasa
sakit yang luar biasa itu.
"Bangsat kau! Hiaah...!" Soglo menyerang dengan tendangan. Tapi kaki Suto
Sinting segera berkelebat lebih cepat sehingga tulang kering kaki Soglo berhasil
ditendangnya lebih dulu. Buuk, prak...!
"Aaauuh...!" Soglo menjerit panjang karena tulang keringnya bagaikan remuk, ia
langsung jatuh terduduk dan memegangi kakinya seperti anak kecil yang kakinya
membentur meja makan.
"Aam... ampun... ampuni aku. Lepaskan tanganku, Nona. Aduuh... sakit sekali. Aku
tak tahan sakitnya, Nona. Aaaadduuh... ampun, Dik. Ampun...!" Marung memohon-
mohon dengan wajah tetap menyeringai
karena rematan tangan Suto Sinting semakin lama
semakin kencang, dan tulang jari yang patah terasa
semakin sakit. "Kulepaskan tanganmu tapi tebus kelancangan
temanmu itu yang berani-beraninya menggerayangi
tubuhku!" kata Suto Sinting dengan suara perempuan.
"Iiya... iya... iya akan kutebus. Bagaimana caranya?"
"Bayar harga tuak yang telah kubeli ini!"
"Iiya... iya akan kubayar. Lepaskanlah aku, Nona."
"Bayar dulu!"
"Bbba... baik... baik akan kubayar sekarang!" Marung keluarkan uang dari sabuk
hitamnya, uang itu
dilemparkan kepada pemilik kedai dan ditangkap dengan gesit oleh si pemilik
kedai. "Cukup uang itu, Pak Tua?" tanya Suto Sinting.
"Cu... cukup, Nona! Malahan sisa banyak."
"Baik!" Suto Sinting melepaskan rematan tangannya.
"Ingat, kalau kalian menggangguku lagi, atau
mengganggu kaum sejenisku, kepala kalian yang akan
kuremat hingga tulang-tulangnya remuk!"
Setelah meninggalkan ancaman yang ditakuti oleh
Marung dan Soglo, Pendekar Mabuk segera langkahkan
kaki keluar dari kedai. Di depan kedai ia sempat
menenggak tuak dua teguk, tapi buru-buru dihentikan, karena ingat dirinya tampil
sebagai wanita. Tak layak seorang wanita menenggak tuak di depan kedai seperti
itu. Dengan langkah dipercepat dan melupakan lenggak-
lenggoknya, Suto Sinting segera meninggalkan desa itu.
Bumbung tuaknya digantungkan di pundak, sebagai
kesiapsiagaan jika datang bahaya sewaktu-waktu
kepadanya. Bertepatan dengan keluarnya Suto Sinting dari desa
itu, terdengar pula suara dentuman menggema dari balik bukit kecil yang ada di
depan langkah Suto. Dentuman
itu sempat menggetarkan bumi, getarannya terasa sampai di tanah yang dipijak
Suto Sinting. "Sebuah pertarungan..."!" sentak hati Pendekar Mabuk. "Pasti ada pertarungan di
balik -bukit kecil itu.
Kulihat pendar cahaya merah berkerilap di sebelah sana!
Aku harus segera ke sana, siapa tahu si Malaikat Malam sedang berusaha membunuh
seseorang yang kukenal!"
Zlaaap...! Pendekar Mabuk melesat ke arah bukit
kecil yang tak seberapa tinggi itu. Ia sengaja memanjat bukit itu dengan gerakan
yang lincah, walau untuk itu kain penutup bagian bawahnya robek lagi. Wreeek...!
"Sial! Robek lagi, jadi seperti gelandangan saja kalau begini!" gerutu Suto
Sinting sambil tetap menuju ke puncak bukit kecil itu.
Pendekar Mabuk segera tercengang begitu melihat
siapa yang mengadu ilmu di bawah bukit kecil itu.
Ternyata mereka adalah seorang lelaki muda berusia
sekitar dua puluh lima tahun, berpakaian serba merah, rambut panjang lurus
sepundak dengan ikat kepala
kuning. Lelaki muda yang bersenjata kapak dua mata itu bertubuh tinggi, tegap
dan ganteng. Suto Sinting
mengenalnya sebagai Ranggu Pura, murid mendiang si
Poci Dewa. Sedangkan lawannya adalah seorang gadis
berambut acak-acakan. Gadis itu mengenakan pakaian
ketat seperti dari karet berwarna hitam dengan pedang di punggung bergagang
hitam. Wajahnya cantik tapi
berkesan liar dan ganas.
Gadis berpakaian ketat warna hitam yang montok
dadanya itu tak lain adalah Angin Betina, gadis yang
sangat mencintai Suto Sinting dan bertekad menjadi
perisai bagi sang Pendekar Mabuk. Sedangkan Ranggu
Pura adalah sahabat Suto yang pernah ditolong dari
kelicikan Ayunda, sampai Ranggu Pura berhasil
mengawini Cumbu Bayangan, murid paman gurunya itu.
"Ranggu Pura pasti salah paham," pikir Suto Sinting.
"Tapi bagaimana aku harus bertindak melerai
pertarungan itu" Aku malu muncul di depan Angin
Betina dalam keadaan seperti banci gila begini! Tapi...
haruskah kubiarkan mereka mengadu nyawa?"
Suto Sinting hanya bisa memendam kedongkolan.
Gara-gara ia kehilangan pakaian, maka ruang geraknya menjadi tak bebas. Lebih-
lebih dengan mengenakan
kebaya dan kain perempuan, ia benar-benar tersiksa
menghadapi kenyataan itu. Gerutunya pun terucap
kembali sambil sembunyikan diri di balik batu besar.
"Huuh...! Dapat mayat saja mayat perempuan,
akibatnya aku jadi serba salah kalau begini. Lebih baik tanpa pakaian sama
sekali, tidak disiksa perasaan
bimbang dan salah tingkah begini! Uuh... nasib,
nasib...!"
Pendekar Mabuk akhirnya garuk-garuk kepala
dengan jengkelnya, tapi pandangan mata tetap tertuju pada pertarungan antara
Ranggu Pura dengan Angin
Betina. * * * 6 SEJAK tadi Angin Betina tidak bergeser dari
tempatnya berdiri. Tak ada lompatan yang dilakukan
olehnya saat menerima serangan dari Ranggu Pura.
Pendekar Mabuk 062 Misteri Malaikat Palsu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tebasan kapak yang diarahkan ke lehernya hanya
dihindari dengan meliukkan badan ke belakang dan
mengayun ke kiri, kemudian tangan pemegang kapak
yang telah lewat di depannya itu ditendang kuat dengan gerak tendangan yang
sulit dilihat lawannya. Bet,
Plaak...! Weees...!
Kapak dua mata itu terpental ke samping. Ranggu
Pura rasakan tangannya bagaikan hilang. Tendangan
bertenaga dalam itu telah mematikan rasa pada urat
tangan tersebut. Akibatnya tangan itu tak bisa dipakai untuk memegang sesuatu
dan tak bisa digunakan untuk merasakan rabaan apa pun.
"Setan alas! Tanganku seperti semutan rasanya. Lebih dari semutan! Kalau tak
segera kusalurkan hawa murni ke tangan, bisa-bisa aku mati separo," pikir Ranggu
Pura sambil berjongkok di samping kapaknya yang masih
tergeletak di tanah. Angin Betina hanya pandangi
dengan mata tajam seakan ingin menembus ulu hati
Ranggu Pura. "Sebetulnya kalau Angin Betina mau lakukan
serangan balasan, Ranggu Pura akan mengalami luka
parah. Tapi Angin Betina yang kecepatan geraknya
seperti angin itu tak mau lakukan serangan balasan.
Sebab ia tahu bahwa lelaki tampan itu bukan lawan
tandingnya. Ilmunya masih jauh di bawahnya. Tapi ia
bermaksud memberi pelajaran kepada lawannya agar
lain kali tidak bertindak ceroboh lagi.
Sesaat kemudian, Ranggu Pura mulai peroleh
kekuatan kembali. Tangan kanannya sudah bisa
digunakan sebagaimana mestinya. Hanya saja, kali ini Ranggu Pura tidak langsung
lakukan serangan, ia
mencari celah dan kelengahan sang lawan.
"Hentikan tindakan bodohmu! Kau hanya akan
mencari penyakit jika melawanku!" hardik Angin Betina dengan sorot pandangan
mata dan raut muka tampak
angker-angker cantik.
"Tak akan kuhentikan tindakanku sebelum menebus kematian guruku dengan nyawamu!"
"Aku tidak kenal siapa gurumu!"
"Omong kosong! Eyang Poci Dewa telah kau bunuh secara licik. Luka di punggungnya
akibat tebasan pedangmu menandakan bahwa kau melawan guruku
secara licik!"
"Sekali lagi kutegaskan; aku tidak membunuh Poci Dewa. Tanyakanlah pada arwah
gurumu sendiri!"
"Kau tak perlu mengelak, Iblis Jalang! Semua orang tahu, kaulah si Malaikat
Malam yang berpakaian serba hitam itu!"
