Pencarian

Prahara Pulau Mayat 1

Pendekar Mabuk 013 Prahara Pulau Mayat Bagian 1


Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah
lindungan undang-undang.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
Pembuat E-book:
Scan buku ke DJVU: Abu Keisel
Convert & Edit: Paulustjing
Ebook oleh: Dewi KZ
http://kangzusi.com
http://dewi-kz.info
http://www.tiraikasih.co.cc/
http://ebook-dewikz.com/
1 ANGIN berbau busuk menyebar sejauh seratus
langkah dari pantai. Badai laut yang mengamuk nyaris menggulingkan perahu
berlayar satu. Suto Sinting ada di atas perahu itu bersama Dewa Racun dan Hantu
Laut. Arah perjalanan adalah Pulau Serindu, di mana terdapat sebuah istana yang
dipimpin oleh seorang ratu cantik impian Pendekar Mabuk, yaitu Dyah Sariningrum,
yang dijuluki sebagai Gusti Mahkota Sejati.
Suto dan Dewa Racun sepakat untuk tidak menentang amukan badai. Mereka tak mau
perahunya pecah lagi seperti dalam peristiwa Istana Berdarah. Karena itu,
langkah yang diambil oleh mereka adalah mengarahkan
perahu ke pantai pulau berbau busuk itu.
"Kita mendarat!" seru Pendekar Mabuk kepada Hantu Laut yang pegang kemudi di
haluan. Tapi karena Hantu Laut yang berkepala gundul dan bertubuh besar tanpa
mau memakai baju itu telinganya rada tuli, maka ia pun segera menyahut,
"Siapa yang mau kirim surat"!"
"Kita mendaraaat....!" teriak Pendekar Mabuk dari bawah tiang layar.
"O, mendarat"! Baik!"
Suto segera turunkan layar perahu, ia berseru lagi kepada Hantu Laut,
"Hati-hati, ada karang di depan!"
"Apa" Ada kerang delapan"!"
"Ada karang di depaaaan...!"
"O, ada karang" Iya! Aku belum buta! Menurutmu di mana letak karang itu" Di
depan atau di belakang kita?"
seru Hantu Laut. Pendekar Mabuk kesal hati dan tidak menyahut lagi.
Langit gelap karena mendung. Kilat menembus
gumpalan hitam itu lalu
menggelegar di langit bagai
ingin turunkan hujan badai. Melihat cuaca murka begitu, Dewa Racun cepat berseru
kepada Pendekar Mabuk dan Hantu Laut yang habis menambatkan perahunya,
"Aku tahu, ddiiis... diiis... di sana ada gua! Kita berteduh di sana sebeeell...
sebelll... sebelll...."
"Kenapa sebel?" sentak Hantu Laut mengimbangi suara badai.
"Maksudku, sebel... sebelum! Sebelum hujan turun
dengan deras, kita sudah dapat tempat berteduh lebih dulu!"
Dewa Racun, si kerdil berpakaian putih bulu dengan panah di punggung dan dua
pisau di kanan kiri
pinggangnya itu, memang punya penyakit gagap dalam bicaranya. Tapi jika mulutnya
sudah terkena aroma ikan bakar, penyakit gagap itu menjadi hilang dan ia bisa
bicara dengan lancar. Apabila aroma ikan bakar habis dari mulutnya, penyakit
gagap itu kambuh lagi, dan baru akan ucapkan kata benar jika ada yang
membentaknya. Mereka cepat berkelebat ke arah sebuah gua di tebing karang. Mulut gua tak
seberapa besar, cukup untuk masuk dua orang. Atap gua pun kelihatannya tak
terlalu tinggi, lebih separo tombak dari tinggi tubuh Pendekar Mabuk. Tapi
agaknya tempat itu merupakan pilihan yang terbaik daripada harus membiarkan diri
diguyur hujan yang sudah pasti disertai angin badai cukup besar.
Tetapi Dewa Racun yang berjalan lebih dulu itu tiba-tiba menghentikan langkahnya
ketika mendekati mulut gua. Ia sedikit terkejut dengan munculnya seorang
berambut panjang acak-acakan, berpakaian hitam, berwajah kurus dengan kedua bola matanya yang putih.
Mulanya Dewa Racun dan yang lainnya menduga orang itu buta. Tapi ketika orang
itu sentakkan kaki dan dapat melompat cepat ke atas sebuah gugusan batu di
samping gua, Dewa Racun dan yang lainnya yakin bahwa orang itu tidak buta. Hanya
bola matanya saja yang putih semua, tidak mempunyai manik mata berwarna hitam.
"Cob... cob... cobalah bicara dengan orang itu," kata
Dewa Racun kepada Hantu Laut. "Katakan kita mau num... num... num...."
"Numbuk padi"!"
"Bukan! Mau num... numpang meneduh di gua itu.
Bukan mau mengganggu dia!"
"Kau sendiri saja yang bicara dengannya!"
"Dia hanya akan kebingungan mendengarkan om...
om... omonganku! Kau saja yang bicaranya lancar!"
Pendekar Mabuk tertawa pendek, Dewa Racun
cemberut sambil melirik Pendekar Mabuk. Kemudian Pendekar Mabuk mendukung
perintah Dewa Racun
kepada Hantu Laut, sehingga orang berperut buncit dan hanya memakai celana hitam
itu segera mendekati orang bermata putih itu, lalu ia serukan kata,
"Kami hanya ingin menumpang sesaat di dalam gua itu! Kami
bukan ingin berbuat jahat kepadamu!
Bolehkah kami masuk. Sobat"!"
"Ggrrr...!"
orang itu justru mengerang dengan memperlihatkan giginya yang tidak rata tumbuhnya itu.
Mata putihnya melebar.
Hantu Laut mundur beberapa tindak. Tiba-tiba
punggungnya digebuk keras oleh Dewa Racun yang
bersungut-sungut.
"Jang... jang... jangan injak kakiku, Goblok!"
Dewa Racun cepat menggeserkan diri setelah Hantu Laut mengangkat kakinya.
Kemudian Hantu Laut bicara kepada Dewa Racun.
"Dia malahan mengerang seperti singa lapar!"
"Bicaramu kurang sop... sop... sopan!"
Suto Sinting cepat berkata pelan bagai berbisik
kepada mereka berdua, "Jangan dekati orang itu."
"Kenapa?" tanya Hantu Laut mulai penasaran, karena Suto bicara sambil matanya
memandang curiga pada orang bermata putih itu.
"Dia berbahaya!" kata Pendekar Mabuk pelan.
"Apanya yang bercahaya?" tanya Hantu Laut salah dengar.
"Dia berbahaya, Budek!" Pendekar Mabuk jengkel sendiri. Hantu Laut hanya
tertegun bengong setelah tahu maksud kata-kata Suto Sinting.
"Aaak... ak... aku juga curiga," tambah Dewa Racun.
"Sebaiknya kita tinggalkan saja tempat ini!" usul Pendekar Mabuk.
"Tap... tapi sebentar lagi hujan turun! Kit... kita tidak punya tempat bernaung
untuk meneduh dan... dan...
dan...." Dewa Racun belum selesai ucapkan kata, tiba-tiba orang bermata putih itu
melompat dari tempatnya, melayang bagaikan terbang dan menerkam punggung
Hantu Laut. Wuss...!
"Awas!" sentak Suto seketika. Hantu Laut palingkan wajah, dan cepat menendangkan
kakinya ke belakang.
Bukk...! Tendangan kaki itu cukup keras. Mestinya orang bermata putih itu mental
setidaknya empat
langkah. Tapi ia hanya jatuh di tempat. Seolah-olah gerakannya hanya tertahan
oleh kaki Hantu Laut.
Begitu jatuh, orang bermata putih itu cepat mencakarkan tangannya ke betis Hantu Laut. Wuttt..!
Crass...! Hantu Laut terpekik kecil sambil melompat.
Lompatan yang terlambat itu membuat betisnya tergores luka. Rupanya orang
bermata putih itu mempunyai kuku tangan yang sedikit runcing dan tajam, walau
tidak terhitung panjang.
Pendekar Mabuk segera kibaskan kaki kanannya ke
samping depan. Plokk...! Tendangan kosong itu mengenai wajah orang bermata putih. Kali ini orang itu terjungkal ke belakang,
berguling dua kali, lalu bangkit lagi dengan badan rendah dan satu kaki berlutut
di tanah. Wajahnya semakin tampak buas dengan mata putihnya yang melebar dan mulutnya
menyeringai keluarkan
suara aneh. "Grrrr...!" seperti seekor kucing yang siap menerkam mangsanya.
"Mundur!" seru Pendekar Mabuk kepada kedua temannya. Tapi Dewa Racun terlambat
bergerak. Orang bermata putih itu sudah lebih dulu melompat dari bawah ke
atas, menerkam Dewa Racun dengan kedua tangannya mengembang ke samping depan. Wuttt...!
