Pencarian

Penjara Terkutuk 1

Pendekar Mabuk 079 Penjara Terkutuk Bagian 1


Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
https://www.facebook.com/Dunia
AbuKeisel Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah
lindungan undang-undang.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
1 HUTAN cemara merah dihembus angin badai yang
mematahkan beberapa dahan. Angin itu berhembus dari
arah utara dengan kecepatan mampu menerbangkan
orang. Batu-batu sempat beterbangan dan saling
berbenturan. Alam di hutan cemara merah bergemuruh
memekakkan telinga.
Di sela-sela pepohonan cemara yang terombang-
ambing itu, tampak seraut wajah tampan bermata teduh dengan rambut sepanjang
pundak, lepas tanpa ikat
kepala. Seraut wajah tampan itu membiarkan anak
rambut menutupi sebagian parasnya yang berhidung
bangir. Ia berdiri dengan tegak, kakinya sedikit
merenggang, kedua tangannya menggenggam di
samping, ototnya tampak bertonjolan bagai pilar beton yang sukar digoyahkan.
Pemilik wajah tampan yang memakai baju coklat
tanpa lengan dan celana lusuh itu menyandang bumbung tuak di punggungnya. Ciri-
ciri itu menandakan bahwa si wajah tampan itu adalah Pendekar Mabuk yang bernama
Suto Sinting; murid dari Gila Tuak dan Bidadari Jalang, tokoh yang namanya
berada di paling atas dari deretan nama-nama tokoh sakti di rimba persilatan.
Dengan mata sedikit mengecil, Pendekar Mabuk keraskan kakinya
yang seakan menancap di tanah. Ia berdiri menantang
badai dengan tenang.
Sebongkah batu sebesar kepala kerbau melayang ke
wajahnya karena terlempar oleh hembusan angin badai itu. Dengan sigap batu itu
dihancurkan menggunakan
pukulan tangan kirinya. Prraak...! Menyusul sebatang dahan berukuran sebesar
pahanya terhempas bagai ingin memukul kepala bagian kanan. Dengan cepat, tangan
kiri Pendekar Mabuk menyodok ke kanan. Dahan itu
dihantam menggunakan pangkal telapak tangannya.
Prraak...! Dua bongkahan tanah menyerupai cadas
menerjangnya karena hembusan kuat dari angin badai
misterius itu. Dua bongkahan tanah seperti cadas itu datang dari arah depannya.
Pendekar Mabuk segera
layangkan tendangan ganda dengan satu kaki yang
kecepatannya sukar dilihat oleh mata manusia biasa.
Wut, wut...! Braasss...! Dua bongkahan tanah seperti cadas itu hancur dan
debunya terhempas terbawa angin.
Sebagian debu menyiram dadanya, namun dalam waktu
singkat debu itu lenyap karena angin badai yang
menerjang tubuh kekar itu hanya bisa membawa pergi
debu-debu tersebut.
"Badai tak wajar!" gumam Pendekar Mabuk sambil bersikap tegak dan berdiri kokoh
kembali, seakan ia
sengaja menentang kekuatan badai tersebut.
Pucuk-pucuk pohon cemara meliuk begitu tajam,
seakan ingin menyentuh tanah. Keadaan di depan Suto
Sinting menjadi tak jelas karena tertutup pucuk-pucuk pohon cemara. Tapi mata si
bocah tanpa pusar itu
sempat melihat sebuah benda menerobos kerimbunan
pucuk cemara yang meliuk itu. Benda tersebut
menerjang ke arahnya. Dengan cepat Suto
menyentakkan kedua tangannya secara beruntun ke arah depan. Bet, bet...!
Brruuus...! "Apa itu tadi"!" ujarnya membatin sambil matanya mencari benda yang terpental
akibat pukulan kedua
tangannya tadi.
"Aahhk... aaahkkk...!"
"Lho... manusia"!" gumam Suto Sinting dengan heran. Matanya dilebarkan walau
terpaksa tetap tak bisa selebar biasanya karena menahan hembusan angin badai
itu. Ia memandang ke arah benda yang terpental akibat pukulannya tadi. Ternyata
memang seorang manusia
yang kini sedang meringkuk, terhalang sebatang pohon hingga tak bisa terlempar
lagi oleh kekuatan angin badai itu.
"Oh, siapa dia"! Mengapa dia menyerangku?" pikir Suto sambil berusaha
mendekatinya, tetapi ternyata
usaha mendekati orang tersebut tak bisa dilakukan
dengan mudah karena ia harus melawan kekuatan angin
badai tersebut. Sedikit saja salah satu kakinya diangkat, ia akan terhempas
terbang dihembus angin badai yang
cukup kencang itu. Terpaksa Suto Sinting hanya bisa
memandangi orang tersebut dengan telapak kaki
bergeser maju sedikit demi sedikit. Sesekali tubuhnya terhuyung-huyung ke
belakang karena nyaris tak kuat
menahan hempasan angin besar itu.
"Seseorang telah menjajal ilmuku begitu aku tiba di alam perbatasan ini. Sejak
tadi aku tak mau melawan, karena tak ingin bermusuhan dengannya. Tapi
tampaknya ia masih belum puas jika aku belum
melawannya. Baiklah, akan kulawan angin badainya
dengan jurus 'Napas Tuak Setan'-ku!" geram hati Pendekar Mabuk.
Padahal jurus 'Napas Tuak Setan' sangat berbahaya,
bukan saja bagi manusia, namun juga berbahaya bagi
alam dan lingkungan sekitarnya. Satu hentakan napas
melalui mulut Suto dapat timbulkan bencana badai besar yang mampu menyapu
seluruh bangunan rumah dalam
satu desa, bahkan mampu memporak-porandakan hutan
dan menggeser bukit yang tak terlalu besar. Napas maut itu biasanya terhembus
dengan sendirinya jika hati
Pendekar Mabuk sedang murka.
Kegeraman hati dibina, diperbesar supaya ia merasa
marah dan bisa keluarkan napas mautnya itu. Tetapi,
sebelum hal itu terjadi, tiba-tiba badai telah reda sendiri.
Hembusan angin semakin menurun, pucuk-pucuk
cemara merah mulai tegak kembali. Akhirnya hutan
cemara merah itu menjadi tenang, angin yang berhembus semilir damai menyejukkan
badan. "Sial! Begitu mau kulawan angin badai itu berhenti!"
gerutu Pendekar Mabuk setelah menarik napas dan
mengendurkan ketegangan uratnya.
"Oh, ternyata orang yang kupukul tadi adalah seorang gadis"!" ujar batin Suto
dengan terkejut ketika ia memandang orang yang tersangkut pohon tadi. Ia segera
mendekati orang itu, dan ternyata memang seorang gadis berwajah cantik, manis,
menawan hati. Gadis itu berusia sekitar dua puluh tiga tahun, mengenakan jubah
lengan panjang warna abu-abu, mengenakan kutang tipis warna hijau dan kain
penutup pinggul warna hijau pula.
"Oh, kasihan sekali gadis ini! Tapi mengapa ia
menyerangku secara tiba-tiba seperti tadi"!" ujar batin si murid sinting Gila
Tuak. Ia segera membaringkan gadis itu. Rupanya gadis itu
pingsan karena pukulan Suto tadi. Tetapi dalam hatinya sang pendekar tampan
merasa salut dan kagum melihat
ketahanan gadis itu.
"Mestinya dia mati, karena aku tadi menggunakan pukulan bertenaga dalam cukup
besar. Tapi ternyata ia hanya pingsan dan tidak mengalami luka memar sedikit
pun. Hebat juga gadis ini!"
Ia memandangi gadis yang dibaringkan di tanah
berumput merah kecoklatan itu. Gadis berambut pendek yang bagian depannya diponi
itu mempunyai wajah yang sangat menggemaskan. Hidungnya kecil tapi mancung,
alis matanya lebat dan lentik, bibirnya kecil namun
menggairahkan. Enak untuk dikecup dan dilumat.
Kulitnya berwarna kuning langsat. Dan yang lebih
membuat hati Suto berdebar-debar, ternyata gadis itu mempunyai dada yang sekal,
termasuk montok, walau
tidak sebesar semangka. Kutang tipisnya itu sedikit
merosot ke bawah karena hembusan angin badai tadi,
akibatnya, separo dari dada montoknya itu tampak
tersembul menyembunyikan pucuknya di tepian kutang.
"Wow...! Ini baru kejutan!" gumam Suto Sinting dengan hati berdebar.
"Ah, sebaiknya kubetulkan letak penutup dadanya itu biar tidak terlalu seronok
dipandang orang." Maka, tangan Suto pun segera membetulkan letak penutup dada
yang berwarna hijau berhias benang emas itu.
Tetapi kutang itu terlalu kencang dan ketat, sehingga Suto Sinting sulit
merapikannya. Tarik sana, tarik sini, akhirnya
jengkel-jengkel tangan Suto merogoh
gumpalan daging yang sekal dan montok itu untuk
membetulkan letak penutupnya. Tapi dasar jahil, tangan Suto sempat meremas pelan
dan cekikikan dalam
hatinya. "Enak lho...," sambil ia tersenyum-senyum sendiri, lalu segera clingak-clinguk,
takut dilihat orang lain.
"Sialan. Deg-degan juga hatiku. Eh... yang kiri sudah, yang kanan belum
kupegang. Nanti besar sebelah,
kasihan kan" Ah, yang kanan, ah...!"
Memang bandel dan jahil murid si Gila Tuak itu.
Sudah dapat yang kiri, eeh... yang kanan diremas juga.
Nyuuttt...! "Aaow...!"
Suto terlonjak kaget. Gadis itu memekik, sadar dari
pingsannya. Hampir saja jantung Suto copot karena rasa kagetnya itu. Ia menjadi
sangat malu dan salah tingkah, bahkan sempat menggeragap hingga suaranya seperti
orang bisu. "Aah, uuh, aah, uhmm, eeh, uuh...!"
Gadis itu bangkit dan melangkah dekati Suto lalu
dengan cepat tangannya berkelebat menampar wajah
Suto. Plook...!
"Setan kau! Sudah gagu, kurang ajar lagi!" omel gadis itu sambil membetulkan
penutup dadanya supaya
letaknya lebih pas lagi.
Wajah Suto menjadi merah padam, bukan saja karena
menahan rasa malu tapi juga karena menahan rasa sakit akibat tamparan gadis itu.
"Tangannya seperti sandal karet! Panas sekali kalau dipakai untuk menampar!"
gerutu hati Suto.
"Hei, Orang Gagu... apa maksudmu bertindak kurang ajar padaku, hah"! Apakah kau
belum tahu siapa aku"!"
"Bbbe... belum, Nona."
"Lho... gagu kok bisa ngomong?"
"Ak... ak... aku bukan oor... orang gagu, Nona."
