Meteor Kupu Kupu Dan Pedang 2
Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long Bagian 2
sudah mencelakai orang, kau harus bertanggung jawab. Biar pun sifat Nona
Xu tidak begitu baik, kau tetap harus mengalah."
Siapa pun melakukan kesalahan harus dihukum. Sepertinya hanya Lao Bo
yang bisa memikirkan cara menghukum Wen Bao.
"Bila Tuan Xu tidak mengijikan, bagaimana?" tanya Wen Bao.
"Tuan Xu pasti mengijinkan. Apalagi, sekarang," jawab Lao Bo.
Siapa pun bisa menduga, Xu Qing Song pasti setuju, takut putrinya tidak bisa
menikah lagi, pun Wen Bao pemuda yang baik.
* Lao Bo menggunting dedaunan yang berlebihan. Ia tidak suka bunga yang
terlalu banyak daun karena merusak keindahan.
Ia juga tidak suka melihat hal yang rumit, karena kerumitan adalah sesuatu
yang berlebihan dan harus bisa disederhanakan.
Anak buah Lao Bo yang benar-benar bisa diandalkan tidak terlalu banyak, tapi
ia percaya setiap anak buahnya punya kemampuan tinggi dan sangat setia
padanya. Lao Bo selalu puas pada anak buahnya. Ia pun tahu mereka selalu
melaksanakan tugas dengan baik. Karenanya, sudah lama Lao Bo tidak turun
tangan langsung di lapangan.
Walau ia lama tidak turun tangan, Lao Bo yakin masih punya kekuatan yang
cukup untuk mengalahkan lawan-lawannya.
Sewaktu pedang Yi Shi menyerang, Lao Bo sudah membaca kekurangan ilmu
pedang lawan. Biar pun tidak dilindungi anak buah, ia tetap bisa mengalahkan
Yi Shi. Dalam bertempur, Lao Bo selalu menunggu kesempatan terakhir mengalahkan
lawan, karena di saat itulah lawan berada dalam keadaan lengah dan lelah,
tenaga belum sepenuhnya pulih. Lawan-lawannya selalu mengira, kesempatan
terakhir pasti berhasil. Di saat terakhir yang sangat menetukan itu, Lao Bo
biasanya melakukan serangan balik.
Serangan balik yang mematikan.
Hanya saja menunggu dan menentukan saat tepat melancarkan serangan
balik yang mematikan tidaklah mudah. Dibutuhkan kesabaran, keberanian,
ketenangan, serta pengalaman yang luas.
Sampai di sini, Lao Bo menghela nafas. Ia tahu Lu Xiang Chuan bukan anak
kandungnya, tapi kesetiaannya melebihi Sun Jian anak kandung sendiri.
Lao Bo sangat percaya dan suka pada Lu Xiang Chuan. Ia membagi separuh
harta dan usahanya kepada Lu Xiang Chuan karena sifatnya sangat tenang
dan lincah. Sifat ini sangat berlawanan dengan Sun Jian yang ceroboh dan pemarah.
Bisnis Lao Bo sangat luas dan besar, ia harus memiliki anak buah semacam
Lu Xiang Chuan untuk menjaga dan meneruskan usahanya. Apalagi ketika
dulu di awal mendirikan bisnis, tidaklah mudah.
Perjuangan awal membutuhkan curahan tenaga, air mata, dan jiwa-jiwa muda
pemberani seperti Lu Xiang Chuan.
Tiba-tiba Lao Bo teringat lelaki berjubah kelabu.
Di hadapan anak buahnya ia tidak pernah membicarakan lelaki ini, tapi anak
buahnya bisa menduga lelaki jubah kelabu pernah muncul dalam kehidupan
Lao Bo. Demi Lao Bo, si Jubah Kelabu rela melakukan hal yang orang lain belum
pernah lakukan. Sesungguhnya Lao Bo menyadari, jika membiarkan si Jubah Kelabu tetap
hidup, bisa menambah kesulitan. Dalam melakukan pekerjaannya, lelaki itu
selalu menggunakan kekerasan. Sementara Lao Bo punya cara yang lebih jitu
daripada menempuh jalan kekerasan.
Dalam kematangan usianya sekarang, Lao Bo bukan ingin melenyapkan
nyawa orang, melainkan ingin mendapatkan kesetiaan dan penghormatan.
Sebab, bagi Lao Bo, membunuh tidak ada gunanya sama sekali. Tapi,
mendapatkan penghormatan dan kesetiaan akan lebih bermanfaat.
Alasan dan kemauan Lao Bo ini tidak dimengerti Sun Jian yang masih muda,
apalagi lelaki jubah kelabu itu.
Lao Bo menarik nafas. Sungguh, ia tidak suka cara-cara yang ditempuh si
Jubah Kelabu. * Setiap orang yang menjalankan bisnis pasti memiliki rahasia, karenanya
disebut rahasia bisnis. Tapi dengan si Jubah Kelabu, rahasia bisnis tidak bisa
lagi disebut rahasia. Si Jubah Kelabu mengetahui terlalu banyak rahasia Lao Bo.
Seperti pada kebanyakan orang, jika rahasianya diketahui terlalu banyak,
mungkin sudah sejak dulu si Jubah Kelabu dilenyapkan. Tapi, Lao Bo bukan
kebanyakan orang. Karena itu, si Jubah Kelabu tidak ia lenyapkan.
Itulah perbedaan Lao Bo dengan orang lain.
Dalam mencapai tujuan, terkadang Lao Bo menghalalkan segala cara. Namun
dalam segala cara yang halal itu sedapat mungkin ia mengharamkan
pembunuhan. Lao Bo sangat menghargai jiwa orang dan sangat lapang dada
serta berjiwa besar. Tidak ada yang bisa membantah ini.
Seberapa banyak dan besarnyakah bisnis Lao Bo" Dalam bidang apa saja
usahanya" Ini adalah rahasia. Kecuali Lao Bo sendiri, mungkin tidak ada yang tahu. Yang
pasti, usahanya begitu banyak sehingga harus melibatkan begitu banyak
orang. Karenanya, Lao Bo terus mencari tenaga-tenaga muda berbakat. Dalam hal
ini, matanya sangat trampil menilai seseorang.
Dalam penilaiannya itulah nama Chen Zhi Ming muncul ke perhatiannya.
Lao Bo sangat menyukai pemuda bernama Chen Zhi Ming. Ia merasa, asalkan
diarahkan dan dilatih, sebentar saja pemuda itu akan menjadi pembantu yang
berguna. Tapi sayang semenjak hari ulang tahunnya pemuda itu tidak muncul
lagi. "Sepertinya aku sudah semakin tua, banyak hal tidak bisa dijalankan
sempurna, sampai lupa meminta alamatnya," sesal Lao Bo dalam hati.
Lao Bo menarik nafas dan menepuk-nepuk pinggang sendiri. Ia memandang
matahari yang terbenam. Apakah dirinya sudah seperti matahari itu, sebentar
lagi harus tenggelam"
Sesaat ia teringat Lu Xiang Chuan. Tiap kali Lu Xiang Chuan menjalankan
tugas, Lao Bo tidak pernah khawatir.
Tapi kali ini Lao Bo tidak setenang biasanya. Lao Bo tahu kekuatan Wan Peng
Wang dan juga sangat tahu cara apa yang biasa dipakai Wan Peng Wang.
Terlalu menghawatirkan anak buah menjalankan tugas adalah perasaan
seorang tua, Lao Bo menghela nafas. Mungkin ia memang sudah tua.
Di bawah mentari senja ia berjalan menuju rumah. Sesaat melintas dalam
benak Lao Bo untuk melepas segala kegiatan bisnisnya.
Mungkin sudah waktunya pensiun"
Tapi itu hanya pemikiran sesaat. Begitu matahari terbit esok pagi, Lao Bo akan
mengubah pikirannya lagi.
Di dunia ini ada semacam orang yang tidak bisa dikalahkan oleh apa pun,
termasuk "tua" dan "kematian".
Orang semacam itu tidak banyak, dan Lao Bo salah satunya.
* Sewaktu Lu Xiang Chuan berada di dalam kereta, yang dipikirkannya bukan
bagaimana cara memperlakukan Wan Peng Wang. Yang dipikirkannya adalah
si Pembunuh Berjubah Kelabu yang membunuh orang seperti memotong
rumput. Sewaktu si Jubah Kelabu mencabut nyawa Huang Shan San You, Lu Xiang
Chuan tidak sempat melihat wajah yang sudah langsung dilumuri darah itu.
Tapi sepertinya ia bisa menebak siapa orang ini. Namun Lu Xiang Chuan tidak
berani bertanya pada Lao Bo.
Hal yang Lao Bo tidak mau bicarakan, tidak ada yang berani memaksanya.
Jika Lao Bo tidak mau membicarakan, bertanya pun sia-sia.
Perasaan Lu Xiang Chuan menyatakan, si Jubah Kelabu adalah Han Tang.
Cara orang ini membunuh sangat kejam dan cepat. Lu Xiang Chuan
selamanya belum pernah melihat orang membunuh secepat dan sekejam itu.
Lao Bo pernah bilang pada Lu Xiang Chuan, pekerjaan Han Tang tidak pernah
dilakukan orang lain, nanti pun tidak ada orang yang bisa melakukannya.
Kedudukan Lu Xiang Chuan semakin tahun semakin tinggi, kekuasaannya
semakin besar. Ia sudah memimpin banyak bawahan. Tapi ia tahu, biar pun
memakai semua cara guna mencari tahu tentang Han Tang, percuma saja.
Meteor, Kupu-kupu dan Pedang I -2
By admin " Nov 1st, 2008 " Category: 2. Silat China, KL - Meteor, Kupu-kupu
dan Pedang Semua orang pasti punya masa lalu, tapi Han Tang sepertinya tidak memiliki
masa lalu. * Kereta kuda yang dinaiki Lu Xiang Chuan sangat indah.
Kereta itu seperti sebuah tempat tidur yang nyaman, begitu empuk, getaran
pun hampir tidak terasa. Bila Lu Xiang Chuan menjalankan tugas, ia akan melakukannya dengan
sepenuh hati dan konsentrasi. Selain apa yang harus ia kerjakan, hal lain tidak
terlintas di benaknya. Yang ia tahu, tugas kali ini teramat sulit.
"Lelaki harus seperti lelaki, kata-katanya harus seperti lelaki, kerjanya pun
harus seperti lelaki," begitu kalimat yang sering diucapkan Lao Bo.
Dan masalah antara Lao Bo dan Wan Peng Wang adalah masalah lelaki.
Orang lain akan merasa aneh, karena urusan sepele Lao Bo sampai
bermusuhan dengan Wan Peng Wang.
Hanya Lu Xiang Chuan yang mengerti maksud Lao Bo.
Sasaran misi Lao Bo sebenarnya adalah Wan Peng Wang sendiri. Jika kali ini
Wan Peng Wang merestui hubungan Dai Dai dengan Xiao Wu, berarti ia
sudah tunduk pada Lao Bo dan ia akan berteman dengan Lao Bo. Bila tidak, ia
akan menjadi musuh Lao Bo.
Lao Bo pernah berkata, "Aku tidak begitu mengerti orang. Bagiku, di dunia ini
hanya ada dua jenis manusia. Kalau dia bukan musuh berarti dia adalah
teman. Apakah ingin menjadi musuh atau teman, tergantung diri sendiri. Tidak
ada pilihan lain!" Lu Xiang Chuan tahu, dalam prakteknya, Lao Bo tidak pernah memberi
kesempatan pada orang lain untuk memilih. Karena siapa pun yang memilih
jadi musuh Lao Bo, pasti mati.
Masalahnya, Wan Peng Wang bukanlah seorang penakut. Pilihan yang ia
ambil mungkin tidak sama dengan orang lain. Kalau ia memilih jadi musuh Lao
Bo, banjir darah pasti terjadi.
Seandainya hal ini benar terjadi, begitu pikir Lu Xiang Chuan, barangkali Lao
Bo masih bisa menang meski resikonya sangat tinggi.
9. Wan Peng Wang Lu Xiang Chuan sangat teliti. Sebelum menjalankan tugas, ia sudah
menyelidiki Wan Peng Wang sedetil mungkin.
Wan Peng Wang tidak bermarga Wan, juga tidak bermarga Wang. Konon, ia
anak haram yang tidak jelas bapak dan dibuang ibunya. Tapi, tidak ada yang
bisa membuktikan cerita ini.
Sebelum berumur tujuh belas, tidak ada yang tahu asalnya. Sesudah berumur
tujuh belas, ia sudah bekerja pada sebuah perusahaan. Setengah tahun
kemudian, ia sudah naik jabatan. Pada umur sembilan belas, ia membunuh
bos perusahaannya kemudian menjadi bos perusahaan itu.
Tapi, setahun kemudian ia menjual perusahaan dan menjadi seorang polisi.
Dalam tiga tahun, ia sudah menangkap dua puluh sembilan penjahat,
membunuh delapan orang, sisanya ia lepaskan.
Semenjak itu, ia punya dua puluh satu pembantu yang sangat setia padanya.
Waktu berumur dua puluh empat, ia keluar dari kepolisian dan mendirikan
perkumpulan Da Peng. Mula-mula hanya memimpin 100 orang, tapi sekarang
anak buahnya sudah mencapai puluhan ribu orang. Kekayaanya sudah tidak
terhitung lagi. Dulu, tidak ada yang perduli pada kata-katanya. Sekarang, kata-katanya
adalah perintah. Semua kejayaan dan kekayaannya tidak datang tiba-tiba, melainkan melalui
pertarungan hidup mati. Apalagi beberapa tahun ini terdengar kabar Wan Peng Wang telah
mendapatkan sebuah rahasia kungfu aneh yang ia beri nama Fei Peng Si Shi
Jiu Shi. Ilmu telapak tangan itu sangat dahsyat, jarang ada yang bisa
menandingi. Lu Xiang Chuan merasa tugasnya sangat berat. Apakah pertarungan antara
Lao Bo dengan Wan Peng Wang tidak bisa dihindari" Bagaimana akhirnya"
Lu Xiang Chuan tidak berani memastikannya.
Sungguh, bila bukan terpaksa, Lu Xiang Chuan tidak ingin pertentangan ini
terjadi! * Lu Xiang Chuan khawatir, Wan Peng Wang tidak sudi bertemu dengannya,
maka ia sengaja mengajak Nan Gong Yuan.
Nan Gong Yuan adalah turunan keluarga Nan Gong terakhir. Ia seorang
terpelajar, juga pesilat dan play boy yang terkenal. Orang sepertinya sangat
senang menghamburkan uang. Kekayaan keluarganya semakin lama semakin
menipis dan serkarang ia sering meminjam uang pada Lao Bo.
Lu Xiang Chuan percaya, Nan Gong Yuan tidak akan mau kehilangan teman
seperti Lao Bo. Karenanya, pasti akan membantunya.
Kebetulan Nan Gong Yuan juga teman Wan Peng Wang.
Wan Peng Wang seorang lelaki berduit. Semakin tinggi kedudukannya,
hobinya semakin banyak. Ia senang perempuan, suka berjudi dan berkuda,
juga senang mempelajari etika.
Kebetulan kesenangannya sama seperti Nan Gong Yuan, dan Nan Gong Yuan
adalah ahli di bidang itu. Karena itulah mereka bisa berteman.
* Kereta kuda berhenti di luar hutan.
Seseorang berdiri di tepi hutan bertubuh tinggi dan gagah, memakai baju
seputih salju. Di bawah pohon tersedia meja, kursi, kecapi, dan arak. Juga seekor kuda yang
tinggi dan bagus. Lelaki itu dari jauh terlihat masih sangat muda, tapi sudah terlihat keriput di
sudut matanya. Ia tampak begitu dewasa dan luwes, sulit dibandingkan
dengan siapa pun. Lu Xiang Chuan turun dari kereta dan mendekati Nan Gong Yuan. Melihat
wajah Nan Gong Yuan yang terlihat kesal, ia menghentikan langkah.
Nan Gong Yuan justeru menghampiri.
"Apa ia tidak mau bertemu denganku?" tanya Lu Xiang Chuan.
Nan Gong Yuan menghela nafas, "Ia menolak bertemu denganmu."
"Kau sudah jelaskan maksud Lao Bo?"
"Ia tidak pernah berhubungan dengan Lao Bo, kelak pun tidak akan
berhubungan dengannya!"
"Bisakah ia berubah pikiran?"
"Tidak ada yang bisa mengubah pikirannya."
Lu Xiang Chuan tidak bertanya lagi. Ia sudah tahu, jika terus bertanya pun
akan sia-sia. Wajah Lu Xiang Chuang tanpa ekspresi, tapi hatinya kusut dan ia tidak punya
cara mengurai benang kusut itu. Padahal baginya misi ini harus berhasil, tidak
boleh gagal. Jika gagal, bisa berakibat fatal.
Saat ia tercenung, tiba-tiba Nan Gong Yuan berkata, "Tiap tanggal satu setiap
bulan, Wan Peng Wang selalu membeli barang antik dan kuno."
"Besok tangal satu," gumam Lu Xiang Chuan.
Nan Gong Yuan menghel nafas panjang. "Waktu begitu cepat berlalu, hari
berganti bulan, dulu masih muda sekarang rambut sudah memutih. Kehidupan
manusia seperti mimpi, tiap hari menghabiskan waktu, entah untuk apa?"
Lu Xiang Chuan tertawa kecil, dari dalam saku ia mengeluarkan sebuah
amplop. "Mungkin untuk ini," jawabnya.
"Apa itu?" "Ini cek 5,000 tail emas. Inilah penghormatan dari Lao Bo."
Nan Gong Yuan memandang amplop itu, tertawa sinis. "Orang sepertiku tidak
pantas diberi penghormatan."
Seketika Nan Gong Yuan membalik tubuh, berjalan ke meja, dan mulai
memainkan kecapi. Hidup ibarat mimpi Manakala
Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tersadar dari mimpi "Kan kita hadapi kenyataan" Tiap hari sibuk, apalah kegunaan"
Lagu yang sedih. Denting kecapi terdengar menyayat hati. Matahari sore
menyinari tepi hutan itu.
Tiba-tiba hening. Bumi dan langit begitu sepi. Lu Xiang Chuan perlahan berdiri. Kedudukan dan
keberhasilannya lebih tinggi daripada Nan Gong Yuan, entah mengapa ia
merasa ada sesuatu yang "kurang" pada diri sendiri.
Mungkinkah kekurangannya adalah "masa lalu?"
Apakah karena Lu Xiang Chuan hanya memiliki "masa sekarang" dan "masa
depan", sementara Nan Gong Yuan memiliki "masa lalu?"
Betapa pun kau memiliki uang dan kedudukan, kau tidak bisa membeli masa
lalumu! Tiba-tiba Lu Xiang Chuan terkenang masa lalunya yang sulit. Seketika
kemarahan membakar dadanya.
Ia meletakkan amplop itu, sepatah demi sepatah berkata, "Mimpiku selamanya
tidak akan pernah terbangun sebab aku tidak pernah bermimpi."
Nan Gong Yuan tidak mengangkat kepala, hanya menjawab, "Sebenarnya kau
pun tahu, terkadang orang tetap harus bermimpi."
Lu Xiang Chuan tahu itu. Tapi ia punya semacam penyakit. Penyakitnya ialah
tidak bisa bermimpi dan karenanya ia merasa tegang.
Ketegangan yang membuatnya lelah.
Lantas, kalau begini, apakah sudah seharusnya ia bermimpi" Memiliki
mimpinya sendiri" Semua itu adalah pilihan. Dan pilihan itu ada pada dirinya!
Denting kecapi sudah berhenti.
Lu Xiang Chuan melangkah ke kereta kuda, memberi perintah singkat, "Ke Gu
Huang Xian." * Tanggal satu. Semua pedagang antik sudah tiba di kaki bukit. Mereka datang dari berbagai
lokasi, bahkan ada yang datang dari tempat yang sangat jauh.
Ini adalah hari Wan Peng Wang memilih barang antik, dan ia adalah pembeli
sekaligus kolektor yang baik.
Di antara para pedagang itu terlihat seorang pemuda yang sangat tenang tapi
tidak dikenal para pedagang lain yang umumnya sudah saling mengenal.
Pemuda itu konon datang dari Gu Huang Xian. Dan ia adalah Lu Xiang Chuan.
Sebelumnya Lu Xiang Chuan pergi ke Gu Huang Xian terlebih dulu dan baru
masuk ke kota ini. Awan putih berarak. Rumah Wan Peng Wang di atas bukit seperti istana di atas awan, sangat
tinggi dan seolah tidak terjangkau.
Terdengar suara lonceng seperti keluar dari balik awan.
Para pedagang berjalan beriringan menuju rumah Wan Peng Wang.
Lu Xiang Chuan sangat terkejut ketika melihat Wan Peng Wang untuk pertama
kalinya. Ia belum pernah melihat orang seperti Wan Peng Wang.
Wan Peng Wang seperti raksasa di dalam dongeng. Saat ia duduk, tingginya
hampir setinggi orang normal yang berdiri.
Ada yang bilang, "Semakin besar tubuh seseorang, semakin sederhana
otaknya." Namun hal ini tidak berlaku bagi Wan Peng Wang.
Pandangannya sangat dingin, tajam, dan kuat, memancarkan kecerdasan dan
keteguhannya. Ia juga penuh percaya diri, membuat orang tidak berani
sembarangan dengannya. Telapak tangannya lebar, besar, dan tebal. Setiap saat ia mengepalkan tangan
dengan erat seakan ingin memukul orang.
Saat Lu Xiang Chuan mendekati, mata Wan Peng Wang tiba-tiba menyorot
setajam pisau, seolah menguliti Lu Xiang Chuan.
Setelah lama pelan-pelan Wan Peng Wang bertanya, "Apa kau dari Gu Huang
Xian?" Saat itu juga Lu Xiang Chuan tahu sulit mengelabui orang semacam Wan
Peng Wang. Sepertinya anak buah Wan Peng Wang telah mendata setiap
pedagang yang akan masuk ke rumahnya, ataukah itu justru Nan Gong Yuan
yang membocorkan rahasianya"
Apa pun, Lu Xiang Chuan adalah orang yang sangat cerdas dan fleksibel.
Seketika ia mengubah rencana dan berkata jujur.
"Bukan," jawab Lu Xiang Chuan.
Wan Peng Wang pun tertawa senang. "Baiklah, kau orang yang pintar! Bosmu
pasti lebih pintar lagi." Tawa Wan Peng Wang perlahan berhenti. Ia kembali
memelototi Lu Xiang Chuan dan bertanya, "Bukankah bosmu Sun Yu Bo?"
Ditanya seperti itu, seketika timbul rasa hormat di wajah Lu Xiang Chuan.
Perlahan ia maju ke muka membawa sebuah piring dan berkata, "Piring giok
ini dari dinasti Han, di atasnya adalah sebuah guci yang dibuat di masa dinasti
Qing. Barang ini pemberian Lao Bo untuk Ketua Bang sebagai rasa hormat
beliau. Harap Ketua menerimanya."
Setiap kali Lao Bo meminta bantuan, selalu menghantarkan hadiah yang
mewah. Maknanya adalah ia ingin menjalin persahabatan. Bila hadiahnya
ditolak, berarti menolak persahabatan. Berarti pula, kau telah menantang Lao
Bo! Namun kali ini bukan maksud Lao Bo menghantar hadiah. Semua ini adalah
ide Lu Xiang Chuan. Ia berharap semua permasalahan ini bisa diselesaikan
dengan damai. Mata Wan Peng Wang yang semula menatap wajah Lu Xiang Chuan kini
memperhatikan piring itu. Namun sesungguhnya ia sedang berpikir. Setelah
lama Wan Peng Wang baru membuka mulut, "Kudengar Wu Lao Dao adalah
perantauan dari Jiang Bei dan tiga puluh tahun yang lalu menetap di Jiang
Nan." Wan Peng Wang mengangkat kepala dan memelototi Lu Xiang Chuan,
"Sun Yo Bo pun demikian, apa benar begitu?"
Lu Xiang Chuan membenarkan, "Lao Bo dan Wu Lao Dao berasal dari desa
yang sama. Mereka sama-sama menetap di Jiang Nan."
Lu Xiang Chuan tahu Wan Peng Wang sudah mengetahui maksud
kedatangannya sehingga tidak perlu menutup-nutupi lagi. Seketika ia merasa
Wan Peng Wang lebih menakutkan daripada yang ia bayangkan.
Wan Peng Wang gusar berkata, "Sun Yu Bo menyuruhmu datang ke sini
apakah untuk kepentingan anak lelaki Wu Lao Dao?"
"Lao Bo mengetahui masalah hubungan lelaki dan perempuan. Ketua pasti
bisa mengijinkan mereka bersama, apalagi gadis itu hanyalah seorang
pelayan." Kata-kata Lu Xiang Chuan sangat sopan dan tidak langsung pada sasaran,
namun menjelaskan keuntungan dan kerugian masalah ini, bahwa demi
seorang pelayan harus bermusuhan dengan Lao Bo adalah tidak sebanding.
Tapi Wan Peng Wang marah menjawab, "Ini bukan sekedar masalah lelaki
perempuan, tapi adalah aturan perkumpulan di sini. Siapa pun dilarang
melanggar aturan ini!"
Hati Lu Xiang Chuan serasa tenggelam, ia melihat harapannya semakin
menipis. Namun sebelum benar-benar pupus, ia tidak akan melepaskannya
begitu saja. "Lao Bo senang berteman, kalau Ketua bisa berteman dengannya, semua
akan gembira menyambutnya."
Wan Peng Wang tidak menjawab. Tiba-tiba ia berdiri dan berkata, "Ikut aku!"
Lu Xiang Chuan tidak tahu akan dibawa ke mana, pun tidak bisa menebak
maksud Wan Peng Wang membawanya. Seketika rasa takut menyelimuti
dirinya. Tapi belakangan ia berpikir, jika Wan Peng Wang ingin membunuhnya,
saat ini pun dirinya sudah menjadi mayat.
Maka Lu Xiang Chuan mengikuti Wan Peng Wang keluar dari ruangan. Ia baru
memperhatikan kemegahan dan kemewahan kediaman Wan Peng Wang. Dan
ia pun mulai menyadari, sekelilingnya tidak terlihat penjagaan.
Sedemikian sepi dan lengangnya seolah menunjukan pengawalan yang
lemah. Tapi Lu Xiang Chuan tidak berfikir seperti itu. Ia mengerti, jika rumah ini
terlihat banyak penjaga justeru akan memperlihatkan sosok Wan Peng Wang
yang sebenarnya. Orang seperti Wan Peng Wang tidak begitu saja mau memamerkan
kekuatannya. Begitu juga Lao Bo. "Lebih baik musuh tidak mengetahui dan tidak bisa memperhitungkan
kekuatanmu karena, bila tidak, sebaiknya kau tidak memiliki musuh," begitu
prinsip Lao Bo. Prinsip itu sepertinya juga dianut Wan Peng Wang. Hanya "orang kaya baru"
saja yang akan memamerkan seluruh harta di tubuhnya!
* Beranda tampak gelap dan sunyi.
Di ujung beranda terdapat sebuah pintu yang tidak terkunci. Di sana terlihat
sebuah ruangan yang sepertinya kosong.
Bila pintu dibuka kau akan menyadari bahwa tebakanmu keliru.
Ruangan itu penuh barang kuno dan antik. Di istana Kota Raja pun belum
tentu ada barang antik sebanyak dan selengkap ini. Lu Xiang Chuan tidak tahu
harus mulai melihat dari mana.
Wan Peng Wang membawanya berkeliling, baru berkata, "Silahkan ambil dua
macam barang, hitung-hitung membalas pemberian Lao Bo."
Lu Xiang Chuan tidak menolak. Terkadang ada permintaan yang ditolak pun
tidak ada gunanya. Maka, ia benar-benar memilih dua macam barang.
Yang ia pilih adalah lempengan giok dan sebuah pisau dari Persia. Nilai kedua
barang ini hampir sama dengan hadiah yang diberikan Lu Xiang Chuan pada
Wan Peng Wang. Ini artinya Lu Xiang Chuan bisa menilai barang bagus dan juga menunjukkan
bahwa dirinya tidak ingin mengambil keuntungan dengan mengambil barang
yang lebih mahal. Benar saja, mata Wan Peng Wang mengekpresikan pujian. "Kapan pun kau
sudah tidak bekerja pada Sun Yu Bo atau bertengkar dengannya, datanglah
padaku dan aku pasti akan menerimamu."
"Terima kasih," jawab Lu Xiang Chuan.
Diperhatikan seorang seperti Wan Peng Wang, sedikit banyak Lu Xiang Chuan
merasa bangga. Namun hatinya juga semakin dingin. Karena ia tahu makna
ucapan itu: Wan Peng Wang tidak memberinya kesempatan lagi.
* Mereka kembali melalui jalan yang lain. Begitu keluar dari pekarangan,
terdengar ringkik kuda. Wan Peng Wang menghentikan langkahnya. "Mau melihat kuda-kudaku?"
tawarnya. Untuk pertama kalinya Lu Xiang Chuan melihat entah rasa senang atau
bangga memancar dari diri Wan Peng Wang. Ia merasa undangan ini tidak
ada maksud lain seperti seorang tuan rumah memanggil putra putrinya untuk
menemui tetamu agar sang tamu memuji anaknya.
Sementara memuji orang pun merupakan keahlian Lu Xiang Chuan. Karena
itu, tidak ada salahnya mengikuti tawaran Wan Peng Wang.
Dengan memuji, kau bisa membuat seseorang senang dan kemudian dapat
mengambil keuntungan. Memang, tidak ada salahnya untuk memberi sebuah
pujian. Hanya saja saat ini Lu Xiang Chuan belum mengetahui keuntungan
apa yang akan ia peroleh.
Istal kuda itu terlihat begitu panjang dan bersih. Hampir semuanya kuda pilihan
terbaik. Lu Xiang Chuan melihat sekor kuda memiliki kandang yang paling besar.
Bulunya mengkilat dan tampak licin. Walaupun hanya seekor kuda, tapi
perbawanya sangat angkuh dan anggun, seakan tidak ingin bersahabat
dengan manusia. Total harga seluruh kuda yang telah dilihat sebelumnya tidak
akan bisa membandingi harga seekor kuda ini.
Lu Xiang Chuan langsung memuji. "Kuda ini sangat istimewa dan sempurna,
apakah keturunan Han Xue?"
Wan Peng Wang tertawa polos dan sangat bangga. "Kau sangat mengetahui
barang berkualitas."
Untuk pertama kalinya Lu Xiang Chuan melihat Wan Peng Wang seperti itu.
Walau Wan Peng Wang berdiri di tengah rumah yang penuh dengan
kekayaannya, ia tidak pernah berekspresi seperti itu.
Tiba-tiba melintas di hati Lu Xiang Chuan sebuah harapan. Terpikir olehnya
sebuah cara yang mungkin bisa membuat Wan Peng Wang tunduk.
Ia tidak tahu seberapa efektifkah caranya itu.
Tapi, jika tidak dicoba, bagaimana ia bisa tahu"
Karena itu, tidak ada salahnya jika mencoba.
10. Kibaran Bendera Perang
Tengah malam. Angin menderu bertiup dari barat. Derunya seperti setan mengayun cambuk,
melecut hati mereka yang ingin pulang. Tapi Wu Lao Dao tidak bisa pulang, ia
harus mengikuti Lu Xiang Chuan pergi ke sana.
Malam hening. Sepi. Mati.
Wu Lao Dao tidak tahu akan dibawa kemana. Lu Xiang Chuan meski muda
tapi sangat sopan, membuat Wu Lao Dao enggan bertanya.
Sejak awal ia melihat pemuda ini berbeda, persis seperti Lao Bo semasa
muda, begitu bercahaya, namun Lu Xiang Chuan lebih sulit ditebak hati dan
kemauannya. "Masa depan pemuda ini pasti berbeda dengan Lao Bo," pikir Wu Lau Dao,
"Akankah ia lebih bersinar?"
Entah sejak kapan angin berhenti. Namun papan nama rumah makan itu
masih terayun sisa terpaan angin. Di keremangan malam, samar-samar
terbaca: Ba Xian Lao. Itulah rumah makan terbesar di kota ini.
Seluruh jendela rumah makan besar itu tertutup rapat, terlihat gelap,
mungkinkah para pelayan sudah terlelap"
Lu Xiang Chuan mendorong pintu. Tidak terkunci.
Wu Lao Dao mengikuti melangkah ke dalam. Di lantai atas terlihat lampu
menyala benderang. Lantas kenapa dari luat terlihat begitu gelap"
Wu Lao Dao segera menyadari, tiap jendela dipasangi gorden tebal dan hitam,
membuat setitik pun cahaya tidak bisa menerobos keluar.
Ternyata telah banyak orang berkumpul di sana.
Menilik cara berpakain, mereka pasti datang dari berbagai kalangan. Walau
latarbelakang mereka tampak berbeda, tapi ada satu persamaan. Mereka
terlihat sangat tenang, tubuh sehat terawat, mata mencorong, serta memiliki
sepasang tangan yang cekatan dan bertenaga.
Mereka bukan orang sembarangan. Kelihatannya pun mereka tidak saling
kenal, tapi begitu melihat Lu Xiang Chuan, seketika membungkuk memberi
hormat. Sepertinya Lu Xiang Chuan telah mengumpulkan begitu banyak orang. Kini
mereka semua datang. Wu Lao Dao sudah tinggal lebih dari dua puluh tahun di kota ini, tapi hanya
mengenali sebagian dari mereka, di antaranya adalah bos rumah makan itu.
Lelaki inilah yang pertama menyambut Lu Xiang Chuan.
Wu Lao Da sudah mengenal si Bos selama dua puluh tahun, tapi tidak pernah
mengetahui hubungannya dengan Lao Bo. Sekarang jelas, lelaki itu anak buah
Lao Bo. Jangan-jangan, rumah makan ini pun salah satu bisnis Lao Bo"
Saat itu juga Wu Lao Dao menyadari, kekuasaan Lao Bo ternyata lebih
menakutkan daripada yang ia bayangkan.
Lu Xiang Chuan sangat hormat dan bersikap ramah pada si Bos, layaknya
seorang raja yang menghadapi perdana menteri yang berprestasi.
Si Bos bernama Yu Bai Le, membungkuk badan dan berkata sopan, "Kecuali
beberapa orang yang berada di luar kota, semua sudah tiba. Silahkan
memberi perintah." Lu Xiang Chuan tersenyum dan mengangguk. "Saudara-saudara, silahkan
duduk. Lao Bo mengirim salam untuk kalian."
Semua orang membungkuk dan berkata, "Hamba pun selalu mendoakan dan
mengingat Lao Bo. Apa Lao Bo sehat-sehat saja?"
Lu Xiang Chuan tertawa. "Yang Mulia seperti benda terbuat dari besi. Kalian
teman lama beliau, pasti lebih tahu daripadaku: bila Dewa Penyakit bertemu
dengannya, pasti lari ketakutan."
Semua tertawa.
Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lu Xiang Chuan melanjutkan, "Hari ini pertamakali aku bertemu kalian,
seharusnya kita bisa minum-minum. Tapi, aku khawatir Bos Yu sakit hati kita
habiskan araknya." Semua kembali tertawa. Setelah tawa mereda, sikap Lu Xiang Chuan berubah serius. "Kali ini kudatang
ke sini karena tugasku sangat berat. Kalau masalah ini tidak bisa dibereskan,
aku malu bertemu Lao Bo kembali."
Tiba-tiba ada yang bertanya, "Tuan Lu punya kesulitan apa" Kekurangan uang
atau kekurangan orang, silahkan utarakan."
"Terima kasih," jawab Lu Xiang Chuan. Ia menunggu perhatian mereka
terfokus padanya, baru melanjutkan, "Yang kuinginkan hanya satu," ia
menetap wajah mereka satu persatu, "yaitu, kuda Wan Peng Wang!"
* Hari semakin malam. Wu Lao Dao dan Lu Xiang Chuan berangkat pulang.
Sekarang Wu Lao Dao lebih hormat lagi pada pemuda ini. Teknik berbicaranya
lebih bagus daripada tetua persilatan mana pun serta memiliki perbawa yang
membuat orang menghormatinya.
Pengalaman Wu Lao Dao selama bertahun-tahun menunjukkan, mendapatkan
hormat seperti itu sangat sulit.
Yang membuat Wu Lao Dao terharu, walau kedudukan Lu Xiang Chuan
setinggi itu, namun ia tetap ingat bahwa Lao Bo adalah atasannya.
Tiba-tiba Lu Xiang Chuan bertanya, "Apa ada yang ingin kau tanyakan?"
