Pencarian

Sabuk Gempur Jagat 2

Pendekar Mabuk 051 Sabuk Gempur Jagat Bagian 2


berbentuk lonjong. Hidungnya mancung dan
bibirnya sangat menggiurkan. Kulit perempuan itu
kuning langsat. Rambutnya disanggul rapi dengan
sisa anak rambut terjuntai di smping kanan-kiri.
Namun hal yang membuat Suto Sinting
menjadi berdebar-debar adalah pakaian
perempuan itu. Ia mengenakan pakaian hijau
berbunga-bunga seperti bulu merak. Terbuat dari
kain tipis yang dibentuk jubah berlengan panjang.
Jubah hijau merak itu tidak dikancingkan
bagian depannya, sedangkan bagian dadanya
hanya ditutup dengan kain tipis dan kecil. Seakan hanya menutupi bagian yang
penting saja. Demikian pula bagian bawahnya, tak ada kain lain
kecuali kain penutup tipis dan kecil, menutup
bagian penting secukupnya. Tapi tipisnya kain
penutup itu membuat apa yang ditutupnya
menjadi tampak samar-samar dan mengguncang
hati setiap lelaki.
"Mereka datang juga akhirnya," gumam Suto Sinting yang membuat Kinanti akhirnya
bangkit dengan perlahan-lahan.
"Celaka! Sanjung Rumpi datang bersama si
Merak Cabul!"
"Perempuan berjubah hijau itukah yang
bernama si Merak Cabul?"
"Benar. Hati-hati, jangan terlalu lama
pandangi matanya. Kekuatan matanya bisa
membuat lelaki bertekuk lutut kepadanya dan
pasrah diperintahkan apa saja."
Suto kurang begitu menghiraukan kata-kata
Kinanti. Namun ia sempat menggumam lirih
sambii melepaskan tangannya dari lengan Kinanti
yang sejak tadi dipeganginya.
"Pantas ia berjuluk Merak Cabul,
pakaiannya memang sangat cabul. Tapi...
menggairahkan sekali untuk dinikmati dengan
mata telanjang seperti ini."
"Suto!" sentak Kinanti menyadarkan
pendekar tampan yang agaknya hanyut dalam
buaian kecabulan perempuan berjubah hijau itu.
Suto Sinting pun tersentak kaget dan segera
sadar. "Kau diam saja di sini, biar kuhadapi
mereka!" katanya sambil bangkit berdiri.
Kemudian ia maju menyongsong langkah Sanjung
Rumpi dan si Merak Cabul yang berusaha dekati
Kinanti. Dalam jarak enam langkah mereka sama-
sama berhenti. Mata Suto tertuju lurus pada mata
si Merak Cabul.
Merak Cabul sunggingkan senyum pemikat.
Namun Suto Sinting segera gunakan jurus
'Senyuman iblis' warisan dari bibi gurunya:
Bidadari Jalang. Jurus senyuman itu membuat
Merak Cabul dan Sanjung Rumpi menjadi
berdebar-debar.
"Sial! Mengapa hatiku jadi berdebar-debar
sekali. Ooh... hasratku ingin bercumbu dengan si
tampan itu menjadi bergejolak, makin lama
semakin menyesakkan pernapasan," kata Sanjung Rumpi dalam batinnya. Tangan yang
terluka bakar agaknya sudah disembuhkan oleh si Merak Cabul,
hingga tampak utuh tanpa bekas luka menghitam
seperti tadi. Bukan hanya Sanjung Rumpi yang berdebar-
debar, ternyata Merak Cabul pun membatin dalam
kegelisahannya.
"Celaka betul. Kekuatan daya pikatku
ternyata kalah dengan senyumannya. Ooh... aku
bergairah sekali terhadap pemuda tampan itu.
Jiwaku menuntut pelukan dan ciumannya.
Aduuuh... keinginanku bercumbu sangat besar.
Aku tak sabar menunggu lebih lama lagi. Aku
ingin segera dipeluk dan dicumbunya. Oooh...
bagaimana aku harus bertahan jika begini
jadinya?" Suto Sinting tetap sunggingkan senyum dan
pandangi mata kedua perempuan itu secara
berganti-gantian. Kekuatan 'Senyuman iblis'
semakin membuat mereka berdua sangat gelisah.
Bahkan Sanjung Rumpi menjadi salah tingkah,
antara takut kepada Merak Cabul dan ingin segera
memeluk Suto Sinting. Kedua tangannya mulai
meremas-remas sendiri dengan napas mulai
memberat, dan sesekali tersengal resah.
Kinanti tidak mengerti apa yang dilakukan
Suto Sinting, ia hanya menduga Suto telah
terpengaruh kekuatan pelet yang ada pada diri
Merak Cabul. Maka dengan hati geram Kinanti
lepaskan pukulan jarak jauhnya ke arah Merak
Cabul. Wuuut...! Pukulan itu berupa sinar merah
kecil lurus tanpa putus. Arahnya tepat ke dada
Merak Cabul. Melihat kedatangan sinar merah bagaikan
kilat, Merak Cabul segera sentakkan tangan
kirinya dan dari telapak tangan kiri keluar sinar hijau lurus tanpa putus yang
menghantam tepat
sinar merah tersebut. Claaap....!
Blaaar...! Ledakan yang memercikkan bunga api
menyebar itu mempunyai gelombang hentak yang
cukup besar. Pendekar Mabuk terjungkal karena
hentakan gelombang ledak tersebut. Sanjung
Rumpi juga terpelanting jatuh dan berguling-
guling di tanah. Merak Cabul terdorong ke
belakang hingga tubuhnya membentur sebatang
pohon, lalu jatuh terduduk di bawah pohon
tersebut. Sedangkan Kinanti hanya tersentak ke
belakang tak sampai jatuh karena ia segera
berpegangan dahan pohon kecil.
Alam sunyi sejenak. Kemudian mereka yang
berjatuhan mulai bangkit dengan pandangan
saling bermusuhan. Merak Cabul menatap Kinanti
dengan gigi menggeletuk menahan kebencian.
Sanjung Rumpi memandang Kinanti, namun
segera beralih kepada Suto Sinting karena hatinya masih gundah karena gairahnya
yang tergugah oleh senyum pemikat Suto tadi.
Pendekar Mabuk kibaskan kepalanya
membuang rasa pusing akibat jatuhnya tadi. Ia
segera menenggak tuaknya sambil mengarah
kepada Kinanti, ia tahu dirinya didekati Kinanti, karenanya matanya sempat
melirik sebentar saat
menenggak tuak tiga teguk.
"Kupikir kau ingin lakukan pertarungan
dengan mereka. Ternyata kau justru menikmati
kecabulan perempuan itu!" sentak Kinanti dengan suara pelan. Wajah cantiknya
cemberut hingga
mulutnya tampak runcing.
Suto hanya nyengir geli, lalu berkata, "Kau
tidak tahu apa yang kulakukan, Kinanti."
Wajah Suto mendekat di telinga Kinanti,
"Aku menyerang hati mereka. Hampir saja mereka lumpuh bersamaan."
"Hmmm... alasan!" Kinanti mencibir ketus.
Suto Sinting justru makin menertawakan walau
tanpa suara tawa yang nyata.
"Merak Cabul!" seru Kinanti kepada
perempuan berdandanan seronok itu. "Apa
alasanmu membumihanguskan Lembah Birawa
dengan Sabuk Gempur Jagat itu"!"
"Hik, hik, hik, hik...!" Merak Cabul tertawa, lalu tawa itu tiba-tiba hilang dan
wajahnya berubah ketus. "Kalau aku punya Sabuk Gempur Jagat, sudah kuhancurkan kepalamu
saat tadi melawan Sanjung Rumpi!"
"Mengapa tidak kau lakukan! Aku siap
melayanimu dengan senjata pusaka apa saja!
Keluarkan semua pusaka di Bukti Kasmaran, aku
tak akan gentar menghadapimu. Perempuan
cabul!" "Aku hanya menghendaki Kitab Jati Mulya!
Kulihat Lembah Birawa sudah hancur, sisanya
tinggal dirimu seorang, Kinanti. Tak perlu kau
bertahan dan bersikeras sembunyikan Kitab Jati
Mulya. Kau tidak akan mampu menandingi
kemarahanku, walaupun kau bersahabat dengan
si tampan itu! Kalau si tampan itu ikut campur,
akan kubuat berlutut dan menjadi pelayan
cintaku setiap malam!"
"Aku bersedia!" sahut Suto Sinting.
Kinanti berpaling sambil mendengus jengkel.
Suto Sinting agak menggeragap dan segera
berkata membetulkan maksud ucapannya tadi.
"Maksudku, aku bersedia bertarung
melawanmu demi membela Kinanti!"
"Hik, hik, hik, hik...," Merak Cabul
perdengarkan tawanya, lalu berhenti mendadak
seperti tadi dan berwajah ketus pandangi Suto
Sinting. "Bocah tampan," katanya. "Kau tak akan mendapatkan keindahan jika berada di
pihak Kinanti. Gadis itu tidak bisa memberikan surga
terindah untukmu. Tapi jika kau ada di pihakku,
kau akan mendapatkan surga terindah di antara
surga-surga yang ada di dunia ini!"
"Aku sudah melihat pintu surgamu itu, tapi
aku tidak tertarik untuk masuk ke dalamnya,
Merak Cabul. Aku lebih tertarik pada surganya
Kinanti yang masih tertutup rapat, tak
dipamerkan pada setiap pria. Berarti surganya
masih bersih dan dijamin tak ada penyakit di
dalamnya!"
Suto Sinting sengaja bicara sedikit seronok
karena ia bermaksud memancing kemarahan
Merak Cabul agar dialihkan kepadanya. Pendekar
Mabuk punya pertimbangan, bahwa Kinanti tidak
akan mampu mengungguli Merak Cabul, sehingga
sangat membahayakan jiwa jika Merak Cabul
murka kepada Kinanti. Satu-satunya cara untuk
mengurangi datangnya bahaya pada diri Kinanti
adalah dengan memancing perhatian Merak Cabul
dengan meremehkan kemesraan yang menjadi
andalan perempuan seronok itu.
"Kau belum tahu siapa aku, Bocah Tampan!"
Merak Cabul segera menggeram pertanda
kemarahannya mulai datang. Suto Sinting
sunggingkan senyum tipis, melangkah melintasi
dengan Kinanti dan berkata dalam bisik,
"Mundur, biar kuhadapi!" Walau ucapan itu
tak begitu jelas, tapi Kinanti merasakan
kesungguhan Suto yang ingin menghadapi Merak
Cabul. Kinanti pun akhirnya mundur pelan-pelan
menjauhi Suto Sinting sambil matanya sesekali
melirik ke arah Sanjung Rumpi, karena khawatir
datang serangan tiba-tiba dari Sanjung Rumpi.
Ternyata Sanjung Rumpi saat itu sedang
bersembunyi di balik pohon. Tangannya meraba-
raba tubuhnya sendiri, ia tampak sedang
kasmaran dan memburu puncak gairahnya sambil
sesekali mencuri pandang ke arah Suto Sinting.
Kinanti kerutkan dahi dan membatin,
"Gila orang itu! Kenapa dia justru kasmaran
sendiri di pojokan sana"!"
