Pencarian

Pendekar Pedang Dari Bu-tong 7

Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng Bagian 7


Akhirnya tampak tosu bisu tuli berjongkok dan menggunakan
ujung jari telunjuknya mengukir beberapa huruf diatas batu jalan.
Terdengar desingan tajam diiringi percikan batu berhamburan di
angkasa, tidak selang beberapa saat kemudian muncul sebaris
tulisan diatas batu cadas yang keras itu.
Biarpun Put-ji tahu juga kalau tosu itu mengerti ilmu silat, namun
setelah menyaksikan sendiri kehebat-an tenaga dalamnya, tidak
urung dia terkesiap juga, pikirnya, "Sungguh tidak kusangka tenaga
dalamnya jauh lebih hebat ketimbang kemampuanku!"
Namun yang paling membuatnya terperanjat adalah tulisan yang
tertera diatas batu, "Dia mendapat perintah dari Cinjin untuk turun
gunung!" "Jadi Cinjin memerintahkan dia turun gunung?" tanya Put-ji
kemudian. Kembali tosu bisu tuli menulis, "Kau tidak mampu mendidik
muridmu dengan baik!"
Put-ji sangat terperanjat, "Benarkah Suhuku berkata begitu?"
Dari tenggorokan tosu bisu tuli segera berkumandang suara
tertawa dingin yang aneh, dia mematahkan sebatang ranting pohon
dan memainkan beberapa jurus ilmu pedang, semua yang
dimainkan adalah jurus ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat yang
sengaja diubah gerakannya oleh Put-ji dan sengaja diwariskan
kepada LanGiok-keng. Selesai memainkan gerakan jurus itu, dengan wajah aneh tosu
itu menatap wajah Put-ji, seolah sedang berkata begini, "Aku tidak
salah menuduh bukan?"
Cepat Put-ji berusaha menenangkan hatinya, kemudian
sahutnya, "Tidak mungkin guruku berkata begitu, pasti semuanya
ini hasil dugaanmu!"
Tosu bisu tuli tidak terbiasa berbohong, cepat cepat dia
menjawab dengan gerakan tangan, "Tidak perlu Cinjin mengatakan
juga aku tahu kalau dia bermaksud begitu."
Diam-diam Put-ji merasa agak lega, namun tidak dapat
menghilangkan rasa kaget dan curiganya.
"Kenapa anak Keng pergi tanpa memberitahu kepadaku"
Bukankah kemarin anak Keng cukup lama mendampingi Suhu"
Jangan-jangan Suhu sempat membicarakan sesuatu dengannya dan
dia sengaja membohongi aku?"
Semakin dipikir dia merasa semakin khawatir dan tidak tenang.
Sepeninggal tosu bisu tuli, menggunakan kesempatan disana
tidak ada orang lain, dia menggunakan kakinya untuk menghapus
dua baris tulisan yang ditinggalkan tosu tadi.
Tenaga dalam yang dimiliki tidak kalah dengan tosu bisu tuli,
meski setingkat lebih bawah, siapa sangka biarpun sudah dihapus
berulang kali, ternyata permukaan batu itu gagal juga diratakan
kembali. Dengan hati terkejut bercampur bimbang akhirnya sambil gigit
bibir dia mengambil keputusan, "Biarlah, mau membekas atau tidak
terserah, toh tidak banyak waktu aku mengurusinya."
Begitu selesai mengambil keputusan, diapun segera berangkat
menuju ke rumah Lan Kau-san.
Dalam pikirannya meski Lan Giok-keng tidak berpamitan
kepadanya, tidak mungkin diapun tidak berpamitan dengan 'ayah
ibu'nya. Dia berniat mencari tahu berita dari mulut Lan Kau-san
suami istri, siapa tahu dari mulut mereka berhasil dikorek sesuatu
berita. Lan Kau-san bisa sampai dibukit Bu-tong adalah berkat usaha Buliang
Totiang yang menitahkan muridnya Put-pay dengan mencatut
nama Put-ji mengundang mereka naik gunung, berkat Bu-liang
Totiang pula mereka mendapat sebidang tanah untuk ditanami
sayuran. Rumah yang disediakan untuk mereka berada di belakang bukit,
suatu daerah yang jarang ada penduduk nya, hal ini untuk
mempermudah Put-ji bila ingin menjenguknya.
Justru karena semuanya itu, Put-ji dapat mengangkat Lan Giokkeng
sebagai putra angkatnya tanpa menimbulkan jejak yang
mencurigakan. Dalam hal ini Put-ji merasa sangat berterima kasih
kepada Bu-liang Totiang. Berkat semuanya itulah, dalam perjalanannya kali ini menuju ke
belakang bukit, semuanya berjalan lancar dan sepanjang jalan dia
tidak perlu bertemu dengan rekan seperguruan lainnya.
Namun ketika dia sudah hampir tiba di rumah keluarga Lan,
mendadak dia temukan ada seseorang diseberang bukit sedang
berjalan pula menuju ke rumah keluarga Lan.
Orang itu adalah seorang Tokouw setengah umur, meski hanya
terlihat dari samping namun dia merasa sangat mengenal dengan
orang itu. Sementara dia masih terkejut, Tokouw itu sudah munculkan diri
dari balik perbukitan. Begitu dilihat, tidak terlukiskan rasa kaget
yang mencekam hatinya. Ternyata Tokouw setengah umur itu tidak lain adalah si lebah
hijau Siang Ngo-nio yang pernah tidur semalam bersamanya,
siluman rase yang nama busuknya telah tersohor di seantero jagad
(Gb6). Kematian Put-coat pada enam belas tahun berselang pun tidak
lain karena terkena racun lebah hijau yang tidak terobati.
Siang Ngo-nio adalah kekasih gelap Tong Ji-kongcu dari keluarga
Tong diwilayah Suchuan, keluarga yang amat tersohor karena
kelihayan senjata rahasianya. Enam belas tahun berselang Ko Cengkim
tidak sanggup menghadapi perempuan itu dan kini, Put-ji pun
merasa belum sanggup untuk mencari gara-gara dengannya.
Ketika Ko Ceng-kim memutuskan menjadi pendeta di gunung Butong
waktu itu, tujuan utamanya adalah untuk meredam kecurigaan
orang atas pem-bunuhan yang pernah dilakukan, bahkan banyak
keuntungan yang bisa diraih setelah menjadi murid Bu-siang Cinjin.
Walau begitu, paling tidak salah satu alasannya berbuat
begitupun karena ingin melepaskan diri dari Siang Ngo-nio. Dalam
perkiraannya, tidak mungkin perempuan cabul itu bakal berani
datang ke bukit Bu-tong untuk mencarinya.
Siapa tahu dia telah muncul sekarang!
Jantung Put-ji nyaris melompat keluar dari rongga dada saking
kagetnya. "Kenapa dia muncul disini" Apakah tidak khawa-tir diketahui
Tong ji-kongcu" Apakah tidak khawatir dihadang anggota Bu-tongpay"
Biarpun dia sudah menyamar jadi seorang Tokouw, apa
jadinya bila ketangkap basah anggota Bu-tong" Hmmm, waktu itu
biar dia menggertak dengan nama keluarga Tong pun belum tentu
nyawanya bisa terlindungi. Huuhhh.... mau apa dia kemari"
Memangnya untuk mencari aku" Masih mending kalau dia seorang
yang mampus, bisa jadi gara gara dia, akupun ikut tersangkut."
Begitu memikirkan untung ruginya, timbul niat jahatnya untuk
menyingkirkan perempuan itu dari muka bumi.
Tapi berhubung ke satu dia tidak yakin dapat menghadapi jarum
lebah hijau milik Siang Ngo-nio, jarum beracun yang sangat
mematikan bila terkena. Kedua ilmu meringankan tubuh yang
dimiliki perempuan itu amat tersohor di kolong langit, meski saat ini
kungfunya sudah jauh diatas Siang Ngo-nio, namun dalam hal ilmu
meringankan tubuh belum tentu dapat mengunggulinya, bila sampai
perempuan itu lolos dari pengejaran, bisa dibayangkan bagaimana
akibatnya nanti. Dan ketiga jika Siang Ngo-nio sampai mampus di
gunung Bu-tong, cepat atau lambat pasti ada orang yang bakal tahu
bila dialah pembunuhnya, sekalipun Tong ji-kongcu belum tentu
berani naik ke gunung Bu-tong untuk mencari balas terhadapnya,
lagi pula mustahil sepanjang hidup dia tidak pergi meninggalkan
gunung. Put-ji bukan orang yang gegabah, setelah berpikir sejenak
akhirnya dia putuskan untuk tidak mengambil resiko ini, terpaksa
segera dia menyembunyikan diri.
Siang Ngo-nio tidak melanjutkan dakiannya, setiba didepan
rumah Lan Kau-san diapun menghentikan perjalanannya.
"Aneh, mau apa dia mendatangi rumah keluarga Lan" Janganjangan
dia sudah menduga kalau aku bakal kemari?"
Put-ji khawatir jejaknya ketahuan, sambil bersembunyi di sekitar
rumah keluarga Lan, dia berusaha menahan napas agar tidak
berisik. Lan Ku-san sendiripun keheranan, selama enam belas tahun
berdiam di gunung Bu-tong, belum pernah dia berjumpa dengan
seorang Tokouw seperti ini.
Selama inipun tidak pernah ada Tokouw yang datang bertandang
ke rumahnya. Biarpun dia tidak berani mengatakan hampir semua anggota
pendeta yang ada di gunung Bu-tong telah dikenalnya, namun boleh
dibilang sebagian besar pasti dia ketahui.
Tapi Tokouw ini" Atau mungkin dia jarang melakukan perjalanan
diluar kuil hingga belum pernah bersua dengannya"
Agaknya Siang Ngo-nio tahu kalau tuan rumah menaruh curiga,
buru-buru ujarnya, "Berhubung Put-ji Suheng tidak punya waktu,
dia minta aku mewakilinya mencari putranya, mana putramu?"
Begitu mendengar nama Put-ji, kecurigaan Lan Kau-san hilang
setengah, sahutnya, "Bocah ini telah turun gunung, masa gurunya
belum tahu?" "Turun gunung?" Siang Ngo-nio tertegun, "mau apa turun
gunung" Tapi segera akan balik bukan?"
"Aku sendiripun tidak paham," kata bini Lan Kau-san yang
muncul menyuguhkan air teh, "padahal dia jarang turun gunung,
tapi hari ini dia justru pergi...."
Lan Kau-san jauh lebih berpengalaman dari istrinya, buru-buru
dia memberi kerdipan mata pada bininya sambil menukas, "Boleh
tahu, apa urusan apa Suthay datang mencari Keng-ji?"
"Oooh, masa kalian belum tahu kalau Ciangbun Cinjin sedang
sakit keras" Kelihatannya sulit untuk lewati hari ini. Karena putramu
adalah cucu murid kesayangan Ciangbun Cinjin, maka kami ingin
mengajaknya untuk bertemu Ciangbun Sucouw untuk terakhir
kalinya. Kewajiban ini sebenarnya berada dipundak Put-ji Suheng
sebagai ayah angkatnya, tapi berhubung dia adalah satu-satunya
murid Ciangbun Cinjin, tidak mungkin baginya untuk meninggalkan
gurunya dalam keadaan seperti ini."
Ternyata sewaktu tiba di bawah gunung Bu-tong, Siang Ngo-nio
telah berjumpa dengan Tonghong Liang, dari dialah dia mendapat
tahu kalau Bu-siang Cinjin sedang sakit keras. Sedang mengenai
hubungan Put-ji dengan Lan Giok-keng, jauh hari sebelumnya dia
telah berhasil melacaknya.
Dalam banyak hal dia berhasil menyelidikinya hingga jelas, tapi
sayang ada satu hal yang dia tidak tanggapi dengan serius,
kesalahan kecil yang fatal membuat ekor rase nya malah ketahuan
semua. Bu-siang Cinjin meninggal dunia sesaat setelah Tonghong Liang
pergi, ketika dia bersua Bu-siang Cinjin waktu itu, dari mimik wajah
sang ketua, dia sudah tahu kalau dirinya sedang sakit, tapi sama
sekali tidak disangka kalau begitu cepat telah meninggal dunia.
Memang tidak sulit untuk menilai seseorang yang pernah belajar
silat sedang sakit atau tidak, asal nada bicara Bu-siang Cinjin kurang
bertenaga sedikit saja, Tonghong Liang segera dapat menyimpulkan
kalau dia sedang sakit. Siang Ngo-nio sangat yakin dengan kemampuan Tonghong Liang,
sementara dia sendiripun seorang jago silat sehingga tidak aneh bila
dia sangat mempercayai kesimpulan dari rekannya itu.
Itulah sebabnya dia jadi berani untuk mendatangi bukit Bu-tong
dan melaksanakan rencananya, dia berencana hendak menangkap
Put-ji lalu memaksa Put-ji untuk menuruti semua kemauan dan
perintahnya. Tapi berhubung kabar beritanya diperoleh dari mulut Tonghong
Liang, maka diapun melakukan satu kesalahan yang sama dengan
rekannya.... yakni tidak menyangka kalau Bu-siang Cinjin telah
meninggal dunia. Adapun alasan yang dia pakai untuk disampaikan kepada Lan
Kau-san adalah bila Bu-siang Cinjin tidak dapat melewati hari ini.
Dalam dugaannya, Lan Kau-san pasti akan mengijinkan Lan Giokkeng
untuk bertemu Ciangbun Sucouw nya untuk terakhir kali.
Dia mana tahu kalau 'kemarin' saja Bu-siang Cinjin tidak dapat
melewati, apalagi 'hari ini'"
Jalan pikiran bini Lan Kau-san jauh lebih sederhana, begitu
mendengar ucapan tersebut kontan saja dia nampak tertegun
kemudian serunya, "Suthay benarkah kau Tokouw dari Bu-tongpay?"
"Mengapa kau berkata begitu?" jawab Siang Ngo-nio cepat,
"kalau bukan Tokouw Bu-tong-pay, darimana aku bisa mengetahui
begitu banyak kejadian disini?"
Lan Kau-san sendiri meski hanya seorang polos yang jujur,
bagaimanapun dia jauh lebih 'mengerti urusan' ketimbang bininya,
dia sadar bila kebohongan Tokouw ini dibongkar, bisa jadi nyawa
mereka akan terancam bahaya maut.
Karena itu buru-buru serunya, "Mohon maaf Suthay, dia memang
tidak pandai bicara, jangan salahkan dirinya!"
Kemudian sambil menarik tangan istrinya, dia menghardik, "Kalau
tidak tahu masalah, jangan banyak bicara, cepat minggir sana,
menanak nasi saja!" Istrinya kebingungan setengah mati, tapi dia memang sudah
terbiasa menuruti perintah suaminya, meski dalam hati tidak puas
namun dia pun tidak membantah.
Terdengar Lan Kau-san berkata lagi, "Suthay, perlu kau ketahui,
putraku justru sedang turun gunung karena perintah Bu-siang
Cinjin. ibunya Keng-ji mengira semua Totiang dan Suthay yang
berada di bukit Bu-tong pasti mengetahui urusan ini sehingga timbul
prasangka lain terhadap dirimu. Aaai, padahal dia juga tidak
berpikir, Keng-ji toh masih kecil dan tidak banyak dikenal orang lain,
mana mungkin semua orang menaruh perhatian atas urusan tetek
bengek seperti ini?"
Siang Ngo-nio setengah percaya setengah tidak, katanya
kemudian, "Ooh, rupanya begitu. Hari ini aku memang belum
bertemu Ciangbun Supek, tidak aneh kalau aku belum tahu akan
persoalan ini. Tapi boleh ada urusan apa Ciangbunjin
memerintahkan putramu turun gunung?"
"Sayang putraku tidak mengatakan apa-apa, jadi aku sendiripun
tidak tahu." Kini Lan Kau-san semakin yakin kalau Tokouw dihadapannya
adalah penyaruan seseorang, seorang Tokouw gadungan. Tanpa
sadar perasaan takut bercampur ngeri yang mencekam dihati kecil
pun segera tercermin diwajahnya.
