Pencarian

Perawan Maha Sakti 1

Pendekar Mabuk 034 Perawan Maha Sakti Bagian 1


Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah lindungan undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa
izin tertulis dari penerbit
1 WAJAH-WAJAH angker pancarkan pandangan mata penuh murka. Tajamnya menyerupai
mata pedang. Gigi mereka menggeletuk, tulang rahang tampak keras. Dua wajah
angker itu dalam kebisuan yang mendirikan bulu kuduk. Berdiri tegak dengan dada
membusung kekar, kaki merenggang kokoh, tangan dan lengan
menampakkan otot-ototnya yang mirip baja. Keras dan alot. Dua wajah angker itu
adalah milik tokoh keras dari Tebing Karma. Mereka dikenal dengan julukan si
Kapak Iblis dan Setan Akhirat.
"Mengapa mereka tampaknya tidak bersenjata semua" Kapak Iblis kulihat tak
memegang sebilah kapak, Setan Akhirat juga tidak membawa senjata apa-apa."
"Kapak Iblis memang tidak membawa kapak, tapi tebasan tangannya setajam kapak
pemancung leher.
Tebasan tangannya mampu memotong sebatang pohon dalam satu kali tebas. Setan
Akhirat mempunyai telapak tangan melebihi baja. Bahkan pintu baja pun jika
dihantam dengan telapak tangannya dapat jebol seperti pintu kardus. Itulah
kehebatan mereka sebagai dua saudara dari Tebing Karma."
"Jadi, mereka kakak beradik?"
"Benar. Tapi itu hanya silsilah dalam perguruan.
Bukan saudara kandung. Mereka sudah menjadi kakak beradik dalam perguruan sejak
berusia lima belas tahun.
Mereka adalah anak-anak telantar yang tidak tahu siapa orangtuanya."
"Lalu, siapa guru mereka?"
"Guru mereka adalah tokoh sakti seangkatan dengan gurumu si Gila Tuak dan
Bidadari Jalang. Tokoh sakti itu berjuluk Gerhana Mandrasakti."
Pemuda berambut panjang lurus sebatas lewat pundak itu hanya manggut-manggut
saja mendengarkan penjelasan dari si Bongkok Sepuh. Pemuda tampan berbaju coklat
tanpa lengan dengan celana putih kusam dan ikat pinggang kain merah itu tak lain
adalah Pendekar Mabuk, murid di Gila Tuak bernama Suto Sinting.
Lalu, siapa tokoh tua yang berjuluk si Bongkok Sepuh itu"
Di sinilah letak keanehannya. Suto Sinting sendiri tidak tahu siapa si Bongkok
Sepuh itu. Tokoh tua yang usianya di atas tujuh puluh tahun itu berpakaian
kuning kecoklatan karena lusuhnya. Ia memegang tongkat kayu yang tingginya
melebihi tinggi kepalanya. Tongkat kayu itu berkepala bundar, seperti bola.
Licin dan halus.
Warnanya hitam. Si Bongkok Sepuh itu mirip seorang wanita karena mempunyai
rambut panjang putih digelung di tengah kepala, sisanya meriap-riap ke sana-
sini. Jenggotnya tak begitu panjang, tapi berwarna putih uban. Kumisnya tidak
ada. Mungkin sang kumis malas
tumbuh di kulit tua yang mulai keriput itu.
Pertemuannya dengan Bongkok Sepuh seperti mimpi di siang bolong. Waktu itu
Pendekar Mabuk yang berwajah ganteng dan berbadan tegap, gagah, serta kekar itu
sedang dalam perjalanan pulang dari pondok Resi Wulung Gading. Ia habis
mengantarkan Angin Betina yang membawa Kitab Lorong Zaman. Ia bermaksud untuk
temui Gila Tuak di Jurang Lindu untuk meminta izin akan ikut pelajari isi Kitab
Lorong Zaman. Tetapi di perjalanan, pendekar tampan itu bertemu dengan seorang pengemis
bungkuk yang kehausan.
Tubuh pengemis bungkuk itu terkulai bersandar pada sebatang pohon, bibirnya
retak-retak kekeringan, wajahnya menghiba karena kelihatan sangat kelaparan.
Suto Sinting sempatkan diri menghampiri si pengemis bungkuk itu.
"Pak Tua, kulihat kau sangat kehausan dan kelaparan.
Jika kau mau, minumlah tuakku ini, setidaknya bisa untuk penghilang dahaga dan
menahan lapar sementara waktu."
Pengemis bungkuk itu manggut-manggut dan berucap lirih, "Terima kasih, Anak
Muda...." Suto Sinting segera menuangkan tuak dari bumbung bambu yang ke mana-mana selalu
dibawanya itu. Tuak dituang ke dalam tempurung yang juga dibawa-bawa oleh si
pengemis ke mana pun perginya. Tiga kali Suto menuangkan tuaknya ke tempurung
itu, dan tiga kali si pengemis meminumnya dengan rakus.
"Kasihan sekali dia. Tampaknya sangat kehausan,
sampai tiga tempurung agaknya masih kurang juga."
Maka Suto Sinting menuangkan tuak untuk yang keempat kalinya. Pengemis itu pun
meminumnya kembali. Napasnya terengah-engah pertanda lelah meminum tuak keempat.
Tetapi ketika Suto berkata,
"Badanmu pasti akan segar, Pak Tua. Apakah kau masih merasa haus?"
"Masih," jawab pengemis bungkuk itu. Maka Suto Sinting menuangkan tuak ke dalam
tempurung untuk yang kelima kalinya, keenam, ketujuh, kedelapan, dan seterusnya
sampai akhirnya tuak dalam bumbung menjadi habis. Tinggal beberapa teguk saja
yang tersisa. Anehnya, pengemis bungkuk yang berkulit keriput itu tidak tampak mabuk sedikit
pun. Bahkan ia bertanya,
"Masih adakah tuakmu yang tersisa?"
"Masih. Tapi... kurasa kau akan jatuh mabuk jika terlalu banyak meminum tuak,
Pak Tua." "Tidak. Aku tidak akan mabuk, karena aku masih sangat haus!"
Pendekar Mabuk membatin, "Gila juga Pak Tua ini"!
Satu bumbung penuh tuakku sudah habis diminumnya masih merasa kehausan" Jangan-
jangan dia jago minum"
Wah, ludes sudah bumbung tuakku. Aku tak dapat bagian kalau kuberikan semuanya.
Tapi... biarlah kuberikan sisanya ini. Tampaknya ia memang masih sangat
kehausan. Aku bisa mencari tuak di desa terdekat dari sini."
Tempurung kelapa disodorkan, Suto Sinting menuangkan sisa tuak dalam bumbungnya.
Tuangan terakhir itu tidak disadari oleh Suto bahwa sebuah benda yang disimpan lama di
dalam bumbung tuak itu ikut tertuang keluar dan masuk ke dalam tempurung.
Plung...! Zlaaap...! Tiba-tiba pengemis tua itu lenyap bagaikan ditelan bumi. Suto Sinting terkejut
sekali hingga mulutnya ternganga dan matanya mendelik. Dua kejutan menjadi satu,
pertama lenyapnya si pengemis bungkuk itu, kedua kesadaran Suto tentang benda
yang tertuang dan jatuh ke dalam tempurung tadi.
"Celaka! Cincin Manik Intan ikut tertuang dan...
dan... ke mana dia" Oh, ternyata aku telah diperdaya olehnya. Dia membawa lari
pusaka Cincin Manik Intan"!" Jantung Suto Sinting pun mulai berdetak-detak
tegang. Matanya mulai memandang liar ke
sekelilingnya, ia merasa telah tertipu. Agaknya pengemis bungkuk itu mengetahui
di dalam bumbung tuak terdapat cincin pusaka, sehingga ia memancingnya keluar
dengan cara menghabiskan tuak dalam bumbung.
Cincin Manik Intan adalah pusaka milik Bibi Gurunya Suto, yaitu Bidadari Jalang.
Cincin itu amat berbahaya jika dikenakan seseorang. Bisa mengeluarkan sinar
dengan sendirinya apabila si pemakai sedang marah. Arah sinarnya sering tidak
terkendali, dan sinar itu mempunyai kekuatan tenaga dalam sangat besar, sepuluh
kali lipat tenaga dalam si pemakai cincin tersebut. Bahkan bisa mencapai seratus
kali lipat tenaga si pemakainya jika orang tersebut memendam murka
yang amat besar. Sebab itulah Suto Sinting tak berani memakai cincin itu, takut
menimbulkan korban salah sasaran jika ia dilanda kemarahan. Untuk amannya,
cincin disimpan di dalam bumbung tuak, terendam di sana selama tidak dibutuhkan,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Darah Asmara Gila").
