Pencarian

Pawang Jenazah 3

Pendekar Mabuk 015 Pawang Jenazah Bagian 3


untuk mencapai Pantai Gelagah.
Tetapi baru mencapai separo perjalanan, tiba-tiba ia terhenti karena melihat
seorang penunggang kuda melaju ke arahnya dengan kecepatan tinggi. Dalam
sekelebat pandang, Wicaksono dapat mengenali si penunggang kuda yang mengenakan
pakaian biru berompi putih. Tak salah lagi dugaan Wicaksono, bahwa orang itu
adalah Perwira Loyang. Dulu Wicaksono pernah bertemu
dengan Perwira Loyang dalam bentrokan kecil di sebuah kedai. Tetapi Perwira
Loyang tidak mau melayani
tantangan Wicaksono, karena ia punya urusan penting yang harus diselesaikan.
"Barangkali aku harus mengawali dari sini," kata Wicaksono dalam hatinya.
"Perwira Loyang harus kubunuh, selagi ia sendirian! Tapi, mengapa ia pacu
kudanya begitu cepat" ia seperti dikejar setan yang membuatnya ketakutan.
Hmmm... siapa orang yang
mengejarnya itu" Tak tampak ada kuda di belakangnya!"
Perwira Loyang memang sedang melarikan diri.
Kalau dia tidak cepat-cepat melarikan diri, ia akan habis dirajang
oleh mayat teman-temannya sendiri. Mengalahkan mayat-mayat yang dibangkitkan dengan ilmu pembangkit mayat bukan hal
yang mudah. Sebab mayat-mayat itu tak bisa dibunuh begitu saja. Satu-satunya
cara terbaik adalah meloloskan diri dari serangan para mayat tersebut. Dan
Perwira Loyang berhasil meloloskan diri, hingga walaupun sudah jauh dari maut ia
masih memacu kudanya dengan kecepatan tinggi.
Tetapi kuda itu tiba-tiba meringkik dan melonjak ke depan. Kedua kakinya
diangkat naik dan mengais-ngais udara. Perwira Loyang hampir saja terlonjak dan
terjungkal ke belakang kalau tidak kuat-kuat memegang tali kekang kudanya.
"Ada apa ini"! Mengapa kudaku jadi seperti ketakutan"!" pikir Perwira Loyang. Kuda itu melonjak-lonjak terus sambil
meringkik panjang. Seakan kuda tersebut tak mau bergerak maju dan ingin
menghindari sesuatu. Bahkan sesekali sang kuda melompat ke sana
kemari tanpa tujuan, bagai orang yang menahan rasa sakit akibat terbakar api
pantatnya. Perwira Loyang segera mengendalikan amukan kuda, ia berusaha mengatasi gerakan
kuda yang menjadi liar itu dengan tetap bertahan duduk di pelananya.
"Hhrrr... hiah hiah hiah...! Ck ck ck...! Ck ck ck...!"
"Iiieeehhkkk...!"
Kuda makin meringkik keras dan panjang, ia
melompat-lompat
liar. Sentakannya sangat keras, sehingga Perwira Loyang hilang keseimbangan dan jatuh terjungkal dari atas
punggung kuda. Brukk..! Sedangkan sang kuda segera lari tinggalkan Perwira
Loyang, melaju cepat ke tempat asal kedatangannya.
"Monyet Kudis!" geram Perwira Loyang sambil bangkit dan membersihkan tanah yang
melekat di pakaiannya. "Kenapa kuda itu lari terbirit-birit" Apakah di depan sana ada
pasukan mayat yang dikendalikan oleh ilmunya si Pawang Jenazah"!"
Perwira Loyang tak tahu, bahwa di balik semak-
belukar tak jauh dari depannya itu, Wicaksono bersembunyi rapat-rapat dan ingin mencelakakan lawannya. Wicaksono menggunakan sebatang ilalang yang direntangkan, lalu ditiup
bagian tepian ilalang itu.
Tiupan tersebut menimbulkan suara yang tak bisa
tertangkap oleh pendengaran manusia, namun cukup jelas
diterima pendengaran hewan. Tiupan itu menghadirkan suara melengking tinggi bagi kuda dan menusuk-nusuk gendang telinga
hingga kuda tersebut merasa kesakitan. Itulah sebabnya kuda tunggangan
Perwira Loyang berjingkrak-jingkrak dengan liar, karena ia memberontak tak mau
maju lebih ke depan lagi.
Telinganya terasa sakit sekali jika semakin mendekati rimbunan semak di
depannya. Wicaksono tersenyum melihat kuda itu lari terbirit-birit. Bahkan beberapa burung
yang ada di pepohonan sekitarnya juga beterbangan dan merasa sakit mendengar
bunyi yang tak tertangkap telinga manusia itu. Wicaksono merasa menang dalam satu jurus, walau ilmu meniup tepian ilalang itu
tidak membutuhkan tenaga dalam sedikit pun, kecuali hanya pengetahuan tentang
getaran suara. Salah tiup pun tak akan hasilkan suara aneh bagi para binatang.
Perwira Loyang baru saja ingin melangkah tapi tiba-tiba ia mendengar suara
gemuruh dari samping. Suara gemuruh
itu membuat Perwira Loyang berpaling memandang, dan begitu mengetahui apa yang terjadi, ia segera melentingkan tubuh,
melayang di udara dan bersalto ke belakang satu kali. Kakinya baru saja menapak
di tanah namun sudah harus dljejakkan lagi, dan bersalto lagi ke belakang dengan
gesit. Brukkk...! Sebuah pohon berbatang lurus, besar dan tinggi, tiba-tiba roboh melintang di
depan Perwira Loyang. Kalau saja Perwira Loyang tidak cepat melentingkan tubuh
ke udara dan bersalto dua kali, pasti tubuhnya akan gepeng tergencet batang
pohon besar itu.
"Monyet Miskin!" seru Perwira Loyang dengan marahnya.
"Siapa yang berani mengganggu perjalananku, hah"! Keluar dan tampakkan batang
hidungmu!"
Kejap berikutnya, Perwira Loyang curiga pada
rimbunan semak di seberang pohon tumbang itu. Maka dengan cepat ia sentakkan
tangannya dan terlepaslah pukulan tenaga dalam bersinar putih melesat cepat
menghantam rimbunan semak itu.
Wuttt...! Crasss...! Brusss...!
Rimbunan semak itu terbakar dalam sekejap. Nyala apinya cepat padam dan kepulan
asapnya cepat hilang.
Tapi rimbunan semak itu menjadi hangus berdebu hitam tanpa ada ilalang yang
tumbuh lagi. Pada saat sebelum sinar putih menghantam rimbunan semak, terlebih dulu sesosok
tubuh melesat tinggi dan bersalto ke arah samping pohon tumbang. Wutt...!
Tubuh itu tahu-tahu bertengger di atas akar pohon yang terdongkel keluar dari
tanahnya. Dan orang yang baru muncul itu segera memperdengarkan tawanya. Walau
tak terbahak-bahak, namun memanjang dan berkesan menantang.
"Monyet Rabun! Rupanya kau yang mengganggu
perjalananku"!" geram Perwira Loyang yang sudah mengenal Wicaksono. Ia segera
teringat pertentangan dengan Wicaksono di dalam kedai beberapa waktu yang silam.
"Apa maksudmu mengganggu perjalananku, Wicaksono"! Apakah kau ingin melanjutkan persoalan di kedai beberapa waktu yang
lalu"!"
"Ada persoalan lain yang perlu kuselesaikan!" kata
Wicaksono dengan tetap bertolak pinggang. "Sebelumnya aku ingin tahu, ke mana arah tujuan pergimu, Perwira Loyang"!"
"Kepergianku
tidak punya urusan denganmu, Wicaksono!"
"Mungkin aku bisa bantu kamu jika tahu arah dan tujuanmu! Seperti kau ketahui,
aku tak segan-segan turun tangan membantu kesulitan orang jika ada
upahnya!" Perwira Loyang diam berpikir, "Kalau memang dia mengharapkan upah, tak ada
jeleknya jika dia kusuruh membantuku dalam melakukan tugas dari laksamana.
