Pencarian

Perawan Maha Sakti 2

Pendekar Mabuk 034 Perawan Maha Sakti Bagian 2


yang cantik, mancung, dan bermata indah walau berkesan galak.
Bongkok Sepuh mengenal tokoh tua yang awet muda itu, karenanya Bongkok Sepuh
segera menyapa dengan suaranya yang mirip orang menggumam.
"Mengapa kau ikut campur urusanku ini,
Sumbaruni"!"
Perempuan cantik itu segera menatap Bongkok Sepuh dengan pandangan mata
memancarkan kedongkolan hati. Mulut Sumbaruni masih terkatup diam. Bongkok Sepuh
kembali ucapkan kata sambil dekati Sumbaruni, bekas istri Jin Kazmat yang
menjadi pewaris seluruh ilmu tokoh tua bernama Eyang Bayudana, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode : "Ratu Tanpa Tapak").
"Mestinya kau tak boleh remehkan kekuatan Pendekar Mabuk, murid si Gila Tuak
itu, Sumbaruni.
Mundur dari pertarungan merupakan tindakan yang kurang terhormat bagi seorang
pendekar kondang seperti Suto Sinting itu! Kau telah memalukan nama besar murid
Gila Tuak dan Bidadari Jalang, Sumbaruni!"
Dengan menggeram jengkel Sumbaruni bicara,
"Otakmu kau taruh di mana, Setan Arak"! Tak tahukah kau bahwa Suto bukan
tandingan Dara Cupanggeni bersama ilmu 'Bias Dewa'-nya"!"
Rupanya usia Sumbaruni yang asli sejajar atau melebihi usia Bongkok Sepuh yang
dulu dikenal dengan nama Setan Arak. Dengan begitu Sumbaruni bebas bicara dengan
Bongkok Sepuh tanpa memandang si Bongkok Sepuh orang tua. Dan Bongkok Sepuh pun
agaknya tidak pedulikan sikap Sumbaruni yang tampaknya ngelunjak, namun
sebenarnya memang layak bersikap demikian. Ketidakpedulian itu disebabkan karena
Bongkok Sepuh mengakui bahwa dirinya lebih muda dari Sumbaruni, walau wujud
nyatanya terbalik.
"Kalau murid Sunti Rahim itu tidak gunakan ilmu
'Bias Dewa', aku tak akan campuri urusan mereka berdua. Tapi karena aku tahu
bahwa Dara Cupanggeni telah kuasai ilmu 'Bias Dewa', maka aku tak akan biarkan
Suto Sinting mati di tangan gadis itu."
"Kau mengecewakan aku, Sumbaruni!" Bongkok Sepuh bersungut-sungut sambil
melangkah dengan tongkatnya. "Harapanku selamat dari ancaman dendam Sunti Rahim
terletak pada kekuatan ilmu Pendekar Mabuk. Dan aku yakin pemuda itu punya cara
sendiri untuk melawan ilmu 'Bias Dewa'. Buktinya ia tidak langsung mati seperti
yang lain walau Dara Cupanggeni sudah lepaskan sinar merahnya! Kurasa bocah itu
lebih cerdas daripada otakmu, Sumbaruni!"
"O, berarti kau yang membujuk Suto untuk bertarung dengan murid Sunti Rahim
itu"! Keparat kau, Setan Arak! Kau gunakan orang lain sebagai tameng urusan masa
lalumu! Licik kau, Setan Arak!" sentak Sumbaruni mulai marah.
"Kau tak punya hak untuk marah padaku, Sumbaruni!
Kau bukan apa-apanya Suto Sinting!"
"Siapa pun orang yang ingin celakai kekasihku, akan kupertaruhkan nyawaku untuk
membalas orang yang kucintai ini!"
"He, he, he, he...!" Bongkok Sepuh terkekeh. "Jadi kau mencintai Suto Sinting"!
Oh, itu sebuah mimpi buruk bagimu, Sumbaruni. Cintamu tak akan dihiraukan oleh
Suto Sinting, sebab setahuku dia sudah menjadi kekasih penguasa Puri Gerbang
Surgawi yang bernama Dyah Sariningrum. Tentu saja Suto Sinting akan
memilih Dyah Sariningrum daripada memilih perempuan bekas istri jin, sama saja
Suto mendapatkan barang bekas jika memilihmu. Barang bekas kalau masih bagus
agak lumayan, tapi kalau barang bekas yang sudah rusak berat tak ada gunanya
dipiara. Suto tentunya tak akan mau dapatkan barang bekas yang tinggal sisa-sisa
ketuaannya itu! He, he, he, he...!"
Sumbaruni gemetar menahan luapan amarah. Giginya menggeletuk, matanya menyipit,
suaranya menggeram penuh getaran,
"Mulutmu perlu dihancurkan, Setan Arak! Heaaah...!"
tiba-tiba Sumbaruni sentakkan kedua tangannya yang mengembang di atas kepala.
Dari sentakan telapak tangan yang membentuk cakar itu melesat dua sinar kuning
secara bersamaan. Clap, claaap...! Sinar kuning itu menghantam wajah Bongkok
Sepuh. Tetapi orang berkulit keriput itu segera kibaskan tongkatnya memutari
kepala satu kali dan bagian ujung tongkat yang berbentuk seperti bola licin itu
disodokkan kedepan.
Wuuut...! Dari bola hitam tersebut keluar segumpal asap hijau bergulung-gulung dan cepat
menyebar ke kanan-kiri.
Sinar kuning terperangkat asap hijau.
Zrruuub...! Asap itu bagaikan membungkus kedua sinar tersebut, membentuk bola
besar berasap, melambung naik ke angkasa dan kejap berikutnya meledak dahsyat di
atas sana. Blegaaar...! Bumi terasa berguncang akibat dentuman dahsyat itu.
Asap hijau menyebar kian tebal, seakan langit ingin dilapisi dengan kabut hijau
seluruhnya. Cahaya matahari tak bisa menerobos kabut tersebut, membuat alam
menjadi remang-remang. Angin yang berhembus hadirkan hawa dingin yang makin lama
semakin menggigilkan tubuh. Rupanya Bongkok Sepuh telah lepaskan jurus anehnya
yang mempunyai kekuatan inti salju, dapat membekukan semua darah yang dinaungi
awan hijaunya itu.
Suto Sinting yang mulai segar karena telah meneguk tuak saktinya itu hanya
memandangi awan hijau dengan tubuh sedikit menggigil. Ia tahu datangnya hawa
dingin melebihi salju, maka ia segera meneguk tuaknya lagi.
Glek, glek, glek, glek...! Tuak itu sebagal penangkal hawa dingin salju.
Sedangkan Sumbaruni segera lakukan gerakan-gerakan cepat dengan pergunakan
kibasan kedua tangannya ke sana-sini untuk atasi hawa dingin itu. Lalu tiba-tiba
kedua tangannya menyentak ke atas dengan satu kaki berlutut.
Ciaaap...! Sinar merah terang dan lebar terlepas dari kedua tangan itu dan melesat ke atas
menembus kabut hijau.
Blegaar...! Gumpalan awan hijau itu pecah dan lenyap seketika setelah terhantam
sinar merah dari tangan Sumbaruni. Alam terguncang tapi sinar matahari dapat
memancar kembali ke bumi dan udara hangat mulai terasa menyebar.
Bongkok Sepuh memandang ke atas, memperhatikan lenyapnya awan hijaunya dengan
rasa kecewa. Saat
itulah Sumbaruni segera melompat dan menerjang Bongkok Sepuh dengan tendangan
beruntun yang tak bisa dilihat mata.
Bruuuss...! Tubuh Bongkok Sepuh terlempar delapan langkah dan terpelanting jatuh seperti
dibanting di atas bebatuan.
Bruuk! "Kau perlu dihajar agar lain kali tak akan pergunakan kekasihku untuk tameng
nyawamu, Setan Arak!
Hiaaah...!"
Sentakan tangan kiri Sumbaruni membuat tubuh yang terpuruk melesat tinggi ke
atas, lalu kibasan tangan kanan Sumbaruni memutar tubuh itu dengan kencang.
Wuuut...! Wwerrr...! Tubuh tua itu berputar bagai baling-baling, kemudian
terlempar lagi ke arah lain dan membentur pohon. Bluuurrr...! Pohon itu guncang
hebat, sepertinya mau patah dan tumbang. Bongkok Sepuh terpuruk di bawah pohon
itu dengan terengah-engah dan bagaikan tak berdaya lagi.
"Sumbaruni, hentikan menghajarnya," seru Suto Sinting yang sudah mampu berdiri
tegak dan keadaan tubuhnya sudah sesehat sebelum bertarung dengan Dara
Cupanggeni. Suto Sinting mencoba dekati Sumbaruni yang sedang marah. Tapi
langkah Suto terhenti setelah ia dibentak dan dituding oleh Sumbaruni,
"Diam di tempatmu! Aku akan kasih pelajaran pada si tua pikun itu!"
