Pencarian

Telur Mata Setan 2

Pendekar Mabuk 038 Telur Mata Setan Bagian 2


masih merenungi nasib Sumbaruni.
Namun mendadak ia dikejutkan dengan kelebatan
sesosok bayangan hitam-merah. Atas hitam, bawah
merah. Seseorang yang mengenakan pakaian warna itu
sedang berlari menerabas semak. Disusul kemudian
gerakan cepat seorang berpakaian hitam dari atas sampai bawah. Gerakan lari
orang berpakaian hitam itu lebih
cepat. Kalau yang dikejar tidak berbelok-belok
membingungkan, orang itu pasti akan tertangkap oleh
pengejarnya. "Siapa mereka?" pikir Suto. Rasa penasaran timbul di hatinya. Rasa ingin tahu
mendesak hasratnya untuk turun dari pohon dan mengikuti pelarian mereka. Karena
dalam hati Suto Sinting membatin,
"Aku curiga! Sepertinya orang yang mengejar itu
adalah Durmala Sanca, atau Siluman Tujuh Nyawa"!"
Blaarr...! Tiba-tiba Suto Sinting mendengar suara ledakan.
Bahkan tanah tempatnya berpijak menjadi bergetar. Suto Sinting kian penasaran
dan berlari dengan menggunakan
ilmu 'Gerak Siluman' yang mampu membuatnya melesat
melebihi anak panah itu. Dalam waktu sekejap ia sudah
sampai di sebuah lereng berpohon jarang, berumput tipis dan bersemak renggang.
Di sana apa yang terjadi adalah suatu pemandangan
yang sudah terbayang di benak Pendekar Mabuk. Orang
berpakaian serba hitam itu memang Siluman Tujuh
Nyawa. Tubuhnya berkerudung kain hitam dari kepala
sampai kaki. Wajah tampannya terlihat pucat memutih
bagai mengenakan bedak. Tapi bibirnya biru dan
matanya dingin mirip mata mayat. Di tangannya
tergenggam senjata pusaka tongkat El Maut yang
ujungnya membentuk sabit panjang untuk memancung
leher lawan. Seperti biasa, Siluman Tujuh Nyawa adalah manusia sesat yang tak
pernah punya perubahan wajah.
Kaku, dingin, datar, seakan tak pernah mencerminkan
perasaannya. Marah ya datar, sedih ya datar, tertawa ya datar, bahkan mungkin
buang air besar pun berwajah
datar. Tak pernah menyeringai, itulah ciri Siluman Tujuh Nyawa, tokoh sesat
tertinggi untuk masa itu.
"Siapa orang yang sedang dihajarnya itu?" pikir Suto Sinting sambil
memperhatikan orang berbaju hitam dan bercelana merah. Orang itu mempunyai
rambut kelabu, botak bagian depannya, tapi sisanya di bagian belakang dan samping masih panjang
sepundak kurang. Orang itu
agak pendek, badannya sedang-sedang saja. Wajahnya
bagaikan wajah polos tanpa dosa, bahkan berkesan
menyedihkan. Suto Sinting tak tega melihat orang itu
ditendang ke sana-sini oleh Siluman Tujuh Nyawa.
Saat tendangan itu berhenti, orang bercelana merah
itu mengerang kesakitan sambil memegangi dadanya.
Terdengar pula suara Siluman Tujuh Nyawa berkata, .
"Kuberi kesempatan sekali lagi untuk menyerah.
Kalau kau masih berkeras kepala, sebaiknya cepat-cepat kukirim ke neraka!"
"Ak... aku... aku benar-benar tidak tahu...!"
"Kesempatan sudah habis! Pergilah ke neraka!"
Wuutt...! Siluman Tujuh Nyawa tebaskan tongkatnya.
Bagian ujungnya yang berupa lempengan besi tajam
bagaikan paruh burung bangau itu memenggal leher
orang berpakaian hitam-merah. Tetapi sebelum senjata
itu mencabut nyawa dan memisahkan kepala dengan
leher lawannya, tiba-tiba tongkat El Maut terpental ke samping sehingga tubuh
Siluman Tujuh Nyawa
terdorong dan hampir jatuh karena terpelanting memutar.
Wuuussstt...! Tentu saja ada tenaga penghantam yang diarahkan ke
tongkat El Maut itu. Dan tenaga itu tak lain datang dari tangan Pendekar Mabuk.
Sebuah pukulan jarak jauh
bertenaga dalam tinggi tanpa sinar telah dilepaskan demi menyelamatkan nyawa
orang bercelana merah.
Zlaaap...! Suto Sinting tahu-tahu sudah berada di
samping orang bercelana merah yang merangkak-
rangkak mencari tempat aman. Orang itu berhenti dari
gerakannya, kaget melihat kemunculan pemuda tampan
yang belum dikenalnya. Ia bahkan sempat berkata
dengan suara terpatah-patah,
"Pergi... lekas! Dia... dia berilmu tinggi! Jangan lawan dia!"
Tetapi anjuran itu tak dihiraukan, karena mata
Pendekar Mabuk tertuju pada Siluman Tujuh Nyawa.
Mata itu memandang tajam dan Siluman Tujuh Nyawa
memandang dengan dingin.
"Rupanya kau yang berani mencampuri urusanku,
Bocah ingusan"!" katanya dengan nada datar. Bibirnya yang biru bagaikan enggan
bergerak jika sedang bicara.
Berbeda dengan Pendekar Mabuk yang menggerakkan
bibir dengan seenaknya dalam bicara, bahkan punya
senyum sinis yang bisa membakar kemarahan Siluman
Tujuh Nyawa. "Kau terkejut melihatku, Durmala Sanca! Apakah kau berniat lari lagi dari
hadapanku?"
Orang bercelana merah membatin, "Wah, bocah ini cari penyakit! Dia belum tahu
kekejaman Siluman Tujuh
Nyawa. Bisa-bisa jadi pepes mayat kalau kau bicara
sembarangan, Nak!"
Durmala Sanca melangkah ke kiri sedikit hingga
jaraknya tak terhalang sebatang kayu kering.
"Kali ini aku tak akan lari sebelum memenggal
kepalamu, Bocah Dungu!"
"Kita buktikan saja siapa yang terpenggal
kepalanya!" tantang Suto tak merasa gentar sedikit pun.
Wuuutt...! Tiba-tiba Siluman Tujuh Nyawa bergerak
bagaikan kilat menerjang Suto Sinting. Dan yang
diterjang pun bukan menghindar atau diam di tempat,
melainkan justru melesat
cepat dengan 'Gerak
Silumannya yang nyaris tak terlihat mata orang
bercelana merah itu. Gerakan cepat menyongsong
lompatan Siluman Tujuh Nyawa itu menghasilkan suatu
ledakan besar yang menggelegar. Blegaaarr...!
Rupanya perpaduan tongkat El Maut dengan
bumbung tuak menghasilkan daya ledak yang tinggi.
Pendekar Mabuk terpental tujuh langkah jauhnya,
sedangkan Siluman Tujuh Nyawa terpental lebih dari tujuh langkah. Tubuhnya
membentur pohon besar.
Bleess...! Tubuh itu lenyap bagaikan bayangan
menembus pohon. Untuk selanjutnya tak terlihat lagi
oleh mata siapa pun. Ia masuk ke alam gaib dalam
keadaan terluka. Tentunya ia melarikan diri lagi karena memang belum siap
melawan Suto Sinting.
Padahal waktu itu Suto Sinting sendiri mengalami
luka lumayan parahnya. Dadanya terbakar hangus karena
gelombang ledak yang panas dan berkekuatan daya
hentak tinggi itu. Mulut Suto Sinting sempat keluarkan darah kental. Tapi ia
buru-buru meminum tuaknya,
sehingga keadaan seperti itu dapat teratasi secara cepat.
Bahkan ia bisa segera menolong orang bercelana merah
dengan meminumkan tuaknya pula.
"Aneh," pikir orang itu. "Badanku cepat menjadi segar setelah meminum tuaknya.
Padahal hanya dua
teguk, tapi... tapi rasa sakitku bagaikan hilang semua.
Dan... oh, kurasa anak muda ini bukan anak muda
sembarangan. Siluman Tujuh Nyawa bisa dibuatnya
lenyap tak berbekas"!"
Belum selesai batinnya berkecamuk, Suto Sinting
sudah memberi pertanyaan lebih dulu, "Mengapa kau berurusan dengan Siluman Tujuh
Nyawa, Paman?"
Orang bercelana merah itu sengaja dipanggil 'Paman'
karena menurut Suto orang itu berusia sekitar lima puluh lima tahun. Dan yang
dipanggil ternyata tidak keberatan, ia menjawab dengan senyum nyengir dan lucu,
sebab wajahnya memang berkesan lucu; hidungnya agak
bengkok, matanya kecil, alisnya tipis, nyaris tanpa alis, kumis tak ada, guratan
ketuaan membekas tajam dari
cuping hidung ke arah sisi kanan-kiri mulut.
