Pencarian

Pedang Guntur Biru 2

Pendekar Mabuk 014 Pedang Guntur Biru Bagian 2


memancar tiada putusnya, bergerak pelan menyusuri
tepian pintu, sampai membentuk gerakan sesuai dengan
keliling pintu tersebut.
Zubb...! Pijar sinar hijau itu padam. Gincu Mayat
menarik napas dalam-dalam, ia siap mendobrak pintu
yang sudah dipotong memakai sinar hijau tadi. Tapi,
Gincu Mayat merasa sangsi.
"Tak ada bekas meleleh pada bagian yang sudah
kupotong"!" ucapnya dalam hati, "Bau terbakar pun tak
ada! Hangus pun tidak pintu itu. Apakah itu berarti pintu
sudah terpotong atau tetap utuh?"
Gincu Mayat segera mendekati dan mencoba
mendorongnya pelan-pelan untuk mengetahui keadaan
pintu. Ternyata masih kokoh, utuh dan tidak lecet sedikit
pun. Gincu Mayat berpikir, seandainya didobrak
memakai tendangan tenaga dalam juga percuma, sebab
pintu itu lebih kokoh daripada bukit batu.
"Aduh, gatal juga telapak tanganku jadinya?"
ucapnya lirih sambil telapak tangannya saling digosok-
gosokkan untuk menghilangkan rasa gatal. Gincu Mayat
belum menyadari, bahwa rasa gatal itu telah membuat
telapak tangannya menjadi merah. Sambil memikirkan
cara membuka pintu kamar Cipta Hening, ia
menggosok-gosokkan telapak tangan semakin keras.
Pintu dicoba untuk ditendangnya dalam satu
lompatan dari jarak lima tindak. Wusss...! Dugggh...!
Tak ada gerakan pada pintu, tapi tubuh Gincu Mayat
terpental ke belakang dan jatuh nyaris terlentang.
"Gila! Pintu itu punya kekuatan membalikkan
pukulan tenaga dalam! Sama saja aku menendang diriku
sendiri tadi"!"
Gincu Mayat bangkit. Telapak tangannya gigih
digaruknya. Tapi pada saat itu terdengar suara berucap
dari arah belakangnya,
"Sebentar lagi akan buntung kedua tanganmu itu,
Anak Manis!"
Terkejut Gincu Mayat mendengar sapaan itu. Ia cepat
palingkan wajah dan kerutkan dahi. Seorang lelaki tua
yang rambut dan kumisnya telah beruban seperti
jenggotnya, telah berdiri di sana, mengenakan pakaian
abu-abu dengan kainnya yang menyilang di dada sampai
pundak. Pundak satunya bebas tak tertutup kain. Dari
rambut putihnya yang botak di bagian dekat dahi itu,
Gincu Mayat segera mengenali orang tersebut, yang tak
lain adalah si Sambar Jantung. Jari-jari kesepuluh
kukunya itu berwarna hitam runcing walau tak terlalu
panjang. Kuku itu kelihatan keras bagaikan besi baja,
atau mirip kuku elang jantan. Melihat kuku hitam keling
itu, Gincu Mayat semakin yakin bahwa orang tersebut
dikenal sebagai Penguasa Pantai Selat Mati yang tadi
melemparkan pisau kecil bergagang hitam.
Gincu Mayat menantang tatapan mata tua yang masih
tajam itu. Bahkan Gincu Mayat berani ucapkan kata
ketus, "Sudah kuduga kau datang juga kemari setelah
melihat rembulan bergaris, tadi malam!"
"Rupanya kau mengerti juga rahasia rembulan
bergaris, Anak Manis"!" kata si Sambar Jantung dengan
senyum tuanya yang peot.
"Aku bukan orang bodoh, Pak Tua! Aku juga sudah
lama menunggu munculnya rembulan bergaris. Sudah
lama kutahu rahasia itu!"
"He he he he... tapi kau tak tahu rahasia membuka
pintu kamar itu, Anak Manis! Lihatlah, tanganmu sudah
mulai parah!"
Gincu Mayat tak sadar bahwa sambil bicara ia sejak
tadi menggaruk telapak tangannya secara bergantian.
Rasa gatal amat mencekam dan menjengkelkan. Tapi
ketika ia pandangi telapak tangan itu, ternyata kulitnya
sudah terkelupas banyak. Warna merahnya sudah berupa
merah darah bercampur serat daging.
Gincu Mayat tersentak kaget menyadari keadaan
kedua telapak tangannya. Anehnya, tak ada rasa sakit
dan perih sedikit pun kecuali rasa gatal yang semakin
lama semakin menuntut untuk terus digaruk lebih kuat
lagi. Bilamana perlu digaruk memakai ujung garpu
runcing. Sambar Jantung terkekeh lagi dan ucapkan kata,
"Racun Kulit Peri memang ganas, tapi tak membuat
korbannya kesakitan! Sebentar lagi kedua telapak
tanganmu itu akan bolong, lalu terpotong dengan
sendirinya! Tapi rasa gatal masih tetap menjalar ke
lengan sampai lenganmu nanti akan putus dengan
sendirinya dan terus sampai ke sekujur tubuhmu akan
menjadi gatal serta terpotong-potong!"
"Jaga mulutmu, Tua Bangka! Aku bukan anak kecil
yang pantas ditakut-takuti lagi! Kusarankan, tinggalkan
tempat ini dan jangan ganggu urusanku!"
"O, kau ingin mencuri pedang pusaka itu tanpa
diganggu oleh siapa pun" He he he... itu tak mungkin,
Anak Manis! Seluruh tokoh tingkat tinggi akan datang
kemari memburu pedang tersebut, karena pada
umumnya mereka juga menunggu kapan rembulan
bergaris hitam!"
"Mereka tidak akan mendapatkan apa-apa dari kuil
ini! Mereka akan kecewa karena pedang pusaka sudah
lebih dulu kudapatkan!"
"O, jangan besar hati dulu, Anak Manis. Kau tak akan
mungkin bisa membawa lari pedang pusaka itu selama
ada aku di sini!"
"Kalau begitu aku harus singkirkan nyawamu, Pak
Tua!" "Itu lebih baik kalau memang kau bisa, Anak Manis!"
"Tua bangka banyak cakap kau, hiii...!"
Crass...! Sinar merah keluar dari telapak tangan
Gincu Mayat. Tapi Gincu Mayat sendiri yang pekikkan
suara tertahan, ia tersentak mundur dengan tangan segera
ditarik kembali, karena rasa sakit perih begitu
menyengat akibat keluarnya tenaga dalam bersinar
merah itu. Sedangkan tenaga dalam yang sudah telanjur
terlepas itu ditangkap dengan kibasan tangan Sambar
Jantung. Sinar itu menjadi bulatan semacam bola yang
bernyala-nyala di atas telapak tangan Sambar Jantung.
Kemudian, Sambar Jantung melemparkan bulatan merah
tersebut ke arah sebuah batu bersusun yang ada di
samping ruang pemujaan tersebut. Wuttt...! Duarr...!
Batu itu pecah bagai dilempar dengan bahan peledak
yang cukup kuat. Lalu, Sambar Jantung palingkan
pandang ke arah Gincu Mayat sambil sunggingkan
senyum tuanya yang menggeramkan hati Gincu Mayat.
"Gila! Tenaga dalamku bisa ditangkapnya"!" gumam
hati Gincu Mayat terheran-heran. Tapi ia segera kembali
pikirkan tangannya yang tadi terasa sakit untuk
keluarkan tenaga dalam bersinar.
"Aduh, gatalnya semakin kuat! Iih... sampai berdarah
begini masih saja maunya digaruk terus"!"
Si Sambar Jantung terkekeh-kekeh melihat Gincu
Mayat sibuk garuk-garuk tangannya. Lalu, ia ucapkan
kata dengan kalem,
"Pergilah ke luar, Anak Manis! Akan kuledakkan
kamar itu!"
"Langkahi dulu bangkaiku kalau kau mau
meledakkan kamar itu untuk mengambil pusaka Pedang
Guntur Biru!" kata Gincu Mayat masih berani.
"Kau anak manis yang nakal rupanya! Perlu kuberi
pelajaran sedikit biar tak nakal lagi!"
Si Sambar Jantung seperti menempeleng udara
memakai punggung telapak tangannya. Plakkk...! Terasa
ada tamparan keras sekali di wajah Gincu Mayat.
Bahkan tubuhnya terpelanting beberapa tindak dari
tempatnya berdiri. Tamparan itu bagai disertai sentakan
tenaga dalam. Padahal tangan si Sambar Jantung tak
sampai mengenai kulit wajah Gincu Mayat. Itu pun
sudah membuat Gincu Mayat terpelanting jauh, apalagi
jika sampai kena di kulit wajah, pasti akan hancur wajah
itu. "Setan tua kau!" sentak Gincu Mayat dengan marah.
Lalu, ia cepat mencabut rencong di depan perutnya.
Srett...! Tapi belum sempat digunakan, tangan kiri Sambar
Jantung telah menebas dari bawah ke depan. Wuttt...!
Ringan sekali gerakannya, bagai dilakukan tanpa
menguras tenaga. Tetapi akibatnya sangat berbahaya.
Tubuh Gincu Mayat terlempar terbang ke atas, wusss...!
Langsung menuju ke arah pintu lengkung dan jatuh di
pelataran kuil.
