Pencarian

Penjara Terkutuk 2

Pendekar Mabuk 079 Penjara Terkutuk Bagian 2


perubahan apa pun, kecuali perubahan pada kesegaran
badannya. Ia merasa lebih segar dan lebih bersemangat setelah meneguk tuak yang
telah bercampur larutan Batu Tembus Jagat.
"Sekarang aku harus bisa segera temukan Dewi
Kesepian. Mudah-mudahan Temon yang bersamanya
belum tewas akibat wabah dari hasil cumbuannya
dengan Dewi Kesepian," kata Suto di dalam hatinya.
Dewi Kesepian bersembunyi. Di mana letak
persembunyiannya, Suto sudah dapat menduga. Karena
dulu ia pernah mengintip Dewi Kesepian sedang
bercumbu dengan Temon yang masih hijau dalam hal
bercinta di sebuah gua. Gua itulah yang menjadi sasaran Pendekar Mabuk sekarang.
Untuk mencapai gua itu, Suto Sinting terpaksa
gunakan jurus 'Gerak Siluman', yang mempunyai
kecepatan gerak menyamai cahaya. Sayangnya, di
perjalanan ia terpaksa hentikan langkah karena
mendengar suara dentuman. Dentuman itu diperkirakan
terjadi karena pertarungan tenaga dalam tingkat tinggi yang tak diketahui siapa
pelakunya. Rasa penasaran Suto membuat ia terpaksa mengarah ke suara dentuman
itu untuk mengetahui siapa yang bertarung menggunakan
tenaga dalam tingkat tinggi itu.
Zlaap, zlaap, zlaap...!
Dalam sekejap saja Suto sudah sampai di sebuah
pantai berpasir putih. Hamparan pasir putih itu ditaburi bebatuan karang yang
saling bertonjolan meninggi
hingga menyerupai hutan karang. Bahkan ada batu
karang yang berbentuk seperti pohon, tingginya sama
dengan tinggi sebatang pohon kelapa. Tak heran jika
masyarakat di sekitar pantai itu menamakannya: Pantai Hutan Karang.
Ternyata pertarungan yang terjadi di Pantai Hutan
Karang itu dilakukan oleh seorang perempuan berwajah tua, keriput, hitam,
matanya cekung ke dalam,
hidungnya pesek dan nyaris berongga mirip lubang
belut, bibirnya pecah-pecah serta giginya mancung ke depan bertumpuk-tumpuk tak
beraturan. Tetapi
perempuan yang berambut panjang sepunggung dengan
ikat kepala berwarna merah bintik-bintik kuning itu mempunyai bentuk tubuh yang
sungguh elok. Pinggulnya meliuk sebegitu menawannya, dadanya
montok namun tampak padat dan kencang. Kulit
tubuhnya kuning langsat, mengenakan jubah hijau tak
dikancingkan bagian depannya, dan kutang serta celana
komprangnya berwarna kuning. Perempuan berwajah tua
menyeramkan itu tak lain adalah si Rupa Setan, tokoh berilmu tinggi dari aliran
putih yang dulu pernah
menjabat sebagai Ketua Partai Petapa Sakti bersama
saudara seperguruannya yang bernama Tanuyasa alias si Omong Cekak. Rupa Setan
sendiri mempunyai nama asli
Anjardani, tetapi orang jarang mengetahui nama asli itu kecuali para tokoh tua
seangkatan dengannya.
Pendekar Mabuk terkejut melihat pertarungan itu.
Bukan keberadaan Rupa Setan yang membuatnya
terkejut, tetapi lawan si Rupa Setan itulah yang amat mengejutkan Suto Sinting.
Orang yang bertarung
melawan Rupa Setan mengenakan kerudung kain hitam
dari kepala sampai kaki. Wajahnya putih, bibirnya biru, pandangan matanya
dingin, nyaris tanpa ekspresi
apapun. Orang itu membawa tongkat berujung pedang
lengkung menyerupa paruh burung. Tongkat itu
dinamakan Pusaka El Maut, dan hanya dia yang
memiliki pusaka itu, sehingga bisa dijadikan ciri khas bahwa orang yang membawa
pusaka El Maut tak ada
lain kecuali si Durmala Sanca alias Siluman Tujuh
Nyawa. "Si keparat itu ternyata ada di sini! Hmmm...!
Barangkali sekaranglah saat yang tepat untuk
memenggal kepalanya dengan jurus 'Kapak Songo' yang
belum pernah kupakai selama ini!" geram Pendekar Mabuk sambil matanya memandang
ganas kepala musuh
utamanya itu. "Tetapi, sebaiknya kulihat dulu apakah si Rupa Setan
mampu tandingi kesaktian Siluman Tujuh Nyawa atau
terpaksa lari tinggalkan lawannya. Salah-salah jika aku langsung ikut campur
akan menyinggung perasaan si
Rupa Setan," pikir Suto dalam pertimbangannya.
Siluman Tujuh Nyawa adalah tokoh sesat yang amat
kejam dan tak mengenal belas kasihan kepada siapa pun.
Bahkan anaknya sendiri tega dibunuh, demikian juga saudara kembarnya dan ayahnya
sendiri. Durmala Sanca adalah manusia terkutuk yang dimusuhi oleh pihak
aliran putih maupun aliran hitam, sekaligus ditakuti oleh kalangan para tokoh
kelas menengah ke bawah.
Tetapi agaknya si Rupa Setan tak punya rasa takut
hadapi Siluman Tujuh Nyawa. Walaupun ia sudah
berkali-kali terpental dan terbanting, namun ia masih tetap bangkit dan menahan
luka dalamnya, lalu
menyerang si tokoh sesat itu lagi. Darah yang mengalir dari sudut bibir si Rupa
Setan tidak membuatnya jera.
Luka koyak di bagian ujung pundaknya tidak digubris.
Si Rupa Setan lakukan lompatan cepat bagai sinar
putih melesat di atas kepala Siluman Tujuh Nyawa.
Weees...! Senjata kipas yang biasanya terselip di
pinggang kali ini digunakan untuk merobek kepala
Siluman Tujuh Nyawa dalam gerakan cepat tersebut.
Namun tiba-tiba Siluman Tujuh Nyawa bagaikan
menghilang. Laaap...! Tahu-tahu ia muncul di depan si Rupa Setan begitu
perempuan berwajah seram itu
menapakkan kakinya ke bumi. Serta-merta pusaka
tongkat El Maut segera disabetkan ke perut si Rupa
Setan dalam gerakan yang tak bisa dilihat mata manusia
biasa. Weees...! Breeett...!
"Aahk...!" si Rupa Setan terpekik pendek dengan suara tertahan. Tubuhnya
terlonjak ke belakang. Ia
terlambat menghindari sabetan senjata El Maut itu,
sehingga robeklah perut si Rupa Setan dengan darah
menyembur deras ke mana-mana.
Brruk...! Rupa Setan jatuh terkapar dalam keadaan
menggeliat menahan rasa sakit. Agaknya perempuan itu berusaha mengerahkan
kekuatan terakhirnya untuk
memberi serangan balasan. Ia masih bisa terduduk
dengan kaki melonjor, dan kipasnya segera dilemparkan ke arah Siluman Tujuh
Nyawa. Wuuus...! Kipas itu berputar cepat dengan memercikkan bunga-
bunga api. Kipas itu melesat ke arah leher Siluman
Tujuh Nyawa. Tetapi tongkat El Maut segera
menghantamnya dalam satu kelebatan cepat.
Wuuut, blegaaarrr...!
Ledakan dahsyat terjadi mengguncangkan bumi
sekitar mereka. Bebatuan karang yang menjulang tinggi mengalami keretakan,
bahkan sebagian ada yang runtuh bagian ujungnya.
Ternyata kipas itu tidak hancur, hanya terpental
menjauh sesaat, kemudian kipas itu berkelebat
menyerang lagi dalam keadaan telah menjadi dua buah.
Siluman Tujuh Nyawa tak sempat hampiri si Rupa
Setan untuk mengakhiri masa hidup perempuan itu,
karena dua kipas yang bergerak memutar dengan
memercikkan bunga api itu membuatnya terpaksa harus
menangkis dengan tebasan ganda dari tongkat El
Mautnya. Wes, wes, blegar, blaaarr...!
Ledakan besar terjadi kembali. Kedua kipas terlempar beberapa jarak dalam
keadaan tetap melayang. Namun
sekarang kipas itu telah berubah menjadi empat buah
yang memutar seperti piringan dan menyerang Siluman
Tujuh Nyawa lagi.
Blegaar, blaar, blaarrr, jegaaarrr...!
Empat kipas maut berhasil dihalau dengan sabetan
cepat tongkat berparuh panjang itu. Namun dari empat kipas yang terpental,
ketika menyerang ke arah Siluman Tujuh Nyawa lagi telah berubah menjadi delapan
buah. Masing-masing memutar cepat bagai piringan bercahaya merah dan lakukan serangan
serempak. Dari delapan buah kipas yang berhasil ditangkis
menggunakan tongkat El Maut, akhirnya berubah
menjadi enam belas kipas. Siluman Tujuh Nyawa dibuat sibuk dengan kipas-kipas
aneh itu. Setiap satu kipas tersentuh benda bisa berubah menjadi dua. Jika enam
belas kipas ditangkis semua oleh Siluman Tujuh Nyawa, maka akan muncul tiga
puluh dua kipas yang
menyerangnya secara serempak.
Sementara tokoh sesat terkejam itu sibuk hindari
kipas-kipas berbahaya, si Rupa Setan terkapar tanpa
daya lagi. Ia nyaris tak bisa bergerak, hanya bisa duduk bersandar pohon dengan
perut koyak besar mengerikan
sekali. Namun ia masih bisa kendalikan kipasnya dengan
kekuatan batin.
"Celaka! Dia akan kehabisan darah, setidaknya
lukanya itu pasti beracun dan membahayakan jiwanya!"
pikir Suto Sinting dari persembunyiannya. Kemudian
dengan menggunakan 'Gerak Siluman' ia berkelebat
menyambar si Rupa Setan.
Zlaaaapp...! Wuuus...! Zlaaap...!