"Ooo... kau orang gagap" Punya penyakit gagap,
begitu"!"
"Jug... jug... juga bukan!"
"Bukan gagap kok ngomongnya jag-jug-jag-jug
begitu!" si gadis bersungut-sungut, tapi hatinya berkata lain.
"Ganteng amat pemuda ini. Badannya gagah, kekar dan... ya ampuun, ternyata dia
mempunyai ketampanan
yang sukar kubenci. Hatiku berdebar-debar, entah
mengapa aku merasa sangat bahagia saat ini. Padahal aku belum kenal siapa dia,
padahal dia belum tunjukkan sikap manis padaku, dan... oh, kalau tahu dia
seganteng ini, sebaiknya tadi kubiarkan saja dia berkurang ajar padaku."
Tetapi wajah si gadis tetap berlagak acuh tak acuh, bahkan berkesan angkuh.
Sambil merapikan pakaiannya
dan menghilangkan rumput yang menyangkut di
rambutnya, gadis itu tetap menampakkan sikap judes,
walau sesekali ia melirik ke arah Pendekar Mabuk.
"Maafkan kelancanganku tadi, Nona. Aku hanya
bermaksud memberi keseimbangan saja biar tidak
bengkak sebelah dan...."
"Keseimbangan apa maksudmu!" bentak gadis itu dengan bibir mungilnya meruncing.
"Maksudku... maksudku kalau yang kiri sudah
diremas yang kanan juga harus...."
"Kurang ajar!" sentak gadis itu dengan mata melotot.
"Jadi kau sudah melakukannya pada yang kiri"!"
"Hmm... eeh... uuh... aah... eehm...."
Plak, plak...! "Terima kasih," kata Suto sambil mengusap pipinya yang kena tampar dua kali itu.
"Dasar manusia jalang!" maki si gadis. "Kurasa cukup pantas tamparan dua kali
untuk kekurangajaranmu tadi!"
"Maukah kau menamparku empat kali lagi?"
"Eeeh... nantang kau, ya" Nantang kau, hah"!" sambil si gadis tolak pinggang,
mendesak Suto dengan mata
melotot galak. "Maksudku... kalau satu remasan dua tamparan, aku ingin ditampar empat kali lagi
supaya mendapat dua
remasan lagi, Nona!"
"Mulut kotor, hiaaat...!"
Wuuut, wuuut, wuuut, wuuut, wuuu...!
Gadis itu memukul Suto beberapa kali, tapi Suto
hanya menggeloyor ke sana-sini seperti orang mabuk
mau jatuh. Akibatnya pukulan beberapa kali itu tidak ada yang mengenai sasaran
satu pun. "Rupanya kau mau unjuk gigi di depan Ajeng Ayu, hah" Kau belum kenal Ajeng Ayu"
Inilah si Ajeng Ayu!
Hieeat...!"
Wuk, wuk, wuk, wuk, wuk, wuk...!
Lebih dari tujuh tendangan dilepaskan oleh gadis itu.
Tetapi dengan lentur dan lincah Suto Sinting yang tetap berdiri di tempat tanpa
bergeser sedikit pun mampu
hindari tendangan gadis itu. Tubuhnya meliuk-liuk ke sana-sini bagai orang mabuk
dengan gerakan tangan
sesekali mirip orang menenggak tuak, tendangan itu
selalu lolos dari tubuhnya. Tak sedikit pun menyerempet lengan atau bagian yang
lain. "Setan!" geram gadis itu dengan hati semakin keki.
"Berani-beraninya kau menghindari tendanganku, hah"!
Coba jurus 'Kaki Tiga' ini! Hiiaah...!"
Gadis itu tiba-tiba meloncat ke atas, tubuhnya
berputar cepat bagai gangsing, tahu-tahu wajah Suto merasa mendapat tiga kali
tendangan beruntun yang
sukar dihindari. Begitu cepatnya tendangan tiga kali itu hingga yang terdengar
suara, prrrook...!
Suto Sinting menggeloyor ke belakang dan
gelagapan. Pandangan matanya menjadi buram,
wajahnya terasa kian panas bagai dipanggang api. Ia buru-buru menenggak tuaknya
dua teguk. Tuak itu
membuat rasa panas di wajah lenyap dalam waktu
singkat, pandangan matanya menjadi jernih kembali dan badannya terasa segar,
karena tuak itu adalah tuak sakti yang mampu sembuhkan penyakit dan lenyapkan
berbagai macam luka.
"Gila! Tendangannya seperti mengandung lahar


Pendekar Mabuk 079 Penjara Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

panas dan kecepatannya sukar dilawan," gumam Suto dalam hati sambil memandang
sang gadis yang masih
tolak pinggang dan mencibir, membanggakan jurus
tendangannya tadi.
"Sekarang kau baru kenal siapa si Ajeng Ayu ini, bukan?" sambil gadis itu
menepuk dadanya sendiri.
"Kau masih mau mencobanya?"
"Aku... aku tak berani menolak keinginanmu, Nona.
Silakan saja kalau masih ingin memperkenalkan diri
padaku." "Ngeledek kau, ya"! Hiaaat...!"
Gadis itu melompat dengan gerakan tubuh memutar,
kaki lebih dulu menyerang. Tetapi Suto Sinting segera menyentilkan jarinya ke
arah betis gadis itu.
Tess...! Beet...!
"Auuh...!" gadis itu memekik dan tubuhnya
terpelanting jatuh. Brrruk...!
"Aaaauuh...!" Ia merengek seperti anak kecil sambil pegangi betisnya yang merasa
seperti ditendang seekor kuda jantan. Betis mulus itu tampak biru sebesar
telapak tangan. Suto Sinting hanya sunggingkan senyum dan
merasa bangga dengan jurus 'Jari Guntur'-nya itu.
"Itulah salam perkenalan Suto Sinting," ujar Suto sambil menepuk dadanya
menirukan lagak gadis itu tadi.
"Aduuh... tulang lututku bagai mau copot rasanya,"
keluh si gadis dalam hati. "Tak kulihat tangannya bergerak menghantamku, tapi
kenapa tiba-tiba betisku jadi sasaran" Uuuh... rasa linunya sampai di tulang
punggung dan tengkuk. Gila! Jurus apa yang
dipergunakan setan ganteng ini"! Kurasa... eh, tadi
kudengar dia menyebutkan namanya" Suto"! Suto
Sinting"! Sepertinya aku pernah dengar nama itu
disebutkan oleh Guru. Tapi kapan dan apa penjelasannya tentang nama itu, ya"
Aduh, aku lupa sama sekali."
Suto Sinting tak tega melihat gadis itu menyeringai
kesakitan tiada henti. Ia segera mendekati dan
menyerahkan bumbung tuaknya yang masih penuh dan
baru terminum beberapa teguk itu.
"Minumlah tuakku, maka rasa sakit itu akan hilang."
"Kau dukun, ya?"
"Anggap saja begitu!" jawab Suto dengan kesan malas
menjelaskan khasiat tuak dan asal-usul
bumbungnya itu.
Ajeng Ayu mendengus sambil buang muka pertanda
tak mau menerima tawaran itu. Tetapi Suto segera
berkata, "Kalau kau tak mau minum tuak, maka kakimu akan beracun, sukar diobati lagi.
Kalau kakimu akan
membusuk dan akhirnya harus dibuntungi biar tidak
membusukkan bagian yang lain!"
"Haah..."! Seganas itukah pukulanmu?"
"Sebenarnya jurus yang kupakai tadi untuk lawan beratku. Tapi aku tadi tak
sengaja melepas jurus itu. Aku pun menyesal setelah membayangkan gadis secantik
kau akan buntung salah satu kakinya gara-gara jurusku tadi.
Maka kutawarkan padamu untuk minum tuak ini biar
kakimu tak jadi buntung."
Ajeng Ayu terpengaruh oleh bualan Suto Sinting. Ia
tampak tegang dan cemas. Akhirnya mau meminum tuak
itu. Dan suatu keajaiban dirasakan olehnya, rasa sakit dari betis sampai tulang
tengkuk itu lenyap sama sekali, bahkan tubuhnya merasa lebih segar dari sebelum
meminum tuak itu.
"Sakti juga kau ini rupanya. Siapa gurumu?"
"Sebaiknya kau tanyakan siapa kekasihku," kata Suto.
"Aku tidak butuh kekasihmu!" ujar Ajeng Ayu dengan cemberut. "Apakah kau sudah
punya kekasih?"
"Sudah."
"Siapa?"
"Kau!"
Buuhk...! Gadis itu jatuh secara tiba-tiba. Setelah
diperiksa Suto, ternyata gadis itu pingsan dengan wajah memucat.
"Aneh! Masa' hanya kujawab dalam canda begitu saja dia langsung pingsan"! Oh...
gadis cap apa dia
sebenarnya?"
Suto semakin penasaran ingin mengetahui siapa gadis
itu sebenarnya. Tak akan bisa tidur rasanya jika Suto belum mengetahui secara
mendalam tentang Ajeng Ayu
yang memang ayu itu.
* * * 2 SETELAH diperiksa lebih teliti lagi, ternyata di leher belakang Ajeng Ayu
terdapat suatu benda kecil yang
menancap di situ. Benda tersebut segera dicabut oleh Pendekar Mabuk.
"Jarum..."!" gumam Pendekar Mabuk sambil
memandangi benda yang habis dicabut dari tengkuk
Ajeng Ayu itu. Jarum tersebut tidak sepanjang jarum
biasanya. Jarum itu separo lebih pendek dari ukuran
jarum jahit. Pada bagian ujung tumpulnya terdapat
sebutir manik-manik, sehingga jarum itu layak disebut jarum pentul.
"Rupanya ada seseorang yang bermaksud ingin
membunuh Ajeng Ayu ini! Dia lepaskan jarum ini dari
suatu tempat yang amat tersembunyi. Dan... oh, kulit lukanya membiru" Lho...
makin lama semakin lebar"
Wah, tak salah lagi; pasti jarum ini beracun. Racunnya cukup ganas, sehingga
sekali tancap membuat orang tak berdaya!"
Mata teduh itu segera memandang ke arah
sekelilingnya. Ia mencari seseorang yang melepaskan
jarum beracun itu. Tiap jengkal tempat diperhatikan dengan teliti, sampai pada
gerakan angin halus pun
dipertimbangkan sebagai gerakan alami atau gerakan
buatan seseorang.
"Yang jelas orang itu pasti mengincar kematian
Ajeng Ayu. Bukan mengincarku! Hmmm... tega nian
orang itu, sehingga ia bermaksud membunuh gadis
secantik Ajeng ini?" gumam batin Suto sambil masih pandangi keadaan sekeliling.
Tapi ia masih belum
menemukan tempat yang dicurigai sebagai
persembunyian si penyerang gelap itu.
