Pencarian

Tumbal Tanpa Kepala 1

Pendekar Mabuk 011 Tumbal Tanpa Kepala Bagian 1


Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah
lindungan undang-undang.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
Pembuat E-book:
Scan buku ke DJVU: Abu Ke isel
Conve rt & Edit: Paulustjing
Ebook oleh: De wi KZ
http://kangzusi.com
http://dewi-kz.info/
http://www.tiraikasih.co.cc/
http://ebook-dewikz.com/
1 TIUPAN angin pantai menimbulkan suara berdenging karena adanya karang berongga tak jauh dari pantai tersebut. Suara
berdenging itu mirip sebuah nyanyian kematian yang siap menjemput nyawa setiap
orang di sana. Suto Sinting, si Pendekar Mabuk itu, menghentikan langkahnya beberapa saat
sebelum mencapai perahu yang ditunggangi Badai Kelabu dan Melati Sewu dalam
perjalanan membawa jenazah guru mereka. Dewa Racun pun setuju untuk pindah ke
perahu milik Badai Kelabu karena jika mengandalkan perahu yang ditungganginya
dikhawatirkan akan mengalami kebocoran lagi di tengah
perjalanan. Ketika Pendekar Mabuk menghentikan langkahnya,
Dewa Racun dan Badai Kelabu pun ikut berhenti
melangkah. Keduanya saling pandang dengan nada
heran. Padahal mereka sudah mencapai pantai, dan jarak dengan
perahu tidak berapa jauh lagi. Mengapa Pendekar Mabuk harus menghentikan langkah" Pikir mereka.
"Suara berdenging itu adalah suara rongga karang tertiup angin, Suto," kata
Badai Kelabu. "Tak perlu kau curigai hal itu."
"Bukan suara itu yang kucurigai, tapi langkah kaki menginjak dedaunan kering
yang kupikirkan!" kata Pendekar Mabuk.
"Mungkin langkah kaki kami, Suto!"
"Kalian sudah mencapai pasir pantai, tak mungkin suara langkah kakinya terdengar
kering dan gemerisik!"
"Mak... mak... maksudmu, ada orang yang membuntuti kami"!" tanya Dewa Racun yang gagap itu.
Suto tidak menjawab, melainkan justru kerutkan
dahinya dengan menelengkan telinganya, menyimak
suatu suara yang tertangkap oleh indera pendengarannya.
Dewa Racun dan Badai Kelabu saling berpandangan
sebentar, kemudian mata mereka pun memandang
sekeliling penuh selidik.
"Suara itu semakin aneh," ujar Pendekar Mabuk kepada kedua rekannya. "Suara itu
seperti gemerisik tapi bukan daun kering yang diinjak, melainkan seperti...
seperti...."
Kata-kata itu terhenti sejenak, dan tiba-tiba kedua tangan Pendekar Mabuk itu
bergerak cepat mendorong tubuh Dewa Racun dan Badai Kelabu. Sentakan tangan Suto
itu begitu kuatnya, sehingga kedua rekannya itu terlempar
ke belakang beberapa
tombak jauhnya sedangkan tubuhnya sendiri cepat menyentak naik, melenting di udara dengan
gerakan salto dua kali kebelakang.
Bersamaan dengan itu, dari dalam pasir pantai yang mereka
pijak keluarlah sesosok makhluk yang mengagetkan, menyentak keluar dan menyemburkan
butiran-butiran kecil seperti biji kacang hijau berwarna merah. Brosss...!
Zrappp...! Kalau saja Dewa Racun dan Badai Kelabu tidak
terpelanting jatuh karena dorongan Pendekar Mabuk tadi, pasti mereka terkena
semburan butir-butir merah yang menyebar ke setiap arah. Pendekar Mabuk sendiri
untung terpelanting dan jatuh pada saat mendaratkan kakinya ke tanah dari
bersalto dua kali itu, jika tidak ia pun akan terkena serbuk aneh yang muncrat
dari mulut makhluk yang muncul dari dalam tanah itu.
Makhluk tersebut ternyata manusia biasa, hanya
punya keistimewaan mampu menembus dan berjalan di dalam tanah. Orang itu
bertubuh kurus dengan rambut panjang meriap tak beraturan. Wajahnya angker tanpa
kumis, tulang-tulang pipi dan rahangnya bertonjolan.
Matanya cekung dan alisnya tidak ada. Orang itu
mengenakan pakaian hitam yang kotor dan banyak
lumpur melekat kering di pakaiannya itu. Rambutnya
pun kotor, sebagian ada yang lengket karena lumpur kering.
Pendekar Mabuk dipandanginya beberapa saat. Beberapa saat kemudian dari matanya memancar sorot cahaya kuning yang berkelebat
cepat menghantam tubuh Pendekar
Mabuk. Yang dihantam karena masih terkesima melihat kemunculan manusia dari dalam tanah itu,
tak sempat melakukan tangkisan, hanya menggunakan gerak silumannya yang mampu berlari
cepat dalam sekejap. Zlappp...! T ahu-tahu Pendekar Mabuk sudah berada di
samping Badai Kelabu dan
Dewa Racun. Sedangkan sinar kuning yang memancar dari mata orang aneh itu
menghantam pasir pantai, pasir itu menyembur keras dan cukup tinggi diiringi
suara letusan yang teredam. Blabb...!
"Siapa dia, Dewa Racun"!.Aku tidak mengenalinya sama sekali"!" bisik Suto. Tapi
Badai Kelabu yang menyahut,
"Perwira Mayat Hidup!"
"Siapa itu Perwira Mayat Hidup"!"
Badai Kelabu lagi yang menjawab, "T okoh sesat yang menjadi lawannya Siluman T
ujuh Nyawa. Menurut
cerita mendiang guru, Perwira Mayat Hidup itu sejak dulu bermusuhan dengan
Siluman T ujuh Nyawa dan
berulang kali ga gal membunuh Siluman T ujuh Nyawa, namun juga berulang kali
berhasil meloloskan diri dari ancaman maut musuh bebuyutannya!"
Manusia yang berjuluk Perwira Mayat Hidup itu
menggeramkan suara ketika mata Suto terlihat menatapinya dengan tajam. Kemudian ia melangkah tiga tindak, sedangkan Badai
Kelabu segera mundur dua tindak. Agaknya perempuan itu merasa takut terhadap
Perwira Mayat Hidup, sehingga ia perlu waspada dan bersiap untuk melarikan diri
jika terjadi serangan maut dari manusia aneh itu. Dari belakang Pendekar Mabuk,
Badai Kelabu sempat berbisik,
"Ilmunya sangat tinggi, Suto! Ia tak bisa dibunuh.
Jika dibunuh, beberapa saat akan bangkit lagi!"
"Ak... ak... aku melihat tadi dia semburkan racun
'Sejuta Bangkai'!" kata Dewa Racun. "It.. itu... racun yang berbahaya! T ergores
sedikit saja kulit kita bisa busuk mendadak!"
Pendekar Mabuk diam saja, menampung segala
ucapan dari kedua rekannya itu. Matanya tetap memandang ke arah Perwira
Mayat Hidup yang dianggap paling berbahaya jika tidak terus diperhatikan.
Sinar yang keluar dari matanya dapat membunuh
sewaktu-waktu dan sangat di luar dugaan.
Beberapa saat kemudian terdengar suara manusia
aneh itu yang sedikit serak dan besar, tidak sesuai dengan bentuk tubuhnya yang
kurus dan berkulit keriput itu.
"Kalian yang bertarung di Pulau Kidung itu, bukan"!"
"Benar!" jawab Suto. "Jika yang kau maksud adalah pertarungan di Pulau Kidung
yang menewaskan Resi Kidung Sentanu, memang kamilah yang di sana, tapi bukan
kami yang membunuh tokoh putih itu!"
"Aku tidak menanyakan siapa yang membunuh
Kidung Sentanu!" geram Perwira Mayat Hidup, "Aku hanya peduli dengan tombak maut
milik si Jangkar Langit itu! Kalian yang telah berhasil merampasnya dari tangan
si T apak Baja rupanya!"
"O, kau salah sangka, Perwira Mayat Hidup! Tombak itu tidak ada pada kami!"
"Omong kosong! Grrr...! Tombak itu pasti telah kau sembunyikan di suatu tempat!
Mengakulah, Bocah
Kadal" bentak Perwira Mayat Hidup itu dengan matanya semakin memandang angker
dan mengerikan.
T etapi Pendekar Mabuk masih tetap tenang, ia
bahkan menyempatkan diri meneguk tuaknya beberapa kali. T api tiba-tiba tangan
Dewa Racun berkelebat ke depan, dan sebuah pisau dilemparkan dengan kecepatan
tinggi. Zingngng...!
