Pencarian

Bencana Dari Alam Kubur 1

Pendekar Naga Putih 20 Bencana Dari Alam Kubur Bagian 1


BENCANA DARI ALAM KUBUR oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat Serial Pendekar Naga Putih
Dalam episode Bencana Dari Alam Kubur
128 hal ; 12 x 18 cm
1 "Heaaa...!"
Terdengar teriakan-teriakan penuh semangat
yang berasal dari halaman depan sebuah perguruan.
Teriakan itu dibarengi gerakan langkah dan pukulan
belasan sosok tubuh bertelanjang dada.
Tubuh bagian atas mereka tampak telah diban-
jiri keringat. Jilatan cahaya obor yang terpancang di empat penjuru, membuat
tubuh mereka tampak berkilat, menggambarkan kejantanan.
"Hap!"
Laki-laki bertubuh tegap yang berada di depan,
kembali mengeluarkan aba-aba dengan teriakan nyar-
ing. Berbarengan dengan teriakan itu, kaki kanannya melangkah ke depan membentuk
kuda-kuda serong.
Sepasang tangannya yang berbentuk cakar terayun ke
depan dari bawah ke atas.
Wuttt! Dari desir angin yang ditimbulkan sambaran
sepasang tangannya, jelas kalau lelaki tegap itu memiliki kekuatan yang tidak
bisa dipandang ringan.
Sambil berteriak nyaring, belasan sosok tubuh
di belakangnya melangkah dan meniru gerakan yang
dilakukan lelaki tegap itu.
"Bagus!" pujinya dengan wajah berseri.
Setelah berkata demikian, kakinya melangkah
sambil meneliti bentuk tangan maupun kuda-kuda
muridnya. Lelaki tegap itu sepertinya merasa puas melihat belasan muridnya yang
dapat meniru gerakannya dengan baik.
Dengan wajah berseri-seri, lelaki tegap berusia
sekitar empat puluh tahun itu kembali melangkah ke
depan untuk memberi contoh gerakan berikutnya.
Namun belum sempat memberi aba-aba, tiba-tiba ter-
dengar suara tawa mengekeh panjang yang mendirikan
bulu roma! "Kekh, kekh, kekh...!"
Sebelum gema tawa menyeramkan itu lenyap,
sesosok bayangan tinggi kurus melayang melewati pa-
gar kayu setinggi empat tombak. Kemudian sepasang
kakinya mendarat di dekat lelaki tegap yang tengah
mengajarkan ilmu silat kepada murid-muridnya.
Jilatan cahaya obor yang menerangi wajah so-
sok tubuh tinggi kurus itu, membuat si lelaki tegap dan belasan orang muridnya
melangkah mundur beberapa tindak. Wajah mereka nampak agak pucat
"Siapa kau..."!" bentak lelaki tegap itu membe-ranikan diri, menegur lelaki
tinggi kurus yang ternyata seorang kakek berwajah pucat bagai mayat
Kakek berwajah mayat dan berkulit pucat itu
kembali memperdengarkan tawanya yang disertai pen-
gerahan tenaga dalam tinggi. Akibatnya, tubuh belasan orang itu bergetar, dan
terhuyung limbung. Termasuk juga lelaki bertubuh tegap itu.
"Kekh, kekh, kekh...! Tidak ada gunanya kalian mempelajari ilmu murahan, dan
tidak bermutu itu!"
kata kakek itu, bernada menghina sekali.
Merah selebar wajah lelaki tinggi tegap ini keti-
ka mendengar hinaan dari mulut tamu tak diundang
itu. Buku-buku jari tangannya tampak mengepal ke-
ras, hingga memperdengarkan suara berkerotokan.
"Hei, Ki! Apa maksudmu datang-datang meng-
hina perguruan kami" Apakah kau memang sengaja
hendak mencari keributan"!" bentak lelaki tinggi tegap tanpa mempedulikan rasa
hormat. Hal ini karena sikap kakek itu yang jelas-jelas tidak menghormati
mereka. "Jangan cerewet! Katakan saja pada gurumu,
Hantu Kematian telah datang untuk mencabut nya-
wanya!" sahut kakek yang mengaku berjuluk Hantu Kematian dengan suara dingin dan
kaku. "Keparat sombong! Langkahi dulu mayatku, ba-
ru kau boleh bertindak sesuka hatimu di tempat ini!"
bentak laki-laki tegap yang merupakan salah seorang tokoh Perguruan Macan
Liwung, setelah rasa gentar
hilang dari hatinya.
"Hmh...!"
Sambil menggeram gusar, lelaki tegap itu sudah
memasang kuda-kuda yang kokoh dan indah. Tangan
kanannya bergerak ke atas kepala dalam sikap mene-
kuk. Sedangkan tangan kirinya terjulur ke depan. Kedua-duanya membentuk cakar
harimau. "Kekh, kekh, kekh...! Rupanya kau sudah tidak
sabar untuk segera melayat ke neraka. Majulah, biar secepatnya kuantarkan ke
sana!" ancam Hantu Kematian seraya mengulapkan tangan. Sorot matanya tam-
pak sedingin es.
Gampala, demikian nama lelaki tinggi tegap itu,
sudah tidak dapat lagi membendung kemarahannya.
Sepasang tangannya yang membentuk cakar, nampak
bergetar karena dialiri tenaga dalam tinggi.
"Yeaaat...!"
Dibarengi sebuah teriakan nyaring, Gampala
melompat menerjang lawannya. Sepasang tangannya
bergerak susul-menyusul disertai gerakan kaki yang
gesit. "Hm... Silakan pilih, bagian mana yang kau anggap paling lunak," kata
Hantu Kematian meremehkan, sambil bertolak pinggang menanti datangnya se-
rangan Gampala.
Terdengar suara berdebukan keras ketika sepa-
sang cakar Gampala berkali-kali mendarat di tubuh
kakek itu. Namun, tubuh Hantu Kematian sama sekali
tidak bergeming sedikit pun. Seolah-olah, hantaman
jari-jari tangan lawan bagaikan elusan tangan seorang wanita lemah.
Dapat dibayangkan, betapa terkejutnya hati
Gampala ketika merasakan cakaran maupun tendan-
gannya bagai menghantam seonggok kapas lunak. Se-
hingga tenaganya seperti amblas ke dalam lautan yang tak berdasar!
"Gila!" maki tokoh berusia empat puluh tahun itu sambil melompat mundur menjauhi
lawan. Hati Gampala mulai dijalari kekhawatiran meli-
hat kehebatan kakek yang tidak dikenalnya ini. Ia mulai mencemaskan nasib
gurunya. Rasanya, kesaktian
Hantu Kematian tidak mungkin dapat tertandingi. Apalagi, ia tahu betul kalau
kepandaiannya tidak berseli-sih jauh dengan kepandaian gurunya. Maka, kegelisa-
hannya pun semakin jelas tergambar di wajahnya.
"Hei"! Mengapa kalian diam saja"! Cepat, ke-
pung kakek gila itu!" bentak Gampala kepada belasan orang muridnya yang masih
terpaku kebingungan.
"Yang lain pergi ke balai utama. Laporkan kejadian ini kepada guru!"
Setelah mendengar bentakan Gampala, lima be-
tas orang murid Perguruan Macan Liwung itu pun ber-
lompatan mengepung Hantu Kematian. Sedangkan dua
orang lainnya bergegas meninggalkan tempat itu, un-
tuk melapor kepada Pendekar Macan Putih. Dialah
yang menjadi ketua perguruan ini.
"Serbu...!" teriak Gampala yang segera melompat mendahului murid-muridnya.
Golok besar yang semula terselip di pinggang
laki-laki tegap itu sudah tercabut ke luar. Dan kini su-
dah diayunkan kuat-kuat ke batang leher Hantu Ke-
matian. Serbuan belasan orang pengeroyok sama sekali tidak membuat kakek berusia
tujuh puluh tahun itu
merasa gentar atau gugup. Ia hanya berdiri sambil
memandang dengan sorot mata yang semakin dingin
dan menyeramkan.
Begitu belasan batang senjata itu hampir me-
nyentuh tubuhnya, Hantu Kematian mengibaskan ke-
dua tangannya ke samping.
"Rebah...!" teriak laki-laki tua itu.
Hebat sekali akibat yang ditimbulkan kibasan
lengan kakek itu. Tubuh belasan pengeroyoknya seke-
tika terlempar deras bagai daun-daun kering yang tertiup angin.
