Pencarian

Beruang Gunung Es 1

Pendekar Naga Putih 65 Beruang Gunung Es Bagian 1


BERUANG GUNUNG ES Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode: Beruang Gunung Es
128 hal. ; 12 x 18 cm
http://duniaabukeisel.blogspot.com
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
1 Pagi baru saja datang menggantikan tugas sang Ma-
lam. Suara burung di dahan-dahan pohon terdengar
bersahutan menyambut datangnya mentari pagi. Semi-
lir bayu perlahan menyapa dedaunan, memperdengar-
kan suara gemerisik lembut di telinga.
Di bawah siraman mentari yang hangat menyentuh
kulit, tampak enam sosok lelaki tegap bergerak me-
nyusuri jalanan lebar. Langkah kaki mereka yang
mantap menapak tanah, menandakan rombongan kecil
itu telah terbiasa berjalan jauh. Keenam lelaki tegap itu agaknya para pemburu.
Mereka membawa busur
dan anak panah, serta sebilah golok besar yang terselip di pinggang.
Lelaki terdepan berwajah keras dengan sepasang
mata lebar dan tajam. Rahangnya yang kokoh meng-
gambarkan keteguhan hatinya. Tampak jelas bahwa lelaki berwajah berewokan itu
telah terbiasa menghadapi kehidupan yang keras.
Orang kedua berperawakan hampir sama dengan le-
laki pertama. Bahkan badannya lebih kekar dan ko-
koh. Lelaki itu kelihatan sangat jantan sehingga menimbulkan rasa kagum bagi
siapa saja yang meman-
dangnya. Usianya tidak terlalu tua. Sekitar empat puluh tahun. Sepuluh tahun
lebih muda dari lelaki pertama.
Sedangkan empat orang lainnya berperawakan te-
gap dan bermata tajam. Gerakan mereka pun gesit.
Apa yang mereka miliki itu rasanya sudah cukup me-
menuhi syarat sebagai pemburu.
"Arah mana yang akan kita ambil, Kakang Loda-
na...?" tanya lelaki bertubuh kekar kepada lelaki ber-
wajah berewok, yang rupanya pemimpin rombongan
kecil itu. Karena usianya yang paling tua di antara mereka dan pengalamannya
dalam berburu yang jauh le-
bih luas daripada kelima orang kawannya.
"Hm... tujuan kita adalah Hutan Graban. Kabarnya
tempat itu banyak dihuni binatang-binatang buruan
yang sangat langka. Tempatnya memang cukup jauh,
hingga memerlukan dua hari perjalanan. Tapi, aku yakin kalian akan puas setelah
melihatnya sendiri...,"
sahut lelaki berwajah berewok yang bernama Lodana.
Sosoknya berdiri tegak di persimpangan jalan yang
terpecah menjadi tiga.
"Hutan Graban..."!" desis kelima pemburu lainnya.
Mereka kelihatan berpikir beberapa saat untuk men-
gingat-ingat nama itu.
"Ah, aku ingat sekarang!" seru lelaki kekar itu terlonjak gembira. "Aku memang
pernah mendengar ten-
tang sebuah hutan yang banyak dihuni binatang bu-
ruan yang sangat langka. Dan dapat dijual dengan
harga tinggi bila kita bisa membawa kulitnya tanpa ca-cat Kalau begitu, kita
ambil jalan ke kanan. Meskipun harus menerobos semak belukar, tapi jaraknya
lebih dekat dibanding jalan lainnya...," lanjut lelaki itu mengajukan usul.
"Hm... ternyata kau memiliki ingatan tajam, Tang-
kar!" puji Ki Lodana. "Sebaiknya memang kita men-
gambil jalan ke kanan. Dengan begitu, kita akan lebih cepat sampai ke tempat
tujuan...."
"Kalau benar begitu, tunggu apa lagi" Ayo kita sege-ra berangkat...," tukas
salah seorang dari empat pemburu lainnya. Tampaknya ia sudah tidak sabar mem-
bayangkan binatang buruan di Hutan Graban. Mereka
pun langsung setuju.
Ki Lodana tersenyum lebar. Lelaki berewok itu gem-
bira melihat semangat kawan-kawannya. Maka, ka-
kinya melangkah menapaki jalan tanah berumput.
Semakin lama jalan itu semakin sempit. Hingga akhirnya mereka melalui jalan
setapak yang ditumbuhi pepohonan lebat di kiri-kanannya. Ketika jalan yang
mereka lalui semakin bertambah sulit, dan terhalang
ranting pohon yang menjulur ke jalan, Ki Lodana mencabut golok besarnya.
Kemudian mengayunkan ke kiri-kanan untuk membuka jalan.
Matahari sudah bergeser ke barat ketika keenam
pemburu itu merambas padang ilalang. Dan kegelapan pun menyelimuti bumi, saat
mereka tiba di pinggir sebuah hutan yang tidak terlalu lebat.
"Hm.... Kelihatannya kita harus bermalam di pinggir hutan ini," ujar Ki Lodana.
Langkahnya terhenti dan berbalik menghadap kelima orang pemburu yang berada di
belakangnya. "Sebaiknya kita mencari tempat yang dekat dengan
aliran sungai, Kang. Agar kita tidak susah mencari air minum...," usul salah
seorang pemburu. Walaupun Ki Lodana tentu sudah tahu akan hal itu.
Ki Lodana kembali mengayunkan langkah mencari
aliran sungai. Tidak berapa lama kemudian, suara ge-mericik air tertangkap
pendengaran mereka. Setelah berjalan beberapa saat lagi, tampaklah sebuah sungai
yang berair jernih. Ketika menemukan tempat yang
cukup baik untuk bermalam, Ki Lodana dan kawan-
kawannya langsung menghempaskan tubuhnya di atas
rerumputan hijau.
"Hm.... Tempat ini memang sangat cocok...," desah
lelaki bertubuh kekar yang bernama Adi Tangkar. Lelaki itu langsung merebahkan
tubuhnya dengan ber-
bantal bungkusan pakaian.
Ki Lodana dan yang lainnya hanya tersenyum meli-
hat tingkah Tangkar. Sesaat mereka melepaskan lelah setelah menempuh perjalanan
panjang. Lalu, Ki Lodana memerintahkan kawan-kawannya untuk segera
membuat api dan mengambil air minum.
Saat kegelapan semakin pekat, Ki Lodana dan ka-
wan-kawannya sudah beristirahat dengan tenang. Pe-
rut mereka telah diisi roti kering yang mereka bawa sebagai bekal perjalanan.
"Eh..."!"
Ki Lodana tersentak bangkit dengan kening berke-
rut Lelaki berewok yang belum terlelap itu menangkap suara gemerisik dari semak
di sebelah kanannya.
Tangkar dan seorang pemburu yang tengah berjaga-
jaga menjadi heran. Mereka bangkit dan menghampiri lelaki berewok itu.
"Ada apa, Kang...?" tanya Tangkar. Dilihatnya sepasang mata Ki Lodana memandangi
semak-semak. Tangkar pun menjadi latah, hingga ikut-ikutan me-
mandangi semak yang cukup lebat itu.
"Aku mendengar suara gemerisik dari dalam semak-
semak itu. Apa kalian tidak mendengarnya...?" sahut Ki Lodana balik bertanya.
Mendengar ucapan Ki Lodana, Tangkar langsung
mencabut golok besarnya. Dan melangkah mendekati
semak-semak itu. Tangan kanannya menggenggam se-
batang kayu bakar yang masih menyala. Dengan itulah Tangkar menerangi semak-
semak itu, untuk mengetahui apa yang telah membangunkan Ki Lodana.
Krosakkk! "Haeeet...!"
Tangkar sempat terkejut ketika menyibak semak
dengan ujung goloknya. Tiba-tiba sesosok makhluk kecil melompat dan menghilang
dalam kepekatan malam.
Gerakan binatang itu yang mengagetkan Tangkar!
"Hanya seekor kelinci yang kemalaman, Kang...," jelas Tangkar Hingga suasana
tegang kembali mereda.
"Hm... kukira binatang buas yang hendak memang-
sa kita...," gumam Ki Lodana kembali merebahkan tubuh. Beberapa saat kemudian
terdengar dengkurnya.
Lelaki berewok itu telah dibuai mimpi.
Tangkar dan kawannya hanya menggeleng melihat
Ki Lodana sudah terlelap. Keduanya kembali duduk di dekat api unggun sambil
menambah kayu bakar ke dalamnya. Saat itu, malam telah semakin larut.
*** "Sssttt..."
Ki Lodana memberi isyarat kepada kawan-
kawannya agar tidak bersuara. Lelaki berewok itu
menghentikan langkahnya dan merunduk. Yang lain-
nya segera mengikuti gerakan Ki Lodana, meski den-
gan hati bertanya-tanya. Dengan tetap merunduk, Ki Lodana bergerak maju.
Kemudian bersembunyi di balik alang-alang. Dan mengintai dari tempat itu dengan
ha-ti-hati. "Lihat, betapa cantiknya kijang jantan muda itu...!"
bisik Ki Lodana kepada kawan-kawannya yang juga
tengah mengintai ke arah pandang Ki Lodana.
"Aiiihhh..."!"
Tangkar dan empat pemburu lainnya berdecak ka-
gum. Apa yang dikatakan Ki Lodana tidak salah. Beberapa tombak dari tempat
persembunyian mereka tam-
paklah seekor kijang jantan besar dengan sepasang
tanduk yang panjang dan indah. Kijang jantan muda
itu tengah menemani betinanya di tepi sungai.
Dengan hati-hati, Ki Lodana memasang anak panah
pada busurnya. Lalu dibidikkan ke tubuh kijang jantan. Untunglah saat itu angin
berhembus ke arahnya.
Sehingga binatang-binatang itu tidak mencium bau
tubuh mereka. Zingngng...! Anak panah Ki Lodana berdesing membelah udara
dengan kecepatan tinggi. Sayang kijang jantan itu menangkap gaung anak panah
yang datang mengancam-
nya. Sepasang binatang itu langsung terlonjak, dan melesat ke dalam hutan.
"Kurang ajar...!" umpat Ki Lodana. Tidak menyang-
ka kijang jantan itu demikian sigap dan sangat peka pendengarannya.
"Kejar...!"
Tangkar cepat mengambil tindakan. Begitu anak
panah Ki Lodana tidak mengenai sasaran, lelaki kekar itu langsung melompat
keluar dari tempat persembunyiannya. Kemudian melesat mengejar sepasang kijang
itu. "Tangkar, tunggu...!" Ki Lodana yang tidak menyangka akan perbuatan
kawannya, berusaha untuk
mencegah. Bersama dengan pemburu lainnya, lelaki
berewok itu melesat mengikuti Tangkar. Jelas, mereka sangat ingin mendapatkan
kijang jantan bertanduk indah itu.
Tangkar sendiri tidak peduli dengan teriakan Ki Lodana. Ia terus berlari
mengejar sepasang kijang itu.
Hatinya semakin penasaran, ketika kijang jantan yang telah terpisah dari
betinanya seperti mempermainkan-nya. Terkadang binatang itu berhenti berlari,
dan menunggu Tangkar tiba dekat. Lalu melesat pergi saat Tangkar membidikkan
anak panahnya ke tubuh binatang itu.