Trabb...! Pisau yang menuju ke dada Perwira Mayat Hidup itu ditangkis dengan
telapak tangannya dan disentakkan dengan cepat sehingga dapat membalik arah dan
menuju ke Dewa Racun. Gerakan pisau yang lebih cepat dari semula itu hampir-
hampir mengenai tubuh Dewa Racun jika bumbung tuak Pendekar Mabuk tidak segera
dihadangkan ke depan dada Dewa Racun.
Jrabb...! Pisau itu menancap di bumbung tuak.
"Ambil, dan jangan lakukan serangan lagi kepadanya!" kata Suto kepada Dewa Racun. Maka si kerdil pemberani itu pun segera
mencabut pisaunya dan mundur tiga tindak, sejajar dengan Badai Kelabu.
Pendekar Mabuk berkata kepada Perwira Mayat
Hidup itu, "Apa maksudmu menuduh kami menyembunyikan
tombak maut itu"!"
"Kalian tidak pantas menjadi pemiliknya!" jawab Perwira Mayat Hidup dengan suara
seraknya. "Akulah yang pantas memiliki Pusaka Tombak Maut itu! Akulah yang
seharusnya memiliki tombak tersebut
untuk membinasakan si Durmala Sanca, si keparat jahanam itu!"
"Sayang sekali tombak itu tidak ada pada kami. Kalau saja tombak itu ada pada
kami akan kuserahkan padamu, karena kami pun memusuhi Siluman T ujuh Nyawa!"
"Jangan sebut dia Siluman T ujuh Nyawa!" bentak Perwira Mayat Hidup. "Dia hanya
punya secuil nyawa!
Bukan tujuh nyawa! Akulah yang sepantasnya menyandang gelar tersebut! Bahkan aku pun lebih
pantas berjuluk Siluman Sejuta Nyawa! Sayang sekali julukan itu tidak dikenal
orang, dan lebih dikenal dengan nama Perwira Mayat Hidup. Padahal akulah orang
yang punya sejuta nyawa! Siapa yang bisa membunuhku dari seluruh tokoh sakti di
dunia persilatan ini" Tidak ada!"
"Kalau begitu, mengapa kau tak bisa kalahkan Durmala Sanca"!"
"Karena dia punya sejuta kelicikan!"
"Hmm...!" Pendekar Mabuk sunggingkan senyum.
"Apakah kau tak bisa membalas kelicikannya"! Berarti kau masih rendah dan ilmumu
masih di ba wah tingkat ilmunya Durmala Sanca!"
"Grrr...! Biadab kau berani mengatakan aku begitu!"
Perwira Mayat Hidup menggenggam kuat-kuat sambil
menggeram keras, ia maju dua tindak dan berkata sambil menuding tegas pada
Pendekar Mabuk.
"Kau tak perlu banyak bicara! Serahkan saja tombak milik Jangkar Langit itu!
Kalau tidak, kuhancurkan kepala kalian bertiga!"
"T ombak itu tidak ada pada kami, tapi dibawa lari oleh Hantu Laut!" kata
Pendekar Mabuk tetap dengan tenang.
"T idak mungkin! Hantu Laut hanya jongos kapal, dia tidak mungkin bisa merebut
tombak itu dari tangan T apak Baja! Kau jangan membual kele wat batas, Bocah
Kadal!" "Kalau tak percaya, ya sudah!" Suto angkat bahu seenaknya, seakan meremehkan
kegeraman hati Perwira Mayat Hidup. Suto sengaja melangkah ke arah kanan
beberapa tindak, agar tidak membentuk garis lurus dengan keberadaan Badai Kelabu
dan Dewa Racun.
Se bab ia khawatir jika tahu-tahu Perwira Mayat Hidup menyerangnya, serangan itu
akan mengenai kedua
temannya jika ia menghindar.
"Bocah Kadal! Rupanya kau memaksaku untuk
bertindak kasar kepadamu, hah"!" bentak Perwira Mayat Hidup sambil mengikuti
gerakan Pendekar Mabuk.
T iba-tiba orang aneh itu menghentakkan kedua
tangannya ke depan. Wutt...! Lalu kedua tangan itu pelan-pelan bergerak mundur
bagai menarik tubuh
Pendek" Mabuk. T etapi pada saat itu Pendekar Mabuk menahan napasnya dan tetap
berdiri di tempatnya.
T angan Perwira Mayat Hidup masih mengeras kaku ke
depan dengan tubuh sedikit melengkung ke belakang. Ia sedang mengerahkan


Pendekar Mabuk 011 Tumbal Tanpa Kepala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tenaganya untuk menarik tubuh Pendekar
Mabuk yang mengeraskan perutnya, menyimpan tenaga dan napas di bagian perut.
Rupanya mereka adu kekuatan tenaga dalam secara
aneh. Perwira Mayat Hidup bukan sekadar ingin menarik tubuh Suto Sinting,
melainkan ingin menjebol jantung agar keluar dari dada Suto dan melayang ke
tangannya. Dada Suto pun terasa berdenyut-denyut seakan ingin tersedot ke depan, jantungnya
mulai terasa sakit.
Pendekar Mabuk bertahan terus hingga
tubuhnya gemetar, bumbung tuak yang menggantung di pundak mulai berguncang-guncang.
Urat-urat di leher mulai tampak bersumbulan. Wajah Pendekar Mabuk memerah. Dada
kirinya mulai tampak bergerak-gerak. Baju bulu yang dikenakan mulai rontok bulu-
bulunya dan beterbangan, lari ke telapak tangan Perwira Mayat Hidup. Di sisi
lain, Badai Kelabu dan Dewa Rac un tampak cemas sekali melihat keadaan Suto yang
hanya bertahan. Badai Kelabu sempat berbisik tegang kepada Dewa Racun.
"Suto bisa celaka kalau hanya bertahan! Lawannya kali ini mempunyai tenaga kuat
sekali, daya sedotnya sangat tinggi, karena memang begitulah cara dia
mengambil jantung lawan untuk dimakannya!"
Dewa Rac un diam, memikirkan suatu cara. Dan tiba-tiba ia nekat mencabut
pisaunya dan melemparkannya ke punggung Perwira Mayat
Hidup. Wuttt...! Debb...!
Wusss...! "Awas!" sentak Badai Kelabu, dan Dewa Racun pun lompat ke kiri. Pisaunya
menancap di tanah setelah memantul balik. Pisau itu bagaikan membentur dinding
karet yang membal dan sulit ditembus benda tajam.
"Hiih...!" Dewa Racun menghantamkan pukulan tenaga dalamnya yang melepaskan
sinar merah dari telapak tangannya. Sinar merah itu berkelebat cepat menyerang
punggung Perwira Mayat Hidup, tetapi
segera memantul balik dan menghantam pohon kelapa jauh di belakang Dewa Racun
dan Badai Kelabu.
Blarrr...! Pohon kelapa itu pun rubuh seketika. Jika Badai Kelabu dan Dewa Racun
tidak lekas merundukkan badan, maka salah satu dari tubuh mereka akan
mengalami nasib seperti pohon kelapa tersebut.
"Dalam keadaan seperti itu, dia tidak mempan diserang dengan senjata apa pun!
Jangan lakukan lagi, nanti malah mencelakai diri kita sendiri, Dewa Racun!"
bisik Badai Kelabu.
Sementara itu, kulit tubuh Pendekar Mabuk semakin memerah.
Urat-uratnya kian bertonjolan. Kedua tangannya telah menggenggam kuat-kuat di kanan kiri.
T api kakinya masih tegar berdiri dan kokoh menahan daya sedot
dari lawannya. Namun beberapa saat
kemudian, Pendekar Mabuk itu menyentakkan kedua
tangannya dari bawah ke atas,
"Haaah...!" teriaknya keras-keras sambil melepaskan tangannya dalam satu
kekuatan yang menyentak.
Wruusss...! T ubuh Perwira Mayat Hidup terlempar tinggi-tinggi
akibat sentakan kedua tangan Pendekar Mabuk itu. Dan ketika itulah, Pendekar
Mabuk segera melepaskan
pukulan 'Pecah Raga', yaitu selarik sinar hijau melesat dari tangan kirinya dan
menghantam lurus ke tubuh lawan yang masih di angkasa sana. Blarrr...!
Kejadian berikutnya sungguh mengerikan. Perwira
Mayat Hidup tidak berbentuk lagi. Raganya pecah
menjadi serpihan-serpihan yang berhamburan ke mana-mana. Pecahan itu berjatuhan
di pasir pantai, termasuk bagian kepalanya yang entah menjadi beberapa bagian.
Pendekar Mabuk terengah-engah. Kulit tubuhnya
sudah kembali memulih seperti sediakala walau dengan sedikit demi sedikit. Urat-
uratnya mulai mengendur dan tidak lagi bertonjolan keluar di permukaan kulit. Ia
melangkah sedikit gontai mendekati kedua rekannya.
