Pencarian

Pembantai Raksasa 1

Pendekar Mabuk 056 Pembantai Raksasa Bagian 1


Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah lindungan undang-undang.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
Pembuat E-book:
Scan buku ke DJVU: Abu Keisel
Convert & Edit: Paulustjing
Ebook oleh: Dewi KZ
http://kangzusi.com
http://dewi-kz.info
http://www.tiraikasih.co.cc/
http://ebook-dewikz.com/
1 MAYAT hidup yang penuh belatung itu bergerak
lamban menuju tepian hutan. Mayat itu tak lain adalah mayat Resi Dirgantara yang
telah dibangkitkan kembali dari kuburnya oleh seorang tokoh aliran hitam yang
cantik dan bertubuh ramping. Perempuan yang bisa membangkitkan mayat dari
kuburnya itu tak lain adalah Ratu Sangkar Mesum; Penguasa Pulau Cumbu, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Kipas Dewi Murka").
Semasa hidupnya Resi Dirgantara adalah tokoh aliran putih yang ilmunya cukup
tinggi. Tapi setelah mendapat pengaruh gaib dari Ratu Sangkar Mesum, kebangkitan
mayatnya menjadi liar dan buas. Ia tak mengenal lawan maupun teman, mereka
diserang dengan membabi buta dengan tujuan untuk dibunuh. Mayat hidup itu
bagaikan tak suka melihat seseorang hidup dengan raga dan sukma secara utuh.
Karenanya, siapa saja yang ditemuinya selalu diserang dan dihancurkan.
Kali ini orang yang kepergok perjalanan si mayat hidup itu adalah seorang gadis
berjubah merah menyolok dengan baju dalamnya yang tanpa lengan itu berwarna
kuning gading. Rambutnya lurus sepundak bagian depan diponi rata. Hidungnya
bangir, matanya bundar, bibirnya ranum menggairahkan. Gadis itu berdada montok
dengan pinggul yang amat menggiurkan lawan jenisnya. Sayang sekali kecantikannya
itu berkesan angkuh dan jarang tersenyum, sehingga tidak setiap pemuda berani
mendekatinya. Gadis yang punya sifat tidak mudah percaya dengan omongan orang itu membawa
kendang kecil yang
dikalungkan memakai kain selendang merah. Kendangnya berukuran tiga jengkal, terbuat dari kayu coklat tua berukir. Kendang
itu yang menjadi ciri penampilannya sebagai murid Nyai Serat Biru yang dikenal
dengan nama si Gadis Dungu, walau nama aslinya adalah Indayani.
Pendekar Mabuk yang bernama Suto Sinting itu
sangat kenal dengan si Gadis Dungu, karena ia pernah membantu menyelamatkan
gadis itu dari ancaman maut para tokoh beraliran hitam. Indayani pernah diduga
sebagai tokoh muda yang akan menghancurkan aliran
hitam pada usia dua puluh lima tahun nanti, karena ia ditafsirkan sebagai gadis
Titisan Dewa Pelebur Teluh.
Penafsiran itu ternyata salah, karenanya ia diungsikan oleh sang Guru ke Puncak
Gunung Randu untuk
menghindari pertikaian akibat salah duga itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode : Titisan Dewa Pelebur Teluh").
Gadis Dungu itu keluar dari pengasingannya karena diutus oleh sang Guru untuk
menemui seorang tokoh tua yang namanya cukup kondang di dunia persilatan, yakni
Resi Pakar Pantun.
Tetapi perjalanannya terpaksa terhenti oleh kemunculan sosok mayat hidup yang seluruh tubuhnya berbelatung menjijikkan.
Secara tak langsung mayat itu telah menghadang langkahnya di tepian hutan. Gadis
Dungu tak mau melarikan diri walau sebenarnya dalam hatinya merasa jijik dan
ngeri melihat penampilan mayat yang tubuhnya telah hancur dan membusuk itu. Ia
beranikan diri untuk berhenti dengan hati membatin,
"Apa maksudnya makhluk asing ini menghadangku"
Agaknya ia tak bisa diajak bicara lagi. Tapi jika ia bermaksud tak baik padaku,
dengan sangat terpaksa aku akan menghancurkannya!"
Mayat hidup itu bergerak lebih mendekat lagi.
Langkahnya gontai dan menyebarkan bau busuk yang memuaikan perut.
Keangkuhan si Gadis Dungu itulah yang membuatnya tak mau pergi dari tempatnya
berdiri, ia bahkan berseru dengan nada membentak si mayat hidup itu.
"Apa maumu menghadangku, hah"! Mau minta dihancurkan"!"
"Krrrraaark... krrraakkh... gggrrhh...," hanya itu yang bisa keluar dari mulut
mayat hidup yang bagian bibirnya telah digerogoti belatung berjubel-jubel itu.
Gadis Dungu tak bisa mengenali wajah itu, sehingga ia tidak tahu bahwa mayat
tersebut adalah mayat Resi Dirgantara yang pernah dikenalnya semasa kecil. Resi
Dirgantara mempunyai adik bungsu: Nyai Serat Biru, sedangkan Nyai Serat Biru
adalah gurunya si Gadis Dungu. Seharusnya Indayani menaruh hormat kepada Resi
Dirgantara. Namun dalam keadaan tubuh dan wajah hancur begitu, si Gadis Dungu
tidak punya hasrat untuk menghormat kepada kakak dari gurunya itu.
"Gggrrhh... kaarrrh... kkhhaark...!" mayat hidup itu perdengarkan suaranya yang
serak dan tak jelas maksudnya sambil terus dekati si Gadis Dungu.
Setelah mereka dalam jarak lima langkah, tiba-tiba mayat hidup itu melayang
bagaikan terbang dengan jari-jari tangan yang berkuku panjang dan runcing itu
siap menerkam. Weeess...! Belatung-belatung berhamburan karena gerakan terbang
itu. Bola matanya yang putih rata bergerak-gerak dengan menyeramkan.
Indayani cepat sentakkan kakinya dan bersalto ke belakang dua kali setelah
sebelumnya mundur mencapai samping
pohon. Akibatnya mayat terbang itu menghantam pohon tersebut dengan keras. Prrrook...!
Krrraaakk... brrruuuuk!
Pohon itu tumbang seketika, batangnya yang sebesar
satu pelukan manusia dewasa itu patah karena terjangan mayat hidup tersebut. Si
Gadis Dungu terperanjat melihat kekuatan mayat hidup yang mampu mematahkan
batang pohon sebesar itu.
"Gila! Rupanya ia punya kekuatan yang cukup besar"! Oh, aku harus hati-hati
melawannya."
Sebagian daging yang membusuk ada yang jatuh
akibat benturan dengan batang pohon tadi, demikian juga belatung-belatungnya
berguguran. Namun bukan berarti semua belatung jatuh dari tubuhnya yang busuk,
karena dari dalam kebusukan itu masih tersisa ratusan belatung yang saling
berjubel-jubel. Mayat yang tangan kirinya telah buntung itu bagai tidak
mempunyai rasa sakit. Walau ia telah jatuh terpuruk karena benturan dengan
pohon, namun dalam waktu singkat ia telah bangkit kembali dan menggeram
mengerikan dengan gerakan kepala mencari di mana mangsanya berada.
Indayani segera menabuh kendangnya saat mayat itu mulai melangkah mendekatinya
lagi. Kendang kecil itu ditabuh dengan dua tangan dan keluarkan bunyi yang
nyaring didengar.
Dung plak, plak, dung, dung, plak.
Dung, plak, dung, dung!
Plak, dung-dung, plak dung-dung, plak-plak, bledug!
Suara gaib kendang membuat mayat akhirnya menari-nari dengan gerakan kaku.
Sesekali terdengar suara geramnya pertanda ia jengkel pada dirinya sendiri yang
sebenarnya tak mau menari. Tetapi karena suara gaib dari bunyi kendang itu
berlalu terus, semakin cepat
iramanya semakin cepat tariannya. Akhirnya mayat Resi Dirgantara itu
berjingkrak-jingkrak mengikuti irama kendang dengan tarian yang tak jelas aturan
geraknya. Dung, biang, dung, biang... plak.
Plak, plak, dung-dung.
Biang, piak dung, dung, plak, dung, dung.
Biang, biang, duuut... biang, biang, duuut...!
"Goyang terus sampai pagiii...!" ledek Indayani sambil tetap menabuh kendangnya
dengan irama cepat.
Mayat itu pun menari kian penuh semangat. Gerakannya tak beraturan lagi, kakinya
berjingkrak ke sana kemari, tangan kanannya berkelok-kelok tanpa mempunyai
gerakan gemulai. Kepalanya kadang menggeleng ke kiri-kanan, sesekali tersentak
ke depan, pinggul pun bergoyang lucu.
Ada suara tawa yang tersembunyi di balik pepohonan agak jauh. Suara tawa itu
mengikik pertanda datang dari mulut seorang gadis juga. Hanya saja, mulut mungil
gadis yang tertawa itu tiba-tiba terbekap sebuah tangan yang datang dari
belakangnya. Mau tak mau si gadis tak bisa mengikik geli melihat mayat hidup
menari dan bergoyang pinggul.
"Uuff... uuff...! Puih...!" gadis itu menyentakkan tangan yang membekapnya.
"Kenapa aku tak boleh tertawa" Orang berpenyakit kulit itu lucu. Sudah
penyakitan masih saja menari berjoget begitu mendengar suara kendang."
"Dia bukan orang berpenyakit kulit. Dia adalah mayat hidup."
"Hahh..."! Mayat"!" gadis berwajah mungil itu mendelik dan menjadi tegang.
"Mayat itu dibangkitkan dengan kekuatan gaib oleh seorang tokoh beraliran hitam,
tapi karena sudah tidak dikendalikan oleh kekuatan batin orang tersebut, maka
mayat itu hidup dengan liar."
"Oh, benarkah beg... begitu..."!" si gadis mulai gemetar. Wajah cantiknya segera
berubah pucat pasi.
Pemuda tampan yang mendampinginya tertawa
tertahan dan berkata dalam gumam,
"Yang jadi mayat di sana kok yang pucat di sini"!"
"Benarkah dia mayat hidup, Suto"!" tanya si gadis berpakaian kuning berbelahan
dada lebar. Gadis berambut lurus panjang sepunggung itu tak lain adalah Dewi
Kejora yang akrab dipanggil dengan nama Kejora saja. Sedangkan pemuda tampan
berbaju coklat tanpa lengan dengan celana putih itu adalah Pendekar Mabuk; Suto
Sinting, yang kemana-mana selalu membawa bambu bumbung tuak.
"Lalu... lalu siapa gadis penabuh kendang itu"
Apakah kau mengenalnya"!"
Pendekar Mabuk ingin menjawab, tapi mulutnya
hanya sempat ternganga, karena tiba-tiba ia mendengar suara ledakan yang cukup
mengejutkan. Jegaaar...! Pandangan matanya segera tertuju pada si Gadis Dungu yang akan disebutkan
namanya. Di sana terjadi ledakan yang mengepulkan asap sepintas. Pendekar Mabuk
tertegun sejenak melihat kenyataan yang ada di
depannya. Mayat hidup itu ternyata telah menjadi hancur dengan potongan-potongan
dagingnya menyebar ke mana-mana, menempel pada pepohonan serta daun-daun lebar.
