Pencarian

Pawang Jenazah 1

Pendekar Mabuk 015 Pawang Jenazah Bagian 1


Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah
lindungan undang-undang.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
Pembuat E-book:
Scan buku ke DJVU: Abu Keisel
Convert & Edit: Paulustjing
Ebook oleh: Dewi KZ
http://kangzusi.com
http://dewi-kz.info
http://www.tiraikasih.co.cc/
http://ebook-dewikz.com/
1 ANGIN kuburan berhembus menyebarkan batu tanah
basah. Hujan semalaman telah mengguyur tanah kuburan, membuat lembek lahan yang ada di sekitarnya.
Kadang angin kuburan menghembuskan bau bangkai
yang menusuk hidung, menyolok mata. Tentu saja mata orang penakut yang tercolok
oleh bayangan ngerinya sendiri.
Tetapi bau tanah kuburan itu tidak mengganggu
pernapasan seorang pemuda yang tengah beristirahat di atas sebuah pohon. Pemuda
itu menggunakan dahan
berjajar sebagai tempat duduk dan batang pohon sebagai tempat bersandar. Pemuda
itu tampak santai sekali
menikmati tuaknya yang sebentar-sebentar ditenggak dari
bumbung bambu tempat penyimpanan tuak. Bumbung itu selalu dibawanya ke mana ia pergi,
disandang di punggung bagaikan pedang keramat.
Anehnya, sekian kali ia meneguk tuak, tak ada rasa pusing di kepala. Tak ada
ocehan mabuk dari mulutnya.
Pemuda itu tetap tegar dan berjalan tanpa sempoyongan, berdiri tanpa limbung,
berlari tanpa menabrak-nabrak.
Dia bukan dewa, tapi dia lebih dikenal sebagai Pendekar Mabuk, murid sinting si
Gila Tuak. Suto namanya. Karena ilmu yang dimiliki itu gila-gilaan, tak tanggung-tanggung
keampuhannya, maka sering ia dikatakan sinting dalam segala tindakan.
Gilanya ilmu yang dimiliki itulah yang membuat ia dipanggil Suto Sinting.
Gurunya sendiri yang mengawali panggilan itu, sehingga sampai sekarang Suto pun
tidak keberatan
menggunakan nama kondang itu; Suto Sinting, Pendekar Mabuk.
Suto memang Pendekar Mabuk. Tapi ia tidak mabuk
sembarang mabuk. Hanya dalam gerakan jurus-jurusnya saja yang kelihatan seperti
keadaan orang sedang mabuk.
Kadang ia seperti orang mau jatuh, tapi ternyata menyepak batu dan batunya
mengenai lawan. Kadang seperti mau tersungkur, ternyata justru melepaskan
pukulan dahsyat. Sedangkan dalam kehidupan sehari-harinya di luar pertarungan ia
tidak pernah merasa mabuk dan berjalan sempoyongan, ia tetap sebagai pemuda yang
tegar, gagah, perkasa, dan menawan.
Angin kuburan kembali menghembuskan bau tak
sedap. Tapi anehnya masih saja ada orang lewat di jalanan tak jauh dari kuburan
itu. Sesekali pedagang daun memikul dagangannya untuk dijual ke pasar, atau
pedagang kain mendorong gerobak tempat kainnya
untuk ditawarkan ke perkampungan terdekat. Dan kali ini yang dilihat Suto adalah
serombongan orang
memikul tandu. Empat orang pemikul tandu tertutup berseragam
pakaian kuning. Enam orang di belakangnya mengawal tandu berseragam biru tua,
lengkap dengan senjata dan perisai di tangan masing-masing. Empat orang di
samping kanan kiri tandu berseragam hitam, juga
menyandang pedang di punggung masing-masing. Empat orang lagi berjalan di depan tandu berseragam merah. Di depan keempat
seragam merah itu berjalan dua orang yang mempunyai pakaian lebih bagus dengan
warna masing-masing ungu dan hijau. Mereka berdua adalah
perempuan-perempuan
cantik berambut disanggul, sisanya dibiarkan terjulur ke samping.
Tandu tertutup itu berwarna merah dengan hiasan
ukir kuning emas. Tingginya seukuran pundak orang dewasa. Dan agaknya orang yang
ada di dalam tandu itu dalam keadaan duduk. Tandu itu mempunyai dua buah pintu
kanan-kiri yang dilapisi dengan kain tirai penutup bagian atas pintunya itu.
Tirai tersebut juga berwarna merah. Dari arah kanan terlihat samar-samar orang
yang duduk di dalam tandu itu, karena tirai penutupnya berwarna merah
transparan. Ketika rombongan melewati jalan di depan kuburan,
suatu keajaiban terjadi. Tanah kuburan bergetar. Langit menjadi gelap karena
diselimuti awan hitam bergulung-gulung. Angin berhembus semakin kuat, sesekali
terjadi loncatan petir di langit yang memercikkan nyala api biru bagai naga
mengamuk. Para pembawa tandu tetap melangkah tanpa merasa
gelisah. Tapi para pengawalnya mulai diliputi kegundahan. Dua orang yang berjalan paling depan sering memandang ke langit
dengan cemas. Dan tiba-tiba kuburan mengepulkan kabut putih
kehitam-hitaman.
Kabut itu makin lama semakin memenuhi tanah kuburan. Lalu, dengan mata kepala memandang jelas, Suto melihat
tanah gundukan di setiap makam itu bergerak-gerak, kemudian retak. Tangan-tangan
berbelatung warna hitam lumer mulai muncul dari dalam kubur.
Kejap berikutnya mereka yang menjadi penghuni
tanah kuburan melompat keluar menerabas gundukan tanah yang menimbun jenazah
mereka masing-masing.
Ada yang sudah bertulang, ada yang sudah dimakan rayap, ada yang baru sebagian
saja tubuhnya digerogoti rayap, ada yang masih baru dua-tiga hari dimakamkan.
Semuanya menerobos keluar dari kubur masing-masing.
Brusss...! Glegar guntur di langit menyambut kemunculan
mereka. Blarrr...! Glur glur glur glur...! Suara itu menghilang.
Blarrr...! Glur glur glur glur....! Menghilang lagi. Kini mereka yang baru
bangkit dari kubur melangkah
meninggalkan tempatnya, mereka mulai berdiri mendekati jalan yang akan dilewati oleh para pengusung tandu itu. Begitu para
pengusung tandu dan rombongan muncul dari jalanan yang menanjak, para mayat yang
bangkit dari kubur itu segera menyerang mereka.
"Kkkrrr...!" Mereka serukan suara tak jelas. Tapi langkah dan gerakan mereka
terlihat jelas serba pasti.
"Lindungi sang putri...!" seru si baju ungu.
Mayat-mayat itu melompat menerjang mereka. Jumlahnya dua kali lipat dari jumlah mereka. Bahkan menurut
dugaan Suto lebih besar dari jumlah penggandaan tersebut. Mereka menyerang dengan jurus-jurus yang sulit dipelajari
dan diingat. Kadang ada yang melayang bagai singa mau menerkam. Kadang ada yang
menukik seperti burung pemakan bangkai. Ada pula yang merangkak dan menerkam
leher lawannya bagai kan seekor kucing liar.
Pendekar Mabuk terbengong-bengong di atas pohon
menyaksikan apa yang dianggapnya mimpi itu, Suto lupa berkedip, lupa meneguk
tuaknya, bahkan lupa bergerak, ia terpukau dan terkesima oleh pemandangan
mengerikan yang tak pernah dibayangkan sebelumnya.
Langit semakin gelap. Petir semakin bersahutan. Para rombongan tandu berjuang
mempertahankan serangan lawan. Tapi tebasan pedang ataupun tusukan tombak mereka
tidak dihiraukan oleh para mayat. Yang sudah terpenggal lengannya masih maju
menyerang dengan kaki. Yang sudah terpotong kepalanya, kepala itu sendiri
melesat terbang dan menggigit lawan. Bahkan yang
tanpa kepala masih bisa mempermainkan jurus dan
membuat lawan tewas.
Malahan ada yang melepaskan pukulan jarak jauh
yang tentu saja dialiri tenaga dalam cukup tinggi. Sinar merah, kuning, biru
sering terlihat lepas dari tangan mereka,
menghantam rombongan tandu dan menyebabkan kematian.
Agaknya para pengusung tandu maupun pengawalnya
lebih mengutamakan menyelamatkan orang yang ada di dalam tandu tersebut. Dan
para mayat sendiri berusaha menyerang orang di dalam tandu itu. Tangan-tangan
mereka yang sudah terpotong melayang terbang dan berusaha menerobos tirai tandu.
Dalam waktu singkat, rombongan tandu itu tinggal beberapa gelintir orang yang
sama-sama terdesak.
Brakk...! Zlappp...!
