Pusaka Tombak Maut 2
Pendekar Mabuk 09 Pusaka Tombak Maut Bagian 2
Sa bawana yang masih berusia dua puluh dua tahun itu menjawab,
"Namaku Saba wana, murid dari Eyang Purbapati."
"O, kakak muridnya Purbapati?"
"Benar, Dik. Siapa namamu dan apakah kau kenal dengan Eyang Purbapati?"
"Sangat kenal Kak. Eyang Purbapati juga pasti kenal denganku jika kau sebutkan
nama Wijayasura."
"O, namamu Wijayasura?"
"Benar, Kak."
"Apakah kau bisa membantuku keluar dari dasar bumi ini?"
Bocah kecil yang masih suka menyedot ingusnya itu
menjawab sambil tertawa.
"Kakak saja yang sudah besar tidak bisa keluar dari penjara bumi, apalagi aku
yang masih kecil. Hi hi hi...!"
Sa bawana menahan napas, agak dongkol juga mendengar jawaban yang merupakan satu harapan
namun ternyata harapan kosong yang diperolehnya. Tapi bocah itu segera berkata
lagi, "T api kalau kakak mau menunggu tumbuhnya sebuah pohon bambu hingga bambu itu
menjadi besar dan
daunnya mengering, kakak akan bisa menemukan jalan keluar dari tempat ini.
Ambillah bambu itu dan pakailah sebagai tempat tuak. Karena aku tahu kakak suka
minum tuak. T ebanglah bambu besi itu dengan pedangmu, setelah itu jangan lagi
kakak gunakan pedang itu. Jelas?"
"Jelas, Dik."
"Sampaikan salamku pada Eyang Purbapati-mu itu!"
Wijayasura mau pergi, tapi Saba wana cepat bertanya,
"Dik, di mana tempat tinggalmu sebenarnya?"
"Aku ada di pohon bambu itu!" setelah menjawab begitu, bocah telanjang yang
tidak mempunyai pusar itu hilang
lenyap dari pandangan mata semadinya Sa bawana. Dan seketika itu Saba wana tersentak kaget dari tapanya.
Lebih terkejut lagi ketika pandangan matanya menemukan sebuah pohon bambu yang masih kecil, tak jauh dari tempatnya bertapa.
Pohon bambu itu aneh.
Daunnya hanya tiga lembar, warnanya hijau kehitam-hitaman.
Ketika Sabawana mendekat dan ingin memegangnya tiba-tiba tubuhnya terpental mundur,
terlempar jauh antara sepuluh kaki dari tempat tumbuhnya pohon bambu muda itu.
"Bocah yang mengaku Wijayasura itu mengatakan bahwa dirinya tinggal di pohon
bambu tersebut. Apakah dia menjelma menjadi pohon bambu, atau sebagai
penjaga pohon bambu?" pikir Sabawana sambil mengusap-usap pinggangnya yang terasa hampir patah gara-gara terlempar jauh
tadi. Sa bawana terpaksa menunggu tumbuhnya pohon
bambu tersebut sambil melatih beberapa jurus silatnya.
Satu keanehan lagi yang terjadi pada pohon bambu itu terletak pada
pertumbuhannya. Pohon tersebut tumbuh dengan pesat. Ganti hari ganti
pertumbuhan. Satu hari bertambah panjang satu jengkal. T etapi warna daunnya
tetap hijau kehitam-hitaman dan hanya tiga lembar.
Pohon itu tumbuh dengan lurus dan membeng-kak.
Ketika pohon tersebut sudah mencapai ketinggian
seukuran tinggi tubuh Saba wana, tiba-tiba daunnya mengering, tapi belum
berjatuhan. Pada saat
itu, Sa bawana mendengar suara gaib yang berjenis suara anak-anak. Suara itu adalah
suara Wijayasura.
"Saba wana, jika tiga daun itu telah jatuh dengan sendirinya, tebanglah bagian
ujungnya tepat pada ruas pertama, lalu tebang pula tepat pada ruas kedua.
Setelah itu, pergilah ke arah mana saja sesukamu, kau akan menemukan jalan
keluar. Dan karena
aku sudah memberikan jalan keluar padamu, kau harus menyerahkan semua ilmumu kepadaku, karena kau
meminjamnya dariku...."
Sa bawana kurang jelas dengan kalimat terakhir" T api ia lebih mementingkan
kalimat-kalimat pertama. Pohon bambu harus ditebang bagian pucuk pada ruas
pertama, lalu ruas kedua. Padahal pohon bambu yang tumbuh membengkak itu hanya
mempunyai tiga ruas. Ruas
ketiga adalah bagian pangkal dekat dengan tanah. Ruas ketiga itu jaraknya sangat
dekat dengan ruas kedua, kurang dari empat jari. Ruas kedua dengan ruas pertama
jaraknya cukup panjang. Saba wana mulai paham, bahwa bocah tanpa pusar yang
mengaku bernama Wijayasura itu menghendaki agar Sabawana memanfaatkan bambu di
antara ruas pertama dengan ruas kedua sebagai bumbung tempat tuak.
Maka, Sabawana pun mulai menebang bambu berwarna coklat dengan sedikit semburat warna hitam pada bagian ruas keduanya.
Tentu saja hal itu ia lakukan setelah tiga lembar daun bambu jatuh ke tanah dan
lenyap tanpa bekas. Bambu itu tidak mempunyai
kekuatan yang melemparkan tubuh Saba wana ketika didekati. Karenanya, Saba wana
bisa menebang dengan bebas dan leluasa. Hanya anehnya, ketika pedangnya dipakai
menebang ruas kedua,
pedang itu patah
bersamaan terpotongnya bambu tersebut. T entu saja pedang itu tak bisa digunakan
lagi dan ditinggalkan oleh Sa bawana di dekat sisa potongan pohon bambu. Dan
anehnya lagi, sisa potongan pohon bambu itu menjadi lenyap setelah Saba wana
melangkah tiga tindak dari tempatnya
menebang tadi. Saba wana mencari-cari bekasnya, tapi tak ditemukan sama sekali. Yang ada
hanya sisa pedangnya yang bergagang menyerupai guci tuak berukuran kecil.
Apa yang dikatakan oleh suara gaib dari Wijayasura itu memang benar. Ke mana pun
arah yang dituju oleh Sa bawana, ia selalu menemukan tempat terang, sebagai
jalan keluar dari gua tersebut. Dan ketika ia muncul, ternyata ia berada di
lereng sebuah gunung. Gunung itu dikelilingi oleh lautan. Sabawana segera
menyimpulkan bahwa gunung itu berada di tengah lautan. Saba wana mengenal gunung
itu bernama Karak Kato, yang untuk kemudian hari banyak disebut-sebut
orang sebagai Gunung Krakatau.
Cepat-cepat Sabawana pulang ke pesanggrahan gurunya, dan ia menemui Eyang Purbapati,
lalu menceritakan pengalamannya. Saba wana baru sadar bahwa ia telah berada di
penjara bumi itu selama dua tahun, terhitung dari pamitnya Sabawana kepada sang
Gur u. Eyang Purbapati terperanjat mendengar cerita Sa bawana, kemudian guru Sa
bawana itu berkata,
"Mestinya kau tidak memanggil bocah kecil itu dengan sebutan Dik. Mestinya kau
memanggilnya : Eyang." "Mengapa begitu, Eyang Guru?"
"Karena bocah kecil itu adalah jelmaan dari wujud kecil guruku, yaitu Eyang
Wijayasura."
"Oh..."!" Sabawana kaget sekali mendengarnya dan merasa takut.
"Wijayasura
adalah nama asli guruku, ia menghabiskan sisa hidupnya dengan bertapa di dasar
laut di ba wah gunung Karak Kato. Eyang Wijayasura adalah manusia tanpa pusar,
dan semua ilmuku yang kuturunkan kepadamu adalah ilmu milik beliau. Maka,
pesanku kepadamu, Saba wana, jangan turunkan ilmumu kepada siapa pun, kecuali
kau menemukan orang atau bocah yang tidak mempunyai pusar. T urunkanlah ilmu itu
kepadanya, dan berikanlah bumbung tuak pusaka ini kepadanya, karena ilmu itu
sepertinya diminta kembali oleh Eyang Wijayasura melalui suara gaib terakhir
yang kau dengar itu...."
Begitulah asal mula bumbung tempat tuak tersebut, yang menurut Eyang Purbapati,
di bumbung itulah
sukma Wijayasura bersemayam. Dan Sabawana yang
kemudian dikenal dengan julukan Si Gila T uak menemukan bocah tanpa pusar dari keluarga Wiseso yang terbantai kecuali bocah
itu. Lalu, Saba wana atau Si Gila T uak mengangkatnya sebagai murid. Bocah itu
bernama Suto, dengan nama lengkap: Sutowijaya!
Bocah itulah yang kemudian tumbuh sebagai pemuda gagah perkasa dan tampan
wajahnya, gemar minum tuak sehingga, mendapat gelar Pendekar Mabuk dan akrab
dipanggil dengan nama Suto Sinting, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Bocah T anpa Pusar").
Apakah Sutowijaya adalah titisan dari Wijayasura"
Hanya Eyang Purbapati yang bisa menjelaskannya,
karena Si Gila T uak sendiri tidak bisa memastikannya.
Yang jelas, Wijayasura menemui ajalnya dengan cara
'muksa', atau lenyap tak berbekas, kecuali pakaiannya.
Suto tidak menceritakan pengalaman yang didengar
dari mulut si Gila T uak itu kepada siapa pun. Karena menurutnya,
hal itu tidak begitu penting untuk diceritakan kepada siapa pun, untuk menghilangkan kesan menyombongkan diri. Ia
hanya mengingat-ingat pesan
gurunya, bahwa lebih baik mengutamakan kepentingan orang banyak daripada mengutamakan
kepentingan diri sendiri.
Itulah sebabnya, Suto pun merasa punya kewajiban menolong guru Ba dai Kelabu
yang terancam mati karena terkena pukulan 'Pusaka Tombak Maut'. Hanya saja,
Badai Kelabu masih sedikit sangsi dengan kemampuan Suto. Terang-terangan ia
berkata, "Pusaka Tombak Maut adalah pusaka yang ganas dan berbahaya, apalagi di tangan
orang-orang angkara murka! Tak pernah ada lawan yang luput dari ancaman maut
Pusaka Tombak Maut, menurut cerita guruku. Jika kau ingin mengobati guruku,
apakah kau punya pusaka lain yang bisa menandingi racun dari Pusaka T ombak Maut
itu" Apakah kau juga mempunyai Batu Galih
Bumi, seperti yang dimiliki Nyai Ratu Pekat itu?"
"Aku tidak mempunyai Batu Galih Bumi," jawa b Pendekar Mabuk. "Tapi aku percaya
bahwa gurumu pasti doyan minum tuak!"
"Kau ini sinting amat" Orang sakit kau suruh minum tuak?"
"Kau pun tadinya terluka parah, dan menjadi sehat seperti pagi ini karena minum
tuakku!" "Aku hanya sakit biasa. Lukaku bukan karena luka terkena senjata Pusaka Tombak
Maut, sedangkan guruku
sakitnya karena terkena Pusaka T ombak Maut!"
"T idak ada pusaka yang tidak mempunyai kelemahan" Sama halnya tidak ada orang kuat yang tidak mempunyai kelemahan. Di
atasnya orang kuat, ada yang lebih kuat lagi. Di atasnya orang sakti, ada yang
lebih sakti lagi. Begitulah falsafah hidup yang mestinya kau sadari, Badai
Kelabu!" Perempuan itu memalingkan wajah, memandang Suto
Sinting dengan dahi berkerut, lalu ia ceploskan kata dengan suara pelan,
"Jadi kau merasa lebih sakti dari guruku?"
"Aku tidak berkata demikian," jawab Pendekar Mabuk sambil tersenyum bijaksana
dan menawan hati setiap perempuan, termasuk hati Badai Kelabu sendiri saat itu.
Badai Kelabu mengambil sebutir batu seukuran biji salak dan berkata, "Batu hitam
ini sangat keras. Guruku bisa meremas batu hitam ini dalam satu kali genggaman
dan hancur menjadi serbuk-serbuk hitam. Apakah kau bisa melakukan begitu?"
Sambil senyum-senyum Pendekar Mabuk mengambil
batu itu dari tangan Badai Kelabu, lalu ia berkata,
"Menggenggam batu begini...," Suto menggenggam batu itu,
Pendekar Mabuk 09 Pusaka Tombak Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dan membuatnya
menjadi hancur berbentuk serbuk-serbuk hitam adalah hal yang amat mudah. Tapi apakah gurumu bisa membuat
batu ini menjadi kembar dua dalam satu genggaman tangan?"
"Maksudmu, kembar dua bagaimana?"
"Seperti ini!" Suto membuka genggamannya. Mata
perempuan itu terkesiap melihat batu dalam genggaman Suto menjadi dua, sama
besar, sama warnanya dan sama bentuknya. Badai Kelabu dibuat melongo mulutnya
oleh 'permainan' Suto yang diperolehnya dari ilmu bibi gurunya, yaitu Bidadari
Jalang. Badai Kelabu tak mengerti bahwa Pendekar Mabuk mempunyai ilmu sihir dari
Bidadari Jalang yang dulu pernah dikenal dengan sebutan Ratu Sihir oleh
sekelompok golongan, terutama oleh para tokoh tua di daerah tanah Jawa Wetan.
Se belum habis rasa kagum Ba dai Kelabu, Suto
kembali berkata sambil menggenggam lagi dua batu kembar tersebut,"Meremas
batu agar menjadi hancur hanya dibutuhkan pemusatan tenaga dalam yang dibarengi tersalurnya hawa panas inti
dalam tubuh kita. Maka batu pun bisa hancur menjadi serbuk hitam seperti
ini...," Suto membuka genggamannya.
Badai Kelabu kerutkan dahi, karena di telapak tangan Pendekar Mabuk ia tidak
melihat serbuk hitam hasil dari remasan tangannya. Suto hanya tersenyum ketika
Badai Kelabu berkata,
"T ak ada serbuk hitam! Batu itu hilang dari
genggamanmu."
"Siapa bilang" Cobalah kau sentuh bagian atas telapak tanganku!"
Badai kelabu menyentuhnya dengan jari telunjuk.
Namun sebelum jari telunjuk itu menyentuh kulit telapak tangan Pendekar Mabuk,
telunjuk itu merasakan telah menyentuh segumpalan serbuk kasar yang tak terlihat
oleh mata. Bahkan Badai Kelabu bisa menjumput serbuk itu dan menabur-naburkan di
atas telapak tangan Suto, tapi matanya tak melihat sebutir serbuk pun.
Membatinlah hati Badai Kelabu, "Luar biasa kehebatan ilmunya. Serbuk ini bisa menjadi senjata untuk menaburi mata lawan,
toh lawan tidak melihat ada serbuk yang akan ditaburkan"! Rasa-rasanya Guru tak
mungkin bisa melakukan hal seperti ini! Rasa-rasanya ilmu Pendekar Mabuk lebih
tinggi daripada ilmunya Gur u. Ya, ya... sekarang aku percaya, dia pasti bisa
mengatasi luka-luka yang diderita Guru!"
Pendekar Mabuk segera ajukan tanya, "Apakah kau masih
sangsi dengan kesanggupanku untuk menyembuhkan sakit yang diderita gurumu?"
Badai Kelabu berkata, "Untuk satu hal ini, kuakui kau lebih unggul dari gur uku.
T api untuk penyembuhan, aku masih sangsi. Hanya saja, tak ada jeleknya jika aku
mencoba membawamu ke Pulau Hitam dan memberi
kesempatan padamu untuk menyembuhkan Guru. T etapi aku minta satu jaminan
darimu, Suto."
"Jaminan apa maksudmu, Badai Kelabu?"
"Jika Guru tak bisa sembuh, kau harus rela menyerahkan nyawamu ke tanganku. Kau harus mau
kubunuh!" Suto Sinting tertawa sambil mengambil bumbung
tuaknya. T awanya terhenti dan ia berkata, "Nyawaku tidak semurah itu!"
"Karena aku juga punya jaminan!" kata Badai Kelabu.
Suto meneguk tuaknya beberapa kali, kemudian baru bertanya,
"Jaminan apa?"
"Jika guruku bisa sembuh, kupasrahkan jiwa ragaku kepadamu!"
"Jika aku tidak mengobati gurumu, apakah kau yakin tak akan memasrahkan jiwa
ragamu kepadaku?"
Badai Kelabu diam tersekap malu. Wajahnya semburat merah dadu karena menahan malu. Pendekar Mabuk
menertawakannya
dengan mata tetap memandang kepada perempuan itu. Yang dipandang jadi salah tingkah. Matanya
menatap ke mana saja, sampai akhirnya ia kembali menatap Suto dan berkata,
"Baiklah. Kita tak perlu saling ada jaminan seperti itu! Akan kucoba membawamu
kepada Guru, walau
nantinya Guru akan murka padaku karena aku tak
mendapatkan Batu Galih Bumi!"
"Murka gurumu bisa kuredakan! T api kumohon jangan lagi kau berusaha merebut
ataupun mencuri Batu Galih Bumi, karena itu bukan hakmu, bukan pula hak gurumu.
Ratu Pekat yang berhak memiliki Batu Galih Bumi itu! Jika kau merebutnya,
berarti kau merusak persahabatanmu dengan Ratu Pekat, bahkan bisa jadi merusak
nyawamu sendiri. Sebab aku tahu, kau bukan tandingan Ratu Pekat, ilmumu masih
jauh di bawahnya."