"Namaku... Tosidana."
"Yang kutanyakan, ada urusan apa dengan Siluman
Tujuh Nyawa!" ulang Suto.
"Oo... anu, yaah... urusan sepele saja. Tak perlu kujelaskan. Tapi kurasa kau
tahu sendiri, Siluman Tujuh Nyawa tak suka melihat orang senang."
"Di mana kau bertemu dengannya, Paman?"
"Yah, lumayan. Sudah agak sehat, terutama setelah minum tuakmu tadi."
Pendekar Mabuk menghempaskan napas jengkel.
"Aku bertanya, di mana kau bertemu dengan Siluman Tujuh Nyawa itu?"
"Ooo... ya di sana! Jauh dari sini!" jawabnya sambil nyengir. "Aku ucapkan
banyak-banyak terima kasih
kepadamu, Anak Muda. Kalau tak ada kau, aku pasti
sudah tak punya kepala lagi. Pasti akan bingung
bagaimana cara menggosok gigi jika aku tanpa kepala
lagi. He he he...! Kau memang hebat. Siapa namamu?"
"Namaku Suto!"
"Nama yang bagus. Pantas untuk nama sebuah pusaka agung," orang itu menepuk-
nepuk punggung Suto
Sinting, karena hanya punggung tengah saja yang bisa
dicapai oleh tangannya. Tinggi orang itu kurang dari sebatas pundak Suto
Sinting. Tak heran jika ia hanya
menepuk-nepuk punggung tengah Suto untuk
menyatakan rasa bangga dan pujiannya terhadap nama
Suto. "Lain kali jangan bikin masalah dengan Siluman Tujuh Nyawa, Paman. Dia orang
berbahaya dan berdarah dingin. Tak segan-segan membunuh
lawannya!" Suto Sinting berujar pelan.
"Sebenarnya bukan aku yang cari masalah, tapi dia sendiri yang bikin masalah.
Perkaranya sepele saja. Dia ingin meminta anak gadisku yang masih kecil. Entah
mau untuk apa, usia anak itu saja baru dua tahun kurang.
Lalu aku mempertahankan anakku itu. Eh, dia marah!
Waktu kuserang, dia tak bergeming. Tentu saja aku
segera kabur dan cari selamat. Eh, malah yang
kutemukan bukan si Selamat melainkan si Suto! He he
he he...!"
Pendekar Mabuk hanya tersenyum geli melihat gaya
bicara orang itu. Lucu tapi menjengkelkan.
"Sekarang anakmu ada di mana?"
"Ibunya sudah meninggal. Jadi anak itu kurawat
sendiri." "Paman, yang kutanyakan anak itu ada di mana"!"
tandas Suto dengan jengkel.
"Ooo... anak itu sekarang ya ada di.... Wah, iya"!"
orang itu terkejut dan menepak jidatnya sendiri. Plak...!
Lalu menyambung kata,
"Anakku kutinggalkan di bawah pohon sana"! Ya,
ampuuun... aku sampai lupa membawanya lari kemari"
Waaah... bisa dimakan macan anak itu kalau kelamaan
ditinggal pergi! Sebentar, Suto... aku akan ambil anakku dulu!"
Brebeett...! Orang itu langsung lari ke arah semula
dengan terburu-buru. Suto Sinting tertawa kecil
sendirian. "Sama anaknya sendiri kok sampai lupa tidak dibawa lari" Hmm... dasar penakut!
Begitu tahu kekuatan
Siluman Tujuh Nyawa, ia lari sendiri tanpa pedulikan anaknya. Benar-benar
potongan seorang ayah yang tidak
bertanggung jawab kepada anaknya sendiri. Ia takut mati demi membela anak."
Senyum Suto disertai geleng-geleng kepala. Tapi
senyum itu segera pudar dan dahi segera berkerut ketika batin berkata, "Jangan-
jangan bukan anaknya sendiri"
Jangan-jangan anak itu adalah Sumbaruni yang kian
mengecil"!"
Seketika itu juga Suto Sinting gunakan jurus 'Gerak
Siluman'-nya untuk mengejar orang yang mengaku
bernama Tosidana itu. Pengejaran itu sempat salah arah sebentar, karena ia
tertipu oleh sekelebat bayangan yang melintas ke arah timur. Ketika bayangan
yang berkelebat itu berhasil disusulnya, ternyata orang tersebut bukan Tosidana,
melainkan Menak Goyang.
"Sial! Dunia ini sempit sekali sepertinya. Lagi-lagi yang kutemui kau, Menak
Goyang!" Gadis berambut panjang yang diikat ke belakang
dengan bagian depannya berponi itu mulai salah tingkah.
Badannya tak bisa diam, bergerak terus. Kadang
mondar-mandir, kadang diam dengan kaki bergerak-
gerak atau pinggul bergoyang-goyang.
"Kurasa kau mengikutiku sejak kemarin sore, Menak Goyang."
Menak Goyang hanya tersenyum. Semakin salah
tingkah setelah dipandangi oleh Suto tak berkedip.
Akhirnya ia berkata, "Memang aku mengikutimu. Tapi sayang aku tak bisa mendekat,
sehingga tak kudengar
apa saja yang kau bicarakan dengan Teratai Kipas dan
gurunya itu. Tapi kulihat kau dan gurunya Teratai Kipas sudah saling mengenal
akrab." "Kami hanya membicarakan tentang orang-orang
Bukit Kopong yang punya kemungkinan sebagai pencuri
Pisau Tanduk Hantu milik gurumu itu!" kata Suto sengaja memancing pendapat. Tapi
Menak Goyang agaknya kurang tertarik dengan kata-kata Suto Sinting, sehingga ia berkata
sambil gelengkan kepala,
"Itu hanya tipuanmu saja. Mungkin kau memang
bekerja sama dengan Teratai Kipas, dan sepakat
mengalihkan pandangan kami kepada orang-orang Bukit
Kopong. Tapi kami tahu mereka tak mungkin berani
mengusik kami."
"Apakah kau juga melihat pertarungan Teratai Kipas dengan Tiga Pengawai Iblis?"
pancing Suto, dan setelah Menak Goyang mengangguk, Suto berkata lagi,
"Mereka menghendaki Tongkat Tulang Barong milik
mendiang Ki Selo Gantung. Padahal ketua Bukit
Kopong; Cukak Tumbila adalah saudara seperguruan Ki
Seio Gantung dan Maiaikat Miskin. Jika mereka
sekarang sudah berani mengusik pusaka Ki Selo
Gantung, tentunya mereka juga mulai berani mengusik
pusakanya Malaikat Miskin."
Menak Goyang mulai berpikir ke arah pembicaraan
Suto. Ia mondar-mandir ke kanan-kiri tiga langkah-tiga langkah. Akhirnya
terdengar ia berkata,


Pendekar Mabuk 038 Telur Mata Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Selama ini Cukak Tumbila sungkan dengan
guruku!" "Perbuatan anak buah Cukak Tumbila tentunya diluar sepengetahuan Cukak Tumbila
sendiri. Barangkali saja
jika Cukak Tumbila tahu, orang itu akan dihajarnya.
Tapi pernahkah kau dan gurumu mencoba bicara dengan
Cukak Tumbila" Pernahkah kau menyelidik ke sana?"
Ada kecemasan yang dipendam di hati Menak
Goyang, ada kegelisahan yang semakin membuat gerak-
gerak tubuhnya kian tak beraturan. Suto Sinting
tambahkan kata untuk pengaruhi keyakinan Menak
Goyang. "Barangkali kau memang tak harus percaya dengan
dugaanku ini, tapi setidaknya kau punya bahan untuk
diperhitungkan dan dibicarakan dengan Malaikat
Miskin." "Jika benar yang mencuri pusaka Pisau Tanduk Hantu adalah orang-orang Bukit
Kopong, berarti mereka pula
yang merebut adik kecilmu itu!"
"Mungkin juga!" sambil Suto Sinting bentangkan kedua tangan dan angkat
pundaknya. Sikapnya tenang
dan meyakinkan.
"Jika begitu," kata Menak Goyang, "Mengapa tak kau desak si Maling Sakti tadi"
Mengapa kau biarkan dia
pergi meninggalkan dirimu?"
"Maling Sakti"!" Suto Sinting kerutkan dahi. "Aku tak mengerti maksudmu."
"Orang yang kau selamatkan dari tangan Siluman
Tujuh Nyawa itu adalah Durjana Belang alias si Maling
Sakti." Suto terperanjat dan menatap gadis itu dengan sedikit
curiga. "Bukankah dia bernama Tosidana?"