Itulah yang dimaksud mimpi siang bolong. Cincin pusaka dengan mudahnya jatuh ke
tangan seorang pengemis tua tanpa melalui pertarungan sedikit pun.
Tentu saja hati Suto Sinting menjadi geram dan kemarahannya mulai timbul.
Padahal jika Pendekar Mabuk sedang dilanda kemarahan dalam hatinya, napasnya
sangat berbahaya. Hembusan napasnya mempunyai kekuatan membadai, terutama jika
sengaja dihembuskan lewat mulut dengan sentakan keras, alam sekitarnya akan
mengalami kiamat karena disapu badai besar yang mengerikan.
Dalam memendam kemarahannya akibat tertipu saja, napas yang keluar melalui
hidung Pendekar Mabuk sudah sempat membuat sebatang pohon bergetar. Pohon yang
ada di depannya itu berukuran besar dan daunnya berguguran bagai ada yang
mengguncang dari bawah.
Padahal hanya terkena hembusan napas biasa dari Suto Sinting. Pada saat ia
berpaling mencari pengemis bungkuk itu, semak-semak di sekelilingnya terhempas
dan rebah, namun tak membuatnya patah. Beberapa bongkah batu berlarian bagai
digelindingkan oleh tenaga dalam tak terlihat. Menggelindingnya bebatuan itu
akibat terkena hembusan napas Suto. Bisa-bisa batu di
seberangnya yang sebesar kerbau itu akan pecah jika Pendekar Mabuk mengarahkan
hembusan napasnya ke sana dengan tekanan sedikit keras lagi. Itu semua
disebabkan Pendekar Mabuk mempunyai jurus 'Tuak Setan' akibat meminum Pusaka
Tuak Setan tanpa disengaja, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Pusaka Tuak Setan").
Menyadari keadaan alam mulai akan rusak, Suto Sinting buru-buru meredam
kemarahannya sendiri. Ia diam dan tundukkan kepala sambil pejamkan mata.
Gemuruh kemarahan dalam dada diredam, pikirannya ditenangkan, benaknya
membayangkan kejadian tersebut adalah kejadian yang lucu atas kebodohannya.
"Bukan salah pengemis itu, tapi salahku sendiri.
Mengapa aku mudah tertipu" Mengapa aku tidak waspada dan kurang hati-hati" Ini
adalah suatu pelajaran bagiku. Tingkat kewaspadaanku sudah mulai rapuh, dan
harus kupertajam lagi. Sekarang tugasku sebagai hukuman adalah mencari pengemis
itu dan berusaha mendapatkan Cincin Manik Intan kembali. Nyawaku kupertaruhkan
demi merebut pusaka itu, daripada pusaka itu dipergunakan untuk membantai orang
tak bersalah."
Keberanian menuding diri sebagai pihak yang bersalah merupakan langkah terbaik
untuk mengatasi kemarahan dalam hati. Cara itulah yang dipergunakan Suto
Sinting, sehingga sekalipun masih tersisa kemarahan namun tak seberapa besar dan
tidak terlalu berbahaya bagi hembusan napasnya.
"Ke mana perginya" Masuk ke alam gaib" Hmmm...
kalau begitu aku harus mengejarnya ke alam gaib. Aku yakin pengemis itu pasti
orang berilmu tinggi karena dapat menghilang dalam sekejap saja."
Pendekar Mabuk memang bisa masuk ke alam gaib, karena ia mempunyai noda merah
kecil di keningnya.
Noda merah itu pemberian dari seorang ratu penguasa sebuah negeri di alam kasat
mata, artinya alam yang tidak bisa dilihat oleh mata manusia biasa, yaitu alam
gaib. Negeri itu bernama Puri Gerbang Surgawi.
Seorang ratu bertakhta di sana. Ratu itu adalah Ratu Kartika Wangi, tokoh sakti
yang tidak mau ikut campur dunia nyata walau mempunyai anak gadis yang menjadi
ratu pula di dunia nyata, yaitu di negeri Puri Gerbang Surgawi juga yang ada di
Pulau Serindu. Ratu itu bernama Dyah Sariningrum, Gusti Mahkota Sejati gelarnya.
Perempuan itulah calon istri Suto nantinya.
Jadi tanda merah itu pemberian dari calon mertua Suto yang memberi penghargaan
padanya sebagai Manggala Yudha Kinasih. Dengan mengusap noda merah yang hanya
bisa dilihat oleh tokoh berilmu tinggi itu, Suto dapat masuk ke alam kehidupan
tak terlihat mata. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Manusia Seribu
Wajah"). Tak heran jika Pendekar Mabuk bermaksud mengejar pengemis bungkuk itu, karena
menyangka si pengemis masuk ke alam gaib. Tetapi baru saja Suto ingin mengusap
keningnya, tiba-tiba terdengar sebuah suara berasal dari belakangnya.
"Aku di sini, Anak Muda!"
Pendekar Mabuk cepat-cepat palingkan wajah.
Terkesiap menatap si pengemis bungkuk sudah tidak kenakan pakaian compang-
camping lagi, melainkan kenakan pakaian kuning kecoklat-coklatan karena
usangnya. Rambutnya tidak diriap seperti semula, melainkan digulung rapi ke atas
kepala. Tongkatnya sudah bukan tongkat kayu kering biasa, melainkan tongkat
hitam berkepala bulat seperti bola yang mulus dan licin.
Pandangan mata Suto segera tertuju ke arah tangan orang tersebut. Tampak Cincin
Manik Intan melingkar di jari tengah pada tangan sebelah kanan. Mata cincinnya
yang berwarna putih intan itu tidak terlihat karena cara memakainya dibalik.
Mata cincin itu ada dalam genggaman.
Karena dilihatnya Pak Tua itu tenang-tenang saja, maka Suto Sinting pun menjaga
sikap agar tetap tenang.
Bumbung tuaknya masih ditenteng dengan tangan kiri, berdirinya tegak, sedikit
renggangkan kaki, tampak gagah dan tegar. Jaraknya berdiri sekitar tiga tombak
dari si pengemis bungkuk itu.
"Pak Tua, apa maksudmu menipuku dengan cara seperti ini" Kumohon padamu,
kembalikan cincin pusaka tersebut padaku."
"Kewaspadaanmu sangat lemah, Anak Muda.
Kecepatan gerakmu pun kurang bisa diandalkan."
"Jadi kau hanya mengujiku, Pak Tua?"
"Aku tidak sekadar mengujimu, tapi memang ingin menahan cincin pusaka ini!"
"Kusarankan jangan memancing kemarahanku, Pak Tua."
"Aku tak peduli kemarahanmu terpancing atau tidak, yang jelas aku akan menahan
cincin milik Bidadari Jalang ini!"
Suto Sinting kaget terperanjat mendengar tokoh tua itu menyebutkan nama Bibi
Gurunya. Ia mulai membatin, "Berarti orang ini juga kenal dengan Kakek Guru si
Gila Tuak. Hmm... siapa sebenarnya dia?"
Pendekar Mabuk mencoba menenangkan gemuruh yang hampir timbul lagi di dalam
dadanya itu. Ia berkata dengan sikap tetap tenang,
"Apakah tindakanku salah, Pak Tua" Aku menolongmu dengan memberikan minum dengan
tuakku sampai tuakku habis. Apakah...," kata Suto Sinting terpotong,
"Siapa bilang tuakmu habis"!"
Maka berhentilah Suto bicara. Dahinya berkerut.
Tangan kiri yang menjinjing bumbung tuak mulai dirasakan. Diangkat pelan-pelan.
Hatinya membatin dengan heran,
"Aneh. Bumbung tuak ini rasa-rasanya agak berat dari sebelumnya. Padahal sudah
kosong tanpa isi" Tapi jika bumbung ini sekarang berat, berarti bumbung ini
berisi sesuatu. Apakah... apakah bumbung ini berisi tuak lagi?"
Pendekar Mabuk memeriksanya, dan ternyata memang benar, bumbung itu berisi tuak,
penuh seperti semula. Bahkan lebih penuh lagi, karena air tuak sampai
bisa terlihat jelas begitu tutup bumbung dibuka. Padahal ketika Suto belum
bertemu dengan pengemis bungkuk tadi, ia sudah meneguk tuak tersebut tiga kali.
Semestinya tidak sepenuh saat ini.
Suto Sinting merasakan tuak itu dengan meneguknya satu kali. Ia membantin,
"Benar-benar air tuak. Bahkan rasanya lebih enak, seperti Tuak Mojolegi"!
