Pencarian

Ladang Pertarungan 1

Pendekar Mabuk 020 Ladang Pertarungan Bagian 1


Serial : Pendekar Mabuk
Judul : Ladang Pertarungan
Pengarang : "
Penerbit : "
E-book by : paulustjing
1 GEDUNG tua di kaki bukit yang dulu dikenal
sebagai Rumah Busuk, sekarang sudah mulai ramai
dikunjungi orang. Dulu, Pendekar Mabuk pernah
menyembunyikan seorang putri Kaisar Cina yang
bernama Bunga Bernyawa di Rumah Busuk itu. Tapi
keadaannya masih sangat sepi, tak ada yang berani
datang ke gedung itu karena dikenal cukup angker.
Hanya Suto dan Bunga Bernyawa yang berani
bermalam di Rumah Busuk itu, walaupun
mengalami beberapa kejadian aneh. Namun rumah
berbau bangkai itu pernah menyelamatkan Bunga
Bernyawa dari kejaran orang-orangnya Laksamana
Cho Yung. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Pawang Jenazah").
Rumah kuno yang berukuran besar dan punya
beberapa kamar itu sekarang dikuasai oleh tokoh
tua yang namanya cukup dikenal di rimba persilatan, yaitu Brahmana Gada. Laki-
laki berusia sekitar enam puluh tahun kurang sedikit itu, semasa mudanya
dikenal sebagai jawara upah alias pembunuh
bayaran. Siapa pun sasaran orang yang harus
dibunuh, tak pernah lepas dari incaran pedang
mautnya. Menginjak usia lima puluh tahun,
Brahmana Gada mulai kurangi kegiatannya sebagai
pembunuh bayaran. la tak lagi mau terima perintah
membunuh, kecuali orang-orang bangsawan yang
berani mengupahnya dengan harga tinggi.
Sekarang Brahamana Gada menguasai Rumah
Busuk itu bersama beberapa orangnya. Rumah itu
dijadikan Ladang Pertarungan. Sebuah arena
pertarungan terbuka, dan orang-orang yang
melihatnya saling bertaruh dengan uang atau
barang. Pada puncak pertarungan biasanya dimunculkan
seorang jago yang menjadi andalan Brahmana Gada.
Orang yang dijagokan dalam pertarungan kali ini
adalah seorang berwajah dingin yang sudah lebih
dari dua belas kali mengalahkan penantangnya, dan
tak satu pun ada yang hidup dari semua lawannya.
Orang yang belum terkalahkan itu dikenal dengan
nama si Wajah Hitam. Karena setiap kali ia tampil di arena pertarungan, selalu
menggunakan kain
penutup wajah warna hitam, yang biasa dipakai oleh para algojo saat menjalankan
tugas hukuman mati
bagi korbannya.
Brahmana Gada mempunyai permainan yang
sangat menarik bagi para jago silat, terutama bagi mereka yang menggemari
pertarungan. Pertarungan
di arena itu bisa terjadi lima kali, enam kali, atau lebih, tergantung banyak
sedikitnya peminat yang
mendaftarkan diri sebagai peserta pertarungan.
Biasanya pertarungan itu diadakan setiap akhir
minggu, atau tepatnya tujuh hari satu kali. Jika
pertarungan diikuti oleh banyak peserta, maka acara tersebut bisa terjadi dari
siang sampai larut malam baru usai.
Satu kali pertarungan pemenangnya akan
mendapat lima puluh sikal. Pertarungan kedua,
memperebutkan hadiah seratus sikal. Pertarungan
ketiga mendapatkan hadiah seratus lima puluh sikal, dan begitu seterusnya.
Setiap pertarungan selalu
bertambah lima puluh sikal. Padahal harga sepiring nasi hanya setengah sikal.
Sikal; mata uang di masa itu.
Pemenang pertama, harus melawan penantang
kedua, pemenang kedua harus bertarung melawan
penantang ketiga, begitu seterusnya dan jika sudah tidak ada penantang lagi,
maka pemenang terakhir
itu berhadapan dengan si Wajah Hitam dalam
pertarungan terakhir. Dan jika pemenang terakhir itu bisa mengalahkan si Wajah
Hitam, maka ia berhak
menerima sejumlah uang dua kali lipat dari semua
jumlah uang yang diperolehnya dari pertarungan
demi pertarungan itu. Jika ia kalah, maka jumlah
uang tersebut diterima oleh si Wajah Hitam.
Brahmana Gada memperoleh uang untuk
membayar hadiah-hadiah itu dari pajak perjudian
yang diambil dari jumlah uang yang dijudikan
mereka. Orang yang bertugas mengurus perjudian
itu bernama Rangkayon, bertubuh kurus, wajah
lonjong, mata agak sipit, rambut panjang berikat
kain merah, dengan pakaian kesukaan warna coklat
muda. Usianya sekitar empat puluh tahun.
Perjudian ini punya banyak peminat. Mereka
bertaruh dengan nilai tinggi. Hanya menentukan
siapa yang keluar sebagai pemenang terakhir
sebelum melawan si Wajah Hitam. Dan karena
banyaknya peminat perjudian itu, maka Brahmana
Gada tak pernah kekurangan uang. Bahkan ia juga
mengambil perempuan-perempuan penghibur yang
bisa digunakan di situ oleh siapa saja dengan tarif tersendiri. Umumnya mereka
yang berjudi di situ
adalah orang-orang yang punya banyak uang.
Bahkan beberapa di antaranya ada yang berasal dari keluarga bangsawan, saudagar,
ataupun pemilik
perkebunan, Dulu, ketika Suto Sinting si Pendekar Mabuk itu
membawa Bunga Bernyawa ke rumah besar itu, ia
tidak menemukan ruang bawah tanah. Ternyata
rumah besar itu mempunyai ruang bawah tanah
yang lega, yang dulu digunakan sebagai sarana
berlatih jurus-jurus bagi sebuah aliran silat keluarga pemilik rumah tersebut.
Sekarang pemilik rumah itu telah dibantai habis oleh lawannya dan tak
meninggalkan seorang pun ahli warisnya.
Di ruang bawah tanah itulah Brahmana Gada
menggelar pertarungan dan perjudian. Ruangan itu
mempunyai dua tingkat. Yang bagian atas sebagai
tempat untuk menonton, dan ruang di bawahnya
sebagai arena pertarungan, sehingga para
penontonnya bisa menyaksikan pertarungan dalam
keadaan berkeliling arena dari atas. Tinggi lantai pertarungan dengan bagian
penonton hanya empat
tombak. Setiap peserta yang akan tampil selalu siap di
sebuah ruangan khusus yang langsung menuju ke
arena. Ruangan khusus calon Jagoan itu juga cukup
lebar, bisa untuk pemanasan bagi mereka yang
memerlukannya. Seorang lelaki bertubuh pendek sedikit gemuk
yang bernama Luhito bertugas sebagai ketua
pertarungan, yang memimpin setiap pertarungan
tanpa juri itu. Biasanya sebelum pertarungan
dimulai, Luhito selalu mengumumkan nama-nama
peserta yang akan tampil nantinya, lengkap dengan
catatan pribadi mereka masing-masing. Sedangkan
pada sebuah papan khusus di lantai atas, di depan
pintu masuk rumah besar itu, ditulis nama-nama
peserta yang akan tampil dalam pertarungan nanti,
sehingga para penjudi bisa memilih salah satu nama yang akan dipertaruhkan
menggunakan sejumlah
uang miliknya. "Para hadirin, para tamu terhormat, dan para
sahabat sekalian. . " begitu biasanya Luhito mengawali acara di Ladang
Pertarungan itu.
"Hari ini, kita akan saksikan kehebatan para jago silat yang tak disangsikan
lagi kedahsyatan jurus-
jurus mautnya. Mereka yang akan tampil
membuktikan kependekarannya adalah; Iblis Guru
Langit, dari Bukit Lancang, yang pernah membunuh
Pendekar Panca Raga, dan dikenal pula sebagai jago menggunakan kapak. Berikutnya
adalah Umbara Yodya, kesatria dari Tambak Sari, yang baru turun
dari pertapaannya. Berikutnya, si Elang Betina, dari Perguruan Cakra Maut, ahli
menggunakan senjata
rahasia. Gajah Dirgantara, dari Pulau Rakus, yang
dikenal sebagai penyamun tanpa tanding, telah
membunuh lebih dari seribu lawannya di laut...."
Begitulah Luhito jika memperkenalkan para
peserta yang akan bertarung di arena. Luhito pandai membawakan masa perkenalan
peserta sehingga
tiap peserta yang mendengar namanya disebutkan
dan dibangga-banggakan, merasa bertambah
semangat tarungnya. Luhito segera pergi sebentar
setelah selesai mengumumkan nama-nama mereka.
Sampai tiba waktunya, Brahmana Gada siap di
tempat duduknya, didampingi dua perempuan cantik
di kanan-kirinya. Maka Luhito pun segera membuka
acara di Ladang Pertarungan itu dengan berseru,
"Pertarungan pertama akan dibuka oleh Umbara
Yodya...."
