Pembantai Berdarah Dingin 3
Pendekar Mabuk 019 Pembantai Berdarah Dingin Bagian 3
marah segala!"
"Uh uh uh...!" binatang itu pun meredakan erangannya yang berseringai seram itu.
Kemudian ia berlari cepat lagi, dan Suto mengimbangi gerak larinya.
Rupanya serigala itu membawa Pendekar Mabuk ke
alun-alun tersebut. Keadaan di alun-alun masih sepi, bagai habis dilanda angin
setan kuburan. Dan mata Suto pun menatap ke arah panggung yang roboh, mayat-
mayat yang bergelimpangan, juga patung-patung yang
berdiri dengan wajah batunya yang menampakkan
ketegangan. "Huk huk huk...!" serigala itu melolong pendek-pendek. Pendekar Mabuk mendekati
tiap patung yang
ada di situ. Ia membatin dalam hatinya,
"Sepertinya telah terjadi musibah misterius di alun-alun ini! Mayat
bergelimpangan, bekas tebasan pedang terlihat di tubuh korban. Pasti ada orang
sakti entah dua atau tiga orang yang membantai mereka. Dan patung-patung ini..."
Apa artinya patung-patung ini" Sepertinya dibuat dengan bentuk seragam pakaian
yang sama"'
"Auuu...! Auuuu...!" Serigala melolong di balik panggung yang rubuh. Sepertinya
ia memanggil Suto
agar datang ke sana. Dan ketika itu, Pendekar Mabuk mendengar suara bocah kecil
menangis ketakutan. Suto pun segera bergegas ke belakang panggung, mendekati
serigala tersebut.
Bocah kecil bermahkota itu bersembunyi di bawah
reruntuhan panggung. Wajahnya tampak sangat
ketakutan. Bocah kecil itu mengenakan mahkota kecil dan berpakaian seperti
seorang ratu. Suto tidak tahu bahwa bocah perempuan itu adalah Ratu Kemukus yang
telah berubah menjadi anak-anak.
"Sini, sini... keluar sini! Kakak tidak jahat! Sini...!"
Pendekar Mabuk tak bisa menerobos ke bawah
reruntuhan panggung, karena di sana juga terdapat
beberapa mayat yang bertumpuk. Bocah kecil itu berada jauh dari jangkauan tangan
Suto. Setelah dibujuk
beberapa kali, barulah gadis kecil itu merangkak keluar dari panggung.
"Ggrrr...!" serigala menyeringai menakutkan.
"Aaaa...!" bocah kecil itu menjerit ketakutan dan kembali masuk ke dalam
reruntuhan panggung.
Suto menghardik serigala, "Hai, jangan begitu!
Wajahmu menakutkan anak kecil itu! Menjauhlah dulu
sana!" Seringai di wajah serigala menghilang. Binatang itu berjalan pelan menjauhi
Pendekar Mabuk. Bocah itu
kembali dibujuk, baru ia berani keluar dari
persembunyiannya. Kemudian Suto mengangkat dan
menggendongnya. Bocah itu berhenti dari tangisnya
setelah tahu bahwa Suto bersikap lembut dan sabar.
Mengusap-usap rambutnya yang panjang dan
bermahkota. Kemudian, di dalam gendongan Suto bocah kecil itu memandangi wajah
Suto dengan tidak berkedip.
Suto menyunggingkan senyumnya sebagai tanda
keramahan. Tapi bocah perempuan kecil itu menjadi
tersipu, lalu menyunggingkan senyum juga dengan
membuang pandangan matanya, menyembunyikan
wajah ke arah belakang Suto. Tangannya dipaksakan
Pendekar Mabuk agar merangkul, maksudnya biar tak
jatuh dalam gendongan. Tapi gadis kecil itu sepertinya malu memeluk Suto,
tangannya dikelebatkan ke
belakang. "Peganglah, Sayang...! Biar kamu tak jatuh...!" kata Pendekar Mabuk.
"Aku malu!" bisik anak kecil itu. Bisikan itu seperti bernada aneh bagi Suto,
sehingga Suto pun berusaha
memandang gadis kecil itu.
"Kenapa malu?"
Gadis kecil itu tidak menjawab. Suto segera
membawanya ke bawah sebuah pohon rindang. Suasana
masih sepi. Penduduk masih tak berani menampakkan
diri di sekitar alun-alun. Pendekar Mabuk memandangi sekeliling alun-alun, hanya
satu-dua wajah yang nongol sebentar, lalu segera tarik kepala dan bersembunyi
lagi dengan rasa takut.
"Ada apa sebenarnya?" gumam Suto sambil tetap memandangi sekelilingnya. Tetapi
tiba-tiba bocah kecil yang masih dalam gendongan Suto Sinting itu segera
berkata, "Bawalah aku ke sana," suaranya adalah suara bocah, tapi perintahnya seperti
perintah orang yang sudah
dewasa. Suto merasa heran, tapi tak segera dibahas di dalam hatinya. Karena
gadis kecil itu menunjuk ke
rumah besar yang ada di selatan alun-alun maka
Pendekar Mabuk pun membawanya ke sana, rumah
besar bertembok tinggi itu.
"Ini sebuah istana," kata Suto pelan. Gadis yang digendongnya menjawab,
"Memang sebuah istana. Masuklah...!"
Dua penjaga di pintu gerbang dengan keadaan
terkoyak tubuhnya dalam keadaan mati berdiri.
Sementara yang satu mati bersandar. Langkah Suto
menjadi hati-hati setelah nalurinya mengatakan, ada sesuatu yang tak beres di
dalam istana itu.
Ternyata ketika ia masuk ke halaman istana, mayat
pun bergelimpangan. Di sana-sini darah membanjir,
kepala menggelinding. Pemandangan itu membuat gadis kecil menangis terisak-isak
sambil memeluk Pendekar Mabuk.
"Pemandangan ini tak sehat dan terlalu kejam untuk seorang bocah seperti gadis
ini! Sebaiknya kusembunyikan dulu gadis ini di suatu tempat, lalu aku kembali kemari sendirian!
Pasti ada sesuatu yang lebih mengerikan lagi di dalam istana ini!" pikir
Pendekar Mabuk.
Suto segera menghampiri sebuah rumah setelah ia
berkata kepada serigala hitam, "Carikan tempat bersembunyi yang aman untuk gadis
kecil ini, Sri!" Dan binatang itu berlari ke sebuah rumah, lalu melolong dari
sana setelah memeriksa keadaan di dalamnya sebentar.
Itulah rumah yang dipilihnya sesuai perintah Suto tadi.
Maka Suto pun datang ke sana.
Ada beberapa rumah yang pintunya tertutup. Suto
mencoba mengetuk rumah itu dulu sebelum masuk ke
sebuah rumah pilihan serigala. Tapi tak ada jawaban dari rumah yang pintunya
tertutup. Rumah yang lain pun
begitu, tak mau membukakan pintu untuk Suto.
Mungkin mereka terlalu dicekam rasa takut, sehingga tak bisa membedakan tamu
yang baik dan tamu yang
bermaksud jahat.
"Terlalu memukul jiwa pembantaian yang terjadi di sini! Pantaslah kalau mereka
tak mau menyambut
kedatanganku!" kata Pendekar Mabuk dalam hatinya.
Kemudian ia melangkah masuk ke sebuah rumah yang
sepertinya ditinggalkan oleh penghuninya dalam
keadaan panik. Bocah kecil itu diturunkan dari gendongan Suto.
Matanya memandangi Suto terus. Suto tersenyum sambil
mengusap air mata gadis kecil itu dan berkata,
"Lupakan pemandangan itu! Jangan ingat-ingat lagi apa yang pernah kau lihat!
Tenanglah di sinil Tak akan ada yang mengganggumu!"
Gadis kecil itu menatap ke kanan-kiri, melongok ke
bagian dalam rumah, bahkan menatap ke arah dapur
dengan cemas. Suto Sinting yang belum tahu apa dan
bagaimana dengan gadis kecil itu segera bertanya
dengan lugu, "Ada apa" Kau mau pipis, ya?"
Gadis itu menggeleng.
"Kalau mau pipis, mari kakak antarkan kamu ke
belakang. Atau... jangan-jangan kau sudah ngompol..."!"
Suto bermaksud memeriksa apakah bocah itu ngompol
atau tidak. Tapi ketika tangan Pendekar Mabuk
memegang bagian yang biasanya ngompol, bocah yang
berdiri di atas sebuah kursi itu menjerit kaget.
"Auuuh...!"
Plakkk...! Tangannya berkelebat menampar Suto.
Tentu saja pemuda itu menjadi kaget dan sentakkan
kepala mundur. Gadis itu segera merapatkan kedua
kakinya dengan sedikit nungging ke belakang. Takut
dipegang bagian yang disangkanya ngompol itu.
"Jangan nakal kamu, Sayang...! Kakak hanya ingin tahu apakah kamu sudah pipis di
celana atau belum.
Kalau belum, ayo kakak antar kamu ke kamar mandi!"
"Jangan sekali lagi berbuat begitu padaku!" kata gadis kecil itu dengan lancar.
Walau suaranya seperti anak usia empat tahun kurang, tapi nada bicaranya seperti
orang dewasa. "Kakak tidak bermaksud kurang ajar...!" kata Suto, lalu tak mau meneruskan. Tapi
ia menggerutu dalam
hatinya. "Masih kecil saja berlagak malu! Disangkanya aku mau berbuat kurang ajar! Anak
siapa dia sebenarnya"!
Kecil-kecil sudah galak!"
Bocah kecil itu segera melompat dari atas kursi,
berlari melongok ke pintu pagar. Kemudian, ia masuk kembali dan menutup pintu
rapat-rapat. Suto hanya
memperhatikan saja. Tapi segera bergegas membuka
pintu itu lagi setelah mendengar suara serigala meraung-raung kecil di luar
rumah, minta dibukakan pintu.
"Aah...!" bocah kecil itu memekik sambil melompat ke kursi, ia takut melihat
serigala masuk rumah.
"Tidak apa-apa," kata Pendekar Mabuk. "Dia temanku. Dia tidak galak!"
"Aku takut!"
"Dia bukan jenis serigala yang jahat, Manis! Kau tak perlu takut. Dia justru
akan menjagamu dari bahaya
selama aku pergi!"
"Kau mau ke mana?" tanya gadis kecil itu berlagak tua di mata Suto. Dan Suto
tidak terlalu menghiraukan lagaknya itu. Ia menjawab,
"Aku akan memeriksa isi istana itu! Kau di sini dulu bersama Sri, nanti
secepatnya aku kembali!" Suto bagai membujuk dengan lembut.
Akhirnya bocah itu menganggukkan kepala, seakan ia
memang berharap Suto melakukan hal itu. Tapi dari
sorot pandang matanya, ia kelihatan memendam
kecemasan dan ketakutan terhadap nasib Suto jika
memeriksa keadaan di dalam istana itu. Karena ia tadi melihat dari kolong
panggung, nenek tua yang sakti
namun berjiwa iblis itu masuk ke istana dan mengamuk di sana. Hanya saja, mulut
gadis jelmaan Ratu Kemukus itu tak bisa mengatakan dan menceritakan tentang
nenek aneh itu, karena rasa takut dan jiwa yang terpukul dengan peristiwa itu
masih belum bisa membuat ia
berpikir dengan baik.
Pendekar Mabuk masuk ke istana sendirian. Matanya
menatap sekeliling dengan jeli dan tajam. Istana dalam keadaan porak-poranda.
Beberapa bagian dibuat morat-marit oleh suatu pertempuran yang lebih tepat
dikatakan sebuah pembantaian. Suto berjalan melangkahi mayat-mayat baik tua
maupun muda, lelaki maupun
perempuan. Sampai di bagian bangsal keprajuritan,
banyak mayat yang terkulai di sana dalam keadaan
mengenakan pakaian seragam keprajuritan. Bahkan di
bagian dapur pun bertumpuk mayat para pelayan dan
juru masak. Tapi masing-masing mayat mempunyai
wajah tegang yang berlainan. Ada yang matinya karena benda tajam, ada yang
matinya karena pukulan tenaga dalam hebat, ada pula yang tidak berdarah sedikit
pun dan tetap berdiri memegang sesuatu, namun dalam
keadaan tidak bernyawa.
"Iblis mana yang begitu keji melakukan pembantaian ini"!" pikir Pendekar Mabuk.
"Kalau saja waktu itu...."
Suto tidak melanjutkan kecamuk batinnya, karena ia
segera melihat sekelebat bayangan menyusup masuk ke bangsal paseban, arahnya
dari ruang peristirahatan ke bangsal paseban. Pendekar Mabuk segera melesat
cepat dan tahu-tahu sudah berada di bangsal pertemuan yang berpilar empat itu.
Di sana ia berhadapan dengan
seorang gadis cantik berpakaian jingga. Gadis itu
tersentak kaget, lalu menyerang Suto dengan sebuah
pedang yang dicabut dari punggungnya. Wuttt...!
Trakk...! Pendekar Mabuk menyentakkan bumbung
tuak, dan bumbung itu cepat berkelebat ke depan,
pedang itu tak sempat merobek dada Suto, namun
tertangkis oleh bambu tempat tuak itu.
Tapi kaki gadis berpakaian Jingga itu berkelebat
menendang dada Suto melalui gerak tipuannya.
Buhgg...! Dada Suto kena sasaran kaki, membuat Suto mundur tiga tindak. Gadis
itu tak mau membiarkan
Pendekar Mabuk ganti menyerang, ia langsung
melompat dan menerjang wajah Suto dengan tendangan
kaki, sementara tangannya yang memegang pedang
sudah terangkat ke atas.
Dengan cepat Suto bersalto ke belakang. Wuttt...
wuttt...! Tendangan dan tebasan pedang perempuan itu mengenai sasaran kosong.
Suto berdiri tegak dan
tersenyum tipis memandangi gadis itu tertipu
serangannya. "Heh...!" gadis itu mendenguskan napas memandang ketus. Pedangnya tetap
terpegang di tangan dalam
keadaan di atas kepala, badannya sedikit rendah ke
depan dengan tangan kiri di depan dada, kaki kanan
memanjang ke belakang. Matanya tajam menatap Suto
Sinting. Suto justru menyempatkan diri membuka bumbung
tuak, dan ia menengadah sebentar untuk meneguk
tuaknya. Napasnya terlepas lega setelah itu. Senyumnya mekar tipis dengan mata
lembut memandang ke arah
lawannya yang cantik.
"Manusia keji kau!" geram gadis itu.
"Kau atau aku?" tanya Pendekar Mabuk.
"Jangan berlagak bodoh! Mereka terbantai oleh
perbuatanmu!"
"Jangan menuduh, Nona Cantik! Kaulah mungkin
pembantainya!"
"Hmm...! Pencuri kalau belum dihajar belum mau mengaku! Hiaaat...!"
Gadis itu melompat sambil melepaskan pukulan
tenaga dalamnya melalui tangan kirinya. Sinar kuning melesat bagai kawat,
arahnya ke dada Pendekar Mabuk.
Namun dengan lincah Pendekar Mabuk mengelak
melalui satu lompatan ke samping kanan. Sinar itu
mengenai lantai dan lantai itu menjadi hangus setelah mengalami letupan kecil.
Tarrr...! "Hentikan, Ratna!" seru suara di belakang gadis itu.
Pendekar Mabuk terperangah kaget memandang
orang berambut putih dan berpakaian serba merah
Pendekar Mabuk 019 Pembantai Berdarah Dingin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
muncul dari sebuah ruangan. Orang itu dalam keadaan tidak tidur, dan Suto sangat
mengenalinya. Pada waktu itu, Ratna Pamegat segera berkata,
"Mungkin dialah pelaku pembantaian ini, Ki!"
Ucapan itu tak dijawab oleh Ki Gendeng Sekarat.
Justru lelaki tua itu melangkah dengan cepat setelah Suto berseru,
"Ki Gendeng Sekarat..."! Kau ada di sini rupanya"!"
