Pencarian

Pusaka Tombak Maut 3

Pendekar Mabuk 09 Pusaka Tombak Maut Bagian 3


"Ahhg...!" Jalu Jantan memekik tertahan. Darah segar muncrat dari lehernya yang
robek lebar dan dalam, ia menggelepar-gelepar, sangat menyedihkan.
Melihat temannya menggelepar-gelepar
dengan wajah membiru itu, T ambak Lanang semakin mendidih darahnya, ia cepat
sentakkan kaki dan melayang
menerjang tubuh Hantu Laut. Golok bengkok ditebaskan membabat leher Hantu Laut,
tapi orang gundul itu menarik kepalanya ke belakang, sehingga ujung golok hanya
lewat sekilas di depan dagunya. Wusss....!
Dalam kesempatan itu. Hantu Laut cepat sentakkan kakinya ke depan, begg...! Kena
telak pada pinggang T ambak Lanang. T ubuh itu oleng ke samping, lalu disambut
dengan tendangan memutar oleh kaki Hantu Laut.
Wuttt...! Bukkk....!
T ubuh T ambak Lanang terpental tiga langkah ke
belakang. Sempoyongan ia menahan diri. T endangan itu begitu kuat menerjang
pinggangnya hingga terasa patah tulang iganya. Tapi T ambak Lanang tak mau
menyerah. Cepat ia angkat golok bengkoknya ke atas untuk
ditebaskan ke depan. Tapi tahu-tahu Hantu Laut
melemparkan yoyonya ke arah pergelangan tangan
T ambak Lanang. Yoyo itu keluarkan gerigi lagi yang memutar cepat dan berdesing.
Crass...! Gerigi itu nyaris memotong pergelangan tangan T ambak Lanang.
"Auh...!"
T ambak Lanang segera mendekap lengannya yang berdarah itu sambil menahan rasa sakit.
Goloknya jatuh di tanah dan cepat dipungut dengan
tangan kiri. T ubuh T ambak Lanang yang membungkuk itu menjadi sasaran empuk
bagi senjata yoyo Hantu Laut.
Yoyo itu dilepaskan bagai mengibas, geriginya
muncul lagi dan bergerak cepat. Crass....!
"Auuh...!"
T ambak Lanang mengejang. Kulit punggungnya robek karena kibasan gerigi yoyo tersebut.
Pada saat ia mengejang dalam keadaan masih membungkuk itu, Hantu Laut segera melompat dan
menjejak tengkuk kepala T ambak Lanang dengan keras dan bertenaga dalam cukup
besar. "Hegg...!" terdengar suara T ambak Lanang setelah suara tendangan begitu keras.
Beggg...! Krekk...! Patah tulang leher itu.
Darah menyembur keluar dari mulut Tambak Lanang.
Mata orang itu sudah terbeliak-beliak bagai menunggu ajal. T api ia masih
berusaha meraih senjatanya yang jatuh di tanah. Namun dalam gerakan cepat dan
kuat, kaki Hantu Laut menendang kepala T ambak Lanang di bagian pelipisnya.
Plokkk...! T ambak Lanang tak mampu terpekik lagi. T ubuhnya tersentak dan jatuh terkapar
dalam jarak empat langkah dari tempatnya semula. Di sana tubuh itu mengejang-
ngejang dan mengeluarkan darah dari tiap lubang di kepalanya. Kemudian, tubuh
itu tidak bergerak lagi untuk selamanya. Sedangkan Jalu Jantan sudah sejak tadi
tak mampu bergerak atau pun bernapas, karena nyawanya telah lepas dari raga
akibat robekan di lehernya.
Pada saat kematian Tambak Lanang itulah, Suto,
Dewa Racun, dan Badai Kelabu muncul dari tempat
yang lebih tinggi. Dari sana mereka bisa melihat kematian T ambak Lanang, dan
tepuk tangan T apak Baja yang ditepukkan pada pahanya, dengan satu tangan tetap
memegangi Pusaka Tombak Maut.
Plok plok plok....!
"Bagus, bagus, ba gus...! Itu baru namanya kerja yang bagus!"
"Mengejar ikan gabus..."! Ah, untuk apa aku harus mengejar ikan gabus, Nakhoda?"
"Kubilang, itu kerja yang bagus! Bukan kusuruh mengejar ikan gabus! Dasar
budek!" bentak Tapak Baja dengan mata mendelik membuat Hantu Laut ciut nyali.
Di balik rimbunan pohon, di atas sana, tiga makhluk saling berbisik-bisik. Badai
Kela bu yang mendului bicara kepada Suto,
"Itu dia orangnya yang bernama T apak Baja!"
"Yang tua dan memegang tombak berujung taring babi hutan itu?"
"Ya. Dan yang berkepala gundul itu a dalah Hantu Laut, anak buahnya yang tinggal
satu-satunya itu!"
"Mer... mer... mereka habis membunuh dua orang!
T ap... tapi Si T apak Baja tidak turun tangan, hanya Si Hantu Laut saja yang
menangani dua musuhnya itu!"
"Aku harus balas menyerang sekarang juga!" geram Badai Kelabu yang se gera
berlari menuruni lereng. Tapi tangannya cepat ditahan oleh Suto.
"T unggu dulu! Jangan gegabah! Kita pelajari dulu
keadaan sekeliling tempat mereka!"
"Kalau tak segera bertindak, mereka bisa kabur secepatnya!"
"Aku yang akan mengejar mereka!" kata Suto.
"Jangan dulu bergerak, karena kulihat ada sekelebat bayangan kuning menyusup di
balik semak belukar di belakang T apak Baja."
Baru saja Suto selesai mengatakan demikian, tiba-tiba T apak Baja palingkan
badan ke belakang dan sentakkan tangannya yang kiri. Wuuttt....!
Grusssak....! Pukulan jarak jauh itu menghantam semak belukar, namun sebelum pukulan itu
sampai ke semak belukar, sosok bayangan yang bersembunyi di sana telah melesat
keluar lebih dulu dengan melentingkan tubuh ke udara dan bersalto dua kali, lalu
sepasang kaki itu hinggap di salah sebuah dahan pohon yang tumbuh pendek. Orang
yang hinggap di pohon pendek berdahan kecil itu
mengenakan celana kuning dengan kain pembalut bagian dadanya warna kuning juga,
hanya diselempangkan ke pundak kanan, sedangkan pundak kirinya terbuka tanpa
kain penutup. Orang itu berusia antara tujuh puluh tahun, rambut putih dikonde
kecil di tengah kepala, membawa kalung batuan besar seperti tasbih warna merah
tua, butir-butir kalungnya itu seukuran dengan biji buah rambutan.
"Siapa... oor... or... orang itu, Badai?" tanya Dewa Racun.
"Pasti dia yang bernama Resi Kidung Sentanu!"
jawab Ba dai Kelabu.
T ernyata jawaban itu memang benar, sebab tak
berapa lama terdengar suara T apak Baja menyapa orang kurus berjenggot dan
berkumis putih itu,
"Resi Kidung Sentanu, akhirnya kau keluar juga dari pertapaanmu, Resi! Hampir-
hampir kutinggalkan kau untuk pergi ke Pulau Beliung, karena aku masih punya
tugas untuk menggempur Istana Cambuk Biru di sana!
Untung kau lekas muncul,
jadi aku tidak perlu
menunggumu terlalu lama!"
"Enyahlah kau manusia keji, sebelum tanganku berlumur darahmu!" geram Resi
Kidung Sentanu dengan suara tuanya. Ancaman halus itu ditertawakan oleh Hantu
Laut. "Ha ha ha ha...! Dia suruh kita mengunyah, Nakhoda!
Melantur sekali bicaranya! Ha ha ha....!"
Plokkk....! T awa dari Hantu Laut terhenti seketika. Sebuah
tamparan sangat keras mendarat cepat di pipinya. T apak Baja yang menamparnya
dan segera berkata dengan nada jengkel.
"Dia suruh kita enyah! Bukan mengunyah! Enyah itu pergi!"
