Pencarian

Wanita Keramat 1

Pendekar Mabuk 084 Wanita Keramat Bagian 1


Serial : Pendekar Mabuk
Judul : 15. Wanita Keramat
Pengarang : "
Penerbit : "
E-book : paulustjing
1 AWAN kelabu bergulung-gulung bagai ingin
menelan matahari. Sang matahari tetap tenang dan
acuh tak acuh, seakan yakin kalau dirinya tak akan dikalahkan oleh awan kelabu
itu. Hanya saja, sang matahari mulai waswas begitu melihat kabut hitam
berarak-arak dari selatan, bagai iring-iringan jenazah di atas langit.
"Firasat buruk," gumam seorang lelaki tua yang berdiri di atas bukit sambil
pandangi arak-arakan burung gagak itu. Wajah tuanya mulai
memancarkan kecemasan walau tampaknya
tenang-tenang saja.
Langkah si tua berjubah ungu itu sengaja
dihentikan. Tongkatnya yang tinggi sepundak
digenggam kuat-kuat, bahkan sedikit ditekan ke
tanah. Si tua berjubah ungu dengan pakaian
dalamnya warna putih itu sengaja membiarkan iring-iringan burung gagak melintas
di langit atas kepalanya. "Firasat buruk apa itu, Kek?" tanya seorang gadis bermata bundar bening.
"Akan terjadi musibah besar yang menewaskan
orang banyak," jawab si kakek berikat kepala ungu, sama dengan warna jubahnya.
"Ih, ngeri!" ujar gadis berpakaian serba Jingga, jubahnya tanpa lengan warna
Jingga, kain penutup
bagian dada dan pinggulnya juga warna Jingga,
bahkan pedangnya dari sarung pedang sampai
gagang dililit kain warna Jingga. la mengenakan
kalung dan gelang berbatu jingga. Entah batu apa
namanya, yang jelas batu yang menghias sabuknya
juga berwarna jingga. Batu di sabuk itu cukup besar, bening, dan berbentuk bulat
telur pipih bagian
belakangnya. "Kira-kira musibah apa yang bakal terjadi, Kek?"
"Sebentuk kematian yang mengerikan. Daerah ini tak lama lagi akan dipenuhi oleh
puluhan mayat yang bergelimpangan di sana-sini. Karenanya, lebih baik kita harus cepat
tinggalkan tempat ini sebelum musibah melibatkan kita sebagai korbannya."
"Tapi kita harus menemukan Puting Selaksa dulu, Kek. Sebelum menemukan Puting
Selaksa aku tak
mau tinggalkan tempat ini," ujar si gadis cantik berambut lurus sepundak tanpa
ikat kepala itu.
"Kita cari di tempat lain saja. Mungkin kakakmu si Puting Selaksa sudah
tinggalkan tempat ini,
Manggar Jingga."
"Firasatku mengatakan, Puting Selaksa masih
ada di sekitar wilayah tanah Mentawai ini, Kek.
Barangkali ia disekap oleh orang-orang Perguruan
Tangan Besi. Kita harus menyerang perguruan itu,
Kek." "Sebelum jelas dan pasti, jangan lakukan
tindakan gegabah, Manggar Jingga. Salah-salah kita jadi punya banyak musuh hanya
karena tindakan
gegabah kita."
Sang kakek jubah ungu itu bicara dengan nada
bijaksana. Agaknya ia selalu memperhitungkan tiap langkah dan tindakan yang akan
diambil agar tidak menimbulkan petaka balik bagi dirinya sendiri. Sikap seperti
itu secara tak langsung diajarkan kepada
muridnya yang sudah dianggap cucu sendiri itu.
Tetapi si gadis yang ternyata bernama Manggar
Jingga itu kurang setuju dengan perhitungan sang
Guru. Bahkan menduga sang Guru kali ini bertindak ragu-ragu. Manggar Jingga agak
kesal dengan peringatan sang Guru tadi, sementara hati kecilnya telah yakin betul bahwa kakak
seperguruannya yang bernama Puting Selaksa itu hilang diculik oleh orang
Perguruan Tangan Besi.
Tiba-tiba si gadis berhidung bangir dan berbibir
mungil itu berbisik kepada gurunya.
"Kek, di belakangku seperti ada orang yang
sedang mengawasi kita."
"Sejak tadi aku sudah tahu."
"Bagaimana kalau kugebrak biar dia tahu kalau kita tak suka diintai begini"!"
"Gebrak saja, tapi pelan-pelan."
"Itu namanya bukan digebrak!" ujar sang murid
sambil bersungut-sungut.
"Terserah kau sajalah, asal jangan timbulkan permusuhan kepada orang yang belum
tentu memusuhi kita!"
Gadis itu berlagak tenang, melangkah ke samping
sambil bicara keras kepada sang Guru.
"Kek, pemandangan di sini indah sekali. Aku
senang berada di sini. Cuma sayang ada yang usil kepada kita, Kek! Mungkin dia
maling kurang kerjaan. Maling yang kurang kerjaan harus diberi
pelajaran begini.. ."
Wuuuut...! Tiba-tiba tangan kanan gadis itu
menyentak ke belakang dengan tubuh berputar
separo lingkaran. Dari tangan yang megar itu keluar angin kencang yang membuat
semak-semak tercabut dari tanah. Wuuus...! Bruuus...!
"Uuhhk. .!" suara pekikan terdengar dari orang yang berada di balik semak. Orang
itu terlempar ke atas bagai diterbangkan oleh kekuatan besar.
Namun begitu merasa dirinya terbang ke udara,
orang itu segera bersalto dua kali dan daratkan
kakinya ke tanah tanpa bunyi, menandakan ilmu
peringan tubuhnya cukup tinggi.
"Gila! Tenaga dalamnya begitu besar, membuatku terlempar begitu saja. Sial!"
gerutu orang yang menjadi tersipu malu mirip maling tertangkap
basah. Sedangkan si jubah ungu dan muridnya
sempat terkesip pandangi orang yang tertangkap
basah itu. Terutama si gadis, menjadi berdebar dan resah
setelah tahu pengintainya adalah seorang pemuda
tampan berambut lurus sepundak tanpa ikat kepala
dan mengenakan baju tanpa lengan warna coklat
dan celana putih kusam. Pemuda itu membawa
bumbung bambu tempat tuak yang kala itu
digantungkan di pundaknya.
"Lho, kok malingnya ganteng, Kek?" ujar si gadis dengan nada pelan tapi
terdengar di telinga si
pemuda tampan bertubuh kekar itu. Pemuda
tersebut hanya sunggingkan senyum salah
tingkahnya. "Maling modal tampang memang begitu,
Manggar Jingga," ujar si jubah ungu.
"Aku bukan maling!" bantah pemuda tersebut
"Ah, maling!" sentak si gadis berlagak ketus.
"Bukan! Aku bukang maling."
"Maling!" si gadis makin keras. "Kalau bukan maling kenapa kau mengintai kami di
balik semak-semak" Itu namanya maling banci! Kalau bukan
banci, mestinya kau berani maling secara terang-
terangan!"
Jubah ungu tertawa pelan karena geli mendengar
omelan sang murid yang sudah dianggap cucu
sendiri itu. "Maling itu macam-macam!" sambung Manggar Jingga. "Ada maling harta benda, ada
maling pusaka, ada maling ilmu, ada maling hati, maling
penglihatan, maling suara, dan...."
"Kok justru kau tahu jenis-jenis maling"! Jangan-jangan kau sendiri pakar
maling"!" ujar pemuda berkulit sawo matang itu.
"Eh, sembarangan kau bicara. Ya"! Rupanya
mulutmu perlu kurobek biar tak bicara sembarangan lagi!"
Sreet.. ! Si gadis mencabut pedang yang dari tadi ditentengnya dengan tangan
kiri. Baru saja ia akan melangkah maju, kakek berjubah ungu itu menahan
gerakannya dengan menyilangkan tongkat ke depan.
"Tahan kemarahanmu, Manggar Jingga!"
"Dia kurang ajar, Kek!"
"Yah, nanti kalau kurang ajar, biar aku yang menghajarnya," ujar si jubah ungu.
"Cucumu itu yang kurang ajar mengatakan aku
maling, Pak Tua!" sambil pemuda berdada bidang itu menuding si gadis.
"Maklumilah ucapan muridku itu, Kisanak. Dia memang paling tak suka diperhatikan
secara sembunyi-sembunyi. Setiap orang yang mencuri
pandang kepadanya selalu dianggap pencuri atau
maling." "Aku tidak bermaksud mencuri pandang
kepadanya," si pemuda agak cemberut. "Kebetulan saja aku lewat sini dan
mendengar percakapanmu
tentang musibah besar yang akan terjadi di daerah ini. Aku tertarik dan ingin
mengenalmu, tapi aku
harus selidiki dulu siapa kau sebenarnya. Dari
golongan hitam atau putih" Tentu saja hal itu tak
bisa kutanyakan begitu saja, takut menyinggung
perasaanmu, Pak Tua!"
"Jangan terbujuk oleh kelembutan katanya, Kek!"
cetus Manggar Jingga dengan wajah cemberut.
Si kakek guru hanya tersenyum tipis sambil
melirik si murid. Tapi kejap berikutnya ia menatap pemuda tampan tersebut dan
bicara dengan nada
kalem. "Kau tak perlu curiga pada kami, Kisanak. Kami bukan orang jahat. Kami datang
kemari untuk mencari seseorang. Kami dari Teluk Sendu. Ini
muridku yang sudah kuanggap cucuku sendiri,
bernama Manggar Jingga. Sedangkan aku dikenal
dengan nama Resi Parangkara."
"Apakah kau kenal dengan Resi Pakar Pantun?"
"Itu sahabat lamaku," jawab Resi Parangkara.
"Tapi ia tak pernah menceritakan tentang dirimu, sehingga kami tak tahu siapa
dirimu sebenarnya,
Anak Muda?"
"Aku bernama Suto Sinting, murid si Gila Tuak dan...."
"Astaga! Jadi kau yang bergelar Pendekar Mabuk itu, Nak?"
"Betul, Eyang Resi...," sambil Suto membungkuk sebagai tanda hormat.
"Oooo...," Resi Parangkara manggut-manggut.
"Pantas kau bisa hindari pukulan 'Badai Lanang' dari muridku. Kalau bukan
Pendekar Mabuk, dia akan
terlempar dan mengalami luka berdarah di dalam
dadanya!" tambah Resi Parangkara sambil melirik muridnya.