Ki Gendeng Sekarat berpelukan dengan Suto bagai
melepas rindu. Kemudian Ki Gendeng Sekarat berkata,
"Akhirnya kita bertemu di istana pembantaian ini!" Suto tertawa dan Ki Gendeng
Sekarat pun terkekeh sambil
menepuk-nepuk pundak pemuda tampan itu.
Ratna Pamegat berkerut dahi dan mengendurkan
ketegangannya setelah ia bertanya, "Siapa dia, Ki?"
"Orang yang kau cari, dan yang kucari juga! Ini yang namanya Suto Sinting, si
Pendekar Mabuk...!" Ki Gendeng Sekarat menegaskan. Ratna Pamegat' jadi
tersipu namun cepat membuang muka untuk
sembunyikan malunya.
"Aku baru saja datang untuk menemui Ratu
Kemukus," kata Ki Gendeng Sekarat. "Ratu Kemukus adalah Bibi dari Ratna Pamegat.
Tapi tahu-tahu keadaan menjadi seperti ini. Lalu kami memeriksa keadaan di dalam
istana ternyata semakin lebih mengerikan. Kami tidak tahu siapa pembantai yang
bisa berbuat sekejam ini, dan ke mana perginya Ratu Kemukus, kami sedang melacak
jejaknya."
"Aku juga baru datang, dan melihat keadaan seperti ini, aku jadi penasaran.
Ingin mengetahui siapa
pelakunya!"
Ratna Pamegat kini memandang Suto Sinting. Dalam
hatinya ia berkata, "Ternyata apa yang dikatakan Ki
Gendeng Sekarat memang benar. Suto Sinting jauh lebih tampan dan lebih gagah
dari Sutomo! Ah, kenapa aku
jadi berdebar-debar memandang ketampanan dan
keteduhan matanya?"
* * * 8 MEREKA bertiga tidak tahu, bahwa setelah nenek
aneh itu mengubah Ratu Kemukus menjadi kecil dan
para pengapung menjadi patung batu, ia segera
meninggalkan tempat itu. Tetapi, pasukan pemanah
istana segera menghujani panah ke arah tubuh nenek
aneh itu. Dan ternyata tindakan tersebut membuat nenek aneh menjadi semakin
murka. Ia melepaskan pukulan jarak jauhnya yang diperoleh
dari hasil serapan para musuh yang melepaskan tenaga dalam kepadanya. Pukulan
jarak jauhnya itu
menghantam pasukan pemanah yang muncul dari
tembok istana. Maka, hancurlah kepala mereka yang
terkena pukulan dahsyat itu.
Nenek aneh bergegas memasuki istana. Mengamuk di
sana dengan pedang berkaratnya. Tak satu pun disisakan hidup. Dan ia mengejar
tiga orang istana yang melarikan diri lewat pintu belakang, lalu melepaskan
kutukannya sehingga ketiga orang itu menjadi tiga ekor musang.
Hanya saja, setelah itu si nenek aneh pergi ke mana"
Tak ada yang tahu. Tapi menurut dugaan para penghuni rumah yang ada tak jauh
dari istana dan alun-alun, sang nenek diperkirakan masih mendekam di salah satu
rumah penduduk untuk beristirahat. Itulah sebabnya para penduduk yang masih
selamat tak berani keluar dari
rumah mereka, takut mengalami nasib senaas seperti
para korban itu.
Namun berkat usaha Ratna Pamegat, mereka bisa
menemukan satu penduduk yang berani menerima
kedatangan mereka. Penduduk itu menceritakan apa
yang sebenarnya terjadi di alun-alun sampai ke dalam istana. Penduduk itu
menceritakan hal itu dengan tubuh gemetar dan wajah pucat.
"Nenek bungkuk yang sudah tua sekali itu ternyata iblis yang bangkit dari
kuburnya," kata lelaki yang berani menceritakan hal itu kepada Suto, Ki Gendeng
Sekarat, dan Ratna Pamegat. Sambungnya lagi,
"Saya melihat dengan mata kepala sendiri, nenek itu mengutuk Kanjeng Ratu
Kemukus menjadi gadis kecil
dan para prajurit yang mengepungnya menjadi patung
batu di alun-alun!"
"Mengutuk..."!" Pendekar Mabuk mengulang kata-kata itu dengan nada heran dan
dahi berkerut. "Ya, ya... mengutuk! Saya katakan mengutuk, karena tiap apa yang diucapkannya
menjadi kenyataan, Tuan!"
kata orang tersebut.
Ki Gendeng Sekarat berkata kepada Suto Sinting,
"Kalau begitu benar, nenek aneh yang menghancurkan perguruannya Ratna Pamegat
itulah yang melakukannyal"
Ratna Pamegat bertanya kepada orang yang berani
menerima kedatangan mereka di rumahnya itu,
"Apakah nenek bungkuk itu menyebutkan nama
orang yang dicari?"
"Hmm... Iya, benar! Saya mendengar saat ia belum melakukan keonaran. Saya dengar
dia mencari seseorang yang bernama... Suto Sinting! Teman yang di sebelah saya
bilang bahwa di sini banyak orang sinting tapi yang mana yang bernama Suto,
teman saya tidak tahu!"
"Jelas sudah, kaulah yang dicari orang tua itu!" kata Ki Gendeng Sekarat. Ratna
Pamegat juga menceritakan nasib perguruannya dan nasib sang Guru yang terkena
kutukan nenek tua itu. Dahi Pendekar Mabuk menjadi
berkerut memikirkan, siapa nenek tua yang dimaksud
mereka. "Beberapa waktu yang lalu," kata Suto. "Aku memang berselisih dengan seorang
yang bernama julukan Ratu Teluh Bumi. Tapi orangnya belum setua
ciri-ciri orang yang kau katakan itu, Ratna!"
Lalu, Suto pun menceritakan bagaimana Ratu Teluh
Bumi pada awalnya bertarung dengannya dalam
peristiwa "Pusaka Pedang Biru", dan menjadi lebih sakti lagi setelah muncul
beberapa waktu kemudian, sebagai orang yang menyebar kutuk ke mana-mana. Sampai-
sampai seorang musuhnya bisa dikutuk menjadi seekor kuda berkepala manusia,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Manusia Penyebar Kutuk").
"Lalu aku menyerangnya, dia jatuh terlempar ke jurang. Aku mencarinya untuk
melihat apakah dia mati atau hidup. Tapi tak kutemukan bangkainya di jurang itu.
Bahkan aku malah diikuti oleh seekor serigala yang
sampai sekarang menjadi teman perjalananku!" kata Pendekar Mabuk sambil mereka
melangkah meninggalkan rumah orang yang telah menceritakan apa yang dilihatnya itu.
"Barangkali, orang yang kau katakan sebagai nenek aneh itu berusia sekitar lima
puluh tahun?"
"Lebih," jawab Ratna Pamegat. "Mungkin usia seratus tahun pun lebih. Jalannya
sudah sempoyongan, giginya habis semua, kulitnya keriputan yang tak jelas
bentuknya dan sulit dicari pori-porinya!"
"Kalau begitu dia bukan Ratu Teluh Bumi!" kata Suto.
"Lantas siapa menurutmu"!" tanya Ki Gendeng Sekarat.
"Entahlah!" jawab Suto bernada pasrah.
"Bagaimana kalau kita geledah seluruh penghuni dan rumah di sekitar sini!" Siapa
tahu dia bisa berubah menjadi muda?" usul Ki Gendeng Sekarat.
"Baik. Kita berpencar. Dan jika melihat dia, pancing dan ajak ke alun-alun,
kemudian bunyikan sebuah
ledakan dengan pukulan tenaga kalian ke arah mana saja, kami akan segera datang
ke alun-alun!" kata Suto Sinting.
Mereka akhirnya berpencar menggeledah rumah demi
rumah. Pendekar Mabuk menyempatkan menengok
gadis kecil yang disimpannya di sebuah rumah bersama serigala. Pendekar Mabuk
masih belum menyimpulkan
cerita orang tadi, sehingga ia belum sadar bahwa gadis kecil itulah Ratu Kemukus
yang dikutuk si nenek aneh.
Ketika Pendekar Mabuk masuk ke rumah itu, gadis
kecil itu segera melompat dalam gendongan Suto sambil menangis ketakutan.
Tangisannya tak menimbulkan
suara keras. Tapi Suto tahu tangis itu adalah tangis bocah yang tertekan
jiwanya. Pasti ada sesuatu yang membuatnya sangat takut.
"Tenang, tenang, Sayang...! Cup cup cup...! Kakak sudah kembali dengan selamat.
Jangan menangis...!"
"Ak... aku... aku takut...!"
"Takut kepada siapa" Serigala ini tidak
menganggumu, bukan"! Jangan takut!" Suto bertanya kepada serigala, "Apa kamu
tadi mengganggunya, Sri?"
Anjing hutan itu menggelengkan kepala sambil
menggeram-geram kecil, seakan sangat paham dengan
bahasa manusia.
"Lihatlah, Sayang... serigala tidak nakal kok. Jangan takut!"
"Aku bukan takut kepada anjing itu!"
"Lalu kepada siapa dan kepada apa?"
"Aku... aku tadi mengintip dari celah papan itu, aku melihat nenek aneh itu
berjalan melewati jalanan di depan rumah ini! Aku takut sekali!"
"Nenek..."! Maksudmu, nenek bungkuk yang
jalannya sudah tertatih-tatih itu?" Pendekar Mabuk sedikit tegang.
"Iya. Nenek itulah yang membantai seenaknya semua prajuritku, orang-orangku dan
beberapa penduduk di
sini!" "Jadi kau melihat semua pembantaian itu"!"
"Aku melihatnya! Melihat dengan jelas sekali," jawab bocah yang digendong Suto
itu. "Kalau saja aku tak kalah ilmu, aku tak akan menjadi begini! Serba ketakutan
dan...." "Sudah, sudah... jangan diingat-ingat lagi nanti kamu semakin takut, Sayang!
Sekarang sebaiknya kamu tidur, dan kakak akan...." Suto diam sejenak, teringat
sebaris kata aneh yang diucapkan bocah kecil itu. Maka Suto pun segera bertanya,
"Kau bilang, kau kalah ilmu dengan nenek itu"! Apa maksudmu dengan mengatakan
'kalah ilmu' itu?"
"Aku sudah coba menghadapi dia! Tapi aku kalah, dan dia mengubah wujudku menjadi
seperti anak kecil begini...!"
Bocah yang digendong erat-erat itu kini ditatapnya.
Suto berdebar-debar dan hampir tak mempercayai
kesimpulan di dalam hatinya, ia penasaran dan akhirnya bertanya, "Jadi... kau
adalah Ratu Kemukus itu?"
"Ya. Akulah Ratu Kemukus itu...!"
"Oooh...!" Suto menjadi malu dan lemas, ia turunkan gadis kecil itu pelan-pelan.
Rasa malu bercampur rasa hormat dan sungkan, semuanya menjadikan Suto salah
tingkah. Dalam hatinya ia tersenyum geli dan berkata,
"Pantas dia galak. Pantas berani menamparku. Pantas dia menjerit waktu kuperiksa
apakah ngompol atau
tidak. Rupanya dia seorang Ratu. Hi hi hi hi... aku jadi malu sendiri kalau
begini! Pantas dia malu memelukku dalam gendongan. Hi hi hi...!"
"Aku sudah memeriksa isi istana, tak ada yang
selamat! Aku juga bertemu dengan keponakanmu," kata Suto Sinting kemudian.
"Siapa namanya?"
"Ratna Pamegat!"
"Oh, benar! Dia keponakanku. Di mana dia
sekarang?"
"Sedang mencari nenek itu!"
Bocah kecil itu tersentak kaget. "Celaka! Tolong cegah dia! Jangan sampai dia
mencari nenek itu, nanti menjadi seperti nasibku ini dan mungkin akan celaka
seperti prajurit-prajuritku! Aku tak ingin keponakanku menjadi patung seperti
nasib mereka di alun-alun itu!
Cegah dia!"
Suto merasa diperintah oleh anak kecil. Tapi
mengingat anak itu adalah jelmaan dari Ratu Kemukus, maka ia pun menghormat dan
berkata dengan tegas,
"Baiklah! Aku akan pergi mencari Ratna Pamegat dan kusuruh dia mendampingimu,
Nyai Ratu," Suto tersenyum kaku menyebut nyai ratu kepada bocah
sekecil itu. Ratu Kemukus sendiri menjadi tersipu malu.
Pendekar Mabuk bergegas pergi. Tapi sebelumnya
tangannya tertahan oleh tangan bocah kecil itu. Bocah tersebut bertanya,
"Apakah kau berani menghadapi iblis tua itu?"
"Kenapa tidak"' jawab Suto dengan tersenyum
menawan. Ratu Kemukus tak berani memandang, ia
hanya berkata, "Hati-hatilah, jangan sampai celaka menghadapi dia."
"Baik. Doa restu dari Nyai Ratu yang kuminta
sebagai bekalku!"
"Berangkatlah...!" kata Ratu Kemukus dalam wujud bocah.
Tapi ketika Suto hendak membuka pintu dan keluar
dari rumah, sang Ratu sempat bertanya lagi,
"Tunggu...! Siapa sebenarnya dirimu, Anak Muda"'
"Aku orang yang dicari-cari oleh iblis tua itu.
Namaku Suto Sinting...!"
"Oh..."!" sang Ratu terbengong memandang Suto.
Tapi Suto segera pergi keluar rumah, sementara sang Ratu memperhatikan dalam
sikap mengintip dari celah pintu. Hatinya membatin,
"Gagah sekali dia.... Pantas untuk menjadi
senopatiku!"
Blarrr...! Belum sempat Suto melangkah sudah terdengar suara
ledakan. Itu merupakan pertanda, salah seorang dari sahabatnya telah menemukan
nenek aneh itu. Dan Suto pun segera bergegas menuju ke alun-alun. Tapi ternyata
di sana tak ada manusia. Suto memandang sekeliling, menatap langit, ternyata ada
kepulan di arah barat.
Kepulan asap itulah yang menjadi tanda baginya, bahwa di sana terjadi
pertarungan nenek aneh melawan siapa, Ki Gendeng Sekarat atau Ratna Pamegat"
Pada saat Suto berada di dalam rumah bersama Ratu
Kemukus kecil, sebenarnya Ratna Pamegat telah
kepergok oleh nenek aneh itu. Sang nenek pun segera terkekeh-kekeh melihat Ratna
Pamegat. Ia berkata
dengan suara tuanya,
"Sepertinya aku pernah kenal denganmu, Cah Ayu...!
Siapa kamu dan di mana aku pernah bertemu
denganmu?"
"Ya, kau memang pernah bertemu denganku!" kata Ratna Pamegat sambil memancing
kemarahan nenek
aneh itu supaya marah dan mengejarnya ke alun-alun.
Ratna Pamegat berkata lagi,
"Aku adalah Ratna Pamegat! Guruku telah kau kutuk menjadi tengkorak hidup!"
"O, kau murid Resi Jejak Naga itu"! Ya ya ya... aku ingat sekarang! Bagaimana
kabarmu, Nak" Apakah
gurumu sehat-sehat saja?"
Nenek itu bicara seperti orang tidak berdosa. Ratna Pamegat menjadi panas
hatinya. Lalu, ia mencabut
pedangnya dan berseru,
"Guruku dalam keadaan sehat, tapi nyawamu yang sebentar lagi tidak sehat, Iblis
Kempot! Aku menuntut balas atas nasib perguruanku itu!"
"Mau menuntut balas" O, boleh, boleh...! Kita tarung pakai pedang ya, Nak"
Sebentar...!" Nenek itu sulit mencabut pedangnya. Kesempatan itu digunakan oleh
Ratna Pamegat untuk menyerang dengan satu lompatan
dan tebasan pedang. Wuttt...!
Zlapp...! Nenek itu bagai menghilang. Tahu-tahu ada di belakang Ratna Pamegat
yang sudah telanjur
Pendekar Mabuk 019 Pembantai Berdarah Dingin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menebaskan pedang dan menemui tempat yang kosong.
Nenek itu masih bingung mencabut pedang berkaratnya dengan susah payah. Ratna
Pamegat membalikkan badan dengan satu tendangan putar yang amat kuat dan cepat.