"Wooouww. .!" para penonton bersorak,
khususnya yang menjagokan Umbara Yodya.
"Umbara Yodya melawan Wisnu Rangka. .!"
tambah Luhito yang membuat sorak-sorai dan tepuk
tangan penonton makin riuh. Terlebih setelah
keduanya masuk ke arena dengan acungkan kedua
tangan yang mengepal. Penonton menyambutnya
dengan semakin bersemangat.
Umbara Yodya mengenakan pakaian hijau
dengan senjata golok lengkung berukuran besar,
gagangnya diberi kain merah bagai bendera kecil.
Jika dikelebatkan terdengar bunyi wungng. .!
Menandakan logam tajam itu punya berat yang
cukup lumayan. Sedang Wisnu Rangka berbadan
kurus, mengenakan pakaian hitam, ikat kepalanya
putih, rambutnya panjang, usianya lebih tua lima
tahun dari usia Umbara Yodya yang baru dua puluh
tujuh tahun itu. Wisnu Rangka menggunakan
tombak bergagang hitam dengan ujung tombak
selain mempunyai mata tombak juga mempunyai
dua mata kapak kanan-kiri yang cukup besar. Putih
berkilat terkena cahaya obor yang memantul.
Wisnu Rangka maju ke tengah arena lebih dulu.
Penggemarnya termasuk banyak pula. Mereka
mengelu-elukan Wisnu Rangka hingga membuat
Wisnu Rangka menjadi bersemangat dan bertambah
beringas. Tombak panjangnya dimainkan beberapa
saat, sebagai upaya pamer kegesitan terhadap
penggemarnya. Sementara itu, Umbara Yodya tampil lebih kalem,
la juga menebaskan pedang besarnya ke kanan-kiri,
membuat kain merah di ujung gagangnya ikut
berkelebat ke sana-sini. Penggemarnya juga banyak, walau sambutan mereka tak
semeriah menyambut
kemunculan Wisnu Rangka. Mungkin dikarenakan
nama Wisnu Rangka lebih dikenal ketimbang
Umbara Yodya. Bongng.. ! Suara gong ditabuh, itu pertanda
pertarungan dimulai. Maka, kedua petarung itu
mulai saling dekat, saling mengincar kelengahan
lawan, menunggu kesempatan menyerang.
Mereka berputar-putar sejenak, kemudian Wisnu
Rangka mendului menyerang dengan mengibaskan
tombak berkapak dua itu ke kepala Umbara Yodya.
Wusss...! Trang. .! Umbara Yodya menangkis dengan
pedangnya, membuang arah gerakan tombak ke
samping. Begitu tombak itu bergerak ke samping, pedang besar Umbara Yodya segera
menebas dari bawah ke atas. "Hiaaat...!"
Wungngng...! Tebasan itu bisa dihindari oleh Wisnu Rangka.
Penonton bertepuk riang, merasa lega Wisnu
Rangka lolos dari maut. Mereka diam kembali, mata
tak berkedip memandangi dua jago yang bertarung
di tengah arena itu.
Kali ini, Wisnu Rangka menyodokkan tombaknya
ke arah depan, sasaran utama adalah dada Umbara
Yodya. Tapi sekali lagi Umbara Yodya berhasil
menangkis dengan pedangnya. Trang...! Dan tiba-tiba ia berputar cepat, lalu
kakinya menendang ke wajah Wisnu Rangka. Plokk...!
Wisnu Rangka tersentak ke belakang dan jatuh di
sudut tembok. Umbara Yodya segera melompat
dengan satu teriakan keras,
"Hiaaaat...!"
Wungng...! Trangng...!
Sabetan pedang Umbara Yodya kali ini ditahan
oleh tombak bermata kapak itu. Ganti Wisnu Rangka
yang sapukan kaki untuk menjegal lawannya agar
jatuh. Tapi Umbara Yodya lebih lincah. la bersalto ke belakang dengan gerakan
cepat. Plak plak plak
plak...! Empat kali salto ia sudah berada di tengah arena lagi, menunggu
lawannya mendekat.
Seseorang berseru, "Ayo bangkit, Wisnu!
Bangkit...!"
Yang lain beseru, "Serang dia! Jangan kasih
kesempatan!"
Yang di sudut berteriak, "Habisi dia, Umbara!
Sikat terus!"
Wisnu Rangka bangkit. Kemudian dengan satu
pekikan keras, ia melesat bagaikan terbang, dan
begitu mendekati Umbara Yodya, senjatanya itu
ditebaskan ke depan. Wusss.. !
Umbara Yodya menepi sedikit, lalu maju dalam
satu sentakan tangan mengibas miring. Wungng. .!


Pendekar Mabuk 020 Ladang Pertarungan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Crasss...! "Aahg. .!" Wisnu Rangka mendelik. Pinggangnya robek lebar oleh pedang besarnya
Umbara Yodya. Kejap berikutnya, Wisnu Rangka pun rubuh dalam
keadaan tengkurap. Darah mulai membanjiri lantai.
la kejang-kejang sesaat, kemudian diam tak
bergerak selamanya.
"Hidup, Umbara...! Hidup, Umbara...!" teriak penonton dengan penuh suka cita.
Dua petugas kebersihan segera datang dan
membawa pergi mayat Wisnu Rangka. Umbara
Yodya segera masuk untuk beristirahat sebentar. la melewati pintu berjeruji yang
ada petugasnya sendiri untuk membuka dan menutupnya. Arena yang
bersimbah darah segera dibersihkan oleh petugas
khusus penyapu darah.
Di pintu selatan arena ada seraut wajah
terselubung yang memperhatikan pertarungan tadi.
Di selatan juga ada pintu berjeruji, sama dengan
pintu keluar-masuknya peserta dari kamar ke arena.
Tapi pintu selatan khusus untuk keluar-masuknya si Wajah Hitam. Biasanya jika
peserta sudah habis
atau tinggal satu, dan pintu selatan dibuka,
penonton semakin riuh menyambut kemunculan si
Wajah Hitam. Pintu itu pun ditutup lagi jika kedua jago sudah siap bertarung di
tengah arena. Namun kali ini pintu selatan belum dibuka. Si
Wajah Hitam hanya duduk dengan menikmati
makanan kecil melalui lubang kain pada mulutnya.
Matanya memandangi setiap penonton di atas
melalui lobang mata pada kain hitamnya. la tampak
tenang menyaksikan pertandingan adu nyawa itu.
Dari lorong selatan, tempat si Wajah Hitam
menunggu giliran itu, ada tangga yang menuju ke
lantai paling atas. Dari tangga itu turun seorang lelaki kurus berambut kucai,
agak kemerahan,
berjubah biru, dengan hidung sedikit bengkok ke
kanan. Dialah yang mengurus jago unggulan, dan
orang itu dikenal dengan nama Jenarpati. Usianya sudah mencapai lima puluh tahun
lebih, tapi masih
gesit dan bersemangat, ia juga menyukai tontonan
pertarungan, sehingga ditunjuk oleh Brahmana Gada
untuk mencari jago-jago unggulan, dan
mengurusnya. Jenarpati langsung temui si Wajah Hitam dan
berkata, "Perhatikan permainan pedangnya
Girilakon. Kurasa dialah nanti yang jadi lawanmu,
Wajah Hitam!"
"Kapan dia tampil?"
"Tiga urutan lagi!"
"Aku siap diadu dengannya kapan saja!"
Jenarpati tersenyum bangga, sambil menepuk-
nepuk pundak kekar si Wajah Hitam yang tidak
berbaju itu. "Aku percaya, kau pasti akan mengalahkannya!
Tapi bersabarlah menunggu giliran bertarung di
depan penggemarmu!"
"Hari ini banyakkah penonton yang datang?"
"Lebih banyak dari minggu lalu! Mereka semua
menunggu giliranmu tampil! Jangan khawatir, kau
masih punya banyak penggemar!"
"Apakah hari ini ada peserta perempuan?"
"Tidak ada! Semuanya lelaki. Memangnya
kenapa?" "Aku paling malas kalau harus bertarung
melawan perempuan, seperti beberapa waktu yang
lalu!" Kembali Jenarpati memperdengarkan tawanya
yang terkekeh pelan.
Tiba-tiba terdengar suara Luhito berseru, "Para hadirin, para tamu terhormat,
dan para sahabat
sekalian. . Pertarungan berikutnya adalah Umbara
Yodya, yang sudah memenangkan pertarungan hari
ini empat kali, melawan Sangkakala. .!"
Prok prok prok prok. .! Tepuk tangan dan sorak-
sorai mereka masih bersemangat. Umbara Yodya
tampil kembali. Sudah empat kali ia menjatuhkan
lawannya, tapi masih tetap kelihatan tangguh dan
segar. Kemunculan Umbara Yodya disusul dengan
kemunculan orang bertubuh kurus kering, tanpa baju sehingga terlihat tulang dan
kulit tipisnya. Orang ini berambut panjang sepundak, tipis dan terurai lepas.