Kinanti tak tahu bahwa Sanjung Rumpi
masih terkena pengaruh pelet dari jurus
'Senyuman iblis' yang tadi dilancarkan Suto
Sinting. Pengaruh itu membuatnya tak mampu
menahan gairah dan ingin melepaskannya
bersama Suto. Namun karena Suto berhadapan
dengan Ketua-nya, ia tak berani lakukan apa pun
kecuali mencari keindahan dengan tangannya
sendiri. "Bocah tampan," ujar Merak Cabul dengan mata mulai tampak liar. "Kuberi
kesempatan sekali lagi, kau mau berada di pihakku atau di
pihak Kinanti?"
"Tentu saja di pihak Kinanti!" jawab Suto tegas-tegas.
"Kau tak ingin bermesraan denganku?"
Suto tertawa pendek. "Kemesraanmu sudah
basi, ibarat sayur sudah sayu dan hambar. Tidak
sesegar kemesraan Kinanti."
"Keparat kau! Terimalah jurus 'Racun Teluh
Cinta' ini, hiaaaat...!"
Claap...! Tiba-tiba dari mata kiri Merak
Cabul melesat sinar kuning lurus tanpa putus ke
arah Suto Sinting. Gerakan sinar itu sangat cepat, bagaikan anak panah melesat
dari busur dalam
jarak enam langkah. Kinanti sampai tak sadar
berseru, "Awaass...!"
Tapi Pendekar Mabuk ternyata sudah siaga
penuh waspada. Tangannya yang menggenggam
tali bumbung berkelebat cepat mengarahkan
bumbungnya ke depan. Teeb...! Sinar kuning itu
kenai bumbung tuak. Lalu membalik arah sedikit
lebih rendah dari ketinggian geraknya tadi. Sinar kuning yang membalik arah ke
pemiliknya itu menjadi lebih cepat dan lebih besar, sehingga
Merak Cabul tak sempat menghindar lagi. Jurus


Pendekar Mabuk 051 Sabuk Gempur Jagat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

'Racun Teluh Cinta' akhirnya menghantam
perutnya sendiri. Jrebb...!
"Aahhh...!" Merak Cabul tersentak mundur, suara pekikannya lemah, bukan dalam
nada kesakitan, tapi bernada orang terkejut dalam
keindahan. Tubuhnya yang molek tersandar di pohon, ia
masih berdiri dengan mata mulai sayu. Makin
lama tubuhnya semakin menggigil gemetaran.
Merak Cabul mulai tersenyum-senyum dengan
kepala sedikit mendongak dan lidahnya menjilati
bibir sendiri. Jurus 'Racun Teluh Cinta' telah menguasai
naluri dan jiwanya lebih dahsyat dari aslinya.
Jurus itu membuat seseorang menjadi tunduk dan
patuh kepada perintah Merak Cabul. Tapi karena
berubah lebih besar dan mengenai dirinya sendiri, maka Merak Cabul menjadi lupa
daratan. Gairahnya menggebu-gebu di luar kewajaran, ia
tertawa cekikikan sendiri sambil meraba-raba
tubuhnya. Dengan gerakan pelan bagai orang menari
jubahnya ditanggalkan. Napasnya mendesah-
desah, sesekali keluarkan suara merintih nikmat
atau meratap diburu gairah cinta. Tubuhnya
meliuk-liuk bagaikan mengikuti irama gairahnya.
"Gawat! Kenapa dia jadi begitu setelah
terkena jurusnya sendiri?" pikir Kinanti sambil hatinya berdebar-debar dan
merasa kikuk sendiri.
Pendekar Mabuk hanya tersenyum-senyum nakal,
bahkan sesekali melirik Kinanti sambil tertawa
pelan. "Suto, kau apakan dia?"
"Sekadar membalikkan jurus 'Racun Teluh
Cinta'-nya."
"Dia menjadi gila! Gila kemesraan!"
Erangan memanjang dari mulut Merak
Cabul terdengar mendesirkan hati Kinanti, ia jadi tak enak hati, lalu segera
menarik lengan Suto
Sinting sambil membentak,
"Palingkan muka dan tinggalkan tempat ini!
Jangan kau tonton tingkahnya itu, kau bisa ikut-
ikutan gila seperti dia!"
Kinanti menarik Suto Sinting mengajaknya
pergi. Pendekar Mabuk hanya tertawa kecil, ia
masih sempat berpaling memandangi Merak Cabul
yang telah melepas seluruh penutup tubuhnya.
Bahkan langkahnya yang gontai telah sampai di
tempat Sanjung Rumpi. Mereka bagai tak ingat
apa-apa lagi. Sanjung Rumpi dipeluk dan
dicumbunya dengan jeritan-jeritan mesra yang
membangkitkan gairah siapa saja yang
mendengarnya. "Ayolah, kita pergi dari sini!" Kinanti mendorong pipi Suto agar tidak memandang
ke belakang sambil menarik pemuda tampan itu agar
cepat tinggalkan tempat.
Namun sebelum mereka pergi jauh, tiba-tiba
mereka dikejutkan oleh suara pekikan melengking
tinggi dari balik pohon tempat Merak Cabul
bercumbu dengan Sanjung Rumpi.
"Aaaahg...!"
Kali ini suara pekikan itu mengundang
perhatian dan bayangan berbeda. Nada pekikan
bukan seperti orang sedang menikmati puncak
kemesraan, namun seperti orang diterkam
kesakitan. Pendekar Mabuk segera palingkan
wajah, dan Kinanti pun ikut memandang ke sana.
"Ooh..."!" Kinanti tersentak kaget melihat darah menyembur dari punggung Merak
Cabul. Lebih terkejut lagi melihat seseorang sedang
berdiri di samping kedua perempuan itu dengan
tongkat tergenggam di tangannya. Tongkat
berujung runcing itu berlumur darah, tampak
habis dihujamkan ke tubuh Merak Cabul.
Sedangkan Sanjung Rumpi tampaknya tak
bergerak lagi dalam tindihan tubuh Merak Cabul.
Rupanya ia pun terkena hujaman benda runcing
yang datang dari punggung Merak Cabul, tembus
ke ulu hati dan kenai jantungnya sendiri.
"Mengerikan sekali!" geram Kinanti bersuara lirih. Mereka tak jadi teruskan
langkah. Mata mereka memandang si pemegang tongkat runcing
yang masih berdiri pandangi kedua perempuan
tersebut. "Merak Cabul tewas!" gumam Suto Sinting setelah melihat kaki Merak Cabul
tersentak yang terakhir kali, kemudian meiemas dan tak bergerak
lagi. "Siapa orang bertongkat runcing itu?"
tanyanya kepada Kinanti.
"Dia yang bernama Dewa Putih."
"Edan! Kenapa ia membunuh cucunya
sendiri" Katamu tadi, ia paling sayang kepada
Merak Cabul?"
"Aku tak tahu mengapa ia jadi begitu.
Sebaiknya kita tinggalkan saja. Jangan berurusan
dengannya. Kulihat ia sedang murka dan...."
"Tunggu!" sergah Suto Sinting sambil
menarik tangan Kinanti yang ingin pergi. "Kita temui saja dia. Bukankah dia
salah satu orang
yang kau curigai sebagai pemegang Sabuk
Gempur Jagat?"
Wuuut...! Jleeg...!
Kinanti dan Suto Sinting sama-sama
terkejut. Tahu-tahu si kakek berambut putih
sepanjang tengkuk tanpa ikat kepala itu sudah
berada di samping mereka. Padahal jarak mereka
dengan mayat Merak Cabul cukup jauh. Tapi sang
kakek yang berjuluk Dewa Putih itu mampu
bergerak cepat, hingga dalam sekejap sudah
berada di samping Kinanti. Jika bukan karena
ilmunya yang tinggi, tak mungkin ia mampu
bergerak secepat jurus 'Gerak Siluman'-nya
Pendekar Mabuk.
Dewa Putih yang bertubuh kurus itu
memandang dingin kepada Kinanti dan Suto
Sinting. Jubahnya yang berwarna putih kusam
melambai-lambai ditiup angin kaki bukit.
Wajahnya tampak kaku karena tonjolan tulang
pipinya terlihat jelas. Pandangan mata yang dingin itulah yang menimbulkan kesan
angker walau sebenarnya kesan itu lebih cenderung berwibawa.
"Kaukah yang bernama Dewa Putih, Kek?"
tanya Suto sekadar pembuka kata.
Dewa Putih sedikit bungkukkan badan.
Kinanti heran melihat tokoh tua yang usianya
sudah mencapai seratus tahun itu bersikap
menghormat kepada Pendekar Mabuk. Bahkan
jawabannya pun menimbulkan keheranan yang
lebih dalam lagi bagi Kinanti.
"Benar, akulah yang berjuluk Dewa Putih,
Nak Mas Manggala Yudha!"
"Manggala Yudha..."!" gumam hati Kinanti.
Suto Sinting menjadi kikuk sendiri. Sulit
menjelaskan kepada Kinanti bahwa dirinya akan
dipanggil sebagai Manggala Yudha jika seseorang
mengetahui noda merah kecil di keningnya. Noda
merah itu adalah tanda penghormatan tinggi yang
diberikan oleh Ratu Kartika Wangi, penguasa
negeri Puri Gerbang Surgawi di alam gaib. Ratu itu adalah calon mertuanya, yang
berarti ibu dari
Dyah Sariningrum yang menjadi penguasa negeri
Puri Gerbang Surgawi di alam nyata, tepatnya di
Pulau Serindu. Tanda merah kecil di kening Suto hanya bisa
dilihat oleh tokoh-tokoh berilmu tinggi, yang
sudah mencapai tingkat pengendalian indera
ketujuh. Siapa pun yang mampu melihat noda
merah di kening Suto akan menaruh hormat,
setidaknya merasa sungkan terhadap murid
sinting si Gila Tuak itu. Karena noda merah
tersebut merupakan tanda tingkatan tertinggi
setelah Ratu Kartika Wangi. Noda merah itu
adalah lambang jabatan Suto Sinting sebagai
Panglima Perang alias Manggala Yudha Kinasih
bagi negeri Puri Gerbang Surgawi di alam gaib.
Sedangkan para tokoh sakti mana pun paling
sungkan jika berurusan dengan orang-orangnya
Ratu Kartika Wangi, karena ilmu mereka jauh
lebih tinggi dari para tokoh di rimba persilatan di alam kasatmata, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode : "Manusia Seribu Wajah").
"Damai hidupmu, panjanglah umurmu, Ki
Dewa Putih."
Begitulah sapaan keselamatan dari Suto
Sinting jika mendapat hormat dari seseorang yang
menganggapnya sebagai Manggala Yudha dari Puri
Gerbang Surgawi. Ucapan selamat itu bagai
berkah seorang raja kepada hambanya.
"Rupanya aku datang terlambat," ujar Dewa Putih. "Seharusnya aku datang sebelum
cucuku termakan oleh tingkahnya sendiri."
"Mengapa kau bunuh cucumu sendiri, Ki
Dewa Putih?"
"Terlalu sesat, memalukan nama keluarga.
Namaku sendiri menjadi tercoreng karena
tingkahnya yang tak tahu susila itu!"