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh belasan murid
Perguruan Macan Liwung berikut Gampala terbanting
keras di tanah. Beberapa orang di antaranya bahkan
langsung tewas. Dari mulut, telinga, dan hidung mere-ka tampak mengalir darah
segar. "Ilmu iblis!" kutuk Gampala sambil merangkak bangkit, dan menekap dadanya.
Tokoh itu merasakan dadanya sesak akibat ki-
basan tangan lawan yang mengandung kekuatan he-
bat. Dari sudut bibirnya tampak mengalir cairan me-
rah. "Hm.... Kau kuat juga rupanya," geram Hantu Kematian dengan sinar mata
mengandung ancaman.
Tiba-tiba terdengar derap langkah kaki orang
berlari, mendatangi tempat itu. Tak lama kemudian,
muncullah puluhan orang murid yang dipimpin tiga
orang murid utama Perguruan Macan Liwung.
Sementara itu, Hantu Kematian segera memba-
likkan tubuh. Kemudian kakinya melangkah menuju
balai utama Perguruan Macan Liwung.
*** Bukan main terkejut dan marahnya ketiga
orang adik seperguruan Gampala ketika melihat kea-
daan di tempat itu. Wajah mereka mendadak gelap,
melihat belasan sosok tubuh yang tergeletak bergelimpangan tak karuan.
"Kakang...!" seru salah seorang dari ketiga murid utama itu. Hati orang itu
mendadak cemas ketika melihat Gampala yang tampak berdiri goyah sambil
menekap dada. Segera dia berlari menghampiri tubuh
kakak seperguruannya yang jelas mengalami luka pa-
rah. Sedangkan dua orang murid utama lainnya se-
gera memerintahkan murid-murid lainnya untuk men-
gangkat tubuh-tubuh yang tak bernyawa dan memba-
wanya ke tepi. "Keparat! Iblis itu telah membunuh sepuluh
orang murid perguruan kita!" geram salah seorang dari kedua murid utama Pendekar
Macan Putih. Dia memang telah memeriksa tubuh lima belas
orang murid perguruan yang ternyata hanya lima
orang selamat. Sedangkan yang lainnya tewas dengan
keadaan yang menyedihkan.
"Kita harus membalasnya, Widarta!" sahut yang lain kepada orang yang dipanggil
Widarta. Setelah berkata demikian, orang itu bergerak
bangkit sambil mencabut pedangnya.
"Mari kita beri pelajaran kepada iblis itu!" Widarta pun bergegas bangkit dan
mencabut keluar pe-
dang yang terselip di pinggangnya.
Sementara itu, Gampala yang sudah dipapah
adik seperguruannya segera melepaskan pelukannya
ketika melihat Hantu Kematian tengah melangkah te-
nang menuju balai utama.
"Berhenti...!" bentak Gampala sambil melintangkan golok besarnya di depan dada.
"Adi Sudirja, kita harus mencegah kakek iblis itu agar tidak dapat mendekati
bangunan utama perguruan!"
"Mau apa dia menyatroni perguruan kita, Ka-
kang?" tanya Sudirja yang sudah pula melintangkan pedang di depan dada.
"Hm... Dia hendak membunuh guru kita," sahut Gampala tanpa mengalihkan pandangan
dari Han- tu Kematian "Kita bukan saja harus mencegahnya, Kakang.
Tapi harus membunuhnya! Karena kakek iblis itu telah membunuh sepuluh orang
murid perguruan kita," kata Widarta yang juga sudah berada di sebelah Gampala.
"Benar, Kakang. Iblis tua itu tidak boleh dibiarkan berbuat sesuka hatinya di
tempat kita," Sumirja yang datang bersama Widarta ikut pula menimpali.
"Bedebah! Kalau begitu, iblis tua itu memang
harus mati!" geram Gampala ketika mendengar laporan dua orang adik
seperguruannya. Ditariknya napas dalam-dalam untuk mengurangi rasa nyeri yang
terasa menusuk dada. Tanpa banyak cakap lagi, keempat orang murid
utama Perguruan Macan Liwung itu melesat, mendeka-
ti Hantu Kematian yang sudah mendekati balai utama.
Mereka langsung mengepung dari empat penjuru.
"Kekh, kekh, kekh...! Rupanya kalian benar-
benar tidak sabar untuk melihat neraka!" ejek Hantu Kematian seraya terkekeh
menyeramkan. Sambil berkata demikian, pandangannya bere-
dar, merayapi keempat tokoh Perguruan Macan Liwung
yang bergerak mengitarinya.
Namun sebelum keempat orang tokoh itu ber-
gerak menerjang Hantu Kematian, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring yang
disusul melayangnya sesosok
tubuh kekar menuju tempat itu.
"Tunggu...!" teriak sosok tubuh itu sambil mengangkat tangan kanannya ke atas.
"Guru...!"
Gampala dan ketiga orang adik seperguruannya
bergegas berlari menyambut kedatangan orang yang
tak lain dari Pendekar Macan Putih itu. Mereka langsung saja menjatuhkan diri,
berlutut di depan lelaki berusia sekitar enam puluh tahun yang memiliki wajah
gagah itu. "Menyingkirlah kalian," pinta Pendekar Macan Putih dengan suara berat dan dalam.
"Tapi, Guru..."
Gampala yang semula hendak membantah pe-
rintah gurunya, menahan kata-katanya. Karena, ia
melihat sinar mata orang tua itu menyorot tajam keti-ka mendengar bantahannya.
Terpaksa ucapannya yang
sudah berada di ujung lidah ditelan kembali.
"Aku tahu, apa yang harus kulakukan, Gampa-
la," ujar Pendekar Macan Putih sambil menepuk bahu murid tertuanya perlahan.
Setelah berkata demikian, orang tua yang ma-
sih tampak gagah itu melangkah mendekati Hantu
Kematian.

Pendekar Naga Putih 20 Bencana Dari Alam Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau masih ingat aku, Jalasena?" sapa Hantu Kematian ketika melihat Pendekar
Macan Putih nampak mengerutkan kening sambil menatap penuh seli-
dik. Ketua Perguruan Macan Liwung yang ternyata
bernama Ki Jalasena itu tidak segera menjawab. Ia
hanya berdiri terpaku, sambil berpikir keras. Seper-
tinya, pendekar itu tidak mempercayai pandangan ma-
tanya. Hal itu terlihat dari sepasang mata yang membelalak lebar.
"Tidak mungkin! Bukankah kau sudah tewas
setahun yang lalu" Hm.... Siapa kau sebenarnya, Kisanak" Dan apa maksudmu
menyamar sebagai Hantu
Kematian?" tanya Ki Jalasena yang rupanya sudah la-ma mengenal tokoh yang
mengaku berjuluk Hantu
Kematian. "Kekh, kekh, kekh,...! Kau keliru, Jalasena.
Saat itu aku memang belum mati. Meskipun boleh juga dikatakan mati. Sebab, saat
itu aku benar-benar telah sekarat. Tapi, setelah kepergianmu dan kawan-kawanmu,
muridku datang dan membawaku ke Bukit
Tiga Iblis. Nah, di atas puncak bukit itulah aku dikuburkan. Namun bukan karena
aku telah mati, tapi ka-
rena aku hendak menyempurnakan ilmu-ilmu cip-
taanku. Setelah aku berhasil menyempurnakannya,
maka tidak ada seorang pun yang akan dapat menak-
lukkan Hantu Kematian! Sekarang, bersiaplah untuk
menjadi korban pertama dari 'Ilmu Memecah Suk-
ma'ku, Jalasena," jelas Hantu Kematian, yang diakhiri ancaman. Wajah laki-laki
tua itu tampak kaku tanpa
perasaan. Mendengar ucapan kakek itu, Ki Jalasena me-
langkah mundur. Disadari kalau lawan yang dihada-
pinya kali ini tidak bisa dianggap ringan. Apalagi setelah iblis itu berhasil
menyempurnakan ilmu-ilmu cip-taannya yang sudah pasti sangat dahsyat. Tipis ra-
sanya untuk dapat menang melawan kakek itu.