"Sebaiknya Ajeng kupaksa meneguk tuakku supaya
racun itu tidak melenyapkan nyawanya!"
Pendekar Mabuk menenggak tuak, sebagian ditelan
sebagian lagi disimpan dalam mulut. Kemudian dengan
sedikit ragu dan clingak-clinguk lebih dulu, Suto
akhirnya menempelkan bibirnya ke mulut Ajeng Ayu.
Tuak dalam mulut disemburkan pelan-pelan ke mulut
Ajeng Ayu, sehingga sedikit demi sedikit tuak itu masuk ke tenggorokan Ajeng
Ayu. Hal itu diulanginya berkali-kali, sampai akhirnya
Suto berhasil melakukannya karena tak kuat menahan
debar-debar gairah yang ditimbulkan dari perpaduan
mulutnya dengan mulut Ajeng Ayu. Bahkan tadi Suto
sempat mengecup lembut bibir menggairahkan itu
sebagai ulah kenakalan jiwa mudanya. Ulah itu yang
makin menimbulkan hasrat untuk mengecup bagian
lainnya. Tapi hal itu tak sampai dilakukan oleh Pendekar Mabuk karena ia tetap
menjaga sikapnya sebagai
seorang pendekar yang mempunyai banyak pengagum.
Ia tak mau citranya jatuh gara-gara menggumuli gadis yang sedang pingsan.
Beberapa saat kemudian, Ajeng Ayu mulai siuman.
Racun yang menghentikan jantungnya itu dapat
dikalahkan oleh kekuatan sakti tuak Suto yang telah
masuk dalam tubuhnya. Bahkan luka di tengkuknya
hanya terasa gatal sedikit. Ajeng Ayu segera
menggaruknya sebentar. Tapi bekas luka membiru sudah tak ada. Bahkan bekas
menancapnya jarum sudah hilang sama sekali.
"Ooh..." Kenapa aku duduk di tanah"!" gumamnya bernada kaget, lalu segera
memandang Suto yang
sengaja sudah menjauh lima langkah dari Ajeng Ayu.
Suto berdiri sambil salah satu pundaknya bersandar pada batang pohon yang patah
di pertengahannya akibat angin badai tadi.
"Apa yang telah kualami tadi"!" Ia ajukan tanya
kepada Pendekar Mabuk.
"Kau pingsan mendadak."
"Mengapa aku pingsan?"
"Karena... aku menyebutkan dirimu sebagai
kekasihku."
"Hmmm...! Tak mungkin aku pingsan gara-gara
ucapan gombalmu itu!" Ajeng Ayu mencibir. "Pasti aku kau teluh biar aku tak
sadar diri, lalu pada saat aku tak sadar diri, kau menggagahiku! Begitu,
bukan"!"
sentaknya masih bernada galak.
"Kalau aku mau menggagahimu, mengapa harus pada saat kau tak sadar" Rugi sekali
aku. Karena dengan
begitu kau tidak memberikan balasan yang menurutku
pasti lebih berani daripada diriku."
"Jangan bicara sembarangan kau!" gertaknya sambil hampiri Suto Sinting. Yang
digertak hanya sunggingkan senyum kalem.
"Semula memang kusangka kau pingsan karena
jawabanku tadi. Tapi setelah kuteliti lagi, ternyata kau pingsan karena jarum
ini...," sambil Suto menunjukkan jarum bermanik merah bening itu.
Ajeng Ayu kerutkan dahi dan pandangi jarum itu
dengan lebih dekat lagi. Mulutnya sedikit terperangah terbuka untuk memperkuat
rasa herannya terhadap jarum tersebut.
"Jarum ini menancap di leher belakangmu."
"Tak mungkin...," kata Ajeng Ayu dengan diliputi kecemasan.
"Kalau tidak segera kucabut, kau akan kehilangan
nyawa, karena jarum ini beracun ganas," tambah Suto Sinting, tapi Ajeng Ayu
geleng-gelengkan kepala.
"Tak mungkin! Tak mungkin jarum ini menancap di tengkukku!"
"Mengapa kau bilang begitu?"
"Karena aku kenal pemilik jarum ini! Aku juga tahu, bahwa jarum ini mempunyai
racun ganas yang
dinamakan racun 'Pemburu Jantung'. Senjata jarum ini dilepaskan dari sebatang
sumpit emas. Orang yang
memiliki sumpit emas adalah si Rambut Perak."
"Siapa si Rambut Perak itu?"
"Bibiku sendiri!" jawab Ajeng Ayu dengan suara setengah berbisik, semakin
mempertegang suasana.
Pendekar Mabuk terkejut dalam hati dan segera kerutkan dahi memandangi Ajeng
Ayu. "Benarkah jarum ini senjata milik bibimu?"
"Aku tak akan keliru, karena aku tahu betul senjata ini. Aku pernah belajar
menyumpit dari bibiku,
menggunakan sumpit emas dan jarum semacam ini yang
tidak beracun."
"Aneh. Jika benar jarum ini milik bibimu, lalu
mengapa bibimu bermaksud ingin membunuhmu?"
"Karena itulah aku tak yakin kalau tadi aku pingsan gara-gara jarum ini!"
"Jadi kau menyangka kuapakan sehingga pingsan"
Kau sangka aku memperkosamu" Hmmm... maaf saja,
ya?" Suto Sinting mencibir sambil melengos. "Kalau mau begitu tak perlu pakai
memperkosa segala. Banyak wanita yang secara sukarela mau menyediakan dirinya
sebagai pemuas gairahku. Tapi aku tak mau lakukan,
karena aku ingin persembahkan hati dan cinta yang tulus serta kesetiaan kepada
Dyah Sariningrum, calon istriku, itu."
"Hmmm...! Berlagak suci kau, ya"!" ejek Ajeng Ayu.
Tapi sebelum ia bicara, tiba-tiba pergelangan
tangannya disambar oleh Suto Sinting. Ia ditarik hingga jatuh ke dalam pelukan
Suto. Namun bertepatan dengan hal itu, sebuah benda melesat cepat dan menancap
pada pohon yang digunakan Suto untuk bersandar itu.
Weess, jeeb...!
"Dasar brandal kampungan!"
Plook...! Suto ditampar lagi oleh Ajeng Ayu. Gadis itu marah
kepada Suto karena menyangka akan diperkosa oleh
Suto, setidaknya diperlakukan kurang ajar oleh si
tampan yang sebenarnya menggetarkan hatinya itu. Suto tiada membalas, hanya
menyeringai menahan panas di
seluruh permukaan wajahnya, sebab tamparan itu lebih keras dari tamparan
sebelumnya. Ajeng Ayu meronta lepas dari pelukan Suto. Ia masih
tampak berang dan menuding Suto dengan ucapkan
kata-kata keras.
"Sekali lagi kau berani bertindak kurang ajar begitu padaku, tak akan ada ampun
lagi bagimu, Suto!"
"Aku tidak bermaksud kurang ajar padamu, Ajeng!"
Suto agak ngotot. "Lihatlah di pohon...!" sambil Suto menuding pohon tempatnya
bersandar tadi.
Ajeng Ayu kaget dan kerutkan dahi. Ia melihat
sebatang jarum pendek menancap di pohon tersebut.
"Gila!" gumam Ajeng Ayu dengan tegang setelah tahu jarum yang menancap di pohon
sama dengan jarum
yang masih dipegang Suto.
"Sekarang kau percaya bahwa aku tidak
bermaksud...."
"Lekas pergi dari sini!" Ajeng Ayu menarik tangan Suto. Pendekar tampan itu
tersentak dan akhirnya ikuti langkah Ajeng Ayu yang melarikan diri dari tempat
tersebut. Ajeng Ayu membawanya ke sebuah gua, tetapi bukan
gua berbatu indah warna-warni yang dicari Suto. Gua itu tak begitu dalam dan
tidak mempunyai lorong tembus ke mana-mana. Batu-batuannya berwarna putih
semacam batuan kapur dan tidak banyak. Rata-rata batu di situ setinggi betis, tidak ada
yang lebih tinggi seperti di Gua Mahkota Dewa.
Padahal Suto Sinting pergi ke perbatasan alam gaib
dan alam nyata itu untuk mencari Batu Tembus Jagat
yang ada di Gua Mahkota Dewa. Ia membutuhkan Batu
Mahkota Jagat untuk melawan racun 'Asmara Kubur'
yang diderita oleh Dewi Kesepian. Apabila racun itu tak bisa dimusnahkan, maka
kaum lelaki di dunia akan
semakin berkurang dan lama-lama bisa menjadi punah
semuanya. Karena lelaki mana pun yang berkencan
dengan Dewi Kesepian akan terkena wabah penyakit
berbahaya dan merenggut jiwa, (Baca serial Pendekar
Mabuk damal episode : "Dewi Kesepian".
Gadis centil itu kini tampak diliputi kesedihan yang
menegangkan. Sebentar-sebentar matanya memandang
ke arah pintu masuk gua, sepertinya takut dikejar oleh si pemilik jarum beracun
itu. "Apakah ada kemungkinan bibimu akan mengejar
kemari?" "Bisa saja," jawab Ajeng Ayu dengan suara pelan.


Pendekar Mabuk 079 Penjara Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kecentilan dan lagak angkuhnya hilang sama sekali.
Suto bukan saja merasa penasaran tapi juga merasa
kasihan kepada gadis yang tiba-tiba berubah murung itu.
"Jangan takut, kalau dia kemari akan kuhadapi secara baik-baik. Barangkali kau
punya salah padanya."
"Tidak. Aku tidak pernah bikin masalah terhadap Bibi Rambut Perak. Bahkan aku
selalu bersikap patuh
kepadanya."
"Lalu apa alasannya menyerangmu dengan jarum
beracun itu?"
"Itu yang tidak kuketahui. Tapi jika Bibi sudah melepaskan jarum 'Hantu Merah'
berarti dia benar-benar murka dan berniat membunuh. Jarum itu dilepaskan
kepada orang yang tak bisa diberi ampun lagi olehnya."
Pendekar Mabuk diam sesaat, mencoba mencari
penyebab murkanya si Rambut Perak. Tetapi karena ia
belum pernah kenal dan belum pernah melihat si Rambut Perak, maka ia tidak
menemukan apa-apa dalam
renungannya. Ia hanya bisa berkata dengan nada pelan, seakan bicara pada dirinya
sendiri. "Tetapi mengapa tak kulihat seorang pun di sekitar tempat tadi?"
"Bibi Rambut Perak pasti ada di kejauhan. Ia meniup
sumpitnya bisa dari jarak yang cukup jauh. Mungkin dia berada di bukit sebelah
timur tadi."
