Pencarian

Asmara Di Ujung Pedang 3

Pendekar Naga Putih 19 Asmara Di Ujung Pedang Bagian 3


"Heaaat..!"
Dibarengi bentakan nyaring, pemimpin perampok itu bergerak maju tanpa
menggunakan senjata. Sesaat kemudian, lelaki kurus berwajah brewok yang
merupakan wakilnya, ikut pula bergerak maja la juga menggunakan tangan kosong.
"Haiitt...!"
Anggini melompat tinggi menyambut serangan kedua orang pimpinan perampok itu.
Gadis yang berjiwa bersih ini sudah pula menyimpan senjata begitu melihat kedua
orang lawannya hanya bertangan kosong.
Dengan gerakan indah, Anggini memutar tubuhnya menghindari dua buah serangan
yang dilancarkan lelaki berkepala botak itu. Sambil memutar tubuh, tangan
kirinya terayun ke leher lawan. Begitu hantaman tangan kirinya berhasil
dielakkan lawan, gadis itu pun segera menyusuli dengan sebuah tendangan kilat
Lelaki berkepala botak itu terkejut sekali melihat kecepatan gerak lawan. Cepat-
cepat tubuhnya dilempar ke belakang karena tidak ingin dadanya dijejak kaki
mungil yang menyimpan tenaga hebat itu.
Pada saat yang bersamaan, serangan dari lawan lain meluncur datang. Jari-jari
tangan yang berbentuk akar dari laki-laki brewok itu menyambar-nyambar cepat
mengincar beberapa bagian tubuh gadis itu.
Anggini bergerak mundur dengan menggeser kedua kakinya bergantian. Sepasang
matanya bergerak lincah mencari-cari kelemahan lawan. Gadis cantik yang cukup
cerdik itu terus bergerak mundur sambil mencari celah yang kira-krra dapat
dimanfaatkannya. Namun sampai beberapa jurus lamanya, titik kelemahan dari
jurus-jurus lawan belum juga terlihat. Sepertinya, pertahanan si brewok cukup
rapat dan kuat Setelah menyerang selama lima jurus namun belum juga berhasil menyentuh tubuh
lawannya, lelaki brewok itu pun bangkit kemarahannya. Jurus-jurus serangannya
pun semakin dipercepat Cengkeraman tangannya kadang-kadang berubah membentuk
kepalan. Namun kepalan itu tidak kalah berbahayanya dengan cengkeramannya. Malah
mungkin akibatnya akan lebih parah apabila terkena tubuh
lawan! Pada suatu saat, gadis cantik itu berteriak nyaring mengagetkan lawan. Serangan-
serangan yang semakin cepat itu justru telah menyebabkan pertahanan si brewok
agak melemah. Anggini pun menyadari akan hal itu. Maka ketika cengkeraman dan
kepalan lawan meluncur mengancam dada dan perutnya, tubuh gadis itu meliuk
dengan jurus 'Harimau Lapar Menerkam Kambing'.
Wuuut' Kepalan dan cengkeraman si brewok temyata hanya mengenai angin kosong karena
tubuh Anggini telah lebih dulu meliuk ke kanan. Dan tanpa membuang-buang waktu
lagi, tangan kanan gadis terulur mengancam dada.
Gerakannya dibarengi pula dengan tendangan kaki kanan yang mengarah perut
Dapat dibayangkan, beta pa kagetnya hati si brewok melihat serangan tiba-tiba
itu. Apalagi, dia tidak mempunyai kesempatan untuk menghindar. Maka si brewok
cepat mengerahkan tenaganya untuk melindungi bagian tubuh yang menjadi sasaran
serangan la wan.
Desss! Bukkk! "Aaakh...!"
Disertai jeritan ngeri, tubuh kurus itu pun terjengkang beberapa tombak ke
belakang! Darah segar langsung memercik membasahi rerumputan yang kering.
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh kurus itu pun terbanting keras menimbulkan suara
berdebuk! Sambil menekap dada dan perutnya, lelaki brewok itu berusaha bangidt meskipun
dengan susah-payah. Kembali ia terbatuk, langsung memuntahkan darah segar!
Rupanya ia salah perhitungan! Sungguh sama sekali tidak diduga kalau tenaga dalam yang
dimiliki gadis cantik itu ternyata demikian tinggi. Maka tentu saja tenaga yang
diper-gunakan untuk melindungi tubuhnya itu tidak berarti.
Akibatnya, pukulan dan tendangan gadis itu tetap saja melukai tubuhnya.
"Gunakan tali! Kuntilanak ini benar-benar patut diberi pelajaran!" perintah
laki-laki botak.
Pemimpin perampok itu menjadi marah melihat kawannya telah dilukai gadis ini
Sebagian nafsunya telah lenyap, dan telah berganti dengan kemarahan. Golok besar
yang tergantung di punggung dicabutnya.
"Yeaaat..!"
Disertai bentakan keras, tubuh si botak melambung ke atas dengan bacokannya.
Kali ini ia tidak peduli lagi, apakah si gadis akan terluka atau tidak. Satunya-
satunya yang diinginkan saat itu adalah melumpuhkan Anggini.
Trangngng! Trangngng!
"Aaah..."
Entah kapan dilakukannya, tahu-tahu saja di tangan Anggini telah tergenggam
sebatang pedang. Langsung pedangnya dikerahkan untuk memapak ayunan golok si
botak. Maka terdengarlah benturan yang keras disertai jeritan kaget lelaki
berkepala botak itu.
Benturan yang cukup kuat itu telah membuat kuda-kuda si botak tergempur.
Tubuhnya terjajar mundur, hingga beberapa langkah ke belakang. Meskipun
demikian, golok besarnya tetap tergenggam erat di tangannya.
Anggini tidak mau membuang-buang waktu lag! Saat
itu juga tubuhnya melesat ke arah pimpinan perampok yang tengah terhuyung itu.
Pedang di tangannya berputar cepat menimbulkan deru angin keras.
Tapi sayang Anggini tidak memperhatikan lawan lainnya. Pada saat tubuhnya
melompat, beberapa utas tambang yang ujungnya berbentuk bulatan itu melayang ke
arahnya! Rrrttt! Rrrttt!
"Aaah...!"
Anggini berteriak kaget ketika dirasakan ada sesuatu benda yang menjerat
keduanya kakinya. Baru saja pedangnya hendak diayunkan untuk membabat tambang-
tambang itu, kedua pergelangan tangannya kembali terjerat tambang yang lain.
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuhnya pun meluncur ke bawah. Jatuh, tak berdaya.
Brukkk! "Uuugkh...!"
Rrrttt! Rrrttt!
Terdengar suara berdebuk ketika tubuh gadis itu terbanting di atas rerumputan.
Anggini mengeluh menahan rasa nyeri pada tubuhnya. Cepat ia bergerak bangkit
sambil mengerahkan tenaga pada lengan dan kakinya.
Namun betapa terkejutnya gadis itu ketika kaki tangannya tidak mampu digerakkan.
Pandangan gadis itu beredar.
Dia kini mendapati tali-tali yang semula dipegang gerombolan perampok itu telah
dilibatkan ke pohon-pohon besar. Maka Anggini hanya bisa pasrah, untuk melihat
apa yang akan diperbuat orang-orang itu terhadap dirinya.
Kenanga yang melihat gadis cantik itu sudah berdaya,
segera bergerak bangkit hendak menolongnya. Memang sebagai seorang wanita, dia
sudah dapat menduga maksud perampok-perampok liat itu. Namun, gerakan Kenanga
tertahan telapak tangan Panji, yang menekan bahunya.
Semula gadis jelita itu hendak membantah, tapi langsung bungkam ketika Panji
nunjuk ke arah tempat terjadinya pertempuran.