"Rupa Setan...! Bertahanlah, minum tuakku! Lekas minum tuakku!"
Suto Sinting sempat panik melihat mata si Rupa
Setan mulai sayu dan mengecil. Sebentar lagi mata itu akan terbeliak dan menjadi
putih. Napas perempuan itu mulai lemah, seakan ia sudah tak mampu lagi untuk
bernapas. Tetapi mulut yang ternganga berusaha
menghirup napas dengan susah payah itu dijadikan
peluang bagi Suto Sinting untuk menuangkan tuaknya
pelan-pelan. Sekalipun tersedak dan terbatuk-batuk beberapa kali, namun tuak Suto telah
berhasil masuk ke tenggorokan si Rupa Setan. Sedikit demi sedikit tuak bisa
ditelan, akibatnya pernapasan si Rupa Setan mulai lancar
kembali. Suto segera perhatikan Siluman Tujuh Nyawa yang
diserang oleh puluhan kipas bercahaya merah. Bunyi
ledakan terjadi berulang-ulang hingga membuat suasana di sekitar Pantai Hutan
Karang itu bergemuruh tiada
henti. Batu-batu karang sudah banyak yang tumbang dan hancur berantakan akibat
gelombang ledakan itu.
Sayang kipas-kipas itu akhirnya lenyap sendiri dalam
bentuk bayang-bayang, karena kekuatan batin si Rupa
Setan sudah tidak bisa mengendalikan lagi. Kini kipas itu tinggal satu yang
aslinya, dan jatuh di tanah sebagai kipas biasa.
"Hmmm...! Ia mulai tidak hadapi kipas-kipas itu!
Sebaiknya kuhampiri dan kuserang dari depan!" pikir Suto, kemudian dengan cepat
ia keluar dari persembunyiannya dan meninggalkan si Rupa Setan
menunggu kesembuhannya.
Claap, clap...!
Blaar, blaar...!
Sinar hijau yang melesat dua kali dari tangan Suto
adalah sinar dari jurus 'Pukulan Guntur Perkasa' yang diarahkan kepada Siluman
Tujuh Nyawa. Tapi secara tak sengaja, gerakan tongkat El Maut yang ingin
menyingkirkan kipas-kipas itu telah mengenai kedua
sinar itu secara berturut-turut hingga timbulkan ledakan makin dahsyat lagi.
"Durmala Sanca, kini hadapilah aku dan kita
selesaikan urusan kita secara jantan!" seru Pendekar Mabuk dengan suara lantang.
"Iblis bau kencur muncul juga!" geramnya tanpa ada perubahan wajah sedikit pun,
ia tetap tampak dingin dan datar.
"Belum waktunya kuhabiskan tenagaku untuk
melawannya! Ada saatnya sendiri untuk merajang habis raganya, setelah jurus maut
yang baru kupelajari dapat kukuasai!"
Melihat Suto Sinting muncul di pantai tersebut,
Siluman Tujuh Nyawa segera sentakkan tongkatnya ke
tanah dan tubuhnya melesat tinggi bagai ingin
menembus langit. Wuuuttt...! Akibatnya kipas-kipas
merah itu saling berbenturan dengan sendirinya dan
menciptakan ledakan, yang mengguncangkan sebagian
dataran di sekitar Pantai Hutan Karang itu.
Laaap...! Siluman Tujuh Nyawa sendiri segera tak
terlihat lagi. Ia segera memasuki alam gaib sebagai tempat pelariannya jika
berhadapan dengan Pendekar
Mabuk. "Pengecut kaauuu...!" teriak Suto. Jegaar, jegaar, jegaaarr, jegaaar...!! Suto
melepaskan pukulan tenaga dalam ke langit dengan arah berlainan. Pukulan itu
adalah pelampiasan rasa jengkel dan kecewanya karena Siluman Tujuh Nyawa tidak
mau menghadapi pertarungan dengannya.
Bukan hal sulit bagi Suto untuk mengejar sampai di
alam gaib. Tapi ia segera ingat punya urusan dengan Dewi Kesepian, sehingga
niatnya untuk memburu
sampai ke alam gaib terpaksa ditunda. Sementara itu, ia segera melihat si Rupa
Setan telah muncul dari balik bebatuan karang tempatnya dibaringkan tadi.
Rupa Setan melangkah dengan sempurna dan tak
terlihat habis terluka parah sedikit pun. Perempuan itu segera hampiri kipasnya
yang kini menjadi satu buah
lagi dan tergeletak di pantai tanpa cahaya. Setelah memungut kipasnya, ia
melangkah dekati Suto Sinting
yang memperhatikan dengan senyum tipis yang agak
kaku karena ia habis mengalami kekecewaan terhadap
kaburnya sang musuh utama itu.
"Mengapa kau selamatkan nyawaku?"
"Siapa tahu suatu saat kau ganti menyelamatkan nyawaku," jawab Suto Sinting
seenaknya. "Mengapa kau terlibat pertarungan dengan manusia terkutuk itu?"
"Dia ingin membalas dendam atas kekalahannya
beberapa tahun yang lalu," jawab si Rupa Setan.
"Beberapa tahun yang lalu, aku pernah membunuh enam belas anak buahnya di atas
sebuah kapal. Waktu itu aku masih muda dan lebih gesit dari sekarang."
"Lebih cantik juga tentunya."
"Hmmm...!" si Rupa Setan hanya tertawa satu sentakan tanpa sunggingkan senyum
sedikit pun. Ia
memandang ke arah lautan yang ombaknya kini sudah
tenang, tidak seganas tadi sewaktu terjadi ledakan
berkali-kali. Sambung si Rupa Setan lagi,
"Kalau kau tak muncul, mungkin hari ini adalah hari terakhir bagiku menikmati
kehidupan di dunia. Racun yang ada pada senjatanya sangat ganas, tak mampu


Pendekar Mabuk 079 Penjara Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kulawan dengan hawa saktiku. Untung kau datang dan
segera memberiku minum tuak saktimu yang sungguh
ampuh itu, sehingga... rasa-rasanya aku tak perlu malu-malu untuk ucapkan terima
kasih kepadamu, Suto."
"Aku pun mengucapkan terima kasih padamu."
"Untuk hal apa?"
"Yaah... mungkin suatu saat kau membantuku dan
aku lupa mengucapkan terima kasih, maka sekarang aku lebih dulu mengucapkan
terima kasih padamu, Rupa
Setan!" "Kau memang pemuda aneh yang sinting," gumam Rupa Setan sambil melirik sekejap
lalu membuang pandangannya ke lautan lagi.
Dengan memandang ke arah cakrawala ia bertanya,
"Bagaimana dengan usahamu mencari Batu Tembus
Jagat itu?"
"Berkat doa restumu... aku berhasil."
"Padahal aku tidak berdoa untukmu."
"Kalau begitu, yang kudengar doa dari guruku dan orang lain. Aku salah duga!"
kata Suto sambil
melebarkan senyum. Si Rupa Setan masih tetap serius bagai manusia tak bisa
tersenyum. "Kurasa sekarang waktunya aku mencari Dewi
Kesepian. Apakah kau melihatnya berkeliaran di suatu tempat?"
"Aku tak pernah melihatnya sejak habis kau kalahkan tempo hari."
"Kalau begitu aku harus mencarinya menuruti jalan firasatku."
"Akan kubantu menemukannya!" ujar si Rupa Setan, kemudian ia mencabut kipasnya
yang sudah diselipkan
di pinggang. Kipas itu segera dibentangkan. Beert...! Lalu
dikibaskan ke kanan, kiri, depan beberapa kali sambil matanya terpejam dan
bersuara seperti orang
menggumam. "Dewi Kesepian, Dewi Kesepian, Dewi Kesepian,
huummmm...."
Seet...! Tiba-tiba kipas itu berhenti dalam keadaan
terbuka. Lalu warna hijau itu memancarkan cahaya bagai air yang menggenang. Dari
cahaya air yang menggenang itu tampak seraut wajah berukuran kecil milik Dewi
Kesepian alias Yundawuni.
Diam-diam Suto Sinting merasa kagum terhadap ilmu
yang dipakai si Rupa Setan itu. Dengan bantuan ilmu
yang tak diketahui Suto itu, ia dapat melihat Dewi
Kesepian sedang berlari-lari di daerah perbukitan.
Tampaknya Dewi Kesepian berlari-lari di antara sela-sela pepohonan. Tak jelas
apakah ia lari karena dikejar orang atau mengejar orang, yang jelas gerakan
larinya tampak lincah dan terburu-buru. Tetapi daerah
perbukitan itu sangat dikenal oleh Suto Sinting.
"O, dia ada di perbukitan itu. Pasti arahnya ke gua yang kuduga sejak semula."
"Apakah kau pernah ke tempat itu"!"
"Pernah, sewaktu aku mengikuti jejaknya dan
akhirnya mengintip dia sedang bercumbu dengan
Temon." "Kau memang punya kegemaran mengintip, Suto!"
Pendekar Mabuk hanya tertawa pelan. Kipas itu
dikibaskan dan bayangan tersebut lenyap.
"Kurasa sewaktu kupergoki kau berada di reruntuhan gubuknya Yundawuni, kau juga
bermaksud mau mengintip percumbuan mereka lagi."
"Ah, dugaanmu terlalu mengada-ada."
"Buktinya kulihat wajahmu kecewa sekali ketika mengetahui gubuk dan hutan
sekitarnya telah kubakar
habis. Lalu, kau mengejarku karena kau telah curiga
padaku sebagai orang yang membakar gubuknya Dewi
Kesepian."
"Aku kecewa terhadap tindakanmu yang gegabah,
Rupa Setan! Dan... dan kurasa tak ada waktu lagi untuk membicarakan soal itu.
Aku harus segera menemui
Yundawuni dan memberinya obat ini supaya ia tidak
menyebarkan wabah melalui kemesraannya."
Zlaaap...! Suto Sinting segera bergegas pergi, tetapi Rupa Setan pun
mengikutinya. Agaknya Rupa Setan
mempunyai jurus langkah cepat sendiri yang hampir
menyamai kecepatan jurus 'Gerak Siluman'-nya
Pendekar Mabuk, sehingga mereka bisa bergerak cepat
seiring sejalan.