Aku sudah kehilangan anak buah. Aku perlu orang yang bisa menolongku, terutama
untuk menghadapi Pawang Jenazah, sementara aku menculik bayi Mayang Suri.
Aku butuh perisai untuk menahan gerakan Pawang
Jenazah, setidaknya menghambat serangannya yang
diarahkan kepadaku! Dan agaknya, Wicaksono punya ilmu lumayan tinggi, bisa
kujadikan perisai sementara!"
"Tua Pikun...! Mengapa diam saja"!"
seru Wicaksono. "Berapa upah yang harus kubayarkan kepadamu, Wicaksono"!"
"Tergantung apa tugas yang harus kulakukan" Itulah sebabnya, sebutkan ke mana
tujuanmu dan apa tugas yang ingin kau lakukan?"
"Aku ingin pergi ke rumah perempuan bernama Mayang Suri untuk mencuri bayinya!
Kau kenal nama Mayang Suri"!"
Wicaksono mendidih darahnya seketika itu. Tapi ia berusaha untuk menahan luapan
amarahnya untuk sesaat.
Tangannya yang telah menggenggam kuat-kuat itu
kembali dikendurkan. Lalu, dengan suara keras dan datar, Wicaksono berseru,
"Aku sangat kenal dengan nama itu dan tahu persis di mana dia tinggal!"
"Bagus! Lalu, berapa upah yang kau minta?"
"Hanya sekeping nyawa!" jawab Wicaksono.
"Nyawa siapa?" Perwira Loyang kerutkan dahi.
"Nyawa siapa lagi kalau bukan nyawamu, Perwira Loyang!" geram Wicaksono, dan
jawaban itu membuat Perwira Loyang terkesiap. Karena Perwira Loyang
belum tahu bahwa Wicaksono adalah kakak dari Mayang Suri, maka ia merasa sangat
heran mendengar jawaban tersebut.
"Apa maksudmu bicara begitu, Wicaksono!"
"Karena untuk mencuri bayi Mayang Suri, kau harus bisa melangkahi dulu mayatku!"
"Oh, rupanya Mayang Suri itu kekasihmu"!"
"Aku kakaknya! Aku paman dari bayi itu!"
"Heh heh heh heh...!" Perwira Loyang tertawa, merasa geli sendiri. Bagimana
mungkin dia mengajak Wicaksono kerja sama untuk mencuri bayi Mayang Suri jika
ternyata Wicaksono adalah kakak dari Mayang Suri alias paman dari bayi itu
sendiri" Perwira Loyang menertawakan kebodohannya sendiri.
"Kalau begitu," kata Perwira Loyang, "Kaulah orang pertama yang harus
kusingkirkan, Wicaksono!"
"Bukan aku orang pertama yang harus kau singkirkan, tapi akulah orang pertama yang akan
singkirkan nyawamu dari raga! Hiaaat...!"
Wicaksono melepaskan serangan lebih dulu. Ia
hantamkan pukulan jarak jauhnya dari atas batang pohon tumbang itu dengan satu
sentakkan tangan kanannya yang berkelebat dari atas kepala ke depan.
Begggh...! Pukulan tanpa sinar itu tepat mengenai dada Perwira Loyang. Orang itu
terjungkal ke belakang bagai
semangka yang dilemparkan begitu saja. Sementara itu, Wicaksono terus mencecar dengan
sentakkan tangan yang melepaskan pukulan tenaga
dalamnya. Perwira Loyang berulang kali gagal untuk bangkit dan balas menyerang,
ia terguling-guling bagai bola yang dipermainkan anak kecil.
"Hiaaah...!" dalam kejap berikut, Perwira Loyang berhasil
sentakkan kaki ke tanah dan tubuhnya melenting di udara, bersalto satu kali dan hinggap di tempat kosong, bebas dari
incaran Wicaksono.
"Wicaksono! Rupanya kau memang cari mampus dan perlu kulenyapkan sebelum kucuri
keponakanmu itu!"
"Kau tak akan bisa temui keponakanku! Dia sudah berada di tempat yang aman! Kau
tak akan bisa mencari Pegunungan Mahagiri, bahkan mencapai ke sana pun tak akan
bisa, sebab Bunga Bernyawa dan Suto Sinting menjaga ketat bayi itu! Kau tak akan
bisa kalahkan kedua penjaga tersebut, Perwira Loyang!"
"Bunga Bernyawa..."!" gumam Perwira Loyang.
"Ternyata dia justru melindungi bayi itu! Keparat betul
perempuan cantik itu!"
Wusss...! Tiba-tiba Wicaksono melepaskan jurus
mautnya dari telapak kaki yang ditendangkan ke depan.
Jurus maut itu berupa cahaya merah membara sebesar tampah yang melesat
menghantam Perwira Loyang.
Tetapi, Perwira Loyang hanya terkesiap sejenak, lalu cepat menghindarkan diri
dan membuat cahaya merah besar itu menghantam pohon di belakang Perwira
Loyang.

Pendekar Mabuk 015 Pawang Jenazah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dubb...! Wesss...!
Ternyata sinar merah besar itu tidak menghancurkan pohon tersebut, melainkan
membalik mengejar Perwira Loyang, ia sempat menggeragap sebentar melihat sinar
merah itu memantul balik ke arahnya. Maka, dengan cepat ia sentakkan dua jarinya
ke depan, dan dari dua jari itu melesat sinar biru bagaikan tombak panjang.
Sinar biru itu menghantam laju kecepatan terbang sinar merah besar itu.
Blarrr...! Ledakan dahsyat terjadi akibat benturan kedua sinar tersebut. Dua pohon rubuh
seketika karena terhantam gelombang ledakan itu. Sementara tubuh Perwira
Loyang masih tegar berdiri dan tubuh Wicaksono
terlempar tiga tombak jauhnya dari tempat ia berdiri semula.
Melihat lawannya jatuh terguling-guling, Perwira Loyang
segera berseru, "Sekarang saatnya menghabisimu, Wicaksono! Hiaah...!"
Clappp...! Kedua tangan Perwira Loyang menyilang di dada lalu
ditarik ke kanan-kiri bersamaan. Keluarlah sinar biru bagai meteor yang melesat
dari mata kanannya. Sinar itu bergerak cepat dan menghantam tubuh Wicaksono yang
baru saja bergegas untuk bangkit berdiri.
Blarrr...! Sinar biru dari mata yang mirip meteor jatuh itu menghantam telak tubuh
Wicaksono, dan dalam seketika itu juga tubuh Wicaksono retak dari batas
pertengahan kepala sampai ke bawah perutnya. Tubuh itu bagaikan ingin terbelah
menjadi dua bagian. Seluruh isi perutnya tersembur keluar, dan Wicaksono pun
menghembuskan napas terakhir dalam keadaan terkapar di tanah.
Tubuh mayat Wicaksono sangat mengerikan dilihat
orang. Bahkan Perwira Loyang sendiri buru-buru
palingkan wajah tak kuat pandangi tubuh yang terbelah itu. Ia segera tarik napas
dan menahan rasa ingin muntah melihat isi perut Wicaksono berhamburan. Perwira
Loyang merasa malu jika sampai dilihat orang dirinya muntah akibat jurus mautnya
mengenai lawan.
"Aku harus cepat pergi ke Pegunungan Mahagiri! Ya.
Seingatku tadi Wicaksono sebutkan Pegunungan Mahagiri sebagai tempat persembunyian Mayang Suri dan bayinya! Persetan dengan
Bunga Bernyawa dan
Suto, kuhajar habis mereka kalau menghalangiku, biar nasibnya seperti
Wicaksono!"
Perwira Loyang bicara sendiri sambil tinggalkan
tempat itu. Ia tak tahu ada orang yang mendengar kata-katanya tersebut. Orang
itu berkerudung jubah hitam dari atas kepala sampai kaki. Orang itu berwajah
putih, tampan, dan membawa senjata El Maut, berupa tongkat berujung sabit panjang.
Kelebatan orang berjubah hitam sempat tertangkap oleh ekor mata Perwira Loyang.
