Pencarian

Persekutuan Iblis 2

Pendekar Mabuk 110 Persekutuan Iblis Bagian 2


"Bertiga!" sahut Ranggina dengan ketus.
"O, ya... bertiga," ralat Elang Samudera sambil nyengir malu.
Elang Samudera, Pendekar Mabuk dan Ranggina
diterima pihak Sultan Jantrawindu sebagai tamu kehormatan. Karena hari sudah senja, mereka mendapat dua kamar untuk bermalam di dalam istana kesultanan.
Dua kamar itu yang satu untuk Suto dan Elang
Samudera, yang satu lagi untuk Ranggina. Kamar itu bersebelahan dan mempunyai
pintu tembus dari kamar yang satu ke kamar yang lain. Hal itu membuat mereka
mudah berhubungan sewaktu-waktu.
Se belum acara makan malam bersama keluarga
istana, Ranggina sempat menemui Elang Samudera di kala Pendekar Mabuk sedang
mandi. Gadis itu nekat mendekati Elang Samudera bukan untuk suatu keperluan
cinta, melainkan karena ingin menyampaikan ganjalan hatinya selama ini.
"Elang, apakah sudah kau pertimbangkan baik-baik untuk melibatkan Suto dalam
rencana menghadapi
Malaikat Gantung itu"!"
Sambil mengikat rambutnya yang panjang, Elang
Samudera memandang Ranggina
melalui pantulan cermin rias yang ada di kamar itu. Ia tersenyum geli, namun bukan dalam bentuk
tawa bersuara. "Kelihatannya kau menyangsikan kemampuan Suto, Ranggina."
"Sebab setahuku dia tidak mempunyai nyali sebesar nyalimu. T erbukti
ia tidak berani tampil dalam pertarungan di arena itu."
Senyum Elang Samudera semakin lebar. "Sudah berapa lama kau kenal dengannya?"
"Baru setengah hari lebih sedikit," jawab Ranggina.
"Pantas kau sangsi padanya," ujar Elang Samudera dengan kalem. Ia berpaling
menatap Ranggina yang ada di belakangnya dalam jarak tiga langkah.
"T idakkah
kau lihat wajahnya memancarkan kemarahan ketika kusebutkan nama Siluman T ujuh Nyawa"!"
"Ya, aku melihatnya. Dia tampak gusar sekali tadi.
Mungkin karena belum-belum ia sudah ketakutan
mendengar nama tokoh sesat yang sangat kejam itu."
Elang Samudera mendekat. Kini jaraknya hanya satu langkah dari Ranggina.
"Dia bukan takut. Dia gusar karena terbakar api
dendam dan murkanya. Perlu kau ketahui, Siluman T ujuh Nyawa adalah musuh
utamanya dalam hidup ini!"
"Musuh utamanya"! Hmmm...!" Ranggina mencibir.
"Mana mungkin dia berani melawan Siluman T ujuh Nyawa jika untuk melindungiku
dari ancaman Ayodya saja dia tak punya kesanggupan"! Juga, tak punya keberanian
tampil di arena pertarungan seperti tadi."
"Keberanianku
belum ada sekuku hitamnya keberanian Suto. Ilmuku juga belum ada sejengkalnya ilmu yang dimiliki Suto."
"Ah, kau terlalu berlebihan menilainya di depanku, Elang."
"T idak, Ranggina. Aku berkata yang sebenarnya.
Se bab itulah ia bernafsu sekali untuk berhadapan dengan Siluman T ujuh Nyawa."
"T entu saja Siluman T ujuh Nyawa tak akan mundur jika berhadapan dengannya,
bukan"! Menurut cerita guruku sebelum kami diserang Ayodya, Siluman T ujuh Nyawa
hanya mundur jika berhadapan dengan Pendekar Mabuk."
"Guru benar!" ujar Elang Samudera sambil melebarkan senyum. "Dan perlu kau ketahui, Siluman T ujuh Nyawa juga selalu
melarikan diri jika bertarung melawan Suto."
Ranggina memandang dengan mencibir tak percaya.
"Mengapa Siluman T ujuh Nyawa melarikan diri jika bertarung melawan Suto" Apa
alasannya"!"
"Karena Suto itulah Pendekar Mabuk."
"Ah, kau...!" Ranggina bersungut-sungut tak percaya.
Ia ingin meninggalkan Elang Samudera, tapi pundaknya segera dicekal pemuda itu.
Badannya pun berbalik menghadap Elang Samudera lagi.
"Nama aslinya Suto Sinting, dia murid dari si Gila T uak dan Bidadari Jalang
yang bergelar Pendekar Mabuk! Lihatlah ciri-cirinya, bumbung tuak yang selalu
diba wa-ba wa ke mana pun ia pergi. Itulah ciri-ciri yang jelas untuk mengenali
Pendekar Mabuk."
"Ah, ngibul, ngibul...!" gerutu Ranggina, kemudian gadis itu ber gegas kembali
ke kamarnya. Elang Samudera berkerut dahi dengan sedikit terbengong melihat Ranggina tidak
mempercayai penjelasannya.
Elang Samudera tidak tahu bahwa Ranggina di dalam kamarnya segera duduk
termenung tak bergerak sedikit pun. Benak dan batinnya berkecamuk sendiri sambil
membayangkan wajah Suto dan mengingat kembali
kata-kata Elang Samudera itu.
"Edan! Kalau benar apa kata Elang Samudera tadi, berarti benar-benar edan! Entah
dia yang edan atau aku yang edan! Orang pongah-pongah begitu dikatakan sebagai
Pendekar Mabuk"! Ooooh... untung mendiang Gur u tak mendengarnya. Jika sampai
mendengarnya mayat
Guru pasti hidup kembali, khusus untuk membahas tentang pemuda konyol itu!"
Jantung Ranggina berdebar-debar.
Ia berusaha menenangkan, tapi tak berhasil. Batinnya masih terus berkecamuk memperdebatkan
tentang jati diri Suto Sinting. Ranggina memang sering mendengar cerita tentang
kehebatan Pendekar Mabuk, tapi tak pernah
dengar nama asli Pendekar Mabuk.
"Jika benar ia Pendekar Mabuk, tentunya dia dapat dengan mudah melindungi
nyawaku dari ancaman maut si
Ayodya itu. Mengapa ia tak menyatakan kesanggupannya sebagai pelindung ku"! Ah, kurasa Elang Samudera membual terlalu
berlebihan. Toh orang yang membawa bumbung tuak bukan hanya Pendekar
Mabuk saja. Seorang penjual 'legen' pun kalau pergi ke mana-mana membawa bumbung
seperti itu."
Kebimbangan Ranggina membuatnya menjadi jengkel sendiri. Kebimbangan itu menjadi semakin susut dan menipis setelah
mereka mengikuti perjamuan makan malam dengan keluarga istana. Dalam perjamuan
makan malam itu Elang Samudera yang sudah diketahui oleh mereka sebagai pemenang
sayembara, memperkenalkan kedua sahabatnya dengan diawali dari Ranggina.
"Barangkali Kanjeng Sultan perlu mengetahui, bahwa sahabat hamba yang wanita itu
bernama Rengginang, eeh.... Ranggina, berasal dari Perguruan Lintang Yudha,
murid mendiang Eyang Sampurna...."
"Ooh..."!" Sultan Jantrawindu yang sudah berusia sekitar enam puluh lima tahun
itu terperanjat. Rupanya ia mengenal nama Eyang Sampurna.
"Jadi... gadis itu adalah murid sahabatku sendiri; Kakang Sampurna"!"
"Benar, Kanjeng," jawab Ranggina dengan sopan dan penuh
hormat. Kemudian ia menceritakan nasib perguruannya secara singkat. Sang Sultan tertegun duka mendengar kematian Eyang
Sampurna. "Aku turut berduka atas wafatnya gurumu, Ranggina."
"T erima kasih, Kanjeng," jawab Ranggina pelan, karena hatinya ikut dicekam
kesedihan juga.
"Kemudian...," sambung Elang Samudera,"... satu lagi sahabat hamba yang sejak
tadi diam saja ini bernama
Suto Sinting. Barangkali Kanjeng perlu mengetahui juga, bahwa Suto Sinting adalah murid si Gila T uak dan ia bergelar
Pendekar Mabuk."
"Hahhh..."!" semua orang yang berada mengelilingi meja makan besar itu
terperanjat, wajah mereka tampak tegang namun berseri-seri. Suto Sinting berdiri
dan membungkuk satu kali, kemudian duduk kembali. Ia bagaikan tak mempedulikan
pandangan mata Ranggina yang juga terperangah tak berkedip.
"Aku seperti sedang bermimpi dapat jumpa denganmu. Pendekar Mabuk," ujar Sultan Jantrawindu.
Suto memberikan senyuman yang lembut dan menawan, enak dipandang, indah
dikhayalkan. "Aku ingin bicara denganmu nanti. Kumohon kau tidak keberatan, Pendekar Mabuk."
"Aku bersedia, Kanjeng!" jawab Suto tegas.
"Dan sebelumnya hamba mohon maaf, Kanjeng
Sultan...," sambung Elang Samudera yang masih berdiri di tempatnya."... hamba
sedikit berbohong kepada pihak Kesultanan
T anahinggil ini. Pada saat hamba mendaftarkan diri menjadi peserta sayembara, hamba mengaku bernama Elang
Samudera dari T eluk Merah.
Se benarnya... memang benar hamba dari T eluk Merah,
sebab Guru hamba tinggal di sana, Kanjeng. T etapi kedatangan hamba kemari
mewakili rakyat
Pulau Sangon. Hamba diutus oleh junjungan hamba, yaitu Gusti Ratu Remaslega untuk
tampil sebagai pemenang dalam sayembara tadi."
