Pencarian

Sabuk Gempur Jagat 1

Pendekar Mabuk 051 Sabuk Gempur Jagat Bagian 1


http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Pembuat E-book:
Scan buku ke DJVU: Abu Keisel
Convert & Edit: Paulustjing
Ebook oleh: Abu Keisel
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah
lindungan undang-undang.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
1 SISA-SISA kebakaran membentuk bayangan
kerangka hitam menyeramkan. Pilar-pilar istana
bagaikan sosok hantu hitam tanpa gerak dan
suara. Diwarnai oleh kepulan asap tipis sisa
kebakaran dan bau daging hangus di sana-sini,
siapa pun yang lewat di hamparan puing-puing
hitam itu akan merinding bulu kuduknya.
Begitu pula yang dirasakan oleh pemuda
tampan berambut lurus sepundak tanpa ikat
kepala. Pemuda yang kenakan baju tanpa lengan
warna coklat dan celana putih lusuh itu pandangi
tiang-tiang hitam yang menjadi saksi bisu atas
kekejian yang telah melanda tempat tersebut.
Pemuda berbadan tegap, kekar, dan gagah itu
mempunyai sepasang mata tajam yang kala itu tak
mampu berkedip karena terperangah menyaksikan
keadaan sekitarnya. Bumbung tuak yang
disandang melintang di punggung itu menjadi ciri
penampilannya sebagai murid Gila Tuak dan
Bidadari Jalang yang dikenal dengan nama Suto
Sinting alias si Pendekar Mabuk dari Jurang
Lindu. "Mengapa bisa jadi begini?" Pendekar Mabuk membatin dengan heran. "Siapa
orangnya yang telah membumihanguskan istana ini" Apakah tak
satu pun ada yang selamat" Oh... menjijikkan
sekali. Di sana-sini bergelimpangan mayat
terbakar hangus, sebagian masih ada yang tak
sampai menjadi arang. Aku hampir tak percaya
melihat istana ini menjadi ladang hitam begini.
Melihat sisa asap yang masih mengepul, pasti
kejadiannya belum berselang lama."
Sekalipun di sana-sini banyak mayat
menjijikkan karena luka bakar, namun Pendekar
Mabuk tetap menyusuri tempat itu dengan
langkah hati-hati. Matanya pandangi tiap mayat
karena hatinya mencari berapa wajah yang
dikenalinya. Namun wajah-wajah mayat di situ
sukar dikenali lagi. Bahkan pakaian mereka pun
tak ada yang tersisa hingga tak bisa dijadikan ciri bagi pemakainya. Pendekar
Mabuk masih mencoba membedakan mana mayat lelaki dan
mana mayat perempuan.
"Selama menjadi pendekar, baru sekarang
aku kebingungan memilih mayat lelaki dan mayat
perempuan," pikir Suto Sinting. "Ada baiknya kalau kuperiksa saja sekeliling
tempat ini, siapa tahu kutemukan korban yang masih hidup atau
dalam keadaan sedang sekarat sehingga bisa
kudengarkan penjelasannya tentang musibah
maut ini."
Bau daging hangus sempat bikin perut mual.
Pendekar Mabuk terpaksa meraih bumbung
tuaknya dan menenggak tuak beberapa teguk.
Tuak itu membuat rasa mual lenyap seketika.
Suto hembuskan napas lega, lalu segera menutup
bumbung tuaknya.
Pada saat itulah tiba-tiba sekelebat benda
tampak melayang dari arah samping kanannya.
Suto Sinting cepat sentakkan kaki dan tubuhnya
melompat dalam gerakan bersalto ke belakang
satu kali. Wuuut...! Dan benda yang melesat itu
tak jadi kenai tubuhnya.
Weess... Taab! Benda yang melintas cepat itu menancap
pada sebatang pilar kayu yang sudah hangus dan
bagian atasnya telah menjadi arang keropos.
Pandangan mata Suto Sinting terarah pada benda
yang menancap pada bekas pilar itu; ternyata
sebatang anak panah dengan panjang sehasta
lebih sedikit. Pendekar Mabuk cepat alihkan
pandangan matanya ke arah datangnya anak
panah tersebut.
"Hmmm..."! Rupanya dia yang menyerangku
dengan panahnya"!" gumam si tampan sinting
murid Gila Tuak itu.
Di balik reruntuhan arang telah berdiri
seorang lelaki berusia sekitar lima puluh tahun.
Lelaki itu mengenakan celana merah tanpa baju.
Tubuhnya sedikit gemuk tapi tidak begitu tinggi.
Rambutnya panjang belakang bagian depannya
botak licin. Wajahnya tampak sedikit angker tapi
tak seangker kuburan tua. Berkumis tipis namun
panjang hingga melengkung sampai ke dagu. Ia
masih pegangi busur yang sudah ditarik talinya
dengan sebatang anak panah terarah kepada Suto
Sinting. Meski dirinya terancam anak panah yang
akan dilepaskan ke dadanya, tapi Suto Sinting
tetap diam di tempat dengan sorot pandangan
mata tak berkedip. Berdiri tegak, dada sedikit
membusung sehingga tampak gagah dan berkesan
tak merasa gentar sedikit pun. Ujung panah itu
justru ditatapnya tajam-tajam, seakan ditantang
untuk lepas dari tali busurnya. Tetapi orang
bercelana merah itu tak mau segera lepaskan
anak panah tersebut, ia justru berseru dengan
nada tak ramah dan berkesan menggertak
Pendekar Mabuk.
"Tinggalkan tempat ini atau kau kehilangan
nyawa sekarang juga!"
Sehela napas ditarik dan dihembuskan
pelan-pelan sebagai penenang keadaan dirinya.
Pendekar Mabuk mulai kendurkan ketegangannya
dan senyum tampannya mekar seulas dengan tipis
sekali. "Sangkamu siapa diriku ini, Paman?" ujar Suto dengan kalem, ia justru melangkah
dekati orang tersebut.
"Berhenti!" sentak orang itu dengan mata melebar. "Selangkah lagi kau maju,
dadamu akan ditembus oleh panahku ini!"
"Apakah kau kira tubuhku terbuat dari
getuk, sehingga mudah ditembus anak panah"
Coba saja lepaskan kalau kau sanggup membidik
dadaku, Paman!"
Orang itu tidak main-main, ia benar-benar
lepaskan anak panah dari busurnya. Slaaap...!
Anak panah meluncur cepat ke dada Suto Sinting.
Kaki anak muda itu masih tegak berdiri
dengan sedikit merenggang, ia tidak menghindar,
melainkan meraih bumbung tuaknya dan
menghadangkan di depan dadanya. Anak panah
itu akhirnya kenai bumbung tuak yang terbuat
dari bambu bukan sembarang bambu itu.
Traaang...! Suara anak panah menghantam
bumbung tuak seperti anak panah menghantam
besi baja berongga.
Orang yang memanah Pendekar Mabuk
menjadi terbelalak kaget melihat anak panahnya
memantul dan berbalik arah dengan kecepatan
lebih tinggi. Hampir saja orang itu celaka dihujam panahnya sendiri kalau saja
ia tidak segera
gulingkan diri di udara dalam satu lompatan
cepat. Wuuut...!
Jrrabb...! Anak panah itu menancap pada
puing-puing sisa kebakaran dan membuat puing-
puing itu menjadi hancur berantakan bagaikan
dipukul dengan pukulan bertenaga dalam cukup
tinggi. Brraaass...! Puing-puing itu menyebar ke
segala arah, menimbuni kepala si pemilik panah
tersebut. Orang bermata agak besar itu hanya
terperangah bengong pandangi Pendekar Mabuk.
Namun hatinya sempat menggumam sendiri,
"Hebat sekali dia" Panahku bisa
dikembalikan dalam keadaan lebih cepat dan
berkekuatan tenaga dalam cukup dahsyat"! Gila!
Agaknya aku tak boleh anggap remeh anak mudah
itu" Hmmm... siapa dia sebenarnya" Aku
sepertinya pernah melihatnya secara sepintas, tapi tak sempat mengenalnya lebih
dekat lagi. Dilihat
dari raut mukanya, agaknya dia bukan orang
jahat. Sebaiknya kukurangi kecurigaan jelekku
terhadap anak muda itu."
Pendekar Mabuk semakin dekati orang
tersebut. Dalam jarak tujuh langkah kurang ia
berhenti dan menyapa dengan suaranya yang
bernada kalem, mata memandang tanpa kesan
permusuhan. "Apa maksudmu menyerangku, Paman"
Siapa kau sebenarnya?"
"Justru seharusnya aku yang berkata
begitu!" jawab orang itu masih menampakkan
sikap permusuhannya.
Suto Sinting tidak cepat jawab pertanyaan si
pemanah tersebut, melainkan justru pandangi
keadaan sekeliling dengan raut wajah kian datar,
sepertinya sedang memendam perasaan duka yang
tak ingin diketahui siapa pun. Kejap berikut
barulah terdengar suaranya tanpa pandangi orang
di depannya. "Tak kusangka Lembah Birawa menjadi
seperti ini. Kaukah pelakunya, Paman?"
"Kurobek mulutmu jika bicara selancang itu
lagi!" sentak orang bersabuk hitam itu. Ia pun segera maju tiga langkah dan
berdiri dengan sikap menantang di depan Suto Sinting. "Justru aku yang curiga
padamu sebagai orang yang
menghancurkan Istana Lembah Birawa ini! Pasti
kau yang melarikan Ratuku; Gusti Ratu
Jiwandani!"
"O, kalau begitu kau adalah prajurit dari
Lembah Birawa ini. Tapi mengapa kau tidak
mengenaliku, Paman" Apakah kau lupa bahwa
aku pernah selamatkan Ratu Jiwandani dari
ancaman Demit Lanang?"
"Ap... apakah kau yang bernama Suto
Sinting; Pendekar Mabuk?" orang itu agak gugup.
"Benar. Agaknya baru sekarang kau
melihatku, Paman."
"Mma... maafkan aku, kala itu aku tidak ada
di tempat, bertugas menghubungi seorang sahabat
Ratu untuk meminta bantuan dalam menghadapi
Demit Lanang. Tapi ketika aku berhasil pulang
dengan membawa bantuan, ternyata keadaan
sudah aman dan aku hanya mendengar cerita
tentang dirimu. Maafkan aku yang pikun ini,
Pendekar Mabuk."
Suto Sinting sunggingkan senyum
sekadarnya. Benaknya masih membayangkan
peristiwa beberapa waktu yang lalu ketika ia
terlibat dalam perkara kekejaman si Demit
Lanang, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Manusia Pemusnah Raga").
"Jadi, kau ada di pihak Ratu Jiwandani,
Paman?" "Benar," jawab orang itu yang mulai semakin bersikap lunak. "Aku prajurit sandi;
namaku Wirya Tabah."
"Pantas kau tak tampak sedih melihat
keadaan seperti ini. Mungkin kau orang paling
tabah di dunia, Paman."
"Yang ada dalam hatiku bukan kesedihan
tapi kemarahan. Aku ingin membalas dendam
kepada orang yang telah membumihanguskan
tempat ini. Ia harus menebusnya dengan
nyawanya sendiri."
"Apakah kau tak tahu siapa pelakunya?"
Wirya Tabah gelengkan kepala sambil
menarik napas. "Tadi pagi aku baru saja kembali dari Pulau Lintang untuk mencari
obat buat sembuhkan adikku yang sakit. Tapi begitu tiba di
sini, ternyata adikku sudah tak ada dan mungkin
termasuk salah satu dari sekumpulan mayat-
mayat hangus ini!"
Mata lebar Wirya Tabah pandangi mayat-
mayat yang bergelimpangan di sana-sini. Tulang
rahangnya bergerak-gerak tanda sedang
menggeletukkan gigi menahan dendam yang
belum bisa terlampiaskan.