Brasss. .! Orang kerdil itu cepat sentakkan kedua tangannya
ke depan. Belum sempat tangan itu menyentuh tubuh penyerangnya, orang bermata putih itu telah terpelanting ke
belakang dan terlempar tiga langkah dari tempatnya semula.
Kalau saja Dewa Racun tidak sentakkan pukulan
tenaga dalamnya, sudah pasti ia akan diterkam manusia aneh itu. Hanya saja, Dewa
Racun merasa heran.
Pukulannya tadi sering dipakai menyerang lawan yang
ingin membokongnya, biasanya lawan itu pasti jatuh sambil keluarkan darah dari
mulut atau hidungnya. Tapi orang bermata putih itu tidak mengeluarkan darah
sedikit pun. "Tinggi juga ilmu orang ini?" pikir Dewa Racun, ia masih siap menghadapi
serangan lawannya dengan tetap berdiri pasang kuda-kuda. Namun Suto berseru,
"Cepat mundur, tinggalkan dia!"
Tapi Dewa Racun menjawab, "Bbbi... biar kuhadapi dulu dia! Aku ingin tahu
seberapa kekuatannya,
sehingga ia tidak memuntahkan darah walau telah
terkena ssse... see... seee...."
"Sesuap nasi?"
"Seranganku!" sentak Dewa Racun.
Pendekar Mabuk tak mau kecewakan Dewa Racun
penjemputnya itu. Ia pun segera mengundurkan diri, dan memberi kesempatan kepada
si kerdil yang kepalanya botak bagian tengah, hanya bagian tepian kepala saja
yang ditumbuhi rambut itu.
Sebelum Dewa Racun bergerak, Pendekar Mabuk
telah lebih dulu menenggak tuaknya yang diambil dari bumbung tuak. Bumbung itu
selalu ada di punggungnya dan selalu siap dengan cukup banyak tuak. Bumbung itu
pula satu-satunya benda yang ada di tubuh Pendekar Mabuk dan bisa digunakan
sebagai senjata untuk
menangkis serangan lawan.
Kalau saja Dewa Racun tidak berniat mencoba
kehebatan orang bermata putih itu, Pendekar Mabuk akan
segera menggunakan bumbung itu untuk menggebuk orang tersebut. Tapi agaknya Dewa Racun ingin tunjukkan kebolehannya
di depan Pendekar
Mabuk. Karenanya, Suto Sinting, si Pendekar Mabuk itu, membiarkan diri terhadap
apa yang ingin dilakukan oleh Dewa Racun.
Orang bermata putih itu mengerang dengan suara
serak, mulutnya menyeringai. Menyeramkan dilihat mata orang sehat. Dan tiba-tiba
tangannya berkelebat mencakar-cakar di udara. Wukkk... wukkk!
Dewa Racun merasakan ada angin hendak menampar
wajahnya. Karena itu, cepat-cepat ia sentakkan kaki dan melompat mundur ke
belakang, ia agak terkejut saat itu, sehingga berkata kepada Suto walau tanpa
memandang orang yang diajaknya bicara.
"Dia punya gerak bayangan! Hammm... ham...
hammm... hampir saja aku tercakar olehnya!"
"Sudah kubilang, orang itu berbahaya tapi kau masih nekat ingin mencoba
kekuatannya!" kata Suto dengan tenang dan tetap memandangi pertarungan antara
Dewa Racun dengan orang bermata putih itu.
Dewa Racun segera sentakkan kakinya ke tanah dan tubuhnya terpental naik ke atas
sambil ia sentakkan tangannya yang juga membentuk cakar. Sentakan tangan itu
menghasilkan satu pukulan tenaga dalam jarak jauh yang menghantam tubuh orang
bermata putih. Tapi
sebelum pukulan itu mengenai sasaran, orang bermata putih itu melompatkan diri
ke samping, kemudian balas menyerang dengan sentakan tangan bercakar ke atas.
Waktu itu Dewa Racun masih melayang, sehingga
tubuhnya terpental akibat terkena pukulan jarak jauh orang bermata putih itu.
Behgg...! Dewa Racun jatuh ke tanah berpasir.
Melihat si kerdil jatuh, orang bermata putih segera melompat dan menerkam tubuh
lawannya. Tetapi Dewa Racun cepat pula menggulingkan badan dua kali ke samping.
Bruss...! Terkaman orang bermata putih menabrak
tanah berpasir. Asap mengepul hitam. Rupanya terkamannya itu mengandung kekuatan tenaga dalam yang cukup berbahaya jika
mengenai Dewa Racun. Pasir yang tertindih tubuhnya menjadi hitam bagai habis
terbakar. "Orang ini tidak main-main! Dia ingin membunuhku!" kata Dewa Racun dalam hatinya. Cepat-cepat Dewa Racun mengambil
jarak menjauh. Orang itu bangkit dan tengokkan kepala ke arah Dewa Racun.
Dengan cepat ia melompat dan bersalto di udara satu kali. Wusss...!


Pendekar Mabuk 013 Prahara Pulau Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dewa Racun cepat mengambil pisaunya yang kanan,
lalu tangannya bergerak mengibas cepat. Wuttt...!
Crasss...! Tangan orang bermata putih itu terpotong oleh pisau pada bagian
pergelangan tangannya. Pergelangan tangan itu jatuh ke tanah, sedangkan
pemiliknya masih tetap membelalakkan mata dengan liar dan buas.
Dewa Racun segera melompat ke arah lain dua kali sentakan kaki. Ia memandang
heran kepada lawannya.
Tangan yang terpotong itu tidak mengeluarkan darah sedikit pun. Dan yang lebih
heran lagi, telapak tangan
yang terpotong itu bergerak sendiri, berjalan menyusuri pasir pantai, lalu tahu-
tahu melesat cepat ke arah Dewa Racun.
Wussst...! Tangan itu bergerak mencakar wajah Dewa Racun.
Dengan cepat Dewa Racun gulingkan badan ke tanah, sehingga cakaran itu tidak
mengenai kepala maupun wajahnya. Wesss...! Cakaran itu lewat di atas kepala Dewa
Racun. Menancap kuat ke sebatang pohon kelapa yang berada tujuh langkah dari
tempat Dewa Racun berdiri.
Cepat-cepat Pendekar Mabuk melepaskan pukulan
dari telapak tangannya. Pukulan itu mengeluarkan sinar hijau yang melesat cepat
dan menghantam potongan tangan yang menancap di pohon kelapa. Tarr...! Bunyi
letusan kecil timbul dari hantaman sinar hijau, dan potongan telapak tangan
orang bermata putih itu menjadi pecah berbentuk serpihan-serpihan daging dan
tulang yang menyebar ke mana-mana.
Itulah yang dinamakan jurus 'Pecah Raga' pemberian gurunya si Gila Tuak.
Pendekar Mabuk terpaksa
melakukan hal itu karena ia tahu bahaya yang akan timbul jika pertarungan coba-
coba itu diperpanjang.
Bahkan kali ini ia pun kembali sentakkan pukulan 'Pecah Raga' kepada orang
bermata putih itu. Orang tersebut sepertinya melihat gerakan sinar hijau dan
harus segera dihindari. Tapi ia terlambat. Sinar hijau dari telapak tangan
Pendekar Mabuk telah lebih cepat mendahului gerakannya, menghantam dada dengan
telak. Tarrr...!
Orang bermata putih itu pecah dengan serpihan
tubuhnya menjadi kecil-kecil dan menyebar ke mana-mana. Sebagian ada yang
tersangkut di rambut kepala Dewa Racun, hingga si kerdil itu mengibas-ngibaskan
kepalanya. Dewa Racun agak kecewa, ia bersungut-sungut dan
berkata, "Mengapa kau yyya... yyyang selesaikan" Kau pikir aaak... aaku tidak sanggup
kalahkan orang itu"!"
"Aku percaya kau sanggup kalahkan dia kalau kau gunakan jurus-jurus andalanmu!
Tapi dia tidak bisa kau buat main-main dan coba-coba. Semakin kau potong lagi
telapak tangannya yang satu, itu sama saja dengan timbulkan musuh baru!"
"Aaap... aaap... apa maksudmu?"
"Setiap potongan tubuhnya bisa bergerak menyerangmu! Agaknya orang itu punya ilmu istimewa, di mana setiap anggota
tubuhnya mempunyai kekuatan sendiri, yang bisa menyerangmu dari berbagai arah.
Itu sama saja kau memperbanyak musuh! Dan, tidakkah kau perhatikan bahwa dia
tidak mempunyai darah?"
"Iiy... iya...! Aku tahu dia tidak keluarkan darah.
Tap... tapi... tapi kenapa dia begitu, aku tidak tahu!"
"Orang itu bukan manusia!' jawab Suto Sinting segera mengambil bumbung tuak dan
menenggaknya beberapa teguk.
Dewa Racun kerutkan dahi dan ajukan tanya, "Lalu, jika bukan manusia, dia
iiitu... apa?"
"Mayat!" jawab Pendekar Mabuk sambil sunggingkan
senyum kalem. "Mayat..."!" gumam Dewa Racun seperti bicara pada dirinya sendiri. "Mmma...
maaa... mayat bagaimana?"