"Ooh... jadi kau... kau adalah utusan Ratu Remaslega, sahabatku itu"!"
"Benar, Kanjeng Sultan. Dan hamba telah dibekali banyak pengetahuan tentang
keadaan di Kesultanan T anahinggil ini. Sejujurnya saja hamba telah mengetahui
alasan yang sebenarnya bagi Kanjeng dalam mengadakan sayembara tadi."
"Oooh.... Remaslega benar-benar curang! Dia mengirimkan utusannya tanpa bilang-bilang padaku.
Aku jadi malu sendiri sekarang. Dia mencuri rahasia kegentingan negeriku. Ooh,
Remaslega... harus dengan cara apa aku membalas budimu selama ini"!" gumam sang
Sultan merasa gembira sekali mendapat perhatian dari sahabatnya yang berkuasa di
Pulau Sangon itu.
Kemudian sang Sultan menghendaki pembicaraan diputus sampai di situ dulu, mereka diwajibkan menikmati jamuan makan malam dengan tanpa malu-
malu. T ak heran jika Pendekar Mabuk segera menyambar sepotong ayam panggang dan melahapnya sesuai perintah sultan, yaitu
tanpa malu-malu.
Rupanya sejak tadi baik Pendekar Mabuk maupun
Elang Samudera mendapat sorotan sepasang mata yang memandangi mereka tiada
hentinya. Sepasang mata berbulu lentik dan sedikit besar namun indah itu datang
dari tempat duduk di depan mereka, berseberangan meja.
Sepasang mata yang menatap penuh ungkapan rasa
kagum yang terpendam dalam hati itu ternyata milik seorang perempuan berusia
tiga puluh tahun, berwajah cantik oval, bermahkota kecil di ba wah rambutnya
yang disanggul. Perempuan yang tadi tampak berdiri di samping
Sultan Jantrawindu

Pendekar Mabuk 110 Persekutuan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saat sang Sultan menyaksikan pertarungan dari menara pengawas, sejak tadi memang tidak banyak
bicara. Tetapi gerakan matanya, pandangan mata itu, merupakan ucapan kata yang
hanya bisa dipahami oleh batin Pendekar Mabuk.
Oleh sebab itu, Pendekar Mabuk berkesempatan membisikkan kata di telinga Elang Samudera tanpa menimbulkan kecurigaan siapa
pun. "Siapa perempuan yang ada di depan kita ini?"
"Ooh, dia putri sulungnya Kanjeng Sultan. Kalau tak salah, dialah yang disebut-
sebut oleh kakakku sebagai janda cantik bermata indah. Kata kakakku, dia bernama
Gusti Ayu Rara Padwi."
"Kau sudah kenal?"
"Belum. T api kalau kau berminat aku bisa memperkenalkan diri dulu, baru kuperkenalkan padamu.
T api... bagaimana dengan kutilang cantikmu yang satu ini"!" Elang Samudera
melirik Ranggina.
Pendekar Mabuk tersenyum menahan geli. Pertanyaan itu sengaja tak dijawabnya, sebab ia sendiri memang tidak tahu harus
bersikap bagaimana terhadap Ranggina.
Menurutnya, gadis munafik akan sulit diselami jiwanya, sehingga jika dituruti akan membuat
kaum lelaki menjadi serba bingung, salah tingkah, serba salah, akhirnya bisa
bunuh diri. Suto tak mau mengalami nasib seperti itu.
Rupanya perempuan cantik bernama Rara Padwi itu selalu mendampingi ayahandanya
ke mana pun sang ayah pergi. Pendekar Mabuk punya dugaan, Rara Padwi bukan
sekadar janda cantik yang setia kepada ayahnya, tapi juga punya ilmu walau
kecil-kecilan. Ilmu itulah yang
dipakai mengawal sekaligus melindungi keselamatan ayahnya yang sudah tua. Dilihat dari pandangan matanya yang punya
unsur ketajaman,
perempuan itu pasti punya keberanian dan ketegasan dalam bersikap, sehingga tak
sembarang lelaki bisa mendekatinya.
Dalam perundingan yang dilakukan di ruang khusus bernama Sasana Pura, sang
Sultan juga didampingi oleh putri sulungnya yang sering melemparkan pandangan
kepada Pendekar Mabuk dan Elang Samudera. Namun kedua pemuda itu bersikap wajar
dan berlagak tidak mengetahui curian pandang itu. Hanya saja, hati Ranggina
sempat memendam keresahan karena ia sering memergoki Rara Padwi mencuri pandang
ke arah Suto dan Elang Samudera.
Di dalam Sasana Pura itu mereka hanya berlima. Para pengawal lainnya berjaga-
jaga di luar Sa sana Pura. Pintu ruangan yang setebal dua jengkal itu ditutup
rapat-rapat. T ak seorang pun boleh masuk tanpa seizin Rara Padwi.
"Aku memang mencari orang yang dapat kupercaya untuk menjadi penguasa di T anah
Sereal," ujar Sultan
Jantrawindu dalam sidang rahasia itu.
"Maaf, Kanjeng... jadi sekarang siapa yang ditugaskan mempertahankan T anah Sereal itu?" tanya Elang Samudera.
"Secara resmi belum ada. T api untuk sementara ini, putraku Harya Sentanu
kutugaskan menjaga T anah Sereal. Rencanaku, siapa yang unggul dalam sayembara
ini akan kujadikan pengganti Panglima T ulang, berkuasa di T anah Sereal. Apakah
kau punya kesanggupan untuk mempertahankan T anah Sereal dari jarahan tangan
siapa pun, Elang Samudera?"
"Hamba sanggup, Kanjeng!" tegas Elang Samudera.
"Bagus! Jika begitu, kau harus se gera pergi ke T anah Sereal, sebab putraku
Harya Sentanu masih lemah dan tak sebanding jika harus berhadapan dengan
Panglima T ulang."
Sultan Jantrawindu pun bicara tentang kabar dari mata-matanya yang menyebutkan
adanya persekutuan antara Panglima T ulang dengan Malaikat Gantung alias Ayodya.
Menurutnya, persekutuan itu akan menjadi persekutuan berdarah dan dapat
merenggut banyak korban nyawa dari pihak mana pun.
"Lumpuhkan persekutuan itu sebelum berkembang menjadi neraka berjalan!" tegas
sang Sultan. "Jika kalian dapat melumpuhkan persekutuan itu, maka kalian akan
kuberi hadiah berupa wilayah di Lembah T ayub.
T erserah akan kalian apakan tanah di Lembah Tayub itu.
T api kalian tetap menjadi bagian dari kesultanan ini.
Keselamatan kalian di Lembah T ayub merupakan
tanggung ja wab Kesultanan T anahinggil."
Secara tak resmi, ketiga tamu kehormatan sang Sultan itu sudah menjadi orang
andalan bagi pihak Kesultanan T anahinggil. T api tanpa berpikir tentang hadiah
atau upah yang ditawarkan Sultan Jantrawindu, ketiga tamu istimewa itu sudah
mulai mempersiapkan diri, mental dan semangat untuk menghancurkan persekutuan
maut itu. "Aku tidak ingin gadis konyol itu ikut terlibat terlalu dalam," ujar Suto kepada
Elang Samudera ketika mereka berdua ada di dalam kamarnya, sementara itu
Ranggina ada di kamar sebelah.
"Gadis itu akan merepotkan ruang gerak kita jika ikut tampil menghadapi
persekutuan itu, Elang."
"Yah, itu terserah kau saja. Bukankah kau yang membawanya kemari?"
"Aku yang dibawanya kemari. Bukan dia yang kubawa!"
ralat Suto Sinting. "Aku akan bicara dengannya dulu!"
"Bicaralah baik-baik, jangan sampai dia meledak!"
Elang Samudera tertawa tanpa suara, kemudian berbisik di telinga Suto.
"Gadis itu mudah meledak, baik amarahnya maupun gairahnya!"
"Dia tak suka bicara kotor!"
"Bicara memang tidak suka, tapi mungkin saja berbuat kotor ia suka."
Elang Samudera tertawa sedikit keras, Pendekar
Mabuk meninggalkannya dengan senyum tertahan. Ia
mengetuk pintu tembus ke kamar sebelah. Ranggina membukakannya dan Pendekar
Mabuk segera berkata kepada gadis itu.
"Aku ingin bicara empat mata denganmu! Kau bersedia"!"
Ranggina tidak menjawab, tapi ia segera menyingkirkan dari depan pintu pertanda memberi jalan agar Suto masuk ke
kamarnya. Suto pun menutup pintu tembus itu lagi, karena ia tak ingin diganggu
oleh kekonyolan
Elang Samudera pada saat lakukan pembicaraan serius dengan Ranggina nanti.
Se benarnya Elang Samudera memang punya niat usil.
T api niat itu tak jadi dilaksanakan, batal akibat malam itu seorang pengawal
istana datang ke kamarnya.
"Gusti Ayu Rara Padwi memintamu datang menghadapnya sekarang juga, Elang Samudera."
"Ada persoalan apa"! Sekarang sudah hampir larut malam."
"Aku hanya diperintahkan untuk membawamu menghadap Gusti Ayu!"
Dengan hati ingin tahu dan sedikit tegang, Elang Samudera pun bergegas menghadap
Rara Padwi. Pedang peraknya
ditenteng sebagai sikap siaga dalam menghadapi bahaya kapan saja. Elang Samudera tak sempat pamit kepada Pendekar
Mabuk, karena pikirnya keperluan tersebut hanya sebentar.