Tandu hancur. Kayu-kayunya pecah berantakan. Para mayat
kebingungan. Mereka bagaikan melihat kekosongan di dalam tandu. Kekosongan itu membuat mereka saling menggeram. Dua
orang yang masih hidup itu segera dibunuh secara beramai-ramai. Dengan begitu,
habis sudah orang-orang yang berada dalam rombongan tandu. Perempuan berpakaian
ungu dan hijau itu pun mati dalam keadaan mengerikan. Sementara itu, para mayat
segera kembali ke tempatnya masing-masing
dengan tertib tanpa saling berebut.
Ke mana orang yang ada di dalam tandu itu"
Sudah diselamatkan. Dibawa pergi orang berpakaian coklat dan celana putih,
berambut panjang lurus meriap
tanpa ikat kepala. Sang putri yang tadi dilindungi oleh mereka itu, sekarang
berada di atas pundak kiri seorang pemuda yang menyandang bumbung tuak. Siapa
lagi kalau bukan Pendekar Mabuk"
"Mau dibawa ke mana orang ini?" pikir Pendekar Mabuk bingung sendiri setelah
jauh dari tanah kuburan itu.
Terkesiap mata Suto setelah meletakkan orang yang dipanggulnya itu. Ternyata ia
seorang perempuan cantik.
Sungguh cantik sekali. Disuruh sumpah apa pun Suto berani! Perempuan itu cantik,
mengenakan tusuk konde dari emas batangan sebesar sumpit. Ada dua tusuk konde
yang menjadi penghias rambutnya itu. Sayang sekali perempuan
itu pingsan. Mungkin takut melihat banyaknya mayat yang bangkit menyerangnya tadi.
Bibir perempuan itu, sungguh menggetarkan hati setiap lelaki. Lembut
kelihatannya. Merah segar, seperti buah yang ranum. Bentuknya pun sangat indah,
tidak terlalu lebar, tidak pula terlalu kecil. Tidak tebal, tidak pula terlalu
tipis. Hidungnya mancung, bulu matanya lentik, alisnya
tebal tapi teratur rapi. Kulit pipinya halus sekali, seperti kulit bayi.
Warnanya putih. Demikian pula warna kulit tubuh lainnya. Suto memperhatikan
perempuan yang dibaringkan di bawah pohon itu dengan takjub.
Perempuan itu mengenakan pakaian yang tertutup
sampai leher. Potongan baju Cina berwarna merah
jambu itu sungguh amat serasi dengan kecantikannya.
Dalam sepintas saja Suto Sinting sudah menduga bahwa
perempuan itu pasti gadis dari negeri Cina. Di samping terlihat dari bentuk
pakaiannya, juga dari bentuk liontin kalungnya yang berwarna hijau muda itu
membentuk gambaran seekor naga. Sulaman benang emas pada
pakaiannya pun berbentuk seekor naga yang melilit dari kaki sampai ke
pertengahan dada.
Siapa dia" Siapa namanya" Ke mana arah tujuannya"
Mengapa diserang mayat-mayat kubur"
Semua itu tak bisa diketahui Pendekar Mabuk karena gadis cantik jelita itu masih
dalam keadaan pingsan.
Pendekar Mabuk ingin menyadarkan gadis itu melalui tuaknya, yaitu dengan
memasukkan tuak ke dalam mulut gadis itu, tapi tak bisa dilakukan karena mulut
itu terkatup rapat. Sebenarnya bisa juga dilakukan dengan cara menyemburkan tuak
di mulut Pendekar Mabuk ke dalam mulut gadis itu, tapi jelas ia harus
menempelkan mulutnya ke mulut gadis itu.
"Jangan! Aku tak berani. Takut tak mau berhenti mulutku menempel terus di
bibirnya! Tidak. Aku tidak boleh begitu! Aku sudah punya kekasih sendiri. Aku
tak mau mengkhianati cintaku! Aku... aku... tapi ini demi pengobatan"! Apa
salahnya" Yang penting tujuanku baik, tidak punya niat ingin mengecup bibirnya!"
Pendekar Mabuk kerutkan dahi dan berpikir beberapa saat. Lalu, segera diteguknya
air tuak dalam bumbung itu. Sisanya dibiarkan di mulut, tidak ikut ditelan.
Pendekar Mabuk segera mendekati mulut gadis itu. Tapi begitu memandang semakin
dekat keindahan bibir
tersebut, tuak di mulut jadi tertelan sendiri. Glek...!
"Yah, habis tuaknya!" gumam Suto. Ia buru-buru menenggak tuak lagi. Disisakan
sedikit di mulutnya.


Pendekar Mabuk 015 Pawang Jenazah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cukup untuk disemburkan ke dalam mulut gadis itu.
Tangan Pendekar Mabuk gemetar memegangi bibir
gadis itu yang ingin dibukanya. Bibir pun akhirnya terbuka, Pendekar Mabuk
mendekatkan mulutnya. Tapi sekali lagi tuak dalam mulutnya tertelan. Glek!
"Yah, habis lagi...!"
Suto Sinting diam merenungkan dirinya sendiri.
Mengapa hanya menyemburkan tuak dari mulutnya ke mulut gadis itu saja tak mampu
dilakukannya" Padahal itu pekerjaan yang mudah.
"Hatiku berdebar-debar! Itu soalnya, jadi tak bisa tenang sewaktu mau menuangkan
tuak dari mulutku ke mulutnya! Sebaiknya, kutunggu dulu beberapa saat supaya
hatiku menjadi tenang dan tidak berdebar-debar,"
pikir Pendekar Mabuk sambil menggaruk-garuk
kepalanya. Kejap selanjutnya, Pendekar Mabuk merasa hatinya sudah tidak berdebar-debar.
Maka ia kembali meneguk tuaknya, sebagian ditelan, sebagian disisakan di mulut.
Pelan-pelan didekati bibir gadis itu. Tangannya gemetar lagi ketika memegangi
kepala gadis agar tak bergerak waktu mendapat sentuhan nanti. Pelan-pelan sekali
mulut Suto mendekati mulut gadis itu. Mata memandang jelas-jelas bentuk
keindahan dan kelembutan bibir itu.
Tiba-tiba tuak di mulut kembali tertelan. Glek...!
"Ah, masa bodohlah...!"
Akhirnya Pendekar Mabuk tidak mau mengulangi hal
itu. Ia tidak mau membuat gadis itu siuman melalui tuaknya. Bahkan ia berkata
sendiri, "Cari air saja! Siram air. Beres!"
Baru saja ia bangkit mau mencari air untuk menyiram itu gadis, tiba-tiba ia
melihat dua orang berkuda menghampirinya dengan tampang tergesa-gesa. Wajah
mereka menampakkan sikap tak bersahabat. Yang
berpakaian biru mempunyai kumis tebal melengkung ke bawah, kurus, wajah lonjong,
mata cekung, rambutnya kucai. Tapi dilihat dari pakaian biru berompi putih
dengan sulaman benang emas itu, agaknya orang
tersebut mempunyai suatu jabatan di suatu tempat.
Sedangkan yang satunya lagi juga mengenakan rompi bersulam benang emas, tapi
warnanya hitam. Baju
lengan panjang dan celananya berwarna kuning kunyit.
Wajahnya bundar, berkumis tipis, rambutnya tak begitu panjang, diikat kain
kuning. Kedua orang itu segera pelankan laju kudanya ketika mendekati Suto. Yang berompi
putih bermata cekung itu, segera meloncat turun dari kuda sebelum kuda berhenti
total. Bahkan tali kekang kuda dilepaskan begitu saja. Sikapnya menampakkan tak
sabar ingin segera melabrak Pendekar Mabuk. Sebilah pedang di pinggangnya
dicabut, kemudian dengan tanpa bilang ini itu, langsung saja ditebaskan ke dada
Pendekar Mabuk.
Wusss...! Pendekar Mabuk hanya mundur satu langkah dengan
gerakan kecil yang amat cepat. Kemudian ia berkata kepada orang itu,
"Apa-apaan ini"! Mengapa kau menyerangku"!"
Orang itu menodongkan pedangnya ke arah wajah
Pendekar Mabuk. Bahkan ujung pedang itu berada di depan leher persis, hanya
berjarak kurang dari sejengkal.
"Jangan berlagak bodoh, Anak muda!" geram orang berkumis melengkung ke bawah
itu. "Kau telah membunuh para prajurit dan pengawalku!"
"Prajurit yang mana?" Suto bingung.
Pedang disentakkan sedikit sebagai gertakan. Pendekar Mabuk sentakkan kepala ke belakang, takut tergores pedang lehernya.
"Tak perlu banyak bicara lagi! Serahkan saja bayinya!" kata orang itu. Dan Suto
makin kerutkan dahi.
"Bayi apa"! Kau pikir aku habis beranak"!" Pendekar Mabuk agak menyentak.