"Aku bukan Malaikat Malam! Orang memanggilku
Angin Betina!" kata wanita berambut acak-acakan berkesan angker itu. Suaranya
datar dan dingin membuat tiap kata yang dilontarkan bagai mempunyai kekuatan
gaib yang menggetarkan nyali lawannya. Tetapi agaknya Ranggu Pura tidak peduli
dengan getaran tersebut. Api
dendam kesumat makin berkobar dari pancaran sinar
matanya. "Aku tak peduli! Kau mau mengaku Angin Betina
atau Setan Betina, tetapi hutang nyawa tetap harus
dibalas nyawa! Kematian guruku tak bisa ditebus dengan tipuan nama dan pengakuan
palsu! Sekaranglah kau
harus menghadap guruku di alam baka sana!
Heeeeaat...!"
Ranggu Pura memutar kapaknya satu kali dari
belakang ke depan. Wuuut...! Lalu kapak itu
memercikkan sinar yang menyerupai mata tombak
panjang. Claaap...! Sinar biru melesat cepat ke arah dada Angin Betina.
Gadis berwajah liar namun mengagumkan itu tetap
berdiri di tempatnya. Kedatangan sinar biru itu ditahan dengan telapak tangan
kirinya. Teeeb...! Sinar itu
bagaikan tak bisa menembus telapak tangan yang sudah menyala kuning itu. Dalam
satu gerakan telapak tangan memutar balik, sinar biru panjang itu pun berkelebat
kembali ke arah pemiliknya. Weess...!
Ranggu Pura terkejut, lalu sentakkan kaki dan
tubuhnya melambung ke atas cukup tinggi. Sinar itu
menghantam sebatang pohon di belakang Ranggu Pura.
Blegaaarr...! Ranggu Pura tak pedulikan pohon itu hancur menjadi
serpihan yang berhamburan ke mana-mana. Dari
tempatnya melayang ia lepaskan kembali sinar serupa dari kapaknya. Claap...!
Namun kali ini di belakang sinar itu tampak selarik sinar merah patah-patah
mengikuti gerakan sinar biru. Sinar patah-patah itu keluar dari telapak tangan kiri Ranggu
Pura. Weeess...! Angin Betina tidak bergeser dari tempat, namun ia
sedikit rendahkan badan dari dengan kedua tangannya yang masing-masing
mengeraskan kedua jari itu ia
menolak datangnya kedua sinar tersebut.
Masing-masing ujung kedua jari saling bertemu di
depan mata, dan dari ujung jari itu mengeluarkan sinar putih perak membias lebar
bagai membentengi dirinya.
Slaaap...! Blagaaarr...! Benturan sinar biru-merah pada sinar putih perak
menghasilkan ledakan yang amat dahsyat. Gelombang
ledakan itu sangat kuat, sehingga Angin Betina sendiri tersentak mundur tiga
langkah dan hampir saja jatuh terpelanting. Tetapi Ranggu Pura terpental delapan
tombak jauhnya. Weees...!
Ranggu Pura bagai dilemparkan oleh tenaga yang
amat besar, ia melayang-layang di udara kehilangan
keseimbangan badan. Kemudian jatuh terbanting dalam posisi miring. Brrruk...!
"Aaauh...!" pekiknya menahan sakit. Kapak di tangannya sempat terlepas dan jatuh
dua langkah dari kepalanya.
Tulang pundaknya terasa seperti patah dan tulang
lehernya pun terkilir nyeri, sehingga Ranggu Pura
terpaksa mengerang panjang saat membetulkan letak
sendi tulang lehernya dengan paksa. Klaak...!
"Aoww...!" pekiknya sendiri.
Kemudian ia paksakan untuk berguling ke samping.
Satu gulingan ia sudah berhasil menyambar senjatanya kembali, ia mencoba untuk
bangkit walau sempoyongan.
Saat itulah ia baru sadar bahwa hidungnya telah
mengucurkan darah segar dan tangan kirinya bagaikan lumpuh, tak bisa digerakkan
lagi akibat kejatuhannya tadi.
"Keparat kau, Iblis Betina!" geramnya penuh pancaran nafsu untuk membunuh.
Sedangkan Angin
Betina justru kelihatan tenang-tenang saja, namun
pandangan matanya yang tajam menunjukkan bahwa ia
tetap waspada. Dari atas bukit kecil itu Pendekar Mabuk berkata
pada diri sendiri, "Matilah si Ranggu Pura kalau masih nekat melawan Angin
Betina! Aku harus bisa
menghentikannya agar kesalahpahaman ini tidak
menimbulkan korban jiwa. Hmmm... bagaimana
caranya" Kusambar saja si Ranggu Pura sambil
melepaskan totokan dari jarak jauh, atau kutotok
keduanya dari sini agar Angin Betina tak melihat
kehadiranku dalam pakaian perempuan begini"!"
Ranggu Pura melangkah dengan sempoyongan.
Napasnya terengah-engah diburu dendam. Sambil
menggeram-geram ia mulai memutar-mutar kapaknya di
samping. Putaran kapak itu
keluarkan bunyi
mendengung yang makin lama semakin menyakitkan
gendang telinga. Jelaslah bahwa Ranggu Pura ingin
pergunakan jurus lain berupa bunyi gaung dari
senjatanya untuk memecahkan gendang teiinga lawan.
"Hentikan...!"
Tiba-tiba terdengar suara keras yang mampu
mengungguli bunyi gaung itu. Suara bentakan keras itu datang dari arah timur
mereka. Seorang gadis cantik muncul begitu saja, tak diketahui dari mana asal
kedatangannya. Seperti jatuh dari langit.
Mata murid si Gila Tuak itu terbeialak kaget.
"Payung Serambi..."!" ucapnya dengan nada menggeram. Kedongkolannya mulai
mengusik hati teringat pakaiannya yang lenyap itu. Kemudian hatinya pun berkata,
"Kalau kutemui sekarang, ah... masih ada Angin Betina. Aku malu kalau Angin
Betina melihatku pakai kebaya begini. Amit-amit betul kalau sampai dilihat dia!
Jangan sampailah yauw...!"
Angin Betina melirik tajam kepada Payung Serambi.
Hatinya bertanya, "Siapa perempuan itu dan apa hubungannya dengan murid si Poci
Dewa itu"!"
Sementara di pihak Ranggu Pura pun melirik sinis
dengan gerakan tangan memutar kapak terhenti dengan sendirinya. Hatinya
membatin, "Siapa perempuan cantik itu" Mengapa tiba-tiba tanganku tak bisa kupakai untuk
memutar kapak lagi"
Uh... kaku sekali tangan kananku ini" Kekuatan apa
yang digunakan oleh perempuan cantik itu, sehingga
tanganku jadi tak bisa digerakkan memutar. Tapi
anehnya... anehnya rasa sakit di tulang pundak kiriku menjadi hilang"! Gila!
Apakah semua ini pengaruh dari
pandangan matanya yang lebih sering tertuju padaku
itu"!"
Payung Serambi melangkah lebih mendekati
pertengahan jarak antara Ranggu Pura dan Angin Betina.
Tetapi pandangan matanya lebih sering tertuju kepada Ranggu Pura. Penampilannya
yang punya kesan wibawa
aneh itu membuat Angin Betina diam saja, seakan
membiarkan apa pun yang akan dilakukan gadis cantik itiu.
Terdengar suara bernada tegas dari Payung Serambi
yang ditujukan kepada Ranggu Pura.
"Kau bisa mati konyol kalau harus melawan
perempuan itu! Kematianmu tidak akan menebus
kematian gurumu, karena kau telah salah tuduh dan
bertindak dengan gegabah!"
"Apa urusanmu terhadap persoalanku dengan
perempuan itu"!" sentak Ranggu Pura.
"Aku hanya meluruskan anggapanmu dan merasa
sayang kalau di balik ketampananmu itu tersimpan otak yang dungu serta segunung
kebodohan! Malaikat Malam bukan perempuan itu!"
"Hmmm...!" Ranggu Pura mencibir. "Berapa besar kau diupah olehnya, sehingga kau
mau mendukung kebohongannya"! Kurasa kau, bersekongkol dengan
perempuan jahanam itu! Jika benar begitu, berarti kau pun termasuk orang yang
harus kukirim ke neraka untuk menebus kematian guruku!"
Payung Serambi sunggingkan senyum tipis bernada
sinis. "Apa yang bisa kau lakukan terhadap diriku"
Apakah kau bisa menjamahku, sehingga kau berani
bicara selancang itu"!"
"Keparat! Kurobek perutmu dengan kapakku ini!
Hiaah...!"
Payung Serambi cepat acungkan jarinya ke depan.
Teeb...! Seperti ada tenaga yang keluar dari ujung jari dan menghantam ulu hati
Ranggu Pura dengan sangat
cepat. Kurang dari satu kedipan mata.
"Uuhg...!" Ranggu Pura terpekik dengan suara tertahan. Tubuhnya melengkung ke
depan dan menyeringai kesakitan, ia tak dapat bergerak lagi selain menghela napas dengan
berat sekali. Kepalanya sedikit miring memandang Payung Serambi, tapi oleh
Payung Serambi segera ditinggalkan. Payung Serambi segera
temui Angin Betina, sedangkan Ranggu Pura tetap
seperti patung bongkok.
