Pencarian

Kumbang Merah 2

Pendekar Naga Putih 32 Kumbang Merah Bagian 2


perhatian junjungannya saja. Maka, ketika didesak, lelaki berkumis jarang itu
pun, hanya dapat tersenyum kecut.
"Kalau begitu, kita tetap ke tujuan semula...," te-gas gadis cantik itu sambil
melangkah melewati Bawung.
"Tapi..., Gusti Ayu...," Bawung masih berusaha mencegah keinginan junjungannya
itu, sambil ber-lari dan mencoba kembali membujuknya.
"Sudah! Kalau kalian berdua takut, aku bisa per-gi sendiri." Tiba-tiba saja
gadis cantik Itu mendam-prat pembantunya dengan nada ketus. Kemudian, tanpa
berkata apa-apa lagi, ia terus mengayun langkahnya.
Bawung dan Gumpita terpaksa mengikuti langkah Gusti Ayu meski dengan perasaan
cemas. Karena ikut atau tidak kemungkinannya sama saja bagi mereka berdua.
Sehingga, mau tidak mau ke-dua lelaki itu menguntit di belakang junjungannya
itu. "Berhenti...!"
Ketika ketiganya mulai melintasi daerah perbuki-tan, mendadak terdengar sebuah
bentakan nyaring yang menggetarkan. Belum lagi ketiganya sempat menyadari,
sosok-sosok bayangan hitam berlompa-tan dari balik batu dan atas pohon. Sekejap
kemu-dian, ketiganya telah terkepung puluhan lelaki kasar yang berpakaian lusuh.
"Hm..., rupanya hari ini aku ketiban untung besar.
Pantas saja semalam aku bermimpi memeluk rembulan
Aiiih, tidak tahunya pertanda datangnya seorang dewi ke tempatku ini," salah
seorang lelaki bertampang kasar itu berkata sambii melangkah ke arah gadis
cantik bermata galak itu. Kemudian, langsung menguturkan tangan dengan maksud
hen-dak menyentuh wajah gadis itu.
"Hm..., mau apa kau, Orang Kasar?" Ujar gadis cantik itu dengan suara ketus,
sambil menarik mundur tubuhnya sejauh dua langkah. Sehingga, uluran tangan
lelaki itu tidak sampai menjangkau-nya.
"Eh!?"
Lelaki kasar yang memimpin puluhan orang itu, sempat ter-kejut ketika uluran
tangannya luput.
Padahal, meskipun terlihat sembarangan, namun jarang ia melihat orang yang mampu
untuk meng-hindari uluran tangannya itu. Karena, bagi orang biasa, uluran tangan
lelaki itu terlihat cepat dan sukar ditangkap mata.
"Huh! Kau akan lebih terkejut lagi bila tahu dengan siapa kau sedang berhadapan
saat Ini!" ucap gadis cantik itu lagi mencoba untuk menggertak le-laki kasar
itu. Bahkan bibirnya yang merah, tampak menyunggingkan senyum sinis.
"He he he..., jangan coba-coba untuk menggertak-ku, gadis cantik. Justru karena
kau putri Adipati Sunggara, maka aku sengaja menghadang di sini. Dengan kau
berada di tanganku, maka tua bangka itu tidak dapat lagi berbuat semaunya,
mengirim pasukan untuk memberantas dan mengusir pergi kami dari daerah ini.
Dan, ia pun harus mau mene-rimaku sebagai menantunya," sahut lelaki kasar yang
rupanya seorang kepala rampok sambil ter-kekeh serak.
"Hik hik hik...! Dasar orang hutan! Apa kau kira mudah menangkapku" Hm! Jangan-
jangan justru kau sendiri yang akan terpanggang anak panahku ini," ujar
gadis cantik tidak mau kalah gertak. Usai berkata demikian, ia langsung menarik
tali busur-nya.
Namun, lelaki bertubuh tinggi kekar dan beram-but acak-acakan itu, sama sekali
tidak merasa gen-tar.
Sambil memperdengarkan tawa seraknya, ke-dua tangannya bergerak memberikan
Isyarat agar segera menyerbu ketiga orang itu.
Tanpa diperintah dua kali, gerombolan perampok yang berjumlah sekitar tiga puluh
orang itu, lang-sung meluruk maju. Mereka berteriak-teriak seperti sekumpulan
monyet lapar yang dilemparkan pisang.
Namun, gadis cantik yang ternyata putri Adipati Sunggara itu sama sekali tidak
terlihat gentar. Dua buah anak panah yang terpasang di busurnya segera melesat,
dan menembus leher dua orang pe-rampok, yang langsung berkelojotan tewas. Karena
tidak mungkin menggunakan panahnya karena mu-suhnya kian dekat, maka gadis itu
pun mencabut pedang yang tergantung di pinggang kirinya.
Swingngng! Terdengar suara berdesing ketika senjata itu tercabut keluar dari sarungnya.
Kemudian, diputar sedemikian rupa hingga membentuk gulungan sinar, yang
bergulung-gulung dengan hebatnya.
"He he he.... Ayo, mari perlihatkan kepandaianmu di hadapan Raja Kera Kulit
Baja, Manisku...," ujar lelaki kekar berambut acak-acakan itu menyeringai buas.
Sekali lompat saja, tubuh kekar itu telah ber-diri didepan gadis cantik itu.
"Haiitt...!"
Si gadis yang sadar kalau lelaki itu tidak mung-kin lagi untuk diajak damai,
berseru nyaring dan langsung menusukkan pedangnya dengan kecepa-tan kilat!
Whuuut! Serangkum angin tajam berdesing mengiringi luncuran ujung pedang gadis cantik
itu, yang meng-ancam lambung kanan lawannya.
Takkk! "Aaah...!"
Terkejut bukan main hati gadis itu ketika me-rasakan ujung pedangnya benar-benar
seperti mem-bentur lempengan baja. Bukan hanya tubuh lawan-nya yang tidak
terluka, tapi lengannya yang diguna-kan untuk menyerang terasa nyeri hingga ke
pang-kal lengannya.
Tentu saja hal itu sama sekali tidak pernah disangka-nya.
"He he he.... Mengapa terkejut, Manis" Ayo, puaskan hatimu. Dan, kau boleh pilih
bagian yang paling lunak,"
ejek Raja Kera Kulit Baja sambil memperdengarkan kekehnya yang serak.
"Keparat! Jangan merasa sombong dulu kau, Monyet Kudisan!" maki gadis cantik itu
yang merasa jengkel mendengar ejekan lawannya.
Disertai dengan sebuah teriakan nyaring, tubuh gadis itu kembali meluncur ke
arah lawannya. Pe-dang di tangannya menyambar-nyambar ke sekeli-ling tubuh
lawannya. Jelas, kalau gadis cantik itu tengah berusaha mencari bagian terlemah
di tubuh lawannya. Namun, sampai lewat dua puluh jurus, ia belum juga berhasil
mengetahui kelemahan di tubuh Raja Kera Kulit Baja.
Sehingga, serangan-serangannya pun tampak mulai me-ngendur.
Sedangkan lawannya hanya tertawa terkekeh se-rak, sambil sesekali membalas
serangan lawannya. Semenjak pertama kepala rampok itu memang se-ngaja tidak
membalas serangan lawannya. la hanya mengelak jika bagian matanya diincar ujung
pedang gadis itu.
Sedangkan bagian-bagian lainnya, sama sekali tidak
dipedulikan. Dan, ketika tenaga gadis itu mulai terlihat surut, Raja Kera Kulit
Baja mulai meluncurkan serangan-serangannya.
Whuuut! Whuuut!
Sepasang tangan kepala rampok yang panjang itu seperti tangan seekor gorila,
menyambar-nyambar dengan cengkeraman atau totokan-totokan cepat.
Sehingga, semakin lama, makin bertambah sibuklah gadis itu menghindari serangan
lawannya. Sedang serangan-serangan balasannya tidak mempunyai arti sama sekali.
Karena kekebalan tubuh yang di-miliki lawannya seolah-olah tidak mempunyai kele-
mahan. Itu yang menyulitkan putri Adipari Sura-ngga. Maka, ia pun terpaksa harus
pasrah untuk didesak lawannya.
Di tempat lain, Bawung dan Gumpita tampak menderita luka di sekujur tubuhnya.
Kedua orang lelaki gagah yang bertugas menjaga keselamatan putri junjungannya
itu, bertarung seperti banteng luka.
Pedang di tangan keduanya menyambar-nyambar bagaikan langan-tangan maut, yang
siap mengirim nyawa la-wannya melayat ke akhirat.
Meskipun telah berusaha sekuat tenaga untuk mempertahan-kan dirinya, namun kedua
orang pengawal setia itu, terpaksa harus menyerah setelah bertempur hampir
seratus jurus. Itu pun terjadi karena mereka hampir kehabisan tenaga. Sehingga,
terpaksa mereka harus merasa puas dengan kor-ban-korban senjata mereka yang
tidak kurang dari delapan orang Iawan.
Bawung dan Gumpita menjerit setinggi langit, ketika masing-masing tubuh mereka
ditusuk empat batang senjata dari segala arah! Darah segar memercik dan
membasahi bumi seiring dengan terbangnya nyawa kedua orang pengawal setia putri
Ambar Sukma itu.
Tubuh keduanya melorot ke tanah dengan mata terbelalak lebar.
"Bawung...! Gumpita...!" gadis cantik itu berteriak kaget ketika mendengar jerit
kematian kedua orang pengawalnya. Sementara, ia sendiri tengah berjuang keras
untuk menyelamatkan dirinya dari serangan Raja Kera Kulit Baja, yang terus
menyambar-nyambar mengincar tubuhnya.
Ketika pertarungan memasuki jurus yang keem-pat puluh, gadis cantik bernama
Ambar Sukma itu, memekik tertahan. Dan pedang di tangannya ter-pental akibat
sampokan telapak tangan lawannya. Belum lagj gadis cantik itu sempat menyadari
bahaya, tiba-tiba pinggangnya telah kena cekal. Lalu, tubuhnya diangkat tinggi-
tinggi oleh lawannya.
"Aaah...!"
Ambar Sukma menjerit ngeri. Tapi, jeritan itu bukan karena rasa takut akan
kematian, melainkan disebabkan cekalan jari-jari tangan Iawan pada ping-gangnya.
Sehingga, tubuh putri Adipati Surangga itu gemetar ketakutan.
"He he he.... Sekarang kau tahu bukan, kalau Raja Kera Kulit Baja seorang lelaki
perkasa. Nah setelah kau mengetahui, apakah kau masih ingin menolak" Atau kau
lebih suka kalau aku melaku-kan paksaan?" ujar lelaki kepala rampok itu menye-
ringai dari meneteskan air liur bagaikan binatang lapar.
"Lepaskan gadis itu...!"
Belum lagi Ambar Sukma menjawab ancaman kepala rampok itu, tiba-tiba terdengar
sebuah bentakan yang menggetarkan. Bahkan, rasa ngeri yang dialami gadis itu
sampai lupa. la menolehkan kepalanya dengan wajah penuh harap.