"Kau bermaksud menghinaku?"
"T idak. Aku tidak bermaksud menghinamu atau merendahkan kamu. T api aku
bermaksud memacu
semangatmu agar terus menuntut ilmu setinggi mungkin,
supaya kau tidak direndahkan oleh orang lain!"
Badai Kelabu akhirnya hempaskan napas panjang,
lalu berkata, "Sulit sekali membantah kata-katamu. Sebaiknya memang kita segera bertolak dari
pulau ini menuju Pulau Hitam. Sebaiknya... sebaiknya aku memeriksa perahu dulu
sebelum berangkat!"
"Aku hanya akan membawa De wa Rac un. Mungkin dia bisa membantuku!"
T anpa diketahui oleh mereka, sepasang mata memperhatikan percakapan itu dan mencuri dengar
semuanya. Sepasang mata itu adalah milik Cempaka Ungu yang berwajah berang.
* * * 5 BARU saja menapakkan kakinya di pasir pantai,
Badai Kelabu sudah mendapat
serangan dari arah
belakang. Hembusan angin panas terasa melesat mendekati punggungnya. Badai Kelabu cepat sentakkan kaki dan melesat ke samping.
Wuttt...! Dan ia berada di atas sebuah batu dalam kejap berikutnya.
Beggh...! Pukulan tenaga dalam berhawa panas itu mengenai pasir pantai. Pasir
itu menyembur ke atas dan berhamburan tertiup angin lautan. Sebagian ada yang
memercik di kaki Badai Kelabu.
Sesosok bayangan melesat dari balik rimbunan pohon
pantai. Bayangan itu berwarna ungu. Dengan cepat Badai
Kelabu mengenali
bayangan tersebut. Pasti
Cempaka Ungu! Jlegg...!
Lompatan Cempaka Ungu terjadi dua kali. Satu kali ia melompat dan hinggap di
pasir pantai, satu kali lagi ia melompat dan hinggap di atas sebuah batu
berukuran tinggi satu tombak, sama dengan ukuran tinggi batu yang dipakai
berpijak Badai Kelabu.
"Kau lagi!" geram Badai Kelabu, ia berani menggeram jengkel karena sejak peristiwa pertarungannya dengan Ratu Pekat, Cempaka Ungu
sudah tidak lagi menampakkan sikap bersahabat dengannya. Cempaka Ungu sendiri merasa bermusuhan dengan
Badai Kelabu karena beberapa hal yang
menjengkelkan hatinya.
"Apa maksudmu menyerangku, Cempaka Ungu?"
"Mestinya kau sudah tahu, bahwa aku sudah tidak menyukaimu lagi!" jawab Cempaka
Ungu dengan sinis dan ketus.
"Aku tak merasa rugi tidak disukai orang macam kamu!" balas Badai Kelabu tak
kalah ketus dan sinisnya.
Keduanya saling berhadapan dalam jarak delapan
langkah. "Jika begitu, sebaiknya kumusnahkan saja dirimu, Badai Kelabu!"
Srett...! Cempaka Ungu mengawali mencabut pedangnya. "T unggu dulu! Apa alasanmu sehingga bernafsu sekali untuk membunuhku, Cempaka
Ungu" Apakah kau
masih menyangka aku akan merebut atau mencuri Batu Galih Bumi milik ibumu itu?"
"Aku sudah tidak berpikir hai itu lagi, Ba dai Kelabu!
Karena aku tahu, kau tak akan mampu merebutnya dari tangan ibuku! Kalau bukan
karena Pendekar Mabuk
yang menahan pukulan ibuku, nyawamu sudah melayang sejak kemarin sore, Badai Kelabu!"
"Lalu, apa masalahnya sehingga kita harus bertarung di sini"!"
"Hmmm..., kau takut rupanya"!" Cempaka Ungu tersenyum sinis.
"T akut melawanmu sama saja takut melawan bocah ingusan! Sama sekali tak ada
gentar di hatiku untuk melawanmu,
Cempaka Ungu! T api sebelum aku membelah kepalamu, lebih dulu aku ingin tahu apa alasanmu sehingga kamu sangat
bernafsu mati di
tanganku"!"
"Pertanyaan yang sombong!" geram Cempaka Ungu.
"Badai Kelabu! Kalau kau ingin tinggalkan pulauku ini, cepatlah pergi dan tak
perlu membawa Pendekar Mabuk itu!"
"Aku harus pergi dengan membawanya! Karena dia yang akan menjadi tabib untuk
guruku!" "Persetan dengan gurumu, Badai Kelabu! Suto harus tetap di sini!" sentak Cempaka
Ungu. "Kau tidak berhak menentukan dia harus ada di mana! Kau bukan apa-apanya,
Cempaka Ungu!"
"Memang! T api dia punya kepentingan dengan ibuku di pulau ini!"
"Apakah ibumu jatuh cinta kepada Pendekar Mabuk"
Oh, alangkah pikunnya ibumu itu, sudah tua masih cari yang muda! Serakah sekali
dia"!"
"T utup mulutmu, Badai Kelabu! Sekali lagi kau menghina ibuku, kutebas lehermu
tanpa ampun lagi!"
Cempaka Ungu menjadi gusar.
"Kau pikir mudah menebas batang leherku, Bocah ingusan"!
Ilmu pedangmu masih cetek dan tak sebanding dengan
ilmu pedangku!"
sentak Badai Kelabu. Lalu, ia pun mencabut pedangnya. Srett...!
"Jangan kau meremehkan aku, Badai Kela bu! Ka u akan menyesal jika sudah tahu
setinggi apa ilmu
pedangku!"
"Buktikan di depan mataku! Jangan hanya bisa berkoar saja!" tantang Badai Kelabu
dengan lantang.
Cempaka Ungu semakin panas hati mendengar tantangan itu, maka ia pun berseru,
"Benar-benar cari mampus kau, hiaaat...!"
"Hiaaahh...!"
Cempaka Ungu sentakkan kakinya dan tubuhnya pun
melenting di udara dengan berjungkir balik satu kali.
Pendekar Mabuk 09 Pusaka Tombak Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Badai Kelabu pun cepat melesat ke udara dan berjungkir balik satu kali, lalu
keduanya saling membabatkan pedang ke arah lawan masing-masing.
Trang trang trang...!
Gerakan pedang Cempaka Ungu cukup cepat, tapi
Badai Kelabu tak kalah cepat dengan gerakan itu.
Pedangnya menangkis setiap
sabetan pedang dari
Cempaka Ungu. Lalu, kaki kanannya sempat menendang
ke belakang saat tubuh mereka saling melintas lewat.
Begg...! Badai Kelabu mendaratkan kakinya
di tempat berdirinya Cempaka Ungu tadi, yaitu di atas batu.
Se dangkan Cempaka Ungu hampir saja tersungkur
akibat tendangan kaki lawannya yang mengenai bagian pinggang kanan, ia berhasil
mendarat di atas batu bekas tempat
berdiri Badai Kelabu dengan sedikit sempoyongan, nyaris jatuh ke bawah.
Se gera Cempaka Ungu membalikkan badan, dan
menghirup napas panjang-panjang. Pada saat itu, Badai Kelabu pun sudah siap
berdiri menantang serangan berikutnya. Untuk sesaat Cempaka Ungu tidak bicara,
karena ia harus segera
menahan napasnya
untuk menahan rasa ngilu di sekujur tulang iganya akibat tendangan Badai Kelabu tadi.
"Bagaimana"
T ersumbatkah napasmu karena tendanganku?" ejek Badai Kelabu dengan senyum sinisnya.
"Hmm..., terlalu ringan tendanganmu! Adakah yang lebih hebat lagi dari tendangan
seekor kucing mabuk tadi?" Cempaka Ungu tak mau kalah ejek, walau sebenarnya
dalam hati Cempaka Ungu mengakui beratnya tendangan lawan.
"Ha ha ha ha... kau boleh berkata begitu, tapi aku tahu kau sedang menahan rasa
sakit, Cempaka Ungu. Kulihat wajahmu menjadi pucat dan keringat dinginmu keluar
di bagian keningmu!"
"Sial! Dia mengetahui keadaanku!" geram Cempaka
Ungu dalam hatinya. Karena rasa malu, maka tanpa bicara apa-apa lagi, ia segera
sentakkan kaki dan kembali menerjang ke arah lawannya.
"Hiaaat...!"
Wugggh...! Wugggh...!
Dua sosok manusia perempuan itu saling terjang
kembali di udara. Pedang mereka saling dikibaskan dengan cepat.
Trang trang trang...! Buhgg...!
Jleg...! Cempaka Ungu mendaratkan kakinya di
tanah, ia telah berhasil menyodok bagian bawah ketiak lawannya dengan siku yang
berkekuatan tenaga dalam.
Sodokannya tadi terasa terkena telak. Itulah sebabnya ia membalikkan tubuh
dengan tersenyum angkuh.
Badai Kelabu berhasil berdiri dengan tegak walau tadi saat mendaratkan kakinya
di atas batu tempat berdirinya Cempaka Ungu itu hampir saja ia terjungkal jatuh.
Sodokan keras bertenaga dalam terasa meremukkan tulang rusuk dan menahan jalur pernapasannya. T etapi ia masih mampu menahan dengan mengeraskan seluruh urat
yang ada di sekitar bagian bawah ketiak.
"Hai, wajahmu merah, Badai Kelabu! Sebentar lagi kau rubuh karena sodokan sikuku
tadi!" ledek Cempaka Ungu.
Badai Kelabu paksakan diri untuk tersenyum dari atas batu, lalu ia berkata,
"Wajahku merah karena menahan nafsu untuk membunuhmu!"
"Kenapa tidak kau lakukan?" tantang Cempaka Ungu.
"Kupikir, sia-sia membunuh anak kemarin sore!"
"Kalau nyatanya kau tak mampu membunuhi anak kemarin sore, mengapa harus merasa
sia-sia?"'
"Karena aku punya urusan yang lebih penting daripada melayani kenakalan anak
kemarin sore! Aku harus segera kembali membawa serta Pendekar Mabuk itu untuk
menjadi tabib bagi guruku!"
"Itu hanya impian kosong, Badai Kelabu! Langkahi dulu mayatku, baru kau bisa
membawa pergi Pendekar Mabuk dari pulau ini!"
"Keparat kau! Bocah tak tahu diuntung!" hardik Badai Kelabu dengan membelalakkan
matanya yang ganas, ia pun segera mengangkat pedangnya ke atas, lalu ditarik turun dalam satu
sentakan kuat, dan disentakkan kembali ke depan, ke arah Cempaka Ungu. Dan tiba-
tiba dari ujung pedang itu terlepaslah sinar merah cerah dengan gerakan secepat
kilat. Zuittt...!
Cempaka Ungu terkesiap sejenak. Cepat-cepat ia
hadangkan pedangnya untuk menangkis sinar merah
cerah itu. Dubbbh...!
"Aaahg...!" Cempaka Ungu tersentak ke belakang dan jatuh terlentang. Sinar merah
memang berhasil ditahan dengan menggunakan pedangnya yang kedua ujungnya
dipegang dengan dua tangan. T api begitu besarnya tenaga dorong yang datang dari
sinar merah itu,
sehingga tubuh Cempaka Ungu tak sanggup bertahan untuk tetap berdiri, ia
terpental ke belakang dalam keadaan sebagian rambutnya terbakar karena terkena
percikan api sinar merah tadi. Bau rambut terbakar
sangat kuat menusuk hidungnya.
Melihat lawannya jatuh, Badai Kelabu segera lompat dari atas batu ke tanah.
Jlegg...! Pada saat itu, Cempaka Ungu sedang bergega s untuk bangkit. Maka
dengan cepat Badai Kelabu berlari menyerang dan akhirnya melompat menerjang
lawan dengan pedang lurus ke
depan. "Hiaaaaat...!"
Cempaka Ungu tak sempat menghindar, karena ia
baru saja sa dar. Dengan gerakan cepat ia kibaskan pedangnya ke kiri dan ke
kanan menangkis pedang
Badai Kelabu. Trang trang...! Brreet...!
"Auh...!" Cempaka Ungu terpekik, ia tak menyangka kalau gerakan tubuh Badai
Kelabu akan melesat ke atas ketika tiba di depannya. T ubuh Badai Kela bu itu
melenting di udara dan bergerak menukik dalam satu kibasan pedang. Pedang itu
berhasil menyabet pundak Cempaka Ungu dan tubuh yang menukik itu cepat
kembali pada posisi biasa, lalu mendarat di belakang Cempaka Ungu.
Pundak Cempaka Ungu robek akibat sabetan pedang.
Lukanya cukup lebar dan mencucurkan darah segar.
Badai Kelabu mengangkat pedangnya dari samping dan segera
menebas ke leher
lawannya yang sedang memunggungi dengan mengerang kesakitan. Wess...!
Trang...! T iba-tiba pedang Badai Kelabu tak jadi menyentuh leher Cempaka Ungu. Pedang itu
membalik ke arah
semula, bahkan tubuh Badai Kelabu itu terbawa
hentakan gelombang yang membuat pedangnya terpental ke samping. T ubuhnya pun
terbawa terpental dan jatuh berguling, lalu cepat bangkit dengan satu kaki masih
berlutut, pedang berdiri tegak di depannya, digenggam dengan dua tangan.
"Setan! Ada yang ikut campur urusanku!" geramnya dalam hati. Matanya mencari
sekeliling yang tampak sepi. T api ketika ia memandang ke arah perairan pantai,
ia melihat sebuah perahu warna merah mendekati pantai.
Penumpangnya empat orang lelaki yang sedang memandang ke arah pertarungan tadi.
"Hmm... siapa mereka?" gumam hati Badai Kelabu.
"Pasti satu dari mereka yang tadi menahan gerakan pedangku dan menghentakkan
dengan kekuatan jarak jauh yang cukup tinggi!"
T erdengar suara Cempaka Ungu berseru kepada salah satu penumpang perahu merah,
sambil mendekap
lukanya yang masih berdarah,
"Sanjaya...!" Cempaka Ungu berlari menyambut perahu merah itu.
Empat lelaki di atas perahu merah, hanya satu yang turun dan segera menyambut
langkah kaki Cempaka
Ungu yang limbung dan hampir jatuh. T ubuh Cempaka Ungu segera ditahan oleh
lelaki muda berkumis tipis itu.
"Cempaka! Kau terluka"!" Sanjaya yang berpakaian merah tua dari bahan kain
beludru dan bermanik-manik perak hias itu tampak tegang melihat luka di pundak
Cempaka Ungu. "Dia... dia...," Cempaka kesakitan, ia sulit bicara.
"Penghulu Petir! Rawat kekasihku ini!" seru Sanjaya kepada satu dari ketiga
orang di atas perahu merah tersebut, ia sendiri segera berlari menemui Badai
Kelabu yang masih siap menghunus pedang di tangan, berdiri dengan
kaki tegak, bagai menunggu kedatangan lawannya. "Beraninya kau melukai kekasihku, hah"! Siapa kau sebenarnya, Perempuan Dungu"!"
sentak Sanjaya.
Badai Kelabu mengernyitkan alis. Ia pandangi sesaat pria yang berompi merah
dengan mengenakan baju
lengan panjang komprang warna hitam, celananya pun merah
dihiasi rajutan benang putih perak yang membentuk hiasan. Rambutnya sedikit panjang bergelombang dengan ikat kain beludru merah bermanik-manik putih perak. T ubuhnya tinggi, tegap dan kekar. Sebilah keris
bergagang kayu merah terselip di balik sabuk-nya yang berwarna merah pula. Keris
itu tepat ada di depan perutnya dan siap untuk dicabut sewaktu-waktu.
"Sebelum kau tahu namaku, terlebih dulu aku ingin tahu siapa
dirimu dan apa hubungannya dengan Cempaka Ungu?" tanya Badai Kelabu dengan sikap tenang.
"Sudah kubilang tadi, Cempaka Ungu adalah kekasihku! Namaku Sanjaya, bergelar Pangeran Berdarah!"
"Cukup asing namamu itu di telingaku! Pangeran Berdarah..."!
Sebuah nama yang belum
kondang, tentunya!" ejek Badai Kelabu.
Pangeran Berdarah merasa terhina dan menggeram
gusar. Wajahnya yang tampan kelihatan buas dan liar.
Se gera ia sentakkan tangan kanannya ke arah sebuah batu, wuut...! ia lepaskan
pukulan tenaga dalamnya ke sana. Badai Kelabu hanya melirik dengan menyimpan
rasa heran, ia sangka Pangeran Berdarah memamerkan ilmunya.
Batu itu tidak pecah. Badai Kelabu sunggingkan
senyum tipis meremehkan. Tapi belum habis senyumnya, tiba-tiba ia merasakan gelombang hawa panas mendekatinya dengan
gerakan cepat, arahnya dari batu yang habis dihantam Pangeran Berdarah.
Wuusss...! Beeghh...! Badai Kelabu terjungkal jatuh dan berguling-guling bagai
dilanda angin topan yang bertenaga besar.
Rupanya pukulan yang dilepaskan Pangeran Berdarah itu sengaja dipantulkan
melalui batu tersebut untuk mengecohkan lawan, sehingga lawan menjadi kelabakan.
"Edan! Ini jurus yang aneh!" pikir Badai Kelabu.
"Hampir saja dadaku jebol terkena pukulan itu kalau tak segera
kuikuti gerakan dorongnya. T ak kusangka
pukulan itu memantul ke arahku, sehingga aku hanya bisa menahan napas untuk
bertahan menerima hembusan hawa panasnya itu. Kalau tidak kutahan napasku,
habislah aku dibakar gelombang hawa panas yang
memantul itu! Agaknya aku harus berhati-hati melawan orang satu ini!"