Rupanya di arena pertempuran terjadi perubahan mendadak. Temyata di sana telah
muncul dua orang pemuda yang tampak gagah. Sedangkan gadis yang terikat tadi
telah pula terbebas. Malah kini telah di samping dua orang pemuda gagah itu.
"Hhh.... Hampir saja aku berbuat kesalahan!' desah Kenanga menghela napas lega.
Dipandanginya Panji, dengan sinar mata penuh permohonan maaf.
*** 8 "Hm.... Siapa kau, Anak Muda"! Mengapa berani mencampuri urusanku"!" bentak
orang berkepala botak itu dengan suara menggelegar.
Ia benar-benar marah sekali melihat mangsa yang sudah berada di depan mulut
terlepas begitu saja karena perbuatan dua orang itu.
"Ha ha ha...! Hei, Perampok-perampok Busuk!
Dengarlah! Kami adalah Dua Harimau Cakar Besi! Dan hari ini, malaikat maut akan
datang hendak mencabut nyawa kalian!" ancam salah seorang dari dua pemuda gagah
itu, dingin. "Ahhh...!"
Mendengar disebutnya nama Dua Harimau Cakar Besi, para perampok itu bergerak
mundur dengan wajah pucat Memang mereka telah banyak mendengar tentang sepak-
terjang dua pendekar muda yang sering membasmi para perampok di sekitar daerah
itu tanpa kenal ampun. Tak seorang pun perampok yang pernah lolos dari hukuman
mereka. Sehingga kedua orang pendekar itu dijuluki sebagai Dua Harimau Cakar
Besi. Tidak heran bila setiap perampok yang bertemu kedua orang itu, pasti akan
tewas! "Lari....!" tanpa malu-malu lagi, si kepala perampok memerintahkan anak buahnya
untuk menyelamatkan diri dari hukuman kedua pendekar yang tak mengenal kata
ampun itu. Melihat gerombolan perampok itu hendak melarikan diri, dua orang pemuda gagah
itu segera bergerak mengejar.
"Jangan kejar...!" terdengar seruan halus yang membuat Dua Harimau Cakar Besi
menghentikan langkahnya.
"Mengapa, Nisanak" Mereka adalah orang-orang kejam dan buas. Hanya kematianlah
jalan satu-satunya bagi mereka," tegas salah seorang dari pemuda itu. Dia merasa
heran mendengar gadis yang ditolongnya itu mencegah mereka.
"Betul, Nisanak. Kalau tidak dibunuh, lain kali mereka pasti akan mengganggu
orang lagi," timpal yang seorang lagi, membenarkan ucapan kawannya.
Sambil berkata demikian, ia menatap wajah gadis itu lekat-lekat. Dan ia pun baru
sadar, betapa cantiknya gadis yang ditolongnya itu. Sinar kekaguman pun nampak
di matanya. 'Tapi, siapa tahu setelah berjumpa dengan kalian menjadi sadar" Nah, bukankah
hal itu akan' lebih baik?"
bantah Anggini.
Gadis itu terpaksa menundukkan matanya melihat sinar kekaguman yang tak
disembunyikan terpancar dari mata kedua orang pemuda penolongnya.
"Yahhh, sudahlah. Apa yang perlu diributkan lagi"
Andaikan kita kejar pun, sudah tidak ada gunanya lagi.
Mereka pasti sudah menyembunyikan diri di dalam hutan lebat di depan sana. Oh,
ya. Kau hendak ke manakah, Nisanak" Mengapa berada sendirian di tempat ini?"
tanya pemuda yang memiliki kumis tipis di wajahnya. Dia ter-
senyum, sehingga membuat wajahnya semakin menarik.
Anggini pun lalu menceritakan kejadiannya hingga sampai berada di daerah itu. Ia
berusaha menerangkan sejelas-jelasnya dengan harapan kedua orang itu bisa
memberi petunjuk. Bukankah mereka berasal dari sekitar daerah ini" Atau paling
tidak, mereka pasti sudah lama tinggal di sekitar sini.
Kedua orang pemuda itu saling berpandangan begitu Anggini menyelesaikan
ceritanya. Sepertinya, kedua orang itu tidak bisa memberi petunjuk apa-apa
kepada gadis itu.
"Hm.... Kalau begitu, biarlah aku pergi saja. Siapa tahu kedua orang saudara
seperguruanku itu sudah kembali ke perguruan. Atau kalau tidak, aku akan
melaporkan hal ini kepada guru," gumam Anggini, seperti untuk dirinya sendiri.
"Hm.... Sebentar lagi hari akan gelap, Nisanak.
Kelihatannya bahaya sekali melakukan perjalanan di malam hari. Apalagi, Nisanak
seorang gadis muda dan hanya seorang diri. Sebaiknya untuk malam ini, biarlah
Nisanak menginap di pondok kami. Besok, baru melanjutkan perjalanan. Bagaimana?"
tanya pemuda yang berkumis tipis memberikan usul.
"Betul, Nisanak. Bukannya kami hendak memaksa agar Nisanak tidak pergi. Tapi ada
baiknya pertimbangkanlah tawaran kami," sambut satunya, mendukung usul yang
diajukan kawannya.
Anggini bimbang sejenak. Disadari juga kebenaran ucapan kedua orang itu. Tapi
hatinya juga ragu karena tidak begitu mengenai kedua pemuda itu.
"Yahhh...! Kalau memang tidak ada pilihan lain, apa
boleh buat!" sahut Anggini yang akhirnya menyetujui usul kedua orang pemuda itu.
"Nah, itu lebih baik! Ayolah!" ajak pemuda berkumis tipis, seraya melangkahkan
kakinya meninggalkan tempat itu. Anggini dan pemuda yang satu lagi bergegas
mengikutinya. *** Kegelapan malam mulai turun menyelimuti permukaan bumi. Suara jangkrik mulai
terdengar ramai bersahut-sahutan. Bintang-bintang tampak bertaburan bagaikan
pelita menghiasi malam.
Di depan halaman sebuah pondok sederhana, tampak nyala api berkobar
menghangatkan suasana malam yang dingin. Lapat-lapat terdengar gemercik air yang
mengalir. Sepertinya, pondok itu berdiri di dekat sebuah aliran sungai. Hal itu terbukti
dari suara-suara katak yang ber-nyanyi menyemarakkan suasana malam.
Di dekat api yang menjilat-jilat, terlihat seorang pemuda berkumis tipis.
Sesekali tangannya memutar-mutar sebatang dahan kayu yang terjilat api. Di
tengah dahan kayu itu terdapat seekor ayam yang telah dikuliti tengah terjilat
api. Baunya begitu menebar ke sekitarnya.
Jelas pemuda itu tengah memanggang seekor ayam yang aromanya menerbitkan air bur
dan mem-buat perut terasa lapar.
Pemuda itu memalingkan wajahnya ketika mendengar ada desah napas di depan pintu
pondoknya. "Eh. Kau belum tidur, Nisanak" Apakah ada sesuatu
yang mengganggu pikiranmu?" tanya pemuda berkumis tipis itu. Saat itu, sesosok
tubuh ramping tampak tengah melangkah menghampirinya.
"Hm.... Bau harum panggang ayam itulah yang telah menggangguku," sahut sosok
tubuh ramping yang rambutnya dikepang dua.
Siapa lagi orang itu kalau bukan Anggini. Gadis yang memang memiliki sifat
lincah dan periang itu, enak saja melontarkan kata-katanya. Padahal, ia baru
saja mengenal pemuda itu. Tapi, gadis itu sudah mengeluarkan gurauan seolah-olah
sudah lama saling mengenal.
"Wah, maaf kalau begitu. Aku sebenamya tidak bermaksud mengganggumu. Tapi, perut
yang tak tahu adat ini sudah berkeruyuk sejak tadi. Jadi... yaaah!
Terpaksa aku harus membuat makanan," sahut pemuda itu tanpa malu-malu lagi.
