Jari Maut Pencabut Nyawa 2
Pendekar Naga Putih 05 Jari Maut Pencabut Nyawa Bagian 2
dadanya. Ketika tengah berusaha bangkit kembali sebuah hantaman menghantam
belakang tubuhnya. Raja Pedang Pemutus Urat kembali terguling.
Darah semakin banyak menetes dari celah-celah bibirnya.
"Ha ha ha.... Raja Pedang Pemutus Urat! Terimalah kematianmu!" geram Soma
disertai seringai buasnya.
"Manusia licik! Pengecut!" teriak Raja Pedang Pemutus Urat di sela-sela dengus
napasnya yang memburu.
Sambil tertawa terbahak-bahak Soma menghantamkan rantai bajanya berkali-kali ke
tubuh Raja Pedang Pemutus Urat yang sudah tidak berdaya itu. Darah seketika
memercik membasahi bumi. Rumput tebal yang semula berwarna hijau itu kini
berubah menjadi kemerahan.
Setelah melihat tubuh kakek itu sudah tidak bergerak lagi, Soma menghentikan
gerakannya. Diamatinya sejenak kalau-kalau lawannya masih hidup. Ketika
tampaknya napas Raja Pedang Pemutus Urat sudah terhenti, bergegas dia meninggalkan tubuh
tak berdaya itu.
Bersama Ludira yang sudah dapat menghilangkan rasa pening di kepala akibat
tamparan kakek sakti tadi, mereka bergegas menghampiri tubuh Jaya Sukma yang
sudah mulai bergerak-gerak.
Beberapa saat kemudian, pemuda itu bangkit duduk sambil menekap dadanya yang
terasa remuk! Dengan dibantu kedua orang bertubuh tinggi besar itu, Jaya Sukma
meninggalkan tempat itu.
Kini sang bayu bertiup keras seolah-olah mengusir ketiga orang manusia durjana
yang telah menyebar maut di tempat itu. Alam pun kembali sunyi.
*** 4 Seorang pemuda tampan mengenakan jubah dan celana berwarna
putih melangkah tenang menyusuri jalan setapak. Wajahnya yang bersih selalu menampakkan senyum cerah. Siapa lagi kalau
bukan Panji atau lebih dikenal berjuluk Pendekar Naga Putih.
"Hm.... Menurut keterangan Eyang Tirtayasa, kalau tidak salah di daerah ini
tinggal seorang tokoh sakti yang berjuluk Raja Pedang Pemutus Urat. Rasanya
tidak ada salahnya kalau singgah sejenak untuk berkenalan dengan tokoh
itu," gumam Panji sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling tempat itu.
Mendapat pikiran demikian, Panji pun berbalik menyusuri jalan berbatu yang dipenuhi semak belukar.
Belum lagi jauh melangkah, pendengarannya yang tajam menangkap
suara-suara mencurigakan. Panji menghentikan langkah sambil mempertajam indera pendengarannya. Namun sampai beberapa saat lamanya berdiam diri, tidak satu
suara pun yang tertangkap pendengarannya.
"Ahhh, mungkin hanya suara angin saja yang kudengar tadi,"
desah Pendekar Naga Putih. Lalu kembali dilangkahkan kakinya memasuki wilayah hutan kecil itu semakin dalam.
"Ooohhh..., uuuhhh...."
Kembali terdengar rintihan halus yang lirih. Sehingga Panji menjadi tersentak
dan berbalik penuh kesiagaan.
"Tidak salah lagi! Itu pasti rintihan orang terluka," bisik Pendekar Naga Putih
pelan. Dengan penuh kewaspadaan pemuda itu mulai mencari sumber suara itu.
Selang beberapa waktu kemudian, langkah Panji mulai memasuki daerah berbatu
cadas menuju sebuah bukit
kecil. Pemuda itu mengerutkan keningnya ketika melewati bekas-bekas pertempuran
yang masih baru.
"Eh! Siapakah yang melakukan pertarungan di tempat ini" Kalau tidak salah,
pastilah pertarungan ini demikian hebat! Tentulah mereka bukan tokoh
sembarangan,"
gumam Panji sambil menggeleng-gelengkan kepalanya penuh kekaguman.
"Uuuhhh...."
Secepat kilat tubuh Panji berkelebat ke arah semak-semak yang hanya beberapa-
tombak terpisah di samping kirinya. Alangkah terperanjatnya hati pemuda itu
ketika menemukan sesosok tubuh berlumuran darah yang tengah menanti ajal.
"Siapakah, Kakek" Apa yang terjadi di tempat ini"!
Siapa yang melukai Kakek?" Panji memberondong dengan pertanyaan sambil
berjongkok dan meletakkan kepala kakek itu ke atas pangkuannya.
Sekejap kakek yang tak lain adalah Raja Pedang
Pemutus Urat itu membuka matanya yang telah redup tak bercahaya. Bibirnya
bergerak-gerak seolah ingin berbicara.
Namun yang terdengar hanya suara mengorok, disusul mengalirnya darah kehitaman
dari sela-sela bibir yang pucat. Rupanya darah telah menyumbat kerongkongannya
akibat luka dalam yang diderita itu.
Kedua tangan Panji bergerak cepat menotok beberapa jalan darah di sekitar leher
kakek itu. Pelahan-lahan mata yang telah menutup kembali bergerak-gerak dan
terbuka. Ketika melihat mulut kakek itu bergetar, bergegas Panji mendekatkan telinganya
agar dapat mendengar lebih jelas.
"Ki... tab... Jari... Ma.... uuuttthhh... dddi... cuhhh...
riii...," setelah berkata dengan susah payah dan terputus-putus, kepala kakek
itu terkulai di atas pangkuan Pendekar Naga Putih. Raja Pedang Pemutus Urat
tewas dalam keadaan menyedihkan.
"Kek! Kakek...," Panji mengguncang-guncang keras tubuh kakek itu. Perbuatannya
baru dihentikan ketika menyadari kalau kakek itu telah tewas.
Panji memandangi wajah kakek itu dalam-dalam.
Ingatannya langsung tertuju pada ciri-ciri seseorang yang diceritakan Eyang
Tirtayasa, atau si Malaikat Petir.
"Apakah kakek tua ini yang berjuluk Raja Pedang Pemutus Urat" Kalau memang benar
dia, siapa pula yang telah membunuhnya" Bukan main hebatnya kepandaian orang
itu. Hm.... Kitab Jari Maut.... Siapa pula pencurinya..." Tapi, biarlah aku akan mewakili kakek Raja Pedang Pemutus Urat
ini untuk mencari dan menemukan kitab itu," janji Panji dalam hati.
Setelah menguburkan mayat Raja Pedang Pemutus Urat sebagaimana
layaknya, Panji bergegas meninggalkan tempat itu untuk mencari Kitab Jari Maut. Sebenarnya pemuda itu merasa bingung
karena sama sekali tidak mempunyai petunjuk sedikit pun tentang pencuri itu.
Maka mau tidak mau kepala pemuda tampan itu menjadi pusing tujuh keliling
memikirkan hal itu.
"Aaahhh.... Bagaimana nanti sajalah," ujar Panji sambil menepiskan pikiran yang
memusingkan kepalanya itu.
*** Siang ini udara cukup panas. Bukit Kendeng yang
biasanya tersiram hujan, kini bagai terbakar. Namun demikian,
suasana di Perguruan Kera Putih tidak terpengaruh oleh sengatan panas. Hanya ketenangan itu dipecahkan oleh tingkah
seseorang. Brakkk! Tiba-tiba pintu gerbang Perguruan Kera Putih yang terbuat dari kayu tebal,
hancur berantakan akibat tusukan jari-jari bertenaga kuat. Tampak seorang pemuda
tampan bertubuh tinggi tegap melangkah memasuki halaman yang cukup luas.
Pakaiannya yang terbuat dari sutra halus berwarna kuning gading itu melekat
ketat di tubuhnya, sehingga kelihatan semakin gagah dan menarik. Sayang wajah
tampan penuh brewok itu selalu terhias senyum mengejek yang membuat orang merasa
kurang suka memandangnya. Puluhan orang murid yang sedang berlatih ilmu silat, begitu kaget mendengar
pintu gerbang pecah berantakan.
Ketika melihat sosok pemuda itu, mereka serentak mengurungnya. Wajah mereka
merah padam karena
kemarahan telah memenuhi dada. Maka suasana yang panas itu, makin bertambah
panas oleh kehadiran pemuda berbaju kuning gading itu. Namun, puluhan orang
murid Perguruan Kera Putih itu tersentak mundur ketika melihat dua orang
bertubuh tinggi besar berdiri angker di belakang pemuda itu.
"Siapa kalian, dan apa maksudnya datang-datang
membuat onar di tempat kami?" tanya salah seorang murid Perguruan Kera Putih
memberanikan diri.
"Hm. Cepat suruh keluar Pendekar Kera Putih! Katakan, si Jari Maut Pencabut
Nyawa ingin mengadu kepandaian!"
seru pemuda tampan yang tak lain adalah Jaya Sukma, penuh kesombongan.
Mendengar kata-kata yang bernada meremehkan itu, salah seorang murid kepala
Perguruan Kera Putih melangkah ke depan. Meskipun rasa marah telah memenuhi rongga dadanya, namun berusaha untuk tetap tenang.
"Anak Muda! Siapa pun kau adanya, jangan bertindak semaumu di perguruan ini.
Lebih baik tinggalkan tempat ini sebelum aku melempar tubuhmu ke luar," ancam
salah seorang murid Perguruan Kera Putih.
Jaya Sukma menatap orang itu lekat-lekat. Sinar matanya mencorong tajam
menimbulkan perbawa yang menyeramkan. Sehingga, tanpa sadar lawan bicaranya
melangkah mundur dengan bulu kuduk meremang.
"O, jadi begitu" Lalu, mengapa tidak cepat-cepat dibuktikan kata-katamu itu,"
dingin sekali suara yang keluar dari bibir Jaya Sukma. Namun di balik kata-
katanya, terkandung ancaman mengerikan.
Walaupun kegentaran dan kengerian telah mencengkeram hati murid Perguruan Kera Putih itu, tapi rasa tanggung jawab yang
besar terhadap perguruan
membuatnya membuang segala pikiran itu.
"Kau terlalu sombong, Anak Muda. Jangan salahkan kalau aku berbuat kasar
kepadamu!" nyata sekali kalau murid kepala Perguruan Kera Putih itu masih merasa
gentar. Sehingga sengaja dilontarkan kata-katanya dengan suara
keras untuk menyembunyikan kegugupannya. Namun, begitu ucapannya selesai, dia segera melompat ke depan. Kedua tangannya
seketika dikembangkan, siap mencengkeram bahu Jaya Sukma.
"Hm...!"
Pemuda itu memperdengarkan
suara mendengus mengejek. Gerakannya terlihat sembarangan ketika kakinya bergeser. Anehnya serangan lawan luput dan mengenai tempat kosong. Tentu
saja hal itu membuat lawannya semakin berang. Beberapa buah serangan kembali
dilancarkannya secara berturut-turut, tapi tubuh pemuda itu tetap saja tidak
dapat dijamahnya.
"Hm..., hanya sampai di situ sajakah kepandaian yang kau miliki?" ejek Jaya
Sukma ketika melihat lawannya menghentikan
serangan. Napas orang itu semakin memburu karena bercampur rasa marah dan penasaran.
Hatinya merasa terhina sekali karena hal itu disaksikan puluhan pasang mata
murid-murid lainnya.
"Bangsat! Rupanya kau sengaja hendak membuat
keonaran di sini!" Setelah berkata demikian, orang itu kembali menerjang Jaya
Sukma. Serangannya kali ini lebih cepat dan berbahaya.
"Cukup!" bentak Jaya Sukma, suaranya terdengar
bagaikan ledakan halilintar di siang bolong.
Murid kepala Perguruan Kera Putih itu tersentak mundur seolah-olah terdorong
kekuatan yang tak tampak.
Wajahnya pucat bagai mayat! Dadanya bergelombang cepat karena debaran jantungnya
bagai hendak copot. Dan sebelum menyadari keadaannya, tahu-tahu saja jari-jari
tangan sekeras baja mencengkeram lehernya. Tubuh murid kepala
Perguruan Kera Putih itu terlempar bagai disentakkan tenaga raksasa.