Rupanya putri sulung sang Sultan sudah menunggu di taman keputrian. Taman
bercahaya nyala api obor di setiap sudut itu membuat Elang Samudera sedikit
curiga dan kewaspadaannya dipertajam. Sang pengawal yang menjemputnya segera pergi
setelah Rara Padwi memberi isyarat dengan tangannya agar orang tersebut keluar
dari taman. "Ada masalah apa, Gusti Ayu"!" tanya Elang Samudera dengan sikap tenang, tapi
kelihatan gagah dan penuh keberanian.
"Ada sesuatu yang ingin kubicarakan padamu tentang Panglima T ulang."
"Haruskah semalam ini kita bicarakan?"
"Malam bukan penghalang. Apa yang ingin kusampaikan padamu itu sangat penting, dan Ayah tidak mengetahuinya. Jadi,
kuharap kau pun tidak bicara pada Ayah atau kepada temanmu; si Pendekar Mabuk
dan kekasihnya itu tentang pertemuan kita ini!"
Rara Padwi menyangka Ranggina adalah kekasih
Pendekar Mabuk, karena ke mana-mana Ranggina
tampak berdekatan terus dengan Pendekar Mabuk. Elang Samudera ingin jelaskan
bahwa hubungan mereka bukan sebagai kekasih. T api agaknya Rara Padwi punya
persoalan lebih penting dari penjelasan tersebut,
sehingga Elang Samudera membatalkan niatnya. Kini ia justru
mengikuti langkah Rara Padwi yang memerintahkan agar langkahnya diikuti.
Perempuan cantik berjubah kuning sutera dengan
dalaman warna biru menyala itu menuju ke sudut taman.
Di sana ada serumpun bambu hias yang daunnya kecil-kecil dengan batang bambunya
yang berwarna kuning.
Serumpun bambu hias itu tumbuh berjajar seperti pagar,
tertata rapi dan punya keindahan tersendiri.
Namun ternyata di balik deretan bambu hias yang rimbun itu ternyata ada sebuah
pintu dalam posisi ke tanah. Pintu kayu jati itu segera dibuka, ternyata di
balik pintu itu ada tangga menuju ke bawah. Elang Samudera masih belum banyak
tanya mengenai keadaan di
sekitarnya. Namun ia cepat mengambil kesimpulan bahwa Rara Padwi membawanya ke
ruang bawah tanah yang terdiri dari lorong-lorong dan kamar-kamar bertirai kain
tebal. "Ini ruang bawah tanah, jalan rahasia untuk melarikan diri jika kami terancam
bahaya sewaktu-waktu," ujar Rara Padwi sambil memperlambat
langkah supaya sejajar dengan langkah Elang Samudera.
Cahaya terang dari obor-obor yang ada di sana-sini membuat mata Elang Samudera
dapat melihat jelas keadaan di ruang bawah tanah. Rupanya ruang bawah tanah itu
bukan saja jalan rahasia yang dapat tembus di suatu
tempat, namun juga merupakan tempat perlindungan dan persembunyian yang cukup aman.
Karena di dalam ruang bawah tanah itu terdapat pula beberapa kamar yang lengkap
dengan perabotnya,
sehingga memungkinkan sekali seseorang tinggal di ruangan tersebut sampai
beberapa hari. Ruangan itu dijaga oleh dua prajurit bertubuh tinggi, besar, mengenakan baju
rompi merah dan celana merah, berkulit hitam keling mirip algojo dengan senjata
pedang dan tombak bermata kapak lebar. Kedua pengawal itu hanya memberi hormat
ketika Rara Padwi menuruni
tangga, setelah itu mereka tetap berada di sekitar tangga masuk. Mereka tak ikut
menyusuri lorong bersama Rara Padwi dan Elang Samudera.
Rara Padwi membawa masuk Elang Samudera ke
sebuah kamar yang berpenerangan api obor samar-
samar. Kamar tersebut menyerupai kamar tidur yang dilengkapi dengan ranjang
kayu, meja minuman, almari pakaian dan sebagainya. T empat buah dari logam
kuningan itu terisi buah-buahan segar. Sepertinya sudah disiapkan sebelumnya.
Kamar itu menyebarkan aroma wangi mawar yang begitu lembut dan menenteramkan
jiwa. "Mengapa Gusti Ayu membawaku kemari?"
"Pembicaraan ini sangat rahasia!" jawab Rara Padwi sambil
melepaskan mahkota kecil di sanggulnya.

Pendekar Mabuk 110 Persekutuan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bahkan gulungan sanggul pun dilepaskan. Kini rambut janda cantik berbibir
menggemaskan itu terurai lepas sepanjang pinggang kurang. Elang Samudera duduk
di sebuah bangku dari batu berlapis bantalan empuk warna merah. Ia memandang
dengan heran saat Rara Padwi melepaskan seluruh perhiasannya, termasuk giwang
mutiara dan gelang berhias batuan merah delima itu.
"Panglima T ulang bukan orang yang mudah ditumbangkan,"
ujar Rara Padwi saat melepasi perhiasannya. "Dia mempunyai ilmu andalan yang berbahaya bagi la wan-lawannya.
Ilmu itu bernama jurus
'Lidah Geni'. Mulutnya bisa menyemburkan api seperti lidah naga, panjang dan
sangat berbahaya. Terkena hawa panasnya saja kulit kita bisa melepuh, apalagi
sampai terkena kobaran apinya, kulit kita bisa hangus seketika."
Elang Samudera sengaja tak berkomentar. Ia memperhatikan janda cantik bermata indah itu sambil merekam seluruh keterangan
dalam otaknya. "Jurus Lidah Geni' itu sangat buas dan ganas. Jika tanganmu terkena semburan api
dari mulutnya, maka dalam sekejap tanganmu akan kehilangan kulit dan daging,
yang tersisa hanya tulang hangus dan mengerikan."
"Benarkah Kanjeng Sultan belum mengetahui ilmu andalan itu"!"
"Untuk ilmu itu, Ayah memang mengetahuinya. T api ada satu hal yang tidak
diketahui oleh Ayah."
Rara Padwi mendekat. Ia berdiri dengan pinggang bersandar tepian meja marmer.
Persis di depan Elang Samudera. Hidung Elang Samudera dapat mencium
aroma wangi mawar pada tubuh janda cantik berkulit putih mulus itu. Hati pemuda
berusia dua puluh tahun itu berdebar-debar karena berada dalam jarak kurang dari
satu jangkauan dari Rara Padwi. Aroma wangi mawar yang tercium terasa
menggelitik kenakalan jiwanya.
"Ayah tidak mengetahui hubungan isi hati Panglima T ulang terhadap diriku,"
sambut Rara Padwi. "Panglima T ulang sangat mencintaiku. Semangat pengabdiannya
dari dulu berkobar-kobar karena ingin tunjukkan rasa cintanya yang besar pada
diriku." "Jadi... jadi maksud Gusti Ayu dia...."
"Panggil aku: Padwi! Jangan pakai sebutan Gusti Ayu, kecuali jika kita berada di
depan umum," potong
Rara Padwi. Pandangan matanya begitu tajam dan
mengandung getaran yang mengusik hati Elang Samudera, sehingga pemuda itu menjadi tersipu-sipu untuk sesaat. Rara Padwi
melanjutkan kata-katanya tanpa pedulikan sikap kikuknya Elang Samudera.
"Cintanya yang begitu besar membuatnya patuh terhadap segala perintah Ayah, juga
segala permintaanku diturutinya. Tetapi belakangan ini aku mengecewakan hatinya.
Dia tahu kalau aku tak mencintainya dengan sungguh-sungguh. Ia menjadi sangat
kecewa dan marah.
Lalu kutegaskan sekalian bahwa aku memang tidak mencintainya. Aku hanya suka
bersahabat dengannya, atau bersaudara dengannya. Kekecewaannya itulah yang
membuatnya pergi meninggalkan T anah Sereal dan bersekutu dengan Malaikat
Gantung." Elang Samudera manggut-manggut dengan gumam
kecil. Pedangnya diletakkan di atas meja marmer. Saat itu paha kiri Rara Padwi
diletakkan di meja itu juga, sehingga perempuan itu nyata-nyata duduk di tepian
meja dengan kaki kiri ditekuk di atas meja. Belahan jubahnya
tersingkap, dan kemulusan pahanya terpampang jelas menggoda hati Elang Samudera. Dada pemuda itu bergemuruh karena
gejolak hasratnya yang melonjak-lonjak begitu disuguhi paha mulus tanpa cacat
itu. Dengan tarikan napas panjang yang pelan-pelan,
Elang Samudera berusaha mengendalikan gejolak hasratnya. Ia pun mengurangi kenakalan matanya untuk tidak
melirik ke arah paha, melainkan sedikit mendongakkan wajah memandang kecantikan Rara
Padwi. "Sebenarnya kalau sekarang aku mau menerima cinta Panglima T ulang, maka ia akan
kembali memihak
kesultananku dan meninggalkan persekutuan itu."
"Mengapa tidak kau lakukan?"
Rara Padwi menggeleng, "Hatiku tak bisa menerima cinta
lelaki macam dia. Pernah kucoba untuk menerimanya, tapi batinku selalu menolak dan aku merasa tersiksa."
"Mengapa demikian?" tanya Elang Samudera sedikit parau.
"Dia tidak memiliki apa yang dibutuhkan batinku sebagai seorang wanita. Dia
hanya jantan di pertarungan, perkasa di medan laga, tapi berbeda jauh jika
berada di dalam kamar seperti ini."
Elang Samudera berkerut dahi. "Aku tak mengerti maksud kata-katamu, Rara Padwi."
Perempuan itu tersenyum. Elang Samudera merasakan senyuman itu bukan sekadar senyuman biasa.
Senyuman itu mengandung tantangan dan harapan.
Pandangan matanya juga bukan sekadar sorot mata seorang sahabat, melainkan
mengundang ajakan untuk bercumbu dalam kemesraan. Naluri Elang Samudera tak bisa
dibohongi. Dia mulai mengerti apa sebabnya Rara Padwi membawanya ke ruang
rahasia tersebut.