Dewa Putih bicara dengan tegas dan penuh
wibawa. Kinanti memandanginya dengan rasa
sungkan. Namun akhirnya ia pun mencoba bicara
kepada kakek yang usianya sekitar seratus tahun
itu, "Apakah kau ingin menghancurkan diriku
juga, Dewa Putih?"
Orang berkumis dan berjenggot putih itu
pandangi Kinanti tanpa berkedip, ia menggumam
lirih dan pendek, kemudian berkata dengan nada
pelan, "Aku tahu maksudmu. Aku telah membaca
pikiranmu, Nona. Kau anak buah dari Ratu
Jiwandani, bukan?"
"Benar! Kaukah yang melakukan bencana
itu?" Dewa Putih diam sebentar, melirik Suto
Sinting sekejap, kemudian kembali tatap mata
Kinanti sambil ucapkan kata,
"Kau menyangka aku mempunyai Sabuk
Gempur Jagat. Itu sangkaan yang keliru, Nona.
Kalau aku mau hancurkan Lembah Birawa, tak
mungkin akan tersisa satu nyawa seperti saat ini.
Kau pun pasti ikut hancur bersama mereka, juga
ratumu pasti akan hancur dan tidak akan sampai
ke pondoknya sahabatku, si Galak Gantung."
"Hebat. Dia tahu kalau Ratu ada di sana?"
pikir Kinanti dengan mulut terkatup dan mata
memandang tak berkedip.
"Ilmu teropongnya cukup tinggi," ujar Suto dalam hatinya, namun ia sengaja tak
mau angkat bicara untuk sesaat, ia ingin dengarkan apa pun
ucapan si tokoh tua berkulit hitam itu.
"Sabuk Gempur Jagat memang menjadi
bahan rebutan. Tapi percayalah, sabuk pusaka itu
tidak ada padaku, Nona. Jangan beranggapan
cucuku si Merak Cabul yang memegang sabuk itu.
Dia mengejarmu hanya untuk dapatkan Kitab Jati
Mulya, karena ia menyangka kitab itu ada pada
ratumu, ia tidak tahu sebelum ibunya wafat
terlebih dulu menitipkan kitab itu padaku. Jadi, kuharap jangan hubungkan
persoalan kitab itu
dengan bencana yang melanda Lembah Birawa."
"Maafkan aku," kata Kinanti dengan tegas.
"Jika begitu, siapa orang yang telah
menghancurkan Lembah Birawa itu?"
Suto Sinting menimpali, "Di tangan siapa
sebenarnya Sabuk Gempur Jagat itu berada, Ki
Dewa Putih?"
Tokoh tua itu diam sebentar, matanya tidak
terpejam, namun menatap ke salah satu arah.
Pandangan matanya bagaikan sedang menerawang
selama dua helaan napas. Mungkin begitulah
caranya meneropong suatu keadaan dengan
kekuatan indera ketujuhnya.
"Sampai tadi malam sabuk pusaka itu ada di
tangan si Tulang Naga," kata Dewa Putih setelah menarik napas satu kali dan
melempar pandangan
kepada Suto Sinting.
"Ke mana arah kepergian si Tulang Naga itu,
Ki Dewa Putih?"
"Selatan!" jawabnya singkat, membuat
Kinanti dan Suto Sinting saling berpandang mata.
"Arah selatan adalah arah menuju ke Bukit
Wangi," ujar Kinanti kepada Suto dengan suara pelan.
Dewa Putih menyahut, "Dia tidak berhak
memegang Sabuk Gempur Jagat. Pusaka itu harus
dikembalikan kepada pemiliknya."
"Siapa pemilik sebenarnya, Ki?"
"Begawan Rampak Dalu, dari Tebing Papak."
Pendekar Mabuk manggut-manggut. Lalu,
sebelum ia berucap kata, Dewa Putih lebih dulu
bicara kepadanya.


Pendekar Mabuk 051 Sabuk Gempur Jagat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pakar Pantun tahu persis di mana Begawan
Rampak Dalu berada, karena Begawan Rampak
Dalu adalah sahabat karib si Pakar Pantun. Nak
Mas Manggala Yudha tentunya kenal baik dengan
si Pakar Pantun."
"Ya, aku memang kenal baik dengan Resi
Pakar Pantun."
"Saat ini ia sedang mencari di mana Tulang
Naga berada, karena ia juga bermaksud merampas
sabuk itu dan ingin mengembalikan kepada
sahabatnya itu. Sabuk Gempur Jagat jika tidak
segera diselamatkan dapat menimbulkan bencana
di mana-mana dan menghancurkan dunia, kecuali
sabuk pusaka itu ada di tangan tokoh aliran
putih, seperti guru Nak Mas sendiri, si Gila Tuak."
Pendekar Mabuk agak kaget mendengar
nama gurunya disebutkan. Rupanya tokoh tua
yang sudah lama menghilang dari rimba persilatan
itu cukup kenal dengan si Gila Tuak.
"Ki Dewa Putih agaknya kenal baik dengan
guruku?" "Aku sahabatnya di masa kami sama-sama
berusia empat puluh tahun."
"Ooo...," Suto Sinting manggut-manggut, hatinya pun membatin, "Kalau begitu usia
Dewa Putih itu sama dengan usia Guru?"
"Nak Mas Manggala Yudha, sudah
sewajarnya jika menyelamatkan Sabuk Gempur
Jagat dari tangan-tangan sesat itu. Tugas Nak Mas sebagai Pendekar Mabuk adalah
menyelamatkan dunia dari kehancuran si tangan sesat."
"Mengapa bukan kau sendiri yang merebut
Sabuk Gempur Jagat dari tangan si Tulang Naga?"
ujar Kinanti menyela pembicaraan.
"Aku sudah tidak mau berurusan lagi
dengan hal-hal seperti itu. Aku keluar dari
pengasinganku, karena tak tahan mendengar
sepak terjang cucuku yang kelewat sesat. Aku tak
rela jika cucuku dibunuh orang lain. Maka
sebelum orang lain membunuhnya, aku lebih
dahulu melakukannya. Kukorbankan perasaan
kasih sayangku kepada Merak Cabul untuk
selamatkan isi dunia dari kecabulannya."
"Aku... aku kagum pada sikapmu, Dewa
Putih," ucap Kinanti lirih, namun jelas terdengar oleh yang bersangkutan.
"Tak ada yang perlu dikagumi dariku, Nona.
Aku bertindak sebagaimana harusnya manusia
bertindak. Kau pun bisa berbuat seperti apa yang
kuperbuat jika kau mengerti bagaimana
seharusnya manusia berbuat di alam
kehidupannya ini."
"Wah, kalau sudah bicara soal begini,
puyeng juga kepalaku mengartikannya," pikir Suto Sinting. Pada saat itu ia
segera dipandang oleh
Dewa Putih. "Nak Mas tidak perlu puyeng. Kata-kataku
ini bukan untuk dipikirkan tapi untuk dicerna dan dipahami."
Pendekar Mabuk tersenyum malu karena
jalan pikirannya sempat terbaca oleh Dewa Putih.
Kinanti sendiri merasa berhadapan dengan orang
yang serba tahu, sehingga ia pergunakan
kesempatan itu untuk menanyakan sebab
kehancuran Lembah Birawa.
"Tentunya kau tahu apa sebab Tulang Naga
menghancurkan Lembah Birawa" Tolong jelaskan
padaku agar aku tidak penasaran dalam
sepanjang hidupku."
Mata dingin namun tajam itu beralih
pandang ke arah Kinanti.
"Ratu Jiwandani mempunyai seorang ayah
yang berjuluk si Tudung Geni. Dari situlah titik
persoalannya."
Kinanti kerutkan dahi sambil menggumam,
"Ya, aku pernah dengar nama Tudung Geni. Itu memang nama ayah Ratu Jiwandani.
Apakah Tulang Naga bermusuhan dengan si Tudung
Geni?" "Sangat bermusuhan. Tudung Geni yang
membunuh ayahnya Tulang Naga yang dikenal
dengan nama Panglima Setan Biru. Kematian itu
meninggalkan dendam di hati Tulang Naga. Maka
ketika ia menemukan tempat kediaman keturunan
si Tudung Geni, dendamnya dilampiaskan secara
membabi buta."
"Agaknya Tulang Naga manusia yang penuh
dengan dendam kesumat. Benarkah penilaianku
itu, Ki Dewa Putih?"
"Memang benar, Nak Mas Manggala Yudha.
Tulang Naga manusia penuh dendam. Karenanya,
begitu ia memegang Sabuk Gempur Jagat, dendam
kesumatnya dilampiaskan kepada siapa saja yang
pernah bentrok dengannya dan ia mengalami
kekalahan. Termasuk seorang Lurah yang menjadi
kepala desa di desa Kijangan, serta beberapa
orang lainnya. Bahkan tak menutup kemungkinan
ia akan memburu dendamnya pada si Galak
Gantung yang akhirnya akan sampai pada Guru
Nak Mas Manggala Yudha, si Gila Tuak."
Suto terkesiap seketika begitu mendengar
nama gurunya akan menjadi tempat pelampiasan
dendam si Tulang Naga. ia sedikit heran
mendengar kata-kata Dewa Putih. Bahkan ia
sempat bertanya kepada sahabat gurunya itu,
"Apakah kau tak salah ucap, Ki Dewa Putih"
Guruku akan menjadi sasaran dendam
kesumatnya si Tulang Naga" Benarkah demikian
kejadiannya nanti?"
"Benar, jika Sabuk Gempur Jagat tidak
segera diselamatkan dari tangannya. Sabuk
pusaka itu memang sukar dicari tandingannya.
Tulang Naga akan malang melintang terus jika
memegang Sabuk Gempur Jagat, sebab kesaktian
sabuk itu sangat dahsyat. Mampu
menghancurkan gunung, mampu membelah
lapisan tanah, mampu meremukkan baja setebal
apa pun, bahkan mampu hadirkan badai panas
yang bisa melelehkan logam."
"Hebat sekali"!" gumam Kinanti secara tak sadar.
"Jika sabuk itu diputar dan memancarkan
sinar hijau, maka sinar itu akan menjadi perisai
bagi pemegangnya. Sinar itu tak bisa ditembus
oleh sinar tenaga dalam apa pun juga," tutur Dewa Putih, tanpa diminta ia
menjelaskan sendiri
kehebatan Sabuk Gempur Jagat itu. Sambungnya
lagi, "Repotnya, sabuk itu tak bisa putus oleh
senjata apa pun, sukar dihancurkan karena
terbuat dari kulit ular Onak Setan. Ular itu sangat
jarang dan menurut mendiang guruku, ular Onak
Setan hanya ada tujuh yang hidup di permukaan
bumi. Salah satunya ada yang pernah hidup di
tempat kita ini, ratusan tahun yang lalu. Begawan Rampak Dalu mendapat warisan
pusaka itu dari
leluhurnya yang diwariskan secara turun
temurun." Rasa tenang Suto Sinting saat mendengar
Ratu Jiwandani ada bersama Galak Gantung tiba-
tiba berubah menjadi sebuah kecemasan.