"Aaahhh...!"
Murid kepala Perguruan Kera Putih itu berteriak ngeri.
Setelah berkelojotan sesaat, dia diam tak bergerak lagi.
Tewas dengan tulang leher hancur!
Puluhan orang murid lainnya pelahan-lahan mulai mundur dengan wajah pucat!
Pendekar Naga Putih 05 Jari Maut Pencabut Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kejadian itu demikian singkat, sehingga untuk beberapa saat lamanya mereka hanya
terpaku tak bergerak. Wajah-wajah mereka terbayang kengerian hebat!
"Hm.... Siapa yang membuat keonaran di tempatku,"
tiba-tiba terdengar suara berat dan berwibawa. Dari kejauhan terlihat seorang
laki-laki gagah bertubuh kekar melangkah cepat mendatangi. Sementara di
belakangnya terlihat
dua orang murid perguruan mengikutinya. Rupanya, dua orang murid itu telah mengadukan kejadian tersebut kepada gurunya.
Laki-laki gagah bertubuh kekar dan berusia sekitar empat puluhan tahun itu
mengerutkan keningnya ketika melihat muridnya tergeletak tewas dengan tulang
leher hancur. Ditariknya napas berulang-ulang untuk menenteramkan hatinya yang terguncang. Sinar kesedihan dan kegeraman sekilas
terpancar di wajahnya. Pelahan-lahan dilangkahkan kakinya mendekati mayat
muridnya tanpa menoleh kepada Jaya Sukma. Setelah mengamati mayat itu sejenak,
laki-laki gagah itu mengalihkan pandangannya kepada Jaya Sukma.
"Apa kesalahan yang diperbuat muridku" Sehingga demikian mudahnya kau menurunkan
tangan kejam padanya, Anak Muda?" tanya laki-laki gagah itu halus.
Dalam pertanyaan itu terkandung rasa penasaran dan tuntutan yang dalam.
"Orang Tua, kaukah yang berjuluk Pendekar Kera
Putih?" Jaya Sukma sama sekali tidak mempedulikan pertanyaan laki-laki gagah
itu, dan malah balik bertanya dengan angkuhnya.
Merah seluruh wajah laki-laki gagah itu karena tidak dipandang sebelah mata pun
oleh pemuda itu. Susah
payah hatinya berusaha ditenangkan agar kemarahannya tidak terpancing.
"Kalau kulihat dari cara bicara dan pakaianmu, kau pasti orang terpelajar, Anak
Muda. Tapi hatiku menjadi ragu melihat lagakmu yang seperti perampok kelas
rendah!" Mendengar sindiran itu, dua orang tinggi besar yang menjadi pengawal Jaya Sukma
bergegas melangkah maju.
Kata-kata itu jelas menghina majikannya! Namun, mereka mengurungkan
niatnya ketika Jaya Sukma mengembangkan tangannya menahan langkah mereka.
Maka Soma dan Ludira bergerak mundur dengan wajah gusar.
"Tidak perlu banyak bicara! Jawab pertanyaanku, Orang Tua! Kaukah yang berjuluk
Pendekar Kera Putih"!" tanya Jaya Sukma, suaranya terdengar semakin meninggi.
"Benar, Anak Muda. Akulah yang berjuluk Pendekar Kera Putih. Apa keperluanmu
mencariku?" balas laki-laki gagah itu tegas.
"Hm..., kedatanganku ke sini karena tertarik oleh julukanmu! Dan aku ingin
membuktikan, apakah julukan itu benar-benar patut kau sandang, atau hanya
julukan kosong belaka" Nah! Bersiap-siaplah, Pendekar Kera Putih!
Jari Maut Pencabut Nyawa akan menguji kepandaianmu!"
tegas Jaya Sukma sambil mengayunkan langkahnya ke tengah-tengah halaman
perguruan. Sebuah tantangan terbuka yang tidak bisa ditolak Pendekar Kera Putih.
Diikuti puluhan pandang mata muridnya, Pendekar Kera Putih melangkah tegap ke
tempat Jaya Sukma menanti. Biarpun hatinya berat, tapi sebagai ahli silat dia
juga ingin tahu sampai di mana kepandaian pemuda sombong itu. Bukan mustahil
kalau pemuda itu hanya besar mulut saja, dan hanya mengandalkan dua orang laki-
laki tinggi besar yang menjadi pengawalnya itu.
Kedua tokoh persilatan itu berdiri berhadapan dalam jarak lima tombak. Mereka
saling berpandangan seolah-olah ingin menilai kekuatan lawan masing-masing.
"Bersiaplah, Pendekar Kera Putih...," ancam Jaya Sukma
memperingatkan lawannya. Sambil berkata demikian, pemuda itu menggerakkan tangannya secara bersilang dalam posisi kuda-
kuda rendah. "Mulailah, Anak Muda. Sebagai tuan rumah, aku akan berusaha melayanimu sebaik-
baiknya," jawab Pendekar Kera Putih tenang. Sikap yang ditunjukkan pendekar itu
seolah-olah ingin menunjukkan kepada lawannya kalau ia adalah seorang tokoh dari
tingkat yang lebih tua. Dan tentu saja hal itu membuat Jaya Sukma jengkel.
"Hiaaat...!"
Bagai anak panah lepas dari busur, tubuh Jaya Sukma melesat ke arah lawannya.
Kedua tangannya melancarkan pukulan-pukulan dan tamparan, disertai angin pukulan
yang menderu. Ia sengaja tidak langsung mengeluarkan ilmu 'Jari Maut', untuk
menjajagi sampai di mana tingkat kepandaian lawan.
Pendekar Kera Putih menganggukkan kepalanya penuh kekaguman melihat gerakan
pemuda itu yang cepat dan bertenaga.
Begitu pukulan itu tiba, segera digeser tubuhnya sambil melepaskan tangkisan memapak pukulan yang mengancam dadanya.
Sengaja pukulan itu disambut untuk mengukur tenaga lawannya.
Dukkk! Masing-masing kedua orang itu melompat mundur
sambil memegang lengannya yang bergetar akibat benturan tadi. Pada pertemuan tenaga itu, sama-sama diketahui kalau tenaga
mereka berimbang.
Rupangga atau yang lebih dikenal sebagai Pendekar Kera Putih itu cukup terkejut
ketika mengetahui kalau tenaga dalam pemuda itu sangat tinggi. Diam-diam
pendekar itu berjanji dalam hati untuk lebih berhati-hati dalam menghadapi lawan
yang masih muda namun
memiliki kepandaian tinggi itu.
Saat itu Jaya Sukma kembali melancarkan serangannya yang lebih cepat dan kuat.
Dalam waktu yang bersamaan, pemuda itu telah melancarkan tiga buah serangan
berturut-turut. Satu ke arah kepala, sedang lainnya mengancam dada dan perut.
Sebuah serangan yang cukup berbahaya.
Kali ini Rupangga harus bertindak secara lebih cermat.
Serangan ke arah kepala dielakkan dengan memutar kepalanya setengah lingkaran.
Dibarengi putaran tubuh ke samping, maka ketiga serangan itu berhasil
dihindarinya. Rupanya gerakan laki-laki gagah itu tidak hanya berhenti sampai di situ saja.
Bagaikan seekor kera yang lincah, tubuh pendekar itu melenting ke atas,
mengincar ubun-ubun lawan menggunakan jari-jari tangan terbuka.
Wuttt! Hantaman telapak tangan itu berhasil dihindari Jaya Sukma yang langsung membalas
dengan dorongan telapak tangan larinya.
Buk! Plak! Pada saat yang berbahaya itu Pendekar Kera Putih memiringkan
tubuhnya, lalu melepaskan sebuah tendangan kilat ke lambung lawan. Untunglah dorongan telapak tangan lawan hanya
menyerempet dadanya.
Namun itu pun telah cukup membuatnya terhuyung
beberapa langkah ke belakang, meski tidak menderita luka.
Sebaliknya tubuh Jaya Sukma terdorong keras akibat tendangan lawan yang telak
mengenai lambungnya.
Pemuda itu mengusap lambungnya sambil menyeringai menahan rasa nyeri. Sekejap
kemudian wajahnya berubah garang. Sinar matanya mencorong tajam menggetarkan
jantung, penuh hawa kematian.
Rupangga tersentak mundur ketika sepasang mata
mencorong itu menatap wajahnya lekat-lekat. Tangan kanannya bergerak
mengusap bulu kuduknya yang meremang. "Gila! Sinar mata anak muda ini benar-benar mengandung perbawa yang mengerikan...!" desis Pendekar Kera Putih lirih.
Sementara Jaya Sukma sudah mulai mempersiapkan
ilmu andalannya yang mengerikan. Ilmu 'Jari Maut'.
Serangkum angin panas bertiup dari kedua tangannya yang bergetar karena dipenuhi
tenaga dahsyat. Diiringi lengkingan tinggi, tubuh pemuda itu melesat menerjang
lawannya. Sadar kalau serangan yang dilancarkan pemuda itu mengandung hawa maut, Pendekar
Kera Putih berloncatan menghindar sambil sesekali melepaskan serangan balasan.
Meskipun tusukan-tusukan jari Jaya Sukma belum
berhasil menyentuh tubuhnya, namun pakaian yang dikenakan pendekar itu sudah
hancur di beberapa bagian akibat hawa panas yang keluar dari tangan pemuda itu.
Cuiiit! Crebbb! "Auhhh...!"
Rupangga menjerit kesakitan ketika jari tangan lawan menancap di paha kirinya.
Pendekar itu melompat ke belakang dengan langkah terpincang-pincang. Celana di
bagian pahanya hancur. Samar-samar tercium bau daging terbakar. Darah kental
berwarna kehitaman seketika menetes deras membasahi celananya. Beberapa saat
kemudian, kelumpuhan mulai menjalari kaki kirinya.
"Guru...!"
Beberapa orang murid Perguruan Kera Putih berlari memapah tubuh Pendekar Kera
Putih yang hanya berdiri mengandalkan
kaki kanannya itu.
Meskipun dalam keadaan terluka, Rupangga tidak ingin murid-muridnya terancam bahaya. Segera
diusirnya murid-murid yang mencoba memapahnya.
"Menyingkirlah kalian! Cepaaat...!" teriak laki-laki gagah itu khawatir.
"Guru...!" kelima orang murid itu berteriak dengan suara agak serak
Hati mereka bagai tersayat melihat keadaan gurunya yang menyedihkan itu. Memang,
hati siapa yang tidak trenyuh melihat keadaan Pendekar Kera Putih yang dengan
pakaian compang-camping
dan langkah terpincang- pincang, namun masih memikirkan keselamatan murid-muridnya.
Saat itu Jaya Sukma sudah bersiap melontarkan
pukulan maut untuk menghabisi lawannya. Urat-urat lengannya menegang keras
karena tenaga dalam yang mengalir di kedua lengannya. Seberkas sinar kemerahan
yang berhawa panas menyelimuti telapak tangannya.
"Hiaaahhh...!"
Dibarengi teriakan mengguntur, pemuda itu melontarkan pukulannya dengan dua jari ditekuk.
Wusss! Blarrr! "Aaa...!"
Pendekar Kera Putih berteriak menyayat ketika seberkas sinar kemerahan yang amat
panas menghantam dadanya.
Tubuh pendekar itu terhempas bagai sehelai daun kering yang tertiup angin.
Luncuran tubuhnya baru terhenti ketika menghantam sebuah pohon besar yang
langsung berderak patah akibat kerasnya luncuran itu. Darah kental berwarna
kehitaman mengalir deras dari sela-sela bibirnya.
Pendekar Kera Putih langsung tewas! Seluruh kulit dan isi dadanya telah hangus
akibat pukulan ilmu 'Jari Maut'
yang dahsyat dan mengerikan itu.
"Guru...!"