"Kuhitung tiga kali, jika bayinya tidak kau serahkan, kubunuh kau sekarang
juga!" "Bayinya siapa"!" bentak Pendekar Mabuk jengkel sendiri.
"Satu...!" orang itu mulai menghitung. Pedang semakin dekat.
"Tunggu dulu! Kau sangka aku ini apa" Pencuri bayi"
Hm... amit-amit! Untuk apa aku mencuri bayi"!"
"Dua...!"
orang itu menambah hitungannya. Wajahnya semakin tampak menggeram bengis. Matanya memancarkan nafsu untuk
membunuh. Dan Pendekar
Mabuk merasa sangat terdesak dengan hitungan itu.
Tiba-tiba jari tangan Suto menyentil ke atas. Tapp...!
"Aou...!" orang itu memekik kaget, pedangnya lepas
dari tangan, ia buru-buru ingin memungutnya, tapi kaki Pendekar Mabuk dengan
segera menendang pedang itu.
Beettt...! Pedang ditendang Pendekar Mabuk bagian sampingnya lalu melayang terbang dan menancap di sebuah batang pohon. Jubb...!
Hampir separo batang pedang amblas ke pohon itu.
Orang berwajah lonjong terbengong. Temannya yang masih berada di atas kuda juga
terbengong. Orang berwajah lonjong masih pegangi bagian sikunya yang tadi
terkena sentilan bertenaga dalam dari jari tangan Pendekar Mabuk. Bahkan ia
tampak terkesiap ketika melihat sikunya memar, tulangnya bengkak.
Yang di atas kuda membatin, "Gila orang itu!
Tendangan pedangnya tadi tak seberapa keras, tapi bisa menancap di pohon
sebegitu dalam. Jika ia bukan orang berilmu tinggi tak mungkin bisa lakukan hal
itu!" "Perwira Loyang...! Kita laporkan saja hal ini kepada Laksamana!" seru orang di
atas kuda kepada si muka lonjong itu.
"Aku harus menghajar anak ini dulu, biar dia tahu adat!"
geram Perwira Loyang. Kemudian ia menghantamkan pukulannya ke arah Suto dengan
gerakan yang cukup berat. Bettt....!
Wuttt...! Perwira Loyang terkejut, bingung mencari orang
yang tadi dihantamnya. Matanya terbelalak ke sana-sini.
"Perwira Loyang.....anak itu ada di belakangmu!"
Begitu si muka lonjong itu menoleh ke belakang, ia
makin terkejut, karena ternyata orang yang dipukulnya itu sudah ada di
belakangnya dalam jarak dua langkah.
Tapi orang itu tidak balas menyerangnya.
"Jahanam Kupret! Kau mau main-main denganku, hah"!" geram si muka lonjong.
"Kubuat mampus kau sekarang juga! Hiiih...!"
Wusttt...! Perwira Loyang melancarkan tendangan
kipas dengan berbalik melingkar kakinya menendang wajah Pendekar Mabuk dengan
sentakan keras. Tetapi apa yang ditendang itu ternyata tempat yang kosong.
Pendekar Mabuk telah lebih dulu melesat saat si muka lonjong bergerak memutar.
Mata orang itu jelalatan mencari lawannya. Bahkan ia sempat mencari sampai
tubuhnya berkeliling. Tapi ia tak melihat
lawannya yang seharusnya tadi terkena tendangan jika tidak menghindar.
"Perwira Loyang... lawanmu ada di atas pohon!"
Mendongaklah si Perwira Loyang. Terbengong ia
melihat Suto sudah berdiri di sebuah dahan dan sedang menenggak tuaknya.
"Turun kau, kalau memang jagoan!" bentak Perwira Loyang.
"Perwira Loyang...."
"Diam!" bentak Perwira Loyang kepada temannya yang ada di atas kuda. Kemudian ia
memandang Suto yang tahu-tahu sudah ada di atas pohon itu. Ia berseru,
"Kalau kau tak mau turun, aku akan pergi!"
Tiba-tiba ada suara deru kuda berlarian dari arah barat. Rombongan berkuda itu
sedang menuruni lereng
sebuah bukit tak jauh dari tempat itu. Teman yang ada di atas kuda itu segera
berseru, "Mereka datang, Perwira Loyang...! Lekas kita lari...!
Tinggalkan tempat ini, Perwira! Ayo, ayo, ayo...!"
Melihat rombongan berkuda menuruni bukit, Perwira Loyang segera melompat dan
hinggap di punggung
kuda. Lalu, bersama temannya ia memacu kuda secepat mungkin. Mereka tampak
ketakutan dan dengan cepat meninggalkan tempat itu.
"Kenapa mereka takut sama rombongan berkuda itu"!
Siapa sebenarnya rombongan berkuda itu"!" pikir Suto Sinting. "Ah, sial! Belum
sempat aku bicara baik-baik, menanyakan siapa anak gadis ini, dan bayi apa yang
dimaksud" Eh..., sudah pergi! Sial!" Pendekar Mabuk garuk-garuk kepala.
* * * 2 ROMBONGAN berkuda itu terdiri dari delapan
orang. Lima orang membelok ke arah kiri, tiga orang membelok ke arah kanan untuk
temui Suto Sinting. Pada saat itu, Suto sedang mendekati gadis bergaun merah
jambu yang masih dibaringkan di rerumputan bawah pohon, ia sedikit mengeluh
dalam tarikan napasnya begitu mengetahui tiga dari kedelapan rombongan
berkuda itu menuju ke arahnya. Dilihat dari wajah-wajah mereka, tak satu pun
yang tampak bersahabat.
"Bakal ada perkara lagi kalau dilihat gelagatnya!
Malas aku bermasalah dengan orang yang sebenarnya tidak punya perkara apa-apa
padaku," pikir Pendekar Mabuk
sambil berlagak tidak memperhatikan kedatangan tiga orang berkuda itu.
Ringkik kuda terdengar bagai jerit perawan. Kuda berhenti setelah mengangkat
kedua kakinya ke atas.
Penunggang kuda berbulu hitam berjambul coklat itu memandang Suto dengan wajah
angker, ia berada di tengah kedua temannya yang tetap di atas punggung kuda, di
kanan-kirinya. Orang yang ada di punggung kuda hitam berjambul
coklat itu mengenakan pakaian hitam dengan sabuk merah dan ikat kepala merah.
Kepalanya gundul plontos, tampak seperti semangka warna coklat. Matanya lebar
dengan alis tebal dan berkumis lebat, ia mengenakan kalung manik-manik seperti
tasbih yang berbandul kulit kerang warna kuning kecoklatan.
Orang itu berseru kepada Suto dengan suara kasarnya, "Cecunguk! Kau pilih kugantung secara baik-baik atau kuseret sampai
mati"!"
Pendekar Mabuk masih berlagak sibuk menyadarkan
gadis yang pingsan. Orang berkepala botak yang diikat kain merah itu merasa
semakin jengkel dengan sikap Suto. Maka ia pun lebih keraskan lagi suaranya,
"Monyet kurap! Jawab pertanyaanku!"
Seperti layaknya orang tuli, Pendekar Mabuk justru menenggak tuaknya dengan
santai. Sikapnya kian
meremehkan orang beralis tebal itu, sehingga orang itu
menggeram dengan gemas, kemudian dari atas punggung kudanya ia lepaskan pukulan jarak jauhnya melalui sentakan tangan kiri
ke depan. Wuttt...!
Suto segera turunkan bumbung tuaknya setelah
diangkat naik untuk dituangkan ke mulut. Pada saat itulah tenaga dalam yang
dilepaskan dari punggung kuda melesat dan menghantam bumbung tuak itu. Beggh...!
Wusssh...! Pukulan tenaga dalam yang bergelombang besar
tanpa wujud itu membalik ke arah lawan dan menjadi lebih besar lagi dari ukuran
semula. Orang berpakaian hitam itu tak menyangka sama sekali kalau pukulannya
akan membalik arah, sehingga dengan serta-merta
terhempas ke belakang dan terjungkal dari atas kudanya.
"Uhg...!"
Bluggh...! Badannya jatuh seperti kerbau terjungkal dari
atas pohon. Kudanya terlonjak kaget dan mengangkat kedua kaki depannya sambil meringkik.
Sementara itu, kedua orang di samping si kepala botak itu juga ikut terkejut
yang membuat mereka hanya terbengong saja menyaksikan orang itu jatuh terjungkal
dari atas punggung kudanya. Mereka tak bisa bilang apa-apa, karena mereka
dicekam oleh perasaan heran yang cukup besar.
Dalam hati, lelaki yang bercelana hijau dan memakai rompi hijau itu membatin,
"Kenapa dia jungkir balik begitu" Dia yang melepaskan pukulan ke arah anak muda
itu, tapi dia sendiri yang jatuh dari atas kuda"!
Jangan-jangan aku salah lihat"!"