Celananya kuning, tulang iganya kelihatan jelas
sekali, lengannya kurus bagaikan tulang dibungkus
kulit, wajahnya pun tak sedap dipandang mata.
Berkumis kaku seperti kumis tikus, bermata cekung, dan berhidung rata pesek.
Orang ini yang menamakan diri Sangkakala. Bersenjata sepasang
sabit bergagang panjang dua jengkal.
"Hoi. . mau bertarung apa mau pamer tulang"!"
seru salah seorang penonton. Sangkakala diam saja
tak melayani seruan itu. la berdiri di tengah arena, berhadapan dengan Umbara
Yodya. Begitu gong
ditabuh, bongngng.. ! Umbara Yodya mulai bergerak
mempermainkan pedang besarnya. Tapi Sangkakala
masih diam, kedua sabit tergenggam di kanan-kiri.
Tapi matanya tajam memandang tiap gerakan
sekecil apa pun dari Umbara Yodya.
Umbara Yodya memutarinya pelan-pelan,
Sangkakala masih diam saja. Matanya melirik terus
mengikuti gerakan Umbara Yodya. Bahkan ketika
Umbara Yodya ada di belakangnya, Sangkakala tak
mau menengok ke belakang. la memandang lurus
ke depan dan mematung tak bergerak.
Seorang penonton berteriak, "Hoi, Patung Asmat!
Bertarunglah, jangan diam saja!"
Sangkakala yang aneh itu bagai orang tuli. Tak
didengarnya seruan itu. Tak ada rasa cemas sedikit pun.
la tahu Umbara Yodya ada di belakangnya, tapi
matanya menatap lurus ke arah si Wajah Hitam. Hal
itu membuat Wajah Hitam merasa heran dengan
lagak aneh si kurus berambut tipis itu.
Umbara Yodya segera kelebatkan pedangnya
menebas dari atas ke bawah. Kepala Sangkakala
pasti terbelah menjadi dua bagian. Apalagi
ketajaman pedang itu melebihi pisau cukur, tak
ampun lagi tubuh yang terkena goresan sedikit pun
pasti akan terluka lebar dan panjang.
Namun ketika pedang Umbara Yodya ditebaskan
dari atas ke bawah, Sangkakala cepat sentakkan
kedua tangannya ke belakang. Kedua sabitnya
bersilang tepat di atas kepala. Trangng. .! Pedang itu tertahan dua sabit yang
bersilang. "Hiaaat. .!" Sangkakala berkelebat memutar sambil tangan kanannya bergerak
menebas, wesss. .! Cepat sekali gerakannya, dan ia berhenti bergerak dalam keadaan
sedikit miring kedua
tangannya ada di kiri, kakinya sedikit merendah.
Lama ia bersikap begitu. Sementara itu, Umbara
Yodya pun juga diam dalam posisi pedang
digenggam dua tangan dan merapat di sebelah kiri
pinggangnya. Mata Umbara Yodya tak bergerak,
mata Sangkakala juga tak bergerak.
Tiba-tiba dari pinggang kiri Umbara Yodya
menetes darah. Tes.. ! Penonton langsung
menggaung tegang, "Huuuh. ."!" Mata mereka juga tidak berkedip, dan makin
terbelalak ketika Umbara Yodya tahu-tahu rubuh dan tak bernyawa lagi.
Lukanya cukup dalam dan lebar. Luka itu ada di
bagian lambung, dan didekap dengan kedua tangan
yang memegangi gagang pedang.
Begitu Umbara Yodya jatuh tak bernyawa, orang
kurus kering dan berambut kucai merah itu segera
bergerak, melepaskan ketegangannya. Penonton
bertepuk kagum, ada yang berseru, "Hidup
Sangkakala!" Yang lainnya pun menyahut,
"Hiduuup...!"
Tapi si Wajah Hitam bertanya dalam hatinya,
"Siapa Sangkakala itu" Gerakannya begitu cepat dan tak disangka-sangka. Kurasa
dialah pemenang
terakhir dari pertarungan ini! Kurasa dialah yang
akan berhadapan denganku! Hmm. . tapi, siapa dia
sebenarnya"!"
* * * 2 SEEKOR kuda putih dipacu cepat melawan deru
angin. Udara panas itu bukan hanya menyengat kulit namun juga menaburkan debu
yang dapat membungkus setiap dedaunan. Semakin lama angin
debu itu semakin deras berhembus ke arah utara,
melawan lari kuda putih berjambul tebal itu. Sang
kuda meringkik sambil menaikkan kedua kaki
depannya. Si penunggang kuda berpegang tali
kekang cukup kuat, dan agaknya sudah terbiasa
menghadapi lonjakan kuda seperti itu. Tapi si
penunggang kuda agaknya tak biasa menghadapi
angin kencang berdebu. Sekalipun demikian si
penunggang kuda yang berjubah hijau sutera itu
masih kelihatan tetap tenang dan merasa mampu
menguasai keadaan.
Rupanya si penunggang kuda adalah seorang
perempuan cantik yang berusia sekitar dua puluh
lima tahun. Gadis itu mengenakan pakaian pinjung
sampai batas dada yang berwarna ungu bersulam
benang kuning emas. Pakaian ungunya itu
dibungkus jubah hijau muda tanpa dikancingkan
depannya, hingga ketika melaju bersama kudanya,
jubah itu berkelebat melambai-lambai ke belakang, la mengenakan kalung lempengan
berhias batuan kecil warna merah delima. la juga memakai gelang
berbentuk seekor ular bermata merah delima.
Sebilah pedang perak berukir dengan ujung
gagangnya bermata merah delima juga, terselip di
pinggang kiri. Rambutnya disanggul ke samping dan sisanya
dibiarkan berjuntai ke depan dada, kadang ke
belakang. Gadis itu berkulit kuning dengan mata
bulat indah, tak terlalu lebar.
Hembusan angin yang semakin kencang
membuat gadis itu sedikit kebingungan, karena
kudanya bagai menolak untuk melaju menembus
deru angin berdebu itu. Sang kuda melompat-lompat
menaikkan kaki depannya sambil keluarkan suara
ringkik berkali-kali.
Debu semakin banyak, semakin membuat putih
batang pohon di sekitar tanah kaki bukit itu. Gadis tersebut sipitkan mata
karena takut terserang debu matanya. la berusaha atasi amukan kudanya di sela-
sela hembusan badai debu yang makin lama
semakin mengerikan.
Sedikit demi sedikit gadis itu bisa menggiring
kudanya untuk mendekati sebuah pohon berdaun
lebat yang bercabang dahan rendah. Tapi baru saja
ia tiba di bawah pohon tersebut, tiba-tiba tubuhnya
tersentak dari atas punggung kuda. la terlempar
akibat amukan kuda yang semakin menggila.
Brukk...! Gadis itu jatuh membentur batang pohon
sisi sampingnya. Kuda tersebut berlari dengan liar sambil meringkik-ringkik
seakan menolak deru
badai berdebu itu. Sang gadis berusaha
mendapatkan kudanya lagi dengan menangkap tali
kekangnya pada saat kuda membalik ke arahnya
dan memutari pohon satu kali.
"Ini bukan angin badai sewajarnya!" kata gadis itu dalam hati. "Pasti ada
seseorang yang mengirimkan badai berdebu ini padaku!"
Tali kekang kuda di katkan pada dahan pohon
yang rendah itu. Pada saat demikian, hembusan
badai mulai reda sedikit, tapi debu-debu masih
beterbangan. Kemudian sang gadis pun berlindung
di belakang pohon berbatang besar itu. la berdiri
dalam lindungan batang pohon sambil merapatkan
badan ke batang tersebut. Angin berhembus
menerpa batang pohon itu, dan tubuh si gadis
selamat dari hembusan berdebu. Hanya taburan
debu yang mengenai batang pohon masih sempat
memercik ke tubuhnya. Tapi kulit tubuh tidak terasa seperih tadi, sebab debu-
debu itu tidak langsung mengenai tubuhnya.
Tiba-tiba seberkas sinar, melesat dari atas pohon
seberang. Sinar itu berpijar-pijar dan menghantam pohon pelindung si gadis.
Darrr. .! Pohon pun tembus berlubang, sinar merah itu melesat keluar dari
dalam pohon itu tepat di samping leher atas pundak si gadis. Wesss. .! Lalu
sinar itu redup dan hilang sebelum membentur pohon berikutnya.
Wajah gadis itu mulai sedikit tegang. Kali ini ia yakin ada orang yang ingin
mencelakakan dirinya.
Siapa orangnya, ia belum tahu. Tapi yang jelas ia
semakin yakin bahwa badai berdebu itu kiriman dari orang tersebut. Si gadis tak
bisa mengintip ke arah pohon seberang, karena takut tiba-tiba dihantam
pukulan jarak jauh begitu wajahnya tersumbul dari balik pohon.
Namun pada saat itu gadis itu sudah mulai
mencabut pedangnya pelan-pelan. Matanya melirik
penuh curiga dan waspada ke arah sekelilingnya.
