Pedang Guntur Biru 1
Pendekar Mabuk 014 Pedang Guntur Biru Bagian 1
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah
lindungan undang-undang.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
Pembuat E-book:
Scan buku ke DJVU: Abu Keisel
Convert & Edit: Paulustjing
Ebook oleh: Dewi KZ
http://kangzusi.com
http://dewi-kz.info
http://www.tiraikasih.co.cc/
http://ebook-dewikz.com/
1 PAKAIAN kuning gading membuat wajah cantiknya
menjadi lebih anggun lagi. Dengan rambut dikepang satu
ke belakang, senjata pedang masih terselip di pinggang,
perempuan itu tetap berdiri tegak di depan orang
berpakaian serba merah itu. Melihat sikap memandang
yang dingin dan ketus dari perempuan berpakaian
kuning dengan dirangkapi rompi panjang warna ungu
itu, jelas ada permusuhan di antara mereka berdua. Itulah
sebabnya ia tetap berdiri tegak di depan pintu masuk
sebuah kuil yang berpagar batu tinggi.
"Sekalipun kau kakak perguruanku, tapi aku tetap tak
bisa izinkan kau masuk kuil ini, Barong Geni!" kata
perempuan itu dengan tegas dan berkesan berani.
Barong Geni yang berpakaian serba merah sampai
pada ikat kepalanya juga merah itu, sengaja sunggingkan
senyum sinis kepada bekas adik seperguruannya yang
bernama Intan Selaksa. Kumisnya yang sedikit lebat itu
diusap-usap dengan jari, kadang dipelintir agar
melengkung kedua ujungnya. Barong Geni segera
serukan kata, "Kita mempunyai hak yang sama untuk menempati
kuil ini, Intan Selaksa! Jangan kau tampakkan sikap
serakahmu di depanku! Kau bisa menyesal kalau sampai
aku bertindak kasar kepadamu!"
"Memang kita dulu bekas saudara seperguruan, kita
memang sama-sama murid Begawan Sangga Mega yang
sudah almarhum itu. Tetapi kau sudah diusir dari kuil
ini! Kau telah menjadi murid murtad dan tidak diizinkan
menginjak kuil ini lagi oleh sang Begawan!"
"Itu dulu, semasa Guru masih hidup!" sanggah
Barong Geni. "Sekarang pun larangan itu tetap berlaku, Barong
Geni! Sebelum Guru wafat, beliau pernah berpesan agar
akulah orang yang harus menjadi penjaga kuil ini, dan
melarangmu menginjakkan kaki di kuil ini! Jadi
kusarankan padamu, Barong Geni, sebaiknya cepatlah
angkat kakimu dari tanah Kuil Swanalingga ini, supaya
arwah Guru tidak murka kepadamu!"
Mata lebar berwajah angker dengan badan yang besar
itu cepat menggeramkan suaranya pertanda menahan
kemarahan. Rambut ikalnya yang dibungkus kain merah
sebagian itu dibiarkan terhempas angin pegunungan
yang semilir. Perutnya yang buncit dengan baju tidak
dikancingkan sengaja dipamerkan sebagai umpan
pukulan nantinya.
Barong Geni punya keyakinan, bahwa hari itu ia
harus bertarung dengan Intan Selaksa. Agaknya Intan
Selaksa tak bisa diajak damai untuk urusan ini. Barong
Geni merasa diremehkan oleh larangan Intan Selaksa itu.
Maka, segera ia lontarkan kata yang lebih bernada
bermusuhan lagi kepada Intan Selaksa,
"Aku tak bermaksud bermusuhan denganmu, Intan
Selaksa. Tapi kalau kau merasa sudah bosan menikmati
hidupmu ini, aku juga tidak keberatan jika harus
melenyapkan nyawamu!"
Intan Selaksa sunggingkan senyum tipis tanda
mengejek ucapan itu. Bahkan ia berkata dengan
ketusnya, "Demi mematuhi perintah wasiat Guru, nyawaku
sudah siap kujadikan perisai, Barong Geni! Akan
kulayani jika kau ingin bertingkah di depanku! Tak
mungkin aku gentar menghadapimu, Barong Geni!"
"Perempuan Sombong!" geram Barong Geni sambil
melepaskan tangannya yang sejak tadi melintir kumis.
"Tingkat ilmumu belum seberapa tapi sudah berani
berkoar seperti itu di depan Barong Geni! Majulah, jika
kau ingin cepat menuju alam akhirat! Majulah...!"
Sambil lontarkan tantangan, Barong Geni mulai
pasang kuda-kuda dan angkat kedua tangannya di
pertengahan dada, yang satu diangkat sampai di atas
kepala, ia siap melancarkan pukulannya begitu Intan
Selaksa sedikit saja bergerak mencurigakan. Matanya
pun makin memancar tajam dan penuh kobaran api
permusuhan. Tetapi, Intan Selaksa masih tetap diam dengan berdiri
merenggang kaki. Kedua tangannya disangkutkan pada
ikat pinggang di depan perutnya. Wajah ayunya
memamerkan senyum berlesung pipit yang semakin
membuatnya manis. Tapi kali ini senyum manis itu tetap
berkesan pahit, karena mata Intan Selaksa tak mau
pancarkan keteduhan.
"Majulah kalau memang kau ingin menjadi perisai
Kuil Swanalingga ini, Monyet!" bentak Barong Geni.
"Tak perlu aku maju mendekatimu," kata Intan
Selaksa dengan suara kalem seperti tadi juga. "Untuk
apa aku mendekatimu jika kau tak mampu gerakkan
tanganmu, Barong Geni"!"
"Omong besar! Kurompalkan gigimu semua, Intan
Selaksa! Hiiih...!"
Barong Geni sangat terkejut. Dahinya berkerut-kerut
dengan tubuh bergerak-gerak dalam sentakan kaku yang
berat. Bahkan ia sempat kerahkan tenaganya untuk
menggerakkan kedua tangan, tapi kedua tangannya tetap
tak bisa bergerak turun, ke depan, ke samping, atau ke
mana saja. Tangan itu menjadi kaku dan keras bagaikan
kayu. Bagian jemari pun tak bisa digerakkan sedikit pun.
"Monyet busuk!" caci Barong Geni. "Rupanya kau
telah menotok jalan darahku di bagian kedua tangan ini
dengan kekuatan senyumanmu, hah"! Kau telah kuasai
ilmu 'Sungging Betari' dari Begawan Sangga Mega itu"!
Baik! Aku tak mudah menyerah, Intan Selaksa!
Kutunjukkan padamu bahwa aku pun tetap mampu
melawanmu walaupun kau menguasai ilmu 'Sungging
Betari'! Hiaaah...!"
Barong Geni sentakkan kakinya ke tanah dan
tubuhnya pun melesat terbang dengan berkelebat
menendang kepala Intan Selaksa. Wusss...! Intan Selaksa
menangkis tendangan itu dengan sentilan dua jarinya.
Tass...! Kaki itu bukan hanya tertahan, namun juga
terlempar ke arah lain dengan satu sentakan kuat.
Bregggh...! Barong Geni jatuh dengan tangan tetap
kaku pada posisi semula, yang kiri di depan dada, yang
kanan di atas kepala.
Intan Selaksa cepat menjauhkan diri dengan satu
lompatan ringan ke arah samping. Senyumnya semakin
mekar melecehkan jatuhnya Barong Geni. Yang merasa
dilecehkan cepat berdiri dan menggeram dengan nafsu
ingin membunuh.
"Kuakui kau sekarang sudah banyak berubah, Intan
Selaksa! Kau lebih tangkas dan lebih cepat bergerak
daripada tiga tahun yang lalu. Tetapi jangan dulu kau
merasa bangga dengan kemajuanmu itu! Aku akan
merampungkan janjiku yang tadi kuucapkan padamu!
Hiaaa...!"
Barong Geni sentakkan kakinya dari jarak lima
langkah. Sentakan itu mempunyai gelombang tenaga
dalam yang melesat cepat menghantam perut Intan
Selaksa. Wusss...! Begggh...!
"Ahhg...!" Intan Selaksa tak sempat menangkis
karena begitu cepatnya gelombang tenaga dalam dari
tendangan kaki Barong Geni, sehingga akibatnya ia
terpental ke belakang dan jatuh di semak-semak.
Grusakkk...! "Hup...!" Intan Selaksa sentakkan kedua tangannya ke
tanah dan tubuhnya melentik bagai kaki jangkrik. Lalu,
tiba-tiba ia sudah berdiri dengan tegak dan mengangkat
kedua tangannya ke depan dengan telapak tangan siap
melepaskan pukulan jarak jauh.
Tapi belum sempat pukulan itu terlepaskan, Barong
Geni sudah lebih cepat menggerakkan kakinya yang
menendang berputar beberapa kali hingga putaran kaki
itu seperti kipas yang bergerak dengan cepat.
Wutttt... wuttt... wuttt... wuttt...!
Suara itu begitu cepatnya hingga yang didengar Intan
Selaksa suara yang memanjang. Wungngng...!
Angin kencang menyerupai badai datang
menghantam tubuh Intan Selaksa. Tak sempat ia
menahan angin itu ataupun melompat hindarkan diri.
Akibatnya, Intan Selaksa terlempar ke samping dalam
keadaan tidak beraturan. Terjungkir balik dirinya
membentur batu dan pohon yang ada. Sementara itu,
dengan tangan tetap kaku dalam posisi seperti orang
sedang menari, Barong Geni tetap melepaskan jurus
'Tendangan Delapan Penjuru Angin', yang membuat
Intan Selaksa semakin terlempar-lempar tak tentu arah.
Ketika tubuhnya membentur batang pohon besar,
Intan Selaksa mencoba kerahkan tenaga dalamnya untuk
menahan jurus 'Tendangan Delapan Penjuru Angin' itu.
Kedua tangannya disentakkan ke depan dengan kuat,
tapi angin badai dari jurus tendangan maut itu sangat
kuat dan tak mampu ditahannya, sehingga Intan Selaksa
terpelanting ke mana-mana. Membentur dan menggores
apa saja. Prass...! Bras...! Plak, trakk...! Brett...!
Sampai suatu ketika, Barong Geni tahu-tahu
terlempar ke arah samping dengan cukup keras dan
cepat. Wusss...! Tubuhnya bagaikan sehelai daun yang
dihempaskan badai cukup besar. Tubuh itu menghantam
sebuah gugusan batu. Bokkk...! Batu itu gompal. Barong
Geni dengan tangan masih tetap kaku tak dapat dilipat
lagi itu terpaksa mengerang kesakitan. Dadanya tertimpa
gompalan batu dua genggaman tangan. Tubuh itu
terkapar di sana dengan hidung berdarah.
"Monyet Borok!" gerutunya dalam hati. "Siapa yang
berani campur tangan urusanku"! Tak mungkin Intan
Selaksa bisa melemparkan aku sedemikian kuatnya,
apalagi aku sedang mainkan jurus 'Tendangan Delapan
Penjuru Angin' itu! Hmmm...! Pasti ada pihak lain yang
campur tangan dengan urusanku!"
Karena matanya masih berkunang-kunang untuk
memandang, Barong Geni pejamkan mata sebentar, lalu
mengibaskan kepala dan membuka matanya lagi dengan
dahi berkerut-kerut. Tangannya tak bisa mengusap darah
yang keluar dari hidungnya, hingga membasahi kumis
dan bibir. Seorang perempuan sebaya dengan Intan Selaksa
segera membantu Intan Selaksa untuk berdiri.
Perempuan itu mengenakan baju hijau dengan celana
coklat. Bajunya berbelahan dada cukup lebar, hingga sisi
bukitnya tampak tersumbul mulus, menggumpal penuh
tantangan. Perempuan itu berbibir lebar dan tebal, tapi
diberi warna merah segar merangsang. Rambutnya
sepanjang punggung, lepas tergerai. Di selipan depan
perut terlihat sebuah senjata bergagang hitam, yaitu
rencong. Melihat ciri-ciri itu, Barong Geni segera mengenali
perempuan itu. Ia segera serukan kata amukannya
dengan suara besar,
"Gincu Mayat! Rupanya kau sengaja cari perkara
denganku, hah"!"
Gincu Mayat, perempuan bertubuh sekal itu tidak
melayani seruan Barong Geni. Ia masih menolong Intan
Selaksa yang terluka memar dan kulitnya robek di sana-
sini akibat hempasan badai dari 'Tendangan Delapan
Penjuru Angin' tadi. Bahkan di bagian hidung dan
telinganya keluarkan darah segar walau tak begitu
banyak, seperti darah yang dikeluarkan Barong Geni dari
hidung. "Kau masih kuat berdiri, Intan Selaksa"!"
"Oh, ya...! Aku masih sanggup melawannya, Gincu
Mayat. Terima kasih atas pertolonganmu!" Intan Selaksa
menyeka darah dari hidungnya.
"Istirahatlah dulu biar aku yang hadapi dia, Intan!"
kata Gincu Mayat.
"Tidak. Ini urusan perguruan, Gincu Mayat! Kau tak
bisa ikut campur! Biarlah aku yang hadapi kebo busuk
itu!" "Intan, aku pernah kau tolong dari maut, sekarang aku
pun perlu menolongmu dari maut, supaya impas sudah
hutangku padamu!"
"Anggap saja kau telah melunaskan hutangmu padaku
dengan mengalihkan jurusnya tadi! Sekarang tiba
giliranku untuk menggempurnya!"
Tapi Gincu Mayat berkeras hati dan segera
menyingkirkan tubuh Intan Selaksa dari depannya.
Gincu Mayat maju beberapa tindak untuk menghadapi
Barong Geni. Tangan Barong Geni yang kanan masih di atas
kepala, dan yang kiri masih di depan dada. Ke mana pun
ia melangkahkan kaki, dan dalam keadaan
bagaimanapun, tangan itu tetap saja kaku begitu. Hal itu
dijadikan bahan ejekan oleh Gincu Mayat.
"Kau ini seorang penari ronggeng atau seorang
pendekar, Barong Geni"! Atau jangan-jangan kau
pemain topeng monyet, yang selalu berjalan ke mana-
mana dengan tangan begitu"! Hi hi hi...!"
Pendekar Mabuk 014 Pedang Guntur Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tutup mulutmu, Perempuan haram!" bentak Barong
Geni. "Aku tak punya urusan apa pun denganmu!
Pergilah sana dan jangan bikin perkara denganku!"
"Hei hei hei... orang tampan yang angker kalau marah
semakin tambah menggairahkan, rupanya! Hi hi hi...!
Kemarahanmu itu adalah lambang kehangatan lelaki
yang amat menggiurkan, Barong!"
"Setan belang kau! Pergilah sana, kau tak tahu
urusanku dengan Intan Selaksa!"
"Siapa bilang aku tak tahu"!" kata Gincu Mayat
dengan melenggak-lenggok di depan Barong Geni. "Aku
cukup tahu masalahmu! Kau ingin menguasai kuil
peninggalan guru kalian itu, bukan"! Ah, aku tahu apa
maksudmu untuk menguasai kuil itu! Kau punya tujuan
tersendiri! Kau ingin cari sesuatu di dalam kuil itu!"
"Kalau toh itu tujuanku, kau tak punya hak untuk
menghalangiku! Kau bukan murid Begawan Sangga
Mega! Akulah murid Begawan Sangga Mega!"
Intan Selaksa cepat menyahut, "Memang. Tapi kau
murid yang sudah diusir dan tidak diakui sebagai murid
lagi. Kau murid murtad! Karena kau telah mencuri kitab
pusaka untuk kau persembahkan kepada Dewi Kelambu
Darah!" "Karena dia punya syarat begitu untuk menjadi
istriku, apa salahnya jika aku menuruti permintaan calon
istriku itu"!" sanggah Barong Geni dengan suara keras.
"Guru tidak pernah punya murid yang berkepribadian
serapuh itu, Barong Geni! Guru tidak suka dengan
jiwamu, yang mengorbankan kepentingan pihak lain
untuk mengeruk kepentingan diri sendiri!" sentak Intan
Selaksa masih tampak berani dan tegar.
"Seorang istri adalah nyawa bagi hidupku, Intan
Selaksa!" kata Barong Geni. Lalu, Intan Selaksa
menyahut, "Apakah Dewi Kelambu Darah sekarang menjadi
istrimu"!"
"Memang belum. Tapi...."
"Tapi dia punya permintaan lagi, bukan"!" sahut
Gincu Mayat. "Itu urusan dia dengan aku!"
"Memang. Aku hanya ingin meyakinkan bahwa
dugaanku benar," kata Gincu Mayat. "Bahkan aku bisa
menduga, apa yang diinginkan oleh Dewi Kelambu
Darah! Pasti dia minta supaya kau mencuri Pedang
Guntur Biru yang disembunyikan oleh gurumu di dalam
kuil itu, bukan"!"
"Setan kau!" geram Barong Geni.
Intan Selaksa sipitkan mata. Mulai mengerti duduk
persoalan sebenarnya yang membuat Barong Geni
mendesak ingin masuk ke dalam kuil Swanalingga. Intan
Selaksa merasakan kebenaran dugaan Gincu Mayat itu,
sehingga ia semakin keras berkehendak mengusir
Barong Geni. Sementara itu, Barong Geni sendiri merasa sangat
jengkel kepada mulut lancang Gincu Mayat yang
membuat tujuan sebenarnya diketahui oleh Intan
Selaksa. Tetapi demi cintanya kepada Dewi Kelambu
Darah, Barong Geni harus tetap berusaha untuk bisa
masuk ke dalam kuil dan mencari di mana Pedang
Guntur Biru disembunyikan oleh almarhum gurunya itu.
Sebab, jika Barong Geni tidak bisa memberikan Pedang
Guntur Biru kepada Dewi Kelambu Darah, maka
perempuan itu tidak mau menjadi istrinya. Padahal
Barong Geni sudah terlalu besar mencurahkan rasa
cintanya kepada Dewi Kelambu Darah, terlalu berat
memendamnya lebih lama lagi. Maka, tak ada pilihan
lain buat Barong Geni kecuali menuruti permintaannya
itu. "Sebaiknya batalkan saja niatmu itu, Barong Geni!"
kata Gincu Mayat, seakan membela Intan Selaksa mati-
matian. "Apa hakmu melarangku mengambil Pedang Guntur
Biru"! Pusaka itu bukan milik gurumu si Bungkuk Jagal
yang sudah modar itu!" kata Barong Geni dengan
kasarnya, sengaja membuat merah muka Gincu Mayat,
ia tambahkan pula kata,
"Kalau saja gurumu sekarang masih hidup, ingin
rasanya kucacah jadi satu dengan tubuhmu, Gincu
Mayat!" "Kelewat batas omonganmu, Barong!" geram Gincu
Mayat. "Kau perlu mendapat pelajaran dariku supaya
bisa bicara lebih hati-hati lagi! Heaaah...!"