Rupanya si Gadis Dungu telah menghantamnya dengan tenaga dalam bersinar biru
dari tangannya.
Pada saat si mayat berjoget dengan gerakan semakin cepat, kendali kekuatan
tenaga dalamnya pun terlepas.
Dan pada saat itulah Indayani menghantamnya dengan sinar biru yang mampu
menghancurkan baja. Pada saat itu juga mayat pun hancur menjadi berkeping-
keping. Jika kendali kekuatan tenaga dalam masih bekerja secara naluri, maka si mayat
hidup itu sukar dihancurkan dengan kekuatan tenaga dalam macam apa pun.
Pendekar Mabuk hanya bisa menggumam, "Celaka!
Gadis Dungu tak tahu siapa mayat itu, sehingga dengan seenaknya
menghancurkannya!"
"Siapa yang kau maksud Gadis Dungu?" tanya Kejora yang memang kecerdasannya
kurang. "Siapa lagi kalau bukan si penabuh kendang itu."
"O, jadi kau mengenalnya?"
"Ya, aku mengenalnya. Sebaiknya kita temui dia!"
Pemuda tampan berbadan kekar dan gagah itu segera membawa Kejora menemui si
Gadis Dungu. Kehadiran pemuda berambut lurus tanpa ikat kepala sepanjang pundak
itu membuat Indayani terperanjat girang.
"Oh, kau... kau Suto Sinting, bukan"!"
Pendekar Mabuk sunggingkan senyum menawan.
"Bukan. Aku adalah si Dogol!"
Suto Sinting memancing ingatan si Gadis Dungu
yang dulu tak mau percaya bahwa dirinya adalah Pendekar Mabuk bernama Suto
Sinting. Senyum geli mekar di bibir angkuh Indayani karena ingat dulu ia
memanggil Suto Sinting dengan nama si Dogol, karena ia tak mau percaya pengakuan
Suto Sinting tentang jati dirinya.
"Indayani, maukah kau kukenalkan dengan sahabat baruku ini?" ujar Suto Sinting
memperkenalkan Kejora kepada Indayani. Senyum si Gadis Dungu tiba-tiba lenyap
begitu memandang ke arah Kejora. Pandangan matanya berkesan sinis, sementara
Kejora sendiri juga memandang kurang bersahabat.
"Rupanya kau terlalu mudah terpikat oleh wajah yang tak seberapa cantik itu,
Dogol!" ucap Indayani dengan ketus.
Kejora segera bertanya kepada Suto Sinting dengan kepolosannya, "Apakah wajahku
kurang cantik, Suto?"
"Hmmm... eeh... anu...," Suto Sinting jadi salah tingkah, tak enak hati
mendengar ucapan Indayani tadi.
"Atau barangkali kau memang gemar bersahabat dengan gadis berwajah musang"!"
Kejora kembali bertanya kepada Pendekar Mabuk,
"Suto..., apakah wajahku ini mirip wajah musang?"
"Iya...!" jawab indayani dengan ketus sekali.
"Suto, musang itu seperti apa?"
"Ya seperti kamu itu!" sahut Indayani.
"O, kalau begitu musang itu cantik, ya"!"
"Hhhmmm...!"
Indayani buang muka sambil mencibir. Pendekar Mabuk buru-buru mengatasi suasana
tak akrab itu dengan mengalihkan pembicaraan.
"Ehhhmm... Indayani, mengapa kau keluar dari pengasinganmu?"
"Aku diutus oleh Guru untuk menemui Resi Pakar Pantun."
"Oh. Resi Pakar Pantun..."!" Suto Sinting kerutkan dahi sedikit. "Ada perlu apa
Nyai Serat Biru mengutusmu mencari Resi Pakar Pantun?"
Dengan dagu sedikit terangkat hingga tampak
angkuh, Indayani menjawab, "Guru ingin meminta bantuan Resi Pakar Pantun untuk
mengurus makam kakak sulungnya; Resi Dirgantara. Sebab, ada kabar yang didengar
oleh Guru bahwa jenazah Eyang Resi Dirgantara telah dibangkitkan seseorang. Guru
ingin meminta bantuan Resi Pakar Pantun untuk mengembalikan jenazah Eyang Resi Dirgantara ke makamnya. Menurut Guru, Eyang
Resi Dirgantara semasa hidupnya adalah sahabat Resi Pakar Pantun."
"Indayani...," ucap Suto Sinting agak ragu. Gadis itu memandang dengan angkuhnya
sebagai unjuk lagak di depan Kejora.
"Apakah... apakah kau tak tahu bahwa mayat yang kau
hancurkan itu adalah mayat Eyang Resi Dirgantara"!"
"Hahh..."!" Indayani terperanjat kaget, dahinya berkerut tajam, matanya
memandang lekat-lekat pada Suto Sinting.
"Aku bicara dengan sesungguhnya, Indayani. Mayat hidup itu adalah mayat Resi
Dirgantara yang
dibangkitkan kembali dari kuburnya oleh Ratu Sangkar Mesum untuk mengejar dan


Pendekar Mabuk 056 Pembantai Raksasa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membunuh Resi Pakar
Pantun. Tapi usaha itu sempat kugagalkan dan Resi Pakar Pantun sekarang berada
di pondoknya Nini Kalong."
Dengan mengangkat wajah sedikit Indayani berkata,
"Kau pikir aku percaya dengan bualanmu"!"
"Aku tidak membual. Kau boleh tanyakan sendiri kepada Resi Pakar Pantun."
"Hmmm...!" Indayani mencibir. "Indayani bukan gadis sebodoh gadismu itu. Aku tak
bisa kau tipu dengan kata-kata seperti itu."
"Mengapa kau tidak mau percaya dengan penjelasanku, Indayani" Aku sendiri pernah melawan mayat hidup itu!"
"Jangan sesumbar walau di depan gadis setengil dia, Suto!" sambil Indayani
menuding Kejora. "Kau tak akan mampu melawan kekuatan mayat hidup tadi. Hanya
akulah yang mampu menghancurkannya, dan kau sudah lihat sendiri buktinya!"
"Kalau aku mau sudah kuhancurkan sejak dulu. Tapi aku ingat bahwa dia adalah
mendiang kakak dari gurumu, jadi aku tak berani menghancurkannya. Aku berani
bersumpah apa pun, dia memang mayat Resi Dirgantara!"
"Persetan dengan sumpahmu! Urus saja gadismu yang pikun itu! Aku akan mencari
Resi Pakar Pantun!"
ketus Indayani semakin tajam, lalu tanpa permisi lagi ia melesat pergi
tinggalkan tempat itu. Pendekar Mabuk
hanya bisa geleng-geleng kepala sambil memandangi kepergian Indayani.
* * * 2 SETELAH berhasil membunuh orang kepercayaan si Raja Iblis alias Barakoak, dan
berhasil pula memporak-porandakan Candi Bangkai dengan hembusan napas badainya,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Utusan Raja Iblis"), Suto Sinting segera berunding kembali dengan ketiga kakak-
beradik cantik-cantik itu; Dewi Hening, Kejora, dan si kecil tengil Menik.
Perundingan itu menghasilkan putusan pembagian tugas; Dewi Hening pergi ke
Lembah Sunyi untuk temui Resi Wulung Gading dan menanyakan tentang keberadaan
pusaka leluhurnya yang bernama Panji-panji Agung alias Panji-panji Mayat.
Kepergian Dewi Hening, sang kakak sulung itu, didampingi oleh adik bungsunya
yang kecil dan tengil; Menik, yang selalu berlagak sok tua itu.
Sedangkan Pendekar Mabuk didampingi Kejora pergi ke Jurang Lindu untuk menemui
si Gila Tuak, guru Suto Sinting sendiri. Karena diduga si Gila Tuak juga
mengetahui tentang pusaka Panji-panji Agung yang menjadi pusaka warisan dari
leluhurnya tiga kakak-beradik itu. Karena menurut cerita Dewi Hening, eyang
buyutnya yang bernama Sabang Wirata, juga mendiang nenek mereka yang bernama:
Nyai Parisupit, adalah
bekas sahabat si Gila Tuak.
"Menurut cerita Nenek," kata Kejora sebelum mereka berbagi tugas, "Eyang Sabang
Wirata pernah ditolong oleh sahabatnya yang bernama Ki Sabawana saat
mempertahankan pusaka Panji-panji Agung dari tangan Gajahloka. Ki Sabawana
itulah yang sekarang dikenal dengan nama si Gila Tuak dan...."
"Gajahloka itu siapa?" potong Suto karena merasa asing dengan nama itu.
Dewi Hening yang menjawab pertanyaan tersebut dengan suara berbisik:
"Gajahloka adalah anak dari Eyang Kurupati.
Sedangkan Eyang Kurupati adalah saudara tiri Eyang Sabang Wirata termasuk
saudara seperguruan. Gajahloka mempunyai tiga anak, yang bungsu seorang
perempuan, dan perempuan itu adalah Ibu dari Barakoak."
"O, jadi Gajahloka adalah kakeknya Barakoak?"
"Benar,"
jawab Dewi Hening yang selalu menggunakan suara bisik karena suara lantangnya mempunyai kekuatan gaib yang
cukup dahsyat, berakibat buruk jika diperdengarkan.
"Sekarang bagaimana nasib Gajahloka" Apakah ia masih hidup?" tanya Suto Sinting.
"Kami tak pernah mendapat penjelasan tentang nasib Gajahloka sekarang ini,"
jawab Dewi Hening dalam suara desah membisik. "Barangkali gurumu si Gila Tuak
lebih tahu tentang Gajahloka ketimbang kami, Suto."
Dari hasil pembicaraan itulah maka mereka berpisah langkah. Sebenarnya si kecil
Menik ingin sekali ikut
bersama Pendekar Mabuk, tetapi Kejora ngotot bahwa dirinya yang harus ikut
mendampingi Pendekar Mabuk.
Si kecil Menik yang berotak cerdas dan sok tua itu sempat berdebat lucu dengan
Kejora, tapi akhirnya Dewi Hening memutuskan agar si kecil Menik ikut
bersamanya ke Lembah Sunyi menemui Resi Wulung Gading.
Namun perjalanan menuju tempat kediaman Gila
Tuak itu terhenti akibat berpapasan dengan langkah seorang lelaki berusia
sekitar empat puluh tahun. Orang itu berpakaian hijau tua, berbadan kurus dan
agak pendek, tanpa kumis dan jenggot, dengan rambutnya yang pendek hitam berikat
kepala putih. Pendekar Mabuk sangat kenal dengan orang tersebut yang tak lain
adalah pelayan dari Resi Pakar Pantun bernama si Kadal Ginting.