"Setan...!" maki Tangkar. Lagi-lagi ia harus menelan
kedongkolannya. Sebelum anak panahnya sempat di-
lepaskan, kijang jantan itu telah melesat menjauh. Sehingga Tangkar kembali
mengejar, tanpa menyadari
kalau dirinya sudah terpisah dari kawan-kawannya.
Dengan penuh nafsu, Tangkar terus mengejar ki-
jang jantan itu. Semak-belukar diterobosnya tanpa peduli. Keinginan untuk
mendapat kijang itu membuatnya tidak lagi memperhatikan arah yang telah
ditempuh. Dan kesadarannya baru muncul, saat merasakan
udara dingin menyergap sekujur tubuhnya.
"Aaahhh..."!"
Tangkar menengadahkan kepala dan memperhati-
kan sekeliling. Wajahnya menegang dan menyiratkan
kecemasan. Rupanya ia baru menyadari kalau dirinya telah berada di suatu tempat
yang masih sangat asing.
"Mungkinkah aku telah tersesat begitu jauh..."!"
gumam Tangkar sambil memperhatikan sekitar tempat
itu. Di sekelilingnya hanya terdapat pohon-pohon raksasa yang menjulang tinggi.
Tangkar telah terperangkap di dalam sebuah hutan yang sangat lebat, dan
hampir tidak pernah didatangi orang.
Dengan hati berdebar, Tangkar bergerak perlahan.
Kijang jantan yang diburunya telah lenyap entah ke mana. Hutan itu demikian
lebat sehingga ia kehilangan binatang buruannya!
Menyadari dirinya berada di suatu tempat yang as-
ing dan belum diketahui keadaannya, Tangkar segera menyimpan anak panah serta
busurnya. Dan meng-gantinya dengan golok besar yang terselip di pinggang kanan.
Lalu melangkah dengan penuh kewaspadaan.
Matahari sudah semakin tinggi saat Tangkar terbe-
bas dari hutan lebat itu. Tapi, itu bukan berarti dirinya telah keluar dari
daerah asing yang sama sekali tidak dikenalnya. Meski ia telah berada di tempat
yang agak jarang ditumbuhi pepohonan raksasa, namun hawa
dingin terasa semakin kuat.
"Gunung Es..."!" desis Tangkar dengan suara berge-
tar karena hawa dingin di tempat itu. Kepalanya tengadah menatap sebuah gunung
yang menjulang bebe-
rapa puluh tombak di depannya.
Dugaan Tangkar tidak keliru. Gunung yang menju-
lang dengan puncak putih berkilau tertimpa cahaya
matahari itu memang Gunung Es. Itu berarti Tangkar telah tersesat jauh dari
tempatnya semula.
Sambil menyarungkan senjatanya, Tangkar segera
melangkah perlahan. Dan membasuh wajahnya yang
penuh dengan lelehan keringat serta lapisan debu. Air sungai yang bening dan
dingin membuatnya terasa
agak segar. Karena tanpa disadarinya, ia telah berlari hampir setengah hari. Dan
tanpa hasil. Buruannya lenyap di hutan lebat.
"Hhh.... Kakang Lodana dan yang lainnya pasti
mencariku. Sayang, tempat ini masih sangat asing.
Sehingga, aku tak mungkin dapat menemukan jalan
kembali dengan cepat," desah Tangkar seraya menen-
gadah menatap langit.
Setelah agak lama dia tercenung, Kemudian Tang-
kar menyeberangi aliran sungai. Kakinya yang kokoh berloncatan dengan bertumpu
pada batu-batu di tengah sungai. Akhirnya, ia tiba di seberang dengan selamat.
Sebagai seorang pemburu yang cukup mengenal
kehidupan kaum rimba persilatan, Tangkar berharap
bisa menemukan tempat untuk bermalam. Ia sering
mendengar tentang tokoh-tokoh sakti yang hidup di
tempat-tempat sunyi. Dan menurutnya, daerah Gu-


Pendekar Naga Putih 65 Beruang Gunung Es di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nung Es sangat cocok untuk tokoh-tokoh yang ingin
menjauhi dunia ramai. Pikiran itu sesaat menghibur
hatinya. Tapi belum lama lelaki kekar itu melangkah mende-
kati Gunung Es. Tiba-tiba terdengar geraman keras
yang membuatnya mundur beberapa langkah.
Deg! Jantung Tangkar hampir copot ketika sepasang ma-
tanya menangkap sosok berbulu putih, beberapa tom-
bak di depannya. Sosok itulah yang mengeluarkan geraman barusan.
"Be... ruang... Es...!?" desis Tangkar agak gemetar saat mengenali sosok berbulu
putih itu. Sebenarnya sosok makhluk itu bukanlah hal aneh
bagi pemburu ulung seperti Tangkar. Tapi, binatang itu besarnya tidak wajar.
Hingga Tangkar jadi terkesima. Kesadarannya baru pulih saat beruang es yang
sangat besar itu kembali memperdengarkan geraman-
nya. "Aaahhh...!"
Tangkar bergerak mundur. Meski hatinya tidak bisa
tenang, namun tangannya bergerak sigap memasang
anak panah. Kemudian membidikkan ke arah binatang
itu. Andai aku bisa mendapatkan beruang langka ini, tentu Ki Lodana dan yang
lainnya akan terkagum-kagum, desah hati Tangkar. Naluri pemburunya seke-
tika bangkit Zingngng...! Anak panah di tangan lelaki kekar itu melesat den-
gan kecepatan tinggi. Dan meluncur ke arah jantung binatang itu.
Tapi..., Trakkk! Sepasang mata Tangkar terbelalak melihat anak
panahnya runtuh ke tanah dalam keadaan patah. Pa-
dahal, ia melihat jelas anak panah itu telak mengenai tubuh beruang es yang kini
mengeram sambil memperlihatkan taringnya. Tampaknya binatang itu sangat
marah dengan perbuatan Tangkar.
"Gila! Mana mungkin tubuhnya tidak tertembus
anak panah!?" desis Tangkar. Tidak disangkanya be-
ruang besar itu memiliki kekebalan terhadap senjata tajam.
Wreeettt! "Aaaiiihhh...!?"
Tangkar terpekik kaget. Lengan binatang besar dan
kuat itu meluncur ke arahnya. Cepat lelaki itu melompat mundur menghindari
tamparan itu. Sambil mena-
rik napas panjang berulang-ulang, Tangkar mencoba
mengumpulkan keberaniannya. Kemudian, mencabut
golok besar. Siap menghadapi binatang buas itu.
"Majulah! Ingin kulihat, sampai di mana kekebalan
tubuhmu...," desak Tangkar. Golok besarnya digerakkan menyilang. Kemudian
menggeser langkahnya ke
kanan. "Groaaahhh...!"
Sambil memperdengarkan geramannya yang sangat
menggetarkan dada, beruang berbulu putih berdiri tegak dengan kedua kaki
belakangnya. Kemudian me-
lompat menerjang Tangkar dengan kecepatan yang
mengagumkan! "Heeeaaat...!"
Tangkar yang sedikit banyak mengetahui ilmu silat, langsung menyambut terjangan
beruang es dengan te-basan golok besarnya. Senjata itu menderu diiringi kilatan
sinar putih. Dan....
Trakkk! "Heiii...!?"
Lagi-lagi Tangkar terpekik kaget! Binatang buas itu
mempergunakan lengannya untuk menangkis senjata.
Yang membuat Tangkar terkejut adalah gerakan me-
nangkis binatang itu. Tangkisan itu jelas merupakan gerak ilmu silat. Tentu
Tangkar heran dibuatnya.
Sungguh tidak masuk akal! Bagaimana mungkin
seekor binatang bisa menunjukkan gerak silat yang
cukup baik! Atau hal itu hanya kebetulan saja..." Desis batin Tangkar yang sudah
berlompatan menjauhi binatang itu. Senjatanya patah akibat tangkisan kuat tadi.
Pertanyaan yang memusingkan kepala itu segera
terjawab. Beruang es kembali menunjukkan gerak-
gerak ilmu silat saat melangkah mendekati Tangkar.
Kenyataan ini tidak bisa diragukan lagi. Beruang es yang besar itu jelas
menguasai gerak ilmu silat.
Plaggg! "Uuuggghhh!"
Tangkar yang masih terkesima tidak sempat menge-
lakkan sebuah tamparan keras pada bahunya. Akibat-
nya, tubuh lelaki tegap itu terlempar dan jatuh bergulingan.
"Uuuhhh...."
Meski dengan bahu terasa remuk, Tangkar berusa-
ha bangkit. Lagi-lagi lelaki kekar itu melihat keanehan pada beruang putih itu.
Tamparan yang mengenai bahunya tidak sekeras dugaannya. Beruang itu tidak
menggunakan kuku-kukunya sewaktu melakukan se-
rangan. Hal itu jelas sangat mengherankan!
"Binatang ini pasti bukan beruang sembarangan.
Tamparan tadi, tidak dimaksudkannya untuk membu-
nuhku. Dan gerak silat itu, pasti didapat dari majikannya. Mungkin beruang itu
tidak ingin aku berada di tempat ini...," gumam Tangkar setelah mengkaji semua
yang dialaminya. Lelaki kekar itu pun memutuskan
untuk segera berlalu dari daerah Gunung Es tersebut.
Melihat binatang itu tidak berusaha mengejar,
Tangkar semakin yakin dengan dugaannya. Untuk
meyakinkan diri, Tangkar membalikkan tubuh saat telah tiba di seberang sungai.
Dilihatnya beruang besar itu berbalik dan melangkah pergi. Lelaki kekar itu pun
menarik napas lega.
"Hm.... Tidak salah lagi, beruang besar itu pasti peliharaan seorang tokoh sakti
yang menyepi di Gunung Es ini. Untunglah binatang itu hanya mengusirku.
Mungkin nalurinya dapat menebak bahwa aku bukan
orang jahat. Buktinya binatang itu tidak membunuh-
ku. Kalau ia mau, aku tidak mungkin selamat seperti sekarang...," desah Tangkar
kepada dirinya sendiri.
Kemudian, beranjak meninggalkan tempat itu sete-
lah bayangan beruang es lenyap dari pandangan ma-
tanya. Sambil memegangi bahu kanannya yang masih
terasa nyeri, Tangkar melangkah mencari tempat bermalam. Saat itu alam memang
mulai diselimuti kege-
lapan. *** 2 "Kakang, lihat..!" Dara jelita berpakaian serba hijau berseru sambil menunjukkan
jarinya yang lentik ke
sebatang pohon besar.
Sebetulnya dara jelita itu tidak perlu berseru demikian. Pemuda tampan berjubah
putih di sebelahnya
juga sudah melihatnya. Tubuhnya lalu bergerak ringan setengah berlari, menyusul
dara jelita berpakaian serba hijau yang sudah melesat lebih dahulu. Anehnya
meski tidak kelihatan berlari cepat, namun tubuhnya
meluncur seperti tidak menyentuh tanah. Dan pemuda tampan berjubah putih itu
tiba lebih dulu dari kawannya.