Wu Lao Dao sedikit ragu, di hadapan pemuda ini ia memilih untuk berhati-hati
bicara, tapi akhirnya bertanya juga, "Apa kau benar-benar menginginkan kuda
itu?" "Seumur hidup Lao Bo tidak pernah bohong," kata Lu Xiang Chuan, "Aku
sangat setia pada Lao Bo. Hal lain aku tidak bisa menandinginya. Walau
begitu, untuk pekerjaan ini paling sedikit aku bisa melakukannya."
Wu Lao Dao dalam kegelapan mengacungkan jempol. Setelah lama baru
bertanya lagi, "Penjagaan rumah Wan Peng Wang sangat ketat, harus mencuri
seekor kuda yang bisa meringkik dan berlari jelas bukan hal yang mudah.
Walau penjaga kuda itu berhutang budi pada Lao Bo, tetap sulit."
"Memang sulit, malah boleh dikata: mustahil!" jawab Lu Xiang Chuan sambil
tertawa, "Tapi aku tidak bilang akan membawa kuda itu hidup-hidup, bukan?"
Wu Lao Dao terperangah, wajahnya seketika berubah. "Maksudmu, kuda itu
akan dikeluarkan entah hidup atau mati?"
"Memang, begitulah maksudku."
"Wan Peng Wang menganggap kuda itu bagian terpenting dari seluruh
kekayaannya. Bila kita membunuh kuda itu, akibatnya sungguh fatal."
"Bila tidak dibunuh akibatnya pun tetap fatal," tegas Lu Xiang Chuan.
"Kenapa?" tanya Wu Lao Dao.
"Kau tahu, Lao Bo tidak suka penolakan. Lao Bo wanti-wanti sudah berpesan
padaku, asal Wa Peng Wang mau melepaskan kekasih anakmu, ia tidak
perduli hal lain!" Lu Xiang Chuan menepuk-nepuk pundak Wu Lao Dao,
"Teman Lao Bo sangat banyak, namun teman Lao Bo sedari kecil bisa dihitung
dengan jari. Ia bersedia mengorbankan segalanya karena tidak ingin
membuatmu kecewa dan bersedih."
Wu Lao Dao merasa dadanya panas, tenggorokkan pun serasa tersekat.
Perlahan ia berkata, "Apakah demi diriku Lao Bo akan melawan Wan Peng
Wang?" "Kami sudah mempersiapkan semuanya," jelas Lu Xiang Chuan.
Kata-kata Lu Xiang Chuan sangat ringan, seolah bukan masalah berat. Tapi
Wu Lao Dao mengetahui kekuatan Wan Peng Wang. Karenanya, ia juga
memahami pengorbanan Lao Bo. Tak tahan air mata Wu Lao Dao mengalir.
"Aku pun tidak mengharapkan pertarungan," kata Lu Xiang Chuan, "karena itu
kutempuh cara ini." Wu Lao Dao menghapus air mata, ingin bicara, tapi kata-katanya tidak keluar.
Lu Xiang Chuan melanjutkan, "aku hanya berharap, tindakan ini bisa
mengejutkan Wan Peng Wang dan dia akan melepaskan gadis itu."
Wu Lao Dao hanya mengangguk. Hatinya diliputi rasa berterima kasih.
"Aku sengaja memilih kuda itu," jelas Lu Xiang Chuan, "Jika tidak terpaksa,
aku tidak ingin melukai orang." Sesaat ia terdiam, perlahan melanjutkan. ?"
Kutahu, apabila barang kesayangan kita rusak, selain marah dan sedih, kita
juga akan takut dan lemah."
"Namun Wan Peng Wang bukan orang yang lemah dan mudah takut," lirih
suara Wu Lao Dao. Lu Xiang Chuan tertawa. "Sudah kuperhitungkan segala akibat yang timbul
dari tindakan ini. Kita sudah siap menghadapinya."
Wu Lao Dao menunduk. Hatinya terasa berat. Sunguh ia menyesal
mengadukan masalah ini pada Lao Bo. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Cepat
atau lambat, pertarungan akan terjadi.
Banjir darah tidak bisa dihindari.
* Pagi. Setiap Wan Peng Wang bangun kebiasaannya selalu marah-marah. Semua
gadis yang tidur dengannya pasti mencari kesempatan kabur sepagi mungkin.
Setelah sarapan, baru emosi Wan Peng Wang mereda.
Makanan Wan Peng Wang berbeda dengan kebanyakan orang. Sarapannya
adalah sepanci kuah dimasak dengan ayam betina muda dan jamur.
Kemudian dicampur daging ham. Masih harus ditambah sepuluh butir telur
ayam dan dua puluh bakpau.
Sarapan seperti itu pasti mengejutkan banyak orang.
Namun, pagi ini sarapannya tidak sama. Begitu Wan Peng Wang membuka
tutup panci, wajahnya menghijau.
Di dalam panci tidak ada jamur, daging ham, juga tidak ada kepala ayam.
Yang ada hanya kepala kuda yang masih berdarah.
Wa Peng Wang mengenali kepala kuda itu. Lambungnya seketika keram dan
menciut seperti dipukuli puluhan orang.
Rasa keram seketika berganti kemarahan membara. Sepertinya ia ingin
meloncat dari tempat tidur dan mencekik mati siapa pun orang pertama yang
ia temui, lalu mencekik mati semua pengurus kudanya, dan mencekik mati
hingga sepuluh kali pelayan yang sudah mengantar panci itu.
Nyatanya semua tidak ia lakukan. Wan Peng Wang mampu menahan
kemarahan. Padahal, biasanya, hal sepele saja bisa mendatangkan
kemurkaannya. Kali ini ia tahu masalahnya tidak sederhana. Untuk masalah sebesar ini, ia
harus berpikir tenang dan jernih. Karena jika ia sampai kehilangan kendali,
justeru akan menghancurkan dirinya.
Ia paham siapa yang melakukan ini.
Lao Bo sudah melakukan gebrakan awal!
Sejak penolakannya ia sudah memperhitungkan, Lao Bo pasti akan melakukan
serangan. Tapi, ia tidak menyangka Lao Bo melakukannya secepat ini.
Sungguh, ia tidak menyangka Lu Xiang Chuan berani melakukan hal ini.
* "Bila ingin melakukan serangan, kau harus mengunakan kesempatan pertama.
Bila tidak, kau harus menanti kesempatan terakhir, yaitu saat musuh sudah
lengah. Menunggu dan menanti kesempatan terakhir harus memiliki kesabaran
tinggi," begitu ajaran Lao Bo.
Lu Xiang Chuan tidak pernah melupakan ajaran itu. Karenanya, ia sudah
menggunakan kesempatan pertama saat lawan belum siap.
* Bila Wan Peng Wang sedang sarapan, tidak ada yang berani dekat-dekat
dengannya. Wan peng Wang tidak menyukai orang melihatnya sedang makan dengan
rakus. Maka, di kamar itu tidak ada orang, hanya Wan Peng Wang sendiri.
Karenanya, ia dapat berpikir tenang. Sekarang ia sadar, Lao Bo benar-benar
lawan yang sangat menakutkan, sepuluh kali lebih menakutkan daripada yang
ia sangka semula. "Satu anak buah Lao Bo bernama Lu Xiang Chuan sudah begini, masih
adakah yang lain?" pikir Wan Peng Wang sambil menutup panci perlahan.
Saat keluar kamar wajahnya tanpa ekspresi. Ia hanya berpesan satu kalimat,
"Segera antarkan Dai Dai ke rumah Wu Lao Dao!"
* Sebuah penginapan. Meng Xin Hun berbaring di tempat tidur. Ia sudah berbaring selama tujuh
delapan jam. Ia tidak makan, tidak bergerak, juga tidak tidur.
Sekarang batas waktu yang diberikan Gao Lao Da tinggal sembilan puluh hari
lagi. 11. Xiao Tie Sembilan puluh hari lagi.
Tapi keadaannya masih sama seperti dua puluh sembilan hari yang lalu,
informasi tentang Lao Bo masih sangat terbatas.
Entah bagaimana kelihaian Lao Bo, seperti apa pula ilmu silatnya, Meng Xin
Hun tidak tahu. Pada serangan di hari ulang tahun itu, jemari Lao Bo sama sekali tidak
bergerak. Ketenangan yang sungguh menakutkan.
Berapa banyakkah anak buah Lao Bo" Seberapa tangguhkah mereka"
Meng Xin Hun tidak tahu. Ia hanya melihat seorang pemuda berdiri di belakang Lao Bo, sangat
terpelajar, dan di balik bajunya tersimpan entah berapa banyak senjata
rahasia. Juga ada Sun Jian, putra Lao Bo, pemuda dengan semangat tempur seperti
api membara mengerikan. Ia mendapat kabar, keduanya sudah meninggalkan kota. Apakah di sisi Lao
Bo masih ada pelindung lain setangguh mereka"
Siapa pula si Jubah Kelabu" Di mana ia sekarang"
Meng Xin Hun seorang pembunuh berdarah dingin, berhati dingin, bertangan
dingin. Tapi ia menilai si Jubah Kelabu terlebih kejam dan dingin lagi.
Ketika melihat cara membunuh sekejam dan secepat itu, timbul rasa takut di
hati Meng Xin Hun. Meng Xin Hun sudah pernah coba mencari tahu tentang si Jubah Kelabu.
Hasilnya nihil, ia tidak mendapat apa-apa.
Kebiasaan dan kehidupan sehari-hari Lao Bo pun ia tidak tahu, juga tidak tahu
di mana tempat tinggal Lao Bo.
Taman chrysan itu begitu luas, di dalamnya terdapat tujuh belas ruangan. Di
ruangan mana Lao Bo tinggal"
Pun taman bunga Lao Bo tidak hanya chrysan itu saja, masih terbentang
taman-taman lain: taman bunga mei, mawar, mudan, belum lagi kebun bambu.
Setiap taman saling berhubungan. Meng Xin Hun tidak punya informasi
seberapa luas total keseluruhan taman bunga Lao Bo.
Kabarnya, jika seseorang berjalan dengan cepat mengelilingi seluruh taman,
satu hari pun tidak cukup.
Sejak hari ulang tahun itu, Meng Xin Hun tidak pernah melihat Lao Bo lagi.
Sepertinya, Lao Bo tidak pernah menginjakkan kaki di luar daerah
kekuasaannya. Bagaimana penjagaan di taman itu" Berapa banyak penjaga dan jebakannya"
Meng Xin Hun tidak tahu. Untuk order membunuh kali ini, begitu banyak hal menyangkut target sasaran
yang belum ia ketahui. Ia tidak mau gegabah. * Waktu makan malam. Ia ingin makan, sederhana saja dan tidak berlebihan, karena ia beranggapan
terlalu banyak makan bisa membuat pikiran dan pergerakan lamban.
Mungkin karena pengalaman masa kecilnya yang prihatin, berhari-hari tidak
makan, dan kini profesinya selaku pembunuh, ia merasa tubuhnya jadi seperti
hewan. Terkadang ia merasa seperti kelelawar; pagi tidur, malam keluar. Atau seperti
ular; makan hanya sekali, kemudian berhari-hari baru makan lagi.
Tapi sekarang ia lapar. Meng Xin Hun memilih rumah makan yang tidak teralu besar, tidak terlalu
kecil, tidak begitu sepi, juga tidak begitu ramai.
Ia selalu memilih tempat yang tidak mencolok, tidak memancing perhatian.
Beberapa orang keluar masuk dari rumah makan. Ada lelaki, ada perempuan,
ada yang muda, juga ada yang berpenampilan kaya raya. Meng Xin Hun
berharap ia bisa seperti mereka.
Tidak seperti Lu Xiang Chuan, Meng Xin Hun tidak iri. Juga tidak seperti Lu
Xiang Chuan, masa lalu yang kelam pun tidak membuatnya sakit hati.
Terdengar tawa sangat keras. "Hari ini siapa yang minumnya paling banyak?"
orang itu menjawab sendiri, "Yang paling banyak adalah Xiou Tie!" Jarinya
menunjuk seorang gadis berbaju merah.
Tiba-tiba seorang pemuda memasuki rumah makan, membawa satu guci arak
dan memberikanya pada Xiao Tie.
Xiao Tie tidak bicara, juga tidak menolak. Ia hanya tersenyum, langsung
menghabiskan seguci arak seperti setan arak.
Gadis setan arak tidak banyak, Meng Xin Hun juga setan arak, maka ia
memperhatikan Xiao Tie lebih teliti.
Semakin diperhatikan, terlihat semakin istimewa.
Ia sangat cantik. Biasanya gadis cantik yang tahu dirinya cantik selalu
menebar pesona pada sekelilingnya. Tapi gadis ini tidak seperti gadis lain,
seakan ia tidak perduli dirinya cantik atau tidak.
Meski di tengah keramaian, ia seakan sedang sendirian, seolah berada di
tengah lapangan yang dingin dan sepi.
Malam semakin larut. Kereta kuda datang silih berganti. Orang-orang datang dan pergi. Tertinggal
hanya Xiao Tie dan pemuda berbaju hitam.
Pemuda itu sangat tampan, badannya tinggi, sarung pedangnya berkilauan;
sangat pantas menjadi pendamping gadis secantik Xiao Tie.
Kini tersisa satu kereta kuda di pinggir jalan.
"Mari naik kereta," ajak si pemuda.
Xiao Tie menggeleng kepala.
"Masih ingin minum?" tanya si pemuda.
Xiao Tie menggeleng kepala.
Pemuda itu tertawa, "Kau mau di sini semalaman?"
Xiao Tie kembali menggeleng kepala. "Aku ingin jalan-jalan," jawabnya.
"Baiklan, ayo kutemani."
Mereka terlihat akrab, juga tidak khawatir orang memperhatikan mereka. Si
pemuda memegang tangannya, dan Xiao Tie membiarkan.
"Aku ingin jalan-jalan sendiri, boleh?" pinta Xiao Tie.
Pemuda itu terpaku, perlahan melepaskan genggamannya. "Besok boleh
k u t e m a n i m u lagi?" "Kalau ada waktu, kenapa tidak?" balik tanya Xiao Tie.
Setelah itu Xiao Tie tidak bicara lagi, terus berjalan. Biar pun jalannya lamban,
akhirnya hilang di kegelapan.
Biasanya anak gadis takut kegelapan, tapi Xiao Tie tidak.
Meng Xin Hun tidak mengenal Xiao Tie, apalagi pemuda baju hitam itu. Ia
merasa keduanya sangat serasi.
Begitu melihat si gadis pergi sendiri, hati Meng Xin Hun entah mengapa
merasa senang sekali. Pemuda itu masih terlongong memandangi bayangan Xiao Tie yang
menghilang di kegelapan. Sesaat kemudian baru berkata kepada pemilik
rumah makan, "Beri aku seguci arak yang paling besar!"
Dan Meng Xin Hun memutuskan pergi dari situ.
Saat keluar dari pintu, ia masih mendengar pemuda itu meracau, "Xiao Tie"
Xiao Tie" Apa kau mencintaiku" Sungguh kau membuatku penasaran?"
Di depan kegelapan semata.
Inilah jalan yang tadi dilalui Xiao Tie. Tidak sengaja, Meng Xin Hun juga
berjalan ke arah yang sama.
Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Walau Meng Xin Hun tidak mengakui, sesungguhnya ia berharap bisa bertemu
gadis itu lagi. Tapi gadis itu seperti setan gentayangan hilang di kegelapan malam.
Dan Meng Xin Hun memutuskan pulang ke penginapan.
* Malam semakin larut. Pekarangan itu sunyi lagi sepi.
Kamar yang ia sewa pun tidak ada cahaya lampu.
Meng Xin Hun tidak pernah menyalakan lampu karena di tengah kegelapan ia
merasa lebih aman. Waktu ia pergi, pintu dan jendela sudah ditutup. Sebelum melangkah masuk,
tiba-tiba ia berhenti. Seperti seekor anjing pemburu yang terlatih, ia mencium bahaya mengancam.
Tubuh Meng Xin Hun meloncat tinggi dan berhenti di pekarangan belakang.
Jendela belakang masih tertutup. Ia mengetuk jendela dan mendadak
melompat lagi ke halaman depan. Gerakannya ringan dan cepat seperti
kelelawar. Saat itu ia melihat sesosok bayangan melesat keluar dari jendela depan.
Gerakan orang itu sangat cepat. Meng Xin Hun segera mengikuti kemana pun
bayangan pergi. Akhirnya Meng Xin Hun berkata, "Untung kau adalah Xiao He, kalau tidak,
sudah kubunuh kau!" Bayangan itu terdiam. Setelah ragu sejenak, ia memutuskan kembali
berkelebat ke kamar Meng Xin Hun.
Setelah lampu kamar dinyalakan, Meng Xin Hun langsung duduk di depan
Xiao He. Ia menatap Xiao He, tapi Xiao He tidak menatapnya.
Ia sudah mengenal Xiao He lebih dari dua puluh tahun, tapi tetap tidak bisa
memahaminya. * Meng Xin Hun, Shi Qun, Ye Xiang, dan Xiao He semua anak yatim piatu.
Mereka bisa bertahan hidup karena Gao Lao Da.
Di antara mereka berempat, umur Xiao He paling kecil. Xiao He yang pertama
bertemu Gao Lao Da dan selalu menganggap Gao Lao Da sebagai kakak
sendiri. Waktu Gao Lao Da mengangkat tiga bocah lain sebagai anaknya, ia iri dan
marah, dan karenanya sering mengadu domba mereka.
Ia mengangap ketiga bocah lainnya merebut makanan Gao Lao Da, juga
merebut kasih sayang Gao Lao Da darinya. Bila tidak ada ketiga bocah itu, ia
merasa hidupnya akan lebih nyaman dan makan lebih kenyang.
Sejak awal ia sudah menggunakan berbagai cara agar Gao Lao Da mengusir
mereka. Saat itu usianya baru enam tahun, ia sudah bisa berbuat licik, jalan pikirannya
sudah jahat. Pernah suatu kali Gao Lao Da menyuruh Xiao He memberi tahu tiga
"saudara"-nya untuk berkumpul di sebelah barat kota. Namun Xioa He malah
bilang berkumpul di sebelah timur.
Tiga bocah itu menunggu di sebelah timur kota selama dua hari dan hampir
mati kelaparan. Kalau Gao Lao Da tidak terus menerus mencari, mereka
mungkin sudah mati. Masih ada lagi. Suatu hari Xiao He memberi tahu patroli polisi bahwa mereka
bertiga pencuri dan sengaja meletakkan barang yang dicuri ke dalam pakaian
mereka. Jika bukan Gao Lao Da yang menyogok polisi, mereka bertiga sudah mati di
lempar ke sungai. Saat itu penjara penuh, sehingga bukannya dimasukkan kepenjara, banyak
penjahat yang dilempar mati polisi ke sungai.
Masih banyak lagi akal bulus Xiao He guna mencelakakan tiga "saudara"-nya.
Walau Gao Lao Da memarahi, tapi tidak sampai mengusir Xiao He. Gao Lao
Da menilai, usia Xiao He terlalu kecil, sehingga kesalahannya masih bisa
dimaafkan. Dalam melakukan segala sesuatu, Gao Lao Da memang hanya menuruti hati
kecil. Ia tidak tahu batasan benar dan salah karena tidak seorang pun
memberitahunya. Pokoknya, asalkan bisa bertahan hidup, perbuatan apa pun
boleh dilakukan. Sudah dua puluh tahun berlalu, Xiao He terus melakukan hal yang merugikan
"saudara"-nya. Cara-caranya pun semakin lihai dan sulit dilacak.
Apalagi terhadap Meng Xin Hun, ia sangat iri.
Saat berlatih kungfu bersama, Meng Xin Hun selalu lebih unggul darinya.
Kini, posisi Meng Xin Hun di mata Gao Lao Da semakin penting.
Itu semua membuat Xiao He semakin membencinya.
* Meng Xin Hun memandang wajah Xiao He.
Namun saat ini Xiao He sedang marah. Wajahnya menjadi hijau, sepasang
tangannya tampak gemetar, membuat Meng Xin Hun merasa tidak enak.
Biar bagaimana Xiao He teman sedari kecil, usianya dua tahun lebih muda
darinya, ia menganggap Xiao He adik sendiri.
Meng Xin Hun tertawa terpaksa, "Tidak kusangka kau yang datang,
seharusnya memberi tahu lebih dulu."
"Memangnya, siapa yang kau sangka?" tanya Xiao He.
"Orang semacam kita selayaknya ekstra hati-hati!" jawab Meng Xin Hun.
Xiao He tidak senang. "Apa kau pikir sembarang orang bisa datang ke sini"
Apa selain Gao Lao Da masih ada yang tahu kau berada di sini?"
Tawa Meng Xin Hun seketika lenyap. "Apa Gao Lao Da yang menyuruhmu ke
sini?" Xiao He diam. Diam berarti mengakui. Wajah Meng Xin Hun mendadak tanpa ekspresi. Namun dari matanya terlihat
bayangan gelap. Sudut mata kanannya mulai berkedut.
Pada saat melaksanakan tugas, Gao Lao Da tidak pernah mengikutinya,
bertanya pun tidak. Ga Lao Da sangat mempercayainya.
Namun sekali ini sepertinya berbeda.
Meng Xin Hun teringat, Gao Lao Da pernah menyuruhnya menguntit Ye Xiang
karena meragukannya. Itukah yang terjadi sekarang"
Xiao He diam-diam memperhatikan Meng Xin Hun, matanya tiba-tiba menyorot
sinar seakan sudah menebak apa yang ada di pikiran Meng Xin Hun.
Xiao He tertawa. "Bukannya Gao Lao Da tidak mempercayaimu, ia hanya
meyuruhku menyampaikan pesan."
Tawa Xiao He terdengar sangat rahasia sekaligus menyebalkan. Siapa pun
yang mendengar tahu bahwa tawanya mengandung niat jahat. Ia memang
sengaja membuat Meng Xin Hun merasa seperti itu.
Meng Xin Hun lama terdiam, baru bertanya, "Apa pesan Gao Lao Da padaku?"
"Dua anak buah Sun Yu Bo yang paling lihai sedang keluar melaksanakan
tugas, apa kau tahu?"
"Mereka adalah Sun Jian dan Lu Xiang Cuang?" balas tanya Meng Xin Hun.
Xiao He tertawa. "Ternyata kau sudah tahu. Gao Lao Da khawatir kau belum
tahu." "Khawatir belum tahu" artinya Gao Lao Da sudah tidak mempercayaimu!
Meng Xin Hun mengerti arti kata-kata itu. Xiao He pun tahu bahwa Meng Xin
Hun sudah mengerti. "Dua anak buah terpercaya sudah pergi, Sun Yu Bo ibarat kehilangan dua
tangan, Kalau orang sudah kehilangan tangan kiri dan kanan, tentu tidak
menakutkan lagi!" dingin pernyataan Xio He.
Meng Xin Hun hanya diam. "Sekarang sudah waktumu bergerak, kenapa masih belum beraksi?" tanya
Xiao He dingin. 12. Xiao He Kemarahan Meng Xin Hun seketika timbul. "Yang melakukan tugas ini aku
atau kau?" bentaknya.
"Tentu saja kau."
"Bila aku yang melakukan, tentu akan kugunakan caraku sendiri!"
"Aku hanya bertanya, tidak ada maksud apa-apa," ejek Xiao He sambil
melanjutkan, "Gao Lao Da selalu bilang, kepalamu paling dingin. Tidak
kusangka, ternyata kau cepat marah."
Meng Xin Hun seketika merasa dipecut. Sebetulnya ia tidak boleh marah.
Marah adalah sejenis emosi. Seorang pembunuh profesional tidak boleh
memiliki emosi. Apa pun bentuknya, emosi bagi profesi seperti Meng Xin Hun
adalah racun. Meng Xin Hun merasa ujung-ujung jarinya mendingin.
Xiao He menatapnya. "Kau kenapa, tidak biasanya begini?"
Meng Xin Hun membuang pandang. Seluruh otot-ototnya seperti hilang. Ia
sendiri pun tidak tahu megapa sekarang jadi begini. Lama baru ia berkata,
"Aku lelah?" Mendengar perkataan ini, Xiao He malah senang. "Aku boleh tanya?"
"Apa?" Mata Xiao He berputar jahil. "Lebih baik tidak jadi kutanya."
Hampir naik kembali darah Meng Xin Hun. Sedapatnya ia menekan emosi.
"Bicaralah!" Puas mempermainkan Meng Xin Hun, Xiao He berkata simpati, "Dua tahun
sejak kau mengganti posisi Ye Xiang, sudah waktunya kau beristirahat."
Nadanya penuh perhatian, "Kalau kau tidak mau melakukan tugas ini, biar aku
yang menggantikan." Lirih suara Meng Xin Hun. "Kau tahu Sun Yu Bo macam apa?"
"Kau kira aku tidak bisa membunuhnya?"
"Kemungkinan aku juga tidak bisa membunuhnya!"
"Kalau kau tidak bisa membunuhnya, kau pikir aku juga tidak bisa?" Wajah
Xiao He menghijau marah. "Kungfumu memang lebih tinggi dariku. Untuk
membunuh tidak hanya memerlukan kungfu, tapi juga semangat dan
kemauan!" "Kalau kau ingin menggantikanku, pergilah." Meng Xin Hun merasa begitu
lelah. Lelah membuatnya malas bicara, juga membuatnya malas melakukan apa
pun. Tapi masih ada satu kalimat yang ia ucapkan. "Sebelum melakukannya, kau
harus tahu, tugas ini sangat berbahaya."
Xiao He langsung menjawab, "Aku tidak takut karena aku sudah
memperhitungkannya."
Bahaya tidak akan membuat Xiao He mundur. Kesempatan ini sudah lama ia
tunggu. Asal bisa melaksanakan tugas ini dengan baik, maka Xiao He bisa
mengganti posisi Meng Xin Hun. Itulah ambisinya.
Namun Meng Xin Hun tidak perduli. Walau kedudukannya terancam direbut
Xiao He, ia tidak perduli.
Ia hanya ingin istirahat. Lain-lainnya ia tidak mau tahu. Ia hanya ingin tidur,
kalau bisa tidak usah bangun lagi.
Nyatanya sampai dini hari pun ia tidak bisa memejam mata.
* Ayam berkokok. Kabut mengambang di permukaan begitu tebal. Sedemikian tebalnya bahkan
telapak tangan sendiri pun sulit terlihat
Meng Xin Hun berjalan ke pinggir kota. Entah berjalan ke mana ia tidak
perduli. Berjalan sampai kapan pun ia tidak mau tahu. Pokoknya, ia
membiarkan kakinya melangkah semaunya.
Pikirannya hampa, sehampa hatinya.
Suara air mengalir. Sungai kecil. Ia menghampiri dan duduk di tepi kali.
Ia suka mendengar suara air mengalir. Walau air bisa saja mengering, tapi air
tidak pernah berhenti mengalir. Air sepertinya tidak mengenal lelah. Begitu
bersemangat, tidak pernah berubah.
Mungkin di semesta ini hanya manusia yang bisa merasa lelah, bosan, dan
berubah" Meng Xin Hun menghela nafas.
* Kabut mulai menipis. Ketika itulah Meng Xin Hun baru menyadari sesosok bayangan duduk di atas
batu di seberang sana. Kini sosok itu bangkit mendatanginya.
Seorang gadis berbaju merah. Wajahnya terlihat pucat, mungkin menahan
dingin" Matanya sangat benderang, seakan menembus kepekatan kabut.
Mata itu memandang Meng Xin Hun penuh simpati.
Ia seperti kasihan kepada kebodohan manusia dan juga bersimpati pada
manusia yang tidak mengerti arti kehidupan. Karena ia bukan manusia,
melainkan dewi. Dewi yang baru keluar dari sungai.
Tenggorokan Meng Xin Hun tercekat. Ia merasa darahnya bergolak, membuat
matanya berbinar terang. Meng Xin Hun mengenali gadis itu dan mengetahui bahwa ia bukan dewi.
Mungkin ia memang lebih cantik daripada dewi, lebih misterius daripada dewi.
Tapi ia bukan dewi. Ia manusia biasa bernama Xiao Tie.
Xiao Tie masih memandang Meng Xin Hun, perlahan bertanya, "Kau ingin
bunuh diri?" Pertama kali Meng Xin Hun mendengarnya bicara, suaranya lebih merdu
daripada air yang mengalir di musim semi.
Meng Xin Hun ingin bicara tapi tidak sanggup.
Xiao Tie bicara lagi, "Kalau kau ingin mati, aku tidak akan melarangmu. Aku
hanya ingin bertanya satu kalimat saja."
Meng Xin Hun mengangguk. Tiba-tiba pandangan Xiao Tie beralih ke tempat jauh, sangat jauh di sana, ke
tempat tertutup kabut. Ia bertanya, "Apa kau pernah mengalami kehidupan?"
Meng Xin Hun tidak menjawab karena ia tidak tahu bagaimana harus
menjawabnya. "Apa kau pernah menjalani kehidupan?" tanya Xiao Tie sekali lagi. "Apa
kehidupanmu termasuk normal?"
Meng Xin Hun membalik badan, ia takut air matanya menetes.
Saat membalik tubuh, suara Xiao Tie seperti menjauh. "Seseorang bila belum
pernah menjalani kehidupan tapi sudah memikirkan kematian, bukankah
sangat bodoh?" Meng Xin Hun ingin memukul gadis itu dan balik bertanya, "Apa kau sendiri
juga punya kehidupan?"
Nyatanya Meng Xin Hun tidak bertanya, juga tidak perlu bertanya karena gadis
itu masih begitu belia, begitu cantik, pasti ia punya kehidupan.
Tapi jika gadis itu punya kehidupan, kenapa memilih tempat yang sunyi ini"
Apakah ia ke sini untuk menikmati kesepian"
Setelah lama, Meng Xin Hun baru membalik tubuh, tapi gadis itu sudah pergi
entah ke mana. Datang seperti kabut, hilang pun seperti kabut.
Tidakkah kesepian terkadang juga bisa dinikmati"
Pertemuan begitu singkat.
Tapi entah mengapa di dalam hati Meng Xin Hun serasa ia sudah mengenal
gadis itu begitu lama. Sepertinya sebelum ia dilahirkan sudah mengenalnya.
Gadis itu seperti juga sudah lama menunggunya. Kehidupan Meng Xin Hun
pun seperti hanya untuknya.
Apakah ini pertemuan terakhir"
Meng Xin Hun tidak tahu jawabnya. Tidak ada yang tahu ia datang dari mana
dan akan pergi ke mana. Meng Xin Hun memandang ke kejauhan, tiba-tiba hatinya hampa.
Kabut semakin menipis. * Beberapa hari berlalu. Tidak ada kabar dari Xiao He.
Xiao He seperti lenyap ditelan bumi. Meng Xin Hun tidak punya kegiatan apa
pun. Satu-satunya kegiatan yang ia lakukan hanya berusaha melupakan Xiao Tie.
Namun entah mengapa hari ini ia teringat Xiao He.
Akhirnya Meng Xin Hun memutuskan untuk kembali ke Kuai Huo Yuan.
* Orang-orang di dalam Kuai Huo Yuan selalu berwajah gembira.
Gao Lao Da selalu tersenyum manis. Saat melihat Meng Xin Hun pulang,
tawanya semakin manis. Tapi sejak kejadian hari itu, Gao Lao Da belum pernah benar-benar menatap
Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Meng Xin Hun. Meng Xin Hun pun tidak berani menatap Gao Lao Da secara
langsung. Gao Lao Da selalu ingin melupakan kejadian hari itu, tapi ia tidak sanggup.
Meng Xin Hun hanya menunduk kepala.
"Kau sudah pulang?" tanya Gao Lao Da.
Meng Xin Hun sudah berada di sini, dengan sendirinya sudah pulang.
Tapi Meng Xin Hun justeru menggeleng kepala karena ia tahu yang ditanya
Gao Lao Da sebetulnya apakah pekerjaannya sudah selesai.
Jika ia sudah berani pulang seharusnya tugasnya sudah rampung.
Gao Lao Da mengerut dahi. "Mengapa tugasmu belum selesai?"
Meng Xin Hun lama terdiam, baru perlahan bertanya, "Di mana Xiao He?"
"Xiao He" Kenapa kau tanya dia" Dia tidak punya tugas, mana kutahu dia ada
di mana?" Hati Meng Xin Hun serasa tenggelam. "Aku pernah bertemu dengannya."
"Di mana?" tanya Gao Lao Da heran.
"Dia datang mencariku."
"Kenapa dia mencarimu?" Gao Lao Da terlihat marah.
Meng Xin Hun tidak menjawab.
"Apa kau tahu dia di mana?"
Meng Xin Hun tidak bisa menjawab.
Gao Lao Da semakin marah, ia sangat tahu sifat Xiao He, anak itu suka
menyombongkan diri dan cari perkara.
Meng Xin Hun membalik tubuh, beranjak keluar, karena sudah tidak ada lagi
yang ingin ia tanyakan. Sekarang ia bisa menduga kejadiannya: entah bagaimana Xiao He
mengetahui ke mana ia pergi dan sengaja mencarinya.
Maksud Xiao He hanya satu, yaitu menjatuhkan rasa percaya diri Meng Xin
Hun supaya bisa menggantikan posisinya.
Hal seperti ini sering dilakukan Xiao He. Hanya saja kali ini ia salah, dan
kesalahannya sangat fatal. Xiao He tidak tahu, Lao Bo adalah orang yang
sangat menakutkan. "Jangan pergi" cegah Gao Lao Da, "Aku ingin tahu, apa Xiao He
menggantikanmu mencari Lao Bo?"
Lama terdiam, Meng Xin Hun mengangguk kepala.
"Apa kau membiarkan dia pergi begitu saja?"
"Dia sudah pergi!"
Gao Lao Da marah berkata, "Kau tahu seperti apa Sun Yu Bo! Kau sendiri
paling banter hanya tujuh puluh persen berhasil. Kalau Xiao He yang pergi,
berarti mengantar nyawa. Kenapa kau tidak mencegahnya?"
Meng Xin Hun membalik tubuh. Ia juga marah, berkata, "Kenapa ia bisa tahu
aku ada di sana?" Mulut Gao Lao Da seketika tersumpal.
Tugas Meng Xin Hun adalah rahasia. Kecuali Meng Xin Hun dan Gao Lao Da,
tidak ada yang tahu. Tapi kenapa Xiao He bisa tahu"
Akhirnya Gao Lao Da menarik nafas. "Aku tidak menyalahkanmu, hanya
menghawatirkan Xiao He. Siapa pun dia aku tetap akan menghawatirkannya."
Meng Xin Hun menunduk kepala.
Di depan orang lain kepala Meng Xin Hun tidak pernah menunduk, tapi di
hadapan Gao Lao Da keadaannya tidak sama. Ia tidak akan pernah
melupakan budi Gao Lao Da.
"Mau ke mana?" tanya Gao Lao Da melihat Meng Xin Hun mulai beranjak.
"Ke tempat aku seharusnya berada."
"Kau sudah tidak bisa ke sana lagi!"
"Kenapa?" "Bila benar Xiao He sudah ke tempat Sun Yu Bo, hidup atau mati, Sun Yu Bo
akan lebih waspada. Kalau kau pergi, hanya mengantar nyawa."
Meng Xin Hun tertawa. "Setiap menjalankan tugas pun aku sudah siap
menghantarkan jiwa."
"Kali ini tidak sama!"
"Kali ini tetap sama! Karena saat menjalankan tugas, selamanya kulakukan
sebaik mungkin." "Kalau kau tetap memaksa," kata Gao Lao Da, " sebaiknya menunggu situasi
tenang lebih dulu." "Bila menunggu situasi tenang, tubuh Xioa He sudah dingin."
"Sekarang pun mungkin badannya sudah dingin." jawab Gao Lao Da.
"Paling sedikit, aku harus melihat-lihat!"
"Tidak bisa! Aku tidak mengijinkan kau pergi demi siapa pun."
Mata Meng Xin Hun berekspresi aneh. "Apa demi Xiao He pun hal ini tidak
bisa?" Gao Lao Da tetap berkeras. "Demi dia juga tidak bisa! Aku tidak bisa demi
seseorang yang sudah mati mengorbankan orang yang masih hidup."
"Tapi dia adalah saudara kita."
"Saudara dan tugas tidak bisa dicampur aduk. Kalau kita tidak bisa
membedakan tugas dan saudara, di hari mendatang mungkin yang mati
adalah kita!" Mata Gao Lao Da menjadi sangat berat. Perlahan ia melanjutkan,
"Jika kita semua mati, tidak akan ada yang mengubur mayat kita."
Meng Xin Hun sesaat menjublak. Ia merasa Gao Lao Da sudah berubah dan
terus berubah. Gao Lao Da kini jadi sangat dingin dan kejam, berubah menjadi orang yang
tidak punya perasaan. Sejak Ye Xiang gagal menjalankan tugas, Meng Xin Hun sudah merasakan
perubahan Gao Lao Da. Tapi kenapa Gao Lao Da tidak takut Xiao He membocorkan rahasia"
* Terdengar ketukan pintu. Itulah pintu rahasia Gao Lao Da.
