Pembantai Raksasa 2
Pendekar Mabuk 056 Pembantai Raksasa Bagian 2
tanpa lengan warna biru laut itu berkibar bagaikan sayap seekor burung betina.
Dalam sekejap perempuan berdada besar itu telah berdiri di depan Pendekar Mabuk,
memandang dengan sorot mata yang dingin.
Pendekar Mabuk merasa belum pernah jumpa dengan perempuan yang berusia sekitar
tiga puluh tahun itu, tapi mungkin juga usianya jauh lebih tua jika ia
menggunakan aji pengawet ayu. Yang jelas perempuan itu masih menarik dan sosok
tubuhnya yang sekal berkulit sawo matang itu masih mengundang gairah untuk
bercumbu bagi lawan jenisnya, ia mengenakan penutup dada warna kuning tipis,
sehingga apa yang ditutupi itu dapat terlihat secara samar-samar. Pakaian
bawahnya sebuah celana longgar dari kain biru tipis yang menampakkan perabot
wanitanya secara samar-samar pula. Apalagi dalam keadaan mendapat sorotan sinar
dari belakang, tubuh elok itu terbayang jelas bagaikan tanpa busana lagi.
"Kau yang bernama Suto Sinting dengan gelar sombongnya berjuluk Pendekar Mabuk
itu"!"
"Benar. Siapa dirimu sebenarnya" Aku merasa tak pernah mengenalmu!" jawab Suto
Sinting dengan keramahan tertahan karena sikap perempuan itu cukup ketus dan
angkuh. Namun matanya yang berbulu lentik itu memandang dengan tajam bagai
mempunyai dua makna; antara bermusuhan dan berkawan.
Di sanggul perempuan itu terdapat tusuk konde dari sebatang emas berbentuk
sumpit. Ujung tusuk kondenya mempunyai
hiasan ronce-ronce benang merah, sedangkan ujung yang satunya lagi berbentuk runcing seperti mata jarum. Agaknya
tusuk kondenya itu juga bisa digunakan sebagai senjata sewaktu-waktu.
Punggungnya menyandang tempat panah berjumlah enam batang. Sementara di tangan
kirinya ia menggenggam busur dari kayu lentur berlapis gading sebagai penghiasnya.
"Kalau aku membunuh si Sangkar Mesum bukan karena aku menyelamatkan nyawamu,
tapi karena dia mengkhianatiku. Dia bergabung dengan Barakoak, si Raja Iblis
itu, padahal Barakoak adalah musuhku. Jadi aku terpaksa membunuhnya bukan demi
menyelamatkan nyawamu!"
"Barakoak masih hidup?" gumam Suto Sinting dalam hati. "Berarti dia tidak ikut
mati bersama reruntuhan batu candinya itu"!"
Perempuan itu mencabut anak panahnya yang
membara seperti baja dari tubuh Ratu Sangkar Mesum yang sudah tak bernyawa lagi
itu. Sluuub...! Ketika anak panah sudah tercabut, warnanya berubah menjadi
kuning gading, tak berasap dan tak memancarkan warna merah bara lagi. Anak panah
itu segera dimasukkan pada tempatnya yang ada di punggung. Mata perempuan itu
mengawasi Suto Sinting, sementara Suto Sinting juga pandangi perempuan itu
dengan sikap tenang, ia mencoba menerka-nerka siapa perempuan itu sebenarnya
sehingga merasa dikhianati oleh Ratu Sangkar Mesum, namun sampai beberapa saat
ia tak menemukan jawaban yang pasti, sehingga sebuah pertanyaan pun diajukan
kepada perempuan itu.
"Boleh kutahu namamu"!"
Perempuan itu mendekat dengan langkahnya yang tegap, pandangan matanya masih
berkesan dingin, seakan meremehkan penampilan Suto Sinting. Dalam jarak tiga
langkah ia berhenti, dagunya sedikit terangkat hingga sikap sombongnya semakin
terlihat jelas.
"Kau tak perlu tahu siapa diriku. Yang perlu kau ketahui, aku muak mendengar
kabar tentang dirimu yang digembar-gemborkan sebagai pendekar sakti dan dipuji-
puji oleh mereka. Suatu saat aku akan menantangmu bertarung sampai mati!"
Setelah bicara begitu ia berbalik ingin tinggalkan tempat, tetapi Suto Sinting
cepat serukan kata sebagai pencegah langkahnya.
"Tunggu...!"
Perempuan itu hentikan gerakan dan berpaling ke belakang melirik Pendekar Mabuk.
Pemuda tampan itu mencoba sunggingkan senyumannya yang menawan.
Rupanya ada perubahan tipis di hati perempuan itu yang merasakan desiran halus
menatap senyuman Pendekar Mabuk. Namun desiran indah yang samar-samar itu tidak
membuat bibirnya membalas senyum Suto Sinting.
Hanya saja ia tak jadi melangkah pergi dan kini berhadapan dengan Suto kembali.
"Kau bilang Ratu Sangkar Mesum bersekutu dengan Barakoak. Apakah itu betul"
Kusangka Barakoak alias si Raja Iblis itu mati bersama reruntuhan candinya."
"Nyatanya ia dibantu oleh Ratu Sangkar Mesum
untuk merebut wilayah kekuasaan Dewi Cumbutari! Ia menjanjikan sesuatu kepada
Sangkar Mesum, sehingga Sangkar Mesum bersekutu dengannya menyerang negeri
Wilwatikta."
Pendekar Mabuk terperanjat dalam hatinya. Negeri Wilwatikta adalah tempatnya
tersesat kala melakukan perjalanan bersama Kabut Merana. Dan perempuan yang
bernama Dewi Cumbutari itu adalah penguasa negeri yang masyarakatnya tidak
mengenal busana walau terdiri dari kaum perempuan semua itu. Pendekar Mabuk
bersahabat baik dengan Dewi Cumbutari yang pernah membantunya dengan teropong
indera keenamnya, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Bayi Pembawa
Petaka"). Padahal rencana Suto Sinting untuk menemukan Sendang Ketuban akan
singgah ke desa yang menjadi negeri Wilwatikta dan meminta bantuan Dewi
Cumbutari untuk menemukan sendang tersebut.
"Mengapa kau diam saja"! Kau terkejut mendengar Barakoak masih hidup"!" ujar
perempuan berwajah agak lonjong itu.
"Aku hanya memikirkan siapa dirimu sebenarnya,"
jawab Suto Sinting sedikit berkesan menggoda.
"Wawasanmu begitu rendahnya hingga tak mengenal adanya bajak laut wanita yang
kesohor kesaktiannya ini!
Aku tak bisa bicara terlalu lama dengan orang yang berwawasan rendah. Sebaiknya
kugunakan waktuku untuk menemui Barakoak dan membuat perhitungan dengannya!"
Weeeesss...! Perempuan itu cepat sentakkan kaki ke
tanah dan lakukan lompatan panjang mirip terbang, ia melesat pergi tinggalkan
Suto Sinting yang masih terbengong di tempat. Dalam hati sang Pendekar Mabuk
sempat membatin heran,
"Bajak laut wanita"! Hmm... kalau tak salah Resi Pakar Pantun pernah
menceritakan tentang si bajak laut wanita yang memihak Ratu Sangkar Mesum dalam
menyerang negeri Bumiloka, tempat Kertapaksi dan keluarganya bertakhta di sana.
Kalau tak salah... Resi Pakar Pantun menyebut nama Dewi Geladak Ayu, si bajak
laut wanita. Oh, apakah perempuan itu yang bernama Dewi Geladak Ayu"!"
Kemudian Suto Sinting membayangkan pertemuannya dengan Resi Pakar Pantun pada saat sang Resi melawan orang dalam
tandu hitam. Kata-kata Resi Pakar Pantun terngiang kembali di telinga Suto
Sinting, sehingga hatinya semakin yakin bahwa perempuan itu adalah Dewi Geladak
Ayu yang dikenal dengan senjata pusakanya bernama Panah Lebur Sukma itu, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Gundik Sakti").
"Firasatku mengatakan, Dewi Geladak Ayu pergi ke Wilwatikta untuk menemui si
Raja Iblis; Barakoak!
Kalau begitu aku harus mengikuti langkahnya agar bisa sampai ke Wilwatikta."
Zlaaap...! Jurus 'Gerak Siluman' dipergunakan oleh Pendekar Mabuk. Ternyata
kecepatan jurus itu mampu melebihi kecepatan gerak Dewi Geladak Ayu. Dalam waktu
singkat perempuan itu telah tersusul oleh Suto Sinting. Bahkan Suto berhasil
mendahului di depan
langkah Dewi Geladak Ayu. Tetapi ia tak mau
tampakkan diri dan tetap mengawasi dari tempat yang tersembunyi. Ke mana pun
langkah Dewi Geladak Ayu dibayang-bayangi terus oleh Suto Sinting.
"Oh, dia berhenti..."!
Sepertinya ada yang menghadang langkahnya"!" pikir Suto Sinting dari kejauhan, ia bersembunyi di
balik batu yang ada di lereng sebuah bukit. Dari tempatnya dapat terlihat jelas
kehadiran seseorang yang menghadang langkah Dewi Geladak Ayu. Bahkan dengan
menggunakan ilmu 'Sadap Suara', Suto Sinting mampu mendengar dengan jelas
percakapan yang dilakukan Dewi Geladak Ayu dengan penghadangnya.
"Kenanga Pilu..."!" gumam Suto Sinting lirih sekali walau hatinya sempat
terkejut begitu pandangannya diperjelas.
Kenanga Pilu adalah murid tokoh tua yang beraliran putih dan dikenal dengan nama
Eyang Darah Guntur dari Perguruan Tapak Dewa. Gadis cantik berjubah Jingga itu
bertemu dengan Suto Sinting dalam keadaan terkena kutukan seorang tokoh sakti
beraliran hitam, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Kutukan Pelacur
Tua"). Sejak kematian si Pelacur Tua, kutukan itu telah lenyap dari diri Kenanga
Pilu, tentunya tindakan Kenanga Pilu menghadang langkah Dewi Geladak Ayu tidak
sebrutal dulu. Tetapi mengapa sekarang Kenanga Pilu menghadang langkah Dewi
Geladak Ayu dengan sikap bermusuhan" Hal itu sangat menarik perhatian Pendekar
Mabuk, sehingga perhatiannya tercurah
sepenuhnya ke arah Kenanga Pilu dan Dewi Geladak Ayu.
Dengan pedang di pinggang, Kenanga Pilu berdiri sigap dengan kaki sedikit
merentang, jaraknya hanya empat langkah dari Dewi Geladak Ayu. Mereka saling
beradu pandang dengan sinis, agaknya keduanya sudah saling kenal, sehingga tak
ada rona heran di kedua wajah mereka.
"Apa maksudmu menghadang langkahku, Kenanga Pilu"!"
"Menuntut kematian Paman Guru Juru Taman!"
jawab Kenanga Pilu tegas dan membuat Suto Sinting terperanjat kaget.
"Ooh, Resi Juru Taman ternyata sudah tewas di tangan Dewi Geladak Ayu"! Hmmm...
baru sekarang kudengar kabar itu. Sejak kapan beliau tewas"!" Suto Sinting
membatin penuh keheranan, ia juga mengenal Resi Juru Taman sebagai adik dari
Eyang Darah Guntur yang dulu ikut menyelamatkan Kenanga Pilu dari serangan
orang-orang yang ingin menuntut balas atas tindakan liar gadis itu.
Renungan Suto atas nasib sial Resi Juru Taman itu terputus, perhatiannya
dikembalikan kepada ketegangan di depan sana, karena Dewi Geladak Ayu
perdengarkan suara ketusnya.
"Apakah kau tak berpikir menggunakan otakmu, hah"! Kalau orang yang kau sebut-
sebut sebagai paman guru saja mati di tanganku, mengapa kau mau coba-coba
melawanku"! Bukankah perlawananmu sama saja
dengan menyerahkan nyawa secara sia-sia"! Karenanya, kusarankan padamu agar
tidak coba-coba menuntut balas padaku, Kenanga Pilu!"
"Persetan dengan saranmu!" hardik Kenanga Pilu, kemudian segera mencabut
pedangnya. Sraaaaang...! Dewi Geladak Ayu masih diam, hanya sunggingkan senyum sinisnya. Tak merasa
gentar sedikit pun terhadap gertakan Kenanga Pilu. Nyalinya tetap besar walau
Kenanga Pilu sudah menggenggam pedangnya.
"Dengar kataku, Gadis Bodoh...," ujarnya makin meremehkan Kenanga Pilu.
"Kematian Juru Taman bukan karena kesalahanku. Dia sendiri yang bikin ulah
berlagak menjadi pelindung bagi pihak negerinya Kertapaksi. Dia sama saja dengan
si Pakar Pantun; sama-sama ingin menjadi jagoan dan dapat pujian, akibatnya
nyawa si Juru Taman melayang tanpa
penghargaan. Kerajaan Bumiloka sudah berhasil kuhancurkan. Sayangnya, Kertapaksi dan gurunya; si Pakar Pantun, melarikan diri
tak terkejar olehku.
Ternyata Sangkar Mesum pun tak becus mengejar Pakar Pantun, bahkan sekarang dia
berkhianat padaku, bersekutu dengan Barakoak!"
"Itu urusanmu, aku tak mau dengar!"
"Kau perlu mendengarkannya, Anak Manis!" ledek Dewi Geladak Ayu. "Kau perlu
menyimak keteranganku agar pihakmu tahu bahwa kematian Juru Taman adalah akibat
kesalahannya sendiri. Dan kau perlu tahu, Ratu Sangkar Mesum yang selama ini
menjadi sahabat baikku
saja bisa kubunuh jika mengecewakan diriku, apalagi kau yang baru kemarin sore
dan bukan apa-apaku! Ilmu yang kau miliki masih jauh di bawah si Sangkar Mesum,
tak ada gunanya kau menuntut balas atas kematian paman gurumu itu."
Pendekar Mabuk sempat berpikir, "Kalau begitu negeri Bumiloka telah hancur, dan
Kertapaksi masih hidup tapi melarikan diri. Hmmm.... Lantas siapa yang menguasai
negeri Bumiloka itu"! Bukankah sebenarnya negeri itu ingin dikuasai oleh Ratu
Sangkar Mesum"
Tapi perempuan itu kini telah tewas. Apakah dengan begitu Dewi Geladak Ayu ingin
menguasai negeri Bumiloka"!"
"Aku punya usul padamu, Gadis Tolol...," ujar Dewi Geiadak Ayu. "Kalau kau ingin
bikin perhitungan denganku, datanglah ke Bumiloka dan hadapi anak buahku dulu.
Kalau kau unggul melawan mereka satu-persatu, kau boleh melawanku. Jadi aku tak
buang-buang waktu dengan melawan gadis kerempeng
sepertimu itu, Kenanga Pilu."
"Dalam sekali gebrak anak buahmu akan binasa di tanganku. Justru aku mencarimu
untuk bikin perhitungan secara langsung. Kalau kau tak berani berhadapan
denganku, berlututlah dan memohon ampunlah padaku, maka aku akan berbijak hati
padamu, Geladak Ayu!"
"Keparat...!" geram Dewi Geladak Ayu. "Belum pernah ada orang berani menghinaku
seperti itu! Rupanya kau memang ingin cepat menyusul si Juru Taman ke neraka! Dasar perawan
dungu! Hiaaah...!"
Dewi Geladak Ayu marah mendapat hinaan seperti itu. Ia segera kepretkan
tangannya ke depan, dan memerciklah bunga-bunga api warna merah kekuningan bagai
air yang memercik ke tubuh Kenanga Pilu.
Crraaaap...! Kenanga Pilu melompat mundur satu langkah dengan mengibaskan
pedangnya dalam gerakan amat
cepat hingga menimbulkan desau angin bergemuruh. Tentu saja tebasan cepat yang berkali-kali itu mempunyai gelombang
tenaga dalam hingga dapat semburkan angin kencang yang memadamkan percikan bunga
api dalam sekejap. Wuuusss...! Zuuurrb...!
Asap mengepul saat bunga api itu padam serentak.
Kenanga Pilu merendahkan kedua kakinya dengan pedang terhenti di atas kepala,
tangan kirinya maju ke depan bagai melindungi dadanya dari serangan sewaktu-
waktu. Dewi Geladak Ayu semakin berang melihat serangannya dapat dipatahkan
lawan, ia segera melompat dalam kecepatan tinggi, menerjang Kenanga Pilu yang
sempat terperanjat karena datangnya serangan yang luar biasa cepatnya itu.
Wuuut...! Brrusss...! Crraaak...!
"Aaahg...!" Kenanga Pilu memekik tertahan. Rupanya ia terkena ujung busur panah
yang dikibaskan oleh Dewi Geladak Ayu pada saat lakukan terjangan.
Murid Eyang Darah Guntur itu terpental delapan langkah jauhnya. Dadanya berdarah
karena luka memanjang sampai ke atas pundak.
Namun agaknya Kenanga Pilu masih mampu
bertahan. Semangat membalas kematian paman gurunya
masih menyala-nyala dan dapat terlihat dari bola matanya yang berbinar-binar
penuh nafsu untuk membunuh itu. Ia masih mampu pergunakan jurus pedangnya,
sehingga pedang itu segera dimainkan dengan gerakan cepat.
"Hmmm... dia gunakan jurus 'Tebas Gunung' yang mampu lukai lawan dari jarak
sepuluh langkah tanpa menyentuh tubuh lawannya," gumam Suto Sinting dalam hati,
sebab ia dulu pernah hampir mati menghadapi jurus
'Tebas Gunung'-nya si cantik Kenanga Pilu itu.
Wung, wung, wung, wung...! Suara tebasan pedang menimbulkan
getaran pada pohon-pohon di sekelilingnya. Gelombang tenaga dalam yang meluncur dari tebasan pedang itu
mempunyai ketajaman yang sama dengan mata pedang itu sendiri, sehingga angin
yang membawa gelombang tajam itu akan memotong tubuh lawannya menjadi beberapa
bagian. Tetapi agaknya Dewi Geladak Ayu memang bukan
lawan setanding dengan Kenanga Pilu. Jurus pedang
'Tebas Gunung' dapat dipatahkan dengan busur panah yang dikibaskan ke kanan-kiri
dengan gerakan cepat.
Pendekar Mabuk 056 Pembantai Raksasa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kibasan busur itu juga hasilkan gelombang tenaga dalam yang saling bertemu
dengan kekuatan tenaga dalam dari jurus pedangnya Kenanga Pilu.
Di pertengahan jarak antara kedua wanita itu, terjadi letusan-letusan kecil
semacam petasan rentet dinyalakan.
Tar, tar, tar, trraaattt... tarrr....
Blegaaaarr...! Ledakan besar mengakhiri bunyi rentetan letusan
tersebut. Ledakan besar itu timbul setelah tangan kiri Dewi Geladak Ayu
menyentak ke depan dan dari telapak tangannya keluar sinar biru sebesar kepalan
tinjunya. Sinar biru menghantam cahaya merah yang timbul dari letusan-letusan kecil tadi,
hingga terjadilah gelegar ledakan yang menggetarkan tanah di sekitar mereka.
Ledakan itu mengepulkan asap tebal warna putih.
Pandangan mata Kenanga Pilu tak mampu menembus ketebalan asap putih tersebut, ia
sedang mempersiapkan jurus barunya, tapi tiba-tiba ia seperti ditampar angin
badai di sekujur tubuhnya. Wuuut...! Brrruuuss...!
"Aaaahg...!" Kenanga Pilu memekik lagi. Kejap berikut Pendekar Mabuk melihat
Kenanga Pilu roboh bersimbah darah. Luka tebasan ujung busur menjadi bertambah.
Kini bagian perut dan leher Kenanga Pilu terluka dalam dan mengerikan. Luka itu
cepat menjadi hitam bersama darahnya pertanda luka tersebut mengandung racun
berbahaya. "Untuk melegakan jiwamu, kukirim nyawamu ke neraka sekarang juga, Perawan Bodoh!
Hiaaaah...!"
Dewi Geladak Ayu ingin habisi nyawa Kenanga Pilu dengan jurus pukulan jarak jauh
yang diduga akan menghancurkan raga Kenanga Pilu. Tetapi Suto Sinting cepat
bertindak, ia berkelebat ke arah pertarungan dengan menggunakan jurus 'Gerak
Siluman'-nya. Zlaaap...! Gerakan melesat itu juga dibarengi terlepasnya sentilan maut yang
dinamakan jurus 'Jari Guntur'
bertenaga dalam melebihi tendangan seekor kuda jantan.
Teess...! Wuuut...! Beehg...!