Sumbaruni hendak pergunakan kekuatan jarak jauhnya lagi untuk membanting dan
mengajar Bongkok
Sepuh. Tapi tiba-tiba tangan Bongkok Sepuh yang melepaskan tongkatnya itu
mengembang dan telapak tangannya menghadang ke arah Sumbaruni. Dari telapak
tangan itu keluar sinar putih sebesar lidi yang melesat ke arah Sumbaruni.
Zuiiit...! Sumbaruni cepat sentakkan kaki dan melesat tinggi di angkasa, ia bersalto hingga
kakinya mencapai salah satu dahan pohon yang kering. Sinar putih itu menerobos
sebatang pohon besar. Jraab...! Zlaaap...! Pohon itu berlubang sebesar bumbung
tuaknya Suto. Bahkan enam pohon di deretan belakang pohon pertama pun masih
mampu ditembus sinar putih sebesar lidi itu.
Jrab...! Blus, blus, blus, blus...!
Melihat keenam pohon berlubang seukuran bumbung tuak, Suto Sinting terperanjat
kaget dan segera melompat ke depan Bongkok Sepuh.
"Hentikan! Hentikan seranganmu!"
"Biarkan aku bertarung dengan si mulut sumbar itu, Suto!"
Sedangkan Sumbaruni segera melayang turun dari atas pohon dan berseru seraya
mencabut pedangnya,
"Minggir, Suto! Biarkan aku menebaskan pedangku sebagai pelajaran terakhir bagi
si tua bangka itu!"
"Tidak! Hentikan pertarungan ini!" bentak Suto kelihatan marah.
"Minggir, Suto," geram Bongkok Sepuh sambil melangkah dengan tongkat dltangan
kiri, sedangkan
Suto semakin mendekatinya.
"Kau berjanji hanya akan menahan Cincin Manik Intan-ku! Kau tidak akan
menggunakannya! Kenapa sekarang kau menggunakan cincin itu untuk menyerang
Sumbaruni! Aku tak setuju! Kuminta kembali cincin itu dengan cara apa pun!"
"Aku terpaksa lakukan karena Sumbaruni seenaknya menghajarku!"
"Tidak bisa!" sentak Suto. Bentakan itu membuat tubuh Bongkok Sepuh terdorong
mundur tiga langkah.
Orang tua itu merasa mendapat sentakan tenaga cukup besar dari hembusan napas
mulut Suto. Anak muda itu berseru lagi, "Kalau kau masih tetap mau pergunakan cincin pusaka
itu, hantamkan ke tubuhku sekarang juga. Lepaskan amarahmu ke dadaku!
Lakukan, Bongkok Sepuh! Dan aku tak akan
membantumu lagi mengalahkan Dara Cupanggeni!"
Bongkok Sepuh terdorong mundur lagi. Ia mulai sadar, napas Suto sudah mulai
membahayakan. Napas Tuak Setan lebih berbahaya jika sampai disentakkan melalui
mulut Suto Sinting. Bongkok Sepuh mulai berpikir seratus kali untuk
mempertahankan Cincin Manik Intan itu. Apalagi Suto Sinting berkata,
"Kalau kau ingin memiliki cincin itu untuk kepentingan murkamu, sebaiknya kita
bertarung secara jantan, Bongkok Sepuh! Kau dulu disebut Setan Arak, dan aku
Pendekar Mabuk! Kita adu kekuatan arak dengan tuak!"
Bongkok Sepuh semakin ciut nyali. "Kalau kulayani,
mungkin juga aku bisa menang, mungkin pula akan hancur berkeping-keping
diterjang Napas Tuaknya. Lagi pula, Gila Tuak pasti tidak akan tinggal diam dan
menuntut balas atas perlakuanku kepada muridnya. Ah, jangan sampai Gila Tuak dan
Bidadari Jalang mengamuk padaku! Sebaiknya kuserahkan saja cincin ini, tampaknya
anak muda itu sudah mulai dipengaruhi oleh Napas Setan Tuak-nya. Berbahaya
sekali. Bisa-bisa orang lain yang berada di arah belakangku bisa menjadi korban
tak bersalah jika anak muda ini mulai murka."
Sumbaruni sendiri mulai tegang setelah ingat bahwa Suto Sinting mempunyai jurus
yang amat berbahaya, yaitu Napas Setan Tuak. Sumbaruni mengendurkan
ketegangannya, bahkan memasukkan pedangnya kembali. Sebab ia tahu bahwa saat itu
Suto Sinting benar-benar diliputi kemarahan karena Bongkok Sepuh menggunakan
Cincin Manik Intan. Sumbaruni tak tahu bagaimana awalnya hingga Cincin Manik
Intan ada di tangan Bongkok Sepuh, yang jelas ia tahu kekuatan dahsyat pada
cincin pusaka tersebut.
"Serahkan cincin itu atau kita adu kesaktian"!" geram Suto yang terpancing
kemarahannya karena melihat Sumbaruni nyaris mati dengan cincin itu.
"Tapi kau janji tetap akan menghadapi Dara Cupanggeni"!"
"Aku janji!" kata Suto dengan tegas.
Bongkok Sepuh tak punya pilihan lain. Cincin Manik Intan dilepas dan diserahkan
kepada Suto. Cincin itu dikenakan di jari manis Suto sebelah kanan. Cara
memakainya juga terbalik, sehingga sewaktu-waktu getaran amarahnya meluap,
Cincin Manik Intan tidak keluarkan sinar tanpa arah yang dapat membahayakan
orang lain. "Hadapi gadis itu, kalau perlu pergunakan cincinmu itu, Suto," kata Bongkok
Sepuh. Tapi Sumbaruni segera menyahut,
"Tidak! Tak kuizinkan Suto bertarung melawan murid Sunti Rahim!"
"Apa urusanmu melarang Suto, hah"!" sentak Bongkok Sepuh.
"Kalau dia celaka aku yang rugi!" jawab Sumbaruni dengan keras.
Bongkok Sepuh dekati Sumbaruni dan berkata dengan geram, "Bercerminlah dalam
wujudmu yang sebenarnya Sumbaruni! Suto layak menjadi cucumu, bukan suamimu! Kau
lebih pantas menjadi istri jin seperti dulu!"
Plaaak...! Kelebatan tangan Sumbaruni tak bisa ditangkis Bongkok Sepuh. Tamparan yang
mendarat di pipi Bongkok Sepuh membuat orang tua itu terpelanting, nyaris jatuh
kalau tak segera bertahan dengan tongkatnya. Pipi tua itu membekas merah, empat
jari Sumbaruni ada di pipi itu.
"Tahan...!" seru Suto Sinting. Pendekar tampan dan gagah itu segera dekati
Sumbaruni, berdiri di samping wanita muda yang cantik jelita itu.
"Biarkan aku menghadapi Dara Cupanggeni! Dia
punya niat tak baik bagi kehidupan kita bersama, Sumbaruni!"
"Dara Cupanggeni bukan tandinganmu, karena dia memiliki ilmu 'Bias Dewa'. Jangan
bodoh kau, Suto!
Kau akan mati jika nekat melawannya!"
"Akan kutantang dengan Cincin Manik Intan ini!"
"Cincin itu tak akan mampu menembus tubuhnya, karena dia punya ilmu 'Darah Gaib'
yang kusaksikan dari tempat tersembunyi saat ia bertarung melawan dua orang
Tebing Karma itu!"
"Jangan remehkan kesaktian cincin ini, Sumbaruni!"
"Aku tidak remehkan! Tapi aku tahu bahwa dia punya
'Darah Gaib' yang tak bisa ditembus dengan kekuatan dahsyat pusaka apa pun!
Kekuatan 'Darah Gaib' sejajar dengan kekuatan 'Seruling Malaikat', Suto! Dia
hanya bisa dikalahkan dengan Pedang Kayu Petir!"
Bongkok Sepuh menyambar omongan, "Siapa bilang"! Aku yakin Cincin Manik Intan
dapat tembus 'Darah Gaib'. Sekarang baru kusadari kebodohanku tadi.
Seharusnya aku tidak menawan cincin pusakamu itu, Suto. Seharusnya tadi kau
pergunakan cincin itu untuk melawan Dara Cupanggeni!"
"Tua bangka! Jangan kau jerumuskan orang tak bersalah ini untuk kepentingan
pribadimu! Cincin itu tidak akan bisa imbangi kekuatan 'Darah Gaib'!"
"Bisa!" bantah Bongkok Sepuh tak mau kalah.
"Tidak bisa!"