Pendekar Mabuk 09 Pusaka Tombak Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bangun kau, Perempuan Dungu!" sentak Pangeran
Berdarah. "Hadapilah aku jika kau memang berilmu tinggi!
Rasa-rasanya kau memang tak sebanding melawan Cempaka Ungu! Akulah lawanmu!"
Badai Kelabu cepat sentakkan kakinya dalam posisi bersimpuh, dan tiba-tiba tubuh
itu telah melayang dengan ringannya, pedangnya segera ditebaskan ke arah kepala
Pengeran Berdarah. Wueesss...! Pangeran Berdarah hanya menghindar ke samping dan membiarkan pedang itu menebas tempat kosong. T etapi kejap berikutnya, Pangeran
Berdarah cepat hantamkan pukulannya ke arah gugusan batu. Wuttt...! Begitu Badai
Kelabu pijakkan kakinya ke tanah, ia telah mendapat serangan pukulan tenaga
dalam yang memantul dari batu itu. Wuugggh...!
Beggh...! "Ehhg...!"
Badai Kelabu tersentak karena punggungnya terkena pukulan pantul tersebut. T ubuhnya melengkung kedepan dengan
kepala terdongak, mulut ternganga melepaskan pekik tertahan.
Pada saat itu, Pangeran Berdarah cepat sentakkan kakinya ke depan dengan
kekuatan penuh untuk menendang perut Badai Kelabu. Kemungkinan perut itu akan jebol karena Pangeran
Berdarah menggunakan
jurus tendangan 'T urangga Sakti'.
Sayangnya, sebelum kaki itu menyentuh kulit tubuh Badai Kelabu, sebuah pukulan
jarak jauh dilepaskan oleh seseorang dan menghantam mata kaki Pangeran Berdarah.
Duuggh...! "Auh...!" Pangeran Berdarah terpekik.
Kerasnya pukulan jarak jauh yang menghantam mata kaki itu membuat
kaki tersebut tersentak hingga
memutar tiga kali dengan cepat. Kemudian Pangeran Berdarah jatuh dalam keadaan
pusing karena berputar cepat tiga kali, dan ia sedikit menyeringai karena
merasakan mata kakinya bagaikan mau pecah.
"Hiaaat...!" terdengar pekik tiga orang yang segera melompat diri turun dari
perahu merahnya. Mereka adalah Penghulu Petir, si Latah Lidah dan Jalak Putih.
Mereka sama-sama hendak menyerang dua orang yang salah satunya tadi mengirimkan
pukulan jarak jauh dan mengenai mata kaki Pangeran Berdarah. T etapi, gerakan
ketiga orang yang memihak Sanjaya itu segera terhenti karena seruan dari Cempaka
Ungu. "T ahan...!"
Hanya satu seruan, mereka bertiga sepakat hentikan langkah. T api mata mereka
masih tajam memandangi wajah Pendekar Mabuk dan Dewa Racun. Orang yang
mengirimkan pukulan jarak jauh tadi adalah Suto
Sinting, yang dengan tenangnya berjalan mendekati mereka sambil menyempatkan
diri menenggak tuaknya beberapa teguk.
Pangeran Berdarah masih bisa bangkit walau sedikit pincang, ia mendekati Suto
dan membentak, "Siapa kau"!"
"Siapa..."!" bentak si Latah Lidah mengikuti suara keras yang membuatnya latah
ikut membentak.
"Cempaka Ungu tentunya bisa menjelaskan siapa diriku dan siapa temanku ini,"
kata Suto dengan kalem,
sambil ia menepuk-nepuk pundak Dewa Racun, tapi
tepukannya dikibaskan oleh Dewa Racun, ia tak suka ditepuk pundaknya.
"Jawab saja pertanyaanku!"
bentak Pangeran Berdarah. , "Ya. Jawab...!" si Latah Lidah membentak pula.
"Jangan kau memancing persoalan denganku, tahu"!"
"T ahu!" jawab si Latah Lidah. Pangeran Berdarah cepat pandangkan mata padanya,
si Latah Lidah cepat menutup mulutnya dengan rasa malu dan bersalah.
Cempaka Ungu menggenggam lukanya dan mendekati mereka, ia segera berkata kepada Pangeran Berdarah,
"T ahan amarahmu, Sanjaya! Mereka berdua bukan musuhku!"
"T api dia melumpuhkan tendanganku! Dia harus kubalas!"
"Harus!" bentak si Latah Lidah, sepertinya tak boleh mendengar suara keras yang
menyentak, karena dia akan menirukan ucapan itu walau tak mengerti maksudnya.
"Balaslah pada perempuan busuk itu!" geram Cempaka Ungu sambil menuding Badai Kelabu yang
berusaha bangkit dari jatuhnya.
"Cempaka,"
kata Pendekar Mabuk sambil memperhatikan luka di pundak perempuan itu, "Kenapa pundakmu"! Kau terluka" Oleh
siapa, Cempaka"!"
"Badai Kelabu ingin membunuhku, Suto!" Cempaka mengadu.
Suto mau meraih pundak yang terluka itu, tapi
Pangeran Berdarah cepat membentak, "Jangan sentuh dia!"
"Jangan! Jangan sentuh dia! Aku saja! Eh... anu...
anu...!" si Latah Lidah kebingungan sendiri setelah menyadari
ucapannya, ia menutup mulut dengan tangannya, sementara Penghulu Petir segera menyeretnya, menjauhi mereka ke suatu tempat di
bawah pohon teduh.
* * * 6 PERSOALAN itu ditengahi oleh Ratu Pekat. Pada
dasarnya, Cempaka Ungu tak mengizinkan Pendekar
Mabuk meninggalkan Pulau Beliung, seba b takut jika sewaktu-waktu datang serbuan
dari Siluman T ujuh Nyawa. Walau sebenarnya Ratu Pekat tahu, bahwa
putrinya itu cemburu jika Pendekar Mabuk pergi
bersama Badai Kelabu, tapi ia berlagak tidak tahu menahu maksud hati Cempaka
Ungu yang sebenarnya.
Badai Kelabu sendiri merasa perlu mempertahankan rencananya, yaitu membawa Suto
Sinting ke Pulau
Hitam untuk menyembuhkan gurunya. T api ia harus menyingkirkan Cempaka Ungu
lebih dulu, karena
Cempaka Ungu dianggap ingin menggagalkan rencana tersebut, yang berarti ingin
membiarkan guru Badai Kelabu mati karena racun berbahaya dari Pusaka
Tombak Maut. Pendekar Mabuk terpaksa mengobati luka di pundak Cempaka Ungu dengan meminumkan
air tuaknya. Ratu Pekat tak begitu cemas dengan luka itu. Ia bahkan segera
alihkan pembicaraan kepada Pangeran Berdarah yang datang bersama tiga orang
temannya itu. Ratu Pekat belum mengenal ketiga teman Pangeran Berdarah,
sehingga hal itu perlu dipertanyakan.
"Apa maksudmu datang kemari dengan membawa
tiga orang itu, Sanjaya" Aku belum mengenal siapa mereka!"
"Ibu Ratu," kata Pangeran Berdarah dengan sopan,
"Saya mohon Ibu Ratu tidak menaruh curiga kepada tiga teman saya itu, mereka
adalah Jalak Putih, si Latah Lidah dan Penghulu Petir. Mereka yang akan membantu
saya dalam mengejar larinya T apak Baja. Pusaka milik Gur u saya telah dicuri
oleh Tapak Baja dan...."
"Aku sudah mendengar," sahut Ratu Pekat. "Pusaka Tombak Maut milik gurumu; Ki
Jangkar Langit, telah berada di tangan T apak Baja, si Nakhoda Kapal Neraka
itu." Pendekar Mabuk dan Dewa Racun diam saja. T api
Dewa Racun manggut-manggut dan baru tahu bahwa
Pangeran Berdarah adalah murid dari Ki Jangkar Langit, pemilik Pusaka T ombak
Maut itu. Pendekar Mabuk pun baru tahu hal itu, tapi ia sepertinya tidak begitu
peduli siapa Pangeran Berdarah, ia meneguk tuaknya sambil mengikuti percakapan
tersebut. Pangeran Berdarah berkata kepada Ratu Pekat, "Saya datang kemari di samping
untuk menengok keadaan
Cempaka Ungu dan Ibu Ratu, juga mencari tahu ke
mana jejak kepergian si T apak Baja itu. Sebab Guru tidak akan bisa tenang dalam
menghabiskan sisa
hidupnya jika Pusaka Tombak Maut itu belum kembali ke
tangan beliau. Saya tidak diizinkan pulang menghadap beliau, jika T ombak Maut belum berhasil ditemukan. Jadi saya harus
mencarinya ke segala
penjuru dengan bantuan tiga teman saya yang pernah saya tolong dalam menghadapi
beberapa persoalan
pribadinya itu, Ibu Ratu."
"Watak seorang murid yang baik," kata Ratu Pekat.
"Ki Jangkar Langit pasti suka mempunyai murid seperti kamu, Sanjaya. T api
ketahuilah, jangan sekali-kali kau mencoba berhadapan dengan murid si Gila T
uak...." "Maaf, Ibu Ratu," potong Sanjaya dengan rasa penasaran. "Apakah di sini ada
orang yang mengaku murid si Gila T uak" Seingat saya, Ki Jangkar Langit tidak
pernah mengatakan bahwa Gila T uak mempunyai murid. Jangan sampai Ibu Ratu
terkecoh oleh pengakuan palsu."
"Pemuda yang sejak tadi minum tuak itulah murid si Gila
T uak!" jawab Ratu Pekat. Kemudian, mata
Pangeran Berdarah menatap Pendekar Mabuk dengan
sorot pandangan sinis dan meremehkan.
Suto duduk berseberangan dengan Pangeran Berdarah. Pendekar Mabuk selalu duduk bersimpuh, tak mau duduk bersila. Dengan
begitu tubuhnya selalu kelihatan tegap dan sikapnya senantiasa siap siaga.
"Benarkah kau murid si Gila T uak, teman dari guruku
itu?" tanya Pangeran Berdarah kepada Pendekar Mabuk.
"Benar," jawab Pendekar Mabuk pendek. T api matanya tetap memandang lurus ke
arah mata Pangeran Berdarah yang tampak tidak percaya dengan pengakuan tersebut.
Diam-diam pangeran berhidung bangir itu melepaskan kekuatan tenaga dalamnya melalui gerakan jari telunjuknya. Jari
telunjuk itu bergerak maju, mendorong tubuh Pendekar Mabuk dari jarak jauh. Tapi
Pendekar Mabuk hanya sunggingkan senyum tenang
sambil matanya tetap memandang Pangeran Berdarah.
Pangeran Berdarah yang duduknya bersila di lantai marmer yang licin itu tanpa
sadar telah bergeser mundur pelan-pelan. Makin lama semakin mundur, semakin
menjauhi tempatnya semula, dan begitu sadar ia sudah ada di tepian serambi
istana. Sementara itu Pendekar Mabuk tetap duduk bersimpuh di tempatnya.
Pangeran Berdarah bergegas maju lagi dengan sikap malu sekali, karena setiap
mata memperhatikan gerakan mundurnya yang bagai didorong oleh suatu tenaga dari
jarak jauh. Niatnya ingin menumbangkan Pendekar Mabuk, tapi
kenyataannya bahkan dirinya sendiri yang terdorong sampai jauh.
Ratu Pekat tersenyum tipis ketika Pangeran Berdarah duduk bersila lagi di
depannya. "Masih ingin mencoba kekuatan ilmu Pendekar Mabuk itu?"
"Hmmm... anu... tidak, Ibu Ratu!" jawab Pangeran Berdarah dengan rasa malu yang
sukar ditutupi lagi.
Dalam hati Pangeran Berdarah berkata, "Mungkin dia memang murid si Gila T uak.
Kekuatan sikap duduknya justru membuat tubuhku sendiri yang terdorong. Gila!
Pandangan matanya begitu tajam walau tampak lembut, tapi menembus sampai ke
dalam hatiku, membuatku
menjadi gentar menghadapinya. Hmmm... untung tadi di pantai aku tak jadi
melabraknya. Dan pantaslah kalau pukulan jarak jauhnya membuat tubuhku tersentak
berputar tiga kali!"
Setelah Pangeran Berdarah mendengar cerita tentang peristiwa yang membuat istana
bermandikan darah, ia pun
segera mengambil kesimpulan yang diajukan
sebagai usul kepada Ratu Pekat, yang dianggap calon mertuanya itu,
"Jika benar ada dugaan bah wa anak buah Siluman T ujuh Nyawa akan datang
menyerang dan merebut pulau ini dari kekuasaan Ibu Ratu, maka sebaiknya saya dan
tiga teman saya itu akan tinggal di sini beberapa waktu.
Biarlah Pendekar Mabuk pergi menyembuhkan gurunya Badai Kelabu. Se belum dia
kembali, kami masih tetap di sini, sambil menunggu siapa tahu T apak Baja yang
datang ke pulau ini dan ditugaskan menghancurkan pulau ini. Sayalah yang akan
menghadapinya, Ibu Ratu!"
"Bagaimana menurutmu, Pendekar Mabuk?" tanya Ratu Pekat.
"Itu gagasan yang bagus," jawab Pendekar Mabuk.
"Boleh saya bicara, Nyai Ratu?" kata Mata Elang tiba-tiba. Nyai Ratu anggukkan
kepala dan berkata,
"Bicaralah!"
"Bukankah menurut pendapat Nyai Ratu sendiri, T apak Baja adalah orang yang
kuat, bengis dan kejam?"
"Memang benar."
"Apakah kita cukup mampu menghadapi dia, jika sewaktu-waktu dia datang tanpa ada
Pendekar Mabuk di sini?"
"Kenapa tidak?" sahut Pangeran Berdarah. "Saya sudah
mendapat
Pendekar Mabuk 09 Pusaka Tombak Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jurus untuk menghadapi Pusaka Tombak Maut, Ibu Ratu. Sebelum saya ditugaskan
mencari Pusaka Tombak Maut dan merebutnya dari
tangan T apak Baja, Guru telah lebih dulu mengajarkan bagaimana cara menghadapi
orang bersenjata Pusaka Tombak Maut itu. Jika pusaka tersebut sudah bisa saya
rebut, saya pun bisa menggunakannya untuk melenyapkan T apak Baja, Ibu Ratu!"
"Bagus! Kurasa kita tak perlu cemas lagi, Mata Elang!" kata Ratu Pekat kepada
pengawal pribadinya itu.
Penghulu Petir, yang sejak tadi duduk di belakang agak samping dari Badai
Kelabu, segera menyumbang kata,
"T apak Baja memang keji dan ganas. Kabar terakhir yang saya terima, bahwa dari
sejumlah dua puluh tujuh orang anak buahnya dalam Kapal Neraka itu, sekarang
tinggal satu orang, yaitu yang bernama Hantu Laut. Dua puluh enam anak buahnya
itu kebanyakan mati di tangan T apak Baja sendiri. T etapi dengan adanya
Pangeran Berdarah dan kami bertiga di sini, Ratu tidak perlu cemas lagi. Kami
mampu menghadapi T apak Baja dan Hantu Laut. Kami sudah perhitungkan kekuatan
mereka, dan kami sudah atur satu rencana perlawanan sendiri!"
Semua mata tertuju pada orang berusia lima puluh tahun yang berambut abu-abu
itu. Rambutnya pendek, tubuhnya kurus, matanya sedikit sipit, ia mengenakan
jubah panjang warna ungu tua yang sudah kumal, tanpa mengenakan baju dalam, tapi
memakai celana abu-abu dengan ikat pinggang kain putih. Jubahnya itu tak pernah
ditutup, sehingga tulang iganya tampak bertonjolan, ia bersenjata sabit yang panjang gagangnya tiga jengkal. Tapi
melihat penampilannya yang kalem, ia berkesan orang berilmu tinggi. Kesannya itu
seakan merupakan jaminan tersendiri bagi kekuatan baru yang akan membentengi
Pulau Beliung. "Nyai Ratu," kata Suto. "Saya rasa sekarang sudah jelas, di sini ada kekuatan-
kekuatan baru yang siap menghadapi kedatangan orang-orangnya Siluman T ujuh
Nyawa. Rasa-rasanya kita tak perlu cemaskan lagi kekuatan di sini, dan saya akan
segera berangkat ke Pulau Hitam bersama Dewa Racun dan Badai Kelabu."
"Baik. Berangkatlah! Lalu, bagaimana dengan satu temanmu yang mirip Dadung Amuk
itu?" "Saya titip Singo Bodong sebentar. Biar dulu dia di sini, saya akan jemput dia
lagi setelah selesai sembuhkan sakitnya guru Badai Kelabu!" kata Suto. Setelah
acara pamitan itu selesai, Suto pun segera menemui Singo Bodong.
"Singo Bodong, kau kutinggal di sini se bentar.
Bantulah mereka sebisamu."
"Kau akan pergi ke mana, Pendekar Mabuk?"
"Ke Pulau Hitam, menyelamatkan seseorang yang terluka parah!"
"T api, kau nanti kembali ke sini menjemputku, Pendekar Mabuk!"
"Ya. Pasti aku kembali lagi ke sini menjemputmu."
Dewa Racun angkat bicara, "Dan... dan... dan lagi, perahunya tidak cukup untuk
muat empat orang jika badan besarmu itu ikut serta! Kam... Kam... Kam...."
"Kampret"!"
"Kamu!" sentak Dewa Racun, "Kamu kuruskan badan dulu di sini dengan kerja yang
giat, sup... sup., sup...."
