Pencarian

Pembalasan Ratu Mesum 1

Pendekar Mabuk 081 Pembalasan Ratu Mesum Bagian 1


1 Serial : Pendekar Mabuk
Judul : 12. Pembalasan Ratu Mesum
Pengarang : "
Penerbit : "
E-book : paulustjing
1 BARU saja pemuda berambut panjang sepundak
yang dikenal sebagai Suto Sinting alias Pendekar Mabuk itu menapakkan kakinya di
Lembah Kematian, tiba-tiba saja sesosok bayangan
berkelebat turun dari atas pohon dan menerjangnya.
Bruuuuss. .! Pendekar Mabuk yang tak menduga
akan mendapat 'sarapan pagi' dari orang tak dikenal itu terpaksa terpental dan
jatuh berguling-guling.
Bruuk...! Gusrrak...!
"Manusia konyol! Siapa yang menyerangku sepagi ini"!" geram Pendekar Mabuk dalam
hatinya. "Uuh. ., kepalaku seperti mau retak saja rasanya. Gila!
Tenaga dalamnya besar sekali"! Kalau aku tak
terbiasa ditendang-tendang orang, mungkin
kupingku akan keluar getahnya, atau bahkan akan
keluarkan darah segar. Oouh...! Berdiri saja susahnya bukan main. Tendangan itu
terasa sampai di ujung
jempol kakiku! Aduh, sakitnya jempol kakiku. .!"
Pendekar Mabuk berhasil bangkit berdiri dengan
terengah-engah. Matanya segera pandangi jempol
kaki sendiri., "O, pantas...! Jempolku tergencet batu begini, tentu saja sakit!" gerutunya
sambil menarik kaki yang tergencet dua batu sebesar kepala bayi.
Pemuda berambut panjang sepundak tanpa ikat
kepala itu segera memandang ke satu arah. Di sana telah berdiri seorang lelaki
yang usianya sekitar tiga puluh tahun, tapi tinggi badannya tidak seperti
Pendekar Mabuk. Lelaki itu berikat kepala merah
dengan rambut bergelombang dan kumis seperti
seekor kelelawar iseng hingga di atas mulutnya.
Lelaki berbaju merah dan celana hitam itu
mempunyai tubuh agak gemuk dan berkulit tegap.
Melihat penampilan lawannya yang tadi
menyerangnya itu, Suto Sinting jadi geleng-geleng kepala, antara heran dan aneh
melihat sang lawan
tubuhnya dipenuhi oleh senjata. Tubuh lelaki
bersabuk hitam besar itu penuh dengan senjata
tajam. Ada pedang, golok, clurit, pisau terbangnya saja ada empat biji, cambuk
melilit di pinggang, bola besi berduri yang mempunyai tangkai dan rantai
juga terselip di sabuknya. Keris, kampak dan trisula juga terselip di
pinggangnya. Sementara di kedua
kakinya juga terdapat dua anak panah pada masing-
masing kaki, dan sebuah busur menyilang di
punggungnya. "Hebat!" ujar Suto Sinting ketika lelaki itu mendekatinya. "Kau mau jualan
senjata atau habis merampasi senjata lawan-lawanmu, Kang"!"
"Tutup mulutmu!" bentaknya dengan mata
lebarnya mendelik.
"Lha, kalau aku kau suruh tutup mulut, nanti kalau aku mau teriak kesakitan
bagaimana?"
"Ya, sambil tutup mulut!" sentaknya lagi, sedangkan Pendekar Mabuk menanggapi
dengan kalem. Pemuda berbaju coklat dan celana putih itu justru meminum tuaknya dari
sebatang bambu yang
dipakai sebagai bumbung tuak dan ke mana-mana
selalu dibawanya. Glek, glek, glek...!
"Eh, malah minum tuak"! Menyepelekan sekali kau"! Hiaaaat...!"
Orang berbaju merah dan bercelana hitam itu
melompat dengan kaki kanan lurus ke arah wajah
Suto Sinting. Weeess. .! Dengan gerak menggeloyor seperti orang mabuk mau
tumbang, Suto Sinting
berhasil hindari tendangan kaki lawannya, sehingga kaki itu akhirnya mengenai
sebatang pohon di
belakang Suto. Duuhk...!
"Aduuh!" pekiknya sambil menyeringai. Brruuuk. .!
Praaang. .! la pun jatuh terbanting oleh kekuatan tenaganya sendiri yang
memantul balik akibat
menendang pohon besar,
Pendekar Mabuk lakukan satu lompatan untuk
menjauh. Wuuut, jleeg...!
"Wedus busung!" maki orang berikat kepala merah itu. la segera bangkit dan
menghadap ke arah Suto berada. Lalu ia menyeringai sendiri menahan
sakit, karena ketiaknya tersodok ujung trisula yang tadi tersentak naik ketika
jatuh ke tanah.
"Makanya kalau bawa senjata jangan borongan, Kang! Salah-salah bukan lawanmu
yang borokan, tapi justru tubuhmu sendiri yang borokan karena
luka kena senjata sendiri," ujar Suto Sinting bernada menertawakan. Dengan tetap
menenteng tali bumbung tuaknya, Suto Sinting memang lebarkan
senyum dan pandangi orang itu dari jarak tujuh
langkah. la berdiri di bawah pohon, di tempat yang rindang.
"Pagi-pagi kok sudah cari penyakit kau ini, Kang, Kang. .! Bukankah lebih baik
pagi-pagi cari makan saja"!" tambah Suto semakin bernada meremehkan lawannya.
Sang lawan hanya menggeram sambil
masih mengurut ketiaknya yang tersodok besi trisula tadi.
"Jangan banyak bicara kau!" sentak orang berkumis seperti kelelawar itu. "Boleh
saja kau meremehkan lawanmu kali ini. Tapi jika kau sudah
tahu kesaktian si Ular Berang ini, kau akan lari
terbirit-birit, Pendekar Mabuk!"
"Ooo... jadi namamu si Ular Berang"! Wah, ya pantas. . memang kau orang yang
mudah marah alias gampang berang!" ucap Suto Sinting masih dengan kalem. Bahkan bumbung
tuaknya digantungkan di pundak dan kedua tangannya
bersidekap di dadanya yang bidang dan kekar itu.
"Rupanya kau telah mengenaliku sebagai
Pendekar Mabuk, Kakang Ular Berang, Dari mana
kau mengetahui bahwa aku adalah Pendekar
Mabuk"!"
"Jangan banyak tanya!" bentak Ular Berang,
"Lho, kalau aku tidak banyak tanya nanti aku tersesat. Bukankah ada pepatah yang
mengatakan: 'Malu bertanya sesat di kamar'?"
"Sesat di jalan, Tolol!" ralat Ular Berang. "Bukan sesat di kamar!"
"Lha iya. . maksudnya mau jalan ke kamar
sendiri, ehh. . bisa nyasar ke kamar pembantu kalau kita malu bertanya."
"Sudah, sudah. .!" hardik si Ular Berang. "Jangan mengajakku untuk ngobrol!
Tugasku bukan ngobrol,
tapi membunuhmu!"
"Membunuhku"! Oh, kalau begitu sebelum aku
kau bunuh, mari kita ngobrol-ngobrol dulu, Kang.
Setuju"!"
"Kau benar-benar terlalu menganggapku ringan, ya" Kucacah-cacah daging tubuhmu
sekarang juga, hiaaaat...!!"
Ular Berang mencabut goloknya. Srekkk. .! Golok
tak bisa dicabut karena gagangnya terlilit tali
cambuk. Dengan susah payah dan terburu-buru ia
berusaha melepaskan lilitan tali cambuk itu agar
bisa mencabut golok. Tapi Suto Sinting sudah lebih dulu melepaskan jurus
sentilannya yang bernama
jurus 'Jari Guntur' itu. Tess.,.! Buuhk...! Kropang...!
Suto Sinting tertawa tanpa suara. la memang
tidak bermaksud membenci dan memusuhi si Ular
Berang. Ia bermaksud menggoda kemarahan si Ular
Berang sambil memberi pelajaran sejurus-dua jurus agar Ular Berang membatalkan
niatnya untuk membunuh. Sentilan dari jurus 'Jari Guntur' mempunyai
kekuatan setara dengan tendangan kuda jantan
yang sedang terganggu kencannya. Tak heran jika
Ular Berang terlempar lima langkah ke belakang dan terbanting setelah membentur
pohon yang tadi
terkena tendangannya itu. Jatuhnya si Ular Berang menimbulkan suara gaduh akibat
senjata-senjata
yang dibawanya. Setelah suara gaduh itu hilang,
terdengarlah suara erangan si Ular Berang yang
kesakitan. Dadanya yang terkena sentilan tenaga
dalam, tapi lengannya yang berdarah, ini bukan
karena kehebatan jurus 'Jari Guntur'-nya Suto,
melainkan karena lengan si Ular Berang tergores
goloknya sendiri yang gagangnya copot akibat
sentakan tubuhnya yang terlempar itu.
"Kebo bunting! Kau apakan aku tadi sampai bisa terlempar begitu"!" bentak Ular
Berahg. "Hanya kusentil sedikit."
"Edan kau ini! Hanya disentil saja aku bisa
tunggang langgang seperti tadi"! Edan kau ini!"
sambil si Ular Berang mondar-mandir ke kanan-kiri.
Suto Sinting hanya tersenyum-senyum. la tahu,
lawannya tak seberapa tangguh, ilmunya masih
cekak. Terlalu sia-sia jika Suto harus menanggapinya dengan perlawanan yang
serius. "Bocah kurapan! Kusarankan agar kau jangan
pergunakan jurus sentilanmu itu!" Ular Berang masih bersuara keras.
"Mengapa tak boleh" Itu jurus perkenalanku."
"Kalau kau menggunakan jurus itu, lalu
bagaimana aku bisa membunuhmu"!" Ular Berang tampak ngotot tanpa sadar ucapannya
cukup menggelikan bagi lawannya.
"Tiap manusia berhak membela diri dan
mempertahankan hidupnya, Ular Berang!"
"Jangan bertahan!" sentaknya masih ngotot.
"Ikhlas saja.. Ikhlas saja kau kubunuh!"