"Entah. Tapi yang jelas dia mayat yang bisa menyerang dan punya ilmu tinggi
semasa hidupnya!"
Dewa Racun masih kurang yakin dengan penjelasan
Suto. Ia menepiskan tangan ke depan, berusaha melupakan kata-kata Suto. Lalu, ia tersentak melihat Hantu Laut ternyata sejak
tadi terkapar di bawah sebuah pohon kelapa lengkung.
"Lih... lih... lihat Hantu Laut itu! Kenapa dia"!"
Hantu Laut yang gundul mengkilap itu berwajah
pucat, ia menyeringai menahan rasa sakit, hingga tak bisa
keluarkan suara. Luka cakar di betisnya menimbulkan keanehan bagi Dewa Racun dan Pendekar Mabuk.
Luka itu terdiri dari empat goresan yang saling
berdekatan. Karena memang cuma empat kuku orang
bermata putih yang sempat mencakar betis besar Hantu Laut. Luka itu kini
membusuk hitam dan keluarkan belatung berjumlah banyak. Bahkan ada yang
berjatuhan di tanah, di bawah kaki berbetis besar itu. Baunya amis darah, tapi
wujudnya menjijikkan sekali.
"Kuku ooor... orr... orang itu punya racun yang bernama Racun Cakar Kubur!
Sekali orang kena racun ini, tubuhnya akan cepat keluarkan belatung dan
membusuk di bagian lukanya!" kata Dewa Racun.
"Sssaaaa... sssaakiiit...!" ucap Hantu Laut dengan susah payah. Wajah pucatnya
keluarkan keringat dingin.
Dewa Racun cepat-cepat menekan telapak kaki Hantu Laut memakai tangan kanannya.
Kemudian ia pejamkan mata dan tangan kirinya bergerak dari atas ke bawah, pelan-
pelan, bagai kumpulan hawa murni dan disalurkan lewat tangan yang di telapak
kaki Hantu Laut.
Belatung-belatung itu berloncatan dari luka, bagaikan mendapat sentakan dari
dalam. Makin lama makin
banyak yang keluar dari luka dan berjatuhan di tanah.
Yang sudah jatuh di tanah itu, tiba-tiba lenyap bagaikan asap tersapu angin.
Sampai akhirnya semua belatung habis terlepas dari luka betis dan lenyap setelah
sesaat berada di tanah. Tapi luka itu tetap terkoyak mencucurkan darah segar.
Dewa Racun menghembuskan napasnya, setelah
selesaikan pengobatan menawarkan Racun Cakar Kubur.
Kemudian ia berkata kepada Suto.
"Akk... ak... aku sudah keluarkan racunnya, tinggal sembuhkan lukanya. Ini
pekerjaanmu!"
Pendekar Mabuk hanya tersenyum. Kemudian suruh
Hantu Laut menenggak tuaknya beberapa teguk. Hantu Laut menurut, dan pucat
wajahnya menyusut.
Gua yang ada di belakang mereka antara jarak tiga puluh langkah itu dipandangi
oleh mereka. Pendekar Mabuk ucapkan kata seperti bicara pada dirinya sendiri.
"Berapa banyak mayat hidup yang bersembunyi di gua itu"!"
"Ap... apakah kau yakin di dalam gua itu ada banyak mayat berilmu tinggi seperti
orang tadi?"
"Aku hanya khawatirkan hal itu. Aku sendiri tidak
tahu-menahu tentang pulau ini. Kau lebih tahu tentunya, karena kau bilang tadi
di perahu, jika sudah mencium bau busuk, itu pertanda sudah dekat dengan pulau
tempat tinggalmu?"
"Memang. Aaak... aku tahu tentang pulau ini, tapi tak banyak! Yang kutahu, dulu
pulau ini punya banyak penghuni. Namun kurang lebih empat tahun yang lalu,
penduduk pulau ini habis bagai disapu badai."
"Kenapa?"
"Kaar... kaaar... karena penduduk pulau ini dibantai oleh Siluman Tujuh Nyawa.
Habis semua orang-orangnya, dan mayatnya dibiarkan membusuk, tak ada yang
menguburkan mayat sebegitu banyak!"
"Mengapa Siluman Tujuh Nyawa menyerang pulau ini?"
"Kaar... karena penguasa pulau ini tidak mau tunduk kepada perintah Siluman
Tujuh Nyawa."
"Betul," jawab Hantu Laut yang sudah mulai reda rasa sakitnya. Sebagai bekas
anggota Kapal Siluman dan bekas anak buah Siluman Tujuh Nyawa, Hantu Laut
merasa lebih tahu banyak tentang penyerangan ke pulau itu. Karenanya ia cepat
tambahkan keterangan.
"Dulu, aku ikut juga dalam pembantaian di pulau ini.
Tapi aku hanya sebagai penjaga kapal, tidak turun ke darat dan ikut membantai.
Aku hanya sebagai penonton kekejaman itu. Mayat-mayat bergelimpangan di mana-
mana, darah pun membanjir di pulau ini. Dalam waktu satu hari penuh, penduduk
pulau ini habis dibantai.
Menjelang tengah malam baru kami tinggalkan pulau
ini, yang kalau tak salah dulu bernama Pulau Sumang!"
Dewa Racun kembali berkata, "Mayat-mayat itu membusuk, dan pulau ini mennnn...
mennn... menjadi...
menjadi kuburan besar. Kebusukan mayat-mayat itu menyerap ke tanah, dan sampai
sekarang masih menyebarkan bau busuk, sehingga pulau ini disebut Pulau Mayat."
"Dulu," sambung Hantu Laut lagi, "Di pulau ini terdapat banyak tulang manusia,
berserakan di sana-sini.
Tapi sekitar dua tahun yang lalu, pulau ini disapu segelombang badai lautan.
Walau tak sampai rusak total, tapi tulang-tulang itu tersapu habis dari pulau
ini. Sekarang..., ternyata pulau ini masih tetap saja mengeluarkan bau busuk dari resapan air dan tanahnya."
"Siapa penguasa pulau ini" Apakah dia ikut terbantai?"
"Tidak," jawab Hantu Luat. "Penguasa pulau ini berhasil meloloskan diri entah ke
mana. Orang itu dikenal dengan nama Ki Gendeng Sekarat! Sampai
sekarang Siluman Tujuh Nyawa masih mengincar pulau ini, dan masih berharap bisa
membunuh Ki Gendeng Sekarat."
"Mengapa sedendam itu Siluman Tujuh Nyawa
kepada Ki Gendeng Sekarat?"
"Karena, tiga perempuan simpanan Siluman Tujuh Nyawa dibunuh oleh Ki Gendeng
Sekarat. Siluman
Tujuh Nyawa murka melihat tiga perempuan simpanannya mati di tangan Ki Gendeng Sekarat,
karenanya Ki Gendeng Sekarat tetap berada dalam
incaran Siluman Tujuh Nyawa sampai kapan pun!"
"Hmmm...,"
Pendekar Mabuk manggut-manggut
mendengar kisah itu.
* * * 2 JIKA semua penduduk dibantai habis, dan Ki
Gendeng Sekarat menghilang, lalu siapa mayat orang bermata putih yang menyerang
Hantu Laut dan Dewa Racun itu" Apakah dia mayat Ki Gendeng Sekarat yang berilmu
tinggi itu" Karena, ternyata setelah diperiksa gua itu hanya berisi satu orang
aneh tadi. Gua itu kosong dan mempunyai lorong yang pendek. Gua itu aman
sebagai tempat berteduh untuk sementara waktu, karena hujan pun mulai turun
dalam gerimis. Menurut ceritanya, Dewa Racun dulu pernah terdampar di pulau itu, yang dulu masih bernama Pulau Sumang. Ia pernah
beristirahat di gua tersebut bersama lima prajurit Puri Gerbang Surgawi.
Peristiwanya hampir sama dengan saat sekarang, yaitu angin badai mengamuk di
lautan, perahu mereka hampir terbalik, lalu mereka mendarat di pulau itu dan
beristirahat di gua tersebut.
Tetapi menurut ingatan Dewa Racun, gua yang
dihuninya sekarang itu belum sesempit sekarang. Dulu gua itu mempunyai lorong
panjang yang gelap. Dewa Racun tak berani menyelidiki kedalaman gua dan
lorongnya, karena lorong itu sering timbulkan suara menyeramkan, seperti suara
semburan seekor ular
raksasa atau naga. Karenanya, ketika badai mulai reda, Dewa Racun dan kelima
prajuritnya itu cepat-cepat meninggalkan gua tersebut.
Sekarang gua itu tidak mempunyai lorong, dan Dewa Racun merasa heran. Lalu
timbul pertanyaan dalam batinnya, apa yang terjadi di dalam gua itu setelah ia
tinggalkan dulu" Mungkinkah gua itu runtuh dan
lorongnya tertutup" Atau sengaja ada orang yang
menutup lorongnya agar suara aneh yang mungkin
seekor naga itu tidak keluar dari gua dan memakan korban"
Dewa Racun terus memikirkan hal itu, sampai-
sampai ia tak sadar telah tertidur pulas. Hantu Laut juga tertidur
karena memang Pendekar Mabuk yang menyuruhnya, agar lukanya cepat kering dan sembuh.
