Pencarian

Perawan Sinting 2

Pendekar Mabuk 085 Perawan Sinting Bagian 2


sering melakukan hal itu ketimbang Jurik
Rawa. Setahuku Jurik Rawa baru dua kali
ini." "Mengapa tidak kau hancurkan mereka
dari kemarin-kemarin, Eyang?"
"Kabar itu kudengar sudah beberapa
waktu yang lalu. Tapi baru sekarang
kubuktikan sendiri, sehingga baru sekarang
aku berani bertindak. Tempo hari aku gagal
menggagalkan kiriman mereka itu, karena
Rogana segera hadir dan membantu mereka.
Aku terpaksa pergunakan jurus
pamungkasku... lari tanpa pamit. Heh, heh,
heh, heh...?"
Perawan Sinting segera perdengarkan
suaranya. "Sebenarnya aku sudah mendengar kalau mereka akan mengirimkan seorang
gadis untuk Rogana. Tapi aku tidak tahu
kalau pengiriman dilakukan hari ini. Tadi aku
sempat mengejar Rogana, tapi gagal. Lalu
kudengar suara pertarungan di sini, dan
ternyata Eyang Tulang Geledek melawan
mereka." "Untung kau cepat datang dan
membantuku, Perawan Sinting."
"Semula aku ingin membiarkan mereka
menyerahkan gadis kiriman itu kepada
Rogana, dengan begitu aku bisa mengetahui
di mana persembunyian Rogana selama ini.
Tetapi melihat Eyang Tulang Geledek dalam
keadaan bahaya, terpaksa rencana itu
kuubah." "Sebenarnya tadi pun aku sudah
menyiasati Raden Lontar. Padahal kalau aku
mau keluarkan jurus balasan, Raden Lontar
tak akan sanggup bernapas lagi hari ini.
Maksudku tadi hanya ingin menyedot seluruh
kekuatannya, kemudian memaksanya
memberi tahu di mana Rogana berada. Jika
aku tahu, maka keterangan itu akan
kusampaikan padamu. Tapi rupanya aku
terluka dan kau datang mengambil alih
pertarungan itu, lalu... yah, seperti inilah
jadinya!" Tulang Geledek menyentakkan
kedua tangannya sebagai sikap pasrah
terhadap keadaan.
Setelah itu Tulang Geledek melangkah
dekati tandu lebih dulu. Suto dan Perawan
Sinting mengikuti dari belakang. Suto sempat
berbisik kepada gadis itu.
"Apakah Eyang Tulang Geledek itu
kakekmu?" "Bukan. Dia sahabat mendiang guruku.
Hubunganku dengannya sudah seperti kakek
dengan cucu sendiri."
"Tapi menurut ceritanya tadi, dia sempat
lari begitu berhadapan dengan Rogana.
Apakah dia tak mampu kalahkan Rogana?"
"Dia orang yang tak pernah
memaksakan diri. Kalau sekiranya lawannya
sulit ditumbangkan, dia lebih baik lari dan
menyusun kekuatan serta mencari siasat
baru untuk perlawanannya mendatang. Ilmu
Eyang Tulang Geledek memang setinggi ilmu
mendiang guruku. Tapi otaknya cukup cerdas
untuk mengatur siasat. Dia punya keyakinan
bahwa mengalah itu bukan berarti kalah."
"Lalu berarti apa?"
"Berarti bonyok!" jawab Perawan Sinting tanpa senyum membuat Pendekar Mabuk
tertawa dalam gumam.
Rupanya gadis yang ada di dalam tandu
itu dalam keadaan ditotok, sehingga tidak
bisa berbuat apa-apa. Namun ia dalam
keadaan sadar dan mendengar semua
percakapan di luar tandu.
Tulang Geledek segera mengeluarkan
gadis im setelah melepaskan totokannya.
Perawan Sinting memandang dengan rasa iba.
Tapi Suto Sinting memandang dengan mata
melebar dan wajah tegang. Ia terkejut melihat
gadis itu sampai-sampai nyaris tidak bisa
bicara. * * * 5 GADIS itu berambut lurus sepundak.
Pakaiannya berwarna jingga, ia juga
mengenakan gelang dan kalung berbatu
jingga. Sabuknya dihiasi batuan warna jingga
pula. Agaknya gadis itu pencinta warna
jingga, bahkan pedang dan sarung pedangnya
dibungkus dengan kain warna jingga pula.
Suto Sinting tak mungkin lupakan gadis
itu, walaupun mereka bertemu dalam waktu
yang tak terlalu lama. Tapi ingatan Suto
masih segar tentang gadis cantik berusia
sekitar dua puluh dua tahun yang
mempunyai mata bulat bening dan berbulu
lentik. Gadis itu tak lain adalah Manggar
Jingga, murid Resi Parangkara yang sudah
dianggap cucunya sendiri. Suto pernah
terlibat peristiwa hilangnya kakak perguruan
si Manggar Jingga yang bernama Puting
Selaksa itu, (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode : "Wanita Keramat").
"Hatiku agak lega ketika kudengar
seseorang menyebutkan nama Suto Sinting,"
ujar Manggar Jingga. "Aku yakin bahwa
Pendekar Mabuk ada di sini, dan aku pasti
tertolong. Ternyata dugaanku benar!"
"Tunggu dulu," sergah Perawan Sinting yang membuat Manggar Jingga tak jadi
teruskan ucapannya.
"Mengapa kau sebut-sebut nama
Pendekar Mabuk" Di sini tidak ada Pendekar
Mabuk!" Manggar Jingga terbengong bingung,
matanya segera menatap Suto dan yang
ditatap hanya senyum-senyum saja sambil
buang muka sejenak.
Tulang Geledek ikut bicara kepada
Manggar Jingga. "Sebaiknya tak perlu bawabawa nama orang beken itu, Anak Manis.
Kalau didengar orang lain, kau bisa dianggap
mengada-ada."
"Bukankah...," Manggar Jingga menjadi bimbang sendiri, ia memandang Suto,
menatap Perawan Sinting, kembali
memandang Suto, menatap Tulang Geledek.
"Sebaiknya pulanglah ke rumahmu. Kau
tinggal di mana, Anak Manis?" tanya Tulang Geledek.
"Aku berasal dari Teluk Sendu, Kek."
"Teluk Sendu?" gumam Tulang Geledek.
"Seingatku aku punya sahabat lama yang kini menetap di Teluk Sendu. Apakah kau
kenal dengan Resi Parangkara" Oh, mungkin ia
sudah meninggal, sebaiknya tak perlu
kutanyakan."
"Resi Parangkara masih hidup!" sahut Suto Sinting yang membuat Tulang Geledek
sempat memandang heran.
"Apakah kau kenal dengan Resi
Parangkara, Suto?"
"Tentu saja aku kenal, Eyang. Resi
Parangkara adalah gurunya gadis ini!" sambil menuding Manggar Jingga.
Si tua Tulang Geledek terkesip pandangi
Manggar Jingga.
"Benarkah?" tanyanya pelan sekali
dengan wajah mendekat.
"Benar. Aku adalah murid Kakek Resi.
Maksudku.... Kakek Resi Parangkara."
"Tak mungkin!" sanggah Tulang Geledek.
"Parangkara hanya mempunyai seorang murid bernama...."
"Puting Selaksa!" sahut Suto dan
Manggar Jingga secara bersamaan tanpa
disengaja. Tulang Geledek terbengong sebagai
tanda bahwa batinnya mulai percaya
terhadap pengakuan Manggar Jingga tadi.
Sementara itu, Perawan Sinting diam-diam
mencuri pandangan ke arah Suto sambil
berkecamuk kagum dalam hatinya melihat
ketampanan Suto itu.
"Baju coklat tanpa lengan...," gumam Perawan Sinting. "Celana putih kusam, wajah
tampan, badan kekar, gagah, tak memakai
ikat kepala, membawa bumbung tuak,
tuaknya bisa dipakai untuk obat dan... hmm,
tiba-tiba hatiku merasakan keanehan.
Sepertinya ada sesuatu yang kuingat tapi
entah apa. Ciri-ciri itu pernah kudengar
melalui percakapan orang Istana Tengkorak
beberapa hari lalu yang kudengar secara tak
sengaja. Tapi... ciri-ciri siapa itu
sebenarnya"!"
Tulang Geledek akhirnya memutuskan
langkahnya. "Aku akan mengantarmu pulang ke
Teluk Sendu sambil ingin bertemu dengan
Parangkara. Apakah kau bersedia, Manggar
Jingga"!"
"Aku tak keberatan. Tapi... aku harus
mencari kakakku; si Puting Selaksa.
Pencarianku tadi terhalang oleh jebakan
pemuda bernama Raden Lontar itu."
"Sebaiknya kau kuantar pulang dulu,"
kata Tulang Geledek. "Baiklah, kubantu
mencari kakak perguruanmu; si Puting
Selaksa itu," ujar Tulang Geledek. "Apakah kau tahu ke mana perginya Puting
Selaksa?" "Aku tidak tahu, Kek. Ia hanya
berpamitan kepada Kakek Resi Parangkara
bahwa ingin pergi mencari Pendekar Mabuk.
Pasti ia tidak tahu kalau Pendekar Mabuk ada
di daerah ini!"
Perawan Sinting menyahut, "Bicaramu
melantur lagi, Manggar Jingga. Pendekar
Mabuk tidak ada di daerah sini! Mungkin di
pesisir utara sana, atau...."
"Siapa bilang di sini tidak ada Pendekar
Mabuk" Lalu orang yang berdiri di
sampingmu itu siapa?" sergah Manggar
Jingga agak ngotot.
Perawan Sinting segera memandang ke
samping, menatap wajah Suto yang hanya
senyum-senyum saja bagai tak
mendengarkan perdebatan tersebut. Tulang
Geledek juga menatap Suto dengan dahi
berkerut. Pandangan si tua berjubah abu-abu
itu terasa merayapi sekujur tubuh Suto dari
kepala sampai kaki.