Suto Sinting berseru, "Bisa atau tidak harus kucoba dulu!"
"Betul!" kata Bongkok Sepuh.
"Tidak! Aku tidak setuju! Ilmu yang ada pada gadis itu tidak bisa dipakai untuk
coba-coba!"
"Aku punya cara sendiri untuk mencobanya!"
"Aku tidak setuju!" sentak Sumbaruni. "Kalau kau nekat mau mencoba
menghadapinya, hadapi dulu jurus
'Anak Rembulan' ini!"
Tangan Sumbaruni tak disangka-sangka berkelebat seperti melemparkan sesuatu dari
samping. Yang keluar dari lemparan itu adalah sinar kuning berbentuk seperti
bintang. Sinar kuning itu tahu-tahu telah kenai pundak Suto. Claaap...!
Brruk...! Suto Sinting langsung terkulai lemas bagai kehilangan seluruh
kekuatannya. Sinar kuning itu pernah diterima Suto dan membuat Suto seperti tak
berilmu lagi beberapa waktu yang lalu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Ratu Tanpa Tapak"). Siapa pun yang terkena jurus 'Anak Rembulan' akan
menjadi lunglai tanpa daya, bahkan menggerakkan jari tangannya pun tak bisa.
Melihat keadaan Suto dilumpuhkan, Bongkok Sepuh menjadi marah. Ia segera
sabetkan tongkatnya ke arah Sumbaruni sambil berseru,
"Beraninya kau lumpuhkan jago andalanku itu, hah..." Heaaah...!"
Wuuut...! Sumbaruni hadangkan pukulan tongkat dengan lengan kirinya. Dees...!
Blaar...! Ledakan terjadi menghentakkan kedua tokoh itu. Namun mereka masih
sama-sama saling serang kembali. Pertarungan itu
membuat mereka lengah dan tak tahu ada sekelebat bayangan hitam yang menyambar
tubuh Suto bersama bumbung tuaknya. Wuuuusss...!
* * * 4 KERIMBUNAN hutan sisi lereng membentuk
semacam lorong-lorong beratap dedaunan. Ranting-ranting saling bertaut, dahan-
dahan rendah berbentuk lengkung. Di situlah Suto Sinting ditelentangkan oleh si
penyambar yang menganggap tempat itu lebih aman dan lebih tersembunyi.
Kali ini orang yang menyambar Suto dalam keadaan lemas tanpa daya itu adalah
seorang gadis berwajah cantik liar. Cantik tapi kesannya seperti liar dan ganas.


Pendekar Mabuk 034 Perawan Maha Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rambutnya acak-acakan, pakaiannya serba hitam ketat seperti terbuat dari karet.
Ketatnya pakaian membentuk tubuh meliuk-liuk penuh pesona kegairahan. Siapa lagi
gadis berpakaian hitam dan berwajah cantik liar kalau bukan Angin Betina, murid
Nini Pancungsari yang telah berubah aliran dari hitam ke putih" Pertemuan dan
perkenalannya dengan Pendekar Mabuk itulah yang membuat tokoh muda beraliran
hitam itu merubah haluan menjadi tokoh cantik beraliran putih, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode : "Pedang Kayu Petir").
Janjinya yang ingin menjadi pelindung Suto Sinting, tameng terdepan bagi
Pendekar Mabuk, telah
membuatnya berang melihat sang pendekar terkapar tak berdaya. Tak ada raut sedih
pada wajahnya, yang ada hanyalah kemarahan yang menggeram-geram penuh hasrat
untuk berbalas dendam.
"Jangan ke mana-mana. Tetaplah di sini. Aku akan segera kembali setelah
menghajar Sumbaruni!" katanya kepada Suto yang terkapar tanpa daya sedikit pun
itu. Namun karena Suto masih bisa bicara lamban, ia pun berkata,
"Jangan lakukan!"
"Tidak bisa! Sumbaruni yang menyerangmu saat kuintip dari balik semak! Aku
melihat sendiri sinar kuningnya kenai pundakmu!"
"Angin Betina...."
"Aku hanya sebentar. Jangan ke mana-mana!"
"Mau ke mana lagi, Tolol"! Keadaanku seperti ini jelas tak mungkin ke mana-
mana!" ucap Suto Sinting dengan nada kesal namun tak bisa dilampiaskan dengan
tekanan semestinya.
Angin Betina bangkit. Pedang yang diselipkan di pinggang dicabut bersama
sarungnya. Digenggam dengan tangan kiri untuk dicabut sewaktu-waktu, ia bergegas
pergi setelah berkata,
"Perempuan itu memang layak mendapat pelajaran terberat dariku!"
"Angin Betina, tunggu dulu!" cegah Suto Sinting.
"Jangan lakukan pertarungan dengan Sumbaruni!'
'Kau pikir aku kalah ilmu dengannya" Dia boleh cabut pedangnya dan bertarung
sampai mati denganku.
Kau akan tahu siapa yang unggul dalam bermain pedang nanti!"
"Memang betul, tapi dengarlah dulu kataku, Angin Betina...!"
"Tidak bisa! Aku harus bikin perhitungan dengannya.
Dia atau aku yang mati!"
"Dengarlah dulu, Angin Betina! Dia lakukan begini bukan karena benci padaku tapi
karena...."
"Kau masih ingin membelanya"!" sergah Angin Betina bernada cemburu. "Kalau kau
memang ingin membelanya, baiklah aku pergi dan kita tak perlu jumpa lagi!"
"Angin Betina...," keluh Suto yang tanpa daya itu. 'Ini bukan masalah pembelaan,
ini masalah keselamatan.
Kau salah paham, Angin Betina. Sebaiknya.... "
"Aku sudah berjanji padamu untuk menjadi pelindungmu! Barang siapa ingin lukai
dirimu harus melukai nyawaku lebih dulu! Sekarang Sumbaruni membuatmu terkulai
begini, kehilangan kekuatan, kehilangan ilmu, dan harus ditebus dengan
kehilangan nyawanya. Aku tidak terima! Aku akan menuntut balas kepadanya!"
"Jangan pergi, Angin Betina...!"
Weees...! Gadis itu melesat seperti angin. Suto Sinting berusaha berseru namun
tak seberapa keras,
'Angin Betina...! Tolong pulihkan dulu diriku! Hei...
kembalilah! Ada yang harus kau lakukan sebelum kau pergi! Haaai...! Kampret!"
Kesal sekali hati Suto Sinting ditinggalkan Angin
Betina dalam keadaan masih terkulai tak berdaya sebegitu. Padahal mestinya Angin
Betina tuangkan tuak ke mulut Suto lebih dulu, supaya kekuatannya pulih kembali.
Sebab dulu ketika Suto alami sama seperti itu, Angon Luwaksi bocah penggembala
datang dan menuangkan tuak ke mulut Suto. Dengan begitu pengaruh jurus 'Anak
Rembulan' segera lenyap. Suto tidak lagi terkulai lemas. Seluruh kekuatannya
pulih kembali bersama ilmunya.
Tetapi agaknya gadis berambut acak-acakan itu lebih mementingkan amarahnya
ketimbang memulihkan Suto.
Atau ia memang tidak tahu bahwa hal yang sebaiknya dilakukan paling utama adalah
menuangkan tuak ke mulut Suto. Rasa cemburu dan dendam itulah yang membuat Angin
Betina hanya punya satu tujuan; melabrak Sumbaruni.
Akibatnya Suto hanya terkapar dengan mata berkedip-kedip dan di hati penuh
kedongkolan. Bukan pada Sumbaruni saja, melainkan dongkol pula kepada Angin
Betina. Di sela-sela kedongkolan hati itu terselip pula perasaan cemas
membayangkan pertarungan Angin Betina dengan Sumbaruni. Sekalipun Angin Betina
mahir memainkan jurus pedang dan mampu melakukan gerakan secepat anak panah,
tetapi kekuatan tenaga dalamnya lebih unggul Sumbaruni. Angin Betina bisa mati
dihajar Sumbaruni dari jarak jauh. Jika Sumbaruni pergunakan jurus 'Siulan
Hantu'-nya, Angin Betina belum tentu mampu menahan kekuatan bunyi siulan yang
bertenaga dalam tinggi dan mampu meledakkan
pohon serta batu besar itu.
"Gadis dungu!" gerutu Suto dengan suara pelan.
"Kalau dia mati melawan Sumbaruni, siapa yang tahu bahwa aku ada di sini" Aku
bisa mati dengan sendirinya jika tersembunyi di sini berbulan-bulan! Konyol juga
gadis itu!"
Suto Sinting berusaha gerakkan kepalanya, namun sedikit pun tak mampu bergerak.