Bila bukan hal yang sangat penting, tidak ada yang berani mengetuknya.
Gao Lao Da membuka jendela kecil pada pintu itu. "Ada apa?"
Terdengar jawaban dari luar, "Tuan Tu mengajak Nona minum arak."
"Apakah dia yang bernama Tu Cheng?" tanya Gao Lao Da.
Suara di luar menjawab, "Betul."
"Baiklah aku segera menemuinya." Gao Lao Da memandang Meng Xin Hun.
"Tu Cheng adalah pedagang besar. Ia juga anak buah Wan Peng Wang,
malah kabarnya ia adalah tangan kanannya."
Meng Xin Hun bertanya, "Apa Tu Cheng itu yang bernama asli Tu Da Peng?"
"Betul," jawab Gao Lao Da.
"Kau pasti tahu Sun Yu Bo menyuruh Lu Xiang Chuan pergi. Tidak ada yang
tahu tujuan penugasannya. Bisakah kau mencari tahu?" tanya Meng Xin Hun.
Ia tidak pernah menanyakan hal yang tidak ada hubungan dengan pekerjaan.
"Lu Xiang Chuan orang kepercayaan Lao Bo. Kalau bukan hal yang sangat
penting, Lao Bo tidak akan menyuruh Lu Xiang Chuan pergi."
Meng Xin Hun mengangguk. Ia pun merasa Lu Xiang Chuan tidak bisa
dipandang remeh. Gao Lao Da tertawa. "Kalau Sun Yu Bo berkelahi dengan Wan Peng Wang,
akan lebih menguntungkan kita. Tu Cheng keluar sarangnya pasti terkait
dengan Sun Yu Bo." Gao lao Da langsung membuka pintu, berjalan keluar.
"Lebih baik kau tunggu di sini, biar aku mencari kabar sebentar."
Berita yang diperoleh Gao Lao Da selalu sangat cepat, karena cara kerjanya
pun sangat tepat. Tapi Meng Xin Hun tidak mau sekedar duduk menunggu, ada juga berita yang
ingin ia cari sendiri. 13. Pembunuh Sejati Ye Xiang berbaring di bawah pohon rindang di padang rumput yang gersang.
Rumput-rumput berwarna kuning kekeringan. Ia melemaskan tangan dan
kakinya. Sebelumnya ia tidak pernah melakukan hal ini karena tidak punya cukup waktu
buat bersantai. Sekarang keadaannya sudah berbeda, sudah tidak ada lagi yang harus
dikhawatirkan, ia bisa lebih santai menjalani hidup.
Ternyata kegagalan pun ada hikmahnya, orang sukses belum tentu bisa
menikmati hidup seperti dirinya. Ye Xiang tertawa kecut.
Tiba-tiba terdengar suara langkah berjalan di atas rumput, begitu ringan
seperti kucing yang mengendap.
Ye Xiang tetap berbaring. Tanpa berpaling pun ia tahu siapa yang datang.
Itu langkah Meng Xin Hun, kecuali Meng Xin Hun tidak ada yang melangkah
seperti itu. "Kapan kau pulang?" tanya Ye Xiang tetap berbaring.
"Baru saja," jawab Meng Xin Hun.
Tawa Ye Xiang pecah. "Kau baru pulang tapi langsung mencariku,
benar-benar sahabat yang baik."
Seketika jengah wajah Meng Xin Hun. Selama dua tahun ini banyak yang
menjauhi Ye Xiang, termasuk dirinya.
Ye Xiang menepuk-nepuk rumput kering di sampingnya. "Duduklah! Minumlah
dulu, baru katakan maksudmu mencariku?"
Meng Xin Hun duduk di tempat yang ditunjuk Ye Xiang, menenggak arak
sambil berjanji dalam hati, kelak bila kembali dengan selamat akan
memperlakukan Ye Xiang lebih baik, minum berdua lebih sering lagi.
Harus diakui, hari-hari lalu ia sempat menjauhi Ye Xiang. Bukan karena
sombong, melainkan karena takut. Manakala ia melihat Ye Xiang, seolah ia
bercermin melihat diri sendiri.
"Apa yang membawamu ke sini?" tanya Ye Xiang.
"Kau pernah bilang, di dunia ini ada dua macam orang. Pertama, orang yang
membunuh dan, kedua, orang yang dibunuh." jawab Meng Xin Hun sambil
mengembalikan botol arak ke tangan Ye Xiang setelah sekali lagi
menenggaknya. Ye Xiang tertawa. "Tidak seorang pun yang bisa membagi jenis orang dengan
cara sama! Mungkin caraku membagi pun salah."
"Kau bisa membagi dengan cara seperti itu, karena sesunguhnya kau memang
bukan tipe pembunuh," sahut Meng Xin Hun.
Ye Xiang menenggak araknya sambil tersenyum. "Kebanyakan pembunuh
akhirnya mati dibunuh juga."
"Apa tidak ada pengecualian?" tanya Meng Xin Hun.
"Maksudmu, apa ada pembunuh tapi akhirnya tidak terbunuh?" Ye Xiang balik
bertanya. Meng Xin Hun mengangguk. Sesaat Ye Xiang termangu. "Sesungguhnya, sangat jarang orang seperti itu."
"Sangat jarang berarti tetap ada, bukan" Kau kenal orang seperti itu?" kejar
Meng Xin Hun. Setelah lama termangu, Ye Xiang menjawab, "Aku adalah salah satunya."
Nadanya menjadi kecut, "Sekarang sudah tidak ada yang berniat
membunuhku." Meng Xin Hun tidak tahu harus berkata apa.
Tiba-tiba Ye Xiang terduduk, memandang Meng Xin Hun dalam-dalam. "Dia
seperti apa?" Meng Xin Hun tahu, Ye Xiang kini sudah menangkap maksud kedatangan dan
arah pertanyaannya. "Orangnya sangat biasa," jawab Meng Xin Hun, "Tidak tinggi, juga tidak
pendek. Tidak gemuk, juga tidak kurus."
"Apa kau pernah melihat wajahnya?"
"Tidak." "Kenapa?" "Karena setelah membunuh, ia mengoleskan darah korban ke wajahnya."
Wajah Ye Xiang berubah kaku. Lama baru ia berkata, "Aku tahu orang
semacam ini. Di dunia ini hanya ada satu orang semacam ini! Tidak ada
kecualinya. Hanya saja "," Ye Xiang berubah menjadi sangat serius menatap
Meng Xin Hun, ?" kalau kau bertemu dengannya, larilah sejauh mungkin.
Semakin jauh semakin baik."
"Kenapa?" Meng Xin Hun tidak mengerti.
"Pembunuh bukan hanya kita berdua!" jawab Ye Xiang.
"Oh?" Meng Xin Hun semakin tidak paham.
"Pembunuh adalah pekerjaan yang tidak biasa," jelas Ye Xiang sambil
menatap Men Xin Hun. Meng Xin Hun mengangguk, balik menatap Ye Xiang, dan berkata. "Kau
pernah bilang, menjadi pembunuh tidak bisa memiliki nama! Bila kau punya
nama, berarti kau bukan pembunuh profesional."
Ye Xiang menghela nafas. "Ya, itulah pengorbanan kita atas profesi ini. Nama
baik, keluarga, teman, semua tidak bisa kita miliki." Sesaat ia terdiam, baru
melanjutkan, "Karena itu, tidak seorang pun mau menjalani pekerjaan seperti
kita, terkecuali orang gila!"
Kecut senyum Meng Xin Hun. "Walau sekarang belum gila, lambat laun pasti
gila." Ye Xiang menenggak araknya lagi. "Tapi tetap saja ada orang yang memang
ditakdirkan jadi pembunuh! Orang seperti itulah sejatinya seorang pembunuh.
Pada waktu membunuh, dia benar-benar membunuh tanpa perasaan.
Selamanya dia tidak akan merasa jenuh atau lelah untuk membunuh, hati dan
tangan pun tidak dapat berhenti untuk terus membunuh."
Men Xin Hun hanya diam, menatap botol arak di tangan Ye Xiang.
"Asal kau tahu," Ye Xiang melanjutkan, "Orang yang kau maksud adalah salah
satu pembunuh paling gila yang pernah kutahu!"
Meng Xin Hun mengambil botol arak dari tangan Ye Xiang dan langsung
menenggaknya. "Apa dia pembunuh terbaik?" tanya Meng Xin Hun setelah
beberapa saat. "Benar, di dunia ini tidak ada yang lebih hebat daripadanya," jawab Ye Xiang.
Meng Xin Hun menatap Ye Xiang, ia tahu perkataannya belum selesai.
Ye Xiang melanjutkan, "Kau tidak akan bisa menandinginya! Bisa jadi kau lebih
tenang, lebih dingin, dan lebih pintar darinya. Mungkin pula gerakanmu lebih
cepat darinya. Tapi kau tidak mungkin bisa menjadi pembunuh nomor satu
kalau kau bukan seorang yang gila."
Meng Xin Hun mengembalikan botol arak ke tangan Ye Xiang. Setelah lama,
Meng Xin Hun baru bertanya, "Apa kau pernah melihat saat dia membunuh?"
"Kecuali melihat dengan mata kepala sendiri, tidak ada yang bisa
menggambarkan caranya membunuh. Pada waktu membunuh, dia tidak
menganggap lawannya manusia."
"Mungkin, saat membunuh, dia tidak menganggap dirinya manusia!" Meng Xin
Hun menatap jauh ke sana.
Seperti tidak mendengar Meng Xin Hun, Ye Xiang perlahan berkata, "Ada yang
bilang dia sudah pensiun"," tiba-tiba Ye Xiang menatap Meng Xin Hun
dalam-dalam, "Di mana kau menemuinya?"
"Di taman bunga Sun Yu Bo!"
"Siapa yang dibunuh olehnya?"
"Huang Shan San You."
"Kenapa dia membunuh Huang Shan San You?"
"Karena mereka berlaku tidak sopan pada Sun Yu Bo."
Mendengar jawaban ini Ye Xiang menghela nafas. "Sudah kuduga Sun Yu Bo
punya pelindung yang kuat. Tapi tidak kusangka dialah pelindungnya."
Sekarang ia memegang tangan Meng Xin Hun kuat-kuat, "Lupakanlah niatmu
untuk membunuh Sun Yu Bo," ucapnya begitu sungguh-sungguh
"Aku tidak bisa melupakannya!"
Ye Xiang tampak sangat serius. "Tetap berusahalah untuk melupakannya!
Kalau tidak, aku khawatir, kau akan mati dalam waktu dekat. Walau kau bisa
membunuh Sun Yu Bo, dia akan mencarimu kemana pun pergi dan akhirnya
berhasil membunuhmu!"
Meng Xin Hun menghela nafas. "Betapa pun, akan kucari cara agar tidak
seorang pun tahu siapa yang membunuh Sun Yu Bo."
"Orang lain mungkin tidak bisa," geleng Ye Xiang, "Tapi, percayalah, orang ini
pasti bisa melacaknya!"
Meng Xin Hun perlahan bertanya, "Apa orang ini mengenalmu?"
. Ye Xiang mengangguk. "Dia mengenaliku. Begitu dia melihatku, dia tahu siapa
aku." Orang lain mungkin tidak mengerti ucapan Ye Xiang. Tapi, Meng Xin Hun
paham maksudnya. Seperti juga Ye Xiang, si Jubah Kelabu dan Meng Xin Hun
juga manusia. Walau mereka adalah pembunuh, sehari-hari sedapat mungkin mereka tampil
tidak berbeda dengan orang lain, pun sedapatnya tidak memancing keributan
dengan orang lain. Namun pembunuh adalah pembunuh. Seorang pembunuh sejati sekali melihat
pasti bisa mengenali siapa dirimu!
Meng Xin Hun bertanya lagi, "Bila dia bisa mengenalimu, apakah dia juga
Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengenaliku?" "Ya," Ye Xiang balik menatap Meng Xin Hun, "Walau waktu itu dia tidak
melihatmu, tapi?" Meng Xin Hun diam, menunggu kelanjutan ucapannya.
?" percayalah, dia sudah mengenalimu! Bila Sun Yu Bo mati, dia pasti akan
datang mencarimu." Meng Xin Hun bergidik ngeri, tapi tidak berkata apa-apa. Ia tahu, Ye Xiang
masih belum selesai. "Barang kali ia tidak langsung membunuhmu," lanjut Ye Xiang, "Tapi, kalau
kau sudah dicurigai olehnya, dia akan selalu menguntitmu, menunggumu, ikut
pergi ke mana pun kau pergi?"
Meng Xin Hun membulatkan tekad. "Aku lebih dulu harus membunuhnya!"
Ye Xiang terkejut mendengar kesungguhannya. "Kau mau membunuhnya"
Apa kau bisa membunuhnya?"
"Betapa pun, dia manusia!" jawab Meng Xin Hun.
Selama manusia, pasti bisa mati! Tapi Ye Xiang menggeleng-geleng kepala.
"Dia manusia macam apa kau sendiri tidak tahu, bagaimana bisa
membunuhnya?" "Tapi ada kau yang bisa memberi tahuku dia macam apa."
"Aku?" Ye Xiang menggoyang-goyang kedua tangan. "Tidak! Aku tidak tahu."
Meng Xin Hun masih menatap Ye Xiang begitu dalam. Sesaat ia menghela
nafas, kemudian berdiri, bersiap meninggalkan tempat itu.
Ia tidak memaksa Ye Xiang untuk mengatakannya. Bila Ye Xiang tidak ingin
mengatakan, ia tidak mau memaksa.
Tiba-tiba Ye Xiang berseru, "Tunggu sebentar!"
Meng Xin Hun menghentikan langkah.
Setelah lama Ye Xiang baru berkata, "Dia membunuh bukan karena dia tidak
menyukai manusia, melainkan karena dia sangat menyukai darah!"
"Darah?" Meng Xin Hun tidak mengerti.
Tanpa juntrungan, Ye Xiang melanjutkan, "Dia juga tidak suka makan ikan,
tapi dia suka memelihara ikan. Orang yang suka memelihara ikan tetapi tidak
makan ikan tidaklah banyak."
Meng Xin Hun masih ingin bertanya tapi Ye Xiang sudah menutup mulut
sendiri dengan botol arak.
Matahari senja menyinari pepohonan dan muka Ye Xiang. Wajahnya sudah
berubah, ia seperti tertidur.
Meng Xin Hun menatap Ye Xiang dengan sorot penuh terima kasih.
Meng Xin Hun tahu, tidak seorang pun bisa memaksa Ye Xiang mengatakan
hal yang tidak ingin ia katakan.
Tapi, tetap ada pengecualian.
Jika Meng Xin Hun yang meminta, Ye Xiang pasti bicara.
Meng Xin Hun adalah teman Ye Xiang.
Juga saudaranya. * Sewaktu Meng Xin Hun kembali, Gao Lao Da sudah menanti.
Kelihatannya Ga Lao Da sedang gembira. Namun begitu melihat Meng Xin
Hun, ia jadi marah, "Kenapa tidak menungguku?"
"Aku tidak kemana-mana," jawab Meng Xin Hun, "hanya menemui Ye Xiang."
"Sepertinya antara kau dan Ye Xiang begitu banyak yang ingin dibicarakan,"
jengek Gao Lao Da. Setelah terdiam sesaat, ia melanjutkan, "Aku sudah tahu
kemana Sun Yu Bo menugaskan Lu Xiang Chuan."
"Oh ya?" "Ia menugaskan Lu Xiang Chuan menemui Wan Peng Wang," jawab Gao Lao
Da. "Untuk apa?" tanya Meng Xin Hun lagi.
"Teman lama Sun Yu Bo bernama Wu Lao Dao. Anak lelaki Wu Lao Dao
mencintai pelayan Wan Peng Wang, namun Wan Peng Wang tidak merestui.
Karena itu, Sun Yu Bo memerintahkan Lu Xiang Chuan meminta restunya."
Walau Gao Lao Da seorang perempuan, ia bisa menjelaskan masalah ini
secara cepat dan sederhana.
"Lantas?" tanya Meng Xin Hun.
"Akhirnya Wan Peng Wang merestui mereka dan dia pun menyediakan semua
tetek bengek untuk pernikahan gadis itu."
Kembali tanya Meng Xin Hun, "Dengan begitu, masalah selesai?"
"Belum! Malah baru dimulai!" Gao Lao Da tertawa senang, "Orang semacam
Wan Peng Wang tentu tidak menyerah begitu saja."
Meng Xin Hun tidak bertanya lagi karena ia tidak mengenal Wan Peng Wang.
Gao Lao Da berkata, "Menurutku, Wan Peng Wang sengaja melakukan itu
agar Sun Yu Bo lengah. Di saat itulah dia akan menyerang Sun Yu Bo." Gao
Lao Da berkeplok gembira. "Bila Wan Peng Wang mulai menyerang, pasti
akan sangat dahsyat!"
"Karena itu dia memanggil Tu Da Peng?" Meng Xin Hun bertanya sekaligus
menyimpulkan, teringat pada anak buah Gao Lao Da yang mengetuk pintu
tadi. Gao Lao Da mengangguk. "Selain Tu Da Peng, ia juga sudah memanggil Ji
Peng dan Nu Peng. Sekarang mereka dalam perjalanan menuju markas pusat
Wan Peng Wang." "Mereka akan menyerang Sun Yu Bo?"
"Benar! Saat mereka mulai menyerang, itulah kesempatan emasmu," senyum
Gao Lao Da begitu puas. "Kalau begitu, aku harus menguntit Tu Da Peng!"
"Ya, kau harus mencermati gerak-gerik mereka dan menunggu kesempatan
baik. Namun, kau tidak boleh membiarkan orang lain mengambil kesempatan
emas itu. Kau harus membunuh Sun Yu Bo dengan tanganmu sendiri."
"Aku mengerti."
Meng Xin Hun memang mengerti bahwa harus dirinya yang membunuh Sun
Yu Bo. Kalau tidak, Gao Lao Da tidak akan menerima honor. Selain itu,
tidakkah ia juga harus menjaga reputasi Gao Lao Da"
"Berapa orang yang ikut dengan Tu Da Peng?" tanya Meng Xin Hun.
"Mereka hanya bertiga, menunjukkan bahwa gerak-gerik mereka sangat
rahasia." "Siapa kedua lainnya?"
"Yang satu bernama Wang Er Dai. "Dai" yang berarti bodoh. Walau
penampilannya tampak bodoh, tapi dia tidak bodoh. Ini sekedar upaya
mengelabui orang." "Satunya lagi?" tanya Meng Xin Hun.
"Yang satu lagi bernama Ye Mao Zi, si Kucing Malam, sesuai namanya ia
adalah pencuri ulung dan ahli membius orang. Tu Da Peng sudah
memanggilnya, pasti ada penugasan khusus buatnya."
"Kapan mereka berangkat?"
Gao Lao Da tertawa puas. "Walau Tu Da Peng tergesa, tapi ia tidak akan
segera berangkat, Jin Er sekarang masih menemaninya di kamar. Sayangnya,
Jin Er hanya bisa menahannya satu hari lagi."
Meng Xin Hun terlihat berpikir.
"Apa yang kau pikirkan?" tanya Gao Lao Da.
"Orang yang bisa dirayu untuk tinggal satu hari lagi tidak akan pernah bisa
menjadi anak buah Wan Peng Wang yang utama."
Gao Lao Da tertawa manis. "Sepertinya semakin hari kau semakin cerdas."
"Karena aku memang harus menjadi lebih pintar," jawab Meng Xin Hun dingin.
14. Pembalasan Wan Peng Wang
Wu Lao Dao sudah mulai mabuk.
Ia sangat berterima kasih pada Lao Bo. Inilah hari pernikahan putranya, ia
berharap Lao Bo bisa menghadiri pesta ini. Namun, ia paham, Lao Bo tidak
mungkin datang. Walau Wu Lao Dao kecewa, tapi tidak seberapa sedih karena Lu Xiang Chuan
hadir di pesta ini. Setelah pesta usai, Lu Xiang Chuan baru pulang. Ia meninggalkan dua
jagonya, Wen Hu dan Wen Bao, guna menjaga Wu Lao Dao.
Para tamu sudah pulang. Pelayan sedang minum-minum, beristirahat dan
bercengkrama di dapur. Sepasang pengantin pun sudah masuk kamar.
Di ruang tamu hanya tinggal Wu Lao Dao sendiri. Melihat lilin yang hampir
habis, pikiranya melayang senang sekaligus sedih.
"Anak lelakiku sudah menikah, aku memang semakin tua," pikirnya dalam hati
sambil mulai merencanakan tempat tenang dan sepi guna menghabiskan
masa tua. Saat itu ia mendengar suara langkah kaki mendekati.
Orang itu sepertinya sudah mabuk, lebih mabuk daripada Wu Lao Dao, datang
dari taman menuju ruang tamu. Ia bukan hanya mabuk, juga terlihat bodoh,
penampilannya sangat lugu, langsung menghampiri Wu Lao Dao.
Tapi Wu Lao Dao tidak mengenalinya. Di antara teman-teman Wu Lao Dao
tidak ada yang bodoh dan lugu seperti ini.
"Apa kau mencari Lao Song" Mereka sedang di dapur." Wu Lao Dao menduga
lelaki itu teman juru masaknya.
Lelaki itu menggeleng, dengan suara mabuk bergumam, "Yang kucari adalah
kau." "Mencariku" Ada urusan apa?"
Sebelum sempat mengatakan apa pun, lelaki itu ambruk, tapi masih sempat
melambaikan tangan. "Kau ingin menyampaikan sesuatu?"
Susah payah orang itu mengangguk.
Terpaksa Wu Lao Dao menghampiri dan membungkukkan badan, "Bicaralah!"
Lelaki itu berkata terengah, "Aku ingin?"
Suaranya serak dan mabuk. Wu Lao Dao tidak mendengar cukup jelas.
Terpaksa ia lebih mendekatkan diri dan bertanya, "Apa yang ingin kau
sampaikan?" "Aku ingin?" nafasnya begitu berat.
Posisi mereka begitu dekat. Tapi saat orang itu bicara, tidak tercium bau arak
dari mulutnya. Wu Lao Dao tertegun. Hanya sedetik, namun sudah terlambat.
Lelaki itu menyelesaikan ucapannya tepat di sisi telinga Wu Lao Dao, ?"
membunuhmu!" Saat perkataan terahir terucap, seutas tali sudah menjerat leher Wu Lao Dao.
Saat tali ditarik, sebilah pisau sudah menggorok lehernya.
Nafas Wu Lao Dao seketika tersekat, ia seperti ikan yang meloncat ke
permukaan jatuh ke darat, menggelepar untuk diam selamanya.
Lelaki itu berdiri tegak, beberapa saat menatap Wu Lao Dao. "Aku sudah
bilang ingin membunuh, ya kubunuh kau. Aku, Wang Er Dai, tidak pernah
bohong!" "Dai" yang berarti bodoh.
Tapi ia tidak bodoh. * Pasangan pengantin, Xiao Wu dan Dai Dai, saling berpelukan. Begitu erat,
seakan tidak terpisahkan.
"Kau milikku." Lembut Xiao Wu mengecup bibir Dai Dai sambil memejam
mata. Nafas Dai Dai begitu harum. Sedemikian harumnya, membuatnya jadi
mengantuk. Seketika Xiao Wu merasa sesuatu yang tidak beres. Ia meronta bangun, tapi
kaki dan tangan tidak mengikuti perintahnya. Pikiran pun terasa melompong.
Xiao Wu coba membuka mata. Pandangannya terasa kabur.
Antara sadar dan tidak, ia seperti melihat seraut wajah. Wajah itu meringis
seperti kucing. Di tengah malam begini kenapa ada kucing"
"Pengantinmu sekarang milikku," kata si Kucing Malam, Ye Mao Zi.
Xiao Wu ingin bangkit, tapi segalanya berubah menjadi kabut dan akhirnya
gelap semata. Ia pingsan. * Meng Xin Hun bertekad menguntit Tu Da Peng. Tapi Tu Da Peng tidak ke
mana-mana. Yang bergerak justeru dua anak buahnya.
Kini Meng Xin Hun berada di atap rumah di seberang kediaman Wu Lao Dao.
Ia melihat Wang Er Dai memasuki rumah Wu Lao Dao seperti seorang idiot.
Tidak lama kemudian ia melihat Ye Mao Zi mengendap seperti kucing di sisi
jendela kamar pengantin. Mereka tidak masuk secara bersamaan, tapi keluar bersamaan.
Ketika keluar, Wang Er Dai masih terlihat seperti orang idiot, tapi di pundaknya
memanggul sesosok mayat. Tidak lama Ye Mao Zi juga keluar membopong
bungkusan besar, sedemikian besarnya sehingga tampak kerepotan.
Tiba-tiba datang kereta, berhenti tepat di depan mereka.
Pintu terbuka, Wang Er Dai dan Ye Mao Zi masing-masing melempar
bawaannya ke dalam kereta. Mereka pun masuk ke dalam dan segera
menghilang di kepekatan malam.
Semua terjadi begitu singkat. Rumah Wu Lao Dao tetap senyap seakan tidak
terjadi apa-apa. Tapi Meng Xin Hun tahu, Wan Peng Wang sudah memukul Sun Yu Bo dengan
telak. Meng Xin Hun juga tahu, Sun Yu Bo tidak akan tinggal diam dan akan
membalas Wan Peng Wang lebih kejam lagi.
* Setelah mendengar penjelasan Lu Xiang Chuan, wajah Lao Bo menjadi sangat
serius. Lu Xiang Chian tidak mengerti kenapa Lao Bo jadi begitu. Ia telah melakukan
tugas dengan sangat sempurna dan sukses. Arak pengantin pun masih terasa
manis di bibirnya. Biasanya, Lao Bo langsung memuji.
Tapi sekarang Lu Xiang Chuan justeru melihat tangan Lao Bo menggenggam
kancing baju dengan kencang seperti memencet mati seekor binatang. Bila
Lao Bo begini, berati ia sedang marah. Dan siap menyerang.
Siapa yang akan ia serang"
Tiba-tiba Lao Bo berdiri dan berkata pada pengawal yang menjaga di sudut
sana. "Beri kabar pada Kelompok Merpati agar semua anggotanya bersiaga mencari
Sun Jian. Di mana pun Sun Jian berada, suruh dia pulang, jangan sampai
terlambat!" "Siap!" jawab salah seorang pengawal.
"Siapkan juga Kelompok Elang," lanjut Sun Yu Bo lagi.
Kelompok Merpati bertangung jawab memberi dan mencari kabar. Kelompok
Elang bertugas menjaga keamanan.
Lao Bo jarang mengerahkan kelompok ini. Jika dua kelompok ini sudah
digerakkan, berarti masalah yang dihadapi sangat serius.
"Apa sudah timbul masalah besar?" pikir Lu Xiang Chuan.
Ia kini memikirkan kata-kata yang sering diucapkan Lao Bo. "Buatlah musuh
salah tafsir padamu, tapi kau tidak boleh salah menafsir musuh," begitu petuah
Lao Bo pada nya. Lu Xian Chuan menggaruk kepala.
Apakah Lu Xiang Chuan telah salah menafsir Wan Peng Wang" Tidakkah
tugasnya berjalan terlalu lancar" Sedemikian lancarnya sehingga menjadi
tidak wajar" Dengan reputasi Wan Peng Wang, benarkah ia takluk begitu
saja?" Lu Xiang Chuan merasa punggungnya basah.
Lao Bo bertanya, "Kau sudah mengerti?"
Ia tidak marah pada Lu Xiang Chuan karena tahu orang seperti Lu Xiang
Chuan tidak perlu dimarahi. Lu Xiang Chuan pasti tidak akan mengulangi
kesalahan sama! Lu Xiang Chuan sangat berterima kasih pada Lao Bo, juga merasa sangat
malu. Tiba-tiba ia berdiri. " Aku harus bertemu Wu Lao Dao, mungkin ia dalam
bahaya." "Tidak perlu!" jawab Lao Bo.
"Kenapa?" "Karena Wu Lao Dao pasti sudah mati."
Lu Xiang Chuan merasa hatinya dingin. "Barangkali?"
Lao Bo menukas perkataannya. "Tidak ada barangkali! Wan Peng Wang biasa
membuat musuh tidak merasa dalam bahaya, tapi kemudian segalanya sudah
terlambat!" Lu Xiang Chuan duduk kembali. Hatinya serasa tenggelam ke dasar jurang
yang dalam. Ia tidak tahu bagaimana harus memperbaiknya. Entah pula
bagaimana menebusnya. Ketika itulah seseorang datang terburu-buru memasuki pintu.
Lelaki itu masih sangat muda dan tampan, sayangnya hidungnya bengkok
seperti baru dihajar, sudut matanya pun sudah dipukul hingga sobek, tangan
kirinya lunglai menggantung seperti selembar kain.
Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Begitu masuk, pemuda itu langsung terkapar tidak bangun lagi. Jelas terlihat,
pemuda itu habis menjalani penyiksaan berat.
Sudah lama Lao Bo tidak menyukai kekerasan. Tapi kali ini merupakan
pengecualian. Sepertinya, pemuda itu telah melakukan kesalahan yang tidak
termaafkan. "Siapa dia?" tanya Lu Xiang Chuan.
"Tidak tahu," jawab Lao Bo.
Lu Xiang Chuan heran. Sepertinya pemuda ini tahan siksaan, karena terlihat
masih bisa bertahan. "Barangkali ia takut jika membocorkan rahasia, siksaan yang diterimanya akan
lebih dahsyat" Di belakangnya, jangan-jangan ada tokoh lebih menakutkan?"
pikir Lu Xiang Chuan. Sepertinya Lao Bo bisa menduga benak Lu Xiang Chuan. "Dia tidak mau
bicara bukan karena takut. Kalau kita terus menyiksanya, dia pasti pingsan."
"Apa kesalahannya?" tanya Lu Xiang Chuan.
"Dia mau membunuhku," jawab Lao Bo.
Lu Xiang Chuan sangat terkejut. Yang berani membunuh Lao Bo pasti orang
gila. Jika bukan gila, pasti orang yang sangat berani.
"Cobalah, barangkali kau punya cara menggali informasi darinya," kata Lao
Bo. Lu Xiang Chuan berdiri, memilih arak yang paling keras, dan langsung
mencekokkannya pada pemuda itu. Bukankah dalam keadaan mabuk orang
berkata lebih jujur"
Wajah pemuda itu mulai memerah, begitu juga sepasang matanya. Betapa
pun jagonya pemuda itu minum, apabila dicekok sebanyak itu, pasti mabuk.
Lu Xiang Chuan mulai menginterogasi. "Apa margamu?"
Mabuk, pemuda itu hanya bergumam. "Margaku He."
"Siapa namanu?"
"Margaku He." Berapa kali ditanya pun jawabannya hanya begitu, tidak ada yang lain.
"Orang yang mengutus pemuda ini sangat terlatih hingga bisa melatih
anakbuahnya seperti ini," kata Lao Bo.
Lu Xiang Chuan berpikir. "Kau menyangka orang itu adalah?"
Lao Bo mengangguk. Lu Xiang Chuan tidak menyebut nama, begitu juga Lao Bo, seolah mereka
sudah mengerti siapa yang dimaksud.
Dengan suara rendah Lu Xiang Chuan bertanya, "Apa sebaiknya dia kita antar
pulang?"" Lao Bo menggeleng kepala. "Lepaskan saja?"
"Antar pulang" dan "lepaskan saja" artinya tidak sama. "Antar pulang" artinya
pulang dalam keadaan mati. "Lepaskan" berarti pulang dalam keadaan hidup.
Setelah lama baru Lu Xiang Chuan memahami maksud Lao Bo.
Lao Bo memang selalu membereskan masalah secara cepat dan tepat.
* Di depan taman bunga adalah hutan yang lebat.
Meng Xin Hun memilih pohon yang paling rindang, memanjatnya, kemudian
seperti burung hantu sembunyi di balik rimbunnya dedaunan.
Sebetulnya Meng Xin Hun tidak ingin mengelilingi taman bunga Lao Bo, ia
tidak mau menanggung resiko bahwa sebelum melaksanakan tugas
gerak-geriknya sudah terbaca.
Namun sekarang masalah berbeda. Ia tahu Lao Bo mulai bergerak.
Taman bunga itu sepi, sama sekali tidak terdengar suara, seakan tidak ada
kegiatan. Tidak ada yang masuk, tidak ada yang keluar.
Di saat Meng Xin Hun mulai putus asa, dari kerimbunan bunga muncul
sesosok bayangan. Sosok itu memiliki gerak yang cukup cepat, namun langkah sempoyongan,
dan sebelah tanggannya seperti putus. Pakaian yang lengket di tubuhnya
entah berwarna ungu, biru, atau merah oleh darah" Bajunya compang
camping. Meng Xin Hun merasa mengenali pakain itu. Ketika itulah sosok itu
mengangkat wajah, coba mengenali arah.
Sinar bulan menyorot wajahnya.
Xiao He! Hampir Meng Xin Hun berteriak, Xiao He ternyata masih hidup dan bisa
melarikan diri. Wajahnya lelah dan kesakitan, tapi sinar matanya begitu sombong, kagum
pada diri sendiri. Melihat wajah Xiao He, Meng Xin Hun tahu ia belum membocorkan rahasia
Gao Lao Da. Tapi Meng Xin Hun juga tahu, di dunia ini tidak ada yang bisa
lolos dari cengkraman Lao Bo.
Lantas kenapa Xiao He bisa lari hingga di sini"
Meng Xin Hun berpikir dan segera memahami apa yang di nginkan Lao Bo.
Lao Bo sengaja melepas Xiao He melarikan diri, kemudian diam-diam
mengikutinya untuk menyelidiki siapa dalang di balik ini.
Memikirkan hal itu, seketika Meng Xin Hun berkeringat dingin. Ia tidak akan
membiarkan Xiao He pulang. Tapi, ia tidak bisa mencegah Xiao He pulang.
Seseorang pasti sudah menguntit di belakang Xiao He, dan tidak mungkin
Meng Xin Hun membocorkan rahasianya sendiri.
Xiao He terlihat sudah bisa membedakan arah, tanpa pikir langsung berlari ke
sana. Larinya begitu cepat, seolah dalam satu hari akan tiba di Kuai Huo Ling.
Meng Xin Hun sangat marah dan benci, serasa ingin memukul hidung dan
kepala sendiri dan bertanya kenapa Xiao He begitu bodoh.
Sebenarnya Xiao He orang yang pintar, terutama dalam mencelakai orang,
tapi kenapa sekarang jadi begitu bodoh"
* Jika ingin mencegah Xiao He membocorkan rahasia Gao Lao Da ada satu
cara: Bunuh dia! Tapi Meng Xin Hun tidak ingin melakukan cara ini, ia pun tidak tega. Untung ia
masih bisa memikirkan cara kedua, yakni bukannya membunuh Xiao He, tapi
membunuh orang yang menguntit Xiao He.
Meng Xin Hun terus menunggu.
Betul saja, dari kegelapan muncul sesosok bayangan, berlari mengikuti Xiao
He. Tapi Meng Xin Hun tetap mendekam di atas pohon.
Benar saja, tidak lama muncul sesosok lagi, juga mengikuti arah yang tadi
ditempuh Xiao He dan satu temannya terdahulu.
Meng Xin Hun tetap mendekam.
Lagi, sesosok bayangan muncul dan langsung mengikuti arah yang di tempuh
Xiao He dan dua temannya terdahulu.
Menguntit dengan cara ini, bila satu orang ketahuan, yang lain masih bisa
menjalankan tugas. Setelah menunggu beberapa saat, tidak ada tanda-tanda munculnya penguntit
berikutnya, Meng Xin Hun melesat dari tempat sembunyinya.
Ketiga orang itu memiliki ilmu meringankan tubuh sangat lihai, tugas mereka
selamanya menguntit orang. Yang dituju Meng Xin Hun adalah orang terakhir.
Setelah cukup lama, Meng Xin Hun baru bisa mengejarnya. Ringan, Meng Xin
Hun menepuk pundaknya. Lelaki itu terkejut dan menoleh, tapi Meng Xin Hun langsung menotoknya
secepat kilat. Meng Xin Hun memperlakukan dua lagi penguntut Xiao He dengan cara sama.
Cara yang sangat sederhana. Sering kali cara sederhana adalah cara yang
paling efektif. Sebetulnya cara-cara Lao Bo pun sama seperti Meng Xin Hun: sederhana dan
efektif. Orang yang berpengalaman biasanya menempuh cara-cara sederhana.
Xiao He terus berlari melalui kota Huang Shi yang sepi.
* Toko kelontong di Huang Shi sudah hampir tutup. Xiao He berlari melalui toko
itu. Sejenak kemudian mencul dua lelaki dari balik toko dan berbisik, "Itu dia!"
