Pencarian

Tiga Dara Pendekar 13

Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen Bagian 13


menyambut senjata rahasia itu hingga kaitan tajam ini
menggantol di tengah telapak tangannya, dengan
menggunakan Lwekang-nya yang sudah sempurna, Kam
Hong-ti membikin telapak tangannya mendekuk dan
dagingnya tertarik kencang, karena itu kaitan tajam ini meski
menggantol telapak tangan, namun seperti menancap di atas
tumpukan kapas yang empuk saja dan tidak melukainya.
Habis itu Kam Hong-ti mengepal tangan, ia genggam kaitan
'Hwe-goan-kau' dengan kuat hingga kaitan ini patah menjadi
dua keping. Senjata rahasia kaitan itu adalah senjata rahasia yang khas
dari Han Tiong-san yang sudah terkenal, tetapi kini ternyata
kena dirampas oleh Kam Hong-ti, sudah tentu Han Tiong-san
makin menjadi murka dan terperanjat juga.
Menyusul segera ia melompat keluar kamar, kedua tangan
berbareng dipukulkan pula, tetapi dengan berkelit dan
membalik, kembali Kam Hong-ti gunakan satu tipu, dengan
kedua jarinya ia menggunting ke tengah antara jari jempol
dan telunjuk lawan, namun Han Tiong-san keburu menarik
tangan terus menyikut. Serang menyerang itu silih berganti, akhirnya mereka
melompat turun ke pelataran rumah pondokan itu untuk
mengukur tenaga lebih jauh.
Sesampainya di pelataran, Han Tiong-san sempat
mengeluarkan gamannya yang istimewa 'Pi-hun-tuh', pecut
penyingkap awan, pacul kecil ini biasanya digunakan Han
Tiong-san untuk menggali tumbuhan obat, meski panjangnya
hanya dua kaki, namun terbuat dari emas murni, oleh karena
itu sewaktu paculnya dihantamkan, di antara angin keras
membawa pula sinar mengkilap, apalagi di malam gelap, daya
serangannya menjadi lebih hebat.
Sudah tentu Kam Hong-ti tidak gentar, ia mainkan ilmu
pukulan yang hebat, tiap pukulannya membawa sambaran
angin yang menderu. Tengah mereka bertempur dengan sengit, tiba-tiba
terdengar Han Tiong-san bersuit aneh, menyusul dari kamar
sebelah barat kembali melompat keluar seorang, saat itu Kam
Hong-ti sedang menyerang dengan tipu 'Gua-poh-cin-cio'
(melangkah maju memberi pukulan), dengan tangan kiri ia
menyanggah pacul lawan, sedang telapak tangan kanan
menyodok hulu hati musuh, ketika mendadak ikut menerjang
maju, segera orang itupun menghantam untuk mematahkan
tenaga serangan Kam Hong-ti, sedang Han Tiong-san yang
paculnya sudah kena dihantam ke bawah, dengan cepat
ditarik kembali. Waktu Kam Hong-ti perhatikan, orang yang menerjang
datang ini ternyata adalah tokoh kenamaan Hing-ih-pay, tua
tetapi licik, ialah Tang Ki-joan. Karena itu, mau tak mau Kam
Hong-ti mengeluh juga, dengan Han Tiong-san seorang saja
sukar dilayani, apalagi ditambah pula seorang lawan tangguh.
"Tang-heng, hendaklah kau cegat jalan larinya, jangan
sampai dia berhasil lolos," seru Han Tiong-san kepada
kawannya itu. Han Tiong-san tergolong angkatan tinggi, dengan
perkataannya itu ia maksudkan tidak ingin main keroyok,
sudah tentu Tang Ki-joan paham akan maksudnya, dengan
tersenyum ia mundur kembali, tetapi tangannya sudah
menggenggam tiga buah 'Tau-kut-ting', paku penembus
tulang, dengan mata tak berkesip ia mengawasi kalangan
pertarungan. Karena pertarungan sengit antara Kam Hong-ti kontra Han
Tiong-san ini, semua tetamu yang menginap di rumah pondok
sama mendusin terkejut, mereka melongok keluar untuk
melihat apa yang terjadi.
Sementara itu Pek Thay-koan pun sudah siapkan diri.
"Kau jaga baik-baik Ki-lopek, jangan sembarang bergerak
dan meninggalkan dia," pesannya pada Hi Yang yang tinggal
di kamar sebelah. Habis itu ia pun berlari keluar dengan
maksud membantu Kam Hong-ti.
"Ha, Pek Thay-koan! Kiranya kau ada di sini juga! Bapak
mertuamu sedang marah padamu!" kata Tang Ki-joan dengan
gelak tertawa begitu nampak munculnya Pek Thay-koan.
"Ngaco-belo!" sahut Pek Thay-koan dengan gusar.
Namun Tang Ki-joan sudah mendahului, dengan sekali
ayun tangan, tiga buah paku penembus tulang yang sudah
disiapkan tadi disebarkan, tiap paku itu mengarah Hiat-to di
tubuh Pek Thay-koan. Tetapi semua ini hanya permainan enteng bagi Pek Thaykoan,
goloknya menyampuk jatuh 'Tau-kut-ting' pertama yang
sampai di atas kepalanya, menyusul ia angkat tangan kirinya,
ia jepit paku kedua dengan jari terus disentil ke atas, karena
itu paku ketiga kena dibentur hingga terjatuh.
Ilmu silat Pek Thay-koan di antara sesama saudara
seperguruannya sebenarnya hanya terhitung nomor empat,
tapi kepandaian dalam hal Am-gi atau senjata rahasia
sebaliknya terhitung nomor satu atau dua, oleh sebab itu,
dengan sendirinya kepandaiannya menyambut senjata rahasia
musuh juga lihai. Sudah tentu hal ini tidak diketahui Tang Ki-joan, dalam hati
ia membatin, "Mengapa Pek Thay-koan begini lihai?"
Maka ia tak berani berlaku ayal, kedua telapak tangannya
bergerak berbareng, satu mendorong dan yang lain menarik,
ia keluarkan tipu serangan hebat dari Hing-ih-pay.
Ketika Pek Thay-koan palangkan goloknya dan membabat,
dengan cepat Tang Ki-joan baliki tangannya, begitu cepat
dengan membawa angin keras, kembali ia memotong ke
bawah lambung kanan Pek Thay-koan.
Meski Pek Thay-koan coba membalas dengan dua kali
serangan senjata, namun tiap kali hanya mengenai tempat
kosong, bahkan berbalik ia sendiri harus mengegos ke sini dan
berkelit ke sana untuk menghindarkan rangsekan lawan.
Nampak Suhengnya terdesak, Kam Hong-ti rada kuatir,
karena sedikit meleng, hampir saja ia kena dilukai oleh pacul
Han Tiong-san. Sementara Tang Ki-joan masih menggerakkan tangannya
secepat angin, di samping menyerang ia bermaksud merebut
senjata Pek Thay-koan. Namun Pek Thay-koan tidak unjuk
kelemahan, dengan gerakan 'Boan-liong-jiau-poh' (ular naga
melingkar memutar langkah), ia berputar berikut goloknya,
lalu mendadak dengan tipu 'Gan-lok-ping-soa' (burung belibis
hinggap di pesisir), ia balas menyerang, dari kececar ia
hendak perbaiki kedudukannya.
Tak terduga Ciang-hoat (ilmu pukulan) Tang Ki-joan benarbenar
hebat dan pantas menjadi tokoh Hing-ih-kun,
sekonyong-konyong ia menggerakkan kedua tangannya,
telapak tangan kiri me-nyampuk senjata orang, sedang
telapak tangan kanan terus menekan ke bawah sembari
menggertak, "Kena!"
Seketika tertampak Pek Thay-koan roboh, girang sekali
Tang Ki-joan, segera ia hendak memburu maju, tapi baru saja
melangkah, tiba-tiba Pek Thay-koan ayun tangannya dan
membentak. "Kalau menerima tanpa memberi itu kurang
hormat! Awas jarum!"
Menyusul terpancar sinar perak gemilapan menyilaukan dan
menerbitkan suara bercicit yang ramai. Keruan Tang Ki-joan
terkejut, lekas ia meloncat tinggi lebih setombak, ia kibaskan
lengan bajunya dengan cepat, meski berhasil menyapu bersih
Bwe-hoa-ciam yang dihamburkan Pek Thay-koan, namun tidak
urung ia kerepotan juga hingga kalang-kabut.
Bwe-hoa-ciam atau jarum berekor bentuk bunga sakura
yang dilatih Pek Thay-koan sebenarnya spesial disediakan
untuk melayani Liau-in, jarum ini luar biasa lihainya. Tatkala
pemuda ini ada di Thian-hing-to tahun lalu, pernah ia unjuk
kemahirannya ini. Kepandaian Tang Ki-joan masih belum
memadai Liau-in, maka terhadap senjata rahasia yang lembut
ini, mau tak mau ia merasa jeri.
Karena itu ia harus berlaku lebih sigap, begitu ia tancapkan
kaki ke bawah, segera ia merangsek pula, pukulannya saling
susul, gerak tubuhnya pun banyak berubah, hanya tertampak
tubuhnya melayang kian kemari seperti berputar mengitari
Pek Thay-koan dengan cepat, ia sengaja membikin repot Pek
Thay-koan, menghadapi serangannya ini tak sempat ia
mengambil senjata rahasia lagi.
Cara pertempuran berputar ini sebenarnya hanya
digunakan orang yang berkepandaian tinggi melawan musuh
yang lebih lemah dan sudah jelas berada di pihak menang.
Beruntung dalam hal ini meski Pek Thay-koan rada lemah dari
lawannya, namun selisihnya tidak terlalu banyak, maka waktu
ia diserang dengan cepat, berbalik ia memakai siasat meladeni
secara tenang dan lambat, dengan demikian ia masih sanggup
paksakan diri menahannya.
Setelah berjalan tak lama, pukulan Tang Ki-joan makin
lama makin kencang dan menyambar secepat angin, sekalipun
Pek Thay-koan melayaninya dengan tidak kalah tangkasnya
dengan golok yang bersinar gemerdep, namun tetap tak
mampu menyenggol tubuh musuh, terpaksa ia hanya bisa
menjaga rapat dirinya, sungguhpun demikian, masih tetap ia
rasakan pukulan orang sambar-menyambar di mukanya.
Di pihak lain, kekuatan Kam Hong-ti dan Han Tiong-san
ternyata seimbang dan setanding, sebenarnya Kam Hong-ti
tak mungkin dikalahkan, tapi di samping ia harus
menguatirkan keselamatan Pek Thay-koan, betapapun hal ini
mempengaruhi juga, maka Han Tiong-san segera unjuk
permainan paculnya yang meliputi 108 jurus dengan
perubahan yang susah diraba sebelumnya, ketika nampak
Kam Hong-ti rada lemas segera ia perkencang serangannya
dengan tipu yang mematikan.
Dalam keadaan terdesak dan genting, sekonyong-konyong
terdengar Kam Hong-ti bersiul panjang, mendadak ia balas
menyerang dengan sebelah telapak tangannya, ia bikin pacul
lawan tergoncang pergi, habis itu ia terus melayang pergi
sejauh lebih setombak. "Awas piau!" tiba-tiba ia membentak.
Dengan sendirinya Han Tiong-san siapkan paculnya untuk
menanti serangan lawan. Sementara itu Kam Hong-ti sudah
melepaskan tiga buah anak panah yang bersuara, yang satu
bersuara panjang dan yang dua pendek, begitu keras suara
aungan anak panah yang menjulang ke angkasa ini hingga
memekak telinga. Han Tiong-san menjadi heran, ia sudah siap menghadapi
serangan senjata rahasia orang, ternyata anak panah yang
dilepas Kam Hong-ti tidak diarahkan padanya melainkan ke
udara. "Permainan apakah itu?" bentaknya, mengira senjata
rahasia orang mungkin punya keajaiban juga, maka ia siapkan
pacul untuk menghadapi segala kemungkinan, sedikitpun tidak
berani gega-bah. Justru keadaan demikian ini yang diharapkan Kam Hong-ti,
tidak disia-siakan lagi kesempatan ini, segera ia menubruk ke
arah Tang Ki-joan secara mendadak, dengan tipu pukulan
'Kim-liong-tam-jiau' (naga emas mengulur cakar) ia
menggebuk dengan keras punggung Tang Ki-joan.
Mengerti dirinya diserang dari belakang, Tang Ki-joan
membalik tangan buat menangkis, tetapi mana ia sanggup
menandingi tenaga raksasa Kam Hong-ti yang hebat, ia kena
didorong pergi sejauh lebih setombak dan hampir saja jatuh
terjerembab. Han Tiong-san menjadi gusar nampak kawannya
kecundang, ia melompat maju, begitu mengayun pacul,
segera ia mengadang di depan Kam Hong-ti.
Dalam pada itu Tang Ki-joan yang telah merasakan
gabrukan tangan Kam Hong-ti, semula masih belum
merasakan apa-apa, tapi kemudian lantas merasa miang
tubuhnya rada sakit. Di antara saudara seperguruan, Kam Hong-ti punya
Lwekang hanya di bawah Liau-in, yang digunakan tadi adalah
tenaga tersembunyi, sekalipun jagoan seperti Tang Ki-joan,
setelah merasakan pukulannya, tidak urung banyak berkurang
juga ketangkasannya, waktu bertempur melawan Pek Thaykoan,
gerak tubuhnya menjadi tidak segesit tadi. Dengan
demikian, meski Pek Thay-koan masih tetap berada di bawah
angin, namun sudah tidak terlalu payah lagi seperti tadi.
Pertarungan sengit ini berlangsung hingga satu jam, karena
itu semua tetamu dalam rumah penginapan bangun terkejut
semua, ada yang sedikit bernyali besar, mereka coba
melongok keluar melalui jendela. Begitu pula Thauke rumah
penginapan itu menjadi kuatir dan kelabakan, tapi tak berani
memisahkan perkelahian itu.
"Lekas lapor polisi saja!" terdengar entah tetamu mana
yang berteriak. Mendengar seruan itu, diam-diam Kam Hong-ti mengeluh,
segera ia kirim beberapa kali serangan, menyerang untuk
mundur. Rupanya Han Tiong-san dapat menerka maksudnya. "Huh,
masih ingin '.ari?" ia mengejek. Menyusul Pi-hun-tuh berputar
dan menyambar dengan cepat, ia tidak memberi kesempatan
pada lawan buat kabur. Di sebelah sana walaupun Pek Thay-koan masih dapat
menahan lawannya, tapi ia pun tak bisa lolos dari tekanan
pukulan Tang Ki-joan. Kembali pada Lu Si-nio, tatkala nona ini mendengar suara
mengaungnya panah pertandaan dari saudara perguruannya
di bukit Kat-nia, segera ia kembali dengan cepat.
Rumah penginapan yang mereka tinggali terletak di kaki
gunung, membelakangi bukit dan menghadap telaga, ketika
Lu Si-nio sampai di tepi telaga, tiba-tiba dilihatnya dari depan
datang seorang penunggang kuda secepat terbang, melihat
jurusannya rupanya hendak menuju ke kota.
Lu Si-nio tergerak pikirannya nampak orang begitu cepat
melarikan kudanya, mendadak ia meloncat ke atas pada waktu
berpapasan dengan penunggang kuda itu, sekali jambret ia
seret orang itu, saking kagetnya kuda itu meringkik terus lari
ke pinggir jalan. "Siapa kau?" tanya Lu Si-nio membentak.
"Eh, bukankah tuan ini Li-siangkong yang.tinggal di kamar
depan rumah penginapan kami?" tiba-tiba orang itu berseru.
Baru sekarang Lu Si-nio mengenali bahwa orang ini adalah
tukang kuda penginapan dimana mereka menginap itu.