Namun, Ki Jalasena bukanlah orang yang gam-
pang ciut nyalinya. Ia sama sekali tidak takut menghadapi kematian. Sebenarnya
yang menjadi beban piki-
rannya saat itu adalah, bagaimana harus menyela-
matkan keluarga dan murid-muridnya" Sebab ia kenal
betul, siapa Hantu Kematian itu. Tokoh sesat itu pasti tidak akan bertindak
tanggung-tanggung. Bukan tidak mungkin setelah kematiannya nanti, Hantu Kematian
akan menghabisi pula seluruh keluarga dan murid-
muridnya. Itulah yang membuat dirinya menjadi tidak tenang. "Kekh, kekh,
kekh...! Mengapa wajahmu demikian pucat, Pendekar Macan Putih" Apakah kau takut
menghadapi Malaikat Maut?" ejek Hantu Kematian terkekeh ketika melihat calon
korbannya gelisah.
Watak tokoh sesat ini memang aneh. Hatinya
akan semakin gembira apabila melihat calon korban-
nya ketakutan! Apalagi kalau calon korbannya sampai merintih dan merengek minta
ampun. Dia akan semakin puas!
Merah selebar wajah Ki Jalasena ketika men-
dengar ejekan lawannya. Sambil menggeram marah,
pedang yang tergantung di pinggang kirinya itu dicabut. "Hm.... Aku tidak pernah
takut menghadapi maut, Hantu Kematian! Kalau memang mampu, bukti-kanlah
kesombonganmu itu!" bentak Ki Jalasena sambil melintangkan pedang di depan dada.
"Kalau begitu, majulah! Apa lagi yang. ditung-
gu?" sergah Hantu Kematian seraya tersenyum dingin.
"Keparat! Sambutlah seranganku...!"
Dengan dibarengi sebuah teriakan nyaring, tu-
buh orang tua gagah itu melesat menerjang lawan. Pedang di tangannya berkelebat
cepat hingga bentuk senjata itu menjadi lenyap.
Wuttt! Wuttt...!
Pedang di tangan Pendekar Macan Putih yang
kini berbentuk gulungan sinar memanjang itu, berge-
rak cepat menimbulkan deru angin keras! Senjata itu terus meluncur mengincar
bagian tubuh lawan yang
mematikan. Sayang, yang kali ini dihadapinya bukanlah to-
koh sembarangan. Meskipun serangan-serangan Pen-
dekar Macan Putih datangnya tak terduga, namun
enak saja Hantu Kematian menghindarinya. Tentu saja Ki Jalasena semakin
penasaran dibuatnya.
"Heaaat..!"
Setelah kurang lebih sepuluh jurus menyerang
tanpa hasil, Ki Jalasena berseru keras sambil merubah gerakannya. Kali ini
senjata di tangan orang tua gagah itu tidak lagi secepat semula. Gerakannya
terlihat agak lambat, namun mengandung kekuatan dahsyat. Itulah
jurus 'Pedang Tujuh Harimau' yang menjadi ilmu an-
dalan Pendekar Macan Putih.
"Hm.... Rupanya ilmu pedangmu nampaknya
sudah semakin maju, Jalasena! Hebat.., hebat!" puji Hantu Kematian yang
merasakan kehebatan ilmu pedang lawannya.
Sambil berkata demikian, kedua kakinya mela-
kukan gerakan-gerakan aneh. Kelihatannya kacau dan
berkesan sembarangan. Dan setiap kali pedang lawan
datang menyambar, selalu saja menemui tempat ko-
song! Padahal, Ki Jalasena telah mengerahkan seluruh kemampuan untuk melancarkan
serangan itu. Tapi
sampai sejauh itu, belum juga berhasil menyentuh tubuh lawan.
"Bedebah! Mengapa kau tidak membalas seran-
ganku, Hantu Kematian" Apakah kau memang tidak
mampu balas menyerang?" geram Ki Jalasena yang semakin penasaran karena
serangan-serangannya belum juga membawa hasil.
"Kekh, kekh, kekh.... Aku sengaja memberi ke-
sempatan padamu untuk menyerang selama dua pu-
luh jurus, Pendekar Macan Putih! Maka jangan sia-
siakan kesempatan yang hanya tinggal empat jurus la-gi," sahut kakek tinggi
kurus itu tanpa mempedulikan kemarahan lawannya.
"Setan!" maki Ki Jalasena semakin mengkelap.
Hati Pendekar Macan Putih benar-benar marah
mendapat hinaan yang sangat menyakitkan itu. Pe-
dang di tangannya berputar setengah lingkaran dari
bawah ke atas untuk menyambar tenggorokan lawan.
Bahkan tangan kirinya pun menyusuli dengan cengke-
raman ke arah lambung.
Bettt! Wuttt! Dua buah serangan maut yang dilancarkan Ki
Jalasena, sama sekali tidak membuat gugup Hantu
Kematian. Dengan sebuah gerakan aneh, tiba-tiba tu-
buh kakek itu berputar sambil merundukkan kepala.
Dua buah serangan lawan pun hanya mengenai angin
kosong. "Waktumu sudah habis, Pendekar Macan Putih!" seru Hantu Kematian memberi
peringatan. Berbarengan dengan habisnya ucapan itu, se-
pasang tangan kakek itu tiba-tiba berputar cepat.
Langsung disambarnya pelipis serta dada kiri Pendekar Macan Putih.
Bukan main terkejutnya hati Pendekar Macan
Putih. Serangan yang datangnya tiba-tiba itu, benar-benar hebat dan sulit
dielakkan. Karena tidak mempunyai kesempatan menghindar, cepat-cepat pedangnya
diputar untuk memapak tangan kanan lawan yang
mengancam jalan darah kematian di pelipisnya.
Tapi, Hantu Kematian pun bukanlah orang bo-
doh. Tangan kanannya yang semula mengincar pelipis
itu, langsung berputar cepat. Kemudian cepat ditotok-
nya pergelangan tangan lawan. Sedangkan tangan ki-
rinya yang mengincar dada, bergerak naik ke atas.
Langsung dicengkeramnya tenggorokan lawan.
Tukkk! Brettt! "Aaakh...!"
Pendekar Macan Putih menjerit kesakitan keti-
ka totokan lawan tepat menghantam jalan darah di
pergelangannya. Maka tangan kanan pendekar itu
kontan lumpuh. Dengan demikian, senjatanya pun
terpental lepas dari genggaman. Namun dalam kea-
daan gawat itu, ternyata Pendekar Macan Putih masih sempat memiringkan tubuhnya.
Sehingga, cengkera-man tangan kiri lawan hanya melukai punggungnya.
"Bagus...!" puji Hantu Kematian melihat lawannya masih juga berhasil
menyelamatkan diri dari ceng-keraman.
Sehabis berkata demikian, tubuhnya kembali
melesat mengejar lawan yang tengah terhuyung.
Kreppp! Jari-jari tangan kiri Hantu Kematian berhasil
membeset leher Pendekar Macan Putih yang tengah
terhuyung. Dan sebelum disadari lagi, tahu-tahu Han-tu Kematian telah berbalik
dan tangan kanannya me-
luncur cepat ke arah bagian atas perut lawannya!
"Aaargh...!"
Pendekar Macan Putih meraung setinggi langit
ketika jari-jari tangan lawan mencoblos perutnya. Tangan itu langsung ditarik
keluar, disertai jantung Pendekar Macan Putih yang sudah tergenggam erat di
tangan Hantu Kematian.
Desss! Tubuh Ki Jalasena yang tengah bergoyang-
goyang itu langsung terpental akibat tendangan keras Hantu Kematian.
Tubuhnya kontan terbanting keras di atas ta-
nah, dan langsung tewas seketika.
Kejadian yang hanya berlangsung sekejapan
mata itu membuat murid-murid Perguruan Macan Li-
wung terpaku bagai kehilangan kesadaran. Mereka
hanya dapat berdiri kaku, dengan sepasang mata
membelalak lebar. Kesadaran baru merasuk hati me-
reka, ketika terdengar kekeh menyeramkan dari Hantu Kematian.
"Kekh, kekh, kekh...! Jantungmu ternyata san-
gat bagus dan bersih, Pendekar Macan Putih! Dan aku akan mencicipinya sesuai
janjiku. Kelak jantung yang lain akan menyusul!"
Setelah berkata demikian, Hantu Kematian
dengan rakusnya melahap jantung lawan yang berada
dalam genggaman tangannya itu.
"Guru...!"
Murid-murid Ki Jalasena yang tersadar dari ke-
terpakuannya, berlari menghambur ke arah tubuh gu-
runya. Sedangkan yang lain memandang Hantu Kema-
tian dengan sinar mata marah. Namun belasan orang
murid itu bergerak mundur dengan wajah jijik. Apa
yang disaksikan itu, benar-benar membuat isi perut
mereka bagaikan terbalik. Bahkan beberapa di anta-
ranya langsung muntah-muntah. Sedang yang lain se-
gera memalingkan wajah yang sudah menjadi pucat
"Manusia iblis...!" desis beberapa orang di antaranya dengan suara bergetar.