Gincu Mayat sentakkan tangannya dari samping
bawah sedikit ke depan. Settt...! Dan muncullah sinar
merah yang melesat cepat menuju dada Barong Geni.
"Hiaaat...!"
Barong Geni manfaatkan tangannya yang kaku di
depan dada itu untuk dialiri gelombang tenaga dalam.
Memang tangan itu tak bisa keluarkan pukulan balasan,
tapi cukup kuat untuk menahan sinar merah yang hendak
menghantam dadanya.
Cratt...! Percikan bunga api muncrat dengan kuat.
Sinar merah itu membelok arah setelah membentur
tangan Barong Geni. Sinar merah itu menghantam
pohon, dan pohon tersebut menjadi kering dalam waktu
dua helaan napas.
"Bebek bunting!" geram Barong Geni. "Sukar sekali
melepaskan totokan Intan Selaksa ini! Kalau saja kedua
tanganku belum tertotok dan bisa bergerak bebas, sudah
hancur kepala kedua perempuan itu dalam satu gebrakan
saja!" Wuttt...! Intan Selaksa lompatkan diri ketika Barong
Geni ingin bergerak ke kiri. Intan Selaksa menghadang
di sana dengan pedang yang telah dicabutnya dari
sarungnya. Barong Geni tak berani mendekat, karena ia
tahu pedang itu cukup berbahaya. Siapa pun tergores
sedikit saja dapat mengakibatkan luka yang membawa
mati dalam tiga hitungan. Pedang itulah yang dinamakan
Pedang Sengat Kubur. Tetapi Barong Geni tidak mau
tunjukkan rasa takutnya di depan lawan. Barong Geni
malahan berkata,
"Kau pikir aku akan gentar jika kau sudah cabut
pedang begitu" Hmmm...! Pedang untuk tebang pohon
saja belum tentu bisa dipakai untuk menyerangku"!"
Barong Geni mencibir. Intan Selaksa menahan diri untuk
tidak murka dengan melakukan gerakan gegabah.
"Kalau kau tak takut dengan pedangku mengapa kau
melangkah mundur, Barong Geni"!" kata Intan Selaksa.
"Aku mencari tempat untuk menyerangmu!" Jawab
Barong Geni. Pada saat Barong Geni bicara begitu sambil
melayangkan pandang kepada Intan Selaksa, tiba-tiba
Gincu Mayat melepaskan pukulan tenaga dalam yang
keluarnya dari jari tengah tangan kanan. Zuuttt...! Hijau
warna sinar yang keluar itu, dan telak menghantam
punggung Barong Geni. Zrappp...!
"Aahg...!" Barong Geni mendelik dengan wajah
menegang karena kaget dan tubuhnya melengkung ke
depan, ia mulai merasakan panas di telapak kakinya, lalu
menjalar panas di betisnya dan terus bergerak sampai di
lututnya. Cepat-cepat Barong Geni menekan napasnya kuat-
kuat. Tubuhnya sampai gemetar karena kerahkan tenaga
dalam berhawa dingin untuk melawan hawa panas yang
akan membakar dirinya.
"Gggrrr...!" Barong Geni mengerang dengan kaki
makin merenggang rendah dan tangannya gemetaran.
Peluh pun keluar dari tiap pori-pori tubuhnya. Matanya
berusaha memandang sekelilingnya untuk hindari
serangan tiba-tiba dari kedua perempuan itu.
"Sebentar lagi bagian dalam tubuhmu akan terbakar,
Barong! Tak perlu ditahan-tahan begitu, nanti malah
jebol bagian bawahmu!" ledek Gincu Mayat sambil
cekikikan. Melihat Barong Geni mulai lemah, Intan Selaksa
segera melesat lompat dengan pedang siap menebas
pundak atau leher Barong Geni.
"Hiaaah...!"
Wusss...! Pedang itu meleset dari sasaran karena
Barong Geni menjatuhkan diri dan berguling dua kali di
tanah dalam keadaan tangan kaku. Ia cepat sentakkan
kaki dan berdiri lagi. Melihat Intan Selaksa siap
melancarkan jurus pedangnya lagi, Barong Geni cepat
melompat jauh. Kemudian ia melarikan diri sambil
berseru, "Tunggu pembalasanku nanti!"
Intan Selaksa ingin mengejar Barong Geni, tapi
Gincu Mayat menahannya. "Tak perlu kau kejar. Nanti
dia akan datang lagi dengan sendirinya untuk serahkan
nyawa padamu!"
* * * 2 DENGAN keadaan tangan kiri masih di depan dada
sedikit merenggang, dan tangan kanan di atas kepala
bagai ingin menghentakkan tenaga pukulan lewat
telapak tangannya yang terbuka, Barong Geni selesai
sudah mengatasi hawa panas yang akan membakar
bagian dalam tubuhnya, ia cepat berlari tinggalkan
tempat sepi itu untuk menemui Dewi Kelambu Darah, ia
berlari dengan tangan masih di atas kepala.
"Haram jadah betul si Intan Selaksa itu!" gerutu
Barong Geni sambil melesat dalam larinya. "Jurus
totokan 'Sungging Betah' ini sukar sekali kulumpuhkan!
Mau garuk-garuk kepala saja sulitnya bukan main!
Uuh...! Akan kubunuh dia tanpa ampun lagi!"
Sebuah lembah berpemandangan indah, mempunyai
aneka tanaman bunga warna-warni. Di lembah itulah
Dewi Kelambu Darah bersemayam, hidup dalam
kesendirian, ia merasa lebih damai hidup dalam
kesendirian ketimbang harus ada teman. Kelak suatu
saat, ia dapat menghimpun banyak orang sebagai rakyat
pendukung kekuatannya, jika sebuah ilmu yang bernama
'Gagar Mayang', sudah dicapainya. Ilmu itu sekarang
masih di pelajari dengan tekun.
Barong Geni sedang menuju ke lembah itu, ketika
tiba-tiba seorang berpakaian putih dengan celana hitam
meluncur dari sebuah pohon, menghadang langkah
Barong Geni. Orang itu melompat bagaikan kapas jatuh
tanpa suara. Langkah Barong Geni terhenti, dan matanya
menatap tajam kepada lelaki berusia lebih muda darinya
itu. Rambutnya panjang lurus dan lemas diikat dengan
ikat kepala warna kuning. Sebilah pedang tersandang di
punggungnya, ia tampak lebih tegap dan lebih gagah
dari Barong Geni yang berusia empat puluh tahun itu.
"Setan Alas!" rutuk Barong Geni setelah tahu siapa
penghadangnya. Orang yang dimakinya itu sunggingkan
senyum tipis, dingin.
"Kita ketemu lagi, Barong Geni!" ucapnya kalem.
"Aku sudah muak bertemu kamu!" ketus Barong Geni
dengan mulut bersungut-sungut dan makin jengkel
kepada tangannya yang belum bisa digerakkan itu.
"Kau benar, Barong Geni! Kau mestinya memang
muak bertemu denganku, karena aku pun muak bertemu
denganmu! Tapi kali ini pertemuan kita adalah
pertemuan terakhir! Tak ada lagi pertemuan berikutnya,
karena aku akan mengirim nyawamu ke neraka sekarang
juga!" "Hmmm...! Boleh saja kau bermulut besar, tapi
nyalimu sebenarnya tak ada seujung kuku! Berapa kali
kau bertarung denganku dan selalu melarikan diri"!"
"Kali ini kau yang akan melarikan diri. Bahkan
nyawamu yang akan lari terbirit-birit melihat pedangku!"
"Bocah setan...! Seranglah aku bila kau mampu!"
tantang Barong Geni. Dan, pemuda tampan itu segera
mencabut pedangnya pelan-pelan, ia tampak lebih
tenang dari saat terakhir bertarung dengan Barong Geni,
sekitar tiga bulan yang lalu.
"Jangan menyesal dengan tantanganmu sendiri jika
pedang ini merobek lehermu, Barong Geni!"
"Hah...! Kau pikir dengan berhasil membawa pedang
itu, aku akan takut dan gentar padamu, Panji Tampan"!
Cuihhh...! Aku justru bernafsu sekali untuk segera
membunuhmu!"
Padahal di dalam hatinya Barong Geni berkata, "Gila!
Sekarang dia pakai bawa-bawa pedang segala! Rupanya
dia benar-benar ingin membunuhku supaya bisa
mendekati Dewi Kelambu Darah! Ah, sayang sekali
tanganku begini, sehingga aku tak bisa menggunakan
senjataku! Celaka...! Kalau dia memang jago main
pedang, habislah leherku dibabatnya! Paling tidak salah
satu tanganku yang seperti ini akan mudah
dibuntungnya! Sial benar itu si Intan Kunyuk!" geram
Barong Geni jengkel.
"Bersiaplah pergi ke neraka sekarang juga, Barong!
Hiaat...!"
"Tunggu...!" Barong Geni sentakkan kaki dan
melompat mundur dua tindak. Sedangkan waktu itu
Panji Tampan sudah siap tebaskan pedang. Barong Geni
cepat ucapkan kata,
"Kuingatkan sekali lagi padamu, Panji Tampan,
bahwa Dewi Kelambu Darah itu usianya sudah banyak!
Dia sudah tua! Sepantasnya menjadi ibumu! Kau masih
muda belia, usiamu kutaksir tak lebih dari dua puluh
tujuh tahun. Sayang sekali kalau kau masih ngotot ingin
mengawini Dewi Kelambu! Ketahuilah pula, bahwa
Dewi Kelambu Darah kelihatan cantik dan menarik
karena dia punya ilmu pengawet kecantikan! Bahkan
usia aslinya dengan usiaku, masih tua dia!"
"Persetan dengan usia! Aku suka kepadanya, mau apa
Pendekar Mabuk 014 Pedang Guntur Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kau"!"
"Mata tampan yang rabun... he he he...! Cucilah
matamu pakai air belerang, biar bisa melihat mana
perempuan yang cocok menjadi istrimu, Panji Tampan!"
Sambil berceloteh, Barong Geni berpikir bagaimana
mencari cara mengatasi pertarungan tersebut dalam
keadaan tangan kaku begitu. Tapi sejauh ini dia belum
temukan cara yang terbaik selain nekat menggunakan
jurus jarak jauh.
"Tua bangka! Tak perlu kau banyak bicara lagi,
terimalah jurus pedang pembukaku ini! Hiaaat...!"
Wutt, wuttt...! Pedang berkelebat dua kali, lalu kaki
Panji Tampan disentakkan ke tanah dan melesat terbang
tubuhnya ke arah Barong Geni. Pedangnya diarahkan
lurus bagai hendak menusuk mata Barong Geni. Maka,
Barong Geni pun cepat menghindarkan diri ke samping,
dan saat itu pula ternyata pedang menebas ke samping.
Wungngng...! Begitu cepat, begitu rapat hampir
menyentuh telinga Barong Geni, sehingga angin pedang
itu menimbulkan dengung yang memekakkan telinga.
Barong Geni menggulingkan badan, kemudian
kakinya menyentak ke atas dengan penuh gelombang
tenaga dalam yang dilepaskan lewat telapak kaki itu.
Wusssh...! Crasss...! Pedang Panji menebas mengenai
sinar putih yang melesat dari telapak kaki itu. Benturan
sinar pedang timbulkan letupan api yang memercik ke
kaki Barong Geni sendiri. Kaki itu kepanasan dan
Barong Geni cepat singkirkan kakinya dalam gerak
memutar sambil pinggangnya dipakai menyentak dan
tubuhnya pun melenting di udara tak begitu tinggi.
Jlegg...! Ia kembali berdiri dengan kedua kaki yang
kokoh tegap. Tapi tangan tetap seperti monyet yang tak
mampu menggaruk kepalanya sendiri.
"Jurus pedang pembuka...!" kata Panji Tampan
sambil sunggingkan senyum meremehkan, ia tampak
lebih kalem dari biasanya. Barong Geni diam-diam
dibuat grogi oleh kekaleman sikap bertarungnya Panji
Tampan itu. Barong Geni menyimpan kecemasan yang
selalu ditutup dengan omong besarnya,
"Jurus seperti itu diandalkan"! Hmm...! Buat bunuh
cacing saja belum tentu bisa, apalagi buat melukai
tubuhku!" "Itu baru jurus pembuka!" sangkal Panji Tampan.
"Sekarang jurus pedang pertama. Bersiaplah, Barong...!
Tak sampai kugunakan jurus pedang kedua, kau sudah
pindah ke neraka dan carilah kekasih lain di sana!"
Wuuhhggg...! Tiba-tiba Barong sentakkan kakinya ke
depan dengan cepat. Jaraknya yang berada antara enam
langkah itu membuat kaki tersebut dengan jelas
mengeluarkan sinar kuning yang bergerak cepat.
Sebenarnya sinar kuning itu akan menghantam perut
Panji Tampan, tapi karena Panji melihat kilatan sinar
kuning itu, maka ia sentakkan kakinya ke tanah dan
tubuhnya melesat ke udara bagai singa mau menerkam
mangsanya, ia menghindari sinar kuning itu sambil
menyerang kembali lawannya dengan pedang tersebut.
Jrabbb...! Sinar kuning mengenai gundukan cadas di
belakang Panji Tampan. Tapi pedang Panji Tampan kala
itu sudah mencapai di depan leher Barong Geni. Dengan
cepat Barong Geni menjatuhkan diri ke rumput,
sehingga pedang dan tubuh lawan tak jadi menabraknya.
Sebagai balasan, kaki Barong Geni menendang ke atas
sambil berjungkir balik ke belakang. Beggg...!
Tendangan itu mengenai perut Panji Tampan.
Terpelanting tubuh Panji Tampan di udara. Kesempatan
itu digunakan oleh Barong Geni untuk siap-siap
melancarkan jurus 'Tendangan Delapan Penjuru Angin'.
Tetapi tiba-tiba tubuh Panji yang terguling-guling di
tanah itu terlempar menyerosot bagai ada yang
menariknya kuat-kuat. Berbagai tanaman yang tumbuh
serta ranting yang ada di tanah diterjang habis oleh
tubuh Panji Tampan.
"Kenapa anak itu"!" pikir Barong Geni dengan heran,
ia tak jadi melancarkan 'Tendangan Delapan Penjuru
Angin' karena terpaku oleh kejadian aneh tersebut.
Bahkan matanya makin membelalak lebar dengan tangan
tetap di atas kepala dan di depan dada ketika ia melihat
tubuh Panji bangkit sendiri, lalu terlempar terbang
seperti sehelai kain sarung yang dilemparkan seseorang.
Wuusss...! Beehggg...!
"Uuhg...!" Panji Tampan terpekik dengan suara
tertahan. Punggungnya menghantam batang pohon
dengan keras, sampai batang pohon itu terguncang
merontokkan daun layunya. Selesai itu, tubuh Panji
Tampan jatuh terpuruk dengan napas berat terhela.
Mulutnya keluarkan darah kental. Panji Tampan tak
mampu bergerak karena sekujur tubuhnya selain
terkoyak duri atau batu, juga ada luka dalam yang
membuatnya memuntahkan darah hitam yang kental.
Jlegg...! Tiba-tiba seseorang telah berada di belakang Barong
Geni. Cepat-cepat Barong Geni palingkan wajah, dan ia
terperangah kaget melihat seorang perempuan cantik
berdiri di belakangnya mengenakan jubah jingga dan
pakaian sebatas dada warna biru tua berias benang perak.
Rambutnya disanggul indah, lehernya dengan kalung
batuan putih bagai barisan berlian mewah. Perempuan
cantik berhidung mancung tapi bermata tajam itu tak lain
adalah Dewi Kelambu Darah.
"Tak kuizinkan dia mengganggumu lagi, Barong
Geni!" ucapnya penuh kesan wibawa walau bernada
merayu. "Sebenarnya kau tak perlu menghajarnya begitu,
Kelambu Darah! Aku masih sanggup mempercepat
kematiannya! Cuma, aku tadi sedikit main-main dulu
dengan jurus pedangnya itu!"
Barong Geni melangkahkan kaki mendekati Dewi
Kelambu Darah. Senyum Dewi hanya separo saja.
Karena ia merasa heran melihat tangan Barong Geni
tetap di atas kepala dan di depan dada.
"Ada apa dengan tanganmu?"
"Intan Selaksa menotok jalan darahku. Aku sulit
melepaskan totokan ini, Dewi!"
"Hi hik hik...!" Dewi Kelambu Darah menjadi geli
mendengar pengaduan dari mulut Barong Geni. Yang
ditertawakan menjadi malu sekali.
Barong Geni tak bisa sembunyikan wajah malunya.
Padahal tadi baru saja ia merasa bangga, hatinya
berbunga-bunga melihat Dewi Kelambu Darah membela
pertarungannya dengan Panji Tampan menggunakan
kekuatan pandangan matanya yang cukup hebat itu. Baru
saja tadi Barong Geni merasa mendapat penghargaan
dari seseorang yang dicintainya. Tiba-tiba sekarang ia
harus menahan rasa malu akibat pengakuannya tentang
tangan yang tak bisa digerakkan lagi itu.
"Jadi kau tak bisa kalahkan Intan Selaksa"!"
"Bukan tak bisa, Dewi! Aku terpaksa melarikan diri
karena Gincu Mayat ikut campur dalam urusan ini!"
"Gincu Mayat..."!" Dewi Kelambu Darah agak
terkesiap matanya, lalu menyipit benci. "Berani-
beraninya dia ikut campur urusanmu" Apakah dia tak
tahu bahwa kau calon suamiku?"
"Dia tahu persis! Bahkan dia tahu bahwa aku datang
ke Kuil Swanalingga untuk mencari Pedang Guntur
Biru! Mulutnya itu yang membuat Intan Selaksa jadi
tahu tujuanku sebenarnya!"