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Di penginapan kedatangan perampok dan sedang
bertempur dengan kawan tuan di sana, lekas tuan tamu
lepaskan aku!" pinta tukang kuda itu sambil menutur, rupanya
ia cukup tabah juga. "Baiklah, kau pergi melapor yang berwajib, aku segera
pulang bantu menangkap perampok," ujar Lu Si-nio sambil
melepas orang. Dalam pada itu diam-diam Lu Si-nio menjemput sebiji batu
krikil dan menimpuk kaki kuda tunggangan orang sehingga
pincang, kuda itu meringkik kesakitan, lalu berlari tidak jauh
ke depan, di sana ia berhenti menanti tuannya.
Sudah tentu tukang kuda tidak jelas akan Lu Si-nio, apa
orang baik atau orang jahat, tapi melihat orang mau
melepaskan dirinya, tanpa pamit lagi segera ia kabur pergi
dengan mencemplak kudanya.
Sementara Kam Hong-ti dan Pek Thay-koan sedang
terdesak dengan hebat dan kepayahan, lebih-lebih kedudukan
Pek Thay-koan yang sangat membahayakan karena Tang Kijoan
telah merangsek terus-menerus.
"Pat-moay!" tiba-tiba Pek Thay-koan berseru kegirangan.
"Meski kau panggil ibu juga percuma!" ejek Tang Ki-joan.
Namun belum habis perkataannya, tiba-tiba tertampak
berke-lebatnya sinar putih, kiranya Lu Si-nio secepat angin
telah menubruk tiba. Keruan Tang Ki-joan sangat terkejut, ia mengegos dan
sebelah tangannya terus memukul ke pundak lawan, namun
Lu Si-nio cukup sigap, dengan gerak tipu 'Sin-liong-tiau-siu'
(naga sakti putar kepala), sekonyong-konyong pedangnya
berputar balik, sekalipun Tang Ki-joan cukup sebat berkelit,
namun tidak urung lengan bajunya terkupas sebagian.
"Angin kencang, tarik lekas!" Tang Ki-joan berteriak dalam
bahasa Kangouw, maksudnya berseru pada kawannya agar
lekas lari karena berbahaya.
Di pihak sana, mendadak Han Tiong-san membungkuk
tubuh, dari punggungnya mendadak menyambar keluar
sebuah anak panah berapi, salah satu senjata rahasia
penolong di waktu ia terancam bahaya, serangan ini oleh Lu
Si-nio telah ditangkis dengan pedang, akan tetapi mendadak
anak panah ini meledak dengan menerbitkan suara keras, Lu
Si-nio kaget dan lekas melompat ke samping, syukur ia tidak
terbakar. Ketika nampak yang datang ialah Lu Si-nio, mana Han
Tiong-san berani bertempur lebih lama lagi, lekas ia melayang
ke atap rumah terus kabur bersama Tang Ki-joan.
"Kita tak dapat tinggal lagi di sini," ujar Kam Hong-ti
setelah keadaan reda. Dengan cepat segera ia pergi mencari si Thauke
penginapan, katanya pada pemilik rumah penginapan, "Terus
terang kami adalah orang Pang-hwe (perkumpulan) yang
bertemu musuh di sini, kami tidak ingin merembet dirimu,
maka lekas kau bikin perhitungan biaya penginapan kami,
sekarang juga kami akan segera berangkat."
Perkelahian orang Pang-hwe pada zaman itu adalah soal
biasa, tetapi pemilik penginapan itu menjadi ketakutan hingga
mukanya pucat, mana berani ia terima pembayaran lagi,
namun Kam Hong-ti juga tidak ingin makan dan menginap
gratis, ia tinggalkan sepuluh tahil perak baru berangkat.
Sementara itu Hi Yang sedang menanti di dalam kamar
dengan tak sabar, ia mendengar suara pertarungan seru di
luar yang ramai, tapi tak berani secara gegabah membuka
jendela dan melongok keluar, kemudian ketika suara ribut
lenyap dan sunyi, tidak lama pula Pek Thay-koan bertiga pun
sudah kembali "Ada apakah" Siapa yang dipergoki Kam-tayhiap?" tanya Hi
Yang. "Sudahlah tak usah tanya lagi, lekas bebenah, sekarang
juga kita harus berangkat!" sahut Pek Thay-koan.
"Ki-lopek!" terdengar Kam Hong-ti memanggil.
Tertampak Ki Teng-hong membalik di tempat tidur dan
mendadak bangkit duduk. "Ki-lopek, baik-baikkah kau?" dengan girang Lu Si-nio
berseru juga. "Sungguh ganas sekali pukulan anak perempuan itu, syukur
aku mendapat pertolongan kalian berdua," sahut Ki Tenghong.
"Go-ko, harap kau yang menggendong Ki-lopek, biar aku
dan Pat-moay mengawal di belakang," kata Kam Hong-ti mulai
mengatur dengan cepat. ">
"Para murid 'Siu-jiang-su-ih' adalah pemuda yang berjiwa
patriot dan cinta tanah air, kalau Kam-tayhiap belum ada
tempat yang cocok, tiada halangannya menyingkir ke sana
buat sementara," kata si orang tua she Ki.
"Itulah baik sekali!" sahut Kam Hong-ti.
Namun Lu Si-nio merencanakan pekerjaan lain. "Chit-ko,"
katanya, "aku akan mengunjungi gubernuran sekali lagi."
"Buat apa kau ke sana?" tanya Pek Thay-koan.
"Orang penginapan telah melaporkan peristiwa tadi, bila
Liau-in mengetahui kita berada di sini, dengan sendirinya ia
akan datang ke sini juga," Lu Si-nio menerangkan.
"Tahulah aku akan tujuan Pat-moay," ujar Kam Hong-ti
tertawa, "itu namanya tipu 'memancing harimau meninggalkan
gunung'. Bila Liau-in kemari hendak menangkap kita, maka
kita sebaliknya pergi menolong Loh-suheng."
"Lu-cici, akal ini memang bagus, tetapi kau sudah terlalu
letih semalaman, kau harus mengaso dahulu," ujar Hi Yang.
"Tak perlu," sahut Lu Si-nio tertawa.
Setelah mengisi perut dengan sedikit makanan kering dan
minum secangkir air, maka berangkatlah Lu Si-nio, ia
keluarkan ilmu entengi tubuhnya yang luar biasa, ia melompat
ke atas rumah terus menuju ke tempat sasaran.
Kembali mengenai Li Ti dan Pang Lin, setelah mereka
berdua turun dari Kat-nia, meski sudah dibujuk oleh Li Ti,
Pang Lin tetap marasa tak aman.
"Eng-moay, Kam-tayhiap mengerti dirimu adalah anak kecil,
tak nanti ia gusar padamu," kata Li Ti menghibur.
Begitulah selang tak lama, mereka berdua sudah sampai di
sekitar penginpan tempat tinggal Kam Hong-ti dan kawankawan,
selagi mereka hendak maju, mendadak terlihat ada
satu pasukan opas pemerintah yang sedang meronda di luar
penginapan. "Celaka, lekas kita lari!" kata Pang Lin pada kawannya.
Pada saat itu juga, dari dalam penginapan tahu-tahu berlari
keluar seorang Hwesio yang bukan lain ialah Liau-in.
Begitu nampak Pang Lin, Liau-in menjadi murka. "Hm, kau
pengacau cilik ini hendak lari kemana?" bentaknya sambil
kebutkan lengan jubahnya yang lebar, ia jinjing tongkatnya
yang bulat kasar terus mengudak dengan cepat.
"Li-koko, harap kau tahan dia sebentar, aku bantu kau
dengan senjata rahasia," pinta Pang Lin pada Li Ti.
Dalam pada itu Liau-in masih menguber terus, meski
Ginkang Hwesio ini belum memadai Lu Si-nio, namun
dibanding Pang Lin tentu ia tak kalah. Oleh karena itu, tak
antara lama ia sudah mengudak sampai di belakangnya, ia
ulur tangannya yang besar terus menjambret ke atas kepala
anak dara itu. Namun belum sampai gadis cilik itu kena dipegang, tibatiba
sinar putih mengkilap menyambar dari samping, rupanya
Li Ti menusuk dari samping dengan pedangnya, tipu
serangannya aneh dan cepat pula, terpaksa Liau-in harus
menarik kembali tangannya yang sudah diulur tadi terus
memotong ke samping. Di lain pihak, Pang Lin yang bebas dari ancaman bahaya
juga tidak tinggal diam, sekali tangannya mengayun balik,
segera ia persen orang dengan dua batang belati terbang, tapi
dengan gampang saja Liau-in telah gagalkan serangan ini,
tongkatnya menyabet ke atas, dan kedua pisau itu kena
dibentur hingga terpental ke angkasa terus jatuh ke tengah
telaga. Sementara itu Pang Lin masih terus berlari, ia dikejar
belasan opas dengan menunggang kuda, sedang Liau-in yang
hendak mengejar juga telah dipapaki pula oleh Li Ti dengan
dua kali tusukan. "Cari mampus kau!" bentak Liau-in dengan mendongkol.
Berbareng dengan tipu 'Siok-lui-kik-teng' (petir menyambar
kepala), tongkatnya segera mengemplang ke kepala Li Ti.
Pemuda inipun cukup tangkas, ia berkelit terus menikam ke
dada Liau-in, tipu serangan ini salah satu tipu yang mematikan
dari ilmu pedang ajaran Pek-hoat Mo-li, waktu itu Liau-in
sedang menghantamkan tongkatnya, dengan sendirinya
tubuhnya tak terjaga, Li Ti menyangka serangannya ini pasti
akan mengenai sasarannya, tak terduga Liau-in sama sekali
tidak berusaha menghindarkan serangan ini, ia hanya putar
tongkatnya hingga berwujud satu bundaran, dengan demikian
Li Ti segera merasakan satu kekuatan yang maha besar
mendorong padanya, karena itu ia tak bisa menguasai diri lagi,
ia terdesak mundur dua tindak, senjatanya pun melenceng ke
samping tersampuk angin tongkat musuh.
Menyusul terdengar suara bentakan Liau-in, tongkatnya
bergerak lagi dan menyerampang pula.
Li Ti terperanjat, tak berani paksakan diri buat menangkis,
ia hanya memutar tubuh dengan enteng gesit, sekonyongkonyong
ia berusaha mendahului menyerang ke sebelah kiri
musuh. Tetapi dengan tongkat menegak Liau-in dapat
menggagalkan serangannya.
Begitulah dengan cepat mereka berdua saling gebrak
hingga dua tiga puluh jurus, Li Ti mainkan pedangnya secepat
kilat, senantiasa berusaha agar senjatanya tidak sampai
beradu dengan tongkat lawan. Sampai puncak pertarungan
ini, sinar pedang gemerdep, Li Ti kembali mengarah 'Hong-huhiat'
di pundak Liau-in. Tetapi Liau-in menyambut serangan ini, ia angkat
tongkatnya terus disurung sekalian, tak terduga ilmu pedang
Li Ti ternyata berlawanan dengan Kiam-hoat umumnya,
kelihatan ia mengarah ke kiri, tetapi mendadak bisa berubah
arah dan menusuk ke jurusan lain, ketika Liau-in geraki
tongkatnya, tahu-tahu merasa sambaran angin tajam yang
hebat, ujung senjata orang sudah sampai di pundaknya, lekas
Liau-in kerutkan pundak ke bawah, sedang telapak tangan kiri
menjambret ke depan. Sebenarnya ujung pedang Li Ti sudah menempel di pundak
Liau-in, tetapi tiba-tiba meleset hingga ia kehilangan
keseimbangan badan, berbalik ia sendiri kena dicengkeram
pergelangan tangannya hingga tak mampu berkutik,
pedangnya pun ikut lepas dari cekalan dan jatuh ke lantai.
Setelah berhasil menawan Li Ti, segera tubuh pemuda ini
diangkat Liau-in terus hendak dibanting ke bawah, syukur
mendadak Liau-in urungkan maksudnya.
"Kau ini anak murid siapa?" tiba-tiba Liau-in bertanya.
"Kalau hendak bunuh, boleh bunuh saja, untuk apa banyak
ba-cot!" sahut Li Ti dengan ketus.
Namun Liau-in ternyata berpikiran lain, bahwa pemuda ini
punya Kiam-hoat sangat aneh lagi lihai, agaknya tidak di
bawah Lu Si-nio, lebih baik jangan sembarangan menghabisi
jiwanya. Karena pikiran ini, ia berkata pula, "Kau sanggup sambut
aku hingga lebih tiga puluh jurus, kau terhitung juga seorang
gagah, biar sementara aku ampuni jiwamu!"
Sembari berkata ia pun perkencang cengkeraman
tangannya, ia pencet hingga pemuda ini merasa seluruh
tubuhnya kaku linu, seakan miang retak berantakan, nyata
Liau-in telah pergunakan ilmu 'Hun-kin-cho-kut' atau ilmu
memisahkan otot dan membikin keseleo tulang. Dengan
siksaan ini, tertampak jidat Li Ti meneteskan keringat sebesar
kedelai, suatu tanda siksaan badan yang luar biasa, tapi Li Ti
terhitung jantan juga, merintih sedikitpun tidak.
Melihat kejantanan pemuda ini, mau tak mau diam-diam
Liau-in memuji, kemudian ia perintahkan bawahannya buat
meringkus pemuda itu, ia sendiri mencemplak kudanya terus
mengejar ke depan pula. Sementara itu Pang Lin sedang berlari dengan cepat
laksana kesetanan, ia dikejar oleh belasan opas penunggang
kuda, tapi anak dara ini banyak akal, ketika orang sudah dekat
dan hampir menyan-dak dirinya, sekonyong-konyong ia
mengayun tangannya, maka menyambarlah dua batang belati,
ia incar dua penunggang kuda yang paling depan.
Kepandaian Pang Lin menimpuk pisau terbang diperoleh
dari Ciong Ban-tong, pendekar ahli waris cabang Pho-Jing-cu,
tiap pisau mengandung racun, dengan kejituan timpukannya
itu, pisau terbangnya menancap mata kuda hingga racun
seketika bekerja dengan cepat, karenanya kedua kuda yang
terkena segera menjadi buta, saking kesakitan hingga kudakuda
itu mendengking keras dan berjingkrak lari serabutan tak
keruan tujuan, penunggangnya pun terbanting roboh, masih
untung mereka tidak terbanting mampus.
Karena serangan tiba-tiba itu, opas yang berada di
belakang seketika merandek dan tertegun, kesempatan ini
digunakan Pang Lin untuk berganti napas, sesudah itu secepat
terbang ia berlari ke depan. Sebaliknya para opas jadi
tercengang dan saling pandang.
"Masakah seorang anak kecil saja tak bisa kita tangkap,
buat apa kita jadi opas!" ujar pemimpin pasukan opas itu
dengan mendongkol. Habis itu, ia pimpin bawahannya
mengudak lagi. Ketika kejar-mengejar sudah dekat pula, kembali Pang Lin
menimpuk roboh dua opas dengan pisau terbangnya seperti
tadi. Kejadian seperti ini terulang pula beberapa kali hingga
akhirnya kantong senjata Pang Lin hanya tersisa dua buah
Hui-to saja, maka tak berani sembarang ia habiskan senjata
rahasia ini. Kawanan opas itu terus menguber semakin kencang,
sampai pada suatu tikungan jalan, tiba-tiba dari depan
tertampak debu mengepul tinggi, sepasukan tentara
berpapasan mendatangi, dari panji pengenal pasukan ini dapat
terlihat dengan jelas tertulis satu huruf 'Lian' sebesar gantang,
bendera ini tertiup angin hingga bersuara.
Ketika bintara pasukan yang jalan di depan mendadak
nampak seorang anak perempuan berlari datang dengan
cepat, sedang di belakangnya menyusul tujuh delapan opas
sedang mengudak, bintara ini rada heran juga.
