Pencarian

Pemburu Darah Satria 1

Pendekar Mabuk 063 Pemburu Darah Satria Bagian 1


Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
https://www.facebook.com/pages/Dunia-Abu-
Keisel/511652568860978
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah
lindungan undang-undang.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
1 PENGEJARAN Pendekar Mabuk terhadap lawan
utamanya; Siluman Tujuh Nyawa, terhenti di Pantai Karang Hantu. Dikatakan
'Karang Hantu' karena pantai itu mempunyai beberapa gugusan batu karang yang
tinggi-tinggi dan berbentuk menyerupai sosok hantu beraneka bentuk. Ada yang
mirip hantu merentangkan tangannya, ada yang mirip hantu hendak terbang, ada
puia yang mirip hantu sedang duduk santai.
Kalau saja tokoh sesat yang paling terkutuk itu tidak melarikan diri, maka nama
Siluman Tujuh Nyawa sudah tidak akan ada lagi di permukaan bumi ini. Pendekar
Mabuk hampir saja berhasil tumbangkan Siluman Tujuh Nyawa dengan jurus
'Manggala'-nya. Tapi sayang, tokoh terkutuk itu mampu hindari jurus maut itu dan
segera melarikan diri, masuk ke alam gaib. Pengejaran Suto Sinting si Pendekar
Mabuk itu pun dilakukan hingga ke alam gaib, namun dari alam tersebut ia melihat
sesuatu yang terjadi di Pantai Karang Hantu. Maka pengejaran itu pun akhirnya
tertunda entah sampai kapan lagi akan dilanjutkan.
"Sampai kapan pun dia tetap akan menjadi buruanku.
Cepat atau lambat, kepalamu harus kupenggal, Durmala Sanca! Karena kepalamu
itulah maskawin yang harus kuserahkan untuk meminang calon istriku, Dyah
Sariningrum, pujaan hati!" ujar Suto Sinting dalam hati, sebagai janji sang
Pendekar Mabuk yang tetap akan ditepati pada suatu saat nanti.
Pemuda berambut lemas lurus sepundak tanpa ikat
kepala itu sengaja diam di atas gugusan karang
berbentuk seperti hantu sedang merangkak. Pemuda
tampan berbaju coklat tanpa lengan dengan celana putih kusam dan sabuk merah itu
menyempatkan diri untuk menenggak tuaknya beberapa teguk. Tuak itu ada di dalam
bumbung bambu yang menjadi senjata sakti
baginya, karena itu ke mana saja bambu bumbung tuak selalu dibawa-bawa dan
menjadi ciri yang dikenali beberapa tokoh di rimba persilatan.
Mata bening yang sering menawan hati setiap wanita itu memandang lurus ke arah
pertarungan di Pantai Karang Hantu. Pertarungan itu dilakukan oleh seorang
wanita cantik yang usianya sekitar dua puluh lima tahun, berkutang hijau muda
dengan celana sebetis warna hijau muda juga, dilapisi kain pembalut pinggul
warna merah tua. Gadis berdada montok menggoda hati lelaki itu dengan gesitnya
menghajar seorang nenek tua disanggul yang mengenakan jubah abu-abu. Nenek
berambut putih disanggul acak-acakan itu telah dibuat terjungkal dan berguling-
guling oleh pukulan tenaga dalam yang
dilepaskan dari tangan si gadis berambut pendek
sepundak dengan bagian depan diponi rata.
Melihat sang nenek yang sudah babak belur hingga
keluarkan darah dari hidung dan mulutnya, Pendekar Mabuk menjadi iba hati dan
tak tega membiarkannya.
Maka ketika gadis itu ingin menghantamkan pukulan tenaga dalamnya yang telah
membuat telapak tangannya menjadi merah membara, Pendekar Mabuk cepat
lakukan tindakan penyelamatan terhadap nenek bungkuk yang diperkirakan sudah
berusia delapan puluh tahun lebih itu.
Dengan pergunakan jurus 'Gerak Siluman' yang
mempunyai kecepatan gerak melebihi anak panah itu, Pendekar Mabuk menyambar sang
nenek bagai elang
menyambar anak ayam. Wuuut...! Weeess...!
Dalam sekejap sang nenek sudah berpindah tempat,
tujuh tombak di belakang gadis, berkutang hijau itu.
Pendekar Mabuk berdiri di samping sang nenek yang terpuruk bersimpuh dengan
napas tersengal-sengal
menyedihkan. Sang gadis segera kebingungan mencari si nenek yang disangka
menghilang ditelan bumi. Pukulan
tenaga dalam yang membuat tangannya memancarkan
warna merah membara itu diurungkan. Matanya mencari ke sana-sini sampai akhirnya
menemukan di mana
musuhnya berada. Gadis itu tampak terkesiap
memandang kemunculan pemuda tampan bertubuh
kekar, tegap, dan gagah.
"Tindakanmu keterlaluan, Nona. Bukan aku ingin mencampuri urusanmu dengan nenek
itu, tapi aku hanya sekadar menyelamatkan pihak yang lemah," ujar Pendekar Mabuk
mengajukan alasan lebih dulu sebelum menerima tuduhan dari sang gadis.
Sambungnya lagi, "Kulihat, nenek ini tidak
mempunyai ilmu yang seimbang untuk melawanmu,
Nona. Kuharap kau mau hentikan murkamu dan
membebaskan nenek ini!"
Gadis cantik berhidung bangir itu sunggingkan
senyum dengan pandangan mata berkesan nakal.
Senyum tipisnya itu sempat membuat hati Pendekar
Mabuk berdesir. Dari bibirnya yang tampak legit dan pulen itu terdengar suara
datar mirip orang menggumam.
"Pancinganku mengenai sasaran!"
"Apa maksudmu berkata demikian, Nona"!"
"Ternyata benar apa kata orang. Dia sangat tampan dan menggairahkan!"
"Maksudmu, nenek-ini sangat menggairahkan"!"
tanya Suto Sinting dengan bingung.
Tiba-tiba tubuh gadis itu bagaikan meletus,
menyemburkan segumpal asap tebal warna putih
bergulung-gulung. Buusss...! Beberapa kejap berikutnya,
asap itu lenyap tersapu angin pantai dan tubuh gadis itu pun sirna tanpa bekas
dan tanpa sisa bayangan sedikit pun. Pendekar Mabuk hanya tersentak kaget tanpa
suara, namun wajahnya kelihatan terperangah tegang
memandangi lenyapnya si gadis cantik bertubuh sekal menggemaskan tadi.
"Setan cantik dari mana dia itu?" gumam hati Pendekar Mabuk.
Si murid sinting Gila Tuak itu akhirnya lepaskan diri dari rasa kagumnya, ia
segera perhatikan si nenek yang makin lama badannya semakin melengkung ke depan
dengan lemas, akhirnya keningnya membentur tanah
bagai orang bersujud. Nenek tua itu keluarkan suara erangan kecil sebagai tanda
bahwa ia sangat menderita sakit pada bagian tubuhnya.
"Nek, minumlah tuakku ini untuk sembuhkan luka-lukamu itu! Ayo, minumlah walau
hanya seteguk saja,"
bujuk Suto Sinting sambil membangunkan nenek
berjubah abu-abu itu.
Dengan bantuan Suto Sinting, tuak pun tertuang ke mulut sang nenek. Beberapa
teguk tuak ditelannya.
Sisanya disemburkan hingga mengenai wajah tampan si Pendekar Mabuk. Bwweerrs...!
"Sial! Kenapa kau semburkan ke wajahku"!" Suto Sinting agak menyentak dengan
bergerak mundur, ia segera mengusap wajah dengan baju tanpa lengannya.
Sang nenek terkekeh-kekeh melihat Suto Sinting basah wajahnya.
"Jangan-jangan yang kutolong ini nenek gila?" pikir
Pendekar Mabuk sambil mencoba mengamat-amati
nenek bungkuk itu.
"Tuakmu bikin tenggorokanku gatal dan hatiku jadi tergeletik geli," ucap sang
nenek dengan suara tuanya.
"Tapi... tapi tuak ini mempunyai khasiat
menyembuhkan luka dalam waktu sangat singkat, Nek."
"Mungkin memang begitu, Anak Muda. Tapi tanpa tuakmu pun aku sudah bisa
sembuhkan lukaku
menggunakan hawa saktiku yang tidak kalah hebat
dengan tuakmu, Nak."
Nenek itu telah berdiri walau tetap membungkuk.
Suto Sinting merasa dongkol karena tuak saktinya
diremehkan. Tapi kedongkolan itu hanya disimpan
dalam hati dan ia bersikap tenang kembali.
"Siapa kau sebenarnya, Nek" Dan siapa lawanmu tadi?"
"Lawanku tadi adalah Awan Setangkai. Kau tak akan bisa kalahkan ilmunya Awan
Setangkai, bahkan
Pendekar Mabuk pun tak akan mampu melawannya."
"Nek, aku inilah yang bernama Pendekar Mabuk!"
"Ah, bohong! Pendekar Mabuk kok jalannya tidak sempoyongan"! Hmmm... ngibul!"
nenek itu mencibir menjengkelkan. Suto Sinting tarik napas dalam-dalam.
"Pendekar Mabuk hanya sebuah gelar yang diberikan oleh guruku. Jurus-jurusku
seperti orang mabuk, tapi aku tak pernah mabuk walau meminum segentong tuak
ataupun arak."
"Omong kosong! Pendekar Mabuk itu berjiwa mesra.
Sedangkan kau tidak berjiwa mesra. Buktinya kau tak
mau memelukku."
Kata-kata itu cukup menggelikan hati Suto Sinting.
Pendekar tampan itu pun sunggingkan senyum sambil berlagak buang muka. Hatinya
malu dikatakan sebagai orang berjiwa mesra. Tapi akhirnya ia pun berkata dengan
lembut kepada si nenek, seakan menunjukkan kemesraannya.
"Kalau kau masih muda, mungkin kau akan kupeluk dan kucium, Nek. Tapi karena kau
sudah tua, aku takut terkena kutuk jika memeluk dan menciummu. Tapi
sejujurnya kukatakan, akulah Pendekar Mabuk yang
bernama Suto Sinting, murid si Gila Tuak dan Bidadari Jalang!"
Sang nenek memandang dengan sikap kurang
percaya. Suto Sinting masih diam, berdiri di depan nenek itu sambil mengumbar
senyum tipis yang
memikat hati setiap perempuan muda. Nenek itu hanya berkerut dahi, kemudian
menyuruh Pendekar Mabuk
berlutut di depannya.
"Coba kemari, kuperiksa ketampananmu. Sebab
menurut kabar dari orang-orang yang kudengar,
Pendekar Mabuk itu berwajah tampan dan menawan."
Sambil berlutut di depan sang nenek Suto Sinting
berkata, "Apakah wajahku kurang tampan menurutmu, Nek?"
"Mana kutahu, mataku sudah rabun. Jadi sulit membedakan mana wajah tampan dan
mana wajah buruk. Hmmm...." Nenek itu manggut-manggut saat memeriksa wajah Pendekar Mabuk.