"Dia bukan tandinganmu. Kurasa tak pantas kau
melawannya!" kata Payung Serambi kepada Angin
Betina. "Aku tidak melawan, hanya mempertahankan diri.
Apakah kau ingin memihak kepadanya" Silakan buka
jurusmu dan aku akan membeli dengan jurusku!" ucap Angin Betina dengan tegas,
berdiri dengan kaki
merenggang, kedua jempol tangannya digantungkan
pada ikat pinggang di depan perut, ia tampak gagah dan penuh keberanian.
Pandangan mata tak berkedip sedikit pun saat beradu dengan sorot mata Payung
Serambi. "Kuhargai, kau cukup berani dalam bicara di
depanku. Kau belum tahu siapa diriku, Sobat!"
"Kau utusan dari Istana Laut Kidul! Kau prajurit pilihan Nyai Kandita! Itu yang
kutahu tentangmu!"
Payung Serambi terperanjat mendengar ucapan tegas
Angin Betina. "Aku tidak mengenalimu. Dari mana kau tahu tentang diriku" Biasanya setiap orang
yang tahu tentang diriku, aku selalu tahu tentang dirinya. Tapi... tapi aku
tidak bisa menembus batinmu. Siapa kau sebenarnya"!"
"Aku harus segera pergi mencari kakakku, ada urusan penting yang akan kami
bicarakan! Sampai jumpa di lain kesempatan, Payung Serambi!"
Blaaass...! Angin Betina melesat begitu saja bagaikan hembusan sang bayu. Payung
Serambi dibuat terbengong-bengong memandanginya, ia tak tahu bahwa Angin Betina sudah
mempelajari Kitab Lorong Zaman,
sehingga ia bisa masuk ke alam mana saja, bahkan bisa berada di zaman akan
datang atau zaman yang telah lalu.
Dari kitab tersebut pun ia peroleh pelajaran menembus batin orang lain dan
menutup batinnya sendiri agar tidak dibaca oleh indera ketujuh orang lain, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Kita Lorong
Zaman"). Pendekar Mabuk menggunakan ilmu 'Sadap Suara'
dari tempat persembunyiannya, sehingga ia bisa
mendengar percakapan mereka, ia juga terkejut
mendengar Angin Betina bisa menyebutkan siapa diri
Payung Serambi sebenarnya.
"Rupanya apa yang dikatakan oleh Dewi Cintani
tentang perempuan berjubah biru itu memang benar.
Keterangan Cintani sama dengan apa yang diucapkan
oleh Angin Betina tadi. Kelihatannya Payung Serambi cukup terkejut, karena tak
menyangka kalau Angin
Betina mengetahui siapa dirinya. Tapi... dari mana
Angin Betina mengetahui tentang Payung Serambi"
Apakah ia pernah datang ke Istana Laut Kidul?"
Suto Sinting pun ternyata tak tahu bahwa ilmu Angin Betina sudah bertambah sejak
berpisah lama dengannya.
Angin Betina memang pernah bertemu Suto beberapa
waktu belakangan ini, tapi ia tidak banyak bicara tentang penambahan ilmunya.
Pertemuannya dengan Angin
Betina tidak terlalu lama, sehingga Suto Sinting belum sempat bicara panjang-
Pendekar Mabuk 062 Misteri Malaikat Palsu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lebar tentang diri mereka.
Kini perhatian Pendekar Mabuk ditujukan kembali
kepada Payung Serambi yang mendekati Ranggu Pura.
Dengan satu kali sentakan tangan menunjuk, totokan
pada diri Ranggu Pura telah terlepas. Ranggu Pura dapat bergerak seperti biasa.
Tapi pandangan matanya masih memancarkan permusuhan, terlebih setelah ia tahu
bahwa Angin Betina sudah tidak ada di tempat itu.
"Keparat kau! Ke mana perginya si Malaikat Malam itu"! Dia belum menebus nyawa
guruku!" "Sudah kukatakan, dia bukan Malaikat Malam!"
sentak Payung Serambi. "Kalau dia Malaikat Malam, kau sudah tidak bernapas sejak
tadi!" "Jangan menutupi kebusukannya!"
"Aku bisa lumpuhkan kau sekarang juga kalau kau masih membandel!" gertak Payung
Serambi dengan mata sedikit melotot. Ranggu Pura pun menjadi tak
berani membantah lagi, lidahnya bagai kelu.
"Pulanglah dan jangan coba-coba melawan
perempuan itu tadi. Kalau dia bertindak dengan
sesungguhnya, saat ini kau sudah tidak punya nyawa
lagi! Yang jelas, dia bukan Malaikat Malam. Dia adalah Angin Betina, seperti
pengakuannya yang kudengar dari tempat tersembunyi tadi. Ilmu 'Tembus Batin'-ku
menangkap getar kejujuran pada saat ia menyebutkan
namanya." "Lalu... lalu siapa Malaikat Malam itu sebenarnya"!"
"Malaikat Malam sudah tidak ada. Yang muncul
sekarang ini adalah Malaikat Palsu! Tanyakan kepada arwah gurumu, maka ia akan
menjawab bahwa Malaikat
Malam dari Pegunungan Sojiyama sudah lama
meninggal karena ketuaannya. Jika sekarang muncul
orang yang berpenampilan seperti Malaikat Malam, itu adalah Malaikat Palsu.
Orang itu sedang diburu oleh beberapa pihak. Kau tak perlu ikut memburunya,
karena ilmu yang kau miliki belum ada sekuku hitam dengan
ilmu yang dimiliki si Malaikat Palsu."
Ranggu Pura terbungkam bagai tak bisa berkata lagi.
"Sekarang pulanglah dan biarkan musuhmu itu diburu orang lain. Kau tinggal
menunggu kabar kematiannya
saja!" "Baik, aku akan pulang!" ucap Ranggu Pura menjadi patuh. Mungkin sorot mata
Payung Serambi mempunyai
kekuatan gaib yang dapat membuat seseorang menjadi
patuh terhadap perintahnya.
Ranggu Pura pergi tinggalkan tempat itu. Payung
Serambi pun bergegas tinggalkan tempat itu. Namun
sebelum ia bergerak, sebuah suara menyapanya dengan keras,
"Payung Serambi...! Tunggu!"
Gadis itu menoleh ke belakang, tampak Pendekar
Mabuk sedang berkelebat secepat kilat dari atas bukit kecil ke tempatnya.
Zlaaap...! Jleeg...!
Tahu-tahu pemuda tampan berkebaya merah jambu
dengan bibir bergincu merah itu sudah berdiri di depan Payung Serambi. Gadis itu
hanya sunggingkan senyum
tipis dengan tubuh bergerak-gerak karena geli melihat penampilan Suto Sinting.
"Aku tahu kau adalah Pendekar Mabuk, tapi aku tak tahu dari mana kau peroleh
pakaian itu dan sejak kapan kau berubah menjadi banci.".
"Sejak pakaianku kau curi!" jawab Pendekar Mabuk dengan ketus, karena hatinya
menyimpan kedongkolan, ia berkata lagi dengan tegas.
"Kembalikan pakaianku yang kau curi saat aku
tertidur itu. Jika tidak, aku akan bertindak kasar yang mungkin akan
mengecewakan hatimu, Payung Serambi."
"Aku tidak mencuri pakaianmu, Pendekar Tampan!"
jawab Payung Serambi dengan senyum dikulum.
"Agaknya kau perlu dipaksa dengan kekerasan,
Payung Serambi."
"Silakan kalau kau ingin mencoba memaksa orang tak bersalah!" jawab Payung
Serambi dengan tenang, membentangkan kedua tangannya sambil melangkah ke
samping mencari tempat lega untuk mengadu kesaktian.
Pendekar Mabuk pun segera melangkah ke samping,
bumbung tuaknya mulai digenggam dengan tangan
kanan. Matanya tak berkedip pandangi si Payung
Serambi yang punya bibir legit menggiurkan itu. Payung Serambi justru
sunggingkan senyum dan hati Pendekar Mabuk mulai gelisah diguncang oleh getaran
lembut yang mengusik ketenangan batinnya.
"Seranglah aku!" tantang Payung Serambi dengan iringan senyum tipis. "Ayo,
seranglah aku dan kau akan kutangkap dalam pelukan, tak akan kulepas selamanya!"
Pendekar Mabuk hentikan gerakan dan menggerutu
dalam batinnya, "Sial! Kenapa tantangannya jadi seperti itu" Wah, bahaya kalau
kulayani. Bisa-bisa aku jatuh dalam pelukan dan tak mau dilepaskan lagi olehnya.
Celaka tujuh puluh kalau begitu jadinya nanti!"
Pendekar Mabuk masih diam dihinggapi keragu-
raguan, ia seperti banci yang sedang bingung
menentukan arah langkahnya.
* * * 7 KEDUA orang yang ingin bertarung mengadu
kesaktian itu akhirnya sama-sama diam bagai patung
bisu. Tetapi pandangan mata mereka saling beradu
dalam kelembutan tersendiri. Hati mereka saling
memancarkan sinar terang, seakan ditaburi bunga-bunga indah yang tiada pernah
layu. "Agaknya dia ingin menjeratku dengan kekuatan gaib pemikatnya," pikir Pendekar
Mabuk. "Akan kulawan dengan jurus 'Senyuman Iblis' yang tak pernah ada
tandingnya itu. Jika ia bermaksud menundukkan hatiku, maka ia akan menjadi
bertekuk lutut sendiri di
hadapanku!"
