Pencarian

Tabib Sesat 2

Pendekar Mabuk 113 Tabib Sesat Bagian 2


dalam satu sentakan cepat. Cahaya jingga itu kenai tubuh si perempuan.
"Aaahk...!" perempuan itu memekik dengan tubuh terlempar
melayang ke belakang, lalu jatuh terhempas tanpa ampun lagi.
Lawannya segera memburu dengan satu lompatan cepat. Kakinya
ingin menginjak dada si perempuan. Tapi dengan cepat Riandawi
hantamkan pukulan jarak jauhnya. Beet...! Hawa padat terkirim dan
menghantam pinggang lelaki berpakaian abu-abu. Baahk...!
"Uuhk...!" Lelaki itu terpekik, tubuhnya terlempar ke samping. Brruk.J. la
jatuh terjongkok. Kemudian buru- buru bangkit. Namun pukulan jarak
jauh Riandawi telah menyusulnya dan tak sempat ditangkis oleh lelaki ter-
sebut. Baahk...!
"Aaahk...!" Orang itu terjengkang ke belakang, dan jatuh dalam
keadaan telentang. Brruk..! Darah segar pun keluar dari mulutnya saat ia
berusaha bangkit. la hanya mampu berlutut dengan napas tersendat-
sendat. Riandawi segera melesat. Kedua kakinya mendarat di samping
perempuan berjubah merah.
"Bibi..."! Bagaimana keadaanmu"!"
"Menyingkirlah," ujar perempuan itu yang ternyata bibinya
Riandawi. "Ini urusanku dengan si Jagaloya!"
Terdengar lelaki yang bernama Jagaloya itu berseru dengan suara
menggeram. "Keparat! Kau mau ikut campur juga, Riandawi! Terimalah ini,
hiaaah. ...!"
Jagaloya bagaikan seekor harimau sedang terbang menerkam
mangsanya. Riandawi segera melompat ke samping menghindari terkaman
kedua tangan Jagaloya. Tapi tongkatnya segera disabetkan dari bawah ke
atas. Wees, prook...!
"Aaaow...!" Jagaloya menjerit kesakitan. Dagunya terharitam
tongkat Riandawi. la jatuh berguling-guling dengan mengerang panjang.
Bibinya Riandawi segera menyerang. Tapi sebelum kaki perempuan itu
menendang punggung Jagaloya, tangan lelaki itu menghantam ke tanah.
Bluuk...! Buuss...! Asap putih menyembur ke atas. Angin menyapunya, dan
Jagaloya pun ternyata telah lenyap tanpa bekas lagi.
Pendekar Mabuk terkesip memandang lenyapnya Jagaloya. la
sengaja tak ikut campur urusan itu karena memang tak tahu menahu
persoalan yang dihadapi mereka.
"Hebat juga ilmunya si Jagaloya. Bisa lenyap seketika," ujar Suto
dalam hati. "Tapi agaknya ia mengakui kalah ilmu dengan Riandawi. Kecil-
kecil bahaya juga gadis itu" Gerakannya sukar dilihat."
"Bibi, dia melarikan diri! Perlukah kukejar, Bi?"
"Tidak perlu!" jawab sang bibi setelah menarik napas panjang.
"Lukaku tidak seberapa. Aku tahu dia pasti menuju ke Tebing Keramat
untuk mengambil kapaknya yang jatuh di sana."
"Di mana trisula Bibi"!"
"Jatuh di sekitar tebing itu juga, saat kupakai menangkis hantaman
kapaknya!"
Riandawi hembuskan napas panjang juga. Suto Sinting mulai
mendekat dengan langkah tegap dan berkesan gagah. Sang bibi pandangi
pemuda yang masih asing baginya itu. Namun sebelum sang bibi ajukan
tanya, Riandawi lebih dulu perdengarkan suara memperkenalkan si
Pendekar Mabuk.
"O, ya... dia teman baruku, Bi. Dia bernama Pendekar Mabuk..."
"Suto Sinting!" sahut Suto sebelum Riandawi menyebutkan gelar
Pendekar Mabuk.
"Rupanya dia tak mau kuperkenalkan sebagai Pendekar Mabuk yang
namanya sering jadi pembicaraan masyarakat Dasar Bumi ini! Hmmm, aku
tahu dia tak ingin tonjolkan nama itu," gumam hati Riandawi. Lalu, gadis
itu memperkenalkan nama Layunggini sebagai nama bibinya itu.
0, jadi kau orang Permukaan Bumi"!"
"Betul, Bibi Layunggini!" jawab Suto Sinting dengan sopan. "Aku
baru saja tiba dan bertemu dengan Riandawi."
Sang bibi yang mempunyai kecantikan matang itu manggut-manggut.
Kedua matanya memandang Suto tak berkedip. Pandangan itu berkesan
aneh bagi Suto, seakan ia menjadi grogi menerima tatapan mata seperti
itu. Maka buru-buru Suto Sinting alihkan pandangan- nya kepada
Riandawi. "Lelaki yang lenyap itu tadi siapa, Riandawi?" Suto berpura-pura
bodoh. Layunggini yang menjawab, "la bernama Jagaloya, bekas muridnya
Tabib Sesat!"
Suto Sinting terkejut mendengar nama Tabib Sesat disebutkan,
tapi ia sembunyikan perasaan kagetnya itu. la masih tampaktenang,
senyumnya tipis namun penuh keakraban.
"Mengapa Bibi bentrok dengannya?" tanya Riandawi.
"Dia memaksaku agar serahkan kunci Kuil Prana Dewa!"
Riandawi berkerut keningnya. "Untuk apa dia butuhkan kunci Kuil
Prana Dewa"! Apakah dia ingin masuk di kuil keramat itu"!"
"Mestinya begitu! Tapi... jika bukan karena urusan sangat penting
dia tak mungkin berkeinginan masuk ke dalam Kuil Prana Dewa."
Riandawi diam merenungkan hal itu. Layunggini kembali pandangi
Suto Sinting. Yang dipandang menjadi kikuk, Salu menutupi kekikukannya
dengan sebuah pertanyaan yang semestinya tak perlu dilontarkan.
"Apa yang dimaksud dengan Kuil Prana Dewa itu, Riandawi?"
Layunggini lagi yang menjawabnya, "Kuil itu adalah kuil keramat
yang hanya boleh dibuka pada saat-saat tertentu, terutama jika
masyarakat Dasar Bumi ingin lakukan sujud kepada Hyang Maha Dewa.
Setiap sepuluh kali purnama kami melakukan upacara sesembahan
tersebut. Jika hari-hari iainnya, hanya keturunan Dewa Tanah yang boleh
masuk ke dalam kuil dan lakukan sesembahan lainnya."
Bibi sangat kenal betul tempat Itu, karena beliau adalah penjaga
Kuil Prana Dewa," sahut Riandawi yang membuat Suto menggumam dan
manggut-manggut.
"Seseorang yang mempunyai hajat istimewa bisa dilakukan di dalam
kuil tersebut jika sudah meminta izin kepada Dewa Tanah, penguasa
masyarakat kami itu," sambung Layunggini. "Biasanya hajat yang dilakukan
di dalam kuil akan membawa berkah besar bagi kehidupan orang itu. Yang
ingin punya keturunan menjadi banyak keturunan, yang ingin panjang umur
menjadi lebih panjang lagi umurnya, yang...."
"Maaf, Bibi...!" potong Suto Sinting karena ia mendengar kata-kata
'panjang umur', sehingga ingat tentang si Tabib Sesat yang kemungkinan
besar akan memakan jantungnya Putri Merak agar berumur panjang.
"Apakah seseorang dapat berumur lebih panjang lagi jika memakan
jantung seorang putri yang dapat membuatnya berumur seribu tahun
lagi?" "Jika hal itu dilakukan di dalam Kuil Prana Dewa, maka orang itu
dapat hidup sampai dua ribu tahun lagi! Tapi mengapa kau bertanya
begitu, Suto Sinting?"
"Karena... hmmm... karena, terus terang saja, aku datang kemari
karena mengejar seseorang yang pasti sudah Bibi kenal. Orang itu
menculik Putri Merak dan ingin memakan jantung Putri Merak. Barangkali
saja orang itu ingin melakukannya di dalam Kuil Prana Dewa itu supaya...."
"Siapa orang tersebut"!" potong Riandawi.
"Tabib Sesat!"
Riandawi dan bibinya sama-sama terperanjat dan saling pandang
dengan mata terbelalak.
"Sebenarnya aku ingin menemui Nirwana Tria untuk menanyakan
tentang kemungkinan tempat persembunyian si Tabib Sesat. Tapi...
ternyata aku justru bertemu denganmu, Riandawi."
"Jadi.... Tabib Sesat telah kembali dari pelariannya"!" gumam
Layunggini bernada tegang.
Riandawi berujar kepada Suto Sinting, Dia masih menjadi buronan
kami! Dan sangat berbahaya jika kembali ke alam kami. Berarti akan
timbul bencana lagi seperti dulu. Tabib Sesat adalah tokoh aliran hitam
yang banyak mendatangkan bencana bagi masyarakat Dasar Burni ini. Suto
Sinting, Tak ada yang bisa membunuhnya kecuali Dewa Tanah, sebab
hanya Dewa Tanah yang tahu rahasia kelemahan Tabib Sesat."
"Ya, benar!" timpal sang bibi. "Tapi Eyang Dewa Tanah sekarang
sedang sakit. Tak mungkin lakukan pertarungan dengan si Tabib Sesat."
"Aku sendiri yang akan lakukan pertarungan de- ngannya. Bibi," ujar
Suto Sinting dengan tegas, membuat sang bibi menatap dengan tegang
kembali. la tak percaya akan kemampuan Suto dalam melawan Tabib
Sesat, karena ia tak tahu bahwa pemuda tampan yang ada di depannya itu
adalah si Pendekar Mabuk, tokoh muda yang sering dibicarakan oleh para
tokoh di Dasar Bumi itu.
Ternyata pertanyaan yang semula dianggap iseng- iseng itu punya
makna besar bagi tujuan Suto datang ke alam tersebut. Tetapi baik
Riandawi maupun Layunggini tidak dapat memperkirakan di mana Tabib
Sesat saat itu berada.
"Jika benar kau merasa mampu berhadapan dengan si Tabib Sesat
itu, aku dapat memancingnya agar ia muncul di Kuil Prana Dewa nanti!"
ujar Layunggini.