Belasan orang murid Perguruan Kera Putih berlarian ke arah
mayat guru mereka. Beberapa orang segera berjongkok dan mengangkat mayat gurunya itu. Sedangkan belasan lainnya segera menerjang Jaya Sukma dengan serangan membabi
buta. "Ha ha ha.... Rupanya kalian sudah tidak sabar ingin menyusul guru kalian. Ayo,
majulah...!" seru Jaya Sukma diiringi tawa iblisnya yang bergema menggetarkan
jantung. Sambil berkata demikian, pemuda itu segera membagi-bagikan pukulannya secara
kejam. Sinar merah berkelebatan dari jari-jari tangan pemuda itu menghantam siapa saja
yang mendekati. Dalam waktu
singkat saja, belasan orang murid Pendekar Kera Putih bergelimpangan tewas. Jaya
Sukma benar-benar bagai iblis yang menebarkan hawa maut! Setelah sebagian murid
Perguruan Kera Putih tidak ada yang menyerangnya, pemuda itu juga segera
menghentikan serangannya.
Kini pemuda itu pun melangkah tenang meninggalkan Perguruan Kera Putih tanpa
merasa berdosa sedikit pun.
Sedangkan dua orang laki-laki tinggi besar yang selalu mengawalnya, bergegas
mengikuti langkah tuan mudanya tanpa banyak bicara.
*** 5 Tujuh orang laki-laki gagah itu melangkah tergesa-gesa.
Mereka adalah tokoh Perguruan Delapan Naga yang mendapat tugas dari ketua mereka
untuk menyelidiki tokoh sesat yang berjuluk Jari Maut Pencabut Nyawa.
Memang, sejak kematian Pendekar Kera Putih di tangan tokoh sesat itu, julukan
Jari Maut Pencabut Nyawa telah menggegerkan rimba persilatan. Dalam waktu
singkat saja, julukan itu telah menjadi buah bibir, baik dari golongan putih
maupun hitam. Apalagi dikabarkan kalau pemuda itu telah mencuri Kitab Jari Maut.
Dua orang yang berjalan di depan adalah tokoh utama perguruan itu. Sedangkan
Pendekar Naga Putih 05 Jari Maut Pencabut Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lima orang lainnya adalah murid-murid kepala yang kepandaiannya dapat diandalkan
untuk tugas yang berbahaya itu.
Orang yang bertubuh jangkung dan kekar itu, dikenal berjuluk Pendekar Tombak
Sakti. Wajahnya terlihat keras.
Sebaris kumis tipis menghias wajahnya sehingga nampak gagah dan menarik. Di
tangan kanannya tergenggam sebatang tombak terbuat dari baja putih sepanjang
satu setengah depa. Setengah jengkal dari mata tombak terdapat sebuah kaitan
tajam yang melengkung ke dalam.
Sedang tokoh yang lainnya berjuluk Pendekar Kapak Maut. Tubuhnya agak lebih
pendek sedikit. Wajahnya lonjong,
dihiasi bulu-bulu halus di kedua pipinya.
Sikapnya pendiam dan tak banyak bicara. Kedua orang inilah
yang merupakan tokoh-tokoh tingkat satu. Kepandaian mereka tidak kalah dengan ketua mereka sendiri. Bahkan boleh dibilang
setingkat. "Seperti apakah
orang yang berjuluk Jari Maut
Pencabut Nyawa itu" Ingin sekali aku menjajal kepandaiannya," ujar Pendekar Tombak Sakti geram.
"Menurut kabar yang kudengar, orang itu masih sangat muda, Kakang. Lagipula
penampilannya seperti seorang bangsawan," sahut salah satu dari lima orang murid
kepala yang berjalan di belakangnya.
"Tapi kepandaiannya sangat hebat dan mengerikan,"
sahut yang lainnya menimpali.
"Ya! Bahkan Pendekar Kera Putih yang tersohor itu pun sampai tewas di tangannya.
Entah sampai di mana tingginya kepandaian orang yang julukannya demikian
menyeramkan itu?" ujar yang lainnya lirih.
"Biarpun kepandaiannya seperti iblis sekalipun, aku tidak takut!" tegas Pendekar
Kapak Maut dingin. Rupanya ia tidak suka mendengar pembicaraan yang memuji Jari
Maut Pencabut Nyawa itu.
Mendengar kata-kata yang bernada dingin itu, pembicaraan pun terhenti seketika. Kelima orang murid kepala itu saling pandang
tak mengerti. Sedangkan Pendekar Tombak Sakti hanya mengangguk-anggukkan kepala
tanda mengerti perasaan hati saudara seperguruannya itu.
Selang beberapa waktu kemudian, tujuh tokoh Perguruan Delapan Naga itu mulai memasuki perbatasan Desa Talang Sari. Sebuah
desa yang tak begitu ramai, tapi cukup makmur.
"Bagaimana kalau kita singgah sejenak untuk mengisi perut" Rasanya cacing-cacing
di perutku ini sudah menagih minta diisi," usul Pendekar Tombak Sakti sambil
tersenyum. Dan tanpa banyak bicara lagi, semuanya menganggukkan kepalanya. Bergegas mereka memasuki desa yang terlihat tertata
apik. Setiap rumah, selalu dihiasi taman indah pada halamannya. Dan pada sebuah
pengkolan tampak sebuah kedai makan yang tidak begitu ramai. Bergegas mereka
memasukinya. Mereka segera memilih sebuah meja yang terletak agak ke sudut dan menghadap ke
arah jendela, sehingga dapat memandang kesibukan di luar kedai. Memang kedai
makan itu terletak dekat sebuah pasar yang saat itu masih didatangi pengunjung.
Seorang laki-laki tua segera menghampiri mereka untuk menanyakan apa yang
dipesan. Setelah Pendekar Tombak Sakti menyebutkan beberapa jenis makanan, laki-
laki tua itu pergi ke belakang. Dan tak lama kemudian, dia kembali lagi sambil
membawa makanan yang dipesan.
Tengah mereka bersantap dengan lahap, tiba-tiba menerobos masuk tiga orang laki-
laki. Dilihat dari pakaian yang dikenakan, sepertinya mereka berasal dari kaum
persilatan. Lagaknya terlihat sombong sekali, seolah-olah merekalah yang
berkuasa di desa itu.
Kelima orang murid kepala Perguruan Delapan Naga itu menoleh sejenak ke arah
tiga orang yang baru masuk itu.
Sekilas tertangkap sinar berkilat dari mata mereka. Namun kelima orang murid
kepala itu segera meneruskan makannya ketika Pendekar Tombak Sakti memberi
isyarat agar tidak mencari keributan di tempat itu.
"Hm..., Pak Tua! Rupanya hari ini kedaimu cukup ramai juga," kata salah seorang
dari ketiga laki-laki itu. Suaranya terdengar lantang dan dibuat galak agar
terdengar menakutkan.
"Apakah uang untuk kami sudah disediakan?"
Laki-laki tua yang tadi melayani murid-murid Perguruan Delapan Naga dan kelihatannya adalah pemilik kedai,
tergopoh-gopoh menyambut tiga orang itu. Wajahnya terlihat cemas karena takut kalau-kalau mereka akan membuat keributan
di kedainya. "Sudah, Tuan. Ini...," sahut lelaki pemilik kedai seraya menyerahkan tiga keping
uang yang digenggamnya.
"Hm..., mengapa hanya sebesar ini" Jangan terlalu pelit, Pak Tua. Hari ini
kedaimu kulihat cukup ramai. Lekas tambah tiga keping lagi!" pinta laki-laki
brewok yang mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam, sambil mengusap
gagang golok panjang yang tersembul di pinggangnya.
"Aduh. Kasihanilah kami, Tuan Maespati. Hanya itulah
yang baru kami dapat," jawab pemilik kedai, gemetar.
Seorang pemuda tampan berjubah putih yang duduk di sudut
sebelah kiri menolehkan kepalanya sejenak, kemudian kembali menikmati hidangannya dengan tenang.
"Baiklah kalau memang itu keinginanmu. Sekarang, cepatlah kau minta kepada tamu-
tamumu untuk segera membayar harga makanan yang mereka pesan. Cepat...!"
"Tapi mereka belum selesai, Tuan...!" ratap pemilik kedai itu lirih.
"Ahhh, banyak bacot!" bentak si brewok yang bernama Maespati itu sambil
mengayunkan kakinya menghantam pinggul pemilik kedai.
Buk! "Aduuuh...!"
Laki-laki setengah baya pemilik kedai itu terguling dan menjerit kesakitan.
Sambil mengusap-usap pinggulnya, kakinya melangkah terpincang-pincang. Dia
terpaksa menuruti perintah Maespati. Beberapa orang tamu segera membayar harga
makanannya dan langsung keluar
melalui pintu belakang.
"Katakan pada orang itu agar ia sendiri yang mengambil uang ini!" kata salah
seorang murid kepala Perguruan Delapan Naga. Sambil berkata demikian, ditekannya
tiga keping uang logam di tangannya ke atas permukaan meja, hingga melesak
sedalam dua rambut.
Menyaksikan kejadian yang tak disangka-sangka itu, maka pemilik kedai itu
terbelalak kaget. Dengan wajah pucat,
bergegas dihampiri laki-laki brewok yang menyuruhnya tadi. Diceritakanlah kejadian itu padanya.
"Hm...!"
Sambil mendengus kasar, Maespati melangkah lebar menghampiri meja tujuh tokoh
Perguruan Delapan Naga.
"Ayo, berikan uang harga makanan itu kepadaku!"
bentak Maespati kasar.
"Ambillah sendiri," jawab salah satu murid kepala Perguruan Delapan Naga yang
membenamkan uang itu ke permukaan meja. Setelah berkata demikian, ia pun segera
bangkit mengikuti yang lainnya keluar dari kedai makan itu.
Tinggallah Maespati berusaha setengah mati mencabut tiga keping uang logam yang
melesak di atas permukaan meja. Setelah agak lama mencongkel dengan ujung golok
panjangnya, barulah uang-uang itu berhasil dikeluarkannya.
"Bangsat! Rupanya mereka sengaja mempermainkan
aku. Kejar mereka!" perintah Maespati kepada dua orang kawannya.
Tanpa diperintah dua kali, mereka segera berlari mengejar tujuh orang murid
Perguruan Delapan Naga. Di belakangnya, Maespati ikut pula mengejar.
"Hei, tunggu! Berhenti kalian!" seru Maespati ketika melihat tujuh orang itu
beberapa langkah di depannya.
"Hm, mau apa lagi perampok kecil itu?" tanya salah seorang murid kepala yang
bercambang bawuk lebat.
Sementara, seluruh murid Perguruan Delapan Naga itu berhenti seketika, namun
tetap bersikap tenang.
"Ada apa, Kisanak?" tanya salah seorang ketika
Maespati sudah tiba di dekatnya.
"Huh! Kalian baru boleh pergi setelah menyerahkan pundi-pundi uang kalian itu
kepadaku," bentak Maespati dengan napas memburu.
"Bagaimana kalau kami tidak menuruti kemauanmu?"
kali ini yang bertanya adalah murid kepala yang bertubuh pendek gempal.
"Akan kupaksa dengan kekerasan!" teriak Maespati geram.
"Nah, kalau begitu lakukanlah!" tantang orang bertubuh pendek gempal itu.
"Bangsat! Rupanya kalian sengaja mencari kematian!
Mampuslah!"
sambil membentak keras, Maespati mengayunkan golok panjangnya ke leher si pendek gempal.
Hanya dengan memiringkan tubuhnya ke belakang, mata pedang lewat di depan wajah
murid utama Perguruan Delapan Naga itu.
Wajah Maespati semakin merah melihat serangannya dapat dielakkan secara mudah.
Sambil menggereng keras, kembali diayunkan goloknya ke pinggang lawan. Cepat-
cepat si pendek gempal menggeser kaki kirinya ke samping, disusul dengan sebuah
tendangan kilat ke dada Maespati.
Buk! "Hughk...!"
Tak ayal lagi tubuh Maespati terjengkang ke belakang.
Laki-laki brewok itu terduduk lemas sambil menekap dadanya yang terasa remuk.
Darah mengalir pelahan dari celah-celah bibirnya. Kelihatannya ia tak mampu
bangkit berdiri lagi.
Melihat keadaan Maespati yang kelihatan bisa dicundangi, maka dua orang kawannya serentak menerjang dengan bacokan mengancam tubuh si pendek gempal. Laki-laki pendek
murid kepala Perguruan Delapan Naga itu merendahkan tubuhnya disertai kembangan
kedua tangannya untuk menangkis serangan itu. Kemudian, kedua tangannya langsung berputar mendorong dua orang lawannya sambil mengerahkan separuh tenaga dalamnya.