Lelaki yang tak cukup punya keberanian itu segera berlari menyongsong langkah
Suto Sinting dengan wajah tegang dan terengah-engah. Pendekar Mabuk sempat
berkerut dahi karena merasa heran melihat Kadal Ginting berjalan sendirian,
sementara Kejora sempat berlindung di belakang tubuh kekar Pendekar Mabuk karena
merasa takut melihat wajah jeleknya si Kadal Ginting.
"Beruntung sekali aku bisa bertemu denganmu, Suto!"
"Biasanya kau mendampingi tuanmu; Resi Pakar Pantun, tapi mengapa sekarang kau
sendirian, Kadal Ginting"!"
"Itulah kebingunganku, Suto," jawab Kadal Ginting dengan wajah mulai tampak
tenang, karena merasa bertemu dengan tokoh sakti yang dapat melindunginya
sewaktu-waktu dan bisa diharapkan bantuannya. Tetapi begitu Kadal Ginting
mengetahui bahwa Pendekar Mabuk bersama seorang dara cantik jelita, rasa
takutnya itu semakin ditekan habis dan dipaksakan agar tak tampak sama sekali,
ia malu kepada sang dara cantik jika kelihatan jiwa pengecutnya. Ia tak tahu
bahwa Kejora pun seorang gadis yang mudah dicekam perasaan takut.
Dengan sedikit lebih tegas lagi, Kadal Ginting menyambung ucapannya yang tadi
terhenti karena matanya melirik Kejora.
"Aku terpisah dengan Eyang Resi sejak pertarungan dengan pihak Ratu Sangkar
Mesum. Sampai sekarang aku tak pernah berhasil menemukan Eyang Resi. Apakah kau
mengetahui di mana beliau sekarang, Suto" Soalnya upah bulananku untuk bulan ini
belum kuterima dari beliau."
Pendekar Mabuk sunggingkan senyum geli. Ia
teringat peristiwa pertemuannya dengan Resi Pakar Pantun saat sang Resi dikejar-
kejar Ratu Sangkar Mesum, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Kipas Dewi Murka"). Maka kisah itu pun dituturkan oleh Pendekar Mabuk dan Kadal
Ginting segera ajukan tanya,
"Kalau begitu, apakah sampai sekarang Eyang Resi masih ada di pondoknya Nini
Kalong?" "Mungkin saja masih di sana, tapi mungkin juga
sudah pergi. Aku tak bisa pastikan, Kadal Ginting.
Tetapi seandainya Resi Pakar Pantun sudah tidak ada di Hutan
Rawa Kotek, kau bisa tanyakan arah kepergiannya kepada Nini Kalong; si Penguasa Hutan Rawa Kotek itu."
Kadal Ginting ingin bicara lagi, tapi tiba-tiba tubuhnya mengejang dan kaku.
Matanya mendelik dan mulutnya ternganga bagai tak bisa bernapas lagi.
"Suto, kenapa dia"!" Kejora menjadi tegang dan matanya ikut terbelalak kaget.
Zlaaap, zlaaap...! Pendekar Mabuk melesat dengan cepat bagaikan menghilang, ia
menggunakan jurus
'Gerak Siluman' yang kecepatannya melebihi kecepatan anak panah itu. Ia
berkelebat menuju kerimbunan pohon di sebelah selatan, karena ia tadi sempat
melihat sekelebat warna putih kemliau menerjang punggung Kadal Ginting yang
berjarak tiga langkah dari depannya itu. Warna putih kemilau itu datangnya dari
balik semak sebelah selatan.
Namun usahanya mencari penyerang gelap tak
berhasil. Pendekar Mabuk cepat kembali ke tempat semula untuk memeriksa keadaan
Kadal Ginting. "Ooh..."!" alangkah terkejutnya Pendekar Mabuk ketika kembali ke tempat semula
ternyata Kejora sedang terancam bahaya.
Seorang perempuan cantik sedang menodongkan
sebilah pedang ke leher Kejora. Tubuh gadis itu berada merapat dengan pohon dan
kepalanya sedikit terdongak, ia tak berani berteriak, bahkan bergerak sedikit
pun tak berani dilakukan. Perempuan yang menodongkan sebilah pedang itu memandangi Suto
Sinting dengan pandangan cukup tajam, senyum sinis tampak mekar di bibirnya yang
sedikit tebal namun menggiurkan itu. Sedangkan si Kadal Ginting dalam keadaan
tertelungkup tak sadarkan diri. Di punggungnya menancap kuat sebuah benda logam
putih mengkilat anti karat berbentuk mata tombak.
"Siapa perempuan itu?" pikir Suto Sinting dalam hati.
"Seingatku baru sekarang aku bertemu dengannya.
Hmmm... tak jelas siapa yang dimusuhinya antara aku, Kejora, dan si Kadal
Ginting. Tapi mengapa ia pergunakan Kejora sebagai sandera" Agaknya ia ingin
bicara denganku."
Pendekar Mabuk masih tetap tenang dengan
pandangan mata tak mau lepas dari seraut wajah cantik berpakaian seronok.
Perempuan itu hanya mengenakan kutang dari kain warna hijau disulam benang emas.
Kain penutup dada yang montok itu sangat kecil, hingga seolah-olah menutup
bagian ujung seperlunya saja. Kain kutangnya yang melingkar ketat ke belakang
itu terbuat dari rantai kuning emas.
Pakaian bawahnya kain hijau berbelahan empat, tinggi belahan sampai ke bawah
pinggulnya. Jika bergerak kain itu menyingkap hingga tampak kulit pahanya
menantang hasrat bagi lawan jenisnya. Kulit bertubuh sekal itu tampak halus
mulus berwarna kuning langsat. Namun pada bagian atas payudaranya yang kiri
tampak terdapat sebuah tato bergambar seekor naga
berukuran sejengkal.
"Apa maksudmu mengancam sahabatku itu, Nona"!"
sapa Suto Sinting kepada perempuan berusia sekitar dua puluh lima tahun itu.
"Aku menuntut kematian pamanku. Kudengar kabar dari para korban yang selamat,
Pendekar Mabuk itulah orang yang membunuh pamanku. Dan kau adalah
Pendekar Mabuk yang memihak keluarga Dewi Hening, bukan"!"
"Siapa pamanku itu, Nona"!'
"Badai Kutub!" jawab gadis itu dengan tegas.
Matanya yang berkesan jalang memandang nanar, namun masih tampak sinar penggoda
dari pandangan mata itu. Agaknya perempuan berambut mekar terurai dan berbentuk
ikai bergelombang itu punya maksud sendiri dari tatapan matanya. Nyaris tak
terlihat sinar kebencian walau sikapnya bermusuhan kepada Pendekar Mabuk.
Ketika Suto Sinting ingin memeriksa keadaan Kadal Ginting, tiba-tiba perempuan
yang masih tampak muda dan cantik sekali itu menghardik dengan suara keras,
"Jangan melangkah lagi!"
Maka Suto Sinting pun tak jadi melangkah.
"Satu langkah lagi kau maju, leher Kejora kurobek dengan pedangku ini!" ancamnya
penuh kesungguhan, karena genggaman tangannya pada pedang tampak mengencang.
"Lalu apa maksudmu menyerang Kadal Ginting dan menyandera Kejora, Nona?"
"Kau harus menebus kematian pamanku; si Badai Kutub. Sebab dialah yang
memelihara aku sejak kedua orangtuaku tiada saat aku berusia empat tahun!"
"Aku tak melihat dendam di matamu. Apa yang ingin kau tuntut dariku sebenarnya"
Tuntutlah aku dan lepaskan Kejora!"
"Tidak bisa! Gadis ini akan kubunuh jika kau tak mau menuruti permintaanku."
"Apa permintaanmu?" desak Suto Sinting sambil matanya memperhatikan gerakan
tangan perempuan itu.
Tangan yang tak berpedang itu mengambil sesuatu dari dalam kutangnya, kemudian
sesuatu itu dilemparkan kepada Suto Sinting dan dengan cepat Suto Sinting
menangkapnya. Wuuut...!
Ternyata sesuatu yang dilemparkan itu adalah obat berbentuk butiran kecil
sebesar kotoran kambing, berwarna hitam dan berbau rempah-rempah. Perempuan muda
berhidung mancung itu berseru kembali kepada Suto Sinting.
"Telan obat itu, jika tidak maka pedangku ini akan menembus leher gadismu ini!"
"Jaaa... jaaa... jangan...!" Kejora ketakutan sekali, wajahnya pucat dan
keringat dinginnya mengalir.
Pendekar Mabuk pandangi obat itu dalam kebimbangan, ia menatap perempuan berdada besar itu dan ajukan tanya dengan
sikapnya tetap tenang.
"Obat apa ini?"
"Telan saja, dan kau akan mati dengan tenang tanpa merasakan sakit sedikit pun."
"Mengapa kau tidak membunuhku saja"!"
"Terlalu sulit membunuh seorang pemuda tampan berbadan gagah sepertimu!"
jawabnya dengan nada tegas tapi mempunyai kesan pujian yang tersembunyi. Suto
Sinting akhirnya sunggingkan senyum tipis pada perempuan itu.
"Jadi kau takut bertarung denganku?"
"Ilmuku tak setinggi ilmumu, jelas aku akan kalah.
Tapi dengan cara begini maka kau akan mati tanpa harus kujamah dengan pedangku!"
Pendekar Mabuk pandangi tubuh Kadal Ginting
sesaat. Luka yang ditembus senjata rahasia itu mulai berasap. Sejenis racun
berbahaya mulai bekerja dan sangat membahayakan bagi keselamatan jiwa Kadai
Ginting. Seharusnya pelayan sang Resi itu segera diberi minuman tuak sakti yang
ada di bumbung bambu
bawaan Suto, tetapi agaknya perempuan berbibir ranum menggiurkan itu tidak ingin
Suto lakukan pengobatan kepada si Kadal Ginting.
"Orang yang kau serang dengan senjata rahasiamu ini tidak ikut campur dalam
pertarunganku dengan si Badai Kutub, mengapa ia kau serang juga" Rasa-rasanya
kurang bijaksana jika kau tidak bebaskan si Kadal Ginting ini dari pengaruh
racun senjata rahasiamu itu."
"Jangan banyak bicara! Telan obat dariku itu!" sentak perempuan tersebut dengan
mata melebar. "Akan kuturuti tuntutanmu, tapi aku harus selamatkan orang tak berdosa ini lebih
dulu." "Tak ada yang bisa selamatkan orang yang sudah
terkena senjata 'Lidah Malaikat'-ku itu, karena racunnya tak bisa disembuhkan
oleh siapa pun kecuali oleh diriku sendiri!"
"Apakah kau yakin hanya kau yang bisa menawarkan racun itu" Bagaimana jika
kubuktikan bahwa aku mampu membuat tawar racun dalam senjata 'Lidah Malaikat'-mu
itu"!"
Untuk sesaat suasana menjadi hening. Perempuan itu agaknya mempertimbangkan
kata-kata Suto Sinting.
Rasa ingin tahunya mulai terpancar dari gerakan matanya yang sebentar-sebentar
tertuju pada tubuh Kadal Ginting.
