Pencarian

Tumbal Tanpa Kepala 2

Pendekar Mabuk 011 Tumbal Tanpa Kepala Bagian 2


tinggi dari ilmu yang dimiliki T apak Baja! Jangankan T apak Baja, Durmala Sanca
pun akan kubuat menjilat-jilat bekas telapak kakiku bila perlu!"
"Biadab kau! Hiaaat...!" Loh Gawe segera mencabut
senjatanya dan menghantamkan ke kepala Hantu Laut dengan
satu lompatan, Wussst...! Hantu Laut menghindar, kakinya segera berkelebat ke samping dan mengenai iga Loh Gawe.
Beggg...! Loh Gawe terguling-guling
di lantai geladak. T endangan itu cukup kuat dan bertenaga besar. Melihat Loh Gawe jatuh, Golok
Makam segera mencabut
senjatanya, lalu melompat ke atas sambil menyerang dengan menebaskan goloknya ke
kanan-kiri dengan
cepat. Hantu Laut melihat bayangan Golok Makam jatuh di tiang layar. Maka
dengan cepat tiang layar itu ditusuknya memakai tombak. Jrrub...!
"Aaaahhh...!"
Golok Makam menjerit sekeras- kerasnya sambil memegangi kepalanya. Kepala itu
menjadi bolong dan rusak pada bagian pelipisnya. Lalu, Golok Makam jatuh dengan
berkelojotan dan kejap
berikutnya tidak berkutik lagi. Diam untuk selama-lamanya.
"Bangsat busuk kau!" sentak Loh Gawe begitu melihat Golok Makam tak bernyawa
lagi. Hatinya mulai gentar melihat tombak itu bisa membunuh melalui
bayangan Golok Makam.
"Kalau kau mau susul kakakmu, kuantarkan pakai tombak pusaka ini! Silakan maju,
Loh Gawe!" tantang Hantu Laut.
"Kau memang tak perlu diberi ampun sedikit pun, Setan gundul!" Loh Ga we putar-
putarkan rantai bandul berdurinya. Lalu, ia sentakkan kakinya ke depan, tak
sampai melompat tinggi karena takut bayangannya
ditangkap oleh Hantu Laut.
"Hiaaat...!"
Wungng... wungngng...!
Dua kali bandul rantainya itu menghantam kepala
Hantu Laut, tapi Hantu Laut bisa menghindar dengan merunduk. Namun ternyata itu
hanya sebuah pancingan supaya kaki Loh Gawe mudah menendang wajah Hantu Laut.
Plokkk...! Hantu Laut terkena tendangan Loh Gawe dengan
telak. Wajahnya berdarah pada bagian hidung, ia jatuh terjerembab ke belakang.
Loh Gawe cepat menyerbu dengan menghantamkan bandul besinya, tapi belum
sempat niatnya terlaksana, Hantu Laut telah menggoreskan ujung tombak ke papan geladak, karena di sana terdapat bayangan
kaki Loh Gawe. Brettt...!
"Aaahg...!" Loh Gawe melonjak kesakitan, betisnya tertoreh benda tajam yang
tidak menyentuhnya. Betis itu menganga lebar dan terasa sakit di sekujur kaki
itu. "Hiaaat...!" Loh Gawe cepat sentakkan kaki yang tidak terluka itu, hingga
tubuhnya melayang mundur dan hinggap di atas atap barak.
"Bangsat kau!" geram Loh Gawe. "Kulaporkan kau kepada sang ketua, biar hancurkan
kapal ini bersama nyawamu juga!"
"Laporkanlah! Kurasa
dia memang sepantasnya
mengetahui, bahwa akulah orang yang akan menghancurkan kekuasaannya selama ini!" kata Hantu Laut.
Lalu, ia tertawa terbahak-bahak sambil membiarkan Loh Gawe terjun ke laut, selamatkan diri dengan berenang.
* * * 4 KEPERGIAN Loh Gawe bukan sekadar kepergian
seorang bawahan yang ingin melapor kepada atasannya.
Hantu Laut tahu, Loh Gawe ketakutan menghadapi
dirinya bersama Pusaka Tombak Maut. Karenanya,
Hantu Laut semakin bangga atas kekuatan dirinya, dan kian besar tekadnya untuk
menundukkan Ratu Pekat di Pulau Beliung.
Layar hitam bergambar tengkorak dengan tujuh rantai itu terlihat dari pantai
Pulau Beliung. Waktu itu, Singo Bodong sedang dilatih jurus-jurus silat oleh
orang berpakaian serba putih, bahkan ikat rambutnya yang pendek itu pun juga
berwarna putih, padahal rambutnya sendiri sudah putih, bahkan alas kakinya pun
dari sandal bertali putih. Agaknya orang ini menyukai warna putih, sehingga
pantas ia menamakan dirinya sebagai Jalak Putih.
Ketika menerangkan jurus gerakan cepat, Jalak Putih menancapkan
gagang tombaknya ke
pasir pantai. Tombak berujung bulan sabit yang berkilauan tajamnya itu berdiri dengan tegak
dalam jarak lima kaki darinya.
Singo Bodong sedang menirukan gerakan memukul
lawan di depan dengan cepat. Tapi gerakan itu tiba-tiba
terhenti dan membuat Jalak Putih membentak,
"Lakukan lagi! Jangan merasa cepat lelah! Sampai kedua tanganmu terasa lemah,
terus saja bergerak!"
"T erus ya terus...! T api lihatlah kapal berlayar hitam itu!" kata Singo Bodong
sambil menunjuk ke arah laut.
Jalak Putih pun melemparkan pandangan ke sana, dan ia terkejut melihat gambar
tengkorak pada layar hitam kapal itu. Ia gumamkan suara dengan wajah tegang,
"Kapal Neraka..."!"
"Bahaya atau tidak kapal itu"!" tanya Singo Bodong lugu, karena memang ia tidak
tahu kehebatan dan
kegawatan Kapal Neraka.
"Cepat beritahu Pangeran Berdarah dan ratu di istana, Kapal Neraka datang!"
"Membawa mayat?"
"Jangan banyak tanya!" bentak Jalak Putih. "Kapal itu kapal berbahaya! Itu kapal
sekutunya Siluman T ujuh Nyawa!"
"Hah..."!" Singo Bodong yang bertampang angker tapi kosong tanpa isi itu menjadi
terbelalak kaget.
Matanya yang besar kian lebar.
"Cepat beritahu mereka yang ada di istana!"
"lyy... iya... iya...!" Singo Bodong pun segera lari dengan langkah seperti
kerbau takut setan.
Jalak Putih segera memasukkan dua jarinya ke mulut dan bersuit satu kali dengan
nayring, "Suiiittt...!"
Kejap berikutnya dua orang muncul dari arah kanan dan kiri Jalak Putih. Kedua
orang itu tak lain ialah Penghulu Petir dan si Latah Lidah. Penghulu Petir
bertanya, "Ada apa" Mengapa kau memberi tanda bahaya?"
"Lihat kapal itu!" sentak Jalak Putih. Sentakan itu memancing kelatahan si Latah
Lidah. "Lihat!"
seru Latah Lidah sambil matanya memandang ke laut.
Penghulu Petir menggumam tegang, "Kapal Neraka!
Hmm... itu kapalnya Tapak Baja!"
"Iya. T apak Baja," jawab Latah Lidah menirukan.
"Cepat panggil Pangeran Berdarah!" sentak Penghulu Petir kepada si Latah Lidah.
T api yang disentak ganti menyentak karena latahnya,
"Cepat! Cepat berdarah! Eh... anu... cepat... iya cepat...."
"Kamu pergi segera sana!" bentak Penghulu Petir.
"Iya, iya...! Aku pergi, eh... kamu pergi! Eh, aku...!"
Latah Lidah bergegas pergi, tapi Jalak Putih berkata,
"T idak perlu!"
"Perlu! Eh, anu... iya, tidak perlu!" kata si Latah Lidah.
"Singa Bodong sudah kusuruh memberitahu orang-orang dalam istana. Kita bertiga
hadapi kapal itu dulu!"
"T api," kata Penghulu Petir agak ragu. Matanya makin disipitkan dengan tangan
menahan silau matahari.
"Sepertinya Kapal Neraka itu tidak berpenumpang satu pun!"
"Siapa bilang"!" kata Jalak Putih.
"Siapa"!"
Latah Lidah menyahut namun tak dihiraukan oleh dua temannya.
Jalak Putih berkata, "Lihat, ada yang berdiri di haluan!"
"O, iya! Benar! Maklum saja, mataku sudah agak rabun karena usia yang makin
banyak!" "Banyak! Dijual saja kalau banyak! Eh, anu...
maksudku, anu...!" Latah Lidah jadi ribut sendiri. Kedua temannya sering dibuat
jengkel oleh kebiasaan buruk si Latah Lidah. Kadang ia ditampar oleh mereka,
tapi si Latah Lidah tidak merasa sakit hati.