"Hiaaat....!"
Plokk...! Wajah tua itu terkena tendangan bertenaga dalam, tapi tak mengalami
guncangan sedikit pun. Ratna Pamegat bagaikan menendang pilar beton. Kakinya
sendiri yang menjadi ngilu.
"Jahanam kau, Gadis Tolol! Bersabarlah sebentar, aku sedang kesulitan mencabut
pedangku ini! Uh uh
uhh...!" Ratna Pamegat tak mau memberi kesempatan sang
nenek berhasil mencabut pedang, ia segera menikamkan pedangnya ke depan, leher
sang nenek yang menjadi
sasarannya. Wusss...!
Zlappp...! Nenek itu sudah ada di sampingnya,
berjarak tiga tombak dari Ratna Pamegat. Tusukan itu kembali menemukan tempat
kosong. Sang nenek merasa
jengkel dengan pedangnya yang sukar dicabut, dan
merasa dongkol dengan serangan Ratna Pamegat yang
bertubi-tubi itu. Maka ia pun membentak dengan napas tertahan,
"Kamu ini disuruh sabar tidak bisa! Kukutuk jadi manusia berbadan anjing, baru
kapok kamu!"
Blarrr...! Gelegar petir terdengar mengagetkan. Itulah suara dentuman yang
didengar Suto Sinting. Dentuman itu tidak menimbulkan asap mengepul. Lalu, asap
apa yang terlihat oleh Suto dan sekarang sedang
dihampirinya itu"
Ternyata asap sebuah rumah terbakar sejak tadi,
sebelum Pendekar Mabuk datang ke situ. Maka, Suto
pun tidak mengetahui di mana Ratna Pamegat dan Ki
Gendeng Sekarat berada, ia mencari dengan mata
jelinya. Sementara itu, keadaan Ratna Pamegat sudah berubah
wujud menjadi seekor anjing berbulu coklat dengan
kepala manusia. Ratna Pamegat berlari secepatnya
sambil menangis, ia berseru di perjalanan pelariannya.
"Ki Gendeng...! Ki Gendeng...!"
Dari kejauhan terdengar suara nenek itu berseru,
"Ayo, kita bertarung! Pedangku sudah bisa kucabut sekarang!"
Dalam keadaan menjadi manusia berbadan anjing,
Ratna Pamegat tak berani menghadapi nenek aneh itu. Ia berlari kian kemari
sambil menyerukan kata memangil-manggil Ki Gendeng Sekarat dan Suto.
"Ki Gendeng, di mana kamu! Sutooo...! Suto tolong akuuu...!"
Rupanya Ki Gendeng Sekarat tertidur di emperan
sebuah rumah, ia tampak tertidur nyenyak di atas sebuah lincak, atau balai-balai
dari bambu yang biasa ada di serambi atau teras rumah. Ketika mendengar seruan
Ratna Pamegat, Ki Gendeng Sekarat pun bangkit dalam keadaan masih tertidur
dengan dengkuran halus.
"Mana itu...?" katanya seperti orang mengigau.
"Sepertinya suara Ratna Pamegat dalam bahaya...!"
Ki Gendeng Sekarat segera mencari. Arahnya ke
alun-alun. Ratna Pamegat sendiri juga sedang berlari ke alun-alun dalam kejaran
nenek kempot yang larinya
tertatih-tatih, seperti malas-malasan mengejar musuhnya.
"Ki Gendeng...!"
"Ratna...!" seru Ki Gendeng Sekarat, tapi tak bisa keras sekali karena ia dalam
keadaan tidur, mata
terpejam, dan kepala terkulai ke samping, agak
menunduk sedikit. Hanya saja, ia tetap bisa melihat apa yang terjadi pada diri
Ratna Pamegat. Ratna Pamegat menangis di kaki Ki Gendeng
Sekarat. Ki Gendeng Sekarat segera jongkok hingga
wajahnya berhadapan dengan Ratna Pamegat.
"Ki Gendeng, aku menemuinya dan... dan aku
menjadi seperti ini!"
"Ratna, tabahkan hatimu! Bersembunyilah di bawah kolong balai-balai sana. Aku
akan menghadapi dia...!
Mana dia sekarang?"
"Sedang mengejarku kemari!"
"Kalau begitu, cepat bersembunyi...!"
Ratna Pamegat berlari, ia bersembunyi di kolong
balai yang ada di teras rumah orang. Dari sana, ia bisa memandang Ki Gendeng
Sekarat yang menghadang
langkah nenek berhati iblis itu.
Nenek aneh itu menghentikan langkahnya setelah
seorang lelaki berbadan sedikit gemuk menghadang di depannya. Nenek aneh itu
bertanya lebih dulu, "
"Apa kau melihat seekor anjing coklat lewat sini, Kisanak?"
Ki Gendeng Sekarat menjawab, "Tidak. Tapi kalau anjing tua kempot dan bungkuk,
ada di depanku saat
ini!" "Hik hik hik...!" nenek aneh terkikik-kikik seperti suara kuntilanak sedang
sakit tenggorokan. "Kau
menghinaku, Tua Bangka! Kau sama saja mengatakan
aku anjing peot, tua, dan bungkuk!"
"Anggap saja memang begitu," jawab Ki Gendeng Sekarat.
Nenek itu menahan napas dan berseru, "Kalau begitu, kau pun kukutuk menjadi
seekor anak anjing!"
Angin berhembus sedang-sedang saja. Sepi terjadi
sejenak. Ki Gendeng Sekarat meraba tangannya.
Ternyata masih utuh tangan manusia. Walau ia tertidur, tapi ia bisa melihat
bahwa dirinya tak berubah sesuai kutukan yang dilontarkan nenek aneh itu.
Sedangkan sang nenek pun merasa heran melihat orang yang
dikutuknya tidak segera berubah.
"Kau kukutuk menjadi seekor anak anjing!" ulangnya sambil menahan napas. Tapi
alam tetap sunyi. Tak ada petir, tak ada perubahan pada diri lawannya. Sang
nenek semakin heran, dan melepaskan kutukan lagi,
"Jadilah babi buntung! Babi hidung mancung! Jadilah babi bunting! Jadilah macan,
serigala, monyet...!" semua binatang disebutkan, tapi tak satu pun yang membuat
Ki Gendeng Sekarat berubah wujud.
Dari tempat persembunyiannya, Ratna Pamegat
mendengar ucapan nenek aneh mengutuk Ki Gendeng
Sekarat. Ratna Pamegat menjadi terheran-heran kagum melihat Ki Gendeng Sekarat
masih utuh sebagai manusia tua yang gendeng juga ilmunya. Bahkan Ki Gendeng
Sekarat terkekeh-kekeh dan berkata,
"Kau ini dagang macam-macam binatang atau mau
menyebarkan kutuk"!"
"Iblis neraka mana kamu, hah"! Susah sekali dikutuk jadi apa saja. Kalau begitu,
kutebas saja lehermu dengan pedangku ini!"
Wuuttt...! Blappp...! Ki Gendeng Sekarat lepaskan pukulan dari tangan kirinya sebelum
pedang menebas. Pukulan itu
mengenai tubuh nenek aneh dan terpental jauh tubuh tua kurus dan kering itu.
Melayang-layang membentur
tembok istana dengan keras. Prokkk...!
* * * 9 DARI arah utara muncul Pendekar Mabuk yang
berlari-lari dengan sangat tergesa-gesa. Arah pandangan mata Suto tertuju ke
alun-alun. Ia melihat pertarungan Ki Gendeng Sekarat dengan nenek aneh itu.
Namun ketika ia hendak menghampiri Ki Gendeng Sekarat
untuk membantu menggempur nenek aneh itu, tiba-tiba sebuah suara memanggilnya,
"Suto...! Suto...!"
Bingung juga Suto mencari arah datangnya suara itu.
Ia berpaling ke sana-sini sampai akhirnya Ratna Pamegat keluar dari kolong balai
dan berseru dengan suara
tertahan, "Suto...!"
"Ratna..."!" Pendekar Mabuk terpekik kaget ketika melihat Ratna Pamegat sudah
menjadi manusia berbadan anjing cokiat. Cepat-cepat Suto menghampirinya dengan
mata tegang. "Ratna, apa yang terjadi?"
"Nenek itu telah mengutukku menjadi seekor anjing!"
"Edan!" geram Suto Sinting antara terharu dan marah melihat keadaan Ratna
Pamegat seperti itu. Giginya
menggeletuk dan tangannya menggenggam kuat-kuat.
"Aku mencoba memancingnya ke alun-alun, tapi dia sudah lebih dulu melepaskan
kutukannya! Aku dikejar-kejar olehnya, tapi segera ditolong oleh Ki Gendeng
Sekarat!" "Biadab betul nenek itu! Tetaplah di sini, biar aku yang maju!" kata Pendekar
Mabuk dan segera bergerak.
Tapi Ratna Pamegat memanggil lagi,
"Suto, sebaiknya biarlah Ki Gendeng Sekarat yang menghadapi nenek aneh itu! Dia
tidak mempan dikutuk oleh nenek aneh itu, Suto! Aku melihat dan
mendengarnya sendiri nenek itu menyebar kutuk
beberapa kali kepada Ki Gendeng, tapi Ki Gendeng tetap tegar dan tidak berubah
menjadi binatang apa pun!"
"Hmmm...! Aneh sekali! Ilmu apa yang dimiliki Ki Gendeng itu?" kata Suto bagai
orang menggumam.
"Kurasa ia mempunyai ilmu penangkal kutuk! Kalau kau yang maju, aku khawatir kau
terkena kutukannya, Suto!"
Masih di tempat emperan rumah, Pendekar Mabuk
memandang ke arah alun-alun. Ratna Pamegat ada di
atas balai-balai yang juga memandang ke arah alun-alun.
Ratna Pamegat bertanya,
"Nenek tua itulah yang mencari-carimu dengan
mengorbankan banyak nyawa! Apakah kau kenal
dengannya, Suto?"
Pendekar Mabuk kerutkan kening dan memandang
dengan mata sedikit menyipit. Nenek yang membentur
tembok istana itu sedang berusaha bangkit tanpa keluh kesah apa pun. Dan kini
berjalan tertatih-tatih mendekati Ki Gendeng Sekarat yang diam, berdiri menunggu
lawan sambil kepalanya terkulai ke kiri dan matanya terpejam tidur.
"Melihat bekas pakaiannya, bentuk pedangnya, walau sudah berkarat, kurasa dialah
yang benama Ratu Teluh Bumi, atau yang punya nama asli Ajeng Prawesti dari
Jenggala. Tapi... mengapa dia menjadi setua itu"
Sungguh tak masuk akal jika usianya dan keadaannya menjadi setua itu, karena
kami berpisah kurang dari tiga bulan!"
"Mungkin dia nenek dari Ajeng Prawesti!"
"Neneknya..."!" gumam Suto dalam kebingungannya.
"Kalau begitu, biarlah kuhadapi dia supaya lebih jelas lagi siapa dia
sebenarnya?"
"Bagaimana jika kau kena kutuk, Suto"! Dia sangat mengancammu! Kurasakan begitu
besar dan membaranya dendam nenek itu kepadamu!"
"Jika benar dia punya dendam padaku, berarti
memang dialah Ratu Teluh Bumi. Jika dia bukan Ratu
Teluh Bumi, lantas atas dasar apa dendam padaku?"
Rasa penasaran membuat Pendekar Mabuk nekat
menemui Ki Gendeng Sekarat di alun-alun. Sampai di
samping Ki Gendeng, Suto pun berkata,
"Mundurlah, Ki. Biar aku yang hadapi si iblis tua
itu!" Namun tiba-tiba sebuah serangan datang dari tangan
nenek tua itu berupa pukulan tenaga dalam wama merah bagaikan bola api sebesar
buah kelapa. Wusss...!
"Suto, awas...!" Ki Gendeng Sekarat melompat maju menyambut kehadiran bola api
itu. Kemudian dengan
satu kekuatan tenaga dalamnya, ia menghantam bola api itu menggunakan sentakan
kedua tangannya yang ke
depan. Brusss...! Blarrr...!
Bola api itu pecah meledak menimbulkan guncangan
hebat pada tanah. Dan tubuh Ki Gendeng Sekarat
terlempar mundur dalam hentakan kuat.
Zlappp....! Suto melesat menghadang tubuh Ki
Gendeng Sekarat. Brekk...! Tubuh Ki Gendeng Sekarat membentur tubuh Pendekar
Mabuk, tapi Pendekar
Mabuk memang sudah siap menahan tubuh itu, sehingga Ki Gendeng Sekarat tidak
cedera sedikit pun. Menabrak Pendekar Mabuk adalah lebih baik daripada menabrak
rumah penduduk yang terbuat dari tembok separo
bagian. "Uuf...! Besar sekali tenaga si tua bangka itu! Edan betul dia!" Ki Gendeng
Sekarat masih tetap tidur walau bicara begitu, nada bicaranya masih seperti
orang mengigau malas-malasan.
"Dia sangat berbahaya, Ki! Sepertinya aku harus melawannya memakai Napas Tuak
Setan. Tapi... keadaan tidak memungkinkan. Istana dan rumah-rumah
di sekitar sini bisa habis dilanda badai!"
"Dia mengandalkan ilmu kutukannya! Menurutmu
apakah dia memang Ratu Teluh Bumi, seperti yang kau ceritakan itu, Suto?"
"Ya. Tapi entah mengapa dia bisa menjadi setua itu!
Aku sendiri tak habis pikir. Dan makin tak habis pikir melihatmu tidak mempan
dengan kutukannya, Ki!"
"Karena aku tidak memandang matanya pada saat
berhadapan! Mata hatiku yang melihat semua
gerakannya! Jadi, tutuplah matamu pada saat
menghadapinya!"
"Tutup mata?"
"Ya. Kekuatan kutuknya ada di matanya. Jika kita memandangnya, maka kekuatan
kutuk itu akan mengalir lewat pandangannya. Sebaiknya...," Ki Gendeng Sekarat
berhenti sebentar, melepas ikat kepalanya yang terbuat dari kain hitam itu.
Kemudian kain hitam itu diserahkan kepada Pendekar Mabuk.
"Pakailah ini sebagai penutup matamu. Kau bisa bertarung menggunakan mata hati,
bukan"!"
"Bisa, Ki!"
"Nah, lakukan cepat...!"
Belum sempat Pendekar Mabuk menggunakan ikat
kepala kain hitam sebagai penutup mata, nenek aneh
sudah berseru dalam jarak sepuluh langkah.
"Naaah... ini dia harapanku datang! Hik hik hik...!
Kau pasti Pendekar Mabuk yang kucari-cari selama ini!"
"Apakah kau Ajeng Prawesti... si Ratu Teluh Bumi itu"!"
"Hik hik hik...! Betul sekali, Anak bagus! Akulah Ratu Teluh Bumi yang kau pukul
sampai terjungkir
masuk ke jurang keparat itu! Dan sekarang aku mau
tuntut balas padamu, Cah bagus, Suto Sinting! Hik hik hik...! Tapi... tapi
mengapa kau masih muda" Bukankah kita sudah berpisah hampir seratus tahun
lamanya?" "Kita baru berpisah tiga bulan kurang, Ajeng
Prawesti!"
"Omong kosong! Pasti sudah hampir seratus tahun, dan kau punya aji pengawet
wajah sehinga bisa tetap kelihatan ganteng dan muda!"
"Ajeng Prawesti, percayalah kita baru tiga bulan berpisah. Dan aku tak sangka
kau menjadi setua itu, Ajeng Prawesti!"
"Ya, ya... aku menjadi tua, tapi... tapi tetap kelihatan manis dan menawan
tentunya! Hik hik hik...!"
Ki Gendeng Sekarat berbisik dari belakang Suto,
"Lekas kenakan penutup matamu, Suto. Dia bisa
Pendekar Mabuk 019 Pembantai Berdarah Dingin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lepaskan kutuk sewaktu-waktu!"
Suto segera sadar, bahwa ia telah terpancing
omongan sehingga lupa menutup matanya. Maka, cepat-
cepat Suto menutup mata dengan kain ikat kepala itu.