Matanya mencoba melirik ke kanan-kiri mencari di mana bumbung tuaknya, tapi Suto
tak berhasil melihat benda itu di sampingnya. Padahal benda itu ada di atas
kepalanya dalam jarak tiga jengkal saja. Suto menjadi lebih dongkol lagi
menghadapi keadaan dirinya. Kekuatan batinnya pun tak mampu digunakan untuk
mengangkat tubuh atau menggerakkan benda apa pun. Ia benar-benar seperti bayi
baru lahir yang hanya bisa gerakkan mata kanan-kiri dengan pelan-pelan. Semula
ia ingin berteriak minta tolong, tapi menyadari suaranya tak mampu keras
akhirnya niat itu dibatalkan.
Ia hanya bisa mendesah membuang kekesalan hatinya. Tetapi desahannya terasa
lain. Hati Suto Sinting merasa heran sekali mendengar suara desahan napasnya
menggeram besar. Setahunya ia tak punya suara desahan sebesar itu.
"Gggrraaaoww...!"
"Mati aku! Suara apa itu tadi" Macan apa harimau"
Oh, sama saja! Aduh, dari mana suara itu tadi"!" Suto menjadi tegang sendiri,
matanya bergerak ke kiri dan ke kanan. Telinganya menangkap suara gemerisik,
seperti tanaman dan ranting terinjak kaki, entah kaki manusia
atau kaki binatang. Yang jelas suara geram yang didengarnya tadi membayangkan
sebentuk wajah seram dengan gigi runcing dan taring setajam pedang.
Langkah-langkah kaki kian mendekat. Semak yang terinjak bertambah jelas di
pendengaran. Kejap berikut suara raung membesar terdengar lagi lebih dekat.
"Grraaow...!"
Suto Sinting melirik ke kiri. Semak ilalang di sebelah kiri bergoyang-goyang.
Itu menandakan ada sesuatu yang mendekam di sana atau menerabas melintasinya.
Suara tersebut terdengar lagi, "Grraaow...!"
"Oh, Dewa...! Itu benar-benar suara harimau. Matilah aku. Mati sudah!" Pendekar
Mabuk mulai ciut nyali.
"Dalam keadaan tak bisa bergerak tak bisa melawan, harimau itu dapat seenaknya
menyantap dagingku.
Oooh... nasib sial apa sebenarnya yang menimpaku jadi begini"!"
"Graaaaooowww...!" raung harimau memanjang, wajahnya tampak di balik semak
sedang mengincar ke arah Suto Sinting. Harimau itu berbulu loreng kuning-hitam.
Seringai mulutnya tampak sedang
mempersiapkan diri memangsa hidangan yang terbaring bebas dalam jarak empat
langkah di depannya.
Suto Sinting berdebar-debar. "Bagaimana caraku melawannya jika dalam keadaan
begini"! Oh, sudahlah.
Pasrah saja. Mudah-mudahan sekail santap aku langsung mati, jadi untuk santapan
berikutnya aku tak rasakan sakit. Mudah-mudahan jangan jempol kakiku lebih dulu
yang dicicipinya...!" Suto membatin dalam ketegangan
yang sebenarnya telah hadirkan keringat dingin di keningnya.
"Hmmmmgggrrr...!" Harimau itu pakai menggumam segala, makin membuat hati Suto
bagai dipermainkan.
Wujudnya telah tampak penuh. Menyeramkan sekali.
Tubuh harimau loreng itu besar dan mulutnya tampak lebar. Ia melangkah pelan-
pelan dengan suara geram dan raungnya yang membuat jantung Suto seakan-akan
sedang diguncang dan dipermainkan.
Tiba-tiba dari sisi kanan terdengar suara yang sama.
"Grraaoowww...!"
Suto membatin, "Wah, ada dua..."! Mampuslah aku.
Sudah tak dapat bergerak, masih harus dikeroyok dua harimau! Hmmm... selamat
tinggal sajalah kepada dunia ini! Kapan-kapan aku datang kalau Dewata
mengizinkan."
Mata Pendekar Mabuk meiirik ke kanan, ia terkejut karena di sebelah kanan tampak
sosok harimau lebih besar dengan bulu loreng putih hitam. Mata harimau loreng
hitam itu tampak lebih tajam memperhatikan ke arah Suto, lebih bernafsu sekali
untuk menyantap tubuh Suto. Jantung pun seakan berhenti berdetak karena cepatnya
hingga tak terasa debarannya.
"Ggrraaoow...!" raung si loreng hitam-kuning.
"Grrraaaoowwm...!" balas si loreng hitam-putih.
Suto Sinting hanya membatin, "Barangkali mereka sedang berunding, siapa dulu
yang ingin menerkamku"
Celaka! Baru sekarang nasibku dirundingkan oleh dua binatang buas. Ooh... benar-
benar konyol si Angin
Betina itu; meletakkan diriku di sarang macan! Sama saja ia meletakkan diriku di
atas ujung tombak!"
"Grraaowww...!"
Dan tiba-tiba harimau loreng hitam-putih itu meraung panjang sambil melompat ke
arah Suto Sinting.
"Grrraaaoooww...!"
Weeesss...! Suto Sinting pejamkan mata kuat-kuat sambil mengeluh, "Habislah riwayatku!"
Tetapi suara raung kedua harimau itu semakin tidak beraturan. Suto Sinting buka
mata kembali. Melirik ke kiri dan melihat kedua harimau itu sedang saling
bertarung dengan sendirinya. Geram dan raungan pertarungan mereka menggema
memenuhi hutan berpepohonan lengkung.
Kalau saja saat itu Suto bisa bergerak, ia pasti akan cepat-cepat larikan diri
pada saat kedua binatang buas itu bertarung. Tapi karena ia tidak bisa berbuat
apa-apa, maka ia hanya bisa membatin sambil menunggu nasib,
"Mereka bertarung memperebutkan diriku. Oh, nasib!
Biasa diperebutkan wanita sekarang diperebutkan harimau. Kutukan siapa
sebenarnya ini?"
Pertarungan dua harimau itu cukup seru. Mereka saling cakar dan saling terkam.
Tapi agaknya si loreng hitam-putih yang unggul, karena tubuhnya tak terluka
sedikit pun, sedangkan si loreng hitam-kuning tampak berdarah di bagian tengkuk
dan wajahnya. Si loreng hitam-putih menyerangnya dengan buas, sampai akhirnya
loreng hitam-kuning larikan diri, loreng hitam-
putih mengejar.
Napas Suto yang semula berat menjadi ringan kembali. Hatinya membatin,
"Bagus! Kejar terus dia sejauh mungkin, dengan begitu diriku akan selamat dari
ancaman maut mulut kalian!"
Kini yang diharapkan Suto adalah kehadiran Angin Betina. Suto ingin cepat-cepat
tinggalkan sarang harimau itu. Napasnya yang sudah lega dan enteng tak mau
menjadi berat lagi karena kemunculan binatang buas lainnya. Hal yang dicemaskan
Suto ialah kemunculan seekor ular yang jelas tak mungkin bisa diajak berunding
lagi. Tetapi sampai beberapa saat lamanya Angin Betina belum kembali. Pasti sedang
sibuk lakukan pertarungan dengan Sumbaruni.
"Atau mungkin malah sudah mati dihajar Sumbaruni"!" pikir Suto. "Eh... tapi
sepertinya ada suara langkah kaki yang datang dari arah kiri" Oh, syukurlah!
Pasti Angin Betina gagal temui Sumbaruni dan kembali dengan wajah murung. Masa
bodohlah! Dia mau berhasil tumbangkan Sumbaruni atau tidak, yang penting dia
akan cepat-cepat singkirkan aku dari sini!" seraya mata Suto melirik ke kiri.
Tepat ketika ia melirik ke kiri, langkah kaki yang didengarnya sudah dekat dan
suara pun terdengar menggetarkan jantung.
"Grrraaaoowww...!"
"Yaaaah... dia lagi"!" ucap Suto membatin dengan sambil matanya meredup pertanda
hatinya melemah
kembali. Harimau loreng hitam-putih muncul lagi dengan sorot matanya yang tajam.
Langkahnya bagaikan ingin mengguncang bumi karena badan harimau itu cukup gemuk.
Makin lama langkahnya makin pelan ketika jaraknya kian dengan Suto.
"Rupanya dia masih ingat ada makanan yang tersisa di sini sehingga balik
kembali. Sial! Kalau yang ini...
sekali caplok kepalaku pasti masuk. Mudah-mudahan dia langsung menggigit patah
leherku jika kepalaku sudah masuk ke mulutnya. Jangan sampai hanya dikulum-kulum
saja, bisa putus jantungku tanpa luka leherku," pikir Suto dalam kepasrahannya.
"Ggrrraaaaooww...!"
Suto mencoba mengajak bicara karena tak punya akal apa-apa lagi, "Jangan
begitulah. Kita kan teman" Kita bersahabat saja."