Seperti dikisahkan dalam "Pusaka T ombak Maut", Pengeran Berdarah mendapat tugas
dari gurunya, yaitu Jangkar Langit, untuk memburu T apak Baja yang telah membawa
lari Pusaka Tombak
Maut itu. Dalam pengejaran itu, Pangeran Berdarah meminta bantuan tiga rekannya, yaitu Jalak
Putih, si Latah Lidah dan Penghulu Petir.
Perjalanan perburuan itu sampai ke Pulau Beliung.
Padahal waktu itu Pulau Beliung baru saja diporak-porandakan oleh Gagak Neraka
yang dibantu mata-
matanya bernama Pragulo. Sedangkan anak bungsu Ratu Pekat yang bernama Cempaka
Ungu itu adalah kekasih Pangeran Berdarah. Maka, tinggallah Pangeran Berdarah di
Pulau Beliung itu untuk sementara waktu, sambil menunggu kemungkinan datangnya
penyerbuan orang-orang Siluman T ujuh Nyawa. Sebab pada waktu itu, menurut
dugaan Suto akan datang penyerbuan dari pihak Siluman T ujuh Nyawa. Suto Sinting
sendiri waktu itu harus pergi ke Pulau Hitam bersama Dewa Racun untuk sembuhkan
sakit gurunya Badai Kelabu. Sebelum Suto
kembali berada di Pulau Beliung, Pangeran Berdarah dan konco-konconya tetap
berada di Pulau Beliung untuk memperkuat pertahanan Ratu Pekat dari serangan
Siluman T ujuh Nyawa.
T etapi mereka tidak menyangka sama sekali kalau yang datang ternyata adalah
Kapal Neraka, yang menjadi ciri Tapak Baja. Mereka tidak tahu, bahwa T apak Baja
sudah dibunuh oleh orangnya sendiri, yaitu Hantu Laut.
Mereka juga tidak menduga kalau ternyata Pusaka
Tombak Maut itu ada di tangan Hantu Laut.
Maka ketika Hantu Laut mendarat di pantai pulau itu, Jalak Putih dan kedua
temannya merasa heran melihat orang besar, gemuk, dan gundul itu menggenggam
Pusaka Tombak Maut. Penghulu Petir yang tampil
terdepan dari kedua temannya sempat berdebar-debar menghadapi Hantu Laut yang
menggenggam tombak
tersebut. Sekali pun begitu, Penghulu Petir beranikan diri untuk menggertak
Hantu Laut, "Mana nakhodamu"!
Suruh dia turun biar kuhancurkan batok kepalanya itu!"
"T apak Baja maksudmu"! Ha ha ha ha...! Jangan berharap bisa bertemu lagi dengan
nakhoda gila itu! Dia sudah pergi ke alam kubur! Dia mati oleh tanganku!"
Penghulu Petir memandang Jalak Putih, dan Jalak
Putih memandang si Latah Lidah. Latah Lidah sendiri pandangkan matanya ke
Penghulu Petir. Mereka sama-sama kaget mendengar pengakuan Hantu Laut.
Jalak Putih maju setindak dan berkata, "Hantu Laut, kalau tak salah lihat,
tombak yang kau bawa itu adalah
Pusaka Tombak Maut!"
"Benar!"
"Serahkan tombak itu!" kata Jalak Putih.
"T idak. Tidak terlalu parah," jawab Hantu Laut.
"Serahkan, kataku!" bentak Jalak Putih mengulang kata-katanya.
Bentakan itu diikuti oleh kelatahan
temannya. "Serahkan! Ya, serahkan! Kata siapa tadi" si Latah Lidah celingak-celinguk
kebingungan sendiri.
Hantu Laut tertawa, kemudian berkata, "Aku kenal kalian Jalak Putih, Penghulu
Petir, dan yang di sana itu pasti si Latah Lidah!"
"Bagus kalau kamu mengenal kita-kita orang!" kata Jalak Putih.
"T api ada urusan apa kalian dengan tombak pusaka ini" Kalian bukan pemilik
pusaka ini. Ini pusaka milik Jangkar Langit!"
"Kami diutus merebutnya!"
"Putus rambut..."!" Hantu Laut berkerut dahi. Kurang jelas pendengarannya.
"Kami diutusnya untuk merebut pusaka itu, T uli!"
"Ya. T uli," sahut si Latah Lidah.
Hantu Laut tertawa mendengar pengakuan Jalak
Putih. "Bodoh amat si Jangkar Langit itu! Mengutus orang semacam tikus-tikus
begini akan sia-sia!"
"Hantu Laut," kata Penghulu Petir, "Jangan kau banyak tingkah di depan kami. Aku
tahu ilmumu masih cetek! Bakal hancur lebur jika maju menyerang kami!"
"Apa..." Baju?"
"Maju, kataku!" bentak Penghulu Petir. T api suara bentakan itu membuat si Latah


Pendekar Mabuk 011 Tumbal Tanpa Kepala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lidah kaget dan berseru,
"Maju! Iya, iya... maju. Ciaaat...!"
Si Latah Lidah tahu-tahu melayang dan menerjang
Hantu Laut dengan tendangan terbangnya. Senjata pisau besarnya dicabut dan
digunakan untuk membabat kepala Hantu Laut. Wutt...!
Hantu Laut merendahkan badan menghindari tendangan kaki si Latah Lidah, ia melihat bayangan Latah Lidah di pasir pantai,
lalu sambil memutar setengah jongkok ia goreskan tombak itu di pasir.
Bruss...! "Aahk...!" Latah Lidah terpekik, jatuh tubuhnya dengan bersimbah darah. Rupanya
ia terluka lebar dari pinggang kanan sampai ke pundak kiri. Isi perutnya nyaris
keluar karena lebarnya luka. Tentu saja hal itu membuat si Latah Lidah kejang-
kejang beberapa saat, kemudian tersentak dalam hembusan napas panjang, dan diam
tak bergerak lagi.
Jalak Putih dan Penghulu Petir terkejut melihat si Latah Lidah dalam satu jurus saja langsung tewas dalam keadaan
yang mengerikan. Jalak Putih terbakar darahnya, lalu ia segera mencabut tombak berujung bulan sabit
itu, dan ia sentakkan kakinya untuk
melompat rendah menyerang Hantu Laut.
"Hiaaat...!"
Wuttt...! Hantu Laut melompat mundur menghindari tebasan
tombak berbulan sabit itu. Segera Pusaka T ombak Maut
beraksi, disentakkan ke depan seperti mau ditusukkan.
Lalu, sinar merah keluar dari ujung tombak itu dan wwwussst...! Sinar merah
berkelok-kelok itu melesat cepat ke arah Jalak Putih.
"Hiiaaat...!" Jalak Putih menahan sinar merah itu dengan memutarkan tombak bulan
sabitnya di sela-sela jemarinya. Putarannya begitu kuat dan cepat hingga
menyerupai perisai.
T api sinar merah berkelok-kelok itu tetap menembus perisai itu. Zrrrap...!
Crrasss...! Jalak Putih tersentak tubuhnya ke belakang, terpapar di depan Penghulu Petir
dengan tubuh berkelojotan.
T elinga, hidung, mulut, dan matanya mengeluarkan asap putih, rambutnya
mengeriting terbakar. Jalak Putih terkena sinar merah maut yang menembus ulu
hatinya. Maka, tak ampun lagi Jalak Putih pun menghembuskan napas terakhir dalam keadaan
hangus terbakar.
Pada waktu itu, tampak Singo Bodong berlari-lari bersama Pangeran Berdarah.
Disusul kemudian wajah T engkorak Terbang tampak di belakang Pengeran
Berdarah. Singo Bodong menghentikan langkah saat melihat tubuh Jalak Putih
tersentak dan mati dalam keadaan terbakar bagian dalam tubuhnya. Singo Bodong
melongo menyaksikan hal itu.
"Majulah sekalian kau, Penghulu Petir!" tantang Hantu Laut,
Orang kurus yang hanya memakai baju jubah yang
tidak dikancingkan itu, tersenyum getir menutupi rasa was- wasnya, ia tetap
bersikap kalem, melangkah pelan
ke samping sambil mencabut sabit bergagang panjang.
Senjatanya itu digenggam kuat-kuat
sambil sedikit dimainkan. "Kau boleh saja merobohkan kedua orang ini dengan mudah, tapi jangan harap bisa
robohkan Penghulu Petir dalam satu gebrakan!" kata Penghulu Petir menutupi
kegetiran hatinya.
Hantu Laut segera putarkan tombak itu di atas
kepalanya hingga berbunyi gaung memanjang. Putaran tombak
mengeluarkan cahaya hijau mengelilingi tubuhnya dalam jarak dua langkah. T iba-tiba terdengar suara Pangeran Berdarah
berseru kepada Penghulu Petir,
"Jangan mendekat! Jauhi dia, Penghulu Petir!"
Hantu Laut justru berlari mendekati Penghulu Petir supaya sinar hijau itu
mengenai tubuh Penghulu Petir.