Tetapi, di luar dugaan mereka, Suto Sinting pun tidur pulas dengan memeluk
bumbung tuaknya.
Ketika Dewa Racun terbangun, ia tersentak kaget
karena keadaan di dalam gua cukup gelap. Kian terkejut lagi dirinya setelah
menyadari bahwa mulut gua tertutup oleh batu besar yang sulit sekali didorong
dengan tenaga kasar. Bahkan dengan kekuatan tenaga dalam batu itu tidak bergeser
sedikit pun dari mulut gua.
"Ssssu... Sutoo...!" seru Dewa Racun membangunkan Pendekar Mabuk. Suara Dewa


Pendekar Mabuk 013 Prahara Pulau Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Racun bukan hanya
membuat Suto Sinting bangun, melainkan Hantu Laut pun terlonjak bangun. Mereka
sama-sama tergeragap dan
terkejut mendapatkan gua dalam suasana gelap. Hanya ada celah kecil dari pintu
gua yang tertutup, dan celah itu yang membuat bias matahari masuk ke dalam gua.
"Apa yang terjadi, Dewa Racun?"
"Pin... pin... pintu gua tertutup batu besar! Aku tak sanggup mendorongnya!"
Hantu Laut cepat ucapkan kata tegang, "Siapa yang menutup pintu gua ini"!
Siapa..."!"
"Ak... aku... aku tidak tahu!"
Lalu, terdengar suara Pendekar Mabuk berseru tegang pula. "Hei..." Di mana
bumbung tuakku?"
"Hahh..."!" Dewa Racun kaget. Dalam bias cahaya kecil itu mereka mencoba mencari
bumbung tuak Pendekar Mabuk, tapi tidak ada yang berhasil menemukannya. "Bumbung tuakku hilang!" geram Pendekar Mabuk.
"Celaka...! Pasti ada orang yang mencurinya dan orang itulah yang menutup pintu
gua dengan batu besar itu!" kata Hantu Laut.
"Berarti kita tidur pun karena dorongan suatu tenaga batin yang membuat kita
jadi sama-sama tertidur dengan nyenyaknya!" ucap Suto bagaikan bicara pada
dirinya sendiri.
"Baag... bag... bagaimana kita keluar dari sini" Tak ada jalan lain untuk bisa
keluar selain melalui pintu itu!"
Hantu Laut segera mencoba kerahkan tenaganya
untuk mendorong batu besar tersebut. Tapi sampai ia kerahkan tenaga dalamnya
pintu batu besar itu belum juga bisa bergeser sedikit pun. Pendekar Mabuk
mencoba mendorong dengan kekuatan tenaga dalam
yang ada, tapi batu itu juga tidak bergeming. Batu tersebut sepertinya pucuk
dari sebuah gunung yang muncul ke permukaan bumi. Ketiga orang itu sama-sama
kerahkan tenaga dalamnya untuk mendorong batu
penutup itu, namun tak ada yang sanggup berulang-ulang, karena batu itu tetap
tidak bergeming sedikit pun.
"Tak ada cara lain kecuali dengan menghancurkannya," kata Suto. Lalu, Dewa Racun maju dan berkata,
"Bbbiar... biar kucoba menghancurkannya!"
Dewa Racun segera sentakkan tangannya ke depan
hingga mengeluarkan cahaya merah. Zrrubb...! Sinar merah menghantam batu itu,
tapi batu tetap utuh. Lalu, ia gunakan jurus pelebur lainnya, dan ternyata belum
juga membuat batu menjadi hancur.
"Bat... bat... batu setan!" umpatnya dengan jengkel.
Hantu Laut segera mengambil alih tugas itu. Segala macam pukulan tenaga dalam
milik orang berkepala gundul licin itu ternyata juga tidak mampu memecahkan batu
tersebut. Bahkan Hantu Laut sampai mencucurkan keringat di sekujur tubuh, juga
menggunakan senjata yoyonya yang bisa keluarkan pukulan tenaga dalam penghancur,
tapi batu itu tetap kokoh menutup mulut gua.
"Itu batu atau baja"!" geramnya jengkel sendiri.
Dewa Racun penasaran. Kini ia menggunakan senjata panah berkekuatan tinggi.
Pohon dan dinding bisa hancur terkena panah yang ekornya berbulu ungu itu.
Tapi toh nyatanya batu tetap utuh.
"Ter... ter... terpaksa kugunakan jurus 'Halilintar Racun Bumi'!" gumam Dewa
Racun. Kemudian ia rentangkan kedua tangannya ke samping, kaki merapat dan
tangan kepulkan asap kuning. Setelah kedua tangan ditarik ke samping dada, lalu
keduanya dihentakkan ke depan dengan satu sentakan bertenaga tinggi, hingga
mulutnya keluarkan pekik.
"Heeaah...!"
Blarrr...! Sinar kuning bergulung-gulung bagaikan spiral itu menghantam batu penutup mulut
gua. Ledakan dahsyat terjadi, menimbulkan gelombang angin kuat. Mereka bertiga
terpental sampai membentur dinding belakang gua. Tapi ternyata hanya itu yang
bisa mereka peroleh, rasa sakit akibat benturan batu dinding gua dengan tubuh
mereka. Sedangkan batu penutup mulut gua itu masih tetap utuh tanpa lecet
sedikit pun. Bergeser seujung rambut pun tidak.
"Ak... ak... aku menyerah," katanya kepada Pendekar Mabuk dengan napas terengah-
engah. "Kkkau... kau saja yang lakukan, pasti berhasil!"
Maka, Pendekar Mabuk segera mengambil tempat di
pertengahan ruangan gua itu. Ilmu 'Pecah Raga' yang tadi digunakan untuk
menghantam orang bermata putih itu kembali melesat dari tangan Pendekar Mabuk.
Sinar hijau itu menghantam batu penutup gua. Clingng..!
Suaranya aneh ketika sinar hijau itu menghantam batu tersebut. Dan yang
berbahaya lagi, ternyata sinar hijau
itu memantul balik ke arah Pendekar Mabuk. Dengan cepat, Pendekar Mabuk
melompatkan diri ke arah kanan dan menabrak Hantu Laut. Bukk...!
Blarr...! Sinar hijau menghancurkan dinding belakang gua
akibat lolos dari elakan tubuh Pendekar Mabuk.
Sementara itu, Hantu Laut gerutukan kata tak jelas, karena tubuhnya terkapar
telentang dengan ditindih tubuh Pendekar Mabuk. Dewa Racun sendiri terpental
sampai ke sisi sudut batu penutup mulut gua itu akibat terhempas oleh gelombang
ledakan sinar hijau. Dinding yang terkena sinar hijau itu rontok, pecahannya
menjadi kerikil yang menggunung. Sedangkan pintu penutup gua tetap utuh.
"Gawat! Batu itu bukan sembarang batu!" gumam Suto.
Dewa Racun berkata, "Gun... gun... gun...."
"Gundulmu!"
"Gunakan! Maksudku, gun... gunakan pukulan dahsyatmu yang lain!"
"Jangan!" tiba-tiba Hantu Laut berseru tegang.
"Pukulan sinar hijau saja hampir mencelakakan kita karena memantul balik,
bagaimana jika pukulan yang lebih hebat lagi" Bisa-bisa kita mati oleh pukulan
dahsyat Pendekar Mabuk yang memantul balik dari batu itu!"
"Benar kata Hantu Laut," ucap Pendekar Mabuk kepada Dewa Racun. "Bisa saja
kugunakan jurus pukulan lain yang lebih dahsyat dari yang tadi, tapi aku
takut memantul balik dan mengenai kita sendiri! Aku tak berani gunakan pukulan
yang lebih dahsyat lagi!"
"Bag... bag... bag...."
"Bagong!"
"Bukan! Maksudku, bagaimana... bagaimana jika kau gunakan napas Tuak Setanmu,
sedikit saja"!"
"Bahaya! Kalau memantul balik dan mengenai kita, malah kita yang mati terlempar
deras badai itu dan tergencet
antara kekuatan badai dengan dinding belakang itu!"
"Kali... kal... kaall...."
"Kaleng"!"
"Bukan! Maksudku, kalau... kalau kau menggunakan jurus 'Sembur Siluman',
bagaimana" Batu itu biar hilang musnah seperti kau sembur Pusaka Tombak Maut
dari tangan Hantu Laut tempo hari?"
"Aku tidak punya tuak! Bumbung tuakku hilang!"
kata Suto dengan nada sedikit ngotot. "Mana bisa kulakukan 'Sembur Siluman' jika
aku tidak mempunyai tuak"!"
"Jadi," kata Hantu Laut, "Kita akan tetap di sini sampai ajal kita menjemput"!"