Tanpa membuang waktu lagi, pemuda tampan ber-
jubah putih itu membungkukkan tubuhnya. Terdengar
helaan napas pertanda kelegaan hatinya. Ternyata sosok yang terbaring di bawah
pohon besar itu hanya pingsan.
"Bagaimana, Kang" Apakah pemburu itu masih hi-
dup...?" tanya dara jelita ketika tiba di dekat kawannya.
"Pemburu ini hanya pingsan. Mungkin tidak kuat
menahan serangan hawa dingin di tempat ini. Tidak
lama lagi ia akan siuman. Aku sudah melancarkan pe-redaran jalan darahnya dengan
pijatan. Kita tunggu saja beberapa saat...," sahut pemuda tampan berjubah putih.
"Syukurlah kalau begitu. Tapi, aku merasa heran.
Mengapa ia berada seorang diri di tempat seperti ini"
Meskipun seorang pemburu ulung, semestinya ada be-
berapa orang yang menemaninya. Apalagi tanpa per-
bekalan...," ujar dara jelita berpakaian serba hijau. La-lu menjatuhkan tubuhnya
di dekat pemuda tampan
berjubah putih itu duduk.
"Hm.... Mungkin ia terpisah dari kawan-kawannya,
dan tersesat ke tempat ini. Sebab, aku tidak melihat ada binatang buruan di
sekitar daerah ini...," pemuda tampan berjubah putih menimpali dengan dugaan.
Dara jelita berpakaian serba hijau itu diam dan
menganggukkan kepala. Sepasang matanya yang ben-
ing dan indah meneliti wajah dan pakaian lelaki kekar yang masih tak sadarkan
diri. Akhirnya, pemburu berusia sekitar empat puluh tahun itu mengeluh perlahan.
"Ia mulai siuman, Kang...," gumam dara jelita itu, menoleh ke arah pemuda tampan
berjubah putih di
sebelahnya. "Hm...," pemuda tampan berjubah putih hanya ber-
gumam pelan. Kemudian bangkit mendekati lelaki ke-
kar yang sedang mengerjap-ngerjapkan matanya.
Seperti merasa silau dengan sinar matahari pagi.
"Ehhh"!"
Bagai disengat kalajengking, pemburu yang tidak
lain Tangkar terlonjak bangkit Ia sangat terkejut melihat ada dua orang asing di
dekatnya. "Maaf, jika kehadiran kami mengejutkanmu, Kisa-
nak...," ujar pemuda tampan berjubah putih dengan
sopan dan bersahabat Sebuah senyuman tulus terukir di wajahnya.
"Kalian berdua..., siapa" Dan..., apa yang kalian lakukan di tempat ini...?"
tanya Tangkar dengan tatapan mata curiga. Tubuhnya digeser menjauhi kedua orang
muda itu. "Kami pengembara yang kebetulan lewat di tempat
ini. Melihat Kisanak terbaring tak sadarkan diri, kami mencoba menyadarkan.
Syukurlah, usaha kami tidak
sia-sia...," sahut pemuda tampan berjubah putih itu, tanpa peduli kecurigaan
Tangkar. Tangkar tampak agak tercenung. Seperti sedang
mengingat-ingat kejadian yang telah dialaminya. Samar-samar ia mulai teringat
saat mencari tempat untuk bermalam. Rasa lelah dan nyeri pada bahunya ser-ta
hawa dingin yang menyerang, membuatnya tidak
sadarkan diri. Hingga terkapar pingsan di bawah pohon besar itu. Setelah itu, ia
tidak tahu apa-apa lagi.
"Kami menduga kau telah terpisah dari kawan-
kawanmu, dan tersesat ke tempat ini. Apakah dugaan kami benar?" tanya pemuda
tampan berjubah putih
ketika melihat lelaki bertubuh kekar itu terdiam cukup lama.
"Ya... ya. Aku memang tersesat dan terpisah dari
kawan-kawanku," sahut Tangkar agak gugup. Sikap
itu membuat kedua penolongnya mengerutkan kening,
dan saling berpandangan sesaat.
"Mmm.... Apa yang akan kau lakukan selanjutnya,
Kisanak" Tidakkah kau ingin bergabung kembali den-
gan kawan-kawanmu?"
Kali ini yang melontarkan pertanyaan dara jelita
berpakaian serba hijau. Sepasang mata bulat bening itu menatap wajah ke depannya
dengan penuh selidik.
Gadis itu agaknya mengetahui Tangkar telah menyem-
bunyikan sesuatu.
Tangkar mengatur napas perlahan-lahan. Ia belum
menjawab pertanyaan tadi. Bahkan, lelaki kekar itu mencoba bangkit berdiri.
Tapi.... "Uuuhhh...!"
Pemburu bertubuh kekar itu mengeluh tertahan.
Tangan kirinya memijat bahu kanan yang terasa sakit saat bergerak bangkit
Rupanya bekas tamparan beruang es belum sembuh.
"Kau terluka, Kisanak...?" tanya pemuda tampan
berjubah putih. Tangannya diulurkan menangkap tu-
buh Tangkar yang terlihat agak limbung seperti mau jatuh.
"Terima kasih...," ucap Tangkar. Kemarin aku terjatuh. Dan bahu ku agak
terkilir...," lanjutnya.
"Kalau kau tidak keberatan, aku akan memerik-
sanya. Mudah-mudahan aku bisa meringankan rasa
sakit di bahumu itu...," tukas pemuda tampan berjubah putih dengan sinar mata
tulus, tanpa menyembu-
nyikan keinginan lain.
Tangkar hanya mengangguk lemah. Ia memang me-
rasa terganggu dengan bekas luka tamparan beruang
es. Hingga lelaki itu tidak berusaha mencegah, ketika pemuda tampan berjubah
putih membuka pakaiannya
pada bahu bagian kanan.
"Hm...," pemuda tampan berjubah putih bergumam
perlahan saat melihat luka memar di bahu lelaki bertubuh kekar itu. Agaknya
pemuda itu tahu kalau di-
rinya dibohongi. Namun, ia tidak berkata apa-apa.
"Siapa namamu, Anak Muda" Sepertinya kau san-
gat ahli mengobati luka...?" tanya Tangkar. Ketika pemuda tampan itu melepaskan
jari-jari tangannya, setelah menyelesaikan pijatannya pada bahu Tangkar.
"Namaku Panji. Dan kawanku ini Kenanga. Sebagai
orang yang selalu melakukan perjalanan, kami mem-
bekali diri dengan sedikit kepandaian mengobati. Semua itu hanya untuk berjaga-
jaga," sahut pemuda
tampan berjubah putih, memperkenalkan diri.
"Aku Tangkar. Kuucapkan banyak terima kasih atas
pertolongan yang telah kalian berikan. Dan kalau kalian tidak keberatan, aku
ingin ikut bersama kalian sampai keluar dari daerah Gunung Es ini...," pinta
Tangkar sambil memperkenalkan diri pada pasangan
muda yang ternyata Panji dan Kenanga.
"Tentu saja kami tidak keberatan. Kalau begitu, ma-ri kita segera berangkat..,"
sahut Panji langsung setuju. Pemuda itu berharap dapat mengorek keterangan
mengenai kejadian yang menimpa pemburu itu. Dan,
apa yang menyebabkan Tangkar menyembunyikan ke-
jadian yang sebenarnya.
"Ayolah...," tukas Tangkar yang segera melangkah di samping pasangan pendekar
muda itu. *** Sepanjang perjalanan Tangkar tidak banyak bicara.
Bahkan terkesan sengaja menutup diri. Sehingga, Pan-ji dan Kenanga tidak
menyinggung mengenai penyebab Tangkar berpisah dengan kawan-kawannya. Juga soal
luka di bahu pemburu itu. Meskipun Panji tahu luka itu bukan disebabkan oleh
terjatuh. Tangkar seperti hendak menyembunyikan kejadian yang menimpa dirinya
hingga Panji tidak ingin mencampuri.
"Sampai di sini kita berpisah. Sekali lagi aku men-gucapkan banyak terima
kasih...," saat ketiganya tiba di pertigaan jalan, Tangkar meminta untuk
berpisah. Ucapan terima kasih yang diucapkannya jelas hanya
basa-basi saja. Raut wajahnya sedikit pun tidak menggambarkan perasaan itu.
"Hm.... Tempat ini masih sangat jauh dari perkam-
pungan. Di mana tempat tinggalmu, Tangkar...?" tanya Panji setelah terdiam
beberapa saat memperhatikan


Pendekar Naga Putih 65 Beruang Gunung Es di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekitar tempat itu.
"Sebagai seorang pemburu, aku sering melakukan
perjalanan jauh. Aku pun dapat mengenali jalan dengan baik. Tempat tinggalku
sendiri tidak jauh dari sini.
Kalian tidak perlu mengantarku. Cukup sampai di sini saja...," sahut Tangkar
tanpa menyebutkan desa tempat tinggalnya. Hingga pasangan pendekar muda itu
mengerutkan kening dengan wajah agak heran.
Pemburu ini sangat aneh. Jelas ia menyembunyikan
sesuatu dariku. Apa yang membuatnya khawatir jika
aku dan Kenanga mengetahuinya..." Desis batin Panji seraya menatap wajah Tangkar
lekat-lekat Mendapat tatapan tajam seperti itu, Tangkar men-
jadi salah tingkah. Lelaki kekar itu berusaha menghindar dengan membuang pandang
ke arah lain. "Silakan lanjutkan perjalanan kalian. Terima kasih atas bantuan kalian
kepadaku...," ucap Tangkar. Lalu
berbalik meninggalkan pasangan pendekar muda itu,
yang terpaku menatap kepergiannya. Sesekali Tangkar menoleh dengan cemas. Seolah
khawatir Panji dan Kenanga mengikuti.
"Aneh sekali orang itu...," gumam Kenanga setelah
bayangan tubuh Tangkar tidak nampak lagi. Dara jeli-ta itu tidak bisa menyimpan
rasa penasarannya. Hing-ga segera mengungkapkannya kepada Panji.
"Hhh..., aku pun heran dengan sikapnya. Entah apa
yang ingin disembunyikannya dari kita...," sahut Panji berdesah lirih. Sementara
pandang matanya tetap ter-tuju ke arah bayangan Tangkar lenyap.
"Bahkan desa tempat tinggalnya pun berusaha ditu-
tupi, agar kita tidak tahu. Padahal kalau kita mau, mudah sekali mengikuti
langkahnya...," sambung Kenanga seraya memandang ke arah Tangkar lenyap.
"Yaaah...."
Panji menghela napas panjang. Sebenarnya ia pun
penasaran melihat sikap tertutup pemburu itu. Tapi karena menduga yang
dirahasiakan Tangkar persoalan pribadi, maka Panji tidak ingin mencampuri.
Apalagi orang yang bersangkutan tidak menginginkan campur
tangannya. "Apa tidak sebaiknya kita ikuti saja, Kang...?" usul Kenanga. "Tidak perlu,"
tukas Panji tegas, meski dengan suara lembut. "Mungkin itu persoalan pribadi.
Hingga ia tidak ingin kita mencampurinya."
Mendengar jawaban kekasihnya, Kenanga terdiam
dan menghela napas. Kemudian mengalihkan pandang
ke tempat lain.