T api orang kurus itu cepat sentakkan kakinya dan bersalto ke belakang dengan
lincahnya. Sabit bergagang panjang itu diangkat ke atas, siap untuk ditebaskan.
Tapi lagi-lagi terdengar suara Pangeran Berdarah berseru,
"Jauhi dia, Penghulu Petir!"
Maka, Penghulu Petir pun merasa lega mendengar
perintah itu. Ia segera menjauh tanpa ada kesan pengecut dan takut, ia seolah-
olah hanya menuruti perintah dari Pangeran
Berdarah yang menjadi tuannya dalam peristiwa pengejaran Pusaka Tombak Maut itu.
"Kuhadapi dia!" kata T engkorak T erbang dengan suaranya yang kecil. T api
tangan Pengeran Berdarah menghadang dan berkata,
"Jangan! Tombak pusaka itu berbahaya! Biar aku
yang menghadapinya! Menjauhlah sedikit, T engkorak T erbang!"
Si gundul gemuk itu berhenti menggerakkan tombaknya. Cahaya hijau yang mengelilinginya berhenti pula. Hilang tanpa wujud
lagi. Lalu, Pangeran Berdarah serukan kata kepada Hantu Laut,
"Akulah lawanmu, Hantu Laut!"
"Ha ha ha ha...!" Hantu Laut tertawa panjang, setelah itu baru ucapkan kata,
"Anak baru kemarin sore mau coba-coba lawan aku"!
Dengar, Pangeran Berdarah, walau kau muridnya
Jangkar Langit, aku tak pernah merasa gentar berhadapan denganmu! Jangankan kamu, gurumu saja sudah mati di tanganku dan
kubuang ke laut, demikian juga T alang Sukma, adik gurumu itu!"
"Jahanaaam...!" geram Pangeran Berdarah dengan wajah semakin merah karena luapan
amarah. Mula-mula ia mencoba untuk tidak mempercayai kata-kata Hantu Laut
tentang kematian gurunya, tapi Hantu Laut berkata lagi,
"Kesaktianmu dengan
kesaktian Jangkar Langit belum ada sekuku hitamnya! Dia memang bisa hidup berulang kali dari kematiannya!
Tapi akhirnya dia tak berkutik untuk selamanya! Kalau tak percaya, carilah
perahu berlayar biru dengan simbol tengkorak! Kubuang mayat gurumu di atas
perahu itu, dan kutinggalkan terombang-ambing di tengah lautan lepas sana! Hua
ha ha ha...!"
Kata-kata itulah yang akhirnya membuat Pangeran
Berdarah percaya bahwa gurunya memang mati terbunuh oleh Hantu Laut, sebab ia tahu persis, bahwa gurunya mempunyai 'Aji
Banyu Jiwa' yang akan hidup lagi jika terkena air. Tapi jika Hantu Laut membuang
mayat gurunya di sebuah perahu, sudah tentu mayat itu tidak akan bangkit lagi,
kecuali perahunya menjadi basah. Jika sampai sekarang Jangkar Langit tidak
muncul-muncul, berarti Jangkar Langit benar-benar mati. Jika Jangkar Langit
tidak mati, dan sudah bertemu dengan Hantu Laut di tengah lautan sana, mustahil
Hantu Laut bisa sampai di Pulau Beliung dengan
keadaan segar-bugar seperti yang dilihatnya kini.
"Benar-benar jahanam kau, Hantu Laut!" geram Pangeran
Berdarah. "Terimalah pembalasanku atas
kematian Guru! Hiaaat...!"
Pangeran Berdarah mencabut kerisnya dan segera
berlari mendekati Hantu Laut. Keris itu memancarkan cahaya biru ketika lepas
dari sarungnya. Cahaya biru itu sangat
menyilaukan mata siapa pun yang memandangnya, termasuk Hantu Laut.
Mau tak mau Hantu Laut sentakkan kakinya dan
melenting ke atas dalam keadaan bersalto ke belakang satu kali. Lalu, secepatnya
ia hadangkan tombak pusaka itu miring ke kanan, ia sentakkan dengan satu
kekuatan tenaga dalam. Dan dari ujung tombak cepat keluarkan kilatan cahaya biru
pula. Kilatan cahaya biru itu melesat cepat menghantam cahaya biru keris Pangeran
Berdarah. Blarrr...! T erjadi ledakan dahsyat dari benturan dua cahaya biru itu. Pangeran Berdarah
dan Hantu Laut sama-sama saling terpental ke belakang. Bahkan Penghulu Petir pun
jatuh kelabakan hampir membentur batu kepalanya
akibat hentakan gelombang yang keluar dari ledakan tadi. Sedangkan T engkorak T
erbang yang berbadan kurus tanpa daging ibaratnya, tersentak dan jatuh menabrak
Singo Bodong. Bruss...! Hantu Laut cepat berdiri sambil berpegangan pada tombak yang pangkalnya menancap
di pasir. Sedangkan Pangeran
Berdarah masih terpaku dalam keadaan
setengah berlutut, ia mengeluarkan darah dari mulutnya, sementara keris pusaka
yang tadi memancarkan sinar biru itu dalam keadaan patah menjadi dua bagian.
"Luar biasa kekuatan dahsyat dari tombak itu," pikir Pangeran Berdarah. "Pantas
kalau Guru sangat wanti-wanti untuk tidak gegabah menyerang orang yang
bersenjatakan Pusaka T ombak Maut! T api, bagaimanapun juga aku harus membalas kematian
Gur u!" Baru saja Pangeran Berdarah berpikir begitu, tiba-tiba datang serangan dari
Hantu Laut, berupa asap hitam yang menyembur dari ujung gagang tombak pusaka
itu. Hantu Laut menyentakkan tombak dalam keadaan
terbalik dan semburan asap hitam melesat membungkus wajah Pangeran Berdarah yang
baru saja hendak berdiri itu. Wosss...!
"Huaaa...!" Pangeran Berdarah tiba-tiba memekik
keras, ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya, ia berlari ke laut dan
membuka wajahnya. Singo Bodong, T engkorak Terbang, dan Penghulu Petir hanya
bisa memandang dengan mata lebar dan mulut melongo,
melihat wajah Pangeran Berdarah melepuh dan sebagian terkelupas kulitnya. T
erlihat daging merah di balik kulit itu. Merah kehitam-hitaman.
Hantu Laut cepat mengejar Pangeran Berdarah dan
dengan satu tikaman kuat di punggung, tombak itu menancap tanpa ampun lagi.
Pangeran Berdarah yang bermaksud mengambil air untuk menahan rasa panas di
wajahnya itu terpaksa melengkung ke depan tubuhnya dengan kepala terdongak,
kemudian ia roboh dan tak bernyawa lagi.
Hantu Laut sendiri heran melihat asap hitam bisa keluar dari ujung tongkat
bagian bawah. Karena ia tidak menyangka
kalau ujung tongkat bagian ba wah mempunyai kekuatan tersendiri, yaitu bisa mengeluarkan asap beracun yang amat
panas jika disentakkan dengan satu kekuatan tenaga dalam. Padahal Hantu Laut
tadi bermaksud hanya mengagetkan Pangeran Berdarah
supaya berpaling lalu ia bisa menikam bayangan orang itu yang jatuh di depannya.
"Siapa yang ingin menghadapiku lagi, hah"!" sentak Hantu Laut sambil matanya
memandang liar kepada
Panghulu Petir, Singo Bodong, dan T engkorak T erbang.
Pada saat itu Tengkorak Terbang berbisik kepada
Singo Bodong, "Lekas lari ke istana! Sur uh Nyai Ratu dan Cempaka Ungu
bersembunyi!"
Singo Bodong pun se gera berlari, dan T engkorak T erbang berseru kepada
Penghulu Petir,
"Bendung dia dengan kekuatan kita berdua!"
"Siapa yang melendung"!" bentak Hantu Laut.
"Perutku memang besar karena kebanyakan minum darah orang. Bukan melendung
karena mengandung"!"
Ia salah dengar karena penyakit budeknya. Tapi T engkorak T erbang dan Penghulu Petir tidak melayani kesalahan dengar itu.
Mereka segera menyusun kekuatan untuk menyerang Hantu Laut.
* * * 5 SIN GO Bodong cepat-cepat menemui Ratu Pekat dan Cempaka Ungu di serambi Istana.
Pada waktu itu, Ratu Pekat sedang bicara dengan pengawal pribadinya yang
berjuluk si Mata Elang.
"T engoklah pertarungan di pantai, Mata Elang!
Bagaimana keadaannya di sana. dan cepat beri laporan padaku! Kau tak perlu ikut
campur dulu, karena orang itu memegang Pusaka T ombak Maut!"
"Baik, Nyai Ratu! Saya berangkat ke sana sekarang juga!"
"Aku ikut!"
"T idak, Cempaka!" sahut Nyai Ratu.
"Aku ingin bersama Sanjaya, Ibu!"