"Oh, jauh sekali kalau begitu"!" gumam Suto merasa heran karena bukit yang
dimaksud Ajeng Ayu sempat
dilihatnya sebelum badai datang. Bukit itu berjarak
sangat jauh, lebih dari dua ratus langkah jauhnya.
"Jika benar jarum itu dilepaskan dari bukit tersebut, tentunya si Rambut Perak
bukan orang sembarangan.
Ilmunya cukup tinggi, hingga dapat meniupkan jarum
dalam sumpitnya menggunakan napas tenaga dalamnya,"
pikir Suto saat merenung sebentar.
Tiba-tiba Ajeng Ayu berkata dengan nada geram.
"Akan kuadukan kepada guruku, biar Bibi dihajar oleh guruku!"
"Bibimu kenal dengan gurumu?"
"Ya, tapi mereka kurang akrab," jawab Ajeng Ayu dengan wajah cemberut.
Pendekar Mabuk ingin ajukan tanya lagi, tetapi tiba-
tiba mereka dikejutkan oleh sebuah suara yang datang dari luar gua.
"Ajeng Ayu! Keluar kau!"
"Oooh..."!" Ajeng Ayu membelalakkan mata dan menjadi tegang. "Itu suara Bibi
Rambut Perak"!"
Pendekar Mabuk hanya menggumam pendek. "Akan
kutemui sendiri dia!"
"Ja... jangan! Kau bisa dibunuhnya jika ia sedang murka begitu. Dia ingin
bertemu denganku, jika kau ikut campur dia tak akan segan-segan membunuhmu. Tapi
barangkali jika kutemui dan kuajak bicara baik-baik,
kemarahannya bisa reda."
"Baik, temuilah dia. Aku hanya akan
mendampingimu."
Suara si Rambut Perak terdengar lagi lebih keras dari yang tadi.
"Ajeng Ayu...! Keluar kau dari gua, atau kuhancurkan gua itu biar kau mati
terkubur hidup-hidup!"
Akhirnya gadis itu keluar dari dalam gua dan
Pendekar Mabuk mendampingi dari belakangnya.
Mereka melihat seorang perempuan berjubah tanpa
lengan warna ungu dengan kutang dan kain penutup
pinggulnya yang sebatas betis itu berwarna kuning.
Perempuan itu berambut panjang sepunggung berwarna
perak. Rambut itu dibiarkan lepas bergerak tanpa
pengikat apa pun. Sebuah benda panjang sebesar jari
kelingking tergenggam di tangan kirinya. Benda itulah yang dinamakan sumpit
untuk meluncurkan jarum
beracun dengan cara meniupkannya. Biasanya sumpit
terbuat dari bambu kecil, tapi sumpit yang ada di tangan si Rambut Perak itu
terbuat dari logam berlapis emas berukir, panjangnya sekitar satu lengan.
"Sudah kuduga kau ingin berbuat mesum dengan
pemuda itu!" kata si Rambut Perak dengan ketus dan berwajah judes.
"Kami baru kenal, Bibi. Kami tidak bermaksud ingin berbuat tak senonoh," ujar
Ajeng Ayu dengan wajah sedih.
"Kalau tak ingin berbuat mesum, lalu mengapa kalian berada dalam gua itu
berduaan"!"
Suto menyahut, "Karena Ajeng takut kau bunuh!"
"Hei, siapa kau" Aku tak bertanya padamu!" Ia menuding dengan sumpitnya.
"Tapi kau melibatkan aku dalam tuduhanmu!" jawab Sulo dengan tegas walau di
bibirnya sunggingkan
senyum tipis berkesan kalem.
Perempuan bertubuh sintal dan mempunyai dada
lebih besar dari dua bukit di dada Ajeng Ayu itu segera berjalan ke samping
dengan mata memandang tajam ke
arah Suto dan Ajeng Ayu. Rupanya perempuan berusia
sekitar tiga puluh lima tahun itu menyembunyikan rasa kagumnya melihat
ketampanan dan kegagahan Pendekar
Mabuk, sehingga kini matanya lebih terarah kepada Suto Sinting.
Ia berjalan balik ke tempat semula sambil berkata
kepada Ajeng Ayu.
"Ajeng Ayu, apakah kau tak tahu bahwa pemuda
yang bersamamu itu adalah manusia yang hidup di
permukaan bumi"!"
"Eh, hmmm...," Ajeng Ayu memandang Suto
sebentar, kemudian memandang bibinya kembali. "Aku tidak tahu Bi. Aku dan dia
benar-benar baru saja
bertemu dan saling kenal."
"Bohong! Kulihat dari kejauhan kau telah cukup
intim dengannya."
"Tap... tapi aku tak tahu kalau dia manusia dari permukaan bumi, Bi!"
"Hmmm...!" Rambut Perak mendengus. Matanya yang agak besar dan berkesan judes-
judes cantik itu
menatap ke wajah Suto. Yang ditatap justru menenggak tuaknya dengan cuek, seakan
tak peduli tatapan mata si Rambut Perak itu.
"Tinggalkan dia, Ajeng! Dan kalau kulihat kau
berhubungan lagi dengan manusia semacam dia, tak ada ampun lagi bagimu. Aku akan
tega membunuhmu,
Ajeng!" "Tapi... tapi dia telah menolongku dan...."
"Tinggalkan dia!" bentak Rambut Perak dengan mata melebar.
Pendekar Mabuk dipandangi Ajeng Ayu dengan
wajah sedih. Setelah menarik napas, Suto pun berkata dengan lembut.
"Turutilah apa kata bibimu tadi. Pergilah dan jangan temui aku lagi."
Ajeng Ayu tidak menjawab, namun dari sorot
matanya ia tampak keberatan jika harus meninggalkan
Suto. Untuk sesaat ia bimbang mengambil keputusan.
Sementara itu, sang bibi pun berkata lagi dengan nada ju-desnya.
"Apakah kau lupa bahwa keluargamu musnah karena dibantai habis oleh manusia
permukaan bumi"!
Pamanmu, suamiku, juga binasa oleh manusia dari
permukaan bumi yang bernama Siluman Tujuh Nyawa
itu!" Suto Sinting terkejut mendengar nama itu disebutkan.
Siluman Tujuh Nyawa adalah tokoh paling sesat yang
menjadi musuh utamanya. Kini Suto tahu apa sebabnya
Ajeng Ayu dilarang keras untuk berhubungan dengan
manusia dari permukaan bumi. Rupanya gadis dari
keluarga masyarakat dasar bumi itu mempunyai dendam
terhadap Siluman Tujuh Nyawa, sehingga si Rambut
Perak merasa lebih baik membunuh keponakannya
sendiri daripada melihat sang keponakan berhubungan dengan manusia dari
permukaan bumi.
"Ajeng, pulang sekarang juga kau!" perintahnya dengan tegas.
"Bibi, aku merasa Suto bukan orang yang pantas kita musuhi, Bi. Dia tidak
seperti Siluman Tujuh Nyawa itu."
"Sama saja! Bukankah pada mulanya Siluman Tujuh Nyawa itu bersikap baik kepada
keluarga kita" Tapi
pada akhirnya dia tega membantai habis keluarga kita.
Untung kau dan aku saat itu sedang menemui gurumu,
sehingga kita selamat dari pembantaian itu!"
Rambut Perak dekati Ajeng Ayu dan menatap kian
tajam. "Jangan tergoda oleh ketampanan manusia
permukaan bumi. Ketampanan itu adalah racun yang
lebih ganas dari jarum 'Hantu Merah'-ku. Aku lebih baik kehilangan kau daripada
harus melihatmu berhubungan
dengan manusia seperti dia!" sambil menuding tegas-tegas ke arah Suto.
Pendekar Mabuk menarik napas menahan kesabaran.
"Kurasa tidak semua orang yang hidup di permukaan bumi bertabiat seperti Siluman
Tujuh Nyawa!"
"Jangan banyak bicara kau!" bentak si Rambut Perak dengan sikap sangat
bermusuhan. "Kurasa kau perlu disadarkan, Rambut Perak! Bukan
hanya keluargamu yang bencidan memusuhi Siluman
Tujuh Nyawa, tapi banyak orang di permukaan bumi
yang memusuhinya. Bahkan aku sendiri berkelana
karena memburu Siluman Tujuh Nyawa. Aku harus bisa
memenggal kepala Siluman Tujuh Nyawa sebagai
maskawinku melamar calon istriku di Pulau Serindu."
Mendengar nama Pulau Serindu, mata si Rambut
Perak yang semula pandangi Ajeng Ayu, sekarang
beralih ke wajah Suto. Sepertinya ada sesuatu yang
mencurigakan hatinya mendengar nama Pulau Serindu
disebutkan. "Seandainya sekarang Siluman Tujuh Nyawa atau si Durmala Sanca itu ada di sini,
aku akan memenggal
kepalanya atau menghancurkannya sama sekali untuk
kubawa ke Pulau Serindu."
"Jangan berlagak kenal dengan orang Pulau Serindu!"
geram si Rambut Perak. "Aku tahu siapa penguasa di Pulau Serindu!"
"Aku pun tahu," sahut Suto. "Calon istriku memang penguasa Puri Gerbang Surgawi
yang ada di Pulau
Serindu. Ia bernama Dyah Sariningrum atau berjuluk
Gusti Mahkota Sejati! Dia putri kedua dari Ratu Kartika Wangi, penguasa negeri
Puri Gerbang Surgawi di alam gaib! Ia mempunyai seorang nenek yang bernama
Betari Ayu dan sekarang menjadi seorang petapa di Gunung
Kundalini!"
Rambut Perak dan Ajeng Ayu sama-sama terperanjat
mendengar penuturan Suto. Mereka sama-sama
memandang Suto dan undur beberapa langkah jauhi
Suto. Wajah mereka tampak tegang dan lidah mereka
bagaikan kaku, tak bisa untuk mengucapkan sepatah kata pun.
"Jika kau memang berilmu tinggi, tentunya kau bisa melihat noda merah kecil di
keningku ini, Rambut
Perak!" "Ooh..."!" Rambut Perak tersentak kaget, sepertinya ia baru menyadari bahwa Suto
mempunyai noda merah
samar-samar di keningnya. Noda merah itu sangat kecil, sebesar biji jagung dan
hanya bisa dilihat oleh orang berilmu tinggi.
"Kkkau... kau... seorang manggala yudha-nya Gusti Prabu Kartika Wangi"!"
"Ya, aku memang panglimanya Ibu Ratu Kartika
Wangi!" tegas Suto Sinting dengan sikap berwibawa.
Secara tiba-tiba saja Rambut Perak berlutut di
hadapan Suto Sinting dan tundukkan kepala.
"Ampunilah aku, Gusti Manggala...! Ampunilah aku yang bodoh ini!"