Kedua orang kawan Maespati kontan terguling-guling akibat hantaman telapak
tangan yang mengandung tenaga tinggi itu. Mereka merintih kesakitan tanpa mampu
bangkit lagi. "Hm.... Sebelum aku berubah pikiran, sebaiknya kalian cepat-cepat minggat dari
hadapanku!" ancam si pendek gempal itu geram.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Maespati dan dua orang kawannya segera bergegas
meninggalkan tempat itu.
"Tunggulah pembalasan pemimpin besar kami. Asal tahu saja, pemimpin kami si Jari
Maut Pencabut Nyawa pasti tidak akan diam saja menerima penghinaan ini!"
teriak Maespati sambil melangkah tertatih-tatih.
Mendengar julukan itu disebut, Pendekar Kapak Maut segera menggenjot tubuhnya,
langsung melayang mengejar
ketiga orang itu. Dalam sekejap saja pendekar itu telah dapat mengejar Maespati
dan kawan-kawannya. Mereka langsung terkejut setengah mati.
"Di mana orang yang berjuluk Jari Maut Pencabut Nyawa itu berada"! Jawab!"
bentak Pendekar Kapak Maut sambil mencengkeram leher baju Maespati yang menjadi
ketakutan.
Pendekar Naga Putih 05 Jari Maut Pencabut Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku..., aku tidak tahu...," jawab Maespati dengan wajah pucat.
"Dusta! Kau tadi menyebut kalau si Jari Maut Pencabut Nyawa itu adalah pemimpin
besarmu. Mustahil kalau tidak mengetahui di mana orang itu berada."
"Aku betul-betul tidak tahu. Aku..., aku hanya mendengar namanya saja."
"Keparat!" maki Pendekar Kapak Maut berang.
Plak! "Aduhhh...!"
Tubuh Maespati terbanting keras akibat tamparan Pendekar Kapak Maut yang menjadi
jengkel karenanya.
Darah mengucur deras karena bibirnya telah pecah akibat tamparan keras itu.
"Sudahlah, Adi Barga. Rupanya ia hanya menakut-
nakuti saja. Mari kita pergi," ajak Pendekar Tombak Sakti sambil menepuk-nepuk
bahu Pendekar Kapak Maut yang ternyata bernama Barga itu.
"Huh!"
Pendekar Kapak Maut berbalik sambil mendengus
kasar, kemudian melangkah pergi bersama keenam orang kawannya meninggalkan
tempat itu. Tidak lama setelah kepergian tujuh orang tokoh
Perguruan Delapan Naga, seorang pemuda tampan yang mengenakan jubah putih
melangkah keluar dari dalam kedai. Jika melihat ciri-cirinya, jelas kalau pemuda
tampan itu adalah Pendekar Naga Putih.
"Pelahan dulu, Kisanak!" seru Panji menghentikan langkah Maespati yang dipapah
dua orang rekannya.
"Apa maksudmu menyuruh kami berhenti!?" bentak
Maespati marah. Rupanya kemarahannya ingin ditumpahkan kepada pemuda yang menghadang perjalanannya itu.
"Sabarlah, Kisanak. Aku hanya ingin bertanya sedikit,"
ujar Panji tersenyum sabar. Sambil berkata demikian, digerakkan tangannya ke
depan seolah-olah hendak menyabarkan hati si brewok itu.
Maespati yang semula hendak menghajar pemuda itu tersentak kaget ketika
merasakan serangkum hawa dingin menahan tubuhnya. Tubuh Maespati menggigil
hebat. Sadar kalau pemuda di hadapannya ini bukan orang sembarangan, laki-laki brewok
yang biasanya ditakuti orang itu mengeluh putus asa.
"Apa.... Apa maumu, Anak Muda?" tanya Maespati tak bersemangat.
"Benarkah kau tidak mengetahui, di mana orang yang berjuluk Jari Maut Pencabut
Nyawa itu" Jawablah sejujurnya," ujar Panji tanpa meninggalkan senyumnya.
"Aku.... Aku benar-benar tidak tahu, Anak Muda! Aku hanya mendengar dari kawan-
kawanku kalau orang itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan mengerikan.
Kabarnya ia selalu mendatangi tokoh-tokoh persilatan yang berkepandaian tinggi
untuk menguji ilmunya."
"Apakah kau mengetahui ciri-cirinya?" tanya Panji lagi.
"Kalau tidak salah, orang itu masih muda dan selalu mengenakan pakaian mewah.
Dan ia juga selalu dikawal dua orang yang bertubuh tinggi besar. Hanya itulah
yang kuketahui, Anak Muda," jelas Maespati.
"Terima kasih atas keteranganmu, Kisanak. Satu lagi permintaanku," ujar Panji.
Kali ini sikapnya tampak tegas dan berpengaruh. "Tinggalkan pekerjaanmu selama
ini, karena hanya akan mendatangkan petaka bagi dirimu!
Camkan itu!"
Begitu ucapannya selesai, tubuh Panji berkelebat dan lenyap seketika di antara
lebatnya pepohonan.
Maespati dan kedua orang kawannya terbelalak. Mulut mereka ternganga seolah-olah
tak percaya dengan apa
yang disaksikannya.
"Apakah... apakah dia seorang dewa?" gumam Maespati bagai orang kehilangan
ingatan. Diam-diam hatinya berjanji untuk merubah sikapnya yang tercela selama
ini. *** Pendekar Naga Putih menghentikan larinya setelah
melewati mulut Desa Talang Sari. Pemuda sakti itu tidak terlalu
tergesa-gesa meneruskan perjalanannya. Dirayapinya daerah sekitarnya seolah ingin memastikan ke mana arah yang diambil
tujuh orang laki-laki gagah tadi.
Setelah berpikir sejenak, segera diambil keputusan untuk menyusuri jalan setapak
yang menuju sebuah hutan kecil. Panji mengerutkan keningnya ketika mencium bau
anyir darah yang masih segar, terbawa hembusan angin lembut.
Seluruh otot di tubuh pemuda itu
menegang! Secara alamiah tenaga saktinya mulai menyebar, bersiap-siap menghadapi kemungkinan yang bakal terjadi.
Tidak begitu lama Panji berjalan, di hadapannya terbentang sebuah padang rumput
yang cukup luas.
Pendekar Naga Putih berdiri terpaku menatap lima sosok tubuh
yang tergeletak berlumuran darah. Bergegas pemuda itu menghampiri dan memeriksanya.
"Hm, darah ini masih nampak segar. Berarti pertempuran yang terjadi di sini belum lama berlalu,"
gumam pemuda itu pelahan. "Hei!" Bukankah mereka adalah tujuh laki-laki gagah
yang kulihat di kedai" Tapi, mengapa mayat ini hanya berjumlah lima orang" Ke
mana yang dua orang lainnya?"
Belum lagi sempat Panji memikirkannya, tiba-tiba....
"Pembunuh keji! Terimalah hukuman dariku...!" bentak sesosok bayangan hijau yang
datang-datang langsung menyerang dengan sambaran pedang hitamnya.
Panji bergerak cepat menghindari sabetan pedang hitam yang menimbulkan hawa
mengerikan itu. Namun sungguh tidak disangka kalau gerakan pedang itu begitu
cepat. Setelah berhasil mengelakkan serangan yang pertama, tahu-tahu pedang hitam itu
berputar dan kembali menyerangnya tiga kali berturut-turut.
"Eh! Eh.... Sabar dulu, Nini...!" cegah Panji sambil mengelak dari sambaran
pedang lawan. "Huh! Manusia kejam sepertimu tidak perlu dikasih hati!" bentak pemilik suara
merdu itu yang terus mencecar tanpa menghiraukan ucapan Panji.
Plak! "Aihhh...!"
Wanita berpakaian serba hijau itu berseru tertahan ketika Panji menepis
pergelangannya. Tubuhnya terdorong beberapa langkah ke belakang. Hawa dingin
menjalar melalui pergelangannya yang ditepis Pendekar Naga Putih.
Sementara itu Panji sudah melompat ke belakang
sejauh empat tombak. Pemuda itu berdiri tegak menatap seorang gadis cantik bagai
bidadari. Sejenak Panji mengerutkan keningnya, untuk mencoba mengingat-ingat
gadis di depannya. Mungkin saja, dia pernah bertemu sebelumnya.
Sedangkan wanita jelita yang mengenakan pakaian serba hijau itu berdiri terpaku
bagaikan patung. Gadis jelita
yang ternyata Kenanga itu menghentikan serangannya karena kenal betul terhadap tenaga berhawa dingin yang merasuk ke
tubuhnya tadi. Bibir yang indah itu bergetar membisikkan sebuah nama yang tak
pernah dilupakannya.
Air mata kerinduan mulai menetes membasahi pipinya.
"Kau.... Kau..., Kakang Panji...!" teriak gadis jelita itu serak.
Suaranya terdengar lirih karena butir-butir kerinduan yang menyesakkan dadanya.
Panji yang telah yakin akan penglihatannya, justru malah semakin tak percaya.
Dia seperti terpaku, tak tahu harus berbuat apa.
"Adik Kenanga...!"
seru Panji seolah-olah tak mempercayai pandangannya.
Entah siapa yang lebih dahulu bergerak, tahu-tahu saja
kedua muda-mudi itu telah berpelukan erat, seolah-olah tidak ingin berpisah
lagi. Panji membelai rambut wanita yang selalu diimpikannya itu. Dadanya terasa hangat oleh air mata yang menetes, membasahi
bajunya. Pelahan-lahan kedua tangan Pendekar Naga Putih bergerak mengangkat
wajah jelita itu. Dipandanginya wajah gadis idamannya yang dibasahi
air mata. Panji menundukkan wajahnya mengecup kedua mata indah yang menatapnya penuh rindu.
"Kakang, jangan tinggalkan aku lagi...!" desah gadis jelita itu lirih sambil
memandang wajah Panji.
"Tidak, Adikku... tidak akan...," bisik Panji. Kemudian dikecupnya bibir indah
itu penuh perasaan.
"Kakang, bukankah mereka adalah tokoh Perguruan Delapan Naga" Aku pernah
berjumpa dan berkenalan dengan mereka. Ternyata mereka adalah orang-orang yang
menjunjung tinggi kegagahan. Ah.... Sayang, mereka harus tewas di tangan
pembunuh biadab itu," ujar Kenanga penasaran.
"Maksudmu, kau tahu siapa yang melakukan ini
semua?" tanya Panji heran.
Bagaimana pemuda itu tidak heran melihat kekasihnya tahu-tahu
muncul dan memiliki kepandaian tinggi. Padahal, baru satu tahun mereka tak bertemu. Bukan itu saja. Gadis jelita itu
nampaknya sudah cukup lama berkecimpung dalam dunia persilatan. Buktinya, dia
mengenal tokoh-tokoh Perguruan Delapan Naga.
"Melihat orangnya secara langsung, memang aku belum pernah. Tapi jika mendengar
sepak terjangnya, aku yakin kalau mereka dibunuh oleh orang yang berjuluk Jari
Maut Pencabut Nyawa. Tokoh sesat yang baru muncul ini kepandaiannya hebat
sekali, Kakang. Entah sudah berapa banyak tokoh persilatan golongan putih yang
tewas di tangannya. Orang itu harus cepat-cepat dilenyapkan dari muka bumi.
Kalau tidak, ia akan terus seenaknya menyebar maut," jelas Kenanga geram.
"Kenanga...," panggil Panji tiba-tiba.
"Ya, Kakang...," sahut gadis jelita itu lembut.
"Kulihat kepandaianmu sudah maju sedemikian pesatnya. Siapakah yang mengajarkanmu" Dan bagaimana kabarnya
ayahmu sekarang?"
tanya Panji sambil memegang bahu gadis itu.
"Ahhh.... Panjang sekali ceritanya, Kakang. Tiga hari setelah kepergianmu, desa
kami didatangi segerombolan perampok. Lalu...."
Kenanga menceritakan kejadian yang dialaminya kepada pemuda pujaannya. Sementara Panji mendengarkan penuh perhatian.