Badanku terasa lebih segar dan lebih tenang. Aneh sekali"! Aku bisa tenang
dan... dan sangat tenang. Tak ada kemarahan yang harus kutekan seperti tadi"
Hei, kenapa bisa begini" Apakah pengaruh dari tuak ini" Oh, kalau begitu apa
yang kuduga tadi memang benar; orang bungkuk ini adalah orang sakti."
Dengan sikap lebih hormat lagi Suto Sinting berkata,
"Sesungguhnya siapakah dirimu, Pak Tua. Sudilah kiranya kau perkenalkan diri
padaku." "Gurumu pasti kenal denganku. Tapi... baiklah, karena badanku bungkuk dan sudah
tua renta begini, kau boleh memanggilku si Bongkok Sepuh. Hanya itu yang bisa
kuperkenalkan padamu, Pendekar Mabuk."
Anehnya lagi, si Bongkok Sepuh tampak lebih hormat juga dari sebelumnya. Sikap
itu membuat Suto Sinting menyimpan keheranan dalam hatinya, namun tak dicetuskan
lewat kata apa pun. Ia hanya berkata,
"Apa perlumu menahan cincin pusaka itu, Ki Bongkok Sepuh?"
"Bukan semata-mata untuk menantangmu, Gusti Manggala Yudha Kinasih...."
Kini Suto Sinting terperanjat walau sekejap. Ia
dipanggil dengan sebutan itu. Padahal sebutan itu hanya berlaku bagi orang-orang
Puri Gerbang Surgawi.
"Apakah kau orang Puri Gerbang Surgawi, Ki Bongkok Sepuh?"
"Memang bukan. Tapi tanda merah di keningmu membuatku merasa layak menghormat
dengan sebutan itu. Setidaknya kau dapat menyimpulkan...."
Zlaaap...! Orang itu lenyap dalam pandangan Suto Sinting. Tentu saja Suto
terkejut dan mencari-carinya.
Ternyata sudah ada di belakang dalam jarak lebih dekat lagi. Bongkok Sepuh
lanjutkan kata,
"... bahwa maksudku tidak buruk kepadamu. Aku memang sedikit nakal, menahan
Cincin Manik Intan yang menjadi tanggung jawabmu ini. Artinya aku menahan
tanggung jawabmu karena suatu keperluan."
"Keperluan apa?"
"Tak ada cara lain yang bisa kupakai agar kau mau membantuku selain dengan cara
menahan Cincin Manik Intan ini."
"Jelaskan apa yang harus kubantu?"
"Sebaiknya ikutlah aku sekarang juga!"
"Tapi...," Pendekar Mabuk tak jadi lanjutkan kata karena orang itu telah melesat
tanpa melangkah, tahu-tahu sudah berada dalam jarak dua puluh langkah dari


Pendekar Mabuk 034 Perawan Maha Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tempat Suto berdiri. Mau tak mau Suto Sinting segera menghampirinya untuk
lanjutkan kata-katanya tadi.
Namun ketika Suto baru mencapai jarak sepuluh langkah, orang itu sudah melesat
tanpa melangkah hingga jaraknya lebih jauh lagi, sekitar tiga puluh
langkah dari Suto. Terpaksa Suto juga melesat, mempergunakan jurus 'Gerak
Siluman' yang mampu berkelebat cepat melebihi anak panah itu. Zlaaap... I
Bongkok Sepuh berkelebat lagi. Zlaaap...! Suto mengejarnya dengan gerakan yang
tak mampu terlihat mata orang biasa. Zlaap...! Sampai suatu saat Bongkok Sepuh
terpaksa hentikan gerak, karena ia tidak melihat Suto tertinggal di belakangnya.
Ia mencari-cari Suto, dan segera terkejut melihat Suto sudah ada di jalanan yang
akan dilaluinya. Jaraknya lebih cepat tiga langkah darinya.
"Sudah kuduga akhirnya kau akan tunjukkan padaku kehebatanmu, Anak Muda."
"Maaf, Ki Bongkok Sepuh. Kulakukan karena kau memaksaku untuk adu kecepatan. Aku
tak mau kau kecam seperti saat kau berhasil membawa lari cincin itu."
Bongkok Sepuh manggut-manggut dengan senyum tuanya. Terdengar suaranya yang
pelan berkata, "Aku harus mengakui keunggulanmu yang melebihi gerakanku."
"Aku tidak butuh pengakuan itu. Aku hanya butuh cincin pusaka itu."
"Akan kuberikan setelah kau selesai mengatasi persoalanku. Ada baiknya kalau kau
jangan bergerak lebih cepat dariku, supaya kau tahu arah yang kutuju nanti, Anak
Muda!" Begitulah awal jumpa Suto dengan si Bongkok Sepuh. Rupanya Bongkok Sepuh membawa
Pendekar Mabuk ke sebuah perbukitan cadas. Tanahnya keras walau ditumbuhi pepohonan yang
tak terlalu rindang. Di situ banyak tebing-tebing cadas yang tegak lurus namun
tidak dalam. Masih memungkinkan dipakai melompat seseorang dari atas ke bawah.
Pada salah satu bukit cadas yang menyerupai gundukan tanah tinggi itulah si
Bongkok Sepuh membawa Suto berlindung di balik pepohonan. Dari sana mereka dapat
memandang ke arah bawah, jalanan tandus dengan pepohonan renggang dan rumputnya
tak terlalu rimbun.
Di jalanan tandus itulah Suto melihat dua wajah angker berdiri dengan tegar
berdampingan menghadap ke timur. Bongkok Sepuh menjelaskan tentang kedua orang
angker yang berjuluk Kapak Iblis dan Setan Akhirat. Kedua orang keras beraliran
hitam dari Tebing Karma itu tidak mengetahui jika ada dua pasang mata yang
memperhatikan mereka dari atas bukit.
Kapak Iblis adalah orang yang nyata-nyata terlihat keangkerannya, karena
wajahnya brewokan, alisnya tebal, matanya lebih ganas, rambutnya pendek namun
diikat dengan kain merah. Ia mengenakan pakaian biru tua dengan bagian dada
terbuka. Pakaian itu diikat dengan kain merah juga pada pinggangnya.
Usianya sama dengan Setan Akhirat, sekitar lima puluh tahun. Tapi keangkeran
wajah Setan Akhirat berkesan dingin dan bengis, bagai manusia tak kenal kata
ampun kepada lawannya. Setan Akhirat mempunyai rambut tipis tapi panjang selewat
punggung. Warna
rambutnya abu-abu karena sudah mulai banyak ubannya.
Warna rambutnya itu kontras dengan warna jubah yang dikenakan. Jubah merah
darah. Ia tanpa kumis dan jenggot, tapi matanya sedikit kecil. Sekalipun kecil,
ketajaman pandangan mata itu mirip ujung tombak yang runcing. Menggetarkan hati
orang yang dipandangnya.
Kedua orang berwajah angker itu berhadapan dengan seorang gadis yang menurut
perkiraan Suto berusia sekitar dua puluh enam tahun. Gadis itu berwajah cantik
jelita, kulitnya kuning langsat, bersih. Hidungnya bangir, bibirnya mungil
segar. Badannya tak terlalu kurus. Sekal berisi, dengan dada padat dan
kemontokannya adalah kemontokan yang indah, tidak berlebihan. Gadis itu
berpakaian hijau muda sebatas dada, tapi dirangkap jubah warna ungu tua yang tak
berlengan, sehingga kemulusan kulit lengannya terlihat jelas tanpa cacat.
Sebuah pedang bersarung perak ukir terselip di pinggangnya. Gadis itu mempunyai
rambut panjang, sebagian digulung di tengah kepala dan diikat dengan pita hijau
muda, sisanya meriap ke sana-sini.
"Siapa perempuan cantik itu, Ki Bongkok Sepuh?"
tanya Suto yang sebenarnya ingin menyimpan rasa ingin tahunya itu, namun tak
tertahankan lagi.
"Namanya: Dara Cupanggeni, murid dari Nyai Sunti Rahim."
"Nama itu sangat asing bagiku. Siapa Nyai Sunti Rahim itu?"
"Bekas istriku," jawab Bongkok Sepuh pelan tapi mengejutkan Suto, sehingga
pemuda tampan berhidung
bangir itu menatap si tua bungkuk.
"Bekas istrimu?"
"Ya. Kutinggalkan Sunti Rahim, kupatahkan cintanya dan kuhancurkan hatinya,
karena kala itu aku terpikat dengan bibi gurumu; Bidadari Jalang."
"Ooo..."!" Suto Sinting manggut-manggut.