Karenanya Perwira Loyang cepat palingkan pandang ke arah kirinya. Di sana tadi
ia seperti melihat kelebatan hitam. Tapi tiba-tiba dari sebelah kanannya muncul
orang berpakaian hitam pula, bajunya tak berlengan, sabuknya merah, kepalanya
gundul, tapi alisnya tebal. Siapa lagi kalau bukan si Pawang Jenazah yang
rupanya sejak tadi sudah memperhatikan pertarungan Perwira Loyang dengan
Wicaksono. Pada saat Pawang Jenazah tiba di tempat pertarungan,
keadaan Perwira Loyang sedang kebingungan menghadapi sinar merah dari Wicaksono tadi. Dari situlah Pawang
Jenazah mengikuti pertarungan itu. Jadi ia tak sempat mengikuti tawar-tawaran
upah antara Wicaksono dengan Perwira Loyang, sehingga Pawang Jenazah tak tahu
bahwa Wicaksono adalah
kakak dari Mayang Suri.
Melihat kemunculan Pawang Jenazah, mata Perwira
Loyang segera melirik kanan-kiri dan sekelilingnya. Ia takut tahu-tahu disergap
pasukan mayat dari berbagai arah. Gerak mata takutnya itu ditertawakan oleh
Pawang Jenazah.
"Ha ha ha ha...! Kali ini aku sengaja menghadangmu sendirian, Perwira Loyang!
Tak perlu takut dengan pasukan mayatku! Belum saatnya aku kerahkan pasukan mayat
untuk melawanmu! Karena membunuhmu tak
perlu kerahkan pasukan mayat! Membunuhmu cukup
dengan membalikkan tanganku sudah selesai! Aku sudah tak berminat mempermainkan
nyalimu seperti di sana!
Aku akan mencabut nyawamu sekarang juga."
"Ha ha ha ha...!"
"Tutup bacotmu, Setan Kubur!" bentak Perwira Loyang. "Apa kau ingin menerima
nasib seperti Wicaksono, lawanku itu"!"
"Oh, mengerikan sekali! Aku takut! Hiii...!" Pawang Jenazah mengejek sambil
tertawa. Tapi tiba-tiba Perwira Loyang melepaskan pukulan jurus lain yang melesat dari
punggung kedua telapak tangannya. Sinar hijau pendar-pendar berkelebat ke arah
Pawang Jenazah. Wuttt...!
Tetapi Pawang Jenazah segera kibaskan tangannya
dengan lemas. Dari kuku-kuku tangannya memancar
asap bagaikan kabut putih menggumpal. Dan kabut itu menjadi perisai dirinya dari
serangan sinar hijau. Kabut itu membungkus sepasang sinar hijau tepat di depan
mata Pawang Jenazah.
Rupanya ia tahu apa yang akan terjadi, sehingga ia cepat sentakkan kaki dan
melesat menjauhi gumpalan kabut itu. Kejap berikut terdengar letupan kecil bagai
teredam gumpalan asap tersebut.
Blabbb...! Rupanya sinar hijau itu pecah bersamaan, dan asap putih pun menyebar buyar, lalu
hilang terbawa angin.
Sementara itu, Perwira Loyang terbengong kecewa
karena serangannya mudah dibekap dengan gumpalan kabut putih.
Pada saat ia terbengong itulah, Pawang Jenazah
melepaskan satu pukulan mautnya ke arah Perwira
Loyang. Pukulan itu keluar dari tangan kanannya, berupa gelombang bercahaya
merah melingkar-lingkar membungkus tubuh Perwira Loyang. Zrrrub...!
"Aaagh...!" Perwira Loyang mengejang tubuhnya dan menggerinjal-gerinjal
kelojotan. Ia bagai dikurung dalam kobaran api yang amat panas. Rambutnya
menjadi rontok. Bahkan sebagian rambut menjadi susut, dan kepala mulai botak tak
teratur. Kumis dan alisnya pun terbakar hangus, hilang sebagian. Tinggal sisanya
yang memendek. Untung ia cepat bisa melepaskan diri dari kurungan sinar
merah bergelombang-gelombang
itu dengan sentakan tenaga dalam yang disalurkan lewat kakinya.
Tubuh itu melesat keluar dari kurungan sinar maut, dan berjungkir balik di
tanah. Tapi sebagian tubuh sudah mulai melepuh. Melihat keadaannya cukup parah,
Perwira Loyang merasa perlu selamatkan diri lebih dulu.
Maka ia pun segera melesat lari dan meninggalkan Pawang Jenazah. Tetapi lawannya
tak mau melepaskan dia begitu saja. Pawang Jenazah pun cepat mengejarnya.
* * * 8 LAKSAMANA Cho Yung terbengong melihat Perwira Loyang datang menghadap dalam keadaan
seperti tikus kebakaran. Wajahnya menjadi lucu karena
rambutnya yang diplontos keriting dan berbau sangit.
Kumisnya menjadi plontos, bahkan alisnya pun habis.
Kulit tubuhnya hitam mengkilat bercampur warna merah matang.
"Apakah kau Perwira Loyang"!" ucap Laksamana Cho Yung dalam keraguan hati. Dan
Perwira Loyang menjawab sambil tundukkan kepala.
"Benar, Tuan Laksamana! Sayalah Perwira Loyang!"
Plokk...! Bonyok sudah pipi Perwira Loyang mendapat tamparan Laksamana Cho Yung yang sudah seperti
langganan itu. Laksamana Cho Yung membentak,
"Mengapa kau sampai seperti ini, hah"! Siapa yang membuatmu mirip kambing guling
begini, hah"!"
"Pawang Jenazah, Tuanku!"
Plokk...! "Mengapa kau biarkan dia membuatmu sampai
seperti ini" Bodoh! Seharusnya kau lawan dia dan jangan mau dibuat seperti babi
panggang begini!" bentak Laksamana Cho Yung lagi.
Dongkol sekali hati Perwira Loyang mendengar
ucapan seperti itu. Siapa orangnya yang mau dibuat seperti babi panggang jika
bukan karena kalah ilmu"
Sudah nasibnya seperti babi panggang, masih saja kena gampar seenaknya. Pipi
yang sudah matang karena
terbakar itu menjadi bonyok dan lembek.
"Sekarang di mana Pawang Jenazah itu?"
"Sedang menuju kemari,
mengejar saya, Tuan
Laksamana!"
"Mengapa kau izinkan, tolol!"
Plokk...! Bentakan itu makin keras, demikian pula tamparan itu juga semakin keras. Mata
Perwira Loyang berkunang-kunang seketika itu juga. Tapi ia sempat ucapkan kata,
"Saya... saya hanya mau kasih tahu kepada Tuan, bahwa Mayang Suri menyembunyikan
bayinya di Pegunungan Mahagiri. Ia dijaga oleh Nona Bunga
Bernyawa dan Suto, si pemuda yang menolong Bunga Bernyawa dari serbuan mayat-
mayat di kuburan itu, Tuanku. Dan... dan...."
Brukk...! Perwira Loyang rubuh karena tak tahan lagi.
Kepalanya semakin sakit, matanya kian buram, ia jatuh pingsan di depan Laksamana
Cho Yung. Sialnya lagi, Laksamana Cho Yung justru menjadi geram dan
mengangkat tubuh yang pingsan itu dengan cengkeraman tangan kirinya lalu berteriak membentak di depan wajah Perwira
Loyang, "Sudah tahu bayi itu dibawa lari ke sana, mengapa kau tak mengejarnya dan justru
pulang ke kapal" Bodoh!
Bodoh sekali kau!"
Plokkk...! Brukk...!
Wajah pingsan itu makin bonyok. Makin pingsan
juga nasib Perwira Loyang. Kalau saja ia tak pingsan maka ia akan terpekik keras
karena tamparan yang paling keras yang terakhir diterimanya itu telah membuat
pipinya jadi terkelupas.
"Ular Setan...!" panggil Laksamana Cho Yung dengan berang.
Segera muncul dari ruang nakhoda seorang berpakaian kuning berhias sulaman benang merah
bergambar seekor ular kobra. Orang itu membawa
pedang besar yang tak bisa diselipkan di pinggang.
Gagang pedangnya mempunyai kuncer-kuncer benang
merah sutera. Orang itu berambut botak bagian depan, tapi bagian belakangnya
panjang sampai melewati
pundak. Alisnya tebal bagai mau menyambung antara yang kiri dengan yang kanan.