Raja Kera Kulit Baja pun menoleh ke arah asal suara dengan kening berkerut
gusar. Seringainya yang semula lenyap karena bentakan keras tadi, kembali
melebar. Karena yang dilihatnya hanyalah seorang pemuda tampan berpakaian mewah. Karuan
saja kepala rampok itu memperdengarkan suara tawa mengandung ejekan.
Kemudian kembali melanjutkan perbuatannya tanpa mempedulikan ke-hadiran pemuda
tampan itu. Namun, lelaki tinggi besar dengan tubuh dipenuhi otot yang menyembul itu menoleh
penuh kegeraman. Ketika ia mendengar jerit kematian yang membuatnya menjadi
murka. Menolehkan kepala-nya nampak sesosok tubuh melayang ke arahnya. Tanpa
pikir panjang lagi, disambutnya luncuran so-sok tubuh itu dengan hantaman
telapak tangannya dengan pengerahan tenaga sepenuhnya.
Buggg! Kepala rampok bertubuh kekar itu merasa heran.
Karena hantaman telapak tangan mengenai sosok tubuh itu, namun tak sedikit pun
sosok tubuh itu mengeluh apa-apa. Padahal jelas sosok tubuh itu terlempar dengan
semburan darah segar dari mulut-nya.
Belum lagi rasa keheranan kepala rampok itu le-nyap, kembali ia dikejutkan oleh
sambaran angin tajam, yang berasal dari sebelah belakangnya. Sadar kalau
serangan itu tidak bisa dipandang ringan, Raja Kera Kulit Baja bergegas menarik
tubuhnya ke samping dengan langkah silang, dan setengah ber-putar.
Bukkk! "Aaaih...!"
Kaget bukan main hati kepala rampok itu! Karena usahanya untuk menghindar sia-
sia, dan tetap saja terkena tendangan keras yang membuatnya mundur sampai
menyeringai dan mengusap-usap dadanya.
Kemarahan Raja Kera Kulit Baja semakin bertam-bah meluap ketika gadis cantik
yang berada dalam cekalannya, tahu-tahu telah berpindah tangan. Dan, kini ia
berada dalam kekuasaan pemuda tampan yang memperingatkannya agar melepaskan
Ambar Sukma. Karuan saja darah lelaki kekar berwajah kasar mendidih di buatnya.
"Keparat..!" desis Raja Kera sambil menolehkan kepalanya untuk memastikan orang
yang dihantam dengan telapak tangannya. Sebab, pemuda itu ter-nyata telah
berhasil membebaskan gadis cantik yang menjadi tawanannya.
"Setan...!"
Kali ini kemurkaan kepala rampok itu benar-benar sudah melewati batas! Karena
sosok tubuh yang disambutnya dengan hantaman telapak tangannya, ternyata salah
seorang pengikutnya sendiri. Dan, orang Itu tewas seketika. Entah karena
hantaman telapak tangannya, atau memang telah tewas sewaktu melayang ke arahnya.
Tapi, Raja Kera Kulit Baja tidak mau ambil peduli. Yang kini menjadi
perhatiannya untuk menumpahkan kema-rahannya itu, justru pemuda tampan
berpakaian mewah, yang kini membalas menatapnya dengan tidak kalah tajam.
Ha ha ha.... Mengapa terkejut, Raja Beruk...?" tegur pemuda tampan itu sambii
memperdengarkan suara tawanya yang lunak. Wajah tampan itu tam-pak semakin
menarik ketika la tengah tertawa. Se-hingga, mau tidak mau Ambar Sukma yang
berada di samping pemuda tampan itu menatap penuh kagum.
Sedangkan kepala rampok itu sendiri, sudah menggereng bagai binatang luka.
Tampak tubuhnya mulai direndahkan, persis seperti seekor kera besar yang
sedang murka. Sesekali tubuh kekar itu me-lompat-lompat sambil menggaruk dan
berteriak-teriak.
Ambar Sukma yang melihat tingkah-laku kepala rampok itu, tak dapat menahan
tawanya. Karena apa yang dilakukan lelaki kekar itu benar-benar sangat lucu dan
menggelikan hatinya.
Sedangkan kening pemuda tampan itu tampak berkerut, dan menatap penuh perhatian.
la sama sekali tidak tertawa sebagaimana halnya Ambar Sukma.
"Jurus Kera Gila...," desis bibir pemuda itu tetap tidak menunjukkan rasa
gentar, meski keningnya masih berkerut.
"Jurus Kera Gila..." Eh, kau mengenal gerakan monyet buruk itu, Kisanak" Ah,
betapa tololnya aku. Kukira semua gerakan itu hanyalah gerakan sembarangan dan
tidak bermakna," gumam Ambar Sukma dengan wajah keheranan. Bahkan, suara tawanya
pun lenyap, dan berganti dengan kekhawa-tiran. "Kita lari saja. Monyet buruk itu
memiliki kepandaian yang tinggi, dan kebal terhadap senjata tajam. Aku takut kau
celaka nanti, hanya ingin menolongku...," lanjut gadis cantik itu mengusul-kan.
"Ah, terima kasih atas kecemasanmu terhadap diriku, Gusti Ayu. Tapi, demi
keselamatan Gusti Ayu yang kupuja dan kujunjung tinggi, rasanya mati adalah
suatu kehormatan besar bagiku. Apalagi Gusti Ayu berada di sampingku. Ah, tidak
ada lagi yang bisa membuat Pradipta gentar, kendati harus menghadapi malaikat
maut sekalipun!" sahut pemu-da tampan tersenyum, sambil menoleh dan menatap
wajah canti Ambar Sukma.
Terkejut dan juga bangga hati Ambar Sukma mendengar kata-kata yang diucapkan
pemuda tam-pan itu. Namun, sebagai seorang putri Adipati, tentu saja perangai
Ambar Sukma tidak bisa disamakan denga
gadis-gadis umumnya. Apalagi ia sudah ter-biasa dengan lingkungan orang-orang
yang selalu tunduk dan mentaati perintahnya. Dan, kebiasaan itu membuatnya tak
segan-segan mendesak pemuda tampan itu guna memberikan alasan yang tepat,
sehubungan dengan ucapan-ucapannya.
"Jadi, hanya karena aku seorang putri Adipati, maka kau ber-sedia menolongku"
Dengan kata lain, kau tidak akan bersedia menolong kalau aku hanya gadis biasa,
begitu...?" Tanya Ambar Sukma seperti ingin mengetahui isi hati pemuda tampan
yang menjadi penolongnya itu.
'Tidak, Gusti Ayu. Alasan yang sebenarnya, karena aku jatuh hati melihatmu. Dan,
demi mem-bela gadis yang telah mencuri hatiku, mati bukan-lah sesuatu yang harus
ditakuti. Maaf, kalau aku telah lancang, Gusti Ayu...," ucap pemuda tampan, yang
ter-nyata Pradipta itu, dengan nada halus.
Ambar Sukma yang tidak mengenai sama sekali siapa sesungguhnya pemuda tampan
itu, tentu saja hatinya berdebar girang. Namun, perasaan itu disembunyikan
karena ia ingin mengetahui sampai sejauh mana rasa cinta pemuda itu. la tidak
ingin pemuda itu mengetahui perasaannya, sebelum ia dapat memastikan kesungguhan
hatinya untuk me-ngorbankan nyawa demi membela gadis yang dipujanya.
"Hm..., kalau begitu, kau hadapilah Raja Kera Kulit Baja itu untuk membuktikan
cintamu pada-ku...," ujar Ambar Sukma tanpa senyum. Seolah-olah pemuda itu
adalah pembantunya, dan bukan penolongnya. Bahkan, sikap gadis cantik itu ber-
ubah. Sepertinya ingin menunjukkan siapa diri yang sebenarnya, dan pemuda
seperti apa yang pantas mendampinginya.
Pradipta yang berjuluk si Kumbang Merah bu-kanlah orang bodoh. la sadar dengan
keinginan dan maksud
tersembunyi gadis cantik itu. Tapi, kali ini ia tentu saja tidak mau main-main.
Sebab. Apabila ia bisa menarik gadis seperti Ambar Sukma ke da-lam pelukannya,
kehidupannya maupun martabat-nya pasti akan naik.
Maka, ketika mendengar uca-pan Ambar Sukma Pradipta pun segera menyahuti.
"Baik, Gusti Ayu. Akan hamba hadapi manusia kera itu...," setelah berkata
demikian, Pradipta me-langkah maju menghampiri Raja Kera Kulit Baja. Kemudian
berhenti dalam jarak sekitar satu tombak dengan tatapan tajam, diawasinya gerak-
gerik lelaki kekar itu.
*** 6 Raja Kera Kulit Baja pun membalas tatapan pemuda tampan itu dengan tidak kalah
tajamnya. Bahkan, sepasang mata yang berwarna merah saga itu, menyiratkan hawa
maut.

Pendekar Naga Putih 32 Kumbang Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Heaaat..!"
Dibarengi pekikan nyaring yang melengking tinggi, tubuh kekar itu melesat bagai
kilat ke arah Pradipta.
Sepasang tangannya, yang panjang dan ditumbuhi bulu-bulu kasar itu, menyambar-
nyam-bar dan menimbulkan deruan angin yang tajam ber-kesiutan. Jelas, tenaga
yang tersembunyi di dalam sepasang lengan Itu sangat kuat dan berbahaya.
Pradipta tetap berdiri dengan tenang tanpa gera-kan.
Setelah memperhatikan tingkah laku dan gera-kan-gerakan lelaki tinggi kekar itu,
segera menge-tahui inti ilmu silat lawannya. Maka, ketika lawan-nya melancarkan
gebrakan, pemuda tampan itu hanya menggeser tubuhnya sedikit, dan langsung
mengirimkan serangan balasan dengan tamparan-tamparan maut.
Terkejut bukan main hati Raja Kera ketika me-rasakan sambaran angin pukulan
lawannya. Ia yang semula memandang rendah pemuda tampan itu, menjadi berdebar.
Karena hatinya tidak tenang, maka lelaki kekar itu menjadi sibuk dan terdesak
oleh serangan-serangan balasan lawannya yang me-ngandung kekuatan hebat itu.
Namun, kepala rampok itu temyata tidak dapat disamakan dengan penjahat-penjahat
kasar biasa. Begitu merasakan kelihai-annya, ia cepat merubah gerakannya. Serangan-
serangannya kali ini tampak kacau dan aneh. Persis seperti kera buas yang sedang
murka. "Haaait..!"
Ketika pertarungan menginjak jurus yang ke dua puluh satu, Raja Kera Kulit Baja
mengeluarkan pe-kikan keras yang menggetarkan. Sepasang tangan-nya menyambar
cepat, dan menimbulkan deruan angin yang tajam laksana sambaran pedang. Dan,
langsung meluruk deras mengancam tubuh lawan-nya.
Whuuut! Whuuut!
Pradipta menarik mundur tubuhnya dengan lang-kah pendek. Sambaran cakar lawannya
yang meng-ancam lambung dan tengkuknya, luput dan lewat sejengkal didepan
tubuhnya. "Hiaaah...!"