Hatinya sedikit lega melihat kudanya tidak terkena hantaman sinar merah yang
berbentuk mirip ujung
tombak tadi. Kejap berikutnya angin badai hilang. Hilang dalam
seketika. Seolah-olah angin yang menghembus
menyerupai badai itu ditangkap oleh seseorang dari lubang penyemburnya, dan debu
pun tinggal sisanya
yang bertaburan tanpa hempasan kuat. Saat itulah si gadis baru berani mengintip
dari balik pohon.
Ketika ia mengintip ke arah pohon seberang, tiba-
tiba terdengar suara mengejutkan yang datang dari
belakangnya,

Pendekar Mabuk 020 Ladang Pertarungan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku di sini, Yayi!"
Cepat-cepat gadis itu berpaling dan memandang
dengan mata tampak tersentak kecil. Napasnya
terhempas lepas setelah ia temukan orang yang
menyerangnya dengan cara aneh tadi.
Orang itu adalah perempuan tua berusia sekitar
tujuh puluh tahun. Berjubah hitam dengan pakaian
dalamnya putih, berbadan kurus kempot bermata
cekung. Rambutnya putih dikonde tengah sisanya
dibiarkan meriap ke samping dan belakang.
Nenek itu menyelipkan siwur atau gayung dari
tempurung kelapa yang bergagang panjangnya dua
jengkal lewat sedikit. Tempurung kelapa itu
berwarna coklat tua, tampak kekar bagaikan besi.
Bagian yang berlubang, yang biasa untuk menciduk
air, terlihat kosong tanpa isi. Benda itulah senjata si nenek, sehingga ia
dikenal dengan nama Nyai
Gayung Demit. Gadis yang tadi dipanggil sebagai Yayi itu ternyata mengenal nenek tersebut.
Maka ia pun segera
berkata, "Apa maksudmu mengganggu perjalananku, Nyai
Gayung Demit"!"
"Hanya sekadar ingin membunuhmu," jawab Nyai Gayung Demit seenaknya saja, seakan
bicara dengan polos, tapi pandangan mata cekungnya yang
tajam memancarkan nafsu untuk membunuh.
Mata Yayi terkesiap, tapi bukan berarti ia gentar
mendengar kata-kata Nyai Gayung Demit. la bahkan
berucap kata, "Apa kau mampu membunuhku, Nyai"!"
"Itu persoalan mudah sekali. Bisa kulakukan
sambil tidur atau sambil buang hajat di sungai! Tapi yang penting kau harus tahu
dulu apa sebab aku
ingin membunuhmu!"
"Bagus sekali. Aku akan mendengarkan
alasanmu Nyai. Katakanlah!"
Nenek sedikit bungkuk itu pandangkan matanya
ke sekeliling dengan cepat, seolah-olah ia tak ingin lengah, tak ingin pula ada
pihak lain yang
mendengar alasannya itu. Maka ia pun segera
menjawab, "Mendiang kakekmu yang bergelar Patok Sewu
itu dulu adalah suamiku!"
Berkerut dahi Yayi seketika itu pula. la tak pernar mendengar cerita dari
mendiang kakeknya atau
neneknya tentang hubungan sang kakek dengan
Nyai Gayung Demit itu. Yayi ingin menyanggah kata-
kata tersebut, tapi ia juga ingin mendengar lebih
lengkap penjelasan Nyai Gayung Demit, sehingga
akhirnya ia putuskan untuk diam dan membiarkan
Nyai Gayung Demit teruskan bicaranya.
"Sebelas tahun kami menikah, tapi kami tak
menghasilkan keturunan. Suamiku serong dengan
perempuan lain, dan perempuan itu hamil. Suamiku
senang, lalu dia kawini perempuan itu dan dia
ceraikan diriku yang amat dicintainya ini! Sakit
hatiku kala itu, tapi aku tak punya kesanggupan apa-apa untuk melawan suamiku
itu, Yayi. Sembilan
bulan kemudian, perempuan itu melahirkan bayi
perempuan, yaitu ibumu!"
Mata nenek kempot berambut putih itu
menerawang dan sedikit menyipit ketika berucap
kata, "Aku benci dengan bayi itu! Aku ingin
membunuhnya, tapi tak pernah berhasil Aku merasa
iri dengan nenekmu dan bayinya, tapi kakekmu
selalu berhasil mengalahkan aku! Dan bayi itu makin lama makin tumbuh menjadi
dewasa! Wajah dan
potongan tubuhnya persis dengan kamu, Yayi.
Karena bayi yang menjadi dewasa itu adalah ibumu
sendiri!" Berdebar tegang hati Yayi. Namun ia tetap
menahan segala gejolak yang ada di dalam dadanya.
la masih memberi kesempatan kepada Nyai Gayung
Demit untuk memuntahkan segala uneg-unegnya.
"Ketika Dewi Sekar Asih, ibumu itu, berburu
dengan kakekmu, aku berhasil menawannya dan
ingin membunuhnya. Tapi datang seorang
penyelamat yang menggempur habis tubuhku.
Penyelamat itu adalah Raden Cakrakusuma yang
sekarang menjadi ayahmu dan menjadi seorang
adipati. Ilmuku kalah tinggi dengannya. Maka, ketika aku melihat kau sejak ada
perayaan di alun-alun,
aku selalu membayang-bayangimu...."
"Kenapa sasarannya diriku" Aku tidak punya
sangkut-paut masalah hubungan kakek, nenek,
ayah, dan ibuku terhadap kamu, Nyai Gayung
Demit!" "Kau mirip sekali dengan ibumu! Tak bergeser
sedikit pun. Dan karena sekarang ibumu tak pernah
keluar dari istana tanpa pengawalan yang ketat,
maka kutunggu kesempatan itu. Ternyata yang
muncul adalah kesempatan untuk membunuhmu,
karena kau keluar dari istana tanpa ada pengawal
satu pun! Kini kesempatan membunuhmu ada di
depan mataku, Yayi!" kali ini Nyai Gayung Demit bersuara menggeram.
Yayi sunggingkan senyum tipis tanpa meremeh
kan, kemudian ia sambung senyumnya dengan
ucapan kata, "Apakah kau belum tahu bahwa semua ilmu
kakekku sudah diturunkan padaku, Nyai Gayung
Demit"!"
"Ya. Aku tahu. Hanya kau yang mewarisi ilmu
kakekmu, sedangkan adikmu si Abiyasa itu justru
berguru kepada si Kalong Tua! Tentunya Abiyasa
tahu bahwa ilmu kakekmu tidak seberapa, sehingga
Abiyasa memilih mencari guru lain! Jangan kau pikir aku takut kepadamu walau
kamu sudah warisi ilmu
kakekmu! Dulu memang aku tidak sanggup
melawan ilmu kakekmu, tapi setelah sekian lama
aku menghimpun kekuatan sendiri, sekarang aku
merasa sanggup menungging-balikkan si monyet
Patok Sewu itu!"
Ucapan itu membuat Yayi merah telinganya.
Pedang yang sudah dihunus dari sarungnya sejak
tadi semakin kuat digenggam dengan tangan kanan.
Gadis cantik itu masih menahan diri untuk tidak
menyerang lebih dulu, dan ia berkata ketus,
"Demi membela kehormatan kakekku yang
sudah tiada, aku pun sanggup membuatmu
merangkak-rangkak pulang ke kandangmu, Nyai
Gayung Demit!"
"Jangan bicara begitu, nanti nyawamu lenyap
dengan cepat! Padahal aku ingin membunuhmu
secara perlahan-lahan, Yayi!"
"Kau tak akan mampu menjamah tubuhku,
Nenek Kempot!"
"Jahanam kau. .!" Nyai Gayung Demit semakin panas hati, lalu dengan cepat ia
sentakkan kakinya ke tanah dan tubuhnya pun melesat sambi!
mencabut gayung siwurnya itu. "Heeaaat...!"
Tubuh tua itu bagaikan terbang ke arah Yayi,
kakinya siap menendang pada saat yang tepat.
Sementara itu, Yayi pun melompat ke atas dan cepat tebaskan pedangnya ke arah
kaki Nyai Gayung
Demit. Wutt...!
Trakkk...! Duerrr...!
Pedang itu ditangkis dengan gayung siwur. Timbul
percikan api akibat benturan dua senjata itu, dan
ledakan kecil yang cukup mengagumkan. Padahal
gayung itu hanya terbuat dari kayu dan tempurung kelapa. Tapi karena dialiri
tenaga dalam, senjata itu menjadi seperti terbuat dari besi baja yang cukup
berbahaya. Sekalipun kecil ledakan itu, namun sempat
mengagetkan hati Yayi, karena hal itu di luar
dugaan. Karena kaget, Yayi kehilangan konsentrasi, sehingga ketika keduanya
sama-sama mendaratkan
kaki di tanah, Nyai Gayung Demit segera memutar
tubuhnya dengan cepat dan sebuah tendangan
berkelebat mengenai wajah Yayi. Plokk!