Dalam pada itu Siang Ngo-nio sendiripun masih dicekam
keraguan, pikirnya, "Kelihatannya dia sedang berbohong, tapi aneh,
kenapa tampaknya orang ini takut kepadaku" Pasti ada alasan
dibalik semuanya!" Berpikir begitu, diapun berkata lagi, "Aaah benar, kelihatannya
enso Lan seperti kebingungan juga dengan perkataan putranya
menje-lang turun gunung, sayang dia belum menyelesaikan
perkataannya. Tentunya waktu itu kaupun berada ditempat bukan"
Boleh tahu apa saja yang dikatakan putramu?"
Karena terdesak, terpaksa Lan Kau-san mengakui terus terang,
"Sewaktu akan turun gunung, akupun sempat bertanya kapan baru


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kembali, dia jawab mungkin tiga, lima tahun lagi, mungkin juga
delapan, sepuluh tahun kemudian. Bahkan katanya bisa jadi
selamanya tidak bakal balik lagi."
"Apa maksud perkataan itu?"
"Kau tidak paham, begitu juga aku!"
Bagaimana mungkin Siang Ngo-nio mau percaya begitu saja,
sesudah mendengus katanya lagi, "Jadi kau curiga karena belum
pernah bertemu aku" Baiklah, asal kusebut sebuah nama lagi, kau
pasti tidak bakal menaruh curiga lagi kepadaku. Bukankah putrimu
menjadi muridnya Put-hui Suthay" Nah, aku adalah adik
seperguruan Put-hui. Mungkin lantaran jarang keluar karena lebih
suka berlatih silat maka kau tidak pernah bertemu aku. Mana anak
perempuanmu" Suruh dia keluar, dia pasti kenal aku."
Rupanya dia ingin menangkap Lan Sui-leng sebagai ganti Lan
Giok-keng yang gagal disandera. "Soal ini, soal ini...."
"Apa ini itu, masa putrimu juga ikut turun gunung dan baru balik
delapan, sepuluh tahun lagi?" sela Siang Ngo-nio gusar.
Dia sangka Lan kau-san tidak berani menjawab pertanyaannya,
padahal sejak semalam Lan Sui-leng memang belum pulang.
Tidak pulangnya Lan Sui-leng sebetulnya tak sampai
membuatnya khawatir, sebab sebelum berangkat semalam, Lan Suileng
sempat beritahu kepada orang tuanya kalau dia akan menginap
semalam di kuil gurunya. Belakangan latihan pedangnya sudah mencapai saat yang paling
penting, untuk memperdalam ilmunya, dalam sepuluh hari paling
tidak ada tujuh delapan hari dia menginap di kuil kediaman gurunya.
Jika Tokouw ini mengaku sebagai adik seperguruan Put-hui,
kenapa dia sama sekali tidak tahu kalau putrinya menginap di kuil
kakak seperguruannya"
Makin dipikir dia merasa gelagat semakin tidak beres, perasaan
takutnya pun semakin kentara di raut mukanya.
"Suthay, tidak sedikit persoalan yang kau ketahui. Tentunya
kaupun tahu kalau aku adalah orang jujur, tidak pandai bicara
bohong. Putriku benar benar tidak ada di rumah, sejak pagi tadi
sudah keluar rumah. Akupun tidak tahu sampai kapan dia baru
kembali. Suthay, bukankah kau datang untuk mencari anak Keng,
bukan mencari dia bukan" Kalau begitu tidak perlu menunggu dia
lagi." Kembali Siang Ngo-nio berpikir, "Heran, kenapa dia begitu takut
dengan diriku" Ehmmm, betul. Ko Ceng-kim bisa menyerahkan
putra Ho Giok-yan kepadanya, sudah pasti lantaran mereka adalah
sahabat karibnya. Ehmm, jangan-jangan Ko Ceng-kim pernah
menyinggung tentang diriku dan suruh dia waspada menghadapi
aku" Biar kita belum pernah bersua, toh dia bisa tahu raut mukaku
dari penuturan Ko Ceng-kim?"
Dia berlagak sok pintar, diam-diam pikirnya lagi, "Rasanya kalau
aku tidak main gertak, mereka tidak bakalan mau bicara apa apa."
Berpikir begitu, dengan nada dingin menyeramkan segera
katanya, "Betul, urusan yang kuketahui memang cukup banyak. Ada
satu hal belum sempat kusampaikan kepadamu. Aku ingin tanya,
sudahkah kau beritahu asal usul bocah itu kepada yang
bersangkutan?" Lan Kau-san makin terkesiap, bisiknya gemetar, "Suthay, apa kau
bilang" Keng-ji, dia.... dia...."
"Kenapa dia?" Siang Ngo-nio tertawa dingin, "kau masih berani
menyaru sebagai orang tua kandungnya" Hmmm, lebih baik tidak
usah berbohong di depanku...."
Tiba-tiba dia meninggikan suaranya dan separah demi sepatah
serunya, "Aku hanya bilang, Lan Giok-keng bukan anak
kandungmu!" Lan Kau-san berdiri tertegun seketika, tertegun saking kagetnya.
Sementara itu diatas sebuah bukit di belakang rumah Lan Kausan
muncul dua sosok bayangan manusia, yang satu adalah seorang
Tokouw berusia setengah umur, yang lain adalah seorang gadis
muda belia. Rupanya Lan Sui-leng sudah pulang ke rumahnya, tapi dia bukan
datang seorang diri, yang menemaninya masih ada gurunya, Put-hui
Tokouw. Ketika dia gagal menjumpai adiknya setelah bubaran pertemuan
akbar semalam, perasaan hatinya makin lama makin ketakutan.
"Kenapa Put-ji Supek sengaja mewariskan ilmu pedang yang
salah kepada adik?" demikian dia berpikir, "sebenarnya apa maksud
tujuannya" Kenapa dia berbuat begitu?"
Put-hui sendiripun tidak paham alasan dibalik kejadian itu, dia
hanya bisa menduga sebagian saja, Sudah pasti Put-ji mempunyai
maksud dan tujuan yang tidak benar!
Tapi berhubung baru saja Put-ji diangkat menjadi tianglo, tentu
saja ia tak berani menyampaikan kata kata itu kepada orang lain
kecuali kepada muridnya sendiri Lan Sui-leng.
Lan Sui-leng merasa ketakutan sementara dia pun merasa
gelisah tidak tenang, justru karena itu dia tidak tega membiarkan
muridnya pulang seorang diri.
Pagi buta Lan Sui-leng sudah ribut ingin pulang, dia ingin
secepatnya dapat bertemu adiknya dirumah. Lantaran
mengkhawatirkan keselamatan muridnya Put-hui pun memutuskan
untuk menemaninya dia pulang ke rumah.
Sepanjang jalan dia masih sempat berpesan padanya, "Kau
hanya boleh memberitahukan persoalan ini kepada adikmu, jangan
sekali-kali membiarkan orang tua mu cemas."
"Aku mengerti. Jelas aku tidak boleh membiarkan orang tuaku
ikut khawatir. Tapi Ciangbun Sucouw telah meninggal dunia,
sekalipun adik tahu kalau dia ditipu ayah angkatnya, dia mau
mengadu kepada siapa?"
"Kejadian ini memang sedikit agak aneh, setahuku selama ini
Put-ji Suheng selalu sayang adikmu, siapa yang mengira kalau dia
mengajarkan ilmu pedang yang salah kepadanya" Tapi menurut
pendapatku, paling tidak sementara waktu ini dia tidak bakal
mencelakai adikmu, asal kau beritahu adikmu agar dia tahu kalau
jurus pedang yang dipelajarinya keliru dan minta dia berlatih lagi
dengan ilmu pedang yang asli. Itu sudah lebih dari cukup. Yang
penting jangan sampai membiarkan gurunya tahu."
Ketika berbicara sampai disitu, rumah keluarga Lan sudah berada
di depan mata. Baru saja Lan Sui-leng hendak berteriak memang-gil adiknya,
tiba tiba Put-hui membekap mulutnya sambil menarik tubuhnya agar
bertiarap di tanah. "Di rumahmu ada orang asing!" cepat bisiknya lirih.
Dengan menempelkan telinganya diatas tanah, lamat-lamat Lan
Sui-leng mendengar ada suara seorang asing sedang berbincang
dengan orang tuanya. Biarpun suaranya samar tidak jelas namun secara garis besar dia
dapat menangkap maksudnya.
Semakin di dengar dia merasa semakin keheranan, pikirnya,
"Siapakah perempuan ini" tampaknya dia sedang melacak jejak
adikku. Eeei.... rupanya dia menanyakan diriku juga. Aneh, kenapa
aku tidak bisa kenal suara siapakah dia?"
Tampaknya Put-hui bisa membaca jalan pikirannya, cepat dia
menulis diatas tanah, "Gadungan!"
Lan Sui-leng tidak mampu mendengar secara jelas, diam-diam
dia melirik gurunya, tampak wajah Put-hui beerkerut kening dan
tampil serius. Kalau dilihat dari lagaknya bisa jadi dia sudah
mengetahui asal-usul perempuan itu.
Baru saja akan menulis untuk bertanya kepada gurunya,
mendadak terdengar suara perempuan asing itu telah berseru lagi
sepatah demi sepatah kata, "Aku hanya bilang, Lan Giok-keng
bukan anak kandungmu!"
Ucapan itu diutarakan sangat jelas.
Seketika Lan Sui-leng tertegun bercampur kaget, pikirnya,
"Benarkah apa yang dikatakan perempuan itu" Darimana dia bisa
tahu" Darimana dia bisa tahu?"
Tampak Put-hui menggoyangkan tangannya berulang kali,
menyusul kemudian dengan menempelkan mulutnya nyaris diatas
telinga Lan Sui-leng, bisiknya, "Perempuan siluman itu menyaru jadi
Tokouw partai kita untuk membohongi orang tuamu, kau harus
bertindak mengikuti perintahku."
Dalam pada itu terdengar Siang Ngo-nio sedang berkata lagi
sambil tertawa dingin, "Bagaimana" Ketakutan" Padahal tidak perlu
takut, aku dengan ibu kandung bocah itu adalah sahabat karib,
tidak mungkin akan kucelakai. Asal kau mau bicara terus terang,
aku pun akan ikut merahasiakan kejadian ini."
"Kau.... kau minta aku bicara jujur apa?" kata Lan Kau-san.
"Lan Giok-keng saat ini berada dimana?"
"Aku tidak berbohong, dia benar-benar sedang turun gunung."
"Hmm, kau sangka aku bocah umur tiga tahun yang gampang
percaya dengan perkataanmu?" dengus Siang Ngo-nio ketus,
"kecuali dia sudah mengetahui asal usul sendiri, kalau tidak mana
mungkin dia akan meninggalkan orang tuanya bahkan tanpa
berpesan" Kuanjurkan lebih baik bersikaplah lebih jujur, panggil dia
suruh balik, kalau tidak...."
Sebetulnya dia ingin menggunakan istri Lan Kau-san sebagai
sandera dan memaksa Lan Kau-san untuk menuruti perintahnya.
Perkataan terakhir semestinya dia ingin berkata begini, "Kalau tidak
akan kubunuh binimu!"
Baru dua patah kata dia ucapkan, mendadak terdengar suara
seorang gadis sedang berteriak diluar rumah, "Adikku, kenapa kau
bersembunyi di belakang rumah" Kenapa tidak langsung masuk?"
Tidak terlukiskan rasa kaget Lan Kau-san, cepat teriaknya,
"Kalian.... kalian jangan pulang...."
Tapi sebelum perkataannya selesai diucapkan, jalan darahnya
sudah keburu ditotok Siang Ngo-nio.
Siang Ngo-nio menyangka orang yang sedang mencuri dengar
diluar rumah benar-benar adalah Lan Giok-keng, terhadap seorang
bocah kecil tentu saja tidak sampai dimasukkan ke dalam hati, maka
dia hanya menotok jalan darah Lan Kau-san, tujuannya tidak lain
agar dia tidak berteriak-teriak tidak karuan dan bilamana perlu bisa
digunakan sebagai sandera.
Begitu keluar dari rumah, tidak dijumpai seorang pun disana,
yang tampak hanya Lan Sui-leng yang sedang berdiri diatas bukit.
Sambil tertawa diapun menyongsong ke depan seraya bertanya,
"Adik kecil, dimana adikmu?"
"Eeei, kau sedang mengajakku berbicara" Tapi aku tidak kenal
dengan dirimu!" habis berkata dia segera kabur dari situ.
"Adik kecil, jangan gugup, aku adalah...."
Baru saja Siang Ngo-nio sedang mempertimbangkan untuk
mengaku sebagai seseorang dengan kedudukan yang lebih baik,
tiba-tiba terasa desingan angin tajam menyambar tiba, tahu-tahu
Put-hui sudah menerkam dari ketinggian dan bagaikan seekor
burung rajawali, langsung menerkam ke tubuhnya.
Perubahan ini terjadi sangat mendadak dan diluar dugaan, dalam
terkejutnya Siang Ngo-nio segera berkelit kesamping.
Cepat Put-hui Tokouw menerkam maju dengan kebasan senjata
kebutannya, dengan ujung tongkat dia totok jalan darah Tay-wi-hiat
di belakang leher lawan. Reaksi yang dilakukan Siang Ngo-nio tidak kalah cepatnya, sambil
menjatuhkan diri dia berguling cepat ke samping.
Put-hui Tokouw segera membalikkan pergelangan tangannya,
kebutannya dibiarkan menyebar lalu mengurung seluruh tubuh
lawan yang sedang berguling.
Belum lagi bulu kebutan mengenai tubuhnya, Siang Ngo-nio
sudah merasakan tengkuknya sangat gatal, sadar kalau gelagat
tidak menguntungkan, cepat ujung kakinya menjejak tanah lalu
melejit lagi ke udara. Yang satu menyerang secara cepat sementara yang lain berkelit
dengan cekatan, dalam beberapa kali lompatan, Siang Ngo-nio
berhasil lolos dari kurungan senjata hudtim Put-hui.
Serangan balasan yang kemudian dilakukan tidak kalah
garangnya, sambil melesat kesamping dengan tubuh nyaris
menempel di permukaan tanah, belum lagi berdiri tegak,
segenggam Bwee-hoa-ciam telah disambit bagaikan ceceran air
hujan. Sejak awal Put-hui sudah mempersiapkan diri, senjata
kebutannya segera diputar kencang membentuk satu lingkaran
busur. "Tringg.... triiingg.... triiingg...." diiringi dentingan nyaring yang
memekik telinga, dia kerahkan tenaga dalamnya membiarkan setiap
bulu senjata kebutannya berdiri tegak, dengan mengubah hudtim
tersebut menjadi sebuah jaring baja, dalam waktu singkat
segenggam jarum Bwee-hoa-ciam yang disambit Siang Ngo-nio pun
tersapu bersih. Karena terhadang oleh ancaman Am-gi, menanti Put-hui
menyusul ke depan, Siang Ngo-nio sudah keburu bangkit berdiri.
Jangan dilihat Siang Ngo-nio saat ini berdandan sebagai seorang
Tokouw, namun kegenitan, kejalangan dan kecantikannya sama
sekali tidak tersembunyi di balik jubah kependetaannya.
Yakin dengan dugaannya, Put-hui Tokouw segera membentak
nyaring, "Kau tidak usah bersembunyi lagi, aku tahu siapa dirimu,
kau adalah si lebah hijau Siang Ngo-nio!"
"Hey, orang beribadah pun suka mencampuri urusan orang, siapa
kau?" Put-hui Tokouw tertawa dingin.
"Bukankah kau mengaku sebagai Sumoyku" Masa tidak kenal
dengan suci sendiri?"
Sekali lagi mereka berdua terlibat dalam pertarung an sengit, kali
ini Siang Ngo-nio telah meloloskan senjata andalannya, sepasang
golok Wan-yo-to yang ukurannya berbeda. Golok yang pendek
digunakan untuk menyerang musuh sementara golok yang panjang
dipakai melindungi tubuh, semua jurus serangan yang digunakan
ganas dan telengas. Put-hui Tokouw menggetarkan senjata kebutannya, dari arah kiri
ke kanan dia ciptakan lingkaran demi lingkaran serangan, diikuti dari
kanan menuju ke kiri membentuk pula lingkaran-lingkaran
perlindungan. Lingkaran yang satu seolah menempel pada lingkaran berikut,
bagaikan sebuah sarang laba-laba yang kuat dia belenggu ruang
gerak sepasang golok Siang Ngo-nio.