Gerakan Pradipta tidak hanya berhenti sampai disitu saja. Mendadak bentakan
nyaring dilontarkan pemuda itu, dan langsung memutar tubuhnya deng tendangan
melingkar. Bukkk! Hebat dan sangat cepat sekali tendangan yang dilontarkan pemuda tampan itu!
Tubuh lawannya terpental seketika. Karena telapak kaki pemuda ttu menghantam
telak dadanya. Namun, Kumbang Merah mau tidak mau harus mengakui kekebalan tubuh lawannya.
Tendangan-nya yang keras dan menghantam telak, ternnyata hanya mampu membuat
tubuh lelaki kekar itu ter-jajar mundur sejauh enam langkah. Padahal, me-nurut
perhitungan, tubuh lelaki itu harus terjungkal jatuh dan memuntahkan darah
segar. Ternyata tidak dialami sama sekali oleh kepala rampok itu. Hanya gerengan
gusar yang terdengar meluncur dari sela-sela bibirnya yang bergetar Itu.
Seperti tidak merasakan tendangan lawannya, lelaki kekar itu melompat dengan
serangan yang lebih dahsyat
dan berbahaya! Tubuhnya yang tinggi besar itu, terkadang melompat-lompat seperti
seekor kera gila.
Bahkan, terkadang bergulingan di atas tanah, sambii melontarkan cengkeraman-
cengkera-man yang berbahaya dan mengandung kekuatan yang bebat.
Kali ini Pradipta tidak mau bertindak tanggung-tanggung. Kedua tangannya diputar
cepat hingga menimbulkan sambaran angin yang menerbangkan dedaunan kering.
Seketika itu juga, tubuhnya yang tegap melesat bagai kilat, dan langsung
mengirim-kan serangan-serangan dahsyat!
Bukan main terperanjatnya hati kepala rampok itu ketika merasakan serbuan
lawannya. Tangan pe-muda Itu seolah-olah menjadi puluhan banyaknya. Sehingga, la
bagaikan terkurung di dalam lingkaran serangan pemuda Itu.
"Gila...! Setan...!" Raja Kera kulit Baja memaki kalang-kabut. Karena ruang
geraknya semakin me-nyempit Bahkan, setiap kali melontarkan serangan balasan,
sepasang tangannya selalu terpental. Se-olah-olah tubuh lawannya telah
dikelilingi oleh ben-teng yang sangat kokoh.
Pada saat pertarungan menginjak jurus yang ketiga puluh lima, Raja Kera Kulit
Baja yang sudah tidak mampu lagi melontarkan serangan balasan, terpaksa
merelakan tubuhnya digedor oleh telapak tangan lawannya yang mengandung kekuatan
hebat itu. Maka..., Blakkk! "Hukh...!"
Raja Kera Kulit Baja mengeluh pendek ketika te-lapak tangan Kumbang Merah
singgah di perutnya. Belum sempat ia mengatur posisi kudanya-kudanya, kembali
sebuah pukulan Iawan menghantam telak dadanya.
Desss...! "Huakh...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh kekar itu lang-sung terlempar hingga dua tombak
jauhnya. Darah segar menyembur dari dalam mulutnya. Lalu, tubuh raksasa itu
terbanting dengan menimbulkan suara berdebuk keras.
Namun, kepala rampok itu lagi-lagi menunjukkan kekuatan daya tahan tubuhnya.
Meskipun darah di sudut bibirnya telah meleleh dan menyeringai kesakitan, namun
lelaki itu berusaha bangkit dan ber-diri dengan tatapan mata yang mengancam.
Pradipta sendiri, tidak ingin memberikan peluang kepada lawannya. Saat Itu juga,
langsung melesat tubuhnya dengan dorongan sepasang tangannya. Dan....
Blaggg...! Hebat sekali akibat dorongan sepasang telapak tangan pemuda tampan itu! Tubuh
Raja Kera Kulit Baja yang tinggi besar itu, tersentak bagai dilempar-kan tangan
raksasa! Tubuh kekar itu melayang dan menghantam pohon sebesar dua pelukan orang
dewasa! Pohon besar itu berderak ribut, meskipun tidak roboh oleh benturan keras itu.
Namun daun-daun-nya langsung berguguran ke tanah, berbareng de-ngan melorotnya
tubuh kekar Raja Kera Kulit Baja. Sepertinya tubuh kepala rampok itu tidak
mungkin dapat bangkit lagi. Tubuh kekar itu tidak bergerak, kecuali suara
rintihannya yang terdengar perlahan.
Pradipta berdiri tegak sambil menatap tubuh lawannya yang sudah tidak berdaya
itu. Diam-diam ia merasa sayang melihat tubuh yang mempunyai daya tahan yang
hebat itu. Sejenak lelaki muda ber-wajah tampan, namun berhati licik itu,
menunduk. Beberapa saat kemudian, ia kembali berdiri tegak, lalu melangkah
menghampiri Ambar Sukma yang tidak jauh di belakangnya.
*** "Bagaimana" Apakah lelaki kurang ajar itu sudah tewas?" Tanya Ambar Sukma ketika
melihat tubuh Raja Kera Kulit Baja sudah tidak bergerak-gerak lagi.
"Tenangkanlah hati Gusti Ayu. Kepala rampok itu sudah tidak akan mengganggu
lagi," sahut Pradipta sambil sepasang matanya menatap lekat-lekat. Sepertinya ia
tengah menunggu ucapan lain yang akan keluar dari sela-sela bibir indah itu.
"Hm... ke mana tujuanmu, Pradipta?" kembali Ambar Sukma bertanya seperti sambil
lalu, dan tidak menuntut jawaban pasti.
"Entahlah, Gusti Ayu. Tapi, kalau memang aku tidak diperlukan lagi, biarlah aku
pamit..," ujar pemuda tampan itu sambil membalikkan tubuhnya dan melangkah
gontai meninggalkan putri Ambar Sukma yang menjadi tertegun dibuatnya.
Untuk beberapa saat lamanya, gadis cantik itu berdiri ter-mangu dengan wajah
bingung. la benar-benar tidak mengerti sifat pemuda tampan yang menolongnya itu,
Padahal waktu pertama kali ber-temu, jelas ia mendengar pemuda itu mengucapkan
kata-kata cinta kepadanya. Lalu, mengapa ia pergi begitu saja. Seolah-olah
Pradipta sudah lupa dengan apa yang yang diucapkannya.
Semula, Ambar Sukma mendiamkan saja keeper-gian penolongnya itu. Pikirannya baru
berubah keti-ka ingatannya melayang bahwa pemuda seperti Pra-dipta itu sangat
jarang ditemuinya. Seketika Itu juga, timbul
keinginan gadis cantik itu untuk me-ngetahui perasaan penolongnya lebih jauh
lagi. "Pradipta, tunggu...!"
Kumbang Merah yang memang sengaja melang-kah perlahan, menghentikan ayunan
kakinya. Na-mun, la tidak berusaha untuk menoleh ke arah Am-bar Sukma.
Karena ia masih merasa ragu dengan pendengarannya.
Ambar Sukma, yang masih tetap berdiri tegak itu, mengerutkan keningnya ketika
melihat pemuda itu tidak menoleh. Lalu, ia segera memanggil nama pemuda itu,
Pradipta pun menolehkan kepalanya, meski tidak berusaha untuk menghampiri.
Kedua orang Itu saling tatap dalam jarak lima tombak.
Untuk beberapa saat lamanya, mereka hanya berdiri tanpa mengeluarkan ucapan
sepatah pun. Juga, tidak satu pun dari mereka yang ber-usaha maju mendekat
Sepertinya mereka masih saling menahan diri.
Tidak lama kemudian, Pradipta melangkah per-lahan dengan pandangan mata tetap
tidak terlepas dari wajah Ambar Sukma. Langkah pemuda itu baru terhenti ketika
jarak di antara mereka hanya tinggal setengah jangkauan tangan.
"Ada apa, Gusti Ayu..." Apakah aku masih di-perlukan di sini?" Tanya pemuda
tampan itu sambil menelusuri wajah cantik di hadapannya. Jelas se-kali terlihat
sepasang mata pemuda tampan itu me-nyiratkan sinar kekaguman yang tidak
disembunyi-kannya. Pradipta memang sengaja ingin menunjuk-kan perasaannya kepada
gadis itu. Ambar Sukma bukannya tidak tahu apa yang ada dalam pikiran Pradipta. Maka, tanpa
malu-malu lagi, ditentangnya pandangan mata pemuda itu. Per-lahan-lahan senyum
manis terukir di bibirnya. Per-tanda putri Adipati Sunggara itu membalas pera-
saan hati Pradipta.
Semua itu tercermin baik dalam pandangan matanya maupun raut wajahnya.
"Mengapa kau ingin pergi, Pradipta" Tidakkah kau ingin mengantarkan aku pulang
ke kadipaten?" Tanya Ambar Sukma dengan senyum yang semakin melebar.
"Aku tidak berani, Gusti Ayu. Tapi kalau memang Gusti Ayu menginginkannya, tentu
saja aku tidak bisa menolaknya. Bahkan, dengan senang hati aku akan mengawal
hingga ke kadipaten," sahut Pradipta dengan wajah bersinar-sinar.
"Hm..., kalau begitu, apa lagi yang kau tunggu..?" ucap Ambar Sukma tertawa
kecil. "Silakan, Gusti Ayu...," ujar Pradipta menyisih.
Pemuda itu membungkukkan tubuhnya, dan mem-persilakan Ambar Sukma berjalan lebih
dahulu. Ambar Sukma tersenyum melihat lagak yang ditunjukkan Pradipta. Persis seperti
seorang pelayan tulen yang siap mengantarkan majikannya. Sehing-ga, tawanya yang
renyah pun kembali terdengar.
'Tidak perlu banyak peradatan, Pradipta. Kita ja-lan bersama saja seperti halnya
dua orang sahabat, ayolah...," ajak Ambar Sukma yang segera melang-kahkan
kakinya tanpa terburu-buru.
"Gusti Ayu...," panggil Pradipta tiba-tiba dengan suara bergetar aneh. Sedangkan
kakinya tetap tidak melangkah. Terlihat wajah pemuda itu tidak lagi seriang
semula. "Ada apa lagi...?" Tanya Ambar Sukma yang sege-ra membalikkan tubuhnya dengan
kening berkerut.
Namun, hati gadis cantik itu menjadi berdebar ketika melihat wajah Pradipta agak
pucat. Bahkan, ketika Ambar Sukma menatap tepat di kedua bola mata pemuda itu,
ia melihat pancaran sinar aneh yang
membuat hatinya bergetar. Dan, ia tahu makna sorot mata pemuda itu.
Sambil menekan debaran dalam dadanya, Ambar Sukma mencoba tersenyum meski
dadanya dirasa-kan berdebar tak karuan. Dan, ia berusaha tetap bersikap wajar.
Seolah tidak tahu perasaan yang dialami pemuda itu.