"Aku kenal gurunya Pendekar Mabuk,"
kata Tulang Geledek. "Sahabatku pernah
memberitahukan bahwa si Gila Tuak sudah
mempunyai murid bergelar Pendekar Mabuk.
Tapi tidak semua orang mengenal nama asli si
Gila Tuak, kecuali para sahabatnya dan
muridnya sendiri."
Suto menyahut, "Jadi Eyang Tulang
Geledek juga tahu bahwa si Gila Tuak
mempunyai nama asli Ki Sabawana"!"
"Lho..." Kamu tahu nama itu"!" Tulang Geledek tersentak heran.
Suto tersenyum tipis dan berkata lagi,
"Ki Sabawana mempunyai saudara
seperguruan yang bernama Bidadari Jalang."
"Eh... tahu juga kau?"
"Nama asli Bidadari Jalang adalah
Nawang Tresni."
"Lho, tahu juga nama itu"!"
Manggar Jingga menyahut, "Ya, tentu
saja Suto tahu, sebab dia muridnya si Gila
Tuak yang bergelar Pendekar Mabuk!"
Perawan Sinting diam saja dengan kedua
tangan bersidekap di dada. Kalem, tapi
sebenarnya hati menjadi deg-degan bagai
dikejar anjing. Ketika suasana menjadi hening
karena Tulang Geledek terbengong pandangi
Suto, maka Perawan Sinting pun berkata
dengan lagak biasa-biasa saja.
"Hmmm... sebaiknya Eyang Tulang
Geledek segera antar si Manggar Jingga ke
Teluk Sendu. Kurasa gurunya juga akan
kebingungan mencari Manggar Jingga."
"Lalu, kau sendiri mau ke mana,
Perawan Sinting?" tanya Tulang Geledek.
"Aku tetap akan memburu Rogana."
"Hati-hati, dia sangat berbahaya untuk
gadis sepertimu, Perawan Sinting."
"Terima kasih atas saranmu, Eyang."
"Kalau begitu aku akan berangkat
sekarang juga bersama Manggar Jingga."
Suto segera berkata kepada Manggar
Jingga, "Katakan kepada Puting Selaksa,
tunggu aku di Teluk Sendu. Jangan ke mana-
mana. Aku akan berkunjung ke sana dalam


Pendekar Mabuk 085 Perawan Sinting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

waktu dekat ini!"
"Baik. Akan kusampaikan pesanmu itu!"
Lalu, Manggar Jingga pun pergi bersama
Tulang Geledek. Pendekar Mabuk dan
Perawan Sinting masih diam di tempat
pandangi kepergian mereka hingga mereka
menghilang dari pandangan mata.
"Kau tetap akan memburu Rogana"!"
tanya Suto. "Ya, kurasa... kurasa kau tak keberatan
jika mendampingiku, bukan?"
"O, sangat keberatan!" jawab Suto
dengan lagak tengil. "Kurasa kau tak butuh bantuanku dalam berurusan dengan
Rogana." "Memang aku tak butuh bantuanmu.
Aku hanya membutuhkan bantuan tokoh
sakti yang sekarang baru kuingat ciri-cirinya.
Tokoh sakti itu adalah Pendekar Mabuk."
"Sayang sekali di sini tak ada Pendekar
Mabuk, ya?" sindir Suto Sinting membuat
gadis berompi cekak itu sembunyikan rasa
malunya. Perawan Sinting melangkah pelan-pelan,
ia berharap akan diikuti oleh Suto. Tapi saat
itu Suto Sinting justru mengucapkan kata
perpisahan dengan nada tegas.
"Sampai jumpa di lain waktu dan
tempat, Perawan Sinting."
Gadis itu kaget dan berpaling ke
belakang. Zlaaap...! Suto sudah berpindah
tempat yang tidak diketahui Perawan Sinting.
Wajah gadis itu tampak kecewa, dan Suto
melihat jelas dari balik persembunyiannya di
atas pohon, ia pun tahu wajah cantik yang
kecewa itu lama-lama berubah menjadi
murung dan akhirnya cemberut kesal.
Bahkan Suto dapat mendengar dengan jelas
seruan Perawan Sinting sebagai ungkapan
kejengkelannya.
"Aku percaya kau Pendekar Mabuk! Tapi
aku tak mau mengagumimu, Setan!"
Suto Sinting tertawa sendiri dengan
mulut ditutup tangan kuat-kuat. Lalu ia
membiarkan gadis itu pergi dengan
memendam kedongkolan dalam hatinya.
"Kau pasti berharap aku mau
mendampingimu. Tapi aku ingin menghajar
keangkuhanmu yang tadi, Perawan Sinting!"
Suto membatin sambil pandangi arah
kepergian Perawan Sinting. Kemudian ia pun
bergerak mengikuti gadis itu.
Ilmu peringan tubuh dipergunakan
bersama-sama jurus 'Gerak Siluman',
sehingga gerakan Suto tak terdengar oleh
gadis yang diikutinya. Pucuk-pucuk daun
diinjaknya tanpa timbulkan suara gemerisik.
Ranting-ranting kering pun dipakai tumpuan
berdiri tanpa patah sedikit pun. Meski si
Perawan Sinting bergerak seperti kilat takut
dikejar setan, tapi Suto Sinting mampu
ungguli gerakan itu, sehingga kini Perawan
Sinting berada dalam pengawasan Suto.
Langkah gadis berpakaian sangat
menantang gairah kaum lelaki itu akhirnya
terhenti oleh kemunculan dua orang dari
balik gugusan tanah yang membukit. Kedua
orang itu agaknya sengaja menghadang
langkah Perawan Sinting dengan gerak-gerik
mencurigakan. "Hmmm... siapa mereka berdua itu?"
tanya Suto dalam batinnya sambil tetap
mengintai gerak-gerik si Perawan Sinting dan
dua penghadangnya itu. Pendekar Mabuk
juga pergunakan jurus 'Sadap Suara' untuk
membantu mempertajam pendengarannya,
sehingga ia dapat mendengar percakapan
orang-orang yang diintainya.
"Mengapa kalian menghadangku dengan
sikap begitu, Sanca Welang dan Pelung
Geni"!" sapa Perawan Sinting dengan kalem.
"Pangeran Cabul mengutus aku dan
Sanca Welang untuk menangkapmu, Perawan
Sinting!" jawab lelaki agak gemuk yang
berpakaian berikat kepala merah garis-garis
putih itu. "O, berarti orang itu yang bernama
Pelung Geni," pikir Suto. "Dan yang tanpa ikat kepala berbadan kurus itu bernama
Sanca Welang. Sepertinya mereka orang Istana
Tengkorak, sebab selain pakaian mereka
serba biru, Pelung Geni tadi mengatakan
bahwa ia diutus oleh Pangeran Cabul.
Hmmm... agak aneh juga. Mengapa Perawan
Sinting mau ditangkap, sedangkan tadi
Perawan Sinting mengaku tak punya urusan
dengan pihak Pangeran Cabul"!"
Perawan Sinting memang terkesip dan
berkerut dahi mendengar ucapan Pelung Geni
tadi. Ia pandangi lelaki bersenjata kapak dua
mata itu, dan kesimpulannya mengatakan
bahwa lelaki itu bicara dengan serius, bukan
sekadar bercanda.
"Bicaramu kurang benar, Pelung Geni!
Mungkin maksudmu, Pangeran Cabul
mengundangku hadir ke Istana Tengkorak,"
kata Perawan Sinting mencoba berlagak salah
tanggap. Tapi Pelung Geni tegaskan lagi, "Tugas
yang kami terima adalah menangkapmu!
Bukan mengundangmu ke Istana Tengkorak."
"Aneh sekali" Biasanya orang yang mau
ditangkap adalah orang yang punya
kesalahan. Sedangkan aku tak punya
kesalahan apa-apa dengan pihakmu, Pelung
Geni!" Sanca Welang menyahut, "Tugas ini
kami terima sejak dua hari yang lalu. Tapi
baru sekarang kami dapat menemuimu,
Perawan Sinting."
"Dengan alasan apa Pangeran Cabul
ingin menangkapku"!"
"Penjelasannya di istana saja. Sebaiknya
kau ikut kami ke istana sekarang juga," sahut Pelung Geni.
"Kuharap kau jangan membangkang
agar kami tidak lakukan kekerasan padamu,
Perawan Sinting," timpal Sanca Welang.
Perawan Sinting tersenyum tipis
berkesan sinis.
"Kalian pikir aku keong sawah yang
ditangkap tanpa perlawanan?"
"Jika kau membangkang, terpaksa kami
akan tega melukaimu, Perawan Sinting," ujar Pelung Geni.
"Hmm! Apa kau sanggup melukaiku,
Pelung Geni" Apakah kau belum tahu siapa
aku"!"
"Aku tahu kau murid Nyai Gagar
Mayang. Aku juga tahu kau dulu pernah gila
karena dipaksakan menerima seluruh ilmu
Nyai Gagar Mayang, sehingga sampai
sekarang kau dikenal dengan nama Perawan
Sinting. Dan mendiang gurumu memang tak
pernah terlibat perkara apa pun dengan
Pangeran Cabul. Tapi sekarang keadaan
Istana Tengkorak telah berubah dan menjadi
lain dengan yang dulu, Perawan Sinting."
"Jelaskan perubahan itu!"
"Tak ada waktu lagi!" sahut Sanca
Welang mengawali ketidakramahan mereka.
Bahkan ia menambahkan kata dengan nada
terang-terangan mengancam.
"Kau mau ikut kami atau mati di tangan
kami! Pilih salah satu; mati atau ikut?"
"Bagaimana kalau aku memilih 'atau'
nya saja"!" jawab Perawan Sinting berkesan meremehkan tantangan itu.
Sanca Welang mulai tampak marah.
Senjata pedang besar bergagang panjang
setengah depa itu mulai berpindah tangan
dari kiri ke kanan. Pelung Geni menarik
sedikit kapaknya yang terselip di sabuk hitam
agar dapat dicabut lebih mudah lagi.