"Demikianlah, Kakang. Karena aku tidak mempunyai siapa-siapa lagi, maka aku
menerima ajakan Kakek Raja Pedang Pemutus Urat dan tinggal bersamanya," ujar
gadis jelita itu menutup ceritanya.
"Raja Pedang Pemutus Urat..."!" ulang Panji sambil mengerutkan keningnya.
"Apakah Kakek itu berusia sekitar tujuh puluh tahun, dan...," Panji menuturkan
semua ciri-ciri dan tempat tinggal Raja Pedang Pemutus Urat.
"Benar! Bagaimana Kakang mengetahuinya" Apakah
Kakang sudah mengenal guruku" Ah..., sudah hampir setahun dia tidak kukunjungi.
Entah bagaimana kabarnya Eyang sekarang," gumam Kenanga, matanya memandang jauh
bagaikan hendak melewati hamparan rumput dan bebukitan agar dapat mengetahui
keadaan gurunya.
Panji menarik napas dalam-dalam melihat sinar mata kekasihnya
yang berbinar
Pendekar Naga Putih 05 Jari Maut Pencabut Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ketika mendengar nama gurunya. Pendekar Naga Putih yang semula hendak menceritakan kejadian
sesungguhnya, terpaksa menelan kembali
kata-katanya karena tidak ingin merusak kebahagiaan gadis yang dicintainya itu.
"Tidak! Aku belum pernah berjumpa dengannya. Aku hanya mendengar tentang
kehebatan ilmu pedang beliau.
Ciri-ciri yang kuketahui pun juga dari Eyang Tirtayasa.
Hanya itu saja yang kuketahui, tidak lebih," kilah Panji,
terpaksa berbohong.
"Ah! Matahari sudah semakin tinggi. Ayolah kita kubur mayat-mayat ini, Kakang!
Setelah itu, baru kita lanjutkan perjalanan untuk mencari orang yang berjuluk si
Jari Maut Pencabut Nyawa itu," ajak dara jelita itu sambil menarik tangan Panji
dengan sikap manja.
"Baik, ayolah!" sahut Panji tersenyum bahagia.
*** 6 "Berhenti!"
Panji dan Kenanga yang tengah berjalan sambil
berpegangan tangan itu menghentikan langkahnya. Di hadapan mereka menghadang
sesosok tubuh tinggi tegap yang
mengenakan pakaian indah. Rambutnya yang panjang itu dibiarkan tergerai lepas. Sehelai sutra berwarna kuning, menghias
kepalanya. Wajahnya yang brewok tertata rapi, sehingga menambah kejantanannya.
"Hei, Paman! Lihatlah! Bukankah bidadari ini murid si Raja Pedang Pemutus Urat?"
tanya laki-laki yang tak lain adalah Jaya Sukma itu. Sengaja suaranya dibuat
keras, agar orang yang diajak bicara mendengarnya.
Dan tidak lama kemudian, muncullah dua orang
bertubuh tinggi besar menakutkan. Mereka adalah dua Gorilla Batu.
"Mana.... Mana, Tuan Muda" Ahhh..., benar! Tidak salah lagi, dialah murid kakek
peot itu. Wah, cocok sekali kalau dijadikan istri Tuan Muda," ujar Soma
bergelak. "Hei, kerbau kudisan! Lancang sekali ucapanmu!
Apakah kau tidak pernah diajar adat!?" bentak Kenanga dengan wajah merah. Kalau
saja saat itu Panji tidak mencegah,
tentulah gadis jelita ini sudah melesat menerjang laki-laki brewok yang menyebalkan itu.
"Ha ha ha...! Ternyata bidadari itu sangat liar, Tuan Muda. Tuan tentu akan
sukar sekali menjinakkannya!" kali ini Ludira yang berbicara.
"Ha ha ha...," Jaya Sukma tertawa terbahak-bahak.
"Bangsat! Kurobek mulutmu yang kotor itu!" teriak Kenanga, wajahnya semakin
memerah. "Sabarlah, Adikku. Kau lihatlah, siapa mereka itu," bisik Panji menyabarkan
kekasihnya. Sejenak gadis itu termangu sambil memperhatikan ketiga orang yang menghadang di
tengah jalan itu.
Pelahan-lahan wajah Kenanga berubah tenang ketika gadis jelita itu berusaha
menguasai hatinya.
"Kakang, apakah pemuda itu yang berjuluk Jari Maut Pencabut Nyawa?" tanya
Kenanga berbisik lirih.
"Kurasa begitulah. Bukankah ciri-ciri Jari Maut Pencabut Nyawa itu adalah masih muda, tampan, berpakaian mewah, dan selalu dikawal dua orang tinggi besar. Nah! Bukankah ciri-
cirinya sudah betul"!" sahut Panji masih dengan suara pelan.
"Hei, apa yang kalian rundingkan"! Paman, tolong tangkap gadis itu untukku.
Sedangkan pemuda itu biarlah aku yang mengurusnya," perintah Jaya Sukma kepada
dua orang pengawalnya.
"Baik, Tuan Muda!" seru mereka gembira seolah diberi sebuah mainan menyenangkan.
"Tunggu...!" seru Kenanga keras dan tiba-tiba, sehingga kedua
orang laki-laki tinggi besar itu menunda langkahnya. "Hei, dua gorilla tolol! Kalian tahu, dengan siapa berhadapan saat ini"!" tanya
Kenanga sambil kepalanya dilayangkan ke arah Panji.
"Aku sudah tahu tentang dirimu, Bidadari Cantik! Dan aku tidak peduli dengan
bocah ingusan itu! Lebih baik menyerah saja secara baik-baik, Manis. Kelak kau
pasti akan senang bersama majikan kami. Ha ha ha...," sahut Soma seraya tertawa
menyebalkan. "Hm. Rupanya kau tidak peduli terhadap Pendekar Naga Putih!"
ujar Kenanga mencoba menggertak lawan bicaranya. "Eh! Apakah maksudmu bocah itu yang berjuluk
Pendekar Naga Putih"!" tanya Ludira tersentak mundur.
Biar bagaimanapun, nama Pendekar Naga Putih yang telah mengguncang dunia
persilatan cukup menggetarkan hati mereka.
Soma dan Jaya Sukma pun tidak kalah terkejutnya.
Hati mereka berdebar tegang sambil meneliti sosok Panji.
"Hm..., jadi kau yang berjuluk Pendekar Naga Putih?"
tanya Jaya Sukma ragu. "Tahukah kau siapa adanya aku?"
"Benar! Akulah Pendekar Naga Putih. Sedangkan kau adalah seorang pengecut yang
mengaku berjuluk Jari Maut Pencabut Nyawa. Apakah dugaanku keliru?" jawab Panji.
Suaranya terdengar tenang tanpa nafsu amarah sedikit pun.
"Eh...!"
Jaya Sukma sampai terlonjak mendengar dirinya
disebut sebagai pengecut. Wajahnya seketika menjadi merah bagaikan terbakar.
Kedua lengannya bergemeletuk karena tenaga saktinya mulai mengalir ke seluruh
otot-ototnya. "Bangsat! Rupanya kau memiliki kesombongan juga, Pendekar Naga Putih! Tapi
jangan dikira aku akan menjadi gentar mendengar nama besarmu itu. Nah! Sambutlah
seranganku! Hiaaat...!" tubuh Jaya Sukma meluncur ke arah Panji disertai
serangan dahsyat.
Wusss! Serangkum angin panas menyergap seluruh tubuh
Pendekar Naga Putih. Untunglah, tenaga saktinya sudah bergolak melindungi tubuh,
sehingga hawa panas yang menyerang Panji sama sekali tidak terasa. Cepat-cepat
pemuda itu menggeser tubuhnya ke kiri sambil melepaskan sebuah pukulan disertai hawa dingin menggigit. Cusss! Terdengar suara seperti bara api tersiram air ketika dua pasang lengan yang
sama-sama mengandung tenaga
dahsyat itu saling berbenturan keras. Tubuh mereka masing-masing terdorong
beberapa langkah ke belakang.
Ternyata pada pertemuan tenaga itu mereka berimbang.
Baik Panji maupun Jaya Sukma sama-sama terkejut setelah mengetahui kekuatan
masing-masing. Mereka kembali berdiri berhadapan dalam jarak sekitar enam
tombak. Kedua pemuda sakti itu saling tatap dengan sinar
mata mencorong tajam.
"Paman! Cepat tangkap gadis itu, dan bawa ke pondok tempat peristirahatanku!"
perintah Jaya Sukma kepada dua orang pengawalnya.
Tanpa diperintah dua kali, Soma dan Ludira segera bergerak menangkap Kenanga
yang juga sudah siap-siap membela diri dengan pedang hitam yang tergenggam erat
di tangan kanannya.
Melihat kekasihnya terancam, Pendekar Naga Putih melesat menyambut serangan dua
orang laki-laki bertubuh tinggi besar itu.
"Akulah lawanmu, Pendekar Naga Putih...!" sambil berseru demikian, tubuh Jaya
Sukma melesat memotong luncuran tubuh Panji.
Melihat lawan memotong gerakannya, Panji segera memutar lengannya menangkis
serangan itu. Mereka sama-sama kembali terpental ke udara. Namun dengan sebuah
gerakan berputar, masing-masing dapat mendaratkan kakinya ke tanah.
Begitu kakinya menyentuh tanah, Pendekar Naga Putih kembali melancarkan serangan
ke arah Jaya Sukma.
Selapis kabut bersinar putih keperakan mulai menyelimuti tubuhnya. Jelas, Panji
mulai mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya. Hawa sedingin salju pun segera
menebar memenuhi arena pertarungan.
Jaya Sukma cukup terkejut menyaksikan tubuh lawan mengeluarkan sinar yang benar-
benar di luar dugaannya.
Cepat-cepat dikerahkan tenaganya untuk mengusir hawa dingin yang terasa
menggigit kulitnya itu. Sekejap kemudian hawa panas pun mulai menebar dari tubuhnya.
Soma dan Ludira yang berusaha menangkap Kenanga, cepat-cepat
menjauhi arena pertempuran ketika merasakan hawa dingin dan panas berganti-ganti merasuk ke dalam tubuh. Dan
demikian pula dengan Kenanga.
Diam-diam ketiganya bergidik merasakan pengaruh pertarungan antara dua orang pemuda tampan yang sama-sama memiliki kepandaian
tinggi itu. Kenanga hanya dapat memandang kekasihnya dengan sinar mata cemas. Sesaat
kemudian, perhatian gadis itu tercurah kepada dua orang laki-laki tinggi besar
yang kembali menyerangnya. Secepat kilat digerakkan pedangnya untuk menghalau serangan lawan-lawannya.
Bahkan gadis itu juga menyusuli dengan tiga buah tendangan berantai.
Wuttt! Wuttt! Soma dan Ludira memiringkan tubuhnya sehingga
serangan gadis itu mengenai tempat kosong. Kemudian mereka membalas dengan
cengkeraman-cengkeraman yang tidak kalah cepatnya. Kenanga memang cukup
kewalahan menghindari serbuan dua pasang lengan yang besar dan berbulu lebat
itu. Sebenarnya kepandaian Soma maupun Ludira tidaklah lebih tinggi dari Kenanga.
Namun karena keduanya maju secara bersamaan, maka cukup kewalahan juga gadis
jelita itu dibuatnya. Sehingga, lama-kelamaan kedua orang bertubuh tinggi besar
itu mulai mendesaknya.
Singgg! Suatu ketika pedang hitam di tangan gadis jelita itu bergerak mendatar membabat
pinggang lawan. Suaranya mengaung disertai hawa maut yang menggetarkan jantung.
Ludira yang menjadi sasaran pedang hitam itu berseru kaget. Cepat-cepat dibuang
tubuhnya ke belakang untuk menghindari sambaran pedang yang menimbulkan hawa
mengerikan itu.
Crattt! "Aaakh...!"
Ludira menjerit kesakitan ketika pedang hitam di tangan
Kenanga masih juga menyerempet lengan kanannya. Tubuhnya bergulingan sampai beberapa tombak jauhnya. Kemudian dia berdiri limbung sambil memegangi luka akibat
goresan pedang yang terasa pedih bukan main!