"Dari mana kau peroleh ayam itu sehingga menimbulkan bau harum ayam panggang
yang menggoda selera?"
tanya gadis itu lagi.
"Entahlah. Mungkin ini ayam hutan kesasar. Atau mungkin memang sengaja datang,
karena tahu aku sedang kelaparan" Nah, menurutmu yang manakah yang lebih masuk
akal, Nisanak?" sahut pemuda itu seraya melebarkan senyumnya karena merasa
gembira. "Panggil saja aku Anggini. Rasanya canggung sekali mendengar sebutanmu itu. Oh,
ya. Menurutku, mungkin saja ayam hutan itu memang sengaja datang. Dikira keruyuk
di perutmu itu adalah si betina," sahut Anggini terkekeh gembira. "Eh, ke
manakah kawanmu yang seorang itu?"
"Hm. Tadi kami berdua sengaja hendak mencari ayam hutan. Lalu, kami berpencar
untuk mendapatkannya. Yah, mungkin saja nasibnya tidak seberuntung aku. Tapi,
sebentar lagi juga kembali Oh, ya. Kau boleh memanggilku Benta saja. Cukup,
kan?" jelas pemuda berkumis tipis itu yang matanya tak lepas dari wajah Anggini.
"Hei! Aku seperti mendengar suara orang bertarung"
Apakah kau tidak mendengamya, Benta?" tanya Anggini tiba-tiba. Gadis itu segera
mengerahkan indra pendengarannya agar dapat menangkap lebih jelas.
"Ah, ya. Aku pun mendengarnya! Mari kita lihat, Anggini. Siapa tahu Kakang Ginta
mendapat kesukaran!"
Setelah berkata demikian, keduanya pun segera melesat mencari sumber suara
pertarungan yang terdengar itu.
Keduanya terus berlari cepat menerobos kegelapan malam dan semak belukar.
Meskipun tanpa kata sepakat, ternyata mereka menuju arah yang sama.
"Wah! Suara pertempuran itu sudah tidak terdengar lagi! Sepertinya pertempuran
itu sudah berakhir, Anggini?" desah Benta, harap-harap cemas.
Diam-diam ia pun mulai mengkhawatirkan nasib saudaranya yang sampai saat itu
belum juga kembali.
Jangan-jangan... Benta berusaha mengusir bayangan-bayangan buruk yang muncul di
benaknya. "He!"! Lihat itu, Benta! Rupanya salah seorang telah berhasil membunuh
lawannya," ujar Anggini ketika melihat sesosok tubuh tergeletak tak bergerak
beberapa langkah di depannya.
"Kakang Ginta...!" Benta berteriak kalap begitu mengenali sosok tubuh yang
tergeletak itu.
Memang orang yang tergeletak itu adalah kakak seperguruannya. Maka cepat
diraihnya sosok tubuh yang masih dibasahi darah segar itu. Bukan main hancurnya
hati pemuda itu melihat kematian kakak seperguruannya.
"Ah, siapa yang telah membunuhnya...?" gumam Anggini dengan suara lirih.
Gadis cantik itu pun turut bersedih atas kematian salah seorang penolongnya.
Meskipun merasa tidak suka dengan pandangan mata yang terlihat hangat dan mesra
dari kedua orang itu, namun ia pun bukanlah seorang yang tidak tahu berterima


Pendekar Naga Putih 19 Asmara Di Ujung Pedang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kasih. Gadis itu tetap menghargai dan menyukai mereka sebagai sahabat yang
menyenangkaa Dan kini tahu-tahu saja salah seorang dari penolongnya terbunuh.
Bahkan tidak seorang pun dari mereka yang sempat melihat pembunuh itu. Maka
tentu saja kejadian itu menimbulkan rasa penasaran di hati Anggini.
Sementara Benta masih tetap memeluk tubuh kakak seperguruannya yang sudah tewas
itu. Terdengar keluhan-keluhan lirih dari mulut pemuda berkumis itu. Sepertinya
hatinya benar-benar merasa terpukul atas kejadian itu.
"Hm.... Akan kucari bangsat itu sampai dapat! Akan kucabik-cabik tubuhnya sampai
hancur dan tidak berbentuk lagi!" geram Benta.
Pemuda itu segera bangkit dengan sepasang mata mencorong menakutkan. Hingga
Anggini sendiri pun sampai bergetar harinya.
"Benta. Lebih baik kuburkan dulu mayat kakakmu itu.
Besok, baru kita selidiki orang yang telah berbuat sekejam
itu," Anggini mengajukan usulnya ketika melihat Benta melangkah sambil memondong
mayat Ginla. 'Tidak, Anggini. Aku akan membawanya ke pondok.
Malam ini aku akan menemaninya. Besok, baru dikuburkan," sahut Benta dengan
suara serak dan bergetar.
Kemudian langkahnya pun diteruskan menuju pondok.
Untuk beberapa saat lamanya, Anggini hanya terpaku di tempatnya. Dimaklumi, apa
yang saat tengah dirasakan Benta. Dan mungkin ia pun akan melakukan hal yang
sama apabila kejadian itu menimpa dua orang kakak seperguruannya.
Tak berapa lama kemudian, gadis itu pun melangkahkan kakinya perlahan. Karena ia
sadar, kalaiu pada saat-saat seperti itu biasanya orang tidak ingin ditemani.
Maka langkahnya segera diperlambat.
Anggini menghentikan langkahnya sejenak. Dihelanya napas perlahan-lahan ketika
teringat akan kedua orang saudara seperguruannya yang belum juga dapat
ditemukan. Kekhawatiran mulai menyelinap di hatinya.
"Ah! Mudah-mudahan kejadian ini tidak menimpa diri kedua orang saudara
seperguruanku! Kalau sampai terjadi apa-apa terhadap mereka, bagaimana aku harus
mengatakannya kepada eyang guru. Bisa-bisa aku kena marah nanti," pikir gadis
itu dengan perasaan kacau, Tanpa sadar langkah kakinya mengarah ke tepi sungai
yang mengalir membelah hutan. Dengan hati semakin resah, gadis itu menjatuhkan
tubuhnya di atas sebongkah batu yang cukup besar. Dipandanginya pantulan sinar
bulan yang jatuh di atas permukaan air yang mengalir bening. Pildrannya kembali
menerawang kepada kedua
orang kakak seperguruannya, yang entah di mana saat ini.
"Eh..."!"
Gadis cantik itu kembali menolehkan kepala dengan wajah tegang. Lapat-lapat
telinganya yang terlatih menangkap suara-suara pertarungan yang diselingi
teriakan marah. Dan Anggini semakin terkejut ketika mengenali bentakan Benta.
"Apakah.... Apakah..."!"
Wajah gadis itu mendadak pucat begitu teringat akan kematian Ginta yang masih
jadi tanda tanya di harinya.
Dan kini terdengar kembali suara orang bertarung. Entah siapa yang tengah
bertarung dengan Denta itu.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Anggini pun segera melesat menuju arah pondok.
Tapi sayang, langkahnya tadi telah membawanya cukup jauh dari pondok tempat
kedua orang pendekar muda itu tinggal.
Sehingga, larinya harus tertunda-tunda untuk mencari arah suara orang yang
tengah bertarung itu.
Sedangkan di pondok tempat kediaman Ginta dan Benta, tampak dua sosok tubuh
tengah bertarung sengit!
Tempat di sekitar arena pertarungan sudah porak-poranda. Sepertinya orang yang
tengah bertarung dengan Benta itu memang memifiki kepandaian tinggi. Sehingga,
biarpun Benta telah mengeluarkan seluruh kepandaiannya, tetap saja terdesak
hebat. "Keparat! Siapa kau sebenamya" Mengapa kau memusuhi kami?" Benta berteriak-
teriak marah sambil berlompatan menghindari serangan orang aneh itu.
