Pencarian

Siasat Dewi Kasmaran 2

Pendekar Mabuk 069 Siasat Dewi Kasmaran Bagian 2


dari Gusti sendiri."
Pendekar Mabuk berkerut dahi berlagak
lupa. "Jurus yang mana, ya" Aku benar-benar
lupa, Cong."
"Tentu saja Gusti masih lupa, karena
pengaruh racun 'Guntur Edan' masih
membuat Gusti lupa ingatan."
Suto Sinting pura-pura merasa geli pada
diri sendiri, ia geleng-gelengkan kepala, lalu
pandangi kedua tangannya dengan jari-jari
dimekarkan. "Iya, ya... kenapa masih banyak hal-hal
penting yang belum kuingat?"
"Sedikit demi sedikit, ingatan Gusti pasti
akan pulih kembali."
"Itu jika kau mau membantu mengingatkannya, Cong."
"Saya akan setia membantu mengingatkan apa yang Gusti lupakan," kata
Congor dengan sopan sekali, namun berkesan
tegas dan layak sebagai kata-kata orang
dewasa. Kepandaiannya itu secara diam-diam
selalu menjadi kekaguman hati Suto. Bahkan
tak bosan-bosannya Suto memuji kecerdasan
Congor walau hanya dalam hati.
"Mengenai dua mata-mata tadi, aku pun
masih lupa tentang mereka," pancing Suto
yang ingin mengetahui lebih banyak tentang
seluk-beluk kehidupannya yang asing itu.
"Apakah Gusti Pangeran lupa bahwa
pihak Muara Sesat akan menyerang pulau
kita dan merebut kekuasaan Gusti Ratu Dewi
Kasmaran?"
Suto tersenyum berlagak malu. "Nama
pulau ini saja aku masih belum ingat, Cong."
Congor tertawa geli dengan sikap masih
tetap menghormat, sehingga mulutnya segera
ditutupi dengan tangan. Pandangan matanya
lebih sering tertuju ke bawah ketimbang
menatap lurus ke wajah Suto. Sang murid
sinting si Gila Tuak semakin merasa seperti
orang yang punya kharisma tinggi dan sangat
dihormati oleh penduduk negeri tersebut.
"Cong, tolong ingatkan padaku, apa
nama pulau kita ini."
"Pulau kita ini bernama Pulau Selintang..."
"Pulau Selintang...," gumam Suto bagai
mencatat nama pulau itu dalam ingatannya.
"Dikatakan Pulau Selintang, karena
pulau kita ini jika dilihat dari ketinggian
berbentuk seperti bintang segi enam."
"O, ya... soal itu aku segera ingat. Lalu,
mengapa orang-orang Muara Sesat ingin
merebut kekuasaan Ratu Dewi Kasmaran dan
ingin menguasai pulau kita ini?"
"Muara Sesat sebuah negeri kecil yang
penduduknya terdiri dari orang-orang jahat
beraliran sesat. Mereka serakah-serakah dan
liar-liar, Gusti. Mereka mengincar wilayah
kita untuk mendapatkan daerah kekuasaan
yang lebih luas lagi. Seingat saya, sudah
cukup banyak para ksatria kita yang gugur
dalam mempertahankan Pulau Selintang ini
agar tak dirampas oleh orang-orang Muara
Sesat." "Hmmm...," Suto Sinting menggumam
lirih, manggut-manggutnya tampak samar-
samar saja. Ia menyimak betul keterangan
dari Congor, karena ia merasa perlu bekal
pengetahuan tentang keadaan di sekelilingnya. Tak heran jika batin Suto pun
berkecamuk sendiri sambil telinganya mendengarkan kata-kata si bocah cerdas itu.
"Jadi aku berada di Pulau Selintang.
Siapa yang membawaku kemari sebenarnya"
Ah, kalau kutanyakan pada Congor, pasti
jawabannya tidak sesuai dengan yang
kuharapkan, sebab Congor tetap menyangka
aku adalah Pangeran Ranggawita. Padahal
aku sendiri tak tahu, siapa Pangeran
Ranggawita itu, dan punya jabatan apa, serta
tugas apa di Pulau Selintang ini?"
Congor menceritakan pertarunganpertarungan yang pernah dilakukan oleh
Pangeran Ranggawita yang dalam hal ini
dianggap diri Suto sendiri. Tetapi Suto Sinting
lebih tertarik dengan kecamuk batinnya yang
menuntut penjelasan lebih jujur lagi.
"Rasa-rasanya aku tak akan tahu
bagaimana mulanya aku bisa berada di Pulau
Selintang ini, semasa tak ada orang yang mau
mengakui bahwa diriku adalah Pendekar
Mabuk; Suto Sinting, bukan Pangeran
Ranggawita. Hmmm... ini sebuah peristiwa
aneh yang membuatku penasaran, membuatku merasa unik, tapi juga menjengkelkan sekali. Aku membutuhkan
alasan-alasan mengenai jati diriku yang
diubah seenaknya oleh orang-orang Pulau
Selintang. Gelarku sebagai Pendekar Mabuk
diubah seenaknya menjadi Pendekar Bambu
Sakti. Apa itu..."!" Suto sempat mencibir
dalam hati, karena ia merasa lebih bangga
dengan gelar Pendekar Mabuk ketimbang
Pendekar Bambu Sakti.
"Yang paling menjengkelkan, aku dianggap gila jika mengaku sebagai Pendekar
Mabuk atau Suto Sinting. Benar-benar edan!
Siapa yang edan sebenarnya; mereka atau
aku"!"
Kecamuk batin meluncur terus tiada
henti, sampai kata-kata Congor tak bisa
masuk dalam telinganya lagi. Pada akhirnya,
Pendekar Mabuk tertidur dalam keadaan
duduk bersandar dinding dan memeluk
bumbung tuaknya. Tudung hitam tetap
dipakai di kepala, sekaligus sebagai pelindung
bahaya yang bisa datang sewaktu-waktu.
Malam melintas, pagi mulai datang.
Matahari pun kian meninggi. Suto Sinting
tergugah dari tidurnya oleh suara denting
kecil di depannya, ia segera mengangkat
kepala dan terkejut sekali, nyaris menggeragap panik.
Di depannya, di seberang tumpukan
bekas api unggun itu, ternyata telah berdiri
seorang gadis cantik berkebaya biru dan
memegang pisau dapur. Pisau itu tadi jatuh
dan berdenting, sehingga Suto pun terbangun. Gadis ayu berbalut kain batik coklat
dengan corak bunga-bunga merah dan
kuning itu tak lain adalah si gagu Manis
Madu. Sungguh sesuatu yang sangat
mengherankan jika Manis Madu tahu-tahu
ada di tempat itu. Sedangkan Congor tidak
tampak batang hidungnya.
Kebingungan Suto membuatnya seperti
pemuda tolol. Ia membuka tudung hitamnya,
memandang ke sana-sini, membiarkan Manis
Madu berwajah tegang sambil ber-ah-uh-ahuh tak jelas maksudnya.
Akhirnya Suto Sinting bertanya kepada
si pelayan ayu itu.
"Mana si Congor..."!"
"Uh, uah... uh, uah...!" sambil tangan
Manis Madu mengembang-ngembang dan
wajahnya tampak sedih. Dahi Suto pun
semakin berkerut memikirkan terjemahan
bahasa isyarat itu.
"Bagaimana kau bisa sampai di sini,
Manis Madu?" Suto mengalihkan pembicaraan sejenak, karena belum bisa
menerjemahkan bahasa isyarat tadi.
"A-uh... hai, hai... hai-i hiu," sambil
menunjuk Suto setelah memegang dadanya
sendiri. "Maksudmu, dadamu ada ikan hlunya
dan aku harus mengusir ikan hlu itu"!"
"Uah, uah...!" Manis Madu menggeleng.
"O, bukan. Lalu, maksudmu apa tadi?"
"A-uh, hai, hai... hai-i, uah, uah, uah...."
Setelah memperhatikan bahasa gerak,
Suto pun akhirnya mengerti maksud si
pelayan gagu itu.
"Maksudmu, kau lari-lari mencari aku
dan tersesat di sini, begitu?"
"Hiaaa...!" Manis Madu mengangguk.
"Haik, hu, hohong, uuah, eeh, eeh, huak,
huak, ooo...."
"Maksudmu, Congor itu adikmu?"
"Hiaaa...." Manis Madu mengangguk.
"Hohong uuah, hua, hua... ooh, uhuk, uhuk,
uhuk..... "Lho, kok menangis" Kenapa"!"
"Hohong, eh hahang... uuh, uuh...."
"Congor tertangkap"!" ucap Suto dengan
kaget. Manis Madu menjelaskan bahwa Congor
tertangkap dan akan dijatuhi hukuman
karena membantu membawa Suto keluar dari
gua. Manis Madu menuntut pembelaan
kepada Suto, karena Congor adalah adiknya,
ia tersesat ketika mencari Suto sampai di
tempat itu, justru bisa bertemu dengan Suto.
Menurut Manis Madu, adiknya tertangkap ketika bermaksud mencari makanan untuk Suto. Tapi Congor belum
mengaku di mana Suto berada.
"Aoh, uuh, hua, hua... hia aha, uh, ah,
auh, auh...."
"Kalau dia tidak mau menunjukkan di
mana aku, dia akan disiksa dan dijatuhi
hukuman gantung"! Ah, apa benar begitu"!"
"Hiaaa...!" gadis bisu itu mengangguk
membenarkan. Suto Sinting menjadi dicekam
kegelisahan. Sekalipun Manis Madu mengaku
berani melawan siapa saja yang akan
mencelakakan adiknya walau hanya bersenjata pisau dapur, namun Suto masih
memikirkan langkah yang paling tepat dalam


Pendekar Mabuk 069 Siasat Dewi Kasmaran di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengatasi hal itu.
* ** 5 BREESSS...! Hujan turun di pagi itu.