Sang murid ternyata tertegun bengong bagaikan
patung tanpa berkedip. Rupanya gadis itu
mengalami sedikit shock begitu tahu pemuda
tampan yang dianggapnya maling itu adalah si
Pendekar Mabuk. Nama kondang itu sering
didengarnya dan bahkan sering membuat Manggar
Jingga penasaran ingin bertemu dan melihat seperti apa wujud si Pendekar Mabuk
itu. Ternyata baru
sekarang rasa penasarannya itu terlampiaskan
sehingga tak heran jika Manggar Jingga menjadi
terbengong-bengong tanpa bisa berucap kata sedikit pun. Sepertinya ia tak sadar
bahwa matanya membelalak tak berkedip pandangi Suto Sinting
dengan bibir merekah bolong.
"Hi sy. .!" Resi Parangkara menepiskan tangan di depan wajah Manggar Jingga, dan
gadis itu segera
terkejut lalu menggeragap salah tingkah.
"Bunuh saja!"
"Apanya yang bunuh saja"!"
"Hmm... eh... apa yang kukatakan tadi, Kek"
Bungkus saja"!"
"Hidungmu itu yang dibungkus"!" gumam sang Resi sambil tertawa pelan. Gadis itu
jadi tersipu malu.
"Orang yang kau anggap maling itu adalah
Pendekar Mabuk, murid si Gila Tuak, Sahabatku
yang sudah lama tak pernah jumpa. Pemuda inilah
yang namanya sering kau bicarakan dan kau
tanyakan kehebatan ilmunya padaku, Manggar
Jingga!" "Hmmm, eeh... jadi bukan... bukan maling, Kek"!"
"Ya, bukan! Masa pendekar kondang kok jadi
maling"! Kalau toh jadi maling, pasti yang dicuri hatimu!"
"Hmmm. .!" gadis itu mencibir seakan tak sudi dicuri hatinya oleh si tampan Suto
itu. Tapi raut wajahnya tampak menjadi merah semu begitu
membayangkan seandainya hatinya benar-benar
dicuri oleh si Pendekar Mabuk.
Sang Pendekar Mabuk sendiri menertawakan
kelucuan Manggar Jingga. Tapi tak berani terlalu
lama, takut gadis itu semakin berang karena rasa malunya. la segera mengalihkan
suasana agar menjadi serius lagi.
"Siapa orang yang kau cari itu, Eyang Resi"!"
"Puting Selaksa, muridku juga. Kakak
seperguruan Manggar Jingga yang sudah seperti
kakak kandungnya sendiri."
"Dia pasti tertawan oleh orang-orang Perguruan Tangan Besi yang berada di
sekitar tanah Mentawai ini!" timpal Manggar Jingga dengan masih bernada ketus.
"Apakah kau melihat orang Perguruan Tangan
Besi membawa si Puting Selaksa"!" tanya Pendekar Mabuk.
"Memang tidak kulihat sendiri. Tapi terakhir
kudengar Puting Selaksa bentrok dengan orang
Perguruan Tangan Besi di Pantai Karangawu. Dia
terluka, lalu pulang ke Teluk Sendu dan diobati oleh Kakek Guru. Hari berikutnya
ia pergi tanpa pamit.
Dugaanku membalas dendam kepada orang Tangan
Besi. Tapi sejak itu ia tak kembali sampai sekarang."
"Sudah dua puluh hari lebih ia tak kembali,"
timpal Resi Parangkara.
Pendekar Mabuk diam sebentar, matanya
memandang keadaan sekeliling dari atas bukit yang tak seberapa tinggi itu. Kejap
kemudian ia ingat
ucapan Resi Parangkara tadi, maka sambil
memandang langit yang masih diselimuti awan
kelabu itu, Suto pun segera ajukan tanya kepada
sang Resi. "Apakah menurutmu hilangnya Puting Selaksa
ada hubungannya dengan musibah yang tadi kau


Pendekar Mabuk 084 Wanita Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

singgung-singgung itu, Eyang Resi?"
"Aku tak berani memastikan. Namun firasatku
mengatakan: Perguruan Tangan Besi akan menjadi
sumber musibah yang bakal terjadi itu. Setidaknya mayat yang akan bergelimpangan
di tanah Mentawai ini kebanyakan berasal dari orang
Perguruan Tangan Besi."
"Kakek, ada baiknya kalau kita segera bergerak ke pusat Perguruan Tangan Besi
dan menyelidiki
tempat itu!" sela Manggar Jingga.
"Menyelidiki tempat itu, memang hal yang baik daripada harus menyerang tanpa
alasan dan bukti
yang kuat, Cucuku!"'
"Kita harus berangkat sekarang, Kek!"
"Aku setuju. Tapi bagaimana dengan Pendekar
Mabuk?" Manggar Jingga melirik ketus, "Persetan
dengannya. Aku tak mau tahu apa yang akan
dilakukan oleh si maling nakal itu, Kek!"
Pendekar Mabuk tertawa pelan. "Aku pun tak
akan ikut campur urusanmu, Manggar Jingga.
Kurasa kita memang harus berpisah sekarang juga,
sebab aku pun punya perjalanan sendiri."
"Maafkan sikap muridku yang mungkin kurang
berkenan di hatimu, Maling Nakal, eeh.... Pendekar Mabuk," ujar Resi Parangkara
sempat salah ucap.
"Tak ada masalah bagiku, Eyang Resi. Kuharap, kau dan Manggar Jingga bukan
penyebar musibah
itu walau ternyata nantinya si Puting Selaksa
memang ada di sana."
"Kau jangan menggurui guruku, Maling Nakal!"
"O, tidak! Aku hanya berharap saja. Tapi kalau kau merasa pantas menjadi
penyebab musibah di
sana, silakan saja. Itu bukan urusanku."
"Pendekar Mabuk," ujar Resi Parangkara dengan kalem dan bijaksana. "Percayalah,
musibah itu akan datang bukan dari pihakku, tapi dari pihak lain."
"Syukurlah! Sebaiknya, aku mohon pamit lebih dulu sebelum kalian pergi ke sana!"
"Jaga dirimu baik-baik, Nak! Sampaikan salamku kepada Kangmas Gila Tuak jika kau
bertemu beliau!" "Akan kusampaikan salammu, Eyang Resi!"
seraya Suto sedikit membungkuk dan menyatukan
telapak tangan di dada sebagai sikap berpamit.
Setelah itu, sang Pendekar Mabuk langkahkan
kakinya menuruti bukit tersebut. Resi Parangkara
memandanginya dengan senyum penuh kharisma.
Sedangkan Manggar Jingga memandang dengan
wajah keruh dan tampak menyesali kepergian
Pendekar Mabuk.
"Mestinya tadi Kakek menahannya dan
membujuknya agar ikut ke Perguruan Tangan Besi!
Jangan malah titip pesan segala!" Manggar Jingga menggerutu dan bersungut-
sungut. "Lhooo.. kau tadi tidak ngomong begitu. Coba kalau kau ngomong, maka akan
kubujuk dia agar
ikut membantu kita mencari si Puting Selaksa!"
"Ya malu kalau aku bicara begitu. Hmmrn. .! Nanti dia meremehkan diriku dan
menganggapku gadis
murahan!" ucap Manggar Jingga masih dengan bibir cemberut. Sang Guru hanya
tertawa pelan sambil
mendekatinya, lalu menepuk punggung gadis itu.
"Kau menyesali kepergiannya?"
"Hmmm. .!" Manggar Jingga melengos. Sang Guru semakin geli melihatnya.
* ** 2 ESOK harinya, wilayah tanah Mentawai benar-
benar dilanda musibah menyedihkan. Perguruan
Tangan Besi diserang oleh orang-orang Pulau
Boneng. Korban berjatuhan, para murid Perguruan
Tangan Besi banyak yang tewas baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Mayat
bergelimpangan di
mana-mana, dan burung-burung gagak
menghampirinya menjalankan tugasnya sebagai
burung pemakan bangkai.
Perguruan Tangan Besi dibumihanguskan oleh
orang-orang Pulau Boneng. Sebagian murid yang
tersisa melarikan diri dan bersembunyi, sementara Ketua Perguruan Tangan Besi
ditemukan tewas
dalam keadaan tanpa nyawa sedikit pun.
Pada saat terjadi penyerangan besar-besaran itu,
Pendekar Mabuk sedang berada di sebuah desa di
kaki Bukit Walet. la singgah di situ untuk bermalam dan beristirahat.
Ketika pagi menjelang siang tadi, sang Pendekar
Mabuk ingin lanjutkan perjalanannya menuju
Lembah Birawa, tiba-tiba ia dikejutkan dengan
munculnya orang-orang bergigi tonggos.
Delapan orang bergigi tonggos itu memasuki desa
tersebut dengan melakukan tindakan-tindakan yang
meresahkan penduduk. Merusak beberapa pagar,
mengganggu para gadis, menyambar jemuran,
meludah di sembarang tempat (termasuk meludah
di wajah orang), dan beberapa tindakan kasar
lainnya yang membuat para penduduk desa
ketakutan. Pendekar Mabuk masih duduk di dalam kedai
tempatnya bermalam, menikmati sarapan pagi yang
sudah kesiangan sambil menunggu bumbung
bambunya dipenuhi tuak. Saat itu, di dalam kedai
ada beberapa pembeli, termasuk seorang wanita
berparas cantik dengan bentuk wajah oval dan
bertahi lalat kecil di pinggir kiri bibir atasnya.
Perempuan itu berusia sekitar dua puluh lima tahun, mengenakan pakaian silat
lengan panjang warna
hijau tua. Rambutnya yang panjang disanggul
sederhana dengan sisa rambut terjuntai seperti ekor kuda. la mengenakan ikat
kepala merah berbintik-bintik putih.
Badannya sedikit gemuk tapi tinggi, sehingga
tidak kentara kegemukannya. Bahkan cenderung
kelihatan sekal, kencang, berisi, dan kekar.
Perempuan itu dari tadi duduk di sudut ruangan
sendirian. Sebilah pedang bersarung kayu hitam
digeletakkan di atas meja samping kirinya. Caranya memandang cukup tajam, karena
matanya agak besar namun berbentuk indah. Tepian matanya
berwarna hitam, seperti pakai maskara. la memang
berkesan galak dan angker, tapi Suto Sinting suka melihat wajah seperti itu.
Wajah penuh keberanian dan ketegasan itu
membuat Suto sering mencuri pandang.
"Mantap sekali perempuan itu! Aku yakin ia
adalah perempuan yang tak mudah menyerah
dalam menghadapi tantangan hidup apa pun.
Jiwanya keras, keberaniannya tinggi, pendiriannya kokoh, dan. . sepertinya ia
tak mau diremehkan oleh siapa pun," pikir Suto Sinting sambil berlagak
memandangi anak perawan si pemilik kedai yang
sedang melayani tamu lain, namun ekor mata Suto
tertuju pada si perempuan berpakaian hijau tua itu.