Matanya liar dan dahinya selalu berkerut, giginya agak tonggos, sehingga ia
tampak selalu cemberut. Dialah yang dijuluki oleh Laksamana Cho Yung sebagai si
Ular Setan! "Hadang serangan Pawang Jenazah yang sedang menuju kemari mengejar Perwira
Loyang!" perintah Laksamana Cho dengan tegas.
"Baik!" jawab Ular Setan dengan pendek, karena memang ia termasuk orang yang tak
suka banyak bicara.
Tanpa menunggu perintah lagi ia segera melompat dari geladak dan pijakan kakinya
ke pasir pantai dengan meniti tambang penambat kapal yang diikatkan di pohon
kelapa yang ada di pantai. Pedang besarnya yang
bermata lebar dengan ujung sedikit lengkung itu
berkuatan terkena pantulan sinar matahari.
Tetapi baru saja Ular Setan pijakkan kakinya di pasir pantai, tiba-tiba ia
mendengar suara gemuruh bagai puluhan
kaki berlarian menuju kearahnya, ia memandang ke belakang, ternyata benar dugaannya, ada puluhan kaki berlari menuju
ke kapal berlayar tiga itu.
"Apa itu..."!" gumamnya dengan mata terkesiap.
Semakin dikecilkan matanya semakin tajam ia memandang. Rombongan orang berpakaian compang-camping
dengan rambut acak-acakan, bahkan ada yang bertubuh somplak sana-sini sedang
bergegas bagai pasukan yang siap menyerbu. Ular Setan makin terkesiap setelah ia
sadari bahwa puluhan orang yang berlari mendekati kapal itu adalah mayat-mayat
yang berlumur tanah kuburan.
"Celaka...!" gumamnya tegang. Lalu, dengan sedikit gugup Ular Setan berseru
kepada awak kapal yang ada di geladak,
"Celakaaa...! Eh, bahayaaa...! Bahaya...!" Sejenak para awak kapal di sana
saling bingung, saling tak mengerti apa yang dimaksud bahaya oleh Ular Setan.
Mereka segera pandangi sekeliling, lalu melihat rombongan mayat sedang menuju ke arah kapal. Mereka segera serukan tanda bahaya,
sehingga Laksamana Cho Yung keluar dari kamarnya dan ikut memandang ke arah
pantai. Dengan cepat ia serukan perintah, "Serang mereka!


Pendekar Mabuk 015 Pawang Jenazah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lenyapkan!" Maka saling berebutan para awak kapal mencari senjatanya. Mereka
turun dari geladak dan bergabung dengan Ular Setan.
Salah seorang dari mereka berseru, "Lihat...! Dari barat juga ada!" sambil orang
itu menuding ke arah barat.
Ternyata dari arah sana datang juga serombongan
mayat yang sudah dibangkitkan oleh ilmu pembangkit
mayat. Mayat itu bukan hanya bisa bangkit dan berjalan, tapi sebagian besar ilmu
yang dimiliki Pawang Jenazah disalurkan kepada mayat-mayat tersebut, sehingga
para orang mati itu bisa memainkan jurus-jurus maut seperti layaknya orang
berilmu tinggi. Padahal di antara mereka ada pula yang masih bocah, yang
perempuan, dan yang sudah menjadi nenek pikun. Begitu bangkit langsung menjadi
liar dan ganas, mampu memainkan jurus silat berilmu tinggi.
Pertarungan antara para mayat dengan para awak
kapal terjadi dengan sengitnya. Ular Setan berhasil tetaskan pedangnya beberapa
kali ke leher para mayat.
Banyak yang terpenggal kepalanya, tapi masih bisa hidup dan menyerang dengan
gigih. Mereka saling
mengerang dan seringaikan wajahnya hingga suara
hiruk-pikuk memenuhi sekitar kapal mirip sekali dengan keramaian suasana di
pasar. Suara riuh itu diselingi jerit dan pekik dari anak buah Laksamana Cho Yung yang
mati diterkam mayat. Satu orang dipakai rebutan lima atau enam mayat. Tubuh
mereka dicabik-cabik habis tanpa peduli apakah tubuh itu sudah mati lebih dulu
atau belum. Sebagian pasukan mayat itu memanjat ke kapal
melalui tambang pengikat, atau ada yang menggunakan ilmu peringan tubuh dengan
sekali sentak sudah bisa melayang dan hinggap di tepian geladak. Mereka
menyerang masuk ke kamar-kamar dan memporak-
porandakan keadaan di atas kapal itu.
Laksamana Cho Yung ikut menyerang para mayat
dengan pedangnya yang sering pancarkan sinar hijau itu.
Tapi semakin banyak yang dipenggal, semakin bertambah jumlah penyerangnya. Karena kepala yang dipenggal bisa melayang
sendiri dan tubuh tanpa kepala bisa menyerang sendiri. Tangan yang terpotong
putus pun bisa bergerak menyerang lawannya dengan liar.
Tubuh Perwira Loyang yang saat itu masih jatuh
pingsan di geladak menjadi sasaran empuk bagi para mayat rakus. Tubuh Perwira
Loyang habis dikoyak-koyaknya, hingga tak lagi berbentuk jasad manusia tanpa
nyawa. Lebih mirip seonggok daging busuk yang
mengerikan. Melihat banyaknya jumlah mayat dan keganasannya
yang mengerikan, Laksamana Cho Yung segera menyingkir dari kapal dan berlari ke pantai. Tapi di pantai pun ia dihadang oleh
tujuh mayat, satu di antaranya sudah tidak berkepala lagi. Laksamana Cho Yung
terpaksa menghadapi mereka untuk buka jalan.
Sementara itu, Ular Setan pun tampak masih gigih menghadapi mayat-mayat yang
mengeroyoknya tanpa
ampun lagi itu. Pedangnya berkelebat ke sana-sini, malah kadang-kadang hampir
membabat kakinya sendiri karena simpang-siur gerakan pedang.
"Ular Setan...! Cepat lari...!" teriak Laksamana Cho Yung ketika melihat
kapalnya digulingkan oleh mayat-mayat yang semakin banyak menyerang ke arah
kapal itu. Kapal besar tersebut seperti kotak tempat wayang kulit, yang dapat
dengan mudah dijungkir-balikkan.
Brakkk...! Brrrusss...! Krakkk...!
Serangan tak tanggung-tanggung
itu membuat Laksamana Cho Yung merasa perlu melarikan diri.
Apalagi dari sekian banyak orang, hanya dia dan Ular Setan yang masih bertahan
hidup, sedangkan jumlah penyerang semakin bertambah saja rasanya, walau hanya
berupa potongan tangan atau kepala. Jelas hal itu tidak mungkin mampu dibereskan
hanya dengan dua orang
saja. Laksamana Cho Yung berlari cepat diikuti oleh si Ular Setan yang sudah terluka
di bagian punggungnya.
Tapi luka itu tak dihiraukan. Bahkan luka koyak di bagian kepala yang tidak
ditumbuhi rambut itu pun dibiarkan saja, walaupun ada darah yang mengalir sampai
ke sela-sela cuping hidungnya.
Cukup jauh Laksamana Cho Yung melarikan diri
tanpa berhenti, sementara Ular Setan sudah hampir kehabisan napasnya. Tapi
karena patuh, ia tetap ikuti ke mana pun larinya Laksamana Cho Yung.
Mereka memang selamat dari serbuan mayat-mayat
rakus yang bersikap ganas melebihi setan itu. Tapi mereka lupa bahwa pawangnya
masih belum muncul
dalam pertarungan di kapal. Orang yang memiliki ilmu pembangkit mayat seperti
yang dimiliki Ki Gendeng Sekarat dari Pulau Mayat itu, ternyata sengaja mengejar
Laksamana Cho Yung dari arah lain. Sampai pada suatu tempat,
di kaki sebuah bukit, Pawang Jenazah menghadang langkah Laksamana Cho Yung dengan
sangat mengejutkan, ia muncul dari balik kerimbunan pohon
bambu dan langsung melepaskan pukulan bersinar merah dari tangannya.