"Barangkali kau ingin mengetahui bagaimana seseorang mampu mengalahkan kekuatan
racun dalam senjata rahasiamu itu"! Kau akan mendapat pengalaman yang amat
berharga jika ternyata aku benar-benar bisa menyelamatkan Kadal Ginting dari
racunmu!" "Omong kosong! Selama ini tak pernah ada korban yang bisa selamat dari racun
'Lidah Malaikat', kecuali orang itu segera kuberi penawarnya."
Senyum kalem Suto Sinting tampak mekar tipis, sengaja menggoda ketegaran hati
perempuan bertato naga itu. Lirikan mata Suto Sinting pun tampak mengganggu
ketenangan dan membuat hati

Pendekar Mabuk 056 Pembantai Raksasa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

si perempuan berdebar-debar tak karuan.
"Baiklah, kuizinkan kau mencobanya! Aku ingin tahu seberapa jauh kemampuanmu
dalam menghadapi racun pada senjata 'Lidah Malaikat'-ku itu!"
Akhirnya pendekar tampan itu mencabut senjata
rahasia yang telah menancap di punggung Kadal Ginting. Senjata yang terbentuk
menyerupai mata tombak itu melesat keluar dari punggung Kadal Ginting dengan
cara telapak tangan Pendekar Mabuk ditepukkan di samping luka. Ploook...!
Wuuuut...! "Gila! Dia mampu membuat senjataku melesat dari tubuh korban hanya dengan
menepuk bagian tepi lukanya. Pasti ia kerahkan tenaga dalamnya untuk membuat
sentakan hingga mementalkan sen-jata 'Lidah Malaikat'-ku," pikir sang keponakan
Badai Kutub itu.
Dan lebih menakjubkan lagi, ternyata senjata yang melesat ke atas itu menancap
kuat pada dahan sebuah pohon yang cukup keras. Jrrub...! Lalu, daun-daun pohon
itu pun berguguran sebagian. Weeerr...!
"Edan...!" gumam batin perempuan yang kelihatan pusarnya itu.
Selama Pendekar Mabuk mengobati Kadal Ginting, perempuan itu memperhatikan
dengan hati menyimpan perasaan kagum atas kesaktian si murid sinting Gila Tuak
itu. Pengobatan itu dilakukan Suto bukan dengan menggunakan jurus 'Sembur
Husada' melainkan dengan cara memaksa mulut Kadal Ginting agar terbuka, lalu
sedikit demi sedikit tuak dalam bumbung dituangkan ke mulut itu. Agar tuak
tertelan, kepala Kadal Ginting diguncang-guncangkan sampai akhirnya orang itu
tersedak dan terbatuk-batuk. Kadal Ginting siuman kembali, namun luka di
punggungnya belum sempat mengering.
Pendekar Mabuk membiarkan tubuh Kadal Ginting
masih terkulai lemas dalam keadaan telungkup, ia yakin sebentar lagi racun yang
telah terlanjur masuk ke dalam tubuh Kadal Ginting akan lenyap dan lukanya akan
hilang pula. Sambil menunggu Kadal Ginting sehat kembali, Pendekar Mabuk mulai
pandangi si perempuan yang masih menodongkan pedangnya ke leher Kejora.
"Siapa namamu sebenarnya"!" tanya Suto Sinting dengan berdiri dalam jarak lima
langkah di depan perempuan itu.
"Kau tak perlu, heeeeggh...!"
"Aaaaa...!"
Tiba-tiba perempuan itu mengejang kaku dengan napas terhenti sesaat, matanya
terbeliak dengan kepala terdongak ke atas. Pedangnya pun terlepas dari genggaman
dan jatuh ke tanah. Hal itulah yang membuat Kejora menjerit dengan wajah sangat
ketakutan. Rupanya ada seseorang yang menyerangnya dari
belakang dengan menggunakan jurus totokan jarak jauhnya. Pendekar Mabuk
terkesiap ketika memandang ke arah pepohonan di belakang perempuan tersebut.
Sedangkan Kejora sudah lebih dulu berlari menghamburkan diri dan memeluk Suto Sinting. Saat Pendekar Mabuk menerima
pelukan Kejora itulah orang yang melepaskan totokan dari jarak jauh muncul dari
balik pepohonan. Lompatannya yang cepat bagaikan angin berhembus menandakan
ilmunya cukup tinggi.
Wuuut...! Jleeeg..!
Dengan cepat Suto Sinting langsung mengenali
seorang pemuda tampan berompi dan bercelana hijau,
lebih muda dari warna hijaunya perempuan yang mengaku keponakan dari Badai Kutub
itu. Kejora sendiri terperanjat kagum memandangi pemuda berkulit kuning bersih
dengan rambutnya yang panjang digulung di tengah, sisanya dibiarkan meriap
dengan gemulai.
Pemuda berpedang sarung perak di pinggangnya itu sunggingkan senyum menawan ke
arah Suto Sinting.
Tetapi pancaran matanya sempat berkelebat ke arah Kejora, hingga hati Kejora
merasa berdesir indah menerimanya.
"Darah Prabu..."!" sapa Suto Sinting bernada penuh persahabatan. Keramahannya
pun mengembang lebih ceria lagi ketika pemuda yang bernama Darah Prabu itu kian
melangkah mendekatinya.
"Buanglah obat itu. Kalau kau menelannya kau bukan mati, tapi menjadi gila
cumbuan." Ia tertawa pelan seperti orang menggumam.
Suto Sinting hanya tertawa kecil pula. "Obat itu sudah kubuang sejak tadi, saat
aku mengobati si Kadal Ginting," sambil mata Pendekar Mabuk melirik ke arah
Kadal Ginting. Pelayan Resi Pakar Pantun itu mulai menggeliat bangun. Bekas
lukanya telah lenyap dan rapat kembali seperti sediakala, seakan ia tak pernah
mengalami luka yang mengepulkan asap seperti tadi.
"Kasihan dia, tak tahu masalahnya hampir menjadi korban tingkahnya Peluh
Setanggi," Darah Prabu melirik ke arah si keponakan Badai Kutub itu.
"O, dia bernama Peluh Setanggi"!"
"Aku sedang memburunya," jawab Darah Prabu.
"Alangkah beruntungnya kau mempunyai buronan cantik seperti dia. Darah Prabu."
Pria tampan yang usianya lebih muda dari Suto Sinting itu hanya tertawa kecil
tak berkesan urakan.
Darah Prabu memang terdidik untuk menjadi seorang pemuda yang punya penampilan
terhormat, sebab dia adalah murid dari Resi Badranaya, tokoh sakti aliran putih
yang cukup disegani di rimba persilatan. Pendekar Mabuk bertemu dengan Darah
Prabu yang merupakan adik dari Pinang Sari, murid Nini Pucanggeni saat mereka
terlibat perkara sebuah pusaka yang merupakan satu-satunya senjata untuk
mengalahkan si pemakan daging manusia itu; Gandapura, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode : "Kapak Setan Kubur").
"Apakah dia memang keponakannya si Badai Kutub?" Kejora memberanikan diri
bertanya kepada Darah Prabu.
"Memang, tapi dia bukan murid dari Badai Kutub.
Dia tidak punya warisan ilmu apa pun dari Badai Kutub," jawab Darah Prabu dengan
tatapan mata lembutnya terarah terus ke wajah mungil Kejora.
"Lalu, persoalan apa yang membuatmu memburu Peluh Setanggi?" tanya Suto Sinting,
dan Darah Prabu hanya tersenyum-senyum, agaknya ia ragu untuk menceritakan
perkara sebenarnya. Pendekar Mabuk sempat berpikir,
"Mengapa ia ragu menceritakan perkaranya dengan Peluh Setanggi" Ada rahasia apa
sebenarnya yang harus ia sembunyikan di depanku?"
* * * 3 BEGITU tegangnya Darah Prabu ketika mengetahui Peluh Setanggi lenyap dari
tempatnya. Sekelebat bayangan melintas bagaikan cahaya, menyambar Peluh Setanggi
dan membawanya pergi ke arah utara. Saat itulah mereka menjadi terkesima
sejenak, lalu Darah Prabu pergi berkelebat tanpa pamit pada siapa pun.
Weeeess...! "Dia melarikan diri, Suto!" ujar Kejora dengan wajah tampak sedikit tegang.
"Darah Prabu bukan melarikan diri, tapi mengejar buronannya!" Pendekar Mabuk
meluruskan pendapat Kejora.
Kadal Ginting ikut menimpali, "Kelihatannya Darah Prabu sangat ketakutan. Takut
kalau buronannya dilarikan jauh-jauh oleh seseorang."
"Aku bisa merasakan kecemasan Darah Prabu. Tapi aku tak bisa mengerti mengapa
Darah Prabu sangat khawatir akan keadaan buronan cantiknya itu," ujar Pendekar
Mabuk. "Bukankah kudengar tadi Darah Prabu menyebutkan nama Peluh Setanggi"!"
"Perempuan yang menodongmu dengan pedang tadi yang bernama Peluh Setanggi."
"Kuingat seseorang yang menjadi guru dan mempunyai murid bernama Peluh Setanggi."
"Siapa orang itu"!" Pendekar Mabuk berkerut dahi sambil menatap Kejora.
"Hmmm... ah, sayang aku lupa nama orang itu,"
jawab Kejora berkesan plin-plan.
"Tadi katanya ingat seseorang yang punya murid Peluh Setanggi, sekarang mengaku
tak ingat namanya"!
Bagaimana kau ini sebenarnya, Nona"!" Kadal Ginting menggerutu sambil bersungut-
sungut. Rupanya Kadal Ginting menjadi segar dan otaknya terasa sedikit cerdas
sejak meminum tuak Suto Sinting tadi. Kini ia justru ajukan usul kepada Pendekar
Mabuk, "Bagaimana jika kita ikuti jejak pelarian Darah Prabu?"
"Aku baru mempertimbangkan
begitu," kata Pendekar Mabuk, lalu ia menenggak tuaknya beberapa teguk.
"Aku jadi penasaran dengan si Peluh Setanggi itu.
Aku ingin membalas melukainya, karena aku tak punya salah padanya tapi dilukai."
"Kalau tujuanmu hanya untuk membalas dendam, kusarankan lebih baik kau segera ke
Hutan Rawa Kotek dan menemui Nini Kalong. Kau akan bertemu dengan tuanmu; Resi
Pakar Pantun!"
Kadal Ginting mengeluh pelan, wajahnya tampak murung, ia merasa dilarang oleh
Pendekar Mabuk dan jiwa patuhnya masih membekas di hati, sehingga ia tak berani
menentang saran Pendekar Mabuk. Akhirnya ia segera pergi ke Hutan Rawa Kotek
setelah mendapat
pengarahan dari Suto Sinting tentang jalan menuju Hutan Rawa Kotek.
Si cantik mungil Kejora ajukan tanya kepada Suto Sinting, "Apakah kita juga akan
pergi ke Hutan Rawa Kotek"!"
"Untuk apa kita ke sana?"
"Untuk melihat apakah orang yang bernama Resi Pakar Pantun itu masih ada di
sana" Karena aku ingin meminta bantuannya untuk membuatkan sebuah pantun
percintaan."