Hatinya benar-benar terkejut melihat kepandaian orang yang sama sekali tidak
dikenalnya. "Hm.... Siapa pun yang berani mendekati gadis itu, harus mati! Termasuk juga
kau, Pemuda Mata Keranjang!"
bentak lelaki tegap yang mengenakan pakaian serba hitam itu. Sesekali cahaya
rembulan tampak menerangi wajahnya yang buruk dan menakutkan itu. Rambutnya yang
panjang riap-riapan dan berwarna dua itu semakin menambah keangkerannya.
"Bangsat! Kau harus menebus kematian saudaraku!"
bentak Benta semakin kalap.
Pemuda itu cepat melempar tubuhnya jauh belakang ketika pedang di tangan lawan
menyambar ke arah tiga bagian tubuhnya sekaligus.
"Huh! Jangan harap akan dapat lolos dari tanganku!"
geram orang aneh itu. Dia memang menyangka Benta akan melarikan diri. Sesaat
kemudian, tubuh orang itu pun melayang disertai ayunan pedangnya.
Wuuut! Wuuut' "Akh...!"
Benta kembali harus melempar tubuhnya, dan melakukan beberapa kali salto di
udara. Diam-diam kegentaran di hati Benta mulai timbul melihat keganasan dan
kehebatan lawannya. Namun perasaan itu berusaha ditekannya ketika teringat akan
kematian kakak seperguruannya di tangan laki-laki aneh berwajah buruk itu.
"Hmh...!"
Sambil menggeram gusar, Benta memutar senjatanya sedemikian rupa hingga
membentuk gulungan sinar yang menyelimuti tubuhnya.
"Yeaaat..!"
Dibarengi sebuah teriakan mengguntur, tubuh pemuda berkumis apis itu melesat
menerjang lawannya. Pedang di tangannya berkelebatan cepat meng-ancam beberapa
bagian tubuh yang mematikan.
"Huh...!"
Laki-laki aneh berwajah buruk itu mengumpat. Dan pada saat itu juga pedang di
tangannya bergerak cepat menimbulkan deru angin tajam. Sepertinya, ilmu
pamungkasnya yang paling tinggi tengah dipersiapkan.
Tubuhnya tampak agak membungkuk dengan kuda-kuda rendah.
"Hiaaah...!"
Sambil membentak keras, tubuh orang itu melayang menyambut serangan Benta.
Serangkum angin keras menyertai ayunan pedangnya. Dari tiupan angin yang menderu
itu, dapat diduga betapa hebatnya tenaga dalam yang dimiliki orang aneh itu.
*** 9 Pada saat yang sangat berbahaya itu, tiba-tiba dari belakang Benta melesat
sesosok bayangan putih. Sinar keemasan yang menyilaukan mata tampak
menyertainya. Daa... Trangngng! "Akh...!"
Benturan keras yang memekakkan telinga seketika terjadi bagaikan guntur
menggelegar. Tubuh orang aneh itu terlempar disertai teriakan kagetnya. Namun
dengan gerakan indah, tubuhnya berputar beberapa kali di udara untuk kemudian
mendarat empuk di atas tanah.
Hal itu pun dialami pula oleh sosok jubah yang menyelamatkan Benta dari
kematian. Setelah berputar beberapa kali, tubuhnya pun mendarat ringan dengan
kuda-kuda kokoh.
"Siapa kau, Keparat! Aku sama sekali tidak mempunyai urusan denganmu! Sebaiknya,
menyingkirlah sebelum aku berubah pikiran!" ancam orang aneh berwajah buruk itu,
geram. Sepasang mata orang aneh itu tampak mengeluarkan sinar berkilat yang
menggetarkan jantung. Jelas sekali kalau dia merasa gusar atas campur tangan
sosok tubuh berjubah putih itu.
"Hm.... Aku memang tidak mempunyai urusan secara langsung denganmu. Tapi
perbuatanmu yang telah mem-bunuhi orang-orang secara kejam, menyebabkan aku
terpaksa harus mencampurinya. Apakah alasanmu mem-bunuhi mereka, Kisanak?" tanya
sosok berjubah putih itu tanpa gentar sedikit pun. Bahkan sepasang matanya
menentang pandangan mata si orang aneh dengan tidak kalah tajamnya.
"Apa pedulimu, Pemuda Sombong!" Kalau memang ingin menghentikanku, lakukanlah!
Karena, hanya kematianlah yang dapat menghentikan perbuatanku ini!"
sahut laki-laki berwajah buruk itu.
Seketika dia mehntangkan pedang di depan dada. Kali ini sikapnya terlihat lebih
hati-hati. Mungkin baru menyadari kalau lawannya kali ini tidak dapat disamakan
dengan korban-korbannya yang lain.
Sosok berjubah putih yang menggenggam pedang bersinar kuning keemasan itu pun
telah pula bersiap menghadapi lawannya. Pedang di tangannya terangkat naik ke
atas kepala. Bersamaan dengan gerakan itu, selapis kabut putih keperakan mulai
menyelimuti seluruh tubuhnya.
"Pendekar Naga Putih...!" seru orang aneh itu terkejut.
Meskipun demikian, wajah orang itu sama sekali tidak menampakkan suatu gejala
sedikit pun. Sedangkan kedua kakinya sudah melangkah mundur begitu mengetahui, siapa orang yang menjadi lawannya.
"Hm.... Pantas saja berani mencari urusanku. Rupanya kau pendekar muda yang
tersohor itu!" geram laki-laki berwajah buruk itu sinis. Suaranya terdengar agak
bergetar karena kekagetan yang bercampur kegentaran.
"Maaf, Kisanak. Sebenarnya aku tidak ada permusuhan denganmu. Dan kalau kau mau
berjanji untuk meng-
hentikan kekejamanmu itu, aku akan merasa senang sekali. Bagaimana, Kisanak?"
tanya pemuda berjubah putih yang tak lain Panji itu.
"Huh! Apakah dikira aku akan lari terbirit-birit karena nama besarmu" Tidak,
Sobat! Adalah suatu kehormatan besar apabila aku tewas di tanganmu. Namun,
jangan harap kau dapat menghentikanku, kecuali bisa mem-bunuhku. Itulah jalan
satu-satunya yang harus kau lakukan," jawab orang aneh itu yang rupanya salah
duga dengan ucapan Panji.
"Jangan salah mengerti, Kisanak," tiba-tiba terdengar suara merdu yang disusul
munculnya sesosok tubuh ramping berparas jelita.
Gadis cantik itu melangkahkan kakinya mendekati Panji. Siapa lagi gadis jelita
itu kalau bukan Kenanga.
"Dengarlah, Kisanak. Pendekar Naga Putih sama sekali tidak bermaksud merendahkan
ataupun menghinamu.
Rasanya, jalan damai memang lebih baik daripada sebuah pertarungan. Dan Pendekar
Naga Putih telah menawarkan jalan itu kepadamu. Bagaimana?" tanya gadis jelita
itu lebih lanjut
"Hm.... Jangan coba membujukku, Nisanak. Apakah kau pikir dengan kecantikanmu
itu dapat melemahkan hatiku" Hmh..., kau keliru. Sudah kukatakan tadi, hanya
kematianlah yang dapat menghentikan perbuatanku! Jadi percuma saja kalau kau
berniat membujukku!" sahut orang aneh itu tetap pada pendiriannya. Sepertinya,
tekadnya memang sudah tidak bisa dirubah lagi.
"Kakang Benta! Kau..., kau tidak apa-apa...?" tiba-tiba saja terdengar seruan
kecemasan. Begitu muncul, Anggini
langsung menghampiri Benta yang wajahnya masih nampak pucat itu.