Tidak sampai tiga puluh gebrakan kemudian, permainan golok
perempuan siluman itu semakin terbelenggu dan makin susah
dikembangkan. Sementara itu Put-ji mengikuti jalannya pertarungan dari tempat
persembunyian, hatinya dag dig dug tidak karuan, dia tidak tahu
harus berharap pihak mana yang memenangkan pertarungan ini,
pikirnya, "Jika Siang Ngo-nio sampai berhasil dibekuk Put-hui, sudah
pasti dia akan menyerahkannya kepada Ciangbunjin baru untuk
diinterogasi, kalau sampai begitu, tidak ada jaminan dia tidak akan
mengakui hubungan khususnya denganku, tapi bila Put-hui yang
dikalahkan, mungkin selanjutnya sulit lagi bagiku untuk melepaskan
diri dari pengejaran dan pencariannya."
Tapi rasa khawatir kalau dosa sendiri terungkap jauh
mengalahkan alasan lainnya, secara jujur harus diakui, dia lebih
berharap Siang Ngo-nio yang berhasil menaklukkan lawannya.


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiba-tiba terdengar Put-hui Tokouw menghardik nyaring, "Masih
ingin kabur?" Terlihat cahaya putih berkelebat, golok panjang ditangan Siang
Ngo-nio sudah terlempar ke udara, menyusul kemudian segenggam
jarum lebah hijau disambit ke arah lawan.
Golok panjang yang dilontarkan membawa deruan angin tajam,
sebaliknya jarum lebah hijau sama sekali tidak menimbulkan sedikit
suara pun. Kelihatannya dia ingin menggunakan lontaran golok
panjang itu untuk menyembunyikan bokongannya dengan jarum
beracun. Berada dalam keadaan seperti ini, biar seorang jagoan kelas satu
pun rasanya sulit untuk menghindarkan diri.
Untung saja sejak awal Put-hui Tokouw sudah tahu kalau
lawannya adalah Siang Ngo-nio, hampir setiap saat setiap detik dia
selalu mewaspadai bokongan jarum beracunnya.
Begitu melihat dia melontarkan golok panjangnya, dia segera
tahu kalau jarum beracunnya bakal segera menyusul.
Dalam keadaan kritis Put-hui Tokouw segera mengeluarkan ilmu
simpanannya, dengan memegang bagian tengah senjata
kebutannya, dalam satu jurus dua kegunaan, dengan ujung tongkat
menangkis golok panjang sedang dengan bulu kebutan mengguling
jarum beracun yang menyambar tiba. Dalam waktu singkat seluruh
jarum hilang lenyap tidak berbekas.
Bulu kebutan itu sangat tebal dan rapat, begitu digulung dengan
senjata itu, hampir semua jarum yang menyerang tiba langsung
terhisap oleh tenaga putaran dan hilang begitu saja.
Put-ji yang diam-diam mencuri lihat dari tempat persembunyian
jadi amat terkejut, pikirnya, "Jurus serangan yang dia gunakan
merupakan inti sari dari ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat! Mungkin
saja dalam hal tenaga dalam serta keganasan dia tidak bisa
mengungguli aku, tapi semisal aku yang harus menggunakan jurus
itu, belum tentu kehebatannya bisa melampaui dirinya."
Rupanya walaupun senjata andalan yang digunakan Put-hui
Tokouw adalah senjata kebutan, namun sejak awal hingga akhir,
semua jurus serangan yang digunakan untuk bertarung melawan
Siang Ngo-nio adalah jurus pedang Thay-kek-kiam-hoat.
"Aaai, rasanya sulit bagi Siang Ngo-nio untuk lolos dari sergapan
Put-hui!" belum habis ingatan itu melintas, tiba-tiba situasi kembali
terjadi perubahan. "Kraak...." mendadak golok panjang milik Siang Ngo-nio
membelah diri jadi dua bagian, ketika batang golok terjatuh ke
tanah, gagang golok masih tertinggal di udara.
Padahal waktu itu konsentrasi Put-hui Tokouw justru dipusatkan
untuk memukul jatuh golok sambil mematahkan sergapan jarum
beracun, dia hanya berharap bisa membendung datangnya
sergapan lawan, mimpi pun tidak disangka golok panjang lawan bisa
patah jadi dua bagian. Baru saja ia merasa tertegun, tiba-tiba iga kirinya terasa gatal
dan kesemutan, tahu-tahu jalan darah Ih-khi-hiat di bawah
ketiaknya sudah terhajar sebatang jarum lebah hijau.
Rupanya dibalik golok panjang itu sudah ter-pasang alat rahasia,
ketika dilontarkan ke udara tadi, kendatipun tidak terhantam
pukulan tenaga dalam pun secara otomatis senjata itu akan
membelah sendiri jadi dua bagian. Di dalam gagang golok itulah
disimpan jarum beracun, ketika terpisah dengan batang golok,
jarum beracun segera akan menyembur keluar.
Put-hui Tokouw menjerit kesakitan kemudian tubuhnya roboh
terjungkal ke tanah. Sambil tertawa dingin Siang Ngo-nio mendengus, "Inilah yang
dinamakan: jalan surga tidak dipilih, jalan ke neraka diterjang. Siapa
suruh kau banyak urusan. Hmmm.... kalau kau nekad mencampuri
urusan-ku, jangan salahkan kalau hatiku keji. Hehehe.... seka-rang
menyusullah ke tempat tinggal Put-coat Suheng-mu!"
Waktu itu dia masih menggenggam golok pendek, dengan
garang tubuhnya menerjang ke muka siap menghadiahkan sebuah
tikaman. Siapa sangka saat itulah mendadak Put-hui Tokouw melompat
bangun bagai ikan lehi yang meletik, bentaknya, "Kurang sopan
kalau tidak kubalas hadiahmu, coba rasakan juga kehebatan senjata
rahasiaku!" Sambil berkata dia kebutkan senjata hudtim nya ke depan.
Sama sekali tidak terlihat ada senjata rahasia yang melesat
keluar, tapi Siang Ngo-nio seketika merasakan jalan darah Ih-khihiat
di bawah ketiaknya sakit seperti ditusukjarum.
Tidak terlukiskan rasa kaget Siang Ngo-nio, tergopoh-gopoh dia
membalikkan tubuh, melarikan diri.
Sebetulnya Put-hui Tokouw benar-benar sudah terluka, namun
dengan mengerahkan Sim-hoat tenaga dalam perguruannya, untuk
sementara waktu dia berhasil menahan racun ditubuhnya tidak
sampai bekerja. Adapun senjata rahasia yang menusuk jalan darah Siang Ngo-nio
sesungguhnya hanya selembar bulu kebutan. Tapi berhubung bulu
itu lebih lembut ketimbang jarum lebah hijau, maka tidak gampang
terlihat dengan mata telanjang.
"Hutang nyawa bayar nyawa, hutang duit bayar duit, kau masih
ingin kabur?" bentak Put-hui Tokouw sambil mengejar ketat dari
belakang. Padahal sebab kematian Put-coat bukan Cuma lantaran terhajar
jarum beracun saja, setelah dia terkena jarum beracun, tubuhnya
dihajar pula oleh manusia berkerudung, dimana tenaga pukulan itu
memaksa jarum beracun semakin dalam menembusi isi perutnya,
keadaan inilah yang menyebabkan nyawanya tidak tertolong.
Sekalipun begitu, sejak terkena jarum beracun dia masih bisa
bertahan selama tujuh hari lamanya.
Tenaga dalam yang dimiliki Put-hui Tokouw memang jauh
tertinggal bila dibandingkan Suhengnya, namun dia hanya terhajar
sebatang jarum beracun, baginya tidak sulit untuk bertahan satu
dua jam lagi. Berbicara soal tenaga dalam, kemampuan Siang Ngo-nio masih
setingkat di bawah kemampuan lawannya, apalagi timpukan bulu
hudtim tidak beracun, biarpun menghajar letak dijalan darah Ih-khihiat,
yang terjadi hanya mengurangi kekuatan tenaga dalam saja,
sama sekali tidak berpengaruh pada ilmu meringankan tubuh.
Dengan gerakan cepat Put-hui Tokouw mengejar dari belakang,
kalau pada mulanya jarak mereka masih menempel ketat namun
lambat laun jarak mereka semakin melebar.
Put-ji yang mencuri lihat dari tempat persembunyian kini baru
bisa menghembuskan napas lega. Terhadap kemampuan yang
dimiliki Put-hui Tokouw dan Siang Ngo-nio pun dia menjadi semakin
jelas. Pikirnya, "Put-hui sudah terkena racun jarum lebah hijau,
bagaimana pun mustahil dia bisa mengejar Siang Ngo-nio. Setelah
terkena jarum lebah hijau, bila tiada obat pemunah dari Siang Ngonio
berarti dibutuhkan orang dengan tenaga dalam sempurna untuk
membantunya mengobati luka itu. Hehehe.... sampai waktunya
nanti, kenapa tidak kubantu dia untuk mengobati racun itu" Setelah
menerima kebaikanku, masa dia masih memusuhi aku" Lagipula dia
gagal membekuk Siang Ngo-nio, mana mungkin bisa menduga
hubunganku dengan perempuan busuk itu?"
Saat itu Put-hui Tokouw sudah mengejar hingga ke bawah
gunung, Lan Sui-leng juga telah masuk ke rumahnya. Sambil
membesut keringat dingin diam-diam Put-ji balik kembali ke kuil
Cing-siu-kiong. "Ayah, kenapa kau?" teriak Lan Sui-leng.
Lan Kau-san hanya bisa mengeluarkan suara aneh dari
tenggorokannya, sama sekali tidak terdengar perkataan apapun.
Ibunya menangis tersedu, serunya, "Ooh anakku, entah ilmu
siluman apa yang digunakan perempuan jahat itu, coba lihat,
ayahmu jadi begini rupa!"
Setelah berhasil menenangkan hatinya, Lan Sui-leng memeriksa
sejenak sekujur tubuh ayahnya, kemudian berkata, "Ibu, ini sih
bukan ilmu siluman."
Ilmu senjata rahasia dari Siang Ngo-nio sering kali dijumpai
dalam dunia persilatan, berbeda dengan ilmu menotok jalan darah
yang jarang digunakan. Masih untung belum lama berselang Lan
Sui-leng telah belajar menotok dan membebaskan totokan jalan
darah, ketika dicoba, betul saja, jalan darah bisu ayahnya segera
terbebaskan. "Perempuan siluman itu datang untuk mencari gara-gara dengan
adikmu," ujar Lan Kau-san kemudian, "dia ingin menipuku, masih
beruntung aku tidak sampai tertipu."
"Aku tahu ayah, semua pembicaraanmu dengan perempuan
siluman itu sempat kudengar."
"Apa" Apa.... apa yang kau dengar?" tanya Lan Kau-san
terperanjat. "Perempuan siluman itu mengatakan kalau adik bukan....
bukan.... benarkah apa yang dia katakan?"
Lan Kau-san tertunduk lesu, sesaat kemudian ia baru menjawab,
"Karena urusan telah menjadi begini, rasanya tidak perlu
kurahasiakan lagi. Betul, semua yang dia katakan memang benar!"
"Lantas siapakah orang tua kandungnya?"
"Aku sendiripun tak tahu."
"Lantas darimana dia berasal?"
"Enam belas tahun berselang, ayah angkatnya yang
menyerahkan kepadaku, waktu itu kau baru lahir, belum genap
sebulan. Karena itulah kepada orang lain aku selalu mengakui kalian
sebagai sepasang saudara kembar."
"Menurut pendapatku," tiba tiba ibunya menyela, "bisa jadi anak
Keng adalah putra kandung ayah angkatnya."
Lan Kau-san segera tertawa.
"Selama hidup Put-ji Totiang belum pernah menikah," katanya.
"Biar belum pernah kawin pun bukan berarti tidak punya anak
haram! Kalau tidak, mengapa dia begitu menyayangi anak Keng?"
"Pasti bukan!" tiba tiba Lan Sui-leng menyela.
"Darimana kau bisa tahu?" tanya ibunya.
Lan Sui-leng jadi kelabakan karena tidak mampu menjawab,
akhirnya dia berkata, "Pokoknya aku tahu kalau bukan dia!"
Rupanya dia teringat dengan perkataan gurunya, hanya saja hal
itu tidak berani diucapkan secara terus terang kepada orang tuanya.
Terdengar Lan Kau-san berkata pula, "Aku pun sependapat
dengan perkataan budak Leng. Aku sudah kenal Put-ji Totiang sejak
kecil dan tahu kalau dia saleh, sopan dan bermoral tinggi, darimana
munculnya anak haram" Kalau dibilang kenapa menyayangi anak
Keng, bukankah kita pun amat menyayangi anak Keng, bahkan tidak
kalah dengan dia?" Lan Sui-leng menghela napas panjang.
"Tidak heran kalau adik jadi curiga, ini disebabnya rasa sayang
kalian terhadapnya sedikit kelewat isti-mewa," katanya.
"Ooh, dia bilang begitu" Terus apa lagi yang dia katakan?"
Lan Sui-leng manggut-manggut, ujarnya, "Semula aku masih
membujuki dia agar jangan berpikir sembarangan, eeh siapa sangka
ternyata beneran! Untung saja dia belum banyak tahu apa-apa,
baru timbul rasa curiganya saja."
Lan Kau-san tidak bicara lagi, sampai lama kemudian dia baru
menghela napas. "Ayah, kenapa menghela napas?" tanya Lan Sui-leng.
"Sekarang aku baru paham, sudah pasti lantaran anak Keng tahu
kalau kami bukan orang tua kandungnya, maka tanpa mengatakan
alasan apapun dia telah pergi meninggalkan kita."
"Bukan begitu!" sela Lan Sui-leng cepat.
"Kalau bukan lantaran alasan ini, lalu dikarenakan apa?"
"Apa alasannya aku sendiri juga kurang tahu. Tapi yang
kuketahui kalian amat menyayangi adik dan adik pun amat
menyayangi kalian. Sekalipun sudah timbul rasa curiganya, dia tetap
masih menganggap kalian sebagai ayah bundanya."
"Apa yang kau katakan memang betul, anak Keng memang
seorang bocah yang penurut dan berbakti. Tapi mengapa dia bilang
kepergiannya bisa tidak balik lagi" Benar dia mengatakan kalau hal
ini karena pesan Sucouwnya, tapi masa kepada orang tua sendiri
pun harus dirahasiakan?"
"Bila adik sudah berkata begitu, sudah pasti dia mempunyai
alasan yang mendesak. Ayah, ibu, aku pun ingin memohon satu hal
kepada kalian, harap kalian mau mengabulkan."
"Apa permintaanmu?"
"Akupun ingin turun gunung untuk mencari adik."
"Baru saja dia pergi, sekarang kaupun akan pergi?" keluh ibunya.
"Aku tidak tega membiarkan dia berkelana seorang diri dalam
dunia persilatan, andai Sucouw memang sedang menitahkan dia
untuk melaksanakan suatu tugas, dengan bantuanku siapa tahu dia
bisa pulang lebih cepat."
Lan Kau-san menghela napas panjang.
"Aaai, baik terhadapmu maupun terhadap anak Keng aku sayang
semuanya, mana tega kubiarkan kau pergi seorang diri" Tapi.... ada
baiknya juga kalau kau menyusulnya, hanya saja...."
"Hanya saja kenapa?"
"Kalau dia hanya sebatas curiga, lebih baik jangan kau katakan
hal yang sebenarnya."
"Ayah tidak perlu pesan, aku mengerti," tiba tiba Lan Sui-leng
teringat dengan status sendiri, dari saudara kandung berubah jadi
orang lain, tidak urung hatinya merasa sedih juga. Sejujurnya
diapun berharap rahasia ini selamanya tidak disampaikan kepada
adiknya. "Budak Leng, apa lagi yang sedang kau pikirkan?" tiba tiba
ibunya bertanya. Lan Sui-leng mendongakkan kepalanya, dengan mata memerah
keluhnya, "Ayah, ibu, aku.... aku pun merasa tidak tega."