Satunya lagi menyahut, "Kita harus terus menguntitnya."
Mereka memiliki ilmu meringankan tubuh yang sangat tinggi, pun tanpa ragu
mereka mengerahkan seluruh kemampuan, tidak takut kehabisan tenaga
karena tahu di kota berikutnya akan ada yang menggantikan.
Ternyata Lao Bo menggunakan cara yang lebih rumit.
Orang berpengalaman menggunakan cara sederhana. Tapi orang yang lebih
berpengalaman menggunakan cara yang lebih rumit.
Biar bagaimana, bila menggunakan dua cara salah satu pasti berhasil.
Jika Lao Bo menginginkan satu hal, ia pasti menggunakan lebih dari satu cara.
Karenanya, hingga saat ini Lao Bo selalu sukses dan tidak pernah gagal.
* Begitu terbangun, Sun Jian merasa sangat lelah.
Ia bukan manusia berotot kawat bertulang besi, apalagi perempuan yang tidur
di sisinya sangat pandai memuaskan lelaki.
Sebenarnya ia masih ingin tinggal di sini dua hari lagi, tapi ia telah mendengar
suara aneh di luar jendela.
Suara itu seperti seruling yang membuat kobra menari, setelah berbunyi dua
kali baru berhenti. Sun Jian langsung bisa membedakan, itulah tanda darurat yang dikirim Lao
Bo. Jika kau mendengar tanda itu tapi tidak langsung pulang, kau bisa menyesal
seumur hidup! Tidak ada yang berani membangkang, termasuk Sun Jian.
Segera ia bangun dari tempat tidur, mengenakan baju, celana, dan sepatu.
Perempuan telanjang yang berada di tempat tidur membalik tubuh, menarik
tangan Sun Jian langsung ke dadanya. "Kau mau pergi?"
"Ya," jawab Sun Jian.
"Kau tega meninggalkanku?" katanya lagi sambil menggesek-gesekkan tangan
Sun Jian guna merasakan sepasang putiknya yang mulai mengeras kaku.
Namun jawabannya hanya tamparan.
Sun Jian tidak suka perempuan yang terlalu mengekangnya.
* Matahari baru terbit. Tapi Sun Jian sudah melarikan kudanya sejauh 200 km.
Ia sungguh cemas karena sudah lama Lao Bo tidak pernah mengeluarkan
tanda darurat ini. Ia pun tidak bisa menebak apa yang sudah terjadi.
Setelah lama memacu kuda, ia lapar sekali. Di kiri kanan jalan yang dilalui
terlihat bermacam penganan. Ada yang menjual kue, daging, juga arak. Tapi ia
tidak berhenti. Lao Bo adalah ayahnya. Juga temannya. Demi Lao Bo ia rela mati.Maka, di
dunia ini tidak ada yang bisa menghentikannya.
Matahari semakin tinggi, mencorong menyinari jalanan. Batu-batu jalanan
terbakar matahari sudah panas seperti di kuali. Terkadang matahari musim
gugur memang lebih menyengat daripada musim panas.
Sun Jian melepas topi, mengelap keringat. Walau ia masih bisa bertahan, tapi
kudanya sudah kelelahan. Ia sadar, sudah saatnya mengganti kuda.
Ketika ia mencari tempat mengganti kuda, tiba-tiba seseorang melemparnya
dengan sebuah batu berbungkus kertas.
Sigap Sun Jian menangkapnya.
Setelah diperhatikan, di atas kertas tertulis: Apa kau ingin tahu siapa
membunuh Lao Bo" Sun Jian seketika menghentikan kuda, meloncat turun. Ia memutar pandang,
yang terlihat justeru beberapa orang di bawah pohon. Dan ia mengenali
mereka. Sun Jian tidak tahu siapa yang melemparnya, dan pasti bukan mereka.
Orang-orang di bawah pohon itu adalah Kelompok Anjing dari organisasi Lao
Bo, tugasnya menguntit orang, jumlah anggotanya tidak banyak, tapi ilmu
meringankan tubuh kelompok ini paling tinggi.
Sun Jian melambai tangan, memanggil ketua kelompok dan bertanya, "Siapa
yang kau ikuti?" Lelaki itu tidak mau sembarangan membocorkan tugas, tapi juga tahu sifat
jelek Sun Jian. Apalagi Sun Jian bukan orang lain, melainkan putra Lao Bo.
Lelaki itu memandang ke seberang sana.
* Xiao He sedang duduk makan kue berbungkus daging sapi. Ia sedikit kesulitan
menggigit kue karena tangannya hanya berfungsi sebelah.
Walau Xiao He ingin secepatnya pulang, tapi sulit baginya terus berlari
mengandalkan ginkan di tengah siang bolong begini.
Apalagi ia juga sudah mulai haus, lapar, dan kelelahan. Untung masih ada sisa
uang di kantungnya. Sebetulnya ia ingin menyewa kereta kuda, sehingga begitu terbangun, sudah
sampai di Kuai Huo Ling. Tapi ia takut dikuntit orang dan memilih lebih memanfaatkan ginkannya buat
melarikan diri. Walau Lao Bo sudah tahu dia kabur dan memerintahkan anakbuah buat
mengejarnya, ia yakin gerakan mereka tidak secepat dirinya. Sungguh, ia
merasa pelarian ini sangat seru.
"Mereka kira aku sudah mabuk! Sedikit pun tidak curiga meninggalkanku
sendiri di kamar yang tidak terkunci," pikir Xiao He dalam hati, "Sekarang
mereka baru tahu betapa pintar dan mampunya aku!"
Entah kenapa, orang yang licik seperti Xiao He ternyata tidak dewasa. Licik
dan dewasa sepertinya dua hal bertentangan.
Xiao He benar-benar senang dan hampir tertawa sendiri. Belum sempat
tertawa, ia melihat seseorang menghampiri. Belum pernah ia melihat orang
sebesar ini. Saat lelaki itu berjalan, seakan bebatuan jalan hancur diinjaknya. Ditambah
lagi sepasang mata seperti dua bola yang terbakar itu langsung menatapnya.
"Margaku Sun bernama Jian," katanya.
Wajah Xiao He seketika berubah. Daging yang tengah digigit jatuh ke tanah
tanpa sempat dikunyah. Sun Jian tertawa sinis. Siapa yang berlaku tidak sopan pada Lao Bo harus
mati! Tiba-tiba Xiao He meloncat, tangannya yang tinggal sebelah mencekik leher
Sun Jian. Kungfunya dan Meng Xin Hun satu aliran. Sangat kejam, cepat, dan
tepat. Sayang ia masih kalah cepat, atau tepatnya: kurang kuat"
Betapa pun cepat lengan Xiao He, Sun Jian tidak mengelak, sebaliknya malah
maju menghadang dan mengadu tangan.
Seketika Xioa He mendengar suara lengan patah. Ia tidak berteriak, karena
sebelah tangan Sun Jian yang lain sudah memukul wajahnya. Ia tersungkur.
Dan sebuah pukulan telak menghajar punggungnya.
Terdengar tulang retak. Semua gigi Xiao He rontok. Tulang wajah serta
punggungnya remuk. * Semua yang menyaksikan sangat terkejut. Kecuali satu orang: si Pelempar
Batu. Orang itu adalah Gao Lao Da.
Semua kejadian sudah dalam perhitungannya. Dan ia sangat percaya diri.
Melihat Xiao He, sedikit banyak ia merasa kasihan. Tapi ia tahu, lelaki seperti
Xiao He tidak pantas dicintai, lebih-lebih tidak pantas dikasihani.
Gao Lao Da berniat secepatnya melupakan Xiao He. Semakin cepat semakin
baik. Dulu ia tidak begitu kejam. Tapi belakangan ia tahu, jika seseorang ingin hidup
lebih baik, ia harus memiliki hati yang keras. Semakin keras semakin baik.
Kekayaan dan kemauan laksana cuka dan air. Bila air ditambah cuka pasti
berubah asam. Bila telah memiliki dan mengejar kekayan, hati dan kemauan
seseorang pasti berubah kejam.
* Sun Jian membanting Xioa He ke tanah seperti membanting karung.
Karung dalam posisi berdiri, namun karena tulang lengan dan punggung Xioa
He sudah remuk, ia rubuh seperti karung kosong ke tanah.
Lao Bo hanya memandang Sun Jian, wajahnya tanpa ekspresi.
Lu Xiang Chuan seketika menghawatirkan Sun Jian. Bila wajah Lao Bo seperti
itu, berarti ia sedang gusar.
Namun Sun Jian seperti tidak menyadari keadaan, wajahnya tampak senang
dan bangga. "Aku sudah menangkap dan membawa pulang orang ini."
"Di mana kau menemukannya?" tanya Lao Bo.
"Di jalan," jawab Sun Jian.
"Di jalan begitu banyak orang, kenapa tidak kau tangkap semua dan bawa
pulang?" Melengak Sun Jian mendengarnya. Sesaat kemudian baru berkata, "Aku tahu
orang ini ingin membunuhmu, dia juga melarikan diri dari sini."
Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bagaimana kau bisa tahu?"
"Ada yang memberi tahu."
"Siapa?" Sun Jian memperlihatan batu berbungkus kertas.
Lao Bo hanya melirik sejenak, wajahnya tetap tanpa ekspresi. "Hanya ingin
kutanya padamu, siapa yang pernah melarikan diri dari sini?"
"Tidak seorang pun."
"Kalau bisa lari dari sini, artinya dia macam apa?"
"Pasti sangat lihai."
"Bila dia sangat lihai, apa tidak terpikir olehmu kau bisa merubuhkannya hanya
sekali pukul?" Sun Jian menjublak. Ia menilai Xiao He memang bukan orang yang sangat
lihai. Seketika ia sadar bahwa dirinya sudah diperalat orang lain.
Sun Jian berharap Lao Bo marah padanya atau setidaknya memukulnya
seperti waktu kecil dulu, sehingga perasaannya jadi lebih baik.
Nyatanya Lao Bo tidak perduli. Dan ini merupakan bentuk hukuman dari Lao
Bo. Bagi Sun Jian, hukuman seperti ini lebih menyakitkan.
* Saat berdua dengan Lu Xiang Chuan, Lao Bo menjelaskan alasannya. "Walau
Sun Jian sudah melakukan kebodohan, tapi bukan berarti tidak ada gunanya."
Lu Xiang Chuan hanya menutup mulut. Dalam keadaan ini, memang lebih baik
menutup mulut. Ia tidak ingin mencampuri urusan ayah dan anak, selain itu juga sudah
memahami maksud Lao Bo. Lao Bo sengaja ingin membuat Sun Jian marah. Saat Sun Jian marah,
kekuatan yang terpancar darinya sangat menakutkan. Bahkan Lao Bo pun
takut dibuatnya. Kekuatan, kemarahan, dan semangat Sun Jian sangat bermanfaat untuk
menghadapi musuh sekarang ini.
* Pagi. Sepagi ini sudah ada empat peti mati hadiah untuk Lao Bo dari Wan Peng
Wang. Empat peti mati berisi empat mayat dan satu manusia hidup.
Empat mayat itu adalah Wen Hu, Wen Bao, Wu Lao Dao, dan Dai Dai.
Satu-satunya yang hidup hanya Xiao Wu.
Tubuh Xiao Wu dijadikan satu peti dengan Dai Dai yang telanjang bulat.
Jelas pengantin wanita habis diperkosa beramai-ramai.
15. Jebakan di Pemakaman Begitu peti dibuka, Lao Bo melihat sepasang mata Xiao Wu. Ia masih hidup,
tapi tulang di sekujur tubuhnya remuk.
Xiao Wu sangat menyesal, hanya dirinya yang masih hidup, bahkan harus
menyaksikan Dai Dai diperkosa beramai-ramai di hadapannya sebelum
dibunuh. Biji mata Xiao Wu melotot seperti ikan mati, memandangi Lao Bo. Tidak ada
yang bisa menggambarkan kesedihan dan kemarahan yang terpancar di sana.
Seumur hidup Lao Bo sering melihat manusia meregang ajal, tapi sekali ini ia
merinding, keringat dingin membasahi tangan dan kakinya.
Apalagi Lu Xiang Chuan, hampir muntah. Tapi ia mengagumi Lao Bo.
Dalam keadaan itu, Lao Bo masih bisa membungkuk berbisik di telinga Xiao
Wu, "Aku akan membalaskan dendammu."
Mendengar perkatan itu, mata Xiao Wu perlahan terpejam. Wajahnya terlihat
tenang. Ia percaya Lao Bo akan membuktikan ucapannya. Nafasnya berhenti.
Empat mayat kini menjadi lima.
Melihat kondisi kelima mayat itu, Lu Xiang Chuan akhirnya benar-benar
muntah. Saat itu Lao Bo berkata dingin, "Paling tidak sekarang terbukti pemuda marga
He itu bukan suruhan Wan Peng Wang."
Lu Xiang Chuan hanya bisa bertanya dengan matanya.
"Dengan mengirim empat peti ini, Wan Peng Wang secara terang-terangan
mengajakku perang," jelas Lao Bo, "Ia tidak perlu bercapai lelah melempar
batu sembunyi tangan guna membungkam mulut pemuda He itu!"
Lu Xiang Chuan terkejut. Jika bukan Wan Peng Wang, lantas siapa tokoh di
belakang pemuda itu" Apa ada musuh lain"
Lao Bo menghela nafas. "Sebenarnya kita masih bisa menyelidiki siapa orang
itu. Tapi, sayang"," dingin Lao Bo memandang Sun Jian.
Nadi di dahi Sun Jian seketika bermunculan.
Lu Xiang Chuan cepat menukas, "Kita masih bisa menyelidikinya?"
"Biar kita bicarakan hal itu nanti!" kata Lao Bo, "Sekarang sebaiknya
memikirkan cara menyerang balik Wan Peng Wang."
"Biar aku ke sana!" teriak Sun Jian, berniat menyatroni kediaman Wan Peng
Wang. "Untuk apa?" tukas Lao Bo, "Ia pasti sudah menunggumu mengantar nyawa!"
Sun Jian mengatup geraham kuat-kuat. Orang di luar pintu pun bisa
mendengar gemeretak giginya.
"Wan Peng Wang pasti menanti kita. Tapi kita tidak perlu ke sana. Biarkan dia
menunggu, kita harus lebih sabar daripadanya."
"Benar," jawab Lu Xiang Chuan. Ia tahu, menunggu memang pekerjaan
menjemukan, bahkan menguras energi.
Lao Bo merapihkan lengan bajunya. "Besok hari pemakaman enam dari Tujuh
Pemberani, Tie Cheng Gang sudah menguar undangan. Wan Peng Wang
tahu kita pasti mengirim orang guna mengucap balasungkawa. Kita pancing ia
melakukan serangan, kita buat ia salah perhitungan."
Belum habis perkataan Lao Bo, Sun Jian bergegas keluar ruangan dengan
langkah lebar. Lao Bo tidak menggubrisnya. Lu Xiang Chuan pun sibuk berpikir.
Entah apa yang dipikirnya, mungkin cara menghadapi Wan Peng Wang"
Malam semakin larut. Lao Bo bertanya, "Apa sudah menemukan cara menghadapi pemakaman
besok?" "Banyak pelayat akan datang," jawab Lu Xiang Chuan, "Di antara pelayat,
mungkin menyusup orang-orang Wan Peng Wan."
Lao Bo mengangguk. "Orang yang menggotong peti, menggali lubang, dan para biksu yang
membaca doa kita ganti dengan orang kita semua," usul Lu Xiang Chuan,
"Sehingga, kalau benar Wan Peng Wang menyusupkan orang di antara para
tetamu melakukan serangan, kita bisa lakukan pengepungan. Yang
kuhawatirkan, Wan Peng Wang malah tidak melakukan apa pun."
"Kehadiran Sun Jian pasti membuat Wan Peng Wang bergerak," sahut Lao
Bo. Lu Xiang Chuan paham maksud Lao Bo. Sebagai putra Sun Yu Bo, dengan
sendirinya Sun Jian merupakan umpan yang sangat menarik bagi musuh,
ibarat cahaya yang mengundang laron-laron berdatangan. Kematian Sun Jian
pasti pukulan telak bagi Lao Bo dan organisasinya.
"Tapi, apa kita tidak meresikokan nyawanya?" tanya Lu Xiang Chuan.
"Kalau semua sudah orang kita, apalagi harus dikhawatirkan" Lagi pula,
kutahu kemampuan Sun Jian. Tapi?" Lao Bo meremas kancing bajunya,
"walau Sun Jian di sana, kuduga Wa Peng Wang tidak akan turun tangan
sendiri. Karena itu, belum waktuku untuk muncul di depan umum."
"Aku ingin ke sana melihat-lihat," usul Lu Xiang Chuan.
Sikap Lao Bo tegas. "Kau tidak perlu pergi! Begitu mereka melihatmu, mereka
pasti menduga kita merencanakan sesuatu. Biarkan Sun Jian yang hadir,
semua tahu Tie Cheng Gang sahabatnya, sewajarnyalah dia di sana. Selain
itu?" pandangan Lao Bo beralih pada Xiao He yang sekarat, ?" kau masih
punya tugas lain." Lu Xiang Chuan hanya mengangguk.
Lao Bo melanjutkan, "Biar aku yang menghadapi Wan Peng Wang. Tugasmu
menelusuri siapa bos anak ini, dengan cara apa pun! Tapi, jangan libatkan
orang lain selain kita berdua."
Lu Xiang Chuan kembali mengangguk, memandang Xiao He. "Aku tidak akan
membiarkan dia mati. Seandainya mati pun pasti akan kupikirkan cara lain."
* Pagi. Luka Tie Cheng Gang belum sembuh, tapi semangatnya sudah kembali.
Di hadapan Tie Cheng Gang, berjajar peti mati teman-temannya, enam dari
Tujuh Pemberani. Ia tidak meneteskan air mata, begitu tabah. Banyak pelayat datang
berbalasungkawa, tapi Tie Cheng Gang tidak terlalu memperdulikan mereka.
Ia terus termenung memandangi jejeran peti mati itu.
Ketika pelayat sudah semakin banyak, tiba-tiba Tie Cheng Gang membalik
tubuh, menghadapi tetamu yang datang.
Perlahan ia berkata, "Teman-temanku dibunuh dan difitnah, tapi aku justeru
melarikan diri seperti anjing..," begitu ia memulai pidato, tanpa ucapan terima
kasih pada tetamu atau ungkapan kata sedih.
Tidak ada yang tahu maksud dan arah pembicaraannya. Karena itu, semua
diam mendengarkan. Tie Cheng Gang terus berkata, ?" Aku melarikan diri bukan karena takut mati,
melainkan menunggu hari ini untuk membersihkan nama baik mereka.
Sekarang, nama baik sudah pulih, aku tidak punya alasan untuk hidup lebih
jauh lagi?" Begitu habis perkataan, ia langsung mengeluarkan pisau menggorok leher
sendiri. Seperti air mancur, darah segar menyembur dari tenggorokannya yang
terbelah. Perubahan itu begitu cepat. Sedemikian cepatnya sehingga tidak bisa dicegah
siapa pun. Kepalanya jatuh menggelinding ke samping, tapi tubuhnya masih gagah
berdiri. Setelah lama baru terkulai roboh ke atas salah satu peti mati.
Seketika orang-orang tersadar dan berteriak-teriak. Panik. Terkejut. Ada yang
mundur, ada yang maju. Hanya Sun Jian yang diam tegak berdiri.
Di tengah kehebohan, empat lelaki bergerak berlarian. Kalau Sun Jian tidak
menghindar, mereka pasti menabraknya.
Tiba-tiba empat lelaki itu menghunus pisau, dari empat arah berbarengan
menusuk Sun Jian. Ujung pisau hampir mengenai Sun Jian, tahu-tahu kepalan tangannya
bergerak, cepat dan kuat, membuat keempat penyerangnya seketika terkapar.
Dari kerumunan tiba-tiba terdengar teriakan, "Awas, hati-hati dengan orang
yang mengenakan tali putih di tangan kanan!"
Sesuai kebiasaan, kebanyakan pelayat mengenakan tali putih di tangan kiri.
Empat yang tewas di tangan Sun Jian semua mengenakan tali putih di lengan
kanan. Dan sekarang masih ada 20 pelayat lagi yang mengenakan tali putih di
tangan kanan. Seketika kerumunan bubar ke samping, tertinggal 20 orang itu di
tengah-tengah. "Orang yang menggotong peti, menggali lubang, dan para biksu yang
membaca doa sudah diganti dengan orang kita semua," begitu yang
disampaikan Lu Xiang Chuan pada Lao Bo semalam.
Maka penggotong peti, penggali lubang, dan para biksu langsung menghadapi
20 tetamu yang mengenakan kain putih di tangan kanan.
Seketika terdengar teriakan menyayat. Dalam waktu singkat, dari 20 tetamu itu
hanya tertinggal tiga saja yang berada di dekat Sun Jian.
Mereka sengaja meninggalkan ketiga lelaki itu untuk Sun Jian. Sementara Sun
Jian gusar memandangi mereka.
Ketiga lelaki itu gemetar, baju pun basah berkeringat dingin. Salah satu di
antaranya terbungkuk. Seketika tercium bau pesing menyengat. Ia sudah
terkencing-kencing. "Aku bukan salah satu dari mereka?" lelaki itu terbata.
Kata-katanya belum selesai, lelaki kedua sudah mengayun pisau memenggal
kepalanya. Darah menyembur seperti bunga salju berceceran. Kepala lelaki pertama
menggelinding ke samping, matanya masih terbuka meneteskan airmata.
Kini Sun Jian menatap lelaki kedua.
"Mati ya mati, tidak perlu disesali!" Seketika lelaki kedua mengayun pisau
menggorok leher sendiri. Tiba-tiba Sun Jian menjulurkan tangan, tahu-tahu ia sudah memegang lengan
lelaki itu. Tulang tangan lelaki itu hancur seketika, pisaunya terjatuh.
"Kenapa" Aku tidak boleh mati?" tanyanya penasaran.
"Tidak boleh!" tegas Sun Jian sambil tetap memegang lengannya.
Tidak terduga, lelaki ketiga menyambit pisau ke arah Sun Jian. Dengan gesit,
Sun Jian menjatuhkan diri, melepas tangan yang menggenggam lelaki kedua.
Jarak begitu dekat, terlambat sedikit pasti kena.
Pisau meluncur beberapa senti di bawah ketiak Sun Jian, melayang terus ke
sana, menancap tepat di dada lelaki kedua yang tangannya diremukkan Sun
Jian. Cepat Sun Jian berdiri tegak menyusun kuda-kuda, tapi lelaki ketiga sudah
mengepruk kepala sendiri.
* Pagi. "Aku lebih dulu harus membunuhnya!" begitu pernah Meng Xin Hun berkata
pada Ye Xiang. Selama beberapa waktu lalu, Meng Xin Hun sudah mencari tahu tempat
kediaman si Jubah Kelabu, dan pagi ini ia benar-benar membulatkan tekad.
Daripada si Jubah Kelabu memburunya karena telah membunuh Lao Bo,
maka lebih baik membunuh si Jubah Kelabu terlebih dahulu sebelum ia
waspada, baru setelah itu membunuh Lao Bo!
* Si Jubah Kelabu tidak mirip orang yang senang memelihara ikan. Namun pada
kenyataannya, ia memang senang memelihara ikan.
Ikan yang dipeliharanya cukup banyak. Ada yang di dalam akuarium, ada juga
yang di dalam mangkuk arak.
Ia banyak menghabiskan waktunya di sisi kolam, atau di depan akuarium
memandangi ikan-ikan yang berenang hilir mudik.
Di saat seperti itu, ia bisa melupakan segala masalah dan kesulitan hidup. Ia
merasa seperti ikan yang berenang tenang.
Sebetulnya ia pernah memiliki keinginan memelihara burung. Burung dapat
bebas kemana pun terbang dibanding ikan yang hanya berenang di air tenang.
Sayangnya, ia tidak bisa memelihara burung di alam bebas. Bila burung di
kurung di dalam sangkar, akan hilang kebebasannya. Maka, burung itu bukan
lagi burung yang bebas. Karenanya, ia lebih suka memelihara ikan.
Orang yang suka memelihara ikan biasanya orang yang kesepian. Ia pun
demikian. Ia tidak punya teman, tidak punya pelayan, tidak punya keluarga. Ia tidak mau
mendekati orang, juga tidak mau didekati orang. Karena, ia menganggap tidak
ada yang bisa dipercaya. Kecuali, Lao Bo.
Tidak ada yang setia pada Lao Bo melebihi dirinya. Bahkan bila mempunyai
ayah, demi Lao Bo, ia rela membunuh ayah kandung sendiri.
Ia senang memancing. Cara memancingnya sama seperti orang lain, hanya tujuannya berbeda.
Ia senang melihat ikan menggelepar di ujung pancingnya, sama senangnya
melihat orang menggelepar menjelang ajalnya.
Sampai saat ini, ia belum menemukan orang yang mampu menghadapi ajal
tanpa takut. Mungkin, hanya Lao Bo yang mampu menghadapi kematian tanpa
gentar. Di hatinya, Lao Bo bagaikan dewa. Apa pun yang dilakukan Lao Bo, ia anggap
benar. Apa pun perlakuan Lao Bo atas dirinya, ia terima. Terkadang, ia tidak
tahu kenapa Lao Bo memperlakukannya begitu, tapi ia percaya Lao Bo pasti
memiliki cukup alasan. Ada satu perbedaan mendasar antara dirinya dengan Lao Bo. Ia senang
membunuh, tapi Lao Bo tidak senang membunuh.
Karenanya, ia sering melampiaskan kesenangannya membunuh pada ikan.
Terkadang ia menaruh seekor ikan di dalam sangkar, menjemurnya di bawah
matahari. Ia sangat menikmati saat-saat ikan itu menggelepar menjelang ajal,
saat ikan itu megap-megap kehabisan nafas, dan mati pelan-pelan. Begitu
juga perasaannya pada manusia yang meregang ajal.
Hanya ada satu orang seperti itu di dunia ini, tidak ada yang lain. Orang itu
adalah dirinya, si Jubah Kelabu.
Dan si Jubah Kelabu adalah Han Tang.
*
Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Orang yang senang memelihara ikan adalah orang yang aneh. Mencari orang
yang aneh tidaklah sulit bagi Meng Xin Hun.
Siang. Sinar matahari menyinari kolam ikan. Kemilaunya menyilaukan mata.
Di sisi kolam sana ia melihat Han Tang baru saja menarik keluar pancingnya.
Di ujungnya, seekor ikan menggelepar. Dan Han Tang tampak sangat
menikmati setiap gelepar itu.
Meng Xin Hun berhari-hari sudah memikirkan cara menghadapi Han Tang.
Tapi tidak satu pun cara memuaskan yang berhasil ia temukan.
Akhirnya Meng Xin Hun memutuskan satu cara yang paling mudah dan
langsung, yaitu mendatangi Han Tang.
Kalau memiliki kesempatan, ia akan membunuh. Kalau tidak ada kesempatan,
ia yang akan dibunuh. Apa pun hasilnya, Meng Xin Hun tidak terlalu perduli. Membunuh orang seperti
Han Tang harus berani mempetaruhkan nyawa. Bila tidak, cara apa pun yang
ditempuh pasti tidak berguna.
Sekarang Meng Xin Hun sudah menemui Han Tang dan langsung
menghampirinya. * Siang. Sinar matahari menyinari mayat-mayat bergelimpangan. Kemilaunya
menyilaukan mata. Darah sudah meresap ke dalam tanah. Mayat-mayat berubah menjadi kaku.
Tujuh Pemberani seluruhnya sudah mati.
Walau mayat Tie Cheng Gang tertelungkup di atas salah satu peti mati, dalam
perasaan Sun Jian seolah ia masih tegak berdiri.
Tie Cheng Gang adalah teman sejatinya. Walau Tie Cheng gang sudah mati,
namun kepahlawannnya akan tetap dikenang dunia persilatan.
Para penggotong peti mati, penggali lubang, para biksu pembaca doa, serta
sebagian tetamu masih berjaga khidmat di sekitar Sun Jian.
Sementara Sun Jian masih berdiri menjublak entah berapa lama, tiba-tiba ia
merasa air matanya begitu penuh.
Perlahan, ia berlutut. Seumur hidupnya, ia belum pernah berlutut. Entah orang itu hidup atau mati, ia
belum pernah berlutut. Sekarang ia rela berlutut. Karena hanya dengan berlutut, ia bisa memberikan
penghormatannya pada Tie Cheng Gang.
Sun Jian menutup mata, berdoa.
Baru saja memejam mata buat berdoa, tiba-tiba ia mengendus wewangian
yang aneh sekali. Wewangian itu keluar dari dalam peti mati di mana tubuh Tie Cheng Gang
tertelungkup. Asap pembius! Sun Jian murka. Ia mengayun tangan coba mengepruk tutup peti mati hingga
hancur. Walau Sun Jian coba mengelak asap dengan menahan nafas, tapi terlambat.
Ia sudah kadung menghirup asap pembius. Tubuhnya lemas tanpa tenaga.
Dari dalam peti mati, sebilah pedang berkelebat menusuk dada Sun Jian,
tembus hingga ke punggung.
Darah segar muncrat. Mengalir di ujung pedang.
Seperti kebanyakan orang, darah Sun Jian berwarna merah segar. Matanya
melotot marah pada sosok di dalam peti mati.
Lelaki di dalam peti meninggalkan pedang di dada Sun Jian, berusaha
meloloskan diri. Dari sudut matanya, lelaki itu masih sempat melihat Sun Jian roboh, tapi
tiba-tiba ia pun merasa lengannya lemas.
Saat rasa lemasnya hilang, ia sudah melihat cahaya pisau berkelebat,
memotongnya menjadi daging cincang.
Semua berlangsung begitu cepat. Tidak ada yang mengeluarkan suara, tidak
ada yang bergerak. Semua terperangah, nafas pun ikut terhenti, terbelalak
memandang mayat Sun Jian.
Mereka merasa tangan dan jari menjadi dingin. Keringat juga menetesi
punggung. Sun Jian benar-benar sudah mati. Ternyata orang sekuat Sun Jian pun bisa
mati. Tidak ada yang percaya, tapi semua harus percaya, karena mereka melihat
dengan kepala sendiri. Siapa lelaki di dalam peti mati" Mengapa ia bisa bersembunyi di sana"
Itu tidak mungkin, karena mulai dari penggali lubang, penggotong peti, hingga
pembaca doa sudah diganti dengan orang Lao Bo.
Maka mereka mulai mengalihkan pandang kepada para penggotong peti mati.
Tiba-tiba dua di antaranya berteriak ketakutan "Ini bukan ide kami". Sungguh,
ini semua bukan idea kami" Ini semua ide?"
Belum habis ucapannya, di antara kerumunan orang-orang terdengar teriakan,
"Bunuuuhhh!" * Lao Bo seperti patung. Di depannya, sebuah peti. Di dalamnya, jazad putra tunggalnya. Pedang
masih menempel di dada Sun Jian.
Lao Bo sangat paham anaknya. Sungguh, ia sama sekali tidak percaya di
dunia ini ada yang bisa menusuk dada Sun Jian dengan pedang.
Siapa yang menusuk Sun Jian" Siapa yang memiliki kepandaian begitu tinggi"
Sebenarnya apa yang sudah terjadi di pemakaman para pemberani itu"
Tidak ada yang tahu. Semua yang hadir di sana tidak satu pun yang hidup.
Lao Bo masih mematung, wajahnya tetap tanpa ekspresi. Tiba-tiba di sudut
matanya menggenang setitik air.
Lu Xiang Chuan pun menunduk.
Organisasi Lao Bo sebenarnya sangat sempurna. Sedemikian sempurnanya,
seperti sebuah telur. Tapi sekarang organisasi ini ada celahnya. Walau
celahnya hanya setitik jarum, tapi putih dan kuning telur dapat menetes terus.
Bila telah menetes habis, telur akan kosong. Walau tidak pecah, telur itu tidak
berharga lagi. Lao Bo harus mencari celah itu.
Tapi, sekarang ia belum bisa menemukannya. Yang pasti, setiap orang di
dalam organisasi ini mungkin membuat celah itu.
Hanya satu yang bisa dipercaya.
"Panggil Han Tang!" perintah Lao Bo singkat sambil membalik tubuh.
16. Han Tang v Meng Xin Hun
Saat Meng Xin Hun mendekati Han Tang, hatinya sangat tegang sekaligus
bergairah layaknya prajurit yang baru pertama bertempur di medan perang.
Meng Xin Hun ingin mencabut nyawa Han Tang bukan semata menuntaskan
order Gao Lao Da membunuh Lao Bo, tapi juga untuk diri sendiri.
Umumnya setiap orang mencari makna hidupnya. Walau selalu mencari
sesuatu dalam hidup, Meng Xin Hun tidak tahu apa yang dicarinya. Terus
menerus mencari, tentu menjemukan. Ia sudah lelah mencari, berharap
setelah membunuh Han Tang akan kembali seperti dulu.
Agar hidup bisa bergairah, setiap orang pasti membutukan tantangan,
menginginkan lawan yang kuat. Untuk itu, ia rela mengorbankan apa pun.
Langkah Meng Xin Hun begitu ringan seperti kucing yang mengendap. Ia
sudah biasa melatih langkah seperti itu, hingga menjadi kebiasaannya.
Kebiasan yang terus menerus diulangi akhirnya menjadi karakternya. Maka,
tanpa disadari pun ia sudah melangkah seperti itu.
Han Tang diam di tempat, tetap memandangi pelampung pancingnya yang
mengapung di permukaan kolam.
"Kau datang buat membunuhku?" tiba-tiba Han Tang bertanya tanpa
berpaling. Seketika Meng Xin Hun menghentikan langkah.
Han Tang tidak menoleh. Langkah Meng Xin Hun seringan kucing yang
mengendap. Ia pun belum menegur Han Tang. Apakah pendengaran Han
Tang sedemikian tajam"
Han Tang kembali bertanya, "Sudah berapa yang kau bunuh?"
"Sangat banyak," jawab meng Xin Hun.
"Pasti sangat banyak, kalau tidak langkahmu tidak seringan itu."
Han Tang tidak suka bertele-tele, langsung memuji. Namun di balik pujiannya,
justeru terkandung celaan.
Hanya orang yang berhati tenang bisa memiliki langkah yang ringan.
Orang yang ingin membunuh, hatinya pasti tidak tenang. Meng Xin Hun datang
untuk membunuh, dengan sendirinya jantungnya berdebar dan hati tidak
tenang. Walau Han Tang tidak mengutarakan celaannya, Meng Xin Hun tahu
maksudnya. Seketika telapak tanganya menjadi basah. Han Tang sungguh
orang yang menakutkan. "Apa kau tahu siapa aku?" tanya Han Tang.
"Aku tahu," jawab meng Xin Hun.
Tiba-tiba Han Tang mengutarakan sesuatu yang tak terduga. "Baiklah, kalau
begitu mari kita memancing."
Undangan yang aneh, jarang seseorang mengundang orang yang ingin
membunuhnya. Lantas, mana ada orang yang mau menerima"
Nyatanya Meng Xin Hun justeru menerima, berjalan menghampiri Han Tang,
duduk beberapa meter darinya.
Han Tang mengambil sebuah galah pancing di sisinya, memegangnya
beberapa saat, sebelum akhirnya melemparkannya.
Meng Xin Hun sigap menangkap. "Terima kasih."
"Umpan apa yang biasa kau gunakan?" tanya Han Tang.
"Aku memakai dua macam umpan," jawab Meng Xin Hun.
"Umpan macam apa?"
"Yang satu umpan yang paling disukai ikan. Satunya lagi, umpan yang paling
kusukai." Han Tang mengangguk. "Keduanya sangat baik."
"Lebih baik lagi tidak menggunakan umpan, biarkan itu yang memancingku."
Han Tang terdiam. Hingga saat ini ia tidak melihat Meng Xin Hun dan sama sekali tidak ada niat
buat melihat Meng Xin Hun.
Sebaliknya Meng Xin Hun ingin melihat Han Tang.
Wajah Han Tang sangat biasa. Hidung, mata, mulut pun biasa. Ia seperti
orang biasa yang sehari-hari Meng Xin Hun temui.
Wajah yang biasa ini bila dipasang di tubuh orang lain tidak akan diperhatikan
siapa pun. Tapi karena dipasang di tubuh Han Tang, maka hal yang biasa
menjadi luar biasa. Melihat Han Tang, jantung Meng Xin Hun berdebar kencang, hampir
membuatnya tidak bisa bernafas. Guna mengusir tegang, ia melempar pancing
Nurseta Satria Karang Tirta 2 Lentera Maut ( Ang Teng Hek Mo) Karya Khu Lung Pedang Medali Naga 18
sudah mencelakai orang, kau harus bertanggung jawab. Biar pun sifat Nona
Xu tidak begitu baik, kau tetap harus mengalah."