Kecemasan itu timbul karena Suto baru saja ingat
bahwa Galak Gantung adalah musuh utama
Tulang Naga. Bahkan si Gila Tuak, guru Suto
Sinting itu, juga termasuk musuh si Tulang Naga.
Pada saat Suto bertemu dengan Tulang Naga
memperebutkan mayat bayi yang mati digantung
oleh ayahnya sendiri itu, Tulang Naga sempat
melepas ucapan bahwa Gila Tuak termasuk salah
satu musuhnya yang akan dibinasakan. Persoalan
itu sebenarnya persoaian lama, tapi masih
membekas di hati Tulang Naga. Persoalan itu
menyangkut tentang kematian kakaknya Tulang
Naga yang dibunuh oleh Galak Gantung. Pada
waktu Tulang Naga ingin membalas dendam
kepada Galak Gantung, si Gila Tuak datang
memihak Galak Gantung. Akibatnya Tulang Naga
larikan diri tak sanggup hadapi si Gila Tuak,
namun dendamnya semakin membengkak dan
nama si Gila Tuak tertera dalam daftar nama
orang-orang yang akan dimusnahkan secara cepat
atau lambat. "Ki Dewa Putih, agaknya perjumpaan kita
tak bisa lebih lama lagi," kata Suto Sinting yang membuat Kinanti memandangnya.
Pendekar Mabuk lanjutkan bicara kepada Dewa Putih yang
masih mampu berdiri tegak dan gagah itu.
"Seperti katamu tadi, Tulang Naga punya
dendam kepada Galak Gantung yang nantinya
akan menjalar kepada guruku; si Gila Tuak.
Sedangkan sekarang Ratu Jiwandani ada bersama
Ki Galak Gantung. Tak bisa kubayangkan apa
jadinya jika Tulang Naga sampai ke pondok Ki
Galak Gantung dalam keadaan masih bersenjata
Sabuk Gempur Jagat itu. Maka sebelum ia tiba di
Bukit Wangi, aku harus lebih dulu merampas
sabuk pusaka itu!"
"Firasatku mengatakan, Tulang Naga sedang
menuju ke Bukit Wangi untuk temui Galak
Gantung!" kata Dewa Putih yang membuat Kinanti menjadi berwajah tegang.
* * * 6 JALAN pintas menuju Bukit Wangi yang
paling aman dan cepat adalah melalui pantai.
Kinanti menjadi pemandu perjalanan itu, karena
Pendekar Mabuk belum pernah datang ke Bukit
Wangi dan tidak tahu di mana letak bukit
tersebut. Namun ketika mereka melalui jalan pantai,
tiba-tiba langkah mereka dihentikan oleh suara
dentuman yang cukup mengelegar dari arah
kedalaman hutan. Pendekar Mabuk yang punya
sifat selalu ingin melihat pertarungan itu segera mengajak Kinanti untuk
menengok keadaan di
dalam hutan. "Aku hanya ingin tahu, siapa yang bertarung
di sana. Siapa tahu Tulang Naga sedang lakukan
pertarungan dengan seseorang yang perlu kita
tolong," kata Suto Sinting. Walaupun sebenarnya Kinanti merasa jengkel dengan
ajakan itu, namun
dalam hati kecilnya sendiri ia terusik oleh rasa ingin tahu dan berharap Tulang
Naga ada dalam pertarungan tersebut. Maka mau tak mau ia pun
mengikuti langkah Suto Sinting untuk kembali
masuk ke hutan. Sasaran mereka adalah tempat
datangnya suara dentuman tadi.
"Kita lewat jalan atas saja!" kata Suto, lalu tubuhnya melesat naik dan hinggap
di salah satu dahan. Kinanti ternyata mampu mengikuti
gerakan serupa itu. Maka keduanya pun berlari
menuju ke satu arah dengan melompati dahan
demi dahan, bagaikan sepasang burung besar
yang terbang dari pohon ke pohon.
"Suto, kulihat gerakan seseorang di sebelah
kanan kita!" ujar Kinanti, maka mereka bergerak ke arah yang dimaksud.
Sebidang tanah yang jarang ditumbuhi
pohon terhampar di depan mereka. Tanah itu
seperti bekas rawa yang sudah mengering dan
mengeras. Ada beberapa batu besar yang
menjulang setinggi rumah di tanah datar itu. Di
antara batu-batu besar itulah mereka melihat dua
orang yang sedang bertarungan dengan tangan
kosong. Masing-masing mengandalkan kekuatan
tenaga dalam mereka. Sementara satu orang lagi
diam di bawah pohon agak jauh dengan wajah
dicekam rasa takut.
Orang yang ketakutan itu berusia sekitar
empat puluh tahun, mengenakan baju hijau tua,
ikat kepala dari kain putih, rambutnya pendek.
Orang tersebut berbadan kurus, pendek, berkulit
agak hitam, ia tanpa kumis dan jenggot, namun
guratan ketuaan sudah tampak jelas di
permukaan wajahnya.
Suto Sinting tak bisa lupa dengan orang
tersebut karena ia pernah menggunakan ikat
kepala orang itu untuk menutup matanya dalam
pertarungannya dengan Pipit Serindu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Kutukan Pelacur Tua"). Orang yang ketakutan itu tak lain adalah si Kadal Ginting,
pelayan dari Resi Pakar Pantun.
Salah satu dari dua orang yang bertarung
tanpa senjata tajam itu tak lain adalah Resi Pakar Pantun; berusia sekitar
delapan puluh tahun,
mengenakan pakaian model biksu berwarna abu-
abu, rambutnya beruban dan tipis hingga
berkesan botak. Jenggot dan alisnya juga putih
dan tergolong lebat.
Tetapi orang yang melawan Resi Pakar
Pantun itu sangat asing bagi Suto Sinting. Baru
sekarang si Pendekar Mabuk melihat orang
tersebut; berusia sekitar lima puluh tahun,
badannya berotot dan tampak kekar. Mengenakan
baju tanpa lengan warna hitam dan celananya pun


Pendekar Mabuk 051 Sabuk Gempur Jagat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

warna hitam. Rambutnya masih hitam, tak begitu
panjang dan diikat dengan kain merah kusam.
Orang itu tak berkumis dan tak berjenggot.
Matanya agak lebar dan memancarkan pandangan
yang buas. Dengan ditambah alis yang lebat, ia
tampak berwajah bengis dan angker.
Gerakan orang berwajah angker itu cukup
gesit dan lincah. Kecepatan geraknya pun bisa
dijadikan andalan dalam pertarungan, ia pun
tampak tangguh dan tahan pukulan. Terbukti dua
kali Resi Pakar Pantun menghantam dada orang
itu, ternyata tidak mengakibatkan orang tersebut
tumbang atau terluka.
"Siapa orang berbaju hitam itu" Kau
mengenalnya, Kinanti?" bisik Suto Sinting dari tempat persembunyiannya.
"Aku belum pernah melihat orang itu
sebelum ini. Yang jelas, dia pasti mempunyai
lapisan tenaga dalam setebal baja, sehingga
pukulan dan tendangan lawannya itu tak
membuatnya terluka."
Suto Sinting menjelaskan tentang Resi Pakar
Pantun kepada Kinanti. Gadis berjubah kuning
gading itu hanya menggumam tipis dengan mata
masih memandang ke arah pertarungan tanpa
berkedip. Agaknya ia sangat tertarik dengan jurus-jurus si wajah angker itu,
hingga tak sadar
mulutnya sampai ternganga bengong dengan
wajah memancarkan kekaguman.
Suto Sinting hanya tersenyum kecil dan
membiarkannya, ia tak mau mengganggu
keasyikan Kinanti karena ia sendiri segera hanyut dalam keasyikan menyaksikan
pertarungan tersebut. Setiap jurus, setiap gerakan, seakan
tercatat dengan sendirinya dalam benak Suto
Sinting, sehingga dalam gerakan silatnya Suto
Sinting sering pergunakan pengembangan yang
diperoleh dari mengingat-ingat jurus orang lain
yang dikagumi. Dua orang yang bertarung itu akhirnya
mengadu telapak tangan di udara. Keduanya
sama-sama melompat maju bagaikan terbang.
Tangan mereka saling menghentak ke depan dan
beradu dengan kuatnya.
Duaaar...! Ledakan yang tak seberapa besar itu terjadi
akibat perpaduan telapak tangan mereka yang
rupanya sama-sama berkekuatan tenaga dalam
tinggi. Ledakan itu membuat tubuh Resi Pakar
Pantun terpental ke belakang dan jatuh terguling-
guling, sedangkan lawannya hanya jatuh terduduk
lalu segera bangkit kembali.
"Sudah waktunya kau copot usia, Pakar
Pantun! Terimalah kematianmu ini. Hiaaat...!"
Si muka angker menggerakkan tangannya ke
samping kanan kiri dengan cepat, lalu kedua
tangan menghentak bersamaan dan dari kedua
telapak tangan itu keluar dua berkas sinar
menyerupai bintang berekor berwarna merah
membara. Wuuut, wuuuut...!
Resi Pakar Pantun terperanjat melihat
kedatangan dua sinar tersebut, ia segera
merentangkan kedua tangannya dalam keadaan
masing-masing jari tengah menuding ke depan.
Suuut...! Clap, clap...!
Dua sinar hijau lurus tanpa putus keluar
dari masing-masing jari tengah sang Resi. Sinar
hijau itu menghantam masing-masing sinar merah
secara telak. Des, des...!
Blegaaarrr...! Ledakan dahsyat terjadi begitu mengagetkan
satwa di sekitar tempat itu. Bumi terasa
berguncang, beberapa pohon ikut bergetar,
bahkan ada yang tumbang dalam keadaan
akarnya mencuat keluar dari tanah.
Ledakan bergelombang besar itu membuat
Resi Pakar Pantun terlempar dan menabrak batu
sebesar rumah. Beeehg...!
"Iaauh...!" pekik sang Resi dengan wajah menyeringai kesakitan. Batu itu sampai
bergetar dan serpihannya berhamburan karena kerasnya
benturan tubuh sang Resi.
Lawan sang Resi terlempar juga dan sempat
berguling-guling di udara bagai tak bisa
kendalikan keseimbangan tubuh lagi. Akhirnya
orang itu terbanting keras di atas sebuah batu
yang tingginya sebesar lutut. Beehg...!
"Heeehg...!" ia memekik tertahan dengan mata terbeliak. Napasnya menjadi sesak
karena tulang rusuknya bagaikan patah akibat bantingan
keras tersebut.
"Hoooek...!" Resi Pakar Pantun
memuntahkan darah kental saat berusaha bangkit
dengan limbung.
"Dia terluka parah!" bisik Kinanti sambil matanya memperhatikan sang Resi dengan
tegang. "Agaknya memang begitu. Tapi biarkan dulu,
aku ingin tahu sampai di mana kekuatan lawan
sang Resi itu."
Ternyata lawan sang Resi cukup tangguh.
Dalam beberapa kejap saja ia sudah mampu
bangkit lagi dengan sehat. Rasa sakitnya bagaikan lenyap setelah ia menarik
napas panjang-panjang
dan meraba perut sampai dada dengan tangan
gemetar. Rupanya ia menyalurkan hawa murni
melalui tangannya untuk obati seluruh luka
dalam. Sang Resi berusaha bangkit dengan tegak
walau dengan berpegangan dinding batu. Matanya
tertuju kepada lawan yang mendekatinya dalam
satu lompatan bersalto.
