Pencarian

Bidadari Iblis 1

Pendekar Naga Putih 33 Bidadari Iblis Bagian 1


BIDADARI IBLIS Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Henky
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode: Bidadari Iblis 128 hal. ; 12 x 18 cm
1 Angin pagi bertiup silir-silir lembut, mengiringi
langkah kaki sesosok tubuh ramping. Ayunan lang-
kahnya ringan. Tampaknya ia sudah sangat terbiasa
melakukan perjalanan jauh. Kepalanya yang terangkat
tegak, dan sepasang matanya yang mencorong tajam,
membuat wajahnya menimbulkan kesan dingin.
Sosok tubuh ramping yang rupanya seorang wanita
cantik itu sama sekali tidak mempedulikan rambutnya
yang dipermainkan angin nakal. Langkahnya terus
menyusuri jalan lebar, yang menghubungkan dengan
sebuah desa. Dan tak lama kemudian, tampaklah se-
buah mulut desa membentang di depannya. Maka
langkahnya kian dipercepat, hingga sampailah ia di
mulut desa. Beberapa orang lelaki muda yang tengah bergerom-
bol di gardu menatap penuh kagum ke arah sosok tu-
buh ramping itu. Tiga orang dari mereka sudah berge-
rak hendak menegur. Tapi langkah mereka tertahan,
karena salah seorang berusaha mencegah.
"Mengapa kau mencegah kami...?" Tegur salah seorang pemuda itu tak senang. Sorot
matanya tampak menyiratkan kecurigaan.
"Kalau kau tidak berani, jangan mengganggu kesenangan kami. Dan kau jangan ikut
campur!" Hardik yang satunya lagi, sambil menyingkirkan lengan yang
menghadang jalannya.
"Wanita cantik itu bukan orang sembarangan! Apa kau tidak melihat pedang yang
tergantung di ping-gangnya?" Desis pemuda beralis tebal itu, memperin-gatkan.
Mendengar peringatan itu ketiganya serentak meno-
leh, seraya menatap penuh selidik. Memang apa yang
dikatakan kawannya benar. Di pinggang kiri gadis jeli-ta itu tampak tergantung
sebilah pedang. Dari sini sudah bisa ditebak kalau si gadis jelita itu adalah
orang dari kalangan persilatan.
"Ah! Siapa tahu senjata itu hanya sekadar untuk menakut-nakuti. Melihat dari
wajahnya yang cantik
dan penuh kelembutan itu, rasanya sukar untuk di-
percaya kalau ia memiliki ilmu silat. Untuk apa gadis cantik mempelajari ilmu
berkelahi?" Bantah pemuda berbahu lebar yang raut wajahnya tampak keras.
"Kalau memang masih penasaran, ya terserah. Se-
bagai teman, aku hanya menasihati saja agar kau ti-
dak celaka karena sifat sombongmu itu," kata pemuda beralis tebal itu lagi,
menggerakkan bahunya tanda
menyerah. Lelaki berbahu lebar itu hanya menyunggingkan
senyum sinis, kemudian menoleh kepada kedua ka-
wannya. "Kalian takut...?" Tanyanya, bernada meremehkan.
"Kami bukan takut. Tapi, apa yang dikatakan ka-
wan kita itu kurasa ada benarnya juga," tukas salah satu dari kedua pemuda itu.
Sepertinya, dia merasa
gentar melihat pedang yang tergantung di pinggang
gadis itu. "Kau sajalah, Badira. Aku juga tidak ikut," sahut pemuda satunya lagi, seraya
kembali duduk. "Huh! Kalian semua memang penakut! Kalian lihat saja nanti."
Sambil berkata demikian, lelaki berbahu lebar yang
dipanggil Badira itu melangkah meninggalkan keenam
orang kawannya.
"Mudah-mudahan saja ia tidak sampai cidera...,"
gumam pemuda beralis tebal itu penuh harap.
Sedangkan Badira kini sudah melangkah meng-
hampiri gadis jelita yang tengah memasuki desa. Ken-
ing gadis itu tampak berkerut ketika melihat seorang pemuda berjalan ke arahnya.
Sorot matanya yang bulat tajam itu tampak memancarkan kecurigaan.
"Hai, Nisanak. Kau hendak ke mana?" Tegur Badira sambil memasang lagak dan
senyum yang menurutnya
paling manis dan paling ramah.
Gadis jelita berpakaian serba merah itu segera
menghentikan langkahnya, ketika Badira menghadang
jalannya. Cukup lama sepasang mata indah namun
dingin itu merayapi sekujur sosok pemuda gagah di
depannya. Sejauh itu, sama sekali tidak keluar sepa-
tah kata pun sebagai jawabannya.
Sikap gadis jelita itu tentu saja membuat Badira sa-
lah tingkah. Keningnya tampak berkerut tak senang,
ketika gadis jelita itu kemudian menatap tepat di kedua bola mata Badira.
Sepertinya, dia tengah menilai pemuda itu.
"Ahhh, sayang! Seorang gadis yang demikian cantik, ter-nyata bisu dan tuli...,"
desis Badira, bernada menghina. Jelas sekali kalau ia sangat tersinggung
terhadap sikap gadis cantik itu.
"Ternyata, apa yang dikatakan nenek sama sekali tidak salah. Laki-laki di dunia
ini semua jahat, dan bermulut keji!"
Terdengar bibir mungil itu komat-kamit mengu-
capkan kata-kata itu. Dan hal ini ternyata membuat
Badira tertegun dengan wajah berubah.
"Sial! Rupanya yang ku tegur seorang gadis gila...!"
Sambil mengumpat demikian, Badira melangkah
berbalik, meninggalkan gadis jelita itu.
"Hmhhh!"
Terdengar suara mendengus kasar. Badira tahu,
pasti dengusan itu berasal dari gadis cantik di belakangnya. Tapi, ia sama
sekali tidak peduli. Bahkan terus melangkah ke arah kawan-kawannya yang mener-
tawakan kegagalannya.
Tapi, Badira yang baru melangkah beberapa tindak
tiba-tiba memekik kaget! Dan tahu-tahu saja, tubuh-
nya terjengkang bagai terangkat ke atas!
"Tolooong...!"
Badira baru menjerit-jerit ketakutan, ketika menya-
dari kalau tubuhnya telah melambung setinggi satu setengah tom-bak dari
permukaan tanah! Karuan saja
hal ini membuatnya menjadi ketakutan setengah mati!
"Lagi-lagi ucapan nenek benar. Makhluk yang bernama lelaki itu selain bermulut
besar dan jahat, ternyata seorang penakut!" kembali terdengar ucapan yang aneh
dari sepasang bibir indah itu.
"Hei, lepaskan kawan kami...!"
Meskipun tidak suka terhadap sifat sombong Badi-
ra, namun keenam orang kawannya itu tetap saja
mengkhawatirkan keselamatan pemuda itu. Maka se-
rentak mereka berlarian sambil berteriak-teriak, agar gadis cantik itu tidak
sampai mencelakakan kawannya.
Sementara itu si gadis jelita yang berpakaian merah
darah hanya tersenyum sinis. Ia tetap saja melam-
bung-lambungkan tubuh Badira dengan sebelah ta-
ngannya, tanpa kesukaran sedikit pun! Setiap kali tubuh Badira meluncur turun,
telapak tangannya yang
halus menyambut, untuk kemudian dilempar-kan
kembali ke udara. Hal itu dilakukannya berulang-
ulang. "Turunkan kawan kami!" bentak pemuda beralis
tebal. Dia sepertinya merasa bertanggung jawab atas
keselamatan Badira, hal ini terlihat dari wajahnya yang cemas.
"Hm.... Kau minta kawanmu kubebaskan?" Tanya gadis jelita itu, sambil tetap
mempermainkan tubuh
Badira. "Maafkanlah dia.... Bukankah dia tidak mencelakakan diri-mu?" Pinta lelaki
beralis tebal itu lagi mengingatkan.
"Baik. Nah, terimalah...!" Ujar gadis cantik itu. Setelah berkata demikian, tubuh
Badira dilemparkannya
ke arah kerumunan keenam orang kawannya.
Blukkk! "Ahhh...!"
Tentu saja keenam orang pemuda itu berteriak ka-
get! Tapi sebelum sempat menghindar, tubuh Badira
telah menimpa mereka! Karuan saja tubuh ketujuh
orang pemuda desa itu berjatuhan saling tindih ke-
mudian mereka bangkit dan membersihkan debu yang
mengotori pakaian mereka.
"Perempuan tak tahu adat...!" Lelaki beralis tebal itu pun mengumpat tak senang.
Ditatapnya gadis jelita itu dengan wajah merah padam.
"Kalian semua adalah laki-laki keparat. Sepertinya makhluk seperti kalian memang
harus dilenyapkan
dari bumi ini agar tidak lagi menyakiti hati wanita?"
Hardik gadis jelita itu tidak kalah garangnya.
Melihat dari sikapnya dan setiap ucapan yang ke-
luar dari mulutnya, jelas kalau gadis jelita itu sangat membenci kaum laki-laki.
Ucapan gadis jelita itu tentu saja membuat Badira
dan kawan-kawannya terkejut setengah mati! Benar-
Benar sulit dimengerti, mengapa gadis jelita itu sangat membenci mereka.
Padahal, apa yang dilakukannya
tadi hanyalah masalah sepele. Tapi, sepertinya gadis itu menganggapnya sebagai
suatu kesalahan yang tak
terampuni. Keterkejutan Badira dan kawan-kawannya seketika
berubah menjadi ketegangan hebat! Wajah mereka
masing-masing menjadi pucat bagai tak teraliri darah, begitu tahu-tahu saja
gadis jelita itu telah berdiri beberapa langkah didepan mereka. Padahal, tadi
jarak di antara mereka terpisah sekitar dua tombak. Tentu, sa-ja ketujuh orang pemuda itu
menjadi ketakutan! Apa-
lagi, mereka sama sekali tidak melihat gadis itu me-
lompat atau melangkah!
"Perempuan siluman...!"
Badira dan beberapa orang pemuda lainnya berde-
sis dengan tubuh gemetar, bagai orang terserang de-
mam! "Kalianlah siluman jahat yang berujud manusia!"
Bentak gadis jelita itu.
Setelah berkata demikian, tangan kanannya me-
layang ke arah tiga orang terdepan, termasuk Badira!
Plakkk! Plakkk!
"Arghhh...!"
"Akhhh...!"
Terdengar suara tamparan yang keras berturut-
turut, di-iringi jerit kesakitan ketiga orang pemuda yang menjadi sasa-ran
tamparan tangan halus si gadis jelita!
Empat pemuda lainnya termasuk pemuda beralis
tebal, hanya menatap dengan mata terbelalak lebar!