Ajeng Ayu bingung melihat bibinya menjadi berlutut
penuh hormat dan rasa takut di depan pemuda tampan
itu. Dalam keadaan bingung itu, tiba-tiba tangannya
ditarik turun oleh sang bibi.
"Beri hormat kepadanya! Dia panglimanya Gusti
Ratu Kartika Wangi! Aku baru sadar dan melihat tanda merah di keningnya itu!"
bisik Rambut Perak kepada keponakannya. Ajeng Ayu pun segera berlutut dan
tundukkan kepala penuh rasa hormat dan takut.
Suto Sinting hanya sunggingkan senyum tipis melihat
ketakutan bibi dan sang keponakannya itu. Kegalakan
dan kejudesan si Rambut Perak tiba-tiba lenyap begitu saja, bahkan perempuan tua
berhidung mancung dan
berkulit kuning itu tak berani mengangkat wajahnya
untuk pandangi Suto seketus tadi. Tetapi Ajeng Ayu
masih berusaha melirik Suto sesekali. Agaknya gadis itu masih belum yakin bahwa
Suto adalah panglima
perangnya negeri Puri Gerbang Surgawi yang kondang
kesaktiannya di alam gaib itu.
"Bangkitlah, tak perlu bersujud begitu padaku.
Semasa aku di luar wilayah Puri Gerbang Surgawi,
anggaplah aku sebagai seorang sahabat, bukan sebagai panglima atau manggala
yudha." "Tap... tapi... tapi aku tadi sudah bersikap tak patut di depanmu, Gusti
Manggala. Sikapku yang kurang ajar
tadi layak kau beri hukuman di sini, ketimbang aku
harus menghadap Gusti Ratu Kartika Wangi untuk
mempertanggungjawabkan sikapku tadi!" ucap si
Rambut Perak dengan tetap tundukkan kepala.
"Bangunlah. Sebuah ketidaktahuan wajar
menimbulkan kesalahan. Yang paling berbahaya adalah
seseorang yang melanggar kesalahan atas dasar
kesengajaan. Berdirilah, Rambut Perak dan Ajeng
Ayu...." Akhirnya sikap lemah lembutnya Suto itu
menenangkan hati si Rambut Perak yang sudah sangat
ketakutan itu. Sebab ia tahu persis siapa orang-orang yang ada di dalam
lingkungan negeri Puri Gerbang
Surgawi baik yang ada di alam gaib maupun yang ada di
alam nyata, di Pulau Serindu itu.
Ajeng Ayu jadi ikut-ikutan bersikap sopan dan tak
beranlipetentang-petenteng lagi di depan Suto. Jika
bibinya yang berilmu tinggi saja takut kepada Suto,
apalagi dirinya. Gadis itu berdiri sedikit membelakangi bibinya dengan kaki
rapat dan kepala sedikit tertunduk.
"Hukumlah aku, Gusti Manggala."
"Tidak. Aku tidak akan menghukum orang yang tidak tahu bahwa dirinya melakukan
kesalahan. Aku hanya
akan meluruskan jalan pikirannya itu agar kelak tidak melakukan kesalahan lagi,"
jawab Suto bersikap bijak.
"Jika begitu, katakanlah apa yang harus kulakukan untuk menebus kesalahan dan
sebagai ganti hukumanku
itu, Gusti Manggala."
Pendekar Mabuk menarik napas menyimpan
kebanggaan tersendiri atas sikap Rambut Perak dan
Ajeng Ayu itu. Beberapa kejap kemudian ia mulai bicara dengan suaranya yang
lembut dan sengaja
menampakkan keseriusannya.
"Aku ke sini mencari Gua Mahkota Dewa."
"Baik, akan kami antar ke gua itu, Gusti Manggala,"
kata Rambut Perak.


Pendekar Mabuk 079 Penjara Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Biar aku saja yang mengantarnya, Bi!"
"Ajeng Ayu, kau tidak boleh me...."
"Biar dia saja yang mengantarku, Rambut Perak!"
sahut Suto membuat Rambut Perak diam seketika dan
akhirnya hanya bisa anggukkan kepala penuh hormat.
"Baik, Ajeng Ayu akan memandu Gusti Manggala ke gua tersebut!" Kemudian ia
berkata kepada Ajeng Ayu.
"Hati-hati dan jangan sembrono lagi kepadanya!"
"Baik, Bibi!" jawab Ajeng Ayu dengan berseri-seri.
* * * 3 TERNYATA pengaruh noda merah kecil di kening
Suto cukup besar. Hanya dengan memperhatikan noda
merah di kening seseorang yang sedang berang bisa
tunduk seketika dan menjadi hormat kepada Pendekar
Mabuk. Alangkah beruntungnya murid si Gila Tuak itu
mendapatkan tanda penghargaan dari Ratu Kartika
Wangi, calon mertuanya.
"Kalau perlu semua tubuhku diberi tanda merah saja, biar aku tambah hebat,"
gumam Suto Sinting dalam hatinya sambil cekikikan sendiri.
Tetapi sebenarnya di dalam hati gadis centil itu masih belum percaya dengan
jabatan Suto Sinting sebagai
panglima negeri Puri Gerbang Surgawi di alam gaib.
Sebab menurutnya, penampilan seorang panglima negeri yang kondang kesaktiannya
itu tidak sesederhana Suto.
Menurut Ajeng Ayu, setidaknya seorang panglima
mengenakan baju kebesaran, selempang kepanglimaan,
pedang keprajuritan, dan sebagainya. Bukan hanya
celana putih kusam, baju coklat tanpa lengan, ikat
pinggang merah, membawa bumbung tuak, ooh... rasa-
rasanya Ajeng Ayu lebih suka menganggap Suto Sinting sebagai gelandangan yang
berwajah tampan. Maka tak
heran jika sikap gadis centil itu masih seenaknya saja.
Rasa hormat dan takutnya hilang sejak kepergian si Rambut Perak.
"Pintar juga kau mengarang cerita hingga bibiku jadi ketakutan," ujarnya sambil
melangkah menelusuri hutan cemara merah.
Pendekar Mabuk hanya tersenyum, tak mau ngotot
dengan pengakuannya tadi.
"Mau percaya atau tidak terserah...," ujar Suto membatin.
"Aku tadi hampir tertawa melihat bibiku langsung berlutut kepadamu. Kalau tak
takut dihajar Bibi, aku pasti sudah tertawa keras-keras."
Pendekar Mabuk tersenyum dengan suara tawa
pendek mirip gumam. Hatinya pun berkata, "Tentu saja dia beranggapan pengakuanku
tadi bohong, karena dia
tidak melihat noda merah di keningku."
"Kau memang sangat beruntung, Suto.
Pengetahuanmu luas, sehingga bisa menyebutkan nama-
nama keluarga Gusti Ratu Kartika Wangi yang membuat
bibiku percaya dengan pengakuanmu. Hih, hi, hi, hi....
Baru sekarang bibiku bertekuk lutut di depan seorang pembohong sepertimu! Biar
tahu rasa dia! Dia pikir
semua orang yang hidup di permukaan bumi selalu sama dengan Siluman Tujuh Nyawa"
Hmmm... kalau kepergok yang punya otak bulus begini mau apa dia?"
Gadis itu ngoceh sendiri sambil sesekali melirik Suto
dalam langkahnya yang sengaja merapat di samping
kanan Suto Sinting. Sedangkan Pendekar Mabuk hanya
bisa tertawa geli dalam hatinya melihat kebodohan yang terpampang lebar tanpa
disadari oleh pelakunya.
"Tapi kalau kau bertemu dengan guruku, kau tak akan bisa berdusta seperti tadi.
Guruku sangat cerdas dan sulit ditipu!"
"Pasti gurumu orang yang berilmu tinggi."
"O, tentu! Ia punya kesaktian dapat membuat dirinya semuda aku dan cantik, ia
juga punya jurus-jurus hebat dan dahsyat! Contohnya angin badai tadi."
"Jadi, angin badai yang mengamuk tadi adalah ulah gurumu?"
"Bukan. Itu ulahku sendiri," Ajeng Ayu tersenyum nyengir. "Aku baru tamat
mempelajari jurus 'Selaksa Badai', dan kucoba di daerah ini agar tidak
menimbulkan korban nyawa. Ternyata sungguh dahsyat dan aku tidak bisa
mengendalikan diri, akhirnya aku terlempar sendiri sampai di tempatmu."
"Konyol!" gerutu Suto setelah tahu angin badai yang mengamuk itu ulah si centil
Ajeng Ayu sendiri. Ajeng Ayu hanya tertawa cekikikan, sikapnya lebih akrab dan
lebih ramah ketimbang tadi.
"Kalau Guru ada di sekitar sini, aku pasti kena marah, mungkin dihajarnya
sendiri, karena aku tak bisa
kendalikan diri."
"Lawan saja kalau dia menghajarmu."
"Uuuh, lawan...!" Ajeng Ayu bersungut-sungut.
"Siapa yang berani melawan Guru" Bisa remuk jadi
tanah. Tamparannya saja bikin memar pipi. Bibi saja
takut kepada Guru. Tapi dia orang yang bijaksana dan penuh pengertian kepada
muridnya, selama sang murid
patuh kepadanya."
Ajeng Ayu tertawa pendek, "Aku tadi termasuk tidak patuh, karena belum diizinkan
mencoba jurus itu, tapi aku nekat sudah mencobanya. O, ya.... Kalau suatu saat
kau bertemu dengan guruku, kumohon jangan sekali-kali menggunakan akal bulusmu
seperti tadi. Kau bisa malu sendiri."
Sebenarnya Suto ingin ajukan pertanyaan lagi, tapi
langkahnya segera terhenti begitu melihat sebuah gua bermulut tak seberapa
lebar. Bentuk gua yang ada di
sebuah tebing tak begitu tinggi itu mengingatkan Suto pada suatu peristiwa yang
membuatnya terdampar di gua tersebut, karena gua yang ada di depannya itulah
yang dinamakan Gua Mahkota Dewa. Suto pernah berada di
dalam gua itu bersama Nirwana Tria, cucu si Dewa
Tanah yang dihormati oleh masyarakat Dasar Bumi.
Dalam ingatan Suto, wajah cantik Nirwana Tria pun
membayang semakin jelas, membuat senyumnya
tersungging dalam rona keindahan, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode : "Ratu Maksiat").
"Mengapa kau tersenyum sendiri begitu?" tegur Ajeng Ayu.
"Aku ingat seseorang," jawab Suto sambil pandangi gua itu. "Dulu aku pernah
berada di gua itu dalam keadaan pingsan dan hampir-hampir tak bisa keluar
karena pintu gua diberi jebakan sinar yang bisa
membakar tubuhku jika nekat kusentuh."
"Kapan kau pernah ke sini" Tiga purnama yang lalu?"
"Tidak. Hmmm... kalau tak salah ingatanku, sekitar empat purnama yang lalu."