"Waktu itu, Bidadari Jalang benar-benar membuatku gila asmara kepadanya, sampai
aku tega menghancurkan hati dan cinta Sunti Rahim. Padahal waktu itu Sunti Rahim
sedang hamil muda. Karena perlakuanku, Sunti Rahim menggugurkan kandungannya dan
nyaris putus asa. Ketika ia mau lakukan bunuh diri, ia mendengar suara bayi
menangis, ternyata bayi itu hanyut di sungai di atas sebuah anyaman belarak,
atau daun kelapa kering. Sunti Rahim mengambil bayi itu, dan tak jadi bunuh
diri. Ia pergi mengasingkan diri, merawat bayi yang tak diketahui orangtuanya
itu. Sunti Rahim menurunkan semua ilmunya kepada bocah angkatnya itu, sampai
ilmu pengawet ayunya diturunkan, sehingga bocah itu sekarang tetap kelihatan
cantik dan muda, padahal usianya sudah hampir empat puluh tahun."
Suto terperanjat mendengar jumlah usia itu. Tentu saja hatinya merasa heran tak
menyangka gadis cantik itu ternyata sudah berusia banyak. Tapi Suto segera
lupakan soal itu, dan lebih tertarik mendengarkan penjelasan Bongkok Sepuh yang
tampak bernada sedih itu.
"Sunti Rahim pernah bertemu denganku dan bersumpah akan membunuhku melalui anak
angkatnya itu. Dara Cupanggeni itulah wakil dan utusan Sunti Rahim untuk membalas sakit
hati atas perlakuanku semasa muda."
"Apakah kau sudah pernah bicara dengan Dara Cupanggeni itu?"
Bongkok Sepuh menggelengkan kepala. "Aku selalu berusaha menghindarinya. Sebab
aku tahu, jika Dara Cupanggeni sudah turun dari gunung, berarti seluruh ilmu
Sunti Rahim sudah diturunkan semuanya kepada anak itu."
"Lalu, mengapa kau membawaku kemari dan memperlihatkan keadaan di bawah sana?"
tanya Suto dengan berbisik.
"Ingin kutunjukkan kepadamu kesaktian Dara Cupanggeni itu."
"Setelah itu?"
"Bantulah aku menghadapi gadis itu."
Suto Sinting berkerut dahi dengan merasa heran lagi,
"Apakah kesaktianmu tak mampu ungguli kesaktian gadis itu?"
Bongkok Sepuh diam sebentar, matanya tetap memandang ke bawah, ke pertarungan
antara Dara Cupanggeni dengan Kapak Iblis dan Setan Akhirat yang sudah dimulai
walau baru secara kecil-kecilan saja. Mata itu menerawang dalam memandang,
karena mulut Bongkok Sepuh berkata datar,
"Sunti Rahim sebenarnya guruku sendiri."
"Hah..."!" Suto Sinting jelas-jelas terperangah. "Ja...
jadi usiamu dengan Nyai Sunti Rahim lebih tua dia?"
"Lima belas tahun lebih tua dariku," jawab Bongkok Sepuh. "Ilmu pengawet ayunya
itulah yang membuatku jatuh cinta padanya ketika itu. Dia tokoh wanita yang
sakti, mendapat warisan ilmu dari eyangnya sejak berusia tujuh tahun. Separo
ilmunya sudah diturunkan kepadaku, tapi aku tergoda oleh Bibi Gurumu, dan
akhirnya kami berpisah. Aku terpaksa berguru kepada tokoh sakti lainnya. Namun
kesaktianku tetap saja tidak bisa mengungguli Sunti Rahim."
"Kenapa waktu itu Sunti Rahim tidak melabrak Bibi Guruku?"
Bongkok Sepuh gelengkan kepala, "Hanya Bibi Gurumu yang tak bisa dilawan oleh
Sunti Rahim, karena ilmu yang dimiliki Bidadari Jalang sangat tinggi."
"Jadi, sekarang apa yang harus kulakukan untukmu, Ki Bongkok Sepuh"!"
"Kalahkan Dara Cupanggeni itu dengan cara melumpuhkan ilmu andalannya!"
"Apa ilmu andalannya itu?" tanya Suto, tapi tidak segera mendapat jawaban.
* ** 2 KEDUA tokoh angker itu seperti sedang
dipermainkan oleh Dara Cupanggeni. Diam-diam Pendekar Mabuk akui kelincahan dan
kegesitan gadis
berjubah ungu itu. Kecepatan geraknya juga cukup mengagumkan. Dara Cupanggeni
mampu lakukan salto ke depan dan kembali salto ke belakang pada saat tubuh masih
melayang di udara.
"Edan!" gumam Suto dalam hati. "Baru saja berjungkir ke depan sudah bisa kembali
ke belakang tanpa menjejak apa pun" Aku tak bisa lakukan gerak seperti itu! Tapi
aku tahu rahasianya; dia pergunakan udara sebagai tempat berpijak. Berarti
getaran tubuhnya dapat membuat udara menjadi sesuatu yang padat! Oh, sungguh
mengagumkan. Aku akan pelajari gerakan seperti itu."
Gerak tipuan itu membuat Kapak Iblis lakukan serangan yang salah. Akibatnya
pukulan bertenaga dalam jarak jauh milik Dara Cupanggeni menghantam telak
pinggang kiri Kapak Iblis. Wuuut...! Bheeeg...!
Gadis itu mendaratkan kaki dengan sigap dan memandang dengan senyum sinis.
Senyum kemenangan yang membuat Kapak Iblis menggeram dalam jatuhnya.
Sementara itu Setan Akhirat sengaja hentikan serangan karena ingin pelajari
kelemahan jurus-jurus Dara Cupanggeni.
"Wedus bangsat!" geram Kapak Iblis. "Rupanya kau benar-benar ingin beradu nyawa
denganku, hah"!"
"Dugaanmu tepat sekali Kapak Iblis. Tapi yang lebih tepat lagi, siapa orang
terkuat di Tebing Karma, itulah yang ingin kutumbangkan. Bukan keroco-keroco
seperti kalian."
"Setan Akhirat! Robek mulut perempuan liar itu biar
tak bisa berkoar lagi!" sentak Kapak Iblis dengan suara keras berkesan buas.
"Aku hanya ingin pecahkan batok kepalanya saja!"
kata Setan Akhirat dengan sikap dingin berkesan bengis, ia segera bergerak
kembali dekati lawannya. Sang lawan hanya senyum-senyum mengejek yang
membangkitkan kemarahan besar di hati Setan Akhirat.
"Heaaaah...!" Setan Akhirat menerjang dalam satu lompatan sangat cepat. Telapak
tangannya dihantamkan tepat ketika ada di depan kepala Dara Cupanggeni.
Semula gadis itu diam saja dalam keadaan tubuhnya merapat di pohon. Tapi ketika
hantaman telapak tangan lawan mulai berkelebat, gadis itu pun bagaikan lenyap
seketika, ia telah berpindah tempat dengan gerakan amat cepat, seperti yang
dilakukan oleh Bongkok Sepuh saat menjadi pengemis bungkuk dan membawa lari
cincin pusaka dalam tempurungnya.
Tentu saja hantaman telapak tangan Setan Akhirat tidak kenai sasaran semestinya.
Telapak tangan itu kenai batang pohon. Duaar...! Ledakan yang timbul cukup
keras, pertanda telapak tangan itu disaluri tenaga dalam yang amat besar. Dan
akibatnya pohon yang dihantam Setan Akhirat terbelah dari akar sampai ke atas
menjadi empat belahan, lalu tumbang tak beraturan lagi.
Dara Cupanggeni bertepuk tangan mengejek dengan senyum yang memuakkan bagi kedua
tokoh angker itu.
"Hebat sekali jurus 'Tepak Nyamuk'-mu, Setan Akhirat. Mengapa tidak kau ajarkan
kepada anak-anak kecil di desa-desa?" sindir Dara Cupanggeni.
Setan Akhirat menggeram dengan mata kian menyipit penuh benci. Kapak Iblis diam-
diam lepaskan pukulan tenaga dalam melalui sentakan tangan kirinya dari samping
kanan Dara Cupanggeni. Wuuut...! Pukulan jarak jauh bertenaga dalam tinggi itu
tidak terbentuk dan berwarna. Diduga lawan tidak merasa sedang diserang oleh
gerakan kecil yang menghadirkan bahaya tinggi itu.
Tetapi kepekaan Dara Cupanggeni rupanya juga cukup tinggi. Gelombang hawa panas
yang mendekatinya dengan cepat terasa betul mendesak kulit tubuhnya. Dara Cupanggeni
cepat-cepat kibaskan kepala berpaling ke arah Kapak Iblis sambil denguskan
napas. Wuuus...! Dan tiba-tiba Kapak Iblis terjungkir balik sendiri dalam keadaan amat
terkejut. Gerakan kepala dan dengusan napas ternyata mampu hadirkan tenaga dalam
tinggi yang dapat kalahkan pukulan tenaga dalam Kapak Iblis. Tubuh lelaki
brewokan itu terbanting keras di tanah tak berumput.