*** Bukan main hancurnya hati Gampala dan keti-
ga orang adik seperguruannya melihat keadaan mayat
guru mereka yang amat mengenaskan itu. Murid ter-
tua Ki Jalasena itu bangkit, lalu membalikkan tubuhnya menghadap Hantu Kematian.
Mendidih darah Gampala melihat kelakuan ka-
kek iblis itu. Wajah Hantu Kematian yang masih dipenuhi darah jantung gurunya
itu, membuat rasa gentar di hati murid utama Perguruan Macan Liwung itu lenyap
seketika. Yang diingatnya hanyalah kematian gurunya. Dan itu harus dibalas
dengan darah Hantu Ke-
matian pula. "Jahanam keji! Harus kau bayar mahal kebia-
dabanmu itu!" teriak Gampala dengan suara bergetar marah. "Benar, Kakang.
Meskipun harus berkorban nyawa, aku rela asal kematian guru kita terbalaskan!"
Sudirja yang bertubuh sedikit lebih pendek dari Gampala, bergegas bangkit.
Perbuatannya diikuti Widarta dan Sumiija.
Gampala yang sadar akan kepandaian Hantu
Kematian, segera memerintahkan seluruh murid Per-
guruan Macan Liwung untuk mengepungnya.
"Kepung manusia keji itu! Kita pertaruhkan
nyawa demi membalas kematian guru kita!" teriak Gampala yang sudah melompat
mendekati Hantu Kematian. "Kekh, kekh, kekh...! Bagus..., bagus...! Senang
rasanya dapat mengantarkan kalian menyusul arwah
guru kalian itu. Mari, majulah!" ujar Hantu Kematian dengan wajah tetap dingin.
Kakek tinggi kurus itu hanya berdiri tegak me-
nanti serangan. Hatinya sama sekali tidak merasa gentar, meskipun jumlah
pengeroyok. mencapai enam pu-
luh orang lebih. Hal itu menunjukkan kalau Hantu
Kematian benar-benar merasa yakin dengan ilmu ke-
pandaiannya. "Heaaat...!"
Dibarengi teriakan keras, Gampala melompat
mendahului yang lainnya. Golok besar di tangannya
berkelebatan cepat hingga menimbulkan deru angin
keras. Sesaat setelah Gampala melompat, murid-
murid yang lain pun bergerak menyerbu Hantu Kema-
tian yang masih berdiri tegak menanti serangan.
"Haiiit..!"
Pada saat serangan Gampala hampir tiba, men-
dadak Hantu Kematian berseru nyaring dan mengge-
tarkan! Saat itu juga, tubuh tinggi kurus itu melesat ke depan sambil
menghindari sambaran golok Gampala.
"Rebah...!"
Hebat sekali bentakan yang keluar dari mulut
Hantu Kematian. Belasan orang pengeroyoknya lang-
sung terpental bagai daun-daun kering tertiup angin.
Beberapa orang langsung tewas seketika, karena teriakan itu didorong tenaga
dahsyat. Dan memang, pem-
buluh darah mereka langsung pecah.
Belum lagi yang lain sempat menyadari kea-
daan itu, Hantu Kematian seketika menggerakkan ke-
dua tangannya ke atas kepala. Sepasang tangan yang
mengandung kekuatan dahsyat itu segera bertemu dan
menimbulkan ledakan keras.
Plarrr! "Aaargh...!"
Beberapa murid Perguruan Macan Liwung yang
masih hidup meraung kesakitan akibat ledakan yang
ditimbulkan oleh pertemuan sepasang telapak tangan
kakek tinggi kurus itu. Mereka langsung terjungkal ke tanah. Tubuh mereka
menggelepar bagaikan ayam dis-embelih. Kedua tangan menekap telinga yang menga-
lirkan darah segar! Setelah berkelojotan sambil me-
raung kesakitan, mereka pun tewas dalam keadaan
mengenaskan! Sementara itu Gampala dan ketiga murid uta-
ma Perguruan Macan Liwung ternyata masih selamat.
Tapi mereka juga mengalami luka yang cukup parah.
Jurus 'Memecah Sukma' yang dilancarkan Hantu Ke-
matian benar-benar dahsyat dan mengerikan! Sehing-
ga meskipun Gampala dan tiga orang lain masih sela-
mat, namun sudah tanpa semangat lagi. Lenyap, entah ke mana. Dan mereka hanya
bisa pasrah menanti datangnya maut yang akan menjemput


Pendekar Naga Putih 20 Bencana Dari Alam Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hmh...!"
Hantu Kematian menggeram ketika melihat
Gampala dan tiga orang lainnya tengah berdiri ber-
goyang-goyang. Tanpa banyak cakap lagi, kakek tinggi kurus itu segera melesat ke
arah mereka. Langsung
dikirimkannya tamparan ke kepala keempat orang itu.
Keempat orang murid utama Perguruan Macan
Liwung itu hanya dapat memejamkan mata sambil
menanti datangnya kematian. Gampala dan ketiga
orang adik seperguruannya itu tidak kuasa lagi mengelak. Apalagi sekujur tubuh
mereka seperti lumpuh, sehingga tidak mungkin lagi melakukan perlawanan.
Terdengar suara berderak keras berturut-turut
ketika tamparan telapak tangan Hantu Kematian
menghantam kepala mereka secara bergantian. Tubuh
keempat orang itu langsung ambruk ke tanah. Darah
segar bercampur cairan putih, seketika mengalir membasahi tanah halaman depan
Perguruan Macan Li-
wung. Empat murid utama perguruan itu pun tewas di
tangan Hantu Kematian.
Kekejaman Hantu Kematian ternyata tidak ber-
henti sampai di situ saja. Setelah menewaskan empat
orang murid kepala Ki Jalasena, kakek tinggi kurus itu melesat memasuki balai
utama perguruan itu. Terdengar jeritan-jeritan menyayat ketika Hantu Kematian
membantai seluruh wanita dan anak-anak yang berada
di dalam balai utama Perguruan Macan Liwung.
Tak lama kemudian, kakek tinggi kurus itu me-
lesat meninggalkan Perguruan Macan Liwung diiringi
tawanya yang mendirikan bulu roma.
"Kekh, kekh, kekh...! Dunia persilatan akan
kubuat gempar dengan kemunculanku ini...," tegas Hantu Kematian di sela-sela
kekehnya yang parau dan berat
*** 2 Pagi baru saja menjelang. Suara kokok ayam
jantan terdengar saling bersahutan. Burung-burung
terbang kian kemari sambil memperdengarkan kicaua-
nnya yang merdu. Perlahan cahaya mentari membias
menerobos rimbunan dedaunan.
Di bawah siraman cahaya matahari pagi, seo-
rang penunggang kuda bergerak perlahan melintasi jalan setapak. Tubuhnya yang
kecil dan ramping, me-
nandakan kalau penunggang kuda itu pastilah seorang wanita. Rambutnya yang legam
dan tergerai lepas,
mengibas lembut mengikuti gerakan kepala yang me-
noleh ke kiri-kanannya. Sepertinya, penunggang kuda itu tengah menikmati suasana
pagi yang cerah ini.
Dilihat dari raut wajah yang cantik dan berkulit
halus itu, paling banyak usianya baru sekitar delapan belas tahun. Matanya yang
bulat dan bening nampak
berbinar cerah menikmati pemandangan indah di kaki
pegunungan Mentawak. Bibirnya yang merah dan se-
gar, tak bosan-bosannya melepas senyum.
"Kita berhenti sebentar, Hitam. Lihat, air sungai itu nampak segar sekali!
Rasanya aku ingin merendam tubuhku sejenak," kata dara cantik itu sambil
menepuk-nepuk punggung kudanya perlahan.
Kuda hitam bertubuh kekar itu meringkik lirih,
seolah mengerti kata-kata majikannya. Binatang itu
menghentikan langkah, lalu menoleh ke arah aliran
sungai yang terlihat jernih.
Gadis cantik bertubuh ramping itu bergegas
melompat turun dari atas punggung kudanya.
"Nah! Sementara aku membersihkan tubuh,
nikmatilah rumput-rumput segar yang ada di sekitar-
mu," ujar gadis cantik itu sambil mengelus-elus leher binatang tunggangannya.