"Kakang Soma, awas! Pedang gadis itu mengandung racun ganas...!" teriak Ludira
memperingatkan saudaranya
yang kini menjadi sasaran pedang hitam milik Kenanga.
Setelah berkata demikian, tangan Ludira bergerak mencabut golok besarnya. Sambil menggigit bibirnya kuat-kuat, diayunkan golok
besar itu membacok tangannya sendiri hingga putus sebatas siku.
Ludira berdiri limbung, dan tangan kanannya sibuk menotok untuk menghentikan
darah yang mengalir dari luka itu. Terpaksa tangan kirinya harus dikorbankan
kalau masih ingin hidup lebih lama. Karena, racun yang terkandung dalam pedang
gadis itu ternyata sangat ganas dan cepat daya kerjanya.
Desss! Tuk! Tuk!
Pendekar Naga Putih 05 Jari Maut Pencabut Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aaakh...!"
Pedang hitam di tangan Kenanga terlempar akibat tangkisan Soma. Dan sebelum
gadis itu menyadari keadaannya, dua buah totokan telah melumpuhkan
tubuhnya. Tubuh gadis jelita itu roboh disertai sebuah keluhan pendek.
Bukan main cemasnya hati Panji ketika mendengar keluhan yang keluar dari mulut
kekasihnya. Cepat kepalanya menoleh untuk memastikan apa yang telah terjadi
terhadap dara pujaannya itu. Dan wajahnya terubah pucat ketika tampak tubuh
kekasihnya sudah berada
dalam pondongan salah seorang pengawal lawannya. "Bangsat! Lepaskan gadis itu!" tiba-tiba saja tubuh Pendekar Naga Putih melayang
meninggalkan lawannya.
Ternyata kesempatan yang hanya sekejap itu tidak disia-siakan Jaya Sukma. Selagi
tubuh Panji melesat melancarkan
serangan ke arah Soma yang tengah
memondong Kenanga, Jari Maut Pencabut Nyawa segera melepaskan sebuah tendangan
kilat yang begitu telak menghantam punggung Pendekar Naga Putih.
Desss! "Aaakh...! Huakkk...!"
Tak pelak lagi, tubuh Panji terlempar deras dan
memuntahkan darah segar seketika. Tulang punggungnya terasa remuk akibat
tendangan lawan yang mengandung tenaga dalam tinggi itu. Panji mencoba berdiri
tegak meskipun kepalanya rasanya seperti berputar. Pendekar muda itu rupanya
mengalami luka yang cukup parah.
"Pendekar Naga Putih! Kami datang membantu...!" tiba-tiba terdengar seruan
nyaring yang disertai berkelebatnya dua sosok tubuh ke arena itu.
Jaya Sukma yang semula sudah bersiap melontarkan pukulan selanjutnya, tertegun
sesaat. Hatinya bimbang ketika
mengenali dua orang pendatang itu. "Hm. Menghadapi Pendekar Naga Putih saja aku sudah merasa repot, apalagi kalau
ditambah mereka berdua," kata pemuda itu dalam hati.
"Paman, mari kita pergi...!" teriak Jaya Sukma sambil melontarkan pukulan 'Jari
Maut' ke arah dua orang yang baru datang itu. Namun dua orang yang menjadi
sasaran itu cepat bergulingan menghindarinya.
Glarrr! Pohon sepelukan orang dewasa yang berada di belakang dua orang itu berderak
patah ketika seberkas sinar kemerahan menghantamnya.
"Bangsat! Pemuda iblis itu berhasil meloloskan diri...,"
ujar orang bertubuh tinggi kekar yang ternyata adalah Pendekar Tombak Sakti
sambil membersihkan rumput kering yang melekat di pakaiannya.
"Hm.... Sampai ke ujung langit pun akan tetap kukejar!"
seru yang seorang lagi. Siapa lagi kalau bukan Pendekar Kapak Maut. Suaranya
terdengar geram sekali ketika mengucapkan kata-kata itu.
"Uhhh.... Kenanga..., maafkan aku. Aku tak dapat menolongmu. Kepandaian orang
itu memang hebat sekali.
Pantas saja kalau banyak tokoh persilatan tewas di tangannya," tiba-tiba
terdengar suara Pendekar Naga Putih.
"Ahhh, Pendekar Naga Putih! Menyesal sekali kami tidak dapat menyelamatkan gadis
itu," ucap Pendekar Tombak
Sakti penuh penyesalan.
"Tidak apa-apa, Paman. Aku maklum. Tapi, lihat
pembalasanku nanti! Oh, ya. Terima kasih atas pertolongan Paman berdua," jawab Panji sambil membungkuk hormat.
"Bagaimana lukamu, Pendekar Naga Putih?" tanya
Pendekar Kapak Maut secara sepintas.
"Sudah tidak terlalu mengkhawatirkan, Paman...,"
jawab Panji tersenyum, namun seperti dipaksakan. Pikirannya terpusat penuh pada keselamatan Kenanga.
Biar bagaimanapun, gadis itu harus cepat-cepat diselamatkan. Suasana berubah hening sejenak. Ketiga orang pendekar itu sama-sama termenung terbawa arus pikiran masing-masing.
Tugas Rahasia 8 Dewi Ular 48 Perempuan Penghisap Darah Dendam Iblis Seribu Wajah 24
dadanya. Ketika tengah berusaha bangkit kembali sebuah hantaman menghantam
belakang tubuhnya. Raja Pedang Pemutus Urat kembali terguling.
Darah semakin banyak menetes dari celah-celah bibirnya.
"Ha ha ha.... Raja Pedang Pemutus Urat! Terimalah kematianmu!" geram Soma
disertai seringai buasnya.
"Manusia licik! Pengecut!" teriak Raja Pedang Pemutus Urat di sela-sela dengus
napasnya yang memburu.
Sambil tertawa terbahak-bahak Soma menghantamkan rantai bajanya berkali-kali ke
tubuh Raja Pedang Pemutus Urat yang sudah tidak berdaya itu. Darah seketika
memercik membasahi bumi. Rumput tebal yang semula berwarna hijau itu kini
berubah menjadi kemerahan.
Setelah melihat tubuh kakek itu sudah tidak bergerak lagi, Soma menghentikan
gerakannya. Diamatinya sejenak kalau-kalau lawannya masih hidup. Ketika
tampaknya napas Raja Pedang Pemutus Urat sudah terhenti, bergegas dia meninggalkan tubuh
tak berdaya itu.
Bersama Ludira yang sudah dapat menghilangkan rasa pening di kepala akibat
tamparan kakek sakti tadi, mereka bergegas menghampiri tubuh Jaya Sukma yang
sudah mulai bergerak-gerak.
Beberapa saat kemudian, pemuda itu bangkit duduk sambil menekap dadanya yang
terasa remuk! Dengan dibantu kedua orang bertubuh tinggi besar itu, Jaya Sukma
meninggalkan tempat itu.
Kini sang bayu bertiup keras seolah-olah mengusir ketiga orang manusia durjana
yang telah menyebar maut di tempat itu. Alam pun kembali sunyi.
*** 4 Seorang pemuda tampan mengenakan jubah dan celana berwarna
putih melangkah tenang menyusuri jalan setapak. Wajahnya yang bersih selalu menampakkan senyum cerah. Siapa lagi kalau
bukan Panji atau lebih dikenal berjuluk Pendekar Naga Putih.
"Hm.... Menurut keterangan Eyang Tirtayasa, kalau tidak salah di daerah ini
tinggal seorang tokoh sakti yang berjuluk Raja Pedang Pemutus Urat. Rasanya
tidak ada salahnya kalau singgah sejenak untuk berkenalan dengan tokoh
itu," gumam Panji sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling tempat itu.
Mendapat pikiran demikian, Panji pun berbalik menyusuri jalan berbatu yang dipenuhi semak belukar.
Belum lagi jauh melangkah, pendengarannya yang tajam menangkap
suara-suara mencurigakan. Panji menghentikan langkah sambil mempertajam indera pendengarannya. Namun sampai beberapa saat lamanya berdiam diri, tidak satu
suara pun yang tertangkap pendengarannya.
"Ahhh, mungkin hanya suara angin saja yang kudengar tadi,"
desah Pendekar Naga Putih. Lalu kembali dilangkahkan kakinya memasuki wilayah hutan kecil itu semakin dalam.
"Ooohhh..., uuuhhh...."
Kembali terdengar rintihan halus yang lirih. Sehingga Panji menjadi tersentak
dan berbalik penuh kesiagaan.
"Tidak salah lagi! Itu pasti rintihan orang terluka," bisik Pendekar Naga Putih
pelan. Dengan penuh kewaspadaan pemuda itu mulai mencari sumber suara itu.
Selang beberapa waktu kemudian, langkah Panji mulai memasuki daerah berbatu
cadas menuju sebuah bukit
kecil. Pemuda itu mengerutkan keningnya ketika melewati bekas-bekas pertempuran
yang masih baru.
"Eh! Siapakah yang melakukan pertarungan di tempat ini" Kalau tidak salah,
pastilah pertarungan ini demikian hebat! Tentulah mereka bukan tokoh
sembarangan,"
gumam Panji sambil menggeleng-gelengkan kepalanya penuh kekaguman.
"Uuuhhh...."
Secepat kilat tubuh Panji berkelebat ke arah semak-semak yang hanya beberapa-
tombak terpisah di samping kirinya. Alangkah terperanjatnya hati pemuda itu
ketika menemukan sesosok tubuh berlumuran darah yang tengah menanti ajal.
"Siapakah, Kakek" Apa yang terjadi di tempat ini"!
Siapa yang melukai Kakek?" Panji memberondong dengan pertanyaan sambil
berjongkok dan meletakkan kepala kakek itu ke atas pangkuannya.
Sekejap kakek yang tak lain adalah Raja Pedang
Pemutus Urat itu membuka matanya yang telah redup tak bercahaya. Bibirnya
bergerak-gerak seolah ingin berbicara.
Namun yang terdengar hanya suara mengorok, disusul mengalirnya darah kehitaman
dari sela-sela bibir yang pucat. Rupanya darah telah menyumbat kerongkongannya
akibat luka dalam yang diderita itu.
Kedua tangan Panji bergerak cepat menotok beberapa jalan darah di sekitar leher
kakek itu. Pelahan-lahan mata yang telah menutup kembali bergerak-gerak dan
terbuka. Ketika melihat mulut kakek itu bergetar, bergegas Panji mendekatkan telinganya
agar dapat mendengar lebih jelas.
"Ki... tab... Jari... Ma.... uuuttthhh... dddi... cuhhh...
riii...," setelah berkata dengan susah payah dan terputus-putus, kepala kakek
itu terkulai di atas pangkuan Pendekar Naga Putih. Raja Pedang Pemutus Urat
tewas dalam keadaan menyedihkan.
"Kek! Kakek...," Panji mengguncang-guncang keras tubuh kakek itu. Perbuatannya
baru dihentikan ketika menyadari kalau kakek itu telah tewas.
Panji memandangi wajah kakek itu dalam-dalam.
Ingatannya langsung tertuju pada ciri-ciri seseorang yang diceritakan Eyang
Tirtayasa, atau si Malaikat Petir.
"Apakah kakek tua ini yang berjuluk Raja Pedang Pemutus Urat" Kalau memang benar
dia, siapa pula yang telah membunuhnya" Bukan main hebatnya kepandaian orang
itu. Hm.... Kitab Jari Maut.... Siapa pula pencurinya..." Tapi, biarlah aku akan mewakili kakek Raja Pedang Pemutus Urat
ini untuk mencari dan menemukan kitab itu," janji Panji dalam hati.
Setelah menguburkan mayat Raja Pedang Pemutus Urat sebagaimana
layaknya, Panji bergegas meninggalkan tempat itu untuk mencari Kitab Jari Maut. Sebenarnya pemuda itu merasa bingung
karena sama sekali tidak mempunyai petunjuk sedikit pun tentang pencuri itu.
Maka mau tidak mau kepala pemuda tampan itu menjadi pusing tujuh keliling
memikirkan hal itu.
"Aaahhh.... Bagaimana nanti sajalah," ujar Panji sambil menepiskan pikiran yang
memusingkan kepalanya itu.