Tubuh ketiga kawannya yang terkena tamparan gadis
jelita itu kontan ambruk. Mereka tampak berkelojotan bagai ayam di sembelih. Tak
lama kemudian, ketiga
pemuda itu diam tak bergerak! Dari telinga, hidung,
dan mulut, mengalir darah segar!
"Iblisss...!" Desis lelaki beralis tebal itu.
Tubuhnya menggigil hebat! Hampir ia jatuh pingsan
melihat Badira dan dua kawannya yang lain ternyata
telah mati akibat tamparan gadis jelita itu! Benar-
benar sulit dipercaya!
"Hm..., jangan khawatir. Kalian pun akan segera menyusul-nya," kata gadis jelita
itu, dingin dan tajam.
Sepertinya, ia sama sekali tidak menyesal telah menewaskan ketiga orang pemuda
itu. "Tahaaan...!"
Tangan gadis jelita itu berhenti di udara, ketika terdengar bentakan nyaring
mencegahnya! "Hm...."
Terdengar gumaman lirih gadis itu ketika melihat
datang-nya serombongan orang yang berlari ke arah
mereka. Sinar mata yang mencorong tajam itu sekilas
beralih, menatap rombongan lelaki berseragam yang
mendatanginya. "Ada apa ini"! Siapa yang membunuh mereka...?"
Mulutnya bertanya demikian, tapi sepasang mata
lelaki gagah yang tiba lebih dulu itu menatap ke arah si gadis. Jelas matanya
seperti telah menuduh.
"Memang, akulah yang telah membunuh mereka...,"
desis gadis jelita itu menerangkan, tanpa menunggu
pertanyaan lelaki gagah itu.
"Aaah..."!" Lelaki gagah itu memekik tertahan.
Kaki laki-laki itu melangkah mundur empat tindak.
Jelas, keterangan gadis jelita berpakaian merah darah itu sangat mengejutkannya!
Sepasang matanya tampak menyiratkan ketidakpercayaan!
"Nisanak! Benarkah kau yang telah membunuh me-
reka...?" Tanya lelaki gagah itu setengah tak percaya.
Ditatapnya wajah lembut nan jelita itu penuh seli-
dik. Sepertinya, ia masih sukar mempercayai kalau gadis sejelita itu dapat
berbuat demikian kejam.
"Benar, Kakang Bonggar. Iblis itulah yang telah membunuh ketiga kawan kami!
Meskipun wajahnya
secantik bidadari, namun jelas hatinya terselimuti iblis...!" Kata pemuda
beralis tebal itu, untuk meyakin-kan lelaki gagah yang dipanggil Bonggar.
"Benar, apa yang dikatakan pemuda kurang ajar
itu, Bong-gar. Bahkan bukan hanya mereka bertiga
yang kubunuh. Semua lelaki di dunia ini akan kubu-
nuh! Laki-laki adalah makhluk yang tidak patut hidup di dunia ini...," tegas
gadis jelita itu. Sorot matanya tampak penuh kebencian yang men-dalam.
'Tapi..., apa salah mereka...?" Bonggar yang sepertinya masih tidak mengerti
itu, kembali minta penjelasan.
"Aku tidak ada waktu untuk berbicara denganmu
atau semua lelaki di dunia ini. Lebih baik, serahkan nyawa keempat laki-laki
itu! Atau, kau juga ingin melayat ke akhirat...?" ancam gadis yang tanpa
perasaan. Melihat dari sorot matanya, sepertinya gadis jelita
itu siap membuktikan ucapannya.


Pendekar Naga Putih 33 Bidadari Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hm.... Kalau begitu, kau harus kutangkap. Kau harus mempertanggungjawabkan
perbuatanmu di hada-
pan kepala desa kami," tegas Bonggar, yang mau tidak mau harus mempercayai
ucapan gadis jelita itu.
"Kalau begitu, kau pun harus kulenyapkan...," desis gadis itu dingin, dengan
sorot mata tajam.
Dan, begitu ucapannya selesai, tubuh gadis itu te-
lah me-layang ke arah Bonggar! Serangannya tampak
membawa hawa maut. Bonggar memang harus berha-
ti-hati menghadapinya.
"Kepung, dan tangkap gadis liar itu!"
Sambil berteriak memerintahkan kedua belas orang
anak buahnya, Bonggar melesat ke kiri menghindari
tamparan lawannya. Namun sayang tindakannya ju-
stru mendatangkan bencana bagi yang lainnya! Empat
orang pemuda yang tadi masih selamat, kontan ter-
jungkal keras diiringi jerit kematian yang susul-
menyusul! Rupanya gadis jelita itu sengaja menun-
jukkan kepada Bonggar kalau ucapannya bukanlah
sekadar gertakan belaka. Akibatnya, keempat orang
pemuda itu tewas oleh perubahan gerakan gadis jelita itu. "Iblis...!" hardik
Bonggar hampir tak percaya, "Wa-jahmu saja yang seperti bidadari. Tapi,
kekejamanmu tidak ubahnya iblis penghuni neraka! Kau..., Bidadari Iblis...!"
"Hm..., Bidadari Iblis...," gumam gadis jelita itu mengulang ucapan Bonggar.
Tampaknya ia sama sekali tidak keberatan dengan
julukan yang diberikan lawan untuknya.
"Ya, akulah Bidadari Iblis yang akan menghukum
lelaki-lelaki kurang ajar di permukaan bumi ini.... Hik hik hik...!"
Hati Bonggar bergidik mendengar ucapan yang ke-
luar dari mulut gadis jelita itu. Kini ia benar-benar percaya dengan apa yang
diucapkan lawannya. Dan
nampaknya semua perkataan gadis itu akan dibukti-
kannya. Hanya yang sulit dimengerti, mengapa sepertinya gadis jelita itu sangat
membenci kaum laki-laki"
Sayang, Bonggar tidak bisa berpikir panjang. Me-
mang, gadis jelita yang dijuluki Bidadari Iblis itu telah menerjangnya kembali.
Maka, lelaki gagah itu terpaksa harus menggunakan senjatanya untuk membela diri!
Wuuut! Wuuut! Bonggar menggeser tubuhnya ke kiri dan kanan,
sambil sesekali menebaskan goloknya untuk memben-
dung gencarnya gempuran gadis itu. Delapan orang
anak buahnya yang datang membantu, membuat lelaki
gagah itu dapat menarik napas lega, meskipun sesaat.
Lelaki gagah berusia empat puluh tahun yang me-
rupakan kepala keamanan di desa itu, terkejut ketika mendengar jerit kematian
yang susul-menyusul! Hatinya geram bukan main ketika melihat tiga orang
anak buahnya yang terjungkal disertai semburan da-
rah segar dari mulutnya.
"Jahanam keji...!" umpat Bonggar.
Laki-laki gagah itu semakin kalap menyaksikan ke-
matian anak buahnya itu. Tanpa berpikir dua kali lagi, dia melesat disertai
putaran goloknya!
Bettt! Bettt! Sambaran golok di tangan Bonggar, sepertinya sa-
ma sekali tidak menyulitkan lawannya. Gadis jelita itu enak saja bergerak
membagi-bagi serangan. Padahal,
saat itu Bonggar sadar, kalau lawannya ternyata me-
miliki kepandaian tinggi!
Kejadian-kejadian yang menimpa anak buahnya be-
nar-benar membuat lelaki gagah itu terpukul! Mes-
kipun telah berusaha sekuat kemampuannya, tetap
saja dua belas orang anak buahnya tidak dapat dis-
elamatkannya! Semuanya tewas di tangan Bidadari Ib-
lis, hanya dalam beberapa gebrakan saja! Hal itu be-
nar-benar tidak disangka sama sekali!
"Iblis keji! Kau harus membayar mahal akibat kekejamanmu itu!"
Bonggar benar-benar kalap menyaksikan anak
buahnya tewas satu-persatu, tanpa mampu dicegah.
Sehingga, lelaki gagah itu semakin kalap dibuatnya!
"Tidak perlu terburu-buru. Kau pun akan segera
menyusul mereka," ancam gadis jelita itu tanpa rasa sesal sedikit pun dengan apa
yang telah dilakukannya.
"Yeaaat...!"
Bonggar yang telah kalap langsung menerjang bagai
orang kemasukan setan! Ucapan gadis jelita itu sama
sekali tidak diperdulikannya. Yang ada dalam benak-
nya adalah, membu-nuh gadis itu secepatnya agar ti-
dak mendatangkan malapetaka bagi orang lain.
Sayangnya, ilmu yang dimiliki Bonggar masih terla-
lu jauh untuk dapat menghentikan lawan. Bahkan ti-
dak sampai sepuluh jurus, lelaki gagah itu sudah terdesak hebat.
"Susul semua kawanmu...."
Ucapan gadis itu dibarengi sebuah tamparan keras
yang mendatangkan deruan angin tajam!
Wuttt! Bukan main terkejutnya hati Bonggar melihat da-
tangnya tamparan lawan. Kepala lelaki gagah itu tera-sa pening, karena tidak
bisa mengikuti kecepatan ge-
rak lawannya. Sehingga...
Prakkk! "Highhh...!"
Hanya suara itu yang keluar dari kerongkongan
Bonggar, saat telapak tangan halus yang mengandung
kekuatan hebat itu dan mengandung racun yang san-
gat ganas itu singgah di pelipis kirinya! Tubuh lelaki gagah itu langsung
melintir bagai gangsing! Kemudian, tubuhnya terjerembab di atas tanah dengan
genangan darah di sekitar kepalanya. Bonggar langsung tewas di tangan Bidadari Iblis!
Para penduduk desa yang menyaksikan peristiwa
berdarah itu, serentak berlarian masuk ke dalam ru-
mah! Sekejap saja, desa itu telah sepi, bagaikan desa mati....
Bidadari Iblis hanya tersenyum dingin, kemudian
melanjut-kan langkahnya menyusuri jalan utama de-
sa. *** 2 "Hm.... Ke mana perginya pemilik kedai makan ini?"
Gumam dara jelita berpakaian serba merah itu perla-
han. Sepasang mata gadis itu beredar ke sekeliling ruan-
gan. Senyuman sinis tampak terukir di bibirnya, ketika telinganya yang tajam
mendengar desah napas memburu.
Sejenak gadis yang dalam waktu singkat telah diju-
luki Bidadari Iblis itu termenung sambil mengerutkan keningnya. Sesaat kemudian,
langkahnya terayun ke
arah sebuah meja. Tidak dipedulikannya suasana ke-
dai yang kosong, tanpa satu sosok pun yang menam-
pakkan diri. "Cepat keluar, dan sediakan makanan! Kalau tidak, kedai ini akan ku ratakan
dengan tanah!"
Sambil berkata demikian, telapak tangan gadis itu
menggebrak meja di depannya.