Orang bermata lebar itu cepat-cepat bangkit dan
membentak kedua penunggang kuda tersebut,
"Mengapa kalian melotot saja"! Lekas turun! Turun dan hajar si cecunguk tuli
itu!" Jlegg, jlegg...!
Kedua orang itu turun dari atas punggung kuda
hampir bersamaan. Mereka melompat dan mendarat di samping kuda masing-masing
dengan sigap. Mata
mereka sama tajamnya pandangi Suto Sinting yang
sudah berdiri menghadap ke arah mereka.
Kedua orang itu segera sentakkan kaki dan melompat ke atas dengan jurus
tendangan layang yang siap
menerjang Pendekar Mabuk secara bersamaan. Tetapi Pendekar Mabuk cepat kibaskan
bumbung tuaknya dari kanan ke arah kiri. Wuttt...!
Kibasan cepat itu menimbulkan gelombang pukulan
tenaga dalam yang disalurkan melalui bumbung tersebut.
Gelombang pukulan itu menghempas kuat dua tubuh
yang sedang melayang ke arahnya. Akibatnya ke dua tubuh itu terpental kebelakang


Pendekar Mabuk 015 Pawang Jenazah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bagai diterjang badai besar.
Wusss...! Brukk...! Masing-masing jatuh terjungkal di samping kuda masing-masing.
"Agaknya kau memang memaksa kami melakukan
pencabutan nyawa sekarang juga, Cecunguk!" sentak orang berkepala gundul yang
diikat kain merah bagaikan pita sebuah bingkisan itu. Ia maju dua tindak dan tak
pedulikan dua temannya yang sedang berusaha bangkit kembali. Mata orang itu
makin nanar, seakan mata itu sendiri ingin menelan Suto. Tetapi tatapan mata
nanar itu dibalas oleh Pendekar Mabuk dengan sorot pandangan mata yang tenang dan damai. Senyum
Pendekar Mabuk itu pun mekar tanpa kesan permusuhan. "Mengapa kalian menyerangku" Apakah aku punya urusan dengan kalian" Padahal aku
tidak kenal siapa kalian!" kata Suto tenang sekali.
"Jangan pura-pura bodoh di depanku, Cecunguk!"
gertak orang berpakaian hitam itu.
"Namaku Suto, bukan Cecunguk" sanggah Pendekar Mabuk.
"Persetan dengan namamu! Yang jelas kau adalah cecunguknya si keparat itu!"
"Si keparat siapa "
"Laksamana Cho Yung!" sentak orang berpakaian abu-abu.
Pendekar Mabuk melepaskan tawa pelan namun
berkesan kegelian. Dikibaskannya rambutnya yang
meriap ke depan, lalu dengan tetap kalem ia ucapkan kata,
"Aku malahan tidak tahu siapa itu Laksamana Cho Yung!"
"Terlalu banyak bicara dia, Ki!" kata si rompi hijau.
"Hantam saja dia!"
"Memang bangsat dia! Haiiit...!"
Wesss...! Orang gundul itu cepat melompat dan
menerjang Suto dengan sebuah tendangan kaki besarnya.
Lompatan itu cukup cepat, kakinya dalam sekejap sudah sampai di depan mata Suto.
Maka dengan cepat pula
Suto sedikit merendahkan badan dengan kaki merentang ke samping kanan-kiri, lalu
kedua tangannya bergerak cepat menyodok bagian kemaluan lawannya. Begg...!
Tidak persis kena sasaran, tapi cukup membuat lawan tersentak ke atas dan
terjungkir balik di udara tanpa keseimbangan. Brukk...! Orang gundul itu jatuh
dalam posisi miring. Tangannya tertindih dan terasa ngilu di pangkal lengannya.
Sedangkan bagian dekat pangkal paha pun terasa panas-panas sakit akibat sentakan
kedua tangan Pendekar Mabuk yang bertenaga tak begitu besar tadi. Orang itu
mencoba berdiri dengan mendekap
kemaluannya, dan berjalan mendekati kedua temannya sambil tertatih-tatih.
"Bunuh dia sekarang juga! Bunuh!" sentak si kepala gundul yang agaknya menjadi
pimpinan orang-orang berkuda itu.
Yang berpakaian abu-abu cepat mencabut tombaknya dari selipan pelana kuda.
Tombak itu berujung clurit tajam mengkilap. Sedangkan yang bercelana hijau cepat
mengambil senjatanya berupa cangkul kecil bergagang sekitar tiga jengkal
panjangnya. Mereka segera berlari menyerang Pendekar Mabuk.
Tetapi jari tangan Pendekar Mabuk lebih cepat dari gerakan kedua orang tersebut.
Jari tangan itu bergerak menyentil dua kali ke arah depan. Tebb... tebb...!
Sentilan itu tentu saja bukan sembarang sentilan. Suto Sinting mempunyai jurus
sentil jari yang dinamakan jurus 'Jari Guntur'. Sentilan 'Jari Guntur' mengenai
punggung tangan para pemegang senjata. Seketika itu
mereka berteriak kaget dan kesakitan.
"Aoow...!"
"Auh...!"
Tubuh mereka sendiri terpelanting ke belakang bagai ditendang kuda dari arah
dada kanan masing-masing.
Badan yang melintir itu menabrak perut kuda, bahkan ada yang jatuh persis di
bawah kaki kuda. Hampir saja wajah orang yang jatuh itu diinjak kaki belakang
kuda kalau saja ia tidak cepat berguling hindarkan diri dari gerakan kaki kuda
yang melompat sambil menyentak.
Melihat kedua temannya atau anak buahnya mudah
dirubuhkan begitu saja, si kepala gundul semakin marah.
Maka, dengan cepat ia sentakkan kedua tangannya ke depan.
Pukulan tenaga dalam berkekuatan besar dihempaskan ke arah Pendekar Mabuk. Wugggh...!
Suto terkejut, ia tak sempat menghindarkan diri
hingga gelombang pukulan itu menghantam tubuhnya, terasa bagai ditabrak tembok
besar sekujur tubuh Suto.
Buggh...! Wuttt...!
Hampir saja Pendekar Mabuk terjungkal ke belakang akibat hempasan tenaga besar
tersebut. Untung ia cepat sigap dan walau terhempas ke belakang dalam jarak lima
langkah, namun ia bisa kuasai keseimbangan tubuh.
Bagaikan bersalto Pendekar Mabuk mendaratkan kakinya dengan sigap kembali.
Kedua orang yang tadi senjatanya terlepas dari tangan itu segera meraih kembali
senjata masing-masing.
Mereka cepat berlari untuk menyerang Suto dengan senjata tersebut. Namun, Suto
Sinting lekas hentakkan
suaranya, "Tahan!"
Bentakan itu membuat kedua orang yang akan
menyerangnya menjadi terhenti seketika. Mereka bahkan mundur satu tindak dengan
mata masih memandang
tajam pada Suto Sinting. Sedangkan orang botak di belakang mereka berseru,
"Serang dia! Bunuh sekarang juga!"
"Tahan!" bentak Suto lagi. Kedua orang itu lebih menurut dengan seruan Suto
ketimbang dengan seruan si gundul. Mereka tidak tahu bahwa Pendekar Mabuk telah
melepaskan jurus 'Sentak Bidadari' yang bisa bikin keberanian orang surut dan
menjadi penurut jika orang itu tidak berilmu tinggi, itulah ilmu warisan dari
bibi gurunya, Bidadari Jalang.
Si baju hitam berkepala gundul itu membatin, "Hebat juga si cecunguk ini"!
Kurasakan ada getaran tersendiri dalam batinku kala kudengar dua kali
sentakannya tadi!
Sentakan itu agaknya mampu membuat keberanian
Cangkul Lahat dan Tayub Jali menjadi hilang atau berkurang!
Agaknya aku tak boleh sembrono berhadapan dengan dia!"
Kemudian, dengan suara masih bernada keras orang gundul itu berseru kepada Tayub
Jali dan Cangkul Lahat,
"Tayub Jali, mundur kau...! Biar kuhadapi sendiri bocah ingusan itu!"
Orang berpakaian abu-abu yang bersenjatakan tombak berujung clurit itu segera mengundurkan diri.
Tapi temannya masih tetap diam di tempat.
"Cangkul Lahat, mundur juga kau!" seru si kepala gundul.
Orang bersenjatakan cangkul kecil yang tajam itu pun segera mengundurkan diri,
tak jauh dari depan kudanya.
Setelah itu, si kepala gundul maju dua tindak dari tempatnya dan segera ucapkan
kata kepada Pendekar Mabuk.