"Pancinglah dia, Bibi! Usahakan ia berani muncul di Kuil Prana
Dewa!" jawab Sutotegas sekali. "Akuakan menghadapinya tanpa peduli
menang atau kalah!"
"Kalau begitu aku harus segera menghadap Guru dan mengabarkan
hal ini pada beliau!" sahut Riandawi, seakan mendukung rencana Suto dan
bibinya untuk memaneing kemunculan Tabib Sesat itu. Tapi sang bibs
Justru berbaiik menjadiragu-ragu. la menyangsikan ke- mampuan Suto
Sinting dan terang-terangan berkata,
"Sangat disayangkan jika pemuda setampan dan segagah dirimu
harus mati di tangan nenek iblis itu, Suto. Kurasa, sebaiknya urungkan
saja niatmu. Biar penguasa bumi yang menanganinya!"
Suto Sinting mengeluh dengan napas dihembuskan lepas-lepas,
4 Sampai mereka berpisah, Bibi Layunggini belum tahu bahwa pemuda
tampan itu adalah Pendekar Mabuk. Perempuan separuh baya itu hanya
tahu bahwa pemuda tampan itu punya keberanian cukup besar, karena
tekadnya melawan Tabib Sesat tampak menyaia-nyala sekali.
Bibi Layunggini merasa girang dalam hatinya, karena pada saat itu
Pendekar Mabuk ikut bersamanya menuju ke Kuil Prana Dewa, sedangkan
Riandawi pergi untuk temui Nirwana Tria yang di antara para muridnya di-
kenal dengan nama panggilan: Guru Tria. Sepanjang perjalanan ke Kuil
Prana Dewa, pandangan mata Bibi Layunggini sering tertuju ke wajah Suto
Sinting. la sangat mengagumi ketampanan Suto Sinting, juga terpikat
dengan kegagahan si pendekar yang menyembunyikan ketenarannya itu.
Sekalipun Suto Sinting mulai dapat meraba isi hati Layunggini, tapi
ia berpura-pura tidak mengetahui hal itu, la masih bisa bersikap tenang
dan kalem, yang membuat hati Bibi Layunggini semakin diliputi debar-
debar keindahan.
"Sejak sepuluh tahun yang lalu, aku sudah menjadi janda. Suamiku
tewas dalam suatu pertarungan," ujar sang bibi. "Lalu, sejak itu aku tak
bermaksud ingin me- nikah lagi. Kuabadikan sisa hidupku dikuil keramat
itu tanpa berpikir untuk mencari pasangan hidup lagi."
"Apakah Bibi tidak merasa kesepian?"
"Sangat kesepian sekali," jawabnya terang-terangan. "Dan untuk
mengatasi kesepian itu aku banyak berlatih beberapa ilmu peninggalan
mendiang suami- ku. Kesibukan merawat kuil juga merupakan cara lain
untuk mengalihkan rasa sepiku. Tapi sekarang.....
Kata-kata tersebut tiba-tiba terputus dengan sendirinya. Timbul
rasa heran di hati Suto Sinting. Lebih heran lagi setelah Bibi Layunggini
hentikan langkahnya dengan pandangan mata ke satu arah penuh curiga. "
"Ada apa, Bibi?" tanya Suto pelan sekali. "Aku mendengar suara gerak
pertarungan," jawab sang bibi. Pendekar Mabuk mencoba menyimak suara
yang dimaksud, namun ia tidak mendengar suara apa- apa kecuali
hembusan angin pembawa kesejukan,
"Mungkin Bibi salah dengar. Tak ada suara senjata beradu, tak ada
suara letupan apa-apa."
"Ya, tapi aku mendengar dua gerakan yang saling bantam dan saling
menangkis. Arahnya di sebelah sini!"
Bibi Layunggini bergerak lebih dulu, Pendekar Mabuk mengikutinya
dengan hati semakin heran.
"Jika benar apa yang didengarnya, berarti Bibi Layunggini
mempunyai pendengaran yang sangat tajam. Patut mendapat pujian dan
layak untuk dikagumi," ujar Suto dalam hatinya.
Perempuan itu bergerak cepat. Wees, wees, wees. Pendekar Mabuk
terpaksa gunakan separuh jurus 'Gerak Siiuman'-nya untuk imbangi
kecepatan gerak perempuan tersebut.
Dalam waktu beberapa kejap saja mereka sudah tiba di sebuah
kaki bukit berhutan cemara kuning. Indah sekali tempat itu bagi Suto
Sinting, daun-daun cemara berwarna kuning rata, batang pohonnya juga
berwarna kuning. Rumput dan semak yang tumbuh di sekitar tempat itu
juga berwarna kuning menyala. Indah sekali. Pemandangan serba kuning
terang itu menjalar dari kaki bukit sampai ke puncak bukit yang tak se-
berapa tinggi itu.
Namun di salah satu sisi kaki bukit tersebut, Pendekar Mabuk
melihat dua sosok manusia sedang ber- tarung dengan gerakan cepat
tanpa senjata tajam. Hal itu membuat Suto Sinting menjadi terheran-
heran karena apa yang didengar Bibi Layunggini itu memang terbukti
kebenarannya. Kedua orang itu bertarung bagaikan tanpa suara sedikit
pun. Benturan tongkat dengan tongkat, tangan dengan tangan, tendangan
dengan tendangan, hanya menghasilkan kepulan asap yang tidak
mempunyai suara apa-apa. Percikan cahaya api pun tidak menimbulkan
suara letupan seperti biasanya.
"Hebat sekali pendengaran Bibi Layunggini," puji Suto Sinting
dalam gumam pelan di samping perempuan itu. Si perempuan bagai tak
pedulikan pujian tersebut, karena kedua matanya memperhatikan ke arah
dua sosok tua yang saiing bertarung di seberang sana...!
Pendekar Mabuk segera terperanjat, pandangan matanya terkesip
ketika menyadari salah satu dari orang yang bertarung tanpa suara itu
mengenakan jubah lengan panjang berwarna putih-hitam, sebelah kiri
putih, sebelah kanannya hitam. Usia lelaki tua yang seluruh rambut, kumis,
dan jenggotnya berwarna putih itu sekitar delapan puluh tahun, tapi ia
masih tampak tegar dan lincah. Bahkan lebih berkesan ganas terha- dap
lawannya. "Kalau tak salah yang berbadan kurus dan berjubah putih-hitam itu
adalah si Branjang Hantu, ya Bibi?"
"Oh, kau sudah kenal dengannya?" sang Bibi agak terkejut.
"Ya, aku bertemu dengan Branjang Hantu ketika berkunjung kemari
beberapa waktu yang lalu," sambil Suto terbayang saat menyeiamatkan
gadis bernama Ranti Ketawang dari tangan Harya Jipang, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode : "Ratu Maksiat").
Sambung Suto lagi, "Bukankah dia adalah kakek-^ nya Ranti
Ketawang, Bi?"
"Benar. Ranti Ketawang itu juga keponakanku, kakak sepupunya
Riandawi."
"Ooooo.,."!" Pendekar Mabuk manggut-manggut.
"Branjang Hantu adalah pamanku."
"Oooo...," Suto Sinting melongo lagi lebih panjang.
"Lalu. siapa perempuan tua yang sekarang sedang mendesak Ki
Branjang Hantu itu, Bi?"
"Dia itulah buronan kami," jawab Bibi Layunggini. Jawaban itu
membuat Suto Sinting memandang si perempuan dengan dahi berkerut.
"Maksud Bibi... perempuan tua bertubuh sekal itu adalah si Tabib
Sesat?" "Siapa !agi kalau bukan dia!"
Detak jantung menjadi cepat. Pendekar Mabuk mulai tampak tak
sabar. Dadanya bergemuruh menahan desakan hasratnya untuk menerjang


Pendekar Mabuk 113 Tabib Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

si Tabib Sesat itu. Tapi Bibi Layunggini menahannya dengan kata-kata
sederhana. "Tapi di mana Putri Merak yang diculiknya itu?"
Pertanyaan tersebut membuat Pendekar Mabuk menahan diri untuk
tidak menghambur dalam perta- rungan. Kelihatannya, Branjang Hantu
sendiri masih mampu menahan serangan-serangan si Tabib Sesat.
Pendekar Mabuk cepat mencari Putri Merak dengan pandangan tajamnya.
"Percuma saja kutumbangkan si Tabib Sesat jika aku tak tahu di
mana Putri Merak berada, dan bagaimana keselamatan jiwanya?" ujarnya
dalam hati. Maka 'uto pun tetap diarn d<; tempat dengan penuh waspada.
la tak mau bertindak gegabah yang dapat mengakibat- ksn pengejarannya
ke alam perbatasan itu menjadi sia-sia.
Tabib Sesat ternyata berusia belum terlalu tua, sekitar lima puluh
tahun. Entah itu usia asli atau usia sadapan dengan menggunakan ilmu
awet muda, yang jelas tubuhnya kelihatan tak terlalu kurus, dan di wajah-
nya masih ada sisa kecantikan masa lalu. la mengenakan jubah biru tua
berlengan panjang. Pakaian dalamnya pinjung penutup dada warna merah
dan kain penutup bagian bawah berwarna merah tebai.
Sekalipun dadanya masih tampak sedikit montok, sisa kecantikannya masih kelihatan, tapi Pendekar Mabuk tahu persis siapa
Tabib Sesat itu sebenarnya. Apa yang diketahuinya itu adalah sebuah
rahasia yang tidak banyak diketahui orang. Dan rahasia itu membuat bulu
kuduk Suto pun jadi merinding sesaat.
Bibi Layunggini masih bersembunyi di balik pohon; Tampak nya ia
takut diketahui Tabib Sesat, terlihat dari pancaran pandangan matanya
yang mengandung kecemasan. Namun ketika Pendekar Mabuk ingin ber-
gerak maju untuk berada lebih dekat lagi dari tempat pertarungan itu,
tangan Layunggini buru-buru mencekal pundak Suto.
"Jangan bertindak dulu. Pelajari dulu jurus-jurusnya, siapa tahu
kau bisa temukan kelemahan jurus- jurus si Tabib Sesat itu!"
"Benar juga!" ujar Suto dalam hatinya. Namun di mulut ia berkata
lain. "Ki Branjang Hantu semakin terdesak, Bibi."
"Pamanku masih bisa mengatasinya."
"Mengapa Bibi tidak segera turun tangan membantu paman?"
"Aku tak ingin dilihat oleh si Tabib Sesat, sebab dia pasti
mengincar kunci Kui! Prana Dewa! Aku bisa dibunuhnya demi mendapatkan
kunci pembuka pintu kuil. Dan... ilmuku mernang tak sebanding jika harus
melawannya."