Badai Kelabu menyambut dan memapah Pendekar
Mabuk, lalu membawanya duduk di sebongkah batu.
"Hampir saja jantungku tersedot keluar dari ragaku!"
kata Pendekar Mabuk sambil terengah-engah.
"Aku sudah mencemaskan hal itu! Kalau kau
bertahan saja, kau bisa mati karena dia mempunyai kekuatan yang begitu besar!"
kata Badai Kelabu.
Ketika Pendekar Mabuk segera menenggak tuaknya,
Dewa Racun menyempatkan berkata,
"Il... il... ilmuku tak cukup untuk menandinginya!
Ak... aku sudah berusaha membantumu, Suto. Tapi...
tapi... tidak berhasil!"
Suto menghempaskan napas kelegaan dari mulutnya
yang habis meneguk tuak. Badannya kembali terasa
segar. Saat itu ia berkata,
"Aku hanya mengkhawatirkan kalau kalian berdua ikut campur dan menjadi
sasarannya! Jelas aku tak dapat menolong kalian pada saat seperti tadi!
Untunglah kau tak banyak berbuat, Dewa Racun! Kalau kau tadi
melompat dan menyerangnya, bisa-bisa jantungmu yang disedot keluar olehnya!"
"Ak... ak... aku sudah memperhitungkan hal itu dan...
dan tak berani terlalu lancang!" kata Dewa Racun.
Kemudian, Badai Kelabu berkata setelah ia termenung beberapa saat tadi,
"Menurut cerita mendiang guruku, Perwira Mayat Hidup, bukan orang yang mudah
dibunuh! Biasanya dia akan bangkit lagi dari kematiannya!"
"T api... tapi... tapi sekarang dia mati dalam keadaan pecah begitu, maan...
maaann... mana bisa hidup lagi"!"
Dewa Racun agak ngotot. Dan Badai Kelabu sendiri tidak berani membantah, hanya
berkata seperti bicara pada diri sendiri,
"Menurut kabarnya, orang itu punya ilmu 'Aji Cadar Angin'!
Kalau mayatnya kena angin bisa hidup kembali!" Suto Sinting diam dan termenung cemas beberapa
saat. Dewa Racun tidak mempunyai kecemasan seperti Suto. Ia percaya betul, bahwa
Perwira Mayat Hidup tidak akan bisa bangkit lagi dari kematiannya karena keadaan
tubuhnya telah hancur.
"Seb... seb... sebaiknya, sebaiknya kita segera tinggalkan tempat inil Kurasa orang-orang di Pulau
Beliung se dang membutuhkan kita dan menunggu-
nunggu kedatangan kita, Suto!"
"Baiklah! Aku setuju!" kata Pendekar Mabuk, lalu berdiri dan menggantungkan
tuaknya di punggung.
"Bagaimana dengan diriku, Suto"!" tiba-tiba Badai Kelabu bertanya dengan nada
sedih. "Aku sudah tidak punya apa-apa lagi, Guru tak ada, teman tak ada, dan...
dan aku tak mau kembali ke Pulau Hitam lagi! Aku masih terbayang kejahatan
Guru!" "Apakah kau mau ikut ke Pulau Beliung?"
"Ke mana pun kau ingin membawaku, aku tak
menolak, Suto!"
Pendekar Mabuk tersenyum dan merangkul gadis itu.
Ia menepuk-nepuk pundak Badai Kelabu sambil berkata,
"Bangkitkan semangatmu untuk tetap hidup dengan siapa pun dan di mana pun!
Sekarang, ikutlah ke Pulau Beliung! Aku yang menjamin keselamatan dan hidupmu di
sana!" Pada saat mereka mulai naik ke perahu, tanpa mereka sadari serpihan tubuh
Perwira Mayat Hidup yang telah menyebar itu bergerak-gerak terhembus angin
pantai. Serpihan-serpihan itu semakin lama semakin saling berdekatan. Bagian-bagian yang
terpisah mengumpul menjadi satu bagai digerakkan oleh hembusan angin dari
berbagai arah. Perahu pun melaju menyusuri jalur pelayaran ke
Pulau Beliung. Ketiga penumpangnya dalam keadaan tenang, bahkan Pendekar Mabuk
sempat berbicara di buritan bersama Badai Kelabu. Kasak-kusuk mereka
mulai menyinggung soal hati dan perasaan secara
pribadi. Mereka tidak tahu, bahwa potongan-potongan tubuh Perwira Mayat Hidup itu telah
berkumpul menjadi satu dan saling lekat kembali, hingga membentuk satu bagian
tubuh. Selembar rambut pun kembali lagi pada tempatnya. Semakin banyak angin berhembus semakin bergerak-gerak tubuh mayat
yang kembali utuh itu.
Sampai pada akhirnya, tampak tubuh mayat telentang itu bergerak pada bagian
perutnya, ia mulai bernapas sedikit dengan mata membelalak lebar, memandang
sekeliling dengan liar.
"Ke mana mereka..."!" geram suara Perwira Mayat Hidup yang telah bangkit kembali
dari kematiannya. Ia segera berdiri dan memandang ke lautan. T erlihat olehnya
sebuah perahu yang sedang meninggalkan pulau tersebut.
Di perahu itu, mata Dewa Racun menyipit memandang ke arah pulau tadi. Jantungnya menjadi berdebar-debar, hatinya gelisah
dan lidahnya semakin kelu untuk mengucapkan sesuatu yang dilihatnya. Dalam
hatinya ia membatin,
"Sepertinya ada orang berdiri di pantai" Rambutnya berserakan! Potongannya
seperti potongan tubuh si Perwira Mayat Hidup! Apakah benar orang itu bangkit
lagi dari kematiannya dengan tubuh sehancur itu" Ah mungkin aku hanya salah
pandang saja!"
* * * 2 PERAHU melaju dengan mulus. Ombak lautan pun
tidak bergulung-gulung, lebih berkesan tenang. Tapi sinar matahari mulai susut
karena keadaannya sudah mulai mendekati cakrawala barat.
Badai Kelabu sengaja menggantikan Dewa Racun
untuk berada di haluan, memegang kemudi agar arah perahu tetap di jalur
pelayaran menuju Pulau Beliung.
Sementara itu, Dewa Racun segera mendekati Pendekar Mabuk yang sejak tadi
menenggak tuaknya sedikit demi sedikit. Dewa Racun mulai berbicara dengan suara
pelan, takut didengar oleh Badai Kelabu,
"Ap... ap... apakah kau percaya kalau seseorang yang sudah mati bisa bangkit
lagi?" "Percaya! Karena memang ada ilmu semacam itu di dunia ini. Guruku pernah
bercerita tentang kehebatan ilmu Jangkar Langit, bahwa ia juga orang yang susah
dibunuh! Kematian baginya hanyalah tidur sekejap, yang pada suatu saat akan bisa
bangkit lagi karena sesuatu hal!" Pendekar Mabuk bicara dengan lancar, bukan
seperti orang mabuk.
"Kalll... kaaal... kaal... kalau begitu, orang tersebut akan hidup selama-
lamanya?" "Bukan begitu artinya! Orang itu akan mati apabila sudah tiba saatnya untuk mati
dan kembali kepada Yang Maha Kuasa! Jika belum waktunya garis kehidupan
menentukan ia mati, maka walaupun mati beberapa kali,
itu hanya suatu kecelakaan biasa yang bisa membuatnya hidup lagi. Kematian di
luar kodrat ibarat bagi kita adalah pingsan karena sesuatu hal. Orang pingsan
bisa bangkit lagi, bukan" Nah, demikian pula orang yang punya ilmu seperti
Jangkar Langit!"
"Jad... jad... jadi, bagaimana untuk mengalahkan orang yang punya ilmu seperti
itu, terutama jika ia adalah orang sesat dan jahat, tentunya sangat sulit untuk
dibunuh!" "Memang sulit!" jawab Suto sambil tersenyum, "T api jika garis ketentuan
hidupnya sudah mencapai pada titik kematian, secara sengaja atau tidak sengaja,
seseorang bisa saja membuatnya mati selama-lamanya. Entah
dengan cara bagaimana dan dalam keadaan mati yang seperti apa, kita tidak tahu!
Setiap orang akan menemui jalan kematiannya sendiri-sendiri, yang pada umumnya
berbeda-beda cara. T etapi jalan itu tetap ada. T idak bisa hilang dari garis
ketentuan hidup yang sudah dipastikan dari sang Pencipta!"
Dewa Racun diam dan manggut-manggut. Ada
sesuatu yang direnungkan, ada sesuatu yang dipikirkan, ada sesuatu pula yang
membuatnya gelisah. Dan
kegelisahan itu tertangkap oleh mata dan perasaan Pendekar Mabuk. Karenanya,
Suto pun segera bertanya,
"Mengapa kau tanyakan hal itu" Apakah ada sesuatu yang tertangkap oleh
firasatmu?"