Menggeram mulut Dewi Kelambu Darah sambil
geletakkan giginya, ia mengencangkan genggaman
tangannya. Lalu ia bertanya, "Jadi, bagaimana dengan
pedang pusaka itu" Kau belum berhasil
mendapatkannya"!"
"Untuk sekarang memang belum," jawab Barong
Geni. "Tapi untuk waktu mendatang, Pedang Guntur
Biru pasti akan kudapatkan dan kupersembahkan
padamu, Kelambu Darah!"
"Ingat, kalau kau tak cepat memberikan pedang
pusaka itu, berarti masa bulan madu kita tertunda lagi!"
"Tidak! Tidak akan terlambat lagi, Sayang. Tidak
lama lagi kau akan dapatkan pedang pusaka itu, biar kau
semakin kuat dan cepat menjadi seorang ratu! Aku akan
berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan Pedang
Guntur Biru itu, tapi... tapi...."
"Tapi apa"!" tukas Dewi Kelambu Darah melihat
Barong Geni kelihatan gelisah. Lalu, Barong Geni
ucapkan kata, "Tapi... tapi bagaimana aku bisa kalahkan mereka jika
tanganku dua-duanya terpatung kaku begini"! Aku tak
bisa melancarkan pukulan 'Tapak Geni'-ku"!"
Dewi Kelambu Darah sunggingkan senyum. "Dengan
anak kemarin sore saja kamu bisa dipermainkan begitu"!
Bagaimana jika kamu menghadapi lawan yang berilmu
tinggi"!"
"Aku sedikit lengah tadi. Sungguh kuakui, aku lupa
bahwa dia punya jurus totok melalui senyumannya! Tapi
lain kali takkan kubiarkan dia tersenyum walau sekejap
pun!" Kali ini bibir Dewi Kelambu Darah sunggingkan
senyum meremehkan Barong Geni. Makin malu Barong
Geni melihat senyum keremehan seperti itu. Makin
geram ia pada Intan Selaksa. Tapi ia segera sadar bahwa
ia tidak hanya bisa menggeram menahan amarah saja. Ia
harus melepaskan kemarahannya kepada Intan Selaksa.
Namun ia butuh bantuan Dewi Kelambu Darah untuk
melepaskan totokan pada jalur darah kedua tangannya
itu. "Kelambu Darah, kumohon kau mau melepaskan
totokan ini, supaya pusaka Pedang Guntur Biru bisa
cepat kudapatkan dan kuserahkan padamu, seperti aku
menyerahkan kitab pusaka itu!"
Dewi Kelambu Darah masih sunggingkan senyum
sinis berkesan meremehkan. Tapi matanya masih tetap
pandangi kedua tangan Barong Geni.
Wusss...! Tiba-tiba kedua tangan Barong Geni jatuh
lemas. Rupanya Dewi Kelambu Darah sudah
melepaskan pengaruh totokan itu melalui pandangan
mata yang mempunyai kekuatan dahsyat itu. Barong
Geni menghembuskan napas lega dan menggerak-
gerakkan tangannya agar rasa pegal hilang secepatnya.
Jari-jarinya pun dikembang-kuncupkan karena tanpa
begitu, semua urat terasa kaku.
"Ingat, Barong Geni... semalam kulihat rembulan
purnama mempunyai garis hitam yang bagai ingin
memotong pertengahan rembulan. Itu pertanda alam
kesucian telah terbuka. Jangan biarkan rembulan tak
bergaris lagi. Karena itu pertanda alam kesucian tertutup
kembali. Jika alam kesucian tertutup kembali, maka
sekian tahun lagi Pedang Guntur Biru bisa dicuri orang.
Jadi, jangan sampai kau terlambat, Barong Geni!
Sekaranglah saatnya mencuri pedang pusaka itu, selagi
alam kesucian terbuka!"
"Aku sangat mengerti, Kelambu Darah!"
"Kalau kau terlambat, menunggu sekian tahun lagi
kita baru bisa berbulan madu. Padahal sebenarnya aku
sudah tak tahan, Barong," kata Dewi Kelambu Darah
sambil mendekati lelaki itu dan menatapnya dengan
mata sendu, seakan sebuah ajakan untuk bercumbu.
Rambut Barong Geni diusap-usapnya dengan lembut,
penuh kemesraan. Sambil tubuhnya merapat di belakang
Barong Geni dan dengus napasnya terasa hangat di
tengkuk kepala dan leher Barong Geni. Terbakar darah
kejantanan Barong Geni manakala ia mendengar bisikan
Dewi. "Jangan sampai pria lain yang menyerahkan pedang
itu padaku, karena jika orang lain yang serahkan maka
itu berarti aku harus menikah dengan pria lain itu,
Barong! Dapatkan segera Pedang Guntur Biru di dalam
kuil itu! Aku tak tahan menunggu masa bulan madu kita
tiba, Barong! Oh... dapatkan pedang itu, Sayang...!"
Dewi Kelambu Darah menggelendot di pundak.
Barong Geni makin berdetak keras jantungnya. Ia ingin
mencium, tapi yang mau dicium segera undurkan diri
dengan menggoda. Mata Dewi Kelambu Darah tetap
memandang penuh daya rangsang yang memabukkan
jiwa. Tak tahan Barong Geni melihatnya.
"Sekarang juga aku akan kembali ke kuil itu, Dewi!
Sabarkan hasratmu. Tak lama lagi bulan madu kita akan
tiba!" "Yah, lekaslah bertindak! Karena hanya kau yang
tahu seluk-beluk kuil itu, maka kaulah yang masuk ke
sana! Kalau Gincu Mayat turut campur, aku yang
menghabisi nyawanya. Kau tak perlu layani dia!"
"Jadi kau akan mendampingiku dari belakang,
Dewi?" "Ya. Karena aku tak mau kehilangan kamu!" jawab
Dewi Kelambu Darah yang membuat Barong Geni
semakin bersemangat untuk mendapatkan Pedang
Guntur Biru. "Aku berangkat sekarang! Jaga dirimu baik-baik di
belakangku!" Ucap Barong Geni dengan penuh
keperkasaan dan kegagahan ia melangkah menunaikan
tugas setia seorang calon suami.
Dewi Kelambu Darah tertawa terkikik setelah Barong
Geni pergi. Dalam hatinya, Kelambu Darah ucapkan
kata, "Manusia bodoh! Sekalipun dia dapatkan pedang
pusaka itu, siapa yang mau menjadi suaminya" Puih...!
Tak sudi aku bergelut di atas ranjang dengannya!
Menjijikkan! Tapi, untuk sementara ini aku harus
mendorong semangatnya dan menjaganya dari belakang!
Kuperlukan tenaganya untuk mencuri pedang pusaka itu!
Pendekar Mabuk 014 Pedang Guntur Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Siapa pun akan tahu jika terjadi heboh nanti, bahwa
pusaka Pedang Guntur Biru dicuri oleh murid murtadnya
Begawan Sangga Mega! Dunia akan mengecam dia! Dia
akan diburu oleh banyak orang, sementara aku bisa
melarikan diri dan tenggelam untuk beberapa saat!
Setelah itu aku akan muncul sebagai ratu yang punya
banyak rakyat, karena mereka tak ada yang tahu bahwa
akulah otak pencurian pusaka Pedang Guntur Biru itu!
Hi hi hi...!"
Dewi Kelambu Darah cepat mengikuti kepergian
Barong Geni. Tak disadarinya, Panji Tampan yang
belum mati hanya dalam keadaan parah itu, telah
mendengar suara percakapan mereka tadi. Ia tahu apa
yang akan dilakukan oleh Barong Geni dan Dewi
Kelambu Darah. Sambil menahan luka berat, Panji Tampan berusaha
untuk bangkit dan berdiri berpegangan batang pohon.
Hatinya mulai membatin,
"Tak mungkin kususul sekarang juga, keadaanku
sangat parah! Aku harus pulang temui Guru dan
menceritakan tentang Pedang Guntur Biru itu. Pasti
Guru tahu apa dan bagaimana pedang pusaka tersebut!
Jika memungkinkan, aku mau merebut pedang pusaka
itu dari tangan Barong Geni, bukan untuk kuserahkan
kepada Dewi Kelambu Darah, tapi untuk kumiliki
sendiri! Dewi Kelambu Darah ternyata racun dalam
hidupku!" Geram sekali Panji Tampan setelah menyadari bahwa
ternyata Dewi Kelambu Darah memang ada hubungan
dongan Barong Geni. Selama ini, Panji Tampan tidak
menduga bahwa rayuan Dewi Kelambu Darah hanya
racun bagi hidupnya. Dewi Kelambu Darah sering
mengeluh dan merasa diganggu oleh Barong Geni.
Nyatanya, justru Dewi Kelambu Darah sendiri yang
nyosor kepada Barong Geni. Akibatnya, timbul rasa
benci dalam hati Panji Tampan dan lebih parah lagi rasa
benci itu menjadi dendam, karena merasa ditipu dan
dipermainkan. "Kalau perlu kurebut pedang itu dan kupakai
membunuh Dewi Kelambu Darah yang telah tega
melukaiku separah ini!" pikir Panji Tampan dengan
dendam menyentak-nyentak dada.
* * * 3 KUIL Swanalingga berupa bangunan batu tanpa
semen atau bahan perekat. Begawan Sangga Mega
membangun kuil tersebut dengan kekuatan tenaga
dalamnya yang tinggi, di mana setiap batu direkatkan
memakai hawa lekat yang keluar dari telapak tangannya.
Kuil itu sulit dirubuhkan karena perekat yang dipakai
benar-benar perekat istimewa.
Di sana terdapat ruang pemujaan dan ruang semadi
yang dinamakan kamar Cipta Hening. Kuil itu terdiri
dari tiga bangunan berbentuk stupa candi. Satu bangunan
besar tempat pemujaan dan tempat kamar Cipta Hening,
dua bangunan lagi digunakan untuk beristirahat para
murid Begawan Sangga Mega sebelum wafat dibunuh
oleh Tapak Baja. Salah satu dari dua bangunan itu sering
digunakan untuk menerima tamu atau memberi
wejangan bagi para murid Begawan Sangga Mega.
Kuil itu dulu pernah diserang oleh pasukan Chubi,
dari Tiongkok. Semua murid habis binasa kecuali Intan
Selaksa dan Barong Geni. Dua murid kesayangan
Begawan Sangga Mega itulah yang menjadi penerus
ilmu-ilmu kesayangan Begawan Sangga Mega. Tapi
sayang sekali, Barong Geni murtad dengan mencuri
kitab pusaka untuk diserahkan kepada Dewi Kelambu
Darah sebagai tanda cintanya. Dengan diusirnya Barong
Geni, maka hanya Intan Selaksa satu-satunya pewaris
semua ilmu yang dimiliki Begawan.
Sayang sekali ketika Intan Selaksa pergi ke Lembah
Tengkorak untuk melenyapkan giok penyebar penyakit
yang ada di sana, Tapak Baja datang mengincar Pedang
Guntur Biru. Begawan Sangga Mega tak mau serahkan
pedang itu, sekalipun hanya dengan dalih dipinjamkan.
Tapak Baja sakit hati. Lalu, dengan cara licik ia
membunuh Begawan Sangga Mega. Ketika Intan
Selaksa kembali dari meleburkan batu giok penyebar
penyakit di Lembah Tengkorak, ia sudah temukan
gurunya tak bernyawa lagi, tanpa tahu siapa
pembunuhnya. Mulanya Intan menyangka Barong Geni yang
membunuh gurunya. Tapi dilihat dari bekas pukulan
lawan di tubuh Begawan, jelas bukan jurus pukulan
milik Barong Geni, bahkan bukan pula milik pukulan
Dewi Kelambu Darah, yang bercita-cita ingin menjadi
ratu itu. Tetapi jauh sebelum Intan Selaksa mendapat tugas
menghancurkan batu giok penyebar penyakit di Lembah
Tengkorak, Begawan Sangga Mega pernah berkata,
bahwa kelak apa pun yang terjadi, Intan Selaksa harus
mempertahankan kuil itu dan melindungi dari jamahan
tangan-tangan sesat. Tak boleh ada yang merusak kuil
itu, tak boleh ada yang masuk ke kamar Cipta Hening,
sampai suatu saat nanti kuil itu akan lenyap dengan
sendirinya, dan Intan Selaksa akan menerima titisan ilmu
dari semua ilmu yang dimiliki Begawan Sangga Mega.
Intan Selaksa mematuhi tugas sebagai juru kunci Kuil
Swanalingga sejak kematian gurunya. Sampai suatu saat,
ia melihat seorang perempuan yang terdesak dengan luka
berdarahnya dari serangan dua orang lelaki tak dikenal
oleh Intan Selaksa. Merasa iba melihat nasib perempuan
itu, Intan Selaksa cepat ambil tindakan selamatkan
perempuan itu. Ilmu pengobatan dari gurunya
digunakan, dan perempuan itu selamat dari maut yang
nyaris merenggut nyawanya. Perempuan itulah yang
kemudian dikenal dengan nama Gincu Mayat. Dia murid
tokoh sesat si Bungkuk Jagal, penguasa Tanah Merah.
Gincu Mayat dikenal sebagai murid liar si Bungkuk
Jagal, karena sampai berusia tiga puluh tahun lebih ia
masih berkeliaran mencari tempat kehidupan dan jati
dirinya, yang membuat ia hidup penuh gejolak gairah
kepada siapa pun yang diinginkannya. Gairah itu
membuat ia menjadi liar jika tidak tersalurkan, juga
menjadi buas setelah tersalurkan. Karena itu, tak pernah
ada lelaki yang tetap hidup setelah bercinta dengan
Gincu Mayat, dan tak ada lelaki yang tetap hidup jika
menolak rayuan mesra Gincu Mayat.
Intan Selaksa tidak mau terpengaruh kehidupan sesat
si Gincu Mayat. Karena itu, ia menjauhkan diri, walau
tidak membuka pintu permusuhan dengan Gincu Mayat.
Sikap baik dari Intan Selaksa membuat Gincu Mayat
sesekali bertandang ke Kuil Swanalingga sebagai
seorang sahabat saja. Mengingat hidup mereka sama-
sama diterkam sepi, tanpa pendamping, tanpa saudara,
tanpa Guru, maka mereka sering saling bertukar rasa,
bertukar pendapat dan bertukar pengalaman. Intan
Selaksa selalu menerima tamunya di ruang khusus untuk
menerima tamu, yang dulu sering pula dipakai untuk
mendengarkan wejangan dari Begawan Sangga Mega.
Tetapi kali ini Intan Selaksa punya rasa atas
pembelaan diri Gincu Mayat terhadap dirinya. Jika
waktu tadi Gincu Mayat tak muncul, mungkin Intan
Selaksa sudah tak bernyawa lagi dihantam habis oleh
Barong Geni, orang yang sering menghalalkan cara demi
mencapai kebutuhan pribadinya. Intan Selaksa merasa
sangat beruntung dengan kedatangan Gincu Mayat itu.
Bahkan setelah ia sembuhkan luka-lukanya dengan
ramuan peninggalan mendiang gurunya, Intan Selaksa
ucapkan kata kepada Gincu Mayat,
"Pertolonganmu sangat berharga bagiku, karena tepat
pada waktunya. Aku tak tahu harus membalas dengan
cara bagaimana untuk menghargai pertolonganmu,
Gincu Mayat!"
"Sudah kubilang tadi, aku hanya membalas hutangku
kepadamu! Dengan begini, kita impas. Kita tak punya
hutang nyawa lagi!"
"Kau begitu baik padaku, Gincu Mayat! Di tengah
sepiku menunggu saat kepergianku tiba sebagai penjaga
kuil ini, hanya kau teman yang sering mengisi kesunyian
hati ini!"
"Mengapa tak cari teman pria yang bisa mengisi
hatimu"!" pancing Gincu Mayat. "Aku bisa mencarikan
lelaki yang bisa kau pakai hiburan setiap malam atau
kapan saja kau inginkan!"
Intan Selaksa hanya sunggingkan senyum berlesung
pipit itu, kemudian ia ucapkan kata,
"Lelaki bukan jaminan pengisi hati yang damai!
Lelaki kadang menghadirkan sejuta keresahan di hati,
dan menjadi sang penyiksa jiwa! Rasa-rasanya belum
waktunya aku berurusan dengan masalah hati lelaki."
"Hi hi hi...!" Gincu Mayat tertawa. Bodoh amat kau!
Lelaki memang bukan jaminan pengisi hati yang damai,
tapi lelaki bisa kita jadikan alat hiburan! Jangan jadikan
lelaki pengisi hati, bisa ngelunjak dia, Intan Selaksa! Hi
hi hi...! Hidup seperti aku inilah contoh hidup yang tak
pernah merasa disiksa jiwanya oleh lelaki, melainkan
dipuasi batinnya oleh kelemahan lelaki yang bisa
kupermainkan kapan saja! Nyawa lelaki pun bisa
kupermainkan dengan sekehendak hatiku! Hi hi hi...!"
Hanya senyum yang ada di wajah Intan Selaksa kala
itu. Langkah kakinya pelan mengikuti irama langkah
kaki Gincu Mayat. Hanya langkah kaki itu yang bisa
didampingi dan diikuti, tapi cara hidup dan jiwa liar dari
Gincu Mayat tak bisa diikuti oleh Intan Selaksa.
Langkah kaki Gincu Mayat setelah mengitari taman
di depan kuil, tiba-tiba terhenti di depan ruang pemujaan
yang berpintu lengkung tanpa daun pintu. Di dalam sana
terdapat pintu batu yang tertutup rapat. Pintu batu itulah
penutup rapat ruang atau kamar semadi yang dinamakan
kamar Cipta Hening.
"Intan Selaksa, sejak aku sering datang bertandang
kemari aku tak pernah melihat pintu kamar itu terbuka.
Apakah tidak pernah kau bersihkan?"
"Tidak," jawab Intan Selaksa. "Itu kamar larangan.
Guru tak pernah izinkan siapa pun masuk ke kamar itu,
termasuk aku. Aku hanya diizinkan memegang kuncinya
dan membersihkan bagian luarnya saja!"