"Mana ada orang mau dibunuh kok disuruh
ikhlas," Suto Sinting bersungut-sungut, lalu membuka bumbung tuaknya. Sebelum
menenggak tuak lagi, ia sempat lanjutkan ucapannya tadi.
"Kau saja kalau mau dibunuh apakah mau
disuruh ikhlas"!"
Ular Berang diam, menggerutu tak jelas, dan
ditinggal Suto untuk menenggak tuak beberapa
teguk. Wajahnya masih cemberut walau
memandang ke arah lain sambil sesekali melirik ke arah Suto.
"Mau dibunuh enak-enakan minum tuak"
Hmmm.. ! Pendekar cap apa kau ini"!"
Gerutuan agak keras membuat Suto geli dan
nyaris terbatuk-batuk. Pendekar Mabuk hanya
tersedak satu kali, kemudian menutup bumbung
tuaknya sambil sunggingkan senyum geli.
"Sebenarnya, mengapa kau ingin membunuhku,
Ular Berang"!"
"Aku disuruh!" jawab si Ular Berang dengan ketus.
"Orang itu juga yang memberitahuku ciri-ciri seorang pemuda berjuluk Pendekar
Mabuk. Ciri-cirimu adalah bumbung tuak itu!"
"O, jadi kau diberi tahu, kalau ada pemuda
membawa bumbung tuak, berarti dialah Pendekar
Mabuk dan harus segera kau bunuh" Begitu?"
"Ya. Sudah dua kali aku salah sasaran. Ada orang jualan legen atau air bunga
kelapa, kusangka
Pendekar Mabuk. Sudah kubikin babak belur, tidak
tahunya bukan. Tapi sekarang toh aku berhasil
menemukan Pendekar Mabuk yang asli dan aku
harus segera membunuhmu. Tapi. . kau punya jurus
sentilan maut seperti tadi. Aku jadi bingung juga, bagaimana cara membunuhmu"
Sudah kutendang
dengan jurus tendangan mautku, tapi kau masih
melotot tak mau mati. Padahal biasanya jika orang terkena jurus tendangan
mautku, kepalanya akan
retak dan nyawanya akan minggat entah ke mana!"
Perdekar Mabuk sengaja dekati si Ular Berang,
karena ia yakin Ular Berang dapat dijinakkan.
Menurut hati kecil Suto, Ular Berang sebenarnya tidak mempunyai unsur permusuhan
dengannya. Tapi karena ada yang memerintahkannya maka Ular
Berang terpaksa harus lakukan pembunuhan
terhadap diri Pendekar Mabuk.
"Siapa yang menyuruhmu membunuhku, Kang"!"
"Mana aku tahu"! sentaknya dengan makin
bersungut-sungut.
"Lho, mengapa kau bisa tidak tahu siapa yang menyuruhmu membunuhku"!"
"Karena dia tidak mau menampakkan diri!"
Pendekar Mabuk mulai berkerut dahi.
"Tidak mau menampakkan diri bagaimana?"
tanya Suto dengan rasa heran.
"Bodoh amat kau ini!" sentak Ular Berang makin jengkel. "Yang namanya tidak mau
menampakkan diri, artinya tidak kelihatan wujudnya! Ngerti"!"
"Soal itu aku paham, tapi,..." .
"Kalau sudah paham ya sudah, jangan banyak
tanya lagi!" potong Ular Berang yang agaknya memang gemar marah-marah itu.
"Yang kumaksud, mengapa dia tidak mau
menampakkan diri?"
"Mana aku tahu"!" Ular Berang makin cemberut.
"Pokoknya dia menyuruhku mencari Pendekar
Mabuk dan aku harus membunuh Pendekar Mabuk!"
"Mengapa tidak kau tolak"!"
"Mana berani aku menolak tugas itu"!" Ular Berang ngotot. "Kalau tugas itu
kutolak, maka selamanya aku tidak akan berjumpa lagi dengan
Manggar Arum."
"Siapa itu Manggar Arum?"
"Adik perempuanku. Tolol!" bentak Ular Berang dengan kesal. Bentakan itu tidak
membuat Pendekar Mabuk sakit hati, namun justru geli
sendiri. "Memangnya adik perempuanmu kenapa?"
"Ditawan sama orang itu!"
"Maksudmu, ditawan oleh orang yang
memberimu tugas membunuhku?"
"Iya! Sudah jelas kok masih bertanya saja!"
lanjutnya dalam gerutu.
Pendekar Mabuk diam sebentar, merenungkan
jawaban dan kata-kata Ular Berang tadi.
"Hmmm. . jadi kau disuruh oleh orang yang tidak mau menampakkan dirinya" Supaya


Pendekar Mabuk 081 Pembalasan Ratu Mesum di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kau mau lakukan tugas itu, maka adik perempuanmu yang
bernama Manggar Arum itu ditawannya" Kalau kau
tidak mau membunuhku, maka adikmu itu...."
"Akan dibunuhnya!" sahut Ular Berang.
Pendekar Mabuk manggut-manggut. "Ya, ya. . aku mengerti maksudmu. Tapi...."
"Tapi apa lagi"!"
"Tapi apakah saat dia menyuruhmu atau
menangkap Manggar Arum, kau tidak ingat
wajahnya?"
"Bagaimana aku mau mengingat-ingat wajahnya"
Dia tidak kelihatan wajahnya. Bahkan bayangannya
saja tidak kelihatan. Dia hanya berbentuk suara."
"Suara..."!"
"Ya. Suara seorang perempuan yang mengaku
sebagai ratu."
"Ratu dari mana?"
"Dari... dari...." Ular Berang bingung, akhirnya menyentak dengan nada ngotot.
"Mana kutahu dia
ratu dari mana" Dia tidak sebutkan asal-usulnya!"
Pendekar Mabuk merenung kembali. "Seorang
ratu menghendaki kematianku"! Hmmm. . siapa
orang itu sebenarnya"! Apa alasannya menyuruh
Ular Berang membunuhku" Dan mengapa ia
menyuruh si Ular Berang, sedangkan Ular Berang
tidak mempunyai ilmu yang bisa diandalkan untuk
melawanku?"
Tanpa diminta, Ular Berang menceritakan asal
mula ia menerima perintah mencari dan membunuh
Pendekar Mabuk.
"Aku dan adikku sedang menangis karena
kematian nenek kami. Kami berpelukan karena
sedihnya. Tahu-tahu adikku terbang ke atas pohon
dengan kepala berjungkir balik. Padahal kedua
kakinya tidak tampak terikat, tapi kedua kaki itu bagai tergantung pada sebatang
dahan dan sewaktu-waktu bisa terlepas. Jika tubuh adikku terlepas dan meluncur
dari atas pohon, maka ia akan mati, sebab di bawah pohon itu ada tonggak-tonggak
bambu yang runcing bekas tebangan."
"Siapa yang menggantung adikmu dalam
keadaan terjungkir balik begitu?"
"Tidak tahu!" bentak Ular Berang dengan kesal.
"Kalau kutahu siapa orangnya dan seperti apa rupanya, sudah sejak tadi kukatakan
padamu, Tolol!"
"Baiklah, lanjutkan saja ceritamu, jangan
mencaciku terus!"
"Habis kamu jadi pendekar bodoh amat!" Ular
Berang mulai cemberut lagi. Suto Sinting hanya
tersenyum tipis sambil menunggu lanjutan cerita itu.
Ular Berang mondar-mandir dengan gelisah.
"Setelah adikku tergantung begitu, kudengar ada suara yang bicara padaku. Suara
perempuan itu mengancamku agar segera mencari Pendekar
Mabuk dan membunuhnya. Kalau aku menolak
tugas itu, maka Manggar Arum akan dilepaskan dari atas pohon dan kepalanya akan
menancap pada tonggak-tonggak bambu yang runcing itu. Tentu saja aku ngeri dan tak ingin
adikku bernasib semalang
itu. Maka aku segera pulang ke rumah dan
membawa beberapa senjata yang sekiranya dapat
kupakai untuk membunuhmu! Kubawa senjata-
senjata ini, karena menurut cerita kawan-kawanku, Pendekar Mabuk itu berilmu
tinggi dan sulit
dibunuh!" "Apakah kau bisa memainkan semua senjata
itu"!"
"Sebenarnya. . sebenarnya aku cuma bisa
memainkan senjata golok," Ular Berang bersungut-sungut lagi.
Tawa Suto terdengar pelan dan pendek.
"Kalau begitu, sebaiknya batalkan saja niatmu untuk membunuhku, Kang. Percuma
saja kau membawa senjata sebanyak itu tapi belum tentu
kau bisa membunuhku."
"Kalau dibatalkan, lantas bagaimana nasib si Manggar Arum itu"! Dia bisa mati
dalam keadaan kepalanya tertancap bambu. Mengerikan lho itu!"
"Di mana tempat adik perempuanmu itu ditawan oleh orang tersebut?" tanya Suto
Sinting yang kini berjarak satu langkah di depan Ular Berang.
"Manggar Arum ditawan di hutan lereng sebelah timur sana! Dekat sungai."
"Kita ke sana sekarang juga!"
"Mau apa ke sana" Kau ini harusnya kubunuh,
kok malah ngajak aku ke sana"!"
"Akan kubebaskan adikmu itu!"
"Kau mau membebaskannya" Hmmm...." Ular Berang mencibir. "Pohon yang dipakai
menjungkirbalikkan adikku itu tinggi sekali. Apa kau bisa memanjat pohon"!"
"Itu urusanku! Yang jelas, Manggar Arum harus segera kita bebaskan, supaya jiwa
dan pikiranmu tidak dikotori oleh perintah-perintah sesat!"
"Nanti kalau perempuan yang mengaku sebagai
ratu itu marah, bagaimana"! Kalau dia melepaskan
adikku dari atas pohon, bagaimana"! Kalau
pohonnya sudah tidak ada, bagaimana juga"!"
"Sudahlah jangan banyak omong!" Suto menarik lengan Ular Berang. "Ayo, tunjukkan
padaku di mana letak adikmu ditawan orang itu!"
Sambil melangkah Ular Berang menggerutu, "Mau dibunuh kok malah mau membebaskan
si Manggar"
Apa sudah gila anak ini"!"