Hantu Laut mencibir, "Hmmm... enak saja dia suruh kita
pergi! Apakah dia mau serahkan nyawa secepatnya"!"
"Kurasa dia sudah tahu kalau nyawanya akan tercabut olehku secepatnya!" kata T
apak Baja dengan sedikit membungkuk karena jangkungnya tubuh. Lalu, ia
berkata kepada Resi Kidung Sentanu,
"T urunlah supaya pekerjaanku memusnahkan pulau ini bisa lebih cepat! Atau kau
ingin mati di atas sana?"
Resi Kidung Sentanu tidak menjawab. T etapi, pohon yang dipakainya berdiri itu
bergerak turun ke bumi secara perlahan-lahan, sampai dahan yang dipijaknya
merapat ke tanah.
"Hebat sekali ilmunya. Pohon itu bisa turun ke tanah bagai mengantarnya turun ke
bumi!" gumam Badai Kelabu dengan terheran-heran. T etapi, Tapak Baja terdengar
berseru meremehkan,
"He he he he... dia unjuk kehebatan ilmunya kepada kita, Hantu Laut! Dia mau
pamer ilmu kepada kita!"
"Ha ha ha ha...!" Hantu Laut ikut menertawakan.
"Itu ilmu kecil yang murahan! Bukankah begitu, Hantu Laut?"
"Ya. Itu ilmu kancil yang murahan...."
"Ilmu kecil yang murahan! T uli!" bentak T apak Baja dengan mata melotot seram
kepada Hantu Laut. "Kalau ada orang bicara, dengarlah baik-baik pakai kupingmu!"
"Ya, ya... baik. Aku akan pakai caping!"
"Kuping, tolol! Kuping itu telinga!" sambil T apak Baja membetot telinga si
Gundul yang budek itu.
T erdengar suara Resi Kidung Sentanu yang bernada bijak itu berkata sambil
menahan amarah kuat-kuat.
"Kurasa sudah c ukup kau membantai semua penduduk pulau ini, T apak Baja! T inggalkanlah tempat ini sekarang juga!"
"O, belum seluruhnya terbantai habis, Resi Kidung
Sentanu! Masih ada satu orang yang hidup, yaitu kau sendiri! Padahal tugas yang
diberikan oleh Siluman T ujuh Nyawa adalah membantai habis semua penduduk pulau
ini, tanpa kecuali!"
"Mengapa Siluman T ujuh Nyawa sejahat itu kepada kami" Padahal kami tidak pernah
berniat jahat sedikit pun kepadanya?"
"Karena kamu menolak untuk menjadi sekutunya Siluman T ujuh Nyawa, Resi! Dan
inilah akibatnya!"
"Kalau aku menolak, itu lantaran aku tidak ingin menjadi orang sesat seperti
kalian!" "Kalau tidak ingin menjadi orang sesat, sebaiknya mati saja. Kau tidak akan
tersesat di alam kubur nanti!"
"Sampai kapan pun kami memang tidak akan tersesat, sebab kami ada di pihak yang
benar! Itulah sebabnya kami tidak takut mati!" kata Resi Kidung Sentanu dengan
tetap berani bicara tegas di depan dua orang pencabut nyawa murid-muridnya itu.
"Bagus, bagus...!" T apak Baja manggut-manggut.
Kemudian ia serukan perintah kepada Hantu Laut.
"Hantu Laut, bunuh dia!"
"O, tidak. Aku tidak butuh dia!"
"Bunuh! Kataku, bunuh dia! Bukan butuh dia"!"
bentak T apak Baja yang membuat Hantu Laut menjadi makin gugup.
"O, bunuh"! Baa... baik....!"
Maka, serta-merta Hantu Laut menyerang Resi
Kidung Sentanu dengan tubuhnya yang melayang dan kakinya menendang lurus ke
depan. Dada kurus Resi
Kidung Sentanu menjadi sasaran kaki itu. Dan karena Resi Kidung Sentanu tidak
menghindar serta tidak pula menangkis, maka dada itu menjadi sasaran telak bagi
kaki Hantu Laut yang bertelapak besar itu.
Buegggh...! T erdengar mantap sekali tendangan itu.
T etapi tubuh kurus itu tidak bergeming se dikit pun.
Berguncang pun tidak. Bahkan wajah Hantu Laut
tampak menyeringai merasakan linu pada tulang kakinya yang seperti menendang
sebongkah batu gunung atau bagai menendang dinding baja padat.
"Hancurkan dia!" sentak Tapak Baja.
"Luncurkan" O, baik! Akan kuluncurkan dia!"
"Dasar tuli! T erserah apa katamulah! Kau hancurkan boleh, kau luncurkan
nyawanya juga boleh!"
Hantu Laut cepat sentakkan tangannya menghantam
dada tipis lelaki tua itu. Ia menggunakan pukulan beruntun dengan kecepatan
tinggi. Beg, beg, be g, beg....!
Orang tua itu tetap memainkan kalungnya, tanpa ada gerakan menyerang atau
menangkis. Pukulan berkepalan besar itu seperti hembusan angin pegunungan,
dibiarkan saja tanpa ada tindakan apa pun. Sedangkan yang
memukul semakin menyeringai, tangan kirinya dikibas-kibaskan karena merasa
seperti patah tulang-tulang jarinya.
"Celaka! Berbahaya sekali jika dia hanya bertahan saja!" pikir Badai Kelabu.
Maka, ia pun segera melompat ke depan dan berlari menghampiri Resi
Kidung Sentanu. Pendekar Mabuk dan Dewa Racun
terkejut sekali.
* * * 8 DEWA RACUN mengecam kebodohan Badai Kelabu dengan rasa jengkel, "Das... das... dasar perempuan bod... bod... bod..."
"Bodong"!"
"Bodoh!" sentak Dewa Racun. "Melawan Ratu Pekat saja hampir mampus, sekarang
malah mau melawan
T apak Baja yang pegang Pusaka Tombak Maut! Cari penyakit saja perem... perem...
perempuan itu!"
Dewa Racun mau bergerak turun, tapi tangan Suto
menahan lengannya sambil berkata,
"Jangan menyerang dulu! Awasi dan jagai saja dia dari balik pohon bambu di
sebelah sana!" sambil Pendekar Mabuk menunjuk serumpun pohon bambu
yang rapat tumbuhnya itu. Lalu, sambung Pendekar Mabuk lagi,
"Aku akan mempelajari gerakan dan cara kerja Pusaka Tombak Maut itu dari sini!"
Dewa Racun mengangguk, lalu segera menyusuri
jalan menurun, menyelusup dari pohon ke pohon, hingga menuju rimbunan pohon
bambu. Pendekar Mabuk
meneguk tuaknya beberapa kali, kemudian kembali
memperhatikan T apak Baja yang agaknya belum mau turun tangan dalam menghadapi
Resi Kidung Sentanu. Ia masih marah-marah kepada Hantu Laut yang dianggap
tidak mampu merobohkan lawannya yang sudah tua
renta itu. "Gunakan tenagamu, Tolol!" bentak T apak Baja.


Pendekar Mabuk 09 Pusaka Tombak Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tidak
punya tetangga, bagaimana harus kugunakan"!"
"T enaga! Kataku, gunakan tenaga! Bukan tetangga!"
T apak Baja berteriak di telinga Hantu Laut. Suaranya keras
memekakkan telinga, hingga Hantu Laut mengernyitkan alis.
Kejap berikutnya, Hantu Laut mundur tiga tindak, lalu ia sentakkan tangan
kanannya dengan telapak terbuka. Wuuhgg....! Tenaga dalamnya dilepaskan untuk
memukul dada Resi Kidung Sentanu.
Begg....! T elak sekali tenaga dalam besar itu menghantam dada tipis Resi Kidung Sentanu.
T etapi orang tua itu tidak juga bergeser dari tempatnya. Hanya kain penutup
dadanya saja yang tampak bergerak, sedangkan tubuhnya tetap tegar bagaikan tebing gunung cadas.
"Keparat betul ini orang...!" geram Hantu Laut dengan jengkel, merasa dirinya
dipermainkan oleh kekuatan tubuh lawannya. Maka, segera ia lepaskan yoyo-nya ke
depan dengan satu sentakan beraliran tenaga dalam yang cukup besar.