"Apa yang ada di dalam kamar itu sebenarnya, Intan
Selaksa?" "Entahlah! Sejak aku tinggal di sini menjadi murid
Begawan Sangga Mega, aku belum pernah masuk ke
kamar semadi itu. Dan aku tidak pernah punya rasa ingin
tahu dengan isi kamar tersebut!"
Kepala Gincu Mayat mengangguk-angguk sambil
bergumam kecil. Kemudian ia coba bertanya,
"Apakah kamar itu tempat menyimpan pusaka-
punnka milik gurumu?"
"Setahuku guru tidak mempunyai pusaka apa-apa,
kecuali ilmunya sendiri itulah pusakanya," jawab Intan
Selaksa menjelaskan.
"Bukankah gurumu punya pusaka Pedang Guntur
Biru?" "Menurut kabarnya begitu, tapi guru tidak pernah
membicarakan kepadaku tentang pusaka Pedang Guntur
Biru. Aku jadi sangsi, apakah benar Guru memiliki
pusaka itu?"
"Mungkin dia simpan di dalam kamar tersebut,
Intan!" "Itu pun aku tak pasti. Antara percaya dan tidak,
sebab aku belum pernah melihat Guru memegang
pusaka Pedang Guntur Biru. Tetapi menurut cerita
orang-orang yang pernah kutemui, Begawan Sangga
Mega mempunyai pusaka tua yang bernama Pedang
Guntur Biru. Pedang itu bisa menyerang dari jarak
cukup jauh, bisa membikin kebal pemiliknya, dan bisa
membuat pemiliknya terbang oleh kekuatan pedang
pusaka tersebut. Hanya itu yang bisa kujelaskan
kepadamu jika kau bertanya tentang pusaka Pedang
Guntur Biru."
Gincu Mayat tersenyum tipis, lalu melanjutkan
langkahnya sambil ucapkan kata, "Apakah kau tak
berhasrat memiliki pusaka Pedang Guntur Biru?"
"Aku tidak berani punya hasrat seperti itu!" jawab
Intan Selaksa jujur. Karena dia memang perempuan
yang polos dan menyukai kejujuran.
"Kalau kau memiliki Pedang Guntur Biru, kau akan
menjadi orang sakti yang sulit ditumbangkan. Mungkin
pula tak ada tandingannya!"
"Apakah begitu sifat orang yang memiliki pusaka
Pedang Guntur Biru?" Intan Selaksa justru merasa heran
dengan penjelasan Gincu Mayat. Karena menurut
pendapatnya, jika benar apa yang dikatakan Gincu
Mayat, lantas mengapa sang Begawan Sangga Mega
mati di tangan orang" Bukankah Begawan Sangga Mega
dikenal sebagai pemilik pusaka Pedang Guntur Biru"
"Mendiang guruku sendiri pernah menceritakan hal
itu padaku, dan ia kagum dengan kesaktian dan
kehebatan yang dimiliki Pedang Guntur Biru! Tetapi ia
juga mengatakan, tak ada orang yang bisa mencuri atau
merebut pedang itu dari tangan gurumu! Hanya saja,
sekarang sang Begawan Sangga Megah toh sudah tiada.
Tak ada salahnya jika kau sebagai murid kesayangannya
menjadi pewaris Pedang Guntur Biru itu!"
"Tapi aku tak pernah melihat pedang itu ada di kuil
ini!" "Mungkin terlalu rahasia, sehingga gurumu tidak
tunjukkan pedang itu kepada siapa pun termasuk
muridnya. Tapi jika kau memeriksa bagian dalam kamar
Pendekar Mabuk 014 Pedang Guntur Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Cipta Hening itu, kau baru akan melihat seperti apa
bentuk dan wujudnya pusaka Pedang Guntur Biru itu."
"Apakah menurutmu, Guru memang menyimpannya
di kamar Cipta Hening itu?" tanya Intan Selaksa bernada
sangsi. "Jika kamar itu tidak dipakai menyimpan Pedang
Guntur Biru, mengapa gurumu tidak mengizinkan siapa
pun masuk ke sana" Larangan itulah yang sebenarnya
merupakan jawaban dari pertanyaan di mana Pedang
Guntur Biru disimpan oleh gurumu, Intan!"
Intan Selaksa diam dalam renungan yang panjang.
Lalu, Gincu Mayat segera mendesak,
"Cobalah, buka pintu kamar itu dan periksalah
dalamnya."
"Aku... aku tidak berani, Gincu Mayat! Aku sangat
menjunjung tinggi perintah Guru dan menghargai
larangan Guru. Aku tidak berani melanggar satu pun dari
apa yang dilarang beliau!"
"Hi hi hi...! Kau memang murid yang patuh, Intan
Selaksa, tapi kau juga murid yang bodoh! Kepatuhanmu
itu memang berharga jika gurumu masih hidup. Tapi
sekarang gurumu sudah wafat, kepatuhan itu tak perlu
ada lagi! Justru gurumu itu sangat berharap kau bisa
mengambil gagasan sendiri untuk bertindak tanpa diri
beliau!" "Gagasan..."!" Intan Selaksa makin kerutkan dahi.
"Ya. Setiap orang berhak punya gagasan sendiri
dalam bertindak!"
Tiba-tiba Gincu Mayat sentakkan tangannya,
mendorong tubuh Intan Selaksa dengan kuat. Intan
Selaksa jatuh terjungkal ke tanah. Gincu Mayat
berkelebat lompat ke kiri sambil tangannya menyambar
sesuatu yang melayang cepat bagaikan anak panah.
Wussst...! Tap...!
"Hei, kenapa kau mendorongku sekasar itu, Gincu
Mayat"!" sentak Intan Selaksa. Gincu Mayat tidak
menjawab. Matanya tajam memandang sekeliling
halaman kuil, terutama di atas tembok pagar berbatu
hitam itu. Kejap berikut, Gincu Mayat segera dekati
Intan Selaksa dan ulurkan tangannya. Tangan yang
menggenggam itu membuka telapaknya, lalu tampaklah
sebuah pisau kecil seukuran kelingking bergagang hitam
dengan ujungnya yang runcing tajam.
"Seseorang ingin membunuhmu!" kata Gincu Mayat.
Intan Selaksa terkesiap memandang pisau kecil yang
berhasil ditangkap oleh Gincu Mayat. Lekas-lekas ia
pandangkan matanya ke sekeliling, dan ia susuri setiap
tempat, pohon, dan atap bangunan kuil. Tak ada orang di
sana, tak ada tempat yang patut dicurigai.
"Pisau ini beracun ganas jika sampai menggores kulit
tubuh manusia," kata Gincu Mayat. "Orang yang
tergores atau terkena pisau kecil ini akan hangus
terbakar dan tak dapat ditolong lagi!"
"Dari mana kau tahu?"
"Aku kenal pemiliknya!" jawab Gincu Mayat.
"Siapa pemiliknya" Apakah Barong Geni atau Dewi
Kelambu Darah?"
"Bukan!" jawab Gincu Mayat dengan tegas. "Pisau
ini milik seorang tokoh tua dari Pantai Selat Mati."
"Maksudmu... Eyang Sambar Jantung?"
"Benar!"
"Tidak mungkin!" sanggah Intan Selaksa. "Eyang
Sambar Jantung adalah teman baik Begawan Sangga
Mega! Ia juga baik kepadaku!"
"Di balik kebaikan seseorang tak mungkinkah
tersimpan kebusukan?"
"Ya. Memang. Tapi tidak begitu untuk Eyang Sambar
Jantung!" Baru saja Intan Selaksa selesai bicara begitu, tiba-tiba
Gincu Mayat terpekik, "Awas...!" sambil ia sentakkan
kaki dan melenting di udara, demikian pula halnya
dengan gerakan mendadak Intan Selaksa. Tubuhnya
sempat bersalto satu kali di udara. Dan pada waktu itu,
Intan Selaksa sempat melihat gerakan benda hitam yang
melesat cepat, lalu menancap di sebuah pohon yang ada
di sudut halaman Kuil Swanalingga.
Pohon itu berdaun lebat, rindang, dan teduh jika
digunakan untuk duduk-duduk di bawahnya pada siang
hari. Tapi ketika benda hitam kecil itu menancap di
batang pohon itu dengan suara halus, hampir tak
terdengar, tiba-tiba daunnya menjadi kuning. Daun itu
mengalami perubahan sangat cepat, dari kuning menjadi
coklat, lalu berguguran bagaikan bunyi suara hujan
deras. Ranting-rantingnya ikut beterbangan, bahkan
dahannya ada yang patah sendiri. Dan dalam waktu yang
sangat singkat, pohon itu menjadi gundul tanpa ranting.
Batangnya yang masih berdahan sebagian itu menjadi
keropos dengan warna hitam, bagaikan sebatang pohon
yang sudah terbakar sejak puluhan tahun yang lalu.
Tentu saja pemandangan seperti itu memukaukan
mata Intan Selaksa. Terbayang ngeri di benaknya, jika
sampai pisau kecil itu menancap pada bagian tubuhnya,
sudah pasti dirinya akan mengalami nasib mengenaskan
seperti pohon besar itu.
Wuttt...! Intan Selaksa lekas lompatkan diri,
bersembunyi di dalam ruang pemujaan. Waktu itu,
Gincu Mayat cepat sentakkan kaki dan menyusul Intan
Selaksa dengan gerakan lompat yang amat ringan dan
cepat. Wesss...! Mereka berdua bersembunyi di sana
dengan mata memandang tajam ke arah sekeliling.
Tak ada manusia, tak ada gerakan. Bahkan angin pun
bagaikan berhenti, hingga daun yang berguguran itu tak
sempat bergerak sedikit pun. Alam bagaikan mati tanpa
bunyi hening yang semestinya timbul akibat hembusan
angin tipis. Senyap sekali kuil tersebut.
Tapi tiba-tiba suara deru terdengar dari kejauhan.
Deru itu makin lama semakin mendekat, menghadirkan
hembusan angin yang membuat daun-daun kering
beterbangan. Deru itu bertambah jelas dan keras,
membuat pohon-pohon meliukkan puncaknya, bagian
pintu pagar yang terbuat dari besi berjeruji yang amat
kekar itu terhempas membuka dalam satu sentakan
keras. Trangng!
Angin badai terasa menghadirkan kesejukan yang
cukup tinggi, dan makin lama makin dingin. Dahan
pohon lainnya terdengar berderak patah. Tubuh mereka
di ruang pemujaan tak berdaun pintu itu menjadi saling
berpegangan tiang penyangga atap pintu lengkung.
"Angin apa ini" Kerasnya bukan main"!" seru Intan
Selaksa mengimbangi suara deru yang memekakkan
telinga. "Entahlah! Mungkin ini yang dinamakan Angin
Setan!" "Angin Setan apa?"
"Angin Setan yang hanya datang sewaktu-waktu jika
diinginkan oleh pemiliknya!" seru Gincu Mayat,
rambutnya beterbangan ke arah belakangnya. Matanya
menyipit menahan derasnya angin menerpa.
"Siapa pemilik Angin Setan ini"!"
"Siapa lagi kalau bukan Sambar Jantung!"
Di hati Intan Selaksa menggumamkan nama itu
dengan nada heran sekali, ia kenal betul dengan Eyang
Sambar Jantung. Hubungannya nyaris seperti hubungan
antara murid dan guru, karena Sambar Jantung sering
kasih saran dan pandangan hidup kepada Intan Selaksa.
Bahkan sering juga Sambar Jantung mengingatkan
kepada Intan agar menjadi murid yang baik yang selalu
taat kepada perintah dan ajaran gurunya.
Jika benar Sambar Jantung yang bikin ulah seperti
ini, lantas apa maksudnya" Apa pula maksud Sambar
Jantung dua kali melepaskan pisau beracun untuk
membunuh Intan" Atau, jangan-jangan yang jadi sasaran
adalah Gincu Mayat" Bukan Intan Selaksa" Rasa-
rasanya sangat aneh sekali dan tak mudah dipercaya
bahwa Eyang Sambar Jantung bermaksud membunuh
Intan Selaksa. Rasa-rasanya tak pernah ada kesalahan
yang dibuat Intan terhadap Sambar Jantung.
Hembusan angin badai masih terasa kuat dan semakin
besar saja. Di luar pagar kuil, jauh di sebelah barat sana,
terdengar sebuah pohon yang tumbang dengan
menimbulkan dentuman yang mengguncangkan tanah.
Daun-daun kering yang gugur dari pohon hangus
seketika itu sudah beterbangan keluar dari pagar kuil
yang tingginya mencapai tiga atau empat tombak,
dengan ketebalannya mencapai tiga jengkal atau
setengah ukuran tombak.
Bahkan sekarang angin badai aneh itu menghadirkan
bintik-bintik putih seperti tepung. Bintik-bintik putih itu
menerpa dedaunan atau benda apa pun. Semakin lama
semakin banyak jumlahnya, membuat satu batang pohon
dalam sekejap berubah menjadi putih bagaikan
dibungkus kapas. Tapi pada saat itu udara terasa sangat
dingin. Kian lama kian membuat Intan Selaksa
menggigil. "Serbuk apa itu yang membawa hawa sedingin ini"!"
seru Intan Selaksa dari tempatnya yang berjarak empat
langkah dari Gincu Mayat.
"Salju!" jawab Gincu Mayat. Suaranya keras juga.
"Salju..."!" suara Intan Selaksa bernada heran sekali.
"Mengapa ada salju di sini?"
"Seseorang telah menghadirkan badai salju!"
"Siapa?"
"Tentunya si Penguasa Pantai Selat Mati itu! Sambar
Jantung!" "Mana mungkin beliau" Untuk apa Eyang Sambar
Jantung sampai menghadirkan badai salju kemari"!"
"Kurasa dia juga inginkan pusaka Pedang Guntur
Biru!" "Apa..."!" Intan terkejut dan terpekik di sela deru
angin kencang yang hadirkan butiran salju semakin
banyak itu. * * * 4 SALJU menyelimuti Kuil Swanalingga. Udara dingin
yang dihadirkan oleh angin salju membuat kedua tubuh
perempuan itu saling menggigil. Tetapi curahan hujan
salju yang mirip serbuk tepung putih itu telah berhenti.
Badainya pun hilang. Anginnya bertiup semilir.
Hening mencekam sekeliling. Intan Selaksa keluar
dari bangunan pemujaan, ia memeriksa sekeliling kuil.
Tak ada sesuatu yang aneh ditemukan di sekeliling kuil,
kecuali beberapa pohon melengkung akibat badai tadi,
dan beberapa dahan patah jatuh ke tanah. Lebih dari itu,
hanya putih salju yang membungkus tiap benda yang
terlihat di sana. Intan Selaksa pun cepat memeriksa
daerah sekeliling pagar bumi itu, ia segera keluar dari
halaman kuil. Pada saat itu, Intan Selaksa tak menyadari adanya
bahaya di ruang pemujaan. Gincu Mayat telah gunakan
kesempatan itu untuk memeriksa ruang pemujaan. Altar
tempat lilin-lilin dinyalakan itu diperiksa dengan teliti.
Bagian-bagian yang tertutup, yang bercelah, yang bisa
digeser dan dibuka-tutup, Juga diperiksanya dengan
cermat. Tapi ia tidak menemukan sesuatu yang dicari
atau yang mencurigakan.
Langkah kakinya masih bergerak pelan sambil
matanya mengelilingi seluruh tempat itu. Lantai pun
disentak-sentakkan pakai kaki, mencari kemungkinan
adanya suara geduk yang berongga. Jika ada suara
gedukan kaki berongga, itu pertanda ada ruang bawah
tanah. Tapi beberapa lantai yang sempat diperiksanya,
tidak ada yang punya suara geduk sedikit menggema. Itu
artinya tak ada ruang bawah tanah di bawah bangunan
tersebut. Kini, Gincu Mayat tiba di depan kamar Cipta Hening,
ia pandangi dinding dan pintu lebih dulu. Susunan batu
diperhatikan semua. Tapi tak ada yang bisa dijadikan
alasan sebagai sesuatu yang perlu dicurigai. Susunan
batu itu merapat lekat tak sedikit pun bisa digeser atau
dilepas. Pintu dipandanginya. Pintu itu terbuat dari lempengan
baja yang sangat kokoh dan tua. Warnanya sudah
berubah hitam keabu-abuan. Pintu itu tidak berengsel.
Jadi menurut dugaan Gincu Mayat, pintu itu bergerak
menggeser ke kiri atau ke kanan jika ingin membukanya.
Tak ada lubang yang bisa dipakai untuk mengintai
keadaan di dalam ruangan tersebut. Pintu sangat rapat.
Gincu Mayat mencoba menggeser pintu, mendorong
ke kiri atau ke kanan. Tapi pintu tidak bergeming.
Ketebalannya ada satu jengkal menurut dugaan Gincu
Mayat. Dihantam pakai tangan pun suaranya tak
menimbulkan gema. Duggg...! Hanya seperti dinding
cadas yang dipukul dengan tangan kosong.
"Bagaimana jika didobrak?" pikir Gincu Mayat.
Pertimbangannya memutuskan untuk mencoba
mendobrak pintu tersebut dengan kekuatan tenaga
dalamnya. Maka, Gincu Mayat cepat mengundurkan diri
lima tindak. Dari sana ia sentakkan kedua tangannya
dalam keadaan telapak tangan terbuka ke depan.
Wouggh...! Hembusan tenaga dalam melesat begitu
besar. Biasanya bisa menumbangkan pohon besar hingga
tercabut akarnya. Tapi kali ini, ternyata kekuatan itu tak
bisa dipakai untuk mendobrak pintu baja keabu-abuan
itu. Gincu Mayat segera berdiri tegak dengan kaki
melenggang. Lalu kakinya itu tiba-tiba merendah, dan
tangan kanannya menuding memakai jari tengah. Tangan
kirinya bagai mendorong pergelangan telapak tangan
kanan. Tangan itu bergerak maju dengan kuat dan sedikit
Pendekar Mabuk 014 Pedang Guntur Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gemetar karena tenaga dikerahkan ke arah tangan kanan.