Pendekar Mabuk baru saja pulang dari sungai
untuk mandi dan gosok gigi ala kadarnya.
Ketika ia tiba di bangunan tua bekas
pesanggrahan Resi Banuraja itu, hujan turun
bagai diguyurkan dari langit.
"Kalau tahu begini aku tidak usah mandi
tadi!" gerutu Suto di depan Manis Madu.
Gadis itu masih tampak murung,
sesekali napasnya tersendat karena isak
tangis yang tertahan, ia jongkok di sudut
ruangan dengan memetak kedua lututnya.
Pandangan matanya datar dan hampa,
seakan tak pedulikan Suto lagi.
Iba hati sang pendekar membuatnya
datang mendekat, lalu ikut rendahkan badan
untuk lontarkan bisikan.
"Jangan sedih, Manis. Jangan takut lagi.
Tadi hati kecilku sudah putuskan untuk
datang temui Ratu Dewi Kasmaran dan
menukar diriku sebagai ganti Congor. Jika
memang kesalahan Congor membuatnya
harus dijatuhi hukuman gantung, biarlah aku
yang digantung tapi Congor yang mati, eh...
bukan. Maksudku, biarlah aku yang digantung dan Congor yang bebas."
Manis Madu mulai tegakkan badan,
pandangi Suto Sinting dengan bola mata
indah berkaca-kaca karena genangan air
mata yang tipis. Tangan Suto Sinting
menjamahnya, mengusap lembut kepala
Manis Madu yang rambutnya masih digulung
sederhana itu. "Percayalah, Congor akan selamat.
Adikmu itu tetap akan hidup bersamamu,
Manis." "Huah..."!" sambil gadis itu menuding
Suto. "Aku..."! Yah, kalau memang aku harus
mati demi membela Congor, aku bersedia.
Karena sebelum ia membantuku keluar dari
gua, aku sudah berjanji padanya untuk
melindungi keselamatan jiwanya walau nyawaku sebagai taruhannya. Congor dan
aku sudah menjadi sepasang sahabat yang
saling membutuhkan, saling membantu dan
saling mengerti."
"Uu, ah... bubih...?"
"Aku mati" O, tak jadi soal kalau aku
harus mati asal adikmu selamat."
"Oooh...!" Manis Madu memeluk kedua
tangannya sendiri, menggigit jarinya untuk
menahan tangis. Suto Sinting tahu, hati gadis
itu terharu dan merasa ingin membenamkan
tangis dalam pelukan seseorang. Maka,
tangan Suto pun meraihnya ke dalam
pelukan. Manis Madu semakin merintih dan
menglsak. "Jangan menangis, Manis. Jangan
menangis. Hibur hatimu agar tak membuatku
terkubur sebelum mati."
Tapi tiba-tiba Manis Madu justru
menarik diri dan bangkit berdiri, ia seperti
merasa takut berada dalam pelukan Suto.
Bahkan ia buru-buru menghaturkan sembah
dengan sedikit menekuk kedua lututnya, lalu
berdiri dengan sikap membungkuk penuh
hormat. Gadis itu seolah-olah segera sadar
siapa diri Suto yang menurut anggapannya
adalah Pangeran Ranggawita.
"Kau tak perlu takut lagi padaku, Manis.
Dekatlah kemari," ujar Suto dengan lembut.
"Sesungguhnya aku bukanlah Pangeran
Ranggawita. Aku adalah Pendekar Mabuk
yang bernama Suto Sinting."
Manis Madu tegakkan wajah pandangi
Suto dengan terperangah. Seakan ia tak
percaya dengan pengakuan Suto tadi. Ia
menangkap rasa tak percaya dari sorot
pandangan mata si gadis, sehingga merasa
perlu menjelaskan lebih gamblang lagi.
"Aku bukan keturunan darah biru. Aku
bukan seorang pangeran, bukan seorang raja,
bukan pula seorang bangsawan yang patut
menerima sembahmu. Aku seorang pemuda
yang hidupnya berkelana dari sana ke sana.
Namaku dikenal sebagai Suto Sinting yang
bergelar Pendekar Mabuk. Bukan Pendekar
Bambu Sakti. Dan aku tak tahu mengapa aku
bisa berada di Pulau Selintang ini. Benarbenar suatu peristiwa yang aneh dan baru
kali ini kualami. Kurasa penduduk Pulau
Selintang, termasuk Ratu Dewi Kasmaran,
salah duga terhadap diriku. Mungkin
wajahku mirip Pangeran Ranggawita, tapi...."
Kata-kata Suto terpaksa berhenti, karena gadis itu belum-belum sudah gelenggelengkan kepala sambil bergeser jauhi Suto.
Hati sang pendekar tampan itu menjadi
dongkol, napasnya terbuang lepas. Hatinya
menggerutu, "Sia-sia penjelasanku. Agaknya
dia tak mau percaya dan tetap menganggapku
Pangeran Ranggawita...."
Tiba-tiba murid sinting si Gila Tuak itu
tersentak kaget. Tengkuk kepalanya seperti
tertimpa sebatang balok besar, ia tersentak
membentur dinding dengan keras, lalu jatuh
terkulai dengan pandangan mata berkunangkunang.
"Aaakkkhhh...!"
Ia mengerang panjang, bumbung tuaknya masih tersangkut di tangan kiri.
Dalam keremangan pandang ia melihat
sesosok tubuh kekar telah berdiri di
sampingnya. Rupanya karena sibuk meyakinkan
Manis Madu, Suto tak menyadari datangnya
orang ketiga di tempat itu. Orang tersebut
segera lakukan satu lompatan pendek dan
melepaskan tendangannya ke tengkuk kepala
Suto. Kecepatan geraknya membuat Suto tak
dapat menangkap datangnya angin bahaya
dari belakang. "Pantas si Manis Madu tadi menggelenggelengkan
kepala sambil bergeser menjauhiku. Rupanya ia memberi isyarat
datangnya bahaya di belakangku. Kusangka
ia tak percaya dengan ompnganku dan
menjadi takut padaku," Suto masih sempat
memikirkan Manis Madu sebelum orang yang
baru datang itu mengangkat kakinya untuk
menginjak perut Suto.
Begitu kaki orang tersebut terangkat di
atas perut Suto, tangan kiri Suto segera
berkelebat menghantamkan bumbung tuaknya. Wuuut...! Prakk...!
"Aaaoowww...!"
orang itu menjerit sekeras-kerasnya. Mata kakinya hancur
seketika dihantam bumbung tuak tersebut.
Kaki Suto pun segera berkelebat memutar ke
atas sambil menjejak perut laki-laki itu.
Wuurrss...! Bukkh...!
"Aaakkhh...!"
Brrukk, gleduk...!
Lelaki berpakaian serba kuning itu
terpental ke belakang dan kepalanya membentur dinding seberang, ia mengerangngerang kesakitan. Tubuh dan pakaiannya
yang basah kuyup karena kehujanan itu
meringkuk seperti seekor trenggiling yang
sedang sakit gigi.
Suto segera bangkit, namun segera
sempoyongan. Kali ini sempoyongannya
bukan karena jurus, tapi benar-benar karena
merasa pusing dan lemas setelah tengkuk
kepalanya ditendang sekuat itu. Ia sempat
berpegangan dinding sebelah. Tapi tangannya
segera disahut Manis Madu dan gadis itu
menahan tubuh Suto agar tak sampai jatuh
kembali. Suto pandangi orang tersebut. Penglihatannya masih buram, sehingga ia
perlu mengibaskan kepalanya beberapa kali
dan mengerjap-ngerjapkan mata.
"Gila! Tendangannya nyaris membuat
mataku menjadi buta," ucapnya pelan, hanya
Manis Madu yang mendengarnya.
"Bubu, bubu, auh, auh...!"
Entah apa yang dimaksud gadis itu,
Suto tak sempat memikirkan artinya. Yang
jelas ia segera melihat kebangkitan lelaki
berusia sekitar tiga puluh tahun itu secara
samar-samar. Pada saat lelaki berbadan
sedang itu berdiri dengan merambat dinding,
Pendekar Mabuk buru-buru menenggak
tuaknya. Tapi baru saja ia menengadah, tiba-tiba
lelaki bersenjata keris di depan perutnya itu
melepaskan pukulan jarak jauh berupa
seberkas sinar putih sebesar bola bekel.
Wuut...! Dess...!
"Aaahg...!" Sinar itu kenai pinggang
Suto, membuatnya tersentak dan menjadi
kejang, ia masih berusaha menurunkan
bumbung tuaknya dan menutup rapat
bumbung tuak itu. Ia bermaksud bertahan
untuk lakukan serangan balasan. Tetapi
tenaganya bagaikan lenyap seketika itu juga.
Pendekar Mabuk akhirnya jatuh pingsan, tak sadar apa saja selanjutnya yang
terjadi pada dirinya. Tak ada pandangan
mata, tak ada rasa, tak ada suara dan tak ada
rasa yang bisa dikenali Suto Sinting.
Suara gelegar guntur menjelang sore
tiba-tiba terdengar samar-samar. Agaknya
hujan akan turun lagi di sore itu. Suara
gelegar guntur itulah yang pertama-tama
menggugah kesadaran Pendekar Mabuk dari
pingsannya. Pendekar Mabuk terkejut mendapatkan
dirinya sudah berada di sebuah kamar yang
bersih dan berbau harum, ia pun bertambah
kaget setelah menyadari bahwa dirinya
berada di atas ranjang empuk berlapiskan
kain lembut sejenis sutera.
"Edan...! Apa yang terjadi pada diriku
ini"!" sentak Suto Sinting yang semakin
bertambah kaget lagi setelah mengetahui
dirinya tidak mengenakan pakaian sesobek
pun. Tubuhnya yang kekar dan tegap itu
hanya diselubungi oleh selimut tebal berwarna abu-abu dari bahan kain halus.