"Ada apa, Pradipta" Mengapa sikapmu tampak aneh"
Apakah kau tidak bersedia mengantarkan aku"
Katakanlah" Kalau memang kau keberatan, biarlah aku pulang sendiri," ujar Ambar
Sukma ketika jarak di antar mereka, hanya terpisah tiga langkah.
"Ah, bukan..., bukan itu, Gusti Ayu.... Tapi, aku...
aku..., ingin menanyakan sesuatu kepada Gusti Ayu.
Dan, aku harap agar Gusti Ayu tidak menjadi marah karenanya," dengan pandainya
Pradipta menyembunyikan sifat-sifat di hadapan gadis cantik itu.
Sehingga, baik lagak maupun mimik wajahnya, mengesankan seorang pemuda hijau
yang sama sekali belum berpengalaman. Padahal, semua itu merupakan sandiwara
saja. Karena semua yang dilakukannya semata-mata ingin menjerat putri Adi-pati
Sunggara. "Sampaikanlah, Pradipta. Kalau memang apa yang kau ucapkan itu bukan penghinaan,
mengapa aku harus marah" Lagi pula kau adalah penolongku Dan, aku tidak bisa
membayangkan apa yang terjadi pada diriku, jika kau tidak datang menolong?"
sahut Ambar Sukma mencoba bersikap wajar, meskipun debaran da-lam dadanya kian
bergemuruh. Menilik dari sikapnya dan nada suara pemuda itu, ia dapat menebak
apa yang akan diucapkan Pradipta kepadanya.
"Betul Gusti Ayu tidak marah...?" tegas pemuda itu dengan Bngkah yang kian
gelisah. Bahkan, ter-lihat beberapa kali pemuda itu menundukkan wa-jahnya,
sambii menggoyang-goyangkan kakinya kesana-kemari.
Sehingga, Ambar Sukma terpaksa menahan tawanya agar tidak menyinggung perasaan
penolong-nya itu.
"Katakanlah Aku berjanji tidak akan marah...," sahut Ambar Sukma seraya menahan
senyumnya. "Gusti Ayu..., sebenarnya..., sejak pertama melihatmu, aku... aku telah jatuh
hati kepadamu. Tapi, terus terang semua ini tidak ada hubungannya de-ngan
kesediaanku mengantarkan Gusti Ayu ke kadi-paten.
Maaf, kalau pernyataanku membuatmu ter-kejut...
Sekali lagi aku mohon maaf...," ujar Pradipta dengan suara menggeletar, dan
tarikan napas ber-kali-kali.
Seolah-olah apa yang disampaikannya itu merupakan sesuatu yang sangat sulit dan
berat terucapkan.
Sikap Pradipta nampak tenang kembali setelah apa yang mengganjal di hatinya,
telah diucapkan meski suaranya terdengar gugup, dan patah-patah.
Ambar Sukma sendiri tidak terlalu terkejut, na-mun wajahnya terlihat berubah
sekilas. Senyum di wajah cantik itu semakin melebar. Dan, sepasang mata yang
indah menyiratkan sinar kebahagiaan. Namun, semua itu berusaha ditutupinya.
"Setelah melihatku dan jatuh hati kepadaku. Lalu, apa yang kau inginkan
selanjutnya" Apakah kau ingin pergi meninggalkan aku, karena aku putri seorang
adipati?" ucap Ambar sukma yang sikapnya sudah tenang dan riang. Sehingga, gadis cantik
itu berani mengungkapkan apa yang ada dalam hatinya saat itu.
Pertanyaan yang meluncur dari bibir gadis cantik itu, tentu saja sempat membuat
gelagapan lelaki muda yang berjuluk Kumbang Merah itu. Karena, apa yang
ditanyakan Ambar Sukma sama sekali di luar perhitungan Pradipta. Sehingga, untuk
sesaat lamanya,
pemuda itu hanya berdiri dengan wajah bingung, dan tidak mampu mengucap sepatah
kata pun. Pradipta sama sekali tidak mengetahui, kalau sifat gadis Itu tidak dapat
disamakan dengan putri-putri istana lainnya. Sikap-nya yang bebas dan ter-kadang
ugal-ugalan itu, bukanlah sesuatu yang aneh. Sebab, semenjak kecil putri Adipati
Sunggara itu lebih suka bergaul dengan orang-orang persila-tan, yang mengabdi di
kepada ayahnya ketimbang dengan pelayan-pelayannya. Dan, Adipati Sunggara
sendiri tahu akan sifat putri tunggalnya. Sehingga, orang tua itu membicarakan
apa yang menjadi kesenangan putrinya.
Bahkan, Adipati Sunggara mengizinkan putrinya untuk mempelajari ilmu silat dari
tokoh-tokoh Kadipaten.
Itulah sebabnya, sikap putri Adipati Sunggara berbeda sekali dengan putri-putri
pejabat kadipaten kebanyakan.
"Gusti Ayu. Kau tidak buta, dan bisa meniadakan jurang pemisah di antara kita.
Meskipun demikian, aku telah mencoba mengutarakan apa yang meng-ganjal di
hatiku. Barulah hariku merasa lega dan tenang. Walau sebenarnya aku ingin selalu
berada di dekatmu, dan mengawalmu ke mana saja. Maaf, kalau semua ini terpaksa
kusampaikan," saat meng-ucapkan kata-kata itu, Pradipta mengangkat wajah-nya,
dan menatap wajah gadis cantik itu dengan mata agak sayu.
"Pradipta, ini perintah! Katakanlah dengan jujur, apa keinginanmu sebenarnya"
Katakanlah aku tidak akan marah," tiba-tiba saja wajah Ambar Sukma berubah keras
dan memancarkan perbawa yang mengejutkan hati Pradipta. Sehingga, pemuda tam-pan
itu kembali melengak, dan hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Baiklah, Gusti Ayu...," sahut Pradipta setelah beberapa kali menarik napas
panjang. "Aku men-cintaimu,
dan ingin mendampingimu sebagai sua-mi...," lanjut Kumbang Merah sambil menatap
wajah Ambar Sukma lekat-lekat. Seolah-olah ia ingin menemukan Jawaban pada wajah
dan mata gadis cantik itu.
"Hm..., kalau begitu, ayo kita menghadap ayah-ku...,"
sahut Ambar Sukma yang tanpa berkata apa-apa lagi, langsung melangkah pergi.
"Tapi... tapi..., Gusti Ayu...," Pradipta terkejut se-kali dengan sikap Ambar
Sukma, tentu saja ia men-jadi bingung. Cepat ia berlari dan mengejar gadis itu.
Tanpa sadar, disambarnya tangan Ambar Suk-ma, lalu digenggamnya erat-erat.
"Sudah, tidak perlu banyak tanya lagi. Kalau kau ingin aku menjadi istrimu, kita
harus menghadap ayahku,"


Pendekar Naga Putih 32 Kumbang Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jawab Ambar Sukma tanpa mempedulikan Pradipta yang kebingungan.
Pradipta, yang dapat menduga kalau ucapan cintanya mendapat sambutan seperti
yang diingin-kannya, segera melangkah di samping Ambar Suk-ma tanpa berkata-kata
lagi. Namun, dari sorot ma-tanya, pemuda tampan berwatak cabul itu terlihat
sangat gembira sekali.
Tidak lama kemudian, tubuh kedua insan itu le-nyap ditelan kelebatan hutan.
Kesunyian pun kem-bali menyelimuti alam di sekitar tempat itu....
*** 7 Kicau burung terdengar bersahutan, menyambut datangnya matahari pagi. Hembusan
angin yang lembut mengiringi langkah kaki sosok tubuh ram-ping, yang memasuki
Kota Kadipaten Kedawung. Wajahnya tetap terangkat lurus. Sedangkan sepa-sang
matanya menyorot dingin dan tajam.
Langkah kedua kaki sosok tubuh ramping itu, terlihat kokoh dan menyimpan
kekuatan hebat. Kemudian, langkahnya berbelok ketika telah cukup jauh memasuki
kota kadipaten. Tidak dipedulikan pandangan heran beberapa orang warga kota
kadi-paten itu. Karena di tangan kanannya memang ter-genggam sebilah pedang
panjang. Dengan sikap dingin dan tenang, sosok tubuh ramping itu menyi-bakkan
daun pintu setinggi pinggangnya. Dan, te-rus mengambil tempat duduk di sudut
ruang kedai makan yang cukup besar itu.
Tanpa mempedulikan pengunjung kedai yang menoleh sekilas ke arahnya, sosok tubuh
ramping itu membuka tudung bambu yang menyembunyikan wajahnya. Pedang pun
diletakkan begitu saja di atas meja. Beberapa pengunjung yang terkejut melihat
wajah dan pedang yang diletakkan di atas meja, ber-gegas memalingkan muka. Hati
mereka sempat ter-getar ketika memandang sorot mata yang dingin dari sosok tubuh
ramping itu. Tetap dengan air muka tidak berubah, sosok tubuh ramping yang ternyata seorang
wanita itu, mengulapkan tangannya dan memanggil pelayan kedai Lalu, dipesannya
beberapa jenis makanan. Se-telah itu, wajahnya kembali menatap lurus dengan
sorot mata yang tetap dingin. Sepertinya ia memang tidak peduli dengan keadaan
di sekelilingnya.
Wajah yang tampak agak pucat, dan tanpa gam-baran perasaan itu, mendadak tegang
ketika telinga-nya menangkap pembicaraan dua orang lelaki, yang terpisah
beberapa meja dari tempatnya duduk. Dan, seperti ingin mendengarkan secara
teliti, maka wa-nita itu pun menundukkan wajahnya dalam-dalam.
"Yah..., apalah daya kita yang hanya rakyat biasa ini?"
keluh sebuah suara yang mengandung rasa kesal dan ketidak-berdayaan itu.
"Sebenarnya, aku sudah tidak tahan dengan ke-adaan ini Setelah adipati yang
bergelar Setya Bumi itu memimpin kadipaten, rasanya banyak peraturan yang
berubah. Bahkan, pajak untuk para pedagang pun dinaikkan dua kali lipat Hhh...,
sayang Adipati Sungga tidak berumur panjang. Kalau beliau masih menjadi pemimpin
kadipaten ini, rasanya tidak mungkin kehidupan rakyat akan sengsara seperti
sekarang. Sebab aku tahu betul sifat dan perangai beliau yang lebih mementingkan
orang banyak ke-timbang dirinya sendiri itu baru namanya pemim-pin!" sahut suara
lainnya yang terdengar bersema-ngat memuji-muji Adipati Sunggara, dan menjatuh-
kan Adipati Setya Bumi.
"Satu lagi yang membuat aku sebal dan muak melihat adipati kita yang baru
ini...," tiba-tiba suara lainnya yang semenjak tadi tidak mendengar, ikut
mencampuri. "Adipati yang sekarang ini, sepertinya tidak boleh melihat wanita cantik.
Walaupun wanita itu istri orang, ia tidak putus semangat. dan men-cari jalan
untuk memilikinya meskipun hanya un-tuk semalam. Tapi, kabar itu baru kudengar.