"Aoh...!" tubuh Dewi Geladak Ayu terpental terbang akibat hantaman gelombang
berkekuatan tinggi itu. Ia tak jadi
melepaskan pukulan penghancur raga. Sementara itu, Kenanga Pilu segera disambar oleh Suto Sinting dan dibawanya lari
dengan gerakan yang sukar dilihat secara utuh, hanya menyerupai kilatan cahaya
coklat-putih, sesuai warna baju dan celana Pendekar Mabuk
Dalam sekejap saja Kenanga Pilu sudah berada di balik bukit cadas jauh dari Dewi
Geladak Ayu. Tentu saja hal itu membuat si bajak laut wanita kebingungan
mengetahui lawannya telah lenyap bagai ditelan bumi.
"Keparat! Ke mana si perawan bodoh itu"!"
geramnya sambil bangkit berdiri dan memandangi alam sekitarnya. "Hem... dadaku
seperti dihantam dengan batu sebesar gunung! Kurang ajar! Siapa orang yang
berhasil menghantamku sepanas ini"! Kalau tak segera kulawan dengan hawa
murniku, bisa jebol dadaku dan kehilangan napas selamanya!" Dewi Geladak Ayu pun
segera menarik napas dengan memicingkan mata, memusatkan pikiran dan kekuatannya
pada hawa murninya.
Sedangkan di balik bukit, Suto Sinting sibuk
menuang tuak ke mulut Kenanga Pilu. Namun agaknya ia terlambat. Racun dalam luka
Kenanga Pilu sangat ganas dan akibat banyaknya luka juga maka Kenanga Pilu pun
akhirnya menghembuskan napas terakhir sebelum menelan tuak saktinya Pendekar
Mabuk. "Oooh... terlambat!" keluh Suto Sinting dengan sedih.
"Racun itu bekerja lebih cepat dari usahaku menuangkan
tuak ke mulutnya. Sial!"
Pendekar Mabuk hanya bisa memandangi Kenanga
Pilu yang sudah tak bernyawa dengan hati sedih bercampur kecewa. Angin yang
berhembus bagaikan mengantar kematian Kenanga Pilu saat berada di samping sang
Pendekar Mabuk.
"Aku tak boleh kehilangan jejak Dewi Geladak Ayu agar tak tersesat mencapai desa
Wilwatikta. Sebaiknya mayat Kenanga Pilu kuletakkan di tempat yang
tersembunyi dulu, nanti pulang dari mengambil air Sendang Ketuban akan kuambil
dan kuserahkan kepada gurunya."
Zlaaaap...! Pendekar Mabuk bergegas menyusul Dewi Geladak Ayu setelah meletakkan
mayat Kenanga Pilu di relung batu cadas yang menyerupai gua kecil itu. Dewi
Geladak Ayu meneruskan perjalanannya menemui
Barakoak di desa Wilwatikta, namun ia tak sadar bahwa ada seseorang yang
membayang-bayangi perjalanannya itu selain si Pendekar Mabuk.
* * * 6 KETIKA perjalanan sudah mulai mendekati kaki
Gunung Purwa, bayangan yang mengikuti Dewi Geladak Ayu itu mulai tampakkan diri
dengan cara merobohkan pohon di depan langkah Dewi Geladak Ayu. Pohon itu
dihantamnya dengan kekuatan tenaga dalam hingga
tumbang dan hampir saja menjatuhi Dewi Geladak Ayu.
Duaaar...! Kreeaaakkk...! Brruuuhk...!
Hampir saja Dewi Geladak Ayu tertimpa pohon besar itu jika tidak segera bersalto
ke belakang beberapa kali dengan lincah dan cepat sekali. Perempuan itu selamat
dari ancaman maut pohon besar yang seluruh batangnya berduri semacam pohon kapuk
randu. Ia hinggap di salah satu bongkahan batu setinggi dada manusia dewasa.
Dari sana ia memandang ke arah sekeliling dengan cepat dan melepaskan pukulan
jarak jauh bersinar merah lurus tanpa putus.
Slaaaap...! Blegaaar...!
Dua pohon tumbang lagi karena hantaman sinar
merah lurus itu. Dari semak-semak di bawah pohon itu melesatlah sesosok bayangan
ungu yang bersalto di udara dan hinggap di atas sebongkah batu setinggi perut
manusia dewasa. Jleeg...!
Pendekar Mabuk memperhatikan dari tempat persembunyiannya, dan ia terkejut melihat sesosok bayangan ungu yang menjelma di
atas batu itu. Bayangan ungu itu ternyata seorang pemuda tampan dengan potongan baju lengan
seperti Suto Sinting, tapi warna bajunya ungu tua, demikian pula warna
celananya. Pemuda itu mempunyai rambut lurus panjang sepundak seperti Suto
Sinting, tapi mengenakan ikat kepala dari kain merah beludru berhias benang
emas. Pemuda gagah itu menyandang pedang di punggungnya, dan dilihat dari kemewahan
pedangnya jelas ia bukan
pemuda sembarangan. Pendekar Mabuk yang terperanjat segera menyebut sepotong
nama yang dikenalnya dengan suara lirih, menyerupai orang menggumam kagum.
"Inupaksi..."!"
Pemuda berusia dua puluh tiga tahun itu memang Inupaksi. Ia adalah anak Prabu
Digdayuda penguasa kerajaan Bumiloka. Wajah tampannya mirip dengan Kertapaksi,
sebab ia memang adik dari Kertapaksi. Tapi mereka berbeda guru. Kertapaksi
adalah murid Resi Pakar Pantun, tapi Inupaksi bukan. Pendekar Mabuk ingat
pertemuannya dengan Inupaksi beberapa waktu yang lalu ketika dalam perjalanan
menyusuri lereng Gunung Purwa juga, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Bayi Pembawa Petaka").
"Tak salah lagi, Inupaksi pasti akan menuntut balas atas kehancuran negerinya
kepada Dewi Geladak Ayu,"
pikir Suto Sinting. "Namun apakah Inupaksi mampu menumbangkan kesaktian Dewi
Geladak Ayu"!"
Dewi Geladak Ayu memandang dengan mata sedikit terpicing. Rupanya ia merasa
heran melihat penampilan anak muda yang mirip Kertapaksi itu. Ia pun menyapa
dengan nada dingin.
"Wajah dan penampilanmu serupa betul dengan Kertapaksi yang lari tunggang
langgang melawanku itu.
Apakah kau punya hubungan saudara dengan Kertapaksi"!'
"Aku adalah adiknya. Akulah yang bernama Inupaksi!" jawab Inupaksi dengan nada
tak ramah. "O, pantas kau lebih ganas dari Kertapaksi," ujar Dewi Geladak Ayu dengan senyum
sinis yang tipis.
"Rupanya kau ingin menyusul kematian ayahmu; Prabu Digdayuda itu! Aku tak segan-
segan menghancurkan sisa keturunan si Digdayuda!"
"Kau memang perempuan busuk yang pantas
dilenyapkan dari muka
bumi!" geram Inupaksi
menampakkan kemarahannya.
Lalu, dengan secara tiba-tiba tangan Inupaksi menyentak ke depan dan dari tangan
itu keluar kepingan-kepingan logam putih mengkilat dalam bentuk kelopak bunga.
Jumlah kepingan logam yang keluar dari telapak tangan itu sekitar sepuluh
keping, melesat bersama tertuju ke arah dada Dewi Geladak Ayu.
Zzriilng...l Dewi Geladak Ayu tidak menghindar, tapi menadahkan tangannya ke depan. Logam-logam mengkilap yang merupakan senjata rahasia beracun ganas itu dihadang oleh telapak
tangan kanan Dewi Geladak Ayu. Zzzuuurrb...! Kemudian tangan itu menggenggam,
ternyata kepingan logam itu telah mengumpul menjadi satu dalam genggaman. Dewi
Geladak Ayu tunjukkan kesaktiannya yang mampu menangkap seluruh benda beracun
itu tanpa mengalami luka sedikit pun pada telapak tangannya. Justru sekarang
kepingan-kepingan logam itu dilemparkan kembali ke arah Inupaksi. Zrrriing...!
Wuuut, wuuut...!
Inupaksi melompat melebihi ketinggian layang
kepingan-kepingan logam tersebut. Akibatnya kepingan-
kepingan logam itu menancap pada pohon yang ada di belakang Inupaksi.
Juuurrb...! Namun lompatan maju Inupaksi itu mendekati Dewi Geladak Ayu, sehingga ketika
tubuhnya melayang turun, Inupaksi melepaskan pukulan bersinar biru seperti
piringan dalam jarak cukup dekat. Claaap...! Dewi Geladak Ayu masih berdiri di
atas batu dan merendahkan kedua kakinya dengan tangan kanan disentakkan ke depan. Claaap...!
Sinar merah seperti bola melesat dari telapak tangan itu dan bertabrakan dengan
sinar birunya Inupaksi.
Blegaaarrr...! Ledakan dahsyat terjadi mengguncangkan alam
sekeliling, termasuk tumbangnya beberapa pohon akibat gelombang sentakan amat
kuat dari ledakan tersebut.
Inupaksi sendiri terlempar ke atas dengan tanpa keseimbangan badan, melayang-
layang tinggi dengan gerakan panik. Sedangkan Dewi Geladak Ayu terlempar jatuh
dari atas batu. Namun ia segera bangkit dan berlutut satu kaki, kemudian ia
sentakkan jari tangannya yang merentang tegak kaku itu. Dari ujung jari tengah
keluar selarik sinar seperti lidi panjang warna merah.
Zuuuub...! "Aaahg...!" terdengar suara pekikan Inupaksi saat tubuh itu melayang turun dan
disambut dengan sinar merah sebesar lidi. Sinar itu kenai pinggang Inupaksi yang
membuat baju Inupaksi terbakar dan hangus pada bagian pinggangnya. Inupaksi
akhirnya jatuh berdebam di tanah dengan suara mengerang kesakitan. Matanya
terbeliak-beliak, tubuhnya menggelinjang kaku. Salah satu tangannya mencoba
mendekap luka bakar di bagian pinggangnya itu.
"Gawat! Inupaksi terluka parah, jiwanya dapat melayang dalam waktu beberapa saat
lagi. Aku harus segera bertindak!" pikir Suto Sinting yang bergegas ingin
menyambar Inupaksi.
Tetapi tiba-tiba sekelebat bayangan putih melintas di depannya, menuju ke arah
pertarungan. Bayangan putih itu bergerak dengan kecepatan tinggi dan menyambar
tubuh Inupaksi. Wuuuut...!
Bertepatan dengan tersambarnya tubuh Inupaksi, Dewi Geladak Ayu melepaskan
pukulan sinar merah sebesar kepalan tangannya. Wuuusss...! Sinar merah itu
akhirnya menghantam tempat kosong karena Inupaksi sudah lebih dulu disambar
seseorang. Blegaaarr...!
Kalau saja Inupaksi masih ada di situ, ia pasti akan hancur berkeping-keping
karena hantaman sinar merah besar tersebut. Karena Inupaksi sudah tidak ada di
tempat, maka sinar merah itu menghantam tanah dan menyemburlah tanah tempat
jatuhnya Inupaksi tadi.
Percikan tanah menyebar ke angkasa membuat alam sekitarnya bagaikan mengalami
hujan debu. Tempat jatuhnya Inupaksi menjadi berongga besar sekali seperti
kubangan kerbau dengan kedalaman sekitar satu lutut lebih dan berasap tipis.
Dewi Geladak Ayu clingak-clinguk
mencari kepergian lawannya. Akhirnya ia temukan lawannya di sebelah timur, dalam keadaan
dipanggul oleh seorang
lelaki tua berbadan gemuk. Pandangan Suto Sinting pun terarah ke timur, menatap
orang gemuk berjubah putih, rambut pendek, dan kumis serta jenggotnya juga putih
rata. "Jubah Kapur..."!" gumam hati si Pendekar Mabuk yang mengenal tokoh tua itu.
Jubah Kapur adalah ketua gelandangan yang
termasuk tokoh aliran putih, guru dari Inupaksi.
Pendekar Mabuk bertemu dengan tokoh sakti yang mengenal gurunya itu ketika
terlibat peristiwa kematian seorang bayi yang digantung oleh ayahnya sendiri,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Bayi Pembawa Petaka").
Rupanya si Jubah Kapur selalu membayang-bayangi kepergian muridnya, dan siap
selamatkan sang murid jika dalam keadaan berbahaya. Kali ini Jubah Kapur sengaja
hentikan langkah di atas gundukan tanah sambil memandang ke arah Dewi Geladak
Ayu. Tampaknya perempuan itu pun sudah mengenal si Jubah Kapur, sehingga ia
segera serukan kata kepada tokoh serba putih itu.
"Lepaskan pemuda itu biar puas hatinya jika sudah kukirim ke neraka seperti
kedua orangtuanya! Kalau kau ingin ikut campur urusanku, datanglah kemari dan
hadapi aku, Jubah Kapur!"
"Belum saatnya aku menghadapimu, Perempuan Bajak! Tapi ada saatnya sendiri di
mana kita akan bertemu dan saling mengadu nyawa! Tunggulah saatnya, pasti akan
tiba!" Wuuut...! Jubah Kapur berkelebat pergi tinggalkan Dewi Geladak Ayu yang masih
merasa dongkol dengan tingkahnya Inupaksi. Kepergian si Jubah Kapur ternyata
meninggalkan suara yang menggema bagai memenuhi hutan sekitar situ.
"Jika aku sudah mengobati muridku, aku akan mencarimu untuk bikin perhitungan,
Geladak Ayu, yu, yu, yu...!"
Pendekar Mabuk membatin, "Gelombang suara itu pasti mempunyai kekuatan tenaga
dalam hingga bisa menggema sebegitu jelasnya. Hmmm... agaknya Dewi Geladak Ayu
tidak mau memburu Jubah Kapur, ia lebih mengutamakan mencari Barakoak untuk
mengadu kesaktian. Rupanya si Raja Iblis itu benar-benar musuh utama yang harus
dilenyapkan oleh Dewi Geladak Ayu!
Tapi... hei, siapa itu yang berkelebat di sebelah barat"!"
Pendekar Mabuk memandang curiga ke arah barat. Di sana tampak sekelebat bayangan
berlari menelusup di balik pepohonan. Sementara itu Dewi Geladak Ayu yang tak
Pendekar Mabuk 056 Pembantai Raksasa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tahu diikuti oleh Pendekar Mabuk segera tinggalkan tempat dan teruskan
perjalanan. Suto Sinting tak tahu kalau Dewi Geladak Ayu telah pergi, karena
pusat perhatiannya lebih tertarik ke arah barat.
"Ooh... rupanya orang itu terluka"!" pikirnya saat melihat orang yang berlari
itu hentikan langkah dengan terhuyung-huyung dan bersandar pada sebatang pohon.
Pendekar Mabuk memicingkan matanya, agar pandangan matanya semakin jelas. Lalu, hatinya pun membatin,
"Sepertinya aku mengenal orang itu"!"
Zlaaap...! Suto Sinting bergegas pergi ke arah barat.
Dalam sekejap saja ia sudah berada tak jauh dari seorang perempuan yang miskin
busana. Perempuan berkalung tali hitam dengan bandul kulit kerang kuning
mengkilap itu tidak mengenakan pakaian semestinya, ia hanya menutup bagian-
bagian penting pada tubuhnya dengan secarik kulit binatang warna hitam. Dadanya
ditutup pada bagian ujung saja dengan kulit binatang, bagian bawahnya pun
ditutup seperlunya saja dengan kulit binatang berbulu hitam yang menggunakan
tali melilit di pinggang. Sisa tubuhnya yang mulus berwarna kuning langsat itu
tidak mengenakan selembar benang pun.
Pendekar Mabuk tak merasa heran melihat keadaan tersebut, karena ia tahu cara
berbusana seperti itu merupakan ciri khas orang-orang desa Wilwatikta.
"Ciwuiani..."!" gumam hati Suto Sinting yang mengenal
perempuan tersebut sebagai orang kepercayaan dari Ratu Dewi Cumbutari, penguasa negeri Wilwatikta.
Ciwuiani tampak terluka pada bagian atas dada kiri dekat pundak. Luka itu
menghangus hitam dan masih kepulkan asap. Agaknya ia sedang melarikan dari dari
sebuah pertarungan. Di punggungnya pun tampak luka koyak bagaikan habis disabet
dengan senjata tajam.
Wajah perempuan berusia dua puluh tujuh tahun itu tampak pucat sekali,
mencemaskan hati Pendekar Mabuk. Maka ia pun segera menghampiri Ciwuiani yang
masih berdiri berpegangan batang pohon.
"Ciwuiani..."! Apa yang terjadi"!"
Ciwuiani memandang dengan mata sayu, makin lama matanya semakin redup dan
tubuhnya kian terkulai lemas. Pendekar Mabuk segera menangkap tubuh tanpa busana
itu sebelum jatuh ke tanah.
"Lukanya cukup parah!" gumam Pendekar Mabuk, sambil bergegas meminumkan tuak ke
mulut Ciwuiani.
"Minumlah tuakku ini untuk obat lukamu! Minumlah sedikit demi sedikit,
Ciwuiani!" bujuk Suto Sinting dengan hati berdebar-debar, takut terlambat
seperti saat ia ingin mengobati Kenanga Pilu tadi.
Bertemu dengan Pendekar Mabuk yang juga sering dijuluki sebagai Tabib Darah Tuak
adalah suatu keberuntungan besar bagi orang yang terkena luka seperti Ciwuiani.
Andai saja Ciwuiani tidak mau meneguk tuak saktinya Pendekar Mabuk, mungkin
sebelum senja nyawanya sudah melayang. Tapi karena Ciwuiani mau meminum tuak
saktinya Suto, maka sedikit demi sedikit luka koyak di punggungnya mengatup dan
menjadi rapat seperti sediakala. Bahkan darah yang berceceran bagai terserap
habis oleh pori-pori kulitnya. Luka hangus di dada kirinya pun perlahan-lahan
berubah warna dan menjadi seindah warna aslinya.
Ciwuiani akhirnya tertolong dan tubuhnya menjadi segar, lebih segar dari sebelum
melakukan pertarungan dengan seseorang.
"Oh, untung aku bertemu denganmu, Pendekar Mabuk. Seandainya tidak, tak tahulah
sudah di mana rohku
saat ini," ujarnya sambil memulihkan pernapasannya. "Siapa yang menyerangmu sedemikian parahnya, Ciwuiani"!"
"Suto, negeri kami diserang raksasa."
"Raksasa..."!" dahi Pendekar Mabuk berkerut karena merasa janggal mendengar
ucapan tersebut.
"Rakyat kami banyak yang mati dihancurkan oleh si raksasa itu. Bahkan sekarang
Ratu Dewi Cumbutari sedang bertarung menghadapi raksasa itu. Beliau serukan
perintah agar kami berlari menyebar arah, masing-masing disuruh menyelamatkan
diri dari amukan raksasa keparat itu."
"Raksasa..."!" Pendekar Mabuk masih menggumam dalam renungan keheranannya.
"Raksasa dari mana maksudmu?"
"Entahlah. Kami tak tahu dari mana raksasa itu berasal. Yang jelas ia ingin
menguasai wilayah kami. Ia mengaku bernama Raja Iblis...."
"Barakoak!" sahut Suto Sinting dengan suara menyentak.
"Ya, dia juga menyebutkan nama aslinya: Barakoak,"
ujar Ciwuiani. "Dia sangat liar dan buas. Aku melihat sendiri anak buahku
dimakan lengannya setelah lehernya dipatahkan, ia mengunyah daging manusia
seperti mengunyah lalap daun mede."
"Celaka!" geram Suto Sinting dengan pandangan menerawang.
"Sebenarnya aku ingin membantu Gusti Ratu Cumbutari, tapi Gusti Ratu marah dan
menyuruhku melarikan diri."
"Kita bantu sang Ratu sekarang juga!" sambil Suto Sinting menarik tangan
Ciwuiani, tetapi perempuan itu menahan diri dengan wajah diliputi kecemasan.
"Raksasa itu berbahaya, Suto! Dia bisa menelan bulat-bulat jika murkanya kian
meninggi."
"Apa pun bahayanya akan kuhadapi dia!"
Ciwuiani masih diam pandangi Suto Sinting dalam keraguan. Tangannya masih
memegang pedang tanpa darah. Agaknya ia tak mampu lukai lawannya sedikit pun,
hingga pedangnya masih tampak bersih. Itu berarti Barakoak memang orang yang tak
bisa disepelekan begitu saja. Apalagi Suto Sinting ingat kata-kata Kejora, bahwa
Barakoak mempunyai ilmu 'Urat Bumi' yang menjadi andalannya.
Ciwuiani berkata dengan lirih, "Raksasa itu tak bisa dilukai dengan senjata apa
pun. Ia bagaikan manusia tanpa darah."
Kata-kata Ciwuiani itu memang sama dengan
keterangan Kejora beberapa waktu yang lalu. Tapi apakah itu berarti Suto Sinting
harus membatalkan niatnya dalam menolong Ratu Dewi Cumbutari"
* * * 7 MEMANG pantas jika Ciwuiani menganggap si Raja Iblis; Barakoak, sebagai raksasa
yang buas, karena
Barakoak seorang berwajah sangar yang bertubuh tinggi besar. Ketinggian tubuhnya
melebihi tinggi badan Suto Sinting. Jika berdampingan, Suto Sinting hanya
sebatas pundaknya saja. Badannya kekar dan keras bagaikan batu, berkulit gelap
tapi bukan hitam keling.