Wusss...! Sinar merah berbentuk percikan bintang besar itu melesat ke arah kepala
Laksamana Cho Yung. Melihat kilatan sinar merah itu, Laksamana Cho Yung cepat
merundukkan kepala lalu menggulingkan badan ke
tanah. Wuttt...! Sinar itu lolos dan dapat dihindari. Tapi Ular Setan yang mengikuti
Laksamana Cho Yung dari
belakang itu tak tahu adanya sinar yang melesat. Ketika ia mengetahuinya, sinar
yang sudah ada di depan mata Ular Setan itu memang mengincar kepala si Ular
Setan. Blarrr...! Meledaklah sinar merah itu, karena meledak pula
kepala Ular Setan hingga tinggal bagian tubuhnya saja.
Tubuh itu masih bergerak-gerak membabatkan pedang besarnya ke sana-sini dengan
ngawur. Lama-lama
berhenti, dan rubuh tak bergerak lagi.
"Ular Setan..."!" pekik Laksamana Cho Yung dalam ketegangannya, ia mendelik
melihat kepala Ular Setan menjadi serpihan kecil.
"Bodoh kau!" maki Laksamana Cho dengan menyesal sekali dan marah tak
terlampiaskan. "Sudah tahu ada sinar merah mengapa tidak segera menundukkan
kepala, Tolol! Kalau ke sini cuma mau mati, kenapa harus repot-repot ikut lari!
Diam saja di kapal sana, kau juga akan mati sendiri dihancurkan mayat-mayat itu!
Oh, Ular Bodoh...! Kenapa kau mati dengan sia-sia, hah"!"
Terdengar suara Pawang Jenazah menyahut dalam
tawanya, "Kau pun akan mati dengan sia-sia, Laksamana Cho!"
Melihat lawannya berdiri dengan tegak dan tampak jumawa sekali, Laksamana Cho
Yung segera bangkit dan menggeram sampai kepalanya gemetar.
"Kematian ini harus kau tebus dengan nyawamu.
Pawang Jenazah!"
"Aku sudah siap. Tapi apakah kau sudah siap juga.
Laksamana?"
"Babi buntung kau! Sudah sejak dari dulu aku siap melawanmu!"
"Bagus! Berarti kematian istri dan anakku hampir selesai kutebus! Tak kuizinkan
siapa pun orangmu hidup menikmati
udara segar di permukaan bumi ini! Gundikmu pun akan kucari dan kulumat habis, seperti aku melumat daun sirih!"
"Hiaaat...!" Laksamana Cho Yung tebaskan pedang ke depan. Pedang itu keluarkan
sinar merah menyebar dalam bentuk pipih. Sinar itu menghantam tubuh
Pawang Jenazah. Tetapi, tangan Pawang Jenazah lebih dulu berkelebat dan
keluarkan kabut yang menggumpal.
Kabut itu menerkam sinar merah dan terjadi letupan kecil, blaab...! Kemudian
kabut menyebar pecah dan lenyap bersama angin. Sinar merah dari pedang itu pun
tak kelihatan lagi.
"Jahanam...!" geram Laksamana Cho Yung melihat sinar merahnya bisa diredam
dengan kabut. Maka,
segera ia memutar-mutarkan pedangnya dengan cepat di samping kanan. Dan tiba-
tiba pedang itu disentakkan ke
atas, lalu dari ujung pedang itu keluar sinar hijau melesat ke arah Pawang
Jenazah. Zlabbb...!
Kilatan cahaya hijau begitu cepat. Pawang Jenazah tak sempat menangkis, ia hanya
bisa menghindar dengan melayang bagaikan seekor singa hendak menerkam
mangsanya. Lompatan itu sedikit telat, karena sinar hijau tersebut membentur
batu besar di belakang Pawang Janazah, batu itu pecah menjadi serpihan dan
beberapa bagian melesat cepat menghantam betis dan paha
Pawang Jenazah. Jrusss...! Crapp...!
"Aaahg...!" Pawang Jenazah berguling di tanah dengan kesakitan. Rupanya sinar
hijau dari pedang itu bisa membuat benda padat yang terkena sasaran menjadi
pecah dan pecahannya pasti berbentuk runcing, dan masih mempunyai kekuatan
tenaga dalam cukup hebat.
Terbukti, dua pecahan batu itu menjadi runcing dan menancap di paha dan betis
Pawang Jenazah. Dua
pecahan batu itu sepertinya telah mengandung kekuatan hawa panas yang membuat
daging betis dan paha
menjadi terbakar pada bagian lukanya. Hitam hangus seketika.
"Bangsat kau, Cho...!" geram Pawang Jenazah sambil menahan rasa sakitnya. Lalu,
ia melepaskan pukulan bergelombang merah yang pernah membungkus tubuh
Perwira Loyang. Pukulan itu dilepaskan dalam keadaan sedikit merebah di tanah.
Wuttts...! Laksamana Cho Yung segera sentakkan pedangnya
ke depan seperti menusuk udara. Dan pedang itu
keluarkan sinar merah juga yang berbentuk seperti api terbang' Sinar merah itu
menembus lingkaran sinar merah bergelombang. Akibatnya, timbul satu perpaduan
keras antara dua tenaga dalam berkekuatan tinggi yang sama-sama meledak di
pertengahan jarak.
Blarrr...! Laksamana Cho Yung tersentak bagai terbarg ke
belakang. Brasss...! Tubuhnya bagai dilemparkan dengan kasar ke arah rimbunan batang bambu. Empat batang bambu itu patah
seketika terkena benturan tubuh Laksamana Cho Yung. Sedangkan Pawang Jenazah pun
terpental jauh, berguling-guling sampai membentur gugusan batu cadas.
"Dia memang cukup tangguh," pikir Laksamana Cho Yung. "Ledakan tadi membuat
dadaku terasa panas.
Berbahaya kalau kugunakan untuk melawannya lagi.
Aku harus cepat lari untuk temukan bayi itu! Aku harus segera makan jantung dan
hati bayi itu, supaya ilmu Dewa Maut meresap dalam diriku dan bisa kupakai
untuk kalahkan pawang bangsat itu!"
Maka dengan cepat Laksamana Cho Yung tinggalkan
tempat pertarungannya.
Terdengar suara Pawang Jenazah berseru,
"Hoi...! Mau ke mana kau, Bajingan! Ke liang semut pun akan kukejar kau...!"
Pawang Jenazah bergegas mengejarnya, tapi ia jatuh tersungkur karena rasa sakit
di kaki kirinya sangat menyiksa. Sekali pun demikian, Pawang Jenazah tak mau
menyerah, ia mencoba bangkit lagi dan berusaha mengejar Laksamana Cho Yung.
Namun tiba-tiba di depannya telah berdiri seorang berpakaian hitam, berkerudung
hitam dari kepala sampai kaki, berwajah putih dengan bibir biru dan tepian mata
hitam. Tampak masih muda namun berwajah dingin.
Tanpa senyum sedikit pun. Ia menggenggam tongkat El Maut yang berujung sabit
panjang melengkung.
Dialah orang yang diburu Pendekar Mabuk selama
ini, yaitu, Siluman Tujuh Nyawa. Pawang Jenazah tak kenal orang itu, hanya
pernah mendengar nama julukan tersebut disebutkan beberapa orang di kedai makan.
Itulah sebabnya Pawang Jenazah kerutkan dahi saat berhadapan muka dengan orang
paling keji di dunia itu.
"Jangan kejar dia sekarang!" kata Siluman Tujuh Nyawa. "Kau bisa temui dia, juga
Bunga Bernyawa, si putri Cina yang cantik itu, juga Mayang Suri dan bayinya...
mereka ada di Pegunungan Mahagiri! Di sana ada pula Pendekar Mabuk yang bernama
Suto Sinting! Bunuh Pendekar Mabuk itu, karena dia yang akan
menjadi penghalangmu
untuk melenyapkan Bunga
Bernyawa. Aku akan membantumu, Pawang Jenazah!"
Tiba-tiba dari jari tangan Siluman Tujuh Nyawa
keluarkan sinar putih menembus luka di kaki Pawang Jenazah. Kejap berikutnya
luka itu menjadi kering, bahkan pulih seperti sediakala. Tak ada bekas dan tak
ada sisa sakit sedikit pun. Pawang Jenazah terheran-heran.