Wengng....! Yoyo itu melesat cepat, lalu kembali tertangkap
tangan Hantu Laut. Pada saat yoyo itu melesat, bukan gerigi tajam yang keluar
dari tepiannya, melainkan sinar merah menyebar bagai kilatan lidah api membara.
Melihat datangnya sinar merah membara itu, Resi
Kidung Sentanu tetap diam, berdiri di tempatnya semula dengan mempermainkan
manik-manik kalung pada
jemarinya. T erlihat tak ada niat
untuk menangkis
ataupun menghindar.
Sikap itu kian mencemaskan Badai Kelabu. Maka
dengan serta-merta ia lepaskan pukulan tenaga dalam jarak jauh yang memancarkan
sinar kuning dari dua jari yang ditotokkan ke depan. Sinar kuning itu melesat
dengan cepat dan menghantam sinar merah yang hampir mencapai dada Resi Kidung
Sentanu. Blarrr....! Benturan kedua sinar menimbulkan ledakan cukup
kuat. Gelombang ledakan menghempas ke sekelilingnya.
T ubuh Hantu Laut dan T apak Baja sempat terguncang sedikit karena hempasan
gelombang ledakan itu. T etapi Resi Kidung Sentanu tetap berdiri tanpa goyah
sedikit pun. "Monyet betina!" geram Hantu Laut setelah mengetahui siapa orang yang mematahkan pukulan
tenaga dalamnya itu.
T apak Baja pun tampakkan kegarangannya begitu
melihat kemunculan Badai Kelabu, ia segera berseru dari tempatnya sambil tetap
bertongkatkan Pusaka T ombak Maut itu.
"Perempuan liar! Apa maumu ikut campur urusanku, hah"! Mau cari kuburmu atau mau
cari bangkaimu"!"
"Kalian memang biadab!" sentak Badai Kelabu dengan lantang dan berani. Suara
sentakannya bernada
curahan dendam terhadap apa yang diderita gurunya akibat ulah kedua orang itu.
"Kurang ajar! Dia mengatakan kita biadab, Nakhoda!" "Menurutmu bagaimana?"
"Memang!" jawab Hantu Laut.
"Memang bagaimana"!" sentak T apak Baja dengan mata mendelik liar.
"Maksudku... maksudku memang dia perlu dihajar, Nakhoda!"
"Jangan dihajar! T api hancurkan dia! T umbuk sampai lembut!"
"Baik. Akan kupeluk sampai lembut!"
"T umbuk sampai lembut!" ulang Tapak Baja nyaris hilang kesabarannya, ia
menggeram bengis kepada
Hantu Laut. Wajah tuanya memerah, menampakkan
warna murkanya.
"Hiaaat....!" untuk menutupi kesalahannya sekaligus menghilangkan kemarahan
Tapak Baja, cepat-cepat
Hantu Laut memekikkan semangat tempurnya dengan
menggerakkan kedua tangannya yang menggenggam
kuat-kuat dan diacungkan ke depan salah satunya. Tapi ia belum bergerak dari
tempatnya, menunggu T apak Baja merasa lega dan menyingkir sedikit menjauhinya.
Bukk...! Punggung Hantu Laut sendiri yang terkena serangan dari kaki T apak
Baja. Cukup keras tendangan Nakhoda Kapal Neraka itu, membuat Hantu Laut
tersentak ke depan dan celingak-celinguk kebingungan, tak tahu mengapa ia
ditendang oleh sang Nakhoda.
"Serang dia!! Jangan teriak saja!" bentak T apak Baja.
"Baik! Hiaaat...!" Hantu Laut cepat keluarkan yoyo mautnya. Yoyo itu diputar-
putar di atas kepala. Wuung wuung wuung....! Wesss...! Hampir saja mengenai
wajah T apak Baja jika kepala bengis itu tidak segera ditarik ke belakang.
"Maju, Goblok!"
Begg...! Kaki T apak Baja menendang pantat Hantu Laut hingga orang gundul itu
tersentak maju dua tindak.
Badai Kelabu hanya bergerak pelan mencari kesempatan melancarkan pukulan jarak jauh. Ia tak berani
mendekat, karena senjata yoyo itu dapat melukainya sewaktu-waktu. Hantu Laut sendiri masih tetap memutar-mutarkan
yoyonya hingga menimbulkan suara berdengung mirip lebah mengelilingi tempat itu.
Lalu tiba-tiba kedua tangan Badai Kelabu menyentak ke depan secara berturutan.
Wutt... wuttt....!
Buuhg buuhg....!
Dada dan perut Hantu Laut terkena pukulan jarak
jauh dari tangan Badai Kelabu. T ubuh besar dan gemuk itu tersentak ke belakang.
Yoyonya cepat ditarik dan ditangkap
di tangan. Tapp...! T ubuh gemuk itu terbungkuk karena merasakan mual di perutnya.
"Jahanam kau...!" geram Hantu Laut dengan mata lebarnya
memandang Badai Kelabu secara menyeramkan. Tapi Badai Kelabu tidak merasa gentar sedikit pun. Ia bahkan
bersiap melepaskan pukulan
'Badai Gunung'-nya.
Saat itu, T apak Baja berhadapan dengan Resi Kidung
Sentanu dan berkata dengan suara keras, memancing perhatian Badai Kelabu.
"Di depan si Gundul itu kau boleh unjuk kekebalanmu. T api di ujung pusaka ini kau tak akan bisa unjuk kesaktianmu, T ua
bangka! Hiaaat....!"
T apak Baja menghujamkan tombak itu ke dada Resi Kidung Sentanu. T etapi tangan
Badai Kelabu cepat menyentak ke arah sana dan keluarkan nyala api merah tembaga.
Wuttt....! Trangng....! Tombak yang baru saja mau bergerak menghujam itu tersentak ke samping karena
ditabrak oleh nyala sinar merah tembaga. T apak Baja segera berpaling ke arah
Badai Kelabu dengan kegeraman yang membakar
darahnya. Namun hatinya yang dibakar kemarahan menjadi
sedikit reda karena ia melihat Hantu Laut lepaskan yoyonya, gerigi yang keluar
dari tepian yoyo itu merobek lengan kiri Badai Kelabu. Brett...!
"Aauh...!" Badai Kelabu memekik tertahan. Rasa sakit segera menguasai sekujur
tubuhnya. Lengan di ujung pundak itu robek dan berdarah. Darahnya merah kehitam-
hitaman. Jelas itu darah yang bercampur dengan racun berbahaya. T ubuh Badai
Kelabu pun mulai terasa dingin.
Melihat lawannya terluka, semangat dan keberanian Hantu Laut menjadi kian
meluap, ia pun sentakkan kakinya pada salah satu batu dan tubuhnya yang besar
itu melesat cepat dengan kaki terentang ke depan.
"Hiaaat....!"
Plak, buhgg....!
T angan Badai Kelabu cepat menangkis, lalu kaki
kanannya bergerak cepat menendang perut Hantu Laut dengan
tendangan samping. Tendangan itu telak mengenai perut lawan, membuat lawan terhuyung-
huyung ke belakang. Lalu, dengan cepat Badai Kelabu mencabut pedangnya.
Srett....! "Jahanam najis kau, hiiih....!"
Wusss...! Pedang ditebaskan ke kepala Hantu Laut.
Orang gemuk yang terhuyung-huyung itu masih sempat menghindar dengan merendahkan
tubuhnya. Sambil
merendah, ia lepaskan pukulan tenaga dalamnya melalui telapak tangan kiri.
Wuuttt...! Buhggg....!
"Ahg...!" Badai Kelabu tersentak ke belakang dua tindak.
Se belum Badai Kelabu sigap kembali, Hantu Laut
melemparkan yoyonya dalam gerakan lempar menyamping. Wengng...! Yoyo itu melesat dari arah depan-kanan ke depan-kiri.
Brett...! Gerigi yoyo itu merobek
dada di ba wah leher Badai Kelabu. Robekannya panjang dan cukup dalam. T ubuh Badai Kelabu terpelanting dan jatuh.