"Kurang ajar kau, Jejak Setan!" geram sang Resi. Suto Sinting dan Kinanti saling
berpandangan setelah mendengar nama lawan
sang Resi ternyata adalah si Jejak Setan, murid
mendiang Pelacur Tua alias Nyai Pegat Raga yang
kala itu menyaru nama Pipit Serindu.
Sang Resi terdengar berkata lagi,
"Sayur lodeh jamur paku,
kecambah goreng dibungkus daun pare.
Biarpun tua ragaku,
tapi tak kan mundur melawan bayi kemarin
sore." Kinanti berbisik kepada Suto, "Mantra apa
yang ia ucapkan itu?"
"Ia bermain pantun, bukan mantra!"
Jejak Setan yang berdiri di depannya dalam
jarak empat langkah segera mendenguskan napas.
"Sekali lagi kuberi kesempatan padamu,
serahkan Sabuk Gempur Jagat yang tempo hari
ada padamu itu, Resi Pakar Pantun. Jika kau
masih ngotot tak mau berikan, kuhabisi nyawamu
sekarang juga!"
"Sudah kubilang, sabuk itu tidak ada
padaku, tapi ada pada si Tulang Naga!" bantah sang Resi. "Segalak apa pun kau
padaku, tak akan bisa kau dapatkan sabuk pusaka itu, Bocah
Bodoh!" "Baiklah, kalau begitu kau memang memilih
mati daripada hidup damai bersamaku, Pakar
Pantun!" geram Jejak Setan sambil menggenggam kuat-kuat. Kedua tangannya mulai
terangkat dengan genggaman merenggang kaku membentuk
cakar. "Sayur lodeh buat renang bekicot jamu,
lompat ke darat berjalan kaku.
Biar sampai ngotot pantatmu,
cambuk pusaka tetap tak kan kau dapat
dariku." Jejak Setan semakin berang mendengar
pantun itu. "Biadab kau!"
"Kau juga biadab!"
"Heeeaah...!"
Wuuut...! Jejak Setan berkelebat sangat
cepat menerjang Resi Pakar Pantun dalam
sekejap. Ternyata ia berhasil menjejak dada sang
Resi hingga tubuh sang Resi membentur dinding
batu lagi. "Uuuhg...!" sang Resi tersentak berdiri. Lalu kedua tangan Jejak Setan
menghantam perut dan
ulu hati sang Resi dengan telapak tangannya.
Buhk, plak...! "Huuuoooeek...!"
Sang Resi semburkan darah segar cukup
banyak. Brruuus...! Ceproot...!
Semburan darah itu mengenai kepala Jejak
Setan, hingga wajah si Jejak Setan berlumur
darah. Wajah itu menjadi merah menjijikkan
sekaligus mengerikan. Padahal yang dalam
keadaan mengerikan adalah sang Resi, karena
pukulan lawannya nyaris menghancurkan jantung
dan hatinya. "Monyet tua!" maki si Jejak Setan. "Berani-beraninya kau meludahi mukaku, hah!
Kurang ajar! Heeeatt...!"
Wuuuuus...! Tubuh Resi Pakar Pantun dilemparkan ke
belakang oleh Jejak Setan. Tangannya dipegang,
kaki Jejak Setan masuk ke perut sang Resi lalu
mengangkat tubuh sang Resi dan melemparkan
dalam satu hentakan kaki. Tubuh tua itu
melayang melewati atas kepala Jejak Setan dan
jatuh terbanting di tanah. Buuuhg...!
"Huuuhgg...!" sang Resi memekik tertahan dengan mata mendelik.
"Habislah riwayatmu, Monyet Tua!
Heeaaah...!"
Wuuut...! Brrrus...!
Jejak Setan bermaksud menginjak leher Resi
Pakar Pantun. Namun baru saja ia mengangkat
kakinya, tiba-tiba ada sesuatu yang berkelebat
menerjangnya. Terjangan kuat dan cepat itu
membuat Jejak Setan terpental terbang bagaikan
seonggok daging dibuang tanpa guna. Dinding
batu besar menjadi sasaran telak. Brruuss...!
Tubuh itu menghantam dinding batu besar,
kepalanya membentur sangat kuat. Prraaak...!
"Aaahg...!" ia memekik dengan suara lirih karena kelewat sakit. Saat ia jatuh
terpuruk di bawah dinding batu besar, kepalanya yang terkena
semburan darah itu dipegangi dengan dua tangan.
Kepala itu bocor, tapi kelihatannya tidak berdarah sebab wajahnya sudah penuh
darah. "Bangsat!" geramnya sambil berusaha
bangkit. Hatinya pun berkata, "Siapa yang ikut campur ini"! Tenaganya luar biasa
besarnya. Kalau bukan orang berilmu tinggi tak mungkin
bisa melemparkan tubuhku sekeras tadi!"
Ternyata terjangan itu dilakukan oleh
Pendekar Mabuk yang menggunakan jurus 'Gerak
Siluman'. Kecepatan geraknya tak bisa dilihat
mata lagi, dan berkekuatan melebihi angin badai.
Jika Suto tidak lekas bergerak maka leher Resi
Pakar Pantun akan patah dan nyawa sang Resi
pun akan melambai-lambai di udara, di luar
raganya. Kinanti ikut tampil menghadang Jejak Setan
ketika Suto Sinting meminumkan tuaknya kepada
sang Resi. Melihat kecantikan Kinanti, mata Jejak Setan jadi melebar dan
berusaha untuk bangkit
tegak, seakan ingin tunjukkan keperkasaan dan
kegagahannya. Ia mencoba menghardik Kinanti
dengan suara serak.
"Siapa kau, Manis"! Apa perlumu ikut
campur urusan ini dengan pemuda gelandangan
itu, hah"!"
"Aku tidak ikut campur urusanmu," ujar
Kinanti dengan ketus. "Aku hanya menyelamatkan orang tua yang sudah tidak
berdaya tapi masih
kau siksa terus itu."
"Apa hubunganmu dengan si Pakar Pantun
itu"!"
"Tak ada hubungan apa pun, kecuali
hubungan seorang anak muda dengan orang yang
lebih tua."
Jejak Setan menggeram jengkel dengan
wajah berlumur darah, hingga ia tampak semakin
menyeramkan. Kebocoran kepalanya tidak
dihiraukan sesaat karena dalam hatinya ia
menyukai kecantikan Kinanti. Matanya berbinar-
binar kala memandangi kecantikan Kinanti,
terutama jika memandangi di sekitar wilayah
dada. "Kuingatkan, Nona... mundurlah dan jangan
coba-coba halangi niatku mendapatkan sesuatu
dari Pakar Pantun. Aku bisa murka padamu jika
kau masih berdiri di situ bersikap menentangku.
Jika aku murka padamu, aku tak berselera lagi
memperistri dirimu, Nona!"
"Puih...!" Kinanti hanya meludah, sengaja memancing kemarahan Jejak Setan.
Sementara itu, Suto Sinting sudah selesai
meminumkan tuak ke mulut sang Resi. Orang tua
itu telah meneguk beberapa kali dan kini sedang


Pendekar Mabuk 051 Sabuk Gempur Jagat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menunggu saat-saat kesembuhan. Suto Sinting
segera bangkit dan hampiri Kinanti, ia berdiri di samping Kinanti dalam jarak
tiga langkah. Matanya memandang ke arah Jejak Setan dengan
senyum tipis yang menawan, namun bagi si Jejak
Setan senyuman itu memuakkan.
Melihat si Jejak Setan terpikat oleh
kecantikan dan kemolekan tubuh Kinanti, Suto
Sinting sengaja lebih merapatkan diri kepada
Kinanti. Tangan Suto merangkul pundak Kinanti
dari samping sambil senyumnya kian dipamerkan
di depan si Jejak Setan. Panas hati Jejak Setan
kian membara. Rasa iri dan dengki berkobar
dalam hatinya, sehingga ia pun segera serukan
kata sambil menuding Pendekar Mabuk.
"Siapa kau sebenarnya, hah"! Apa
maksudmu pamer kemesraan di depanku"!"
"Mengapa kau jadi
berang dengan kemesraan kami?"
Jejak Setan bukan hanya berang, namun
juga gusar dan salah tingkah. Rupanya ia punya
penyakit cemburu jika melihat sepasang anak
manusia bermesraan. Rasa cemburu yang sudah
menjadi satu penyakit itu timbul dikarenakan
selama ini Jejak Setan selalu dibenci oleh wanita kecuali oleh gurunya sendiri,
ia tak sadar bahwa selama ini ada pengaruh dari ilmu yang
diturunkan oleh si Pelacur Tua yang membuat
menjadi dibenci oleh para wanita. Berulang kali ia mendekati wanita namun selalu
dijauhi tanpa alasan yang pasti. Karenanya ia menjadi benci
melihat sepasang insan yang bermesraan di
depannya. Suto tidak mengetahui hal itu. Sikapnya
bermesraan dengan Kinanti hanya sekadar iseng
saja. Namun melihat berangnya Jejak Setan,
pendekar tampan itu segera menarik kesimpulan
bahwa kemesraan merupakan sesuatu yang
membuat jiwa Jejak Setan menjadi guncang.
Itulah sebabnya Suto Sinting semakin
memamerkan kemesraannya dengan sesekali
mengusap-usap pundak atau lengan Kinanti.
Sedangkan Kinanti sendiri sempat merasa aneh
menerima sikap Suto yang tampak sayang
kepadanya. Hatinya berdebar-debar antara
percaya dan tidak.
Jejak Setan akhirnya berseru dengan kasar,
"Minggat kalian dari hadapanku! Atau
kuhancurkan kalian bersama si tua Pakar Pantun
itu!" Resi Pakar Pantun yang sudah sehat kembali
itu segera bangkit, ia melangkah mendekati Suto
Sinting sambil serukan kata kepada si Jejak
Setan. "Jangan coba-coba melawan anak muda ini,
Jejak Setan. Kau bisa dibuatnya terbang menuju
akhirat tanpa pamit lagi kepada kami!"
"Bangsaaaat...!" teriaknya dengan liar dan buas. "Kuhancurkan mulutmu, Pakar
Pantun! Heeeah...!"
Jejak Setan yang merasa terhina dan
diremehkan menjadi murka luar biasa, ia
sentakkan kedua tangannya ke depan dan dari
dua tangan itu keluar sinar biru bersama asap
yang mengepul tebal. Sinar biru itu berbentuk
seperti bintang berekor, besar dan ganas.
Sasarannya ke arah Resi Pakar Pantun dan
Pendekar Mabuk.
Wuuuus, wuuus...!
Pendekar Mabuk melompat pendek ke
depan. Tangan kirinya menghentak maju dan
keluarkan sinar hijau melesat dari tangan Suto.
Jurus pukulan 'Guntur Perkasa' itu menghantam
sinar biru lawan.
Blaaar...! Sedangkan sinar biru yang satunya
dihantam dengan kelebatan bumbung tuak di
tangan kanan Suto. Wuuut...! Duuub...! Woooss...!