Pendekar Mabuk menggumam lirih dan manggut- manggut.
Perhatiannya kembali diarahkan kepada per- tarungan tanpa suara itu.
la melihat gerakan Tabib Sesat memang cepat dan penuh tipu daya.
Branjang Hantu terkena pukulan beberapa kali. Setiap pukulan yang
mengenai lawan selalu menghembuskan asap putih kehitaman.
Kini mereka mengadu tongkat. Hantaman tongkat menimbulkan
percikan cahaya merah dan semburan asap, namun tetap tanpa ledakan
sekecil apa pun. Bahkan suara tongkat dengan tongkat beradu pun tidak
terdengar dari tempat Suto berada.
Adu tongkat itu membuat tubuh si Branjang Hantu terlempar ke
belakang. Tubuh si Tabib Sesat juga ter- lempar ke belakang.
Punggungnya menabrak pohon. Tapi tiba-tiba tubuh itu dapat lolos
melewati pohon ba- gai bayangan tanpa raga. Blees...! Tabib Sesat berdiri
tegak dengan cepat di balik pohon yang diterabasnya itu.
"Gila! Rupanya dia punya ilmu bayangan yang membuatnya dapat
menembus pohon"!" gumam Suto Sinting dengan pelan, didengar oleh Bibi
Layunggini, sehingga perempuan itu pun segera berkata pelan juga.
"itulah salah satu kehebatan ilmunya! Kau harus cari kelemahan
ilmu itu agar tak celaka jika berhadapan dengannya."
"Bibi di sini saja! Aku akan berada lebih dekat ke sana.
Kelihatannya Ki Branjang Hantu terluka dalam akibat pukulan Tabib Sesat
tadi. Aku akan menjagai keselamatan Ki Branjang Hantu."
"Tapi, Suto...," Layunggini tak sampai teruskan kalimatnya, karena
anak muda itu tiba-tiba sudah melesat dan berada di balik gugusan batu
berwarna kuning kunyit yang tingginya sebatas pundak orang dewasa.
Pendekar Mabuk mengendap-endap di balik batu besar itu.
Branjang Hantu masih bisa tegak kembali. la me- mainkan
tongkatnya dengan gerakan cepat, lalu tongkat itu ditancapkan ke tanah.
Jruub...! Branjang Hantu lepas tongkat, bersiap hadapi lawannya dengan
tangan kosong. Sang lawan mendekat dengan masih menggenggam tongkat.
"Branjang Hantu!" terdengar suara Nini Kembang Kempis yang
terlontar dengan lantang itu.
"Kuingatkan sekali lagi padamu, jangan coba-coba berniat menjadi
satria di depanku! Jika kau masih ber keinginan untuk rnenangkapku, maka
nyawarnu sendiri yang akan kutangkap dan kumasukkan ke dalam raga
seekor babi hutan di Permukaan Bumi nanti!"
"Kalau kau tak mau kutangkap dan kuserahkan kepada Dewa Tanah,
maka kau harus rela kehilangan rohmu yang akan kukirim ke neraka
jahanam!" Tabib Sesat tersenyum sinis. "Kau tak akan unggul melawanku,
Branjang Hantu! Jika Dewa Tanah saja bisa kuiukai separah itu, mengapa
kau tidak"! Bukankah kau tahu aku menguasai ilmu 'Siksa Abadi' yang
sangat dahsyat itu"!"
"Menggunakan ilmu 'Siksa Abadi' adalah suatu pelanggaran yang
tak terampuni lagi! Oleh sebab itulah kau harus diadili, bila perlu
dipancung di sini juga!"
Tabib Sesat geleng-geleng kepala sambil tangan kirinya bertoiak
pinggang. "Rupanya semakin tua kau semakin bandel, Branjang Hantu! Jika
mernang begitu, kau pun layak mendapatkan ganjaran 'Siksa Abadi'
dariku, seperti ganjaran yang diterima oleh si Dewa Tanah itu! Bersiaplah
untuk modar secara periahan-lahan, Branjang Hantu!"
Nini Kembang Kempis membuka jurus baru. Kaki kanannya ditarik
ke belakang, kaki kirinya rendah ke depan. Tongkatnya yang berkepala
bola bemkir itu diangkat aebatas teiinga, sedangkan tangan kirinya
menggenggam kuat di depan dada kiri.
Suto membatin, "O, rupanya ilmu 'Siksa Abadi' adalah ilmu yang
berbahaya dan tak boleh digunakan dalam hukum persiiatan di Dasar
Bums ini. Dewa Tanah terluka oleh ilmu itu, dan membuat Tabib Sesat
diburu oleh para tokoh aliran putih, sehingga Tabib Sesat melarikan diri.
Hmmm....! Tapi mengapa ia melarikan diri"! Bukankah sebenarnya ia bisa
melawan para pengejarnya dengan ilmu'Siksa Abadi' itu"!'
Kecamuk batin Suto dihentikan karena perhatian- I nya segera
dikembalikan pada gerakan berbahaya dari si Tabib Sesat. Ketika
Branjang Hantu menggosok telapak tangannya hingga menyala merah
seperti besi membara, TabibSesat melompat dengan gerakan berputar
cepat. Gerakan itu keluarkan kabut merah yang melapisi tubuhnya.
Tongkat si Tabib Sesat menyambar I kepala Branjang Hantu.
Wuuus...! Dengan cepat Pak Tua berjenggot putih 1 itu berguling ke
tanah sambil kibaskan tangan ke atas. 1 Cahaya merah menyerupai telapak
tangan itu melesat menghantam Tabib Sesat. Tetapi cahaya itu membalik
ke arah semula sebelum kenai tubuh Tabib Sesat, Claap...! Biaab...!
"Aaahk...!" Branjang Hantu terpekik karena cahaya merahnya
justrumenghantam dadanya sendiri. Sskujur tubuh Branjang Hantu
menjadi terbakar bagaikan besi membara. Kedua bola matanya pun
menjadi merah mirip batu lahar.
Sebentar kemudian, tubuh itu padam, kembali se perti semula.
Branjang Hantu terengah-engah dan berusaha bangkit kembali. Baru saja
berlutut, tiba-tiba tubuhnya menjadimerah membara dan ia memekik
kesakitan kembali.
"Aaahkk...! "Branjang Hantu pun tumbang ke tanah, mengerang-
erang dengan kelojotan bagai orang tersiksa yang amat menderita.
"Hmmm...!" Tabib Sesat mencibir sinis. "Sudah kuperingatkan kau
masih nekat. Bukan salahku jika kau termakan ilmu 'Siksa Abadi'-ku,
Branjang Hantu! Nik- mati saja siksaan sepanjang masa itu!"
Zuub...! Nyala api membara di tubuh Branjang Hantu padam
seketika. Tubuh itu hanya keluarkan asap ti- pis. Napas Branjang Hantu
terengah-engah kembali. la berusaha bangkit. Dengan sempoyongan ia
berdiri dan memandang lawannya penuh nafsu untuk membunuh.
"Keparat kau, Tabib Iblis! Terimalah... aaahkk...!"
Branjang Hantu mengejang dengan kepala terdo- ngak wajah
menyeringai. Sekujur tubuhnya terbakar kembali seperti tadi. la jatuh
berkelojotan, sementara si Tabib Sesat tertawa terkekeh-kekeh sambil
pandangi penderitaan Branjang Hantu. Orang berjubah biru tua itu
bagaikan sedang menikmati tontonan yang me- nyenangkan hatinya.
"0, rupanya seperti itulah keadaan orang yang terkena ilmu "Siksa
Abadi'..."!" pikir Suto Sinting dengan tegang. "Tapi kulihat tadi si Tabib
Sesat belum menyerang Branjang Hantu. la hanya melompat, menge-
pulkan kabut merah menyambar kepala Branjang Hantu dengan
tongkatnya, tapi luput. Lalu... lalu Branjang Hantu melepaskan pukulan
bercahaya merah. Tapi kembali ke arah semula dan mengenai dadanya.
Tiba- tiba dia menjadi terbakar, sembuh, terbakar, dan sembuh lagi,
terbakar lagi.... Oh. apakah sinar merah yang membalik arah itu
dinamakan ilmu 'Siksa Abadi'"!"
Tabib Sesat berkata, "Tapi kurasa kau tali perlu menderita seperti
itu. Kau bukan musuh utamaku,Branjang Hantu. Jadi sebaiknya kau segera
kukirim keneraka saja!"
Tabib Sesat mengangkat tongkatnya. Tongkat siap dihujamkan ke
dada Branjang Hantu. Pada saatitulah, Pendekar Mabuk bertindak cepat
dari persembunyian- nya. Jurus 'Jari Guntur' digunakan untuk menyerang
Tabib Sesat. Tess, tees...! Dua sentiian yang keiuarkan tenaga dalam cukup besar
melesat ke dada Tabib Sesat, Tapi rupanya Tabib Sesat mengetahui akan
datangnya gumpalan hawa padat yang rnembahayakan dadanya. Ia segera
melompat hindari hawa padat itu walauharus batalkan niatnya
menghujamkan tongkat ke tubuh Branjang Hantu.
Suuut..! Jleeg...! Tabib Sesat sudah berpindah tempat, sedikit lebih
jauh dari Branjang Hantu Gumpalan hawa padat dari sentilan 'Jari
Guntur' melesat terus dan mengenai sebongkah batu kuning suram yang
tingginya seukuran dada orang dewasa.
Prrakk...! Prool...!
Batu itu retak sebentar, lalu pecah menjadi bongkahan-bongkahan
sebesar genggaman tangan. Hati si Pendekar Mabuk merasa malu-malu
jengkel. Baru sekarang sentilan jurus 'Jari Guntur'-nya dapat dihindari
lawan. Mau tak mau ia harus mempertanggungjawabkan serangan diam-
diamnya tadi dengan melompat keatas sambil bersalto satu kali, karena
pada saat itu Nini Kembang Kempis alias si Tabib Sesat kirimkan pukulan
tenaga dalamnya tanpa sinar dan tanpa suara. Yang keluar dari sodokan
kepala tongkatnya hanya uap putih bagai dihembuskan dari mulut seekor
naga. Wuuus...!
Durrb...! Tenaga dalam itu kenai batu kuning kunyit yang dipakai
bersembunyi Pendekar Mabuk. Yang terdengar hanya suara batu meledak
dalam satu daya redam cukup tebal. Tak bisa didengar oleh orang yang
berjarak sepuluh langkah dari tempat batu tersebut berada. Ta- hu-tahu
batu itu hancur menjadi butiran kerikil yang menggunduk di tempatnya.