Namun tiba-tiba Suto mengurangi kecepatan
geraknya, bahkan si Rupa Setan sempat berkata dalam
suara pelan. "Berhentilah dulu. Aku mendengar suara orang
merintih kesakitan."
Langkah kaki mereka berbenti total. Pendengaran
mereka dipertajam
dengan memiringkan kepala
mengarahkan telinga ke suara lirih yang terdengar
samar-samar. "Ya, kurasa memang ada orang merintih di arah
selatan sana!" ujar Suto Sinting sambil memandang ke arah selatan.
"Akan kutengok sebentar siapa orang itu. Barangkali seseorang yang membutuhkan
bantuan kita."
"Mengapa harus kau yang menengoknya" Mengapa
bukan kita bersama-sama saja?"
"Jangan berdebat hal seperti itu. Ikuti saja langkahku kalau kau mau ikut
menengoknya!' setelah berkata
begitu, si Rupa Setan berkelebat ke selatan dan Pendekar Mabuk pun menyusulnya.
* * * 5 SEORANG gadis cantik berusia sekitar dua puluh
tiga tahun terkapar berlumur darah pada bagian dadanya.
Gadis berambut pendek berponi
depan yang mengenakan jubah tanpa lengan warna biru tua itu
menderita luka parah yang telah menyebarkan bau
busuk. Namun napasnya masih tersisa dan bisa dipakai untuk merintih dengan
sangat menyedihkan.
Pendekar Mabuk terkejut sekali melihat gadis itu
yang tak lain adalah si Tenda Biru, bekas murid
mendiang Nyai Garang Sayu yang kemudian berpindah
aliran putih dan menjadi murid mendiang petapa sakti yang bernama Eyang Tapak
Lintang, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode : "Gadis Tanpa Raga").
"Tenda Biru..."!" seru Suto Sinting yang segera berkelebat menghampiri gadis
itu, sementara si Rupa Setan diam terpaku di tempatnya sambil menutup hidung
karena tak tahan bau busuk dari luka di dada Tenda Biru.
Melihat panjangnya luka, Rupa Setan yakin bahwa
gadis itu telah terluka oleh pedang seorang lawan yang
mengandung racun 'Bangkai Peri'. Siapa pun yang
terkena racun 'Bangkai Peri' lukanya akan segera
membusuk dan mengeluarkan belatung dalam waktu
singkat. Sambil menahan napas, Suto mencoba bicara dengan
Tenda Biru yang wajahnya telah pucat pasi yang nyaris menjadi mayat itu.
"Tenda Biru... siapa yang melukaimu separah ini"!
Siapa, Tenda Biru"!"
Tapi mulut gadis itu bagai tak bisa untuk ucapkan
kata selain keluarkan rintihan yang lirih. Suto segera mengambil bumbung tuaknya
yang menyilang di
punggung, kemudian memberi minum Tenda Biru
dengan tuak itu. Tuak yang sudah bercampur dengan
larutan Batu Tembus Jagat itu mempercepat proses
penyembuhan luka, sehingga dalam beberapa kejap saja bau bangkai itu sudah tidak
tercium lagi. Bahkan luka ternganga itu bergerak merapat dengan sendirinya dan
makin lama semakin terkatup lagi.
Tenda Biru bisa bernapas dengan lega. Pedangnya
yang terlempar dalam satu jangkauan itu segera
diambilnya setelah Suto membantunya untuk duduk.
"Suto, ooh... untung kau ada di daerah ini. Kalau tidak kau tak akan bisa
melihatku lagi," ujar Tenda Biru setelah menarik napas panjang. Ia melirik ke
arah Rupa Setan dan segera berkerut dahi melihat wajah keriput berlipat-lipat
menyeramkan itu.
"Dia sahabatku. Jangan takut, wajahnya memang
jelek tapi hatinya baik," ujar Suto sambil melirik ke arah
si Rupa Setan, dan perempuan berwajah menyeramkan
itu segera buang muka, seperti menyimpan rasa malu
atau menyembunyikan suatu perasaan yang tak mudah
dipahami orang lain.
"Siapa yang bertarung melawanmu,Tenda Biru."
"Seseorang telah membawa lari muridku!"
"Panji Klobot maksudmu"!"
"Ya. Panji Klobot dibawa lari oleh orang itu, entah apa maksudnya! Lalu ia
kukejar sampai di sini, dan Panji Klobot berhasil larikan diri. Tapi orang itu
berhasil pula melukaiku, sehingga ia meninggalkan diriku dalam
keadaan luka seperti tadi. Ia mengejar Panji Klobot."
"Kau kenal dengan orang itu"!"
"Aku tak mengenalnya. Tapi aku masih ingat ciri-cirinya. Ia mengenakan jubah
biru muda tanpa lengan, penutup dadanya kain hitam tipis, demikian pula
penutup bagian bawahnya kain hitam tipis. Ia seorang perempuan yang tinggi dan
bertubuh sekal, lebih kekar dari tubuhnya dibandingkan tubuhku. Ilmunya cukup
tinggi, hingga aku berhasil dilukainya tanpa bisa
bergerak lagi."
"Apakah ia mempunyai suara agak serak?" tiba-tiba Rupa Setan ajukan tanya.
"Ya. Suaranya agak serak, juga agak besar seperti suaramu."
Pendekar Mabuk segera memandang Rupa Setan
dengan tegang. Rupa Setan bertanya lebih dulu kepada Pendekar Mabuk.
"Kau tahu siapa orangnya, bukan?"
"Ya. Kurasa dia adalah si Dewi Kesepian!"
"Yang kita lihat dalam bayangan kipasku tadi, mungkin dia sedang mengejar si
Panji Klobot!"
"Kalau begitu, sebelum Panji Klobot menjadi korban kemesraannya, kita harus
temukan dia secepatnya,
Anjardani!"
Tenda Biru segera bangkit berdiri. Rupanya ia telah
sehat dan badannya terasa lebih segar dari sebelumnya.
"Aku tahu arah pelariannya. Panji Klobot menuju ke utara!" kata Tenda Biru.
"Tidak. Sekarang mereka ada di barat!" bantah Suto Sinting.
"Bukan! Mereka lari ke utara!"
"Kalau begitu, kau mengejar ke utara dan aku akan mengejar ke barat, karena
setahuku perbukitan yang tadi kulihat dalam bayangan kipasmu," Suto memandang
Rupa Setan,"... letaknya ada di arah barat kita."
"Aku akan ikut mengejar ke barat!" kata Rupa Setan sambil mengangguk penuh
wibawa. Dan tiba-tiba
tubuhnya berubah seperti bayangan yang samar-samar,
kemudian bercahaya merah tipis, lalu lenyap begitu saja, membuat Tenda Biru
terbengong melompong.
"Dia sudah menuju ke barat! Aku akan
menyusulnya," ujar Suto Sinting.
"Hati-hati melawan perempuan itu. Ia jago bermain jurus pedang. Aku segera ke
utara!" Weees...! Tenda Biru segera berkelebat meninggalkan
tempat. Ia menuju ke utara sesuai penglihatannya tadi.
Tetapi Pendekar Mabuk segera berkelebat ke arah barat
dengan jurus 'Gerak Siluman'-nya. Zlaaaapp...!
Panji Klobot adalah mantan pelayan di kadipaten
yang tertarik dengan ilmu Pendekar Mabuk, lalu ia mengikuti Pendekar Mabuk
dengan harapan bisa
diangkat sebagai muridnya. Tetapi karena Pendekar
Mabuk belum ingin mempunyai murid, maka
permohonan Panji Klobot ditolaknya.
Tenda Biru yang kala itu kehilangan raganya berjanji akan menurunkan ilmunya
kepada Panji Klobot jika
pemuda polos dan lugu itu bisa menemukan Bunga
Kecubung Dadar. Suto Sinting membantu Panji Klobot
mencarikan Bunga Kecubung Dadar itu dan berhasil
kembalikan wujud raga Tenda Biru. Tetapi janji Tenda Biru kepada Panji Klobot
tetap ditepati, sebagai tanda terima kasihnya kepada Suto Sinting.
Rupanya ketika Tenda Biru melatih Panji Klobot di tepi pantai, Dewi Kesepian
tertarik dengan kepolosan Panji Klobot. Ia segera membawa lari Panji Klobot pada
saat Tenda Biru lengah. Pengejaran pun segera
dilakukan oleh Tenda Biru sampai di hutan tersebut.
Pertarungan terjadi, dan Tenda Biru terluka oleh jurus pedang si Dewi Kesepian
yang serba kilat dan cepat itu.
Tetapi lebih dulu Tenda Biru telah berteriak kepada Panji Klobot agar segera
melarikan diri, sebab pemuda ingusan itu hanya menonton saja pada saat Tenda
Biru sudah terdesak oleh serangan Dewi Kesepian.
Rupanya selama Suto Sinting menembus alam
perbatasan gaib. Dewi Kesepian sudah tidak
memanfaatkan darah kejantanan Temon lagi. Temon
telah terkena penyakit yang diderita oleh Darah Prabu dan lelaki lainnya yang
pernah bercumbu dengan Dewi Kesepian. Temon ditinggalkan terkapar di dalam gua
persembunyian yang dulu dipakai untuk mengajarkan
jurus-jurus bercinta kepada Temon. Tak seorang pun
mengetahui keadaan Temon yang telah memucat dan
kulitnya berbintik-bintik hitam dengan napas tersendat-sendat, terkapar di dalam
gua tersebut. Kini giliran Panji Klobot yang jadi sasaran Dewi
Kesepian. Pelarian Panji Klobot yang tak seberapa cepat itu berhasil terkejar
oleh Dewi Kesepian. Pemuda itu hentikan langkahnya setelah terhadang Dewi
Kesepian. Dengan modal ilmu pas-pasan yang baru
dipelajarinya, itu pun belum rampung, Panji Klobot
mencoba melawan Dewi Kesepian. Tentu saja
tendangannya yang lamban itu berhasil disapu habis oleh Dewi Kesepian dalam
sekali gebrak saja.