"Supri"!"
"Bukan! Supri itu nama tetanggaku dulu! Maksudku, supaya! Supaya mudah belajar
ilmu silat jika tubuhmu telah kurus!" kata Dewa Racun.
Buat Singo Bodong, ia merasa lebih enak tinggal di pulau itu. T idak terlalu
ramai, dan sering melihat pertarungan hebat dari tokoh-tokoh dunia persilatan,
ia salah satu orang yang menjadi pengagum pendekar, tapi ia sendiri tidak pernah
memiliki ilmu kependekaran.
Hanya sedikit ilmu yang diberikan oleh Pendekar Mabuk secara tak disadari itu.
Ilmu tersebut berada di napasnya.
Napas Singo Bodong bisa membuat pot bunga dari tanah terjatuh jika terkena
hembusan napas lewat mulut.
Pernah ia mencobanya kepada seorang prajurit istana.
Prajurit itu hanya terdorong selangkah ke belakang, tapi untuk selanjutnya masih
bisa menyerang Singo Bodong.
Berarti kekuatan napas itu hanya bisa dipakai oleh Singo
Bodong sebagai sarana untuk menakut-nakuti lawan saja.
Se belum matahari tegak di atas kepala manusia,
perahu bermuatan tiga orang itu telah meninggalkan pantai Pulau Beliung. Perahu
berlayar tunggal itu cukup besar untuk ukuran tiga orang. Mempunyai ruang untuk
meneduh dan tidur pada bagian haluannya. Ruangan tersebut beratapkan rumbia
dengan tiga jendela, satu jendela menghadap ke arah haluan, pintunya menghadap
ke arah buritan. Perahu itu adalah milik Badai Kelabu yang dibawanya dari Pulau
Hitam. "Kami mempunyai satu perahu kecil lagi, muat untuk dua orang. Kurasa guruku
tidak keberatan untuk
memberikan perahu itu kepada kalian sebagai upah kesembuhannya," kata Badai
Kelabu yang berdiri di buritan bersama Suto. Dewa Racun a da di haluan,
mengendalikan lajunya perahu yang tertiup angin.
"Mengapa gurumu sampai berurusan dengan T apak Baja?" tanya Pendekar Mabuk.
"Sebenarnya kami tak punya persoalan dengan Siluman T ujuh Nyawa. Hanya karena
perahu kami berpapasan dengan Kapal Neraka itu, dan Gur u tidak mau mendekat saat dipanggil
oleh Tapak Baja, maka orang ganas itu menjadi marah, lalu menyerang kami."
"Waktu itu kau ada di perahu yang ditumpangi gurumu juga?"
"Ya. Kami tujuh orang, habis menyambangi seorang teman di Pulau Belacan. Aku
diperintahkan untuk kabur oleh Guru dengan cara terjun ke laut. T api sebenarnya
aku hanya menyelam di bawah perahu, bersembunyi di sana. Keenam temanku mati
karena amukan T apak Baja bersama tombak maut itu, dan Guru pun terluka berat."
"Bagaimana luka-luka yang diderita oleh gurumu itu, Badai Kelabu?"
"Sekujur tubuhnya melepuh, termasuk bagian wajah.
Setiap bagian melepuh yang pecah mengeluarkan bau busuk yang memusingkan kepala.
Padahal Guru hanya tergores sedikit oleh ujung tombak pusaka itu di bagian betis
kirinya, tapi racun yang ada di taring babi hutan itu amat ganas, dengan cepat
menyebar ke sekujur tubuh."
Dewa Rac un mendengar percakapan itu. Seba gai
orang yang ahli di bidang pengetahuan racun, ia pun segera menyahut,
"It... it... itu namanya Racun Gelembung Mayat!"
Kedua wajah di buritan segera berpaling memandang ke arah haluan perahu. Suto
segera berseru dari
tempatnya, "Racun Gelembung Mayat dapat bertahan berapa lama, Dewa Racun?"
"Paling lama hanya mampu bertahan dua puluh hari.
Lewat dari dua puluh hari dia akan mati membusuk!"
"Apa yang diserang oleh Racun Gelembung Mayat?"
"Pembusukan di bagian gelembung darah orang itu!"
Badai Kelabu berbisik kepada Suto, "Dia sangat mengerti tentang racun itu.
Jangan-jangan dialah yang menciptakan Pusaka Tombak Maut
itu, Pendekar Mabuk?" Pendekar Mabuk tampilkan senyum ramah. "T idak.
Dia hanya tahu tentang segala jenis racun, tapi kadang dia tidak tahu bagaimana
cara mengatasi keganasan racun tersebut. T idak semua racun bisa dimengerti cara
menanggulanginya!"
"T api, kau tahu cara menanggulangi semua jenis racun berbahaya, Pendekar
Mabuk?" "Hmmm... mungkin tidak semua racun kuketahui juga cara penanggulangannya. Tapi,
mungkin juga aku bisa menawarkan semua jenis racun dari yang berbahaya dan yang
tidak berbahaya."
"Kenapa masih bersifat mungkin" Kenapa kau tidak tahu dengan pasti, Suto?"
"Karena aku belum pernah mencoba menawarkan semua jenis racun!" jawab Pendekar
Mabuk dengan bersikap jujur, namun menyembunyikan kepandaiannya.
Kepandaian yang ada pada Pendekar Mabuk, serta
tingginya ilmu Suto, telah membuat Badai Kelabu
menjadi sering berpikir tentang diri Suto.
Namun Badai Kelabu menganggap Pendekar Mabuk
lelaki yang dingin terhadap perempuan. T erbukti,
semalam ia tidur di dalam kamar beratap rumbia itu, tapi tak sedikit pun
tubuhnya terasa disentuh oleh Pendekar Mabuk
Suto ada di haluan bersama Dewa Racun. Bahkan
sesekali Suto yang mengendalikan lajunya perahu
sementara Dewa Racun tidur dalam keadaan berdiri. Si Kerdil berpakaian putih
bulu itu sudah terbiasa tidur dalam keadaan berdiri dan bersidekap tangan di
dada. Busur dan anak panahnya tetap tersandang di punggung
tanpa menjadi gangguan sedikit pun baginya.
Ketika pagi mulai menyingsing, lalu matahari makin menyebarkan sinar panasnya,
Badai Kelabu terkejut melihat arah perahu tersebut, ia segera berseru kepada
Pendekar Mabuk yang menjadi pengemudinya.
"Suto, kita salah arah!"
"Salah arah"!" Suto kerutkan dahi.
"Pulau Hitam ada di sebelah kanan perahu kita ini!
Cepat putar haluan!"
Dewa Rac un terbangun dari tidurnya, ia mengerjap-ngerjapkan mata, memandang
sekeliling dan ikut berkata, "O, betul kata Badai Kelabu. Kita salah ar... ar...
arah!" "Kupikir pulau di seberang sana yang jadi sasarannya!" kata Pendekar Mabuk sambil tertawa, lalu ia biarkan Badai Kelabu
mengambil alih haluan dan membetulkan letak arah perahu. Dewa Racun pun
akhirnya menertawakannya.
"Istirahatlah, Suto. Biar kukemudikan perahu ini!"
kata Badai Kelabu, ia tahu Pendekar Mabuk cukup letih karena semalaman tak
tidur. "Aku masih kuat melek!"
"Jangan. Nanti kau sakit, Suto," kata Badai Kelabu dengan lembut, seakan penuh
perhatian dan kasih sayang pada Pendekar Mabuk.
Pulau Hitam masih separo hari lagi perjalanan.
Pendekar Mabuk belum lama tertidur, terpaksa harus dibangunkan
oleh Dewa Racun. Cara membangunkannya pun tak berani langsung disentuh tubuhnya, melainkan dengan
dilempar selembar kecil kain pembersih. Kain itu langsung ditangkap cepat oleh
tangan Suto. Tapp...!
"Ada apa?" tanya Pendekar Mabuk setelah tahu dirinya dibangunkan Dewa Racun.
Orang kerdil itu segera berkata,
"Kita melewati sebuah pulau yang berasap!"
"Kenapa berasap?" Pendekar Mabuk segera keluar dari kamar beratap pendek.
"Lihatlah sendiri!"
Begitu Pendekar Mabuk keluar dari kamar beratap
pendek itu, Badai Kelabu segera berseru dari haluan,
"Ada kebakaran di pulau itu!"
"Pasang indera pendengaranmu, Dewa Racun. Percakapan apa yang terjadi di sana" Firasatku mengatakan, itu asap api yang buruk!"
Dewa Rac un pun segera menempelkan kedua jari
telunjuknya ke pelipis, matanya memandang pada pulau bertebing landai. Hutan-
hutannya tak begitu lebat. Suatu kegiatan dari sebuah kehidupan ada di balik
tebing landai itu.
"Suto, ak... aku... aku mendengar suara orang me...
meratap! Seperti orang kesakitan!"
"Adakah yang perlu ditolong?"
"Hmmm... iy... iya! Ada orang ber... ber... berseru melepas kemarahannya. T
ap... tapi tak jelas ucapannya."
"Badai Kelabu, arahkan perahu ke pulau itu!"
perintah Pendekar Mabuk. "Aku penasaran, ingin tahu
apa yang terjadi di pulau itu!"
"Baik, Suto!" Badai Kelabu pun mengarahkan perahunya untuk mendekati pulau yang mengepulkan asap hitam.
* * * 7 PULAU itu bernama Pulau Kidung. Penguasanya
seorang resi berusia sekitar tujuh puluh tahun lebih, ia membangun sebuah
padepokan, yang makin lama
berkembang menjadi desa kecil. Padepokan itu diberinya nama Padepokan Kidung
Kencana. Di sana, Resi Kidung Sentanu mewejang murid-
muridnya tentang makna hidup dan kehidupan. Ilmu-ilmu kanuragan yang diajarkan
kepada para muridnya lebih bersifat kebatinan dan tenaga dalam tanpa jurus-jurus
kembangan yang indah seperti layaknya ilmu silat yang dianut oleh para tokoh
rimba persilatan.
Murid Resi Kidung Sentanu bukan hanya kaum
lelaki, namun banyak juga kaum wanitanya. Dan mereka saling menikah, saling
berumah tangga, lalu membentuk kelompok masyarakat desa yang mata pencahariannya
dari bercocok tanam palawija, sebagian juga ada yang mencari ikan. T etapi pada
saat itu perahu yang
ditumpangi Suto melewati bagian belakang pulau,
sehingga beberapa perahu nelayan tak terlihat bertambat di sana.
Perkampungan kecil itu kini terbakar. T entunya ada pihak yang sengaja
membakarnya. Karena sebelum
terjadi kebakaran besar, terlebih dulu mayat-mayat bergelimpangan di sana-sini.
Pada umumnya mayat-mayat itu mati dalam keadaan hangus atau membiru legam. Jelas
penyebabnya sebuah racun berbahaya, atau pukulan tenaga dalam yang amat tinggi
kekuatannya hingga menghanguskan tubuh manusia.
Rupanya Pulau
Pendekar Mabuk 09 Pusaka Tombak Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kidung itu sedang diporak- porandakan oleh dua orang beraliran sesat. Kini tinggal tiga orang yang masih
hidup sebagai penduduk asli Pulau Kidung itu. Dua di antaranya sedang berdiri
menghadapi seorang berkepala gundul, berbadan besar, gemuk, tak pernah memakai
baju. Orang sesat berkepala gundul itu mengenakan celana biru tua dengan ikat
pinggang kain merah. Matanya besar, hidungnya bulat, perutnya gendut, kulitnya
berwarna hitam walau bukan termasuk hitam keling. Orang itu tidak mempunyai
alis, kalau toh ada hanya tipis sekali, sehingga wajah bundar dengan pipi
bengkak itu mirip sekali dengan wajah setan. Itu sebabnya ia mengaku dirinya
berjuluk Hantu Laut.
Jauh di belakang Hantu Laut, kira-kira dalam jarak lima
belas langkah, berdiri
seorang lelaki kurus,
jangkung dan agak bungkuk. Hidungnya panjang,
wajahnya lonjong, mempunyai mata sipit tapi tajam.
Rambut hitamnya bercampur uban sepanjang pundak
dan diikat memakai kain merah. Orang jangkung yang kurus itu mengenakan
baju dan celana abu-abu, dirangkap jubah warna hitam pekat dengan sulaman benang putih bergambar
tengkorak dan tujuh mata rantai di
belakang jubahnya. Gambar itu menunjukkan lambang sekutunya Siluman T ujuh Nyawa. Dan memang orang berwajah bengis itu adalah satu dari kelima algojonya Siluman T
ujuh Nyawa, yang menjadi Nakhoda Kapal Neraka dengan nama julukannya: T apak
Baja. Dalam usia enam puluh tahun lebih itu, Tapak Baja masih bisa memandang
dengan awas, gerakan
matanya cukup lincah, sehingga ia tahu ada satu orang yang sudah terluka, namun
masih bisa bangkit dan hendak menyerangnya dari samping kiri. Seketika itu
tangannya menyentak dan sebuah pukulan bercahaya biru melesat menghantam dada
orang itu hingga jebol.
Berhamburanlah isi dada orang malang itu.
"Hantu Laut," serunya. "Habisi mereka! T inggal beberapa gelintir saja! Aku mau
istirahat dulu!"
"Siapa yang sekarat"!" sahut
Hantu Laut yang memang agak tuli sejak kedua telinganya pernah
dihantam oleh Tapak Baja pada saat orang keji itu marah di atas kapalnya dulu.
"Aku mau istirahat!" bentak T apak Baja sambil tetap memegangi sebuah tombak
bergagang hitam. Itulah
Pusaka T ombak Maut
yang sedang diributkan di
kalangan para tokoh persilatan.
"O, Nakhoda mau istirahat dulu" Silakan! Biar aku yang merampungkan sisa tikus-
tikus kecil ini, ha ha ha ha...!" Hantu Laut serukan tawanya yang menggelak-
gelak sambil melangkah maju mendekati dua orang
berusia antara dua puluh tujuh tahun dan yang satu berusia antara tiga puluh
tahun. Yang berusia tiga puluh tahun telah memegang golok bengkok ujungnya, ia
berpakaian serba biru tua dengan ikat pinggang putih, rambutnya yang sebatas
pundak juga diikat dengan kain putih. T inggi tubuhnya sedang, badannya agak
gemuk dibanding temannya. Orang itu adalah T ambak Lanang, murid kinasih Resi
Kidung Sentanu.
Satu lagi murid kinasih dari Resi Kidung Sentanu adalah Jalu Jantan, yang kala
itu berpakaian serba merah, bertubuh tinggi, kurus dan bersenjata sebatang toya.
Tongkat toyanya itu berwarna coklat tua, seperti terbuat dari kayu sawo. Ia
masih berdiri menunggu lawannya mendekat, walau napasnya telah ngos-ngosan
karena sejak tadi sudah berjumpalitan menghindari serangan lawan yang sulit
ditumbangkan itu.
Orang gundul yang menjadi lawannya mendekat
dengan santai, seperti anak kecil, ia memainkan yoyo bertali panjang, ia cengar-
cengir memandangi kedua lawannya di kanan-kiri, sementara itu, T ambak Lanang
berkata kepada Jalu Jantan,
"Hati-hati dengan mainannya itu! Jangan sampai tertipu lagi!"
Hantu Laut makin mendekat, Jalu Jantan, dan
T ambak Lanang bergerak mengepung di kanan kiri.
Toya di tangan Jalu Jantan sudah siap dimainkan dalam satu kibasan atau sentakan
keras nantinya. T ambak Lanang pun memainkan pedang bengkoknya di atas
kepala, siap dibacokkan sewaktu-waktu.
"He he he he... tinggal kalian yang hidup di pulau ini!
Se bentar lagi, guru kalian, Kidung Sentanu itu, akan keluar dari tempat
pertapaannya! Pasti dia akan terkejut melihat pulau ini telah kosong. Dan pasti
dia lebih terkejut lagi jika raganya cepat menjadi kosong karena ditinggalkan
oleh nyawanya. He he he...!"
"Jangan mimpi bisa mengalahkan Tambak Lanang dan Jalu Jantan! Badan kebomu itu
bisa hancur kucacak-cacak dengan golokku, tahu"!" bentak Tambak Lanang.
"Minggatlah ke neraka, Setan Gundul! Hiaaat...!" Jalu Jantan sentakkan kaki,
tubuh pun melesat menyerang Hantu Laut yang memunggunginya. Toya di tangan
diarahkan ke depan, dalam satu kali sentakan ujungnya terbuka dan mengeluarkan
mata pisau tajam. Arah mata pisau itu tertuju ke tengkuk kepala Hantu Laut.
T etapi dengan cepat Hantu Laut membalikkan badan.
Kakinya menendang ke atas, wuttt...! Trakk...! Toya itu patah seketika. T api
kaki Jalu Jantan segera menyusul sebagai ganti toyanya.
Beggh...! Dada manusia berkepala gundul itu terkena telak tendangan kaki kanan
Jalu Jantan. T api justru yang menendang yang terpental ke belakang, sedangkan
yang ditendang hanya terkekeh-kekeh geli sambil
tetap berdiri. Serta-merta Hantu Laut melemparkan yoyonya ke
arah Jalu Jantan yang masih kehilangan keseimbangan badan itu. Wuttt...!
Crak...! Yoyo itu mengeluarkan gerigi tajam pada bagian tepiannya. Gerigi itu
memutar cepat dan merobek leher Jalu Jantan. Brett....!