Barakoak berkepala gundul, namun ia mempunyai brewok yang tumbuh dengan liar tak
teratur. Matanya besar, bibirnya tebal. Jika menyeringai tampak giginya yang
besar-besar pula. Wajahnya itu layak dikatakan sebagai wajah paling angker di
antara para wajah perampok.
Ia mengenakan jubah tanpa lengan warna merah
dengan tepian dilapis kain satin hitam mengkilap.
Celananya berwarna hitam satin dengan sabuk putih berhias logam-logam emas. Di
balik kain jubahnya yang merah itu ia tidak mengenakan baju lagi, sehingga
dadanya yang mirip seonggok batu gunung itu tampak berbulu tak teratur.
Kedua tangannya yang berlengan besar seperti batang pohon kelapa itu mempunyai
jari-jari cukup besar.
Orang mengatakan jari-jarinya sebesar pisang raja. Itu hanya kata kiasan belaka,
yang jelas jari-jari besar itu berkulit tebal dan mempunyai kuku runcing walau
tak seberapa panjang. Kakinya mengenakan gelang binggel dari logam emas, jika
berjalan bagaikan mengguncang bumi. Ia mengenakan kalung rantai emas berbandul
tengkorak bayi. Kedua lengannya kanan kiri bertato gambar naga terbang dari
batas ujung lengan sampai ke pergelangan tangan.
Memang menyeramkan penampilan sosok Barakoak, sehingga layak berjuluk si Raja
Iblis. Suaranya yang menggelegar
bagaikan menghentakkan jantung lawannya. Mata besarnya yang bertepian merah sering membuat darah lawan bagai
tak mengalir lagi jika memandang tanpa kedip.
Sekalipun demikian, seorang perempuan cantik
berambut panjang dengan ikat kepala dari rantai emas berbandul merah saga di
tengah keningnya, terpaksa harus beradu nyawa dengan si Raja Iblis itu.
Perempuan yang tanpa busana, tapi bagian kehormatannya ditutup dengan kulit
harimau loreng itu berjumpalitan ke sana-sini menghindari serangan Barakoak.
Perempuan itulah yang dikenal sebagai Ratu Dewi Cumbutari, penguasa negeri
Wilwatikta. Gerakannya yang lincah sering mengecohkan serangan Barakoak yang liar itu. Namun manusia tinggi besar itu tidak mudah
dilumpuhkan walau telah berkali-kali terkena tebasan pedang birunya Ratu Dewi
Cumbutari. Sementara itu, pemukiman rakyat negeri Wilwatikta sudah dibuat porak poranda
oleh amukan Barakoak.
Rumah-rumah mereka yang terbuat dari anyaman jerami berbentuk kerucut sebagian
telah terbakar dan masih mengepulkan asap, sebagian lagi rusak tak dapat dihuni
lagi. Sedangkan mayat-mayat pun tampak bergelimpangan di sana-sini. Pada umumnya kaum perempuan tanpa busana lengkap
itu mati dalam keadaan mengerikan; pecah kepalanya, robek dadanya, buntung
lehernya, amburadul isi perutnya dan sebagainya.
Pemandangan di desa Wilwatikta itu seperti pemandangan di neraka. Negeri itu menjadi ladang pembantaian bagi si Raja iblis
yang ingin menguasai wilayah tersebut.
Dengan sebilah pedang rampasan, Barakoak mengamuk sambil berteriak-teriak memekakkan telinga.
Ratu Dewi Cumbutari masih tangguh menghadapi
lawannya yang sama sekali tak seimbang itu. Kelincahan Dewi Cumbutari itulah
yang membuat Barakoak sulit melukai tubuh sang Ratu cantik.
Trangg... trrang ...!
Mereka beradu pedang dalam sekelebat. Ketika
pedang di tangan Barakoak ditebaskan ke depan dari atas ke
bawah, Dewi Cumbutari sudah berada di belakangnya. Zaaap...! Kemudian pedang Dewi Cumbutari yang memancarkan warna biru pijar itu menghujam
punggung Barakoak sambil lakukan lompatan ke atas. Jrrruubb...!
Pedang itu tembus sampai ke depan perut. Barakoak diam sambil menggeram dan
kepalanya berpaling ke belakang.
"Gggrrrmmm...!"
Dewi Cumbutari segera mencabut pedangnya dan
bersalto ke belakang menghindari sabetan pedang lawan.
Sluuub...! Ketika pedang dicabut, luka bolong itu mengatup bersama gerakan
terlepasnya pedang yang menembus punggungnya.
Zuuullp...! Daging dan kulit tubuh Barakoak menjadi rapat kembali, sepertinya tak pernah
mengalami luka seujung jarum pun. Peristiwa itu terlihat jelas di depan mata
Pendekar Mabuk yang bersembunyi di balik reruntuhan rumah jerami bersama
Ciwuiani. Perempuan yang bersamanya itu segera berbisik lirih,
"Itulah kehebatan si Raja iblis. Dari tadi tubuhnya tak bisa kami lukai, karena
setiap terluka, luka itu cepat mengatup dan lenyap sebelum darahnya keluar.
Akibatnya senjata kami tak ada yang berlumur darah."
"Itu yang dinamakan ilmu 'Urat Bumi', salah satu ilmu yang menjadi andalan si
Barakoak," bisik Suto Sinting, ia sengaja tak mau segera maju menyerang
Barakoak, karena ia perlu mempelajari kelemahan ilmu
'Urat Bumi' itu.
Barakoak hanya tertawa terbahak-bahak ketika
melihat perutnya tak terluka sedikit pun.
"Hah, hah, hah, nah...! Sudah kubilang, kau tak akan bisa mengusirku dari sini,
Dewi Cumbutari! Kau tak akan bisa unggul jika masih bersikeras menentangku!
Kusarankan sebaiknya kau menyerah dan jangan
melawanku, supaya nasibmu tidak seperti anak buahmu yang terkapar di sana-sini
itu!" "Sejengkal pun tanah ini akan kupertaruhkan dengan nyawaku!" ujar Ratu Dewi
Cumbutari. "Di sini tinggal kau dan aku, Barakoak! Setinggi apa pun kesaktian
ilmumu akan kulayani sampai titik darah penghabisan!"
Pendekar Mabuk sempat berbisik dalam gumam,
"Ratumu benar-benar punya keberanian besar. Pembelaannya terhadap tanah negeri ini tak tanggung-tanggung lagi."
"Itulah sebabnya kami diperintahkan lari menghindari amukan si Raja iblis.
Semula Barakoak dibantu oleh Ratu Sangkar Mesum, tapi entah di mana ia sekarang.
Setelah mengejar dua orang andalan kami, ia
menghilang tak muncul-muncul lagi."
"Dua orang andalan itu telah mati. Kurasa si Ratu Sangkar Mesum itulah yang
membunuh mereka."
"Ooh... benarkah begitu"! Apakah kau menemukan mayat mereka"!"
Pendekar Mabuk anggukkan kepala. "Kutemukan saat dalam perjalanan kemari.
Keduanya tak bernyawa.
Ketika aku ingin memeriksanya, tiba-tiba aku diserang Ratu Sangkar Mesum. Namun
kini perempuan itu telah mati pula."
"Kaukah yang membunuhnya"!"
Dengan tetap memandang ke arah pertarungan,
Pendekar Mabuk gelengkan kepala sebagai jawaban pertanyaan Ciwuiani.
"Ratu Sangkar Mesum mati dibunuh oleh Dewi Geladak Ayu, si bajak laut wanita
itu!" "Aku pernah mendengar nama itu, tapi belum pernah melihat seperti apa rupa si
bajak laut wanita itu!"
Pendekar Mabuk 056 Pembantai Raksasa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalau kau ingin melihat rupa si bajak laut wanita, pandanglah pohon yang ada di
seberang sana, dekat reruntuhan gapura itu!" Suto Sinting menunjuk ke arah yang
dimaksud. Ternyata di sana memang sudah berdiri sosok perempuan cantik memegangi
busur panahnya.
Agaknya ia sudah berada di balik pohon itu sejak tadi, sebelum kedatangan Suto
Sinting. Rupanya Dewi Geladak Ayu juga sedang mempelajari kelemahan Barakoak, sehingga sejak tadi ia hanya memperhatikan
pertarungan si Raja iblis dengan Ratu Dewi Cumbutari. Ia sendiri tak mengetahui
bahwa Pendekar Mabuk sudah ada di tempat itu, jauh di seberangnya dan sesekali
mencuri pandang ke arahnya.
"Agaknya Barakoak telah menguasai ilmu 'Urat Bumi'. Cukup sulit bagiku untuk
mengalahkan ilmu itu, tapi akan kucoba dengan panah 'Lebur Sukma' yang selama
ini tak pernah ada tandingannya," pikir Dewi Geiadak Ayu sambil matanya
memperhatikan gerakan Dewi Cumbutari menghujamkan pedang yang berwarna biru
pijar ke perutnya Barakoak.
Orang bertubuh tinggi besar itu sengaja tidak menghindar saat menerima tikaman
pedang pada perutnya. Bahkan kedua tangannya sedikit merentang, seakan
memberi peluang bagi lawan untuk menghujamkan pedang ke tubuhnya.
Bluuuuss...! Slaaap...!
Pedang menembus sampai ke punggung, tapi ketika ditarik kembali, lubang tusukan
itu mengatup dengan sendirinya bersama lolosnya mata pedang dari perut.
Dewi Cumbutari sentakkan kaki dan tubuhnya melambung naik, pedangnya berkelebat mengibas dari atas ke bawah. Craaasss...!
Wajah Barakoak nyaris terbelah dari kening sampai pusarnya. Tapi luka ternganga
itu merapat kembali dalam waktu hanya
sekejap, sehingga tubuh itu tak terluka sedikit pun.
"Hah, hah, hah, hah, hah...!" ia tertawa terbahak-bahak dengan dada sedikit
membusung. Ratu Dewi Cumbutari dibuat penasaran oleh ilmu
'Urat Bumi' itu. Kemarahannya membuat sesak
pernapasan, namun agaknya ia tak mudah menyerah begitu saja. Kali ini ia
pergunakan jurus pedang lainnya.
Dengan satu sentakan kaki ke tanah, pedang yang diarahkan ke dada Barakoak itu
tiba-tiba mengeluarkan sinar hijau lurus tanpa putus sebesar kelingking.
Slaaaapsss...! Sinar hijau itu tepat kenai dada Baiakoak, tembus sampai ke
punggung, bahkan sampai kenai sebatang pohon dan pohon itu langsung hancur
karena meledak. Blaaarr...!
Ketika sinar hijau itu padam, lubang yang tembus dari dada sampai punggung itu
mengatup kembali dan dada Barakoak tak mengalami luka sedikit pun. Bahkan bekas
menghitam hangus pun tak ada di dada itu.
"Hah, hah, hah. hah...! Sekarang giliranku menyerangmu, Cumbutari! Heeeeaaah...!"
Barakoak berteriak memanjang, suaranya bagai ingin memecah
langit karena kerasnya. Tangannya menghentak ke depan, dan dari tengah telapak tangan itu menyembur asap ungu
dengan derasnya. Wuuuusss...!
Di sela-sela semburan asap ungu tampak selarik sinar putih yang menghantam ke
dada Dewi Cumbutari.
Pedang berpijar biru segera menghadang tegak lurus di depan dada, dan sinar
putih itu menghantam pedang tersebut. Trrak, jegaaarrr...!
Ledakan dahsyat terjadi hingga mengguncangkan tanah dan pepohonan di sekitar
tempat itu. Dewi Cumbutari terpental setelah lebih dulu tersapu asap ungu. Tubuh
sekal itu bagai dilemparkan dengan tenaga yang amat kuat. Melayang tinggi dan
jatuh dalam jarak sekitar sepuluh langkah dari tempat berdirinya semula.
Brruk...! "Aaaahg...!" Sang Ratu mengerang dengan tubuh kejang. Warna kulitnya menjadi
berbintik-bintik ungu, seakan darahnya keluar dari pori-pori tubuh dan berwarna
ungu, bukan berwarna merah seperti darah biasanya.
"Huah, hah, hah, hah, hahhh...! Akhirnya kau modar juga oleh jurus racun 'Lidah
Bromo' yang tak ada obatnya itu, Cumbutari! Huah, hah. hah, hah...!"
Ciwuiani menjadi tegang,
ia bergegas ingin menyambar tubuh Ratu Dewi Cumbutari, namun
tangannya dicekal dan ditahan oleh Pendekar Mabuk.
"Ratu terkena racun ganas! Aku harus segera menolongnya!"
"Kau benar, tapi cari kesempatan yang baik untuk membawanya pergi supaya
Barakoak tidak melihat keberadaan kita di sini!"
Sang Ratu dalam keadaan sekarat. Darahnya yang tersumbul dari pori-pori kulit
menjadi banyak dan berwarna ungu. Tubuh sang Ratu bergetar seperti orang terkena
penyakit ayan. Mulutnya ternganga mengeluarkan busa dan busa itu pun berwarna ungu.
Barakoak masih menertawakan lawannya yang tak
berdaya lagi. Namun tiba-tiba tawa itu terhenti seketika karena sebuah anak
panah melesat dan menembus lehernya. Weesss...! Jluuub...!
Barakoak hanya terkejut dan palingkan pandangan ke arah datangnya anak panah.
Sementara itu, anak panah yang membara merah bagai besi terpanggang api itu
lolos terus, dari leher kiri tembus ke leher kanan dan melesat terus hingga
menghantam sebuah pohon.
Blegaaar...! Pohon itu pecah menjadi serpihan kayu yang menyebar ke mana-mana.
Sang anak panah segera kembali ke arah semula dengan cepat. Wuuut...!
Jluuub...! Ploosss...!
Kini tengkuk kepala Barakoak yang ditembus anak panah itu sampai ke leher. Anak
panah lolos dari leher depan dan melesat kembali kepada pemiliknya. Dewi Geladak
Ayu segera menangkap anak panah itu dengan tangan kanannya. Teeb...! Warna merah
membara pun padam seketika. Tetapi luka bolong di leher Barakoak segera merapat
kembali dan leher itu menjadi utuh bagai tak pernah ditembus panah dua kali.
"Rupanya kau mau membokongku, Geladak Ayu"!"
geram si Raja Iblis dengan pandangan matanya yang berang, ia segera melangkah
dekati Dewi Geladak Ayu yang telah berdiri tegak dengan kaki sedikit menganga,
seakan siap menghadapi serangan lawannya.
Zlaaap...! Pendekar Mabuk berkelebat cepat nyaris tak terlihat oleh Ciwuiani.
Tahu-tahu ia telah kembali sambil membawa tubuh Ratu Dewi Cumbutari yang
sekarat. Tuak sakti segera dituangkan ke mulut sang
Ratu. Tuak itu tertelan sedikit demi sedikit, namun tidak membuat kesembuhan
bagi luka racun yang diderita sang Ratu.
"Celaka! Tuakku tidak bisa mengalahkan racun
'Lidah Bromo' ini"!" gumam Suto Sinting dengan wajah tegang. Sang Ratu masih
menyentak-nyentak dalam keadaan kejang.
"Kudengar racun 'Lidah Bromo' tak pernah ada obatnya," bisik Ciwuiani. "Kalau
begitu, Ratu harus segera dibawa ke Sendang Ketuban."
"Hahh..."! O, iya... Sendang Ketuban"! Di mana letak Sendang Ketuban"!" tanya
Suto Sinting penuh semangat, karena ia segera ingat tujuan semula pergi
meninggalkan Kejora, Tua Bangka, dan Darah Prabu.
"Ikutlah aku...!" ujar Ciwuiani sambil merunduk-runduk agar gerakannya tak
terlihat Barakoak. Pendekar Mabuk mengangkat tubuh Ratu Dewi Cumbutari dan
mengikuti langkah Ciwuiani.
Ternyata yang dinamakan Sendang Ketuban terletak di dalam istana jerami yang
digunakan sebagai singgasana sang Ratu Dewi Cumbutari. Sendang itu berupa kolam
berair hijau bening yang saat itu dalam keadaan kotor sekelilingnya karena
hancurnya istana jerami tersebut. Namun sehelai jerami atau kotoran lain tak ada
yang sampai jatuh ke permukaan kolam berair hijau itu.
Ciwuiani segera menyiram tubuh sang Ratu dengan air kolam tersebut. Wajah sang
Ratu dicuci dengan tergesa-gesa, dan cairan-cairan ungu itu bagai menguap
dengan sendirinya. Makin lama semakin lenyap
sehingga tubuh Ratu Dewi Cumbutari menjadi bersih seperti sediakala.
Sungguh ajaib air Sendang Ketuban itu. Ratu Dewi Cumbutari segera sehat tanpa
rasa sakit sedikit pun.
Bahkan ia segera menyadari bahwa Pendekar Mabuk sudah berada di sampingnya.
"Kau datang juga rupanya," sapa sang Ratu kepada Pendekar Mabuk dan Suto Sinting
hanya berikan senyum ramah yang cukup menawan hati lawan
jenisnya. "Tujuanku sebenarnya mencari air Sendang Ketuban untuk sembuhkan luka seorang
sahabat, Ratu."
"Kalau begitu kau bisa membawanya pulang dalam sebuah
guci. Tapi terlebih dahulu aku akan menyelesaikan pertarunganku dengan si Raja Iblis itu!
Akan kuusir dia dari tanah kekuasaanku ini!"
"Tak perlu, biar aku yang mengusirnya, Ratu!" kata Suto
Sinting dengan lembut. "Barakoak bukan
tandinganmu! Akulah sekarang yang akan maju
melawannya!"
Ratu Dewi Cumbutari hanya memandangi Suto
Sinting dengan pandangan anggun berkesan bangga terhadap Pendekar Mabuk.
* * * 8 HATI Pendekar Mabuk merasa lega telah mengetahui letak air Sendang Ketuban.
Menurut cerita Ratu Dewi Cumbutari, air Sendang Ketuban memang berkhasiat khusus
untuk luka atau penyakit yang tak ada obatnya.
Air itu selalu dalam keadaan bersih dan bening dengan warnanya yang hijau
kemilau itu. Menurut keterangan sang Ratu, air itu tak bisa kotor, karena setiap
ada kotoran, seperti sehelai daun kering yang jatuh di permukaan air tersebut,
maka daun kering itu akan lenyap bagai menguap dan hilang tanpa bekas sedikit
pun sehingga air tetap kelihatan bersih dan bening.
Persoalan air Sendang Ketuban dikesampingkan dulu oleh Pendekar Mabuk. Kini yang
dipikirkan adalah menghadapi Barakoak yang berjiwa iblis keji itu.
Mereka bertiga menemui Barakoak di tempat pertarungan semula. Tetapi mereka terhenti di tempat persembunyian Suto Sinting
dan Ciwuiani semula. Dari sana mereka menyaksikan pertemuan antara Barakoak
dengan Dewi Geladak Ayu.
"Biarkan dulu si Geladak Ayu selesaikan urusannya dengan Barakoak, baru kau
bertindak jika kau memang ingin bertindak." ujar Ratu Dewi Cumbutari yang
agaknya sudah mengenal Dewi Geladak Ayu.
"Persoalan apa sebenarnya yang membuat Dewi Geladak Ayu bermusuhan dengan
Barakoak, Ratu?"
tanya Suto Sinting dengan rasa ingin tahunya.
"Barakoak pernah membantai habis anak buah Geladak Ayu dalam satu kapal yang
dipimpin oleh adik
kandungnya si Geladak Ayu. Kapal itu sendiri
dihancurkan oleh Barakoak di depan mata Geladak Ayu."
"Apakah Gusti Ratu kala itu menyaksikan sendiri"!"
sahut Ciwuiani.
"Tidak. Geladak Ayu yang menceritakan padaku, ketika kami mengadakan pertemuan
dengan beberapa tokoh silat lainnya, di puncak Gunung Purwa ini untuk
membicarakan pusaka kuno yang bernama Panji-panji Mayat."
Deeeg..! Jantung Suto Sinting langsung tersentak begitu mendengar Panji-panji
Mayat diucapkan oleh Ratu Dewi Cumbutari. Pendekar Mabuk pun segera ajukan tanya
dengan penuh semangat namun dalam lahiriyahnya ia bersikap kalem seakan kurang
tertarik dengan pusaka kuno itu.
"Apakah kau tahu banyak tentang pusaka itu, Ratu?"
"Entahlah. Yang jelas, sampai sekarang tak ada orang yang mengaku memegang
pusaka Panji-panji Mayat.
Ada yang bilang terbakar habis, ada yang bilang tenggelam di dasar samudera
dan... aku benar-benar tak tahu ke mana perginya pusaka kuno itu. Sudah lama aku
melupakan pusaka tersebut."