"Jika aku terpaksa bertindak kasar
padamu, jangan salahkan diriku, Perawan
Sinting!" ujar Pelung Geni yang berusia
sekitar empat puluh tahun, sebaya dengan
Sanca Welang. "Kalau begitu kutegaskan saja kepada
kalian: aku mau dibawa ke Istana Tengkorak
dalam keadaan sudah menjadi mayat!"
"Wah, berani sekali dia bicara begitu"!"
gumam hati Pendekar Mabuk, ia tetap diam di
tempatnya sampai akhirnya Sanca Welang
berkata dengan suara lebih keras lagi.
"Kalau begitu, akulah yang akan
mengubahmu menjadi mayat! Hiaaah...!"
Sanca Welang melompat dengan senjata
pedang besarnya diarahkan ke depan, ingin
dihujamkan ke dada Perawan Sinting. Tetapi
gadis lincah itu tahu-tahu melesat ke atas
melebihi ketinggian kepala Sanca Welang.
Di atas sana, tanpa diduga-duga
Perawan Sinting lepaskan pukulan tenaga
dalamnya berupa kibasan tangan bagai
memercikkan air ke arah Pelung Geni.
Praat...! Pelung Geni kaget, tahu-tahu tubuhnya
bagai diterjang seekor banteng yang sedang
mengamuk. Brruus...! Tubuh agak gemuk itu
terlempar bagai kapas dihempas angin, ia
jatuh berguling-guling bagaikan karung pasir.
Gdebuk...! Gluduk, gluduk...!
Sanca Welang segera sentakkan
senjatanya ke atas menyambut turunnya
tubuh Perawan Sinting. Suuut...! Tapi ujung
kaki Perawan Sinting menjejak kecil ujung
pedang itu, dan tubuhnya dapat melambung
lebih tinggi lagi, kemudian bersalto ke udara
dua kali. Wuuuut, wess, wess...! Jleeeg...!
Perawan Sinting daratkan kaki di atas
sebongkah batu hitam yang tingginya sebatas
pundak Sanca Welang. Kedua tangannya
mengembang memainkan jurus tangan
kosong. Indah sekali gerakannya.
Tiba-tiba Pelung Geni melepaskan
pukulan bersinar merah dari telapak
tangannya. Wuuus...! Sinar yang menyerupai
kobaran api itu datang dari arah belakang
Perawan Sinting. Gadis
itu ingin merundukkan kepala, tapi dari arah
depannya sudah telanjur muncul serangan
Sanca Welang yang melemparkan senjata
rahasia menggunakan tangan kirinya.
Ziiing...! Gerakan logam itu memutar
memercikkan bunga api dan gerakannya
cukup cepat. Jika Perawan Sinting
merundukkan kepala maka ubun-ubunnya
akan tertancap senjata rahasia itu.
Akhirnya Perawan Sinting lakukan satu
sentakan kecil kakinya, dan tubuh pun
melenting ke atas dalam gerak berjungkir
balik. Wuuuss...! Blaaarr...! Pukulan bersinar merah bagaikan
semburan api itu bertabrakan dengan senjata
rahasia Sanca Welang hingga timbulkan
ledakan cukup kuat. Tetapi gelombang
ledakan itu tak sampai membuat Perawan
Sinting kehilangan keseimbangan, ia justru
mendapat pijakan kaki pada batang pohon.
Kaki itu menjejak cepat, dan tubuhnya
melayang ke satu arah, menjejak pohon lagi,
melesat kembali, menjejak pohon, melesat
lagi... begitu seterusnya dilakukan dalam
gerakan zig-zag dan sangat cepat.
Wut, wut, wut, wut, wut, wut...!
Gerakan yang membingungkan lawan itu
terjadi beberapa saat lamanya. Pelung Geni
dan Sanca Welang menghantamnya baik
dengan senjata tajam maupun dengan
pukulan bersinar, namun tak satu pun
serangan mereka yang mengenai tubuh
Perawan Sinting.
"Edan! Gerakannya cepat dan
memusingkan"!" gumam Suto Sinting dengan
bola matanya bergerak cepat mengikuti arah
gerakan gadis itu.


Pendekar Mabuk 085 Perawan Sinting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Deees...! Wuuut, wut, wut, wut...!
Kepala Sanca Welang dipakai pijakan
kaki Perawan Sinting. Padahal setiap batang
pohon yang dipakai sebagai pijakan atau
terkena jejakan kaki Perawan Sinting selalu
mengepulkan asap dan menjadi hangus.
Karenanya, Sanca Welang sempat memekik
keras ketika ubun-ubun kepalanya dipakai
pijakan kaki Perawan Sinting.
"Aaaaaow...!!"
Tahu-tahu gadis itu sudah ada di pohon
belakang Pelung Geni. Kakinya menjejak
batang pohon tersebut, tubuhnya melesat
cepat dan menyambar kepala Pelung Geni
dari belakang. Dees...!
"Aaaahk...!" Pelung Geni memekik keras-keras dan segera terpelanting jatuh dalam
keadaan kepala menjadi retak dan berdarah.
Wut, wut, wut, wut...!
Perawan Sinting masih bergerak cepat ke
sana-sini membingungkan dan sukar diikuti
dengan pandangan mata. Tahu-tahu ia sudah
meluncur dari arah kanan Sanca Welang dan
ujung kakinya menendang telak kepala itu.
Duuuuhk...! "Aaaaah.,.!!" Sanca Welang terpental, telinganya semburkan darah, ia jatuh
menggelepar mengerikan. Sementara itu,
Pelung Geni masih berusaha bangkit dengan
sempoyongan. Weess...! Prook...!
Baru saja Pelung Geni tegak, tahu-tahu
sudah disambar kaki yang tak diketahui
kedatangannya. Pelung Geni tak bisa
memekik lagi, ia hanya mengerang dengan
suara tertahan sementara wajahnya menjadi
hitam hangus dan berasap. Cairan darah
yang mengalir dari hidung dan matanya
bukan berwarna merah, melainkan berwarna
hitam. Wut, wut, jleeg...!
Perawan Sinting akhirnya hentikan
gerakannya dengan menapakkan kaki di atas
tanah yang mcnggunduk setinggi lutut.
Pendekar Mabuk terbengong-bengong
dan tak bisa mengedipkan matanya. Baru
sekarang ia melihat gerakan secepat itu dan
sukar diikuti oleh pandangan mata. Jika
hanya terjadi dua-tiga kali gerakan itu sudah
sering dilihatnya. Tapi jika terjadi sampai
lebih dari dua puluh kali gerakan, hai itu
baru sekarang dilihatnya.
"Melihat gerakannya saja sudah pusing
apalagi terkena tendangan kakinya yang
bertenaga dalam tinggi itu"!" pikir Pendekar Mabuk dengan mulut melompong hingga
lidahnya kering. Ia segera menenggak tuaknya
sedikit, hanya sebagai pembasah mulut dan
tenggorokan saja.
"Ooh... agaknya Pelung Geni baru saja
hembuskan napas terakhir"!" gumam Suto
dalam hati. Perawan Sinting hanya sunggingkan
senyum sinis melihat Pelung Geni tak
berkutik lagi. Tak akan lama kemudian,
Sanca Welang pasti akan menyusul arwahnya
Pelung Geni. Yakin akan hal itu, Perawan
Sinting akhirnya tinggalkan tempat tersebut
dan tak mau peduli lagi dengan kedua utusan
Pangeran Cabul itu.
Namun baru saja ia berbalik badan ingin
pergi, tiba-tiba Sanca Welang bangkit sedikit dan lemparkan senjata rahasianya
berupa logam berputar yang memercikkan bunga api
itu. Weezzz...! Zuuurrb...!
"Aaahk...!" Perawan Sinting mengejang dengan keluarkan pekikan pendek. Senjata
rahasia itu menembus masuk ke dalam tubuh
melalui punggung gadis itu. Kejap berikutnya,
Sanca Welang pun jatuh terkulai kembali dan
menghembuskan napas terakhir. Pendekar
Mabuk memandang tegang dengan jantung
berdetak-detak.
"Celaka! Perawan Sinting akhirnya kena
juga! Aku harus segera menyelamatkan
jiwanya!" Zlaaaap...! Weesss...!
Tubuh Perawan Sinting disambar
Pendekar Mabuk dan dibawanya lari ke
tempat jauh, karena ia khawatir jika masih
ada bahaya yang tersembunyi di tempat itu.
* * * 6 MATAHARI tenggelam di langit barat.
Untung saat itu Pendekar Mabuk telah
temukan sebuah gua di lereng bukit, dalam
kerimbunan hutan belantara. Pintu masuk
gua itu nyaris tak terlihat dari luar karena
tanaman rambat yang merintangi jalan
masuknya. Kalau saja Suto tidak melihat seekor
musang berlari keluar dari gua itu, ia tak
tahu kalau di situ ada gua yang aman dan
terlindung dari bahaya orang-orang Istana
Tengkorak. Agaknya gua itu memang tempat
peristirahatan para musang, karena di bagian
depan banyak kotoran musang yang baunya
tak seharum keringat si Perawan Sinting.
Tetapi gua itu cukup dalam, dan Suto
membawa Perawan Sinting ke tempat yang
lebih dalam, lalu meletakkannya pada lantai
yang kering. Langit-langit gua cukup tinggi, walau
mempunyai lubang-lubang yang biasa
digunakan masuknya air hujan atau sinar
matahari. Pada saat Pendekar Mabuk
membawa masuk Perawan Sinting ke gua
tersebut, keadaan alam masih diliputi senja
dan cahaya sinar matahari masih membias
masuk ke dalam lorong gua tersebut.
Sebelum petang tiba, Suto Sinting
menyempatkan diri mencari kayu bakar,
maka jadilah api unggun sebagai penerang
sekaligus penghangat lorong gua itu.
Sementara si Perawan Sinting masih
dibiarkan terbaring di atas tanah yang diberi
alas dedaunan semak alakadarnya.
Perempuan itu masih belum sadarkan
diri akibat racun ganas yang nyaris
meledakkan isi tubuhnya itu. Kalau saja
Pendekar Mabuk tidak hentikan dulu
pelariannya sebelum masuk gua untuk
memberi minum tuak kepada Perawan
Sinting, rasa-raranya gadis itu tak sampai
matahari terbenam sudah kehilangan nyawa.