"Aku yakin dia bukan gadis desa ini, atau
perempuan dari sini. Bukan. Dia pasti dari tempat jauh. Kulihat caranya
melangkah waktu masuk ke
kedai ini agak terburu-buru. Tahu-tahu mendekam
tenang di pojokan sana. Hmmm. . pasti ada sesuatu yang membuatnya harus berada
di pojokan itu.
Bagaimana kalau kudekati" Nyakar atau tidak, ya?"
sambil mulut Suto menikmati ketan bakar sedikit
demi sedikit. Ketika mata Suto sengaja melirik ke arah
perempuan itu, bertepatan dengan tatapan mata
tajam si perempuan yang mengarah kepada Suto.
Pandangan mata mereka bertemu terang-terangan,
lalu Suto sunggingkan senyum keramahan, tapi tak
mendapat balasan seramah itu. Perempuan tersebut
justru buang pandangan ke arah lain dengan wajah
cantiknya yang kaku tanpa senyum. Matanya
tampak menatap arah luar kedai dengan nanar.
Ki Pulasoma, pemilik kedai tersebut,
menyerahkan bumbung tuak yang sudah terisi
penuh kepada Suto. Saat itulah Suto sempatkan diri
bertanya dalam bisikan kepada Ki Pulasoma.
"Siapa perempuan itu, Ki?"
"Entahlah, Nak. Aku baru sekarang melihat
perempuan itu. Sangar juga kelihatannya," kata Ki Pulasoma dalam bisikan juga.
"Berarti dia memang bukan perempuan desa ini,"
gumam Suto dalam hati.
Ki Pulasoma ajukan tanya, "Kalau yang lebih
cantik dari dia, di sini banyak, Nak. Anaknya Demang Kawi juga cantik, malah
tidak seangker dia. Kalau kau mau cari kekasih, aku bisa mengenalkanmu
kepada anak gadisnya Demang Kawi."
Pendekar Mabuk tersenyum. "Aku sudah punya
calon istri sendiri. Dyah Sariningrum, namanya. Lebih cantik dari orang yang
paling cantik di dunia."
"Lalu, apa maksudmu menanyakan perempuan
berbaju hijau itu?"
"Aku yakin dia punya persoalan yang meresahkan jiwanya. Agaknya ia butuh orang
untuk bertimbang
rasa. Katakan kepadanya, jika ia berkenan, aku akan datang membantunya."
"Baik, akan kusampaikan kepadanya," Ki
Pulasoma tersenyum, lalu melangkah mendekati
perempuan itu dengan berlagak membersihkan
meja yang ada di samping si perempuan. Ki
Pulasoma sudah tua, usianya sudah mencapai
sekitar enam puluh tahun. Tapi dia paling hobi jika disuruh menjadi comblang.
Suto Sinting geli melihat semangat si pemilik
kedai yang kuat diajak ngobrol semalaman. Orang
tua itu dulu juga berkecimpung di rimba persilatan.
Namun segera tarik diri dan alih profesi menjadi
pemilik kedai setelah seluruh teman seperguruannya mati di tangan satu musuh.
Hanya dia yang selamat.
Keselamatan itu diartikan sebagai teguran dari Sang Pencipta agar dia harus
tinggalkan rimba persilatan dan berwiraswasta dengan modal pas-pasan.
Ki Pulasoma kembali dekati Suto Sinting dan
berkata dalam nada pelan.
"Pesanmu sudah kusampaikan, Nak. Tapi
perempuan itu bilang, dia tidak butuh pembantu."
Suto tersenyum sambil manggut-manggut.
Matanya sengaja melirik ke arah si perempuan, dan si perempuan menatapnya
terang-terangan lagi.
"Kurasa dia butuh teman, Nak. Bukan pembantu."
"Apakah dia bilang begitu?"
"Tidak. Dia perempuan yang tidak suka banyak omong. Tiga kali kutanya baru
menjawab satu kali.
Tapi menurutku, cobalah kau dekati sendiri dia.
Siapa tahu jika sudah berhadapan denganmu,
keangkuhannya sebagai perempuan tak banyak
omong menjadi luluh."
"Maksudmu luluh?"
"Dia akan berteriak atau menjerit sambil
melayangkan pukulan ke wajahmu!"
Pendekar Mabuk tertawa tanpa suara, sementara
Ki Pulasoma juga tertawa dengan suara terkekeh
samar-samar. Waktu itu, orang-orang bergigi tonggos
belum datang, jadi suasananya masih tenang-tenang saja. Karenanya, pada saat
perempuan itu menghembuskan napas cepat satu sentakan dari
hidungnya, suara hembusannya terdengar jelas di
telinga Suto. Fui h...! Wuuus...!
Tiba-tiba ikat kepala Ki Pulasoma terbang bagai
dihempas badai kecil. Cangkir-cangkir di meja jatuh dengan isi tumpah
berantakan. Baju lengan panjang Ki Pulasoma pun terhempas menyambar wajah Suto
Sinting. Mangkuk sambal tumpah tepat di piring
Suto yang masih terisi dua potong ketan bakar.
"Angin apa itu tadi, Nak?" bisik Ki Pulasoma.
"Biasa. Dia mulai unjuk gigi," Suto pun berbisik kalem.
"Kurasa tak perlu melayani ulahnya, Nak," bisik Ki Pulasoma.
"Bagaimana kalau aku juga unjuk gigi sebentar?"
ujar Suto dengan tersenyum dan memandang Ki
Pulasoma, tapi jari tangannya menyentil cepat.
Tees...! Beet, praang...! Gubrrak...!
Sentilan Pendekar Mabuk adalah sentilan yang
dapat keluarkan tenaga dalam berkekuatan seperti
tendangan seekor kuda jantan. Jurus 'Jari Guntur' itu diarahkan kepada si
perempuan berbaju hijau,
sehingga apa saja yang ada di atas meja perempuan itu menjadi berantakan. Bahkan
perempuan tersebut tersentak ke belakang, bagaikan mendapat
tendangan kuat di atas dadanya, ia jatuh menabrak
meja belakang dan meja itu menjadi tumbang
bersama bangkunya. Bahkan kaki meja patah satu
dan bangku panjangnya patah menjadi dua bagian.
Perempuan itu menggeram sambil bersusah payah
bangkit sambil menyentakkan meja-bangku di
sekitarnya. Braaak...! Wuuut...! Jleeg...!
Pedang di mejanya disambar, wuuut. .!
Gagangnya digenggam dengan tangan kanan, siap
dicabut kapan saja.
Ki Pulasoma pejamkan mata saat terjadi
kegaduhan itu. Setelah si perempuan bangkit dan
memandang Suto dengan sangar, Ki Pulasoma
membuka mata pelan-pelan seraya berkata kepada
Suto. "Unjuk gigi boleh saja tapi tak perlu merusakkan kedai ini, Nak."
"Maaf, Ki. Aku akan mengganti kerusakannya,"
ujar Suto tetap kalem. la memungut poci yang tadi jatuh ke pangkuannya dalam
keadaan tuak di dalam
poci membasahi celana. la tahu perempuan itu
segera menghampirinya dengan wajah berang,
sementara orang-orang pandangi mereka dalam
ketegangan, tapi Suto Sinting tetap kalem dan
memunguti barang-barang yang berantakan karena


Pendekar Mabuk 084 Wanita Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sentakan napas si perempuan tadi. Ki Pulasoma
segera ditarik oleh anak gadisnya yang ketakutan.
"Kenapa masih di situ saja, Pak! Ayo,
menyingkir.. ! Salah-salah perutmu dedel kena
pedangnya!" ujar anak gadis Ki Pulasoma.
"Apa maksudmu menyerangku seperti itu, hah"!
Mau bikin perkara denganku"!" hardik perempuan itu dengan suara sedikit serak
dan agak besar,
hampir seperti suara lelaki.
Pendekar Mabuk memandang dengan senyum
kalem. "Siapa yang mendahului bikin ulah seperti ini menurutmu?"
Sreet...! Pedang dicabut dari sarungnya, diangkat tinggi-tinggi dan siap
ditebaskan untuk membelah
kepala Suto Sinting.
"Maaf, Nona. Kepalaku bukan semangka," kata Suto tetap kalem, menjengkelkan
perempuan itu, bahkan menjengkelkan orang-orang di sekitarnya.
"Edan itu anak! Sudah tahu mau dibelah
kepalanya masih diam di tempat" Apa tak punya
kaki buat lari"!" gerutu salah seorang tamu kedai.
"Kau menggangguku lebih dulu, Kunyuk! Jangan salahkan diriku jika kepalamu
terbelah menjadi dua bagian! Hiaaat...!"
Teees, beet.. ! Jurus 'Jari Guntur' dilepaskan
kembali oleh Pendekar Mabuk. Tenaga dalam yang
keluar dari sentilan jari tangannya menghantam
pergelangan tangan hingga sebatas siku si
pemegang pedang. Tangan itu terpental ke belakang dengan kuat, pedangnya
terlempar lepas dari
genggaman, perempuan itu terpelanting dan jatuh
terduduk di atas bangku panjang. Brruk. .!
Klontaang...! Gigi perempuan itu menggeletuk pertanda
menahan sakit. Matanya memancarkan permusuhan
yang lebih tajam lagi. Tapi Pendekar Mabuk masih tetap sunggingkan senyum dengan
tenang dan sekarang ia bangkit berdiri sambil menenteng
bumbung tuaknya.
"Kalau kau tak mau disalahkan, sebaiknya kita bermain di luar kedai saja. Kalau
kedai ini rusak, kasihan Ki Pulasoma!"
Suto Sinting melangkah keluar dari kedai lebih
dulu. Setiap mata memperhatikan ke arahnya,
termasuk perempuan berbaju hijau itu. Suto Sinting tetap melangkah cuek sambil
tetap sunggingkan
senyum keramahan. Sesekali ia menepuk punggung
seorang tamu yang dilewatinya sambil berkata
pelan. "Tenang, bisa kuatasi!"
Suto Sinting sengaja berdiri di bawah pohon
depan kedai. la menunggu perempuan itu di sana. Si perempuan segera keluar
dengan beberapa
lompatan dari meja ke meja dan terakhir
mendaratkan kakinya di depan Suto Sinting dengan
pedang tergenggam di tangan kanan dan sarung
pedang ada di tangan kiri.
Jleeg...! "Apa maumu sebenarnya, hah"!" bentak
perempuan itu dengan suara geram.