Tangannya yang kurus dan berkulit keriput itu meraba-raba wajah Suto Sinting. Pendekar tampan
itu berkata dalam sebuah gumam.
"Baru sekarang selama jadi pendekar wajahku
diobok-obok oleh perempuan seburuk ini...."
Rupanya si nenek tidak perhatikan ucapan yang
menggumam itu. Atau mungkin juga ia tidak mendengar gumaman lirih tersebut,
sehingga kedua tangannya
masih tetap sibuk meraba-raba kepala dan wajah Suto Sinting.
"Apakah kau masih belum percaya kalau wajahku ini tampan?" tanya Suto Sinting
sengaja bernada konyol.
Sang nenek diam saja. Tetapi secara tiba-tiba
kesepuluh jari nenek bungkuk itu keluarkan kuku
runcing berwarna hitam. Zrraak...! Kesepuluh kuku runcing itu dengan cepat
ditancapkan di kedua pelipis Suto Sinting. Jrrraab...!
"Aaaah...!" Suto Sinting memekik kesakitan.
Bumbung tuak yang tadi ditentengnya kini dilepas.
Kedua tangannya digunakan untuk melepaskan
cengkeraman tangan si nenek bungkuk yang wajahnya berubah menjadi beringas dan
liar itu. Matanya mendelik dengan mulut meringis keluarkan geram memanjang.
"Gggrrmmrn...!!"
"Aaahhg...! Aaahhg...!"
Suto Sinting merasakan kuku-kuku yang menancap di pelipisnya itu makin bergerak
ke dalam seakan tumbuh semakin panjang lagi. Wajah tampan itu mulai berlumur
darah. Urat-urat di lengannya mengeras karena berusaha
mencabut kedua tangan nenek bungkuk itu. Tapi
agaknya tenaga Suto Sinting cepat menjadi lemah,
sehingga ia hanya bisa mengerang-erang sambil
memegangi kedua tangan si nenek.
Pandangan mata Suto Sinting mulai buram. Sekujur
tubuhnya terasa panas. Tenaganya semakin terasa
berkurang, ia mulai menduga ada racun yang telah
menyebar di dalam kepalanya melalui kuku-kuku yang mencengkeramnya itu.
Wuuuut...! Brrruss...!
Sekelebat bayangan melesat dan menerjang nenek
berjubah abu-abu. Terjangan itu bertenaga besar,
sehingga sang nenek terpental dan jatuh bergulingguling di atas pasir pantai.
"Kampret busuk...!!" maki sang nenek dengan geram kemarahan lebih membesar lagi.
Terjangan kuat itu ternyata datang dari seorang
pemuda berwajah tampan juga, mengenakan celana ungu dan baju tanpa lengan warna
ungu pula. Pemuda tampan itu berusia sekitar dua puluh tahun, tampak lebih muda
dari Pendekar Mabuk. Namun ia juga berbadan tegap dan kekar. Rambutnya lurus
dikuncir satu. Ia
mengenakan gelang kulit macan loreng di kedua
tangannya. Pedang sarung perak terselip di pinggang.
Bagian belakang telapak tangannya terdapat tato gambar seekor burung mengepakkan
sayapnya. Pemuda itulah yang bernama Elang Samudera alias Adhiyaksa, adik dari
Dewi Cintani yang pernah diselamatkan Suto
Sinting dari keganasan Selir Dewani, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode : "Dendam Selir Malam").
Pendekar Mabuk belum menyadari siapa orang yang
telah berhasil melemparkan tubuh nenek keji itu. Ia sibuk kelojotan sambil
pegangi luka lubang di pelipis kanan-klrinya. Agaknya racun yang ada di sebuah
kuku runcing si nenek bungkuk tadi semakin mengganas di dalam tubuh Suto
Sinting, menyebar melalui darah dan menyerang bagian kepala, terutama bagian
otak. Akibatnya ia tak mampu berpikir lagi, bahkan tak
mempunyai gagasan untuk mengambil bumbung tuak
dan menenggak tuak saktinya, ia hanya berguling-guling di pasir dengan mengerang
kesakitan. Sementara itu, Elang Samudera menjadi berang
melihat sahabatnya dilukai sedemikian rupa. Nenek bungkuk itu segera dihantam
dengan pukulan tenaga dalam dari jarak lima langkah. Claaap...! Sinar biru lurus
melesat dari telapak tangan kiri Elang Samudera.
Sasarannya jelas ke arah dada si nenek bungkuk. Tetapi rupanya nenek itu tak
kalah tangkas, ia segera kibaskan tangannya dan dari kelima jari menyebarkan
sinar merah yang melebar. Sinar merah itu menjadi penangkis
datangnya sinar biru.
Blaaap...! Blegaaarrr...! Ledakan cukup dahsyat terjadi akibat benturan kedua sinar tersebut. Gelombang
ledakannya mempunyai daya hentak cukup besar, membuat beberapa gugusan batu
karang berguncang, bahkan ada yang patah seketika,
ombak pantai menyembur naik dan cukup tinggi.
Adhiyaksa sendiri terpental bagai dilemparkan oleh sebuah tenaga yang sangat
kuat. Tubuhnya jatuh
terbanting nyaris mengenai gugusan batu karang.
Sedangkan nenek berjubah abu-abu itu hanya terlempar sekitar dua langkah.
Tubuhnya segera berdiri tegak, dan tiba-tiba tubuh tua itu bagaikan meletus
keluarkan asap hijau. Buuusss...!
Elang Samudera memandang samar-samar dalam
keadaan tengkurap. Asap hijau itu sirna dan sosok penampilan nenek bungkuk itu
berubah menjadi seorang gadis cantik berkutang hijau, bercelana sebetis warna
hijau pula dengan kain penutup pinggul warna merah.
Gadis itu berdada montok, berkulit kuning, berambut pendek diponi depan.
"Awan Setangkai..."!" gumam hati Eiang Samudera yang rupanya sejak tadi
memperhatikan pertarungan si nenek dengan Awan Setangkai sampai datangnya Suto
Sinting, ia baru muncul setelah melihat Suto Sinting dalam keadaan bahaya.


Pendekar Mabuk 063 Pemburu Darah Satria di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kurasa tugasku sudah cukup! Pendekar Mabuk
sudah berhasil kulumpuhkan! Hi, hi, hi...!"
Blaaas...! Gadis cantik itu pun pergi begitu saja.
Elang Samudera tak bisa mengejarnya karena tulang-tulangnya terasa remuk.
* * * 2 SEBUAH pondok di lereng bukit menjadi tempat
persinggahan Elang Samudera. Ia membawa Suto
Sinting ke pondok itu, karena di situlah tempat tinggal Ki Palang Renggo dan
istrinya; Nyai Sedap Malam.
Ki Palang Renggo adalah sahabat dari gurunya Elang Samudera. Lelaki berusia
sekitar enam puluh tahun yang gemar mengenakan jubah biru dengan baju dalam
putih itu dulu pernah diselamatkan nyawanya oleh Pendeta Darah Api, sehingga
hubungan suami-istri itu menjadi sangat akrab terhadap Pendeta Darah Api dan
murid tunggalnya.
Ki Palang Renggo meski berwajah jenaka, namun
menyimpan kharisma tersendiri dalam setiap
penampilannya, ia berambut abu-abu sepanjang lewat pundak, mengenakan ikat
kepala kain biru tua,
berjenggot dan berkumis abu-abu tipis. Lelaki kurus dengan tinggi tubuh sedang
itu mempunyai seorang istri cantik yang dikenal dengan nama Nyai Sedap Malam.
Jika Pendekar Mabuk tidak dalam keadaan terkena
racun dan terganggu ingatannya, maka ia akan tertawa geli melihat Ki Palang
Renggo yang berusia enam puluh tahun itu mempunyai istri yang usianya masih
sekitar dua puluh tujuh tahun. Nyai Sedap Malam bukan saja berwajah cantik
dengan tahi lalat kecil di sudut dagu kirinya, tapi juga bertubuh sekal dan
berdada montok, ia gemar mengenakan jubah kuning garis-garis merah
dengan pinjung dan celana sebetis warna merah pula.
Sepasang suami-istri itu mempunyai ilmu yang
sejajar dan di kalangan para tokoh rimba persilatan
mereka dikenal sebagai ahli racun. Sebenarnya tujuan Elang Samudera bukan ke
pondoknya Ki Palang
Renggo, melainkan menemui seorang sahabatnya yang tinggal tak jauh dari Pantai
Hantu. Tetapi demi
menyelamatkan jiwa Pendekar Mabuk, keperluan
tersebut ditunda entah untuk beberapa saat.
"Menurutku," ujar Ki Palang Renggo,"... racun yang mengenai Pendekar Mabuk ini
adalah racun 'Bayi
Panggang', selain melumpuhkan semua urat juga
melumpuhkan daya kerja otak manusia. Dan racun
seperti ini hanya dimiliki oleh orang-orang dari Selat Bantai."
"Jangan ngomong semba'angan, Renggo!" tukas istrinya yang bertampang cantik tapi
judes. Sambungnya lagi,
"Orang-orang Pulau Koyang dan orang-orang
Pegunungan Tibet juga mempunyai racun 'Bayi
Panggang', hanya saja namanya berbeda. Orang-orang Pegunungan Tibet menamakan
racun itu adalah racun
'Pucuk Pusar', karena penyembuhannya hanya bisa
diiakukan dengan menyalurkan hawa murni melalui
pusar si penderita. Sedangkan orang-orang Pulau
Koyang menamakan racun itu racun 'Sawan Bayi', sebab bisa mengubah otak manusia
menjadi seperti bayi, artinya tidak bisa berbuat apa-apa."
"Jika begitu, sebaiknya kita lakukan penyembuhan melalui pusar si Pendekar Mabuk
ini. Tapi...," Ki Palang Renggo termenung sebentar. Elang Samudera
mengerutkan dahi dan ajukan tanya dengan nada heran.
"Tapi kenapa, Ki?"
"Seingatku... murid si Gila Tuak ini tidak punya pusar."
"Menurut cerita orang-orang memang begitu," timpal sang istri. Ki Palang Renggo
menengok ke arah istrinya dan berkata,
"Bagaimana jika meminjam pusarmu saja, Sayang?"
"Jaga bicaramu, Renggo!" sentak Nyai Sedap Malam dengan mata melotot. Sang suami
hanya tertawa terkekeh dan Elang Samudera sembunyikan senyum
geli. Agaknya Nyai Sedap Malam tak pernah punya rasa takut kepada suaminya,
sehingga dalam bersikap pun ia tampak seenaknya saja, seperti bersikap di depan
teman sendiri. Namun walaupun Nyai Sedap Malam lebih
galak dari suaminya, ia toh tetap saja ditaklukkan oleh sang suami. Buktinya si
perempuan cantik itu bisa menjadi istri Ki Palang Renggo dan punya rasa cemburu
cukup besar. "Setahuku," kata Ki Palang Renggo, "... hanya ada satu cara untuk menawarkan
kekuatan racun 'Bayi
Panggang' ini, yaitu melalui jalan pusar. Tapi agaknya kali ini penyembuhan
tersebut tidak bisa dilakukan begitu saja, karena anak muda ini tidak mempunyai
pusar. Jadi aku tak tahu bagaimana harus bertindak menyelamatkan jiwa si murid
sintingnya Gila Tuak ini"
Padahal Gila Tuak adalah sahabatku juga...."