* * * 2 KEMIRINGAN lereng dari dua bukit yang
membentuk celah berupa jurang cukup dalam,
ternyata telah memantulkan suara teriakan seorang gadis yang berada dalam
bahaya. Gadis itu
tergantung dengan kepala di bawah, kedua kaki
merapat di atas. Kedua kaki itu seperti dijerat
dengan tali, tapi tak tampak talinya. la berada dalam ketinggian pohon yang
sukar dipanjat.
"Tolooong.. ! Tolooong.. !" suara itu terdengar sesekali, menyebar ke mana-mana.
Kadang hilang, kadang muncul kembali. Pada saat suara itu hilang, berarti si gadis sedang ambil
napas atau beristirahat mengumpulkan tenaga untuk berseru kembali.
Tak jauh dari tempat itu terdapat sebuah kuburan
baru. Tanahnya masih basah dan menggunduk
dengan tonggak kayu dipakai sebagai patok kuburan tersebut. Di kuburan itulah
Suto diajak berhenti oleh Ular Berang. Lelaki yang semula menyandang
senjata banyak itu, kini telah membuang semua
senjatanya dan tinggal bersenjata golok saja. Hal itu dilakukan karena ia merasa
tak akan mampu membunuh Pendekar Mabuk dengan senjata-
senjatanya tersebut, apalagi sekarang Suto bersedia membantu membebaskan Manggar
Arum dari bahaya. "Ini kuburan nenekku," kata Ular Berang. "Setelah
memakamkan jenazah nenek yang tewas karena
luka beracun, aku dan Manggar Arum saling
berpelukan di sebelah sana. Kami masih belum bisa melupakan nenek dan merasa
berat meninggalkan
nenek terkubur di sini. Kami bermaksud untuk
kembali ke sini dan menunggu sampai nenek
membusuk. Tapi tiba-tiba Manggar Arum terbang
dan tergantung di pohon!"
"Mengapa kita membuang waktu di sini"
Sebaiknya kita segera menuju ke tempat adikmu
tertawan, Kang."
"Aku hanya memperkenalkan kuburan nenekku
ini padamu, Tolol!" sentak Ular Berang dengan kesal.
"Toloooong.. !!"
"Nah, itu dia suara adik perempuanku!" ujar Ular Berang dengan wajah tegang. la
bergegas pergi tinggalkan makam sang nenek, Pendekar Mabuk
segera mengikutinya.
"Itu dia adikku!" seru Ular Berang sambil menuding ke arah gadis yang
bergelantungan di atas pohon tinggi.
Pendekar Mabuk memandang dengan
terbengong. Gadis itu mengenakan pakaian serba
jingga. Rambutnya yang panjang terjuntai turun
meriap menutupi sebagian wajahnya. Celananya
yang komprang merosot jadi satu di paha, sehingga sebagian paha dan betisnya
dapat terlihat dengan jelas; putih dan mulus.
"Ck, ck, ck, ck...!" Pendekar Mabuk berdecak
sambil geleng-geleng kepala. "Indah sekali betis dan pahanya itu...."
Plok! Ular Berang memukul lengan Suto sambil
sewot. "Jangan pandangi paha adikku!"
"Bagaimana tidak dipandang kalau memang
tersingkap selebar itu"!"
"Lakukan saja pertolongan sekarang juga! Jangan terlalu banyak memandang
pahanya, Tolol!"
"Ular Beraaang.. !" seru Manggar Arum. "Tolong aku, Ular Berang...!"
Suara gadis itu penuh ratapan menyedihkan.
Pendekar Mabuk masih berpikir bagaimana cara
menolong Manggar Arum jika ia tidak melihat ada
tali yang menjerat kedua kaki gadis itu.
"Sebenarnya kau bisa menolong adikku atau
tidak"!" bentak Ular Berang tampak panik sekali melihat adiknya dalam keadaan
begitu. "Kalau memang tidak bisa, bilang saja tidak bisa! Jangan berlagak mau
menolongnya! Lebih baik copot gelar
pendekarmu kalau...."
ZIaaap...! Ular Berang terkejut dan langsung terbengong di
tempat, karena Pendekar Mabuk tiba-tiba lenyap
dari hadapannya. Tapi ketika ia memandang ke arah Manggar Arum, ternyata
Pendekar Mabuk sudah ada
di atas pohon, berdiri pada dahan yang dipakai
menggantung Manggar Arum.
"Busyet! Cepat amat dia sampai di atas sana"!
Kapan memanjatnya"!' gumam Ular Berang
terheran-heran. Ia tak tahu bahwa Pendekar Mabuk
segera gunakan jurus 'Gerak Siluman' yang mampu
bergerak menyamai kecepatan cahaya itu. Dalam
satu sentakan kaki ia sudah bisa melambung naik
dan hinggap di dahan tersebut dan gerakan itu tak bisa dilihat oleh mata Ular
Berang. "Ooh... ssi... siapa kau"!" Manggar Arum sendiri terkejut melihat kehadiran Suto
yang secara tiba-tiba muncul bagaikan hantu usil itu. Sapaan tersebut
tidak segera dijawab oleh Suto, karena pandangan
mata Suto tertuju pada kulit paha dan betis yang
indah serta tampak putih mulus tanpa goresan apa
pun itu. "Jangan pandangi aku saja! Lakukanlah sesuatu untuk menolongku. Tolonglah aku
secepatnya, selagi hantu itu tidak ada di sini!"
"Aku bukan memandangi kemulusanmu saja. Aku
sedang berpikir bagaimana membebaskan jerat
yang tak tampak itu!" ujar Suto Sinting yang kemudian duduk di dahan tersebut
dengan bumbung tuak menyilang di punggung, talinya melintang di
dada. "Agaknya ia di kat dengan tambang gaib yang tak bisa dilihat oleh mata orang
biasa," pikir Suto Sinting.
"Kalau begitu, aku harus menggunakan
penglihatan gaibku juga."
Pendekar Mabuk ingat bahwa di keningnya ada
noda merah kecil yang dapat digunakan untuk
melihat dunia gaib dengan hanya sekali usap
menggunakan tangan kirinya. Tanda merah itu
pemberian Ratu Kartika Wangi, ibu dari Dyah
Sariningrum, calon istrinya yang menjadi penguasa di Puri Gerbang Surgawi, (Baca
serial Pendekar
Mabuk dalam episode : "Manusia Seribu Wajah").
Slaaap. .! Pendekar Mabuk mengusap dahinya
dengan tangah kiri, maka ia pun dapat melihat
kehidupan alam gaib di sekitar tempat itu. la juga dapat melihat seutas tali tak
seberapa besar yang menjerat kedua kaki Manggar Arum dan
menggantungnya pada dahan yang dipakainya
duduk itu. Tali tersebut memancarkan cahaya merah pijar-pijar seperti besi
membara. "Aku yakin tali ini tidak mudah dipotong dengan senjata tajam apa pun, kecuali
yang mempunyai kekuatan sakti cukup tinggi," pikir Suto Sinting. "Jika begitu, aku harus
memotong atau menghancurkannya dengan... dengan... oh, kurasa
cukup dengan menggunakan jurus 'Turangga Laga'
saja." Maka kedua jari pun ditegakkan dan mengeras,
kemudian ditempelkan di dahi sebentar dan
disentakkan ke depan. Suuut, claap. .! Seberkas
sinar ungu melesat dari ujung jari itu yang segera menghantam tambang berpijar
merah itu. Duaar. .!
"Aaaaa. .!" Manggar Arum terlepas dari jeratan tali gaib. Tubuhnya meluncur ke
bawah dengan cepat tanpa bisa menjaga keseimbangan badannya.
Padahal di bawah sana terdapat tonggak-tonggak
bambu yang meruncing dan siap menerima 'tamu'
berupa kepala si gadis cantik itu.
"Edan! Adikku malah dijatuhkan dari atas! Dasar bocah setaaan. .!!" teriak Ular
Berang yang menjadi sangat tegang serta panik melihat adiknya meluncur dari atas
pohon dengan kepala terjungkir ke bawah.
Pendekar Mabuk segera lakukan gerakan cepat
seperti tadi. ZIaaap. .! Tubuhnya yang melesat
melebihi kecepatan anak panah itu segera
menyambar tubuh Manggar Arum yang sudah
mendekati tonggak-tonggak bambu itu. Wees...!
Jleeeg. .! Pendekar Mabuk berhasil daratkan
kedua kakinya di tempat agak jauh dari Ular Berang.
Kedua tangannya masih menyangga tubuh Manggar
Arum. Gadis itu tak sadar kalau sudah berada di
tempat aman, karena sejak tadi ia memejamkan
mata kuat-kuat sambil berteriak keras-keras.
"Aaaaaa. .!"


Pendekar Mabuk 081 Pembalasan Ratu Mesum di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Husy. .!" bentak Suto Sinting, maka gadis itu diam seketika. "Sudah
diselamatkan masih berteriak saja. Brisik!"
Manggar Arum diturunkan. Mata gadis itu
memandangi pemuda tampan yang baru saja
menyelamatkan jiwanya. Tapi ia terpaksa
menggeloyor sebentar karena rasa pusing masih
mengganggu penglihatan dan keseimbangannya.
Mau tak mau Pendekar Mabuk menyambar lengan
gadis itu kembali. Teeb. .!
"Duduklah dulu di batu itu biar pusingmu hilang!"
Ular Berang datang dari tempatnya semula. la
lakukan beberapa lompatan dan tiba di dekat
adiknya langsung memeluk.
"Manggar, kau telah selamat, Manggar...! Oooh...
adikku, aku bahagia sekali kau bisa selamat dan
tidak menjadi santapan bambu-bambu runcing itu!"
"Siapa pemuda nakal itu, Ular Berang"!"
"Dialah yang seharusnya kubunuh. Dia Pendekar Mabuk. Tapi. . dia telah
menyelamatkan nyawamu,
mengapa tadi kau tanyakan 'pemuda nakal' itu" Dia tidak nakal, Manggar."
"Dia nakal," Manggar Arum cemberut dan
melengos tak mau memandang Suto.
"Di mana letak kenakalannya?"
"Dia memang menyelamatkan nyawaku. Dia
melepaskan tali penjerat kaki yang tak terlihat itu, dan menyambarku dari
ancaman tonggak runcing.
Tapi saat dia menyambarku, tangannya meremas
dadaku, Ular Berang!"
"Hahh..."!" Ular Berang kaget, Pendekar Mabuk juga kaget.