Sinar biru itu membalik arah dan menjadi
lebih besar serta lebih cepat gerakannya. Jejak
Setan terperanjat kaget dan berusaha melompat
ke samping menghindarinya. Tapi ledakan yang
terjadi akibat benturan sinar biru dengan sinar
hijaunya tadi sempat timbulkan gelombang
sentakan cukup kuat, sehingga tubuh Jejak Setan
pun terpental terbang cukup jauh, lalu jatuh
terkapar di tanah berbatu. Braaak...!
Bleggaar...! Sinar biru yang berbalik arah itu
menghantam dinding batu besar. Batu itu meledak
dan hancur menjadi bongkahan sebesar kepalan
tangan. Brrruus...!
Pecahan batu besar itu menjatuhi tubuh
Jejak Setan. Sebagian pecahan itu ada yang
menuju ke tempat Suto, dan hampir kenai kepala
Kinanti. Namun sebagian besar pecahan batu itu
menghambur ke arah tubuh Jejak Setan. Tak ayal
lagi Jejak Setan berteriak kesakitan karena
dihujani batu dalam keadaan terkapar akibat
terbanting tadi.
"Kau pikir enak dapat hujan batu"!" seru Resi Pakar Pantun dengan wajah ceria,
lalu ia terkekeh-kekeh sendiri.
Jejak Setan mengerang kesakitan dan
berusaha untuk bangkit. Tapi hatinya sempat
berkecamuk sendiri bernada penuh gerutu.
"Iblis dari mana anak muda itu"! Pukulanku
bisa dibuat seperti ini! Bangsat! Pakar Pantun
mendapat dukungan setangguh ini, bisa-bisa aku
mati tanpa hasil jika nekat melawan anak muda
itu! Sebaiknya aku melarikan diri dulu,
sembuhkan luka dan pulihkan kekuatanku, lalu
mengejar Pakar Pantun lagi untuk dapatkan
Sabuk Gempur Jagat. Atau... jika benar sabuk
pusaka itu ada di tangan si Tulang Naga, aku
akan coba temui dia dan melihat apakah sabuk itu
ada padanya. Jika benar ada padanya, berarti aku
harus mengubah sasaran. Tulang Naga yang
harus kuserang habis-habisan untuk dapatkan
sabuk itu!"
Wuuut...! Jejak Setan tahu-tahu melesat ke
dalam semak-semak, setelah itu tak pernah
muncul lagi batang hidungnya. Pendekar Mabuk
menenggak tuaknya dua teguk. Kinanti masih
pandangi kepergiln Jejak Setan sambil membatin
dalam hatinya, "Murid si Gila Tuak itu memang ilmunya
edan-edanan. Pantas jika ia dipanggii Suto
Sinting, sebab ilmunya memang sinting! Kurasa ia
akan berhasil merebut Sabuk Gempur Jagat
karena kesaktian ilmunya cukup layak untuk
lakukan tugas itu."
Sementara itu, Suto Sinting membiarkan
pundaknya ditepuk-tepuk oleh Resi Pakar Pantun.
Orang tua itu merasa bangga dan bersyukur dapat
bertemu dengan Pendekar Mabuk yang sudah
beberapa kali selamatkan nyawanya dari maut,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Pisau Tanduk Hantu").
"Sayur lodeh kesayangan dewaku,
lebih hangat dicampur param kocok buat
ibuku. Sekian kali kau selamatkan nyawaku,
namun belum pernah kau selamatkan
perutku." Suto Sinting tertawa kecil mendengar pantun
sang Resi. Kala itu, sang pelayan; Kadal Ginting, mendekat dengan wajah berseri
menampakkan kelegaannya melihat tuannya selamat dari
ancaman mati si Jejak Setan. Kinanti justru
kerutkan dahi karena tak paham dengan arti
pantun tersebut.
"Apa maksud pantunmu itu, Resi?"
"Perutku lapar, sudah tujuh hari tak
kemasukan apa-apa."
"Perut saya juga, Eyang Resi," sahut Kadal Ginting. "Sudah tujuh hari tak
kemasukan apa-apa."
Resi Pakar Pantun memungut sebuah batu
kecil dan menyodorkannya kepada Kadal Ginting
sambil berkata, "Masukkan saja ini kalau kau mau."
Kadal Ginting bersungut-sungut dengan
gerutu tak jelas. Suto Sinting tertawa makin geli, sedangkan Kinanti hanya
tersenyum tipis.
Batu itu segera dilemparkan oleh Resi Pakar
Pantun ke sembarang arah. Ternyata kenai
sebatang pohon dan ledakan kecil pun terjadi saat batu menyentuh pohon.
Duaaar...! Pohon
berguncang, daunnya rontok sebagian, namun tak
membuat pohon menjadi tumbang.
Kadal Ginting mencibir. "Jangan pamer ilmu
di depan Pendekar Mabuk. Nanti Eyang Resi
ditertawakan!"
"Maaf, aku tidak sengaja menyalurkan
tenaga dalamku melalui batu ini," katanya kepada Suto Sinting. "Aku hanya
jengkel pada perutku yang tak mau diajak damai agar tak mencari
makanan dulu."
"Kau lapar sekali, Resi?"
"Sangat lapar, Suto. Kulakukan pengejaran
berhari-hari sampai aku lupa makan, namun
hasilnya masih nihil."
"Siapa yang kau kejar?" tanya Kinanti
dengan rasa ingin tahu.
"Tulang Naga!" jawab sang Resi. "Dialah yang membawa Sabuk Gempur Jagat milik
sahabatku; Begawan Rampak Dalu. Jika sabuk itu masih di
tangannya, atau di tangan orang sesat seperti si
Tulang Naga, maka bumi akan cepat hancur
karena kekejiannya."
"Lalu, mengapa Jejak Setan bersikeras
mendapatkan sabuk pusaka itu dari tanganmu,
Resi?" tanya Suto agak curiga.
"Jejak Setan bernafsu sekali untuk dapatkan
Sabuk Gempur Jagat, karena ia ingin membalas
kematian gurunya: Nyai Pegat Raga, si Pelacur Tua itu. Menurutnya, orang yang
berhasil membunuh
gurunya adalah orang berilmu tinggi yang tak
mungkin bisa ditandingi jika tidak dengan
menggunakan pusaka Sabuk Gempur Jagat, ia
tidak tahu kalau pembunuh gurunya adalah kau
sendiri, Suto."
Suto Sinting manggut-manggut, tapi Kinanti
segera ajukan tanya,
"Mengapa ia ngotot sekali menganggap
sabuk itu ada padamu, Resi" Bukankah tadi
kudengar kau sudah mengatakan bahwa sabuk itu
ada di tangan si Tulang Naga?"
"Karena ia pernah melihat aku merebut
sabuk itu dari tangan gurunya, ia tidak tahu kalau sabuk itu sudah direbut si
Tulang Naga."
"Jika begitu, rasa-rasanya kita tak punya
banyak waktu untuk bicarakan hal itu di sini. Kita harus segera ke Bukit Wangi,
Resi," ujar Suto Sinting.
Resi Pakar Pantun kerutkan dahi. "Mengapa
harus ke Bukit Wangi" Di sana hanya akan kita
temui si Galak Gantung. Tulang Naga tinggal di
Telaga Siluman, menjadi penguasa telaga itu."
"Benar. Tapi Tulang Naga seorang
pendendam dan ia masih punya dendam kesumat
kepada Ki Galak Gantung. Bukankah kakaknya
dulu dibunuh oleh Ki Galak Gantung?"
"Aha, pikiran yang bagus itu, Suto! Baru
sekarang terpikirkan olehku tentang dendam si
Tulang Naga kepada Galak Gantung, bahkan bisa
jadi ia juga mendendam kepada gurumu; si Gila
Tuak." "Itu yang kucemaskan, Resi. Karena aku
harus segera menyusul si Tulang Naga sebelum ia
mengamuk di Bukit Wangi...."
"Sebab ratuku ada di sana!" sahut Kinanti.
"Kalau begitu...."
"Sayur lodeh buat rebus angkin,
mertua gawat berurat kawat.
Perut lapar masih bisa disumpal angin,
tapi nyawa sahabat tak bisa dibiarkan
lewat." Suto menimpali dengan pantunnya,
"Sayur lodeh di dalam mangkuk,
ambil garam sekarung tuang semua...."
Suto diam berpikir, lalu sang Resi bertanya,
"Apa artinya?"
"Artinya, sayur lodeh itu pasti asin sekali!"
Kinanti tertawa geli hingga terkikik-kikik.
Baru sekarang Suto melihat Kinanti tertawa.
Padahal ia tidak bermaksud membuat lelucon
untuk Kinanti, ia hanya mencoba membuat
pantun namun gagal. Gadis itu sembunyikan
wajah di belakang punggung Suto, seakan malu
dilihat tawanya yang terkikik geli.
Sang Resi berpantun lagi:
"Sayur lodeh dibungkus kain batik...."


Pendekar Mabuk 051 Sabuk Gempur Jagat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bocor, Eyang...," sahut Kadal Ginting.
"Ini pantun, Goblok!" sentak sang Resi. Lalu ia lanjutkan pantun tadi.
"Sayur lodeh dibungkus kain batik,
istri satu tak pernah ada yang sewa.
Hentikan tawamu Nona Cantik,
karena Tulang Naga sedang memburu
nyawa." Kinanti segera hentikan tawanya. Bayangan
wajah sang Ratu terancam bahaya mulai
tersumbul dalam ingatan. Bayangan Lembah
Birawa yang hancur menjadi arang pun timbul di
setiap pandangan mata, sehingga dendam dan
kemarahannya mulai terbakar dan meletup-letup
dalam jiwanya, mendidihkan seluruh darah yang
mengalir dalam tubuhnya.
* * * 7 MEREKA berempat bergegas menuju Bukit
Wangi. Dalam hati mereka sempat diliputi
kecemasan karena menurut perhitungan, jika
Tulang Naga pergi menuju Bukit Wangi sejak tadi
pagi, maka saat itu Tulang Naga pasti sudah
sampai ke pondoknya si Galak Gantung. Itulah
sebabnya Suto Sinting mengajukan usul untuk
mendahului mereka dengan menggunakan jurus
'Gerak Siluman'-nya.
"Terlambat sedikit saja, Ki Galak Gantung
dan Ratu Jiwandani akan binasa di tangan Tulang
Naga," ujar Suto Sinting.
"Kurasa itu hal yang baik," kata Resi Pakar Pantun. "Daripada kita terlambat
semua, lebih baik tiga yang terlambat, satu yang menjadi
penyelamat!"
Kinanti diam saja tak memberi tanggapan.
Dari wajahnya tampak rasa kurang suka jika ia
ditinggalkan Suto Sinting. Wajah itu dipandangi
Kadal Ginting, dan si pelayan sang Resi itu
berkata, "Nona Kinanti tidak perlu cemas. Tak ada
Suto, masih ada saya!"
"Maksudmu, kalau ada bahaya kau bisa
melindungi Kinanti?" tanya sang Resi.
"Maksud saya, kalau butuh gendongan, saya
sanggup menggendong Nona Kinanti, Eyang,"
sambil Kadal Ginting nyengir.
"Kenapa tidak aku saja yang kau gendong?"