"Hmm...," Menak Goyang tersenyum tipis. "Kau telah terkecoh. Seharusnya kau
desak si Maling Sakti itu untuk mengaku perbuatan yang sebenarnya. Jika benar
dia yang mencuri pusaka itu dan merebut adikmu, berarti
kau harus memaksanya pula untuk mengembalikan
adikmu yang lucu itu! Tapi hati-hati, dia punya ilmu
tinggi tersembunyi di balik kebodohan dan keluguan
wajahnya. Pendekar Mabuk terbungkam sesaat. Menak Goyang
segera pergi tanpa pamit. Tapi Suto Sinting sempat
berseru, "Mau ke mana kau"!"
"Bicarakan kesimpulanmu dengan Guru!" seru
Menak Goyang, setelah itu melesat tak terlihat lagi.
* * * 4 KALAU saja kala itu Pendekar Mabuk bersama-sama
Teratai Kipas, maka ia akan diberitahu bahwa orang
yang mengaku bernama Tosidana itu sebenarnya adalah
Durjana Belang alias si Maling Sakti. Teratai Kipas
kenal betul dengan wajah si Maling Sakti, karena ia
pernah berhadapan dalam satu pertemuan setelah Ki Selo Gantung dimakamkan.
Teratai Kipas yang pulang dari sungai habis
melepaskan hasrat kotornya dan cuci muka alakadarnya,
sempat kebingungan mencari Suto Sinting di sekitar
pohon tempat mereka tidur semalam. Namun begitu
melihat sekelebat bayangan yang berlari melintas di
kejauhan sana, Teratai Kipas segera mengejarnya sebab
ia kenali wajah orang yang berlari itu adalah wajah si Maling Sakti. Teratai
Kipas curiga dan mengikutinya,
sampai akhirnya mereka tiba di sebuah lembah berkabut
tipis. Maling Sakti berhenti, clingak-clinguk bagai orang
penuh kecemasan dan takut dilihat orang lain. Kemudian ia menyusup masuk ke
celah-celah bebatuan besar
setinggi rumah.
Gerakannya itu hanya diperhatikan Teratai Kipas dari
balik semak. Tak berapa lama kemudian Maling Sakti
keluar dari celah-celah bebatuan yang menyerupai bilik-bilik kamar itu. Di
tangannya telah tergendong seorang bocah berusia sekitar dua tahun kurang. Bocah
itu tak lain adalah gadis kecil Sumbaruni yang kini menjadi
lebih kecil dari saat dilihat Teratai Kipas di Perguruan Tongkat Sakti itu.
Teratai Kipas sempat heran melihat
perubahan Sumbaruni, tapi rasa heran itu segera
disingkirkan karena ia harus menghadang langkah
Maling Sakti yang hendak tinggaikan tempat itu.
Jleegg...! "Teratai Kipas..."!" Maling Sakti kaget, lalu buru-buru nyengir.
"Anak siapa itu?" pancing Teratai Kipas.
"Anak... anak pamanku."
Bocah kecil yang digendong Maling Sakti berkata,
"Bukan! Aku Sumbaruni, kekasihnya Suto Sinting!"
Maling Sakti tertawa mendengar bocah kecil itu bisa
bicara lancar seperti orang dewasa, ia tidak tahu siapa sebenarnya bocah itu. Ia
mengambilnya dari tangan
orangnya Malaikat Miskin karena suatu maksud tertentu, dan ketika diambilnya
keadaan Sumbaruni sudah lebih
kecil dari saat di tangan Malaikat Miskin. Sebenarnya tubuh Sumbaruni kian
menyusut, tapi perubahan itu
kurang diperhatikan oleh Maling Sakti.
"Durjana Belang, untuk apa kau rebut anak itu dari tangan orangnya si Malaikat
Miskin?" Maling Sakti hanya cengar-cengir. "Rupanya kau
tahu tentang anak ini, lebih tahu kau daripada diriku, Teratai Kipas!"
"Karena aku pernah melihat anak itu dalam keadaan lebih besar dari sekarang!
Sebaiknya serahkan anak itu padaku supaya aku tidak bersikap kasar padamu,
Maling Sakti!" "He he he he...!" Maling Sakti tertawa meremehkan.
"Siluman Tujuh Nyawa saja menghendaki bocah ini dan aku mempertahankan dengan
bertaruh nyawa, apalagi
kau yang memintanya. Jelas tak akan kuberikan!"
"Mengapa tidak kau berikan?"
"Seseorang membutuhkan bocah ini, dan ia berani
membayarku mahal jika bisa serahkan bocah ini ke
tangannya."
"Siapa orang itu?"
"Gerhana Mandrasakti!"
Teratai Kipas berkerut dahi, merasa asing dengan
nama itu. Tapi bocah Sumbaruni tampak terkejut, ia
segera berseru dengan gerakan meronta yang lemah
karena kebocahannya.
"Aku tidak mau! Aku tidak mau diserahkan pada
Gerhana Mandrasakti! Dia pasti akan membunuhku,
karena dia punya dendam padaku! Aku tidak mau!"
Gerakan meronta itu membuat Maling Sakti sedikit
kewalahan karena wajahnya dipukul-pukul oleh tangan
kecilnya si bocah Sumbaruni. Kesempatan itu
dipergunakan oleh Teratai Kipas untuk menghantam
pinggang kiri Maling Sakti. Pukulan telapak tangan yang menghentak kuat pada
pinggang membuat tulang rusuk
Maling Sakti bagaikan retak. Buuk...! Krek...!
"Uuhg...!"
Maling Sakti terpental namun tak sampai jatuh.
Bocah itu masih ada dalam gendongannya. Wajah
Maling Sakti mulai merah sebelah kiri. Wajah itu
menjadi belang jika ia dilanda kemarahan. Itulah
sebabnya ia bernama Durjana Belang. Dan melihat
wajah Maling Sakti sudah merah sebelah, Teratai Kipas
mulai mencabut senjata kipasnya. Karena ia tahu jika
wajah Maling Sakti berubah Belang, maka ilmu-ilmu
mautnya akan segera dilancarkan.
"Kau memancing kemarahanku, Teratai Kipas!
Jangan menyesal kalau nyawamu kucabut sekarang juga!
Hiaaah...!"
Tangan kiri memegangi Sumbaruni, tangan kanannya
menyentak ke depan. Dari tengah telapak tangan itu
melesat butiran-butiran kecil seperti kacang hijau tapi berwarna putih logam
mengkilat. Srrruub...! Butiran kecil itu berjumlah cukup banyak, menyerang
Teratai Kipas dengan gerakan menyebar. Teratai Kipas
sempat terperangah kaget, batinnya menyebut kata,
"Mutiara Lahar"!" Dengan serentak kedua kakinya menghentak ke tanah dan tubuh
Teratai Kipas melayang
naik bersalto satu kali. Gerakan turunnya menukik, dan kipasnya dikibaskan ke
arah butiran-butiran yang disebut
'Mutiara Lahar' itu. Wuuurrt...! Angin kibasan kipas
menderu, menyebarkan butiran 'Mutiara Lahar' yang
segera menghantam batu, pohon dan apa saja yang ada
di sekeliling mereka. Taar, trarrt, taar... blaarr...! Batu, pohon dan apa saja
yang terkena satu butir dari sekian banyak 'Mutiara Lahar' itu akan meledak dan
mengobarkan nyala api yang sulit padam, itulah
kehebatan jurus 'Mutiara Lahar' milik si Maling Sakti.
Kini hutan itu bagikan terbakar. Asap mengepul di sana-sini, kabut kian menebal
karena bercampur asap
kebakaran tersebut. Namun hal itu tidak dipedulikan
oleh Teratai Kipas. Begitu kakinya mendarat di atas
bongkahan batu yang tidak ikut terkena butiran 'Mutiara Lahar' ia segera
sentakkan kipasnya dalam keadaan
terkatup. Wuuuttt...! Claapp...!
"Aaaa...!" bocah Sumbaruni menjerit ketakutan melihat sinar hijau melesat dari
ujung kipas mengarah ke tubuh Maling Sakti. Bocah itu merasa takut kalau-kalau
tubuhnya digunakan sebagai perisai menghadang sinar
hijau tersebut. Tapi agaknya Maling Sakti tak mau
kehilangan bocah tersebut, sehingga sinar hijau itu hanya ditahan dengan telapak
tangan kanannya saja.
Deeb...! Telapak tangan itu tak mampu ditembus
sinar hijau karena menyala merah bagaikan batuan lahar membara. Sinar hijau itu
padam seketika dan
mengepulkan asap hitam keputih-putihan. Jroosss...!
Tiba-tiba tangan yang masih menyala merah itu
menggenggam, lalu melemparkan sesuatu yang
digenggamnya itu ke arah Teratai Kipas. Wuuusss...!