"Heiii... mengapa pakai tutup mata segala" Aku tidak akan lari bersembunyi,
sebab kita tidak sedang main petak umpet, Suto!" kata Ratu Teluh Bumi alias
Ajeng Prawesti itu.
Suto tidak menjawab, ia meneguk tuaknya dulu
beberapa tegukan, kemudian bumbung tuak tidak
dikembalikan ke punggung, tapi ditentengnya sebagai senjata sewaktu-waktu.
"Bersiaplah, Ajeng Prawesti! Lepaskan seluruh
dendammu padaku, biar tak lagi membawa korban bagi
orang lain!" ucap Suto Sinting dengan keras dan tegas.
Dalam hatinya sempat membatin,
"Agaknya pedang berkaratnya cukup berbahaya!
Pedang itu harus kulenyapkan dulu...!" Maka, Suto pun menenggak tuak lagi dengan
cepat, tapi tidak ditelan, melainkan disimpan di mulut untuk disemburkan
sewaktu-waktu. "Pendekar Mabuk, saatnya telah tiba untuk melepas nyawamu, Nak! Hiaaah...!"
Nenek itu tiba-tiba melompat dengan cepatnya dan
hampir tak bisa dilihat mata Ratna Pamegat dari tempat persembunyiannya. Tapi
rupanya Pendekar Mabuk pun
tak kalah cepat. Zlappp...! Ia telah melesat bagai hilang dari tempat. Tahu-tahu
sudah berada di belakang Ajeng Prawesti, dan kakinya menendang ke belakang
dengan kuatnya. Buekkk...!
Punggung perempuan bungkuk itu menjadi sasaran
telak. Ajeng Prawesti berjungkir balik ke depan, karena hampir saja ia
tersungkur jatuh dengan kuatnya. Jlegg...!
Kaki nenek tua itu sudah menapak kembali ke tanah dan berdiri menghadap Suto
Sinting. "Manusia keparat! Sebaiknya kau menjadi cacing, Suto!"
Ajeng Prawesti melontarkan kutuknya. Tapi petir
tidak menggelegar. Suto masih tetap sebagai Suto, bukan menjadi seekor cacing.
Bahkan kini Pendekar Mabuk
menyerang dengan kibasan bumbungnya ke kepala
Ajeng Prawesti. Bumbung itu dikibaskan ke kepala
nenek tua, tapi sang nenek dengan gesitnya
merundukkan kepala hingga lolos dari hantaman
bumbung tuak. Dan pada saat itulah, Pendekar Mabuk
cepat melompat ke atas kepala nenek tersebut. Wuttt...!
Brusss...! Tuak di mulut pun disemburkan. Clappp...!
Tiba-tiba pedang berkarat itu pun lenyap karena jurus
'Sembur Siluman'-nya Suto Sinting.
"Monyet busuk! Ke mana pusakaku"!" caci nenek tua itu.
Pendekar Mabuk sempoyongan seperti orang mau
jatuh, tapi tiba-tiba bumbungnya menyodok perut Ratu Teluh Bumi dengan kuat.
Behggg...! "Eehg...!" nenek itu menyeringai kesakitan.
Tubuhnya melayang dan menabrak tubuh Ki Gendeng
Sekarat yang sedang tertidur. Ki Gendeng Sekarat tiba-tiba membuka matanya. Dan
agak terkejut melihat nenek itu sudah ada di atasnya, karena Ki Gendeng Sekarat
pun jatuh terjengkang akibat benturan keras dari tubuh nenek yang terpental.
"Hei, apa-apaan kau! Sudah tua masih minta
dikelonin saja!"
Ki Gendeng Sekarat buru-buru mengangkat tubuh
Ajeng Prawesti dengan ringannya, lalu tubuh itu dibuang dalam satu hentakan
kuat. Wesss...!
Behgg...! Tubuh itu jatuh di tanah bagian punggung
lebih dulu. Nenek tua meraung kesakitan, namun masih nekat berusaha bangkit dan
terhuyung-huyung. Kini
yang ditatapnya adalah K! Gendeng Sekarat, ia
menggeram dengan mata buasnya,
"Manusia gendeng! Kukutuk kau jadi bebek!"
Ratna Pamegat di tempat persembunyiannya menjadi
cemas sekali, sebab ia tahu pada waktu kutuk itu
dilontarkan, Ki Gendeng Sekarat tidak dalam keadaan tidur, melainkan dalam
keadaan melek. Sudah tentu Ki Gendeng Sekarat akan berubah menjadi bebek.
Tapi ditunggu beberapa helaan napas, ternyata Ki
Gendeng Sekarat masih tetap utuh sebagai Ki Gendeng Sekarat, tidak berubah
menjadi bebek. Bahkan sekarang Ki Gendeng Sekarat tertawa terkekeh-kekeh,
"He he he he...! Kutukanmu ternyata sudah tidak mempan, Nenek Peot! Ilmu kutukmu
telah hilang! Mungkin karena semburan tuak dari Pendekar Mabuk
itu!" "Ah, tidak! Ilmu 'Sabda Iblis' tidak hilang dariku!
Kau kukutuk menjadi binatang yang paling
menjijikkan!"
"He he he...! Bukankah binatang menjijikkan itu adalah dirimu sendiri, Nenek
Ompong! He he he he...!"
Rupanya ilmu 'Sabda Iblis' yang dimiliki Ratu Teluh Bumi akibat memakan bunga
Sukma Weling di Jurang
Petaka itu telah lenyap oleh kekuatan jurus 'Sembur Siluman'-nya Suto Sinting.
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Manusia Penyebar Kutuk"). Ratu Teluh
Bumi menjadi tegang dan cemas.
Suto Sinting segera melepas kain penutup matanya
begitu mendengar seruan Ki Gendeng Sekarat. Melihat Pendekar Mabuk melepas
penutup mata, Ratu Teluh
Bumi segera melepas kutukan kepada Pendekar Mabuk
dan ternyata kutukan itu pun tidak berguna lagi.
"Keparat busuk! Kau telah melenyapkan ilmuku,
Suto! Sekarang terimalah ajalmu ini, Nak! Heaaah...!"
Sebelum tangan nenek tua itu bergerak untuk
melepaskan pukulan andalannya, Suto sudah lebih dulu berkelebat bagaikan angin,
bahkan lebih cepat dari anak panah yang melesat. Wuttt...! Prakkk...!
Bumbung tuak itu menghantam kepala nenek tua.
Kontan nenek tua itu terlempar ke belakang dan
terguling-guling bagaikan bungkusan daun kering tertiup angin, ia jatuh terkapar
di bawah patung para prajurit yang telah dikutuknya. Kepalanya pecah berlumuran
darah. Melihat Ajeng Prawesti tidak berdaya lagi, Ki
Gendeng Sekarat mendekatinya, demikian pula Suto
Sinting dan Ratna Pamegat yang lari dari tempat
persembunyiannya untuk melihat kematian Ratu Teluh
Bumi. Napas sang nenek iblis tinggal sejengkal kurang, ia dalam keadaan luka parah
sekali. Namun mata tuanya
yang hampir redup itu sempat memandang orang-orang
di sekelilingnya. Bahkan ia masih bisa berucap kata walaupun lirih sekali,
"Pendekar Mabuk, akhirnya kau yang menang dalam pertarungan ini.... Maafkan aku,
Suto. Aku terpaksa menunggumu di akhirat untuk teruskan pertarungan ini dan
menebus kekalahanku yang sekarang...."
Ki Gendeng Sekarat menggerutu, "Sudah mau mati masih mengancam dendam juga orang
ini..."!"
"Biarkan dia bicara," kata Suto pelan.
Ratu Teluh Bumi berkata lagi, "Sampaikan salamku kepada Dayang Kesumat, dan
katakan aku juga
menunggu pertarungan dengannya di pintu neraka nanti.
Sarankan agar dia lekas-lekas menyusulku...."
"Ajeng Prawesti, tidakkah kau ingin bertobat dalam keadaan seperti ini"' kata
Suto Sinting yang sudah
mengendurkan kemarahannya, bahkan berubah menjadi
iba melihat nenek setua itu mau mati.
"Bertobat.,,"! Oh, aku lupa caranya bertobat! Jadi sebaiknya, persiapkan dirimu
sebaik mungkin untuk
pertarungan kita nanti, sementara itu... aku di sana juga mau cari guru yang
lebih hebat lagi!"
Tiba-tiba terdengar suara serigala melolong,
"Aaauuuu...!"
Semua mata memandang ke arah seekor serigala yang
lari menuju alun-alun sambil ditunggangi bocah kecil yang tak lain adalah Ratu
Kemukus. Serigala dan Ratu Kemukus hadir di situ dan ingin melihat kematian
nenek iblis itu. Antara Ratu Kemukus dan Ratna Pamegat
sama-sama terkejut dan saling menampakkan kesedihan melihat wujud masing-masing.
Tapi kejap berikutnya, mereka kembali memandangi nenek kejam yang sedang
sekarat itu. "Ajeng," kata Suto. "Mengapa kau bisa setua ini" Apa yang telah terjadi pada
dirimu, Ajeng?"
"Aku... aku kau ceburkan ke dalam jurang itu!"
"Ya, aku ingat!"
"Kau mengejarku bersama serigala itu. Aku...
menyembunyikan diri. Keadaanku luka parah saat itu.
Aku masuk ke dalam lobang seperti sumur, yang
ternyata adalah gua. Dalamnya bukan main, seperti
sumur tanpa dasar. Aku di sana sendirian, lama sekali, rasanya seperti ratusan
tahun aku hidup di sana, tahu-tahu ketika kutemukan jalan keluar, aku sudah
menjadi setua ini. Kupikir memang aku sudah waktunya tua
karena terlalu lama di dalam lubang aneh itu. Ternyata...
ternyata beberapa orang yang kukenal masih muda dan kau sendiri masih semuda
ini, Cah Bagus...!"
Ki Gendeng Sekarat menyahut setelah berwajah
tegang sebentar, "Berarti, kau masuk putaran arus waktu! Kau mendekati poros
bumi. Di sana waktu
berputar lebih cepat dari di sini!"
"Mungkin begitu, tapi... tapi... tapi aku tak kuat lagi.
Kulanjutkan saja ceritaku di... di... neraka nanti...,"
setelah mengucapkan kata begitu, Ratu Teluh Bumi yang dikenal saat itu sebagai
nenek aneh atau si nenek iblis, menghembuskan napasnya yang terakhir, ia mati
dalam keadaan mata masin melek dan mulut masih ternganga.
Petir menggelegar di angkasa. Awan menjadi hitam,
bergulung-gulung menutupi cahaya sore. Angin
berhembus makin lama semakin kencang. Dedaunan
berserakan diterbangkan angin, dan alam berubah
menjadi sepi sejenak. Seakan roh Ratu Teluh Bumi
sedang melintas meninggalkan jasadnya, menancapkan
dendam di gerbang pintu neraka. Di sana ia menunggu lawan-lawannya untuk
meneruskan pertarungan itu.
"Lalu bagaimana nasibku yang menjadi sekecil ini?"
keluh Ratu Kemukus setelah mereka menjauhi mayat
Ratu Teluh Bumi atau si nenek iblis itu.
"Ya, nasibku sendiri bagaimana" Haruskah
selamanya aku menjadi manusia berbadan anjing?" tutur Ratna Pamegat dengan
sedih. Lalu Suto berkata, "Akan kucoba dengan tuakku, mudah-mudahan bisa memulihkan
keadaan kalian!"
Suto meneguk tuak, sebagian ditelan, sebagian
disimpan di mulut, lalu disemburkan ke tubuh Ratu
Kemukus. Brusss...!
Blarrr...! Petir menggelegar dan tubuh Ratu Kemukus kembali menjadi besar dan
dewasa seperti sedia kala.
Ratu Kemukus tersentak kaget dan kegirangan. Hal
serupa juga dilakukan kepada Ratna Pamegat, kembali ia menjadi manusia utuh
seperti sedia kala. Bahkan patung-patung di alun-alun itu pun disembur dengan
tuak satu persatu dan mereka berubah wujud menjadi manusia
kembali. "Terima kasih, Suto! Kau telah banyak menolongku, terutama menolong rakyatku
yang terkena kutuk dan
musibah besar ini!" kata Ratu Kemukus dengan
tersenyum ceria. Suto pun membalas senyuman yang
membuat hati Ratu Kemukus gelisah indah. Suto
berkata, "Maafkan kelancanganku tadi siang, Nyai Ratu."
"Kelancangan apa?" Ratu Kemukus kerutkan dahi.
Pendekar Mabuk tersenyum-senyum dan berkata,
"Sekarang saya tidak akan berani memeriksa Nyai Ratu, apakah ngompol atau
tidak!" "Ah, Suto...! Jangan keras-keras nanti ada yang mendengarnya!" bisik Ratu
Kemukus sambil tundukkan kepala.
"Aaauuu...!" serigala itu melolong, kemudian ia berlari cepat meninggalkan Suto.
Suto merasa heran dan segera mengejarnya.
"Sri...! Sri, mau ke mana kau"! Hei, berhenti...!"
Serigala itu tetap berlari tak mau menghiraukan Suto Sinting lagi. Akhirnya
Pendekar Mabuk menggunakan
jurus gerak silumannya yang bisa melesat dengan cepat, dan tahu-tahu menghadang
di depan serigala. Binatang itu berhenti, lalu mendekam rendah dan meletakkan
kepalnya di tanah dalam keadaan matanya melelehkan
air. Binatang itu menangis, Suto menjadi heran dan
bertanya, "Mengapa kau menangis" Apa kau cemburu aku
bicara dengan Ratu Kemukus?"
Binatang itu hanya mengerang kecil mirip orang
merintih. Suto Sinting sempatkan diri meneguk tuaknya.
Tiba-tiba serigala bangkit dan menerjang dada Suto.
Brukk...! Suto tersedak dan tuak segera tersembur dari mulutnya mengenai tubuh
serigala. Blarrr...! Serigala berbulu hitam itu berubah menjadi gadis cantik dan sangat
menarik. Matanya bulat bening, rambutnya hitam lemas, sebatas pundak, hidungnya
mancung, bibirnya indah. Gadis itu mengenakan pakaian merah bata dan berikat
kepala hijau. Dialah Sumping Rengganis, yang pernah dikutuk Ratu Teluh Bumi
karenanya ingin minta kitab yang dicuri oleh Ratu Teluh
Bumi (Baca serial Pendekar Mabuk, dalam episode:
"Manusia Penyebar Kutuk"). Dan tentu saja Pendekar Mabuk menjadi terkejut
sekali. "Kau..." Kau juga korban kutukan Ratu Teluh
Bumi?" "Ya. Akulah yang bernama Sumping Rengganis, yang menemanimu ke mana saja selama
ini, Pendekar Mabuk!" "Edan!" Suto bersungut-sungut karena menahan malu, dan Sumping Rengganis
tersenyum-senyum.
Dalam hatinya, Suto berkata,
"Kalau tahu begini aku tidak mau tidur selalu
bersamanya, aku tidak mau sering mengusap-usap
tubuhnya, aku tidak mau sering menciumi tengkuk
kepalanya, dan... dan kalau tahu begini aku tak akan membiarkan ia memandangiku
terus sewaktu aku mandi
dalam keadaan polos! Aduh, malunya! Pantas setiap aku buang air kecil dia selalu
menungguiku di depan..."!
Idiiih...!"'Suto meremas rambutnya sendiri, gemas membayangkan malunya.
Tapi semua itu segera dilupakan oleh Suto, karena
Sumping Rengganis tak pernah mau mengatakan apa
yang pernah terjadi selama menjadi sahabat Pendekar Mabuk itu. Dan ia pun tetap
mendampingi Suto dalam
melakukan penyembuhan terhadap orang-orang yang
menjadi korban kutukan Ratu Teluh Bumi, termasuk
Resi Jejak Naga, guru dari Ratna Pamegat.
SELESAI PENDEKAR MABUK Segera terbit: LADANG PERTARUNGAN
Pendekar Mabuk 019 Pembantai Berdarah Dingin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Tugas Rahasia 6 Misteri Bayangan Setan Karya Khu Lung Pendekar Sakti 19
marah segala!"