"Wah, kalau Eyang Resi yang saya gendong,
sama saja saya dijepit kepiting. Habis Eyang Resi tulang semua, tak ada
dagingnya!"
"Sekali lagi kau menghinaku begitu,
kubuang kau ke dasar jurang!" sentak sang Resi dengan dongkol, namun membuat
mereka tersenyum geli.
Senyum dan langkah mereka terhenti ketika
Suto Sinting segera berseru dengan tangan
merentang memberi isyarat untuk berhenti.
"Darah..."!"
Semua memandang ke tanah di mana
terdapat tetesan darah segar. Daun-daun ilalang
pun basah oleh darah yang tampak belum
mengering. Kinanti menjadi cemas sekali sebab
tempat itu sudah dekat dengan Bukit Wangi.
"Darah siapa itu, Eyang! Hiiii...!" Kadal Ginting bergidik merinding dan
mendekati sang Resi. Merapatkan tubuh ke badan sang Resi,
membuat sang Resi mendorong kesal pelayannya.
"Kau ini seperti banci saja!"
"Ada darah, Eyang...!"
"Iya, aku pun tahu kalau di sini ada darah.
Tapi kamu tak perlu mendesakku sampai
menginjak-injak kakiku segala!"
"Jangan ribut sendiri!" sentak Kinanti
sebagai pelampiasan rasa cemasnya.
"Bukan soal ribut, ini soal darah, Non...,"
gerutu Resi Pakar Pantun dalam gumam lirihnya.
"Daun-daun semak di sebelah sana juga
dilumuri darah!" ujar Kadal Ginting.
Suto Sinting bergegas mengikuti tetesan
darah segar itu. Dalam hatinya juga timbul
kekhawatiran, "Jangan-jangan Tulang Naga telah temukan Ki Galak Gantung dan Ratu
Jiwandani lalu menyerang mereka, dan mereka lari dalam
keadaan terluka berdarah"! Celaka betul kalau hal itu sampai terjadi."
Langkah kaki mereka menyusuri tetesan
darah, sampai akhirnya Suto rentangkan tangan
memberi isyarat agar mereka berhenti melangkah.
Ada sesuatu yang ditemukan oleh si murid sinting
Gila Tuak itu. Sebuah benda berujung runcing.
Benda itu adalah sepotong gading panjang tiga
jengkal, kedua ujungnya runcing tajam. Suto dan
Resi Pakar Pantun mengenali benda tersebut.
"Pusaka Nenggala Kubur," ucap sang Resi saat benda itu diambil Suto Sinting.
"Seingatku ini senjatanya Tulang Naga," ujar Suto bagai bicara sendiri.
"Memang senjata Nenggala Kubur adalah
senjata si Tulang Naga," sang Resi membenarkan.
"Tapi, mengapa bisa ada di sini?"
"Jangan-jangan dibuang oleh si Tulang Naga
karena ia sudah tidak membutuhkan senjata itu
lagi. Sabuk Gempur Jagat lebih dahsyat dari
senjata itu," ucap Kinanti sambil pandangi tetesan darah dan mulai melangkah
lagi mengikuti tetesan
darah yang ada di rerumputan.
Langkah gadis berjubah kuning gading itu
mendahului mereka sejauh lima tindak. Lalu
terdengar suaranya berseru dengan nada terkejut,
"Ada mayat!"
"Hahh... mayat..."! Hiii...!" Kadal Ginting merapatkan tubuh ke badan sang Resi.
"Apa-apaan kau ini!" sang Resi mendorong tubuh Kadal Ginting hingga jatuh
terduduk. "Kasar sekali Eyang padaku."
"Keringatmu bau bangkai. Aku tak mau
pakaianku terkena aroma bangkai seperti
keringatmu!" sang Resi menggerutu sambil
melangkah dekati Kinanti.
Suto Sinting berdiri di dekat mayat seorang
lelaki berbadan kurus, berjubah abu-abu, rambut
putih panjang tanpa ikat kepala. Orang itu terluka parah bagian punggungnya.
Berlubang bagaikan
terowongan perut gunung. Sepertinya ia dihantam
dari belakang dengan pukulan tenaga dalam yang
cukup dahsyat. Resi Pakar Pantun membelalakkan matanya
begitu melihat mayat yang terkapar di
rerumputan. "Ooh..."! Tulang Naga"!"
"Seseorang telah membunuh Tulang Naga.
Kurasa belum lama pertarungan itu terjadi di
sekitar sini," ujar Suto Sinting.
"Lalu, siapa orangnya yang membunuh
Tulang Naga, dan ke mana sabuk pusaka itu"!"
ucap sang Resi.
Mereka saling pandang dalam ketegangan.
Hati mereka saling menduga. Namun dugaan
paling kuat tertuju pada Galak Gantung. Mereka
bayangkan Tulang Naga menyerang Galak
Gantung dan Ratu Jiwandani. Tulang Naga
terdesak dan larikan diri sampai di tempat itu.
Galak Gantung mengejarnya, kemudian berhasil
membunuh Tulang Naga. Sabuk Gempur Jagat
pun diambil oleh si Galak Gantung,
"Tapi bagaimana jika dugaan kita itu
meleset?" ujar Suto Sinting setelah merenung beberapa saat. "Bagaimana kalau
Sabuk Gempur Jagat ada di tangan tokoh lain yang beraliran
hitam?" "Sebaiknya kita temui dulu Gusti Ratu-ku
dan Ki Galak Gantung," usul Kinanti. Lalu, mereka pun bergegas teruskan
perjalanan menuju Bukit
Wangi yang sudah kelihatan dari tempat mereka
berada. Jlegaaarr...! Tiba-tiba sebuah ledakan menggelegar
terdengar begitu dahsyatnya, hingga tanah di
sekitar mereka terguncang hebat. Pepohonan pun
nyaris tumbang, daun-daun dan ranting kering
berguguran. Tapi di sebelah timur, beberapa
pohon menjadi tumbang bersusulan. Angin panas
berhembus membuat kulit tubuh mereka bagai
disengat angin lahar. Suara gemuruh menggema
membuat alam bagai terancam kiamat. Warna
merah menyebar dari arah timur saat suara
ledakan dahsyat tadi terdengar.
"Ini kekuatan dari Sabuk Gempur Jagat!"
ujar sang Resi dengan tegang. "Ada orang yang bertarung di timur dan menggunakan
sabuk itu!"
Zlaaaap...! Suto Sinting tak banyak bicara lagi, ia
melesat dengan kecepatan yang tak bisa dilihat
mata manusia biasa. Jurus 'Gerak Siluman'
digunakan dan membuat mereka bertiga
tertinggal, lalu segera saling susul dengan
pergunakan ilmu peringan tubuh masing-masing
agar bisa melaju dengan cepat. Kadal Ginting yang tertinggal dan berlari
tunggang langgang, karena ia tidak mempunyai ilmu peringan tubuh.
"Eyaaaang... tungguuuu...! Saya takut
mayatnya bangkit lagi, Eyaaang...!" serunya dalam nada ketakutan.
Tentu saja Pendekar Mabuk lebih dulu tiba
di tempat pertarungan. Sebuah lembah berpohon
renggang telah menjadi rusak bagaikan habis
dilanda gempa bumi cukup parah. Tanah di sana-
sini mengalami keretakan. Pepohonan tumbang,
bahkan sebagian menjadi kering dan hangus
menjadi arang hitam. Angin panas masih tersisa
dan membuat suasana sekitar tempat itu menjadi
seperti di tepian kawah gunung berapi.
Sementara itu, seorang lelaki tua berpakaian
jubah putih berdiri tegak tanpa gerak. Tokoh tua
berambut pendek putih dengan kumis dan
jenggotnya yang putih memegang tongkat kayu
hitam dengan kepala tongkat berbentuk cakar
lima jari. Orang itu bertubuh gemuk, dikenal
sebagai Ketua Kelompok Gelandangan. Suto
mengenal orang tersebut dengan julukan si Jubah
Kapur. Kehadiran Jubah Kapur di tempat itu
memang mengejutkan bagi Suto Sinting, bahkan
ketika Resi Pakar Pantun dan Kinanti
menyusulnya, mereka juga merasa heran melihat
keberadaan Jubah Kapur di tempat tersebut.
Namun yang lebih mengherankan mereka adalah
lawan yang dihadapi si Jubah Kapur.
Sosok berwajah dingin itu mengenakan
kerudung hitam dari kepala sampai kaki. Wajah di
balik kerudung hitam itu tampak pucat sekali,
bibirnya berwarna biru. Sekalipun kelihatan masih muda dan berhidung bangir,
tapi kekejiannya
terpancar dari sorot matanya yang bagai ingin
membekukan darah tiap manusia yang
dijumpainya. Orang berkerudung hitam itu
memegang tongkat berujung parang lengkung
yang dinamakan pusaka El Maut. Siapa lagi dia
kalau bukan Siluman Tujuh Nyawa yang terkenal
sebagai tokoh paling sesat dan ditakuti oleh
beberapa tokoh di rimba persilatan.
"Siluman Tujuh Nyawa..."!" gumam Resi
Pakar Pantun dengan mata mendelik. "Bbba...
bagaimana mungkin dia bisa ikut ambil bagian
dalam perkara Sabuk Gempur Jagat ini" Dan...
dan... dan sabuk itu ternyata sudah tergenggam di tangan kirinya" Gila! Jubah
Kapur bisa hancur
jika melawan si Durmala Sanca itu?"
Durmala Sanca adalah nama asli Siluman
Tujuh Nyawa. Musuh utama tokoh terkeji di
seluruh rimba persilatan itu tak lain adalah
Pendekar Mabuk; Suto Sinting. Pengembaraan
Suto selama ini adalah memburu Siluman Tujuh
Nyawa untuk memenggal kepala orang tersebut
sebagai maskawin untuk meminang Gusti
Mahkota Sejati; Dyah Sariningrum.
Selama ini Suto selalu gagal menumbangkan
Siluman Tujuh Nyawa, karena tokoh yang tak
pernah punya perubahan air muka itu bukan saja
keji tapi juga licik dan licin bagaikan belut.
Kesaktiannya sangat tinggi, namun jika
berhadapan dengan Suto selalu melarikan diri
sebelum berhasil ditumbangkan. Dengan Sabuk
Gempur Jagat di tangan kirinya, apakah kali ini ia akan lolos dari incaran Suto
Sinting" "Pantas kalau si Tulang Naga mampus,
ternyata orang yang merebut sabuk itu adalah
Siluman Tujuh Nyawa"!" gumam Resi Pakar
Pantun tepat di seberang telinga Kinanti. Gadis itu hanya diam dan tak berani
berbuat banyak karena
ia pernah mendengar kekejaman dan kesaktian
Siluman Tujuh Nyawa.
"Jubah Kapur, kita selesaikan persoalan
lama sekarang juga!" ujar Siluman Tujuh Nyawa dengan suara datar berkesan
dingin. "Kelancanganmu tak bisa kuampuni lagi, dan
sekarang kau harus menebusnya! Jika tadi aku
hanya menguji kesaktianmu, sekarang aku ingin


Pendekar Mabuk 051 Sabuk Gempur Jagat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencopot nyawamu!"