"Ggrraaooowwm...!"
"Berhentilah di situ. Jangan dekati aku. Aku tak berdaya. Tidakkah kau kasihan
padaku" Jika kedatanganku di sini mengganggu wilayahmu, jangan salahkan aku.
Salahkanlah Angin Betina. Cari dia dan gigitlah dia, karena dia yang menempatkan
aku di sini!"
Harimau itu benar-benar berhenti dalam jarak tiga langkah sebelum mencapai Suto
Sinting. Ada keheranan di hati Suto pada saat itu, "Dia berhenti karena
mendengar kata-kataku atau berhenti untuk memperhitungkan bagian mana yang harus
disantapnya lebih dulu?"
Ekornya bergerak-gerak bagai kipas tak berkembang.
Matanya yang bundar ganas masih memandang penuh selera makan. Hembusan napasnya
terasa menerpa lengan Suto Sinting. Tak heran jika kulit Suto Sinting pun
merinding karena merasakan awal dari bencana yang akan menimpanya.
Suto Sinting yang tak punya daya dan tak punya akal lagi mencoba mengajak
binatang itu untuk bicara,
"Duduklah yang sopan. Jangan berdiri terus di situ.
Tak ada jeleknya kau menghormati calon korbanmu sebelum kau menyantapnya."
Eh, binatang itu benar-benar duduk. Kedua kaki belakangnya dilipat, merapat
dengan tanah, kedua kaki depannya ditekuk sebatas persendian. Matanya melirik ke
sana-sini dengan gerakan kepala yang lamban.
Ekornya berkopat-kapit seakan siap menyabet lalat yang ingin mengganggunya.
Dalam hati Suto Sinting merasa heran melihat harimau loreng putih-hitam duduk
sesuai perintahnya.
"Jangan-jangan dia mengerti bahasa manusia" Atau sengaja menikmati wujud calon
mangsanya sepuas mungkin baru bertindak" Oh, ya... bukankah aku punya jurus
'Siulan Peri' yang bisa bikin gendang telinga manusia dan hewan menjadi sakit"
Bagaimana kalau kucoba untuk mengusir hewan ini?"
Suto Sinting segera mencoba bersiul. "Suiisss...
suiiiis...!"
"Sial! Siulanku tak bisa keras dan bening. Pasti ini pengaruh 'Anak Rembulan'
yang melumpuhkan seluruh ilmuku juga."
Jurus 'Siulan Peri' tidak dapat digunakan. Suto Sinting semakin pasrah. Hanya
ada satu harapan, yaitu mengajak bicara binatang itu, siapa tahu bisa dijinakkan
dengan kata-kata. Maka, Suto Sinting pun kembali melirik ke kiri.
"Hahh..."!" mata Suto kalau bisa mendelik pasti akan mendelik, karena harimau
loreng hitam-putih itu ternyata sudah berubah wujud menjadi seorang lelaki kurus
yang duduk dengan santai, kedua kakinya ditekuk sampai hampir menyentuh dada.
Kedua tangannya mendekap kaki itu. Orang tersebut nyengir geli memandangi Suto
yang terperanjat kaget.
Lelaki berpakaian serba hitam, berambut putih, dan berusia lanjut itu segera
menyapa dengan suara kekeh tawanya,
"Baru sekarang aku melihat pendekar hebat tak terkalahkan berwajah pucat dan
berkeringat dingin. He, he, he, he...!"
"Ki Sonokeling...!" keluh Suto menyebut nama orang yang sudah dikenalnya. "Kalau
aku bisa bergerak sudah kupukul kau, Ki Sonokeling!"
Orang tua itu semakin terkekeh geli. Ki Sonokeling adalah tokoh tua, teman dari
si Gila Tuak yang dulu pernah jumpa dengan Suto Sinting dalam peristiwa di
Petilasan Teratai Dewa, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Malaikat
Jubah Keramat"), ilmu orang tua itu memang dapat merubah diri menjadi seekor
harimau. Tapi hal itu sangat di luar dugaan Suto Sinting.
"Aku baru saja mau beranjangsana ke tempat tinggal
gurumu, Suto. Kebetulan aku lewat jalanan sebelah selatan sana. Kudengar ada
suara aum harimau. Maka kudekati tempat ini, dan ternyata kau dalam ancaman


Pendekar Mabuk 034 Perawan Maha Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahaya si loreng tadi. Kulihat kau dalam keadaan lemas tak berdaya, maka aku
terpaksa mengusir si loreng tadi dengan merubah diri seperti kawanannya."
Napas Pendekar Mabuk menjadi enteng kembali.
"Pantas kau bisa mengerti bahasaku," ujarnya bernada gerutu. "Lain kali jangan
memandangiku dengan menyeramkan begitu. Jantungku nyaris terbelah menjadi tujuh,
Ki." "He, he, he, he.... Maafkan aku, Suto. Aku senang menggoda anak muda yang selama
ini menjadi kebanggaanku. Tapi... ngomong-ngomong mengapa kau sampai seperti
ini, Suto" Apa yang membuatmu terkulai lemas tak berdaya ini?"
Suto Sinting tidak langsung menjawab tapi justru berkata, "Tolong tuangkan tuak
ke mulutku, Ki Sonokeling. Apakah di sekitar sini ada bumbung tuakku?"
"Ya, ada di atas kepalamu."
"Tuangkanlah, biar kuminum beberapa teguk."
"Katakan dulu apa yang membuatmu menjadi begini?"
"Tuangkanlah dulu, nanti kujelaskan!" kata Suto, karena pikirnya hal yang paling
utama adalah meneguk tuak untuk peroleh kekuatan kembali daripada menjelaskan
masalahnya dalam keadaan masih terkapar tanpa daya. Bisa-bisa Ki Sonokeling
pergi memburu Angin Betina dan Sumbaruni sebelum menuangkan tuak ke mulutnya.
Tokoh tua itu akhirnya menuangkan tuak tersebut.
Beberapa teguk tuak ditelan Suto. Sebagian tuak ada yang tersiram di wajah. Suto
gelagapan dan berkata sedikit seru, "Hati-hati! Jangan sampai masuk ke hidung
dan mata. Perih!"
"Maaf, aku geli melakukan hai ini. Ingat waktu aku mengisi air di lubang belut
pinggir sungai!"
"Jangan anggap mulutku seperti lubang belut, Ki."
"Maaf, aku terlalu jujur!"
Tuak sudah tertelan beberapa teguk. Bahkan Suto sempat tersedak batuk. Kemudian
ia diam beberapa saat, pejamkan mata sambil mengatur pernapasannya. Ki
Sonokeling memandang ke sana-sini, seakan menjaga keamanan Suto, murid sahabat
karibnya itu. Beberapa saat kemudian, jemari tangan Suto mulai bisa digerakkan, disusul dengan
anggota tubuh lainnya, dan kini Suto pun mulai bisa bangkit. Duduk dengan kaki
dilonjorkan, dipijat-pijatnya sendiri karena merasa kaku pada bagian persendian
lututnya. "Sekarang kau sudah bisa jelaskan masalahmu?"
tanya Ki Sonokeling.
"Kau kenal Sumbaruni?"
"Ya. Bekas istri Jin Kazmat itu maksudmu?"
"Benar. Dialah yang membuatku lemas tak berdaya."
Ki Sonokeling kerutkan dahi tuanya yang memang sudah berkulit mengkerut itu,
matanya menatap heran pada Suto Sinting. Sebelum Suto Sinting ucapkan kata,
Ki Sonokeling sudah lebih dulu berujar,
"Mengapa ia memusuhimu" Padahal ketika kami ingin mencabut gelar kependekaranmu
dalam peristiwa kematian Empu Sakya itu, Sumbaruni orang yang paling ngotot
membelamu. Ada persoalan apa sehingga Sumbaruni tega melumpuhkanmu"!"
"Bukan dengan maksud benci atau bermusuhan.
Maksudnya baik, tapi caranya yang tidak kusetujui."
Suto Sinting mencoba berdiri, ternyata bisa tegak, ia melemaskan gerakan kaki
dan tangan, juga melicikkan pinggangnya yang tadi terasa kaku dan pegal itu.
Setelah merasa dirinya pulih seperti sediakala, penjelasan yang ditunggu Ki
Sonokeling itu dilanjutkan.
"Sumbaruni melarangku bertarung dengan Dara Cupanggeni yang menjuluki dirinya
Perawan Maha Sakti, murid Sunti Rahim. Mungkin kau kenal nama Sunti Rahim."
"Ya, ya... aku sangat kenal nama itu. Dan aku sedang mau bicarakan kepada
gurumu; Gila Tuak, tentang sebuah ilmu yang hanya dimiliki oleh Sunti Rahim."