"Dan aku kenal baik dengan si Bidadari Jalang, bibi gurunya anak muda ini!"
sahut Nyai Sedap Malam.
"Rasa-rasanya tak enak hati jika kita tidak bisa tolong
jiwa anak muda ini, Sayang."
Setelah merenung beberapa saat, Nyai Sedap Malam
segera berkata bagai menemukan gagasan baru yang
dapat diandalkan.
"Mengapa kita tidak coba menuangkan tuak ke mulut si Suto ini" Bukankah tuak di
dalam bumbung sakti itu adalah tuak penyembuh segala macam luka dan
penyakit?"
Elang Samudera memandang ke arah bumbung tuak
yang memang dibawa serta ketika ia memanggul tubuh Pendekar Mabuk dari Pantai
Hantu itu. Elang Samudera pun segera berkata,
"Kurasa itu gagasan yang sangat bagus, Nyai.
Sebaiknya kita coba sekarang saja!"
"Nanti dulu!" cegah Ki Palang Renggo. "Sebaiknya kucoba dulu, apakah tuak ini
masih bisa diminum atau sudah basi."
"Sudah, sudah!" sergah Nyai Sedap Malam, merampas bumbung tuak yang sudah di
tangan suaminya. "Kau sudah berjanji tak akan minum tuak atau arak lagi jika aku mau
menjadi istrimu, Renggo!
Mengapa sekarang kau ingin meminum tuak ini"! Mau ingkar janji, ya" Mau berlagak
lupa janjimu, hmm..."!"
Ki Palang Renggo hanya cengar-cengir dan
membiarkan bumbung tuak direbut istrinya.
"Aku sekadar mau mencicipi saja kok. Tidak ingin ingkar janji," ujarnya bernada
tersipu. "Tidak! Nanti kau mabuk lagi!" gertak sang istri.
"Ya, sudah kalau tidak kau izinkan, Nyai," kata Ki
Palang Renggo dengan sikap mengalah dan sabar,
namun tetap cengar-cengir sambil melirik Elang
Samudera. Suto Sinting masih dibaringkan di atas balai-balai bambu beralaskan tikar
pandan. Tubuhnya terkulai lemas bagai tanpa daya sedikit pun. Tapi matanya masih
bisa berkedip-kedip pertanda ia masih bernyawa. Hanya saja luka tusukan
kesepuluh kuku runcing yang kenai
kepalanya itu masih mengeluarkan darah walau hanya merembas, seperti gentong
retak terisi air. Suto
mendengar semua kata-kata mereka, tapi ia tak bisa menimpali sedikit pun. Ia
benar-benar seperti bayi yang baru delapan hari.
Nyai Sedap Malam segera menuangkan tuak ke mulut
Pendekar Mabuk. Tetapi mulut itu tidak bisa terbuka lebar, akibatnya tuak tumpah
ke mana-mana. Mau tak mau Nyai Sedap Maiam meminumkan tuak itu
menggunakan sendok dari daun pisang. Dengan pelan-pelan Nyai Sedap Malam
menyuapi Suto Sinting hingga tuak pun tertelan sedikit demi sedikit.
Ki Palang Renggo berbisik, "Kalau melihat dia begitu, aku suka merasa iri. Sebab
sampai setua ini aku belum pernah disuapi olehnya seperti itu. Kadang aku heran,
Elang... aku ini suaminya atau mertuanya?"
"Kurasa Ki Palang Renggo pantas menjadi suami merangkap mertua!" Lalu, mereka
berdua cekikikan.
Nyai Sedap Malam memandang kesal, mendengus
dengan wajah cemberut.
Sementara mereka cekikikan, di luar rumah ada dua
lelaki berbadan gemuk mendekati pondok tersebut.
Kedua orang berbadan gemuk itu sama-sama berwajah sangar. Salah satu dari mereka
mengenakan pakaian serba merah, dan yang satu lagi mengenakan pakaian serba
hitam. Rupanya ia dua saudara kembar yang
mempunyai wajah serupa. Brewokan, rambut botak
depan, mata lebar berkesan ganas, dan sama-sama
bersenjata pedang lebar. Di tepian pedang itu terdapat gelang-gelang besi
sebesar tiga biji. Gagang pedang tersebut mempunyai hiasan di ujungnya berupa
ronce-ronce benang merah, Kedua pedang itu sama-sama
berada dalam genggaman tangan masing-masing.
"Kurasa inilah gubuk si Palang Renggo!" ujar si baju hitam dengan suara
menggeram besar
"Kalau begitu tunggu apa lagi! Robohkan saja gubuk itu!" si baju merah tampak
tak sabar. Pandangan matanya kelihatan semakin nanar dan pedangnya mulai siap
ditebaskan ke segala arah. Ketika ia hendak
melangkah maju, saudara kembarnya yang berpakaian serba hitam itu mencekal
pundaknya hingga langkah pun tertahan di tempat.
"Tunggu dulu, Mayat Bagus! Selidiki dulu keadaan pondok itu. Jangan-jangan si
Palang Renggo memasang jebakan di sekeliling rumahnya ini!"
"Ah, tak mungkin! Palang Renggo tak secerdas itu!
Percayalah, sekarang adalah saat terbaik untuk merajang habis tubuh si Palang
Renggo itu, Setan Sewu!"
"Kau boleh sepelekan otak si Palang Renggo, tapi ingat... dia punya istri yang
berotak cerdas! Mungkin
saja si Sedap Malam, istrinya itu, memasang jebakan maut di sekeliling rumahnya
ini! Sebaiknya kita panggil saja agar mereka keluar!"
Di dalam pondok kayu jati itu, mereka sedang
perhatikan perubahan pada luka di kepala Pendekar Mabuk. Luka tersebut bergerak-
gerak dan keluarkan asap kebiru-biruan. Semakin lama luka itu tampak
merapat dengan sendirinya, karena beberapa teguk tuak telah ditelan Suto
Sinting. Wajah Ki Palang Renggo dan Elang Samudera tampak ceria. Tapi Nyai Sedap
Malam tetap tanpa senyum dan kelihatan tenang-tenang saja.
Matanya memandang perubahan luka yang menjadi
rapat dalam waktu singkat dengan hati menggumam
kagum. "Sakti sekali kekuatan di dalam tuaknya itu. Pantas jika sebagian orang
menjulukinya si Tabib Darah Tuak."
Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh seruan Mayat
Bagus yang lantang dan bernada murka itu.
"Palang Renggo! Keluar kau! Kami datang untuk bikin perhitungan denganmu! Keluar
kau, Palang Renggo!" Elang Samudera memandang Ki Palang Renggo
dengan wajah tegang. Suaranya terdengar bergetar saat ia ajukan tanya,
"Siapa yang berseru di luar itu, Ki?"
Nyai Sedap Malam yang menjawab, "Si Kembar dari Teluk Pare!"
"Siapa itu si Kembar dari Teluk Pare" Aku baru kali ini mendengar namanya,
Nyai." "Dia musuhku!" sahut Ki Palang Renggo setelah menarik napas panjang-panjang.
Wajahnya tampak beku dan pandangan matanya memancarkan permusuhan yang
terpendam. "Biar kutemui saja mereka!" ujar Nyai Sedap Malam.
"Jangan! Mereka berurusan denganku dan...," kata-kata Ki Palang Renggo terhenti
karena istrinya cepat-cepat melesat keluar rumah. Weeess..! Ki Palang
Renggo justru kelihatan semakin gusar. Maka ia pun segera bergegas keluar
menyusul istrinya dengan
perasaan cemas.
Dua wajah brewok undurkan diri selangkah melihat
kemunculan Nyai Sedap Malam. Keduanya sama-sama
mulai angkat senjata dengan mata memancarkan dendam dan kebuasan. Nyai Sedap
Malam hanya diam di tempat dalam jarak lima langkah dari kedua lawannya. Mata
perempuan cantik itu pun tak kalah tajam dalam menatap dua tamunya.
Ki Palang Renggo segera tampil mendampingi
istrinya dengan wajah dingin, seakan tak berperasaan apa pun. Ia tampak tenang
sekali menghadapi
kegarangan dua lawannya yang kemunculannya sudah
diperkirakan sebelumnya.
"Bagus! Kalian memang lebih baik muncul berdua untuk menyambut kematian
bersama," ucap si Mayat Bagus mengawali permusuhan hari itu. Ki Palang
Renggo hanya sunggingkan senyum sinis, namun
sebelum ia perdengarkan suaranya, sang istri lebih dulu bicara ketus kepada
Mayat Bagus dan si Setan Sewu,
"Apa yang kalian kehendaki dari kami, Iblis
Kembar"!"
"Hutang nyawa harus dibalas dengan nyawa!" geram si Setan Sewu. Sementara itu si
Mayat Bagus menimpalinya, "Kami ingin merenggut nyawa suamimu itu yang telah membuat perguruan kami hancur
dan kehilangan nyawa beberapa anggota kami! Jika kau ingin ikut ke neraka
bersama arwah suamimu, kami siap
mengirimkanmu sekarang juga. Perempuan Ganjen!"
Ki Palang Renggo segera berkata, "Sudah selayaknya perguruan sesat kalian itu
hancur, bahkan bila perlu menjadi lebur bagaikan debu. Jika kalian datang
bermaksud untuk menebus kehancuran perguruan itu, maka yang akan terjadi adalah
kebalikannya. Kalian akan kehilangan nyawa dan aku tak akan menyisakan secuil
pun nyawa kalian!"
"Jahanam kau! Heeeeaah...!"
Setan Sewu lakukan lompatan cepat menerjang Ki
Palang Renggo. Pedang lebarnya ditebaskan ke arah kepala tokoh tua itu, seakan
ingin membelah kepala bagai membelah semangka. Wuuut...! Kelebatan pedang lebar
menimbulkan hembusan angin panas dalam
sekejap. Tetapi hal itu tidak membuat Ki Palang Renggo terpojok, karena sebelum
kelebatan pedang lebar itu datang, orang berambut campur uban itu telah melesat
dari tempatnya, ia lakukan lompatan cepat dengan hanya sentakkan jempol kakinya
ke tanah. Weess...!
Dalam kejap berikut, Ki Palang Renggo sudah berada
di belakang Setan Sewu. Ia berdiri tenang sambil
menggenggam tongkatnya yang berkepala burung
garuda, ia masih kelihatan tidak ingin lakukan serangan balik, sehingga sang
lawan yang gagal membelah
kepalanya tampak semakin bernafsu untuk
membunuhnya. "Heeaat...!" Setan Sewu bergerak lagi. Tetapi gerakannya tiba-tiba dipatahkan
oleh pukulan tenaga dalam jarak jauh yang dilepaskan dari tangan kiri Nyai Sedap
Malam. Wuuut...! Buuuhk...! Tubuh gemuk itu pun terlempar ke samping dan jatuh
mirip nangka busuk.