Bola hitam bagai terbuat dari gumpalan asap hitam
keputih-putihan melesat cepat ke arah Teratai Kipas.
Dengan cekatan kipas emas dibentangkan. Breet...! Bola asap dihantam dengan
kipas tersebut.
Blegaarr...! Ternyata bola asap itu berbahaya. Ledakannya
timbulkan gelombang panas yang menghentak kuat dan
membuat tubuh Teratai Kipas terpental jauh ke belakang sana. Jatuhnya pun
terkapar tak bisa jaga keseimbangan tubuh. Brruk!
"Uhg...!" ia mengerang ketika berusaha untuk bangkit. Dadanya dipegangi. Dada
itu terasa mau jebol
karena sentakan gelombang ledak tadi. Teratai Kipas
keluarkan darah kental dari mulutnya. Ketika mencoba berdiri ia terhuyung-huyung
karena persendiannya terasa rapuh dan tak berurat lagi. Ia jatuh tersandar pada
sebuah pohon, masih berusaha untuk berdiri walau hanya
menggunakan satu lututnya.
"Janjiku kutepati! Sekaranglah saatnya mencabut
nyawamu, Teratai Kipas!" seru Maling Sakti, lalu ia berlari dan melompat sambil
bersalto dua kali.
"Aaaauuh...!" bocah Sumbaruni menjerit ketakutan dibawa melayang dan berguling-
guling di udara.
Gerakan tubuh yang melayang itu bagaikan sang maut
yang mendatangi Teratai Kipas.
Dengan mengerahkan sisa tenaganya, Teratai Kipas
segera sentakkan kipasnya dalam keadaan terbuka.
Wuuuttt...! Claapp...! Sinar putih perak keluar dari kipas itu dalam bentuk
lingkaran bergelombang-gelombang.
Sinar itu menyongsong tubuh Maling Sakti yang
bergerak turun. Blaarrr...!
"Aaaa...!" bocah Sumbaruni terpental lepas dari pelukan Maling Sakti. Bocah itu
melayang-layang di
udara, sementara Maling Sakti sendiri rubuh dalam
keadaan tubuhnya keluarkan asap tipis, pakaiannya
menjadi comping-camping bagai habis disambar petir.
Namun ia masih sadar, masih bisa melihat tubuh kecil
yang melayang karena terpental oleh ledakan tadi.
Maling Sakti yang terluka dalam dan keluarkan darah dari lubang hidung, telinga
dan mulut itu segera bangkit untuk menangkap tubuh kedi yang mulai bergerak
turun. Tetapi sebelum Maling Sakti berhasil menangkapnya,
sesosok bayangan berkelebat
menyambar bocah
Sumbaruni ketika masih di udara. Wuuuttt...! Bocah itu pingsan, tak terdengar
lagi suaranya. Kini ia berada
dalam pelukan seorang pemuda tampan berpakaian
coklat putih. Pemuda itu tak lain adalah Pendekar
Mabuk; Suto Sinting, murid si Gila Tuak dan Bidadari
Jalang. "Syukurlah dia datang," pikir Teratai Kipas dengan merasa lega, namun rasa sakit
di dadanya masih belum
tersembuhkan walau sudah menyalurkan hawa murninya
ke bagian dada.
"Kkau..."!" Maling Sakti pandangi Pendekar Mabuk dengan wajah tegang. Terbayang
dalam ingatannya
tentang Siluman Tujuh Nyawa yang menurut
anggapannya telah berhasil dilenyapkan oleh Suto
Sinting, ia mulai ciut nyali dan tak berani lepaskan
serangan ke arah Pendekar Mabuk.
Sementara itu, Suto Sinting bergegas mendekati
Teratai Kipas dan memberikan bumbung tuaknya.
"Minum sedikit saja...!" Teratai Kipas tak menolak dan segera meneguk tuak
tersebut. Suto Sinting bicara kepada Maling Sakti, "Sudah
kuduga kau adalah si Maling Sakti yang membawa lari
bocah ini! Apakah kau juga yang mencuri pisau pusaka
Malaikat Miskin?"
"Aku tak melukai bocah itu. Tidak. Lihat dan
periksalah!"
"Yang kutanyakan, apakah kau yang mencuri pisau
pusakanya Malaikat Miskin?"
"Oo... tid... tid... tidak...!" Maling Sakti jatuh lagi saat berusaha berdiri,
ia menyeringai kesakitan! Sementara
itu ia pun melihat Teratai Kipas sudah bisa berdiri dan tampak mulai sehat.
"Suto, tinggalkan dia dan cepat menuju ke puncak


Pendekar Mabuk 038 Telur Mata Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

temui Eyang Guru Betari Ayu!" kata Teratai Kipas
dengan suara pelan.
Ketika mereka hendak bergegas pergi, Maling Sakti
berusaha serukan kata,
"Suto... tolonglah aku! Tu... tuakmu membuat Teratai sembuh. Tolong berikan
tuakmu itu!"
"Jangan hiraukan dia!" kata Teratai Kipas sambil menarik lengan Suto agar
teruskan langkah.
"Sutooo...! Tolonglah...!" ratap Maling Sakti yang badannya mulai menghitam
karena hangus dihantam
sinar perak dari kipas emas itu.
"Kasihan dia," bisik Pendekar Mabuk.
"Dia licik. Dia bisa celakakan dirimu kalau dia
tertolong jiwanya!"
"Anggap saja ini sebagai peringatan baginya. Sekali lagi dia berani mengusik
kita, tak ada ampun lagi
baginya!" Sambil masih tetap menggendong bocah Sumbaruni
di tangan kiri, Suto Sinting dekati Maling Sakti,
bumbung tuak dituang ketika mulut Maling Sakti
membuka ternganga. Krucuk, krucuk, krucuk... pluk!
Glek! Maling Sakti mendelik seperti merasakan sesak
tanggorokannya. Lalu ia pejamkan mata untuk menelan
sesuatu yang mengganjal di tenggorokannya itu. Setelah itu ia berseru, "Kurang
ajar!" "Kenapa?" tanya Suto Sinting sedikit curiga.
"Apa yang kau jejalkan masuk ke mulutku?"
"Hanya... hanya tuak! Air tuak!"
"Aku telah menelan sesuatu. Seperti bulatan kecil berkulit halus!"
Tiba-tiba Pendekar Mabuk ingat dengan telur aneh
yang ditemukan di reruntuhan pondok Nyai Sapu
Lanang. Terkejutlah sang pendekar setelah ingat hal itu.
Ia tidak tahu apa benda itu sebenarnya, tapi ia
membayangkan alangkah sesaknya benda itu masuk ke
tenggorokan Maling Sakti.
"Ada apa?" tanya Teratai Kipas yang kian segar badannya.
Suto Sinting melangkah jauhi Maling Sakti dan
berkata pelan, "Ia telah menelan telur aneh yang kutemukan di reruntuhan pondok
Nyai Sapu Lanang."
"Telur aneh apa" Saat kuhancurkan pondok itu, tak ada telur aneh di situ!"
"Mungkin kau tidak melihatnya. Tapi aku
menemukannya. Bentuknya seperti telur burung puyuh,
warnanya merah, berkulit tipis seperti kulit ari. Cairan di dalamnya seperti
darah." "Celaka!" mata Teratai Kipas terbelalak tegang, ia diam terpaku di tempat.
"Apakah... apakah tTelur itu yang dinamakan Telur Mata Setan?" tanya Suto dengan
nada curiga. Tapi gadis itu hanya mendesah menyimpan
keresahannya, ia tak mau menjelaskan maksud
ketegangannya itu. Ia bahkan berkata, "Cepat kita ke puncak!"
"Tunggu dulu!" sergah Suto Sinting. "Jelaskan dulu benda apa sebenarnya yang
kutemukan dan ditelan oleh
Maling Sakti itu!"
Mereka beradu pandang sesaat. Teratai Kipas tak
berani menyembunyikan ketegangannya lagi, karena ia
tahu dengan siapa ia berhadapan saat itu. Maka dengan
suara sangat pelan tak didengar Maling Sakti, Teratai
Kipas menjawab,
"Kalau tak salah dugaanku... benda itu adalah Batu Sembur Getih."
"Apa kehebatan Batu Sembur Getih?"
"Seseorang yang menelan Batu Sembur Getih
hidupnya akan tergantung dari darah manusia lain. Ia tak
akan pernah bisa menerima makanan lain; nasi, jagung,
ketan dan sebagainya. Makanannya hanyalah darah. Dan
setiap ia habis meminum darah manusia, maka
kesaktiannya akan berlipat ganda. Badannya akan kebal
oleh senjata apa pun. Bahkan sinar tenaga dalam sukar menembus tubuhnya."