"Kurang ajar!" geram Ular Berang sambil dekati Suto. "Kau menggunakan kesempatan
dalam kelonggaran, ya"!"
"Lho, anu. . aku tidak sengaja! Aku tidak
bermaksud meremas dada adikmu. Tapi karena
tubuhnya hampir terlepas dari sambaranku tadi,
maka kugenggam sesuatu yang membuatnya
tertahan dalam pondonganku. Aku tak sengaja
menggenggam dadanya, Kang!"
"Dasar pemuda jalang!" sentak Ular Berang.
Manggar Arum menarik lengan kakaknya.
"Sudahlah, jangan dipertengkarkan."
"Tapi kau diremas seenaknya oleh pemuda jalang ini!"
"Lupakan saja. Biarkan aku yang mengingatnya sebagai kenangan manis," ucap
Manggar Arum agak pelan dan tundukkan kepala.
"Kenangan manis dengkulmu! Ternyata kau
menyukai kenakalannya, Manggar"!"
"Yaah... agak-agak suka, gitulah. .!" Manggar Arum sunggingkan senyum malu
sambil makin bersembunyi di belakang tubuh kakaknya. Ular
Berang bersungut-sungut sambil menggerutu tak
jelas. "Sebaiknya kalian cepat-cepat tinggalkan tempat ini saja!" kata Suto Sinting
bernada memberi perintah.
"Orang itu lari ke arah utara sana," kata Manggar Arum kepada Pendekar Mabuk.
"Dari mana kau tahu"!" tanya Ular Berang.
"Bukankah suara perempuan yang mengaku sebagai ratu itu tidak pernah tampakkan
wajahnya?"
"Kudengar ia berseru memanggil seseorang
dengan ancaman. Orang itu memakai jubah hijau
dan berlari ke arah utara. Jika tidak ada orang
berjubah hijau, maka suara iblis itu tidak akan
meninggalkan diriku dan ia mempermainkan diriku
dengan ancaman-ancaman mengerikannya."
"Biar aku yang akan mengejarnya ke utara," kata Suto Sinting. "Kalian harus
lekas-lekas pergi dari sini agar tidak dipermainkan oleh perempuan tanpa
wajah tadi."
"Baik, kuterima saranmu," ujar Ular Berang.
"Manggar, mari kita pulang ke Lembah Pilu!"
"Aku ingin ikut dia ke utara!" kata gadis berusia sekitar dua puluh lima tahun
itu. Pendekar Mabuk
memandang dengan hati berdebar, karena gadis itu
ternyata mempunyai kecantikan yang cukup
menggetarkan hati. Matanya yang bundar bening itu bagai mempunyai daya tarik
cukup besar, membuat
setiap pria yang habis beradu pandang dengannya
langsung sulit melupakan bayangan wajah cantik
berhidung mancung itu. Kecantikan tersebut sangat kontras dengan wajah kakaknya
yang amburadul.
"Kau tak perlu ikut ke sana, Tolol! Untuk apa kau ikut Pendekar Mabuk mencari
lawannya itu, bisa-bisa kau akan mati nganggur, tahu"!" omel si Ular Berang
terhadap adiknya.
Gadis berambut terurai sepunggung dengan ikat
kepala hijau tampak cemberut ngambek. Rupanya ia
kecewa dengan larangan dari kakaknya. la ingin
mengikuti Pendekar Mabuk karena hatinya merasa
tertarik melihat ketampanan wajah Suto dan
kegagahan sang Pendekar ganteng itu.
"Kau tidak boleh ikut dia! Kau harus pulang
bersamaku ke Lembah Pilu dan melanjutkan
pelajaran dari kitab pusaka peninggalan nenek yang belum kita rampungkan itu!"
Akhirnya kakak-beradik cekcok sendiri beradu
debat. Sementara itu Pendekar Mabuk segera
melesat ke arah utara tanpa diketahui oleh kakak-
beradik tersebut. Pendekar Mabuk penasaran sekali ingin mengetahui siapa orang
yang menyuruh Ular
Berang untuk membunuhnya.
"Tadi kudengar dari mulut Manggar Arum, orang yang tak kelihatan wujudnya itu
mengejar seseorang ke utara. Orang yang dikejar itu berjubah hijau.
Berarti orang yang menyebut dirinya sebagai ratu itu berada tak jauh dari orang
berjubah hijau. Hmmm. .
siapa orang berjubah hijau yang dikejarnya itu"!"
Langkah Pendekar Mabuk tiba-tiba terpelanting
dan jatuh tersungkur lalu berguling-guling. Dari arah belakangnya ada sesuatu
yang menghantam dengan
kekuatan cukup besar yang mengakibatkan dirinya
tersungkur lalu terjungkal berguling-guling. Bumbung tuak yang tadi habis
diminum isinya itu masih
tergenggam di tangan kanan.
Maka ketika ia dalam keadaan telentang sambil
menyeringai kesakitan, tiba-tiba bumbung tuaknya
disodokkan ke atas karena datangnya sekelebat
bayangan yang ingin menjatuhi tubuhnya. Wuut...!
"Aaahk. .!" Orang yang ingin menginjaknya itu terpental dan berguling-guling di
udara karena sodokan bambu tuak mengenai telapak kaki orang
tersebut. Agaknya orang itu kesakitan sehingga ia serukan pekik yang mirip
jeritan. Pendekar Mabuk segera bangkit, tapi jatuh
berlutut lagi karena tenaganya bagaikan terkuras
habis, seluruh tulangnya terasa remuk, terutama
tulang punggungnya. Rupanya pukulan jarak jauh
orang tersebut telah melumpuhkan seluruh urat dan meretakkan tulang punggung,
sehingga sukar dipakai untuk berdiri lagi.
"Aduh, gawat! Bisa mampus kalau keadaanku
jadi selemas ini! Rupanya tadi saat kusodokkan
bambu tuakku ini, aku telah menggunakan tenaga
yang tersisa dan. . sepertinya tak mungkin bisa
kulakukan lagi sekarang. Aku tak bisa mengulangi
serangan seperti tadi. Uuuh, sakitnya! Sebaiknya
kupaksakan sisa tenaga yang masih ada untuk
mengangkat bumbung tuak ini dan menenggak
isinya...."
Maka dengan gerakan pelan dan tampak
dipaksakan sekali, Pendekar Mabuk menenggak
tuaknya beberapa teguk. Tuak yang terminum mulai
bekerja memulihkan luka dalam dan
mengembalikan kekuatannya dalam waktu relatif
singkat. Pada saat Pendekar Mabuk terengah-engah
menunggu kekuatannya pulih kembali, orang yang
tadi terpental itu juga berusaha bangkit dan
mengerang kesakitan. Rupanya sodokan bumbung
tuak itu tadi mempunyai kekuatan tenaga dalam
tersendiri yang dapat membuat tubuh korbannya
menjadi tak berdaya. Seluruh tulangnya juga terasa remuk dan urat-uratnya
bagaikan putus semua.
Orang itu berusaha bangkit dengan berpegangan
pada batang pohon, namun kedua kakinya tampak
sukar dipakai berdiri. Kaki itu bagai tak bertulang dan tak berurat lagi.
"Lho. . dia"!" Suto segera sadar dan terkejut melihat siapa orang yang
menyerangnya tadi.
Orang itu ternyata adalah seorang gadis berusia
sekitar dua puluh tiga tahun dengan pakaian serba kuning. Rambutnya pendek
diikat tali merah.
Wajahnya mungil, hidungnya bangir, bibirnya seperti kuncup mawar. Gadis itu
mempunyai pedang dari
perunggu dan dulu Suto pernah diserangnya dengan
menggunakan senjata rahasia berbentuk bintang
putih segi empat. Gadis itu tak lain adalah Sriti Kuning, yang dulu menduga Suto
sebagai Badra Sanjaya, mantan kekasihnya yang sekarang sudah
menikah dengan Laras Wulung, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode : "Petaka Ranjang Goyang").
Mengingat dulu Suto pernah bermesraan dengan
Sriti Kuning, walau saat itu menurut anggapan Sriti Kuning ia bermesraan dengan
Badra Sanjaya, tetapi kemesraan itu masih terkenang dan berkesan di hati
Pendekar Mabuk. Rasa tak tega pun timbul di hati
Suto, sehingga ia cepat-cepat dekati gadis itu dan
menolongnya dengan memberikan minum tuak
saktinya itu. Dengan meneguk tuak sakti dari
bumbung si murid sinting Gila Tuak itu, maka
kekuatan Sriti Kuning pulih kembali dan badannya
menjadi lebih segar dari sebelumnya.
"Mengapa kau menyerangku separah itu, Sriti
Kuning"!"
Gadis itu berkerut dahi memandang Pendekar
Mabuk yang punya wajah lebih tampan dan lebih
gagah dari mantan kekasihnya itu. Wajah cantik
tersebut tampak memendam keheranan ketika
namanya disebutkan oleh si tampan berhidung
bangir. "Dari mana kau tahu namaku Sriti Kuning"!"
"Dulu kita pernah bertemu dan saling memadu
kasih, hanya saja tak sampai ke puncak
kemesraan."
"Omong kosong! Kubeset mulutmu dengan
pedangku jika kau berani berkata begitu lagi,"
ancam Sriti Kuning karena merasa malu.
"Aku tidak berdusta, Sriti Kuning. Kita memang pernah bermesraan dan. . "
"Kita bertemu baru kali ini!" sentak Sriti Kuning dengan wajah gusar.
"Tidak, Sriti Kuning. Kita pernah bertemu sebelum ini. Hanya saja, waktu itu aku
menggunakan raganya Badra Sanjaya."
"Ooh. ."!" Sriti Kuning terkejut mendengar nama Badra Sanjaya. "Kau. . kau
mengenal Badra Sanjaya
juga"!"
"Benar," jawab Suto tegas. "Kala itu Badra Sanjaya terkena jurus racun 'Ranjang
Goyang' yang dilepaskan oleh Ratu Dekap Rindu...."
"Kau jangan membual di depanku!"
"Demi sumpah apa saja aku berani, Sriti Kuning.
Keadaan Badra Sanjaya kala itu tak bisa lakukan
apa-apa. Sukmanya terpenjara dalam tabung kaca.