"Rupanya ada pemuda bodoh yang mau ikut dikirim ke neraka!" ujar
Tabib Sesat seperti bicara pada diri sendiri, tapi dilontarkan dengan
suara keras. Pendekar Mabuk melangkah lebih dekat lagi. Se- mentara itu, nyala
api membara di tubuh Branjang Hantu telah padam. Pak Tua itu berusaha
untuk bangkit, namun susah sekali. la merangkak mendekati tongkatnya
yang ditancapkan di tanah.
Tabib Sesat tampak curiga kepada pemuda yang dipandanginya
dengan mata mengecil itu. Suto Sinting beriagak tidak memperhatikan
Tabib Sesat. Pandangannya ditujukan kepada Branjang Hantu yang sudah
berhasil berdiri dengan berpegangan pada tongkatnya. Tapi ekor Mata
Suto tetap mewaspadai segala gerakan si Tabib Sesat.
"Minumlah tuakku, Ki Branjang Hantu."
"Kkau... kau si...."
"Ya, memang aku!" jawab Suto tegas. "Jangan banyak bicara dulu,
minumlah tuakku untuk memadamkan api yang akan membakarmu lagi itu,"
sambil Suto menyodorkan bumbung tuaknya.
"Pendekar Mabuk!" sentak suara Tabib Sesat. "Kau pasti si
Pendekar Mabuk yang telah membunuh beberapa muridku itu!"
"Sekarang justru gurunya yang akan kubuat menyusul murid-murid
sesat itu!" ujar Suto Sinting sengaja memancing emosi Tabib Sesat. Ia
tak jauh-jauh dari Branjang Hantu yang sedang menenggak tuak. Tabib
Sesat tampak berpikir beberapa saat. la tak mau langsung menyerang
Pendekar Mabuk, karena masih diliputi perasaan heran oleh sesuatu yang
tak diduga-duga sebelumnya.
"Ternyata anak itu bisa masuk ke alam sini"! Hmmm...! Pantas
murid-muridku banyak yang tumbang di tangannya! Pantas ia sukar
ditangkap oleh para utusanku!" ujar Tabib Sesat dalam hatinya. "Kurasa
dia harus segera kubereskan. Atau jika terlalu sulit, kutinggal kabur saja!
Aku harus segera menemukan si Layunggini untuk dapatkan kunci Kuil
Prana Dewa, dan membawa Putri Merak ke sana! Dengan memakan jantung
Putri Merak di dalam kuil itu, maka bukan saja umurku akan menjadi
panjang, tapi aku akan berubah menjadi lebih muda lagi!"
Pendekar Mabuk cepat ambil kembali bumbung tuaknya, khawatir
diserang secara tiba-tiba. Branjang Hantu terengah engah. Tubuhnya
tidak menyala merah lagi, tapi hawa panasnya masih menyengat jaringan
dalam tubuh. la meringis kepanasan sambil berlutut memegangi
tongkatnya. Suto Sinting tinggalkan Branjang Hantu untuk sementara,
karena Tabib Sesat mulai memainkan tongkatnya sambil berseru dengan
lantang. "Sekaranglah saatnya kau menebus kematian murid-muridku,
Pendekar Mabuk!"
"Di mana kau sembunyikan si Putri Merak itu"!" hardik Pendekar
Mabuk walau tetap dengan wajah seperti tak beremosi.
"Tak akan ada yang bisa menjamah Putri Merak! Lupakan tentang
dia, dan hadapi saja hukuman dariku ini! Hiaaat...!"
Tabib Sesat melompat cepat, menyambar kepala Suto Sinting
dengan ujung tongkatnya yang bundar itu. Pendekar Mabuk melenting ke
atas tanpa bersalto. la sengaja tidak menghindari terjangan itu,
melainkan bermaksud mengadu kesaktian bumbung tuaknya dengan
tongkat lawan. Seet...!
Blaaamm...! Benturan tongkat dengan bumbung tuak mengeluarkan cahaya
merah terang yang menyentak dalam sekejap. Bersamaan dengan itu,
keluarlah suara berdentam menyerupai ledakan yang menggunakan alat
peredam. Suara ledakan itu memang tak sekeras biasanya, tapi gelombang
daya sentaknya menghantam perut Pendekar Mabuk. Perut itu bagaikan
diterjang seekor banteng yang mengamuk. Selain membuat sukar ber-
napas, juga membuat tubuh gagah itu terpental hilang keseimbangan arah.
Wuuus...! Brruuk...!
Pada saat Suto Sinting terbanting, tubuh Tabib Sesat menembus
pohon bagaikan bayangan tanpa ra- ga. Blees...! la jatuh di semak-semak
berdaun kuning bening. Guzraak...! Tapi dalam beberapa kejap sudah
bangkit kembali dan siap melepaskan jurus barunya.
Pendekar Mabuk pun memaksakan diri untuk bisa tegak kembali.


Pendekar Mabuk 113 Tabib Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Napas ditarik dan ditahan dalam perut. Maka mengalirlah hawa murni ke
dalam perutnya, sehingga perut yang seharusnya memar membiru dan
sakit sekali dipakai bernapas itu menjadi berkurang rasa sakitnya.
"Kau memang keparat, Bocah Sinting!" geram Tabib Sesat. "Jangan
merasa bangga dulu dengan ilmumu! Kekuatanmu tak ada sekuku hitamnya
dibandingkan kekuatanku!"
"Serahkan Putri Merak atau kuhancurkan ragamu dengan bumbung
tuakku ini, Tabib Sesat!"
Suto lontarkan ancaman sebagai bukti ia tak pe- dulikan kata-kata
lawannya. Keberaniannya pun tampak tak berkurang sedikit pun. la
meiangkah ke sarn- ping menunggu reaksi lawan.
Ternyata sang lawan nekat menerjang Suto kembali dengan satu
lompatan secepat kilat. Wiizz...! Suto Sinting tak sempat menghindar.
Tapi ia segera menyilangkan bumbung tuaknya di depan dada sambil me-
lambung lurus ke atas. Suuut...!
Prrak...! Brruus...!
Bumbung tuak itu diterjang dengan telapak kaki si Tabib Sesat.
Akibatnya bumbung itu membentur dagu Suto sendiri. Tubuh Suto pun
terlempar kembali ke be- lakang dan jatuh berjungkir balik beberapa kali.
Pandangan mata Suto sedikit kabur. Kepalanya sakit sekali bagaikan
mau remuk. Tapi ia segera berdiri dengan satu kaki berlutut.
Ketika lawannya tampak menghantamkan tongkatnya ke arah
kepala, Pendekar Mabuk segera menadahkan bumbung tuaknya kembali
dengan dipegang kedua tangan.
Traang, blaaam...!
Terlambat sedikit saja, kepala Suto akan remuk karena terhantam
bagian ujung tongkat yang bundar berukir itu. Dengan berhasilnya
bumbung tuak dipakai sebagai penangkis hantaman tongkat lawan, Suto
Sinting terkapar dalam satu sentakan, karena ledakan yang timbul akibat
benturan itu mempunyai daya sentak yang kuat dan menyakitkan kepala,
membuat wajah terasa panas sampai sebatas pundak.
Tetapi si Tabib Sesat sendiri juga terlempar ke belakang dan jatuh
terpuruk dengan tulang-tulang tera- sa iinu sernua. Pada saat itu
Branjang Hantu dalam keadaan tidak kepanasan. la segera hantamkan
tongkatnya ke tubuh Tabib Sesat.
Wuuut,..! Traak...! Bluuub...!
Hantaman tongkat Branjang Hantu berhasil ditangkis oleh Tabib
Sesat dengan menyilangkan tongkatnya di atas tubuh dan dipegangi dua
tangan seperti Suto ta di. Tetapi tenaga dalam yang beradu melalui
tongkat itu membuat dada Tabib Sesat semakin terasa seperti di tindih
dengan batu besar. Sementara itu, Branjang Hantu sendiri terpental dan
jatuh berguling-guling dalam keadaan tongkat terlepas dari genggaman. la
bergegas bangkit, tapi hawa panas menyerang jaringan tubuhnya kembali,
sehingga ia terpaksa mengerang dengan tubuh melintir nungging di tanah.
Kesempatan itu digunakan oleh Tabib Sesat untuk segera berdiri.
Jleeg...! Satu ayunan pinggul membuat tubuhnya tegak kembali dalam
sekejap. Tetapi ternyata pemuda tampan yang dihadapinya itu sudah lebih
dulu berdiri tegak sambil menutup bumbung tuaknya, pertanda ia habis
menenggak tuak saktinya untuk meredam hawa panas yang menyerang
wajah sampai pundaknya itu.
"Kuakui, lumayan juga pertahananmu, Bocah Ingusan!" ujar Tabib
Sesat sambil manggut-rnanggut dengan sinis. "Tapi kau tetap tak akan
mampu meiawan jurus 'Siksa Abadi'-ku dengan seluruh kekuatanmu!"
"Jangan serang dial" Branjang Hantu berseru dengan suara berat.
Wajahnya yang menahan rasa sakit itu tampak tegang melihat Suto
Sinting sudah mu!ai memutar bumbung tuaknya.
"Jangan serang! Hindari saja dia!" tambah Branjang Hantu
membuat Suto Sinting merasa heran, akhirnya hentikan putaran bumbung
tuaknya. "Aku curiga dengan larangan itu! Ada apa sebenarnya"!" pikir
Pendekar Mabuk.
Tapi si Tabib Sesat memainkan tongkatnya dengan cepat, bagaikan
mengerahkan tenaga inti untuk keluarkan ilmu 'Siksa Abadi'. Dalam
sekejap tubuhnya mulai keluarkan kabut merah samar-samar.
"Tunjukkan.kekuatanmu, Bocah Ayan!" tantang Tabib Sesat. Tapi
Branjang Hantu berusaha melarang dengan seruan bernada berat.
"Jangan serang dia! Hindari saja.... Uuuhk!"
"Tutup bacotmu, Bibi!" bentak Tabib Sesat. Suaranya dirasakan
oleh Suto mengandung kecemasan tersendiri. Suto Sinting jadi penasaran
dan bertekad turuti seruan Branjang Hantu.
Maka ketika Tabib Sesat berkelebat menerjangnya bagaikan
cahaya kilat, Pendekar Mabuk lebih dulu pergunakan jurus 'Gerak
Silumannya untuk menghindar.