"Entah!" jawab Pendekar Mabuk. "Yang kupikirkan sekarang, bagaimana aku bisa
mendapatkan bumbung tuakku! Karena bumbung itu bisa menolong kesulitan kita yang
seperti ini!"
Semua diam tertegun memikirkan nasib mereka.
Semua diam berkerut dahi saling bertanya dalam hati tentang batu itu. Lalu kejap
berikutnya Pendekar Mabuk
bangkit, seperti mendapat satu gagasan. Gerakannya itu diikuti oleh mata Dewa
Racun dan Hantu Laut. Mereka menaruh harapan besar pada usaha Pendekar Mabuk
kali ini. "Aku akan gunakan jurus 'Lintang Kesumat'!" kata Pendekar Mabuk. "Jika jurus ini
gagal, aku tak tahu harus bagaimana lagi."
"Cob... cob... cobalah!" kata Dewa Racun.
Jurus 'Lintang Kesumat' membuat semua jari tangan Pendekar Mabuk berkuku menyala
merah membara. Jurus ini biasanya jika dipercikkan ke batu sebesar apa pun atau ke tembok baja
sekalipun, akan membuat benda itu meleleh lumer. Karenanya, Suto segera
mengibaskan jari tangannya yang berkuku merah menyala itu.
Wesst...! Wwwessst...!
Dari kuku itu memercik bunga-bunga api merah
kearah batu penutup mulut gua itu. Cratt...! Cratt...!
Kemudian bau hangus begitu tajam terhirup oleh hidung mereka. Dewa Racun dan
Hantu Laut berdebar-debar, karena menurut mereka, bau hangus itu seperti bau
besi terbakar. Hawa panas pun menguasai lingkup mereka.
Hantu Laut undurkan diri, tubuhnya berkeringat menahan panas. Dewa Racun ikut undurkan diri, bahkan Pendekar Mabuk sendiri
melangkah tiga tindak dari tempatnya, mundur menjauhi pintu batu itu.
Kejap berikutnya hawa hangat terasa masih tersisa.
Pendekar Mabuk mendekati batu penutup pintu gua.
Ternyata batu itu tidak meleleh sedikit pun. Tergores tidak, rompal sedikit juga
tidak. Dewa Racun dan Hantu
Laut yang ikut memeriksa batu tersebut menjadi tertegun bagai orang kehabisan
akal. "Berarti, batu ini disaluri tenaga dalam yang sangat tinggi!" kata Pendekar
Mabuk. "Jelas ada orang sakti berilmu tinggi sengaja mengurung kita di dalam gua
ini!" "Menurutmu siapa?" tanya Hantu Laut. "Apakah...
Dayang Kesumat?"
"Mungkin saja! Karena dia masih
menyimpan dendam padaku, sebab aku murid dari musuh besarnya, yaitu Bibi Guru Bidadari
Jalang. Aku juga yang menjadi penghalangnya dalam mendapatkan Pusaka Tuak Setan,
hingga ia menaruh benci padaku." (Baca serial Pendekar Mabok dalam episode:
"Darah Asmara Gila").
"Baaag... baaag... bagaimana kalau ternyata orang yang menutup mulut gua dan
yang mencuri bumbung
tuakmu itu adalah Siluman Tujuh Nyawa?" kata Dewa Racun membuat wajah Hantu Laut
menjadi kian tegang di dalam keremangan cahaya dalam gua itu.
"Bisa jadi begitu!" kata Pendekar Mabuk. "Mungkin dia tahu aku punya kekuatan
pada bumbung tuak
tersebut!"
"Tidak mungkin!" bantah Hantu Laut. "Kalau yang datang sewaktu kita tidur adalah
Siluman Tujuh Nyawa, aku pasti sudah dibunuhnya! Kalian pun tak akan
dibiarkan hidup walau dipenjarakan seperti ini!"
"Masuk akal bantahanmu!" kata Pendekar Mabuk.
Lalu ketiganya sama-sama membisu kembali. Mereka bercucuran keringat. Saling
memeras otak mencari jalan
keluar. Tiba-tiba Pendekar Mabuk berkata di tengah kesunyian,
"Kalau kugunakan napas tuakku, pasti batu itu bisa terhempas dari mulut gua.
Tapi jika kekuatan batu itu lebih besar, napas Tuak Setan akan membalik pada
diri kita dan mencelakakan kita bertiga. Aku tak berani melakukan hal yang
bersifat untung-untungan itu!"
"Bagaimana jika...," Hantu Laut tak jadi teruskan kata, karena Dewa Racun cepat
serukan kata, "Hei, lihat dinding belakang yang runtuh akibat kena sinn... sinn... sinar hijau
tadi! Ada celah kecil di balik reruntuhan dinding tersebut...! Seingatku memang
di situ ada lorong gelap!"
Pendekar Mabuk cepat memeriksa reruntuhan dinding. Ternyata memang ada celah kecil sebesar kepala manusia. Tak bisa untuk
lewat, tapi menandakan bahwa di balik dinding itu ada lorong. Maka, Pendekar
Mabuk pun segera gunakan pukulan jarak jauh bertenaga dalam cukup kuat.
Wuuut...! Blarrr...! Wussst...! Blarrr...!
Hantu Laut dan Dewa Racun terbatuk-batuk. Dinding itu pecah. Tubuh mereka
menjadi putih karena terkena debu pecahan dinding. Tetapi, kejap berikutnya
Hantu Laut pun dapatkan pandangan menyenangkan, ia berseru, "Lihat, ada lorong yang terbuka!"
"Hmmm... benar!" kata Pendekar Mabuk, lalu ia berkata pada Hantu Laut, "Sobek
sedikit kain ikat pinggangmu itu, Hantu Laut. Dan... Dewa Racun, aku
pinjam satu batang anak panahmu!"
"Un... un... untuk apa?"
"Bikin obor! Kita masuk lorong itu dan kita periksa apa yang ada di dalamnya!"
Maka, dengan menggunakan dua pisau milik Dewa
Racun yang digesekan, timbullah api yang segera
membakar obor darurat itu. Mereka segera menerobos masuk ke lorong gelap yang
menurut Dewa Racun dulu selalu kedengaran mengeluarkan suara napas seekor naga.
Lorong itu panjang, berkelok-kelok, berlantai kering keras. Tak ada cahaya
sedikit pun kecuali cahaya obor.
Dengan bantuan cahaya obor itu, mereka bisa pandangi lumut-lumut yang menempel
di dinding lorong yang terasa lembab. Lorong yang lebarnya antara dua tombok itu
mempunyai dinding rata walau bukan berarti halus.
Dewa Racun curiga dengan dinding rata itu. Apalagi ketika obor diangkat lebih ke
atas, mereka bisa melihat bahwa lorong itu amat panjang walau berkelok-kelok
lagi di bagian sana. Kemudian mata Dewa Racun
menemukan keanehan pada dinding lorong itu.
"Cob... coba dekatkan ke dinding kiri obormu itu, Hantu Laut!"
Hantu Laut yang memegang obor segera mendekatkan nyala apinya ke dinding kiri. Kemudian mereka sama-sama menemukan
gambar pada dinding.
Gambar itu berupa batu-batuan yang ditoreh oleh benda tajam. Bekas torehannya
sudah berlumut, itu pertanda sudah sangat lama torehan tersebut terjadi di


Pendekar Mabuk 013 Prahara Pulau Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dinding itu. "Mungkin dulu ada manusia purba yang menghuni tempat ini!" kata Suto Sinting.
Hantu Laut hanya menggumam sambil manggut-manggut. Tapi Dewa
Racun kerutkan dahi dan tak mau bicara, ia menahan tangan Hantu Laut ketika
Hantu Laut mau bergerak menjauh, ia masih ingin memperhatikan gambar itu.
"Seep... sepertinya gambar ini melukiskan sebuah perahu yang terombang-ambing
diamuk badai lautan."
"Memang... dan masih banyak gambar lain di
sepanjang dinding ini," jawab Suto. Lalu, mereka melangkah pelan-pelan sambil
memperhatikan lukisan-lukisan di dinding lorong itu. Ternyata memang
menggambarkan suatu adegan sebuah perahu yang
terdampar di pantai karena amukan badai lautan.
"Mungkin dulu penghuni gua ini pernah melihat perahu yang hampir dimakan badai
lautan!" kata Hantu Laut.
"Tap... tapi... tapi coba perhatikan urut-urutan gambar ini!" kata Dewa Racun.
"Ini gambar perahu yang ditambatkan oleh seseorang. Itu gambar tiga orang
berlarian menuju ke suatu tempat. Itu juga gambar orang bertarung dengan orang
kurus. Yang san... san... sana, gambar tiga orang tidur dan... dan... kurasa ini
gambar perjalanan kita, Pendekar Mabuk?"