"Cukup lumayan permainanmu, Bocah Ingusan! Tapi jangan harap dengan modal
permainan itu kau bisa tundukkan aku si Pawang Jenazah yang tak pernah kenal
ampun kepada lawannya!" Ia tepuk dadanya sendiri, sombongkan diri. Dari
ucapannya itu Suto tahu bahwa si kepala botak itu bernama Pawang Jenazah. Jelas
itu hanya nama julukan saja. Siapa nama aslinya, Pendekar Mabuk tak berminat
untuk mengetahuinya. Suto hanya berkata,
"Aku tak bermaksud menundukkan kamu, Pawang Jenazah!
Aku hanya menahan seranganmu dan mengembalikannya, karena aku bukan orang bersalah!"
"Kau memang tidak bersalah, tapi juraganmu itu manusia yang penuh dengan
kesalahan!"
"Aku tidak punya juragan! Aku juga tidak punya pimpinan!"
"Kau mau mengelak karena takut berhadapan denganku"! Kau mau pungkiri diri dan mengaku bukan anak buahnya Laksamana Cho"!"
"Memang bukan! Kau salah sangka, Pawang Jenazah!" "Mataku belum bolong, Cecunguk! Kulihat kau tadi
berunding dengan Perwira Loyang!"
"Aku tidak kenal dengan Perwira Loyang!" sanggah Pendekar Mabuk dengan tetap
kalem. "Kalau yang kau maksud Perwira Loyang adalah orang berkuda yang tadi
berada di sini bersamaku itu, berarti kau salah duga, Pawang Jenazah! Aku bukan
berunding atau berteman dengannya. Justru aku mencoba bertahan diri dari
serangannya! Aku sendiri tak tahu, mengapa dia
menyerangku dan menanyakan soal bayi"!"
"Omong kosong! Kau pandai berkilah dengan tujuan selamatkan
diri dari jurusku yang sebenarnya, Cecunguk!"
"Kalau hanya untuk menyelamatkan diri, tak perlu aku berkilah menjelaskan duduk
perkara sebenarnya, Pawang Jenazah! Sudah kubilang tadi, apa susahnya
menundukkanmu dalam sekejap, seperti orang menarik uban dari kepalanya! Tapi
bukan itu tujuanku bicara denganmu! Aku hanya tak ingin di antara kita ada salah
pengertian, Pawang Jenazah!"
Pawang Jenazah yang berusia sekitar lima puluh
tahun itu melirikkan matanya ke perempuan muda yang masih pingsan itu. Ia
sedikit sipitkan mata, dan segera melebar
kembali, sepertinya ia baru sadar siapa perempuan yang tergeletak pingsan itu.
"Bagaimana dengan gadis itu"!" tanyanya, kepada Suto, dan dahi Suto semakin
berkerut karena tidak jelas apa maksud pertanyaan itu.
"Apa yang kau tanyakan sebenarnya?"
"Bukankah kau bersama gadis itu"!"
"Ya. Dia kuselamatkan dari serangan para mayat yang bangkit dari kuburan!"
"O, jadi kau yang selamatkan dia"! Jahanam...!"
geram Pawang Jenazah. "Berarti kau sudah terlalu dalam turut campur dalam
urusanku, Cecunguk Busuk!"
Pawang Jenazah semakin tambah marah kelihatannya. Suto Sinting merasa heran dengan kemarahan Pawang Jenazah. Tapi segera paham setelah Pawang Jenazah ucapkan kata,
"Sia-sia kubangkitkan mayat-mayat itu jika hanya untuk
membunuh orang-orang Cho, tanpa bisa membunuh gadis itu pula! Lancang sekali kau, Cecunguk! Mestinya gadis itu sudah mati diterkam habis oleh pasukan mayatku!"
"Kasihan dia! Melihat mayat sebanyak itu saja sudah pingsan, apalagi jika harus
diterkam ramai-ramai oleh pasukan mayat! Pasti dia akan mati, bukan hanya
pingsan!" "Memang itu yang kumau!" bentak Pawang Jenazah.
"Sekarang serahkan perempuan muda itu padaku!"
"Siapa perempuan itu, sehingga kau ingin membunuhnya?"
"Tak perlu tahu! Serahkan perempuan itu jika benar kau bukan anak buahnya
Laksamana Cho!" suaranya makih
meninggi, menandakan kemarahannya

Pendekar Mabuk 015 Pawang Jenazah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kian bertambah tinggi pula.
Pendekar Mabuk mempertimbangkan langkah sesaat.
Jelas jika ia menyerahkan gadis cantik yang amat lembut itu, sama saja ia
membunuh gadis itu. Tapi jika tidak,
maka ia akan dianggap sebagai anak buah Laksamana Cho Yung. Agaknya antara
Pawang Jenazah dan
Laksamana Cho Yung telah terjadi perselisihan sengit yang membuat Pawang Jenazah
harus membunuh orang-orangnya Laksamana Cho Yung. Jika Pawang Jenazah mau
membunuh gadis bersumpit emas itu, berarti gadis tersebut adalah anak buahnya
Laksamana Cho Yung.
Tapi gadis itu belum tentu bersalah.
"Pawang Jenazah, sebenarnya apa yang terjadi sehingga kau ingin membunuh semua
orang-orangnya Laksamana Cho?"
"Kau tak perlu tahu! Serahkan saja perempuan itu padaku dan cepatlah minggat
dari hadapanku! Jangan paksa aku bertarung denganmu seperti aku menghadapi
Laksamana Cho!"
"Aku harus tahu perkara yang sebenarnya, supaya aku tidak memihak ke mana-mana!
Setidaknya aku perlu pertimbangan supaya aku bisa tentukan langkah, apakah aku
harus serahkan perempuan itu kepadamu atau
kupertahankanl"
"Babi Burik!" umpat Pawang Jenazah. "Jangan sekali-kali kau punya niat untuk
selamatkan perempuan itu, jika kau masih ingin hidup lebih lama lagi, Cecunguk!
Sebaiknya cepatlah minggat dan tinggalkan perempuan itu!"
"Aku tidak bisa!" kata Pendekar Mabuk dengan tegas.
"Sebelum kutahu perkara yang sebenarnya antara kau dengan Laksamana Cho, aku
tidak akan tinggalkan gadis itu!"
"Persetan dengan tekadmu! Rupanya tak ada waktu lagi bagimu untuk pertimbangkan
langkah! Sebaiknya kulenyapkan juga kau, Cecunguk!"
Pawang Jenazah segera mengangkat tangannya dengan tenaga dikerahkan. Tangan yang berada di depan dada kanan-kiri itu mulai
bergetar. Agaknya kali ini Pawang Jenazah tak mau main-main seperti tadi. Ia
siap melepaskan jurus-jurus mautnya yang mematikan lawan.
Matanya pun sudah mulai semburat merah bagai dibakar amukan amarah.
Suto tetap tenang, tapi penuh dengan kewaspadaan, ia sempat ucapkan kata kepada
lawannya, "Jelaskan dulu persoalannya, supaya kalau toh aku mati, dapat mati dengan mata
terpejam!"
"Persetan mau terpejam atau mendelik matamu nanti!
Yang jelas, terimalah pukulan mautku ini! Hiaaah...!"
Wuttt...! Cahaya merah melesat dari kedua telapak tangan Pawang Jenazah. Cahaya
itu berbentuk seperti uang logam yang menyala-nyala dan bergerak cepat ke arah
Suto Sinting. Oleh Pendekar Mabuk cahaya itu dapat dihindari
dengan satu sentakan kaki secara pelan ke tanah dan tubuhnya terangkat melesat
ke atas dan berjungkir balik satu
kali di udara. Cahaya merah itu akhirnya menghantam pohon yang jauh di belakang Suto.
Duarr...! Duarr...!
Pohon itu pecah bagai disambar petir. Pawang
Jenazah menggerakkan tangannya dengan cepat, wut wut wut...! Dua jari tahu-tahu
sudah ada di dahinya. Dua jari
yang ada di dahi itu disentakkan ke depan dan
melesatlah sinar merah kecil seperti ranting panjang yang menuju ke arah tubuh
gadis pingsan itu.
"Celaka! Dia mau menghancurkan gadis itu!" pikir Suto.
Maka, dengan cepat Suto lompatkan diri menghadang sinar merah itu di samping tubuh gadis yang terbaring. Suto Sinting
berguling sambil hadangkan bumbung tuaknya. Sinar merah seperti ranting mengenai
bumbung tuak, dan memantul balik ke arah semula.
Zrubbb...! Wusss...!
"Bangsat!" teriak Pawang Jenazah sambil melompat menghindari sinar merah yang
berubah menjadi lebih besar dan lebih cepat dari keadaan semula. Dubb...!
Blarrr...! Ledakan itu amat mengejutkan. Seekor kuda milik
Tayub Jali pecah tubuhnya tanpa sempat memekik lagi.
Sempalan tubuh kuda itu menghantam ke kanan kiri, membuat Tayub Jali dan Cangkul
Lahat terpental
berlainan arah dan berguling-guling dalam jarak delapan langkah dari tempat
berdirinya semula.