"Kulihat kau sedang resah. Kutahu kau punya
masalah. Lalu kucoba ingin mendekatimu untuk
membantu memecahkan masalahmu. Kurundingkan
hal itu kepada Ki Pulasoma. Tapi kau justru pamer kekuatan napasmu yang membuat
makananku berantakan. Maka kucoba untuk menegurmu
dengan pamer kekuatan juga. Sekarang kedudukan
kita satu sama. Terserah kau, mau dilanjutkan
dalam bentuk apa pun aku siap!"
"Kau telah mempermalukan diriku di depan
orang-orang kedai! Kau harus menerima
hukumannya."
"Baik! Aku siap. Tapi tunggu sebentar, aku harus bayar dulu biaya makanku
ditambah uang pengganti
kerusakan barang-barang itu," kata Suto dengan santai sekali. Lalu ia
melambaikan tangan kepada Ki Pulasoma yang memperhatikan dari ambang pintu
kedainya. Ki Pulasoma mendekat, Suto bicara pelan dengan pemilik kedai itu, lalu
mengeluarkan uang
dari sela-sela ikat pinggangnya. Sesaat kemudian ia berkata kepada perempuan
itu. "Kurang dua sikal. Apakah kau punya dua sikal untuk melunasi biaya makanku,
biaya makanmu dan mengganti kerusakan itu?"
"Hmmm. .!" dengus perempuan itu dengan
dongkol. Tapi ia segera mengambil sekeping uang
dari sela ikat pinggangnya yang terbuat dari kain merah, lalu uang itu
disentilkan ke depan dan
ditangkap oleh Suto. Teeb.. !
"Oh, lima sikal"! Kalau begitu, tolong kembalinya
kau berikan kepada nona cantik itu, Ki!"
"Baaik. . baik. .! Sebentar, akan kuambilkan kembaliannya," lalu Ki Pulasoma
berlari masuk kedai.
Perempuan itu berkata sambil menuding Suto.
"Kalau kau bisa menahan tiga jurusku, kau baru boleh membantuku! Hiaaat...!"
"Tunggu dulu!" sergah Suto yang membuat perempuan itu hentikan gerakannya. Lalu,
Suto melanjutkan ucapannya dengan kalem.
"Uang kembalianmu belum diberikan Ki
Pulasoma! Nanti kau lupa kalau sudah asyik
bertarung denganku!" Setelah bicara begitu, Suto tersenyum lebar. Tenang sekali.
"Aku tak butuh uang kembalian! Hieaaat.. !" Bet, bet, bet. .! Weess...!
Perempuan itu menyerang Suto dengan tebasan
pedang yang sulit dilihat gerakannya oleh mata
orang biasa. Tapi Pendekar Mabuk hanya bergerak
meliuk-liuk bagai orang mabuk sempoyongan. Tapi
gerakan itu patah-patah dan mampu hindari tebasan pedang beberapa kali.
Sampai akhirnya Pendekar Mabuk sengaja
berlutut satu kaki, telapak tangan kirinya menyodok perut perempuan itu dengan
telak. Wuut, buuhk. .!
"Heeehk. .!" Perempuan itu terlempar mundur bagaikan kapas terbang, lalu jatuh
membentur dinding kedai. Braak. .! Dinding kedai itu jebol. la menyeringai menahan sakit
dengan menggigit
bibirnya. Tapi ia segera bangkit dan menarik napas panjang. Saat itu Ki Pulasoma
datang menyerahkan
uang kembalian sebanyak tiga sikal.
"Ini kembaliannya, Non!"
"Tak perlu, Ki!" seru Suto. "Anggap saja kembalian itu uang pengganti dinding
kedaimu yang baru saja jebol itu!"
"Tap... tapi...."
"Simpan saja untuk pengganti dinding ini!" gertak perempuan itu.
"Iya, tapi... kurang kalau cuma segini, Nona?"
Perempuan itu penasaran dan tak pedulikan
ucapan Ki Pulasoma lagi. la segera lakukan
lompatan cepat menerjang Pendekar Mabuk dengan
pedang ditebaskan sebagai pemenggal leher.
Wees. .! Traang. .! Suto Sinting berhasil menangkis
tebasan pedang menggunakan bumbung tuaknya.
Bumbung bambu itu tidak mengalami luka atau
lecet sedikit pun. Bahkan benturannya dengan
pedang menimbulkan bunyi bagaikan pedang
menebang besi, karena bumbung tuak itu adalah
bumbung sakti yang terbuat bukan dari sembarang
bambu. Sayangnya Suto Sinting sedikit lengah. Siku
kirinya naik saat menangkis pedang tadi. Dan kaki perempuan itu berhasil
menendang ke samping,
tepat kenai tulang rusuk Suto.
Beet...! Buuhk...!
"Aaow. .!" Suto memekik sambil terlempar jatuh berguling-guling. Tulang rusuknya
terasa patah, karena tendangan itu bertenaga dalam cukup besar.
la bangkit dengan terhuyung-huyung. Si perempuan
tak mau membuang kesempatan. Melihat lawannya
mulai lemah, perempuan itu segera lepaskan
tendangan putar tiga kali.
Wut, wut, wut.. !
Sayang tendangannya tidak kenai sasaran karena
Suto Sinting telah berpindah tempat dengan
menggunakan jurus 'Gerak Siluman', yang
mempunyai kecepatan gerak seperti kecepatan
cahaya itu. Zlaaap. .! Tahu-tahu pemuda tampan itu sudah ada di bawah pohon
lagi, menenggak tuaknya
dari bumbung itu dengan santai, tindakan tersebut membuat beberapa mata yang
menyaksikan menjadi tercengang kagum dan terheran-heran
terhadap kecepatan gerak si Pendekar Mabuk.
"Edan! Orang kok gerakannya seperti setan
lewat!" gumam salah seorang penonton yang ada di samping kedai.
Pada saat itulah, perhatian mereka segera beralih ke arah selatan. Karena di
arah selatan terdengar suara ribut-ribut, jerit para perempuan bersahutan dan
ayam-ayam berkeok sambil beterbangan.
"Ada apa di sana itu. ."!" seru seseorang dari dalam kedai.
Pendekar Mabuk dan perempuan itu juga
memandang ke arah selatan. Mereka melihat orang-
orang berpakaian hitam sedang bikin keonaran
sambil tertawa-tawa.
Tiba-tiba perempuan itu segera melompat masuk
kedai melewati dinding kedai yang hanya separo
badan itu. Wuuut.. ! Pendekar Mabuk berkerut dahi dan mulai membatin.
"Mengapa dia kelihatannya takut dengan orang-orang itu"!"
Suto penasaran, kemudian ikut-ikutan melompat
masuk kedai lagi. Wees. .! la memandang
perempuan berbaju hijau yang tampak terburu-buru menuju dapur.
"Hei, tunggu. .!" seru Suto Sinting yang segera mengejarnya dengan beberapa
lompatan. Teeb. .! Tangan Suto berhasil mencekal pundak
perempuan itu. Si perempuan mengibaskannya
dalam satu sentakan putar. Wuuut...! Plaaak...!
Suto Sinting terpelanting dan membentur dinding.
Pada saat itulah ujung pedang perempuan tersebut
sudah berada di depan leher Suto dalam jarak
kurang dari setengah jengkal. Keadaan itu membuat Suto tak berani bergerak,
terlebih setelah melihat mata perempuan itu memancarkan kemurkaan yang
serius dan suaranya menggeram saat keluarkan
ancaman maut. "Berani menggangguku lagi, kurobek batang
lehermu sekarang juga!"
"Oh, hmmm, anu, eehh...," Suto agak gugup walau tersenyum malu dan salah
tingkah. "Kuharap hentikan ulahmu yang memuakkan itu!
Biarkan aku pergi hindari orang-orang Pulau Boneng itu!"
"Oh, ya. . tentu saja akan kubiarkan kau pergi.
Tapi.. mengapa kau harus pergi"! Kulihat jurus-
jurusmu tadi cukup hebat. Kurasa mereka bisa kau
tumbangkan dalam waktu singkat."
"Aku tak mau terlibat urusan dengan mereka, karena mereka terlalu lemah bagiku!"
"Lalu... lalu mengapa kau takut kepada mereka dan harus menghindar" Apakah
mereka mencarimu?" Suto bicara dengan senyum kaku
patah-patah, karena ia masih dalam ancaman
pedang runcing perempuan ter-sebut.
"Mereka menyangka aku orang Perguruan Tangan Besi! Mereka akan membunuhku,
karena mereka sedang bermusuhan dengan orang-orang Perguruan
Tangan Besi!"
"Oh, kurasa. . kurasa kau memang takut kepada mereka dan mengaku bukan orang
Perguruan Tangan Besi. Hmmm. . hanya segitukah nyalimu"!"
Pedang lebih ditekan lagi hingga ujungnya
menempel dingin di kulit leher Suto.
"Aku bukan orang Perguruan Tangan Besi,
Kunyuk!" geram perempuan itu. "Aku orang Teluk Sendu!"
Pendekar Mabuk terperanjat dalam hati
mendengar nama Teluk Sendu disebutkan. la segera
ingat Resi Parangkara dan si Manggar Jingga yang
kemarin bertemu dengannya. Namun sebelum Suto
mengatakan sesuatu, perempuan itu segera
turunkan pedangnya sambil menghempaskan napas
panjang-panjang.
"Sekali lagi kuingatkan, jangan menahanku di sini kalau kau ingin panjang umur!"
Perempuan itu berbalik dan ingin melangkah
keluar melalui pintu dapur kedai. Tapi Pendekar
Mabuk yang masih tetap berdiri merapat dinding itu segera berseru kepada
perempuan tersebut.
"Apakah kau kenal dengan Resi Parangkara dan Manggar Jingga"!"
Tiba-tiba langkah perempuan itu terhenti
bagaikan patung. la tak segera berpaling, namun seperti terkesiap kaget
mendengar ucapan Suto tadi.
"Kalau kau memang orang Teluk Sendu, kau pasti kenal dengan Resi Parangkara!"
Kini perempuan itu berbalik pelan-pelan dan
memandang Suto dengan dingin. la melangkah
lamban sampai akhirnya beradu pandang dalam
jarak satu langkah di depan Suto.
"Sejak kapan kau mengenal guruku?"
"Gurumu yang mana" Aku hanya kenal dengan
Resi Parangkara dan Manggar Jingga."
"Itu nama guruku! Manggar Jingga adalah adik seperguruanku!"
"O, kalau begitu kau adalah. ." Suto berpikir sejenak, lalu menyambung kata-
katanya lagi. "Kau adalah si Puting Selaksa"!!"
Perempuan itu menghempaskan napas lagi,
seperti membuang gumpalan murka yang
menyesakkan dada.
"Ya, aku memang Puting Selaksa!" ucapnya dengan tegas. "Siapa kau sebenarnya"!"