"Sanjaya atau Pangeran Berdarah sedang menghadapi
lawan tangguhnya! Nanti kau ikut menjadi korban atau justru mengganggu perhatian
Sanjaya! Kau tetap di sini bersama Ibu, Cempaka Ungu!"
Pada saat Mata Elang hendak meninggalkan tempat
itulah Singo Bodong datang dengan wajah tegang dan menceritakan pertarungan maut
di pantai. Cempaka Ungu menjerit
dalam tangis mendengar Pangeran
Berdarah yang bernama asli Sanjaya itu mati di tangan Hantu Laut. Ia ingin
berlari ke pantai untuk membalas dendam atas kematian kekasihnya, tapi oleh Ratu
Pekat dihalangi.


Pendekar Mabuk 011 Tumbal Tanpa Kepala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku harus membalas kematian
Sanjaya, Ibu! Biarkan aku melawan Hantu Laut dengan senjatanya berupa apa pun!"
"Cempaka! Jangan picik otakmu! Masih banyak pria lain yang mau denganmu, tapi
hanya satu nyawa yang ada padamu! Selamatkan dulu nyawamu! Jangan mau
mati konyol karena cinta!" sentak Ratu Pekat. Cempaka Ungu mengurungkan niatnya
manakala melihat wajah ibunya memerah menahan amarah.
"Atas saran Tengkorak T erbang,
Nyai disuruh bersembunyi!" kata Singo Bodong. "Tapi saya tidak tahu harus sembunyikan Nyai
Ratu di mana. Rumah saya
jauh!" tambah Singo Bodong dengan keluguannya.
Mata Elang berkata, "Nyai, sebaiknya cepat bergegas lewat pintu rahasia di kamar
Nyai itu!"
"Apakah tidak sebaiknya kuhadapi saja Hantu Laut itu?"
"Jangan, Nyai! Biar saya yang menahan mereka!"
Ratu Pekat berpikir sebentar, lalu bertanya kepada Singo Bodong,
"Apa benar orang dari Kapal Neraka itu hanya satu orang yang berkepala botak dan
tidak memakai baju?"
"Benar, Nyai! Hanya satu orang yang sering disebut oleh Jalak Putih dengan nama
Hantu Laut! Saya berani bersumpah, Nyai. Hanya satu orang. Sisanya saya tidak
tahu ada di mana. Sumpah, Nyai. Saya tidak tahu! Saya bukan Dadung Amuk!"
Singo Bodong menjawab dengan penuh keyakinan,
karena ia takut disangka Dadung Amuk, anak buah
Siluman T ujuh Nyawa yang mempunyai wajah dan
potongan tubuh persis Singo Bodong. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Istana Berdarah" dan
"Utusan Siluman T ujuh Nyawa").
Baru saja Nyai Ratu Pekat bergegas untuk melarikan diri melalui pintu rahasia
yang ada di kamarnya, tiba-tiba orang-orang penjaga pintu gerbang berhamburan
dengan gaduh. Mereka lari ketakutan, ada yang nekat masuk ke dalam istana.
Rupanya saat itulah Hantu Laut muncul di istana dan mengejar Penghulu Petir yang
terluka perutnya dan mengucurkan darah segar.
"Nyai, tolong... tolong saya...!" ratap Penghulu Petir sambil terhuyung-huyung.
Sampai di depan Ratu Pekat, Penghulu Petir jatuh tersungkur, setelah itu tidak
berdaya lagi. Mata Elang segera memeriksanya, ternyata Penghulu Petir sudah
tidak bernapas lagi.
"Dia telah tewas. Nyai," ucap Mata Elang dengan pelan, menahan kegeraman
amarahnya. "Ratu Pekaaat...!" teriak Hantu Laut sambil menaiki anak tangga menuju serambi
istana. "Aku harus menghadapi. T erpaksa menghadapinya!"
ucap Ratu Pekat seperti bicara pada dirinya sendiri.
"Jangan, Ibu! Jangan hadapi dia!" Cempaka Ungu menahan. "Biar Mata Elang yang
hadapi dia, Ibu! Kita lari saja, bersembunyi lewat pintu rahasia! Lekaslah...!"
"T idak bisa! Mata Elang harus ikut bersembunyi!"
sahut Ratu Pekat, karena Mata Elang selain pengawal pribadi juga pemuas gairah.
Ratu Pekat tidak mau kehilangan Mata Elang. Karenanya ia tidak mau pergi tanpa
lelaki itu. "Ratu Pekat! Mau lari ke mana kau, hah" Mau kabur seperti orangmu yang kurus
kering mirip tengkorak hidup itu, hah"! Ha ha ha...!"
Hantu Laut benar-benar tak punya rasa takut sama sekali. Bahkan semakin tampak
membanggakan dirinya dengan senjata tombak pusaka itu.
"Hantu Laut!" hardik Ratu Pekat dengan didampingi putrinya yang sudah mencabut
pedang ungunya. Ratu Pekat maju setindak dan berkata,
"Apa hanya ingin memberitahukan padamu, bahwa aku sekarang menjadi orang sakti!
Pusaka ini ada di tanganku, kurebut dari tangan T apak Baja!"
"Kau merebutnya dari tangan T apak Baja?"
"Ya. Dan sekarang T apak Baja sudah mati. Mati di tanganku! Hua ha ha ha...!"
Cempaka Ungu saling pandang dengan ibunya, si
Mata Elang juga merasa heran mendengar kabar itu,
sedangkan Singo Bodong sudah sejak tadi lari sembunyikan diri di dekat kandang burung, di belakang istana.
"Hantu Laut! Tapak Baja mati atau tidak, itu urusanmu! Aku tidak ada sangkut-
pautnya dengan Tapak Baja!"
"Juga si tua renta Jangkar Langit, mati di tanganku, di atas kapalku dalam upaya
merebut pusaka ini! Ha ha ha...!" Hantu Laut makin terbahak-bahak, Ratu Pekat
kembali terkesiap mendengar Jangkar Langit telah tewas di tangan Hantu Laut.
"Hantu Laut, kematian Jangkar Langit juga tidak ada hubungannya dengan diriku!
Jadi sebaiknya tinggalkan saja tempat ini!"
"Siapa bilang kematian mereka tidak ada hubungannya denganmu, Ratu Pekat"! Justru hal itu perlu kau ketahui, supaya kau
tahu, bahwa kau pun bisa menyusul mereka ke akhirat jika tak mau tunduk dengan
perintahku!"
"T utup mulutmu, Hantu Laut"!" sentak Ratu Pekat.
"T utup lututku..."!"
"T utup mulutmu!" ulang Ratu Pekat.
"O, tutup mulutku" Ah, tak bisa! T ak bisa aku menutup mulut di depanmu, sebelum
kamu tahu isi hatiku, Ratu Pekat!" Hantu Laut segera langkahkan kaki mendekati pilar agar bisa
memandang Ratu Pekat tanpa terganggu sila unya matahari siang itu. Lalu, ia
ucapkan kata lagi,
"Ratu Pekat, aku bisa saja memusnahkan pulau ini
dengan senjata pusaka ini! Orang Pulau Beliung akan mati semua karena menghirup
udara beracun dari tiap jengkal tanah jika tombak ini kutancapkan ke dalam
tanah. Tapi, rasa-rasanya sayang sekali jika kau ikut mati, Ratu Pekat. Sebab
itu, kutawarkan pilihan padamu, kuhancurkan pulau ini, atau kau menjadi
istriku"!"
Bagai petir menyambar di gendang telinga, Ratu
Pekat terbelalak kaget. Cempaka Ungu dan Mata Elang pun terkejut. Mata mereka
sama-sama menatap tajam kepada Hantu Laut, tapi Hantu Laut justru cengengesan
sambil memandang liar Ratu Pekat dan Cempaka Ungu.
Bahkan ia berkata,
"Putrimu itu cantik juga. T ak keberatan jika aku harus mengawini ibu dan
anaknya sekalian! Ha ha ha ha...!"
"Jahanam kau, Manusia busuk!" sentak Cempaka Ungu dan siap menerjang Hantu Laut.
Tapi tangan ibunya menahan, hingga gerakan itu pun tak dilanjutkan.
Namun tiba-tiba Mata Elang berkata, "Hantu Laut!
Boleh kau mengawini Nyai Ratu setelah kau bisa
membunuhku!"
"Itu pekerjaan yang amat mudah!" kata Hantu Laut.
Selesai ia berkata begitu, tiba-tiba dari mata si Mata Elang mengeluarkan cahaya
merah menyerang Hantu
Laut. Wusss...!
Hupp...! T ab, tab...!
Hantu Laut segera lompat ke belakang dengan
bersalto dua kali. T iba di tangga serambi, ia siapkan tombaknya ke arah depan
dengan sikap menunggu la wan datang.
"Kalau kau merasa cukup sakti, datanglah kemari, Bocah Ingusan!" pancing Hantu
Laut. Mendengar pancingan itu, Mata Elang cepat melesat bagaikan terbang sambil
mencabut pedangnya dari
punggung. Srett...! Dan pedang itu pun dikibaskan untuk memenggal kepala Hantu
Laut. Tranngg...! Pedang itu ditangkis dengan tombak.