"Paman Wirya Tabah, apakah kau juga tidak
mengetahui bagaimana nasib hidupnya Kinanti?"
tanya Suto Sinting yang sejak tadi menyimpan
pertanyaan itu dalam hatinya.
"Jika nasib Gusti Ratu saja tidak kuketahui, tentunya nasib Kinanti pun tidak
kuketahui, Suto.
Rupanya kau kenal dekat dengan Kinanti. Apakah
kau kekasihnya?"
Suto hanya sunggingkan senyum geli. Ia
sengaja tak memberi kepastian jawaban kepada
Wirya Tabah, karena pada saat itu tiba-tiba


Pendekar Mabuk 051 Sabuk Gempur Jagat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pandangan matanya tertarik pada sekelebat
bayangan yang melesat dari samping belakang.
Kelebatan bayangan itu membuat Pendekar
Mabuk cepat palingkan wajah dan ikuti dengan
pandangan mata berkerut dahi. Jleeg...!
Bayangan itu berubah menjadi sesosok
tubuh berjubah kuning gading. Suto Sinting
makin lebarkan senyum melihat wajah si jubah
kuning gading yang cantik dengan rambut panjang
disanggul sebagian, ia adalah seorang gadis
berpinjung penutup dada warna hijau tua cukup
ketat hingga tampak sekali kemontokannya, ia
menyandang sebilah pedang di punggungnya
dengan gagang pedang diberi hiasan rumbai-
rumbai benang sutera warna merah.
"Kinanti...," sapa Pendekar Mabuk dengan suara lembut. "Baru saja kami
membicarakan tentang dirimu."
Kinanti, pengawal Ratu Jiwandani itu, tak
bisa sunggingkan senyum sedikit pun. Wajahnya
tampak murung; antara duka dan benci. Bahkan
ketika ia pandangi keadaan sekelilingnya, kian
lama kedua matanya kian digenangi air bening. Air mata itu akhirnya meleleh ke
pipi berkulit kuning langsat.
Wirya Tabah segera menghadang dengan
sedikit bungkukkan badan tanda menghormat.
Berarti kedudukan Kinanti lebih tinggi dari Wirya Tabah.
"Ke mana saja kau, Wirya Tabah"!" hardik Kinanti dengan suara parau.
"Maafkan aku yang terlambat datang. Tapi
kepergianku mencari obat untuk adikku sudah
seizin Gusti Ratu, Kinanti."
Plaaak...! Tiba-tiba Kinanti layangkan tamparan
tangannya ke wajah Wirya Tabah tanpa tanggung-
tanggung lagi. Lelaki yang usianya lebih banyak
dari Kinanti itu terpelanting jatuh bersimpuh
akibat tamparan tersebut. Wajah yang ditampar
menjadi merah, menandakan tamparan itu disertai
hempasan tenaga dalam walau berukuran sedang-
sedang saja. Wirya Tabah tak berani melawan atau
membalas, ia hanya bangkit dan tetap tundukkan
kepala bersikap sebagai orang bersalah.
"Di mana rasa baktimu kepada negeri dan
ratumu, Wirya Tabah"! Dalam keadaan diserang
bahaya sekeji ini kau pergi tanpa mau
menanggung akibatnya. Pengabdian macam apa
yang kau miliki itu, Wirya Tabah!"
Kinanti angkat tangan kanannya dan ingin
tampar Wirya Tabah lagi, tapi seruan Suto Sinting menghentikan gerak tangan
tersebut. "Cukup!" Suto Sinting kian mendekati
Kinanti. "Jangan limpahkan dendam dan
kemarahanmu kepada Paman Wirya Tabah,
Kinanti. Bukankah ia pergi sudah seizin sang
Ratu?" Mata gadis cantik itu memandang Suto
dengan tajam. Napasnya ditarik dalam-dalam.
Tangan yang sudah terangkat diturunkan. Setelah
sesaat saling beradu pandang dengan Suto
Sinting, Kinanti pandangi arah jauh bagaikan
menerawang. Terdengar Wirya Tabah ajukan tanya dengan
suara lirih, "Bagaimana keadaan Gusti Ratu"
Apakah beliau selamat" Jika selamat, di mana
beliau sekarang?"
"Kuselamatkan ke Puncak Bukit Wangi."
"Maksudmu, Gusti Ratu sekarang bersama
Ki Galak Gantung?"
"Benar! Pergilah ke sana dan jaga beliau.
Siapa tahu orang itu masih memburu Gusti Ratu."
"Tapi bukankah Ki Galak Gantung cukup
mampu mengatasi bahaya yang mengancam sang
Ratu?" "Ki Galak Gantung sedang sakit,
kekuatannya berkurang. Muridnya sedang tidak
ada di tempat. Pergilah ke sana sekarang juga,
Wirya Tabah, lindungi Ratu dari bahaya yang
mengancamnya sewaktu-waktu!"
Pendekar Mabuk masih bungkamkan mulut.
Tapi hatinya berkecamuk sendiri, ingatannya
kembali pada seraut wajah tua milik Galak
Gantung yang pernah dikenalnya dalam satu
peristiwa pembebasan seorang tabib wanita yang
ditawan Ratu Sukma Semimpi, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode : "Pusaka
Bernyawa"). Galak Gantung adalah sahabat dari si Gila Tuak, karenanya Suto
Sinting merasa aman
jika Ratu Jiwandani diungsikan ke pondok Galak
Gantung, sebab orang tua itu berilmu tinggi.
Sekalipun dalam keadaan sedang sakit, namun
kesaktiannya masih mampu melindungi Ratu
Jiwandani dari bahaya apa pun. Suto percaya
akan hal itu. Maka ketika Wirya Tabah pergi menjalankan
perintah Kinanti; menuju puncak Bukit Wangi
yang menjadi tempat kediaman Galak Gantung,
kejap berikutnya Suto pun perdengarkan
suaranya dari belakang Kinanti.
"Kurasa Ki Galak Gantung cukup mampu
lindungi Ratu Jiwandani. Kau tak perlu khawatir
lagi jika Gusti Ratu-mu sudah ada dalam
lindungan Ki Galak Gantung. Aku kenal betul
kesaktian sahabat guruku itu."
Kinanti masih diam saja, seakan ia tak ingin
menanggapi kata-kata itu. Pandangan matanya
menerawang lurus pada kepergian Wirya Tabah,
sehingga Pendekar Mabuk merasa perlu sadarkan
lamunan duka Kinanti dengan sebuah teguran
lembut dari arah sampingnya.
"Kinanti, jelaskan padaku siapa orang yang
telah membumihanguskan Lembah Birawa ini?"
"Aku tak tahu," jawab Kinanti dengan datar.
"Orang itu menyerang pada tengah malam, tak
terlihat jelas wajahnya. Namun seorang anak
buahku yang saat itu belum menjadi korban
sempat memberitahukan padaku, bahwa orang
yang datang menyerang Istana itu bersenjata
Sabuk Gempur Jagat. Ia tahu ciri-ciri sabuk
pusaka itu, tapi sayang anak buahku itu sekarang
sudah tiada. Jasadnya hancur disabet sabuk
pusaka itu di seberang kaki hutan sebelah utara
sana." "Sabuk Gempur Jagat..."!" Suto Sinting
menggumam bernada heran dan penuh curiga,
sebab ia pernah mendengar nama pusaka tersebut
ketika menyelesaikan perkara dengan Pipit
Serindu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Kutukan Pelacur Tua"). Karenanya gumaman itu pun berkelanjutan dengan
nada datar, "Kalau tak salah, Sabuk Gempur Jagat kala
itu sedang diperebutkan antara Resi Pakar Pantun
dengan si Tulang Naga."
Tiba-tiba wajah Kinanti berpaling pandangi
Suto dengan sorot mata tajamnya.
"Siapa itu Tulang Naga?"
"Penguasa Telaga Siluman!"
"Di mana letak Telaga Siluman"!"
"Apa maksudmu bertanya begitu?"
"Aku akan ke sana untuk temui si Tulang
Naga dan bikin perhitungan dengannya. Hanya
ada dua pilihan; nyawaku atau nyawanya yang
harus binasa!" geram Kinanti dengan dendam
berkobar dalam hatinya. Wajahnya pun
menampakkan kobaran dendam yang tak bisa
tertahan lagi. * * * 2 TULANG NAGA adalah tokoh aliran hitam
yang ganas dan berbahaya. Senjata andalannya
yang bernama Pusaka Nenggala Kubur itu sudah
cukup berbahaya bagi lawannya, apalagi jika
ditambah dengan senjata pusaka Sabuk Gempur
Jagat, tak heran jika Tulang Naga dapat
membumihanguskan sebuah negeri dalam waktu
singkat. Sambil melangkah menuju Telaga Siluman
mendampingi Kinanti, ingatan Suto masih tertuju
pada seraut wajah bermata cekung dan bertubuh
kurus; wajah itu adalah wajah si Tulang Naga.
Rambutnya yang putih sepanjang pinggang tanpa
ikat kepala bertebaran menghiasi bayangan di
benak Suto Sinting. Murid si Gila Tuak itu teringat betul saat ia hampir mati di
tangan Tulang Naga
dalam mempertahankan mayat bayi anak pertama
Ratna Udayani dan Raden Prajita. Bayi yang
menjadi cucu Sultan Renggana itu sangat diminati
oleh beberapa tokoh aliran hitam sebagai
penambah kekuatan kesaktiannya, dan salah satu
orang yang bernafsu memiliki mayat bayi tersebut
adalah Tulang Naga, (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode: "Bayi Pembawa Petaka").
Pada waktu itu, Pendekar Mabuk berhasil
dilumpuhkan oleh senjata Neggala Kubur-nya si
Tulang Naga. Namun ketika Penguasa Telaga
Siluman itu ingin menghabisi nyawa Suto, tiba-
tiba muncul serangan berbahaya dari Hantu Laut
yang kenal si Tulang Naga dan membuat si Tulang
Naga akhirnya lari tinggalkan mayat bayi tersebut.
"Apakah Ratu Jiwandani punya masalah
dengan si Tulang Naga?" tanya Suto Sinting
kepada Kinanti saat mereka berhenti di sebuah
lembah yang teduh. Lembah itu tak seberapa jauh
dari pantai, sehingga gemuruh suara ombak
terdengar samar-samar dari tempat mereka
berada. "Setahuku, kami tidak punya masalah apa-
apa dengan tokoh sesat yang bernama Tulang
Naga dari Telaga Siluman itu. Yang kutahu, orang
tersebut menyerang kami di tengah malam dan
dalam sekejap Lembah Birawa dibuat menjadi
lautan api yang sukar dipadamkan. Aku segera
melarikan Ratu Jiwandani tanpa diketahui oleh
prajurit lainnya melalui jalan lorong bawah tanah."
"Apakah Ratu Jiwandani tak tahu juga
bahwa orang itu adalah si Tulang Naga?"
"Ratu tidak mengenal nama itu, karena ia
tidak sebut-sebut nama Tulang Naga."
"Jika Ratu tidak kenal dengan Tulang Naga,
berarti orang yang membumihanguskan Lembah
Birawa bukan dia."
Kinanti segera berpaling menatap Pendekar
Mabuk. Dahinya berkerut, pandangan matanya
tajam penuh tanda tanya. Pendekar Mabuk
alihkan perhatian sebentar dengan menenggak
tuaknya beberapa teguk. Glek, glek, glek...!
Napas terhempas panjang menandakan rasa
lega sedang dialami Pendekar Mabuk. Setelah itu
ia tatap si cantik Kinanti yang sukar tersenyum
itu, lalu terdengar ia berkata bagaikan orang
sedang menggumam.