Terdengar suara keras, ketika telapak tangan halus
itu menghancurkan meja hingga hancur menjadi bebe-
rapa keping. Benar-benar mengerikan tenaga dalam
yang tersimpan di dalam lengan berkulit halus itu!
Gertakan Bidadari Iblis terbukti berhasil. Sesaat setelah itu, tampak beberapa
kepala menyembul dari ba-
lik pintu ruangan tengah.
"Cepat layani aku sebaik-baiknya! Kalau tidak...,"
Bidadari Iblis mengancam sambil memamerkan kepa-
lannya yang mungil ke arah tiga kepala yang dilihatnya itu. Bidadari Iblis tidak
perlu menunggu lama. Begitu ucapan-nya selesai, muncullah tiga sosok tubuh yang
melangkah dengan wajah pucat bagai kertas. Bahkan
dua di antara mereka sudah terkencing-kencing di ce-
lana. Hal itu dapat diketahui dari celana yang basah, dan bau yang tak sedap.
"Dasar laki-laki pengecut...!" Terdengar bibir mungil itu menggerimit tak
senang. "Apa..., apa yang kau inginkan..., Bida... eh, Nisanak?" Tanya seorang lelaki
setengah baya itu.
Dia benar-benar menjadi bingung harus memanggil
apa kepada dara cantik itu. Tubuhnya tampak menggi-
gil, dengan butir-butir keringat sebesar biji jagung membasahi pakaiannya. Kalau
saja Bidadari Iblis
kembali membentak, rasanya lelaki tua itu pasti akan jatuh pingsan.
Untungnya, Bidadari Iblis hanya menyebutkan pe-
sanannya, dan meminta agar cepat disediakan. Maka
tanpa diperintah lagi, ketiganya sudah berbalik. Mere-ka saling mendahului
meninggalkan dara cantik itu.
Karuan saja pemandangan itu membuat si gadis terse-
nyum geli. Sayang, sebelum Bidadari Iblis sempat melihat hi-
dangan pesanannya, tiba-tiba terdengar suara gaduh
di luar kedai. Cepat dara jelita itu menoleh dengan wajah tak senang.
"Itu dia orangnya, Ki...!"
Dara cantik yang kejam itu mengerutkan keningnya
sambil menatap seorang lelaki kurus yang tadi menge-
luarkan suara itu. Kemudian, mata bulatnya beralih
pada seorang lelaki gagah yang berusia lima puluh tahun lebih.
Lelaki gagah yang wajahnya tampak gelap itu me-
ngerutkan keningnya, menatap wajah jelita yang ditunjuk lelaki kurus itu. Pada
sinar matanya tampak ter-
bayang sorot keraguan.
"Apa kau yakin kalau gadis yang kelihatan lembut
itu yang membunuh Bonggar dan keamanan desa lain-
nya?" Bisik lelaki gagah itu tanpa mengalihkan pandangannya dari wajah jelita di
depannya. "Tidak salah, Ki. Semua orang desa melihatnya. Jelas, perbuatannya sangat kejam!
Kalau tidak salah, dia dijuluki Bidadari Iblis...," bisik lelaki kurus itu
menekankan ucapannya tanpa ragu-ragu.
"Hm.... Kalian semua tunggu di sini. Jangan ada yang bertindak sebelum
kuperintahkan!" desis lelaki tua itu, tegas. Kemudian kakinya melangkah melewati
pintu kedai. Bidadari Iblis kembali membalikkan tubuhnya. Saat
itu, hidangan yang dipesannya sudah datang. Dan. Se-
peninggal pelayan tua itu, hidangan yang sudah tersedia segera di nikmatinya.
Sama sekali tidak dipedulikan kehadiran lelaki gagah itu.
"Maaf, kalau aku terpaksa mengganggu makanmu,
Nisanak," tegur lelaki tua itu.
Laki-laki yang sepertinya sangat dihormati itu me-
narik sebuah kursi tidak jauh dari tempat Bidadari Iblis. Kemudian, dia duduk di
situ. Namaku Ki Sangga Watung, Kepala Desa Pe-
sanggrahan ini. Menurut keterangan salah seorang
wargaku, kau telah berbuat keonaran. Belasan kea-
manan desa kami, telah kau bunuh termasuk ketua-
nya yang bernama Bonggar. Betulkah keterangan yang
kudapat itu?" Tanya lelaki tua yang ternyata Kepala Desa Pesanggrahan ini.
Sejenak Bidadari Iblis menghentikan makannya. Di-
tatapnya lelaki tua yang mengaku bernama Ki Sangga
Watung penuh selidik. Sekilas, ada pancaran kekagu-
man pada sepasang mata bulat dan indah namun din-
gin itu. Sepertinya, ia merasa kagum atas sikap Kepala Desa Pesanggrahan itu.
Pikirnya, meskipun mungkin
orang tua itu sudah mengetahuinya, tapi sikap serta
ucapannya sangat lembut. Semua itu menandakan ka-
lau Ki Sangga Watung adalah seorang bijaksana, dan
me-miliki pandangan luas. Itu yang membuatnya me-
rasa kagum. "Kau percaya dengan keterangan salah seorang
wargamu itu, Orang Tua...?" Tanya Bidadari Iblis sambil tersenyum manis dan
memabukkan. Senyum itu nampak demikian wajar dan mempeso-
na. Sehingga, menimbulkan keraguan di hati Ki Sang-
ga Watung. "Aku hanya meminta penjelasanmu. Kalau kau
memang bukan seorang pengecut, pasti perbuatan itu
kau akui. Lain halnya jika pelakunya bukan dirimu,"
kata Ki Sangga Watung tetap menekan kemarahannya.
"Hm.... Aku bukanlah orang pengecut seperti orang-orangmu itu! Dengarlah, Ki
Sangga Watung. Orang-
orangmu memang aku yang membunuh! Dan kalau
kau ingin membalasnya, aku tidak akan mundur!" Tegas Bidadari Iblis tajam. Kali
ini senyumnya berubah sinis dan menghina.
"Kalau benar demikian, kau harus dihukum, Nisa-
nak. Perbuatanmu benar-benar sudah melewati taka-
ran!" Desis Ki Sangga Watung dengan wajah merah padam. Kemarahannya benar-benar
terbangkit atas sikap gadis jelita yang jelas-jelas tidak memandangnya itu.
"Lalu, tunggu apa lagi?" Tukas Bidadari Iblis, sinis.
Setelah berkata demikian, gadis itu kembali melan-
jutkan makannya. Sikapnya jelas merupakan hinaan
bagi Ki Sangga Watung!
"Kau terlalu sombong, Nisanak! Maaf...," ujar Ki Sangga Watung mengulurkan
tangannya, hendak
mencengkeram pergelangan Bidadari Iblis.
Serangan itu menandakan kalau Kepala Desa Pe-
sanggrahan masih merasa enggan untuk berhadapan
dengan gadis muda yang pantas menjadi anaknya itu.
Dari sini dapat dilihat, ternyata Ki Sangga Watung adalah seorang lelaki gagah
yang tidak suka mengandal-
kan kepandaian untuk melawan seorang gadis muda.
Perbuatan Ki Sangga Watung itu justru disalaharti-
kan oleh Bidadari Iblis. Dara jelita itu merasa diremehkan oleh sikap orang tua
seperti memandang ren-
dah kepadanya. "Keraguanmu bisa mendatangkan celaka, Orang
Tua...," kata Bidadari Iblis.
Bidadari Iblis cepat mengangkat tangan kirinya me-
nyambut cengkeraman Ki Sangga Watung! Dan....
Plakkk! "Ahhh..."!"
Ki Sangga Watung memekik tertahan! Tangkisan
lengan halus itu ternyata membuatnya terjajar, hingga menabrak meja di
belakangnya! Brakkk...! Meja kayu tebal serta beberapa buah kursi yang ter-
timpa tubuh orang tua itu berderak ribut, dan berpa-
tahan. Dari sini saja dapat diukur, betapa kuatnya tenaga tangkisan Bidadari
Iblis!

Pendekar Naga Putih 33 Bidadari Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Uhhh...," keluh Ki Sangga Watung. Laki-laki itu memijat pergelangan tangannya
yang terasa linu. Kenyataan itu langsung membuatnya sadar. Ternyata ga-
dis muda itu tidak bisa dipandang remeh! Meskipun
serangan pertamanya tidak dilakukan secara sungguh-
sungguh, tapi jelas kalau lawannya memang memiliki
tenaga dalam tinggi. Sebuah peringatan baginya untuk berhati-hati!
"Kutunggu kau di luar kedai, Bidadari Iblis...!"
Sambil berkata demikian, Ki Sangga Watung melesat
menuju luar kedai.
"Sesukamulah, Orang Tua...," sahut Bidadari Iblis.
Baru saja ucapan itu ke luar dari mulutnya, tubuh
dara jelita itu sudah melayang membumbung ke uda-
ra! Brolll...! Terdengar suara keras ketika bayangan merah itu
menerobos atap kedai! Lalu, dengan gerakan yang
memperlihatkan kelihaian ilmu meringankan tubuh-
nya, Bidadari Iblis berputar beberapa kali sebelum
menjejakkan kakinya satu tombak di hadapan Ki
Sangga Watung. *** "Bidadari Iblis! Apa sebenarnya alasanmu sampai
demikian kejam menindak mereka" Apa kesalahan
yang mereka perbuat memang patut ditebus dengan
nyawa" Atau, kau mempunyai alasan lain"!" Kata Ki Sangga Watung, meminta
penjelasan atas perbuatan
dara cantik itu.
"Aku benci laki-laki! Hukuman itu memang pantas didapat! Bahkan bukan hanya
mereka saja, tapi seluruh laki-laki yang kurang ajar di muka bumi ini! Juga kau,
Orang Tua! Di balik sikap lembutmu, pasti ter-sembunyi hati yang hitam! Rasanya,
kau pun pantas dikirim ke alam akhirat!" Desis Bidadari Iblis.
Jawaban dara cantik berpakaian merah darah itu
sempat membuat Ki Sangga Watung tersentak. Hatinya
mulai men-duga-duga, apa sebenarnya yang telah me-
nimpa gadis jelita itu di masa lalu" Pasti ada penyebabnya, sehingga ia membenci
laki-laki. Tapi melihat raut wajah yang jelita serta sosok tubuh indah yang
dimilikinya rasanya hanya lelaki gila saja yang mau
menyakiti hati gadis itu. Mana mungkin seorang laki-
laki waras mau meninggalkan ataupun menyakiti dara
jelita di depannya itu" Kalau begitu, apa sebenarnya yang telah terjadi
terhadapnya"
"Apa yang tengah kau pikirkan, Orang Tua?" Tanya Bidadari Iblis ketika melihat
calon lawannya termenung. Sepasang matanya tampak berkilat, sepertinya
tengah menduga apa yang tengah dipikirkan Ki Sangga
Watung itu. "Nisanak! Apa yang membuatmu demikian mem-
benci kaum laki-laki" Apakah kau...."