Buuhk...! "Auuuh...!" Panji Klobot meringis kesakitan ketika jatuh terbanting tulang
punggungnya membentur akar
yang menonjol seperti batu.
"Bodoh sekali kau! Apakah kau pikir aku
mengejarmu untuk bermusuhan denganmu"!" sentak
Dewi Kesepian. Panji Klobot masih mengusap-usap punggungnya
sambil pandangi Dewi Kesepian. Hati pun berkata,
"Lho, kok ternyata yang mengejarku perempuan
cantik, ya" Kusangka tadi tak seberapa cantik. Tapi, ooh... tinggi sekali
perempuan ini" Peranakan raksasa
atau keturunan jin?"
'"Kudengar gurumu tadi memanggilmu Panji Klobot.
Itukah namamu?"
"Iiy... iya... tapi aku murid baik-baik, Bibi!"


Pendekar Mabuk 079 Penjara Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Husy! Jangan panggil aku Bibi! Namaku Dewi
Kesepian. Panggil saja Dewi!"
"Oh, iiy... iya, baik Bibi Dewi!"
"Sial! Hilangkan sebutan 'bibi'-nya!"
"Oh, eh, uuh... maaf, jangan bentak-bentak aku. Aku punya sakit jantung, Bi".
eh, Dewi."
Senyum manis Dewi Kesepian yang mempunyai
paras cantik menawan itu membuat rasa takut Panji
Klobot pun berkurang. Semakin lebar senyuman
perempuan itu, semakin hilang rasa takut di hati pemuda lugu itu.
"Aku mengejarmu bukan untuk bermusuhan, tapi
untuk bersahabat. Gurumu salah duga, akibatnya aku
terpaksa melumpuhkan gurumu yang masih muda itu."
"Ja... jadi aku tidak akan kau siksa atau kau jadikan tumbal bikin jembatan?"
"Hik, hik, hik, hik...," Dewi Kesepian tertawa. "Apa kau ini kerbau, kok mau
dijadikan tumbal jembatan segala"!"
Panji Klobot nyengir tawar, karena masih diliputi
keraguan dalam hatinya.
"Bangun dan berdirilah! Mana yang sakit, kuobati sebentar!"
Panji Klobot berdiri, Dewi Kesepian segera mengurut
punggung yang terasa sakit itu dengan menyalurkan
hawa murninya. Lambat laun punggung itu mulai terasa enak dan rasa sakitnya
berkurang. "Kau tukang urut, ya?"
"Jangan menduga sembarangan," sambil Dewi
Kesepian mencubit pipi Panji Klobot. "Kalau aku kau anggap tukang urut,
barangkali ada benarnya asal yang diurut tidak sembarang tempat."
"Maksudnya tidak sembarang tempat bagaimana?"
"Yaah, hanya tempat-tempat tertentu saja yang
kuurut." "Tempat tertentu itu yang mana?"
"Oh, kau mau mencobanya?"
"Mau, mau...," Panji Klobot tampak girang, karena ia merasa punggungnya sangat
enak diurut, apalagi tempat tertentu yang dimaksud Dewi Kesepian.
"Kalau kau mau diurut di tempat tertentu, jangan di sini."
"Habis di mana?"
"Di sana saja, di balik semak-semak."
"Ah, takut! Nanti ada ular."
"Tidak mungkin, karena aku membawa pedang
penangkal ular. Hanya ular tertentu yang berani bergerak mendekatiku."
"Hiii... ular apa itu?"
"Nantilah kalau sudah kuurut kau akan tahu sendiri,"
jawab Dewi Kesepian yang selalu berpikiran ngeres. Ia akhirnya berhasil membujuk
Panji Klobot untuk
menerobos semak-semak di bawah pohon rindang yang
sepi dan aman dari incaran mata orang.
Panji Klobot tidak tahu kalau Dewi Kesepian
semalam tidak mendapatkan darah kemesraan seorang
lelaki. Ia tidak bisa menggunakan Temon lagi, dan tidak mendapat mangsa yang
mudah dirayu. Sebelum hari
menjadi malam kembali, ia harus mendapatkan darah
kemesraan seorang lelaki agar darah dan jantungnya
tidak membusuk.
Panji Klobot tak sadar bahwa tiap kata dan senyum
Dewi Kesepian adalah rayuan yang menghanyutkan.
Maka dalam beberapa waktu saja, Panji Klobot sudah
jatuh dalam pelukan Dewi Kesepian. Ia menuruti apa
yang diperintahkan Dewi Kesepian, karena apa yang
dilakukan Dewi Kesepian mendatangkan keindahan
baginya. Suatu keindahan yang belum pernah didapatkan seumur hidupnya, telah
membuat Panji Klobot makin
terbuai dan merasa menyesal atas pelariannya tadi.
"Kalau tahu akan mendapat keindahan seperti ini, mengapa aku capek-capek
melarikan diri, ya" Bodoh
amat aku ini! Mau diberi kenikmatan yang begitu indah kok malah melarikan diri,"
ujar Panji Klobot dalam hatinya sambil membiarkan pakaiannya dilepasi oleh
Dewi Kesepian satu persatu.
"Kau senang kubeginikan?"
"Senang sekali," jawab Panji Klobot yang sambil nyengir malu-malu.
"Kau suka dengan apa yang kita lakukan ini?"
"Ya, suka sekali, Dewi."
"Sekarang ganti kau yang memberiku keindahan."
"Caranya bagaimana?"
"Begini caranya...," Dewi Kesepian segera
membimbing pemuda polos itu untuk menciptakan
sentuhan-sentuhan kemesraan yang begitu indahnya.
Panji Klobot cepat paham ketimbang mempelajari jurus dari Tenda Biru.
Dewi Kesepian mulai mendesah, menggigit bibirnya
sendiri sambil mengerang panjang. Tangannya meremas-
remas rambut kepala Panji Klobot, sementara sang
pemuda melakukan apa yang diinginkan Dewi Kesepian.
Tenda Biru salah arah dalam pengejarannya. Ia
menuju ke utara lurus, sedangkan Panji Klobot kala itu membelok ke barat untuk
hindari pengejaran Dewi
Kesepian. Karenanya, arah Suto dan Rupa Setan-lah
yang betul. Sayang sekali mereka terhambat oleh sesuatu yang tidak pernah
terbayangkan sebelumnya.
Rupa Setan segera tampakkan diri ketika ia tahu
Pendekar Mabuk menyusulnya. Langkah sang Pendekar
Mabuk terhenti begitu Rupa Setan mengangkat tangan
memberi isyarat agar jangan menimbulkan suara apa
pun. "Ada apa, Anjardani?" bisik Suto Sinting.
"Apakah kau mendengar suara perempuan yang
terengah-engah?"
Suto diam sebentar, menyimak suara yang dimaksud
Rupa Setan. "Hmmm... ya, tapi masih agak jauh dari tempat kita."
"Maksudku, benarkah itu suara si Yundawuni?"
"Hmmm... kalau menurut irama engahan napasnya,
memang itulah suara orang yang sedang berkencan
begitu dalam. Dari seraknya suara aku dapat
membayangkan bahwa Yundawuni alias si Dewi
Kesepian itu telah berhasil merayu Panji Klobot, dan sekarang Panji Klobot
sedang melayani gairahnya."
"Kita sergap mereka. Kau sambar pemudanya, aku
akan halangi perempuannya!"
Namun baru saja mereka mau bergerak, tiba-tiba kaki
mereka terjeblos dalam sebuah lubang menyerupai
sumur. Kerimbunan rumput dan ilalang yang tumbuh di
situ membuat lubang itu tertutup dan membuat mereka
berdua akhirnya masuk ke dalam lubang tersebut.
Bruuusss...! Wuuut...!
"Sutooooo...!!" teriak Rupa Setan karena sangat terkejut merasakan tubuhnya
melayang secara tiba- tiba.
Pendekar Mabuk sendiri juga kaget dan hanya memekik
panjang dalam keadaan tegang.
"Aaaaaaa...!"
Ternyata sumur itu mempunyai kekuatan gaib yang
dapat menyedot benda apa pun yang ada di atasnya,
kecuali tanaman. Sumur itu makin lama semakin lebar
dan tubuh mereka tak bisa dihentikan walau Rupa Setan telah menggunakan ilmu
pelenyap raga seperti yang tadi digunakan saat berpisah meninggalkan Tenda Biru.
Pendekar Mabuk pun berhasil menjejakkan kakinya ke
dinding Iubang tersebut, tetapi tubuhnya tak bisa
melambung naik, melainkan justru tertarik turun dengan lebih cepat lagi.
Brruk...! Bruuk...!
Mereka terbanting di dasar yang keras. Keduanya
sama-sama pingsan untuk beberapa saat lamanya.
Pendekar Mabuk siuman lebih dulu. Dan ia menjadi
terkejut melihat keadaan di sekelilingnya. Ternyata ia dan Rupa Setan terkapar
di sebuah ruangan yang
mempunyai bebatuan menyala biru indah. Dinding
ruangan itu juga dipenuhi
batu-batuan yang
memancarkan warna biru seperti mengandung fosfor.
Cahaya itu membuat ruangan tersebut menjadi terang
temaram. Tuak segera diminum oleh Pendekar Mabuk.
"Untung tuak ini tidak tumpah isinya," pikir Suto sambil menenggak tuak
tersebut. Badannya menjadi
segar kembali setelah meneguk tuak.
Ketika Suto sedang mengagumi ruangan
sekelilingnya yang lantainya berlapis kabut putih samar-samar itu, Rupa Setan
pun akhirnya siuman dan
mengeluarkan suara keluhan kecil yang terdengar di telinga Suto. Maka Suto pun
segera mendekatinya,
membantunya untuk bangkit dan duduk, kemudian
memberinya tuak beberapa teguk.
"Oh... gawat!" ujar Rupa Setan dengan nada tegang.
"Kita harus segera keluar dari sumur keparat ini!"
"Bagaimana caranya" Kita jatuh dari tempat yang amat tinggi. Tak mungkin kita
mendaki dinding sumur
itu. Kita masih hidup saja sudah beruntung sekali, Rupa Setan!"