Hantu Laut merinding mendengarnya. Suto diam
memperhatikan tiap gambar. Ternyata benar dugaan Dewa Racun. Gambar orang
berlarian meninggalkan
perahunya itu terdiri atas gambar seorang bertubuh besar, gemuk, dan gundul
kepalanya, yang satu bertubuh
pendek kerdil, yang satu bertubuh tinggi tegap. Lalu, gambar orang berkelahi itu
pun menunjukkan seorang bertubuh kerdil berkelahi dengan orang bertubuh tinggi
kurus. Seperti yang dilakukan oleh Dewa Racun dan orang bermata putih tadi.
"Lihat, Suto....!"
kata Hantu Laut ikut menterjemahkan gambar. "Ini gambar kita bertiga yang masing-masing menggunakan
ilmu tenaga dalam untuk pecahkan batu penutup gua itu! Pertama gambar orang
kerdil, menggambarkan Dewa Racun. Lalu, gambar
orang gundul, gambarku yang juga gagal pecahkan batu.
Lalu, gambar orang kerdil lagi, yaitu gambar Dewa Racun yang mencoba pecahkan
batu lagi...."
"Daan... dan yang ini gambarmu, Suto," kata Dewa Racun melanjutkan. "Ini
gambarmu mencoba gunakan pukulan tenaga dalammu untuk memecahkan batu
penutup gua."
"Tapi gambar batunya tidak ada!"
"Ya, mmemm... memang, memang tidak ada! Entah mengapa tidak tergambar. Tapi...
tapi ini gambar kamu dan Hantu Laut yang saling tindih ketika terjadi pantulan
balik dari sinar hijau!"
Hantu Laut teruskan kata, "Nah, ini gambar kita yang sedang berusaha membikin
obor sederhana ini...! Lalu...
lalu...." "Habis!" kata Pendenar Mabuk bagai menggumam sendiri.
Gambar itu memang habis sampai di situ. Mereka
mencari-cari gambar lain, tapi tak ada gambar apa pun.
"Gua ini aneh. Misterius sekali!" gumam Pendekar Mabuk. "Jika gambar itu terjadi
sudah ratusan tahun yang silam, atau puluhan tahun yang lalu, tentunya bukan
gambar kita yang tertera di sini!"
"Mungkin ada seseorang yang telah melukiskan perjalanan kita sampai di sini!"
kata Hantu Laut.
"Secepat itukah orang menggambar perjalanan nasib kita" Dan lagi, lihat goresan
di batu ini! Sudah berlumut dan hampir tidak kentara, sepertinya sudah dimakan
zaman cukup lama!"
"Kal... kalau... kalau gambar ini baru, pasti goresannya masih baru juga," kata Dewa Racun memperjelas maksud Pendekar Mabuk.
"Ya. Dan sejak tadi kuperhatikan pula tanah di bawah kita, tidak ada jejak
manusia selain jejak telapak kaki kita."
"Jika begitu, mungkin dulu ada kejadian yang sama persis dengan apa yang kita
alami sekarang ini," kata Hantu Laut. "Jumlah orangnya sama, ciri-cirinya sama,
dan apa yang dilakukan adalah sama dengan yang kita lakukan!"
"Mungkinkah sesuatu yang bersifat kebetulan bisa sama persis dengan kejadian
ini"!" tanya Pendekar Mabuk kepada mereka, juga kepada diri sendiri. "Kalau toh
memang bisa sepersis kejadian ini, lantas siapa orang yang melukisnya" Bukankah
pulau ini kosong tak
berpenghuni"!"
* * * 3 TIBA di persimpangan lorong, Pendekar Mabuk dan
kawan-kawannya dihadapkan pada dua pilihan; ke kiri atau ke kanan" Mereka
berhenti dalam kebimbangan langkah.
Dewa Racun dan Hantu Laut saling memandang Pendekar Mabuk, seakan mereka mengharap keputusan yang pasti. Pendekar Mabuk
sendiri belum berani ambil langkah tanpa pemikiran dan pertimbangan matang.
"Kedua sinar itu bercahaya," kata Suto pelan. "Yang satu di ujung sana
memancarkan sinar kuning, yang satu sinar putih. Sinar kuning itu ada di sebelah
kiri kita, dan sinar putih ada di sebelah kanan kita."
Dewa Racun menyahut, "Kit... kit... kita harus pilih salah satu, mana yang punya
jalan keluar!"
Dewa Racun memandang ke arah Hantu Laut, lalu
Hantu Laut keluarkan pendapat,
"Jangan-jangan gua ini tempat penyimpanan harta karun. Jika benar gua ini tempat
penyimpanan harta karun, berarti yang sebelah kiri kita, yang memancarkan sinar
kuning berpendar-pendar itu adalah tumpukan emas, sedangkan yang kanan
berpendar-pendar putih itu adalah tumpukan perak."
"Bagaimana kalau keduanya salah?" tanya Pendekar Mabuk. "Bagaimana kalau
keduanya hanya jebakan dari orang yang mencuri bumbung tuakku dan yang menutup
pintu gua dengan batu gaib itu?"
"Mampuslah kita!" jawab Hantu Laut bagai patah semangat.
Ketiganya kembali diam dan pikirkan pertimbangan.
Bias kedua sinar itu sampai ke persimpangan lorong tempat mereka berdiri,
sehingga tanpa obor pun mereka sudah mendapat penerangan dari kedua bias sinar
itu. "Begini," kata Pendekar Mabuk pecahkan hening di antara mereka bertiga. "Kita
bercermin dari perbuatan kita sendiri. Kita gunakan patokan, bahwa orang berbuat
sesuatu yang buruk sering dikatakan menyimpang ke jalan kiri, orang yang berbuat
baik dikatakan berjalan dijalan kanan. Kita sering muliakan tangan kanan sebagai
tanda penghormatan terhadap sesama, misalnya menerima sesuatu dari orang lain
lebih sopan dengan menggunakan tangan kanan, tapi tangan kiri tidak sopan.
Jadi, usulku kepada kalian, kita gunakan lorong kanan, sebagai lorong kebaikan
dan kesopanan."
"Bagaimana jika dugaanmu salah?" tanya Hantu Laut.
"Mampuslah kita!" jawab Pendekar Mabuk tirukan jawaban Hantu Laut tadi. "Jika
dugaan kita tentang lorong kiri pun salah, mampus pulalah kita ini!"
Dewa Racun segera keluarkan pendapat, "Bba...
baar... barr... barangkali kita akan temui kesalahan dan kematian, tapi mati
dengan mengambil jalan kanan sebagai tujuan hal yang baik, lebih terhormat
daripada mati mengambil jalan kiri, sebagai simbol kejahatan!"
Pendapat Dewa Racun terkesan di hati Suto Sinting dan Hantu Laut. Sebab itulah
mereka tak bimbang hati lagi untuk langkahkan kaki mengambil jalan kanan.
Mereka mendekati cahaya putih berpendar-pendar itu.
Sementara itu, Hantu Laut cepat berpaling ke belakang untuk melihat suatu
gerakan angin yang berkelebat menurut firasatnya. Tapi yang ia temui di belakang
hanya kegelapan. Lorong yang memancarkan cahaya
kuning itu telah lenyap. Cahayanya padam tak terlihat lagi.
"Aneh. Cahaya kuning itu padam, seperti ada yang meniup atau memadamkannya!
Hmmm... berarti di
dalam gua ini ada manusianya!" kata Hantu Laut dalam gumam lirih. Gumam itu
terdengar oleh Pendekar
Mabuk dan Dewa Racun. Tapi mereka tidak kasih
pendapat apa-apa kecuali hanya turut menoleh ke
belakang sejenak, setelah itu kembali memandang ke arah depan. Sinar putih itu
makin terasa terang dan tidak lagi menyilaukan.
Ternyata mereka tiba di sebuah ruangan besar beratap tinggi. Atap itu bolong
bagaikan cerobong gunung tempat keluarnya lahar. Cahaya matahari yang masuk ke
lubang atap itulah yang membuat terang suasana
sekeliling. Cahaya terang membuat mata ketiga orang itu dapat melihat keluasan
ruangan tersebut.
Ruangan itu memiliki lorong-lorong pada dindingnya sebagai jalan entah menuju ke
mana. Hantu Laut
menghitung dalam hati ternyata ada sebelas lorong di situ, dua belas lorong
bersama lorong tempat mereka muncul di ruangan itu.
Ketiga orang itu merasakan ada keanehan dalam hati mereka. Ruangan besar yang
berbentuk bundar itu
mempunyai garis tengah antara tiga puluh langkah. Di bagian tengahnya ada lantai
berbentuk bundar macam piring raksasa. Tapi lantai itu datar, terbuat dari
lempengan batu marmer putih dengan ukuran panjang dua tombak lebar satu tombak.
Batu-batu marmer itu tersusun rapi, satu dengan yang lainnya sangat rapat,
seakan tak ada celah yang bisa untuk memasukkan
sehelai kain sutera. Tempat itu bertangga tiga baris yang mengikuti bentuk
bundar lantai tengahnya itu. Cahaya matahari dari atap jatuh tepat di
pertengahan lantai itu dan memantulkan warna putih marmernya.