Buhgg...! Ia terjatuh dalam keadaan miring, hampir
saja ujung rencong menembus perutnya sendiri. Dari
sana ia cepat bangun dan berteriak keras,
"Tua bangka! Keluar kau kalau memang ilmumu
tinggi! Hadapi aku di tempat bebas ini! Kalau kau tak
berani keluar menghadapi aku, bersujudlah di depanku
dan akan kuangkat kau sebagai muridku!"
"Anak haram...!" geram Sambar Jantung, lalu cepat ia
langkahkan kaki keluar dari ruang pemujaan itu sambil
kedua tangannya menghempas ke depan dengan ringan.
Wusss...! Dan tubuh Gincu Mayat kembali terbang,
bahkan melewati pagar tembok tinggi sebagai batas
halaman kuil. Brugg...! Gincu Mayat jatuh telentang dalam keadaan
kehilangan senjata rencongnya. Dan keadaan jatuhnya
tepat di depan kaki Intan Selaksa yang kaget saat
mendengar teriakan suara Gincu Mayat itu.
"Gincu Mayat..."!" Intan Selaksa terkejut sekali,
terlebih setelah melihat kedua telapak tangan Gincu
Mayat hampir putus, berdarah dan sangat menjijikkan.
Tulang-tulang jarinya nyaris terlihat semua.
"Oh, apa yang terjadi, Gincu Mayat..."!" Intan
Selaksa cepat menolong orang yang selama ini dianggap
sebagai temannya itu. Gincu Mayat sendiri tak mau
terlihat lemah di depan Intan Selaksa, ia cepat bangkit
dengan napas ditarik dalam-dalam.
"Tanganmu..." Oh, tanganmu hampir putus, Gincu
Mayat!" "Jangan hiraukan tanganku! Biarlah luka ini, yang
penting aku bisa mengusir si Sambar Jantung dari dalam
kuil! Dia bermaksud mencuri pedang pusaka dari kamar
itu!" "Tapi... tapi tanganmu ini pasti terkena racun Kulit
Peri! Kau telah memegang pintu kamar Cipta Hening,
bukan"!"
"Hmmm... anu... iya, secara tak sadar tadi aku
memegangnya untuk menghindari serangan si Sambar
Jantung!" "Oh, aku lupa tak bilang padamu, bahwa pintu itu
tidak boleh dipegang karena Guru memasang racun
ganas di pintu itu!"
"Aku tak sengaja, Intan Selaksa!"
Tiba-tiba suara di belakang Intan Selaksa menyahut,
"Tak sengaja menjadi bodoh, maksudnya! Dia mau
membongkar pintu itu dan mengincar pedang pusaka di
dalamnya!"
Intan Selaksa kaget ketika membalikkan wajah
ternyata si Sambar Jantung sudah berdiri lima langkah
dari pintu gerbang kuil.
"Eyang..."!"
"Jangan dekati dia! Perempuan itu bukan teman tapi
musuh bagimu, Intan Selaksa!"
"Jangan percayai omongannya!" bisik Gincu Mayat.
Intan berkata kepada Sambar Jantung, "Eyang, sudah
cukup lama saya bersahabat dengan Gincu Mayat!
Jadi...." "Dia sengaja mendekati kamu untuk mempelajari kuil
ini! Dia ingin mendapatkan pedang pusaka itu, Intan
Selaksa! Kau telah tertipu dengan sikap baiknya selama
ini!" "Tutup mulutmu, Tua Bangka! Apakah kau sendiri
datang bukan untuk maksud yang sama"!" sentak Gincu
Mayat. "Kau juga menginginkan pedang pusaka itu
dengan cara bersahabat baik terhadap Begawan Sangga
Mega! Kau bermaksud mengorek keterangan tentang
rahasia penyimpanan pusaka itu dari mulut Begawan
Sangga Mega! Kau pikir aku tak bisa mencium
kelicikanmu itu, Tua peot"!"
Sambil melontarkan sebarisan tuduhan, Gincu Mayat
tak sadar kalau sudah ada tiga jarinya yang jatuh ke
tanah tanpa menimbulkan rasa sakit selain gatal. Ketika
ia sadar akan hal itu, ia tersentak kaget dan menjadi
tertegun sedih melihat tiga jarinya jatuh di tanah berlapis
salju. Sementara itu, Intan Selaksa mulai terpengaruh
dengan kata-kata Gincu Mayat, namun juga terpengaruh
kata-kata Sambar Jantung, ia mundur beberapa tindak,
menjauhi keduanya dengan dahi berkerut dan wajah
mencerminkan kekecewaan yang dalam.
"Saya tak sangka kalau Eyang punya tujuan seperti
itu!" kata Intan Selaksa sambil memandang si Sambar
Jantung. "Intan Selaksa, jangan kau terpengaruh oleh
tuduhannya! Dia hanya mencari teman untuk dibenci!
Dia sengaja pengaruhi kamu, supaya kamu hilang
kepercayaan kepadaku, sebagai sahabat baik mendiang
gurumu!" "Omong kosong sahabat baik!" sahut Gincu Mayat.
"Jika kau sahabat baik Begawan Sangga Mega, kau pasti
tidak akan meledakkan kamar itu dengan menyingkirkan
aku keluar ke sini!"
"Terlalu tajam lidahmu, Anak Bodoh!" geram si
Sambar Jantung. Kemudian tangannya bergerak seperti


Pendekar Mabuk 014 Pedang Guntur Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencakar udara di depannya. Wuttt...! Brettt...!
"Auh...!" Gincu Mayat menyentakkan kepalanya ke
belakang bagai menghindari serangan. Tapi agaknya ia
terlambat menghindari serangan lawan yang berjarak
tujuh langkah darinya itu. Cakaran tersebut ternyata
mengenai mulut Gincu Mayat, dan mulut itu pun koyak
di bagian bibir dan sebagian pipinya. Padahal cakaran itu
dilakukan dalam jarak tujuh langkah.
Intan Selaksa makin terkesiap melihat luka di mulut
Gincu Mayat. Ia mulai membatin, "Bahaya sekali jurus
Eyang Sambar Jantung! Seperti yang pernah diceritakan
oleh Guru, bahwa Eyang Sambar punyai jurus 'Angin
Merapat'. Rupanya seperti itulah jurus 'Angin Merapat'.
Tak perlu menyentuh tubuh lawan, dengan merobek
udara, mulut lawan sudah bisa robek sendiri! Bahaya
sekali melawan dia, jika memang benar dia ingin kuasai
pusaka di kamar Cipta Hening itu!"
Terdengar suara tua manusia berambut putih yang
usianya konon sudah mencapai seratus tahun lebih itu,
"Bocah bodoh! Lekas tinggalkan tempat ini dan carilah
obat untuk menyembuhkan gatal-gatalmu itu!"
"Aku tak akan pergi sebelum mencabut nyawamu,
Tua Bangka!" sentak Gincu Mayat geram. Lalu, tiba-tiba
ia melompat dan bersalto di udara satu kali. Wuttt...!
Arah kakinya hendak menendang kepala si Sambar
Jantung. "Hiaaat...!"
Sambar Jantung tak mengelak. Tetap ada di
tempatnya. Tapi tangan kanannya berkelebat naik bagai
menjungkirkan sesuatu. Dan ternyata, tubuh Gincu
Mayat itulah yang dijungkirbalikkan. Tubuh itu
terlempar ke belakang dan satu kali salto mundur.
Sebelum kakinya mendarat di bumi, si Sambar Jantung
cepat mengibaskan kedua tangannya bagai merobek
udara dengan kuku-kuku hitamnya. Wrettt...! Kedua
tangan itu merobek ke kiri dan ke kanan.
"Aaahg...!" Gincu Mayat sempat terpekik ketika
melihat dadanya robek dari ulu hati sampai ke bawah
perut. Robek bersama pakaiannya, sehingga isi perutnya
berhamburan keluar dengan mengerikan. Sementara itu,
tangan Sambar Jantung cepat disentakkan ke depan dan
kembali ditarik ke belakang seperti merogoh sesuatu.
Dan ternyata, dalam kejap berikutnya tangan berkuku
hitam itu telah menggenggam benda merah berlumur
darah. Itulah jantung milik Gincu Mayat.
"He he he he...!" tawanya terkekeh-kekeh melihat
jantung lawan ada di tangannya. Sedangkan Gincu
Mayat segera roboh tak bergerak selamanya, dan Intan
Selaksa cepat palingkan wajah tak berani memandang
apa yang dipegang oleh si Sambar Jantung.
Tiba-tiba sebentuk bayangan merah berkelebat cepat
menghantam si Sambar Jantung. Tapi sebelum
menyentuh tubuh Sambar Jantung, kaki Sambar Jantung
menendang pelan udara di depannya. Wusss...!
Akibatnya bayangan merah tadi kembali membalik
dengan terpelanting tak tentu arah. Tubuhnya
membentur pohon di belakang Intan Selaksa.
Buukk...! "Monyet Tua...!" maki orang itu yang ternyata adalah
Barong Geni. "Datang-datang memaki orang tua, dasar anak tak
tahu sopan! Makanlah ini! Hiihh...!"