"Saatnya kuhancurkan wajah cantikmu dengan jurus
'Lidah Naga'-ku ini, Setan Betina! Hiaaat....!"
Hantu Laut sentakkan kaki dan melesat di udara
dalam satu garis lurus dari tempatnya berpijak tadi. Lalu, tangannya melepaskan
yoyo yang memancarkan warna biru muda ke arah tubuh Badai Kelabu.
Melihat cahaya itu meluncur deras ke arahnya, Badai Kelabu sempat menghadang
dengan pedang hitamnya.
Trasss...! Cahaya biru itu membelok arah, melesat ke depan-kanan dan meluncur
menuju Tapak Baja yang
akan menggerakkan tombak pusaka tersebut
untuk membunuh Resi Kidung Sentanu.
Karena ia melihat sinar biru milik Hantu Laut itu membelok ke arahnya, maka
niatnya untuk menyerang Resi Kidung Sentanu ditangguhkan. T apak Baja tahu,
sinar biru itu sinar yang berbahaya. Jurus 'Lidah Naga'
milik Hantu Laut adalah jurus pemusnah lawan yang tak bisa ditawar-tawar lagi
kedahsyatannya.
Sekalipun demikian, T apak Baja masih bisa menggunakan telapak tangan kirinya untuk menahan sinar biru tersebut. Tappp...!
Sinar biru itu padam di tangan T apak Baja. Itulah sebabnya dia dijuluki T apak
Baja, karena telapak tangannya bagaikan baja, mampu menahan pukulan tenaga dalam
berbentuk sinar apa pun.
"Habisi dia!" teriak T apak Baja kepada Hantu Laut, sebab menurut perhitungan T
apak Baja, lawan sudah lemah dan tinggal dilenyapkan nyawanya.
"Hiaaat...!" Hantu Laut kembali sentakkan kaki dan melesat terbang ke atas
sambil melepaskan yoyonya lagi.
Karena saat itu Badai Kelabu tertunduk lemah menahan sakit yang membuat wajahnya
makin membiru. Namun, sebelum tangan Hantu Laut melepaskan
yoyonya lagi, tiba-tiba sebuah anak panah melesat dengan cepat
dan menancap di bawah ketiaknya.
Jrubb....! "Aaoou...!" pekik Hantu Laut, tak jadi melepaskan yoyonya.
Hantu Laut mengejang ketika kakinya memijak bumi, ia mencabut anak panah kecil
itu dengan seringai kesakitan. Matanya memandang liar ke arah rimbunan pohon
bambu, karena ia tahu arah datangnya anak panah itu dari rimbunan pohon bambu di
sebelah kanannya.
T etapi pada saat itu matanya menjadi berkunang-kunang, ia berdiri dengan
limbung dan melangkah mundur
terhuyung-huyung, kedua tangannya masih merentang sedikit ke depan untuk menjaga
keseimbangan. "Hantu Laut...!" seru Tapak Baja tampak cemas, ia segera melompat dengan
bersalto di udara dua kali, lalu mendaratkan kakinya di belakang Hantu Laut.
Pada waktu itu, tubuh Hantu Laut hampir tumbang ke
belakang. T apak Baja segera menahan tubuh besar itu.
"Bodoh kau!" bentak Tapak Baja. Segera ia membuka tangan Hantu Laut yang kanan, kemudian luka bekas


Pendekar Mabuk 09 Pusaka Tombak Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tertancapnya anak panah beracun itu segera diludahi tiga kali.
Cuih, cuih, cuih....!
Kulit yang terluka itu bergerak-gerak seperti tersiram air keras. Asap tipis
mengepul dari luka tersebut. Lalu, dalam waktu yang amat singkat luka itu
mengering dan akhirnya hilang tak berbekas.
Kesempatan itu digunakan oleh Resi Kidung Sentanu untuk melesat
bagaikan terbang, mengambil Badai
Kelabu agar tidak menjadi sasaran terdekat
dari kemarahan T apak Baja. T ubuh berpakaian kuning itu
seperti seekor kelelawar raksasa yang terbang dengan cepatnya.
Wuurrrr....! "Mau ke mana kau, Kunyuk!" sentak T apak Baja sambil mendongak ke atas. Ia
segera melepaskan Hantu Laut, lalu sentakkan kaki dan melompat ke salah satu
tempat, ia melihat bayangan Resi Kidung Sentanu
bergerak di tanah berumput. T apak Baja segera menoreh bayangan itu dengan
menggunakan ujung tombak
pusaka tersebut. Gress....!
"Ahhg...!" terdengar pekik Resi Kidung Sentanu dengan suara tertahan pada saat
ia masih berada di udara. Rupanya dengan menggoreskan ujung tombak ke bayangan,
Resi Kidung Sentanu dapat terluka dadanya dan berdarah. Resi Kidung Sentanu
jatuh berdebum tanpa keseimbangan lagi. T etapi ia buru-bur u bangkit berdiri
bagai tak menghiraukan lukanya yang menghitam koyak itu.
Wuttt...! Kalung itu dikibaskan oleh Resi Kidung Sentanu. Kibasan tersebut
mendatangkan angin kencang yang menyentakkan tubuh T apak Baja. Bahkan tubuh
Hantu Laut pun terdorong menyerosot di tanah sampai membentur pohon punggungnya.
Buehgg....! "Aduuuh..!"
Hantu laut mengerang memegangi
pinggang belakangnya yang terasa patah tulangnya akibat benturan dengan batang
pohon besar. Sementara itu, Tapak Baja hanya terhuyung-huyung dan tak jadi jatuh karena
tersangga oleh tombak yang dijadikan tongkat penyangga badannya itu. Ia cepat
balikkan badan dan menggeram buas kepada Kidung
Sentanu. "Kalau aku harus membunuhmu, bukan karena aku tak suka padamu, tapi aku
menyingkirkan iblis yang bersemayam di raga dan jiwamu!" ucap Resi Kidung
Sentanu, kemudian cepat-cepat ia lemparkan kalung bermanik-manik merah tua itu.
Wuurrrr...! T apak Baja melihat kalung itu menyala bagaikan
batuan dari magma gunung berapi. Cepat-cepat ia
kibaskan tombak pusaka itu untuk menghantam kalung tersebut.
Blarr...! T rak trak trak blarrr....!
Kalung itu hancur berantakan tak berbentuk lagi.
Tombak Pusaka Maut masih berdiri tegak dan utuh, tanpa
lecet sedikti pun. Resi Kidung Sentanu memandang dengan sorot mata yang dingin, ia cepat gerakkan tangannya, merapatkan
telapak tangan itu di dada. Kepalanya masih tegak, mata memandang lurus bagai
menerawang. "Hiaat...!" Tapak Baja melompat dan menyambar-kan ujung tombaknya ke leher Resi
Kidung Sentanu. Brett...!
Leher itu robek seketika tergores ujung tombak yang terbuat dari taring babi
hutan runcing dan tajam. Tapi Resi Kidung Sentanu tetap diam, tidak memberikan
perlawanan dan gerakan menangkis sedikit pun. Sementara itu, luka di dadanya semakin melebar, darah yang keluar bukan merah,
melainkan hitam.
"Habis sudah riwayatmu, T ua bangka! Hiaaah....!"
Beggh...! T apak
Baja segera pukulkan telapak
tangannya ke punggung Resi Kidung Sentanu. Pukulan itu berasap biru. Resi Kidung
Sentanu masih diam, berdiri dengan tangan merapat di dada. T api matanya kali
ini dipejamkan, sepertinya sedang menahan segala bentuk serangan yang
menyakitkan tubuh.
T apak Baja menjadi lebih buas lagi, karena pukulannya tidak bisa merobohkan Resi Kidung Sentanu. Maka, dengan satu lompatan ke belakang, ia kibaskan tombaknya menyabet
tengkuk kepala Resi
Kidung Sentanu. Brett....!
Kulit dan daging bagian tengkuk kepala orang tua itu terkoyak lebar. Darahnya
memercik deras. T api Resi Kidung Sentanu masih tetap diam, bagai melakukan
semadi dalam keadaan berdiri.