"Uh uh uh...!" binatang itu pun meredakan erangannya yang berseringai seram itu.
Kemudian ia berlari cepat lagi, dan Suto mengimbangi gerak larinya.
Rupanya serigala itu membawa Pendekar Mabuk ke
alun-alun tersebut. Keadaan di alun-alun masih sepi, bagai habis dilanda angin
setan kuburan. Dan mata Suto pun menatap ke arah panggung yang roboh, mayat-
mayat yang bergelimpangan, juga patung-patung yang
berdiri dengan wajah batunya yang menampakkan
ketegangan. "Huk huk huk...!" serigala itu melolong pendek-pendek. Pendekar Mabuk mendekati
tiap patung yang
ada di situ. Ia membatin dalam hatinya,
"Sepertinya telah terjadi musibah misterius di alun-alun ini! Mayat
bergelimpangan, bekas tebasan pedang terlihat di tubuh korban. Pasti ada orang
sakti entah dua atau tiga orang yang membantai mereka. Dan patung-patung ini..."
Apa artinya patung-patung ini" Sepertinya dibuat dengan bentuk seragam pakaian
yang sama"'
"Auuu...! Auuuu...!" Serigala melolong di balik panggung yang rubuh. Sepertinya
ia memanggil Suto
agar datang ke sana. Dan ketika itu, Pendekar Mabuk mendengar suara bocah kecil
menangis ketakutan. Suto pun segera bergegas ke belakang panggung, mendekati
serigala tersebut.
Bocah kecil bermahkota itu bersembunyi di bawah
reruntuhan panggung. Wajahnya tampak sangat
ketakutan. Bocah kecil itu mengenakan mahkota kecil dan berpakaian seperti
seorang ratu. Suto tidak tahu bahwa bocah perempuan itu adalah Ratu Kemukus yang
telah berubah menjadi anak-anak.
"Sini, sini... keluar sini! Kakak tidak jahat! Sini...!"
Pendekar Mabuk tak bisa menerobos ke bawah
reruntuhan panggung, karena di sana juga terdapat
beberapa mayat yang bertumpuk. Bocah kecil itu berada jauh dari jangkauan tangan
Suto. Setelah dibujuk
beberapa kali, barulah gadis kecil itu merangkak keluar dari panggung.
"Ggrrr...!" serigala menyeringai menakutkan.
"Aaaa...!" bocah kecil itu menjerit ketakutan dan kembali masuk ke dalam
reruntuhan panggung.
Suto menghardik serigala, "Hai, jangan begitu!
Wajahmu menakutkan anak kecil itu! Menjauhlah dulu
sana!" Seringai di wajah serigala menghilang. Binatang itu berjalan pelan menjauhi
Pendekar Mabuk. Bocah itu
kembali dibujuk, baru ia berani keluar dari
persembunyiannya. Kemudian Suto mengangkat dan
menggendongnya. Bocah itu berhenti dari tangisnya
setelah tahu bahwa Suto bersikap lembut dan sabar.
Mengusap-usap rambutnya yang panjang dan
bermahkota. Kemudian, di dalam gendongan Suto bocah kecil itu memandangi wajah
Suto dengan tidak berkedip.
Suto menyunggingkan senyumnya sebagai tanda
keramahan. Tapi bocah perempuan kecil itu menjadi
tersipu, lalu menyunggingkan senyum juga dengan
membuang pandangan matanya, menyembunyikan
wajah ke arah belakang Suto. Tangannya dipaksakan
Pendekar Mabuk agar merangkul, maksudnya biar tak
jatuh dalam gendongan. Tapi gadis kecil itu sepertinya malu memeluk Suto,
tangannya dikelebatkan ke
belakang. "Peganglah, Sayang...! Biar kamu tak jatuh...!" kata Pendekar Mabuk.
"Aku malu!" bisik anak kecil itu. Bisikan itu seperti bernada aneh bagi Suto,
sehingga Suto pun berusaha
memandang gadis kecil itu.
"Kenapa malu?"
Gadis kecil itu tidak menjawab. Suto segera
membawanya ke bawah sebuah pohon rindang. Suasana
masih sepi. Penduduk masih tak berani menampakkan
diri di sekitar alun-alun. Pendekar Mabuk memandangi sekeliling alun-alun, hanya
satu-dua wajah yang nongol sebentar, lalu segera tarik kepala dan bersembunyi
lagi dengan rasa takut.
"Ada apa sebenarnya?" gumam Suto sambil tetap memandangi sekelilingnya. Tetapi
tiba-tiba bocah kecil yang masih dalam gendongan Suto Sinting itu segera
berkata, "Bawalah aku ke sana," suaranya adalah suara bocah, tapi perintahnya seperti
perintah orang yang sudah
dewasa. Suto merasa heran, tapi tak segera dibahas di dalam hatinya. Karena
gadis kecil itu menunjuk ke
rumah besar yang ada di selatan alun-alun maka
Pendekar Mabuk pun membawanya ke sana, rumah
besar bertembok tinggi itu.
"Ini sebuah istana," kata Suto pelan. Gadis yang digendongnya menjawab,
"Memang sebuah istana. Masuklah...!"
Dua penjaga di pintu gerbang dengan keadaan
terkoyak tubuhnya dalam keadaan mati berdiri.
Sementara yang satu mati bersandar. Langkah Suto
menjadi hati-hati setelah nalurinya mengatakan, ada sesuatu yang tak beres di
dalam istana itu.
Ternyata ketika ia masuk ke halaman istana, mayat
pun bergelimpangan. Di sana-sini darah membanjir,
kepala menggelinding. Pemandangan itu membuat gadis kecil menangis terisak-isak
sambil memeluk Pendekar Mabuk.
"Pemandangan ini tak sehat dan terlalu kejam untuk seorang bocah seperti gadis
ini! Sebaiknya kusembunyikan dulu gadis ini di suatu tempat, lalu aku kembali kemari sendirian!
Pasti ada sesuatu yang lebih mengerikan lagi di dalam istana ini!" pikir
Pendekar Mabuk.
Suto segera menghampiri sebuah rumah setelah ia
berkata kepada serigala hitam, "Carikan tempat bersembunyi yang aman untuk gadis
kecil ini, Sri!" Dan binatang itu berlari ke sebuah rumah, lalu melolong dari
sana setelah memeriksa keadaan di dalamnya sebentar.
Itulah rumah yang dipilihnya sesuai perintah Suto tadi.
Maka Suto pun datang ke sana.
Ada beberapa rumah yang pintunya tertutup. Suto
mencoba mengetuk rumah itu dulu sebelum masuk ke
sebuah rumah pilihan serigala. Tapi tak ada jawaban dari rumah yang pintunya
tertutup. Rumah yang lain pun
begitu, tak mau membukakan pintu untuk Suto.
Mungkin mereka terlalu dicekam rasa takut, sehingga tak bisa membedakan tamu
yang baik dan tamu yang
bermaksud jahat.
"Terlalu memukul jiwa pembantaian yang terjadi di sini! Pantaslah kalau mereka
tak mau menyambut
kedatanganku!" kata Pendekar Mabuk dalam hatinya.
Kemudian ia melangkah masuk ke sebuah rumah yang
sepertinya ditinggalkan oleh penghuninya dalam
keadaan panik. Bocah kecil itu diturunkan dari gendongan Suto.
Matanya memandangi Suto terus. Suto tersenyum sambil
mengusap air mata gadis kecil itu dan berkata,
"Lupakan pemandangan itu! Jangan ingat-ingat lagi apa yang pernah kau lihat!
Tenanglah di sinil Tak akan ada yang mengganggumu!"
Gadis kecil itu menatap ke kanan-kiri, melongok ke
bagian dalam rumah, bahkan menatap ke arah dapur
dengan cemas. Suto Sinting yang belum tahu apa dan
bagaimana dengan gadis kecil itu segera bertanya
dengan lugu, "Ada apa" Kau mau pipis, ya?"
Gadis itu menggeleng.
"Kalau mau pipis, mari kakak antarkan kamu ke
belakang. Atau... jangan-jangan kau sudah ngompol..."!"
Suto bermaksud memeriksa apakah bocah itu ngompol
atau tidak. Tapi ketika tangan Pendekar Mabuk
memegang bagian yang biasanya ngompol, bocah yang
berdiri di atas sebuah kursi itu menjerit kaget.
"Auuuh...!"
Plakkk...! Tangannya berkelebat menampar Suto.
Tentu saja pemuda itu menjadi kaget dan sentakkan
kepala mundur. Gadis itu segera merapatkan kedua
kakinya dengan sedikit nungging ke belakang. Takut
dipegang bagian yang disangkanya ngompol itu.
"Jangan nakal kamu, Sayang...! Kakak hanya ingin tahu apakah kamu sudah pipis di
celana atau belum.
Kalau belum, ayo kakak antar kamu ke kamar mandi!"
"Jangan sekali lagi berbuat begitu padaku!" kata gadis kecil itu dengan lancar.
Walau suaranya seperti anak usia empat tahun kurang, tapi nada bicaranya seperti
orang dewasa. "Kakak tidak bermaksud kurang ajar...!" kata Suto, lalu tak mau meneruskan. Tapi
ia menggerutu dalam
hatinya. "Masih kecil saja berlagak malu! Disangkanya aku mau berbuat kurang ajar! Anak
siapa dia sebenarnya"!
Kecil-kecil sudah galak!"
Bocah kecil itu segera melompat dari atas kursi,
berlari melongok ke pintu pagar. Kemudian, ia masuk kembali dan menutup pintu
rapat-rapat. Suto hanya
memperhatikan saja. Tapi segera bergegas membuka
pintu itu lagi setelah mendengar suara serigala meraung-raung kecil di luar
rumah, minta dibukakan pintu.
"Aah...!" bocah kecil itu memekik sambil melompat ke kursi, ia takut melihat
serigala masuk rumah.
"Tidak apa-apa," kata Pendekar Mabuk. "Dia temanku. Dia tidak galak!"
"Aku takut!"
"Dia bukan jenis serigala yang jahat, Manis! Kau tak perlu takut. Dia justru
akan menjagamu dari bahaya
selama aku pergi!"
"Kau mau ke mana?" tanya gadis kecil itu berlagak tua di mata Suto. Dan Suto
tidak terlalu menghiraukan lagaknya itu. Ia menjawab,
"Aku akan memeriksa isi istana itu! Kau di sini dulu bersama Sri, nanti
secepatnya aku kembali!" Suto bagai membujuk dengan lembut.
Akhirnya bocah itu menganggukkan kepala, seakan ia
memang berharap Suto melakukan hal itu. Tapi dari
sorot pandang matanya, ia kelihatan memendam
kecemasan dan ketakutan terhadap nasib Suto jika
memeriksa keadaan di dalam istana itu. Karena ia tadi melihat dari kolong
panggung, nenek tua yang sakti
namun berjiwa iblis itu masuk ke istana dan mengamuk di sana. Hanya saja, mulut
gadis jelmaan Ratu Kemukus itu tak bisa mengatakan dan menceritakan tentang
nenek aneh itu, karena rasa takut dan jiwa yang terpukul dengan peristiwa itu
masih belum bisa membuat ia
berpikir dengan baik.
Pendekar Mabuk masuk ke istana sendirian. Matanya
menatap sekeliling dengan jeli dan tajam. Istana dalam keadaan porak-poranda.
Beberapa bagian dibuat morat-marit oleh suatu pertempuran yang lebih tepat
dikatakan sebuah pembantaian. Suto berjalan melangkahi mayat-mayat baik tua
maupun muda, lelaki maupun
perempuan. Sampai di bagian bangsal keprajuritan,
banyak mayat yang terkulai di sana dalam keadaan
mengenakan pakaian seragam keprajuritan. Bahkan di
bagian dapur pun bertumpuk mayat para pelayan dan
juru masak. Tapi masing-masing mayat mempunyai
wajah tegang yang berlainan. Ada yang matinya karena benda tajam, ada yang
matinya karena pukulan tenaga dalam hebat, ada pula yang tidak berdarah sedikit
pun dan tetap berdiri memegang sesuatu, namun dalam
keadaan tidak bernyawa.
"Iblis mana yang begitu keji melakukan pembantaian ini"!" pikir Pendekar Mabuk.
"Kalau saja waktu itu...."
Suto tidak melanjutkan kecamuk batinnya, karena ia
segera melihat sekelebat bayangan menyusup masuk ke bangsal paseban, arahnya
dari ruang peristirahatan ke bangsal paseban. Pendekar Mabuk segera melesat
cepat dan tahu-tahu sudah berada di bangsal pertemuan yang berpilar empat itu.
Di sana ia berhadapan dengan
seorang gadis cantik berpakaian jingga. Gadis itu
tersentak kaget, lalu menyerang Suto dengan sebuah
pedang yang dicabut dari punggungnya. Wuttt...!
Trakk...! Pendekar Mabuk menyentakkan bumbung
tuak, dan bumbung itu cepat berkelebat ke depan,
pedang itu tak sempat merobek dada Suto, namun
tertangkis oleh bambu tempat tuak itu.
Tapi kaki gadis berpakaian Jingga itu berkelebat
menendang dada Suto melalui gerak tipuannya.
Buhgg...! Dada Suto kena sasaran kaki, membuat Suto mundur tiga tindak. Gadis
itu tak mau membiarkan
Pendekar Mabuk ganti menyerang, ia langsung
melompat dan menerjang wajah Suto dengan tendangan
kaki, sementara tangannya yang memegang pedang
sudah terangkat ke atas.
Dengan cepat Suto bersalto ke belakang. Wuttt...
wuttt...! Tendangan dan tebasan pedang perempuan itu mengenai sasaran kosong.
Suto berdiri tegak dan
tersenyum tipis memandangi gadis itu tertipu
serangannya. "Heh...!" gadis itu mendenguskan napas memandang ketus. Pedangnya tetap
terpegang di tangan dalam
keadaan di atas kepala, badannya sedikit rendah ke
depan dengan tangan kiri di depan dada, kaki kanan
memanjang ke belakang. Matanya tajam menatap Suto
Sinting. Suto justru menyempatkan diri membuka bumbung
tuak, dan ia menengadah sebentar untuk meneguk
tuaknya. Napasnya terlepas lega setelah itu. Senyumnya mekar tipis dengan mata
lembut memandang ke arah
lawannya yang cantik.
"Manusia keji kau!" geram gadis itu.
"Kau atau aku?" tanya Pendekar Mabuk.
"Jangan berlagak bodoh! Mereka terbantai oleh
perbuatanmu!"
"Jangan menuduh, Nona Cantik! Kaulah mungkin
pembantainya!"
"Hmm...! Pencuri kalau belum dihajar belum mau mengaku! Hiaaat...!"
Gadis itu melompat sambil melepaskan pukulan
tenaga dalamnya melalui tangan kirinya. Sinar kuning melesat bagai kawat,
arahnya ke dada Pendekar Mabuk.
Namun dengan lincah Pendekar Mabuk mengelak
melalui satu lompatan ke samping kanan. Sinar itu
mengenai lantai dan lantai itu menjadi hangus setelah mengalami letupan kecil.
Tarrr...! "Hentikan, Ratna!" seru suara di belakang gadis itu.
Pendekar Mabuk terperangah kaget memandang
orang berambut putih dan berpakaian serba merah
Pendekar Mabuk 019 Pembantai Berdarah Dingin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
muncul dari sebuah ruangan. Orang itu dalam keadaan tidak tidur, dan Suto sangat
mengenalinya. Pada waktu itu, Ratna Pamegat segera berkata,
"Mungkin dialah pelaku pembantaian ini, Ki!"
Ucapan itu tak dijawab oleh Ki Gendeng Sekarat.
Justru lelaki tua itu melangkah dengan cepat setelah Suto berseru,
"Ki Gendeng Sekarat..."! Kau ada di sini rupanya"!"
Ki Gendeng Sekarat berpelukan dengan Suto bagai
melepas rindu. Kemudian Ki Gendeng Sekarat berkata,
"Akhirnya kita bertemu di istana pembantaian ini!" Suto tertawa dan Ki Gendeng
Sekarat pun terkekeh sambil
menepuk-nepuk pundak pemuda tampan itu.