Kaki Tiga Menjangan 11 Tamu Aneh Bingkisan Unik Karya Qing Hong Maling Romantis 1
Sa bawana yang masih berusia dua puluh dua tahun itu menjawab,
"Namaku Saba wana, murid dari Eyang Purbapati."
"O, kakak muridnya Purbapati?"
"Benar, Dik. Siapa namamu dan apakah kau kenal dengan Eyang Purbapati?"
"Sangat kenal Kak. Eyang Purbapati juga pasti kenal denganku jika kau sebutkan
nama Wijayasura."
"O, namamu Wijayasura?"
"Benar, Kak."
"Apakah kau bisa membantuku keluar dari dasar bumi ini?"
Bocah kecil yang masih suka menyedot ingusnya itu
menjawab sambil tertawa.
"Kakak saja yang sudah besar tidak bisa keluar dari penjara bumi, apalagi aku
yang masih kecil. Hi hi hi...!"
Sa bawana menahan napas, agak dongkol juga mendengar jawaban yang merupakan satu harapan
namun ternyata harapan kosong yang diperolehnya. Tapi bocah itu segera berkata
lagi, "T api kalau kakak mau menunggu tumbuhnya sebuah pohon bambu hingga bambu itu
menjadi besar dan
daunnya mengering, kakak akan bisa menemukan jalan keluar dari tempat ini.
Ambillah bambu itu dan pakailah sebagai tempat tuak. Karena aku tahu kakak suka
minum tuak. T ebanglah bambu besi itu dengan pedangmu, setelah itu jangan lagi
kakak gunakan pedang itu. Jelas?"
"Jelas, Dik."
"Sampaikan salamku pada Eyang Purbapati-mu itu!"
Wijayasura mau pergi, tapi Saba wana cepat bertanya,
"Dik, di mana tempat tinggalmu sebenarnya?"
"Aku ada di pohon bambu itu!" setelah menjawab begitu, bocah telanjang yang
tidak mempunyai pusar itu hilang
lenyap dari pandangan mata semadinya Sa bawana. Dan seketika itu Saba wana tersentak kaget dari tapanya.
Lebih terkejut lagi ketika pandangan matanya menemukan sebuah pohon bambu yang masih kecil, tak jauh dari tempatnya bertapa.
Pohon bambu itu aneh.
Daunnya hanya tiga lembar, warnanya hijau kehitam-hitaman.
Ketika Sabawana mendekat dan ingin memegangnya tiba-tiba tubuhnya terpental mundur,
terlempar jauh antara sepuluh kaki dari tempat tumbuhnya pohon bambu muda itu.
"Bocah yang mengaku Wijayasura itu mengatakan bahwa dirinya tinggal di pohon
bambu tersebut. Apakah dia menjelma menjadi pohon bambu, atau sebagai
penjaga pohon bambu?" pikir Sabawana sambil mengusap-usap pinggangnya yang terasa hampir patah gara-gara terlempar jauh
tadi. Sa bawana terpaksa menunggu tumbuhnya pohon
bambu tersebut sambil melatih beberapa jurus silatnya.
Satu keanehan lagi yang terjadi pada pohon bambu itu terletak pada
pertumbuhannya. Pohon tersebut tumbuh dengan pesat. Ganti hari ganti
pertumbuhan. Satu hari bertambah panjang satu jengkal. T etapi warna daunnya
tetap hijau kehitam-hitaman dan hanya tiga lembar.
Pohon itu tumbuh dengan lurus dan membeng-kak.
Ketika pohon tersebut sudah mencapai ketinggian
seukuran tinggi tubuh Saba wana, tiba-tiba daunnya mengering, tapi belum
berjatuhan. Pada saat
itu, Sa bawana mendengar suara gaib yang berjenis suara anak-anak. Suara itu adalah
suara Wijayasura.
"Saba wana, jika tiga daun itu telah jatuh dengan sendirinya, tebanglah bagian
ujungnya tepat pada ruas pertama, lalu tebang pula tepat pada ruas kedua.
Setelah itu, pergilah ke arah mana saja sesukamu, kau akan menemukan jalan
keluar. Dan karena
aku sudah memberikan jalan keluar padamu, kau harus menyerahkan semua ilmumu kepadaku, karena kau
meminjamnya dariku...."
Sa bawana kurang jelas dengan kalimat terakhir" T api ia lebih mementingkan
kalimat-kalimat pertama. Pohon bambu harus ditebang bagian pucuk pada ruas
pertama, lalu ruas kedua. Padahal pohon bambu yang tumbuh membengkak itu hanya
mempunyai tiga ruas. Ruas
ketiga adalah bagian pangkal dekat dengan tanah. Ruas ketiga itu jaraknya sangat
dekat dengan ruas kedua, kurang dari empat jari. Ruas kedua dengan ruas pertama
jaraknya cukup panjang. Saba wana mulai paham, bahwa bocah tanpa pusar yang
mengaku bernama Wijayasura itu menghendaki agar Sabawana memanfaatkan bambu di
antara ruas pertama dengan ruas kedua sebagai bumbung tempat tuak.
Maka, Sabawana pun mulai menebang bambu berwarna coklat dengan sedikit semburat warna hitam pada bagian ruas keduanya.
Tentu saja hal itu ia lakukan setelah tiga lembar daun bambu jatuh ke tanah dan
lenyap tanpa bekas. Bambu itu tidak mempunyai
kekuatan yang melemparkan tubuh Saba wana ketika didekati. Karenanya, Saba wana
bisa menebang dengan bebas dan leluasa. Hanya anehnya, ketika pedangnya dipakai
menebang ruas kedua,
pedang itu patah
bersamaan terpotongnya bambu tersebut. T entu saja pedang itu tak bisa digunakan
lagi dan ditinggalkan oleh Sa bawana di dekat sisa potongan pohon bambu. Dan
anehnya lagi, sisa potongan pohon bambu itu menjadi lenyap setelah Saba wana
melangkah tiga tindak dari tempatnya
menebang tadi. Saba wana mencari-cari bekasnya, tapi tak ditemukan sama sekali. Yang ada
hanya sisa pedangnya yang bergagang menyerupai guci tuak berukuran kecil.
Apa yang dikatakan oleh suara gaib dari Wijayasura itu memang benar. Ke mana pun
arah yang dituju oleh Sa bawana, ia selalu menemukan tempat terang, sebagai
jalan keluar dari gua tersebut. Dan ketika ia muncul, ternyata ia berada di
lereng sebuah gunung. Gunung itu dikelilingi oleh lautan. Sabawana segera
menyimpulkan bahwa gunung itu berada di tengah lautan. Saba wana mengenal gunung
itu bernama Karak Kato, yang untuk kemudian hari banyak disebut-sebut
orang sebagai Gunung Krakatau.
Cepat-cepat Sabawana pulang ke pesanggrahan gurunya, dan ia menemui Eyang Purbapati,
lalu menceritakan pengalamannya. Saba wana baru sadar bahwa ia telah berada di
penjara bumi itu selama dua tahun, terhitung dari pamitnya Sabawana kepada sang
Gur u. Eyang Purbapati terperanjat mendengar cerita Sa bawana, kemudian guru Sa
bawana itu berkata,
"Mestinya kau tidak memanggil bocah kecil itu dengan sebutan Dik. Mestinya kau
memanggilnya : Eyang." "Mengapa begitu, Eyang Guru?"
"Karena bocah kecil itu adalah jelmaan dari wujud kecil guruku, yaitu Eyang
Wijayasura."
"Oh..."!" Sabawana kaget sekali mendengarnya dan merasa takut.
"Wijayasura
adalah nama asli guruku, ia menghabiskan sisa hidupnya dengan bertapa di dasar
laut di ba wah gunung Karak Kato. Eyang Wijayasura adalah manusia tanpa pusar,
dan semua ilmuku yang kuturunkan kepadamu adalah ilmu milik beliau. Maka,
pesanku kepadamu, Saba wana, jangan turunkan ilmumu kepada siapa pun, kecuali
kau menemukan orang atau bocah yang tidak mempunyai pusar. T urunkanlah ilmu itu
kepadanya, dan berikanlah bumbung tuak pusaka ini kepadanya, karena ilmu itu
sepertinya diminta kembali oleh Eyang Wijayasura melalui suara gaib terakhir
yang kau dengar itu...."
Begitulah asal mula bumbung tempat tuak tersebut, yang menurut Eyang Purbapati,
di bumbung itulah
sukma Wijayasura bersemayam. Dan Sabawana yang
kemudian dikenal dengan julukan Si Gila T uak menemukan bocah tanpa pusar dari keluarga Wiseso yang terbantai kecuali bocah
itu. Lalu, Saba wana atau Si Gila T uak mengangkatnya sebagai murid. Bocah itu
bernama Suto, dengan nama lengkap: Sutowijaya!
Bocah itulah yang kemudian tumbuh sebagai pemuda gagah perkasa dan tampan
wajahnya, gemar minum tuak sehingga, mendapat gelar Pendekar Mabuk dan akrab
dipanggil dengan nama Suto Sinting, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Bocah T anpa Pusar").
Apakah Sutowijaya adalah titisan dari Wijayasura"
Hanya Eyang Purbapati yang bisa menjelaskannya,
karena Si Gila T uak sendiri tidak bisa memastikannya.
Yang jelas, Wijayasura menemui ajalnya dengan cara
'muksa', atau lenyap tak berbekas, kecuali pakaiannya.
Suto tidak menceritakan pengalaman yang didengar
dari mulut si Gila T uak itu kepada siapa pun. Karena menurutnya,
hal itu tidak begitu penting untuk diceritakan kepada siapa pun, untuk menghilangkan kesan menyombongkan diri. Ia
hanya mengingat-ingat pesan
gurunya, bahwa lebih baik mengutamakan kepentingan orang banyak daripada mengutamakan
kepentingan diri sendiri.
Itulah sebabnya, Suto pun merasa punya kewajiban menolong guru Ba dai Kelabu
yang terancam mati karena terkena pukulan 'Pusaka Tombak Maut'. Hanya saja,
Badai Kelabu masih sedikit sangsi dengan kemampuan Suto. Terang-terangan ia
berkata, "Pusaka Tombak Maut adalah pusaka yang ganas dan berbahaya, apalagi di tangan
orang-orang angkara murka! Tak pernah ada lawan yang luput dari ancaman maut
Pusaka Tombak Maut, menurut cerita guruku. Jika kau ingin mengobati guruku,
apakah kau punya pusaka lain yang bisa menandingi racun dari Pusaka T ombak Maut
itu" Apakah kau juga mempunyai Batu Galih
Bumi, seperti yang dimiliki Nyai Ratu Pekat itu?"
"Aku tidak mempunyai Batu Galih Bumi," jawa b Pendekar Mabuk. "Tapi aku percaya
bahwa gurumu pasti doyan minum tuak!"
"Kau ini sinting amat" Orang sakit kau suruh minum tuak?"
"Kau pun tadinya terluka parah, dan menjadi sehat seperti pagi ini karena minum
tuakku!" "Aku hanya sakit biasa. Lukaku bukan karena luka terkena senjata Pusaka Tombak
Maut, sedangkan guruku
sakitnya karena terkena Pusaka T ombak Maut!"
"T idak ada pusaka yang tidak mempunyai kelemahan" Sama halnya tidak ada orang kuat yang tidak mempunyai kelemahan. Di
atasnya orang kuat, ada yang lebih kuat lagi. Di atasnya orang sakti, ada yang
lebih sakti lagi. Begitulah falsafah hidup yang mestinya kau sadari, Badai
Kelabu!" Perempuan itu memalingkan wajah, memandang Suto
Sinting dengan dahi berkerut, lalu ia ceploskan kata dengan suara pelan,
"Jadi kau merasa lebih sakti dari guruku?"
"Aku tidak berkata demikian," jawab Pendekar Mabuk sambil tersenyum bijaksana
dan menawan hati setiap perempuan, termasuk hati Badai Kelabu sendiri saat itu.
Badai Kelabu mengambil sebutir batu seukuran biji salak dan berkata, "Batu hitam
ini sangat keras. Guruku bisa meremas batu hitam ini dalam satu kali genggaman
dan hancur menjadi serbuk-serbuk hitam. Apakah kau bisa melakukan begitu?"
Sambil senyum-senyum Pendekar Mabuk mengambil
batu itu dari tangan Badai Kelabu, lalu ia berkata,
"Menggenggam batu begini...," Suto menggenggam batu itu,
Pendekar Mabuk 09 Pusaka Tombak Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dan membuatnya
menjadi hancur berbentuk serbuk-serbuk hitam adalah hal yang amat mudah. Tapi apakah gurumu bisa membuat
batu ini menjadi kembar dua dalam satu genggaman tangan?"
"Maksudmu, kembar dua bagaimana?"
"Seperti ini!" Suto membuka genggamannya. Mata
perempuan itu terkesiap melihat batu dalam genggaman Suto menjadi dua, sama
besar, sama warnanya dan sama bentuknya. Badai Kelabu dibuat melongo mulutnya
oleh 'permainan' Suto yang diperolehnya dari ilmu bibi gurunya, yaitu Bidadari
Jalang. Badai Kelabu tak mengerti bahwa Pendekar Mabuk mempunyai ilmu sihir dari
Bidadari Jalang yang dulu pernah dikenal dengan sebutan Ratu Sihir oleh
sekelompok golongan, terutama oleh para tokoh tua di daerah tanah Jawa Wetan.
Se belum habis rasa kagum Ba dai Kelabu, Suto
kembali berkata sambil menggenggam lagi dua batu kembar tersebut,"Meremas
batu agar menjadi hancur hanya dibutuhkan pemusatan tenaga dalam yang dibarengi tersalurnya hawa panas inti
dalam tubuh kita. Maka batu pun bisa hancur menjadi serbuk hitam seperti
ini...," Suto membuka genggamannya.
Badai Kelabu kerutkan dahi, karena di telapak tangan Pendekar Mabuk ia tidak
melihat serbuk hitam hasil dari remasan tangannya. Suto hanya tersenyum ketika
Badai Kelabu berkata,
"T ak ada serbuk hitam! Batu itu hilang dari
genggamanmu."
"Siapa bilang" Cobalah kau sentuh bagian atas telapak tanganku!"
Badai kelabu menyentuhnya dengan jari telunjuk.
Namun sebelum jari telunjuk itu menyentuh kulit telapak tangan Pendekar Mabuk,
telunjuk itu merasakan telah menyentuh segumpalan serbuk kasar yang tak terlihat
oleh mata. Bahkan Badai Kelabu bisa menjumput serbuk itu dan menabur-naburkan di
atas telapak tangan Suto, tapi matanya tak melihat sebutir serbuk pun.
Membatinlah hati Badai Kelabu, "Luar biasa kehebatan ilmunya. Serbuk ini bisa menjadi senjata untuk menaburi mata lawan,
toh lawan tidak melihat ada serbuk yang akan ditaburkan"! Rasa-rasanya Guru tak
mungkin bisa melakukan hal seperti ini! Rasa-rasanya ilmu Pendekar Mabuk lebih
tinggi daripada ilmunya Gur u. Ya, ya... sekarang aku percaya, dia pasti bisa
mengatasi luka-luka yang diderita Guru!"
Pendekar Mabuk segera ajukan tanya, "Apakah kau masih
sangsi dengan kesanggupanku untuk menyembuhkan sakit yang diderita gurumu?"
Badai Kelabu berkata, "Untuk satu hal ini, kuakui kau lebih unggul dari gur uku.
T api untuk penyembuhan, aku masih sangsi. Hanya saja, tak ada jeleknya jika aku
mencoba membawamu ke Pulau Hitam dan memberi
kesempatan padamu untuk menyembuhkan Guru. T etapi aku minta satu jaminan
darimu, Suto."
"Jaminan apa maksudmu, Badai Kelabu?"
"Jika Guru tak bisa sembuh, kau harus rela menyerahkan nyawamu ke tanganku. Kau harus mau
kubunuh!" Suto Sinting tertawa sambil mengambil bumbung
tuaknya. T awanya terhenti dan ia berkata, "Nyawaku tidak semurah itu!"
"Karena aku juga punya jaminan!" kata Badai Kelabu.
Suto meneguk tuaknya beberapa kali, kemudian baru bertanya,
"Jaminan apa?"
"Jika guruku bisa sembuh, kupasrahkan jiwa ragaku kepadamu!"
"Jika aku tidak mengobati gurumu, apakah kau yakin tak akan memasrahkan jiwa
ragamu kepadaku?"
Badai Kelabu diam tersekap malu. Wajahnya semburat merah dadu karena menahan malu. Pendekar Mabuk
menertawakannya
dengan mata tetap memandang kepada perempuan itu. Yang dipandang jadi salah tingkah. Matanya
menatap ke mana saja, sampai akhirnya ia kembali menatap Suto dan berkata,
"Baiklah. Kita tak perlu saling ada jaminan seperti itu! Akan kucoba membawamu
kepada Guru, walau
nantinya Guru akan murka padaku karena aku tak
mendapatkan Batu Galih Bumi!"
"Murka gurumu bisa kuredakan! T api kumohon jangan lagi kau berusaha merebut
ataupun mencuri Batu Galih Bumi, karena itu bukan hakmu, bukan pula hak gurumu.
Ratu Pekat yang berhak memiliki Batu Galih Bumi itu! Jika kau merebutnya,
berarti kau merusak persahabatanmu dengan Ratu Pekat, bahkan bisa jadi merusak
nyawamu sendiri. Sebab aku tahu, kau bukan tandingan Ratu Pekat, ilmumu masih
jauh di bawahnya."
"Kau bermaksud menghinaku?"