Dari jari tengah yang menuding kaku itu melesat
sinar hijau. Sinar itu memanjang sampai membentur
pintu kamar Cipta Hening itu. Wuuttt...! Sinar itu terus
Harimau Mendekam Naga Sembunyi 9 Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung Pendekar Panji Sakti 5
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah
lindungan undang-undang.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
Pembuat E-book:
Scan buku ke DJVU: Abu Keisel
Convert & Edit: Paulustjing
Ebook oleh: Dewi KZ
http://kangzusi.com
http://dewi-kz.info
http://www.tiraikasih.co.cc/
http://ebook-dewikz.com/
1 PAKAIAN kuning gading membuat wajah cantiknya
menjadi lebih anggun lagi. Dengan rambut dikepang satu
ke belakang, senjata pedang masih terselip di pinggang,
perempuan itu tetap berdiri tegak di depan orang
berpakaian serba merah itu. Melihat sikap memandang
yang dingin dan ketus dari perempuan berpakaian
kuning dengan dirangkapi rompi panjang warna ungu
itu, jelas ada permusuhan di antara mereka berdua. Itulah
sebabnya ia tetap berdiri tegak di depan pintu masuk
sebuah kuil yang berpagar batu tinggi.
"Sekalipun kau kakak perguruanku, tapi aku tetap tak
bisa izinkan kau masuk kuil ini, Barong Geni!" kata
perempuan itu dengan tegas dan berkesan berani.
Barong Geni yang berpakaian serba merah sampai
pada ikat kepalanya juga merah itu, sengaja sunggingkan
senyum sinis kepada bekas adik seperguruannya yang
bernama Intan Selaksa. Kumisnya yang sedikit lebat itu
diusap-usap dengan jari, kadang dipelintir agar
melengkung kedua ujungnya. Barong Geni segera
serukan kata, "Kita mempunyai hak yang sama untuk menempati
kuil ini, Intan Selaksa! Jangan kau tampakkan sikap
serakahmu di depanku! Kau bisa menyesal kalau sampai
aku bertindak kasar kepadamu!"
"Memang kita dulu bekas saudara seperguruan, kita
memang sama-sama murid Begawan Sangga Mega yang
sudah almarhum itu. Tetapi kau sudah diusir dari kuil
ini! Kau telah menjadi murid murtad dan tidak diizinkan
menginjak kuil ini lagi oleh sang Begawan!"
"Itu dulu, semasa Guru masih hidup!" sanggah
Barong Geni. "Sekarang pun larangan itu tetap berlaku, Barong
Geni! Sebelum Guru wafat, beliau pernah berpesan agar
akulah orang yang harus menjadi penjaga kuil ini, dan
melarangmu menginjakkan kaki di kuil ini! Jadi
kusarankan padamu, Barong Geni, sebaiknya cepatlah
angkat kakimu dari tanah Kuil Swanalingga ini, supaya
arwah Guru tidak murka kepadamu!"
Mata lebar berwajah angker dengan badan yang besar
itu cepat menggeramkan suaranya pertanda menahan
kemarahan. Rambut ikalnya yang dibungkus kain merah
sebagian itu dibiarkan terhempas angin pegunungan
yang semilir. Perutnya yang buncit dengan baju tidak
dikancingkan sengaja dipamerkan sebagai umpan
pukulan nantinya.
Barong Geni punya keyakinan, bahwa hari itu ia
harus bertarung dengan Intan Selaksa. Agaknya Intan
Selaksa tak bisa diajak damai untuk urusan ini. Barong
Geni merasa diremehkan oleh larangan Intan Selaksa itu.
Maka, segera ia lontarkan kata yang lebih bernada
bermusuhan lagi kepada Intan Selaksa,
"Aku tak bermaksud bermusuhan denganmu, Intan
Selaksa. Tapi kalau kau merasa sudah bosan menikmati
hidupmu ini, aku juga tidak keberatan jika harus
melenyapkan nyawamu!"
Intan Selaksa sunggingkan senyum tipis tanda
mengejek ucapan itu. Bahkan ia berkata dengan
ketusnya, "Demi mematuhi perintah wasiat Guru, nyawaku
sudah siap kujadikan perisai, Barong Geni! Akan
kulayani jika kau ingin bertingkah di depanku! Tak
mungkin aku gentar menghadapimu, Barong Geni!"
"Perempuan Sombong!" geram Barong Geni sambil
melepaskan tangannya yang sejak tadi melintir kumis.
"Tingkat ilmumu belum seberapa tapi sudah berani
berkoar seperti itu di depan Barong Geni! Majulah, jika
kau ingin cepat menuju alam akhirat! Majulah...!"
Sambil lontarkan tantangan, Barong Geni mulai
pasang kuda-kuda dan angkat kedua tangannya di
pertengahan dada, yang satu diangkat sampai di atas
kepala, ia siap melancarkan pukulannya begitu Intan
Selaksa sedikit saja bergerak mencurigakan. Matanya
pun makin memancar tajam dan penuh kobaran api
permusuhan. Tetapi, Intan Selaksa masih tetap diam dengan berdiri
merenggang kaki. Kedua tangannya disangkutkan pada
ikat pinggang di depan perutnya. Wajah ayunya
memamerkan senyum berlesung pipit yang semakin
membuatnya manis. Tapi kali ini senyum manis itu tetap
berkesan pahit, karena mata Intan Selaksa tak mau
pancarkan keteduhan.
"Majulah kalau memang kau ingin menjadi perisai
Kuil Swanalingga ini, Monyet!" bentak Barong Geni.
"Tak perlu aku maju mendekatimu," kata Intan
Selaksa dengan suara kalem seperti tadi juga. "Untuk
apa aku mendekatimu jika kau tak mampu gerakkan
tanganmu, Barong Geni"!"
"Omong besar! Kurompalkan gigimu semua, Intan
Selaksa! Hiiih...!"
Barong Geni sangat terkejut. Dahinya berkerut-kerut
dengan tubuh bergerak-gerak dalam sentakan kaku yang
berat. Bahkan ia sempat kerahkan tenaganya untuk
menggerakkan kedua tangan, tapi kedua tangannya tetap
tak bisa bergerak turun, ke depan, ke samping, atau ke
mana saja. Tangan itu menjadi kaku dan keras bagaikan
kayu. Bagian jemari pun tak bisa digerakkan sedikit pun.
"Monyet busuk!" caci Barong Geni. "Rupanya kau
telah menotok jalan darahku di bagian kedua tangan ini
dengan kekuatan senyumanmu, hah"! Kau telah kuasai
ilmu 'Sungging Betari' dari Begawan Sangga Mega itu"!
Baik! Aku tak mudah menyerah, Intan Selaksa!
Kutunjukkan padamu bahwa aku pun tetap mampu
melawanmu walaupun kau menguasai ilmu 'Sungging
Betari'! Hiaaah...!"
Barong Geni sentakkan kakinya ke tanah dan
tubuhnya pun melesat terbang dengan berkelebat
menendang kepala Intan Selaksa. Wusss...! Intan Selaksa
menangkis tendangan itu dengan sentilan dua jarinya.
Tass...! Kaki itu bukan hanya tertahan, namun juga
terlempar ke arah lain dengan satu sentakan kuat.
Bregggh...! Barong Geni jatuh dengan tangan tetap
kaku pada posisi semula, yang kiri di depan dada, yang
kanan di atas kepala.
Intan Selaksa cepat menjauhkan diri dengan satu
lompatan ringan ke arah samping. Senyumnya semakin
mekar melecehkan jatuhnya Barong Geni. Yang merasa
dilecehkan cepat berdiri dan menggeram dengan nafsu
ingin membunuh.
"Kuakui kau sekarang sudah banyak berubah, Intan
Selaksa! Kau lebih tangkas dan lebih cepat bergerak
daripada tiga tahun yang lalu. Tetapi jangan dulu kau
merasa bangga dengan kemajuanmu itu! Aku akan
merampungkan janjiku yang tadi kuucapkan padamu!
Hiaaa...!"
Barong Geni sentakkan kakinya dari jarak lima
langkah. Sentakan itu mempunyai gelombang tenaga
dalam yang melesat cepat menghantam perut Intan
Selaksa. Wusss...! Begggh...!
"Ahhg...!" Intan Selaksa tak sempat menangkis
karena begitu cepatnya gelombang tenaga dalam dari
tendangan kaki Barong Geni, sehingga akibatnya ia
terpental ke belakang dan jatuh di semak-semak.
Grusakkk...! "Hup...!" Intan Selaksa sentakkan kedua tangannya ke
tanah dan tubuhnya melentik bagai kaki jangkrik. Lalu,
tiba-tiba ia sudah berdiri dengan tegak dan mengangkat
kedua tangannya ke depan dengan telapak tangan siap
melepaskan pukulan jarak jauh.
Tapi belum sempat pukulan itu terlepaskan, Barong
Geni sudah lebih cepat menggerakkan kakinya yang
menendang berputar beberapa kali hingga putaran kaki
itu seperti kipas yang bergerak dengan cepat.
Wutttt... wuttt... wuttt... wuttt...!
Suara itu begitu cepatnya hingga yang didengar Intan
Selaksa suara yang memanjang. Wungngng...!
Angin kencang menyerupai badai datang
menghantam tubuh Intan Selaksa. Tak sempat ia
menahan angin itu ataupun melompat hindarkan diri.
Akibatnya, Intan Selaksa terlempar ke samping dalam
keadaan tidak beraturan. Terjungkir balik dirinya
membentur batu dan pohon yang ada. Sementara itu,
dengan tangan tetap kaku dalam posisi seperti orang
sedang menari, Barong Geni tetap melepaskan jurus
'Tendangan Delapan Penjuru Angin', yang membuat
Intan Selaksa semakin terlempar-lempar tak tentu arah.
Ketika tubuhnya membentur batang pohon besar,
Intan Selaksa mencoba kerahkan tenaga dalamnya untuk
menahan jurus 'Tendangan Delapan Penjuru Angin' itu.
Kedua tangannya disentakkan ke depan dengan kuat,
tapi angin badai dari jurus tendangan maut itu sangat
kuat dan tak mampu ditahannya, sehingga Intan Selaksa
terpelanting ke mana-mana. Membentur dan menggores
apa saja. Prass...! Bras...! Plak, trakk...! Brett...!
Sampai suatu ketika, Barong Geni tahu-tahu
terlempar ke arah samping dengan cukup keras dan
cepat. Wusss...! Tubuhnya bagaikan sehelai daun yang
dihempaskan badai cukup besar. Tubuh itu menghantam
sebuah gugusan batu. Bokkk...! Batu itu gompal. Barong
Geni dengan tangan masih tetap kaku tak dapat dilipat
lagi itu terpaksa mengerang kesakitan. Dadanya tertimpa
gompalan batu dua genggaman tangan. Tubuh itu
terkapar di sana dengan hidung berdarah.
"Monyet Borok!" gerutunya dalam hati. "Siapa yang
berani campur tangan urusanku"! Tak mungkin Intan
Selaksa bisa melemparkan aku sedemikian kuatnya,
apalagi aku sedang mainkan jurus 'Tendangan Delapan
Penjuru Angin' itu! Hmmm...! Pasti ada pihak lain yang
campur tangan dengan urusanku!"
Karena matanya masih berkunang-kunang untuk
memandang, Barong Geni pejamkan mata sebentar, lalu
mengibaskan kepala dan membuka matanya lagi dengan
dahi berkerut-kerut. Tangannya tak bisa mengusap darah
yang keluar dari hidungnya, hingga membasahi kumis
dan bibir. Seorang perempuan sebaya dengan Intan Selaksa
segera membantu Intan Selaksa untuk berdiri.
Perempuan itu mengenakan baju hijau dengan celana
coklat. Bajunya berbelahan dada cukup lebar, hingga sisi
bukitnya tampak tersumbul mulus, menggumpal penuh
tantangan. Perempuan itu berbibir lebar dan tebal, tapi
diberi warna merah segar merangsang. Rambutnya
sepanjang punggung, lepas tergerai. Di selipan depan
perut terlihat sebuah senjata bergagang hitam, yaitu
rencong. Melihat ciri-ciri itu, Barong Geni segera mengenali
perempuan itu. Ia segera serukan kata amukannya
dengan suara besar,
"Gincu Mayat! Rupanya kau sengaja cari perkara
denganku, hah"!"
Gincu Mayat, perempuan bertubuh sekal itu tidak
melayani seruan Barong Geni. Ia masih menolong Intan
Selaksa yang terluka memar dan kulitnya robek di sana-
sini akibat hempasan badai dari 'Tendangan Delapan
Penjuru Angin' tadi. Bahkan di bagian hidung dan
telinganya keluarkan darah segar walau tak begitu
banyak, seperti darah yang dikeluarkan Barong Geni dari
hidung. "Kau masih kuat berdiri, Intan Selaksa"!"
"Oh, ya...! Aku masih sanggup melawannya, Gincu
Mayat. Terima kasih atas pertolonganmu!" Intan Selaksa
menyeka darah dari hidungnya.
"Istirahatlah dulu biar aku yang hadapi dia, Intan!"
kata Gincu Mayat.
"Tidak. Ini urusan perguruan, Gincu Mayat! Kau tak
bisa ikut campur! Biarlah aku yang hadapi kebo busuk
itu!" "Intan, aku pernah kau tolong dari maut, sekarang aku
pun perlu menolongmu dari maut, supaya impas sudah
hutangku padamu!"
"Anggap saja kau telah melunaskan hutangmu padaku
dengan mengalihkan jurusnya tadi! Sekarang tiba
giliranku untuk menggempurnya!"
Tapi Gincu Mayat berkeras hati dan segera
menyingkirkan tubuh Intan Selaksa dari depannya.
Gincu Mayat maju beberapa tindak untuk menghadapi
Barong Geni. Tangan Barong Geni yang kanan masih di atas
kepala, dan yang kiri masih di depan dada. Ke mana pun
ia melangkahkan kaki, dan dalam keadaan
bagaimanapun, tangan itu tetap saja kaku begitu. Hal itu
dijadikan bahan ejekan oleh Gincu Mayat.
"Kau ini seorang penari ronggeng atau seorang
pendekar, Barong Geni"! Atau jangan-jangan kau
pemain topeng monyet, yang selalu berjalan ke mana-
mana dengan tangan begitu"! Hi hi hi...!"
Pendekar Mabuk 014 Pedang Guntur Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tutup mulutmu, Perempuan haram!" bentak Barong
Geni. "Aku tak punya urusan apa pun denganmu!
Pergilah sana dan jangan bikin perkara denganku!"
"Hei hei hei... orang tampan yang angker kalau marah
semakin tambah menggairahkan, rupanya! Hi hi hi...!
Kemarahanmu itu adalah lambang kehangatan lelaki
yang amat menggiurkan, Barong!"
"Setan belang kau! Pergilah sana, kau tak tahu
urusanku dengan Intan Selaksa!"
"Siapa bilang aku tak tahu"!" kata Gincu Mayat
dengan melenggak-lenggok di depan Barong Geni. "Aku
cukup tahu masalahmu! Kau ingin menguasai kuil
peninggalan guru kalian itu, bukan"! Ah, aku tahu apa
maksudmu untuk menguasai kuil itu! Kau punya tujuan
tersendiri! Kau ingin cari sesuatu di dalam kuil itu!"
"Kalau toh itu tujuanku, kau tak punya hak untuk
menghalangiku! Kau bukan murid Begawan Sangga
Mega! Akulah murid Begawan Sangga Mega!"
Intan Selaksa cepat menyahut, "Memang. Tapi kau
murid yang sudah diusir dan tidak diakui sebagai murid
lagi. Kau murid murtad! Karena kau telah mencuri kitab
pusaka untuk kau persembahkan kepada Dewi Kelambu
Darah!" "Karena dia punya syarat begitu untuk menjadi
istriku, apa salahnya jika aku menuruti permintaan calon
istriku itu"!" sanggah Barong Geni dengan suara keras.
"Guru tidak pernah punya murid yang berkepribadian
serapuh itu, Barong Geni! Guru tidak suka dengan
jiwamu, yang mengorbankan kepentingan pihak lain
untuk mengeruk kepentingan diri sendiri!" sentak Intan
Selaksa masih tampak berani dan tegar.
"Seorang istri adalah nyawa bagi hidupku, Intan
Selaksa!" kata Barong Geni. Lalu, Intan Selaksa
menyahut, "Apakah Dewi Kelambu Darah sekarang menjadi
istrimu"!"
"Memang belum. Tapi...."
"Tapi dia punya permintaan lagi, bukan"!" sahut
Gincu Mayat. "Itu urusan dia dengan aku!"
"Memang. Aku hanya ingin meyakinkan bahwa
dugaanku benar," kata Gincu Mayat. "Bahkan aku bisa
menduga, apa yang diinginkan oleh Dewi Kelambu
Darah! Pasti dia minta supaya kau mencuri Pedang
Guntur Biru yang disembunyikan oleh gurumu di dalam
kuil itu, bukan"!"
"Setan kau!" geram Barong Geni.
Intan Selaksa sipitkan mata. Mulai mengerti duduk
persoalan sebenarnya yang membuat Barong Geni
mendesak ingin masuk ke dalam kuil Swanalingga. Intan
Selaksa merasakan kebenaran dugaan Gincu Mayat itu,
sehingga ia semakin keras berkehendak mengusir
Barong Geni. Sementara itu, Barong Geni sendiri merasa sangat
jengkel kepada mulut lancang Gincu Mayat yang
membuat tujuan sebenarnya diketahui oleh Intan
Selaksa. Tetapi demi cintanya kepada Dewi Kelambu
Darah, Barong Geni harus tetap berusaha untuk bisa
masuk ke dalam kuil dan mencari di mana Pedang
Guntur Biru disembunyikan oleh almarhum gurunya itu.
Sebab, jika Barong Geni tidak bisa memberikan Pedang
Guntur Biru kepada Dewi Kelambu Darah, maka
perempuan itu tidak mau menjadi istrinya. Padahal
Barong Geni sudah terlalu besar mencurahkan rasa
cintanya kepada Dewi Kelambu Darah, terlalu berat
memendamnya lebih lama lagi. Maka, tak ada pilihan
lain buat Barong Geni kecuali menuruti permintaannya
itu. "Sebaiknya batalkan saja niatmu itu, Barong Geni!"
kata Gincu Mayat, seakan membela Intan Selaksa mati-
matian. "Apa hakmu melarangku mengambil Pedang Guntur
Biru"! Pusaka itu bukan milik gurumu si Bungkuk Jagal
yang sudah modar itu!" kata Barong Geni dengan
kasarnya, sengaja membuat merah muka Gincu Mayat,
ia tambahkan pula kata,
"Kalau saja gurumu sekarang masih hidup, ingin
rasanya kucacah jadi satu dengan tubuhmu, Gincu
Mayat!" "Kelewat batas omonganmu, Barong!" geram Gincu
Mayat. "Kau perlu mendapat pelajaran dariku supaya
bisa bicara lebih hati-hati lagi! Heaaah...!"