Siapa pun melakukan kesalahan harus dihukum. Sepertinya hanya Lao Bo
yang bisa memikirkan cara menghukum Wen Bao.
"Bila Tuan Xu tidak mengijikan, bagaimana?" tanya Wen Bao.
"Tuan Xu pasti mengijinkan. Apalagi, sekarang," jawab Lao Bo.
Siapa pun bisa menduga, Xu Qing Song pasti setuju, takut putrinya tidak bisa
menikah lagi, pun Wen Bao pemuda yang baik.
* Lao Bo menggunting dedaunan yang berlebihan. Ia tidak suka bunga yang
terlalu banyak daun karena merusak keindahan.
Ia juga tidak suka melihat hal yang rumit, karena kerumitan adalah sesuatu
yang berlebihan dan harus bisa disederhanakan.
Anak buah Lao Bo yang benar-benar bisa diandalkan tidak terlalu banyak, tapi
ia percaya setiap anak buahnya punya kemampuan tinggi dan sangat setia
padanya. Lao Bo selalu puas pada anak buahnya. Ia pun tahu mereka selalu
melaksanakan tugas dengan baik. Karenanya, sudah lama Lao Bo tidak turun
tangan langsung di lapangan.
Walau ia lama tidak turun tangan, Lao Bo yakin masih punya kekuatan yang
cukup untuk mengalahkan lawan-lawannya.
Sewaktu pedang Yi Shi menyerang, Lao Bo sudah membaca kekurangan ilmu
pedang lawan. Biar pun tidak dilindungi anak buah, ia tetap bisa mengalahkan
Yi Shi. Dalam bertempur, Lao Bo selalu menunggu kesempatan terakhir mengalahkan
lawan, karena di saat itulah lawan berada dalam keadaan lengah dan lelah,
tenaga belum sepenuhnya pulih. Lawan-lawannya selalu mengira, kesempatan
terakhir pasti berhasil. Di saat terakhir yang sangat menetukan itu, Lao Bo
biasanya melakukan serangan balik.
Serangan balik yang mematikan.
Hanya saja menunggu dan menentukan saat tepat melancarkan serangan
balik yang mematikan tidaklah mudah. Dibutuhkan kesabaran, keberanian,
ketenangan, serta pengalaman yang luas.
Sampai di sini, Lao Bo menghela nafas. Ia tahu Lu Xiang Chuan bukan anak
kandungnya, tapi kesetiaannya melebihi Sun Jian anak kandung sendiri.
Lao Bo sangat percaya dan suka pada Lu Xiang Chuan. Ia membagi separuh
harta dan usahanya kepada Lu Xiang Chuan karena sifatnya sangat tenang
dan lincah. Sifat ini sangat berlawanan dengan Sun Jian yang ceroboh dan pemarah.
Bisnis Lao Bo sangat luas dan besar, ia harus memiliki anak buah semacam
Lu Xiang Chuan untuk menjaga dan meneruskan usahanya. Apalagi ketika
dulu di awal mendirikan bisnis, tidaklah mudah.
Perjuangan awal membutuhkan curahan tenaga, air mata, dan jiwa-jiwa muda
pemberani seperti Lu Xiang Chuan.
Tiba-tiba Lao Bo teringat lelaki berjubah kelabu.
Di hadapan anak buahnya ia tidak pernah membicarakan lelaki ini, tapi anak
buahnya bisa menduga lelaki jubah kelabu pernah muncul dalam kehidupan
Lao Bo. Demi Lao Bo, si Jubah Kelabu rela melakukan hal yang orang lain belum
pernah lakukan. Sesungguhnya Lao Bo menyadari, jika membiarkan si Jubah Kelabu tetap
hidup, bisa menambah kesulitan. Dalam melakukan pekerjaannya, lelaki itu
selalu menggunakan kekerasan. Sementara Lao Bo punya cara yang lebih jitu
daripada menempuh jalan kekerasan.
Dalam kematangan usianya sekarang, Lao Bo bukan ingin melenyapkan
nyawa orang, melainkan ingin mendapatkan kesetiaan dan penghormatan.
Sebab, bagi Lao Bo, membunuh tidak ada gunanya sama sekali. Tapi,
mendapatkan penghormatan dan kesetiaan akan lebih bermanfaat.
Alasan dan kemauan Lao Bo ini tidak dimengerti Sun Jian yang masih muda,
apalagi lelaki jubah kelabu itu.
Lao Bo menarik nafas. Sungguh, ia tidak suka cara-cara yang ditempuh si
Jubah Kelabu. * Setiap orang yang menjalankan bisnis pasti memiliki rahasia, karenanya
disebut rahasia bisnis. Tapi dengan si Jubah Kelabu, rahasia bisnis tidak bisa
lagi disebut rahasia. Si Jubah Kelabu mengetahui terlalu banyak rahasia Lao Bo.
Seperti pada kebanyakan orang, jika rahasianya diketahui terlalu banyak,
mungkin sudah sejak dulu si Jubah Kelabu dilenyapkan. Tapi, Lao Bo bukan
kebanyakan orang. Karena itu, si Jubah Kelabu tidak ia lenyapkan.
Itulah perbedaan Lao Bo dengan orang lain.
Dalam mencapai tujuan, terkadang Lao Bo menghalalkan segala cara. Namun
dalam segala cara yang halal itu sedapat mungkin ia mengharamkan
pembunuhan. Lao Bo sangat menghargai jiwa orang dan sangat lapang dada
serta berjiwa besar. Tidak ada yang bisa membantah ini.
Seberapa banyak dan besarnyakah bisnis Lao Bo" Dalam bidang apa saja
usahanya" Ini adalah rahasia. Kecuali Lao Bo sendiri, mungkin tidak ada yang tahu. Yang
pasti, usahanya begitu banyak sehingga harus melibatkan begitu banyak
orang. Karenanya, Lao Bo terus mencari tenaga-tenaga muda berbakat. Dalam hal
ini, matanya sangat trampil menilai seseorang.
Dalam penilaiannya itulah nama Chen Zhi Ming muncul ke perhatiannya.
Lao Bo sangat menyukai pemuda bernama Chen Zhi Ming. Ia merasa, asalkan
diarahkan dan dilatih, sebentar saja pemuda itu akan menjadi pembantu yang
berguna. Tapi sayang semenjak hari ulang tahunnya pemuda itu tidak muncul
lagi. "Sepertinya aku sudah semakin tua, banyak hal tidak bisa dijalankan
sempurna, sampai lupa meminta alamatnya," sesal Lao Bo dalam hati.
Lao Bo menarik nafas dan menepuk-nepuk pinggang sendiri. Ia memandang
matahari yang terbenam. Apakah dirinya sudah seperti matahari itu, sebentar
lagi harus tenggelam"
Sesaat ia teringat Lu Xiang Chuan. Tiap kali Lu Xiang Chuan menjalankan
tugas, Lao Bo tidak pernah khawatir.
Tapi kali ini Lao Bo tidak setenang biasanya. Lao Bo tahu kekuatan Wan Peng
Wang dan juga sangat tahu cara apa yang biasa dipakai Wan Peng Wang.
Terlalu menghawatirkan anak buah menjalankan tugas adalah perasaan
seorang tua, Lao Bo menghela nafas. Mungkin ia memang sudah tua.
Di bawah mentari senja ia berjalan menuju rumah. Sesaat melintas dalam
benak Lao Bo untuk melepas segala kegiatan bisnisnya.
Mungkin sudah waktunya pensiun"
Tapi itu hanya pemikiran sesaat. Begitu matahari terbit esok pagi, Lao Bo akan
mengubah pikirannya lagi.
Di dunia ini ada semacam orang yang tidak bisa dikalahkan oleh apa pun,
termasuk "tua" dan "kematian".
Orang semacam itu tidak banyak, dan Lao Bo salah satunya.
* Sewaktu Lu Xiang Chuan berada di dalam kereta, yang dipikirkannya bukan
bagaimana cara memperlakukan Wan Peng Wang. Yang dipikirkannya adalah
si Pembunuh Berjubah Kelabu yang membunuh orang seperti memotong
rumput. Sewaktu si Jubah Kelabu mencabut nyawa Huang Shan San You, Lu Xiang
Chuan tidak sempat melihat wajah yang sudah langsung dilumuri darah itu.
Tapi sepertinya ia bisa menebak siapa orang ini. Namun Lu Xiang Chuan tidak
berani bertanya pada Lao Bo.
Hal yang Lao Bo tidak mau bicarakan, tidak ada yang berani memaksanya.
Jika Lao Bo tidak mau membicarakan, bertanya pun sia-sia.
Perasaan Lu Xiang Chuan menyatakan, si Jubah Kelabu adalah Han Tang.
Cara orang ini membunuh sangat kejam dan cepat. Lu Xiang Chuan
selamanya belum pernah melihat orang membunuh secepat dan sekejam itu.
Lao Bo pernah bilang pada Lu Xiang Chuan, pekerjaan Han Tang tidak pernah
dilakukan orang lain, nanti pun tidak ada orang yang bisa melakukannya.
Kedudukan Lu Xiang Chuan semakin tahun semakin tinggi, kekuasaannya
semakin besar. Ia sudah memimpin banyak bawahan. Tapi ia tahu, biar pun
memakai semua cara guna mencari tahu tentang Han Tang, percuma saja.
Meteor, Kupu-kupu dan Pedang I -2
By admin " Nov 1st, 2008 " Category: 2. Silat China, KL - Meteor, Kupu-kupu
dan Pedang Semua orang pasti punya masa lalu, tapi Han Tang sepertinya tidak memiliki
masa lalu. * Kereta kuda yang dinaiki Lu Xiang Chuan sangat indah.
Kereta itu seperti sebuah tempat tidur yang nyaman, begitu empuk, getaran
pun hampir tidak terasa. Bila Lu Xiang Chuan menjalankan tugas, ia akan melakukannya dengan
sepenuh hati dan konsentrasi. Selain apa yang harus ia kerjakan, hal lain tidak
terlintas di benaknya. Yang ia tahu, tugas kali ini teramat sulit.
"Lelaki harus seperti lelaki, kata-katanya harus seperti lelaki, kerjanya pun
harus seperti lelaki," begitu kalimat yang sering diucapkan Lao Bo.
Dan masalah antara Lao Bo dan Wan Peng Wang adalah masalah lelaki.
Orang lain akan merasa aneh, karena urusan sepele Lao Bo sampai
bermusuhan dengan Wan Peng Wang.
Hanya Lu Xiang Chuan yang mengerti maksud Lao Bo.
Sasaran misi Lao Bo sebenarnya adalah Wan Peng Wang sendiri. Jika kali ini
Wan Peng Wang merestui hubungan Dai Dai dengan Xiao Wu, berarti ia
sudah tunduk pada Lao Bo dan ia akan berteman dengan Lao Bo. Bila tidak, ia
akan menjadi musuh Lao Bo.
Lao Bo pernah berkata, "Aku tidak begitu mengerti orang. Bagiku, di dunia ini
hanya ada dua jenis manusia. Kalau dia bukan musuh berarti dia adalah
teman. Apakah ingin menjadi musuh atau teman, tergantung diri sendiri. Tidak
ada pilihan lain!" Lu Xiang Chuan tahu, dalam prakteknya, Lao Bo tidak pernah memberi
kesempatan pada orang lain untuk memilih. Karena siapa pun yang memilih
jadi musuh Lao Bo, pasti mati.
Masalahnya, Wan Peng Wang bukanlah seorang penakut. Pilihan yang ia
ambil mungkin tidak sama dengan orang lain. Kalau ia memilih jadi musuh Lao
Bo, banjir darah pasti terjadi.
Seandainya hal ini benar terjadi, begitu pikir Lu Xiang Chuan, barangkali Lao
Bo masih bisa menang meski resikonya sangat tinggi.
9. Wan Peng Wang Lu Xiang Chuan sangat teliti. Sebelum menjalankan tugas, ia sudah
menyelidiki Wan Peng Wang sedetil mungkin.
Wan Peng Wang tidak bermarga Wan, juga tidak bermarga Wang. Konon, ia
anak haram yang tidak jelas bapak dan dibuang ibunya. Tapi, tidak ada yang
bisa membuktikan cerita ini.
Sebelum berumur tujuh belas, tidak ada yang tahu asalnya. Sesudah berumur
tujuh belas, ia sudah bekerja pada sebuah perusahaan. Setengah tahun
kemudian, ia sudah naik jabatan. Pada umur sembilan belas, ia membunuh
bos perusahaannya kemudian menjadi bos perusahaan itu.
Tapi, setahun kemudian ia menjual perusahaan dan menjadi seorang polisi.
Dalam tiga tahun, ia sudah menangkap dua puluh sembilan penjahat,
membunuh delapan orang, sisanya ia lepaskan.
Semenjak itu, ia punya dua puluh satu pembantu yang sangat setia padanya.
Waktu berumur dua puluh empat, ia keluar dari kepolisian dan mendirikan
perkumpulan Da Peng. Mula-mula hanya memimpin 100 orang, tapi sekarang
anak buahnya sudah mencapai puluhan ribu orang. Kekayaanya sudah tidak
terhitung lagi. Dulu, tidak ada yang perduli pada kata-katanya. Sekarang, kata-katanya
adalah perintah. Semua kejayaan dan kekayaannya tidak datang tiba-tiba, melainkan melalui
pertarungan hidup mati. Apalagi beberapa tahun ini terdengar kabar Wan Peng Wang telah
mendapatkan sebuah rahasia kungfu aneh yang ia beri nama Fei Peng Si Shi
Jiu Shi. Ilmu telapak tangan itu sangat dahsyat, jarang ada yang bisa
menandingi. Lu Xiang Chuan merasa tugasnya sangat berat. Apakah pertarungan antara
Lao Bo dengan Wan Peng Wang tidak bisa dihindari" Bagaimana akhirnya"
Lu Xiang Chuan tidak berani memastikannya.
Sungguh, bila bukan terpaksa, Lu Xiang Chuan tidak ingin pertentangan ini
terjadi! * Lu Xiang Chuan khawatir, Wan Peng Wang tidak sudi bertemu dengannya,
maka ia sengaja mengajak Nan Gong Yuan.
Nan Gong Yuan adalah turunan keluarga Nan Gong terakhir. Ia seorang
terpelajar, juga pesilat dan play boy yang terkenal. Orang sepertinya sangat
senang menghamburkan uang. Kekayaan keluarganya semakin lama semakin
menipis dan serkarang ia sering meminjam uang pada Lao Bo.
Lu Xiang Chuan percaya, Nan Gong Yuan tidak akan mau kehilangan teman
seperti Lao Bo. Karenanya, pasti akan membantunya.
Kebetulan Nan Gong Yuan juga teman Wan Peng Wang.
Wan Peng Wang seorang lelaki berduit. Semakin tinggi kedudukannya,
hobinya semakin banyak. Ia senang perempuan, suka berjudi dan berkuda,
juga senang mempelajari etika.
Kebetulan kesenangannya sama seperti Nan Gong Yuan, dan Nan Gong Yuan
adalah ahli di bidang itu. Karena itulah mereka bisa berteman.
* Kereta kuda berhenti di luar hutan.
Seseorang berdiri di tepi hutan bertubuh tinggi dan gagah, memakai baju
seputih salju. Di bawah pohon tersedia meja, kursi, kecapi, dan arak. Juga seekor kuda yang
tinggi dan bagus. Lelaki itu dari jauh terlihat masih sangat muda, tapi sudah terlihat keriput di
sudut matanya. Ia tampak begitu dewasa dan luwes, sulit dibandingkan
dengan siapa pun. Lu Xiang Chuan turun dari kereta dan mendekati Nan Gong Yuan. Melihat
wajah Nan Gong Yuan yang terlihat kesal, ia menghentikan langkah.
Nan Gong Yuan justeru menghampiri.
"Apa ia tidak mau bertemu denganku?" tanya Lu Xiang Chuan.
Nan Gong Yuan menghela nafas, "Ia menolak bertemu denganmu."
"Kau sudah jelaskan maksud Lao Bo?"
"Ia tidak pernah berhubungan dengan Lao Bo, kelak pun tidak akan
berhubungan dengannya!"
"Bisakah ia berubah pikiran?"
"Tidak ada yang bisa mengubah pikirannya."
Lu Xiang Chuan tidak bertanya lagi. Ia sudah tahu, jika terus bertanya pun
akan sia-sia. Wajah Lu Xiang Chuang tanpa ekspresi, tapi hatinya kusut dan ia tidak punya
cara mengurai benang kusut itu. Padahal baginya misi ini harus berhasil, tidak
boleh gagal. Jika gagal, bisa berakibat fatal.
Saat ia tercenung, tiba-tiba Nan Gong Yuan berkata, "Tiap tanggal satu setiap
bulan, Wan Peng Wang selalu membeli barang antik dan kuno."
"Besok tangal satu," gumam Lu Xiang Chuan.
Nan Gong Yuan menghel nafas panjang. "Waktu begitu cepat berlalu, hari
berganti bulan, dulu masih muda sekarang rambut sudah memutih. Kehidupan
manusia seperti mimpi, tiap hari menghabiskan waktu, entah untuk apa?"
Lu Xiang Chuan tertawa kecil, dari dalam saku ia mengeluarkan sebuah
amplop. "Mungkin untuk ini," jawabnya.
"Apa itu?" "Ini cek 5,000 tail emas. Inilah penghormatan dari Lao Bo."
Nan Gong Yuan memandang amplop itu, tertawa sinis. "Orang sepertiku tidak
pantas diberi penghormatan."
Seketika Nan Gong Yuan membalik tubuh, berjalan ke meja, dan mulai
memainkan kecapi. Hidup ibarat mimpi Manakala
Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tersadar dari mimpi "Kan kita hadapi kenyataan" Tiap hari sibuk, apalah kegunaan"
Lagu yang sedih. Denting kecapi terdengar menyayat hati. Matahari sore
menyinari tepi hutan itu.
Tiba-tiba hening. Bumi dan langit begitu sepi. Lu Xiang Chuan perlahan berdiri. Kedudukan dan
keberhasilannya lebih tinggi daripada Nan Gong Yuan, entah mengapa ia
merasa ada sesuatu yang "kurang" pada diri sendiri.
Mungkinkah kekurangannya adalah "masa lalu?"
Apakah karena Lu Xiang Chuan hanya memiliki "masa sekarang" dan "masa
depan", sementara Nan Gong Yuan memiliki "masa lalu?"
Betapa pun kau memiliki uang dan kedudukan, kau tidak bisa membeli masa
lalumu! Tiba-tiba Lu Xiang Chuan terkenang masa lalunya yang sulit. Seketika
kemarahan membakar dadanya.
Ia meletakkan amplop itu, sepatah demi sepatah berkata, "Mimpiku selamanya
tidak akan pernah terbangun sebab aku tidak pernah bermimpi."
Nan Gong Yuan tidak mengangkat kepala, hanya menjawab, "Sebenarnya kau
pun tahu, terkadang orang tetap harus bermimpi."
Lu Xiang Chuan tahu itu. Tapi ia punya semacam penyakit. Penyakitnya ialah
tidak bisa bermimpi dan karenanya ia merasa tegang.
Ketegangan yang membuatnya lelah.
Lantas, kalau begini, apakah sudah seharusnya ia bermimpi" Memiliki
mimpinya sendiri" Semua itu adalah pilihan. Dan pilihan itu ada pada dirinya!
Denting kecapi sudah berhenti.
Lu Xiang Chuan melangkah ke kereta kuda, memberi perintah singkat, "Ke Gu
Huang Xian." * Tanggal satu. Semua pedagang antik sudah tiba di kaki bukit. Mereka datang dari berbagai
lokasi, bahkan ada yang datang dari tempat yang sangat jauh.
Ini adalah hari Wan Peng Wang memilih barang antik, dan ia adalah pembeli
sekaligus kolektor yang baik.
Di antara para pedagang itu terlihat seorang pemuda yang sangat tenang tapi
tidak dikenal para pedagang lain yang umumnya sudah saling mengenal.
Pemuda itu konon datang dari Gu Huang Xian. Dan ia adalah Lu Xiang Chuan.
Sebelumnya Lu Xiang Chuan pergi ke Gu Huang Xian terlebih dulu dan baru
masuk ke kota ini. Awan putih berarak. Rumah Wan Peng Wang di atas bukit seperti istana di atas awan, sangat
tinggi dan seolah tidak terjangkau.
Terdengar suara lonceng seperti keluar dari balik awan.
Para pedagang berjalan beriringan menuju rumah Wan Peng Wang.
Lu Xiang Chuan sangat terkejut ketika melihat Wan Peng Wang untuk pertama
kalinya. Ia belum pernah melihat orang seperti Wan Peng Wang.
Wan Peng Wang seperti raksasa di dalam dongeng. Saat ia duduk, tingginya
hampir setinggi orang normal yang berdiri.
Ada yang bilang, "Semakin besar tubuh seseorang, semakin sederhana
otaknya." Namun hal ini tidak berlaku bagi Wan Peng Wang.
Pandangannya sangat dingin, tajam, dan kuat, memancarkan kecerdasan dan
keteguhannya. Ia juga penuh percaya diri, membuat orang tidak berani
sembarangan dengannya. Telapak tangannya lebar, besar, dan tebal. Setiap saat ia mengepalkan tangan
dengan erat seakan ingin memukul orang.
Saat Lu Xiang Chuan mendekati, mata Wan Peng Wang tiba-tiba menyorot
setajam pisau, seolah menguliti Lu Xiang Chuan.
Setelah lama pelan-pelan Wan Peng Wang bertanya, "Apa kau dari Gu Huang
Xian?" Saat itu juga Lu Xiang Chuan tahu sulit mengelabui orang semacam Wan
Peng Wang. Sepertinya anak buah Wan Peng Wang telah mendata setiap
pedagang yang akan masuk ke rumahnya, ataukah itu justru Nan Gong Yuan
yang membocorkan rahasianya"
Apa pun, Lu Xiang Chuan adalah orang yang sangat cerdas dan fleksibel.
Seketika ia mengubah rencana dan berkata jujur.
"Bukan," jawab Lu Xiang Chuan.
Wan Peng Wang pun tertawa senang. "Baiklah, kau orang yang pintar! Bosmu
pasti lebih pintar lagi." Tawa Wan Peng Wang perlahan berhenti. Ia kembali
memelototi Lu Xiang Chuan dan bertanya, "Bukankah bosmu Sun Yu Bo?"
Ditanya seperti itu, seketika timbul rasa hormat di wajah Lu Xiang Chuan.
Perlahan ia maju ke muka membawa sebuah piring dan berkata, "Piring giok
ini dari dinasti Han, di atasnya adalah sebuah guci yang dibuat di masa dinasti
Qing. Barang ini pemberian Lao Bo untuk Ketua Bang sebagai rasa hormat
beliau. Harap Ketua menerimanya."
Setiap kali Lao Bo meminta bantuan, selalu menghantarkan hadiah yang
mewah. Maknanya adalah ia ingin menjalin persahabatan. Bila hadiahnya
ditolak, berarti menolak persahabatan. Berarti pula, kau telah menantang Lao
Bo! Namun kali ini bukan maksud Lao Bo menghantar hadiah. Semua ini adalah
ide Lu Xiang Chuan. Ia berharap semua permasalahan ini bisa diselesaikan
dengan damai. Mata Wan Peng Wang yang semula menatap wajah Lu Xiang Chuan kini
memperhatikan piring itu. Namun sesungguhnya ia sedang berpikir. Setelah
lama Wan Peng Wang baru membuka mulut, "Kudengar Wu Lao Dao adalah
perantauan dari Jiang Bei dan tiga puluh tahun yang lalu menetap di Jiang
Nan." Wan Peng Wang mengangkat kepala dan memelototi Lu Xiang Chuan,
"Sun Yo Bo pun demikian, apa benar begitu?"
Lu Xiang Chuan membenarkan, "Lao Bo dan Wu Lao Dao berasal dari desa
yang sama. Mereka sama-sama menetap di Jiang Nan."
Lu Xiang Chuan tahu Wan Peng Wang sudah mengetahui maksud
kedatangannya sehingga tidak perlu menutup-nutupi lagi. Seketika ia merasa
Wan Peng Wang lebih menakutkan daripada yang ia bayangkan.
Wan Peng Wang gusar berkata, "Sun Yu Bo menyuruhmu datang ke sini
apakah untuk kepentingan anak lelaki Wu Lao Dao?"
"Lao Bo mengetahui masalah hubungan lelaki dan perempuan. Ketua pasti
bisa mengijinkan mereka bersama, apalagi gadis itu hanyalah seorang
pelayan." Kata-kata Lu Xiang Chuan sangat sopan dan tidak langsung pada sasaran,
namun menjelaskan keuntungan dan kerugian masalah ini, bahwa demi
seorang pelayan harus bermusuhan dengan Lao Bo adalah tidak sebanding.
Tapi Wan Peng Wang marah menjawab, "Ini bukan sekedar masalah lelaki
perempuan, tapi adalah aturan perkumpulan di sini. Siapa pun dilarang
melanggar aturan ini!"
Hati Lu Xiang Chuan serasa tenggelam, ia melihat harapannya semakin
menipis. Namun sebelum benar-benar pupus, ia tidak akan melepaskannya
begitu saja. "Lao Bo senang berteman, kalau Ketua bisa berteman dengannya, semua
akan gembira menyambutnya."
Wan Peng Wang tidak menjawab. Tiba-tiba ia berdiri dan berkata, "Ikut aku!"
Lu Xiang Chuan tidak tahu akan dibawa ke mana, pun tidak bisa menebak
maksud Wan Peng Wang membawanya. Seketika rasa takut menyelimuti
dirinya. Tapi belakangan ia berpikir, jika Wan Peng Wang ingin membunuhnya,
saat ini pun dirinya sudah menjadi mayat.
Maka Lu Xiang Chuan mengikuti Wan Peng Wang keluar dari ruangan. Ia baru
memperhatikan kemegahan dan kemewahan kediaman Wan Peng Wang. Dan
ia pun mulai menyadari, sekelilingnya tidak terlihat penjagaan.
Sedemikian sepi dan lengangnya seolah menunjukan pengawalan yang
lemah. Tapi Lu Xiang Chuan tidak berfikir seperti itu. Ia mengerti, jika rumah ini
terlihat banyak penjaga justeru akan memperlihatkan sosok Wan Peng Wang
yang sebenarnya. Orang seperti Wan Peng Wang tidak begitu saja mau memamerkan
kekuatannya. Begitu juga Lao Bo. "Lebih baik musuh tidak mengetahui dan tidak bisa memperhitungkan
kekuatanmu karena, bila tidak, sebaiknya kau tidak memiliki musuh," begitu
prinsip Lao Bo. Prinsip itu sepertinya juga dianut Wan Peng Wang. Hanya "orang kaya baru"
saja yang akan memamerkan seluruh harta di tubuhnya!
* Beranda tampak gelap dan sunyi.
Di ujung beranda terdapat sebuah pintu yang tidak terkunci. Di sana terlihat
sebuah ruangan yang sepertinya kosong.
Bila pintu dibuka kau akan menyadari bahwa tebakanmu keliru.
Ruangan itu penuh barang kuno dan antik. Di istana Kota Raja pun belum
tentu ada barang antik sebanyak dan selengkap ini. Lu Xiang Chuan tidak tahu
harus mulai melihat dari mana.
Wan Peng Wang membawanya berkeliling, baru berkata, "Silahkan ambil dua
macam barang, hitung-hitung membalas pemberian Lao Bo."
Lu Xiang Chuan tidak menolak. Terkadang ada permintaan yang ditolak pun
tidak ada gunanya. Maka, ia benar-benar memilih dua macam barang.
Yang ia pilih adalah lempengan giok dan sebuah pisau dari Persia. Nilai kedua
barang ini hampir sama dengan hadiah yang diberikan Lu Xiang Chuan pada
Wan Peng Wang. Ini artinya Lu Xiang Chuan bisa menilai barang bagus dan juga menunjukkan
bahwa dirinya tidak ingin mengambil keuntungan dengan mengambil barang
yang lebih mahal. Benar saja, mata Wan Peng Wang mengekpresikan pujian. "Kapan pun kau
sudah tidak bekerja pada Sun Yu Bo atau bertengkar dengannya, datanglah
padaku dan aku pasti akan menerimamu."
"Terima kasih," jawab Lu Xiang Chuan.
Diperhatikan seorang seperti Wan Peng Wang, sedikit banyak Lu Xiang Chuan
merasa bangga. Namun hatinya juga semakin dingin. Karena ia tahu makna
ucapan itu: Wan Peng Wang tidak memberinya kesempatan lagi.
* Mereka kembali melalui jalan yang lain. Begitu keluar dari pekarangan,
terdengar ringkik kuda. Wan Peng Wang menghentikan langkahnya. "Mau melihat kuda-kudaku?"
tawarnya. Untuk pertama kalinya Lu Xiang Chuan melihat entah rasa senang atau
bangga memancar dari diri Wan Peng Wang. Ia merasa undangan ini tidak
ada maksud lain seperti seorang tuan rumah memanggil putra putrinya untuk
menemui tetamu agar sang tamu memuji anaknya.
Sementara memuji orang pun merupakan keahlian Lu Xiang Chuan. Karena
itu, tidak ada salahnya mengikuti tawaran Wan Peng Wang.
Dengan memuji, kau bisa membuat seseorang senang dan kemudian dapat
mengambil keuntungan. Memang, tidak ada salahnya untuk memberi sebuah
pujian. Hanya saja saat ini Lu Xiang Chuan belum mengetahui keuntungan
apa yang akan ia peroleh.
Istal kuda itu terlihat begitu panjang dan bersih. Hampir semuanya kuda pilihan
terbaik. Lu Xiang Chuan melihat sekor kuda memiliki kandang yang paling besar.
Bulunya mengkilat dan tampak licin. Walaupun hanya seekor kuda, tapi
perbawanya sangat angkuh dan anggun, seakan tidak ingin bersahabat
dengan manusia. Total harga seluruh kuda yang telah dilihat sebelumnya tidak
akan bisa membandingi harga seekor kuda ini.
Lu Xiang Chuan langsung memuji. "Kuda ini sangat istimewa dan sempurna,
apakah keturunan Han Xue?"
Wan Peng Wang tertawa polos dan sangat bangga. "Kau sangat mengetahui
barang berkualitas."
Untuk pertama kalinya Lu Xiang Chuan melihat Wan Peng Wang seperti itu.
Walau Wan Peng Wang berdiri di tengah rumah yang penuh dengan
kekayaannya, ia tidak pernah berekspresi seperti itu.
Tiba-tiba melintas di hati Lu Xiang Chuan sebuah harapan. Terpikir olehnya
sebuah cara yang mungkin bisa membuat Wan Peng Wang tunduk.
Ia tidak tahu seberapa efektifkah caranya itu.
Tapi, jika tidak dicoba, bagaimana ia bisa tahu"
Karena itu, tidak ada salahnya jika mencoba.
10. Kibaran Bendera Perang
Tengah malam. Angin menderu bertiup dari barat. Derunya seperti setan mengayun cambuk,
melecut hati mereka yang ingin pulang. Tapi Wu Lao Dao tidak bisa pulang, ia
harus mengikuti Lu Xiang Chuan pergi ke sana.
Malam hening. Sepi. Mati.
Wu Lao Dao tidak tahu akan dibawa kemana. Lu Xiang Chuan meski muda
tapi sangat sopan, membuat Wu Lao Dao enggan bertanya.
Sejak awal ia melihat pemuda ini berbeda, persis seperti Lao Bo semasa
muda, begitu bercahaya, namun Lu Xiang Chuan lebih sulit ditebak hati dan
kemauannya. "Masa depan pemuda ini pasti berbeda dengan Lao Bo," pikir Wu Lau Dao,
"Akankah ia lebih bersinar?"
Entah sejak kapan angin berhenti. Namun papan nama rumah makan itu
masih terayun sisa terpaan angin. Di keremangan malam, samar-samar
terbaca: Ba Xian Lao. Itulah rumah makan terbesar di kota ini.
Seluruh jendela rumah makan besar itu tertutup rapat, terlihat gelap,
mungkinkah para pelayan sudah terlelap"
Lu Xiang Chuan mendorong pintu. Tidak terkunci.
Wu Lao Dao mengikuti melangkah ke dalam. Di lantai atas terlihat lampu
menyala benderang. Lantas kenapa dari luat terlihat begitu gelap"
Wu Lao Dao segera menyadari, tiap jendela dipasangi gorden tebal dan hitam,
membuat setitik pun cahaya tidak bisa menerobos keluar.
Ternyata telah banyak orang berkumpul di sana.
Menilik cara berpakain, mereka pasti datang dari berbagai kalangan. Walau
latarbelakang mereka tampak berbeda, tapi ada satu persamaan. Mereka
terlihat sangat tenang, tubuh sehat terawat, mata mencorong, serta memiliki
sepasang tangan yang cekatan dan bertenaga.
Mereka bukan orang sembarangan. Kelihatannya pun mereka tidak saling
kenal, tapi begitu melihat Lu Xiang Chuan, seketika membungkuk memberi
hormat. Sepertinya Lu Xiang Chuan telah mengumpulkan begitu banyak orang. Kini
mereka semua datang. Wu Lao Dao sudah tinggal lebih dari dua puluh tahun di kota ini, tapi hanya
mengenali sebagian dari mereka, di antaranya adalah bos rumah makan itu.
Lelaki inilah yang pertama menyambut Lu Xiang Chuan.
Wu Lao Da sudah mengenal si Bos selama dua puluh tahun, tapi tidak pernah
mengetahui hubungannya dengan Lao Bo. Sekarang jelas, lelaki itu anak buah
Lao Bo. Jangan-jangan, rumah makan ini pun salah satu bisnis Lao Bo"
Saat itu juga Wu Lao Dao menyadari, kekuasaan Lao Bo ternyata lebih
menakutkan daripada yang ia bayangkan.
Lu Xiang Chuan sangat hormat dan bersikap ramah pada si Bos, layaknya
seorang raja yang menghadapi perdana menteri yang berprestasi.
Si Bos bernama Yu Bai Le, membungkuk badan dan berkata sopan, "Kecuali
beberapa orang yang berada di luar kota, semua sudah tiba. Silahkan
memberi perintah." Lu Xiang Chuan tersenyum dan mengangguk. "Saudara-saudara, silahkan
duduk. Lao Bo mengirim salam untuk kalian."
Semua orang membungkuk dan berkata, "Hamba pun selalu mendoakan dan
mengingat Lao Bo. Apa Lao Bo sehat-sehat saja?"
Lu Xiang Chuan tertawa. "Yang Mulia seperti benda terbuat dari besi. Kalian
teman lama beliau, pasti lebih tahu daripadaku: bila Dewa Penyakit bertemu
dengannya, pasti lari ketakutan."
Semua tertawa.
Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lu Xiang Chuan melanjutkan, "Hari ini pertamakali aku bertemu kalian,
seharusnya kita bisa minum-minum. Tapi, aku khawatir Bos Yu sakit hati kita
habiskan araknya." Semua kembali tertawa. Setelah tawa mereda, sikap Lu Xiang Chuan berubah serius. "Kali ini kudatang
ke sini karena tugasku sangat berat. Kalau masalah ini tidak bisa dibereskan,
aku malu bertemu Lao Bo kembali."
Tiba-tiba ada yang bertanya, "Tuan Lu punya kesulitan apa" Kekurangan uang
atau kekurangan orang, silahkan utarakan."
"Terima kasih," jawab Lu Xiang Chuan. Ia menunggu perhatian mereka
terfokus padanya, baru melanjutkan, "Yang kuinginkan hanya satu," ia
menetap wajah mereka satu persatu, "yaitu, kuda Wan Peng Wang!"
* Hari semakin malam. Wu Lao Dao dan Lu Xiang Chuan berangkat pulang.
Sekarang Wu Lao Dao lebih hormat lagi pada pemuda ini. Teknik berbicaranya
lebih bagus daripada tetua persilatan mana pun serta memiliki perbawa yang
membuat orang menghormatinya.
Pengalaman Wu Lao Dao selama bertahun-tahun menunjukkan, mendapatkan
hormat seperti itu sangat sulit.
Yang membuat Wu Lao Dao terharu, walau kedudukan Lu Xiang Chuan
setinggi itu, namun ia tetap ingat bahwa Lao Bo adalah atasannya.
Tiba-tiba Lu Xiang Chuan bertanya, "Apa ada yang ingin kau tanyakan?"