"Hhh... Aku tidak apa-apa, Anggini Pendekar Naga Putih telah menyelamatkanku
dari keganasan laki-laki buruk itu," desah Benta sambil menggerakkan kepala ke
arah si orang aneh yang tampak mulai salah tingkah ketika melihat kedatangan
Anggini. Mendengar jawaban pemuda berkumis itu, barulah Anggini sadar kalau mereka tidak
hanya berdua di tempat itu. Lalu, pandangannya dialihkan kepada orang-orang yang
berada di sekitar tempat itu. Terakhir, dipandangnya laki-laki berwajah buruk
itu lekat-lekat.
Dipandang sedemikian rupa oleh Anggini, orang aneh itu tampak semakin tidak bisa
diam. Pandangannya kemudian dibuang ke arah lain. Sepertinya ia tidak suka
dipandangi sedemikian tegas oleh Anggini.
Panji yang memang sejak semula sudah dapat menduga kalau laki-laki buruk itu
sepertinya mempunyai hubungan dengan gadis cantik itu, mulai menduga-duga
sebabnya. "Diakah yang membunuh Gutala dan Kakang Ginta, Kakang Benta?" tanya Anggini
tanpa mengalihkan pandangannya dari sosok tubuh laki-laki aneh itu.
"Aku tidak tahu, siapa yang kau maksudkan dengan Gutala itu. Tapi yang jelas,
orang aneh itulah yang telah membunuh Kakang Ginta. Kepandaiannya memang sangat
tinggi. Pantas saja kalau Kakang Ginta sampai tewas di tangannya. Jangankan
hanya seorang diri. Bahkan berdua pun rasanya aku masih ragu untuk dapat
mengalah-kannya," sahut Benta hrih. Dari nada suaranya jelas sekali kalau Benta
merasa kecewa. "Nisanak. Apakah kau dapat mengenali lelaki aneh itu"
Kelihatannya, ia agak gentar menghadapimu," tanya Panji seraya menolehkan
kepalanya memandang Anggini.
Anggini mengerutkan keningnya begitu mendengar pertanyaan orang yang disebut
Benta sebagai Pendekar Naga Putih. Diam-diam harinya mengagumi pemuda tampan
itu. Apalagi dalam usia yang semuda itu, ia telah mampu membuat nama besar dalam
dunia persilatan.
Tanpa sadar Anggini mulai membanding-bandingkan pemuda tampan itu dengan
pamannya. "Nisanak. Apakah kau mendengar pertanyaanku?" tanya Panji lagi ketika gadis
cantik itu hanya memandanginya dengan sinar mata menerawang jauh.
"Oh, apa...?" Anggini menjadi tergagap ketika men-engar teguran Panji. Seketika
lamunannya buyar. Wajah-ya pun menjadi kemerahan teringat akan siapnya tadi.
"Aku tadi bertanya, apakah kau dapat mengenali tau pern berkenalan dengan orang
itu?" Panji mengulangi pertanyaannya.
"Oh, tidak. Aku sama sekali tidak pemah mengenalnya.
Bahkan melihatnya pun baru kali ini," jawab Anggini yang menjadi tidak mengerti,
mengapa pendekar muda itu mengajukan pertanyaan yang terdengar aneh.
"Hei, berhenti! Mau lari ke mana kau"!" teriak endekar Naga Putih tiba-tiba.
Panji langsung menggenjot tubuhnya ketika laki-laki berwajah buruk itu hendak
melarikan diri. Melihat kecepatan gerak lawannya, Panji bergegas mengerahkan
ilmu lari cepatnya agar dapat mengejar orang aneh itu.
Pendekar Naga Putih semakin mempercepat larinya
ketika orang aneh itu berlri semakin cepat.Meskipun semula sudah dapat menduga
kepandaian lawannya, namun harinya pun sempat terkejut juga ketika melhat
kehebatan ilmu lari orang aneh itu. Sehingga, Panji terpaksa harus mengerahkan
seluruh tenaga agar dapat menyusul laki-laki berwajah buruk itu.
"Jangan harap dapat meloloskan diri dariku, Pengecut!"
bentak Panji gusar. Sesaat kemudian, tubuhnya melambung dan bersalto beberapa
kali di udara. Jleg! Orang aneh itu terpaksa menghentikan langkahnya ketika tubuh Pendekar Naga Putih
telah berdiri tegak menghadang jalannya. Sadar kalau tidak mungkin dapat lolos
dari kejaran pendekar muda itu, maka senjatanya langsung digerakkan ke arah
Panji. "Yeaaat..!"
Wuuut! Wuuut..!
Panji bergegas melempar tubuhnya ke belakang meng-indari serangan beruntun yang
dilancarkan orang aneh itu.
Namun Panji semakin terkejut ketika pedang lawan terus saja mengincarnya.
Sepertinya, ia tidak ingin memberi peluang lawannya untuk membalas serangan.
Maka Panji terpaksa harus memapak pedang lawan untuk mem-bendung serangan orang
aneh itu. Trangngng! Trangngng!
Baik Panji maupun orang aneh sama-sama terjajar mundur beberapa langkah ke
belakang. Sepertinya, usaha Panji untuk menghentikan serangan gencar orang itu
berhasil baik. Buktinya setelah benturan keras itu, orang aneh itu menghentikan
serangan. Sepasang matanya
menatap Panji tajam. Pedang di tangannya tampak bergetar karena dialiri tenaga
sakti yang kuat. Orang aneh itu kini kembali menyiapkan serangan berikutnya.
"Keparat kau, Pendekar Naga Putih! Mengapa tidak kau biarkan saja aku pergi!"
geram orang aneh itu. Dia merasa gusar sekali atas ulah Panji yang masih juga
mengejarnya. "Maaf, Kisanak. Aku terpaksa harus mengejarmu.
Karena kalau kubiarkan, maka korban kekejamanmu akan bertambah lagi. Dan aku
tidak menginginkan hal itu terjadi," tegas Panji, dingin. Suaranya terdengar
tenang, namun tetap waspada kalau-kalau lawannya akan berbuat curang.
"Keparat kau! Heaaat..!"
Dibarengi teriakan mengguntur, tubuh orang aneh itu kembali menerjang Panji.
Pedang di tangannya diputar sedemikian rupa, hingga menimbulkan gulungan sinar
yang menderu bagai angin puting beliung.
"Haaat..!"
Panji yang semakin menyadari kehebatan lawan, tidak ingin berbuat kesalahan.
Pedangnya segera diputar menggunakan 'Ilmu Pedang Naga Sakti' yang merupakan
ilmu pedang andalan.


Pendekar Naga Putih 19 Asmara Di Ujung Pedang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wrrr! Wrrr...! Serangkum angin dingin yang sanggup membekukan jalan darah di tubuh lawan,
berhembus keras mengiringi ayunan pedang Pendekar Naga Putin. Sinar kuning
keemasan tampak bergulung-gulung bagaikan seekor naga yang turun dari langit
Tentu saja hal itu membuat lawannya terkejut.
"Gila! Kabar tentang kehebatan Pendekar Naga Putjh ternyata bukan hanya isapan
jempol belaka!" desis orang bermuka buruk itu penuh kagum.
Sadar akan kehebatan lawannya, orang aneh itu pun bergegas mengerahkan seluruh
tenaganya. Sesaat kemudian, kedua orang tokoh sakti itu pun sudah saling menerjang hebat
Dalam beberapa jurus saja, daun-daun kering dan bebatuan kecil beterbangan ke
segala arah. Bukan hanya itu saja. Bahkan beberapa pepohonan di sekitarnya
langsung bertumbangan terkena sambaran angin pedang kedua tokoh yang berilmu
tinggi itu. Maka dalam sekejap saja, tempat itu telah porak-poranda bagai
tergilas topan hebat.
Makin lama, Pendekar Naga Putin semakin bertambah kagum atas kehebatan lawan.
Meskipun sebelumnya sudah diduga, namun sama sekali tidak disangka kalau orang
bermuka buruk itu dapat menahan serangannya selama lebih dari tiga puluh jurus.