*** Siang ini udara cukup panas. Bukit Kendeng yang
biasanya tersiram hujan, kini bagai terbakar. Namun demikian,
suasana di Perguruan Kera Putih tidak terpengaruh oleh sengatan panas. Hanya ketenangan itu dipecahkan oleh tingkah
seseorang. Brakkk! Tiba-tiba pintu gerbang Perguruan Kera Putih yang terbuat dari kayu tebal,
hancur berantakan akibat tusukan jari-jari bertenaga kuat. Tampak seorang pemuda
tampan bertubuh tinggi tegap melangkah memasuki halaman yang cukup luas.
Pakaiannya yang terbuat dari sutra halus berwarna kuning gading itu melekat
ketat di tubuhnya, sehingga kelihatan semakin gagah dan menarik. Sayang wajah
tampan penuh brewok itu selalu terhias senyum mengejek yang membuat orang merasa
kurang suka memandangnya. Puluhan orang murid yang sedang berlatih ilmu silat, begitu kaget mendengar
pintu gerbang pecah berantakan.
Ketika melihat sosok pemuda itu, mereka serentak mengurungnya. Wajah mereka
merah padam karena
kemarahan telah memenuhi dada. Maka suasana yang panas itu, makin bertambah
panas oleh kehadiran pemuda berbaju kuning gading itu. Namun, puluhan orang
murid Perguruan Kera Putih itu tersentak mundur ketika melihat dua orang
bertubuh tinggi besar berdiri angker di belakang pemuda itu.
"Siapa kalian, dan apa maksudnya datang-datang
membuat onar di tempat kami?" tanya salah seorang murid Perguruan Kera Putih
memberanikan diri.
"Hm. Cepat suruh keluar Pendekar Kera Putih! Katakan, si Jari Maut Pencabut
Nyawa ingin mengadu kepandaian!"
seru pemuda tampan yang tak lain adalah Jaya Sukma, penuh kesombongan.
Mendengar kata-kata yang bernada meremehkan itu, salah seorang murid kepala
Perguruan Kera Putih melangkah ke depan. Meskipun rasa marah telah memenuhi rongga dadanya, namun berusaha untuk tetap tenang.
"Anak Muda! Siapa pun kau adanya, jangan bertindak semaumu di perguruan ini.
Lebih baik tinggalkan tempat ini sebelum aku melempar tubuhmu ke luar," ancam
salah seorang murid Perguruan Kera Putih.
Jaya Sukma menatap orang itu lekat-lekat. Sinar matanya mencorong tajam
menimbulkan perbawa yang menyeramkan. Sehingga, tanpa sadar lawan bicaranya
melangkah mundur dengan bulu kuduk meremang.
"O, jadi begitu" Lalu, mengapa tidak cepat-cepat dibuktikan kata-katamu itu,"
dingin sekali suara yang keluar dari bibir Jaya Sukma. Namun di balik kata-
katanya, terkandung ancaman mengerikan.
Walaupun kegentaran dan kengerian telah mencengkeram hati murid Perguruan Kera Putih itu, tapi rasa tanggung jawab yang
besar terhadap perguruan
membuatnya membuang segala pikiran itu.
"Kau terlalu sombong, Anak Muda. Jangan salahkan kalau aku berbuat kasar
kepadamu!" nyata sekali kalau murid kepala Perguruan Kera Putih itu masih merasa
gentar. Sehingga sengaja dilontarkan kata-katanya dengan suara
keras untuk menyembunyikan kegugupannya. Namun, begitu ucapannya selesai, dia segera melompat ke depan. Kedua tangannya
seketika dikembangkan, siap mencengkeram bahu Jaya Sukma.
"Hm...!"
Pemuda itu memperdengarkan
suara mendengus mengejek. Gerakannya terlihat sembarangan ketika kakinya bergeser. Anehnya serangan lawan luput dan mengenai tempat kosong. Tentu
saja hal itu membuat lawannya semakin berang. Beberapa buah serangan kembali
dilancarkannya secara berturut-turut, tapi tubuh pemuda itu tetap saja tidak
dapat dijamahnya.
"Hm..., hanya sampai di situ sajakah kepandaian yang kau miliki?" ejek Jaya
Sukma ketika melihat lawannya menghentikan
serangan. Napas orang itu semakin memburu karena bercampur rasa marah dan penasaran.
Hatinya merasa terhina sekali karena hal itu disaksikan puluhan pasang mata
murid-murid lainnya.
"Bangsat! Rupanya kau sengaja hendak membuat
keonaran di sini!" Setelah berkata demikian, orang itu kembali menerjang Jaya
Sukma. Serangannya kali ini lebih cepat dan berbahaya.
"Cukup!" bentak Jaya Sukma, suaranya terdengar
bagaikan ledakan halilintar di siang bolong.
Murid kepala Perguruan Kera Putih itu tersentak mundur seolah-olah terdorong
kekuatan yang tak tampak.
Wajahnya pucat bagai mayat! Dadanya bergelombang cepat karena debaran jantungnya
bagai hendak copot. Dan sebelum menyadari keadaannya, tahu-tahu saja jari-jari
tangan sekeras baja mencengkeram lehernya. Tubuh murid kepala
Perguruan Kera Putih itu terlempar bagai disentakkan tenaga raksasa.
"Aaahhh...!"
Murid kepala Perguruan Kera Putih itu berteriak ngeri.
Setelah berkelojotan sesaat, dia diam tak bergerak lagi.
Tewas dengan tulang leher hancur!
Puluhan orang murid lainnya pelahan-lahan mulai mundur dengan wajah pucat!
Pendekar Naga Putih 05 Jari Maut Pencabut Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kejadian itu demikian singkat, sehingga untuk beberapa saat lamanya mereka hanya
terpaku tak bergerak. Wajah-wajah mereka terbayang kengerian hebat!
"Hm.... Siapa yang membuat keonaran di tempatku,"
tiba-tiba terdengar suara berat dan berwibawa. Dari kejauhan terlihat seorang
laki-laki gagah bertubuh kekar melangkah cepat mendatangi. Sementara di
belakangnya terlihat
dua orang murid perguruan mengikutinya. Rupanya, dua orang murid itu telah mengadukan kejadian tersebut kepada gurunya.
Laki-laki gagah bertubuh kekar dan berusia sekitar empat puluhan tahun itu
mengerutkan keningnya ketika melihat muridnya tergeletak tewas dengan tulang
leher hancur. Ditariknya napas berulang-ulang untuk menenteramkan hatinya yang terguncang. Sinar kesedihan dan kegeraman sekilas
terpancar di wajahnya. Pelahan-lahan dilangkahkan kakinya mendekati mayat
muridnya tanpa menoleh kepada Jaya Sukma. Setelah mengamati mayat itu sejenak,
laki-laki gagah itu mengalihkan pandangannya kepada Jaya Sukma.
"Apa kesalahan yang diperbuat muridku" Sehingga demikian mudahnya kau menurunkan
tangan kejam padanya, Anak Muda?" tanya laki-laki gagah itu halus.
Dalam pertanyaan itu terkandung rasa penasaran dan tuntutan yang dalam.
"Orang Tua, kaukah yang berjuluk Pendekar Kera
Putih?" Jaya Sukma sama sekali tidak mempedulikan pertanyaan laki-laki gagah
itu, dan malah balik bertanya dengan angkuhnya.
Merah seluruh wajah laki-laki gagah itu karena tidak dipandang sebelah mata pun
oleh pemuda itu. Susah
payah hatinya berusaha ditenangkan agar kemarahannya tidak terpancing.
"Kalau kulihat dari cara bicara dan pakaianmu, kau pasti orang terpelajar, Anak
Muda. Tapi hatiku menjadi ragu melihat lagakmu yang seperti perampok kelas
rendah!" Mendengar sindiran itu, dua orang tinggi besar yang menjadi pengawal Jaya Sukma
bergegas melangkah maju.
Kata-kata itu jelas menghina majikannya! Namun, mereka mengurungkan
niatnya ketika Jaya Sukma mengembangkan tangannya menahan langkah mereka.
Maka Soma dan Ludira bergerak mundur dengan wajah gusar.
"Tidak perlu banyak bicara! Jawab pertanyaanku, Orang Tua! Kaukah yang berjuluk
Pendekar Kera Putih"!" tanya Jaya Sukma, suaranya terdengar semakin meninggi.
"Benar, Anak Muda. Akulah yang berjuluk Pendekar Kera Putih. Apa keperluanmu
mencariku?" balas laki-laki gagah itu tegas.
"Hm..., kedatanganku ke sini karena tertarik oleh julukanmu! Dan aku ingin
membuktikan, apakah julukan itu benar-benar patut kau sandang, atau hanya
julukan kosong belaka" Nah! Bersiap-siaplah, Pendekar Kera Putih!
Jari Maut Pencabut Nyawa akan menguji kepandaianmu!"
tegas Jaya Sukma sambil mengayunkan langkahnya ke tengah-tengah halaman
perguruan. Sebuah tantangan terbuka yang tidak bisa ditolak Pendekar Kera Putih.
Diikuti puluhan pandang mata muridnya, Pendekar Kera Putih melangkah tegap ke
tempat Jaya Sukma menanti. Biarpun hatinya berat, tapi sebagai ahli silat dia
juga ingin tahu sampai di mana kepandaian pemuda sombong itu. Bukan mustahil
kalau pemuda itu hanya besar mulut saja, dan hanya mengandalkan dua orang laki-
laki tinggi besar yang menjadi pengawalnya itu.
Kedua tokoh persilatan itu berdiri berhadapan dalam jarak lima tombak. Mereka
saling berpandangan seolah-olah ingin menilai kekuatan lawan masing-masing.
"Bersiaplah, Pendekar Kera Putih...," ancam Jaya Sukma
memperingatkan lawannya. Sambil berkata demikian, pemuda itu menggerakkan tangannya secara bersilang dalam posisi kuda-
kuda rendah. "Mulailah, Anak Muda. Sebagai tuan rumah, aku akan berusaha melayanimu sebaik-
baiknya," jawab Pendekar Kera Putih tenang. Sikap yang ditunjukkan pendekar itu
seolah-olah ingin menunjukkan kepada lawannya kalau ia adalah seorang tokoh dari
tingkat yang lebih tua. Dan tentu saja hal itu membuat Jaya Sukma jengkel.
"Hiaaat...!"
Bagai anak panah lepas dari busur, tubuh Jaya Sukma melesat ke arah lawannya.
Kedua tangannya melancarkan pukulan-pukulan dan tamparan, disertai angin pukulan
yang menderu. Ia sengaja tidak langsung mengeluarkan ilmu 'Jari Maut', untuk
menjajagi sampai di mana tingkat kepandaian lawan.
Pendekar Kera Putih menganggukkan kepalanya penuh kekaguman melihat gerakan
pemuda itu yang cepat dan bertenaga.
Begitu pukulan itu tiba, segera digeser tubuhnya sambil melepaskan tangkisan memapak pukulan yang mengancam dadanya.
Sengaja pukulan itu disambut untuk mengukur tenaga lawannya.
Dukkk! Masing-masing kedua orang itu melompat mundur
sambil memegang lengannya yang bergetar akibat benturan tadi. Pada pertemuan tenaga itu, sama-sama diketahui kalau tenaga
mereka berimbang.
Rupangga atau yang lebih dikenal sebagai Pendekar Kera Putih itu cukup terkejut
ketika mengetahui kalau tenaga dalam pemuda itu sangat tinggi. Diam-diam
pendekar itu berjanji dalam hati untuk lebih berhati-hati dalam menghadapi lawan
yang masih muda namun
memiliki kepandaian tinggi itu.
Saat itu Jaya Sukma kembali melancarkan serangannya yang lebih cepat dan kuat.
Dalam waktu yang bersamaan, pemuda itu telah melancarkan tiga buah serangan
berturut-turut. Satu ke arah kepala, sedang lainnya mengancam dada dan perut.
Sebuah serangan yang cukup berbahaya.
Kali ini Rupangga harus bertindak secara lebih cermat.
Serangan ke arah kepala dielakkan dengan memutar kepalanya setengah lingkaran.