Yayi terhuyung ke samping. Nyai Gayung Demit
berputar lagi dengan cepat. Wess. .! Tiba-tiba
gayungnya dihantamkan ke dada Yayi. Tapi saat itu
tangan kiri Yayi segera menghentak ke depan,
telapak tangannya diadu dengan tempurung kelapa
tersebut. Prakkk...!"
Blarrr...! Gelombang ledakan melemparkan
tubuh berwajah cantik Itu. Sinar merah yang memecah
akibat benturan telapak tangan dengan tempurung
kelapa itu telah membuat tenaga dalam Yayi
membalik mengenai dirinya sendiri.
Tak ampun lagi ia terpental terbang dalam
keadaan hilang keseimbangan badan. la bagaikan
sehelai daun kering yang dilemparkan ke belakang
dan jatuh terguling-guling di sela-sela akar dari
pohon besar. Akar itu pipih tapi keras, dan tubuh Yayi terjepit di sela dua akar
pipih itu. la terpuruk di sana, wajahnya menelungkup,
mulutnya berdarah. Melihat punggung Yayi terbuka
bebas, Nyai Gayung Demit segera memanfaatkan
untuk menggempur memakai senjatanya itu. la pun
segera melompat dalam gerakan salto satu kali di
udara, kemudian menghantamkan senjata itu di
punggung Yayi. Wusss. .!
Werrr...! Buggh...!
"Aahg...!"
Sekelebat tubuh melesat di hadapan Nyai Gayung
Demit. Tubuh itu menghadang dan menjadikan
punggungnya sebagai pengganti punggung Yayi. Nyai
Gaung Demit akhirnya menghantam punggung orang
berbaju putih itu dengan senjata siwurnya. Orang berbaju putih bercelana hitam
itu mengerang kesakitan. Tubuhnya terasa patah pada bagian
punggung, karena pukulan gayung bertempurung itu
seperti pukulan gada besi sebesar pilar. la
menggeliat di samping Yayi, sementara Yayi sendiri berusaha untuk bangkit.
"Bocah koplo.. !" bentak Gayung Demit kepada pemuda berbaju putih itu. "Apa
untungnya kau menggantikan punggung gadis itu, jika gadis itu
sendiri tidak mengharapkan begitu"! Berlagak jadi
pahlawan kamu, hah"!"
Bert...! Plokkk...!
Satu tendangan kuat dihajarkan ke wajah
pemuda itu oleh Nyai Gayung Demit. Bagian kepala
pemuda itu tersentak, badannya segera terguling-
guling. Tapi begitu ia melihat Nyai Gayung Demit kembali
mau menghantam punggung tempurung gayung
dengan maksud ingin memecahkan kepala Yayi,
pemuda itu segera bangkit dan melompat seperti
macan. la menerjang Nyai Gayung Demit tanpa
perhitungan, sehingga gagang gayung nenek tua itu
menyodok pipinya dengan keras. Dess. .!
Nyai Gayung Demit terjungkal dan berguling-
guling di tanah, didekap kuat oleh pemuda berambut sepundak kurang itu. Mereka
bergelut sesaat,
sementara Yayi heran pandangi pemuda yang tak
dikenalnya itu.
Plok plok desss...!
Nyai Gayung Demit berhasil menampar dan
menghantam wajah pemuda berikat kepala putih
itu, sehingga pemuda tersebut terpental dan terpisah dari pergulatan di tanah.
Pemuda itu jatuh telentang dengan menyeringai kesakitan. Pipinya memar
membiru akibat sodokan gagang siwur tadi. Bibirnya sedikit luka akibat pukulan
yang terakhir itu. Nyai Gayung Demit berdiri sambil mencaci,
"Bocah mesum! Orang sudah setua ini mau
diperkosa!"
Dengan napas sesak dan dada sakit, Yayi segera
berkata kepada nenek tua itu, "Kurasa dia bukan bermaksud memperkosamu, tapi mau
mencekik lehermul Nyai!"
"Persetan dengan anak itu! Kubunuh sekalian dia!
Heaaah...!"
"Kau bergerak, maka kau mati, Nyai!" teriak Yayi sambil siap melemparkan pedang
runcingnya bagai
mau melemparkan tombak.
Gerakan Nyai Gayung Demit terhenti, napasnya
terengah-engah. Matanya tajam memandang ke
arah samping kiri yang kosong tanpa siapa pun. la
sedikit miringkan kepala, seperti sedang menyimak
suara yang didengarnya di kejauhan sana.
Lalu, tiba-tiba gayung yang sudah diangkat mau
dihantamkan ke tubuh pemuda itu segera
diturunkan. la menarik napas dan
menghempaskannya sambil memandang Yayi, lalu
berkata penuh kegeraman,
"Rasa-rasanya memang harus kutunda dulu
niatku membunuhmu, Yayi! Aku tak mau orang-
orang istana mengetahui bahwa kematianmu adalah
akibat ulahku. Tapi ingat, suatu saat aku akan
datang lagi menjemput nyawamu, Cah Ayu. .!
Hiaaah...!"
Nyai Gayung Demit melompat dalam satu
sentakan ringan. Tubuhnya terangkat naik bagaikan
terbang lurus, kemudian hinggap di dahan. Setelah
itu ia melompat dari dahan ke dahan, berlari
meninggalkan tempat itu. Dalam waktu cepat ia


Pendekar Mabuk 020 Ladang Pertarungan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telah menghilang dari pandangan mata gadis cantik
itu. "Aneh! Dengan gertakan ku saja dia mau pergi
cepatnya. Ada apa sebenarnya" Kurasa dia pergi
bukan karena gertakanku tadi!" kata Yayi dalam hati.
Pemuda itu menggeliat pelan dan berusaha untuk
bangkit. Yayi hanya memandanginya dengan mata
tak berkedip dan dahi berkerut tajam. Dalam hatinya ia berkata,
"Siapa pemuda ini" Badannya besar tapi tak
memiliki gerakan silat sedikit pun! Modal badan
besar saja ia berani seruduk sana seruduk sini,
akhirnya dia hampir mati sendiri. Bodoh amat dia"!
Melihat caranya menyelamatkan diriku dari
hantaman gayung itu tadi, aku yakin dia tidak punya ilmu apa-apa kecuali berani
nekat pasang badan
besarnya!"
Pemuda itu memang berbadan besar dan
berlengan kekar. Baju putihnya yang tanpa lengan
itu memperlihatkan bentuk otot dari lengan-
lengannya. Bajunya di kat dengan kain merah yang
melingkar di pinggang. Celananya hitam, ikat
kepalanya sendiri berwarna putih. Alisnya tebal,
matanya sedikit lebar, tapi berkesan kalem.
Setelah memasukkan pedangnya ke sarung
pedang, Yayi segera berkata kepada pemuda
berkulit coklat itu,
"Aku tidak kenal kau! Tapi kenapa kau tolong aku dengan caramu yang konyol
itu"!"'
"Namaku Mahendra Soca," jawab pemuda
berambut kurang dari pundak. "Aku tidak semata-mata menolong kamu, tapi aku cuma
tidak suka melihat kenakalan nenek tua itu!"
Setelah ucapkan kata tersebut, Mahendra Soca
melangkah ke pohon tak seberapa jauh dari tempat
itu. Kemudian ia mengambil sesuatu dan
membawanya mendekati Yayi lagi. Rupanya benda
yang diambilnya adalah 'blandong', atau kapak
untuk menebang pohon bergagang panjang.
Mahendra Soca berkata kepada Yayi, ketika gadis itu memperhatikan blandong
tersebut dengan
pandangan sedikit merasa aneh.
"Sebagai penebang pohon dan pencari kayu, aku sering melihat nenek kempot yang
bersenjata gayung itu memusuhi beberapa orang yang lebih
lemah darinya. Aku sering kasihan kepada orang
yang diserangnya. Entah apa saja alasan nenek
kempot itu, yang jelas aku tak suka melihat
kenakalannya. Karena itu, aku mencoba menahan
kenakalannya dengan caraku tadi."
"Tapi itu perbuatan tolol, Mahendra! Kau bisa mati digempurnya!"
"Pikirku, tak seberapa mati jika hanya digebuk pakai gayung seperti itu. Kecuali
dia bawa pedang, aku tak berani menahan tindakannya yang
kuanggap nakal dan bandel itu!" Mahendra Soca memandang mata Yayi selama satu
helaan napas, kemudian setelah Yayi jadi bingung dan salah
tingkah ia pun berkata,
"Maaf, aku tidak pamer keberanian di depanmu.
Aku hanya... hanya...."
"Sudah, lupakanlah semua itu!"
"Tapi bagaimana dengan darahmu yang tadi
keluar dari mulut?" Mahendra Soca mendekat
sambil menenteng kapak penebang pohonnya.
"Tidak apa-apa, aku bisa atasi sendiri!" Yayi sedikit palingkan wajah karena
malu dipandangi
pemuda berwajah ganteng itu.
"Kudengar nenek kempot itu memanggilmu Yayi.
Apakah itu namamu?"