"Apakah kau semula juga ingin memiliki pusaka itu, Ratu?"
"Ya, karena pusaka itu adalah milik leluhurku."
"Leluhurmu..."!" Suto Sinting terkejut dalam suara berbisik. "Bukankah...
bukankah pusaka itu milik leluhur mendiang Jalma Dupi yang menikah dengan Sang
Ratri dari negeri Puri Gerbang Surgawi"!"
"Aku adalah adik Jalma Dupi yang telah dianggap hilang dan mati oleh
keluargaku."
"Ooh..."!" Suto Sinting semakin kaget mendengar penjelasan itu. "Berarti kau
adalah bibinya Dewi Hening, Dewi Kejora, dan Dewi Menik"!"
Kini sang Ratu ganti terperanjat. "Dari mana kau tahu nama anak-anak kakakku
itu"!"
"Ak... aku diminta bantuannya mengurus tentang pusaka Panji-panji Agung aiias
Panji-panji Mayat itu oleh mereka. Dan... kupikir mereka sudah tidak mempunyai
keluarga lagi. Barangkali mereka juga tidak tahu kalau masih mempunyai seorang
bibi yang masih hidup."
Ratu Dewi Cumbutari diam sejenak, lalu menarik napas panjang-panjang sambil
pandangi percakapan Dewi Geladak Ayu dengan Barakoak. Beberapa saat kemudian ia
perdengarkan suaranya yang mirip orang menggumam itu.
"Satu-satunya orang yang tahu persis tentang Panji-panji Mayat adalah ratu
negeri Puri Gerbang Surgawi yang berkuasa di Pulau Serindu."
"Apa..."!" Suto Sinting semakin kaget dan terheran-heran.
"Tanyakanlah kepada Gusti Mahkota Sejati, Ratu di negeri Puri Gerbang Surgawi
yang mempunyai nama asli Dyah Sariningrum. Sebab dialah yang menyarankan kepada
Sang Ratri agar pusaka itu dititipkan kepada seseorang sebelum direbut oleh
keluarga si Raja Iblis
itu!" "Dyah Sariningrum..."!" Pendekar Mabuk sempat berdebar-debar mendengar ucapan
itu, sebab nama Dyah Sariningrum sebenarnya adalah sebuah nama yang selalu
terukir di hati dan terucap di kalbunya. Barangkali sang Ratu belum tahu bahwa
Dyah Sariningrum adalah calon istri Suto Sinting sesuai dengan garis kodrat yang
telah diketahui oleh si Gila Tuak.
Pendekar Mabuk 056 Pembantai Raksasa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Suto Sinting tinggal menyerahkan satu maskawin untuk Dyah Sariningrum, yaitu
kepala Siluman Tujuh Nyawa, tokoh sesat yang terkutuk dan telah memakan korban
ratusan nyawa orang tak berdosa itu.
Blegaaar...! Lamunan Suto tergugah oleh bunyi ledakan yang menggelegar membuat tanah bergetar
bagai dilanda gempa setempat. Ledakan itu timbul akibat pertarungan Dewi Geladak
Ayu dengan Barakoak yang sudah tidak membutuhkan bincang-bincang lagi. Dewi
Geladak Ayu tampak terpental akibat ledakan tersebut, sedangkan Barakoak masih
berdiri tegak dan kokoh, bagaikan gunung yang sukar dirobohkan.
"Kedatanganmu sama saja membuang nyawa tanpa arti, Geladak Ayu! Kau tak akan
unggul melawanku, Perempuan Jalang!" geram Barakoak dengan matanya yang
memandang penuh nafsu membunuh.
Dewi Geladak Ayu segera bangkit dari jatuhnya, ia mengambil sebatang anak panah
dari punggungnya.
Rupanya anak panah yang tadi sempat menembus leher Barakoak telah hancur akibat
ledakan tadi. Barakoak
menghantam anak panah yang dilepaskan ke arahnya dengan pukulan tenaga dalam
yang tak sempat dilihat Suto Sinting. Tahu-tahu telah terjadi ledakan dan Dewi
Geladak Ayu terpental lima langkah dari tempatnya berdiri semula.
Kini Dewi Geladak Ayu bersiap lepaskan anak panah yang sudah dipasang di
busurnya. Anak panah itu memancarkan sinar hijau berpendar-pendar pada bagian
ujungnya. Tentunya mempunyai kedahsyatan lebih tinggi dari yang telah hancur
itu. "Masih kurang puas kau"! Cobalah lepaskan semua anak panahmu ke dadaku! Kau akan
tahu bahwa aku adalah orang terkuat yang tak bisa dirobohkan oleh siapa pun!"
gertak si Raja Iblis dengan mata mendelik penuh tantangan.
Suaranya yang keras menghentak menggetarkan
dahan-dahan pohon. Dewi Geladak Ayu sempat grogi, sehingga anak panahnya jatuh
ke tanah dan segera dipungutnya lalu dipasang ke tali busur. Tali busur pun
mulai direntangkan.
Pendekar Mabuk melihat kecemasan mulai membayang di wajah Barakoak. Dalam hati sang
Pendekar Mabuk berkata,
"Ia kelihatan takut dengan panah itu, tapi ia beranikan diri dan Dewi Geladak
Ayu tak mengetahuinya.
Hmmm... mengapa Dewi Geladak Ayu tak mau segera lepaskan panahnya" Padahal dada
itu terbuka lebar-lebar dan... dan... oh, sekarang Barakoak menutup dadanya
seakan tak mau menerima panah itu. Mengapa begitu"!"
Anak panah segera dilepaskan. Claaap...! Sinar hijau di ujung anak panah itu
menjadi besar berpendar-pendar bagai api tertiup angin. Barakoak tidak
membiarkan anak panah itu menembus dadanya, ia menghentakkan kakinya ke bumi.
Duuhg! Dengan tangan tak berpedang terangkat ke atas, anak panah yang meluncur ke
arahnya itu berhenti di udara tanpa gerakan sedikit pun. Warna hijau di ujung
anak panah itu padam seketika. Hal itu membuat mata Dewi Geladak Ayu tampak
tercengang, demikian pula mata Ratu Dewi Cumbutari, Pendekar Mabuk, dan
Ciwuiani. Mereka memandang heran melihat kemampuan Barakoak menghentikan anak panah di udara.
"Hebat sekali ilmunya"! Anak panah bisa dihentikan di udara tanpa bergerak
sedikit pun"!" ujar Ciwuiani bernada kagum.
"Heeeeah...!" seru Barakoak sambil menghantamkan pukulannya ke anak panah itu.
Prrraak...! Anak panah pun remuk tanpa dentuman sedikit pun. Lalu tiba-tiba
pedang di tangan kirinya dilemparkan ke arah Dewi Geladak Ayu dengan gerak
seperti melempar tombak.
"Makan pedang ini, haaah...!" Wuuuus....!
Dewi Geladak Ayu melesat naik melebihi ketinggian terbang pedang tersebut.
Wuuuut...! Pedang itu berkelebat di bawah kaki Dewi Geladak Ayu. Dan tiba-tiba
kaki perempuan itu menapak di permukaan pedang, sehingga pedang yang melayang
itu berhenti sejenak, kemudian kaki itu menyentak ke depan dan pedang itu
berbalik arah. Kini pedang itu melesat ke arah Barakoak.
Wuuusss...! Barakoak hanya menggeram ketika pedang itu datang dan menghujam dadanya hingga
tembus ke belakang lalu lolos terus sampai menemukan tempat untuk menancap. Luka
bolong di dada mengatup kembali dengan cepat tak sampai meneteskan darah sedikit
pun. "Kuremukkan batok kepalamu, Perempuan Rakus...!
Heeeaah...!"
Wuuus...! Tubuh tinggi besar bagaikan raksasa itu melompat dengan kecepatan
tinggi, menerjang tubuh Dewi Geladak Ayu yang sedang turun dari gerakan melayang
tadi. Brrrus...! Ploook...!
Terdengar suara pukulan telak mendarat di pipi Dewi Geladak Ayu. Pukulan itu
sempat memancarkan sinar merah sekejap, lalu padam seketika. Berarti pukulan itu
mempunyai kekuatan tenaga dalam yang cukup tinggi dan beradu dengan hawa murni
yang disalurkan oleh Dewi Geladak Ayu ke daerah kepalanya.
Sekalipun demikian, tubuh perempuan cantik itu pun terlempar berguling-guling di
tanah. Beberapa anak panahnya terlepas dari tempatnya. Dewi Geladak Ayu
menggeram sambil meraih salah satu anak panahnya.
Keadaan hidung dan mulutnya sudah berdarah mengerikan. "Ajalmu telah tiba, Barakoak! Roh adikku akan senang melihat kematianmu dari
alam sana! Hiaaah...!"
Wuuut...! Anak panah itu melesat cepat ke arah Barakoak dalam keadaan
memercikkan cahaya biru bagai lidah-lidah petir. Barakoak bukan diam saja,
melainkan berusaha menghindari anak panah itu dengan satu lompatan cepat dan
berguling di tanah satu kali.
Suara gerakannya bagaikan gemuruh bebatuan menggelinding dari atas lereng bukit. Gluuduk, wuuurrs...!
Dalam sekejap Barakoak sudah bangkit kembali dan anak panah itu menghantam
gugusan batu di kejauhan sana. Blegaaar...! Batu besar itu pun hancur menjadi
serbuk hitam yang beterbangan ke mana-mana.
"Mengapa ia menghindari anak panah itu?" pikir Suto Sinting secara diam-diam.
Matanya memandang terus ke arah pertarungan tanpa berkedip.
Dewi Geladak Ayu hendak mengambil anak panah
yang tersisa dan terjatuh di tanah. Namun tiba-tiba Barakoak melompat dan
kakinya jatuh tepat di tangan Dewi Geladak Ayu. Bluuuk...!
"Aaaauh...!" perempuan itu menjerit kesakitan, tangannya bagai ditindih dengan
besi sebesar almari.
Kaki kiri Barakoak segera menendang wajah cantik itu.
Ploook...! Tubuh Dewi Geladak Ayu tak bisa terpental karena tangannya diinjak kaki kanan
Barakoak. Akhirnya perempuan itu menjadi sasaran kaki kiri Barakoak yang
menendangnya secara bertubi-tubi. Biarpun darah menyembur dari mulut Dewi
Geladak Ayu, namun
Barakoak bagai orang kesetanan, tetap menghajar perempuan itu dengan tendangan
kakinya yang bertenaga dalam. Bahkan tubuh montok itu sempat terkapar dalam keadaan tangan
terlepas dari injakan kaki
lawan. Namun kini justru dadanya yang menjadi sasaran Barakoak. Dada itu
diinjak-injak seenaknya dengan suara geram kebencian menggema panjang.
Brus, brus, brus, bruuhk, brruhk...!
"Heeehehgg...!" Dewi Geladak Ayu mendelik dengan mulut semburkan darah kental.
"Modar kau! Modar kau! Heeeah...!" Barakoak menggeram penuh nafsu menumbuk tubuh
sekai itu. Zlaaap...! Ploook...!
Tiba-tiba tengkuk kepala Barakoak terasa dijatuhi batu sebesar gunung. Rupanya
Pendekar Mabuk tak tega melihat perempuan cantik itu diinjak-injak oleh
Barakoak. Ia berkelebat menggunakan jurus 'Gerak Siluman' untuk menerjang tubuh
raksasa itu. Akibatnya, tubuh besar itu terjungkal dan berguling-guling sampai
sejauh lima langkah dari tempatnya berdiri.
"Bangsaaat...!" teriak Barakoak. "Rupanya kau ikut campur juga, hah"! Melihat
bumbung tuak dan ciri pakaianmu, pasti kau yang bernama Pendekar Mabuk, yang
menghancurkan Candi Bangkai tempatku bertakhta!"
"Memang akulah si Pendekar Mabuk, murid Gila Tuak!" jawab Suto Sinting dengan
tegas. "Gggrrmm...!
Kuhancurkan kau sebagai pembalasanku atas kelancanganmu tempo hari. Heaah...!"
Tiba-tiba kedua tangan Barakoak menyentak ke
depan dan gelombang angin yang menyerupai badai berhembus cukup kuat.
Wuuussss...! Pendekar Mabuk terpental tunggang langgang.
Tubuhnya terbawa terbang dan membentur-bentur pohon serta reruntuhan rumah
jerami. Guzraaak...! Akhirnya ia terhempas masuk dalam reruntuhan rumah jerami.
Seketika itu pula Barakoak lepaskan sinar merahnya dari ujung jari telunjuk.
Claaap...! Sinar merah meluncur cepat kenai reruntuhan jerami.
Blaarrr...! Reruntuhan jerami terbakar, apinya berkobar-kobar. Suto Sinting ada
di dalamnya. "Sutooo...!" teriak Ratu Dewi Cumbutari dengan tegang, ia dan Ciwuiani berlari
mendekati kobaran api.
Namun belum sampai terlalu dekat, sekelebat bayangan keluar dari dalam kobaran
api. Zlaaap...! Pendekar Mabuk berhasil lolos dari kobaran api dengan gerakan
cepatnya, ia segera berdiri tak jauh dari Ciwuiani.
Matanya memandang tajam pada Barakoak setelah menenggak tuaknya sesaat. Barakoak
menghampirinya dengan menggeram buas.
"Ciwuiani, pinjam pedangmu...!" kata Suto sambil mengulurkan tangan ke samping,
tapi matanya masih memandangi Barakoak. Ciwuiani serahkan pedangnya, lalu
Pendekar Mabuk segera maju dengan bumbung tuak diselempangkan ke belakang.
"O, kau mau pakai senjata"! Boleh saja, kalau perlu bawa semua senjata dan
hujamkan ke tubuhku! Kau tak akan bisa melukaiku, Pemuda Hina!"
Sreeek...! Ujung pedang digesrekkan ke tanah.
Barakoak terbelalak kaget dan hentikan langkah dengan
wajah tegang. Pendekar Mabuk segera maju mendekat.
Barakoak mundur dua langkah sambil menyimpan
kecemasan. "Mau apa kau, haahhh...!"
teriaknya sambil melepaskan serangan berupa sinar biru dari kedua telapak tangannya. Wut,
wuuut...! Sinar itu dihindari Suto Sinting dengan bersalto di udara dalam
ketinggian melebihi kedua sinar tersebut. Wes, wes...! Tubuh itu melayang
melintasi atas kepala Barakoak. Pedang pun segera ditebaskan dalam gerakan
cepat. Beeet...!
Crraasss...! "Aaaahhhggrr...!" Barakoak memekik keras, pundak kanannya terbelah nyaris putus.
Darah menyembur ke mana-mana. Sang Ratu dan Ciwuiani terperangah bengong melihat
Pendekar Mabuk mampu lukai si Raja Iblis itu.
Baru saja kaki Suto Sinting menyentuh ke bumi, tubuhnya telah melesat kembali ke
atas. Wuuut...! Pada saat itu Barakoak oleng ke kiri dan membalik badan hingga
berhadapan dengan Suto Sinting. Namun tangan Pendekar Mabuk sudah telanjur
berkelebat menebaskan pedang dari kanan ke kiri. Wuuut...! Crrraasss...!
"Oohh..."!"
Suara pekikan itu bukan datang dari mulut si Raja Iblis, melainkan dari mulut
Ratu Dewi Cumbutari yang terkejut dan kagum melihat Suto Sinting berhasil
memenggal kepala Barakoak. Gerakan pedang yang cepat membuat Barakoak sempat
mendelik walau lehernya telah putus ditebas pedang. Ketika ia terhuyung
ke belakang, kepalanya pun segera menggelinding jatuh ke tanah. Plook...! Kejap
berikutnya tubuh tanpa kepala itu pun tumbang berdebam bagai sebatang pohon roboh.
Bluuuuk...! Semua mata yang memandang kejadian itu terbelalak tak berkedip. Semua mulut
ternganga bengong. Mereka merasa seperti berada di alam mimpi melihat Barakoak
yang mempunyai ilmu 'Urat Bumi' itu ternyata mampu dipenggal oleh Pendekar Mabuk
tanpa menggunakan pedang pusaka. Sementara pedang pusaka milik Ratu Dewi
Cumbutari justru hancur pada saat digunakan menangkis sinar dan asap beracun
ungu tadi. Setelah menyadari si raksasa Barakoak telah tumbang terpenggal kepalanya, Ratu
Dewi Cumbutari segera hampiri Suto Sinting dengan senyumnya yang ceria.
Ciwuiani sendiri sunggingkan senyum kemenangan sambil menerima pedangnya kembali
dari tangan Pendekar Mabuk.
"Terima kasih atas bantuanmu," hanya itu yang bisa diucapkan oleh Ratu Dewi
Cumbutari dengan mata berkaca-kaca
memendam tangis keharuan dan kebahagiaan karena negerinya bebas dari ancaman maut si Raja Iblis.
Pendekar Mabuk hanya menepuk-nepuk pundak sang Ratu tanpa sungkan-sungkan, lalu
terselip sebaris kata menggelitik darinya.
"Kau semakin cantik jika mengucapkan terima kasih selembut itu, Ratu. Tapi
bagiku lebih penting mendapatkan
air Sendang Ketuban daripada mendapatkan ucapan terima kasih, sebab seorang sahabat dalam keadaan terancam
maut jika tak segera dapatkan air Sendang Ketuban itu."
"Ciwuiani akan menyiapkan air itu untuk kau bawa pulang. Jangan pikirkan hal itu
lagi!" jawab Ratu Dewi Cumbutari.
"Uuuhhg...!" terdengar erangan Dewi Geladak Ayu, si bajak laut wanita yang
terluka parah itu. Pendekar Mabuk segera hampiri perempuan tersebut, kemudian
memberi minum dengan tuaknya. Tuak sakti itulah yang membuat nyawa Dewi Geladak
Ayu tertolong dan ia menjadi sehat kembali seperti sediakala.
"Mengapa kau menyelamatkan nyawaku?" ucap sang bajak laut wanita masih bernada
angkuh. "Karena kau pernah menyelamatkan nyawaku pula dari ancaman jurus mautnya Ratu
Sangkar Mesum,"
jawab Suto Sinting dengan seulas senyum menawan.
"Satu lagi yang ingin kuketahui, dari mana kau bisa temukan rahasia menembus
ilmu 'Urat Bumi'-nya si Barakoak itu?"
Pendekar Mabuk 056 Pembantai Raksasa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hanya bersifat untung-untungan. Kulihat ia merasa cemas dan takut ketika anak
panahmu jatuh ke tanah, ia tak berani membiarkan anak panah itu menembus
tubuhnya. Juga ketika kau memungut anak panah yang berantakan, ia hanya berani
menghindari anak panah itu sampai berjungkir balik di tanah. Maka kesimpulanku,
ilmu 'Urat Bumi' akan tumbang jika menggunakan senjata yang sebelumnya harus
terkena debu atau tanah lebih dulu. Kucoba menggoreskan pedangku ke tanah,
dan kulihat ia terkejut serta ketakutan. Maka yakinlah aku bahwa tanah menjadi
kunci untuk melumpuhkan ilmu 'Urat Bumi'-nya itu."
Dewi Geladak Ayu menghembuskan napas. Lalu
berkata dengan nada datar,
"Kau bukan hanya tampan, namun juga cerdik!
Kapan-kapan kita bertemu lagi!"
Wuuuutt...! Bajak laut wanita itu segera melesat pergi tanpa pamit kepada Ratu
Dewi Cumbutari. Namun agaknya sang Ratu tidak peduli hal itu. Perhatiannya lebih
tertuju kepada Suto Sinting yang dianggap sebagai pahlawan, penyelamat negeri
Wilwatikta. Tak heran jika kepulangan Suto Sinting diantar oleh sang Ratu
sendiri sampai di perbatasan. Lambaian tangannya menyertai perjalanan pulang
Suto Sinting yang membawa guci berisi air Sendang Ketuban. Namun sebelum ia tiba
di gua, terlebih dulu ia mengambil mayat Kenanga Pilu dan dibawanya ke Perguruan
Tapak Dewa. Selesai memberi penjelasan apa adanya, barulah berangkat menemui
Kejora, Tua Bangka, dan Darah Prabu yang menderita racun berbahaya itu.
Namun di perjalanan benak Suto Sinting sempat bertanya pada dirinya sendiri,
"Jadi sebenarnya siapa yang menyimpan pusaka Panji-panji Agung itu" Benarkah
calon istriku; Dyah Sariningrum, mengetahui rahasia Panji-panji Agung itu"!"
SELESAI PENDEKAR MABUK Segera terbit!!!
MISTERI BAYANGAN UNGU
Pembuat E-book:
Scan buku ke DJVU: Abu Keisel
Convert & Edit: Paulustjing
Ebook oleh: Dewi KZ
http://kangzusi.com
http://dewi-kz.info
http://www.tiraikasih.co.cc/
http://ebook-dewikz.com/
Naga Sasra Dan Sabuk Inten 15 Joko Sableng 39 Dayang Tiga Purnama Memanah Burung Rajawali 16
tanpa lengan warna biru laut itu berkibar bagaikan sayap seekor burung betina.