Tuak tersebut dikucurkan begitu saja di
mulut si gadis yang ternganga. Sebagian
tertelan, sebagian terbuang luber. Tapi berkat tuak tersebut, logam senjata
rahasia yang tadi memercikkan bunga api itu tersentak keluar
sendiri dari dalam punggung Perawan Sinting.
Darah hitam mengalir beberapa saat,
kemudian luka pun mengering dan menjadi
rapat kembali seperti tak pernah tergores apa
pun. Darah-darah yang menghitam
berceceran itu lenyap bagai terserap udara.
Namun keadaan si gadis masih pingsan, dan
Suto Sinting segera mencarikan tempat untuk
berlindung. Lorong gua itu masih panjang.
Kedalamannya sukar diukur. Pendekar
Mabuk mencoba memeriksa keadaan lorong
yang lebih dalam dengan menggunakan
sebatang kayu bakar sebagai penerang jalan.
Ternyata lorong itu berliku-liku dan tidak
mempunyai cabang ke sana-sini. Semakin
dalam keadaannya semakin lebar, langit-
langit lorong semakin tinggi, lantainya
semakin kering, dan banyak batu yang
berserakan. "Barangkali lorong ini dulunya adalah
sungai saluran lahar dari gunung berapi yang
tadi kulihat berada di balik bukit ini," pikir Suto sambil memandangi dinding
kanan-kirinya. "Sepertinya tak ada bahaya apa-apa, lebih baik aku segera kembali
ke tempat Perawan Sinting. Jangan-jangan dia pergi
mencariku keluar gua."
Pada saat itu, Perawan Sinting mulai
sadar dari pingsannya, ia terkejut
mendapatkan dirinya berada di sebuah
ruangan selebar
tujuh langkah dan
berdinding cadas berlumut. Namun ia segera
paham bahwa ruangan itu adalah sebuah
gua. "Siapa yang menyalakan api unggun
itu?" pikirnya sambil memperhatikan nyala api unggun yang tenang karena
terhindar hembusan angin kencang. Perawan Sinting
termenung beberapa saat, lalu segera ingat
akan pertarungannya dengan Sanca Welang
dan Pelung Geni. Ia juga ingat bahwa
punggungnya sempat terkena sesuatu yang
amat menyakitkan, panas, dan melumpuhkan
seluruh urat-uratnya, ia tak tahu dari mana
asalnya dan benda apa yang telah menembus
masuk punggung, yang jelas ia yakin ada
seseorang yang menyerangnya dan membuat
dirinya pingsan.
"Tapi... punggungku sepertinya tak
terluka lagi" Rasa panas dan sakit tak
kurasakan pula"!" gumam gadis itu sambil
meraba-raba punggungnya.
"Aku yakin bahwa aku tadi terluka. Jika
ternyata lukaku menjadi rapat kembali dan
kulit punggungku menjadi halus tanpa luka
sedikit pun, seperti yang dialami oleh Eyang
Tulang Geledek, maka tak ada orang lain yang
bisa lakukan penyembuhan seajaib ini selain
si Pendekar Mabuk itu! Hmmm... di mana dia
sekarang" Kurasa dia juga yang membawaku
kemari dan menyalakan api unggun.
Apakah... apakah dia hanya sekadar
menyelamatkan aku dan menaruhku di sini
lalu meninggalkan pergi"!"
Perawan Sinting memeriksa keadaan
sekeliling. Lorong tampak gelap, ia tak tahu
lorong itu membelok ke sana-sini dan sedang
disusuri oleh Pendekar Ma-buk. Bias cahaya
api bakar yang dibawa Suto tak sempat
terlihat oleh Perawan Sinting karena keadaan
Suto sudah agak jauh dari tikungan lorong
yang terlihat dari tempat gadis itu.
"Ah, persetan dengan siapa pun yang
membawaku kemari!" geram Perawan Sinting
agak dongkol karena tak menemukan siapa-
siapa. "Yang penting aku telah selamat,
badanku jadi segar dan berada di tempat
aman!" sambil gadis itu mendiang di dekat api unggun.
"Aneh sekali, mengapa Pangeran Cabul
ingin menangkapku" Mengapa pihaknya
bersikap bermusuhan denganku" Padahal
aku tak punya salah apa-apa terhadap
Pangeran Cabul dan orang-orangnya. Atau...
barangkali ada pihak lain yang memfitnahku,
sehingga aku menjadi buronan sang
Pangeran"!" Perawan Sinting membatin
sambil tangannya memainkan sebatang
ranting yang ujungnya telah terbakar.
"Padahal sewaktu ada Suto, empat orang
yang tewas di sana itu tampak melepaskan
serangannya ke arah Suto, bukan ke arahku"!
Tapi kenapa sekarang yang mau ditangkap
adalah diriku" Mengapa bukan pemuda
tampan yang sering bikin hatiku berdebar-
debar itu"!"
Renungan tersebut terpaksa harus
dihentikan, karena kepekaan telinga Perawan
Sinting menangkap suara langkah kaki dari
lorong belakangnya, ia segera berpaling cepat
dan siap mencabut pedang. Bias cahaya
mulai tampak mendekat. Beberapa saat
kemudian, tampaklah sesosok tubuh kekar
dan gagah yang membawa kayu berapi
sebagai ganti obor itu. Wajah tampan
terpampang jelas di belakang api tersebut.
Perawan Sinting segera hembuskan napas
lega, karena ia segera mengenali si pembawa
kayu berapi itu adalah Pendekar Mabuk; Suto
Sinting. "Oh, kau sudah sadar rupanya"!" sapa Suto pertama kali walau Perawan Sinting
segera bersikap acuh tak acuh.


Pendekar Mabuk 085 Perawan Sinting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dari mana kau?" tanya si gadis sambil bermain api dengan ranting kecil lagi. Ia
sengaja tak memandang ke wajah Pendekar
Mabuk. "Aku dari jalan-jalan memeriksa lorong
panjang ini," jawab Suto, kemudian ia duduk di atas batu setinggi betis. Batu
itu berdempetan dengan batu besar, sehingga
bisa dipakai bersandar punggung si Pendekar
Mabuk. "Apa yang kau dapat di kedalaman
sana" Perempuan purba yang tanpa
busana"!"
Pendekar Mabuk tertawa pendek. "Kalau
ada sudah kubawa kemari!" jawabnya dengan konyol.
Perawan Sinting tidak tersenyum sedikit
pun. Bibirnya yang sensual dan enak digigit
menurut bayangan Suto itu, kini dalam
keadaan terkatup rapat.
Pendekar Mabuk memandanginya dari
arah samping. Hati sang pendekar muda
berkecamuk dengan desir-desir yang
menghadirkan perasaan indah
melambungkan jiwa.
"Dalam siraman cahaya api unggun,
wajah itu semakin tampak lebih cantik lagi.
Kecantikannya berbeda dengan kecantikan
calon istriku; Dyah Sariningrum. Kecantikan
gadis ini lebih alami, seperti kecantikan gadis desa yang lugu tanpa rias apa
pun. Mata dan bibirnya selalu memancarkan ajakan
bercumbu. Apalagi dia berbadan tinggi, sekal,
kencang, dan... oh, benar-benar corak gadis
tahan bantingan! Kurasa dia cukup ganas jika
sedang bercinta."
Lama-lama gadis berkalung hitam
dengan batuan ungu sebesar mata kucing itu
merasa risi dipandangi terus, ia pun segera
palingkan wajah dan menatap Suto Sinting
terang-terangan.
"Apa maksudmu memandangiku terus-
terusan?" tegurnya membuat Suto salah
tingkah dan tersipu-sipu. Lebih salah tingkah
lagi setelah gadis itu mendekatinya dan
duduk di batu samping kiri Suto dalam jarak
kurang dari satu jangkauan, ia menatap
lekat-lekat wajah Pendekar Mabuk dari arah
samping, sementara yang ditatap justru
berlagak merapatkan tutup bumbung
tuaknya. "Dua kali kau menyelamatkan nyawaku.
Tapi bukan berarti kau boleh seenaknya
memandangiku terus-terusan!" ujarnya
bernada ketus. Pendekar Mabuk tarik napas, menjaga
ketenangan sikapnya.
"Apa ruginya jika hanya dipandangi
saja?" "Ada ruginya," jawabnya cepat. "Kau
membuat hatiku berdebar-debar. Kalau
hatiku berdebar-debar terus, maka jantungku
akan rusak. Kalau jantungku rusak, berarti
usiaku cekak!"
Pendekar Mabuk sunggingkan senyum
menawan, tapi tidak diarahkan kepada
Perawan Sinting, ia masih berlagak sibuk
dengan bumbung tuaknya. Kini dalam
suasana sama-sama membisu, Suto menjadi
kikuk dan berdebar-debar lebih kuat lagi,
karena ia sadar bahwa gadis di sebelahnya
memandanginya terus tanpa berkedip.
Bahkan untuk melontarkan satu pertanyaan
ataupun kata terasa sulit. Lidah Suto
bagaikan kelu. "Ke mana arah tujuanmu sebenarnya,
Pendekar Mabuk?" tanya Perawan Sinting
dengan nada serius walau suaranya pelan.
"Aku sedang mengejar musuh utamaku."
"Siapa musuh utamamu itu?"
"Siluman Tujuh Nyawa!"
"O, ya..."!" Perawan Sinting sebenarnya terkejut, karena ia sering mendengar
cerita dari para sahabat gurunya tentang kekejaman
Siluman Tujuh Nyawa yang dikenal sebagai
manusia sesat terkutuk itu. Namun rasa
kagetnya itu mampu disembunyikan sehingga
ia tampak tenang-tenang saja, bahkan
berkesan meremehkan kata-kata Suto.
"Siapa yang diburu sebenarnya" Kau
memburu dia, atau dia memburumu?"
"Tergantung siapa yang lengah!" jawab Suto tak bisa diremehkan lagi.
"Hebat sekali kalau kau berani memburu
tokoh terkutuk yang berilmu tinggi itu?"
sindir Perawan Sinting.