Dan, belum diketahui secara pasti kebenarannya. Kalau melihat ketampanan Adipati
Setya Bumi, rasanya setiap wanita pasti akan bertekuk lutut di bawah kakinya.
Apalagi kata-katanya yang
lembut dan pe-nuh madu, Wah... pokoknya sulit mencari seorang pemuda seperti
dia...." "Ssst..., sudah cukup, apa yang kita bicarakan.
Sepertinya ada orang lain yang memperhatikan ting-kah laku kita. Jangan-jangan
dia pun mendengar cerita kita..." Wah.... Ayo kita segera pergi dari sini..."
Wanita cantik berwajah dingin itu tersentak ka-get, ketika melihat salah seorang
dari mereka yang berkumis tebal, menoleh ke arahnya. Bahkan, uca-pan laki-laki
itu sangat jelas terdengar di telinganya. Sehingga, ketika kehga orang lelaki
itu bangkit, ia segera bergegas bangkit tanpa menyentuh hidangan yang telah
dipesannya. Tanpa banyak cakap lagi, wanita yang kalau di-lihat dari wajahnya berusia
sekitar sembilan belas atau dua puluh tahun itu, bergegas mengikuti ketiga orang
laki-laki yang ceritanya menarik hati wanita itu.
"Paman... berhenti sebentar...!" terdengar suara panggilan lirih, namun jelas
tertangkap oleh telinga ketiga orang lelaki itu yang tengah melintasi sebuah
jalan sepi. Namun, suara panggilan itu bukannya membuat langkah me-reka terhenti, tapi
sebaliknya. Ketiga orang lelaki yang berusia sekitar empat puluh atau lima puluh
tahun itu, semakin mempercepat lang-kahnya, dan tidak menoleh sedikit pun.
Kenyataan itu tentu saja membuat gadis berwajah pucat men-jadi heran.
Sadar kalau ketiga orang lelaki itu menduga diri-nya sebagai lawan, maka tanpa
membuang-buang waktu lagi, gadis berwajah pucat itu berseru nya-ring.
Berbarengan dengan itu, tubuhnya melambung dan berputaran beberapa kali. Sebelum
mendarat didepan ketiga orang lelaki itu, yang kontan pucat wajahnya.
"Jangan takut, Paman.... Aku cuma ingin berta-nya sedikit, dan bukan mau melukai
atau mence-lakakan
kalian Sebaliknya aku malah membutuh-kan keterangan dari kalian, yang mungkin
sangat besar artinya bagiku.
Maukah Paman membantu-ku...?" ujar gadis berwajah pucat yang mengenakan pakaian
biru muda itu dengan suara halus, dan tidak terkandung sama sekali sifat yang
keji, baik dan pancaran matanya maupun tutur katanya.
Meskipun demikian, ketiga lelaki itu masih me-rasa ragu dengan ucapan gadis di
depannya, yang menurut mereka dapat terbang seperti setan. Se-hingga, untuk
beberapa saat lamanya, ketiganya hanya berdiri dan saling berpandangan satu sama
lain. Kemudian mereka menatap gadis berpakaian biru muda Itu, seperti tengah
menilainya. "Percayalah kepadaku, Paman. Kalau aku berniat mencelakai kalian bertiga, tentu
sudah kulakukan sejak tadi. Tapi, semua itu tidak kulakukan, karena aku
membutuhkan beberapa jawaban dari kalian bertiga.
Bagaimana...?" lanjut gadis cantik berwajah pucat itu mencoba menunjuk itikad
baiknya. Sambil berkata demikian, pedangnya segera diselipkan ke sabuk yang
melilit pinggangnya. Lalu, lalu gadis itu dengan tenang maju beberapa tindak.
"Baikiah, apa yang Nisanak inginkan dari ka-mi...?"
akhirnya lelaki berkumis tebal yang bertubuh gemuk, memberanikan diri menanyakan
keperluan gadis berwajah pucat itu.
"Ada beberapa hal yang ingin kutanyakan. Pertama, sudah berapa lama Adipati
Kedawung yang baru memerintah" Kedua, berapa usianya" Terakhir..., siapakah nama
adipati itu sebelum menjabat pe-mimpin kadipaten ini..." Hanya itu yang
kuperlukan dari Paman bertiga. Kuharap kalian tidak terlalu sulit memberikan
keterangan," ujar gadis cantik ber-wajah pucat itu
dengan suara, yang agak lain dari biasa. Sepertinya ada kesan ketegangan dalam
suaranya kali ini.
"Aaah..., sayang sekali kami hanya rakyat biasa, Nisanak. Jadi, semua jawabanmu
itu sulit kami jawab, kecuali kalau kau menanyakannya kepada salah seorang
prajurit kadipaten. Mungkin mereka bisa memberikan jawaban atas semua
pertanyaan-mu itu. Sekali lagi kami minta maaf, dan kami harus pergi...," sahut
lelaki berkumis tebal itu dengan wajah pucat seperti kapas, bahkan, kata katanya
ketika menjawab pun, terdengar bergetar seperti orang dilanda ketakutan.
Padahal, pertanyaan gadis berwajah pucat ttu tidak perlu ditakuti.
Dan, ia pun tidak akan marah bila memang mereka betul-betul tidak mengetahuinya.
Tapi, gadis cantik berwajah pucat itu bukanlah orang bodoh yang menerima begitu
saja Jawaban mereka.
Tiba-tiba saja pedangnya, tercabut keluar. Sehingga menimbutkan sinar berkeredep
yang me-nyilaukan mata.
Dan, serta merta pedang itu telah melintang didepan dada lelaki berkumis tebal
yang hendak melewatinya.
Karena gadis itu berdiri bebe-rapa langkah didepan mereka.
"Ah...!" Ap... apa ini" Kami... ampunkan kami... Nisanak...," rintih lelaki
gemuk berkumis tebal dengan tubuh gemetar. Keringat dingin mulai mengalir ke-
tika pedang yang berkilat-kilat itu, merayap hingga ke lehernya.
"Jawab pertanyaanku, atau terpaksa kepalamu akan kupenggal...," ancam gadis
cantik berwajah pucat itu dengan suara sungguh-sungguh. "Dengar!" ucap gadis itu
lagi "Aku bukan orang dari kadipaten ini. Jadi, kalian tidak perlu merasa takut
kepada-ku...?"
"Adipati Setya Bumi sebelumnya bernama Pradip-ta. la masih muda, sekitar dua
puluh tiga tahun. Wajahnya
sangat tampan dan gagah. Jabatan adi-pati disandangnya baru sekitar tiga bulan.
Sebenar-nya apa keperluan Nyai ingin mengetahui tentang penguasa Kadipaten
Kedawung ini...?" Tanya lelaki berkumis tebal itu setelah menjawab semua perta-
nyaan gadis berwajah pucat itu.
"Aku ingin membunuh jahanam licik itu...!" ge-ram gadis berwajah pucat yang
tidak lain Trijanti itu.
Dilepaskannya lelaki berkumis tebal itu setelah memperoleh Jawaban.
Ketiga orang lelaki itu berubah pucat wajahnya. Untuk beberapa saat lamanya,
mereka saling pan-dang. Satu sama lain. Jelas, rasa khawatir trepan-car di wajah
ketiganya. "Nyai, tunggu...!" seru lelaki berkumis tebal itu ketika melihat Trijanti akan
meninggalkan tempat itu.
Trijanti terpaksa menahan langkahnya, dan berbalik mengha-dapi ketiga orang
lelaki yang segera menge-rumuninya. Kening wanita berwajah pucat itu ber-kerut,
ketika melihat kekhawatiran di wajah mereka.
"Nyai, sangat berbahaya sekali bila niatmu dilak-sanakan. Selain istana
kadipaten dijaga prajurit-prajurit tangguh, juga terdapat beberapa tokoh sakti
yang mengabdikan diri di istana itu. Sebaiknya niat-mu itu diurungkan saja. Kami
pun sebenarnya tidak menyukai adipati yang baru itu, tapi kami merasa khawatir
terhadap keselamatanmu. Meskipun kami tidak tahu apa yang membuat Nyai mendendam
kepada beliau...," ujar lelaki berkumis tebal itu me-nasihati.
"Hm..., meskipun manusia laknat itu dijaga oleh raja iblis sekalipun, aku tidak
takut! Dan, aku tetap akan melaksanakan niatku. Terima kasih atas nasi-hat
kalian...," usai berkata demikian, Trijanti kem-bali melangkah meninggalkan
tempat itu. Namun,
langkahnya kembali terhenti ketika lelaki berkumis tebal itu memanggilnya.
"Hm.., ada apa lagi, Paman?" Tanya Trijanti mengerutkan keningnya, tak senang.
"Mmm..., kalau memang niat Nyai sudah tidak bisa ditahan lagi, kami mempunyai
sedikit berita yang mudah-mudahan bisa mempermudah niatmu itu...," ujar lelaki
berkumis tebal itu, yang kembali berhadapan dengan Trijanti.
"Apa Itu, Paman...?" Dengan wajah penuh harap, Trijanti menatap lelaki berkumis
tebal itu lekat-lekat.
"Kami memperoleh kabar, dalam satu dua hari ini Adipati Setya Bumi akan berburu
di hutan sebelah Barat. Biasanya beliau hanya ditemani dua orang pembantu
setianya. Nah, pada saat itu, rasanya akan lebih mudah bagimu untuk melaksanakan
niat itu...,"
sahut lelaki gemuk berkumis tebal itu lagi menjelaskan.
"Baiklah. Terima kasih atas kesediaan Paman sekalian yang sudi menolongku.
Sekarang, aku mohon pamit..," tanpa menoleh lagi, Trijanti langsung menggenjot
tubuhnya Dan segera melesat mening-galkan ketiga orang lelaki itu.
"Hhh..., mudah-mudahan saja ia tidak sampai celaka.
Sebab, Adipati Setya Bumi konon memiliki kepandaian yang sangat tinggi..," gumam
lelaki berkumis tebal itu cemas.
Sedang dua orang lainnya hanya menganggukkan kepala tanpa kata. Mereka masih
menatapi sosok bayangan Trijanti yang kian samar.
*** Suara berderap terdengar dan membuat suasana di sekitar Hutan Jonggol menjadih
riuh. Beberapa ekor
burung beterba-ngan meninggalkan pepoho-nan.
Sepertinya mereka merasa terganggu dengan suara derap kaki-kaki kuda Itu.
Seorang pemuda tampan yang mengenakan pakaian mewah, duduk di atas punggung kuda
berbulu pu-tih.
Senyum keangkuhan tampak menghiasi wajah-nya.
Pemuda tampan itu tidak lain Pradipta, yang kini menjabat sebagai adipati dengan
gelar Setya Bumi.
Dengan kelicikan dan kepandaiannya mengambil hati Adipati Sunggara, pemuda itu
berhasil menjadi suami dari putri tunggal sang Adipati, yang pernah ditolongnya
dari cengkeraman perampok.