Trik, klinting...! Pedang itu patah dan jatuh di lantai bermarmer bening. Mata
Elang terperanjat kaget melihat pedang pusakanya patah.
"Ke mana pedangmu, Bocah ingusan"! Patah". Oh, kasihan sekali! Itu pertanda
nyawamu sebentar lagi akan patah pula, tahu"!"
"Keparat kau! Hiaaah...!"
Hantu Laut merundukkan kepala ketika serangan
Mata Elang menerjang dengan satu lompatan dan
pukulan maut lewat sinar matanya yang memancarkan cahaya merah seperti tadi.
Hantu Laut bahkan sempat berguling satu kali di lantai, kemudian cepat berlutut
satu kaki dan menggoreskan ujung tombak ke lantai.
Goresan itu cukup panjang, dan mengenai sekujur
panjang bayangan tubuh Mata Elang. Crasss...!
"Aaahg...!"
Masih di udara tubuh Mata Elang sudah berkelejot. Ia pun jatuh berdebam di
lantai. Punggungnya terluka parah dari paha sampai ke tengkuk kepalanya. Luka
itu sangat parah karena tubuh Mata Elang bagaikan habis disabet dengan senjata
runcing yang tajamnya luar biasa.
"Mata Elang...!" pekik Ratu Pekat begitu melihat
Mata Elang berkelejotan di lantai dengan bermandi darah. Ketika ratu
menghampirinya, mengangkat kepala Mata
Elang, saat itu juga pemuda tampan itu menghembuskan napasnya yang terakhir, ia
jatuh terkulai tak bernapas di tangan Ratu Pekat.
"Biadab kau, Hantu Laut!" geram Ratu Pekat sambil meletakkan kepala mayat Mata
Elang. Ratu Pekat segera berdiri, pancarkan pandangan murkanya kepada Hantu
Laut. T api orang gundul mengkilap itu justru tertawa terbahak-bahak.
"Sudah kubilang tadi, aku ini sekarang jadi orang sakti berilmu tinggi! Jangan
remehkan aku, Ratu Pekat!
Kurasa kau pun perlu pertimbangkan lamaranku tadi daripada mati cepat seperti
bocah itu!"
"Lamaran sesat! Hadapi dulu aku kalau memang kau merasa berilmu tinggi,
hiiih...!"
Ratu Pekat sentakkan napasnya, lalu dari kalung
berbatu Galih Bumi itu melesatlah sinar biru tua ke arah Hantu Laut. Dengan
cepat Hantu laut melompat ke
samping untuk menghindari sinar biru itu. Wuttt...!
Glegarrr...! Sinar biru itu menghantam sebuah pilar di sudut teras istana. Pilar itu langsung
saja berantakan, menjadi kepingan-kepingan
kecil, dan menggunduk mirip gunungan batu kerikil.
"Hebat juga sinar biru dari kalungmu itu, Ratu Pekat!
T ak rugi. aku jika punya istri berilmu tinggi seperti kamu, Ratu Pekat!"
"T utup mulutmu! Terimalah kematianmu, Hantu
Laut!" Srett...! Hantu Laut sedikit sipitkan mata melihat Ratu Pekat keluarkan senjata,
yaitu cambuk kecil yang tidak terlalu panjang. Cambuk itu segera dilecutkan ke
arah tubuh Hantu Laut. T arrr...! Keluar sinar kuning dari lecutan itu,
menghantam Hantu Laut. T api sinar kuning bisa dihalau oleh Hantu Laut dengan
mengerahkan pukulan tenaga dalamnya lewat tangan kiri Blarrr...!
T imbul ledakan cukup kuat akibat benturan sinar kuning dengan pukulan tenaga
dalam Hantu Laut. Lalu, Pusaka Tombak Maut
disentakkan dalam keadaan
miring. Pada waktu itu, Ratu Pekat
mengirimkan pukulan cambuknya yang mengeluarkan cahaya merah.
T api ujung tombak itu pun keluarkan cahaya biru petir dan menghantam cahaya
merah itu. Blarrr...! Ratu Pekat terpental jatuh. T ubuhnya jatuh di lantai dan terseret sampai lebih
dari tujuh tangkah jauhnya.
Se dangkan Hantu Laut juga terpental akibat ledakan besar yang terjadi karena
benturan dua cahaya tadi.
Cempaka Ungu cemaskan ibunya. "Ibu...! Biar aku yang melawannya!"
Wuttt...! Cempaka Ungu melompat dan menyerang
Hantu Laut dengan menebaskan pedangnya. T api dengan cepat Hantu Laut berguling
ke samping sambil tetap memegang tombak itu. Wuttt...!
Se benarnya kalau Hantu Laut
ingin membunuh Cempaka Ungu sangat mudah, sebab bayangan Cempaka Ungu waktu melayang jatuh di depan kaki
Hantu Laut. T api agaknya Hantu Laut merasa sayang jika harus membunuh gadis
itu. Dalam hatinya ia sempat berkata,
"Jangan bunuh gadis itu! Bisa kupakai gantian dengan ibunya jika aku sedang
bosan menikmati yang tua!"
T erdengar suara Ratu Pekat berseru, "Cempaka!
Minggir kau!"
Seruan itu seruan kemarahan. Cempaka Ungu tak
berani nekat menyerang Hantu Laut. Ia segera menyingkir agak jauh. Saat itu Ratu Pekat telah berdiri dan melecutkan cambuknya
dari jarak dua belas langkah.
Wuttt...! Tarrr...!
Cambuk pendek itu menjadi panjang dengan mengeluarkan pijar sinar biru. Melesat cepat menghantam Hantu Laut. T api dengan cekatan Hantu Laut
menghadangkan tombaknya ke atas. Wussst!
Cambuk yang memancarkan cahaya biru berpijar-pijar itu tersangkut melilit di


Pendekar Mabuk 011 Tumbal Tanpa Kepala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tombak itu, tepat di bagian ujung tombak. Hantu Laut segera sentakkan tombaknya
ke belakang. Wusss...!
Sentakannya pelan, tapi mempunyai kekuatan yang
begitu besar. T ubuh Ratu Pekat sampai terbawa terbang ke arah Hantu Laut. Dan,
tangan kiri Hantu Laut segera menyongsong tubuh Ratu Pekat yang melayang ke
arahnya. Begggh...!
Se buah pukulan bertenaga dalam yang tidak seberapa tinggi telah dilepaskan
Hantu Laut. T epat mengenai pusar Ratu Pekat. Pukulan itu membuat Ratu Pekat
terpental ke belakang. T angan yang memegangi cambuk pun terlepas.
"Uuhg...!" Ratu Pekat keluarkan darah dari mulutnya ketika tersedak dalam
keadaan jatuh ke lantai.
"Ibu..."!"
pekik Cempaka Ungu, segera berlari menolong ibunya, ia pun berkata dengan pelan, "Ibu, keadaan ibu sangat lemah!"
"Aku tidak apa-apa! Tidak apa-apa!"
"T api cambuk pusaka ibu ada di tangannya!"
Ratu Pekat sedikit terperanjat setelah menyadari ia tidak memegang cambuk lagi.
Hantu Laut tersenyum-senyum sambil mempermainkan cambuk pendek yang
sudah tidak menyalakan pijar biru lagi itu.
"Luar biasa kehebatan pusaka itu!" pikir Ratu Pekat.
"Cambukku tak bisa mematahkannya. Malahan seperti tersedot kuat oleh kekuatan T
ombak Maut itu! Celaka!
Sekarang cambuk itu ada di tangannya! Aku dan putriku bisa mati kalau begini
caranya!" Ratu Pekat berdiri tanpa dibantu anaknya lagi. T api Cempaka Ungu masih ada di
sampingnya dan berbisik,
"Ibu, kita lari saja! Ayolah, Bu...!"
"T erlambat! Dia pasti akan mengejar kita!"
"T api bagaimana dengan pusaka cambuk biru itu, Bu"
Dia memegang dua pusaka ampuh!"
"Mainkan siasat saja!" bisik Ratu Pekat.
"Ratu Pekat," kata Hantu Laut. "Pusakamu ada di tanganku! Apakah kau masih
inginkan pusaka cambuk ini"!"
"Aku merasa kau tak akan bisa menggunakan cambuk
itu!" "Hanya kau seorang yang bisa?"
"Ya. Hanya aku!"
"Kalau begitu, terimalah...!"
Wutt...! Cambuk dilemparkan begitu saja oleh Hantu Laut sambil tertawa-tawa.
Cambuk segera ditangkap oleh Ratu Pekat. Lalu terdengar Hantu Laut bicara,
"Kurang berbaik hatikah aku padamu?"
"Aku merasa kau tak pernah punya hati baik!"
"Kalau begitu kutancapkan tombak ini ke tanah biar semua penduduk Pulau Beliung
mati karena racun!"
"Kau tak perlu mengancamku begitu, Hantu Laut!