"Kau datang ke sini untuk keperluan yang sama?"
"Tidak. Dulu aku termasuk terdampar di sini. Tapi sekarang aku sengaja datang ke
sini." "Sengaja"! Oh, kalau begitu ilmumu cukup hebat
juga, ya" Bisa masuk ke alam perbatasan dari alam
nyata." "Yaah... soal hebat, lumayan-lumayan saja. Kalau tidak karena suatu keperluan
penting aku juga tidak
memaksakan diri untuk datang ke sini."
"Apa yang ingin kau lakukan di dalam gua itu nanti?"
"Aku mencari sebuah batu untuk obat."
"Batu..." Batu untuk obat" Kok aneh" Batu kok
dipakai untuk obat?"
"Batu itu jika dimasukkan ke dalam air tuak di
bumbung ini akan larut dan tuaknya bisa menjadi obat untuk sembuhkan seseorang
yang terkena racun 'Asmara Kubur'. Karena menurut guruku, tak ada obat lain yang
bisa tawarkan racun 'Asmara Kubur' selain batu itu yang larut dalam tuakku."
"Aneh," gumam Ajeng Ayu. "Tapi biarlah... Itu urusanmu, tugasku hanya memandumu
sampai di Gua Mahkota Dewa. Dan sekarang kita sudah sampai di
depan Gua Mahkota Dewa."
"Kau mau pulang?"
"Apakah kau mengizinkan aku ikut terus denganmu?"
"Apakah kau tidak keberatan jika kuizinkan ikut terus denganku?"
"Apakah kau sanggup memenuhi keinginanku?"
"Apa keinginanmu?"
"Hmmm...," gadis itu tersenyum-senyum lucu dengan matanya melirik indah
menggemaskan. "Tidak. Aku tidak ada keinginan apa-apa. Aku cukup senang jika
bisa menolongmu, karena kau sudah selamatkan nyawaku
dari racun 'Hantu Merah' tadi. Kalau tidak ada kau, aku sudah mati sebelum Bibi
tiba di tempatku."
"Kalau begitu, ikutlah sampai ke dalam gua." Suto Sinting melangkah lebih dulu,
Ajeng Ayu tertawa girang tanpa suara, kemudian ia bergegas menyusul langkah
Suto. Ia tampak ceria sekali.
Namun tiba-tiba langkah mereka terhenti karena
mendengar suara gemuruh yang menggetarkan alam
sekitarnya. Suara itu mirip suara seekor singa, namun juga mirip suara seekor
beruang. Suara itu bernada besar dan menggema sampai ke mana-mana. Bebatuan
kecil berjatuhan dari dinding tebing, daun-daun cemara pun berguguran, tanah yang
mereka pijak terasa ingin
merekah retak. Ajeng Ayu ketakutan sekali, ia segera menggenggam
lengan Suto Sinting dengan wajah tegang dan pucat.
Napas gadis itu menjadi sesak dan lidahnya bagaikan
terbuat dari kayu, sulit dipakai untuk bicara.
"Suara apa itu?" tanya Suto Sinting dengan nada berbisik, ia pun tampak
menegang. Bumbung tuaknya
segera diambil dari pundak dan talinya dililitkan ke
tangan kanan. "Ajeng, suara apa itu?" bisik Suto lagi setelah lama tak mendapat jawaban dari
Ajeng Ayu. "It... itu... itu suara Liongsa."
"Siapa itu Liongsa?"
"Pelarian dari negeri Siluman. Beberapa... beberapa waktu ini, masyarakat Dasar
Bumi dihebohkan dengan
adanya pelarian dari negeri Siluman yang bernama
Liongsa. Ia dikejar-kejar oleh... oleh para penjaga
Gerbang Siluman yang...."
"Gerbang Siluman"! Oh, maksudmu Liongsa adalah buronannya Eyang Putri Batari"!"
"Benar!" sentak Ajeng Ayu dengan bersemangat.
"Kau... kau mengetahui nama penguasa Gerbang
Siluman itu rupanya."
"Ya, aku memang tahu tentang beliau," jawab Suto sederhana dan tak mau
membeberkan kisahnya ketika
mencari Tuak Dewata, (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode : "Gerbang Siluman").
"Para penjaga penjara para Siluman itu memburu
Liongsa ke Dasar Bumi, tapi kami tidak ada yang pernah bertemu dengan Liongsa.
Dan ternyata... ternyata dia bersembunyi di Gua Mahkota Dewa. Ooh... mengerikan
sekali!" gadis itu nyaris menggigil jika tidak
berpegangan pada Suto Sinting.
Ia menambahkan kata, "Sebaiknya urungkan saja
niatmu mencari batu itu! Kapan-kapan saja."
"Tidak bisa! Aku harus dapatkan batu itu sekarang juga."
"Tapi gua itu sedang dipakai bersembunyi Liongsa.
Bagaimana mungkin kau bisa masuk ke sana, Suto!"
"Akan kucoba mengalahkannya."
"Oh, jangan, jangan...! Kau tak akan mampu
mengalahkannya. Menurut kabar yang kudengar,
Liongsa itu tangguh dan ganas. Masyarakat kami tak ada yang berani membantu para
pengejar dari Gerbang
Siluman, kecuali guruku dan kakeknya. Tapi toh mereka juga tidak berhasil
menemukan Liongsa. Atau... atau
sebaiknya kupanggilkan guruku dulu, biar guruku yang mengusir Liongsa dari gua
itu"!"
"Tak perlu. Kau tetap saja di sini. Aku akan masuk ke dalam gua itu sendiri,"
ujar Suto menampakkan
keberaniannya. Ia kelihatan tenang dan penuh percaya diri, tetapi Ajeng Ayu
merasa kurang percaya dengan
kemampuan Suto, sehingga ia menahan Suto agar tak
jadi masuk ke gua itu.
"Jangan nekat, Suto! Berbahaya sekali kalau kau melawan Liongsa! Aku tak ingin
melihatmu mati dicabik-cabik Liongsa, Suto!"
"Aku tak akan mati. Percayalah!" sambil Suto menepuk-nepuk tangan Ajeng Ayu yang
menggenggam lengannya. Ketika Ajeng Ayu ingin keluarkan bujukan lagi, tiba-
tiba suara tersebut terdengar kembali.
"Qrrrrr...!"
Buumm, buumm, bummm...!
Tanah dan alam sekitarnya bergetar lebih hebat,
karena kali ini suara itu disertai dengan sentakan-
sentakan yang mengguncang alam sekelilingnya. Kaki Liongsa bagai disentak-
sentakkan ke tanah atau entah ke mana saja, yang jelas menghadirkan guncangan
yang menyeramkan. Ajeng Ayu masih tetap berpegangan lengan Suto.
Kali ini tubuhnya nyata-nyata gemetar, sementara Suto Sinting masih tetap tenang
dan matanya memandang
lurus ke arah gua, sama seperti Ajeng Ayu.
Lalu secara tiba-tiba mata mereka menjadi silau
ketika dari mulut gua itu keluar sinar merah terang
menyilaukan bagai disemburkan dari dalam. Wuuusss...!
Blaaab...! Sinar itu lenyap, alam menjadi sepi. Seakan tak pernah ada getaran
apa pun. Keadaan itu dibiarkan sampai beberapa saat oleh Suto dan Ajeng Ayu.
"Apakah dia sudah pergi?" bisik Suto.
"Entahlah. Tapi... menurut firasatku ia sedang
mengintai kita, Suto. Ak... aku... aku jadi takut sekali."
"Bersembunyilah di balik tiga batang pohon yang berjejer itu. Aku akan memeriksa
gua tersebut."
"Tap... tapi, Suto... tapi kalau dia masih ada kaubisa binasa sebelum
mencapai...."
"Gggrrrrraaowww...!!"
Ajeng Ayu melompat sambil menjerit ketakutan,
karena tiba-tiba suara menyeramkan itu ada di
belakangnya. Ketika mereka berpaling ke belakang,
ternyata di sana sudah berdiri sesosok makhluk yang
mengerikan. Wuuut, wuuut...!
Suto Sinting menyambar tubuh Ajeng Ayu yang
melompat ke arah lain. Tubuh itu segera dibawa
menjauh dari makhluk aneh yang menyeramkan itu.
"Iit... itu... Itu dia.... Liongsa... ooh, aku takut sekali berhadapan
dengannya, Suto. Aku takut sekaliiii...!"
"Sssstt...! Tenanglah, Ajeng! Kalau kau merasa takut dia akan semakin berani.
Sebaliknya kalau kita merasa berani dia akan menjadi takut!"
Suto ingin bergerak maju tapi ditahan oleh tangan
Ajeng Ayu. "Kita lari saja, Suto! Lariii...! Kita panggil guruku saja, Suto!" Ajeng Ayu
setengah merengek karena begitu takutnya.
"Biarkan aku mencoba melawannya satu jurus saja.
Kalau satu jurus aku tak mampu mengenai tubuhnya,


Pendekar Mabuk 079 Penjara Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

larilah ke arah timur dan aku akan menyusulmu
secepatnya, lalu kita menghadap gurumu," bujuk Suto Sinting, akhirnya gadis
centil yang kini gemetaran itu melepaskan genggaman tangannya pada lengan Suto.
Keberanian pemuda itu semakin bertambah besar karena ia harus bertarung di depan
gadis cantik. Liongsa adalah makhluk berkepala singa. Kepalanya
besar, rambut di kepalanya lebat, tapi badannya panjang seperti naga. Ia
mempunyai delapan kaki berkuku tajam semua. Badan besar dan kaki besar berkuku
tajam itu ternyata mempunyai ekor sebesar lengan, panjangnya
satu depa lebih, dan ekor itu berduri runcing-runcing!
"Gggrrooowww...!!" Liongsa membuka mulutnya, menampakkan giginya yang runcing
tajam bersama taringnya yang mirip mata pedang. Lebarnya mulut
dapat dipakai untuk menelan dua orang sekaligus.
Sungguh menyeramkan sekali
jika ia sedang menggerang membuka mulut dengan pandangan mata
besar yang merah itu seakan membekukan darah tiap
makhluk yang menjadi lawannya.
Tetapi Pendekar Mabuk tampak tidak memiliki rasa
takut sedikit pun. Ia justru maju pelan-pelan sambil menggenggam tali bumbung
tuaknya. Liongsa juga
bergerak maju seakan menyambut keberanian Suto
dengan liar dan ganas.
"Grrrooow...!"
Wuuus...! Api menyembur dari mulut makhluk
berkepala singa dan bertubuh seperti naga itu. Api
tersebut menyambar tubuh Suto Sinting. Namun dengan
satu sentakkan kaki ke tanah, tubuh Pendekar Mabuk
melambung ke atas melebihi tinggi singa aneh itu.