Dalam pada itu seorang perwira rendah lain dengan
tombak siap tampil ke depan, ia tuding Pang Lin dengan ujung


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tombaknya dan membentak, "Berhenti!"
Tetapi gertakan ini mana bisa membikin kuncup Pang Lin,
dara cilik ini dibesarkan di istana Si-hongcu, putra pangeran
keempat, pembesar negeri macam apa yang tidak pernah
dilihatnya" Apalagi hanya seorang perwira rendah seperti ini.
Maka ia tidak menjadi gugup ketika nampak ujung tombak
orang diarahkan padanya, balikan ia mengulur tangannya
yang kecil terus meraih senjata orang, menyusul dengan sekali
tarik ia seret perwira itu jatah tersungkur ke bawah kuda.
"Berdiri!" Pang Lin balas menggertak dengan menirukan
lagak lagu orang tadi. Perwira itu menjadi gusar, apalagi ia jatah di tangan
seorang anak kecil. "Berani betul kau anak kecil ini, siapa namamu?" ia
membentak dengan murka. "Siapa namamu?" kembali Pang Lin menirukan suara orang.
Dalam pada itu beberapa opas pengejar beruntun sudah
sampai juga, ketika nampak pasukan tentara besar di hadapan
mereka, dengan sendirinya mereka tak berani sembarangan
bertindak. Maka lebih dulu kepala opas maju memberi hormat
dan lapor pada perwira pemegang bendera kebesaran.
"Bocah ini heridak kami tangkap atas perintah Po-kok
Siansu," demikian ia menutur. .
"Siapa itu Po-Kok Siansu?" tanya perwira itu. Nyata ia tak
kenal siapa Liau-in. "Kabarnya anak kecil ini adalah orang istana Si-hongcu
yang melarikan diri, Si-hongcu telah mengirim orang buat
mencari dan menangkapnya, Po-kok Siansu adalah orang yang
Si-hongcu kirim itu," tutur kepala opas.
"O, kiranya begitu," sahut perwira itu, kini sikapnya
berubah. "Baiklah, kau tunggu dulu."
Segera ia lapor ke atasannya.
Selagi bintara tadi marah karena sikap Pang Lin, para
prajurit sudah merubung maju, menyaksikan lagak Pang Lin
seperti orang dewasa, mereka menjadi geli dan tertarik pada
anak dara itu, maka mereka berkerumun lebih rapat lagi buat
menonton apa yang bakal terjadi.
Sebaliknya bintara yang tombaknya kena dicekal Pang Lin
menjadi serba salah, sekonyong-konyong ia menyurung
tombaknya ke depan dengan keras sambil membentak, "Mau
lepaskan tidak?" "Mau lepaskan tidak?" lagi-lagi Pang Lin menirukan
gertakan orang sembari tersenyum. Berbareng diam-diam ia
gunakan tenaga dalamnya dan menarik tombak yang masih
dipegangnya, saking kerasnya bintara itu terseret jatuh
tersungkur. Melihat atasan mereka jatuh terjungkal di bawah tangan
seorang anak perempuan, diam-diam para prajurit itu menjadi
geli. Sebaliknya bintara itu dari malu menjadi gusar, ia
melompat bangun terus menghantam serabutan.
Saat itu juga, sekonyong-konyong prajurit yang
berkerumun tadi bubar terpencar, tertampak seorang
panglima muda dengan menunggang seekor kuda yang tinggi
besar sedang mendatangi dengan perlahan.
"Siapakah yang berani bikin onar di sini?" terdengar
panglima muda itu membentak.
Perwira tadi seketika menjadi kuncup, lekas ia berhenti
berkelahi terus berdiri ke samping. "Anak perempuan ini yang
bikin kacau di sini!" ia melapor.
Akan tetapi Pang Lin pun tidak mau kalah, ia pun segera
buka suara. "Apa kau panglima pasukan tentara ini?" ia
bertanya. "Mengapa kau tidak punya disiplin dan membiarkan
bawahanmu menghina anak kecil!"
Waktu panglima itu mengamati, ia lihat anak dara itu
tersenyum simpul dan sangat menarik, sebaliknya perwira tadi
babak be-lur, mukanya bengkak dan pakaian kotor,
keadaannya mengenaskan, terang perwira ini telah kecundang
dan kena dipermainkan, ia jadi geli dan terheran-heran pula.
"Kau bocah ini datang darimana" Mengapa berkelahi
dengan perwiraku?" ia menegur lagi.
"Aku menempuh jalanku sendiri, tetapi ia sengaja hendak
merintangi aku!" sahut Pang Lin dengan berani.
Sementara itu perwira yang lain telah maju melapor lagi,
"Lapor wakil panglima, menurut keterangan opas dari
Hangciu, katanya gadis cilik ini orang dari istana Si-hongcu."
Mendengar laporan ini, tertampak panglima muda itu
berubah air mukanya. "Kau pergi mempersilakan Tay-swe
(panglima besar) datang kemari," ia memberi perintah.
"Tidak perlu kau urus aku darimana, aku tidak mencuri,
tidak merampok dan tak melanggar undang-undang, sekalipun
si tua Kaisar sendiri pun tidak bisa merintangi aku," demikian
Pang Lin mendebat lagi. "Mulutmu sungguh tajam sekali," ujar panglima muda itu
dengan tertawa. Ia berhenti sejenak, habis itu ia bertanya
pula, "Ilmu silatmu kau belajar dari siapa?"
"Kau boleh tanya, tapi aku tak sudi memberitahu padamu!"
sahut Pang Lin. "Coba kau unjuk sejurus ilmu pukulanmu!" dengan tertawa
panglima muda itu berkata.
"Aku bukan tukang mengamen orang Kangouw, buat apa
bikin pertunjukan untuk kau" Jika mau, boleh coba kita adu
kepandaian saja," jawab Pang Lin.
"Baik, biar aku bertanding dengan kau," panglima muda itu
terima tantangannya dengan tertawa, segera ia pun turun dari
kuda. "Jika aku yang menang, kau harus lepaskan aku pergi,"
Pang Lin mengajukan syaratnya.
"Sudah tentu, kini kau boleh mulai menyerang," sahut
panglima itu. Kiranya pasukan tentara ini di bawah pimpinan Lian Kenghiau,
sedang panglima muda ini adalah wakilnya yang
bernama Gak Ciong-ki. Sejak Lian Keng-hiau menggabungkan diri di bawah Sihongcu
In Ceng, kemudian ia banyak mempelajari kitab siasat
militer selama empat tahun. Setelah genap berumur delapan
belas, Si-hongcu mencalonkan dia buat memimpin pasukan
tentara mengikuti pasukan ekspedisi jenderal Hu Nai
menaklukkan suku bangsa Junggar (Dzungria) di daerah
barat-laut sehingga berjasa besar, sekembalinya lalu diangkat
menjadi Congping (panglima setingkat kolonel), kemudian naik
pangkat pula menjadi Te-tok (setingkat jenderal), seluruhnya
makan tempo tidak sampai tiga tahun, dari satu perwira
bawahan naik pangkat hingga komandan suatu pasukan
besar, kecepatan naik pangkatnya dalam sejarah kerajaan
Manchu boleh dikata tiada bandingannya. Padahal usia Lian
Keng-hiau kini tidak lebih baru 21 tahun.
Mengenai diri Gak Ciong-ki, katanya adalah keturunan dari
Gak Hui, panglima tersohor pada dinasti Song, usianya kinipun
tidak lebih baru dua puluh dua tahun, ia pun orang angkatan
dari Si-hongcu. Sama seperti Lian Keng-hiau, ia pandai ilmu
silat dan mahir siasat militer, karena usia mereka sebaya,
kesukaan dan cita-cita pun sama, dengan kerja sama
memimpin suatu pasukan, hubungan mereka menjadi sangat
baik. Bedanya, jika Gak Ciong-ki orangnya sabar dan banyak
memberi kelonggaran pada bawahannya, adalah sebaliknya
Lian Keng-hiau berlaku tegas, disiplin militernya keras sekali.
Oleh karena itu, prajurit dan perwira bawahannya terhadap
Lian Keng-hiau takut sekali, sebaliknya malah lebih akrab
dengan Gak Ciong-ki. Begitulah sewaktu Gak Ciong-ki melihat gadis cilik berumur
tiga atau empat belas tahun seperti Pang Lin bisa
menjatuhkan perwiranya, ditambah lagi memang Pang Lin
menarik dan menyenangkan, ia menjadi ingin menggoda anak
dara ini, maka ia sengaja terima tantangan anak dara ini buat
bertanding. Pang Lin memang bocah nakal, begitu Gak Ciong-ki
bersuara baik, segera ia pun mendahului mengulur kaki
menendang lutut Gak Ciong-ki.
Lekas Gak Ciong-ki sedikit membungkuk dengan maksud
menangkap kaki kecil anak dara ini, namun secepat angin
Pang Lin ganti serangan, ia menampar dengan kedua telapak
tangannya. "Bagus!" seru Gak Ciong-ki, dengan kedua tangannya ia
menangkis ke bawah terus diangkat ke atas buat balas
menghantam. Tenaga Gak Ciong-ki cukup kuat dan keras, tetapi karena
ku-atir melukai Pang Lin, maka ia tak berani keluarkan seluruh
tenaganya. Tak terduga justru karena keragu-raguannya ini
berbalik ia sendiri hampir kena dihantam. Sementara Pang Lin
ganti telapak tangannya menjadi kepalan, dengan tipu 'Liusing-
koa-gwe' (bintang meluncur memburu rembulan),
kepalan yang kecil segera mengarah ke tempat berbahaya di
perut lawan. Terkejut sekali Gak Ciong-ki atas serangan ini, lekas ia
putar tubuh, ia ayun tangannya buat menggagalkan hantaman
lawan cilik ini. Dalam hati ia membatin juga, "Mengapa gerak
serangan dara cilik ini sedemikian kejam?"
Karena itu, rasa sukanya pada Pang Lin tanpa terasa lenyap
sebagian. Dalam pada itu Pang Lin kembali merangsek, ia gunakan
kaki dan tangan berbareng, ia maju selangkah, kepalan kanan
ditarik buat melindungi diri, sedang tangan kiri berubah
menjadi telapak terus menghantam ke depan sebelah kiri
bawah, tipu serangan ini adalah satu di antara ilmu pukulan
Siau-lim-kun yang lihai. Ketika Gak Ciong-ki memapaki pukulan orang di tengah
jalan, beruntun Pang Lin gunakan kakinya lagi, susul-menyusul
ia menendang, kakinya menendang 'Pek-hai-hiat' di lutut atas
dan kaki kanan menendang 'Cok-pin-hiat' di bawah lutut Gak
Ciong-ki. Ini adalah ilmu tendangan berantai dari Thay-co-kun'
cabang utara. Dalam keadaan terdesak terpaksa Gak Ciong-ki harus
gunakan tipu gerakan ajaran leluhurnya, dengan 'Co-yu-gaykiong'
(mementang busur dari kanan kiri), lalu 'Thok-thianhoan-
jit' (menyanggah langit menukar matahari), dengan
beberapa gerakan ini baru ia bisa mengelak serangan tadi.
Meski kecil orangnya, tapi kepandaiannya tidak bisa
dibilang rendah, makin lama Pang Lin makin mengganas,
serangannya cepat, gerakannya lincah, perubahan pukulannya
beragam dari berbagai cabang silat, tiba-tiba kepalan, tahutahu
berubah menjadi telapak tangan.
Diam-diam Gak Ciong-ki terheran-heran, sama sekali tidak
diduganya bahwa anak semuda Pang Lin bisa mempelajari
ilmu silat begitu banyak macam dan tipu serangan yang aneh
dan lihai. Karena perawakan Pang Lin kecil, di waktu menggunakan
tipu serangan yang beraneka itu, ia selalu memilih tempat
sebelah bawah dan terus menggempur, dengan demikian Gak
Ciong-ki dipaksa melayani lawannya yang cilik ini dengan
membungkuk, keruan lama-lama panglima ini merasakan rada
payah. Selang tak lama, tiba-tiba prajurit yang berkerumun
menonton tadi jadi sunyi-senyap tanpa suara, maka tahulah
Gak Ciong-ki, pasti Lian Keng-hiau sudah datang. Dalam hati
ia lantas berpikir, "Jika aku tak bisa menangkap anak kecil,
bukankah nanti dibuat buah tertawaan olehnya."
Sebab pikiran ini, mukanya menjadi merah jengah, segera
ia kencangkan pukulannya dan tidak mengalah lagi.
Gak Ciong-ki adalah keturunan panglima ternama, ilmu
pukulan 'Gak-keh-kun' pun tidak kalah bagusnya, meski Pang
Lin bisa bermacam ilmu silat cabang lain, namun
bagaimanapun ia masih terlalu mjhda, tenaga lemah,
latihannya belum masak. Setelah Gak Ciong-ki melayani dia
dengan sungguh-sungguh, segera berbalik di pihak terdesak.
Begitu hebat Gak Ciong-ki mencecarnya dengan pukulan
keras, setelah belasan jurus, sama sekali Pang Lin sudah tak
sanggup mendekati lawannya lagi.
"Kini kau mau mengaku kalah tidak, nona cilik?" dengan
tertawa Gak Ciong-ki bertanya.
Namun Pang Lin tidak menjawab, bungkam segala bahasa,
ia mundur dua tindak lalu sekonyong-konyong mengayun
tangan, menyusul dua sinar mengkilap hitam keemasan
menyambar ke depan secepat kilat.
Gak Ciong-ki kaget oleh serangan senjata rahasia ini, ia
insyaf senjata gelap ini pasti berbisa, lekas ia sedikit
mengegos sambil angkat jari tangannya menyelentik dengan
cepat, dengan tepat ia sentil batang pisau terbang yang
pertama dan jatuh ke lantai. Sementara belati yang kedua
menyambar datang lagi dengan cepat, Gak Ciong-ki tak
keburu menjentiknya, ia pun tak berani menyambut dengan
tangannya, maka terpaksa ia kerutkan tubuh buat berkelit,
dengan demikian belati itu menyambar lewat di atas
kepalanya. "Kena!" mendadak terdengar Lian Keng-hiau membentak.
Dengan cepat Gak Ciong-ki melompat ke samping.
Suara bentakan itu begitu keras dan berpengaruh,
berwibawa yang tak bisa dibantah, sekalipun Pang Lin yang
biasanya sangat nakal, tidak urung terkaget juga, lekas ia
hentikan serangannya. Ternyata belati melayang lewat di atas kepala Gak Ciong-ki
tadi justru telah mengarah ke jurusan Lian Keng-hiau dan
dengan tepat kena ditangkapnya. Dengan memegang belati
itu Lian Keng-hiau memeriksanya bolak-balik dengan teliti, ia
sedang berpikir tanpa berkata.
"Pisau terbang ini beracun, buat apa Tay-swe
memegangnya dengan resiko," tutur Gak Ciong-ki pada
atasannya itu. Dengan singkat Lian Keng-hiau hanya menjawab, "Ah, tak
apa." "Anak gadis ini sangat aneh, mungkin betul orang dari
istana pangeran keempat," kata Gak Ciong-ki pula.
Secara samar-samar Lian Keng-hiau menyahut sekali, air
mukanya berubah, namun tetap tidak menjawab.
Sikap ini membikin Gak Ciong-ki heran. Sudah tiga tahun ia
mendampingi Lian Keng-hiau, tetapi belum pernah ia saksikan
atasannya ini bersikap begitu tegang. Biasanya, meski berada
di medan perang betapa dahsyatnya, selamanya Lian Kenghiau
tetap memimpin pasukannya dengan tenang.