Wiiizz...! Zlaap...!
Pendekar Mabuk berada di tempat agak jau'h, sekitar delapan
langkah dari tempat Tabib Sesat daratkan kakinya. Terjangannya
menemui tempat kosong, dan
hal itu membuatnya semakin murka.
"Jangan lari kau, Pengecut! Hadapilah aku kalau kau ingin dapatkan
si Putri Merak itu!"
"Aku tidak akan lari, karena aku tahu rahasia kelemahanmu, Tabib
Sesat!" seru Suto Sinting sambil pasang kuda-kuda seperti orang mabuk
mau tumbang. "Hmmmh..!" Tabib Sesat mencibir meremehkan. "Kau bocah kemarin sore
tak akan mampu ungguli ilmuku, Nak!"
"Kita lihat saja hasilnya! Aku sudah memperoleh rahasia
kelemahanmu dari Randugara!"
"Hahh..."!" Tabib Sesat mendelik kaget. Rasa kagetnya itu tak
sempat ditutupi, walau kejap kemudian ia kembali bersikap liar kembali.
Tapi sinar matanya menunjukkan adanya kecemasan yang mulai
mengurangi nyalinya. Pendekar Mabuk tersenyum dengan tetap tak mau
melepaskan serangannya.
"Seranglah aku sekarang juga kalau kau memang tahu di mana letak
kelemahanku!" tantang Tabib Sesat, tapi hati kecilnya berkata, "Gawat!
Kurasa anak ini memang mengetahui rahasia kelemahanku, karena dia
menyebutkan nama Randugara! Murid keparatku itu pasti telah
membocorkan rahasia itu kepadanya! Aku harus segera tinggalkan anak
ini. Berbahaya sekali jika tahu-tahu serangannya langsung mengenai pusat
kelemahanku!"
Branjang Hantu masih menggerak-gerakkan ta- ngannya walau tak
bisa bicara. Tapi Suto Sinting me- ngerti bahwa Branjang Hantu tetap
melarangnya untuk lepaskan serangan ke arah Tabib Sesat.
"Jahanam! Cepat serang aku kalau kau mernang jantan!"
"Kita sama-sama jantan!" seru Pendekar Mabuk.
"Celaka! Dia benar-benar tahu siapa diriku!" sentak hati Tabib
Sesat. Tiba-tiba kakinya menghentak di tanah. Duuhk...!
Bluuub...! Tubuhnya bagaikan kepulkan asap putih tebal. Asap itu
segera sirna karena dihembus angin. Sosok perempuan berjubah biru pun
lenyap seketika itu juga.
"Dia... melarikan diri...!" ujar Branjang Hantu sambil terengah-
engah. Pada saat itu rasa panas dalam tubuhnya hilang kembali.
"Celaka! Ke mana perginya orang itu"!" tanya Suto Sinting kepada
Branjang Hantu, tapi matanya sambil memandang ke sana-sini dengan
tegang. 5 Kini Bibi Layunggini menjadi tahu, bahwa pemuda tampan itu
ternyata adalah si Pendekar Mabuk "yang sering didengarnya dari mulut
para tokoh persilatan. Hati perempuan itu menjadi kian berdebar- debar
kegirangan, karena ia merasa bangga dapat bertemu dengan tokoh muda
yang menjadi pujaan para wanita dan pujian para tokoh aliran putih itu.
"Pantas dia berani melawan si Tabib Sesat"! Kaiau dia bukan
Pendekar Mabuk, mana berani dia melakukan pengejaran kemari"!" gumam
hati Layunggini.
"Oh, sebaiknya aku tak boleh hanyut dulu dengan rasa banggaku ini.
Bagaimana keadaan Paman Branjang Hantu itu"! Ooh, dia tersiksa sekali!
Apakah tuak saktinya Pendekar Mabuk tak srtampu sembuhkan luka bakar
yang diderita pamanku itu"!"
Tuak sakti Pendekar Mabuk hanya bisa untuk me- ngurangi rasa
panas pada orang yang terkena ilmu 'Siksa Abadi'-nya si Tabib Sesat.
Rasa panes itu berkurang sedikit sekali. tubuh si penderita hanya bisa ti-
dak tampak merah membara. Tetapi jika kekuatan 'Siksa Abadi' itu
datang kembali, si penderita tetap rasakan sesuatu yang menyengat panas
dalam jaringan tubuhnya.
"Ini masih mending, ketimbang penguasa tertinggi kami; Sang Dewa
Tanah!" ujar Layunggini yang berani lampakkan diri setelah Tabib Sesat
lari tinggalkan tempat.
"Dewa Tanah masih sering meraung-raung kesakit- an jika panas
'Siksa Abadi' itu datang. Tubuhnya masih sering menjadi merah
terbakar, lalu padam beberapa saat, dan terbakar lagi, begitu seterusnya.
Sampai sekarang belum ada obat yang dapat untuk mengatasi keku- atan
ilmu 'Siksa Abadi' itu," tutur Branjang Hantu saat tidak diserang rasa
panas. "Karena itulah si Tabib Sesat dicari-cari oleh Nirvana Tria,"
sambung Layunggini, 'Sebab.... Nirwana Tria sudah diberi tahu rahasia
kelemahan Tabib Sesat oleh kakeknya: Sang Dewa Tanah itu. Tetapi sama
hal- nya dengan dirimu, Mirwana Tria terlepas kata bahwa dia mengetabui
rahasia Tabib Sesat, sehingga tabib Iblis itu melarikan diri sebelum
berhasil dikalahkan oleh Nirwana Tria. la bersembunyi di Permukaan Bumi,
tapi Nirwana Tria gaga! menemukan tempat persembunyiannyal"
Pendekar Mabuk rnenggumam pendek, kemudian ajukan tanya
kepada Layunggini.
"Lalu, bagaimana cara menghindari ilmu 'Siksa 1 Abadi'-nya itu,
Bibi?" "Jangan menyerang!" sahut Branjang Hantu.
"Ya. Jangan menyerangnya pada saat tubuhnya kabutmerah. Kabut
merah itulah tanda bahwa ia menggunakan ilmu 'Siksa Abadi'. Jika ia
diserang, maka serangan akan membalik mengenai kita. Bahkan sebelum
serangan itu kita lepaskan, bisa-bisa sudah membalik mengenai tubuh
kita. Tak dapat dihindari lagi. Sekecil apa pun serangan yang akan kita
gunakan, dapat membakar tubuh kita dan... membuat kita tersiksa
sepanjang masa, sebelum garis ajal tiba! Oleh karena itu, banyak para
tokoh yang terpaksa segera lakukan bunuh diri jika sudah terkena ilmu
'Siksa Abadi' itu, sebab mereka tak sanggup hidup tersiksa selamanya!"
"Ilmu yang aneh...," gumam Pendekar Mabuk, kemudian diam
termenung beberapa saat.
Branjang Hantu berkata kepada Layunggini.
"Panas itu menyerangku lagi. Oouhk...!" Branjang Hantu mengerang
kesakitan dengan tubuh meliukturun dan berlutut memegangi tongkatnya.
"Layunggini... bunuh saja aku! Bunuh sekarang juga! Aaahk...!"
Layunggini bimbang, namun memandang dengan wajah penuh iba.
Suara yang merintih itu sangat meng- iris hati. Layunggini tak tega. la
segera mengencangkan genggaman tangannya.
"Paman, maafkan aku...."
Pendekar Mabuk mengerti maksud Layunggini. Perempuan itu akan
menghantamkan pukulan yang mematikan kearah Branjang Hantu. Oleh
sebab itu, Pendekar Mabuk segera mencekal lengan Layunggini.
"Tunggu! Jangan lakukan hal itu, Bibi!"
"Siksaan ini harus dihentikan, Suto!"
"Ya, aku tahu, Bi! Tapi tidak harus dengan cara membunuh Ki
Branjang Hantu. Baru saja kuingat ramuan obat yang berkhasiat tinggi.
Aku harus mencari Batu Tembus Jagat. Jika batu itu dicampur dengan tu-
akku, maka akan menjadi satu ramuan obat yang berkhasiat tinggi. Kurasa
bisa dipakai untuk mengalahkan kekuatan 'Siksa Abadi' itu, Bi!"
"Batu Tembus Jagat..."!" gumam Layunggini bernada heran. la tak
menyangka pemuda tampan itu mengetahui adanya batu ajaib yang dapat
untuk sembuhkan penyakit berbahaya itu.
Maka terbayang di benak Layunggini tentang sebuah gua berbatu
indah, yaitu Gua Mahkota Dewa. Di dalam gua itulah terdapat Batu
Tembus Jagat yang mempunyai kekuatan ajaib itu, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode : "Penjara Terkutuk").
"Sebaiknya, kita bawa Ki Branjang Hantu ke sebuah tempat yang
aman, Bibi! Aku akan mencari Batu Tembus Jagat sambil memburu si
Tabib Sesat!"
Layunggini bertanya kepada Branjang Hantu, "Paman mau kami
bawa ke Kuil Prana Dewa?"
Branjang Hantu tidak bisa menjawab karena menahan rasa sakit.
Tapi Pendekar Mabuk memutuskan untuk membawa Branjang Hantu tanpa
menunggu pertimbangan tokoh tua itu. Bibi Layunggini pun segera menjadi
pemandu arah menuju Kuil Prana Dewa. Di sana ia punya tempat tinggal
sendiri sebagai juru kunci kuil keramat tersebut.
"Semakin banyak minum tuakmu, semakin lama jarak kambuh
panasnya," ujar Bibi Layunggini sambil memperhatikan Branjang Hantu
yang dibaringkan di atas dipan bambu.
"Syukurlah jika beliau sekarang bisa tertidur," ujar Suto Sinting
sambil menghembuskan napas lega.
Branjang Hantu memang diminumi tuak banyak- banyak oleh
Pendekar Mabuk. Ternyata semakin banyak meminum tuak, semakin lama
jarak kambuhnya. Semula dalam dua puluh hitungan, Branjang Hantu me-
rasa kepanasan lagi. Tapi setelah diminumi tuak sakti itu, lima puluh
hitungan baru terasa panas lagi. Suto meminumkan tuaknya lagi, sampai
akhirnya Branjang Hantu bisa tertidur.
| "Tuakku hampir habis, Bibi," ujar Suto Sinting seraya
mengguncang-guncang bumbung tuaknya, dan terdengar bunyi kemerucuk
air tuak dalam bambu sebatas satu jengkal dari dasar bumbung itu.