"Sahabat baru Resi Parangkara dan Manggar
Jingga," jawab Suto dengan senyum dingin. Wajah perempuan itu tetap datar tanpa
perubahan sedikit pun.
Anak gadis Ki Pulasoma menegur Suto dari
belakang. "Kang, kalau tarung mbok jangan di dapur. Nasi liwetku bisa hangus kalau begini.
Tarunglah di luar sana, mumpung sedang ada keributan!"


Pendekar Mabuk 084 Wanita Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pendekar Mabuk dan Puting Selaksa sama-sama
pandangi anak gadis si pemilik kedai itu.
* * * 3 KALAU saja Suto tidak berkata kepada Puting
Selaksa, "Tetaplah di dalam kedai, aku akan
mengusir orang-orang itu dulu. Kasihan penduduk
desa ini dibuat bulan-bulanan mereka. Nanti kita
teruskan percakapan kita," tentunya Pusing Selaksa sudah tinggalkan desa itu
melalui pintu dapur.
Tapi karena Pendekar Mabuk berpesan begitu,
maka Puting Selaksa tak jadi keluar dari kedai. la justru menonton cara Suto
menghadapi orang-orang
bergigi mancung yang ternyata adalah orang-orang
dari Pulau Boneng itu. Puting Selaksa menyaksikan hal itu dari belakang dua
pengunjung kedai yang tadi sedang makan saat Puting Selaksa cekcok dengan
Pendekar Mabuk.
Tujuh orang berpakaian serba hitam dan
berbadan besar-besar itu mengepung Suto setelah
salah seorang temannya dilemparkan oleh Suto
dengan satu tendangan kaki, hingga orang itu
terbang ke atas tinggi-tinggi dan jatuh terbanting bagaikan nangka busuk jatuh
dari pohon. Orang itu sempat mengalami patah tulang pada ujung pundak
kanannya. "Keparat busuk!" sentak seorang berikat kepala kuning dengan gigi seperti
centong nasi. "Apa kesalahan temanku ini hingga kau berani memperlakukan dia dengan seenak
perutmu, hah"!"
"Apa kesalahan penduduk desa ini sehingga
kalian bertindak seenak tengkuk kalian sendiri"!"
Suto Sinting balas bertanya sambil melecehkan
mereka. "Sikat sajalah! Jangan banyak tanya lagi!" seru seorang yang berada di samping
kiri Suto. Mata
Pendekar Mabuk mulai pandangi mereka satu
persatu dengan seulas senyum tipis tetap mekar di bibirnya.
"Hei, Bocah Edan. .!" seru yang berikat kepala kuning. Agaknya dia adalah ketua
dari delapan orang itu. "Ketahuilah, Bocah Edan. . kami datang ke sini karena mengejar buronan kami!
Seorang perempuan
berpakaian serba hijau telah melarikan diri masuk ke desa ini! Tapi orang-orang
desa ini mengaku tidak melihat perempuan itu! Mereka harus dipaksa
dengan cara sekasar apa pun supaya mau tunjukkan
di mana perempuan berpakaian serba hijau itu."
"Kalau perlu, paksa juga dia!" celetuk orang yang ada di belakang si ikat kepala
kuning Itu. Suto hanya melirik orang itu sekejap sambil menahan napas.
Kemudian orang berikat kepala kuning itu
berkata dengan suara lantang.
"Ya, kurasa kau pasti tahu perempuan itu ada di mana!"
"Mengapa kau mencarinya?" tanya Suto dengan kalem.
"Dia harus dibunuh! Karena dia adalah orang
Perguruan Tangan Besi!"
"Dia bukan orang Tangan Besi. Kalian salah duga!
Dia justru bermusuhan dengan orang Tangan Besi."
"Bohong!" bentak yang berikat kepala biru sambil maju dengan mencabut golok
besarnya dari pinggang. Sraaang...!
"Kami pergoki dia melarikan diri dari padepokan perguruannya!"
"Itu karena dia pergunakan kesempatan untuk
larikan diri dari padepokan itu!" bantah Suto setelah sebelumnya mendapat
penjelasan dari Puting
Selaksa tentang nasibnya yang tertawan oleh orang-
orang Perguruan Tangan Besi, karena ia akan
dinikahi oleh Ketua Perguruan Tangan Besi yang
bernama Jagalawa itu. Puting Selaksa ditawan di
kamar bawah tanah, sehingga tak seorang pun bisa
menemukannya, termasuk Resi Parangkara dan
Manggar Jingga yang gagal menemukan dirinya di
padepokan perguruan tersebut.
"Bukoro, hajar anak ingusan ini!" perintah orang berikat kepala kuning.
Orang yang bernama Bukoro itu berbadan penuh
tato di bagian dadanya. Baju hitamnya terbuka lebar, sehingga bagian dada dan
perutnya tampak jelas
dipenuhi oleh tato aneka gambar, termasuk gambar
naga, kelabang, pedang, piring, sendok, serbet
makan, dan sebagainya. Bukoro bertubuh tinggi
besar dan bermata lebar. Kumisnya lebat, tapi
kepalanya tandus alias gundul.
Dengan menggeram sangar Bukoro menghantam
wajah Suto kuat-kuat. Ceprooot.. !
Suto Sinting terpental dan jatuh terpelanting.
Tangan Bukoro mencengkeram punggung baju Suto,
lalu mengangkatnya dan menghantamkan kembali
kepalan tangannya yang sebesar kepala bayi itu.
Ceprrot...! Buuhk...! Plaak...! Buhk, buhk, buhk...!
Suto jatuh terkapar dan diinjak dadanya dengan
hentakan kaki kuat.
Baaahk...! "Uuhk...!"
Wajah Suto diinjak oleh kaki besar itu. Prrokk. .!
Lalu digilas-gilas kuat-kuat seperti mematikan
puntung rokok. "Hhmmrr...! Modaaarr... modaaar...
modaaaaarr.. !!" geram Bukoro dengan wajah bengis.
Orang-orang yang menyaksikan adegan itu saling
terbengong melompong, termasuk Puting Selaksa
sendiri. Mereka melihat jelas Suto Sinting
dihancurkan oleh Bukoro, sementara Suto tidak
memberi perlawanan atau tidak menghindar sedikit
pun. Bahkan ketika Bukoro menginjak perut Suto,
lalu kaki kanannya menghentak-hentak di dada
Suto, anak muda yang tampan itu tetap tidak
melakukan perlawanan.
Tetapi yang membuat para penonton terkesima
dan terbengong melompong tanpa suara adalah
tingkah orang-orang Pulau Boneng lainnya itu. Para pengepung Suto Sinting
berjatuhan, mengerang
kesakitan, berlumur darah, terkapar dengan
menghentak-hentak. Bahkan ada beberapa orang
yang menyemburkan darah segar dari mulutnya saat
Bukoro menjejakkan kakinya ke dada Suto berkali-
kali. Orang berikat kepala kuning juga mengalami
nasib serupa; babak belur dan nyaris hancur.
"Aaahk, uuhk... heeehk... aaooh...."
Seruan kesakitan yang terlontar dari mulut para
pengepung itu tidak dihiraukan oleh Bukoro. Orang berdada penuh tato itu justru
semakin bernafsu ingin meremukkan kepala Suto dan jika bisa
menghancurkan sekujur tubuh anak muda tersebut.
la melonjak-lonjak di atas perut dan dada Suto bagai anak kecil kegirangan
setelah mendapat permen
dari ayahnya. "Modar, modar, modar, darmo, darmo, darmo. .!"
geram Bukoro, lalu berhenti sendiri dan berkata,
"Lho, Darmo itu kan nama mertuaku"!"
Saat itulah Bukoro terkejut melihat tujuh
temannya terkapar dalam keadaan terluka parah.
Wajah mereka bukan saja memar, namun menjadi
bonyok seperti mangga busuk terinjak-injak. Bahkan si ikat kepala kuning giginya
yang mancung itu
sempat pecah dan berlumur darah.
Bukoro turun dari atas tubuh Suto Sinting.
Matanya memandang tegang ke sana-sini, dan
segera menyadari bahwa tinggal dirinya sendiri yang masih bisa berdiri tegak di
antara ketujuh temannya.
Sedangkan Pendekar Mabuk segera bangkit dan
berdiri dengan kaki sedikit merenggang. la tampak sehat, segar, tak mengalami
luka sedikit pun.
Bahkan ia sempat sunggingkan senyum ketika
melirik ke arah kedai, dan melihat Puting Selaksa memandang tegang dari balik
pohon. Puting Selaksa tadi nyaris maju menerjang
Bukoro ketika melihat Suto diinjak-injak dan dihajar habis-habisan tanpa memberi
perlawanan. Puting
Selaksa sempat merasa jengkel kepada Suto yang
tak mau membalas serangan lawan. Tapi begitu ia
melihat tujuh orang Pulau Boneng itu mengalami
luka parah, rata-rata pecah gigi, maka Puting
Selaksa tunda niatnya dan membatin dalam hatinya.
"Gila! Ilmu apa yang dipakai oleh pemuda sinting itu"! Dia yang dihajar habis-
habisan tapi justru
teman lawannya yang menjadi hancur dan babak
belur begitu"! Benar-benar sinting ilmu si kunyuk tampan itu!"
Tentu saja Puting Selaksa ataupun siapa saja
terheran-heran, sebab mereka tidak tahu bahwa
Pendekar Mabuk mempunyai ilmu 'Alih Raga' yang
digunakan jika dalam keadaan terkepung lawan
lebih dari lima orang. Ilmu 'Alih Raga' itu digunakan pada saat Suto memandangi
para pengepungnya
satu persatu. Pada saat itulah, seluruh rasa yang ada pada raga Suto dialihkan
ke raga lawan-lawannya.
Maka ketika Suto dipukul keras-keras, yang merasa sakit adalah para
pengepungnya. Begitu pula ketika Suto Sinting di njak-injak Bukoro, yang merasa
terinjak-injak adalah para pengepungnya.
Ilmu langka pemberian dari si Gila Tuak itu kini
telah dicabut kembali oleh Suto dengan cara
memandangi lawannya satu persatu. Terakhir
kalinya, Suto memandang Bukoro yang wajahnya
menjadi merah padam karena tujuh temannya
dalam keadaan bonyok dan luka parah. Bukoro
mulai sadar bahwa ia telah diperdaya oleh ilmunya si pemuda tampan itu. Bukoro
menjadi semakin
berang. Maka ia pun berteriak melepaskan
murkanya sambil menuding Suto.
"Kau telah menggunakan ilmu setan keparat itu,
hah"! Sekarang saatnya kau dan aku beradu nyawa
sampai mati! Heeaaaahh. .!!"