"Oh, kau sedang jatuh cinta"!" Suto Sinting tersenyum menggoda.
"Tidak, aku tidak sedang jatuh cinta. Aku hanya sedang mencoba untuk mencintai
seseorang."
"Siapa orang yang ingin kau cintai itu?" desak Suto Sinting dengan terang-
terangan. "Orang tadi yang ingin kucintai."
"Maksudmu, si Kadal Ginting, pelayan sang Resi itu?"
"Uuuuhf...!" Kejora bersungut-sungut. "Untuk apa mencintai orang setua dia" Aku
ingin jatuh cinta kepada pemuda sahabatmu tadi, hhmmm... siapa namanya pemuda
tadi itu"!"
"Darah Prabu?"
"O, ya.... Itulah nama orang yang ingin kucintai.
Apakah kau sakit hati jika aku tertarik kepada Darah Prabu"!" tanyanya dengan
polos. Suto Sinting gelengkan kepala. "Kau bebas jatuh cinta kepada siapa pun. Tapi
sebaiknya selesaikan dulu
urusan kita tentang pusaka leluhurmu itu."
"Kalau kuselesaikan dulu nanti Darah Prabu sudah dijatuhi cinta oleh gadis lain
lebih dulu. Nanti aku tidak dapat tempat di hati Darah Prabu."
Tawa si murid sinting Gila Tuak terdengar
memanjang walau bernada rendah, ia menertawakan kepolosan Kejora yang bagai tak
mengenal rasa malu mengungkapkan isi hatinya.
"Aku akan menyusulnya, Suto. Tapi ke mana aku harus menemui Darah Prabu"!"
"Yang jelas dia pergi ke arah utara."
"Jika begitu aku harus mengejarnya ke utara atau ke selatan"!"
"Ke timur!" jawab Suto Sinting dengan agak dongkol mendengar pertanyaan bodoh
itu. Tetapi Kejora tidak merasa tersinggung dan segera bergegas ke timur. Mau
tak mau Suto Sinting segera mencegahnya dengan melompat tinggi dan bersalto satu
kali. Ia mendarat tepat di depan langkah Kejora.
"Kau ini bodohnya bersusun-susun," kata Suto Sinting. "Mengapa kau mengejar
Darah Prabu ke timur?"
"Bukankah arah timur adalah arah yang kau sarankan?"
"Aku tadi hanya jengkel dengan pertanyaanmu.
Sudah tahu perginya ke arah utara, ya tentu saja mengejarnya ke arah utara, tak
perlu ditanyakan kemana kau harus mengejarnya"!"
"O, kalau begitu aku harus pergi ke utara sekarang
juga." "Aku akan mendampingimu!"
"Tak perlu, aku hanya ingin berdua dengan Darah Prabu. Aku ingin menikmati
ketampanannya dan
senyuman menggodanya tadi. Kalau kau ikut denganku, aku malu memandanginya."
"Aku akan tutup mata jika kau sudah bertemu dengan Darah Prabu! Yang jelas aku
harus menjagamu karena urusan pusaka leluhurmu masih kutangani."
Akhirnya mereka pergi ke utara menyusul pengejaran Darah Prabu. Kecepatan lari
mereka tak seimbang dengan
kecepatan gerak Darah Prabu. Namun seandainya tanpa Kejora, tentunya Pendekar Mabuk dapat mengejar Darah Prabu
dengan menggunakan jurus
'Gerak Siluman'-nya. Jika saat itu Pendekar Mabuk gunakan jurus 'Gerak Siluman',
maka Kejora akan tertinggal jauh dan mungkin akan tersesat arah.
Di tepi sungai yang menyerupai padang batu itu mereka temukan Darah Prabu dalam
keadaan terkapar.
Kejora memandang dengan penuh kecemasan, wajahnya tampak tegang sekali. Pendekar
Mabuk memperhatikan luka di dada Darah Prabu. Luka itu membekas telapak tangan
berjari empat dengan warna ungu.
Darah Prabu bagaikan mati dalam keadaan kedua tangannya terentang, tubuhnya
telentang di atas sebuah batu besar setinggi dada. Agaknya telah terjadi
pertarungan antara Darah Prabu dengan seorang berilmu tinggi yang mempunyai
jurus sakti, membuat dada Darah Prabu membekas telapak tangan berjari empat
warna ungu. "Sepertinya Darah Prabu tak sempat memberi perlawanan," gumam Suto Sinting di
samping Kejora, matanya masih memandangi keadaan murid Resi
Badranaya itu. "Darah Prabu belum sempat mencabut pedangnya, ia sudah terkena
pukulan sakti yang mungkin sukar dihindari."
"Apakah dia... oh, Suto... tolong periksalah apakah dia sudah tak bernyawa"!"
Pendekar Mabuk menekan leher Darah Prabu bagian samping dengan telunjuknya, ia
masih merasakan denyut nadi yang sangat kecil. Denyut nadi itu juga amat lemah,
tidak seperti seseorang yang dalam keadaan sehat.
"Ia masih bernyawa, Kejora. Tetapi lukanya sangat parah dan membuatnya sukar
bernapas. "Tap... tapi ia masih punya sisa napas?"
"Masih," jawab Pendekar Mabuk sambil bangkit dari jongkoknya. Matanya memandang
sekeiillng dengan cepat, mencari kemungkinan si lawan Darah Prabu masih di
sekitar tempat itu. Ternyata kemungkinan tersebut tak ada.
"Lawannya pasti telah pergi," ujar Suto Sinting pelan sekali.
"Siapa lawannya yang membuat ia sampai begini, Suto?"
"Mana aku tahu"! Bukankah aku dan kau baru saja tiba di sini"!"
Kejora diam sebentar, memandang penuh kecemasan namun tak berani menyentuh tubuh
Darah Prabu. Kejap berikutnya ia perdengarkan suaranya yang polos dan lugu itu, "Dapatkah kau
menyembuhkan lukanya, Suto?"
"Akan kucoba!" gumam Suto Sinting sambil menarik napas. "Tapi kurasa tempat ini
tidak aman bagi kita.
Darah Prabu harus dibawa ke suatu tempat yang lebih aman lagi."
"Bagaimana jika kita cari sebuah gua untuk merawat Darah Prabu"!"
"Apakah di sekitar sini ada gua"!"
"Seingatku di balik bukit yang kelihatan dari sini ada gua tempat peristirahatan
para pengembara."
"Apakah kau pernah ke sana?"
"Belum," jawabnya dengan jujur dan polos tapi justru mendongkolkan hati Pendekar
Mabuk. Hanya saja Pendekar Mabuk segera dapat memaklumi kepolosan dan kebodohan
itu karena memang demikianlah keadaan pribadi si cantik yang punya nama lengkap
Dewi Kejora itu.


Pendekar Mabuk 056 Pembantai Raksasa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sewaktu aku dan Menik berada di sekitar sini, Menik pernah bilang bahwa di
balik bukit itu ada gua untuk peristirahatan para pengembara. Apakah kau tak
ingin mencoba membawa Darah Prabu ke balik bukit itu"!"
"Tak ada salahnya untuk mencoba ke sana!" ujar Pendekar Mabuk, kemudian ia
bergegas mengangkat tubuh Darah Prabu.
Tetapi tiba-tiba mereka mendengar suara seseorang bicara di belakang mereka,
"Jiwanya tak akan tertolong lagi!"
Mereka berdua terkejut dan segera palingkan wajah ke belakang. Ternyata di atas
sebuah batu yang tingginya sebatas perut telah berdiri seorang kakek berambut
putih pendek lurus. Tokoh tua itu mengenakan baju dan celana abu-abu, badannya
kurus dan agak pendek, gigi depannya tinggal dua.
"Tua Bangka..."!" Pendekar Mabuk menyapa dengan heran, karena tak disangka-
sangka ia bertemu lagi dengan tokoh sakti yang sedikit slebor, pemilik sebuah
pusaka yang dulu pernah diperebutkan dan Suto Sinting berada di pihak si tokoh
tua itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Kapak Setan Kubur").
Tua Bangka melompat dari tempatnya ke batu tempat Darah Prabu terkapar dalam
keadaan luka dalam itu. Ia pandangi luka membekas tangan berjari empat di bagian
dada bidang Darah Prabu itu. Lalu, terdengar suara gumamnya yang pelan namun
memanjang. "Hmmm...," ia manggut-manggut sesaat. "Sudah kuduga, ia terkena jurus beracun
yang bernama jurus
'Tapak Ungu', dan hanya satu orang yang memiliki jurus
'Tapak Ungu' itu."
"Siapa orang tersebut, Tua Bangka"!" tanya Pendekar Mabuk dengan rasa ingin
tahunya sangat besar.
"Siapa lagi kalau bukan Nyi Mas Gandrung Arum."
Pendekar Mabuk pandangi si Tua Bangka yang
bernama asli Ki Sanupati itu. Pandangan mata Suto Sinting mengandung keheranan,
dan si Tua Bangka mengetahui
maksud pandangan mata yang membutuhkan penjelasan itu. Maka si Tua Bangka pun perdengarkan kembali suara
tuanya sambil sesekali matanya memandang ke arah Suto sesekali ke arah Darah
Prabu yang ada di bawahnya.
"Nyi Mas Gandrung Arum adalah tokoh aliran hitam yang menjadi penguasa Bukit Esa
di daerah Pantai Tawar, ia seorang pendeta perempuan dari aliran hitam yang
menguasai ilmu 'Tapak Ungu', sebuah ilmu tenaga dalam beracun tinggi yang cara
penggunaannya dengan memukul bagian tubuhnya sendiri. Jika ia berhadapan dengan
seorang lawan, lalu ia memukul dadanya sendiri, maka dada si lawan yang terkena
pukulan itu dan tak dapat ditangkis maupun dihindari lagi."
Kejora memberanikan diri ajukan tanya kepada si Tua Bangka, "Apakah... apakah
dia ada hubungannya dengan perempuan cantik itu, Pak Tua"!"
"Perempuan cantik yang mana" Semua muridnya adalah perempuan cantik. Sebab Nyi
Mas Gandrung Arum mempunyai ramuan pengawet kecantikan dan mantra awet mudanya
diajarkan pada setiap muridnya."
"Maksudku, perempuan yang tadi menodongkan pedang padaku itu, Pak Tua."
Tua Bangka memandangi Kejora dengan bingung.
"Wajahmu cantik sekali tapi bicaramu membingungkan orang seusiaku, Nona. Usiaku
bisa menjadi lebih pendek jika terlalu sering bicara denganmu."
Pendekar Mabuk tertawa kecil dan pendek. "Maksudnya, seorang perempuan cantik yang berpakaian seronok. Tadi kami diserang
oleh perempuan itu yang
menurut Darah Prabu bernama Peluh Setanggi."
"Ooo... Peluh Setanggi"!" Tua Bangka manggut-manggut lagi.
"Agaknya kau mengenalnya, Ki Sanupati."
"Tentu saja aku mengenal si Peluh Setanggi, sebab belum lama ini aku pernah
menghajarnya, karena ia akan mencuri Kapak Setan Kubur-ku."