"Kau sudah punya kekasih, Elang?" tanya Rara Padwi dengan
suara lirih dan sedikit parau. T angannya
membelai-belai rambutnya sendiri yang dikedepankan.
"Mengapa kau tanyakan hal itu?"
"Hanya sekadar ingin tahu," jawab Rara Padwi, tapi pahanya itu semakin melebar,
sehingga belahan jubah kuningnya kian terbuka. Sesuatu yang ada di balik jubah
itu tampak jelas di mata Elang Samudera. Bahkan yang paling dalam pun terlihat
jelas dari tempat duduk Elang Samudera. Pemandangan itu membuat pemuda bertubuh
tegap itu menjadi bergetar dan deg-degan. Keringat dinginnya mulai tersembul di
bagian kening dan leher.
"Jika kau sudah punya kekasih, aku tak ingin mengganggu kemesraan kalian. T api
jika kau belum punya kekasih...."
Rara Padwi sengaja berhenti bicara, bikin hati Elang Samudera
penasaran. Maka pemuda itu pun mendesaknya dengan sebuah pertanyaan.
"Jika belum, kenapa"!"
"Mungkin kau tahu aku seorang janda yang sudah sekian lama tak disentuh oleh
seorang lelaki. Aku haus kemesraan. Perasaan ini tak bisa kututupi lagi sejak
aku melihatmu bertarung di arena. Aku berusaha menahan mulutku agar tak bicara,
tapi gairahku mendesak batinku agar mengatakannya padamu."
Rara Padwi membungkuk, meraba pipi Elang Samudera dengan sentuhan lembut. Elang Samudera diam,
memandang tak berkedip dengan jantung berdetak-detak.
"Jika kau tak bisa memenuhi tuntutan batinku, jangan katakan pada siapa pun
tentang hal ini. T api jika kau merasa mampu memenuhi keinginan batinku, mampu
mengobati siksaan batinku, lakukanlah sesuatu pada diriku. Sentuhlah aku,
Elang...," suara Rara Padwi semakin berbisik lirih.
Cukup lama mereka saling pandang. Cukup lama
jemari tangan Rara Padwi mengusap lembut di sekitar wajah Elang Samudera.
Rupanya gairah pemuda itu pun menjadi terbakar
total. Ia tak mampu mengendalikan hasrat pribadinya.
Maka tangannya pun mulai meraba paha mulus di
depannya. Rabaan pelan itu menjalar sampai di kedalaman jubah. Rara Padwi memajukan duduknya.
Kini ia nyata-nyata duduk di depan Elang Samudera.
Kedua kakinya berada di kanan kiri tempat duduk pemuda itu.
Rara Padwi mendekatkan wajahnya dengan kedua
tangan mengusap pipi Elang Samudera. Pelan-pelan bibirnya disentuhkan di kening
anak muda yang tampak masih ingusan dalam hal bercinta itu. Cuup...! Ciuman itu
pun merayap turun ke mata Elang Samudera yang terpejam, menikmati kecupan
hangatnya. "Elang...," bisik Rara Padwi, "Sentuhlah lebih dalam lagi...."
Jari-jari tangan Elang Samudera semakin merayap ke dalam. Rara Padwi memberi
kesempatan lebih leluasa, sehingga jari tangan itu kini berhasil menyentuh pusat
kehangatan yang menghadirkan rasa nikmat jika dijamah pelan-pelan.
"Oooh...," keluh janda cantik itu. "Ooh, indah sekali sentuhan lembutmu, Elang.
Uuuh... mmmhh!" Rara
Padwi tak bisa bicara lagi karena bibir Elang Samudera mengecup bibirnya. Bahkan
pemuda yang tampak masih ingusan dalam bercinta itu ternyata pandai melumat
bibir lawan jenisnya, pandai pula menari-narikan lidahnya hingga menimbulkan
debar-debar keindahan dalam hati Rara Padwi.
"Oooh, benar-benar indah, Elang... oooh, mau apa kau, hmm"! Mau apa kau, oouh...
yaah... yaaaah, lakukanlah, Elang...."
Rara Padwi mengerang setelah tahu mulut Elang
Samudera merayapi pahanya. Paha mulus itu dipagut lembut oleh Elang Samudera.
"Oooouhkk...!" Rara Padwi mengerang keras, seperti merengek.
Rambut dan kepala Elang Samudera diremasnya, ditekan agar mencapai tempat lebih dalam lagi.
"Sssshhh... aaah! Ternyata kau... kau nakal, Elang.
Oouh, kau nakal... uuuhkkk... ssssh, aaaah!" Rara Padwi kegirangan sekali
mendapatkan kemesraan seperti itu. Ia belum pernah mendapatkannya dari mantan
suaminya atau dari lelaki mana pun. Bahkan dari Panglima T ulang pun tak pernah
ia temukan sapuan lidah seindah itu.
"Oooouuuh...!!!"
Rara Padwi memekik keras dengan tubuh mengejang, karena jiwanya bagaikan terbang
lebih tinggi lagi ketika ia merasakan 'mahkotanya' dipagut lembut oleh bibir
Elang Samudera. Kedua mata terpejam kuat-kuat, tubuh pun menggeliat nikmat,
karena pagutan bibir Elang Samudera semakin nakal.
"Oooooh, luar biasa indahnya, Elang. Lakukan lagi...
lagi... ooouh, yaaaah...."
Apa yang ada di atas meja menjadi berantakan. Elang Samudera
menjadikan meja itu sebagai arena pertarungan yang amat disukai si janda cantik itu.
* * * 5 BERSAT UNYA Panglima T ulang dengan Malaikat
Gantung dianggap suatu persekutuan iblis oleh pihak kesultanan. Dalam hal ini,
Ranggina tetap ngotot ingin ikut dalam upaya menghancurkan persekutuan iblis
itu. Pendekar Mabuk tak mampu lagi membujuk gadis itu, akhirnya
hanya bisa angkat tangan dengan satu perjanjian. "Aku tak menjamin keselamatanmu!"
"Aku yang akan menjamin keselamatanmu!" balas gadis cantik itu dengan angkuhnya,
padahal dalam hatinya ia ingin menjerit jengkel karena Pendekar Mabuk tak mau
melindunginya. Suto

Pendekar Mabuk 110 Persekutuan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sinting sempat berang menunggu
Elang Samudera sampai hampir fajar, tapi pemuda itu belum juga kembali ke kamarnya.
Pendekar Mabuk sampai tertidur di atas bangku panjang. Ketika ia bangun, Elang
Samudera sudah ada di kamar. Pemuda itulah yang membangunkan Suto Sinting dengan
wajah sedikit tegang. "Brengsek kau!" sentak Suto bersungut-sungut.
"Kemana saja kau semalaman"!"
"Sekarang belum sempat kujelaskan. T api sebaiknya segeralah berkemas. Sultan
memanggil kita bertiga."
"Sepagi ini"!"
"Ada seorang mata-mata datang membawa kabar buruk. Kita harus segera menghadap
sultan! Bangunkan Ranggina!"
"Bangunkan sendiri!" jawab Suto dengan suara parau.
Ia segera mengambil bumbung tuaknya dan menenggak tuak beberapa teguk. Badan pun
menjadi segar, kantuk pun hilang.
Kabar yang diba wa mata-mata kesultanan itu cukup mengejutkan ketiga tamu
istimewa itu. "Hari ini, Lembah Tayub sudah dikua sai oleh Panglima T ulang!" ujar sang Sultan
menyampaikan kabar dari mata-matanya. "Beberapa orangku tewas dibunuh,
Gerdanala yang kuserahi tugas menjaga
Lembah Tayub juga tewas di tangan Panglima T ulang."
"Apakah Malaikat Gantung tampak ikut campur tangan dalam perebutan wilayah itu,
Kanjeng?" tanya Ranggina.
"Benar. Bahkan mata-matamu sempat melihat Siluman T ujuh Nyawa muncul di sana."
"Kalau begitu sekarang juga kami akan berangkat ke Lembah Tayub!" tegas Suto
penuh semangat. Ia bagaikan tak sabar lagi; ingin se gera berhadapan dengan Siluman T ujuh Nyawa.
"Akan kusuruh orang-orangku mempersiapkan kuda
untuk kalian. Dan pilih sendiri beberapa prajurit untuk membantu kalian merebut
kembali Lembah Tayub!"
"Kami cukup bertiga, Kanjeng," ujar Elang Samudera. "Dan kami tak butuh kuda!" sahut Pendekar Mabuk.
"Aku hanya butuh tuak. Bumbung tuakku ini harus diisi penuh sebagai bekal di
perjalanan nanti, Kanjeng Sultan!"
"Padwi, suruh pelayan membawa tuak kemari dan mengisi penuh bumbung itu!"
perintah sang Sultan.
Se belum matahari meninggi, mereka sudah berangkat tinggalkan Kesultanan T
anahinggil. Dua prajurit istana ikut dalam perjalanan itu sebagai pemandu arah.
Mereka masih muda, sebaya dengan usia Elang Samudera.
Mereka adalah Parerang, si jago panah, dan yang satu lagi bernama Wisena, si
jago pisau terbang.
"Berapa lama perjalanan menuju ke Lembah T ayub?"
tanya Elang Samudera kepada Wisena.
"Setengah hari jika ditempuh dengan jalan kaki biasa," jawab Wisena. "T api kami
biasa menempuhnya dalam
waktu kurang dari setengah hari dengan menggunakan kuda."
Suto Sinting menyahut, "Derap kaki kuda hanya akan memancing pendengaran mereka,
sehingga mereka dapat bersiap-siap
menghadapi kedatangan kita! Itulah sebabnya kupilih untuk tidak menunggang kuda."