Dari atas lereng, Suto membatin, "Resi Kidung Sentanu pasti punya kejutan
sendiri. T apak Baja akan semakin bernafsu, dan mungkin Resi Kidung Sentanu
memancing nafsu amarah T apak Baja biar nantinya nafsu itu sendiri yang akan
menewaskan T apak Baja.
Hmmm... cukup tinggi ilmu sang Resi. T api, apakah ia memang bisa dilukai dari
bayangannya" Apakah dia menyimpan kekuatan pada bayangannya" Kulihat saat T apak
Baja menggoreskan ujung tombak ke tanah, tepat mengenai bayangan sang Resi, dan
seketika itu sang Resi memekik, terluka dadanya. Tapi, tadi pun kulihat
bayangannya terinjak kaki Hantu Laut, toh dia tidak merasakan
sakit. Apakah melukai lawan lewat bayangannya adalah salah satu kehebatan pusaka tersebut?"
Di balik kerimbunan semak bambu, Dewa Racun
masih bersembunyi di sana. Ia ingin mengambil Badai Kelabu yang makin membiru
dan lemas tubuhnya. Tapi keadaan Badai Kelabu ada di dekat Resi, dan sang Resi
sedang diserang T apak Baja. Dewa Racun tidak mau bertindak gegabah. Salah-salah
ia yang menjadi sasaran Pusaka Tombak Maut itu.
Namun, melihat sang Resi yang tercabik-cabik hanya diam saja, Dewa Racun menjadi
geram dan tak tega membiarkannya. Maka, satu anak panah dilepaskan dari sela-
sela batang bambu. Zuuttt....!
Anak panah tertuju ke arah T apak Baja. T api mata tua T apak Baja cukup awas.
Ia hindari gerakan anak panah berbulu merah itu. Lalu ia sentakkan tangan
kirinya ke rimbunan bambu. Wuttt....!
Sinar biru melesat dari telapak tangan. Dewa Racun cepat hindarkan diri dengan
melompat keluar dari persembunyiannya. Wess....!
Brakkk...! Blarrr....!
Rimbunan batang bambu pecah menjadi serpihan-
serpihan kecil karena terkena sinar biru dari telapak tangan kiri T apak Baja.
"Monyet kecil!" bentak T apak Baja dengan murka yang memerahkan bola matanya.
"Tak perlu kutahu siapa dirimu, tapi kau sudah mencoba menyerangku, berarti kau
termasuk lawan yang harus kumusnahkan bersama Resi peot ini! Hiaaat....!"
Dewa Racun melompat hindari serangan tombak
yang meluncur cepat bersama pemegangnya. Dewa
Racun sengaja memancing T apak Baja supaya menjauhi Badai Kelabu, supaya jika
serangannya meleset tidak mengenai Badai Kelabu yang hidup di antara mati itu.
Sementara Dewa Racun melompat-lompat dengan
lincahnya, hati Pendekar Mabuk menjadi waswas, ia membatin,
"Jangan-jangan
Dewa Racun belum mengetahui bahwa Pusaka Tombak Maut bisa melukai lawan melalui bayangan
lawannya" Celaka! Dewa
Racun bisa celaka jika ia tak menyadari hal itu!"
Suto baru saja mau bergerak, tiba-tiba matanya
terbeliak melihat T apak Baja menorehkan ujung tombak ke pohon. Karena di pohon
terdapat bayangan Dewa Racun, maka Dewa Racun pun tersentak kaget sambil
terpekik dengan suara tertahan. "Oohgg...!"
T ubuh Dewa Racun melengkung ke depan. Punggungnya robek, darah keluar menghitam di rompi bulunya yang juga robek bagai
habis digores dengan benda yang amat tajam itu. Dewa Racun limbung
menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya.
"Mampus kau tikus busuuuk...!" teriak T apak Baja sambil melompat dan hendak
menancapkan tombak itu ke punggung Dewa Racun.
Pendekar Mabuk cepat-cepat melepaskan pukulan
jarak jauhnya. Namun, sebelum pukulannya terlepas, tiba-tiba tubuh T apak Baja
tersentak dan terlempar jauh hingga membentur pohon yang dipakai duduk bersandar
oleh Hantu Laut.
Begggh....! "Uuhg...!"
ia memekik kesakitan. "Ada yang menyerang dari persembunyian, Nakhoda!"
Plokk...! Wajah berkepala gundul ditampar telak oleh T apak Baja, lalu ia
membentak, "Aku tahu! Aku tak perlu saranmu!"
Hantu Laut tak berani bicara lagi. Ia segera bangkit dan berniat menyerang Dewa
Racun yang terluka parah, sedang merangkak mendekati Badai Kelabu. T etapi
tangannya segera ditarik oleh T apak Baja, dan Hantu Laut jatuh terduduk lagi.
"T ak perlu ikut campur, Tolol! Biar aku sendiri yang melenyapkan si penyerang
gelap itu!"
T apak Baja cepat sentakkan tangannya ke tanah dan tubuhnya melesat lompat dalam
keadaan berdiri sigap, ia berseru sambil matanya memandang sekeliling.
"Bangsat...!
Keluar kau! Hadapilah aku kalau memang kau ingin mengantarkan nyawamu!"
Pendekar Mabuk membatin sambil bergerak pelan
mendekati tempat Dewa Racun dan Badai Kelabu,
"Siapa penyerang gelap itu" Cukup tinggi juga ilmunya, hingga dia bisa membuat T
apak Baja terlempar sejauh itu bersama
Pusaka Tombak Mautnya! Hmmm... sebaiknya tak perlu kuhiraukan dulu siapa orang itu, yang penting kuselamatkan
dulu De wa Rac un dan Badai Kelabu! Dewa Rac un adalah penunjuk jalan bagiku
untuk bertemu dengan kekasihku; Dyah Sariningrum.
Dewa Racun tak boleh mati karena luka-lukanya itu!"
Resi Kidung Sentanu tetap berdiri tanpa goyah sedikit pun. Walau tubuhnya telah
terkoyak habis hingga bagian wajahnya bagai nyaris membelah, tapi matanya tetap
memandang lurus dengan tangan saling merapat di dada dalam sikap semadi, ia tak
menghiraukan dua orang yang menjadi biru kulit tubuhnya akibat luka goresan
Pusaka Tombak Maut itu.
Suto dengan cepat menyambut tubuh Dewa Racun
dan Badai Kelabu. Gerakannya diketahui T apak Baja, sehingga Tapak Baja berseru,
"Hai, berhenti! Hadapi aku atau kuserang kau dari belakang"!"
Baru saja Pendekar Mabuk ingin sentakkan tangannya untuk melepaskan pukulan jarak jauhnya, tapi lagi-lagi tubuh Tapak
Baja tersentak ke depan dan jatuh tersungkur. Seseorang telah menyerangnya dari
bagian punggung T apak Baja, yang membuat T apak Baja kaget dan tak bisa menjaga
keseimbangan tubuhnya. Serangan itu jelas serangan bertenaga dalam tinggi,
karena Tapak Baja sampai semburkan darah dari mulutnya walau tak terlalu banyak,
dan masih bisa membuatnya cepat
berdiri. "Persetan dulu dengan siapa penyerang gelap itu, yang penting kubawa lari dulu
kedua temanku ini dan kusembuhkan dulu luka-lukanya, setelah itu baru aku
kembali ke sini tanpa mereka!"
Setelah membatin begitu, Pendekar Mabuk pun cepat pergi membawa mereka.
* * * 9 PULAU itu mempunyai tebing, dan di tebing itu ada gua karang di mana air laut
juga masuk ke dalamnya.
Gua itu tidak terlalu dalam, tapi cukup lebar. Langitnya rendah, namun bisa
dipakai untuk masuk sebuah perahu.
Di gua itulah Suto menyembunyikan perahunya. Di atas perahu
itulah, Dewa Racun dan Badai Kela bu dibaringkan setelah dipaksa meminum tuak dari tabung bambu yang selalu ada di
punggung Pendekar Mabuk itu.