"Tidak perlu banyak cakap! Bersiaplah untuk ma-
ti...!" Potong Bidadari Iblis nyaring.
Ucapan Ki Sangga Watung jelas tidak menyenang-
kan hati dari jelita itu. Maka, tanpa memberi kesempatan bagi lawan-nya untuk
berbicara lagi, Bidadari Iblis melompat menerjang!
"Ki, awasss...!"
Empat orang lelaki berseragam yang berada di kiri-
kanan Ki Sangga Watung langsung melesat melindungi
kepala desanya, dengan empat batang pedang yang
berkeredep menyambut tubuh Bidadari Iblis!
"Huh!"
Sambil mendengus, Bidadari Iblis merubah seran-
gannya. Tangan berkulit halus itu berputar cepat, kemudian mengibas secara
mengiriskan! Wuuut...! Serangkum angin tajam berdesing merobek udara!
Akibat-nya, tubuh keempat orang pengawal Kepala De-
sa Pesanggrahan itu terjungkal tanpa ampun!
Bukan kepalang kagetnya Ki Sangga Watung me-
nyaksikan kehebatan Bidadari Iblis! Keempat orang
pengawalnya ternyata langsung berkelojotan sambil
memuntahkan darah segar dari mulutnya! Padahal, Ki
Sangga Watung tidak melihat adanya pukulan yang
mengenai para pengawalnya! Kalau tidak menyaksikan
dengan mata kepala sendiri, sukar rasanya untuk
mempercayai. "Itulah pukulan 'Perenggut Nyawa', hasil ciptaan Guruku yang khusus untuk
melenyapkan laki-laki kurang ajar di muka bumi ini," jelas Bidadari Iblis
melenyapkan keraguan Ki Sangga Watung.
Sepertinya dara jelita itu tahu kalau lawannya san-
gat terkejut oleh pukulannya. Tanpa menyentuh tubuh
lawan, ternyata pukulan itu tetap bisa mendatangkan
kematian! Itu baru angin pukulannya saja. Entah, apa akibatnya apabila pukulan
maut itu sampai mengenai
tubuh korban. Benar-benar sulit dibayangkan oleh Ke-
pala Desa Pesanggrahan ini.
"Siapakah gurumu yang demikian keji itu...?" Tanya Ki Sangga Watung lagi dengan
wajah agak pucat. Jelas, gebrakan Bidadari Iblis telah membuatnya sangat
terkejut! "Sudah kukatakan sejak pertama tadi, Orang Tua!
Jangan banyak bicara! Simpan tenagamu, agar bisa
melindungi nyawamu dari kematian!" Desis Bidadari Iblis dengan sorot mata
sedingin es! "Hm.... Sehebat apa pun kepandaianmu, janganlah lupa. Suatu saat, kau akan
dikalahkan lawanmu," ujar Ki Sangga Watung. Rupanya ia sadar kalau dirinya
bukan tandingan dara jelita berhati iblis itu.
Bidadari Iblis tersenyum sinis, tanpa menanggapi
ucapan Ki Sangga Watung.
"Mulailah, Orang Tua. Atau aku yang harus memu-
lainya?" Ejek Bidadari Iblis. Wajahnya tetap dingin, tanpa perasaan.
"Baiklah. Jangan dikira aku takut menghadapi kematian," ujar Ki Sangga Watung,
menggeram jengkel.
Setelah berkata demikian, Ki Sangga Watung ber-
paling kepada salah seorang pengawalnya.
"Pergilah ke Gunung Walung. Sampaikan kejadian
ini kepada kakekku," bisik Kepala Desa Pesanggrahan itu. Lalu laki-laki tua itu
melangkah maju tanpa menunggu jawaban pengawalnya. Hal itu merupakan sua-
tu tanda kalau ia tidak mau perintahnya dibantah.
Lelaki bertubuh kurus itu terdiam sejenak. Bebera-
pa saat kemudian, barulah ia beranjak meninggalkan
tempat itu. Tak lama terdengar suara derap kaki kuda ketika lelaki kurus itu
pergi untuk menyampaikan pesan kepala desanya.
"Hik hik hik.... Rupanya kau cukup cerdik, dengan meminta bantuan. Jadi sekarang
kau sadar. Ternyata
kau tidak sanggup bermain-main sebentar denganku?"
Terdengar suara tawa dingin yang keluar dari bibir
mungil milik Bidadari Iblis.
"Hm.... Sambutlah seranganku...!"
Tanpa mempedulikan ejekan lawannya, Ki Sangga
Watung segera melesat membuka serangan! Senjata di
tangannya berputar menimbulkan deru angin tajam.
Jelas, lelaki tua itu pun memiliki tenaga dalam yang tidak rendah!
"Bagus! Itu baru namanya laki-laki...," ejek Bidadari Iblis, dingin.
Sambil berkata demikian, tubuhnya bergeser ke ka-
nan. Begitu tebasan pedang lawan lewat di samping
tubuhnya, tangan kirinya menusuk dengan kecepatan
kilat! Bettt! Ki Sangga Watung merendahkan tubuhnya. Jari-jari
tangan lawan yang menimbulkan angin berciutan itu
lewat di atas kepalanya. Lelaki tua itu kembali harus
menyelamatkan diri dengan lompatan jauh ke bela-
kang, ketika dengan kecepatan menggetarkan, jari-jari tangan lawan berputar
setengah lingkaran, dan menusuk lehernya dari bawah ke atas!
Kepala Desa Pesanggrahan terus melompat jauh,
dan melakukan beberapa kali salto untuk menghindari
serangan maut lawan yang demikian gencar menghu-
jani tubuhnya! Rupanya, Bidadari Iblis tidak kepalang tanggung
dalam bertindak. Sedikit pun lawannya tidak diberi kesempatan untuk menarik
napas lega! Serangan-
serangannya demikian gencar, bagaikan gelombang
lautan yang susul-menyusul menuju pantai! Sehingga,
wajar saja kalau Ki Sangga Watung sampai terdesak,
dan tidak mempunyai kesempatan membalas.
"Tamat riwayatmu, Orang Tua!"
Sambil membentak nyaring, Bidadari Iblis mendo-
rongkan telapak tangan kirinya ke depan! Saat itu, ke-dudukan Ki Sangga Watung
sudah sangat berbahaya!
Ia terus melangkah mundur menghindari serangan
gencar lawannya!
Weees! Serangkum angin yang terlontar dari telapak tangan
dara jelita itu berhembus, mengancam nyawa lawan-
nya! "Ahhh..."!"
Untunglah Ki Sangga Watung masih sempat menja-
tuhkan tubuhnya, dan terus bergulingan menjauhkan
diri! Meskipun telah berhasil menyelamatkan diri, tapi bukan berarti orang tua
itu dapat bernapas lega! Sebab, Bidadari Iblis terus mencecarnya tanpa ampun!
"Heyaaat...!"
Ketika pertarungan menginjak jurus yang ketiga pu-
luh, Ki Sangga Watung berbuat nekat! Saat tusukan
jari-jari lentik itu meluncur mengancam dadanya, ma-
ka dipapakinya dengan tebasan pedang!
Wesss! Sayangnya, lawan ternyata tidak sudi tangannya di-
buntungi! Begitu pedang di tangan Ki Sangga Watung
berkeredep, cepat bagai kilat tangannya berputar ke
bawah! Kemudian tangannya ditarik pulang, berbaren-
gan dengan tusukan jari tangan kanannya yang men-
gancam tenggorokan.
Wuuut! Jreppp! "Arghhh...!"
Ki Sangga Watung menjerit ngeri! Jemari tangan
lentik itu langsung melesak ke dalam tenggorokannya
tanpa dapat dicegah lagi!
"Heaaah!"
Sambil membentak nyaring, Bidadari Iblis menca-
but jemari kanannya! Kemudian dengan kuda-kuda
rendah, telapak tangan kirinya menyusul ke arah dada lawan!
Blaggg! Tanpa ampun lagi, tubuh lelaki gagah itu terjeng-
kang deras ke belakang! Kemudian tubuhnya terbant-
ing di atas tanah, dengan pakaian bagian dada hangus bagai terbakar! Bahkan
kulit dan daging yang terkena pukulan tampak meleleh dan berwarna kemerahan! Ki
Sangga Watung langsung tewas di tangan Bidadari Ib-
lis dalam keadaan mengerikan!
Tewasnya Kepala Desa Pesanggrahan, membuat be-
lasan orang pengawal serta warga desa yang me-
nyaksikan berserabutan meninggalkan tempat itu! Se-
kejap saja, suasana yang semula diramaikan pendu-
duk desa, jadi sepi dalam sekejap! Kematian Ki Sangga Watung telah melenyapkan
semangat serta keberanian
mereka! Tinggallah kini Bidadari Iblis dengan segala keang-
keran-nya. Setelah beberapa saat terdiam, dara jelita berhati iblis itu pun
melangkah meninggalkan mayat
korban kekejamannya.
*** 3 Matahari sudah semakin bergeser ke langit sebelah
Barat. Sinarnya pun tidak garang lagi. Di bawah mega merah jelaga tampak sosok
ramping berpakaian merah
darah tengah melangkah tenang bergerak ringan men-
daki pegunungan.
Hembusan angin dingin pegunungan yang terasa
menusuk tulang, tidak dipedulikannya. Bahkan lapi-
san kabut yang turun menyelimuti punggung gunung,
tidak juga membuat langkahnya terhenti. Sorot ma-
tanya tampak demikian tajam, seperti berusaha me-
nembus lapisan kabut yang menghalangi-nya.
Tidak berapa lama kemudian, tibalah sosok tubuh
di atas puncak gunung. Di tengah lapisan kabut yang
semakin tebal, sosok berpakaian merah itu terus ber-
gerak maju. Langkahnya baru terhenti ketika telah tiba didepan sebuah pondok
sederhana. Sejenak, sosok berpakaian merah itu mengedarkan
pandangannya ke sekeliling halaman pondok. Kemu-
dian dia kembali bergerak maju beberapa langkah, dan terhenti kembali.
"Sahabat! Kalau kau datang hendak bertamu, ma-
suklah...!"
Terdengar teguran halus yang berasal dari dalam
pondok. Padahal, pintu pondok itu masih tertutup ra-
pat. Dan herannya si penghuni pondok ternyata sudah
tahu akan kedatangan sosok berpakaian merah darah
itu. Dari sini saja sudah dapat ditebak, si empunya
pondok itu ternyata bukanlah orang sembarangan!
Sosok berpakaian merah darah itupun tertegun se-
jenak. Ada keheranan dan kekaguman terlintas pada
sepasang bola matanya yang dingin. Meskipun hanya
sekilas, tapi teguran itu membuat langkahnya agak ra-gu."