"Jika bukan Tulang Naga, lalu siapa
orangnya yang memegang pusaka Sabuk Gempur
Jagat" Setahuku sabuk pusaka itu dipegang
olehnya." "Baru sekarang kudengar ada pusaka Sabuk
Gempur Jagat," ujar Kinanti. "Tapi aku belum pernah melihat bentuknya."
"Apakah malam itu kau tidak melihat sabuk
pusaka itu digunakan oleh orang tersebut?"
Kinanti gelengkan kepala. "Aku hanya
mendengar pengaduan dari anak buahku. Api
telah berkobar dan aku segera larikan sang Ratu
tanpa sempat berhadapan dengan orang tersebut."
"Jadi kau tidak tahu ciri-ciri si pemegang
Sabuk Gempur Jagat?"
Kinanti gelengkan kepala lagi. "Repotnya
semua saksi mata yang pernah berhadapan
dengan orang itu tak ada yang selamat. Semuanya
mati hangus seperti apa yang kau lihat di puing
reruntuhan istana tadi."
"Kalau begitu, belum tentu si Tulang Naga
yang menghanguskan Lembah Birawa. Mungkin
musuh lain yang sangat menaruh dendam
kesumat kepada Ratu Jiwandani. Atau...."
Kata-kata itu terhenti seketika, karena ekor
mata Suto Sinting melihat sekelebat bayangan
benda yang meluncur dari belakang Kinanti.
Tubuh Kinanti segera ditarik ke samping kirinya
hingga gadis itu nyaris tersungkur mencium
tanah. Suto Sinting melompat maju, crrab...!
Sebilah pisau pendek berukuran sejengkal
ditangkap dengan mulut Pendekar Mabuk. Pisau
itu kini ada dalam gigitannya, tak sedikit pun
menggores bibir maupun lidah Suto. Keadaan itu
membuat Kinanti belalakkan mata dan segera
bangkit dalam memasang kuda-kuda siap tempur.
Pendekar Mabuk segera lakukan lompatan
bersalto ke atas. Kepalanya menyentak ke samping
dan pisau pada mulutnya itu terlempar ke arah


Pendekar Mabuk 051 Sabuk Gempur Jagat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

datangnya tadi. Wuuut...! Sraaab...! Juuub...!
"Aaaaahg...!" terdengar suara pekikan orang kesakitan dari balik semak belukar.
Rupanya pisau itu kenai tubuh pelemparnya yang masih
bersembunyi di baik semak, ia tak menyangka
pisau itu akan dilemparkan secepat itu hingga tak sempat hindari senjatanya
sendiri. Orang yang memekik kesakitan itu roboh
dengan berguling keluar dari kerimbunan semak.
Mata Kinanti dan Suto Sinting pandangi orang
tersebut. Ternyata seorang lelaki kurus yang
masih meraung kesakitan karena bagian bawah
pundak kanannya ditembus pisau kecil. Pisau itu
beracun dan membuat lukanya menjadi
menghitam, pisau itu sendiri sukar dicabut dari
tubuh korban. "Aauhh...! Tolooong... tolong cabut pisau
ini...!" ratap orang kurus itu sambil kelojotan menderita rasa sakit.
Kinanti menggumam kata lirih, "Racun
Serap Darah"!"
"Apa maksudmu?"
"Pisau itu mengandung Racun Serap Darah,
yang membuatnya tak bisa lepas dari tubuh
korban karena menyerap darah korban. Sebelum
darah korban habis terserap ia tetap akan
menancap dan sukar dicabut."
"Aaahg...! Aaaahg...! Tolooong...," orang itu meratap semakin lirih, gerakannya
semakin lemah. Suto Sinting cepat-cepat menenggak tuak,
kemudian menyemburkan tuak dari mulutnya ke
arah pisau tersebut. Bruuusss...!
Jrooossss...! Luka itu kepulkan asap tebal,
seperti besi membara disiram air dingin. Orang itu kian mengerang dengan tubuh
mengejang. Pendekar Mabuk segera cabut pisau itu dan
ternyata dapat dilepas dengan mudah sekali.
Jurus 'Sembur Husada' yang digunakan Suto
membuat luka itu terkatup dan menjadi kering,
dalam beberapa kejap saja sudah hilang secara
ajaib. Kinanti hanya bisa diam terbengong melihat
kesaktian Suto dengan rasa kagum yang
menggumpal di dadanya. Karena memang baru
sekarang ia melihat kehebatan jurus 'Sembur
Husada' diperagakan oleh Suto Sinting walau
tidak dengan maksud pamer kesaktian.
"Biasanya kau menyuruh orang yang terluka
meminum tuakmu, tapi kali ini mengapa hanya
kau sembur saja?"
"Jurus ini dapat membuat orang yang
kutolong lupa kepadaku, seperti merasa baru
mengenalku. Ingatannya tentang diriku ikut
lenyap bersama lukanya. Karena itu, jurus
'Sembur Husada' tak pernah kulakukan untuk
mengobati orang yang sudah mengenalku. Jika
orang kurus ini lupa tentang diriku, tak jadi soal, karena memang ia belum
mengenalku." (Jurus ini pernah digunakan dalam serial Pendekar Mabuk
episode : "Pusaka Tuak Setan").
Orang kurus itu segera bangkit dengan
perasaan penuh rasa kagum atas kesembuhan
lukanya. Namun ketika ia sadar dirinya berada di
depan Pendekar Mabuk dan Kinanti, ia buru-buru
bergegas melarikan diri. Namun Kinanti berhasil
menyambar lengan si kurus itu. Wuuut...!
"Mau ke mana kau!"
"Aaak... aku hanya... hanya disuruh
seseorang, Nona."
"Siapa yang menyuruhmu!" gertak Kinanti,
"Hmmm... eeh...," orang itu kebingungan dan ragu menjawab. Pendekar Mabuk segera
mendesak dengan pertanyaan lain.
"Siapa yang ingin kau bunuh" Dia atau
aku?" "Hmmm... hmm... anu...."
"Di sini tidak ada yang bernama 'Anu', jawab yang jelas!" sentak Kinanti
bagaikan tak sabar ingin menampar mulut orang kurus itu.
"Aku disuruh membunuhmu, Nona!"
Kinanti beradu pandangan mata sejenak
dengan Suto Sinting. Kemudian ia kembali
mendesak orang kurus itu dengan pertanyaan
yang mendesak sekali.
"Kau murid dari Bukit Kasmaran, bukan?"
"Buk... bukan! Aku...."
"Omong kosong!"
Plaaaak...! Kinanti menampar keras-keras wajah orang
kurus itu hingga orang tersebut terpelanting
berputar empat kali dengan cepat. Kejap
berikutnya ia roboh akibat tendangan kaki Kinanti yang cukup kuat. Tubuhnya
terkapar di bawah
pohon dalam keadaan tidak berkutik lagi. Sebuah
pekikan kecil sempat didengar oleh mereka
sebelum orang itu roboh.
Pendekar Mabuk segera mendekati orang
tersebut dengan perasaan heran dan curiga, ia
memeriksanya dengan pandangan mata dan dahi
berkerut. Kinanti menyusul mendekati Suto
Sinting. Wajah orang kurus itu telah memucat,
mulutnya ternganga dan matanya terbeliak tak
berkedip. Tak satu pun bagian tubuhnya yang
bergerak. Bahkan dadanya tidak kelihatan sedang
bernapas. "Dia tewas!" ujar Suto Sinting sambil pegangi urat leher orang itu dan matanya
memandang Kinanti. Gadis berjubah kuning gading itu setengah
tidak percaya, kemudian memeriksa pergelangan
tangan orang tersebut. Ternyata memang tak ada
denyut nadi lagi. Itu tandanya orang tersebut
sudah tidak bernyawa lagi. Gumam Kinanti pun
terlontar lirih bernada heran.
"Aneh. Mestinya ia tak sampai kehilangan
nyawa. Pukulan dan tendanganku tadi tidak
begitu membahayakan nyawa seseorang"!"
Pendekar Mabuk yang sempat menaruh
curiga atas kematian orang tersebut segera
membalikkan badan si korban, ia terperanjat,
demikian pula Kinanti, mereka melihat sebilah
pisau kecil seperti tadi menancap di punggung
orang tersebut. Rupanya pisau itulah yang
membuat nyawa orang kurus itu melayang, lepas
dari raganya. "Ternyata ada pihak lain yang menyerang
orang ini hingga tewas."
"Kurasa dilakukan saat orang ini melayang
karena terkena tendanganmu tadi, Kinanti," kata Suto Sinting sambil matanya
memandang ke alam
sekitarnya. "Sial! Kita terlambat mengorek keterangan
dari mulutnya!" geram Suto Sinting yang merasa penasaran karena belum mengetahui
dengan pasti siapa orang yang menyuruh si kurus untuk
membunuh Kinanti itu.
Namun gadis cantik berdada montok itu
berkata, "Aku yakin ia orang Bukit Kasmaran, anak buah si Merak Cabul."
Pendekar Mabuk kerutkan dahi karena
merasa pernah mendengar nama Merak Cabul.
Hatinya bahkan berkata, "Kalau tak salah Bukit Kasmaran adalah asal perguruannya
Dinada atau Milasi?" Dan seraut wajah cantik yang mempunyai jurus maut dalam tiupan
serulingnya terbayang
dalam ingatan Pendekar Mabuk, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode : "Gelang Naga
Dewa"). Setelah sama-sama memeriksa keadaan
sekeliling mencari pembunuh si kurus itu, mereka
kembali bertemu di dekat mayat tersebut. Suto
Sinting sempat ajukan tanya kepada Kinanti.
"Dari mana kau yakin kalau orang ini adalah
orang si Merak Cabul?"
"Karena hanya Merak Cabul dan beberapa
orangnya yang mempunyai Racun Serap Darah
pada pisau mereka," jawab Kinanti.
Setelah merenung sejenak, Pendekar Mabuk
segera perdengarkan suaranya yang mirip orang
menggumam itu, "Apa kira-kira alasan si Merak Cabul,
sehingga mengutus orang kurus itu untuk
membunuhmu?"
"Entahlah," jawab Kinanti dengan wajah
masih kaku karena menahan kemarahan. "Yang
jelas, aku tak pernah bentrok dengan si Merak
Cabul, walau aku selalu menunjukkan sikap tak
suka kepadanya."
"Kepada pihak Ratu Jiwandani apakah ada
masalah dengan si Merak Cabul?"
"Pernah terjadi bentrokan kecil antara sang Ratu dengan Merak Cabul gara-gara
sebuah kitab pusaka. Bentrokan itu sebenarnya hanya salah
paham si Merak Cabul yang menyangka Kitab Jati
Mulya ada di tangan sang Ratu. Padahal sang
Ratu tidak tahu-menahu tentang kitab tersebut."
"Mengapa Merak Cabul menuduh Ratu
Jiwandani memiliki Kitab Jati Mulya" Ada
hubungan apa antara Ratu Jiwandani dengan
pihak Merak Cabul?"
"Dulu, Ratu Jiwandani bersahabat akrab
dengan Nyai Guntur Ayu, ketua perguruan Bukit
Kasmaran. Ketika Nyai Guntur Ayu tewas, Kitab
Jati Mulya lenyap, entah siapa yang mencurinya.
Kecurigaan kuat si Merak Cabul, kitab itu
dititipkan kepada Ratu Jiwandani, padahal sama
sekali tidak."
Suto menggumam panjang dan pelan sambil
angguk-anggukkan kepala. Agaknya ia sedang
renungi rangkaian cerita itu. Sampai akhirnya ia
temukan satu kesimpulan yang masih meragukan
bagi hatinya sendiri.