"Seumpama anak perempuan ini betul-betul orang istana


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pangeran, tidak perlu juga Tay-swe keder padanya, buat apa
harus peras pikiran dan termenung gugup," begitulah pikir
Gak Ciong-ki. Tentu saja Gak Ciong-ki tidak tahu bahwa Lian Keng-hiau
dibesarkan bersama Pang Lin, Lian Keng-hiau lebih tua tujuh
tahun daripada dara cilik ini, di masa kecil sering ia
menggendongnya, hubungan mereka laksana kakak-beradik
saja. Tetapi sejak guru mereka, Ciong Ban-tong, tewas kena
cakar berbisa Sat Thian-ji, Pang Lin digondol pergi oleh Siangmo
dan disembunyikan dalam istana pangeran, semenjak itu
mereka berdua tak pernah berjumpa lagi.
Pernah juga Lian Keng-hiau mendengar dari Liau-in,
katanya Si-hongcu sangat menyukai Pang Lin, setelah Siangmo
membawanya masuk istana, Si-hongcu lantas mencekoki
anak dara itu dengan semacam obat bubuk istimewa, setelah
minum obat itu, semua kejadian dan pengalaman yang lalu
lantas lupa seluruhnya. Cerita itu tadinya oleh Lian Keng-hiau diangggap sepele
saja, malah ia berpikir, "Setan cilik yang sangat cerdik itu, ada
baiknya juga kalau dibikin lupa semua kejadian yang dulu."
Begitulah dalam sekejap saja sudah tujuh tahun mereka
berpisah, kini Lian Keng-hiau sudah dewasa, dalam setahun
dua tahun terakhir ini ada juga kaum bangsawan di kotaraja
yang menawarkan jasa baik untuk mencarikan jodoh baginya.
Pada saat demikian, entah mengapa terkadang Lian Keng-hiau
lantas teringat pada Pang Lin, ia ingin tahu gadis ini
bagaimanakah rupanya setelah meningkat dewasa. Kadang
Lian Keng-hiau teringat juga bahwa anak dara ini sudah
kehilangan ingatan masa silam, bila bertemu berhadapan
mungkin sudah tak kenal padanya. Jika teringat hal ini, tiap
kali lantas terasa hampa.
Tadi Lian Keng-hiau telah mendapat laporan bahwa ada
seorang anak, dara sedang membikin onar di depan pasukan,
tiba-tiba pikirannyajadi tergerak. Maka dia menuju ke sana
buat melihat sendiri. Ketika melihat Pang Lin sedang
bertempur, ia terkejut dan berpikir kemungkinan besar anak
dara ini pasti 'dia' adanya. Dugaan ini makin menjadi kuat
ketika ia menyambuti pisau terbang yang di-sambitkan Pang
Lin. Lian Keng-hiau adalah satu-satunya murid ahliwaris Ciong
Ban-tong, kepandaiannya menggunakan pisau terbang sudah
tentu jauh lebih mahir dari Pang Lin, bahkan begitu nampak
sambaran pisau, segera pula ia mengetahui sampai dimana
tingkat kepandaian orang.
Sementara itu, demi nampak Lian Keng-hiau, mendadak
hati Pang Lin terguncang juga, ia pikir, mengapa orang ini
seperti sudah pernah kukenal, cuma entah dimana"
"Nona cilik, sini ikut aku, ingin kutanya padamu," terdengar
Lian Keng-hiau menyapa dahulu.
"Baik, kau boleh tanya," sahut Pang Lin, biji matanya yang
jernih mengerling. Segera Lian Keng-hiau perintahkan ajudannya membawa si
nona ke atas keretanya, habis itu ia berpesan pada Gak CiongTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
ki, "Semua opas Hangciu itu ditahan, perintahkan pasukan
agar tidak boleh membocorkan peristiwa ini."
Gak Ciong-ki heran sekali atas perintah ini, tapi biasanya
Lian Keng-hiau sangat memegang teguh disiplin, terpaksa ia
harus menurut dan tak berani bertanya.
Sesudah Lian Keng-hiau berada di atas kereta, ia suruh
Pang Lin duduk di sebelahnya, ia coba mengamati paras si
nona yang memerah apel, dekik di pipinya lapat-lapat
kelihatan, wajah di waktu anak-anak masih dapat dikenalinya.
"Katakanlah terus-terang, betulkah kau orang dari istana
pangeran?" tanya Keng-hiau kemudian.
"Kalau betul mau apa?" sahut Pang Lin.
"Tinggal dalam istana pangeran bukankah enak sekali,
mengapa kau lari dari sana?" tanya Keng-hiau pula.
Pertanyaan ini membikin Pang Lin menjadi kikuk, mukanya
berubah merah. "Tidak perlu kau tahu!" jawabnya kemudian.
"Si-pwelek telah memerintahkan Po-kok Siansu buat
menguber kau supaya kembali ke istana, apa kau tahu?"
"Aku tak sudi kembali ke sana!"
"Mengapa?" "Bilang tidak ya tidak, perlu apa kau tanya terus!" sahut
Pang Lin rada aseran. "Bukankah Si-pwelek sangat baik padamu?" desak Kenghiau
pula. "Ehm, baik ...."si nona tak meneruskan, sebaliknya
matanya menjadi merah, kemudian ia berkata lagi, "Kau
panglima apa, mengapa kau tanya aku sedemikian banyak?"
Teguran ini membikin Lian Keng-hiau rada tercengang, ia
jadi kuatir juga, ia pikir jika kelak nona ini kembali ke istana
dan melapor pada pangeran bahwa aku pernah bertanya
demikian padanya, mungkin In Ceng ikan timbul curiga.
"Aku nasehatkan lebih baik kau pulang saja," katanya
kemudian. "Hm, kiranya kau ini sangat busuk!" sahut Pang Lin tibatiba.
Omelan ini membikin Lian Keng-hiau menjadi bingung.
"Busuk" Mengapa aku sangat busuk?" ia bertanya.
"Kau sendiri senang dan bebas memimpin pasukan di luar,
sebaliknya kau nasehatkan aku kembali ke istana untuk terima
siksaan," kata Pang Lin.
"O, kiranya kau masih suka bermain di luar," ujar Lian
Keng-hiau dengan tertawa.
. Ucapan ini membikin Pang Lin terheran. "Darimana kau
tahu aku suka bermain?" ia bertanya dengan mata terbuka
lebar. Kembali Lian Keng-hiau tercengang sejenak. Tetapi segera
ia tenangkan diri. "Melihat wajahmu, aku lantas tahu kau suka bermain!"
sahutnya kemudian dengan tertawa ewa. "Kau suka bermain
tidak jadi soal asalkan tidak melarikan diri, jika hanya
mengeluyur keluar istana pesiar sebentar, aku kira Si-pwelek
tidak akan melarang kau, tetapi kotaraja yang begitu luas apa
kurang tempat pesiar buat kau?"
Mata Pang Lin tampak memerah seakan ingin menangis.
"Kau ini betul-betul sangat busuk!" dampratnya lagi dengan
gusar. Keruan Lian Keng-hiau makin heran dan bingung. "Kenapa
bilang aku busuk lagi?" tanyanya dengan mengerut kening.
"Mengapa kau terus mendesak agar aku kembali ke istana
pangeran?" jawab Pang Lin.
"Aku nasihatkan kau kembali ke istana buat menikmati
kebahagiaan, apakah itu busuk?" tanya Keng-hiau.
"Mengapa tidak busuk" Mati pun aku tak sudi pulang ke
sana!" sahut Pang Lin tegas.
Terguncang hati Lian Keng-hiau oleh jawaban itu, begitu
pasti dan tegas Pang Lin mengucapkannya, tampaknya dalam
hal ini tentu ada sebab-musababnya.
. Maka berkatalah dia kemudian, "Baiklah, kalau begitu aku
tak akan berkata begitu lagi. Kau boleh sembunyi dalam
kereta ini, tetapi jangan sembarang bergerak."
"Baik, bila Po-kok Siansu datang, sekali-kali jangan kau
beri-tahukan padanya," sahut Pang Lin dengan girang.
Lian Keng-hiau tidak menjawab lebih lanjut, ia singkap tirai
kereta dan memanggil perwira bawahannya.
"Semua opas dari Hangciu tadi boleh penggal kepalanya!"
ia memberi perintah. Keruan perwira itu terkejut, akan tetapi Lian Keng-hiau
sudah mendesak lagi, "Lekas pergi, perintahkan pasukan,
tidak boleh bocorkan rahasia ini!"
Tindak-tanduk Lian Keng-hiau memang keras dan kejam,
sedikit tak menyukai hatinya setiap waktu ia bisa membunuh
orang, hal ini sudah biasa bagi bawahannya. Tidak nyana
opas-opas Hangciu yang tak berdosa itupun dibunuh olehnya.
Maka dalam sekejap kepala beberapa opas itu sudah berpisah
dengan tubuhnya. Waktu Gak Ciong-ki mendapat berita kejadian itu, hendak
dicegah juga sudah terlambat.
Lian Keng-hiau lantas memerintahkan agar membakar
mayat opas-opas itu dan dipendam.
Setelah orang dibunuh dan mayat dibakar, Lian Keng-hiau
memberi perintah pasukannya berangkat menuju ke Hangciu.
Tidak jauh perwira pembuka jalan datang melapor,
katanya, "Ada hwesio dengan membawa tongkat besar,
mukanya bengis, menyebut dirinya sebagai Po-kok Siansu,
katanya adalah sobat baik Tay-swe dan ingin bertemu."
"Baik, aku sendiri segera sambut dia!" sahut Lian Kenghiau,
ia tahu Liau-in sudah datang.
Mengenai Liau-in, sesudah ia berhasil menawan Li Ti,
dengan 'Hun-kin-cho-kut-hoat' ia pencet bagian tertentu pada
tubuh pemuda itu, maka dalam dua belas jam ia taksir Li Ti
tidak bisa pulih kembali kekuatannya. Kemudian ia
menyerahkan Li Ti kepada jago pengawal dari gubernuran
yang bukan lain ialah Ong Hun dan Han Cin-seng, yaitu dua
pengawal pilihan pada waktu dulu Tang Ki-joan mewakilkan Li
Wi menjadi pengujinya. Kepandaian Ong Hun dalam 'Thi-soa-cio' (telapak tangan
pasir besi), cukup dalam latihannya, sedang Han Cin-seng
punya kekuatan bagian kaki yang cukup tangkas, meski ilmu
silat Li Ti cukup tinggi, tapi dalam dua belas jam keadaannya
mirip orang cacat saja, ditambah dua pengawal menjaga di
sampingnya, tak mungkin ia mampu kabur.
Begitulah Liau-in suruh Ong Hun dan Han Cin-seng berdua
menggiring kembali Li Ti ke kota, sedang ia sendiri
mencemplak kudanya terus mengejar ke depan.
Setelah belasan li jauhnya tiba-tiba dari gili-gili sawah di
pinggir jalan menerobos keluar dua opas sembari berteriak
memanggil Po-kok Siansu! Nampak mereka babak-belur dan muka bengkak, Liau-in
tegur mereka dan bertanya apa yang telah terjadi. Maka
berceritalah kedua opas itu cara bagaimana Pang Lin
menjungkalkan mereka dengan pisau terbangnya.
"Budak liar itu betul-betul kurangajar!" damprat Liau-in
dengan gusar. Tetapi bila ia pikir lagi, anak dara itu hanya
mengincar kuda dan tidak menyambit orangnya, tampaknya
masih tidak terlalu ugal-ugalan.
Lalu Liau-in memberi tanda agar kedua opas kembali dulu.
ia sendiri melanjutkan pengejarannya. Tidak berapa jauh,
kembali ia dihadang dua opas dan menuturkan nasib mereka,
keruan Liau-in makin kalap.
Begitu seterusnya tiap beberapa li ditemukan dua anggota
opas yang jatuh terbanting, seluruhnya telah ia jumpai
delapan orang, ketika Liau-in menghitung opas yang
mengudak Pang Lin, ternyata sudah ada separoh yang kena
dilukai oleh gadis cilik itu. Pikirnya, "Pisau berbisanya
seluruhnya ada dua belas buah, kini telah terpakai delapan
buah untuk melukai delapan opas, sebelum itu sudah kupu-kul
jatuh dua batang, kalau demikian kini hanya tinggal dua pisau
saja, paling banyak ia hanya sanggup melukai dua orang lagi,
aku ingin tahu bagaimana dengan opas yang masih ada itu."
Segera Liau-in melarikan kudanya lebih kencang, setelah
lima enam li, ternyata tiada lagi opas yang terluka, diam-diam
ia heran. Sekonyong-konyong ia merasakan sambaran angin halus,
kuda tunggangannya tiba-tiba melengking panjang terus
kabur cepat ke depan, Liau-in menjadi gusar, dengan kuat ia
kempit kencang dengan kakinya, mendadak kudanya
meringkik, menyusul binatang ini lantas roboh menggeletak.
Bukan main terperanjat Liau-in, lekas ia melompat turun
dari kuda sambil membentak, "Siapa berani membokong aku!"
Tiada jawaban atas bentakannya ini. Tetapi tiba-tiba
terdengar suara keleningan yang dikocak dengan ramai,
menyusul tertampak seorang 'Kangouw-long-tiong' (tabib
pengembara) dengan memikul peti obat di sebelah pikulannya
dan tangan menggoncangkan keleningan sedang turun dari
lereng bukit di tepi jalan sana.
"Tabib ajaib melebihi Hoa Toh, mahir mengobati segala
penyakit, tidak peduli manusia atau kuda, bila perlu boleh
tanya!" demikian tabib pengembara itu berteriak sembari
mengguncang kele-ningannya. Suara keleningan berbunyi riuh
tiada hentinya. Pikiran Liau-in tergerak demi nampak munculnya tabib yang
mendadak ini, waktu ia lihat kudanya lagi, binatang itu
ternyata sudah tidak bernyawa.
Tidak kepalang rasa kejut Liau-in oleh kejadian ini,
biasanya ia bangga sekali atas ilmu silat sendiri yang tiada
tandingan di kolong langit, tetapi binatang tunggangannya
disergap orang, malah sama sekali ia tidak tahu cara
bagaimana orang turun tangan. Pikirnya, "Apa mungkin
matinya kuda ini karena kejadian di luar dugaan dan bukan
terkena senjata gelap seseorang?"
Sementara itu terdengar si tabib kelana tadi telah berseru
lagi, "Incar kuda tidak incar orang, sengaja memberi sedikit
kelonggaran, ingin berobat hendaklah lekas, jangan sampai
lewat lohor!" Air muka Liau-in berubah, tahulah kini bahwa orang
berteriak sengaja ditujukan padanya. Segera ia bersiap
dengan mengumpulkan seluruh tenaga untuk menghadapi
segala kemungkinan. "Baiklah, kau boleh mengobati aku!" segera ia panggil tabib
itu. Tabib itu mendekat sambil pegang peti obat dan menjinjing
galah pikulannya. Begitu sudah dekat, sekonyong-konyong
Liau-in menggertak keras, ia ayun tongkatnya terus
mengemplang ke atas kepala si tabib dengan cepat luar biasa.
"Sebagai seorang padri, berlaku begini kasar, mana bisa
dikatakan orang suci lagi?" si tabib tertawa mengejek.
Sementara tongkat Liau-in telah berada di atas kepalanya,
melihat si tabib sama sekali tidak hendak melawan, maka
Liau-in bermaksud mengampuni jiwanya, ia sedikit menggeser
tongkatnya dan menghantam ke pundak.
Masih juga tabib kelana itu tidak bergerak sedikitpun,
namun tidak gentar juga, ketika tongkat orang sudah dekat di
atas pundaknya, saat itulah baru mendadak ia mengegos ke
samping, sedang galah pikulan yang ia pegang terus
ditangkiskan ke atas. Keruan beradunya dua senjata tak bisa
dihindarkan lagi, segera terdengar suara nyaring yang keras di
samping meletiknya lelatu api, maka terasalah oleh Liau-in


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

genggaman tangannya kaku kesemutan dan tongkatnya
hampir terlepas dari tangannya.