"Begawan Cindra Putra! Kedatanganku bukan un-
tuk bertamu, tapi hendak mencabut nyawamu!" Sahut sosok berpakaian merah itu
datar. Tubuhnya tegak
menghadap pintu pondok, setelah maju dua tindak.
Untuk beberapa saat lamanya, tidak terdengar ja-
waban dari dalam pondok. Suasana seketika jadi hen-
ing. Sosok tubuh berpakaian merah darah itu sepertinya
sudah tidak sabar. Semua itu terlihat jelas dari tu-
buhnya yang kelihatan tidak bisa diam. Baru saja ka-
kinya siap melangkah maju, tiba-tiba terdengar suara berderit seiring terbukanya
pintu pondok. Seorang kakek berusia sekitar tujuh puluh tahun
lebih tampak muncul dari dalam pondok. Pakaiannya
hanya berupa kain putih yang dilibatkan ke tubuhnya.
Rambutnya putih, dan tergulung ke atas. Jenggot dan
kumisnya panjang hingga ke dada, juga berwarna pu-
tih. Sorot matanya tampak demikian lembut, disertai
senyum sabar yang selalu menghias wajahnya. Sosok
kakek yang bernama Begawan Cindra Putra itu benar-
benar merupakan gambaran seorang pertapa sejati.


Pendekar Naga Putih 33 Bidadari Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Eyang Begawan! Dialah Bidadari Iblis yang mem-
bantai Bonggar serta kawan-kawan yang lain. Jangan-
jangan, Ki Sangga Watung pun telah dibunuhnya pu-
la...," kata seorang lelaki kurus berusia sekitar tiga pu-
luh lima tahun. Seraya menyembulkan kepalanya dari
dalam pondok. Dia bukan lain adalah salah seorang pengawal Ki
Sangga Watung, yang mendapat tugas untuk pergi ke
Gunung Walung ini. Rupanya dia telah di sini sejak ta-di. "Hm.... Tetaplah di
dalam pondok. Kalau dia dapat men-capai tempat ini dalam waktu singkat, jelas
kepandaiannya tidak bisa dibuat main-main. Entah, apa
keperluannya hingga datang mencariku" Anehnya, ia
pun telah mengenalku?" Bisik Begawan Cindra Putra tanpa melepaskan pandangannya
dari sosok berpakaian merah darah itu.
Meskipun suasana puncak Gunung Walung saat itu
dipenuhi kabut yang turun, tapi semua itu tidak
menghalangi pandangan sang Begawan. Sedangkan le-
laki kurus di belakang kakek itu hanya melihat adanya bayangan merah, meskipun
sudah dapat menebak siapa orangnya.
Mendengar ucapan Begawan Cindra Putra, lelaki
kurus itu kembali menarik kepalanya, dan menutup
pintu pondok. "Nisanak! Benarkah kau yang berjuluk Bidadari Iblis" Dan, bagaimana kau bisa
menemukan tempat ini
dalam waktu singkat" Apakah di antara kita pernah
bertemu sebelumnya?" Tanya Begawan Cindra Putra sambil menatap tak berkedip ke
arah sosok berpakaian merah darah yang memang Bidadari Iblis.
"Begawan Cindra Putra," sebut Bidadari Iblis, datar.
"Sebenarnya aku mendapat kesulitan untuk mencari tempat tinggalmu. Dan
sebagaimana petunjuk guruku,
dari Desa Pesanggrahan itulah satu-satunya jalan un-
tuk mengetahui keberadaanmu. Sengaja lelaki kurus
yang ditugaskan Ki Sangga Watung itu tidak kubunuh,
agar tempat tinggalmu bisa ku-ketahui. Kalau saja lelaki kurus itu tidak
kuperlukan, apakah dikira ia bisa dengan selamat tiba di Gunung Walung ini?"
"Maaf! Ada urusan apa di antara kita, sehingga kau membuat keonaran di Desa
Pesanggrahan" Lalu, apakah Ki Sangga Watung telah kau bunuh pula?" Tanya Begawan
Cindra Putra tetap sabar, dan tersenyum
lembut. "Aku tidak tahu, urusan apa di antara guruku dengan kalian di masa lalu. Tugasku
hanyalah mencabut
nyawa seluruh keluarga dan kerabatmu yang telah
membuat guruku menderita seumur hidupnya. Seka-
rang bersiaplah, Kakek Tua! Aku akan mencabut nya-
wamu?" Kembali terdengar nada dingin dan datar ancaman
Bidadari Iblis. Kemudian sosok berwajah jelita itu me-renggang, dan siap
melontarkan serangan.
"Siapakah gurumu yang demikian mendendam ter-
hadap keluarga dan kerabatku, Nisanak" Anggaplah
jawabanmu sebagai hadiah kematian orang tua lemah
seperti diriku ini. Sehingga nanti aku tidak mati penasaran," pinta Begawan
Cindra Putra tetap tanpa hawa amarah. Hanya gambaran penasaran terbayang di
wajahnya. "Tidak perlu! Justru guruku ingin membuatmu dan yang lainnya mati penasaran!
Dengan demikian, penderitaan selama bertahun-tahun dapat berkurang,"
tandas Bidadari Iblis dengan nada tajam.
Begawan Cindra Putra menghela napas berat penuh
sesal. Bukan kematian yang membuat kakek tua itu
bersedih. Tapi, justru dendam yang meracuni wanita
muda berparas jelita itulah yang membuatnya berdu-
ka. "Hahhh.... Kasihan sekali kau, Nisanak. Dalam usia
yang demikian muda, racun dendam sudah demikian
dalam masuk di hatimu. Entah, siapa gerangan guru-
mu yang demikian kejam menjejali bibit-bibit keben-
cian itu?" Desah Begawan Cindra Putra sambil me-nundukkan wajahnya, menekuri
rerumputan basah.
"Orang Tua! Apa pun yang kau katakan, semua itu tidak akan merubah keputusanku!
Jadi, sebaiknya
bersiaplah! Aku tidak mempunyai banyak waktu!" Desis bibir mungil dan indah itu
tak sabar. "Nisanak...."
"Cukup! Sambut seranganku...!"
Tanpa memberi kesempatan pada Begawan Cindra
Putra untuk menyelesaikan kalimatnya, Bidadari Iblis sudah melesat cepat dengan
tamparan-tamparan
mautnya! Serangan-serangan ganas dara jelita itu mau tidak
mau memaksa Begawan Cindra Putra untuk mengada-
kan perlawanan. Biar bagaimanapun, kakek itu tentu
saja tidak sudi menyerahkan nyawanya sia-sia. Apalagi ia pun belum tahu, siapa
guru wanita muda jelita itu.
Juga, mengapa guru Bidadari Iblis itu demikian men-
dendam terhadap keluarga maupun kerabatnya. Ala-
san-alasan itulah yang memaksanya harus terpaksa
melayani lawannya.
"Haaait...!"
Bidadari Iblis sepertinya sangat bernafsu sekali un-
tuk segera merobohkan lawannya. Serangan-serangan
demikian ganas dan gencar! Sepasang telapak tangan-
nya menyambar-nyambar diiringi suara bercicitan. Je-
las, wanita jelita itu telah mengeluarkan tenaga dalam sepenuhnya untuk
menamatkan riwayat lawan secepatnya!
Begawan Cindra Putra sendiri tentu saja harus
mengerahkan seluruh kelincahannya untuk menghin-
dari serangan-serangan berhawa maut dari lawannya.
Namun sampai sejauh itu, ia belum melancarkan se-
rangan balasan yang berarti. Hanya sesekali, dibalasnya serangan Bidadari Iblis.
Namun, itupun kalau be-
nar-benar sudah sangat terdesak. Kalau tidak, kakek
itu hanya mengelak sambil meneliti gerak lawan. Se-
pertinya, Begawan Cindra Putra hendak mengenali je-
nis ilmu silat yang dimainkan lawannya. Dengan begi-
tu, diharapkan guru Bida-dari Iblis yang demikian kejam dan tega meracuni
muridnya dengan bibit-bibit
kebencian dapat dikenali.
Tapi, usaha Begawan Cindra Putra sepertinya me-
nemui jalan buntu. Ternyata, gerak ilmu silat lawan-
nya benar-benar aneh dan sulit dikenali. Melihat dari ilmu-ilmu silat yang
terkadang kacau tak beraturan
itu, Begawan Cindra Putra menduga kalau lawannya
pasti tidak hanya belajar dari satu guru. Memang, kakek itu melihat banyak
gerakan aneh yang kadang ti-
dak selaras dengan ilmu-ilmu lainnya yang dimainkan
wanita lawannya.
"Nisanak! Tampaknya kau belajar dari beberapa
guru pandai. Apakah semua gurumu mendendam ke-
pada seluruh keluarga dan kerabatku?" Tanya Begawan Cindra Putra sambil
menggeser tubuhnya meng-
hindari hantaman telapak maut lawan. Sepertinya, ka-
kek itu tidak bisa memendam rasa penasaran di ha-
tinya. 'Tidak! Guruku hanya seorang di dunia ini. Karena
kebaikan hatinya, maka aku bertekad untuk memba-
laskan semua dendamnya!" Sahut Bidadari Iblis tanpa menghentikan serangan-
serangannya. Bahkan gera-kannya tampak semakin cepat dan ganas!
Jelas, dara jelita itu tidak mau memberikan kesem-
patan bagi lawannya untuk berbicara lebih banyak la-
gi. Dan, untuk mencegah kecerewetan kakek itu, gem-
puran-gempurannya dipergencar.
Usaha Bidadari Iblis jelas berhasil baik. Begawan
Cindra Putra tidak lagi sempat berbicara, dan semakin sibuk membendung gelombang
serangannya yang demikian gencar dan berbahaya!
"Yiaaat...!"
Ketika pertarungan menginjak jurus yang ketujuh
puluh, tiba-tiba Bidadari Iblis berseru nyaring! Telapak tangannya tampak
digosok-gosokkan satu sama lain!
Gesekan-gesekan sepasang telapak tangan halus itu
ternyata cukup menggetarkan! Seketika gumpalan
asap tebal kebiruan muncul dari sepasang tangannya!
Bahkan samar-samar tercium bau harum yang mema-
bukkan! Jelas ilmu yang tengah disiapkan Bidadari Iblis mengandung racun ganas!
Begawan Cindra Putra melompat mundur sejauh
satu tom-bak lebih. Jelas, kakek itu sangat terkejut melihat ilmu yang tengah
dipersiapkan lawannya!
"Ilmu Keji...!" desis Begawan Cindra Putra, geram.
Sepertinya, kakek pertapa itu merasa kasihan me-
lihat dara jelita yang berwajah lembut itu telah diracuni ilmu silat keji, yang
jelas dimaksudkan untuk membunuh. Pemikiran itulah yang membuatnya geram.