"Apakah... apakah menurutmu ada kemung-
kinan penyerangan yang membumihanguskan
Bukit Birawa itu dilakukan oleh si Merak Cabul?"
"Maksudmu, Merak Cabul yang memegang
pusaka Sabuk Gempur Jagat itu?"
Suto Sinting angkat bahu, "Mungkin saja!"
"Hmmm... kalau begitu aku harus
menyerang Bukit Kasmaran dan bikin perhitungan
dengan Merak Cabul!" geram Kinanti dengan
kedua tangan menggenggam kuat-kuat.
"Nanti dulu, itu baru sebuah dugaan yang
belum pasti. Kita harus punya bukti jika ingin
bertindak. Seandainya...."
Kata-kata Suto terhenti karena hembusan
angin dari arah belakangnya. Angin yang terasa
mendekatinya itu cukup besar sehingga naluri
Suto pun segera bekerja. Kakinya menyentak ke
tanah dan tubuhnya melayang ke samping dalam
gerakan lompat yang sangat cepat. Wuuut...!
Jleeg...! Sesosok tubuh berdiri di depan Kinanti pada
saat Suto Sinting mendaratkan kakinya ke tanah.
Sosok tubuh itu milik seorang nenek berjubah
merah, rambutnya abu-abu dikonde, bertubuh
kurus kerempeng, berusia sekitar enam puluh
tahun. Melihat kehadiran nenek kerempeng itu
mata Suto Sinting segera terkesiap, sedikit
mengecil dengan dahi berkerut, karena ia merasa
pernah jumpa dengan nenek itu. Ingatan Suto pun
kembali ke sebuah pertarungan yang dilakukan
oleh nenek itu dengan seorang berbadan gemuk
yang dikenal dengan nama si Jubah Kapur.
"Nyai Songket...!" gumam Suto Sinting
bagaikan tak sadar mulutnya mengucap nama itu
begitu ingatannya menemukan sepotong nama
tersebut. Tapi sang nenek bagaikan tak peduli dengan
gumaman Suto Sinting. Matanya yang cekung
tertuju pada Kinanti. Agaknya gadis cantik itu
juga sudah mengenal Nyai Songket, sehingga ia
segera menyapa dengan sikap tak ramah.
"Rupanya kaulah yang membunuh orang
kurus itu, Nyai Songket!"
"Tutup mulut bodohmu, Kinanti. Aku tidak
mengenal mayat orang kurus itu! Aku datang
untuk bikin perhitungan sendiri denganmu! Kau
telah membunuh muridku; Widowidi. Sekarang
aku menuntut balas atas kematian murid
kesayanganku itu, Kinanti!"
Suto Sinting sempat membatin, "Bahaya!
Nyai Songket ini terkenal dengan ilmu teluhnya.
Kinanti tak akan mampu mengimbangi kekuatan
Nyai Songket. Agaknya aku harus segera bergerak
untuk mematahkan tiap serangan Nyai Songket."
"Hutang nyawa balas nyawa, Kinanti!" ujar Nyai Songket sambil bergeser ke
samping dan diikuti oleh pandangan mata Kinanti. Nenek kurus
itu bicara lagi,
"Satu nyawa muridku kau binasakan, maka
tebusannya adalah seratus nyawamu, Kinanti!"


Pendekar Mabuk 051 Sabuk Gempur Jagat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau begitu kaulah yang menghancurkan
orang-orang itu, Nyai Songket! Keparat kau!
Heeeah...!"
Kinanti menyerang lebih dulu dengan satu
lompatan cepat menerjang ganas. Tendangan kaki
Kinanti ditangkis dengan tangan kanan Nyai
Songket, lalu tangan kirinya menghantam pangkal
paha Kinanti. Untung tangan Kinanti dengan cepat
mampu menahan pukulan tersebut, hingga
pangkal pahanya selamat dari hantaman kuat
Nyai Songket. Plak...! Plak, plak, buuhg...!
Nyai Songket terhantam dadanya oleh
tangan kiri Kinanti. Pukulan bertenaga dalam itu
membuat tubuh kurus itu melayang terpental ke
belakang dan jatuh terjungkal di semak-semak
berduri. Gusraaak...!
"Bangsat!" pekik Nyai Songket yang segera menghentakkan telapak tangannya ke
tanah dan tubuhnya melenting di udara. Dalam kejap berikut
ia sudah berdiri dengan kaki merenggang dan
kedua tangannya terangkat ke samping kanan
kiri. Rupanya pukulan itu telah melukai bagian
dalamnya, sehingga wajah Nyai Songket tampak
sedikit pucat, hidungnya berdarah walau tak
seberapa banyak.
"Haaahhh...!" Nyai Songket mengerang
panjang, seluruh tubuhnya mengeras. Lambat
laun tampak keajaiban terjadi pada dirinya.
Ujung-ujung jari tangannya keluarkan kuku
runcing dan tiap kuku memancarkan warna
merah bening bagaikan gumpalan lahar panas.
Asap mengepul tipis dari tiap kuku yang tumbuh
secara ajaib itu.
"Kinanti, mundurlah! Dia berbahaya untuk
kau lawan!" ujar Suto Sinting sambil mendekati gadis Itu.
"Minggirlah, Suto! Ini saatku membalas
dendam atas kekejiannya yang telah
membumihanguskan tempatku!"
"Kurasa bukan dia orangnya. Dia tidak
pergunakan senjata Sabuk Gempur Jagat!"
Kinanti segera sadar akan hal itu. Ia
bermaksud menuruti saran Pendekar Mabuk dan
menyerahkan pertarungan itu kepada sang
pendekar tampan. Tetapi tiba-tiba mereka berdua
dibuat kalang kabut oleh kilatan cahaya merah
yang datang beruntun dan berkelok-kelok seperti
tali-tali bercahaya merah.
Kilatan cahaya merah yang jumlahnya
sepuluh bias itu melesat bagai ingin menyergap
mereka berdua setelah Nyai Songket gerakkan
kedua tangannya secara serabutan dengan
teriakan melengking tinggi.
"Heeeaaahh...!"
Clap, clap, clap, clap, clap...!
Gerakan sinar merah itu begitu cepat dan
membingungkan sehingga Kinanti sempat dibuat
panik oleh keadaan seperti itu. Namun Suto
Sinting mencoba menghadangnya dengan
mengibaskan bumbung tuaknya di atas kepala.
Tali bumbung dipegang dan bumbung bambu itu
berputar cepat di atas kepala hingga timbulkan
bunyi yang mendengung.
Wuuuung, wuuung, wuung...!
Kibasan bumbung yang berputar itu ternyata
menghasilkan gelombang penangkis yang tak
terlihat bentuk dan besarnya. Namun ketika sinar-
sinar merah itu mendekati bumbung tuak
tersebut, gerakan selanjutnya sangat tak diduga-
duga oleh Nyai Songket. Cahaya merah itu
membalik arah dan kini berdatangan menyergap
dirinya sendiri dengan kecepatan tinggi dan
bentuk sinarnya berubah lebih besar hingga yang
semula menyerupai tali kini menjadi seperti
tambang. "Bangsat kurap, heaaah...!"
Nyai Songket terdesak, mau tak mau ia
lepaskan pukulan dari dua telapak tangannya.
Kedua telapak tangan itu disentakkan ke depan
dan keluarlah sinar hijau berukuran besar. Sinar
hijau itulah yang dihantam oleh kilatan-kilatan
sinar merahnya sendiri.
Blar, blegaaarrr...!
Bumi terguncang, pepohonan nyaris
tumbang, hentakan gelombang ledak tadi cukup
besar dan kuat. Nyai Songket terlempar jauh dan
membentur sebatang pohon besar. Suto Sinting
dan Kinanti terlempar tunggang langgang tak bisa
kendalikan keseimbangan tubuh. Mereka sama-
sama terbanting di semak-semak ilalang.
Kejap berikutnya terdengar suara pohon
tumbang. Kraaakk... brrruuk...!
"Aaaauhg...!" terdengar pekik Nyai Songket
dalam suara gemuruh gema ledakan yang masih
tersisa itu. Suto dan Kinanti sama-sama belum
bisa melihat keadaan Nyai Songket. Mereka masih
terkulai lemas dengan dada terasa sesak.
"Gila! Jurus apa yang dipergunakan si
dukun teluh itu"!" gumam Kinanti dalam keadaan suara berat karena menahan rasa
sakit di dadanya. Setelah ia diberi minuman tuaknya Suto,
rasa sakit itu pun menjadi lenyap, ia bisa berdiri dengan tubuh terasa segar.
Suto Sinting sudah
lebih dulu mengalami kelegaan seperti itu,
sehingga ia bisa menuangkan tuak pelan-pelan ke
mulut Kinanti. Kini keduanya sama-sama terperanjat
melihat Nyai Songket tertimpa pohon yang begitu
besar. Tubuh kurus kerempeng itu tak bisa
bergerak lagi. Mulutnya semburkan darah dalam
keadaan badan tengkurap. Hidung dan telinganya
pun keluarkan darah segar. Keadaan nenek renta
itu sudah tidak bernyawa lagi. Rupanya di
samping ia tertimpa pohon besar, lehernya
tertusuk tonggak runcing bekas patahan pohon
kering. Tonggak itu menghujam dari leher hingga
tembus ke tengkuk, sedangkan dari batas
punggung sampai kaki tertimpa pohon, tak dapat
dilihat lagi karena besarnya batang pohon
tersebut. * * * 3 PUSAT perhatian Kinanti tertuju pada Merak
Cabul di Bukit Kasmaran. Menurutnya, orang
kurus yang menyerangnya dengan pisau beracun
itu pasti suruhan Merak Cabul. Besar
kemungkinan Merak Cabul tidak kehendaki orang
Bukit Birawa ada yang masih hidup, sehingga ia
menyuruh orang kurus itu untuk membunuh
Kinanti. Suto akhirnya mengalah, tak mau berdebat
panjang lebar tentang perbedaan pendapat itu.
Sebab menurut Suto, Merak Cabul tidak terlibat
dalam perkara pembakaran istana Lembah Birawa
itu. Jika benar orang yang menyerang istana
Lembah Birawa adalah orang yang bersenjata
Sabuk Gempur Jagat, maka Tulang Naga itulah
orangnya. "Pihakku tidak ada hubungannya dengan
Tulang Naga. Kami tidak kenal dengan Penguasa
Telaga Siluman itu. Tak ada alasan bagi Tulang
Naga untuk menyerang istana kami! Pasti
serangan itu datang dari si Merak Cabul yang
masih menyimpan kecurigaan tentang
tersimpannya Kitab Jati Mulya di tangan ratuku!"
Kinanti ngotot sekali, sehingga Suto Sinting
akhirnya hanya angkat bahu dan mengikuti jejak
Kinanti menuju ke Bukit Kasmaran. Untuk
mencapai ke Bukit Kasmaran mereka harus
melewati beberapa desa. Satu di antaranya adalah
desa yang pernah disinggahi Suto saat melakukan
perjalanan menuju Bukit Bunting bersama
Tembang Selayang. Desa itu bernama desa
Panganbumi yang mempunyai kehidupan lebih
maju dari desa-desa lainnya. Banyak keluarga
saudagar yang tinggal di desa itu, karena letaknya tak begitu jauh dari
kotaraja. Suto Sinting pun
mengajak Kinanti untuk singgah di sebuah kedai
milik Ki Punjul yang dulu disinggahi Suto dengan
Tembang Selayang, (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode : "Kapak Setan Kubur").
Petang belum datang, tapi suasana desa
sudah sepi. Kesepian itu menimbulkan rasa curiga
di hati Suto Sinting. Maka setelah ia mengisi
bumbung tuaknya dengan tuak baru, ia pun
segera bertanya kepada Ki Punjul,
"Ki Punjul, malam belum tiba tapi mengapa
suasana desa sudah sesepi ini" Dulu ketika aku
datang dan bermalam di sini keadaan tidak sesepi
ini, bukan?"