"Aku mengerti maksudmu," ujar Wisena. T api sebelum ia melanjutkan kata-katanya,
tangkah kakinya tiba-tiba berhenti. Dari sorot matanya ia tampak tegang.
"Ada apa?" tanya Elang Samudera.
"Aku mendengar suara langkah kaki di belakang kita."
"Biarkan saja," sahut Suto. "Itu hanya langkah kaki anak kecil. Mungkin sedang
mencari kayu."
Rupanya Pendekar Mabuk sejak tadi sudah mengetahui ada langkah kaki yang mengikuti mereka. Ia juga tahu bahwa langkah
kaki itu milik seorang bocah berusia sekitar delapan tahun. Dari tekanan suara
kakinya saat menginjak rumput kering, Suto dapat memperkirakan usia bocah itu.
Saat mereka memandang ke arah belakang, ternyata memang ada seorang bocah yang
mengenakan baju
rompi merah dengan kalung kain hitam. Bocah itu pun tampak tidak mempedulikan
mereka. Ia sibuk mencari burung dengan ketapel siap di tangannya. Rombongan
Pendekar Mabuk segera meneruskan langkah mereka.
"Gunakan langkah cepat, agar lekas sampai di tujuan!" ujar Suto Sinting yang
secara tak langsung dianggap oleh mereka sebagai pimpinan rombongan.
Maka mereka pun menggunakan jurus peringan tubuh agar dapat berlari cepat.
Wisena dan Parerang ternyata mempunyai kecepatan gerak yang lumayan, sama
cepatnya dengan Ranggina. Mereka bertiga berada paling depan, sementara Pendekar
Mabuk dan Elang Samudera
mengikuti dari belakang, menyesuaikan kecepatan tiga orang itu.
Namun tiba-tiba terdengar suara gemuruh seperti pasukan
guntur lewat. Gluuuurrr...! T anah terasa
bergetar. Ranggina dan yang lain menyangka ada gempa.
Mereka sempat clingak-clinguk kebingungan. Suara gemuruh itu berkepanjangan
bagai tiada henti.
"Elang, lompat ke sisi kanan!" seru Pendekar Mabuk sambil menunjuk ke gundukan
tanah membukit.
Seruan itu mengisyaratkan adanya bahaya. Elang
Samudera segera lakukan lompatan zig-zag ke atas gundukan tanah itu. T ab, tab,
tab...! Wees...! Parerang dan
Wisena bergegas mengikuti gerakan Elang Samudera. T api Ranggina masih kebingungan karena tak paham mengapa Suto berseru
dengan tegang. "Bodoh!" sentak Pendekar Mabuk, kemudian ia segera berkelebat menggunakan jurus
'Gerak Siluman'.
Zlaap...! T ubuh Ranggina disambarnya. Wees...! Dalam sekejap saja mereka sudah
berada di atas gugusan tanah yang membukit.
"Oooh..."!" Ranggina terkejut, matanya terbelalak.
Bukan saja karena tubuhnya telah disambar Suto, tapi juga karena melihat tanah
tempatnya berdiri tadi telah retak lebar seakan bumi ingin terbelah. Seandainya
Suto terlambat menyambar Ranggina, maka gadis itu akan mati terkubur dalam celah
keretakan tanah yang amat dalam. Asap tipis mengepul dari keretakan tanah
tersebut. Krraak, kraaak, duuuurrr...!
Kini keretakan tanah bercabang menjadi lima tempat.
Keretakan tanah itu bergerak cepat bagaikan lima ekor naga ke lima penjuru.
"Elang, lari ke bukit itu! Lekas...!!"
Wuut, wuut, wees...!
T anpa banyak kompromi lagi, mereka berkelebat
mendaki bukit. Memang tak terlalu tinggi, tapi cukup lumayan sebagai tempat
berlindung sementara. Ketika mereka tiba di puncak bukit tandus, getaran bumi
semakin kuat. Pepohonan tumbang tanpa angin badai.
Banyak tanaman dan batu yang tenggelam ke dasar bumi. Dari puncak bukit itu
mereka dapat melihat kiamat kecil yang melanda kawasan bawah bukit.
Mengerikan sekali. Seakan bumi menjadi murka dan ingin menelan hidup-hidup siapa
saja yang ada di atasnya.
Beberapa saat kemudian, getaran bumi menjadi reda.
Keadaan normal kembali. Di mana-mana tampak tanah menganga, membentuk celah-
celah yang mengerikan dengan semburan asap samar-samar dari kedalamannya.
Angin pun bertiup dengan kecepatan sedang.
"Bencana alam apa ini"! Mengapa terjadi di sekitar sini saja"!"
"Kurasa ini bukan bencana alam," ujar Pendekar Mabuk
menimpali suara gumam Parerang tadi. "Firasatku
mengatakan, gempa ini kiriman dari seseorang yang ingin membuat kita celaka bersama!"
"Firasatku juga berkata demikian," sahut Elang
Samudera. "Kurasa...," Ranggina ingin ikut bicara tapi tak jadi, karena tiba-tiba mereka
mendengar suara jeritan seorang bocah yang memilukan hati.
"T oloooong...!! Maaaak...! Maaaak...!! Tolooong...!"
Elang Samudera berwajah tegang. "Suto, bocah di belakang kita tadi masuk ke
dalam salah satu celah tanah! Ia terperosok ke dalam!"
"Suaranya dari arah sana!" sahut Wisena sambil menuding ke suatu arah.
"Yang lain di sini saja!" tegas Pendekar Mabuk, kemudian ia berkelebat cepat ke
arah datangnya suara teriakan itu. Zlaap, zlaap...!
T ernyata dugaan Elang Samudera memang benar.
Bocah berompi merah dan berkalung kain tali hitam itu terperosok dalam keretakan
bumi. Ia tersangkut pada tonjolan tanah di dinding celah itu, di kedalaman
sekitar tujuh tombak. Bocah itu menangis ketakutan mengulurkan tangan kirinya ke atas, sementara tangan kanannya sempat memegangi
tepian batu celah.
"T olooong...! Tolooong...!"
Wuuus...! Pendekar Mabuk segera terjun ke dalam celah yang menyerupai jurang
itu. Bocah itu ingin disambarnya, namun tiba-tiba kaki si bocah menghentak pada
tempat berpijak dan tubuhnya melenting tinggi.
Wuuus...! Jleeg...! Suto Sinting kecele. Ia berhasil tapakkan kakinya di tempat bocah itu
tadi tersangkut. T api ia segera terperanjat kaget
melihat bocah itu sudah
melenting ke atas dan kini berada di tepian celah.
"Heehk, heek, heehk, heehk...!"
Bocah itu tertawa kegirangan memandangi keadaan Suto di bawah sana. Ia pun
melesat bagaikan seekor tupai. Wuuut, jleeg...! Sebatang pohon yang tidak ikut
tumbang dipakaitempat bertengger.
T iba-tiba tanah bergetar kembali. Keretakan yang membentuk celah bergerak
cepat, seakan digeser oleh tangan raksasa hingga bergerak menutup rapat seperti
semula. "Sutooo...!" teriak Ranggina ketika melihat Pendekar Mabuk tergencet dua sisi
belahan tanah. Ia ingin bergegas menyelamatkan Suto, tapi Elang Samudera menahan
lengannya. "Jangan ke sana! Berbahaya!"
"T api dia tergencet belahan tanah! Ia akan terkubur hidup-hidup!"
"Pendekar Mabuk tak mungkin sebodoh dugaanmu!
Aku akan mengejar bocah keparat itu!"
Blaas...! Elang Samudera berkelebat menghampiri bocah bermata tajam itu.
Sementara si Pendekar Mabuk yang nyaris mati tergencet dua lapisan tanah itu
segera menyilangkan bumbung tuaknya. Wut, krep...! Gerakan dua
lapisan tanah yang ingin
menggencet tubuh Pendekar Mabuk terhenti akibat tertahan bumbung tuak yang melintang. Celah
sempit itu segera dimanfaatkan oleh
Pendekar Mabuk untuk meluncur ke atas menggunakan jurus 'Layang Raga' yang diga bung
dengan jurus 'Gerak Siluman'-nya. Zlaap, wuuut...!
Pada saat tubuh Suto meluncur ke atas, tangannya menyambar tali bumbung tuaknya.
Dees...! Bumbung tuak pun ikut terbawa terbang dengan cepat. Seketika itu pula
dua lapisan tanah tadi mengatup menjadi rapat seperti sediakala. Zeeerb...!
Jleeg...! Pendekar Mabuk berhasil daratkan kakinya di
atas tanah datar. Parerang dan Wisena menghembuskan napas lega melihat Pendekar Mabuk selamat dari gencetan tanah.
Ranggina tampak lebih lega lagi,
sampai-sampai ia tertunduk melemas sambil
bergelayutan pada tongkatnya yang diberdirikan di tanah itu.
"Syukurlah dia selamat!" gumamnya di sela engahan napas sisa ketegangannya.
Blaaar...! Suara
ledakan cukup keras membuat


Pendekar Mabuk 110 Persekutuan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka yang ada di atas bukit segera memandang ke timur. T ernyata di sana Elang
Samudera sedang dibuat berjungkir balik ke belakang akibat pukulannya beradu
dengan tangan bocah liar itu. Si bocah tak mau
ditangkap. Ia bermaksud melarikan diri. T api ia ingin diterjang oleh Elang
Samudera, maka ia pun melepaskan pukulan tenaga dalam dari kedua tangannya yang
membuat Elang Samudera terlempar ke belakang.
Berarti tenaga dalam bocah itu lebih besar daripada tenaga dalam Elang Samudera.