"T idak. Aku tidak bermaksud menghinamu atau merendahkan kamu. T api aku
bermaksud memacu
semangatmu agar terus menuntut ilmu setinggi mungkin,
supaya kau tidak direndahkan oleh orang lain!"
Badai Kelabu akhirnya hempaskan napas panjang,
lalu berkata, "Sulit sekali membantah kata-katamu. Sebaiknya memang kita segera bertolak dari
pulau ini menuju Pulau Hitam. Sebaiknya... sebaiknya aku memeriksa perahu dulu
sebelum berangkat!"
"Aku hanya akan membawa De wa Rac un. Mungkin dia bisa membantuku!"
T anpa diketahui oleh mereka, sepasang mata memperhatikan percakapan itu dan mencuri dengar
semuanya. Sepasang mata itu adalah milik Cempaka Ungu yang berwajah berang.
* * * 5 BARU saja menapakkan kakinya di pasir pantai,
Badai Kelabu sudah mendapat
serangan dari arah
belakang. Hembusan angin panas terasa melesat mendekati punggungnya. Badai Kelabu cepat sentakkan kaki dan melesat ke samping.
Wuttt...! Dan ia berada di atas sebuah batu dalam kejap berikutnya.
Beggh...! Pukulan tenaga dalam berhawa panas itu mengenai pasir pantai. Pasir
itu menyembur ke atas dan berhamburan tertiup angin lautan. Sebagian ada yang
memercik di kaki Badai Kelabu.
Sesosok bayangan melesat dari balik rimbunan pohon
pantai. Bayangan itu berwarna ungu. Dengan cepat Badai
Kelabu mengenali
bayangan tersebut. Pasti
Cempaka Ungu! Jlegg...!
Lompatan Cempaka Ungu terjadi dua kali. Satu kali ia melompat dan hinggap di
pasir pantai, satu kali lagi ia melompat dan hinggap di atas sebuah batu
berukuran tinggi satu tombak, sama dengan ukuran tinggi batu yang dipakai
berpijak Badai Kelabu.
"Kau lagi!" geram Badai Kelabu, ia berani menggeram jengkel karena sejak peristiwa pertarungannya dengan Ratu Pekat, Cempaka Ungu
sudah tidak lagi menampakkan sikap bersahabat dengannya. Cempaka Ungu sendiri merasa bermusuhan dengan
Badai Kelabu karena beberapa hal yang
menjengkelkan hatinya.
"Apa maksudmu menyerangku, Cempaka Ungu?"
"Mestinya kau sudah tahu, bahwa aku sudah tidak menyukaimu lagi!" jawab Cempaka
Ungu dengan sinis dan ketus.
"Aku tak merasa rugi tidak disukai orang macam kamu!" balas Badai Kelabu tak
kalah ketus dan sinisnya.
Keduanya saling berhadapan dalam jarak delapan
langkah. "Jika begitu, sebaiknya kumusnahkan saja dirimu, Badai Kelabu!"
Srett...! Cempaka Ungu mengawali mencabut pedangnya. "T unggu dulu! Apa alasanmu sehingga bernafsu sekali untuk membunuhku, Cempaka
Ungu" Apakah kau
masih menyangka aku akan merebut atau mencuri Batu Galih Bumi milik ibumu itu?"
"Aku sudah tidak berpikir hai itu lagi, Ba dai Kelabu!
Karena aku tahu, kau tak akan mampu merebutnya dari tangan ibuku! Kalau bukan
karena Pendekar Mabuk
yang menahan pukulan ibuku, nyawamu sudah melayang sejak kemarin sore, Badai Kelabu!"
"Lalu, apa masalahnya sehingga kita harus bertarung di sini"!"
"Hmmm..., kau takut rupanya"!" Cempaka Ungu tersenyum sinis.
"T akut melawanmu sama saja takut melawan bocah ingusan! Sama sekali tak ada
gentar di hatiku untuk melawanmu,
Cempaka Ungu! T api sebelum aku membelah kepalamu, lebih dulu aku ingin tahu apa alasanmu sehingga kamu sangat
bernafsu mati di
tanganku"!"
"Pertanyaan yang sombong!" geram Cempaka Ungu.
"Badai Kelabu! Kalau kau ingin tinggalkan pulauku ini, cepatlah pergi dan tak
perlu membawa Pendekar Mabuk itu!"
"Aku harus pergi dengan membawanya! Karena dia yang akan menjadi tabib untuk
guruku!" "Persetan dengan gurumu, Badai Kelabu! Suto harus tetap di sini!" sentak Cempaka
Ungu. "Kau tidak berhak menentukan dia harus ada di mana! Kau bukan apa-apanya,
Cempaka Ungu!"
"Memang! T api dia punya kepentingan dengan ibuku di pulau ini!"
"Apakah ibumu jatuh cinta kepada Pendekar Mabuk"
Oh, alangkah pikunnya ibumu itu, sudah tua masih cari yang muda! Serakah sekali
dia"!"
"T utup mulutmu, Badai Kelabu! Sekali lagi kau menghina ibuku, kutebas lehermu
tanpa ampun lagi!"
Cempaka Ungu menjadi gusar.
"Kau pikir mudah menebas batang leherku, Bocah ingusan"!
Ilmu pedangmu masih cetek dan tak sebanding dengan
ilmu pedangku!"
sentak Badai Kelabu. Lalu, ia pun mencabut pedangnya. Srett...!
"Jangan kau meremehkan aku, Badai Kela bu! Ka u akan menyesal jika sudah tahu
setinggi apa ilmu
pedangku!"
"Buktikan di depan mataku! Jangan hanya bisa berkoar saja!" tantang Badai Kelabu
dengan lantang.
Cempaka Ungu semakin panas hati mendengar tantangan itu, maka ia pun berseru,
"Benar-benar cari mampus kau, hiaaat...!"
"Hiaaahh...!"
Cempaka Ungu sentakkan kakinya dan tubuhnya pun
melenting di udara dengan berjungkir balik satu kali.
Pendekar Mabuk 09 Pusaka Tombak Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Badai Kelabu pun cepat melesat ke udara dan berjungkir balik satu kali, lalu
keduanya saling membabatkan pedang ke arah lawan masing-masing.
Trang trang trang...!
Gerakan pedang Cempaka Ungu cukup cepat, tapi
Badai Kelabu tak kalah cepat dengan gerakan itu.
Pedangnya menangkis setiap
sabetan pedang dari
Cempaka Ungu. Lalu, kaki kanannya sempat menendang
ke belakang saat tubuh mereka saling melintas lewat.
Begg...! Badai Kelabu mendaratkan kakinya
di tempat berdirinya Cempaka Ungu tadi, yaitu di atas batu.
Se dangkan Cempaka Ungu hampir saja tersungkur
akibat tendangan kaki lawannya yang mengenai bagian pinggang kanan, ia berhasil
mendarat di atas batu bekas tempat
berdiri Badai Kelabu dengan sedikit sempoyongan, nyaris jatuh ke bawah.
Se gera Cempaka Ungu membalikkan badan, dan
menghirup napas panjang-panjang. Pada saat itu, Badai Kelabu pun sudah siap
berdiri menantang serangan berikutnya. Untuk sesaat Cempaka Ungu tidak bicara,
karena ia harus segera
menahan napasnya
untuk menahan rasa ngilu di sekujur tulang iganya akibat tendangan Badai Kelabu tadi.
"Bagaimana"
T ersumbatkah napasmu karena tendanganku?" ejek Badai Kelabu dengan senyum sinisnya.
"Hmm..., terlalu ringan tendanganmu! Adakah yang lebih hebat lagi dari tendangan
seekor kucing mabuk tadi?" Cempaka Ungu tak mau kalah ejek, walau sebenarnya
dalam hati Cempaka Ungu mengakui beratnya tendangan lawan.
"Ha ha ha ha... kau boleh berkata begitu, tapi aku tahu kau sedang menahan rasa
sakit, Cempaka Ungu. Kulihat wajahmu menjadi pucat dan keringat dinginmu keluar
di bagian keningmu!"
"Sial! Dia mengetahui keadaanku!" geram Cempaka
Ungu dalam hatinya. Karena rasa malu, maka tanpa bicara apa-apa lagi, ia segera
sentakkan kaki dan kembali menerjang ke arah lawannya.
"Hiaaat...!"
Wugggh...! Wugggh...!
Dua sosok manusia perempuan itu saling terjang
kembali di udara. Pedang mereka saling dikibaskan dengan cepat.
Trang trang trang...! Buhgg...!
Jleg...! Cempaka Ungu mendaratkan kakinya di
tanah, ia telah berhasil menyodok bagian bawah ketiak lawannya dengan siku yang
berkekuatan tenaga dalam.
Sodokannya tadi terasa terkena telak. Itulah sebabnya ia membalikkan tubuh
dengan tersenyum angkuh.
Badai Kelabu berhasil berdiri dengan tegak walau tadi saat mendaratkan kakinya
di atas batu tempat berdirinya Cempaka Ungu itu hampir saja ia terjungkal jatuh.
Sodokan keras bertenaga dalam terasa meremukkan tulang rusuk dan menahan jalur pernapasannya. T etapi ia masih mampu menahan dengan mengeraskan seluruh urat
yang ada di sekitar bagian bawah ketiak.
"Hai, wajahmu merah, Badai Kelabu! Sebentar lagi kau rubuh karena sodokan sikuku
tadi!" ledek Cempaka Ungu.
Badai Kelabu paksakan diri untuk tersenyum dari atas batu, lalu ia berkata,
"Wajahku merah karena menahan nafsu untuk membunuhmu!"
"Kenapa tidak kau lakukan?" tantang Cempaka Ungu.
"Kupikir, sia-sia membunuh anak kemarin sore!"
"Kalau nyatanya kau tak mampu membunuhi anak kemarin sore, mengapa harus merasa
sia-sia?"'
"Karena aku punya urusan yang lebih penting daripada melayani kenakalan anak
kemarin sore! Aku harus segera kembali membawa serta Pendekar Mabuk itu untuk
menjadi tabib bagi guruku!"
"Itu hanya impian kosong, Badai Kelabu! Langkahi dulu mayatku, baru kau bisa
membawa pergi Pendekar Mabuk dari pulau ini!"
"Keparat kau! Bocah tak tahu diuntung!" hardik Badai Kelabu dengan membelalakkan
matanya yang ganas, ia pun segera mengangkat pedangnya ke atas, lalu ditarik turun dalam satu
sentakan kuat, dan disentakkan kembali ke depan, ke arah Cempaka Ungu. Dan tiba-
tiba dari ujung pedang itu terlepaslah sinar merah cerah dengan gerakan secepat
kilat. Zuittt...!
Cempaka Ungu terkesiap sejenak. Cepat-cepat ia
hadangkan pedangnya untuk menangkis sinar merah
cerah itu. Dubbbh...!
"Aaahg...!" Cempaka Ungu tersentak ke belakang dan jatuh terlentang. Sinar merah
memang berhasil ditahan dengan menggunakan pedangnya yang kedua ujungnya
dipegang dengan dua tangan. T api begitu besarnya tenaga dorong yang datang dari
sinar merah itu,
sehingga tubuh Cempaka Ungu tak sanggup bertahan untuk tetap berdiri, ia
terpental ke belakang dalam keadaan sebagian rambutnya terbakar karena terkena
percikan api sinar merah tadi. Bau rambut terbakar
sangat kuat menusuk hidungnya.
Melihat lawannya jatuh, Badai Kelabu segera lompat dari atas batu ke tanah.
Jlegg...! Pada saat itu, Cempaka Ungu sedang bergega s untuk bangkit. Maka
dengan cepat Badai Kelabu berlari menyerang dan akhirnya melompat menerjang
lawan dengan pedang lurus ke
depan. "Hiaaaaat...!"
Cempaka Ungu tak sempat menghindar, karena ia
baru saja sa dar. Dengan gerakan cepat ia kibaskan pedangnya ke kiri dan ke
kanan menangkis pedang
Badai Kelabu. Trang trang...! Brreet...!
"Auh...!" Cempaka Ungu terpekik, ia tak menyangka kalau gerakan tubuh Badai
Kelabu akan melesat ke atas ketika tiba di depannya. T ubuh Badai Kela bu itu
melenting di udara dan bergerak menukik dalam satu kibasan pedang. Pedang itu
berhasil menyabet pundak Cempaka Ungu dan tubuh yang menukik itu cepat
kembali pada posisi biasa, lalu mendarat di belakang Cempaka Ungu.
Pundak Cempaka Ungu robek akibat sabetan pedang.
Lukanya cukup lebar dan mencucurkan darah segar.
Badai Kelabu mengangkat pedangnya dari samping dan segera
menebas ke leher
lawannya yang sedang memunggungi dengan mengerang kesakitan. Wess...!
Trang...! T iba-tiba pedang Badai Kelabu tak jadi menyentuh leher Cempaka Ungu. Pedang itu
membalik ke arah
semula, bahkan tubuh Badai Kelabu itu terbawa
hentakan gelombang yang membuat pedangnya terpental ke samping. T ubuhnya pun
terbawa terpental dan jatuh berguling, lalu cepat bangkit dengan satu kaki masih
berlutut, pedang berdiri tegak di depannya, digenggam dengan dua tangan.
"Setan! Ada yang ikut campur urusanku!" geramnya dalam hati. Matanya mencari
sekeliling yang tampak sepi. T api ketika ia memandang ke arah perairan pantai,
ia melihat sebuah perahu warna merah mendekati pantai.
Penumpangnya empat orang lelaki yang sedang memandang ke arah pertarungan tadi.
"Hmm... siapa mereka?" gumam hati Badai Kelabu.
"Pasti satu dari mereka yang tadi menahan gerakan pedangku dan menghentakkan
dengan kekuatan jarak jauh yang cukup tinggi!"
T erdengar suara Cempaka Ungu berseru kepada salah satu penumpang perahu merah,
sambil mendekap
lukanya yang masih berdarah,
"Sanjaya...!" Cempaka Ungu berlari menyambut perahu merah itu.
Empat lelaki di atas perahu merah, hanya satu yang turun dan segera menyambut
langkah kaki Cempaka
Ungu yang limbung dan hampir jatuh. T ubuh Cempaka Ungu segera ditahan oleh
lelaki muda berkumis tipis itu.
"Cempaka! Kau terluka"!" Sanjaya yang berpakaian merah tua dari bahan kain
beludru dan bermanik-manik perak hias itu tampak tegang melihat luka di pundak
Cempaka Ungu. "Dia... dia...," Cempaka kesakitan, ia sulit bicara.
"Penghulu Petir! Rawat kekasihku ini!" seru Sanjaya kepada satu dari ketiga
orang di atas perahu merah tersebut, ia sendiri segera berlari menemui Badai
Kelabu yang masih siap menghunus pedang di tangan, berdiri dengan
kaki tegak, bagai menunggu kedatangan lawannya. "Beraninya kau melukai kekasihku, hah"! Siapa kau sebenarnya, Perempuan Dungu"!"
sentak Sanjaya.
Badai Kelabu mengernyitkan alis. Ia pandangi sesaat pria yang berompi merah
dengan mengenakan baju
lengan panjang komprang warna hitam, celananya pun merah
dihiasi rajutan benang putih perak yang membentuk hiasan. Rambutnya sedikit panjang bergelombang dengan ikat kain beludru merah bermanik-manik putih perak. T ubuhnya tinggi, tegap dan kekar. Sebilah keris
bergagang kayu merah terselip di balik sabuk-nya yang berwarna merah pula. Keris
itu tepat ada di depan perutnya dan siap untuk dicabut sewaktu-waktu.
"Sebelum kau tahu namaku, terlebih dulu aku ingin tahu siapa
dirimu dan apa hubungannya dengan Cempaka Ungu?" tanya Badai Kelabu dengan sikap tenang.
"Sudah kubilang tadi, Cempaka Ungu adalah kekasihku! Namaku Sanjaya, bergelar Pangeran Berdarah!"
"Cukup asing namamu itu di telingaku! Pangeran Berdarah..."!
Sebuah nama yang belum
kondang, tentunya!" ejek Badai Kelabu.
Pangeran Berdarah merasa terhina dan menggeram
gusar. Wajahnya yang tampan kelihatan buas dan liar.
Se gera ia sentakkan tangan kanannya ke arah sebuah batu, wuut...! ia lepaskan
pukulan tenaga dalamnya ke sana. Badai Kelabu hanya melirik dengan menyimpan
rasa heran, ia sangka Pangeran Berdarah memamerkan ilmunya.
Batu itu tidak pecah. Badai Kelabu sunggingkan
senyum tipis meremehkan. Tapi belum habis senyumnya, tiba-tiba ia merasakan gelombang hawa panas mendekatinya dengan
gerakan cepat, arahnya dari batu yang habis dihantam Pangeran Berdarah.
Wuusss...! Beeghh...! Badai Kelabu terjungkal jatuh dan berguling-guling bagai
dilanda angin topan yang bertenaga besar.
Rupanya pukulan yang dilepaskan Pangeran Berdarah itu sengaja dipantulkan
melalui batu tersebut untuk mengecohkan lawan, sehingga lawan menjadi kelabakan.
"Edan! Ini jurus yang aneh!" pikir Badai Kelabu.
"Hampir saja dadaku jebol terkena pukulan itu kalau tak segera
kuikuti gerakan dorongnya. T ak kusangka
pukulan itu memantul ke arahku, sehingga aku hanya bisa menahan napas untuk
bertahan menerima hembusan hawa panasnya itu. Kalau tidak kutahan napasku,
habislah aku dibakar gelombang hawa panas yang
memantul itu! Agaknya aku harus berhati-hati melawan orang satu ini!"