Sebaliknya si tabib terhuyung-huyung mundur dua tindak
ke belakang, berulang-ulang ia berkata, "Sayang, sayang!"
Sekali saling gebrak, Liau-in menjadi terkejut, ia pun
menjadi gusar, ia tahu Lwekang orang ternyata tidak di bawah
dirinya. Maka tanpa ayal ia putar tongkatnya, dengan gerakan
menyerampang ia menyabet ke pinggang orang.
Tetapi dengan memalangkan galah pikulannya yang
istimewa, kembali tabib itu menangkis pergi tongkat lawan.
Tetapi Liau-in bisa berlaku cepat, ia menyerobot maju,
tongkatnya menyodok dengan cepat, tipu serangan ini disebut
'Jing-liong-chut-hay' (naga hijau keluar dari lautan), tipu ini
termasuk salah satu tipu serangan yang mematikan.
Waktu itu galah si tabib sudah terayun keluar, untuk
menarik kembali buat menjaga diri sudah tak keburu lagi,
sedang Liau-in telah keluarkan seluruh tenaganya, ia menduga
sekali ini lawan pasti tak berdaya.
Tetapi dugaannya ternyata meleset, tahu-tahu tabib itu
hanya sedikit berkelit, ia gunakan gagang galahnya yang
terbuat dari perunggu untuk menyampuk perlahan, dengan
demikian tongkat Liau-in terpental pergi. Lekas Liau-in
mengulur sedikit tongkatnya buat memunahkan tenaga orang
yang lihai, lalu ia melompat mundur sejauh lebih setombak.
"Siapa kau, lekas beritahu namamu, tongkat tuanmu tidak
memukul manusia yang tak terkenal!" Liau-in lantas
menyentak lagi: Namun bentakannya ini disambut ganda tertawa oleh si
tabib. "Hwesio gede, aku bukan bangsawan, juga bukan
hartawan, bila kau ingin minta sedekah padaku, kau pasti
bakal kecewa," tabib itu malah sengaja menggoda dengan
tertawa mengejek. "Siapa yang minta sedekah padamu!" bentak Liau-in
murka. Segera ia putar tongkatnya hingga membawa
sambaran angin yang keras, ia menempur si tabib lagi dengan
sengit. Karena Liau-in sudah murka, ia keluarkan seluruh tenaga
pada tongkatnya, maka sekali ini tak bisa dipandang enteng
lagi, bayangan tongkatnya sambar-menyambar dan angin
menderu laksana seekor naga yang menari di angkasa. Di luar
dugaan, galah pikulan tabib itupun tidak kalah hebatnya, ia
pun memutar galahnya sedemikian rupa hingga suara angin
bergemuruh dan sinar mengkilap berkelebatan, nyata tabib
itupun tidak mau mengalah selangkah pun.
Begitulah mereka saling labrak tanpa ada yang mau
mengalah, meski lima puluh jurus sudah berlalu, namun
keadaan masih tetap sama kuat, tiap kali tongkat dan galah
pikulan saling bentur, maka meletiklah lelatu api dan dan
tangan kedua orang itu merasa sakit pedas, mereka harus
menggenggam kencang senjata masing-masing bila tidak ingin
kebentur hingga terpental.
Nampak lawan setangguh ini, diam-diam Liau-in sangat
terperanjat, dalam hati ia coba menghitung semua tokoh silat
pada zaman ini yang masih ada. di antara mereka yang bisa
bergebrak sama kuat dengan dirinya boleh dikata jarang sekali
dan terbatas, siapa kira mendadak muncul seorang tabib
gelandangan yang ilmu silatnya begini tinggi, bahkan
tampaknya masih berada di atasnya.
Tak lama kemudian, tiba-tiba si tabib mengubah gerak
silatnya, dengan cepat tangan kirinya mengambil genta kecil
yang terbuat dari perunggu, ketika Liau-in menyabet dengan
tongkatnya secara hebat, mendadak si tabib meloncat ke atas,
berbareng genta dibunyikan dengan riuh di tepi telinga Liauin.
"Kurangajar, berani kau permainkan tuan Buddhamu?"
bentak Liau-in gusar dan mendongkol. Ia angkat tongkatnya
menyampuk galah pikulan lawan, kemudian tongkatnya
diputar, dalam sekejap saja sekelilingnya yang tampak
bayangan Liau-in melulu, tongkatnya seperti berubah menjadi
ratusan bahkan ribuan, ia kepung si tabib begitu rapat laksana
tak tertembus angin. Ini adalah 'Thian-mo-theng-hoat' (ilmu
tongkat iblis sakti) ciptaan Liau-in sendiri, kepandaian ini
jarang ia keluarkan terkecuali bila ketemukan musuh yang
kuat. "Bagus, kepandaian apa lagi yang kau miliki, keluarkan saja
sekalian!" sahut tabib itu tak gentar, bahkan ia tertawa
menggoda. Meski ia melayani Liau-in dengan tertawa, namun gerak
tangannya tidak pernah terlambat, galah pikulannya tetap ia
mainkan dengan cepat lagi rapat, ia menutup ke depan dan
menangkis ke belakang, ia menyampuk ke samping atau
menghindar ke pinggir, semua tempat terjaga tanpa lubang.
Malahan di bawah sambaran angin tongkat lawan, gentanya
terus berbunyi tiada hentinya.
Walau Liau-in sudah mainkan ilmu tongkat 'Thian-motheng-
hoat' yang paling lihai, namun tetap tak lebih unggul
daripada lawannya, sebaliknya bunyi keleningan musuh
bahkan bertambah ramai, si tabib malahan menambah pula
dengan lagak dan polahnya yang lucu, mulutnya pura-pura
berkemak-kamik membaca mantera segala.
Keruan pikiran Liau-in jadi kacau, karena godaan suara
keleningan yang riuh ramai itu, permainan tongkatnya lamalama
mulai kendor, sudah tentu kesempatan ini tidak disiasiakan
oleh si tabib, ia mulai melakukan serangan balasan,
dari pihak diserang berubah menjadi pihak yang menyerang.
Karena itu Liau-in berbalik menjadi kewalahan, dan hanya
jadi kecundang bila tidak mendadak si tabib menghentikan
serangan. "Ada pasukan tentara datang, maafkan aku tak bisa
menemani kau terus, biar kelak bila sudah dekat hari ajalmu
aku datang lagi buat mengantar nyawamu ke surga," tiba-tiba
tabib itu berkata dengan tertawa. Habis ini ia menarik galah
pikulannya terus hendak pergi.
Saking dongkolnya Liau-in tak mau melepaskan orang
begitu saja. "Lari kemana!" ia membentak, berbareng
tongkatnya menye-rampang.
Serangan ini ternyata tak ditangkis si tabib, ia hanya
menggoyang tangan kirinya, tiba-tiba lengan bajunya yang
lebar mengibas balik, seketika itu pandangan mata Liau-in
menjadi kabur, lekas ia tarik kembali tongkatnya buat
melindungi diri, ketika ia pentang lebar matanya, ia lihat si
tabib sudah pergi jauh ke atas bukit terus kabur dengan
cepat! Sesudah Liau-in tenangkan pikiran, ia membatin orang
yang bisa menggunakan lengan baju sebagai senjata hanyalah
ilmu serangan 'Liu-hun-hui-siu' (lengan baju terbang seperti
awan meluncur) yang diwariskan Pho Jing-cu dari Bu-kek-pay,
apakah mungkin tipu serangan yang dipakai si tabib tadi ilmu
rahasia yang jarang dijumpai itu" Dan kalau begitu seharusnya
ia adalah keturunan dari aliran Pho Jing-cu" Akan tetapi ahli
waris Bu-kek-pay hanya satu orang saja, yakni Ciong Bantong,
lagi pula gerak tubuh si tabib bukan orang dari Bu-kekpay,
mengapa ia bisa menggunakan tipu serangan 'Liu-hunhui-
siu' yang hebat itu"
Dengan penuh tanda tanya dalam hati, ia ketuk tongkatnya
ke tanah penuh penyesalan, sebab inilah peristiwa yang
menyedihkan baginya, sejak tampil di Kangouw, kecuali
terhadap Ie Lan-cu, boleh dikata kekalahan pertamanya yang
memalukan. Kekalahannya terhadap Ie Lan-cu tidak dibuat
gegetun olehnya, karena tingkat Ie Lan-cu adalah sejajar
dengan gurunya, bila ia kalah dapatlah dimengerti, tetapi kini,
terhadap seorang tabib gelandangan yang tak dikenal arah
juntrungannya ia pun harus kecundang, sungguh merupakan
suatu pukulan hebat baginya.
Begitulah tengah Liau-in termenung, tiba-tiba debu
mengepul tebal, di depan sana, satu pasukan tentara telah
datang. "Sungguh tajam telinga si tabib itu, di waktu pertarungan
sengit ia masih sanggup membagi perhatiannya untuk
mendengar suara yang datang dari lereng bukit sebelah sana!"
demikian pikir Liau-in lagi, ia jadi makin masgul melihat betapa
lihainya orang dalam segala hal.
Saat ia memandang, terlihat bendera pertandaan pasukan
melambai tertiup angin tertulis satu huruf 'Lian' yang besar, ia
menjadi girang sekali, ia segera tahu siapa adanya komandan
pasukan tentara ini. Pikirnya, "Lian Keng-hiau si bocah ini
sungguh cepat sekali kembalinya, tentu budak cilik tadi telah
dia cegat di tengah jalan!"
Kembali pada diri Lian Keng-hiau, setelah dia
menyembunyikan Pang Lin, ia sendiri lantas keprak kudanya
memapak ke depan pasukan, ia turun dari kuda sambil
memberi hormat, para prajurit sama berdiri tegak di samping
pemimpin mereka. "Hahaha! Laute sungguh hebat, seperti panglima besar di
atas panggung sandiwara saja," kata Liau-in sambil tertawa
lebar demi nampak Lian Keng-hiau.
Kata-kata yang cukup menusuk perasaan ini membikin Lian
Keng-hiau rada kurang senang, mukanya berubah, tetapi
dengan cepat ia bisa kendalikan diri.
"Po-kok Siansu, maafkan Siau-ciang (panglima kecil) masih
berjubah perang maka tak dapat menjalankan
penghormatan," sahut Lian Keng-hiau kemudian dengan
tersenyum. "Silakan Siansu menukar kuda, marilah kita jalan
berendeng buat bercakap-cakap."
Perwira bawahannya segera menyediakan seekor kuda dan
segera dicemplak oleh Liau-in.
"Laute, begitu kau menjadi jenderal, kau lantas banyak
pakai tata cara segala, buat aku yang kasar ini, tentu tidak
paham dan tak sungkan lagi," ujar Liau-in dengan tertawa.
"Eh, apa kau lihat si budak cilik itu?"
Terhadap Lian Keng-hiau, senantiasa Liau-in memandang
dia sebagai seorang bocah dan anggap diri sendiri sebagai
angkatan tua, oleh karena itu ia tidak sungkan untuk berkata
apapun, sudah tentu hal ini membikin Lian Keng-hiau kurang
senang. Akan tapi pemuda ini memang pintar membawa diri,
ia mengerti Liau-in adalah orang yang diagulkan Si-hongcu,
oleh sebab itu ia sangat menghormat padanya.
Karena itulah, ia sengaja pura-pura tidak tahu, sebaliknya
ia bertanya, "Budak cilik" Siapakah dia?"
"Aneh, apakah kau tak melihatnya tadi?" kata Liau-in lagi
dengan heran. "Budak cilik yang mana lagi" Sudah tentu aku
maksud budak liar yang dibesarkan bersama kau itu!"
"Bukankah dia baik-baik tinggal di dalam istana pangeran?"
sahut Lian Keng-hiau. "O, kiranya kau memang tak melihatnya," kata Liau-in.
"Kalau begitu dimana opas dari Hangciu?"
"Opas dari Hangciu apalagi?" sahut Lian Keng-hiau purapura
tak mengerti. "Po-kok Siansu, harap kau jangan memakai
teka-teki, aku baru saja pulang dari menggempur
pemberontak di Hokkian, urusan di sini sedikitpun aku tidak
tahu-menahu." "Kau betul-betul orang pintar yang banyak tugas, belum
lama kau pulang dari Jinghay, kau telah diutus ke Hokkian
lagi, dan kini tentu kau mendapat perintah rahasia dari Sihongcu
yang meminta kau lekas kembali ke kotaraja bukan?"
tanya Liau-in. "Betul," jawab Keng-hiau. "Dengan melalui Hangciu,
sekalian aku akan menggiring serombongan tawanan kerajaan
ke ibukota." "Usiamu masih muda belia, tetapi dalam hal taktik perang
ternyata kau sangat mahir, pantas Si-pwelek begitu
memandang berat padamu," Liau-in mengumpak.
"Mana bisa aku mengimbangi ilmu silat Po-kok Siansu yang
tiada tandingannya di jagat ini," sahut Keng-hiau dengan
tertawa. Biasanya Liau-in memang senang kalau ada orang memuji
ilmu silatnya, tetapi kini karena ia habis mengalami kekalahan,
dalam pendengarannya malah seperti suatu sindiran.
"Jika memang Si-hongcu ada perintah rahasia padamu, apa
dia tidak membicarakan urusan si budak liar itu padamu?"
tanya Liau-in mengada-ada.
"Tidak!" sahut Keng-hiau.
"Tampaknya Si-pwelek sangat menyukai budak cilik itu!"
kata Liau-in lagi. Kata-kata ini membikin Lian Keng-hiau menjadi panas
hingga hatinya berdebar, namun ia coba bersikap sabar dan
tahan diri. "Apa ya" Budak itu memang cerdik lagi molek
parasnya, siapa saja yang melihatnya pasti suka," sahutnya
kemudian dengan tersenyum.
"Bukan begitu maksudku," ujar Liau-in dengan tertawa.
"Menurut penglihatanku, rupanya Si-hongcu ada maksud
menahannya agar kelak dimasukkan ke belakang istana
(dijadikan selir)." Kembali Keng-hiau terguncang hatinya. "Apakah bukan
Tay-su yang terlalu banyak curiga?" sahutnya dengan tertawa
ewa. Mendengar jawaban ini, Liau-in tertawa. Lewat sejenak, ia
buka suara. "Terhadap Si-pwelek aku lebih mengenalnya
daripada kau. Dia pun sama seperti aku, bangsa setan lapar
terhadap paras elok. Meski budak liar itu masih kecil usianya,
tetapi punya paras cantik bawaan, jika bukan Si-pwelek sudah
menaruh hati padanya, tentu aku akan taksir dia! Lagi pula,
walaupun usianya masih muda, namun sudah ada empat belas
tahun, lagi dua tahun, tentu akan merupakan nona tercantik!"
Penuturan ini membikin pikiran Lian Keng-hiau menjadi
kacau, ia gemas, mengkal, tetapi kuatir juga. Batinnya,
"Kiranya demikian soalnya, pantas Pang Lin tak mau kembali
ke istana. Tetapi kalau Si-hongcu sudah jatuh hati padanya,
cara bagaimana aku bisa menyembunyikannya?"
Begitulah sambil berpikir mereka melanjutkan perjalanan
dengan berendeng, selang tak lama, sampailah di jalan raya di
tepi telaga, tiba-tiba Liau-in melihat Han Cin-seng dan Ong
Hun berdua sedang keluar dari penginapan yang pernah
ditinggali Kam Hong-ti dan kawan-kawan dengan jalan
terpincang-pincang. "Kenapakah kalian" Dimanakah tawanan itu?" tegur Liau-in
cepat sembari menahan kudanya.
"Sudah dirampas orang jahat!" Ong Hun melapor.
"Tolol, goblok, dua orang menjaga seorang masih tidak
mampu!" damprat Liau-in. "Orang jahat macam apa, siang
hari bolong berani merampas tawanan kita?"