Bruuk...! "Monyet picak!" makinya dengan berang.
Dara Cupanggeni hanya tersenyum sambil perhatikan Kapak Iblis yang bangkit
dengan sedikit menyeringai karena pinggangnya bagaikan mau patah. Sikap Dara
Cupanggeni kelihatan lengah, sehingga Setan Akhirat segera lepaskan pukulan
jarak jauh secara diam-diam melalui gerakan empat jari yang menggenggam menjadi
menyentak lurus ke depan. Suuut...!
Gadis itu cepat palingkan wajah ke kiri dan gerakkan tangan kanannya dalam
keadaan terbuka menghadap
lawan. Wees...! Tenaga dalam besar yang dilepaskan Setan Akhirat itu membentur
telapak tangan Dara Cupanggeni, bagai terkumpul jadi satu di tangan itu.
Dara Cupanggeni segera menggenggam seakan menangkap tenaga dalam itu, lalu
memutar tangannya dan menyentakkan kembali ke depan dalam keadaan telapak tangan
terbuka ke atas dan disodokkan ke depan.
Wuuut...! Baaahg...! "Heegh...!" Setan Akhirat mendorong mundur dengan mendelik, kakinya tak
menyentuh tanah sampai akhirnya membentur sebongkah batu cadas. Buuhg...!
Suto Sinting bergumam lirih di samping Bongkok Sepuh, "Gila! Tenaga lawan dapat
ditangkap dan dikembalikan seenaknya saja"!"
Bongkok Sepuh berujar, "Itu belum seberapa. Jurus-jurus yang dimainkan gadis itu
masih merupakan jurus-jurus kecil yang kumiliki juga."
"Mengapa ia tidak segera gunakan jurus mautnya?"
"Kurasa dia sengaja permainkan tokoh kasar itu supaya keduanya menjadi gila
sendiri oleh kegagalannya menyerang lawan. Agaknya Dara Cupanggeni punya maksud
memancing mereka agar mengadukan
kehebatannya kepada ketua Tebing Karma yang bergelar Gerhana Mandrasakti itu."
"O, guru mereka masih hidup?"
"Masih. Lebih tua dariku, tapi usia kami tak terpaut banyak. Hanya saja,
kudengar Gerhana Mandrasakti sudah tidak mau lakukan pertarungan dengan siapa
pun. Ia hanya ingin turunkan ilmu-ilmunya kepada murid-murid yang terpilih dan sesuai
dengan hatinya."
Pendekar Mabuk manggut-manggut kecil, pandangan mata dan perhatiannya kembali ke
pertarungan di bawah sana. Bongkok Sepuh pun segera bungkamkan mulut.
Kapak Iblis dan Setan Akhirat tampak semakin penasaran, karena tak satu pun
serangan mereka ada yang mengenai tubuh Dara Cupanggeni. Kini mereka lakukan
serangan bersama dengan jurus pukulan bersinar. Dua sinar hijau terlepas dari
tangan mereka dan menerjang tubuh Dara Cupanggeni dari dua arah. Ciap,
ciaaap...! Draassh ..! Dua sinar itu menghantam bersamaan.
Tubuh Dara Cupanggeni bagaikan sasaran empuk, karena gadis itu tidak lakukan
tangkisan ataupun gerakan menghindar. Tetapi kedua sinar hijau itu hanya bisa
kepulkan asap setelah mengenai tubuh Dara Cupanggeni. Asap itu melesat dan
hilang, sehingga keadaan Dara Cupanggeni tampak utuh tanpa luka apa pun, justru
senyumnya yang angkuh membentang lebar di depan kedua lawannya.
Tentu saja Kapak Iblis dan Setan Akhirat terkejut dan terperangah, sama halnya
dengan keadaan Suto Sinting di atas sana; terperangah dengan dahi berkerut
menandakan rasa heran yang luar biasa.
Belum sempat Suto bicara, ia sudah harus perhatikan kembali gerakan Setan
Akhirat yang kirimkan pukulan sinar hijau lagi ke arah Dara Cupanggeni. Sinar
yang sama seperti tadi segera dihindari Dara Cupanggeni
dengan satu lompatan bersalto ke depan. Sinar hijau itu akhirnya melesat melalui
samping telinga Kapak Iblis yang ada di seberangnya. Wuuus..! Dan sinar itu
menghantam sebatang pohon besar jauh di belakang Kapak Iblis.
Blaaar...! Tanah bergetar, pohon itu hancur tak beraturan bagaikan kain yang dirobek dengan
paksa. Pohon di sampingnya ikut bergetar hebat, tapi hanya sempat membuat daun-
daunnya berguguran.
"Seharusnya tubuh Dara Cupanggeni tadi mengalami nasib seperti pohon itu,
apalagi mendapat serangan dua sinar hijau sekaligus. Tapi mengapa ia tidak
mengalami cedera sedikit pun"!" gumam Suto Sinting pelan sekali.
"Itulah salah satu jurus andalannya."
"Maksudmu?"
"Dara Cupanggeni mewarisi ilmu 'Darah Gaib' milik Sunti Rahim. Jurus dari ilmu
'Darah Gaib' telah membuat Dara Cupanggeni tidak akan mampu ditembus oleh sinar
tenaga dalam macam apa pun, tidak akan mempan dilukai oleh senjata apa pun. Ia
menjadi orang kebal. Dulu Sunti Rahim sebelum menikah denganku juga demikian,
tapi setelah keperawanannya hilang, ilmu
'Darah Gaib' lenyap dengan sendirinya."
Pandangan pendekar tampan ini masih tertuju ke arah Dara Cupanggeni, walau


Pendekar Mabuk 034 Perawan Maha Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telinganya dengarkan kata-kata Bongkok Sepuh. Tetapi sebagian pendengarannya
juga menangkap seruan Dara Cupanggeni yang tertuju kepada kedua lawannya.
"Kuperingatkan sekali lagi, temukan aku dengan guru kalian. Aku butuh Gerhana
Mandrasakti. Yang ingin kutundukkan adalah dia, bukan kalian! Kalau kalian nekat
melawanku, kalian akan dapat ganjaran sendiri dariku! Ini peringatanku yang
terakhir!"
Kapak Iblis berteriak, "Persetan dengan perintahmu, Gadis Busuk! Terimalah jurus
'Kapak Lebur'-ku ini, hiaaaaah...!"
Rupanya bukan hanya Kapak Iblis yang kerahkan tenaga dalamnya dengan mengeraskan
seluruh otot lengan, melainkan Setan Akhirat juga lakukan hal yang sama. Tangan
Kapak Iblis menyala hijau berpendar-pendar, tangan Setan Akhirat juga menyala
bagaikan bara, kuning kemerahan. Keduanya kini melompat menerjang Dara
Cupanggeni. Wuuuuttt...!
Dara Cupanggeni diam di tempat. Kedua tangannya mengembang ke depan pada saat
kedua lawan dari kanan-kiri datang menghantam. Pukulan mereka ditangkis dengan
kedua lengan itu. Plak, plak...! Tangan mulus itu seharusnya bukan hanya patah
melainkan hancur menjadi debu. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Tangan itu
melebihi baja kekuatannya, karena memang tidak mempan dihantam tenaga setinggi
apa pun. Bahkan Dara Cupanggeni segera sentakkan kaki dan melompat, lalu kedua
kakinya menendang ke samping dengan secara bersamaan.
"Hiaaah...!" lengkingnya sambil menendang kedua arah.
Beegh, beegh...!
Kedua ulu hati lawan terkena tendangan telak gadis itu. Kedua orang berwajah
angker itu terlempar ke arah kanan-kiri. Tubuh kekar mereka melayang bagaikan
sampah terhempas angin kencang. Akhirnya keduanya jatuh terpuruk tanpa bisa
menjaga keseimbangan tubuh mereka. Brruk...! Brruk...! Gusraak...! Kapak Iblis
terseret menjauh hingga membentur onggokan batu.
Setan Akhirat tersedak satu kali ketika berusaha bangkit. Ternyata sedakan itu
keluarkan darah kental dari mulutnya. Wajah dinginnya semakin pucat, mata tajam
kian meruncing pandangannya. Ia tetap bangkit untuk lakukan pembalasan.