"Hmmm... iya. Keadaan dulu dan sekarang
berbeda, Pendekar Mabuk."
"Apa yang membuatnya menjadi berbeda?"
"Penduduk desa kami dihantui oleh
perasaan takut, yaitu takut mengalami nasib
seperti desa Kijangan."
Bukan hanya Suto yang kerutkan dahi,
melainkan Kinanti ikut kerutkan dahi pertanda
merasa heran mendengar ucapan Ki Punjul.
"Apa yang terjadi terhadap desa Kijangan itu,
Ki?" tanya Suto dengan rasa penasaran.
"Desa itu sekarang sudah menjadi arang.
Seluruh bangunan dan rumah-rumah penduduk
hangus dilalap api. Bahkan penduduknya
sebagian lari mengungsi ke desa lain, sebagian lagi mati terbakar di tempat itu.
Yang mati terbakar
separuh bagian lebih."
Kini sepasang mata Kinanti menatap
Pendekar Mabuk. Mata si pendekar tampan itu
pun menatap Kinanti, seakan keduanya
menampakkan sikap semakin ingin tahu. Kinanti
tak sabar dan segera ajukan tanya kepada Ki
Punjui, "Apa yang membuat desa itu terbakar habis,
Ki?" "Seseorang telah mengamuk kepada Lurah
Kijangan. Ia menggunakan pusaka bernama
Sabuk Gempur Jagat, dan... begitulah akhirnya,
desa itu habis terbakar oleh kekuatan sakti Sabuk Gempur Jagat!"
Debar-debar dalam dada Kinanti bagaikan
sesuatu yang ingin menjebolkan tulang dada.
Napas pun mulai terasa berat, karena dendam
Kinanti terhadap si pemegang Sabuk Gempur
Jagat mulai meluap-luap.
Pendekar Mabuk mencoba bersikap tenang
agar Kinanti ikut terpengaruh oleh
ketenangannya. Kejap berikut barulah Suto
Sinting ajukan tanya kembali kepada Ki Punjul.
"Siapa orang yang memegang Sabuk Gempur
Jagat itu, Ki Punjul" Apakah kau tahu namanya?"
Ki Punjul berpikir sebentar, kejap berikutnya
perdengarkan suaranya yang pelan, bagaikan
orang dalam keragu-raguan.
"Beberapa pengungsi dari desa Kijangan
pernah menyebutkan nama Tulang Ular. Tapi saya
tak tahu apakah orang itu yang mengamuk
dengan Sabuk Gempur Jagat itu atau bukan."
"Tulang Ular"!" Kinanti menggumam heran.
Suto Sinting bertanya, "Tulang Ular atau
Tulang Naga?"
"Maksud saya... Tulang Ular Naga. Eh...
entahlah, saya kurang jelas soal nama itu.
Mungkin yang mereka maksud Tulang Naga,
mungkin juga Tulang Ular. Yang jelas mereka
sebut-sebut nama yang pakai kata 'tulang',
begitu." "Pasti yang dimaksud adalah Tulang Naga,"
ujar Pendekar Mabuk kepada Kinanti.
Gadis cantik berpinjung hijau beludru itu
diam saja. Kini ia menjadi termenung lama
menimbang-nimbang langkahnya. Hatinya sempat
dibuat dongkol oleh ketidakpastian antara Tulang
Naga dan Merak Cabul. Siapa pemegang Sabuk
Gempur Jagat itu sebenarnya" Sukar sekali
dipastikan dalam keadaan serba tak jelas begitu.
"Aku butuh waktu untuk berpikir," kata
Kinanti. "Agaknya malam ini kita harus bermalam di sini untuk menentukan langkah
kita, Suto."
"Aku tak keberatan," jawab Suto Sinting. "Ki Punjul juga menyediakan kamar untuk
penginapan para tamunya."
Ketika hal itu dikemukakan Ki Punjul, orang
berusia di atas empat puluhan tahun itu berkata,
"Tinggal satu kamar yang masih kosong.
Apakah kalian ingin menggunakan kamar itu
untuk berdua" Jika mau begitu, silakan saja."
Kinanti menatap Suto Sinting dengan mulut
terkatup rapat. Tak ada senyum seulas pun di


Pendekar Mabuk 051 Sabuk Gempur Jagat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bibir mungil menggemaskan itu. Suto Sinting yang
nyengir sambil garuk-garuk kepala serta berkata
dengan gumam lirih,
"Sial. Hanya ada satu kamar."
"Tak usah berlagak mengeluh. Hatimu girang
kalau kita tinggal satu kamar, bukan?"
"Dugaanmu mengada-ada," jawab Suto
sambil tertawa kecil.
"Biarlah kita satu kamar, tapi kau tidur di
lantai dan jangan seranjang denganku!" ujar
Kinanti agak ketus.
"Kenapa begitu" Kau takut aku kurang ajar
padamu?" "Kau nakal," jawabnya sambil melengos ke arah lain. Ia biarkan senyum pemuda
tampan itu mengembang makin mekar dengan suara tawa
yang mengikik lirih.
Tiba-tiba pandangan mata Kinanti tertuju ke
arah pintu masuk kedai. Dua orang lelaki
berbadan besar baru saja memasuki kedai
tersebut dan segera mengambil tempat duduk
bersebelahan dengan Kinanti. Kedua lelaki itu
berwajah buas, penuh dengan cambang dan
kumis. Dari caranya memandang dapat diketahui
sifatnya yang kasar dan urakan. Rambut mereka
sama-sama panjang selewat pundak, tapi yang
satu diikat dengan ikat kepala dari kulit macan
tutul, yang satu lepas tanpa ikat kepala.
Orang yang berikat kepala kulit macan tutul
itu mengenakan celana hitam dan baju merah tua
tak dikancingkan bagian depannya, sehingga
sebilah golok besar yang terselip di sabuk
hitamnya terlihat jelas. Sedangkan orang yang
tidak memakai ikat kepala itu mengenakan
pakaian serba abu-abu, dari baju sampai
celananya. Dadanya yang berbulu tampak jelas
karena bajunya yang tanpa lengan itu tidak
dikancingkan, ia menggenggam sebilah kapak dua
mata yang segera diletakkan di atas meja dengan
kasar, menimbulkan suara mengagetkan, hingga
memancing perhatian orang lain.
"Ki, sediakan kami arak putih dua poci!"
seru orang berpakaian abu-abu kepada Ki Punjul
dengan keras dan kasar. "Cepat, ya! Jangan
lamban. Kalau lamban kuobrak-abrik kedaimu
ini!" "Bba... baik. Akan segera kusediakan, Tuan,"
Ki Punjul tampak ketakutan.
"Sabrawi," ujar si baju abu-abu kepada
temannya setelah ia melirik ke arah Kinanti
dengan nakal, ia berkata melanjutkan ucapannya
tadi setelah temannya memandangnya.
"Agaknya kita malam ini akan pesta
kehangatan. Ada mangsa emas di sini, Sabrawi!
Ha, ha, ha, ha...!"
Orang berikat kepala kulit macan tutul itu
ikut tertawa setelah melirik ke arah Kinanti. Wajah Kinanti lurus ke depan tak
mau memperhatikan
ke arah kedua orang kasar tersebut, sedangkan
Suto tampak tenang dan sesekali sunggingkan
senyum sambil berlagak memainkan cangkir
tuaknya. "Kurasa malam ini kita memang bernasib
mujur sekali, Polang! Sudah hampir satu purnama
aku tidak menikmati kehangatan seorang wanita
karena sibuk mengejar pemegang Sabuk Gempur
Jagat. Sekaranglah saatnya aku istirahat dan
menikmati kehangatan yang kurindukan, sebelum
kita menemukan si Jejak Setan dan merebut
sabuk pusaka itu!"
Senyum Suto Sinting segera lenyap. Kini ia
melirik Kinanti dengan keheranan tersimpan di
ujung lirikannya. Kinanti pun sedikit kerutkan
dahi pertanda memendam rasa jengkel yang
mengusik hatinya. Pendekar Mabuk segera bicara
pelan kepada gadis berjubah kuning gading itu.
"Apakah kau tahu, siapa Jejak Setan itu?"
"Murid Nyai Pegat Raga dari Lembah Petang,"
bisik Kinanti pelan sekali, tapi mengejutkan hati Suto Sinting dan membuat wajah
tampan itu berkerut dahi semakin tajam.
"Maksudmu, Jejak Setan itu muridnya si
Pelacur Tua?"
"Benar. Apakah kau mengenalnya?"
"Aku telah mengenalnya," bisik Suto Sinting lirih, dan terbayang peristiwa yang
terjadi di Bukit
Kemenyan, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode : "Kutukan Pelacur Tua").
Pendekar Mabuk segera membatin,
"Benarkah sabuk pusaka itu ada di tangan Jejak Setan?"
Kata batinnya segera dihentikan karena
kedua orang kasar yang ternyata bernama Polang
dan Sabrawi itu segera unjuk tingkah dengan
melemparkan sebutir kacang tanah yang masuk
ke cangkir minuman Kinanti. Pluuung...!
"Ha, ha, ha, ha...!" mereka tertawa
kegirangan. Kinanti diam saja, sedangkan Suto
Sinting mulai waswas terhadap sikap Kinanti yang
bisa mengamuk membabi buta karena memang
sudah lama menahan kemarahan dalam hati.
"Hei, Nona Cantik...," sapa Polang dengan seringai memuakkan. "Tolong lemparkan
kemari kacang itu, aku salah lempar."
Kacang dalam cangkir diambil dengan
tenang. Digenggam sesaat, lalu dilemparkan ke
arah Polang tanpa memandang kedua orang
tersebut. Wuuut...! Lemparan kacang kenal jidat
Polang. Deess...!
"Aaauw...!"
Brrruk...! Polang jatuh terjungkal ke
belakang membuat Sabrawi terjengkang pula dan
jatuh tertindih tubuh Polang hingga terdengar
suaranya yang tergencet berat itu.
"Heegh...!"
Gadis cantik tanpa senyum itu tetap diam di
tempat tanpa berpaling sedikit pun, sementara
semua mata pengunjung kedai tertuju pada Polang
dan Sabrawi yang saling berebut untuk segera
bangkit. Suto Sinting hanya sunggingkan senyum
tipis, sambil membatin dalam hatinya,
"Boleh juga pelajaran dari Kinanti itu. Aku
yakin sebelumnya ia telah tanamkan tenaga
dalamnya pada kacang tersebut, sehingga ketika
kenai kening orang berbaju abu-abu itu mampu
membuat kepala orang tersebut bagaikan
ditendang kaki kuda. Masih untung kepala itu tak
sampai pecah. Hmmm... diam-diam gadis ini
punya simpanan yang boleh juga dibanggakan.
Oh... sekarang keduanya sudah berdiri, agaknya
mereka marah kepada Kinanti dan akan
menyerang bersama. Aku harus siaga melindungi
Kinanti!" "Gadis setan!" maki Polang yang keningnya menjadi biru legam dan nyaris tidak
dipercaya oleh pandangan para pengunjung kedai.
"Hanya terkena sebutir kacang tanah saja
bisa menjadi sememar itu?" ucap salah seorang pengunjung secara bisik-bisik.
Sabrawi tidak sabar, ia segera mendekati
Kinanti dan menampar wajah Kinanti seenaknya
saja. Wuuut...! Taaab...!
Tamparan tangan kanan Sabrawi ditangkap
oleh Kinanti. Pergelangan tangan itu diremasnya
kuat-kuat dengan curahan tenaga dalam, hingga
beberapa orang yang ada di dekat mereka
mendengar suara tulang diremukkan.