Lalu, gurunya Badra Sanjaya yang berjuluk Jalu
Kuping berhasil melumpuhkan diriku dengan jurus
'Petir Jinak'. Rupanya kelemahanku itu
dimanfaatkan oleh Jalu Kuping. Sukmaku
dipindahkan ke raganya Badra Sanjaya dengan
menggunakan ilmu 'Sewaka Sukma'. Jadi, nyawaku
disewa oleh Jalu Kuping untuk menjadi Badra
Sanjaya sementara, dan bertugas mencari tabung
kaca yang menjadi tempat penjara sukma aslinya
Badra Sanjaya."
Sriti Kuning diam dan terkesima oleh penuturan
itu. Matanya memandang tak berkedip dalam
keadaan masih bimbang. Tangannya masih pegangi
gagang pedang yang sewaktu-waktu bisa dicabutnya
dengan cepat. "Pada saat sukmaku masuk ke raganya Badra
Sanjaya dan pergi ke Bukit Kemesraan untuk
mencari Ratu Dekap Rindu, aku berjumpa
denganmu. Kau menyangka aku Badra Sanjaya,
karena memang wujudku adalah wujud Badra
Sanjaya. Lalu.. lalu pada saat itulah kau lampiaskan
rindumu, kau curahkan kemesraanmu hingga kita
saling bercumbu gila-gilaan di bawah pohon di balik semak-semak. Saat itu
sebelumnya kau sempat
menyerangku, sebagai ungkapan kecemburuanmu
terhadap Badra Sanjaya yang ada main dengan
Sunting Sari. Sedangkan pertemuan kita itu terjadi pada saat kau sedang ingin
kembali ke perguruanmu karena gurumu memanggilmu."
Sriti Kuning menjadi terkesima dan mematung di
tempat. Wajahnya mulai tampak memerah karena
menahan rasa malu. la segera teringat masa-masa
indah terakhir yang dinikmatinya bersama Badra
Sanjaya. Ternyata masa indah terakhir itu ia nikmati bersama rohnya Pendekar
Mabuk walau raganya
adalah raga Badra Sanjaya.
"Gurunya Badra Sanjaya memang punya ilmu
langka yang dinamakan ilmu 'Sewaka Sukma' itu,"
ujar Sriti Kuning dalam hatinya. "Penjelasan pemuda itu masuk akal sekali,
karena aku tahu kesaktian Ki Jalu Kuping itu. Tapi. . oh, kalau begitu aku
terperangkap dalam permainan laknat itu." Sriti Kuning mulai menggeram dalam
hati, sorot pandangan matanya memancarkan dendam dan
permusuhan. "Apakah kau ingat saat kau memuji Badra
Sanjaya yang kehangatannya kau rasakan lebih
panas dan lebih indah dari sebelumnya" Itulah
saatnya kau bercumbu denganku, dan itulah


Pendekar Mabuk 081 Pembalasan Ratu Mesum di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kehangatanku yang sebenarnya. Kurasa. . "
"Cukup!" sentak Sriti Kuning. "Kau tak perlu beberkan semuanya, aku sudah bisa
mengingat peristiwa itu!"
Pendekar Mabuk masih tetap kalem, tenang,
bibirnya masih dibayang-bayangi senyum yang
menawan hati setiap perempuan.
"Mengapa pada waktu itu kau tidak jelaskan
siapa dirimu"!"
"Karena kau tak akan percaya, dan tetap
bersikeras menganggapku sebagai Badra Sanjaya.
Anggapan itu sukar dibantah karena kenyataannya
memang aku menggunakan raganya Badra
Sanjaya," jawab Pendekar Mabuk dengan suara lembut, tanpa sentakan atau bentakan
yang menimbulkan permusuhan. Sikapnya tetap ramah
dan menawan, membuat nafsu membunuh yang ada
dalam diri Sriti Kuning makin lama semakin
mengendur. "Kalau tahu saat itu aku bermesraan denganmu, aku tak akan... tak akan...."
"Tak akan sudi melakukannya"!" pancing Suto dengan memamerkan senyum indah
kepada gadis cantik itu. "Sebaiknya kita lupakan saja peristiwa itu!" ujar Sriti Kuning menutup
keresahannya. "Dapatkah kau melupakan sesuatu yang sangat indah itu"! Dapatkah kau menahan
diri untuk tidak mengulanginya lagi"!"
"Kenapa tidak!" sentak Sriti Kuning semakin
galak demi menutupi perasaan tergodanya sejak
tadi. Katanya lagi dengan lantang, "Semua itu akan lenyap dari ingatanku kalau aku
sudah berhasil membunuhmu, Pendekar Mabuk!"
Suto tetap tersenyum kalem, bahkan tertawa
pendek tanpa suara. Tubuhnya yang tinggi, kekar
dan gagah itu berdiri tegak di depan Sriti Kuning dengan menggantungkan bumbung
tuak di pundak.
Tangan kanannya berpegangan pada tali bumbung
tersebut. "Mengapa kau ingin membunuhku" Dosa apakah
aku kepadamu, Sriti Kuning"!"
"Ini perintah!"
"Perintah dari siapa"!"
Sriti Kuning diam beberapa saat lamanya. Bahkan
ia sempat mundur dua langkah dan berdiri dengan
menopangkan tangan kiri ke pohon. Ada sesuatu
yang dipertimbangkan dalam pikirannya.
Pertimbangan itulah yang membuatnya semakin
resah. Sampai akhirnya ia ungkapkan keresahan itu dengan sikap bermusuhan yang
mulai berkurang.
"Kalau begitu aku telah terjebak oleh langkahku sendiri."
"Langkah yang bagaimana, Sriti Kuning?" sambil Suto mendekat lagi.
"Aku telah bersekutu dengan Ratu Dekap Rindu, aku akan diterimanya sebagai
sekutu Nyai Ratu jika aku berhasil memenggal kepala Pendekar Mabuk.
Setahuku, Pendekar Mabuk ke mana-mana selalu
membawa bumbung tuaknya."
"O, jadi yang sekarang Ratu Dekap Rindu
memburu kematianku"!" Suto minta pertegasan sekali lagi.
"Ya, kau diburu oleh Ratu Dekap Rindu karena kau telah menghancurkan istananya
pada saat ia sedang lakukan semadi," jawab Sriti Kuning. "Dan perlu kau ketahui, Ratu Dekap
Rindu pada saat
istananya kau hancurkan, dia sedang mempelajari
ilmu kesaktian yang dinamakan 'Hantu Melayang'.
Jurus itu sukar ditandingi. Aku pernah mendengar
cerita dari guruku tentang kehebatan jurus 'Hantu Melayang', karenanya aku
bermaksud bersekutu
dengan Ratu Dekap Rindu untuk melampiaskan
dendamku kepada Badra Sanjaya dan Laras Wulung
yang juga dalam pengejaran Ratu Dekap Rindu."
"Sudah kuduga balas dendam itu akan datang
cepat atau lambat, dan aku harus tetap siap dan
waspada menghadapi dendam Ratu Dekap Rindu!"
gumam Suto sambil tertegun sesaat.
"Nyai Ratu sekarang sedang membuka
sayembara besar, kepada siapa saja yang bisa
membunuh Pendekar Mabuk akan diangkat sebagai
orang kepercayaannya dan jurus 'Hantu Melayang'
akan diturunkan kepada orang tersebut. Berhati-
hatilah kau!"
Setelah berkata begitu, Sriti Kuning melesat pergi tinggalkan Pendekar Mabuk
yang terbengong
sendirian. Agaknya ia membatalkan niatnya
membunuh Pendekar Mabuk karena merasa pernah
mendapatkan kemesraan yang luar biasa indahnya
dari pemuda itu. Atau barangkali Sriti Kuning punya maksud tersembunyi yang tak
dapat diketahui oleh
siapa pun itu di balik kepergiannya"
* * * 3 DALAM kisah Pusaka Jarum Surga, Suto memang
telah membuat istana di Bukit Kemesraan dalam
kekuasan Ratu Dekap Rindu menjadi hancur. Bukan
hanya itu saja, tapi Pendekar Mabuk juga membantu pelarian Laras Wulung yang
semula adalah orang
kepercayaan Ratu Dekap Rindu.
Laras Wulung melarikan diri dari istana karena ia jatuh cinta kepada Badra
Sanjaya. Sedangkan Badra Sanjaya adalah pemuda yang menjadi budak gairah
Ratu Dekap Rindu. Jurus 'Ranjang Goyang' sang Ratu telah ditanamkan pada diri
Badra Sanjaya, dan
sukma Badra Sanjaya telah dipenjarakan dalam
tabung 'Penjara Sukma' dengan maksud agar
setelah sang Ratu selesai bersemadi, maka ia dapat menarik kembali Bandra
Sanjaya dan berpesta cinta dengan pemuda itu. Tetapi ternyata harapannya itu
dibuat kecewa oleh Suto Sinting.
Padahal mencari Pendekar Mabuk bukan
semudah mencari kutu di padang pasir. Lebih sulit
dari itu. Pendekar Mabuk adalah orang yang tak bisa diam di suatu tempat lebih
dari tiga hari. la selalu berkeliling mengembara ke mana-mana sambil
memburu musuh utamanya yang berjuluk Siluman
Tujuh Nyawa itu.
Karena itulah maka tak heran jika Nyai Ratu
Dekap Rindu kesulitan menemukan Suto Sinting.
Maka ia membuka sayembara agar semua orang
ikut memburu Pendekar Mabuk. Tak peduli di tangan siapa Pendekar Mabuk nanti
tumbang, yang penting
dendam Nyai Ratu Dekap Rindu menghendaki
kematian murid sinting si Gila Tuak itu.
"Rupanya Sriti Kuning ingin menghimpun
kekuatan untuk melampiaskan dendamnya kepada
Badra Sanjaya dan gurunya serta si Laras Wulung
yang telah membuat hatinya hancur dengan
melakukan perkawinan bersama Badra Sanjaya,"
pikir Pendekar Mabuk saat lanjutkan langkahnya ke utara.