"Ya, tapi kita telah masuk dalam sumur celaka ini!"
"Kurasa kita sudah tidak berada di sumur lagi, melainkan di sebuah ruangan
aneh." "Inilah yang dinamakan Sumur Tambak Peluh," ujar Rupa Setan sambil berdiri
memandangi sekelilingnya.
"Dalam kitab pusaka milik guruku, tertulis pula nama Sumur Tambak Peluh bersama
ciri-ciri dan kekuatan
gaibnya." Rupa Setan memperhatikan batu-batu yang menyala
biru pada dinding ruangan tersebut. Tanpa diminta oleh Suto, Rupa Setan jelaskan
sendiri tentang Sumur
Tambak Peluh itu.
"Sumur Tambak Peluh adalah bekas penjara para
dewa yang dibangun dalam waktu sekejap oleh Hyang
Maha Dewa. Penjara ini tercipta beberapa ratus tahun bahkan mungkin pula ribuan
tahun yang lalu. Di sinilah para dewa menjalani siksaan batin satu persatu.
Mereka dipenjarakan di sini secara bergantian, dan masing-masing merasakan
siksaan batin yang lebih berat
daripada siksaan raga."
Kabut yang melapisi lantal ruangan itu bergerak
lamban, seakan ada angin yang meniupnya dari satu sisi ke sisi lain. Rupa Setan
diam sebentar, pandangi kabut itu dengan bola mata menampakkan kecemasannya.
"Kabut Kasmaran...," gumam Rupa Setan yang membuat Suto Sinting kerutkan dahi.
"Apa maksudmu berkata 'Kabut Kasmaran'"!"
"Seperti yang tertulis dalam kitab pusaka milik guruku; Sumur Tambak Peluh ini
mempunyai kabut
yang dinamakan 'Kabut Kasmaran'. Uap kabut ini
menyebar naik ke permukaan bumi dan membuat siapa
pun yang menghirupnya menjadi kasmaran terhadap
lawan jenisnya. Jika kabut ini tiada lagi, maka manusia di permukaan bumi tidak
akan mempunyai gairah untuk
bercinta, bercumbu, dan bermesraan. Kabut inilah yang mempengaruhi jiwa kita
sehingga kita menjadi bergairah terhadap lawan jenisnya."
Pendekar Mabuk yang ikut memperhatikan batu-batu
menyala biru itu segera berpaling ke arah Rupa Setan yang ada dalam jarak lima
langkah darinya. Rupa Setan pun menatap, lalu mendekatinya dan berkata dengan
suara pelan. "Kita telah menghirup kabut ini. Berbahaya sekali bagi jiwa dan batin kita."
"Aku tak mengerti maksudmu."
Rupa Setan menghembuskan napas panjang. Ia
mendongak ke atas, memandang lubang sumur
tempatnya terjeblos tadi. Lubang itu tampak hitam
karena ketinggiannya dan bagian atas yang tertutup
tanaman jenis rumput.
"Lubang ini dulu dipakai meloloskan diri oleh Dewa Sang Gama. Hanya dia satu-
satunya Dewa yang bisa
lolos dari Sumur Tambak Peluh ini, kemudian
menemukan kebebasannya ketika memperistri seorang
gadis desa. Tapi mereka tidak dikaruniai keturunan, dan keduanya mati bersama
karena penyakit ketuaan. Pada
saat Dewa Sang Gama meloloskan diri dari penjara ini, seketika itu kedewaannya
hilang dan ia berubah menjadi manusia biasa. Tapi menurutnya lebih baik menjadi
manusia ketimbang menjadi dewa yang terpenjara di
dalam Sumur Tambak Peluh ini."
"Lengkap sekali kitab pusaka milik gurumu itu,"
gumam Suto Sinting sambil mencari celah-celah yang
bisa dipakai untuk meloloskan diri.
"Kitab itu hanya bisa dibaca dengan mata batin.
Tidak semua orang bisa membacanya."
"Apa lagi yang dijelaskan dalam kitab itu tentang tempat ini?"
"Zaman dulu, tempat ini hanya menjadi bagian dari dongeng para remaja yang
menginjak usia dewasa," tutur Rupa Setan. Ia melangkah pelan-pelan menelusuri
dinding berbentuk segi enam itu. Biar pelan, tapi
suaranya terdengar oleh Suto, karena ruangan itu hanya berukuran kecil. Jarak
dari dinding ke dinding yang paling jauh hanya sekitar tujuh delapan langkah.
"Setiap Dewa yang terpenjara di sini akan menangis dan bermandi peluh karena
menahan gairah asmaranya.
Ia akan dirongrong tuntutan batin, tanpa bisa
melampiaskannya kepada lawan jenisnya."
"Begitukah?" Suto terperanjat, cepat menatap Rupa Setan.
"Tuntutan batin itu tak akan hilang karena para dewa yang terpenjara di sini
selalu menghirup uap Kabut Kasmaran ini."
"Oh, jadi... Jadi...?"
"Aku mulai merasakan getaran di hatiku. Apakah kau tidak merasakannya?" Rupa
Setan berpaling memandang Suto dari jarak tiga langkah. Suto Sinting hanya diam
mematung, karena ia pun mulai merasakan getaran halus dalam hatinya. Getaran itu
adalah gairah bercumbu yang
makin lama semakin mendebarkan jantung.
* * * 6 KABUT tipis itu semakin mempengaruhi alam
pikiran mereka, menaburkan khayalan tentang cinta dan kemesraan. Pendekar Mabuk
mencoba mengatasi
gangguan getaran batinnya dengan lakukan semadi
pengendalian napas murninya. Tetapi usaha itu ternyata sia-sia belaka. Sekalipun
ia telah duduk bersila dan berbadan tegak dengan menarik napas pelan-pelan,
namun detak-detak jantung yang menuntut kemesraan
semakin mengacaukan jalan pikirannya.
Rupa Setan gelisah dan mondar-mandir sejak tadi.
Hasrat bercintanya sebagai seorang perempuan mulai
meletup-letup, membuat dada terasa bergemuruh keras.
Apalagi ia berada bersama seorang pemuda tampan,
gagah dan menawan, terasa sulit sekali baginya untuk mengendalikan tuntutan
batin yang menghendaki


Pendekar Mabuk 079 Penjara Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemesraan. Dengan berjalan mondar-mandir tuntutan
batin itu sedikit teratasi, namun bukan berarti
kemenangan baginya.
Ketika melihat Pendekar Mabuk lakukan semadi
dengan gelisah, Rupa Setan berkata tanpa memandang
pemuda tampan itu.
"Percuma saja kau lakukan hal itu. Di sini kekuatan kita berkurang separo
bagian. Semakin lama menghirup kabut keparat ini, semakin terkikis ketahanan
kita. Bisa jadi akan semakin habis tanpa tersisa."
Pendekar Mabuk masih mencoba kendalikan napas
murninya, tetapi selalu gagal dan gagal lagi. Ia menjadi jengkel sendiri,
akhirnya melepaskan pukulan tenaga
dalam sebagai pelampiasan rasa jengkelnya itu.
"Hiaaah...!"
Wuuut...! Pendekar Mabuk tertegun sesaat, karena tak ada
tenaga yang keluar dari tangannya. Jurus "Pukulan Guntur Perkasa' tak bisa
dikeluarkan seperti biasanya.
Semakin berdebar hati Suto menyadari kenyataan itu.
Beberapa jurus lain dicobanya, tapi hasilnya sama
saja; seakan ia telah kehilangan seluruh ilmunya dan menjadi lemah karena
dipengaruhi khayalan bercumbu
yang datang silih berganti. Maka yang dapat
dilakukannya hanya diam dan terengah-engah dicekam
kegelisahan, diburu hasrat untuk bercumbu.
Perempuan berwajah buruk dan menyeramkan itu
akhirnya hentikan langkah mondar-mandirnya. Ia berdiri dengan satu tangan
bersandar pada dinding, tangan yang satunya bertolak pinggang. Ia tampak tegar
walau sebenarnya dalamnya rapuh tersiksa khayalan yang hadir dengan sendirinya.
"Mengapa kita sampai terperosok ke dalam sumur keparat ini"!" geram Suto Sinting
yang mulai berkeringat dingin.
"Barangkali semua ini pelajaran yang berarti bagi kita. Sejak beberapa hari yang
lalu kita memburu-buru si Yundawuni yang selalu dibakar gairah kemesraan dan
selalu membutuhkan kehangatan seorang lelaki.
Barangkali Sang Maha Dewa memberi pelajaran bagi
kita, seperti inilah rasa yang dialami Dewi Kesepian dalam menderita siksaan
batin selama ini. Setidaknya kita diminta untuk mau memahami, betapa sakitnya
penderitaan yang dialami Dewi Kesepian apabila racun
'Asmara Kubur' itu mulai menyerang jiwanya," tutur si Rupa Setan.
"Tapi mengapa aku harus ikut masuk ke dalam sumur ini" Bukankah semestinya
hukuman itu berlaku hanya
untukmu, karena kau pernah bermaksud membunuh
Dewi Kesepian untuk melenyapkan racun 'Asmara
Kubur'. Pada waktu itu kau tidak berpikiran betapa
menderitanya dia. Sedangkan aku justru berusaha
melindungi dia dan mencarikan obat untuk
menolongnya, tapi mengapa aku juga harus merasakan
penderitaan batin seperti ini?"
"Barangkali Sang Hyang Maha Dewa menguji
ketangguhan jiwamu. Kau berusaha menolong orang
yang dituntun hasrat untuk bercinta, tapi dapatkah kau menolong dirimu sendiri
jika mengalami perasaan yang sama dengan yang dialami Dewi Kesepian itu?"
Pendekar Mabuk diam sesaat, kemudian ia berkata
seperti bicara pada dirinya sendiri.
"Memang banyak orang yang ingin menolong orang
lain, tapi ia sendiri belum tentu bisa menolong dirinya
sendiri." "Berarti kita harus bisa menolong diri kita sendiri sebelum kita bisa menolong
orang lain. Kira-kira
begitulah makna yang terkandung dalam musibah ini,"
ujar si Rupa Setan dengan suara masih tegas.