"Apa yang membuatmu tidak tega?"
Tiba-tiba terdengar seseorang berseru dari luar pintu, "Anak
Leng, pergi saja dengan hati tenang, biar aku yang menjaga orang
tuamu." Ternyata Put-hui Tokouw telah kembali.
"Hahaha.... budak Leng, ternyata masalah ini yang kau
khawatirkan!" seru Lan Kau-san kemudian sambil tertawa, "aku dan
ibumu masih sehat dan bugar, masih dapat menjaga diriku sendiri."
Darimana dia tahu kalau apa yang dimaksud Put-hui Tokouw
sebenarnya mempunyai arti lain.
Lan Sui-leng jadi kegirangan setengah mati, segera serunya,
"Terima kasih Suhu. Eei.... Suhu, wajahmu kurang beres."
"Kurang sehat bukan?" sela Put-hui Tokouw sambil tertawa.
Lan Sui-leng rikuh untuk memberi tanggapan, maka sambil
tertawa dia bertanya, "Mana perempuan siluman itu?"
"Sayang Suhu mu kurang mampu, dia berhasil melarikan diri.
Namun.... biarpun gagal menangkapnya, aku pun telah
menghadiahkan sebuah kado kecil untuknya."
"Kado apa Suhu?"
"Telah kuhadiahkan selembar bulu hudtim ku menembusi jalan
darah Ih-khi-hiatnya. Kalau Bwe-hoa-ciam masih bisa dihisap keluar
dengan besi sembrani, mau kulihat pakai apa dia mau sedot keluar
bulu lembut itu. Kecuali menggunakan tenaga dalam, jangan harap
dia bisa terlepas dari siksaan ini."
Untuk menghindari muridnya khawatir, dia sengaja hanya


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyinggung keberhasilannya tanpa memberitahukan juga kalau
diapun sudah terhajar sebatang jarum beracun dari Siang Ngo-nio.
Lan Sui-leng menyangka wajah gurunya kurang sedap dipandang
lantaran dia gagal membekuk Siang Ngo-nio, buru-buru serunya
kemudian, "Biarpun kadonya kecil, kelihatannya sudah cukup untuk
menyiksa tubuhnya. Suhu, kalau dia tidak mampu memaksa keluar
bulu itu dengan tenaga dalamnya, lantas bagaimana?"
"Kalau sampai begitu, berarti selama hidup jangan harap dia bisa
terlepas dari siksaan karena sakit di ulu hati dan perutnya, bahkan
rasa sakit itu bisa kambuh setiap saat. Namun menurut
pengamatanku, dia masih mampu untuk menghancurkan bulu
dalam tubuhnya dengan tenaga dalam, hanya saja harus dia
lakukan cukup lama, paling tidak dalam setengah tahun mendatang
dia tidak bakal mencelakai umat persilatan lagi. Itulah sebabnya aku
tidak khawatir kau turun gunung untuk mencari adikmu. Sudahlah,
urusan jangan ditunda lagi, kau segera berangkat turun gunung
sementara akupun harus balik ke partai untuk melaporkan kejadian
ini kepada Ciangbunjin."
Belum jauh Put-hui Tokouw meninggalkan rumah keluarga Lan,
bahkan belum lagi melampaui bukit kecil, dia merasa kepalanya
makin lama terasa makin berat.
Perlu diketahui, walaupun luka yang dideritanya tidak separah
luka yang diderita Put-coat ketika berada digunung Boan-liong-san
tempo hari, tapi setelah terkena jarum lebah hijau, dia masih harus
bertarung melawan Siang Ngo-nio, bahkan mengejarnya beberapa
saat. Hal ini mengakibatkan hawa racunnya segera menyebar ke
bagian atas tubuhnya kendatipun dia sudah mengerahkan tenaga
dalam untuk membendung. Di saat matanya mulai berkunang dan matanya terasa makin
berat, ingin terpejam terus, mendadak terasa ada seseorang
memayang tubuhnya sambil menegur, "Put-hui, mengapa kau
terluka separah ini?"
Put-hui berusaha membuka matanya, tampak dihadapannya
telah berdiri Bu-beng susiok, ketua yang baru saja diangkat serta
Bu-si tianglo. Saat ini Ciangbunjin baru yang sedang memayang
tubuhnya. "Aku terkena jarum lebah hijau dari Siang Ngo-nio!" jawab Puthui
lirih. Bu-beng terperanjat, cepat dia tempelkan telapak tangannya
keatas punggung dan menyalurkan hawa murninya.
"Jadi perempuan siluman itu lelah datang kemari?" tanyanya.
"Benar, kami bertemunya di rumah keluarga Lan," Put-hui Suthay
manggut manggut. Bu-beng tidak ada waktu lagi untuk bertanya mengapa dia
datang ke rumah keluarga Lan, segera perintahnya, "Bu-si sute,
tolong lakukan perjalanan turun gunung untuk membekuk
perempuan siluman itu. Kalau bukan keadaan memaksa, lebih baik
jangan kau lukai nyawanya."
"Aku tahu. Dia adalah istri kedua Tong ji-kongcu, jelek-jelek kita
harus memberi muka untuk keluarga Tong."
"Bukan hanya masalah memberi muka untuk keluarga Tong, bisa
jadi beberapa kasus peristiwa yang menimpa perguruan kita
mungkin harus dilacak dari tubuh perempuan itu. Aku lihat ilmu
meringankan tubuhnya sangat bagus, bila kau gagal mengejarnya,
datang saja ke keluarga Tong dan mencari Tong toa-sianseng,
jelaskan saja terus terang tentang tingkah lakunya di bukit Bu-tong.
Tong toa-sianseng orangnya jujur dan lurus, dia punya hubungan
baik denganku, aku yakin dia tidak bakalan membelai adiknya jika
kesalahan ada dipihaknya."
Bu-si Tojin mengiakan berulang kali, kemudian tanyanya,
"Apakah Ciangbun Suheng masih ada perintah lain?"
Bu-beng berpikir sejenak, kemudian sahutnya, "Sebelum bulan
lima tahun depan, kau tidak usah terburu-buru pulang gunung.
Sekalian carilah berita tentang anak Keng."
Waktu itu kesadaran Put-hui Tokouw sudah hampir hilang, ketika
lamat lamat mendengar kata 'anak Keng', kontan dia berteriak,
"Benar, benar sekali, ilmu pedang yang dipelajari anak Keng keliru
semua. Dia.... dia mengembara seorang diri dalam dunia
persilatan...." Cepat Bu-beng menotok jalan tidurnya sembari menghibur,
"Urusan anak Keng tidak perlu kau khawatirkan lagi, sekarang
beristirahatlah dulu."
Caranya menotok jalan darah tidur berbeda dengan ilmu
menotok pada umumnya, bukan saja tidak merugikan tubuh,
bahkan mempunyai khasiat untuk pengobatan.
OoOoO Perasaan Put-ji amat tidak tenang, sewaktu bersembunyi
dibelakang batu tadi, lantaran khawatir jejaknya ketahuan Siang
Ngo-nio dan Put-hui Tokouw, maka sengaja dia berbaring di tanah,
hal ini bukan saja membuat tubuhnya berpelepotan lumpur, bahkan
ada sebagian bajunya yang robek karena tersangkut batu tajam.
Dengan kondisi semacam ini, tentu saja dia tidak berani
mendatangi kuil Cing^siu-kiong untuk menjaga layon gurunya,
terpaksa dia mengambil keputusan untuk pulang dulu ke kamarnya.
Untuk menghindari kecurigaan orang dan bertemu dengan orang
yang dikenal, sengaja dia berputar satu lingkaran lebih dulu
sebelum akhirnya mengambil jalan yang sepi untuk kembali ke
kamarnya. Siapa tahu baru masuk ke kamar tidurnya, dia jumpai ada
seseorang sedang menunggunya disana.
Orang itu bukan lain adalah Bu-beng Cinjin, Ciangbunjin baru
mereka. Tidak terlukiskan rasa kaget Put-ji, namun sambil tertawa paksa
segera sapanya, "Ciangbun Cinjin, tumben ada waktu berkunjung ke
kamarku?" "Aaah, kebetulan saja lewat disini, karena sudah berada di
seputar tempat tinggalmu, aku pikir sekalian menjengukmu."
Lalu dengan senyum tidak senyum dipandangnya Put-ji sekejap,
kemudian tegurnya lagi, "Tampaknya kau baru selesai berlatih
silat?" Waktu itu Put-ji belum keburu berganti pakaian, jubahnya masih
kelihatan dekil dan robek dibanyak tempat, melihat Ciangbunjin
sedang menatapnya, dia jadi tersipu-sipu karena malu.
Namun pertanyaan yang diajukan sang ketua cukup membuatnya
tercengang dan sedikit diluar dugaan.
Terlepas gurunya baru meninggal semalam sehingga sebagai
murid tidak masuk diakal untuk berlatih diri dalam situasi begini,
dengan kemampuan silat yang dimilikinya sekarang, rasanya tidak
masuk di akal juga kalau sampai pakaiannya ikut terobek.
Dengan cepat otaknya berputar, tapi segera dia paham kalau
ucapan itu merupakan bantuan sang ketua untuk mencarikan alasan
baginya, jelas tujuannya untuk menutupi rahasia yang tidak ingin
diketahui orang. Perlu diketahui, dalam situasi seperti ini meski alasan itu banyak
kelemahannya, namun dia memang tidak punya alasan lain yang
jauh lebih baik. Setelah berhasil menenangkan diri, diapun mulai menyusun cerita
bohongnya, "Ilmu pedang ajaran mendiang Suhu tidak pernah tecu
latih secara baik, hal ini menyebabkan tecu menderita kekalahan
ditangan Tonghong Liang kemarin. Karena malu bercampur kecewa
maka pagi tadi tecu sengaja mendatangi telaga Giok-keng di bawah
Cian-ki-hong untuk melatih diri. Siapa tahu karena kurang
konsentrasi, pakaian tecu terkait onak hingga robek...."
"Usia mendiang Ciangbunjin sudah melampaui delapan puluh
tahun, apa yang menjadi keinginannya pun sudah terkabulkan, aku
rasa kau tidak perlu kelewat bersedih hati. Tapi aku rasa ketidak
tenangan hatimu tentu disebabkan alasan lain bukan."
"Perlu Ciangbunjin ketahui, murid tecu yang bernama Lan Giokkeng
adalah cucu murid kesayangan mendiang guruku, entah
kenapa, sejak bubaran pertemuan semalam dia belum kelihatan
juga. Setiap hari dia punya kebiasaan untuk berlatih silat ditepi
Giok-keng-ouw, karena aku tidak punya waktu menjenguk ke
rumahnya maka sejak pagi tadi kudatangi telaga Giok-keng dengan
harapan bisa bertemu dengannya. Si apa tahu disana pun aku tidak
menemukan jejaknya, entah sudah ke mana bocah itu. Inilah yang
menyebabkan tecu jadi risau dan tidak tenang."
"Aaah benar," kata Bu-beng kemudian, "kebetulan akupun
hendak memberitahukan soal itu kepadamu, Giok-keng si bocah ini
sudah diperintahkan gurumu untuk turun gunung."
"Ooh, rupanya begitu," Put-ji segera berlagak seolah diluar
dugaan. "Mungkin saja karena kemarin mendiang gurumu kelewat sibuk
menghadapi serangan musuh, maka dia lupa memberitahukan hal
ini kepadamu." "Boleh tahu karena urusan apa mendiang Suhu memerintahkan
bocah ini turun gunung?"
"Tahun ini Giok-keng sudah genap berusia enam belas tahun, dia
adalah orang yang secara khusus diijinkan mendiang Ciangbunjin
untuk kau ajari ilmu pedang Thay-khek-kiam-hoat. Bisa jadi tujuan
mendiang Ciangbunjin adalah agar dia mencari pengalaman di
dalam dunia persilatan, untuk itu kau tidak perlu banyak curiga."
Tentu saja Put-ji tidak berani mengakui kalau dia memang
sedang curiga, sahutnya sambil tertawa paksa, "Bukannya tecu
banyak curiga, mungkin karena kebodohan tecu sehingga tidak
memahami maksud tujuan mendiang Suhu, itulah sebabnya tecu
sedikit tercengang karena merasa diluar dugaan."
"Masih ada satu kejadian aneh lagi, bagaimana kalau kita
membahasnya bersama?" tiba-tiba Bu-beng berkata.
"Persoalan aneh apa?" tanya Put-ji terperanjat. "Baru saja si
lebah hijau Siang Ngo-nio berkunjung kemari!"
Put-ji segera berlagak terkejut, serunya, "Perempuan siluman ini
adalah salah satu pembunuh Put-coat Suheng, tidak disangka berani
amat dia mendatangi gunung Bu-tong!"
"Nyalinya memang cukup besar, bukan saja berani naik gunung
bahkan berani pula melakukan tindak kejahatan disini bahkan telah
melukai seorang anggota perguruan Bu-tong."
"Suheng mana yang terluka?" tanya Put-ji segera dengan lagak
kaget bercampur cemas. "Dia adalah Put-hui, murid wanita dari Giok-tin-koan, walaupun
perempuan siluman itu berhasil terusir dari atas gunung, namun
Put-hui terkena juga sebatang jarum lebah hijau nya."
"Bagaimana ceritanya sehingga Put-hui suci bisa berjumpa
dengan wanita siluman itu" Bagaimana keadaan lupanya" Apakah
sudah kembali ke kuil Giok-tin-koan" Aaaai, tentunya keselamatan
jiwanya tidak terancam bukan?"
Dia menggunakan serentetan pertanyaan untuk mengungkap
perasaan khawatirnya, padahal persoalan yang benar-benar ingin
dia ketahui belum juga disampai kan, yakni darimana Bu-beng Cinjin
bisa mengetahui persoalan itu sedemikian cepatnya"
Menurut perkiraannya, setelah Put-hui terhajar jarum lembah
hijau, meski tidak sampai tewas, namun mustahil pendeta wanita itu
bisa balik ke gunung dengan menggunakan ilmu meringankan
tubuhnya. Biarpun ditengah jalan telah bertemu rekan seperguruan,
tidak mungkin berita tersebut bisa secepat itu dilaporkan kepada
Ciangbunjin. "Jangan-jangan secara ^kebetulan Ciangbunjin sedang berada
disekitar tempat ini dan menyaksikan sendiri semua peristiwa itu?"
Karena berbuat salah, perasaan hatinya jadi amat tidak tenang.
"Kau tidak perlu gelisah," Bu-beng Cinjin segera berkata,
"keselamatan jiwa Put-hui tidak perlu dikhawatirkan, apalagi sudah
menelan sebutir pil Teng-sim-wan. Tapi omong-omong, kali ini Puthui
bisa mendapat pertolongan cepat pun berkat dirimu juga."
Put-ji tidak habis mengerti, dia curiga perkataan Ciangbunjin
bermaksud sebaliknya, maka sambil ter-tawa paksa ujarnya, "Tecu
sendiripun baru sekarang mengetahui kejadian ini."
"Bukankah beberapa hari berselang kau telah mendirikan sebuah
pos penjagaan baru di punggung bukit di bawah pintu Hian-gakbun?"
tanya Bu-beng Cinjin. Peristiwa itu terjadi pada hari ke dua setelah Put-coat dibawa
balik keatas gunung, Put-ji dengan posisi sebagai wakil Ciangbunjin
memerintahkan pekerjaan itu.
"Tujuan tecu waktu itu adalah untuk memperkuat penjagaan
diatas gunung," kata Put-ji segera, "bila Ciangbunjin merasa kurang
berkenan, biar nanti tecu bubarkan."
"Untung saja belum dibubarkan, begitu penjaga pos menemukan
perempuan siluman itu melarikan diri ke bawah gunung, mereka
segera mengirim merpati pos untuk melaporkan peristiwa ini. Aku
dan Bu-si sute pun segera turun gunung untuk melakukan
pemeriksaan, saat itulah kebetulan berjumpa Put-hui yang sedang
pulang dengan membawa luka. Waktu itu racunnya sedang mulai
bekerja." Lega juga perasan hati Put-ji setelah mendengar penuturan itu,
pikirnya, "Untung saja dia tidak hadir disaat peristiwa itu
berlangsung." Berpikir begitu, diapun berkata, "Asal Ciangbunjin telah
mengobati lukanya, tecu yakin jiwanya pasti bakal selamat."