Jangan membawa korban rakyatku yang tidak seberapa banyak jumlahnya ini!"
"Karena kau tak mau tunduk padaku, Ratu Pekat!"
"Apa yang harus kulakukan
jika aku tunduk padamu?" "Kau harus menjadi istriku, juga anakmu itu!"
Cempaka Ungu cemas dan berbisik dari belakang
ibunya, "Ibu, aku tidak mau! Aku tidak sudi!"
"Diamlah! Ibu yang atur siasat ini!"
T erdengar suara Hantu Laut mendesak, "Bagaimana"
Kalian terima lamaranku?"
"T idak bisa, Hantu Laut! Karena istana ini dalam ancaman kutukan maut Siluman T
ujuh Nyawa!"
"Kutukan" Kutukan bagaimana"!"
"Istana ini akan hancur pada saat aku atau anakku menikah dengan seseorang!
Pernikahan itu juga akan membawa kematianku dan kematian Cempaka Ungu!
Jadi usahamu sia-sia, Hantu Laut!"
"Bangsat! Kubunuh Siluman T ujuh Nyawa itu!"
"Percuma! Kutukan itu bisa be bas lepas jika di depan istana ini ditanami tubuh
tumbal seorang pendekar sakti!"
"T idak ada lagi pendekar sakti kecuali diriku!" sergah Hantu Laut.
"Selain kau, masih ada satu orang lagi yang bisa dijadikan tumbal pemusnah
kutukan itu!"
"Siapa?"
"Pendekar Mabuk!" jawab Ratu Pekat.
"Pendekar Gebuk"!"
"Pendekar Mabuk!" ulang Ratu Pekat. "Jadi kalau kau mau mengawini aku dan anakku
ini, carikan aku tumbal tubuh Pendekar Mabuk yang bernama Suto Sinting."
"Suto Sinting..."! Hmmm... aku pernah mendengar nama itu, tapi di mana dan siapa
yang mengucapkannya, aku lupa!"
Saat itu Ratu Pekat berbisik kepada Cempaka Ungu,
"T undukkan wajahmu biar kita kelihatan sedih karena kutukan itu!"
Hantu Laut sangat percaya dengan ucapan Ratu
Pekat, karena ia melihat kedua wajah perempuan Ibu dan anak itu tampak murung
sedih, seakan tak bisa banyak berbuat karena kutukan tersebut. Hal yang membuat
Hantu Laut percaya dengan bualan Ratu Pekat adalah pengalamannya selama ini,
bahwa Siluman T ujuh Nyawa memang sering memasang kutuk atau penyakit tertentu, yang membuat lawan
jenisnya akan bergantung
pada dirinya. Seperti misalnya sebuah pukulan maut yang bernama 'Candra Badar',
telah ditanamkan pada diri Ratu Gusti Mahkota Sejati, yang bernama asli Dyah
Sariningrum, di mana perempuan itu telah dibuat tak bisa keluar dari Istananya
sebelum Siluman T ujuh Nyawa datang dan membebaskan pukulan tersebut.
Itulah sebabnya Hantu Laut sangat percaya dengan kata-kata Ratu Pekat, hingga ia
bertanya, "Di mana bisa kutemukan Pendekar Mabuk itu?"
"Dalam perjalanan ke Pulau Hitam! Ke mana-mana dia
selalu membawa bumbung tempat tuak di punggungnya!"
"Oooh, yaaa...! Aku pernah bertemu dengannya di Pulau Kidung!"
"Cari dia! Penggal kepalanya. Buang ke laut.
T ubuhnya ditanam di depan istana ini, sehingga aku dan anakku bebas dari
kutukan itu, lalu kau bisa mengawini kami!"
"Akan kucari Pendekar Mabuk! T ak lama lagi aku pasti datang membawa tumbal!"
* * * 6 DENGAN menggunakan perahunya sendiri, T engkorak Terbang berhasil menghindari pertarungan berbahaya dengan Hantu Laut.
T etapi terlebih dulu ia sempat bocorkan bagian bawah Kapal Neraka itu, hingga
kapal itu makin lama makin miring karena banyaknya air yang masuk ke lambung
kapal. Ketika Hantu Laut hendak pergi keesokan harinya
untuk mencari tumbal raga dari Pendekar Mabuk, ia terkejut
melihat Kapal Neraka sudah tenggelam sebagian. Waktu itu, Ratu Pekat dan Cempaka Ungu sengaja mengantar kepergian
Hantu Laut sampai di pantai. Seolah-olah kedua perempuan itu sangat berharap
kepada Hantu Laut untuk berhasil mendapatkan tumbal tanpa kepala dari raga
Pendekar Mabuk. Hantu Laut tak sadar
kalau dirinya dijebak agar masuk dalam pertarungan yang akan merenggut nyawanya.
Ratu Pekat yakin, hanya Suto Sinting yang bisa
mengalahkan manusia botak dan berhidung bulat dengan senjata pusakanya itu. T
anpa bantuan Suto, Ratu Pekat merasa kalah tinggi ilmunya. Andai Hantu Laut
tanpa Pusaka T ombak Maut mungkin dalam satu gebrakan
saja, Ratu Pekat bisa merobohkan tubuh besar mirip raksasa itu. T api jika
tombak pusaka itu masih di tangan Hantu Laut, Ratu Pekat merasa kalah ilmu
dengan orang yang tak pernah memakai baju itu.
"Lutung kudisan!" gerutu Hantu Laut. "Ada anak buahmu yang membocorkan kapalku!"
"Bukankah anak buahku sudah mati semua di
tanganmu?"
"T idak! Ada yang melarikan diri, dan kubiarkan! Si
T engkorak busuk itu yang melarikan diri!"
"Oh, jadi T engkorak T erbang masih hidup?"
"Kalau begini aku tak bisa pergi!" kata Hantu Laut dengan menahan amarahnya.
"Kami punya perahu lain yang bisa kau pakai untuk mencari Pendekar Mabuk itu!"
kata Cempaka Ungu dengan sikap dibuat-buat manis.
"Ah, tak ada wiba wanya aku pakai perahu atau kapal lain! Kapal Neraka itu
membuat ciut nyali pendekar mana pun yang melihatnya!"
"Kalau begitu, biarlah kusuruh beberapa orangku yang masih tersisa untuk
menambal kapalmu!"
"Atur saja bagaimana baiknya! Akan
kubunuh T engkorak Busuk itu jika bertemu denganku!"
"Ya, bunuh saja! T api pentingkan mencari Pendekar Mabuk dulu!" bujuk Cempaka
Ungu setelah paham betul dengan kelicikan ibunya.
Dalam keadaan hanya berdua, Ratu Pekat bicara pada putrinya,
"T ak ada pilihan lain untuk menggunakan cara ini!
Kita harus bisa tetap baik kepadanya, supaya dia tidak menyerang kita sampai
menunggu kedatangan Suto!"
"T api aku takut dia memperkosaku, Bu!"
"T idak akan! Karena Ibu sudah kasih tahu padanya, bahwa setiap lelaki menyentuh
tubuhmu atau tubuhku, maka kita bertiga, bersama lelaki itu akan mati termakan
kutuk! Dan dia percaya betul akan hal itu! Karenanya, bersikap baik terus
kepadanya dan bujuk dia supaya tetap bersemangat memburu Pendekar Mabuk!"
Cempaka Ungu menampakkan kegelisahannya ketika
berkata, "Nanti kalau dia bertemu Suto dan Suto bisa dipenggalnya, bagaimana"!"
"Ibu yakin, Pendekar Mabuk tidak akan mudah dikalahkan! Ingat gerakan-gerakannya
ketika melawan Gagak Neraka" Ingat ketika ia beradu kesaktian dengan Mata
Elang" Dia bukan pendekar yang mudah dikalahkan dengan senjata pusaka seperti Tombak Maut itu! Setidaknya Suto bisa
menghindari kekuatan ilmu yang ada pada Pusaka Tombak Maut. Atau paling tidak
Suto punya cara sendiri untuk mengalahkan Hantu
Laut!?" "Yang kupikirkan, bagaimana nasib kita jika Hantu Laut unggul dalam melawan
Pendekar Mabuk, Bu!''
"Pada saat Hantu Laut pergi mencari Pendekar Mabuk, kita bisa lari bersembunyi
lewat pintu rahasia, atau meminta bantuan kepada beberapa sahabatku! Yang jelas,
banyak cara yang bisa kita lakukah jika dia sudah pergi dari pulau ini!"
Hal yang membuat Ratu Pekat tak bisa banyak
bergerak juga karena Hantu Laut tidak mau beristirahat di kamar tamu. Dia
memaksa diri harus beristirahat di kamarnya Ratu Pekat sendiri, sehingga sang
ratu tidur atau beristirahat dengan anaknya, di kamarnya Cempaka Ungu. Mereka,
tak bisa lari atau bersembunyi lewat pintu rahasia yang ada di kamar tidur ratu,
yang sekarang ditempati Hantu Laut itu.