Pendekar Mabuk duduk bersandar dinding bercahaya,
mulutnya sengaja terbungkam untuk mencoba atasi
gejolak hatinya yang ingin berpelukan, ingin berciuman, dan ingin mendapatkan
lebih dari sekadar pelukan serta ciuman. Bayangan perempuan-perempuan cantik
yang pernah dipeluknya hadir dalam ingatan, seakan
memamerkan kemolekan tubuh mereka, melambaikan
tangan untuk bercumbu, kadang bayangan itu ada yang
terasa merayapkan tangannya ke dada Suto, menelusuri lekuk tubuhnya. Debur dalam
dada Suto pun kian
gemuruh. Hal yang sama dirasakan pula oleh si Rupa Setan.
Perempuan itu juga duduk bersandar pada dinding.
Makin lama duduknya semakin bergeser mendekati
Suto. Gerakan bergeser mendekati itu membuat Suto
Sinting akhirnya bertanya pada dirinya sendiri,
"Haruskah kulakukan bersama perempuan berwajah
menyeramkan ini" Alangkah sialnya nasibku jika harus bercumbu dengan perempuan
berwajah setan ini. Tapi...
apa boleh buat jika memang adanya cuma dia"! Oh,
tidak! Akan kucoba untuk bertahan dan bertahan terus sampai batas kekuatanku
hancur dan kupasrahkan
segalanya kepada sang nasib."
Rupa Setan berkata dengan suara pelan, karena
napasnya semakin terasa memburu dan terputus-putus.
"Pernahkah kau bercinta dengan seorang perempuan, Suto?"
"Belum," jawab Suto dengan suara lemah, seakan malas menanggapi percakapan itu.
Namun si perempuan
berwajah buruk tidak hiraukan sikap Suto tersebut. Ia masih ajukan pertanyaan
lagi dengan suaranya yang
mulai sedikit bergetar.
"Benarkah kau belum pernah bercumbu dengan
seorang perempuan?"
Tiba-tiba terlintas dalam pikiran Suto, "Mungkin dengan banyak bicara akan
mengurangi tekanan batin ini ketimbang dipakai untuk diam dan merenung, maka
yang hadir hanya sejuta khayalan menyiksa jiwa."
Suto pun akhirnya tak segan-segan untuk bicara
kepada si Rupa Setan.
"Aku memang pernah berpelukan dengan seorang
perempuan, aku memang pernah berciuman dan saling
meraba, tapi tak pernah berbuat lebih jauh dari itu."
"Jadi kau belum pernah merasakan nikmatnya
berhubungan badan dengan seorang perempuan?"
"Belum. Apakah kau pernah?"
Rupa Setan bergeser lebih mendekat lagi, ia menarik
napas dan membuangnya lepas-lepas.
"Yaaah... dulu memang aku pernah melakukannya, karena pada waktu itu aku terbuai
oleh rayuannya.
Setelah kusadari bahwa pria itu hanya menghendaki
tubuhku belaka, aku segera menyesal karena sebetulnya
hatiku masih tertuju kepada si Tanuyasa. Namun
agaknya cintaku kepada Tanuyasa bertepuk sebelah
tangan sampai sekarang."
Pendekar Mabuk tertawa pendek dan pelan. "Hmm..., rupanya kau masih tertarik
dengan si Tanuyasa alias si Omong Cekak yang sudah setua itu, ya?"
"Bukan tertarik karena nafsu, tapi semata-mata ingin mempunyai keturunan dari
satu perguruan. Kadang
kenangan masa muda kami membuatku merasa lebih
baik berada di dekatnya."
Rupa Setan bergeser lagi, hingga kini duduknya
hanya berjarak satu jengkal dari Suto Sinting. Pemuda itu masih diam menahan
hasrat bercumbu yang
bergejolak dalam dada.
"Dulu hidupku hampir saja liar. Tanuyasa dulu
setampan dirimu, hingga aku tergila-gila padanya.
Ketika kutahu ia tidak mencintaiku, aku menjadi brutal, terlebih setelah aku
ditinggalkan oleh pria yang telah mengisap sari maduku. Aku menjadi benci pada
diriku sendiri dan merasa tak memiliki daya tarik sebagai
perempuan. Kusembunyikan wajahku di balik
kehancuran hati. Tak ingin kupamerkan kepada siapa
pun, kecuali Tanuyasa. Namun beruntung sekali aku
segera menemukan kesadaranku, bahwa hidup brutal
bukan merupakan jalan keluar yang terbaik bagiku. Lalu, dengan tetap berhubungan
sebagai saudara seperguruan, aku dan Tanuyasa mendirikan Partai Petapa Sakti. Di
situlah kusibukan diriku untuk melupakan cinta yang tak terbalas. Tapi tetap
saja kusembunyikan wajahku di
balik kehancuran yang membekas."
"Apa maksudmu 'kusembunyikan wajahku di balik
kehancuran' tadi?" sambil Suto pandangi wajah buruk yang menyeramkan itu.
Tiba-tiba Rupa Setan memegang bawah dagunya.
Tangannya bergerak mencengkeram, lalu ditarik ke atas seperti mengelupas
gedebong pisang.
"Oooh..."!" Suto Sinting terkejut hingga
membelalakkan mata lebar-lebar.
Si Rupa Setan bagai mengelupas kulit wajahnya
sendiri. Ternyata wajah buruk itu adalah topeng yang dibuat setipis mungkin dari
bahan karet. Di balik topeng berwajah buruk menyeramkan itu, ternyata tersimpan
wajah cantik rupawan yang mempunyai hidung
mancung, bibir sensual, mata indah berbulu lentik dan kulit kuning langsat yang
halus mulus. Dengan rambut meriap sebagian ke pipinya, Rupa Setan sunggingkan
senyum yang membuat jantung Suto bagai mau pecah
karena detak-detaknya yang amat kuat.
"Inilah aku sebenarnya. Inilah Anjardani yang asli,"
ujar si Rupa Setan dengan bola mata yang bening
berbinar-binar memancarkan gairah cinta begitu
membara. "Luar biasa...," gumam Suto nyaris tanpa suara. Ia tertegun beberapa saat
memandangi wajah cantik yang
mempunyai lesung pipit kecil jika sedang tersenyum itu.
Mata bagai sulit dikedipkan, kerongkongan seakan sukar menelan ludah, dan
gejolak birahinya kian bergemuruh lebih seru lagi.
"Wajah ini tak ingin kupamerkan kepada setiap lelaki.
Aku hanya inginkan wajah ini dinikmati oleh Tanuyasa, tapi ternyata Tanuyasa
lelaki yang buta kecantikan dan tak bisa terpikat oleh kecantikanku. Selama tiga
puluh tahun lebih, baru kaulah lelaki yang melihat wajah
Anjardani yang sebenarnya, Suto."
Mata bening itu kini menjadi sayu dalam
memandang. Uap kabut itu kian banyak dihirup
Anjardani, sehingga gairahnya semakin melonjak-lonjak menuntut kehangatan
seorang lelaki. Kehangatan itu kini ada di depannya, namun ia masih ragu untuk
mereguknya. Ia mencoba mendekatkan wajahnya sambil
menggenggam tangan Suto Sinting. Tangan itu dingin
oleh keringat gairah yang tertahan. Suto Sinting hanya bisa terbengong melompong
ketika tangannya
digenggam Anjardani, dan napas perempuan itu semakin menghangat di permukaan
wajahnya. "Pandanglah aku sebagai gadis sebayamu," ucap Anjardani lirih. "Kita telah sama-
sama terperangkap dalam penjara terkutuk ini. Musibah ini membuat kita tak
berdaya lagi, Suto. Bukan salah kita jika akhirnya kau dan aku saling memenuhi
kebutuhan batin masing-masing. Akankah kita bertahan saja hingga musibah
dalam penjara terkutuk ini membunuh kita?"
Kata-kata yang semakin lama semakin bercampur
desahan napas penuh gairah itu membuat Suto Sinting semakin merinding. Lalu
dibiarkannya perempuan cantik itu mencium pipinya dengan lembut. Ciuman itu
merayap hingga menyentuh bibir, dan Suto Sinting tak
mampu diam selamanya. Sentuhan bibir itu membuat
lidahnya menyambar, namun segera dilumat oleh
Anjardani dengan penuh ungkapan gairah yang
berkobar-kobar.
"Suto, aku tak tahan lagi menghadapi siksaan dalam penjara ini. Aku tak mampu
bertahan lagi, Suto...,"
bisiknya dalam nada rengekan bercampur desah yang
memburu. Kehangatan itu akhirnya menjalar di sekujur tubuh
mereka. Suto Sinting kian mengganas setelah amukan
Anjardani membuat gumpalan dadanya tersembul lepas
dari kain penutup tanpa disengaja. Suto Sinting segera menyambar bagai seekor
ikan hiu mencium bau amis
darah. "Oouh...!" Anjardani memekik karena tak mampu menahan keindahan yang datang
secara tiba-tiba di
permukaan dadanya. Selanjutnya ia mengerang
berkepanjangan karena Pendekar Mabuk nyaris lupa
daratan. Ia sapu habis tempat-tempat yang paling peka dan mampu hadirkan
kenikmatan bagi Anjardani,
sehingga perempuan itu bagai terbang melayang-layang bertabur keindahan dan
kebahagiaan. Namun sebelum kemesraan itu meluncur deras lebih
dalam lagi, tiba-tiba merasakan getaran yang cukup jelas pada lantai tempat
mereka terbaring. Getaran itu makin lama dirasakan sebagai guncangan gempa yang
membuat batu-batu biru di dinding mulai berjatuhan.
"Celaka! Tempat ini akan runtuh, Suto!"
Anjardani menjadi tegang, demikian pula halnya
dengan Pendekar Mabuk. Mereka cepat-cepat merapikan
diri kembali. Tanpa disadari hasrat bercumbu menjadi surut karena ketegangan
yang kian memuncak. Penjara
terkutuk itu mengalami guncangan semakin kuat. Batu-
batu mulai menimbuni mereka dari langit-langit penjara.
"Lekas minum tuakku untuk menahan rasa sakit!