Gincu Mayat sentakkan tangannya dari samping
bawah sedikit ke depan. Settt...! Dan muncullah sinar
merah yang melesat cepat menuju dada Barong Geni.
"Hiaaat...!"
Barong Geni manfaatkan tangannya yang kaku di
depan dada itu untuk dialiri gelombang tenaga dalam.
Memang tangan itu tak bisa keluarkan pukulan balasan,
tapi cukup kuat untuk menahan sinar merah yang hendak
menghantam dadanya.
Cratt...! Percikan bunga api muncrat dengan kuat.
Sinar merah itu membelok arah setelah membentur
tangan Barong Geni. Sinar merah itu menghantam
pohon, dan pohon tersebut menjadi kering dalam waktu
dua helaan napas.
"Bebek bunting!" geram Barong Geni. "Sukar sekali
melepaskan totokan Intan Selaksa ini! Kalau saja kedua
tanganku belum tertotok dan bisa bergerak bebas, sudah
hancur kepala kedua perempuan itu dalam satu gebrakan
saja!" Wuttt...! Intan Selaksa lompatkan diri ketika Barong
Geni ingin bergerak ke kiri. Intan Selaksa menghadang
di sana dengan pedang yang telah dicabutnya dari
sarungnya. Barong Geni tak berani mendekat, karena ia
tahu pedang itu cukup berbahaya. Siapa pun tergores
sedikit saja dapat mengakibatkan luka yang membawa
mati dalam tiga hitungan. Pedang itulah yang dinamakan
Pedang Sengat Kubur. Tetapi Barong Geni tidak mau
tunjukkan rasa takutnya di depan lawan. Barong Geni
malahan berkata,
"Kau pikir aku akan gentar jika kau sudah cabut
pedang begitu" Hmmm...! Pedang untuk tebang pohon
saja belum tentu bisa dipakai untuk menyerangku"!"
Barong Geni mencibir. Intan Selaksa menahan diri untuk
tidak murka dengan melakukan gerakan gegabah.
"Kalau kau tak takut dengan pedangku mengapa kau
melangkah mundur, Barong Geni"!" kata Intan Selaksa.
"Aku mencari tempat untuk menyerangmu!" Jawab
Barong Geni. Pada saat Barong Geni bicara begitu sambil
melayangkan pandang kepada Intan Selaksa, tiba-tiba
Gincu Mayat melepaskan pukulan tenaga dalam yang
keluarnya dari jari tengah tangan kanan. Zuuttt...! Hijau
warna sinar yang keluar itu, dan telak menghantam
punggung Barong Geni. Zrappp...!
"Aahg...!" Barong Geni mendelik dengan wajah
menegang karena kaget dan tubuhnya melengkung ke
depan, ia mulai merasakan panas di telapak kakinya, lalu
menjalar panas di betisnya dan terus bergerak sampai di
lututnya. Cepat-cepat Barong Geni menekan napasnya kuat-
kuat. Tubuhnya sampai gemetar karena kerahkan tenaga
dalam berhawa dingin untuk melawan hawa panas yang
akan membakar dirinya.
"Gggrrr...!" Barong Geni mengerang dengan kaki
makin merenggang rendah dan tangannya gemetaran.
Peluh pun keluar dari tiap pori-pori tubuhnya. Matanya
berusaha memandang sekelilingnya untuk hindari
serangan tiba-tiba dari kedua perempuan itu.
"Sebentar lagi bagian dalam tubuhmu akan terbakar,
Barong! Tak perlu ditahan-tahan begitu, nanti malah
jebol bagian bawahmu!" ledek Gincu Mayat sambil
cekikikan. Melihat Barong Geni mulai lemah, Intan Selaksa
segera melesat lompat dengan pedang siap menebas
pundak atau leher Barong Geni.
"Hiaaah...!"
Wusss...! Pedang itu meleset dari sasaran karena
Barong Geni menjatuhkan diri dan berguling dua kali di
tanah dalam keadaan tangan kaku. Ia cepat sentakkan
kaki dan berdiri lagi. Melihat Intan Selaksa siap
melancarkan jurus pedangnya lagi, Barong Geni cepat
melompat jauh. Kemudian ia melarikan diri sambil
berseru, "Tunggu pembalasanku nanti!"
Intan Selaksa ingin mengejar Barong Geni, tapi
Gincu Mayat menahannya. "Tak perlu kau kejar. Nanti
dia akan datang lagi dengan sendirinya untuk serahkan
nyawa padamu!"
* * * 2 DENGAN keadaan tangan kiri masih di depan dada
sedikit merenggang, dan tangan kanan di atas kepala
bagai ingin menghentakkan tenaga pukulan lewat
telapak tangannya yang terbuka, Barong Geni selesai
sudah mengatasi hawa panas yang akan membakar
bagian dalam tubuhnya, ia cepat berlari tinggalkan
tempat sepi itu untuk menemui Dewi Kelambu Darah, ia
berlari dengan tangan masih di atas kepala.
"Haram jadah betul si Intan Selaksa itu!" gerutu
Barong Geni sambil melesat dalam larinya. "Jurus
totokan 'Sungging Betah' ini sukar sekali kulumpuhkan!
Mau garuk-garuk kepala saja sulitnya bukan main!
Uuh...! Akan kubunuh dia tanpa ampun lagi!"
Sebuah lembah berpemandangan indah, mempunyai
aneka tanaman bunga warna-warni. Di lembah itulah
Dewi Kelambu Darah bersemayam, hidup dalam
kesendirian, ia merasa lebih damai hidup dalam
kesendirian ketimbang harus ada teman. Kelak suatu
saat, ia dapat menghimpun banyak orang sebagai rakyat
pendukung kekuatannya, jika sebuah ilmu yang bernama
'Gagar Mayang', sudah dicapainya. Ilmu itu sekarang
masih di pelajari dengan tekun.
Barong Geni sedang menuju ke lembah itu, ketika
tiba-tiba seorang berpakaian putih dengan celana hitam
meluncur dari sebuah pohon, menghadang langkah
Barong Geni. Orang itu melompat bagaikan kapas jatuh
tanpa suara. Langkah Barong Geni terhenti, dan matanya
menatap tajam kepada lelaki berusia lebih muda darinya
itu. Rambutnya panjang lurus dan lemas diikat dengan
ikat kepala warna kuning. Sebilah pedang tersandang di
punggungnya, ia tampak lebih tegap dan lebih gagah
dari Barong Geni yang berusia empat puluh tahun itu.
"Setan Alas!" rutuk Barong Geni setelah tahu siapa
penghadangnya. Orang yang dimakinya itu sunggingkan
senyum tipis, dingin.
"Kita ketemu lagi, Barong Geni!" ucapnya kalem.
"Aku sudah muak bertemu kamu!" ketus Barong Geni
dengan mulut bersungut-sungut dan makin jengkel
kepada tangannya yang belum bisa digerakkan itu.
"Kau benar, Barong Geni! Kau mestinya memang
muak bertemu denganku, karena aku pun muak bertemu
denganmu! Tapi kali ini pertemuan kita adalah
pertemuan terakhir! Tak ada lagi pertemuan berikutnya,
karena aku akan mengirim nyawamu ke neraka sekarang
juga!" "Hmmm...! Boleh saja kau bermulut besar, tapi
nyalimu sebenarnya tak ada seujung kuku! Berapa kali
kau bertarung denganku dan selalu melarikan diri"!"
"Kali ini kau yang akan melarikan diri. Bahkan
nyawamu yang akan lari terbirit-birit melihat pedangku!"
"Bocah setan...! Seranglah aku bila kau mampu!"
tantang Barong Geni. Dan, pemuda tampan itu segera
mencabut pedangnya pelan-pelan, ia tampak lebih
tenang dari saat terakhir bertarung dengan Barong Geni,
sekitar tiga bulan yang lalu.
"Jangan menyesal dengan tantanganmu sendiri jika
pedang ini merobek lehermu, Barong Geni!"
"Hah...! Kau pikir dengan berhasil membawa pedang
itu, aku akan takut dan gentar padamu, Panji Tampan"!
Cuihhh...! Aku justru bernafsu sekali untuk segera
membunuhmu!"
Padahal di dalam hatinya Barong Geni berkata, "Gila!
Sekarang dia pakai bawa-bawa pedang segala! Rupanya
dia benar-benar ingin membunuhku supaya bisa
mendekati Dewi Kelambu Darah! Ah, sayang sekali
tanganku begini, sehingga aku tak bisa menggunakan
senjataku! Celaka...! Kalau dia memang jago main
pedang, habislah leherku dibabatnya! Paling tidak salah
satu tanganku yang seperti ini akan mudah
dibuntungnya! Sial benar itu si Intan Kunyuk!" geram
Barong Geni jengkel.
"Bersiaplah pergi ke neraka sekarang juga, Barong!
Hiaat...!"
"Tunggu...!" Barong Geni sentakkan kaki dan
melompat mundur dua tindak. Sedangkan waktu itu
Panji Tampan sudah siap tebaskan pedang. Barong Geni
cepat ucapkan kata,
"Kuingatkan sekali lagi padamu, Panji Tampan,
bahwa Dewi Kelambu Darah itu usianya sudah banyak!
Dia sudah tua! Sepantasnya menjadi ibumu! Kau masih
muda belia, usiamu kutaksir tak lebih dari dua puluh
tujuh tahun. Sayang sekali kalau kau masih ngotot ingin
mengawini Dewi Kelambu! Ketahuilah pula, bahwa
Dewi Kelambu Darah kelihatan cantik dan menarik
karena dia punya ilmu pengawet kecantikan! Bahkan
usia aslinya dengan usiaku, masih tua dia!"
"Persetan dengan usia! Aku suka kepadanya, mau apa
Pendekar Mabuk 014 Pedang Guntur Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kau"!"
"Mata tampan yang rabun... he he he...! Cucilah
matamu pakai air belerang, biar bisa melihat mana
perempuan yang cocok menjadi istrimu, Panji Tampan!"
Sambil berceloteh, Barong Geni berpikir bagaimana
mencari cara mengatasi pertarungan tersebut dalam
keadaan tangan kaku begitu. Tapi sejauh ini dia belum
temukan cara yang terbaik selain nekat menggunakan
jurus jarak jauh.
"Tua bangka! Tak perlu kau banyak bicara lagi,
terimalah jurus pedang pembukaku ini! Hiaaat...!"
Wutt, wuttt...! Pedang berkelebat dua kali, lalu kaki
Panji Tampan disentakkan ke tanah dan melesat terbang
tubuhnya ke arah Barong Geni. Pedangnya diarahkan
lurus bagai hendak menusuk mata Barong Geni. Maka,
Barong Geni pun cepat menghindarkan diri ke samping,
dan saat itu pula ternyata pedang menebas ke samping.
Wungngng...! Begitu cepat, begitu rapat hampir
menyentuh telinga Barong Geni, sehingga angin pedang
itu menimbulkan dengung yang memekakkan telinga.
Barong Geni menggulingkan badan, kemudian
kakinya menyentak ke atas dengan penuh gelombang
tenaga dalam yang dilepaskan lewat telapak kaki itu.
Wusssh...! Crasss...! Pedang Panji menebas mengenai
sinar putih yang melesat dari telapak kaki itu. Benturan
sinar pedang timbulkan letupan api yang memercik ke
kaki Barong Geni sendiri. Kaki itu kepanasan dan
Barong Geni cepat singkirkan kakinya dalam gerak
memutar sambil pinggangnya dipakai menyentak dan
tubuhnya pun melenting di udara tak begitu tinggi.
Jlegg...! Ia kembali berdiri dengan kedua kaki yang
kokoh tegap. Tapi tangan tetap seperti monyet yang tak
mampu menggaruk kepalanya sendiri.
"Jurus pedang pembuka...!" kata Panji Tampan
sambil sunggingkan senyum meremehkan, ia tampak
lebih kalem dari biasanya. Barong Geni diam-diam
dibuat grogi oleh kekaleman sikap bertarungnya Panji
Tampan itu. Barong Geni menyimpan kecemasan yang
selalu ditutup dengan omong besarnya,
"Jurus seperti itu diandalkan"! Hmm...! Buat bunuh
cacing saja belum tentu bisa, apalagi buat melukai
tubuhku!" "Itu baru jurus pembuka!" sangkal Panji Tampan.
"Sekarang jurus pedang pertama. Bersiaplah, Barong...!
Tak sampai kugunakan jurus pedang kedua, kau sudah
pindah ke neraka dan carilah kekasih lain di sana!"
Wuuhhggg...! Tiba-tiba Barong sentakkan kakinya ke
depan dengan cepat. Jaraknya yang berada antara enam
langkah itu membuat kaki tersebut dengan jelas
mengeluarkan sinar kuning yang bergerak cepat.
Sebenarnya sinar kuning itu akan menghantam perut
Panji Tampan, tapi karena Panji melihat kilatan sinar
kuning itu, maka ia sentakkan kakinya ke tanah dan
tubuhnya melesat ke udara bagai singa mau menerkam
mangsanya, ia menghindari sinar kuning itu sambil
menyerang kembali lawannya dengan pedang tersebut.
Jrabbb...! Sinar kuning mengenai gundukan cadas di
belakang Panji Tampan. Tapi pedang Panji Tampan kala
itu sudah mencapai di depan leher Barong Geni. Dengan
cepat Barong Geni menjatuhkan diri ke rumput,
sehingga pedang dan tubuh lawan tak jadi menabraknya.
Sebagai balasan, kaki Barong Geni menendang ke atas
sambil berjungkir balik ke belakang. Beggg...!
Tendangan itu mengenai perut Panji Tampan.
Terpelanting tubuh Panji Tampan di udara. Kesempatan
itu digunakan oleh Barong Geni untuk siap-siap
melancarkan jurus 'Tendangan Delapan Penjuru Angin'.
Tetapi tiba-tiba tubuh Panji yang terguling-guling di
tanah itu terlempar menyerosot bagai ada yang
menariknya kuat-kuat. Berbagai tanaman yang tumbuh
serta ranting yang ada di tanah diterjang habis oleh
tubuh Panji Tampan.
"Kenapa anak itu"!" pikir Barong Geni dengan heran,
ia tak jadi melancarkan 'Tendangan Delapan Penjuru
Angin' karena terpaku oleh kejadian aneh tersebut.
Bahkan matanya makin membelalak lebar dengan tangan
tetap di atas kepala dan di depan dada ketika ia melihat
tubuh Panji bangkit sendiri, lalu terlempar terbang
seperti sehelai kain sarung yang dilemparkan seseorang.
Wuusss...! Beehggg...!
"Uuhg...!" Panji Tampan terpekik dengan suara
tertahan. Punggungnya menghantam batang pohon
dengan keras, sampai batang pohon itu terguncang
merontokkan daun layunya. Selesai itu, tubuh Panji
Tampan jatuh terpuruk dengan napas berat terhela.
Mulutnya keluarkan darah kental. Panji Tampan tak
mampu bergerak karena sekujur tubuhnya selain
terkoyak duri atau batu, juga ada luka dalam yang
membuatnya memuntahkan darah hitam yang kental.
Jlegg...! Tiba-tiba seseorang telah berada di belakang Barong
Geni. Cepat-cepat Barong Geni palingkan wajah, dan ia
terperangah kaget melihat seorang perempuan cantik
berdiri di belakangnya mengenakan jubah jingga dan
pakaian sebatas dada warna biru tua berias benang perak.
Rambutnya disanggul indah, lehernya dengan kalung
batuan putih bagai barisan berlian mewah. Perempuan
cantik berhidung mancung tapi bermata tajam itu tak lain
adalah Dewi Kelambu Darah.
"Tak kuizinkan dia mengganggumu lagi, Barong
Geni!" ucapnya penuh kesan wibawa walau bernada
merayu. "Sebenarnya kau tak perlu menghajarnya begitu,
Kelambu Darah! Aku masih sanggup mempercepat
kematiannya! Cuma, aku tadi sedikit main-main dulu
dengan jurus pedangnya itu!"
Barong Geni melangkahkan kaki mendekati Dewi
Kelambu Darah. Senyum Dewi hanya separo saja.
Karena ia merasa heran melihat tangan Barong Geni
tetap di atas kepala dan di depan dada.
"Ada apa dengan tanganmu?"
"Intan Selaksa menotok jalan darahku. Aku sulit
melepaskan totokan ini, Dewi!"
"Hi hik hik...!" Dewi Kelambu Darah menjadi geli
mendengar pengaduan dari mulut Barong Geni. Yang
ditertawakan menjadi malu sekali.
Barong Geni tak bisa sembunyikan wajah malunya.
Padahal tadi baru saja ia merasa bangga, hatinya
berbunga-bunga melihat Dewi Kelambu Darah membela
pertarungannya dengan Panji Tampan menggunakan
kekuatan pandangan matanya yang cukup hebat itu. Baru
saja tadi Barong Geni merasa mendapat penghargaan
dari seseorang yang dicintainya. Tiba-tiba sekarang ia
harus menahan rasa malu akibat pengakuannya tentang
tangan yang tak bisa digerakkan lagi itu.
"Jadi kau tak bisa kalahkan Intan Selaksa"!"
"Bukan tak bisa, Dewi! Aku terpaksa melarikan diri
karena Gincu Mayat ikut campur dalam urusan ini!"
"Gincu Mayat..."!" Dewi Kelambu Darah agak
terkesiap matanya, lalu menyipit benci. "Berani-
beraninya dia ikut campur urusanmu" Apakah dia tak
tahu bahwa kau calon suamiku?"
"Dia tahu persis! Bahkan dia tahu bahwa aku datang
ke Kuil Swanalingga untuk mencari Pedang Guntur
Biru! Mulutnya itu yang membuat Intan Selaksa jadi
tahu tujuanku sebenarnya!"