"Hmmm... eh... iya! Anggap saja itu namaku,
karena - karena...."
Kata-kata Yayi terhenti. la sedikit terkesiap
melihat dua ekor kuda berlari ke arahnya. Dua
penunggangnya segera dikenali oleh Yayi, tapi tidak demikian halnya oleh
Mahendra Soca. Pemuda itu
berkerut dahi memandang asing dua orang
penunggang kuda, yang satu berpakaian biru tapi
berompi ketat kuning, yang satunya lagi berpakaian hijau tua tanpa rompi. Orang
berompi kuning itu
kepalanya dibungkus dengan ikat kepala batik
warna coklattua, kumisnya tipis dan tampangnya
lumayan ganteng. la menyandang pedang di
pinggang. "Mahendra, kusarankan segeralah pergi sebelum kedua orang itu tiba di sini!"
"Siapa mereka itu?"
"Para pengawal kadipaten!"
"Ooo. ,!" Mahendra Soca manggut-manggut, melangkah mundur setindak. "Lalu,
mengapa mereka kemari" Mau apa" Dan mengapa aku harus
pergi sebelum mereka tiba di sini?"
* * * E-book by: paulustjing
Email: paulustjing@yahoo.com
3 ORANG berpakaian biru rapi dengan rompi ketat
itu melompat turun dari punggung kuda. Setelah ia perhatikan wajah Yayi yang
merah pipi kirinya dan
ada bekas darah di sudut bibirnya, maka dengan
serta-merta orang itu berbalik menghadap ke arah
Mahendra Soca. Tapi sambil berbalik ia kelebatkan
kakinya dan menendang dada Mahendra Soca
dengan telak. Buhgg...!
"Hegh. .!" Mahendra Soca pun terpental ke belakang dan jatuh di semak-semak yang
berjarak empat langkah darinya itu. Kapaknya terlepas bagai seseorang yang tak siap
mempertahankan sebuah
senjata. "Ragajampi...! Jangan kau sewenang-wenang
menyerang orang tak bersalah!" hardik Yayi kepada yang berompi kuning. Ternyata
ia bernama Ragajampi. "Orang itu harus dihajar, karena dia sudah
melukai wajahmu, Yayi!" sambil berkata demikian, Ragajampi cepat bergerak dengan
satu lompatan. Pada waktu itu Mahendra Soca sedang bangkit, dan
tiba-tiba ia harus menerima serangan kaki
Ragajampi yang melayang terbang itu. Buhgg...!
Gusrakkk. .! Mahendra Soca terpental lagi, jauh ke dalam semak-semak ilalang. la
memekik tertahan
dan segera dikejar oleh Ragajampi.
Tetapi tiba-tiba tangan Yayi menyentak, kirimkan
pukulan jarak jauhnya lewat telapak tangan, dan
langsung mengenai punggung Ragajampi. Beggh. .!
Brusss. .! Ragajampi jatuh. Temannya yang
berpakaian hijau turun dari kuda mau mencabut
goloknya, tapi sudah didului Yayi mencabut
pedangnya yang langsung ditodongkan di depan
leher orang itu.
"Jangan ikut campur, Sulaya. .!" geram Yayi.
"Ehmmm... anu... saya cuma mau jaga-jaga saja,"
jawab Sulaya dengan perasaan takut dan bimbang.
"Tinggalkan dia, Ragajampi!" sentak Yayi mengancam. Ragajampi memandang ke arah
Yayi dan menjadi sedikit cemas melihat pedang Yayi
sudah berada di depan Sulaya.
"Siapa pemuda itu, Yayi?"
"Seorang penebang pohon!"
"Dia menyerangmu dan kalian bertarung?"
"Pertanyaanmu bernada menuduh dia,
Ragajampi! Aku tidak sukai" Yayi berkata ketus, pedangnya kembali dimasukkan ke
sarungnya. Sulaya sendiri segera memasukkan goloknya.
Mahendra Soca berdiri dengan masih sedikit
limbung. Ragajampi mendekati Yayi dan berkata dengan
sikap tegasnya, "Aku kecewa kau keluar dari istana tanpa pamit kepada siapa pun.
Kanjeng Adipati,
ayahandamu marah padaku dan menyuruhku
mengejar kamu! Lalu, kutemukan kau berada di sini
dengan babi busuk itu! Aku kecewa sekali, Yayi!"
sambil Ragajampi menuding Mahendra Soca.
Pemuda berikat kepala kain putih itu diam saja
dikatakan sebagai babi busuk. Tapi Yayi merasa tak sukai dan berkata,
"Sopanlah sedikit bicara di depanku, Ragajampi!"
"Apakah aku kurang sopan padamu?"
"Aku adalah putri dari penguasa junjunganmu.
Kau seharusnya hormat padaku, Ragajampi! Apakah
kaul ingin aku mengadukan kepada Ayah tentang
sikap tidak sopanmu selama ini"!"
Ragajampi diam. Agaknya ia terdesak dan tak
bisa berkelit lagi. Ada rasa cemas dan takut yang
disembunyikan di dalam sikap tegasnya itu. Tetapi
Yayi melihat rasa cemas dan takut itu, sehingga ia berani mengancamnya dengan
kata-kata seperti
tadi. Akhirnya Ragajampi turunkan nada suaranya,
sedikit lebih rendah dari saat setelah menghantam
Mahendra Soca. la berkata,
"Kanjeng Adipati menyuruhmu pulang, Yayi!"
"Aku ingin pergi sendirian!"
"Ke mana?"
"Ke suatu tempat!" jawab Yayi dengan ketus.
"Bersama pemuda itu?" Ragajampi melirik
dengan penuh curiga.
"Bersama dengan dia atau tidak dengan dia, apa pedulimu?"
"Kau dalam tanggung jawabku, Yayi!"
"Apakah itu berarti aku harus selalu dekat
denganmu?"
"Mestinya begitu!"
Yayi membantah, "Tidak. Kau bukan kekasihku,
bukan suamiku, juga bukan saudaraku. Tak layak
aku harus berdekatan terus denganmu, Ragajampi!"
"Tapi aku pengawalmu! Aku yang mendapat tugas dari ayahmu untuk selalu
mengawalmu ke mana
saja kau pergi, Yayi!"
"Mengawal tidak harus membatasi kebebasanku,
Ragajampi! Kalau aku mau pergi dengan pemuda
itu, atau pergi dengan pemuda lain, atau aku ingin berpelukan dengan pemuda mana
pun, kau tak perlu
menggangguku! Kau tak perlu mencak-mencak
seperti tikus kebakaran jenggot!"
"Hmm. .! Tikus tidak pernah punya jenggot, Yayi.
Jadi kurasa aku tidak seperti apa yang kau katakan!"
"Aku tahu kau selalu merasa cemburu jika aku
bicara dengan pemuda laini" kata Yayi membuat wajah Ragajampi semakin panas.
Ragajampi mencoba untuk mencibir sinis. Yayi berkata lagi,
"Kau naksir aku, Ragajampi! Aku melihat
gelagatmu yang konyol dan sering membuatku
muak jika kau pasang gaya cemburu di depanku!"
"Yayi, sebaiknya tak perlu kita bicara soal itu, pulanglah!"
"Aku tidak mau pulang!" Yayi berjalan mendekati Mahendra Soca. Mata Ragajampi
semakin nanar mengikuti arah langkah Yayi. Wajahnya semakin
dingin memandang Yayi berada di samping
Mahendra Soca dan memegang tangan Mahendra
Soca yang tergores duri. Tidak berdarah tapi sedikit membekas merah.
"Sakitkah tanganmu?"
"Tidak. Aku tidak apa-apa. Cuma sedikit sesak rasanya dadaku."
"Maafkan atas perlakuan pengawalku yang tolol itu. Jangan sakit hati padanya,
Mahendra!"
Tiba-tiba Ragajampi menyahut dari tempatnya,
"Kalau dia mau balas dendam, kulayani kapan saja!"
"Pengawal! Kembali ke kudamu!" bentak Yayi dengan mata melotot.
"Yayi, aku hanya...."
"Kembali ke kudamu, Pengawal!" makin tinggi bentakan itu, dan Ragajampi dengan
hati dongkol terpaksa menuruti perintah putri atasannya, la
melangkah ke kuda, bergabung dengan Sulaya lagi.
Dari sana ia berseru,
"Jangan lupa, kita harus segera kembali sebelum Kanjeng Adipati murka, Yayi!"
"Aku akan kembali tanpa bersamamu!"
"Tidak bisa. Kau harus dalam pengawalanku,
Yayi!" "Persetan dengan pengawalanmu!" sentak Yayi
"Abiyasa pergi tapi kau tidak mencarinya! Kau tidak menjaga adikku itu! Mengapa
aku pergi kau selalu
ingin menjaganya?"
"Karena tugas menjaga Raden Abiyasa bukan
tugasku!" jawab Ragajampi membela diri.
"Lalu apa tugasmu" Pengawal perempuan"
Hanya perempuan saja yang kau kawal?"