Ketika Adipati Sunggara ditemukan tewas saat berburu di Hutan Jonggol, maka
Pradipta pun di-tunjuk sebagai penggantinya. Karena sang Adipati sendiri tidak
mempunyai anak laki-laki.
Tidak ada seorang pun yang menduga kala Pra-dipta seorang pemuda licik dan
serakah. Juga tak seorang pun yang tahu kalau pemuda tampan itu seorang yang
mempunyai watak cabul. Baru bebe-rapa bulan menduduki jabatan adipati, sifat
asli Pradipta mulai terlihat. Tapi, semua itu sudah ter-lambat! Ambar Sukma
sendiri, putri Almarhum Adi-pati Sunggara, hanya bisa menyesali nasibnya.
Setelah Pradipta menjabat sebagai adipati, maka tak seorang pun yang dapat
menghalangj tindakan pemuda itu. Dan, Ambar Sukma sendiri tidak bisa berbuat
apa-apa. Adipati Setya Bumi yang selalu menggunakan tangan besi dalam menindak para
pembangkang, tentu saja membuat rakyat terpaksa mentaatinya. Sejak pimpinan
Kadipaten Kedawung dipegangnya, entah sudah berapa banyak rakyat yang menjadi
korban kekejaman pemuda itu, karena setiap pem-bangkang tidak pemah luput dari
hukuman mati. Bahkan, tidak sedikit yang dihukum gantung di alun-alun istana
Kadipaten. Semua itu ditunjukkan kepada rakyat sebagai contoh bagi pembangkang-
pembangkang lainnya.
Selain kejam, Adipati Setya Bumi hampir tidak pernah mengurusi rakyatnya. Segala
sesuatu yang berurusan dengan kadipaten diwakilkannya. Se-dangkan kerja adipati
muda itu hanya bersenang-senang setiap hari. la tidak mau ambil peduli de-ngan
segala urusan Kadipaten. Menurutnya, semua itu hanya membuat pusing kepalanya.
Sehingga, Adipati Setya Bumi lebih suka bersenang-senang, ketimbang mengurusi
rakyatnya. Dan, salah satu kesenangannya adalah berburu.
Pradipta yang kini dikenal sebagai Adipati Setya Bumi, men-jalankan kuda
putihnya agak perlahan. Karena saat Itu ia telah berada jauh dari mulut hutan.
Sedangkan dua orang pembantu setianya mengiringi di belakangnya.
Seperti halnya sang Majikan, mereka pun mengendarai kuda-kuda pilihan.
Ketika ketiga orang itu semakin jauh menerobos hutan, men-dadak Adipati Setya
Bumi mengangkat tangan kanannya perlahan. Dengan gerakan ringan, tubuhnya
melompat turun dari atas punggung kuda.
Setelah menyiapkan anak panahnya, pemuda tampan bertubuh tegap itu melangkah
perlahan menerobos semak belukar.
Tanpa banyak bicara lagi, kedua orang pembantu setia itu melompat turun dari
punggung kudanya masing-masing. Namun, keduanya tetap menunggu di tempat itu,
dan tidak mengikuti langkah Adipati Setya Bumi.
Sementara, pemuda tampan itu sendiri, sudah merunduk di balik semak-semak sambil
memben-tangkan anak panahnya. Yang menjadi sasarannya,
seekor kijang muda. Binatang itu sama sekali tidak mengetahui bahaya yang
mengancamnya. Karena angin yang bertiup saat itu, berhembus ke arah Adipati
Setya Bumi. Sehingga, binatang itu tidak mencium sama sekali bahaya yang
mengintainya. Namun, selagi pemuda itu tersenyum memba-yangkan tubuh kijang muda itu
terpanggang anak panahnya, tiba-tiba saja terdengar sebuah bentakan nyaring
seiring dengan meluncurnya anak panah yang dilepaskan pemuda itu.
"Haiiit...!"
Berbarengan dengan suara bentakan yang nya-ring itu, secer-cah sinar putih
berkeredep meng-ancam tenggorokan Adipati Setya Bumi. Karuan saja adipati muda
itu menjadi geram. Karena binatang buruannya telah melesat lebih dulu ketika
men-dengar suara yang mengejutkan itu.
Merasa kesenangannya terganggu, pemuda itu menjadi marah bukan main! Sambii
menarik mun-dur tubuhnya, dan merendahkan kaki belakang, serangan pedang lawan
pun tuput dari sasarannya. Sedangkan kaki depannya yang terjulur lurus, lang-
sung melakukan serangan balasan dengan sebuah tendangan ujung sepatunya!
Zebbb! Gerakan sosok tubuh berpakaian biru muda yang menyerangnya itu, ternyata cukup
gesit! Dengan sebuah gerakan yang berputar indah, sosok tubuh itu berhasil
menghindari sambaran kaki lawannya. Bahkan dengan gerakan itu, ia sempat
menyilang-kan senjatanya, hingga membentuk goresan menyi-lang di udara!
"Haiiit...!"
Sambil membentak keras, tubuh Adipati Setya Bumi melambung dan berjumpalitan


Pendekar Naga Putih 32 Kumbang Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

beberapa kali ke
belakang. Dengan demikian, serangan sosok tu-buh ramping itu kembali tuput, dan
hanya menyam-bar daerah yang kosong.
"Keparat bosan hidup! Siapa kau...!" bentak Adi-pati Setya Bumi begitu kedua
kakinya mendarat di atas tanah berumput tebal. Sepasang mata pemuda tampan itu
terbelalak ketika mengenali sosok tubuh ramping, yang telah berani mati
membokongnya itu.
Sehingga, untuk beberapa saat lamanya, pemuda hanya berdiri termangu, tanpa
sepatah kata pun terucap dari mulutnya.
"Hm..., begitu mudahnya kau melupakan aku, Jahanam Busuk! Jangan harap kau bisa
hidup tenteram di dunia ini! Dan, kau harus menebusnya dengar kematian!" geram
sosok tubuh ramping yang mengenakan pakaian biru muda itu. la tidak lain adalah
Trijanti, si gadis pendekar yang telah diper-daya Pradipta beberapa waktu lalu.
Namun, keterkejutan Pradipta hanya berlaku se-saat saja. Wajah tampan itu
kembali tersenyum ma-nis.
Bahkan, sepasang matanya bersinar gembira. Seolah pertemuan itu memang sudah
lama dinan-tikannya.
"Ah..., Adik Trijanti...! Lama sekali kita tidak berjumpa. Maaf, aku terpaksa
pergi tanpa pamit kepadamu, karena ada urusan penting dan sangat mendadak.
Ah..., berapa rindunya aku kepadamu, Adikku...," ujar Pradipta sambil melangkah
maju de-ngan wajah berseri-seri. Pemuda itu sepertinya sama sekali tidak merasa
bersalah dengan apa yang diperbuatnya terhadap diri Trijanti.
Sambutan pemuda itu, membuat Trijanti sejenak bingung. Gadis cantik berwajah
pucat itu berdiri terpaku, seolah ia tak percaya dengan apa yang disak-sikannya.
Namun, ketika teringat akan perbuatan
pemuda itu, wajahnya kembali gelap dengan sorot mata yang dingin penuh dendam.
"Huh! Jangan berpura-pura kau, Jahanam Keji!
Apakah kau kira aku akan tergoda dengan mulut manismu itu! Maaf saja.
Keputusanku telah bulat untuk mencuci aib di tubuhku ini dengan darahmu.
Bersiaplah...," desis Trijanti mencoba mengusir bayangan indah yang sempat
melintas di benaknya.
Memang gadis cantik berwajah pucat itu jatuh hati kepada Pradipta. Perasaan itu
pula yang meng-ganggunya. Sehingga, gadis itu agak resah hatinya ketika melihat
sikap pemuda tampan yang sangat gembira berjumpa dengan dirinya.
"Apa maksud ucapanmu itu, Adik Trijanti" Bu-kankah apa yang kita lakukan itu
atas dasar suka sama suka"
Aku sama sekali tidak memaksamu se-dikit pun. Dan, aku yakin kau pun tahu akan
hal itu. Bersikaplah tenang, Trijanti. Apakah kau meng-inginkan semua orang tahu
dengan apa yang telah kita perbuat itu"
Lihatlah, aku masih menyayangi-mu, dan bersedia menerimamu sebagai istriku. Kau
akan kujadikan permaisuriku di Istana Kadipaten Kedawung. Tahukah kau kalau aku
telah menjabat sebagai adipati di daerah ini" Ayolah, Trijanti, jangan
bodoh...," bujuk Pradipta atau Adipati Setya Bumi sambil meng-ayunkan langkahnya
mengham-piri gadis cantik itu.
Melihat sinar mata yang hangat, kata-kata yang manis dan sikap lembut pemuda
tampan itu, pendi-rian Trijanti pun menjadi goyah. Bagai orang tolol, gadis
cantik itu menatap Pradipta dengan penuh selidik.
Sepertinya ia ingin memastikan semua ucapan pemuda itu melalui sinar matanya.
Dan, hati Tri-janti sempat berdebar ketika melihat kehangatan cinta kasih,
yang terpancar dari sepasang mata pe-muda tampan yang telah menjatuhkan hatinya
itu. "Benarkah... kau mencintaiku, Pradipta..." Da-patkah kata-katamu kupercaya...?"
desah gadis can-tik berwajah pucat itu dengan bibir gemetar karena terbawa
perasaannya. Bahkan, sepasang mata indah itu telah digenangi air bening. Jelas,
kalau saat itu Trijanti tengah berperang dalam batinnya.
"Haiiih..., mengapa kau masih meragukan ucapanku, Adik Trijanti" Apa yang harus
kulakukan untuk mendapatkan kepercayaanmu" Katakanlah, Adikku. Aku siap
melaksanakannya...," bujuk Pra-dipta lagi.
Sementara jarak di antara mereka berdua sudah tinggal beberapa langkah lagi.
Bahkan, dengan pandainya Pradipta mengembangkan kedua lengannya untuk meyakinkan
dan siap menyambut tubuh gadis itu ke dalam pelukannya.
"Tapi... tapi...," Trijanti masih merasa ragu meski-pun pemuda itu jelas telah
siap menerima dirinya. Bahkan, dua titik air bening mulai bergulir mem-basahi
pipinya yang halus. Hati gadis cantik itu sa-ngat terharu dengan apa yang
diucapkan Pradipta. Nada suara yang dikeluarkan pemuda itu demikian lembut, dan
memancarkan perasaan kasih yang mendalam.
Sehingga, getaran di dalam dada Trijanti semakin bergemuruh, dan membuat bukit
dadanya bergelombang,
"Katakanlah, Adik Trjanti..., apa yang kau ingin-kan sebagai bukti cintaku yang
tulus kepadamu..."
Katakanlah...?" sambil tetap berkata demikian, Pra-dipta terus melangkah maju
semakin mendekat.
Sementara, Trijanti hanya dapat berdiri dengan tubuh bergetar menahan keharuan.
Pedang yang semula siap
untuk merejam tubuh pemuda tampan itu, kini tergantung lumpuh di tubuhnya.