"T ld... tid... tidak ada! Hanya saja, aaak... aku sedikit mencemaskan kata-kata
Badai Kelabu," jawab Dewa Racun.
"Kata-kata yang mana?"
"Ilmu 'Cadar Angin'!"
"Kau cemas kalau Perwira Mayat Hidup itu bangkit lagi?"
"T id... tid... tidak cemas, hanya mmmee... merasa tak enak hati saja! Sep...
sepertinya...."
Dewa Rac un tidak teruskan ucapannya. Matanya
melirik ke arah buritan. Kejap berikutnya sudah kembali kepada Suto Sinting dan
berkata soal lain.
"Meng... mengapa... mengapa kau tidak gunakan jurus 'Manggala' atau 'Yudha'"
Buk... bukankah kau mendapat kekuatan baru dari Gusti Ratu Kartika
Wangi"!"
"Kalau tidak terpaksa sekali, aku tak pernah gunakan jurus maut!
Bahkan kalau memang bisa,
cukup kugunakan kata-kata untuk mengalahkan lawanku. Karena memang begitulah aku diajarkan bersikap dan hidup di masyarakat oleh
guruku si Gila T uak!"
"O, iiiy... iya! Aku meng... meng...
mengerti maksudnya! Cuma, menurutku Perwira Mayat Hidup itu adalah lawan yang berbahaya
dan tak cukup dikalahkan dengan kata-kata. Bahkan...."
Dewa Racun kembali berhenti bicara. Matanya


Pendekar Mabuk 011 Tumbal Tanpa Kepala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kembali melirik ke arah buritan. Ada kecemasan yang melintas di
mata Dewa Racun. Kecemasan dan kegelisahan itu sejak tadi sudah diketahui oleh Pendekar Mabuk, tapi si tampan
itu diam saja dan berlagak tidak melihat kejanggalan tersebut. Namun diam-diam
seluruh inderanya dipasang baik-baik dan menyebarkan tingkat
kewaspadaan yang tinggi.
"Dewa Racun, masuklah ke barak!"
"Meng... meng... mengapa kau menyuruhku masuk ke barak?"
Pendekar Mabuk berdiri, memandang rekannya yang
kerdil sebentar. Kemudian ia memandang ke arah Badai Kelabu, ternyata gadis itu
tetap tenang tanpa memendam kegelisahan apa pun.
"Badai Kelabu, tinggalkan haluan. Masuklah ke barak!"
"Kenapa?" tanya Badai Kelabu dengan memendam keheranan.
"Biar aku yang kemudikan perahu ini!" jawab Pendekar Mabuk.
"T api mengapa kau menyuruhku masuk ke barak?"
"Supaya kau istirahat! Dewa Racun juga kusuruh masuk
ke barak supaya beristirahat! Aku yakin perjalanan menuju Pulau Beliung masih cukup jauh dan melelahkan."
"Aku tidak lelah. Aku justru bersemangat dan senang sekali bisa mendampingi
perjalananmu!" senyum Badai Kelabu mekar dengan indah. Pendekar Mabuk membalas
dan mendekatinya, kemudian berkata pelan,
"Masuklah ke barak bersama Dewa Racun!"
Badai Kelabu berubah keceriaannya menjadi wajah
penuh keheranan. Sebelum ia mengajukan tanya, Suto sudah lebih dulu berkata,
"T urutilah kata-kataku!"
Badai Kelabu dan Dewa Racun akhirnya menurut.
Mereka masuk ke barak beratap rumbia lapis kayu
papan. Di dalam barak itu, mereka berdua saling beradu tanya,
"Mengapa si tampan itu menyuruh kita masuk ke barak ini?"
"Ak... ak... aku tidak tahu. Aku juga heran, mengapa dia menjadi agak dingin
sikapnya?"
"Mungkin ada kata-kata yang tak berkenan di hatinya?"
"Kat... kat... kat... kata-kata dari siapa?"
"Barangkali darimu?"
"Mungkinkah begitu?"
Baru saja Badai Kelabu ingin bicara lagi, tiba-tiba ia urungkan niatnya itu.
Kapal terasa terguncang aneh walaupun hanya sedikit guncangannya. Kejap
berikutnya terdengar suara, brukk...! Dan kedua orang di dalam barak ikut sama-
sama terkejut. "Seperti suara orang melompat dari kedalaman air ke atas perahu!"
"T api mengapa Suto diam saja"'
T ak berapa lama, mereka melihat kilatan cahaya
merah yang menerjang punggung Suto. Cahaya merah itu datangnya dari atas atap
barak. Mereka berdua terpaku di tempat melihat Suto terkena kilatan sinar merah.
ZIappp...! Bwurrr...!
"Dia terbakar!" sentak Badai Kelabu dan segera berlari keluar dari barak. T api
Dewa Racun menahan tangannya dan berkata dengan jari telunjuk ditempelkan di
mulutnya. "Ddi... di... diam!" bisik Dewa Racun. "Ak... ak... aku yakin Suto tidak sebodoh
itu! Kit... kita lihat saja apakah benar dia terbakar atau tidak!"
"T ap... tapi jelas ada api yang membungkusnya setelah ia terkena kilatan sinar
merah dari atas tempat kita ini!"
"Sst...! Tet... tet... teee... tenang dulu!"
Api yang membungkus tubuh Pendekar Mabuk itu
tiba-tiba padam dan lenyap begitu saja. Wussst...! T ubuh Pendekar Mabuk tidak
mengalami luka bakar sedikit pun. Rupanya ia menggunakan tipuan pandangan mata
dengan mengeluarkan tenaga dalam yang berupa asap membungkus
dirinya. Asap itu tembus pandang sehingga tidak terlihat, dan yang terbakar tadi adalah lapisan hawa murni yang
berbentuk asap tembus
pandang itu. Pendekar Mabuk segera membalikkan badannya dan
menyunggingkan senyum ke arah orang yang ada di atas atap barak. Badai Kelabu
terbengong melihat keadaan Suto yang tetap gagah dan tegar itu.
"Bangsat kau!" terdengar makian suara serak dari atas atap barak. Badai Kelabu
dan Dewa Racun se gera
mengerti, siapa orang yang berdiri di atas atap itu, yang tak lain adalah
Perwira Mayat Hidup.
"Rupanya kau memang sengaja ingin adu ilm u kesaktian denganku, Bocah Kadal!"
"Aku tidak bermaksud be gitu, tapi aku siap jika kau inginkan!"
"Kau tidak terkejut sedikit pun melihat aku bangkit
lagi"!"
"Itu permainan anak kecil! T etanggaku punya anak, dan anaknya juga bisa bangkit
lagi dari kematiannya! Itu hanya permainan anak-anak saja, tak perlu membuatku
terheran-heran!"
"Kalau begitu, kutunjukkan jurus mautku yang bisa membuatmu terperangah dan
terheran-heran! Hiaaaat...!"
Perwira Mayat Hidup melompat bagaikan terbang ke arah haluan. Pendekar Mabuk
segera melompat juga menyongsong gerakan terbang lawannya. T api tiba-tiba tubuh
Perwira Mayat Hidup berhenti di udara tanpa beralaskan apa pun. Ia berdiri
menghadang gerakan Suto ke arahnya, lalu dengan cepat ia sentakkan tangannya
yang mengeluarkan cahaya kuning itu. Clapp...! Suto Sinting cepat putarkan tubuh
dan sinar kuning itu tepat mengenai bumbung tuaknya. T abb...! Wuttt...! Sinar
kuning itu membalik arah dan mengenai tangan Perwira Mayat Hidup. Jrrabb...!
Bhuggg...! T ubuh Perwira Mayat Hidup terpental
jatuh ke laut. Byurrr...! Dalam sekejap ternyata tubuh itu kembali melayang naik
ke permukaan kapal. Jlegg...!
"Bocah Edan! Bumbung apa yang ada di punggungmu itu, sehingga bisa membalikkan sinar
kuningku itu"!"
"Bisa juga melepaskan nyawamu selamanya jika kau tak mau menyerah, Perwira Mayat
Hidup!" "Hah...! T ak ada kata menyerah bagiku!" bentaknya dengan wajah semakin angker
dan ganas. "Terimalah jurus mautku berikutnya! Hiaah!"
Clapp...! Sinar putih perak menghantam Pendekar
Mabuk, keluar dari sodokan jari tangan Perwira Mayat Hidup itu. Suto Sinting
tidak menghindari, melainkan menangkis kembali dengan kibasan bumbung tuaknya.