Ratna Pamegat berkerut dahi dan mengendurkan
ketegangannya setelah ia bertanya, "Siapa dia, Ki?"
"Orang yang kau cari, dan yang kucari juga! Ini yang namanya Suto Sinting, si
Pendekar Mabuk...!" Ki Gendeng Sekarat menegaskan. Ratna Pamegat' jadi
tersipu namun cepat membuang muka untuk
sembunyikan malunya.
"Aku baru saja datang untuk menemui Ratu
Kemukus," kata Ki Gendeng Sekarat. "Ratu Kemukus adalah Bibi dari Ratna Pamegat.
Tapi tahu-tahu keadaan menjadi seperti ini. Lalu kami memeriksa keadaan di dalam
istana ternyata semakin lebih mengerikan. Kami tidak tahu siapa pembantai yang
bisa berbuat sekejam ini, dan ke mana perginya Ratu Kemukus, kami sedang melacak
jejaknya."
"Aku juga baru datang, dan melihat keadaan seperti ini, aku jadi penasaran.
Ingin mengetahui siapa
pelakunya!"
Ratna Pamegat kini memandang Suto Sinting. Dalam
hatinya ia berkata, "Ternyata apa yang dikatakan Ki
Gendeng Sekarat memang benar. Suto Sinting jauh lebih tampan dan lebih gagah
dari Sutomo! Ah, kenapa aku
jadi berdebar-debar memandang ketampanan dan
keteduhan matanya?"
* * * 8 MEREKA bertiga tidak tahu, bahwa setelah nenek
aneh itu mengubah Ratu Kemukus menjadi kecil dan
para pengapung menjadi patung batu, ia segera
meninggalkan tempat itu. Tetapi, pasukan pemanah
istana segera menghujani panah ke arah tubuh nenek
aneh itu. Dan ternyata tindakan tersebut membuat nenek aneh menjadi semakin
murka. Ia melepaskan pukulan jarak jauhnya yang diperoleh
dari hasil serapan para musuh yang melepaskan tenaga dalam kepadanya. Pukulan
jarak jauhnya itu
menghantam pasukan pemanah yang muncul dari
tembok istana. Maka, hancurlah kepala mereka yang
terkena pukulan dahsyat itu.
Nenek aneh bergegas memasuki istana. Mengamuk di
sana dengan pedang berkaratnya. Tak satu pun disisakan hidup. Dan ia mengejar
tiga orang istana yang melarikan diri lewat pintu belakang, lalu melepaskan
kutukannya sehingga ketiga orang itu menjadi tiga ekor musang.
Hanya saja, setelah itu si nenek aneh pergi ke mana"
Tak ada yang tahu. Tapi menurut dugaan para penghuni rumah yang ada tak jauh
dari istana dan alun-alun, sang nenek diperkirakan masih mendekam di salah satu
rumah penduduk untuk beristirahat. Itulah sebabnya para penduduk yang masih
selamat tak berani keluar dari
rumah mereka, takut mengalami nasib senaas seperti
para korban itu.
Namun berkat usaha Ratna Pamegat, mereka bisa
menemukan satu penduduk yang berani menerima
kedatangan mereka. Penduduk itu menceritakan apa
yang sebenarnya terjadi di alun-alun sampai ke dalam istana. Penduduk itu
menceritakan hal itu dengan tubuh gemetar dan wajah pucat.
"Nenek bungkuk yang sudah tua sekali itu ternyata iblis yang bangkit dari
kuburnya," kata lelaki yang berani menceritakan hal itu kepada Suto, Ki Gendeng
Sekarat, dan Ratna Pamegat. Sambungnya lagi,
"Saya melihat dengan mata kepala sendiri, nenek itu mengutuk Kanjeng Ratu
Kemukus menjadi gadis kecil
dan para prajurit yang mengepungnya menjadi patung
batu di alun-alun!"
"Mengutuk..."!" Pendekar Mabuk mengulang kata-kata itu dengan nada heran dan
dahi berkerut. "Ya, ya... mengutuk! Saya katakan mengutuk, karena tiap apa yang diucapkannya
menjadi kenyataan, Tuan!"
kata orang tersebut.
Ki Gendeng Sekarat berkata kepada Suto Sinting,
"Kalau begitu benar, nenek aneh yang menghancurkan perguruannya Ratna Pamegat
itulah yang melakukannyal"
Ratna Pamegat bertanya kepada orang yang berani
menerima kedatangan mereka di rumahnya itu,
"Apakah nenek bungkuk itu menyebutkan nama
orang yang dicari?"
"Hmm... Iya, benar! Saya mendengar saat ia belum melakukan keonaran. Saya dengar
dia mencari seseorang yang bernama... Suto Sinting! Teman yang di sebelah saya
bilang bahwa di sini banyak orang sinting tapi yang mana yang bernama Suto,
teman saya tidak tahu!"
"Jelas sudah, kaulah yang dicari orang tua itu!" kata Ki Gendeng Sekarat. Ratna
Pamegat juga menceritakan nasib perguruannya dan nasib sang Guru yang terkena
kutukan nenek tua itu. Dahi Pendekar Mabuk menjadi
berkerut memikirkan, siapa nenek tua yang dimaksud
mereka. "Beberapa waktu yang lalu," kata Suto. "Aku memang berselisih dengan seorang
yang bernama julukan Ratu Teluh Bumi. Tapi orangnya belum setua
ciri-ciri orang yang kau katakan itu, Ratna!"
Lalu, Suto pun menceritakan bagaimana Ratu Teluh
Bumi pada awalnya bertarung dengannya dalam
peristiwa "Pusaka Pedang Biru", dan menjadi lebih sakti lagi setelah muncul
beberapa waktu kemudian, sebagai orang yang menyebar kutuk ke mana-mana. Sampai-
sampai seorang musuhnya bisa dikutuk menjadi seekor kuda berkepala manusia,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Manusia Penyebar Kutuk").
"Lalu aku menyerangnya, dia jatuh terlempar ke jurang. Aku mencarinya untuk
melihat apakah dia mati atau hidup. Tapi tak kutemukan bangkainya di jurang itu.
Bahkan aku malah diikuti oleh seekor serigala yang
sampai sekarang menjadi teman perjalananku!" kata Pendekar Mabuk sambil mereka
melangkah meninggalkan rumah orang yang telah menceritakan apa yang dilihatnya itu.
"Barangkali, orang yang kau katakan sebagai nenek aneh itu berusia sekitar lima
puluh tahun?"
"Lebih," jawab Ratna Pamegat. "Mungkin usia seratus tahun pun lebih. Jalannya
sudah sempoyongan, giginya habis semua, kulitnya keriputan yang tak jelas
bentuknya dan sulit dicari pori-porinya!"
"Kalau begitu dia bukan Ratu Teluh Bumi!" kata Suto.
"Lantas siapa menurutmu"!" tanya Ki Gendeng Sekarat.
"Entahlah!" jawab Suto bernada pasrah.
"Bagaimana kalau kita geledah seluruh penghuni dan rumah di sekitar sini!" Siapa
tahu dia bisa berubah menjadi muda?" usul Ki Gendeng Sekarat.
"Baik. Kita berpencar. Dan jika melihat dia, pancing dan ajak ke alun-alun,
kemudian bunyikan sebuah
ledakan dengan pukulan tenaga kalian ke arah mana saja, kami akan segera datang
ke alun-alun!" kata Suto Sinting.
Mereka akhirnya berpencar menggeledah rumah demi
rumah. Pendekar Mabuk menyempatkan menengok
gadis kecil yang disimpannya di sebuah rumah bersama serigala. Pendekar Mabuk
masih belum menyimpulkan
cerita orang tadi, sehingga ia belum sadar bahwa gadis kecil itulah Ratu Kemukus
yang dikutuk si nenek aneh.
Ketika Pendekar Mabuk masuk ke rumah itu, gadis
kecil itu segera melompat dalam gendongan Suto sambil menangis ketakutan.
Tangisannya tak menimbulkan
suara keras. Tapi Suto tahu tangis itu adalah tangis bocah yang tertekan
jiwanya. Pasti ada sesuatu yang membuatnya sangat takut.
"Tenang, tenang, Sayang...! Cup cup cup...! Kakak sudah kembali dengan selamat.
Jangan menangis...!"
"Ak... aku... aku takut...!"
"Takut kepada siapa" Serigala ini tidak
menganggumu, bukan"! Jangan takut!" Suto bertanya kepada serigala, "Apa kamu
tadi mengganggunya, Sri?"
Anjing hutan itu menggelengkan kepala sambil
menggeram-geram kecil, seakan sangat paham dengan
bahasa manusia.
"Lihatlah, Sayang... serigala tidak nakal kok. Jangan takut!"
"Aku bukan takut kepada anjing itu!"
"Lalu kepada siapa dan kepada apa?"
"Aku... aku tadi mengintip dari celah papan itu, aku melihat nenek aneh itu
berjalan melewati jalanan di depan rumah ini! Aku takut sekali!"
"Nenek..."! Maksudmu, nenek bungkuk yang
jalannya sudah tertatih-tatih itu?" Pendekar Mabuk sedikit tegang.
"Iya. Nenek itulah yang membantai seenaknya semua prajuritku, orang-orangku dan
beberapa penduduk di
sini!" "Jadi kau melihat semua pembantaian itu"!"
"Aku melihatnya! Melihat dengan jelas sekali," jawab bocah yang digendong Suto
itu. "Kalau saja aku tak kalah ilmu, aku tak akan menjadi begini! Serba ketakutan
dan...." "Sudah, sudah... jangan diingat-ingat lagi nanti kamu semakin takut, Sayang!
Sekarang sebaiknya kamu tidur, dan kakak akan...." Suto diam sejenak, teringat
sebaris kata aneh yang diucapkan bocah kecil itu. Maka Suto pun segera bertanya,
"Kau bilang, kau kalah ilmu dengan nenek itu"! Apa maksudmu dengan mengatakan
'kalah ilmu' itu?"
"Aku sudah coba menghadapi dia! Tapi aku kalah, dan dia mengubah wujudku menjadi
seperti anak kecil begini...!"
Bocah yang digendong erat-erat itu kini ditatapnya.
Suto berdebar-debar dan hampir tak mempercayai
kesimpulan di dalam hatinya, ia penasaran dan akhirnya bertanya, "Jadi... kau
adalah Ratu Kemukus itu?"
"Ya. Akulah Ratu Kemukus itu...!"
"Oooh...!" Suto menjadi malu dan lemas, ia turunkan gadis kecil itu pelan-pelan.
Rasa malu bercampur rasa hormat dan sungkan, semuanya menjadikan Suto salah
tingkah. Dalam hatinya ia tersenyum geli dan berkata,
"Pantas dia galak. Pantas berani menamparku. Pantas dia menjerit waktu kuperiksa
apakah ngompol atau
tidak. Rupanya dia seorang Ratu. Hi hi hi hi... aku jadi malu sendiri kalau
begini! Pantas dia malu memelukku dalam gendongan. Hi hi hi...!"
"Aku sudah memeriksa isi istana, tak ada yang
selamat! Aku juga bertemu dengan keponakanmu," kata Suto Sinting kemudian.
"Siapa namanya?"
"Ratna Pamegat!"
"Oh, benar! Dia keponakanku. Di mana dia
sekarang?"
"Sedang mencari nenek itu!"
Bocah kecil itu tersentak kaget. "Celaka! Tolong cegah dia! Jangan sampai dia
mencari nenek itu, nanti menjadi seperti nasibku ini dan mungkin akan celaka
seperti prajurit-prajuritku! Aku tak ingin keponakanku menjadi patung seperti
nasib mereka di alun-alun itu!
Cegah dia!"
Suto merasa diperintah oleh anak kecil. Tapi
mengingat anak itu adalah jelmaan dari Ratu Kemukus, maka ia pun menghormat dan
berkata dengan tegas,
"Baiklah! Aku akan pergi mencari Ratna Pamegat dan kusuruh dia mendampingimu,
Nyai Ratu," Suto tersenyum kaku menyebut nyai ratu kepada bocah
sekecil itu. Ratu Kemukus sendiri menjadi tersipu malu.
Pendekar Mabuk bergegas pergi. Tapi sebelumnya
tangannya tertahan oleh tangan bocah kecil itu. Bocah tersebut bertanya,
"Apakah kau berani menghadapi iblis tua itu?"
"Kenapa tidak"' jawab Suto dengan tersenyum
menawan. Ratu Kemukus tak berani memandang, ia
hanya berkata, "Hati-hatilah, jangan sampai celaka menghadapi dia."
"Baik. Doa restu dari Nyai Ratu yang kuminta
sebagai bekalku!"
"Berangkatlah...!" kata Ratu Kemukus dalam wujud bocah.
Tapi ketika Suto hendak membuka pintu dan keluar
dari rumah, sang Ratu sempat bertanya lagi,
"Tunggu...! Siapa sebenarnya dirimu, Anak Muda"'
"Aku orang yang dicari-cari oleh iblis tua itu.
Namaku Suto Sinting...!"
"Oh..."!" sang Ratu terbengong memandang Suto.
Tapi Suto segera pergi keluar rumah, sementara sang Ratu memperhatikan dalam
sikap mengintip dari celah pintu. Hatinya membatin,
"Gagah sekali dia.... Pantas untuk menjadi
senopatiku!"
Blarrr...! Belum sempat Suto melangkah sudah terdengar suara
ledakan. Itu merupakan pertanda, salah seorang dari sahabatnya telah menemukan
nenek aneh itu. Dan Suto pun segera bergegas menuju ke alun-alun. Tapi ternyata
di sana tak ada manusia. Suto memandang sekeliling, menatap langit, ternyata ada
kepulan di arah barat.
Kepulan asap itulah yang menjadi tanda baginya, bahwa di sana terjadi
pertarungan nenek aneh melawan siapa, Ki Gendeng Sekarat atau Ratna Pamegat"
Pada saat Suto berada di dalam rumah bersama Ratu
Kemukus kecil, sebenarnya Ratna Pamegat telah
kepergok oleh nenek aneh itu. Sang nenek pun segera terkekeh-kekeh melihat Ratna
Pamegat. Ia berkata
dengan suara tuanya,
"Sepertinya aku pernah kenal denganmu, Cah Ayu...!
Siapa kamu dan di mana aku pernah bertemu
denganmu?"
"Ya, kau memang pernah bertemu denganku!" kata Ratna Pamegat sambil memancing
kemarahan nenek
aneh itu supaya marah dan mengejarnya ke alun-alun.
Ratna Pamegat berkata lagi,
"Aku adalah Ratna Pamegat! Guruku telah kau kutuk menjadi tengkorak hidup!"
"O, kau murid Resi Jejak Naga itu"! Ya ya ya... aku ingat sekarang! Bagaimana
kabarmu, Nak" Apakah
gurumu sehat-sehat saja?"
Nenek itu bicara seperti orang tidak berdosa. Ratna Pamegat menjadi panas
hatinya. Lalu, ia mencabut
pedangnya dan berseru,
"Guruku dalam keadaan sehat, tapi nyawamu yang sebentar lagi tidak sehat, Iblis
Kempot! Aku menuntut balas atas nasib perguruanku itu!"
"Mau menuntut balas" O, boleh, boleh...! Kita tarung pakai pedang ya, Nak"
Sebentar...!" Nenek itu sulit mencabut pedangnya. Kesempatan itu digunakan oleh
Ratna Pamegat untuk menyerang dengan satu lompatan
dan tebasan pedang. Wuttt...!
Zlapp...! Nenek itu bagai menghilang. Tahu-tahu ada di belakang Ratna Pamegat
yang sudah telanjur
Pendekar Mabuk 019 Pembantai Berdarah Dingin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menebaskan pedang dan menemui tempat yang kosong.
Nenek itu masih bingung mencabut pedang berkaratnya dengan susah payah. Ratna
Pamegat membalikkan badan dengan satu tendangan putar yang amat kuat dan cepat.
"Hiaaat....!"