Semburan api lolos dari tubuh Suto, tapi binatang itu mengangkat kedua kaki
belakangnya bagai ingin
bersalto, dan tiba-tiba ekor berduri itu menyabet tubuh Suto Sinting saat
melambung di udara. Wuuut...!
Jruuuk...! "Aaahk...!" Suto Sinting memekik sambil terpental.
Sabetan itu kenai punggung Pendekar Mabuk.
Punggung itu bukan hanya robek di bagian baju saja,
melainkan juga kulit punggung menjadi koyak dan
mengucurkan darah segar. Ajeng Ayu pejamkan mata
dengan tangis terpendam ketika melihat Suto jatuh
tersabet ekor Liongsa. Ia semakin tak berani memandang Suto Sinting ketika
binatang aneh itu melompat dan
kedua kaki depannya yang menginjak perut Suto.
Buuhk...! "Heeehhk...!" Suto Sinting mendelik dengan mata terbeliak. Perutnya bagai
dibebani dua pilar yang
mempunyai paku-paku tajam. Kuku kedua kaki itu
menancap di perut Suto dan merobekkan ulu hati serta bagian dekat lambung.
Kepala Liongsa merendah dengan mulut terbuka
lebar ingin mencaplok Pendekar Mabuk. Tetapi dengan mengerahkan sisa tenaganya,
Suto berhasil menghantamkan bumbung bambu tempat tuak itu ke
salah satu kaki Liongsa yang menginjak perut.
Prrak...! "Grrraaaoow...!" Binatang itu tersentak ke atas dengan mengangkat keempat
kakinya. Saat itulah Suto
punya kesempatan untuk berguling ke samping lalu
cepat berdiri dengan perut berlumuran darah.
Liongsa mengerang menyeramkan. Kepalanya meliuk
menyambar tangan Suto Sinting. Tetapi dengan cepat
Suto menggunakan jurus 'Mabuk Lebur Gunung',
menggeloyor limbung ke kiri, tahu-tahu bumbung
tuaknya menyodok mulut Liongsa yang lebar itu.
Wuuut, prrroook...!
"Ggrrraaoow...!" Liongsa bagai memekik, tubuhnya limbung ke samping. Ia jatuh,
namun cepat berguling
dan bangkit lagi dengan kedelapan kakinya. Sementara mulut bagian bawah tampak
hancur bercucuran darah
hitam akibat sodokan bambu dari jurus 'Mabuk Lebur
Gunung' tadi. Suto masih menggeloyor limbung ke sana-sini
memainkan jurus mabuknya. Ia bertahan mati-matian
untuk tidak menjadi lemah karena luka di bagian depan dan belakang itu.
"Celaka! Lukaku ini semakin melemahkan tenaga.
Aku harus menjauhinya untuk sementara!" pikir Suto, kemudian ia berplik-plak ke
belakang, jungkir balik ke belakang dengan cepat. Dalam waktu singkat sudah
berada agak jauh dari Liongsa.
Plak, plak, plak, plak...!
Dengan cepat bumbung tuak dibuka lalu ditenggak.
Glek, glek, glek...! Cukup tiga teguk tuak, Suto yakin dalam waktu singkat
lukanya akan menutup kembali dan rasa sakitnya akan hilang lenyap.
"Graaoooww...!!" Liongsa menyerang lagi dengan satu lompatan menerkam ganas.
Pendekar Mabuk segera
lepaskan jurus 'Pukulan Gegana' yang memancarkan
sinar kuning patah-patah dari kedua jarinya. Clap, clap, clap, clap...!
Sinar itu kenai kedua kaki depan Liongsa. Blaaarr...!
Kedua kaki itu menjadi hitam seketika dan keropos tak bisa dipakai berdiri lagi.
Tetapi gerakan Liongsa masih tetap ganas dengan keenam kakinya. Ia bergerak
meliuk dengan cepat dan kedua kaki belakangnya menyambar
dada Suto Sinting. Craaas...!
"Aauh...!" Suto memekik karena dadanya robek bagai disabet empat pedang tajam.
Ia terpental dan jatuh
bersandar pada sebatang pohon.
"Grrrr...!" Liongsa berbalik arah, kini wajahnya
menghadap Suto, mulutnya segera dibuka lebar-lebar
sebelum ia lakukan lompatan yang akan menelan tubuh
Suto Sinting. "Kalau aku tak segera bangkit, matilah aku ditelan makhluk aneh itu!" pikir Suto
sambil menyeringai menahan rasa sakit. Ia tak sempat meneguk tuaknya lagi,
karena Liongsa segera lakukan lompatan seperti yang
diperkirakan Suto.
Wuuut...! Suto menyentakkan tangannya ke tanah dan tubuhnya
segera melambung ke atas. Weesss...! Kakinya sempat
menjejak ke pohon yang ada di belakangnya. Dess...!
Maka tubuhnya pun meluncur maju melalui atas kepala
Liongsa. Wuuut...!
Jleeg...! Suto jatuh terduduk di atas tengkuk Liongsa, lalu bumbung tuaknya
dihantamkan kuat-kuat ke batok kepala besar tersebut.
Beet, traaak...! Beeet, kraaak...!
"Grrraaaaaaaow...! Graaaaow...!"
Kaki belakang Liongsa menghentak ke atas, Suto
Sinting terlempar berjungkir balik melalui atas kepala Liongsa. Ia jatuh
terpuruk setelah menabrak sebatang pohon. Brruuss...!
"Aaaou...!" Suto mengerang, sekujur tubuhnya terasa sakit. Tulang-tulangnya
bagaikan remuk semua.
Sementara itu, kepala Liongsa juga berlumuran darah
karena retak dihantam bumbung tuak dua kali. Tapi
agaknya makhluk aneh itu termasuk kuat dan semakin
terluka kian ganas.
Menduga keadaan Suto Sinting tak mampu bergerak
lagi, Ajeng Ayu mulai tumbuh rasa nekatnya. Ia tak
ingin Suto mati ditelan Liongsa di depan matanya. Maka dengan cepat ia menyambar
sebatang kayu dan
melompat menyerang Liongsa dari samping. Wuuut...!
Namun belum sampai lompatannya mencapai badan
Liongsa yang panjang, mata lebar Liongsa melihat
gerakan Ajeng Ayu. Badan bagian belakang segera
dikibaskan ke samping, maka ekor berduri itu pun
menghantam lambung Ajeng Ayu.
Wuuut...! Jruuuk...!
"Aaaaa...!" gadis itu memekik panjang sambil terlempar membentur pohon juga.
Bruuuk...! "Oouuuhhk...!" Ia mengerang sambil berusaha untuk bangkit, tapi luka parah telah
dideritanya di bagian lambung. Darah mengucur deras dari lambung yang
koyak lebar dan mengerikan itu.
Melihat keadaan seperti itu, semangat Suto Sinting
timbul kembali. Ia bergegas bangkit walau dengan
sempoyongan. Ia ingin menyambar Ajeng Ayu dan
membawanya menjauh.
Namun tiba-tiba seberkas sinar seperti pisau berwarna merah menyala melesat dari
salah satu sisi. Clap, clap, clap...! Slaaaps...!
Blaaarrr...! Sinar yang mirip pisau itu kenai telinga Liongsa yang langsung meledak dengan
memancarkan sinar merah
lebar ke berbagai penjuru. Sinar merah itu sangat terang dan menyilaukan,
sehingga Suto Sinting yang terpental
oleh gelombang ledakan tadi segera menelungkupkan
tubuh dan wajahnya karena tak tahan memandang
silaunya sinar merah tersebut. Hal yang dilakukan pula oleh Ajeng Ayu, yang
merapatkan wajahnya dengan
batang pohon agar tak terkenai sinar merah yang
menyilaukan itu.
Ledakan itu juga mengguncangkan alam sekitarnya,
tapi tidak sampai menumbangkan pohon-pohon. Ketika
getaran itu berhenti, Suto Sinting segera bangkit
merangkak mendekati Ajeng Ayu. Tetapi ia sempat
bingung memandang tempat di mana Liongsa tadi
berada. Ternyata makhluk aneh itu sudah tak ada. Yang tertinggal di tempat itu
hanya kerangka berukuran kecil seperti kerangka seekor kucing tapi mempunyai
enam kaki. "Gila! Dia menjadi kerangka sekecil itu"! Hmmm...
siapa orang yang telah menyerangnya dengan sinar
merah seperti pisau tadi"!"
Pandangan mata Suto segera mencari orang lain di
sekitarnya. Ternyata ia segera menemukan seraut wajah cantik yang berdiri tak
jauh dari Ajeng Ayu. Suto
terkejut dengan mata melebar, sedangkan Ajeng Ayu
pun segera meratap sambil mengulurkan tangannya
kepada orang tersebut.
"Guruuuu... aaahk...!"
Orang yang dipanggil 'Guru' oleh Ajeng Ayu itu tak
lain adalah Nirwana Tria, si cantik cucu dari Dewa
Tanah itu. Suto sama sekali tak menduga bahwa guru
Ajeng Ayu ternyata adalah Nirwana Tria yang masih
muda dan cantik sekali itu. Dulu Suto sempat terpikat oleh kecantikan tersebut,
dan Nirwana Tria sendiri
merasa senang jika dicium oleh pemuda tampan itu.
Sepertinya mereka sama-sama menyimpan kenangan
indah yang sukar dilupakan sampai saat itu juga.
Uluran tangan Ajeng Ayu tidak segera disambut oleh
Nirwana Tria yang mengenakan jubah putih berhias
benang emas tanpa lengan itu. Si cantik berlesung pipit segera hampiri Suto
Sinting dan menolongnya untuk
bangkit. "Suto, kau terluka parah"!"
"Guru! Aku di sini!" seru Ajeng Ayu dengan hati dongkol. Tapi sang Guru tidak
peduiikan seruan itu. Ia segera mencium pipi Suto dengan ungkapan rasa rindu
yang mendalam. "Guru, yang jadi muridmu aku, Guru! Bukan dia!"
"Suto, kau... kau...."
"Tak apa. Aku ada tuak, bisa segera pulih kembali.
Tolonglah muridmu itu dulu. Jangan kecewakan dia!"
"Oh, ya... hampir saja aku lupa kalau dia murid bandelku!"
Tuak sakti si Pendekar Mabuk akhirnya menutup
segala luka dan melenyapkan semua rasa sakit. Ajeng
Ayu tampak segar, bagai tak pernah terluka sedikit pun, demikian pula halnya
dengan si Pendekar Mabuk.
Nirwana Tria hentikan omelannya kepada sang murid
yang bandel dan sudah berani mencoba jurus badainya
itu. "Aku mendengar deru badai yang aneh, dan aku
yakin pasti Ajeng Ayu menggunakan jurus badai yang
belum waktunya dicoba itu. Maka kukejar arah suara
deru itu, sampai akhirnya kudengar lagi suara aneh yang menggetarkan pepohonan.