"Tapi agaknya, Sriti Kuning kecewa dengan
langkahnya sendiri. la menyusun kekuatan dengan
lakukan persekutuan yang salah. Kurasa ia baru
sadar bahwa selama ini yang mengganggu
kemesraannya dengan Badra Sanjaya adalah Ratu
Dekap Rindu sendiri. Gara-gara ulah sang Ratu
akhirnya Badra Sanjaya terpikat oleh Laras Wulung dan menikah dengan perempuan
itu. Tentu saja hal
ini sangat menyakitkan hati Sriti Kuning. Lalu,
apakah Sriti Kuning tetap ingin bersekutu dengan
Nyai Ratu Dekap Rindu jika ternyata Nyai Ratu
pernah memperbudak kemesraan Badra Sanjaya
sebagai alat pelampiasan gairahnya"!"
Renungan Suto Sinting itu menjadi buyar
mendadak, setelah ia mendengar suara ledakan
menggelegar dari balik perbukitan sebelah
kanannya. la bergegas ke arah perbukitan tandus itu.
"Pasti ada pertarungan seru di sana! Menyesal sekali jika aku tak sempat melihat
pertarungan yang menggunakan jurus-jurus dahsyat itu. Sewaktu-waktu aku
berhadapan dengan jurus itu, aku tak
akan bisa mengatasinya jika sebelumnya tak pernah melihatnya!" pikir Suto
Sinting sambil berkelebat sangat cepat bagaikan angin tanpa bentuk.
Rupanya dugaan Pendekar Mabuk memang
benar. Ada pertarungan cukup seru di balik bukit itu.
Pertarungan tersebut dilakukan oleh dua tokoh sakti yang sudah dikenal Pendekar
Mabuk. Oleh sebab itu, mata Suto membelalak kaget ketika saksikan
pertarungan tersebut.
"Pangkar Soma. ."! Oh, ia sedang melawan si
Rupa Setan alias Anjardani"! Benar-benar seru ini!
Keduanya sama-sama punya kesaktian tinggi. Tapi
kurasa Anjardani atau si Rupa Setan tak mungkin
kalah melawan Pangkar Soma, sebab ilmunya cukup
tinggi. Biar masih muda dan cantik tapi sebenarnya ia angkatan tua, usianya
lebih tua dari Pangkar
Soma yang kira-kira baru enam puluh lima tahun
itu...." Lelaki berambut putih panjang, meriap tanpa ikat
kepala itu mengenakan jubah dan celana merah.
Badannya agak gemuk, wajahnya dingin. la
mempunyai senjata pusaka sebuah cambuk yang
berbahaya. Kesaktian bekas murid mendiang
Tengkuk Cadas itu mampu menghadirkan hujan
darah yang mengandung racun dapat membusukkan
tulang siapa pun yang terkena tetesan hujan merah itu. Tetapi jurus 'Hujan
Petaka' itu pernah dikalahkan oleh kesaktian Pendekar Mabuk dalam suatu
pertarungan tak langsung, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode : "Gadis Tanpa Raga" dan
"Asmara Janda Liar"),
Sedangkan Rupa Setan adalah tokoh tua yang
mampu pertahankan kecantikan dan kemolekan
tubuhnya dengan sebuah ilmu warisan gurunya.
Rupa Setan adalah perempuan cantik yang sangat
menggairahkan, di mana dulu ia selalu mengenakan
topeng tua yang membuat wajahnya tampak buruk.
Topeng itu terlepas dan wajah cantiknya terlihat jelas sejak ia dan Suto Sinting
terperosok dalam Sumur
Tambak Peluh yang mempunyai kabut pembangkit
gairah. Mulanya perempuan berjubah hijau itu sempat
adu kesaktian dengan Suto, tapi ia berhasil
ditumbangkan oleh Suto dan akhirnya menjadi
sahabat yang punya bunga-bunga indah dalam
hatinya, bahkan nyaris memadu kasih ketika sama-
sama berada dalam sumur itu, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode : "Dewi Kesepian" dan
"Penjara Terkutuk").
Tentu saja dalam pertarungan antara Pangkar
Soma dan Anjardani, Suto Sinting cenderung
berpihak pada Anjardani, karena Anjardani
sebenarnya adalah tokoh aliran putih, sahabat si Gila Tuak. Sedangkan Pangkar
Soma adalah tokoh aliran
hitam yang mempunyai dendam kepada Suto Sinting
karena Suto telah membunuh Nyai Ronggeng Iblis,
adik dari gurunya Pangkar Soma. Seandainya Nyai
Ronggeng iblis belum tewas dan ilmunya disalurkan kepada Pangkar Soma, maka
lelaki itu akan
mempunyai kesaktian maha dahsyat dan sukar
ditandingi. Kesaktian Pendekar Mabuk dapat
dikalahkan dengan penyatuan ilmu tersebut. Oleh
sebab itulah, Pangkar Soma menjadi berang dan
mendendam kepada Pendekar Mabuk yang telah
membuatnya gagal menjadi tokoh tersakti di dunia.
Pangkar Soma selalu mengandalkan cambuk
pusakanya, karena ia mempunyai jurus 'Cambuk
Iblis' yang dapat membuat lawan sesakti apa pun
menjadi bubuk halus jika terkena lecutan cambuk
dari jurus tersebut. Kini cambuk itu mulai dicabut dari pinggangnya dan siap
digunakan untuk
melawan Anjardani.
"Celaka! Anjardani bisa hancur jika begini
caranya. Dia terluka oleh pukulan dahsyat tadi.
Pangkar Soma juga terluka, tapi masih mempunyai
tenaga cadangan untuk lecutkan cambuknya,
sedangkan Anjardani terpuruk kehilangan
tenaganya. Gawat! Anjardani tak mau bangkit
dengan cepat. Aku terpaksa harus segera turun
tangan jika begini!"
Zlaaap...! Suto Sinting bergerak cepat
menggunakan jurus 'Gerak Si uman'-nya. Tubuh
Pangkar Soma yang sedang ingin mengayunkan
cambuknya itu diterjang dari arah samping tanpa
permisi lagi. Bruuuss...! Buuhk...!
Bumbung tuak disodokkan ke tulang iga Pangkar
Soma. Terdengar suara pekik dari mulut Pangkar
Soma bercampur derak tulang patah.
Kraak...! "Aaaahhhkk...!"
Bruuk, brus, brus, brus...!
Pangkar Soma terlempar delapan langkah
jauhnya dan berguling-guling di tanah. Cambuknya
terlepas dari genggaman tangan, tapi hanya sejauh satu jangkauan saja.
Pendekar Mabuk tak hiraukan keadaan lawan. la
segera berkelebat dekati si Rupa Setan yang masih tanpa topeng itu.
Zlaaap...! "Anjardani...! ini aku; Suto...!"
Anjardani tak bisa ucapkan kata apa pun.
Tenggorokannya tampak biru legam dan pundak
sampai tangan kirinya juga biru legam. la terkena pukulan yang amat berbahaya
dan membuatnya sangat lemah. "Cepat minum tuakku! Cepat. .!" desak Suto Sinting sambil mendekap kepala
Anjardani dan menuangkan tuak pelan-pelan ke mulut perempuan


Pendekar Mabuk 081 Pembalasan Ratu Mesum di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu. "Uhuk, uhuk, uhuk. .!" Anjardani tersedak dan terbatuk-batuk. Tuak sakti itu
telah terminum cukup banyak. Pendekar Mabuk segera menutup bumbung
tuak tersebut. "Bertahanlah di sini dulu, aku akan selesaikan urusan dengan si Pangkar
Soma.. !" "Hati-hati.. ," ucap Anjardani mulai sedikit bertenaga. "Ratu Dekap Rindu. . ada
di sekitar sini dan memburu nyawamu...."
Suto mulai tegang, matanya memandang
sekeliling mencari Ratu Dekap Rindu, tapi yang
ditemukan hanyalah Pangkar Soma.
Hanya saja, beberapa saat sebelum Suto bangkit
berdiri untuk meninggalkan Anjardani, tiba-tiba ia mendengar suara lantang
berseru entah dari arah
mana. "Bangkit, Pangkar Soma! Habisi perempuan itu dan aku akan menghabisi pemuda
laknat itu!"
"Suto, itu suara Ratu Dekap Rindu!" sentak Anjardani yang semakin bertenaga
kembali. Wuuus. .! Sekelebat angin berhembus menerpa
Suto Sinting. Dalam naluri Pendekar Mabuk, angin
itu bukan sembarang angin. Pasti angin pembawa
maut. Karenanya, Suto segera menggerakkan
bumbung tuaknya dalam satu tebasan ke arah
samping. Duuuhk...! "Aaahk. .!" terdengar pekik suara perempuan saat bumbung tuak itu seperti
menghantam sebuah
benda bertulang.
Duuuhk...! "Aooouh. .!" Suto pun terpekik dan jatuh tersungkur, karena tengkuk kepalanya
seperti dihantam dengan kayu balok cukup keras.
Bruuuk. .! Pendekar Mabuk tumbang ke depan,
namun segera berusaha bangkit mengingat
lawannya menyerang dengan jurus yang sukar
dilihat. Sementara itu, Pangkar Soma sudah berdiri lagi dengan tubuh agak miring
karena tulang iganya ada yang patah. Cambuknya segera dilecutkan ke
udara. Ctaaar...!
Sinar putih berkerilap keluar dari cambuk itu.
Sinar tersebut tertuju ke arah Anjardini yang masih berada tak jauh dari
Pendekar Mabuk. Melihat sinar putih melesat ke arahnya yang juga akan mengenai
Pendekar Mabuk, maka Anjardani melepaskan
pukulan dari telapak tangannya yang disentakkan ke depan.
Claaapp...! Sinar merah lurus kecil melesat menembus sinar
putih dari cambuk itu. Trattaar. .! Percikan bunga api terjadi ketika sinar
merah itu menembus sinar putih.
Tapi ternyata tidak membuat sinar putih itu padam dan sinar merah pun tetap
meluncur cepat akhirnya
menghantam tangan Pangkar Soma yang
memegangi gagang cambuk.
Taarrrr. .! "Aaaaahhk. .!" Pangkar Soma terpekik keras, tubuhnya melayang ke belakang dan
tumbang dalam keadaan telentang. la mengerang-ngerang
dalam keadaan tubuhnya menjadi hangus dan
kepulkan asap. Namun ia masih berusaha untuk
bangkit dengan suara menggeram kebingungan.