Suto Sinting berkerut dahi, "Maksud Ki Sonokeling, ilmu 'Bias Dewa'?"
"Benar. Karena aku merasakan adanya pengaruh ilmu
'Bias Dewa' beberapa kali. Saat kumandi di pancuran, air pancuran berhenti
mendadak. Kejap berikutnya bergerak seperti biasa lagi. Aku jadi ingat ilmu
'Bias Dewa' yang bila digunakan bisa membuat alam mati dalam sekejap."
"Kalau begitu semua tokoh tingkat tinggi tentunya mengetahui tentang penggunaan
ilmu 'Bias Dewa' itu?"
"Kurasa begitu. Tapi setahuku ilmu tersebut tak bisa dipergunakan oleh Sunti
Rahim, sebab dia sudah tidak perawan lagi."
"Muridnya yang menggunakannya, Ki. Perawan Maha Sakti julukannya."
"Pantas! Pasti dia masih gadis, masih perawan, dan...
itu sangat berbahaya. Dia akan kalahkan siapa saja dengan ilmu 'Bias Dewa' itu,
Suto. Kau pun tak mungkin bisa tandingi ilmu 'Bias Dewa'. Jadi..., kurasa
langkah yang diambil Sumbaruni memang benar, hanya caranya sedikit salah.
Kusarankan juga, jangan hadapi murid Sunti Rahim itu, Suto. Kau bisa
ditumbangkannya!"
Kemudian Suto Sinting ceritakan masalahnya dengan Bongkok Sepuh sampai ia
mencoba menghadapi Perawan Maha Sakti dan disambar oleh Sumbaruni, lalu disambar
pula oleh Angin Betina. Ki Sonokeling menerawang memandangi dedaunan sambil
berkata bagai orang menggumam,
"Sebenarnya Setan Arak tak boleh begitu! Urusan pribadinya harus dia hadapi
sendiri, jangan memaksa seseorang untuk ikut mencampurinya!"
"Dia sangat ketakutan, Ki!"
"Sekarang di mana Setan Arak" Aku mau temui dia!"
"Bertarung dengan Sumbaruni. Namun terlepas dari masalah pribadi Setan Arak,
menurutku Perawan Maha Sakti memang harus dilumpuhkan, ia mencoba menantang
Gerhana Mandrasakti, juga ingin membalaskan sakit hati gurunya kepada Bibi Guru
Bidadari Jalang. Malahan jika perlu ia akan melawan
Kakek Guru Gila Tuak, Ki. Banyak tokoh sakti yang akan ditumbangkannya, karena
ia ingin diakui sebagai orang terkuat di dunia persilatan, sebagai Perawan Maha
Sakti yang patut dihormati oleh semua tokoh!"
"Hmmm... begitu?" Ki Sonokeling manggut-manggut. Suto Sinting meneguk tuaknya
lagi. Sebentar kemudian berkata,
"Aku harus mencegah niat jahatnya itu, Ki. Aku harus menghadapinya!"
Ki Sonokeling tarik napas, melangkah menjauhi Suto dengan berpikir, lalu kembali
lagi dekati pendekar tampan yang telah gagah perkasa kembali itu.
"Ini pekerjaan yang sulit. Apalagi kau tadi menceritakan tentang ilmu 'Darah
Gaib' yang juga dimiliki oleh Perawan Maha Sakti. Jelas ini hal yang paling
sulit untuk dihadapi. Kau tidak mudah menumbangkannya, Suto. Dia kebal, tapi
juga punya ilmu berbahaya. Dalam sekejap saja kau bisa dibuatnya tak bernyawa."
"Aku akan melawannya dengan Cincin Manik Intan.
Ki!" sambil Suto memperlihatkan cincin yang dikenakan terbalik di tangannya. Ki
Sonokeling pandangi cincin pusaka itu beberapa saat sambil berpikir, lalu
memandang Suto dengan berkata pelan,
"Aku tak yakin cincin ini bisa menembus 'Darah Gaib'. Setahuku ilmu 'Darah Gaib'
adalah ilmu kebal yang tertinggi, sejajar dengan ilmu kebal bagi pemilik pusaka
Seruling Malaikat. Jadi, terus terang saja aku tak yakin kalau sinar maut Cincin
Manik Intan ini dapat
menembus lapisan gaib tubuh Perawan Maha Sakti."
"Bagaimana jika menggunakan jurus 'Manggala Yudha'-ku itu, Ki?"
"Aku tidak tahu secara pasti, tapi hati kecilku tetap sangsi akan keberhasilan
jurus itu."
Suto Sinting diam sesaat. Dalam hatinya timbul niat untuk berlaku curang,
mencoba jurus-jurus mautnya dari belakang Perawan Maha Sakti. Tapi niat itu
disingkirkan karena hati kecil Suto seakan tak ingin melakukan pertarungan
dengan cara membokong lawan. "Jadi menurutmu kedua ilmu itu tidak mempunyai
kelemahan apa pun, Ki?" tanya Suto membuka kebisuan mereka.
"Setinggi-tinggi ilmu memang ada kelemahannya, kecuali ilmunya Yang Maha Kuasa.
Tapi setahuku, kedua ilmu itu memang tak memiliki kelemahan kecuali dengan cara
merengguk keperawanan gadis itu."
Suto Sinting menatap tajam dengan dahi berkerut. Ki Sonokeling merasa perlu
berikan alasan terhadap kata-katanya.
"Ingat, kedua ilmu itu hanya bisa dimiliki oleh orang yang masih perawan. Jadi
jika Dara Cupanggeni alias Perawan Maha Sakti sudah tidak perawan lagi, maka
ilmu itu akan sirna dengan sendirinya."
"Kau menyuruhku memperkosa dia?"
Ki Sonokeling terkekeh geli. "Bukan. Bukan begitu maksudku, Suto. Ini penalaran
saja. Hilangnya kedua ilmu itu apabila si pemiliknya sudah tidak suci lagi.
Tentang bagaimana caranya membuat dia tidak suci, aku tidak tahu. Secara
lahiriah memang aku tahu dan jago
membuat perawan tidak suci, tapi secara batiniah aku tak mengerti bagaimana cara
mendekatinya dan
membujuknya. Sebab biasanya orang yang sudah telanjur memiliki kedua ilmu itu,
ia akan selalu menjaga kesuciannya. Sebelum niatnya tercapai, ia tidak akan
serahkan kesuciannya kepada pria mana pun."
"Bagaimana kalau ternyata dia mampu kubuat kasmaran padaku?"
"Itu terserah dirimu, kau tak perlu mengundangku untuk menyaksikan caramu
melumpuhkan kedua ilmu itu," Ki Sonokeling tersenyum-senyum.
Suto Sinting diam termenung dalam sunggingan sisa senyum gelinya. Ia
mempertimbangkan langkahnya. Ia merasa mampu menundukkan hati gadis itu menjadi
kasmaran kepadanya, tapi sanggupkah ia menodai gadis itu sementara ia sangat
menjaga kesetiaan cintanya terhadap Dyah Sariningrum" Gusti Mahkota Sejati calon
istrinya itu pasti akan tahu jika ia berbuat tak senonoh dengan perempuan lain,
karena segala gerak-gerik Suto terpantau dari Pulau Serindu. Setidaknya sang
Ratu Kartika Wangi, sebagai calon mertuanya itu pun akan mengetahui jika Suto
telah menodai seorang gadis.
"Jika alasanku demi menyelamatkan dunia dari kehancuran kedua ilmu itu, apakah
mereka bisa menerimanya?" gumam Suto Sinting dalam hatinya.
* ** 5 TOKOH tua yang punya ilmu 'Singa Lohdaya' itu juga menyinggung-nyinggung tentang
Pedang Kayu Petir. Terlintas dalam pikiran Pendekar Mabuk untuk meminjam Pedang
Kayu Petir kepada Resi Wulung Gading. Tetapi lebih dulu ia harus segera susul
Angin Betina agar tidak mati di tangan Sumbaruni. Sementara itu Ki Sonokeling
tetap teruskan perjalanan ke Jurang Lindu untuk temui si Gila Tuak dan bicarakan
tentang kemunculan ilmu 'Bias Dewa' itu.
Apa yang dikhawatirkan Suto sebenarnya memang telah terjadi. Pertarungan antara
Sumbaruni dengan Angin Betina pada mulanya hanya sebatas luapan amarah tak
terlalu membahayakan. Sumbaruni memaklumi kemarahan Angin Betina yang belum
memahami maksud dan tujuannya dalam melumpuhkan Pendekar Mabuk.