Dalam sekejap perempuan berdada besar itu telah berdiri di depan Pendekar Mabuk,
memandang dengan sorot mata yang dingin.
Pendekar Mabuk merasa belum pernah jumpa dengan perempuan yang berusia sekitar
tiga puluh tahun itu, tapi mungkin juga usianya jauh lebih tua jika ia
menggunakan aji pengawet ayu. Yang jelas perempuan itu masih menarik dan sosok
tubuhnya yang sekal berkulit sawo matang itu masih mengundang gairah untuk
bercumbu bagi lawan jenisnya, ia mengenakan penutup dada warna kuning tipis,
sehingga apa yang ditutupi itu dapat terlihat secara samar-samar. Pakaian
bawahnya sebuah celana longgar dari kain biru tipis yang menampakkan perabot
wanitanya secara samar-samar pula. Apalagi dalam keadaan mendapat sorotan sinar
dari belakang, tubuh elok itu terbayang jelas bagaikan tanpa busana lagi.
"Kau yang bernama Suto Sinting dengan gelar sombongnya berjuluk Pendekar Mabuk
itu"!"
"Benar. Siapa dirimu sebenarnya" Aku merasa tak pernah mengenalmu!" jawab Suto
Sinting dengan keramahan tertahan karena sikap perempuan itu cukup ketus dan
angkuh. Namun matanya yang berbulu lentik itu memandang dengan tajam bagai
mempunyai dua makna; antara bermusuhan dan berkawan.
Di sanggul perempuan itu terdapat tusuk konde dari sebatang emas berbentuk
sumpit. Ujung tusuk kondenya mempunyai
hiasan ronce-ronce benang merah, sedangkan ujung yang satunya lagi berbentuk runcing seperti mata jarum. Agaknya
tusuk kondenya itu juga bisa digunakan sebagai senjata sewaktu-waktu.
Punggungnya menyandang tempat panah berjumlah enam batang. Sementara di tangan
kirinya ia menggenggam busur dari kayu lentur berlapis gading sebagai penghiasnya.
"Kalau aku membunuh si Sangkar Mesum bukan karena aku menyelamatkan nyawamu,
tapi karena dia mengkhianatiku. Dia bergabung dengan Barakoak, si Raja Iblis
itu, padahal Barakoak adalah musuhku. Jadi aku terpaksa membunuhnya bukan demi
menyelamatkan nyawamu!"
"Barakoak masih hidup?" gumam Suto Sinting dalam hati. "Berarti dia tidak ikut
mati bersama reruntuhan batu candinya itu"!"
Perempuan itu mencabut anak panahnya yang
membara seperti baja dari tubuh Ratu Sangkar Mesum yang sudah tak bernyawa lagi
itu. Sluuub...! Ketika anak panah sudah tercabut, warnanya berubah menjadi
kuning gading, tak berasap dan tak memancarkan warna merah bara lagi. Anak panah
itu segera dimasukkan pada tempatnya yang ada di punggung. Mata perempuan itu
mengawasi Suto Sinting, sementara Suto Sinting juga pandangi perempuan itu
dengan sikap tenang, ia mencoba menerka-nerka siapa perempuan itu sebenarnya
sehingga merasa dikhianati oleh Ratu Sangkar Mesum, namun sampai beberapa saat
ia tak menemukan jawaban yang pasti, sehingga sebuah pertanyaan pun diajukan
kepada perempuan itu.
"Boleh kutahu namamu"!"
Perempuan itu mendekat dengan langkahnya yang tegap, pandangan matanya masih
berkesan dingin, seakan meremehkan penampilan Suto Sinting. Dalam jarak tiga
langkah ia berhenti, dagunya sedikit terangkat hingga sikap sombongnya semakin
terlihat jelas.
"Kau tak perlu tahu siapa diriku. Yang perlu kau ketahui, aku muak mendengar
kabar tentang dirimu yang digembar-gemborkan sebagai pendekar sakti dan dipuji-
puji oleh mereka. Suatu saat aku akan menantangmu bertarung sampai mati!"
Setelah bicara begitu ia berbalik ingin tinggalkan tempat, tetapi Suto Sinting
cepat serukan kata sebagai pencegah langkahnya.
"Tunggu...!"
Perempuan itu hentikan gerakan dan berpaling ke belakang melirik Pendekar Mabuk.
Pemuda tampan itu mencoba sunggingkan senyumannya yang menawan.
Rupanya ada perubahan tipis di hati perempuan itu yang merasakan desiran halus
menatap senyuman Pendekar Mabuk. Namun desiran indah yang samar-samar itu tidak
membuat bibirnya membalas senyum Suto Sinting.
Hanya saja ia tak jadi melangkah pergi dan kini berhadapan dengan Suto kembali.
"Kau bilang Ratu Sangkar Mesum bersekutu dengan Barakoak. Apakah itu betul"
Kusangka Barakoak alias si Raja Iblis itu mati bersama reruntuhan candinya."
"Nyatanya ia dibantu oleh Ratu Sangkar Mesum
untuk merebut wilayah kekuasaan Dewi Cumbutari! Ia menjanjikan sesuatu kepada
Sangkar Mesum, sehingga Sangkar Mesum bersekutu dengannya menyerang negeri
Wilwatikta."
Pendekar Mabuk terperanjat dalam hatinya. Negeri Wilwatikta adalah tempatnya
tersesat kala melakukan perjalanan bersama Kabut Merana. Dan perempuan yang
bernama Dewi Cumbutari itu adalah penguasa negeri yang masyarakatnya tidak
mengenal busana walau terdiri dari kaum perempuan semua itu. Pendekar Mabuk
bersahabat baik dengan Dewi Cumbutari yang pernah membantunya dengan teropong
indera keenamnya, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Bayi Pembawa
Petaka"). Padahal rencana Suto Sinting untuk menemukan Sendang Ketuban akan
singgah ke desa yang menjadi negeri Wilwatikta dan meminta bantuan Dewi
Cumbutari untuk menemukan sendang tersebut.
"Mengapa kau diam saja"! Kau terkejut mendengar Barakoak masih hidup"!" ujar
perempuan berwajah agak lonjong itu.
"Aku hanya memikirkan siapa dirimu sebenarnya,"
jawab Suto Sinting sedikit berkesan menggoda.
"Wawasanmu begitu rendahnya hingga tak mengenal adanya bajak laut wanita yang
kesohor kesaktiannya ini!
Aku tak bisa bicara terlalu lama dengan orang yang berwawasan rendah. Sebaiknya
kugunakan waktuku untuk menemui Barakoak dan membuat perhitungan dengannya!"
Weeeesss...! Perempuan itu cepat sentakkan kaki ke
tanah dan lakukan lompatan panjang mirip terbang, ia melesat pergi tinggalkan
Suto Sinting yang masih terbengong di tempat. Dalam hati sang Pendekar Mabuk
sempat membatin heran,
"Bajak laut wanita"! Hmm... kalau tak salah Resi Pakar Pantun pernah
menceritakan tentang si bajak laut wanita yang memihak Ratu Sangkar Mesum dalam
menyerang negeri Bumiloka, tempat Kertapaksi dan keluarganya bertakhta di sana.
Kalau tak salah... Resi Pakar Pantun menyebut nama Dewi Geladak Ayu, si bajak
laut wanita. Oh, apakah perempuan itu yang bernama Dewi Geladak Ayu"!"
Kemudian Suto Sinting membayangkan pertemuannya dengan Resi Pakar Pantun pada saat sang Resi melawan orang dalam
tandu hitam. Kata-kata Resi Pakar Pantun terngiang kembali di telinga Suto
Sinting, sehingga hatinya semakin yakin bahwa perempuan itu adalah Dewi Geladak
Ayu yang dikenal dengan senjata pusakanya bernama Panah Lebur Sukma itu, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Gundik Sakti").
"Firasatku mengatakan, Dewi Geladak Ayu pergi ke Wilwatikta untuk menemui si
Raja Iblis; Barakoak!
Kalau begitu aku harus mengikuti langkahnya agar bisa sampai ke Wilwatikta."
Zlaaap...! Jurus 'Gerak Siluman' dipergunakan oleh Pendekar Mabuk. Ternyata
kecepatan jurus itu mampu melebihi kecepatan gerak Dewi Geladak Ayu. Dalam waktu
singkat perempuan itu telah tersusul oleh Suto Sinting. Bahkan Suto berhasil
mendahului di depan
langkah Dewi Geladak Ayu. Tetapi ia tak mau
tampakkan diri dan tetap mengawasi dari tempat yang tersembunyi. Ke mana pun
langkah Dewi Geladak Ayu dibayang-bayangi terus oleh Suto Sinting.
"Oh, dia berhenti..."!
Sepertinya ada yang menghadang langkahnya"!" pikir Suto Sinting dari kejauhan, ia bersembunyi di
balik batu yang ada di lereng sebuah bukit. Dari tempatnya dapat terlihat jelas
kehadiran seseorang yang menghadang langkah Dewi Geladak Ayu. Bahkan dengan
menggunakan ilmu 'Sadap Suara', Suto Sinting mampu mendengar dengan jelas
percakapan yang dilakukan Dewi Geladak Ayu dengan penghadangnya.
"Kenanga Pilu..."!" gumam Suto Sinting lirih sekali walau hatinya sempat
terkejut begitu pandangannya diperjelas.
Kenanga Pilu adalah murid tokoh tua yang beraliran putih dan dikenal dengan nama
Eyang Darah Guntur dari Perguruan Tapak Dewa. Gadis cantik berjubah Jingga itu
bertemu dengan Suto Sinting dalam keadaan terkena kutukan seorang tokoh sakti
beraliran hitam, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Kutukan Pelacur
Tua"). Sejak kematian si Pelacur Tua, kutukan itu telah lenyap dari diri Kenanga
Pilu, tentunya tindakan Kenanga Pilu menghadang langkah Dewi Geladak Ayu tidak
sebrutal dulu. Tetapi mengapa sekarang Kenanga Pilu menghadang langkah Dewi
Geladak Ayu dengan sikap bermusuhan" Hal itu sangat menarik perhatian Pendekar
Mabuk, sehingga perhatiannya tercurah
sepenuhnya ke arah Kenanga Pilu dan Dewi Geladak Ayu.
Dengan pedang di pinggang, Kenanga Pilu berdiri sigap dengan kaki sedikit
merentang, jaraknya hanya empat langkah dari Dewi Geladak Ayu. Mereka saling
beradu pandang dengan sinis, agaknya keduanya sudah saling kenal, sehingga tak
ada rona heran di kedua wajah mereka.
"Apa maksudmu menghadang langkahku, Kenanga Pilu"!"
"Menuntut kematian Paman Guru Juru Taman!"
jawab Kenanga Pilu tegas dan membuat Suto Sinting terperanjat kaget.
"Ooh, Resi Juru Taman ternyata sudah tewas di tangan Dewi Geladak Ayu"! Hmmm...
baru sekarang kudengar kabar itu. Sejak kapan beliau tewas"!" Suto Sinting
membatin penuh keheranan, ia juga mengenal Resi Juru Taman sebagai adik dari
Eyang Darah Guntur yang dulu ikut menyelamatkan Kenanga Pilu dari serangan
orang-orang yang ingin menuntut balas atas tindakan liar gadis itu.
Renungan Suto atas nasib sial Resi Juru Taman itu terputus, perhatiannya
dikembalikan kepada ketegangan di depan sana, karena Dewi Geladak Ayu
perdengarkan suara ketusnya.
"Apakah kau tak berpikir menggunakan otakmu, hah"! Kalau orang yang kau sebut-
sebut sebagai paman guru saja mati di tanganku, mengapa kau mau coba-coba
melawanku"! Bukankah perlawananmu sama saja
dengan menyerahkan nyawa secara sia-sia"! Karenanya, kusarankan padamu agar
tidak coba-coba menuntut balas padaku, Kenanga Pilu!"
"Persetan dengan saranmu!" hardik Kenanga Pilu, kemudian segera mencabut
pedangnya. Sraaaaang...! Dewi Geladak Ayu masih diam, hanya sunggingkan senyum sinisnya. Tak merasa
gentar sedikit pun terhadap gertakan Kenanga Pilu. Nyalinya tetap besar walau
Kenanga Pilu sudah menggenggam pedangnya.
"Dengar kataku, Gadis Bodoh...," ujarnya makin meremehkan Kenanga Pilu.
"Kematian Juru Taman bukan karena kesalahanku. Dia sendiri yang bikin ulah
berlagak menjadi pelindung bagi pihak negerinya Kertapaksi. Dia sama saja dengan
si Pakar Pantun; sama-sama ingin menjadi jagoan dan dapat pujian, akibatnya
nyawa si Juru Taman melayang tanpa
penghargaan. Kerajaan Bumiloka sudah berhasil kuhancurkan. Sayangnya, Kertapaksi dan gurunya; si Pakar Pantun, melarikan diri
tak terkejar olehku.
Ternyata Sangkar Mesum pun tak becus mengejar Pakar Pantun, bahkan sekarang dia
berkhianat padaku, bersekutu dengan Barakoak!"
"Itu urusanmu, aku tak mau dengar!"
"Kau perlu mendengarkannya, Anak Manis!" ledek Dewi Geladak Ayu. "Kau perlu
menyimak keteranganku agar pihakmu tahu bahwa kematian Juru Taman adalah akibat
kesalahannya sendiri. Dan kau perlu tahu, Ratu Sangkar Mesum yang selama ini
menjadi sahabat baikku
saja bisa kubunuh jika mengecewakan diriku, apalagi kau yang baru kemarin sore
dan bukan apa-apaku! Ilmu yang kau miliki masih jauh di bawah si Sangkar Mesum,
tak ada gunanya kau menuntut balas atas kematian paman gurumu itu."
Pendekar Mabuk sempat berpikir, "Kalau begitu negeri Bumiloka telah hancur, dan
Kertapaksi masih hidup tapi melarikan diri. Hmmm.... Lantas siapa yang menguasai
negeri Bumiloka itu"! Bukankah sebenarnya negeri itu ingin dikuasai oleh Ratu
Sangkar Mesum"
Tapi perempuan itu kini telah tewas. Apakah dengan begitu Dewi Geladak Ayu ingin
menguasai negeri Bumiloka"!"
"Aku punya usul padamu, Gadis Tolol...," ujar Dewi Geiadak Ayu. "Kalau kau ingin
bikin perhitungan denganku, datanglah ke Bumiloka dan hadapi anak buahku dulu.
Kalau kau unggul melawan mereka satu-persatu, kau boleh melawanku. Jadi aku tak
buang-buang waktu dengan melawan gadis kerempeng
sepertimu itu, Kenanga Pilu."
"Dalam sekali gebrak anak buahmu akan binasa di tanganku. Justru aku mencarimu
untuk bikin perhitungan secara langsung. Kalau kau tak berani berhadapan
denganku, berlututlah dan memohon ampunlah padaku, maka aku akan berbijak hati
padamu, Geladak Ayu!"
"Keparat...!" geram Dewi Geladak Ayu. "Belum pernah ada orang berani menghinaku
seperti itu! Rupanya kau memang ingin cepat menyusul si Juru Taman ke neraka! Dasar perawan
dungu! Hiaaah...!"
Dewi Geladak Ayu marah mendapat hinaan seperti itu. Ia segera kepretkan
tangannya ke depan, dan memerciklah bunga-bunga api warna merah kekuningan bagai
air yang memercik ke tubuh Kenanga Pilu.
Crraaaap...! Kenanga Pilu melompat mundur satu langkah dengan mengibaskan
pedangnya dalam gerakan amat
cepat hingga menimbulkan desau angin bergemuruh. Tentu saja tebasan cepat yang berkali-kali itu mempunyai gelombang
tenaga dalam hingga dapat semburkan angin kencang yang memadamkan percikan bunga
api dalam sekejap. Wuuusss...! Zuuurrb...!
Asap mengepul saat bunga api itu padam serentak.
Kenanga Pilu merendahkan kedua kakinya dengan pedang terhenti di atas kepala,
tangan kirinya maju ke depan bagai melindungi dadanya dari serangan sewaktu-
waktu. Dewi Geladak Ayu semakin berang melihat serangannya dapat dipatahkan
lawan, ia segera melompat dalam kecepatan tinggi, menerjang Kenanga Pilu yang
sempat terperanjat karena datangnya serangan yang luar biasa cepatnya itu.
Wuuut...! Brrusss...! Crraaak...!
"Aaahg...!" Kenanga Pilu memekik tertahan. Rupanya ia terkena ujung busur panah
yang dikibaskan oleh Dewi Geladak Ayu pada saat lakukan terjangan.
Murid Eyang Darah Guntur itu terpental delapan langkah jauhnya. Dadanya berdarah
karena luka memanjang sampai ke atas pundak.
Namun agaknya Kenanga Pilu masih mampu
bertahan. Semangat membalas kematian paman gurunya
masih menyala-nyala dan dapat terlihat dari bola matanya yang berbinar-binar
penuh nafsu untuk membunuh itu. Ia masih mampu pergunakan jurus pedangnya,
sehingga pedang itu segera dimainkan dengan gerakan cepat.
"Hmmm... dia gunakan jurus 'Tebas Gunung' yang mampu lukai lawan dari jarak
sepuluh langkah tanpa menyentuh tubuh lawannya," gumam Suto Sinting dalam hati,
sebab ia dulu pernah hampir mati menghadapi jurus
'Tebas Gunung'-nya si cantik Kenanga Pilu itu.
Wung, wung, wung, wung...! Suara tebasan pedang menimbulkan
getaran pada pohon-pohon di sekelilingnya. Gelombang tenaga dalam yang meluncur dari tebasan pedang itu
mempunyai ketajaman yang sama dengan mata pedang itu sendiri, sehingga angin
yang membawa gelombang tajam itu akan memotong tubuh lawannya menjadi beberapa
bagian. Tetapi agaknya Dewi Geladak Ayu memang bukan
lawan setanding dengan Kenanga Pilu. Jurus pedang
'Tebas Gunung' dapat dipatahkan dengan busur panah yang dikibaskan ke kanan-kiri
dengan gerakan cepat.
Pendekar Mabuk 056 Pembantai Raksasa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kibasan busur itu juga hasilkan gelombang tenaga dalam yang saling bertemu
dengan kekuatan tenaga dalam dari jurus pedangnya Kenanga Pilu.
Di pertengahan jarak antara kedua wanita itu, terjadi letusan-letusan kecil
semacam petasan rentet dinyalakan.
Tar, tar, tar, trraaattt... tarrr....
Blegaaaarr...! Ledakan besar mengakhiri bunyi rentetan letusan
tersebut. Ledakan besar itu timbul setelah tangan kiri Dewi Geladak Ayu
menyentak ke depan dan dari telapak tangannya keluar sinar biru sebesar kepalan
tinjunya. Sinar biru menghantam cahaya merah yang timbul dari letusan-letusan kecil tadi,
hingga terjadilah gelegar ledakan yang menggetarkan tanah di sekitar mereka.
Ledakan itu mengepulkan asap tebal warna putih.
Pandangan mata Kenanga Pilu tak mampu menembus ketebalan asap putih tersebut, ia
sedang mempersiapkan jurus barunya, tapi tiba-tiba ia seperti ditampar angin
badai di sekujur tubuhnya. Wuuut...! Brrruuuss...!
"Aaaahg...!" Kenanga Pilu memekik lagi. Kejap berikut Pendekar Mabuk melihat
Kenanga Pilu roboh bersimbah darah. Luka tebasan ujung busur menjadi bertambah.
Kini bagian perut dan leher Kenanga Pilu terluka dalam dan mengerikan. Luka itu
cepat menjadi hitam bersama darahnya pertanda luka tersebut mengandung racun
berbahaya. "Untuk melegakan jiwamu, kukirim nyawamu ke neraka sekarang juga, Perawan Bodoh!
Hiaaaah...!"
Dewi Geladak Ayu ingin habisi nyawa Kenanga Pilu dengan jurus pukulan jarak jauh
yang diduga akan menghancurkan raga Kenanga Pilu. Tetapi Suto Sinting cepat
bertindak, ia berkelebat ke arah pertarungan dengan menggunakan jurus 'Gerak
Siluman'-nya. Zlaaap...! Gerakan melesat itu juga dibarengi terlepasnya sentilan maut yang
dinamakan jurus 'Jari Guntur'
bertenaga dalam melebihi tendangan seekor kuda jantan.
Teess...! Wuuut...! Beehg...!
"Aoh...!" tubuh Dewi Geladak Ayu terpental terbang akibat hantaman gelombang
berkekuatan tinggi itu. Ia tak jadi
melepaskan pukulan penghancur raga. Sementara itu, Kenanga Pilu segera disambar oleh Suto Sinting dan dibawanya lari
dengan gerakan yang sukar dilihat secara utuh, hanya menyerupai kilatan cahaya
coklat-putih, sesuai warna baju dan celana Pendekar Mabuk
Dalam sekejap saja Kenanga Pilu sudah berada di balik bukit cadas jauh dari Dewi
Geladak Ayu. Tentu saja hal itu membuat si bajak laut wanita kebingungan
mengetahui lawannya telah lenyap bagai ditelan bumi.