"Mungkin masih dibutuhkan beberapa hari untuk memunahkan
seluruh sisa racun jarum lebah hijau yang mengeram ditubuhnya,
tapi aku rasa urusan penting yang kita hadapi sekarang bukanlah
mengobati luka Put-hui, melainkan menyelidiki maksud kedatangan
Siang Ngo-nio. Keberaniannya kali ini sungguh diluar dugaan
siapapun!" Sekali lagi Put-ji merasa terperanjat.
"Apakah Put-hui suci sempat mengorek sedikit keterangan dari
perempuan siluman itu?" tanyanya.
"Kurasa tidak, jika berhasil mendapatkan sesuatu, begitu
bertemu aku tadi seharusnya sudah disampaikan. Biarpun saat itu
racunnya mulai bekerja, tapi tidak masalah untuk berbicara satu dua
patah kata lagi." Put-ji merasa perkataan itu ada benarnya juga, diam diam diapun
merasa agak lega. Tapi perkataan Bu-beng berikut segera membuat perasaan
hatinya kembali tercekat.
Ujar Bu-beng, "Ada satu hal yang membuat aku tidak habis
mengerti, coba tebak, di tempat mana Put-hui berjumpa dengan
perempuan siluman itu?"
"Mana aku bisa menebaknya?" sahut Put-ji sambil tertawa paksa.
"Aku tahu kaupun tidak bakal bisa menebaknya, Put-hui justru
bertemu siluman itu di rumah muridmu."
"Mau apa dia mendatangi rumah keluarga Lan?" Put-ji berlagak
kaget. "Masalah ini telah kutanyakan langsung kepada Lan Kau-san,
kelihatannya kedatangan siluman perempuan itu khusus untuk
mencari Giok-keng! Tampaknya semula dia ingin berbohong, ketika
gagal berbohong diapun menggunakan kekerasan."
Put-ji pun berlagak kebingungan, sambil menggaruk kulit
kepalanya dia bergumam, "Sungguh aneh kejadian ini, tidak
mungkin Giok-keng si bocah ini mempunyai masalah dendam atau
sakit hati dengannya."
"Kau pernah berkenalan dengan Siang Ngo-nio?" tiba-tiba Bubeng


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cinjin betanya. "Belum pernah bersua," jawab Put-ji cepat, "Ciangbunjin, kau....
mengapa kau bertanya begitu?"
"Aku dengar kau sudah cukup lama berkelana dalam dunia
persilatan, waktu itu kau masih menjadi murid tertua dari Ji-ouw
Tayhiap Ho Ki-bu, sering mewakili gurumu berhubungan dengan
tokoh persilat-an. Siapa tahu secara tidak sengaja kau telah
menyalahi perempuan siluman itu, atau menyalahi orang yang
berhubungan dengan dirinya" Coba dipikirkan dulu dengan cermat."
"Waktu itu aku hanya berhubungan dengan para pendekar dan
ksatria dari dunia persilatan, jadi rasanya tidak mungkin bersalah
dengan orang orang yang menyangkut perempuan siluman itu."
"Kalau begitu aneh sekali, kenapa dia harus mendatangi bukit
Bu-tong hanya dikarenakan seorang murid perguruan yang belum
menginjak dewasa?" Put-ji berlagak ikut berpikir, sesaat lalu berkata, "Menurut dugaan
tecu, bisa jadi dia ingin menangkap Giok-keng untuk jimat pelindung
nyawanya." "Untuk pelindung?"
"Mungkin dia sudah mendapat tahu kalau Giok-keng adalah cucu
murid kesayangan mendiang Suhu, tapi tidak tahu kalau mendiang
Suhu telah meninggal, bisa jadi dianggapnya asal dia tangkap bocah
itu maka kita pun tidak akan berani menuntut balas karena
kematian Put-coat Suheng."
"Ehmm, perkataanmu masuk diakal juga. Betul, meski Bu-siang
Cinjin Suheng telah meninggal, namun bila Giok-keng sungguh
terjatuh ke tangan siluman itu, kita pun tidak mungkin berani
bertindak gegabah, paling tidak harus berpikir juga keselamatan
jiwanya." "Sungguh tidak disangka bakal terjadi peristiwa semacam ini,
posisi tecu sekarang jadi serba salah, tidak tahu apa yang harus
dilakukan. Mohon petunjuk dari Ciangbunjin."
"Kesulitan apa yang sedang kau hadapi" Katakan saja."
"Sebenarnya aku harus menjaga layon mendiang Suhu, tapi
akupun tidak tega membiarkan Giok-keng mengembara seorang diri
dalam dunia persilatan, apa jadinya kalau dia sampai bertemu Siang
Ngo-nio?" "Jalan darah Siang Ngo-nio pun sudah tertembus bulu hudtim
milik Put-hui, dalam dua tiga bulan mendatang tidak nanti dia
sanggup melakukan kejahatan lagi. Sekarang aku telah mengirim
Bu-si sute untuk melacak kabar beritanya. Begitu ada kabar, dia
akan beritahu kepadaku. Bu-si sute sering berkelana dalam dunia
persilatan, kenalannya cukup banyak, aku percaya dia pasti dapat
mengutus orang untuk melin-dungi bocah itu secara diam-diam."
Sementara Put-ji masih termenung tanpa bicara, kembali Bubeng
Cinjin berkata, "Kau masih merasa khawatir?"
"Memang tidak salah mendiang Suhu memerintahkan dia
berkelana dalam dunia persilatan, tapi sebetulnya paling baik jika
dia berada di sampingku selama dua tahun lagi."
Perkataan itu benar-benar muncul dari hati tulusnya, bukan
lantaran dia takut Siang Ngo-nio bakal mencelakai Lan Giok-keng,
melainkan karena dia sadar ilmu pedang yang dia ajarkan kepada
bocah itu sesungguhnya tidak mampu dipakai untuk melawan
musuh tangguh. "Begini saja," ujar Bu-beng Cinjin kemudian, "begitu ada berita
tentang bocah itu, aku segera akan mengirim kau untuk
mencarinya, bila selewat tiga bulan kemudian belum juga ada kabar
beritanya, akupun akan memberi masa libur sebulan kepadamu,
agar kau bisa pergi mencarinya. Cuma kau harus balik ke Bu-tong
sebelum upacara penguburan mendiang Ciangbunjin.... sekarang,
ada satu hal aku ingin minta bantuanmu."
"Silahkan Ciangbunjin katakan."
"Sisa racun Put-hui belum bersih dari tubuhnya, aku minta dalam
dua hari ini kau membantunya membersihkan racun-racun itu."
Pucuk dicinta ulam tiba, memang inilah yang diharapkan Put-ji.
Dia ingin menggunakan kesempatan itu untuk merebut simpatik
Put-hui. Tentu saja permintaan itu segera diiyakan.
Malam itu Put-ji tidak dapat tidur nyenyak, sebentar dia seperti
melihat bayangan dari sutenya Keng King-si, sebentar lagi melihat
bayangan Sumoynya Ho Giok-yan, sebentar melihat pula bayangan
Lan Giok-keng, bayangan mereka bermunculan saling menyusul di
depan mata. Dan terakhir dia sekan melihat sepasang mata Put-hui
yang dingin sedang mengawasinya dari balik kegelapan.
"Aku tidak tahu apa sebabnya perempuan siluman itu berbohong
dirumah keluarga Lan, tapi bila ada yang ingin membunuh karena
hendak melenyapkan saksi, aku pasti tidak akan melepaskan
dirinya!" inilah ucapan Put-hui ketika ia berusaha memancing
keterangan dari mulutnya.
"Aaai, sungguh tidak kusangka diriku dalam pandangan orang
telah berubah menjadi seorang siaujin laknat yang begitu jahat!"
Sekali lagi peristiwa yang terjadi pada enam belas tahun
berselang melintas kembali dalam benaknya, dia seolah mengendus
bau anyir darah yang berlepotan di tangannya.
Pesan terakhir Sumoynya menjelang saat ajal pun seakan
bergema lagi disisi telinganya, "Suko, selama hidup aku tidak pernah
memohon kepadamu, tapi hari ini aku hanya memohon, tolong jaga
baik-baik bocah ini!"
Cahaya kilat berkelebat di luar jendela diikuti suara gemuruh
guntur yang membelah bumi, tiba-tiba saja turun hujan yang amat
deras. Sambaran kilat gemuruh petir seketika menggetarkan perasaan
hatinya, bagai orang kalap dia melompat bangun, jeritnya, "Sumoy,
kau jangan memandangku seperti ini. Betul, aku memang bersalah
kepadamu, tapi aku sama sekali tidak berniat mencelakai anak
Keng!" Betul, walaupun dengan sengaja dia mengajarkan ilmu pedang
yang salah kepada Lan Giok-keng, namun hal ini timbul demi
melindungi keselamatan jiwa sendiri. Dia khawatir suatu saat nanti
bila Lan Giok-keng mengetahui asal usulnya, dia bakal datang
mencarinya untuk menuntut balas.... bagaimanapun ayah kandung
Lan Giok-keng memang tewas ditangannya dan ibu Lan Giok-keng
pun tewas lantaran dirinya!
Dia sengaja mengajarkan ilmu pedang yang salah kepada Lan
Giok-keng, agar bocah itu biar berlatih lebih hebat pun tidak nanti
mampu membunuhnya. Bahkan menurut rencananya semula, dia
pun ingin menahan Lan Giok-keng agar selalu berada di
sampingnya, sampai dia meninggal baru mengijinkannya turun
gunung. Dengan hubungannya yang begitu akrab melebihi
hubungan ayah dan anak, d'a yakin Lan Giok-keng pasti akan
menuruti perkataannya. Siapa tahu baru saja Lan Giok-keng mencapai usia enam belas
tahun, belum lagi kungfunya berhasil diyakinkan, Ciangbun Sucouw
telah memerintahkan dia turun gunung.
Bahkan ketika sang Sucouw menitahkan dia turun gunung, hal ini
sama sekali tidak diberitahukan kepadanya, tidak heran kalau
kejadian ini membuat perasaan hatinya makin khawatir dan tidak
tenang. "Entah anak Keng sudah tahu tidak kalau ilmu pedang yang
kuajarkan kepadanya sama sekali tidak berguna" Aaaai, andai dia
sudah mengetahui perbuatan kejiku ini, apakah dia pun akan sangat
membenciku?" Dia sangat khawatir bila Lan Giok-keng tahu rahasianya, tapi
sekarang yang lebih dia takuti adalah bocah itu tewas dalam dunia
persilatan hanya gara-gara menggunakan jurus pedang yang dia
ajarkan padanya. Cahaya kilat berkelebat lalu lenyap, bayangan Sumoynya ikut
lenyap pula dari hadapannya. Tapi perasaan menyesal yang timbul
dalam hatinya ter-simpan secara utuh dan abadi.
"Aaaai, sudah kelewat banyak kesalahan yang kulakukan, kali ini
mungkin aku telah melakukan kesalahan yang terbesar!"
Selama enam belas tahun hidup bersama, dialah yang
menyaksikan Lan Giok-keng tumbuh jadi dewasa, sedikit banyak
antara dia dengan bocah itu telah tumbuh perasaan sayangnya
sebagai seorang ayah terhadap anaknya, kendatipun selama ini
diapun berusaha dengan segala cara untuk mewaspadai bocah itu.
Bagaimana dia harus menebus semua dosa ini" Memukul dada
sendiri sambil menyesali semua perbuatannya"
Ketika kehabisan akal, diapun ingin segera turun gunung, tapi dia
khawatir tindakan ini justru menimbulkan kecurigaan Ciangbunjin,
dalam keadaan begini terpaksa diapun harus menuruti perkataan
Bu-beng Cinjin, menunggu sekembalinya Bu-si tianglo.
Ooo)*(ooO Lan Giok-keng telah turun dari bukit Bu-tong perasaan hatinya
gundah bercampur gelisah.
Dalam sakunya tersimpan segulung benda, pemberian dari
Ciangbun Sucouw. Waktu itu, ketika dia menjenguk Sucouwnya yang sedang sakit,
Bu-siang Cinjin segera menyerahkan sepucuk surat dan sebuah
gulungan benda kepadanya sambil berpesan, "Sekarang juga segera
pulang ke rumah, setibanya di rumah buka dan baca surat itu."
Sekembali ke rumah, diapun membuka surat itu dan membaca
isinya, "Segera berpamitan kepada orang tuamu dan turun gunung.
Dilarang memberitahukan hal ini kepada siapa pun. Setibanya di
bawah bukit, periksa benda gulungan yang kuberikan padamu itu."
Dengan hati ragu penuh curiga Lan Giok-keng pun berpikir,
"Sungguh aneh, kenapa Sucouw melarang aku memberitahu kepada
guruku kalau aku hendak turun gunung?"
Namun berhubung perintah itu berasal dari Ciangbunjin, perintah
yang tidak mungkin bisa di langgar, walaupun tidak habis mengerti,
Lan Giok-keng tetap melaksanakan perintah itu.
Sesuai dengan pesan, setelah tiba di bawah bukit Bu-tong, ia
baru membuka gulungan tersebut. Ternyata benda itu adalah
sebuah gulungan kertas yang penuh berisi tulisan sebesar kepala
lalat. Gulungan pertama berisi Sim-hoat tenaga dalam, gulungan kedua
berisi Kiam-koat (teori) ilmu Thay-kek-kiam. Selain itu tersedia pula
setumpuk uang kertas yang nilai nominalnya tidak terlalu banyak,
jelas untuk ongkos perjalanan.
Di samping itu terdapat lagi secarik surat.
Cepat Lan Giok-keng membuka sampul surat itu dan membaca
isinya, "Pelajari baik-baik Sim-hoat dan Kiam-koat itu, setelah hapal
kau harus memusnahkannya. Kemudian pergilah ke Ho-lam, bukit
Siong-san dan mohon bertemu Hwee-ko Thaysu dari Siau-lim-si,
mohon petunjuknya untuk mencari Jit-seng-kiam-kek. Sebelum
berhasil bertemu dengan Jit-seng-kiam-hek, apa pun yang terjadi di
bukit Bu-tong, kau tidak boleh sekali-kali balik ke gunung. Jaga baik
rahasia ini. Tertanda: Sucouw." "Siapakah Jit-seng-kiam-kek si jago pedang tujuh bintang ini,"
pikir Lan Giok-keng dalam hati, "di gunung Bu-tong bakal terjadi
peristiwa apa?" Mendadak dia teringat kalau Sucouw sedang menderita sakit
parah. "Seandainya Sucouw meninggal dunia karena sakit, apakah
akupun tidak boleh balik ke gunung untuk melayat?"
Bocah ini memang sangat cerdas, dari pesan wanti wanti Sucouw
nya secara lamat-lamat dia sudah merasakan firasat tidak baik.
Dalam suratnya Sucouw telah berpesan, "Apapun yang terjadi di Butong-
san", bukankah kejadian paling penting adalah tentang
kematian Sucouwnya" Perintah Ciangbunjin pantang dilanggar, maka setelah berhasil
menenangkan diri diapun berpikir, "Tenaga dalam yang dimiliki
Sucouw amat sempurna, bisa jadi perkataan itu hanya bermaksud
berjaga-jaga. Bukankah Thio Cinjin Couwsu pendiri perguruan
mampu hidup hingga seratus tahun lebih" Siapa tahu Sucouw pun
bisa hidup diatas seratus tahun?"
Selain itu masih ada sebuah teka teki lain yang lebih besar
mencekam pikirannya, "Kenapa Sucouw tidak mengajarkan Simhoat
tenaga dalam dan teori ilmu pedang Thay-kek-kiamhoat di atas
gunung Bu-tong" Kenapa dia minta aku memusnahkan catatan ini
setelah aku menghapalkannya" Apakah dia khawatir terjatuh ke
tangan orang luar" Benarkah susiok, Supek bahkan termasuk
Suhuku dianggap orang luar?"