Wusss...! Jantung itu dilemparkan ke wajah Barong
Geni. Tapi cepat-cepat Barong Geni sentakkan tangan
kanannya dengan telapak tangan dan, wuhhggg...! Api
menyambar benda itu. Duarrr...! Meledaklah jantung
dari tangan si Sambar Jantung akibat terkena pukulan
'Lahar Pati' yang dimiliki Barong Geni.
"Barong, jangan serang dia! Berbahaya!" kata Intan
Selaksa, karena dalam keadaan seperti ini, tiba-tiba rasa
persaudaraan dalam seperguruan bangkit lagi di hati
Intan Selaksa. Tapi agaknya Barong Geni tak pedulikan
seruan itu bahkan ucapkan kata,
"Tanganku bebas sudah dari totokanmu! Mudah
bagiku untuk membunuh orang ini, Intan Selaksa!
Minggirlah. Biar aku yang hadapi!"
* * * 5 SEMENTARA itu, di lereng Gunung Pakayon,
tempat dibangunnya Kuil Swanalingga, terlihat sekelebat
bayangan menyusup di antara pepohonan berdahan
tinggi. Sosok yang mempunyai kilasan warna hitam itu
agaknya sedang menguntit seseorang yang berjubah
hijau dengan celana dan bajunya yang putih kusam,
menggenggam tongkat berkepala bola kristal sebesar
genggamannya sendiri.
Sosok kelebat hitam itu tak tahu, bahwa gerakannya
diikuti oleh sepasang mata yang ada di atas pohon.
Melesat dari dahan ke dahan tanpa timbulkan bunyi
sedikit pun. Orang yang di atas pohon itu mengenakan
baju tanpa lengan warna coklat dan celana putih.
Sesekali terlihat meneguk tuak dari bumbung tuak yang
sering disandang di punggung. Orang berambut panjang
meriap tanpa diikat itu bertampang muda, gagah, dan
ganteng. Siapa lagi jika bukan Suto Sinting, si Pendekar
Mabuk, murid dari si Gila Tuak.
Dalam pengejarannya memburu musuh utama, yaitu
Siluman Tujuh Nyawa, Suto mengalami kesulitan
mencari jejak manusia sesat yang punya nama asli
Durmala Sanca itu. Tanpa disengaja, Pendekar Mabuk
telah mengarahkan pelariannya ke Gunung Pakayon.
Tapi ia tak tahu bahwa di Gunung Pakayon itu terdapat
Kuil Swanalingga, bekas tempat bersemayamnya
Begawan Sangga Mega. Suto juga tidak tahu bahwa di
sana, di kuil itu, sedang terjadi pertarungan para manusia
serakah yang ingin memperebutkan Pedang Guntur Biru.
Pelarian Suto Sinting dalam mengejar Siluman Tujuh
Nyawa terpengaruh oleh kelebatan gerak cepat sosok
berwarna hitam itu. Ia menyangka, Siluman Tujuh
Nyawa itulah yang berkelebat dalam sosok warna hitam.
Karena itu ia ikuti terus melalui pohon demi pohon.
Kalau bukan karena berhentinya gerakan manusia
berambut putih dan berjubah hijau muda dengan celana
dan bajunya warna putih kusam, mungkin Suto Sinting
masih menyangka sosok berwarna hitam itu adalah
Siluman Tujuh Nyawa. Karena ketika manusia
bertongkat itu berhenti dan cepat palingkan diri ke
belakang, sosok hitam yang mengejarnya secara diam-
diam itu kepergok dan tak lagi bisa bersembunyi.
"O, rupanya kau yang ikuti aku sejak tadi?" kata
orang berjubah putih yang menurut Suto usianya
mencapai tujuh puluh tahun lebih. Orang itu tampak
kalem dan sunggingkan senyum tuanya yang berkesan
jenaka. Matanya berbulu lentik tapi putih warna
bulunya. Jenggot dan kumisnya pun putih. Badannya
agak gemuk, di jarinya terdapat banyak cincin berbatu
akik. Satu tangan mengenakan empat cincin. Yang
paling kecil seukuran kacang tanah.
Sedangkan orang yang menguntitnya itu ternyata
seorang perempuan cantik dan berkesan judes galak.
Pakaiannya hitam, berhias benang emas. Hanya sampai
dada. Punggungnya terbuka tanpa kain penutup apa pun.
Bahkan rambutnya yang panjang disanggul naik, hingga
kulit lehernya yang jenjang itu terlihat kuning mulus. Di
kepalanya ada mahkota kecil berhias batuan intan dan
berlian, ia pun mengenakan kalung emas dengan hiasan
bunga cempaka dari butiran intan, ia juga mengenakan
gelang ketat di lengannya dari lempengan emas. Usianya
seperti masih muda, sekitar tiga puluh tahunan, tapi
barangkali ia sudah berusia lebil tua empat kali lipat dari
aslinya, terbukti ia menyapa lelaki berambut uban itu
dengan seenaknya. Tanpa ada kesan merasa lebih muda
dari lelaki berjubah hijau itu.
"Jangan pandangi wajahku terlalu lama, Raja Nujum!
Kecantikanku ini bukan untuk dinikmati lelaki setua
kamu!" "He he he...! Kalau toh aku memandangmu terlalu
lama, bukan karena aku menikmati kecantikanmu, Ratu
Teluh Bumi! Tapi aku sedang mencari di mana letak
kecantikanmu yang konon memikat hati tiap lelaki itu"!
Sampai sekarang pun tak kulihat kecantikan itu!"
"Dasar mata rabun!" geram Ratu Teluh Bumi yang
merasa terhina oleh pengakuan Raja Nujum itu. "Mana
bisa kau melihat kecantikan karena tiap harinya yang
kau lihat hanya ratusan ekor cacing sebagai santapan mu
itu!" "Memang! Dan karena itulah tak kutemukan
kecantikan di wajahmu, kecuali seraut wajah cacing!"
Makin terbelalak mata perempuan cantik judes itu.
Tangannya tiba-tiba meraih sesuatu di depan matanya,
lalu sesuatu yang telah digenggam itu dilemparkannya
ke arah Raja Nujum bagai menyebarkan sesuatu ke sana.
Werrr...! Ternyata yang melesat dari genggaman itu adalah
seekor ular kobra kecil berkepala merah. Ular itu melesat
ke arah Raja Nujum, dan dengan cepat Raja Nujum
menebaskan kepala tongkatnya yang ada bola kristalnya
itu. Plokk...! Ular itu terhantam kepala tongkat. Tapi entah ke
mana perginya bangkai ular itu. Tak terlihat jatuh di
tanah atau menempel di pohon sebelah kiri Raja Nujum.
Mata Suto yang ada di atas pohon agak jauh dari
mereka sempat memperhatikan bola kristal yang diusap-
usap oleh tangan Raja Nujum. Orang itu tertawa dalam
kekeh suara tuanya. Bola kristal itu menyala berpendar-
pendar merah, dan dari nyala merahnya itu terlihat
bayangan seekor ular yang sedang menggerinjal-gerinjal
bagai sedang sekarat. Kemudian bayang itu tak bergerak
lagi, lalu bola kristal itu kepulkan asap merah. Asap itu
keluar dari bagian tengah atas bola kristal. Hilangnya
asap, hilang pula cahaya merah tersebut, lalu bola kristal
berubah menjadi bening kembali.
Terdengar lagi kekeh tawa Raja Nujum, kemudian
suara ucapannya yang sedikit bergetar karena pengaruh
usia itu, "Kurasa saat ini bukan waktunya untuk bermain-
main, Ratu Teluh Bumi! Aku tahu, kau mengikutiku
karena kau ingin sampai ke Kuil Swanalingga! Kau tak
tahu jalannya, sehingga kau numpang arah denganku!
Bukankah begitu, Ratu Teluh Bumi"!"
"Salah!" jawab Ratu Teluh Bumi dengan cepat dan
tegas. "Aku mengikutimu karena aku harus membayang-
bayangimu terus supaya kau tak dapatkan pedang pusaka
itu! Jika pedang pusaka itu jatuh ke tanganmu, maka
akan hancurlah seisi dunia ini akibat ulah keserakahan
dan kelalimanmu, Raja Nujum!"
"Apakah tidak sebaliknya?" kata Raja Nujum dengan
kalem sekali. "Pedang pusaka itu akan menjadi
malapetaka bagi penduduk bumi, jika ada di tanganmu.
Sebab kau punya cita-cita ingin menjadi ratu di atas
segala ratu di bumi ini! Kau ingin membangun kembali
kekuasaan yang pernah dipegang oleh ayahmu, yang
sekarang wilayahnya telah menjadi wilayah kekuasaan
Jenggala!"
"Rasa-rasanya perlu kurobek mulutmu supaya tidak
sampai di telinga orang-orang Jenggala Manik!"
"Merobek mulutku itu hal yang mudah, Ratu Teluh.
Tapi mencapai mulutku itu yang sulit!" kakek tua itu
menyeringai kempot. Tapi Ratu Teluh Bumi tidak
berminat untuk tersenyum sedikit pun. Ia menganggap
ucapan Raja Nujum yang terakhir itu sebagai tantangan
yang tak patut ditolak. Karena itu, Ratu Teluh Bumi
cepat berkata, "Raja Nujum, kalau kau ingin mencoba jurus 'Teluh
Kelabang'-ku, terimalah kirimanku ini! Hupp...!"