"Keparat! Ke mana si perawan bodoh itu"!"
geramnya sambil bangkit berdiri dan memandangi alam sekitarnya. "Hem... dadaku
seperti dihantam dengan batu sebesar gunung! Kurang ajar! Siapa orang yang
berhasil menghantamku sepanas ini"! Kalau tak segera kulawan dengan hawa
murniku, bisa jebol dadaku dan kehilangan napas selamanya!" Dewi Geladak Ayu pun
segera menarik napas dengan memicingkan mata, memusatkan pikiran dan kekuatannya
pada hawa murninya.
Sedangkan di balik bukit, Suto Sinting sibuk
menuang tuak ke mulut Kenanga Pilu. Namun agaknya ia terlambat. Racun dalam luka
Kenanga Pilu sangat ganas dan akibat banyaknya luka juga maka Kenanga Pilu pun
akhirnya menghembuskan napas terakhir sebelum menelan tuak saktinya Pendekar
Mabuk. "Oooh... terlambat!" keluh Suto Sinting dengan sedih.
"Racun itu bekerja lebih cepat dari usahaku menuangkan
tuak ke mulutnya. Sial!"
Pendekar Mabuk hanya bisa memandangi Kenanga
Pilu yang sudah tak bernyawa dengan hati sedih bercampur kecewa. Angin yang
berhembus bagaikan mengantar kematian Kenanga Pilu saat berada di samping sang
Pendekar Mabuk.
"Aku tak boleh kehilangan jejak Dewi Geladak Ayu agar tak tersesat mencapai desa
Wilwatikta. Sebaiknya mayat Kenanga Pilu kuletakkan di tempat yang
tersembunyi dulu, nanti pulang dari mengambil air Sendang Ketuban akan kuambil
dan kuserahkan kepada gurunya."
Zlaaaap...! Pendekar Mabuk bergegas menyusul Dewi Geladak Ayu setelah meletakkan
mayat Kenanga Pilu di relung batu cadas yang menyerupai gua kecil itu. Dewi
Geladak Ayu meneruskan perjalanannya menemui
Barakoak di desa Wilwatikta, namun ia tak sadar bahwa ada seseorang yang
membayang-bayangi perjalanannya itu selain si Pendekar Mabuk.
* * * 6 KETIKA perjalanan sudah mulai mendekati kaki
Gunung Purwa, bayangan yang mengikuti Dewi Geladak Ayu itu mulai tampakkan diri
dengan cara merobohkan pohon di depan langkah Dewi Geladak Ayu. Pohon itu
dihantamnya dengan kekuatan tenaga dalam hingga
tumbang dan hampir saja menjatuhi Dewi Geladak Ayu.
Duaaar...! Kreeaaakkk...! Brruuuhk...!
Hampir saja Dewi Geladak Ayu tertimpa pohon besar itu jika tidak segera bersalto
ke belakang beberapa kali dengan lincah dan cepat sekali. Perempuan itu selamat
dari ancaman maut pohon besar yang seluruh batangnya berduri semacam pohon kapuk
randu. Ia hinggap di salah satu bongkahan batu setinggi dada manusia dewasa.
Dari sana ia memandang ke arah sekeliling dengan cepat dan melepaskan pukulan
jarak jauh bersinar merah lurus tanpa putus.
Slaaaap...! Blegaaar...!
Dua pohon tumbang lagi karena hantaman sinar
merah lurus itu. Dari semak-semak di bawah pohon itu melesatlah sesosok bayangan
ungu yang bersalto di udara dan hinggap di atas sebongkah batu setinggi perut
manusia dewasa. Jleeg...!
Pendekar Mabuk memperhatikan dari tempat persembunyiannya, dan ia terkejut melihat sesosok bayangan ungu yang menjelma di
atas batu itu. Bayangan ungu itu ternyata seorang pemuda tampan dengan potongan baju lengan
seperti Suto Sinting, tapi warna bajunya ungu tua, demikian pula warna
celananya. Pemuda itu mempunyai rambut lurus panjang sepundak seperti Suto
Sinting, tapi mengenakan ikat kepala dari kain merah beludru berhias benang
emas. Pemuda gagah itu menyandang pedang di punggungnya, dan dilihat dari kemewahan
pedangnya jelas ia bukan
pemuda sembarangan. Pendekar Mabuk yang terperanjat segera menyebut sepotong
nama yang dikenalnya dengan suara lirih, menyerupai orang menggumam kagum.
"Inupaksi..."!"
Pemuda berusia dua puluh tiga tahun itu memang Inupaksi. Ia adalah anak Prabu
Digdayuda penguasa kerajaan Bumiloka. Wajah tampannya mirip dengan Kertapaksi,
sebab ia memang adik dari Kertapaksi. Tapi mereka berbeda guru. Kertapaksi
adalah murid Resi Pakar Pantun, tapi Inupaksi bukan. Pendekar Mabuk ingat
pertemuannya dengan Inupaksi beberapa waktu yang lalu ketika dalam perjalanan
menyusuri lereng Gunung Purwa juga, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Bayi Pembawa Petaka").
"Tak salah lagi, Inupaksi pasti akan menuntut balas atas kehancuran negerinya
kepada Dewi Geladak Ayu,"
pikir Suto Sinting. "Namun apakah Inupaksi mampu menumbangkan kesaktian Dewi
Geladak Ayu"!"
Dewi Geladak Ayu memandang dengan mata sedikit terpicing. Rupanya ia merasa
heran melihat penampilan anak muda yang mirip Kertapaksi itu. Ia pun menyapa
dengan nada dingin.
"Wajah dan penampilanmu serupa betul dengan Kertapaksi yang lari tunggang
langgang melawanku itu.
Apakah kau punya hubungan saudara dengan Kertapaksi"!'
"Aku adalah adiknya. Akulah yang bernama Inupaksi!" jawab Inupaksi dengan nada
tak ramah. "O, pantas kau lebih ganas dari Kertapaksi," ujar Dewi Geladak Ayu dengan senyum
sinis yang tipis.
"Rupanya kau ingin menyusul kematian ayahmu; Prabu Digdayuda itu! Aku tak segan-
segan menghancurkan sisa keturunan si Digdayuda!"
"Kau memang perempuan busuk yang pantas
dilenyapkan dari muka
bumi!" geram Inupaksi
menampakkan kemarahannya.
Lalu, dengan secara tiba-tiba tangan Inupaksi menyentak ke depan dan dari tangan
itu keluar kepingan-kepingan logam putih mengkilat dalam bentuk kelopak bunga.
Jumlah kepingan logam yang keluar dari telapak tangan itu sekitar sepuluh
keping, melesat bersama tertuju ke arah dada Dewi Geladak Ayu.
Zzriilng...l Dewi Geladak Ayu tidak menghindar, tapi menadahkan tangannya ke depan. Logam-logam mengkilap yang merupakan senjata rahasia beracun ganas itu dihadang oleh telapak
tangan kanan Dewi Geladak Ayu. Zzzuuurrb...! Kemudian tangan itu menggenggam,
ternyata kepingan logam itu telah mengumpul menjadi satu dalam genggaman. Dewi
Geladak Ayu tunjukkan kesaktiannya yang mampu menangkap seluruh benda beracun
itu tanpa mengalami luka sedikit pun pada telapak tangannya. Justru sekarang
kepingan-kepingan logam itu dilemparkan kembali ke arah Inupaksi. Zrrriing...!
Wuuut, wuuut...!
Inupaksi melompat melebihi ketinggian layang
kepingan-kepingan logam tersebut. Akibatnya kepingan-
kepingan logam itu menancap pada pohon yang ada di belakang Inupaksi.
Juuurrb...! Namun lompatan maju Inupaksi itu mendekati Dewi Geladak Ayu, sehingga ketika
tubuhnya melayang turun, Inupaksi melepaskan pukulan bersinar biru seperti
piringan dalam jarak cukup dekat. Claaap...! Dewi Geladak Ayu masih berdiri di
atas batu dan merendahkan kedua kakinya dengan tangan kanan disentakkan ke depan. Claaap...!
Sinar merah seperti bola melesat dari telapak tangan itu dan bertabrakan dengan
sinar birunya Inupaksi.
Blegaaarrr...! Ledakan dahsyat terjadi mengguncangkan alam
sekeliling, termasuk tumbangnya beberapa pohon akibat gelombang sentakan amat
kuat dari ledakan tersebut.
Inupaksi sendiri terlempar ke atas dengan tanpa keseimbangan badan, melayang-
layang tinggi dengan gerakan panik. Sedangkan Dewi Geladak Ayu terlempar jatuh
dari atas batu. Namun ia segera bangkit dan berlutut satu kaki, kemudian ia
sentakkan jari tangannya yang merentang tegak kaku itu. Dari ujung jari tengah
keluar selarik sinar seperti lidi panjang warna merah.
Zuuuub...! "Aaahg...!" terdengar suara pekikan Inupaksi saat tubuh itu melayang turun dan
disambut dengan sinar merah sebesar lidi. Sinar itu kenai pinggang Inupaksi yang
membuat baju Inupaksi terbakar dan hangus pada bagian pinggangnya. Inupaksi
akhirnya jatuh berdebam di tanah dengan suara mengerang kesakitan. Matanya
terbeliak-beliak, tubuhnya menggelinjang kaku. Salah satu tangannya mencoba
mendekap luka bakar di bagian pinggangnya itu.
"Gawat! Inupaksi terluka parah, jiwanya dapat melayang dalam waktu beberapa saat
lagi. Aku harus segera bertindak!" pikir Suto Sinting yang bergegas ingin
menyambar Inupaksi.
Tetapi tiba-tiba sekelebat bayangan putih melintas di depannya, menuju ke arah
pertarungan. Bayangan putih itu bergerak dengan kecepatan tinggi dan menyambar
tubuh Inupaksi. Wuuuut...!
Bertepatan dengan tersambarnya tubuh Inupaksi, Dewi Geladak Ayu melepaskan
pukulan sinar merah sebesar kepalan tangannya. Wuuusss...! Sinar merah itu
akhirnya menghantam tempat kosong karena Inupaksi sudah lebih dulu disambar
seseorang. Blegaaarr...!
Kalau saja Inupaksi masih ada di situ, ia pasti akan hancur berkeping-keping
karena hantaman sinar merah besar tersebut. Karena Inupaksi sudah tidak ada di
tempat, maka sinar merah itu menghantam tanah dan menyemburlah tanah tempat
jatuhnya Inupaksi tadi.
Percikan tanah menyebar ke angkasa membuat alam sekitarnya bagaikan mengalami
hujan debu. Tempat jatuhnya Inupaksi menjadi berongga besar sekali seperti
kubangan kerbau dengan kedalaman sekitar satu lutut lebih dan berasap tipis.
Dewi Geladak Ayu clingak-clinguk
mencari kepergian lawannya. Akhirnya ia temukan lawannya di sebelah timur, dalam keadaan
dipanggul oleh seorang
lelaki tua berbadan gemuk. Pandangan Suto Sinting pun terarah ke timur, menatap
orang gemuk berjubah putih, rambut pendek, dan kumis serta jenggotnya juga putih
rata. "Jubah Kapur..."!" gumam hati si Pendekar Mabuk yang mengenal tokoh tua itu.
Jubah Kapur adalah ketua gelandangan yang
termasuk tokoh aliran putih, guru dari Inupaksi.
Pendekar Mabuk bertemu dengan tokoh sakti yang mengenal gurunya itu ketika
terlibat peristiwa kematian seorang bayi yang digantung oleh ayahnya sendiri,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Bayi Pembawa Petaka").
Rupanya si Jubah Kapur selalu membayang-bayangi kepergian muridnya, dan siap
selamatkan sang murid jika dalam keadaan berbahaya. Kali ini Jubah Kapur sengaja
hentikan langkah di atas gundukan tanah sambil memandang ke arah Dewi Geladak
Ayu. Tampaknya perempuan itu pun sudah mengenal si Jubah Kapur, sehingga ia
segera serukan kata kepada tokoh serba putih itu.
"Lepaskan pemuda itu biar puas hatinya jika sudah kukirim ke neraka seperti
kedua orangtuanya! Kalau kau ingin ikut campur urusanku, datanglah kemari dan
hadapi aku, Jubah Kapur!"
"Belum saatnya aku menghadapimu, Perempuan Bajak! Tapi ada saatnya sendiri di
mana kita akan bertemu dan saling mengadu nyawa! Tunggulah saatnya, pasti akan
tiba!" Wuuut...! Jubah Kapur berkelebat pergi tinggalkan Dewi Geladak Ayu yang masih
merasa dongkol dengan tingkahnya Inupaksi. Kepergian si Jubah Kapur ternyata
meninggalkan suara yang menggema bagai memenuhi hutan sekitar situ.
"Jika aku sudah mengobati muridku, aku akan mencarimu untuk bikin perhitungan,
Geladak Ayu, yu, yu, yu...!"
Pendekar Mabuk membatin, "Gelombang suara itu pasti mempunyai kekuatan tenaga
dalam hingga bisa menggema sebegitu jelasnya. Hmmm... agaknya Dewi Geladak Ayu
tidak mau memburu Jubah Kapur, ia lebih mengutamakan mencari Barakoak untuk
mengadu kesaktian. Rupanya si Raja Iblis itu benar-benar musuh utama yang harus
dilenyapkan oleh Dewi Geladak Ayu!
Tapi... hei, siapa itu yang berkelebat di sebelah barat"!"
Pendekar Mabuk memandang curiga ke arah barat. Di sana tampak sekelebat bayangan
berlari menelusup di balik pepohonan. Sementara itu Dewi Geladak Ayu yang tak
Pendekar Mabuk 056 Pembantai Raksasa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tahu diikuti oleh Pendekar Mabuk segera tinggalkan tempat dan teruskan
perjalanan. Suto Sinting tak tahu kalau Dewi Geladak Ayu telah pergi, karena
pusat perhatiannya lebih tertarik ke arah barat.
"Ooh... rupanya orang itu terluka"!" pikirnya saat melihat orang yang berlari
itu hentikan langkah dengan terhuyung-huyung dan bersandar pada sebatang pohon.
Pendekar Mabuk memicingkan matanya, agar pandangan matanya semakin jelas. Lalu, hatinya pun membatin,
"Sepertinya aku mengenal orang itu"!"
Zlaaap...! Suto Sinting bergegas pergi ke arah barat.
Dalam sekejap saja ia sudah berada tak jauh dari seorang perempuan yang miskin
busana. Perempuan berkalung tali hitam dengan bandul kulit kerang kuning
mengkilap itu tidak mengenakan pakaian semestinya, ia hanya menutup bagian-
bagian penting pada tubuhnya dengan secarik kulit binatang warna hitam. Dadanya
ditutup pada bagian ujung saja dengan kulit binatang, bagian bawahnya pun
ditutup seperlunya saja dengan kulit binatang berbulu hitam yang menggunakan
tali melilit di pinggang. Sisa tubuhnya yang mulus berwarna kuning langsat itu
tidak mengenakan selembar benang pun.
Pendekar Mabuk tak merasa heran melihat keadaan tersebut, karena ia tahu cara
berbusana seperti itu merupakan ciri khas orang-orang desa Wilwatikta.
"Ciwuiani..."!" gumam hati Suto Sinting yang mengenal
perempuan tersebut sebagai orang kepercayaan dari Ratu Dewi Cumbutari, penguasa negeri Wilwatikta.
Ciwuiani tampak terluka pada bagian atas dada kiri dekat pundak. Luka itu
menghangus hitam dan masih kepulkan asap. Agaknya ia sedang melarikan dari dari
sebuah pertarungan. Di punggungnya pun tampak luka koyak bagaikan habis disabet
dengan senjata tajam.
Wajah perempuan berusia dua puluh tujuh tahun itu tampak pucat sekali,
mencemaskan hati Pendekar Mabuk. Maka ia pun segera menghampiri Ciwuiani yang
masih berdiri berpegangan batang pohon.
"Ciwuiani..."! Apa yang terjadi"!"
Ciwuiani memandang dengan mata sayu, makin lama matanya semakin redup dan
tubuhnya kian terkulai lemas. Pendekar Mabuk segera menangkap tubuh tanpa busana
itu sebelum jatuh ke tanah.
"Lukanya cukup parah!" gumam Pendekar Mabuk, sambil bergegas meminumkan tuak ke
mulut Ciwuiani.
"Minumlah tuakku ini untuk obat lukamu! Minumlah sedikit demi sedikit,
Ciwuiani!" bujuk Suto Sinting dengan hati berdebar-debar, takut terlambat
seperti saat ia ingin mengobati Kenanga Pilu tadi.
Bertemu dengan Pendekar Mabuk yang juga sering dijuluki sebagai Tabib Darah Tuak
adalah suatu keberuntungan besar bagi orang yang terkena luka seperti Ciwuiani.
Andai saja Ciwuiani tidak mau meneguk tuak saktinya Pendekar Mabuk, mungkin
sebelum senja nyawanya sudah melayang. Tapi karena Ciwuiani mau meminum tuak
saktinya Suto, maka sedikit demi sedikit luka koyak di punggungnya mengatup dan
menjadi rapat seperti sediakala. Bahkan darah yang berceceran bagai terserap
habis oleh pori-pori kulitnya. Luka hangus di dada kirinya pun perlahan-lahan
berubah warna dan menjadi seindah warna aslinya.
Ciwuiani akhirnya tertolong dan tubuhnya menjadi segar, lebih segar dari sebelum
melakukan pertarungan dengan seseorang.
"Oh, untung aku bertemu denganmu, Pendekar Mabuk. Seandainya tidak, tak tahulah
sudah di mana rohku
saat ini," ujarnya sambil memulihkan pernapasannya. "Siapa yang menyerangmu sedemikian parahnya, Ciwuiani"!"
"Suto, negeri kami diserang raksasa."
"Raksasa..."!" dahi Pendekar Mabuk berkerut karena merasa janggal mendengar
ucapan tersebut.
"Rakyat kami banyak yang mati dihancurkan oleh si raksasa itu. Bahkan sekarang
Ratu Dewi Cumbutari sedang bertarung menghadapi raksasa itu. Beliau serukan
perintah agar kami berlari menyebar arah, masing-masing disuruh menyelamatkan
diri dari amukan raksasa keparat itu."
"Raksasa..."!" Pendekar Mabuk masih menggumam dalam renungan keheranannya.
"Raksasa dari mana maksudmu?"
"Entahlah. Kami tak tahu dari mana raksasa itu berasal. Yang jelas ia ingin
menguasai wilayah kami. Ia mengaku bernama Raja Iblis...."
"Barakoak!" sahut Suto Sinting dengan suara menyentak.
"Ya, dia juga menyebutkan nama aslinya: Barakoak,"
ujar Ciwuiani. "Dia sangat liar dan buas. Aku melihat sendiri anak buahku
dimakan lengannya setelah lehernya dipatahkan, ia mengunyah daging manusia
seperti mengunyah lalap daun mede."
"Celaka!" geram Suto Sinting dengan pandangan menerawang.
"Sebenarnya aku ingin membantu Gusti Ratu Cumbutari, tapi Gusti Ratu marah dan
menyuruhku melarikan diri."
"Kita bantu sang Ratu sekarang juga!" sambil Suto Sinting menarik tangan
Ciwuiani, tetapi perempuan itu menahan diri dengan wajah diliputi kecemasan.
"Raksasa itu berbahaya, Suto! Dia bisa menelan bulat-bulat jika murkanya kian
meninggi."
"Apa pun bahayanya akan kuhadapi dia!"
Ciwuiani masih diam pandangi Suto Sinting dalam keraguan. Tangannya masih
memegang pedang tanpa darah. Agaknya ia tak mampu lukai lawannya sedikit pun,
hingga pedangnya masih tampak bersih. Itu berarti Barakoak memang orang yang tak
bisa disepelekan begitu saja. Apalagi Suto Sinting ingat kata-kata Kejora, bahwa
Barakoak mempunyai ilmu 'Urat Bumi' yang menjadi andalannya.
Ciwuiani berkata dengan lirih, "Raksasa itu tak bisa dilukai dengan senjata apa
pun. Ia bagaikan manusia tanpa darah."
Kata-kata Ciwuiani itu memang sama dengan
keterangan Kejora beberapa waktu yang lalu. Tapi apakah itu berarti Suto Sinting
harus membatalkan niatnya dalam menolong Ratu Dewi Cumbutari"
* * * 7 MEMANG pantas jika Ciwuiani menganggap si Raja Iblis; Barakoak, sebagai raksasa
yang buas, karena
Barakoak seorang berwajah sangar yang bertubuh tinggi besar. Ketinggian tubuhnya
melebihi tinggi badan Suto Sinting. Jika berdampingan, Suto Sinting hanya
sebatas pundaknya saja. Badannya kekar dan keras bagaikan batu, berkulit gelap
tapi bukan hitam keling.