Lebih-lebih Hantu Laut telah ajukan ancaman, jika Ratu Pekat melakukan
perlawanan lagi, maka Hantu
Laut akan sebarkan racun melalui tanah merekah di seluruh pulau itu. Padahal di
situ ada penduduk biasa yang tak tahu-menahu masalah istana. Ratu Pekat
merasa punya kepentingan melindungi penduduk pulau tersebut, sekalipun jumlahnya
tak seberapa banyak.
Se dih juga hati Ratu Pekat kehilangan Mata Elang.
Bahkan Cempaka pun sering ikut merasa sedih jika teringat kematian Pangeran
Berdarah, kekasihnya. T etapi Ratu Pekat masih bisa menahan kesedihannya. Walau
dia sudah kehilangan semua orang-orangnya, tapi ia masih punya satu harapan,
yaitu kembalinya Pendekar Mabuk dan Dewa Racun. Semula Ratu Pekat ingin
menaruh harap kepada T engkorak T erbang, tapi orang itu telah melarikan diri
dan tak jelas ke mana arah pelariannya, dan akan kembali atau tidak.
Se benarnya T engkorak T erbang pantang melarikan diri jika berhadapan dengan
lawannya. Bila perlu mati di tangan lawan lebih baik daripada melarikan diri. T
etapi pelariannya itu adalah pelarian mengatur siasat, ia harus segera menyusul
Suto ke Pulau Hitam. Jika ia mati di tangan Hantu Laut, siapa lagi yang akan
menyusul dan memberitahukan peristiwa amukan Hantu Laut kepada Suto" Karena itu,
T engkorak T erbang segera melakukan penyusulan tersebut.
Sendirian ia terombang-ambing di tengah lautan
bersama perahu kecilnya, ia berharap di perjalanan bisa berpapasan
dengan perahu yang ditumpangi
Suto Sinting. T api ternyata yang ditemuinya perahu lain.
T engkorak Terbang mengeluh dengan desah kejengkelan, sebab kali ini ia kembali berpapasan dengan
perahu berlayar kuning dengan gambar tengkorak dan tujuh mata rantai warna merah. Jelas perahu itu adalah perahu anak
buahnya Siluman T ujuh Nyawa. T engkorak T erbang tak bisa menghindari
berpapasan dengan perahu itu,
karena ia sempat kehilangan angin dan tak bisa lanjutkan perjalanan dengan cepat, ia hanya bisa
gunakan satu dayung dengan tenaga lemah karena pertarungan dengan Hantu Laut.
Perahu berlayar kuning itu semakin
mendekat. Sepertinya memang sengaja mendekatinya. T engkorak T erbang membatin,
"Kalau terpaksa harus mati bertarung melawan mereka, ya sudahlah! Itu namanya
nasib yang tak bisa dihindari! Mudah-mudahan saja tak lama nanti muncul perahu
yang membawa Suto, jadi aku bisa kasih berita kepadanya tentang keadaan Pulau
Beliung sekarang ini!"


Pendekar Mabuk 011 Tumbal Tanpa Kepala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Perahu berlayar kuning lebih besar dari perahunya T engkorak
Terbang. Ketika mereka berdekatan, T engkorak T erbang segera tahu siapa penumpangnya.
Hanya dua orang, yang satu pernah bertarung melawan T engkorak Terbang, tapi
melarikan diri karena kalah dengan ilmunya Pendekar Mabuk. Orang itu, yang
memakai pakaian abu-abu bersabuk hitam dengan hiasan kepala burung gagak, tak
lain adalah Gagak Neraka.
Se dangkan lelaki tua berusia sekitar enam puluh tahun itu, cukup terkenal juga
di rimba persilatan, ia termasuk anak buah Siluman T ujuh Nyawa yang konon ahli
dalam pengobatan, ia dikenal dengan nama julukan T abib
Akhirat, ia mengenakan baju jubah hijau dengan pakaian dalamnya
hitam. Rambut abu-abu panjang diikat
memakai ikat kepala dari kulit ular. Ia selalu menggenggam kapak bergagang panjang, bagaikan
orang mau menebang pohon.
Rupanya Gagak Neraka sudah sembuh dari lukanya
akibat pertarungannya dengan Pendekar Mabuk dalam kasus "Istana Berdarah" itu. T
entunya si T abib Akhirat yang mengobati luka tersebut. Kini ketika ia melihat T
engkorak T erbang ada di perahu itu sendirian tanpa Suto, geram kejengkelannya
mendidihkan darah. Segera ia melepaskan pukulan tenaga dalam ke arah T engkorak
T erbang. Wuttt! T api T engkorak T erbang segera tangkis pukulan itu dengan
lompatan tubuh dari tengah perahu ke buritan.
"T ikus Busuk!" seru Gagak Neraka. "Rasa-rasanya hari ini adalah hari terakhir
bagimu! Kematianmu yang tertunda tempo hari, perlu kau lanjutkan hari ini!"
"Gagak Neraka! Kalau kau sendiri sudah siap mati, aku pun siap membunuhmu!"
"T ulang rakus! Hiaaah...!"
Gagak Neraka sentakkan tangan kanannya ke depan, dari
telapak tangannya keluar jarum kecil-kecil jumlahnya cukup banyak, warnanya hitam bagai berkarat semua.
T engkorak T erbang tak mungkin bisa menghindar karena gerakan jarum maut itu sangat cepat.
Satu-satunya jalan ia segera lepaskan pukulan 'T angan Matahari', yaitu dengan
menyentakkan kedua tangan bersamaan
dan keluarlah sinar warna-warni yang
menggumpal bagaikan bola dan melesat dengan cepat.
Brass...! Blegarrr...!
Kedua perahu itu terguncang hebat akibat ledakan dari pukulan 'T angan Matahari'
dengan jarum-jarum hitam itu. Yang paling hebat getarannya adalah perahu yang
ditumpangi T engkorak T erbang. Perahu itu hampir saja terguling akibat air laut
melonjak dan bergelombang hebat. Sedangkan T engkorak T erbang sendiri tubuhnya
sempat terlempar ke laut dan menjadi basah kuyup.
Gagak Neraka terlempar tubuhnya sampai membentur pintu barak, dan membuat Tabib Akhirat menggerutu jengkel dan
menyentak pada Gagak Neraka,
"Hentikan permainanmu itu! Kalau tak bisa kalahkan dia, tak perlu menyerang
lagi!" Gagak Neraka takut, karena T abib Akhirat punya
tingkatan lebih tinggi dari dirinya. Gagak Neraka hanya berkata,
"Aku sekadar menguji kehebatan si tulang belulang itu!"
"T ujuan kita mau membalas kekalahanmu kepada Pendekar Mabuk atau kepada T
engkorak rapuh itu"!"
"Ya, kepada si Pendekar Mabuk! T api dia temannya Pendekar Mabuk!"
"Kalau begitu tanyakan
padanya saja, apakah Pendekar Mabuk masih ada di Pulau Beliung atau sudah minggat dari sana"!"
Maka, berserulah Gagak Neraka kepada Tengkorak
T erbang, "Hai, T ulang Babi...! Apakah Pendekar Mabuk masih ada di Pulau
Beliung atau sudah pergi"! Jawab
pertanyaanku daripada kupaksa kau bicara dengan
kekerasan!"
T engkorak T erbang
yang rambut dan sekujur tubuhnya basah kuyup itu sudah berdiri lagi di buritan perahunya, ia berdiri
dengan kedua tangan bertolak pinggang, seakan masih berani menghadapi serangan
dari lawannya. T api untuk sementara ia segera serukan kata, karena ia sudah
tahu apa yang jadi tujuan pelayaran perahu berlayar kuning itu,
"Kalau kau mencari Pendekar Mabuk, tanyakanlah kepada temanmu yang berjuluk
Hantu Laut!"
"Kenapa harus kepada dia aku bertanya" Apa
hubungannya?"
"Pendekar Mabuk ada di Pulau Beliung, sudah dikalahkan oleh Hantu Laut!"
"Omong kosong!" bentak Gagak Neraka, lalu cepat ia palingkan wajah untuk
memandang T abib Akhirat. Bagi mereka, Hantu Laut bukan orang sehebat T apak
Baja atau sehebat diri mereka. Mana mungkin bisa mengalahkan Pendekar Mabuk, yang menurut Gagak
Neraka adalah orang berilmu tinggi. T abib Akhirat pun ikut bicara dari
perahunya, "Mana mungkin Hantu Laut bisa kalahkan Pendekar Mabuk! Hantu Laut hanya kuli
Kapal Neraka! Dia budak suruhan T apak Baja!"
"T emuilah sendiri di Pulau Beliung! T anyakanlah kepadanya, apakah dia kuli
kapal, atau budak T apak Baja, atau orang sakti! Dia sekarang sudah hebat, tidak
seperti dulu! Kalian kalah hebat! Aku saja lari dari
pertarungan dengannya, karena dia sudah mempunyai pusaka maut!"
"Pusaka apa?"