Wu Lao Dao sedikit ragu, di hadapan pemuda ini ia memilih untuk berhati-hati
bicara, tapi akhirnya bertanya juga, "Apa kau benar-benar menginginkan kuda
itu?" "Seumur hidup Lao Bo tidak pernah bohong," kata Lu Xiang Chuan, "Aku
sangat setia pada Lao Bo. Hal lain aku tidak bisa menandinginya. Walau
begitu, untuk pekerjaan ini paling sedikit aku bisa melakukannya."
Wu Lao Dao dalam kegelapan mengacungkan jempol. Setelah lama baru
bertanya lagi, "Penjagaan rumah Wan Peng Wang sangat ketat, harus mencuri
seekor kuda yang bisa meringkik dan berlari jelas bukan hal yang mudah.
Walau penjaga kuda itu berhutang budi pada Lao Bo, tetap sulit."
"Memang sulit, malah boleh dikata: mustahil!" jawab Lu Xiang Chuan sambil
tertawa, "Tapi aku tidak bilang akan membawa kuda itu hidup-hidup, bukan?"
Wu Lao Dao terperangah, wajahnya seketika berubah. "Maksudmu, kuda itu
akan dikeluarkan entah hidup atau mati?"
"Memang, begitulah maksudku."
"Wan Peng Wang menganggap kuda itu bagian terpenting dari seluruh
kekayaannya. Bila kita membunuh kuda itu, akibatnya sungguh fatal."
"Bila tidak dibunuh akibatnya pun tetap fatal," tegas Lu Xiang Chuan.
"Kenapa?" tanya Wu Lao Dao.
"Kau tahu, Lao Bo tidak suka penolakan. Lao Bo wanti-wanti sudah berpesan
padaku, asal Wa Peng Wang mau melepaskan kekasih anakmu, ia tidak
perduli hal lain!" Lu Xiang Chuan menepuk-nepuk pundak Wu Lao Dao,
"Teman Lao Bo sangat banyak, namun teman Lao Bo sedari kecil bisa dihitung
dengan jari. Ia bersedia mengorbankan segalanya karena tidak ingin
membuatmu kecewa dan bersedih."
Wu Lao Dao merasa dadanya panas, tenggorokkan pun serasa tersekat.
Perlahan ia berkata, "Apakah demi diriku Lao Bo akan melawan Wan Peng
Wang?" "Kami sudah mempersiapkan semuanya," jelas Lu Xiang Chuan.
Kata-kata Lu Xiang Chuan sangat ringan, seolah bukan masalah berat. Tapi
Wu Lao Dao mengetahui kekuatan Wan Peng Wang. Karenanya, ia juga
memahami pengorbanan Lao Bo. Tak tahan air mata Wu Lao Dao mengalir.
"Aku pun tidak mengharapkan pertarungan," kata Lu Xiang Chuan, "karena itu
kutempuh cara ini." Wu Lao Dao menghapus air mata, ingin bicara, tapi kata-katanya tidak keluar.
Lu Xiang Chuan melanjutkan, "aku hanya berharap, tindakan ini bisa
mengejutkan Wan Peng Wang dan dia akan melepaskan gadis itu."
Wu Lao Dao hanya mengangguk. Hatinya diliputi rasa berterima kasih.
"Aku sengaja memilih kuda itu," jelas Lu Xiang Chuan, "Jika tidak terpaksa,
aku tidak ingin melukai orang." Sesaat ia terdiam, perlahan melanjutkan. ?"
Kutahu, apabila barang kesayangan kita rusak, selain marah dan sedih, kita
juga akan takut dan lemah."
"Namun Wan Peng Wang bukan orang yang lemah dan mudah takut," lirih
suara Wu Lao Dao. Lu Xiang Chuan tertawa. "Sudah kuperhitungkan segala akibat yang timbul
dari tindakan ini. Kita sudah siap menghadapinya."
Wu Lao Dao menunduk. Hatinya terasa berat. Sunguh ia menyesal
mengadukan masalah ini pada Lao Bo. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Cepat
atau lambat, pertarungan akan terjadi.
Banjir darah tidak bisa dihindari.
* Pagi. Setiap Wan Peng Wang bangun kebiasaannya selalu marah-marah. Semua
gadis yang tidur dengannya pasti mencari kesempatan kabur sepagi mungkin.
Setelah sarapan, baru emosi Wan Peng Wang mereda.
Makanan Wan Peng Wang berbeda dengan kebanyakan orang. Sarapannya
adalah sepanci kuah dimasak dengan ayam betina muda dan jamur.
Kemudian dicampur daging ham. Masih harus ditambah sepuluh butir telur
ayam dan dua puluh bakpau.
Sarapan seperti itu pasti mengejutkan banyak orang.
Namun, pagi ini sarapannya tidak sama. Begitu Wan Peng Wang membuka
tutup panci, wajahnya menghijau.
Di dalam panci tidak ada jamur, daging ham, juga tidak ada kepala ayam.
Yang ada hanya kepala kuda yang masih berdarah.
Wa Peng Wang mengenali kepala kuda itu. Lambungnya seketika keram dan
menciut seperti dipukuli puluhan orang.
Rasa keram seketika berganti kemarahan membara. Sepertinya ia ingin
meloncat dari tempat tidur dan mencekik mati siapa pun orang pertama yang
ia temui, lalu mencekik mati semua pengurus kudanya, dan mencekik mati
hingga sepuluh kali pelayan yang sudah mengantar panci itu.
Nyatanya semua tidak ia lakukan. Wan Peng Wang mampu menahan
kemarahan. Padahal, biasanya, hal sepele saja bisa mendatangkan
kemurkaannya. Kali ini ia tahu masalahnya tidak sederhana. Untuk masalah sebesar ini, ia
harus berpikir tenang dan jernih. Karena jika ia sampai kehilangan kendali,
justeru akan menghancurkan dirinya.
Ia paham siapa yang melakukan ini.
Lao Bo sudah melakukan gebrakan awal!
Sejak penolakannya ia sudah memperhitungkan, Lao Bo pasti akan melakukan
serangan. Tapi, ia tidak menyangka Lao Bo melakukannya secepat ini.
Sungguh, ia tidak menyangka Lu Xiang Chuan berani melakukan hal ini.
* "Bila ingin melakukan serangan, kau harus mengunakan kesempatan pertama.
Bila tidak, kau harus menanti kesempatan terakhir, yaitu saat musuh sudah
lengah. Menunggu dan menanti kesempatan terakhir harus memiliki kesabaran
tinggi," begitu ajaran Lao Bo.
Lu Xiang Chuan tidak pernah melupakan ajaran itu. Karenanya, ia sudah
menggunakan kesempatan pertama saat lawan belum siap.
* Bila Wan Peng Wang sedang sarapan, tidak ada yang berani dekat-dekat
dengannya. Wan peng Wang tidak menyukai orang melihatnya sedang makan dengan
rakus. Maka, di kamar itu tidak ada orang, hanya Wan Peng Wang sendiri.
Karenanya, ia dapat berpikir tenang. Sekarang ia sadar, Lao Bo benar-benar
lawan yang sangat menakutkan, sepuluh kali lebih menakutkan daripada yang
ia sangka semula. "Satu anak buah Lao Bo bernama Lu Xiang Chuan sudah begini, masih
adakah yang lain?" pikir Wan Peng Wang sambil menutup panci perlahan.
Saat keluar kamar wajahnya tanpa ekspresi. Ia hanya berpesan satu kalimat,
"Segera antarkan Dai Dai ke rumah Wu Lao Dao!"
* Sebuah penginapan. Meng Xin Hun berbaring di tempat tidur. Ia sudah berbaring selama tujuh
delapan jam. Ia tidak makan, tidak bergerak, juga tidak tidur.
Sekarang batas waktu yang diberikan Gao Lao Da tinggal sembilan puluh hari
lagi. 11. Xiao Tie Sembilan puluh hari lagi.
Tapi keadaannya masih sama seperti dua puluh sembilan hari yang lalu,
informasi tentang Lao Bo masih sangat terbatas.
Entah bagaimana kelihaian Lao Bo, seperti apa pula ilmu silatnya, Meng Xin
Hun tidak tahu. Pada serangan di hari ulang tahun itu, jemari Lao Bo sama sekali tidak
bergerak. Ketenangan yang sungguh menakutkan.
Berapa banyakkah anak buah Lao Bo" Seberapa tangguhkah mereka"
Meng Xin Hun tidak tahu. Ia hanya melihat seorang pemuda berdiri di belakang Lao Bo, sangat
terpelajar, dan di balik bajunya tersimpan entah berapa banyak senjata
rahasia. Juga ada Sun Jian, putra Lao Bo, pemuda dengan semangat tempur seperti
api membara mengerikan. Ia mendapat kabar, keduanya sudah meninggalkan kota. Apakah di sisi Lao
Bo masih ada pelindung lain setangguh mereka"
Siapa pula si Jubah Kelabu" Di mana ia sekarang"
Meng Xin Hun seorang pembunuh berdarah dingin, berhati dingin, bertangan
dingin. Tapi ia menilai si Jubah Kelabu terlebih kejam dan dingin lagi.
Ketika melihat cara membunuh sekejam dan secepat itu, timbul rasa takut di
hati Meng Xin Hun. Meng Xin Hun sudah pernah coba mencari tahu tentang si Jubah Kelabu.
Hasilnya nihil, ia tidak mendapat apa-apa.
Kebiasaan dan kehidupan sehari-hari Lao Bo pun ia tidak tahu, juga tidak tahu
di mana tempat tinggal Lao Bo.
Taman chrysan itu begitu luas, di dalamnya terdapat tujuh belas ruangan. Di
ruangan mana Lao Bo tinggal"
Pun taman bunga Lao Bo tidak hanya chrysan itu saja, masih terbentang
taman-taman lain: taman bunga mei, mawar, mudan, belum lagi kebun bambu.
Setiap taman saling berhubungan. Meng Xin Hun tidak punya informasi
seberapa luas total keseluruhan taman bunga Lao Bo.
Kabarnya, jika seseorang berjalan dengan cepat mengelilingi seluruh taman,
satu hari pun tidak cukup.
Sejak hari ulang tahun itu, Meng Xin Hun tidak pernah melihat Lao Bo lagi.
Sepertinya, Lao Bo tidak pernah menginjakkan kaki di luar daerah
kekuasaannya. Bagaimana penjagaan di taman itu" Berapa banyak penjaga dan jebakannya"
Meng Xin Hun tidak tahu. Untuk order membunuh kali ini, begitu banyak hal menyangkut target sasaran
yang belum ia ketahui. Ia tidak mau gegabah. * Waktu makan malam. Ia ingin makan, sederhana saja dan tidak berlebihan, karena ia beranggapan
terlalu banyak makan bisa membuat pikiran dan pergerakan lamban.
Mungkin karena pengalaman masa kecilnya yang prihatin, berhari-hari tidak
makan, dan kini profesinya selaku pembunuh, ia merasa tubuhnya jadi seperti
hewan. Terkadang ia merasa seperti kelelawar; pagi tidur, malam keluar. Atau seperti
ular; makan hanya sekali, kemudian berhari-hari baru makan lagi.
Tapi sekarang ia lapar. Meng Xin Hun memilih rumah makan yang tidak teralu besar, tidak terlalu
kecil, tidak begitu sepi, juga tidak begitu ramai.
Ia selalu memilih tempat yang tidak mencolok, tidak memancing perhatian.
Beberapa orang keluar masuk dari rumah makan. Ada lelaki, ada perempuan,
ada yang muda, juga ada yang berpenampilan kaya raya. Meng Xin Hun
berharap ia bisa seperti mereka.
Tidak seperti Lu Xiang Chuan, Meng Xin Hun tidak iri. Juga tidak seperti Lu
Xiang Chuan, masa lalu yang kelam pun tidak membuatnya sakit hati.
Terdengar tawa sangat keras. "Hari ini siapa yang minumnya paling banyak?"
orang itu menjawab sendiri, "Yang paling banyak adalah Xiou Tie!" Jarinya
menunjuk seorang gadis berbaju merah.
Tiba-tiba seorang pemuda memasuki rumah makan, membawa satu guci arak
dan memberikanya pada Xiao Tie.
Xiao Tie tidak bicara, juga tidak menolak. Ia hanya tersenyum, langsung
menghabiskan seguci arak seperti setan arak.
Gadis setan arak tidak banyak, Meng Xin Hun juga setan arak, maka ia
memperhatikan Xiao Tie lebih teliti.
Semakin diperhatikan, terlihat semakin istimewa.
Ia sangat cantik. Biasanya gadis cantik yang tahu dirinya cantik selalu
menebar pesona pada sekelilingnya. Tapi gadis ini tidak seperti gadis lain,
seakan ia tidak perduli dirinya cantik atau tidak.
Meski di tengah keramaian, ia seakan sedang sendirian, seolah berada di
tengah lapangan yang dingin dan sepi.
Malam semakin larut. Kereta kuda datang silih berganti. Orang-orang datang dan pergi. Tertinggal
hanya Xiao Tie dan pemuda berbaju hitam.
Pemuda itu sangat tampan, badannya tinggi, sarung pedangnya berkilauan;
sangat pantas menjadi pendamping gadis secantik Xiao Tie.
Kini tersisa satu kereta kuda di pinggir jalan.
"Mari naik kereta," ajak si pemuda.
Xiao Tie menggeleng kepala.
"Masih ingin minum?" tanya si pemuda.
Xiao Tie menggeleng kepala.
Pemuda itu tertawa, "Kau mau di sini semalaman?"
Xiao Tie kembali menggeleng kepala. "Aku ingin jalan-jalan," jawabnya.
"Baiklan, ayo kutemani."
Mereka terlihat akrab, juga tidak khawatir orang memperhatikan mereka. Si
pemuda memegang tangannya, dan Xiao Tie membiarkan.
"Aku ingin jalan-jalan sendiri, boleh?" pinta Xiao Tie.
Pemuda itu terpaku, perlahan melepaskan genggamannya. "Besok boleh
k u t e m a n i m u lagi?" "Kalau ada waktu, kenapa tidak?" balik tanya Xiao Tie.
Setelah itu Xiao Tie tidak bicara lagi, terus berjalan. Biar pun jalannya lamban,
akhirnya hilang di kegelapan.
Biasanya anak gadis takut kegelapan, tapi Xiao Tie tidak.
Meng Xin Hun tidak mengenal Xiao Tie, apalagi pemuda baju hitam itu. Ia
merasa keduanya sangat serasi.
Begitu melihat si gadis pergi sendiri, hati Meng Xin Hun entah mengapa
merasa senang sekali. Pemuda itu masih terlongong memandangi bayangan Xiao Tie yang
menghilang di kegelapan. Sesaat kemudian baru berkata kepada pemilik
rumah makan, "Beri aku seguci arak yang paling besar!"
Dan Meng Xin Hun memutuskan pergi dari situ.
Saat keluar dari pintu, ia masih mendengar pemuda itu meracau, "Xiao Tie"
Xiao Tie" Apa kau mencintaiku" Sungguh kau membuatku penasaran?"
Di depan kegelapan semata.
Inilah jalan yang tadi dilalui Xiao Tie. Tidak sengaja, Meng Xin Hun juga
berjalan ke arah yang sama.
Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Walau Meng Xin Hun tidak mengakui, sesungguhnya ia berharap bisa bertemu
gadis itu lagi. Tapi gadis itu seperti setan gentayangan hilang di kegelapan malam.
Dan Meng Xin Hun memutuskan pulang ke penginapan.
* Malam semakin larut. Pekarangan itu sunyi lagi sepi.
Kamar yang ia sewa pun tidak ada cahaya lampu.
Meng Xin Hun tidak pernah menyalakan lampu karena di tengah kegelapan ia
merasa lebih aman. Waktu ia pergi, pintu dan jendela sudah ditutup. Sebelum melangkah masuk,
tiba-tiba ia berhenti. Seperti seekor anjing pemburu yang terlatih, ia mencium bahaya mengancam.
Tubuh Meng Xin Hun meloncat tinggi dan berhenti di pekarangan belakang.
Jendela belakang masih tertutup. Ia mengetuk jendela dan mendadak
melompat lagi ke halaman depan. Gerakannya ringan dan cepat seperti
kelelawar. Saat itu ia melihat sesosok bayangan melesat keluar dari jendela depan.
Gerakan orang itu sangat cepat. Meng Xin Hun segera mengikuti kemana pun
bayangan pergi. Akhirnya Meng Xin Hun berkata, "Untung kau adalah Xiao He, kalau tidak,
sudah kubunuh kau!" Bayangan itu terdiam. Setelah ragu sejenak, ia memutuskan kembali
berkelebat ke kamar Meng Xin Hun.
Setelah lampu kamar dinyalakan, Meng Xin Hun langsung duduk di depan
Xiao He. Ia menatap Xiao He, tapi Xiao He tidak menatapnya.
Ia sudah mengenal Xiao He lebih dari dua puluh tahun, tapi tetap tidak bisa
memahaminya. * Meng Xin Hun, Shi Qun, Ye Xiang, dan Xiao He semua anak yatim piatu.
Mereka bisa bertahan hidup karena Gao Lao Da.
Di antara mereka berempat, umur Xiao He paling kecil. Xiao He yang pertama
bertemu Gao Lao Da dan selalu menganggap Gao Lao Da sebagai kakak
sendiri. Waktu Gao Lao Da mengangkat tiga bocah lain sebagai anaknya, ia iri dan
marah, dan karenanya sering mengadu domba mereka.
Ia mengangap ketiga bocah lainnya merebut makanan Gao Lao Da, juga
merebut kasih sayang Gao Lao Da darinya. Bila tidak ada ketiga bocah itu, ia
merasa hidupnya akan lebih nyaman dan makan lebih kenyang.
Sejak awal ia sudah menggunakan berbagai cara agar Gao Lao Da mengusir
mereka. Saat itu usianya baru enam tahun, ia sudah bisa berbuat licik, jalan pikirannya
sudah jahat. Pernah suatu kali Gao Lao Da menyuruh Xiao He memberi tahu tiga
"saudara"-nya untuk berkumpul di sebelah barat kota. Namun Xioa He malah
bilang berkumpul di sebelah timur.
Tiga bocah itu menunggu di sebelah timur kota selama dua hari dan hampir
mati kelaparan. Kalau Gao Lao Da tidak terus menerus mencari, mereka
mungkin sudah mati. Masih ada lagi. Suatu hari Xiao He memberi tahu patroli polisi bahwa mereka
bertiga pencuri dan sengaja meletakkan barang yang dicuri ke dalam pakaian
mereka. Jika bukan Gao Lao Da yang menyogok polisi, mereka bertiga sudah mati di
lempar ke sungai. Saat itu penjara penuh, sehingga bukannya dimasukkan kepenjara, banyak
penjahat yang dilempar mati polisi ke sungai.
Masih banyak lagi akal bulus Xiao He guna mencelakakan tiga "saudara"-nya.
Walau Gao Lao Da memarahi, tapi tidak sampai mengusir Xiao He. Gao Lao
Da menilai, usia Xiao He terlalu kecil, sehingga kesalahannya masih bisa
dimaafkan. Dalam melakukan segala sesuatu, Gao Lao Da memang hanya menuruti hati
kecil. Ia tidak tahu batasan benar dan salah karena tidak seorang pun
memberitahunya. Pokoknya, asalkan bisa bertahan hidup, perbuatan apa pun
boleh dilakukan. Sudah dua puluh tahun berlalu, Xiao He terus melakukan hal yang merugikan
"saudara"-nya. Cara-caranya pun semakin lihai dan sulit dilacak.
Apalagi terhadap Meng Xin Hun, ia sangat iri.
Saat berlatih kungfu bersama, Meng Xin Hun selalu lebih unggul darinya.
Kini, posisi Meng Xin Hun di mata Gao Lao Da semakin penting.
Itu semua membuat Xiao He semakin membencinya.
* Meng Xin Hun memandang wajah Xiao He.
Namun saat ini Xiao He sedang marah. Wajahnya menjadi hijau, sepasang
tangannya tampak gemetar, membuat Meng Xin Hun merasa tidak enak.
Biar bagaimana Xiao He teman sedari kecil, usianya dua tahun lebih muda
darinya, ia menganggap Xiao He adik sendiri.
Meng Xin Hun tertawa terpaksa, "Tidak kusangka kau yang datang,
seharusnya memberi tahu lebih dulu."
"Memangnya, siapa yang kau sangka?" tanya Xiao He.
"Orang semacam kita selayaknya ekstra hati-hati!" jawab Meng Xin Hun.
Xiao He tidak senang. "Apa kau pikir sembarang orang bisa datang ke sini"
Apa selain Gao Lao Da masih ada yang tahu kau berada di sini?"
Tawa Meng Xin Hun seketika lenyap. "Apa Gao Lao Da yang menyuruhmu ke
sini?" Xiao He diam. Diam berarti mengakui. Wajah Meng Xin Hun mendadak tanpa ekspresi. Namun dari matanya terlihat
bayangan gelap. Sudut mata kanannya mulai berkedut.
Pada saat melaksanakan tugas, Gao Lao Da tidak pernah mengikutinya,
bertanya pun tidak. Ga Lao Da sangat mempercayainya.
Namun sekali ini sepertinya berbeda.
Meng Xin Hun teringat, Gao Lao Da pernah menyuruhnya menguntit Ye Xiang
karena meragukannya. Itukah yang terjadi sekarang"
Xiao He diam-diam memperhatikan Meng Xin Hun, matanya tiba-tiba menyorot
sinar seakan sudah menebak apa yang ada di pikiran Meng Xin Hun.
Xiao He tertawa. "Bukannya Gao Lao Da tidak mempercayaimu, ia hanya
meyuruhku menyampaikan pesan."
Tawa Xiao He terdengar sangat rahasia sekaligus menyebalkan. Siapa pun
yang mendengar tahu bahwa tawanya mengandung niat jahat. Ia memang
sengaja membuat Meng Xin Hun merasa seperti itu.
Meng Xin Hun lama terdiam, baru bertanya, "Apa pesan Gao Lao Da padaku?"
"Dua anak buah Sun Yu Bo yang paling lihai sedang keluar melaksanakan
tugas, apa kau tahu?"
"Mereka adalah Sun Jian dan Lu Xiang Cuang?" balas tanya Meng Xin Hun.
Xiao He tertawa. "Ternyata kau sudah tahu. Gao Lao Da khawatir kau belum
tahu." "Khawatir belum tahu" artinya Gao Lao Da sudah tidak mempercayaimu!
Meng Xin Hun mengerti arti kata-kata itu. Xiao He pun tahu bahwa Meng Xin
Hun sudah mengerti. "Dua anak buah terpercaya sudah pergi, Sun Yu Bo ibarat kehilangan dua
tangan, Kalau orang sudah kehilangan tangan kiri dan kanan, tentu tidak
menakutkan lagi!" dingin pernyataan Xio He.
Meng Xin Hun hanya diam. "Sekarang sudah waktumu bergerak, kenapa masih belum beraksi?" tanya
Xiao He dingin. 12. Xiao He Kemarahan Meng Xin Hun seketika timbul. "Yang melakukan tugas ini aku
atau kau?" bentaknya.
"Tentu saja kau."
"Bila aku yang melakukan, tentu akan kugunakan caraku sendiri!"
"Aku hanya bertanya, tidak ada maksud apa-apa," ejek Xiao He sambil
melanjutkan, "Gao Lao Da selalu bilang, kepalamu paling dingin. Tidak
kusangka, ternyata kau cepat marah."
Meng Xin Hun seketika merasa dipecut. Sebetulnya ia tidak boleh marah.
Marah adalah sejenis emosi. Seorang pembunuh profesional tidak boleh
memiliki emosi. Apa pun bentuknya, emosi bagi profesi seperti Meng Xin Hun
adalah racun. Meng Xin Hun merasa ujung-ujung jarinya mendingin.
Xiao He menatapnya. "Kau kenapa, tidak biasanya begini?"
Meng Xin Hun membuang pandang. Seluruh otot-ototnya seperti hilang. Ia
sendiri pun tidak tahu megapa sekarang jadi begini. Lama baru ia berkata,
"Aku lelah?" Mendengar perkataan ini, Xiao He malah senang. "Aku boleh tanya?"
"Apa?" Mata Xiao He berputar jahil. "Lebih baik tidak jadi kutanya."
Hampir naik kembali darah Meng Xin Hun. Sedapatnya ia menekan emosi.
"Bicaralah!" Puas mempermainkan Meng Xin Hun, Xiao He berkata simpati, "Dua tahun
sejak kau mengganti posisi Ye Xiang, sudah waktunya kau beristirahat."
Nadanya penuh perhatian, "Kalau kau tidak mau melakukan tugas ini, biar aku
yang menggantikan." Lirih suara Meng Xin Hun. "Kau tahu Sun Yu Bo macam apa?"
"Kau kira aku tidak bisa membunuhnya?"
"Kemungkinan aku juga tidak bisa membunuhnya!"
"Kalau kau tidak bisa membunuhnya, kau pikir aku juga tidak bisa?" Wajah
Xiao He menghijau marah. "Kungfumu memang lebih tinggi dariku. Untuk
membunuh tidak hanya memerlukan kungfu, tapi juga semangat dan
kemauan!" "Kalau kau ingin menggantikanku, pergilah." Meng Xin Hun merasa begitu
lelah. Lelah membuatnya malas bicara, juga membuatnya malas melakukan apa
pun. Tapi masih ada satu kalimat yang ia ucapkan. "Sebelum melakukannya, kau
harus tahu, tugas ini sangat berbahaya."
Xiao He langsung menjawab, "Aku tidak takut karena aku sudah
memperhitungkannya."
Bahaya tidak akan membuat Xiao He mundur. Kesempatan ini sudah lama ia
tunggu. Asal bisa melaksanakan tugas ini dengan baik, maka Xiao He bisa
mengganti posisi Meng Xin Hun. Itulah ambisinya.
Namun Meng Xin Hun tidak perduli. Walau kedudukannya terancam direbut
Xiao He, ia tidak perduli.
Ia hanya ingin istirahat. Lain-lainnya ia tidak mau tahu. Ia hanya ingin tidur,
kalau bisa tidak usah bangun lagi.
Nyatanya sampai dini hari pun ia tidak bisa memejam mata.
* Ayam berkokok. Kabut mengambang di permukaan begitu tebal. Sedemikian tebalnya bahkan
telapak tangan sendiri pun sulit terlihat
Meng Xin Hun berjalan ke pinggir kota. Entah berjalan ke mana ia tidak
perduli. Berjalan sampai kapan pun ia tidak mau tahu. Pokoknya, ia
membiarkan kakinya melangkah semaunya.
Pikirannya hampa, sehampa hatinya.
Suara air mengalir. Sungai kecil. Ia menghampiri dan duduk di tepi kali.
Ia suka mendengar suara air mengalir. Walau air bisa saja mengering, tapi air
tidak pernah berhenti mengalir. Air sepertinya tidak mengenal lelah. Begitu
bersemangat, tidak pernah berubah.
Mungkin di semesta ini hanya manusia yang bisa merasa lelah, bosan, dan
berubah" Meng Xin Hun menghela nafas.
* Kabut mulai menipis. Ketika itulah Meng Xin Hun baru menyadari sesosok bayangan duduk di atas
batu di seberang sana. Kini sosok itu bangkit mendatanginya.
Seorang gadis berbaju merah. Wajahnya terlihat pucat, mungkin menahan
dingin" Matanya sangat benderang, seakan menembus kepekatan kabut.
Mata itu memandang Meng Xin Hun penuh simpati.
Ia seperti kasihan kepada kebodohan manusia dan juga bersimpati pada
manusia yang tidak mengerti arti kehidupan. Karena ia bukan manusia,
melainkan dewi. Dewi yang baru keluar dari sungai.
Tenggorokan Meng Xin Hun tercekat. Ia merasa darahnya bergolak, membuat
matanya berbinar terang. Meng Xin Hun mengenali gadis itu dan mengetahui bahwa ia bukan dewi.
Mungkin ia memang lebih cantik daripada dewi, lebih misterius daripada dewi.
Tapi ia bukan dewi. Ia manusia biasa bernama Xiao Tie.
Xiao Tie masih memandang Meng Xin Hun, perlahan bertanya, "Kau ingin
bunuh diri?" Pertama kali Meng Xin Hun mendengarnya bicara, suaranya lebih merdu
daripada air yang mengalir di musim semi.
Meng Xin Hun ingin bicara tapi tidak sanggup.
Xiao Tie bicara lagi, "Kalau kau ingin mati, aku tidak akan melarangmu. Aku
hanya ingin bertanya satu kalimat saja."
Meng Xin Hun mengangguk. Tiba-tiba pandangan Xiao Tie beralih ke tempat jauh, sangat jauh di sana, ke
tempat tertutup kabut. Ia bertanya, "Apa kau pernah mengalami kehidupan?"
Meng Xin Hun tidak menjawab karena ia tidak tahu bagaimana harus
menjawabnya. "Apa kau pernah menjalani kehidupan?" tanya Xiao Tie sekali lagi. "Apa
kehidupanmu termasuk normal?"
Meng Xin Hun membalik badan, ia takut air matanya menetes.
Saat membalik tubuh, suara Xiao Tie seperti menjauh. "Seseorang bila belum
pernah menjalani kehidupan tapi sudah memikirkan kematian, bukankah
sangat bodoh?" Meng Xin Hun ingin memukul gadis itu dan balik bertanya, "Apa kau sendiri
juga punya kehidupan?"
Nyatanya Meng Xin Hun tidak bertanya, juga tidak perlu bertanya karena gadis
itu masih begitu belia, begitu cantik, pasti ia punya kehidupan.
Tapi jika gadis itu punya kehidupan, kenapa memilih tempat yang sunyi ini"
Apakah ia ke sini untuk menikmati kesepian"
Setelah lama, Meng Xin Hun baru membalik tubuh, tapi gadis itu sudah pergi
entah ke mana. Datang seperti kabut, hilang pun seperti kabut.
Tidakkah kesepian terkadang juga bisa dinikmati"
Pertemuan begitu singkat.
Tapi entah mengapa di dalam hati Meng Xin Hun serasa ia sudah mengenal
gadis itu begitu lama. Sepertinya sebelum ia dilahirkan sudah mengenalnya.
Gadis itu seperti juga sudah lama menunggunya. Kehidupan Meng Xin Hun
pun seperti hanya untuknya.
Apakah ini pertemuan terakhir"
Meng Xin Hun tidak tahu jawabnya. Tidak ada yang tahu ia datang dari mana
dan akan pergi ke mana. Meng Xin Hun memandang ke kejauhan, tiba-tiba hatinya hampa.
Kabut semakin menipis. * Beberapa hari berlalu. Tidak ada kabar dari Xiao He.
Xiao He seperti lenyap ditelan bumi. Meng Xin Hun tidak punya kegiatan apa
pun. Satu-satunya kegiatan yang ia lakukan hanya berusaha melupakan Xiao Tie.
Namun entah mengapa hari ini ia teringat Xiao He.
Akhirnya Meng Xin Hun memutuskan untuk kembali ke Kuai Huo Yuan.
* Orang-orang di dalam Kuai Huo Yuan selalu berwajah gembira.
Gao Lao Da selalu tersenyum manis. Saat melihat Meng Xin Hun pulang,
tawanya semakin manis. Tapi sejak kejadian hari itu, Gao Lao Da belum pernah benar-benar menatap
Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Meng Xin Hun. Meng Xin Hun pun tidak berani menatap Gao Lao Da secara
langsung. Gao Lao Da selalu ingin melupakan kejadian hari itu, tapi ia tidak sanggup.
Meng Xin Hun hanya menunduk kepala.
"Kau sudah pulang?" tanya Gao Lao Da.
Meng Xin Hun sudah berada di sini, dengan sendirinya sudah pulang.
Tapi Meng Xin Hun justeru menggeleng kepala karena ia tahu yang ditanya
Gao Lao Da sebetulnya apakah pekerjaannya sudah selesai.
Jika ia sudah berani pulang seharusnya tugasnya sudah rampung.
Gao Lao Da mengerut dahi. "Mengapa tugasmu belum selesai?"
Meng Xin Hun lama terdiam, baru perlahan bertanya, "Di mana Xiao He?"
"Xiao He" Kenapa kau tanya dia" Dia tidak punya tugas, mana kutahu dia ada
di mana?" Hati Meng Xin Hun serasa tenggelam. "Aku pernah bertemu dengannya."
"Di mana?" tanya Gao Lao Da heran.
"Dia datang mencariku."
"Kenapa dia mencarimu?" Gao Lao Da terlihat marah.
Meng Xin Hun tidak menjawab.
"Apa kau tahu dia di mana?"
Meng Xin Hun tidak bisa menjawab.
Gao Lao Da semakin marah, ia sangat tahu sifat Xiao He, anak itu suka
menyombongkan diri dan cari perkara.
Meng Xin Hun membalik tubuh, beranjak keluar, karena sudah tidak ada lagi
yang ingin ia tanyakan. Sekarang ia bisa menduga kejadiannya: entah bagaimana Xiao He
mengetahui ke mana ia pergi dan sengaja mencarinya.
Maksud Xiao He hanya satu, yaitu menjatuhkan rasa percaya diri Meng Xin
Hun supaya bisa menggantikan posisinya.
Hal seperti ini sering dilakukan Xiao He. Hanya saja kali ini ia salah, dan
kesalahannya sangat fatal. Xiao He tidak tahu, Lao Bo adalah orang yang
sangat menakutkan. "Jangan pergi" cegah Gao Lao Da, "Aku ingin tahu, apa Xiao He
menggantikanmu mencari Lao Bo?"
Lama terdiam, Meng Xin Hun mengangguk kepala.
"Apa kau membiarkan dia pergi begitu saja?"
"Dia sudah pergi!"
Gao Lao Da marah berkata, "Kau tahu seperti apa Sun Yu Bo! Kau sendiri
paling banter hanya tujuh puluh persen berhasil. Kalau Xiao He yang pergi,
berarti mengantar nyawa. Kenapa kau tidak mencegahnya?"
Meng Xin Hun membalik tubuh. Ia juga marah, berkata, "Kenapa ia bisa tahu
aku ada di sana?" Mulut Gao Lao Da seketika tersumpal.
Tugas Meng Xin Hun adalah rahasia. Kecuali Meng Xin Hun dan Gao Lao Da,
tidak ada yang tahu. Tapi kenapa Xiao He bisa tahu"
Akhirnya Gao Lao Da menarik nafas. "Aku tidak menyalahkanmu, hanya
menghawatirkan Xiao He. Siapa pun dia aku tetap akan menghawatirkannya."
Meng Xin Hun menunduk kepala.
Di depan orang lain kepala Meng Xin Hun tidak pernah menunduk, tapi di
hadapan Gao Lao Da keadaannya tidak sama. Ia tidak akan pernah
melupakan budi Gao Lao Da.
"Mau ke mana?" tanya Gao Lao Da melihat Meng Xin Hun mulai beranjak.
"Ke tempat aku seharusnya berada."
"Kau sudah tidak bisa ke sana lagi!"
"Kenapa?" "Bila benar Xiao He sudah ke tempat Sun Yu Bo, hidup atau mati, Sun Yu Bo
akan lebih waspada. Kalau kau pergi, hanya mengantar nyawa."
Meng Xin Hun tertawa. "Setiap menjalankan tugas pun aku sudah siap
menghantarkan jiwa."
"Kali ini tidak sama!"
"Kali ini tetap sama! Karena saat menjalankan tugas, selamanya kulakukan
sebaik mungkin." "Kalau kau tetap memaksa," kata Gao Lao Da, " sebaiknya menunggu situasi
tenang lebih dulu." "Bila menunggu situasi tenang, tubuh Xioa He sudah dingin."
"Sekarang pun mungkin badannya sudah dingin." jawab Gao Lao Da.
"Paling sedikit, aku harus melihat-lihat!"
"Tidak bisa! Aku tidak mengijinkan kau pergi demi siapa pun."
Mata Meng Xin Hun berekspresi aneh. "Apa demi Xiao He pun hal ini tidak
bisa?" Gao Lao Da tetap berkeras. "Demi dia juga tidak bisa! Aku tidak bisa demi
seseorang yang sudah mati mengorbankan orang yang masih hidup."
"Tapi dia adalah saudara kita."
"Saudara dan tugas tidak bisa dicampur aduk. Kalau kita tidak bisa
membedakan tugas dan saudara, di hari mendatang mungkin yang mati
adalah kita!" Mata Gao Lao Da menjadi sangat berat. Perlahan ia melanjutkan,
"Jika kita semua mati, tidak akan ada yang mengubur mayat kita."
Meng Xin Hun sesaat menjublak. Ia merasa Gao Lao Da sudah berubah dan
terus berubah. Gao Lao Da kini jadi sangat dingin dan kejam, berubah menjadi orang yang
tidak punya perasaan. Sejak Ye Xiang gagal menjalankan tugas, Meng Xin Hun sudah merasakan
perubahan Gao Lao Da. Tapi kenapa Gao Lao Da tidak takut Xiao He membocorkan rahasia"
* Terdengar ketukan pintu. Itulah pintu rahasia Gao Lao Da.