Tetapi tiba-tiba Dara Cupanggeni kelebatkan tangan kanannya. Jari telunjuknya
berdiri tegak dan mengeras, seperti lakukan totokan dari jarak jauh. Namun yang
terjadi bukan jurus totokan, melainkan jurus maut yang menjadi andalannya. Ujung
jari telunjuk itu lepaskan selarik sinar merah yang mampu bergerak cepat dan
memanjang sampai sasarannya. Ciaaap...!
Setan Akhirat tak bisa menghindar atau menangkis, karena pada saat sinar merah
itu melesat dari jari gadis tersebut, tubuhnya diam tak bergerak, seakan menjadi
patung di tempatnya berdiri. Tentu saja sinar merah itu dapat kenai sasaran
dengan tepat. Leher Setan Akhirat adalah sasaran yang dituju, dan sinar merah
itu menghantam leher tersebut. Dees...! Blaap...! Sinar merah panjang pun lenyap
seketika. Noda merah bundar membekas di leher Setan Akhirat. Tokoh itu mulai
bisa bergerak lagi sejak hilangnya sinar merah.
Tetapi ternyata Setan Akhirat hanya mampu bergerak tiga langkah. Tubuhnya segera
jatuh dan terkulai lemas di tanah. Lalu sejumlah asap mengepul bagaikan asap
babi panggang yang baru diangkat dari tempat bakarannya. Bau hangus tercium di
mana-mana. Setan Akhirat ternyata tidak bergerak lagi dan napasnya pun lenyap
bersama mengepulnya asap putih samar-samar dari tubuh.
"Bangsat busuk kau, Setan Wadon! Heaaaah...!"
Kapak Iblis berada di puncak kemarahannya begitu melihat Setan Akhirat tumbang
tak bernyawa, ia segera kerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk menyerang.
Tetapi jari telunjuk Dara Cupanggeni lebih dulu bergerak bagai menotok dengan
jurus tangan menguncup. Ciaaap...! jari telunjuk itu keluarkan selarik sinar
merah panjang. Kapak Iblis yang ingin melompat jadi mematung dalam keadaan tangan terbuka dan
mengembang serta kaki terangkat satu siap melompat. Dalam keadaan tubuh tak bisa
bergerak, tentu saja Kapak Iblis tak mampu hindari sinar merah panjang itu. Maka
sinar tersebut menghantam telak leher kiri Kapak Iblis.
Deess...! Nasib Kapak Iblis tak berbeda dengan nasib Setan Akhirat. Noda merah di lehernya
membuat Kapak Iblis hanya mampu lanjutkan gerak tiga kali, setelah itu jatuh
terpuruk tanpa daya. Tubuhnya berasap, bau hangus menyebar, tapi tubuh itu masih
utuh bagai tanpa luka sedikit pun. Hanya saja sekarang tubuh itu sudah tidak
bernyawa lagi dan dalam waktu beberapa kejap telah dikerumuni belatung yang
tersumbul keluar dari dalam dagingnya.
"Ada sesuatu yang aneh, kurasakan terjadi dua kali, Ki Bongkok Sepuh!" kata Suto
dalam bisikannya.
"Ya, memang aneh. Dua kali keanehan itu juga kurasakan. Kau tak bisa bergerak
dan napasmu terasa terhenti dua kali, bukan?"
"Benar," jawab Suto sambil menatap Bongkok Sepuh yang tetap pandangi Dara
Cupanggeni. Kala itu Dara Cupanggeni sedang periksa lawan-lawannya dengan
sungging senyum kemenangannya.
"Itulah jurus andalan yang kumaksud tadi. Dara Cupanggeni telah kuasai ilmu
"Bias Dewa' yang dulu tak sempat dipelajari oleh gurunya karena telanjur
kurenggut kegadisannya."
"Apa itu ilmu 'Bias Dewa'?"
"Jurus itu hanya bisa dimiliki oleh seseorang yang masih perawan. Sinar merah
yang keluar dari jari telunjuk Dara Cupanggeni itu adalah sinar berkekuatan
gaib. Bukan saja mampu membusukkan tubuh lawan dalam sekejap, tapi juga membuat
alam menjadi mati."
"Alam menjadi mati?" gumam Suto dalam keheranan.
"Jika sinar merah dari ilmu 'Bias dewa' dilepaskan, maka seluruh kegiatan di
muka bumi ini terhenti sampai sinar itu padam. Angin akan berhenti, ombak lautan
berhenti, gerakan air terjun pun terhenti, semua hewan bagai mati sekejap,
manusia tak mampu gerakkan tubuhnya, napas kita seakan tak mampu dihela lagi.
Jantung kita berhenti berdetak. Segalanya serba berhenti.
Bahkan matahari pun berhenti dari jalur edarnya jika sinar 'Bias Dewa'
dilepaskan. Itulah sebabnya sinar merah tadi tak bisa ditangkis dan dihindari
oleh Kapak Iblis dan Setan Akhirat, ilmu itulah yang ingin kutunjukkan padamu."
Suto Sinting tertegun dengan mulut terperangah bengong. Batinnya mengakui
kehebatan ilmu 'Bias Dewa' yang baru kali ini dilihat dan dirasakan akibat
sampingannya. Wajah Pendekar Mabuk kelihatan sangat kagum dan terheran-heran
mendengar penjelasan Bongkok Sepuh.
"Jika ilmu itu bisa hentikan peredaran waktu segala, berarti Dara Cupanggeni
adalah orang yang tak bisa dikalahkan?" ujarnya lirih.
Bongkok Sepuh mengangguk dan menambahkan
kata, "Memang benar. Karena itulah aku tak berani hadapi dia. Untuk saat ini, Dara
Cupanggeni sebenarnya telah menjadi orang tertinggi ilmunya dari semua tokoh di
rimba persilatan. Gurumu sendiri kalah tinggi dan bisa ditumbangkan olehnya. Aku
yakin, sasaran utama Dara Cupanggeni adalah diriku, sasaran kedua adalah Bibi
Gurumu; Bidadari Jalang. Sebab Sunti Rahim turunkan semua ilmu kepada gadis itu
hanya untuk dua sasaran utama itu. Selebihnya adalah kehendak Dara Cupanggeni
sendiri." "Celaka...!" geram Suto Sinting merasa cemas mendengar bibi gurunya terancam
maut oleh kemunculan Dara Cupanggeni.
"Aku yakin, kalau saja dulu Sunti Rahim telah kuasai ilmu itu, pasti dia akan
labrak Bidadari Jalang, dan akan mampu tumbangkan bibi gurumu itu. Bahkan ia tak
akan merasa gentar sekalipun Gila Tuak berada dipihak Bidadari Jalang. Gila Tuak
dapat dengan mudah ditumbangkan seperti Dara Cupanggeni menumbangkan dua tokoh
keras dari Tebing karma itu."
Suto Sinting meneguk tuaknya sebentar, lalu menghempaskan napas panjang dengan
menahan kemarahan agar tak meluap. Kecemasan akan ancaman maut bagi bibi gurunya
itu membuatnya sedikit resah, sehingga perlu menenggak tuak agar menguasai
ketenangan kembali.
"Lalu, mengapa dia ingin bertemu dengan Gerhana Mandrasakti?"
"Dugaanku, Dara Cupanggeni akan tundukkan semua tokoh sakti dan ingin menjadi
orang terunggul di rimba persilatan. Dan aku percaya bahwa dia akan berhasil
tumbangkan siapa saja, karena dua ilmu berbahaya itu ada padanya!"
"Kalau begitu aku harus hentikan tindakannya sekarang juga, sebelum kedua guruku
menjadi korban kedua ilmu itu!"
"Apakah kau sudah punya cara untuk
melumpuhkannya?"
"Akan kucoba dengan bumbung tuakku ini!" kata Suto dengan tegas, lalu ia melesat
pergi diikuti oleh Bongkok Sepuh. Mereka terpaksa berpindah tempat
karena Dara Cupanggeni sudah tinggalkan kedua lawannya itu. Suto Sinting sengaja
mengejar dari ketinggian tebing cadas, sampai akhirnya ia melihat Dara
Cupanggeni sedang berlari tak begitu cepat menuju arah Tebing Karma. Tentunya ia
akan temui Gerhana Mandrasakti dan menantang pertarungan di Tebing Karma.
Suto Sinting melesat turun tebing gunakan gerak silumannya. Dalam waktu sekejap
ia sudah berdiri di depan Dara Cupanggeni. Kemunculannya membuat gadis itu
terhenyak dan berhenti melangkah dalam seketika. Matanya memandang lembut dan
tak berkedip. Suto Sinting sengaja sunggingkan senyum menawan agar gadis itu tak lekas-lekas
lakukan penyerangan berbahayanya.