"Tak ada yang kutakuti jika melawan
dia!" tegas Suto kini berani menatap untuk menampakkan kesungguhan ucapan itu.
"Cepat atau lambat, aku harus berhasil
memenggal kepalanya!"
"Mudah-mudahan bukan kepalamu yang
terpenggal," ucap Perawan Sinting sambil membuang pandangan sejenak, lalu
kembali melirik Pendekar Mabuk.
"Sebelum aku melihatmu, aku sedang
mengejarnya. Tapi aku kehilangan jejak,
celingak-celinguk sana-sini, eeh... justru
mendapatkan seraut wajah cantik yang punya
kelincahan gerak mengagumkan," ujar Suto
mulai merayu. "Siapa yang kau maksud seraut wajah
cantik itu?" pancing Perawan Sinting.
"Eyang Tulang Geledek!" jawab Suto
konyol, ia sengaja memancing senyum
Perawan Sinting, tapi senyum yang mekar di
bibir sexy itu hanya sekelumit dan berkesan
sinis. Gadis itu segera melepas pedangnya
dari punggung, menarik pedang sedikit dari
sarungnya. Cahaya hijau pijar tampak keluar
dari mata pedang tersebut.
"Bagus sekali pedangmu itu! Pusaka
milik siapa?"
"Mendiang guruku; Nyai Gagar Mayang!"
jawab Perawan Sinting. "Kalau kau ingin
memburu Siluman Tujuh Nyawa, pakailah
pedang ini."
"Mengapa harus begitu?"
"Pedang ini ditakuti oleh Siluman Tujuh
Nyawa. Mendiang Guru pernah melawan
Siluman Tujuh Nyawa di atas kapal. Ketika
Guru mencabut pedang ini, Siluman Tujuh
Nyawa segera melarikan diri."
"Setahuku Siluman Tujuh Nyawa hanya
bisa dibunuh dengan Pedang Kayu Petir. Dan
aku tahu pedangmu itu bukan Pedang Kayu
Petir." Suto tak sadar kalau sejak ia menyebut
Pedang Kayu Petir mata Perawan Sinting
menjadi terkesip dan menatap dengan tajam.
Dahi gadis itu pun mulai berkerut. Dan ketika
Suto menatapnya, gadis itu segera ucapkan
kata dengan nada pelan namun penuh
tekanan rasa heran.
"Rupanya kau mengenal nama pedang
maha sakti itu, ya"!"
"Sedikit banyak aku pernah
menggunakan pedang tersebut."
"Oh, alangkah besarnya tipuanmu."
"Terserah penilaianmu, tapi itulah
kenyataan yang pernah kualami," kata Suto sambil membayangkan pedang maha
dahsyat itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode : "Pedang Kayu Petir" dan "Seruling Malaikat").
"Kalau benar kau mengenal Pedang Kayu
Petir, tentunya kau tahu siapa yang menjelma
sebagai Pedang Kayu Petir itu?" Perawan
Sinting menguji kejujuran Suto. Pertanyaan
itu membuat Suto tersenyum meremehkan.
"Pedang Kayu Petir itu jelmaan dari
Eyang Agung Cipta Mangkurat...."
Perawan Sinting tersentak terang-
terangan. Kepalanya sempat ditarik mundur
dan matanya mulai melebar. Suto tak peduli
dan tetap lanjutkan ucapannya tadi.
"Eyang Agung Cipta Mangkurat
mempunyai cucu, yang menjelma sebagai
bambu dan menjadi bumbung tuakku ini!"
"Siapa nama cucu Eyang Agung Cipta
Mangkurat itu?"
"Aku tak berani menyebutkan. Karena
nama itu jika disebutkan, maka akan terjadi
hujan petir diiringi hembusan badai yang
dapat mengguncangkan bumi. Jadi...."
"Ya, aku tahu nama cucu beliau.
Menggunakan nama depan Wijaya!"
Kini Pendekar Mabuk tersentak kaget.
Sangat kaget, hingga ia bangkit berdiri
dengan memandang tajam pada si Perawan
Sinting. Jawaban itu memang benar. Untung
Perawan Sinting tidak menyebutkan nama
lengkap: Wijayasura. Jika sampai disebutkan
secara lengkap, Suto dapat membayangkan
gua itu akan runtuh menimbun mereka
berdua. "Bagaimana mungkin kau bisa tahu
nama itu"!" tanya Suto dengan suara seperti orang berbisik, ia duduk kembali,
karena dilihatnya si Perawan Sinting tetap duduk
tenang. "Barangkali cerita yang kau dengar
kurang lengkap," ujar Perawan Sinting sambil merapatkan pedangnya ke dalam
sarung pedang. "Kurang lengkap bagaimana?"
"Eyang Agung Cipta Mangkurat
mempunyai istri. Tahukah kau nama istri
beliau?" "Tidak," jawab Suto Sinting tegas-tegas.
"Beliau bernama: Nyimas Rohing
Pandewi!" Suto berkerut dahi makin tajam. "Dari
mana kau tahu?"
"Mendiang guruku; Nyai Gagar Mayang,
adalah keturunan ketujuh dari Nyimas
Rohing Pandewi."
Jantung Suto berdetak cepat, darahnya
bagai mengalir deras mengitari sekujur
tubuh, ia merasa semakin lebih dekat
mengenal siapa Perawan Sinting itu.
"Eyang Gusti Nyimas Rohing Pandewi
berubah menjadi pedang ini yang dinamakan
Pedang Galih Petir. Hanya guruku yang boleh
memegang pedang ini. Karena dari tujuh
turunan Eyang Gusti Nyimas Rohing Pandewi,
hanya Guru yang tidak menikah dan tetap
suci. Jika Guru punya adik atau kakak, yang
perempuan dan masih suci, maka pedang ini
akan jatuh ke tangan mereka. Tapi karena
Nyai Guru Gagar Mayang adalah anak
tunggal, maka pedang ini boleh diwariskan
kepada muridnya, asal murid itu adalah
murid tunggal. Dan kebetulan aku adalah
murid tunggal Nyai Guru Gagar Mayang."
Pendekar Mabuk langsung tertegun
dengan kaki dan tangan gemetar. Baru
sekarang ia mendengar penjelasan tentang
adanya Pedang Galih Petir.
"Mengapa Guru tak pernah jelaskan
tentang pedang ini padaku" Bahkan Resi
Wulung Gading sendiri tidak pernah
menyinggung-nyinggung tentang Pedang
Galih Petir ini. Sepertinya mereka tidak tahu
adanya Pedang Galih Petir sebagai jelmaan
dari Nyimas Rohing Pandewi. Atau...
barangkali mereka memang
merahasiakannya?"
Suto hanya ingat, bahwa dulu si Gila
Tuak pernah mengatakan tentang pasangan
setiap pusaka. Waktu itu, si Gila Tuak bicara
dengan nada bimbang.
"Setiap suami pasti mempunyai istri.
Demikian pula dengan pusaka, pasti ada
pasangannya."
"Maksudmu pemegang pusaka adalah
pasangannya, begitu Kek"!"
"Hmmm... ya, kira-kira begitu!" Jawab Gila Tuak jelas bernada bimbang, tapi pada
waktu itu Suto Sinting tidak mencurigai
kebimbangan itu.
Kini pendekar muda itu merasa seperti
orang bodoh di hadapan Perawan Sinting, ia
tak bisa banyak bicara tentang Pedang Galih


Pendekar Mabuk 085 Perawan Sinting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Petir, sedangkan si Perawan Sinting sedikit
banyak mengetahui adanya Pedang Kayu
Petir. Hanya saja, gadis itu tidak tahu di
mana Pedang Kayu Petir berada.
"Kelak, kalau waktunya sudah tiba,
pedang ini tidak boleh diwariskan kepada
siapa pun, baik keturunanku maupun
muridku. Jika diwariskan, maka kesaktian
pedang ini akan hilang, atau pedang ini akan
lenyap dengan sendirinya," ujar si Perawan Sinting.
"Jadi, harusnya bagaimana?"
"Jika aku sudah tua dan kematianku
hampir tiba, pedang ini harus disatukan
dengan Pedang Kayu Petir, sebagai suaminya.
Tapi aku tak tahu di mana Pedang Kayu Petir
itu berada. Tentunya kau mengetahuinya,
Suto!" "Ya, aku tahu. Pedang itu ada di tangan
Resi Wulung Gading yang bertempat tinggal di
Lembah Sunyi."
"O, ya... guruku juga pernah
menyinggung-nyinggung tentang Resi Wulung
Gading. Guru pernah berpesan padaku agar
suatu saat aku mencari seorang tokoh tua
yang bernama Resi Wulung Gading dan
membicarakan tentang pusaka Pedang Galih
Petir ini," Perawan Sinting manggut-manggut dan termenung dengan sendirinya.
"Apa keistimewaan Pedang Galih Petir
ini, Perawan Sinting?" tanya Suto masih
penasaran. "Suatu saat kau akan tahu. Sekarang
aku merasa belum waktunya kau tahu
banyak tentang pedang pusakaku ini!"
"Mengapa begitu?" desak Suto.
Perawan Sinting diam sejenak, seperti
dalam keraguan untuk menjawab hal yang
sebenarnya. Tapi akhirnya karena terlalu
lama dipandangi Pendekar Ma-buk, gadis itu
pun akhirnya memberi jawaban dengan suara
pelan. "Kelak kalau Rogana sudah mati, aku
akan menjelaskan keistimewaan pedang ini.
Sekarang pikiranku masih dibayang-bayangi
dendam kepada Rogana!"
Suto Sinting menarik napas. "Apakah
seorang pemilik Pusaka Pedang Galih Petir
diizinkan untuk balas dendam?"
"Selama bertindak demi kebenaran dan
menghancurkan keangkaramurkaan, pedang
ini tetap akan ada di tanganku. Satu-satunya
larangan adalah membunuh orang tak
bersalah, atau mencelakai tokoh aliran putih.
Jika hal itu kulakukan maka pedang ini akan
lenyap dengan sendirinya."