Sadar kalau ilmu yang dipersiapkan lawannya itu pas-
tilah sangat ganas dan berbahaya, maka Begawan Cin-
dra Putra pun segera menyiapkan ilmu andalan-nya!
"Hmmmh...."
Terdengar suara menggereng lirih yang keluar dari
kerongkongan Begawan Cindra Putra. Perlahan kakek
itu mendorongkan kedua lengannya ke atas dengan te-
lapak terbuka. Sepasang tangan itu kemudian turun
ke sisi pinggang dalam keadaan terkepal. Lalu sambil membentuk kuda-kuda rendah
dengan kaki bersilan-
gan, Begawan Cindra Putra mengembang-kan kedua
lengannya ke kin dan kanan. Sepasang lengannya
tampak bergetar, menandakan betapa kuatnya tenaga
yang mengalir ke dalamnya!
"Yiaaat...!"
Bidadari Iblis berseru nyaring, diiringi lesatan tu-
buhnya yang menggetarkan! Berbarengan gerakan itu,
sepasang telapak tangannya yang terbuka, melontar-
kan pukulan susul menyusul!
Wusss! Wusss! Hembusan angin yang menebarkan bau harum
memabukkan, mencicit tajam mengancam tubuh Be-
gawan Cindra Putra! Dari suaranya yang mendesing-
desing menyakitkan telinga, bisa diduga kalau tenaga dalam yang digunakan
Bidadari Iblis sangat tinggi! Belum lagi, ditambah hawa beracun yang keluar dari
se- tiap lontaran pukulannya! Tidak heran kalau wanita
berparas jelita itu berani mati menyatroni kediaman
Begawan Cindra Putra!
Kepandaian yang dimilik Begawan Cindra Putra
sendiri sebenarnya sudah sangat tinggi. Bahkan di kalangan rimba persilatan,
kakek itu merupakan tokoh
kelas atas yang sangat disegani dan dihormati. Tidak banyak tokoh tua yang
seangkatan dengannya memiliki ilmu demikian tinggi. Dan kalau saja Bidadari
Iblis berani mendatangi kakek itu beberapa tahun sebe-lumya, mungkin tidak akan
mampu untuk mengim-
bangi kesaktian Begawan Cindra Putra.
Sayangnya, usia yang semakin tua membuat Be-
gawan Cindra Putra tidak lagi segesit dan sehebat beberapa tahun yang lalu. Jadi
wajar saja kalau dalam
menghadapi tokoh muda yang sakti dan kejam seperti
Bidadari Iblis, kakek itu terpaksa harus bekerja keras mengerahkan seluruh
kekuatan-nya. Sedangkan Bidadari Iblis sendiri merupakan lawan
yang cukup berat. Dalam usianya yang masih sangat
muda ternyata memiliki kesaktian ganas dan tinggi.
Kekuatan yang dimiliki-nya tampak meningkat dan se-
makin sempurna, sehingga memiliki daya tahan yang
jauh lebih kuat dari lawannya. Semuanya merupakan
modal utama untuk memenangkan pertempuran ini.
Kekuatan dan kegesitan Begawan Cindra Putra ter-
lihat semakin menurun, ketika pertempuran telah ber-
langsung lebih dari seratus jurus.
"Hiaaah...!"
Ketika pertarungan menginjak jurus yang keseratus
lima puluh, Begawan Cindra Putra terlihat semakin
payah! Beberapa pukulan maut lawannya nyaris
menghajar tubuh kurus itu! Dan gerakan yang sema-
kin lambat itu, membuat Bidadari Iblis semakin ganas!
Sehingga pada suatu kesempatan, wanita itu melesat
cepat dengan sebuah tamparan keras, tanpa dapat di-
cegah Begawan Cindra Putra. Laki-laki tua itu hanya
bisa terbelalak, melihat serangan tiba. Blaggg!
Tamparan telapak tangan halus yang disertai bau
harum memabukkan itu telak menghantam dada ter-
bungkus tulang Begawan Cindra Putra! Akibatnya, tu-
buh kurus itu terlempar diiringi pekikan ngerinya!
Pada saat tubuh Begawan Cindra Putra masih me-
layang di udara, tokoh sesat berwajah jelita itu sudah kembali men-dorongkan
sepasang telapak tangannya!
"Bresssh...!"
"Aaa...!"
Terdengar jerit kematian yang menyayat ketika se-
pasang telapak tangan bertenaga dahsyat itu telak
menghajar tubuh sang Begawan! Semburan darah se-
gar mengiringi terlempar-nya tubuh tua Begawan Cin-
dra Putra, yang langsung terjatuh ke dalam jurang!
"Guru...," bisik Bidadari Iblis tengadah ke langit,
"Kini musuhmu hanya tinggal seorang. Semoga kau senang karenanya."
Setelah berkata demikian, wanita jelita itu melang-
kah meninggalkan puncak Gunung Walung. Tidak di-
pedulikannya sosok lelaki kurus yang menyembulkan
kepalanya dari balik pintu pondok. Bidadari Iblis terus melangkah menuruni
lereng Gunung Walung yang
kembali hening dan sunyi....
*** Sepeninggal Bidadari Iblis, lelaki kurus itu belum
juga keluar dari dalam pondok. Sepertinya, ia merasa khawatir kalau-kalau wanita
jelita berhati iblis itu belum benar-benar meninggalkan puncak Gunung Wa-
lung. Entah, sampai berapa lama lelaki kurus pembantu
setia Kepala Desa Pesanggrahan itu berdiam diri di dalam pondok. Debaran dalam
dadanya belum juga le-
nyap. Bahkan wajah kurus itu demikian pucat, karena
ketakutan yang hebat telah melanda dirinya.
Kematian Begawan Cindra Putra benar-benar sulit
diterima. Kalau saja tidak menyaksikan dengan mata
kepala sendiri, rasanya memang sukar dipercaya.
Hampir mustahil kalau orang tua yang dianggapnya
sangat sakti dan sangat dipujanya ternyata dapat dikalahkan seorang gadis muda.
Rasanya, ia seperti tengah bermimpi saja. Namun, mau tidak mau ia harus menerima


Pendekar Naga Putih 33 Bidadari Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kenyataan mengiriskan itu.
Setelah cukup lama dan merasa yakin kalau Bi-
dadari Iblis benar-benar telah meninggalkan puncak
Gunung Walung, barulah lelaki kurus itu berani keluar dari dalam pondok. Itupun
dilakukannya sambil men-
gendap-endap, dan melalui pintu pondok sebelah bela-
kang. Sambil menoleh ke kiri dan kanan dengan wajah ge-
lisah, lelaki kurus itu bergerak menuju tebing yang telah menelan tubuh Begawan
Cindra Putra. Ditelusu-
rinya ceceran darah yang masih basah itu. Lang-
kahnya baru terhenti di tepi jurang, tempat cairan darah di atas rerumputan itu
berakhir. "Aaah...! Sudah dapat dipastikan, Eyang Begawan Cindra Putra tewas di bawah
sana...," gumam lelaki kurus itu sambil menjengukkan kepalanya ke dalam
jurang. Tapi, tiada satu pun yang dapat dilihatnya di dalam jurang yang bagai
tak memiliki dasar itu. Apalagi hari sudah menjelang malam, tanpa ada penerangan
sedikit pun. Setelah agak lama meneliti dan yakin Begawan Cin-
dra Putra sudah tidak ada harapan hidup, lelaki kurus itu pun melangkah pergi.
"Aku harus melaporkan kejadian ini kepada Ki Dasa Penang. Atau jangan-jangan...,
Bidadari Iblis sudah berada di sana. Sebab, sempat kudengar tadi ucapannya
yang hendak membantai seluruh keluarga dan kerabat
Eyang Begawan. Aaah...! Apa yang harus kulakukan
sekarang?" Desah lelaki kurus itu gelisah. '"Biarlah.
Terlambat ataupun tidak, yang penting aku harus me-
nemui Ki Dasa Penang...."
Keputusan yang telah bulat ini membuat lelaki ku-
rus itu bergegas meninggalkan puncak Gunung Wa-
lung. Sebentar kemudian, ia sudah menuruni lereng.
Kini di tangannya telah tergenggam sebatang obor un-
tuk menerangi jalan yang akan dilaluinya.
*** 4 Dalam dunia persilatan, segala kejadian yang me-
nimpa tokoh-tokoh persilatan cepat sekali tersebar
luas. Apalagi, kematian itu menyangkut seorang tokoh sakti kelas atas. Maka
tidak heran kalau dalam waktu singkat saja, berita tentang kematian Begawan
Cindra Putra telah tersebar di kalangan rimba persilatan.
Dalam dunia persilatan, kejadian ini sangat langka.
Sehingga, mau tak mau telah mengundang berbagai
pendapat tentang kematian tokoh sakti yang kabarnya
telah lama mengasingkan diri itu. Hal itu dikaitkan pu-la dengan terbantainya
keamanan Desa Pesanggrahan,
berikut Ki Sangga Watung yang menjadi kepala desa
itu. Kaum persilatan golongan putih tentu saja menjadi marah besar atas
peristiwa berdarah itu. Sehingga julukan Bidadari Iblis pun semakin berdengung,
dan membuat golongan putih harus bangkit. Apalagi, tokoh sesat berwajah jelita itu
bukan hanya membunuh Begawan Cindra Putra, Ki Sangga Watung, dan keama-
nan-keamanan Desa Pesanggrahan. Bahkan cukup
banyak kejadian-kejadian sesudah itu yang dikaitkan
dengan Bidadari Iblis!
Kebangkitan dan kemarahan golongan putih ter-
nyata juga ditanggapi oleh kaum sesat. Bahkan para
tokoh sesat menjuluki wanita cantik berpakaian merah darah itu sebagai Bidadari
Salju. Julukan itu diberikan karena sikapnya dan wajahnya yang selalu tampil
dingin seperti salju.
Dan kemunculannya itu jelas membuat kaum go-
longan sesat menyambut gembira. Dengan terbunuh-
nya tokoh-tokoh golongan putih, berarti membuat
kaum sesat merasa yakin kalau Bidadari Salju berpi-
hak kepada mereka.
Kemunculan tokoh jelita berhati iblis itu tidak ha-
nya disambut suka ria oleh golongan sesat. Bahkan
kini mereka semakin berani terang-terangan melaku-
kan kejahatan! Gerombolan perampok yang selama ini bergerak
sembunyi-sembunyi karena tekanan golongan putih,
kini berani men-jarah harta benda penduduk baik pagi maupun siang hari.
Sehingga, keadaan semakin ber-tambah keruh dan kacau!