Sinar putih itu menghantam bumbung dan memantul
balik seperti tadi. T api kali ini agaknya Perwira Mayat Hidup telah siap siaga,
sehingga ia segera melompat ke arah haluan dan sinar yang memantul balik itu
jatuh ke laut. Jrrrosss...! Menyemburlah air
laut, tingginya
hampir separo tinggi pohon kelapa.
Pada saat itu, Pendekar Mabuk pun segera sentakkan telapak tangannya yang
berjari rapat dalam keadaan miring. Settt...! Dan pada saat itu, dua mata pisau
kecil yang tidak terlihat oleh mata telanjang telah melesat begitu cepatnya.
Yang terlihat oleh Dewa Racun dan Badai Kelabu hanyalah dua sinar emas melesat
dan menghantam perut Perwira Mayat Hidup.
Orang tersebut langsung diam tak bergerak. Keadaannya tetap dengan tangan terangkat dan seolah-olah ingin lepaskan pukulan
dahsyatnya lagi. T api saat itu, Dewa Racun segera keluar dari barak dan
mendekati Suto sambil berkata,
"Ju... juu... jurus 'Manggala' telah kau gunakan, Suto"!"
"Ya. Agaknya tak ada jalan lain kecuali harus melenyapkannya dengan jurus
'Manggala!"
Badai Kelabu pun ikut
keluar dari barak dan
memandangi Perwira Mayat Hidup yang diam mematung dengan mata masih mendelik ganas.
"Mengapa dia diam saja" Apakah dia menjadi
patung?" tanya Badai Kelabu kepada Pendekar Mabuk.
Baru saja Suto ingin menjawab, tapi tiba-tiba datang angin sedikit kencang.
Rambut Perwira Mayat Hidup terbang beberapa helai. Badai Kelabu terkejut melihat
keadaan seperti itu. Matanya memandang tak berkedip dengan dahi berkerut.
T ak berapa lama, telinga Perwira Mayat Hidup
menjadi rontok bagaikan abu yang tersapu angin.
Menyusul kemudian bagian jari tangannya. Prusss...!
T erbang terbawa angin dan menjadi abu. Makin lama, semakin hilang bagian
tubuhnya. Badai Kelabu baru menyadari bahwa Perwira Mayat Hidup ternyata telah
mati sejak ia menjadi patung tadi. Bahkan bukan saja sekadar mati menjadi mayat,
namun menjadi abu yang masih membentuk seperti wujud aslinya. Dan kematian itu
akibat jurus maut yang dimiliki Pendekar Mabuk, yaitu jurus 'Manggala'.
Gumpalan abu yang membentuk wujud aslinya itu
makin lama semakin habis tersapu angin, dan akhirnya kematian Perwira Mayat
Hidup itu tidak meninggalkan bekas secuil pun. Lenyap menjadi abu dan bertaburan
di lautan lepas.
Suto berucap kata seperti bicara pada dirinya sendiri,
"Kekuatannya pada angin, tapi ia dimusnahkan oleh angin juga!"
Badai Kelabu menghirup napas panjang-panjang dan menghembuskannya
dengan satu kelegaan yang memuaskan hati. Ia berkata kepada Dewa Racun yang
baru berhenti dari tertegunnya.
"Luar biasa jurus itu! Dapatkah aku mempelajarinya dari Suto?"
Dewa Rac un yang kerdil menggelengkan kepala,
"T id... tidak... tidak semua orang bisa, tidak setiap orang memiliki
jurus 'Manggala'! Hanya Suto Sinting; Pendekar Mabuk itu, yang mempunyai dua jurus langka, yaitu jurus 'Manggala' dan
jurus 'Yudha'. Sebab dia adalah seorang Manggala Yudha negeri alam gaib yang
bernama Puri Gerbang Surga wi!"
"Bukankah itu negeri di Pulau Serindu?"
"It... itu anaknya, yang di alam gaib adalah ibunya!"
Badai Kelabu hanya bisa manggut-manggut
menyimpan sejuta kekaguman.
* * * Perjalanan Kapal Neraka yang membawa Hantu Laut
bersama Pusaka Tombak Maut-nya itu mengalami
guncangan hebat secara tiba-tiba. Hantu Laut mulai curiga dengan guncangan yang
tidak sewajarnya itu.
Cepat-cepat ia meraih Pusaka T ombak Maut tersebut, lalu memeriksa ke lambung
kapal. T iba-tiba sesosok tubuh melesat keluar dari dalam air laut. T ubuh itu bergerak
lentur, meluncur cepat ke atas, langsung kakinya menendang wajah Hantu Laut dari
bawah ke atas. Plokkk...!
"Uuhg...!" Hantu Laut terpekik, selain kaget juga merasa sakit. Cepat-cepat ia
tegakkan tubuhnya dalam berdiri dan memandang liar ke arah tamu tak diundang
itu. "Bangsat! Pagi-pagi sudah sarapan kaki!" gerutu Hantu Laut karena saat itu
adalah pagi hari dan ia baru saja bangun dari tidurnya, ia kibaskan wajahnya
untuk membuang rasa sakit yang membuat pandangan matanya berkunang-kunang.
Mata besar itu menatap gusar pada sesosok tubuh
kurus yang sudah berdiri di tepi geladak. T ubuh basah kuyup
itu berpakaian serba putih model biksu. Rambutnya juga berwarna putih dikonde di tengah
kepala, hingga wajahnya yang kurus dan kempot itu terlihat jelas. Jenggotnya
yang panjang meneteskan air karena basah. Lelaki tua berusia sekitar tujuh puluh
tahun itu berdiri dengan memegang tongkat dari kayu biasa, dan ujungnya
mempunyai cabang berbentuk huruf
'V yang panjangnya tak sama. Bahkan di bawah
cabangnya terdapat dua daun yang menguning layu. Dan Hantu Laut segera mengenali
orang itu. "Rupanya kau yang datang dan menghambat perjalananku ke Pulau Beliung, Jangkar Langit!"
"Ya. Aku yang datang, menuntut kematian adikku si T alang Sukma, dan merebut
kembali Pusaka T ombak Maut-ku itu!" kata Jangkar Langit dengan tegas. Lalu
serta-merta Jangkar Langit sodokkan tangannya ke depan sebagai sodokan jarak
jauh ke arah dagu
lawannya. Wuttt!
"Serahkan tombak itu! Kau tak akan bisa membunuhku, Hantu Laut!"
Hantu Laut tersedak keras, mulutnya ternganga,
muncrat darahnya dari mulut itu. Ia cepat berdiri mengambil keseimbangan
badannya yang gemuk itu. Ia terhuyung-huyung dan hampir saja jatuh, untung


Pendekar Mabuk 011 Tumbal Tanpa Kepala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tombak di tangannya cepat digunakan untuk menahan tubuh, hingga ia tak sempat
jatuh. Jangkar Langit cepat menyerang kembali lawannya
dengan pukulan tenaga dalam dari jarak lima langkah.
Wuttt...! T api saat itu Hantu Laut cepat putarkan tombak di atas kepalanya,
lalu keluarlah sinar hijau mengelilingi tubuhnya dalam jarak dua langkah. Sinar
hijau itu memercikkan butiran-butiran mengkilap seperti serbuk intan dan membuat
pukulan tenaga dalam dari Jangkar Langit
terpental membalik menyerang tubuhnya. Wussst...! Drabb...!
Jangkar Langit cepat menahan pukulannya yang
membalik itu dengan melintangkan tongkatnya yang beraliran tenaga dalam tinggi.
T api akhirnya ia terpental sendiri dan jatuh bersandar pada tepian pagar kapal
akibat sentakan pukulan yang membalik tadi.
Dalam kesempatan seperti itu, Hantu Laut cepat
sentakkan tombaknya ke depan dan melesatlah sinar merah berkelok-kelok ke arah
lawan. Jangkar Langit terperanjat melihat cepatnya sinar merah menyerangnya, ia
tak sempat menangkis atau menghindar sehingga, jrubb!
Sinar itu menikam dadanya. T ubuh Jangkar Langit mengejang dengan mata mendelik.
Kulit wajahnya yang coklat berangsur-angsur menjadi biru dan makin lama makin
biru legam. Kulit tangannya dan yang lainnya pun
begitu. Bahkan rambut putihnya mengeriting hitam bagai terbakar kekuatan api
yang amat tinggi dari dalam tubuh.
Akhirnya orang tua sakti itu pun menghembuskan
napas terakhir dengan bau hangus tercium tajam.
Jenggotnya terbakar tanpa terlihat bentuk apinya.
"Ha ha ha ha...! Siapa bilang kau tak bisa dibunuh olehku"! Sekarang mampuslah
kau, Jangkar Langit!
Sinar merah dari tenaga dalamku itu telah lebih
berbahaya daripada kulepaskan lewat telapak tanganku!
Mati kau di ujung pusakamu, Jangkar Langit! Hua ha ha ha...!"