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Itulah perbuatan seorang tabib gelandangan, ia
menerobos datang dengan paksa, begitu melihat dia, si
pemuda tawanan kita itu lantas memanggil dia sebagai engku
(paman, adik ibu)," ganti Han Cin-seng yang melapor. "Selagi
kami membentak, siapa duga gerak tubuhnya cepat luar biasa,
belum kami lihat jelas, tahu-tahu sudah kena kebutan lengan
bajunya hingga kami terbanting roboh. Tatkala kami membuka
mata lagi, tawanan sudah lenyap tanpa bekas."
Mendengar penuturan ini, Liau-in kaget, ia mengerti
siapakah gerangan perampas tawanan itu, maka ia tak berani
mendamprat orang lagi. "Apa, dikebut dengan lengan baju kalian lantas roboh
terbanting?" Lian Keng-hiau tiba-tiba bertanya. "Coba sini
perlihatkan padaku!"
Perintah ini diturut kedua orang itu, mereka mendekat
dengan kaki pincang. Keng-hiau suruh mereka menggulung
lengan celana, maka tertampak paha mereka ada tanda merah
dan bengkak. Mendadak Lian Keng-hiau mencubit keras paha mereka,
karena di luar dugaan, kedua orang itu menjerit. Saking
sakitnya mereka melompat ke atas, tetapi aneh bin ajaib,
sesudah itu rasa sakit jadi hilang seluruhnya, bahkan sudah
bisa berjalan seperti biasa, tidak pincang lagi.
"Po-kok Siansu, tak bisa salahkan mereka, sesungguhnya
mereka ketemu lawan hebat dari kalangan Bu-lim!" ujar Kenghiau
dengan tertawa sesudah ia sembuhkan orang.
"Darimana kau tahu?" tanya Liau-in heran.
"Apa kau lupa bahwa guruku adalah ahli waris Bu-kekpay?"
sahut Lian Keng-hiau. "Justru kepandaian mengebut
jalan darah dengan lengan baju yang disebut 'Liu-hun-hui-siu'
ini adalah ajaran Bu-kek-pay kami. Cuma kekuatan latihan
orang ini jauh lebih tinggi daripada guruku, jangan kata hanya
dua kepala opas, seumpama orang lain yang ilmu silatnya
lebih tinggi pun tak tahan kena dikebut lengan bajunya."
Keterangan ini membuat Liau-in lebih heran. "Kalau begitu
kau punya Cosu, Pho Jing-cu, masih punya ahli waris siapa
lagi?" ia bertanya. "Apakah angkatan tua Bu-kek-pay selain
gurumu masih ada lagi yang pernah mendapatkan ajaran Pho
Jing-cu?" "Tidak, guruku satu-satunya ahli waris Bu-kek-pay!" jawab
Lian Keng-hiau. "Jika begitu, darimana bisa mendadak muncul seorang
tabib kelana ini?" tanya Liau-in.
"Dia tak bisa dihitung sebagai orang Bu-kek-pay, tetapi dia
dan Thaycosu (maksudnya Pho Jing-cu) kami memang
mempunyai hubungan yang erat," kata Keng-hiau.
"Siapakah dia?" tanya Liau-in.
"Kau kenal seorang di antara Thian-san-chit-kiam yang
bernama Bu Ging-yao bukan?"
"Tentu saja!" sahut Liau-in.
"Dan tabib ini ialah adik Bu Ging-yao," Keng-hiau
menerangkan. "Bu Ging-yao punya seorang adik?" Liau-in menegas.
"Ya, adiknya bernama Bu Sing-hua," jawab Keng-hiau.
"Semenjak kecil ia sudah ikut ayah dan kakaknya jauh
menetap ke daerah terpencil di barat, tatkala 'Chit-kiam'
mengasingkan diri, waktu itu ia masih berupa bocah yang
berusia belasan, beberapa puluh tahun ini ia hanya tinggal di
tempat terpencil sana, di kalangan Bu-lim dia pun tidak pernah
meninggalkan sesuatu lelakon, pantas Taysu tidak kenal dia."
"Kalau begitu, dia dan Bu-pek-pay kalian ada hubungan apa
lagi?" tanya Liau-in pula.
"Cerita inipun aku dengar dari Suhu, katanya Thaysuco dan
ayah Bu Sing-hua, yaitu Bu Goan-ing, tokoh kenamaan dari
Conglam-pay itu, mempunyai ikatan persahabatan yang kekal
sekali, oleh sebab itu Thaysuco pernah mengajarkan
kepandaian hebat 'Liu-hun-hui-siu' itu pada Bu Sing-hua," Lian
Keng-hiau menjelaskan lebih jauh. (Mengenai Pho Jing-cu
mengajarkan kepandaian hebat itu pada Bu Sing-hua dapat
dibaca dalam Chau Guan Eng Hiong).
Karena keterangan ini, rasa hati Liau-in jadi banyak lega
dan puas. Pikirnya, "Kiranya tabib gelandangan ini bukan
orang sembarang orang, walaupun aku kalah dari dia masih
berharga juga." Demikianlah, mereka lantas melanjutkan perjalanan dengan
kuda berjajar. "Di antara tawanan kerajaan di Hangciu, ada seorang yang
besar hubungannya dengan kau!" tiba-tiba Liau-in buka suara
lagi. "Siapakah dia, harap Taysu jangan berkelakar!" sahut
Keng-hiau. "Ini bukan kelakar," sahut Liau-in sungguh-sungguh. "Coba
katakan, bukankah hubunganmu dengan Siau-lim-pay tidak
kalah eratnya dengan hubungan antara Bu Sing-hua dengan
Bu-kek-pay kalian bukan?"
"Sudah tentu," kata Keng-hiau, "malah sebagian ilmu
silatku adalah ajaran Siau-lim-sam-lo (tiga tetua Siau-lim-si)."
"Nah, justru seorang sobat baik Suteku yang tak becus, Loh
Bin-ciam, yang bernama In-hong Hwesio, dia ini adalah murid
Siau-lim Kam-si (pengawas gereja Siau-lim) Pun-bu Siansu,"
tutur Liau-in. "Tertangkapnya Loh Bin-ciam kali ini, kabarnya
In-hong juga tersangkut karena dicurigai mengirim berita
untuknya, ia telah dikejar jagoan dari gubernuran hingga
sampai di kaki bukit Sian-he-nia baru tertangkap. Kali ini kau
diperintahkan membawa tawanan masuk kotaraja, tentu Inhong
Hwesio akan diserahkan juga padamu."
"Kini aku adalah panglima kerajaan, aku hanya memegang
teguh hukum, tidak nanti aku membela urusan pribadi," sahut
Keng-hiau dengan tertawa. "Walau aku kenal In-hong Hwesio,
pasti juga akan kugiring dia ke kotaraja."
Liau-in tertawa terbahak-bahak. "Halia! Hukum apa segala!
Lian cilik, jangan kau bikin mulas perutku," katanya dengan
masih tertawa. "Apa artinya hukum kerajaan, aku tahu, kau
pun tahu, di hadapanku buat apa kau bicara begitu enak
didengar. Padahal apakah In-hong Hwesio betul-betul
mengirimkan berita untuk Loh Bin-ciam, sampai kinipun masih
belum ada bukti nyata."
Begitulah Liau-in menganggap dirinya lebih tua, maka ia
berani jual lagak, apa yang dikatakan memang sesungguhnya,
karena itu, Lian Keng-hiau jadi rikuh dan serba salah, diamdiam
ia menaruh dendam pada Liau-in.
Setelah lewat beberapa lama lagi, akhirnya masuk kota
Hangciu, mereka jadi heran ketika nampak di dalam kota
terjaga keras, tiap sepuluh meter tentu terdapat penjagaan
prajurit. "Ada apa sampai begini tegang?" ujar Liau-in heran.
Habis itu segera ia keprak kudanya mendahului ke
gubernuran untuk memberi kabar tentang datangnya Lian
Keng-hiau. Secara tergesa-gesa gubernur Ciatkang, Li Wi,
segera menyambut kedatangan panglima muda ini.
Kembali bercerita mengenai Lu Si-nio dan kawan-kawan,
setelah nona ini membantu Kam Hong-ti dan Pek Thay-koan
menggempur mundur Han Tiong-san dan Tang Ki-joan, ia
menaksir Liau-in tentu akan mengejarnya, sebaliknya di
gubernuran pasti kosong dan tiada jagoan yang menjaga,
kesempatan ini bagus sekali buat menolong Suhengnya yang
tertawan, maka segera ia keluarkan ilmu entengi tubuhnya
yang luar biasa, untuk kedua kalinya malam itu ia
mengunjungi gubernuran. Tatkala ia sampai di tempat tujuan, waktu sudah hampir
pagi, ayam jago mulai berkokok, ia lihat prajurit yang dinas
jaga sedang melakukan pergantian. Tetapi dengan enteng
sekali tanpa mengeluarkan suara sedikitpun Lu Si-nio
melompat lewat pagar tembok, ia masuk melalui taman bunga
di belakang, di antara suasana pagi yang remang-remang
ternyata tiada satu manusia pun yang memergoki dia.
Jalanan di dalam gubernuran itu memang sudah hapal,
apalagi semalam ia sudah datang ke sini, ia tahu dimana Loh
Bin-ciam dikurung, maka tanpa berbelit-belit lagi segera ia
menuju ke gedung bcrbata hijau di bagian luar itu.
Dari atas gedung perlahan Lu Si-nio menyingkap sedikit
lubang genting, dan coba mengintip ke bawah, pada saat itu
ia dengar di bawah ada suara seorang anak gadis sedang
berkata, "Lu Si-nio Ia jadi terkejut disangka dirinya sudah
ketahuan orang. Syukur ketika ia mendengarkan terus, nyata
bukan begitu halnya. "Lu Si-nio tak malu sebagai ksatria kaum wanita, sayang
aku tidak bisa belajar seperti dia!" demikian lengkapnya
perkataan tadi. Dalam pada itu, pintu rahasia di pojok dinding dalam rumah
tiba-tiba terbuka, terlihat putri Ciatkang Sunbu Li Wi, yaitu Li
Bing-cu, sedang berjalan keluar dengan menggandeng Loh
Bin-ciam. Rupanya karena telah lama disekap di ruangan
gelap, terlihat Loh Bin-ciam berulang kali mengedipkan
matanya yang belum biasa dengan sinar terang, setelah
sedikit lama baru ia bisa membuka mata seperti biasanya.
"Aneh, Siocia ini mengapa mempercakapkan diriku"
Mengapa ia berani mengeluarkan tawanan dari kamar
tahanan?" pikir Lu Si-nio dengan heran.
Sementara itu terdengar Li Bing-cu telah berkata pula, "Lu
Si-nio betul-betul ksatria kaum wanita, tetapi sastrawan
kekasihnya itu lebih-lebih adalah jantan dari kaum lelaki!"
Mendengar omongan ini, Lu Si-nio rada panas mukanya,
tetapi dalam hati ia senang sekali karena kekasihnya dipuji.
"Darimana kau tahu?" tanya Loh Bin-ciam dengan tertawa.
"Dahulu dia pun pernah dikurung di sini," sahut Li Bing-cu,
"ayahku telah mencoba memancing dan menggertak padanya,
tetapi sedikitpun dia tidak gentar dan tunduk. Bila dia adalah
kaum pendekar seperti kalian tidak perlu dibuat heran, tetapi
justru dia adalah seorang sastrawan yang lemah!"
Senang sekali rasa hati Lu Si-nio yang mendengarkan dari
atas rumah, seketika ia menyukai Li Bing-cu.
Sebenarnya Li Bing-cu adalah putri pembesar tinggi yang
tak kenal urusan, tetapi sejak ikut ayahnya ke kamar tahanan
menyambangi Sim Cay-khoan, ia telah mendengar ucapan Sim
Cay-khoan yang dilontarkan dengan bersemangat dan berani,
ketika ia dengar pemuda sastrawan ini menyindir ayahnya
dengan mempergunakan syair Go Bwe-joan, tiba-tiba ia sadar,
seperti melihat sinar matahari dalam kegelapan, terbangkit
jiwanya, tergoncang hatinya, tadinya ia hanya anak gadis
yang tertarik akan hal-hal yang baru, tetapi semenjak itu ia
lantas suka secara sembunyi mencuri baca kitab larangan
kerajaan, sampai kitab *Yang-ih-lok' karangan Lu Wan-joan
diam-diam ia pun membacanya.
Sebab itulah, kali ini dia mau membela keselamatan Loh
Bin-ciam, kecuali dia suka pada kecakapan dan kegagahan
pemuda ini, perubahan pada jiwanya yang disebut tadi
merupakan salah satu pokok yang terpenting.
Mendengar gadis ini begitu kagum atas diri Lu Si-nio dan
Sim Cay-khoan, Loh Bin-ciam tersenyum.
"Sebenarnya kalau kau hendak meniru mereka juga tidak
sulit, mari kita kabur bersama, pergi mencari mereka,"
katanya kemudian. Akan tetapi ajakan ini membikin muka Li Bing-cu berubah
hebat. "Tidak, tak mungkin!" ia menggeleng kepala, "aku tak
mung-. kin meninggalkan ayah-bundaku!"
Meski jiwa Li Bing-cu sudah mengalami banyak kemajuan,
tetapi masih belum sampai taraf meninggalkan keluarga dan
membuang kedudukan dirinya sebagai putri pembesar yang
dipuja. Atas jawaban tadi, agaknya Loh Bin-ciam sangat kecewa, ia
terdiam tanpa berkata lagi.
Li Bing-cu tersenyum melihat sikap kekasihnya itu. "Tetapi
pada kesempatan baik ini kau malah bisa melarikan diri,"
katanya. "Si gundul keparat Liau-in sebelum pagi tiba secara
tergesa-gesa telah berangkat dengan memimpin serombongan
opas, guruku pun masih tidur, di sini tiada jagoan lagi yang
mampu merintangi kau, boleh kau melarikan diri tanpa kuatir!"
, Hal ini sungguh di luar dugaan Loh Bin-ciam, dalam sebulan
ini, ia hidup dalam tahanan, ia sudah dapat menyelami
perasaan Li Bing-cu terhadap dirinya, sebenarnya tadinya ia
kuatir nona ini akan menggoda dirinya terus, tak terduga ia
malah melepaskan dia buat kabur, saking terharunya, seketika
ia berbalik jadi ragu-ragu.
"Lekas, lekas berangkat!" Li Bing-cu mendesak lagi sambil
mendorong. "Sebentar bila sudah terang tanah, untuk
melarikan diri tentu tidak gampang lagi!"
Habis berkata, matanya tampak kemerah-merahan, dalam
keadaan demikian tergoncanglah hati Loh Bin-ciam.
Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara orang tertawa
dingin. "Bagus, anak perempuan selalu membela orang luar, apa
kau hendak lepaskan dia kabur?" terdengar suara itu berkata,
menyusul si wanita berbaju hijau dengan muka gusar masuk
ke dalam. "Suhu!" seru Li Bing-cu terkejut ketika nampak siapa yang
datang. Namun si wanita baju hijau tak pedulikan dia, dan terus
menghampiri Loh Bin-ciam, segera tangannya menjambret
sambil membentak, "Kembali ke dalam!"
Tapi sebelum jambretannya berhasil, sekonyong-konyong
Lu Si-nio bersuit panjang, berbareng ia meloncat turun!
Wanita baju hijau ini memang istri Han Tiong-san yang
bernama Yap Hing-poh, sebenarnya mereka suami-istri jauh
tinggal di Kun-lun-san, belakangan Han Tiong-san berangkat
ke daerah barat untuk mencari obat-obatan sambil
menyambangi Sutenya, Thian-yap sanjin, tapi sampai
beberapa tahun masih belum juga kembali ke gunung, ketika
Yap Hing-poh turun gunung untuk menyelidiki, akhirnya
ketahuan bahwa suaminya main gila dengan seorang begal
wanita di daerah barat-laut yang bernama Ang Kim-nio.