Bluuuhk...! "Bangsat! Kubeset wajah ayumu itu, Perempuan Laknat! Heeah!"
Wuuut...! Mayat Bagus menerjang Nyai Sedap
Malam dengan pedang berkelebat ke sana-sini. Gerakan pedang itu amat cepat,
sehingga sukar ditangkis atau dihindari oleh Nyai Sedap Malam.
Namun ketika itu pula, Ki Palang Renggo segera
sentakkan tongkatnya ke depan dalam keadaan masih tegak lurus. Weet! Claap...!
Dari mulut kepala tongkat yang berbentuk kepala burung garuda itu keluar selarik
sinar hijau bening yang berkerilap menghantam
pinggang Mayat Bagus.
Sluuubs...! "Aaahg...!" Mayat Bagus jatuh terbanting dengan kerasnya. Pinggangnya menjadi
hangus, bajunya
terbakar, dan ia mengerang kesakitan tak bisa bangkit lagi. Wajahnya menjadi


Pendekar Mabuk 063 Pemburu Darah Satria di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pucat bagaikan kehabisan darah.
Matanya yang lebar mendelik menyeramkan, seakan
sedang kesulitan merenggangkan nyawanya.
"Bajingan tengik!" geram Setan Sewu melihat saudara kembarnya terancam kematian.
Ia segera lakukan lompatan bersalto yang melintasi kepala Nyai Sedap Malam. Wuk, wuk...!
Jleeg..! Kedua kakinya mendarat dengan mantap di
tanah samping si Setan Sewu. Ia segera meludahi Setan Sewu secara sembarangan
saja. "Cuih...!"
Plok! Ludah itu mengenai lengan Setan Sewu. Dalam kejap berikut, luka hangus di
pinggang Setan Sewu tampak mengering, mengepulkan asap tipis, lama-lama luka
berlubang itu merapat sendiri. Tubuh si Setan Sewu menjadi sehat, dan cepat
bangkit dengan tenaga siap tanding kembali.
"Heeeeaaat...!!"
Setan Sewu lakukan serangan kembali, demikian juga halnya dengan si Mayat Bagus.
Mereka bagai mempunyai jatah sendiri-sendiri; Setan Sewu menyerang Ki Palang Renggo,
sedangkan Mayat Bagus menyerang Nyai Sedap Malam.
Pertarungan itu terjadi cukup seru, karena si kembar dari Teluk Pare itu sulit
ditumbangkan. Jika salah satu terluka, yang satunya meludahi dan luka itu dapat
lenyap dalam waktu beberapa kejap kemudian tubuhnya sehat kembali.
Mereka menggunakan paduan jurus kembar yang
sangat membahayakan keselamatan jiwa sepasang
suami-istri itu. Tebasan pedang mereka beberapa kali nyaris merobek perut dan
punggung pasangan suami-istri tersebut. Tapi karena suami-istri itu juga
mempunyai ilmu yang sama-sama hebatnya, maka
serangan si Kembar dari Teluk Pare itu selalu dapat dihindari.
"Heeaat...! Cuiih...!" Setan Sewu lakukan lompatan bagai terbang, sasarannya
adalah punggung Ki Palang Renggo. Tetapi sambil lakukan lompatan melayang
begitu, ia pun meludahi saudara kembarnya yang
terkapar dalam keadaan dadanya hangus akibat pukulan telapak tangan Nyai Sedap
Malam. Ludah itu kenai kaki si Mayat Bagus, sehingga luka bakar yang seharusnya
telah menamatkan riwayatnya itu menjadi lenyap dalam beberapa kejap. Mayat Bagus
bangkit kembali dan
lakukan serangan kepada Nyai Sedap Malam.
Perempuan cantik itu terdesak karena mendapat
serangan dari dua arah. Akibatnya, sebuah tendangan bertenaga dalam cukup tinggi
mendarat di perutnya.
Buuhk...! Tubuh Nyai Sedap Malam terlempar tujuh
langkah jauhnya dan membentur sebatang pohon.
Brruks...! "Oohk...!" Nyai Sedap Malam semburkan darah segar dari mulutnya dalam keadaan
jatuh tersimpuli di bawah pohon itu.
"Heeeaat...!"
"Heeeaah...!"
Dua manusia kembar itu segera lakukan lompatan
bersalto mundur. Tahu-tahu mereka sudah tiba di
samping kanan-kiri Ki Palang Renggo yang sedang
terhenyak memandangi istrinya terluka. Sebelum Ki Palang Renggo lakukan gerakan,
kedua tokoh aliran hitam dari Teluk Pare itu sudah lebih dulu lepaskan jurus
pedang yang mempunyai gerakan sama dan seirama.
Wuut, wuut..! Cear, breet...!
"Aahkk...!" Ki Palang Renggo tersentak, tubuhnya mengejang dengan kedua lutut
sedikit terlipat, matanya mendelik dengan mulut ternganga menahan napas.
Kedua pinggang kanan kirinya robek terkena tebasan pedang kedua lawannya. Darah
pun memercik dari dua luka yang cukup dalam itu.
"Keparat kalian...!" Ki Palang Renggo menggeram dengan menggenggam tongkatnya
kuat-kuat. Ia masih berusaha berdiri walau sebenarnya sudah tak mampu lagi.
"Renggooo...!" suara berat itu datang dari mulut Nyai Sedap Malam, ia melihat
suaminya terluka parah dan sangat kecil harapannya untuk selamat. Maka ia pun
mencoba untuk bangkit dan melepaskan pukulan ke arah lawan, sebab ia mendengar
suara Setan Sewu berseru,
"Habisi saja orang ini!"
Namun ternyata Nyai Sedap Malam sudah kehilangan
seluruh tenaganya akibat lukanya tadi. Ia nyaris tak mampu mengangkat tangan dan
lakukan pukulan jarak jauh. Ia hanya bisa melihat suaminya terbungkuk-bungkuk
menahan sakit, sementara Mayat Bagus telah mengangkat pedangnya kertas, demikian
juga si Setan Sewu.
"Heeeaat...!" Mayat Bagus menebaskan pedangnya ke leher Ki Palang Renggo,
sedangkan pedang Setan Sewu pun diayunkan ke arah punggung Ki Palang Renggo.
Clap, clap...! Dua sinar merah seperti potongan besi sejengkal telah melesat menghantam kedua
pedang si Kembar dari
Teluk Pare. Sinar merah itu datang dari dalam rumah, yang segera menimbulkan
suara ledakan cukup
mengejutkan si pemilik pedang.
Duar, duaar...!
Prrak, prrak ..! Dua pedang itu segera hancur menjadi kepingan-kepingan sebesar
kancing baju. Mayat Bagus dan Setan Sewu sama-sama terbelalak lebar melihat
tangan mereka kini hanya menggenggam gagang pedang saja. Kedua mata lebar itu
segera memandang ke arah rumah, dan dari rumah itu melompatlah sesosok tubuh
kekar berpakaian ungu. Wuuut...! Jleeg...!
Elang Samudera tampil dengan gagahnya. Sinar
merahnya tadi membuat ia menjadi lebih percaya diri bahwa kedua orang brewok itu
akan mampu ditumbangkan. Karenanya ia tak segan-segan melangkah lebih dekat lagi sambil
bersiap hadapi serangan balasan.
"Biadab kau! Serang anak babi itu! Heeaat...!"
Setan Sewu menjadi amat murka. Melihat saudara
kembarnya sangat murka, si Mayat Bagus pun
mengimbangi amukan tersebut, sehingga keduanya
sama-sama lepaskan pukulan bersinar biru dari tangan kanan sambil lakukan
lompatan ke depan.
Wuuut, wuuut...! Kedua sinar biru itu mengarah ke
dada Elang Samudera. Tetapi anak muda itu pun telah siap dengan jurus
simpanannya, ia merenggangkan
kakinya dengan sedikit merendah, kedua tangannya
menyentak ke depan dan dari telapak, tangan itu keluar selarik sinar merah besar
yang segera beradu dengan kedua sinar biru dipertengahan jarak mereka. Slap,
slaap...! Blegaar, blaaarr...!
Ledakan dahsyat menggema mengguncangkan bumi.
Beberapa pohon menjadi bergetar dan daunnya
berguguran. Atap rumah pun tersingkap karena
hembusan gelombang daya ledak yang begitu kuat itu.
Bahkan dua pintu rumah jati itu sempat tersentak keras hingga menimbulkan suara
gaduh yang semakin
menyeramkan. Bumi bagai diguncang gempa, hanya saja tanah tak sampai terbelah
membentuk celah mengerikan.
Setan Sewu dan Mayat Bagus terlempar jauh berpisah arah. Elang Samudera sendiri
terlempar hingga tubuhnya menabrak dinding rumah. Mayat Bagus terkapar di
bawah pohon, dari lubang hidung dan telinga
mengeluarkan darah kental, sedangkan mulutnya
memuntahkan darah yang berwarna merah kehitam-
hitaman. Keadaan saudara kembarnya lebih
mengenaskan; tersangkut di salah satu dahan dalam keadaan kepala berlumur darah
karena benturan yang amat kuat tadi.
"Mayat Bagus... ooh... tolong aku!" ia mengerang di sela keheningan. Mayat Bagus
tak menjawab selain
berkata, "Tinggalkan tempat ini secepatnya!"
Elang Samudera diam tak bicara, karena tulangnya
terasa patah semua akibat benturan kuat tadi. Tapi pada saat itu, seseorang
muncul dari dalam rumah. Dia adalah Pendekar Mabuk.
* * * 3 KEDUA orang Teluk Pare itu saling meludahi.
Dengan saling meludahi, maka kekuatan sakti pada
ludah itu menjadi saling menyembuhkan luka. Setan Sewu merasa kali ini
menghadapi lawan yang
berbahaya, karena mereka telah kehilangan senjata.
Langkah terbaik baginya adalah melarikan diri. Mundur beberapa waktu untuk
mengatur siasat kembali dalam menghadapi Elang Samudera.
"Yang penting Palang Renggo pasti mati akibat tebasan pedang kita tadi," ujarnya
kepada si Mayat Bagus. "Soal anak muda itu, agaknya kita perlu menyusun siasat
dan mengatur kekuatan lagi. Kelak kita pasti akan balas kekalahan kita tadi."
"Bagaimana jika ternyata si Palang Renggo tidak mati?"
"Tak mungkin! Dia pasti mati karena kita telah memotong beberapa ususnya. Apakah
kau tak melihat potongan ususnya akibat tebasan pedangku tadi" Sayang sekali
kalau kau tak melihatnya, Mayat Bagus."
Mayat Bagus diam saja, berusaha menghilangkan
kesangsiannya. Ia merasa belum puas jika belum betul-betul melihat Ki Palang
Renggo menjadi bangkai di depan matanya.
Kesangsian Mayat Bagus itu ada benarnya, sebab
setelah mereka pergi, Pendekar Mabuk muncul dari
rumah itu. Keadaan Suto Sinting telah sehat bagaikan tak pernah terkena racun
apa pun, ia bergegas menolong Ki Palang Renggo dan Nyai Sedap Malam. Tuak
saktinya itu berhasil selamatkan nyawa Ki Palang
Renggo, walau memakan waktu sampai menjelang sore.