"Gawat!" Suto Sinting memandang ke arah Maling Sakti. Ternyata orang tersebut
telah lenyap, melarikan diri jauh di seberang sana. Bayangan sosok tubuhnya
hanya terlihat bagai sebuah titik yang kian menjauh.
"Maling Sakti pergi! Dia pasti akan semakin gila dengan kedurjanaannya!" gumam
Suto Sinting kepada dirinya sendiri.
"Mestinya batu itu kau telan saja, karena batu itu berasal dari gumpalan darah
dewa." "Aku tidak tahu kesaktian benda itu. Sebelum
kupelajari, kusimpan dulu dalam bumbung tuakku.
Ternyata tuak yang tinggal sedikit ini membut batu itu menggelincir masuk ke
mulut si Maling Sakti! Celaka betul keadaan ini!"
"Lupakan dulu urusan itu. Kita harus segera temui Eyang Guru Betari Ayu dan
membawa Sumbaruni yang
pingsan itu," Teratai Kipas mengingatkan.
Sambil melangkah menuju puncak, Suto Sinting
sempat bertanya, "Mengapa Nyai Sapu Lanang tidak menelan batu itu saja" Bukankah
kalau dia menelan batu itu ia menjadi orang yang lebih sakti lagi dan mungkin
sukar kukalahkan" Apakah ia sendiri tak tahu manfaat
Batu Sembur Getih itu?"
"Kurasa Nyai Sapu Lanang mengetahui kehebatan
batu itu. Barangkali ia menunggu seseorang yang akan
mendapat hadiah Batu Sembur Getih, terutama seorang
lelaki. Sebab Batu Sembur Getih hanya bisa
dipergunakan untuk seorang lelaki dan tidak berlaku
bagi wanita."
Suto Sinting manggut-manggut, "Pantas waktu Nyai
Sapu Lanang merayuku agar mau melayaninya, ia
sempat berkata bahwa aku akan diberi hadiah yang
sangat berharga jika mau melayaninya sampai ia
mempunyai keturunan. Hanya sampai batas ia bisa hamil
saja, maka aku akan diberi hadiah sebuah pusaka yang
tiada tandingannya. Mungkin Batu Sembur Getih itulah
yang dimaksud sebagai hadiah untukku."
"Mengapa kau tak mau?"
"Mendapat Batu Sembur Getih adalah hal yang
menyenangkan, tapi tebusannya itu yang membuatku
keberatan!"
Teratai Kipas tertawa kecil. "Tebusannya tak
seberapa berat, kan" Capeknya tak melebihi orang
berlari dari sini ke puncak gunung!"
Suto Sinting tertawa malu. "Siapa bilang" Justru
capeknya melebihi kita berlari dari sini ke matahari!"
Tawa mereka berderai, namun segera terputus karena
rasakan ada getaran pada tanah yang diinjaknya. Batu-
batu mulai bergerak, sebagian ada yang menggelinding
bagaikan terjadi gempa setempat. Wajah Suto dan
Teratai Kipas sama-sama menegang. Getaran bumi kian
kuat, pohon-pohon kecil mulai tumbang.
"Ada apa ini..."!" Teratai Kipas memandang tegang ke sekelilingnya.
"Jangan jauh dariku. Mendekatlah!" kata Suto pelan.
"Sepertinya ada pihak lain yang ingin mengganggu
perjalanan kita ke puncak!"
Suto Sinting yakin bahwa gempa itu adalah gempa
kiriman. Tapi siapa orangnya yang mengirimkan gempa
masih belum diketahui mereka.
* * * 5 KABUT menebal di puncak Gunung Kundalini.
Kabut putih membawa hawa salju itu merambah di
permukaan tanah sebatas mata kaki, di sisi lain ada yang tinggi ketebalannya
sampai sebatas betis.
Pesanggrahan yang dibangun di puncak gunung itu
dalam ukuran kecil dan sangat sederhana. Di
pesanggrahan itulah seorang
wanita cantik mengasingkan diri ditemani oleh bekas muridnya dari
Perguruan Merpati Wingit. Perempuan itu tak lain
adalah Nyai Guru Betari Ayu, dan murid setianya adalah Selendang Kubur.
Kedatangan Suto Sinting membuat
Nyai Guru Betari Ayu berwajah cerah ceria, walau ia
menyimpan keharuan atas cinta yang terpendam dan
sampai saat itu tak bisa dihancurkan. Sekalipun
demikian, cinta itu hanya bisa diendapkan di dasar hati dan tak ingin
dicurahkannya seperti dulu, karena Nyai
Guru Betari Ayu sadar bahwa Suto Sinting adalah calon
suami adiknya; Dyah Sariningrum.
Untuk sesaat Nyai Guru Betari Ayu termenung
melamunkan masa-masa perpisahannya dengan
Pendekar Mabuk, setelah ia serahkan Kitab Wedar
Kesuma sebagai pelengkap mas kawin yang diminta
Dyah Sarinigrum, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Utusan Siluman Tujuh Nyawa").
Betari Ayu adalah sosok perempuan yang bijak dan
lembut. Penampilannya masih belum berubah. Tetap
cantik, anggun dan berkharisma tinggi. Jubahnya
kuning, pakaian dalamnya biru. Rambutnya panjang,
dengan ikat kepala dari tali merah bintik-bintik kuning emas. Ujung tali itu ada
logam kuning seperti mata
tombak, dan memang bisa digunakan sebagai senjata di
kala itu. Ia tak berani menatap Pendekar Mabuk terlalu lama,
sebab jika memandang terlalu lama dadanya bergemuruh
dan hatinya berdebar-debar nyeri. Ada cinta yang
dibuang dan dilupakan. Rasa cinta itulah yang sering
membuatnya nyeri. Betari Ayu tak mau mengenangnya.
Sebab itu ia tak mau hanyut dalam lamunan yang terlalu dalam.
Teratai Kipas duduk bersila jauh di belakang Suto,
sedangkan Selendang Kubur ada di samping kanan
Pendekar Mabuk. Bocah Sumbaruni yang telah siuman
ikut duduk di samping kiri Suto Sinting, ia seperti bocah baru bisa berjalan,
lucu dan menggemaskan. Tapi
caranya duduk bersila menunjukkan sikap
kedewasaannya yang tidak ikut susut termakan Racun
Ludah Naga. "Kudengar kau mencari Telur Mata Setan untuk
pulihkan keadaan Sumbaruni?"
"Benar, Nyai. Petunjuk itu kuperoleh dari Bongkok Sepuh dan Nyai Paras Murai!"
jawab Suto Sinting
dengan kalem. "Tapi menurut keterangan Teratai Kipas dan Selendang Kubur, telur
itu hanya ada dalam
dongeng anak-anak saja. Aku tak tahu mana yang benar
dari kenyataan itu."
"Selama itu Telur Mata Setan memang hanya ada
dalam dongeng. Artinya, dongeng tentang Telur Mata
Setan menjadi dongeng ciri khas rakyat di sekitar
Gunung Kundalini."
"Tetapi ketika kami menuju kemari, kami dihadang oleh Resi Pakar Pantun yang
juga menghendaki Telur
Mata Setan."
"Resi Pakar Pantun"!" Nyai Guru Betari Ayu
kerutkan dahi, diam sebentar bagai meneropong
seseorang di kejauhan sana, setelah itu menatap Suto
lagi. "Resi Pakar Pantun adalah gurunya Tuanku
Nanpongoh, penguasa Pulau Intan."
"Benar. Menurut pengakuannya, Tuan Nanpongah
sempat bentrok dengan Syakuntala dan ia terkena Racun
Ludah Naga juga. Kabarnya sampai sekarang Tuanku
Nanpongoh sudah menjadi bayi yang hanya bisa
ngompol dan menangis."
Nyai Guru Betari Ayu manggut-manggut. Suto
Sinting menceritakan pertemuannya dengan Resi Pakar
Pantun. Orang berusia sekitar delapan puluh tahun itu
hadir bersama gempa kirimannya. Untung Suto Sinting
segera dapat melacak keberadaan tokoh sakti itu melalui Ilmu 'Lacak Jantung'-
nya, sehingga ia bisa kirimkan
pukulan tenaga dalam dan membuat Resi Pakar Pantun
hentikan gangguannya dan muncul dari
persembunyiannya.
Orang berjenggot putih panjang dengan mengenakan
pakaian model biksu yang berupa kain abu-abu
membungkus badan dan melilit pundak kanannya itu
tampak malu ketika persembunyiannya dibongkar
Pendekar Mabuk. Orang berkepala botak dengan rambut
uban tipis itu tidak datang sendirian, tetapi mengajak pelayannya yang bertubuh
agak pendek, kurus, berwajah
tua, namun tak punya kumis dan jenggot. Usianya
sekitar empat puluh tahun. Mengenakan pakaian hijau
tua dan ikat kepala kain putih. Pelayannya itu mengaku punya julukan si Kadal
Glnting. "Apa maksudmu mengganggu perjalananku, Resi
Pakar Pantun?" tanya Suto setelah memperkenalkan diri masing-masing.