Jurus 'Senyuman Iblis' adalah jurus berbahaya bagi
lawan jenis Suto Sinting. Perempuan mana pun, segalak apa pun, seangkuh apa pun
jika terkena pengaruh gaib jurus 'Senyuman Iblis', maka ia akan kasmaran kepada
Pendekar Mabuk dan hasrat ingin bercumbunya
membakar gairah mendesak jiwa. Jurus 'Senyuman Iblis'
ibarat racun cinta yang sukar ditangkal dan dihindari oleh setiap perempuan yang
berhadapan dengan Suto
Sinting. "Hmmm... dia ingin main-main padaku dengan jurus kacangan itu"! Celaka sendiri
dia jadinya jika ingin mengadu kekuatan pemikat denganku. Rasa-rasanya
memang perlu diberi pelajaran biar tidak terlalu angkuh dengan jurus kacangan
itu!" gumam Payung Serambi dalam batinnya.
Maka adu pandangan mata pun makin berlangsung
lama. Bibir Suto Sinting sunggingkan senyum
berkekuatan gaib, penunduk hati seorang wanita.
Sedangkan sorot pandangan mata Payung Serambi
mengandung kekuatan gaib, penakluk hati setiap pria.
"Oh, hatiku berdesir indah. Ada apa ini" Jangan-jangan aku terkena panah asmara
buatan" Oh, tidak. Aku tidak boleh terpikat olehnya!" ujar Pendekar Mabuk
dalam hatinya. Payung Serambi pun membatin, "Aduh, mengapa aku jadi deg-degan" Hatiku berdebar-
debar aneh. Mungkinkah aku terpikat oleh kekuatan gaibnya" Ah,
jangan sampai begitu. Aku tidak boleh terpikat oleh pemuda ini walaupun...
walaupun sebenarnya dia
memang tampan, gagah, menggairahkan, dan.... Oooh,
celaka! Aku semakin gemetar"!"
Dua kekuatan gaib pemikat saling beradu sama kuat.
Hati mereka akhirnya saling terjerat bayangan asmara.
Darah mereka saling berdesir diburu harapan untuk
saling bercumbu.
Pendekar Mabuk maju selangkah bersamaan dengan
langkah pertama Payung Serambi. Langkah itu terhenti sesaat, bagai sedang
diperjuangkan untuk ditahan mati-matian. Namun kian lama kaki mereka bagai
mempunyai kemauan sendiri untuk melangkah maju.
Selangkah, selangkah, selangkah...! Akhirnya mereka berhenti saling berhadapan
kurang dari satu langkah.
Pandangan mata mereka tetap saling beradu. Senyum
mereka saling bermekaran tipis, namun berkesan mesra.
Pendekar Mabuk meraih anak rambut gadis itu yang
meriap di pundak, tepat pada saat tangan Payung
Serambi menggeraikan rambut Suto Sinting yang
melintang di lehernya.
"Kau cantik sekali, Payung Serambi," bisik Suto Sinting.
"Kau pun menawan sekali, Pendekar Mabuk," balas Payung Serambi dalam bisikan
yang amat lembut.
"Boleh aku menyentuh pipimu?"
"Sentuhlah mana yang kau suka, Suto.... Suto
Sayang." Debar-debar di dalam dada semakin keras. Mereka
rasakan debar-debar itu begitu indahnya, hingga
akhirnya mereka saling bersentuhan wajah. Makin lama semakin indah, sehingga
mereka saling bersentuhan
bibir. Mereka bagai terbuai oleh keindahan yang luar biasa besarnya, sampai tak
ingat siapa diri mereka dan di mana mereka berada. Pendekar Mabuk biarkan gadis
itu melumat bibirnya penuh kelembutan. Payung Serambi
biarkan pemuda tampan itu memeluknya penuh
kemesraan. Di pojok sana ada dua orang yang memergoki
kejadian tersebut. Yang seorang berkata seperti bicara pada diri sendiri,
"Manusia sesat! Sama-sama perempuan kok saling berciuman!"
Tapi yang satunya lagi, lebih tua dari yang bicara
tadi, segera mengernyitkan dahi dan mengecilkan
matanya untuk memandang lebih jelas lagi raut wajah kedua orang yang berciuman
sambil berdiri itu.
"Celaka! Itu si Pendekar Mabuk dengan... dengan...
oh, gawat kalau begitu!"
Orang tua itu menjadi tegang, ia berpakaian seperti biksu, kain abu-abu
dililitkan di tubuhnya yang agak gemuk itu. Rambut si orang tua beruban rata
tapi tidak begitu lebat, bahkan berkesan botak. Jenggotnya panjang dan berwarna
putih. Orang itu tak lain adalah Resi Pakar
Pantun dan pelayannya; si Kadal Ginting.
Mereka dari menghadiri pembakaran jenazah Nini
Kalong, mantan kekasih Resi Pakar Pantun. Untuk
membuang kesedihannya, Resi Pakar Pantun segera
tinggalkan Hutan Rawa Kotek sambil mencari orang
berpakaian serba hitam yang dikenal sebagai Malaikat Malam itu. Sang Resi
menyimpan dendam sendiri di
hatinya, karena bagaimanapun juga ia masih mempunyai cinta masa mudanya kepada
Nini kalong, ia merasa perlu menuntut balas kepada si Malaikat Malam, sehingga
sejak melangkah meninggalkan tempat pembakaran
jenazah itu ia sudah bertekad pertaruhkan nyawanya daiam melawan Malaikat Malam.
Tetapi ketika ia jumpai dua sosok manusia lain jenis berpelukan, tiba-tiba saja
dendam dan kemarahannya itu buyar seketika. Perhatiannya tertuju kepada Pendekar
Mabuk yang tampak sedang kasmaran. Padahal Resi
Pakar Pantun tahu, bahwa Pendekar Mabuk adalah
kekasih Dyah Sariningrum. Sang rasi pun tahu, siapa perempuan yang sedang
dipeluk oleh Pendekar Mabuk
itu. "Wah, wah, wah... kalau sedang begitu, ia memang pantas berjuluk Pendekar
Mabuk.... Mabuk Cinta!
Sampai-sampai ia lupa daratan begitu."
Kadal Ginting menyahut, "Lupa daratan bagaimana, Eyang" Bukankah mereka sama-
sama berdiri di
daratan?" "Maksudnya lupa daratan adalah lupa segala-galanya.
Dirinya bagai terbawa terbang bersama khayalan
indahnya. Tapi... oh, Suto tidak boleh terlibat asmara sebegitu jauh dengan
perempuan cantik itu. Ia dalam bahaya jika sampai 'mabuk cinta' dengan perempuan
tersebut!"
Resi Pakar Pantun kembangkan kedua tangannya.
Kakinya yang kiri ditarik mundur sedikit, lalu ia
merendah. Satu tangannya menyilang di depan dada,
tangan yang satunya mengembang di atas kepala, ia
sempat lepaskan pantun yang didengar oleh Kadal
Ginting, pelayannya.
"Kerupuk bantat pusaka sebuah biara,
kecoa nungging memang cari perkara.
Biar asmara sama-sama membara,
tapi jangan pamerkan di depan orang tua."
Lalu tangan yang di atas kepala itu menyentak ke
depan dan seberkas sinar hijau berekor kecil melesat dari tengah telapak tangan
Resi Pakar Pantun. Weeesss...!
Sinar hijau berekor kecil itu melesat menghantam
pertengahan kedua insan yang sedang mengadu mulut
dan saling pagut itu. Sinar itu seakan ingin memisahkan sepasang asmara yang
sedang saling terbuai.
Tetapi kedua orang tersebut tiba-tiba melesat naik, tubuh mereka melambung dalam
keadaan masih tetap
berpelukan dan berpagut bibir. Wuuut...! Mereka
melambung cukup tinggi dalam keadaan tubuh tetap
tegak lurus seperti orang berdiri. Sinar hijau itu melintas di bawah telapak
kaki mereka. Weess...!
Duaarrr...! Sebatang pohon rompal dihantam sinar hijau itu.
Daunnya berguguran, terbang mengikuti arah angin.
Ledakan itu cukup keras, walau tak sampai
mengguncangkan bumi. Tapi setidaknya akan
mengejutkan seseorang yang berada tak jauh dari tempat itu.
Anehnya, Pendekar Mabuk dan Payung Serambi tak
merasa kaget sedikit pun. Dalam keadaan tubuh mereka saling peluk di udara,
mereka masih saling pagut bibir dengan mesra sekali. Bahkan ketika gema ledakan
itu telah menghilang, tubuh mereka bergerak turun pelan dan pelaaan... sekali.
Sedangkan keadaan tubuh mereka tetap lurus bagai orang berdiri di udara.
Akhirnya telapak kaki mereka sama-sama mendarat ke tanah tanpa suara apa pun kecuali
suara kecupan mereka.