"Sudahlah. Kelihatannya memang tidak ada yang
perlu kita selidiki dari pemburu yang mengaku berna-ma Tangkar itu. Lebih baik
kita melanjutkan perjalanan...," ujar Panji setelah beberapa saat lamanya me-
reka dicekam kebisuan. Lalu, Panji mendekati keka-
sihnya. Dan melingkarkan lengannya ke bahu dara jelita itu. Mereka pun melangkah
perlahan meninggal-
kan tempat itu. Keduanya mengambil jalan yang ber-
lawanan dengan arah Tangkar pergi.
*** Lima orang lelaki berperawakan tegap bergerak
memasuki mulut Desa Kawung. Masing-masing mem-
bawa seekor kijang jantan mati. Menilik pakaiannya, agaknya kelima lelaki
berperawakan tegap itu para
pemburu yang baru kembali dari perburuannya. Mere-
ka pun membawa sebuah bungkusan besar yang beri-
sikan kulit binatang. Tampaknya kelima pemburu itu mendapat hasil yang
memuaskan. Semua itu tampak
jelas dari wajah-wajah mereka yang cerah.
"Wah. Kelihatannya Kakang Lodana sedang mujur
dalam perburuan kali ini...," sapa seorang lelaki bertubuh sedang ketika
berpapasan dengan rombongan
pemburu itu. "Begitulah. Sayangnya semua hasil yang cukup me-
limpah ini harus kami tebus dengan diri Tangkar. Dia terpisah dari kami, dan
tersesat entah ke mana...," sahut Ki Lodana. Wajahnya berubah keruh begitu
teringat seorang kawannya yang terpisah dan tidak dapat ditemukan.
"Apa Kakang tidak salah bicara...?" tukas lelaki bertubuh sedang dengan wajah
heran. Sehingga, Ki Loda-na dan kawan-kawannya saling bertukar pandang se-
jenak. "Salah bicara bagaimana...?" tanya Ki Lodana tidak mengerti.
"Kakang bilang, Kang Tangkar terpisah dan tersesat Tapi, kemarin siang aku
melihatnya, ia memang tidak membawa hasil buruan seperti yang kalian bawa...,"
jelas lelaki bertubuh sedang.
Jawaban yang tidak disangka-sangka itu tentu saja
membuat Ki Lodana dan kawan-kawannya terkejut Ke-
lihatan sekali mereka tidak percaya dengan keterangan itu. "Kau yakin...?" tegas
Ki Lodana belum percaya.
"Tentu saja, Kang. Bahkan aku sempat berteguran
dengannya...," tukas lelaki bertubuh sedang, yang kelihatan semakin tidak
mengerti dengan sikap Ki Loda-na dan kawan-kawannya.
"Hm.... Mari kita lihat...," ajak Ki Lodana kepada kawan-kawannya. Tanpa
menunggu jawaban, lelaki
berewok itu melangkah cepat menuju tempat tinggal
Tangkar. Tinggallah lelaki bertubuh sedang yang memandan-
gi kepergian Ki Lodana dan kawan-kawannya dengan
menggeleng-gelengkan kepala. Heran melihat tingkah pemburu-pemburu itu.
Rasa heran dan penasaran membuat langkah Ki
Lodana semakin cepat menyusuri jalan utama Desa
Kawung. Sapaan beberapa penduduk hampir tidak di-
pedulikan. Lelaki itu hanya menjawab dengan guma-
man tak jelas. Tentu saja sikap lelaki berewok itu membuat para penduduk yang
mengenalnya menjadi
heran. Namun mereka hanya bisa menggeleng, dan
melanjutkan langkahnya. Tanpa peduli dengan sikap
Ki Lodana yang terlihat aneh itu.
Di depan sebuah rumah sederhana yang letaknya
agak terpencil, Ki Lodana menghentikan langkahnya
sejenak. Seorang perempuan berusia sekitar tiga puluh tahun yang tengah menyapu
halaman, bergegas me-
nyambut kedatangan Ki Lodana dan kawan-kawannya.
"Benar Tangkar sudah kembali...?" tanpa basa-basi
lagi, Ki Lodana langsung melontarkan pertanyaan kepada wanita itu.
"Benar, Kang. Ada apa...?" jawab wanita itu balik
bertanya. Wajahnya menggambarkan keheranan besar
atas sikap Ki Lodana yang tidak biasanya.
"Aku ingin bertemu dengannya...?" tukas Ki Lodana
langsung bergerak memasuki halaman rumah itu.
"Kakang...," sambut lelaki bertubuh kekar me-
nyongsong kedatangan Ki Lodana dan para pemburu
lainnya. "Kau ini bagaimana, Adi Tangkar! Setengah mati
kami mencarimu, kau malah enak-enak di rumah!" te-
gur Ki Lodana. Meski nada suaranya terdengar agak
ketus, namun wajahnya menggambarkan kelegaan Me-
lihat sosok Tangkar yang disangkanya telah hilang sewaktu berpisah di hutan.
"Begini, Kang...," jelas Tangkar segera menceritakan peristiwa yang dialaminya.
Tapi, sampai sejauh itu tidak menyinggung tentang Panji dan Kenang yang me-
nyelamatkannya. Juga mengenai beruang es yang di-
temukannya pada waktu tersesat.
Ki Lodana dan empat pemburu lainnya menghela
napas lega setelah mendengar penjelasan Tangkar Mereka merasa bersyukur kawannya
yang diduga hilang
ternyata selamat tanpa kurang suatu apa. Hal itu tidak pernah mereka sangka.
"Kakang... ada sesuatu yang ingin kubicarakan
denganmu, juga dengan kawan-kawan...," bisik Tang-
kar perlahan. Matanya mengerling ke arah istrinya
yang masih sibuk membersihkan pekarangan dari de-
daunan pohon. "Ada apa, Adi Tangkar" Kelihatannya sangat raha-
sia...?" tanya Ki Lodana juga berbisik. Rupanya, lelaki berewok itu menangkap
ada sesuatu yang ingin dirahasiakan Tangkar.
"Mari kita ke halaman belakang. Di sana lebih
aman...," bisik Tangkar lagi. Lalu beranjak menuju halaman belakang rumah.
Setelah mereka berkumpul,
Tangkar segera menceritakan pengalaman yang se-
sungguhnya dengan berbisik. Tapi, tetap tidak me-
nyinggung pasangan pendekar muda yang menolong-
nya. "Beruang es..."!" seru Ki Lodana dan empat pembu-
ru lainnya. Mereka kelihatan sangat terkejut mendengar penuturan Tangkar.
"Benar! Besarnya satu setengah kali ukuran manu-
sia normal. Selain itu, binatang langka itu pun pandai bermain silat!" lanjut
Tangkar dengan mata berbinar.
Lelaki kekar itu merasa bangga dapat membuat ka-
wan-kawannya terbelalak heran.
"Ahhh..."!"
Kembali kelima pemburu itu berseru heran. Mulut
mereka sampai ternganga. Cerita Tangkar hampir tidak masuk di akal. Hanya karena
mereka sudah berkawan
lama, dan tahu watak Tangkar yang tidak suka ber-
dusta saja. Sehingga mereka percaya dengan cerita itu.
Kalau orang lain yang menceritakannya, Ki Lodana dan kawan-kawannya pasti akan
mentertawakan. "Dan anehnya, beruang itu tidak bermaksud mem-
bunuhku! Ia hanya mengusirku agar menjauhi tempat
itu. Nah. Apakah itu tidak aneh?", lanjut Tangkar. Kawan-kawannya terdiam sambil
menggeleng-gelengkan
kepala. "Hm.... Kalau benar demikian tentu kulit binatang
itu sangat mahal harganya...," gumam salah seorang pemburu. Kawan-kawannya
menoleh. "Menurutku, bukan hanya kulit beruang itu saja
yang bisa mendatangkan kekayaan bagi kita. Tapi, aku menduga ada sesuatu yang
dijaga binatang itu. Bukan mustahil binatang itu menjaga harta majikannya yang
sudah tewas...," Tangkar mengemukakan pendapat
nya. "Lalu...?" Ki Lodana yang masih belum mengerti ja-
lan pikiran Tangkar, mencoba menegasi.
"Apakah Kakang tidak tertarik untuk menyelidiki
keanehan beruang itu" Dan lagi, binatang buruan itu sangat langka. Tentunya jauh
lebih berharga dibanding apa yang telah kalian dapatkan," tegas Tangkar.
Agaknya, ia hendak mengajak kawan-kawannya memburu
beruang es itu.
Mendengar ucapan Tangkar, empat pemburu lain-
nya segera menatap Ki Lodana. Mereka seperti hendak melihat tanggapan lelaki
berewok yang merupakan
orang paling tua dan paling berpengalaman di antara mereka berenam. Hingga
keputusannya berada di tangan Ki Lodana.
"Hm.... Kalau mendengar ceritamu, sepertinya be-
ruang itu sangat sukar ditundukkan. Selain itu du-
gaanmu belum tentu benar, Tangkar. Bagaimana kalau majikan beruang es masih
hidup" Tentu ia akan murka. Kalau beruang itu pandai menggunakan ilmu silat,
pasti majikannya seorang tokoh sakti. Terbukti ia bisa melatih beruang...," ujar
Ki Lodana. "Mengapa harus bingung, Kang. Bukankah kita
pemburu" Kalau majikan beruang itu marah, kita bisa mengajukan alasan yang tepat
Sebab, tidak ada laran-gan bagi pemburu untuk membunuh binatang yang di-
temukannya. Apalagi di tengah belantara sepi yang
jauh dari pemukiman penduduk," bantah Tangkar, se-
telah terdiam beberapa saat.
Mendengar ucapan itu, keempat pemburu lainnya
mengangguk. Jelas mereka sangat setuju dengan uca-
pan Tangkar. Kini mereka tinggal menunggu persetu-
juan Ki Lodana.
"Hm.... Baiklah. Tapi kuperingatkan kepada kalian, jangan menceritakan mengenai
beruang es itu kepada siapa pun! Jika hal ini sampai terdengar orang-orang rimba
persilatan, mereka pasti akan tertarik. Kalau hal itu terjadi, kita yang akan
susah...," ujar Ki Lodana mengingatkan, sekaligus sebagai jawaban kalau ia
menyetujui usul Tangkar.
"Baik," sahut Tangkar dan yang lainnya dengan wa-
jah cerah. Mereka sangat gembira mendengar keputu-
san Ki Lodana. "Kalau begitu, sekarang kita harus mempersiapkan
perbekalan. Sebab, perjalanan kali ini akan lebih jauh dan lebih berat dari
biasanya," lanjut Ki Lodana. Tangkar dan yang lainnya mengangguk tanda mengerti.
"Kapan kita berangkat, Kang...?" tanya Tangkar.
"Besok, Kang. Aku pun harus menyiapkan perala-
tanku. Semuanya telah lenyap saat aku tersesat...,"
ujar Tangkar sambil menganggukkan kepala dengan
sepasang mata berbinar. Lelaki kekar itu tampak sangat gembira dengan
perjalanannya kali ini yang dianggapnya sangat berbeda.
Setelah menyusun rencana, Ki Lodana dan empat
pemburu lainnya mohon diri. Dan, berjanji akan da-
tang esok sebelum fajar. Tangkar tersenyum melepas kepergian kawan-kawannya.