Pertemuan mereka terjadi setelah Sumbaruni dan Bongkok Sepuh merasa sama-sama
kehilangan Suto dan segera mencarinya bersama pula. Angin Betina kebingungan
mencari jejak Sumbaruni. Namun dengan firasatnya akhirnya Sumbaruni ditemukan
juga saat hendak menuruni lereng. Tempat sedikit tandus itulah yang dijadikan
ajang pertarungan oleh Angin Betina.
Serangan sinar putih perak dari Angin Betina menghantam Sumbaruni dari belakang.
Tetapi Sumbaruni cepat tanggap akan datangnya bahaya, ia segera melenting ke
udara dan bersalto satu kali, sehingga sinar putih perak itu lolos dari
tubuhnya. Duaaar...! Sinar itu menghantam sebongkah batu besar
di seberang sana. Batu tersebut hancur berkeping-keping.
Bongkok Sepuh yang sebenarnya tidak membenci Sumbaruni dan hanya merasa jengkel
saja itu segera melepaskan pukulan tenaga dalamnya melalui sodokan ujung
tongkatnya ke arah datangnya sinar putih tadi.
Dari tongkat itu melesat sinar hijau lurus dan menghantam dua pohon berjajar.
Blaaar...! Namun sebelum kedua pohon itu tumbang
bersamaan, dari balik pohon itu telah melesat sesosok bayangan hitam yang cepat
berkelebat bagaikan angin berpindah tempat. Sosok bayangan itu akhirnya
tampakkan diri dan Sumbaruni kenali orang tersebut yang tak lain adalah Angin
Betina. "Kau rupanya"!" Sumbaruni sunggingkan senyum sinis, karena ia tahu belakangan
ini Angin Betina adalah gadis yang sering bersama Suto Sinting. Rasa cemburu
Sumbaruni timbul, namun mampu dikendalikan dengan teratur.
"Aku ke sini hanya untuk bikin perhitungan denganmu, Sumbaruni!"
Angin Betina bicara dengan tegas dan jelas.
Pandangan matanya menampakkan sinar permusuhan yang cukup besar. Sumbaruni hanya
sunggingkan senyum kian sinis, karena cepat mengerti maksud Angin Betina yang
tak lain pasti berkaitan dengan Suto Sinting.
Karenanya Sumbaruni berkata kepada Bongkok Sepuh,
"Setan Arak, menyingkirlah dulu di bawah pohon sana. Ini urusan perempuan!"
"Siapa bilang aku ingin campuri urusanmu," kata Bongkok Sepuh sambil bersungut-
sungut melangkah, menjauhi kedua perempuan itu, berdiri di bawah pohon rindang
sambil pegangi tongkatnya."
Sumbaruni dekati Angin Betina dan berkata dengan keras, "Perhitungan tentang apa
maksudmu"!"
"Kau telah lumpuhkan Suto, dan kau harus menebusnya dengan nyawa!"
"Tak salah dugaanku. Kau adalah gadis bodoh yang tak mengerti bagaimana cara
menyelamatkan seseorang yang dicintainya!"
Angin Betina diam saja. Matanya memandang angker dengan rambut acak-acakan yang
menambah seram raut mukanya. Tangan kirinya memegang pedang bersama sarungnya,
tangan kanannya menggenggam di samping, tapi dalam sekejap dapat cabut pedang
itu untuk lakukan penyerangan.
Sumbaruni berkata lagi, "Aku memang melumpuhkan Suto Sinting demi menyelamatkan
jiwanya yang ingin menghadapi Dara Cupanggeni alias Perawan Maha Sakti! Jika ia
berhadapan dengan Perawan Maha Sakti, maka dalam waktu dua kejap ia akan menjadi
bangkai berbelatung menjijikkan, karena Perawan Maha Sakti mempunyai dua ilmu
unggulan; 'Darah Gaib' dan 'Bias Dewa'. Kau mungkin masih belum tahu tentang dua
ilmu unggulan itu, karena kau memang masih hijau, Angin Betina!"
"Kurasa aku sudah mampu memenggal kepalamu walau sehijau apa pun!"
Senyum sinis Sumbaruni yang juga bernama Pelangi Sutera kala menjadi panglimanya
Ratu Asmaradani, penguasa negeri bawah laut itu, kembali membias di depan mata
Angin Betina. Senyum itu berkesan meremehkan dan memancing hasrat pertempuran di
hati Angin Betina.
"Dengar, Gadis Bodoh...!" kata Sumbaruni seenaknya saja. "Kalau kau tak ingin
pendekar tampan itu celaka, jangan izinkan dia menemui Perawan Maha Sakti. Cegah
dia dengan berbagai cara, supaya kita tetap bisa bertemu dengannya kapan saja!"
"Kau tak perlu memerintahku, Sumbaruni! Aku hanya merasa perlu menuntut
tindakanmu yang melenyapkan segala kekuatan pada diri Suto!"
"Aku bisa memulihkannya kembali kalau ia berjanji tidak akan menghadapi Perawan
Maha Sakti!" kata Sumbaruni dengan membanggakan diri.
"Pulihkan sekarang juga, atau kutebaskan pedang ini ke lehermu!"
"Hei, jangan galak-galak padaku, Gadis Bodoh! Kau bisa celaka sendiri kalau
bersikap galak padaku!"
"Cabut pedangmu dan kita tentukan siapa yang celaka!"
Angin Betina tak tersenyum sedikit pun. Tangannya sudah menggenggam gagang
pedang. Sumbaruni memperhatikan dengan kesan remeh. Lalu ia berkata sambil
berpaling hendak meninggalkan Angin Betina,
"Sebaiknya kuteruskan mencari anakku daripada mengurusimu!"
Sumbaruni hendak bergerak pergi, tapi Angin Betina maju sambil membentak,
"Selesaikan urusanmu denganku, Sumbaruni!"
Sentakan itu membuat Sumbaruni mulai tak sabar lagi. Kakinya segera berkelebat
menendang dengan gerakkan tubuh memutar balik. Wees...! Plaaak...!
Tendangan putar itu ditangkis oleh tangan Angin Betina yang menggenggam pedang
dan sarungnya. Angin Betina cepat memunggungi Sumbaruni, lalu tangan kanannya
menyodokkan siku ke belakang. Jarak yang rapat dengan lawan membuat siku itu
berhasil kenai ulu hati Sumbaruni. Duuhg...!
"Eehg...!" Sumbaruni tersentak dengan suara tertahan.
Tapi dengan cepat tangannya menghantam tengkuk kepala Angin Betina. Wuuut...!
Tepat tangan menyentak tubuh Angin Betina merunduk dan kedua kakinya menjejak ke
belakang dengan sangat cepat bagaikan seekor kuda menyepak lawan. Bluuhg...!
Perut Sumbaruni menjadi sasaran kedua kaki bertenaga dalam itu. Tubuhnya pun
melayang ke belakang namun cepat diatas dengan sentakkan kaki di atas batu.
Sentakan kaki itu membuat tubuh Sumbaruni melenting di udara dan bersalto maju
satu kali. Wuuuk...! Jleeg...! Sumbaruni mendarat dengan sigap. Kedua kakinya sedikit merenggang, napasnya
tertarik panjang untuk atasi rasa mual akibat tendangan tadi. Sedangkan Angin
Betina sudah sejak tadi siap mencabut pedang dengan
mata angker memandangi lawannya. Sementara itu, Bongkok Sepuh membatin dari
kejauhan, "Bocah liar itu punya gerakan cukup hebat. Cepat dan tepat! Sumbaruni bisa


Pendekar Mabuk 034 Perawan Maha Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tumbang kalau dia meremehkan bocah liar itu."
Sumbaruni pun juga membatin, "Agaknya aku tak boleh main-main dengannya. Ia
bersungguh-sungguh ingin menuntut balas dan mencelakakan diriku. Benar-benar
gadis bodoh! Aku harus memberi pelajaran padanya!"
Pedang di punggung Sumbaruni sengaja tidak dicabut. Ia segera melepaskan jurus
'Anak Rembulan'
dengan maksud ingin lumpuhkan Angin Betina. Kilatan cahaya kuning terlepas dari
kibasan tangannya. Tetapi Angin Betina yang sudah siaga dari tadi segera
hentakkan kaki yang membuat tubuhnya melonjak tinggi, lalu dari tangan kanannya
terlepaslah sinar putih perak menghantam sinar kuning tersebut. Claaap...!
Blaaar...! Asap mengepul dari ledakan besar itu. Angin Betina daratkan kakinya ke tanah.
Namun baru saja mendarat, empat larik sinar biru dari empat jari kanan Sumbaruni
menghantamnya dengan gerakan cepat. Zraaab...!
Angin Betina sudah telanjur menapakkan kaki, mau tak mau ia hadapi sinar biru
empat larik itu dengan mencabut pedangnya dan mengibaskannya ke samping.
Kibasan pedang itu keluarkan nyala sinar putih perak menyilaukan dan berbenturan
dengan keempat sinar biru tadi.