Kemudian, kakinya melangkah menuju aliran sungai yang terpisah beberapa
langkah di depannya.
Setelah melepas pakaiannya di tempat aman,
dara cantik itu pun segera merendam tubuhnya di da-
lam air sungai yang agak dalam dan terlindung. Ia berenang kian kemari,
menikmati sejuknya air yang
mengalir dari pegunungan.
Sayang kegembiraan yang dinikmati gadis can-
tik itu tidak berlangsung lama. Karena, tiba-tiba muncul tiga orang laki-laki
kasar dari balik semak-semak.
Seketika dara cantik itu segera berlari, untuk bersembunyi di balik sebuah batu
besar di tengah sungai.
"Ha ha ha...! Tidak kusangka kalau di pagi ini kita akan bertemu seorang dewi
yang turun dari langit!
Lihatlah! Bukankah ia mengundangku untuk mandi
bersamanya!" kata laki-laki bertubuh gemuk yang wajahnya dipenuhi cambang bauk,
kepada kedua orang
kawannya sambil tertawa-tawa.
"Ha ha ha...! Betul.... Betul! Kakang Kobar,
apakah tidak sebaiknya diundi saja, siapa yang lebih dahulu menemani sang Dewi
mandi?" usul orang bertubuh tinggi kurus sambil terkekeh memuakkan. Se-
pasang matanya yang sipit itu nampak melebar, kare-
na ingin melihat jelas tubuh gadis yang tanpa pakaian itu.
"Aku setuju!" timpal yang lain, sambil mengibar-ngibarkan pakaian gadis itu,
yang diambilnya dari semak-semak. Jakunnya yang sebesar biji salak itu
nampak turun-naik, membayangkan tubuh mulus da-
ra cantik itu. "Ah, tidak perlu! Aku yang paling tua, maka sudah tentu mendapat giliran
pertama," bentak lelaki gemuk yang dipanggil Kobar itu sambil mengibaskan
tangan dengan sikap kesal.
"Hei! Kurang ajar, kalian! Kembalikan pakaian-
ku, atau kalian akan menyesal nanti akibatnya!" tiba-tiba dara cantik itu
berteriak mengancam. Sehingga, ketiga orang kasar yang tengah bertengkar itu
serentak menoleh ke arahnya.
"Ha ha ha...! Sabarlah, Manis. Bukankah kau
masih ingin berlama-lama berendam dalam air yang
sejuk ini" Nah! Tunggulah. Aku akan ikut berendam
bersamamu. Bukankah rasanya akan lebih nikmat?"
sahut Kobar sambil melepas pakaiannya dan siap
menceburkan diri ke dalam air sungai.
"Bangsat, berhenti! Kalau kau nekat mendeka-
tiku, kupecahkan kepalamu yang berisi pikiran kotor itu!" teriak dara cantik
yang wajahnya menjadi merah ketika melihat lelaki bercambang bauk itu mendekati
tempatnya bersembunyi.
"Hei, Ni sanak yang cantik! Kalau kau mengin-
ginkan pakaianmu, naiklah! Tidak usah malu-malu!"
sahut lelaki tinggi kurus yang masih berdiri di tepi sungai, sambil melambaikan
tangannya. Dia memberi
isyarat agar gadis cantik itu naik ke darat
"Bajingan! Kalau tidak juga mau menyerahkan
pakaianku, tubuh kalian akan ku cabik-cabik dan
mayat kalian kulemparkan ke dalam sungai! Cepat
lemparkan ke sini!" teriak gadis cantik itu.
Gadis itu hampir menangis karena rasa malu
dan marah yang menyesak dadanya. Kakinya dibant-
ing-banting di dalam air, karena tidak tahu harus berbuat apa untuk menghadapi
kekurangajaran ketiga
orang laki-laki kasar itu.
Sementara itu, Kobar sudah berenang mende-
kati tempat gadis itu bersembunyi. Lelaki gemuk itu terkekeh-kekeh kegirangan.
Di benaknya sudah tergambar keindahan bentuk tubuh gadis yang sudah je-
las berkulit putih dan halus.
"Ayo, Manis. Keluarlah. Apakah kau lebih suka
kalau aku yang mendekat ke situ" Kalau memang
maumu begitu, aku pasti akan menurutinya," bujuk Kobar. Laki-laki itu sudah maju
semakin dekat saja
dengan batu besar tempat gadis itu bersembunyi. Deru napasnya terdengar sating
berebutan, bagai seekor
kuda yang habis dipacu.
"Pergi, kau! Jangan mendekat ke sini! Setan!"
dara cantik yang merasa tidak berdaya itu berteriak-teriak hampir menangis.
Dia memang merasa serba salah. Kalau diam,
sudah pasti lelaki gemuk itu akan sampai ke tempat
persembunyiannya. Sedangkan untuk menyerang, je-
las tidak mungkin. Sebab perbuatan itu sama saja
dengan mempertontonkan anggota tubuhnya. Akhir-
nya, ia pun bergerak menjauh sambil merendam tu-
buhnya sebatas leher.
"He he he....! Jangan takut, Manis. Aku tidak
akan menyakitimu. Malah sebaliknya, aku akan mem-
buatmu bahagia dan membawamu terbang ke langit
tingkat tujuh," bujuk Kobar.
Suara laki-laki itu mulai gemetar, karena nafsu
iblisnya telah bangkit setelah melihat kulit leher yang putih halus itu. Saat
itu jarak antara keduanya terpisah sekitar satu batang tombak.
"Setan kau! Awas, kalau berani bersikap ku-
rang ajar kepadaku. Aku tidak akan segan-segan me-
mecahkan kepalamu!" gadis cantik itu berteriak-teriak sambil mengacaukan air
sungai hingga menjadi kotor.
Dengan demikian, tubuhnya terlindung dari pandan-
gan sepasang mata liar Kobar.
Kobar sama sekali tidak mempedulikan anca-
man itu. Ia terus saja maju mendekat sambil mengem-
bangkan kedua tangannya. Sepertinya, lelaki gemuk
itu tengah bersiap-siap menerkam tubuh gadis cantik yang semakin ketakutan itu.
"Heyaaa...!"
Karena gadis cantik itu terus saja menjauh,
Kobar menjadi tidak sabar. Meskipun jarak mereka
masih tetap terpisah satu batang tombak, akhirnya
Kobar nekat melompat dan menubruk tubuh gadis itu.
Wajahnya menyeringai, membayangkan betapa seben-
tar lagi akan memeluk tubuh berkulit halus itu.
Gadis itu bergegas menghindari terkaman Ko-
bar. Namun, ia tidak berani menyambut tubuh lelaki
gemuk itu dengan pukulan. Karena jika berbuat demi-
kian, berarti sebagian tubuhnya harus diangkat.
Dan perbuatan itu sama saja mempertontonkan
anggota tubuhnya. Maka ia pun memutuskan untuk
menghindarinya saja.
Tapi sebelum Kobar sempat mencapai tubuh
gadis itu, mendadak sesosok bayangan putih berkele-
bat cepat di atas permukaan sungai. Sambil melompat, sosok tubuh itu melancarkan
tamparan ke kepala Kobar.
Karena tidak menduga bakal ada kejadian se-
perti itu, Kobar pun tak sempat lagi menghindar. Cepat-cepat tenaga dalamnya
dikerahkan untuk melin-
dungi kepala yang terancam tamparan bayangan putih
itu. Plakkk! Lelaki gemuk itu mengeluh ketika tamparan itu
tepat mengenai kepala. Tubuh gemuk itu langsung terpelanting ke dalam air!
Meskipun tamparan keras itu tidak melukainya karena kepalanya terlindung tenaga
dalam, namun tetap saja Kobar merasakan alam di sekitarnya berputar.
"Bangsat! Siapa kau"! Berani-beraninya men-
campuri urusanku..."! Rupanya kau ingin dianggap
pahlawan, ya" Huh! Jangan mimpi, Sobat! Kau belum
kenal, siapa Kobar yang berjuluk Setan Kepalan Besi!"
bentak Kobar yang sudah bangkit berdiri tegak di atas batu besar, di tengah
sungai. "Hm.... Paling-paling kepalanmu itu hanya bisa meremukkan krupuk!" ejek sosok
tubuh berpakaian putih. Dia ternyata seorang pemuda tampan bertubuh tegap.
Pemuda itu berdiri dengan kedua kaki terpen-tang. Sikapnya nampak gagah sekali.