Hantu Laut merasa puas melihat kematian Jangkar
Langit yang biru legam sekujur tubuhnya itu. Ia sempat menendang beberapa kali
mayat itu untuk membuktikan kematiannya. T ernyata Jangkar Langit tak bergerak-
gerak lagi, bahkan mungkin untuk selama-lamanya
mayatnya mendelik dengan mulut ternganga. Asap yang tadi keluar dari mulutnya
kini sudah tak ada.
Angin berhembus cukup baik untuk pelayaran. Hantu Laut meneruskan perjalanan
dengan dada terasa makin membengkak, karena bisa mengalahkan orang sakti
seperti Jangkar Langit. Sesekali ia memandang mayat Jangkar Langit yang masih
dibiarkan di tempatnya semula. Jika ia memandang, ia selalu tertawa kepada mayat
itu, seakan unjuk kehebatan di depan Jangkar Langit yang sudah tak bernyawa lagi
itu. Sampai di pertengahan laut, ketika arah kapal sudah diubah
menuju ke Pulau Beliung, Hantu Laut menyempatkan diri untuk membuang mayat Jangkar
Langit. Byurrr...! Mayat itu dibuang dengan cara diseret ke tepian dan
digulingkan memakai kaki.
"Sudah tua masih saja berkoar lancang di depan Hantu Laut! Apa dia pikir Hantu
Laut ini budak kapal seperti dulu"! Hmmm...!"
Hantu Laut mencibir sendiri, kemudian masuk ke
barak untuk mengambil minuman araknya, ia menenggak arak cukup banyak sebagai ungkapan pesta kemenangannya melawan Jangkar
Langit. T etapi, ketika ia ingin menenggak lagi, tiba-tiba perahunya terasa terguncang
aneh. Ada suara gemuruh di
ba gian lambung kapal. Hantu Laut cepat memeriksanya. T api
tiba-tiba, brusss...! Wajahnya kembali diterjang lompatan cepat dari orang yang muncul dari kedalaman laut. T
ersentak dan terpelanting Hantu Laut yang gemuk itu.
Ia cepat berdiri dan tercengang dengan mata nyaris melotot keluar. Karena ia
melihat sesosok tubuh tua berdiri di depannya dalam keadaan segar-bugar. Sosok
tua itu tak lain ialah Jangkar Langit!
"Masih hidup juga si tua bangka ini"! Edan!" geram Hantu Laut.
* * * 3 SEMENT ARA itu sebuah perahu berlayar tunggal
sedang melaju di jalur pelayaran arah Pulau Beliung.
Perahu itu bermuatan dua orang lelaki. Yang satu berbadan sedikit gemuk, pendek
dan berkumis hitam, yang satunya lagi bertubuh kurus, kempot dan lonjong.
Yang berwajah lonjong ini mempunyai kumis pendek, kurang dari lebarnya bibir, ia
mempunyai nama julukan Golok Makam. Sedangkan yang berbadan agak gemuk
dan mengenakan pakaian biru tua itu bernama Loh
Ga we. Loh Gawe berambut pendek, dililit logam tembaga
berhias kerang kuning kecil di tengah dahinya, berusia sekitar lima puluh tahun,
hingga rambutnya sudah bercampur dengan uban sedikit. Sedangkan Golok
Makam berusia sekitar empat puluh lima tahun, berambut panjang melewati punggung tanpa ikat kepala, berbaju rompi hitam dan
celananya hitam pula. Ia bersenjatakan sebuah golok yang mempunyai cantolan
seperti mata kail di bagian ujungnya. Berbeda dengan senjata Loh Gawe, yaitu
berupa rantai sepanjang tiga jengkal yang mempunyai bola besi berduri sebesar
genggamannya, bertangkai hitam sepanjang satu jengkal.
Loh Gawe mempunyai mata lebih lebar daripada si
Golok Makam. T api keduanya sama-sama bermata
bengis, seakan berdarah dingin. Sebab keduanya adalah utusan dari Siluman T ujuh
Nyawa. Mereka berdua
adalah termasuk algojo pembantai di ba wah perintah Durmala Sanca alias Siluman
T ujuh Nyawa. Perahu berlayar tunggal itu tidak begitu besar. T api angin samudera
menghembuskan layarnya membuat
perahu itu berjalan cepat. Di bagian haluan berdiri si Golok Makam sebagai
pengemudi perahu tersebut,
sedangkan Loh Gawe duduk di bagian buritan dengan wajah
angkernya. Loh Gawe sepertinya sedang memendam kemarahan yang tak tahu harus dilampiaskan kepada siapa.
Dari buritan terdengar suaranya yang menggeram
gemas beberapa kali, kadang mendengus
sambil hentakkan kakinya ke lantai perahu. Hal itu membuat si Golok Makam palingkan
wajahnya memandang Loh
Ga we, lalu serukan kata dari haluan,
"T ahanlah dulu nafsumu, Loh Ga we! Aku percaya Kapal Neraka itu berlayar ke
Pulau Beliung! Di sana kita pasti akan bertemu dengan Hantu Laut, dan kita bisa
tanyakan kepadanya siapa yang membunuh kakakmu si T apak Baja itu. Apakah orang-
orangnya Resi Kidung Sentanu, atau muridnya si Jangkar Langit! Sebab kulihat
mayat T alang Sukma, adik Jangkar Langit, ada di Pulau Kidung juga!"
"Apakah mungkin orangnya Resi Kidung Sentanu ada yang masih hidup dan bisa
mengalahkan kakakku, T apak Baja itu"!" suara Loh Gawe lebih besar dan bernada
seperti orang menggeram dalam gerutuan.
"Setahuku, Kidung Sentanu mempunyai anak angkat yang bernama Lembu Ireng. Tadi
tak kulihat mayat Lembu Ireng di antara mayat-mayat penduduk Pulau Kidung! Jadi
jelas, Lembu Ireng belum terbunuh oleh T apak Bajai"
"Kalau begitu kita cari si Lembu Ireng itu dulu!"
"Jangan, Loh Gawe! T ugas kita adalah menyusul Kapal Neraka dan menyuruh T apak
Baja serta Hantu Laut untuk menghadap Siluman T ujuh Nyawa. Karena agaknya sang
ketua ingin memberikan tugas penting kepada mereka berdua. Karena T apak Baja
sudah meninggal, maka kita sampaikan saja tugas ini kepada Hantu Laut! Biarlah nanti
Hantu Laut yang ceritakan peristiwa kematian T apak Baja itu!"
Loh Gawe menggeram lagi, lalu sentakkan napasnya dengan jengkel, ia bangkit dan
melangkahkan kaki ke haluan. Sampai di sana ia diam berdiri di samping si Golok
Makam dengan mata memandang ke depan dan
memicing bernada dendam. T erdengar Loh Gawe
ucapkan kata berat,
"Kurasa Jangkar Langit yang menewaskan kakakku itu! Sebab kudengar Tapak Baja
berhasil mencuri dan membawa lari tombak pusakanya yang bernama Pusaka Tombak
Maut itu!"
"Semuanya baru akan jelas jika kita bertemu dengan Hantu Laut!" jawab si Golok
Makam dengan suara pelan. Kejap berikut suara Golok Makam terdengar lagi.
"Jangkar Langit tokoh tua yang terkenal sakti!
Mungkin saja ia sekarang sedang mengejar Hantu Laut untuk memperoleh pusakanya!
Ia mengejar Hantu Laut karena T apak Baja tidak memegang tombak pusaka itu!
Atau... atau barangkali Hantu Laut yang membawa lari pusaka tersebut?"
Loh Gawe palingkan wajah, memandang paras muka
temannya yang lonjong berhidung mirip burung betet
itu. "Pusaka itu dibawa lari Hantu Laut"!" gumam Loh Ga we. "Jika benar begitu,
berarti Hantu Laut saat ini sedang mengamuk di Pulau Beliung, karena Pulau
Beliung adalah sasaran berikutnya dari tugas T apak Baja setelah menghancurkan
semua penghuni Pulau Kidung!"
"Karena itu aku yakin, kita akan bertemu Hantu Laut di Pulau Beliung!" tambah si
Golok Makam. "Bagaimana jika ternyata di Pulau Beliung kita tidak temukan Hantu Laut" Apakah
tugas T apak Baja kita ambil alih, atau kita tinggalkan Pulau Beliung untuk
mencari Hantu Laut"!"
Golok Makam kali ini memandang wajah Loh Gawe
sambil berkata, "T ugas kita adalah menyuruh pulang Kapal Neraka, siapa pun yang
ada di atas kapal itu!
Bukan menghancurkan Pulau Beliung! Siapa tahu sang ketua
telah berubah pikirannya untuk tidak menghancurkan Pulau Beliung, karena alasan tertentu!