* * * 9 PEGUNUNGAN Mahagiri mempunyai tebing-tebing
curam, jurang yang dalam dan udara dingin yang
membekukan darah. Perjalanan yang sudah ditempuh oleh rombongan Mayang Suri
sudah memakan waktu
tiga hari. Pesanggrahan Eyang Juru Taman tinggal separo hari lagi dari tempat
istirahat mereka.
Pendekar Mabuk tiba-tiba ajukan usul, "Bagaimana jika bayi itu kubawa lebih dulu
untuk mencapai pesanggrahan Eyang Juru Taman" Aku takut bayi itu menjadi sakit karena udara
yang begini dingin!"
"Tidak. Bagaimanapun aku harus tetap bersama anakku," kata Mayang Suri. Ia
mendekap anaknya yang dibungkus kain tebal.
"Kau masih curiga padaku, Mayang Suri?"
"Aku tidak curiga! Tapi sebagai seorang ibu, aku harus tetap mendampingi bayiku!
Kalau dia mati, harus mati bersamaku!"


Pendekar Mabuk 015 Pawang Jenazah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bunga Bernyawa cepat ucapkan kata kepada Suto
Sinting, "Sebaiknya memang bayi itu tetap ada dalam pelukan ibunya! Barangkali
dia butuh minum sewaktu-waktu."
"Baiklah, aku mengerti! Kalau begitu, bungkus dia dengan kain yang lebih tebal
lagi! Udara sedingin ini bisa bikin dia mati membeku kalau tak dihangatkan!"
kata Suto. "Sebaiknya kita teruskan perjalanan, supaya sampai di pesanggrahan masih ada
sisa matahari!" kata Sulasih yang membawa kain pembungkus pakaian-pakaian bayi.
"Aku setuju," jawab Bunga Bernyawa. "Terlalu lama beristirahat bisa bikin urat-
urat kita kaku membeku!"
Maka, mereka pun kembali teruskan langkah menyusuri tebing.
Tanpa diduga-duga, sebuah benda melesat dari arah belakang mereka. Sebatang
ranting kering berukuran kecil menghantam punggung Mayang Suri. Deggg...!
"Ahhg...!" Mayang Suri tersentak dengan mulut ternganga dan mata terpejam
merasakan sakit. Tubuhnya jadi limbung dan kakinya lemas, ia terkulai jatuh ke
jurang di sebelah kirinya.
"Mayaaaang...!" teriak Sulasih dengan tegang. Tubuh Mayang Suri terlihat jelas
melayang dan tetap memeluk bayinya.
Melihat hal itu, Pendekar Mabuk cepat sentakkan
kaki lalu melompat ke jurang itu dengan gerakan cepat ia mendahului tubuh Mayang
Suri dan bayinya, ia
menghadang gerakan tubuh Mayang Suri yang melayang menerabas semak dedaunan.
Debbb...! Tubuh Mayang Suri tertahan tangan
Pendekar Mabuk. Bayinya nyaris terlepas dari gendongan. Untung tangan Suto cepat meraih selimut bayi dan berhasil ditarik
kembali ke gendongan Mayang Suri. Kini tubuh Mayang Suri dan bayinya ada dalam
topangan kedua tangan Suto Sinting. Mayang Suri
tampak mengerang kesakitan. Wajahnya menjadi biru.
Ini pertanda pukulan tenaga dalam beracun telah
mengenainya. Pukulan beracun itu disalurkan melalui ranting kering yang mengenai
punggung Mayang Suri.
Pendekar Mabuk menahan napasnya beberapa saat, ia hanya berdiri di atas sebatang
ranting pohon hijau yang besarnya seukuran kelingking. Jika bukan dengan
menggunakan ilmu peringan tubuh cukup tinggi, sudah tentu ranting hijau kecil
itu tak akan mampu menyangga tubuh Suto dan Mayang Suri bersama bayinya.
Dengan satu sentakan kaki pelan, tubuh Suto sudah bisa melesat naik, dan kaki
itu menjejak lagi sebatang dahan kecil, lalu tubuh makin naik lagi, akhirnya
tiba di permukaan tebing. Jleggg...!
"Suto, oh... syukurlah! Syukurlah Mayang dan bayinya selamat!" kata Sulasih.
"Oh, tapi mengapa wajahnya menjadi biru begini"'
"Dia terkena pukulan beracun!" kata Suto sambil berusaha meletakkan tubuh Mayang
Suri, dan Sulasih cepat mengambil bayi yang menangis sejak berada
dalam topangan tangan Suto tadi.
"Mana Bunga..."!" Suto mencari Bunga Bernyawa yang tak kelihatan di antara
mereka. Sulasih menjawab dengan tegang juga,
"Bunga mengejar orang di balik gugusan tanah itu!"
"Orang siapa?"
"Entahlah! Sepertinya orang itu dari negeri Cina juga!"
"Laksamana Cho..."!" gumam Pendekar Mabuk, ia ingin cepat menyusul Bunga
Bernyawa, tapi keadaan wajah Mayang Suri makin membiru. Maka, cepat-cepat ia
membuka mulut perempuan hitam manis itu dan ia tuangkan tuak ke dalam mulut itu.
Glek glek glek...!
Tuak terminum oleh Mayang Suri.
"Jaga bayi itu dan Mayang, aku menyusul Bunga!"
kata Suto kepada Sulasih. Ia merasa lega jika Mayang Suri sudah minum tuaknya,
karena tuak itu adalah penangkal racun yang paling ampuh.
Benar dugaan Suto, Laksamana Cho Yung sedang
berhadapan dengan Bunga Bernyawa. Tentunya orang itulah
yang melemparkan ranting dan sengaja mencelakai Mayang Suri supaya ia bisa merebut bayinya dengan mudah. Dan jika
bukan dengan ilmu tinggi, tak mungkin
Laksamana Cho Yung bisa menyusul rombongan Mayang Suri hanya dalam waktu satu hari satu malam. Tentunya ilmu
tinggi yang digunakan dapat mempercepat gerakan larinya tanpa harus menguras
tenaga terlalu berlebihan.
Tapi agaknya Laksamana Cho Yung sudah membulatkan tekadnya untuk membunuh gundiknya itu.
Bunga Bernyawa segera kirimkan jurus maut yang
pernah membuat dinding kamar berlubang tanpa semburkan debu. Namun agaknya jurus maut itu masih bisa ditangkis oleh pedang
laksamana dan membalik arah kepada Bunga Bernyawa sendiri.
Bahkan dalam jurus selanjutnya, Bunga Bernyawa
terdesak dan terpental dalam keadaan keluarkan darah dari lubang hidung dan
mulutnya. Laksamana Cho Yung segera pergunakan pedangnya untuk menebas leher
Bunga Bernyawa. Tetapi tiba-tiba lelaki itu dikejutkan oleh melesatnya sinar
hijau kecil yang menghantam pedangnya. Trakkk...! Pedang itu patah menjadi dua
bagian. Sinar hijau itu melesat dari jari tangan Pendekar Mabuk yang disentilkan
dalam jarak delapan langkah.
Mata Laksamana Cho tak berkedip memandang
pedang pusakanya yang patah begitu saja. Geram
kemarahannya begitu tinggi hingga wajahnya menjadi merah. Matanya membelalak
tajam dan buas saat
memandang Suto. Pada saat itu, Pendekar Mabuk
dengan tenangnya menenggak tuak dalam bumbung
beberapa teguk.
"Setan kumal!" geram Laksamana Cho Yung. "Jadi kaulah budak nafsu perempuan
lacur itu, hah"!"
Suto Sinting tetap diam, hanya memandang dengan
senyum tipis di bibirnya. Melihat sikap begitu, Laksamana Cho Yung semakin geram, darahnya bagaikan mendidih.
"Kalau kau mau awet hidup, jangan campuri
urusanku!"
"Kalau kau sendiri mau awet hidup, jangan ganggu Bunga Bernyawa ataupun Mayang
Suri dan bayinya!"
"Setan Kudis! Aku adalah paman dari bayi Mayang Suri!"
"Kau bukan paman, Laksamana! Kau adalah iblis bagi bayi itu!"
"Rupanya kau bocah ingusan yang tak mau turuti nasihat orang tua, hah"! Bagus!
Dengan begitu aku tak segan-segan membunuhmu!"