Nyai Sedap Malam dan Elang Samudera pun terhindar dari luka setelah meminum tuak
saktinya Suto Sinting.
"Aku akan menuntut balas atas perlakuan mereka terhadapmu," ujar Nyai Sedap
Malam kepada suaminya yang tua itu.
"Tak perlu cari penyakit. Biarlah mereka
menganggap aku telah binasa. Biar hati mereka puas dan tak bikin ulah lagi."
"Aku setuju dengan pendapat Ki Palang Renggo,"
kata Suto Sinting. "Dendam tidak akan membuat hidup kita tenang. Dendam hanya
akan hadirkan petaka dalam perjalanan hidup kita."
Nyai Sedap Malam agaknya tak mau ngotot dengan
pendapatnya, ia menarik napas panjang-panjang untuk mengatasi gejolak dendamnya
dalam hati. "Apa kau juga punya dendam dengan orang yang melukaimu?"
"Maksudmu, dendam terhadap Awan Setangkai" Oh,
tidak!" Pendekar Mabuk gelengkan kepala sambil tersenyum tipis. "Aku tidak perlu
menaruh dendam kepada siapa pun, Ki. Aku hanya perlu tahu, mengapa Awan
Setangkai mencelakaiku sedemikian rupa,
sedangkan aku belum pernah kenal dengannya, bertemu pun baru kali ini."
Bayangan saat mengamati pertarungan seorang nenek dengan seorang gadis masih
melekat dalam ingatan Suto Sinting. Pertarungannya dengan nenek jelmaan Awan
Setangkai juga masih lekat dalam benak Suto. Tak heran jika di hati pemuda
tampan itu pun timbul rasa
penasaran, ingin mengetahui apa maksud tindakan si Awan Setangkai itu.
"Jangan coba-coba mencari tahu tentang Awan
Setangkai dan orang-orang Selat Bantai," ujar Nyai Sedap Malam. Kata-katanya
yang datar itu diiringi dengan sorot pandangan mata yang datar pula. Seakan ia
bicara dalam renungannya dan ditujukan pada dirinya sendiri. Tetapi Elang
Samudera pun tahu bahwa kata-kata itu ditujukan untuk si Pendekar Mabuk.
"Mengapa kau melarangku begitu, Nyai?" tanya Suto Sinting setelah ia melirik Ki
Palang Renggo, dan pak tua itu pun diam merenung bagai menyimpan sesuatu yang
dirahasiakan dalam hatinya.
Pertanyaan Suto Sinting itu tidak segera mendapat jawaban yang diharapkan. Nyai
Sedap Malam hanya
katupkan bibirnya yang pulen dan tak bergerak bagaikan patung bernyawa.
Elang Samudera ikut penasaran, sehingga ia pun
akhirnya ajukan tanya kepada Nyai Sedap Malam
dengan sikap hati-hati.
"Mengapa kau tidak menjawab pertanyaan Suto
Sinting, Nyai" Ada apa di balik himbauanmu tadi" Aku sama sekali tak mengerti
tentang si Awan Setangkai itu, Nyai. Tolong jelaskan pula untukku."
Nyai Sedap Malam angkat wajahnya pelan-pelan.
Pandangan matanya tertuju pada Elang Samudera yang berdiri di depannya dalam
jarak empat langkah. Pemuda yang bahu kirinya bersandar pada dinding kayu jati
itu mencoba menatapnya dengan penuh harap, ia ingin
sekali mendengar penjelasan yang dimaksud. Tapi tiba-tiba ada dua orang berlari
mendekati rumah tersebut.
Mereka bergegas keluar dan menemukan seorang
lelaki berusia sekitar empat puluh tahun. Tubuhnya kurus dengan wajah bermandi
peluh. Lelaki itu
mengenakan baju putih celana hitam, tanpa membawa senjata apa pun. Rambutnya
pendek dan penampilannya berkesan polos. Dari peluh dan helaan napasnya yang
memburu, ia tampak habis menempuh perjalanan yang melelahkan. Ki Palang Renggo
dan yang lainnya
memandangi lelaki itu dengan perasaan asing, sebab tak satu pun yang mengenal
lelaki itu. Setelah sedikit membungkuk sebagai tanda
menghormat, lelaki kurus itu berkata kepada Ki Palang Renggo,
"Maaf, Kek... bolehkah aku meminta seteguk air untuk menghalau kehausanku ini?"
Pendekar Mabuk segera menyahut, "Minumlah
tuakku ini!" seraya menyodorkan bumbung tuaknya.
Tanpa sungkan lagi orang tersebut segera meraih
bumbung tuak dan menenggak tuak beberapa teguk, ia bagai tak peduli lagi dengan
pandangan mata mereka yang tertuju lekat-lekat kepadanya.
"Terima kasih, Kisanak," ucapnya sambil mengembalikan bumbung tuak. Napasnya
masih terengah-engah, namun wajahnya muiai tampak berseri, tak sekering tadi.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Ki Palang Renggo setelah orang itu diajaknya masuk
ke rumah. "Namaku.... Bawana, dari Pulau Dulang," jawab lelaki polos itu. "Tadi aku
berpapasan dengan si Kembar dari Teluk Pare. Aku takut dibunuh oleh mereka,
karena orang Teluk Pare tak suka dengan orang Pulau Dulang.
Mereka mengenaliku sebagai orang Pulau Dulang.
Karenanya aku segera melarikan diri sebelum mereka bernafsu untuk membunuhku."
"Mereka memang dari sini!" sahut Elang Samudera.
"Mereka habis kuhajar dan segera melarikan diri. Jika tidak, si Kembar dari
Teluk Pare itu sudah kehilangan nyawanya."
"O, pantas mereka tak mau mengejarku ketika mereka lihat aku menuju kemari,
Nak." "Kurasa kau bisa lanjutkan perjalananmu," kata Nyai Sedap Malam dengan nada
angkuh, walau sebenarnya
tak angkuh hatinya.
"Biarkan ia beristirahat sebentar, Sayangku," ujar Ki Palang Renggo. Sang istri
hanya menarik napas bagai
tak peduli keputusan sang tamu nantinya.
"Sebentar lagi petang akan datang. Bolehkah aku numpang bermalam di pondokmu
ini, Kek?" kata Bawana, pancaran matanya menampakkan harapan yang berbinar-
binar. Ki Palang Renggo pandangi istrinya sebentar, setelah melihat sang istri tidak
menampakkan rasa tak suka, Ki Palang Renggo pun menjawab pertanyaan tamunya.
"Kami tidak mempunyai tempat tidur yang layak untuk seorang tamu, Tetapi jika
kau mau tidur di
sembarang tempat, kami tak keberatan menampungmu
semalam dua malam. Asalkan kau tak boleh
mengintipku jika aku nanti tidur dengan istriku."
Bawana tertawa pelan "Itu tak mungkin kulakukan, Kek. Aku pergi dari Pulau
Dulang bukan untuk berbuat tak senonoh seperti itu, melainkan untuk suatu tujuan
yang suci."
"Apa tujuanmu pergi dari Pulau Dulang?" tanya Elang Samudera yang masih pandangi
Bawana dengan

Pendekar Mabuk 063 Pemburu Darah Satria di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sorot pandangan mata bersifat menyelidik.
Bawana menatap Elang Samudera dengan dahi
sedikit berkerut.
"Apakah... apakah kau yang berjuluk Pendekar Mabuk, Kisanak?"
Ki Palang Renggo dan Nyai Sedap Malam segera
lemparkan pandangan matanya ke arah Suto Sinting.
Elang Samudera pun melirik Suto Sinting beberapa saat, sementara Suto Sinting
sendiri menatap Bawana dengan pandangan bernada heran.
"Mengapa kau menyangka diriku Pendekar Ma buk?"
tanya Elang Samudera setelah lebih mendekat lagi.
"Karena... karena kepergianku dari Pulau Dulang memang untuk mencari Pendekar
Mabuk. Aku ingin
bertemu dengan beliau."
"Untuk apa?" tukas Suto Sinting.
"Aku ingin meminta bantuan Pendekar Mabuk untuk membunuh raksasa keji di pulau
kami." "Raksasa..."!" gumam Pendekar Mabuk sambil melirik Ki Palang Renggo. Lelaki tua
itu pun akhirnya berkata,
"Aku tahu letak Pulau Dulang, walau aku belum pernah singgah ke sana. Tapi
setahuku, di sana tak ada raksasa. Kau jangan mengarang cerita yang bukan-bukan,
Bawana!" "Aku bicara yang sesungguhnya, Kek. Raksasa itu berbentuk hantu. Hmmm...
maksudku, tak bisa dilihat seperti apa wujudnya. Dalam perjalanan mencari
Pendekar Mabuk ini, semula aku bersama tiga temanku.
Tetapi ketiga temanku hilang satu persatu saat melintasi hutan menuju pantai.
Bahkan yang seorang lagi lenyap tanpa bangkai ketika kami menyeberangi lautan.
Aku bersyukur sekali, karena aku berhasil lolos dari ancaman maut hantu raksasa
itu dengan cara menyelam beberapa saat lamanya di dalam lautan. Penyeberanganku
itu akhirnya kulanjutkan dengan berenang sampai ke pantai Karang Hantu."
Melihat kesungguhan pada wajah Bawana, Suto
Sinting merasa yakin dengan cerita tersebut. Elang
Samudera juga menilai bahwa Bawana bicara jujur
sebagai orang yang selamat dari ancaman maut.
Sedangkan Nyai Sedap Malam bagaikan tak peduli
sedikit pun dengan cerita itu. Ki Palang Renggo tampak merenung dalam keragu-
raguan. "Apakah orang Pulau Dulang tak ada yang mampu menangkap hantu raksasa itu?"
tanya Suto Sinting beberapa saat kemudian.
"Kami sudah mencobanya berulang kali, Kisanak.
Tetapi setiap kami mengirimkan utusan untuk
menangkap hantu raksasa itu, selalu saja utusan kami tak pernah kembali. Kami
hanya bisa menemukan mayat
utusan kami yang telah dalam keadaan mengenaskan.
Hantu Raksasa itu kadang juga mendatangi desa kami dan merenggut korban beberapa
penduduk. Akhirnya
desa kami hanya tinggal beberapa gelintir manusia saja yang masih hidup,
termasuk aku sendiri. Maka kami bersepakat untuk meminta bantuan Pendekar Mabuk
yang kesaktiannya terbawa angin sampai ke telinga orang-orang Pulau Dulang."
"Akulah yang berjuluk Pendekar Mabuk," kata Suto Sinting setelah mereka saling
membisu tiga helaan napas. Bawana tampak terkejut, matanya memandang
Suto Sinting dengan tajam, berkesan antara percaya dan tidak.
"Benarkah kau orangnya"!" ucap Bawana dalam nada gumam.
"Apa yang membuatmu sangsi?" tanya Nyai Sedap Malam secara di luar dugaan. Namun
ia tetap berdiri di
depan jendela memandang ke arah luar, seakan
menikmati senja yang akan tiba itu. Mau tak mau
Bawana pun menatap perempuan tersebut sambil berkata pelan,
"Semuda inikah tokoh sakti yang kondang itu?"