Lelaki kekar itu tampak
tidak berusaha menyembunyikan perasaan gembi-
ranya. Setelah bayangan Ki Lodana dan yang lainnya sudah jauh, Tangkar pun sibuk
menyiapkan segala
keperluan berburu.
*** 3 "Terima kasih...," ucap perempuan berwajah manis
berusia sekitar tiga puluh tahun.
"Katakan kepada Kakang Tangkar agar berhati-hati.
Semoga ia berhasil mendapatkan binatang itu...," ujar pelayan kedai berusia
empat puluh tahun yang bertubuh agak kurus. Perempuan itu hanya tersenyum dan
bergegas meninggalkan kedai dengan membawa ba-
rang belanjaannya.
Baik pelayan maupun perempuan yang tidak lain is-
tri Tangkar, tidak menyadari kalau pembicaraan mere-ka telah menarik perhatian
orang. Dua lelaki bertampang seram segera bangkit dan menghampiri pelayan, saat
istri Tangkar telah lenyap dari pandangan.
"Ada apa, Tuan...?" tanya pelayan kedai mencoba
tersenyum ramah. Sayang ia gagal. Sebab senyumnya
terlihat sangat ngeri.
"Hm.... Coba ulangi apa yang barusan diceritakan
perempuan itu kepadamu...," gumam salah seorang
dari kedua lelaki itu, yang wajahnya terhias kumis tebal. Pada sepasang matanya
terlihat ancaman. Hingga pelayan kedai itu ciut nyalinya.
"Baik... baik...," jawabnya dengan wajah agak pucat.
Sebab kawan lelaki berkumis tebal itu meraba-raba
gagang pedang yang menyembul dari balik pakaian.
"Hm...."
Kedua lelaki yang kelihatan berwatak kasar itu bergumam sambil meraba-raba dagu.
Kepala mereka se-
sekali terlihat mengangguk, mendengar cerita pelayan kedai yang disampaikan
dengan berbisik.
"Jadi mereka akan berangkat sebelum fajar...?"
tanya lelaki berkumis lebat menegasi, setelah cerita pelayan kedai itu selesai.


Pendekar Naga Putih 65 Beruang Gunung Es di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Benar, Tuan...," jawab pelayan kedai seraya meng-
hela napas panjang. Butir-butir keringat menitik di keningnya. Pelayan itu
menduga kedua lelaki itu bukanlah orang baik-baik. Itu terlihat dari sikap dan
cara bicara mereka yang kasar dan sombong.
"Kau yakin mereka akan lewat Hutan Batang...?"
desis yang seorang lagi. Sepertinya masih kurang percaya dengan penjelasan
pelayan kedai. "Aku... tidak tahu pasti, Tuan. Tapi, menurut wani-ta tadi memang begitu...,"
jawab pelayan kedai terbata-bata.
"Hm...."
Kedua lelaki kasar itu saling berpandangan sejenak.
terlihat senyum licik di bibir mereka. Kemudian tanpa berkata apa-apa lagi,
keduanya bergerak hendak meninggalkan kedai.
"Tuan...," panggil pelayan kedai lirih. Hampir tidak terdengar kedua orang itu.
"Ada apa lagi?" sahut lelaki berkepala botak yang
mengenakan ikat kepala putih. Wajahnya tampak tak
senang ketika menoleh.
"Makanan yang Tuan-tuan pesan tadi... belum di-
bayar...," ujar pelayan kedai takut-takut Kendati hatinya berdebar-debar,
pelayan kedai itu memberanikan diri menagih. Karena ia tidak ingin dimarahi
majikannya. "Hmmm...."
Lelaki berkepala botak menggeram tak senang. Se-
pasang matanya menyapu sekeliling ruangan kedai.
Melihat para pengunjung kedai menundukkan wajah,
tak berani menentang pandangan matanya. Ia kembali
menatap wajah pelayan yang semakin pucat.
"Sudahlah, Tonggala. Untuk apa meladeni pelayan
tolol itu...," ujar lelaki berkumis lebat. Kembali melanjutkan langkahnya ke
luar kedai. "Tuan...!" melihat kedua orang itu tidak mau mem-
bayar pelayan kedai itu bergegas mengejar.
Tapi.... "Kurang ajar...!" desis lelaki berkepala botak marah.
Cepat tubuhnya berbalik, dan tangan kanannya me-
layang dengan tamparan keras!
Plakkk! "Auuughhh!"
Hebat sekali tamparan itu. Tubuh pelayan kedai
langsung terjengkang ke belakang dan menimpa se-
buah meja. Kemudian terbanting ke tanah. Kejadian
itu semakin membuat para pengunjung ketakutan. Tak satu pun yang bergerak hendak
menolong pelayan sial itu. Bahkan mereka berpura-pura tak mengetahui kejadian
itu. Sementara pelayan kedai berusaha bangkit, sambil
mengaduh memegangi wajah sebelah kanannya yang
bengkak. Pada ujung bibirnya terlihat darah segar.
"Hm.... Masih untung tidak kutebas batang leher-
mu...!" desis lelaki berkepala botak. Lalu kembali melangkah setelah meludah ke
tanah. "Kasihanilah saya, Tuan. Kalau nanti majikanku
mengetahui ada yang tidak bayar, aku akan dipecat-
nya...," rintih pelayan kedai dengan suara menghiba.
Wajahnya terlihat demikian memelas. Dengan sepa-
sang mata sayu, ditatapinya kedua lelaki kasar itu.
Sepasang tangannya bergerak menangkap lengan lelaki berkepala botak. Pelayan itu
berdiri dengan bertelekan kedua lututnya, persis seperti orang menyembah.
"Keparat! Pergi kau...!" lelaki berkepala botak sedikit
pun tidak tergerak dan merasa kasihan. Ia malah semakin geram. Kali ini tubuh
pelayan itu ditendangnya hingga terpental ke luar kedai.
Ngekkk! Tanpa ampun, tubuh pelayan itu terpental dan ter-
banting ke tanah, persis di bawah kaki dua sosok tubuh yang baru saja hendak
memasuki kedai. Pelayan kedai itu merintih sambil memegangi perutnya yang terasa
hancur terkena tendangan lelaki berkepala botak.
Kepalanya yang tepat berada di dekat kaki dua sosok tubuh itu tengadah, seperti
hendak melihat pemilik kaki-kaki itu.
Sosok pemuda tampan berjubah putih itu mengu-
lurkan kedua tangannya. Lalu, diangkatnya tubuh pelayan itu bangkit berdiri.
Sedangkan dara jelita berpakaian serba hijau yang berdiri di sebelah pemuda
tampan itu menatap heran. Ia tidak mengetahui apa yang menyebabkan lelaki
bertubuh agak kurus itu terluka, dan mengeluarkan darah pada ujung bibirnya.
"Hm.... Rupanya ada orang yang sok jadi pahla-
wan...!" desis suara berat bernada sinis. Ucapan itu keluar dari mulut lelaki
berkepala botak, yang baru saja keluar dari pintu kedai bersama kawannya. Lelaki
botak itu tidak senang melihat perbuatan pen.ada tampan berjubah putih.
"Maaf, Kisanak. Aku hanya ingin membantu orang
ini berdiri. Apa perbuatanku salah?" sahut pemuda
tampan berjubah putih dengan tenang. Sekali lihat sa-ja, pemuda itu langsung
tahu apa yang menyebabkan
pelayan kedai itu terluka.
"Perbuatanmu jelas salah, Bocah! Dengan menolong
pelayan sialan itu, sama artinya kau menantangku!"
tukas lelaki berkepala botak dengan wajah gelap. Suaranya terdengar penuh
kemarahan. "Sekali lagi, maaf. Aku sungguh tidak bermaksud
menantangmu. Hanya ingin membantu orang ini berdi-
ri. Itu saja," kembali pemuda tampan berjubah putih membela diri. Nada suaranya
tetap wajar, tanpa mencerminkan perasaan apa pun. Bahkan sikapnya tetap
tenang, meski tahu lelaki berkepala botak sangat marah kepadanya.
"Untuk apa meladeni bocah itu, Tonggala" Ingat, ki-ta masih mempunyai urusan
yang lebih penting!" lelaki berkumis lebat mengingatkan kawannya agar tidak
mempedulikan pemuda tampan berjubah putih.
"Tidak bisa, Janaga! Aku harus memberi pelajaran
padanya. Agar lain kali berpikir dua kali untuk melakukan perbuatan seperti
sekarang ini! Kalau tidak, ia akan menjadi sombong dan besar kepala!" lelaki
berkepala botak yang bernama Tonggala itu tidak mau
mengalah. Bahkan, melangkah mendekati pemuda
tampan berjubah putih. Sementara pemuda itu tetap
berdiri tenang sambil memegang tubuh pelayan kedai yang masih lemas merasakan
sakitnya. "Hm.... Aku ingin melihat sampai di mana kebera-
nianmu, Bocah! Tunjukkan kemampuanmu di depan
Tonggala! Aku yakin pasti memiliki satu dua gerak il-mu silat..!" ujar Tonggala.
Tampak begitu yakin dapat menundukkan pemuda tampan berjubah putih. Dengan dada
membusung, ia berdiri di hadapan pemuda
itu dalam jarak setengah tombak.
"Di antara kita tidak ada persoalan, Kisanak. Apa
yang kau lakukan terhadap pelayan kedai ini sudah
lebih dari cukup. Sebaiknya, tidak perlu kita lanjutkan persoalan ini...," ujar
pemuda tampan berjubah putih mencoba mengalah dan menghindari kekerasan.
"Hua ha ha...!" Tonggala tertawa keras mendengar
perkataan pemuda tampan berjubah putih. "Hei, gadis
cantik seperti bidadari! Pengawalmu ternyata bernyali kecil. Sebaiknya kau
tinggal saja bocah ingusan itu!
Aku akan senang menjadi pengawal setiamu. Dan, kau tentu akan lebih aman dalam
lindunganku...," lanjut Tonggala dengan sombongnya. Sepasang matanya
mengerling ke arah dara jelita berpakaian serba hijau.
"Begitukah menurutmu, Tonggala?" tukas dara jeli-
ta berpakaian serba hijau, memamerkan senyumnya
yang mampu membuat hati lelaki melompat-lompat
Seraya berkata demikian, dara jelita itu melangkah mengitari tubuh Tonggala.
Seperti tengah menilai kekuatan lelaki berkepala botak itu.
Tonggala semakin membusungkan dadanya. Se-
nyumnya melebar, mencerminkan kesombongan ha-
tinya. Tampaknya ia ingin menunjukkan dirinya jauh lebih cocok menjadi pengawal
dara jelita itu, daripada pemuda tampan yang memapah tubuh pelayan kedai,
yang ditolongnya berdiri tadi.
"Hm.... Aku ragu akan kekuatanmu, Tonggala...,"
ujar dara jelita berpakaian serba hijau. Setelah beberapa saat meneliti sosok
Tonggala, dan berhenti di depan lelaki berkepala botak itu.
"Ehhh!?"
Tonggala agak terperanjat mendengar ucapan dara
jelita yang masih memamerkan senyum memabukkan
itu. Saking terkejutnya, lelaki botak itu tampak menarik kepalanya ke belakang.