"Bocah setan!" geram Pendekar Mabuk. "Siapa pun dirimu, kau sudah bertindak
melebihi setani"
Zlaap, zlaap...! Pendekar Mabuk mengejar bocah itu dari sisi lain. Dalam
sekejap, si bocah terhadang oleh langkah Pendekar Mabuk. Mereka sempat saling
kejar dari pohon ke pohon. Si bocah ingin hindari tangkapan Pendekar Mabuk. T
api karena tahu-tahu Pendekar Mabuk meluncur dari arah depannya, maka si bocah
pun segera lepaskan pukulan tenaga dalamnya dengan kedua
tangan disentakkan ke depan. Blaab...! Seberkas sinar putih menyilaukan
menerjang Suto Sinting. Pada saat itu Pendekar Mabuk segera mengibaskan bumbung
tuaknya dalam gerakan memutar.
Wuuut...! Jurus 'Kipas Malaikat' dipergunakan oleh Pendekar
Mabuk untuk menandingi sinar putih menyilaukan itu. Jurus tersebut hadirkan angin kencang dan semburan busa salju
yang segera menghantam sinar putih lebar itu.
Blegaaarr...! Ledakan dahsyat terjadi, gelombang ledakannya
menyentak ke berbagai penjuru, mematahkan empat pohon di sekitar tempat itu. Si
bocah pun terlempar jatuh, demikian pula Pendekar Mabuk. Brruk, brruuss...!
Rupanya bocah itu bukan sembarang bocah. Pendekar Mabuk merasa seperti diterjang
oleh uap panas yang membuat kulit tubuhnya menjadi merah matang. Perih semua. T
api ia masih mampu menahan rasa panas dan perih, sehingga dalam sekejap Pendekar
Mabuk sudah bangkit berdiri dan memasang kuda-kudanya.
Bocah itu pun seperti terbuat dari karet. Begitu jatuh terbanting ke tanah dari
ketinggian pohon, tubuhnya membal ke atas, menabrak dahan pohon dan membal lagi
ke arah lain. Dalam satu gerakan salto yang cukup lincah, bocah
itu sudah berhasil berdiri di atas sebongkah batu hitam yang tadi nyaris ikut terperosok dalam keretakan tanah.
Jleeg...! "Bocah gendeng! Siapa kau sebenarnya!" seru Suto
Sinting dari jarak lima langkah.
"Kau tak perlu tahu siapa aku. T api aku tahu rencana kalian
ingin merebut Lembah Tayub! Kudengar percakapan kalian dalam perjalanan tadi!" seru bocah itu dengan suara
cemprengnya. Sreeet...! Elang Samudera mencabut
pedangnya. Dengan sekali sentak kedua kaki, tubuhnya melayang tinggi dan meluncur ke arah
bocah itu. Pedang tersebut ditebaskan ke leher si bocah dari arah belakangnya.
Namun sebelum pedang itu diayunkan, si bocah segera berbalik arah dan sentakkan
tangannya dengan telapak tangan terbuka. Wut, claap...!
Se berkas sinar merah panjang melesat dari tengah telapak tangan itu. Sinar
tersebut langsung kenai dada Elang Samudera. T api karena tangan Elang Samudera
mengayunkan pedang, maka tubuhnya pun miring dan sinar itu menyerempet lengan
kiri Elang Samudera.
Craas...! "Aaaahk...!" Elang Samudera memekik. Sekujur tubuhnya bagaikan tersengat kilatan
petir yang membuat seluruh ototnya seperti putus dan mengendur. Elang Samudera
pun jatuh tanpa bisa menjaga keseimbangannya. Brrruk...!
"Edan!" geram Suto Sinting. Serta-merta ia melayang cepat menerjang bocah itu
dengan kecepatan 'Gerak Siluman'-nya. Zlaap...! Bruss...!
"Oouf...!" Suto terpekik sendiri. Bocah itu melompat juga dan menghadangkan
kedua kakinya. T abrakan kaki dengan dada membuat selur uh tulang Pendekar Mabuk
bagaikan remuk seketika itu juga.
Bruuuk...! Pendekar Mabuk jatuh telentang. Si bocah justru terpental
dalam keadaan melayang di udara. Punggungnya membentur pohon, deel...! T ubuh itu pun memantul bagaikan karet
membentur benda keras.
Pada saat tubuh itu memantul balik, Pendekar Mabuk sedang kerahkan tenaga
cadangan untuk bangkit. Dalam keadaan setengah duduk, tahu-tahu tubuh bocah itu
menerjangnya dari depan.
"Hiaaaaah...!!"
T eriakan melengking itu membuat Pendekar Mabuk segera sadar akan datangnya
bahaya, ia segera berguling ke kiri dan cepat bangkit terduduk dengan tangan
berkelebat ke samping. T angan yang menguncup itu mematuk seperti seekor ular.
Gerakan cepat itu tepat kenai mata kaki si bocah. Dees...!
"Aaaook..!"
bocah itu memekik dengan tubuh melayang ke arah lain, kemudian berguling-guling bersama suaranya yang mengerang
kesakitan. Pendekar Mabuk sendiri segera roboh kembali setelah melepaskan jurus
totokan 'Delapan Penjuru Sarat' yang apabila mengenai mata kaki seseorang akan
berubah menjadi totokan pemudar gaib.
"Haaarrh...!!" suara mengerang itu menjadi besar.
Pendekar Mabuk yang rasakan lemas sekujur tubuhnya sempat memandang ke arah
datangnya suara tadi.
T ernyata suara itu berasal dari si bocah yang segera bangkit dan berbentuk
bayang-bayang, lalu berdiri tegak
dalam sosok seorang pemuda seusia Suto Sinting.
"Sudah kuduga, bocah itu hanya bocah jadi-jadian!"
geram hati Suto Sinting sambil memperhatikan ke arah lawannya yang sudah berubah
menjadi pemuda dewasa berambut panjang dikuncir ke belakang seperti Elang
Samudera. Pemuda itu segera membuka jurus dengan kuda-kuda yang cukup kokoh. T ubuhnya
yang gempal tampak
berotot. Matanya tajam berkesan bengis.
"Panglima T ulang...!!" seru Wisena sambil berlari menuruni bukit. Pendekar
Mabuk mendengar seruan itu.
"Oh, rupanya dia yang bernama Panglima T ulang"!"
gumam hati Suto sambil berusaha mencari kesempatan untuk menenggak tuaknya.
Wisena mencabut pisau terbangnya. Ranggina ikut bergegas turuni bukit dengan
gerakan lincahnya yang cukup cepat. T eb, teb, teb, teb...! Sementara itu,
Parerang melepaskan anak panahnya ke arah Panglima T ulang. Zaaab... zaaab...!
Dua anak panah dilepaskan sekaigus dan berkelebat sangat cepat.
Panglima T ulang menghindari anak panah itu dengan berseru berang. "Bangsat kau,
Parerang...!!"
Wut, wut...! T api baru saja kakinya mendarat ke tanah, dua pisau terbang Wisena
melayang ke arahnya.
Wwest, wesst...! Panglima T ulang terpaksa melompat ke belakang berjungkir balik
dua kali untuk hindari pisau beracun itu.
Saat itulah Pendekar Mabuk gunakan kesempatan
untuk menenggak tuaknya. Dengan menenggak tuaknya,
maka kekuatannya pulih kembali. Sayang ia tak sempat meminumkan tuak kepada
Elang Samudera, sehingga Elang Samudera masih tetap terkapar tak berdaya dalam
keadaan urat-uratnya bagaikan putus semua.
Namun dalam keadaan seperti itu, Elang Samudera masih punya sisa tenaga sehingga
ia bisa keluarkan suara keras yang ditangkap oleh pendengaran Suto Sinting.
"Hati-hati,
mulutnya dapat keluarkan api yang berbahaya!"
"Hiaaaat...!!" Ranggina ikut menyerang Panglima T ulang dengan jurus tongkat
mautnya. Sodokan tongkat itu keluarkan sinar merah berkelok-kelok seperti cahaya
petir. Sinar merah beruntun itu menyerang Panglima T ulang,
membuat pemuda itu kewalahan menghindarinya.
Blarr, blaar, blaar...! Ledakan terjadi secara beruntun juga setiap sinar merah
itu kenai benda keras apa pun.
"Bangsat tengik! Kalian benar-benar memuakkan semua! Heeahhh...!"
Sentakan napas dari mulut Panglima T ulang menyemburkan lidah api yang mengarah kepada Ranggina. Woooss...! Ranggina melompat dalam gerakan bersalto mundur. Wuuk...! Sementara itu, Wisena dan Parerang menghujani
Panglima T ulang dengan panah dan pisau mereka. Panglima T ulang makin dibuat
sibuk dan tak punya kesempatan untuk menyerang. Zaab, zaab, weest, wesst...! Wuut, wuuut, wuut...!
Panglima T ulang menghindari mundur dengan lompatan zig-zag. T ak satu pun panah dan lemparan pisau mereka yang mengenai
tubuh Panglima T ulang.
Sementara itu, Pendekar Mabuk sejak tadi sudah
berkelebat ke arah lain. Ia mengepung Panglima T ulang dari
balik semak-semak berduri. Ketika Panglima
T ulang berhasil menjauhi para penyerangnya. Ia kepergok oleh Pendekar Mabuk.
"Ooh..."!" sentaknya kaget, karena pada saat itu kaki Pendekar
Mabuk segera menendangnya dengan tendangan berputar. Weet, dees...!
"Ahhk...!" Panglima T ulang terlempar ke samping akibat rahangnya terkena
tendangan Pendekar Mabuk. Ia buru-buru
bangkit sebelum serangan berikutnya menyusul. T ab, tab, tab, wwuut...!