Menggeram mulut Dewi Kelambu Darah sambil
geletakkan giginya, ia mengencangkan genggaman
tangannya. Lalu ia bertanya, "Jadi, bagaimana dengan
pedang pusaka itu" Kau belum berhasil
mendapatkannya"!"
"Untuk sekarang memang belum," jawab Barong
Geni. "Tapi untuk waktu mendatang, Pedang Guntur
Biru pasti akan kudapatkan dan kupersembahkan
padamu, Kelambu Darah!"
"Ingat, kalau kau tak cepat memberikan pedang
pusaka itu, berarti masa bulan madu kita tertunda lagi!"
"Tidak! Tidak akan terlambat lagi, Sayang. Tidak
lama lagi kau akan dapatkan pedang pusaka itu, biar kau
semakin kuat dan cepat menjadi seorang ratu! Aku akan
berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan Pedang
Guntur Biru itu, tapi... tapi...."
"Tapi apa"!" tukas Dewi Kelambu Darah melihat
Barong Geni kelihatan gelisah. Lalu, Barong Geni
ucapkan kata, "Tapi... tapi bagaimana aku bisa kalahkan mereka jika
tanganku dua-duanya terpatung kaku begini"! Aku tak
bisa melancarkan pukulan 'Tapak Geni'-ku"!"
Dewi Kelambu Darah sunggingkan senyum. "Dengan
anak kemarin sore saja kamu bisa dipermainkan begitu"!
Bagaimana jika kamu menghadapi lawan yang berilmu
tinggi"!"
"Aku sedikit lengah tadi. Sungguh kuakui, aku lupa
bahwa dia punya jurus totok melalui senyumannya! Tapi
lain kali takkan kubiarkan dia tersenyum walau sekejap
pun!" Kali ini bibir Dewi Kelambu Darah sunggingkan
senyum meremehkan Barong Geni. Makin malu Barong
Geni melihat senyum keremehan seperti itu. Makin
geram ia pada Intan Selaksa. Tapi ia segera sadar bahwa
ia tidak hanya bisa menggeram menahan amarah saja. Ia
harus melepaskan kemarahannya kepada Intan Selaksa.
Namun ia butuh bantuan Dewi Kelambu Darah untuk
melepaskan totokan pada jalur darah kedua tangannya
itu. "Kelambu Darah, kumohon kau mau melepaskan
totokan ini, supaya pusaka Pedang Guntur Biru bisa
cepat kudapatkan dan kuserahkan padamu, seperti aku
menyerahkan kitab pusaka itu!"
Dewi Kelambu Darah masih sunggingkan senyum
sinis berkesan meremehkan. Tapi matanya masih tetap
pandangi kedua tangan Barong Geni.
Wusss...! Tiba-tiba kedua tangan Barong Geni jatuh
lemas. Rupanya Dewi Kelambu Darah sudah
melepaskan pengaruh totokan itu melalui pandangan
mata yang mempunyai kekuatan dahsyat itu. Barong
Geni menghembuskan napas lega dan menggerak-
gerakkan tangannya agar rasa pegal hilang secepatnya.
Jari-jarinya pun dikembang-kuncupkan karena tanpa
begitu, semua urat terasa kaku.
"Ingat, Barong Geni... semalam kulihat rembulan
purnama mempunyai garis hitam yang bagai ingin
memotong pertengahan rembulan. Itu pertanda alam
kesucian telah terbuka. Jangan biarkan rembulan tak
bergaris lagi. Karena itu pertanda alam kesucian tertutup
kembali. Jika alam kesucian tertutup kembali, maka
sekian tahun lagi Pedang Guntur Biru bisa dicuri orang.
Jadi, jangan sampai kau terlambat, Barong Geni!
Sekaranglah saatnya mencuri pedang pusaka itu, selagi
alam kesucian terbuka!"
"Aku sangat mengerti, Kelambu Darah!"
"Kalau kau terlambat, menunggu sekian tahun lagi
kita baru bisa berbulan madu. Padahal sebenarnya aku
sudah tak tahan, Barong," kata Dewi Kelambu Darah
sambil mendekati lelaki itu dan menatapnya dengan
mata sendu, seakan sebuah ajakan untuk bercumbu.
Rambut Barong Geni diusap-usapnya dengan lembut,
penuh kemesraan. Sambil tubuhnya merapat di belakang
Barong Geni dan dengus napasnya terasa hangat di
tengkuk kepala dan leher Barong Geni. Terbakar darah
kejantanan Barong Geni manakala ia mendengar bisikan
Dewi. "Jangan sampai pria lain yang menyerahkan pedang
itu padaku, karena jika orang lain yang serahkan maka
itu berarti aku harus menikah dengan pria lain itu,
Barong! Dapatkan segera Pedang Guntur Biru di dalam
kuil itu! Aku tak tahan menunggu masa bulan madu kita
tiba, Barong! Oh... dapatkan pedang itu, Sayang...!"
Dewi Kelambu Darah menggelendot di pundak.
Barong Geni makin berdetak keras jantungnya. Ia ingin
mencium, tapi yang mau dicium segera undurkan diri
dengan menggoda. Mata Dewi Kelambu Darah tetap
memandang penuh daya rangsang yang memabukkan
jiwa. Tak tahan Barong Geni melihatnya.
"Sekarang juga aku akan kembali ke kuil itu, Dewi!
Sabarkan hasratmu. Tak lama lagi bulan madu kita akan
tiba!" "Yah, lekaslah bertindak! Karena hanya kau yang
tahu seluk-beluk kuil itu, maka kaulah yang masuk ke
sana! Kalau Gincu Mayat turut campur, aku yang
menghabisi nyawanya. Kau tak perlu layani dia!"
"Jadi kau akan mendampingiku dari belakang,
Dewi?" "Ya. Karena aku tak mau kehilangan kamu!" jawab
Dewi Kelambu Darah yang membuat Barong Geni
semakin bersemangat untuk mendapatkan Pedang
Guntur Biru. "Aku berangkat sekarang! Jaga dirimu baik-baik di
belakangku!" Ucap Barong Geni dengan penuh
keperkasaan dan kegagahan ia melangkah menunaikan
tugas setia seorang calon suami.
Dewi Kelambu Darah tertawa terkikik setelah Barong
Geni pergi. Dalam hatinya, Kelambu Darah ucapkan
kata, "Manusia bodoh! Sekalipun dia dapatkan pedang
pusaka itu, siapa yang mau menjadi suaminya" Puih...!
Tak sudi aku bergelut di atas ranjang dengannya!
Menjijikkan! Tapi, untuk sementara ini aku harus
mendorong semangatnya dan menjaganya dari belakang!
Kuperlukan tenaganya untuk mencuri pedang pusaka itu!
Pendekar Mabuk 014 Pedang Guntur Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Siapa pun akan tahu jika terjadi heboh nanti, bahwa
pusaka Pedang Guntur Biru dicuri oleh murid murtadnya
Begawan Sangga Mega! Dunia akan mengecam dia! Dia
akan diburu oleh banyak orang, sementara aku bisa
melarikan diri dan tenggelam untuk beberapa saat!
Setelah itu aku akan muncul sebagai ratu yang punya
banyak rakyat, karena mereka tak ada yang tahu bahwa
akulah otak pencurian pusaka Pedang Guntur Biru itu!
Hi hi hi...!"
Dewi Kelambu Darah cepat mengikuti kepergian
Barong Geni. Tak disadarinya, Panji Tampan yang
belum mati hanya dalam keadaan parah itu, telah
mendengar suara percakapan mereka tadi. Ia tahu apa
yang akan dilakukan oleh Barong Geni dan Dewi
Kelambu Darah. Sambil menahan luka berat, Panji Tampan berusaha
untuk bangkit dan berdiri berpegangan batang pohon.
Hatinya mulai membatin,
"Tak mungkin kususul sekarang juga, keadaanku
sangat parah! Aku harus pulang temui Guru dan
menceritakan tentang Pedang Guntur Biru itu. Pasti
Guru tahu apa dan bagaimana pedang pusaka tersebut!
Jika memungkinkan, aku mau merebut pedang pusaka
itu dari tangan Barong Geni, bukan untuk kuserahkan
kepada Dewi Kelambu Darah, tapi untuk kumiliki
sendiri! Dewi Kelambu Darah ternyata racun dalam
hidupku!" Geram sekali Panji Tampan setelah menyadari bahwa
ternyata Dewi Kelambu Darah memang ada hubungan
dongan Barong Geni. Selama ini, Panji Tampan tidak
menduga bahwa rayuan Dewi Kelambu Darah hanya
racun bagi hidupnya. Dewi Kelambu Darah sering
mengeluh dan merasa diganggu oleh Barong Geni.
Nyatanya, justru Dewi Kelambu Darah sendiri yang
nyosor kepada Barong Geni. Akibatnya, timbul rasa
benci dalam hati Panji Tampan dan lebih parah lagi rasa
benci itu menjadi dendam, karena merasa ditipu dan
dipermainkan. "Kalau perlu kurebut pedang itu dan kupakai
membunuh Dewi Kelambu Darah yang telah tega
melukaiku separah ini!" pikir Panji Tampan dengan
dendam menyentak-nyentak dada.
* * * 3 KUIL Swanalingga berupa bangunan batu tanpa
semen atau bahan perekat. Begawan Sangga Mega
membangun kuil tersebut dengan kekuatan tenaga
dalamnya yang tinggi, di mana setiap batu direkatkan
memakai hawa lekat yang keluar dari telapak tangannya.
Kuil itu sulit dirubuhkan karena perekat yang dipakai
benar-benar perekat istimewa.
Di sana terdapat ruang pemujaan dan ruang semadi
yang dinamakan kamar Cipta Hening. Kuil itu terdiri
dari tiga bangunan berbentuk stupa candi. Satu bangunan
besar tempat pemujaan dan tempat kamar Cipta Hening,
dua bangunan lagi digunakan untuk beristirahat para
murid Begawan Sangga Mega sebelum wafat dibunuh
oleh Tapak Baja. Salah satu dari dua bangunan itu sering
digunakan untuk menerima tamu atau memberi
wejangan bagi para murid Begawan Sangga Mega.
Kuil itu dulu pernah diserang oleh pasukan Chubi,
dari Tiongkok. Semua murid habis binasa kecuali Intan
Selaksa dan Barong Geni. Dua murid kesayangan
Begawan Sangga Mega itulah yang menjadi penerus
ilmu-ilmu kesayangan Begawan Sangga Mega. Tapi
sayang sekali, Barong Geni murtad dengan mencuri
kitab pusaka untuk diserahkan kepada Dewi Kelambu
Darah sebagai tanda cintanya. Dengan diusirnya Barong
Geni, maka hanya Intan Selaksa satu-satunya pewaris
semua ilmu yang dimiliki Begawan.
Sayang sekali ketika Intan Selaksa pergi ke Lembah
Tengkorak untuk melenyapkan giok penyebar penyakit
yang ada di sana, Tapak Baja datang mengincar Pedang
Guntur Biru. Begawan Sangga Mega tak mau serahkan
pedang itu, sekalipun hanya dengan dalih dipinjamkan.
Tapak Baja sakit hati. Lalu, dengan cara licik ia
membunuh Begawan Sangga Mega. Ketika Intan
Selaksa kembali dari meleburkan batu giok penyebar
penyakit di Lembah Tengkorak, ia sudah temukan
gurunya tak bernyawa lagi, tanpa tahu siapa
pembunuhnya. Mulanya Intan menyangka Barong Geni yang
membunuh gurunya. Tapi dilihat dari bekas pukulan
lawan di tubuh Begawan, jelas bukan jurus pukulan
milik Barong Geni, bahkan bukan pula milik pukulan
Dewi Kelambu Darah, yang bercita-cita ingin menjadi
ratu itu. Tetapi jauh sebelum Intan Selaksa mendapat tugas
menghancurkan batu giok penyebar penyakit di Lembah
Tengkorak, Begawan Sangga Mega pernah berkata,
bahwa kelak apa pun yang terjadi, Intan Selaksa harus
mempertahankan kuil itu dan melindungi dari jamahan
tangan-tangan sesat. Tak boleh ada yang merusak kuil
itu, tak boleh ada yang masuk ke kamar Cipta Hening,
sampai suatu saat nanti kuil itu akan lenyap dengan
sendirinya, dan Intan Selaksa akan menerima titisan ilmu
dari semua ilmu yang dimiliki Begawan Sangga Mega.
Intan Selaksa mematuhi tugas sebagai juru kunci Kuil
Swanalingga sejak kematian gurunya. Sampai suatu saat,
ia melihat seorang perempuan yang terdesak dengan luka
berdarahnya dari serangan dua orang lelaki tak dikenal
oleh Intan Selaksa. Merasa iba melihat nasib perempuan
itu, Intan Selaksa cepat ambil tindakan selamatkan
perempuan itu. Ilmu pengobatan dari gurunya
digunakan, dan perempuan itu selamat dari maut yang
nyaris merenggut nyawanya. Perempuan itulah yang
kemudian dikenal dengan nama Gincu Mayat. Dia murid
tokoh sesat si Bungkuk Jagal, penguasa Tanah Merah.
Gincu Mayat dikenal sebagai murid liar si Bungkuk
Jagal, karena sampai berusia tiga puluh tahun lebih ia
masih berkeliaran mencari tempat kehidupan dan jati
dirinya, yang membuat ia hidup penuh gejolak gairah
kepada siapa pun yang diinginkannya. Gairah itu
membuat ia menjadi liar jika tidak tersalurkan, juga
menjadi buas setelah tersalurkan. Karena itu, tak pernah
ada lelaki yang tetap hidup setelah bercinta dengan
Gincu Mayat, dan tak ada lelaki yang tetap hidup jika
menolak rayuan mesra Gincu Mayat.
Intan Selaksa tidak mau terpengaruh kehidupan sesat
si Gincu Mayat. Karena itu, ia menjauhkan diri, walau
tidak membuka pintu permusuhan dengan Gincu Mayat.
Sikap baik dari Intan Selaksa membuat Gincu Mayat
sesekali bertandang ke Kuil Swanalingga sebagai
seorang sahabat saja. Mengingat hidup mereka sama-
sama diterkam sepi, tanpa pendamping, tanpa saudara,
tanpa Guru, maka mereka sering saling bertukar rasa,
bertukar pendapat dan bertukar pengalaman. Intan
Selaksa selalu menerima tamunya di ruang khusus untuk
menerima tamu, yang dulu sering pula dipakai untuk
mendengarkan wejangan dari Begawan Sangga Mega.
Tetapi kali ini Intan Selaksa punya rasa atas
pembelaan diri Gincu Mayat terhadap dirinya. Jika
waktu tadi Gincu Mayat tak muncul, mungkin Intan
Selaksa sudah tak bernyawa lagi dihantam habis oleh
Barong Geni, orang yang sering menghalalkan cara demi
mencapai kebutuhan pribadinya. Intan Selaksa merasa
sangat beruntung dengan kedatangan Gincu Mayat itu.
Bahkan setelah ia sembuhkan luka-lukanya dengan
ramuan peninggalan mendiang gurunya, Intan Selaksa
ucapkan kata kepada Gincu Mayat,
"Pertolonganmu sangat berharga bagiku, karena tepat
pada waktunya. Aku tak tahu harus membalas dengan
cara bagaimana untuk menghargai pertolonganmu,
Gincu Mayat!"
"Sudah kubilang tadi, aku hanya membalas hutangku
kepadamu! Dengan begini, kita impas. Kita tak punya
hutang nyawa lagi!"
"Kau begitu baik padaku, Gincu Mayat! Di tengah
sepiku menunggu saat kepergianku tiba sebagai penjaga
kuil ini, hanya kau teman yang sering mengisi kesunyian
hati ini!"
"Mengapa tak cari teman pria yang bisa mengisi
hatimu"!" pancing Gincu Mayat. "Aku bisa mencarikan
lelaki yang bisa kau pakai hiburan setiap malam atau
kapan saja kau inginkan!"
Intan Selaksa hanya sunggingkan senyum berlesung
pipit itu, kemudian ia ucapkan kata,
"Lelaki bukan jaminan pengisi hati yang damai!
Lelaki kadang menghadirkan sejuta keresahan di hati,
dan menjadi sang penyiksa jiwa! Rasa-rasanya belum
waktunya aku berurusan dengan masalah hati lelaki."
"Hi hi hi...!" Gincu Mayat tertawa. Bodoh amat kau!
Lelaki memang bukan jaminan pengisi hati yang damai,
tapi lelaki bisa kita jadikan alat hiburan! Jangan jadikan
lelaki pengisi hati, bisa ngelunjak dia, Intan Selaksa! Hi
hi hi...! Hidup seperti aku inilah contoh hidup yang tak
pernah merasa disiksa jiwanya oleh lelaki, melainkan
dipuasi batinnya oleh kelemahan lelaki yang bisa
kupermainkan kapan saja! Nyawa lelaki pun bisa
kupermainkan dengan sekehendak hatiku! Hi hi hi...!"
Hanya senyum yang ada di wajah Intan Selaksa kala
itu. Langkah kakinya pelan mengikuti irama langkah
kaki Gincu Mayat. Hanya langkah kaki itu yang bisa
didampingi dan diikuti, tapi cara hidup dan jiwa liar dari
Gincu Mayat tak bisa diikuti oleh Intan Selaksa.
Langkah kaki Gincu Mayat setelah mengitari taman
di depan kuil, tiba-tiba terhenti di depan ruang pemujaan
yang berpintu lengkung tanpa daun pintu. Di dalam sana
terdapat pintu batu yang tertutup rapat. Pintu batu itulah
penutup rapat ruang atau kamar semadi yang dinamakan
kamar Cipta Hening.
"Intan Selaksa, sejak aku sering datang bertandang
kemari aku tak pernah melihat pintu kamar itu terbuka.
Apakah tidak pernah kau bersihkan?"
"Tidak," jawab Intan Selaksa. "Itu kamar larangan.
Guru tak pernah izinkan siapa pun masuk ke kamar itu,
termasuk aku. Aku hanya diizinkan memegang kuncinya
dan membersihkan bagian luarnya saja!"