Di tempat persembunyian, di antara pohon dan semak, mata si Bongkok Sepuh
memperhatikan pertemuan dua tokoh muda itu dengan hati berdebar-debar. Bahkan
tokoh tua itu sempat membatin; "Moga-moga murid Gila Tuak mampu kalahkan
kekuatan Dara Cupanggeni dengan caranya yang tak bisa kubayangkan.
Jika pemuda itu gagal, maka keganasan Dara Cupanggeni akan melebar ke mana-mana
dan menguasai dunia persilatan. Dia bisa menjadi tokoh lalim yang tak kenal
belas kasihan kepada siapa pun."
Bongkok Sepuh sering mendengar kehebatan ilmu murid si Gila Tuak, tapi hatinya
masih saja berdebar-debar mengetahui siapa lawan Pendekar Mabuk kali ini.
Padahal Suto Sinting sendiri menghadapi gadis itu
dengan tenang sekali. Sang gadis sendiri tampak tidak mengumbar ketegangan,
sehingga pertemuan mereka bagaikan terselubung sikap bersahabat yang saling
dipamerkan. "Benarkah kau yang bernama Dara Cupanggeni, murid Nyai Sunti Rahim?" sapa Suto
Sinting sekadar memancing percakapan.
Dengan senyum tipis penuh makna pribadi Dara Cupanggeni menanggapi sapaan
pendekar tampan itu.
Suaranya lembut, seakan tak mempunyai keganasan apa pun di dalam hatinya.
"Dugaanmu memang benar; aku Dara Cupanggeni, murid Nyai Sunti Rahim. Apakah kau
kenal baik dengan guruku?"
"Hanya mendengar namanya saja. Tapi aku tak pernah jumpa dengan beliau."
"Mungkin kau orang Tebing Karma, murid Gerhana Mandrasakti"!"
Suto Sinting tertawa kecil berkesan ramah walau sebenarnya dipaksakan.
"Aku sama sekali tak punya hubungan dengan orang Tebing Karma. Bertemu dengan
Gerhana Mandrasakti pun belum pernah. Apakah kau belum mengenali ciri-ciriku?"
"Aku baru turun gunung, tak kudengar kabar apa pun tentang rimba persilatan
sekarang ini. Hanya satu-dua kabar yang kudengar dari para pengelana."
"Dari mana kau bisa mendengar nama Gerhana Mandrasakti?"
"Dulu dia musuh guruku dan pernah melukai Guru.
Tugasku adalah membalaskan kekalahan Guru." Sambil berkata demikian, Dara
Cupanggeni langkahkan kakinya pelan-pelan, dekati tanaman bunga liar warna
kuning dan tangannya yang berjari lentik indah itu memetik-metik dedaunan bunga
tersebut. Jaraknya semakin dekat dengan Pendekar Mabuk, sehingga si tampan Suto
terpaksa harus lebih waspada lagi dengan selalu memandangi gadis itu.
"Jadi kau turun ke rimba persilatan untuk membalas dendam kepada musuh-musuh
gurumu masa lalu?"
"Benar. Nama-nama mereka telah kucatat dalam ingatanku. Selain Gerhana
Mandrasakti juga Empu Sakya, Raja Maut, Raja Tumbal, Embun Salju, Dampu Sabang,
Nini Pancungsari, Nyai Gandrik, Urat Setan, Nyai Demang Ronggeng...."
Suto Sinting segera memutus kata ketika Dara Cupanggeni berpikir sebentar.
"Beberapa nama itu kukenal dengan baik. Sebagian sudah ada yang mati."
"O, ya" Siapa saja?"
"Empu Sakya mati dibunuh oleh cucunya sendiri.
Dampu Sabang, Raja Tumbal, Nyai Demang Ronggeng, tewas di tangan seorang pemuda
gunung yang...."
"Siapa nama pemuda itu?" sergah Dara Cupanggeni merasa tertarik, sebab ia tahu
nama-nama yang disebutkan Suto adalah nama-nama tokoh berilmu tinggi yang konon
sukar ditumbangkan. Jika ada seorang pemuda yang mampu menumbangkan tokoh-tokoh
berilmu tinggi itu, Dara Cupanggeni ingin sekali mengenalnya, karena dianggap
berada di pihaknya.
Suto sendiri kikuk saat ingin menjawab bahwa tokoh-tokoh sakti itu tewas di
tangannya. Namun ia segera menjawab, "Kudengar mereka tewas di tangan Pendekar
Mabuk." "O, ya... aku ingat! Nama Pendekar Mabuk berhubungan erat dengan nama tokoh
utama yang harus kulenyapkan sesuai pesan guruku."
Suto Sinting memancing, "Siapa nama tokoh utama yang harus kau musnahkan itu?"
"Ada dua," jawab Dara Cupanggeni. "Pertama adalah si Setan Arak, kedua adalah
Bidadari Jalang."
"Setan Arak?" gumam Suto dalam hati. "Mungkinkah si Bongkok Sepuh itu dulunya
berjuluk Setan Arak" Jika benar, pantas dia tak merasa mabuk meminum tuakku
sampai satu bumbung dihabiskan"!"
Dara Cupanggeni berkata jelas, "Mereka adalah pasangan yang menghancurkan hati
Guru dan meninggalkan bekas luka yang sampai sekarang masih terasa perih di hati
Guru. Aku harus melenyapkan mereka. Tapi kudengar Bidadari Jalang mempunyai
murid sakti bernama Pendekar Mabuk. Barangkali aku juga harus lenyapkan muridnya
itu jika ikut campur urusan ini. Bahkan si Gila Tuak yang konon menjadi guru
utamanya Pendekar Mabuk, jika ikut campur akan kuhabisi sekalian biar mata dunia
tahu, bahwa murid Nyai Sunti Rahim adalah orang yang layak dinobatkan sebagai
Perawan Maha Sakti."
Gemuruh di dalam dada Pendekar Mabuk bagai ingin menyentak keluar. Gemuruh itu
adalah kemarahan saat mendengar kedua gurunya diancam seremeh itu oleh Dara
Cupanggeni. Tetapi dengan menahan napas beberapa saat, kemarahan yang bergemuruh
itu mampu diredakan, sehingga penampilan Suto Sinting masih tetap kelihatan
tenang-tenang saja.
"Kalau boleh aku beri saran padamu," kata Suto dengan mata tetap memandang ke
mata gadis itu,"...
sebaiknya urungkan saja niatmu untuk melenyapkan Bidadari Jalang atau yang
lainnya." Dara Cupanggeni yang menjuluki dirinya Perawan Maha Sakti sunggingkan senyum
tipis berkesan manis.
"Rasa-rasanya aku tak bisa terima saranmu. Kau tak punya alasan kuat untuk
memberikan saran seperti itu."
"Alasanku adalah demi perdamaian di antara sesama dan demi keselamatan jiwamu
juga. Bidadari Jalang dan Gila Tuak adalah dua tokoh yang tak bisa ditumbangkan
dengan sekali-dua kali gebrak saja."
"Kau salah duga," kata gadis itu sambil tertawa kecil.
"Justru aku akan memperlihatkan kepada mata para tokoh persilatan bahwa Bidadari
Jalang akan menjadi belatung dalam dua kejap netra saja oleh Perawan Maha
Sakti!" Senyum Suto mulai sinis karena menahan
kejengkelan. "Sesumbarmu sangat berbahaya, Dara Cupanggeni. Bidadari Jalang
jangan disamakan dengan tokoh sakti lainnya. Sekalipun kau mempunyai ilmu
'Darah Gaib' dan 'Bias Dewa' tapi kau akan hancur lebih
dulu sebelum bertemu dengan Bidadari Jalang."
Gadis itu mulai curiga. Mulutnya diam terkatup, matanya tajam memandang.
Akhirnya terlontar pula pertanyaan dari kecurigaannya itu,
"Kau tahu tentang dua jurus andalanku itu" Kau bersikap menghalangi niatku untuk
melawan Bidadari Jalang" Siapa kau sebenarnya?"
"Aku hanya pemuda desa yang tak berarti bagimu.
Namaku Suto Sinting," jawab Pendekar Mabuk dengan tenang, bahkan segera membuka
tutup bumbung tuak dan menenggak tuaknya dengan cuek. Ia tak peduli dipandangi
gadis itu dengan wajah penuh keheranan.
"Suto Sinting?" gumam Dara Cupanggeni pelan sekali, lalu suara itu menjadi lebih
jelas lagi ketika berkata, "Seingatku, Guru pernah sebutkan nama Suto Sinting
sebagai nama asli Pendekar Mabuk. Apakah...
apakah kau Pendekar Mabuk yang sekarang sedang kesohor namanya itu?"