Tangan Ratu Teluh Bumi menggenggam tiba-tiba di
depan matanya. Lalu dengan ayunan yang jelas dan
tegas, ia sentakkan genggaman tangannya ke tanah.
Wutt...! Begg...! Seperti ada sesuatu yang dibuang ke
bawah kakinya sendiri. Genggaman itu dilepaskan
bersama tangan yang menyentak ke bawah, lalu terasa
ada guncangan kecil di tanah sekelilingnya.
Tiba-tiba Raja Nujum pejamkan mata. Tongkatnya
digenggam dengan kedua tangan. Tangan itu diletakkan
di atas bola kristal. Tiba-tiba bola kristal itu menyalakan
warna kuning berasap menggumpal-gumpal di
dalamnya. Tubuh Raja Nujum tetap tegak memejam
mata. Tiba-tiba badannya melengkung ke belakang, sedikit
membungkuk. Warna pijar kuning di bola kristalnya itu
padam seketika. Dan Raja Nujum muntah dengan suara
keras, "Hoooekk...!"
Sekumpulan kelabang hitam kemerah-merahan keluar
dari mulut Raja Nujum. Wajah orang itu jadi merah,
bahkan ia sampai jatuh terduduk dengan satu kaki masih
sempat berpijak tanah. Mulutnya menganga lebar sambil
memuntahkan puluhan kelabang sebesar jari kelingking,
tapi agak panjang lagi. Kadang-kadang tubuh itu
tersentak dengan mata terbelalak. Binatang berbisa itu
mulai mengerumuni tubuh Raja Nujum yang masih
tersentak-sentak memuntahkan puluhan binatang
kelabang. "Ha ha ha ha...!" Ratu Teluh Bumi tertawa
kegirangan. "Sebentar lagi mulutmu tak akan bisa bicara
lancang dan mengucapkan tantangan padaku, Raja
Nujum! Mungkin juga kita tak akan bertemu lagi!
Selamat tinggal... aku akan ke Kuil Swanalingga sendiri!
Aku tahu di gunung ini letak kuil itu, dan akan kubawa
pulang Pedang Guntur Biru itu! Ha ha ha ha...!"


Pendekar Mabuk 014 Pedang Guntur Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wuttt...! Ratu Teluh Bumi berkelebat pergi dengan
cepat. Gerakannya lebih cepat lagi dari gerakan
menguntit tadi. Dalam sekejap ia telah hilang dari
pandangan mata seorang pengintai di atas pohon, yaitu si
Pendekar Mabuk.
Suto Sinting sendiri sempat terkejut ketika Ratu
Teluh Bumi menyebutkan nama pedang pusaka itu. Suto
pernah mendengar cerita tentang Pedang Guntur Biru
yang hak warisnya ada di tangan Siluman Tujuh Nyawa
setelah orang sesat itu berusia tiga ratus tahun. Sekarang
usianya baru dua ratus lima belas tahun. (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "Cermin Pemburu
Nyawa"). Tetapi, untuk sementara Pendekar Mabuk perlu
hindari dulu pemikiran mengenai pedang pusaka
tersebut, ia kasihan melihat orang tua bertongkat bola
kristal itu kelojotan dalam sekaratnya yang dikerumuni
oleh puluhan kalajengking atau kelabang berbisa itu.
Wajahnya sudah merah matang, termakan sengat
kelabang tersebut.
Wuttt...! Pendekar Mabuk melesat cepat dari tempat
persembunyiannya. Tiba di depan Raja Nujum, ia telah
meneguk tuaknya sebagian dan yang sebagian disimpan
di mulut. Kemudian dengan cepat ia semburkan tuak itu
ke tubuh Raja Nujum. Brusss...!
Puluhan kelabang itu berkelip-kelip bagai tersiram
minyak, lalu memancarkan cahaya silau, dan kejap
berikutnya kelabang-kelabang itu lenyap tak berbekas
sedikit pun. Juga yang tadinya masih tersisa di tepian
mulut Raja Nujum, menjadi hilang tak berbekas lagi.
Pendekar Mabuk segera menuangkan tuak ke mulut
Raja Nujum setelah orang itu ditelentangkan. Glek
glekglek...! Raja Nujum bagaikan dipaksa meminum
tuak dari bumbung yang selalu digendong Pendekar
Mabuk di punggungnya.
"Kalau bukan orang berilmu tinggi, dia sudah mati
sejak muntahnya yang pertama tadi," kata Suto di dalam
hatinya. "Sekalipun begitu, seandainya aku terlambat
menyingkirkan kelabang-kelabang itu, orang ini tetap
mati walau berilmu tinggi! Karena tadi ia telah
menyalakan bola kacanya itu menjadi kuning, menurut
dugaanku dia melakukan perlawanan ilmu teluh yang
dilepaskan oleh perempuan cantik dan judes tadi. Tapi
agaknya Raja Nujum tak berhasil melawannya, dan
akhirnya kekuatan teluh itu masuk ke dalam raganya!"
Sebenarnya ilmu penyembuhan yang dinamakan
'Sembur Husada' tadi, dapat membuat seseorang lupa
terhadap Pendekar Mabuk. Yang semula kenal, menjadi
tidak kenal dengan Suto. Kebetulan Raja Nujum
memang belum kenal dengan Suto, sehingga Suto tak
punya pertimbangan apa-apa untuk melakukan
penyembuhkan 'Sembur Husada', kecuali pertimbangan
rasa kasihan pada diri Raja Nujum.
Maka ketika Raja Nujum merasakan tubuhnya
menjadi enteng, tak merasakan lagi panas menyiksa di
dalam tubuhnya, ia pun segera bangkit dan berdiri tegak
dengan napas terhirup panjang-panjang, ia bahkan
merasa lebih sehat, lebih enak ketimbang sebelum
meneguk tuak Suto. Karena memang begitulah biasanya
orang yang habis mendapat penyembuhan dari Pendekar
Mabuk. Tuak itu bagaikan obat penghilang segala
macam penyakit separah apa pun.
Mata tua itu segera menatap Pendekar Mabuk yang
berdiri di bawah pohon, tujuh langkah jaraknya dari
tempatnya berdiri. Raja Nujum masih pandangi Suto
dengan perasaan heran dan bertanya-tanya dalam
hatinya, "Siapa anak muda itu"! Sepertinya aku pernah
ditolongnya" Hmm... coba kulihat di bola kacaku ini...!"
Melihat Raja Nujum sudah sehat, Suto Sinting pun
segera menghampiri orang itu dengan menenteng
bumbung tempat tuaknya. Sunggingan senyum tipis
sebagai senyum keramahan terlihat jelas di bibir Suto.
"Sudah benar-benar sehatkah tubuhmu, Raja
Nujum?" "Tunggu sebentar, aku ingin melihat apa yang terjadi
pada diriku tadi. Sebab... sepertinya aku pernah
melihatmu sebelum ini...!"
Bola kristal itu menyalakan lampu hijau bening, lalu
terlihat sebuah adegan dua manusia saling berhadapan.
Di dalam bola itu tergambar kembali peristiwa yang
dialami Raja Nujum, sejak ia diserang oleh Ratu Teluh
Bumi memakai ular kobra merah, sampai saat ia sekarat
memuntahkan puluhan kelabang hitam kemerahan. Dan
di situ pula ia melihat Pendekar Mabuk
menyembuhkannya dengan tuak.
Setelah itu, bola kristal itu pun padam. Raja Nujum
manggut-manggut pandangi Suto dengan mata tua yang
tajam tak berkedip. Suto sembunyikan perasaan
kagumnya melihat semua peristiwa tadi bisa dilihat
kembali melalui bola kaca tersebut.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Anak Muda!" kata
Raja Nujum. "Aku hanya menjalankan tugasku sebagai manusia,
yaitu saling menolong," jawab Pendekar Mabuk dengan
tetap menjaga hormat.
"Pandanglah aku sejenak, biar kutahu siapa dirimu!"
kata Raja Nujum tanpa ada kesan bermusuhan. Suto
menuruti menatap mata Raja Nujum beberapa kejap.
Tapi tiba-tiba tubuh Raja Nujum terpental mundur dan
terhuyung-huyung hampir jatuh.
"Raja Nujum..."! Kenapa kau"!" Pendekar Mabuk
merasa heran melihat gerakan itu. Ia cemas dan ingin
menolong, tapi Raja Nujum kembali berdiri tegak.
Pendekar Mabuk menghentikan langkah tak jadi meraih
tangan Raja Nujum.
"Kau masih belum sehat rupanya," kata Suto.
"Tidak. Aku sudah sehat."
"Lalu kenapa kau terhuyung-huyung tadi?"
"Aku mencoba menembus kehidupanmu lewat mata,
tapi aku tak kuat. Kau pasti punya keistimewaan,
sehingga matamu sukar kutembus!"
"Keistimewaan... apa"! Aku biasa-biasa saja!" Suto
merendah. "Biasanya dengan menembus kehidupan melalui mata
seseorang, aku bisa mengerti siapa namanya, berapa
usianya, dari mana asalnya, apa kepandaiannya, siapa
gurunya, bagaimana kisah cintanya,dan lain sebagainya.
Tapi kali ini aku gagal menembus kehidupan dari
matamu! Bahkan kekuatan itu memantul balik, hampir
melemparkan tubuhku. Itu tandanya kau punya
keistimewaan! Coba kulihat garis tanganmu, Anak
Muda! Percayalah, aku tak bermaksud jahat padamu!