"Tugasku menyelamatkan keluarga istana dari
bahaya!" "Kau sendiri tidak menyelamatkan diriku"
Mahendra Soca inilah tadi yang menyelamatkan aku
dari gempuran Nyai Gayung Demit!"
"Siapa..."!" Ragajampi kaget, matanya terbuka, demikian pula mata Sulaya. Mereka
saling pandang dalam irama wajah tegang,
"Benarkah Nyai Gayung Demit tadi yang bertarung denganmu?" tanya Ragajampi
seperti tak yakin
dengan kata-kata Yayi.
"Hampir saja aku mati di tangannya kalau tidak diselamatkan oleh Mahendra!"
"O, jadi si kunyuk itu punya ilmu juga, sehingga bisa selamatkan kamu dari
tangan nenek iblis itu"!"
"Sekalipun dia tidak punya ilmu, tapi dia berani selamatkan aku dan pertaruhkan
nyawanya! Daripada kau, hanya pangkatmu saja sebagai
pengawal keluarga istana, penyelamat bahaya, tapi
kau belum pernah bertaruh nyawa untukku!" kata Yayi sengaja memanasi hati


Pendekar Mabuk 020 Ladang Pertarungan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ragajampi. "Jangan berkata begitu, Yayi. Kau sangat
menyinggung perasaanku!"
"Kalau tak mau tersinggung dan terhina, cari Nyai Gayung Demit itu, dan kasih
pelajaran dia supaya
tidak menggangguku, juga tidak mengganggu
Abiyasa atau keluargaku lainnya! Atau. barangkali kau takut berhadapan dengan
Nyai Gayung Demit,
hah"!"
Tambah merah wajah Ragajampi yang dikenal
sebagai kesatria andalan istana itu. la kenal dan
tahu siapa Nyai Gayung Demit, yang oleh keluarga
istana dianggap sebagai pengacau selama ini. la
juga tahu seberapa tinggi ilmu Nyai Gayung Demit,
yang menurutnya punya kesaktian lebih tinggi
darinya. Tapi mendengar Yayi berkata seperti tadi di depan Mahendra Soca, wajah
Ragajampi bagai
ditampar pakai sendal bandol. Napasnya pun terasa
sesak karena menahan malu dan marah.
"Kejar dan hadapi dia. Nyai Gayung Demit lari ke timur!" kata Yayi.
"Bagaimana dengan dirimu sendiri?"
"Aku akan mencari Abiyasa dan menyeretnya
pulang. Anak itu juga harus kuberi pelajaran sendiri atas kenakalannya yang
pergi tanpa pamit
kepadaku!" jawabi Yayi.
Setelah mempertimbangkan beberapa saat,
akhirnya Ragajampi terpaksa harus membiarkan
kehendak putri adipati itu. Meski ia memendam
cemburu terhadap Mahendra Soca, tapi ia tak bisa
melampiaskan tanpa ada alasan kuat. Maka ia pun
segera pergi ke timur bersama Sulaya, anak
buahnya, untuk mengejar Nyai Gayung Demit.
Setelah Ragajampi dan Sulaya menghilang dari
pandangan mata, Mahendra Soca pun segera
berkata! "Galak sekali orang itu!"
"Dia cemburu melihatku bersamamu,
Mahendra!"!
"Apakah dia cinta padamu, Yayi?"
"Mungkin. Tapi aku muak padanya dan tak
pernah tunjukkan sikap manis di depannya!"
Mahendra Soca melangkah mengambil
blandongnya, setelah itu baru berkata lagi kepada Yayi,
"Menurutku, sebaiknya memang kau pulang saja.
Nanti ayahmu marah padamu. Kau putri seorang
adipati, harus menunjukkan sikap berbakti kepada
orang tuamu, yang sekaligus adalah penguasamu!"
"Aku harus menemukan Abiyasa dulu! Adikku itu harus kubawa pulang dan jangan
sampai turuti nafsu lawannya."
Mahendra Suco kerutkan dahi dan bertanya,
"Nafsu yang bagaimana maksudmu, Yayi" Apakah
aku boleh mengetahuinya?"
"Abiyasa ditantang oleh saudara seperguruannya yang bernama Gumarang!
Persoalannya hanyalah
karena Gumarang merasa iri dan tidak suka jika
adikku menjadi murid kesayangan gurunya dan
berhak menerima warisan ilmu 'Seblak Nyawa'.
Untuk melampiaskan rasa iri yang menyakitkan hati, maka Gumarang menantang
adikku, dan adikku
menuruti tantangan tersebut."
"Itu berarti adikmu berjiwa kesatria dan
pemberani. Bukankah itu akan membuatmu bangga
mempunyai adik kesatria dan pemberani?"
"Ya. Tapi usianya masih sangat muda menurutku!
Belum waktunya ia beradu kesaktian walau sesama
teman seperguruannya!"
Mahendra Soca senyumkan bibirnya dalam tawa
rendah yang pelan, kemudian ia berkata,
"Percayalah, adikmu pasti bisa mengalahkan
lawannya itu! Kau tak perlu cemas, Yayi."
"Aku tak yakin dia akan menang, karena
Gumarang menantangnya di arena pertarungan, di
Rumah Busuk yang dikenal sebagai Ladang
Pertarungan!"
Dahi Mahendra Soca berkerut tajam sekali,
matanya memandang tak berkedip. Lalu ia
menggumam, "Di mana..."!"
"Ya. tentunya kau tahu, Ladang Pertarungan
adalah tempatnya orang-orang sombong yang pamer
kesaktian dan kekuatan. Dan orang-orang itu hanya
mengorbankan nyawa secara sia-sia saja di arena
pertarungan itu!"
"Kalau Gumarang dan Abiyasa berani bertarung di arena sana, itu berarti mereka
berdua sama-sama
punya keberanian yang setingkat!"
"Bukan soal keberanian adikku yang
kucemaskan, tapi nasib adikku di pertarungan itu
berbahaya. Sebab yang kudengar, kalau toh adikku
bisa kalahkan semua lawannya termasuk
Gumarang, maka di akhir pertarungannya, dia pun
akan menghadapi lawan tangguhnya, yaitu si Wajah
Hitam! Oh, aku tak bisa bayangkan betapa rapuhnya
Abiyasa jika berhadapan dengan si pembantai
bertopeng hitam itu! Aku sering mendengar cerita
kehebatan dan kekuatan si Wajah Hitam!"
Mahendra Soca tertegun beberapa saat. Lama ia
terbungkam, sambil sesekali memandang sekeliling,
mencari-cari pohon yang akan ditebangnya. Lalu,
terdengar suaranya berkata tanpa memandang Yayi.
"Kalau ternyata begitu keadaannya, berarti
langkahmu itu benar, Yayi. Susul adikmu dan kalau
bisa cegah dia agar jangan sampai ikut di arena
pertarungan itu! Banyak cerita yang pernah
kudengar tentang kehebatan si Wajah Hitam! Kalau
adikmu berhadapan dengan si Wajah Hitam, maka
dia akan menjadi bangkai dalam waktu sekejap.
Hmmm.. ! Mengerikan sekali cerita-cerita tentang si Wajah Hitam yang pernah
kudengar itu!"
"Aku percaya, dan. . sepertinya memang aku
harus pergi sendiri untuk mencari adikku. Suatu
saat, aku ingin bicara denganmu lebih panjang lagi, kalau adikku sudah kutemukan
dan kubawa pulang!" Yayi segera menghampiri kudanya, dan melompat
di atas punggung kuda. Mahendra Soca hanya
memandanginya dengan lugu. Yayi berkata dari
sana, "Kau tak ingin dampingi aku dalam mencari adikku?"
"Maaf, Yayi. Aku harus bekerja karena ada dua pohon lagi yang harus kutebang
hari ini juga! Berangkatlah sana, dan aku berdoa supaya kau
selamat di jalan!" Mahendra Soca mencoba
tersenyum kepada Yayi. Gadis itu pun tersenyum
tipis dan kecantikannya semakin bertambah
menggoda hati saja.
Sayang sekali Mahendra Soca tidak ikut. Padahal
Yayi sudah memberi pancingan supaya Mahendra
Soca mau mendampingi dalam perjalanannya. Tapi
agaknya Mahendra Soca lebih berat dengan
tugasnya daripada mempererat tali persahabatan
dengan Yayi. "Padahal aku menyukai wajahnya yang ganteng
dan tubuhnya yang tegap itu! Entah mengapa, rasa-
rasanya ia lebih pintar menarik simpati ketimbang
Ragajampi yang berkesan angkuh itu! Kalau saja
Mahendra Soca orang berilmu, setidaknya
mempunyai permainan cukup lumayan, pasti
Ragajampi bisa dikalahkan saat menyerangnya tadi!
Kasihan dia. Karena tak punya ilmu jadi hanya
pasang badan dan siap terima gebukan dari siapa
saja." Kuda terus dipacu. Sepanjang perjalanan menuju
Rumah Busuk untuk mencari adiknya yang baru
berusia dua puluh tiga tahun itu, hati Yayi selalu berkecamuk tentang Mahendra
Soca. Keberanian
Mahendra Soca yang sangat besar dalam membela
nyawa Yayi telah membuat Yayi merasa tertarik
hatinya untuk lebih mengenal Mahendra Soca.