Pendekar Mabuk terkesiap, agak kaget mendengar Kapak Setan Kubur mau dicuri oleh
si Peluh Setanggi.
Sebelum ia ajukan tanya, Tua Bangka lebih dulu berkata,
"Peluh Setanggi memang muridnya Nyi Mas
Gandrung Arum."
"Pantas ia menyerang Darah Prabu, sebab Darah Prabu mengejar Peluh Setanggi,"
ujar Kejora kepada Suto Sinting.
Tapi hal itu membuat Tua Bangka merasa heran dan berkerut pandangi Kejora.
"Darah Prabu mengejar-ngejar Peluh Setanggi"! Apa kau tak salah ucap, Nona"
Darah Prabu beraliran putih, untuk apa ia mengejar-ngejar gadis dari aliran
hitam" Bukankah banyak gadis cantik lainnya yang lebih pantas dikejar-kejar oleh Darah
Prabu"!"
"Maksudnya, Peluh Setanggi menjadi buronan si Darah Prabu!" sahut Pendekar Mabuk
setelah meneguk tuaknya dua kali.
Tua Bangka kian kerutkan dahi. Wajah tuanya
tampak diliputi keheranan saat memandang Suto Sinting.
Mulutnya yang hanya mempunyai dua gigi bagian depan itu menggumamkan kata
bernada heran. "Buronan..."!" kemudian ia merenung dengan menunduk, memandangi Darah Prabu yang
masih diam tak berkutik itu.
"Aneh sekali sebenarnya; murid Nyi Mas Gandrung Arum menjadi buronannya Darah
Prabu. Padahal Darah Prabu itu muridnya Resi Badranaya, dan Resi Badranaya
adalah adik dari Nyi Mas Gandrung Arum."
"Adik..."!" kini ganti Suto Sinting yang bernada heran. "Kalau begitu Nyi Mas
Gandrung Arum usianya sudah banyak"!"
"Mungkin sudah mencapai seratus tahun lebih," tukas si Tua Bangka. "Aku pun
kalah tua dengannya. Tapi kalau kau melihat penampilan Nyi Mas Gandrung Arum,
kau seperti melihat penampilan perempuan cantik yang masih berusia sekitar tiga
puluhan kurang."
"Sakti sekali mantra pengawet kecantikannya itu"!"
"Yang membuatku heran bukan mantra awet ayunya itu, melainkan keberanian Darah
Prabu memburu si Peluh Setanggi. Padahal menurut cerita dari Badranaya yang
pernah kudengar, Badranaya tak akan mengusik perguruan kakaknya, ia tak akan
berani ikut campur apa pun urusan Nyi Mas Gandrung Arum, sebab nyawa Badranaya
ada di tangan Nyi Mas Gandrung Arum.
Hanya perempuan itu yang mengetahui bagaimana cara membunuh Badranaya. Karena
rahasia kesaktian
Badranaya ada di tangan Nyi Mas Gandrung Arum."
Pendekar Mabuk manggut-manggut
sambil menyimak penjelasan itu dengan sungguh-sungguh. Tua Bangka
menjadi gelisah, walau kegelisahannya disembunyikan dalam bentuk tarikan-tarikan napas tuanya.
"Persoalan apa yang membuat murid si Badranaya ini berani bertindak selancang
itu; menjadikan Peluh Setanggi sebagai buronannya"!" kata si Tua Bangka lagi,
seperti bicara pada dirinya sendiri. Lanjutnya kemudian,
"Pasti hal ini akan membuat Nyi Mas Gandrung Arum murka kepada si Badranaya. Dan
jika sudah begitu, habislah riwayatnya."
"Mungkinkah Darah Prabu tak mengetahui hal itu, Tua Bangka?"
"Tidak mungkin. Badranaya pasti mewanti-wanti betul kepada muridnya agar tidak
mengganggu Perguruan Bukit Esa, dan pasti Badranaya menceritakan hubungan pribadinya dengan
Penguasa Bukit Esa itu.
Jika ternyata Darah Prabu berani memburu murid Perguruan Bukit Esa Itu, maka
jelas tindakannya itu atas seizin Badranaya. Tetapi apa yang membuat Badranaya
mengizinkan muridnya memburu murid Nyi Mas
Gandrung Arum"!"
"Kurasa Darah Prabu bisa jelaskan setelah kusembuhkan dengan tuak saktiku ini, Tua Bangka. Jadi sebaiknya kulakukan dulu
penyembuhan itu atas diri si Darah Prabu ini!"
"Sia-sia...," potong Tua Bangka dengan mencibir.
"Racun 'Tapak Ungu' tak ada yang mampu menyembuhkan kecuali pemiliknya sendiri, atau dengan cara dibasuh dengan air
Sendang Ketuban."
Pendekar Mabuk tak percaya dengan penjelasan Tua
Bangka. Bagaimanapun juga ia masih menganggap tuaknya mampu sembuhkan luka dan
menangkal racun dalam tubuh Darah Prabu. Tua Bangka hanya angkat bahu ketika
Suto Sinting ingin mencoba menyembuhkan dengan tuak saktinya.
"Kalau memang Darah Prabu bisa sadar, ia tetap akan menderita pengeringan
anggota dalam tubuhnya.
Jantung, usus, paru-paru, dan apa saja yang ada dalam tubuhnya akan mengering
dalam waktu tak lebih dari dua hari. Kelumpuhan tetap akan dideritanya meskipun
Darah Prabu bisa membuka mata dan ia tetap tak akan bisa bicara, karena pita
suaranya dalam tenggorokan juga ikut mengalami pengeringan akibat racun 'Tapak
Ungu' itu," tutur si Tua Bangka yang membuat Kejora menjadi bertambah cemas.
Wajah gadis itu tampak sedih sekali.
"Lakukanlah pengobatanmu, Suto. Siapa tahu pendapat Pak Tua itu hanya omong
kosong belaka,"
desak Kejora yang mengharap kesembuhan Darah Prabu.
Maka Suto Sinting pun mencoba menuangkan tuak ke dalam mulut Darah Prabu dengan
cara memaksa mulut itu terbuka. Tuak pun dituangkan sedikit demi sedikit dan
sangat hati-hati sekali.
Krucuk, krucuk, krucuk...!
Tuak berhasil masuk ke tenggorokan Darah Prabu.
Tapi hanya sebagian saja, sisanya masih menggenang di dalam mulut yang
dingangakan secara paksa itu. Dan tanda-tanda kesembuhan belum terlihat. Si Tua
Bangka terkekeh pelan sambil berucap,
"Sia-sia saja, Suto! Kau hanya akan membuang-buang tuakmu. Lebih baik kau cari
air Sendang Ketuban itu di Gunung Purwa."
"Tuakku baru tertelan sedikit, kita tunggu perubahannya." Pendekar Mabuk masih merasa yakin bahwa kesaktian tuaknya dapat
dipakai untuk melawan racun 'Tapak Ungu' itu. Kejora menunggu dengan berharap-
harap cemas. Sesekali ia memandangi keadaan Darah Prabu, sesekali beralih
pandang pada Suto Sinting.
* * * 4 PEMUDA tampan murid Resi Badranaya itu ternyata memang hanya bisa membuka mata
dan memandang dengan sayu. Mereka membawanya ke sebuah gua di balik bukit yang terlihat dari
tepian sungai itu. Pendekar Mabuk tampak lesu karena tuak saktinya tak mampu
melawan kekuatan racun 'Tapak Ungu' itu. Ia duduk di atas sebuah batu datar
setinggi lutut yang ada di dalam gua.
Kejora berada di samping Darah Prabu yang
dibaringkan dengan berbantal dedaunan kering. Gadis itu tampak kian berwajah
sendu dan selalu mencoba mengajak bicara Darah Prabu. Tapi yang diajak bicara
hanya bisa memandang dan menggerak-gerakkan
bibirnya dengan lemah sekali. Darah Prabu selalu gagal mengatakan sesuatu walau
berupa bisikan sekalipun.
"Aku suka sama kamu," kata Kejora. "Apakah kau suka padaku, Darah Prabu?"
Gadis itu mendekatkan telinganya ke mulut Darah Prabu, tapi sepatah kata pun tak
didengarnya walau bibir bergerak-gerak seperti mengalami kedutan. Sampai telinga
itu ditempelkan di mulut Darah Prabu, yang bisa dirasakan Kejora hanya hembusan
napas lirih membawa kehangatan tersendiri di telinga Kejora.
"Bicaralah, jangan hanya melongo, nanti mulutmu dimasuki lalat," ujar Kejora
dengan nada duka, namun cukup menggelikan hati si Tua Bangka. Tokoh tua yang
pernah diselamatkan Suto Sinting dari tiang gantungan itu akhirnya geleng-geleng
kepala, kemudian melangkah dari mulut gua mendekati Pendekar Mabuk.
"Masih ingin mencoba menyembuhkan dengan tuakmu"!"
Pendekar Mabuk menggeleng. Tampaknya ia telah pasrah
karena sudah mencoba menggunakan penyembuhan dengan jurus 'Sembur Husada', yaitu menyemburkan tuak ke dada Darah
Prabu yang membekas telapak tangan warna ungu itu, namun usaha itu juga sia-sia. Bekas
telapak tangan warna ungu itu tetap melekat jelas di dada kekar si murid Resi
Badranaya. Menurut Tua Bangka, jika warna ungu itu bisa hilang berarti racun
yang ada di dalamnya pun akan lenyap.
"Satu-satunya cara untuk menolong jiwa Darah Prabu adalah dengan membasuh bekas
telapak tangan itu memakai air Sendang Ketuban," ujar Tua Bangka. "Tak
ada cara lain. Sebab jika kita suruh Nyi Mas Gandrung Arum memberikan obat
penawar racun, pasti ia akan menolak dan pertarungan pun akan terjadi. Nyi Mas
Gandrung Arum itu tokoh wanita yang berbahaya. Tak pernah
bertindak tapi sekali bertindak dapat mengakibatkan bencana bagi umat manusia."
"Pantas jika ia bisa menyambar tubuh Peluh Setanggi secepat
itu," kata Suto Sinting seperti orang menggumam sendiri. Pandangan matanya tertuju ke luar gua dengan sikap
menerawang, bagai orang sedang melamun.
"Itulah, aku sempat waswas ketika mengejar Peluh Setanggi karena ia ingin
mencuri Kapak Setan Kubur.
Mulanya aku ingin menghajarnya, tapi kupikir-pikir toh usaha pencurian itu
gagal. Jadi aku tak perlu mengejarnya sampai ke Bukit Esa. Namun aku perlu temui
Nyi Mas Gandrung Arum untuk meluruskan
masalah pengejaranku terhadap Peluh Setanggi. Sayangnya aku jumpa kalian dan merasa lebih tertarik dengan perkara yang terjadi
pada diri Darah Prabu.
Hatiku menjadi penasaran sekali, ingin mengetahui perkara apa yang terjadi
hingga si Peluh Setanggi menjadi buronannya"!"