T ak kurang dari seratus hitungan, setelah minum tuak beberapa teguk, rasa sakit
di sekujur tubuh De wa Rac un dan Badai Kelabu mulai berkurang. Napas mereka
lancar kembali. T api badan masih terasa lemas untuk bergerak.
"Jangan bergerak dulu! Biarkan tenagamu pulih kembali!" kata Pendekar Mabuk
kepada Dewa Racun yang mencoba untuk bangkit tapi susah.
"Racun di ujung tombak itu sangat ganas, Sut... Sut...


Pendekar Mabuk 09 Pusaka Tombak Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suto! Hawa murniku yang biasa un... un... untuk
menolak racun tak mampu menghadapi keganasan racun tersebut. Ber... berarti...
berarti racun itu jenis Racun Ludah Dewa."
"Apa itu Racun Ludah Dewa?"
"Ra... ra... racun yang tidak bisa dilawan, karena tidak ada penawarnya."
"T api badanmu yang tadinya dingin sekarang sudah menjadi hangat kembali, Dewa
Racun. Demikian juga Badai Kelabu. Bahkan paras pucat mulai memudar dari wajah
kalian." "Yaa... yaa... ya, memang. Justru aku heran padamu.
T u... tu... tuak apa sebenarnya yang kau miliki, hingga terasa seperti dapat
menawarkan Racun Ludah Dewa..."
Sung... sungguh aku heran, Suto!"
Pendekar Mabuk hanya tersenyum. Segera ia pandangi Badai Kelabu yang sudah bisa mengerang dan menggeliat itu. Pendekar
Mabuk memberi saran sama seperti yang diberikan pada Dewa Racun tadi. Badai
Kelabu tak jadi mencoba untuk bangun, tapi ia bisa bicara dengan suara lemah,
"Sudah matikah aku...?"
"Belum," jawab Suto sambil tersenyum. Mata Suto melihat ke arah luka-luka di
tubuh Badai Kelabu, ternyata lebih cepat kering daripada luka-lukanya Dewa
Racun. Mungkin hal itu dikarenakan Badai Kelabu
hanya terkena racun dari gerigi yoyo milik Hantu Laut yang tidak separah racun
di ujung taring babi hutan itu.
Racun itu juga cukup berbahaya, hanya saja mudah ditawarkan ketimbang racun dari
Pusaka Tombak Maut.
"Aku akan kembali ke sana," kata Pendekar Mabuk.
"Kalian tetap saja di sini sampai aku datang kembali membawa Pusaka Tombak Maut
itu." "Suto, jangan berusaha merebut pusaka itu!" kata Badai Kelabu dengan perasaan
cemas. "T apak Baja dan pusaka itu sangat berbahaya untuk keselamatanmu. Aku
takut kau terluka, Suto!" tangannya menggenggam tangan Pendekar Mabuk.
"Aku hanya
ingin melihat, siapa orang yang
menyerang T apak Baja dari tempat persembunyiannya!
Karena saat aku hendak membawamu pergi, T apak Baja sedang terdesak oleh
serangan berilmu tinggi," ucap Pendekar Mabuk.
"T ak perlu. T ak perlu, Suto! Sebaiknya kita tinggalkan saja mereka dan cepat menuju Pulau Hitam.
Gur uku pasti sangat membutuhkan kamu dan menunggu-nunggu kedatangan kita!"
"Sebentar saja aku ke sana! Secepatnya aku kembali!"
"Aku takut kau jadi sasaran kemarahan Tapak Baja, Suto!"
"Aku ada di persembunyian pertama. Tidak akan turun!"
Badai Kelabu merasa tak mungkin bisa mencegah
kemauan Pendekar Mabuk yang sangat keras itu.
Akhirnya ia hanya berpesan,
"Hati-hati, Suto! T ak perlu ikut turun seperti aku tadi!"
"Mudah-mudahan
keadaannya begitu!" jawab Pendekar Mabuk, lalu segera keluar dari gua itu melalui tepian tebing karang.
Dengan gesit Suto melompat dari batu ke batu, dan dalam waktu singkat ia sudah
kembali berada di tempat persembunyian yang pertama. Dari ketinggian itu ia bisa
melihat keadaan T apak Baja dengan bebas. T api merasa kurang jelas, sehingga ia
perlu melompat bagai seekor burung jantan yang terbang dan hinggap di salah satu
dahan pohon. Dari dahan kedahan ia melompat, sampai akhirnya ia tepat berada di
atas pohon yang digunakan Hantu Laut bersandar dalam duduknya.
Pada saat itu, Tapak Baja sedang berhadapan dengan orang berambut merah jagung.
Rambut itu panjang lewat pundak tanpa ikat kepala. Alis, kumis, dan jenggotnya
juga ber warna merah bulu ja gung. Orang bertubuh kurus itu mengenakan jubah
tanpa lengan sepanjang lutut berwarna merah tua, celana dan baju dalamnya yang
berlengan panjang itu berwarna hijau muda. Dari kerutan kulit wajahnya, ia
tampak seperti berusia sekitar enam puluh tahun, ia mengenakan sabuk hitam
besar, dan menggenggam tongkat berkayu putih setinggi lewat kepala. Ujung
tongkatnya itu berbentuk kepala singa.
Melihat matanya yang kecil tapi tajam itu, Pendekar Mabuk dapat menduga orang
berambut merah itu punya kejelian pandang yang cukup tinggi. Sikap berdirinya
yang selalu tegak dengan dada membusung, menampakkan ia sebagai orang yang pantang menyerah.
Rupanya bukan hanya Pendekar Mabuk yang tidak
mengenali tokoh tua itu, melainkan Tapak Baja sendiri juga tidak mengenalinya.
Karena itu, T apak Baja segera ajukan tanya dengan nada kasar,
"Siapa kau, Iblis keriput! Apa urusanmu denganku, sehingga kau berani
menyerangku dari belakang, hah"!"
"T alang Sukma adalah namaku. Jangkar Langit adalah kakakku. Pusaka Tombak Maut
adalah sasaranku.
Dan nyawamu adalah alas kakiku!" jawab si Rambut Jagung yang ternyata adalah
adik dari Ki Jangkar Langit, pemilik Pusaka Tombak Maut itu.
Mendengar pengakuan itu, T apak Baja menggeram
penuh nafsu untuk membunuhnya. T api ia sempat
berkata dengan lantang,
"Urungkan niatmu merebut Pusaka Tombak Maut ini!
Kau hanya akan mati tanpa arti, Talang Sukma!"
"Demi merebut hak milik kakakku, aku siap mati di tangan siapa saja, T apak
Baja!" "Aku yang berhak memiliki pusaka ini! Karena pusaka ini, seperti kau ketahui
sendiri, sudah berada di tanganku. Berarti akulah yang berhak memilikinya!"
"Orang sesat seperti kau tak pernah punya hak memiliki pusaka apa pun, Tapak
Baja!" "Keparat! T erlalu semborono
bicaramu, T alang
Sukma!" "T ak perlu beramah tamah bicara dengan pengikut iblis seperti kau, T apak Baja!
T ak perlu sabar bersikap di depan penganut setan sesat seperti dirimu!"
"Jahanam kau! Hihhh...!" Tapak Baja segera kirimkan pukulan bertenaga dalam
cukup tinggi. Dari telapak tangan kirinya keluar sinar biru yang disusul dengan
sinar merah di belakangnya. Wuttt wuttt....!
Dua sinar menyerang T alang Sukma yang berjarak
delapan langkah itu. T api oleh T alang Sukma, sinar itu disingkirkan
melalui kibasan tongkatnya yang disabetkan ke kiri dengan menggunakan dua tangan dan kaki merendah ke belakang
Wuusss....! Arah kedua sinar yang saling susul itu membelok dan menghantam sebuah pohon
jati. Bezz... bezzz....!
Zzruubbb....! Pohon jati itu lenyap, berganti serbuk yang menyerupai tepung dan menggunung di tempat pohon
itu semula berada. T apak Baja terkesiap melihat kedua sinarnya
bisa dibelokkan arahnya, ia semakin menggeram karena merasa disepelekan ilmunya.