"Nanti kalau sudah kutemukan adiku," kata Yayi lagi dalam hati, "Aku akan
mencari dia dan kubawa ke istana. Akan kuperkenalkan kepada Ayah dan ibu,
bahwa Mahendra Soca seorang penebang kayu yang
punya keberanian begitu besar. Ayah selalu
menyukai pemuda yang punya keberanian tinggi.
Dan kurasa Ayah tak akan marah jika kukatakan
bahwa aku tertarik dengan pemuda itu. Mungkin
Ayah memang tak akan marah, tapi bagaimana
dengan ibu" Karena agaknya Ibu lebih suka aku
bergaul dengan anak-anak bangsawan lainnya
ketimbang bergaul dengan pemuda dari rakyat
jelata! Ah, kurasa Ayah pasti mau menolongku
membujuk Ibu supaya tak marah padaku, jika aku
pulang membawa Mahendra...!"
Lewat dari pertengahan hari, ketika matahari
mulai bergeser ke arah barat, Rumah Busuk yang
menjadi Ladang Pertarungan itu sudah ramai
dikunjungi orang. Baik para peserta maupun para
penonton yang siap dengan uang taruhannya, telah
memenuhi ruangan lantai bawah yang dipakai untuk
Ladang Pertarungan. Mereka yang sudah mendaftar
sebagai peserta, dimasukkan ke dalam ruangan
khusus untuk para peserta. Tak heran jika di ruangan itu sering terjadi
perkelahian sebelum mereka saling bertanding di arena.
Daftar nama peserta yang akan menjadi
penantang si Wajah Hitam sudah tertera di sebuah
papan, di depan pintu masuk gedung itu. Mahendra
Soca ada di sana, karena dia memang sering
melihat pertarungan para peserta. Saat itu,
Mahendra Soca sedang pandangi papan
pengumuman nama-nama peserta, dan di dalam
nama-nama itu terdapat nama Gumarang dan
Abiyasa, "Kalau begitu apa yang dikatakan Yayi itu
memang benar adanya," pikir Mahendra Soca
dengan mulut terkatup. Kemudian ia segera
bergegas menuju ke jalanan yang menanjak, tak
seberapa jauh dari Rumah Busuk itu. Karena ia
melihat kuda putih sedang dipacu menuju ke
tempatnya berdiri. Dan kuda putih itu ditunggangi oleh seorang gadis cantik yang
tak lain adalah Yayi.
Mahendra Soca menyambut kedatangan gadis itu
dan ingin memberitahukan bahwa nama Abiyasa
memang ada di deretan nama-nama peserta.
"Hei, ternyata kau lebih dulu sampai di sini, Mahendra?"
"Ya. Karena aku tahu jalan pintas menuju tempat ini! O, ya... aku sudah lihat
nama-nama peserta yang tertulis di papan pengumuman itu. Ternyata nama
Abiyasa dan nama Gumarang memang ada di sana!
Kalau bisa, cepatlah kau menemui pengurus
pertarungan itu dan meminta agar nama Abiyasa
dicoret saja. Aku akan menjaga kudamu di bawah
pohon sana!"
"Celaka!" gumam Yayi dengan tegang. "Apakah pertarungannya sudah dimulai?"
"Entahlah. Tanyakan saja langsung pada mereka!"
* ** 4 SUARA gong ditabuh. Bongngng. .! Itulah tanda
pertarungan dimulai. Para penontonnya bersorak
memberi semangat kepada orang yang dijagokan.
Mereka yang bertaruh juga mulai berdebar-debar
memikirkan nasib uang taruhannya.
Tetapi Yayi sibuk mencari Luhito yang tadi berseru memanggil dua peserta untuk
mengawali pertarungannya. Yayi menembus jejalan manusia,
tanpa mempedulikan mereka yang bertarung di
arena. la berusaha mencapai tempat Luhito yang
sedang melayani percakapan dengan dua orang.
Tampaknya mereka sibuk mengatur pertarungan
demi pertarungan.
Kalau saja Yayi tidak terlambat datang,
barangkali ia bisa bicara bebas dengan Luhito atau Brahmana Gada. Sayang sekali
ia terlambat. Ketika
ia masuk ke gedung tua itu, pertarungan segera
dimulai. la bertanya kepada seseorang tentang siapa yang bertugas mengurus para
peserta, lalu orang itu memberi saran agar Yayi menemui orang yang
bernama Luhito dengan ciri pendek, botak, baju
putih, suara keras. Orang yang ditanya itu
menambahkan, "Tapi kurasa kau terlambat, Nona! Luhito
biasanya sudah tidak menerima peserta baru
apabila acara sudah dimulai. Tapi, yah. . coba
sajalah. Barangkali Luhito punya pertimbangan
dengan menghadirkan Nona di arena maka
acaranya akan tambah seru lagi!"
"Aku bukan ingin mendaftarkan diri sebagai
peserta, aku hanya ingin mencabut pendaftaran
adikku! Menurutmu, apakah bisa nama adikku
dicoret dari urutan nama peserta pertarungan ini?"
"Setahuku, nama yang sudah terdaftar, tidak bisa dicoret dan Luhito jarang mau
melakukan pembatalan. Tapi, coba sajalah!"
Cemas dan berdebar-debar hati Yayi saat
menembus jejalan manusia. Susah payah ia
menerobos sampai akhirnya berhasil juga tiba di
depan lelaki pendek yang cebol itu.
"Kurasa tidak bisa, Nona," kata Luhito setelah Yayi mengutarakan maksudnya.
"Kecuali pertarungan belum dimulai, nama-nama peserta
belum diumumkan, kau bisa mengusulkan untuk
mencoret nama adikmu itu! Tapi kalau nama-nama
mereka sudah diumumkan, kami tak mau
mengecewakan para penonton di sini!"
"Kalau begitu, aku ingin bertemu dengan Abiyasa saja!"


Pendekar Mabuk 020 Ladang Pertarungan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak bisa! Setiap peserta yang sudah masuk ke ruangnya, tidak boleh ditemui
oleh siapa pun! Takut ada kecurangan atau hal-hal yang tidak kami
inginkan! Tapi kalau kau mau mendaftar sebagai
peserta baru, masih ada kemungkinan untuk kami
masukkan ke ruang peserta. Nona bisa bertemu
dengan Abiyasa, tapi Nona tetap harus tampil
sebagai peserta di arena nanti!"
"Aku tidak mau mati konyol!"
"Kalau begitu, jadilah penonton supaya tidak mati konyol!" jawab Luhito yang
tinggi tubuhnya sebatas dada Yayi. Yayi hanya mendengus kesal, Luhito
segera berkata setelah sorak penonton semakin
meledak seru, "Maaf, aku tidak bisa temani kamu. Aku harus
kembali ke tengah arena untuk melanjutkan
pertarungan ini!" Dan Luhito pun segera bergegas ke tengah pertarungan yang
telah kotor oleh darah, dan sesosok mayat sedang diseret keluar oleh petugas
kebersihan, sementara petugas lainnya
membersihkan lantai berdarah.
Yayi bingung sendiri. Hatinya membatin, "Kalau kutantang mereka, pasti aku juga
akan mati konyol!
Jumlah orang-orangnya Brahmana Gada tidak
sedikit. Di samping itu, jika kubikin kacau tempat ini supaya pertarungan batal,
tentunya para penjudi itu akan mengamuk kepadaku, para peserta lainnya
pun akan menyerangku, karena aku dianggap
pengacau semangat mereka!"
Menurut Yayi, satu-satunya jalan harus bisa bicara langsung dengan Brahmana
Gada. Orang itulah yang
bisa membatalkan pertarungan Abiyasa. Perintahnya
lebih ditakuti oleh Luhito ketimbang ancaman
pedang tajam. Maka, Yayi pun berusaha mencapai
ke tempat Brahmana Gada yang sedang duduk dan
tertawa-tawa bersama tiga perempuan cantik.
Mereka sedang menunggu pertarungan berikutnya
dimulai. Di pertengahan jalan menuju tempat duduk
Brahmana Gada, Yayi berpapasan dengan seorang
penjaga keamanan di bagian lantai penonton. la
ditahan ketika hendak menuju ke tempat duduk
para undangan dan tamu-tamu terhormat.
"Aku mau temui dia. Brahmana Gada!"
"Untuk keperluan apa, Nona?" tanya orang tegap berkumis itu.
"Aku mau bicara dengan dia agar mau
membatalkan pertarungan untuk adikku!"
"Tidak bisa, Nona. Tuan Brahmana Gada pasti
akan marah dan merasa terganggu jika Nona datang
Pedang Pembunuh Naga 3 Tongkat Rantai Kumala Seruling Kumala Kim Lan Pay Karya Oh Chung Sin Bentrok Rimba Persilatan 16
^