Sambil pandangi Perawan Sinting,
pemuda berhidung bangir itu manggut-
manggut dan menggumam lirih. Lama-lama
hatinya usil dan mulutnya segera ajukan
tanya kembali. "Apakah seorang pemegang pusaka
Pedang Galih Petir boleh jatuh cinta?"
"Menurut Guru boleh. Karena aku
adalah pemegang pedang ini yang terakhir."
"Juga boleh dicium?"
Perawan Sinting mulai sadar akan
keusilan Suto. Ia segera memandangi nanar
kepada pemuda yang ada di sampingnya.
Pandangan tanpa senyum itu sering membuat
Suto jadi salah tingkah sendiri. Tapi kali ini ia mencoba melawan kegundahan
hatinya dengan tetap memandang dan bersikap
tenang. Senyumnya justru dilebarkan hingga
memancarkan daya pesona tersendiri yang
membuat Perawan Sinting deg-degan.
"Apa maksud pertanyaanmu itu?"
"Hanya sekadar pertanyaan iseng saja,"
jawab Suto Sinting, kemudian duduknya
merebah dengan bersandar batu di
belakangnya. Tapi pandangan mata Perawan
Sinting masih mengikutinya, membuat Suto
akhirnya mengalihkan rasa risinya dengan
mengajukan pertanyaan lagi.
"Kau pernah jatuh cinta?"
"Sering," jawab Perawan Sinting dengan cuek. "Tapi selalu dalam khayalan."
"Dalam kenyataan?"
Gadis itu gelengkan kepala.
"Kalau begitu kau belum pernah dicium
seorang lelaki?"
"Sering," jawabnya lagi bernada
seenaknya. "Kapan kau dicium seorang lelaki untuk
pertama kalinya?"
"Aku tak ingat. Waktu itu...." Perawan
Sinting diam sejenak, mengalihkan
pandangan mata, menarik napas dalam-
dalam seperti menahan kedukaan. Hal itu
menarik perhatian Pendekar Mabuk sehingga
pemuda itu mendesaknya lagi.
"Waktu itu kau masih dalam masa
puber, begitu maksudmu?"
"Waktu itu... aku dalam keadaan tak
sadar. Maksudku, antara sadar dan tidak."
"Kau dibius oleh lelaki hidung belang,
begitu?" Perawan Sinting akhirnya menatap Suto
lagi. "Waktu itu aku sedang Gila karena
terlalu banyak menerima ilmu dari Guru."
"Ooh..."!" Pendekar Mabuk terkesip, lalu teringat kata-kata Pelung Geni sebelum
pertarungan itu dimulai.
"Aku memang pernah gila, berlari ke
sana-sini, berteriak-teriak, menyanyi, menari-
nari, dan... pada saat itu ada beberapa orang
lelaki yang memanfaatkan keadaanku. Aku
dinodai," ucapnya lirih sekali. "Tapi menurut beberapa temanku yang mengetahui,
hal itu kulakukan berulang-ulang dengan berbagai
lelaki. Aku tak tahu, mengapa pada saat itu
yang ada dalam benakku hanyalah bercinta
dan bercumbu, bersenang-senang dan
gembira, sampai akhirnya aku pernah
dipasung oleh Guru selama tiga purnama.
Tapi setelah aku sembuh dan sadar kembali,
hal itu tak pernah kulakukan dengan pria
mana pun."
Pendekar Mabuk diam sebentar
menyimpan rasa iba terhadap peristiwa yang
menyedihkan bagi si Perawan Sinting itu.
Agaknya gadis itu tak mau hanyut dalam
kesedihan terlalu lama. Maka ia segera
menarik napas panjang-panjang lalu berkata
tegas. "Lupakan saja kisah itu!"
"Sayang sekali waktu itu aku tidak ada."
"Apa maksudmu?"
"Coba kalau waktu kau masih Gila aku
bertemu denganmu."
"Kau akan ikut menciumku, begitu?"
Suto nyengir konyol. "Apakah tak
boleh?" Dengan masih tetap memandang nanap
kepada Suto, Perawan Sinting diam beberapa
saat lamanya, sampai akhirnya ia berkata
pelan. "Kalau begitu... sekarang aku sedang
Gila." Pendekar Mabuk makin berdebar-debar,
karena ia tahu maksud ucapan itu. Berarti ia
diizinkan untuk mencium gadis itu. Tapi
Pendekar Mabuk berlagak tak tahu maksud
tersebut, ia hanya mendesah dan
merentangkan kedua tangannya sambil
menguap. "Aahh...! Gila itu tidak bisa dibuat-buat."
"Siapa bilang?" ujarnya dalam suara
makin pelan, tapi wajah makin mendekat.
"Aku tahu sejak tadi kau ingin menciumku!"
"Kata siapa?" ujar Suto berlagak cuek.
"Kata hati kecilku!" sambil Perawan
Sinting lebih dekat lagi.
"Aku tak berselera menciummu!" tengil si Suto.
"Kalau begitu aku yang berselera!" tegas Perawan Sinting dalam nada mendesah.
"Cukup lama aku merindukan keindahan
seorang lelaki, tapi selama ini tak ada lelaki yang menggairahkan...."
Kata-kata itu tak dilanjutkan, karena
bibir Perawan Sinting telah menempel di pipi
Suto. Pemuda tampan itu diam saja. Bahkan
ketika bibir itu merayapkan kecupannya ke
dagu, Suto masih pura-pura bersikap dingin.
"Kau benar-benar tak berselera
padaku?" bisik Perawan Sinting yang
tangannya mulai meremas nakal di tempat
tertentu. "Tidak, aku tidak punya selera padamu,"
pancing Pendekar Mabuk, ia sengaja tak
memberikan reaksi apa-apa walau tangan
Perawan Sinting semakin nakal.
Rupanya gadis itu jengkel terhadap
sikap dingin Suto. Ia segera mengambil
bumbung tuak dengan berpura-pura ingin
minum. Ternyata dengan nekat Perawan
Sinting mengguyur tubuhnya dengan tuak
yang masih tersisa di dalam bumbung itu.
Tuak mengguyur dari kening sampai ke
sekujur badan bagian depan.
Krucuk, krucuk, krucuk, krucuk...!
"Edan...!"
Wuuut...! Suto menyambar bumbung
tuak setelah tersentak kaget melihat tindakan
gadis itu. "Kau benar-benar sinting! Tuak tinggal
sedikit dipakai buat mandi!" sentak Suto dan membuat Perawan Sinting hanya
tersenyum sinis sambil berbaring santai. Suto
bersungut-sungut dan menggerutu tak jelas
setelah mengetahui di dalam bumbung itu
tinggal tersisa beberapa teguk tuak; sekitar
tak sampai sepuluh tegukan lagi.
"Brengsek!" bentak Suto jengkel, si gadis semakin lebarkan senyum dan pandangi
Suto dengan mata sayu.
"Kalau kau sayang dengan tuakmu,
minumlah yang ada di tubuhku! Tuak ini
akan segera kering jika tidak segera kau
ambil, karena tubuhku saat ini sedang
panas." Pendekar Mabuk mulai mengerti
maksud tindakan itu. Ia juga merasa sayang
melihat tuak mengalir dari kening sampai ke
leher dan terus ke sela-sela dada, bahkan
bagian perut pun tampak basah hingga
bawahnya. Maka Suto pun segera mencucup
genangan tuak yang ada di kening gadis itu.
Kening dan wajah si gadis dihujani kecupan
dan sapuan lidah Suto. Gadis itu mendesah
merasakan desiran indah saat lidah Suto
mengeringkan tuak tersebut.
"Ooh, indah sekali sapuan lidahmu,
Suto. Ouuh... di sekitar mulutku banyak
sekali tuaknya, Suto. Ambillah, ambil...!" bisik Perawan Sinting dengan suara
mendesah. Suto pun segera menyapu tuak di sekitar
mulut gadis itu dengan lidahnya. Sapuan itu
mengenai bibir, dan bibir itu pun dikecupnya
karena menyimpan tuak juga.
Perawan Sinting membalas kecupan itu
dengan lumatan yang mengganas. Tangannya
mulai meremas-remas rambut kepala Suto
Sinting penuh gairah. Sementara rompinya
mulai dilebarkan oleh Suto dan dada yang
basah oleh tuak itu pun menjadi sasaran
kecupan bibir Suto.
"Oouuh...! indah sekali, Suto. Oooohh...
teruskan... teruskan dan jangan berpindah
dulu dari situ.... Aku suka sekali, Suto.
Uuuuhk...!"
Perawan Sinting mengerang dan
meraung-raung sambil meremasi rambut
kepala Suto. Sementara itu, Suto yang sudah
dibakar gairahnya oleh kehangatan tubuh
Perawan Sinting itu semakin menggila lagi.
Tak ada bagian dada yang lolos dari kecupan
dan sapuan lidah Suto.
"Bawah, Suto... bawah masih banyak
tuaknya, Suto. Oooh... teruskan, habiskan
tuaknya, Suto.... Aduuuh, indah sekali.
Aaaah...!"
Perawan Sinting tak malu-malu untuk
berteriak menampakkan keganasannya.


Pendekar Mabuk 085 Perawan Sinting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gerakannya pun semakin liar dan semakin
membakar gairah Pendekar Mabuk.
"Oh, Suto... terus! Teruuus...! Aku mau
terbang, Suto. Aku mau mencapai puncak
keindahan di sana. Teruuuuss.... Aaaah....
Sutooo, Sutoo, Sutoooooo...!!" jerit Perawan Sinting sambil menjambak rambut
Suto kuat-kuat dan menekan kepala pemuda itu dengan
seluruh urat mengejang.