"Apakah kau akan menyambung pedangmu lagi,
Laksamana Cho"!" sindir Suto sambil sunggingkan senyum mengejek. Laksamana Cho
tak bisa tahan amarah lagi. Maka dengan cepat ia angkat tangannya ke atas kepala, kemudian ia
sentakkan kedua tangan itu ke depan
bagai mencakar udara secara bersamaan. Wrusss...! Percikan bintang-bintang
hijau menebar dalam kecepatan laju mengarah kepada Pendekar Mabuk.
Kecepatannya itu sangat tinggi, sehingga Suto hanya bisa menghindar dalam satu
lompatan ke samping.
Percikan bintang hijau itu melesat di depan Pendekar Mabuk, lalu bumbung tuaknya
dihadangkan. Percikan bintang mengenai bumbung tuak. Zrriipp...!
Kali ini tenaga dalam yang berbentuk percikan
bintang kecil-kecil itu menyerap masuk ke bumbung tersebut. Suto sendiri
sepertinya sempat terkejut walau disembunyikan. Tak pemah ada pukulan bersinar
yang bisa meresap menembus bumbung tuak. Biasanya
memantul balik. Sementara itu, Laksamana Cho Yung juga terheran-heran melihat
pukulan mautnya terserap masuk ke dalam bumbung tuak bambu itu. Biasanya
akan melenyapkan benda apa pun yang dihantamnya.
Terjadi getaran hebat di dalam bumbung tuak. Suara air mendidih bagai terjadi di
dalam bumbung. Getaran itu membuat tangan Suto yang memeganginya ikut
berguncang-guncang. Rasa penasaran membuat Suto
akhirnya membuka tutup bumbung bambu itu dalam
posisi dihadapkan ke arah Laksamana Cho. Wosss...!
Ternyata dari dalam bumbung menyemburlah kobaran api yang cukup dahsyat. Kobaran api itu bukan hanya besar namun juga
cepat. Api yang menyembur
segera menerkam tubuh Laksamana Cho Yung. Orang
itu tak sempat menghindar karena terperangah kaget mengetahui bumbung tuak
menyemburkan api begitu
besarnya, bisa untuk membakar hutan.
Akibatnya, tubuh Laksamana Cho terbakar seluruhnya. Mula-mula Laksamana Cho diam saja,
bersemadi dan kerahkan hawa dingin dari dalam dirinya.
Tapi api itu semakin lama bukan semakin padam,
melainkan semakin besar. Pakaian Laksamana Cho
mulai terbakar, demikian pula kumis dan rambutnya.
Akhirnya Laksamana Cho Yung jejingkrakan dengan
panik, ia berteriak-teriak sambil mengguling-gulingkan badan di semak dan
rerumputan. Gulingan badan itu membuat api bertambah besar kobarannya.
"Aaa...! Woaaa! Huaaa...!" Laksamana Cho Yung berteriak-teriak dengan kelojotan.
Badannya mulai menjadi hangus, semua pakaian dan rambut sudah habis terbakar. Kini ia
bergelimpangan seperti mengenakan seragam hitam. Api masih terus membungkusnya
sampai akhirnya tubuh itu tak bergerak lagi. Menjadi hangus seluruhnya, dan
tetap dibungkus api. Sampai akhirnya tubuh Laksamana Cho Yung menjadi tinggal
arang, api itu masih tetap membungkus mayat Laksamana Cho
Yung. "Api itu menjadi api abadi yang akan membungkus jasadnya sampai habis tak
berbekas lagi," kata Suto kepada Bunga Bernyawa.
"Ilmumu memang gila-gilaan. Sinting!" kata Bunga Bernyawa sambil terbatuk-batuk.
Suto memandang kepucatan wajah Bunga Bernyawa, ia menjadi cemas.
Cepat ia mengangkat dagu gadis itu dan memandangi dengan tajam, lalu ia ucapkan
kata, "Kau terkena pukulan tinggi! Lekas minum tuakku ini!"
Pendekar Mabuk memeriksa bumbung tuaknya,
ternyata masih berisi tuak separo bumbung. Tuak itu diminumnya dulu, karena
takut beracun setelah dipakai merendam jurus pukulan laksamana tadi. Ternyata
tuak itu tidak beracun, maka segera diminumkan kepada Bunga Bernyawa.
"Kita lanjutkan perjalanan, Bunga!"
"Bagaimana dengan Mayang Suri?"
"Dia aman bersama bayinya!" Kemudian Suto dan Bunga Bernyawa bergegas ke tempat
Sulasih dan Mayang Suri beristirahat. Tetapi alangkah terkejutnya ia ketika melihat ternyata
di sana sudah ada Pawang Jenazah yang menggendong bayinya Mayang Suri.
Sedangkan Sulasih dan Mayang Suri tertotok tak dapat bergerak sedikit pun
kecuali hanya mencucurkan air mata.
Bunga Bernyawa juga membelalakkan
matanya dengan kaget. Bayi itu digendong oleh Pawang Jenazah dengan satu tangan, siap
dilemparkan ke jurang. Tegang dan berdebar-debar hati Bunga Bernyawa. Suto pun
sebenarnya juga merasa tegang, tapi ia bisa sembunyikan perasaannya dan tetap
berpenampilan kalem.
"Hei, Cecunguk! Aku tahu kau melindungi perempuan itu! Kulihat kau sudah membunuh Laksamana Cho, dan itu adalah kelancangan yang paling kubenci!" kata Pawang
Jenazah. "Kau telah membuat aku kecewa, karena nyawa Laksamana Cho Yung adalah
milikku! Akulah yang berhak membunuhnya! Tapi kau telah menduluinya! Sekarang,
serahkan perempuan itu, atau kulemparkan bayi ini ke jurang?"
Bunga Bernyawa memandang Suto setelah sampai
sekian lama Suto tidak kasih jawaban apa-apa. Suto bahkan menenggak tuaknya lagi
sedikit. Santai sekali caranya menanggapi ancaman Pawang Jenazah. Hal ini


Pendekar Mabuk 015 Pawang Jenazah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membuat Pawang Jenazah semakin garang.
"Kuhitung tiga kali kalau kau tidak mau serahkan perempuan itu, bayi ini
kulemparkan ke jurang!" gertak Pawang Jenazah, sementara itu sang bayi masih
tetap menangis memilukan hati.
"Untuk apa kau kehendaki perempuan ini"!" tanya Suto kalem.
"Dia harus mati juga, karena dia gundiknya Laksamana Cho!"
"Dia sudah bukan gundiknya lagi! Dia justru menjadi orang yang menentang
kekejian Laksamana Cho Yung!"
"Aku tahu! Tapi saat Laksamana Cho Yung membunuh anak dan istriku, perempuan itu masih
menjadi istri gelapnya!"
"Apakah dia ikut andil membunuh anak dan istrimu"!"
"Memang tidak! Tapi dia adalah bagian dari Cho, karenanya tak akan kubiarkan
satu pun orangnya
Laksamana Cho Yung yang bisa hidup!"
"Kau tak adil, Pawang Jenazah!"
"Persetan dengan kesimpulan dan penilaianmu! Kumulai menghitung ancaman tadi. Satu...!"
Bunga Bernyawa menatap Pendekar Mabuk, lalu Ia
bisikkan kata, "Biar kuhadapi dia! Yang penting selamatkan bayi itu!"
"Tenang. Sabar saja dan jangan panik. Aku akan segera melompat ke jurang pada
saat ia lemparkan bayi itu!" bisik Suto Sinting.
Terdengar suara Pawang Jenazah tak sabar diri lagi,
"Dua...!"
"Pawang Jenazah...!"
kata Suto. "Kalaupun kuserahkan perempuan ini kepadamu, mana mungkin
kau bisa membunuhnya"!"
Berdiri telinga Pawang Jenazah, merah daun telinga itu.
"Kau pikir sulit membunuh perempuan itu"!"
"Kecuali ilmumu tinggi, tentu saja mudah membunuh Bunga Bernyawa! Tapi kupikir
ilmumu tak sebanding dengan ilmu yang dimiliki putri kaisar ini!"
"Setan!" geram Pawang Jenazah. "Cecunguk ingusan macam
kalian menganggap berilmu lebih tinggi dariku"!"