Bukoro berlari dua langkah lalu melompat
menerjang Suto. Tapi dengan gerakan jurus
mabuknya yang menggeloyor seperti mau tumbang,
terjangan Bukoro berhasil dihindari oleh Pendekar Mabuk. Tubuh orang tinggi
besar itu nyelonong lewat atas pundak Suto. Ketika kakinya mendarat di tanah
belakang Suto, tiba-tiba ia dikejutkan oleh
datangnya sesuatu dari atas bagaikan turun dari
langit. Sesuatu yang bergerak itu tak lain adalah tubuh Pendekar Mabuk yang
bersalto ke belakang.
Tubuh itu melambung dan kedua kakinya hinggap di
pundak kanan-kirinya Bukoro. Jleeg. .! Kemudian
kepalan tangan Suto menghantam ubun-ubun
Bukoro dengan keras. Proook. .!
"Huaaaaaa. .!!" Bukoro menjerit keras-keras, telinganya semburkan darah dan
mulutnya pun memuncratkan darah segar. la mendelik dalam
keadaan berdiri kaku, sementara Pendekar Mabuk
lakukan lompatan bersalto ke depan satu kali.
Wuuuk. .! Begitu tiba di tanah, kakinya menendang ke belakang dengan kuat.
Wuuut, buuhk. .!
"Huaaahk. .!" pekik Bukoro sambil tersentak.
Tubuh tinggi besar bertato banyak itu tumbang
mencium tanah bagaikan pilar runtuh. Brrrruuk. .!
"Oooooohhkk...!"
Bukoro mengerang-ngerang seperti kerbau tak
mampu telentang. Kedua tangan dan kakinya
mengais-ngais tanah, seakan tak mampu menopang
tubuhnya untuk bangkit kembali.
Zlaaap...! Tiba-tiba Pendekar Mabuk bagaikan hilang dari
tempatnya. Padahal ia bergerak cepat pindah
tempat dengan menggunakan jurus 'Gerak Siluman'-
nya. Tahu-tahu ia sudah berada di belakang Puting Selaksa dan membuka bumbung
tuaknya, lalu menenggak tuak tiga tegukan.
Glek, glek, glek...!
Mendengar suara tegukan orang minum, Puting
Selaksa cepat palingkan pandang ke belakang. la
terkejut melihat Pendekar Mabuk sudah ada di
belakangnya. Namun rasa kagetnya itu
disembunyikan rapat-rapat, sehingga ia tetap
kelihatan tenang, seakan tak mempunyai rasa
kagum sedikit pun terhadap ilmu yang dimiliki
Pendekar Mabuk itu.
"Kurasa sudah saatnya kita tinggalkan desa ini, Puting Selaksa."
Perempuan itu menarik napas mempertenang
dirinya agar tampak lebih tegar dan lebih mantap
dalam bersikap.
"Bagaimana dengan orang-orang itu?"
"Apakah kau inginkan aku mengantar pulang
mereka satu persatu?"
"Yang kumaksud, mereka akan menuntut balas
padamu! Sekarang kau menjadi punya urusan
dengan orang-orang Pulau Boneng itu."
"Lebih baik mereka berurusan denganku daripada harus mengganggu penduduk desa
yang tak berdosa
itu!" tegas Pendekar Mabuk yang membuat Puting Selaksa tarik napas lagi.
Kemudian ia melemparkan pandangannya kepada orang-orang Pulau Boneng
itu. Mereka saling berdiri dengan mengerang
kesakitan. Si pemakai ikat kepala kuning
memerintahkan anak buahnya untuk segera pergi.
Maka mereka pun segera pergi dengan
sempoyongan bagai tak bertenaga lagi. Bahkan
Bukoro sebentar-sebentar jatuh merangkak karena
menahan luka parah yang nyaris melenyapkan
nyawanya. "Laforkan fada ketua!" ucap orang berikat kepala kuning itu dengan bahasa yang
kacau karena kerusakan giginya membuat ia tak bisa
menyebutkan huruf P.
Ketika Puting Selaksa berpaling ke belakang


Pendekar Mabuk 084 Wanita Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk bicara lagi dengan Pendekar Mabuk, ternyata pemuda itu sudah berada jauh
dari langkahnya. Suto sedang menuju ke perbatasan desa. la ingin
meninggalkan desa tersebut.
"Aku perlu bicara dengannya!" ucap Puting Selaksa yang segera mengejar Suto
dengan langkah peringan tubuh yang cukup tinggi.
Wes, wes, wes...!
Ketika menengok ke belakang, Suto melihat
perempuan berpakaian hijau sedang mengejarnya.
la pun segera menggunakan jurus 'Gerak Siluman'
untuk menguji kecepatan gerak perempuan itu.
"Dapatkah ia menyusulku"!"
Zlaaap, zlaaap. .!
Wees, wees, wees. J
Zlap, zlap, zlap. .!
"Tungguuu. .!" teriaknya dari kejauhan.
Pendekar Mabuk tertawa sendiri, merasa unggul
dalam gerakan. Tanpa terasa mereka sudah berada
jauh dari desanya Ki Pulasoma. Pendekar Mabuk
sengaja hentikan langkah di balik gugusan batu
sebesar rumah yang ada di kaki bukit cadas tak
seberapa tinggi itu. Bayangan batu besar itu
menciptakan keteduhan tersendiri. Hembusan angin
dari pepohonan di sekitar tempat itu begitu semilir menyejukkan.
Beberapa saat setelah Suto duduk di bawah batu
besar itu, Puting Selaksa baru sampai dan segera
hentikan langkahnya begitu melihat Suto ada di
tempat itu. la menghembuskan napas panjang,
sepertinya merasa lega karena Suto ada di situ. la tadi sempat menyangka
kehilangan jejak Pendekar
Mabuk, sehingga ia sempat dibuat cemas oleh
dugaannya sendiri.
Pendekar Mabuk hanya sunggingkan senyum
ketika perempuan itu menatapnya tanpa seulas
senyum sedikit pun. Wajah si Puting Selaksa justru tampak dingin dan berkesan
angkuh-angkuh galak.
Tepian matanya yang berwarna hitam itu sempat
merentangkan bulu kuduk Suto saat dipandang
selama dua helaan napas.
"Mengapa kau memandangku demikian?" tanya Suto pada akhirnya.
"Kau belum menyebutkan namamu!" jawab
Puting Selaksa dengan tegas.
Pendekar Mabuk tertawa pelan sambil lemparkan
pandangan ke arah lain.
"Panggil saja aku: Suto!"
"Suto siapa"!" desak Puting Selaksa sambil mendekat. la masih berdiri di depan
Pendekar Mabuk, sehingga tubuhnya yang tinggi itu membuat
Pendekar Mabuk terpaksa memandang dengan
sedikit mendongak.
"Apakah aku perlu menyebutkan nama
lengkapku?"
"Perlu!"
Suto tertawa pendek. "Baiklah. Nama lengkapku: Suto Sandi Irawan Nayaka Teja
Indra Nuri Gana. . "
"Itu nama penduduk kampung mana saja?"
"Itu nama lengkapku. Cuma, orang-orang sering menyingkat nama belakangku itu
menjadi Suto Sinting." "Hmmm. .," Puting Selaksa manggut-manggut.
"Jadi kata Sinting tadi adalah kependekan dari nama panjangmu itu?"
"Betul."
"Siapa tadi nama panjangmu?"
"Hmmm. . ah, lupa!" ujar Suto sambil tertawa
sendiri. Puting Selaksa hanya tersenyum tipis
berkesan sinis.
* * * 4 SEBUAH batu setinggi betis dipakai duduk oleh
Puting Selaksa. la duduk menghadap ke arah Suto
dengan kaki merenggang tegak. la tidak seperti
layaknya seorang perempuan jika duduk berhadapan
dengan lelaki. la kelihatan mantap dan gagah,
sedangkan Suto Sinting duduk di batu yang lebih
rendah dari tempat duduk Puting Selaksa.
"Lahiriahnya saja perempuan. Jangan-jangan
jiwanya lelaki tulen," pikir Suto Sinting dengan usil, lalu ia tertawa sendiri
dalam hatinya. "Aku kagum dengan ilmu yang kau pakai
melawan delapan orang tadi," ujar Puting Selaksa terang-terangan. Agaknya ia
seorang perempuan
yang sportif, selalu mengakui keunggulan lawan dan tak malu mengakui
kekurangannya. Sambungnya
lagi dengan siku menopang di pahanya.
"Berapa lama kau terjun ke rimba persilatan?"
"Baru saja," jawab Suto Sinting seenaknya.
"Mengapa kau tanyakan hal itu?"
"Gerakanmu sudah bisa dianggap sempurna."
"Tidak ada yang sempurna bagi manusia," ujar Suto setelah tersenyum meremehkan
pujian tak langsung itu. "Menang atau kalah, bagiku tak penting.
Sekarang yang sedang kupikirkan bukan dendam
orang-orang bergigi mancung itu, tapi justru keadaan dirimu."
"Keadaan yang bagaimana maksudmu?" tanya Puting Selaksa dengan suaranya yang
agak besar dan sedikit serak itu.
"Mengapa kau sampai ditawan oleh orang-orang Perguruan Tangan Besi, sementara
Manggar Jingga dan gurumu kebingungan mencarimu?"
"Di kedai itu sudah kujelaskan, Ketua Perguruan Tangan Besi yang bernama
Jagalawa sangat
bernafsu sekali untuk memperistriku. Tapi aku
menolak dan menyatakan lebih baik mati di
tangannya daripada menjadi istrinya yang keempat!"
"Yang keempat" Wow. ."!" Suto mendelik sambil tertawa pendek.
"Tapi rupanya Jagalawa tetap bersikeras berusaha memperistriku. Dia sengaja
menyiksaku dalam
kamar tahanan di bawah tanah. Aku tak diberi
makan selama tujuh belas hari, tak mendapat
cahaya selama tujuh belas hari, dan selama itu pula aku tak diizinkan tidur.
Setiap aku mau tertidur, pintu terali yang dilapisi tenaga dalam itu dipukul
keras-keras oleh penjaganya, sehingga aku tersentak bangun."
"Sebesar itukah cinta si Jagalawa kepadamu?"
"Dia tidak mencintaiku!" ujar Puting Selaksa
setelah tersenyum pendek dan sinis sekali itu.
"Kalau tak mencintaimu, mengapa ia bersikeras memperistrimu" Apakah ketiga istri
Jagalawa tak ada yang secantik dirimu?"
Puting Selaksa melirik sebentar, kesannya seolah-
olah ia tak suka dipuji kecantikannya secara tak
langsung. Namun Suto yang sudah berpengalaman
menelusuri seluk-beluk hati perempuan itu yakin
betul, bahwa Puting Selaksa berdebar-debar saat
dirinya dipuji sebagai perempuan yang cantik.