"Ni sanak, kuharap kau bersembunyi di balik
batu itu. Biar aku yang mewakilimu memberi pelajaran kepada mereka," lanjut
pemuda itu sambil menolehkan kepala ke arah si gadis.
Kobar yang menyadari keadaannya tidak men-
gizinkan untuk bertarung, bergegas menghambur ke
tepi sungai. Cepat-cepat disambarnya pakaian yang di-asongkan salah seorang
kawannya. Lalu, pakaian itu
dikenakan secara tergesa-gesa.
Sedangkan pemuda tampan berpakaian putih
itu pun segera melesat menghampiri Kobar dan kawan-
kawannya. "Hmh...!"
Lelaki gemuk yang telah selesai berpakaian itu
membalikkan tubuh disertai geraman marah. Sepa-
sang tangannya terkepal erat, sehingga berkerotokan.
Sepasang matanya menatap lekat-lekat, seolah-olah
ingin menelan tubuh pemuda tampan itu hidup-hidup.
"Kisanak. Sebaiknya tinggalkanlah tempat ini.
Sadarlah, perbuatan kalian tadi itu melanggar tata
krama," ujar pemuda tampan itu.
"Diam kau, Pemuda Sok Suci! Lebih baik ber-
sihkan hidungmu yang masih ingusan itu! Dan jangan
sekali-kali mencoba menggurui kami!" bentak Kobar garang. Kemudian, dia maju
beberapa langkah mendekati pemuda tampan itu.
*** Kobar dan pemuda tampan itu saling menatap
dalam jarak satu setengah tombak. Sepasang mata le-
laki gemuk itu memancarkan sinar berapi-api yang
siap membakar hangus tubuh calon lawannya. Se-
dangkan yang ditatap, tetap saja tenang tanpa menunjukkan rasa gentar sedikit
pun "Hehhh...!"
Lelaki gemuk yang wajahnya dipenuhi cambang
bauk itu menghembuskan napas kuat-kuat. Berbaren-
gan dengan itu, kedua kakinya bergerak membuka
membentuk kuda-kuda. Sepasang tangannya dengan
telapak terbuka, didorongkan ke atas hingga melewati kepala. Kemudian tangan itu
turun perlahan-lahan,
dengan gerakan menyilang di depan dada.
"Bersiaplah, Anak Muda! Kau harus diberi pela-
jaran agar lebih mengenal siapa Setan Kepalan Besi!"
geram Kobar yang sudah mengepal kedua tangannya
kuat-kuat. Kaki kanannya ditarik ke belakang, agak
rendah. "Majulah! Aku ingin tahu, sampai di mana ke-rasnya tangan besimu itu,"
sahut pemuda tegap berpakaian serba putih itu tenang.
Ia tetap saja berdiri tegak, tanpa memper-
siapkan jurusnya. Tentu saja Kobar yang merasa di-
pandang remeh menjadi semakin marah.
"Keparat sombong! Sambutlah...!"
Sambil berteriak nyaring, Kobar menggeser
langkahnya mendekati pemuda itu. Sepasang kepalan-
nya menyambar-nyambar menimbulkan angin kuat
Bettt! Bettt! "Hmh...!"


Pendekar Naga Putih 20 Bencana Dari Alam Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Melihat serangan yang dilancarkan lelaki ge-
muk itu, pemuda tampan itu hanya bergumam lirih.
Sambil menggeser kaki kanannya ke samping, tubuh-
nya diputar hingga mendadak doyong ke kanan. Maka
dua buah serangan Kobar pun lewat di depan tubuh-
nya. Namun, gerakan Kobar pun ternyata cukup ge-
sit! Begitu sadar kalau kedua serangannya dapat di-
hindari lawan, kaki kanannya cepat bergerak menyapu kaki kiri lawan yang berada
di depan. Sebenarnya, sapuan kaki kanan Kobar itu ha-
nyalah sebuah gerak tipu untuk memancing gerakan
lawan. Apabila lawan berhasil terkecoh sehingga mengangkat kaki kirinya, maka
sapuan kaki Kobar dapat
berubah menjadi tendangan kilat yang berbahaya. Se-
baliknya, bila lawan tidak berusaha menghindar, maka sapuan kakinya akan terus
berlanjut. Bahkan akan
langsung disusul dorongan kedua telapak tangan ke
arah dada. Benar-benar sebuah serangan berbahaya
dan penuh perhitungan!
Tapi, sepertinya pemuda itu sama sekali tidak
menyadari akan perhitungan serangan lawan. Ia tetap saja menanti sapuan kaki
Kobar tanpa berusaha mengelak. Tentu saja lelaki gemuk itu menjadi gembira bukan
main. Sudah terbayang jelas di benaknya, betapa laki-laki muda itu akan
terlempar oleh dorongan sepasang tangannya yang siap dilontarkan.
Pada saat sapuan kaki Kobar hampir mengenai
kaki lawan, tiba-tiba saja pemuda itu menunduk. Lu-
tutnya segera dijatuhkan untuk menghantam tulang
kering lawannya. Berbarengan dengan gerakan itu,
tangan kanannya dengan telapak terbuka menggedor
dada lawan Dukkk! Buggg! Tak ayal lagi, tubuh lelaki gemuk itu terlempar
ke belakang sejauh dua batang tombak! Kobar terus
bergulingan, hingga satu batang tombak lebih. Jerit kesakitan seketika terdengar
dari mulutnya. Kobar bangkit duduk dengan mimik wajah lu-
cu. Ia terlihat sibuk mengurut-urut kaki kanan dan
menekap dadanya yang terasa sesak. Lelaki gemuk itu tidak tahu lagi, apa
sebenarnya yang dirasakan saat itu. Di sisi lain, dadanya yang terhantam telapak
tangan pemuda itu terasa sesak dan nyeri. Sedangkan tulang kering kaki kanannya
yang terkena hantaman lu-
tut, sakitnya sukar dilukiskan. Sehingga, Kobar tidak
tahu apakah harus menangis atau menjerit-jerit akibat rasa sakit yang bercampur
aduk. "Ah! Sayang kau hanya memperhatikan kekua-
tan tanganmu, Kisanak. Sehingga, kau lupa kalau ka-
kimu belum sekeras besi. Kunasihatkan, agar kau ce-
pat-cepat melatih kakimu. Sehingga, julukanmu akan
lebih lengkap dan menyeramkan. Setan Kepalan dan
Kaki Besi! Nan, bukankah julukan itu lebih hebat?" ledek pemuda tampan itu
seraya tersenyum lucu.
"Hi hi hi...! Tepat sekali! Aku setuju dengan julukan itu," tiba-tiba terdengar
suara merdu yang berasal dari aliran sungai.
Pemuda tampan itu menoleh, lalu melemparkan
senyum kepada dara cantik yang rupanya juga men-
dengarkan ucapan itu.
"Kau setuju, Ni sanak?" tanya pemuda tampan itu tanpa melepaskan senyum yang
menghias wajah.
"Tentu saja aku setuju, Kakang!" sahut gadis cantik itu, dengan mata kocak.
Sepertinya, gadis itu sudah lupa kalau hampir saja celaka tadi.
Sementara itu, kedua orang kawan Kobar ber-
gegas menghampiri dan memapah tubuh lelaki gemuk
itu. Sebelum pergi, mereka sempat meninggalkan kata-kata ancaman kepada pemuda
tampan itu. "Ingat, Kisanak! Persoalan kita belum selesai!
Kelak, kami akan mencarimu dan membalas hinaan
ini!" geram lelaki tinggi kurus dengan tatapan penuh dendam.
Pemuda tampan itu hanya tersenyum tanpa
mempedulikan ancaman orang itu. Dan setelah ketiga
orang itu lenyap di balik rimbunan pepohonan, tubuhnya pun segera berbalik
menghadap ke sungai. Di sa-
na, dara cantik itu masih bersembunyi.
"Hei, Ni sanak! Apakah pakaian ini harus ku-
lemparkan, atau kau yang akan naik ke sini!" tanya pemuda tampan itu, agak
keras. "Lemparkan saja! Biar aku mengenakannya di
sini!" sahut dara cantik itu sambil menyembulkan kepala dari balik batu.
"Tangkaplah...!" ujar pemuda itu sambil melemparkan pakaian yang terbuat dari
sutra kuning cerah. Setelah melemparkan pakaian, pemuda tampan
itu membalikkan tubuhnya, duduk di atas sebuah ba-
tu yang agak pipih. Sepasang matanya menerawang
jauh, menembus mega-mega biru yang berarak pergi.