"Setahuku, aku hanyalah murid tunggal dari Bidadari Jalang dan Gila Tuak!"
Wuuut...! Dara Cupanggeni pindah tempat dengan gerakan cepat. Wajahnya mulai menegang dan
kecantikan dari senyum manisnya lenyap seketika. Suto Sinting melirik dalam
senyum sambil menutup kembali bumbung tuaknya.
"Kau terkejut?" sindir Suto kini melebarkan senyumnya, tenang sekali.
"Pantas kau mengenal tokoh-tokoh sakti yang ada
dalam daftar orang-orang yang harus kulenyapkan!"
"Hanya kebetulan saja aku mengenal mereka. Sama halnya dengan sekarang, hanya


Pendekar Mabuk 034 Perawan Maha Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kebetulan saja aku jumpa kau di sini."
"Kalau begitu aku harus harus singkirkan dirimu sebelum kau nyata-nyata menjadi
penghalangku berhadapan dengan Bidadari Jalang!"
"Kapan kau akan singkirkan diriku" Sekarang" Aku sudah siap sekarang juga!"
tantangan itu terdengar kalem tapi memanaskan darah gadis cantik itu.
"Jika kau menantangku sekarang juga, dengan sangat terpaksa aku harus
melakukannya, Suto Sinting!" geram Dara Cupanggeni dengan mata menyipit benci.
Tali penggantung bumbung bambu dililitkan di tangan kanan Suto Sinting. Bumbung
itu dapat digerakkan dengan mudah dan cepat jika talinya melilit di telapak
tangan dan digenggam kuat-kuat. Suto Sinting sudah persiapkan diri dengan
menempatkan bumbung tuaknya di depan dada. Matanya selalu memandang ke arah
tangan Dara Cupanggeni secara tidak kentara.
"Aku harus mengadu kecepatan gerak dengan tangannya," pikir Suto sebelum Dara
Cupanggeni berkata,
"Rupanya kau ingin menjajal ilmu 'Bias Dewa'-ku, Pendekar Tampan"!"
"Aku tak memaksamu keluarkan jurus itu," kata Suto.
"Tapi kalau kau ingin lepaskan sekarang juga, aku sudah siap hadapi kekuatanmu
itu, Dara Cupanggeni!"
"Dasar bodoh! Hiaaah...!"
Rupanya dalam menghadapi Pendekar Mabuk yang namanya cukup terkenal dan sedang
menjadi bahan percakapan para tokoh itu, Dara Cupanggeni tidak mau bermain-main
seperti menghadapi dua orang angker dari Tebing Karma tadi. Gadis itu segera
lepaskan ilmu andalannya yang paling berbahaya. Tangannya berkelebat menguncup
dengan jari telunjuk meruncing keras. Gerakan tangan yang seperti hendak
melakukan totokan jarak jauh itulah yang diperhatikan Suto Sinting, sehingga ia
dapat perkirakan sinar merah yang akan keluar nanti mengarah ke mana. Suto
Sinting sudah persiapkan perisainya dengan menggerakkan bumbung tuak ke arah
atas dada. Dugaannya sinar itu akan melesat ke lehernya. Maka ketika sinar merah
itu benar-benar melesat dari ujung jari sang gadis, bumbung tuak segera menjadi
sasarannya. Claaap...! Desss...! Blegaaar...!
Sekalipun tubuh Suto Sinting tak dapat bergerak saat sinar itu melesat, namun
bumbung tuak telah lebih dulu menghadang dan ledakan dahsyat pun terjadi
menggelegar menggema kemana-mana. Suto Sinting segera terhempas ke belakang
ketika sinar itu padam bersama bunyi ledakan dahsyat tadi. Dara Cupanggeni pun
terlempar mundur lebih dari tiga tindak. Tubuhnya membentur pohon dalam keadaan
berdiri limbung, ia memandang lawannya dengan sangat terheran-heran, karena Suto
Sinting ternyata masih bisa berdiri lebih dari tiga gerakan. Namun keadaan Suto
cukup parah. Mulutnya keluarkan darah, wajahnya tampak memar
membiru. Hampir saja ia terhantam batang pohon yang tumbang seketika begitu
terjadi ledakan bergelombang tinggi dan mengguncang bumi.
"Bumbung bambu itu tidak pecah"! Aneh"!" gumam hati Dara Cupanggeni. "Biasanya
tak ada benda yang tidak bisa ditembus 'Bias Dewa'-ku. Tapi bumbung tuak itu
tidak bolong sedikit pun. Tak ada tanda-tanda keretakan, bahkan lecet sedikit
pun tidak"!"
Memang benar, bumbung itu tidak mengalami kerusakan apa pun. Tapi Suto sendiri
juga merasa aneh karena sinar merah itu ternyata tidak bisa memantul balik
seperti sinar-sinar tenaga dalam dari musuhnya yang terdahulu.
"Sekujur tubuhku panas sekali. Gila! Dadaku sakitnya bukan main," Suto membatin,
tapi matanya yang mulai buram dalam penglihatan tetap mencoba mengawasi gerakan
Dara Cupanggeni. Bumbung tuaknya masih berada di tangan. Talinya melilit telapak
tangan sampai lengan.
Dara Cupanggeni tidak mengalami cedera apa pun kecuali hanya rasa ngilu akibat
terbentur pohon punggungnya. Melihat Suto Sinting limbung dalam berdirinya, ia
bermaksud lepaskan sinar 'Bias Dewa'
sekali lagi. "Kali ini dia tak akan bisa menangkis dengan bumbung tuaknya!" pikir Dara
Cupanggeni. Maka, tangannya pun mulai merapatkan jemari, siap berkelebat
melakukan serangan serupa.
Sayang sekali tiba-tiba sekelebat bayangan melintas
di depannya dengan sangat cepat. Bayangan itu bagaikan sebentuk angin aneh yang
menerjang Pendekar Mabuk, lalu kejap berikutnya sosok pendekar tampan itu lenyap
dari pandangan mata Dara Cupanggeni. Zlaaap...!
Rupanya ada seseorang yang telah menyambar Pendekar Mabuk dalam keadaan terluka
dalam cukup parah itu. Dara Cupanggeni bergegas memburu ke arah lenyapnya
bayangan tadi. Tapi agaknya ia tidak mampu mengejar lawannya, bahkan sempat
melesat kearah yang berlawanan.
"Kurang ajar! Siapa orang yang berani ikut campur urusanku ini" Siapa yang
menyambar Pendekar Mabuk"!
Dia kira aku tak bisa melumpuhkannya walau ia mampu bergerak secepat itu"!"
geram Dara Cupanggeni dalam pelacakannya.
* * * 3 DALAM keadaan terluka berbahaya seperti itu, seandainya Dara Cupanggeni alias
Perawan Maha Sakti itu lepaskan jurus 'Bias Dewa'-nya, pasti Suto tak akan dapat
menangkisnya lagi. Sinar merah itu akan menghantam leher Pendekar Mabuk, dan
nasib si tampan akan berakhir sampai di situ saja. Itulah pertimbangan seorang
tokoh yang menyambar Suto Sinting.
Sampai di suatu tempat, Suto Sinting dibaringkan di bawah pohon. Ternyata
keadaannya sudah semakin
parah. Kulitnya mulai keluarkan bintik-bintik merah menyerupai ujung darah.
Pandangan matanya kian buram, sehingga tak bisa melihat jelas siapa orang yang
telah menyambarnya sampai ke situ.
Tetapi Suto mendengar suara samar-samar yang memerintahkan dirinya agar membuka
mulut. Dengan lemas mulut itu pun membuka pelan-pelan, kemudian ia juga rasakan
ada air yang mengucur ke dalam mulutnya hingga terpaksa tertelan beberapa teguk.
Glek, glek, glek...! Suto tak sadar bahwa bumbung tuaknya sudah tidak ada di
tangan lagi. Dan air yang mengucur itu tak lain tuak dari bumbung tersebut.
Rupanya kepergian tokoh yang menyambar Suto Sinting itu segera diikuti oleh si
Bongkok Sepuh. Sampai di tempat itu, Bongkok Sepuh pandangi tokoh penolong Suto yang mengenakan
pakaian ketat ungu muda model angkin sebatas dada berhias benang emas di
tepiannya. Tokoh itu adalah seorang perempuan cantik seperti layaknya gadis
berusia dua puluh lima tahun, tapi sebenarnya sudah lanjut usia. Ia juga kenakan
jubah lengan panjang warna ungu tua. Rambutnya disanggul sebagian dengan pedang
di punggung dibungkus kain ungu tua dari bahan beludru. Ia seorang perempuan
Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 10 Keris Maut Karya Kho Ping Hoo Pendekar Binal 4
^