"Ooh, hik, hik, hik...!" gadis itu bagaikan menangis karena merasakan keindahan
yang teramat tinggi dan mengalami kebahagiaan
yang luar biasa, ia memeluk Suto dengan
kedua kakinya. Napasnya terengah-engah
sambil sesekali masih memekik karena Suto
masih nakal. Akhirnya ia bangkit dan menarik lengan
Suto. Pemuda itu dibaringkan dengan baju
disentakkan ke kanan kiri. Lalu, tubuh Suto
pun menjadi sasaran keganasan bibir dan
lidahnya, ia membalas serangan Suto yang
tadi dengan lebih liar dan ganas. Sesekali
memberikan gigitan kecil yang menimbulkan
rasa nikmat tersendiri bagi si Pendekar
Mabuk. Napas Suto pun menjadi terengah-
engah diburu oleh kebahagiaan yang begitu
hangat. "Kau suka, Suto" Kau suka, hah"!"
tanyanya mencecar.
"Oh, aku suka sekali... teruskan...!"
"Aaahhrrr...!" gadis itu mengerang dan menyerang Suto lagi sampai pusat kepekaan
pemuda itu. "Aaow...!" Suto memekik sambil
meremas rambut Perawan Sinting.
Namun di sela-sela erangan dan pekikan
suara mereka, secara samar-samar mereka
mendengar suara jeritan yang memanjang
beberapa kali. Jeritan itu sangat kecil,
sepertinya datang dari tempat yang jauh.
"Perawan Sinting, tunggu dulu!" sentak Suto yang membuat gadis itu hentikan
cumbuannya. "Ada apa"! Kau tak tahan lagi"!" tanya Perawan Sinting sambil terengah-engah.
"Aku mendengar suara jeritan!"
"Oh, pasti itu pantulan gema suaramu
sendiri." "Bukan. Jeritan itu sepertinya jeritan
seorang gadis yang.... Nah, dengar itu!"
"Aaaaa...! Aaaaaa...!"
Perawan Sinting pun mendengar jeritan
itu, ia mulai sadar bahwa jeritan yang berasal dari tempat jauh adalah bukan
pantulan gema. Tapi benar-benar sepertinya ada
seorang gadis yang tersiksa dengan sangat
menyedihkan. "Jeritan itu ada di luar gua ini!" bisik Perawan Sinting sambil menelungkup di
atas Suto. "Menyedihkan sekali, ia meratap penuh
penderitaan," ujar Suto dengan pelan.
Perawan Sinting buru-buru mengenakan
pakaiannya kembali, demikian pula halnya
dengan Pendekar Mabuk. Mereka sepakat
untuk menolong gadis itu lebih dulu, setelah
itu baru melanjutkan kemesraan yang
sepanas bara itu.
"Suaranya seperti ada di kedalaman
lorong sana, Suto!"
"Bawa kayu api, kita cari sumber suara
itu!" Mereka pun bergegas memasuki lorong
yang tadi diperiksa Suto Sinting. Pemuda itu
berjalan lebih dulu karena ia merasa sudah
pernah memasuki lorong tersebut. Keduanya
sama-sama menggenggam kayu bakar sebagai
pengganti obor penerang jalan.
"Makin ke dalam tubuhku semakin
merinding, Suto!" bisik Perawan Sinting.
"Aku juga demikian. Waspadalah terus,
perhatikan jalanan di depan, siapa tahu ada
bahaya menghadang kita."
"Ooooouuh...! Aaaaaawwh...!" jeritan itu terdengar lagi.
"Suaranya semakin dekat, Suto! Lekas
lari...!" "Perawan Sinting, hati-hati kau!" seru Suto dengan berusaha menekan suaranya, ia
pun segera berlari mengikuti Perawan Sinting
yang tampak tak sabar lagi itu.
* * * 7 LORONG yang mereka susuri itu
semakin lebar. Jarak dinding kanan-kiri
sekitar sepuluh langkah. Bahkan di depan
mereka tampak bias cahaya terang yang
muncul dari tikungan lorong. Pendekar
Mabuk pun segera mencekal pundak Perawan
Sinting dan hentikan langkah gadis itu.
"Matikan apinya!" bisik Suto. "Sepertinya ada kehidupan lain di dalam lorong
ini!" Bluub, bluub...! Api pun dipadamkan.
Tanpa cahaya api dari kayu bakar, mereka
sudah dapat berjalan tanpa meraba-raba.
Keadaan tempat itu memang menjadi remang-
remang karena mendapat sisa pantulan bias
cahaya dari tikungan lorong. Tetapi hal itu
tidak membuat mereka kesulitan dalam
melangkah. Suto menggenggam tali bumbung tuak
sebagai persiapan jika sewaktu-waktu datang
bahaya. Sedangkan Perawan Sinting
menyelipkan pedangnya di pinggang, sambil
tangan kanannya selalu siaga mencabut
pedang tersebut.
"Suara jeritan itu telah hilang!" bisik Perawan Sinting.
"Memang. Tapi aku yakin suara itu
berasal dari lorong ini."
"Ssstt...! Sepertinya kudengar suara
napas besar yang menyeramkan," bisik
Perawan Sinting lagi.
"Aku juga mendengarnya! Perlambat
langkah kita dan hati-hati, jangan sampai
timbulkan bunyi!"
Mereka kini melangkah pelan-pelan saat
mendekati tikungan lorong. Begitu sampai di
tikungan, mereka berhenti sebentar. Pendekar
Mabuk mengintip ke arah lorong yang
membelok itu. "Oh, jalanannya masih membelok lagi ke
kiri. Tapi cahayanya lebih terang."
"Aku mencium bau tak sedap. Bau apa
ini?" "Mungkin keringatmu!"
"Sial!" Perawan Sinting tersenyum sambil mencubit pipi Suto. Sayang sekali
keadaan tak begitu terang sehingga senyuman itu tak
bisa dinikmati Suto Sinting.
Mereka kini menelusuri lorong yang
iebih terang lagi. Begitu tiba di sudut
tikungan, mereka berhenti lagi. Suto
mengintip pelan-pelan ke arah lorong yang
memancarkan sinar terang itu. Maka
tampaklah cahaya terang benderang dari
sebuah ruangan besar yang letaknya sekitar
tiga puluh langkah lagi dari tempat mereka
berhenti itu. "Ternyata gua ini ada penghuninya
juga!" gumam Perawan Sinting.
"Ssst...! Perlambat sedikit langkahmu.
Hati-hati, jangan menginjak batu yang dapat
menimbulkan bunyi keras."
"Aku mengerti. Cerewet!" Perawan
Sinting mencubit bibir Suto. Pemuda itu
mendesah sambil menepiskan tangan
tersebut. "Kau ke dinding kiri, aku di sebelah
kanan!" bisik Suto dan Perawan Sinting
mengikuti perintah itu.
Mereka mengendap-endap mendekati
ruangan besar beratap tinggi. Ketika mereka
tiba di ujung lorong yang menghubungkan
ruangan besar itu, Pendekar Mabuk
berkelebat cepat pindah tempat. Kini ia ada di depan Perawan Sinting dan
berjalan menyamping. "Suara napas aneh itu sudah tak ada,"
bisik Perawan Sinting.
"Kurasa pemilik suara aneh itu telah
pergi saat kita mendengar suara gemuruh
samar-samar di tikungan sana tadi."
"Kurasa juga begitu. Dan... sepertinya
ruangan ini aman! Tak ada orang."
"Siapa bilang"! Lihat di sebelah sana!"
tuding Suto ke arah salah satu sisi ruangan
besar itu. Tampak sebuah batu hitam memanjang
bagaikan ranjang. Bagian atas batu yang
datar itu terdapat sesuatu yang terkulai, dan
sesuatu itu tak lain adalah tubuh seorang
perempuan yang tergeletak tanpa
mengenakan selembar benang pun.
"Astaga..."!" gumam Perawan Sinting
dengan tegang. "Awasi aku! Aku akan
memeriksa gadis di atas batu itu!"
"Lakukan, akan kujaga dari sini!"
Perawan Gila melangkah penuh waspada
dan hati-hati. Pendekar Mabuk pandangi
lorong depan yang menjadi lorong tembus dari
arah lain ke ruangan besar itu. Lorong
seberang sana juga dalam keadaan terang
karena dindingnya dipenuhi oleh obor-obor
dari logam putih. Obor-obor berbentuk serupa
juga ada di sekeliling dinding ruangan besar
tersebut. "Agaknya ruangan ini merupakan suatu
tempat yang terawat. Buktinya lantainya
dalam keadaan rata walau tetap dari tanah
cadas. Batu-batuan hanya ada di tepian
dinding, tapi di bagian tengah tak ada batu
kecuali batu hitam mirip dipan itu," gumam Suto Sinting.
"Pssst...! Pssst...! Suto...!" panggil Perawan Sinting, ia melambai ketika Suto
memandangnya. Maka pemuda bertubuh
kekar itu pun segera hampiri Perawan Sinting
yang sudah tiba di batu hitam itu.
"Gadis ini telah tak bernyawa lagi," ujar Perawan Sinting pelan.
"Kasihan," gumam Suto sambil geleng-
geleng kepala. "Lihat luka-lukanya, dan luka yang
paling parah ada di antara kedua pahanya
itu." "Tampaknya ia habis diperkosa."
"Benar! Dan yang memperkosa bukan
manusia biasa."
"Maksudmu"!"
"Makhluk yang besarnya melebihi
manusia biasa, sehingga 'mahkota' gadis ini
rusak menerima keganasan gairah makhluk
itu." Perawan Sinting segera pandangi
keadaan sekeliling. Aroma tak sedap itu
sedang dikenalinya sejak tadi. Namun begitu
ia memperhatikan bekas telapak kaki di
sekitar batu hitam itu, wajahnya menjadi
tegang dan matanya melebar.
"Suto... sekarang aku tahu siapa yang
tinggal di sini! Lihat bekas telapak kaki ini!
Telapak kaki berjari empat besar-besar adalah
telapak kakinya si manusia badak itu!"
"Rogana..."!"
"Benar!" jawab Perawan Sinting penuh semangat. "Aku ingat, orang itu hanya
mempunyai empat jari pada masing-masing
telapak kakinya. Ooh... tak kusangka ternyata
kita sejak tadi sudah menemukan tempat
persembunyian si Rogana!"
"Jika benar begitu, berarti siapa gadis
ini?" "Entah. Aku tak kenal. Tapi yang jelas ia adalah korban keganasan gairah si
manusia badak itu! Kita cari dia! Pasti belum jauh dari sini!"