"Aku harus melarikan gadis itu, supaya tahu perkara sebenarnya!" pikir Pendekar
Mabuk. Maka dengan cepat ia menyambut tubuh pingsan itu, ia panggul ke
pundaknya dan cepat pergi bagaikan angin berhembus.
Wuttt...! Pawang Jenazah terbengong sekejap, tak percaya dengan sebuah gerakan
secepat yang dilihatnya.
* * * 3 KALAU saja Pawang Jenazah bisa melihat arah
larinya Pendekar Mabuk dan gadis itu, pasti ia akan mencegat dengan segala cara.
Sayangnya, Pawang
Jenazah hanya melihat Suto berkelebat pergi. Wesss...!
Begitu saja, dan tak bisa dilacak ke mana arah perginya.
Seandainya ia melakukan pencegatan, harus ke arah mana ia mencegatnya"
"Ke mana orang itu tadi, Ki Pawang?" tanya Cangkul Lahat, ia baru saja sadar
dari terguling-gulingnya tadi.
Tubuhnya bermandi darah kuda. Merah sekujur tubuh Cangkul Lahat, demikian pula
tubuh Tayub Jali.
Pawang Jenazah tidak menjawab pertanyaan itu,
karena hatinya masih berkecamuk,
"Sehebat itukah anak buah Laksamana Cho" Mudah-mudahan dia memang bukan anak
buah Laksamana Cho! Ilmunya cukup tinggi, itu terlihat dari caranya pergi dari depanku. Dia
jelas sulit dikalahkan, sekalipun aku mampu menumbangkannya tapi harus dengan
susah payah! Hmm... aku bisa kerahkan pasukan mayatku
untuk melumpuhkan orang itu! Tapi itu soal nanti!
Mudah saja! Sekarang yang penting aku harus temukan di mana kapal laksamana
bersandar! Akan kuhancurkan kapal itu, dan kuhancurkan pula si keparat itu!
Kalau perlu kujadikan dia bubur manusia yang pertama di jagad raya ini! Hmm...!"
Lalu ia melompat dengan satu sentakan kaki ketanah, tubuhnya melayang dan
berjungkir balik ke belakang.
Kejap berikutnya Pawang Jenazah sudah bertengger di
atas punggung kudanya.
"Kita susul teman-teman kita ke pantai! Kita susuri pantai sampai kita temukan
kapal si keparat itu!" katanya kepada kedua anak buah tersebut. Tayub Jali
terpaksa berboncengan satu kuda dengan Cangkul Lahat, karena kudanya telah pecah
binasa tak berbentuk lagi.
Nun jauh di sisi sebelah sana, terdapat sebuah
bangunan besar yang keadaannya sudah sebagian
hancur. Bangunan itu konon dulunya bekas sebuah
gedung perguruan silat aliran keluarga Sanjaya Laga.
Keluarga tersebut cukup kesohor pada masanya. Kabar-kabarnya jurus-jurus yang
dipakai dalam aliran silat Sanjaya Laga merupakan pengembangan dari jurus-jurus
'Shaolin'. Hampir seratus tahun lewat, keluarga Sanjaya Laga dikalahkan oleh golongan hitam
dari Tanah Tibet.
Mereka berhasil menggempur habis kekuatan keluarga Sanjaya Laga, menjagal semua
penghuni gedung kuno itu tanpa menguburkannya satu pun. Dan sejak itulah aliran
silat Sanjaya Laga punah dari permukaan bumi, tanpa ada penerusnya.
Sejak itu, gedung beratap tinggi itu menjadi saksi bisu yang tinggal dalam
kesunyian abadi. Temboknya menjadi hitam dan berlumut. Lantainya sudah ditumbuhi
oleh rumput liar. Atap depan rubuh ke bawah, menutup jalan masuk gedung
tersebut. Tapi melalui sisi samping ada lorong yang menuju bagian belakang
gedung tersebut. Bagian belakang itu sendiri jarang terkena sinar matahari sehingga
tempatnya menjadi lembab dan kotor.
Menurut kabar burung, gedung itu sering mengeluarkan suara aneh bila malam hari. Seperti suara orang berlatih jurus-
jurus silat, atau seperti orang memekik kesakitan. Tak ada manusia yang mau
lewat dekat-dekat situ bila malam hari. Selain gedung itu gelap tanpa sinar,
juga sering menyebarkan bau bangkai membusuk.
Orang-orang menamakannya sebagai Rumah Busuk. Tak jauh dari gedung itu ada sebuah perkampungan.
Tetapi Pendekar Mabuk tidak mau membawa gadis Cina yang masih pingsan itu ke
perkampungan tersebut.
Sekalipun Suto yakin akan mendapat tumpangan untuk bermalam di perkampungan
tersebut, tapi ia memilih gedung kuno itu yang menjadi tempat menyembunyikan si
Sumpit Emas tersebut.
Di dalam gedung kuno itu, Suto merasa heran setelah menemukan sebuah ruangan
yang agaknya dulu bekas sebuah kamar. Kamar besar itu lain dari ruangan-ruangan
yang ada di Rumah Busuk tersebut.
Kamar besar itu berlantai bersih, berdinding putih, mempunyai empat tempat
pelita yang menempel di
dinding. Juga terdapat selembar tikar walau sudah rusak bagian tepinya. Kamar
itu jelas ada yang merawat dan menempatinya. Walau tanpa jendela atau lubang
angin satu pun kecuali pintu setinggi tiga tombak, tapi kamar itu tidak
mengandung udara lembab seperti kamar-kamar lainnya.
Gadis berpakaian merah jambu itu dibaringkan oleh Suto di atas tikar tersebut.
Hari sudah remang petang,
sehingga Pendekar Mabuk terpaksa menyalakan keempat pelita dengan bantuan
ranting kering yang dibakar oleh tenaga dalamnya dari ujung jari telunjuk.
Ruangan itu menjadi terang, tapi tetap tak bisa terlihat dari luar rumah cahaya
terangnya itu. "Siapa penghuni kamar ini?" pikir Pendekar Mabuk sambil melangkah memeriksa
seluruh ruangan Rumah Busuk itu. "Tak mungkin kamar itu bersih dengan sendirinya
jika tidak ada penghuninya! Pasti ada orang yang bersembunyi di kamar itu, entah
sudah berapa lama! Apa yang dilakukan orang itu selama bersembunyi di rumah yang
terkesan angker ini, tak bisa kuterka. Tak ada tanda-tanda bekas makanan,
berarti kamar itu tidak digunakan untuk makan. Tak ada tanda-tanda bekas
gempuran, berarti kamar itu tidak dipakai untuk berlatih silat! Dan tak kucium
bau wewangian, berarti tempat itu tidak dipakai untuk bermesraan! Lalu, ke mana
orang yang menghuni kamar itu sekarang ini" Aku mau minta izin untuk
menempatinya beberapa saat!"
Berulang kali Suto mengelilingi Rumah Busuk itu
untuk mencari seseorang yang diduga menjadi penghuni kamar bersih itu, tapi ia
tidak temukan apa-apa, kecuali seekor ular yang dapat segera dihancurkan
kepalanya dengan pukulan jarak jauhnya. Pendekar Mabuk pun segera kembali masuk
ke kamar itu dengan harapan gadis tersebut sudah siuman. Tapi ternyata gadis itu
masih tetap terbujur bagai tidur nyenyak. Suto Sinting jadi berpikir,
"Mengapa gadis itu pingsan begitu lama" Umumnya
orang pingsan tak sampai setengah hari sudah siuman!
Tapi gadis ini sampai malam tiba masih saja belum siuman! Apa penyebabnya sampai
ia bisa pingsan lama begini?"
Pendekar Mabuk kembali meneguk tuaknya. Sempat
ia berpikir ingin semburkan tuak ke dalam mulut gadis itu supaya siuman, tapi
kembali hatinya bergemuruh jika memandang bibir perempuan itu, sehingga ia
batalkan niatnya itu. Bahkan untuk memandang si baju merah jambu terlalu lama,
Suto tak berani. Karena gemuruh dalam dadanya begitu kuat dan makin lama
memandang makin menyentak-nyentak, sehingga ia berpikir lebih baik meninggalkan
dulu gadis itu. Ia segera keluar rumah, memandang kegelapan malam yang sepi dan
sunyi, menikmati suara derik jangkrik di kejauhan sana.
"Mungkinkah gadis itu terkena pukulan maut yang mematikan segala urat
kesadarannya"! Seingatku, dia masih tetap di dalam tandu pada saat mayat-mayat
itu menyerangnya. Belum sempat ia terjamah oleh mayat, aku sudah lebih dulu
menyelamatkannya! Jadi, apa yang membuat dia pingsan selama ini" Rasa kaget!
Rasa takut melihat mayat bangkit" Atau karena sesuatu hal yang belum kuketahui?"