Hanya sekadar ingin mengenalmu saja!"
Suto segera menyodorkan telapak tangan kanannya.
Raja Nujum segera memperhatikan garis tangan Suto.
Tapi mendadak Raja Nujum tersentak kaget. Matanya
terbelalak melihat tato pisau kecil bergagang bintang di
ujungnya. Kagetnya itu telah membuat Raja Nujum
cepat melayangkan pandang ke dahi Pendekar Mabuk,
dan kini ia menjadi pucat pias wajahnya. Bibir tuanya
gemetaran saat ingin ucapkan sesuatu.
"Ada apa..."!" Pendekar Mabuk bertanya dengan
heran. "Baru kusadari di dahimu ada titik merah," kata Raja
Nujum dengan sikap masih terbengong.
"Ada apa dengan titik merah ini?"
"Kau manusia gaib, Anak Muda!"
Pendekar Mabuk tertawa dikatakan manusia gaib.
"Aku manusia biasa! Aku masih doyan nasi, jagung,
tuak, ubi, dan semua yang dimakan dan diminum
manusia. Jadi aku bukan manusia gaib."
"Tak mungkin! Kau pasti bisa masuk ke alam gaib!"
"Ya. Kalau soal itu memang benar."
"Dan kau punya jabatan tinggi di sebuah negeri di
alam gaib!"
"Mungkin saja begitu! Tapi apakah dengan begitu
aku tak boleh berkenalan denganmu, Raja Nujum?"
"Kau sudah mengenalku, tapi aku belum
mengenalmu!"
Senyum Pendekar Mabuk mekar dengan ramah. "Aku
Pendekar Mabuk," jawab Suto, lalu cepat mengangkat
bumbung tuaknya, dan ia meneguk tuak tak begitu
banyak. "Siapa namamu?"
"Suto! Guruku memanggilku Suto Sinting!"
"Suto Sinting"! Aku sepertinya pernah mendengar
nama itu!"
"Mungkin Suto lain, bukan Suto aku, Raja Nujum!"
"Entahlah. Mungkin benar katamu itu. Karena,
biasanya aku tak pernah bertanya tentang nama kepada
orang yang baru kukenal. Dengan menembus kehidupan
lewat matanya, aku sudah bisa tahu namanya. Tapi...
noda merah kecil itu rupanya yang menghalangi
kekuatanku hingga tak bisa masuk ke alam
kehidupanmu!"
"Mungkin lain kali kau lebih banyak tahu tentang
diriku. Sekarang aku ganti ingin tanyakan sesuatu
padamu, Raja Nujum."
"Tentang apa?"
"Tentang Pedang Guntur Biru!"
"Apa kau menginginkan pedang pusaka itu pula?"
"Tidak. Tapi aku tahu siapa orang yang berhak
memegang pusaka tersebut! Dan aku heran, mengapa
Ratu Teluh Bumi itu sangat menghendaki pedang
tersebut, padahal aku tahu dia bukan pewaris pusaka
Pedang Guntur Biru, Raja Nujum!"
Makin menyipit mata Raja Nujum pandangi wajah
Pendekar Mabuk. Lalu setelah diam beberapa saat, Raja
Nujum berucap kata,
"Menurutmu, siapa pewaris pedang pusaka itu, Nak?"
"Yang berhak adalah orang sesat yang bernama
Durmala Sanca, punya julukan Siluman Tujuh Nyawa!"
"Hah..."!" Raja Nujum tersentak kaget
mendengarnya. Matanya melebar, menatap Suto tak
berkedip. "Dari mana kau tahu nama itu?"
"Aku sedang memburu dia untuk kupenggal
kepalanya!"
"Oh...?" Makin kaget lagi Raja Nujum. "Kau mau
memenggal kepala Durmala Sanca"! Kau tahu, berapa
usianya?" "Dua ratus lima belas tahun!"
'Edan!" Raja Nujum makin tegang. "Kau tahu siapa
Begawan Sangga Mega yang kuilnya ada di puncak
gunung ini?"
"Begawan Sangga Mega adalah pamannya Durmala
Sanca!" "Gila!" gumam Raja Nujum bernada heran dan
kagum. "Tapi Durmala Sanca tidak akan bisa memegang
pusaka Pedang Guntur Biru, karena usianya belum
mencapai tiga ratus tahun!"
"Benar. Tapi apakah kau tahu, mengapa harus
menunggu tiga ratus tahun, sehingga Durmala Sanca
boleh memegang pusaka itu?"
"Karena dia dikutuk oleh kakeknya menjadi orang
sesat selama tiga ratus tahun!"
"Luar biasa kau ini"!" tambah heran lagi Raja Nujum
kepada Suto. Sambungnya, "Kau tahu, apa sebab dia
dikutuk selama itu?"
"Karena dia pernah mau memperkosa neneknya!"
"Benar-benar edan kau ini! Apakah kau juga tahu
siapa kakek dan neneknya Durmala Sanca"!"
"Eyang Purbapati dan Nini Galih!"
Jawaban itu membuat Raja Nujum terkesiap dan
pucat wajahnya. "Hati-hati kau menyebut nama itu, Suto.
Mereka orang sakti yang dihormati oleh kalangan tokoh
tua di rimba persilatan! Jangan sampai kau sebutkan
kedua nama itu dan didengar oleh muridnya. Bisa
berbahaya bagi keselamatan nyawamu, Suto!"
"Maksudmu, murid dari Eyang Purbapati dan Nini
Galih?" "Iya. Apakah kau kenal dengan murid mereka?"
"Maksudmu, si Gila Tuak dan Bidadari Jalang"!"
"Hahh..."! Kau tahu juga"!" Raja Nujum kian nyata
terperangah, antara heran, kagum, dan takut.
"Jujur saja katakan padaku, Raja Nujum, mengapa
kau sejak tadi memancingku dengan pertanyaan begitu"
Siapa kau sebenarnya?"
Raja Nujum diam sebentar, ia punya pertimbangan
lain. Lalu, ia segera ucapkan kata,
"Akan kujelaskan siapa diriku jika kau bisa sebutkan
siapa guru dari Purbapati dan Nini Galih itu! Guru
mereka siapa"!"
Suto Sinting diam beberapa kejap. Agak ragu untuk
menyebutkannya. Setelah beberapa saat ditunggu
jawabannya oleh Raja Nujum, akhirnya Pendekar
Mabuk pun ucapkan kata,
"Mungkin yang kau maksud adalah... Eyang
Wijayasuro"!"
Blegarrr...! Terdengar suara petir di siang hari
bolong. Langit terang tiba-tiba berubah menjadi redup,
kemudian mendung hitam datang bersama badai di
langit sana. Mendung hitam bergulung-gulung membuat
bumi makin temaram, karena matahari tak mampu
tembus kepekatan hitamnya. Angin di bumi pun bertiup
cukup kencang. Jubah hijau yang dipakai Raja Nujum
berkelebat bagai mau terbang.
Raja Nujum sendiri terpaku di tempat dengan mata
lebar tak berkedip. Suto menjadi cemas, mengapa alam


Pendekar Mabuk 014 Pedang Guntur Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tiba-tiba bagaikan murka. Untung hanya sejenak, dan
kejap berikutnya langit kembali cerah, angin reda, dan
mendung hilang begitu cepatnya.
"Sudah kusebutkan nama Eyang Guru itu, sekarang
sebutkan siapa dirimu, Raja Nujum"!"
"Aku putra bungsu dari ketujuh putra Purbapati dan
Nini Galih!" jawab Raja Nujum dengan pelan. Pendekar
Mabuk ganti tercengang kaget.
* * * 6 KEMUDIAN Raja Nujum membeberkan silsilahnya.
Bahwa ayahnya, yaitu Purbapati dan ibunya Nini Galih
mempunyai tujuh anak. Yang pertama bernama
Durmagati, yaitu ayah dari Durmala Sanca. Yang kedua
Begawan Sangga Mega, yang ketiga, keempat, dan
kelima serta keenam, meninggal dalam usia muda. Jadi,
Purbapati dan Nini Galih mempunyai tiga anak yang
masih hidup. Ketiga putra Purbapati ini, ternyata tak ada yang
sanggup menerima ilmu-ilmu dari sang Ayah atau sang
Ibu. Hanya sebagian kecil saja yang sanggup mereka
terima ilmu tersebut. Bahkan Durmagati dan Raja
Nujum pernah hampir mati gara-gara menempuh salah
satu ilmu yang sekarang dimiliki Suto Sinting, yaitu
ilmu 'Seberang Raga', yang bisa merubah pohon atau
batu menjadi wujud dirinya.
Karena ketiga putranya tidak ada yang sanggup
menerima ilmu-ilmunya, maka Purbapati mengangkat
murid yang bernama Sabawana. Murid inilah yang
ternyata mampu mewarisi seluruh ilmu Purbapati. Murid
inilah yang kemudian dikenal dengan nama si Gila Tuak.
Sedangkan untuk pusaka Pedang Guntur Biru, tidak bisa
diserahkan kepada Sabawana karena dia bukan darah
keturunan Purbapati. Orang yang berhak menerima
pusaka tersebut adalah anak pertama. Setiap anak
pertama dari pemegang pusaka itu adalah ahli waris
tunggal. Karenanya, Durmagati-lah orang yang menjadi
ahli waris Pedang Guntur Biru.