Jadi, kita jangan bertindak gegabah dulu! Kita kerjakan apa yang harus kita
kerjakan!"
Golok Makam dan Loh Gawe tidak tahu, bahwa saat
itu Hantu Laut sedang kewalahan menghadapi Jangkar Langit di atas Kapal Neraka.
T ombak pusaka itu
berulang kali menghujam tubuh Jangkar Langit, kematian Jangkar Langit pun tiba berulang kali, namun setiap kali mayatnya
dibuang ke laut, Jangkar Langit bangkit kembali. T ubuhnya yang luka-luka
separah apa pun, bisa lenyap lukanya tak berbekas.
Setiap kali Jangkar Langit melesat dari kedalaman air
dan hinggap di tepian geladak Kapal Neraka, mata Hantu Laut selalu terbelalak
kaget, kemudian pertarungan dimulai lagi. Bahkan Hantu Laut sempat berpikir,
"Mungkin pusaka ini tidak bisa membuatnya mati!
Jadi sebaiknya kugunakan senjata yoyo saktiku ini untuk membunuhnya!"
Hantu Laut masih memegang Pusaka T ombak Maut
tapi yang digunakan untuk menyerang Jangkar Langit adalah yoyo saktinya. Yoyo
itu jika dilemparkan dengan tenaga dalam akan melayang menerjang lawan sambil
mengeluarkan gerigi beracunnya, tapi jika tali yoyo disentak ke belakang, yoyo
itu akan meluncur kembali ke tangan Hantu Laut dalam keadaan gerigi masuk ke
dalam lapisan yoyo.
Pertarungan yang menjengkelkan itu membuat Hantu Laut berulang kaliterkena
pukulan tenaga dalam Jangkar Langit. Tetapi selalu saja ia masih tegar dan sulit
ditumbangkan. Bahkan terakhir kali Hantu Laut sempat melukai tubuh Jangkar
Langit. Yoyonya menggores
lebar pada bagian tengkuk kepala Jangkar Langit.
Jelas-jelas Jangkar Langit mati akibat racun gerigi yoyo yang juga berkekuatan
tenaga dalam itu. Tapi ketika Hantu Laut melemparkan mayat lawannya ke laut,
kejap berikutnya lawannya itu telah melesat kembali dari kedalaman laut dan
bertengger di geladak. Badannya tampak segar tanpa luka sedikit pun.
"Gila! Ini manusia apa setan"!" geram Hantu Laut dalam hatinya.
Hantu Laut tidak tahu, bahwa Jangkar Langit
mempunyai ilmu yang bernama 'Aji Banyu Jiwa'. T idak ada orang yang memiliki
'Aji Banyu Jiwa' selain Jangkar Langit. Guru Suto Sinting, si Gila T uak, juga
tidak memiliki Ilmu 'Aji Banyu Jiwa'.
'Aji Banyu Jiwa' itu mempunyai kekuatan di air.
Banyu itu sendiri artinya air. Jadi setiap Jangkar Langit mati dalam keadaan
luka separah apa pun, jika jasadnya terkena air, entah air hujan atau air laut,
atau air apa saja, maka mayatnya akan bangkit lagi dan luka-luka separah apa pun
bisa sembuh kembali secara gaib.
Itulah sebabnya si Gila T uak sendiri merasa segan terhadap Jangkar Langit,
karena Gila T uak tahu bahwa Jangkar Langit orang yang sukar dibunuh. Sedangkan
Jangkar Langit sendiri merasa sungkan berselisih dengan si Gila T uak, karena ia
tahu si Gila T uak mempunyai Pusaka T uak Setan yang dapat memporak-porandakan
alam sekitarnya. Keduanya akhirnya saling menghormati dan saling bersahabat
dengan baik. Bahkan dalam satu pertarungan, jika di sana ada Jangkar Langit dan
si Gila T uak, pertarungan itu bisa berhenti dengan sendirinya karena yang
bertarung merasa enggan berurusan dengan kedua tokoh tersebut.
Bibi gurunya dari Suto Sinting, yaitu Bidadari Jalang, adalah orang terkuat
kedua dalam urutan nama-nama tokoh yang sulit ditumbangkan. Tetapi jika ia


Pendekar Mabuk 011 Tumbal Tanpa Kepala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertemu dengan Jangkar Langit, ia pun merasa sungkan karena selama ini Jangkar
Langit tak pernah tampakkan
kemarahan atau permusuhannya dengan Bidadari Jalang.
T ak heran jika Hantu Laut
merasa kewalahan
melawan Jangkar Langit, yang dikenal sebagai manusia yang tidak pernah mau cari
masalah dengan siapa pun.
Hantu Laut sendiri sebenarnya terluka parah di bagian dalamnya.
T api ia masih bisa bertahan untuk menyelamatkan Pusaka Tombak Maut itu. Sebaliknya, Jangkar Langit merasa
kewalahan juga melawan orang besar bertenaga bison itu, karena kesempatan untuk
menghancurkan Hantu Laut selalu terhalang gerakan perisai tombak pusaka
tersebut. Sinar hijau selalu digunakan Hantu Laut untuk melindungi dirinya dari
serangan Jangkar Langit. Sedangkan Jangkar Langit sendiri tahu, bahwa sinar
hijau yang keluar dari tombak yang diputar-putarkan itu memang sulit ditembus
oleh jurus apa pun.
T anpa disadari oleh keduanya, pertarungan itu mulai terlihat oleh sebuah perahu
berlayar biru dengan simbol tengkorak dan tujuh mata rantai yang berwarna putih.
Perahu itulah yang membawa Loh Ga we dan si Golok Makam untuk mendekati Kapal
Neraka. "Loh Gawe...! Lihat Kapal Neraka itu!" kata Golok Makam. "Sepertinya Hantu Laut
sedang bertempur menghadapi tokoh tua berpakaian serba putih itu!"
"T ak salah lagi, dialah si Jangkar Langit!" geram Loh Ga we dengan mata mulai
membuas penuh nafsu
membunuh. "Dekati terus kapal itu! Kita hajar si Jangkar Langit dari sini!"
Loh Gawe melayangkan pukulan jarak jauhnya yang
berwarna merah membara. Sasarannya adalah punggung Jangkar Langit yang sedang
menghadapitebasan-tebasan
tombak Hantu Laut. Bahkan, Golok Makam juga ikut melancarkan pukulan jarak
jauhnya yang memancarkan cahaya kuning menyala.
T etapi Jangkar Langit sangat waspada. Mata tuanya sangat tajam dan jeli,
sehingga kedua pukulan itu bisa dihindari dengan cara melambungkan diri,
berjungkir balik di udara hingga mencapai atap barak Kapal Neraka itu.
Hantu Langit terkesiap melihat dua sinar melesat ke arah kapalnya. Menghindarnya
Jangkar Langit membuat kedua sinar itu menjadi terarah kepadanya. Hantu Laut pun
cepat sentakkan kakinya untuk melesat ke samping dengan gerakan seperti singa
terbang. Jlegarr...! Blarr...!
Kedua sinar itu dihantam dengan kekuatan merah
yang keluar dari ujung T ombak Maut. Hantu Laut perlu menghancurkan kedua sinar
tersebut, karena jika tidak kedua sinar itu akan menghantam tiang layar utama,
dan tiang itu pasti akan hancur.
"Hantu Laut...!" seru Golok Makam dari perahunya yang makin mendekat.
"Istirahatlah, biar kami yang hadapi si tua rebus itu!"
Hantu Laut serukan kata, "Hati-hati! Jangan malah kalian menghancurkan kapalku
ini!" Jangkar Langit tak merasa gentar sedikit pun melihat kemunculan perahu berlayar
biru tua itu. Ia sudah menduga, mereka yang berada di atas perahu adalah
sekutunya Siluman T ujuh Nyawa. Buat Jangkar Langit mereka tidak ada apa-apanya.
Justru yang terberat adalah
merebut tombak pusakanya, sementara tombak pusaka itu dipakai bertarung melawan
dirinya sendiri. Itu sama saja Jangkar Langit
melawan kekuatan ampuhnya
sendiri. Wuttt...! Kejap berikut tubuh Loh Gawe melenting di udara dari perahunya dan
tiba di atas geladak Kapal Neraka dengan tegar dan sigap. Matanya langsung
tertuju pada Jangkar Langit yang masih berdiri dengan tenang di atas atap barak.
"Jangkar Langit!" bentak Loh Gawe. "Akulah lawanmu! Bukan si gundul Hantu Laut itu!"
"Kau hanya buang-buang waktu saja!" ucap Jangkar Langit dengan tenang, tak
kelihatan terengah-engah napasnya.
"T urunlah dari sana, kita selesaikan hutang-piutang kita!"
"Aku tak punya hutang padamu!"