Padahal, jurus-jurusnya sekarang ini merupakan jurus andalan. Maka tentu saja
hal itu membuatnya penasaran.
Demikian pula halnya dengan orang aneh itu.
Walaupun sudah sering mendengar tentang kehebatan Pendekar Naga Putih, namun tak
urung terkejut juga.
Memang, apa yang dirasakannya kali ini benar-benar di luar dugaannya. Sehingga,
seluruh ilmu simpannya harus dikeluarkan kalau tidak ingin dipecundangi pemuda
itu. Sementara itu, Kenanga, Anggini, dan Benta telah tiba di dekat arena
pertarungan. Anggini dan Benta ternganga kagum melihat pertarungan yang selama
hidup belum pernah mereka saksikan. Keduanya sampai terbelalak
pucat tanpa mampu mengeluarkan suara. Anggini dan Benta benar-benar dibuat
takjub! Sedangkan bagi Kenanga, pertarungan dahsyat itu bukanlah hal yang aneh. Dia
memang telah sering melihat pertarungan kekasihnya, bahkan lebih hebat dari yang
disaksikannya kali ini. Gadis jelita itu kemudian mem-peringatkan Anggini dan
Benta agar tidak terlalu dekat dengan pertarungan. Karena bisa-bisa sambaran
angin pukulan dan pedang dapat melukai mereka.
"Heaaat..!"
Laki-laki berwajah buruk yang semakin penasaran itu tiba-tiba memekik nyaring.
Saat itu juga tubuhnya berputar setengah lingkaran, disertai ayunan pedangnya.
Cwiiit! Swing! Wuuut..!
Ayunan pedang orang aneh itu menyambar cepat secara bersilangan. Secercah sinar
berkilat yang disertai sambaran angin tajam mencicit memekakkan telinga,
mengiringi serangan itu. Tiga buah serangan sekaligus meluncur mengancam tiga
jalan darah kematian di tubuh Panji.
Pendekar Naga Putih sempat tercekat melihat serangan maut yang menggiriskan itu.
Namun sebagai orang yang telah berpengalaman, ia tidak merasa gugup dalam
menghadapi serangan dahsyat itu. Dengan tenang, tubuh Panji meliuk dan bergerak
mundur. Begitu serangan lawan lewat, pedang di tangannya meluncur melakukan
tusukan ke lambung lawan. Ujung pedang yang mengeluarkan sinar berpendar itu
tampak bergetar mem-bingungkan pandangan lawan.
Swingngng! "Heaaah...!"
Sadar kalau serangan itu sangat berbahaya, lelaki berwajah buruk itu bergegas
melempar tubuhnya ke belakang disertai bentakan. Maksudnya, agar serangan lawan
terpengaruh. Namun Pendekar Naga Putih telah meraba gerakan lawan. Dan begitu tubuh lawan
menghindar dengan membuat putaran ke belakang, tubuh pendekar muda itu pun
bergerak menyusulinya disertai sambaran tangan kirinya yang membentuk cakar
naga. Jari-jari yang telah terisi 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' itu meluncur
cepat mengancam dada lawannya.
Orang aneh itu berseru tertahan melihat dadanya tahu-tahu telah terancam cakar
lawan. Cepat-cepat tubuhnya dimiringkan sambil menepiskan serangan itu dengan
tangan kiri. Namun tanpa disangka-sangka, cakar itu langsung berputar dan
kembali menyambar mukanya.
Brettt! "Akh...!"
Lelaki berwajah buruk itu menjerit tertahan ketika sambaran cakar Panji merobek
pipi kirinya. Namun meskipun begitu, ia masih juga dapat menjaga keseim-bangan
tubuhnya. Hasilnya, kakinya dapat didaratkan di atas tanah dengan selamat .
"Eh..."!"
Panji tersentak kaget ketika tangan kirinya yang mencengkeram wajah orang aneh
itu ternyata telah menggenggam sebuah topeng karet yang amat tipis.
Cepat-cepat pandangannya dilemparkan ke arah orang aneh yang telah menjelma
menjadi seorang laki-laki gagah
yang cukup tampan. Dan sepertinya, orang itu belum menyadari kalau penyamarannya
telah terbuka. Tak heran kalau ia masih tetap menatap Panji dengan sorot mata
tajam mengandung dendam.
*** "Paman Kembara...!"
Tiba-tiba saja terdengar seruan Anggini yang lirih.
Namun gadis cantik itu belum yakin sepenuhnya akan pandang matanya itu. Makanya,
ia hanya menatap dengan sinar mata terbelalak.
"Ahhh...!"
Orang aneh yang tak lain Kembara itu tersentak bagaikan mendengar ledakan petir
di telinganya. Wajah yang bersih dan gagah mendadak pucat Dengan tangan gemetar,
wajahnya diraba. Dan ketika tidak merasakan adanya topeng yang selama ini
menurupi wajahnya, tubuhnya pun semakin gemetar hebat.
"Paman...!"
Setelah yakin kalau orang itu memang pamannya, Anggini pun bergegas menghambur
ke arah Kembara.
Terdengar isaknya yang lirih. Gadis itu benar-benar telah lupa akan perbuatan
pamannya yang telah begitu tega membunuh orang-orang yang mengganggu dan men-
dekarinya. Yang teringat saat ini adalah, kasih sayang pamannya yang telah
merawatnya sejak kecil. Tentu saja hal itu tidak mungkin akan dapat
dilupakannya. "Ah...!"
Kembara merasa kan hatinya hancur. Rasanya ia lebih
baik mati saat ini, daripada harus menanggung malu karena penyamarannya telah
terbongkar. Begitu melihat Anggini berlari ke arahnya, laki-laki gagah berusia
tiga puluh satu tahun itu pun segera melesat pergi meninggalkan tempat itu.
"Pamaaan...!" Anggini berteriak mencegah kepergian Kembara.
Namun Kembara tidak mempedulikannya. Dia terus saja berlari tanpa menoleh lagi.
Lemas rasanya seluruh persendian tubuh Anggini. Gadis itu hanya dapat terduduk
sambil menutupi wajah dengan kedua telapak tangannya.
Terdengar suara isaknya yang lirih.
Tinggallah Panji, dan Benta yang terpaku saling berpandangan. Pendekar Naga
Putih pun tidak mengejar laki-laki gagah yang dipanggil Paman Kembara itu.
Mereka benar-benar bingung melihat perubahan yang sama sekali tidak pernah
diduga itu. Sehingga untuk beberapa saat, mereka hanya terpaku tanpa suara.
Tidak berapa lama kemudian, Anggini bergerak bangkit Gadis cantik itu menyusut
air matanya sejenak, lalu membalikkan tubuhnya menghadap ke arah tiga orang yang
masih berdiri menatapnya dengan heran. Mereka memang tidak mengerti, apa yang
membuat gadis itu menangis. Rasanya tidak mungkin kalau hanya karena
ditinggalkan pamannya. Pasti ada sesuatu penyebab yang lebih dari itu.
Dengan langkah gontai, Anggini melangkah menghampiri Panji, Kenanga, dan Benta.
Pandang matanya yang redup tampak tertuju kepada Benta. Gadis cantik itu
menghentikan langkahnya dalam jarak satu batang tombak
"Kakang Benta, ketahuilah. Bahwa orang yang telah membunuh saudaramu itu adalah
pamanku. Aku tidak tahu, apa yang telah menyebabkannya hingga berbuat demikian.
Tapi kalau kau ingin membalaskan kematian saudara seperguruanmu itu,
lampiaskanlah padaku. Hal ini kulakukan bukan semata-mata karena aku keponakan
ataupun muridnya yang telah diasuh sejak kecil. Ini hanya karena aku yakin kalau
perbuatan pamanku itu ada sangkut-pautnya dengan diriku. Dan demi orang yang
telah mendidikku sejak kecil, aku rela menebus dosanya dengan darahku. Dan aku
percaya, pamanku tidak akan melakukan perbuatan seperti ini lagi," ujar Anggini
dengan sinar mata pasrah.