Pendekar Mabuk 09 Pusaka Tombak Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bangun kau, Perempuan Dungu!" sentak Pangeran
Berdarah. "Hadapilah aku jika kau memang berilmu tinggi!
Rasa-rasanya kau memang tak sebanding melawan Cempaka Ungu! Akulah lawanmu!"
Badai Kelabu cepat sentakkan kakinya dalam posisi bersimpuh, dan tiba-tiba tubuh
itu telah melayang dengan ringannya, pedangnya segera ditebaskan ke arah kepala
Pengeran Berdarah. Wueesss...! Pangeran Berdarah hanya menghindar ke samping dan membiarkan pedang itu menebas tempat kosong. T etapi kejap berikutnya, Pangeran
Berdarah cepat hantamkan pukulannya ke arah gugusan batu. Wuttt...! Begitu Badai
Kelabu pijakkan kakinya ke tanah, ia telah mendapat serangan pukulan tenaga
dalam yang memantul dari batu itu. Wuugggh...!
Beggh...! "Ehhg...!"
Badai Kelabu tersentak karena punggungnya terkena pukulan pantul tersebut. T ubuhnya melengkung kedepan dengan
kepala terdongak, mulut ternganga melepaskan pekik tertahan.
Pada saat itu, Pangeran Berdarah cepat sentakkan kakinya ke depan dengan
kekuatan penuh untuk menendang perut Badai Kelabu. Kemungkinan perut itu akan jebol karena Pangeran
Berdarah menggunakan
jurus tendangan 'T urangga Sakti'.
Sayangnya, sebelum kaki itu menyentuh kulit tubuh Badai Kelabu, sebuah pukulan
jarak jauh dilepaskan oleh seseorang dan menghantam mata kaki Pangeran Berdarah.
Duuggh...! "Auh...!" Pangeran Berdarah terpekik.
Kerasnya pukulan jarak jauh yang menghantam mata kaki itu membuat
kaki tersebut tersentak hingga
memutar tiga kali dengan cepat. Kemudian Pangeran Berdarah jatuh dalam keadaan
pusing karena berputar cepat tiga kali, dan ia sedikit menyeringai karena
merasakan mata kakinya bagaikan mau pecah.
"Hiaaat...!" terdengar pekik tiga orang yang segera melompat diri turun dari
perahu merahnya. Mereka adalah Penghulu Petir, si Latah Lidah dan Jalak Putih.
Mereka sama-sama hendak menyerang dua orang yang salah satunya tadi mengirimkan
pukulan jarak jauh dan mengenai mata kaki Pangeran Berdarah. T etapi, gerakan
ketiga orang yang memihak Sanjaya itu segera terhenti karena seruan dari Cempaka
Ungu. "T ahan...!"
Hanya satu seruan, mereka bertiga sepakat hentikan langkah. T api mata mereka
masih tajam memandangi wajah Pendekar Mabuk dan Dewa Racun. Orang yang
mengirimkan pukulan jarak jauh tadi adalah Suto
Sinting, yang dengan tenangnya berjalan mendekati mereka sambil menyempatkan
diri menenggak tuaknya beberapa teguk.
Pangeran Berdarah masih bisa bangkit walau sedikit pincang, ia mendekati Suto
dan membentak, "Siapa kau"!"
"Siapa..."!" bentak si Latah Lidah mengikuti suara keras yang membuatnya latah
ikut membentak.
"Cempaka Ungu tentunya bisa menjelaskan siapa diriku dan siapa temanku ini,"
kata Suto dengan kalem,
sambil ia menepuk-nepuk pundak Dewa Racun, tapi
tepukannya dikibaskan oleh Dewa Racun, ia tak suka ditepuk pundaknya.
"Jawab saja pertanyaanku!"
bentak Pangeran Berdarah. , "Ya. Jawab...!" si Latah Lidah membentak pula.
"Jangan kau memancing persoalan denganku, tahu"!"
"T ahu!" jawab si Latah Lidah. Pangeran Berdarah cepat pandangkan mata padanya,
si Latah Lidah cepat menutup mulutnya dengan rasa malu dan bersalah.
Cempaka Ungu menggenggam lukanya dan mendekati mereka, ia segera berkata kepada Pangeran Berdarah,
"T ahan amarahmu, Sanjaya! Mereka berdua bukan musuhku!"
"T api dia melumpuhkan tendanganku! Dia harus kubalas!"
"Harus!" bentak si Latah Lidah, sepertinya tak boleh mendengar suara keras yang
menyentak, karena dia akan menirukan ucapan itu walau tak mengerti maksudnya.
"Balaslah pada perempuan busuk itu!" geram Cempaka Ungu sambil menuding Badai Kelabu yang
berusaha bangkit dari jatuhnya.
"Cempaka,"
kata Pendekar Mabuk sambil memperhatikan luka di pundak perempuan itu, "Kenapa pundakmu"! Kau terluka" Oleh
siapa, Cempaka"!"
"Badai Kelabu ingin membunuhku, Suto!" Cempaka mengadu.
Suto mau meraih pundak yang terluka itu, tapi
Pangeran Berdarah cepat membentak, "Jangan sentuh dia!"
"Jangan! Jangan sentuh dia! Aku saja! Eh... anu...
anu...!" si Latah Lidah kebingungan sendiri setelah menyadari
ucapannya, ia menutup mulut dengan tangannya, sementara Penghulu Petir segera menyeretnya, menjauhi mereka ke suatu tempat di
bawah pohon teduh.
* * * 6 PERSOALAN itu ditengahi oleh Ratu Pekat. Pada
dasarnya, Cempaka Ungu tak mengizinkan Pendekar
Mabuk meninggalkan Pulau Beliung, seba b takut jika sewaktu-waktu datang serbuan
dari Siluman T ujuh Nyawa. Walau sebenarnya Ratu Pekat tahu, bahwa
putrinya itu cemburu jika Pendekar Mabuk pergi
bersama Badai Kelabu, tapi ia berlagak tidak tahu menahu maksud hati Cempaka
Ungu yang sebenarnya.
Badai Kelabu sendiri merasa perlu mempertahankan rencananya, yaitu membawa Suto
Sinting ke Pulau
Hitam untuk menyembuhkan gurunya. T api ia harus menyingkirkan Cempaka Ungu
lebih dulu, karena
Cempaka Ungu dianggap ingin menggagalkan rencana tersebut, yang berarti ingin
membiarkan guru Badai Kelabu mati karena racun berbahaya dari Pusaka
Tombak Maut. Pendekar Mabuk terpaksa mengobati luka di pundak Cempaka Ungu dengan meminumkan
air tuaknya. Ratu Pekat tak begitu cemas dengan luka itu. Ia bahkan segera
alihkan pembicaraan kepada Pangeran Berdarah yang datang bersama tiga orang
temannya itu. Ratu Pekat belum mengenal ketiga teman Pangeran Berdarah,
sehingga hal itu perlu dipertanyakan.
"Apa maksudmu datang kemari dengan membawa
tiga orang itu, Sanjaya" Aku belum mengenal siapa mereka!"
"Ibu Ratu," kata Pangeran Berdarah dengan sopan,
"Saya mohon Ibu Ratu tidak menaruh curiga kepada tiga teman saya itu, mereka
adalah Jalak Putih, si Latah Lidah dan Penghulu Petir. Mereka yang akan membantu
saya dalam mengejar larinya T apak Baja. Pusaka milik Gur u saya telah dicuri
oleh Tapak Baja dan...."
"Aku sudah mendengar," sahut Ratu Pekat. "Pusaka Tombak Maut milik gurumu; Ki
Jangkar Langit, telah berada di tangan T apak Baja, si Nakhoda Kapal Neraka
itu." Pendekar Mabuk dan Dewa Racun diam saja. T api
Dewa Racun manggut-manggut dan baru tahu bahwa
Pangeran Berdarah adalah murid dari Ki Jangkar Langit, pemilik Pusaka T ombak
Maut itu. Pendekar Mabuk pun baru tahu hal itu, tapi ia sepertinya tidak begitu
peduli siapa Pangeran Berdarah, ia meneguk tuaknya sambil mengikuti percakapan
tersebut. Pangeran Berdarah berkata kepada Ratu Pekat, "Saya datang kemari di samping
untuk menengok keadaan
Cempaka Ungu dan Ibu Ratu, juga mencari tahu ke
mana jejak kepergian si T apak Baja itu. Sebab Guru tidak akan bisa tenang dalam
menghabiskan sisa
hidupnya jika Pusaka Tombak Maut itu belum kembali ke
tangan beliau. Saya tidak diizinkan pulang menghadap beliau, jika T ombak Maut belum berhasil ditemukan. Jadi saya harus
mencarinya ke segala
penjuru dengan bantuan tiga teman saya yang pernah saya tolong dalam menghadapi
beberapa persoalan
pribadinya itu, Ibu Ratu."
"Watak seorang murid yang baik," kata Ratu Pekat.
"Ki Jangkar Langit pasti suka mempunyai murid seperti kamu, Sanjaya. T api
ketahuilah, jangan sekali-kali kau mencoba berhadapan dengan murid si Gila T
uak...." "Maaf, Ibu Ratu," potong Sanjaya dengan rasa penasaran. "Apakah di sini ada
orang yang mengaku murid si Gila T uak" Seingat saya, Ki Jangkar Langit tidak
pernah mengatakan bahwa Gila T uak mempunyai murid. Jangan sampai Ibu Ratu
terkecoh oleh pengakuan palsu."
"Pemuda yang sejak tadi minum tuak itulah murid si Gila
T uak!" jawab Ratu Pekat. Kemudian, mata
Pangeran Berdarah menatap Pendekar Mabuk dengan
sorot pandangan sinis dan meremehkan.
Suto duduk berseberangan dengan Pangeran Berdarah. Pendekar Mabuk selalu duduk bersimpuh, tak mau duduk bersila. Dengan
begitu tubuhnya selalu kelihatan tegap dan sikapnya senantiasa siap siaga.
"Benarkah kau murid si Gila T uak, teman dari guruku
itu?" tanya Pangeran Berdarah kepada Pendekar Mabuk.
"Benar," jawab Pendekar Mabuk pendek. T api matanya tetap memandang lurus ke
arah mata Pangeran Berdarah yang tampak tidak percaya dengan pengakuan tersebut.
Diam-diam pangeran berhidung bangir itu melepaskan kekuatan tenaga dalamnya melalui gerakan jari telunjuknya. Jari
telunjuk itu bergerak maju, mendorong tubuh Pendekar Mabuk dari jarak jauh. Tapi
Pendekar Mabuk hanya sunggingkan senyum tenang
sambil matanya tetap memandang Pangeran Berdarah.
Pangeran Berdarah yang duduknya bersila di lantai marmer yang licin itu tanpa
sadar telah bergeser mundur pelan-pelan. Makin lama semakin mundur, semakin
menjauhi tempatnya semula, dan begitu sadar ia sudah ada di tepian serambi
istana. Sementara itu Pendekar Mabuk tetap duduk bersimpuh di tempatnya.
Pangeran Berdarah bergegas maju lagi dengan sikap malu sekali, karena setiap
mata memperhatikan gerakan mundurnya yang bagai didorong oleh suatu tenaga dari
jarak jauh. Niatnya ingin menumbangkan Pendekar Mabuk, tapi
kenyataannya bahkan dirinya sendiri yang terdorong sampai jauh.
Ratu Pekat tersenyum tipis ketika Pangeran Berdarah duduk bersila lagi di
depannya. "Masih ingin mencoba kekuatan ilmu Pendekar Mabuk itu?"
"Hmmm... anu... tidak, Ibu Ratu!" jawab Pangeran Berdarah dengan rasa malu yang
sukar ditutupi lagi.
Dalam hati Pangeran Berdarah berkata, "Mungkin dia memang murid si Gila T uak.
Kekuatan sikap duduknya justru membuat tubuhku sendiri yang terdorong. Gila!
Pandangan matanya begitu tajam walau tampak lembut, tapi menembus sampai ke
dalam hatiku, membuatku
menjadi gentar menghadapinya. Hmmm... untung tadi di pantai aku tak jadi
melabraknya. Dan pantaslah kalau pukulan jarak jauhnya membuat tubuhku tersentak
berputar tiga kali!"
Setelah Pangeran Berdarah mendengar cerita tentang peristiwa yang membuat istana
bermandikan darah, ia pun
segera mengambil kesimpulan yang diajukan
sebagai usul kepada Ratu Pekat, yang dianggap calon mertuanya itu,
"Jika benar ada dugaan bah wa anak buah Siluman T ujuh Nyawa akan datang
menyerang dan merebut pulau ini dari kekuasaan Ibu Ratu, maka sebaiknya saya dan
tiga teman saya itu akan tinggal di sini beberapa waktu.
Biarlah Pendekar Mabuk pergi menyembuhkan gurunya Badai Kelabu. Se belum dia
kembali, kami masih tetap di sini, sambil menunggu siapa tahu T apak Baja yang
datang ke pulau ini dan ditugaskan menghancurkan pulau ini. Sayalah yang akan
menghadapinya, Ibu Ratu!"
"Bagaimana menurutmu, Pendekar Mabuk?" tanya Ratu Pekat.
"Itu gagasan yang bagus," jawab Pendekar Mabuk.
"Boleh saya bicara, Nyai Ratu?" kata Mata Elang tiba-tiba. Nyai Ratu anggukkan
kepala dan berkata,
"Bicaralah!"
"Bukankah menurut pendapat Nyai Ratu sendiri, T apak Baja adalah orang yang
kuat, bengis dan kejam?"
"Memang benar."
"Apakah kita cukup mampu menghadapi dia, jika sewaktu-waktu dia datang tanpa ada
Pendekar Mabuk di sini?"
"Kenapa tidak?" sahut Pangeran Berdarah. "Saya sudah
mendapat
Pendekar Mabuk 09 Pusaka Tombak Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jurus untuk menghadapi Pusaka Tombak Maut, Ibu Ratu. Sebelum saya ditugaskan
mencari Pusaka Tombak Maut dan merebutnya dari
tangan T apak Baja, Guru telah lebih dulu mengajarkan bagaimana cara menghadapi
orang bersenjata Pusaka Tombak Maut itu. Jika pusaka tersebut sudah bisa saya
rebut, saya pun bisa menggunakannya untuk melenyapkan T apak Baja, Ibu Ratu!"
"Bagus! Kurasa kita tak perlu cemas lagi, Mata Elang!" kata Ratu Pekat kepada
pengawal pribadinya itu.
Penghulu Petir, yang sejak tadi duduk di belakang agak samping dari Badai
Kelabu, segera menyumbang kata,
"T apak Baja memang keji dan ganas. Kabar terakhir yang saya terima, bahwa dari
sejumlah dua puluh tujuh orang anak buahnya dalam Kapal Neraka itu, sekarang
tinggal satu orang, yaitu yang bernama Hantu Laut. Dua puluh enam anak buahnya
itu kebanyakan mati di tangan T apak Baja sendiri. T etapi dengan adanya
Pangeran Berdarah dan kami bertiga di sini, Ratu tidak perlu cemas lagi. Kami
mampu menghadapi T apak Baja dan Hantu Laut. Kami sudah perhitungkan kekuatan
mereka, dan kami sudah atur satu rencana perlawanan sendiri!"
Semua mata tertuju pada orang berusia lima puluh tahun yang berambut abu-abu
itu. Rambutnya pendek, tubuhnya kurus, matanya sedikit sipit, ia mengenakan
jubah panjang warna ungu tua yang sudah kumal, tanpa mengenakan baju dalam, tapi
memakai celana abu-abu dengan ikat pinggang kain putih. Jubahnya itu tak pernah
ditutup, sehingga tulang iganya tampak bertonjolan, ia bersenjata sabit yang panjang gagangnya tiga jengkal. Tapi
melihat penampilannya yang kalem, ia berkesan orang berilmu tinggi. Kesannya itu
seakan merupakan jaminan tersendiri bagi kekuatan baru yang akan membentengi
Pulau Beliung. "Nyai Ratu," kata Suto. "Saya rasa sekarang sudah jelas, di sini ada kekuatan-
kekuatan baru yang siap menghadapi kedatangan orang-orangnya Siluman T ujuh
Nyawa. Rasa-rasanya kita tak perlu cemaskan lagi kekuatan di sini, dan saya akan
segera berangkat ke Pulau Hitam bersama Dewa Racun dan Badai Kelabu."
"Baik. Berangkatlah! Lalu, bagaimana dengan satu temanmu yang mirip Dadung Amuk
itu?" "Saya titip Singo Bodong sebentar. Biar dulu dia di sini, saya akan jemput dia
lagi setelah selesai sembuhkan sakitnya guru Badai Kelabu!" kata Suto. Setelah
acara pamitan itu selesai, Suto pun segera menemui Singo Bodong.
"Singo Bodong, kau kutinggal di sini se bentar.
Bantulah mereka sebisamu."
"Kau akan pergi ke mana, Pendekar Mabuk?"
"Ke Pulau Hitam, menyelamatkan seseorang yang terluka parah!"
"T api, kau nanti kembali ke sini menjemputku, Pendekar Mabuk!"
"Ya. Pasti aku kembali lagi ke sini menjemputmu."
Dewa Racun angkat bicara, "Dan... dan... dan lagi, perahunya tidak cukup untuk
muat empat orang jika badan besarmu itu ikut serta! Kam... Kam... Kam...."
"Kampret"!"
"Kamu!" sentak Dewa Racun, "Kamu kuruskan badan dulu di sini dengan kerja yang
giat, sup... sup., sup...."