Bila bukan hal yang sangat penting, tidak ada yang berani mengetuknya.
Gao Lao Da membuka jendela kecil pada pintu itu. "Ada apa?"
Terdengar jawaban dari luar, "Tuan Tu mengajak Nona minum arak."
"Apakah dia yang bernama Tu Cheng?" tanya Gao Lao Da.
Suara di luar menjawab, "Betul."
"Baiklah aku segera menemuinya." Gao Lao Da memandang Meng Xin Hun.
"Tu Cheng adalah pedagang besar. Ia juga anak buah Wan Peng Wang,
malah kabarnya ia adalah tangan kanannya."
Meng Xin Hun bertanya, "Apa Tu Cheng itu yang bernama asli Tu Da Peng?"
"Betul," jawab Gao Lao Da.
"Kau pasti tahu Sun Yu Bo menyuruh Lu Xiang Chuan pergi. Tidak ada yang
tahu tujuan penugasannya. Bisakah kau mencari tahu?" tanya Meng Xin Hun.
Ia tidak pernah menanyakan hal yang tidak ada hubungan dengan pekerjaan.
"Lu Xiang Chuan orang kepercayaan Lao Bo. Kalau bukan hal yang sangat
penting, Lao Bo tidak akan menyuruh Lu Xiang Chuan pergi."
Meng Xin Hun mengangguk. Ia pun merasa Lu Xiang Chuan tidak bisa
dipandang remeh. Gao Lao Da tertawa. "Kalau Sun Yu Bo berkelahi dengan Wan Peng Wang,
akan lebih menguntungkan kita. Tu Cheng keluar sarangnya pasti terkait
dengan Sun Yu Bo." Gao lao Da langsung membuka pintu, berjalan keluar.
"Lebih baik kau tunggu di sini, biar aku mencari kabar sebentar."
Berita yang diperoleh Gao Lao Da selalu sangat cepat, karena cara kerjanya
pun sangat tepat. Tapi Meng Xin Hun tidak mau sekedar duduk menunggu, ada juga berita yang
ingin ia cari sendiri. 13. Pembunuh Sejati Ye Xiang berbaring di bawah pohon rindang di padang rumput yang gersang.
Rumput-rumput berwarna kuning kekeringan. Ia melemaskan tangan dan
kakinya. Sebelumnya ia tidak pernah melakukan hal ini karena tidak punya cukup waktu
buat bersantai. Sekarang keadaannya sudah berbeda, sudah tidak ada lagi yang harus
dikhawatirkan, ia bisa lebih santai menjalani hidup.
Ternyata kegagalan pun ada hikmahnya, orang sukses belum tentu bisa
menikmati hidup seperti dirinya. Ye Xiang tertawa kecut.
Tiba-tiba terdengar suara langkah berjalan di atas rumput, begitu ringan
seperti kucing yang mengendap.
Ye Xiang tetap berbaring. Tanpa berpaling pun ia tahu siapa yang datang.
Itu langkah Meng Xin Hun, kecuali Meng Xin Hun tidak ada yang melangkah
seperti itu. "Kapan kau pulang?" tanya Ye Xiang tetap berbaring.
"Baru saja," jawab Meng Xin Hun.
Tawa Ye Xiang pecah. "Kau baru pulang tapi langsung mencariku,
benar-benar sahabat yang baik."
Seketika jengah wajah Meng Xin Hun. Selama dua tahun ini banyak yang
menjauhi Ye Xiang, termasuk dirinya.
Ye Xiang menepuk-nepuk rumput kering di sampingnya. "Duduklah! Minumlah
dulu, baru katakan maksudmu mencariku?"
Meng Xin Hun duduk di tempat yang ditunjuk Ye Xiang, menenggak arak
sambil berjanji dalam hati, kelak bila kembali dengan selamat akan
memperlakukan Ye Xiang lebih baik, minum berdua lebih sering lagi.
Harus diakui, hari-hari lalu ia sempat menjauhi Ye Xiang. Bukan karena
sombong, melainkan karena takut. Manakala ia melihat Ye Xiang, seolah ia
bercermin melihat diri sendiri.
"Apa yang membawamu ke sini?" tanya Ye Xiang.
"Kau pernah bilang, di dunia ini ada dua macam orang. Pertama, orang yang
membunuh dan, kedua, orang yang dibunuh." jawab Meng Xin Hun sambil
mengembalikan botol arak ke tangan Ye Xiang setelah sekali lagi
menenggaknya. Ye Xiang tertawa. "Tidak seorang pun yang bisa membagi jenis orang dengan
cara sama! Mungkin caraku membagi pun salah."
"Kau bisa membagi dengan cara seperti itu, karena sesunguhnya kau memang
bukan tipe pembunuh," sahut Meng Xin Hun.
Ye Xiang menenggak araknya sambil tersenyum. "Kebanyakan pembunuh
akhirnya mati dibunuh juga."
"Apa tidak ada pengecualian?" tanya Meng Xin Hun.
"Maksudmu, apa ada pembunuh tapi akhirnya tidak terbunuh?" Ye Xiang balik
bertanya. Meng Xin Hun mengangguk. Sesaat Ye Xiang termangu. "Sesungguhnya, sangat jarang orang seperti itu."
"Sangat jarang berarti tetap ada, bukan" Kau kenal orang seperti itu?" kejar
Meng Xin Hun. Setelah lama termangu, Ye Xiang menjawab, "Aku adalah salah satunya."
Nadanya menjadi kecut, "Sekarang sudah tidak ada yang berniat
membunuhku." Meng Xin Hun tidak tahu harus berkata apa.
Tiba-tiba Ye Xiang terduduk, memandang Meng Xin Hun dalam-dalam. "Dia
seperti apa?" Meng Xin Hun tahu, Ye Xiang kini sudah menangkap maksud kedatangan dan
arah pertanyaannya. "Orangnya sangat biasa," jawab Meng Xin Hun, "Tidak tinggi, juga tidak
pendek. Tidak gemuk, juga tidak kurus."
"Apa kau pernah melihat wajahnya?"
"Tidak." "Kenapa?" "Karena setelah membunuh, ia mengoleskan darah korban ke wajahnya."
Wajah Ye Xiang berubah kaku. Lama baru ia berkata, "Aku tahu orang
semacam ini. Di dunia ini hanya ada satu orang semacam ini! Tidak ada
kecualinya. Hanya saja "," Ye Xiang berubah menjadi sangat serius menatap
Meng Xin Hun, ?" kalau kau bertemu dengannya, larilah sejauh mungkin.
Semakin jauh semakin baik."
"Kenapa?" Meng Xin Hun tidak mengerti.
"Pembunuh bukan hanya kita berdua!" jawab Ye Xiang.
"Oh?" Meng Xin Hun semakin tidak paham.
"Pembunuh adalah pekerjaan yang tidak biasa," jelas Ye Xiang sambil
menatap Men Xin Hun. Meng Xin Hun mengangguk, balik menatap Ye Xiang, dan berkata. "Kau
pernah bilang, menjadi pembunuh tidak bisa memiliki nama! Bila kau punya
nama, berarti kau bukan pembunuh profesional."
Ye Xiang menghela nafas. "Ya, itulah pengorbanan kita atas profesi ini. Nama
baik, keluarga, teman, semua tidak bisa kita miliki." Sesaat ia terdiam, baru
melanjutkan, "Karena itu, tidak seorang pun mau menjalani pekerjaan seperti
kita, terkecuali orang gila!"
Kecut senyum Meng Xin Hun. "Walau sekarang belum gila, lambat laun pasti
gila." Ye Xiang menenggak araknya lagi. "Tapi tetap saja ada orang yang memang
ditakdirkan jadi pembunuh! Orang seperti itulah sejatinya seorang pembunuh.
Pada waktu membunuh, dia benar-benar membunuh tanpa perasaan.
Selamanya dia tidak akan merasa jenuh atau lelah untuk membunuh, hati dan
tangan pun tidak dapat berhenti untuk terus membunuh."
Men Xin Hun hanya diam, menatap botol arak di tangan Ye Xiang.
"Asal kau tahu," Ye Xiang melanjutkan, "Orang yang kau maksud adalah salah
satu pembunuh paling gila yang pernah kutahu!"
Meng Xin Hun mengambil botol arak dari tangan Ye Xiang dan langsung
menenggaknya. "Apa dia pembunuh terbaik?" tanya Meng Xin Hun setelah
beberapa saat. "Benar, di dunia ini tidak ada yang lebih hebat daripadanya," jawab Ye Xiang.
Meng Xin Hun menatap Ye Xiang, ia tahu perkataannya belum selesai.
Ye Xiang melanjutkan, "Kau tidak akan bisa menandinginya! Bisa jadi kau lebih
tenang, lebih dingin, dan lebih pintar darinya. Mungkin pula gerakanmu lebih
cepat darinya. Tapi kau tidak mungkin bisa menjadi pembunuh nomor satu
kalau kau bukan seorang yang gila."
Meng Xin Hun mengembalikan botol arak ke tangan Ye Xiang. Setelah lama,
Meng Xin Hun baru bertanya, "Apa kau pernah melihat saat dia membunuh?"
"Kecuali melihat dengan mata kepala sendiri, tidak ada yang bisa
menggambarkan caranya membunuh. Pada waktu membunuh, dia tidak
menganggap lawannya manusia."
"Mungkin, saat membunuh, dia tidak menganggap dirinya manusia!" Meng Xin
Hun menatap jauh ke sana.
Seperti tidak mendengar Meng Xin Hun, Ye Xiang perlahan berkata, "Ada yang
bilang dia sudah pensiun"," tiba-tiba Ye Xiang menatap Meng Xin Hun
dalam-dalam, "Di mana kau menemuinya?"
"Di taman bunga Sun Yu Bo!"
"Siapa yang dibunuh olehnya?"
"Huang Shan San You."
"Kenapa dia membunuh Huang Shan San You?"
"Karena mereka berlaku tidak sopan pada Sun Yu Bo."
Mendengar jawaban ini Ye Xiang menghela nafas. "Sudah kuduga Sun Yu Bo
punya pelindung yang kuat. Tapi tidak kusangka dialah pelindungnya."
Sekarang ia memegang tangan Meng Xin Hun kuat-kuat, "Lupakanlah niatmu
untuk membunuh Sun Yu Bo," ucapnya begitu sungguh-sungguh
"Aku tidak bisa melupakannya!"
Ye Xiang tampak sangat serius. "Tetap berusahalah untuk melupakannya!
Kalau tidak, aku khawatir, kau akan mati dalam waktu dekat. Walau kau bisa
membunuh Sun Yu Bo, dia akan mencarimu kemana pun pergi dan akhirnya
berhasil membunuhmu!"
Meng Xin Hun menghela nafas. "Betapa pun, akan kucari cara agar tidak
seorang pun tahu siapa yang membunuh Sun Yu Bo."
"Orang lain mungkin tidak bisa," geleng Ye Xiang, "Tapi, percayalah, orang ini
pasti bisa melacaknya!"
Meng Xin Hun perlahan bertanya, "Apa orang ini mengenalmu?"
. Ye Xiang mengangguk. "Dia mengenaliku. Begitu dia melihatku, dia tahu siapa
aku." Orang lain mungkin tidak mengerti ucapan Ye Xiang. Tapi, Meng Xin Hun
paham maksudnya. Seperti juga Ye Xiang, si Jubah Kelabu dan Meng Xin Hun
juga manusia. Walau mereka adalah pembunuh, sehari-hari sedapat mungkin mereka tampil
tidak berbeda dengan orang lain, pun sedapatnya tidak memancing keributan
dengan orang lain. Namun pembunuh adalah pembunuh. Seorang pembunuh sejati sekali melihat
pasti bisa mengenali siapa dirimu!
Meng Xin Hun bertanya lagi, "Bila dia bisa mengenalimu, apakah dia juga
Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengenaliku?" "Ya," Ye Xiang balik menatap Meng Xin Hun, "Walau waktu itu dia tidak
melihatmu, tapi?" Meng Xin Hun diam, menunggu kelanjutan ucapannya.
?" percayalah, dia sudah mengenalimu! Bila Sun Yu Bo mati, dia pasti akan
datang mencarimu." Meng Xin Hun bergidik ngeri, tapi tidak berkata apa-apa. Ia tahu, Ye Xiang
masih belum selesai. "Barang kali ia tidak langsung membunuhmu," lanjut Ye Xiang, "Tapi, kalau
kau sudah dicurigai olehnya, dia akan selalu menguntitmu, menunggumu, ikut
pergi ke mana pun kau pergi?"
Meng Xin Hun membulatkan tekad. "Aku lebih dulu harus membunuhnya!"
Ye Xiang terkejut mendengar kesungguhannya. "Kau mau membunuhnya"
Apa kau bisa membunuhnya?"
"Betapa pun, dia manusia!" jawab Meng Xin Hun.
Selama manusia, pasti bisa mati! Tapi Ye Xiang menggeleng-geleng kepala.
"Dia manusia macam apa kau sendiri tidak tahu, bagaimana bisa
membunuhnya?" "Tapi ada kau yang bisa memberi tahuku dia macam apa."
"Aku?" Ye Xiang menggoyang-goyang kedua tangan. "Tidak! Aku tidak tahu."
Meng Xin Hun masih menatap Ye Xiang begitu dalam. Sesaat ia menghela
nafas, kemudian berdiri, bersiap meninggalkan tempat itu.
Ia tidak memaksa Ye Xiang untuk mengatakannya. Bila Ye Xiang tidak ingin
mengatakan, ia tidak mau memaksa.
Tiba-tiba Ye Xiang berseru, "Tunggu sebentar!"
Meng Xin Hun menghentikan langkah.
Setelah lama Ye Xiang baru berkata, "Dia membunuh bukan karena dia tidak
menyukai manusia, melainkan karena dia sangat menyukai darah!"
"Darah?" Meng Xin Hun tidak mengerti.
Tanpa juntrungan, Ye Xiang melanjutkan, "Dia juga tidak suka makan ikan,
tapi dia suka memelihara ikan. Orang yang suka memelihara ikan tetapi tidak
makan ikan tidaklah banyak."
Meng Xin Hun masih ingin bertanya tapi Ye Xiang sudah menutup mulut
sendiri dengan botol arak.
Matahari senja menyinari pepohonan dan muka Ye Xiang. Wajahnya sudah
berubah, ia seperti tertidur.
Meng Xin Hun menatap Ye Xiang dengan sorot penuh terima kasih.
Meng Xin Hun tahu, tidak seorang pun bisa memaksa Ye Xiang mengatakan
hal yang tidak ingin ia katakan.
Tapi, tetap ada pengecualian.
Jika Meng Xin Hun yang meminta, Ye Xiang pasti bicara.
Meng Xin Hun adalah teman Ye Xiang.
Juga saudaranya. * Sewaktu Meng Xin Hun kembali, Gao Lao Da sudah menanti.
Kelihatannya Ga Lao Da sedang gembira. Namun begitu melihat Meng Xin
Hun, ia jadi marah, "Kenapa tidak menungguku?"
"Aku tidak kemana-mana," jawab Meng Xin Hun, "hanya menemui Ye Xiang."
"Sepertinya antara kau dan Ye Xiang begitu banyak yang ingin dibicarakan,"
jengek Gao Lao Da. Setelah terdiam sesaat, ia melanjutkan, "Aku sudah tahu
kemana Sun Yu Bo menugaskan Lu Xiang Chuan."
"Oh ya?" "Ia menugaskan Lu Xiang Chuan menemui Wan Peng Wang," jawab Gao Lao
Da. "Untuk apa?" tanya Meng Xin Hun lagi.
"Teman lama Sun Yu Bo bernama Wu Lao Dao. Anak lelaki Wu Lao Dao
mencintai pelayan Wan Peng Wang, namun Wan Peng Wang tidak merestui.
Karena itu, Sun Yu Bo memerintahkan Lu Xiang Chuan meminta restunya."
Walau Gao Lao Da seorang perempuan, ia bisa menjelaskan masalah ini
secara cepat dan sederhana.
"Lantas?" tanya Meng Xin Hun.
"Akhirnya Wan Peng Wang merestui mereka dan dia pun menyediakan semua
tetek bengek untuk pernikahan gadis itu."
Kembali tanya Meng Xin Hun, "Dengan begitu, masalah selesai?"
"Belum! Malah baru dimulai!" Gao Lao Da tertawa senang, "Orang semacam
Wan Peng Wang tentu tidak menyerah begitu saja."
Meng Xin Hun tidak bertanya lagi karena ia tidak mengenal Wan Peng Wang.
Gao Lao Da berkata, "Menurutku, Wan Peng Wang sengaja melakukan itu
agar Sun Yu Bo lengah. Di saat itulah dia akan menyerang Sun Yu Bo." Gao
Lao Da berkeplok gembira. "Bila Wan Peng Wang mulai menyerang, pasti
akan sangat dahsyat!"
"Karena itu dia memanggil Tu Da Peng?" Meng Xin Hun bertanya sekaligus
menyimpulkan, teringat pada anak buah Gao Lao Da yang mengetuk pintu
tadi. Gao Lao Da mengangguk. "Selain Tu Da Peng, ia juga sudah memanggil Ji
Peng dan Nu Peng. Sekarang mereka dalam perjalanan menuju markas pusat
Wan Peng Wang." "Mereka akan menyerang Sun Yu Bo?"
"Benar! Saat mereka mulai menyerang, itulah kesempatan emasmu," senyum
Gao Lao Da begitu puas. "Kalau begitu, aku harus menguntit Tu Da Peng!"
"Ya, kau harus mencermati gerak-gerik mereka dan menunggu kesempatan
baik. Namun, kau tidak boleh membiarkan orang lain mengambil kesempatan
emas itu. Kau harus membunuh Sun Yu Bo dengan tanganmu sendiri."
"Aku mengerti."
Meng Xin Hun memang mengerti bahwa harus dirinya yang membunuh Sun
Yu Bo. Kalau tidak, Gao Lao Da tidak akan menerima honor. Selain itu,
tidakkah ia juga harus menjaga reputasi Gao Lao Da"
"Berapa orang yang ikut dengan Tu Da Peng?" tanya Meng Xin Hun.
"Mereka hanya bertiga, menunjukkan bahwa gerak-gerik mereka sangat
rahasia." "Siapa kedua lainnya?"
"Yang satu bernama Wang Er Dai. "Dai" yang berarti bodoh. Walau
penampilannya tampak bodoh, tapi dia tidak bodoh. Ini sekedar upaya
mengelabui orang." "Satunya lagi?" tanya Meng Xin Hun.
"Yang satu lagi bernama Ye Mao Zi, si Kucing Malam, sesuai namanya ia
adalah pencuri ulung dan ahli membius orang. Tu Da Peng sudah
memanggilnya, pasti ada penugasan khusus buatnya."
"Kapan mereka berangkat?"
Gao Lao Da tertawa puas. "Walau Tu Da Peng tergesa, tapi ia tidak akan
segera berangkat, Jin Er sekarang masih menemaninya di kamar. Sayangnya,
Jin Er hanya bisa menahannya satu hari lagi."
Meng Xin Hun terlihat berpikir.
"Apa yang kau pikirkan?" tanya Gao Lao Da.
"Orang yang bisa dirayu untuk tinggal satu hari lagi tidak akan pernah bisa
menjadi anak buah Wan Peng Wang yang utama."
Gao Lao Da tertawa manis. "Sepertinya semakin hari kau semakin cerdas."
"Karena aku memang harus menjadi lebih pintar," jawab Meng Xin Hun dingin.
14. Pembalasan Wan Peng Wang
Wu Lao Dao sudah mulai mabuk.
Ia sangat berterima kasih pada Lao Bo. Inilah hari pernikahan putranya, ia
berharap Lao Bo bisa menghadiri pesta ini. Namun, ia paham, Lao Bo tidak
mungkin datang. Walau Wu Lao Dao kecewa, tapi tidak seberapa sedih karena Lu Xiang Chuan
hadir di pesta ini. Setelah pesta usai, Lu Xiang Chuan baru pulang. Ia meninggalkan dua
jagonya, Wen Hu dan Wen Bao, guna menjaga Wu Lao Dao.
Para tamu sudah pulang. Pelayan sedang minum-minum, beristirahat dan
bercengkrama di dapur. Sepasang pengantin pun sudah masuk kamar.
Di ruang tamu hanya tinggal Wu Lao Dao sendiri. Melihat lilin yang hampir
habis, pikiranya melayang senang sekaligus sedih.
"Anak lelakiku sudah menikah, aku memang semakin tua," pikirnya dalam hati
sambil mulai merencanakan tempat tenang dan sepi guna menghabiskan
masa tua. Saat itu ia mendengar suara langkah kaki mendekati.
Orang itu sepertinya sudah mabuk, lebih mabuk daripada Wu Lao Dao, datang
dari taman menuju ruang tamu. Ia bukan hanya mabuk, juga terlihat bodoh,
penampilannya sangat lugu, langsung menghampiri Wu Lao Dao.
Tapi Wu Lao Dao tidak mengenalinya. Di antara teman-teman Wu Lao Dao
tidak ada yang bodoh dan lugu seperti ini.
"Apa kau mencari Lao Song" Mereka sedang di dapur." Wu Lao Dao menduga
lelaki itu teman juru masaknya.
Lelaki itu menggeleng, dengan suara mabuk bergumam, "Yang kucari adalah
kau." "Mencariku" Ada urusan apa?"
Sebelum sempat mengatakan apa pun, lelaki itu ambruk, tapi masih sempat
melambaikan tangan. "Kau ingin menyampaikan sesuatu?"
Susah payah orang itu mengangguk.
Terpaksa Wu Lao Dao menghampiri dan membungkukkan badan, "Bicaralah!"
Lelaki itu berkata terengah, "Aku ingin?"
Suaranya serak dan mabuk. Wu Lao Dao tidak mendengar cukup jelas.
Terpaksa ia lebih mendekatkan diri dan bertanya, "Apa yang ingin kau
sampaikan?" "Aku ingin?" nafasnya begitu berat.
Posisi mereka begitu dekat. Tapi saat orang itu bicara, tidak tercium bau arak
dari mulutnya. Wu Lao Dao tertegun. Hanya sedetik, namun sudah terlambat.
Lelaki itu menyelesaikan ucapannya tepat di sisi telinga Wu Lao Dao, ?"
membunuhmu!" Saat perkataan terahir terucap, seutas tali sudah menjerat leher Wu Lao Dao.
Saat tali ditarik, sebilah pisau sudah menggorok lehernya.
Nafas Wu Lao Dao seketika tersekat, ia seperti ikan yang meloncat ke
permukaan jatuh ke darat, menggelepar untuk diam selamanya.
Lelaki itu berdiri tegak, beberapa saat menatap Wu Lao Dao. "Aku sudah
bilang ingin membunuh, ya kubunuh kau. Aku, Wang Er Dai, tidak pernah
bohong!" "Dai" yang berarti bodoh.
Tapi ia tidak bodoh. * Pasangan pengantin, Xiao Wu dan Dai Dai, saling berpelukan. Begitu erat,
seakan tidak terpisahkan.
"Kau milikku." Lembut Xiao Wu mengecup bibir Dai Dai sambil memejam
mata. Nafas Dai Dai begitu harum. Sedemikian harumnya, membuatnya jadi
mengantuk. Seketika Xiao Wu merasa sesuatu yang tidak beres. Ia meronta bangun, tapi
kaki dan tangan tidak mengikuti perintahnya. Pikiran pun terasa melompong.
Xiao Wu coba membuka mata. Pandangannya terasa kabur.
Antara sadar dan tidak, ia seperti melihat seraut wajah. Wajah itu meringis
seperti kucing. Di tengah malam begini kenapa ada kucing"
"Pengantinmu sekarang milikku," kata si Kucing Malam, Ye Mao Zi.
Xiao Wu ingin bangkit, tapi segalanya berubah menjadi kabut dan akhirnya
gelap semata. Ia pingsan. * Meng Xin Hun bertekad menguntit Tu Da Peng. Tapi Tu Da Peng tidak ke
mana-mana. Yang bergerak justeru dua anak buahnya.
Kini Meng Xin Hun berada di atap rumah di seberang kediaman Wu Lao Dao.
Ia melihat Wang Er Dai memasuki rumah Wu Lao Dao seperti seorang idiot.
Tidak lama kemudian ia melihat Ye Mao Zi mengendap seperti kucing di sisi
jendela kamar pengantin. Mereka tidak masuk secara bersamaan, tapi keluar bersamaan.
Ketika keluar, Wang Er Dai masih terlihat seperti orang idiot, tapi di pundaknya
memanggul sesosok mayat. Tidak lama Ye Mao Zi juga keluar membopong
bungkusan besar, sedemikian besarnya sehingga tampak kerepotan.
Tiba-tiba datang kereta, berhenti tepat di depan mereka.
Pintu terbuka, Wang Er Dai dan Ye Mao Zi masing-masing melempar
bawaannya ke dalam kereta. Mereka pun masuk ke dalam dan segera
menghilang di kepekatan malam.
Semua terjadi begitu singkat. Rumah Wu Lao Dao tetap senyap seakan tidak
terjadi apa-apa. Tapi Meng Xin Hun tahu, Wan Peng Wang sudah memukul Sun Yu Bo dengan
telak. Meng Xin Hun juga tahu, Sun Yu Bo tidak akan tinggal diam dan akan
membalas Wan Peng Wang lebih kejam lagi.
* Setelah mendengar penjelasan Lu Xiang Chuan, wajah Lao Bo menjadi sangat
serius. Lu Xiang Chian tidak mengerti kenapa Lao Bo jadi begitu. Ia telah melakukan
tugas dengan sangat sempurna dan sukses. Arak pengantin pun masih terasa
manis di bibirnya. Biasanya, Lao Bo langsung memuji.
Tapi sekarang Lu Xiang Chuan justeru melihat tangan Lao Bo menggenggam
kancing baju dengan kencang seperti memencet mati seekor binatang. Bila
Lao Bo begini, berati ia sedang marah. Dan siap menyerang.
Siapa yang akan ia serang"
Tiba-tiba Lao Bo berdiri dan berkata pada pengawal yang menjaga di sudut
sana. "Beri kabar pada Kelompok Merpati agar semua anggotanya bersiaga mencari
Sun Jian. Di mana pun Sun Jian berada, suruh dia pulang, jangan sampai
terlambat!" "Siap!" jawab salah seorang pengawal.
"Siapkan juga Kelompok Elang," lanjut Sun Yu Bo lagi.
Kelompok Merpati bertangung jawab memberi dan mencari kabar. Kelompok
Elang bertugas menjaga keamanan.
Lao Bo jarang mengerahkan kelompok ini. Jika dua kelompok ini sudah
digerakkan, berarti masalah yang dihadapi sangat serius.
"Apa sudah timbul masalah besar?" pikir Lu Xiang Chuan.
Ia kini memikirkan kata-kata yang sering diucapkan Lao Bo. "Buatlah musuh
salah tafsir padamu, tapi kau tidak boleh salah menafsir musuh," begitu petuah
Lao Bo pada nya. Lu Xian Chuan menggaruk kepala.
Apakah Lu Xiang Chuan telah salah menafsir Wan Peng Wang" Tidakkah
tugasnya berjalan terlalu lancar" Sedemikian lancarnya sehingga menjadi
tidak wajar" Dengan reputasi Wan Peng Wang, benarkah ia takluk begitu
saja?" Lu Xiang Chuan merasa punggungnya basah.
Lao Bo bertanya, "Kau sudah mengerti?"
Ia tidak marah pada Lu Xiang Chuan karena tahu orang seperti Lu Xiang
Chuan tidak perlu dimarahi. Lu Xiang Chuan pasti tidak akan mengulangi
kesalahan sama! Lu Xiang Chuan sangat berterima kasih pada Lao Bo, juga merasa sangat
malu. Tiba-tiba ia berdiri. " Aku harus bertemu Wu Lao Dao, mungkin ia dalam
bahaya." "Tidak perlu!" jawab Lao Bo.
"Kenapa?" "Karena Wu Lao Dao pasti sudah mati."
Lu Xiang Chuan merasa hatinya dingin. "Barangkali?"
Lao Bo menukas perkataannya. "Tidak ada barangkali! Wan Peng Wang biasa
membuat musuh tidak merasa dalam bahaya, tapi kemudian segalanya sudah
terlambat!" Lu Xiang Chuan duduk kembali. Hatinya serasa tenggelam ke dasar jurang
yang dalam. Ia tidak tahu bagaimana harus memperbaiknya. Entah pula
bagaimana menebusnya. Ketika itulah seseorang datang terburu-buru memasuki pintu.
Lelaki itu masih sangat muda dan tampan, sayangnya hidungnya bengkok
seperti baru dihajar, sudut matanya pun sudah dipukul hingga sobek, tangan
kirinya lunglai menggantung seperti selembar kain.
Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Begitu masuk, pemuda itu langsung terkapar tidak bangun lagi. Jelas terlihat,
pemuda itu habis menjalani penyiksaan berat.
Sudah lama Lao Bo tidak menyukai kekerasan. Tapi kali ini merupakan
pengecualian. Sepertinya, pemuda itu telah melakukan kesalahan yang tidak
termaafkan. "Siapa dia?" tanya Lu Xiang Chuan.
"Tidak tahu," jawab Lao Bo.
Lu Xiang Chuan heran. Sepertinya pemuda ini tahan siksaan, karena terlihat
masih bisa bertahan. "Barangkali ia takut jika membocorkan rahasia, siksaan yang diterimanya akan
lebih dahsyat" Di belakangnya, jangan-jangan ada tokoh lebih menakutkan?"
pikir Lu Xiang Chuan. Sepertinya Lao Bo bisa menduga benak Lu Xiang Chuan. "Dia tidak mau
bicara bukan karena takut. Kalau kita terus menyiksanya, dia pasti pingsan."
"Apa kesalahannya?" tanya Lu Xiang Chuan.
"Dia mau membunuhku," jawab Lao Bo.
Lu Xiang Chuan sangat terkejut. Yang berani membunuh Lao Bo pasti orang
gila. Jika bukan gila, pasti orang yang sangat berani.
"Cobalah, barangkali kau punya cara menggali informasi darinya," kata Lao
Bo. Lu Xiang Chuan berdiri, memilih arak yang paling keras, dan langsung
mencekokkannya pada pemuda itu. Bukankah dalam keadaan mabuk orang
berkata lebih jujur"
Wajah pemuda itu mulai memerah, begitu juga sepasang matanya. Betapa
pun jagonya pemuda itu minum, apabila dicekok sebanyak itu, pasti mabuk.
Lu Xiang Chuan mulai menginterogasi. "Apa margamu?"
Mabuk, pemuda itu hanya bergumam. "Margaku He."
"Siapa namanu?"
"Margaku He." Berapa kali ditanya pun jawabannya hanya begitu, tidak ada yang lain.
"Orang yang mengutus pemuda ini sangat terlatih hingga bisa melatih
anakbuahnya seperti ini," kata Lao Bo.
Lu Xiang Chuan berpikir. "Kau menyangka orang itu adalah?"
Lao Bo mengangguk. Lu Xiang Chuan tidak menyebut nama, begitu juga Lao Bo, seolah mereka
sudah mengerti siapa yang dimaksud.
Dengan suara rendah Lu Xiang Chuan bertanya, "Apa sebaiknya dia kita antar
pulang?"" Lao Bo menggeleng kepala. "Lepaskan saja?"
"Antar pulang" dan "lepaskan saja" artinya tidak sama. "Antar pulang" artinya
pulang dalam keadaan mati. "Lepaskan" berarti pulang dalam keadaan hidup.
Setelah lama baru Lu Xiang Chuan memahami maksud Lao Bo.
Lao Bo memang selalu membereskan masalah secara cepat dan tepat.
* Di depan taman bunga adalah hutan yang lebat.
Meng Xin Hun memilih pohon yang paling rindang, memanjatnya, kemudian
seperti burung hantu sembunyi di balik rimbunnya dedaunan.
Sebetulnya Meng Xin Hun tidak ingin mengelilingi taman bunga Lao Bo, ia
tidak mau menanggung resiko bahwa sebelum melaksanakan tugas
gerak-geriknya sudah terbaca.
Namun sekarang masalah berbeda. Ia tahu Lao Bo mulai bergerak.
Taman bunga itu sepi, sama sekali tidak terdengar suara, seakan tidak ada
kegiatan. Tidak ada yang masuk, tidak ada yang keluar.
Di saat Meng Xin Hun mulai putus asa, dari kerimbunan bunga muncul
sesosok bayangan. Sosok itu memiliki gerak yang cukup cepat, namun langkah sempoyongan,
dan sebelah tanggannya seperti putus. Pakaian yang lengket di tubuhnya
entah berwarna ungu, biru, atau merah oleh darah" Bajunya compang
camping. Meng Xin Hun merasa mengenali pakain itu. Ketika itulah sosok itu
mengangkat wajah, coba mengenali arah.
Sinar bulan menyorot wajahnya.
Xiao He! Hampir Meng Xin Hun berteriak, Xiao He ternyata masih hidup dan bisa
melarikan diri. Wajahnya lelah dan kesakitan, tapi sinar matanya begitu sombong, kagum
pada diri sendiri. Melihat wajah Xiao He, Meng Xin Hun tahu ia belum membocorkan rahasia
Gao Lao Da. Tapi Meng Xin Hun juga tahu, di dunia ini tidak ada yang bisa
lolos dari cengkraman Lao Bo.
Lantas kenapa Xiao He bisa lari hingga di sini"
Meng Xin Hun berpikir dan segera memahami apa yang di nginkan Lao Bo.
Lao Bo sengaja melepas Xiao He melarikan diri, kemudian diam-diam
mengikutinya untuk menyelidiki siapa dalang di balik ini.
Memikirkan hal itu, seketika Meng Xin Hun berkeringat dingin. Ia tidak akan
membiarkan Xiao He pulang. Tapi, ia tidak bisa mencegah Xiao He pulang.
Seseorang pasti sudah menguntit di belakang Xiao He, dan tidak mungkin
Meng Xin Hun membocorkan rahasianya sendiri.
Xiao He terlihat sudah bisa membedakan arah, tanpa pikir langsung berlari ke
sana. Larinya begitu cepat, seolah dalam satu hari akan tiba di Kuai Huo Ling.
Meng Xin Hun sangat marah dan benci, serasa ingin memukul hidung dan
kepala sendiri dan bertanya kenapa Xiao He begitu bodoh.
Sebenarnya Xiao He orang yang pintar, terutama dalam mencelakai orang,
tapi kenapa sekarang jadi begitu bodoh"
* Jika ingin mencegah Xiao He membocorkan rahasia Gao Lao Da ada satu
cara: Bunuh dia! Tapi Meng Xin Hun tidak ingin melakukan cara ini, ia pun tidak tega. Untung ia
masih bisa memikirkan cara kedua, yakni bukannya membunuh Xiao He, tapi
membunuh orang yang menguntit Xiao He.
Meng Xin Hun terus menunggu.
Betul saja, dari kegelapan muncul sesosok bayangan, berlari mengikuti Xiao
He. Tapi Meng Xin Hun tetap mendekam di atas pohon.
Benar saja, tidak lama muncul sesosok lagi, juga mengikuti arah yang tadi
ditempuh Xiao He dan satu temannya terdahulu.
Meng Xin Hun tetap mendekam.
Lagi, sesosok bayangan muncul dan langsung mengikuti arah yang di tempuh
Xiao He dan dua temannya terdahulu.
Menguntit dengan cara ini, bila satu orang ketahuan, yang lain masih bisa
menjalankan tugas. Setelah menunggu beberapa saat, tidak ada tanda-tanda munculnya penguntit
berikutnya, Meng Xin Hun melesat dari tempat sembunyinya.
Ketiga orang itu memiliki ilmu meringankan tubuh sangat lihai, tugas mereka
selamanya menguntit orang. Yang dituju Meng Xin Hun adalah orang terakhir.
Setelah cukup lama, Meng Xin Hun baru bisa mengejarnya. Ringan, Meng Xin
Hun menepuk pundaknya. Lelaki itu terkejut dan menoleh, tapi Meng Xin Hun langsung menotoknya
secepat kilat. Meng Xin Hun memperlakukan dua lagi penguntut Xiao He dengan cara sama.
Cara yang sangat sederhana. Sering kali cara sederhana adalah cara yang
paling efektif. Sebetulnya cara-cara Lao Bo pun sama seperti Meng Xin Hun: sederhana dan
efektif. Orang yang berpengalaman biasanya menempuh cara-cara sederhana.
Xiao He terus berlari melalui kota Huang Shi yang sepi.
* Toko kelontong di Huang Shi sudah hampir tutup. Xiao He berlari melalui toko
itu. Sejenak kemudian mencul dua lelaki dari balik toko dan berbisik, "Itu dia!"