Demikian pula halnya pada pagi hari ini. Serom-
bongan perampok yang menjuluki dirinya Perampok
Jubah Merah, bergerak menuju sebuah desa. Beberapa
orang petani yang tengah sibuk menggarap sawah la-
dang, menatap dengan wajah pucat!
"Gerombolan Perampok Jubah Merah..."!" Desis seorang petani berusia empat puluh
tahun. Dia menatap gemetar ke arah serombongan orang berkuda yang
melintas di atas jalan lebar.
Bukan hanya petani berhidung besar itu saja yang
menjadi ketakutan. Bahkan belasan petani lain yang
tengah sibuk mencangkul serentak terhenti dan me-
mandang terbeliak, bagaikan melihat hantu berkelia-
ran di siang hari!
"Celaka! Apa yang harus kita lakukan...?" Desah seorang petani muda bertubuh
tegap. Raut wajahnya
yang terlihat keras dan telah basah oleh lumpur, tampak berubah tegang dan
pucat. Sedangkan tangan ka-
nannya masih menggenggam cangkul.
"Larilah ke desa! Laporkan kedatangan iblis-iblis bi-adab itu kepada Ki Gandir!"
Usul petani berhidung lebar yang saat itu sudah bergerombol bersama petani
lainnya. "Benar. Cepatlah kau pergi, sebelum mereka meng-gondol harta benda kita. Bisa-
bisa istri dan anak perempuan kita pun akan jadi sasaran mereka...," sambut
seorang petani setengah baya dengan wajah geli-
sah. "Tapi, apakah tidak sebaiknya kita semua kembali
ke desa" Siapa tahu saja kehadiran kita beramai-ramai bisa menjadi bantuan yang
berarti bagi Ki Gandir...,"
usul petani muda itu.
"Baik. Ayolah...."
Tanpa membuang-buang waktu lagi, belasan orang
petani itu pun bergegas meninggalkan sawah-nya. Ke-
mudian mereka bergabung dengan para petani lain,
dan beramai-ramai bergerak kembali ke desa untuk
menyelamatkan harta dan keluarga mereka.
*** "Heyaaa... heyaaa...!"
Seorang lelaki brewok bertubuh gemuk berteriak-
teriak ketika menerobos mulut desa bersama rombon-
gannya! Jubahnya yang panjang dan berwarna merah
darah itu berkibaran mengikuti ayunan tubuhnya di
atas punggung kuda hitam.
"Cegah mereka...!"
Seorang lelaki gagah yang rupanya adalah kepala
keamanan desa itu mencabut pedangnya. Dengan ga-
gah, dipimpinnya dua belas orang anak buahnya un-
tuk menghalau Perampok Jubah Merah!
Pertempuran kecil pun tidak dapat dihindari lagi!
Lelaki brewok yang menjadi pimpinan Perampok Jubah
Merah mengibaskan golok besarnya untuk meroboh-
kan penghadang di depannya! Seketika darah tertum-
pah membasahi bumi! Korban-korban mulai berja-
tuhan saling tumpang-tindih!
Pada saat pertempuran tengah berkecamuk itu,
muncullah seorang pemuda tampan berjubah putih
yang keluar dari da-lam kedai. Begitu tiba, pemuda
tampan itu langsung melesat memapak tebasan golok
besar pemimpin gerombolan perampok itu!
Plakkk! "Aaahk..."!"
Bukan main terkejutnya lelaki brewok itu ketika go-
lok di tangannya terpental balik, akibat tepisan telapak tangan seorang pemuda
tampan! Bahkan tubuh gemuk
itu sampai terjatuh dari atas punggung kudanya! Be-
nar-benar sukar dipercaya kejadian yang menimpa di-
rinya. "Siapa..., kau...!" Bentak lelaki brewok itu sambil menatap gentar sosok
berjubah putih yang sudah berdiri tegak di hadapannya.
"Hm.... Siapa aku, kau tidak perlu tahu. Perintahkan anak buahmu untuk
meninggalkan Desa Pucung
ini, sebelum semuanya terlambat!" tegas pemuda tampan berjubah putih itu. Meski
suaranya terdengar pe-
lan, namun ketegasannya jelas membuat lelaki brewok
itu tersirap kaget!
"Bedebah! Kau pikir, kau siapa! Benar-benar lancang mulutmu berbicara! Lebih
baik, jaga lehermu
agar tidak putus!"
Setelah berkata demikian, lelaki brewok itu men-
gayunkan golok besarnya ke leher lawan! Dari suara
desingannya dapat ditebak kalau dia memiliki tenaga
luar yang amat kuat!
Wuuuk! Kemarahan lelaki brewok itu semakin menjadi-jadi.
Golok besarnya ternyata hanya mengenai angin ko-
song! Sedangkan lawannya sudah lenyap entah ke ma-
na! "Hm.... Siapa yang kau cari, Kerbau Dungu! Aku berada di belakangmu,"
terdengar suara yang mengejutkan dari belakang.
"Bangsat!"
Tanpa menoleh lagi, lelaki brewok itu menyabetkan
golok besarnya ke belakang tubuhnya! Gerakannya
cukup cepat dan kuat! Sehingga apabila golok besar
itu sampai mengenai tubuh lawan, dapat dipastikan
tubuh pemuda berjubah putih itu akan terbelah men-
jadi dua bagian!
Trakkk! "Hahhh"!"
Apa yang terjadi kemudian, benar-benar membuat
lelaki brewok itu terbeliak! Golok besar di tangannya langsung patah menjadi
dua, ketika bertemu sosok
berjubah putih yang ter-selimut lapisan kabut bersinar putih keperakan!
"Pendekar Naga Putih...!"
Bagaikan melihat hantu di siang hari, lelaki brewok
itu bergetar mundur dengan wajah pucat! Sebab lang-
sung bisa dikenali, siapa adanya sosok yang sekujur
tubuhnya mengeluarkan sinar putih keperakan itu.
Begitu mengetahui dengan siapa berhadapan, kebe-
ranian lelaki brewok itu langsung saja lenyap! Memang pendekar itu sudah sangat
dikenalnya. Tidak sedikit
tokoh sesat kelas atas yang tewas di tangan pemuda
tampan itu. Karuan saja lelaki brewok itu menjatuh-
kan diri berlutut, sambil memohon ampun! Rupanya,
kepala rampok yang terkenal ganas itu tahu kalau
pendekar muda yang tersohor itu bukan tandingannya.
Kalaupun nekat melawan, hanya kematianlah yang
bakal diterimanya.
"Ampun..., Tuan Pendekar.... Ampun...," lelaki bre-
wok yang tidak pernah mengenai takut itu memben-
turkan keningnya berkali-kali memohon ampun kepa-
da pemuda berjubah putih, yang tak lain dari Panji
atau berjuluk Pendekar Naga Putih.
Panji sendiri sama sekali tidak mempedulikan, dan
malah berpaling ke arah pertempuran. Terdengar ben-
takan yang menggelegar!
"Hentikan pertempuran...!"
Hebat luar biasa pengaruh bentakan Pendekar Naga
Putih! Pertarungan yang ramai dan semerawut itu
langsung saja terhenti mendadak! Memang, untuk se-
saat lamanya tubuh mereka bagaikan dialiri tenaga
aneh hingga terasa kaku.
Beberapa saat setelah pengaruh bentakan Pendekar
Naga Putih lenyap, orang-orang yang tadi bertarung itu serentak menoleh ke arah
seorang pemuda tampan
berjubah putih. Para anggota perampok tadi terbelalak tak percaya melihat ketua
mereka tengah bersimpuh di bawah kaki pemuda tampan itu.
"Anak-anak, lepaskanlah senjata kalian. Hari ini ki-ta sedang mengalami nasib
sial, karena telah berjumpa dengan Pendekar Naga Putih," ujar lelaki brewok itu
yang belum juga bangkit dari sujudnya.
Sambil berkata demikian, matanya melirik perlahan
ke arah Panji yang saat itu memang tengah membela-
kanginya. Kemudian, dengan sekuat tenaga, golok be-
sarnya yang sudah buntung ditebaskan ke leher Pen-
dekar Naga Putih. Licik sekali perbuatannya.
Sayang, sepertinya kepala perampok itu belum tahu
banyak tentang Pendekar Naga Putih. Kalau tahu, ma-
na mungkin berani berlaku sebodoh itu"! Karena pada
saat golok besar itu berdesing, tentu saja suaranya tertangkap telinga Panji
yang sangat peka itu. Selanjutnya, terciptalah lapisan kabut putih keperakan
yang langsung menyelimuti tubuh Panji. Bahkan lapisan
kabut itu tampak berpendar hampir, tiga jengkal dari tubuh pemuda itu.
Trakkk! "Aaargh..."
Kepala Gerombolan Perampok Jubah Merah itu
memekik kesakitan! Golok buntung di tangannya yang
diambil dari atas tanah langsung terbelah lagi menjadi tiga bagian! Bahkan tubuh
gemuk itu sendiri terjungkal, hingga satu setengah tombak jauhnya! Padahal,
golok buntung masih beberapa jengkal dari sasaran!
"Rupanya, kau lebih memilih mati daripada bertobat..," desah Panji membalikkan
tubuhnya. Pendekar Naga Putih menatap lelaki brewok yang
terbujur di atas tanah itu. Darah segar tampak mengalir tak henti-henti dari
sela-sela bibirnya. Sepertinya, dia termakan tenaga pukulannya sendiri yang
berbalik. Itulah salah satu keistimewaan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan', apabila dikerahkan
sepenuhnya. Semua itu
hanya bisa dilakukan Panji terhadap tokoh-tokoh per-
silatan kelas menengah ke bawah. Andai yang menye-
rangnya merupakan tokoh kelas atas, pemuda itu jelas bisa terluka dalam.
Tidak lama Pendekar Naga Putih menatap sosok
brewok di depannya itu. Sebab, kepala perampok itu
langsung saja menggelepar tewas setelah beberapa
saat mengerang menahan sakit!
Baru saja lelaki brewok itu menghembuskan napas-
nya yang terakhir, terdengarlah derap kaki kuda men-
datangi tempat itu dari sebelah Timur desa. Sedangkan dari arah mulut desa,
tampak puluhan orang petani
dengan berbagai macam senjata berlarian mendatangi.
Seorang lelaki tua berusia sekitar enam puluh ta-
hun langsung melompat turun dari atas punggung ku-


Pendekar Naga Putih 33 Bidadari Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

danya. Keningnya sempat berkerut melihat para ang-
gota perampok tampak berlutut tanda menyerah. Lela-
ki tua itu baru mengerti setelah melihat mayat lelaki brewok yang memang telah
lama dikenali-nya sebagai
Pemimpin Gerombolan Perampok Jubah Merah.