Belum sampai mereka bergerak, tiba-
tiba salah satu dinding ruangan itu jebol.
Broool...! Sesosok tubuh tinggi besar muncul
dari dinding itu. Brruuus...! Jleeg...!
"Rogana...!" sentak Perawan Sinting
dengan kaget. "Rupanya langkah kalianlah yang
kudengar saat aku sibuk menikmati
kehangatan gadis itu!" kata Rogana dengan wajah menyeramkan dan mulut
menyeringai menampakkan giginya yang runcing-runcing
itu. "Aku sengaja mencarimu, Rogana!" seru Perawan Sinting setelah mencabut
pedangnya.

Pendekar Mabuk 085 Perawan Sinting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kusangka kau sudah mati di dalam
kepompong batu! Ternyata kau masih hidup,
Perawan Sinting!"
"Sebelum nyawamu kukirim ke neraka,
aku tak akan mati lebih dulu!"
"Bagus! Dan... siapa pemuda yang
bersamamu itu"!"
"Pendekar Mabuk!" sentak Perawan
Sinting memperkenalkan Suto.
"Oooh... tepat sekali jika begitu! Ternyata kudapatkan satu kesempatan untuk dua
pekerjaan! Pendekar Mabuk; kau terpaksa
harus berhadapan denganku, karena aku
telah bersekutu dengan Pangeran Cabul!"
"Apa hubungannya antara aku dengan
Pangeran Cabul"!"
"O, jadi kau belum tahu kalau sedang
diburu oleh Pangeran Cabul"! Kasihan sekali
nasibmu, Nak! Pangeran Cabul ikut murka
karena kau mengganggu kakak
perempuannya yang bernama Ratu Lembah
Girang! Maka ia bersumpah akan mencarimu
dan memenggal kepalamu sebagai tanda
kasih sayangnya terhadap sang kakak! Lalu ia
bergabung denganku untuk menghancurkan
kalian berdua! Dia akan mengabdi padaku
jika aku berhasil membunuhmu!"
Perawan Sinting berseru, "Sebelum kau
membunuh Pendekar Mabuk, kau harus
membedah mayatku dulu, Manusia Badak!
Hiaaat...!"
Rupanya Perawan Sinting menjadi
berang mendengar Suto mau dibunuh oleh
Rogana. Ia segera melesat menjejak dinding,
lalu tubuhnya pun menerjang Rogana dengan
kecepatan tinggi. Weees...!
Rogana menyentakkan kedua tangannya
ke depan. Wuuut...! Dan tubuh gadis cantik
itu bagaikan dihempaskan pusaran badai
yang amat kuat. Weeut...! Brrruk...!
"Aaahk...!" Perawan Sinting membentur dinding dan jatuh terpuruk dalam keadaan
keningnya berdarah.
Pendekar Mabuk tak mau tinggal diam.
Ia segera menerjang dengan kecepatan jurus
'Gerak Siluman' sambil menyodokkan
bumbung tuaknya. Zlaaap...! Tapi bumbung
tuak itu sengaja ditahan dengan dada Rogana
yang keras dan tebal itu. Blaaar...!
Ternyata dada itu dilapisi tenaga dalam
tinggi, sehingga ketika disodok bumbung tuak
menimbulkan ledakan besar. Ledakan itu
justru melemparkan Pendekar Mabuk dengan
kuatnya hingga membentur dinding dan
kepalanya pun bocor seketika. Sedangkan
dada Rogana hanya berasap tipis, lalu asap
itu pun lenyap. Rogana menggeram dengan
penuh nafsu membunuh, ia mencabut pedang
yang sejak tadi diselipkan di pinggangnya.
Pedang besar itu segera ditebaskan ke arah
Perawan Sinting yang sedang bergegas
bangkit. Wuuut...! "Tidaaaaak...!" teriak Suto dengan tegang sekali. Maka ia pun melesat dengan
jurus 'Gerak Siluman'-nya lagi. Zlaaap...! Tiba di
depan Perawan Sinting, bumbung tuaknya
disangga dengan dua tangan. Trraaang...!
Blaaaar...! Pedang Rogana menghantam bumbung
tuak dan menimbulkan ledakan lagi. Kali ini
tubuh Rogana yang tinggi besar itu terhempas
ke belakang akibat pantulan tenaga dalamnya
sendiri saat menghantamkan pedang
mengenai bumbung tuak Suto.
Dalam keadaan sedang terhuyung-
huyung ke belakang, tiba-tiba Rogana melihat
kilatan cahaya hijau dari telapak tangan
Pendekar Mabuk. Jurus 'Pecah Raga'
dipergunakan oleh Suto. Claap...! Tapi sinar
hijau itu dapat ditangkis dengan pedang
Rogana. Blegaar...!
Atap ruangan itu mulai runtuh sebagian,
terutama di sudut ruangan. Ledakan yang
kali ini mengguncang hebat membuat
dinding-dinding tampak retak. Rogana
terlempar mundur hingga membentur
dinding. Tapi masih dalam keadaan berdiri
sedikit membungkuk.
Rogana segera memutar pedangnya di
atas kepala. Perawan Sinting berteriak,
"Awas! Pedangnya akan menjadi
sembilan dan bernyawa!"
Pendekar Mabuk mendahului dengan
serangannya menggunakan jurus 'Manggala'.
Agaknya manusia badak yang sangat ganas
itu tak bisa dilawan dengan jurus lain, karena ia mempunyai jurus-jurus yang
berbahaya. Maka jurus 'Manggala' pemberian Ratu
Kartika Wangi, calon mertuanya itu, segera
digunakan oleh Suto Sinting yang telah
berlumuran darah akibat luka di kepalanya.
Satu sentakan tangan miring keluarkan
cahaya emas berbentuk pisau kecil-kecil.
Clap, clap, clap...! Pisau itu menghujani
Rogana yang mau melemparkan pedangnya
agar menjadi sembilan pedang bernyawa.
Dada tebal berkulit abu-abu iItu ternyata
mampu ditembus sinar kuning emas secara
beruntun. Zuuuurrrb...!
"Ahk..!" suara kecil keluar dari mulut Rogana dalam satu sentakan. Setelah itu,
orang berwajah badak itu diam dalam
keadaan mendelik, sedangkan pedangnya
terlempar dengan sendirinya, menancap di
salah satu dinding. Jaaab...! Kraaaak...!
Dinding itu mulai retak dan dalam getaran
memanjang. Keretakan itu merayap sampai
ke bagian langit-langit ruangan dan lantai.
"Pedang itu keluarkan tenaga saktinya!"
seru Perawan Sinting.
Pendekar Mabuk segera menenggak
tuaknya, lalu sisa tuak yang di mulut
disemburkan ke pedang yang menancap di
dinding itu sambil lakukan lompatan cepat.
Bwwrrrsss...! Laap...! Pedang itu lenyap seketika.
Jurus 'Sembur Siluman' telah membuat
pedang itu lenyap selama-lamanya dan
kekuatan saktinya telah berhenti. Keretakan
dinding pun terhenti seketika.
Perawan Sinting merasa mendapat
kesempatan begitu melihat Rogana diam saja.
Ia segera menerjang dengan pedang yang
menyala hijau itu. Tetapi suara Suto yang
berseru membuat gerakan menerjangnya itu
tak jadi dilakukan.
"Tahan...!"
Perawan Sinting memandang Suto
dengan nada protes.
"Tak perlu kau buang lagi tenagamu
untuk melawannya!" ujar Suto. "Ia sudah tidak bernyawa!"
"Tapi dia tidak mengalami luka apa-apa
dan...." Prrrus...! Tiba-tiba Perawan Sinting
terkejut melihat kulit lengan Rogana
berjatuhan bagai serpihan abu. Pendekar
Mabuk berkata kepada Perawan Sinting.
"Lampiaskan dendammu dengan tiupan
saja!" Mulanya Perawan Sinting heran dengan
ucapan itu. Tapi ia segera mendekati Rogana
dan melepaskan tiupannya.
Puiih...! Wuuursss...! Tubuh Rogana ternyata
sudah menjadi abu sejak tadi. Sekali ditiup,
buyarlah abu itu dan menumpuk menjadi
satu onggokan. Perawan Sinting merasa puas
melihat kematian Rogana,
ia segera mendongak ke atas dan berkata bagai bicara
pada seseorang yang tak dilihat oleh Suto.
"Guru, kematianmu telah terbalaskan.
Rogana telah mati dalam melawan muridmu;
Perawan Sinting, dan... dan calon kekasih
muridmu ini: Suto Sinting. Damailah
arwahmu di kelanggengan sana, Guru!"
Pendekar Mabuk tercengang mendengar
Perawan Sinting menyebut dirinya 'kekasih'.
Jantung Suto menjadi berdebar-debar
setelah Perawan Sinting segera menatapnya
dan memamerkan senyumannya yang lebar
dan menawan sekali.
"Satu perkara lagi yang harus kita
selesaikan," ujar Perawan Sinting.
"Pangeran Cabul, maksudmu?"
"Ya! Karena aku tak ingin kau diancam
oleh Pangeran Cabul! Aku yang akan
bertarung melawannya!"
"Hei, hei, hei..., kenapa jadi kau yang
berang kepada Pangeran Cabuli Bukankah
yang mau dibunuh adalah aku"!"
"Sama saja ia mau membunuh
kebahagiaanku!" ketus Perawan Sinting.
"Malam ini juga kita hancurkan Istana
Tengkorak itu!"
Kemudian Perawan Sinting melangkah
lebih dulu, sedangkan Suto Sinting hanya
geleng-geleng kepala sambil sunggingkan
senyum kekaguman terhadap keberanian
gadis itu. "Benar-benar sinting dua-duanya kalau
begini," ucap Suto dalam hati.
SELESAI Segera terbit!!!
BURONAN CINTA SEKARAT
Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
https://www.facebook.com/pages/Dunia-Abu-
Keisel/511652568860978
Pendekar Pedang Dari Bu Tong 7 Joko Sableng 42 Rahasia Darah Kutukan Rajawali Lembah Huai 6
^