Blaaass...! Pangkar Soma larikan diri dari tempat itu sambil
membatin, "Mereka harus kuhindari dulu. Kalau tidak bisa hancur tubuhku. Aku
harus sembuhkan
dulu luka berbahaya ini."
Sementara itu, sinar putih yang menyerang Suto
dan Anjardani telah berubah fungsinya. Seandainya tidak ditembus oleh sinar
merahnya Anjardani, maka sinar putih itu akan melumerkan sekujur tubuh
mereka. Tetapi karena tertembus sinar merahnya
Anjardani maka sinar itu melenyapkan seluruh
pakaian mereka, seperti yang dialami oleh Tenda
Biru waktu itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Pusaka Jarum
Surga"). Slaaap...! Anjardani terkejut sekali melihat keadaan
tubuhnya tanpa selembar benang pun. Ia memekik
dan melompat ke balik pohon. Sedangkan Suto
Sinting yang pandangan matanya berkunang-kunang
segera terbelalak pula mengetahui tubuhnya
menjadi polos tanpa penutup apa pun.
"Gila! Kenapa jadi begini"! Wah, wah, wah... wah, kacau sekali ini"!" ia masih
sempat clingak-clinguk dengan tegang dan kebingungan. Kedua pahanya
segera menggapit bumbung tuak sebagai penutup
'barang antik'nya itu.
"Ooh, aaahhk. .!" terdengar suara rintihan di kejauhan sana. Suara itu adalah
suara perempuan.
Tak salah lagi dugaan Suto, pasti Ratu Dekap Rindu itulah yang merintih
kesakitan akibat terkena
pukulan bambu tuak tadi.
Claaap...! Tiba-tiba seberkas sinar kuning lurus melesat
bagaikan keluar dari dalam tanah di seberang sana.
Sebetulnya pada saat itulah Ratu Dekap Rindu
melepaskan pukulan bersinarnya dalam keadaan
masih tidak terlihat oleh pandangan mata biasa,
karena ia menggunakan jurus 'Hantu Melayang'.
"Suto, awaaaas. .!" teriak Anjardani tak berani keluar dari balik pohon.
Pendekar Mabuk segera berpaling ke arah
datangnya sinar kuning tersebut. Dengan gerakan refleks ia mengibaskan bumbung
tuaknya dan lakukan lompatan ke samping. Wuuut...!
Sinar kuning itu menghantam bumbung tuak.
Jegaaarrr...! Ledakan itu menyemburkan gelombang
hawa panas yang menyentak kuat membuat tubuh
Pendekar Mabuk melayang di udara dalam keadaan
tanpa busana. "Aaaaaa. .!!"
Teriakan keras pendekar tampan itu bukan saja
karena kepanasan oleh semburan gelombang hawa
panas itu, melainkan juga sebagai curahan rasa
bingungnya menghadapi keadaan tanpa busana
melayang-layang di udara.
Jegaaar, jegaaar...!
Dua pukulan jarak jauh bertenaga dalam tinggi
dilepaskan oleh Anjardani. Perempuan itu terpaksa lompat ke samping pohon dan
melepaskan pukulan
tersebut dengan kaki merenggang dan sedikit
rendah, lalu kedua tangannya menyentak dua kali
berturut-turut. Sinar biru berasap melesat cepat
menghantam tempat munculnya sinar kuning tadi.
"Bangsat kau, Anjardani i. .!" teriak suara perempuan yang tak lain adalah suara
Ratu Dekap Rindu. Suara itu menjauh, sebagai tanda kepergian Ratu Dekap Rindu.
Pras, pras, kraaak, brruuuk...! Pohon-pohon
tumbang bagai dilanda badai amat keras. Sayang
sekali mereka tak melihat bahwa saat itu Ratu
Dekap Rindu tak kuat menahan luka-lukanya dan
melarikan diri dengan menerjang pepohonan. Pohon
yang diterjangnya menjadi patah dan tumbang
berserakan. Lebih dari delapan pohon yang
mengalami kerusakan total karena diterjang
gerakan tak terlihat itu.
"Suto.,."!" Anjardani terkejut melihat Suto Sinting terkapar di tanah dalam
keadaan sekujur tubuhnya
melepuh. Tanpa banyak pertimbangan lagi, tanpa
menyadari keadaan tubuhnya sendiri yang polos, si Rupa Setan melesat hampiri
Pendekar Mabuk.
"Celaka! Sebentar lagi kau akan terpanggang
matang oleh gelombang hawa panasnya tadi!"
geram Anjardani seperti bicara pada diri sendiri.
"Oh, tuak itu. .! Kau harus meminum tuakmu
sendiri!" Anjardani cepat-cepat menyambar
bumbung tuak yang terletak di samping tangan Suto yang melepuh berwarna biru
kemerah-merahan.
Anjardani pun segera mengangkangi tubuh Suto
untuk menuangkan tuak ke mulut Suto secara pelan-
pelan. Glek, glek, glek...!
Ketika tuak berhasil terminum oleh Pendekar
Mabuk, maka kulit tubuh yang polos itu bergerak-
gerak lamban. Gelembung-gelembung itu bergerak
mengempis. Rasa panas yang diderita Suto
berangsur-angsur hilang. Ketika Suto Sinting
membuka matanya, ternyata Anjardani masih
mengangkanginya dengan pegang bumbung tuak
dan berwajah cemas.
"Oh, apa yang kulihat itu"!" sentak Suto dalam hati ketika matanya menatap ke
benda yang persis
ada di atas dadanya. Benda hitam yang dikelilingi kemulusan kulit paha Anjardani
itu sempat membuat mata Suto tak bisa berkedip lagi.
"Ooh. ."!" Anjardani terpekik kaget begitu menyadari 'mahkotanya' dipandangi
Suto tanpa kedip. Plaak. .! la menampar pipi Suto dengan tamparan
kakinya. "Dasar mata jalang!" makinya sambil
bersembunyi lagi.
Suto mematung di tempat; shock akibat melihat
'benda keramat'-nya Anjardani itu.
* * * 4 REMBULAN malam muncul di langit jernih.
Rembulan pun dalam keadaan polos tanpa seulas
mega pun menutupinya. Cahayanya yang pucat
menerangi bumi, memancarkan suasana romantis
yang mengusik hati tiap insan dengan bunga-bunga
indahnya. "Haruskah kita bertarung dalam keadaan polos begini"!" ujar si Rupa Setan
bernada gerutu sambil pandangi api unggun di depannya.
"Kita harus mencari pakaian kita, Anjardani," kata Suto dari balik bebatuan
tinggi. la bersembunyi di sana karena malu jika dipandangi Anjardani dalam
keadaan seperti bayi baru lahir itu.
"Pakaian kita telah hancur menjadi debu. Bahkan lebih lembut dari debu, sehingga
tidak bisa kita
tambal lagi. Kita harus mencari pakaian pengganti."
"Kalau begitu kita harus ke sebuah desa, atau bila
perlu ke kotaraja untuk mencari kain pengganti
pakaian. Aku tetap ingin kain coklat untuk baju dan kain putih untuk celana. Aku
menyukai perpaduan
dua warna itu."
"Ya. Aku juga menyukai jubah hijau dan pakaian dalam kuning. Tapi bagaimana kita
harus ke kotaraja atau ke sebuah desa mencari kain jika
keadaan kita seperti manusia purba begini"!" sambil Anjardani mendekati ke balik
batu tertinggi di dalam gua itu.
"Hei, jangan kemari!" sentak Suto Sinting sambil menggapit bumbung tuaknya
sebagai penutup 'jimat
antik'-nya itu.
"Oh, ya... aku lupa!" Anjardani pun tersentak kaget dan segera berlindung di
balik batu berbentuk
persegi empat itu.
Sebenarnya Anjardani duduk di samping Suto,
hanya karena terhalang batu dan saling
memunggungi maka mereka sama-sama tak bisa
memandang keadaan lawan jenisnya masing-
masing. Namun di balik benak Suto masih terbayang gumpalan kencang dari kedua
bukit di dada Anjardani yang menantang dalam kemulusan dan
keruncingan ujungnya. Tak heran jika Suto Sinting sejak tadi kebingungan
menjinakkan 'jimat antik'-
nya agar tidak membandel dan nakal.
Sementara itu, gua di tepi pantai itu cukup
dangkal. Tidak mempunyai kedalaman yang
panjang. Tapi mempunyai langit-langit yang tinggi.
Akibatnya, mereka bagaikan berada di tepian pantai, dapat memandang cahaya
rembulan yang jatuh ke
permukaan air laut dan sesekali tubuh mereka
dicekam rasa dingin karena hembusan angin. Api
unggun pun sesekali nyaris padam akibat hembusan
angin pantai yang makin semakin berhembus
kencang. Untung ada batu persegi empat yang tinggi,
sehingga mereka dapat melindungi tubuh dari
hembusan angin dengan berlindung di batu persegi
empat itu. Dengan duduk saling memunggungi di
balik kedua sisi batu, mereka bisa menahan rasa
dingin sekaligus dapat bercakap-cakap tanpa harus memandang nakal.
"Mengapa kau tadi bisa kalah melawan Pangkar Soma?" tanya Solo sambil berusaha
menghilangkan bayangan nakalnya tentang kedua bukit sekal di
dada Anjardani tadi.
"Aku sempat jatuh dan terluka bukan oleh
serangan Pangkar Soma, melainkan oleh serangan
si Ratu Dekap Rindu yang tak bisa kuketahui dari
mana arahnya," jawab Anjardani sambil menoleh ke belakang, walau tak memandang
lurus ke punggung
Suto. "Lalu apa persoalannya sehingga kau bentrok
dengan Pangkar Soma?"
"Pangkar Soma kebetulan saja lewat tempat itu.
Ia dibujuk oleh Dekap Rindu agar ikut menghabisi
nyawaku, sebab, Dekap Rindu sejak dulu memang
bermusuhan denganku,"
"Ooo... begitu"!"
"Bahkan kudengar Dekap Rindu menjalin
persekutuan dengan Pangkar Soma. Mulanya
mereka akan menghabisi nyawaku lebih dulu,
kemudian Pangkar Soma ditugaskan mencarimu
dan membunuhmu. Jika hal itu bisa dilakukan oleh
Pangkar Soma, maka Dekap Rindu bersedia menjadi


Pendekar Mabuk 081 Pembalasan Ratu Mesum di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

istri Pangkar Soma sebagai hadiah dari perempuan
laknat itu!"