Minum...!" paksa Suto kepada Anjardani sambil
menyodorkan tuaknya. Perempuan cantik itu segera
meminum tuak beberapa teguk. Ternyata badannya
terasa segar dan kepalanya yang dijatuhi bebatuan kecil itu tidak merasa sakit.
Bahkan ketika sebongkah batu biru berpijar runtuh
dari langit-langit ruangan itu dan menjatuhi kepala
Anjardani, perempuan itu tak sempat menghindar, lalu menghantamkan pukulannya ke
atas. Wuuut, prraaak...!
Batu itu hancur menjadi serbuk dan berhamburan
mengotori rambut serta tubuhnya.
Namun pada saat itulah ia segera berseru dengan nada terkejut.
"Hei, batu ini bisa kupukul hancur!"
"Tentu saja karena kau menggunakan tenaga
dalammu!" "Tapi seharusnya tenaga dalamku hilang karena
pengaruh uap Kabut Kasmaran ini!"
Mereka saling pandang dengan kepala merunduk dan
tangan menutup ke atas. Guncangan semakin kuat, batu-batu di langit-langit kian
berhamburan menghujani
mereka. Salah satu batu yang agak besar menimpa
kepala Suto Sinting. Tapi tiba-tiba tangan Suto
menghantam ke atas. Beet, praak...! Batu itu pun hancur seperti yang dipukul
Anjardani tadi.
"Aku juga bisa!" seru Suto dengan girang.
Ia mencoba melepaskan pukulan bersinar ke arah
salah satu dinding. Claaap...! Blaaarrr...!


Pendekar Mabuk 079 Penjara Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mereka terpental bersama hancurnya dinding yang
terkena pukulan bersinarnya Suto itu. Tapi mereka saling tertawa karena merasa
kekuatan serta ilmunya pulih
kembali. "Kekuatan kita telah pulih kembali!" seru Anjardani mengimbangi suara gemuruh
yang memekakkan telinga.
"Mungkin karena kita minum tuak ini!" seraya Suto menunjukkan bumbung tuaknya.
"Coba kita minum lagi agak banyak!"
Mereka segera menenggak tuak banyak-banyak. Rasa
segar di tubuh semakin terasa jelas. Bahkan gejolak
hasrat bercumbu lenyap sama sekali.
Sebetulnya pada saat mereka meminum tuak tersebut
pada waktu baru saja siuman dari pingsan, kekekuatan mereka masih tetap ada.
Tetapi karena terlalu lama
menghirup uap Kabut Kasmaran, maka kekuatan itu
berkurang kembali, sehingga pada waktu Suto mencoba
melepaskan pukulan tenaga dalamnya mengalami
kegagalan. Suto sendiri lupa bahwa tuak itu telah bercampur
dengan Batu Tembus Jagat yang punya kesaktian
tersendiri. Batu yang tercipta dari keringat dewa yang teraniaya itu mempunyai
kekuatan yang bersifat
memberontak terhadap kekuatan apa pun. Karenanya,
uap Kabut Kasmaran yang melumpuhkan kekuatan
mereka dapat dikalahkan dengan kekuatan yang ada
dalam Batu Tembus Jagat tersebut.
Rupa Setan segera menggunakan ilmu bayangannya.
Ia berubah menjadi bayangan samar-samar, lalu
bayangan itu berubah menjadi sinar merah seperti
kobaran api. Sinar tersebut melesat naik memasuki
lorong tempat mereka jatuh tadi.
Sedangkan Suto Sinting segera gunakan ilmu 'Sukma
Lingga' yang menggantikan ilmu 'Dewatakara' itu.
Dengan memejamkan mata dan menyatukan kekuatan
batin serta pikiran, tiba-tiba Suto berubah menjadi
cahaya hijau berekor kecil. Weeess...! Cahaya hijau itu melesat naik menembus
lorong sumur dan menjelma di
tempat yang bertanah keras, di mana Rupa Setan telah menunggunya selama tiga
helaan napas. "Suara gemuruh itu masih ada, bahkan getarannya masih terasa di tempat ini!"
kata si Rupa Setan.
"Ya, aku merasakannya juga. Tapi... di mana
topengmu?"
"Ooh..."!" Rupa Setan terkejut dan meraba wajahnya yang tak bertopeng. "Celaka!
Topengku tertinggal di dalam penjara terkutuk itu! Aku harus mengambilnya
dulu!" Seet...! Suto mencekal lengan Anjardani, membuat
perempuan cantik itu tak jadi melangkah terjun ke
Sumur Tambak Peluh lagi.
"Tak perlu kau ambil lagi topengmu. Aku lebih suka melihatmu dalam keadaan
begini." "Bee... benarkah"!" Anjardani grogi dipandangi Suto yang sunggingkan senyum
menawan itu. Suto
mengangguk kecil, penuh kesan yang mendebarkan hati
Anjardani. "Aku akan lebih sering menatapmu jika kau tidak mengenakan topeng."
"Mmm... meng... mengapa kau berkata begitu?"
"Karena sesungguhnya aku takut jika melihat
wajahmu bertopeng, dan aku terpesona jika melihat
wajahmu tanpa topeng."
Anjardani sunggingkan senyum tersipu. Suto
berdebar melihat lesung pipit di sudut senyum itu. Ia mencubit pipi Anjardani.
"Cantik sekali kau!"
"Aah...!" Anjardani menepak lengan Suto sambil makin tersipu. Tepat ia menepak
lengan Suto, terdengarlah suara ledakan yang menggelegar dan
membuat tempat itu bergetar kembali.
Blegaaaarrr...!
"Ada pertarungan di arah barat!" sentak Suto menegang. "Aku akan melihat ke
sana!" Zlaaap...!
"Heei, tunggu...!" Anjardani pun melesat menyusul langkah Suto Sinting.
* * * 7 ALANGKAH terkejutnya Pendekar Mabuk melihat
pertarungan itu ternyata dilakukan oleh dua tokoh tua yang berilmu tinggi. Yang
satu berjubah putih, rambut pendek putih dan jenggot serta kumisnya putih. Suto
mengenal tokoh itu sebagai orang yang berjuluk si Jubah Kapur, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode :
"Bayi Pembawa Petaka").
Sedangkan yang satu lagi adalah tokoh tua yang
berbadan gemuk, sama gemuknya dengan si Jubah
Kapur, mengenakan pakaian seperti biksu berwarna abu-abu, brewok, kumis, dan
jenggotnya berwarna putih rata, ia tak lain adalah Resi Badranaya, gurunya Darah
Prabu. Mereka duduk bersila di atas batu yang saling
berjauhan dalam jarak sekitar enam tombak. Mereka
saling melepaskan tenaga dalam tingkat tinggi tanpa bergeser dari tempat duduk
mereka. Jubah Kapur melepaskan sinar kuning terang,
sedangkan dari tangan Resi Badranaya melesat sinar
merah lurus yang menghantam sinar kuningnya Jubah
Kapur. Kedua sinar yang bertemu di pertengahan jarak itu saling bertahan dan
memancarkan cahaya warna-warni berpijar-pijar.
"Gawat! Apa yang membuat mereka saling beradu
tenaga dalam"!" gumam Suto Sinting. "Padahal keduanya sama-sama tokoh putih."
"Pasti ada persoalan yang sangat genting, sehingga
mereka mengadu kesaktian seperti itu," ujar Anjardani yang juga mengenal si
Jubah Kapur sebagai tokoh aliran putih yang menjadi Ketua Partai Gelandangan.
Suto pun mengenal Jubah Kapur sebagai guru dari Inupaksi, putra Raja Bumiloka.
"Harus segera dihentikan sebelum keduanya
kehilangan nyawa!" kata Anjardani, sambil bergerak melesat dari balik kerimbunan
semak. Namun sayang
gerakannya itu tertahan oleh tangan Suto Sinting yang mencekal lengannya dengan
kuat. "Aku ingin melihat siapa yang unggul dalam
pertarungan seru ini!"
"Tidak ada yang unggul! Mereka sama kuat dan sama tinggi ilmunya! Mereka akan
mati bersama-sama kalau kita biarkan!" sentak Anjardani dengan suara membisik.
"Hei... lihat di seberang sana, sepertinya tubuh Dewi Kesepian sedang terkapar
tanpa daya lagi!"
"Oh, ya... benar! Jangan-jangan dia sudah mati"!"
"Celaka! Kalau begitu kau hentikan saja pertarungan mereka, aku akan memeriksa
Dewi Kesepian. Jika masih bernapas segera kutolong dengan tuakku yang tinggal
sedikit ini!" ujar Suto, kemudian keduanya saling melesat cepat melakukan
rencana masing-masing.
Cahaya yang membias lebar berwarna-warni itu
masih tetap berpijar-pijar di pertengahan jarak. Jubah Kapur keluarkan peluhnya
hingga membasahi seluruh
jubah putihnya. Demikian pula Resi Badranaya yang
bermandi keringat dengan tubuh bergetar menahan
kekuatan si Jubah Kapur.
Tetapi tiba-tiba seberkas sinar putih perak melesat
bersamaan munculnya wajah cantik yang selama ini
tertutup topeng tua menyeramkan itu. Claaap...!
Blegaaaarrr...!
Sinar putih itu menghantam cahaya warna-warni dan
membuyarkan cahaya itu dalam satu ledakan besar
cukup dahsyat. Kedua tokoh yang beradu kesaktian itu terpental
ke belakang dan berguling-guling
menyedihkan. Tiga batang pohon tumbang seketika dan
salah satunya hampir saja menimpa tubuh si Jubah
Kapur. Untung ia cepat sentakkan tangan dan tubuhnya melesat dalam gerakan
bersalto cepat, sehingga lolos dari pohon yang tumbang itu.
Jleeg...! Jubah Kapur berdiri tegak dengan napas
terengah-engah dan wajah menjadi merah bagai habis
dipanggang api. Di sisi lain, Resi Badranaya pun cepat menjadi tegak kembali
dengan wajah seperti kepiting
rebus dan napasnya terengah-engah memandang ke arah
pertengahan jarak tadi.