Tidak menyangka dara jelita itu berani berkata demikian kepadanya.
"Hm.... Jadi, kau menganggap pemuda ingusan itu
lebih kuat dariku!" geram Tonggala seraya melemparkan pandang ke arah pemuda
tampan berjubah putih
di belakang dara jelita itu. "Kalau kau ingin melihat kekuatanku, boleh kau
ajukan pengawalmu itu untuk
mengujiku!" tantang Tonggala.
"Tidak perlu sejauh itu. Kalau kau sanggup menjaga tubuhmu dari pukulanku, itu
sudah cukup. Nah. Apa
kau bersedia?" tukas dara jelita berpakaian serba hijau tanpa kehilangan senyum
manisnya. Tonggala tertawa berkakakan. Kepalanya tengadah,
karena sangat gembira. Dengan menghadapi dara jelita itu, berarti ia mempunyai
kesempatan untuk menyentuh tubuh moleknya. Dan Tonggala girang mem-
bayangkan hal menyenangkan itu.
"Lakukanlah, Bidadari ku. Aku sudah tidak sabar
ingin segera merasakan sentuhan tangan halusmu...!"
tantang Tonggala kembali dengan congkaknya. Kemu-
dian lelaki botak itu bertolak pinggang. Seolah hendak memberikan tubuhnya untuk
dipukul dara jelita itu.
"Kau boleh mengelak, Tonggala. Aku tidak ingin kau menyesal nanti...," ujar dara
jelita itu memperingatkan.
"He he he...! Aku tidak akan melakukan hal bodoh
itu, Bidadari Jelita. Sebab, aku sangat ingin merasakan sentuhan tanganmu yang
hangat dan lembut Ayo-
lah! Apa lagi yang kau tunggu?" sahut Tonggala sombong.
Sementara itu, para penduduk sudah banyak ber-
kerumun hendak menyaksikan. Mereka kelihatannya
mengkhawatirkan dara jelita berpakaian serba hijau.
Karena sosok Tonggala memang meyakinkan. Lelaki
botak itu terlihat sangat kuat, hingga tidak mudah di-robohkan orang. Jangankan
dara jelita itu, dua puluh lelaki pun belum tentu mampu merobohkannya.
"Kau tidak akan menyesal Tonggala...?" tanya dara
berparas jelita itu menegasi. Ia masih memberi kesempatan lelaki berkepala botak
untuk berpikir lagi.
"Lakukan... lakukanlah...," tukas Tonggala sambil
tertawa-tawa sombong.
"Hm.... Kalau begitu bersiaplah...," ujar dara jelita
berpakaian serba hijau seraya melangkah maju.
Menyaksikan dara jelita itu mengayun pukulan, pa-
ra penduduk Desa Kawung sama-sama menahan na-
pas. Pukulan itu kelihatan pelan dan tak bertenaga.
Tentu tubuh kekar lelaki botak itu tidak akan bergem-ing. Mungkin ia merasa
seperti dibelai kepalan mungil dara jelita itu. Tapi....
Bukkk! "Hiiighhh!"
Tonggala sangat terkejut melihat pukulan dara jelita itu menyentuh tubuhnya.
Tanpa dapat dicegah, lelaki botak itu terbanting keras ke tanah. Kepalan mungil
itu telah menyesakkan dadanya. Kenyataan itu sungguh tidak pernah terbayang
dalam pikiran Tonggala.
Para penduduk yang menyaksikan kejadian itu
ternganga heran! Bagaimana mungkin kepalan mungil
yang dilontarkan dengan perlahan itu sanggup mero-
bohkan Tonggala, yang terlihat kekar dan sangat kuat"
Tapi, kejadian itu terbentang nyata di depan mata mereka. Sehingga, tidak
diragukan lagi kebenarannya.
"Keparat...!" desis Tonggala, dan berusaha bangkit dengan wajah merah. Dadanya
yang terkena pukulan
dara jelita itu terasa nyeri, hingga sulit untuk berna-pas. Tonggala menjadi
geram, dan lupa dengan kata-katanya tadi.
"Kau... kau pasti menggunakan ilmu sihir...!" desis Tonggala yang merasa malu
karena kejadian itu disaksikan banyak orang. Dara jelita berpakaian serba hijau
itu hanya tersenyum manis. Gadis itu tampaknya tidak merasa khawatir dengan
kemarahan Tonggala.
"Bukankah aku sudah memperingatkanmu, Tongga-
la" Mengapa sekarang marah-marah" Apakah kau su-
dah lupa dengan ucapanmu yang didengar orang ba-
nyak tadi?" ujar dara jelita berpakaian serba hijau
dengan sikap tenang. Sehingga, Tonggala menggertakkan gigi kuat-kuat. Ucapan itu
memang tidak bisa di-bantahnya.
Janaga pun bukan tidak terkejut menyaksikan ke-
jadian itu. Ia sendiri semula merasa heran dan tidak mempercayainya. Tapi,
kejadian itu begitu jelas ter-pampang di depan mata. Sehingga, Janaga mencurigai
dara jelita berpakaian serba hijau dan pemuda tampan berjubah putih yang masih
tetap tenang di tempatnya.
Seolah pemuda itu yakin kawannya dapat mengatasi
Tonggala. Sikap tenang pasangan orang muda itu, ser-ta kejadian yang
disaksikannya, membuat Janaga se-
gera menilai. Lelaki itu tidak mau bertindak gegabah seperti yang dilakukan
Tonggala. Setelah berpikir beberapa saat, Janaga segera menghampiri Tonggala.
Kemudian berbisik kepada kawannya.
"Tonggala, gadis jelita berpakaian serba hijau itu jelas bukan orang
sembarangan. Belum lagi pemuda
tampan berjubah putih, yang tampak begitu tenang
dan penuh percaya diri. Sebaiknya kita tidak mencari penyakit Ingat, urusan kita
masih belum selesai...," ka-ta-kata itu meluncur jelas di telinga Tonggala.
Sebab, Janaga berdiri di samping lelaki botak itu dan menga-pit lengannya.
"Tapi...," Tonggala berusaha membantah. Lelaki bo-
tak itu masih penasaran dan ingin membalas rasa ma-lu yang dideritanya.
"Tonggala, kita belum melaporkan berita yang kita
dengar di kedai tadi...," kembali Janaga membujuk kawannya. "Mengenai kedua
orang itu, bisa kita urus belakangan...,"
Melihat Tonggala terdiam seperti tengah memikir-
kan perkataannya, Janaga tak membuang-buang wak-
tu lagi. Cepat diseretnya Tonggala meninggalkan tem-
pat itu dengan diiringi sorak mengejek penduduk Sedangkan pemuda tampan berjubah
putih dan dara jeli-ta berpakaian serba hijau hanya berdiri memandang
kepergian Tonggala dan Janaga. Mereka tampak tidak berusaha mengejar. Malah
bersyukur, kejadian itu tidak menimbulkan pertumpahan darah. Setelah bayan-
gan kedua orang kasar itu semakin mengecil, kedua-
nya bergegas masuk ke dalam kedai. Pelayan kedai itu masih dipapah pemuda tampan
berjubah putih.
*** 4 Hembusan angin masih terasa dingin menyentuh
kulit. Kendati kokok ayam sudah terdengar, namun langit masih gelap. Matahari
belum lagi menampakkan diri. Saat itu fajar baru saja menjelang.
Dalam cuaca seperti itu, tampak enam sosok
bayangan hitam bergerak menyusuri jalan lebar. Mere-ka hanya diterangi dua
batang obor yang dibawa orang terdepan dan paling belakang. Dengan api yang
bergoyang-goyang dipermainkan angin itulah mereka
mengenali jalan yang akan dilalui.
Setelah melewati perbatasan Desa Kawung, keenam
sosok tubuh itu bergerak ke kiri, menerobos jalan setapak yang masih basah oleh
embun. Kendati demi-


Pendekar Naga Putih 65 Beruang Gunung Es di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kian, mereka tidak menemui kesulitan. Tampaknya
keenam orang itu telah mengenali jalan yang dila-
luinya. Sehingga, perjalanan berlangsung cepat Kini mereka menyeberangi sungai
yang merupakan jalan
masuk ke sebuah hutan karet.
Jalan yang kali ini mereka lalui cukup besar dan
tanahnya agak keras. Pohon karet yang berdiri berjajar sepanjang jalan, tak
ubahnya sosok-sosok penjaga hutan karet yang cukup luas itu. Ketika rombongan
kecil itu telah melewati hutan karet, mereka kelihatan terkejut, dan
menghentikan langkah berbarengan. Beberapa tombak di depan mereka tampak cahaya
yang menerobos celah dedaunan pohon.
"Mungkinkah...."
"Sssttt..!"
Ucapan salah seorang anggota rombongan yang
berperawakan kekar terhenti. Setelah lelaki gagah yang berada di depan dan
bertindak sebagai kepala rombongan, memberi isyarat untuk tidak bersuara.
Kendati demikian, mereka semua tahu kelanjutan kalimat itu.
Buktinya empat anggota rombongan yang lain tidak
bertanya-tanya, hanya memandang ke arah pimpinan
rombongan. Lelaki gagah yang menjadi pemimpin rombongan
berusia sekitar lima puluh tahun. Wajahnya yang keras dihiasi berewok. Lelaki
berewok itu memberi isyarat dengan gerakan kedua tangannya agar mereka
waspada. Kemudian perlahan melangkah maju, diikuti kelima kawannya.
Bias cahaya yang mereka lihat dari celah dedaunan
pohon ternyata berasal dari sebatang obor yang tertancap di sebuah pohon. Aneh,
benda itu membuat mere-
ka berseru tertahan. Bahkan ketegangan dan kecema-
san terpancar pada wajah keenam lelaki itu.
"Mungkinkah tanda ini diberikan untuk kita" Atau
ada rombongan lain yang 'mereka' tunggu...?" desis lelaki gagah berwajah berewok
yang tidak lain Ki Loda-na. Rupanya mereka rombongan pemburu yang hen-
dak menuju Gunung Es.
Mendengar ucapan yang lebih mirip desahan pan-
jang itu, kelima pemburu lainnya saling bertukar pandang sesaat. Mereka merasa
heran melihat obor ter-
tancap di batang pohon itu. Mereka saling melontarkan tanya melalui pandang
mata. "Kalau kita yang dimaksud oleh tanda ini, jelas 'mereka' telah keliru mengenali
orang. Sebab, kita tidak akan mendatangkan keuntungan bagi 'mereka'...," setelah
agak lama terdiam, lelaki bertubuh kekar yang tidak lain Tangkar, mengemukakan
pendapatnya. Para pemburu itu tampak menganggukkan kepala,
tanda sependapat dengan Tangkar. Meski demikian,
untuk beberapa saat tidak ada yang menanggapi per-
kataan lelaki berperawakan kekar itu. Hati mereka
masih diliputi tanda tanya besar dengan adanya obor yang seperti menghadang
jalan mereka. "Hm.... Mungkin 'mereka' memang salah alamat Se-
baiknya kita terus berjalan. Tapi harus tetap waspada, dan siap menghadapi
segala kemungkinan yang akan
kita hadapi...," akhirnya, Ki Lodana mengambil keputusan. Kakinya melangkah
melewati obor yang berada di batang pohon setinggi satu tombak dari atas tanah.