*** 3 "Namaku, Wurati, kuucapkan banyak terima
kasih atas pertolonganmu," ucap gadis cantik yang mengaku bernama Wurati. Saat
itu keduanya berdiri
berhadapan di tepian sungai.
"Ah! Jangan terlalu sungkan-sungkan. Bukan-
kah tolong-menolong sudah menjadi kewajiban kita
bersama," sahut pemuda tampan itu merendah. "Namaku Samanggala. Kebetulan
pondokku tidak begitu
jauh dari sungai ini. Jadi, suara teriakanmu terdengar cukup jelas dari
pondokku."
"Sekali lagi kuucapkan terima kasih. Dan mu-
dah-mudahan, aku bisa membalasnya kelak," sambut Wurati lagi sambil
membungkukkan tubuhnya memberi hormat.
"Ah, sudahlah! Mengapa kau begitu terikat se-
gala aturan konyol itu" Tapi kalau kau memang bersikeras hendak membalas budiku
itu, tunggulah di sini sebentar!"
Setelah berkata demikian, pemuda tampan
yang bernama Samanggala itu berkelebat lenyap me-
nuju sebuah mulut hutan.
Wurati yang tidak sempat mencegah kepergian
Samanggala, berdiri terpaku dengan wajah bingung.
Sama sekali tidak dimengerti, mengapa tiba-tiba saja penolongnya berlari menuju
mulut hutan yang mem-bentang beberapa belas tombak di depannya. Gadis itu
berdiri mematung, menunggu kemunculan pemuda itu
dengan berbagai pertanyaan memenuhi benaknya.
Tak lama kemudian, Samanggala kembali sam-
bil menenteng dua ekor ayam hutan yang cukup besar.
Wajah pemuda tampan itu tampak tersenyum cerah
ketika menghampiri Wurati.
"Nah! Kalau memang ingin membalas budiku,
mari ikut aku ke pondok. Dengan memenuhi undan-
ganku, maka berarti kau sudah tidak punya hutang
lagi. Bagaimana" Bersedia?" tanya Samanggala sambil memandang wajah cantik di
depannya dengan sinar
mata kagum. "Hi hi hi...! Kau ini ada-ada saja, Kakang. Baiklah, aku menerimanya dengan
senang hati. Apalagi,
saat ini perutku memang sudah minta diisi," sahut Wurati terkekeh gembira. Dan
sudah dapat diduga,
untuk apa dua ekor ayam hutan yang berada dalam
genggaman pemuda itu.
"Kalau begitu, apa lagi yang ditunggu" Ayolah, kita berangkat," ajak Samanggala,
segera melangkah mendahului Wurati.
Gadis cantik berpakaian kuning cerah itu,
mengangkat bahunya sambil tersenyum. Tanpa berka-
ta apa-apa lagi, Wurati pun bergegas menyusul peno-
longnya. Menurutnya, pemuda itu berwatak aneh.
Tidak berapa lama kemudian, keduanya pun ti-
ba di depan sebuah pondok kayu yang sederhana dan
terlihat cukup bersih.
"Nah, inilah istanaku. Tapi sayang, tidak ada
dayang seorang pun yang menyambut kedatangan kita.
Bagaimana menurutmu" Apakah cukup memadai"!"
gurau Samanggala seraya mengulum senyum.
"Hm.... Benar-benar sebuah istana yang me-
nyenangkan. Tentunya di sini kau sering menikmati
nyanyian-nyanyian alam. Seperti desau angin lirih,
lembutnya gemerisik dedaunan, dan juga gemuruh air
sungai yang mengalir. Apakah kau tinggal seorang diri, Gusti Pangeran?" tanya
Wurati dengan sikap dibuat wajar. Seolah-olah gadis itu memang tengah berhadapan
dengan seorang pangeran. Padahal, tawanya su-
dah hampir meledak ketika melihat wajah Samanggala
yang seperti orang tolol. Rupanya, pemuda itu cukup terkejut mendengar jawaban
Wurati yang sama sekali
tidak disangka itu.
Beberapa saat kemudian, barulah pemuda itu
menyadari sikapnya. Senyum di wajahnya tampak
mengembang. Hatinya benar-benar gembira, karena
Wurati ternyata seorang gadis yang menyenangkan
dan pandai bergurau.
"Yah, aku memang tinggal seorang diri di tem-
pat ini. Tapi, hari ini nasibku sedang baik. Karena, ti-ba-tiba saja seorang
putri jelita bersedia memenuhi undanganku," timpal Samanggala mengakhiri
ucapannya dengan derai tawa bergelak-gelak.
"Ya, seorang putri yang tersesat dan kelaparan,"
sambung Wurati terkekeh gembira.
"Kalau begitu, Tuan Putri tunggulah di sini.
Hamba akan segera menyiapkan hidangan istimewa,"
Setelah berkata demikian, Samanggala melang-
kah memasuki pondok.
Wurati duduk menunggu di bawah pohon di
depan pondok itu. Wajahnya terlihat berbinar gembira.
Perkenalan singkat itu ternyata telah menimbulkan
kesan mendalam di hatinya. Diam-diam, gadis itu me-
muji cara bergaul Samanggala yang membuatnya cepat
akrab, dan menimbulkan rasa suka di hatinya.
Samanggala adalah seorang pemuda tampan
yang menyenangkan. Belum lagi kepandaian silatnya,
yang sempat dilihat Wurati sewaktu menundukkan Se-
tan Kepalan Besi. Benar-benar pemuda yang jarang
duanya. Senyum di wajah Wurati mengembang menge-
nang semua itu. Ketika tersadar, ia menjadi malu sendiri. Kedua pipinya seketika
dijalari warna merah, ketika teringat betapa tidak pantas membayangkan wa-
jah seorang pemuda yang baru beberapa saat dikenal-
nya. "Aduh, kasihan! Sayang ayam bakar yang dibayangkan belum siap. Padahal,
Tuan Putri sudah tersenyum-senyum sendirian membayangkan kelezatan-
nya," goda Samanggala yang tiba-tiba keluar dari dalam pondoknya. Di tangan
pemuda itu telah tergeng-
gam dua buah gelas yang terbuat dari bambu.
"Sialan! Aku bukannya tengah membayangkan
ayam bakarmu. Enak saja menuduh orang!" sungut Wurati. Gadis itu menjadi agak
malu, karena perbua-tannya dipergoki sosok yang tengah dinilainya itu.
Samanggala tertawa lunak melihat Wurati ter-
sipu malu. Dihampirinya gadis itu, lalu disodorkannya salah satu gelas bambu di
tangan kanannya.
"Arak ini sama sekali tidak memabukkan. Dan
rasanya sangat cocok untuk teman hidangan kita nan-
ti," jelas Samanggala yang kembali masuk ke dalam pondoknya setelah meletakkan
gelas yang satunya lagi.
Beberapa saat kemudian, pemuda itu sudah
kembali sambil membawa dua buah gumpalan tanah
sebesar bola. Samanggala sama sekali tidak merasa
kepanasan meskipun bulatan tanah yang dipegangnya
masih mengepulkan asap. Jelas pemuda itu pasti me-
miliki tenaga dalam tinggi. Sehingga, rasa panas itu tidak membuat telapak
tangannya melepuh. Tentu saja
Wurati semakin bertambah kagum.
"Hei" Untuk apa kedua gumpalan tanah itu,
Kakang?" tanya Wurati seraya mengerutkan keningnya. Gadis itu benar-benar tidak
mengerti, apa se-
benarnya yang akan dilakukan pemuda itu. Padahal,
tadi Samanggala berjanji akan membawa dua ekor
ayam yang telah dimasaknya. Mengapa sekarang ma-
lah membawa dua buah gumpalan tanah" Apakah pe-
muda itu mempermainkannya"
Samanggala sama sekali tidak menyahuti per-
tanyaan Wurati. Sehabis meletakkan dua buah gumpa-
lan tanah di depan gadis cantik itu, lalu disambarnya dua helai daun pisang.
Kemudian, pemuda itu duduk
bersila di hadapan sahabat barunya. Diserahkannya
sehelai daun pisang kepada gadis itu.
Tanpa mempedulikan tatapan heran mata Wu-
rati, Samanggala membelah gumpalan tanah di hada-
pannya. "Eh...?"
Wurati tertegun melihat isi gumpalan tanah se-
besar bola itu. Asap tipis mengepul menebarkan aroma yang membuat rasa laparnya
semakin menggigit.