"Apakah kau kira Pendekar Mabuk itu berusia
sebayaku?" ujar Ki Palang Renggo. Bawana menjadi tersipu sendiri, dan mulai
kikuk dalam bersikap di depan Suto Sinting.
"Kusangka memang berusia di atas lima puluh
tahun," katanya. "Tapi jika kulihat ciri-ciri anak muda ini; baju coklat tanpa
lengan, celana putih, bumbung tuak, rambut panjang dan wajah tampan...
sepertinya memang dialah orang yang kucari-cari selama lima hari ini."
Suto Sinting menarik napas, melangkah dekati Nyai Sedap Malam, ia berkata dalam
nada bisik, tapi Ki Palang Renggo yang berada tak jauh darinya mendengar bisikan
itu. "Bagaimana menurut pendapatmu, Nyai?"
"Aku tak percaya dengan ceritanya. Baru sekarang kudengar ada hantu raksasa yang
bergentayangan."
Ki Palang Renggo menyahut, "Kurasa ia memang dalam kesulitan, tapi agaknya bukan
karena hantu raksasa." Nyai Sedap Malam berkata lagi ketika Elang
Samudera ikut bergabung dalam bisik-bisik itu.
"Kalau kau percaya dengan ceritanya, terserah langkahmu. Kalau kau tak percaya,
usir saja dia dan
lupakan tentang cerita hantu raksasa itu."
"Agaknya aku cenderung percaya dengan
kesulitannya," kata Suto Sinting, lalu ia melirik Elang Samudera dan menyambung
kata, "Pandangan matanya memancarkan harapan yang mengibakan hati. Rasa-rasanya
aku memang harus membantunya."
"Aku akan mendampingimu jika memang itu
keputusanmu, Suto."
"Elang Samudera, kurasa kau mempunyai urusan sendiri yang belum selesai. Entah
urusan apa, aku tak tahu. Tapi yang jelas, kau tak perlu ikut ke Pulau Dulang."
"Semua urusanku bisa kutangguhkan. Aku lebih memilih untuk ikut terlibat dalam
urusanmu. Firasatku mengatakan, kau membutuhkan seorang teman dalam
menghadapi hantu raksasa itu."
Nyai Sedap Malam segera berkata, "Jangan bodoh, Elang Samudera! Berurusan dengan
misteri di Pulau Dulang sama saja bertarung nyawa secara sia-sia. Kalau kau
mati, kau tak akan mendapat penghargaan dari orang Pulau Dulang. Masyarakat di
Pulau Dulang hanya akan menghormati leluhurnya saja. Mereka tak akan peduli jasa
orang lain. Bahkan untuk berterima kasih pun sulit mereka lakukan untuk orang
lain. Masyarakat Pulau Dulang adalah masyarakat terasing, sehingga beberapa
penduduk di pulau lainnya ada yang mengatakan,
penduduk Pulau Dulang adalah penduduk terbuang yang tak pernah menjadi bahan
pembicaraan baik di kedai-kedai maupun di perjalanan."
"Aku hanya ingin dampingi Pendekar Mabuk, Nyai.
Bukan untuk mencari sanjungan atau penghargaan dari siapa pun."
"Jika begitu maumu, aku tak bisa melarangmu untuk pergi bersama si murid sinting
Gila Tuak itu."
"Aku tetap tak setuju kalau kau ikut denganku Elang Samudera!" kata Suto Sinting
membuat Elang Samudera menyimpan rasa kecewa dalam hatinya. Suto Sinting berkata
lagi dengan lebih tegas,
"Perjalananku ke Pulau Dulang adalah perjalanan biasa. Tak perlu harus
didampingi oleh seorang ksatria gagah sepertimu!"
"Jika kau melarangku ikut, sama artinya kau tak mau bersahabat lagi denganku,
Suto! Aku pun akan berusaha melupakan dirimu, Sobat!"
"Elang Samudera, kumohon jangan tersinggung dulu.
Dengarkan penjelasanku...."
"Aku tak butuh penjelasanmu. Hatiku telah
mengambil keputusan; boleh atau tidak, aku tetap akan ikut ke Pulau Dulang.
Karena aku sendiri penasaran dengan cerita kemunculan hantu raksasa itu."
Percakapan yang makin lama sudah bukan
merupakan bisik-bisik lagi itu didengar oleh Bawana.
Maka sang tamu pun segera menyela kata saat mereka sama-sama terbungkam.
"Jika memang kau keberatan, aku pun tak akan memaksamu, Pendekar Mabuk. Mungkin
memang nasib kami harus berjuang melawan hantu raksasa yang sukar dilihat itu."
Pendekar Mabuk tarik napas dalam-dalam, kemudian
melangkah dekati Bawana. Pundak lelaki kurus itu
ditepuknya pelan. Pluk...! Lalu, ia pun berkata dengan nada ramah.
"Jangan berkesimpulan seperti itu, Kang. Kesimpulan yang salah dapat membuat
hatimu terluka dan membakar kebencian."
"Jadi... jadi maksudmu kau bersedia untuk datang ke Pulau Dulang dan melawan
hantu raksasa itu"!"
Pendekar Mabuk tidak segera menjawab, namun
matanya melirik ke arah Ki Palang Renggo dan Nyai Sedap Malam. Suami-istri itu
hanya diam, tanpa
memberikan isyarat apa pun. Bawana menjadi berdebar-debar karena merasa khawatir
jika sampai Pendekar Mabuk tak mau ikut ke Pulau Dulang.
* * * 4 KABUT pagi mulai menipis. Pada saat itulah
Pendekar Mabuk bergegas meninggalkan pondok Ki
Palang Renggo menuju Pulau Dulang bersama Bawana
dan Elang Samudera. Arah yang mereka tuju adalah
Pantai Karang Hantu sebelah timur. Sebab menurut
Bawana, di sana ada perkampungan nelayan dan ia
mempunyai seorang kenalan yang memiliki perahu.
Mereka bersepakat untuk menyewa perahu tersebut
untuk menyeberang menuju Pulau Dulang.
Karena Bawana tidak mempunyai ilmu peringan
tubuh, gerakan larinya tak bisa secepat Elang Samudera dan Suto Sinting, maka
langkah mereka pun menjadi lamban. Untuk mencapai Pantai Karang Hantu
sebenarnya bisa ditempuh dalam waktu kurang dari seperempat hari. Namun karena
gerakan mereka lamban, maka waktu yang mereka butuhkan untuk tiba di Pantai
Karang Hantu menjadi hampir setengah hari penuh.
Ketika mereka tiba di sebuah lembah, tak berapa jauh dari Pantai Karang Hantu,
tiba-tiba langkah mereka terhenti oleh kemunculan seorang perempuan cantik
berusia sekitar dua puluh dua tahun. Perempuan yang tampak masih gadis itu
mengenakan baju biru tanpa lengan, sehingga kulitnya yang kuning mulus dapat
terlihat dengan jelas. Rambutnya lurus dengan poni di bagian depan. Matanya
bundar, hidungnya mancung,
mempunyai bentuk wajah bulat telur. Gadis bersabuk hitam dari kulit binatang itu
menyelipkan pisau gagang tanduk rusa di pinggangnya. Pendekar Mabuk mengenal
gadis itu sebagai murid Galak Gantung yang bernama Kabut Merana alias
Murdaningsih, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Bayi Pembawa
Petaka"). Sedangkan Galak Gantung adalah tokoh tua sahabat si Gila Tuak, gurunya Suto
Sinting (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Pusaka Bernyawa").
Kabut Merana muncul dalam keadaan terhuyung-
huyung dengan dada terluka dan mengeluarkan darah, ia menghamburkan diri dari
pohon ke pohon sebagai upaya mempertahankan nyawa dan menggunakan sisa kekuatan
yang ada. Setiap pohon yang dipeluknya meninggalkan
bekas darah yang berlumuran. Pendekar Mabuk cepat hampiri gadis itu dan segera
menolongnya. "Kabut Merana..."!" sapa Suto Sinting dengan nada cemas. Tubuh gadis yang sekal
itu segera tertangkap dalam pelukannya. Mata sang gadis mulai terbeliak-beliak
dengan mulut ternganga sulit bicara. Wajah cantiknya telah pucat pasi seperti
mayat. "Baringkan dia, Suto. Lukanya cukup dalam dan parah sekali," kata Elang
Samudera. Kemudian ia membantu Suto Sinting membaringkan tubuh Kabut
Merana dan membuka mulut si gadis, sehingga Suto
Sinting dapat tuangkan tuaknya sedikit demi sedikit.
Tuak tertelan dan Kabut Merana pun mulai
memperoleh kekuatan kembali. Lukanya cepat
mengering dan merapat, sehingga dalam beberapa kejap saja luka itu telah menjadi
rata dan dada pun menjadi berkulit halus bagai tak pernah terluka oleh senjata
tajam apa pun. Untung luka itu tepat ada di bagian atas gundukan kedua bukit di
dadanya, sehingga mereka tak terlalu sungkan memandangi luka berlubang yang
sepertinya bekas tusukan senjata tajam itu.
Darah yang semula berlumuran di sekitar dada Kabut Merana pun menguap dan lenyap
bagaikan terhembus
angin. Kesaktian tuak sakti telah membuat Kabut
Merana segera menyadari bahwa ia berada di dekat
Pendekar Mabuk.
"Suto..."! Oh, syukurlah kau menemukan diriku. Jika tidak, mungkin nyawaku telah
melayang karena luka tadi."
"Apa yang terjadi pada dirimu, Kabut Merana?" tanya Suto Sinting setelah ia
memperkenalkan Elang
Samudera sebagai sahabat barunya, dan Bawana sebagai utusan dari Pulau Dulang.
Namun gadis cantik itu segera kerutkan dahi saat
diperkenalkan kepada Bawana. Matanya memandang
tajam ke arah wajah polos Bawana, sehingga Suto
Sinting menjadi tak enak hati dan segera mengalihkan perhatian dengan
pertanyaannya tadi. Kabut Merana alihkan pandangannya ke arah Suto Sinting.
"Seseorang telah melukaiku dengan pedangnya.
Kalau aku tak melarikan diri, mungkin aku telah mati di tangannya."
"Siapa orang itu?" desak Suto Sinting menjadi penasaran.
Kabut Merana tampak kikuk. Matanya melirik ke
arah Elang Samudera dan Bawana secara bergantian.
Kebisuan mulutnya membuat Elang Samudera menjadi
curiga dan segera bicara,dengan nada suara yang lembut.
"Jelaskan selengkapnya kepada Suto tentang apa yang terjadi pada dirimu, Kabut
Merana. Aku yakin kau mendapat kesulitan dan tentunya kami tak akan tinggal
diam, karena kau sahabat Suto Sinting. Kami akan
lindungi dirimu dari serangan siapa pun, Kabut Merana!"
Gadis itu segera memandang Suto dan berkata, "Aku perlu bicara empat mata
denganmu, Suto."
Di dalam hatinya Pendekar Mabuk merasa heran atas permintaan Kabut Merana itu.