"Mati aku kalau begini! Ke mana baju
dan celanaku"!" Suto Sinting berdebar-debar
pandangi keadaan sekeliling, ia tak melihat
pakaiannya ada di kamar itu. Tetapi ia
melihat pakaian seorang perempuan dan


Pendekar Mabuk 069 Siasat Dewi Kasmaran di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

peralatan kecantikan yang berada tak jauh
dari ranjang empuk itu.
"Apakah aku harus mengenakan pakaian perempuan" Ooh... benar-benar
dibuat gila otakku kalau begini caranya.
Siapa yang membawaku kemari dan kamar
siapakah ini"!"
Melihat lantai berubah bersih mengkilap,
dinding bersih tanpa lumut, perabot serba
bagus, meja, kursi, almari, ranjang, semua
terbuat dari kayu jati mengkilap yang
tepiannya dilapisi logam kuning emas, maka
Suto pun mulai dapat menyimpulkan bahwa
dirinya saat itu berada di sebuah kamar milik
perempuan bangsawan.
"Mengapa sepi, tak kudengar suara apa
pun kecuali suara guntur tadi?" pikir Suto
Sinting. "Jendela tertutup, pintu tertutup,
tapi tubuhku kenapa tidak tertutup" Siapa
yang berani berbuat selancang ini" Lancang
atau nakal"!"
Pendekar Mabuk mencoba untuk turun
dari ranjang. Rasa sakit di tengkuk telah
hilang. Tenaganya mulai pulih kembali.
Aroma tuak masih terasa membekas di
mulutnya, pertanda ia belum lama telah
menenggak tuak.
"Ke mana bumbung tuakku?" Pendekar
Mabuk mencari-cari bumbung tuak, ternyata
juga tak terlihat ada di kamar itu.
Selimut itu dililitkan ke tubuhnya,
seperti pakaian seorang biksu. Dengan
menggunakan selimut itu, ia bebas turun dari
ranjang dan berjalan memeriksa sekeliling
kamar. Cahaya yang tampak menerobos dari
kisi-kisi jendela itu menampakkan warna
senja. "Kalau begitu aku pingsan hampir
setengah hari penuh?" pikirnya, kemudian
perhatiannya dialihkan ke arah lain.
Tiba-tiba suara pintu hendak dibuka
mulai terdengar. Suto Sinting cepat-cepat
duduk di tepi ranjang. Matanya memandang
pintu tak begitu tegang, ia memang berusaha
untuk bersikap tenang. Tetapi hatinya
berdebar-debar karena ingin tahu siapa orang
yang akan masuk ke kamar tersebut.
Pintu yang terdiri dari dua daun dengan
ketinggian sekitar dua tombak itu mulai
terbuka. Lalu, seraut wajah cantik berhidung
mancung dan bermata bening indah muncul
dari balik pintu, membuat Suto Sinting
terperangah kecil. Seorang perempuan berambut diurai lepas dengan mahkota kecil
menghiasi rambut itu kini mulai sunggingkan
senyum kepada Suto Sinting.
Setelah menutup pintu kamar kembali,
perempuan yang mengenakan jubah tipis
sutera warna merah jambu berhias manikmanik emas itu segera perdengarkan
suaranya yang jernih.
"Sudah sehatkah kau, hingga berani
duduk di tepi ranjang begitu"!"
Lidah Suto menjadi kelu. Perempuan itu
benar-benar cantik. Badannya sekal, dadanya
montok, terlihat separo bagian karena
memakai kain penutup dada dari sutera tipis
warna hijau. Pinggangnya langsing. Perutnya
tampak jelas karena tidak mengenakan kain
penutup lainnya kecuali bagian bawahnya
yang dilapisi kain hijau muda tipis sekali itu.
Kulit perutnya sama dengan kulit tubuh
lainnya yang berwarna kuning mulus. Bentuk
lekuk-lekuk pinggulnya pun terlihat jelas dan
tampak kencang sekali sehingga Suto menjadi
gemas karena menahan rasa ingin meremasnya. Perempuan itu tampak tenang dan
seenaknya saja menengadahkan wajah Suto
dengan meraih dagu dan memandanginya.
Bahkan anak rambut Suto yang meriap di
pipi disingkirkan dengan gerakan tanpa
canggung-canggung, seakan sudah terbiasa
berbuat begitu.
"Hmmm... badanmu sudah hangat
kembali. Berarti kau sudah sehat seperti
sediakala."
Perempuan itu tersenyum manis tepat di
depan wajah Suto. Tangannya masih
mengusap-usap kepala dan rambut si tampan
yang bengong saja itu.
"Kecemasanku kini telah hilang melihat
kau sehat kembali...."
Cuupp...! Sebuah ciuman hangat menempel di pipi Suto. Pemuda tampan
berhidung bangir itu tersentak dan segera
menarik diri, lalu bangkit dan menjauhi
perempuan itu dengan dahi berkerut.
Wajahnya penuh dengan rasa heran dan
serba canggung.
"Mengapa kau menciumku?" tanya Suto
sambil melingkar ke seberang ranjang.
"Apakah seorang istri tak boleh mencium
suaminya?" ujar perempuan itu.
"Seorang istri..."!"
"Kakang Ranggawita, tidakkah kau ingat
bahwa aku adalah istrimu"!"
"Edan!" sentak Suto sambil menjauhi
ranjang dengan wajah tegang. Perempuan itu
bergegas mendekatinya. Suto tersudut di
depan almari. Jantungnya berdetak-detak
karena hatinya berdebar-debar diliputi berbagai rasa tak menentu.
"Rupanya masih ada sisa racun 'Guntur
Edan' yang mempengaruhi daya ingatmu,
Kakang Ranggawita."
"Aku bukan Ranggawita! Aku tidak
terkena racun 'Guntur Edan' atau 'Geledek
Gila' atau apa pun! Aku manusia yang
sehat...."
"Suamiku, percayalah... kau dalam
keadaan kacau karena pertarunganmu dengan orang Muara Sesat tempo hari. Kau
terkena racun 'Guntur Edan' dan membuatmu lupa ingatan. Kau selalu merasa
sebagai Pendekar Mabuk dan merasa
bernama Suto Sinting. Itu akibat kau memang
mengagumi kehebatan dan kesaktian tokoh
muda dari tanah Jawa itu. Tetapi... oooh...."
Perempuan berusia sekitar dua puluh
tujuh tahun itu tinggalkan Suto dengan wajah
sedih, ia duduk di tepian ranjang dengan
kepala tertunduk dan badan terguncangguncang akibat tangis yang hadir dalam
kesedihannya. "Sekarang aku semakin merasa dibuang
oleh suamiku sendiri. Tak ada kasih, tak ada
cinta, tak ada kemesraan, semuanya sirna
gara-gara racun keparat itu! Oh, Dewa... tak
adakah obat yang mampu menyembuhkan
suamiku dari racun keparat itu"!"
Pendekar Mabuk masih diam di pojokan
dengan dahi berkerut. Matanya memandangi
perempuan cantik berjari lentik yang
menangis terisak-isak di tepian ranjang.
Suara tangisnya yang ditutup dengan kedua
tangan terasa semakin menggores hati Suto
Sinting. Akibatnya, ketegangan Suto semakin
lama semakin susut, desir-desir keharuan
mulai menguasai hatinya.
Ia melangkah pelan-pelan mendekati
perempuan itu. Suaranya mulai terdengar
lembut ketika ajukan tanya sebelum ikut
duduk di tepian ranjang.
"Siapa kau sebenarnya, Nyai... eh,
Nona... eh... eh...." Suto sempat grogi.
Perempuan itu segera kendalikan tangisnya, ia mulai mengangkat wajah
memandang Suto dengan sorot pandangan
mata penuh duka. Hati Pendekar Mabuk
semakin pilu melihat kecantikan yang
tersiksa duka. "Suamiku...," perempuan itu meremas
tangan Suto dengan penuh perasaan lara.
"Benarkah kau sama sekali tidak mengenaliku" Benarkah kau lupa dengan
seorang perempuan yang kau cintai dan
bernama Dewi Kasmaran?"
Suto semakin bingung menjawab, ia
hanya menelan ludah beberapa kali dan
pandangan matanya menjadi serba salah.
Sebab di depannya persis tampak dua
gundukan mulus yang begitu sekalnya
terpampang di dada perempuan itu. Suto
gelisah, lalu mendesah jengkel sendiri di
dalam hatinya. "Suamiku, akulah Dewi Kasmaran yang
sejak dulu kau sayangi dan kau cintai.
Akulah istrimu yang amat bangga mendapatkan suami seorang lelaki sesetia
dirimu." Hati Suto menjadi masygul mendengar
pujian tersebut. Tapi kenyataan yang
dialaminya semakin memberontak hati nurani, sebab ia benar-benar tidak merasa
mempunyai seorang istri. Jika sekarang ada
seorang perempuan yang mengaku sebagai
istrinya, bagaimana ia harus bersikap di
depan perempuan itu. Apalagi perempuan itu
sangat membanggakan dirinya dan benarbenar merasa menjadi istrinya, jelas hal itu
semakin memojokkan Suto dalam mengambil
sikap. "Lebih baik aku mati jika harus tersiksa
begini selamanya," kata Ratu Dewi Kasmaran.
"Aku benar-benar tak bisa menikmati hidup
jika kau tak mengakui diriku sebagai istrimu,
Kakang Ranggawita."
"Ja... jangan... jangan mati dulu," ucap
Suto dengan kaku.
"Aku tak mungkin bisa membalas
dendam kepada lawanmu itu, karena ilmuku
tidak setinggi ilmunya. Aku juga tak mungkin
bisa hidup tanpa diakui sebagai istrimu,
karena kaulah satu-satunya orang yang
membuatku sampai sekarang masih punya
semangat untuk mempertahankan negeri ini,
Kakang. Jika kau tak mau mengakuiku
sebagai istrimu, sebaiknya bunuh saja aku
sekarang juga, Kakang. Bunuh saja aku!