"Rupanya Ratu Dekap Rindu menjalin
persekutuan dengan siapa saja untuk
membunuhku!"
"Benar. Kudengar dari beberapa orang yang
mencarimu, mereka dibujuk untuk menjalin
persekutuan dengan Ratu Mesum itu untuk
membunuhmu. la menyusun kekuatan dengan
berbagai cara agar segera mendapat pengikut baru
guna melawan kekuatan Pendekar Mabuk dan para
pendukungnya, tentu saja termasuk diriku!" tutur Anjardani sambil makin
berpaling ke arah Suto
Sinting. Sedangkan Pendekar Mabuk pun juga masih
berpaling ke arah perempuan itu karena
menganggap percakapan mereka menjadi lebih
serius lagi dari sebelumnya.
"Repotnya, Dekap Rindu sudah menguasai jurus
'Hantu Melayang', dan jurus itu sukar ditandingi, kecuali dengan kekuatan suatu
ilmu yang dapat
menembus dunia gaib."
"Kurasa aku mampu melakukannya! Aku bisa
menembus alam gaib, seperti saat aku mencari Batu Tembus Jagat."
"O, ya... aku ingat! Kalau begitu, sebaiknya cari secepatnya si Ratu Mesum itu,
kejar dia sampai ke alam gaib. Habisi dia di sana juga bila perlu. Tapi hati-
hatilah jangan sampai terjerat oleh
kemesumannya."
"Maksudmu bagaimana"!" Suto Sinting semakin menghadap ke arah Anjardani tanpa
peduli kepolosan tubuhnya. Anjardani pun merasa perlu
lebih menghadap ke arah Suto untuk jelaskan
maksudnya agar dipahami baik-baik oleh pemuda
tampan berdada kekar itu.
"Orang-orang sebayaku, para tokoh tua
seangkatanku, sering menjulukinya Ratu Mesum,
karena ia mempunyai kekuatan cukup hebat untuk
menjerat lawan jenisnya ke dalam cumbuan hangat.
la mempunyai jurus 'Ranjang Goyang' yang akan
membuat lawan jenisnya tak bisa pergi tinggalkan
dirinya, selain bunuh diri. la juga mampu
memenjarakan roh lawan jenisnya, yang dapat
membuat lawan jenisnya menuruti perintahnya
kapan saja ia minta dicumbu. Beruntung kau tidak
melihat wajahnya saat pertarungan tadi. Jika kau
melihat wajahnya, kau tak akan bisa menghindari
luapan gairahmu sendiri yang tertarik ingin
bercumbu dengannya."
"Mengapa dia sehebat itu?" tanya Suto Sinting
makin berhadapan total dengan Anjardani.
"Karena ia sebenarnya perempuan titisan Iblis Pakar Mesum," sambil Anjardani
bergeser mendekati Suto dalam keadaan menghadap total ke
arah pemuda tampan itu.
"Ketika ia menjadi muridnya Nyai Lawang Neraka, ia sudah menjalin persekutuan
dengan para iblis.
Nyai Lawang Neraka sendiri adalah begundal iblis
Pakar Mesum. Seluruh ilmu dan kekuatan Iblis Pakar Mesum itu dapat diturunkan
kepada Nyai Lawang
Neraka apabila Nyai Lawang Neraka mau
mengorbankan salah satu muridnya untuk menjadi
tempat titisan. Murid yang terpilih saat itu adalah Winduri, yang kemudian
berjuluk Dekap Rindu.
Sebab ia selalu merindukan dekapan seorang pria."
"Ooo. . jadi Ratu Dekap Rindu itu titisan dari Iblis Pakar Mesum"!" gumam Suto
sambil manggut-manggut.
"Oleh sebab itulah, sekujur tubuh Ratu Dekap Rindu selalu memancarkan daya tarik
untuk bercumbu bagi lawan jenisnya; baik dari matanya,
senyumnya, hidungnya, dadanya, bahkan sampai
rambutnya pun memancarkan daya tarik untuk
bercumbu bagi lawan jenisnya. Maka para tokoh tua seangkatanku sering
menjulukinya Ratu Mesum,"
tambah Anjardani dengan mata memandang nakal
ke arah bawah, dan Suto Sinting menjadi risih,
sehingga segera menutup yang dipandang Anjardani
dengan bumbung tuaknya.
Anjardani berlagak tidak menghiraukan keadaan
mereka. "Winduri alias si Ratu Mesum itu memang berilmu tinggi. Kuakui, ilmuku masih di
bawah satu tingkat dengan ilmunya," ujar Anjardani sambil menatap mata Suto
Sinting. Lanjutnya lagi, "Tapi gairah bercumbunya yang berlebihan sering membuatnya
menjadi lemah atau
lengah, sehingga mudah dilumpuhkan oleh lawan
yang mengetahui kelemahan itu."
"Di mana letak kelemahannya?"
"Dia hanya bisa dibunuh pada saat sedang
bercumbu," jawab Anjardani alias si Rupa Setan.
"Pada saat ia ingin mencapai puncak
percumbuannya, maka seluruh kesaktiannya hilang
dalam beberapa kejap, dan saat itulah kesempatan
untuk membunuhnya! la tak akan bisa menghindari
kematian jika sedang di ambang puncak
kemesraannya. Karena pada saat itu yang tersisa
hanya jurus 'Ranjang Goyang'. Jurus itulah yang
menjerat jiwa lawan jenisnya dan membuat si lawan jenis menjadi tunduk serta
patuh terhadap ajakan
bercumbunya. Pada saat seperti itu, Winduri sering menyergap sukma lawan
jenisnya dan memenjarakannya dalam genggaman gaib lalu
dipindahkan dalam tabung kaca. Tentu saja hal itu ia lakukan terhadap lawan
jenisnya yang dianggap
dapat memberikan kepuasan secara dahsyat."
Pendekar Mabuk manggut-manggut sambil
menggumam lirih. Tetapi arah pandangan matanya
masih tertuju pada permukaan dada Anjardani yang
bergumpal-gumpal dalam kepadatan menantang itu.
Anjardani membiarkan pandangan mata itu
menjelajahi dadanya, karena mata perempuan itu
pun sibuk menelusup ke arah sisi bumbung tuak
yang menghadang di depan 'jimat antik'-nya
Pendekar Mabuk.
"Kurang ajar! Mengapa hatiku berkehendak
memandang ke sana terus"! Ada kekuatan apa di
tempat itu sehingga aku menjadi penasaran dan
penasaran ingin memegangnya menjadi besar
sekali. Ooh... aku mulai berdebar-debar, ini tandanya aku semakin ingin
menggenggam benda itu. Kenapa
sukar sekali kulawan dengan cara mengalihkan
perhatian ke tempat lain?" pikir Anjardani dalam keresahannya.
Pendekar Mabuk pun berkata dalam batinnya,
"Gila betul hasratku ini! Mengapa tiba-tiba membara sebegini besar"! Pandangan
mataku tak mau diajak
beralih ke tempat lain. Maunya ke dada dan
menelusuri terus ke bawah. Dan... dan... oh, aku begitu tergoda, sangat tergiur
dengan pemandangan bawah itu! Sial! Mata berkedip saja sukar sekali. Ada apa ini
sebenarnya?"
Ombak dan angin malam saling menyatu dalam
deru. Di sela-sela deru itu terdapat bunyi lengking seruling yang sangat kecil
dan lirih, nyaris tak bisa didengar oleh telinga manusia. Bunyi seruling itu
sebetulnya sejak tadi sudah merambah masuk ke
dalam gua dan tertangkap oleh gendang telinga Suto dan Anjardani. Tetapi mereka
belum menyadari
adanya suara denging kecil yang lembut menyatu
dengan deru ombak dan angin itu.
Suara seruling samar-samar itulah yang
membangkitkan gairah mereka dan membuat batin
mereka menuntut untuk lakukan sentuhan-sentuhan
kemesraan. Ditambah sinar cahaya rembulan yang
membayang jatuh di permukaan pintu gua, maka
gangguan asmara mereka semakin tinggi. Suasana
romantis tercipta begitu kuat, sehingga Pendekar
Mabuk dan si Rupa Setan sama-sama hanyut dalam
getaran asmara yang mengalun lewat bunyi seruling itu.
"Dekatlah kemari.. ," bisik Anjardani, dan Suto Sinting pun bergeser lebih
mendekat lagi. Kini
mereka berhadapan dalam jarak kurang dari satu
jangkauan. Pandangan mata yang saling beradu membuat
getar-getar kasmaran semakin menuntut tangan
untuk bergerak. Maka antara sadar dan tidak,
tangan Pendekar Mabuk mulai bergerak meraih
permukaan dada Anjardani yang berwajah cantik
sekali itu. Tangan Anjardani pun bergerak meraba
dada Pendekar Mabuk dengan pandangan mata
mulai sayu. "Ciumlah aku, ooh... kecuplah bibirku, Suto..."
bisik Anjardani dalam napas mulai mendesah.
Pendekar Mabuk terasa sulit menolak dan
menghindari tawaran mesra itu. Maka pelan-pelan
dikecupnya bibir Anjardani dengan sentuhan lembut.
Bibir itu semula hanya disapu dengan ujung lidah
Suto. Tetapi bibir sensual itu semakin merekah,
seakan memberi kesempatan bagi Suto untuk
semakin membenamkan lidahnya ke dalam mulut
Anjardani. Hanya saja, Suto lebih suka memainkan
bibir itu dengan sapuan lidahnya yang melingkari permukaan bibir sensual
tersebut. "Oohh...," Anjardani mengeluh panjang tapi lirih. la tak kuat menahan debar-
debar keindahan yang
bagaikan mengiris hatinya perlahan-lahan dengan
pisau kebahagiaan itu. Maka lidah yang nakal itu
segera dikecupnya dengan gerakan pelan. Cuup. .!
Hangat dan nikmat sekali hati Suto Sinting kala
itu. Kenikmatan tersebut membuatnya semakin
berani melumat bibir Anjardani. Bahkan ketika lidah perempuan itu bermaksud
Tiga Dara Pendekar 21 Kesatria Berandalan Karya Ma Seng Kong Rahasia 180 Patung Mas 2
^