Barakoak berkepala gundul, namun ia mempunyai brewok yang tumbuh dengan liar tak
teratur. Matanya besar, bibirnya tebal. Jika menyeringai tampak giginya yang
besar-besar pula. Wajahnya itu layak dikatakan sebagai wajah paling angker di
antara para wajah perampok.
Ia mengenakan jubah tanpa lengan warna merah
dengan tepian dilapis kain satin hitam mengkilap.
Celananya berwarna hitam satin dengan sabuk putih berhias logam-logam emas. Di
balik kain jubahnya yang merah itu ia tidak mengenakan baju lagi, sehingga
dadanya yang mirip seonggok batu gunung itu tampak berbulu tak teratur.
Kedua tangannya yang berlengan besar seperti batang pohon kelapa itu mempunyai
jari-jari cukup besar.
Orang mengatakan jari-jarinya sebesar pisang raja. Itu hanya kata kiasan belaka,
yang jelas jari-jari besar itu berkulit tebal dan mempunyai kuku runcing walau
tak seberapa panjang. Kakinya mengenakan gelang binggel dari logam emas, jika
berjalan bagaikan mengguncang bumi. Ia mengenakan kalung rantai emas berbandul
tengkorak bayi. Kedua lengannya kanan kiri bertato gambar naga terbang dari
batas ujung lengan sampai ke pergelangan tangan.
Memang menyeramkan penampilan sosok Barakoak, sehingga layak berjuluk si Raja
Iblis. Suaranya yang menggelegar
bagaikan menghentakkan jantung lawannya. Mata besarnya yang bertepian merah sering membuat darah lawan bagai
tak mengalir lagi jika memandang tanpa kedip.
Sekalipun demikian, seorang perempuan cantik
berambut panjang dengan ikat kepala dari rantai emas berbandul merah saga di
tengah keningnya, terpaksa harus beradu nyawa dengan si Raja Iblis itu.
Perempuan yang tanpa busana, tapi bagian kehormatannya ditutup dengan kulit
harimau loreng itu berjumpalitan ke sana-sini menghindari serangan Barakoak.
Perempuan itulah yang dikenal sebagai Ratu Dewi Cumbutari, penguasa negeri
Wilwatikta. Gerakannya yang lincah sering mengecohkan serangan Barakoak yang liar itu. Namun manusia tinggi besar itu tidak mudah
dilumpuhkan walau telah berkali-kali terkena tebasan pedang birunya Ratu Dewi
Cumbutari. Sementara itu, pemukiman rakyat negeri Wilwatikta sudah dibuat porak poranda
oleh amukan Barakoak.
Rumah-rumah mereka yang terbuat dari anyaman jerami berbentuk kerucut sebagian
telah terbakar dan masih mengepulkan asap, sebagian lagi rusak tak dapat dihuni
lagi. Sedangkan mayat-mayat pun tampak bergelimpangan di sana-sini. Pada umumnya kaum perempuan tanpa busana lengkap
itu mati dalam keadaan mengerikan; pecah kepalanya, robek dadanya, buntung
lehernya, amburadul isi perutnya dan sebagainya.
Pemandangan di desa Wilwatikta itu seperti pemandangan di neraka. Negeri itu menjadi ladang pembantaian bagi si Raja iblis
yang ingin menguasai wilayah tersebut.
Dengan sebilah pedang rampasan, Barakoak mengamuk sambil berteriak-teriak memekakkan telinga.
Ratu Dewi Cumbutari masih tangguh menghadapi
lawannya yang sama sekali tak seimbang itu. Kelincahan Dewi Cumbutari itulah
yang membuat Barakoak sulit melukai tubuh sang Ratu cantik.
Trangg... trrang ...!
Mereka beradu pedang dalam sekelebat. Ketika
pedang di tangan Barakoak ditebaskan ke depan dari atas ke
bawah, Dewi Cumbutari sudah berada di belakangnya. Zaaap...! Kemudian pedang Dewi Cumbutari yang memancarkan warna biru pijar itu menghujam
punggung Barakoak sambil lakukan lompatan ke atas. Jrrruubb...!
Pedang itu tembus sampai ke depan perut. Barakoak diam sambil menggeram dan
kepalanya berpaling ke belakang.
"Gggrrrmmm...!"
Dewi Cumbutari segera mencabut pedangnya dan
bersalto ke belakang menghindari sabetan pedang lawan.
Sluuub...! Ketika pedang dicabut, luka bolong itu mengatup bersama gerakan
terlepasnya pedang yang menembus punggungnya.
Zuuullp...! Daging dan kulit tubuh Barakoak menjadi rapat kembali, sepertinya tak pernah
mengalami luka seujung jarum pun. Peristiwa itu terlihat jelas di depan mata
Pendekar Mabuk yang bersembunyi di balik reruntuhan rumah jerami bersama
Ciwuiani. Perempuan yang bersamanya itu segera berbisik lirih,
"Itulah kehebatan si Raja iblis. Dari tadi tubuhnya tak bisa kami lukai, karena
setiap terluka, luka itu cepat mengatup dan lenyap sebelum darahnya keluar.
Akibatnya senjata kami tak ada yang berlumur darah."
"Itu yang dinamakan ilmu 'Urat Bumi', salah satu ilmu yang menjadi andalan si
Barakoak," bisik Suto Sinting, ia sengaja tak mau segera maju menyerang
Barakoak, karena ia perlu mempelajari kelemahan ilmu
'Urat Bumi' itu.
Barakoak hanya tertawa terbahak-bahak ketika
melihat perutnya tak terluka sedikit pun.
"Hah, hah, hah, nah...! Sudah kubilang, kau tak akan bisa mengusirku dari sini,
Dewi Cumbutari! Kau tak akan bisa unggul jika masih bersikeras menentangku!
Kusarankan sebaiknya kau menyerah dan jangan
melawanku, supaya nasibmu tidak seperti anak buahmu yang terkapar di sana-sini
itu!" "Sejengkal pun tanah ini akan kupertaruhkan dengan nyawaku!" ujar Ratu Dewi
Cumbutari. "Di sini tinggal kau dan aku, Barakoak! Setinggi apa pun kesaktian
ilmumu akan kulayani sampai titik darah penghabisan!"
Pendekar Mabuk sempat berbisik dalam gumam,
"Ratumu benar-benar punya keberanian besar. Pembelaannya terhadap tanah negeri ini tak tanggung-tanggung lagi."
"Itulah sebabnya kami diperintahkan lari menghindari amukan si Raja iblis.
Semula Barakoak dibantu oleh Ratu Sangkar Mesum, tapi entah di mana ia sekarang.
Setelah mengejar dua orang andalan kami, ia
menghilang tak muncul-muncul lagi."
"Dua orang andalan itu telah mati. Kurasa si Ratu Sangkar Mesum itulah yang
membunuh mereka."
"Ooh... benarkah begitu"! Apakah kau menemukan mayat mereka"!"
Pendekar Mabuk anggukkan kepala. "Kutemukan saat dalam perjalanan kemari.
Keduanya tak bernyawa.
Ketika aku ingin memeriksanya, tiba-tiba aku diserang Ratu Sangkar Mesum. Namun
kini perempuan itu telah mati pula."
"Kaukah yang membunuhnya"!"
Dengan tetap memandang ke arah pertarungan,
Pendekar Mabuk gelengkan kepala sebagai jawaban pertanyaan Ciwuiani.
"Ratu Sangkar Mesum mati dibunuh oleh Dewi Geladak Ayu, si bajak laut wanita
itu!" "Aku pernah mendengar nama itu, tapi belum pernah melihat seperti apa rupa si
bajak laut wanita itu!"
Pendekar Mabuk 056 Pembantai Raksasa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalau kau ingin melihat rupa si bajak laut wanita, pandanglah pohon yang ada di
seberang sana, dekat reruntuhan gapura itu!" Suto Sinting menunjuk ke arah yang
dimaksud. Ternyata di sana memang sudah berdiri sosok perempuan cantik memegangi
busur panahnya.
Agaknya ia sudah berada di balik pohon itu sejak tadi, sebelum kedatangan Suto
Sinting. Rupanya Dewi Geladak Ayu juga sedang mempelajari kelemahan Barakoak, sehingga sejak tadi ia hanya memperhatikan
pertarungan si Raja iblis dengan Ratu Dewi Cumbutari. Ia sendiri tak mengetahui
bahwa Pendekar Mabuk sudah ada di tempat itu, jauh di seberangnya dan sesekali
mencuri pandang ke arahnya.
"Agaknya Barakoak telah menguasai ilmu 'Urat Bumi'. Cukup sulit bagiku untuk
mengalahkan ilmu itu, tapi akan kucoba dengan panah 'Lebur Sukma' yang selama
ini tak pernah ada tandingannya," pikir Dewi Geiadak Ayu sambil matanya
memperhatikan gerakan Dewi Cumbutari menghujamkan pedang yang berwarna biru
pijar ke perutnya Barakoak.
Orang bertubuh tinggi besar itu sengaja tidak menghindar saat menerima tikaman
pedang pada perutnya. Bahkan kedua tangannya sedikit merentang, seakan
memberi peluang bagi lawan untuk menghujamkan pedang ke tubuhnya.
Bluuuuss...! Slaaap...!
Pedang menembus sampai ke punggung, tapi ketika ditarik kembali, lubang tusukan
itu mengatup dengan sendirinya bersama lolosnya mata pedang dari perut.
Dewi Cumbutari sentakkan kaki dan tubuhnya melambung naik, pedangnya berkelebat mengibas dari atas ke bawah. Craaasss...!
Wajah Barakoak nyaris terbelah dari kening sampai pusarnya. Tapi luka ternganga
itu merapat kembali dalam waktu hanya
sekejap, sehingga tubuh itu tak terluka sedikit pun.
"Hah, hah, hah, hah, hah...!" ia tertawa terbahak-bahak dengan dada sedikit
membusung. Ratu Dewi Cumbutari dibuat penasaran oleh ilmu
'Urat Bumi' itu. Kemarahannya membuat sesak
pernapasan, namun agaknya ia tak mudah menyerah begitu saja. Kali ini ia
pergunakan jurus pedang lainnya.
Dengan satu sentakan kaki ke tanah, pedang yang diarahkan ke dada Barakoak itu
tiba-tiba mengeluarkan sinar hijau lurus tanpa putus sebesar kelingking.
Slaaaapsss...! Sinar hijau itu tepat kenai dada Baiakoak, tembus sampai ke
punggung, bahkan sampai kenai sebatang pohon dan pohon itu langsung hancur
karena meledak. Blaaarr...!
Ketika sinar hijau itu padam, lubang yang tembus dari dada sampai punggung itu
mengatup kembali dan dada Barakoak tak mengalami luka sedikit pun. Bahkan bekas
menghitam hangus pun tak ada di dada itu.
"Hah, hah, hah. hah...! Sekarang giliranku menyerangmu, Cumbutari! Heeeeaaah...!"
Barakoak berteriak memanjang, suaranya bagai ingin memecah
langit karena kerasnya. Tangannya menghentak ke depan, dan dari tengah telapak tangan itu menyembur asap ungu
dengan derasnya. Wuuuusss...!
Di sela-sela semburan asap ungu tampak selarik sinar putih yang menghantam ke
dada Dewi Cumbutari.
Pedang berpijar biru segera menghadang tegak lurus di depan dada, dan sinar
putih itu menghantam pedang tersebut. Trrak, jegaaarrr...!
Ledakan dahsyat terjadi hingga mengguncangkan tanah dan pepohonan di sekitar
tempat itu. Dewi Cumbutari terpental setelah lebih dulu tersapu asap ungu. Tubuh
sekal itu bagai dilemparkan dengan tenaga yang amat kuat. Melayang tinggi dan
jatuh dalam jarak sekitar sepuluh langkah dari tempat berdirinya semula.
Brruk...! "Aaaahg...!" Sang Ratu mengerang dengan tubuh kejang. Warna kulitnya menjadi
berbintik-bintik ungu, seakan darahnya keluar dari pori-pori tubuh dan berwarna
ungu, bukan berwarna merah seperti darah biasanya.
"Huah, hah, hah, hah, hahhh...! Akhirnya kau modar juga oleh jurus racun 'Lidah
Bromo' yang tak ada obatnya itu, Cumbutari! Huah, hah. hah, hah...!"
Ciwuiani menjadi tegang,
ia bergegas ingin menyambar tubuh Ratu Dewi Cumbutari, namun
tangannya dicekal dan ditahan oleh Pendekar Mabuk.
"Ratu terkena racun ganas! Aku harus segera menolongnya!"
"Kau benar, tapi cari kesempatan yang baik untuk membawanya pergi supaya
Barakoak tidak melihat keberadaan kita di sini!"
Sang Ratu dalam keadaan sekarat. Darahnya yang tersumbul dari pori-pori kulit
menjadi banyak dan berwarna ungu. Tubuh sang Ratu bergetar seperti orang terkena
penyakit ayan. Mulutnya ternganga mengeluarkan busa dan busa itu pun berwarna ungu.
Barakoak masih menertawakan lawannya yang tak
berdaya lagi. Namun tiba-tiba tawa itu terhenti seketika karena sebuah anak
panah melesat dan menembus lehernya. Weesss...! Jluuub...!
Barakoak hanya terkejut dan palingkan pandangan ke arah datangnya anak panah.
Sementara itu, anak panah yang membara merah bagai besi terpanggang api itu
lolos terus, dari leher kiri tembus ke leher kanan dan melesat terus hingga
menghantam sebuah pohon.
Blegaaar...! Pohon itu pecah menjadi serpihan kayu yang menyebar ke mana-mana.
Sang anak panah segera kembali ke arah semula dengan cepat. Wuuut...!
Jluuub...! Ploosss...!
Kini tengkuk kepala Barakoak yang ditembus anak panah itu sampai ke leher. Anak
panah lolos dari leher depan dan melesat kembali kepada pemiliknya. Dewi Geladak
Ayu segera menangkap anak panah itu dengan tangan kanannya. Teeb...! Warna merah
membara pun padam seketika. Tetapi luka bolong di leher Barakoak segera merapat
kembali dan leher itu menjadi utuh bagai tak pernah ditembus panah dua kali.
"Rupanya kau mau membokongku, Geladak Ayu"!"
geram si Raja Iblis dengan pandangan matanya yang berang, ia segera melangkah
dekati Dewi Geladak Ayu yang telah berdiri tegak dengan kaki sedikit menganga,
seakan siap menghadapi serangan lawannya.
Zlaaap...! Pendekar Mabuk berkelebat cepat nyaris tak terlihat oleh Ciwuiani.
Tahu-tahu ia telah kembali sambil membawa tubuh Ratu Dewi Cumbutari yang
sekarat. Tuak sakti segera dituangkan ke mulut sang
Ratu. Tuak itu tertelan sedikit demi sedikit, namun tidak membuat kesembuhan
bagi luka racun yang diderita sang Ratu.
"Celaka! Tuakku tidak bisa mengalahkan racun
'Lidah Bromo' ini"!" gumam Suto Sinting dengan wajah tegang. Sang Ratu masih
menyentak-nyentak dalam keadaan kejang.
"Kudengar racun 'Lidah Bromo' tak pernah ada obatnya," bisik Ciwuiani. "Kalau
begitu, Ratu harus segera dibawa ke Sendang Ketuban."
"Hahh..."! O, iya... Sendang Ketuban"! Di mana letak Sendang Ketuban"!" tanya
Suto Sinting penuh semangat, karena ia segera ingat tujuan semula pergi
meninggalkan Kejora, Tua Bangka, dan Darah Prabu.
"Ikutlah aku...!" ujar Ciwuiani sambil merunduk-runduk agar gerakannya tak
terlihat Barakoak. Pendekar Mabuk mengangkat tubuh Ratu Dewi Cumbutari dan
mengikuti langkah Ciwuiani.
Ternyata yang dinamakan Sendang Ketuban terletak di dalam istana jerami yang
digunakan sebagai singgasana sang Ratu Dewi Cumbutari. Sendang itu berupa kolam
berair hijau bening yang saat itu dalam keadaan kotor sekelilingnya karena
hancurnya istana jerami tersebut. Namun sehelai jerami atau kotoran lain tak ada
yang sampai jatuh ke permukaan kolam berair hijau itu.
Ciwuiani segera menyiram tubuh sang Ratu dengan air kolam tersebut. Wajah sang
Ratu dicuci dengan tergesa-gesa, dan cairan-cairan ungu itu bagai menguap
dengan sendirinya. Makin lama semakin lenyap
sehingga tubuh Ratu Dewi Cumbutari menjadi bersih seperti sediakala.
Sungguh ajaib air Sendang Ketuban itu. Ratu Dewi Cumbutari segera sehat tanpa
rasa sakit sedikit pun.
Bahkan ia segera menyadari bahwa Pendekar Mabuk sudah berada di sampingnya.
"Kau datang juga rupanya," sapa sang Ratu kepada Pendekar Mabuk dan Suto Sinting
hanya berikan senyum ramah yang cukup menawan hati lawan
jenisnya. "Tujuanku sebenarnya mencari air Sendang Ketuban untuk sembuhkan luka seorang
sahabat, Ratu."
"Kalau begitu kau bisa membawanya pulang dalam sebuah
guci. Tapi terlebih dahulu aku akan menyelesaikan pertarunganku dengan si Raja Iblis itu!
Akan kuusir dia dari tanah kekuasaanku ini!"
"Tak perlu, biar aku yang mengusirnya, Ratu!" kata Suto
Sinting dengan lembut. "Barakoak bukan
tandinganmu! Akulah sekarang yang akan maju
melawannya!"
Ratu Dewi Cumbutari hanya memandangi Suto
Sinting dengan pandangan anggun berkesan bangga terhadap Pendekar Mabuk.
* * * 8 HATI Pendekar Mabuk merasa lega telah mengetahui letak air Sendang Ketuban.
Menurut cerita Ratu Dewi Cumbutari, air Sendang Ketuban memang berkhasiat khusus
untuk luka atau penyakit yang tak ada obatnya.
Air itu selalu dalam keadaan bersih dan bening dengan warnanya yang hijau
kemilau itu. Menurut keterangan sang Ratu, air itu tak bisa kotor, karena setiap
ada kotoran, seperti sehelai daun kering yang jatuh di permukaan air tersebut,
maka daun kering itu akan lenyap bagai menguap dan hilang tanpa bekas sedikit
pun sehingga air tetap kelihatan bersih dan bening.
Persoalan air Sendang Ketuban dikesampingkan dulu oleh Pendekar Mabuk. Kini yang
dipikirkan adalah menghadapi Barakoak yang berjiwa iblis keji itu.
Mereka bertiga menemui Barakoak di tempat pertarungan semula. Tetapi mereka terhenti di tempat persembunyian Suto Sinting
dan Ciwuiani semula. Dari sana mereka menyaksikan pertemuan antara Barakoak
dengan Dewi Geladak Ayu.
"Biarkan dulu si Geladak Ayu selesaikan urusannya dengan Barakoak, baru kau
bertindak jika kau memang ingin bertindak." ujar Ratu Dewi Cumbutari yang
agaknya sudah mengenal Dewi Geladak Ayu.
"Persoalan apa sebenarnya yang membuat Dewi Geladak Ayu bermusuhan dengan
Barakoak, Ratu?"
tanya Suto Sinting dengan rasa ingin tahunya.
"Barakoak pernah membantai habis anak buah Geladak Ayu dalam satu kapal yang
dipimpin oleh adik
kandungnya si Geladak Ayu. Kapal itu sendiri
dihancurkan oleh Barakoak di depan mata Geladak Ayu."
"Apakah Gusti Ratu kala itu menyaksikan sendiri"!"
sahut Ciwuiani.
"Tidak. Geladak Ayu yang menceritakan padaku, ketika kami mengadakan pertemuan
dengan beberapa tokoh silat lainnya, di puncak Gunung Purwa ini untuk
membicarakan pusaka kuno yang bernama Panji-panji Mayat."
Deeeg..! Jantung Suto Sinting langsung tersentak begitu mendengar Panji-panji
Mayat diucapkan oleh Ratu Dewi Cumbutari. Pendekar Mabuk pun segera ajukan tanya
dengan penuh semangat namun dalam lahiriyahnya ia bersikap kalem seakan kurang
tertarik dengan pusaka kuno itu.
"Apakah kau tahu banyak tentang pusaka itu, Ratu?"
"Entahlah. Yang jelas, sampai sekarang tak ada orang yang mengaku memegang
pusaka Panji-panji Mayat.
Ada yang bilang terbakar habis, ada yang bilang tenggelam di dasar samudera
dan... aku benar-benar tak tahu ke mana perginya pusaka kuno itu. Sudah lama aku
melupakan pusaka tersebut."
"Apakah kau semula juga ingin memiliki pusaka itu, Ratu?"