*** 8 Sambil terus mengucapkan kata-kata manis, Pradipta, tokoh sesat berjuluk Kumbang
Merah, yang kini menjabat sebagai Adipati Setya Bumi di Kadipaten Kedawung itu,
melangkah semakin dekat Jarak antara mereka pun tinggal dua langkah lagi.
Trijanti sendiri, yang pada dasarnya mencintai pemuda tampan itu, terisak
tertahan. Kewaspadaan gadis cantik itu lenyap, berganti rasa haru yang menguasai
hatinya. Dan, ketika Pradipta mengulur tangannya, gadis itu sama sekali tidak
berusaha mengelak.
Namun, sebagai seorang gadis yang semenjak kecil digembleng dengan ilmu-ilmu
silat tinggi, Tri-janti dapat merasakan sambaran angin yang tajam mengiringi
uluran sepasang tangan pemuda itu. Sayangnya, saat itu jarak antara mereka hanya
ter-pisah dua tindak.
Sehingga, gadis cantik itu hanya dapat mena-han jeritannya dengan sepasang mata
terbelalak. "Mampuslah kau, Gadis Dungu...!" geram Adpati Setya Bu-mi yang rupanya telah
menyiapkan tenaga dalam secara diam-diam. Dan, kini sepasang ta-ngannya, yang
membentuk cakar itu, siap mereng-gut nyawa Trijanti.
Karena menurut pemikirannya, gadis itu hanya akan mendatangkan kesulitan pada
dirinya. "Aaah..."!"
Gadis cantik berwajah pucat itu hanya dapat mengeluarkan jerit tertahan. Sadar
kalau dirinya tidak mungkin lagi selamat, maka Trijanti pasrah dengan memejamkan
matanya. Hatinya terasa sakit sekali ketika melihat kekejaman pemuda yang
dicintainya itu.
Namun, pada saat yang gawat itu, tiba-tiba seber-kas sinar hitam berkeredep
menyambut cengke-raman
tangan Pradipta. Dari suara berdesing yang ditimbulkannya, jelas kalau sinar
hitam itu mengandung kekuatan hebat, dan sulit untuk diukur. Maka, wajar kalau
kecepatannya pun hampir tidak tertangkap oleh mata Kumbang Merah, yang sangat
kejam dan licik itu.
Tukkk! "Aaakh...!"
Adipati Setya Bumi memekik kesakitan, dan wajahnya berubah pucat! Scdangkan
tubuhnya terjajar mundur sejauh enam langkah. Tampak pemuda tampan itu meringis
seraya mengurut jemari tangannya yang terasa nyeri dan linu.
"Ada apa, Gusti Adipati...?" tegur salah seorang pembantunya, yang telah berdiri
di samping pemuda tampan itu. Sedangkan yang satunya lagi telah ber-diri di
samping kanannya sambil menatap kedepan.
Kening lelaki setengah tua, yang tubuhnya masih nampak kokoh itu, berkerut
dalam. Sepasang mata-nya menatap sosok berjubah putih, segera ia me-nundukkan
kepalanya ketika sepasang mata sosok tubuh itu menentang pandangan matanya.
Diam-diam hati lelaki setengah baya itu, yang merupakan orang kepercayaan
Pradipta terkejut ketika merasa-kan pengaruh aneh merasuk ke dalam jiwanya.
"Gila...! Siapa pemuda tampan berjubah putih itu.."
Menilik dari sorot matanya, jelas ia memiliki tenaga dalam yang sukar diukur.
Bahkan, sepasang matanya mempunyai pengaruh yang sangat kuat. Sinar mata yang
dimiliki pemuda itu rasanya hanya ada dalam dongeng,"
gumam batin lelaki setengah baya itu dengan wajah berubah pucat.
Sementara, sosok tubuh berjubah putih itu, entah dari mana datangnya, tahu-tahu
telah berada di samping
Trijanti. Dialah yang bernama Panji, yang berjuluk Pendekar Naga Putih. Wajar
kalau pertolongan pemuda sakti itu datang tepat pada waktunya. Karena Panji
memang menguntit perjala-nan gadis cantik itu semenjak pertama mereka ber-temu.
Sehingga, nyawa Trijanti pun dapat disela-matkannya.
"Kau...," desis Trijanti ketika mengenali sosok berjubah putih yang telah
menolongnya itu. Sepa-sang mata yang bersimbah air mata itu, menatap wajah Panji
dengan rasa tak percaya.
"Ya, aku, Panji.... Maaf kalau selama ini aku meng-ikuti perjalananmu. Karena
sejak pertama kali ber-jumpa, kau menyerangku tanpa sebab, membuat aku curiga.
Jadi, aku terpaksa mengikuti perja-lananmu, sekadar ingin mengetahui masalah apa
sebenar-nya yang tengah kau hadapi," jelas Panji dengan wajah tengang. Seulas
senyum penuh kesabaran menghias wajah tampannya.
"Betapapun, aku harus mengucapkan terima ka-sih kepadamu, Kisanak," ucap
Trijanti dengan suara perlahan, dan hampir tidak terdengar. Sepasang mata gadis
cantik itu nampak sayu, dan menyem-bunyikan luka hatinya yang dalam.
Setelah menghapus butir air mata yang jatuh di pipinya. Gadis cantik itu kembali
memandang penolongnya. Kali ini dia meneliti wajah dan pakaian pemuda tampan itu
dengan seksama. Sepasang matanya menjelajahi sekujur tubuh penolongnya, dan
semakin jelas ketegangan tergambar pada wajahnya.
Tiba-tiba meluncur kata-kata dari bibir mungil yang agak pucat ttu.
"Kau... apakah kau yang berjuluk Pendekar Naga Putih...?" Tanya gadis cantik itu
dengan nada agak ragu.
Namun, sorot matanya berharap kalau peno-longnya itu adalah Pendekar Naga Putih.
"Benar, Trijanti...," sahut Panji yang mengenal nama gadis cantik berpakaian
biru muda itu dari percakapan antara Trijanti dan Pradipta yang sem-pat
didengarnya. "Sayang apa yang selama ini kau dengar mungkin jauh berbeda dengan apa yang
sekarang kau saksikan."
Trijanti menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan guna menahan seruannya.
Hanya sepasang matanya yang sayu terbelalak ketika mendengar jawaban Panji.
"Ah, sungguh beruntung sekali aku dapat ber-jumpa denganmu, Pendekar Naga Putih!
Selama ini, hanya namamu saja yang sering kudengar dari cerita guruku.
Tapi, dugaanmu salah besar. Karena yang selama ini diceritakan guruku, sama
sekali tidak meleset. Dan, apa yang kulihat sekarang, persis seperti yang
digambarkan beliau. Kalau saja guruku ikut bersamaku saat ini, beliau tentu
sangat gembira sekali...," ujar Trijanti yang mengetahui mengenai diri
penolongnya. Sepertinya ia lupa akan keadaan sekelilingnya. Bahkan, pandangan
matanya terlihat berbinar-binar menandakan gadis cantik itu sangat gembira dapat
bertemu dengan pendekar muda, yang selama ini dikagumi gurunya.
"Keparat! Jadi kau kiranya manusia usil itu, Pen-dekar Naga Putih! Hm.... Orang
lain boleh merasa gentar mendengar julukanmu yang mentereng itu. Tapi, Pradipta
yang sekarang bergelar Adipati Setya Bumi, tidak akan mundur selangkah pun! Dan,
kau akan membayar mahal akibat keusilanmu itu. Ber-siaplah...!"
geram Adipati Setya Bumi yang segera mencabut sebatang suling perak dari balik bajunya.
Singngng! Terdengar suara berdesing nyaring ketika suling perak di tangan Pradipta
bergerak menyilang di depan dada.
Menilik dari suara desingan senjata itu, jelas
mencerminkan tenaga sakti yang hebat dimiliki pemuda itu.
"Trijanti, kau menyingkir dulu. Biar aku meng-hadapi serbuan Adipati Setya
Bumi." Trijanti yang sadar kalau kepandaian pemuda tampan berwatak cabul itu jauh
berada di atas tingkat kepandaiannya, bergegas melangkah mun-dur tanpa
membantah. Hanya sepasang matanya yang menatap tajam dan menyiratkan dendam.
"Burja, Sadira, kalian berdua bereskan gadis itu.
Pemuda usil ini bagianku, ingat! Kalau kalian dapat menundukkannya, lang-sung
bunuh saja. Gadis gila itu sangat berbahaya bagai kelangsungan jabatan-ku...,'
terdengar perintah Adipati Setya Bumi kepada kedua orang pengawal setianya.
Tanpa banyak cakap lagi, lelaki setengah baya yang dipanggil dengan nama Burja
itu, langsung melangkah menghampiri Trijanti. Di sebelah bela-kangnya Sadira,
lelaki berusia tiga puluh lima tahun, yang menyeliki tubuh tinggi kurus dan ber-
mata cerdik, mengikutinya.
Panji yang mengetahui kepandaian Trijanti me-lalui ilmu lari cepatnya tentu saja
merasa, khawatir. Cepat ia menghadang jalan Burja dan Sadira dengan maksud untuk
melindungi gadis itu dari ancaman kematian.
Sepasang mata pemuda berjubah putih itu menatap tajam bagai hendak menembus
tubuh kedua orang pengawal Adipati Setya Bumi.
"Jangan kalian hiraukan pemuda sombong itu!" seru Adipati Setya Bumi kepada
kedua pengawal setianya.
Kemudian ia berpaling ke arah Panji de-ngan sorot mata tajam, dan penuh nafsu
membu-nuh. "Akulah lawanmu, Pendekar Naga Putih. Biar-kan rnereka mengurus gadis
gila itu...," geramnya gusar.
*** "Heaaat...!"
Adipati Setya Bumi yang melihat Pendekar Naga Putih tidak mempedulikan ucapannya
menjadi marah! Diiringi dengan teriakan nyaring, tubuh pemuda tampan berwatak
cabul itu melesat seperti kilat, dan disertai suara berdesing tajam.
Whuuut! Whuuut!
Panji menggeser tubuhnya ke kiri-kanan, guna menghindari serangan maut lawannya.
Gerakan pemuda berjubah putih itu nampak sangat lincah. Sehingga, dalam gebrakan
pertama, serangan-serangan Pradipta hanya mampu menyambar angin kosong.
"Bangsat! Apa kau cuma bisa mengelak dengan cara menari-nari seperti badut"
Kalau memang kau mempunyai kepandaian, hayo balas seranganku...!"
umpat Adipati Setya Bumi yang menjadi kalap karena merasa dipermainkan lawannya.
Namun, Panji sama sekali tidak mempedulikan kemarahan lawannya. Tubuhnya tetap
bergerak lincah di antara sambaran senjata Pradipta. Kemu-dian, sesekali ia
melontarkan serangan-serangan balasan, Walaupun tidak berlalu berbahaya, tapi
sanggup membendung dan mengurangi desakan Iawan.
"Setan!"
Sambii tetap memaki tak habis-habisnya, Adipati Setya bumi terus melontarkan
serangan yang kian lama bertambah cepat dan kuat. Tampak Pradipta ingin
secepatnya menghabisi nyawa pemuda, yang telah menggagalkan rencananya itu.