"Aku harus mengisi bumbung tuakku lagi, Bibi! Dapatkah Bibi
tunjukkan di mana ada kedai penjual tuak di sekitar sini, Bibi?"
"Di sini tidak ada orang menjual tuak," kata Layunggini. "Tapi aku punya
simpanan arak untuk pesta malam penyembahan yang akan dilakukan
pada lima purnama mendatang."
"Arak.,."!" gumam Suto Sinting agak ragu, Karena menurutnya arak
dan tuak itu berbeda, walaupun sama- sama memabukkan jika diminum
terialu banyak.
"Tapi daripada bumbung tuakku nanti kosong, kurasa arak pun tak
jadi soal," ujarnya dalam hati.
"Kalau kau mau, kau bisa mengisi bumbungmu dengan Arak Suci."
Layunggini menuju ke sudut ruangan. Di sana ada dua guci arak.
Satu guci arak jika dituang ke bumbung tuak tidak akan membuat
bumbung itu penuh. Tapi lumayan bisa buat persediaan melawan Tabib
Sesat nanti. "Arak Suci ini dipakai dalam pesta adat bukan untuk mabuk-
mabukan, meiainkan untuk menyucikan darah kami masing-masing dari
kesalahan-kesalahan yang tidak kami sadari. Itu menurut kepercayaan
hukum adat kami," tutur Layunggini.
"Boleh kuminta satu guci, Bi?"
"Boleh saja. Tapi apakah khasiat tuakmu tetap akan sama jika
dicampur dengan Arak Suci ini"!"
Pendekar Mabuk diam sebentar mempertimbang- kan. Pertanyaan
itu membuat hatinya menjadi lebih bimbang lagi. Maka sebagai percobaan,
Suto menuang sedikit tuaknya ke dalam cangkir keramik, lalu rnen- cam
purkan sedikit Arak Suci ke dalam cangkir itu.
"Kalau memang khasiatnya sama, aku akan pergi berbekal tuak itu,
Bi. Tapi kalau tidak berkhasiat, lebih baik aku pergi dengan membawa sisa
tuak ini," ujar Suto Sinting sambil pandangi cangkir keramik yang berisi
air tuak campur arak sebanyak sekitar tiga te~ gukan itu.
Pendekar Mabuk cicipi rasa tuak itu satu teguk, lalu dikecap-
kecapnya sebentar.
"Hmmm... rasanya aneh. Seperti minum air pandan. Tapi... tapi di
badan terasa sedikit panas"!"


Pendekar Mabuk 113 Tabib Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Coba kucicipi sedikit," pinta Layunggini. Perempuan itu pun
mencicipi seteguk, lalu lidahnya mengecap-ngecap untuk rasakan tuak
campuran arak itu.
"Hmmm, ya... rasanya seperti minum air pandan. Padahal Arak Suci
rasanya tidak seperti ini," ujar Layunggini. la menghabiskan separuh sisa
tuak dalam cangkir. Semakin jelas rasa pandannya. Nikmat, segar, tapi
darah yang mengalir ke sekujur tubuhnya menjadi sedikit panas.
Suto Sinting menghabiskan sisa tuak dalam cangkir itu.
"Detak jantungku menjadi lebih cepat," ujar Layunggini sambil
menghembuskan napas panjang. la rnelangkah masuk ke sebuah kamar
bertirai kain merah.
"Benar juga," pikir Suto. "Detak jantung menjadi lebih cepat.
Tapi... tapi debar-debar ini membawa kein- dahan tersendiri. Hmmm,
keindahan apa ini"!"
Semakin lama debar-debar itu semakin jelas. Se- bentuk
kegembiraan yang tak tahu dari mana asalnya mulai memenuhi ruang hati
Pendekar Mabuk. Tentunya yang dirasakan Layunggini juga begitu.
Badan makin terasa panas. Keringat mulai tersum- bui dari pori-
pori tubuh kekar Pendekar Mabuk. Benak pun ikut dipenuhi bayang-
bayangan indah tentang ke- romantisan.
"Celaka! Mengapa hatiku berdebar-debar seperti orang sedang
kasmaran"!" gumam hati Suto. "Apakah Bibi Layunggini juga begitu"!"
Sambil rnenenteng bumbung tuaknya, Pendekar Mabuk nekal
menyusui Layunggini masuk ke kamar bertirai kain merah. Tersentak
hatinya, makin berdetak kuat jantung manakala kedua matanya
memandang keadaan Layunggini. Perempuan itu melepas kain jubahnya,
juga mengendurkan kain pinjung penutup dada sambil duduk di tepi
pembaringan. Ketika Suto Sinting menyingkapkan tirai merah dan tersentak
dengan suara lirih, Layunggini memandang dengan senyum aneh.
"Masuklah. Ini kamar tidurku," ujar Layunggini, tapi Suto Sinting
tetap diam di tempat dengan mata terbelalak. Layunggini menghampirinya,
kemudian menggandeng tangan Suto Sinting untuk mendekati ranjang.
"Aku terpaksa buka jubah, karena badanku terasa panas sekaii,"
Layunggini berujar sambil membawa Suto duduk di pembaringan. Wajah
separuh baya yang masih punya nilai kecantikan sangat matang itu sengaja
menghadap ke arah Suto bagai memamerkan senyum naka!, Kedua matanya
yang masih mempunyai buiu lentik itu mulai tampak sayu.
"Kau tampan sekali, Suto," ujarnya membisik.
"Kenapa jadi begini"' gumam Suto masih benada heran. la
memandang tangannya yang sedang diremas-remas oleh Layunggini.
Remasan tangan itu bagaikan bara api yang mulai terasa membakar
gairahnya. Hasrat untuk bercumbu mulai bergolak, seakan batin menun-
tut kehangatan dan kemesraan untuk menyempurnakan perasaan indah
yang menaburi hatinya.
"Di kamar ini aku selalu hidup dalam kesepian, Suto. Tapi sekarang
rasa-rasanya hidupku mulai terisi kembali. Entah sampai berapa lama,
yang jelas... yang jelas sekarang hatiku gembira sekali, Suto. Kau tahu apa
yang membuatku gembira?"
"Karena kita berdua di sini?"
"Ya, dan... dan aku bergairah sekali, Suto. Maukah kau... maukah kau
mencium pipiku, Suto?"
Pertanyaan yang bernada desah diiringi senyum memikat dan
pandangan mata sayu menggairahkan itu telah membuat dada Suto Sinting
semakin bergemuruh, Hati kecilnya ingin menolak tawaran Layunggini, tapi
hasratnya semakin memanas dan tak bisa lakukan penolakan tersebut.
Suto Sinting pun menempelkan bibirnya di pipi Layunggini setelah
sungging senyumnya mekar meng- goda hati. Kecupan lembut di pipi itu
terasa menga- lirkan getaran cinta ke sekujur tubuh Layunggini. Itulah
sebabnya tangan kiri Layunggini meremas paha Suto Sinting dengan
lembut. Tangan itu akhirnya bergerak merayap naik perlahan-lahan ketika
mereka beradu pandangan mata. Gerakan tangan sampai di pangkuan Suto,
menyentuh kehangatan yang menjadi kebanggaanhya. Layunggini
meremas kehangatan itu pelan-pelan.
"Ooooh... sudah lama aku tak menggenggam ini, Suto. Dan... dan
kelihatannya apa yang kau punyai melebihi apa yang dimiliki mendiang
suamiku dulu."
"Bibi mau memakainya?" bisik Suto Sinting dengan kedua tangan
mulai berani merayapi sekitar leher dan rahang perempuan itu. Kini justru
satu tangannya turun dan menerobos pinjung penutup dada. Suto Sinting
menemukan sesuatu yang masih terasa padat dan sekal di balik pinjung
penutup dada tersebut. la mengu- sap ujung-ujung bukit itu dengan
sentuhan mesra sekali.
Layunggini meresapi sentuhan itu dengan mata sedikit terpejam.
Bibirnya merekah bagai menanti ke- cupan hangat dari lawannya. Suto
Sinting pun mende- katkan wajah, lalu lidahnya bermain di permukaan
bibir tersebut. Layunggini merasa dibuat penasaran, akhir- nya ia
menyambar lidah Suto dan memagutnya dengan lembut sekali.
"Oohhhh...!" Layunggini mendesah panjang ketika kecupan itu
dilepaskan. Gairahhya semakin berkobar, demikian pula halnya dengan
gairah Pendekar Mabuk.
Pemuda itu bagai melambung ke awang-awang ketika Layunggini
menciumi Jehernya dengan kecupan kecil dan sapuan lidah yang nakal.
Jiwa pemuda tampan itu seakan melayang-layang hingga lupa pada calon
istrinya yang bernama Dyah Sariningrum, ratu di negeri Puri Gerbang
Surgawi, di Pulau Serindu.
Pagutan mulut dan sapuan lidah Layunggini merayap turun
menyusuri dada bidangnya Suto Sinting. Kedua tangannya sempat
menyingkapkan baju coklat tanpa lengan itu, sehingga kini Suto telah
bertelanjang dada. Wajah Layunggini mendusal-dusal di sekitar dada
kanan-kiri, membuat gigitan kecil yang memercikkan api asmara berkali-
kali. "Ooh, Bibi... kenapa begini" Kenapa... kenapa aku tak bisa menahan
gairahku yang... yang... ooh, Bibi...." Suto Sinting membisik makin lirih
ketika Layunggini berkstut di depannya, sementara kain ikat pinggang
Suto yang berwarna merah itu sudah dilepasnya. Sesuatu yang hangat
dikeluarkan oleh tangan perempuan itu, lalu disantapnya dengan lahap
sekali. Suto Sinting terbeliak nikmat ketika pagutan-pagutan mulut
Layunggini itu semakin liar. Pemuda itu justru sedikit merebah- kan badan
ke belakang dengan kedua tangan bertumpu di tengah ranjang.
"Ooooh.... Suto, aku... aku ingin sekali! menikmatinya. Bolehkah
kunikmati sendiri, Suto...?"
"Naiklah, Bibi. Duduklah di pangkuanku. Tapi... lepaskan dulu kainmu
itu." Mereka tak sadar bahwa minuman tuak campur Arak Suci itu telah
membangkitkan saraf birahi siapa pun yang meminumnya. Ternyata tuak
yang berasal dari bumbung bambu sakti itu tidak boleh dicampur dengan
Arak Suci tersebut. Jika dicampur akan metigu- bah kedua minuman itu
menjadi racun pembakar gairah bercumbu siapa pun peminumnya. Juga,
dapat melam- bungkan jiwa mereka kekhayalan indah tentang
percumbuan. Dan jika sudah begitu, siapa pun peminumnya akan sulit
menghindari dorongan bercinta yang berkobar-kobar besar sekali itu.