Biarpun dia keheranan dan tidak habis mengerti, tapi dalam surat
itu Sucouwnya dengan jelas memerintahkan kalau hanya dia
seorang yang boleh mempelajarinya. Maka selesai membaca surat
dan menyimpan kembali gulungan kertas itu, diapun melanjutkan
perjalanan menuju ke sebuah dusun dikaki gunung.
Dengan uang sepuluh tahil dia membeli ransum dan kebutuhan
lain untuk keperluannya selama tiga hari, kemudian menjelang
magrib berangkatlah bocah ini meninggalkan kota.
Sesudah menempuh perjalanan hampir seratusan li dari gunung
Bu-tong, sampailah dia disebuah perbukitan yang tidak diketahui
namanya. Bukit itu dikelilingi rumah penduduk, tapi datas bukit terdapat
sebuah kuil raja obat, biarpun sudah lama terbengkalai namun
masih layak untuk dipakai berteduh.
Lan Giok-keng mengumpulkan setumpuk kayu kering dan
membuat api unggun. Dia merasa kuil itu cukup cocok sebagai
tempat berteduh sementara waktu.
Maka di bawah cahaya api, diapun mulai membuka gulungan
kertas itu dan membacanya dengan seksama.
Ooo)*(ooO BAB VI Mempelajari ilmu rahasia Menciptakan jurus baru. Mula-mula yang dibaca lebih dulu adalah Sim-hoat tenaga dalam,
semenjak pertama kali belajar tenaga dalam, dia memang seringkali
mendapat petunjuk dari Sucouw, hingga saat membaca Sim-hoat itu
tidak banyak kesulitan yang dijumpai.
Ada beberapa bagian rahasia meski tidak dapat dipecahkan untuk
sesaat, namun secara lamat-lamat dia merasa ada titik terang
berhasil ditemukan, dia yakin asal dipelajari beberapa saat niscaya
rahasia itu akan dipahaminya.
Tapi ketika mulai membaca teori ilmu pedang, perasaan hatinya
mulai ragu dan bimbang, ternyata apa yang dipelajarinya sekarang
sama sekali berbeda dengan kiam-hoat yang diajarkan gurunya.
Yang lebih membuatnya kesulitan adalah Sucouw-nya hanya
mengajarkan teori pedang, sama sekali tidak ditulis jurus pedangnya
dan bagaimana cara menggunakan jurus serangan itu.
Namun dibelakang kiam-koat dia menjumpai sederet tulisan kecil
yang berbunyi demikian, "Kunci dari ilmu silat perguruan kita ada
pada pemahaman. Dulu Thio Cinjin menciptakan ilmu pedang Thaykek-
kiam-hoat lantaran menyaksikan ular bertarung melawan kura
kura. Kau harus pegang prinsip ini, tidak perlu pakai aturan, biarkan
berkembang sesuai alam, bersatulah dengan alam semesta. Thaykek
itu berputar melingkar, bergerak tanpa putus, pusatkan niat
pada pedang, bermain sambung menyambung. Bila memegang
prinsip ini, jurus apapun dapat kau ciptakan, dengan kecerdasan
dan bakat alammu, aku yakin pasti kau bisa pahami kunci ini.


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lupakan semua jurus yang pernah kau pelajari, suatu saat pasti
datang hari kejayaan."
Selain itu tercantum pula dua baris huruf kecil yang berbunyi,
"Ada berasal dari tiada, karena tiada tumbuh ada."
Dia mencoba memecahkan arti dari perkataan itu, namun sampai
kepala hampir pecah pun tidak berhasil memahami arti dari tulisan
itu. Ketika segulung angin segar berhembus lewat, menyadarkan Lan
Giok-keng dari lamunan, pikirnya sambil tertawa geli, "Dulu, Couwsu
saja butuh waktu yang cukup lama untuk memahami teori ini,
itupun harus melewati banyak rintangan dan kesulitan. Masa hari ini
baru saja aku membaca sekali sudah ingin memahaminya,
memangnya segampang itu untuk memahami dan menguasai ilmu
silat tingkat tinggi" Kalau segampang itu, bukankah semua orang
pun bisa menjadi guru besar ilmu silat?"
Untuk sementara waktu dia singkirkan pikiran itu dan mengambil
keputusan untuk menghapalkannya lebih dulu(Gb7).
Baru pertama kali ini dia pergi meninggalkan rumah, begitu
konsentrasinya terpecah tidak berlatih pedang, rasa kangen
terhadap orang di rumah pun segera muncul.
Dia mulai kangen dengan orangtuanya, rindu dengan cicinya.
Otomatis diapun teringat dengan pertarungannya di bawah puncak
Thian-ki-hong, ditepi telaga Giok-keng-ou melawan cicinya.
"Aneh, kenapa sewaktu kugunakan jurus kebanggaan ajaran
Suhu untuk melawan ciri, aku justru dikalah kan olehnya?"
Kemudian pikirnya lebih lanjut, "Kalau memang dari tiada baru
muncul ada, berarti kata "ada" disini menunjukkan kalau aku sudah
mengerti akan ilmu silat. Pepatah bilang semakin matang semakin
menguasai, mungkin apa yang pernah kupelajari harus kuulang
kembali agar lebih hapal dan menguasai. Bila sudah betul-betul
matang hingga mampu menciptakan jurus baru, bukankah hal ini
sudah merupakan satu perputaran, dari tiada muncul ada" Ehmm,
bisa jadi inilah yang diartikan Sucouw."
Maka diapun melatih kembali semua jurus thay-kek-kiam-hoat
yang pernah diajarkan gurunya, sewaktu melatih kembali jurus Pekhok-
liang-ci dimana saat itu dia dikalahkan cicinya, benar saja, dia
segera merasakan sesuatu yang tidak beres. Hanya saja perasaan
itu sangat kabur, dia tidak bisa menjelaskan dimana letak ketidak
beneran itu. Keesokan harinya sesuai dengan kebiasaan sehari hari, begitu
bangun tidur dia pun mulai bersemedi, selesai melatih tenaga dalam
dia pun mulai berlatih ilmu pedang.
Ketika sampai pada jurus Pek-hek-liang-ci tiba tiba...."
Kraaaak!" pedangnya membabat kutung sebatang dahan pohon.
Serangan itu kelewat cepat, ranting pohon yang terbabat pun
kelewat panjang, ketika kutungan dahan itu meluncur ke bawah, dia
tidak sempat lagi menghindar, bahunya langsung terhajar telak.
Meski tidak sampai terluka, tidak urung terasa sakit juga.
Mula mula dia tertegun, kemudian pikirnya, "Bila ranting pohon
ini manusia hidup, dia bisa berkelit, bisa pula menyerang balik.
Kalau sampai kejadian seperti tadi, bukankah sebelum aku berhasil
mengutungi lengannya, tusukan pedangnya berhasil menembusi
tulang Pi-pa-kut ku terlebih dulu?"
Dengan memperlambat gerakan dia mengulang sekali lagi,
akhirnya ditemukan juga letak ketidak beresan itu. Ternyata radius
babatan pedang itu kelewat melebar, setengah jurus pertama dan
setengah jurus kedua terbagi dalam dua lingkaran, dua gerakan
melingkar yang sama sekali tidak bersambungan. Biarpun 'terputus'
nya hanya sekejap namun jelas sudah melanggar teori yang
dikatakan Sucouw sebagai "berputar melingkar tanpa terputus".
Dia tidak tahu apakah teori yang dipahami itu benar atau tidak,
tapi berhubung tidak ada petunjuk dari orang lain, maka dia pun
melakukan perubahan gerak jurus itu sesuai dengan pemikiran
sendiri. Sesudah dilatih beberapa kali, lambat laun dia merasa gerakan
jurus itu mulai lancar, ranting pohon yang terbabat pun tidak
sampai membentur tubuh sendiri.
Dia mulai menguasai seluk beluk gerakan pedang itu, maka
mengikuti jalan pemikiran sendiri dia mulai berlatih semua jurus
Thay-kek-kiam-hoat hingga selesai.
Ketika selesai berlatih jurus terakhir, lamat-lamat dia mulai
merasa kalau paling tidak ada belasan jurus diantaranya tidak sesuai
dengan teori pedang yang dimaksud Sucouwnya. Setiap kali
menemukan sebuah titik kelemahan, hatinya semakin curiga
bercampur sangsi, pikirnya, "Bukankah ilmu pedang gihu berasal
dari Bu-si tianglo, padahal Bu-si tianglo tersohor sebagai jago
pedang nomor wahid, kenapa mereka tidak mengetahui adanya titik
kelemahan ini?" Karena ada begitu banyak kelemahan yang dijumpai, kelemahan
yang mustahil bisa dibenahi dalam waktu singkat. Akhirnya dia
putuskan untuk berkonsentrasi dulu pada jurus Bangau putih
pentangkan sayap. Perubahan dilakukan terus menerus hingga dia merasa puas
sekali dengan hasilnya. Sampai hari ketiga dia masih berlatih terus ilmu pedangnya
berdasarkan pemahaman yang berhasil diserap dari kitab cacatan
itu, tiba-tiba dia menjumpai jurus yang semalam dirasakan sangat
memuaskan mendadak pada hari ini muncul lagi banyak titik
kelemahan yang harus dibenahi.
Akhirnya sambil menghela napas keluhnya, "Ternyata ilmu
pedang hasil ciptaan Sucouw betul betul luas tidak terhingga,
sampai kapan aku baru berhasil menguasainya?"
Dia hanya menyiapkan ransum untuk tiga hari, berarti hari esok
harus meninggalkan tempat itu. Meski sepanjang jalan dia dapat
mencari-tempat yang sepi untuk melatih diri, namun tidak akan
seleluasa di tengah bukit seperti sekarang, oleh karena itu dia harus
melakukan persiapan dengan sebaik-baiknya.
Waktu itu Sim-hoat tenaga dalam dan teori ilmu pedang Thaykek-
kiam-boh peninggalan Sucouw nya telah selesai dihapalkan,
kuatir ada kesalahan dia berusaha mengulang kembali beberapa
kali, hingga seluruh isinya nyaris hapal diluar kepala, dia baru
membakarnya hingga ludas.
Mula-mula dia merobek dulu kertas itu hingga hancur berkeping
lalu membakarnya di dalam hiolo di luar kuil. Kuil itu tidak
berjendela, hiolo pun tanpa penutup, tiba-tiba segulung angin
berhembus lewat menerbangkan hancuran kertas yang belum
sempat terbakar. Buru-buru dia mengumpulkan kembali robekan itu dan sekali lagi
membakarnya. Biar begitu, apakah ada bagian yang tercecer" Dia
sama sekali tidak tahu. "Hari ini adalah hari terakhir aku disini, latihanku harus lebih
dipergiat." Dia berharap pada hari yang terakhir ini paling tidak dia harus
bisa melatih jurus Pek-hok-liang-ci itu minimal sampai dirinya
merasa sangat puas. Diapun berlatih sekali demi sekali, tatkala merasa jurus pek-hokliang-
ci ini sudah tidak ditemukan titik kelemahannya, menyusul
diapun menemukan kelemah- an pada jurus ke dua, ke tiga....
Sementara dia sedang berlatih dengan penuh konsentrasi,
mendadak terdengar seseorang berseru memuji, "Bagus, bagus
sekali! Aaah, salah, salah besar!"
Teriakan itu persis sama dengan permainan pedangnya, ketika
teriakan bergema, gerak jurusnya selalu persis berada di saat
terputus. Tapi anehnya, kalau saja barusan masih memuji, kenapa
kemudian dikatakan juga kalau salah"
Untuk sesaat Lan Giok-keng tertegun, menanti dia dapat
mengendalikan diri terlihatlah seseorang telah berjalan keluar dari
dalam hutan, dia adalah seorang pemuda berusia dua puluh
tahunan, wajahnya putih pucat tapi memiliki sepasang mata yang
bersinar tajam. "Di bagian mana ilmu pedangku menunjukkan kesalahan?" tanya
Lan Giok-keng kemudian. "Apakah kau adalah murid Bu-tong-pay?"
"Aku tidak mengenalimu, kenapa harus memberitahukan
identitasku" Siapa kau?"
Bocah ini benar benar sudah 'matang tanpa guru', tahu kalau
lawan adalah orang asing, serta merta dia tingkatkan kewaspadaan
sendiri. Biar begitu, bocah ini masih tetap kurang pengalaman, sebab
dengan jawaban tersebut sama artinya kalau dia telah mengakui
pertanyaan itu. "Aku hanya ingin bertransaksi secara adil denganmu, masa belum
apa-apa kau sudah ingin mencari keuntungan dariku!" ujar pemuda
itu dingin. "Sejak kapan aku mencari keuntungan darimu?" tanya Lan Giokkeng
agak tertegun. "Bukankah aku bertanya siapa kau, sudah kau jawab?"
Sekarang Lan Giok-keng baru sadar, kalau dirinya enggan
mengaku, jadi bagaimana mungkin orang lain pun bersedia
mengatakan identitasnya"
"Baiklah kalau begitu, akupun tidak ingin tahu siapa dirimu,
pergilah!" kata Lan Giok-keng kemudian.
"Memangnya tempat ini rumah pribadimu" Kenapa aku harus
pergi?" "Baiklah, kalau kau tidak mau pergi, biar aku yang pergi!" seru
Lan Giok-keng jengkel. "Tunggu sebentar!"
"Mau apa lagi?"
"Mungkin saja kau tidak ingin tahu siapakah aku, tapi aku
percaya kau pasti ingin tahu dimana letak kesalahan pada ilmu
pedangmu bukan?" Terbongkar suara hatinya kontan membuat Lan Giok-keng
menghentikan langkahnya. "Toh sudah kutanyakan padamu, kalau kau enggan menjawab,
kenapa aku musti memohon lagi."
"Apa gunanya kalau Cuma bicara omong kosong" Ayoh, mari kita
bertanding!" Dengan ujung kakinya dia mencukil sebatang ranting pohon yang
baru saja terpapas kutung oleh pedang Lan Giok-keng, lalu katanya
lagi, "Saudara cilik, ayoh mulai menyerang!"
Sewaktu bertanding melawan cicinya di bawah bukit Thian-kiehong
tempo hari, diapun menggunakan pedang kayu, namun
pedang itu masih berbentuk sebilah pedang, sementara ranting
pohon yang berada ditangan orang ini justru masih tumbuh
beberapa helai daun. Sebagai pemuda yang rasa ingin menangnya besar, Lan Giokkeng
segera berpikir, "Kurangajar, ternyata kau pandang enteng
diriku" Bagus, kalau tidak kuberi sedikit kelihayan, kau pasti akan
pandang enteng juga Bu-tong-pay kami."
Berpikir begitu segera serunya, "Biarpun usiamu jauh lebih tua
dariku, tapi ingat, yang kugunakan sekarang adalah pedang
mestika. Aku tidak ingin mencari keuntungan darimu, ayoh maju
dan seranglah dulu. Terus akupun harus bicara dulu dimuka,
mencoba ilmu memang terbatas saling menutul, tapi senjata yang
kau gunakan adalah ranting pohon, aku kuatir.... aku kuatir...."
"Kenapa" Kau takut ranting ini tidak mampu menahan pedang
mestikamu hingga aku terluka oleh ketajaman senjatamu?"
"Betul, apa perlu berganti senjata dulu?"
Pemuda itu hanya tersenyum tanpa menjawab.
Melihat itu kembali Lan Giok-keng berkata, "Baguslah, kalau toh
kau yakin mampu menahan senjata mestikaku, jangan marah atau
salahkan aku bila sampai terluka nanti."
Kontan pemuda itu tertawa terbahak bahak, "Hahahaha....
saudara cilik," katanya, "jangankan baru melukai, kalau punya
kemampuan, biar sampai terbunuh pun aku tidak bakal menggerutu
atau menyalahkan dirimu."
"Hmm, kau sendiri yang berkata begitu, kalau sampai terjadi
sesuatu jangan salahkan aku!" kata Lan Giok-keng sambil
mendengus, "silahkan melancarkan serangan!"
"Hahahaha.... aku tidak ingin mencari keuntungan darimu, tapi
bila tetap mengalah, rasanya kurang cukup menghormatimu.