"Ketiga istri Jagalawa mempunyai kecantikan
yang lebih tinggi dariku," kata Puting Selaksa sambil memainkan ranting kering
sepanjang satu jengkal.
"Tetapi anehnya, ketiga istri Jalagavva itu ikut membantu membujukku agar mau
diperistri oleh
Jagalawa."
"Aneh. ."!" gumam 'Suto Sinting. "Mengapa mereka sampai begitu?"
"Jika aku mau menjadi istri Jagalawa, maka aku akan diberi hak dan kuasa lebih
tinggi dari ketiga istrinya itu, dan aku akan diangkat menjadi ketua dua dalam
perguruan tersebut. Bahkan Jagalawa
bersedia turunkan seluruh ilmunya kepadaku."
Pendekar Mabuk manggut-manggut sambil
menggumam pelan.
"Sepertinya ada sesuatu pada dirimu yang
dipandang sangat istimewa oleh Jagalawa."
"Memang begitu," jawab Puting Selaksa. "Dan orang yang berniat memperistriku
seperti Jagalawa
sudah ada empat lelaki. Salah satu di antaranya
adalah Adipati Wijanarka."
"Baru kudengar nama itu," gumam Suto.
"Adipati Wljsnarka bersedia menyerahkan separo bagian dari wilayah kadipatennya
menjadi tanah milikku jika aku mau menjadi istrinya. Bahkan
separo kekayaan sang Adipati akan menjadi hak
milikku, ia bersedia menceraikan kedua istrinya dan hanya beristrikan satu
perempuan saja, yaitu aku
seorang. Tapi... lamaran itu pun kutolak."
"Hebat! Hebat sekali bualanmu," ucap Suto lirih.
"Aku tidak membual. Tapi kalau kau merasa
sedang kubohongi, sebaiknya keteranganku cukup
sampai di sini saja!" tegas Puting Selaksa yang tersinggung dengan gumam
Pendekar Mabuk tadi.
"Aku hanya bercanda," kata Suto sambil nyengir.
"Teruskan ceritamu itu. Aku suka mendengar cerita seperti itu."
Puting Selaksa melirik dingin, karena ia tahu
ucapan Suto itu tidak tulus, dan hanya sebagai
pujian pemancing semangat belaka. la membiarkan
Pendekar Mabuk menenggak tuaknya, bahkan
sempat terbungkam sambil merasakah semilir angin
di keteduhan itu.
"Aku menyimaknya dengan sungguh-sungguh,
Puting Selaksa. Teruskan ceritamu itu," bujuk Pendekar Mabuk sambil pandangi
wajah cantik yang
mempunyai bibir agak tebal namun sensual itu.
"Seorang saudagar dari tanah seberang juga ingin
melamarku dan memberi jaminan kekayaan yang
tak habis dimakan tujuh turunan. Saudagar Itu
sempat memaksaku dengan menyuruh orang
kepercayaannya untuk melumpuhkan ilmuku. Orang
kepercayaan saudagar ini sampai sekarang masih
mengejar-ngejarku terus. Tapi tentunya ia kehilangan jejakku ketika aku tertawan
oleh Jagalawa."
Sehelai daun melayang jatuh di pangkuan Suto
Sinting. Pendekar Mabuk memungutnya dan daun
itu dipermainkan secara iseng sambil mengomentari ucapan Puting Selaksa tadi.
"Secara jujur saja dan jangan tersinggung,
menurutku kau perempuan yang wajar-wajar saja.
Tak kulihat ada sesuatu yang istimewa pada dirimu, kecuali bentuk tubuhnya yang
tinggi, kekar dan
mengagumkan. Kecantikanmu adalah kecantikan
yang wajar. Secara sepintas aku tadi mengukur
ilmumu, juga termasuk wajar-wajar saja. Artinya,
ilmu yang kau miliki memang cukup tinggi, tapi tidak mempunyai keistimewaan.
Misalnya saja, kau bisa
menembus matahari atau bisa membuat rembulan
runtuh ke bumi. Tidak begitu!"
"Aku suka dengan caramu menilai!" kata Puting Selaksa dengan tegas sambil
matanya menatap
dengan berani kepada Pendekar Mabuk.
"Tapi yang kuherankan, mengapa seorang adipati, seorang saudagar, seorang ketua
perguruan, dan yang lainnya. . begitu bernafsu sekali ingin
memperistrimu"! Apakah mereka terkena 'aji
pengasihan' darimu?"
Puting Selaksa tampakkan senyum sinisnya.
"Tak ada dalilnya dalam hidupmu untuk
menggunakan 'aji pengasihan' seperti dugaanmu.
Lelaki kalau diberi 'aji pengasihan' kelak akan
menjadi kekasih yang ngelunjak!"
"Heh, heh, heh. .! Kurasa tidak semua lelaki berani ngelunjak padamu. Kau
perempuan yang keras, tegar, berani, dan keras kepala!"
"Itu kuakui, karena mereka yang bernafsu sekali untuk memperistriku juga
menilaiku begitu. Hanya
saja, menurut mereka, aku adalah Wanita Keramat
yang harus bisa mereka nikahi."
"Wanita Keramat bagaimana"!" tanya Suto Sinting dengan dahi berkerut.
Puting Selaksa memandang Pendekar Mabuk tak
berkesip. Pandangan itu begitu tajam, sempat
membuat hati Suto bergetar. Getaran tersebut sukar diartikan, sehingga Suto
sendiri hanya bisa
membatin dalam hatinya,
"Baru sekarang aku menerima pandangan mata
seperti ini. Apa arti getaran dalam hatiku ini"! Oh, aku jadi resah sendiri.
Gila! Kenapa aku menjadi takut kepadanya setelah ditatap sedemikian rupa"
Takut tapi suka. Aneh sekali perasaanku kali ini"!"
Bibir sensual itu bergerak-gerak mengucapkan
kata pelan, namun berwibawa.
"Saat bulan purnama yang lalu, ketika aku
melintasi puncak sebuah bukit yang bernama Bukit
Taman Langit, tiba-tiba cahaya rembulan bersinar
merah seperti bara...."
* * * Puting Selaksa terkejut ketika cahaya rembulan
tampak merah membara. la sempat hentikan
langkahnya dan memandangi rembulan yang
berubah menjadi merah itu. Tapi cahaya di
sekelilingnya masih terang selayaknya bulan
purnama. "Aneh. Mengapa rembulan menyorotkan cahaya
merah" Cahaya itu seolah-olah hanya tertuju untuk diriku. Padahal.. oh, di
tempat lain cahayanya masih terang, kuning keperakan," pikir Puting Selaksa kala
itu. la memandangi alam sekeliling, kemudian
menatap tangannya sendiri.
"Oh, tanganku menjadi merah. Kulitku merah
seperti buah ranum" Apa yang terjadi pada diriku
ini?" Cahaya merah itu makin lama semakin terang.
Cahaya tersebut berbentuk seperti lampu sorot yang khusus untuk menyinari tubuh
Puting Selaksa.
Ketika ia mencoba bergerak ke belakang, cahaya
merah itu mengikutinya. Ke mana pun ia bergerak,
cahaya merah tetap menyinarinya. Puting Selaksa


Pendekar Mabuk 084 Wanita Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memandang kepada rembulan.
"Nyata-nyata dari rembulan datangnya. Oh,
cahaya apa ini" Dari sana berbentuk kecil makin
lama semakin melebar dan menyinariku dalam
bentuk sinar bulat. Tiga langkah maju ke depan, aku akan keluar dari cahaya
merah ini. Akan kucoba
lagi." Puting Selaksa melangkah empat langkah, ia
memang keluar dari lingkaran cahaya merah. Tetapi lingkaran cahaya itu segera
bergerak dan Puting
Selaksa berada di tengah lingkaran cahaya lagi.
Hati perempuan itu berdebar-debar. Jantungnya
sempat berdetak cepat, ia diliputi rasa takut yang menegangkan. Tetapi rasa
ingin tahu keanehan itu
mendesak hatinya terus untuk tetap mengikuti
perkembangan selanjutnya,
"Biarlah aku terlambat pulang, kurasa Guru tak akan marah jika kuceritakan
pengalaman aneh ini.
Bahkan mungkin Kakek Guru dapat menjelaskan
makna sinar merah dari rembulan ini. Sebaiknya. . "
Ucapan batin itu terhenti, karena tiba-tiba cahaya merah jambu itu berubah
menjadi kehijau-hijauan.
Tiga helaan napas kemudian, cahaya hijau itu
semakin terang dan semakin nyata. Puting Selaksa
semakin takut, sebab sekarang kulit tubuhnya
menjadi hijau. Makin lama warna hijaunya semakin
bening, dan tubuh Puting Selaksa seluruhnya pun
menjadi hijau bening seperti kristal. Tentu saja
menjadi sangat tegang dan panik.
"Ooh..."! Kakiku..." Kakiku tak bisa terangkat lagi" Celaka!"
Puting Selaksa mencoba mengerahkan tenaga
dalam untuk mengangkat kakinya, tetapi kaki itu
bagai tertanam kuat ke dalam tanah, sukar diangkat atau digeser sedikit pun.
"Hei ..."! Ke mana pakaianku" Mengapa aku jadi tidak berpakaian" Dan. . dan...
hei, di mana pedangku" Ooh... celaka! Jurusnya siapa ini yang
menyerangku"!"
Makin berusaha mengangkat kaki, makin sesak
pernapasan Puting Selaksa. Pandangan matanya
pun mulai buram. Pada awalnya, apa yang
dipandang menjadi serba hijau; tanah hijau, batu
hijau, batang pohon hijau, daun. . memang hijau dari dulu. Tapi rembulan juga
ikut-ikutan berwarna hijau.
Bahkan langit, awan dan bintang pun tampak
berwarna hijau indah. Sekalipun segalanya tampak
indah, namun Puting Selaksa tetap diliputi rasa takut terhadap keanehan
tersebut. Beberapa saat, pandangan yang serba hijau itu
memburam. Makin lama semakin buram, akhirnya
gelap. Gelap sama sekali.
"Ooh..,"! Aku telah menjadi buta"! Tapi... tapi napasku... aduh, sesak sekali.
Haaahk... hhaaahk...!"
Pada saat napas terasa semakin sesak, dada
bagai dibakar api, darah bagaikan mendidih, Puting Selaksa mendengar suara
bergema samar-samar.