Rupanya mereka sama-sama menggunakan ilmu
peringan tubuh yang cukup tinggi, sehingga mampu
melayang di udara dengan cepat dan turun dengan pelan-pelan. Keduanya sama-sama
mempunyai ilmu peringan
tubuh yang setara dan setingkat, sehingga tak satu pun ada yang merasa kewalahan
menghadapi keadaan seperti itu.
Resi Pakar Pantun geleng-geleng kepala melihat
tingkah mereka yang mampu menghindari sinar
hijaunya. Niat memisahkan mereka berdua semakin
membuatnya penasaran. Maka sang Resi pun segera
bertindak dengan lakukan lompatan beberapa kali. Wut, wut, wut...! Kemudian ia
pun menerjang kedua insan
yang sedang berkasih-kasihan itu dengan kedua kaki menendang ke samping kanan-
kiri. Wuuut;..! Brrruss...!
"Oouh...!" Pendekar Mabuk dan Payung Serambi terpental dalam keadaan terpisah.
Mereka sama-sama
Pendekar Mabuk 062 Misteri Malaikat Palsu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terpekik seakan baru menyadari adanya bahaya yang
ingin merusak kebahagiaan kasih mereka. Pendekar
Mabuk dan Payung Serambi sama-sama jatuh
terpelanting, namun sama-sama cepat bangkit dan berdiri sigap memandang tajam
pada Resi Pakar Pantun.
"Lancang betul kau, Tua Keropos!" gertak Payung Serambi dengan wajah memancarkan
kemarahan. "Resi Pakar Pantun! Apa maksudmu menyerang
kami"!" bentak Suto Sinting dengan dada bergemuruh karena menahan marah.
Napasnya mulai menyemburkan
kekuatan 'Napas Tuak Setan' yang sempat membuat
tanah di depannya menyebar ke sana-sini bagai
dihembus oleh cerobong angin.
"Suto, kau dalam bahaya!" ujar Resi Pakar Pantun sambil melangkah dekati Suto
Sinting. "Sadarlah, Suto...! Kau tak boleh bercinta dengan dia, karena
ketahuilah bahwa dia adalah orang Istana Laut Kidul.
Kau bisa celaka jika menjalin hubungan cinta
dengannya!"
Kadal Ginting ikut dekati Suto dan berkata,
"Turutilah saran Eyang Resi, Suto!"
Napas ditarik panjang-panjang sebagai penahan
gejolak kemarahan. Pendekar Mabuk segera meneguk
tuaknya, sementara Payung Serambi yang sudah
mengenal siapa Resi Pakar Pantun itu segera berkata dengan nada menggeram
jengkel. "Kau tak berhak memisahkan kemesraan kami, Pakar Pantun! Kuhajar kau kalau
sekali lagi lakukan hal itu!"
"Payung Serambi... kalau kau bercinta dengan
Pendekar Mabuk, alangkah nistanya" Kau orang
terhormat di Istana Laut Kidul, sedangkan Pendekar
Mabuk hanya seorang bocah ingusan. Nyai Kandita pun dapat murka kepadamu jika
kau terlibat cinta dengan Suto Sinting. Dia bukan keturunan darah biru," ujar
Resi Pakar Pantun dengan suara pelan, seakan sedang
mempengaruhi pikiran Payung Serambi.
Gadis itu menjadi diam, memandang lurus ke arah
Pendekar Mabuk, namun tampak sedang lakukan
pertimbangan dalam pikirannya. Pendekar Mabuk pun
tampak mulai sadar dengan apa yang ia lakukan tadi. Ia melangkah mendekati
Payung Serambi sambil berucap
dalam batinnya.
"Sepertinya aku telah terkena jurus pemikatnya. Oh, bahaya sekali kalau sampai
aku tak bisa lepaskan diri dari pemikat itu."
Sedangkan dalam batin Payung Serambi pun berkata,
"Aneh. Mengapa aku jadi mau berciuman dengannya"
Apakah aku telah terperangkap oleh gaib kasmarannya"
Oh, aku tidak boleh sampai terperangkap begitu. Aku harus segera lepaskan diri
dari pengaruh kekuatan
pemikatnya. Tapi... tapi bagaimana mungkin hal itu bisa kulakukan jika ternyata
sangat indah dan sangat
berkesan di hatiku. Oh, kacau sekali kalau begini
jadinya!" Keduanya sama-sama ingin membatasi diri, namun
jiwa mereka bicara, batin mereka tetap mengharap
kemesraan yang indah. Akibatnya mereka hanya bisa
berusaha menutupi gejolak tuntutan batin mereka dengan mengalihkan pembicaraan
pada masalah kematian Nini
Kalong. "Resi Pakar Pantun, apakah benar kematian Nini Kalong akibat ulah si Malaikat
Malam?" "Malaikat Malam sudah tiada," jawab Resi Pakar Pantun. "Kalau sekarang ada yang
menyamar sebagai Malaikat Malam, berarti ada pihak lain yang ingin
gunakan nama besar itu untuk kepentingan pribadi. Aku tak dapat mengira-ngira
siapa sebenarnya orang
berpakaian serba hitam itu. Tetapi jika aku bertemu dengannya, barangkali hanya
ada dua pilihan; nyawaku atau nyawanya yang melayang."
Pendekar Mabuk melirik Payung Serambi, lalu
berkata kepada gadis itu,
"Kuingat kau pernah mengancamku dengan pedang
hanya untuk mengetahui di mana letak Hutan Rawa
Kotek. Kau ingin menemui Nini Kalong dan tampak
bernafsu sekali."
"Memang. Apakah itu berarti kau menuduhku sebagai Malaikat Malam"!"
"Bukan salahku jika aku menaruh curiga padamu, karena kau memaksaku menunjukkan
tempat kediaman
Nini Kalong."
"Jadi, kaulah orangnya yang mampu tumbangkan
Poci Dewa dan Nini Kalong"!" Hardik Resi Pakar Pantun dengan mengepalkan
tangannya, ia tampak ingin
lakukan serangan kepada Payung Serambi.
"Tunggu!" sergah Payung Serambi. "Jangan dengarkan fitnah si tampan sinting
itu!" Suto pun segera berkata, "Untuk apa kau bernafsu sekali ingin menemui Nini
Kalong kalau bukan untuk
membunuhnya"!"
"Otak bodohmu keterlaluan, Suto! Aku datang justru ingin memberitahukan bahwa
Nini Kalong terancam
bahaya! Aku ingin mencegat bahaya itu, namun ternyata aku terlambat. Demikian
juga halnya dengan Poci Dewa dan Pendeta Kembang Ayu. Aku terlambat mencegat
bahaya itu sehingga akhirnya mereka menjadi korban.
Keterlambatanku itu karena aku tak tahu persis di mana letak kediaman mereka."
"Kau pandai memutar lidah rupanya!" kata Suto Sinting.
"Kau sendiri menyukainya, bukan?"
"Maksudku, pandai bermain kata-kata. Bukan
memutar lidah dalam arti sebenarnya!" sentak Suto Sinting menutupi rasa malunya,
sambil berusaha
membuang bayangan saat mereka berciuman tadi.
"Payung Serambi," ujar Resi Pakar Pantun. "Apakah maksud kedatanganmu ke tanah
Jawa ini sebenarnya?"
"Nyai Kandita mengutusku untuk lakukan
penyelamatan terhadap beberapa tokoh yang terancam
bahaya." "Apakah bisa kupercaya kata-katamu itu?"
"Aku tak memaksamu untuk percaya, tapi aku akan berkata apa adanya," ujar Payung
Serambi, ia menatap
Suto Sinting sebentar, kemudian kembali memandang
Resi Pakar Pantun dan berkata dengan tegas.
"Delapan tokoh aliran putih yang tinggal di tanah Jawa ini terancam bahaya.
Wajah-wajah mereka tampak menguning dalam penglihatan Nyai Kandita."
"Siapa saja"!" sergah sang Resi.
"Pendeta Kembang Ayu, Poci Dewa, Nini Kalong,
Sumbaruni...."
"Siapa"! Sumbaruni"!" potong Resi Pakar Pantun sebelum Pendekar Mabuk terpekik
kaget juga. "Celaka! Sumbaruni terancam kematian pula
rupanya"!" gumam Suto Sinting dengan tegang, sebab ia tahu Sumbaruni adalah
wanita yang amat mencintainya dan bersikap baik padanya selama ini.
"Sumbaruni..."! Gawat!" kata sang Resi. "Baru saja Sumbaruni menuju ke Lembah
Hijau bersama Kidung
Laras dan muridnya; Pakis Ratu. Aku harus
mengabarkan hal ini kepada Sumbaruni!"
"Sebaiknya begini saja, Eyang Resi...," kata Suto, namun terpotong oleh ucapan
sang Resi sendiri.
"Pikirkan saja keadaanmu, Suto. Jangan seperti pendekar konyol, pakai kebaya
segala! Gantilah
pakaianmu sebelum Sumbaruni pun tahu kau menjadi
banci kesiangan! Aku akan berangkat temui Sumbaruni sekarang juga!"
Weeess...! "Tunggu dulu, Pakar Pantun...!" sergah Payung Serambi. Tetapi sang Resi sudah
lebih dulu berkelebat pergi dengan kecepatan tinggi.