T alang Sukma melangkah pelan ke samping kiri
dengan memutar-mutar tongkat panjangnya bagai dipermainkan di sela-sela jarinya. Bunyi putaran tongkat itu mirip serombongan
lebah menggaung dan angin
putarannya membuat dedaunan tersingkap. Daun-daun yang tersingkap itu segera
berubah warna dari hijau menjadi kuning kecoklat-coklatan. Jelas kibasan angin
itu mempunyai tenaga dalam yang tinggi dan sengaja dipamerkan kepada T apak
Baja, biar menjadi bahan perhitungan bagi T apak Baja.
Namun, agaknya T apak Baja tidak mau peduli
dengan kibasan tongkat berputar itu. Matanya segera melirik bayangan Talang
Sukma yang jatuh di atas sebuah gugusan batu. T apak Baja cepat sentakkan
kakinya, dan tubuh pun melayang cepat ke arah gugusan batu itu. Lalu, ujung
tombak dipakai menghantam
gugusan batu tersebut. T rakk...!
Blarrr....! Batu itu pecah menjadi serpihan pasir yang membara merah mengepulkan asap panas.
Sedangkan T alang
Sukma tetap berdiri tegak sambil memutar-mutarkan tongkatnya. Karena pada saat
tombak itu dihantamkan pada
batu ia telah melompat
lebih dulu hingga bayangannya pindah di tempat lain. Rupanya Tapak Baja telah tertipu. T alang
Sukma telah mengetahui kehebatan tombak pusaka milik kakaknya itu, sehingga bisa
mengecohkan gerakan T apak Baja.
Se gera T alang Sukma sodokkan tongkatnya ke depan dan dari kepala tongkat itu
menyembur sinar kuning dalam sekejap. Zubbb....!
Crab crab crab! Blllaaar....!
Sinar kuning itu bagai tersedot oleh ujung tombak dan akhirnya melesat sinar
kuning kemerahan dari ujung tombak, arahnya ke atas dan meledak di angkasa sana.
Dua pohon patah dahannya, dan jatuh di dekat Resi Kidung Sentanu yang tetap
berdiri dengan sikap
semadinya. Kejap berikutnya T alang Sukma menarik tongkatnya ke belakang, tapi tangan
kirinya menyentak ke depan seperti
orang melemparkan sesuatu dari telapak tangannya. T ernyata dari telapak tangan kirinya itu keluar tenaga dalam yang
berasap biru. T enaga itu melesat tanpa wujud ke arah T apak Baja, membuat T
apak Baja segera menyilangkan tombak
itu ke samping. T ombak itu dipegang dengan dua tangan dan keluarlah loncatan api biru
bagaikan petir menyambar tongkat T alang Sukma setelah terlebih dulu menembus
tenaga dalam yang meluncur ke arahnya.
Blluub....! T arrr....! T alang Sukma melompatkan badan ke kanan. Kayu
tongkatnya yang putih menjadi hitam di bagian tengahnya, tapi belum patah. Kayu itu terkena kilatan cahaya biru yang terasa
menyengat di telapak tangan T alang Sukma. Hampir saja tangan itu melepaskan
genggaman pada tongkatnya.
Se gera tongkat itu dipegang oleh tangan kiri dan tangan kanan mengibas ke
samping, memercikkan sinar merah
berbintik-bintik
menerjang T apak Baja. Zrappp....! T apak Baja cepat melakukan kibasan memutar pada tombaknya. Tombak itu memutari
kepala dengan cepat dan keluarlah sinar hijau muda yang mengelilingi tubuhnya.
Sinar hijau muda itu membuat butiran sinar merah tadi meletup dan mengepulkan
asap hitam pekat tersembur ke atas.
Bahkan ketika kaki Talang Sukma menendang
sebongkah batu satu genggaman tangan, batu itu melesat ke arah T apak Baja. T
api sebelum sampai menyentuh sinar hijau yang mengelilinginya itu, batu tersebut
telah hancur dalam satu ledakan kecil yang cukup mengagumkan bagi orang awam. Rupanya sinar hijau itu menjadi pagar bertenaga
tinggi, terbukti T alang Sukma tak berani menerobos masuk ke dalam lingkaran
sinar hijau tersebut.
"Ayo, dekatlah! Majulah kalau kau memang berilmu tinggi!" teriak T apak Baja
menantang. "Aku tak mau mati terbakar!" kata T alang Sukma.
"T api barangkali tongkatku ini bersedia untuk terbakar!"
Zubbb...! T alang Sukma lemparkan tongkatnya dengan kuat. Tongkat meluncur cepat ke arah Tapak Baja, menerobos lingkaran
sinar hijau. Zrubbb....!
Tongkat itu terbakar dan menjadi hangus, tapi masih mampu melesat cepat dan
menghantam pangkal ketiak
T apak Baja. Duuub....!

Pendekar Mabuk 09 Pusaka Tombak Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sentakan tongkat itu begitu keras, sehingga T apak Baja terpelanting ke belakang
dan jatuh. T ombaknya terlepas dari tangan, jatuh di depan Hantu Laut.
"Cepat ambil!" teriak T apak Baja. Maka, Hantu Laut dengan cepat berguling
sambil meraih tombak itu. Kini ia berdiri dengan menggenggam tombak. Membawanya
lari ke tempat yang aman. Melihat tombak di tangan Hantu Laut, T apak Baja
menjadi lega. Ia cepat berdiri dan siap menghadang serangan Talang Sukma.
Pendekar Mabuk ingin turun dari atas pohon untuk merebut tombak itu, tapi Hantu
Laut berdiri di samping Resi Kidung Sentanu. Salah-salah jika Pendekar Mabuk
menerjang untuk merebutnya, tombak itu bisa dikibaskan sembarangan oleh Hantu Laut dan mengenai Resi Kidung Sentanu. Suto
menahan diri untuk tidak melakukannya.
T etapi di pohon belakang Hantu Laut, Pendekar
Mabuk melihat Dewa Racun telah berdiri di sana. Dewa Racun berada lebih bawah
dari Badai Kelabu yang
bertengger dengan tubuh segar di atas Dewa Rac un.
Pendekar Mabuk memberi isyarat agar jangan merebut tombak itu dulu, sebelum
Hantu Laut menjauhi Resi Kidung Sentanu. Sebab Pendekar Mabuk tahu, orang
berkepala gundul itu cukup bodoh dan akan menggunakan tombak itu secara sembarangan jika
keadaannya terdesak. Suto khawatir tombak itu akan menewaskan Resi Kidung
Sentanu karena kebodohan
Hantu Laut. Melihat tombak berada di tangan Hantu Laut, T alang Sukma
segera mengejarnya. Tapi lompatannya dipatahkan oleh terjangan T apak Baja dari belakang.
Dua pukulan telapak tangan yang mengepulkan asap merah itu mengenai punggung T
alang Sukma dengan telak. Bleg, bleg....!
"Haagh..."!" T alang Sukma tersentak melengkung ke belakang dan jatuh tanpa daya
lagi. Ia berusaha
mengerang dan menggeliat. Tapi punggungnya yang
hangus terbakar oleh dua pukulan itu telah membuatnya hanya
bisa berguling ke samping dan tubuhnya terlentang di tanah. T ernyata bekas hangus itu terlihat nyata di dada T alang
Sukma dan mengepulkan asap berbau sangit. Rupanya pukulan ampuh T apak Baja itu
telah tembus sampai di ba gian dada dan membuat
T alang Sukma akhirnya meregang nyawa, tak berkutik selamanya.
Suto segera melompat turun dari atas pohon sambil menyentilkan
jari telunjuknya. Jurus 'Jari
Guntur' dipakainya. Sentilan jarak jauh itu mengenai pelipis T apak Baja, dan T apak
Baja terlempar karena sentakan yang begitu kuat tersebut.
"Bangsaaat...!" teriaknya sambil tubuh itu jatuh berdebum di dekat Hantu Laut.
Suto berdiri tegak menghadap T apak Baja, siap
menjadi musuh tandingan yang akan memusnahkannya.