"Omong kosong! Kau punya hutang padaku, karena kau telah membunuh kakakku Tapak
Baja itu! Sekarang aku, Loh Gawe, menuntut balas kematian kakakku itu!"
Jangkar Langit tersenyum. "Pertimbangkan dulu anggapanmu itu, Loh Gawe! Aku tak
pernah cari perkara dengan orang lain! Kalau saja pusakaku tidak direbut oleh
kakakmu dengan licik, dan sekarang dikuasai oleh Hantu Laut, aku tidak mau
bertarung dengan siapa pun!"
Wussst...! T iba-tiba
sebuah pukulan jarak jauh dilancarkan kembali oleh Golok Makam yang masih ada di perahunya. Pukulan itu
berwarna kuning menyala dan menghantam pinggang Jangkar Langit. Bruss!
"Heggh...!"
Jangkar Langit tersentak, suaranya tertahan dengan mata melebar. Pukulan sinar kuning tepat mengenai pinggang dan
membuat pinggang itu somplak mengerikan. Darah pun memercik dari tubuh Jangkar
Langit. T ubuh itu tersungkur ke depan. Brukk...! Lalu
terguling jatuh dari atas atap. Pada saat itu, Loh Gawe segera mencabut senjata
rantai berbandul bola baja berduri, lalu dihantamkan dalam satu lompatan ringan
ke arah kepala Jangkar Langit. Prokkk...!
Kepala Jangkar Langit koyak lebar, darahnya makin menyebar mengotori dinding
barak. T ubuh itu ambruk tak berkutik lagi. Namun Loh Gawe masih belum puas, ia
hantamkan lagi rantai bandul berduri itu ke dada Jangkar Langit. Grasss...! Dada
itu hancur, bolong mengerikan, karena hantaman bola berduri itu disertai kilatan
cahaya merah membara.
Wuttt! Jlegg...!
Golok Makam mendarat di geladak Kapal Neraka, ia segera menarik tangan Loh Gawe
sambil berseru,
"Cukup! Cukup, Loh Gawe! Dia sudah tewas
menyusul kakakmu!"
"Laknat itu akan kuhancurkan hingga berkeping-keping!"
Hantu Laut segera berseru dari tempat yang agak
tinggi, "Jangan kotori kapalku dengan bangkai orang itu!"
Loh Gawe menatap mata Hantu Laut. Kemudian
napasnya dihempaskan hingga ketegangannya berkurang, ia segera memasukkan kembali senjatanya ke selipan sabuk hitamnya,
lalu ia bicara pada Hantu Laut,
"Aku datang bukan sekadar ingin balas dendam kematian kakakku, tapi ada tugas
dari sang ketua untuk menemuimu!"
"Untuk mengawiniku"!"
"Untuk menemuimu, T uli!" sentak Golok Makam.
"O, untuk menemuiku"! Hmmm... ada apa ketua menyuruh kalian menemuiku"!" tanya
Hantu Laut yang biasanya sedikit sungkan terhadap Golok Makam dan Loh Gawe
karena tingkatannya lebih tinggi, tapi kali ini agaknya Hantu Laut tampakkan
sikap beraninya.
"Kau dipanggil menghadap sang ketua!" jawab Loh Ga we.
"Aku harus ke Pulau Beliung dulu!"
"T ak perlu! Sang ketua ingin cepat bertemu denganmu, dan sebenarnya dengan kakakku juga; si T apak Baja. T api ceritakanlah
sendiri nanti kepada sang ketua tentang nasib kakakku!"
Hantu Laut memandang ke arah jauh sambil melangkahkan kaki mendekati pagar tepian kapal, ia masih menggenggam Pusaka
Tombak Maut yang sejak
tadi dilirik oleh kedua temannya itu. Kejap berikutnya Hantu Laut palingkan
wajah dan ucapkan kata kepada Loh Gawe,
"Apakah sang ketua punya kepentingan besar, sampai ia membelokkan tugasku untuk
menunda penghancuran di Pulau Beliung?"
"T entu. Ini amat penting!"
"Kalau begitu, sang ketua sendirilah yang seharusnya datang menemuiku di Kapal
Neraka ini!"
T erperanjat Golok Makam dan Loh Gawe mendengar
ucapan Hantu Laut. Mereka saling pandang, sementara Hantu Laut berjalan
mendekati haluan, dan memeriksa arah jalur pelayarannya, ia juga melirik ke arah
perahu berlayar
biru yang talinya
ditambatkan di pagar kapalnya. "Aku tak jelas dengan maksud kata-katamu, Hantu Laut!" kata Golok Makam. "Kau
dipanggil sang ketua agar segera menghadap!"
"Aku tidak mau!" jawab Hantu Laut. "Jika sang ketua punya
kepentingan denganku, biarlah dia yang menghadapku kemari!"
"Lancang sekali mulutmu, Hantu Laut"!" sentak Loh Ga we dengan dada bergemuruh.
Wajahnya pun menjadi tegang. "Apa maksudmu bicara begitu, Hantu Laut"
Apakah kau ingin menentang sang ketua" Kau tak takut dibunuhnya"!"
"Ha ha ha ha...!" Hantu Laut tertawa, Loh Gawe segera bernapas lega, karena
menyangka itu tadi hanya kelakar Hantu Laut saja. Mereka tersenyum pahit sambil
memandangi apa yang dilakukan Hantu Laut. Rupanya Hantu Laut mengangkat mayat
Jangkar Langit dan
dilemparkannya ke laut. T api mayat itu jatuhnya ke perahu berlayar biru.
"Hei, mayat itu jatuh di perahuku!" kata Golok Makam. T api Hantu Laut tidak
peduli. Bahkan dengan menggunakan ujung tombak ia putuskan tambang
penambat perahu itu, hingga kini perahu itu terapung-apung tanpa arah.
"Gila! Kenapa kau lepaskan tambatan perahuku"!"
sentak Golok Makam dengan mata membelalak.
Hantu Laut hanya berkata, "Aku tidak suka Kapal Neraka ini menjadi tambatan
perahu asing milik siapa pun! Perahu itu harus kuusir, jika perlu pemiliknya pun
akan kupaksa untuk tinggalkan Kapal Neraka ini!"
T erbakar kulit
wajah Golok Makam, mendidih
darahnya mendengar ucapan orang yang selama ini tak berani bicara selancang itu
kepadanya. Bahkan Loh Ga we pun segera bergerak mendekati Hantu Laut dan ingin
menampar mulut si gendut berkepala botak licin itu. T api, tangan Hantu Laut
cepat berkelebat juga menangkis tamparan itu.
Plakkk...! Begggh...! T angan yang habis menangkis segera
disodokkan ke depan dengan telapak terbuka. Dada Loh Ga we menjadi sasaran
telak. Terhantam mundur Loh Ga we saat itu, karena sentakan telapak tangan Hantu
Laut itu berkekuatan tenaga dalam cukup besar. Loh Ga we tersentak ke belakang
sampai menabrak Golok Makam,
yang sedang bimbang untuk mengejar perahunya atau menghajar si gundul itu lebih dulu"
Hantu Laut sunggingkan senyum lebar sambil busungkan dadanya, kepalanya sedikit mendongak di bagian dagu, menampakkan
keangkuhannya. "Beraninya kau bersikap begini kepadaku, Hantu Laut"!" geram Loh Gawe.
"Kenapa harus takut" Kenapa selamanya aku harus menjadi pelayan dan budak-budak
kalian" Kalau aku berani berbuat kasar dan tidak menghormat kepada kalian, itu
karena aku berani menghadapi kalian!"
"Jahanam botak!" sentak Golok Makam. "Sekarang juga kuperintahkan kau putar
haluan kapal ini dan kembali menghadap sang ketua!"
"Aku tidak mau menghadap Durmala Sanca! Kalau mau, dia yang harus menghadapku
dengan terlebih dulu mencium telapak kakiku!"
"Kurang ajar!" geram Loh Ga we dengan napas mulai terengah-engah. "Kuhancurkan
mulutmu yang sombong itu sebelum kuseret kau menghadap sang ketua! Berani-
beraninya kau bersikap tak menghormat kepada kami, hah?"
"Jangankan kalian," kata Hantu Laut meremehkan.
"Kakakmu saja mati di tanganku, Loh Gawe!"
"Apa..."!" Loh Gawe semakin mendidih darahnya setelah mendengar, bahwa ternyata
yang membunuh T apak Baja adalah Hantu Laut.
"Kau membunuh T apak Baja"!" ujar Golok Makam.
"Mana mungkiiin...! Ilmumu masih di ba wah alas kaki T apak Baja!"
"T ombak pusaka ini telah merenggut nyawa T apak Baja, itu berarti ilmuku lebih
Gairah Sang Pembantai 1 Gento Guyon 16 Mbah Pete Api Di Puncak Sembuang 1
^