Pelayannya yang sejak tadi memendam perasaan
heran melihat Suto Sinting mengenakan kain dan
kebaya, sempat tertinggal walau tetap berlari-lari sambil berseru,
"Eyang...! Eyang, Resi...! Tunggu saya, Eyang...!"
Pendekar Mabuk masih terpaku di tempat dengan
mulut terbengong melompong karena kaget mendengar
kabar itu. Payung Serambi pun tertegun di tempat karena tak berhasil cegah
kepergian Resi Pakar Pantun. Kejap berikutnya mereka bagaikan baru sadar dari
lamunan. Payung Serambi berkata, "Bodoh amat si tua Pakar Pantun itu!"
"Dia kenal baik dengan Sumbaruni dan...."
"Memang. Tapi sebetulnya aku ingin katakan bahwa delapan orang yang akan
terancam maut itu termasuk
dirinya sendiri."
"Hahh.. "! Maksudmu... maksudmu, Resi Pakar
Pantun juga termasuk delapan orang yang terancam
kematian menurut penglihatan Nyai Kandita?"
"Benar!"
"Celaka!" Pendekar Mabuk ingin bergerak, tetapi tangannya ditahan oleh Payung
Serambi. "Dengarkan dulu penjelasanku! Jangan menjadi
bodoh seperti si tua Pakar Pantun itu!"
Payung Serambi anggukkan kepala. "Kuulangi lagi; Pendeta Kembang Ayu, Poci Dewa,
Nini Kalong, Sumbaruni, Pakar Pantun, Pendeta Darah Api, Resi
Wulung Gading, dan.... Gila Tuak!"
Bagai petir menyambar wajah, Pendekar Mabuk
tersentak kaget, matanya mendelik dan kulit wajahnya menjadi merah. Nama gurunya
masuk dalam urutan
orang-orang yang terancam maut, hal itu sama saja
sebatang tombak menghujam di jantungnya. Tak heran
jika tubuh Sutto Sinting pun akhirnya gemetar
membayangkan kematian gurunya. Darah bagaikan
mendidih karena bangkitnya sang murka dan duka yang bergumul menjadi satu,
sampai akhirnya membentuk
suatu kegelisahan yang tak pasti.
"Delapan nama itu adalah orang-orang yang pernah datang ke Istana Laut Kidul dan
bertemu dengan Nyai Ratu."
Pendekar Mabuk sempat terbungkam beberapa waktu
lamanya, ia sendiri tak tahu kalau Gila Tuak, sang Guru, pernah datang ke Istana
Laut Kidul, karena hal itu tak pernah diceritakan oleh sang Guru. Detak jantung
yang menjadi cepat membuatnya menenggak tuaknya kembali
untuk mengurangi perasaan gelisah yang mendebarkan
itu. "Bagaimana dengan Ki Lurah Gontang, yang
keluarganya dibantai oleh Malaikat Malam dan...."
"Itu bukan pekerjaan si Malaikat Malam," sahut Payung Serambi. "Kudengar kabar
itu dan kuselidiki sendiri, ternyata yang melakukan adalah perampok
tunggal yang punya kegemaran memperkosa perawan.
Jika ada yang melihat si pelaku berpakaian hitam, itu hanyalah suatu hal yang
kebetulan saja."
Suto Sinting hembuskan napas panjang-panjang agar
kian peroleh ketenangan batinnya.
"Lalu... siapa sebenarnya orang yang meniru
penampilan Malaikat Malam itu?"
Payung Serambi gelengkan kepala.
"Mengapa orang itu yang menjadi El Maut bagi
nyawa para korban?"
"Itu tugas keduaku," jawab Payung Serambi. "Tugas pertama adalah menahan
datangnya sang maut pada diri delapan orang itu. Tugas kedua menyelidiki, siapa
sebenarnya yang biang petaka dalam perkara ini" Tugas ketiga, menghancurkan si
biang petaka itu!"
"Kalau begitu," kata Suto Sinting setelah menenggak tuaknya kembali. "Kita harus
segera temui mereka dan memberitahukan hal ini. Aku akan membantumu
menemui mereka, karena aku tahu tempat tinggal
mereka, kecuali Pendeta Darah Api. Aku belum pernah ke Teluk Merah. Tapi aku
tahu orang yang bisa antar kita ke Teluk Merah."
"Kurasa memang tak ada waktu lagi, sekarang juga kita harus bergerak, karena aku
sudah gagal selamatkan tiga nyawa."
"Baik. Tapi bagaimana aku bisa bergerak bebas jika pakaianku tak kau
kembalikan."
"Kau gila! Sudah kubilang, aku tidak mencuri
pakaianmu!"
"Lalu, siapa jika bukan kau"!" sentak Suto Sinting dengan jengkel dan cemas.
"Sudahlah, pakai pakaian begitu saja. Kau tampak semakin menggoda hatiku jika
begitu," ujar Payung Serambi sambil sunggingkan senyum. "Untuk apa kau
butuh pakaian, toh aku sudah melihat seluruhnya saat kau tertidur di bawah
pohon." "Sial!" Pendekar Mabuk bersungut-sungut.
* * * 8 LANGKAH pertama yang dilakukan Suto Sinting
adalah mengejar Resi Pakar Pantun yang menuju ke
Lembah Hijau. Tokoh tua jago berpantun itu perlu
mengetahui, bahwa dirinya sendiri terancam oleh
kematian, seperti halnya Sumbaruni dan yang lainnya.
Alangkah bodohnya jika ia bersusah payah
mengabarkan bencana itu kepada Sumbaruni, sementara dirinya sendiri menghadapi
bencana yang sama dan
mungkin malahan lebih dulu merenggut jiwanya.
Sungguh suatu peristiwa yang amat menyedihkan bagi
orang yang mengetahui siapa sasaran si Malaikat Palsu itu.
Payung Serambi tak mau biarkan Suto Sinting
menempuh bahaya sendirian, ia mendampingi Suto
Sinting sambil memasang kewaspadaan demi
keselamatan si pendekar tampan itu. Sementara di pihak Suto Sinting sendiri
merasa bangga dan hatinya
berbunga kala menyadari Payung Serambi tetap
mendampinginya. Barangkali pengaruh kekuatan gaib
pemikat yang mereka lepaskan masih saling menjerat
hati, sehingga keduanya sama-sama merasa berat jika harus berpisah.
Tiba-tiba terdengar suara ledakan yang sempat
mengguncangkan bumi dan pepohonan sekitarnya.
Blegaaarrr...! Pendekar Mabuk cepat-cepat hentikan langkahnya.
Payung Serambi ikut-ikutan hentikan langkah, ia
mendengar suara batin Suto Sinting yang berkata pada diri sendiri,
"Ada pertarungan seru di sebelah utara sana!
Hmmm... jangan-jangan di sana Guru sedang bertarung dengan Malaikat Palsu itu!"
Kata hati yang mampu didengar oleh Payung Serambi
itu segera mendapat jawaban lewat suara tegas
perempuan itu. "Sebaiknya kita tengok saja, daripada kau menerka-nerka penuh kecemasan!"
"Saran yang sangat bagus bagiku!" ujar Suto Sinting, kemudian mereka berkelebat
ke arah utara. Di sebuah lembah berhutan renggang, memang
terjadi pertarungan seru. Mula-mula dilakukan oleh dua orang yang saling
kerahkan tenaga untuk tumbangkan
lawan. Mereka adalah Dewi Cintani yang memergoki si Malaikat Palsu sedang
Pendekar Mabuk 062 Misteri Malaikat Palsu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menguntit perjalanan Sumbaruni bersama Nyai Kidung Laras dan Pakis Ratu.
Manusia berselubung kain hitam dari kepala sampai
kaki kecuali bagian mata saja itu tidak menduga kalau akan datang serangan dari
arah belakangnya. Seberkas sinar kuning lurus telah melesat menghantam
punggungnya. Claap...!
Tetapi sebelum sinar kuning itu kenai punggung,
Malaikat Palsu telah balikkan badan karena gerak naluri adanya bahaya datang.
Sambil berbalik badan tangannya berkelebat. Kedatangan sinar kuning lurus itu
segera ditahan dengan telapak tangannya. Zrruub...! Tangan itu cepat-cepat
menggenggam, membuat sinar kuning itu
bagai ditampung dalam telapak tangan itu.
Buuusss...! Asap kuning samar-samar keluar dari
genggaman tangan si Malaikat Palsu, pertanda kekuatan sinar kuning itu telah
dijinakkan, tak ada ledakan, tak ada luka, lenyap begitu saja.
Dewi Cintani sempat terperanjat melihat kejadian itu.
Saat ia terperanjat itulah si Malaikat Palsu
menyerangnya dengan senjata rahasia yang bentuk dan ukurannya sama dengan
senjata rahasia yang pernah
lukai Suto Sinting itu.
Ziiing ..! "
"Hiaaat...!" Dewi Cintani sentakkan kaki ke tanah dan tubuhnya melenting ke atas
sambil cabut pedangnya.
Pedang itu berkelebat cepat menangkis sanjata rahasia tersebut. Triiing...!
Senjata rahasia itu melesat ke arah lain, tak diketahui apakah menancap pada
batang pohon atau jatuh di
semak yang ada di kejauhan sana. Yang jelas, Malaikat Palsu segera lakukan
serangan dengan sentakkan tangan kirinya dalam keadaan seperti melemparkan
pisau. Wuuuurrrsss...!