Sambil bicara sendiri dalam hatinya, Suto Sinting meneguk tuaknya sesekali. Alam
yang dibungkus malam gelap itu sama sekali tak timbulkan penglihatan apa pun.
Nyamuk menyerang Suto. Nyamuk di situ besar-besar, sehingga terasa menepak
seekor lalat yang menclok di pipi.
"Bisa mati dikeroyok nyamuk kalau aku di luar rumah terus. Sebaiknya aku ikut
beristirahat sebentar di dalam kamar itu!" pikir Suto Sinting sambil melangkah
masuk melalui lorong kecil menuju bagian belakang rumah. Tempat itu sedikit
becek, namun punya bebatuan kering yang bisa digunakan sebagai tempat berpijak.
Pintu kamar yang tetap dibiarkan terbuka itu
membuat bias cahaya lampu pelita menyorot ke luar.
Dan karena pintu kamar terbuka, maka dari depan pintu saja Pendekar Mabuk sudah
bisa melihat keadaan di dalam kamar.
Langkah Suto Sinting terhenti dan matanya terkesiap dengan hati terperanjat
kaget. Tubuh gadis itu sudah tidak ada di atas tikar.
"Hilang..."!" gumam Suto dalam keheranannya, lalu cepat-cepat ia melangkahkan
kaki memasuki kamar itu.
Tertegun sejenak ia memandang tikar yang kosong.
Tiba-tiba punggungnya terasa ditabrak oleh benda besar dan keras. Beggh...!
Benda yang terasa menyentak punggung itu tidak mengenai bumbung bambunya,
sehingga tubuh Suto tiba-tiba saja terpental ke depan dan terasa bagai
dilemparkan oleh tenaga yang cukup besar.
Pendekar Mabuk terjungkal dan membentur dinding
dekat tikar. Dugg...!
Buru-buru Pendekar Mabuk palingkan wajahnya ke
arah pintu yang tadi dipunggunginya. Ternyata di sana sudah berdiri gadis
bergaun merah jambu. Si Sumpit Emas
memandang Suto Sinting penuh hasrat permusuhan. Sikap berdirinya yang sedikit renggang
kaki itu menampakkan bahwa dirinya telah siap
menyerang, atau diserang sewaktu-waktu.
Sedangkan Pendekar Mabuk saat itu diam terpana
melihat kecantikan gadis itu jika tidak dalam keadaan pingsan. Pelan-pelan ia
bangkit dengan mata tak
berkedip. Tetapi, tiba-tiba gadis bersumpit emas itu kelebatkan tangannya yang
bergaun lengan panjang lebar itu, wuttt...! Gerakannya seperti orang mengusir
nyamuk di depannya. Lalu, terasa jelas ada gelombang berkekuatan besar
menghantam badan Suto. Buggh...!


Pendekar Mabuk 015 Pawang Jenazah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suto sengaja tidak menangkis dan tidak menghindar, ia ingin tahu kekuatan apa
yang bisa dikeluarkan oleh gadis bersumpit emas di rambutnya itu. Ternyata cukup
besar. Suto sampai terhempas kuat-kuat dalam keadaan terlempar membentur dinding
lagi bagian lengannya.
Pandangan matanya sempat gelap sebentar saat menerima gelombang pukulan yang dilepaskan gadis itu.
Suto segera kejap-kejapkan mata dan kibaskan kepala sebentar untuk membuang
pandangan gelapnya itu.
Ketika ia memandang kembali ke arah pintu, ternyata gadis itu telah melompat ke
dinding, lalu dengan cekatan sekali ia berlari merayapi dinding seperti seekor
cecak. Plak plak plak plak! Dalam waktu singkat sudah
mendekati langit-langit kamar tersebut.
"Gila itu bocah!" gumam Pendekar Mabuk dalam hati sambil mendongakkan kepala,
memandangi tingkah
gadis itu. "Rupanya dia punya ilmu cukup lumayan! Di samping bisa merayap
seperti seekor cecak, juga punya tenaga dalam cukup besar! Jika orang kosong
menerima pukulan tenaga dalamnya tadi pasti sudah rontok bagian dalam dadanya. Tapi...
mengapa dia menyerangku
begitu" Apakah dia belum tahu bahwa akulah yang
menyelamatkan jiwanya dari ancaman serangan mayat-mayat tadi siang di kuburan?"
Mata bundar yang bening dari gadis itu memandang nanar pada Pendekar Mabuk. Dari
caranya memandang, Suto tahu gadis itu ketakutan dan tak mau diserang. Ia
berjaga diri dari ancaman maut yang disangkanya akan datang dari tangan Pendekar
Mabuk. "Turunlah!" kata Suto tanpa suara membentak, melainkan kalem.
Gadis itu diam saja, masih berpaling memandangi
Suto dengan keadaan tangan dan kakinya menempel
pada dinding. Melihat gadis itu diam saja, Suto
melangkahkan kaki, maju dua tindak dari tempat
berdirinya, kemudian berkata,
"Turunlah, aku mau bicara denganmu!"
Tapi tiba-tiba tubuh gadis itu bagaikan terbang, ia melesat ke arah Pendekar
Mabuk dengan sentakan kedua tangannya pada dinding, ia memekik saat menyerang
terbang, "Hiaaat...!"
Sambil terbang, tangannya bergerak-gerak cepat
memainkan jurus aneh yang sulit diikuti pandangan mata Pendekar Mabuk. Agaknya
jurus itu cukup handal dan akan mencelakakan jiwa Pendekar Mabuk jika tidak
segera menghindar. Maka, Pendekar Mabuk pun cepat menghindar dengan cara
menggulingkan badan ke lantai
dua kali. Wutt, wutt...!
Gerakan terbang cepat itu tak mengenai sasarannya.
Akibatnya, tubuh yang terbang itu membentur dinding yang tadinya dipunggungi
oleh Suto Sinting. Brukk...!
"Auh...!" gadis itu memekik karena tubuhnya bagai dihajarkan pada dinding, ia
jatuh setelah itu dan menyeringai kesakitan. Keningnya diusap-usap karena terasa
sakit diadu dengan dinding.
Pendekar Mabuk tertawa pelan melihat kejadian
tersebut, ia dapat membayangkan alangkah sakitnya tubuh
yang menabrak dinding dengan kecepatan lumayan keras itu. Suto Sinting sengaja tidak menolong gadis itu selain
menertawakan. Mendengar suara tawa Suto, gadis bersumpit emas itu cepat-cepat menahan diri
untuk tidak meringis dan mengerang kesakitan, ia bahkan lekas bangkit dan
menghadap Suto dengan tangan terangkat siap melepaskan pukulan tenaga dalam jarak jauhnya.
"Tunggu, tunggu...! Jangan serang aku!" Pendekar Mabuk
menahannya dengan terburu-buru, ia melangkahkan kaki mendekati gadis itu. Tapi gadis itu nekat melepaskan pukulan
dari tangan kanannya yang telah terangkat di atas kepala itu.
"Kiaat...!"
Wusss...! Buhgg...! Gubrak...!
Suto terjengkang ke belakang. Jatuh dengan telentang. Punggungnya terganjal tabung tuak.
Ia menyeringai menahan sakit, lalu dengan ayunan pinggulnya ia melenting ke atas, bangkit dengan kaki menapak sigap di lantai.
Jlegg...! "Jauhi aku, atau kubunuh kau!" ancam gadis itu.
"Keduanya tak ada yang kupilih! Aku hanya ingin jelaskan, bahwa aku bukan
musuhmu!" "Omong kosong!" sentak gadis itu. "Kau pasti orangnya Pawang Jenazah! Kau pasti
salah satu dari mayat hidup yang menyerangku di dalam tandu!"
"Aha, kau salah duga, Nona Manis," jawab Suto Sinting sambil pamerkan senyumnya
yang menggoda. Tapi nona manis itu masih saja tampilkan wajah
cemberut. Pendekar Mabuk melanjutkan kata, "Kau memang tadi siang diserang oleh pasukan
mayat di jalan depan kuburan itu. Tapi aku bukan salah satu anggota dari pasukan
tersebut!"
"Baumu busuk. Bau bangkai! Kau pasti sesosok mayat!"
Pendekar Mabuk tertawa masam, "Itu bukan bauku.
Itu bau rumah ini, Nona Manis! Kau tahu, sekarang kau kubawa ke Rumah Busuk ini,
karena tak ada pilihan lain untuk sembunyikan dirimu!"
"Bohong! Kau dusta padaku! Hiaaat...!"