Bunuh!" sambil tubuh Suto diguncangguncang. Akibatnya kain penutup tubuh yang
menyilang di pundak kanan itu terlepas dan
merosot ke bawah.
Srruut...! "Ooh..."!" Suto terpekik dan segera
meraih selimut penutup tubuh itu. Sebab


Pendekar Mabuk 069 Siasat Dewi Kasmaran di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanpa selimut itu, sama saja ia seperti bayi
baru lahir dari kandungan ibunya. Wajah
Suto menjadi merah karena menahan malu
saat kain itu merosot ke bawah dan mata
Dewi Kasmaran tetap memandanginya tanpa
mau berkedip atau berpaling ke arah lain.
"Brengsek!
Malunya bukan main!"
gerutu Suto Sinting, kemudian ia mencoba
alihkan perasaannya dengan melanjutkan
percakapan tadi.
"Dewi..., cobalah berpikir dengan bijak
dan lebih dewasa lagi. Jangan hanya bisa
menuntut kematian saja, tapi berbuatlah
sesuatu yang berguna bagi hidupmu."
"Tak ada gunanya lagi hidup tanpa
dirimu, Kakang Ranggawita."
"Aku bukan Ranggawita. Aku adalah
Suto Sinting."
"Tidak! Kau adalah Ranggawita suamiku!" bentak Dewi Kasmaran. "Tanyakanlah kepada semua orang, siapa
dirimu sebenarnya. Maka mereka akan
menjawab bahwa kau adalah Pangeran
Ranggawita, suami Ratu Dewi Kasmaran!"
"Aku bukan suamimu, Dewi!" Suto agak
ngotot. "Lalu bayi siapa yang sekarang kukandung ini"!"
"Hahh..."!
Bayi..."!"
Suto Sinting terperanjat dengan jantung menyentak sekuat-kuatnya.
"Kau ingin menghindar dari tanggung
jawabmu sebagai calon seorang ayah?"
"Ap... apakah... apakah kau sedang
hamil, Dewi?"
"Ya," jawab Dewi Kasmaran sambil
menunduk dan menangis. "Sekarang usia
kandunganku sudah tiga bulan. Dan kala itu
kau menyambut kehadiran janin kita dengan
gembira sekali. Kau rayakan kehadiran janin
dalam kandunganku ini selama tujuh hari
tujuh malam, hingga semua rakyat negeri kita
tahu bahwa perkawinan kita akhirnya
menghasilkan keturunan yang mereka tunggu-tunggu."
"Gila...!"
gumam Pendekar Mabuk dengan tegang. "Kau bersumpah tak akan potong
rambut jika bayi kita belum lahir. Itulah
sebabnya, maka kau mempunyai rambut
panjang. Dan aku sangat bangga pada
kesetiaanmu sebagai calon ayah dari bayiku,
karena setiap malam menjelang tidur, kau
selalu mengusap-usap perutku, menciuminya
dan selalu berbisik pada bayimu: 'Jadilah
Pendekar Mabuk, agar kelak nama ayah dan
Ibumu menjadi harum karena kebajikanmu'
atau kata-kata lain yang membuatku sering
terharu melihat kebanggaanmu. Tetapi sekarang kau seakan ingin membuang bayi
ini dan tetap tak mau mempercayai katakataku bahwa kau adalah suamiku, Kakang!"
"Hancur sudah hidupku kalau begini!"
gerutu Suto Sinting dalam hati dengan
jengkel sekali. "Hancur lebur! Habis sudah
kebahagiaanku jika sampai calon istriku;
Dyah Sariningrum, mendengar kabar seperti
yang diucapkan Dewi Kasmaran itu."
Untuk beberapa saat lamanya Pendekar
Mabuk tak bisa bicara apa-apa. Namun hati
tetap berkecamuk bagai memaki diri sendiri.
"Celaka! Celaka seumur hidup kalau
begini! Tidur dengannya belum pernah, sudah
dianggap sebagai calon ayah dari bayi yang
dikandungnya. Kalau pendapat itu kutentang
saat-saat sekarang, bisa-bisa Dewi Kasmaran
benar-benar nekat bunuh diri. Tapi kalau
kuterima, apa jadinya sejarah hidupku
nanti"! Ooh... Dewa Kesialan! Mengapa kau
mengikutiku terus pada saat ini"!"
Setelah menarik napas dalam-dalam,
hati Suto pun menggerutu lagi.
"Sudah dianggap gila, eeh... dituduh
menghamili seorang ratu. Benar-benar sinting
nasibku ini. Sebenarnya apa yang diinginkan
Ratu Dewi Kasmaran dengan caranya ini"
Atau... benarkah aku ini Pangeran Ranggawita yang dikenal oleh rakyat negeri
ini sebagai Pendekar Bambu Sakti"!"
Suto Sinting mulai limbung. Keyakinannya sempat goyah setelah menghadapi tangis perempuan secantik Ratu
Dewi Kasmaran itu.
"Jika aku memang Pangeran Ranggawita, lalu ke mana Suto Sinting"! Di
mana sekarang si Pendekar Mabuk itu"!"
Pendekar Mabuk dicekam kegelisahan
dan kebimbangan yang membuatnya tak bisa
tenang. Apalagi ketika ia makan malam
bersama Ratu Dewi Kas-maran, para pelayan
yang melayani mereka sama-sama menganggap Suto sebagai Pangeran Ranggawita, suami dari Ratu Dewi Kasmaran.
Suto punya kesempatan untuk berbisik
kepada seorang pelayan tua berusia sekitar
empat puluh tahun.
"Apakah kau tak salah lihat dan yakin
betul bahwa aku adalah Pangeran Ranggawita?"
"Saya yakin seyakin-yakinnya, Gusti!
Jika Gusti Pangeran merasa seperti orang
lain, itu karena Gusti Pangeran masih
terpengaruh oleh kekuatan gaib dari racun
'Guntur Edan' tempo hari. Hamba tak bisa
bilang apa-apa lagi kecuali mengatakan
sejujurnya apa yang hamba lihat, bahwa
Gusti adalah Pangeran Ranggawita, suami
tercinta yang sangat mencintai Gusti Ratu
Dewi Kasmaran," jawab si pelayan dengan
meyakinkan sekali. Hal itu membuat rasa
percaya diri Suto menjadi semakin goyah.
"Biyung, sejak tadi aku tak melihat
Manis Madu. Di mana si Manis Madu yang
sering melayaniku saat aku ada di Gua Lacak
Silang itu?" tanya Suto kepada pelayan tadi.
"Manis Madu..."! Oh, hmmm... anu...
Manis Madu sedang diutus Gusti Ratu untuk
memberi makan Congor dalam penjaranya."
"Congor..."!"
Suto Sinting menjadi terkejut, ia ingat kembali tentang si bocah
cerdas itu. Maka ia segera menghampiri Ratu
Dewi Kasmaran yang sedang bicara dengan
beberapa pengawai istana di bangsal paseban.
"Dinda, kumohon Congor dibebaskan
dari penjara!"
"Dia bersalah, dan aku sangat kecewa
dengan tindakannya."
"Tolong, Dinda! Bebaskan dia, karena
semua yang kami lakukan adalah tanggung
jawabku. Bukan tanggung jawab Congor!
Bocah itu tak bersalah, Dinda Dewi
Kasmaran."
"Bukankah kau sendiri yang mendidikku
untuk menjadi seorang ratu yang tegas dan
adli" Sekarang didikanmu itu kujalankan,
Kakang. Siapa salah harus dihukum sesuai
dengan ketentuan yang sudah kita tetapkan
bersama." "Kali ini berilah kebijaksanaan untuk
Congor. Lepaskan dia dan lupakan tentang
pelarianku dari Gua Lacak Silang itu."
Ratu Dewi Kasmaran diam sebentar,
kemudian memandang Suto dan berkata
dengan nada berwibawa namun pelan.
"Akan kubebaskan dengan satu syarat!"
"Sebutkan syarat itu, aku akan memenuhinya."
"Kembalilah sebagai suamiku yang
sangat mencintaiku dan menyayangi bayi
dalam kandunganku."
"Wah, kacau kalau begini!" gerutu Suto
dalam hati. "Bagaimana" Kau bisa memenuhi syarat
itu?" Suto Sinting menarik napas. "Beri aku
waktu satu malam. Esok kau akan mendapat
jawabannya dariku."
* ** 6 MESKI perut sang Ratu tidak tampak
membengkak selayaknya orang hamil, tapi
Suto dapat mempercayai pengakuan tersebut.
Sebab ia sering melihat wanita hamil tiga
bulan dalam keadaan perut belum membengkak. Hal yang membuatnya semakin
percaya dengan pengakuan Dewi Kasmaran
adalah kebiasaan sang Ratu yang gemar
memakan buah-buahan asam.
Ketika tadi mereka selesai makan
malam, pelayan berusia empat puluh tahun
itu menyajikan sepiring rujak berisi buahbuahan kecut. Sang Ratu menikmati buahbuahan kecut itu seperti melalap kacang
rebus. Sambil bicara sambil mengunyah
buah-buahan tersebut.
"Dia benar-benar sedang ngidam,"
gumam Suto Sinting, lalu hatinya terharu
membayangkan perasaan Dewi Kasmaran
yang hamil tanpa mempunyai suami jika Suto
tidak mau mengaku sebagai suaminya.
Pada malam hari, Suto merasa tak betah
tinggal di dalam kamar Ratu Dewi Kasmaran.


Pendekar Mabuk 069 Siasat Dewi Kasmaran di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bukan karena tempatnya tak nyaman, tapi
gangguan batinnya semakin malam semakin
besar. Sang Ratu tidur dengan pakaian
sangat tipis dan tanpa mengenakan pakaian
pelapis lainnya sehingga perabotnya tampak
berhamburan di sana-sini.
Tangan sang Ratu pun sering berlaku
nakal. Kadang ia sengaja menggoda Suto yang
terpaksa berbaring satu ranjang dengannya,
kadang juga bersikap setengah memaksa.