"Seseorang telah membangun tempat ini dengan sangat indahnya," kata Suto, entah
bicara kepada siapa.
"Men... men... menurutmu, tempat apakah ini?" tanya Dewa Racun.
"Tak jelas. Mirip sebuah ruangan untuk berkumpul atau sebuah arena untuk
berlatih ilmu kanuragan. Tapi aku yakin di ruangan ini ada penghuninya."
"Dari mana kau bisa yakin begitu?" tanya Hantu Laut.
"Lihat di atas tiap lorong, terdapat batu berbentuk kerucut yang hangus di
bagian atasnya. Batu kerucut itulah obor yang dinyalakan hanya pada malam hari."
Karena keadaan terang, Hantu Laut memadamkan
obornya sendiri. Kemudian ia bergegas mendekati
tangga arena. Tapi Pendekar Mabuk cepat menyusulnya sambil menahan pundak Hantu
Laut yang berkulit hitam keling itu.
"Jangan gegabah di sini! Aku yakin orang yang mencuri bumbung tuakku dan yang
meletakkan batu
gaib itu adalah penghuni ruangan ini. Bisa jadi ia memasang banyak jebakan maut
di sini! Salah langkah sedikit kau bisa mati, Hantu Laut!"
"Aku punya naluri untuk sebuah jebakan," kata Hantu Laut, seakan tak mau
diremehkan dalam hal jebakan.
Maka, ia pun tetap melangkahkan kaki dan pandangi keadaan sekeliling lantai
marmer bundar itu. Di sana ada titik merah, tepat di bagian tengah lingkaran.
Titik merah itu berbentuk bundar bergaris tengah antara satu jengkal.
Hantu Laut melemparkan senjata yoyonya ke tengah arena. Trakk...! Ditunggu
sesaat ternyata tak ada bahaya yang timbul, maka ia pun berani melangkah
memasuki lantai marmer bundar itu. Sampai di titik tengah warna merah itu,
sekali lagi Hantu Laut menjatuhkan yoyonya yang terbuat dari lapisan baja itu.
Trakk...! Setelah ditunggu beberapa saat tak ada bahaya datang, Hantu Laut
merasa lega. Berarti tempat itu tidak berbahaya.
Namun ketika Hantu Laut mau mengambil yoyonya,
tiba-tiba dari arah samping kiri muncul sebatang tombak yang melesat cepat ke
arahnya. Wuusss...!
Hantu Laut sempat melihat dengan ekor matanya, lalu ia cepat gulingkan badan ke
lantai arah depan. Wutt...!
Dan tombak yang melesat bagai anak panah itu pun menerabas
tempat kosong, menghantam dinding samping lorong. Deggg...! Ruangan terasa terguncang oleh benturan tombak dengan
dinding itu. Tapi anehnya dinding tidak gompal sedikit pun dan tombak tidak
patah ujungnya. Tombak itu hanya jatuh ke lantai dengan menimbulkan suara
berdenting yang menggema keras
memenuhi ruangan itu.
Siapa pelempar tombak dari arah kiri Hantu Laut
tadi" Tak ada yang tahu, karena tak terlihat ada orang di sana. Dewa Racun cepat
berlari ke arah tempat
datangnya tombak tadi, dan melakukan pemeriksaan sebentar, ternyata tak ada
orang di sana. Ia berseru akan hal itu tentu saja Suto serta Hantu Laut sama-
sama heran. Lalu mereka pun saling menduga bahwa orang itu telah bersembunyi di
tempat lain, karena pasti dia tahu seluk-beluk jalan rahasia di gua itu.
Hantu Laut berdiri agak di tengah arena ketika ia berkata kepada Pendekar Mabuk
itu, "Mendekatlah kemari. Di sini hawanya lebih sejuk!"
Baru saja selesai Hantu Laut ucapkan kata demikian, tiba-tiba melesatlah sebuah
piringan bergerigi yang bergaris tengah dua jengkal. Piringan besar itu melesat
cepat dari arah belakang Hantu Laut.
Weengngng...! "Awas!" seru Suto seketika.
Kepala gundul itu tak sempat menengok ke belakang.
Tapi melihat mata Pendekar Mabuk tertuju ke arah belakangnya, ia yakin ada
bahaya datang dari belakang.
Maka dengan cepat ia kembali berguling di lantai dengan arah menyamping.
Gleddukk...! Kepalanya
sempat membentur lantai agak keras. Tapi ia luput dari bahaya maut.
Piringan bergerigi dari bahan baja putih mengkilat itu memang luput dari Hantu
Laut, tapi segera menyerang Pendekar Mabuk sebagai sasaran berikutnya. Dengan
cepat Suto Sinting sentakkan kedua tangannya dengan pangkal telapak tangan
saling berhimpit. Sentakan itu timbulkan
sinar putih menyilaukan. Sinar itu menghantam gerak laju piringan bergerigi. Akibatnya, piringan itu terhenti
bergerak, dan bahkan mental ke belakang bagai membentur dinding keras. Trak...!
Traangngng...! Piringan itu jatuh dan menimbulkan suara berisik sekali akibat
menggema di ruangan itu.
Hantu Laut sampai menutup kedua telinganya dengan kedua tangannya.
Pendekar Mabuk memeriksa piringan itu, dan Hantu Laut cepat pandangkan mata ke
sekelilingnya dengan penuh waspada. Dewa Racun lalu memeriksa lorong
yang tadi ada di belakang Hantu

Pendekar Mabuk 013 Prahara Pulau Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Laut, tempat melesatnya piringan bergerigi itu. Tapi di sana kembali tidak ia temukan siapa
pun yang patut dicurigai. Tak ada orang, tak ada suara napas tertahan. Lorong
itu kosong dan lengang.
Posisi Hantu Laut masih berada di tengah ruangan itu, walau tidak tepat di titik
merah. Dan tiba-tiba ia terkejut bukan kepalang. Semuanya pun ikut terkejut
karena suasana terang itu tiba-tiba berubah menjadi gelap seketika. Seolah-olah
ada yang menutup lubang atap tempat masuknya sinar matahari itu. Seolah-olah
siang berubah menjadi malam seketika.
Blappp...! "Sutoooo...!" seru Hantu Laut dengan nada cemas.
"Suto, di mana kau"! Jawablah...!"
Tak ada jawaban yang terdengar oleh Hantu Laut.
Makin cemas hati si keling berkepala gundul licin itu. Ia takut ditinggalkan
Pendekar Mabuk dan Dewa Racun.
"Sutooo....!" panggilnya lagi. Tetapi tetap saja tak ada jawaban.
Pendekar Mabuk sengaja tidak menjawab walau ia
bergerak pelan-pelan sambil membiasakan matanya
memandang dalam gelap. Pendekar Mabuk menyembunyikan suaranya agar sewaktu-waktu timbul serangan,
orang yang menyerangnya tak dapat mengetahui di mana ia berada. Rupanya pemikiran
seperti itu juga dimiliki oleh Dewa Racun, sehingga Dewa Racun pun tak ikut
serukan kata sepatah pun.
Hantu Laut semakin berdebar-debar, ia merasa bagai tinggal di alam kesunyian
yang amat mencekam jiwa, ia tak berani banyak bergerak, takut tiba-tiba
berseliweran tombak
dan senjata rahasia lainnya menghantam tubuhnya. Kejap berikut, gelap pun berubah menjadi terang
kembali. Byarrr....! Tersentak kaget hati Hantu Laut menerima kelegaan itu. Ternyata Pendekar Mabuk
masih ada di depannya, pada tangga kedua, dan Dewa Racun ada di samping kanannya
dari tempatnya berdiri saat itu. Tetapi Dewa Racun dan Suto sama-sama pandangi
wajah Hantu Laut dengan mata tak berkedip. Hantu Laut merasakan ada sesuatu yang
aneh dari pandangan mata kedua temannya itu. Maka, cepat-cepat ia palingkan
wajah ke belakang, dan
ia tersentak kaget sampai terpekik di luar kesadarannya. "Hahh..."! Sssang... sang ketua..."l"
Seorang berkerudung hitam dari atas kepala sampai kaki, mengenakan baju dan
celana dari kain warna hitam pula. Wajahnya putih kelewat pucat, bibirnya biru,
hidungnya mancung, parasnya berkesan tampan muda, tepian matanya sedikit hitam
kebiruan. Orang itu memegang tongkat setinggi tubuhnya dengan ujungnya berupa
mata sabit lengkung sedikit datar. Tongkat itulah yang dikenal Hantu Laut
sebagai pusaka El Maut. Dan hanya satu orang setahu Hantu Laut yang mempunyai
senjata tongkat pusaka El Maut, yaitu Siluman Tujuh Nyawa. Dan Siluman Tujuh
Nyawa sekarang ada di
tengah arena itu dalam jarak tiga langkah berhadapan dengan Hantu Laut.