Krraaaak...! "Aaauh...!" Sabrawi menjerit kesakitan, sedangkan Kinanti segera melepaskan.
Wajahnya tetap memandang lurus, seakan tidak melirik ke
arah lawannya sedikit pun. Tangan yang meremas
tulang pergelangan Sabrawi itu segera menyentak
dan tubuh Sabrawi bagaikan didorong oleh tenaga
kuda dengan cepat. Wuuut...! Buuurkk...!
"Heegh...!"
Kali ini yang terpekik tertahan adalah
Polang, karena tubuhnya tertabrak badan
Sabrawi. Ia jatuh terkapar dan tubuh Sabrawi
menjatuhinya dengan telak.
"Anjing kurapan!" sentak Sabrawi sambil bangkit sempoyongan. "Heeeaat...!"
Sabrawi hendak menyerang dengan satu
tendangan yang disertai lompatan pendek. Tetapi
jari tangan Suto Sinting segera melepaskan jurus
'Jari Guntur' berupa sentilan kecil ke arah
Sabrawi. Teees...! Buuhg...!
"Uhhg...!" Sabrawi bagaikan sukar bernapas lagi. Matanya mendelik karena ulu
hatinya terkena sentilan bertenaga dalam dari jarak jauh. Tubuh
itu terlempar mundur kembali dan jatuh menindih
Polang yang baru saja mau bangkit berdiri.
"Heehg ..!" Polang terpekik dengan suara tertahan, matanya mendelik karena
perutnya kejatuhan tubuh besarnya Sabrawi.
"Setan binal! Bunuh dia!" teriak Polang dengan wajah kian beringas.
"Tanganku tak bisa dipakai memegang
senjata!" kata Sabrawi sambil menyeringai
merasakan sakit akibat tulang pergelangan
tangannya remuk.
Polang tak sabar, segera sambar kapaknya di
meja dan menyerang dengan hantaman kapak dari
atas ke bawah. Wuuut...!
Jraaak...! Kapak menghantam bangku tempat duduk
Kinanti. Gadis itu telah lenyap dari tempatnya.
Rupanya sebelum kapak menghantamnya, ia
sudah lebih dulu melesat dan berpindah ke tempat
lain dengan satu sentakan kaki ke lantai.
Gerakannya cukup cepat sehingga mirip orang
menghilang. Kapak Polang menancap di bangku dengan
kuatnya, sukar dicabut kembali dengan cepat.
Sementara itu, Suto Sinting masih duduk di
bangku tersebut dengan tenangnya, padahal
kapak itu menancap dalam jarak empat jengkal
dari pahanya. Melihat ketenangan Suto Sinting, Polang
menjadi semakin berang. Maka begitu kapak
berhasil dicabut, langsung dihantamkan ke
punggung Suto Sinting. Wuuut...!
Ternyata kaki Suto Sinting bergerak lebih
cepat dari gerakan kapak. Kaki itu menendang ke
dada Polang. Dug...!
"Uuhg...!" mulut Polang pun segera
semburkan darah segar dalam keadaan tubuh
melayang ke belakang dan menabrak Sabrawi
hingga keduanya jatuh saling tindih kembali.
"Sekali lagi kalian coba mengganggu kami,
akan kubuat patah batang leher kalian!" hardik Suto dalam keadaan tetap duduk di
tempat. Sabrawi segera berkata kepada Polang,
"Cepat tinggalkan tempat ini dan laporkan kepada ketua kita, Polang!"
Dengan langkah sempoyongan, akhirnya
mereka segera meninggalkan kedai. Tapi di pintu
keluar Polang sempat tinggalkan ancaman,
"Tunggu pembalasanku!"
* * * 4 MENURUT Ki Punjul, Sabrawi dan Polang
adalah orang Tanah Hitam yang dikuasai oleh
seseorang yang berjuluk Maha Syiwa. Tetapi yang
jadi pemikiran Suto dan Kinanti bukan nama
Maha Syiwa melainkan nama si Jejak Setan.
Mereka dalam kebingungan mencari jawaban yang
pasti; siapa pemegang Sabuk Gempur Jagat
sebenarnya" Tulang Naga atau Merak Cabul, atau
pula si Jejak Setan seperti kata kedua anak buah
Maha Syiwa itu.
"Ke mana langkah kita pagi ini?" tanya Suto Sinting saat mereka selesai
menikmati sarapan
pagi; sebungkus nasi jagung dan dua cangkir tuak
untuk Suto. Wajah Kinanti tampak lebih cantik di pagi
itu. Suto mengakui dalam hatinya, bahwa
kecantikan Kinanti kian tampak jelas jika gadis itu sedikit merapikan diri
selesai mandi. Wajah itu
kelihatan bersih dan lembut, bibirnya tampak
selalu basah walaupun tanpa gincu seoles pun.
Sayang wajah yang semestinya berseri-
berseri itu kurang ceria karena kebingungan
menentukan langkah selanjutnya. Bahkan
pertanyaan Suto tadi dibiarkan saja tanpa
jawaban. Kinanti membisu seribu kata dengan
pandangan mata menerawang lurus ke arah meja.
Saat matahari mulai meninggi, seorang lelaki
berusia sekitar empat puluh tahun datang dengan
terhuyung-huyung memasuki kedai itu. Ia
disambut oleh Ki Punjul dengan wajah tegang.
Agaknya Ki Punjul sudah mengenali lelaki
berpakaian compang-camping dalam keadaan
tubuh kotor dan banyak luka. Wajahnya memar
membiru dan bibirnya bagian bawah terdapat luka


Pendekar Mabuk 051 Sabuk Gempur Jagat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pecah akibat hantaman keras. Sebagian dada
serta lengan kanan juga tampak memar
kehitaman bagaikan luka bakar yang membuat
kulitnya sedikit melepuh.
"Bagor, apa yang terjadi"!" Ki Punjul segera memapah lelaki itu.
"Tolong, tolong aku, Kang Punjul...!" lelaki bernama Bagor itu terengah-engah
bagaikam hampir kehabisan napas, ia didudukkan di salah
satu bangku oleh Ki Punjul.
"Mengapa kau sampai terluka separah ini,
Bagor"! Apa yang terjadi pada dirimu"
Ceritakanlah!"
Dengan susah payah Bagor yang terluka
parah itu mencoba bicara kepada Ki Punjul. Suto
Sinting dan Kinanti mengikuti pembicaraan itu
dari tempat duduk mereka. Tak satu pun dari
mereka yang bergerak mendekat. Namun wajah
mereka sama-sama memancarkan rasa ingin tahu
cukup besar. "Seseorang... seseorang telah mengamuk di
perguruanku, ia hanya seorang diri, tapi... tapi ia mampu membuat perguruanku
rata dengan tanah. Sebagian besar teman-temanku mati di
tangannya. Bahkan... bahkan Eyang Guruku
sendiri tak tertolong jiwanya. Beliau tewas dalam keadaan hancur dihantam
memakai sabuk...
sabuk yang mempunyai kekuatan dahsyat...."
Kinanti berbisik kepada Suto, "Kalau orang
itu tidak dalam keadaan terluka parah, ia akan
mampu menceritakan ciri-ciri orang yang
menyerangnya memakai sabuk dahsyat itu."
Suto Sinting paham maksud Kinanti. Gadis
itu secara tak langsung menyuruh Suto segera
menyembuhkan orang tersebut. Maka tanpa
bicara lagi Pendekar Mabuk segera dekati Bagor
dan meminumkan tuak dari bumbungnya.
Ki Punjul berkata, "Tidak usah repot-repot,
Pendekar Mabuk. Aku masih punya tuak
untuknya. Biar kuambilkan tuak dari dapur saja."
"Tuak yang sudah masuk ke bumbungku
mempunyai khasiat penyembuhan cukup
mujarab, Ki. Berbeda dengan meminum tuak dari
cangkirmu. Hmmm... siapa orang ini sebenarnya?"
"Bagor adalah adik sepupuku, Pendekar
Mabuk." "Aku akan menolong adik sepupumu, Ki
Punjul. Suruh dia buka mulut dan meneguk
tuakku ini."
Kinanti memperhatikan dari tempat
duduknya. Saat itu kedai belum terlalu ramai.
Hanya ada empat orang pembeli selain Suto dan
Kinanti. Keempat orang itu juga memperhatikan
keadaan Bagor dengan tegang dan perasaan ngeri.
Beberapa saat setelah Bagor meneguk
tuaknya Suto, keadaan luka mulai tampak
membaik. Napasnya tidak terasa sakit lagi jika
dihela, ia mulai bisa bicara dengan lancar
menjelaskan apa yang terjadi di perguruannya.
Kinanti sendiri ikut nimbrung mendekat dengan
sesekali mengajukan pertanyaan kecil kepada
Bagor. "Apa yang dituntut oleh tamu ganas
terhadap pihak perguruanmu itu, Bagor?" tanya Pendekar Mabuk.
"Aku tidak tahu dengan pasti, Pendekar
Mabuk," jawab Bagor yang tadi sudah diberi tahu oleh Ki Punjul siapa kedua tamu
mudanya itu. "Apakah kau yakin yang dipergunakan oleh
tamu itu adalah senjata sabuk" Apakah bukan
cambuk atau sejenisnya?"
"Tidak. Aku melihat saat ia melepaskan
sabuknya itu dan menghantamkan ke arah tiga
pengawal Guru. Sabuknya itu bukan hanya
menghancurkan tubuh tiga pengawal Guru,
namun juga menyebarkan api yang membakar
pondok kami. Beberapa temanku ikut terbakar
dan apinya sukar dipadamkan. Aku pun ikut kena
hembusan angin sabuk itu. Hembusannya
menghadirkan gelombang hawa panas yang
mampu melelehkan pedang serta tombak kami."
Kinanti melirik Suto Sinting. Pandangan
mata mereka saling beradu sesaat. Kinanti sempat
berbisik lirih kepada Suto Sinting,
"Apakah benar demikian kedahsyatan sabuk
itu?" "Aku kurang tahu soal kedahsyatannya. Tapi
agaknya orang itulah yang memegang Sabuk
Gempur Jagat."
Bagor berkata kepada Ki Punjul, "Tanah di
sekitar padepokan kami menjadi retak serta
sebagian longsor dan beberapa temanku ada yang
mati tertimbun longsoran tanah itu, atau terkubur dalam keretakan tanah
tersebut, Kang. Aku
sendiri hampir terkubur masuk ke dalam retakan
tanah kalau tak segera melompat menghindari
bahaya itu."
Kinanti ajukan tanya, "Bagaimana ciri-ciri
sabuk orang itu?"
"Ak... aku tak begitu jelas. Tapi sempat
kulihat sabuk itu sepertinya dari kulit ular
berwarna merah kehitaman. Jika disabetkan
memancarkan sinar merah."
Kinanti berbisik kembali kepada Suto,
"Begitukah ciri-ciri Sabuk Gempur Jagat?"
"Aku belum pernah melihatnya. Tak ada
yang menjelaskan padaku tentang ciri-cirinya."
Kinanti menghempaskan napas sedikit
kecewa dengan jawaban Suto Sinting. Tetapi kejap
berikut Suto segera ajukan tanya kepada Bagor
yang sudah tampak lebih sehat lagi itu.
"Bagaimana ciri-ciri orang yang mengamuk
dengan menggunakan sabuk itu?"
"Ciri-cirinya...?" Bagor merenung membayangkan orang yang dimaksud. "Hmmm...
seingatku dia sudah cukup tua. Rambutnya putih,
wajahnya angker, badannya kurus, matanya
tampak buas...."
"Mengenakan jubah apa?"