"Sudah cukup lama anakmu tak kau
tengok, Kakang," bisik Dewi Kasmaran sambil
sebentar-sebentar mencium Suto.
Pada mulanya Suto menolak ajakan
bercumbu pada tingkat tinggi. Tetapi Dewi
Kasmaran menangis dan Suto tahu perempuan itu tersiksa karena tuntutan
batinnya tak terpenuhi.
"Apakah aku tak layak meminta
kemesraan dari seorang suami" Bukankah
biasanya kau selalu menuruti tuntutan
gairahku kapan saja aku menginginkannya,
Kakang?" "Dewi, aku benar-benar sedang kalut
dan tidak mempunyai selera sedikit pun
untuk lakukan percintaan dengan siapa saja.
Pikiranku kacau sekali. Beri aku waktu
sampai esok hari. Karena esok hari aku akan
mengambil keputusan dan menentukan
sikap, apakah aku memang suamimu atau
bukan." "Tapi aku rindu sekali padamu, Kakang,"
rengek Ratu Dewi Kasmaran dengan manja.
Sedangkan Suto sebenarnya paling tak bisa
jika mendengar rengekan manja seorang
perempuan, apalagi secantik Dewi Kasmaran.
Tetapi ia selalu ingat dengan calon istrinya:
Dyah Sar iningrum, sehingga senakalnakalnya Suto, ia tak berani berbuat lebih
jauh dari sekadar 'cuci muka' saja.
Rupanya 'cuci muka' yang diberikan
Suto dari batas pusar ke atas itu telah sedikit
mengobati kerinduan Dewi Kasmaran terhadap kemesraan sang suami. Perempuan
itu segera tertidur setelah Suto memeluknya
sambil mengusap-usap punggung tanpa kain
penutup itu. Sementara itu, Suto hanya
mengenakan pakaian model jubah untuk
tidur yang terasa sangat tak enak dikenakannya, sebab ia tak terbiasa mengenakan pakaian seperti itu.
Maka ketika Ratu Dewi Kasmaran telah
tertidur nyenyak, Suto Sinting turun dari
ranjang dengan pelan-pelan, ia mencari
pakaian dan bumbung tuaknya. Sebab
kekuatan tubuhnya terasa semakin lemah
karena sejak sesore tadi tidak meneguk tuak.
Jika Suto meminta bumbung tuaknya, Dewi
Kasmaran selalu tidak memberikan dengan
alasan untuk menghilangkan kebiasaan yang
bukan menjadi kebiasaan Pangeran Ranggawita. "Hilangkan kebiasaanmu minum tuak,
nanti kau benar-benar seperti Pendekar
Mabuk. Kau adalah Pangeran Ranggawita
yang jarang minum tuak atau arak jika tidak
sedang dalam acara pesta."
Sikap Ratu Dewi Kasmaran seperti sikap
seorang istri kepada suaminya, sehingga
tanpa disadari Suto Sinting merasa seperti
benar-benar mempunyai istri yang cantik dan
punya kharisma tersendiri. Kadang hati Suto
merasa bangga, kadang juga merasa sedih
karena ingat tentang perjodohannya yang
sudah ditentukan oleh garis kehidupan, yaitu
menjadi suami Dyah Sariningrum, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Pusaka Tuak Setan").
Melalui pendekatan dengan seorang
prajurit penjaga malam, akhirnya Suto
berhasil menemukan pakaian dan bumbung
tuaknya yang disembunyikan di lumbung
padi. Bumbung itu masih berisi tuak tinggal
separo bagian. Tapi seteguk tuak sudah
cukup membuat kekuatan Suto pulih
kembali, kelesuannya lenyap seketika. Gairah
hidupnya mulai menyala-nyala kembali.
"Terima kasih atas bantuanmu. Siapa
namamu, Prajurit?"
"Hamba bernama Sindulaga, Gusti."
"Nama yang bagus," puji Suto dengan
senyum ramah. "Menurut penglihatanmu,
siapa diriku ini, Sindulaga"!"
"Paduka adalah Gusti Pangeran Ranggawita," jawab Sindulaga yang berusia
sebaya dengan Suto itu.
"Apakah kau tak melihatku sebagai
sosok Pendekar Mabuk?"
"Tidak, Gusti! Sekalipun Gusti mengenakan pakaian yang mirip Pendekar
Mabuk dan bumbung tuak yang juga mirip
Pendekar Mabuk, tapi hamba tetap tak bisa
lupa bahwa paduka adalah Gusti Pangeran
Ranggawita."
"Apakah wajahku mirip dengan Pendekar Mabuk?" pancing Suto, karena ingin
mengetahui seperti apa wajah Pangeran
Ranggawita itu.
Tetapi Sindulaga justru tertawa, "Gusti
Pangeran Ranggawita jauh lebih tampan dan
lebih gagah daripada Pendekar Mabuk."
"Sialan!" gerutu Suto dalam hati. Tapi
mulutnya segera perdengarkan kata lain.
"Apakah kau pernah melihat Pendekar
Mabuk?" "Belum, Gusti. Tetapi hamba sering
mendengar orang menyebutkan ciri-ciri
Pendekar Mabuk atau menceritakan tentang
kesaktiannya."
"Di mana kau mendengar orang
membicarakan tentang Pendekar Mabuk."
"Di kedai-kedai seluruh tanah Jawa."
"Apakah kau sering ke tanah Jawa?"
"Hamba memang berasal dari tanah
Jawa, Gusti Pangeran. Keluarga hamba masih
ada yang tinggal di Kadipaten Bumiloka atau
di Kotapraja."
"Hmmm...," Suto manggut-manggut, ia
jadi ikut jalan keliling istana menemani
Sindulaga melaksanakan tugasnya sebagai
penjaga malam. Tiga orang temannya berjaga
di tempat lain. Delapan orang prajurit
berkeliling bagian luar benteng.
"Sindulaga, bagaimana menurutmu jika
aku ingin mengetahui di mana penjaranya si
bocah cerdas; Congor Bagus Wijanarko itu?"
"O, dia di penjara bawah tanah, Gusti.
Karena dia termasuk tawanan berbahaya."
"Berbahaya"!" dahi Suto berkerut karena
merasa heran. "Ayahnya juga dipenjarakan di bawah
tanah, Gusti," tambah Sindulaga.
"Ayahnya ikut dipenjara" Lho... kenapa
begitu"!"
"Karena ayahnya ikut bertanggung jawab
atas segala tindakan anaknya."
"Kasihani Padahal dalam hai ini akulah
yang bersalah," ujar Suto pelan, seperti bicara
pada dirinya sendiri.
"O, ya... Sindulaga, apakah kau tak bisa
mengantarku ke penjara bawah tanah?"
"Maaf, Gusti! Saya tidak berani melanggar larangan yang dikeluarkan oleh
Gusti Ratu."
"Larangan apa?"
"Tidak boleh membawa siapa pun ke
penjara bawah tanah dan tidak boleh
mempertemukan siapa pun dengan Congor!"
"Separah itukah hukuman yang dijatuhkan kepada Congor"! Kurasa ini tak
adil, Sindulaga."
"Hmmm... ehh...," Sindulaga cengarcengir salah tingkah sendiri.
"Kurasa kau bisa menolongku untuk kali
ini saja, Sindulaga. Kau tahu siapa aku,
bukan" Aku atasanmu, bukan orang lain!"
Sindulaga semakin tak enak hati dan
sulit menolak bujukan itu. Akhirnya ia
mengajukan usul sebagai jalan tengah
pertentangan batin itu.
"Beg ini saja, Gusti.... Hamba akan
membawa Congor keluar dari penjara untuk
menemui Gusti. Sebaiknya Gusti menunggu
di samping Pura Pamujan, nanti hamba akan
datang ke sana membawa Congor."
"Baik. Aku setuju. Lakukan yang rapi
dan jangan sampai ada yang tahu kecuali
penjaga pintu penjara."
"Kebetulan yang bertugas malam ini
sebagai penjaga pintu penjara adalah sahabat
karib hamba sendiri, Gusti."
Sindulaga bergegas pergi, sementara
Suto segera menyelinap di samping Pura
Pamujan. Bangunan berbatu menyerupai
candi itu digunakan untuk lakukan upacara
adat pada saat-saat tertentu. Tempatnya
aman dan banyak ditumbuhi pohon berdaun
rindang. Suto merasa aman berada di tempat
yang remang-remang itu. Lagi pula, dari
tempat itu ia bisa pandangi dengan bebas
keadaan terang di luar bangunan utama
istana. Tiba-tiba Suto dikejutkan oleh kemunculan sesosok bayangan hitam yang
melompat dari perbatasan dinding benteng.
Wuuut...! Firasat Suto langsung mengatakan
ada yang tidak beres di bagian sudut taman
belakang istana itu.
Zlapp...! Suto Sinting berkelebat cepat
mengejar bayangan yang melompat dari
tembok benteng itu. Rupanya bayangan itu
sudah berada di atas atap bangunan yang
berfungsi sebagai dapur para prajurit istana.
Wuuut, slaapp...! Suto Sinting pun
mengejar ke atap dan sengaja memergoki
orang berpakaian serba hitam itu dari depan.
Seett...! Orang berpakaian serba hitam
hentikan langkahnya yang mengendap-endap,
ia terkejut melihat kemunculan Suto di
depannya. Tapi ia tak mau diserang lebih
dulu, sehingga dengan gerakan cepat orang
yang wajahnya tinggal segaris, khusus di
bagian mata saja itu menerjang Suto Sinting
sambil

Pendekar Mabuk 069 Siasat Dewi Kasmaran di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencabut pedangnya. Sreet...! Wuuut...! Suto Sinting yang menggunakan ilmu
peringan tubuh itu segera sentilkan ujung
jempol kakinya ke atap yang dipijak, lalu
tubuhnya melayang ke atas dengan cepat dan
pedang yang menebas ke arah perutnya itu
dapat dihindari.