Plokk...! Wajah tua itu terkena tendangan bertenaga dalam, tapi tak mengalami
guncangan sedikit pun. Ratna Pamegat bagaikan menendang pilar beton. Kakinya
sendiri yang menjadi ngilu.
"Jahanam kau, Gadis Tolol! Bersabarlah sebentar, aku sedang kesulitan mencabut
pedangku ini! Uh uh
uhh...!" Ratna Pamegat tak mau memberi kesempatan sang
nenek berhasil mencabut pedang, ia segera menikamkan pedangnya ke depan, leher
sang nenek yang menjadi
sasarannya. Wusss...!
Zlappp...! Nenek itu sudah ada di sampingnya,
berjarak tiga tombak dari Ratna Pamegat. Tusukan itu kembali menemukan tempat
kosong. Sang nenek merasa
jengkel dengan pedangnya yang sukar dicabut, dan
merasa dongkol dengan serangan Ratna Pamegat yang
bertubi-tubi itu. Maka ia pun membentak dengan napas tertahan,
"Kamu ini disuruh sabar tidak bisa! Kukutuk jadi manusia berbadan anjing, baru
kapok kamu!"
Blarrr...! Gelegar petir terdengar mengagetkan. Itulah suara dentuman yang
didengar Suto Sinting. Dentuman itu tidak menimbulkan asap mengepul. Lalu, asap
apa yang terlihat oleh Suto dan sekarang sedang
dihampirinya itu"
Ternyata asap sebuah rumah terbakar sejak tadi,
sebelum Pendekar Mabuk datang ke situ. Maka, Suto
pun tidak mengetahui di mana Ratna Pamegat dan Ki
Gendeng Sekarat berada, ia mencari dengan mata
jelinya. Sementara itu, keadaan Ratna Pamegat sudah berubah
wujud menjadi seekor anjing berbulu coklat dengan
kepala manusia. Ratna Pamegat berlari secepatnya
sambil menangis, ia berseru di perjalanan pelariannya.
"Ki Gendeng...! Ki Gendeng...!"
Dari kejauhan terdengar suara nenek itu berseru,
"Ayo, kita bertarung! Pedangku sudah bisa kucabut sekarang!"
Dalam keadaan menjadi manusia berbadan anjing,
Ratna Pamegat tak berani menghadapi nenek aneh itu. Ia berlari kian kemari
sambil menyerukan kata memangil-manggil Ki Gendeng Sekarat dan Suto.
"Ki Gendeng, di mana kamu! Sutooo...! Suto tolong akuuu...!"
Rupanya Ki Gendeng Sekarat tertidur di emperan
sebuah rumah, ia tampak tertidur nyenyak di atas sebuah lincak, atau balai-balai
dari bambu yang biasa ada di serambi atau teras rumah. Ketika mendengar seruan
Ratna Pamegat, Ki Gendeng Sekarat pun bangkit dalam keadaan masih tertidur
dengan dengkuran halus.
"Mana itu...?" katanya seperti orang mengigau.
"Sepertinya suara Ratna Pamegat dalam bahaya...!"
Ki Gendeng Sekarat segera mencari. Arahnya ke
alun-alun. Ratna Pamegat sendiri juga sedang berlari ke alun-alun dalam kejaran
nenek kempot yang larinya
tertatih-tatih, seperti malas-malasan mengejar musuhnya.
"Ki Gendeng...!"
"Ratna...!" seru Ki Gendeng Sekarat, tapi tak bisa keras sekali karena ia dalam
keadaan tidur, mata
terpejam, dan kepala terkulai ke samping, agak
menunduk sedikit. Hanya saja, ia tetap bisa melihat apa yang terjadi pada diri
Ratna Pamegat. Ratna Pamegat menangis di kaki Ki Gendeng
Sekarat. Ki Gendeng Sekarat segera jongkok hingga
wajahnya berhadapan dengan Ratna Pamegat.
"Ki Gendeng, aku menemuinya dan... dan aku
menjadi seperti ini!"
"Ratna, tabahkan hatimu! Bersembunyilah di bawah kolong balai-balai sana. Aku
akan menghadapi dia...!
Mana dia sekarang?"
"Sedang mengejarku kemari!"
"Kalau begitu, cepat bersembunyi...!"
Ratna Pamegat berlari, ia bersembunyi di kolong
balai yang ada di teras rumah orang. Dari sana, ia bisa memandang Ki Gendeng
Sekarat yang menghadang
langkah nenek berhati iblis itu.
Nenek aneh itu menghentikan langkahnya setelah
seorang lelaki berbadan sedikit gemuk menghadang di depannya. Nenek aneh itu
bertanya lebih dulu, "
"Apa kau melihat seekor anjing coklat lewat sini, Kisanak?"
Ki Gendeng Sekarat menjawab, "Tidak. Tapi kalau anjing tua kempot dan bungkuk,
ada di depanku saat
ini!" "Hik hik hik...!" nenek aneh terkikik-kikik seperti suara kuntilanak sedang
sakit tenggorokan. "Kau
menghinaku, Tua Bangka! Kau sama saja mengatakan
aku anjing peot, tua, dan bungkuk!"
"Anggap saja memang begitu," jawab Ki Gendeng Sekarat.
Nenek itu menahan napas dan berseru, "Kalau begitu, kau pun kukutuk menjadi
seekor anak anjing!"
Angin berhembus sedang-sedang saja. Sepi terjadi
sejenak. Ki Gendeng Sekarat meraba tangannya.
Ternyata masih utuh tangan manusia. Walau ia tertidur, tapi ia bisa melihat
bahwa dirinya tak berubah sesuai kutukan yang dilontarkan nenek aneh itu.
Sedangkan sang nenek pun merasa heran melihat orang yang
dikutuknya tidak segera berubah.
"Kau kukutuk menjadi seekor anak anjing!" ulangnya sambil menahan napas. Tapi
alam tetap sunyi. Tak ada petir, tak ada perubahan pada diri lawannya. Sang
nenek semakin heran, dan melepaskan kutukan lagi,
"Jadilah babi buntung! Babi hidung mancung! Jadilah babi bunting! Jadilah macan,
serigala, monyet...!" semua binatang disebutkan, tapi tak satu pun yang membuat
Ki Gendeng Sekarat berubah wujud.
Dari tempat persembunyiannya, Ratna Pamegat
mendengar ucapan nenek aneh mengutuk Ki Gendeng
Sekarat. Ratna Pamegat menjadi terheran-heran kagum melihat Ki Gendeng Sekarat
masih utuh sebagai manusia tua yang gendeng juga ilmunya. Bahkan Ki Gendeng
Sekarat terkekeh-kekeh dan berkata,
"Kau ini dagang macam-macam binatang atau mau
menyebarkan kutuk"!"
"Iblis neraka mana kamu, hah"! Susah sekali dikutuk jadi apa saja. Kalau begitu,
kutebas saja lehermu dengan pedangku ini!"
Wuuttt...! Blappp...! Ki Gendeng Sekarat lepaskan pukulan dari tangan kirinya sebelum
pedang menebas. Pukulan itu
mengenai tubuh nenek aneh dan terpental jauh tubuh tua kurus dan kering itu.
Melayang-layang membentur
tembok istana dengan keras. Prokkk...!
* * * 9 DARI arah utara muncul Pendekar Mabuk yang
berlari-lari dengan sangat tergesa-gesa. Arah pandangan mata Suto tertuju ke
alun-alun. Ia melihat pertarungan Ki Gendeng Sekarat dengan nenek aneh itu.
Namun ketika ia hendak menghampiri Ki Gendeng Sekarat
untuk membantu menggempur nenek aneh itu, tiba-tiba sebuah suara memanggilnya,
"Suto...! Suto...!"
Bingung juga Suto mencari arah datangnya suara itu.
Ia berpaling ke sana-sini sampai akhirnya Ratna Pamegat keluar dari kolong balai
dan berseru dengan suara
tertahan, "Suto...!"
"Ratna..."!" Pendekar Mabuk terpekik kaget ketika melihat Ratna Pamegat sudah
menjadi manusia berbadan anjing cokiat. Cepat-cepat Suto menghampirinya dengan
mata tegang. "Ratna, apa yang terjadi?"
"Nenek itu telah mengutukku menjadi seekor anjing!"
"Edan!" geram Suto Sinting antara terharu dan marah melihat keadaan Ratna
Pamegat seperti itu. Giginya
menggeletuk dan tangannya menggenggam kuat-kuat.
"Aku mencoba memancingnya ke alun-alun, tapi dia sudah lebih dulu melepaskan
kutukannya! Aku dikejar-kejar olehnya, tapi segera ditolong oleh Ki Gendeng
Sekarat!" "Biadab betul nenek itu! Tetaplah di sini, biar aku yang maju!" kata Pendekar
Mabuk dan segera bergerak.
Tapi Ratna Pamegat memanggil lagi,
"Suto, sebaiknya biarlah Ki Gendeng Sekarat yang menghadapi nenek aneh itu! Dia
tidak mempan dikutuk oleh nenek aneh itu, Suto! Aku melihat dan
mendengarnya sendiri nenek itu menyebar kutuk
beberapa kali kepada Ki Gendeng, tapi Ki Gendeng tetap tegar dan tidak berubah
menjadi binatang apa pun!"
"Hmmm...! Aneh sekali! Ilmu apa yang dimiliki Ki Gendeng itu?" kata Suto bagai
orang menggumam.
"Kurasa ia mempunyai ilmu penangkal kutuk! Kalau kau yang maju, aku khawatir kau
terkena kutukannya, Suto!"
Masih di tempat emperan rumah, Pendekar Mabuk
memandang ke arah alun-alun. Ratna Pamegat ada di
atas balai-balai yang juga memandang ke arah alun-alun.
Ratna Pamegat bertanya,
"Nenek tua itulah yang mencari-carimu dengan
mengorbankan banyak nyawa! Apakah kau kenal
dengannya, Suto?"
Pendekar Mabuk kerutkan kening dan memandang
dengan mata sedikit menyipit. Nenek yang membentur
tembok istana itu sedang berusaha bangkit tanpa keluh kesah apa pun. Dan kini
berjalan tertatih-tatih mendekati Ki Gendeng Sekarat yang diam, berdiri menunggu
lawan sambil kepalanya terkulai ke kiri dan matanya terpejam tidur.
"Melihat bekas pakaiannya, bentuk pedangnya, walau sudah berkarat, kurasa dialah
yang benama Ratu Teluh Bumi, atau yang punya nama asli Ajeng Prawesti dari
Jenggala. Tapi... mengapa dia menjadi setua itu"
Sungguh tak masuk akal jika usianya dan keadaannya menjadi setua itu, karena
kami berpisah kurang dari tiga bulan!"
"Mungkin dia nenek dari Ajeng Prawesti!"
"Neneknya..."!" gumam Suto dalam kebingungannya.
"Kalau begitu, biarlah kuhadapi dia supaya lebih jelas lagi siapa dia
sebenarnya?"
"Bagaimana jika kau kena kutuk, Suto"! Dia sangat mengancammu! Kurasakan begitu
besar dan membaranya dendam nenek itu kepadamu!"
"Jika benar dia punya dendam padaku, berarti
memang dialah Ratu Teluh Bumi. Jika dia bukan Ratu
Teluh Bumi, lantas atas dasar apa dendam padaku?"
Rasa penasaran membuat Pendekar Mabuk nekat
menemui Ki Gendeng Sekarat di alun-alun. Sampai di
samping Ki Gendeng, Suto pun berkata,
"Mundurlah, Ki. Biar aku yang hadapi si iblis tua
itu!" Namun tiba-tiba sebuah serangan datang dari tangan
nenek tua itu berupa pukulan tenaga dalam wama merah bagaikan bola api sebesar
buah kelapa. Wusss...!
"Suto, awas...!" Ki Gendeng Sekarat melompat maju menyambut kehadiran bola api
itu. Kemudian dengan
satu kekuatan tenaga dalamnya, ia menghantam bola api itu menggunakan sentakan
kedua tangannya yang ke
depan. Brusss...! Blarrr...!
Bola api itu pecah meledak menimbulkan guncangan
hebat pada tanah. Dan tubuh Ki Gendeng Sekarat
terlempar mundur dalam hentakan kuat.
Zlappp....! Suto melesat menghadang tubuh Ki
Gendeng Sekarat. Brekk...! Tubuh Ki Gendeng Sekarat membentur tubuh Pendekar
Mabuk, tapi Pendekar
Mabuk memang sudah siap menahan tubuh itu, sehingga Ki Gendeng Sekarat tidak
cedera sedikit pun. Menabrak Pendekar Mabuk adalah lebih baik daripada menabrak
rumah penduduk yang terbuat dari tembok separo
bagian. "Uuf...! Besar sekali tenaga si tua bangka itu! Edan betul dia!" Ki Gendeng
Sekarat masih tetap tidur walau bicara begitu, nada bicaranya masih seperti
orang mengigau malas-malasan.
"Dia sangat berbahaya, Ki! Sepertinya aku harus melawannya memakai Napas Tuak
Setan. Tapi... keadaan tidak memungkinkan. Istana dan rumah-rumah
di sekitar sini bisa habis dilanda badai!"
"Dia mengandalkan ilmu kutukannya! Menurutmu
apakah dia memang Ratu Teluh Bumi, seperti yang kau ceritakan itu, Suto?"
"Ya. Tapi entah mengapa dia bisa menjadi setua itu!
Aku sendiri tak habis pikir. Dan makin tak habis pikir melihatmu tidak mempan
dengan kutukannya, Ki!"
"Karena aku tidak memandang matanya pada saat
berhadapan! Mata hatiku yang melihat semua
gerakannya! Jadi, tutuplah matamu pada saat
menghadapinya!"
"Tutup mata?"
"Ya. Kekuatan kutuknya ada di matanya. Jika kita memandangnya, maka kekuatan
kutuk itu akan mengalir lewat pandangannya. Sebaiknya...," Ki Gendeng Sekarat
berhenti sebentar, melepas ikat kepalanya yang terbuat dari kain hitam itu.
Kemudian kain hitam itu diserahkan kepada Pendekar Mabuk.
"Pakailah ini sebagai penutup matamu. Kau bisa bertarung menggunakan mata hati,
bukan"!"
"Bisa, Ki!"
"Nah, lakukan cepat...!"
Belum sempat Pendekar Mabuk menggunakan ikat
kepala kain hitam sebagai penutup mata, nenek aneh
sudah berseru dalam jarak sepuluh langkah.
"Naaah... ini dia harapanku datang! Hik hik hik...!
Kau pasti Pendekar Mabuk yang kucari-cari selama ini!"
"Apakah kau Ajeng Prawesti... si Ratu Teluh Bumi itu"!"
"Hik hik hik...! Betul sekali, Anak bagus! Akulah Ratu Teluh Bumi yang kau pukul
sampai terjungkir
masuk ke jurang keparat itu! Dan sekarang aku mau
tuntut balas padamu, Cah bagus, Suto Sinting! Hik hik hik...! Tapi... tapi
mengapa kau masih muda" Bukankah kita sudah berpisah hampir seratus tahun
lamanya?" "Kita baru berpisah tiga bulan kurang, Ajeng
Prawesti!"
"Omong kosong! Pasti sudah hampir seratus tahun, dan kau punya aji pengawet
wajah sehinga bisa tetap kelihatan ganteng dan muda!"
"Ajeng Prawesti, percayalah kita baru tiga bulan berpisah. Dan aku tak sangka
kau menjadi setua itu, Ajeng Prawesti!"
"Ya, ya... aku menjadi tua, tapi... tapi tetap kelihatan manis dan menawan
tentunya! Hik hik hik...!"
Ki Gendeng Sekarat berbisik dari belakang Suto,
"Lekas kenakan penutup matamu, Suto. Dia bisa
Pendekar Mabuk 019 Pembantai Berdarah Dingin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lepaskan kutuk sewaktu-waktu!"
Suto segera sadar, bahwa ia telah terpancing
omongan sehingga lupa menutup matanya. Maka, cepat-
cepat Suto menutup mata dengan kain ikat kepala itu.