"Haiiit...!"
Memasuki jurus yang kedua puluh lima, men-dadak Adipati Setya Bumi mengeluarkan
pekikan nyaring yang
mengejutkan! Detik itu juga, senjata-nya berkeredep dengan kecepatan kilat.
Sekali ber-gerak saja, Pemuda berwatak cabul itu telah me-lancarkan serangkaian
serangan yang mematikan. Bahkan, beberapa totokan dilancarkan susul me-nyusul
dengan kecepatan yang tinggi!
"Hiaaah...!"
Plakkk...! Panji yang melihat serangan lawannya semakin hebat dan berbahaya, bergegas
memapaki sebuah totokan yang meluncur cepat dan mengancam teng-gorokannya.
Sehingga, tubuh lawannya terjajar mundur sejauh delapan langkah dengan wajah me-
ringis. Jelas, kalau Adipati Setya Bumi masih kalah tenaga melawan pendekar muda
itu. Pendekar Naga Putih tidak ingin menunda-nunda pertempuran itu. Begitu tubuh
lawannya kembali meluncur dengan serangan-serangan mautnya, bergegas Panji
menyambutnya dengan 'Ilmu Silat Naga Sakti' yang telah membuat namanya dikenal
dalam rimba persilatan.
Bagaikan seekor ular raksasa, tubuh Pendekar Naga Putih meliuk-liuk dan
mengejutkan lawannya. Sedang sepasang tangannya, yang telah membentuk cakar
naga, menyambar-nyambar dengan kecepatan kilat! Hembusan angin dingin selalu
menyertai setiap sambaran tangannya.
Pradipta yang selama ini hanya mendengar kehe-batan pendekar itu, menjadi
terkejut bukan main! Ruang geraknya dirasakan semakin sempit. Bahkan, kaki dan
tangannya terasa agak kaku. Karuan saja pemuda berwatak cabul itu mengomel
panjang. "Jahanam! Hawa dingin keparat ini benar-benar membuat gerakanku terhambat...!"
geram Adipati Setya Bumi yang semakin marah terhadap lawan-nya.
Ketika pertarungan menginjak jurus yang ke-tujuh puluh enam, Adipati Setya Bumi
merasakan tubuhnya kian sukar bergerak, dan tak sanggup lagi menghindari sebuah
hantaman telapak tangan lawannya. Sehingga, hantaman itu menghajar telak
dadanya! Dan....


Pendekar Naga Putih 32 Kumbang Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Blaggg! "Huakhhh...!"
Dibarengi darah segar muncrat dari mulutnya, tubuh pemuda berwatak cabul itu
terjungkal ke belakang.
Terdengarlah suara berdebuk keras ketika tubuh Adipati Setya Bumi terbanting di
atas tanah. "Hmrrr...."
Pemuda tampan berwatak cabul, yang selalu menebarkan bencana bagi gadis-gadis
cantik itu, menggigil hebat! Pukulan telapak tangan Panji yang mengandung
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan", tak sanggup ditahannya. Akibatnya, pemuda itu
tidak mampu lagi bangkit dan berdiri.
Panji yang tidak bermaksud membunuh lawan-nya, segera melompat dan menotok
lumpuh pemuda tampan berwatak cabul itu. Pendekar Naga Putih yang tengah
merunduk dekat tubuh Pradipta, berge-gas menoleh ketika mendengar beberapa
langkah kaki datang menghampirinya.
"Trijanti, kau tidak apa-apa...?" Tanya Panji cemas.
Kemudian sepasang matanya beralih me-mandang dua orang lelaki yang mendampingi
gadis cantik itu.
"Kenalkan, Pendekar Naga Putih. Kedua orang ini bemama Ki Ringgo. dan Ki
Banggali. Merekalah yang telah menolongku dari ancaman kedua pembantu pemuda
iblis itu," jelas Trijanti segera memperkenal-kan
kedua lelaki setengah baya yang mendampingi-nya, ketika menangkap sinar
keheranan di mata Panji.
"Aku sendiri bernama Ambar Sukma, istri jaha-nam keparat itu," terdengar suara
merdu yang menyimpan duka dari sebelah belakang Trijanti, Ki Ringgo dan Ki
Banggali. "Ah, maaf, aku sampai melupakan Gusti Ayu...," ucap Trijanti tersenyum malu.
"Beliau ini putri Adi-pati Sunggara, yang menurut keterangan Paman Banggali,
Adipati Sunggara dibunuh oleh pemuda jahanam yang berhati jahat itu...," jelas
Trijanti kepada Panji.
"Benar, Pendekar Naga Putih. Pemuda keji ini pan-dai sekali menyembunyikan sifat
aslinya. Sehingga, Adipati Sunggara bersedia menerimanya sebagai menantu.
Selama tinggal di Istana Kadipaten, ia se-lalu menunjukkan sifat yang
menyenangkan. Tapi, itu hanya kurang lebih sebulan. Selebihnya pemuda iblis yang
bernama Pradipta itu menampakkan sifat aslinya. Ketika Gusri Adipati berniat
berburu ke Hutan Jonggol, beliau meminta Pradipta untuk mengawalnya. Tapi dengan
alasan yang cerdik, pemuda itu mengatakan ia ingin tinggal di istana. Sewaktu
aku, Gusti Adipati, dan seorang pengawal lainnya tiba di dalam hutan, tiba-tiba
muncul perampok yang dipimpin oleh lelaki tinggi besar yang berjuluk Raja Kera
Kulit Baja itu," Ki Banggali menunda cerrtanya, dan menarik napas.
Panji tidak berusaha sama sekali mendesak ke-lanjutan cerita itu. Ditunggunya
ucapan lelaki sete-ngah tua, yang ternyata salah seorang pembantu setia Almarhum
Adipati Sunggara, sepertinya Ki Banggali tahu persis tentang kematian Adipati
Keda-wung itu. "Meskipun kepala rampok itu memiliki kepan-daian yang tinggi, kami bertiga masih
mampu mengatasinya.
Tapi, saat kami berada di atas angin, tiba-tiba
muncullah pemuda biadab itu. Semula kami menduga kedatangannya bermaksud membela
kami. Namun, dengan liciknya, Pradipta menikam tubuh Gusti Adipati Sunggara dari
belakang. Maka, Gusti Adipati Sunggara pun tewas. Aku dan kawan-ku berusaha
melawan sekuat tenaga. Tapi, karena kepandaian pemuda sangat tinggi, kami berdua
pun dapat ditundukkannya. Sayang, pemuda biadab itu tidak sempat memperhatikan
secara jeli. Kalau tidak tewas karena tusukan senjatanya.
Dengan mata kepala sendiri, aku menyaksikan gerombolan pe-rampok itu. Ternyata
mereka dibantai habis untuk menghilangkan jejaknya. Baru setelah pemuda iblis
itu lenyap, aku bangkit dan mencoba bertahan hidup. Untunglah pada saat tubuhku
menderita luka parah, Ki Ringgo datang menolongku.
Setelah saling menceritakan persoalan masing-masing, kami mengerti kalau orang
yang dicari Ki Ringgo adalah Pradipta," jelas Ki Banggali menutup ceritanya.
"Lalu, bagaimana Paman bisa sampai di tempat ini bersama dengan prajurit
kadipaten...?" Tanya Panji sambil mengedarkan pandangannya ke bari-san prajurit
berkuda, yang tengah berkumpul di belakang Ki Banggali.
"Tak berapa lama Pradipta pergi, Ki Banggali dan Ki Ringgo rupanya selalu
mengikuti perkembangan di kadipaten dan segera mendatangiku," kali ini yang
menyahuti adalah Ambar Sukma. "Ketika men-dengar keterangan Paman Banggali, aku
langsung mempercayainya. Karena beliau selalu setia mendampingi ayahku. Selain
itu, aku pun sudah lama mengetahui tentang sifat-sifat jelek suamiku itu. Dengan
membawa prajurit-prajurit pilihan, kami berniat hendak menghukum Pradipta. Tapi,
ter-nyata semua telah dapat diselesaikan oleh Pendekar Naga Putih," senyum gadis
cantik putri Adipati Sunggara itu melebar ketika mengucapkan kata-kata
terakhirnya. "Sekarang kami akan membawa pemuda biadab ini, untuk dihukum gantung di depan
rakyat Kadi-paten Kedawung. Dan, kami mengucapkan terima kasih atas bantuanmu,
Pendekar Naga Putih. Kalau tidak, tentu kami mengalami kesulitan untuk me-
nundukkan pemuda yang memiliki kepandaian yang tinggi itu," ujar Ki Banggali
lagi sambil memerintah-kan beberapa orang prajurit untuk mengangkat tubuh
Pradipta yang sudah tidak berdaya itu.
Tanpa diperintah dua kali, empat orang prajurit bergegas membawa tubuh Pradipta,
dan disatukan dengan tubuh Burja serta Sadira.
"Eh, ke mana perginya, Pendekar Naga Putih...?" Ki Banggali yang sempat terlupa
akan keberadaan pemuda itu karena tengah sibuk memperhatikan kerja para
prajuritnya, menjadi terkejut ketika tidak menemukan sosok pemuda yang
menimbulkan rasa kagumnya itu.
Ki Ringgo, Trijanti, dan Ambar Sukma pun sama mengerutkan keningnya. Pendekar
Naga Putih telah lenyap tanpa pamit. Sehingga, untuk beberapa saat lamanya,
mereka terdiam dan tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing.
"Ah, pemuda itu benar-benar seorang pendekar sejati, yang selalu mengulurkan
tangannya meno-long orang lain tanpa pamrih...," desah Trijanti ter-ingat akan
pertolongan pemuda tampan itu ketika dirinya tengah terancam maut.
Sedang yang lainnya hanya mengangguk tanpa kata.
Pikiran mereka masih dipenuhi oleh sosok Pendekar Naga Putih, yang lenyap begitu
saja saat orang lain sibuk, dan tidak memperhatikannya.
*** Nun jauh di luar Hutan Jonggol, sesosok tubuh berjubah putih melangkah lambat
menyusuri jalan berbatu. Dialah Pendekar Naga Putih, yang kembali melanjutkan
perjalanannya untuk mencari kekasih-nya.
"Kenanga..., entah bagaimana nasibmu. Mung-kinkah engkau selamat dari kebuasan
alam ketika terjadi musibah di kapal dagang itu...?" desah panji sambil
menengadahkan kepalanya dan menatap gumpalan awan. Hati pemuda itu semakin
gundah ketika teringat nasibnya. (Untuk lebih jelas tentang lenyapnya Kenanga,
baca serial Pendekar Naga Putih dalam episode
"Terdampar di Pulau Asing").
SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu & Convert : Abu Keisel Edit : Adnan S
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ atau http://dewikz.byethost22.com/
HU UH HU UH http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
HU UH HU UH Pukulan Naga Sakti 15 Pendekar Bayangan Sukma 16 Prahara Di Laut Selatan Pedang Golok Yang Menggetarkan 12
^