Pendekar Mabuk 056 Pembantai Raksasa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pendekar Mabuk menarik napas panjang. Setelah itu memandang si Tua Bangka dengan
sorot pandangan mata berkesan sayu.
"Aku sendiri menjadi penasaran dengan masalah ini dan menunda kepergianku ke
Jurang Lindu untuk temui Guru si Gila Tuak. Agaknya aku perlu mengetahui dulu
masalah yang dihadapi Darah Prabu dengan pihak Nyi Mas Gandrung Arum ini."
Tua Bangka agak berkerut dahi, "Kau mau menemui gurumu di Jurang Lindu?"
Suto Sinting mengangguk satu kali.
"Ada masalah apa kau ingin bertemu Gila Tuak"
Tentunya ada persoalan yang cukup penting. Benarkah begitu?"
Setelah mengangguk lagi, Suto Sinting pun menjelaskan masalahnya yang dihadapi bersama pihak keluarga
Kejora. Pendekar Mabuk menceritakan pertarungannya dengan Badai Kutub yang bertitik tolak dari masalah pusaka Panji-
panji Agung. Tua Bangka terkejut dan wajahnya semakin
mendekat. "Panji-panji Mayat, maksudmu?"
"Benar, Ki Sanupati! Apakah kau tahu tentang Panji-panji Agung atau Panji-panji
Mayat itu"!"
Tua Bangka menarik diri sambil menghela napas dalam-dalam, ia berdiri tegak di
depan Pendekar Mabuk.
Matanya memandang sekilas kepada Kejora yang sedang berusaha mengajak bicara
Darah Prabu. Kemudian pandangan mata itu mengarah kepada Suto.
"Sekarang aku baru ingat tentang gadis itu. Rupanya ia anak dari pasangan Jalma
Dupi dan Sang Ratri. Waktu aku berkunjung terakhir kalinya ke tempat kediaman
Jalma Dupi, gadis itu masih berusia tujuh tahun."
"Jadi kau kenal baik dengan keluarganya Kejora?"
"Cukup baik," jawab Tua Bangka. "Dan aku juga
sering mendengar pusaka Panji-panji Agung itu menjadi bahan pembicaraan para
tokoh tua."
"Apakah pusaka itu memang hak milik keluarganya Kejora?"
Tua Bangka mengangguk. "Jalma Dupi memang pewaris pusaka tersebut. Tapi demi
keamanan, Panji-panji Mayat itu dititipkan oleh Nyai Parisupit kepada seorang
sahabatnya. Dengan begitu siapa pun yang menyerang keluarga Nyai Parisupit tidak
akan/berhasil mendapatkan pusaka Panji-panji Mayat itu."
"Maksudmu,
dititipkan kepada Resi Wulung Gading?" Tua Bangka diam sebentar, tampak berpikir sungguh-sungguh. Kejap berikut ia
menarik napas dan berkata,
"Aku tak tahu secara pasti. Yang kutahu, Resi Wulung Gading tak pernah sebut-
sebut adanya pusaka itu di tangannya. Setahuku, sekarang ini yang ada padanya
hanyalah pusaka Pedang Kayu Petir yang kabarnya pernah kau temukan lalu kau
serahkan kepada beliau."
"Jika pusaka itu tidak ada pada Resi Wulung Gading, lantas menurutmu siapa
sahabat mendiang Nyai
Parisupit yang dipercaya menyimpan pusaka tersebut?"
Setelah diam sesaat, Tua Bangka pun menjawab,
"Ada beberapa orang yang kuduga menyimpan pusaka Panji-panji Mayat; Batuk
Maragam, Galak Gantung, Badranaya, dan gurumu sendiri; si Gila Tuak."
"Resi Badranaya..."!" gumam Pendekar Mabuk bernada heran. "Apakah Resi Badranaya
sahabat Nyai Parisupit"!"
"Semasa mudanya mereka pernah saling jatuh cinta, tapi putus di tengah jalan
karena Sabang Wirata, ayah Parisupit tidak setuju jika anaknya berhubungan
dengan Badranaya, sebab Sabang Wirata tahu Badranaya mempunyai kakak beraliran
hitam yang pernah mencoba menyerang perguruan Sabang Wirata."
"Ooo...," Pendekar Mabuk hanya bisa manggut-manggut.
"Lebih tak suka lagi Sabang Wirata kepada Badranaya, karena kakak si Badranaya
yaitu Nyi Mas Gandrung Arum itu memihak Kurupati, saudara tirinya Sabang Wirata
yang selalu mengincar Panji-panji Mayat itu! Ketika berusia muda, Kurupati
pernah menjadi budak cintanya Nyai Mas Gandrung Arum, sehingga apa pun kesulitan
Kurupati dibantu oleh Nyi Mas Gandrung Arum," tambah sang kakek berusia tujuh
puluh tahun lebih itu.
"Lalu, bagaimana dengan Batuk Maragam"!"
Suto Sinting mengenal tokoh tua yang sering batuk-batuk sehingga berjuluk Batuk
Maragam itu ketika ia dituduh
menghamili seorang gadis anak Lurah Cakradayu yang menjadi keponakan dari Batuk
Maragam. Gadis itu bernama Dewi Angora. Batuk Maragam sendiri sempat terkecoh
oleh penampilan kembar seseorang yang serupa betul dengan Pendekar Mabuk, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Peri Sendang Keramat"). Tapi saat itu Suto Sinting belum tahu bahwa Batuk
Maragam mempunyai seorang
sahabat yang bernama Nyai Parisupit.
Tua Bangka berkata, "Batuk Maragam pernah menyelamatkan nyawa Nyai Parisupit,
dan sejak saat itu persahabatan mereka jadi akrab. Tapi agaknya Batuk Maragam
segera menjauhkan diri karena perlu waktu untuk menyelesaikan tugas-tugasnya
sebagai satu-satunya orang yang pernah berguru di Pegunungan Sojiyama.
Barangkali dalam masa tua belum lama ini, Batuk Maragam pernah berkunjung di
kediaman Nyai Parisupit lalu mendapat kepercayaan sebagai penyimpan pusaka
Panji-panji Mayat. Sebab setahuku, Batuk Maragam itu sebenarnya juga bisa
membangkitkan mayat orang yang telah mati dan menuruti kehendak batinnya."
"Membangkitkan orang yang telah mati..."!" gumam Suto Sinting sambil merenung,
ia bicara bagai tertuju pada dirinya sendiri. "Bukan hanya Batuk Maragam saja
yang bisa membangkitkan orang mati, melainkan Ratu Sangkar Mesum juga bisa
membangkitkan orang mati."
Kemudian ia bertanya kepada Tua Bangka, "Apakah setiap pemegang Panji-panji
Mayat atau Panji-panji Agung adalah orang yang bisa membangkitkan mayat"!"
"Yang jelas, siapa pun yang membawa Panji-panji Agung di dekat orang yang telah
mati, maka walaupun orang itu telah terkubur ratusan tahun, ia akan bangkit
kembali dan menjadi pengikutnya, siap menerima perintah dari si pembawa Panji-
panji Mayat!" jawab Tua Bangka sambil bicara mondar-mandir di depan Suto Sinting
bagaikan orang dalam kegelisahan besar.
"Lalu, mengenai Ki Galak Gantung itu bagaimana?"
tanya Suto Sinting lagi, sebab ia merasa cukup kenal dengan Galak Gantung, yang
sudah jelas-jelas menjadi sahabat gurunya; si Gila Tuak itu. Suto Sinting
teringat kembali saat pertemuan pertama kalinya dengan Galak Gantung dalam suatu
peristiwa hilangnya bumbung tuak sakti yang menjadi satu-satunya senjata
andalannya itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Pusaka Bernyawa").
Tokoh yang menjadi guru dari seorang gadis bernama Kabut Merana itu tinggal di
puncak Bukit Wangi, yang hampir saja dibunuh oleh musuh lamanya; si Tulang Naga
dengan senjata pusaka cukup berbahaya, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode
: "Sabuk Gempur Jagat").
"Galak Gantung pernah bertaruh nyawa dengan seorang tokoh sakti yang ingin
membunuh Nyai Parisupit. Tokoh itu adalah kakak dari si Tulang Naga.
Tetapi gurumu, si Gila Tuak, segera campur tangan dan membuat kakak dari si
Tulang Naga itu tumbang dan tak berkutik sampai sekarang. Itulah sebabnya Tulang
Naga menaruh dendam kepada gurumu. Sejak itu hubungan Galak Gantung dengan Nyai
Parisupit menjadi sangat akrab.
Mereka berlima sering tampak lakukan perundingan di sebuah puncak gunung atau di tengah samudera. Tapi perundingan
apa dan bagaimana
hasilnya, tak seorang pun yang tahu selain mereka berlima: Galak Gantung, Gila
Tuak, Badranaya, Batuk Maragam, dan Parisupit sendiri."
Pendekar Mabuk menarik napas lagi setelah
merenung beberapa saat.
"Tua Bangka, menurutmu apa yang harus kulakukan sekarang ini"!"
"Pergi ke Gunung Purwa dan mencari air Sendang Ketuban."
"Gunung Purwa"!" gumam Suto Sinting dengan berkerut dahi, ada sesuatu yang
sedang diingat-ingatnya.
Tua Bangka berkata, "Di sana ada sebuah telaga berair hijau bening. Jarang orang
yang mengetahui letak telaga itu. Air telaga tersebut hanya bisa dipakai untuk
mengobati luka racun yang tak bisa ditawarkan dengan obat lainnya. Tapi jika
racun itu bisa ditawarkan dengan obat lainnya, maka khasiat air Sendang Ketuban
tak berguna."
"Jadi, air itu hanya bisa untuk sembuhkan sebuah racun yang hanya punya satu
penangkal?"
"Benar. Dewata memberikan Sendang Ketuban untuk mengatasi kejahatan manusia yang
menjadi satu-satunya kunci penawar sebuah racun. Dengan begitu, manusia tidak
akan merasa dirinya paling jago dengan
mempunyai satu obat penawar untuk satu racun
berbahaya."
Pendekar Mabuk manggut-manggut. Lalu ingatannya menerawang pada sebuah peristiwa
yang membuatnya tersesat di punggung Gunung Purwa. Di situ Suto Sinting berjalan
bersama Kabut Merana tersesat di sebuah pedesaan yang ternyata adalah sebuah
negeri aneh, bernama Negeri Wilwatikta. Penduduknya kaum wanita dan mereka hidup
tanpa busana dalam keadaan
wajah cantik-cantik serta tubuh meliuk sekal menggiurkan. Haruskah Pendekar Mabuk meminta
bantuan masyarakat Negeri Wilwatikta yang sudah dikenalnya itu"
"Pergilah dalam waktu jangan lebih dari satu hari.
Karena pada hari kedua, racun 'Tapak Ungu' akan membuat jiwa Darah Prabu
melayang alias mati," kata Tua Bangka mengingatkan pada Suto Sinting yang
berkemas untuk berangkat ke Gunung Purwa.
"Aku akan datang secepatnya, Tua Bangka!"