Baiklah, hati-hati! Lihat serangan!"
Begitu selesai bicara diapun segera melepaskan sebuah
serangan, tidak jelas jurus serangan dari aliran perguruan mana
yang digunakan, terlihat rantingnya bergetar, tahu-tahu dari empat
arah delapan penjuru telah dipenuhi bayangan hijau dari dedaunan.
Seketika itu juga Lan Giok-keng merasa dia bukan sedang
berhadapan dengan sebatang ranting, melainkan seakan sudah
terjebak dalam sebuah hutan belantara yang amat luas dan lebat.
Dalam terkejutnya Lan Giok-keng segera berpegang pada prinsip
teori ilmu pedang yang baru dipelajarinya, "berputar melingkar
tanpa berputus". Biar datang himpitan seberat bukit thay-san,
hadapilah bagai hembusan angin sejuk.
Dengan menggunakan jurus pembuka dari Thay-kek-kiam-hoat,
dia bergerak membentuk lingkaran cahaya yang bersambungan,
belum lagi ujung senjatanya menyentuh ranting musuh, tahu-tahu
bayangan hijau yang mengelilinginya telah membuyar ke empat
penjuru. Setelah bertarung beberapa gebrakan, posisi Lan Giok-keng
mulai keteter, dia dipaksa untuk mundur berulang kali, permainan
pedangnya pun semakin tidak mampu berkembang, kenyataan ini
kontan saja membuat hatinya gelisah bercampur panik.
"Dalam sepuluh gebrakan kemudian, bila membabat rantingnya
pun tidak sanggup, biar menang pun rasanya kemenanganku tidak
gagah!" Lan Giok-keng pun nekad, sambil melejit ke udara dia segera
menggunakan jurus Pek-hok-liang-ci yang telah dirubah dan
diperbaiki kesalahannya itu.
Masih mending bila dia tidak gunakan gerakan tadi, begitu jurus
serangan itu digunakan, belum lagi melihat jelas gerak serangan
apa yang digunakan lawannya, tahu- tahu jalan darah Ci-ti-hiat nya
terasa kaku...."Traaang!"
pedang mustikanya sudah terjatuh ke tanah.
"Dalam jurus serangan ini kau berhasil membabat lepas beberapa
lembar daun dari rantingku, hal ini sudah terhitung lumayan bagus.
Sekarang beristirahat-lah dulu, sebentar kita bertanding lagi."
Diam-diam Lan Giok-keng menarik napas dingin, sekarang dia
baru tahu kalau orang itu bukan membual, jurus pedang yang
dalam anggapannya telah sempurna ternyata dimata orang lain
penuh dengan titik kelemahan.
Tampaknya pemuda itu dapat membaca suara hatinya, setelah
tersenyum ujarnya, "Hahahaha.... titik kelemahanmu tidak sampai
mencapai ratusan tempat, dalam permainan jurus mu barusan
hanya kutemukan ada tiga buah titik kelemahan."
Dalam sebuah gerak serangan ternyata terdapat tiga buah titik
kelemahan, suatu kejadian yang sangat memalukan.
Cepat dia duduk bersila, memejamkan mata seraya berpikir,
lewat beberapa saat kemudian sekulum senyuman mulai menghiasi
ujung bibirnya.

Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiba-tiba dia membuka kembali matanya seraya berseru,
"Baiklah, mari kita bertarung lagi!"
Dia sangka dirinya telah berhasil memahami letak kelemahan itu
dan memperbaikinya, siapa sangka hasilnya tetap tidak memuaskan,
ketika menggunakan jurus Pek-hok-liang-ci, gerakan pedang yang
jelas telah berhasil mengurung seluruh tubuh lawan, namun langkah
kaki lawan ternyata masih mampu bergerak maju ke depan, ranting
ditangan pemuda itupun sama sekali tidak menghindari mata
pedang, sebaliknya malah menerobos masuk ke tengah lingkaran
senjatanya. Langkah aneh yang dilakukan pemuda itu sama sekali diluar
dugaannya, akibat dari desakan itu dia sendiri yang justru dipaksa
untuk menghindari sergapan lawan, bahkan jalan darah Kwan-goanhiat
pada pergelangan tangannya terasa linu dan kaku. Sekalipun
pedangnya tidak sampai terlepas dari genggaman, namun jelas dia
telah menderita kekalahan dalam pertarungan ini.
"Kenapa belum juga berhasil?" sekali lagi Lan Giokk-keng duduk
sembari berpikir. "Jangan putus asa, kini dalam permainan jurusmu tinggal tersisa
dua buah titik kelemahan," hibur pemuda itu.
Lan Giok-keng segera membayangkan kembali ke dua gerakan
yang barusan dia gunakan kemudian mencoba mencari tahu dimana
titik kelemahan yang masih tersisa. Tidak lama kemudian akhirnya
dia seakan melihat secerca cahaya, namun ketika cahaya itu dicoba
untuk dikuak lebih dalam, dia merasa seakan terhadang oleh
sumbatan yang makin luas dan melebar.
"Tidak usah kelewat dipikirkan," lagi-lagi pemuda itu menghibur,
"kalau tidak terpikirkan hari ini, pikirkan kembali besok."
Dalam hati Lan Giok-keng berpikir, "Besok aku akan pergi dari
sini, mana mungkin masih ada hari esok?"
Waktu seakan aliran sungai yang bergerak dari hulu hingga ke
hilir, selamanya tidak bakal terhenti di tengah jalan.
Di dalam keluhan tersebut mendadak terlintas satu cahaya
terang, pikirnya lebih jauh, "Aaah benar, dari tulisan yang
ditinggalkan Sucouw, hingga sekarang aku hanya bisa melakukan
perputaran Thay-kek dalam wujud bulat tanpa ada bagian yang
terputus ditengah jalan. Tapi bagaimana pula dengan gerakan
pedang yang beriring tiada henti?"
Begitu dia memahami akan teori tersebut, ibarat ruang gelap
yang tiba-tiba terbuka lebar, segala sesuatu yang terpampang
didepan mata pun jadi terang kembali.
Dengan penuh semangat dia melompat bangun sembari berseru,
"Bagus, mari, mari kita mulai lagi!"
Sama seperti pertarungan pertama, dia mulai menyerang dengan
menggunakan jurus pembukaan dilanjutkan beberapa jurus berikut.
Sekilas perasaan heran sempat muncul diwajah pemuda itu, dia
seakan ingin mengucapkan sesuatu namun akhirnya diurungkan.
Begitu Lan Giok-keng menggunakan gerakan Pek-hok-liang-ci
(Bangau putih pentangkan sayap), sekali lagi pemuda itu berseru
tertahan, ternyata kali ini dia dipaksa untuk berkelit.
"Bagaimana dengan gerakan jurusku ini?" tanya Lan Giok-keng
kemudian sambil menarik kembali pedangnya.
Pemuda itu tampak jauh lebih gembira daripada dirinya, dengan
wajah berseri sahutnya, "Sungguh cepat kemajuan yang berhasil
kau raih, dalam satu kali pemikiran bisa menambal sebuah titik
kelemahanpun sudah terhitung luar biasa, tapi kali ini ternyata kau
mampu menambal dua titik kelemahan sekaligus, hebat, sungguh
hebat! Kini jurus Pek-hok-liang-ci mu boleh dibilang sudah tanpa
titik kelemahan lagi. Cuma, kau harus perhatikan. Kata 'kini' adalah
perkataanku sekarang, selewat beberapa waktu bisa jadi aku akan
berkata lain. Mengertikah kau dengan maksudku?"
"Aku mengerti. Kini aku mengalami kemajuan tapi kau pun akan
mengalami kemajuan. Hari ini kau belum berhasil menemukan titik
kelemahan lain dalam gerak jurusku bukan berarti besok kau tidak
berhasil menemukannya."
Pemuda itu segera tersenyum.
"Kau memang berotak encer, daya tangkapmu luar biasa, cuma
harus diingat, dalam permainan jurus pedangmu itu, bukan hanya
gerakan Pek-hok-liang-ci saja yang terdapat titik kelemahan."
"Kau bersedia memberi petunjuk?" tanya Lan Giok-keng dengan
tulus. "Aku tidak pandai mengajari murid, hanya pandai bertanding
pedang melawan orang lain."
"Bagus, kalau begitu mari kita bertanding lagi."
Dalam permainan jurus Hian-nio-hua-sah (Burung hitam
mengayuh pasir) kali ini, lagi-lagi dia menjumpai banyak titik
kelemahan, sama seperti waktu menggunakan gerakan Pek-hokliang-
ci, dia harus memperbaikinya berulang kali sebelum akhirnya
sanggup membendung serangan dari pemuda itu.
Kini langit sudah gelap, mendadak Lan Giok-keng teringat akan
sesuatu, segera tegurnya, "Kau tidak melanjutkan perjalananmu?"
"Memang akupun pernah bertanya begitu kepadamu?" pemuda
itu balik bertanya. Sejujurnya, Lan Giok-keng sendiripun merasa agak berat hati
untuk berpisah dengan pemuda itu, segera jawabnya, "Betul, kau
tidak usah mengurusi aku, akupun tidak usah mengurusi dirimu."
Setelah lewat sesaat kembali tambahnya sambil menghela napas,
"Sayang baru hari ini kita bersua."
"Biarpun baru hari ini bertemu, rasanya juga belum terlambat."
"Aaai, kau tidak tahu. Besok aku...."
"Besok kau mau apa?"
Lan Giok-keng tiba-tiba teringat dengan nasehat gurunya,
"berbicaralah seperlunya", maka sahutnya, "Aku toh bukan tinggal
di kuil bobrok ini."
"Aku tahu." "Oleh sebab itu aku sendiripun tidak tahu apakah besok masih
berada disini, sebab...."
Sebetulnya dia ingin mengarang sebuah 'alasan', tapi sebelum dia
lakukan pemuda itu sudah berkata duluan, "Kalau kau suka tinggal
disini, tinggallah, kalau suka pergi, pergilah. Aku toh tidak pernah
bertanya kepadamu, buat apa kau beritahu apa sebabnya harus
berbuat begitu. Padahal, siapa sih yang bisa menduga apa yang
bakal terjadi esok?"
Tiba tiba Lan Giok-keng merasa orang ini makin lama semakin
mencocoki selera hatinya, sambil tertawa ujarnya kemudian, "Kau
jadi orang memang rada-rada aneh, tapi sangat cocok dengan
selera hatiku!' "Eeeh, aku tidak pernah menuduhmu aneh, sekarang kau malah
menuduhku duluan." Lan Giok-keng tertawa dan tidak bicara lagi, sekembali ke dalam
ruang kuil bobrok dia habiskan ransumnya yang terakhir kemudian
berangkat tidur. Pemuda itu tidak ikut masuk ke dalam kuil, Lan Giok-keng tidak
tahu orang itu menginap dalam hutan ataukah sudah turun gunung,
atau bisa jadi selanjutnya todak akan bersua lagi dengan orang itu,
berpikir demikian dia merasa seolah-olah seperti kehilangan
sesuatu. Tapi lantaran kelewat lelah, pikir punya pikir, tanpa terasa dia
pun terlelap tidur. Keesokan harinya ketika mendusin dari tidur, cahaya matahari
sudah menyorot masuk ke dalam ruang kuil, begitu buka mata,
pandangan mata pertama yang terlihat adalah bertumpuknya aneka
buah buahan liar serta sebungkus ransum kering diatas meja.
Baru saja dia berseru keheranan, terlihat pemuda itu sudah
muncul kembali ke dalam ruangan, di tangannya terlihat dua ekor
ayam alas yang sudah dibersihkan bulunya.
"Untuk sarapan, makanlah dahulu sedikit buah buahan, untuk
makan siang nanti kita bakar ayam-ayam hutan ini," kata pemuda
itu. Lan Giok-keng merasa sangat kegirangan, serunya, "Aaah,
rupanya kau belum pergi, malahan datang menghantar makanan
untukku, hahaha.... bikin aku jadi rikuh saja."
"Kalau merasa rikuh, besok kau saja yang pergi berburu!"
"Besok?" gumam Lan Giok-keng melengak, "aku...."
"Betul, kita semua memang tidak bakal tahu apa yang bakal
terjadi di hari esok, lebih baik kita bicarakan masalah hari ini saja.
Sudah kenyang?" "Ehmm, kenyang."
"Bagus, kalau sudah kenyang mari kita mulai lagi."
"Mulai apa?" Pemuda itu segera mematahkan sebatang ranting pohon, sambil
mengayunkan ranting itu sahutnya, "Tentu saja bertanding
pedang!" Tantangan ini sontak membuat perasaan Lan Giok-keng jadi gatal
sekali, pikirnya, 'Datang ke Siau-lim-si sehari lebih lambat pun
rasanya tidak masalah.' Berpikir begitu maka diapun berkata, "Untuk bertanding ilmu
pedang jelas aku masih belum mampu mengalahkan dirimu, semoga
saja dalam pertandingan hari ini aku berhasil menemukan semakin
banyak titik kelemahan dalam ilmu pedangku!"
"Kenapa kau berharap makin banyak semakin baik?"
"Semakin banyak titik kelemahan yang berhasil ditemukan berarti
semakin cepat aku memperoleh kemajuan. Bila suatu saat kau gagal
menemukan titik kelemahan lagi dalam permainan pedangku,
bukankah hal ini berarti ilmu pedangku telah berhasil kulatih dengan
sempurna?" "Mengharapkan petunjuk dari tingkat atas, kau akan mendapat
menengah, mengharapkan petunjuk dari tingkat menengah, yang
kau beroleh hanya tingkatan bawah," ujar pemuda itu dingin,
llpadahal ilmu pedangku hanya termasuk tingkatan sedang,
sekalipun kau berhasil menyempurnakan ilmumu hingga sejajar
dengan kemampuanku, jarak dari keberhasilannya masih jauh.
"Apalagi tiada titik kelemahan yang bisa terlihat seratus persen,
bila tidak menginginkan titik kelemahan, kecuali tidak ada yang
bernama jurus gerakan."
Lan Giok-keng tertegun, pikirnya, "Kalau tidak menginginkan titik
kelemahan, kecuali tidak ada gerakan jurus" Bukankah perkataan ini
sama artinya dengan pesan Sucouw yang mengatakan: dari ada
menjadi tiada, dari tiada tumbuh ada?"
Belum habis dia berpikir, terdengar pemuda itu berkata lagi
sambil menghela napas, "Aaaai.... ilmu tingkat tinggi semacam ini
memang gampang waktu dibicarakan namun susah untuk dicapai,
ayohkita mulai!" Hari ini, Lan Giok-keng berhasil melatih dengan baik dua jurus
pedang yang sejak semula sudah diketahui terdapat titik kelemahan.
Yang dimaksud "terlatih dengan baik" tentu saja hanya terbatas
pada ketidak mampuan pemuda itu urttuk menembus serangannya.
Semakin dilatih semangat Lan Giok-keng semakin berkobar,
mencapai hari ke tiga, tanpa ditahan pemuda itu pun dia sendiri
sudah enggan meninggalkan tempat itu.
Tanpa terasa tujuh hari sudah lewat. Belum sampai Lan GiokTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
keng berhasil membenahi titik kelemah an yang terdapat dalam ke
tiga belas jurus ilmu pedangnya, jurus jurus pedang yang semula
tanpa kelemahan pun kini bermunculan titik titik kelemahan.
Menjumpai hal ini tanpa terasa Lan Giok-keng menghela napas
panjang, "Kenapa titik kelemahan yang bermunculan makin lama
semakin bertambah banyak?"
Perasaan curiga yang semula sudah muncul dihatinya pun kini
berkembang makin melebar, pikirnya, "Menurut Suhu, Thay-kekkiam-
hoat yang dia ajarkan kepadaku berasal dari warisan seorang
jago pedang nomor wahid dalam perguruan, mana mungkin
permainan pedang tingkat tinggi bisa muncul begitu banyak titik
kelemahan?" Tampaknya pemuda itu dapat membaca jalan pikirannya, dia
segera berkata, "Kau ingin tahu alasannya bukan, kenapa titik
kelemahanmu makin lama semakin banyak?"
"Aku tidak tahu, mohon petunjukmu."