Satunya lagi menyahut, "Kita harus terus menguntitnya."
Mereka memiliki ilmu meringankan tubuh yang sangat tinggi, pun tanpa ragu
mereka mengerahkan seluruh kemampuan, tidak takut kehabisan tenaga
karena tahu di kota berikutnya akan ada yang menggantikan.
Ternyata Lao Bo menggunakan cara yang lebih rumit.
Orang berpengalaman menggunakan cara sederhana. Tapi orang yang lebih
berpengalaman menggunakan cara yang lebih rumit.
Biar bagaimana, bila menggunakan dua cara salah satu pasti berhasil.
Jika Lao Bo menginginkan satu hal, ia pasti menggunakan lebih dari satu cara.
Karenanya, hingga saat ini Lao Bo selalu sukses dan tidak pernah gagal.
* Begitu terbangun, Sun Jian merasa sangat lelah.
Ia bukan manusia berotot kawat bertulang besi, apalagi perempuan yang tidur
di sisinya sangat pandai memuaskan lelaki.
Sebenarnya ia masih ingin tinggal di sini dua hari lagi, tapi ia telah mendengar
suara aneh di luar jendela.
Suara itu seperti seruling yang membuat kobra menari, setelah berbunyi dua
kali baru berhenti. Sun Jian langsung bisa membedakan, itulah tanda darurat yang dikirim Lao
Bo. Jika kau mendengar tanda itu tapi tidak langsung pulang, kau bisa menyesal
seumur hidup! Tidak ada yang berani membangkang, termasuk Sun Jian.
Segera ia bangun dari tempat tidur, mengenakan baju, celana, dan sepatu.
Perempuan telanjang yang berada di tempat tidur membalik tubuh, menarik
tangan Sun Jian langsung ke dadanya. "Kau mau pergi?"
"Ya," jawab Sun Jian.
"Kau tega meninggalkanku?" katanya lagi sambil menggesek-gesekkan tangan
Sun Jian guna merasakan sepasang putiknya yang mulai mengeras kaku.
Namun jawabannya hanya tamparan.
Sun Jian tidak suka perempuan yang terlalu mengekangnya.
* Matahari baru terbit. Tapi Sun Jian sudah melarikan kudanya sejauh 200 km.
Ia sungguh cemas karena sudah lama Lao Bo tidak pernah mengeluarkan
tanda darurat ini. Ia pun tidak bisa menebak apa yang sudah terjadi.
Setelah lama memacu kuda, ia lapar sekali. Di kiri kanan jalan yang dilalui
terlihat bermacam penganan. Ada yang menjual kue, daging, juga arak. Tapi ia
tidak berhenti. Lao Bo adalah ayahnya. Juga temannya. Demi Lao Bo ia rela mati.Maka, di
dunia ini tidak ada yang bisa menghentikannya.
Matahari semakin tinggi, mencorong menyinari jalanan. Batu-batu jalanan
terbakar matahari sudah panas seperti di kuali. Terkadang matahari musim
gugur memang lebih menyengat daripada musim panas.
Sun Jian melepas topi, mengelap keringat. Walau ia masih bisa bertahan, tapi
kudanya sudah kelelahan. Ia sadar, sudah saatnya mengganti kuda.
Ketika ia mencari tempat mengganti kuda, tiba-tiba seseorang melemparnya
dengan sebuah batu berbungkus kertas.
Sigap Sun Jian menangkapnya.
Setelah diperhatikan, di atas kertas tertulis: Apa kau ingin tahu siapa
membunuh Lao Bo" Sun Jian seketika menghentikan kuda, meloncat turun. Ia memutar pandang,
yang terlihat justeru beberapa orang di bawah pohon. Dan ia mengenali
mereka. Sun Jian tidak tahu siapa yang melemparnya, dan pasti bukan mereka.
Orang-orang di bawah pohon itu adalah Kelompok Anjing dari organisasi Lao
Bo, tugasnya menguntit orang, jumlah anggotanya tidak banyak, tapi ilmu
meringankan tubuh kelompok ini paling tinggi.
Sun Jian melambai tangan, memanggil ketua kelompok dan bertanya, "Siapa
yang kau ikuti?" Lelaki itu tidak mau sembarangan membocorkan tugas, tapi juga tahu sifat
jelek Sun Jian. Apalagi Sun Jian bukan orang lain, melainkan putra Lao Bo.
Lelaki itu memandang ke seberang sana.
* Xiao He sedang duduk makan kue berbungkus daging sapi. Ia sedikit kesulitan
menggigit kue karena tangannya hanya berfungsi sebelah.
Walau Xiao He ingin secepatnya pulang, tapi sulit baginya terus berlari
mengandalkan ginkan di tengah siang bolong begini.
Apalagi ia juga sudah mulai haus, lapar, dan kelelahan. Untung masih ada sisa
uang di kantungnya. Sebetulnya ia ingin menyewa kereta kuda, sehingga begitu terbangun, sudah
sampai di Kuai Huo Ling. Tapi ia takut dikuntit orang dan memilih lebih memanfaatkan ginkannya buat
melarikan diri. Walau Lao Bo sudah tahu dia kabur dan memerintahkan anakbuah buat
mengejarnya, ia yakin gerakan mereka tidak secepat dirinya. Sungguh, ia
merasa pelarian ini sangat seru.
"Mereka kira aku sudah mabuk! Sedikit pun tidak curiga meninggalkanku
sendiri di kamar yang tidak terkunci," pikir Xiao He dalam hati, "Sekarang
mereka baru tahu betapa pintar dan mampunya aku!"
Entah kenapa, orang yang licik seperti Xiao He ternyata tidak dewasa. Licik
dan dewasa sepertinya dua hal bertentangan.
Xiao He benar-benar senang dan hampir tertawa sendiri. Belum sempat
tertawa, ia melihat seseorang menghampiri. Belum pernah ia melihat orang
sebesar ini. Saat lelaki itu berjalan, seakan bebatuan jalan hancur diinjaknya. Ditambah
lagi sepasang mata seperti dua bola yang terbakar itu langsung menatapnya.
"Margaku Sun bernama Jian," katanya.
Wajah Xiao He seketika berubah. Daging yang tengah digigit jatuh ke tanah
tanpa sempat dikunyah. Sun Jian tertawa sinis. Siapa yang berlaku tidak sopan pada Lao Bo harus
mati! Tiba-tiba Xiao He meloncat, tangannya yang tinggal sebelah mencekik leher
Sun Jian. Kungfunya dan Meng Xin Hun satu aliran. Sangat kejam, cepat, dan
tepat. Sayang ia masih kalah cepat, atau tepatnya: kurang kuat"
Betapa pun cepat lengan Xiao He, Sun Jian tidak mengelak, sebaliknya malah
maju menghadang dan mengadu tangan.
Seketika Xioa He mendengar suara lengan patah. Ia tidak berteriak, karena
sebelah tangan Sun Jian yang lain sudah memukul wajahnya. Ia tersungkur.
Dan sebuah pukulan telak menghajar punggungnya.
Terdengar tulang retak. Semua gigi Xiao He rontok. Tulang wajah serta
punggungnya remuk. * Semua yang menyaksikan sangat terkejut. Kecuali satu orang: si Pelempar
Batu. Orang itu adalah Gao Lao Da.
Semua kejadian sudah dalam perhitungannya. Dan ia sangat percaya diri.
Melihat Xiao He, sedikit banyak ia merasa kasihan. Tapi ia tahu, lelaki seperti
Xiao He tidak pantas dicintai, lebih-lebih tidak pantas dikasihani.
Gao Lao Da berniat secepatnya melupakan Xiao He. Semakin cepat semakin
baik. Dulu ia tidak begitu kejam. Tapi belakangan ia tahu, jika seseorang ingin hidup
lebih baik, ia harus memiliki hati yang keras. Semakin keras semakin baik.
Kekayaan dan kemauan laksana cuka dan air. Bila air ditambah cuka pasti
berubah asam. Bila telah memiliki dan mengejar kekayan, hati dan kemauan
seseorang pasti berubah kejam.
* Sun Jian membanting Xioa He ke tanah seperti membanting karung.
Karung dalam posisi berdiri, namun karena tulang lengan dan punggung Xioa
He sudah remuk, ia rubuh seperti karung kosong ke tanah.
Lao Bo hanya memandang Sun Jian, wajahnya tanpa ekspresi.
Lu Xiang Chuan seketika menghawatirkan Sun Jian. Bila wajah Lao Bo seperti
itu, berarti ia sedang gusar.
Namun Sun Jian seperti tidak menyadari keadaan, wajahnya tampak senang
dan bangga. "Aku sudah menangkap dan membawa pulang orang ini."
"Di mana kau menemukannya?" tanya Lao Bo.
"Di jalan," jawab Sun Jian.
"Di jalan begitu banyak orang, kenapa tidak kau tangkap semua dan bawa
pulang?" Melengak Sun Jian mendengarnya. Sesaat kemudian baru berkata, "Aku tahu
orang ini ingin membunuhmu, dia juga melarikan diri dari sini."
Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bagaimana kau bisa tahu?"
"Ada yang memberi tahu."
"Siapa?" Sun Jian memperlihatan batu berbungkus kertas.
Lao Bo hanya melirik sejenak, wajahnya tetap tanpa ekspresi. "Hanya ingin
kutanya padamu, siapa yang pernah melarikan diri dari sini?"
"Tidak seorang pun."
"Kalau bisa lari dari sini, artinya dia macam apa?"
"Pasti sangat lihai."
"Bila dia sangat lihai, apa tidak terpikir olehmu kau bisa merubuhkannya hanya
sekali pukul?" Sun Jian menjublak. Ia menilai Xiao He memang bukan orang yang sangat
lihai. Seketika ia sadar bahwa dirinya sudah diperalat orang lain.
Sun Jian berharap Lao Bo marah padanya atau setidaknya memukulnya
seperti waktu kecil dulu, sehingga perasaannya jadi lebih baik.
Nyatanya Lao Bo tidak perduli. Dan ini merupakan bentuk hukuman dari Lao
Bo. Bagi Sun Jian, hukuman seperti ini lebih menyakitkan.
* Saat berdua dengan Lu Xiang Chuan, Lao Bo menjelaskan alasannya. "Walau
Sun Jian sudah melakukan kebodohan, tapi bukan berarti tidak ada gunanya."
Lu Xiang Chuan hanya menutup mulut. Dalam keadaan ini, memang lebih baik
menutup mulut. Ia tidak ingin mencampuri urusan ayah dan anak, selain itu juga sudah
memahami maksud Lao Bo. Lao Bo sengaja ingin membuat Sun Jian marah. Saat Sun Jian marah,
kekuatan yang terpancar darinya sangat menakutkan. Bahkan Lao Bo pun
takut dibuatnya. Kekuatan, kemarahan, dan semangat Sun Jian sangat bermanfaat untuk
menghadapi musuh sekarang ini.
* Pagi. Sepagi ini sudah ada empat peti mati hadiah untuk Lao Bo dari Wan Peng
Wang. Empat peti mati berisi empat mayat dan satu manusia hidup.
Empat mayat itu adalah Wen Hu, Wen Bao, Wu Lao Dao, dan Dai Dai.
Satu-satunya yang hidup hanya Xiao Wu.
Tubuh Xiao Wu dijadikan satu peti dengan Dai Dai yang telanjang bulat.
Jelas pengantin wanita habis diperkosa beramai-ramai.
15. Jebakan di Pemakaman Begitu peti dibuka, Lao Bo melihat sepasang mata Xiao Wu. Ia masih hidup,
tapi tulang di sekujur tubuhnya remuk.
Xiao Wu sangat menyesal, hanya dirinya yang masih hidup, bahkan harus
menyaksikan Dai Dai diperkosa beramai-ramai di hadapannya sebelum
dibunuh. Biji mata Xiao Wu melotot seperti ikan mati, memandangi Lao Bo. Tidak ada
yang bisa menggambarkan kesedihan dan kemarahan yang terpancar di sana.
Seumur hidup Lao Bo sering melihat manusia meregang ajal, tapi sekali ini ia
merinding, keringat dingin membasahi tangan dan kakinya.
Apalagi Lu Xiang Chuan, hampir muntah. Tapi ia mengagumi Lao Bo.
Dalam keadaan itu, Lao Bo masih bisa membungkuk berbisik di telinga Xiao
Wu, "Aku akan membalaskan dendammu."
Mendengar perkatan itu, mata Xiao Wu perlahan terpejam. Wajahnya terlihat
tenang. Ia percaya Lao Bo akan membuktikan ucapannya. Nafasnya berhenti.
Empat mayat kini menjadi lima.
Melihat kondisi kelima mayat itu, Lu Xiang Chuan akhirnya benar-benar
muntah. Saat itu Lao Bo berkata dingin, "Paling tidak sekarang terbukti pemuda marga
He itu bukan suruhan Wan Peng Wang."
Lu Xiang Chuan hanya bisa bertanya dengan matanya.
"Dengan mengirim empat peti ini, Wan Peng Wang secara terang-terangan
mengajakku perang," jelas Lao Bo, "Ia tidak perlu bercapai lelah melempar
batu sembunyi tangan guna membungkam mulut pemuda He itu!"
Lu Xiang Chuan terkejut. Jika bukan Wan Peng Wang, lantas siapa tokoh di
belakang pemuda itu" Apa ada musuh lain"
Lao Bo menghela nafas. "Sebenarnya kita masih bisa menyelidiki siapa orang
itu. Tapi, sayang"," dingin Lao Bo memandang Sun Jian.
Nadi di dahi Sun Jian seketika bermunculan.
Lu Xiang Chuan cepat menukas, "Kita masih bisa menyelidikinya?"
"Biar kita bicarakan hal itu nanti!" kata Lao Bo, "Sekarang sebaiknya
memikirkan cara menyerang balik Wan Peng Wang."
"Biar aku ke sana!" teriak Sun Jian, berniat menyatroni kediaman Wan Peng
Wang. "Untuk apa?" tukas Lao Bo, "Ia pasti sudah menunggumu mengantar nyawa!"
Sun Jian mengatup geraham kuat-kuat. Orang di luar pintu pun bisa
mendengar gemeretak giginya.
"Wan Peng Wang pasti menanti kita. Tapi kita tidak perlu ke sana. Biarkan dia
menunggu, kita harus lebih sabar daripadanya."
"Benar," jawab Lu Xiang Chuan. Ia tahu, menunggu memang pekerjaan
menjemukan, bahkan menguras energi.
Lao Bo merapihkan lengan bajunya. "Besok hari pemakaman enam dari Tujuh
Pemberani, Tie Cheng Gang sudah menguar undangan. Wan Peng Wang
tahu kita pasti mengirim orang guna mengucap balasungkawa. Kita pancing ia
melakukan serangan, kita buat ia salah perhitungan."
Belum habis perkataan Lao Bo, Sun Jian bergegas keluar ruangan dengan
langkah lebar. Lao Bo tidak menggubrisnya. Lu Xiang Chuan pun sibuk berpikir.
Entah apa yang dipikirnya, mungkin cara menghadapi Wan Peng Wang"
Malam semakin larut. Lao Bo bertanya, "Apa sudah menemukan cara menghadapi pemakaman
besok?" "Banyak pelayat akan datang," jawab Lu Xiang Chuan, "Di antara pelayat,
mungkin menyusup orang-orang Wan Peng Wan."
Lao Bo mengangguk. "Orang yang menggotong peti, menggali lubang, dan para biksu yang
membaca doa kita ganti dengan orang kita semua," usul Lu Xiang Chuan,
"Sehingga, kalau benar Wan Peng Wang menyusupkan orang di antara para
tetamu melakukan serangan, kita bisa lakukan pengepungan. Yang
kuhawatirkan, Wan Peng Wang malah tidak melakukan apa pun."
"Kehadiran Sun Jian pasti membuat Wan Peng Wang bergerak," sahut Lao
Bo. Lu Xiang Chuan paham maksud Lao Bo. Sebagai putra Sun Yu Bo, dengan
sendirinya Sun Jian merupakan umpan yang sangat menarik bagi musuh,
ibarat cahaya yang mengundang laron-laron berdatangan. Kematian Sun Jian
pasti pukulan telak bagi Lao Bo dan organisasinya.
"Tapi, apa kita tidak meresikokan nyawanya?" tanya Lu Xiang Chuan.
"Kalau semua sudah orang kita, apalagi harus dikhawatirkan" Lagi pula,
kutahu kemampuan Sun Jian. Tapi?" Lao Bo meremas kancing bajunya,
"walau Sun Jian di sana, kuduga Wa Peng Wang tidak akan turun tangan
sendiri. Karena itu, belum waktuku untuk muncul di depan umum."
"Aku ingin ke sana melihat-lihat," usul Lu Xiang Chuan.
Sikap Lao Bo tegas. "Kau tidak perlu pergi! Begitu mereka melihatmu, mereka
pasti menduga kita merencanakan sesuatu. Biarkan Sun Jian yang hadir,
semua tahu Tie Cheng Gang sahabatnya, sewajarnyalah dia di sana. Selain
itu?" pandangan Lao Bo beralih pada Xiao He yang sekarat, ?" kau masih
punya tugas lain." Lu Xiang Chuan hanya mengangguk.
Lao Bo melanjutkan, "Biar aku yang menghadapi Wan Peng Wang. Tugasmu
menelusuri siapa bos anak ini, dengan cara apa pun! Tapi, jangan libatkan
orang lain selain kita berdua."
Lu Xiang Chuan kembali mengangguk, memandang Xiao He. "Aku tidak akan
membiarkan dia mati. Seandainya mati pun pasti akan kupikirkan cara lain."
* Pagi. Luka Tie Cheng Gang belum sembuh, tapi semangatnya sudah kembali.
Di hadapan Tie Cheng Gang, berjajar peti mati teman-temannya, enam dari
Tujuh Pemberani. Ia tidak meneteskan air mata, begitu tabah. Banyak pelayat datang
berbalasungkawa, tapi Tie Cheng Gang tidak terlalu memperdulikan mereka.
Ia terus termenung memandangi jejeran peti mati itu.
Ketika pelayat sudah semakin banyak, tiba-tiba Tie Cheng Gang membalik
tubuh, menghadapi tetamu yang datang.
Perlahan ia berkata, "Teman-temanku dibunuh dan difitnah, tapi aku justeru
melarikan diri seperti anjing..," begitu ia memulai pidato, tanpa ucapan terima
kasih pada tetamu atau ungkapan kata sedih.
Tidak ada yang tahu maksud dan arah pembicaraannya. Karena itu, semua
diam mendengarkan. Tie Cheng Gang terus berkata, ?" Aku melarikan diri bukan karena takut mati,
melainkan menunggu hari ini untuk membersihkan nama baik mereka.
Sekarang, nama baik sudah pulih, aku tidak punya alasan untuk hidup lebih
jauh lagi?" Begitu habis perkataan, ia langsung mengeluarkan pisau menggorok leher
sendiri. Seperti air mancur, darah segar menyembur dari tenggorokannya yang
terbelah. Perubahan itu begitu cepat. Sedemikian cepatnya sehingga tidak bisa dicegah
siapa pun. Kepalanya jatuh menggelinding ke samping, tapi tubuhnya masih gagah
berdiri. Setelah lama baru terkulai roboh ke atas salah satu peti mati.
Seketika orang-orang tersadar dan berteriak-teriak. Panik. Terkejut. Ada yang
mundur, ada yang maju. Hanya Sun Jian yang diam tegak berdiri.
Di tengah kehebohan, empat lelaki bergerak berlarian. Kalau Sun Jian tidak
menghindar, mereka pasti menabraknya.
Tiba-tiba empat lelaki itu menghunus pisau, dari empat arah berbarengan
menusuk Sun Jian. Ujung pisau hampir mengenai Sun Jian, tahu-tahu kepalan tangannya
bergerak, cepat dan kuat, membuat keempat penyerangnya seketika terkapar.
Dari kerumunan tiba-tiba terdengar teriakan, "Awas, hati-hati dengan orang
yang mengenakan tali putih di tangan kanan!"
Sesuai kebiasaan, kebanyakan pelayat mengenakan tali putih di tangan kiri.
Empat yang tewas di tangan Sun Jian semua mengenakan tali putih di lengan
kanan. Dan sekarang masih ada 20 pelayat lagi yang mengenakan tali putih di
tangan kanan. Seketika kerumunan bubar ke samping, tertinggal 20 orang itu di
tengah-tengah. "Orang yang menggotong peti, menggali lubang, dan para biksu yang
membaca doa sudah diganti dengan orang kita semua," begitu yang
disampaikan Lu Xiang Chuan pada Lao Bo semalam.
Maka penggotong peti, penggali lubang, dan para biksu langsung menghadapi
20 tetamu yang mengenakan kain putih di tangan kanan.
Seketika terdengar teriakan menyayat. Dalam waktu singkat, dari 20 tetamu itu
hanya tertinggal tiga saja yang berada di dekat Sun Jian.
Mereka sengaja meninggalkan ketiga lelaki itu untuk Sun Jian. Sementara Sun
Jian gusar memandangi mereka.
Ketiga lelaki itu gemetar, baju pun basah berkeringat dingin. Salah satu di
antaranya terbungkuk. Seketika tercium bau pesing menyengat. Ia sudah
terkencing-kencing. "Aku bukan salah satu dari mereka?" lelaki itu terbata.
Kata-katanya belum selesai, lelaki kedua sudah mengayun pisau memenggal
kepalanya. Darah menyembur seperti bunga salju berceceran. Kepala lelaki pertama
menggelinding ke samping, matanya masih terbuka meneteskan airmata.
Kini Sun Jian menatap lelaki kedua.
"Mati ya mati, tidak perlu disesali!" Seketika lelaki kedua mengayun pisau
menggorok leher sendiri. Tiba-tiba Sun Jian menjulurkan tangan, tahu-tahu ia sudah memegang lengan
lelaki itu. Tulang tangan lelaki itu hancur seketika, pisaunya terjatuh.
"Kenapa" Aku tidak boleh mati?" tanyanya penasaran.
"Tidak boleh!" tegas Sun Jian sambil tetap memegang lengannya.
Tidak terduga, lelaki ketiga menyambit pisau ke arah Sun Jian. Dengan gesit,
Sun Jian menjatuhkan diri, melepas tangan yang menggenggam lelaki kedua.
Jarak begitu dekat, terlambat sedikit pasti kena.
Pisau meluncur beberapa senti di bawah ketiak Sun Jian, melayang terus ke
sana, menancap tepat di dada lelaki kedua yang tangannya diremukkan Sun
Jian. Cepat Sun Jian berdiri tegak menyusun kuda-kuda, tapi lelaki ketiga sudah
mengepruk kepala sendiri.
* Pagi. "Aku lebih dulu harus membunuhnya!" begitu pernah Meng Xin Hun berkata
pada Ye Xiang. Selama beberapa waktu lalu, Meng Xin Hun sudah mencari tahu tempat
kediaman si Jubah Kelabu, dan pagi ini ia benar-benar membulatkan tekad.
Daripada si Jubah Kelabu memburunya karena telah membunuh Lao Bo,
maka lebih baik membunuh si Jubah Kelabu terlebih dahulu sebelum ia
waspada, baru setelah itu membunuh Lao Bo!
* Si Jubah Kelabu tidak mirip orang yang senang memelihara ikan. Namun pada
kenyataannya, ia memang senang memelihara ikan.
Ikan yang dipeliharanya cukup banyak. Ada yang di dalam akuarium, ada juga
yang di dalam mangkuk arak.
Ia banyak menghabiskan waktunya di sisi kolam, atau di depan akuarium
memandangi ikan-ikan yang berenang hilir mudik.
Di saat seperti itu, ia bisa melupakan segala masalah dan kesulitan hidup. Ia
merasa seperti ikan yang berenang tenang.
Sebetulnya ia pernah memiliki keinginan memelihara burung. Burung dapat
bebas kemana pun terbang dibanding ikan yang hanya berenang di air tenang.
Sayangnya, ia tidak bisa memelihara burung di alam bebas. Bila burung di
kurung di dalam sangkar, akan hilang kebebasannya. Maka, burung itu bukan
lagi burung yang bebas. Karenanya, ia lebih suka memelihara ikan.
Orang yang suka memelihara ikan biasanya orang yang kesepian. Ia pun
demikian. Ia tidak punya teman, tidak punya pelayan, tidak punya keluarga. Ia tidak mau
mendekati orang, juga tidak mau didekati orang. Karena, ia menganggap tidak
ada yang bisa dipercaya. Kecuali, Lao Bo.
Tidak ada yang setia pada Lao Bo melebihi dirinya. Bahkan bila mempunyai
ayah, demi Lao Bo, ia rela membunuh ayah kandung sendiri.
Ia senang memancing. Cara memancingnya sama seperti orang lain, hanya tujuannya berbeda.
Ia senang melihat ikan menggelepar di ujung pancingnya, sama senangnya
melihat orang menggelepar menjelang ajalnya.
Sampai saat ini, ia belum menemukan orang yang mampu menghadapi ajal
tanpa takut. Mungkin, hanya Lao Bo yang mampu menghadapi kematian tanpa
gentar. Di hatinya, Lao Bo bagaikan dewa. Apa pun yang dilakukan Lao Bo, ia anggap
benar. Apa pun perlakuan Lao Bo atas dirinya, ia terima. Terkadang, ia tidak
tahu kenapa Lao Bo memperlakukannya begitu, tapi ia percaya Lao Bo pasti
memiliki cukup alasan. Ada satu perbedaan mendasar antara dirinya dengan Lao Bo. Ia senang
membunuh, tapi Lao Bo tidak senang membunuh.
Karenanya, ia sering melampiaskan kesenangannya membunuh pada ikan.
Terkadang ia menaruh seekor ikan di dalam sangkar, menjemurnya di bawah
matahari. Ia sangat menikmati saat-saat ikan itu menggelepar menjelang ajal,
saat ikan itu megap-megap kehabisan nafas, dan mati pelan-pelan. Begitu
juga perasaannya pada manusia yang meregang ajal.
Hanya ada satu orang seperti itu di dunia ini, tidak ada yang lain. Orang itu
adalah dirinya, si Jubah Kelabu.
Dan si Jubah Kelabu adalah Han Tang.
*
Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Orang yang senang memelihara ikan adalah orang yang aneh. Mencari orang
yang aneh tidaklah sulit bagi Meng Xin Hun.
Siang. Sinar matahari menyinari kolam ikan. Kemilaunya menyilaukan mata.
Di sisi kolam sana ia melihat Han Tang baru saja menarik keluar pancingnya.
Di ujungnya, seekor ikan menggelepar. Dan Han Tang tampak sangat
menikmati setiap gelepar itu.
Meng Xin Hun berhari-hari sudah memikirkan cara menghadapi Han Tang.
Tapi tidak satu pun cara memuaskan yang berhasil ia temukan.
Akhirnya Meng Xin Hun memutuskan satu cara yang paling mudah dan
langsung, yaitu mendatangi Han Tang.
Kalau memiliki kesempatan, ia akan membunuh. Kalau tidak ada kesempatan,
ia yang akan dibunuh. Apa pun hasilnya, Meng Xin Hun tidak terlalu perduli. Membunuh orang seperti
Han Tang harus berani mempetaruhkan nyawa. Bila tidak, cara apa pun yang
ditempuh pasti tidak berguna.
Sekarang Meng Xin Hun sudah menemui Han Tang dan langsung
menghampirinya. * Siang. Sinar matahari menyinari mayat-mayat bergelimpangan. Kemilaunya
menyilaukan mata. Darah sudah meresap ke dalam tanah. Mayat-mayat berubah menjadi kaku.
Tujuh Pemberani seluruhnya sudah mati.
Walau mayat Tie Cheng Gang tertelungkup di atas salah satu peti mati, dalam
perasaan Sun Jian seolah ia masih tegak berdiri.
Tie Cheng Gang adalah teman sejatinya. Walau Tie Cheng gang sudah mati,
namun kepahlawannnya akan tetap dikenang dunia persilatan.
Para penggotong peti mati, penggali lubang, para biksu pembaca doa, serta
sebagian tetamu masih berjaga khidmat di sekitar Sun Jian.
Sementara Sun Jian masih berdiri menjublak entah berapa lama, tiba-tiba ia
merasa air matanya begitu penuh.
Perlahan, ia berlutut. Seumur hidupnya, ia belum pernah berlutut. Entah orang itu hidup atau mati, ia
belum pernah berlutut. Sekarang ia rela berlutut. Karena hanya dengan berlutut, ia bisa memberikan
penghormatannya pada Tie Cheng Gang.
Sun Jian menutup mata, berdoa.
Baru saja memejam mata buat berdoa, tiba-tiba ia mengendus wewangian
yang aneh sekali. Wewangian itu keluar dari dalam peti mati di mana tubuh Tie Cheng Gang
tertelungkup. Asap pembius! Sun Jian murka. Ia mengayun tangan coba mengepruk tutup peti mati hingga
hancur. Walau Sun Jian coba mengelak asap dengan menahan nafas, tapi terlambat.
Ia sudah kadung menghirup asap pembius. Tubuhnya lemas tanpa tenaga.
Dari dalam peti mati, sebilah pedang berkelebat menusuk dada Sun Jian,
tembus hingga ke punggung.
Darah segar muncrat. Mengalir di ujung pedang.
Seperti kebanyakan orang, darah Sun Jian berwarna merah segar. Matanya
melotot marah pada sosok di dalam peti mati.
Lelaki di dalam peti meninggalkan pedang di dada Sun Jian, berusaha
meloloskan diri. Dari sudut matanya, lelaki itu masih sempat melihat Sun Jian roboh, tapi
tiba-tiba ia pun merasa lengannya lemas.
Saat rasa lemasnya hilang, ia sudah melihat cahaya pisau berkelebat,
memotongnya menjadi daging cincang.
Semua berlangsung begitu cepat. Tidak ada yang mengeluarkan suara, tidak
ada yang bergerak. Semua terperangah, nafas pun ikut terhenti, terbelalak
memandang mayat Sun Jian.
Mereka merasa tangan dan jari menjadi dingin. Keringat juga menetesi
punggung. Sun Jian benar-benar sudah mati. Ternyata orang sekuat Sun Jian pun bisa
mati. Tidak ada yang percaya, tapi semua harus percaya, karena mereka melihat
dengan kepala sendiri. Siapa lelaki di dalam peti mati" Mengapa ia bisa bersembunyi di sana"
Itu tidak mungkin, karena mulai dari penggali lubang, penggotong peti, hingga
pembaca doa sudah diganti dengan orang Lao Bo.
Maka mereka mulai mengalihkan pandang kepada para penggotong peti mati.
Tiba-tiba dua di antaranya berteriak ketakutan "Ini bukan ide kami". Sungguh,
ini semua bukan idea kami" Ini semua ide?"
Belum habis ucapannya, di antara kerumunan orang-orang terdengar teriakan,
"Bunuuuhhh!" * Lao Bo seperti patung. Di depannya, sebuah peti. Di dalamnya, jazad putra tunggalnya. Pedang
masih menempel di dada Sun Jian.
Lao Bo sangat paham anaknya. Sungguh, ia sama sekali tidak percaya di
dunia ini ada yang bisa menusuk dada Sun Jian dengan pedang.
Siapa yang menusuk Sun Jian" Siapa yang memiliki kepandaian begitu tinggi"
Sebenarnya apa yang sudah terjadi di pemakaman para pemberani itu"
Tidak ada yang tahu. Semua yang hadir di sana tidak satu pun yang hidup.
Lao Bo masih mematung, wajahnya tetap tanpa ekspresi. Tiba-tiba di sudut
matanya menggenang setitik air.
Lu Xiang Chuan pun menunduk.
Organisasi Lao Bo sebenarnya sangat sempurna. Sedemikian sempurnanya,
seperti sebuah telur. Tapi sekarang organisasi ini ada celahnya. Walau
celahnya hanya setitik jarum, tapi putih dan kuning telur dapat menetes terus.
Bila telah menetes habis, telur akan kosong. Walau tidak pecah, telur itu tidak
berharga lagi. Lao Bo harus mencari celah itu.
Tapi, sekarang ia belum bisa menemukannya. Yang pasti, setiap orang di
dalam organisasi ini mungkin membuat celah itu.
Hanya satu yang bisa dipercaya.
"Panggil Han Tang!" perintah Lao Bo singkat sambil membalik tubuh.
16. Han Tang v Meng Xin Hun
Saat Meng Xin Hun mendekati Han Tang, hatinya sangat tegang sekaligus
bergairah layaknya prajurit yang baru pertama bertempur di medan perang.
Meng Xin Hun ingin mencabut nyawa Han Tang bukan semata menuntaskan
order Gao Lao Da membunuh Lao Bo, tapi juga untuk diri sendiri.
Umumnya setiap orang mencari makna hidupnya. Walau selalu mencari
sesuatu dalam hidup, Meng Xin Hun tidak tahu apa yang dicarinya. Terus
menerus mencari, tentu menjemukan. Ia sudah lelah mencari, berharap
setelah membunuh Han Tang akan kembali seperti dulu.
Agar hidup bisa bergairah, setiap orang pasti membutukan tantangan,
menginginkan lawan yang kuat. Untuk itu, ia rela mengorbankan apa pun.
Langkah Meng Xin Hun begitu ringan seperti kucing yang mengendap. Ia
sudah biasa melatih langkah seperti itu, hingga menjadi kebiasaannya.
Kebiasan yang terus menerus diulangi akhirnya menjadi karakternya. Maka,
tanpa disadari pun ia sudah melangkah seperti itu.
Han Tang diam di tempat, tetap memandangi pelampung pancingnya yang
mengapung di permukaan kolam.
"Kau datang buat membunuhku?" tiba-tiba Han Tang bertanya tanpa
berpaling. Seketika Meng Xin Hun menghentikan langkah.
Han Tang tidak menoleh. Langkah Meng Xin Hun seringan kucing yang
mengendap. Ia pun belum menegur Han Tang. Apakah pendengaran Han
Tang sedemikian tajam"
Han Tang kembali bertanya, "Sudah berapa yang kau bunuh?"
"Sangat banyak," jawab meng Xin Hun.
"Pasti sangat banyak, kalau tidak langkahmu tidak seringan itu."
Han Tang tidak suka bertele-tele, langsung memuji. Namun di balik pujiannya,
justeru terkandung celaan.
Hanya orang yang berhati tenang bisa memiliki langkah yang ringan.
Orang yang ingin membunuh, hatinya pasti tidak tenang. Meng Xin Hun datang
untuk membunuh, dengan sendirinya jantungnya berdebar dan hati tidak
tenang. Walau Han Tang tidak mengutarakan celaannya, Meng Xin Hun tahu
maksudnya. Seketika telapak tanganya menjadi basah. Han Tang sungguh
orang yang menakutkan. "Apa kau tahu siapa aku?" tanya Han Tang.
"Aku tahu," jawab meng Xin Hun.
Tiba-tiba Han Tang mengutarakan sesuatu yang tak terduga. "Baiklah, kalau
begitu mari kita memancing."
Undangan yang aneh, jarang seseorang mengundang orang yang ingin
membunuhnya. Lantas, mana ada orang yang mau menerima"
Nyatanya Meng Xin Hun justeru menerima, berjalan menghampiri Han Tang,
duduk beberapa meter darinya.
Han Tang mengambil sebuah galah pancing di sisinya, memegangnya
beberapa saat, sebelum akhirnya melemparkannya.
Meng Xin Hun sigap menangkap. "Terima kasih."
"Umpan apa yang biasa kau gunakan?" tanya Han Tang.
"Aku memakai dua macam umpan," jawab Meng Xin Hun.
"Umpan macam apa?"
"Yang satu umpan yang paling disukai ikan. Satunya lagi, umpan yang paling
kusukai." Han Tang mengangguk. "Keduanya sangat baik."
"Lebih baik lagi tidak menggunakan umpan, biarkan itu yang memancingku."
Han Tang terdiam. Hingga saat ini ia tidak melihat Meng Xin Hun dan sama sekali tidak ada niat
buat melihat Meng Xin Hun.
Sebaliknya Meng Xin Hun ingin melihat Han Tang.
Wajah Han Tang sangat biasa. Hidung, mata, mulut pun biasa. Ia seperti
orang biasa yang sehari-hari Meng Xin Hun temui.
Wajah yang biasa ini bila dipasang di tubuh orang lain tidak akan diperhatikan
siapa pun. Tapi karena dipasang di tubuh Han Tang, maka hal yang biasa
menjadi luar biasa. Melihat Han Tang, jantung Meng Xin Hun berdebar kencang, hampir
membuatnya tidak bisa bernafas. Guna mengusir tegang, ia melempar pancing
Nurseta Satria Karang Tirta 2 Lentera Maut ( Ang Teng Hek Mo) Karya Khu Lung Pedang Medali Naga 18