Dari tangan itu menyembur serbuk putih bagai
serpihan besi mengkilat. Kelembutan serbuk itu
menyerupai kelembutan pasir pantai putih. Serbuk putih
itu menyebar ke arah wajah Dewi Cintani. Zrraaak...!
"Aaauh...!" Dewi Cintani terpekik, wajahnya menjadi merah berbintik-bintik
hitam. Rasa panas dan perih
menjadi satu, hingga ia hanya bisa mengerang sambil berusaha meraup wajahnya.
Tetapi serbuk beracun itu kian menyerang kulit dan daging hingga wajah itu
menjadi memborok dalam beberapa kejap saja. Wajah
cantik itu menjadi hancur dan mengerikan.
Sraang...! Samurai di punggung si Malaikat Palsu
dicabutnya. Kemudian samurai itu segera dibabatkan
untuk membuntungi kedua lengan Dewi Cintani.
Wuuusss...! Traaang...! Tiba-tiba gerakan samurai itu tertahan oleh sebatang ranting yang tahu-tahu
menghadang di depannya.
Ranting itu telah dialiri tenaga dalam, sehingga
menyerupai besi baja yang tak bisa mudah patah walau ditebas samurai setajam
mata silet. Justru benturan samurai dengan ranting sempat memercikkan bunga api
yang mengejutkan si Malaikat Palsu.
Ternyata pada saat yang sangat rawan bagi Dewi
Cintani itulah, Resi Pakar Pantun lewat lembah tersebut dan memergoki
pertarungan tak seimbang, ia mengenali Dewi Cintani sebagai perwira Pulau
Sangon, karenanya ia segera bertindak menyambar ranting kering yang
tergeletak di tanah, lalu menghadang gerakan samurai tersebut. Begitu samurai
tertahan, Resi Pakar Pantun segera kelebatkan ranting bertenaga dalam itu ke
arah dagu si Malaikat Palsu.
Wuuut...! Orang berselubung kain hitam itu dongakkan kepala
sambil melengkung ke belakang, sehingga dagunya lolos dari sabetan ranting sang
Resi. Tapi sebelum ia tegak kembali, sang Resi sudah lebih dulu menyabetkan
rantingnya ke arah dada orang tersebut. Wuuut..!
Trrang...! Ranting itu ditahan dengan samurai. Begitu berhasil menahan sabetan
ranting, samurai itu berkelebat dari atas ke bawah, sasarannya membelah kepala
Resi Pakar Pantun.
Wuuut...! Weeess...! Sang Resi tahu-tahu sudah tidak ada di
tempat. Ternyata ia sudah berada di belakang lawannya dan segera lepaskan
pukulan telapak tangan bercahaya biru membara.
Wuuut...! Malaikat Palsu balikkan badan dan hantamkan
telapak tangan kirinya, sehingga kedua telapak tangan itu beradu. Plak...!
Blegaaarrr...! Dua tenaga dalam tinggi beradu melalui pertemuan
dua telapak tangan. Akibatnya ledakan dahsyat terjadi saat itu pula, dan tanah
serta pepohonan pun berguncang bagai dilanda gempa. Sedangkan dua tubuh tersebut
saling terpental ke belakang, masing-masing berjarak lima langkah dari tempat
mereka semula. Sedangkan
gadis perwira Pulau Sangon itu masih merintih kesakitan sambil berlutut di bawah
sebatang pohon rindang.
Wajahnya semakin membusuk dan amat buruk.
Gelegar ledakan itulah yang ditangkap pendengaran
Suto Sinting, sehingga Pendekar Mabuk dan Payung
Serambi bergegas hampiri tempat tersebut. Mereka
sedikit terperanjat melihat Resi Pakar Pantun sedang lakukan pertarungan dengan
Malaikat Palsu.
"Cintani..."!" gumam Suto Sinting dengan mata terbelalak tegang. "Payung
Serambi, kau bantu Resi Pakar Pantun, aku akan tolong si murid Pendeta
Kembang Ayu itu!" ujar Suto Sinting yang segera bergegas temui Dewi Cintani.
Payung Serambi tak bisa tolak perintah itu karena
keadaan tidak memungkinkan untuk berdebat. Maka
gadis itu segera lepaskan pukulan tanpa sinar.
Deeeb...! Bruuuss...! Malaikat Palsu terjungkal ke depan bagai mendapat tendangan cukup
kuat. Namun ia cepat
bersalto dengan menancapkan samurai di tanah dan
gagang samurai dipakai sebagai tumpuan tangannya.
Wuut...! Gerakan saltonya itu begitu lincah dan cepat, membuat Resi Pakar Pantun
yang hendak lepaskan
pukulan tenaga dalam itu terperanjat. Karena tiba-tiba kedua kaki si Malaikat
Palsu itu lakukan tendangan
beruntun yang tepat kenai dada sang Resi.
Duhg, duhg, duhg...!
"Aaahg...!" Resi Pakar Pantun terlempar ke belakang sambil semburkan darah segar
dari mulutnya. Dadanya terasa seperti jebol akibat tendangan beruntun yang tak
diduga-duga itu.
Wuuut, jleeeg...! Si Malaikat Palsu telah berdiri tegak
kembali dengan samurai tercabut dari tanah dan kini berada di tangan kanannya,
ia memasang kuda-kuda
rendah, samurainya diangkat sebatas telinga, tangan kirinya melintang ke depan
dagu. "Akulah lawanmu, Keparat!" geram Payung Serambi sambil melangkah dekati
lawannya. Dalam jarak lima
langkah ia berhenti dan mencabut pedangnya. Sraaang...!
Pada waktu itu, Suto Sinting telah berhasil
meminumkan tuak kepada Dewi Cintani. Tetapi ia
segera berkelebat menolong Resi Pakar Pantun yang
tampaknya nyaris tak bisa bernapas lagi itu. Sang Resi pun dipaksakan untuk
meneguk tuaknya.
Terdengar suara Payung Serambi menghardik si
Malaikat Palsu,
"Buka penutup kepalamu, atau kupaksa dengan
pedangku"!"
Malaikat Palsu diam saja, matanya tampak
memandang dengan tajam. Pendekar Mabuk sempat
berkerut dahi saat memperhatikan sepasang mata di balik penutup wajah dari kain
hitam itu. Ada kecurigaan yang disembunyikan Suto Sinting pada saat itu. Namun
ia sengaja diam dulu, memberi kesempatan pada Payung
Serambi untuk selesaikan tugasnya, menghancurkan si biang bencana bagi kedelapan
tokoh yang pernah datang ke Istana Ratu Kidul itu.
"Sebutkan siapa dirimu, atau pedangku akan merobek mulutmu agar bicara keras-
keras?" ancam Payung Serambi. Tetapi lawannya tak bergeming sedikit pun.
Agaknya sang lawan tidak merasa gentar mendengar
ancaman tersebut.
Payung Serambi geram dan merasa ditantang. Maka
dengan gerakan secepat kilat ia menerjang lawannya
bersama pedang runcing ditebaskan ke sana-sini.
Weees...! Wut, wut, wut, trang...!
Malaikat Palsu pun lakukan lompatan menyambut
gerakan melayang Payung Serambi. Akibatnya mereka
beradu kecepatan memainkan pedang di udara. Hanya
sekejap mereka mengadu kecepatan memainkan pedang
itu, kemudian keduanya sudah sama-sama daratkan kaki ke bumi dan saling
memunggungi dalam keadaan
bertukar tempat.
Trang, tring, wuus, breeet, breet, crass...!
Keduanya sama-sama diam sesaat. Malaikat Palsu
sedikit menekuk kedua kakinya yang berdiri merapat
dengan samurai di samping kanan, digenggam dengan
dua tangan. Sedangkan Payung Serambi juga diam
sesaat. Tapi pinggangnya tampak melelehkan darah.
Pendekar Mabuk terperanjat dan berkata dalam hatinya dengan cemas,
"Oh, dia terluka"!"
Baru saja Suto Sinting akan bergerak mengobati
Payung Serambi, tiba-tiba tangan gadis itu menangkap lukanya sendiri. Plaaak...!
Tangannya diusapkan pada luka, dan ternyata luka itu lenyap dengan sangat ajaib.
Hilang tak berbekas sedikit pun. Kain yang robek pun kembali rapat seperti
sediakala. Pendekar Mabuk yang melebarkan matanya itu segera
memandang ke arah Malaikat Palsu. Ternyata kain hitam penutup kepala dan wajah
itu telah terbelah menjadi empat bagian. Kain itu terkelupas dengan sendirinya,
sehingga kepala dan wajah si Malaikat Palsu itu terlihat dengan jelas. Kepala
itu tetap utuh, tak satu pun rambut yang ikut terpotong. Ini menandakan jurus
pedang yang digunakan Payung Serambi benar-benar hebat.
Payung Serambi dan Malaikat Palsu sama-sama
membalik badan hingga mereka saling berhadapan
bertatap muka kembali. Tapi mata indah Payung
Serambi tampak terbelalak kaget begitu mengetahui
siapa orang yang seiama ini berkerudung kain hitam itu.