"Siapa yang telah membunuhnya...?" Tanya lelaki tua itu dengan tarikan napas
lega. Meskipun mulutnya bertanya demikian, tapi sepa-
sang mata tua itu menatap Panji penuh selidik. Sepa-
sang matanya agak menyipit, seolah-olah ingin mene-
gasi sosok Panji.
"Pemuda itulah yang telah menyelamatkan desa ki-ta, Ki. Dia..., Pendekar Naga
Putih...," jelas lelaki gagah yang merupakan kepala keamanan desa itu.
"Aaah.... Sudah kuduga, kau memang pendekar
muda yang gagah perkasa itu. Terima kasih atas perto-longanmu, Pendekar Naga
Putih. Entah bagaimana na-
sib kami, seandainya kau tidak membantu...," ucap lelaki tua itu yang tak lain
adalah Ki Gandir, Kepala De-sa Pucung.
"Tidak perlu berlebihan, Ki. Bukankah tolong menolong itu sudah menjadi
kewajiban kita semua. Nah!
Karena persoalan ini sudah selesai, aku mohon diri,"
pamit Panji yang berniat hendak meninggalkan Desa
Pucung itu. 'Tapi, alangkah bahagianya hati kami bila kau sudi
singgah di tempat kami," pinta Ki Gandir penuh harap.
"Maaf, Ki. Bukannya aku bermaksud menolak niat
baik itu. Tapi, ada suatu tugas yang harus segera ku selesaikan. Jadi, harap kau
maafkanlah sikapku ini,"
tolak Panji, tulus.
Ki Gandir dan para pembantunya tidak kuasa lagi
untuk mencegah kepergian pemuda perkasa itu. Mere-
ka hanya bisa menatap sosok berjubah putih itu den-
gan tatapan kagum. Baru setelah sosok Panji lenyap,
mereka sibuk membereskan para perampok yang telah
menyerah. Pemuda tampan berjubah putih itu melangkah me-
nyusuri jalan lebar. Makin lama jalan yang dilaluinya semakin menyempit.
Persawahan yang sepanjang jalan
tadi terhampar di kiri-kanannya, kini tidak tampak la-gi. Hanya pohon-pohon dan
semak belukar yang me-
menuhi tepi jalan.
Pemuda berjubah putih yang tak lain dari Panji itu
terus saja melangkah perlahan. Terkadang kepala yang tertunduk menengadah,
menatap langit cerah. Sesekali terdengar helaan napasnya yang berat. Jelas, hati
Pendekar Naga Putih tengah dilanda kegelisahan.
Kegelisahan yang tengah melanda hati pendekar
muda itu dapat dimaklumi. Tidak heran, karena sudah
cukup lama ia berpisah dengan kekasihnya yang kini
tak tentu rimbanya. Bahkan sampai saat itu Panji ti-
dak tahu, apakah Kenanga masih hidup, atau sudah
tewas tertelan gelombang lautan ganas. ( Untuk lebih je-lasnya silakan baca
serial Pendekar Naga Putih dalam episode: "Terdampar di Pulau Asing" ).
Kini sebelum dapat mengetahui nasib kekasihnya,
sebuah keguncangan telah melanda dunia persilatan.
Tewasnya seorang tokoh kelas atas yang mengasing-
kan diri telah sampai ke telinga Panji. Bahkan kema-
tian tokoh sakti yang menurut kabar terbunuh oleh
seorang tokoh sesat berparas cantik yang berjuluk Bidadari Iblis, masih diiringi
pula oleh bangkitnya para tokoh sesat. Hingga, ketika singgah di beberapa desa
dalam usaha pencariannya terhadap Kenanga, Panji
harus mengusir gerombolan-gerombolan perampok
yang semakin mengganas. Terakhir, pemuda itu kem-
bali menyelamatkan Desa Pucung dari kehancuran.
"Hhh.... Mungkinkah Kenanga memang sudah te-
was...?" Desah Panji dengan perasaan kacau.
Pemuda sakti itu berusaha menekan kepedihan ha-
tinya dengan menarik napas dalam-dalam. Setiap kali
teringat akan dara jelita pujaannya, hatinya merasa
seperti ditusuk-tusuk. Hanya karena semenjak kecil
telah menerima gemblengan gurunyalah yang mem-
buat pemuda itu tetap kelihatan tegar dan berseman-
gat. Semenjak kehilangan kekasihnya, boleh dibilang
semangat hidup pemuda itu telah lenyap sebagian. Ki-
ni, seringkali ia berpikir untuk mengundurkan diri dari dunia persilatan. Tapi
kewajibannya sebagai, seorang pendekar, membuatnya tidak bisa memikirkan kepen-
tingannya sendiri, dan mengabaikan kepentingan
orang banyak. Sehingga sambil tetap melaksanakan
kewajibannya, tak henti-hentinya dia mencari kete-
rangan tentang Kenanga. Meskipun harapan untuk
dapat berjumpa sangat tipis.
"Hhh...," kembali terdengar helaan napas berat pemuda itu sebagai tanda
keresahan hatinya.
Tanpa terasa, langkah pemuda itu telah memba-
wanya ke sebuah perbukitan padas. Sejenak Pendekar
Naga Putih menghentikan langkahnya sambil menatapi
bebatuan yang terhampar di sekitarnya. Hembusan
angin yang tiba-tiba bertiup keras, membuat jubahnya yang panjang berkibaran.
Panji yang baru saja hendak kembali melanjutkan
perjalanan, langsung tertegun menelengkan kepalanya.
Lapat-lapat, telinganya yang tajam menangkap adanya
suara-suara orang bertempur.
"Hm.... Jelas, pendengaranku tidak salah. Pasti ada orang yang tengah bertarung
di sekitar daerah ini. Me-nilik dari suaranya, rasanya pertempuran itu cukup
ramai. Mungkinkah gerombolan perampok tengah
menjarah di sekitar daerah perbukitan yang gersang
ini" Atau tidak jauh dari tempat ini ada sebuah pede-saan?" Gumam Panji sambil
berusaha memastikan
arah suara orang bertempur itu.
Namun karena suara-suara itu terkadang lenyap,
Panji pun hanya bisa memastikan kalau tempat per-
tempuran itu cukup jauh dari dirinya.
Sebenarnya kalau bukan Pendekar Naga Putih yang
berdiri di tempat itu, belum tentu akan dapat menangkap suara-suara pertempuran
yang terkadang lenyap
terbawa hembusan angin. Kalau Panji dapat menang-
kapnya, itu karena kepandaiannya yang sudah sulit
untuk diukur. Sehingga, tidak sulit bagi orang seperti Pendekar Naga Putih untuk
menangkap suara pertempuran itu.
Agar dapat lebih jelas menangkap suara, Panji ber-
gerak maju ke sekeliling tempat itu, hingga tiga tombak jauhnya. Setelah suara
itu tertangkap secara jelas, ia pun segera dapat menentukan, dari arah mana
pertarungan itu berasal.
Cepat bagai kilat, tubuh Pendekar Naga Putih mele-
sat ke arah Barat, yang diyakininya sebagai suara pertempuran itu berasal.
*** 5 Pendekar Naga Putih terus berlari sambil menge-
rahkan ilmu lari cepatnya. Tingkat kepandaiannya
yang sudah sangat tinggi, membuat tubuh pemuda itu
tidak dapat tertangkap mata biasa. Yang terlihat ha-
nyalah secercah sinar putih keperakan yang berkelebatan bagai tak menyentuh
permukaan tanah.
Tidak berapa lama kemudian, dalam jarak sekitar
belasan tombak, Panji sudah menyaksikan sosok
bayangan merah yang tengah menghadapi keroyokan
lima orang laki-laki gagah. Melihat ciri-ciri sosok ramping terbungkus pakaian
merah darah, Panji tahu kalau orang yang tengah dikeroyok itu tak lain dari
Bidadari Iblis, atau yang juga berjuluk Bidadari Salju. Hal itu dapat
ditebaknya, karena telah banyak mendengar tentang ciri-ciri tokoh sesat yang
saat ini telah membuat kalangan rimba persilatan gempar!
Tanpa pikir panjang lagi, Panji pun segera mendekat
ke arah arena pertarungan. Melihat kelima orang lelaki gagah yang diyakininya
sebagai para pendekar telah
mampu menguasai arena, pemuda itupun tidak ber-
niat membantu. Ia hanya berdiri menonton dalam ja-
rak tiga tombak. Meskipun begitu, Panji siap turun
tangan apabila diperlukan. Sosok bayangan merah itu
tampak kerepotan. Namun, dia masih mampu untuk
melontarkan pukulan-pukulan maut sesekali. Hal itu
membuat Panji merasa khawatir akan nasib kelima
orang gagah itu.
Panji menjadi kagum bukan main terhadap kepan-
daian Bidadari Iblis. Melihat kesaktian tokoh wanita sesat itu Panji mengerti
mengapa tokoh sakti seperti Begawan Cindra Putra sampai tewas di tangannya.
Selain ganas dan lincah, ternyata Bidadari Iblis pun memiliki pukulan beracun
yang sangat berbahaya!
"Eh..."!"
Tiba-tiba Panji tersentak kaget. Ternyata beberapa
gerakan tokoh sesat wanita itu seperti pernah dilihatnya. Bahkan hampir sangat
dikenalinya. Meskipun ge-
rakan itu kadang di-rangkai dengan gerakan aneh dan
keji, tapi hal itu membuat-nya penasaran!
"Aneh! Sepertinya aku mengenali beberapa gerakan yang digunakan Bidadari Iblis
itu" Tapi..., ah! Tidak mungkin..."!" Gumam Panji dengan kening berkerut.
"Haaait...!"
Pada suatu kesempatan Bidadari Iblis berseru nyar-
ing, disertai lesatan tubuhnya yang mengejutkan!
Sambil berputar di udara, sosok berpakaian merah da-
rah itu melontarkan pukulan-pukulan berbau harum
yang jelas mengandung racun!
"Aaah...!"
Untuk kedua kalinya Panji memekik tertahan! Da-
danya pun berdebar keras! Jelas teriakan Bidadari Ib-lislah yang membuat pemuda
itu terkejut! "Tidak mungkin...!" Desis Panji kembali dengan da-da yang kian berdentam keras,
"Mungkin hanya suaranya saja yang sama, atau aku telah terpengaruh
bayang-bayang yang kubuat sendiri...?"
Merasa penasaran, Panji mengerahkan tenaga sak-
tinya ke arah pertarungan itu. Hal itu dilakukan untuk mempertajam pandang
matanya, karena pertarungan
itu demikian cepat sehingga tidak bisa terlihat jelas.
Sejak tadi keenam sosok di arena itu hanya tampak
bayang-bayangnya saja. Sehingga, Panji tidak bisa
mengenali orang yang tengah bertarung.
Debaran dada Pendekar Naga Putih kian kuat! Bah-
Pendekar Latah 20 Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen Neraka Hitam 5
^