Weess...! Pendekar Mabuk bersalto satu kali, lalu
dalam gerakan melayang turun, ia melepaskan sentilan jari tangannya yang
dinamakan jurus 'Jari Guntur' itu. Tess...!
Debb...! "Eehk...!" orang itu tersentak mendongak
dengan suara pekik tertahan. Sentilan yang
mengandung kekuatan tenaga dalam besar
itu telah kenai leher orang tersebut.
Akibatnya orang itu pun limbung ke belakang
dan kepalanya yang mendongak ke atas itu
menyemburkan darah kental. Suto Sinting
segera menyambar orang tersebut agar tak
timbulkan suara gaduh pada saat jatuh di
atas atap tersebut.
"Hheekkrr...!" orang itu kejang-kejang
beberapa saat, kemudian melepaskan napas
panjang sebagai napas terakhirnya. Rupanya
Suto Sinting telah melepaskan jurus 'Jari
Guntur'-nya ke titik yang mematikan,
sehingga lawannya tak sempat lakukan
gerakan lagi. Ia kehilangan nyawa setelah
dibaringkan di atap oleh Suto.
Wuuutt...! Tiba-tiba sekilas cahaya putih
menyerang Suto Sinting dari belakang.
Cahaya putih itu tak lain adalah sekeping
senjata rahasia berbentuk bintang segi enam.
Suto tak menyadari kehadiran maut di
belakangnya, karena ia sedang sibuk
memeriksa mayat orang berselubung kain
hitam. Tetapi gerakan senjata rahasia itu tibatiba membelok ke arah samping setelah
seberkas sinar biru menyerupai tatakan gelas
itu menghantamnya dengan tanpa timbulkan
suara ledakan keras, selain hanya sebuah
letupan kecil. Tarr...! Pendekar Mabuk kaget,
menengok ke belakang, dan ia pun segera
sadar bahwa nyawanya tadi terancam oleh
teman orang yang terbunuh tanpa disengaja
itu. Jruubbb...! Senjata rahasia itu menancap pada sebuah pohon. Tetapi Suto
dan si pemilik senjata rahasia sama-sama
tertegun memandangi. Suto tak tahu siapa
pemilik sinar biru itu. Yang jelas orang
berpakaian serba hitam dengan membungkus
kepalanya tinggal segaris itu segera lakukan
serangan kepada Suto Sinting. Pedangnya
dicabut kemudian digunakan menyerang Suto
secara bertubi-tubi.
Pada saat itu, Suto sudah menggenggam
tali bumbung tuak. Maka tak ayal lagi bagi
Suto, bumbung tuak itu dihantamkan ke
depan sambil untuk menangkis kibasan
pedang lawan. Trang, trang, trakk...!
Pedang itu patah menjadi empat keping.
Orang berpakaian hitam menggeram semakin
marah, ia segera keluarkan bola besi sebesar
bola bekel. Bola itu bermaksud dilemparkan
ke wajah Suto. Tetapi dengan lincahnya Suto
meliukkan badan mirip orang mabuk mau
jatuh. Jurus mabuk itu membuat bola besi
tak kenai tubuh Suto Sinting sedikit pun,
namun justru menghantam pohon di
belakang Suto. Blubb...! Wuusss...! Asap putih mengepul tebal setelah terdengar suara
letupan pelan tadi. Ternyata asap itu
membuat pohon yang terkena bola tadi lenyap
tanpa bekas sedikit pun kecuali bau kayu
terbakar. Pendekar Mabuk segera lakukan serangan balik kepada lawannya. Namun
sebelum Suto bergerak lebih lanjut, seberkas
cahaya biru menghantam orang berpakaian
hitam itu. Dess...! Blubb...!
Hantaman cahaya biru itu juga tidak
timbulkan suara keras. Tetapi orang itu
segera terpekik kencang.
"Aaakkh...!"
Suara pekikan itu cukup memecah
sunyinya malam. Orang tersebut tumbang
dan menggelinding menuruni atap menimbulkan suara gaduh. Suto Sinting
berkelebat turun, ia sudah berada di bawah,
siap menerima tubuh orang yang menggelinding itu. Zlaappp...!
Orang itu berhasil diterima dengan
kedua tangan Suto, tetapi segera dibuang
kembali oleh Suto karena tubuh orang
tersebut tercabik-cabik dengan sayatan yang
amat mengerikan. Tentu saja orang yang
sudah tidak bernapas itu segera menjadi
kerumunan beberapa prajurit yang mendapat
tugas jaga malam. Bahkan beberapa prajurit
lainnya yang sudah tertidur pun segera
bangun dan bergabung dengan mereka.
"Ada apa ini" Ada kejadian apa"!" suara
mereka menghebohkan suasana hingga sang
Ratu pun terbangun.
Pada saat itu Suto sempat melihat Manis
Madu ikut-ikutan nimbrung menyaksikan
mayat dua orang yang berusaha menyelinap
ke bangunan utama istana tersebut.
"Mereka orang-orang Muara Sesat!" seru
salah seorang prajurit.
"Pasti mereka ingin menyelidiki kekuatan kita!" timpal Sindulaga.
"Tapi untung segera dibunuh oleh Gusti
Pangeran!" kata prajurit yang lain. Padahal
Suto Sinting sendiri masih bertanya-tanya
dalam hati, siapa yang membunuh penyusup
kedua dengan sinar birunya tadi"
"Melihat keadaan korban tercabik-cabik
mengerikan begitu, pasti orang yang membantuku mempunyai ilmu cukup tinggi.
Kurasa orangnya sama dengan yang membelokkan arah senjata rahasia tadi.
Hmmm... siapa orangnya" Aku ingin mengucapkan terima kasih padanya."
Kemudian di depan sang Ratu, Suto
berseru kepada para prajurit.
"Siapa tadi yang membantuku dalam
menghadapi dua penyusup dari Muara Sesat
itu"!"
Semua prajurit diam. Tak satu pun ada
yang mengaku telah membantu Suto.
Pendekar Mabuk segera berseru kembali.
"Siapa yang telah selamatkan nyawaku
tadi"! Mengakulah! Aku akan memberinya
hadiah yang menarik!"
Tapi sampai ditunggu beberapa saat,
ternyata tak ada yang tampil dan mengaku
sebagai orang yang telah selamatkan nyawa
Suto. Padahal sang Ratu pun telah berkata,
"Siapa yang telah berjasa selamatkan
nyawa suamiku, akan kuangkat sebagai
pengawal pribadiku!"
Tetap saja tawaran itu tak ada yang mau
menyahutnya. Suto jadi heran tiada habisnya.
* ** 7 SIANGNYA hal itu dibicarakan lagi.
Tetap tak ada yang mengaku siapa orang yang
menyelamatkan nyawa Suto. Percakapan
lebih menjurus kepada kedua penyusup dari
Muara Sesat itu. Suto menanyakan kepada
Ratu Dewi Kasmaran tentang perselisihan
pihaknya dengan Muara Sesat.
"Muara Sesat ingin kuasai Pulau
Selintang ini. Pawang Teluh mengancam akan
hancurkan negeri kita jika dalam waktu satu
purnama kita tidak menyerahkannya secara
baik-baik."
"Siapa Pawang Teluh itu?"
"Apakah kau lupa juga bahwa Pawang
Teluh adalah Penguasa Muara Sesat?"
"Aku memang tak pernah kenal nama
itu!" jawab Pendekar Mabuk agak dongkol
karena masih dianggap suami sang Ratu.
"Sekarang sudah lewat batas waktu yang
ditentukan. Agaknya mereka masih mencari
kesempatan baik untuk menyerang. Kita pun
mempunyai waktu untuk mencari kesempatan baik untuk bertahan. Beberapa
waktu yang lalu, Pawang Teluh kirim utusan
pada kita. Kau dan aku yang hadapi utusan
itu." "Aku tak ingat. Teruskan ceritamu!"
tegas Suto. "Melalui utusan itu, Pawang Teluh
mengajak adu jago dengan kita. Taruhannya
negeri ini. Jika jago kita menang, negeri ini
tak akan diusik olehnya. Tapi jika jago kita
dikalahkan oleh jagonya, maka kita harus rela
serahkan negeri ini ke tangannya."
"Dasar otak penjudi!" geram Suto. "Lalu,
kau sudah memilih ayam jago yang tahan
bantingan?"
"Belum," jawab Ratu Dewi Kasmaran
dengan polos, "Itulah yang kucemaskan.
Sementara itu, ada kabar dari mata-mata
yang kita tugaskan menyusup ke Muara
Sesat, bahwa Pawang Teluh sudah memperoleh jago yang bernama Malaikat
Jagal." "Hmmm... memberi nama ayam saja
diangker-angkerkan. Biar menyeramkan, ya?"
"Entah, itu urusan si Pawang Teluh.
Yang penting bagi kita...."
Tiba-tiba seorang prajurit berkuda
menerobos masuk sampai kudanya naik ke
serambi paseban. Kemunculan prajurit itu
mengejutkan Suto dan Dewi Kasmaran.
"Turun

Pendekar Mabuk 069 Siasat Dewi Kasmaran di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kau!" bentak Ratu Dewi Kasmaran dengan marah.
"Ampun, Gusti Ratu... ampunilah kelancangan saya ini, karena keadaan sangat
menegangkan!" ujar si prajurit.
"Apanya yang tegang?" tanya Pendekar
Mabuk, sang Ratu melirik ketus, Suto segera
sadar bahwa pertanyaannya bisa diartikan
tak senonoh bagi yang berotak ngeres. Tapi ia
berlagak acuh tak acuh dan tetap tenang.
"Apa yang ingin kau sampaikan padaku
sehingga kau menunggang kuda sampai naik
ke serambi paseban" Kau pikir paseban ini
arena pacuan kuda"!"
"Ampun, Gusti Ratu... hamba baru saja
dari pantai dan melihat orang-orang Muara
Sesat mulai mendarat. Pawang Teluh sendiri
yang memimpinnya. Mereka membawa seorang jago dari Pegunungan Tibet yang
bernama Malaikat Jagal."