Melihat pimpinannya bergerak maju, Tangkar dan
yang lainnya langsung mengikut Kendati demikian, bi-as-bias ketegangan masih
tampak jelas pada wajah
mereka. Bahkan tidak jarang mereka meraba golok
yang tergantung di pinggang. Jelas, ada sesuatu yang dikhawatirkan rombongan
pemburu itu. Whuttt..! Baru beberapa tombak mereka melangkah, tiba-tiba
terdengar suara sambaran angin berdesing yang entah dari mana datangnya.
Dibarengi dengan munculnya
sinar putih yang berkilau tertimpa cahaya obor di tangan para pemburu itu.
"Awaaasss...!"
Ki Lodana yang berada paling depan, segera meme-
rintahkan kawan-kawannya bergerak mundur. Ia sen-
diri sudah melompat ke belakang menyelamatkan diri.
Cappp! Pohon sepelukan orang dewasa yang berada empat
langkah dari tempat Ki Lodana semula berdiri, menjadi sasaran sinar putih
berdesing tajam. Sebilah golok berukuran cukup panjang tertancap dan bergoyang-
goyang, membuat hati para pemburu itu semakin te-
gang. "Tanda kedua dari 'mereka'...," desis Ki Lodana. Sepertinya telah mengetahui
ciri-ciri peringatan yang dis-ebut 'mereka'. "Artinya, kita tidak boleh
meneruskan perjalanan jika masih ingin selamat..," lanjut lelaki berewok itu
menjelaskan kepada kawan-kawannya.
"Lalu apa yang harus kita lakukan selanjutnya,
Kang" Dan, apa sebenarnya yang mereka harapkan
dari kita" Bukankah selama ini 'mereka' tidak pernah mengganggu kita...?" desis
Tangkar yang kelihatan
sangat penasaran.
"Hm.... Sebaiknya kita tunggu saja kemunculan
'mereka'. Aku pun tidak mengerti. Mengapa tanda-
tanda itu ditunjukkan kepada kita?" sahut Ki Lodana pelan.
Lelaki berewok itu telah mengambil keputusan un-
tuk menunggu. Jelas tanda-tanda itu merupakan pe-
ringatan yang tidak boleh dilanggar. Dan Ki Lodana lebih suka mematuhi
peringatan itu daripada kehilangan nyawa.
Demikian pula Tangkar dan empat pemburu lain-
nya. Mereka pun tidak mau mengambil resiko dengan
melanjutkan perjalanan yang mungkin bisa membawa
bencana bagi mereka. Sehingga, rombongan pemburu
itu hanya bisa menanti dengan hati berdebar tegang!
Rupanya, Ki Lodana dan kawan-kawannya tidak
perlu menunggu lama. Beberapa saat kemudian, yang
mereka tunggu pun muncul dari balik semak-semak di sebelah kiri mereka.
"Hm.... Bagus, kalian mematuhi peringatan itu.
Tandanya kalian masih waras dan menyayangi nyawa
yang hanya satu," terdengar suara berat dan parau
seiring dengan munculnya tiga orang lelaki. Rupanya, orang-orang itulah yang
dimaksud 'mereka' oleh Ki Lodana dan kawan-kawannya.
Ki Lodana dan kawan-kawannya semakin tegang.
Mereka menatap ketiga sosok tubuh itu tanpa berani mengeluarkan suara. Seperti
menunggu ketiga orang
itu mendekat "Lodana," suara berat dan parau itu kembali ter-
dengar memecah keheningan. "Jelaskan dengan jujur, mengapa kalian berada di
tempat ini" Dan hendak pergi ke mana" Ingat! Jangan sekali-sekali berdusta!
Sebab akibatnya akan membuat kalian menyesal seumur
hidup!" lanjut lelaki bertubuh gemuk. Berwajah bulat dengan kumis tebal
melintang. Rambutnya dibiarkan
terurai jatuh di bahu. Dan diikat dengan sebuah kain putih. Sorot mata lelaki
itu tajam menikam jantung, membuat orang enggan menentang pandang mata itu.
Ki Lodana tampak kaget mendengar pertanyaan itu. Ia melempar pandang kepada
kelima kawannya. Dalam
sinar mata lelaki berewok itu tersirat pertanyaan. Tapi, kelima kawannya
menggeleng perlahan. Mereka pun
tidak tahu, mengapa lelaki gemuk itu bertanya demikian.
Ki Lodana kelihatan gelisah. Ia tidak berani mem-
bohongi lelaki gemuk itu. Tapi untuk mengatakan yang sebenarnya, ia masih ragu.
Hingga, Ki Lodana tercenung beberapa saat lamanya. Dan itu membuat lelaki
gemuk berkumis lebat tidak sabar.
"Hm...."
Lelaki gemuk itu menggeram gusar. Saat itu juga
tangan kanannya bergerak cepat. Dan....
Singngng...! "Aaakkkh!"
Terdengar suara berdesing nyaring. Disusul jerit
kematian salah seorang kawan Ki Lodana. Pemburu
bernasib sial itu pun ambruk. Dada kirinya tertancap sebilah pisau yang tampak
gagangnya saja. Tidak diragukan lagi, pemburu itu pasti tewas seketika itu juga.
Perbuatan lelaki gemuk itu benar-benar menge-
jutkan Ki Lodana. Ia dan kawan-kawannya tersurut
mundur dengan wajah pias! Jelas ancaman lelaki ge-
muk berkumis lebat itu tidak main-main! Itu telah di-buktikannya.
"Pisau Kilat. Apa sebenarnya yang kau inginkan da-
ri kami" Kami tidak memiliki benda berharga, jika itu yang kau maksudkan," ujar
Ki Lodana memberanikan
diri. Sikapnya tampak tegang. Dan jari-jari tangannya sudah meraba gagang golok
di pinggangnya.
Lelaki gemuk yang ternyata berjuluk Pisau Kilat
menggeram gusar. Tokoh itu memang terkenal sebagai pembunuh berdarah dingin.
Mudah sekali menurun-kan tangan maut kepada siapa saja, meski tanpa alasan
sekalipun. Ia pemimpin perampok yang sudah cu-
kup terkenal di kalangan persilatan. Setiap kali hendak menunjukkan aksinya,
Pisau Kilat selalu memberi tanda. Tanda-tanda itulah yang dikenali Ki Lodana.
Tanda yang menjadi ciri gerombolan perampok di bawah pimpinan Pisau Kilat.
"Tunggu...!" cegah Ki Lodana ketika melihat Pisau
Kilat terlihat geram dengan pertanyaannya. Karena tidak ingin kawannya yang lain
menjadi korban berikut-
nya, Ki Lodana pun menjelaskan tujuannya.
"Ki, jangan...!"
Salah seorang pemburu berteriak, mencegah Ki Lo-
dana yang sudah hampir menyelesaikan ucapannya.
Pemburu bertubuh tinggi tegap berusia tiga puluh tahun itu, tidak ingin Pisau
Kilat mengetahui tujuan perjalanan mereka. Sebab ia sadar tokoh jahat seperti
lelaki gemuk itu tidak mungkin menepati janji. Cepat atau lambat tokoh sesat itu
akan menyingkirkan mereka berlima. Alasan itulah yang membuatnya men-
gambil keputusan nekat!
"Hmmmhhh...!"
Lagi-lagi Pisau Kilat memperdengarkan geraman gu-
sar. Tangannya kembali bergerak cepat. Akibatnya....
"Aaakh...!"
Pemburu tinggi tegap yang sudah mencabut golok
panjangnya itu, tak sempat lagi menghindar. Kecepatan dan ketepatan gerak Pisau
Kilat, mengakibatkan tubuh pemburu malang itu terjungkal ke tanah. Tubuhnya
berkelojotan sesaat. Kemudian diam tak bergerak. Mati.
"Siapa lagi yang hendak menyusul...?" dingin sekali ucapan Pisau Kilat, hingga
Ki Lodana dan ketiga kawannya saling berpandangan.
"Kau tidak perlu membunuh lagi, Pisau Kilat Bu-
kankah aku sudah berterus terang kepadamu?" Ki Lo-
dana memberanikan diri menegur kepala perampok
kejam itu. "Jadi kau ingin menyusul..."!" geram Pisau Kilat
Tanpa peduli perasaan Ki Lodana dan kawan-kawan
nya. Tampaknya ia telah siap mencabut nyawa Ki Lo-
dana. "Tunggu...!"
Tangkar yang semenjak tadi diam menyaksikan ke-
malangan yang menimpa kawan-kawannya, bertindak
mencegah. Ia merasa paling bertanggung jawab atas
semua kejadian itu. Selain dia yang pertama mengetahui dan merencanakan
perjalanan itu, dia pulalah
yang mengajak kawan-kawannya. Pikiran itu membuat
Tangkar memberanikan diri menghadapi Pisau Kilat,
yang terkenal jahat dan kejam.
"Pisau Kilat, kalau kau ingin mengetahui perihal beruang es, akulah yang harus
kau bawa. Sebab, aku
yang pernah berhadapan dengan binatang itu. Maka,
kuminta kau membiarkan ketiga kawanku ini pergi
tanpa diganggu. Dan aku akan mengantarkanmu ke
tempat beruang es berada...," dengan lantang Tangkar maju menyelamatkan nyawa
kawan-kawannya. Dan
menawarkan diri mengantarkan Pisau Kilat beserta
rombongannya ke Gunung Es.
Perbuatan Tangkar tentu saja mengejutkan kawan-
kawannya. Walaupun mereka tahu yang dilakukan
Tangkar semata-mata untuk menyelamatkan mereka
bertiga. Tapi rasa setia kawan yang tinggi, membuat Ki Lodana tidak mau
membiarkan Tangkar menghadapi
bahaya seorang diri. Maka ia pun berkata,
"Tidak, Tangkar! Kau tidak boleh pergi seorang diri.
Kami bertiga akan menemani. Pisau Kilat, kami be-
rempat bersedia mengantarmu ke Gunung Es," tegas
Ki Lodana tanpa mempedulikan bantahan Tangkar.
"Hua ha ha...!"
Mendengar pemburu-pemburu itu saling berbanta-
han, Pisau Kilat tertawa berkakakan. Sedikit pun hatinya tidak tergerak. Betapa
pemburu-pemburu itu saling membela demi keselamatan yang lain. Sikap lelaki
gemuk berkumis lebat itu menunjukkan hatinya telah mati. Hingga tidak lagi
mempunyai perasaan.
Puas memperdengarkan tawanya yang parau dan
menyakitkan telinga, Pisau Kilat merayapi wajah
keempat pemburu itu. Lelaki gemuk itu mengangguk-
angguk dengan sepasang mata berbinar. Entah apa
yang ada dalam pikirannya. Hanya ia sendiri yang ta-hu. "Kalau begitu, ayo
kalian berempat ikut bersamaku ke Gunung Es," ujar Pisau Kilat Kemudian bertepuk
ti-ga kali. Muncullah para pengikutnya yang berjumlah tidak kurang tiga puluh
orang. "Siapkan kuda untukku...," perintah Pisau Kilat kepada salah seorang dari kedua
pembantunya. "Baik, Ketua...," sahut lelaki berkepala botak yang ternyata Tonggala.