Durmagati mempunyai anak kembar, Durmala Sanca
dan Wicara Sanca. Takut dianggap bukan anak pertama,
maka Durmala Sanca membunuh Wicara Sanca pada
usia lima belas tahun. Sejak itu sikap dan tindak-tanduk
Durmala Sanca memalukan keluarga, menurunkan
martabat darah keturunan Purbapati.
Terlebih setelah Durmala Sanca berusia tujuh belas
tahun, ia mencoba memperkosa neneknya, yaitu Nini
Galih yang punya ilmu awet muda dan kecantikan abadi.
Sekalipun niat perkosaan itu dapat digagalkan oleh sang
kakek, tapi sang kakek murka kepada cucunya, lalu
dikutuk untuk menjadi manusia sesat selama tiga ratus
tahun. Durmala Sanca diusir dan dicoret dari daftar keluarga
sampai berusia tiga ratus tahun baru akan diakui sebagai
darah keturunan Purbapati. Sebelum Durmala Sanca
diusir, ia berhasil membunuh ibunya, kemudian
menyusul membunuh ayahnya sendiri.
Pedang Guntur Biru segera diambil oleh Begawan
Sangga Mega untuk diselamatkan dari tangan Durmala
Sanca, karena amanat itu turun dari sang kakek sendiri.
Sejak itu, pusaka Pedang Guntur Biru berubah
ketentuannya, bukan hanya anak pertama yang boleh
menyimpan dan menggunakan pedang itu, melainkan
anak kedua pun diizinkan. Tapi hanya sampai batas anak
kedua, selebihnya sudah tak boleh dipegang oleh anak
berikutnya, karena bisa mengurangi kekuatan gaib yang
ada pada Pedang Guntur Biru itu.
Durmala Sanca akhirnya pergi berguru ke dataran
Tibet, sedangkan pedang di tangan Begawan Sangga
Mega tetap disimpan untuk diberikan kepada keturunan
berikutnya. Jika Durmala Sanca mati sebelum
memegang pusaka tersebut, maka pedang berhak
diterima oleh anak Durmala Sanca. Sebenarnya anak
dari Begawan Sangga Mega pun boleh dan berhak
menerima pedang tersebut, tapi Begawan Sangga Mega
tidak memiliki satu anak pun. Ia tidak punya keturunan,
sehingga anak dari kakaknya itulah yang berhak
menerimanya. Padahal Durmala Sanca mempunyai dua anak, yaitu
Dadung Amuk dan Singo Bodong. (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode: "Istana Berdarah"). Sedangkan
Dadung Amuk sudah mati digantung oleh bapaknya
sendiri, yaitu Durmala Sanca. Sekarang tinggal Singo
Bodong yang masih hidup di Pulau Beliung. Tapi Singo
Bodong orang lugu, polos, dan tidak punya kesaktian
apa-apa, bahkan tidak tahu siapa bapaknya, tidak tahu
bahwa ia adalah pewaris pedang pusaka yang jadi
incaran para tokoh tua itu.
Sejauh itu, Raja Nujum belum tahu bahwa Suto
adalah murid tunggal si Gila Tuak dan Bidadari Jalang.
Raja Nujum mencari Durmala Sanca untuk memenggal
kepalanya, dan dalam kaitannya dengan peristiwa
perebutan Pedang Guntur Biru itu Pendekar Mabuk
hanya ingin selamatkan pedang itu dari tangan si
angkara murka. Niatnya itu seirama dengan tujuan
kedatangan Raja Nujum ke Gunung Pakayon itu.
Karenanya, Raja Nujum cepat membawa Pendekar
Mabuk ke Kuil Swanalingga.
Namun langkah mereka terhenti karena kemunculan
suara tembang yang mengayun mendayu-dayu enak
didengar. Dari mana arahnya tak jelas dilacak, tapi suara
itu begitu nyata terdengar.
Hidup semakin bersimbah darah, jika pertanda itu
tiba. Manakala rembulan bergaris tegas, terbukalah alam
kesucian. Menembus hati setiap manusia, untuk merengkuh
sebuah pusaka. Tapi apalah artinya pusaka, bagi diri orang yang
cepat mati. Apalah artinya mati, bagi diri orang yang bosan
hidup. Dan apalah artinya hidup, bagi diri orang yang tak
punya sanak keluarga.....
Tiba-tiba dada Suto Sinting merasa pedih, teringat
akan masa lalunya. Keluarganya yang dibantai habis
oleh Kombang Hitam, ia berlari-lari dalam kejaran,
padahal waktu itu ia masih berusia delapan tahun. Ia
hidup sebatang kara karena kekejian seorang pemburu
dendam. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Bocah Tanpa Pusar).
Suto menundukkan kepala dan meremas kedua
tangannya untuk melawan tangis. Sementara, Raja
Nujum terkulai berlutut dan mulai terisak. Badannya
sampai terguncang-guncang karena ingat masa mudanya,
ingat saudara-saudaranya yang telah mendahuluinya,
ingat bahwa kini hidupnya sebatang kara, tanpa
keluarga, tanpa istri, tanpa anak, dan tanpa hari kepastian
untuk mati. Woosss....! Napas Suto mulai berubah menjadi napas
badai. Setiap hatinya dirundung duka yang dalam atau
kemarahan yang mendendam, tiap hembusan napasnya
berubah menjadi badai. Itu karena Pendekar Mabuk telah
menelan pusaka Tuak Setan yang mestinya
dimusnahkan. Apabila saat itu Suto melepaskan
napasnya lewat mulut dengan sentakan keras, maka
badai dahsyat akan terjadi di gunung itu.
Tapi Pendekar Mabuk masih sadar akan bahaya
napasnya sendiri. Itulah sebabnya ia tundukkan kepala,
hingga tiap napas yang keluar hanya membentur tanah.
Lama kelamaan tanah itu menjadi cekung akibat terkena
hembusan napas Pendekar Mabuk.
"Pasti ada orang yang menggunakan ilmu tingginya
melalui tembang itu! Ia menyerangku dan menyerang
Raja Nujum langsung ke kalbu!" pikir Suto dengan mata
terpejam kuat karena ia ingin menahan diri untuk tidak
menangis, menyesal, sedih, dan murka. Tetapi, orang itu
tetap mengalunkan tembangnya semakin mendayu-dayu,
Bila nyawa keluarga jadi hinaan, siapa lagi yang
akan datang sebagai pembela.
Bila hormat keluarga jadi cercaan, siapa lagi yang
akan datang menjadi pemuji.
Biar hati tahankan pilu, tapi dendam tetap bertalu.
Sekali lepas ilmu sejati, hancur sudah dendam
kesumat di hati.
Terasa rendah jiwa dan diri ini, bila tak mampu
lampiaskan dendam pribadi....
Keringat Suto tetap bercucuran, ia tetap bertahan
untuk tidak melepaskan amarah karena ingat dendam
masa lalunya. Kemudian, Pendekar Mabuk mencoba untuk
memainkan Jurus 'Siulan Peri' pemberian dari Bidadari
Jalang. Tetapi Pendekar Mabuk memilih tempat yang
aman untuk pantulan siulannya itu. Sebuah gugusan batu
di sampingnya menjadi tempat yang tepat untuk
memantulkan siulannya.
"Suiiiiittt...! Suiiittt...!"
Wuurrr...! Batu itu berguncang nyaris terbang, karena
napas yang keluar dari siulan bertenaga badai. Tetapi
suara siulan itu sendiri membuat semua hewan hutan
berlarian dengan panik. Gendang telinga manusia bisa
menjadi pecah jika tak kuat menahannya.
Raja Nujum cepat menutup telinganya dengan kedua
tangan, hingga tongkatnya dilepas begitu saja. Tapi
orang tua itu masih menangis seperti anak kecil. Terisak-
isak sambil menyeringai menahan rasa sakit mendengar
siulan bertenaga dalam cukup tinggi itu.
"Suuuiiittt...! Suuuiiittt...!"
Batu yang dipakai perisai hembusan napas itu mulai
retak setelah bagian tertentu yang sering terkena napas
siulan itu cekung dengan sendirinya. Guncangan batu
semakin keras, sesekali tampak mau terbang karena
hembusan. Padahal batu itu besar dan tingginya dua kali
lipat dengan ukuran tubuh Suto.
"Hentikan siulan ituuu...!" sentak seseorang yang
tiba-tiba melesat bagaikan terbang turun dari atas pohon.
Jleggg...! Wajahnya memerah bagai habis menahan
sesuatu yang amat menyakitkan. Matanya nanar
berwarna merah semburat. Napasnya terengah-engah
dengan lelehan kecil darah segar dari kedua telinganya.
Rupanya dialah yang melantunkan tembang
bertenaga dalam mengarah ke kalbu tiap lawannya.
Orang itu berpakaian putih dengan rangkap jubah tanpa
lengan warna abu-abu. Rambutnya putih diikat kain biru
muda, ia juga membawa tongkat berkepala burung
hantu. Raja Nujum menghentikan tangisnya. Tiba-tiba saja
rasa sedih itu hilang lenyap dan menjadi suatu
keheranan, mengapa ia menangis" Kini yang ia rasakan
suara berdengung di dalam telinganya akibat siulan Suto
tadi. Tapi ia masih bisa menahan tak sampai berdarah
lubang telinganya itu. Mungkin pula sebagian kekuatan
tenaga dalam dari siulan diredamnya dengan hawa murni
yang ada di dalam dirinya.