"Celaka!" gumam Ratu Dewi Kasmaran
dengan memandang ke arah Suto Sinting.
Wajah sang Ratu tampak tegang.
"Pawang Teluh sudah menantang dan
membawa jagonya...."
"Ooo... jadi jagonya itu manusia juga"
Bukan ayam jago?"
"Begitulah. Sedangkan pihak kita belum
punya jago yang bisa diandalkan. Jika kita
tidak mengajukan jago, maka kita dianggap
kalah dan negeri ini beserta isinya akan
menjadi milik si Pawang Teluh."
Suto Sinting tarik napas dengan
memandang ke arah jauh. Rupanya ia
berpikir dan mempertimbangkan rasa. Ia
melihat sang Ratu tampak cemas sekali, ia
dapat membayangkan apa jadinya jika sang
Ratu berada di pihak yang kalah. Menyedihkan sekali.
Sementara itu sang Ratu berkata kepada
si prajurit, "Hei, cepat kau beritahukan
kepada Sindulaga untuk bersiap siaga!"
"Daulat, Gusti Ratu...."
"Dan bawa kudamu itu. Aduuuh...!
Lihat, kudamu buang kotoran di sini! Celaka
tujuh belas kau ini, Sangubion!" bentak sang
Ratu dengan jengkelnya melihat kuda itu
justru buang kotoran di lantai serambi
paseban. Suto dan Dewi Kasmaran terpaksa
pindah tempat perundingan.
"Dewi Kasmaran," ujar Suto Sinting.
"Sekarang aku punya tawaran khusus
untukmu. Bagaimana jika aku yang maju
sebagai jagomu?"
"Jangan! Aku tidak ingin kau mati di
tangan mereka. Sebab Malaikat Jagal bukan
orang berilmu rendah, Kakang Ranggawita!"
"Kalau begitu kau rela menyerahkan
negeri ini ke tangan si Pawang Teluh?"
Ratu Dewi Kasmaran mendesah resah.
"Aahh... itulah sulitnya bagi kita, Kakang."
"Aku akan tampil sebagai jago dari Pulau
Selintang ini. Jangan khawatir, aku tak akan
mati. Paling-paling remuk dalam."
Ratu Dewi Kasmaran mendesah lagi,
berpikir sejenak, akhirnya berkata kepada
Suto dengan nada pasrah.
"Terserah kau saja, Kakang."
"Tapi aku punya aturan main sendiri
denganmu. Kalau aku menang, kau harus
mengakuiku sebagai Pendekar Mabuk dan
aku tidak berhak menjadi suamimu. Tapi
kalau aku kalah, kau boleh menganggapku
Pangeran Ranggawita dan aku menjadi
suamimu." Ratu Dewi Kasmaran hanya memandangi Suto dengan mata tak berkedip.
Suto menganggap pandangan mata itu
sebagai ganti pertanyaan setuju bagi sang
Ratu. "Di mana aku harus bertarung dengan
jagonya si Pawang Teluh itu?"
"Di... di Bukit Tawur!" jawab Dewi
Kasmaran dengan pelan bernada sedih.
"Kuminta Congor mengantarku ke sana!"
"Congor..."!" sang Ratu menampakkan
sikap keberatannya. Tapi akhirnya perempuan itu mengalah juga, ia bergegas
pergi ke bangsal pengadilan. Sementara itu,
Suto Sinting bergegas menemui Sindulaga
yang sedang mempersiapkan para prajurit
bersenjata iengkap.
"Sindulaga, aku butuh seekor kuda
untuk kupakai ke Bukit Tawur!"
"Baik, Gusti. Akan segera hamba
siapkan!" "Aku juga butuh tiga prajurit sebagai
wakil sang Ratu menghadiri pertarungan
nanti." "Hamba sendiri siap mendampingi Gusti
Pangeran. Hamba akan pilih dua orang lain!"
kata Sindulaga dengan tegas dan penuh
keberanian. Pendekar Mabuk tersenyum melihat
Congor berlari menghampirinya.
"Saya telah bebas, Gusti! Maaf, waktu
itu saya tak bisa berteriak karena mulut saya
disekap oleh para prajurit."
"Lupakan soal itu. Yang penting kau
sekarang ikut aku."
"Ke mana, Gusti?"
"Adu jago!"
"Kita tak punya ayam jago yang layak
untuk diadu, Gusti!"
"Aku yang menjadi ayamnya!" sahut
Suto. "Antar aku ke Bukit Tawur, Cong!"
"Siap, Gusti!" Congor pun segera
melompat dan hinggap di pelana kuda di
belakang Suto. Pendekar Mabuk sempat
berkerut dahi melihat Congor melompat
dengan lincah dan sepertinya sedikit menggunakan ilmu peringan tubuh. Hal itu
segera dilupakan, Suto pun segera berangkat
ke Bukit Tawur. Dua prajurit mengikuti dari
belakang. Satu prajurit ada di depan sebagai
petunjuk jalan. Prajurit yang ada di depan
adalah Sindulaga.
Rupanya orang-orang Muara Sesat
sudah tiba di Bukit Tawur lebih dulu. Mereka
berdiri membentuk barisan memanjang.
Seorang lelaki kurus bermata cekung dengan
wajah sadis berada di punggung kuda. Lelaki
yang memakai jubah merah dan berikat
kepala lempengan logam kuning berbentuk
ular itu tak lain adalah si Pawang Teluh;
Penguasa Muara Sesat. Sedangkan lelaki
tegap berompi besar warna hitam dengan
kepala gundul dan mata kecil itu tak lain
adalah si Malaikat Jagal dari Pegunungan
Tibet, ia bersenjata pedang besar yang
mempunyai gelang-gelang di seberang sisi
tajamnya. "Hati-hati, Gusti! Malaikat Jagal punya
ilmu 'Iblis Tiga Rupa', pasti dia akan
pergunakan jurus itu!" bisik Congor.
Suto mau menjawab, tapi niatnya
diurungkan karena ia melihat rombongan
Ratu Dewi Kasmaran datang secara berbondong-bondong. Padahal Suto sudah
melarang sang Ratu ikut hadir, tapi agaknya
sang Ratu tak bisa biarkan 'jagonya' tarung
sendiri tanpa pendukung
yang dapat membakar semangatnya.
Kini mereka terbagi dalam dua kelompok. Orang-orang Muara Sesat berada
di sisi barat, dan orang-orang Pulau Selintang
di sisi timur. Dari sebelah barat terdengar
suara Pawang Teluh berseru kepada Ratu
Dewi Kasmaran. "Dewi...! Mana jagomu! Suruh dia maju
dan biar dicabik-cabik oleh jagoku!"
Wuuutt...! Malaikat Jagal melompat dari
punggung kuda, ia tampil dengan gagah
berani walau kepalanya gundul tapi berkumis
lebat hingga melengkung ke bawah. Pedang
besar siap di tangan kanannya, ia berdiri
tegak di pertengahan jarak.
Pendekar Mabuk menenggak tuaknya
tiga teguk. Kemudian ia turun dari atas kuda.
Kakinya sempat terpeleset sehingga Congor
segera menahan pinggang Suto agar tak
sampai jatuh. "Cong, doakan aku menang, ya?"
"Pasti, Gusti! Sebab jika Gusti Pangeran
menang, maka Gusti Ratu akan mengadakan
pesta selama tujuh hari tujuh malam. Kita
bisa bersenang-senang, Gusti!"
Pendekar Mabuk menepuk-nepuk punggung Congor, bocah cerdas itu menepuknepuk pantat Suto karena tak bisa mencapai
ke punggung. Setelah itu, Suto Sinting pun
mulai melangkah ke pertengahan jarak.
Langkahnya sudah mulai limbung ke sanasini seperti orang mabuk.
Pawang Teluh tertawa. "Hua, ha, ha, ha,
ha...! Jago penyakitan begitu kau ajukan di
arena ini, Dewi"! Apa tak ada yang lebih
sekarat lagi dari yang ini"!"
Suto berseru, "Yang penting asyik-asyik
saja, Wang! He, he, he, he...!" ia menenggak
tuaknya lagi. "Malaikat Jagal, serang dia sekarang
juga!" "Heaaaahh...!"
Orang tinggi besar berkepala gundul itu
melakukan lompatan beberapa kali dan
menerjang Suto Sinting dengan ganasnya.
Wuuusss...! Suto Sinting menggeloyor bagai
mau jatuh. Akibatnya terjangan itu tidak
mengenai selembar pun rambut Suto.
Malaikat Jagal menyabetkan pedang
lebarnya, wuuung...! Suto Sinting menangkisnya dengan bumbung tuak disangga dua tangan. Trangng...! Prraakk...!
Pedang besar itu hancur menjadi
kepingan yang jumlahnya lebih dari sepuluh
keping. Kejadian

Pendekar Mabuk 069 Siasat Dewi Kasmaran di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu membuat para pendukung Malaikat Jagal membelalakkan
mata dan bergumam cemas.
"Uuuhh...!"
Sementara di pihak Ratu Dewi Kasmaran bersorak girang.
"Horeee...!"
Tetapi Suto Sinting yang ikut-ikutan
angkat satu tangan dan bersorak 'hore' itu,
tiba-tiba terlempar tinggi setelah kaki
Malaikat Jagal menendangnya dalam satu
tendangan berputar cepat. Bet, duuhk...!
Weeess...! Pihak dari Muara Sesat bersorak,
"Horeee...!" Sedangkan pihak dari Pulau
Selintang diam membisu penuh kecemasan.
Suto Sinting jatuh terbanting dengan
menyedihkan. Malaikat Jagal segera melompat dan menginjak tubuh Suto yang
tengkurap itu. Blukk...!
"Heeegh...!" Suto Sinting mendelik,
tubuhnya terasa digencet oleh gunung
anakan. Ia nyaris tak bisa bernapas. Untung
tangannya masih menggenggam tali bumbung. Tali itu disabetkan dan bumbung
tersebut menghantam tulang kering si
Malaikat Jagal. Prraaakkk...!