"Tikar rombeng ditambal dengan ketan
Bau sedikit tapi berkesan
Tak ada lain kupunya tujuan
Kecuali mencari si Telur Mata Setan."
Resi Pakar Pantun yang jarang mau lepas dari syair
pantunnya menjawab pertanyaan Suto itu dengan santai.
"Apa hubungannya dengan mengganggu
perjalananku?" tanya Suto lagi.
"Tikar rombeng dibakar nyebar.
Ambil sabuk buat bantalan.
Telah kudengar kabar tersebar
Pendekar Mabuk pun cari Telur Mata Setan."
"Lalu, kau sangka aku sudah mendapatkannya?"
"Tikar rombeng dibuat bendera
Jatuh ke bumi bikin sengsara
Jika betul kau belum mendapatkannya
Kumohon jangan lanjutkan pencariannya."
Suto Sinting tersenyum tipis sambil pandangi Teratai
Kipas yang masih kaku menerima kehadiran Resi Pakar
Pantun dan pelayannya itu. Suto sempat berbisik kepada Teratai Kipas,
"Kita punya saingan, agaknya cukup berbahaya juga."
"Aku yakin kau sanggup kalahkan si tua pantun itu."
"Akan kucoba untuk berembuk saja. Jangan biasakan diri dengan kekerasan."
Kemudian Suto Sinting memandang Resi Pakar
Pantun yang tampak tenang, namun sebenarnya sedang
pelajari ketinggian ilmu Pendekar Mabuk melalui
teropong batinnya. Suto Sinting berkata dengan sikap
tidak bermusuhan.
"Resi Pakar Pantun, ternyata di antara kita punya tujuan yang sama, yaitu


Pendekar Mabuk 038 Telur Mata Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencari Telur Mata Setan.
Kurasa kita harus berlomba dan beradu kecepatan
mendapatkan benda tersebut. Kau tak perlu mengusirku,
tak perlu memusuhiku. Toh belum tentu kau sendiri bisa temukan Telur Mata Setan
itu. Aku pun belum tentu
berhasil mendapatkannya. Jadi kurasa tantangan
halusmu itu harus kau cabut lagi agar hubungan kita
tidak saling bermusuhan dalam hati."
"Tikar rombeng di...."
"Maaf Eyang Resi...," potong Kadal Ginting yang suaranya cempreng. "Lainnya
tikar rombeng apa tidak ada?"
"Apa maksudmu?"
"Dari tadi pantunnya tikar rombeeeng... terus! Sekali-sekali muka rombeng atau
apa, gitu!"
"Mukamu itu yang muka rombeng!" hardik Resi Pakar Pantun sambil bersungut-
sungut. Suto Sinting dan Teratai Kipas sempat menutup mulut karena menahan
tawa geli. Lalu terdengar lagi Resi Pakar Pantun bicara kepada Suto,
Muka rombeng dibuat gilasan.
Rompal sedikit asin rasanya....
"Kik, kik, kik, kik, kik...!" Kadal Ginting tertawa cekikikan membuat pantun itu
terhenti. Sang Resi
menghardik lagi,
"Kenapa tertawa"!"
"Saya geli, Eyang Resi! Yang benar sajalah. Masa
muka rombeng dipakai gilasan" Sudah itu, rompal
sedikit rasanya asin. Siapa yang mau cicipi rompalan
papan penggilasan, Eyang Resi" Kok sepertinya kurang
kerjaan saja itu orang?"
"Ini pantun, Bodoh!" bentaknya menggeram.
"Iya, iya... teruskan sajalah!" sambil Kadal Ginting geleng-geleng kepala dan
agak menjauh dalam senyum
geli yang masih tersisa. Teratai Kipas sendiri sempat
mengikik tertahan mati-matian dan ia sembunyikan
wajah di punggung Pendekar Mabuk yang juga
terguncang-guncang karena tawa tanpa suara itu.
Sedangkan sang Resi masih tetap tenang, serius, tanpa
senyum sedikit pun.
"Muka rombeng tak jadi dibuat gilesan
Rompal sedikit dibiarkan saja
Jika memang kau punya nyali tak beralasan
Ada baiknya kita berlomba saja!"
"Baik. Aku setuju!" kata Suto Sinting dengan tegas.
Kadal Ginting menyela kata, "Tikar rombeng
dimakan pakai sambal...."
"Apa artinya?" tanya sang Resi.
"Rakus!" jawab Kadal Ginting dengan tertawa dan menjauh. Tiba-tiba tangan Resi
Pakar Pantun menghentak. Wuuuttt..! Pukulan jarak jauh dihantamkan
ke punggung Kadal Ginting. Orang pendek kurus itu
terbang dan wajahnya membentur pohon. Bruuuss...!
"Aoouuh...!" pekik Kadal Ginting kesakitan.
Resi Pakar Pantun segera pergi tinggalkan Suto
Sinting dan Kadal Ginting mengikutinya sambil
mengusap-usap wajahnya yang merah itu.
Mendengar cerita Pendekar Mabuk tadi, Nyai Guru
Betari Ayu tersenyum tipis. Senyumnya sungguh manis
menawan. Suto memandanginya karena senyum itu
mengingatkan dirinya pada senyuman milik Dyah
Sariningrum. Berdebar hati Suto dibuatnya. Berdebar
pula hati Betari Ayu ketika melihat Suto tersipu, karena ia ingat peristiwa yang
pernah dialami Suto Sinting
ketika sang pendekar tampan itu mengobati dirinya yang terkena pukulan Regang
Pati dari Bidadari Jalang. Cara pengobatan yang menggunakan semadi cumbu itulah
yang sampai sekarang masih berkesan di hati Nyai Guru
Betari Ayu. Cara pengobatan itu dinamakan ilmu
Kamajiwa, dan baru kepada Nyai Guru Betari Ayu ilmu
itu digunakan oleh Suto Sinting. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Perawan Sesat").
Betari Ayu membuang bayangan itu dengan berkata,
"Aku mendengar detak jantung yang bergemuruh,
seperti jantung orang yang sedang cemburu."
Sumbaruni kecil segera membuang pandangan ke
arah lain. Suto Sinting melirik Sumbaruni dan tersenyum geli. Betari Ayu ikut
tersenyum dan melirik Sumbaruni.
Merasa dilirik tak enak. Sumbaruni kecil berkata dengan suara bocahnya yang
bernada dewasa.
'"Bicarakan saja tentang Telur Mata Setan, tak perlu menyindir diriku!"
"Aku tak salahkan dirimu kalau kau menyimpan
kecemburuan, karena memang pria yang satu ini sinting!
Imunya sinting, ketampanannya sinting dan sikapnya
juga sinting!"
"Aku hanya ingin kepastian apakah Telur Mata Setan itu benar-benar tidak ada
atau memang ada di suatu
tempat yang tersembunyi?" tanya Sumbaruni mendesak.
Betari Ayu tarik napas dalam-dalam, termenung
beberapa saat bagai orang melamun. Suto Sinting sempat melirik gadis kecil yang
imut-imut lucu dan sebenarnya bekas istri jin itu. Sang gadis kecil bersungut-
sungut dan melengos tak mau pandangi Suto Sinting. Hal itu
membuat Suto geli lalu mencubit pipi gadis kecil tanpa nafsu dan hasrat tak
senonoh. Cubitan itu adalah cubitan canda terhadap seorang bocah yang
menggemaskan. "Ah...!" Sumbaruni menepiskan tangan Suto yang menggoda dan masih tetap
bersungut-sungut buang
muka. Menggelikan sekali sikapnya.
Agaknya suatu teropong batin telah dilakukan oleh
Betari Ayu. Sikapnya yang merenung tadi kini
dilepaskan dan ia memandang Suto Sinting seraya
berkata pelan, penuh kharisma.
"Telur Mata Setan memang ada!"
Kalimat itu membuat Selendang Kubur terperanjat.
Wajahnya terangkat memandangi Nyai Guru Betari Ayu.
Sementara di belakang sana, Teratai Kipas juga merasa
kaget dan mengangkat wajahnya menatap wanita anggun
dan bijaksana itu. Suto Sinting diam tak berucap kata, sedangkan Sumbaruni
menatap pula penuh harap.