Slaaap...! Blegaaarrr...!
Angin Betina terlempar sendiri karena gelombang hentakan tenaga ledak tersebut.
Sedangkan Sumbaruni melenting ke atas dan bersalto di udara dua kali. Ketika
tubuhnya mendarat ia melihat Angin Betina baru saja hendak bangkit dari
jatuhnya. Maka dengan kekuatan tenaga dalam jarak jauh, Sumbaruni sentakkan
tangan kirinya. Wuuuut...! Tubuh Angin Betina terlempar ke atas. Tangan kanan
Sumbaruni segera digerakkan memutar dalam satu ayunan kuat. Wuuut...! Dan tubuh
Angin Betina yang melayang itu menjadi berputar cepat.
Terjungkal tak mampu kuasai keseimbangan. Bahkan ketika Sumbaruni gerakkan
tangan kanannya ke kiri, tubuh Angin Betina terlempar keras dan membentur pohon
di sebelah kanannya. Duuurrrr...! Beehg...!
"Uuhg...!" Angin Betina meringis. Ia terkapar dengan dihujani rontokan daun-daun
pohon yang ditabraknya itu. Sumbaruni segera melesat mendekatinya.
Weess...! Angin Betina yang pandangannya sedikit buram itu tak tahu kalau Sumbaruni sudah
berdiri di belakangnya.
Tahu-tahu rambutnya merasa ada yang menjambak dari belakang. Kepalanya diputar
cepat hingga menghadap Sumbaruni, lalu telapak tangan kiri Sumbaruni dihantamkan
ke wajah Angin Betina. Plook...!
"Uhg...!" Angin Betina tersentak dan membentur pohon yang tadi juga.
Keadaan Angin Betina yang menggeragap segera disambut dengan tendangan kaki
kanan Sumbaruni yang
mampu bergerak cepat dan kenai perut sampai kepala lawan secara beruntun.
Des, des, des, des, des, des...!
Lalu tubuh Sumbaruni memutar dan kaki kirinya yang berkelebat menendang bagaikan
menampar wajah Angin Betina yang sudah melelehkan darah dari mulut.
Ploook...! Weees...! Tubuh Angin Betina terlempar ke samping lima langkah jauhnya. Ia jatuh
terpuruk di sana. Sekujur tulangnya bagaikan patah semua. Seluruh isi perutnya
terasa ingin dimuntahkan. Tendangan bertenaga dalam secara beruntun tadi membuat
darah keluar cukup banyak dari mulutnya. Jika bukan orang berlapiskan tenaga
dalam tinggi, Angin Betina pasti sudah mati dihajar habis seperti itu. Ia
mengalami luka remuk dalam. Tangannya sudah tak kuat menggenggam pedang lagi,
sehingga pedang itu terlepas dan jatuh dalam jarak lebih dari satu jangkauannya.
Bongkok Sepuh membatin, "Bocah liar itu bisa mati di tangan Sumbaruni kalau
Sumbaruni mau pergunakan pedangnya. Tapi mengapa Sumbaruni agaknya tak mau
membinasakan gadis liar itu?"
"Di mana Suto! Katakan!" bentak Sumbaruni sambil berdiri di samping Angin Betina
yang berusaha bangkit dengan berlutut. Angin Betina tidak menjawab.
Sumbaruni menendang pinggang Angin Betina dengan seenaknya. Buuhg...!
Tendangan itu pasti bertenaga dalam juga, terbukti tubuh Angin Betina dapat
terlempar empat langkah
jauhnya dari tempatnya ditendang. Darah kembali keluar dari mulut Angin Betina
yang tersungkur di sana.
Kepala Bongkok Sepuh manggut-manggut, "Rupanya alasan itulah yang membuat
Sumbaruni tak berani membunuh gadis liar itu. Ia butuh keterangan tentang di
mana Suto Sinting disembunyikan. Hmmm... tapi, hei..."! Siapa itu yang datang
kemari dari arah sana" Oh, bahaya...!" Zlaaap...!
Sumbaruni tak tahu kalau Bongkok Sepuh telah lenyap larikan diri. Perhatian
Sumbaruni masih tertuju pada Angin Betina dengan kemarahan yang berusaha tidak
dilepaskan seluruhnya.
"Kalau kau tak mau katakan, aku akan menghajarmu lebih parah lagi!" sentak
Sumbaruni. Angin Betina masih diam, memendam murka yang tak mampu dilepaskan
karena sekujur tubuhnya bagai kehilangan daya lagi.
Tulang-tulangnya seakan remuk semua, dipakai bergerak terasa sangat sakit.
Bahkan untuk bernapas pun sakit.
Ulu hatinya bagai diganjal dengan mata pisau yang jika digunakan untuk menarik
napas terasa perih.
Tiba-tiba Sumbaruni mendengar suara tepukan pelan bernada mencemoohkan
kemenangannya terhadap Angin Betina. Sumbaruni buru-buru berpaling ke belakang
dan hatinya sempat terkejut melihat sesosok wanita cantik rambutnya digulung di
tengah kepala dengan dililit pita hijau muda.
"Perawan Maha Sakti..."!" desahnya dalam hati yang menjadi tegang. Tapi
Sumbaruni berusaha sembunyikan perasaan cemas dan ketegangannya dengan melangkah
dekati Dara Cupanggeni, tinggalkan Angin Betina.
"Siapa kau?" sapa Sumbaruni berlagak tak mengenal pendatang baru itu.
"Aku murid Sunti Rahim. Namaku Dara Cupanggeni.
Julukanku Perawan Maha Sakti! Mungkin baru sekarang kau melihatku, demikian juga
aku melihatmu. Tapi aku cukup salut melihat kemenanganmu. Kau pasti orang hebat
dan berilmu tinggi!"
Sumbaruni tidak kasih jawaban apa-apa. Matanya menatap tak berkedip, mulutnya
terkatup rapat, tapi batinnya berkecamuk sendiri. Akhirnya Perawan Maha Sakti
perdengarkan suaranya lagi,
"Siapa namamu, Sobat"!"
"Pelangi Sutera!" jawab Sumbaruni sengaja menyembunyikan nama aslinya. Sebab
nama aslinya itu tentunya dikenal pula oleh guru Perawan Maha Sakti.
Sumbaruni menjaga keadaan agar jangan menjadi panas, karena ia belum siap hadapi
Perawan Maha Sakti dengan ilmu 'Bias Dewa'-nya.
Angin Betina mendengar nama Perawan Maha Sakti disebutkan. Ia bergegas bangkit
untuk melihat dengan lebih jelas lagi sosok gadis yang ditakuti Sumbaruni, dan
yang membuat Sumbaruni melarang Suto berhadapan dengan gadis berjuluk Perawan
Maha Sakti itu. Tapi kekuatan Angin Betina sangat terbatas, sehingga ia hanya
bisa duduk bersandar di bawah pohon itu sambil meraih pedangnya.
"Agaknya lawanmu sebentar lagi kehilangan nyawa, Pelangi Sutera. Rupanya kau
orang berilmu tinggi.
Bagaimana jika ilmumu diajarkan kepadaku sekitar tiga-empat jurus saja"!"
Sumbaruni diam karena memilih jawaban yang tepat.
Ia tahu bahwa dirinya sedang dipancing untuk lakukan pertarungan. Ia tak mau
terpancing saat itu. Karenanya ia pun segera bertanya,
"Apa maksudmu berkata begitu" Hendak menantangku"!"
Perawan Maha Sakti tersenyum angkuh. "Kalau kau merasa mampu melawanku, anggap
saja kata-kataku tadi adalah sebuah tantangan bagimu. Bagaimana?"
"Kita tak punya persoalan apa-apa, Dara Cupanggeni.
Mengapa harus saling beradu nyawa?"
"Karena aku selalu ingin membuat orang sakti mana pun bertekuk lutut di
hadapanku. Jadi jika sekarang kau mau berlutut di depanku dan mengakui
kesaktianku, maka pertarungan itu tidak pernah ada!"
"Keparat betul anak ini!" geram batin Sumbaruni.
Matanya melirik ke arah seberang, ternyata di sana sudah tidak ada Bongkok
Sepuh. Batin Sumbaruni berucap lanjut,
"Pantas Setan Arak sudah menghilang lebih dulu, karena dia tahu yang akan datang
adalah Perawan Maha Sakti. Hmmm... bocah ini benar-benar pintar memancing
kemarahan seseorang. Aku harus lebih hati-hati lagi menghadapi pancingannya."
Terdengar suara Perawan Maha Sakti berseru,
Pendekar Wanita Penyebar Bunga 10 Dewa Linglung 11 Iblis Gila Pembangkit Arwah Bentrok Para Pendekar 9
^