"Apa yang ada di dalam kamar itu sebenarnya, Intan
Selaksa?" "Entahlah! Sejak aku tinggal di sini menjadi murid
Begawan Sangga Mega, aku belum pernah masuk ke
kamar semadi itu. Dan aku tidak pernah punya rasa ingin
tahu dengan isi kamar tersebut!"
Kepala Gincu Mayat mengangguk-angguk sambil
bergumam kecil. Kemudian ia coba bertanya,
"Apakah kamar itu tempat menyimpan pusaka-
punnka milik gurumu?"
"Setahuku guru tidak mempunyai pusaka apa-apa,
kecuali ilmunya sendiri itulah pusakanya," jawab Intan
Selaksa menjelaskan.
"Bukankah gurumu punya pusaka Pedang Guntur
Biru?" "Menurut kabarnya begitu, tapi guru tidak pernah
membicarakan kepadaku tentang pusaka Pedang Guntur
Biru. Aku jadi sangsi, apakah benar Guru memiliki
pusaka itu?"
"Mungkin dia simpan di dalam kamar tersebut,
Intan!" "Itu pun aku tak pasti. Antara percaya dan tidak,
sebab aku belum pernah melihat Guru memegang
pusaka Pedang Guntur Biru. Tetapi menurut cerita
orang-orang yang pernah kutemui, Begawan Sangga
Mega mempunyai pusaka tua yang bernama Pedang
Guntur Biru. Pedang itu bisa menyerang dari jarak
cukup jauh, bisa membikin kebal pemiliknya, dan bisa
membuat pemiliknya terbang oleh kekuatan pedang
pusaka tersebut. Hanya itu yang bisa kujelaskan
kepadamu jika kau bertanya tentang pusaka Pedang
Guntur Biru."
Gincu Mayat tersenyum tipis, lalu melanjutkan
langkahnya sambil ucapkan kata, "Apakah kau tak
berhasrat memiliki pusaka Pedang Guntur Biru?"
"Aku tidak berani punya hasrat seperti itu!" jawab
Intan Selaksa jujur. Karena dia memang perempuan
yang polos dan menyukai kejujuran.
"Kalau kau memiliki Pedang Guntur Biru, kau akan
menjadi orang sakti yang sulit ditumbangkan. Mungkin
pula tak ada tandingannya!"
"Apakah begitu sifat orang yang memiliki pusaka
Pedang Guntur Biru?" Intan Selaksa justru merasa heran
dengan penjelasan Gincu Mayat. Karena menurut
pendapatnya, jika benar apa yang dikatakan Gincu
Mayat, lantas mengapa sang Begawan Sangga Mega
mati di tangan orang" Bukankah Begawan Sangga Mega
dikenal sebagai pemilik pusaka Pedang Guntur Biru"
"Mendiang guruku sendiri pernah menceritakan hal
itu padaku, dan ia kagum dengan kesaktian dan
kehebatan yang dimiliki Pedang Guntur Biru! Tetapi ia
juga mengatakan, tak ada orang yang bisa mencuri atau
merebut pedang itu dari tangan gurumu! Hanya saja,
sekarang sang Begawan Sangga Megah toh sudah tiada.
Tak ada salahnya jika kau sebagai murid kesayangannya
menjadi pewaris Pedang Guntur Biru itu!"
"Tapi aku tak pernah melihat pedang itu ada di kuil
ini!" "Mungkin terlalu rahasia, sehingga gurumu tidak
tunjukkan pedang itu kepada siapa pun termasuk
muridnya. Tapi jika kau memeriksa bagian dalam kamar
Pendekar Mabuk 014 Pedang Guntur Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Cipta Hening itu, kau baru akan melihat seperti apa
bentuk dan wujudnya pusaka Pedang Guntur Biru itu."
"Apakah menurutmu, Guru memang menyimpannya
di kamar Cipta Hening itu?" tanya Intan Selaksa bernada
sangsi. "Jika kamar itu tidak dipakai menyimpan Pedang
Guntur Biru, mengapa gurumu tidak mengizinkan siapa
pun masuk ke sana" Larangan itulah yang sebenarnya
merupakan jawaban dari pertanyaan di mana Pedang
Guntur Biru disimpan oleh gurumu, Intan!"
Intan Selaksa diam dalam renungan yang panjang.
Lalu, Gincu Mayat segera mendesak,
"Cobalah, buka pintu kamar itu dan periksalah
dalamnya."
"Aku... aku tidak berani, Gincu Mayat! Aku sangat
menjunjung tinggi perintah Guru dan menghargai
larangan Guru. Aku tidak berani melanggar satu pun dari
apa yang dilarang beliau!"
"Hi hi hi...! Kau memang murid yang patuh, Intan
Selaksa, tapi kau juga murid yang bodoh! Kepatuhanmu
itu memang berharga jika gurumu masih hidup. Tapi
sekarang gurumu sudah wafat, kepatuhan itu tak perlu
ada lagi! Justru gurumu itu sangat berharap kau bisa
mengambil gagasan sendiri untuk bertindak tanpa diri
beliau!" "Gagasan..."!" Intan Selaksa makin kerutkan dahi.
"Ya. Setiap orang berhak punya gagasan sendiri
dalam bertindak!"
Tiba-tiba Gincu Mayat sentakkan tangannya,
mendorong tubuh Intan Selaksa dengan kuat. Intan
Selaksa jatuh terjungkal ke tanah. Gincu Mayat
berkelebat lompat ke kiri sambil tangannya menyambar
sesuatu yang melayang cepat bagaikan anak panah.
Wussst...! Tap...!
"Hei, kenapa kau mendorongku sekasar itu, Gincu
Mayat"!" sentak Intan Selaksa. Gincu Mayat tidak
menjawab. Matanya tajam memandang sekeliling
halaman kuil, terutama di atas tembok pagar berbatu
hitam itu. Kejap berikut, Gincu Mayat segera dekati
Intan Selaksa dan ulurkan tangannya. Tangan yang
menggenggam itu membuka telapaknya, lalu tampaklah
sebuah pisau kecil seukuran kelingking bergagang hitam
dengan ujungnya yang runcing tajam.
"Seseorang ingin membunuhmu!" kata Gincu Mayat.
Intan Selaksa terkesiap memandang pisau kecil yang
berhasil ditangkap oleh Gincu Mayat. Lekas-lekas ia
pandangkan matanya ke sekeliling, dan ia susuri setiap
tempat, pohon, dan atap bangunan kuil. Tak ada orang di
sana, tak ada tempat yang patut dicurigai.
"Pisau ini beracun ganas jika sampai menggores kulit
tubuh manusia," kata Gincu Mayat. "Orang yang
tergores atau terkena pisau kecil ini akan hangus
terbakar dan tak dapat ditolong lagi!"
"Dari mana kau tahu?"
"Aku kenal pemiliknya!" jawab Gincu Mayat.
"Siapa pemiliknya" Apakah Barong Geni atau Dewi
Kelambu Darah?"
"Bukan!" jawab Gincu Mayat dengan tegas. "Pisau
ini milik seorang tokoh tua dari Pantai Selat Mati."
"Maksudmu... Eyang Sambar Jantung?"
"Benar!"
"Tidak mungkin!" sanggah Intan Selaksa. "Eyang
Sambar Jantung adalah teman baik Begawan Sangga
Mega! Ia juga baik kepadaku!"
"Di balik kebaikan seseorang tak mungkinkah
tersimpan kebusukan?"
"Ya. Memang. Tapi tidak begitu untuk Eyang Sambar
Jantung!" Baru saja Intan Selaksa selesai bicara begitu, tiba-tiba
Gincu Mayat terpekik, "Awas...!" sambil ia sentakkan
kaki dan melenting di udara, demikian pula halnya
dengan gerakan mendadak Intan Selaksa. Tubuhnya
sempat bersalto satu kali di udara. Dan pada waktu itu,
Intan Selaksa sempat melihat gerakan benda hitam yang
melesat cepat, lalu menancap di sebuah pohon yang ada
di sudut halaman Kuil Swanalingga.
Pohon itu berdaun lebat, rindang, dan teduh jika
digunakan untuk duduk-duduk di bawahnya pada siang
hari. Tapi ketika benda hitam kecil itu menancap di
batang pohon itu dengan suara halus, hampir tak
terdengar, tiba-tiba daunnya menjadi kuning. Daun itu
mengalami perubahan sangat cepat, dari kuning menjadi
coklat, lalu berguguran bagaikan bunyi suara hujan
deras. Ranting-rantingnya ikut beterbangan, bahkan
dahannya ada yang patah sendiri. Dan dalam waktu yang
sangat singkat, pohon itu menjadi gundul tanpa ranting.
Batangnya yang masih berdahan sebagian itu menjadi
keropos dengan warna hitam, bagaikan sebatang pohon
yang sudah terbakar sejak puluhan tahun yang lalu.
Tentu saja pemandangan seperti itu memukaukan
mata Intan Selaksa. Terbayang ngeri di benaknya, jika
sampai pisau kecil itu menancap pada bagian tubuhnya,
sudah pasti dirinya akan mengalami nasib mengenaskan
seperti pohon besar itu.
Wuttt...! Intan Selaksa lekas lompatkan diri,
bersembunyi di dalam ruang pemujaan. Waktu itu,
Gincu Mayat cepat sentakkan kaki dan menyusul Intan
Selaksa dengan gerakan lompat yang amat ringan dan
cepat. Wesss...! Mereka berdua bersembunyi di sana
dengan mata memandang tajam ke arah sekeliling.
Tak ada manusia, tak ada gerakan. Bahkan angin pun
bagaikan berhenti, hingga daun yang berguguran itu tak
sempat bergerak sedikit pun. Alam bagaikan mati tanpa
bunyi hening yang semestinya timbul akibat hembusan
angin tipis. Senyap sekali kuil tersebut.
Tapi tiba-tiba suara deru terdengar dari kejauhan.
Deru itu makin lama semakin mendekat, menghadirkan
hembusan angin yang membuat daun-daun kering
beterbangan. Deru itu bertambah jelas dan keras,
membuat pohon-pohon meliukkan puncaknya, bagian
pintu pagar yang terbuat dari besi berjeruji yang amat
kekar itu terhempas membuka dalam satu sentakan
keras. Trangng!
Angin badai terasa menghadirkan kesejukan yang
cukup tinggi, dan makin lama makin dingin. Dahan
pohon lainnya terdengar berderak patah. Tubuh mereka
di ruang pemujaan tak berdaun pintu itu menjadi saling
berpegangan tiang penyangga atap pintu lengkung.
"Angin apa ini" Kerasnya bukan main"!" seru Intan
Selaksa mengimbangi suara deru yang memekakkan
telinga. "Entahlah! Mungkin ini yang dinamakan Angin
Setan!" "Angin Setan apa?"
"Angin Setan yang hanya datang sewaktu-waktu jika
diinginkan oleh pemiliknya!" seru Gincu Mayat,
rambutnya beterbangan ke arah belakangnya. Matanya
menyipit menahan derasnya angin menerpa.
"Siapa pemilik Angin Setan ini"!"
"Siapa lagi kalau bukan Sambar Jantung!"
Di hati Intan Selaksa menggumamkan nama itu
dengan nada heran sekali, ia kenal betul dengan Eyang
Sambar Jantung. Hubungannya nyaris seperti hubungan
antara murid dan guru, karena Sambar Jantung sering
kasih saran dan pandangan hidup kepada Intan Selaksa.
Bahkan sering juga Sambar Jantung mengingatkan
kepada Intan agar menjadi murid yang baik yang selalu
taat kepada perintah dan ajaran gurunya.
Jika benar Sambar Jantung yang bikin ulah seperti
ini, lantas apa maksudnya" Apa pula maksud Sambar
Jantung dua kali melepaskan pisau beracun untuk
membunuh Intan" Atau, jangan-jangan yang jadi sasaran
adalah Gincu Mayat" Bukan Intan Selaksa" Rasa-
rasanya sangat aneh sekali dan tak mudah dipercaya
bahwa Eyang Sambar Jantung bermaksud membunuh
Intan Selaksa. Rasa-rasanya tak pernah ada kesalahan
yang dibuat Intan terhadap Sambar Jantung.
Hembusan angin badai masih terasa kuat dan semakin
besar saja. Di luar pagar kuil, jauh di sebelah barat sana,
terdengar sebuah pohon yang tumbang dengan
menimbulkan dentuman yang mengguncangkan tanah.
Daun-daun kering yang gugur dari pohon hangus
seketika itu sudah beterbangan keluar dari pagar kuil
yang tingginya mencapai tiga atau empat tombak,
dengan ketebalannya mencapai tiga jengkal atau
setengah ukuran tombak.
Bahkan sekarang angin badai aneh itu menghadirkan
bintik-bintik putih seperti tepung. Bintik-bintik putih itu
menerpa dedaunan atau benda apa pun. Semakin lama
semakin banyak jumlahnya, membuat satu batang pohon
dalam sekejap berubah menjadi putih bagaikan
dibungkus kapas. Tapi pada saat itu udara terasa sangat
dingin. Kian lama kian membuat Intan Selaksa
menggigil. "Serbuk apa itu yang membawa hawa sedingin ini"!"
seru Intan Selaksa dari tempatnya yang berjarak empat
langkah dari Gincu Mayat.
"Salju!" jawab Gincu Mayat. Suaranya keras juga.
"Salju..."!" suara Intan Selaksa bernada heran sekali.
"Mengapa ada salju di sini?"
"Seseorang telah menghadirkan badai salju!"
"Siapa?"
"Tentunya si Penguasa Pantai Selat Mati itu! Sambar
Jantung!" "Mana mungkin beliau" Untuk apa Eyang Sambar
Jantung sampai menghadirkan badai salju kemari"!"
"Kurasa dia juga inginkan pusaka Pedang Guntur
Biru!" "Apa..."!" Intan terkejut dan terpekik di sela deru
angin kencang yang hadirkan butiran salju semakin
banyak itu. * * * 4 SALJU menyelimuti Kuil Swanalingga. Udara dingin
yang dihadirkan oleh angin salju membuat kedua tubuh
perempuan itu saling menggigil. Tetapi curahan hujan
salju yang mirip serbuk tepung putih itu telah berhenti.
Badainya pun hilang. Anginnya bertiup semilir.
Hening mencekam sekeliling. Intan Selaksa keluar
dari bangunan pemujaan, ia memeriksa sekeliling kuil.
Tak ada sesuatu yang aneh ditemukan di sekeliling kuil,
kecuali beberapa pohon melengkung akibat badai tadi,
dan beberapa dahan patah jatuh ke tanah. Lebih dari itu,
hanya putih salju yang membungkus tiap benda yang
terlihat di sana. Intan Selaksa pun cepat memeriksa
daerah sekeliling pagar bumi itu, ia segera keluar dari
halaman kuil. Pada saat itu, Intan Selaksa tak menyadari adanya
bahaya di ruang pemujaan. Gincu Mayat telah gunakan
kesempatan itu untuk memeriksa ruang pemujaan. Altar
tempat lilin-lilin dinyalakan itu diperiksa dengan teliti.
Bagian-bagian yang tertutup, yang bercelah, yang bisa
digeser dan dibuka-tutup, Juga diperiksanya dengan
cermat. Tapi ia tidak menemukan sesuatu yang dicari
atau yang mencurigakan.
Langkah kakinya masih bergerak pelan sambil
matanya mengelilingi seluruh tempat itu. Lantai pun
disentak-sentakkan pakai kaki, mencari kemungkinan
adanya suara geduk yang berongga. Jika ada suara
gedukan kaki berongga, itu pertanda ada ruang bawah
tanah. Tapi beberapa lantai yang sempat diperiksanya,
tidak ada yang punya suara geduk sedikit menggema. Itu
artinya tak ada ruang bawah tanah di bawah bangunan
tersebut. Kini, Gincu Mayat tiba di depan kamar Cipta Hening,
ia pandangi dinding dan pintu lebih dulu. Susunan batu
diperhatikan semua. Tapi tak ada yang bisa dijadikan
alasan sebagai sesuatu yang perlu dicurigai. Susunan
batu itu merapat lekat tak sedikit pun bisa digeser atau
dilepas. Pintu dipandanginya. Pintu itu terbuat dari lempengan
baja yang sangat kokoh dan tua. Warnanya sudah
berubah hitam keabu-abuan. Pintu itu tidak berengsel.
Jadi menurut dugaan Gincu Mayat, pintu itu bergerak
menggeser ke kiri atau ke kanan jika ingin membukanya.
Tak ada lubang yang bisa dipakai untuk mengintai
keadaan di dalam ruangan tersebut. Pintu sangat rapat.
Gincu Mayat mencoba menggeser pintu, mendorong
ke kiri atau ke kanan. Tapi pintu tidak bergeming.
Ketebalannya ada satu jengkal menurut dugaan Gincu
Mayat. Dihantam pakai tangan pun suaranya tak
menimbulkan gema. Duggg...! Hanya seperti dinding
cadas yang dipukul dengan tangan kosong.
"Bagaimana jika didobrak?" pikir Gincu Mayat.
Pertimbangannya memutuskan untuk mencoba
mendobrak pintu tersebut dengan kekuatan tenaga
dalamnya. Maka, Gincu Mayat cepat mengundurkan diri
lima tindak. Dari sana ia sentakkan kedua tangannya
dalam keadaan telapak tangan terbuka ke depan.
Wouggh...! Hembusan tenaga dalam melesat begitu
besar. Biasanya bisa menumbangkan pohon besar hingga
tercabut akarnya. Tapi kali ini, ternyata kekuatan itu tak
bisa dipakai untuk mendobrak pintu baja keabu-abuan
itu. Gincu Mayat segera berdiri tegak dengan kaki
melenggang. Lalu kakinya itu tiba-tiba merendah, dan
tangan kanannya menuding memakai jari tengah. Tangan
kirinya bagai mendorong pergelangan telapak tangan
kanan. Tangan itu bergerak maju dengan kuat dan sedikit
Pendekar Mabuk 014 Pedang Guntur Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gemetar karena tenaga dikerahkan ke arah tangan kanan.
Dari jari tengah yang menuding kaku itu melesat
sinar hijau. Sinar itu memanjang sampai membentur
pintu kamar Cipta Hening itu. Wuuttt...! Sinar itu terus
Harimau Mendekam Naga Sembunyi 9 Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung Pendekar Panji Sakti 5