"Aku melihat Telur Mata Setan ada di sebelah timur dari tempat ini. Bentuknya
sedikit lebih besar dari telur puyuh, kulitnya berwarna kuning emas. Keras
bagaikan besi. Telur itu hanya bisa dilubangi dengan suatu
kekuatan tenaga dalam yang bersumber dari napas
putih." "Apakah napas putih bisa diartikan hawa murni,
Guru?" tanya Selendang Kubur, kali ini memberanikan bicara karena yang
dibicarakan bukan soal pribadi.
"Pengertiannya bisa begitu. Napas putih bisa berarti hawa murni, bisa juga
berarti napas tuak," tutur Betari
Ayu langsung memandang Suto Sinting.
"Lalu di mana aku harus mengambil Telur Mata
Setan itu?"
"Lereng sebelah timur. Di sana ada gua yang sedang dipergunakan untuk bertapa
oleh seorang raja. Di dalam gua itulah terdapat Telur Mata Setan. Tersembunyi
dalam batu berongga."
Suto Sinting pandangi Sumbaruni yang memancarkan
cahaya berbinar-binar karena punya harapan akan pulih
seperti sediakala. Sebelum Suto berkata, Betari Ayu
bicara lebih dulu,
"Cari gua itu sebelum Resi Pakar Pantun
mendapatkannya lebih dulu!"
"Kalau begitu aku harus berangkat sekarang juga."
"Itu lebih baik."
"Aku titip Sumbaruni."
"Baik. Tapi biarkan Teratai Kipas mendampingimu
untuk pemandu jalan."
Sumbaruni berseru, "Tidak. Aku harus ikut!"
"Sumbaruni," kata Suto Sinting. "Pikiranmu memang dewasa, tapi sosokmu berbeda.
Sadarilah itu dan tetaplah di sini sampai aku mendapatkan obat itu untukmu.
Jangan mempersulit keadaan. Kalau aku gagal, yang
celaka kau sendiri, Sumbaruni!"
Sumbaruni tak bisa membantah, karena ia segera
menyadari bahwa ia tidak bisa banyak berbuat dalam
keadaan sekecil itu. Ia takut keikutsertaannya justru akan menggagalkan rencana
tersebut. Akhirnya ia hanya
berkata pelan kepada Suto, terutama setelah melirik
Teratai Kipas sebentar.
"Baiklah, aku tinggal di sini. Tapi jangan macam-
macam dengan gadis itu!"
Suto Sinting berbisik di telinga bocah kecil itu,
"Kurangi perasaan burukmu dan kecemburuanmu. Yang ada dalam hatiku hanya Dyah
Sariningrum, bukan
Teratai Kipas!"
"Aah...!"
Plok...! Tangan bocah kecil itu menabok wajah Suto sambil
cemberut dan buang muka. Rupanya hati Sumbaruni tak
suka mendengar nama Dyah Sariningrum. Tapi Suto
hanya tertawa, karena suatu saat Sumbaruni pasti bisa
diberi pengertian tentang hubungan cinta Suto Sinting
dengan Dyah Sariningrum.
Betari Ayu ikut melepas kepergian Suto Sinting.
Sumbaruni kecil digendong oleh Selendang Kubur.
Perasaan yang ada pada Selendang Kubur adalah
menggendong anak kecil yang masih polos. Karena ia
belum pernah bertemu Sumbaruni dalam keadaan besar,
maka ia tak terbayang akan keadaan yang sebenarnya.
Bahkan Sumbaruni pun melambaikan tangan kepada
Pendekar Mabuk ketika sang pendekar melangkah
melintasi pintu batas pesanggrahan.
Selama Sumbaruni menjadi bocah kecil, pakaiannya
masih tetap seperti semula. Pedangnya mengecil pula,
tetap ada di punggung. Seperti pedang mainan.
Seandainya dicabut atau dihunus dari sarungnya pun
tidak menimbulkan kesan berbahaya. Bahkan ketika di
Perguruan Tongkat Sakti, Sumbaruni sempat memainkan
pedang itu. Tapi tanpa jurus dan tanpa kesaktian apa
pun, sehingga terlihat seperti seorang anak kecil sedang bermain pedang-
pedangan. Betari Ayu mengetahui bahwa Sumbaruni punya rasa
cinta kepada Suto Sinting, tapi ia tidak mau melarang
Sumbaruni. Menurutnya, Suto Sinting bukan pria yang
mudah terbujuk dan terayu. Betari Ayu tetap yakin, hati pendekar tanpa pusar itu
hanya tertuju kepada adiknya; Dyah Sariningrum. Siapa pun akan kecele jika
mengharapkan balasan cinta dari murid si Giia Tuak itu.
Sepeninggalan Pendekar Mabuk, beberapa saat
kemudian pesanggrahan itu kedatangan dua orang tamu
yang tadi diceritakan oleh Suto Sinting. Orang itu adalah Resi Pakar Pantun dan
pelayannya; Kadal Ginting.
Sebelum Resi Pakar Pantun bicara, Betari Ayu sudah
mengetahui maksud kedatangannya. Tapi tamu tersebut
tetap saja disambut dengan baik dan dipersilakan duduk di ruang pertemuan khusus
untuk para tamu yang
singgah di puncak gunung itu.
"Tikar rombeng disangka sabuk kain
Digulung-gulung dipakai untuk selamatan
Aku datang tak punya maksud lain
Kecuali ingin tahu di mana tempat Telur Mata
Setan." "Resi Pakar Pantun," kata Betari Ayu dengan kalem dan ramah. "Mengapa kau datang
menemuiku untuk
menanyakan tentang Telur Mata Setan?"
"Tikar rombeng dipakai untuk membungkus peti
Burung perkutut hinggap di pucuk-pucuk daun
singkong Aku tahu kau seorang petapa sakti
Sekali kutanya kau tak mungkin berbohong."
Selendang Kubur memperhatikan kedua tamunya
penuh curiga. Sumbaruni berbisik kepada Selendang
Kubur, "Orang inilah yang diceritakan Suto tadi! Jangan beri tahukan padanya di
mana benda itu berada. Nanti
direbut olehnya."
"Nyai Guru tak bisa berbohong. Apa yang dia tahu, dia jawab tahu. Yang tidak
tahu ya dijawab tidak tahu."
"Celaka! Kalau Betari Ayu kasih tahu tempatnya,
bisa-bisa aku menjadi bayi dan tak bisa apa-apa lagi.
Resi ini ilmunya cukup tinggi. Aku cemas, takut kalau Suto Sinting tak bisa
mengalahkannya."
"Kita lihat saja apa kebijakan guruku dalam
menjawab pertanyaannya."
Terdengar pula Nyai Guru Betari Ayu berkata, "Resi Pakar Pantun... aku memang
tahu di mana letak Telur
Mata Setan itu, tapi itu sudah menjadi haknya seseorang.
Aku tak mungkin memberitahukan tempatnya karena
menghindari pertikaian antara kau dengan orang
tersebut."
"Tikar rombeng berlumur ribuan paku
Merebus kentang di mulut sang tamu
Jika kau tak mau menolongku
Bagaimana kalau aku menantangmu?"
"Aku tak mau lakukan pertarungan lagi, Resi Pakar Pantun. Tapi jika kau ingin
mengadu kesaktian
denganku, aku punya satu permainan...!" kata Betari Ayu dengan tetap tenang.
Kemudian ia melangkah ke
bawah pohon, mengambil sehelai daun kuning yang
jatuh karena layu. Daun itu lebarnya sedikit lebih besar dari daun telinga
manusia dewasa. Betari Ayu mendekati gugusan batu hitam yang ada di sudut
pekarangan. Batu
itu tingginya melebihi tinggi manusia dewasa. Dengan
gerakan lemah lembut, daun itu ditancapkan ke batu
hitam tersebut. Sleep...! Seperti ia menancapkan lidi ke atas agar-agar.
"Resi Pakar Pantun, tantanganmu kuterima dengan
cara mencabut daun ini."
"Apa maksudmu, Betari Ayu?"
"Jika kau bisa mencabut daun ini, maka akan
kuberitahukan tempat Telur Mata Setan itu. Tapi jika
kau tak mampu mencabut daun ini, berarti ilmumu
masih rendah, tak akan mampu melawan orang yang
sudah lebih dulu kuberitahu tempat Telur Mata Setan
itu." "Tikar rombeng dicabik-cabik lalu ditenun
Banteng di lumpur sering disangka barisan keluarga kutu


Pendekar Mabuk 038 Telur Mata Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jangan remehkan ilmu si Pakar Pantun
Gunung ini pun mampu kucabut dengan tangan
satu." Nyai Betari Ayu tersenyum lagi dan manggut-
manggut, lalu tangannya memberi isyarat dan mulutnya berkata sopan,
"Silakan, Resi...!"
"Kadal Ginting!"
"Saya di sini, Eyang Resi!"
"Cabut daun itu dari batu tersebut!"
"Baik, Eyang Resi. Bolehkah memakai 'tikar
rombeng' segala, Eyang Resi!"