Benta hanya berdiri kaku menatap wajah cantik yang telah menyentuh hatinya itu.
Sehingga untuk beberapa saat, ia hanya berdiri mematung tanpa tahu harus berbuat
apa. Meskipun dendam di hatinya belum mampu dihilang-kan, namun ia tidak akan
tega untuk membalaskan dendam terhadap gadis itu.
'Pendekar Naga Putih! Kau sebagai orang yang lebih berpengalaman, tentunya bisa
mengambil jalan tengah.
Sekarang, apa pendapatmu" Rasanya saat ini aku mem-butuhkan nasihatmu," pinta
Benta seraya menolehkan kepalanya ke arah Panji yang berada tidak jauh di
sebelahnya. Panji tidak langsung menjawab. Kemudian kakinya melangkah perlahan.
Dipandanginya kaki langit sebelah Timur yang dijalari wama kemerahan. Rupanya,
saat itu pagi sudah mulai menjelang.
"Benta, kau meminta pendapatku, atau menyerahkan
persoalan ini kepadaku?" tanya Pendekar Naga Putih yang segera mengalihkan
pandangan. Ditatapnya Benta lekat-lekat.
"Mmm.... Aku menyerahkan persoalan ini kepadamu.
Apa pun yang menjadi keputusanmu, akan kusetujui,"
sahut Benta tanpa ragu-ragu sedikit pun. Sepertinya pemuda itu telah menaruh
kepercayaan penuh kepada Pendekar Naga Putih.
"Menurut pendapatku, kejadian seperti ini rasanya tidak akan terulang lagi.
Pembunuh aneh yang ternyata adalah paman gadis ini, tidak mungkin akan
melakukannya lagi. Sebab, rahasia yang selama ini menyelimuti dirinya sudah
terungkap. Dan menurut penglihatanku, pada dasarnya orang itu tidaklah sejahat
yang kita duga. Jadi, alangkah baiknya kalau kita lupakan saja persoalan ini.
Bagaimana, Benta?" tanya Panji setelah menerangkan panjang lebar tentang
pendapatnya. "Aku menyetujuinya, Pendekar Naga Putih. Biarlah persoalan ini dihabiskan sampai
di sini saja. Nah! Kalau begitu, aku pergi dulu untuk mengurus jenazah kakak
seperguruanku. Selamat tinggal!" pamit Benta seraya melangkah meninggalkan
tempat itu. "Selamat jalan, Kakang Benta. Terima kasih atas kebaikan hatimu yang mau
memaafkan kekhilafan pamanku!" ucap Anggini dengan wajah agak berseri.
"Maaf, Pendekar Naga Putih. Aku pun harus menyusul pamanku."
Panji dan Kenanga hanya menganggukkan kepala dengan senyum terkembang. Kemudian
gadis itu cepat melesat pergi. Makin lama, bayangan tubuhnya yang
ramping kian hilang ditelan kejauhan.
"Sepertinya antara orang yang dipanggil Paman Kembara dan gadis itu ada sesuatu
yang aneh, Kakang"
Apakah kau pun melihatnya?" tanya Kenanga setelah Anggini tak terlihat lagi.
"Hm.... Ya. Aku jadi ingin tahu, ada apa sebenarnya di antara kedua orang itu.
Ayo, kita ikuti gadis itu," ajak Panji.
Pendekar Naga Putih segera mengayunkan kakinya mengejar Anggini. Kenanga yang
juga merasa penasaran, bergegas mengikuti langkah kekasihnya.
*** "Demikianlah, Eyang. Setelah memberi pelajaran kepada kedua orang pembunuh itu,
maka kami bergegas kembali menemui Adik Anggini. Tapi sayang, kami tidak
berhasil menemukannya. Setelah mengitari seluruh desa tanpa hasil, maka kami pun
memutuskan untuk kembali ke lembah. Dugaan kami, mungkin Adik Anggini telah
kembali ke sini," lapor salah seorang dari kedua pemuda yang tengah duduk di
hadapan seorang kakek renta.
"Hm...," kakek yang tak lain adalah Begawan Madapati itu hanya bergumam sambil
mengelus jenggotnya yang panjang dan berwama putih.
"Ampunkanlah kami, Eyang. Kami mengaku salah,"
ucap pemuda yang satunya, lirih. Wajahnya yang gagah tampak menunduk penuh
penyesalan. "Sebaiknya kalian beristirahat dulu. Nanti Eyang akan menyuruh pamanmu untuk
mencarinya. Mudah-mudahan
saja ia segera kembali," ujar kakek itu lembut, penuh harap.
Lega hati kedua pemuda itu ketika tidak mendengar adanya nada kemarahan dalam
suara kakek itu. Mereka pun segera berpamitan untuk kembali ke pondok masing-
masing. Setelah kepergian kedua orang muridnya itu, Begawan Madapati bergegas
meninggalkan pondok-nya. Begitu tiba di luar pondok, tubuh kakek itu melesat
menuju ke suatu tempat yang hanya diketahui Kembara dan dirinya sendiri.
Tak lama kemudian, Begawan Madapati tiba di sebuah mulut gua yang agak tertutup
semak-semak. Untuk beberapa saat lamanya, kakek itu hanya berdiri mengawasi
mulut gua. Lalu kakinya melangkah memasuki mulut gua itu.
"Aku telah mengetahui kedatanganmu, Kembara.
Mengapa kau tidak langsung menghadapku, tapi kau malah menyembunyikan diri di
tempat ini?" tanya kakek itu sambil mengawasi sosok tubuh yang telah mem-
belakanginya. "Ampunkan aku, Eyang. Aku... aku telah membuat kesalahan yang besar," sahut
sosok tubuh yang tak lain adalah Kembara itu. Rupanya ia pun telah mengetahui
kedatangan gurunya. Kembara menundukkan wajahnya yang pucat di depan kakek itu.
"Ceritakanlah, Muridku. Jangan kau simpan kedukaan itu dalam hatimu. Sebab
kedukaan itu dapat meracuni tubuhmu dan merusak batin," ujar Begawan Madapati
yang memang sangat menyayangi murid turiggalnya itu.
Memang, hanya Kembara-lah yang merupakan murid
langsung hasil didikannya.
Kembara yang sudah lama mengetahui akan perasaan gurunya itu, segera
menceritakan apa-apa yang telah diperbuatnya. Sedangkan Begawan Madapati hanya
men-dengarkan disertai helaan napas panjang. Orang tua itu hampir-hampir sulit
mempercayai cerita yang didengar-nya.
"Hhh.... Mengapa kau sampai tersesat sedemikian jauh, Kembara" Sadarkah kau
bahwa perbuatanmu itu bisa menimbulkan kesulitan buat kita semua," desah Begawan
Madapati. Laki-laki tua itu merasa agak terpukul mendengar perbuatan murid satu-
satunya yang amat disayangi itu.
"Ampunkan aku, Eyang. Hukumlah aku," rintih Kembara dengan wajah yang semakin
pucat bagaikan tak berdarah.
"Sudahlah. Penyesalan itu tidak mungkin akan dapat menghidupkan orang-orang yang
telah kau bunuh.
Sebaiknya, tetaplah di sini. Bersihkanlah hatimu dari segala nafsu jahat yang
masih menguasai dirimu," ujar Begawan Madapati. Kemudian, laki-laki tua itu
melangkahkan kakinya keluar dari tempat ini. Terdengar helaan napas berat yang
mewakili kekecewaan hatinya.
"Baik, Eyang," sahut Kembara yang segera melihat kedua kakinya untuk melakukan
semadi seperti yang diperintah gurunya.