Begitu melihat orang yang tadi melantunkan tembang
berkekuatan tenaga dalam cukup tinggi untuk menembus
kalbu, Raja Nujum segera bangkit dan menggeramkan
suara kejengkelannya,
"Hemm... rupanya kau, si Bandot Tembang!"
"Dari mana kau tahu namaku?" Bandot Tembang
yang berbadan kurus itu merasa heran. Tapi oleh Raja
Nujum pertanyaan itu tak dihiraukannya. Raja Nujum
hanya ucapkan kata,
"Tak perlu kau tahu dari mana bisa kusebutkan
namamu, yang jelas cepatlah pergi dan jangan ganggu
langkah kami! Kami tidak mengganggu langkahmu,
Bandot Tembang."
"Sebelum kuputuskan untuk pergi atau tetap
menghalangi langkah kalian berdua, sebutkan dulu ke
mana arah kalian pergi dan bertujuan untuk apa?"
Suto Sinting tidak menjawab, ia bahkan menenggak
tuak seenaknya saja, tanpa merasa sungkan dan gentar.
Bandot Tembang merasa tak suka melihat Suto itu. Ia
segera sentakkan tangan kanannya ke salah satu pohon,
pukulan itu mengeluarkan cahaya putih yang cepat
berkelebat menghantam pohon dan memantul ke arah
bumbung tuak yang sedang diangkat ke atas. Trakk...!
Zingngng...! Sinar putih perak itu setelah membentur
bumbung tuak segera memantul balik, melesat ke pohon
semula dan kembali ke arah Bandot Tembang.
Trak...! Blarrr...! Sinar itu dipukul sendiri oleh
Bandot Tembang memakai tongkatnya. Orang tua itu
tersentak mundur dua tindak akibat gelombang ledakan
tongkat dengan sinar tadi.
"Sinting bocah inil" geramnya bernada gumam.
"Pukulanku bisa dikembalikan lebih cepat dan lebih
besar"!"
"Bandot Tembang," kata Raja Nujum, "Kita tidak
punya persoalan apa-apa, jadi tak perlu kita berselisih!"
"Kubilang tadi, sebutkan dulu ke mana arah kalian
dan perlu apa kalian menuju arah itu"!"
"Apa kau penguasa gunung ini"!" tanya Raja Nujum
menyindir. Bandot Tembang menjawab, "Sejak Begawan Sangga
Mega mati, akulah calon pengganti penguasa gunung
ini! Setiap orang yang lewat harus meminta izin dariku!"
"Jika tidak, bagaimana"!"
"Kucabut napasnya! Tak kuizinkan lagi ia bernapas!"
"Haram jadah! Apakah kau punya hak atas hidup dan
matinya seseorang"!" geram Raja Nujum.


Pendekar Mabuk 014 Pedang Guntur Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kini Pendekar Mabuk mulai angkat bicara dengan
sikap kalemnya, "Ki Bandot Tembang, kami ingin
menuju ke Kuil Swanalingga untuk melihat apa yang
terjadi di sana."
"Yang jelas, di sana ada perebutan pedang pusaka
peninggalan Begawan Sangga Mega! Jika kau mau ikut
rebutan pedang itu, berarti kau harus kalahkan aku lebih
dulu!" kata Bandot Tembang.
"Berarti kau sendiri akan ke arah sana, bukan"!" sahut
Raja Nujum. "Ya! Dan sudah kuduga kalian pasti akan ikut dalam
rebutan Pedang Guntur Biru itu! Untuk memperingan
beban, kalian kumusnahkan dulu di sini, jadi di sana
tidak banyak bikin masalah lagi!"
"Minggirlah, Suto, biar kuhadapi dia!" bisik Raja
Nujum. Maka, Suto pun mengalah, dan ia bergeser ke
samping, berdiri di bawah pohon dengan tubuh
bersandar seenaknya. Santai.
"Sebutkan namamu, karena kita akan tentukan siapa
yang mati lebih dulu!"
"Raja Nujum, namaku!"
"Baik! Terimalah awal kematianmu, Raja Nujum!
Hiaah...!"
Bandot Tembang sentakkan tongkatnya ke arah
samping. Dari tongkat itu keluar sinar berbentuk mata
anak panah warnanya merah. Melesat menghantam
pohon seolah-olah tiap pohon dijadikan tempat pantulan.
Mata Raja Nujum terpaksa mengikuti gerakan itu agar
tubuhnya tidak terhantam dari belakang.
Tak tak tak...! Gerakan sinar itu begitu cepat dan
membingungkan. Kadang menukik, kadang naik.
Gerakan pantulannya membentuk sudut tak tentu. Dan
akhirnya mengarah kepada Raja Nujum dari samping
kiri. Raja Nujum cepat membalikkan badan ke kiri
sambil kibaskan kepala tongkatnya, wuttt...!
Darrr...! Mata anak panah yang merah berbentuk
sinar itu pecah akibat hantaman bola kristal. Tetapi
segera dapat dilihat di dalam bola kristal itu sinar merah
tersebut masih bergerak ke sana-sini tempat berpantul
dan sasarannya. Sampai akhirnya sinar kuning menyala
dan bagai menelan sinar merah kecil itu. Zrubb...! Sinar
kuning padam, sinar merah pun lenyap. Bola kristal
kembali bening.
"Ha ha ha ha...!" Bandot Tembang justru tertawa
melihatnya, ia manggut-manggut lalu berkata, "Itu baru
jemputan nyawa pertama. Kurasa untukmu cukup dua
kali jemputan saja, Raja Nujum! Hiaah...!"
Wuttt...! Melesat sinar biru yang seperti mata anak
panah lagi. Gerakannya cepat memantul ke sana-sini.
Dan, wuttt...! Keluar lagi sinar biru dari kepala tongkat
Bandot Tembang, memantul lewat pohon lain. Dan,
wwwuut...! Lagi-lagi sinar biru keluar dari kepala
tongkat dan bergerak cepat memantul ke sana-sini.
Tiga sinar biru berkeliaran bagai saling kejar ke sana-
sini, membingungkan Raja Nujum, ia sangka sinar
pertama akan menyerangnya, ternyata justru memantul
pada gugusan batu dan menjauh lagi. Sinar kedua akan
mendekat, ternyata memantul lagi karena berbenturan
dengan sinar biru yang sama dan tidak timbulkan
ledakan. Pendekar Mabuk membatin, "Hebat juga jurus ilmu
seperti ini. Membingungkan orang yang diserang!
Kasihan Raja Nujum, dia berputar-putar menunggu
kesempatan diserang dan tak mau lengah karena
serangan itu. Tapi, rasa-rasanya gerakan sinar biru itu
semakin cepat semua! Bisa mati Raja Nujum terkena
salah satu dari ketiga sinar biru itu!"
Maka, Pendekar Mabuk segera membuka tutup
bumbung tuaknya. Bumbung tuak itu dihadapkan ke
arah sinar-sinar yang saling bersimpang-siur itu. Lalu,
dengan satu sentakan kaki ke bumi, sinar-sinar itu tiba-
tiba bergerak cepat ke arah mulut bumbung, dan masuk
ketiganya ke sana dengan menimbulkan suara ngejos
yang cukup keras.
Jrosss...! Asap mengepul dari mulut bumbung tuak.
Tapi Pendekar Mabuk segera menutup bumbung tuak itu
dan menentengnya kembali dengan santai. Bumbung itu
telah berhasil menyedot ketiga sinar tersebut sehingga
tak satu pun mengenai Raja Nujum.
Bandot Tembang mendelik melihat ketiga sinar
tenaga dalamnya tersedot masuk ke dalam bumbung itu.
Ia tak berkedip menatap Suto karena merasa baru kali ini
ada orang yang melumpuhkan jurus 'Tiga Surya
Bernyawa' itu. Biasanya salah satu dari sinar biru itu
akan mengenai lawan setelah lawan berulang kali dibuat
kecele oleh sinar-sinar lainnya.
"Bahaya juga anak muda itu"!" pikir Bandot
Tembang. "Gurunya kebingungan, dia yang tenang-
tenang bisa menyedot ketiga sinarku itu"! Kurang ajar
dia...!" Bandot Tembang dipandangi oleh dua orang, ia tak
mau dianggap kalah, ia tak mau dilecehkan dengan cara
mereka. Maka, ia pun segera mengalunkan tembang
yang mempunyai kekuatan tenaga dalam lebih tinggi
dari yang pertama tadi,
Hening hati ditelan mati, rembulan lepaskan....
Belum habis sudah terpotong suara siulan Pendekar
Mabuk, "Suuuittt...!"
Cepat-cepat Bandot Tembang menutup telinganya,
demikian pula Raja Nujum. Kemudian, suara tembang
yang hilang itu berubah menjadi geram kemarahan yang
belum bisa terlampiaskan. Maka, ia pun segera
sentakkan kaki dan melesat pergi setelah ucapkan kata,
"Kutunggu kalian di Kuil Swanalingga! Kita
bertarung di sana!"
Wusss...! Bandot Tembang pergi dengan cepat.
Pendekar Mabuk pandangi Raja Nujum yang masih
menutup telinganya dengan mata terpejam kuat-kuat.