Wurati menjadi agak dongkol melihat pemuda
itu sama sekali tidak mempedulikannya. Gadis itu
hanya meneguk air liur, melihat betapa lahapnya Sa-
manggala menikmati daging ayam yang berwarna ke-
kuningan. Diraihnya gumpalan tanah yang berada di
depannya, lalu ditiru perbuatan sahabatnya.
Tanpa malu-malu lagi, Wurati menyantap dag-
ing ayam yang ternyata sangat nikmat itu. Dalam sekejap saja, ayam bakar itu pun
lenyap, masuk ke dalam perutnya.
"Bagaimana, Tuan Putri" Apakah rasa laparmu
masih mengganggu?" tanya Samanggala.
Pemuda itu juga telah menyelesaikan makan-
nya. Arak harum di gelas bambunya pun telah berpin-
dah dalam perutnya. Pemuda itu memandang Wurati,
dengan senyum menggoda.
"Wah! Kau benar-benar hebat, Kakang. Dari
mana kau belajar cara memasak seperti ini" Aku ingin sekali mempelajarinya,"
puji Wurati tanpa malu-malu lagi, seraya meneguk minumannya.
"Oh, ya. Aku belum tahu asal-usulmu. Kau da-
tang dari mana?" tanya Samanggala tanpa mempedulikan pujian Wurati.
"Aku dari Desa Maja Tengah. Sejak kecil, aku
dititipkan ayah di Perguruan Silat Cakar Naga," jelas Wurati. "Hm... Apakah
gurumu Ki Bala Dewa yang berjuluk Pendekar Cakar Naga?" tebak Samanggala.
"Oh....! Kau kenal guruku, Kakang?"
Wurati kaget. Rasa kagumnya pada Samangga-
la makin besar. Betapa tidak" Pemuda itu ternyata
luas pengetahuannya tentang tokoh-tokoh persilatan.


Pendekar Naga Putih 20 Bencana Dari Alam Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Gurumu memang pendekar sejati. Julukannya
membuat orang berpikir seribu kali untuk menghada-
pinya. Tapi sayang kematiannya masih menjadi teka-
teki," kata Samanggala.
"Itulah sebabnya, Kakang. Aku sekarang ini
tengah mengembara, mencari pembunuh guruku. Wa-
laupun kakak seperguruanku melarang, tapi aku ne-
kat Pokoknya, pembunuh guruku harus kubalas!" tegas Wurati.
Hati Samanggala sebenarnya agak terkesiap
mendengar penegasan Wurati. Ini terpancar jelas dari wajahnya. Untung saat itu
kepalanya tengah tertun-duk, sehingga Wurati tidak sempat melihatnya.
"Oh, ya. Apakah arak itu terlalu keras bagimu, Wurati?" tanya Samanggala
mengalihkan pembicaraan.
"Sama sekali tidak, Kakang. Malah menurutku,
arak ini harum dan manis," sahut Wurati.
"Syukurlah kalau begitu," desah Samanggala.
Sepasang mata pemuda itu tampak menyi-
ratkan sinar aneh ketika melihat wajah Wurati keme-
rahan. Mendadak saja, senyumnya yang semula lem-
but kini berubah licik. Jelas sekali kalau hatinya merasa gembira melihat
perubahan wajah gadis itu.
Wurati pun bukan tidak menyadari perubahan
pada dirinya. Dan kini tubuhnya mendadak saja terasa panas bagai terpanggang
api. Titik-titik keringat mulai membanjir, turun membasahi wajah dan tubuhnya.
"Ooohhh...," Wurati mengerang lirih.
Tubuh gadis itu tampak menggeliat gelisah. Su-
atu rangsangan aneh yang selama hidup belum pernah
dirasakannya, kini mencengkeram hatinya. Dan yang
lebih membuatnya tidak mengerti, rangsangan aneh
itu terasa begitu nikmat. Sedangkan deru napasnya terasa semakin memburu.
"Wurati...," desah Samanggala dengan suara serak dan bergetar.
Pemuda itu sama sekali tidak merasa bingung
melihat perubahan yang terjadi pada gadis itu. Bah-
kan, sebaliknya malah merasa gembira melihatnya.
Samanggala mengulur tangannya menyentuh
jemari gadis itu. Wajah pemuda itu pun memerah.
Hanya bedanya, ia masih bisa menguasai kesadaran.
Sedangkan Wurati sudah bagai orang kehilangan ke-
sadaran Sehingga, gadis itu berkali-kali mengerang
dan merintih lirih.
Sentuhan lembut telapak tangan Samanggala
membuat tubuh Wurati bagai melambung ke angkasa.
Suatu perasaan aneh yang nikmat membuat gadis itu
menggenggam, bahkan meremas-remas jemari tangan
Samanggala dengan tubuh gemetar hebat
"Ha ha ha...!" Samanggala tertawa bagai iblis ketika merasakan sambutan hangat
Wurati. "Marilah kita masuk, Wurati. Aku akan membawamu terbang ke
langit yang ke tujuh," ujar Samanggala yang segera memondong tubuh Wurati dan
membawanya masuk
ke dalam pondok.
Tawa Samanggala semakin nyaring berkuman-
dang, ketika sepasang tangan halus Wurati bergayut di lehernya. Begitu tiba di
dalam pondok, tubuh gadis
cantik itu direbahkan di atas balai-balai bambu. Kemudian, seluruh pakaian yang
membungkus tubuh
Wurati dilepaskan. Sedangkan gadis cantik itu tetap tidak mau melepaskan
pelukannya pada Samanggala.
"Sabarlah, Dewiku...," desah Samanggala.
Bergegas pemuda itu melepaskan seluruh pa-
kaian yang melekat di tubuhnya. Bagaikan seekor ha-
rimau lapar, tubuh gadis itu diterkamnya. Sedangkan Wurati menyambutnya dengan
tidak kalah ganas.
Malang nian nasib gadis cantik itu. Tanpa dis-
adarinya, ia telah terjebak dalam perangkap iblis yang
sengaja dipasang Samanggala dengan lihainya.
Samanggala melampiaskan nafsu iblisnya sam-
bil tertawa penuh kepuasan!
*** Samanggala melangkah keluar dari dalam pon-
dok disertai seringai iblisnya. Tubuh bagian atasnya yang belum tertutup pakaian
itu tampak dibasahi butir-butir keringat yang mengalir turun
"Bagaimana, Tuan Muda" Apakah gadis cantik
itu sudah ditundukkan?" tanya seorang lelaki gemuk yang wajahnya dipenuhi
cambang bauk. Siapa lagi orang itu kalau bukan Setan Kepalan
Besi. Ia datang ditemani dua orang kawannya yang
pernah mengganggu Wurati ketika sedang mandi.
Pemuda tampan yang ternyata seorang penja-
hat cabul itu memang majikan Setan Kepalan Besi.
Dan memang, mereka berempat telah bersandiwara
untuk menjebak Wurati. Dan jebakan itu ternyata berhasil baik.
"Ha ha ha...! Jangan khawatir! Dia masih belum sadar. Kalian boleh menikmatinya
sekarang," sahut Samanggala yang segera melesat meninggalkan tempat
itu setelah mengenakan pakaiannya kembali.
Setan Kepalan Besi sama sekali tidak mempe-
dulikan kepergian Samanggala. Lelaki gemuk itu ber-
gegas memasuki pondok sambil memperdengarkan ta-
wa iblisnya. Bagaikan seekor harimau lapar, Setan Kepalan
Besi langsung menerkam tubuh molek di atas pemba-
ringan. Meskipun saat itu korbannya sudah dalam
keadaan tak sadarkan diri, sama sekali tidak dipedulikannya. Digelutnya tubuh
gadis itu untuk melam-
piaskan nafsu iblisnya.
Bukan hanya Setan Kepala Besi saja yang me-
nikmati tubuh Wurati. Dua orang lain yang berjuluk
Setan Muka Putih dan Setan Kelabang Hijau pun ikut
menggilirnya. Mereka melakukannya tanpa perasaan
iba sedikit pun terhadap penderitaan gadis malang itu.
Wurati masih juga belum sadarkan diri, saat ti-
ga orang tokoh sesat yang sebenarnya berjuluk Tiga
Setan Kali Brantas itu meninggalkan pondok. Obat pe-rangsang yang dicampur ke
Kisah Sepasang Rajawali 5 Tamu Dari Gurun Pasir To Liong Keng Hong Karya Opa Pendekar Pemetik Harpa 22
^