T api tanpa diduga-duga oleh Pendekar Mabuk dan yang lainnya, Hantu Laut cepat
menikamkan Pusaka T ombak
Maut itu ke lambung T apak Baja.
Jrubbb....! "Haagghh...!" T apak Baja mendelik, memegangi tombak itu, dan makin lama
pegangannya makin lemah.
Tombak segera dicabut kembali oleh Hantu Laut yang tertawa keras dan berseru,
"Dendamku terbalaskan sekarang! Ha ha ha...! Sekian puluh
tahun aku menyimpan dendam terhadap keganasanmu, Nakhoda! Sekian lamanya kau hina aku dengan kekuasaanmu! Sekarang
kau tak akan bisa
memperbudak aku seenaknya saja! Kukirim kau ke
neraka sana dan jadilah nakhoda kapal di sana!"
"Han... Han... Hantu Laaa... Lauuut...!" tubuh T apak Baja roboh. T angannya
masih meremas rumput kuat-kuat bagai menggenggam kemarahan dan dendam yang tak
bisa terbalaskan. Karena kejap berikut Tapak Baja meregang nyawa,
ia mati dalam keadaan mulut ternganga dan mata mendelik.
"Sekarang akulah Nakhoda Kapal Neraka! T ak ada yang bisa memerintahku dengan
sewenang-wenang!
Bahkan Siluman T ujuh Nyawa pun bila perlu kula wan dengan Pusaka Tombak Maut
ini! Haaa... ha... ha ha ha....!"
T awanya itu terhenti karena Dewa Racun dan Badai Kelabu turun dari atas pohon.
Hantu Laut segera
memandang mereka dengan buas dan liar. Ia siap
kibaskan tombak dengan badan sedikit membungkuk.
"Mau apa kalian, hah"!" bentak Hantu Laut dengan wajah angker.
"Kembalikan pusaka itu kepada pemiliknya!" kata Pendekar Mabuk.
"T idak bisa! Akan kupakai melawan Siluman T ujuh Nyawa
yang selama ini memerintahku seperti memerintah binatang!"
"Akan kudukung usahamu itu! Akan kubantu! T api serahkan pusaka itu kepada
pemiliknya!" bujuk Suto Sinting.
"T idak bisa! Tanpa pusaka ini aku lemah dan tidak punya kekuatan apa-apa! Aku
harus tunjukkan kepada Siluman T ujuh Nyawa, bahwa aku bisa menggantikan jabatan
Tapak Baja sebagai Nakhoda Kapal Neraka yang mampu memusnahkan lawan dalam
sekejap. Pertama-tama akan kuhancurkan dulu penguasa Pulau Beliung, sebagai
perintah lanjutan dari Siluman T ujuh Nyawa.
Setelah itu kuhancurkan pulau-pulau lainnya, dan yang terakhir
Siluman T ujuh Nyawa sendiri akan kuhancurkan seperti aku menghancurkan isi tubuh T apak Baja!"
"Dengar, Hantu Laut...!"
"Jangan mendekat! Kutancapkan tombak ini ke tanah, kalian akan mati menghirup
udara beracun!"
Dewa Racun ingin bergerak melemparkan pisaunya
yang selalu ada di samping kanan-kiri, tapi tangan Pendekar Mabuk memberi
isyarat agar jangan dulu
melakukan hal itu, karena ujung tombak sudah menghadap ke tanah. Pendekar Mabuk melihat angin berhembus cukup kencang ke arah
timur, sedangkan di timur ada satu pulau yang berpenghuni. Racun yang
keluar dari dalam tanah akibat tombak ditancapkan ke tanah, bisa terbawa angin
ke timur dan menyebarkan kematian di sana.
"Kalau kalian masih sayang nyawa, jangan mendekatiku dan jangan sampai bertemu denganku,
kapan saja, juga di mana saja! Mengerti"!" bentak Hantu Laut. Kemudian ia cepat
sentakkan kaki dan melesat pergi tinggalkan tempat itu.
Melihat Pendekar Mabuk hanya diam saja, Dewa
Racun dan Badai Kelabu juga merasa ragu untuk
mengejar Hantu Laut. T api Badai Kelabu segera ajukan tanya kepada Suto.
"Mengapa tidak kita kejar dia?"
"Dia orang ngawur! Angin bertiup ke timur, kalau dia tancapkan tombak ke tanah
dan gas beracun keluar, bisa terbang terbawa angin dan terhirup oleh penduduk
pulau sebelah timur sana. Korban akan berjatuhan!"
"Benar juga," gumam Badai Kelabu. "Pulau tempat tinggalku juga ada di sebelah
timur. Bisa-bisa hawa racun itu terbawa angin sampai ke pulau tempat
tinggalku!"
"Kita mesti mengejarnya, tapi tidak harus menyerangnya secepat ini!" kata Suto.
"Bagaimana dengan Resi Kidung Sentanu itu?" kata Dewa Racun. Pendekar Mabuk
segera memeriksanya,
dan ia terkejut, bahwa ternyata Resi Kidung Sentanu sudah tidak bernyawa lagi.
Ia mati dalam keadaan berdiri dan dalam sikap bersemadi.
"Kurasa ia telah mati sejak tadi," gumam Badai
Kelabu. "Ya. Kurasa ia mati sejak dadanya ditoreh dengan tombak itu melalui bayangan
terbangnya," sambung Suto.
"Lan... lantas... bagaimana dengan kita, mau mengikuti pelarian Hantu Laut atau... atau... melanjutkan perjalanan ke Pulau
Hitam?" Suto Sinting diam beberapa saat, lalu terdengar
gumamnya seperti bicara pada diri sendiri,
"Dia pasti menuju Pulau Beliung. Bahaya! Orang-orang yang ada di Pulau Beliung
tak mungkin bisa menandingi kehebatan Pusaka Tombak Maut itu!"
"Sebaiknya pergi dulu ke pulauku!" desak Badai Kelabu. "Jangan pikirkan Cempaka
Ungu dulu!"
"Bukan Cempaka Ungu yang kupikirkan!" sahut Pendekar Mabuk. "Tapi amukan Hantu
Laut yang bodoh dan tidak pernah pakai perhitungan dalam bergerak, ia sedang
merasa bangga memiliki pusaka itu, tak heran jika ia menggunakannya secara
sembarangan! Pusaka itu akan
menggegerkan penduduk tiap pulau yang disinggahinya!"
"Jad... jadi... bagaimana?" tanya Dewa Racun dengan gusar.
Suto masih mempertimbangkan, mengejar pelarian
Hantu Laut agar mencegah banyaknya korban yang
berjatuhan atau menyembuhkan gurunya Badai Kelabu terlebih dulu" Hal yang makin
menyangsikan Pendekar Mabuk adalah, bahwa Hantu Laut ingin membuktikan di mata
Siluman T ujuh Nyawa, dia mampu menjalankan
tugas, menggantikan kehebatan Tapak Baja. Sasaran utamanya adalah Pulau Beliung,
sedangkan di Pulau Beliung ada Singo Bodong. Padahal keselamatan Singo Bodong
ada dalam tanggung jawab Suto.
Haruskah Pendekar Mabuk kembali ke Pulau Beliung menghadang Hantu Laut" Atau
mengejar Hantu Laut
sebelum sampai ke Pulau Beliung" Atau meneruskan perjalanan ke Pulau Hitam yang
tinggal separo hari lagi itu"
Pertimbangan Pendekar Mabuk ada dalam kisah
selanjutnya. SELESAI PENDEKAR MABUK Ikuti kisah selanjutnya!!! Serial Pendekar Mabuk Suto Sinting dalam episode:
MANUSIA SERIBU WAJAH
Pembuat E-book:
Scan buku ke DJVU: Abu Ke isel
Conve rt & Edit: Paulustjing
Ebook oleh: De wi KZ
http://kangzusi.com
http://dewi-kz.info/
http://www.tiraikasih.co.cc/
http://ebook-dewikz.com/
Misteri Kapal Layar Pancawarna 20 Pendekar Bloon 4 Betina Dari Neraka Badai Awan Angin 8
^