Tapi menjadi terkejut ketika Suto menepak lengannya.
Plakkk...! Matanya jadi terbelalak lebar ketika Suto berkata,
"Dia telah kabur!"
"Hah..." Ke mana kaburnya" Kapan?"
"Tadi, saat kau pejamkan mata kuat-kuat!" jawab
Pendekar Mabuk. Kemudian tawa Pendekar Mabuk pun
terdengar. "Dia menantang kita di kuil sana, Raja Nujum!
Haruskah dilayani"!"
Raja Nujum hanya mengangkat kedua pundaknya,
lalu melangkah.
* * * 7 HALAMAN Kuil Swanalingga berlapis salju
tanahnya. Di luar halaman itu tanah mulai berlapis
darah. Barong Geni terkapar tanpa nyawa, juga tanpa
jantung. Intan Selaksa tak berani memandangi jenazah
saudara seperguruannya.
Intan Selaksa sama sekali tak menyangka bahwa
orang yang selama ini dihormati seperti menghormati
gurunya sendiri, ternyata berhati keji. Mulanya Intan
Selaksa menyangka, kedatangan Sambar Jantung untuk
membela mempertahankan kuil tersebut dari jamahan
tangan-tangan rakus. Tetapi ternyata Sambar Jantung
sendiri yang bertangan rakus. Hal itu diketahui oleh
Intan Selaksa lewat ucapan si tua berkepala sedikit botak
bagian depannya, pada saat ia berhadapan dengan
Barong Geni. Waktu itu Barong Geni mengatakan,
"Saya murid Begawan Sangga Mega, Eyang!
Sekalipun saya sudah lama tinggalkan kuil ini, tapi saya
masih berhak memiliki Pedang Guntur Biru itu!"
Sambar Jantung menyanggah, "Tidak bisa! Seorang
murid murtad tidak layak memiliki pusaka seampuh
Pedang Guntur Biru! Bahkan siapa pun tidak layak
memilikinya kecuali aku!"
"Rakus juga Eyang ini sebenarnya"!"
"Peduli apa katamu, pedang itu harus kudapatkan!
Minggir kau Barong Geni, jika tidak kau akan celaka
seperti Gincu Mayat itu!"
"Jika memang Eyang sanggup, singkirkanlah saya
bersama nyawa saya!" kata Barong Geni sengaja
paksakan diri ucapkan kata begitu. Intan Selaksa sendiri
yang mendengar menjadi merinding penuh perasaan
ngeri. Barong Geni dinilai terlalu ceroboh bicaranya.
Apa yang diperkirakan Intan Selaksa memang benar.
Barong Geni tak bisa menyentuh Eyang Sambar Jantung,
karena orang itu selalu menggunakan jurus 'Angin
Merapat'. Tak perlu sambangi lawan, dari tempatnya
berdiri saja ia sudah bisa menghajar habis tubuh
lawannya. Sampai akhirnya Barong Geni dirobek
dadanya dan dirogoh jantungnya dengan amat
mengerikan. Darah di tangan Eyang Sambar Jantung belum kering.
Jantung milik Barong Geni belum dibuang, tiba-tiba
sudah datang serangan yang amat mengejutkan.
Serangan itu bukan saja mengejutkan hati Sambar
Jantung, namun juga mengejutkan hati Intan Selaksa.
Eyang Sambar Jantung tiba-tiba saja terjungkal ke
depan. Jantung yang dipegangnya terlepas entah ke
mana. Tubuh tua itu bagai mainan anak-anak yang bisa
mudah dijungkir-balikkan di atas tanah. Kepalanya
sempat membentur bongkahan batu sebesar kelapa.
Takkk...! Sambar Jantung meringis kesakitan. Untung
tak sampai keluarkan darah dari kepala itu.
Intan Selaksa merasa heran melihat Sambar Jantung
terpental ke sana-sini dan berjungkir balik tak karuan.
Dari bawah sebuah pohon yang setengahnya digunakan
untuk berlindung sewaktu-waktu itu, Intan Selaksa
menyangka Sambar Jantung kumat penyakit ayannya.
Tapi setelah Sambar Jantung berhasil berdiri lagi dan
cepat pejamkan mata, maka Intan Selaksa tahu bahwa
ada seseorang yang telah menyerang dari jarak jauh. Di
mana orang itu, Intan Selaksa belum sempat temukan.
Karena perhatiannya lebih tertarik ke arah Sambar
Jantung. Orang itu bergetar tubuhnya, seperti sedang menahan
sesuatu. Tangannya yang berdarah itu bergerak pelan-
pelan merentang ke depan. Lalu dengan sentakan keras,
Sambar Jantung kibaskan kedua tangannya ke atas
seperti orang memercikkan air di dalam kolam. Wusss...!
Kejap berikutnya, dari balik semak-semak berjarak
sepuluh langkah lebih itu meluncurlah sesosok tubuh
berjubah ungu, melayang terbang tanpa kendali, ia
terlempar tinggi. Pada saat itu kedua tangan Sambar
Jantung bergerak menarik diri, dan tubuh yang melayang
itu tertarik dengan cepat, kemudian jatuh tak berapa jauh
dari dinding pagar halaman kuil. Hampir saja tubuh itu
membentur dinding tersebut jika kakinya tidak segera
menghadang dan menyentak ke dinding pagar. Brukk...!
Jatuh juga orang itu, namun ia cepat berdiri dengan
sikap tegak dan menantang. Orang itu dikenal Intan
Selaksa sebagai perempuan yang dibencinya, namun
Intan Selaksa kalah melawannya. Siapa lagi kalau bukan
Dewi Kelambu Darah"
"Setan betina! Kau ikut campur juga dalam urusan
ini, hah"!" hardik Sambar Jantung.
Dewi Kelambu Darah sunggingkan senyum sinis, lalu
ucapkan kata, "Siapa pun tokoh tua di rimba persilatan pasti akan
ikut campur, Tua jompo! Siapa orangnya yang tidak
tertarik dengan pedang pusaka yang bisa mengirimkan
serangannya dari jarak cukup jauh" Siapa orangnya yang
tidak tertarik dengan pedang yang bisa bikin kebal tubuh
pemegangnya" Kurasa semua tokoh akan hadir di sini
untuk memperebutkan Pedang Guntur Biru."
"Ya, memang! Tapi mereka akan kecele, sebab aku
sudah lebih dulu membawanya lari! He he he he...!"
"Apa yang akan kau bawa lari itu, Sambar Jantung"
Pedang atau tahi kucing"! Hmm...!" Dewi Kelambu
Darah mencibir. "Membawa lari Pedang Guntur Biru
tidak semudah membawa lari tahi kucing, Tua jompo!"
Sambar Jantung malahan tertawa geli dan berkata,
"Kalau yang kubawa tahi kucing, jelas akan
kulemparkan ke wajahmu, Dewi Kelambu Darah! Untuk
apa kubawa lari"! Kau ini ada-ada saja!"
"Karena kau terlalu menganggap enteng bisa
membawa lari pedang pusaka itu! Apakah kau tak
perhitungkan bahwa kau harus kalahkan aku lebih dulu
dan itu hal yang paling sulit, bahkan teramat sulit
ketimbang kau jungkir-balikkan gunung ini"!"
Sambar Jantung mencibir sambil kekehkan tawa tua,
lalu berkata, "Ilmu setinggi pohon tomat saja disombongkan"!
Hmm...! Apa yang bisa kau perbuat dengan ilmu
sedangkal itu, Kelambu Darah" Hanya buat main-main
saja, memang bagus dan menarik! Tapi untuk
mengalahkan ilmu yang kumiliki, oooh... masih sangat
jauh, Nak! Jauh sekali! Saking jauhnya tidak akan
terlihat sedikit pun!"
Panas hati Dewi Kelambu Darah mendengar hinaan
seperti itu. Matanya yang sedikit lebar tapi berbentuk
indah itu menatap tajam pada Sambar Jantung. Bulu
matanya lentik, bening bagian bola matanya, tepiannya
berwarna sedikit hitam tampak galak, sangat indah dan
serasi dengan bentuk hidungnya yang bangir. Tapi mata
indah itu adalah mata maut. Sangat berbahaya bagi
lawan. Buktinya hanya dengan menatap tajam-tajam saja,
tubuh Sambar Jantung tersentak ke belakang secara tiba-


Pendekar Mabuk 014 Pedang Guntur Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tiba. Hampir saja terlempar sangat jauh kalau Sambar
Jantung tidak cepat-cepat menahan diri dengan cara
menahan napas, merendahkan kuda-kudanya,
menggerakkan tangannya dengan keras dan kaku, lalu
menyentakkan tangan itu ke depan. Kini tubuh Dewi
Kelambu Darah yang terpelanting jatuh. Brukkk...!
Sambar Jantung terkekeh dengan tawa tuanya, maju
beberapa tindak dalam langkah kemenangan atas adu
kekuatan yang baru saja terjadi itu. Bahkan ia serukan
kata yang memanaskan telinga,
"Belajar lagi, Nak! Biar kamu jadi anak yang pintar
dan sakti, serta bisa kalahkan Eyang! Kalau perlu,
Pendekar Binal 11 Cinta Bernoda Darah Serial Bu Kek Sian Su 3 Karya Kho Ping Hoo Pendekar Bodoh 12
^