"Karena aku pun menemukan masih ada titik kelemahan pada
permainan ilmu pedangku."
"Begitu bagus dan sempurna ilmu pedangmu, masa masih ada
titik kelemahan?" "Masa kau tidak merasa kalau ilmu pedang yang kugunakan
selama dua hari belakangan sedikit berbeda dengan ilmu pedang
yang kugunakan beberapa hari berselang?"
Lan Giok-keng berpikir sejenak, kemudian sambil manggutmanggut
sahutnya, "Yaa, rasanya memang agak beda."
"Hal ini disebabkan setelah aku berhasil menemukan titik
kelemahan pada ilmu pedangku, sama seperti kau, aku pun telah
melakukan perbaikan disana sini."
"Aku tetap tidak paham. Apa hubungannya antara kau berhasil
menemukan titik kelemahan pada ilmu pedangmu dengan semakin
banyaknya titik kelemahan yang muncul dalam jurus pedangku?"
Pemuda itu segera tersenyum.
"Padahal menggunakan kata 'terdapat titik kelemahan' dalam
masalah ini kurang cocok. Dalam jurus pedangmu ada sebagian
memang terdapat titik kelemahan, ada sebagian lagi sebenarnya
tidak ada titik kelemahan. Namun tidak ada titik kelemahan toh
bukan berarti jurus pedangmu sudah bagus dan sempurna."
"Aku paham teori ini, mungkin inilah yang disebut: Mencari lebih
dari kelebihan!" "Tepat sekali, inilah yang disebut mencari lebih dari kelebihan.
Kemajuan yang kau capai amat pesat, sampai dua hari terakhir ini,
jurus jurus pedang yang semula tidak ada titik kelemahan pun telah
berhasil kau latih hingga bagus dan kuat, bahkan ada beberapa
jurus ciptaan baru yang berhasil kau lontarkan. Justru karena
penyempurnaan ilmu pedangmu maka hal ini membuat munculnya
titik kelemahan pada permainan pedangku, maka aku pun mencari
lebih dari kelebihan dengan membawa permainan pedangku
mencapai suatu tingkatan lebih baru. Bagaimana pun juga, tentu
saja aku selangkah lebih maju ketimbang kau, maka begitu aku bisa
mencapai tingkatan baru, akupun berhasil menemukan lagi titik
kelemahan pada permainan pedangmu. Itulah alasan kenapa kau
merasa jurus pedang mu makin lama semakin banyak terdapat titik
kelemahan." Kini Lan Giok-keng baru mengerti arti sebenarnya dari kata
'memoles diri', ujarnya sambil menghela napas, "Aaaai.... sekarang
aku baru paham pentingnya memoles diri. Kau tidak keberatan
bukan bila kugunakan istilah memoles diri" Padahal kau adalah guru
dan aku adalah murid."
"Padahal kaupun guruku. Bila menggunakan istilah yang lebih
sopan, sesungguhnya ungkapan: saling mengajar saling belajar jauh
lebih tepat untuk melukiskan keadaan kita berdua."
Lan Giok-keng kembali menghela napas panjang.
"Belajar membuat orang tidak pernah puas. Ungkapan Nabi
tentang hal ini memang sangat tepat. Terlepas apakah memoles diri
atau saling mengajar saling belajar, hal semacam ini sesungguhnya
tidak pernah ada batasannya. Sama halnya dengan titik kelemahan
yang begitu banyak, rasanya tidak pernah bisa ditambal selamanya
hingga sempurna."

Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Perkataanmu hanya betul setengah. Disaat tidak ada jurus tidak
ada gerakan itulah titik kelemahan pun tidak ada. Disaat kau dapat
menggunakan sesuai dengan pikiran dan kehendak, disaat itu pun
kau masih dapat menciptakan banyak gerakan baru. Inilah yang
dikatakan pelajaran ilmu silat tidak pernah ada ujung dan batasan!"
Lan Giok-keng termangu mangu, pikirnya, "Sayang aku harus
berangkat ke kuil Siau-lim-si, kendatipun Sucouw tidak memberi
batasan waktu, namun mustahil juga untuk ditunda begitu lama.
Eeeh.... sekarang sudah memasuki hari ke sepuluh."
Begitu pikirannya gundah, perasaan itupun tampil di raut
mukanya. Terdengar pemuda itu menegur, "Saudara cilik, kenapa kau?"
"Tiada perjamuan yang tidak berakhir, aku.... aku pikir, sudah
saatnya aku harus pergi."
"Kalau ingin pergi, pergilah. Aku tidak bakal menghalangimu."
"Selama tujuh hari ini, kau telah banyak membantuku berlatih
ilmu pedang, banyak manfaat berhasil kupetik...."
Tampaknya pemuda itu seperti dapat menebak apa yang hendak
dikatakan, buru-buru tukasnya, "Bukankah sudah kukatakan,
diantara kita berdua sebenarnya hanya saling memoles diri" Kau
tidak perlu berterima kasih kepadaku, akupun tidak akan berterima
kasih kepadamu." Lan Giok-keng sangat berterima kasih atas budi kebaikannya,
kembali ia berpikir, "Kelewatan sekali kalau sampai namanya pun
tidak kuketahui." Berpikir begitu segera ujarnya, "Kau boleh saja tidak menjadi
guruku, tapi...." "Kenapa?" "Kita sudah bergaul hampir tujuh hari, hubungan semacam ini
boleh disebut suatu persahabatan bukan?"
Nada bicaranya kembali terbawa gaya anak anak, hal ini
membuat pemuda tersebut ikut tertawa.
"Persahabatan memang sudah terjalin. Hanya saja apakah kau
anggap dia sebagai temanmu atau bukan, kau sendirilah yang harus
memutuskan. Kalau kau anggap yaa, berarti sahabat. Kalau anggap
bukan, berarti bukan."
"Aku dari marga Lan bernama Giok-keng."
Pada mulanya dia sebenarnya tidak ingin memberitahukan nama
dan identitasnya kepada pihak lawan, tapi kini justru dia lah yang
ingin mengetahui nama orang itu. Bila ingin tahu nama lawan, tentu
saja dia harus memperkenalkan diri terlebih dulu.
Ketika mendengar nama tersebut, mimik muka pemuda itu
nampak sedikit agak aneh, sahutnya, "Bagus, bagus sekali!"
"Apanya yang bagus?"
Seakan sadar akan kekeliruan sendiri, buru-buru pemuda itu
menyahut sambil tertawa, "Aku hanya merasa namamu bagus
sekali." Lan Giok-keng tidak lebih hanya seorang murid Bu-tong-pay yang
belum menanjak dewasa, selama ini belum pernah turun gunung,
tentu saja dia tidak bakal menyangka kalau orang luar bisa
mengetahui namanya. Karena itulah meski menangkap mimik aneh
diwajah pemuda itu, namun dia sama sekali tidak memasukkan ke
dalam hati. Melihat pemuda itu tiada tanggapan meski dirinya telah
memperkenalkan diri, cepat Lan Giok-keng berkata lagi, "Aku sudah
memperkenalkan namaku."
"Toh bukan aku yang minta kau memperkenalkan diri. Sudah
disebut pun lantas kenapa?" ucap pemuda itu.
"Jadi kau tidak ingin bersahabat denganku?" desak Lan Giokkeng.
Kini pemuda itu baru tertawa, sahutnya, "Oooh, rupanya kau
ingin tahu namaku. Cuma.... namaku sedikit agak istimewa."
"Aaah, nama tetap nama, mana bisa istimewa?" pikir Lan Giokkeng
dalam hati. Belum habis dia berpikir, pemuda itu sudah memperkenalkan
dirinya, "Aku mempunyai nama marga ganda, Tonghong dan
bernama tunggal Liang."
Bicara sampai disitu dengan wajah agak tegang dia awasi wajah
Lan Giok-keng, seolah sedang menanti reaksinya.
Tidak tahan Lan Giok-keng tertawa geli, meski nama marga
ganda memang sangat sedikit, namun bukan termasuk hal yang
istimewa. "Kau tidak merasa namaku istimewa?" desak Tonghong Liang.
"Aku memang baru pertama kali ini mendengar orang bermarga
Tonghong, tapi jauh hari sebelumnya aku sudah tahu akan hal ini."
"Lantas apa yang kau tertawakan" Tertawa karena aku
istimewa?" "Namamu sangat bagus," Lan Giok-keng tidak ingin membuat
temannya tidak suka hati, maka dia memuji sebagai sopan santun.
"Dimana letak kebagusannya?" desak Tonghong Liang.
Lan Giok-keng tidak mengira kalau rekannya mendesak dia lebih
jauh, untung otaknya encer dan reaksinya cepat, tanpa pikir
panjang sahutnya, "Begitu ufuk timur timbul cahaya (Tonghong
Liang), akupun tidak perlu merangkak lagi dalam kegelapan. Sama
seperti pertemuanku dengan dirimu, ada banyak bagian ilmu
pedangku yang tidak ku-pahami, kini sudah menjadi jelas semua."
"Hahahaha.... manis betul mulutmu itu," Tonghong Liang
tersenyum. Begitu seriusnya dia memandang nama dirinya membuat Lan
Giok-keng tidak habis mengerti, karena tidak mengerti maka
timbullah rasa keheranan dihati kecilnya.
"Sungguh tidak kusangka hanya soal nama pun dia mendesak
aku begitu jauh, apakah tidak merasa kurang kerjaan?"
Mana dia bisa tahu kalau persoalan ini sama sekali bukan 'kurang
kerjaan', dia menganggap 'kurang kerjaan' karena hingga sekarang
belum tahu perbuatan apa yang pernah dilakukan Tonghong Liang.
Coba dia tahu kalau Tonghong Liang adalah orang yang pernah
menantang Sucouw nya untuk berduel, entah betapa terkejut dan
terkesiapnya bocah ini. Tonghong Liang merasa lega sekali, pikirnya, "Kelihatannya dia
memang tidak tahu siapa aku!"
Lan Giok-keng sendiri meski merasa berat hati untuk berpisah
dengan rekannya, namun melihat matahari sudah terbit diufuk
timur, sudah saatnya untuk berangkat, maka dengan menirukan
lagak seorang dewasa katanya, "Tonghong Toako, siaute harus
berangkat, semoga gunung tetap hijau air tetap jernih, sampai
jumpa lain waktu." "Hahahaha.... gunung tetap hijau, air tetap jernih.
Itu mah dimana pun ada!" sahut Tonghong Liang sambil tertawa
tergelak. Karena Lan Giok-keng hendak pergi, dia pun ikut pergi.
"Ooh, kau ikutan turun gunung?" tanya bocah itu.
"Kalau tidak turun gunung, mau apa seorang diri aku berdiam
diatas gunung ini?" Lan Giok-keng jadi tertawa geli sendiri, menter-tawakan ketololan
sendiri, tampaknya ucapan "selamat berpisah" memang kelewat
awal diucapkan. Bukit itu tidak terlampau tinggi, tidak selang beberapa saat
kemudian mereka telah tiba di kaki gunung.
Di dalam anggapan Lan Giok-keng, setibanya dikaki bukit
Tonghong Liang bakal berpisah dengannya, siapa tahu ternyata
pemuda itu masih melanjutkan perjalanan bersamanya.
Lan Giok-keng tidak berani ceroboh seperti tadi, pikirnya,
"Mungkin saja tujuan perjalanannya memang searah denganku,
tidak aneh bila dia menempuh perjalanan yang sama."
Di hati kecilnya dia memang berharap bisa meneruskan
perjalanan bersama Tonghong Liang.
Sepanjang perjalanan tentu saja mereka lalui dengan berbicang,
oleh karena Lan Giok-keng merasa berhutang budi dengan pemuda
ini, maka diapun merasa kurang enak untuk mengelabuhi atau
berbohong, karena itu ujarnya, "Keluargaku berdiam di bawah bukit
Bu-tong sebagai penanam sayur, oleh karena sudah terbiasa melihat
para tosu berlatih silat, maka sedikit banyak aku pun mengerti
tentang ilmu silat aliran Bu-tong-pay."
Tentu saja penjelasan ini tidak sejujurnya, namun bocah ini
merasa apa yang bisa dikatakan hanya sebatas itu.
Tonghong Liang segera tertawa, sahutnya, "Keberuntunganmu
memang luar biasa, ilmu pedang yang kau pelajari berasal dari
aliran Bu-si Tianglo bukan?"
"Aaah, jadi kaupun tahu tentang Bu-si Tianglo?" tanya Lan Giokkeng
terperanjat. Kembali Tonghong Liang tertawa tergelak.
"Bukan saja aku tahu tentang Bu-si tianglo, bahkan akupun tahu
kalau ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat dari Bu-tong-pay terbagi
menjadi dua aliran, Thay-kek-kiam-hoat yang diciptakan Bu-si
tianglo berdiri sebagai saru aliran dan Thay-kek-kiam-hoat asli yang
diwakili Bu-siang Cinjin berdiri sebagai aliran lain. Berbicara tentang
kesempurnaan kungfu, tentu saja Bu-siang Cinjin jauh lebih hebat,
walau begitu aliran baru yang dibentuk Bu-si tianglo terhitung luar
biasa juga. Bila dikemudian hari kedua aliran ini bisa bergabung jadi
satu, kedahsyatannya pasti luar biasa."
Lan Giok-keng merasa terkejut bercampur tercengang, serunya
tanpa terasa, "Tidak aneh kalau waktu itu, begitu melihat aku
berlatih ilmu pedang, kau segera mengenaliku berasal dari Bu-tongpay.
Tapi rasanya kau bukan murid Bu-tong-pay bukan" Kenapa
bisa mengetahui begitu jelas tentang ilmu pedang Bu-tong-pay?"
"Aku adalah seorang pengembara yang sering berkelana dalam
dunia persilatan, tidak sedikit aliran ilmu pedang pelbagai perguruan
yang kulihat, karena itu muncullah keinginanku untuk
menggabungkan kehebatan ilmu pedang pelbagai aliran dan
menciptakan sebuah ilrnu pedang baru."
"Waah.... kalau begitu kau benar-benar sangat cerdas," puji Lan
Giok-keng sambil menghela napas.
Tentu saja dia tidak tahu kalau Tonghong Liang pernah naik ke
Bu-tong-pay dan menantang untuk berduel, diapun tidak
menyangka kalau dia pernah bertarung melawan Supeknya Put-po
sekalian hingga sangat memahami tentang perbedaan dua aliran
Thay-kek-kiam-hoat tersebut.
Harus diakui, Tonghong Liang memang sangat cerdas, namun
berbicara soal tingkat kecerdasan, sebetul nya dia masih setingkat
diatas kepintaran Tonghong Liang.
Kemampuannya untuk mengingat sesuatu dalam sekali pandang
boleh dibilang sangat hebat, ditambah bakat alamnya memang
sangat mendukung, hanya saja Lan Giok-keng sendiri tidak
mengetahui akan hal ini. Begitulah mereka berdua pun melakukan perjalanan bersama.
Tanpa terasa tibalah mereka disebuah simpang tiga, ketika Lan
Giok-keng memilih untuk melanjutkan perjalanan dengan
mengambil jalan yang lurus, ternyata Tonghong Liang tetap
mengintilnya. Kembali perjalanan dilanjutkan, tapi lama kelamaan Lan GiokTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
keng tidak tahan lagi, segera tanyanya, "Tonghong Toako, kau
hendak ke mana?" "Kau sendiri?" Lan Giok-keng segera berpikir, "Kalau tidak menjawab
pertanyaan itu rasanya aku tidak menunjukkan sikap seorang
sahabat, lagipula aku yang mengajukan pertanyaan lebih dahulu."
Maka sahutnya kemudian, "Terus terang, aku ingin mendatangi
kuil Siau-lim-si di bukit Siong-san!"
"Bagus sekali!"
"Apanya yang bagus?"
"Aku pun hendak pergi ke Siong-san."
"Hah.... begitu kebetulan?" Lan Giok-keng melengak, "boleh tahu
Toako kenal dengan siansu yang mana di kuil Siau-lim-si?"
"Bukit Siong-san toh bukan milik Siau-lim-pay, masa berpesiar ke
Pedang Hati Suci 8 Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen Harimau Mendekam Naga Sembunyi 17
^