Lompatan cepatnya membuat Panglima T ulang dalam sekejap sudah berada di atas
dahan pohon. Hidung dan mulutnya tampak berdarah akibat tendangan Pendekar Mabuk
tadi. T api dari atas pohon ia sempat berseru.
"Biadab! Kalian telah membuatku tak jadi melihat keadaan Rara Padwi! T unggu
pembalasanku nanti!"
Blaaas...! Panglima T ulang cepat-cepat melarikan diri sebelum Parerang
melepaskan anak panahnya lagi.
Ranggina tampak mau mengejar pelarian Panglima
T ulang, tapi Pendekar Mabuk segera menahannya.
"Jangan kejar dia! Biarkan dia lari dan mengadu kepada Siluman T ujuh Nyawa!"
Pendekar Mabuk bermaksud memancing musuh
utamanya itu agar keluar dari persembunyiannya dengan
membiarkan Panglima T ulang melarikan diri. Yang lain pun tak jadi mengejar
Panglima T ulang setelah mengerti maksud Pendekar Mabuk.
Elang Samudera segera ditolong dengan meminumkan tuak dari bumbung sakti Pendekar Mabuk itu.
"Dia bergerak ke arah Lembah T ayub!"
ujar Parerang. Lalu, suara Wisena terdengar seperti orang menggumam.
"T ak kusangka ilmunya menjadi sehebat itu"!"
"Pasti dia telah berguru kepada Malaikat Gantung atau orang yang lebih tinggi
ilmunya!" "Kita ikuti saja dia!" ujar Suto Sinting memberi komando, membuat mereka pun
segera bergegas ke arah Lembah Tayub.
* * * 6 MEREKA melanjutkan perjalanan dengan saling


Pendekar Mabuk 110 Persekutuan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memasang kewaspadaan tinggi. Percakapan demi percakapan terjadi. Mereka berkesimpulan sama, bahwa kiamat kecil yang nyaris
mengubur Suto hidup-hidup itu tak lain adalah perbuatan si bocah iblis jelmaan
Panglima T ulang. T erbukti si bocah hampir saja berhasil menjebak Suto ke dalam
celah lapisan tanah itu.
Elang Samudera sempat menceritakan pertemuannya dengan Rara Padwi kepada Suto
Sinting. Sekalipun Suto
menggerutu mendengar kemesraan Elang Samudera
dengan Rara Padwi, namun ia merasa beruntung karena dapat mendengar ilmu andalan
Panglima T ulang. Suto pun mengingatkan kepada yang lain agar waspada
dengan semburan api dari mulut Panglima T ulang.
T api mendengar nama Siluman T ujuh Nyawa disebut-sebut sebagai dalang persekutuan iblis itu,
Parerang dan Wisena menjadi ciut nyali. Mereka berdua sering mendengar kehebatan
ilmu tokoh sesat itu.
Mereka juga sering mendengar
cerita kekejaman Siluman T ujuh Nyawa. Akhirnya, Wisena berkata
kepada Pendekar Mabuk.
"Kurasa aku dan Parerang tak perlu mengantar kalian sampai Lembah T ayub. Nanti
jika sudah sampai balik bukit itu, kami harus segera kembali ke istana karena
ada tugas lain yang harus kami selesaikan."
Elang Samudera tersenyum sinis mendengar. "Mengapa kalian berubah pikiran"! Kalian takut karena Panglima T ulang dibantu
oleh Siluman T ujuh Nyawa"!"
"Bukan begitu, tapi...."
"Kalau jadi pengecut memang sebaiknya tak perlu ikut!" sahut Ranggina dengan
ketus membuat kata-kata Wisena tak jadi diteruskan.
Elang Samudera berkata kepada Wisena, "Siluman T ujuh Nyawa bukan tandingan
kalian. Pendekar Mabuk yang akan menghadapinya. Jadi kalian tak perlu takut akan
berhadapan dengan Siluman T ujuh Nyawa."
Pendekar Mabuk sendiri segera menimpali, "Gagasan Wisena tidak buruk, Elang! Ada
baiknya jika mereka
segera kembali ke istana setelah kita berada di dekat Lembah Tayub. Kita hanya
butuh panduan mereka agar tak salah arah, bukan"!"
"T erima kasih atas pengertianmu, Pendekar Mabuk,"
ujar Parerang dengan hati lega.
T api di luar dugaan, mereka berdua ternyata tetap terlibat dalam perkara
tersebut. Karena ketika mereka hampir mendekati Lembah T ayub, Parerang dan
Wisena tak jadi pulang ke istana. Mendadak mereka dikepung oleh sejumlah orang
berwajah angker yang rata-rata mengenakan pakaian serba hitam. Orang-orang itu
muncul dari berbagai arah dengan senjata terhunus siap tarung.
"Celaka! Kita terkepung mereka, Suto!" ujar Ranggina dengan tegang.
"Uuhk...!"
tiba-tiba Parerang memekik sambil tubuhnya jatuh terpelanting.
"Hei, kenapa kau, Parerang"!" seru Elang Samudera dengan heran.
Wisena segera mendekati temannya. "Parerang, kau...
oaaahk...!"
Wisena sendiri terpekik dengan kepala terdongak.
T ubuhnya terpental
mundur dan berguling-guling.
Ketika ia merangkak, ternyata ia memuntahkan darah segar dari mulutnya.
"Hooeek...!"
"Gawat! Bersiaplah! Mereka menyerang dari jarak jauh!" seru Pendekar Mabuk
dengan mata terbuka tegang.
Dees, dees, dees...!
"Aaahk, uuuhk, aaahk...!"
Ranggina seperti disodok ulu hatinya dengan sebatang kayu balok. Ia terlempar ke belakang dan jatuh terkapar dengan mata
mendelik sukar bernapas.
Elang Samudera seperti dihantam dengan tangan besi pada bagian pinggangnya. Ia
roboh ke depan dalam keadaan tulang punggung ba gaikan remuk. Sedangkan Pendekar
Mabuk terlempar sejauh empat
langkah. Bumbung tuaknya terpental lepas dari genggamannya, karena ia merasa seperti
diterjang seekor banteng yang sedang mengamuk. Telinganya menjadi berdarah.
Serangan tanpa wujud itu datang kembali dan
menghajar mereka satu persatu. Des, des, des, des, des!
Mereka saling terpekik dan bergelimpangan. Tanpa diketahui dari mana datangnya
serangan itu, tiba-tiba mereka merasa rahangnya seperti mau copot, dadanya
bagaikan mau jebol, kepalanya seperti dihantam kayu besar,
dan macam-macam rasa sakit yang tak tertahankan lagi.
Dalam empat hitungan saja mereka sudah saling
bergelimpangan,
berdarah dan keluarkan erangan kesakitan yang memanjang. Pendekar Mabuk sendiri tak bisa atasi serangan tanpa
wujud itu. Karena ketika ia menduga serangan itu datang dari arah kiri, ternyata
serangan berikut datang dari depannya persis. Dagunya bagaikan mau pecah karena
seperti ditendang dengan kaki baja.
Prook...! "Aaahk...!" Kepala Suto tersentak ke belakang. Ia pun tumbang dengan mulut
mengucurkan darah. Namun ia masih berusaha mengerahkan tenaga simpanannya untuk
menahan melapisi sekujur tubuhnya dengan tenaga dalam.
Beet, beet, beet, prook, ceprot...!
Serangan tak diketahui dari mana asalnya itu seakan mengincar Pendekar Mabuk. Ia
dihajar tanpa ampun lagi sampai tubuhnya terbanting-banting dan terjadi luka di
beberapa tempat. Termasuk luka hangus pada dadanya.
"Edan! T enaga dalamnya tinggi sekali! Siapa yang menyerangku dengan cara licik
ini"!" geram hati Pendekar Mabuk yang sudah mulai kehilangan banyak tenaga. Ia
mencoba bangkit dan merangkak mendekati bumbung tuaknya.
Sraak...! Bumbung tuak itu terpental dengan sendirinya, bagai ada yang menyampar dengan kaki.
Jaraknya semakin jauh dari Suto Sinting. Bumbung tuak itu tergeletak dalam satu
jangkauan dari tempat Elang Samudera
terkapar berlumur darah pada ba gian kepalanya. "Suto...," suara Ranggina terdengar mengerang berat.
"Ini... perbuatan.... Malaikat Gantung! Seperti... yang dilakukan... pada...
pada mendiang Guru dan teman-temanku. Oohk... cari dia! Serang ddii... dia, agar
tak menggunakan... jurus 'Lamunan Iblis'-nya. Uuuhk...!"
Suto Sinting melihat
para pengepung semakin
berdatangan. Dalam keadaan tubuh tergeletak dengan kepala
miring ke kanan. Ia melihat dua orang mendekatinya. Salah satu dari kedua orang itu adalah si Panglima T ulang.
Rupanya orang itu telah berhasil memberi tahu para sekutunya tentang rencana
Pendekar Mabuk dan kawan-kawannya yang akan menyerang
Lembah Tayub. Ayodya alias si Malaikat Gantung segera kerahkan orang-orangnya untuk menghadang
mereka di kaki bukit. Usaha itu berhasil. Bahkan si Malaikat Gantung dengan
mudahnya melumpuhkan
lima orang dari
Kesultanan T anahinggil itu.
Pendekar Mabuk melihat sosok lelaki berusia sekitar tiga puluh tahun yang
berambut panjang dengan ikat kepala dari logam perak berukir. Lelaki itu
mengenakan jubah merah tua dan di pinggangnya terdapat se-gulung tambang yang
menyerupai cambuk. Hati kecil Suto mengatakan bahwa orang berjubah merah itu
pasti si Malaikat Gantung. Pandangan matanya begitu tajam, seakan dapat
membutakan orang yang beradu pandang dengannya.