"Heiii... mengapa pakai tutup mata segala" Aku tidak akan lari bersembunyi,
sebab kita tidak sedang main petak umpet, Suto!" kata Ratu Teluh Bumi alias
Ajeng Prawesti itu.
Suto tidak menjawab, ia meneguk tuaknya dulu
beberapa tegukan, kemudian bumbung tuak tidak
dikembalikan ke punggung, tapi ditentengnya sebagai senjata sewaktu-waktu.
"Bersiaplah, Ajeng Prawesti! Lepaskan seluruh
dendammu padaku, biar tak lagi membawa korban bagi
orang lain!" ucap Suto Sinting dengan keras dan tegas.
Dalam hatinya sempat membatin,
"Agaknya pedang berkaratnya cukup berbahaya!
Pedang itu harus kulenyapkan dulu...!" Maka, Suto pun menenggak tuak lagi dengan
cepat, tapi tidak ditelan, melainkan disimpan di mulut untuk disemburkan
sewaktu-waktu. "Pendekar Mabuk, saatnya telah tiba untuk melepas nyawamu, Nak! Hiaaah...!"
Nenek itu tiba-tiba melompat dengan cepatnya dan
hampir tak bisa dilihat mata Ratna Pamegat dari tempat persembunyiannya. Tapi
rupanya Pendekar Mabuk pun
tak kalah cepat. Zlappp...! Ia telah melesat bagai hilang dari tempat. Tahu-tahu
sudah berada di belakang Ajeng Prawesti, dan kakinya menendang ke belakang
dengan kuatnya. Buekkk...!
Punggung perempuan bungkuk itu menjadi sasaran
telak. Ajeng Prawesti berjungkir balik ke depan, karena hampir saja ia
tersungkur jatuh dengan kuatnya. Jlegg...!
Kaki nenek tua itu sudah menapak kembali ke tanah dan berdiri menghadap Suto
Sinting. "Manusia keparat! Sebaiknya kau menjadi cacing, Suto!"
Ajeng Prawesti melontarkan kutuknya. Tapi petir
tidak menggelegar. Suto masih tetap sebagai Suto, bukan menjadi seekor cacing.
Bahkan kini Pendekar Mabuk
menyerang dengan kibasan bumbungnya ke kepala
Ajeng Prawesti. Bumbung itu dikibaskan ke kepala
nenek tua, tapi sang nenek dengan gesitnya
merundukkan kepala hingga lolos dari hantaman
bumbung tuak. Dan pada saat itulah, Pendekar Mabuk
cepat melompat ke atas kepala nenek tersebut. Wuttt...!
Brusss...! Tuak di mulut pun disemburkan. Clappp...!
Tiba-tiba pedang berkarat itu pun lenyap karena jurus
'Sembur Siluman'-nya Suto Sinting.
"Monyet busuk! Ke mana pusakaku"!" caci nenek tua itu.
Pendekar Mabuk sempoyongan seperti orang mau
jatuh, tapi tiba-tiba bumbungnya menyodok perut Ratu Teluh Bumi dengan kuat.
Behggg...! "Eehg...!" nenek itu menyeringai kesakitan.
Tubuhnya melayang dan menabrak tubuh Ki Gendeng
Sekarat yang sedang tertidur. Ki Gendeng Sekarat tiba-tiba membuka matanya. Dan
agak terkejut melihat nenek itu sudah ada di atasnya, karena Ki Gendeng Sekarat
pun jatuh terjengkang akibat benturan keras dari tubuh nenek yang terpental.
"Hei, apa-apaan kau! Sudah tua masih minta
dikelonin saja!"
Ki Gendeng Sekarat buru-buru mengangkat tubuh
Ajeng Prawesti dengan ringannya, lalu tubuh itu dibuang dalam satu hentakan
kuat. Wesss...!
Behgg...! Tubuh itu jatuh di tanah bagian punggung
lebih dulu. Nenek tua meraung kesakitan, namun masih nekat berusaha bangkit dan
terhuyung-huyung. Kini
yang ditatapnya adalah K! Gendeng Sekarat, ia
menggeram dengan mata buasnya,
"Manusia gendeng! Kukutuk kau jadi bebek!"
Ratna Pamegat di tempat persembunyiannya menjadi
cemas sekali, sebab ia tahu pada waktu kutuk itu
dilontarkan, Ki Gendeng Sekarat tidak dalam keadaan tidur, melainkan dalam
keadaan melek. Sudah tentu Ki Gendeng Sekarat akan berubah menjadi bebek.
Tapi ditunggu beberapa helaan napas, ternyata Ki
Gendeng Sekarat masih tetap utuh sebagai Ki Gendeng Sekarat, tidak berubah
menjadi bebek. Bahkan sekarang Ki Gendeng Sekarat tertawa terkekeh-kekeh,
"He he he he...! Kutukanmu ternyata sudah tidak mempan, Nenek Peot! Ilmu kutukmu
telah hilang! Mungkin karena semburan tuak dari Pendekar Mabuk
itu!" "Ah, tidak! Ilmu 'Sabda Iblis' tidak hilang dariku!
Kau kukutuk menjadi binatang yang paling
menjijikkan!"
"He he he...! Bukankah binatang menjijikkan itu adalah dirimu sendiri, Nenek
Ompong! He he he he...!"
Rupanya ilmu 'Sabda Iblis' yang dimiliki Ratu Teluh Bumi akibat memakan bunga
Sukma Weling di Jurang
Petaka itu telah lenyap oleh kekuatan jurus 'Sembur Siluman'-nya Suto Sinting.
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Manusia Penyebar Kutuk"). Ratu Teluh
Bumi menjadi tegang dan cemas.
Suto Sinting segera melepas kain penutup matanya
begitu mendengar seruan Ki Gendeng Sekarat. Melihat Pendekar Mabuk melepas
penutup mata, Ratu Teluh
Bumi segera melepas kutukan kepada Pendekar Mabuk
dan ternyata kutukan itu pun tidak berguna lagi.
"Keparat busuk! Kau telah melenyapkan ilmuku,
Suto! Sekarang terimalah ajalmu ini, Nak! Heaaah...!"
Sebelum tangan nenek tua itu bergerak untuk
melepaskan pukulan andalannya, Suto sudah lebih dulu berkelebat bagaikan angin,
bahkan lebih cepat dari anak panah yang melesat. Wuttt...! Prakkk...!
Bumbung tuak itu menghantam kepala nenek tua.
Kontan nenek tua itu terlempar ke belakang dan
terguling-guling bagaikan bungkusan daun kering tertiup angin, ia jatuh terkapar
di bawah patung para prajurit yang telah dikutuknya. Kepalanya pecah berlumuran
darah. Melihat Ajeng Prawesti tidak berdaya lagi, Ki
Gendeng Sekarat mendekatinya, demikian pula Suto
Sinting dan Ratna Pamegat yang lari dari tempat
persembunyiannya untuk melihat kematian Ratu Teluh
Bumi. Napas sang nenek iblis tinggal sejengkal kurang, ia dalam keadaan luka parah
sekali. Namun mata tuanya
yang hampir redup itu sempat memandang orang-orang
di sekelilingnya. Bahkan ia masih bisa berucap kata walaupun lirih sekali,
"Pendekar Mabuk, akhirnya kau yang menang dalam pertarungan ini.... Maafkan aku,
Suto. Aku terpaksa menunggumu di akhirat untuk teruskan pertarungan ini dan
menebus kekalahanku yang sekarang...."
Ki Gendeng Sekarat menggerutu, "Sudah mau mati masih mengancam dendam juga orang
ini..."!"
"Biarkan dia bicara," kata Suto pelan.
Ratu Teluh Bumi berkata lagi, "Sampaikan salamku kepada Dayang Kesumat, dan
katakan aku juga
menunggu pertarungan dengannya di pintu neraka nanti.
Sarankan agar dia lekas-lekas menyusulku...."
"Ajeng Prawesti, tidakkah kau ingin bertobat dalam keadaan seperti ini"' kata
Suto Sinting yang sudah
mengendurkan kemarahannya, bahkan berubah menjadi
iba melihat nenek setua itu mau mati.
"Bertobat.,,"! Oh, aku lupa caranya bertobat! Jadi sebaiknya, persiapkan dirimu
sebaik mungkin untuk
pertarungan kita nanti, sementara itu... aku di sana juga mau cari guru yang
lebih hebat lagi!"
Tiba-tiba terdengar suara serigala melolong,
"Aaauuuu...!"
Semua mata memandang ke arah seekor serigala yang
lari menuju alun-alun sambil ditunggangi bocah kecil yang tak lain adalah Ratu
Kemukus. Serigala dan Ratu Kemukus hadir di situ dan ingin melihat kematian
nenek iblis itu. Antara Ratu Kemukus dan Ratna Pamegat
sama-sama terkejut dan saling menampakkan kesedihan melihat wujud masing-masing.
Tapi kejap berikutnya, mereka kembali memandangi nenek kejam yang sedang
sekarat itu. "Ajeng," kata Suto. "Mengapa kau bisa setua ini" Apa yang telah terjadi pada
dirimu, Ajeng?"
"Aku... aku kau ceburkan ke dalam jurang itu!"
"Ya, aku ingat!"
"Kau mengejarku bersama serigala itu. Aku...
menyembunyikan diri. Keadaanku luka parah saat itu.
Aku masuk ke dalam lobang seperti sumur, yang
ternyata adalah gua. Dalamnya bukan main, seperti
sumur tanpa dasar. Aku di sana sendirian, lama sekali, rasanya seperti ratusan
tahun aku hidup di sana, tahu-tahu ketika kutemukan jalan keluar, aku sudah
menjadi setua ini. Kupikir memang aku sudah waktunya tua
karena terlalu lama di dalam lubang aneh itu. Ternyata...
ternyata beberapa orang yang kukenal masih muda dan kau sendiri masih semuda
ini, Cah Bagus...!"
Ki Gendeng Sekarat menyahut setelah berwajah
tegang sebentar, "Berarti, kau masuk putaran arus waktu! Kau mendekati poros
bumi. Di sana waktu
berputar lebih cepat dari di sini!"
"Mungkin begitu, tapi... tapi... tapi aku tak kuat lagi.
Kulanjutkan saja ceritaku di... di... neraka nanti...,"
setelah mengucapkan kata begitu, Ratu Teluh Bumi yang dikenal saat itu sebagai
nenek aneh atau si nenek iblis, menghembuskan napasnya yang terakhir, ia mati
dalam keadaan mata masin melek dan mulut masih ternganga.
Petir menggelegar di angkasa. Awan menjadi hitam,
bergulung-gulung menutupi cahaya sore. Angin
berhembus makin lama semakin kencang. Dedaunan
berserakan diterbangkan angin, dan alam berubah
menjadi sepi sejenak. Seakan roh Ratu Teluh Bumi
sedang melintas meninggalkan jasadnya, menancapkan
dendam di gerbang pintu neraka. Di sana ia menunggu lawan-lawannya untuk
meneruskan pertarungan itu.
"Lalu bagaimana nasibku yang menjadi sekecil ini?"
keluh Ratu Kemukus setelah mereka menjauhi mayat
Ratu Teluh Bumi atau si nenek iblis itu.
"Ya, nasibku sendiri bagaimana" Haruskah
selamanya aku menjadi manusia berbadan anjing?" tutur Ratna Pamegat dengan
sedih. Lalu Suto berkata, "Akan kucoba dengan tuakku, mudah-mudahan bisa memulihkan
keadaan kalian!"
Suto meneguk tuak, sebagian ditelan, sebagian
disimpan di mulut, lalu disemburkan ke tubuh Ratu
Kemukus. Brusss...!
Blarrr...! Petir menggelegar dan tubuh Ratu Kemukus kembali menjadi besar dan
dewasa seperti sedia kala.
Ratu Kemukus tersentak kaget dan kegirangan. Hal
serupa juga dilakukan kepada Ratna Pamegat, kembali ia menjadi manusia utuh
seperti sedia kala. Bahkan patung-patung di alun-alun itu pun disembur dengan
tuak satu persatu dan mereka berubah wujud menjadi manusia
kembali. "Terima kasih, Suto! Kau telah banyak menolongku, terutama menolong rakyatku
yang terkena kutuk dan
musibah besar ini!" kata Ratu Kemukus dengan
tersenyum ceria. Suto pun membalas senyuman yang
membuat hati Ratu Kemukus gelisah indah. Suto
berkata, "Maafkan kelancanganku tadi siang, Nyai Ratu."
"Kelancangan apa?" Ratu Kemukus kerutkan dahi.
Pendekar Mabuk tersenyum-senyum dan berkata,
"Sekarang saya tidak akan berani memeriksa Nyai Ratu, apakah ngompol atau
tidak!" "Ah, Suto...! Jangan keras-keras nanti ada yang mendengarnya!" bisik Ratu
Kemukus sambil tundukkan kepala.
"Aaauuu...!" serigala itu melolong, kemudian ia berlari cepat meninggalkan Suto.
Suto merasa heran dan segera mengejarnya.
"Sri...! Sri, mau ke mana kau"! Hei, berhenti...!"
Serigala itu tetap berlari tak mau menghiraukan Suto Sinting lagi. Akhirnya
Pendekar Mabuk menggunakan
jurus gerak silumannya yang bisa melesat dengan cepat, dan tahu-tahu menghadang
di depan serigala. Binatang itu berhenti, lalu mendekam rendah dan meletakkan
kepalnya di tanah dalam keadaan matanya melelehkan
air. Binatang itu menangis, Suto menjadi heran dan
bertanya, "Mengapa kau menangis" Apa kau cemburu aku
bicara dengan Ratu Kemukus?"
Binatang itu hanya mengerang kecil mirip orang
merintih. Suto Sinting sempatkan diri meneguk tuaknya.
Tiba-tiba serigala bangkit dan menerjang dada Suto.
Brukk...! Suto tersedak dan tuak segera tersembur dari mulutnya mengenai tubuh
serigala. Blarrr...! Serigala berbulu hitam itu berubah menjadi gadis cantik dan sangat
menarik. Matanya bulat bening, rambutnya hitam lemas, sebatas pundak, hidungnya
mancung, bibirnya indah. Gadis itu mengenakan pakaian merah bata dan berikat
kepala hijau. Dialah Sumping Rengganis, yang pernah dikutuk Ratu Teluh Bumi
karenanya ingin minta kitab yang dicuri oleh Ratu Teluh
Bumi (Baca serial Pendekar Mabuk, dalam episode:
"Manusia Penyebar Kutuk"). Dan tentu saja Pendekar Mabuk menjadi terkejut
sekali. "Kau..." Kau juga korban kutukan Ratu Teluh
Bumi?" "Ya. Akulah yang bernama Sumping Rengganis, yang menemanimu ke mana saja selama
ini, Pendekar Mabuk!" "Edan!" Suto bersungut-sungut karena menahan malu, dan Sumping Rengganis
tersenyum-senyum.
Dalam hatinya, Suto berkata,
"Kalau tahu begini aku tidak mau tidur selalu
bersamanya, aku tidak mau sering mengusap-usap
tubuhnya, aku tidak mau sering menciumi tengkuk
kepalanya, dan... dan kalau tahu begini aku tak akan membiarkan ia memandangiku
terus sewaktu aku mandi
dalam keadaan polos! Aduh, malunya! Pantas setiap aku buang air kecil dia selalu
menungguiku di depan..."!
Idiiih...!"'Suto meremas rambutnya sendiri, gemas membayangkan malunya.
Tapi semua itu segera dilupakan oleh Suto, karena
Sumping Rengganis tak pernah mau mengatakan apa
yang pernah terjadi selama menjadi sahabat Pendekar Mabuk itu. Dan ia pun tetap
mendampingi Suto dalam
melakukan penyembuhan terhadap orang-orang yang
menjadi korban kutukan Ratu Teluh Bumi, termasuk
Resi Jejak Naga, guru dari Ratna Pamegat.
SELESAI PENDEKAR MABUK Segera terbit: LADANG PERTARUNGAN
Pendekar Mabuk 019 Pembantai Berdarah Dingin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Tugas Rahasia 6 Misteri Bayangan Setan Karya Khu Lung Pendekar Sakti 19