*** "Eyang...!" begitu memasuki pondok, Anggini langsung menjatuhkan dirinya
berlutut di depan Begawan Madapati.
Wajah gadis itu tampak pucat. Rambutnya yang biasanya selalu terkepang dua, kini
nampak terurai kusut.
"Anggini! Kau sudah kembali, Cucuku. Syukurlah kau selamat," sambut kakek itu
seraya mengelus rambut kepala Anggini
"Eyang! Paman.., Paman Kembara di mana, Eyang?"
tanya Anggini, langsung. Sepasang matanya tampak masih merah dan agak membengkak
karena terlalu banyak menangis.
"Mengapa datang-datang langsung menanyakan pamanmu, Anggini" Apakah ada sesuatu
yang terjadi terhadap pamanmu" Di mana kau bertemu dengannya?" tanya Begawan
Madapati, memancing keterangan gadis itu.
Dengan terbata-bata, Anggini segera menceritakan mengenai pengalamannya selama
meninggalkan Lembah Gunung Tangger.
"Hm.... Kemarin pamanmu telah kembali, tapi kemudian pergi lagi untuk
membersihkan hatinya yang ternyata masih bisa diracuni perasaannya itu. Dan hal
itu lebih baik baginya," ujar Begawan Madapati sengaja menyembunyikan hal yang
sebenamya. "Tapi, Eyang. Aku harus bertemu paman. Aku ingin tahu, mengapa paman melakukan
perbuatan-perbuatan seperti itu" Aku ingin mendengar alasannya, Eyang,"
rintih Anggini lirih.
Air mata gadis ttu kembali mengalir membasahi prpinya. Harinya sedih sekali
ketika mendengar kalau
pamannya kembali telah pergi meninggalkannya. Anggini merasakan dunianya semakin
sempit. Semangat hidupnya pun langsung lenyap bersama kepergian sang Paman.
"Anggini..!"


Pendekar Naga Putih 19 Asmara Di Ujung Pedang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiba-tiba terdengar suara serak yang bergetar dari arah pintu pondok. Seorang
lelaki gagah berusia sekitar tiga puluh tahun berdiri di muka pintu dengan wajah
pucat "Pamaa..!"
Begitu mengenali, Anggini langsung menghambur ke dalam pelukan orang itu.
Tangisnya pun meledak memilukan. Hingga untuk beberapa saat lamanya ruangan
pondok itu menjadi hening. Yang terdengar hanya suara tangis Anggini yang
semakin lemah. "Paman! Apakah yang membuat Paman melakukan perbuatan-perbuatan itu" Katakanlah,
Paman. Aku ingin mendengamya," desak Anggini. Suaranya terdengar lirih, namun
penuh tuntutan. Gadis cantik itu menengadahkan wajahnya memandangi wajah
pamannya lekat-lekat
"Anggini, aku..., aku...," Kembara tergagap karena apa yang akan diucapkannya
adalah sesuatu yang tidak pantas menurutnya.
"Katakanlah, Paman," desak Anggini.
"Maafkan aku, Anggini. Aku..., aku tidak bisa mengatakannya," sahut Kembara yang
wajahnya menjadi pucat dan merah berganti-ganti.
"Paman melakukannya karena mencintaiku, bukan"
Mengapa harus disembunyikan" Mengapa Paman tidak pernah mengatakannya kepadaku"
Mengapa Paman malah menjauhiku" Tidakkah Paman sadar kalau aku pun mencintaimu.
Dan betapa tersiksanya aku menunggu-
nunggu pengakuan Paman. Apakah Paman tidak mengetahui hal itu?" Anggini tahu-
tahu saja begitu lancar berbicara.
"Tidak, Anggini. Aku sudah terlalu tua untukmu.
Lebih baik kau pilih salah seorang di antara kakak seperguruanmu. Mereka adalah
pemuda pilihan yang lebih baik daripada aku," jawab Kembara berusaha mengelak
karena perbedaan umur mereka yang terlalu jauh. "Aku tahu, kedua orang saudaramu
itu sangat mencintaimu, Anggini. Dan aku percaya, mereka pasti akan menjagamu
dengan baik."
"Tidak, Paman. Pamanlah yang lebih tepat untuk menjaga Adik Anggini. Kami berdua
rela. Dan kami sadar, hanya Pamanlah lelaki satu-satunya yang dicintai Anggini.
Dan lagi menurut kami, Paman tidaklah setua seperti yang Paman rasakan. Jadi
rasanya tidak ada lagi yang patut dipersoalkan," ujar salah seorang dari kedua
pemuda yang tak lain adalah Wirasaba dan Samba.
Mereka memang tahu-tahu saja telah muncul di belakang pamannya. Rupanya seperti
halnya Kembara, mereka pun tak sengaja datang ke tempat itu. Niat mereka semula
hanyalah ingin menghadap Begawan Madapati untuk menanyakan kabar Anggini dan
pamannya. "Ah, Wirasaba, Samba. Kalian pun sudah ada di sini rupanya," sapa Kembara yang
segera menyuruh kedua orang muridnya itu masuk. Setelah itu, Kembara mengalihkan
pandangannya kepada Begawan Madapati yang hanya tersenyum sambil mengangguk-
angguk. "Nan! Kali ini kau tidak ada alasan lagi, Paman. Eh, Kakang. Mereka semua sudah
setuju. Jadi, aku pun tidak
sudi lagi untuk memanggil paman. Maka, biarlah kau kupanggil dengan Kakang
Kembara saja. Agar kau tidak merasa tua."
Sambil berkata demikian, Anggini segera menarik tangan Kembara menuju keluar
pondok. Langsung dlbawanya laki-laki itu ke tepi sungai.
Bagaikan kerbau yang dicucuk hldungnya, Kembara pun hanya menurut saja, ke mana
gadis cantik itu membawanya. Wajahnya yang semula pucat nampak mulai berseri.
Kebahagiaan jelas terpancar dari mata keduanya.
Begawan Madapati hanya tersenyum melihat kepergian kedua orang itu. Demikian
pula dengan Wirasaba dan Samba. Mereka semua berharap agar Kembara bisa menebus
dosa-dosanya dengan berbuat baik d1 kemudian hari. Mereka pun sadar, cinta
memang mampu mengalahkan segalanya. Termasuk menutup mata dan jhva kependekaran
Kembara. Perasaan cemburunya terlalu berkobar-kobar! Padahal sesungguhnya
Kembara adalah seorang laki-laki yang berjiwa baik dan jujur.
*** "Nah! Betul kan, dugaanku. Mereka pasti saling cinta,"
ujar seorang gadis jelita yang tengah berdiri berdampingan di atas sebongkah
batu besar di seberang sungai. Rupanya Pendekar Naga Putih dan Kenanga telah
sampai pula di Lembah Gunung Tangger. Dan mereka memperhatikan semua kejadian
itu dari jauh. "Ya. Mudah-mudahan saja, mereka pun berbahagia
seperti kita," sahut Panji yang berada di sebelah Kenanga.
Setelah berkata demikian, kedua tangan Pendekar Naga Putih langsung bergerak
menyambar tubuh gadis jelita itu.
Seketika, Kenanga dibawanya lari meninggalkan lembah.
"Aih! Apa-apaan ini, Kakang" Sudah mulai genit, ya?"
seru Kenanga manja.
Meskipun bibirnya berkata demikian, namun gadis itu tidak berusaha melepaskan
tubuhnya dari pondongan Pendekar Naga Putih.
SELESAI Created ebook by
Scan & Convert to pdf (syauqy_arr) Edit Teks (syauqy_arr)
Weblog, http://hanaoki.wordpress.com Thread Kaskus:
http://www.kaskus.us/showthread.php"t=B97228
Pendekar Pengejar Nyawa 6 Pendekar Bayangan Sukma 3 Petaka Cinta Berdarah Pendekar Pemetik Harpa 5
^