"Hmmm... jubahnya... jubahnya kalau tidak
salah berwarna abu-abu lusuh," jawab Bagor
sambil menatap Pendekar Mabuk.
"Tak salah lagi," ucap Suto sambil
memandang ke arah luar kedai.
"Tak salah bagaimana maksudmu?" desak
Kinanti. "Itu ciri-ciri si Tulang Naga!"
"Kalau begitu kita segera pergi mengejar
orang tersebut!"
Suto Sinting sempatkan diri bertanya kepada
Bagor, "Kapan perguruanmu diserang?"
"Tad... tadi malam. Menjelang fajar aku
melarikan diri kemari."
"Saat kau lari apakah orang itu masih
ngamuk di sana?"
"Masih, ia masih menghancurkan ruang
pemujaan."
"Cepat kejar dia, Suto!" seru Kinanti tak sabar lagi.
Blaas...! Suto dan Kinanti akhirnya melesat pergi
tinggalkan kedai Ki Punjul. Sebelum mencapai
perbatasan desa, mereka terhenti seketika.
Pendekar Mabuk yang mengawali hentikan
langkah dan menahan lengan Kinanti.
"Ada apa?" Kinanti merasa heran terhadap sikap Suto yang menghentikan langkah.
Suto Sinting nyengir dan garuk-garuk
kepala. "Siapa yang bodoh sebenarnya" Kau atau
aku?" "Apa maksudmu bertanya begitu?" Kinanti kerutkan dahi.
"Kita mau ke mana sebenarnya, Kinanti?"
"Ke perguruannya si Bagor."
"Kau tahu di mana letak perguruannya?"
Kinanti diam sesaat, lalu gelengkan kepala.
"Aku juga tidak tahu di mana letak
perguruannya berada. Kita lupa menanyakan
tempat itu," Suto Sinting tertawa geli sendiri.
"Kau saja yang kembali ke kedai dan
menanyakan kepada Bagor."
"Itu soal mudah. Tapi ada satu persoalan
yang harus kau selesaikan sendiri."
"Persoalan apa lagi?" Kinanti agak jengkel.
"Ki Punjul belum kita bayar! Biaya makan,
minum, dan bermalam belum kita lunasi. Ki
Punjul bisa teriak 'maling' kepada kita, Kinanti."
"Uuuhh...!" Kinanti menghempaskan napas menahan rasa kesal. "Kalau begitu
sekalian saja kau selesaikan urusan itu."
"Mana mungkin bisa kuselesaikan?"
"Apakah kau tak becus menghitung jumlah
biaya makan kita"!"
"Soal menghitung, becus saja. Tapi apa kau
sangka aku sekarang punya uang" Aku sedang tak
mempunyai uang sepeser pun, Kinanti!"
"Ya, ampuun... jadi siapa yang mau bayar
biaya makan, minum, dan bermalam kita itu?"
"Tentu saja kau yang harus bayar, karena
kau yang mendesak untuk bermalam di situ."
"Kau pikir sekarang aku pegang uang"
Sepeser pun aku tak pegang uang, Suto."
"Mampuslah kalau begini! Kasihan Ki
Punjul, dagangan habis, tuak habis, tapi uang tak dapat," Suto Sinting garuk-
garuk kepala. "Baiklah, kita kembali ke kedai dan bicara
apa adanya kepada KI Punjul. Kurasa dia tidak
keberatan kalau kita menghutang kepadanya."
Malu tak malu mereka berdua menemui KI
Punjul lagi dan mengatakan keadaan sebenarnya.
Untung Ki Punjul orang yang baik hati, sehingga
hal itu tidak dipersoalkan. Kinanti sempat pula
tanyakan letak perguruan Bagor, lalu mereka
segera pergi ke perguruan tersebut mengejar si
pemegang Sabuk Gempur Jagat.
Tetapi sampai di tempat tujuan, ternyata
keadaan sudah sepi. Tak ada manusia yang hidup
satu pun. Tak ada mayat yang utuh tanpa luka
bakar. Bangunan-bangunan hancur menjadi
rongsokan kayu arang. Wajah-wajah mereka sukar
dikenali karena luka bakar yang amat parah.
Bahkan di sana-sini terdapat serpihan daging
manusia yang sudah menghangus pertanda
korban itu mati dalam keadaan hancur.
Keadaan itu membuat wajah Kinanti
menahan duka. Ia teringat keadaan di Lembah
Birawa yang sama persis dengan keadaan di
perguruannya Bagor itu. Melihat ciri-ciri
kehancuran tersebut, Kinanti dan Suto Sinting
yakin bahwa pelakunya memang orang yang
memegang Sabuk Gempur Jagat. Bongkahan
tanah retak dan longsor bagaikan sisa-sisa kiamat di tempat itu, sama persis
dengan sisa-sisa kiamat di Lembah Birawa.
"Tulang Naga...! Aku yakin pelakunya adalah
si Tulang Naga, orang berjubah abu-abu,
berbadan kurus, berambut putih, dan berwajah
angker itu!" geram Suto Sinting sambil pandangan matanya menerawang jauh.
"Ke mana arah kepergiannya?"
"Sulit dilacak," jawab Suto Sinting tanpa memandang Kinanti. "Tapi melihat
beberapa pohon tumbang menjauh ke arah barat,
kemungkinan besar Tulang Naga menuju ke arah
barat!" "Kita coba mengejar ke sana saja!" ujar Kinanti tanpa menunggu pendapat Suto, ia
langsung berkelebat ke arah barat. Suto Sinting
terpaksa mengikutinya.
Mereka semakin yakin arah barat
merupakan arah kepergian Tulang Naga, karena di
sana tercecer beberapa potongan tubuh manusia,
mayat-mayat yang mati hangus dan pepohonan
yang rusak terbakar serta mengering sebagai
tanda amukan tersebut berlanjut ke arah barat.
Namun semakin ke barat, tanda-tanda
kehancuran itu semakin menghilang, sampai
akhirnya mereka berhenti di kaki sebuah bukit
dan merasa kehilangan jejak.
"Kita kehilangan arah, Kinanti."
"Ya, tapi seingatku tempat ini tak jauh dari Bukit Kasmaran."
"Apakah kau masih menduga sabuk itu di
tangan Merak Cabul?"
Kinanti diam sejenak, mempertimbangkan
pendapatnya tentang si Merak Cabul. Kejap
berikut terdengar suaranya berkata pelan bagai
orang menggumam.
"Merak Cabul mempunyai seorang kakek
berbadan kurus dan berambut putih, ia berjuluk:
Dewa Putih."
"Dewa Putih" Baru sekarang kudengar nama
itu." "Sudah lama Dewa Putih tidak muncul ke
dunia persilatan, ia mengasingkan diri dan tak
mau ikut campur perkara duniawi lagi. Tapi siapa
tahu dia berubah pikiran, atau karena sesuatu hal ia akhirnya turun ke rimba
persiiatan lagi dan
berhasil kuasai Sabuk Gempur Jagat itu"!"
"Jika ia dari aliran putih, ia tak akan


Pendekar Mabuk 051 Sabuk Gempur Jagat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertindak sekejam itu."
"Barangkali atas dorongan sang cucu, bisa
saja ia lakukan kekejaman seperti itu. Sebab
menurut cerita yang kudengar dari salah seorang
murid Bukit Kasmaran, Dewa Putih sangat sayang
kepada cucu-cucunya. Tapi dari sekian cucu yang
paling disayang adalah Pancasurti alias si Merak
Cabul." Pendekar Mabuk manggut-manggut
merenungkan penjelasan tersebut. Tapi ia belum
bisa mengambil sikap harus berbuat apa dalam
keadaan serba tidak pasti itu.
Setelah saling bungkam beberapa saat
lamanya, akhirnya Kinanti mengambil keputusan
dengan tegas. "Aku harus ke Bukit Kasmaran. Sebelum
bertemu dengan si Merak Cabul, rasa-rasanya
masih belum lega hatiku."
"Aku ikut saja ke mana kau pergi," ujar Suto Sinting setelah meneguk tuaknya.
"Bagiku yang penting aku harus selamatkan sabuk pusaka itu
agar tidak digunakan untuk kekejaman tanpa
batas." Sambil bergerak mengikuti langkah Kinanti,
Suto Sinting sempat mengingatkan gadis itu akan
keadaan Ratu Jiwandani. Tapi menurut Kinanti, ia
akan menghadap Ratu Jiwandani jika sudah
selesaikan urusan tentang si pemegang Sabuk
Gempur Jagat. "Karena tugas utamaku dari beliau adalah
menghancurkan si pemegang Sabuk Gempur
Jagat sebagai pembalasan kekejamannya yang
menghancurkan pihakku itu!"
"Baiklah jika memang begitu tekadmu.
Kurasa Ratu-mu dalam keadaan aman bersama Ki
Galak Gantung," kata Suto Sinting yang merasa tenang, tak mencemaskan sang Ratu
sedikit pun. Dan tiba-tiba langkah mereka harus terhenti
karena Pendekar Mabuk tarik tangan Kinanti
hingga gadis itu jatuh dalam pelukannya. Kinanti
berlagak berang walau sebenarnya dalam hati
merasa senang berada dalam pelukan si tampan
Suto itu. "Apa-apaan kau ini"! Mau bertindak kurang
ajar padaku, hah"!"
Suto Sinting tidak menjawab selain hanya
sunggingkan senyum dan lepaskan pelukan. Tapi
tangan kirinya yang menggenggam segera
disodorkan. Tangan itu membuka genggamannya,
dan mata Kinanti terbelalak melihat sekeping
logam bergerigi tajam ada di tangan Suto.
"Senjata rahasia milik siapa itu"!"
Suto Sinting hanya angkat bahu, "Yang jelas
jika tidak segera kutangkap dan dirimu kutarik
dalam pelukan, benda ini sudah menembus kulit
tubuhmu yang mulus itu, Kinanti."
Gadis berjubah kuning gading itu kulit
wajahnya berubah merah. Bukan karena malu
dipuji kemulusan kulitnya, tapi marah karena ada
seseorang yang ingin membunuhnya dengan licik,
ia segera pandangi keadaan sekeliling dengan
mata tampak berang.
Akhirnya ia pun berseru, "Jika kau ingin
unjuk kesaktian, keluarlah dari persembunyianmu
dan hadapilah aku! Jika kau masih bersembunyi,
kuanggap kau seorang pengecut yang masih perlu
berguru lagi atau pulanglah dan menyusulah
kepada ibumu!"
Ejekan itu sengaja dilakukan untuk
memancing kemarahan si penyerang gelap.
Rupanya pancingan itu berhasil membangkitkan
kemarahan si penyerang gelap, sehingga dari atas
pohon berdaun rindang meluncurlah sesosok
tubuh berpakaian biru muda. Wuuuttt...!
Zing, zing, zing...!
Orang yang meluncur turun dari atas pohon
itu melepaskan senjata rahasianya lagi bertubi-
tubi ke arah Kinanti. Dengan cepat Kinanti cabut
pedangnya dan kepingan baja putih itu
ditangkisnya menggunakan pedang tersebut.
Tring, tring, tring...!
Jeb, jeb, jeb...!
Tiga keping logam bergerigi itu menancap
pada batang pohon. Pemilik senjata rahasia itu
tampak menggeram melihat serangannya dapat
ditangkis Kinanti, ia memandang Kinanti dengan
mata tajam, demikian pula Kinanti tak mau kalah
tajam dalam memandang. Suto Sinting hanya
tertegun dengan wajah tampak terperangah
kagum, karena orang yang turun dari atas pohon
itu berparas cantik dan bertubuh menggiurkan
sekali. "O, jadi kaulah orangnya, Sanjung Rumpi"!"