"Aaaow...!" Malaikat Jagal melompat ke
belakang sambil pegangi kakinya yang terasa
remuk itu. Pendekar Mabuk segera bangkit, bukan
langsung menyerang melainkan langsung
menenggak tuaknya. Glek, glek, glek...!
Selesai menenggak tuak, ia lakukan satu
lompatan berputar cepat. Werrsss...!
Plok, plok, plok, plok, buuueehkk...!
Tendangan beruntun itu kenai wajah Malaikat
Jagal dengan telak sekali. Dan yang lebih
telak adalah tendangan yang mengenai dada
Malaikat Jagal. Tendangan itu membuat
Malaikat Jagal terlempar delapan langkah
jauhnya dan jatuh berdebum seperti nangka
busuk. Bluuukk...!
"Horeee...!" Pihak sang Ratu bersorak
kegirangan. Tapi suara mereka segera hilang
setelah Malaikat Jagal bangkit dan tiba-tiba
menjadi tiga sosok kembar Malaikat Jagal.
"Gawat...!" gumam sang Ratu tampak
tegang sekali. Suto Sinting hanya tersenyum melihat
Malaikat Jagal menjadi tiga sosok kembar
yang saling menyebar ke kanan kiri, yang
satu tetap di tengah.
"O, jadi ini yang dikatakan sahabatku
tadi sebagai jurus 'Iblis Tiga Rupa'?"
"Maju kau, Bangsat!" sentak Malaikat
Jagal yang sebelah kanan.
Suto Sinting segera menggunakan jurus
'Sapta Tingal'-nya. Dalam sekejap, sosok
tubuhnya berasap, lalu dari gumpalan asap
itu keluar sosok tubuh Suto Sinting dalam
kembar tujuh rupa.
"Haaah..."!" para penonton terperangah
tegang dan kagum.
Malaikat Jagal sendiri juga terpengarah
melihat lawannya bisa memecah diri menjadi
tujuh manusia kembar. Sedangkan Pawang
Teluh hanya bisa menjambak rambutnya
sendiri dengan jengkel karena jagonya jelas
kalah ilmu dengan jagonya Dewi Kasmaran.
"Heaaat...!" suara itu terlontar dari
mulut ketujuh Pendekar Mabuk. Kini setiap
dua orang menyerang satu Malaikat Jagal,
sedangkan Suto Sinting yang asli diam di
tempat, bahkan sempat meneguk tuaknya.
"Heeaaah...!"
Prak, blaarrr...! Bleegaarr...! Blaammm...! Tiga Malaikat Jagal akhirnya
hancur semua. Setiap dua sosok Pendekar
Mabuk melepaskan pukulan berbahayanya ke
arah satu Malaikat Jagal. Maka dalam
beberapa kejap saja, ketiga Malaikat Jagal itu
lenyap, tinggal satu yang raganya tercecer di
sana-sini. Sementara itu, ketujuh Pendekar
Mabuk itu melesat masuk ke raga Suto
Sinting, hingga kini tinggal satu Pendekar
Mabuk yang asli.
"Horeee...! Hidup Pangeran! Hidup
Pangeran...!" pihak sang Ratu bersorak-sorai
dengan girang-gemirang. Sementara di pihak
Pawang Teluh tampak murung dan lesu.
"Jahanam busuk kau, hiaaahh...!"
Pawang Teluh lepaskan pukulan bersinar
merah besar yang melesat ke arah Dewi
Kasmaran. Melihat keadaan berbahaya itu,
Pendekar Mabuk melesat dengan cepat.
Zlaappp...! Tahu-tahu sudah berada di depan
kudanya Ratu Dewi Kasmaran. Sinar merah
itu mendekatinya. Dan Suto melepaskan
jurus 'Pukulan Guntur Perkasa' yang berupa
sinar hijau melesat dari tangan Suto.
Claappp...! Sinar hijau mampu menembus sinar
merah. Blegaarrr...! Ledakan terjadi saat
penembusan sinar itu, namun sinar hijau
masih tetap menyala dan melesat hingga
menghantam dada si Pawang Teluh. Jluubss...! Blaarr...!
Pawang Teluh terlempar dari atas
kudanya, ia jatuh terkapar, dan dalam
beberapa waktu terkena angin tubuhnya yang
memar sudah menjadi busuk dan tak
bernyawa lagi. Pihak sang Ratu semakin bersorak
kegirangan. Mereka mengelu-elukan Pangeran
Ranggawita, sementara itu orang-orang
Muara Sesat pulang dengan saling berlari
pontang-panting ketakutan diserang pihak
Pulau Selintang.
"Suto... terima kasih! Terima kasih kau
telah selamatkan negeriku!" ujar Ratu Dewi
Kasmaran sambil berlari dan memeluk Suto
tanpa ragu-ragu lagi.
"Hei, kau memanggilku Suto"! Kau
sudah mengakui diriku sebagai Suto Sinting;
Pendekar Mabuk itu?"
"Kau memang Suto Sinting, si Pendekar
Mabuk murid si Gila Tuak!" kata Ratu Dewi
Kasmaran dengan tegas sambil tersenyum
ceria. "Tapi... tapi mengapa kau memanggilku
Pangeran Ranggawita?"
"Kubuat suasana menjadi seperti itu biar
kau merasa berhak melakukan pembelaan
terhadap negeriku. Setiap kepala desa
kusuruh memberi penjelasan kepada warga
desanya bahwa nanti akan datang seorang
pemuda yang bernama Pangeran Ranggawita
alias si Pendekar Bambu Sakti. Semua orang
di negeri ini kusuruh memandangmu sebagai
Pangeran Ranggawita, suamiku! Dan mereka
juga kusuruh menghormatimu seperti menghormati seorang pangeran! Semua itu
demi menyelamatkan negeri dan pulau ini
dari keserakahan si Pawang Teluh."
"Mengapa harus memakai cara seperti
itu?" "Karena aku yakin kau tak akan sudi
membantuku jika kau tahu siapa diriku
sebenarnya."
"Sekarang aku sudah boleh mengetahui
siapa dirimu sebenarnya?"
"Aku adalah keturunan dari musuhmu;
seorang perempuan yang bernama Rangis Puji
yang kemudian dikenal dengan nama Ratu
Danyang Demit."
"Ratu Danyang Demit?" Suto Sinting
terkejut. "Aku adalah anak Ratu Danyang Demit.
Tapi aku sendiri tak setuju dengan cara hidup
ibuku. Aku segera mengasingkan diri ke
Pulau Selintang ini dan membentuk kekuatan
sendiri. Aku pernah mendengar kabar bahwa
ibuku dibunuh olehmu, aku tak bisa
mengambil sikap. Bagiku serba salah."
"Hmmm..., ya, ya... aku masih ingat
peristiwa itu," kata Suto sambil membayangkan peristiwa pertarungan dengan
Ratu Danyang Demit, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode: "Gairah Sang Ratu").
"Kuakui otakmu cerdas sekali sehingga
kau punya siasat seperti ini, Dewi Kasmaran "
"Semua ini berkat kecerdasan penasihat
istana ku."
"Siapa penasihat istanamu itu?"
"Dia...!"
sambil Dewi Kasmaran menuding Congor. Bocah itu hanya nyengir
ketika Pendekar Mabuk membelalakkan
matanya. "Pantas kau sering menasihatiku. Rupanya kau bocah ajaib yang mempunyai
otak ajaib juga, Congor!"
Manis Madu tampil dan perdengarkan
suaranya dengan senyum ceria.
"Aku pun mengucapkan terima kasih
padamu, Suto. Dan... maafkan segala sikapku
selama bersamamu."
"Kkau... kau... kau bisa ngomong"!" Suto
Sinting mendelik kaget.
Ratu Dewi Kasmaran menyahut, "Manis
Madu adalah panglimaku. Dia yang membawamu dari tanah Jawa kemari dalam
keadaan dirimu dibius dengan tuak saat
berada dalam kedai."
"Kau ingat minum tuak bersama seorang
perempuan di sebuah kedai?" tanya Manis
Madu. "Iya... benar! Aku ingat, waktu itu aku
habis selesaikan masalah dengan Ratu
Danyang Demit."
"Itulah aku, Suto. Kutaruh racun yang
membuatmu tak sadar di dalam poci tuakmu.
Dan ketika kau tak sadar, aku membawamu
ke Gua Lacak Silang!"
"Gila! Benar-benar siasat gila!" geram
Suto antara jengkel dan geli.
"Lalu, siapa orang yang membuatku
pingsan saat bersamamu di rumah tua itu?"
"Orang Muara Sesat. Dia kakaknya
Cindra Mata yang kau tewaskan pada malam
itu bersama Congor!" jawab Manis Madu.
"Ketika kau pingsan, orang itu kuhabisi
nyawanya. Lalu kau kubawa ke istana."
"Pantas...!"
sambil

Pendekar Mabuk 069 Siasat Dewi Kasmaran di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suto manggutmanggut. "Dan yang membantuku menyerang
dua penyusup tadi malam itu siapa" Kau
juga?" "Aku, Kang...!" jawab Congor sambil
nyengir, Suto Sinting hanya bisa memandang
terbengong tanpa kata. Kali ini ia benar-benar
terkecoh dan dibikin bodoh oleh orang satu
pulau. "Aku pusing. Aku ingin istirahat di
istanamu saja!" kata Suto untuk menutup
malu, namun ia toh tetap ditertawakan oleh
mereka. Tawa yang penuh persahabatan.
SELESAI PENDEKAR MABUK Segera menyusul!!!!
HILANGNYA KITAB PUSAKA
Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
https://www.facebook.com/pages/Dunia-AbuKeisel/511652568860978
Pendekar Buta 8 Joko Sableng 38 Bidadari Delapan Samudra Bulan Berdarah 1
^