Sudah tentu Yap Hing-poh gusar sekali, hingga mereka
suami-istri cekcok hebat. Belakangan Han Tiong-san bernaung
di bawah Si-hongcu, sedang Yap Hing-poh pun datang di
gubernuran Ciatkang dan menjadi guru Li Bing-cu.
Ilmu silat Yap Hing-poh tinggi dan Lwekangnya sangat
dalam, meski usianya sudah lebih setengah abad, namun
tampak masih seperti di bawah empat puluhan saja.


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hubungan antara Han Tiong-san dengan begal wanita itu
memang hanya gendakan biasa saja, hakikatnya tidak
terdapat arti kata cinta sedikitpun, karena itu, lama-lama Han
Tiong-san menjadi bosan juga, tanpa terasa ia teringat lagi
kepada istrinya. Maka ia minta perantaraan Liau-in buat mengakurkan
kembali. Semula Yap Hing-poh tidak sudi dan menolak dengan
ketus, tapi mengingat hubungan suami-istri yang dulu,
akhirnya ia terima juga 'tawaran akur' itu, namun ia meminta
suatu syarat yang cukup keji, yakni Han Tiong-san diharuskan
membawa sebelah daun kuping dan sepuluh jari tangan Ang
Kim-nio sebagai barang penebus dosa.
Wanita teraniaya di pengianapan semalam bukan lain ialah
begal wanita itu. Beruntung baginya Kam Hong-ti keburu
datang tepat pada waktunya, dengan demikian Ang Kim-nio
bisa lolos dari cengkeraman maut Han Tiong-san.
Begitulah, setelah Lu Si-nio melompat turun, segera pula
pedang terhunus di tangannya. Dalam kagetnya Yap Hing-poh
segera melompat pergi beberapa tindak, berbareng ia lolos
pedang pula. "Loh-suheng, lekas ikut aku pergi!" seru Lu Si-nio.
"Lu Si-nio, orang lain mungkin takut padamu, tapi jangan
kau kira aku takut padamu," bentak Yap Hing-poh murka.
Berbareng pedangnya lantas menusuk.
Lu Si-nio tidak gentar oleh serangan orang, dengan tipu
'Pek-ho-ki-sit' (belekok putih menyelusup ke bawah sayap),
berbalik ia babat tangan lawan dengan pedangnya.
Yap Hing-poh pun cukup sebat, dengan gerakan 'Honghong-
tiam-thau' (burung cendrawasih memanggut kepala),
pedangnya menabas miring ke samping, menyusul dengan
tipu 'Go-eng-king-uh' (elang lapar pentang sayap), secepat
kilat ia balas membacok lengan kiri Lu Si-nio.
"Ehm, tak jelek ilmu pedangmu!" sahut Lu Si-nio dengan
tertawa. Berbareng ia tarik pedangnya terus memutar, tiba-tiba ia
tempel senjata lawan terus dipuntir, karena tidak menduga
akan tipu gerakan ini, hampir saja pedang Yap Hing-poh
terbang kena dipuntir. . Bukan main terkejutnya, lekas wanita baju hijau ini
pergunakan gerakan 'Sian-bin-can-seng' (bunyi tonggeret
hampir berakhir), diam-diam ia memakai tenaga dalam untuk
menarik, dengan demikian baru ia bisa melepas senjatanya.
Akan tetapi ilmu pedang Lu Si-nio memang lihai dan cepat
sekali, dalam sekejap ia sudah menyerang tiga kali, Yap Hingpoh
ke-cecar hingga tak berdaya, hanya bisa menangkis tak
mampu membalas. Namun wanita ini tidak gampang
menyerah, ia terus melawan sekuatnya, sedikitpun tak mau
mengalah, bahkan sembari menahan ia pun berteriak
memanggil begundalnya, "Hayo, mana orangnya, lekas
keluar!" Ilmu silat Yap Hing-poh sebenarnya tidak di bawah
suaminya, oleh karena itu Lu Si-nio tidak ingin bertempur lebih
lama, segera ia percepat serangannya.
"Loh-suheng, lekas naik ke atas rumah!" ia berseru.
Baru kini Loh Bin-ciam menurut, lebih dulu ia memberi
salam hormat pada Li Bing-cu, habis itu baru ia mendorong
daun jendela terus melompat keluar.
Begitu cepat Lu Si-nio mainkan pedangnya, sesudah
belasan jurus pandangan Yap Hing-poh jadi kabur dan
berkunang-kunang karena sinar pedang lawan yang
gemerlapan, terpaksa ia mundur beberapa tindak.
Menyusul tubuhnya bergerak, ia pun menerobos keluar
melalui jendela menyusul Suhengnya.
Bukan buatan amarah Yap Hing-poh, dengan pedang
terhunus ia masih coba mengudak, akan tetapi dalam sekejap
Lu Si-nio sudah melayang lewat tiga deretan rumah. -
Saat itu mendadak terdengar suara seruan Loh Bin-ciam di
sebelah depan. Tanpa ayal segera Lu Si-nio mempercepat
gerak tubuhnya, secepat anak panah ia melayang ke depan,
setelah melewati sederetan rumah lagi, tertampak Loh Binciam
sedang kececar oleh pukulan seorang, karena terdesak,
Loh Bin-ciam agak kelabak-an, di samping itu ia dicegat pula
oleh seorang yang berdiri di sebelah lain dengan tangan
memegang sebuah pacul. Kedua orang ini bukan lain adalah
Tang Ki-joan dan Han Tiong-san.
Kiranya Tang Ki-joan yang tua ini cukup licin juga, sesudah
dia dan Han Tiong-san digempur mundur oleh Kam Hong-ti
dan Lu Si-nio di penginapan, ia tahu bahwa ada penjaga
penginapan telah melapor pada yang berwajib di kota, ia
lantas menduga tentu Lu Si-nio akan menggunakan
kekosongan itu untuk menolong Suhengnya yang tertawan,
maka bersama Han Tiong-san segera mereka putar jalan
kembali ke kota, walaupun belakangan dari Lu Si-nio, namun
mereka masih bisa tiba tepat pada waktunya sebelum Lu Sinio
kabur lagi. Begitulah, ketika nampak Loh Bin-ciam berada dalam
kedudukan yang berbahaya, belum tiba orangnya, lebih dulu
Lu Si-nio menimpukkan senjata rahasianya dahulu, beruntun
dua suara me-ngaung, dua pisau terbang telah menyambar
musuh. Han Tiong-san adalah ahli Am-gi, oleh karena itu dalam hal
permainan ini tidak nanti ia kecundang, begitu ayun tangan,
seketika tiga sinar mengkilap melayang dari tangannya.
Senjata rahasia yang dia latih ini disebut 'Han-kong-huipwe',
kecer yang bersinar mengkilap, seluruh pinggiran kecer
ini sangat tajam. Tiga kecer lawan dua pisau terbang, nyata senjata Lu Si-nio
tidak lebih unggul, kedua pisaunya kena dibentur jatuh,
bahkan sebuah kecer yang tengah masih terus menyelonong
mengarah dada nona ini. Namun Lu Si-nio keburu mengayun pedang dan
menyampuk kecer itu ke atas hingga senjata rahasia itu
melayang ke belakang, berbareng si gadis kembali
menghamburkan dua pisau lagi, yang satu mengarah Han
Tiong-san dan yang lain mengincar Tang Ki-joan.
Dengan gampang Han Tiong-san mengelakkan serangan
itu, ia melompat ke atas dan paculnya memukul jatuh pisau
itu, menyusul ia terjun menubruk ke arah Lu Si-nio.
Di sebelah sana Tang Ki-joan pun dapat menghindarkan
timpukan pisau terbang itu, kesempatan itu digunakan Loh
Bin-ciam untuk berganti napas dan lolos dari tekanan telapak
tangannya. "Hendak lari kemana!" bentak Tang Ki-joan demi nampak
pemuda itu hendak kabur. Ia melompat ke seberang bukitbukitan
palsu buat menghadang. Di pihak sini setelah Lu Si-nio menangkis bacokan pacul
Han Tiong-san, kontan ia balas dengan tusukan pedangnya,
tetapi karena tak ingin terlibat dalam pertempuran lebih lama
dengan Han Tiong-san, maka dengan ilmu entengi tubuhnya
yang tinggi dan gesit, ketika Han Tiong-san menyerang lagi
dari samping, mendadak ujung pedang Lu Si-nio ditutulkan ke
gagang pacul orang, ia pinjam tenaga yang Han Tiong-san
kerahkan, tubuhnya lantas membal membalik ke atas, seperti
burung saja, dari udara segera ia menubruk Tang Ki-joan.
Lekas Tang Ki-joan mengegos, ia hindarkan tusukan Lu Sinio
yang mengarah 'Hong-hu-hiat' di belakang punggungnya.
Tang Ki-joan adalah tokoh kawakan dari Heng-ih-pay,
dengan sendirinya ilmu silatnya tidak lemah, dalam segala
kerepotannya ia masih bisa memutar tabuh terus ganti
tangan, kedua telapak tangannya yang satu mendorong ke
depan dan yang lain menarik, pada waktu Lu Si-nio belum bisa
menancapkan kaki ke bawah, secepat kilat ia menyerang
tempat lemah gadis ini di bagian perut.
Serangan ini adalah tipu yang lihai dan mematikan, tak
terduga Kiam-hoat Lu Si-nio terlebih hebat dan beraneka
ragam perubahannya, waktu masih terapung di udara agaknya
ia sudah menduga akan tipu serangan lawan, maka ketika
pedang ditusukkan tadi, dengan cepat ia putar kembali, ia
incar dengan cepat lagi tepat, begitu kedua telapak tangan
Tang Ki-joan menghantam, segera pedangnya menyabet.
Beruntung Tang Ki-joan cukup tangkas lagi banyak
pengalaman, lekas ia menjatahkan diri terus menggelinding ke
samping, dengan cara begini baru ia bisa menghindarkan
bahaya putusnya kesepuluh jari, sekalipun demikian, tidak
urung ia kena didepak Lu Si-nio hingga terpental.
"Loh-suheng, lekas pergi, biar aku melindungi kau dari
belakang!" kembali Lu Si-nio berseru. Menyusul ia berkata
pula dua istilah rahasia dari perguruannya untuk memberitahu
dimana adanya Kam Hong-ti dan kawan-kawan
Dalam pada itu Han Tiong-san sudah melompat maju lagi,
paculnya mengemplang dari atas, tetapi bukannya Lu Si-nio
mundur melainkan maju memapaki musuh, dengan cepat
pedangnya menusuk dua kali yang mengarah 'Ciang-bun-hiat'
kedua belah iga lawan, serangan ini memaksa Han Tiong-san
mundur kembali beberapa tindak sambil melintangkan
paculnya buat menjaga diri. Sementara itu Loh Bin-ciam sudah
berhasil melewati pagar tembok terus kabur dengan selamat.
Dalam pada itu Yap Hing-poh pun sudah memburu datang,
ketika ia melihat Han Tiong-san sedang menempur Lu Si-nio
dengan sengit, ia jadi tertegun, rasa suka-dukanya bercampur
aduk. "Setan tua, buat apa kau kemari?" teriaknya pada sang
suami. "Perempuan baik, urusan kita boleh diselesaikan nanti,
sekarang lekas bantu membekuk budak hina ini!" seru Han
Tiong-san. Di sebelah sana, setelah Tang Ki-joan bisa berdiri kembali
dari jatuhnya, ia menjadi murka, ia ikut mengeroyok dari
samping dengan serangan hebat, dari pihak penyerang kini Lu
Si-nio dipaksa menjadi pihak terserang.
Dalam keadaan demikian, mau tak mau Lu Si-nio rada
kerepotan juga, pikirnya, "Sekalipun kepandaianku lebih
tinggi, tapi kalau harus menandingi tiga jagoan kelas satu
yang mengeroyok berbareng akan kewalahan juga."
Begitulah ia berusaha melepaskan diri. Tiba-tiba ia purapura
menusuk, berbareng tangan kirinya mencakar muka
Tang Ki-joan. Bagaimanapun Tang Ki-joan sudah pernah
merasakan kelihaiannya orang, maka ia selalu berlaku hatihati,
melihat dirinya diserang, lekas ia menunduk buat
menghindarkan cakaran orang. Kesempatan ini segera
digunakan Lu Si-nio dengan baik, pedangnya membalik terus
menusuk Han Tiong-san, sedang tubuhnya segera menerobos
lewat di bawah telapak tangan Tang Ki-joan.
Meskipun demikian, belum juga Lu Si-nio bisa meloloskan
diri karena Yap Hing-poh sudah menghadang di depannya.
Namun Lu Si-nio sigap sekali, begitu kakinya menutul
tanah, kembali ia meloncat, di udara ia putar pedangnya terus
melayang lewat melalui kepala Yap Hing-poh. Sudah tentu
wanita ini tidak rela melepas musuh mentah-mentah, ia
angkat pedangnya terus membabat ke atas, tetapi dengan
tepat kena dibentur oleh senjata Lu Si-nio yang waktu itu
sedang ditikamkan ke bawah, sesaat kemudian Lu Si-nio
sudah melayang naik ke atas bukit-bukitan di depan sana,
dengan sekali melompat lagi ia pasti sampai pagar tembok
dan bisa kabur. Tetapi pada saat itu, dengan sekali suitan aneh, mendadak
Han Tiong-san sekaligus menghamburkan lima buah kecer
terbangnya. Demi mendengar suara riuh yang menggema di angkasa,
Lu Si-nio mengerti datangnya senjata rahasia musuh sangat
cepat lagi kuat, maka tak berani berlaku ayal, ia putar pedang
ke atas, tetapi ternyata tiada satu kecer pun yang kena
terbentur oleh senjatanya, kelima kecer melayang lewat
setinggi tiga kaki di atas kepalanya.
Lu Si-nio jadi heran, mengapa kejituan menimpuk senjata
rahasia musuh bisa meleset begitu jauh dari sasaran!"
Meskipun hatinya sangsi, tetapi keadaan sudah genting,
sedikit ayal saja kesempatan untuk kabur bisa lenyap, maka
tanpa pikir panjang, baru saja kecer menyambar lewat di atas
kepala, segera ia tutulkan kaki pada batu cadas bukit-bukitan
itu, ia keluarkan ilmu entengi tubuh yang luar biasa, dengan
gerakan Tt-ho-jiong-thian' (burung bangau menjulang ke
langit), ia melayang menuju ke pagar tembok.
Sama sekali tidak terduga, baru saja ia melompat naik,
mendadak kelima kecer tadi tiba-tiba membelok balik
berbareng, yang satu dari sebelah atas mengarah kepala, satu
lagi dari jurusan bawah hendak menabas kedua kaki, lalu dari
sebelah kiri dan sebelah kanan masing-masing sebuah
mengarah kedua lengannya dan yang paling akhir menyambar
dari tengah mengarah hulu hatinya, semuanya cepat dan
keras datangnya. Tidak usah kena kelima kecer sekaligus,
cukup terkena satu saja, umpama tidak terbinasa, sedikitnya
akan cacat anggota badannya.
Han-kong-hui-pwe dan Hwe-goan-kau yang digunakan Han
Tiong-san merupakan senjata rahasia kenamaan dan disegani,
jika Hwe-goan-kau bisa berputar dan menikung sendiri,
merupakan senjata rahasia yang jarang ada di kalangan
Kangouw, maka lebih-lebih dengan Han-kong-hui-pwe yang
bisa dilepaskan dengan gerakan tangan untuk membikin
terpencar lalu balik menyerang musuh, benar-benar senjata
rahasia yang susah dihadapi.