"Malam keberuntunganmu tiba, Anakku. Kau telah melintasi jalur keramat pada
tempat dan waktu sangat tepat. Bersiaplah menjadi wanita yang penuh
keberuntungan, bertabur cinta dan takhta. Tetapi ingat, jangan kau cemari
kesucianmu dengan darah kemesraan lelaki yang bukan suamimu. Jika kau cemari,
maka Rona Dewaji akan pergi darimu. Darahmu hanya boleh bercampur dengan darah lelaki yang
memperistri dirimu secara sah. Tapi kuberikan kebebasanmu untuk memilih seorang
suami yang sesuai dengan hatimu. Jika sudah kau dapatkan, menikahlah dengannya
maka seluruh keberuntungan akan menjadi milik keturunanmu. Ingat, jangan sampai Rona Dewaji
hilang karena pencemaran itu. Ingat, Rona Dewaji ada padamu, Rona Dewaji ada
padamu, Rona Dewaji...."
Seterusnya Puting Selaksa tak bisa
mendengarnya lagi. Perempuan itu tak sadarkan diri, sukmanya bagai melayang-
layang di sela-sela awan
berwarna-warni. Awan-awan itu bergumpal
membentuk keindahan tersendiri. Seakan ia terbang di atas taman langit. Rasa
bahagia, rasa senang,
rasa gembira, semua bercampur menjadi satu
menyelimuti hatinya. Perasaan itu tak bisa diuraikan dengan kata-kata lagi.
Ketika ia siuman, ternyata ia sudah berada di tepi pantai. Pantai itu tak jauh
dari Teluk Sendu, tempat kediaman gurunya; Resi Parangkara. Keadaan
tubuhnya telah normal kembali. Pakaiannya tetap
rapi, seakan tak pernah ada yang melepasnya.
Badannya pun terasa segar, tanpa mengalami luka
dan rasa sakit sedikit pun. Namun ingatan Puting
Selaksa tentang bulan bersinar hijau itu masih jelas dan jelas sekali. Seakan
peristiwa itu tak akan bisa dilupakan seumur hidupnya.
Peristiwa tersebut segera diceritakan kepada
sang Guru pada saat Manggar Jingga tidak ada di
tempat. Resi Parangkara sempat terkejut saat
mendengar turunnya cahaya hijau dari tengah
rembulan itu. Sang Guru yang biasanya kalem, saat itu menjadi tegang dan sangat
antusias mendengarkan cerita Puting Selaksa.
"Apakah aku bermimpi pada saat itu, Guru" Atau aku sedang diguna-guna oleh
seseorang yang berilmu tinggi!"
"Tidak, Muridku!" jawab sang Guru dengan tegas.
"Kau telah terpilih oleh Dewata untuk menerima Rona Dewaji."
"Apa itu Rona Dewaji, Guru?" Puting Selaksa memandang dengan dahi berkerut.
"Rona Dewaji adalah 'gaib kekuatan kasih' yang dimiliki para dewa di kayangan
sana yang akan membawa keberuntungan, kebahagiaan, dan
kesehatan bagi siapa pun yang mendapatkannya."
Puting Selaksa manggut-manggut, tampak serius
sekali mendengarkan penjelasan sang Guru, sampai-
sampai ia tak sadar kalau bibirnya agak memble
dan air liurnya hampir jatuh.
"Dalam perhitungan leluhur kita, turunnya Rona Dewaji itu dinamakan 'Malam
Anggoro Asin'. Dan
istilah malam itu dipakai untuk sepasang pengantin baru. Artinya, seluruh
kebahagiaan, keberuntungan dan kesehatan menjadi milik kedua mempelai
tersebut."
"Apakah ada bahayanya bagi hidupku, Guru?"
"Sama sekali tidak ada. Satu-satunya bahaya
akan datang dari sesama manusia sendiri. Jika hal ini kau ceritakan kepada
perempuan lain, maka kau bisa dibunuh olehnya, terutama bagi perempuan
yang berjiwa sirik dan merasa iri dengan
keberuntunganmu," jawab Resi Parangkara dengan jelas sekali. "Karenanya kuminta
jangan kau ceritakan peristiwa itu kepada adikmu: si Manggar Jingga. la akan merasa menjadi
perempuan yang tidak beruntung dan minder kepadamu."
"Baik, akan kurahasiakan hai ini dari para
perempuan mana pun juga."
"Bahaya itu juga bisa datang dari kaum lelaki yang bernafsu ingin memperistrimu,
terutama jika lelaki itu tahu bahwa kau adalah perempuan yang
memiliki Rona Dewaji."
"Tapi pada waktu itu tak ada siapa pun, Guru.
Apakah mungkin ada lelaki yang bisa mengetahui
keadaan diriku?"
"Menurut penglihatanmu memang begitu. Tapi
ketahuilah, jika pada malam itu ada seorang lelaki yang melakukan semadi,
sekalipun di seberang
samudera atau di ujung dunia, maka kepekaan
batinnya akan dapat melihat dan mendengar
peristiwa itu. la akan melihat apa yang kau lihat, dan mendengar apa yang kau
dengar. Bisa-bisa lelaki itu akan memburumu atau membujukmu untuk
dijadikan istrinya. Dan jika ia kecewa atas
penolakanmu, bisa-bisa jiwa sesatnya akan muncul, lalu ia akan berusaha
membunuhmu, supaya lelaki
lain pun tidak mendapatkan keuntungan darJmu."
"Sepertinya tak masuk akal sama sekali, Guru."
"Jangan menerima kenyataan ini dengan akal dan pikiran, karena peristiwa yang
kau alami hanya bisa diterima oleh kekuatan batin," ujar Resi Parangkara dengan
penuh kesabaran. "Siapa pun lelaki yang mengetahui bahwa kau mempunyai kekuatan
Rona Dewaji, maka ia akan berusaha keras untuk dapat
memperistrimu. Sebab, seluruh keturunanmu kelak
akan menjadi raja atau penguasa dan hidupnya
akan berlimpah kebahagiaan, kekayaan,
kedamaian, serta berderajat tinggi. Kau pun
bersama suamimu akan begitu."
Puting Selaksa menarik napas dalam-dalam. Ada
keceriaan membias di wajah cantiknya. Tapi
batinnya masih diliputi keraguan dan menganggap
hal itu suatu falsafah kuno peninggalan leluhur
mereka. Resi Parangkara tambahkan penjelasannya lagi.
"Tapi kau harus benar-benar tetap suci. Ingat, kau harus benar-benar tetap
suci." "Jadi, aku tak boleh bermesraan dengan seorang kekasih?"
"Bermesraan boleh, tapi jangan sampai darah kemesraan lelaki itu tumpah dan
membaur dalam tubuhmu. Itu yang dinamakan pencemaran. Seratus
kali kau memeluk lelaki, seratus kali kau dicium
oleh seratus jenis lelaki, itu tidak apa-apa. Tapi jika setetes darah kemesraan
lelaki itu tumpah dan
masuk dalam tubuhmu, maka kekuatan Rona
Dewaji hilang seketika itu juga. Tapi jika lelaki itu sudah sah menjadi suamimu,
mau tumpah seember
pun bebas. Tak akan membuat Rona Dewaji hilang
dari dirimu. Jelas?"
"Jelas, Guru!" sambil Puting Selaksa mengangguk tegas.
"Ingat, godaan cinta akan datang beruntun
padamu. Kau harus pandai-pandai membawa diri,
pandai-pandai mengendalikan nafsu batinmu...,"
Sejak itu, Puting Selaksa selalu berusaha
menjauhi lelaki. la hanya ingin memilih lelaki calon suaminya dari jarak jauh
saja. Sikap menjauhi lelaki adalah sikap berjaga-jaga agar tak terjebak dalam
godaan cinta. Tetapi ternyata godaan itu timbul bukan dari
orang lain, tapi juga dari dalam diri Puting Selaksa sendiri. Godaan dari dalam
dirinya itu berupa
membaranya sang gairah. Hasrat ingin bercumbu
selalu meletup-letup dalam dada Puting Selaksa,
sampai-sampai ia sering mimpi bercinta dengan
seorang lelaki dan mencapai puncak keindahannya.
Untuk mengatasi berkobarnya gairah cinta, Puting
Selaksa sering menyibukkan diri dengan kegiatan
yang bersifat menguras tenaga. Bahkan setiap hari ia berlatih jurus-jurus yang
pernah diajarkan oleh sang Guru agar pikiran dan khayalannya tidak tertuju pada
kencan dengari lelaki.
"Ternyata melawan godaan dari dalam diri sendiri
lebih berat dibandingkan bertarung melawan orang
lain," pikir Puting Selaksa kala merenungkan hal itu.
Walaupun sejauh ini, Puting Selaksa masih mampu
bertahan untuk tidak bercumbu dengan seorang
lelaki, tetapi setiap tidur mimpinya selalu tentang bercumbu dengan lawan
jenisnya. * * * Pendekar Mabuk menarik napas begitu Puting
Selaksa hentikan penuturan kisah tersebut. Bahkan pemuda tampan itu sempat
menenggak tuaknya lagi
sambil merenungkan seluruh cerita tersebut,
"Karenanya, ketika aku berada dalam penjara
bawah tanah dan mengalami siksaan kasar dari
Jagalawa, aku merasa punya keuntungan sendiri
dalam menerimanya. Aku tak pernah tidur, dan
dengan begitu tak pernah bermimpi tentang
cumbuan. Aku merasa sakit hati, sehingga hasrat
ingin bercumbu hilang,"
Suto tersenyum mendengarnya, tapi Puting
Selaksa tak pedulikan senyum yang bernada
mengejeknya itu. la tetap bicara walau tanpa
memandang Pendekar Mabuk.
"Begitu aku berhasil lolos dari penjaranya si Jagalawa, aku dikejar-kejar orang
Pulau Boneng. Tapi aku sempat bersembunyi dan tertidur cukup
lama. Mimpi itu hadir lagi dan membuat hasratku
menyala-nyala kembali. Oleh sebab itulah, ketika di kedai aku tak ingin ditemani
oleh pria mana pun
juga, karena aku takut tergoda oleh hasratku
sendiri." "Tapi...," potong Pendekar Mabuk. "Apakah Jagalawa, Adipati Wijanarka dan orang-
orang yang bernafsu ingin memperistrimu itu juga tahu bahwa
kau adalah perempuan yang mendapatkan Rona
Dewaji?" "Tentunya mereka tahu, sebab mereka
menyebutkan Wanita Keramat. Mungkin pada waktu
itu Jagalawa sedang lakukan semadi, sehingga ia
melihat dan mendengar dengan batinnya tentang
peristiwa yang kualami itu. Atau seorang petapa
yang menjadi kenalan mereka memberi tahukan
Pendekar Muka Buruk 6 Jaka Sembung 9 Membabat Kiyai Murtad Sepasang Pedang Iblis 23
^