Ia pun tak enak hati kepada Elang Samudera dan Bawana jika harus bicara
empat mata bersama Kabut Merana. Namun agaknya si gadis benar-benar tak mau
pembicaraannya didengar oleh kedua orang itu, sehingga Suto Sinting terpaksa
menuruti kehendak si gadis. Kabut Merana melangkah ke sudut semak-semak, dan
Pendekar Mabuk mengikutinya. Jarak mereka dengan Elang Samudera
dan Bawana sekitar dua belas langkah.
"Siapa pemuda tampan itu?" bisik Kabut Merana dengan pandangan mata tak tertuju
pada Elang Samudera. Namun Pendekar Mabuk tahu persis bahwa
yang dimaksud adalah Elang Samudera.
Senyum pun tersungging di bibir Suto Sinting,
kemudian disusul sebuah pertanyaan sindiran,
"Apakah kau menyukainya?"
"Bukan soal itu! Aku khawatir dia orang Selat Bantai."
Mendengar kata 'Selat Bantai', Pendekar Mabuk cepat kerutkan dahi. Dalam hatinya
berkata, "Mengapa Kabut Merana menyinggung-nyinggung soal orang Selat
Bantai" Apakah ia pun mengenal Awan Setangkai, yang menurut Ki Palang Renggo
adalah orang Selat Bantai itu?"
"Suto, jawablah pertanyaanku dengan jujur; apakah Elang Samudera itu adalah
orang Selat Bantai?"
"Bukan," jawab Suto Sinting pelan sambil gelengkan kepala samar-samar. Katanya
lagi, "Elang Samudera adalah muridnya Pendeta Darah Api dari Teluk Merah. Aku tak tahu
apakah Teluk Merah ada hubungannya dengan Selat Bantai. Yang
jelas, kulihat Elang Samudera bukan dari aliran hitam."
Kabut Merana menarik napas, melirik ke arah Elang Samudera yang sedang bicara
pelan dengan Bawana.
Agaknya gadis itu menahan kecurigaannya untuk
sementara waktu.
"Lalu, siapa lelaki berbaju putih dan bercelana hitam itu?"
"Bawana. Bukankah tadi sudah kuperkenalkan
padamu?" "Maksudku, apakah dia... ah, kurasa aku pernah melihatnya berkeliaran di wilayah
Selat Bantai."


Pendekar Mabuk 063 Pemburu Darah Satria di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suto Sinting kerutkan dahinya, ia memandang dalam keraguan kepada Kabut Merana.
Tetapi gadis itu seakan ingin lebih meyakinkan anggapannya dengan berkata kepada
Suto, "Aku ingat, dia pernah kulihat menyelinap di belakang puri pemujaan. Aku semakin
yakin, dia orang Selat Bantai, Suto!"
"Jika benar dia orang Selat Bantai, apa pendapat mu selanjutnya, Kabut Merana?"
tanya Suto Sinting dengan rasa ingin tahu cukup besar dan menggelisahkan
hatinya. "Jika benar dia seorang Selat Bantai, sebaiknya jauhilah dia, Suto! Jauhi semua
orang dari Selat Bantai."
"Jelaskan alasanmu, Kabut Merana."
"Kau sedang menjadi bahan buruan orang-orang Selat Bantai. Penguasa Selat Bantai
yang bernama Nyai Ratu Cendana Sutera sedang membutuhkan darah ksatria
muda. Sasaran utamanya adalah dirimu, Suto. Sebab mereka tahu, kau adalah
seorang pendekar muda yang
berilmu tinggi."
"Untuk apa dia mencari seorang ksatria muda?"
"Tepat malam bulan purnama yang kurang tiga hari lagi ini, dia harus bercumbu
dengan seorang ksatria muda, diutamakan yang berilmu tinggi. Menurut kabar yang
kudengar dari seorang sahabat yang menjadi
prajurit di Selat Bantai, bulan ini adalah bulan kesuburan bagi darah keturunan
Selat Bantai. Pada bulan kesuburan inilah Nyai Ratu Cendana Sutera mempunyai
kesempatan untuk menanamkan bibit keturunan dalam dirinya. Bulan kesuburan hanya
terjadi setiap seratus tahun sekali bagi darah keturunan Selat Bantai. Bibit
yang akan berhasil membuahkan keturunan adalah bibit seorang ksatria muda.
Semakin tinggi ilmu ksatria muda itu semakin cepat pembibitannya. Keturunan yang
lahir dari Nyai Ratu Cendana Sutera itulah yang nantinya akan menggantikan
kekuasaan sang Ratu di wilayah
Selat Bantai."
Pendekar Mabuk menarik napas, menenangkan
jiwanya yang mulai bergolak karena mendengar
penjelasan tersebut.
"Kedengarannya seperti sesuatu yang tidak masuk akal," katanya. "Kurasa
kepercayaan seperti itu sekarang sudah tidak dianut lagi oleh mereka."
"Siapa bilang"! Mereka adalah pengikut aliran hitam dari Selat Bantai. Dan
mereka sangat percaya dengan peraturan kuno tinggalan leluhur mereka."
"Alangkah bodohnya mereka. Mengapa mereka tidak melakukan pembibitan di luar
bulan kesuburan ini"
Apakah mereka tak berminat untuk mencobanya dengan seorang lelaki sebelum bulan
kesuburan itu tiba?"
Kabut Merana mendesah jengkel. "Percayalah, Suto!
Sebaiknya jauhilah orang Selat Bantai. Selain mereka berilmu tinggi, mereka juga
dari para wanita cantik yang punya daya pikat cukup kuat. Orang-orang Selat
Bantai adalah para wanita yang dikutuk menjadi mandul
sebelum bulan kesuburan tiba. Jadi tak satu pun dari wanita Selat Bantai yang
bisa hasilkan keturunan."
Suto Sinting menggut-manggut. Kabut Merana
berkata lagi, "Tapi pada bulan kesuburan nanti, semua wanita Selat Bantai
terlepas dari kutuk kemandulannya.
Saat itulah kesempatan emas bagi mereka, dari yang muda sampai yang tua, Untuk
dapatkan benih lelaki demi mendapatkan keturunan. Kudengar kabar dari
sabahatku itu, Nyai Ratu Cendana Sutera mengincarmu.
Dia ingin mempunyai keturunan dari darah seorang
pendekar sejati. Tentunya kau akan diperbudak oleh mereka, disuruh membuahi para
wanita Selat Bantai satu persatu. Padahal jumlah mereka lebih dari seratus orang
wanita. Menurut kepercayaan para wanita Selat Bantai, jika mereka dapatkan benih
dari pria yang bekas dipakai ratu mereka, maka mereka akan berumur panjang dan
keturunan mereka pun akan dianggap keluarga Nyai
Ratu Cendana Sutera. Keturunan mereka diperlakukan sama dengan keturunan Nyai
Ratu Cendana Sutera."
Suto Sinting tertawa kecil bernada geli,
"Jika begitu, tentunya sang Ratu tidak akan
membiarkan pria yang pernah membuahinya dipakai
rebutan oleh para bawahannya?"
"Tidak, Suto! Setiap pria yang pernah menanamkan benih dalam diri Nyai Ratu, ia
harus mati. Jika tidak mati, maka benih itu tidak akan menjadi janin. Dan
biasanya sebelum pria itu dibunuh, maka ia akan
digunakan sebagai pejantan bagi wanita-wanita
pendukung Nyai Ratu. Setelah semua wanita mendapat bibit dari pria tersebut,
maka mereka pun akan
mengakhiri hidup pria itu."
Semakin geli sang Pendekar Mabuk mendengar
penjelasan tersebut, ia menggumam bagai bicara pada dirinya sendiri.
"Aliran sesat macam apa yang mereka anut
sebenarnya" Kurasa semua itu hanya isapan jempol
belaka, Kabut Merana. Semua penjelasan yang kau
dengar dari sahabatmu itu hanya rekayasa dan kepalsuan belaka. Jangan mau
percaya dengan cerita seperti itu, Kabut Merana. Sebab...."
"Ini bukan rekayasa, Suto! Kudengar kabar tentang mereka sudah cukup lama, sejak
aku belum mengenalmu."
"O, ya"!" Suto Sinting kian lebarkan senyum dengan nada tak mau percayai hal
itu. "Satu lagi yang belum kau dengar, Suto...!" ujar Kabut Merana dengan berapi-api,
menampakkan kesungguhannya dalam membeberkan rahasia
perempuan Selat Bantai itu.
"... jika pada bulan kesuburan yang datangnya hanya seratus tahun sekali itu
sang Ratu tidak mendapatkan
bibit ksatria muda berilmu tinggi, maka selamanya ia tidak akan mendapat
keturunan lagi, kecuali ia mampu bertahan hidup sampai datangnya bulan kesuburan
berikutnya. Karena itu...."
Sebelum kata-kata Kabut Merana selesai, tiba-tiba tubuh gadis itu tersentak ke
depan dengan kepala
terdongak dan wajah menyeringai. Suara pekik tertahan terlontar dari mulutnya.
"Huuuggh...!"
"Kabut Merana"!" seru Suto Sinting dengan terkejut.
Seruan itu membuat Elang Samudera dan Bawana
lemparkan pandangan ke arah Kabut Merana. Kedua
orang itu pun terperanjat melihat tubuh gadis itu kepulkan asap putih buram.
Tubuh sekal itu akhirnya mengerut dan menjadi susut, lama-lama mengecil dan
mengecil terus, hingga akhirnya jatuh terkulai menjadi seperti bocah berusia
lima tahun. "Suto, apa yang terjadi pada dirinya"!" Elang Samudera bernada tegang sambil
bergegas menghampiri Kabut Merana yang telah menyusut dan menjadi seperti bocah
berusia lima tahun.
Pendekar Mabuk tak bisa jelaskan apa yang sempat
dilihatnya tadi, karena kala itu Pendekar Mabuk
terkesima dan terkunci mulutnya, kelu lidahnya, karena ia segera menyadari bahwa
Kabut Merana yang berubah seperti bocah berusia lima tahun itu ternyata sudah
tidak bernyawa lagi. Tak ada napas sedikit pun yang keluar dari mulut maupun
hidungnya. Tak ada denyut nadi atau detak jantung yang menjadi tanda
kehidupannya. Jika
semua itu tak ada, maka Suto Sinting segera paham bahwa gadis itu telah tewas
oleh sebuah serangan dari tempat tersembunyi tadi.
Serangan tersebut berupa seberkas sinar kecil warna pelangi yang menghantam
punggung Kabut Merana
dengan sangat cepat. Pendekar Mabuk tak sempat
menyingkirkan Kabut Merana, juga tak sempat lakukan penangkisan dengan cara apa
pun. Sinar berwarna
pelangi itu muncul dan melesat dalam keadaan sangat tiba-tiba. Kecepatan gerak
sinar pelangi itu nyaris tak bisa dilihat oleh mata kepala Suto Sinting sendiri.