Kini secara berbareng Han Tiong-san menghamburkan Huipwe
atau kecer terbangnya sebanyak lima buah, ia menaksir
Lu Si-nio pasti tidak terluput dari bencana serangan ini, tanpa
terasa Han Tiong-san bergelak tertawa, namun ketika teringat
olehnya paras Lu Si-nio secantik bidadari dalam sekejap akan
terbinasa begitu saja, diam-diam ia merasa sayang dan
gegetun juga. Di pihak lain, tubuh Lu Si-nio sedang terapung di udara,
kedudukannya sangat tidak menguntungkan, ia jadi serba
susah. Akan tetapi justru dalam keadaan demikian inilah ia bisa
unjuk kepandaiannya yang tinggi dan luar biasa, selagi masih
terapung di udara, ia ayun pedangnya menangkis ke kanan
dan ke kiri, ia bikin kedua kecer yang mengarah kedua
lengannya terbang terpental, menyusul dengan cepat ia
membaliki senjatanya, dengan gagang pedang ia menjodok ke
depan, dengan demikian kecer yang datang dari arah tengah
kena dibentur pergi. Pada saat itu, di bagian atas dan bawah masih ada dua


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kecer yang mengarah kepala dan kakinya, tampaknya susah
untuk menghindarkan diri. Akan tetapi Lu Si-nio bukan Lu Sinio
jika dia sampai kecundang, mendadak ia mengerut
badannya, kedua kakinya ia tekuk ke atas, dengan demikian
tiba-tiba badannya diperpendek satu kaki, maka melayang
lewatlah dua kecer itu, satu di atas kepalanya dan yang lain di
bawah kakinya! Serangan total itu ternyata dapat dielakkan Lu Si-nio tanpa
luka seujung rambut, maka dengan selamat kemudian ia bisa
melayang naik ke atas pagar tembok.
Tetapi baru Lu Si-nio menarik napas lega dan berniat
melompat turun dari pagar tembok itu, tiba-tiba ia dengar
suara mengaung datang lagi dari belakang, ia mengira kecer
itu lagi, maka tak berani melompat pergi, lekas ia menyabet
ke belakang dengan tipu 'Hwe-hong-sau-liu' (angin membalik
menyapu dahan pohon Liu), ia pa-paki senjata rahasia yang
datang ini, maka tertampaklah sebuah benda melengkung
kena dipukul jatuh ke tanah.
"Sungguhpun senjata rahasianya cukup lihai, tetapi bisa
berbuat apa padaku!" seru Lu Si-nio tertawa.
Namun belum lenyap suaranya, mendadak ia rasakan
sambaran angin yang keras menubruk datang dari muka,
ternyata Thian-yap Sanjin muncul mendadak dari tempat
gelap, begitu berhadapan ia membelah dengan telapak
tangannya. "Budak hina, jangan kau lupa masih ada aku yang
menunggu kau di sini!" serunya lantang dengan tertawa.
Nampak munculnya orang secara tiba-tiba, sekalipun
kepandaian Lu Si-nio sangat tinggi dan nyalinya besar, Kiamhoatnya
tiada bandingannya, tidak urung ia rada keder juga.
Ia tahu ilmu silat Thian-yap Sanjin masih di atas Han Tiongsan,
apalagi ia tidak tahu, kecuali Thian-yap Sanjin, entah
masih ada jagoan siapa lagi yang sedang menantikan dia.
Sebenarnya Thian-yap Sanjin bukan sengaja menantikan
kedatangan Lu Si-nio, dia datang kemari sebenarnya hendak
mencari Suhengnya, yaitu Han Tiong-san. Belum sampai di
tempatnya telah terdengar suara mengaungnya senjata
rahasia sang Suheng yang khas, maka ia lantas memburu
datang mengikuti suara itu dan justru berpapasan dengan Lu
Si-nio yang sedang menerjang keluar dari kepungan, ia cukup
kenal ilmu entengi tubuh Lu Si-nio yang tinggi, oleh sebab itu
begitu berhadapan segera ia menyerang dengan hantaman
berat untuk memaksa gadis ini mundur kembali, dengan
demikian sambil menunggu datangnya sang Suheng buat
mengeroyok Lu Si-nio. Begitulah, tatkala mendadak diserang, Lu Si-nio tidak
berani paksakan diri menyambut tenaga pukulan orang, betul
juga ia terdesak mundur beberapa tindak, tetapi mendadak
benda melengkung yang tadi dia pukul jatuh tiba-tiba
menggelinding terus berputar dengan cepat, sekonyongkonyong
senjata rahasia -ini melayang naik terus menyambar
kedua kaki Lu Si-nio. Bukan main kejut Lu Si-nio oleh serangan senjata rahasia
yang pergi-balik ini, dia benar-benar belum pernah melihat
senjata rahasia Hwe-goan-kau Han Tiong-san yang luar biasa
ini. hampir saja ia terkait kakinya.
Syukur dengan cepat ia sempat tutulkan ujung pedangnya
ke tanah, menyusul lantas meloncat naik ke atas, maka
melayang lewatlah Hwe-goan-kau itu dari bawah kakinya
dengan membawa suara mengaung.
Sementara itu dengan cepat Thian-yap Sanjin telah
merangsek lagi, beruntun kedua telapak tangannya memukul,
serangan ini dapat dihindari Lu Si-nio dengan melompat ke
atas atau mendak ke bawah, berkelit ke kanan dan mengegos
ke kiri secara gesit, tetapi baru saja ia bisa menghindarkan
serangan yang satu, tiba-tiba serangan yang lain datang lagi,
kaitan yang melayang lewat di bawah kakinya tadi sesudah
membentur tembok tiba-tiba terpental balik pula.
Pada waktu itu Han Tiong-san sudah melompat keluar
pagar tembok. "Sute, gunakan tenaga pukulanmu buat
mementalkan pedangnya!" serunya pada Thian-yap Sanjin.
Berbareng tangannya diayun, ia lepaskan lagi dua kecernya
yang terakhir, bahkan ia menggunakan gerak tangan yang
sangat keji, kecer yang satu ia timpuk-kan dengan gerakan
yang biasa dan mengarah ke punggung, tetapi kecer kedua
sengaja ia gunakan gerak memotong, yakni memakai gerakan
efek, setelah melayang pergi bisa berputar balik, malahan di
antara dua kecernya ini ia tambahi satu senjata rahasia lain
berupa jarum. Setelah Lu Si-nio bisa menghindarkan tenaga pukulan
Thian-yap Sanjin, benda melengkung yang menyambar balik
tadi telah sampai lebih dulu, tetapi dari suara sambaran
anginnya, Lu Si-nio tahu benda yang sudah tiga kali putar
balik ini kekuatannya sudah lemah, maka ketika ia membelah
ke samping dengan pedangnya, kaitan itu ditabas kutung
menjadi dua keping, meskipun benda ini masih berputar di
tanah, namun sudah tak mampu melayang naik lagi ke atas.
Habis itu Lu Si-nio berdiri tak bergerak, dengan pedang
terhunus ia siap menantikan kecer orang yang bakal berputar
kembali, lalu ia hendak menahasnya lagi.
Tak tersangka kecer yang mengarah ke punggungnya
adalah senjata rahasia yang ditimpuk bukan dengan cara
biasa, cepat lagi jitu, ketika mendadak Lu Si-nio mendengar
dari belakangnya angin tajam menyambar, tahu-tahu kecer itu
sudah sampai di punggungnya, dalam keadaan genting itu ia
masih bisa membalikkan pedang untuk menyampuk.
Baru saja ia berhasil memukul jatah kecer yang datang dari
belakang itu, tiba-tiba kecer yang datang dari depan
menyambar secepat kilat, lekas Lu Si-nio tarik pedangnya
mencukil ke depan. Pada saat Lu Si-nio sedang kerepotan menghadapi
serangan kecer itu, mendadak Thian-yap Sanjin membentak,
ia melompat maju setombak dari Lu Si-nio, dari sini ia
kumpulkan tenaga, dari jauh ia pukulkan tangannya, karena
itu ujung senjata Lu Si-nio terguncang melenceng, sedang
kecer yang hendak dia cukil itu menyerempet batang
pedangnya terus menurun miring, dengan cepat Lu Si-nio
berusaha melompat, akan tetapi mendadak ia rasakan
betisnya kesakitan, ternyata j aram yang Han Tiong-san
selipkan di antara dua kecer berhasil menancap masuk
betisnya! Secara berbareng Han Tiong-san telah keluarkan tiga
macam senjata rahasianya yang aneh dan luar biasa,
ditambah lagi tenaga pukulan Thian-yap Sanjin yang
membantu dari samping, akhirnya Lu Si-nio kecundang juga.
Dalam pada itu, Tang Ki-joan bersama Yap Hing-poh susulmenyusul
pun sudah sampai di belakang Han Tiong-san,
mereka melompat turun keluar pagar tembok juga.
Nampak musuh ini. mau tak mau Lu Si-nio mengeluh.
"Celaka, tidak nyana hari ini jiwaku melayang di sini!" pikirnya.
Tetapi bila teringat sakit hati keluarga dan dendam negara
belum terbalas, kekasihnya pun sedang rebah sakit, kawankawannya
sedang mengharap di tempat jauh, sekonyongkonyong
semangatnya terbangkit dan menyala kembali.
"Tidak, aku tidak bisa mati begini saja!" pikirnya lagi.
Dengan menahan rasa sakit tiba-tiba pedangnya berkelebat,
laksana burung menyusur rimba cepatnya, mendadak ia
menerobos keluar dari samping kiri Thian-yap Sanjin.
Melihat lawan yang sudah terluka tapi masih berani
menerjang terus, Thian-yap Sanjin tertawa dingin, ia gerakkan
tangannya lagi, satu atas dan yang lain bawah, yang kiri
menahan dan yang kanan menghantam. Tak terduga Lu Si-nio
malah memapaki serangannya, pedang berkelebat secepat
kilat, ujung senjata sekonyong-konyong menusuk ke depan
melalui lowongan kedua telapak tangannya yang berwujud
setengah lingkaran itu terus mengarah dadanya di bagian
'Soan-ki-hiat', dalam keadaan begini bila Thian-yap mau
mengatupkan kedua telapak tangannya, maka dapat
dipastikan jiwa Lu Su-nio akan melayang, sebaliknya Thianyap
sendiri pun tidak bakal hidup lagi.
Dalam sekejap itu, secara otomatis Thian-yap Sanjin
dekukkan dada dan sedot perutnya, dengan tangan kiri
menyanggah gagang senjata orang, sementara tangan Lu Sinio
yang halus itu menyerang sambil menjaga diri, lebih dulu
ia hindarkan serangan lawan tadi.
Tetapi Lu Si-nio tidak memberi kesempatan padanya,
berbareng ia menggeser tubuh ke samping, pedangnya miring
terus menusuk lagi ke iga Thian-yap Sanjin, dengan demikian
Thian-yap dipaksa menggeser ke samping juga, kesempatan
itu dipergunakan Lu Si-nio dengan baik, mendadak ia putar
pedangnya dengan cepat, menyusul ia meloncat lewat di atas
kepala Thian-yap Sanjin terus melarikan diri secepatnya.
Gusar sekali Thian-yap Sanjin karena dirinya dilangkahi
wanita, segera ia mengudak, di belakangnya mengejar juga
Han Tiong-san dan istrinya bersama Tang Ki-joan.
Sebenarnya dalam hal Ginkang, Lu Si-nio masih setingkat
lebih tinggi daripada Thian-yap Sanjin, kalau dibanding Han
Tiong-san suami istri dan Tang Ki-joan, maka nona ini jauh
lebih tinggi lagi. Tetapi kini betisnya terkena jarum Han Tiongsan,
Ginkangnya jadi banyak berkurang dan tak leluasa,
terpengaruh banyak sekali kepandaiannya berlari cepat di
tanah datar. Tak lama kemudian, Lu Si-nio di depan dengan dikejar
Thian-yap Sanjin berempat di belakang, sudah keluar benteng
kota Hangciu. Prajurit yang menjaga di atas benteng hanya
nampak beberapa bayangan melayang lewat dengan
membawa sambaran angin, untuk menegasi siapa orangnya,
lelaki atau perempuan saja tak jelas, jangan kata untuk
mencegat. Semula Lu Si-nio masih bisa paksakan diri menahan sakit,
selama kira-kira setengah jam ia masih bisa mempertahankan
jarak lima tombak lebih dengan Thian-yap Sanjin, sedang Han
Tiong-san dan kawan-kawan ketinggalan lebih jauh lagi,
mungkin lebih dari belasan tombak. Tetapi sesudah lewat
setengah jam, lama-kelamaan Lu Si-nio merasakan betisnya
makin sakit, langkahnya menjadi lambat, sebaliknya Thian-yap
Sanjin mengejar terlebih kencang, kini jarak antara mereka
tidak ada tiga tombak lagi.
Merasa musuh yang mengejar itu makin dekat, usahanya
buat kabur agaknya akan gagal, tiba-tiba Lu Si-nio menjadi
nekat, daripada mati konyol lebih baik bertempur mati-matian.
Karena itu mendadak ia memperlambat langkah terus
menusuk ke belakang. Tentu saja Thian-yap Sanjin tidak
menduga akan tindakan Lu Si-nio, padahal ia sedang
mengejar dengan kencang, hampir saja ia tertusuk tembus
oleh pedang lawan, untung dia keburu menjatuhkan diri ke
samping sehingga terhindar dari bahaya kematian.
Serangan mendadak yang membikin musuh kalang-kabut
itu sangat menggirangkan Lu Si-nio, segera ia berlari pula
dengan menahan sakit. "Budak kurangajar,.berani kau mempermainkan aku!"
bentak Thian-yap dengan murka sambil mengudak pula,
Selang tak lama, rasa sakit betis Lu Si-nio bertambah,
sedangkan jarak Thian-yap Sanjin yang mengejar makin
mendekat, tinggal satu dua tombak lagi jauhnya. Segera Lu
Si-nio gunakan cara tadi, sekonyong-konyong ia membalik dan
menusuk dengan pedangnya.
Namun sekali ini Thian-yap Sanjin sudah berjaga lebih dulu,
segera ia kerahkan tenaga pukulan, sambil membentak kedua
tangannya menghantam dengan dahsyat. Seketika Lu Si-nio
merasa angin keras menyambar tiba, dada terasa sesak,
memangnya dia sudah lelah, kini tergetar oleh angin pukulan
keras, tanpa ampun lagi ia sempoyongan ke tepi jalan dan
jatuh terduduk. Lu Si-nio merasa jiwanya sekali ini pasti melayang. Dalam
keadaan tak berdaya ia hanya pejamkan mata dan pasrah
nasib, pada saat gawat itulah tiba-tiba ia merasa tubuhnya
seperti ditarik seseorang terus dilemparkan, berbareng
terdengar suara orang mengucap "Buddha".
Waktu ia membuka mata kembali, ternyata dirinya sudah
berdiri di atas tanah tanpa kurang suatu apapun. Nyata cara
lemparan orang itu sedemikian bagus dan tepat sehingga
tubuhnya seperti diangkat orang untuk kemudian dilepaskan
kembali ke tanah dengan perlahan-lahan.
Di lain pihak tatkala Thian-yap Sanjin nampak Lu Si-nio
kena dihantam roboh oleh tenaga pukulannya, bukan main
girangnya, segera ia menubruk maju.
Akan tetapi sebelum ia bisa berbuat lebih jauh, tiba-tiba ia
dengar suara orang menyebut, "O-mi-to-hud!" menyusul
seperti ada orang membisiki telinganya. "Kalau dapat lepas
tangan hendaklah lepaskan tangan, bila bisa ampuni orang
Eng Djiauw Ong 12 Sembilan Pusaka Wasiat Dewa Pengelana Tangan Sakti Karya Lovely Dear Pendekar Pemabuk 2
^