Sedangkan pembantu Pisau Kilat yang seorang lagi
Janaga. Rupanya, kedua pengacau di kedai Desa Ka-
wung pembantu-pembantu utama Pisau Kilat si kepala perampok. Mereka berdua
itulah yang menjadi mata-mata Pisau Kilat Sehingga, dapat mengetahui kegiatan di
Desa Kawung dan desa-desa lain di sekitar wilayah itu. Begitu kuda yang diminta
telah siap, Pisau Kilat langsung melompat ke atas punggung kuda. Kemudian
memerintahkan perjalanan segera dimulai. Rombongan pun bergerak perlahan menuju
Gunung Es, yang rupanya sangat menarik perhatian kepala perampok itu.
Para pemburu itu sendiri tidak tahu, apa yang membuat Pisau Kilat demikian
tertarik dengan beruang
Gunung Es. Kenyataan itu menimbulkan tanda tanya
besar bagi Ki Lodana dan kawan-kawannya.
*** Perjalanan panjang dan cukup melelahkan itu baru
berakhir saat matahari sudah condong ke barat. Si-
narnya semakin pudar. Hingga tak lagi menyengat
Apalagi saat itu rombongan Pisau Kilat telah memasuki wilayah Gunung Es, yang
berhawa sangat dingin menusuk tulang. Kalau saja mereka bukan orang-orang
yang telah terbiasa dengan segala cuaca, niscaya tidak akan sanggup bertahan
lama di tempat itu.
Saat rombongan tiba di tepi sungai, Pisau Kilat memerintahkan mereka berhenti
sejenak. Lelaki gemuk
itu melompat turun dari atas punggung kuda. Lalu,
menghampiri Ki Lodana dan kawan-kawannya.
"Hm.... Di mana kau pernah berjumpa dengan be-
ruang Gunung Es?" tanya Pisau Kilat dengan wajah


Pendekar Naga Putih 65 Beruang Gunung Es di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

angker. Sikapnya sedikit pun tidak berubah. Dingin dan menyeramkan.
"Kira-kira dua puluh tombak lebih di seberang sun-
gai itu," sahut Tangkar sambil menunjuk ke arah rimbunan pohon besar yang tumbuh
di kaki gunung.
"Apa kau tidak melihat sebuah pondok untuk ban-
gunan di sekitar kaki gunung?" tanya Pisau Kilat lagi seraya menatap wajah
Tangkar lekat-lekat Seolah
khawatir lelaki kekar itu akan berbohong.
"Aku tidak tahu. Karena baru beberapa puluh tom-
bak, beruang Gunung Es sudah berdiri menghadang.
Seolah tak menghendaki tempatnya didatangi orang...,"
jawab Tangkar sejujurnya. Tanpa menyembunyikan
apa yang pernah dialaminya di tempat itu.
Tampaknya Tangkar sadar bahwa berbohong kepa-
da Pisau Kilat tak ada gunanya. Hanya mencelakakan dirinya saja. Maka, lelaki
kekar itu tidak menyembunyikan sesuatu pun dari kepala perampok berdarah
dingin itu. "Jadi beruang Gunung Es tidak sampai menyebe-
rang ke sini?" Setelah terdiam beberapa saat, Pisau Ki-
lat kembali melanjutkan pertanyaan.
"Tidak," disertai gelengan kepala Tangkar menjawab singkat. Pisau Kilat tampak
mengangguk-angguk.
Kendati demikian, keningnya berkerut seperti tengah memikirkan sesuatu.
"Kalau begitu, kita harus segera menyeberang sebe-
lum hari menjadi gelap...," gumam Pisau Kilat
Lalu, memerintahkan para pengikutnya untuk me-
lanjutkan perjalanan. Kali ini lelaki gemuk itu tidak menunggang kuda. Sebab
perjalanan yang akan dilalui sangat sulit Menggunakan kuda hanya akan memper-
lambat perjalanan.
Tidak berapa lama kemudian, rombongan itu pun
menyeberangi sungai. Untung saat itu air sedang surut Sehingga, batu-batu besar
bertonjolan di permukaan air. Membuat Pisau Kilat dan rombongannya dapat
menyeberang dengan mudah.
"Mulai dari sini kita harus meningkatkan kewaspa-
daan...," ujar Pisau Kilat mengingatkan para pengikutnya.
Lelaki gemuk itu khawatir beruang Gunung Es akan
muncul sewaktu-waktu. Seperti yang diceritakan
Tangkar kepadanya. Pisau Kilat mendadak menghenti-
kan langkah. Raut wajahnya berubah ketika menemu-
kan banyak tapak kaki di atas rumput basah.
"Tonggala, Janaga...!" teriak lelaki gemuk itu. Memanggil kedua pembantu
utamanya agar segera meng-
hampiri. "Ada apa, Ketua...?" tanya Janaga. Setelah tiba di hadapan Pisau Kilat yang
masih memandangi rumput
di bawahnya. "Hm.... Tampaknya berita tentang beruang Gunung
Es yang pandai silat itu telah tersebar luas. Jejak-jejak ini menunjukkan kita
sudah kedahuluan orang lain.
Hhh.... Betapa tajamnya pendengaran orang-orang
rimba persilatan. Berita yang baru kemarin terdengar, langsung menyebar seperti
dibawa angin...," desah Pisau Kilat. Diam-diam merasa cemas, mengingat ba-
nyaknya saingan yang akan ditemukan. Kalau tokoh-
tokoh tingkat tinggi sampai ikut datang ke tempat itu, tipislah harapannya dapat
menjalankan rencana yang telah diatur.
"Lalu apa yang harus kita lakukan, Ketua...?"
Tonggala yang kaget mendengar penuturan ketua-
nya, menjadi cemas. Ia sendiri tidak begitu heran dengan begitu cepatnya berita
itu tersebar. Sebab, berita itu didapatnya dari seorang nelayan kedai di Desa
Kawung. yang mengingatkan lelaki kekar berkepala botak itu pada pemuda tampan
berjubah putih dan dara jelita berpakaian serba hijau, yang pernah memukul roboh
dirinya. Menurutnya, bukan tidak mungkin pe-
layan itu menceritakan perihal beruang Gunung Es
kepada pasangan muda itu.
"Hm.... Kita harus bergegas. Kalau tidak, kita akan ketinggalan," sahut Pisau
Kilat Lalu, menyuruh Tonggala dan Janaga mengumpulkan semua orang-
orangnya. Baru saja Pisau Kilat selesai berbicara, tiba-tiba terdengar suara tawa yang
mengguncangkan dada. Lelaki gemuk itu sempat mengerahkan hawa mumi un-
tuk melindungi isi dadanya agar tidak terguncang. Suara tawa itu merupakan
serangan tenaga dalam yang
ampuh, dan bisa menewaskan orang dengan isi dada
pecah! "Keparat..!" desis Pisau Kilat melihat para pengikutnya bergulingan di atas
rumput. Tidak sanggup menahan serangan tawa yang mengandung tenaga dalam
tinggi itu. Hingga kemarahan tokoh sesat itu bangkit
seketika. "Hei, Setan Belang! Gandarwa Sundal! Kalau kau
bukan seorang pengecut, tunjukkan dirimu! Kalau tidak, akan kuratakan dengan
tanah seluruh daerah
ini...!" teriak Pisau Kilat tidak dapat menyembunyikan kemurkaannya.
"Hua ha ha...!"
Bersamaan dengan berhembusnya angin keras, se-
sosok bayangan serba putih meluncur turun dari atas pohon besar yang tingginya
belasan tombak. Sosok
tinggi besar itu mendarat ringan beberapa tombak di hadapan Pisau Kilat
Pisau Kilat sendiri tampak tergetar hatinya begitu mengenali sosok tinggi besar
terbungkus pakaian serba putih. Ada kilatan gentar pada sepasang mata yang
biasanya tajam menikam jantung. Kenyataan itu menunjukkan kalau sosok tinggi
besar dengan tawa
menggelegar, itu seorang tokoh persilatan yang na-
manya cukup membuat orang lari tunggang-langgang.
*** 5 "Hantu Tangan Merah..."!" desis Pisau Kilat sedikit gentar. Lelaki gemuk itu
agaknya mengetahui tokoh
bertubuh tinggi besar itu. Kendati demikian, Pisau Kilat tidak menunjukkan
kegentarannya. Ia berusaha
menutupi dengan tawanya yang serak dan berat
"He he he...! Apa kerjamu di tempat ini, Pisau Ki-
lat..?" tegur Hantu Tangan Merah. Sepasang matanya agak menyipit Seperti hendak
membaca pikiran lelaki gemuk berkumis lebat itu.
Pisau Kilat sadar sepenuhnya kalau Hantu Tangan
Merah merupakan saingan berat. Otaknya segera be-
kerja cepat mencari jalan yang akan menguntungkan
dirinya. Lelaki gemuk itu pun mengatur rencana licik, dengan hendak
mempergunakan kelebihan Hantu
Tangan Merah. "Hm.... Tak perlu berpura-pura, Hantu Tangan Me-
rah. Kau sendiri hendak mengerjakan apa di tempat
ini...?" Pisau Kilat balik bertanya, dengan nada sinis.
Mulutnya berkata demikian, seperti hendak menen-
tang. Tapi diam-diam pikirannya merangkai sebuah
rencana busuk. "Jadi kedatanganmu ke Gunung Es ada hubungan-
nya dengan harta peninggalan Malaikat Salju, begitu?"
tukas Hantu Tangan Merah yang terlihat menganggap
remeh Pisau Kilat.
Lelaki tinggi besar itu merasa kedudukannya lebih
tinggi. Hingga tidak bisa disejajarkan dengan seorang kepala perampok. Kendati
demikian, Hantu Tangan
Merah tidak mengurangi kewaspadaan. Ia telah men-
genal baik kelicikan Pisau Kilat.
"Harta peninggalan Malaikat Salju..."!" Dari mana
kau mendapat kabar itu, Hantu Tangan Merah?"
Kening Pisau Kilat agak berkerut mendengar uca-
pan itu. Sebab, tujuan kedatangannya ke tempat itu baru dugaan. Ia sedikit pun
tidak tahu tentang tokoh yang berjuluk Malaikat Salju. Meskipun demikian,
nama itu dicatat dalam kepalanya.
"Jangan berpura-pura bodoh, Pisau Kilat. Kalau
bukan karena harta peninggalan tokoh sakti itu, lalu apa tujuanmu datang jauh-
jauh ke tempat ini?" tukas Hantu Tangan Merah. Tidak percaya Pisau Kilat tidak
mengetahui hal itu.
"Aku tidak berpura-pura, Hantu Tangan Merah. Te-
rus terang, tujuanku ke tempat ini karena tertarik dengan berita mengenai
beruang es. Aku menduga binatang yang pandai bersilat itu peliharaan tokoh
sakti. Tapi sungguh tidak kusangka kalau tokoh itu Malaikat Salju, yang namanya telah
Sang Penerus 5 Dewa Linglung 23 Buronan Dari Mataram Badai Laut Selatan 9
^