"Panglima T ulang...! Kini saatmu menghancurkan si keparat yang nyaris membuatmu
mati itu!" ujar Malaikat Gantung.
"Akan kuremukkan kepalanya tanpa ampun lagi!"
geram Panglima T ulang yang kala itu membawa senjata berupa gada besi berduri.
Dalam keadaan tergolek tanpa daya, Pendekar Mabuk hanya bisa memandangi langkah
Panglima T ulang yang mendekatinya dengan penuh nafsu membunuh. Gada
besinya yang cukup besar dan berat itu digenggam kuat-
kuat. "Modarlah kau sekarang juga! Heeah...!"
Gada besi itu diangkat, ingin dihantamkan ke kepala Pendekar Mabuk. T etapi pada
saat itu satu-satunya kekuatan yang dimiliki Suto adalah kekuatan pada matanya.
Ia memandang sebongkah batu sebesar kepala sapi. Batu itu dilemparkan dengan
kekuatan pandangan matanya. Wuuut...! Batu itu melayang cepat menerjang gada
besi dari samping. Prraak...! Crrooook...!
"Aaaah...!!" Panglima T ulang memekik keras-keras.
Akibat diterjang batu sebesar kepala sapi, gada besi berduri itu membentur
kepala Panglima T ulang sendiri.
T entu saja sebagian wajah dan kepala Panglima T ulang menjadi berlumur darah
karena duri-duri pada gada itu menancap dan merobek kulit wajah.
Gada itu terlepas dari tangan Panglima T ulang. Orang tersebut
terbungkuk-bungkuk
kesakitan sambil memegangi lukanya. Suto Sinting segera menggunakan ilmu 'Pranasukma' yang dapat
membuat benda bergerak sendiri dengan kekuatan pandangan matanya. Dengan mata
melebar jelas, Malaikat Gantung melihat gada itu melayang sendiri dan menghantam
tengkuk kepala Panglima T ulang. Wuuut, ceprooot...!
"Aaahk...!" pekikan Panglima T ulang itu lebih pendek, karena
kepalanya menjadi hancur akibat hantaman gada besi berduri. Panglima T ulang pun jatuh tersungkur,
menggelepar sesaat, kemudian menghembuskan napas terakhir dalam keadaan kepala rusak berat. Hancur.
"Panglima T ulaaang...!!" teriak Malaikat Gantung begitu sadar bahwa Panglima T
ulang telah tak bernyawa lagi.
Para pengepung menjadi tegang dan mundur selangkah melihat Panglima T ulang tewas karena serangan lawan yang aneh itu.
Malaikat Gantung menjadi murka sekali. Matanya memandang makin
tajam. Namun langkahnya yang ingin dekati mayat Panglima T ulang itu terhenti
karena ia melihat Parerang berusaha bangkit berlutut dan ingin menarik anak
panahnya dari busur.
Dengan cepat tangan Malaikat Gantung menyambar
tambang yang menyerupai cambuk panjang itu. Seet...!
T ambang tersebut segera dilecutkan. Jedaaarr...! Lecutan itu timbulkan suara
keras dan menyentak. Tahu-tahu tambang itu menjerat leher Parerang. Sert...!
"Aahkkkr, hhkkr...!" Parerang tak bisa bersuara lagi.
T ambang segera ditarik dalam satu sentakan tenaga dalam. Wuuut...! Seert...!
Leher Parerang terjerat kuat.
T ubuh Parerang pun terlempar ke atas dalam keadaan tetap dijerat tambang. Pada
saat melayang di udara itu, jeratan itu semakin kencang dan membuat Parerang
mendelik, lidahnya terjulur, lalu jatuh menggelepar sesaat. Kurang dari dua
hitungan, nyawa Parerang pun pergi tanpa pamit dari raganya. Ia seperti mati
digantung lawannya. Barangkali senjata tambang maut itulah yang membuat
Ayodya menggunakan julukan Malaikat Gantung. T anpa setahu Ayodya, Elang Samudera kerahkan sisa
tenaganya yang tinggal sedikit itu untuk dekatkan kepala ke bumbung tuak Suto. T
utup bumbung itu terbuka sedikit,


Pendekar Mabuk 110 Persekutuan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sehingga tuaknya mengalir keluar.
Elang Samudera tahu betul kesaktian tuak tersebut, maka ia pun berusaha meminum tuak
itu walau sedikit saja.
Dengan menjulurkan lidah seperti seekor anjing sedang minum, tuak tersebut
berhasil ditelan oleh Elang
Samudera, membuat kekuatan Elang Samudera mulai pulih kembali.
Pada saat tubuh Parerang jatuh dan menghembuskan napas terakhir, Elang Samudera
telah mempunyai
separuh lebih dari kekuatannya semula. Maka dengan cepat ia meraih pisau terbang
milik Wisena. Pisau itu dicabut dari pinggang Wisena yang ada di sisi kanannya.
Seet,..! Elang Samudera bangkit terduduk dan pisau itu dilemparkan
ke arah Malaikat Gantung. Wees...! Jrruub...! "Aaahk...!" Ayodya alias Malaikat Gantung terkejut sekali. Ia tak menyangka akan
ada serangan dari lawannya. Pisau itu tak sempat hindari karena kecepatan
lemparannya yang nyaris tak terlihat oleh mata awam itu.
Akibatnya, pisau itu menancap di dada Malaikat
Gantung. Pisau itu terbenam seluruhnya, tinggal bagian gagangnya saja. Malaikat
Gantung mengeluarkan darah kental dari mulutnya dalam keadaan mata mendelik dan
badan sedikit bungkuk.
I buru-bur u berusaha melepaskan jurus 'Lamunan Iblis'-nya untuk menyerang Elang
Samudera. T etapi
ternyata Pendekar Mabuk lebih dulu menggunakan jurus
'Pranasukma'-nya,
melemparkan tubuh Malaikat Gantung dengan kekuatan pandangan mata.
Wuuut...! T ubuh itu terlempar ke arah pohon dengan keras. Padahal di pohon itu
ada bekas dahan yang patah dan berbentuk runcing. T ak ayal lagi tubuh Malaikat
Gantung itu tertancap pada keruncingan dahan tersebut dari punggung tembus ke
perut. Jrruub...!
"Aakkh...!!"
Malaikat Gantung mendelik, tak bisa
berkutik. T ubuhnya kelojotan sesaat, setelah itu diam tak bergerak selama-lamanya.
"Gawat! Sang ketua tewas juga"!" seru seorang pengepung. "Lariiiii...!!"
Para pengepung lari tunggang langgang. Mereka
dapat bayangkan, betapa mengerikan lawan yang mereka kepung itu. Jika ketuanya
yang dianggap sakti itu berhasil dibunuh oleh lawan, apalagi diri mereka yang
masih berilmu pas-pasan. Oleh sebab itu mereka
memilih melarikan
diri sebagai satu-satunya obat panjang umur. Elang Samudera segera mengucurkan tuak ke mulut Pendekar Mabuk. Dengan begitu,
kekuatan Pendekar Mabuk
berangsur-angsur
pulih dan luka-lukanya terobati. Hal yang sama dilakukan pula kepada Ranggina dan Wisena. Tapi Parerang
tetap Parerang, maksudnya tetap menjadi mayat Parerang, tak dapat dihidupkan
kembali dengan tuak saktinya Pendekar Mabuk itu.
"Persekutuan iblis itu telah kita lumpuhkan!" ujar
Elang Samudera setelah memandangi mayat Panglima T ulang. Sambungnya lagi,
"Apakah kita akan kembali menghadap sultan untuk mengambil hadiahnya?"
"Aku bukan memburu hadiah?" tegas Suto Sinting.
"Aku memburu si keparat Durmala Sanca! Sial! Kenapa dia tak muncul di sini"!"
Suto tampak sedikit kecewa karena musuh utamanya tak berhasil ditemuinya. Namun
Elang Samudera bisa menghibur kekecewaan itu dengan berkata pelan,
"Suatu saat dia pasti akan muncul di hadapanmu, dan saat
itulah kau punya kesempatan memancung kepalanya!"
Ranggina berkata kepada kedua pemuda tampan itu.
"Kalian telah menyelamatkan nyawaku dari ancaman maut Ayodya. Siapa dari kalian
yang ingin mengambil hadiahnya"!"
"Hadiah apa"!" tanya Elang Samudera.
"Menikah dengannya atau bersaudara dengannya!"
jawab Suto, lalu Elang Samudera memandangi Ranggina beberapa saat. Setelah itu
menatap Suto Sinting sambil berkata.
"Ambillah hadiahnya."
"Aku..."! Ooh, aku sudah punya Dyah Sariningrum.
Kau belum ada yang punya, kan?"
"Hmmm... kalau begitu kita bersaudara saja!" kata Elang Samudera, membuat
Ranggina tersenyum manis dan berkata lirih.
"T erima kasih...."
Lalu mereka membawa pulang mayat Panglima
T ulang dan mayat Malaikat Gantung ke istana, sebagai bukti bahwa mereka sudah
berhasil melumpuhkan
persekutuan iblis itu. Sedangkan Wisena membawa pulang
mayat Parerang, sebagai bukti kejamnya persekutuan iblis.
SELESAI Pendekar mabuk Se gera terbit!!!
SUKMA WARISAN Pembuat E-book:
Scan buku ke DJVU: Abu Ke isel
Conve rt & Edit: Paulustjing
Ebook oleh: De wi KZ
http://kangzusi.com
http://dewi-kz.info/
http://www.tiraikasih.co.cc/
http://ebook-dewikz.com/
Meteor Kupu Kupu Dan Pedang 2 Joko Sableng 13 Titah Dari Liang Lahat Dendam Sembilan Iblis Tua 5
^