Terbukti, seorang pendekar sakti seperti Suto Sinting pun tak
berhasil mengekang dorongan gairahnya, sehingga ia lupa pada dirinya dan
lupa segala-galanya. Yang ada dalam benak dan hatinya adalah memburu
kemesraan bersama lawan jenisnya, tak peduli siapa lawan jenis yang ada
di dekatnya. "Cepat naik dan lepaskan kainmu, Bibi...," desak Suto Sinting.
"Oh, ya... harus kulepas dulu biar lebih indah lagi, oouh... uuh...,"
suara Layunggini terkesan gemetar, ge- rakannya terburu-buru, napasnya
pun sudah mulai tak teratur.
Tapi tiba-tiba ia mendengar suara teriakan keras dari si Branjang
Hantu. "Aaaahhhhkkk...!!"
Teriakan keras dan panjang itu membuat keduanya tersentak kaget
dan meloinpat turun dari ranjang ketika kedua kaki Layunggini ingin
menduduki Suto Sinting. Mereka bergegas merapikan pakaian dan
Layunggini lebih dulu melesat keluardari kamar.
"Paman, ada apa..."!"seru suara Layunggini.
"Ooohk, panas lagiiiL!" ratap Branjang Hantu terdengar dari kamar.
Suto Sinting menghembuskan na- pas lega. Ternyata hawa panas yang
membakar jaring- an tubuh Branjang Hantu datang kembali dan menyiksa
Pak Tua itu. Pendekar Mabuk yang sudah telanjur mengenakan pakaian lagi itu
segera sadar akan tindakan yang baru saja dilakukan bersama Layunggini.
Rupanya sentakan kaget itu memulihkan kesadarannya yang telah dibuat
mabuk asmara oleh campuran tuak dengan arak tadi.
"Gila! Apa yang hampir kulakukan tadi bersama Bibi Layunggini"!
Ooh... celaka! Hampir saja aku terjerumus dalam pelukan asmara Bibi
Layunggini!"
Pendekar Mabuk buru-buru menenggak tuaknya sedikit. Tuak itu
semakin menenangkan gemuruh hati yang tadi susut akibat sentakan rasa
kagetnya. Sang bibi kembali ke kamar dengan wajah masih berkeringat.
"Pamanku kambuh lagi!"
"Tuakku tinggal sedikit. Tak bisa diberi campuran tuak dengan
Arak Suci itu. Hampir saja kita terjebak dalam kobaran asmara akibat
minum campuran tuak dengan Arak Suci itu, Bibi!"
"Yaaah... aku pun baru menyadari. Tapi... gairahku masih memburu
terus,..."
"Minum tuak murniku ini sedikit saja."
Layunggini se gera menenggak tuak sakti Pendekar Mabuk. Kobaran
hasrat cintanya memang mereda, tapi celakanya tuak dalam bumbung
semakin menipis lagi. Padahal, Branjang Hantu merintih-rintih memilukan
hati karena penderitaannya. Suto Sinting tak tega. la harus memberinya
minum dengan sisa tuak dalam bumbung saktinya itu. Tentu saja hai itu
akan membuat tuak semakin habis.
* * * 6 Tabib Sesat tak sabar menunggu saat terbaik untuk membelah
dada Putri Merak dan memakan jantungnya. Ketika ia mendapat laporan
dari Jagaloya tentang kegagalannya merebut kunci Kuil Prana Dewa, Tabib
Sesat memutuskan untuk menjebol pintu ruang suci di kuil keramat
tersebut. "Dasar bodoh! Kau manusia tak berguna iagi, Jagaloya! Murid
keropos!" geram Tabib Sesat dengan murkanya akibat kecewa melihat
hasil kerja Jagaloya.
"Riandawi ikut campur, Guru! Dan...."
"Dan kau lebih baik kubunuh daripada dibunuh pihak lawan! Hiah..!"
Sreet...! Tongkatdikibaskan dengan cepat. Jagaloya terkejut sekali,
karena tak menyangka sedikit pun akan disabet ujung bawah tongkat
gurunya. Sabetan itu tidak kenai tubuh Jagaloya, tapi angin sabetannya
mempunyai ketajaman seperti mata pedang.
Jagaloya tak sempat terpekik, karena tiba-tiba lehernya putus dan
kepalanya jatuh menggelinding sebelum tubuhnya tumbang ke belakang.
"Guru...!" Jagaloya sempat bersuara serak satu kali, walau
kepaianya telah terpisah dari raganya. Setelah itu ia tak dapat bersuara
apa pun dan kedua mata nya se- tengah terpejam.
Putri Merak ternyata dalam keadaan terkena pengaruh totokan
Tabib Sesat. Darahnya menjadi beku, urat-uratnya kaku seperti kawat. la
seperti mayat mati suri. Tak bisa bergerak sedikit pun. Bahkan tak
mampu mengingatapa-apa.
Tabib Sesat memanggul tubuh Putri Merak, lalu melesat menuju
Kuil Prana Dewa.
"Semakin lama tertunda, semakin banyak perintangku. Kuil itu
harus kujebol dan jantung anak ini harus segera kumakan di sana! Hik, hik,
hik, hik!"
Tabib Sesat menyangka Layunggini tidak berada di kuil tersebut.
Oleh sebab itulah ia memutuskan untuk segera menjebol pintu kuil. Tetapi
ketika ia tiba di pelataran depan kuil berbenteng batu hitam bening itu,
tiba-tiba langkahnya terhenti oleh munculnya sekelebat bayangan cepat
yang menerjangnya dari samping. Wees...! Bruuus...!
"Setaaaan...! Uuhk...!" Tabib Sesat berguling-guling. la merasa
diterjang oleh serombongan banteng yang tak bisa dihindari lagi.
Tubuhnya terpental sejauh dua puluh langkah dari tempatnya diterjang
tadi. Putri Merak pun terpental lepas dari pundaknya, jatuh terbanting
sejauh sekitar delapan langkah dari tempat Tabib Sesat berada.
"Monyet burik!" geram Tabib Sesat, kemudian ber- gegas bangkit
dengan menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Ia memandang dengan
tajam ke arah orang yang menerjangnya itu.
"Oo, rupanya kau bisa sampai sini juga, Rupa Setan!" seru Tabib
Sesat dengan murka.
"Seperti kau ketahui sendiri, Tabib Sesat... biarpun wilayah alam
perbatasan ini sangat luas, tapi toh aku masih mampu menemukan
congormu di sini, Tabib Sesat!" ujarperempuan cantik sekali yang
mengenakan jubah hijau dengan penutup dada dan celana panjang warna
kuning itu. Rupanya diam-diam Tabib Sesat pernah mendengar percakapan si
Rupa Setan dengan tokoh lain yang habis ditolongnya, sehingga ia tahu
bahwa perempuan montok berwajah cantik itu berjuluk si Rupa Setan
dengan nama aslinya Anjardini.
Suara teriakan murka Tabib Sesat itu terdengar sampai di
kediaman Layunggini. Pendekar Mabuk dan Layunggini segera keluar.
Mereka terperanjat melihat Tabib Sesat sudah berhadapan dengan
seorang lawan yang sangat dikenal oleh Pendekar Mabuk.
"Anjardini...!" sapa Pendekar Mabuk sambil berkelebat cepat
mendekati si Rupa Setan.
Zlaaap.J Jleeg...! Pendekar Mabuk ada di samping kanan Rupa
Setan. Perempuan cantik itu terkejut melihat Suto sudah bukan manusia
serigala lagi. Tapi ia tak sempat tanyakan siapa penyembuhnya, karena
Tabib Sesat yang sangat kecewa melihat pemuda tampan itu ada di
tempat tersebut, segera lepaskan serangan bersinar merah menyerupai
tombak panjang. Sinar merah itu keluar dari kepala tongkatnya.
"Binasalah kalian berdua! Heeaah...!"
Cralaap...! "Awas...!" seru Anjardini segera melepaskan pukulan bersinar dari
telapak tangannya. Sinar yang keluar dari telapak tangan Anjardini adalah
sinar hijau sebesar jeruk peras. Claap...!
Blegaaaarrr...!!
Ledakan dahsyat terjadi pada saat sinar merah dan sinar hijau itu
saiing bertabrakan di pertengahan jarak. Alam sekitarnya berguncang
hebat. Batu-batu besar menjadi retak, pepohonan pun sempat ada yang
ter- beiah, dahan-dahan patah dan jatuh berdebum di sana- sini. Mereka
yang ada di sekitar tempat itu saiing oleng terhuyung-huyung karena
tanah tempat mereka berpijak diguncang gempa bergelombang-
gelombang. Ketika suasana gaduh itu menjadi tenang kembali. Pendekar Mabuk
sudah berada di dekat Putri Merak. Tabib Sesat menjadi semakin murka
dan khawatir sekali Putri Merak disambar oleh Suto Sinting.
"Berani menyentuh gadis itu, kuhancurkan kepalamu dari sini, Bocah
Keparat!" sentaknya keras. Sebuah pukulan jarak jauh tanpa sinar dan
tanpa suara di- lepaskan dari tangan kiri Tabib Sesat. Wees...! Buuhk...!
Suto Sinting tak sempat menghindar karena cepatnya hawa padat
yang mengarah padanya. Walau ia melompat dengan maksud menghindar,
tapi pahanya masih sempat tersambar hawa padat itu, sehingga tubuhnya
terpelanting dan jatuh agak jauh dari Putri Merak. Brruk...!
"Aoow...!" pekik Suto Sinting yang merasa pahanya bagaikan


Pendekar Mabuk 113 Tabib Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dihantam dengan sebongkah batu besar. Rasa memar dan sakit pada
tulang memang terasa menjalar di sekujur tubuh, tapi Pendekar Mabuk
tidak peduli. ia segera bangkit dengan terpincang-pinoang.
"Jangan beri kesempatan dia menggunakan ilmu 'Siksa Abadi'!"
suara lantang itu datang dari Layunggini. Seruan itu membuat Tabib
Sesat berpaling ke arah si penjaga kuil keramat.
Pada saat itulah, si Rupa Setan mencabut kipasnya lalu kipas itu
disentakkan ke depan. Suuut...! Claap...! Seberkas sinar kuning patah-
patah melesat dari ujung kipas itu.