"Supri"!"
"Bukan! Supri itu nama tetanggaku dulu! Maksudku, supaya! Supaya mudah belajar
ilmu silat jika tubuhmu telah kurus!" kata Dewa Racun.
Buat Singo Bodong, ia merasa lebih enak tinggal di pulau itu. T idak terlalu
ramai, dan sering melihat pertarungan hebat dari tokoh-tokoh dunia persilatan,
ia salah satu orang yang menjadi pengagum pendekar, tapi ia sendiri tidak pernah
memiliki ilmu kependekaran.
Hanya sedikit ilmu yang diberikan oleh Pendekar Mabuk secara tak disadari itu.
Ilmu tersebut berada di napasnya.
Napas Singo Bodong bisa membuat pot bunga dari tanah terjatuh jika terkena
hembusan napas lewat mulut.
Pernah ia mencobanya kepada seorang prajurit istana.
Prajurit itu hanya terdorong selangkah ke belakang, tapi untuk selanjutnya masih
bisa menyerang Singo Bodong.
Berarti kekuatan napas itu hanya bisa dipakai oleh Singo
Bodong sebagai sarana untuk menakut-nakuti lawan saja.
Se belum matahari tegak di atas kepala manusia,
perahu bermuatan tiga orang itu telah meninggalkan pantai Pulau Beliung. Perahu
berlayar tunggal itu cukup besar untuk ukuran tiga orang. Mempunyai ruang untuk
meneduh dan tidur pada bagian haluannya. Ruangan tersebut beratapkan rumbia
dengan tiga jendela, satu jendela menghadap ke arah haluan, pintunya menghadap
ke arah buritan. Perahu itu adalah milik Badai Kelabu yang dibawanya dari Pulau
Hitam. "Kami mempunyai satu perahu kecil lagi, muat untuk dua orang. Kurasa guruku
tidak keberatan untuk
memberikan perahu itu kepada kalian sebagai upah kesembuhannya," kata Badai
Kelabu yang berdiri di buritan bersama Suto. Dewa Racun a da di haluan,
mengendalikan lajunya perahu yang tertiup angin.
"Mengapa gurumu sampai berurusan dengan T apak Baja?" tanya Pendekar Mabuk.
"Sebenarnya kami tak punya persoalan dengan Siluman T ujuh Nyawa. Hanya karena
perahu kami berpapasan dengan Kapal Neraka itu, dan Gur u tidak mau mendekat saat dipanggil
oleh Tapak Baja, maka orang ganas itu menjadi marah, lalu menyerang kami."
"Waktu itu kau ada di perahu yang ditumpangi gurumu juga?"
"Ya. Kami tujuh orang, habis menyambangi seorang teman di Pulau Belacan. Aku
diperintahkan untuk kabur oleh Guru dengan cara terjun ke laut. T api sebenarnya
aku hanya menyelam di bawah perahu, bersembunyi di sana. Keenam temanku mati
karena amukan T apak Baja bersama tombak maut itu, dan Guru pun terluka berat."
"Bagaimana luka-luka yang diderita oleh gurumu itu, Badai Kelabu?"
"Sekujur tubuhnya melepuh, termasuk bagian wajah.
Setiap bagian melepuh yang pecah mengeluarkan bau busuk yang memusingkan kepala.
Padahal Guru hanya tergores sedikit oleh ujung tombak pusaka itu di bagian betis
kirinya, tapi racun yang ada di taring babi hutan itu amat ganas, dengan cepat
menyebar ke sekujur tubuh."
Dewa Rac un mendengar percakapan itu. Seba gai
orang yang ahli di bidang pengetahuan racun, ia pun segera menyahut,
"It... it... itu namanya Racun Gelembung Mayat!"
Kedua wajah di buritan segera berpaling memandang ke arah haluan perahu. Suto
segera berseru dari
tempatnya, "Racun Gelembung Mayat dapat bertahan berapa lama, Dewa Racun?"
"Paling lama hanya mampu bertahan dua puluh hari.
Lewat dari dua puluh hari dia akan mati membusuk!"
"Apa yang diserang oleh Racun Gelembung Mayat?"
"Pembusukan di bagian gelembung darah orang itu!"
Badai Kelabu berbisik kepada Suto, "Dia sangat mengerti tentang racun itu.
Jangan-jangan dialah yang menciptakan Pusaka Tombak Maut
itu, Pendekar Mabuk?" Pendekar Mabuk tampilkan senyum ramah. "T idak.
Dia hanya tahu tentang segala jenis racun, tapi kadang dia tidak tahu bagaimana
cara mengatasi keganasan racun tersebut. T idak semua racun bisa dimengerti cara
menanggulanginya!"
"T api, kau tahu cara menanggulangi semua jenis racun berbahaya, Pendekar
Mabuk?" "Hmmm... mungkin tidak semua racun kuketahui juga cara penanggulangannya. Tapi,
mungkin juga aku bisa menawarkan semua jenis racun dari yang berbahaya dan yang
tidak berbahaya."
"Kenapa masih bersifat mungkin" Kenapa kau tidak tahu dengan pasti, Suto?"
"Karena aku belum pernah mencoba menawarkan semua jenis racun!" jawab Pendekar
Mabuk dengan bersikap jujur, namun menyembunyikan kepandaiannya.
Kepandaian yang ada pada Pendekar Mabuk, serta
tingginya ilmu Suto, telah membuat Badai Kelabu
menjadi sering berpikir tentang diri Suto.
Namun Badai Kelabu menganggap Pendekar Mabuk
lelaki yang dingin terhadap perempuan. T erbukti,
semalam ia tidur di dalam kamar beratap rumbia itu, tapi tak sedikit pun
tubuhnya terasa disentuh oleh Pendekar Mabuk
Suto ada di haluan bersama Dewa Racun. Bahkan
sesekali Suto yang mengendalikan lajunya perahu
sementara Dewa Racun tidur dalam keadaan berdiri. Si Kerdil berpakaian putih
bulu itu sudah terbiasa tidur dalam keadaan berdiri dan bersidekap tangan di
dada. Busur dan anak panahnya tetap tersandang di punggung
tanpa menjadi gangguan sedikit pun baginya.
Ketika pagi mulai menyingsing, lalu matahari makin menyebarkan sinar panasnya,
Badai Kelabu terkejut melihat arah perahu tersebut, ia segera berseru kepada
Pendekar Mabuk yang menjadi pengemudinya.
"Suto, kita salah arah!"
"Salah arah"!" Suto kerutkan dahi.
"Pulau Hitam ada di sebelah kanan perahu kita ini!
Cepat putar haluan!"
Dewa Rac un terbangun dari tidurnya, ia mengerjap-ngerjapkan mata, memandang
sekeliling dan ikut berkata, "O, betul kata Badai Kelabu. Kita salah ar... ar...
arah!" "Kupikir pulau di seberang sana yang jadi sasarannya!" kata Pendekar Mabuk sambil tertawa, lalu ia biarkan Badai Kelabu
mengambil alih haluan dan membetulkan letak arah perahu. Dewa Racun pun
akhirnya menertawakannya.
"Istirahatlah, Suto. Biar kukemudikan perahu ini!"
kata Badai Kelabu, ia tahu Pendekar Mabuk cukup letih karena semalaman tak
tidur. "Aku masih kuat melek!"
"Jangan. Nanti kau sakit, Suto," kata Badai Kelabu dengan lembut, seakan penuh
perhatian dan kasih sayang pada Pendekar Mabuk.
Pulau Hitam masih separo hari lagi perjalanan.
Pendekar Mabuk belum lama tertidur, terpaksa harus dibangunkan
oleh Dewa Racun. Cara membangunkannya pun tak berani langsung disentuh tubuhnya, melainkan dengan
dilempar selembar kecil kain pembersih. Kain itu langsung ditangkap cepat oleh
tangan Suto. Tapp...!
"Ada apa?" tanya Pendekar Mabuk setelah tahu dirinya dibangunkan Dewa Racun.
Orang kerdil itu segera berkata,
"Kita melewati sebuah pulau yang berasap!"
"Kenapa berasap?" Pendekar Mabuk segera keluar dari kamar beratap pendek.
"Lihatlah sendiri!"
Begitu Pendekar Mabuk keluar dari kamar beratap
pendek itu, Badai Kelabu segera berseru dari haluan,
"Ada kebakaran di pulau itu!"
"Pasang indera pendengaranmu, Dewa Racun. Percakapan apa yang terjadi di sana" Firasatku mengatakan, itu asap api yang buruk!"
Dewa Rac un pun segera menempelkan kedua jari
telunjuknya ke pelipis, matanya memandang pada pulau bertebing landai. Hutan-
hutannya tak begitu lebat. Suatu kegiatan dari sebuah kehidupan ada di balik
tebing landai itu.
"Suto, ak... aku... aku mendengar suara orang me...
meratap! Seperti orang kesakitan!"
"Adakah yang perlu ditolong?"
"Hmmm... iy... iya! Ada orang ber... ber... berseru melepas kemarahannya. T
ap... tapi tak jelas ucapannya."
"Badai Kelabu, arahkan perahu ke pulau itu!"
perintah Pendekar Mabuk. "Aku penasaran, ingin tahu
apa yang terjadi di pulau itu!"
"Baik, Suto!" Badai Kelabu pun mengarahkan perahunya untuk mendekati pulau yang mengepulkan asap hitam.
* * * 7 PULAU itu bernama Pulau Kidung. Penguasanya
seorang resi berusia sekitar tujuh puluh tahun lebih, ia membangun sebuah
padepokan, yang makin lama
berkembang menjadi desa kecil. Padepokan itu diberinya nama Padepokan Kidung
Kencana. Di sana, Resi Kidung Sentanu mewejang murid-
muridnya tentang makna hidup dan kehidupan. Ilmu-ilmu kanuragan yang diajarkan
kepada para muridnya lebih bersifat kebatinan dan tenaga dalam tanpa jurus-jurus
kembangan yang indah seperti layaknya ilmu silat yang dianut oleh para tokoh
rimba persilatan.
Murid Resi Kidung Sentanu bukan hanya kaum
lelaki, namun banyak juga kaum wanitanya. Dan mereka saling menikah, saling
berumah tangga, lalu membentuk kelompok masyarakat desa yang mata pencahariannya
dari bercocok tanam palawija, sebagian juga ada yang mencari ikan. T etapi pada
saat itu perahu yang
ditumpangi Suto melewati bagian belakang pulau,
sehingga beberapa perahu nelayan tak terlihat bertambat di sana.
Perkampungan kecil itu kini terbakar. T entunya ada pihak yang sengaja
membakarnya. Karena sebelum
terjadi kebakaran besar, terlebih dulu mayat-mayat bergelimpangan di sana-sini.
Pada umumnya mayat-mayat itu mati dalam keadaan hangus atau membiru legam. Jelas
penyebabnya sebuah racun berbahaya, atau pukulan tenaga dalam yang amat tinggi
kekuatannya hingga menghanguskan tubuh manusia.
Rupanya Pulau
Pendekar Mabuk 09 Pusaka Tombak Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kidung itu sedang diporak- porandakan oleh dua orang beraliran sesat. Kini tinggal tiga orang yang masih
hidup sebagai penduduk asli Pulau Kidung itu. Dua di antaranya sedang berdiri
menghadapi seorang berkepala gundul, berbadan besar, gemuk, tak pernah memakai
baju. Orang sesat berkepala gundul itu mengenakan celana biru tua dengan ikat
pinggang kain merah. Matanya besar, hidungnya bulat, perutnya gendut, kulitnya
berwarna hitam walau bukan termasuk hitam keling. Orang itu tidak mempunyai
alis, kalau toh ada hanya tipis sekali, sehingga wajah bundar dengan pipi
bengkak itu mirip sekali dengan wajah setan. Itu sebabnya ia mengaku dirinya
berjuluk Hantu Laut.
Jauh di belakang Hantu Laut, kira-kira dalam jarak lima
belas langkah, berdiri
seorang lelaki kurus,
jangkung dan agak bungkuk. Hidungnya panjang,
wajahnya lonjong, mempunyai mata sipit tapi tajam.
Rambut hitamnya bercampur uban sepanjang pundak
dan diikat memakai kain merah. Orang jangkung yang kurus itu mengenakan
baju dan celana abu-abu, dirangkap jubah warna hitam pekat dengan sulaman benang putih bergambar
tengkorak dan tujuh mata rantai di
belakang jubahnya. Gambar itu menunjukkan lambang sekutunya Siluman T ujuh Nyawa. Dan memang orang berwajah bengis itu adalah satu dari kelima algojonya Siluman T
ujuh Nyawa, yang menjadi Nakhoda Kapal Neraka dengan nama julukannya: T apak
Baja. Dalam usia enam puluh tahun lebih itu, Tapak Baja masih bisa memandang
dengan awas, gerakan
matanya cukup lincah, sehingga ia tahu ada satu orang yang sudah terluka, namun
masih bisa bangkit dan hendak menyerangnya dari samping kiri. Seketika itu
tangannya menyentak dan sebuah pukulan bercahaya biru melesat menghantam dada
orang itu hingga jebol.
Berhamburanlah isi dada orang malang itu.
"Hantu Laut," serunya. "Habisi mereka! T inggal beberapa gelintir saja! Aku mau
istirahat dulu!"
"Siapa yang sekarat"!" sahut
Hantu Laut yang memang agak tuli sejak kedua telinganya pernah
dihantam oleh Tapak Baja pada saat orang keji itu marah di atas kapalnya dulu.
"Aku mau istirahat!" bentak T apak Baja sambil tetap memegangi sebuah tombak
bergagang hitam. Itulah
Pusaka T ombak Maut
yang sedang diributkan di
kalangan para tokoh persilatan.
"O, Nakhoda mau istirahat dulu" Silakan! Biar aku yang merampungkan sisa tikus-
tikus kecil ini, ha ha ha ha...!" Hantu Laut serukan tawanya yang menggelak-
gelak sambil melangkah maju mendekati dua orang
berusia antara dua puluh tujuh tahun dan yang satu berusia antara tiga puluh
tahun. Yang berusia tiga puluh tahun telah memegang golok bengkok ujungnya, ia
berpakaian serba biru tua dengan ikat pinggang putih, rambutnya yang sebatas
pundak juga diikat dengan kain putih. T inggi tubuhnya sedang, badannya agak
gemuk dibanding temannya. Orang itu adalah T ambak Lanang, murid kinasih Resi
Kidung Sentanu.
Satu lagi murid kinasih dari Resi Kidung Sentanu adalah Jalu Jantan, yang kala
itu berpakaian serba merah, bertubuh tinggi, kurus dan bersenjata sebatang toya.
Tongkat toyanya itu berwarna coklat tua, seperti terbuat dari kayu sawo. Ia
masih berdiri menunggu lawannya mendekat, walau napasnya telah ngos-ngosan
karena sejak tadi sudah berjumpalitan menghindari serangan lawan yang sulit
ditumbangkan itu.
Orang gundul yang menjadi lawannya mendekat
dengan santai, seperti anak kecil, ia memainkan yoyo bertali panjang, ia cengar-
cengir memandangi kedua lawannya di kanan-kiri, sementara itu, T ambak Lanang
berkata kepada Jalu Jantan,
"Hati-hati dengan mainannya itu! Jangan sampai tertipu lagi!"
Hantu Laut makin mendekat, Jalu Jantan, dan
T ambak Lanang bergerak mengepung di kanan kiri.
Toya di tangan Jalu Jantan sudah siap dimainkan dalam satu kibasan atau sentakan
keras nantinya. T ambak Lanang pun memainkan pedang bengkoknya di atas
kepala, siap dibacokkan sewaktu-waktu.
"He he he he... tinggal kalian yang hidup di pulau ini!
Se bentar lagi, guru kalian, Kidung Sentanu itu, akan keluar dari tempat
pertapaannya! Pasti dia akan terkejut melihat pulau ini telah kosong. Dan pasti
dia lebih terkejut lagi jika raganya cepat menjadi kosong karena ditinggalkan
oleh nyawanya. He he he...!"
"Jangan mimpi bisa mengalahkan Tambak Lanang dan Jalu Jantan! Badan kebomu itu
bisa hancur kucacak-cacak dengan golokku, tahu"!" bentak Tambak Lanang.
"Minggatlah ke neraka, Setan Gundul! Hiaaat...!" Jalu Jantan sentakkan kaki,
tubuh pun melesat menyerang Hantu Laut yang memunggunginya. Toya di tangan
diarahkan ke depan, dalam satu kali sentakan ujungnya terbuka dan mengeluarkan
mata pisau tajam. Arah mata pisau itu tertuju ke tengkuk kepala Hantu Laut.
T etapi dengan cepat Hantu Laut membalikkan badan.
Kakinya menendang ke atas, wuttt...! Trakk...! Toya itu patah seketika. T api
kaki Jalu Jantan segera menyusul sebagai ganti toyanya.
Beggh...! Dada manusia berkepala gundul itu terkena telak tendangan kaki kanan
Jalu Jantan. T api justru yang menendang yang terpental ke belakang, sedangkan
yang ditendang hanya terkekeh-kekeh geli sambil
tetap berdiri. Serta-merta Hantu Laut melemparkan yoyonya ke
arah Jalu Jantan yang masih kehilangan keseimbangan badan itu. Wuttt...!
Crak...! Yoyo itu mengeluarkan gerigi tajam pada bagian tepiannya. Gerigi itu
memutar cepat dan merobek leher Jalu Jantan. Brett....!
Kaki Tiga Menjangan 11 Tamu Aneh Bingkisan Unik Karya Qing Hong Maling Romantis 1