"T anyakanlah
sendiri, aku tak sempat menanyakannya!" jawab T engkorak Terbang. "Yang kutahu, T apak Baja telah
dibunuhnya!"
"Hah..."!" kedua orang di atas perahu berlayar kuning itu tercengang heran.
"Jangan membual di depanku, Bangsat!" teriak Gagak Neraka
sambil kirimkan pukulan jarak jauhnya. T engkorak T erbang cepat sentakkan tangan kirinya.
Pukulan tanpa sinar saling beradu di pertengahan, menimbulkan
letupan kecil yang tidak terlalu mengguncangkan perahu seperti tadi.
"Cobalah kau datang sendiri dan lawan si Hantu Laut itu!
Kujamin nyawa kalian amblas dalam satu gebrakan!"
seru T engkorak T erbang, sengaja memanaskan hati mereka.
"Mana mungkin dia berani melawan kami! Kedudukan kami lebih tinggi darinya!" seru T abib Akhirat.
"Jangankan kalian, Siluman T ujuh Nyawa pun akan ditumpasnya habis jika tak mau
bersujud di depan kakinya!"
"Jahanam! T utup mulutmu!" bentak Gagak Neraka.
T abib Akhirat segera menahan tangan Gagak Neraka yang ingin melepaskan pukulan
jarak jauhnya lagi.
T abib Akhirat berkata pelan,
"Biarkan dia bicara!"
"Dia mengigau!"
"Kulihat dia memang seperti orang sedang melarikan diri! Biarkan dia bicara, aku
ingin mendengarnya!"
"Kubilang, dia mengigau!"
"Kalau begitu, aku ingin mendengar igauannya!"
Kemudian, T abib Akhirat berseru kepada Tengkorak T erbang,
"Apakah T apak Baja ada di sana" Maksudku, mati di sana?"
"T idak! Hantu Laut datang sendirian. Dia ingin kuasai
Pulau Beliung untuk tempat tinggalnya selamanya. T api ia berkoar kepada kami, bahwa ia sudah berhasil membunuh T apak
Baja, dan sebentar lagi dia akan bunuh Siluman T ujuh Nyawa!"
"Dia berbohong padamu!" kata Tabib Akhirat.
"Menurutku dia tidak berbohong! Apa yang dikatakan ada benarnya juga, sebab dia
telah memiliki sebuah tombak pusaka milik Jangkar Langit!"
"Pusaka T ombak Maut"!"
"O, ya! Itu nama tombak pusaka yang sekarang menjadi
andalannya! Menurut rencana, dia akan membantai semua orang-orangnya Siluman T ujuh Nyawa, dan dia akan kuasai semua jalur pelayaran dan jajahan Siluman T ujuh
Nyawa!" Gagak Neraka makin panas telinganya mendengar
berita itu. Ia berkata kepada T abib Akhirat,
"Celaka! Jika omongan tengkorak keropos itu benar, berarti kita harus kasih
laporan kepada sang ketua!"
"Kita buktikan dulu di Pulau Beliung! Seperti apa
tingkah Hantu Laut terhadap kita sekarang ini! Jika memang membahayakan, biar
kuhabisi sendiri dia!"
* * * 7 KAPAL Neraka dikerumuni beberapa orang. Bukan
karena mereka kagum dan heran melihat kapal yang terkenal sebagai penyebar maut
itu, tapi dengan sangat terpaksa mereka melakukan tugas dari Ratu Pekat untuk
memperbaiki beberapa kerusakan kapal tersebut. Kepada salah seorang prajurit
yang memimpin perbaikan kapal itu, Ratu Pekat berkata pelan, "Kalau bisa agak
dibuat lama sedikit. Jangan terburu-buru selesai. Mengerti?"
"Mengerti, Nyai Ratu. T api, apakah tidak sebaiknya biar cepat selesai saja,
biar setan gundul itu cepat pergi dari pulau ini?"
"T idak. Aku sangat berharap dia bertemu dengan Pendekar Mabuk di sini! Jangan
biarkan dia pergi dan tersesat, hingga tidak bertemu dengan Pendekar Mabuk.
T erlalu bodoh kalau aku membiarkan dia pergi begitu saja, walau sebenarnya aku
bisa punya kesempatan untuk lari dan bersembunyi. Kalau dia masih hidup dengan
tombak pusakanya, dia tetap akan menjadi
ganjalan ketenangan hidup kita di mana saja! Jadi, dia harus mati.
Dan Pendekar Mabuk-lah yang bisa mengalahkan dia! Mengerti?"
"Baik. Saya mengerti, Nyai Ratu!"
"Suruh orang-orang jangan cepat-cepat dalam bekerja! Diperlambat saja, sambil menunggu kedatangan Pendekar Mabuk dari Pulau
Hitam!" kata Ratu Pekat dengan tetap berwibawa terhadap bawahannya.
"Baik, Nyai. T api..., bagaimana jika Pendekar Mabuk tidak kembali lagi kemari"
Apa yang harus kita
lakukan?" "T idak mungkin! Pendekar Mabuk pasti kembali ke sini. Karena Singo Bodong masih
ada bersama kita. Jika dia ingin meneruskan perjalanannya, pasti dia harus
kembali ke sini dulu untuk mengambil Singo Bodong.
Dia teman Pendekar Mabuk dan keselamatannya dalam tanggung ja wab Pendekar
Mabuk." Selama ini Singo Bodong takut menampakkan diri di depan
Hantu Laut. Biar wajahnya

Pendekar Mabuk 011 Tumbal Tanpa Kepala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyeramkan, kumisnya tebal, badannya hampir sama besar dengan Hantu Laut, tetapi merasa
tidak berilmu apa-apa Singo Bodong berusaha untuk tidak bertatap muka dengan
Hantu Laut. Bila perlu ia akan tundukkan kepala rendah-rendah agar tidak beradu
pandangan mata dengan Hantu Laut. Sebab melihat sinar matanya saja Singo Bodong
sudah ketakutan karena terbayang keganasan Hantu Laut saat bertarung melawan
Jalak Putih, Penghulu Petir, Pengeran Berdarah, si Latah Lidah, dan si Mata
Elang. T etapi pada saat Singo Bodong ikut membantu
memperbaiki Kapal Neraka karena memang diperintahkan oleh Ratu Pekat, Singo Bodong merasa waswas
dan selalu berusaha menutup diri dari pandangan mata Hantu Laut yang sering hadir memeriksa pekerjaan itu. Sekalipun Singo Bodong
sudah berusaha menyembunyikan diri dari tubuh beberapa pekerja lainnya, namun mata jeli Hantu Laut masih bisa menangkap
keberadaannya di situ.
Dari pantai yang kering,
Hantu Laut berseru, "Dadung Amuk!"
Singo Bodong diam saja walaupun dia tahu, bahwa
dirinya dianggap Dadung Amuk. Singo Bodong berlagak tidak mendengar dan turut
memperbaiki kapal tersebut dengan lebih giat lagi.
"Dadung Amuk...!" seru Hantu Laut lagi. Lalu, ia dekati Singo Bodong yang diam-
diam semakin berdebar-debar itu.
Wajah Hantu Laut berseri-seri setelah tiba di dekat Singo Bodong, ia cepat
meraih pundak Singo Bodong dan berseru girang,
"Dadung Amuk! Oh, ternyata kau ada di sini juga"!
Ha ha ha...!" Hantu Laut cepat memeluk Singo Bodong dengan satu tangan, karena
tangan yang satunya
memegangi tombak pusaka.
Di ba wah sebuah pohon agak jauh, sepasang mata
memperhatikan kegembiraan Hantu Laut bertemu Singo Bodong. Sepasang mata itu
milik gadis cantik Cempaka Ungu. Ia diam saja di sana, tapi matanya terus
mengikuti sikap Singo Bodong dan Hantu Laut saat bertemu di samping kapal itu.
Dari keceriaan wajahnya, Hantu Laut tidak tampak bermusuhan
dengan Singo Bodong. Malahan dia berkata, "Dadung Amuk! T ak usah kau ikut bekerja! Kau...
kau... apakah kau tawanan Ratu Pekat, sehingga mau-maunya bekerja menambal
kapalku?" "T api...."
"Sudahlah, ikutlah aku bicara di tempat teduh itu!
Lihat, calon istriku yang satu sudah menungguku di sana! Kita dekati dia, dan
kuperkenalkan pada dia siapa dirimu sebenarnya! Ha ha ha ha...!"
Mau tak mau Singo Bodong mengikuti langkah
Hantu Laut. Ia dirangkul oleh Hantu Laut yang tampak sangat kegirangan bertemu
dengan Singo Bodong, sebab Singo Bodong dianggapnya Dadung Amuk.
Melihat dua orang bertubuh besar itu datang mendekatinya, Cempaka Ungu diam saja di tempatnya, ia ingin tahu apa sebenarnya
Kaki Tiga Menjangan 38 Pedang Pelangi Jay Hong Ci En Karya Tong Hong Giok Pendekar Cacad 17
^