Kinanti manggut-manggut dengan senyum
sinisnya. Gadis cantik berusia sekitar dua puluh
empat tahun itu melangkah dekati Kinanti. Dalam
jarak lima langkah ia berhenti dan pandangi wajah Pendekar Mabuk. Kala itu,
kekaguman Pendekar
Mabuk sudah mampu disembunyikan, sehingga
kini sang pendekar tampan itu sunggingkan
senyum yang menawan hati.
Kinanti segera menyodokkan sikunya ke
pinggang Suto dan menghardik dengan suara
bisik, "Tak perlu tersenyum kepadanya!"
Hati Suto menjadi geli, tapi mulutnya
berbisik kepada Kinanti dengan mata masih
pandangi Sanjung Rumpi.
"Siapa gadis itu, Kinanti?"
"Sanjung Rumpi, tangan kanannya si Merak
Cabul." "Ooo...," Suto manggut-manggut kecil.
"Menyingkirlah, biar kuhadapi sendiri orang
ini! Kuingatkan jangan sering-sering menatapnya."
"Kenapa begitu?"
"Dia mempunyai kekuatan daya pikat di
wajahnya. Kau bisa terjerat cinta jika terlalu lama memandangnya!"
"Ingin kucoba seberapa kekuatan daya
pikatnya!"
"Kupenggal sendiri lehermu kalau berani
coba-coba terpikat olehnya."
"Eh, galak juga kau jadinya. Baiklah aku
akan menyingkir ke bawah pohon sana...," sambil Suto Sinting tertawa kecil tanpa
suara, ia menyingkir ke bawah pohon, tanpa melirik
Sanjung Rumpi walau tahu sedang dipandangi
oleh gadis berpakaian seronok warna biru tipis itu.
"Kalau tak ingat Dyah Sariningrum sudah
kutomplok gadis itu," katanya membatin, lalu terbayang sekilas wajah calon
istrinya yang menjadi Ratu di negeri Puri Gerbang Surgawi dan
bergelar Gusti Mahkota Sejati itu.
Bayangan wajah Dyah Sariningrum hilang
setelah Suto mendengar Kinanti berseru kepada
Sanjung Rumpi dengan nada tak bersahabat sama
sekali. "Rupanya kau yang membunuh lelaki kurus
yang gagal membunuhku kemarin siang, Sanjung
Rumpi!" Suto Sinting pandangi pinggang Sanjung
Rumpi, ternyata memang masih tersisa enam
pisau kecil yang melingkar bagaikan sabuk itu.
Sanjung Rumpi sendiri hanya tersenyum sinis
mendengar tuduhan tersebut.
"Ya, memang aku yang menyuruh Bergala
membunuhmu. Sayang ia terlalu bodoh dan layak
dimusnahkan nyawanya!"
Dengan pedang masih di tangan Kinanti
serukan suara kembali, "Lalu siapa yang
menyuruhmu membunuhku"! Jawab!"
"Ketuaku; Merak Cabul!"
"Bagus. Dugaanku tak salah lagi sekarang.
Tak perlu kutanyakan apa sebabnya, yang pasti
Merak Cabul juga yang menghancurkan Lembah
Birawa dengan Sabuk Gempur Jagat!"
"Yang kutahu kau adalah sisa dari
kehancuran itu! Ketua menyuruhku
membunuhmu, Kinanti! Tapi ketua juga
menyuruhku mengampunimu jika kau mau
serahkan Kitab Jati Mulya kepadaku!"
"Persetan dengan Kitab Jati Mulya!" geram Kinanti. "Tak ada kitab apa pun di
tempatku, tapi kalian sudah membumihanguskan istana kami,
membantai seluruh penghuninya, dan sekarang
tinggal membayar hutang nyawa kepadaku.
Heeeaat...!"
Kinanti maju dalam satu lompatan, pedang
siap ditebaskan ke arah lawan. Namun Sanjung
Rumpi tak mau tinggal diam saja. Ia pun bergerak
dengan cepat, tangannya tiba-tiba melemparkan
dua pisau beracun Serap Darah itu. Wuuut,
wuuut...! Kinanti mengibaskan pedangnya dengan
kecepatan tinggi pula. Trang, trang...! Kedua pisau itu mampu ditangkisnya. Kini
ia menebaskan pedang dari atas ke bawah, sasarannya adalah
kepala Sanjung Rumpi. Wuuut...!
Sanjung Rumpi menghindar dengan
memiringkan tubuh dan membungkuk. Kakinya
menyapu kaki Kinanti. Weess...!
Tapi Kinanti lompat ke atas dan segera
menghujamkan pedang ke punggung Sanjung
Rumpi yang membungkuk. Suuut...!
"Heeaat...!" Sanjung Rumpi berguling di tanah. Kakinya berkelebat ke atas dan
tubuhnya terpental bangkit dalam satu sentakan manakala
pedang itu menancap di tanah. Lalu kaki itu
berkelebat menendang rusuk Kinanti dengan
cepat. Deeg...!
"Uuhg...!" Kinanti terguling-guling.
Pedangnya tertinggal dalam keadaan menancap di
tanah. Sanjung Rumpi bermaksud mencabut
pedang itu, tapi tangan Kinanti segera lepaskan
pukulan bersinar merah bagaikan besi membara
yang memancar lurus ke arah Sanjung Rumpl.
Claaap...! Sinar tanpa putus itu kenai tangan Sanjung
Rumpi yang ingin memegang gagang pedang.
Cras...! "Aaauh...!" Sanjung Rumpi memekik
kesakitan, lalu melompat mundur dalam keadaan
tangannya terluka hangus pada bagian
pergelangannya. Ia menyeringai kesakitan sambil
pegangi tangan kanannya itu.
Kinanti segera melompat dan menyambar
pedangnya. Wuuus...! Kini ia tiba di depan
Sanjung Rumpi dalam jarak dua langkah.
Pedangnya segera ditebaskan dari atas ke bawah.
Namun baru saja tangan Kinanti terangkat, tiba-
tiba seberkas sinar hijau kecil melesat dari balik sebuah pohon dan menghantam
dada kanan Kinanti. Claaap...! Dees...!
"Aaaahg...!" Kinanti terpekik panjang,
tubuhnya melayang bagai terbuang ke belakang.
Lalu tubuh itu roboh dalam keadaan telentang.
Bluuk...! "Aaahg...! Ahhg...! Aaaahg...!" Kinanti kelojotan, tubuhnya tersentak-sentak
dengan mata mendelik dan mulut ternganga. Sinar hijau
itu menimbulkan luka berbahaya di bagian dalam
tubuh Kinanti. Nyawanya mau lepas dari raga.
Mulutnya semburkan darah segar beberapa kali.
"Celaka!" gumam Suto Sinting dengan
cemas. "Aku harus segera selamatkan Kinanti!"
Zlaaap...! Suto Sinting menyambar tubuh
Kinanti yang sekarat, ia menggunakan jurus
'Gerak Siluman' yang kecepatannya melebihi anak
panah lepas dari busur. Kinanti berhasil dibawa
lari bersama pedangnya. Namun sepintas
terdengar seruan seorang perempuan yang
agaknya ditujukan kepada Sanjung Rumpi.
"Kejar mereka! Jangan biarkan gadis itu
lolos!" * * * 5 KEADAAN Kinanti tak bisa bertahan lagi.
Suto Sinting sudah merasakan tubuh gadis itu
dingin bagaikan salju. Mau tak mau Suto hentikan
pelariannya di perjalanan.
"Ia harus meminum tuakku secepatnya.
Terlambat sedikit ia akan mati!"
Pendekar Mabuk memaksakan gadis itu
meneguk tuaknya. Tuak itu dituangkan ke mulut
Kinanti melalui mulut Suto, lalu sedikit ditiup biar tuak bisa masuk ke
tenggorokan dan tertelan.
Sekalipun hal itu dilakukan di tempat terbuka,
mudah diketahui oleh pengejarnya, namun Suto
merasa tindakan itu adalah tindakan yang terbaik
ketimbang harus membawa lari Kinanti ke tempat
yang aman, tapi ternyata sampai di tempat aman


Pendekar Mabuk 051 Sabuk Gempur Jagat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nyawa Kinanti sudah melayang.
Usaha tersebut mulai menampakkan
hasilnya. Napas Kinanti sudah tidak sesak lagi.
Gadis itu mulai mampu bernapas dengan lega.
Kelopak matanya bisa berkedip-kedip. Suara
erangannya sangat lirih, namun membuat Suto
Sinting merasa gembira. Itu merupakan tanda-
tanda jiwa Kinanti telah selamat dari maut yang
nyaris merenggutnya tadi. Tuak pun kini
dituangkan secara langsung, tidak melalui
bantuan mulut Suto lagi. Kinanti sempat terbatuk-
batuk karena meneguk tuak dalam keadaan
berbaring. Suto merasa lega dan sengaja
membiarkan Kinanti terbatuk-batuk.
"Ooh... dadaku panas sekali. Panas sekali,
Suto...," rintih Kinanti dalam keadaan tergolek di rerumputan. Tepat di bawah
pohon teduh. "Minumlah tuak dari bumbungku ini.
Minumlah lagi, Kinanti."
Mau tak mau Kinanti menuruti saran Suto
Sinting. Sebentar-sebentar ia meneguk tuak itu
sambil keringatnya diusap oleh Suto. Perlakuan
Suto yang lembut bak penuh kesetiaan serta kasih
sayang itu mulai terasa menyentuh hati Kinanti.
Namun gadis itu diam saja dan tak mau
menunjukkan rasa hati sebenarnya.
"Sebentar lagi kau sembuh. Percayalah!
Mereka tak akan mampu membunuhmu jika aku
ada di sampingmu, Kinanti," ucap Suto dengan lembut sekali.
"Mereka... mereka mengejar kita?" tanya Kinanti setelah teringat serangan dari
balik pohon yang berarti Sanjung Rumpi tidak sendirian.
"Biarkan mereka mengejar kita. Aku akan
menghadapi mereka. Kau istirahatlah dulu jika
sampai mereka menemukan kita di sini, Kinanti."
Sambil bicara begitu, Suto Sinting
mengusap-usap kening Kinanti sampai ke rambut.
Elusan pelan membuat hati Kinanti semakin
menemukan kebahagiaan yang samar-samar.
Mestinya ia tak ingin menikmati kebahagiaan itu,
namun keadaannya yang tergolek lemah membuat
setiap sentuhan tangan Pendekar Mabuk terasa
jelas di hati Kinanti, seolah-olah elusan itu
menjamah hati dengan mesranya.
"Suto, mengapa kau bersikap baik sekaii
kepadaku?"
"Karena kau pun bersikap baik padaku.
Kalau kau musuhku, aku tak akan bersikap
seperti ini padamu, Kinanti," jawab Suto dengan suara pelan namun sangat jelas
terasa menghadirkan debaran indah di hati Kinanti.
"Tapi... tapi aku tak ingin mempunyai
kekasih seperti kau, Suto."
"Aku tidak berpikir ke arah itu, Kinanti.
Hanya saja, kalau boleh kutahu, mengapa kau
tidak ingin mempunyai kekasih seperti diriku?"
"Karena kau mata keranjang."
Pendekar Mabuk sunggingkan senyum geli.
Bahkan tawa kecilnya terlepas lirih bagai orang
menggumam. Kinanti menatapnya, dan Suto
menjadi salah tingkah, akhirnya lemparkan
pandangan ke arah lain.
Tepat pada saat pandangan terlempar, saat
itu Suto melihat kemunculan Sanjung Rumpi
dengan seorang perempuan yang berusia sekitar
dua puluh tujuh tahun. Wajahnya cantik,
Rajawali Emas 13 Pendekar Super Sakti Serial Bu Kek Siansu 7 Karya Kho Ping Hoo Manusia Srigala 14
^