"Ya, karena pusaka itu adalah milik leluhurku."
"Leluhurmu..."!" Suto Sinting terkejut dalam suara berbisik. "Bukankah...
bukankah pusaka itu milik leluhur mendiang Jalma Dupi yang menikah dengan Sang
Ratri dari negeri Puri Gerbang Surgawi"!"
"Aku adalah adik Jalma Dupi yang telah dianggap hilang dan mati oleh
keluargaku."
"Ooh..."!" Suto Sinting semakin kaget mendengar penjelasan itu. "Berarti kau
adalah bibinya Dewi Hening, Dewi Kejora, dan Dewi Menik"!"
Kini sang Ratu ganti terperanjat. "Dari mana kau tahu nama anak-anak kakakku
itu"!"
"Ak... aku diminta bantuannya mengurus tentang pusaka Panji-panji Agung aiias
Panji-panji Mayat itu oleh mereka. Dan... kupikir mereka sudah tidak mempunyai
keluarga lagi. Barangkali mereka juga tidak tahu kalau masih mempunyai seorang
bibi yang masih hidup."
Ratu Dewi Cumbutari diam sejenak, lalu menarik napas panjang-panjang sambil
pandangi percakapan Dewi Geladak Ayu dengan Barakoak. Beberapa saat kemudian ia
perdengarkan suaranya yang mirip orang menggumam itu.
"Satu-satunya orang yang tahu persis tentang Panji-panji Mayat adalah ratu
negeri Puri Gerbang Surgawi yang berkuasa di Pulau Serindu."
"Apa..."!" Suto Sinting semakin kaget dan terheran-heran.
"Tanyakanlah kepada Gusti Mahkota Sejati, Ratu di negeri Puri Gerbang Surgawi
yang mempunyai nama asli Dyah Sariningrum. Sebab dialah yang menyarankan kepada
Sang Ratri agar pusaka itu dititipkan kepada seseorang sebelum direbut oleh
keluarga si Raja Iblis
itu!" "Dyah Sariningrum..."!" Pendekar Mabuk sempat berdebar-debar mendengar ucapan
itu, sebab nama Dyah Sariningrum sebenarnya adalah sebuah nama yang selalu
terukir di hati dan terucap di kalbunya. Barangkali sang Ratu belum tahu bahwa
Dyah Sariningrum adalah calon istri Suto Sinting sesuai dengan garis kodrat yang
telah diketahui oleh si Gila Tuak.
Pendekar Mabuk 056 Pembantai Raksasa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Suto Sinting tinggal menyerahkan satu maskawin untuk Dyah Sariningrum, yaitu
kepala Siluman Tujuh Nyawa, tokoh sesat yang terkutuk dan telah memakan korban
ratusan nyawa orang tak berdosa itu.
Blegaaar...! Lamunan Suto tergugah oleh bunyi ledakan yang menggelegar membuat tanah bergetar
bagai dilanda gempa setempat. Ledakan itu timbul akibat pertarungan Dewi Geladak
Ayu dengan Barakoak yang sudah tidak membutuhkan bincang-bincang lagi. Dewi
Geladak Ayu tampak terpental akibat ledakan tersebut, sedangkan Barakoak masih
berdiri tegak dan kokoh, bagaikan gunung yang sukar dirobohkan.
"Kedatanganmu sama saja membuang nyawa tanpa arti, Geladak Ayu! Kau tak akan
unggul melawanku, Perempuan Jalang!" geram Barakoak dengan matanya yang
memandang penuh nafsu membunuh.
Dewi Geladak Ayu segera bangkit dari jatuhnya, ia mengambil sebatang anak panah
dari punggungnya.
Rupanya anak panah yang tadi sempat menembus leher Barakoak telah hancur akibat
ledakan tadi. Barakoak
menghantam anak panah yang dilepaskan ke arahnya dengan pukulan tenaga dalam
yang tak sempat dilihat Suto Sinting. Tahu-tahu telah terjadi ledakan dan Dewi
Geladak Ayu terpental lima langkah dari tempatnya berdiri semula.
Kini Dewi Geladak Ayu bersiap lepaskan anak panah yang sudah dipasang di
busurnya. Anak panah itu memancarkan sinar hijau berpendar-pendar pada bagian
ujungnya. Tentunya mempunyai kedahsyatan lebih tinggi dari yang telah hancur
itu. "Masih kurang puas kau"! Cobalah lepaskan semua anak panahmu ke dadaku! Kau akan
tahu bahwa aku adalah orang terkuat yang tak bisa dirobohkan oleh siapa pun!"
gertak si Raja Iblis dengan mata mendelik penuh tantangan.
Suaranya yang keras menghentak menggetarkan
dahan-dahan pohon. Dewi Geladak Ayu sempat grogi, sehingga anak panahnya jatuh
ke tanah dan segera dipungutnya lalu dipasang ke tali busur. Tali busur pun
mulai direntangkan.
Pendekar Mabuk melihat kecemasan mulai membayang di wajah Barakoak. Dalam hati sang
Pendekar Mabuk berkata,
"Ia kelihatan takut dengan panah itu, tapi ia beranikan diri dan Dewi Geladak
Ayu tak mengetahuinya.
Hmmm... mengapa Dewi Geladak Ayu tak mau segera lepaskan panahnya" Padahal dada
itu terbuka lebar-lebar dan... dan... oh, sekarang Barakoak menutup dadanya
seakan tak mau menerima panah itu. Mengapa begitu"!"
Anak panah segera dilepaskan. Claaap...! Sinar hijau di ujung anak panah itu
menjadi besar berpendar-pendar bagai api tertiup angin. Barakoak tidak
membiarkan anak panah itu menembus dadanya, ia menghentakkan kakinya ke bumi.
Duuhg! Dengan tangan tak berpedang terangkat ke atas, anak panah yang meluncur ke
arahnya itu berhenti di udara tanpa gerakan sedikit pun. Warna hijau di ujung
anak panah itu padam seketika. Hal itu membuat mata Dewi Geladak Ayu tampak
tercengang, demikian pula mata Ratu Dewi Cumbutari, Pendekar Mabuk, dan
Ciwuiani. Mereka memandang heran melihat kemampuan Barakoak menghentikan anak panah di udara.
"Hebat sekali ilmunya"! Anak panah bisa dihentikan di udara tanpa bergerak
sedikit pun"!" ujar Ciwuiani bernada kagum.
"Heeeeah...!" seru Barakoak sambil menghantamkan pukulannya ke anak panah itu.
Prrraak...! Anak panah pun remuk tanpa dentuman sedikit pun. Lalu tiba-tiba
pedang di tangan kirinya dilemparkan ke arah Dewi Geladak Ayu dengan gerak
seperti melempar tombak.
"Makan pedang ini, haaah...!" Wuuuus....!
Dewi Geladak Ayu melesat naik melebihi ketinggian terbang pedang tersebut.
Wuuuut...! Pedang itu berkelebat di bawah kaki Dewi Geladak Ayu. Dan tiba-tiba
kaki perempuan itu menapak di permukaan pedang, sehingga pedang yang melayang
itu berhenti sejenak, kemudian kaki itu menyentak ke depan dan pedang itu
berbalik arah. Kini pedang itu melesat ke arah Barakoak.
Wuuusss...! Barakoak hanya menggeram ketika pedang itu datang dan menghujam dadanya hingga
tembus ke belakang lalu lolos terus sampai menemukan tempat untuk menancap. Luka
bolong di dada mengatup kembali dengan cepat tak sampai meneteskan darah sedikit
pun. "Kuremukkan batok kepalamu, Perempuan Rakus...!
Heeeaah...!"
Wuuus...! Tubuh tinggi besar bagaikan raksasa itu melompat dengan kecepatan
tinggi, menerjang tubuh Dewi Geladak Ayu yang sedang turun dari gerakan melayang
tadi. Brrrus...! Ploook...!
Terdengar suara pukulan telak mendarat di pipi Dewi Geladak Ayu. Pukulan itu
sempat memancarkan sinar merah sekejap, lalu padam seketika. Berarti pukulan itu
mempunyai kekuatan tenaga dalam yang cukup tinggi dan beradu dengan hawa murni
yang disalurkan oleh Dewi Geladak Ayu ke daerah kepalanya.
Sekalipun demikian, tubuh perempuan cantik itu pun terlempar berguling-guling di
tanah. Beberapa anak panahnya terlepas dari tempatnya. Dewi Geladak Ayu
menggeram sambil meraih salah satu anak panahnya.
Keadaan hidung dan mulutnya sudah berdarah mengerikan. "Ajalmu telah tiba, Barakoak! Roh adikku akan senang melihat kematianmu dari
alam sana! Hiaaah...!"
Wuuut...! Anak panah itu melesat cepat ke arah Barakoak dalam keadaan
memercikkan cahaya biru bagai lidah-lidah petir. Barakoak bukan diam saja,
melainkan berusaha menghindari anak panah itu dengan satu lompatan cepat dan
berguling di tanah satu kali.
Suara gerakannya bagaikan gemuruh bebatuan menggelinding dari atas lereng bukit. Gluuduk, wuuurrs...!
Dalam sekejap Barakoak sudah bangkit kembali dan anak panah itu menghantam
gugusan batu di kejauhan sana. Blegaaar...! Batu besar itu pun hancur menjadi
serbuk hitam yang beterbangan ke mana-mana.
"Mengapa ia menghindari anak panah itu?" pikir Suto Sinting secara diam-diam.
Matanya memandang terus ke arah pertarungan tanpa berkedip.
Dewi Geladak Ayu hendak mengambil anak panah
yang tersisa dan terjatuh di tanah. Namun tiba-tiba Barakoak melompat dan
kakinya jatuh tepat di tangan Dewi Geladak Ayu. Bluuuk...!
"Aaaauh...!" perempuan itu menjerit kesakitan, tangannya bagai ditindih dengan
besi sebesar almari.
Kaki kiri Barakoak segera menendang wajah cantik itu.
Ploook...! Tubuh Dewi Geladak Ayu tak bisa terpental karena tangannya diinjak kaki kanan
Barakoak. Akhirnya perempuan itu menjadi sasaran kaki kiri Barakoak yang
menendangnya secara bertubi-tubi. Biarpun darah menyembur dari mulut Dewi
Geladak Ayu, namun
Barakoak bagai orang kesetanan, tetap menghajar perempuan itu dengan tendangan
kakinya yang bertenaga dalam. Bahkan tubuh montok itu sempat terkapar dalam keadaan tangan
terlepas dari injakan kaki
lawan. Namun kini justru dadanya yang menjadi sasaran Barakoak. Dada itu
diinjak-injak seenaknya dengan suara geram kebencian menggema panjang.
Brus, brus, brus, bruuhk, brruhk...!
"Heeehehgg...!" Dewi Geladak Ayu mendelik dengan mulut semburkan darah kental.
"Modar kau! Modar kau! Heeeah...!" Barakoak menggeram penuh nafsu menumbuk tubuh
sekai itu. Zlaaap...! Ploook...!
Tiba-tiba tengkuk kepala Barakoak terasa dijatuhi batu sebesar gunung. Rupanya
Pendekar Mabuk tak tega melihat perempuan cantik itu diinjak-injak oleh
Barakoak. Ia berkelebat menggunakan jurus 'Gerak Siluman' untuk menerjang tubuh
raksasa itu. Akibatnya, tubuh besar itu terjungkal dan berguling-guling sampai
sejauh lima langkah dari tempatnya berdiri.
"Bangsaaat...!" teriak Barakoak. "Rupanya kau ikut campur juga, hah"! Melihat
bumbung tuak dan ciri pakaianmu, pasti kau yang bernama Pendekar Mabuk, yang
menghancurkan Candi Bangkai tempatku bertakhta!"
"Memang akulah si Pendekar Mabuk, murid Gila Tuak!" jawab Suto Sinting dengan
tegas. "Gggrrmm...!
Kuhancurkan kau sebagai pembalasanku atas kelancanganmu tempo hari. Heaah...!"
Tiba-tiba kedua tangan Barakoak menyentak ke
depan dan gelombang angin yang menyerupai badai berhembus cukup kuat.
Wuuussss...! Pendekar Mabuk terpental tunggang langgang.
Tubuhnya terbawa terbang dan membentur-bentur pohon serta reruntuhan rumah
jerami. Guzraaak...! Akhirnya ia terhempas masuk dalam reruntuhan rumah jerami.
Seketika itu pula Barakoak lepaskan sinar merahnya dari ujung jari telunjuk.
Claaap...! Sinar merah meluncur cepat kenai reruntuhan jerami.
Blaarrr...! Reruntuhan jerami terbakar, apinya berkobar-kobar. Suto Sinting ada
di dalamnya. "Sutooo...!" teriak Ratu Dewi Cumbutari dengan tegang, ia dan Ciwuiani berlari
mendekati kobaran api.
Namun belum sampai terlalu dekat, sekelebat bayangan keluar dari dalam kobaran
api. Zlaaap...! Pendekar Mabuk berhasil lolos dari kobaran api dengan gerakan
cepatnya, ia segera berdiri tak jauh dari Ciwuiani.
Matanya memandang tajam pada Barakoak setelah menenggak tuaknya sesaat. Barakoak
menghampirinya dengan menggeram buas.
"Ciwuiani, pinjam pedangmu...!" kata Suto sambil mengulurkan tangan ke samping,
tapi matanya masih memandangi Barakoak. Ciwuiani serahkan pedangnya, lalu
Pendekar Mabuk segera maju dengan bumbung tuak diselempangkan ke belakang.
"O, kau mau pakai senjata"! Boleh saja, kalau perlu bawa semua senjata dan
hujamkan ke tubuhku! Kau tak akan bisa melukaiku, Pemuda Hina!"
Sreeek...! Ujung pedang digesrekkan ke tanah.
Barakoak terbelalak kaget dan hentikan langkah dengan
wajah tegang. Pendekar Mabuk segera maju mendekat.
Barakoak mundur dua langkah sambil menyimpan
kecemasan. "Mau apa kau, haahhh...!"
teriaknya sambil melepaskan serangan berupa sinar biru dari kedua telapak tangannya. Wut,
wuuut...! Sinar itu dihindari Suto Sinting dengan bersalto di udara dalam
ketinggian melebihi kedua sinar tersebut. Wes, wes...! Tubuh itu melayang
melintasi atas kepala Barakoak. Pedang pun segera ditebaskan dalam gerakan
cepat. Beeet...!
Crraasss...! "Aaaahhhggrr...!" Barakoak memekik keras, pundak kanannya terbelah nyaris putus.
Darah menyembur ke mana-mana. Sang Ratu dan Ciwuiani terperangah bengong melihat
Pendekar Mabuk mampu lukai si Raja Iblis itu.
Baru saja kaki Suto Sinting menyentuh ke bumi, tubuhnya telah melesat kembali ke
atas. Wuuut...! Pada saat itu Barakoak oleng ke kiri dan membalik badan hingga
berhadapan dengan Suto Sinting. Namun tangan Pendekar Mabuk sudah telanjur
berkelebat menebaskan pedang dari kanan ke kiri. Wuuut...! Crrraasss...!
"Oohh..."!"
Suara pekikan itu bukan datang dari mulut si Raja Iblis, melainkan dari mulut
Ratu Dewi Cumbutari yang terkejut dan kagum melihat Suto Sinting berhasil
memenggal kepala Barakoak. Gerakan pedang yang cepat membuat Barakoak sempat
mendelik walau lehernya telah putus ditebas pedang. Ketika ia terhuyung
ke belakang, kepalanya pun segera menggelinding jatuh ke tanah. Plook...! Kejap
berikutnya tubuh tanpa kepala itu pun tumbang berdebam bagai sebatang pohon roboh.
Bluuuuk...! Semua mata yang memandang kejadian itu terbelalak tak berkedip. Semua mulut
ternganga bengong. Mereka merasa seperti berada di alam mimpi melihat Barakoak
yang mempunyai ilmu 'Urat Bumi' itu ternyata mampu dipenggal oleh Pendekar Mabuk
tanpa menggunakan pedang pusaka. Sementara pedang pusaka milik Ratu Dewi
Cumbutari justru hancur pada saat digunakan menangkis sinar dan asap beracun
ungu tadi. Setelah menyadari si raksasa Barakoak telah tumbang terpenggal kepalanya, Ratu
Dewi Cumbutari segera hampiri Suto Sinting dengan senyumnya yang ceria.
Ciwuiani sendiri sunggingkan senyum kemenangan sambil menerima pedangnya kembali
dari tangan Pendekar Mabuk.
"Terima kasih atas bantuanmu," hanya itu yang bisa diucapkan oleh Ratu Dewi
Cumbutari dengan mata berkaca-kaca
memendam tangis keharuan dan kebahagiaan karena negerinya bebas dari ancaman maut si Raja Iblis.
Pendekar Mabuk hanya menepuk-nepuk pundak sang Ratu tanpa sungkan-sungkan, lalu
terselip sebaris kata menggelitik darinya.
"Kau semakin cantik jika mengucapkan terima kasih selembut itu, Ratu. Tapi
bagiku lebih penting mendapatkan
air Sendang Ketuban daripada mendapatkan ucapan terima kasih, sebab seorang sahabat dalam keadaan terancam
maut jika tak segera dapatkan air Sendang Ketuban itu."
"Ciwuiani akan menyiapkan air itu untuk kau bawa pulang. Jangan pikirkan hal itu
lagi!" jawab Ratu Dewi Cumbutari.
"Uuuhhg...!" terdengar erangan Dewi Geladak Ayu, si bajak laut wanita yang
terluka parah itu. Pendekar Mabuk segera hampiri perempuan tersebut, kemudian
memberi minum dengan tuaknya. Tuak sakti itulah yang membuat nyawa Dewi Geladak
Ayu tertolong dan ia menjadi sehat kembali seperti sediakala.
"Mengapa kau menyelamatkan nyawaku?" ucap sang bajak laut wanita masih bernada
angkuh. "Karena kau pernah menyelamatkan nyawaku pula dari ancaman jurus mautnya Ratu
Sangkar Mesum,"
jawab Suto Sinting dengan seulas senyum menawan.
"Satu lagi yang ingin kuketahui, dari mana kau bisa temukan rahasia menembus
ilmu 'Urat Bumi'-nya si Barakoak itu?"
Pendekar Mabuk 056 Pembantai Raksasa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hanya bersifat untung-untungan. Kulihat ia merasa cemas dan takut ketika anak
panahmu jatuh ke tanah, ia tak berani membiarkan anak panah itu menembus
tubuhnya. Juga ketika kau memungut anak panah yang berantakan, ia hanya berani
menghindari anak panah itu sampai berjungkir balik di tanah. Maka kesimpulanku,
ilmu 'Urat Bumi' akan tumbang jika menggunakan senjata yang sebelumnya harus
terkena debu atau tanah lebih dulu. Kucoba menggoreskan pedangku ke tanah,
dan kulihat ia terkejut serta ketakutan. Maka yakinlah aku bahwa tanah menjadi
kunci untuk melumpuhkan ilmu 'Urat Bumi'-nya itu."
Dewi Geladak Ayu menghembuskan napas. Lalu
berkata dengan nada datar,
"Kau bukan hanya tampan, namun juga cerdik!
Kapan-kapan kita bertemu lagi!"
Wuuuutt...! Bajak laut wanita itu segera melesat pergi tanpa pamit kepada Ratu
Dewi Cumbutari. Namun agaknya sang Ratu tidak peduli hal itu. Perhatiannya lebih
tertuju kepada Suto Sinting yang dianggap sebagai pahlawan, penyelamat negeri
Wilwatikta. Tak heran jika kepulangan Suto Sinting diantar oleh sang Ratu
sendiri sampai di perbatasan. Lambaian tangannya menyertai perjalanan pulang
Suto Sinting yang membawa guci berisi air Sendang Ketuban. Namun sebelum ia tiba
di gua, terlebih dulu ia mengambil mayat Kenanga Pilu dan dibawanya ke Perguruan
Tapak Dewa. Selesai memberi penjelasan apa adanya, barulah berangkat menemui
Kejora, Tua Bangka, dan Darah Prabu yang menderita racun berbahaya itu.
Namun di perjalanan benak Suto Sinting sempat bertanya pada dirinya sendiri,
"Jadi sebenarnya siapa yang menyimpan pusaka Panji-panji Agung itu" Benarkah
calon istriku; Dyah Sariningrum, mengetahui rahasia Panji-panji Agung itu"!"
SELESAI PENDEKAR MABUK Segera terbit!!!
MISTERI BAYANGAN UNGU
Pembuat E-book:
Scan buku ke DJVU: Abu Keisel
Convert & Edit: Paulustjing
Ebook oleh: Dewi KZ
http://kangzusi.com
http://dewi-kz.info
http://www.tiraikasih.co.cc/
http://ebook-dewikz.com/
Naga Sasra Dan Sabuk Inten 15 Joko Sableng 39 Dayang Tiga Purnama Memanah Burung Rajawali 16