"Bagus. Paling lambat lusa siang kau harus sudah sampai sini. Jika kau datang
sore hari, mungkin Darah Prabu sudah tak bernyawa lagi."
"Kejora, kau mau ikut aku ke Gunung Purwa"!" sapa Suto Sinting kepada gadis
polos itu. "Aku... aku menunggu di sini saja. Kasihan Darah Prabu tak ada yang
menunggunya."
"Biar aku yang menunggunya," sahut Tua Bangka.
"Apakah kau juga mencintai Darah Prabu, Pak Tua"!"
Tokoh berkulit keriput itu tertawa kecil dan berkata,
"Cintaku hanya sebatas cinta terhadap seorang cucu."
"Apakah dia cucumu?"
"Kuanggap sebagai cucuku karena aku kenal betul dengan gurunya yang bernama Resi
Badranaya!"
Tapi agaknya Kejora tak mau meninggalkan Darah Prabu. Hatinya sedang terpikat
indah kepada pemuda itu, sehingga Suto Sinting pun akhirnya berangkat ke Gunung
Purwa sendirian, ia menggunakan jurus 'Gerak Siluman', sehingga mampu bergerak
cepat dalam mengupayakan air Sendang Ketuban itu.
Zlap, zlap, zlap, zlap...!
Kecepatan gerak itulah yang diketahui Tua Bangka dan membuat Tua Bangka mewanti-
wanti agar Suto Sinting kembali dalam waktu hanya satu hari. Tua Bangka yakin
bahwa murid si Gila Tuak itu mampu mencari air Sendang Ketuban dalam waktu
singkat. Karena di samping ia tahu bahwa Suto Sinting berotak cerdas, ia juga tahu bahwa
Pendekar Mabuk adalah pemuda yang sakti dan mempunyai keberanian sangat besar.
Jiwa persahabatannya tinggi, sehingga demi seorang teman pun ia rela bekerja
dengan susah payah.
Namun ketika Suto menghentikan langkahnya di
perjalanan karena menemukan dua mayat perempuan terkapar di depan langkahnya,
tiba-tiba seberkas sinar kuning datang dari arah belakang dan menghantamnya
dalam kecepatan yang sukar dihindari. Weeett...!
Bumbung tuak yang di punggungnya terhantam sinar kuning itu.
Zrrub...! Blegaaarrr...!
Tak pelak lagi Pendekar Mabuk terjungkal dan
berguling-guling karena ledakan itu. Seandainya ia tidak menyandang bumbung tuak
di punggungnya, maka ia akan hancur atau binasa karena seberkas cahaya kuning
itu. Tapi karena bumbung tuak itu bukan sekadar bumbung dari bambu biasa,
melainkan mempunyai kesaktian tersendiri; di antaranya dapat memantul balikkan
serangan lawan dan mempunyai kekuatan tenaga dalam tersendiri, maka sinar kuning
itu pun meledak pada saat menghantam bumbung tuak tersebut.
Gelombang ledakannya menimbulkan hentakan sangat kuat, karena sebatang pohon yang terdekat dengan Suto Sinting itu sempat
patah di pertengahan batang dan tumbang menimpa pohon lainnya. Tentu saja tubuh
sekekar Pendekar Mabuk pun terjungkal ke depan dan
berguling-guling
kehilangan keseimbangan badannya. Ledakan itu juga menimbulkan hantaman kuat pada tubuh Pendekar Mabuk, sehingga
ketika ia hendak berdiri, dada dan punggungnya terasa panas, lalu mulutnya
segera memuntahkan darah segar dalam keadaan kepala berkunang-kunang bagai habis
dihantam palu godam.
Tenaga pun terasa menjadi berkurang. Pendekar Mabuk merasakan seluruh tulangnya
bagaikan remuk dan ia terpaksa bangkit dengan berpegangan pada batang pohon agak
merayap. Keadaan lemah itu membuat lawan yang belum diketahui di mana
kedudukannya tahu-tahu datang menyerang dengan satu lompatan cepat. Wuuut...!
Brruuss...! Suto Sinting terlempar ke arah semak-semak karena terjangan lawan. Ia tak sempat
meraih bumbung tuaknya, sehingga tak sempat pula mengatasi rasa sakit di sekujur
badannya. Darah semakin banyak yang keluar, kali ini bukan dimuntahkan lewat
mulut saja, melainkan dari lubang hidungnya pun keluar darah segar cukup banyak.
Wajah tampan itu menjadi berlumur darah dan
mengerikan jika dipandang.
Tetapi pada saat lawan ingin melepaskan pukulan jarak jauhnya lagi, Suto Sinting
memaksakan diri untuk kerahkan sisa tenaga dalamnya. Pukulan lawan yang berupa
sinar merah kecil lurus tanpa putus itu melesat dari pangkal pergeiangan tangan.
Claaap...! Suto Sinting masih sempat melepaskan pukulan 'Pecah Raga' yang berupa
sinar hijau dari telapak tangannya. Sinar itu mampu memecahkan raga lawan dalam
sekejap. Tetapi kali ini sinar hijau itu sengaja dilepaskan untuk menghadang
kecepatan melesatnya sinar merahnya lawan, maka kedua sinar itu pun bertemu dan
saling tabrak di pertengahan jarak. Jlegaaarrr...!
Bumi berguncang hebat, pohon-pohon bergetar
bahkan sebagian ada yang tumbang bagai dilanda gempa. Tanah memercik ke udara
karena akar pohon terdongkel ke atas bersama robohnya sang pohon. Daun-daun
menjadi rontok dan batu-batu berukuran tak begitu besar menjadi retak, bahkan
ada yang pecah dengan pecahan menyebar ke berbagai arah.
Ledakan dahsyat itu membuat lawan terbanting


Pendekar Mabuk 056 Pembantai Raksasa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membentur batang pohon besar yang tak ikut tumbang.
Daya lempar yang kuat membuat lawan jatuh terpuruk di kaki pohon karena tulang
punggungnya terasa patah, ia menyeringai dan mengerang kesakitan. Sementara itu,
Suto Sinting hanya terjungkal kembali ke belakang hingga tenggelam dalam
kerimbunan semak. Pada saat itulah ia punya kesempatan meraih bumbung tuaknya
dan buru-buru menenggak tuak beberapa teguk.
Tuak itu membuat rasa sakit lenyap dalam beberapa
saat. Tulang-tulang yang terasa patah menjadi kekar kembali. Badan terasa segar dan
siap lakukan pertarungan dalam beberapa jurus pun. Ia berkelebat keluar dari semak-semak itu.
Ternyata lawan sudah berdiri dan sedang menyalurkan hawa murninya untuk meredam
rasa sakit yang diderita.
"Ratu Sangkar Mesum..."!" gumam Suto Sinting dengan geram kemarahan tertahan.
Suto sama sekali tak menyangka yang menyerangnya adalah seorang perempuan
cantik, ramping, montok, bermata jalang. Mengenakan jubah hijau tipis, tanpa
pakaian apa-apa lagi di balik jubahnya itu, sehingga perabot dan tetek bengeknya
terlihat samar-samar dari luar jubah yang hanya mempunyai satu kancing sebagai
penutupnya. Hati Pendekar Mabuk segera dapat
merasakan adanya pancaran dendam pada diri Ratu Sangkar Mesum, karena Suto
pernah membuat perempuan aliran hitam itu nyaris binasa pada saat menyelamatkan Resi Pakar
Pantun, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Kipas Dewi Murka").
Dendam itu pun kini terucap di sela-sela helaan napas yang masih tampak memburu
itu. "Aku akan menebus kekalahanku tempo hari.
Pendekar Tampan! Kecuali jika kau mau tunduk padaku dan melayani asmaraku yang
sudah beberapa hari tak tersiram kehangatan lelaki, maka dendam itu akan
kulupakan dan kuanggap impas!"
"Manusia pembangkit tenaga mayat...!" sapa Suto Sinting dengan mata sedikit
terpicing menandakan
kebenciannya terhadap perempuan cantik itu. Katanya lagi,
"Kau boleh memiliki seluruh kehangatan dan kemesraanku jika kau mampu membuatku
tak berdaya lagi! Tapi jangan salahkan diriku jika nyawamu melayang dalam
perlawananku nanti!"
Senyum sinis berbau mesum mengembang di bibir Ratu Sangkar Mesum yang memang
menggiurkan itu.
Namun Suto Sinting menutup hatinya untuk tidak memuji dan mengagumi senyuman
tersebut. Napasnya ditarik dan ditahan di dalam dada sebagai usaha melawan rasa
syur begitu melihat senyuman dan pandangan mata Ratu Sangkar Mesum.
"Melumpuhkan dirimu adalah hal yang mudah, Pendekar Tampan! Tapi jika kau sampai
lumpuh tak berdaya, percuma saja kubawa bercinta. Kemampuanmu sebagai lelaki pun
akan lumpuh dan aku tak memperoleh kemesraan
sedikit pun darimu. Jadi sebaiknya kulenyapkan saja seluruh ilmu dan kesaktian yang kau miliki selama ini. Aku
terpaksa menggunakan jurus
'Sumsum Pamungkas' untuk membuatmu tak berilmu lagi! Hi, hi, hi...."
Tiba-tiba tawa itu lenyap berganti suara pekik yang menyentak, "Aaaahhg...!"
Pendekar Mabuk berkerut dahi dengan memancarkan pandangan penuh keheranan. Tubuh
Ratu Sangkar Mesum mengejang dalam keadaan limbung ke depan.
Dari ulu hatinya tampak sebatang panah muncul ke depan. Panah itu membara
bagaikan besi terpanggang
api, sehingga lukanya pun menjadi berasap dan hitam.
Darahnya mengering dalam waktu sangat singkat.
Rupanya ada seseorang yang memanah Ratu Sangkar Mesum dari belakang tembus ke
depan, dan panah yang digunakan bukan panah sembarangan.
Panah itu membuat Ratu Sangkar Mesum mengejang kaku bagaikan patung. Matanya
terbeliak dengan kepala mendongak ke atas, mulut ternganga bagai ingin
menyerukan pekik kematian yang terakhir kali. Namun pekik itu tak pernah
terdengar lagi. Panah membara merah itu telah membuat tubuh Ratu Sangkar Mesum
terbakar dari dalam. Warna kulitnya yang kuning langsat dan mulus itu berubah
menjadi hitam secara sedikit demi sedikit. Mulutnya yang ternganga keluarkan
asap putih samar-samar, namun keadaannya masih berdiri agak melengkung ke depan,
kaku bagaikan sebuah prasasti dari batu.
"Siapa orang yang membantuku dengan panah merah itu"!" pikir Suto Sinting dengan
tetap berdiri diam di tempatnya.
* * * 5 PANDANGAN mata Suto segera menangkap sosok
bertubuh langsing yang berada di dahan pohon jauh di belakang Ratu Sangkar
Mesum. Seorang perempuan berambut sanggul rapi berada di pohon itu. Perempuan
tersebut melesat bagaikan terbang dengan jubahnya yang
Sastrawan Cantik Dari Lembah Merak 4 Tangan Berbisa Karya Khu Lung Suling Emas 2
^