Di pertengahan jarak itu berdiri seraut wajah cantik bertubuh elok dalam usia
lebih tua dari kedua tokoh
yang bertarung itu namun karena mempunyai ilmu awet
muda, sehingga masih tetap kelihatan sekal dan
menawan. Anjardani sengaja berdiri di sana sebagai
tanda bahwa dia tidak menghendaki pertarungan dari
kedua tokoh aliran putih itu.
"Keparat kau, Anjardani! Apa maksudmu pamer
kecantikan di depanku, hah"!" geram Resi Badranaya sambil melangkah dekati
Anjardani. Si Jubah Kapur pun
segera dekati Anjardani dengan wajah berangnya.
"Apa perlumu ikut campur dalam urusanku dengan si Badranaya itu!"
"Kalau kalian merasa berilmu tinggi, lawan aku!
Majulah kalian berdua dan tandingi ilmuku daripada
kulihat kalian berdua hancur dan kehilangan nyawa!"
"Aku ada di pihakmu, Tolol!" sentak Resi Badranaya.
"Bukankah kau juga telah sepakat untuk melindungi Dewi Kesepian sesuai
kesepakatan kita saat kau ikut
melihat Suto menyembuhkan Darah Prabu dan Kadal
Ginting"! Mengapa kau sekarang tidak memihakku,
sementara aku bertarung dengan si gelandangan tua itu hanya karena membela Dewi
Kesepian!"
Sambil berkata begitu, Resi Badranaya menuding ke
arah Dewi Kesepian sehingga pandangan mata mereka
tertuju ke sana. Ternyata di sana Suto Sinting telah berhasil menyadarkan Dewi
Kesepian yang tadi nyaris
sekarat karena pukulan si Jubah Kapur.
"Hei, murid si Gila Tuak!" seru Jubah Kapur.
"Biarkan dia mati dan jangan coba-coba menolongnya jika kau tak ingin aku
menghajarmu!"
"Jubah Kapur!" seru Anjardani. "Mengapa kau begitu bernafsu ingin membunuh Dewi
Kesepian"!"
"Dia telah membunuh muridku secara pelan-pelan.
Inupaksi sebentar lagi mati karena racun yang ditularkan melalui kehangatan
tubuhnya! Dia biang petaka bagi
para pemuda seusia muridku itu!"
"O, jadi Inupaksi bercumbu dengannya dan sekarang menderita penyakit yang sukar
disembuhkan"! Ah, itu
hal yang kecil bagi Pendekar Mabuk," ujar Anjardani sambil memandang ke arah
Suto yang membantu Dewi
Kesepian untuk berdiri. Rupanya perempuan yang
mengidap racun 'Asmara Kubur' telah meminum tuak
rendaman Batu Tembus Jagat, sehingga bukan hanya
racun itu yang hilang melainkan luka pukulan si Jubah Kapur itu pun tidak
dirasakannya lagi.
"Kalian belum tahu celakanya racun dalam tubuh
perempuan itu!" ujar Jubah Kapur masih berang.
"Inupaksi menceritakan semuanya padaku, termasuk apa yang dirasakannya dalam
menderita penyakit laknat itu.
Aku merasa dicabik-cabik oleh kemesuman perempuan
itu. Selayaknya jika ia mati dan tak akan pernah hidup lagi, daripada menjadi
wabah bagi kaum pria seusianya!
Tapi rupanya si Badranaya naksir dia, sehingga
membelanya mati-matian!"
"Aku bukan naksir dia, Bodoh! Sudah kubilang
padamu, jangan gegabah dalam bertindak, dan kita harus mencari Suto Sinting,
karena dialah yang bisa
sembuhkan muridmu, seperti dia menyembuhkan
muridku. Tapi kau tidak percaya dengan omonganku dan langsung menuduhku yang
bukan-bukan! Sebagai
seorang Resi aku pantas merasa tak terima kau tuduh
dengan tuduhan kotor itu, Gelandangan Bodong!"
"Jaga mulutmu, Gendut!" bentak Jubah Kapur dengan mata melotot dan tangan mau
lepaskan pukulan jarak
jauhnya lagi. "Hentikan perdebatan kalian!" sentak Anjardani.
"Biarkan murid si Gila Tuak menyelesaikan
persoalanmu, Jubah Kapur!"
Pendekar Mabuk segera tampil meninggalkan Dewi
Kesepian yang menahan rasa duka dan haru mendengar
kecaman yang dilontarkan padanya.
"Pertarunganmu mengguncangkan separo bagian
bumi ini, Jubah Kapur. Getarannya sampai terasa ke
penjara terkutuk itu!" ujar Suto kepada si Jubah Kapur.
"Pada dasarnya murkamu itu memang benar, tapi juga salah."
"Bocah ingusan sok menggurui yang tua!" sentak Jubah Kapur dalam gerutunya.
"Kukatakan salah karena kau sudah diberi tahu oleh Resi Badranaya mengapa masih
nekat ingin membunuh
Dewi Kesepian! Tahukah kau, dia menderita racun
'Asmara Kubur' karena melawan Nyai Ronggeng Iblis,
dan itu berarti dia melawan kekejaman yang dapat
membahayakan pihak tak bersalah. Mengapa kau hanya
bisa membunuhnya" Mengapa tidak mencari jalan keluar yang lebih baik daripada
membunuh?"
"Guru mana yang tidak murka jika muridnya terjebak dalam percintaan terkutuk
itu"!" bantah Jubah Kapur.
Pendekar Mabuk sunggingkan senyum kalem.
"Inupaksi sebenarnya terjebak dalam penjara terkutuk.
Penjara itu ada di dalam pelukan Dewi Kesepian. Kalau ia tidak melanggar tata
susila ia tidak akan menderita sakit seperti sekarang ini! Sementara itu, Dewi
Kesepian sendiri juga terperangkap dalam penjara terkutuk berupa racun 'Asmara
Kubur' yang membuatnya serba salah."
"Suto...!" seru Resi Badranaya. "Jangan banyak
bicara, cepatlah pergi temui si Inupaksi dan buktikan omonganku tadi di depan si
gelandangan itu!"
Jubah Kapur berang lagi dan menuding Resi
Badranaya. "Kalau ternyata bocah sinting ini gagal, kepalamu kuhancurkan agar
tak bisa bicara dusta lagi, Gendut!"
"Apa kau ini bukan gendut juga, Jubah Kapur,"
sambil Anjardani sunggingkan senyum geli. Jubah
Kapur cemberut dan bersungut-sungut pandangi
Anjardani. Ia tak berani melawan karena ia tahu
Anjardani mempunyai ilmu lebih tinggi darinya.
Pendekar Mabuk lambaikan tangan kepada Dewi
Kesepian, kemudian Dewi Kesepian mendekat dengan
wajah terbungkus duka dan rasa malu.
"Kau sekarang telah bebas dari racun 'Asmara Kubur', berarti kau bebas dari
penjara terkutuk yang dilepaskan oleh Nyai Ronggeng Iblis itu. Kurasa sekarang
kau tak perlu lagi mencari darah kemesraan seorang lelaki,
kecuali jika kau memang telah menikah dengan lelaki itu," kata Suto kepada


Pendekar Mabuk 079 Penjara Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yundawuni alias si Dewi Kesepian.
"Aku butuh bukti sampai dua malam!" katanya sambil menatap Suto. "Jika benar dua
malam aku tidak mengalami perubahan yang menyakitkan dalam
tubuhku, berarti racun itu memang telah sirna dari
diriku. Kurasa aku memang tidak perlu lagi memburu
kemesraan seorang lelaki, kecuali...."
"Kecuali apa?" sergah Anjardani. Tapi Dewi Kesepian hanya tundukkan kepala
merasa takut berhadapan dengan perempuan yang mampu melerai
pertarungan dua tokoh sakti itu.
"Mengapa kau sampai terlibat pertarungan dengan mendiang Nyai Ronggeng Iblis"!"
tanya Suto kepada Dewi Kesepian.
"Kekasihku dibunuh olehnya setelah ia puas
mencumbunya!"
"Oo... pantas Ronggeng Iblis melepaskan kutukan racun 'Asmara Kubur', rupanya ia
ingin membuatmu
tersiksa oleh hasrat gairah yang menyala-nyala
sepanjang masa," ujar Anjardani.
"Jika kau ingin buktikan kemampuanmu mengobati
muridku, sekarang juga kita harus pergi ke Bumiloka!
Jangan terlalu banyak membuang waktu untuk seorang
perempuan! Perempuan kalau diberi waktu akan
mengeruk kebebasan kita!"
"Bicaramu jangan menyinggung perasaanku, Jubah
Kapur!" gertak Anjardani, dan Jubah Kapur pun diam sambil melengos. Suto Sinting
hanya tertawa geli,
kemudian segera pergi bersama-sama mereka yang ada
di situ ke Bumiloka.
"Kau harus ikut," kata Suto kepada Dewi Kesepian.
"Karena setelah itu kau harus tunjukkan di mana Temon, Panji Klobot dan orang-
orang yang telah menjadi korban racun itu."
"Aku bersedia membantumu," jawab Dewi Kesepian,
"... sambil membuktikan kemampuan tuakmu tadi."
"Aku akan mendampingi kalian!" sahut Anjardani.
"Mengapa harus kau dampingi"!" Suto bernada
protes. "Untuk menjaga kenakalanmu!" jawab Anjardani sambil tetap memandang ke arah
depan, tanpa pedulikan senyum Suto Sinting dan Dewi Kesepian.
Tuak dan Batu Tembus Jagat akhirnya menyelesaikan
semua masalah yang berkaitan dengan Dewi Kesepian.
Kini perempuan itu telah bebas dari racun 'Asmara
Kubur' yang sama artinya telah bebas dari penjara
terkutuk yang menyedihkan itu. Demikian pula Inupaksi, Temon, Panji Klobot, dan
beberapa pria lainnya.
SELESAI Segera terbit!!!
PUSAKA JARUM SURGA
Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.biogspot.com/
https://www.facebook.com/Dunia
AbuKeisel Si Rajawali Sakti 3 Dewi Ular 62 Gadis Penyelamat Bumi Memanah Burung Rajawali 28
^