Gemetar mata Hantu Laut memandangnya, gemetar
pula sekujur tubuhnya. Pucat pasi wajah Hantu Laut setelah sadar bahwa saat itu
ia berhadapan dengan orang yang dulu ingin dibunuhnya dengan senjata Pusaka
Tombak Maut. Hantu Laut mundur dua tindak, sambil berusaha meredakan napasnya
yang sesak, degup
jantung yang cepat berdetak, gemeretuk gigi yang takut memandang wajah putih
mayat berkesan dingin bagai gunung salju.
Sementara itu, Pendekar Mabuk dan Dewa Racun
masih sama-sama terkesima. Suto bertanya-tanya dalam hati, siapa orang itu
sebenarnya dan dari mana
munculnya" Sedangkan Hantu Laut sudah mengetahui bahwa orang itu adalah Siluman
Tujuh Nyawa, tapi ia
belum tahu, bagaimana caranya muncul dalam kegelapan tadi" Apakah dia akan
selalu datang bersama kegelapan"
"'Hantu Laut...!" ucap Siluman Tujuh Nyawa dengan suara tenang tapi berkesan
ingin membunuh. "Sengaja aku menemuimu di arena ini karena ingin tentukan
nasibmu, berapa napas lagi kamu bisa menikmati hidup!
Tapi aku tak mau membunuhmu secara sia-sia! Kamu harus ada perlawanan!
Bertarunglah secara jantan denganku. Hantu Laut...!"
Hantu Laut geleng-gelengkan kepala. Sebab ia ragu untuk menyetujui pertarungan
itu, karena Pendekar Mabuk dan Dewa Racun kelihatan diam saja tak mau cepat
bertindak mendekati dirinya. Sedangkan Hantu Laut merasa sebagai pihak yang
bersalah di mata
Siluman Tujuh Nyawa, ia memang telah memberontak keluar dari gerombolan orang
sesat itu. Ia keluar karena sudah telanjur berkoar ingin membunuh Siluman Tujuh
Nyawa ketika ia masih memegang Pusaka Tombak
Maut, milik Jangkar Langit. Pada waktu memegang
pusaka itu, ia merasa dirinya kuat dan mampu
menggulingkan Siluman Tujuh Nyawa dan para sekutunya. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Tumbal Tanpa Kepala").
Tetapi sejak Hantu Laut dikalahkan oleh Suto
Sinting, si Pendekar Mabuk itu, tombak pusaka dilenyapkan oleh Suto. Hantu Laut pun kembali menjadi orang lemah, merasa bekas
budak Kapal Neraka yang dinakhodai oleh Tapak Baja, orang kepercayaan Siluman
Tujuh Nyawa. Namun sesumbarnya yang ingin membunuh Siluman Tujuh Nyawa itu telah terdengar di telinga yang bersangkutan,
lalu diutuslah pengawal pribadinya yang berilmu tinggi dari sekian banyak orang
dan sekutunya Siluman Tujuh Nyawa, yaitu Doma dan Damu. Tugas Doma dan Damu
adalah membunuh Hantu
Laut yang akan menjadi pemberontak dan pengkhianat dalam lingkungan Kapal
Siluman. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Cermin Pemburu Nyawa").
Itulah sebabnya, kali ini Hantu Laut nyaris terkulai lemas karena tahu-tahu ia
berhadapan dengan Siluman Tujuh Nyawa di sebuah arena pertarungan, di dalam
sebuah gua yang banyak lorong, yang tidak memberi kesempatan bagi Hantu Laut
untuk melarikan diri.
Karena ia yakin, Siluman Tujuh Nyawa yang ada di depannya itu pasti sudah hafal
dengan liku-liku lorong-lorong yang ada di situ, sehingga ke mana pun larinya
Hantu Laut, dengan mudah dapat dicegat.
Sengaja Pendekar Mabuk belum mau bergerak,
karena dia ingin tahu dulu sejauh mana Siluman Tujuh Nyawa mau bergerak dan
menghadapi Hantu Laut.
Sedangkan Dewa Racun tak berani bertindak apa-apa sebelum Suto memberi isyarat
untuk bergerak.
"Sang ketua... saya telah mencabut sesumbar saya tempo hari! Mohon jangan buka
pertarungan dengan saya!"
"Terlambat!" kata Siluman Tujuh Nyawa dengan dingin.
"Saya sudah jenuh hidup sesat! Saya ingin bertobat dan tak mau membunuh lagi!"
"Berarti kau harus mati!"
"Saya bisa bertobat tanpa harus mati!"
"Tidak bisa! Aku harus membunuhmu, Hantu Laut!
Kamu adalah sebagian kecil dari dendamku yang tak boleh kubiarkan hidup begitu
saja!" "Ilmu saya tidak seimbang. Jika sang ketua merasa punya
ilmu tinggi, bukan sayalah tandingannya, melainkan si Pendekar Mabuk itu!"
Hantu Laut menuding ke arah Suto, ingin melemparkan ketakutannya ke sana.
Tapi Siluman Tujuh Nyawa yang berdiri di depannya dengan dingin itu tak mau
pandangkan mata ke arah Pendekar Mabuk, ia bahkan berkata kepada Hantu Laut yang
berkeringat dingin itu,
"Sudah tiba waktumu untuk mati! Aku datang buat menjemput kamu!"
Siluman Tujuh Nyawa yang berdiri di depan Hantu
Laut itu segera menggeserkan kaki kanannya ke
belakang, tongkat El Maut digenggam kuat dan mulai siap diayunkan untuk
menyerang Hantu Laut.
"Rupanya... rupanya saya tak punya pilihan lain. Saya harus melayani tantangan
ini!" kata Hantu Laut di sela putus harapannya.
"Bagus! Itu yang kumau! Bersiaplah menyambut kematianmu, Hantu Keling...!"
"Baik! Saya pun ingin mati secara ksatria!"
"Heaaat...!" pekik Siluman Tujuh Nyawa, membuat Hantu Laut gugup dalam mencabut
senjata yoyonya.
Sementara itu, senjata El Maut sudah siap ditebaskan
dari kanan ke samping kiri. Leher Hantu Laut sasarannya. "Tahan!" seru Pendekar Mabuk pada akhirnya, ia pun bergerak maju.
* * * 4 SERUAN Pendekar Mabuk tadi sempat membuat
orang di depan Hantu Laut menghentikan gerak
sebentar. Matanya melirik ke arah Pendekar Mabuk.
Dilihatnya Suto Sinting tidak melakukan gerak berbahaya maka tebasan itu dilanjutkan ke arah leher Hantu Laut. Wuttt...!
Kembali Pendekar Mabuk menggerakkan kedua
tangannya ke depan dengan cepat sekali. Wesss...! Sinar putih menyilaukan yang
berbentuk lebar setengah
lengkung melesat cepat sekali dari kedua tangan
Pendekar Mabuk yang saling merapat pergelangannya.
Debbb...! Sinar putih itu menahan gerakan tongkat El Maut seakan sebagai
penangkis yang sukar didobrak lagi. Bahkan tongkat El Maut itu sedikit terpental
ke belakang karena kayunya bagai menghantam sesuatu yang amat keras. Kesempatan
itu digunakan oleh Hantu Laut untuk sentakkan kaki dan bersalto ke belakang satu
kali. Ia jauhi lawannya dan menyerahkan perkara itu kepada Pendekar Mabuk.
Orang berselubung kain hitam dari kepala sampai
kaki itu sedikit sipitkan matanya memandang Suto bak menahan kemarahan. Mata itu
melirik ke arah Dewa Racun, ternyata si cebol itu pun sudah siapkan satu anak
panah berbulu merah yang dapat membakar lawan. Anak panah itu sudah bertengger
di busurnya, siap melesat sewaktu-waktu.
Agaknya Siluman Tujuh Nyawa yang kini berhadapan dengan Pendekar Mabuk itu berpikir beberapa saat menghadapi keadaan yang demikian, ia tak mau bertindak gegabah
melawan orang yang satu ini, sehingga yang bisa dilakukan hanya ucapkan kata
penuh ketegasan
"Minggir! Jangan turut campur urusanku!"
"Semestinya memang tidak," jawab Suto dengan tenang, walaupun baru kali ini ia
berdiri menghadapi lawan tanpa bumbung tuak di punggung, tapi ia
mencoba untuk biasakan diri dengan begitu.
Suto melanjutkan kata-katanya, "Urusanmu dengan Hantu Laut adalah urusanmu!
Walau aku tahu kau lebih tinggi ilmunya dari Hantu Laut, tapi aku tidak ingin
ikut campur!"
"Bagus kalau kau sudah tahu bahwa ilmuku sangat tinggi!"
"Tapi ada satu masalah yang harus kuselesaikan dulu denganmu!"
"Baru sekarang aku melihatmu! Baru sekarang kita bertemu! Kurasa di antara kita
tak ada masalah," ucap orang bertongkat El Maut dengan dingin. Nyaris tanpa nada
dalam bicaranya.
"Ada!" jawab Suto tetap ngotot tapi kalem. "Ada masalah yang harus kau
Jejak Di Balik Kabut 17 Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An Irama Seruling Menggemparkan Rimba Persilatan 19
^