Sabuk Gempur Jagat yang ada di tangan kiri
Siluman Tujuh Nyawa itu mulai diangkat. Sabuk
itu ternyata terbuat dari kulit ular berduri dengan tengkorak kepala ular
menjadi hiasan ujung
sabuk. Agaknya keadaan ular masih utuh, dari
kepala sampai ekor. Bagian ekornya bertaji
runcing seukuran kelingking. Duri-duri runcing di sekujur tubuh ular yang sudah
tak berdaging lagi
itu tampak mengering hitam kebiruan bertanda
mempunyai racun yang berbahaya bagi orang yang
tergores kulitnya.
Jubah Kapur masih diam saja walau
Siluman Tujuh Nyawa sudah mengangkat Sabuk
Gempur Jagat. Namun ketika sabuk itu
disabetkan dengan satu lompatan menyerang,
Jubah Kapur bergerak cepat menghindar.
Wuuut...! Tapi tongkatnya tersambar ekor sabuk
tanpa disengaja. Duaaarrr...!
Ledakan keras terjadi, dan tongkat itu
hancur seketika menjadi serpihan kayu tanpa arti.
Kini Jubah Kapur sudah tidak bersenjata
lagi. Tapi ia tidak melarikan diri dan tetap hadapi lawannya dengan penuh
keberanian. Bahkan
sekarang ia bergerak menyerang dengan satu
gerakan cepat yang tak bisa dilihat mata manusia
biasa. Weeess...!
Siluman Tujuh Nyawa juga bergerak cepat
menghindari terjangan lawan. Weeeess...!
Tahu-tahu mereka sudah berpindah tempat
dan saling berhadapan kembali. Siluman Tujuh
Nyawa sabetkan sabuk itu ke udara, arahnya ke
tubuh Jubah Kapur. Wuuut...! Wooooss...!
Api menyambar Jubah Kapur, untung segera
dapat dihindari dengan gerakan mirip orang
menghilang itu. Slaaap...! Dan api pun menyambar
pepohonan di belakang Jubah Kapur. Lalu hutan
di sekitar pohon itu pun terbakar, nyala apinya
berkobar-kobar, makin lama semakin melebar.
Badai angin panas berhembus ke selatan
membuat tanaman menjadi layu dan kering,
bahkan ada yang langsung menghangus menjadi
arang. "O, mungkin begitulah cara si Tulang Naga
saat membumihanguskan istana Lembah Birawa
dan orang-orangnya," pikir Kinanti dari tempat persembunyiannya.
Clap, clap...! Jubah Kapur keluarkan sinar putih dari
kedua telapak tangannya. Tapi kedua sinar putih
itu segera dihantam dengan Sabuk Gempur Jagat
yang disabetkan dengan cepat. Wut, wut...!
Blegaaarr...! Ledakan besar mengguncangkan bumi,
membuat Jubah Kapur terpental jatuh. Pada saat
itulah Siluman Tujuh Nyawa menerjang maju dan
menghantamkan sabuk yang dipegang bagian
ekornya. Kepala sabuk pun menghantam ke tubuh
Jubah Kapur. Namun orang gemuk itu mampu
bergerak gesit menghindar ke samping, sehingga
hantaman sabuk itu kenai tanah.
Jegaaarrr...! Suara gemuruh menggema. Tanah menjadi
retak di beberapa tempat. Asap mengepul dari
retakan tanah. Alam pun terguncang bagai
diserang gempa secara mendadak. Warna hitam
hangus tampak nyata pada tanah yang terkena
hantaman kepala sabuk tersebut.
Jubah Kapur segera sentakkan tangannya ke
tanah dan tubuhnya melayang di udara lalu
bersalto satu kali. Wuuut...! Jleeg...! Kakinya
menapak kekar di tanah.
"Manusia sesat!" geram Jubah Kapur. "Kini saatnya ajalmu tiba!"
Jubah Kapur gerakkan tangannya ke sana-
sini, sementara itu Siluman Tujuh Nyawa
memutar-mutar Sabuk Gempur Jagat di atas
kepala. Putaran itu memancarkan sinar hijau yang
melebar dan menjadi dinding perisai di
sekelilingnya. Jubah Kapur lepaskan jurus
mautnya; sepuluh larik sinar biru keluar dari tiap ujung jarinya. Zrrrraab...!
Blegaaar...! Sepuluh larik sinar biru tak mampu
menembus cahaya hijau. Justru menghadirkan
ledakan dahsyat yang membuat tubuh gemuk
Jubah Kapur terpental kuat dan menghantam
pohon di kejauhan sana. Duuurrr...! Krrraaak,
brrrruuuk...! Pohon itu tumbang akibat benturan tubuh
Jubah Kapur. Darah kental keluar dari mulut,
hidung, dan telinga si Jubah Kapur, ia terluka
parah pada bagian dalam akibat gelombang
ledakan yang begitu kuat itu. Napasnya mulai
tersengal-sengal dan tak mampu bangkit lagi.
Melihat keadaan Jubah Kapur separah itu,
Suto Sinting segera melesat dari tempat
persembunyiannya. Zlaaap...! Tahu-tahu sudah
berada di depan Siluman Tujuh Nyawa. Jleeg...!
Anehnya tokoh sesat itu tidak merasa terkejut
sedikit pun. Wajahnya datar-datar saja, bahkan
senyum sinis pun tak mengembang di bibirnya
yang biru itu. "Akulah lawanmu!"
"Kau datang mengantar nyawa, Bocah
Ingusan! Barangkali memang sudah saatnya kau
menemui ajalmu di sini!" ujar Siluman Tujuh
Nyawa sambil masih memutar sabuk pusaka dan
tubuhnya dilapisi sinar hijau bening.
"Kaulah yang akan binasa, Durmala Sanca!"
"Lakukan jika kau mampu menyerangku!"
Ingat peristiwa Dyah Sariningrum pernah
dilukai oleh Siluman Tujuh Nyawa menggunakan
pukulan 'Candra Badar', (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode : "Pusaka Tombak Maut"), Suto Sinting tak mau buang-buang
waktu lagi. Ia segera lepaskan pukulan 'Pecah Raga' dari telapak tangannya. Sinar hijau keruh
menghantam lapisan sinar hijau bening. Claaap...! Blegaaar...!
Ledakan dahsyat terjadi lagi, bukan saja
mengguncang bumi namun membuat langit
menjadi mendung seakan ingin runtuh. Suto
Sinting terlempar dalam satu sentakan gelombang
ledak yang maha dahsyat. Tubuhnya berguling-
guling dan hidung serta telinganya melelehkan
darah kental. Ia segera bangkit bersama murkanya.
Napasnya menghadirkan angin kencang yang
menyingkapkan rerumputan dan menebarkan
tanah di bagian depannya.
"Hiaaat...!" Pendekar Mabuk melompat ke udara dan bersalto dua kali tanpa
hiraukan darah dari hidung dan telinganya. Saat di udara ia
sentakkan tangannya, lalu sinar perak keluar dari telapak tangannya. Itulah yang
dinamakan 'Jurus
Yudha' pemberian Ratu Kartika Wangi yang
berupa puluhan bintang segi lima kecil-kecil
berwarna perak menyala. Sinar perak itu
menghantam lapisan sinar hijau yang mengelilingi
tubuh Siluman Tujuh Nyawa. Jegaaarrr...!
Sinar itu hancur menyebar lalu padam
seketika. Sentakan gelombang ledaknya membuat
tubuh Siluman Tujuh Nyawa terjungkal ke
belakang berguling-guling. Sabuk Gempur Jagat
lepas dan terpental.
Zlaaaap...! Suto Sinting menyambar sabuk itu dan
dalam sekejap sudah berada di tangannya. Tapi
Siluman Tujuh Nyawa tak mengalami luka parah
kecuali hangus di bagian telapak tangan kirinya.
Kalau tak ada sinar hijau bening, tentunya
tubuhnya akan terpotong-potong menjadi
beberapa bagian.
Melihat sabuk pusaka itu sudah ada di
tangan Suto, dengan gerakan cepat tanpa kalimat,
Siluman Tujuh Nyawa melesat pergi masuk ke
alam gaib. Zluuub...! Suto Sinting yang ingin
lepaskan jurus 'Manggala' terpaksa urung, ia
mengejar masuk ke alam gaib dengan meraba
noda merah di keningnya. Zluuub...!
Kejap berikut ia kembali lagi dengan napas
terengah-engah. Pengejarannya melalui alam gaib
ditunda karena ia ingat keadaan Jubah Kapur
yang butuh pertolongan dengan segera.
Sabuk Gempur Jagat kini telah berhasil
diselamatkan dari tangan orang sesat. Jubah
Kapur akhirnya tertolong juga oleh tuak saktinya
Pendekar Mabuk. Tokoh tua yang menjadi
gurunya Inupaksi itu, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode : "Bayi Pembawa Petaka"), akhirnya berkata kepada Suto
Sinting, "Terima kasih, kau telah menyelamatkan
nyawaku. Hanya saja, sayang sekali iblis sesat itu tak sempat kau cabut
nyawanya!"
"Itu bagianku nanti, Ki Jubah Kapur. Tapi...
mengapa kau sampai terlibat perkara dengan
Siluman Tujuh Nyawa?"
"Dulu aku pernah menggagalkan rencana
busuknya, menculik putri seorang raja. Ia masih
mendendam padaku. Kebetulan aku ingin
bertandang ke pondoknya si Galak Gantung. Aku
memergoki dia sedang bertarung dengan Tulang
Naga. Setelah ia berhasil membunuh Tulang Naga
dan mengambil sabuk pusaka itu, ia ganti
menyerangku dan aku tak bisa lari kecuali
menghadapinya secara untung-untungan!"
"Ternyata kau benar-benar untung," sela Resi Pakar Pantun. "Kalau tak untung,
kepalamu saat ini sudah buntung!"
Mereka tertawa kecil. Kemudian Suto Sinting
serahkan Sabuk Gempur Jagat kepada Resi Pakar
Pantun. "Tolong kembalikan kepada Begawan
Rampak Da!u," katanya dengan bijaksana sekali.
Kinanti sempat menggumam, "Aku heran,
Siluman Tujuh Nyawa itu ilmunya sudah cukup
tinggi, mengapa masih menghendaki sabuk
pusaka itu?"
"Setiap pusaka yang dapat membahayakan
jiwanya selalu ingin dikuasai, supaya tak ada
orang yang dapat kalahkan dirinya," jawab Jubah Kapur. Kinanti pun manggut-
manggut. Setelah sabuk diterima sang Resi, Suto pun
bergegas pergi dan Kinanti mengejarnya.
"Suto, mau ke mana kau"!"
"Mengejar lawanku tadi ke alam gaib!"
jawabnya sambil melambaikan tangan dan Kinanti
hanya memandang dengan hati sedih.
SELESAI PENDEKAR MABUK Segera menyusul!"
GUNDIK SAKTI Pembuat E-book:
Scan buku ke DJVU: Abu Keisel
Convert & Edit: Paulustjing
Ebook oleh: Abu Keisel
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Disponsori oleh:
Warung Mbok Tukijem
Munculnya Sang Pewaris 2 Joko Sableng 1 Pesanggrahan Keramat Kedele Maut 21
^