Tangan gadis itu berkelebat dengan cepat bagai
simpang-siur di depan wajahnya, lalu tiba-tiba ia melayang dengan tubuh
berputar. Kain gaunnya sampai tampak mengembang indah. Tapi punggung telapak
tangannya menghantam dada Suto dengan gerakan
cukup cepat. Duggh...! "Auh."!" Suto terpekik karena menahan napas saat mendapat pukulan tersebut, ia
mundur dua tindak. Gadis itu berkelebat memutar lagi, lalu tangannya yang kiri
kembali menyodok ulu hati Suto memakai punggung
telapak tangan yang menguncup.
Dess...! Suto menahan pukulan kedua dengan telapak tangan kanannya. Sambil menahan
pukulan, ia kerahkan sedikit tenaga dalamnya untuk mendorong tangan lawan.
Wuttt...! Gadis itu terpelanting dalam keadaan lari mundur
dan sempoyongan. Tubuhnya membentur dinding tak seberapa keras, tapi membuat ia berhenti dari terpelantingnya.
"Hiaaat...!" kembali ia segera menyerang dengan gerakan cepat. Kali ini dua jari
tangannya melepaskan sinar kuning yang mengarah ke dada Suto Sinting.
Wesss...! "Kalau kutangkis dengan bumbung tuak, bisa membalik mengenai dirinya! Bahaya!" pikir Pendekar Mabuk, maka segera ia
sentakkan kaki dan melompat ke atas tanpa bergerak maju. Sinar kuning itu
melesat lewat bawah kaki Suto dan menembus dinding belakangnya.
Bluss...! "Edan! Dinding itu bolong tanpa semburkan debu sedikit pun"! Sakti juga
sebenarnya gadis ini"! Tapi mengapa dia tadi tidak keluar dari tandu dan ikut
menyerang mayat-mayat tersebut?" pikir Suto Sinting lagi setelah melihat dinding
jadi bolong tanpa timbulkan
semburan debu sedikit pun. Bolongnya dinding itu sebesar uang logam. Tepiannya
berwarna hangus.
"Hiaaat...!" gadis itu kembali menyerang Pendekar Mabuk. Kali ini dengan sebuah
tendangan beruntun yang punya kecepatan cukup tinggi menurut ukuran kecepatan
tendang seorang berilmu sedang.
Tendangan beruntun ke arah wajah Pendekar Mabuk
itu dihindari dengan meliuk-liuk kepala beberapa kali.
Tak satu pun tendangan beruntun yang mampu mengenai wajah Suto. Tetapi dengan cepat bagaikan kelebatan anak panah, jari
tangan Pendekar Mabuk menotok mata kaki gadis itu. Takkk...!
"Aauuuh...!" gadis itu langsung mengerang panjang sambil terbungkuk-bungkuk
memegangi mata kakinya.
Pendekar Mabuk membiarkan gadis itu menahan
sakit, ia jauhi gadis itu, dan kini berada di sudut kamar kosong tanpa benda apa
pun itu sambil menenggak
tuaknya. "Jahanam kau!" geram gadis itu sambil tetap membungkuk pegangi mata kakinya.
Suto yang berdiri memandang gadis itu hanya tersenyum. Gadis itu
tampak makin menggeram, ia ingin melompat dan
menyerang Suto, Tapi ia tak mampu gerakkan tangan, kaki ataupun punggungnya yang
tetap membungkuk, ia telah tertotok dan menjadi tak bisa bergerak kecuali
kepalanya. "Sudah kukatakan, aku bukan musuhmu!" kata Suto Sinting.
"Bebaskan aku jika kau bukan musuhku!" bentak
gadis itu. "Kau berjanji tak akan menyerangku lagi"'
"Itu tergantung keputusanku nanti!"
"Kalau begitu kau tidak akan kubebaskan! Dan, sepertinya aku sudah kehabisan
waktu! Aku harus pergi sekarang juga untuk suatu urusan!"
Pendekar Mabuk melangkahkan kakinya menuju ke
pintu. Gadis itu memekik dengan suara kecilnya,
"Hai, bebaskan aku dulu!"
"Permisi! Sampai jumpa
lagi di lain waktu!" Pendekar Mabuk keluar dari kamar itu, dan sang nona manis itu memekik keras,
"Bebaskan aku dulu! Jangan pergi kau, Gila!"
Sang nona manis mencoba gerakkan tubuhnya untuk
melompat-lompat dalam keadaan membungkuk pegangi mata kakinya. Tapi tubuhnya
bagaikan terpaku di lantai kamar itu. Ia berseru lebih keras lagi,
"Hai...! Gilaaa...! Jangan pergi! Jangan tinggal aku sendirian di tempat ini!
Gilaaa...! Gila! Kuremukkan kepalamu
kalau kau tak mau kembali! Haaai...! Kembali...!"
Suto sunggingkan senyum ketika mendengar teriakan gadis itu di luar rumah. Suara
kecilnya yang melengking bagai pisau tajam merobek sunyinya malam. Segala sumpah
serapah dan cacian terlontar karena kepanikan hati sang nona manis. Dan Pendekar
Mabuk itu semakin tertawa geli dengan suara ditahan.
* * * 4 TIDAK setega itu Pendekar Mabuk terhadap gadis
bersumpit emas. Meninggalkan sendirian di Rumah
Busuk merupakan tindakan yang tergolong keji, karena sama saja menyiksa hati
yang dicekam perasaan takut terhadap hantu-hantu Rumah Busuk.
Tetapi agaknya gadis itu bukan seorang yang mudah menyerah. Setelah ia
dibebaskan totokannya oleh
Pendekar Mabuk, ia kembali menyerang dengan berbagai jurus, ia tetap mencurigai Suto sebagai komplotan Pawang Jenazah.
Sampai pada kejap berikutnya, Pendekar Mabuk
berhasil menangkap tangan gadis itu yang hendak
memukulnya dari belakang. Tangan itu ditariknya
hingga tak sengaja gadis itu telah memeluk Pendekar Mabuk.
Suto sengaja menjebaknya begitu, sehingga gadis
berkulit putih itu menjadi merah wajahnya karena malu.
Suto Sinting menertawakannya, si gadis bertambah garang. Kemudian ia menyerang
Pendekar Mabuk dengan pukulan bercahaya kuning lagi. Tetapi cahaya kuning itu memantul balik
setelah ditangkis oleh Pendekar Mabuk menggunakan tabung tempat tuaknya.
Wuttt...! Wess...! Gadis itu melompat dan bersalto di udara dua kali. Sinar kuning kembali
menembus dinding dan bolonglah dinding itu tanpa keluarkan debu sedikit pun.
Lebar bolongan dinding itu lebih besar dari lobang dinding
yang pertama. Dengan begitu, si gadis terbengong dan terheran-heran melihat kenyataan di depan mata. Mau tak mau di


Pendekar Mabuk 015 Pawang Jenazah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam hati nona manis itu mengakui kehebatan ilmu yang dimiliki Pendekar
Mabuk. Apalagi kala itu Suto pun berkata,
"Jangan serang aku lagi, Non! Karena ilmu yang kau serangkan padaku bisa
membunuh dirimu sendiri!"
"Apakah kau tak punya ilmu apa-apa, sehingga sejak tadi kau tidak menyerangku"!"
ucapnya dengan ketus.
"Tidak. Aku memang tidak punya ilmu apa-apa, tapi dapat
membunuhmu dengan mudah kalau kau memaksanya terus!"
"Bunuhlah!" sentak gadis itu. "Bunuhlah aku! Itu lebih baik daripada kau biarkan
aku tetap hidup!"
"Hidup itu indah, Nonal"
"Tidak! Hidup itu tidak ada indahnya sama sekali bagiku! Lekas, bunuhlah aku!
Bunuhlah sekarang juga!"
Gadis itu menangis, ia duduk bersandar dinding
sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan. Tangisnya makin lama semakin tampak menjadi. Agaknya gadis itu benar-benar menangis, dan bukan hanya berpura-pura saja.
Pendekar Mabuk jadi serba kikuk menghadapi gadis cantik yang menangis terisak-
isak begitu. Tak mengerti Suto harus berbuat bagaimana meredakan tangis gadis
itu. Yang dapat dilakukan Pendekar Mabuk hanya
menenggak tuaknya sendiri beberapa teguk, kemudian berdiri di pintu memandang
kegelapan, ia tunggu suara tangis itu hingga mereda dan makin lama menjadi
semakin hilang. Setelah itu, Suto mendekat nona manis
itu dengan hati-hati dan tak berani menggodanya lagi.
Ada duka yang tersekap di hati nona manis itu. Suto tahu duka tersebut sangat
menekan batin dan menyiksa jiwa.
Pendekar Mabuk semakin tertarik untuk mengetahui duka yang tampak sangat menyiksa itu.
Karenanya, ia segera lontarkan kata dengan suara pelan dalam jarak berdiri empat
langkah di samping gadis itu,
"Jika ada orang lewat tak jauh dari rumah ini, ia akan lari terbirit-birit
Si Dungu 4 Mayat Kesurupan Roh Karya Khu Lung Setan Harpa 9
^