Aku tak tahu suara apa itu,
tapi kukejar terus sampai kutemukan kau sedang
terancam maut oleh makhluk menjijikkan itu."
"Kalau Guru tak datang, Suto pasti mati ditelan Liongsa."
"Belum tentu," sanggah Nirwana Tria sambil pandangi muridnya. "Suto adalah
seorang pendekar.
Ilmunya lebih tinggi dari ilmu yang kumiliki. Percuma saja dia menjadi seorang
Pendekar Mabuk kalau
melawan siluman seperti Liongsa harus kalah. Kau
belum melihat jurus-jurus mautnya, Ajeng!"
"Bbe... benarkah ilmunya lebih tinggi dari Guru sendiri?" Ajeng Ayu tampak
sangsi. "Dia seorang manggala yudha dari Puri Gerbang
Surgawi. Tentu saja ilmunya lebih tinggi dariku."
"Oh, ja... jadi dia memang panglimanya Gusti Ratu Kartika Wangi"!"
"Kau tampak sangsi, Ajeng. Sebaiknya ingat-ingatlah ceritaku beberapa waktu yang
lalu ketika aku dan
Pendekar Mabuk kalahkan kekuatan si Ratu Maksiat
itu." Ajeng Ayu tertegun bengong, matanya memandang
Suto tak berkedip, sementara yang dipandang hanya
tersenyum-senyum saja.
"Apakah kau kembali ke sini karena rindu padaku, Suto?" ucap Nirwana Tria dengan
lembut. "Selain rindu juga karena ada keperluan penting, yaitu mengambil sebuah batu
dari Gua Mahkota Dewa
untuk sembuhkan seorang sahabat yang terkena racun
'Asmara Kubur' yang berbahaya itu."
"Kurasa kau bebas mengambilnya sekarang. Siluman buronan itu sudah tak akan
mengganggumu lagi. Tapi
aku harus segera menyerahkan kerangkanya kepada
Eyang Putri Batari di Gerbang Siluman."
"Sampaikan salam hormatku kepada beliau jika kau menghadap nanti."
"Akan kusampaikan sesuai pesanmu," ujar Nirwana Tria sambil sunggingkan senyum
yang mendebarkan hati Suto itu.
"Guru, bolehkan aku ikut Suto mengobati sahabatnya itu?" tanya Ajeng Ayu dengan
nada manja seperti terhadap kakaknya sendiri.
"Kau harus ikut aku menghadap Eyang Putri Batari, Ajeng."
"Oh, Guru... tolonglah izinkan aku ikut dengan Suto,"
rengek Ajeng Ayu.
Nirwana Tria menarik napas dan menimbang-
nimbang keputusannya dengan melirik Suto Sinting.


Pendekar Mabuk 079 Penjara Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pendekar Mabuk hanya angkat bahu, seakan segala
keputusan diserahkan kepada Nirwana Tria sendiri.
* * * 4 DALAM serial Pendekar Mabuk episode : "Dewi
Kesepian" dikisahkan bahwa Yundawuni, murid murtad Pendeta Amor terkena racun
'Asmara Kubur' saat
lakukan pertarungan dengan Nyai Ronggeng Iblis.
Racun itu akan membusukkan sel-sel darah merah dan
jantung Yundawuni, napasnya akan menyebarkan wabah
penyakit yang membahayakan bagi siapa saja dalam
jarak sepuluh langkah di sekeliling Yundawuni.
Racun itu terlepas bersama kutukan keramat Nyai
Ronggeng Iblis dan tidak ada obat yang bisa sembuhkan racun tersebut kecuali
kutukan itu ditarik kembali oleh Nyai Ronggeng Iblis. Padahal tokoh sesat itu
telah dibunuh Suto Sinting saat Pendekar Mabuk
membebaskan pengaruh sihir yang membuat seorang
gadis kehilangan raganya, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Gadis
Tanpa Raga").
Yundawuni yang masuk aliran putih dan tidak diakui
oleh pendeta sesat itu terpaksa membutuhkan darah
kemesraan seorang lelaki setiap malamnya. Ia harus
bercumbu dan mencapai puncak kemesraannya bersama
seorang lelaki siapa saja. Karena hanya darah kemesraan seorang lelaki itulah
yang membuat racun itu tidak sempat membusukkan darah dan jantung Yundawuni.
Akibatnya, setiap malam Yundawuni selalu bergairah
dan membutuhkan seorang lelaki. Padahal bagi lelaki mana pun yang telah bercumbu
dengannya lambat laun
akan terserang wabah penyakit mengerikan, yaitu
pembekuan pada jalur darah dan penyumbatan pada jalur pernapasannya. Cepat atau
lambat lelaki itu akan
kehilangan nyawanya setelah terserang penyakit itu.
Pendekar Mabuk menghadap gurunya; si Gila Tuak
dalam rangka mencari tahu obat untuk melawan racun
'Asmara Kubur' itu. Menurut si Rupa Setan, perempuan yang menjadi penguasa Kuil
Tembus Jagat di Pulau
Katong, tak ada obat untuk melawan racun 'Asmara
Kubur' kecuali kematian bagi si penderitanya. Karena itu, Pendekar Mabuk
ditugaskan oleh sang Guru untuk
sembunyikan Yundawuni agar terhindar dari murka para tokoh sakti yang menganggap
Yundawuni sebagai
bencana bagi kaum lelaki. Padahal Yundawuni sendiri akan mati jika dalam dua
malam tidak mendapatkan
darah kemesraan seorang lelaki.
Gila Tuak menemukan memerangi racun 'Asmara
Kubur', yaitu sebuah batu ajaib yang dinamakan Batu Tembus Jagat. Batu itu akan
tumbuh lagi di tempatnya semula jika sudah larut di tempat lain. Batu itu
berbentuk bulat agak panjang, menyerupai belimbing
sayur, warnanya kuning kunyit. Cara menggunakannya
harus dilarutkan dalam tuak sakti si Pendekar Mabuk.
Yundawuni harus disembunyikan sampai Suto
dapatkan Batu Tembus Jagat itu. Tetapi ketika itu
Yundawuni yang segera mengubah namanya menjadi
Dewi Kesepian itu telah pergi dan bersembunyi bersama Temon, pemuda yang masih
lugu dan polos namun telah
menjadi pemuas gairah si Dewi Kesepian. Temon sendiri
juga akan menderita wabah yang membahayakan
jiwanya. Tetapi Pendekar Mabuk lebih mengutamakan
memburu Batu Tembus Jagat lebih dulu daripada
mencari Yundawuni dan Temon. Sebab untuk wabah
yang diderita kaum lelaki yang pernah berkencan dengan Dewi Kesepian, Suto telah
temukan obatnya, yaitu
tuaknya sendiri dicampur dengan air kelapa gading.
Ramuan itu telah berhasil menyelamatkan nyawa Darah
Prabu, murid Resi Badranaya dan Kadal Ginting, si
pelayan Resi Pakar Pantun. Mereka menjadi sehat dan
terhindar dari wabah tersebut setelah meminum tuak
Suto yang dicampur dengan air kelapa gading. Tapi
ramuan itu tidak berlaku bagi Dewi Kesepian.
Dengan perasaan kagum, Pendekar Mabuk mulai
memasuki gua tersebut. Sebenarnya ia pernah masuk ke gua itu pada saat
diselamatkan oleh Nirwana Tria dari ancaman maut Ratu Maksiat. Tetapi rasa kagum
Suto masih saja tak bisa dihilangkan, karena gua itu memang mempunyai keindahan
tersendiri. Batu-batu yang ada di dalam gua tersebut mempunyai
aneka warna. Bentuknya pun tampak aneh dan punya
susunan seni keindahan tersendiri. Ada yang berbentuk seperti buah rambutan tapi
berwarna hijau bening, ada yang berbentuk seperti bocah menggeliat bagai baru
bangun tidur, ada juga yang berbentuk seperti mangkuk penuh bakso tapi berwarna
biru bintik-bintik putih.
Di antara batu-batu indah itulah, Suto Sinting harus menemukan Batu Tembus
Jagat. Ia mencari ke sana-sini
memakan waktu sangat lama, tapi batu kuning kunyit
berbentuk seperti belimbing berukuran satu kelingking, ternyata tidak ditemukan
oleh Suto. "Jangan-jangan batu itu sudah ada yang
mengambilnya" Atau mungkin sudah telanjur ditelan
Siluman Liongsa, karena disangka belimbing sayur"!
Wah, celaka betul kalau sampai batu itu sudah ditelan oleh Liongsa. Berarti aku
harus...," kecamuk batin Suto Sinting terhenti karena matanya segera memandang
kearah sebuah batu hijau berbentuk seperti mulut naga sedang tengadah. Di dalam
lekuk batu yang mirip mulut naga itu terdapat batu kecil seukuran kelingking dan
berwarna kuning kunyit. Batu itu memancarkan cahaya
tipis di sekelilingnya.
"Nah, itu dia! Uuh... hampir saja aku patah semangat mencarinya."
Pendekar Mabuk akhirnya dekati batu itu dan
mengambilnya dengan sangat hati-hati sekali. Wuuut...!
Begitu batu ada di tangan Suto, tiba-tiba gua itu bergetar seperti dilanda gempa. Pendekar Mabuk menjadi tegang.
Namun ia segera berseru bagai bicara kepada penunggu gua tersebut.
"Maaf, kuambil Batu Tembus Jagat ini demi
menyelamatkan nyawa orang banyak. Kumohon relakan
batu ini menjadi obat bagi sesamaku."
Setelah berkata begitu, getaran di dalam gua pun
berhenti dan suasana menjadi tenang kembali. Suto
Sinting tersenyum lega dan berkata sambil memandang
langit-langit gua yang indah, "Terima kasih atas
kerelaanmu, Gua yang cantik!"
Kini batu yang dicari telah didapat oleh Pendekar
Mabuk. Ia terpaksa keluar dari alam perbatasan dan
memasuki alam nyata, yaitu alam kehidupannya sendiri.
Sementara itu, Ajeng Ayu terpaksa mengikuti gurunya
menghadap Eyang Putri Batari, yaitu nenek dari Dyah
Sariningrum yang menjadi penguasa Gerbang Siluman.
Batu kuning kunyit yang tingginya satu kelingking itu telah dimasukkan ke dalam
bumbung tuak dan larut
menjadi satu dengan tuak tersebut. Tuak Suto menjadi berwarna kekuning-kuningan.
Namun untuk diteguknya
sendiri masih terasa enak, seakan tidak mengalami
Pedang Keadilan 6 Pahlawan Harapan Karya Tang Fei Tusuk Kondai Pusaka 11
^