"Kalau memang kau berilmu tinggi, hadapilah perempuan ini dengan ksatria! Aku
berani bertaruh nyawa, dua jurus saja nyawamu sudah melayang dan mungkin hinggap
di nyawa seekor kambing gunung!"
"Bangsat! Sesumbarmu bikin dadaku mau jebol!
Kulayani tantangan kalian!" bentak Pawang Jenazah.
Dan pada saat itu, Suto melepaskan sentilan 'Jari Guntur'
yang mengarah di bawah ketiak lawan.
Debb...! Srekk...!
Terkunci sudah semua persendian Pawang Jenazah.
Orang itu tak dapat menggerakkan anggota tubuhnya, kecuali hanya bisa berkedip-
kedip dan bicara lewat gerakan mulutnya.
"Bangsat! Kau telah totok aku rupanya!" geram Pawang Jenazah.
Tess, tess...! Suto membebaskan totokan pada tubuh Mayang Suri dan Sulasih.
Kedua perempuan itu kembali bisa bergerak bebas. Mayang Suri segera merebut
bayinya dari tangan Pawang Jenazah. Orang itu tak bisa berbuat banyak, tak bisa
mempertahankan bayi itu, karena jarinya pun sulit digerakkan.
"Oh, anakku...!" Mayang Suri menangisi anaknya sambil memeluknya. Bayi itu
menangis beberapa saat, lalu diam karena disusui oleh ibunya. Sambil menyusui
bayinya ia dibawa pergi oleh Bunga Bernyawa dan
Sulasih. "Pergilah sampai ke pesanggrahan Eyang Juru Taman, biar aku yang menghadapi
orang ini!" kata Pendekar Mabuk kepada Bunga Bernyawa.
Kemudian, Bunga Bernyawa pun membawa mereka
meneruskan perjalanan setelah ia berbisik dalam harapan yang tak tertahan lagi,
"Kau harus menyusulku ke sana! Jangan dustai aku!"
Suto hanya sunggingkan senyum dan anggukkan
kepala. Kemudian Bunga Bernyawa pun merasa lega.
Cepat-cepat ia membawa Mayang Suri ke tempat tujuan.
Sementara itu, Suto masih membiarkan Pawang Jenazah tertotok jalan darahnya dan
tak bisa menggerakkan badannya sedikit pun. Pendekar Mabuk tenang-tenang saja
sambil sesekali menenggak tuaknya.
Tapi di luar dugaan, ada seseorang yang melepaskan totokan itu dari jarak jauh.
Orang itu berkerudung kain hitam dari kepala sampai kaki, berwajah putih dan
membawa senjata El Maut. Siapa lagi jika bukan
Siluman Tujuh Nyawa. Akibatnya, dengan terlepasnya totokan itu, Pawang Jenazah
merasa bebas bergerak, lalu melepaskan serangan mautnya ke arah Pendekar Mabuk.
Suto sendiri jadi menggeragap tak siap.
Wusss...! "Mampuslah kau seperti laksamana keparat itu!"
sentak Pawang Jenazah. Cahaya merah bergelombang menyerang Pendekar Mabuk.
Cahaya itu yang dipakai membungkus Perwira Loyang dan membuat orang itu
jadi terbakar rambutnya. Kali ini akan digunakan membakar tubuh Suto, tetapi
Pawang Jenazah tak tahu bahwa gerakan Pendekar Mabuk yang mirip orang
mabuk itu merupakan jurus maut yang membahayakan lawan.
Bumbung tempat tuak berkelebat ke depan secara tak sengaja.
Dan gelombang merah itu menghantam bumbung, lalu membalik menjadi lebih besar lagi.
Pawang Jenazah terkejut dan terpaku di tempat melihat gerakan gelombang sinar
merah membalik ke arahnya, bahkan kini membungkus dirinya sendiri dalam suara
gemuruh seperti deru api terhembus angin.
"Aaah...! Aaah...! Bangsat...! Auuh...!"
Pawang Jenazah kebingungan mengatasi gelombang
panas yang melebihi lahar gunung berapi itu. Ia oleng ke sana-sini,
sampai akhirnya tak sengaja kakinya tergelincir dan masuk ke jurang yang dalam itu.
"Aaaa...!" Pawang Jenazah menjerit keras-keras, menggema memenuhi dinding
tebing, makin lama
semakin mengecil suaranya.
Wuttt...! Sekelebat bayangan hitam terlihat Pendekar Mabuk melintas di belakangnya.
Tongkat El Maut terlihat pula olehnya. Cepat ia berseru,
"Durmala Sanca! Berhenti kau!"
Siluman Tujuh Nyawa tetap melesat pergi. Arahnya ke pesanggrahan. Pendekar Mabuk
cemas, takut kalau-kalau bayi itu diculik dan direbut oleh Siluman Tujuh Nyawa.
Bunga Bernyawa tak mungkin bisa menghadapi siluman itu. Karenanya, Suto pun
segera menggunakan gerak siluman juga, yang bisa melesat pergi dengan cepat
bagaikan angin badai. Wesss...!
"Celaka! Jangan sampai aku terlambat tiba di samping
Bunga!" pikir Pendekar Mabuk dalam pelariannya. Rombongan Bunga Bernyawa belum tiba di pesanggrahan. Bahkan dari ketinggian tempat yang mereka lalui, mereka masih bisa
melihat pertarungan Pendekar Mabuk dengan Pawang Jenazah.
Tetapi tiba-tiba mereka dikejutkan oleh kemunculan
seorang berkerudung hitam dan berwajah putih. Siluman Tujuh Nyawa sudah
menghadang di depan Mayang Suri.
Ia langsung berkata,
"Serahkan bayi itu padaku!"
Mendadak tubuhnya tersentak. Siluman Tujuh Nyawa terkena pukulan 'Guntur
Perkasa' dari Pendekar Mabuk, ia terpental ke belakang dan tak sempat melepaskan
pukulan balasan. Karena pada saat itu, Pendekar Mabuk telah melepaskan jurus
pukulan 'Manggala'-nya. Tetapi Siluman Tujuh Nyawa masih bisa menghindar, dan
cepat melarikan diri bagaikan petir yang melesat pergi. Karena pukulan 'Guntur
Perkasa' itu akan membuat tubuhnya cepat membusuk jika tidak segera terobati.
Semakin banyak terkena angin semakin cepat tubuh itu menjadi busuk, itulah
sebabnya Siluman Tujuh Nyawa merasa perlu menghilang lagi untuk sembuhkan
lukanya yang mengancam jiwa itu.
"Suto, mau ke mana kau"!" teriak Bunga Bernyawa ketika Suto bergegas pergi
mengejar Siluman Tujuh Nyawa.
"Aku harus kejar dia! Dia musuh utamaku!"
"Aku... aku bagaimana"!" Bunga Bernyawa berseru dalam kebingungannya.
Akhirnya Pendekar Mabuk menghampiri nona manis
itu. Suto pandangi gadis itu, lalu berkata dengan lembut,
"Untuk sementara, tinggallah bersama Mayang Suri.
Jagalah dulu bayinya! Jangan ke mana-mana! Nanti aku datang lagi kepadamu!"
"Aku... aku ingin pulang ke negeriku!"
"Aku akan atur perjalanan pulangmu! Tapi aku harus, kejar Siluman Tujuh Nyawa
itu! Percayalah, aku akan jemput kamu nanti!"
Pendekar Mabuk terburu-buru pergi, karena takut
kehilangan jejak musuhnya. Sementara itu, Bunga
Bernyawa, Mayang Suri, dan Sulasih hanya geleng-
gelengkan kepala sambil sunggingkan senyum kebanggaan terhadap diri Pendekar Mabuk.
SELESAI Pendekar mabuk Baca kisah selanjutnya!!!
Serial Pendekar Mabuk Suto Sinting dalam episode: MUSTIKA SERAT IBLIS
Pembuat E-book:
Scan buku ke DJVU: Abu Keisel
Convert & Edit: Paulustjing
Ebook oleh: Dewi KZ
http://kangzusi.com
http://dewi-kz.info
http://www.tiraikasih.co.cc/
http://ebook-dewikz.com/
Rahasia Kunci Wasiat 13 Kehidupan Para Pendekar Karya Nein Arimasen Pedang Langit Dan Golok Naga 27
^