"Galih Rembulan..."!" gumam Payung Serambi, ia terkejut karena mengenal betul
wajah di balik pakaian hitam itu, sedangkan Pendekar Mabuk terkejut karena
ternyata si Malaikat Palsu itu seorang wanita cantik yang mempunyai kemiripan
wajah dengan Payung Serambi.
Pendekar Mabuk sempatkan berbisik kepada Payung
Serambi, "Siapa dia"!"
"Galih Rembulan, kakak tiriku yang pernah menjadi panglima Istana Laut Kidul.
Tapi karena ia melakukan suatu kesalahan yang membuat Nyai Kandita murka,
maka ia diusir dari Istana Laut Kidul. Ah, Suto...
minggirlah dulu, ini sudah menyangkut urusan pribadi antara aku dan dia."
"Agaknya memang harus begitu," ujar Suto Sinting sambil menyingkir ke arah Resi
Pakar Pantu yang mulai sehat kembali, seperti halnya Dewi Cintani.
"Galih Rembulan, mengapa hal ini kau lakukan?" ujar
Payung Serambi dengan wajah duka. Ia melangkah
dekati kakak tirinya.
"Aku telah terbuang dari wilayah Laut Kidul. Aku ingin kuasai tanah Jawa. Untuk
itu aku harus bunuh
orang-orang yang pernah melihatku sebagai panglima
Istana Laut Kidul. Kelak jika aku sudah berkuasa di tanah Jawa dan menghimpun
kekuatan besar, maka akan kubalas sakit hatiku terhadap Nyai Kandita."
"Galih Rembulan, langkahmu salah. Sadarlah bahwa kau tak akan mampu tumbangkan
Nyai Ratu, siapa pun
tak akan mampu! Hentikan tindakanmu ini, Galih
Rembulan. Hentikanlah, kakakku!"
Galih Rembulan yang berparas cantik jelita itu diam terbungkam. Sepertinya ia
sedang dihinggapi
kebimbangan yang menghadirkan berbagai
pertimbangan. Sementara itu, Pendekar Mabuk sempat
berbisik kepada Resi Pakar Pantun.
"Cantik sekali dia. Bagaimana menurutmu, Eyang Resi?"
"Setahuku, dia memang cantik tapi ganas terhadap lelaki. Dulu dia dikenal
sebagai panglima yang binal dan jalang."
"Kalau begitu, kurasa dia itulah orangnya yang menelanjangiku sewaktu aku
tidur." "Bisa jadi memang dia, karena dia memang gemar melihat lelaki tanpa busana."
"Tentunya hanya lelaki tampan sepertiku, bukan?"
"Ya, kalau lelaki sepertiku, dia akan suka melihatnya dalam keadaan tidak
berkulit lagi."
Pendekar Mabuk ingin tertawa, tapi tawanya segera
hilang karena melihat Galih Rembulan membuang
samurainya dengan wajah lesu. Perempuan cantik seperti berusia dua puluh tujuh
tahun itu melangkah dekati
Payung Serambi dengan tangan terbentang tanda
menyerah. "Tangkaplah aku daripada aku harus melawan adik tiriku sendiri, Payung Serambi."
Payung Serambi menjadi semakin iba dan ragu. Ia
diam saja saat kakak tirinya mendekati dengan tangan terbuka. Tetapi di luar
dugaan, ketika mereka
berhadapan dalam jarak kurang dari satu langkah, tiba-tiba dari sarung tangan
yang dikenakan Galih Rembulan keluar beberapa jarum beracun. Craak, craak ..!
Jarum-jarum itu muncul di masing-masing telapak tangan,
jumlahnya sekitar dua puluh jarum untuk tiap telapak tangan. Payung Serambi
terperanjat tegang.
Belum habis rasa kagetnya Payung Serambi, tiba-tiba Galih Rembulan sentakkan
kedua tangannya ke depan,
jarum-jarum di telapak tangannya menancap di dada
montok Payung Serambi. Kedua tangan itu pun
menyentak ke samping kanan-kiri. Breeet...!
"Aaahg...!" Payung Serambi memekik keras.
Dadanya robek seketika. Pedangnya sempat terpental
dan jatuh di depan Suto Sinting.
Galih Rembulan membabi-buta mengoyak habis
tubuh dan wajah Payung Serambi dengan jarum-jarum
beracun itu. Bret, bret, bret, bret...!
Payung Serambi memekik panjang sambil melangkah
mundur dengan limbung, ia masih dicecar serangan
Galih Rembulan yang merobek tiap kulit dan daging
adik tirinya itu.
Pendekar Mabuk, Resi Pakar Pantun, Dewi Cintani
sama-sama terkesima tegang melihat tindakan ganas
yang di luar dugaan itu. Kadal Ginting yang dari tadi sudah ada di balik pohon
juga tercengang tegang dengan lutut gemetar. Galih Rembulan bagai tak pedulikan
lagi jeritan Payung Serambi yang telah bermandi darah dan terpojok pada sebatang
pohon. "Aaaa...!!"
Pendekar Mabuk cepat bertindak di luar
kesadarannya. Kakinya menendang gagang pedang yang
tergeletak di tanah depannya. Duus...! Pedang pun
Pendekar Mabuk 062 Misteri Malaikat Palsu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melayang cepat karena tendangan itu bertenaga dalam.
Weeet...! Jrrrub...! "Aaahg...!" Galih Rembulan mengejang dengan keluarkan suara pekik tertahan.
Pedang runcing itu
menancap tembus di leher Galih Rembulan dari arah
samping kiri tembus ke kanan.
Zlaaap...! Brrrus...!
Pendekar Mabuk menerjang Galih Rembulan hingga
tubuh yang telah tertusuk pedang lehernya itu terpental sejauh lima langkah,
kemudian roboh tak berkutik
selamanya. "Oouh...!" Payung Serambi merintih dan dalam keadaan tubuhnya hancur tercabik-
cabik. Dewi Cintani berseru sambil dekati Payung Serambi,
"Suto... lekas selamatkan dia dengan tuakmu!"
Dewi Cintani yang wajahnya sudah ayu kembali
sejak meneguk tuaknya Suto itu tampak lega begitu tuak tersebut dituang ke mulut
Payung Serambi. Beberapa saat kemudian luka cabikan yang beracun itu menjadi
lenyap, Payung Serambi lolos dari maut. Resi Pakar
Pantun hembuskan napas lega lalu berkata kepada
mereka, "Jadi aku pun sebenarnya telah lolos dari dendam si panglima binal itu?"
"Benar, Turangga," jawab Payung Serambi dengan menyebutkan nama asli Resi Pakar
Pantun. "Galih Rembulan tak ingin kau dan yang lainnya tahu bahwa ia bekas
panglima Istana Laut Kidul yang jalang dan binal.
Tapi... sekarang segaianya sudah berakhir. Kakak tiriku itu telah menerima
hukuman yang setimpal dari
Pendekar Mabuk. Dengan begitu, lima nyawa yang
seharusnya melayang menjadi terselamatkan."
Payung Serambi menatap Suto Sinting dengan
senyum memikat hati.
"Dan kaulah penyelamat kelima nyawa itu, Suto."
Pendekar Mabuk berlagak acuh tak acuh, namun
segera berkata penuh sindiran.
"Ya, nyawa mereka memang selamat, tapi bagaimana dengan pakaianku" Apakah masih
selamat juga" Lihat, kain ini menjadi robek semakin panjang gara-gara
kupakai untuk menendang pedangmu tadi."
Dewi Cintani dan Payung Serambi cekikikan sambil
buang muka, karena mereka segera menyadari bahwa
kain yang dikenakan Suto Sinting itu telah robek
panjang, dari bawah sampai ke perut, membuat sesuatu yang tersembuyi itu dapat
terlihat sewaktu-waktu,
terutama jika belahan kain yang robek tersingkap oleh hembusan angin.
"Suto," ujar Payung Serambi, "ikutlah aku, kita cari pakaianmu di tempatmu
tertidur waktu itu. Kurasa Galih Rembulan yang menelanjangimu dan menyembunyikan
pakaianmu di lapisan alam gaib; antara alam nyata dan alam tak nyata. Aku bisa
menemukannya!"
Pendekar Mabuk pun akhirnya pergi bersama Payung
Serambi, dan ternyata apa yang dikatakan gadis utusan Istana Laut Kidul itu
memang benar; pakaian itu
disembunyikan di lapisan gaib, antara alam nyata dan alam tak nyata.
"Kurasa Galih Rembulan sengaja membuatmu tanpa busana dengan cara gaib untuk
menghambat gerakanmu
agar tak bisa ikut campur dalam urusannya itu," kata Payung Serambi sambil
menunggu Suto Sinting ganti
pakaian di balik semak. Sesekali matanya melirik
mencoba mengintip dengan hati berdebar-debar karena masih ada pengaruh gaib
pemikat dari jurus 'Senyuman iblis' itu.
SELESAI PENDEKAR MABUK Segera menyusul:
PEMBURU DARAH SATRIA
Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Pemikat Iblis 2 Sepasang Pendekar Daerah Perbatasan Giok Bun Kiam Lu Karya Chin Yung Pendekar Lembah Naga 31