"Dia... dia telah tiada, Suto!" ucap Elang Samudera dengan nada sedih. Pendekar
Mabuk segera tarik napas dan buang pandangan ke arah datangnya sinar pelangi
tadi. Kemudian dalam kejap berikutnya, sosok Pendekar Mabuk telah lenyap dari
depan Elang Samudera, karena si Pendekar Mabuk segera lakukan pengejaran
terhadap pelakunya dengan menggunakan jurus 'Gerak Siluman yang mampu bergerak
melebihi anak panah lepas dari busurnya. Zlaaap...! Weess.. !
"Suto...! Suto, tunggu dulu!" seru Elang Samudera, seperti anak kecil takut
kehilangan kakaknya. Sementara itu, Bawana hanya diam pandangi mayat kecil si
Kabut Merana dengan mulut melongo dan mata tak berkedip.
Orang yang melepaskan pukulan dahsyat tadi ternyata tidak ada di tempat
datangnya sinar pelangi kecil itu.
Pendekar Mabuk terpaksa mencarinya keliling tempat itu dengan masih pergunakan
jurus 'Gerak Siluman'-nya.
Zlaap, zlaap, zlaap...! Dan Elang Samudera mencari
berlawanan arah dengan Suto Sinting, agar ia bisa melakukan pengepungan terhadap
si pembunuh Kabut
Merana itu. Di suatu sisi tempat, kedua pemuda tampan itu saling bertemu dan hentikan
langkah mereka. Mata mereka
masih memandang nanar kepada keadaan sekeliling,
karena keduanya sama-sama penasaran tak menemukan siapa-siapa di tempat itu
kecuali mereka sendiri.
"Aku melihat sinar pelangi sekelebat dan
menghantam punggung Kabut Merana. Datangnya dari
arah sini, tapi di sini tidak ada manusia sepotong pun kecuali kita berdua,
Elang Samudera."
"Dugaanku juga begitu, pasti Kabut Merana terkena pukulan jarak jauh yang
tersembunyi dan kau pasti akan mengejarnya. Aku tak mau kehilangan kau, Suto.
Sehingga walaupun aku tahu pengejaran ini akan sia-sia, tapi aku tetap datang
mendukungmu, Suto! Kalau boleh kutahu, sebenarnya apa yang dibicarakan gadis itu
kepadamu?"
Pendekar Mabuk akhirnya ceritakan kecurigaan
Kabut Merana terhadap diri Bawana. Seketika itu pula Elang Samudera tampak
terperanjat dan menjadi cemas.
Lalu ia bergerak lebih dulu dari Pendekar Mabuk.
"Celaka! Jangan-jangan Bawana adalah mata-mata dari Selat Bantai"! Kita harus
segera menemuinya dan memaksanya bicara!"
Pendekar Mabuk bergerak ke arah semula. Zlaaap...!
Ia tiba di samping mayat Kabut Merana lebih dulu.
Elang Samudera sempat kaget melihat Suto sudah ada di
tempat. "Cepat sekali gerakan larinya"! Aku tak mungkin bisa mengungguli kecepatan
geraknya itu."
"Hei, mana orang yang mencariku tadi?" ujar Suto Sinting sambil memandang ke
sana-sini. Ternyata
Bawana tidak ada di tempat dan tidak diketahui ke mana kepergian orang tersebut.
"Jangan-jangan dia memang orang Selat Bantai yang... yang ingin menangkapmu,
Suto!" kata Elang Samudera setelah mendengar penjelasan singkat dari Suto
tentang apa yang dituturkan Kabut Merana tadi.
"Jika begitu, cari si Bawana tadi dan paksa dia agar tunjukkan pada kita di mana
letak Selat Bantai itu."
Pendekar Mabuk diam termenung menahan
kemarahan dalam hatinya. Elang Samudera masih tetap berpaling ke sana-sini
sambil berseru keras-keras.
"Bawana! Bawanaaa...! Di mana kau, Bawana..."!"
Suasana masih tetap sepi dan mulut mereka pun tetap terkunci walau sudah lima
kali masing-masing dari mereka berteriak memanggil nama Bawana.
"Apa yang harus kita lakukan jika begini, Suto?"
tanya Elang Samudera dengan penuh rasa membela
pihak teman. * * * 5 DENGAN hati sedih, Pendekar Mabuk mengangkat
mayat Kabut Merana yang menjadi kecil itu. Ia sempat
berkata kepada Elang Samudera yang berdiri murung di sampingnya,
"Aku harus bawa mayat Kabut Merana kepada Galak Gantung, gurunya. Ikutlah aku
sebagai saksi atas
peristiwa ini, Elang."
"Aku tak keberatan sedikit pun. Sebaliknya kita berangkat sekarang saja, dan
menunda kepergian kita ke Pulau Dulang. Tapi..., tapi bagaimana dengan hilangnya
Bawana itu" Apakah kita perlu mencarinya sampai
ketemu?" Pendekar Mabuk yang sudah jongkok di samping
mayat Kabut Merana hentikan gerakannya, ia tak jadi mengangkat mayat Kabut
Merana. Ada sesuatu yang
perlu direnungkan sebentar, yaitu tentang hilangnya Bawana.
Namun sebelum ia harus berkata lagi, tiba-tiba
mereka mendengar suara ledakan yang cukup dahsyat.
Tanah tempat mereka berpijak terasa bergetar kuat menandakan ledakan itu terjadi
tak seberapa jauh dari tempat mereka. Pendekar Mabuk cepat bangkit dan
berwajah tegang. Matanya memandang tajam ke arah
datangnya suara ledakan.
"Ada sebuah pertarungan di sebelah barat sana!"
"Jangan-jangan orang yang membunuh Kabut Merana sedang bertarung melawan musuh lainnya?"
"Kita periksa sebentar ke sana, Elang!"
Dalam waktu sangat singkat, Pendekar Mabuk dan
Elang Samudera tiba di tempat pertarungan. Apa yang dilihat oleh mereka sangat
mengejutkan Pendekar
Mabuk, sebab ia tahu persis siapa orang yang saling mengadu kesaktian itu.
Elang Samudera pun terperanjat melihat siapa yang bertarung dengan serunya itu,
karena ia mengenal
mereka. Bahkan tanpa sadar mulutnya berkata dengan nada menggumam,
"Awan Setangkai"!"
"Benar. Ternyata perempuan itu ada di sini. Mungkin juga perempuan itu yang
membunuh Kabut Merana."
Pandangan mata Suto Sinting tertuju ke arah lawan perempuan itu yang berpakaian
hitam dirangkap jubah tanpa lengan warna putih. Lelaki tua yang menjadi lawan
Awan Setangkai itu berusia sekitar delapan puluh tahun, tapi gerakannya masih
lincah dan gesit, ia mempunyai rambut panjang warna uban diikat ke belakang,
jenggotnya putih pendek, tapi kumisnya lebat dan
berwarna putih uban juga. Tokoh tua itu tak lain adalah sahabat si Gila Tuak
yang dikenal dengan nama si Galak Gantung. Elang Samudera pernah bertemu Galak
Gantung pada saat kakak perempuannya yang bernama Dewi Cintani itu menjadi
manusia separo hewan, (Baca serial "Pendekar Mabuk dalam episode : "Dendam Selir
Malam"). "Rupanya Ki Galak Gantung sudah mengenal Awan Setangkai," ujar Elang Samudera,
karena ia mendengar suara Galak Gantung berseru saat sebelum lanjutkan
serangannya, "Akan kuhanguskan tubuh licikmu itu. Awan
Setangkai! Kau telah menyerang muridku dari belakang,
tapi aku akan menyerangmu dari depan sebagai langkah penebus kelicikanmu!"
Galak Gantung sentakkan tangannya dalam satu
lompatan. Dari telapak tangan itu melesat sinar merah yang segera berubah
menjadi kobaran api begitu sinar merah melewati pertengahan jarak mereka.
Wuuuss...! Tapi dengan tenangnya Awan Setangkai
mengibaskan tangan kanan bagai membuang segenggam daun. Kibasan itu ternyata
hadirkan angin cukup besar dan memadamkan kobaran api yang sedang menuju ke
arahnya. Wuuut...! Weess...!
Tubuh Galak Gantung yang melayang segera
dihantam dengan pukulan jarak jauh berupa sinar kuning lebar. Sinar kuning itu
keluar dari ujung-ujung jari Awan Setangkai yang disentakkan miring ke depan
dalam keadaan keempat jarinya merapat. Suut...! Claaap...!
Galak Gantung menangkisnya dengan sinar merah
yang keluar dari ayunan tangan kiri dari belakang ke depan. Wuut...!
Clap, jegaaarrr...!


Pendekar Mabuk 063 Pemburu Darah Satria di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Awan Setangkai terlempar akibat gelombang ledakan dari perpaduan dua sinar tadi.
Galak Gantung sendiri juga terlempar ke belakang dan jatuh berjungkir balik.
Karena ledakan lebih dahsyat dari yang didengar Suto tadi telah membuat beberapa
pohon tumbang serta
gugusan batu pecah berhamburan. Bahkan Pendekar
Mabuk dan Elang Samudera pun terlempar ke samping dalam jarak tiga langkah dari
tempat pengintaian mereka itu.
"Edan! Jurus apa yang dipakai mereka ini" Rasa-rasanya bumi mau kiamat, langit
mau runtuh dan...."
Elang Samudera tak bisa lanjutkan ucapannya karena mulutnya segera dibekap oleh
Suto Sinting. Pendekar Mabuk bisikkan kata di telinga Elang Sa-mudera.
"Jangan bicara sekeras ini, nanti mereka mendengar dan mengetahui kehadiran kita
di sini, Tolol!"
Elang Samudera menarik tangan yang menutup
mulutnya dengan sedikit jengkel, ia ingin ucapkan sesuatu, namun tak jadi karena
perhatiannya lebih tertarik pada apa yang akan dilakukan oleh Awan
Setangkai. Perempuan itu tampaknya tidak mengalami luka parah walau terlempar
tujuh langkah jauhnya, ia berdiri tegak dalam waktu singkat, sementara Galak
Gantung justru memuntahkan darah dari mulutnya saat merangkak berusaha untuk
bangkit lagi. Awan Setangkai mengangkat kedua tangannya dalam
keadaan telapak tangan menghadang ke depan dan
bagian belakang telapak tangan itu menempel di kening.
Kedua kaki perempuan itu sedikit merenggang dan
badannya tampak tegak. Matanya terpejam beberapa
saat, dan tiba-tiba kedua tangan itu berkelebat ke depan bagai melemparkan
pisau. Wut, wut...!
Slaaap...! Dua sinar merah berbentuk pisau kecil melesat dari kedua tangan Angin Setangkai.
Sinar merah itu
mengarah lurus ke tubuh Galak Gantung. Tokoh tua
tersebut terperanjat begitu sadar bahwa ada dua sinar merah berbentuk pisau
mendekatinya, ia terlambat
menghindar dan menangkis sinar tersebut. Sekalipun sudah berusaha mengelak ke
samping kiri, tapi salah satu sinar merah itu berhasil menembus bagian bawah
pundak kirinya.
Claasss...! "Uaahk...!" Galak Gantung terpekik dengan tubuh mengejang sedikit melengkung ke
Bara Naga 1 Renjana Pendekar Karya Khulung Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San 10
^