Tabib Sesat baru ingin bergerak memburu Layunggini, tapi
berhubung sinar kuning patah-patah datang ke arahnya, mau tak mau ia
melompat ke atas dan ber- salto satu kali di udara. Wuuut, wuuk...!
Tepat pada saat itu Pendekar Mabuk lepaskan jurus 'Jari Guntur'-
nya. Des, des...! Gumpalan hawa padat melesat menuju ke arah putaran
tubuh Tabib Sesat. Salah satu sentilan bertenaga dalam itu tepat kenai
mata kaki Tabib Sesat.
Trok...! "Aaouw...!" terdengar suara Tabib Sesat terpekik. Tapi segera
tertutup suara dentuman menggelegar akibat sinar kuningnya si Rupa
Setan kenai sebatang pohon besar jauh di seberang sana. Glaaarr...! Pohon
itu pecah menjadi potongan-potongan kayu tak beraturan.
Tabib Sesat turun ke tanah. Kaki kirinya tak bisa dipakai untuk
menapak dengan kekar seperti biasanya. Rupanya mata kaki kiri itulah
yangterkena sentilan 'Jari Guntur'-nya Pendekar Mabuk dan terasa
seperti pecah. "Keparat kalian semua! Majulah kalian bersama!"
Set, set, wuut...!
Jurus 'Siksa Abadi' dipergunakan. Suto Sinting tahu, gerakan itu
adalah gerakan untuk mengeluarkan kabut merah sebagai gerakan jurus
'Siksa Abadi'. Tetapi ternyata kabut merah tak keluar dari tubuh Tabib
Sesat. Terpaksa gerakan tadi diulangnya kembali.
Set, set, wuut...!
"Heeah...!" sentak suara Tabib Sesat, tapi ternyata kabut merah
tetap tak bisa keluar dari tubuhnya. Wajah si Tabib Sesat menjadi
tampak tegang. Clingak-clinguk bagaikan kehilangan sesuatu.
"Jahanam...!" geram Tabib Sesat dengan menyeringai ganas dan
memandang ke arah Pendekar Mabuk.
"Kau telah melumpuhkan ilmu 'Siksa Abadi'-ku, Bocah Kunyuk! Kini
tak ada ampun lagi bagimu, Keparat!"
Wut, wut, wut, seet...!
Tabib Sesat memainkan jurus lain dengan gerakan tongkat sangat
cepat, lalu tahu-tahu ia sudah berdiri dengan satu kaki, dan satu kakinya
lagi melilit pada tongkat. Kini tongkat itu berfungsi sebagai pengganti
kaki kiri yang terkena sentilan 'Jari Guntur'-nya Pendekar Mabuk tadi.
Rupanya sentiian 'Jari Guntur' yang mengenai mata kaki itu telah
melumpuhkan kekuatan ilmu 'Siksa Abadi', sehingga Tabib Sesat tak
dapat menggunakannya lagi. Bahkan ketika ia ingin melarikan diri dengan
cara menghilang seperti yang dilakukan oleh para tokoh persilatan di
dasar bumi itu, ternyata kekuatannya lenyap dalam sekejap itu pun ikut
musnah akibat sentilan mengenai mata kaki tadi.
Dengan kaki kiri melilit pada tongkat, Tabib Sesat menerjang Putri
Merak dalam gerakan masih secepat cahaya kilat. Wiiiz...! Tubuhnya yang
melayang ke arah Suto Sinting segera dihantam oleh pukulan jarak jauh-
nya si Rupa Setan. Desss...! Tapi hawa padat kiriman si Rupa Setan
berhasil ditangkis dengan kibasan tangan kanan Tabib Sesat yang juga
keluarkan hawa padat menyebar. Wees...! Blaaarrr...!
Pendekar Mabuk melihat gerakan kaki yang melilit tongkat itu
berkelebat menyambar kepaianya. Tubuh Suto Sinting meliuk ke samping
seperti orang mabuk mau tumbang, kemudian segera tegak kembali dan
menggeloyor ke depan seperti mau tersungkur ke tanah, tapi segera
tegak kembali. Jurus mabuk itu sulit ditembus serangan kaki Tabib Sesat. Bahkan
ketika tubuh Tabib Sesat telah berdiri tegak di belakang Suto, kaki
pendekar tampan itu berkelebat menendang ke belakang dengan sangat
cepat. Weess...! Bluus...!
"Ooh..."!" Pendekar Mabuk maupun Rupa Setan dan Layunggini
terperanjat karena kaki Suto yang mengenai kepala Tabib Sesat itu
seperti menembus bayangan di udara. Kaki itu tak merasa menyentuh apa-
apa. Padahal mereka melihat jelas kaki itu menyambar kepala Tabib
Sesat. "Hiah...!" Suto Sinting sentakkan kakinya lagi ke depan dalam satu
lompatan pendek. Kaki itu jelas-jelas mengenai dada Tabib Sesat, tapi
Suto Sinting merasa tidak menyentuh apa-apa. Tendangan itu bagaikan
menembus bayang-bayang tanpa sosok nyata. Beess...!
"Hiaah, hah, hah, hah, hah!" Tabib Sesat tertawa keras-keras. "Kau
tak akan bisa menyentuh tubuhku jika aku sudah pergunakan ilmu 'Raga
Temeram' ini. Hiaah, hahh, hahh, hahh, haaa!"
Rupa Setan tampak ingin bergerak maju, tapi Suto Sinting segera
berseru, "Tahan!"
Rupa Setan tak jadi bergerak.
"Biar kuhadapi iblis yang satu ini secara jantan! Aku laki-laki dan
dia juga laki-laki!"
"Bangsaaat...!" bentak Tabib Sesat dengan suara keras. "Aku
seorang perempuan, Tolol!"
"Kau seorang lelaki! Kau mengenakan pakaian dalam dari baja,
karena kelemahanmu ada pada 'burung' kecilmu itu! Randugara, muridmu
itu, telah bicara padaku! Kalau kau tak mau menyerah, akan kuhancurkan
'burung kutilang'-mu itu, Tabib Sesat!"
"Ooh, jadi dia lelaki..."!" terdengar suara Layunggini hampir
bersamaan dengan Rupa Setan. Hal itu membuat Tabib Sesat menjadi
malu sekali, dan mur- kanya bertambah besar.
"Gggrrmmmhh...!!" ia menggeram dengan mata mendelik lebar.
Melihat murka lawannya menjadi bertambah besar karena malu, Pendekar
Mabuk justru berteriak keras- keras dengan maksud membuat Tabib
Sesat menjadi semakin malu lagi.
"Hoiiii... orang-orang Dasar Bumiii...! Ketahuilah, bahwa Tabib Sesat
itu sebenarnya laki-laki yang me- miliki 'burung' keciiiiil.., sekali! Tabib
Sesat sebenarnya adalah seorang laki-lakiiii...! Seorang laki
" "Heeeaaaaat...!"
Pendekar Mabuk tak merasa rugi kata-katanya ter- putus. Tapi ia
telah berhasil memancmg kemarahan lawannya yang meluapluap, sehingga
ia diserang se- cara membabi buta. Sinar-sinar merah keluar dari tangan
dan tongkat si Tabib Sesat. Serangan itu datang secara beruntun. Tapi
dengan gerakan menggeloyor patah-patah seperti orang mabuk, Suto
Sinting berhasil hindari setiap sinar yang mengarah padanya.
Clap, clap, clap, clap...!
Jegaaaarrr... blaaaarrrrr...!
"Kuhancurkan mulut bangsatmu itu, Setaaaaan...!!" teriak Tabib
Sesat seperti orang kesurupan.
Namun dalam satu kesempatan bagus, Pendekar Mabuk segera
pergunakan jurus yang bernama 'Mabuk Lebur Gunung'. la menggeloyor
seperti mau jatuh, tapi tiba-tiba menyodokkan bumbung tuaknya ke arah
la- wan. Suuut...! Sodokan itu tepat kenal bagian bawah pusar si Tabib
Sesat. Prrang...! Terdengar seperti suara logam pecah. Celana serat baja
penutup kelemahan Tabib Sesat berhasil tersodok bumbung tuak walau ia
menggunakan jurus ilmu 'Raga Temeram'. Rupanya ilmu itu hanya bisa
membuat bagian tubuh lainnya menjadi seperti bayangan, tapi bagian
burung kutilang'-nya tidak bisa ikut seperti bayangan.
Pecahnya celana baja itu membuat Tabib Sesat terperanjat tegang. Kejap
itu pula, Suto Sinting memutar tubuh sambil duduk di tanah, lalu bumbung
tuaknya menyodok lagi ke atas dan kembali tepat kenai sang 'burung
kutilang' itu. Ceprooot...!
"Aaahhhhkk...!"
Tabib Sesat terdongak kepalanya dengan mata memejam kuat-kuat
dan mulutnya ternganga lebar. Kejap kemudian ia diam bagaikan patung.
Sekujur tubuhnya biru legam. Ilmu Raga Temeram' punah dan sosok tu-
buh itu tampak nyata. Rambutnya pun mulai rontok karena dihembus
angin. Lama-lama kulit kepala itu terkelupas, kulit tubuh makin hitam
seperti hangus. Ketika angin berhembus agak kencang, tubuh hitam itu
tumbang ke tanah. Brruk...! Ternyata ia sudah tak bernyawa lagi akibat
terkena jurus 'Mabuk Lebur Gunung' yang cukup berbahaya itu.
Nirwana Tria dan Riandawi datang ketika suasana tegang telah
berlalu. Nirwana Tria hanya hembuskan napas panjang melihat mayat
Tabib Sesat. Sebelum Suto Sinting tinggalkan alam perbatasan itu, lebih dulu ia
sempatkan diri menyembuhkan Branjang Hantu dan Dewa Tanah dengan
sisa tuaknya dan Batu Tembus Jagat. Ternyata kedua tokoh tua itu ber-
hasil disembuhkan dari penderitaan 'Siksa Abadi'.
Dengan dikawal Nirwana Tria dan si Rupa Setan, Suto kembali ke
alam kehidupan nyata membawa pu lang Putri Merak. Gadis itu diserahkan
kembali kepada Utari, kemudian mereka mengawal Utari yang bertugas
menjaga keselamatan Putri Merak sampai ke Bukit Caraka.
SELESAI Tiga Dara Pendekar Siauw Lim 4 Naga Naga Kecil Kisah Para Naga Di Pusaran Badai Karya Marshall Triping 1
^