"Terserah! Yang penting cabut daun itu!"
Kadal Ginting berjalan limbung seperti orang mabuk,
ia dekati batuan besar itu. Ia pejamkan mata beberapa saat, lalu tangannya
bergerak lamban naik ke atas dan mulutnya berkata,
"Tikar rombeng dipakai membuat baju... miskin
namanya! Hiaaat...!"
Wuuutt...! Tangan menyambar daun itu, tapi daun
bagaikan terpatri kuat dan tak mampu dicabut. Bahkan
dengan mengerahkan tenaga dalam hingga tangan dan
tubuh bergetar semua, tapi daun tetap menancap di batu itu. Akhirnya Kadal
Ginting terengah-engah dan jatuh
duduk terkulai.
"Bagaimana, Kadal Ginting" Mengapa daunnya
masih menancap di batu?" tegur Resi Pakar Pantun.
"Maaf, Eyang Resi... mungkin mantera tikar rombeng tidak mempan buat cabut daun
itu. Ganti pakai tikar
yang tidak rombeng saja, ya?"
Plakkk...! Kadal Ginting disepak pelan. Sepakan
pelan di bagian paha itu membuat tubuh Kadal Ginting
bergeser sejauh dua tombak. Tentu saja sepakan kaki itu sudah disertai dorongan
tenaga dalam yang lumayan
besar. "Betari Ayu..., tikar rombeng digondol kucing ke
sana-sini. Menyimpan pusaka jangan di dalam saku
Kalau memang aku tak bisa mencabut daun ini
Kuakui ilmumu lebih tinggi dari ilmuku."
Kemudian Resi Pakar Pantun pun pejamkan mata
sebentar, lalu daun itu diusapnya pelan-pelan bagaikan dibelai-belai. Dan tiba-
tiba tangan itu mencabut daun
tersebut dalam satu sentakkan mengagetkan. Suuutt...!
"Nah, kena...! Dan... dan...," Resi Pakar Pantun terbengong, karena yang ada di
tangannya bukan daun
melainkan rumput hijau yang entah di peroleh dari
mana. Sedangkan daun itu masih melekat di batu
tersebut, menyelip bagian ujungnya saja.
"Kurang ajar! Kenapa yang kudapatkan hanya sehelai rumput"!" gerutunya. Lalu ia
mengulangi lagi dengan kerahkan tenaga dalam hingga tangannya bergetar, dan
ia pun lakukan gerakan menyambar daun itu. Wuuuttt...!
"Nah, kena... ken... ken..."!" mata Resi Pakar Pantun terbelalak, ia jadi
terbengong, karena yang ada di
tangannya bukan daun melainkan beberapa helai rambut
pendek, ia bertanya pada diri sendiri, "Rambutnya siapa ini"!"
"Ram... rambut saya, Eyang! Tadi Eyang Resi
mencabutnya," kata Kadal Ginting sambil meringis, mengusap-usap kepalanya.
Betari Ayu, Selendang Kubur, dan Sumbaruni hanya
tersenyum-senyum geli. Perlahan-lahan tokoh tua itu
mendekati Betari Ayu dan menggeram jengkel.
"Kau memang unggul! Sekarang aku kalah. Tapi
kelak aku akan datang untuk menebus kekalahanku ini
dengan cara lain! Permisi!"
Resi Pakar Pantun segera pergi, Kadal Ginting
mengikutinya sambil masih mengusap-usap kepalanya
yang tadi terasa sakit karena rambutnya dicabut dari
jarak jauh. * * * 6 PERJALANAN menuju ke arah timur terhalang oleh
tumbangnya beberapa pohon yang saling rubuh menutup
jalan. Langkah Pendekar Mabuk dan Teratai Kipas
terhenti seketika. Mereka sama-sama berpendapat, tak
mungkin pohon itu tumbang dengan sendirinya dan
arahnya pun sama. Pasti ada orang berilmu tinggi yang
menumbangkannya dari kejauhan dan sengaja menahan
langkah Suto dan Teratai Kipas.
"Jangan-jangan orang yang kita temui di kedai tadi?"
bisik Teratai Kipas. "Orang berbaju putih yang duduk di meja seberang kita itu
tampaknya tertarik sekali dengan percakapan kita tentang Telur Mata Setan."
"Kurasa bukan dia," jawab Suto Sinting dalam bisik sambil membayangkan seorang
pembeli yang ditemuinya di dalam sebuah kedai, ketika Suto mengisi
bumbung tuaknya.
"Kau yakin bukan dia?"
"Ya, sebab kurasakan tak ada getaran tenaga dalam pada dirinya. Dia penduduk
desa lerang yang biasa-biasa
saja. Hanya tertarik dengan cerita Telur Mata Setan, tapi tidak bermaksud
memilikinya," tutur Suto menjelaskan.
Mata pendekar tampan itu melirik ke sana-sini mencari
siapa orang yang mengganggu perjalanannya dengan
menumbangkan pohon-pohon itu.
"Kita lewat arah kiri saja," bisik Teratai Kipas. Maka mereka pun sedikit
memutar arah melalui jaian kiri.
Tetapi beberapa saat kemudian, jalan itu pun tertutup lagi oleh tumbangnya empat
pohon; dua dari kiri dan
dua lagi dari kanan. Buuurrkk...! Keempat pohon itu
tumbang bersamaan. Langkah mereka pun terhenti
kembali dan kewaspadaan terpasang tajam-tajam.
Ilmu 'Lacak Jantung' dipergunakan oleh Suto Sinting.
Detak jantung orang lain terdengar ada di arah selatan.
Suto Sinting berbisik pelan,
"Arahnya ada di selatan, jumlahnya lebih dari satu orang!"
"Geser ke kanan sedikit. Kita pancing di tempat yang lega itu," Teratai Kipas
melangkah lebih dulu dan Suto Sinting mengikutinya dengan sikap santai, seolah-
olah tidak merasa terganggu apa pun juga.
Sampai di tempat yang lebih lega, mereka mulai
diserang dengan cahaya merah berlarik-larik bagaikan
menyergap secara bersamaan. Suto Sinting yang berjalan di belakang Teratai Kipas
segera berseru,
"Teratai...! Awas!"
Wuuutt, wuuttt...! Mereka saling melesat tinggi dan
hinggap di dahan pohon secara bersamaan. Sinar-sinar
merah yang jumlahnya lebih dari tiga larik itu
menghantam bumi dan menimbulkan ledakan dahsyat
yang mengguncang alam sekitarnya. Blegaarr...! Tanah
menyembur ke atas, lubang besar menganga bagaikan
tempat pembuangan sampah untuk satu desa.
"Gila! Dahsyat juga pukulannya"!"
"Tetaplah di sini," kata Suto Sinting. "Aku akan memancing mereka keluar dari
persembunyiannya!"
Setelah berkata begitu, Pendekar Mabuk melompat
turun dari pohon dan sengaja berdiri di tempat yang
mudah terlihat dari berbagai arah. Kejap berikutnya
melesat kembali satu sinar merah berbentuk seperti bola api sebesar genggaman
manusia dewasa. Wuuusss...!
Suto Sinting segera menggerakkan bumbung tuaknya ke
depan dada, dan sinar merah itu menghantam bumbung
tuak. Deess...! Sinar itu membalik arah dengan gerakan lebih cepat dan wujud
lebih besar lagi. Wuuusss...!
Blegaaarrr...! Dari balik dua pohon berjajar yang hancur dihantam
sinar merah itu muncul sesosok tubuh yang bersalto ke
atas. Kaki orang itu menjejak pohon besar, dan tubuhnya berbelok arah, melesat
ke tempat lega itu. Wuuutt!
Jleeg...! Orang itu mendarat dengan kaki tegak.
Ternyata ia adalah orang bertubuh kurus kering dengan wajah cekung, tulangnya
bertonjolan. Tapi ia
mempunyai kumis panjang, sedangkan rambutnya juga
panjang sepunggung tapi tidak begitu lebat.
Orang itu mengenakan pakaian loreng hitam-merah,
celana dan bajunya sama. Bajunya berlengan tanggung,
longgar, tidak dikancingkan, sehingga tulang iganya
yang bertonjolan keluar karena kekurusannya itu terlihat jelas bagi orang yang
berdiri di depannya. Orang itu
diperkirakan Suto berusia sekitar enam puluh tahun.
Rambutnya ditumbuhi uban tidak merata. Pinggangnya
bersabuk hitam, dan di sabuknya itu terselip sebuah
senjata; cambuk hitam-putih yang cukup panjang,
digulung dalam satu bentuk gulungan longgar, ujungnya
tampak diberi logam runcing warna putih mengkilap.
Tiga Dara Pendekar 13 Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long Kitab Pusaka 5
^