Dibarengi putaran tubuh ke samping, maka ketiga serangan itu berhasil
dihindarinya. Rupanya gerakan laki-laki gagah itu tidak hanya berhenti sampai di situ saja.
Bagaikan seekor kera yang lincah, tubuh pendekar itu melenting ke atas,
mengincar ubun-ubun lawan menggunakan jari-jari tangan terbuka.
Wuttt! Hantaman telapak tangan itu berhasil dihindari Jaya Sukma yang langsung membalas
dengan dorongan telapak tangan larinya.
Buk! Plak! Pada saat yang berbahaya itu Pendekar Kera Putih memiringkan
tubuhnya, lalu melepaskan sebuah tendangan kilat ke lambung lawan. Untunglah dorongan telapak tangan lawan hanya
menyerempet dadanya.
Namun itu pun telah cukup membuatnya terhuyung
beberapa langkah ke belakang, meski tidak menderita luka.
Sebaliknya tubuh Jaya Sukma terdorong keras akibat tendangan lawan yang telak
mengenai lambungnya.
Pemuda itu mengusap lambungnya sambil menyeringai menahan rasa nyeri. Sekejap
kemudian wajahnya berubah garang. Sinar matanya mencorong tajam menggetarkan
jantung, penuh hawa kematian.
Rupangga tersentak mundur ketika sepasang mata
mencorong itu menatap wajahnya lekat-lekat. Tangan kanannya bergerak
mengusap bulu kuduknya yang meremang. "Gila! Sinar mata anak muda ini benar-benar mengandung perbawa yang mengerikan...!" desis Pendekar Kera Putih lirih.
Sementara Jaya Sukma sudah mulai mempersiapkan
ilmu andalannya yang mengerikan. Ilmu 'Jari Maut'.
Serangkum angin panas bertiup dari kedua tangannya yang bergetar karena dipenuhi
tenaga dahsyat. Diiringi lengkingan tinggi, tubuh pemuda itu melesat menerjang
lawannya. Sadar kalau serangan yang dilancarkan pemuda itu mengandung hawa maut, Pendekar
Kera Putih berloncatan menghindar sambil sesekali melepaskan serangan balasan.
Meskipun tusukan-tusukan jari Jaya Sukma belum
berhasil menyentuh tubuhnya, namun pakaian yang dikenakan pendekar itu sudah
hancur di beberapa bagian akibat hawa panas yang keluar dari tangan pemuda itu.
Cuiiit! Crebbb! "Auhhh...!"
Rupangga menjerit kesakitan ketika jari tangan lawan menancap di paha kirinya.
Pendekar itu melompat ke belakang dengan langkah terpincang-pincang. Celana di
bagian pahanya hancur. Samar-samar tercium bau daging terbakar. Darah kental
berwarna kehitaman seketika menetes deras membasahi celananya. Beberapa saat
kemudian, kelumpuhan mulai menjalari kaki kirinya.
"Guru...!"
Beberapa orang murid Perguruan Kera Putih berlari memapah tubuh Pendekar Kera
Putih yang hanya berdiri mengandalkan
kaki kanannya itu.
Meskipun dalam keadaan terluka, Rupangga tidak ingin murid-muridnya terancam bahaya. Segera
diusirnya murid-murid yang mencoba memapahnya.
"Menyingkirlah kalian! Cepaaat...!" teriak laki-laki gagah itu khawatir.
"Guru...!" kelima orang murid itu berteriak dengan suara agak serak
Hati mereka bagai tersayat melihat keadaan gurunya yang menyedihkan itu. Memang,
hati siapa yang tidak trenyuh melihat keadaan Pendekar Kera Putih yang dengan
pakaian compang-camping
dan langkah terpincang- pincang, namun masih memikirkan keselamatan murid-muridnya.
Saat itu Jaya Sukma sudah bersiap melontarkan
pukulan maut untuk menghabisi lawannya. Urat-urat lengannya menegang keras
karena tenaga dalam yang mengalir di kedua lengannya. Seberkas sinar kemerahan
yang berhawa panas menyelimuti telapak tangannya.
"Hiaaahhh...!"
Dibarengi teriakan mengguntur, pemuda itu melontarkan pukulannya dengan dua jari ditekuk.
Wusss! Blarrr! "Aaa...!"
Pendekar Kera Putih berteriak menyayat ketika seberkas sinar kemerahan yang amat
panas menghantam dadanya.
Tubuh pendekar itu terhempas bagai sehelai daun kering yang tertiup angin.
Luncuran tubuhnya baru terhenti ketika menghantam sebuah pohon besar yang
langsung berderak patah akibat kerasnya luncuran itu. Darah kental berwarna
kehitaman mengalir deras dari sela-sela bibirnya.
Pendekar Kera Putih langsung tewas! Seluruh kulit dan isi dadanya telah hangus
akibat pukulan ilmu 'Jari Maut'
yang dahsyat dan mengerikan itu.
"Guru...!"
Belasan orang murid Perguruan Kera Putih berlarian ke arah
mayat guru mereka. Beberapa orang segera berjongkok dan mengangkat mayat gurunya itu. Sedangkan belasan lainnya segera menerjang Jaya Sukma dengan serangan membabi
buta. "Ha ha ha.... Rupanya kalian sudah tidak sabar ingin menyusul guru kalian. Ayo,
majulah...!" seru Jaya Sukma diiringi tawa iblisnya yang bergema menggetarkan
jantung. Sambil berkata demikian, pemuda itu segera membagi-bagikan pukulannya secara
kejam. Sinar merah berkelebatan dari jari-jari tangan pemuda itu menghantam siapa saja
yang mendekati. Dalam waktu
singkat saja, belasan orang murid Pendekar Kera Putih bergelimpangan tewas. Jaya
Sukma benar-benar bagai iblis yang menebarkan hawa maut! Setelah sebagian murid
Perguruan Kera Putih tidak ada yang menyerangnya, pemuda itu juga segera
menghentikan serangannya.
Kini pemuda itu pun melangkah tenang meninggalkan Perguruan Kera Putih tanpa
merasa berdosa sedikit pun.
Sedangkan dua orang laki-laki tinggi besar yang selalu mengawalnya, bergegas
mengikuti langkah tuan mudanya tanpa banyak bicara.
*** 5 Tujuh orang laki-laki gagah itu melangkah tergesa-gesa.
Mereka adalah tokoh Perguruan Delapan Naga yang mendapat tugas dari ketua mereka
untuk menyelidiki tokoh sesat yang berjuluk Jari Maut Pencabut Nyawa.
Memang, sejak kematian Pendekar Kera Putih di tangan tokoh sesat itu, julukan
Jari Maut Pencabut Nyawa telah menggegerkan rimba persilatan. Dalam waktu
singkat saja, julukan itu telah menjadi buah bibir, baik dari golongan putih
maupun hitam. Apalagi dikabarkan kalau pemuda itu telah mencuri Kitab Jari Maut.
Dua orang yang berjalan di depan adalah tokoh utama perguruan itu. Sedangkan
Pendekar Naga Putih 05 Jari Maut Pencabut Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lima orang lainnya adalah murid-murid kepala yang kepandaiannya dapat diandalkan
untuk tugas yang berbahaya itu.
Orang yang bertubuh jangkung dan kekar itu, dikenal berjuluk Pendekar Tombak
Sakti. Wajahnya terlihat keras.
Sebaris kumis tipis menghias wajahnya sehingga nampak gagah dan menarik. Di
tangan kanannya tergenggam sebatang tombak terbuat dari baja putih sepanjang
satu setengah depa. Setengah jengkal dari mata tombak terdapat sebuah kaitan
tajam yang melengkung ke dalam.
Sedang tokoh yang lainnya berjuluk Pendekar Kapak Maut. Tubuhnya agak lebih
pendek sedikit. Wajahnya lonjong,
dihiasi bulu-bulu halus di kedua pipinya.
Sikapnya pendiam dan tak banyak bicara. Kedua orang inilah
yang merupakan tokoh-tokoh tingkat satu. Kepandaian mereka tidak kalah dengan ketua mereka sendiri. Bahkan boleh dibilang
setingkat. "Seperti apakah
orang yang berjuluk Jari Maut
Pencabut Nyawa itu" Ingin sekali aku menjajal kepandaiannya," ujar Pendekar Tombak Sakti geram.
"Menurut kabar yang kudengar, orang itu masih sangat muda, Kakang. Lagipula
penampilannya seperti seorang bangsawan," sahut salah satu dari lima orang murid
kepala yang berjalan di belakangnya.
"Tapi kepandaiannya sangat hebat dan mengerikan,"
sahut yang lainnya menimpali.
"Ya! Bahkan Pendekar Kera Putih yang tersohor itu pun sampai tewas di tangannya.
Entah sampai di mana tingginya kepandaian orang yang julukannya demikian
menyeramkan itu?" ujar yang lainnya lirih.
"Biarpun kepandaiannya seperti iblis sekalipun, aku tidak takut!" tegas Pendekar
Kapak Maut dingin. Rupanya ia tidak suka mendengar pembicaraan yang memuji Jari
Maut Pencabut Nyawa itu.
Mendengar kata-kata yang bernada dingin itu, pembicaraan pun terhenti seketika. Kelima orang murid kepala itu saling pandang
tak mengerti. Sedangkan Pendekar Tombak Sakti hanya mengangguk-anggukkan kepala
tanda mengerti perasaan hati saudara seperguruannya itu.
Selang beberapa waktu kemudian, tujuh tokoh Perguruan Delapan Naga itu mulai memasuki perbatasan Desa Talang Sari. Sebuah
desa yang tak begitu ramai, tapi cukup makmur.
"Bagaimana kalau kita singgah sejenak untuk mengisi perut" Rasanya cacing-cacing
di perutku ini sudah menagih minta diisi," usul Pendekar Tombak Sakti sambil
tersenyum. Dan tanpa banyak bicara lagi, semuanya menganggukkan kepalanya. Bergegas mereka memasuki desa yang terlihat tertata
apik. Setiap rumah, selalu dihiasi taman indah pada halamannya. Dan pada sebuah
pengkolan tampak sebuah kedai makan yang tidak begitu ramai. Bergegas mereka
memasukinya. Mereka segera memilih sebuah meja yang terletak agak ke sudut dan menghadap ke
arah jendela, sehingga dapat memandang kesibukan di luar kedai. Memang kedai
makan itu terletak dekat sebuah pasar yang saat itu masih didatangi pengunjung.
Seorang laki-laki tua segera menghampiri mereka untuk menanyakan apa yang
dipesan. Setelah Pendekar Tombak Sakti menyebutkan beberapa jenis makanan, laki-
laki tua itu pergi ke belakang. Dan tak lama kemudian, dia kembali lagi sambil
membawa makanan yang dipesan.
Tengah mereka bersantap dengan lahap, tiba-tiba menerobos masuk tiga orang laki-
laki. Dilihat dari pakaian yang dikenakan, sepertinya mereka berasal dari kaum
persilatan. Lagaknya terlihat sombong sekali, seolah-olah merekalah yang
berkuasa di desa itu.
Kelima orang murid kepala Perguruan Delapan Naga itu menoleh sejenak ke arah
tiga orang yang baru masuk itu.
Sekilas tertangkap sinar berkilat dari mata mereka. Namun kelima orang murid
kepala itu segera meneruskan makannya ketika Pendekar Tombak Sakti memberi
isyarat agar tidak mencari keributan di tempat itu.
"Hm..., Pak Tua! Rupanya hari ini kedaimu cukup ramai juga," kata salah seorang
dari ketiga laki-laki itu. Suaranya terdengar lantang dan dibuat galak agar
terdengar menakutkan.
"Apakah uang untuk kami sudah disediakan?"
Laki-laki tua yang tadi melayani murid-murid Perguruan Delapan Naga dan kelihatannya adalah pemilik kedai,
tergopoh-gopoh menyambut tiga orang itu. Wajahnya terlihat cemas karena takut kalau-kalau mereka akan membuat keributan
di kedainya. "Sudah, Tuan. Ini...," sahut lelaki pemilik kedai seraya menyerahkan tiga keping
uang yang digenggamnya.
"Hm..., mengapa hanya sebesar ini" Jangan terlalu pelit, Pak Tua. Hari ini
kedaimu kulihat cukup ramai. Lekas tambah tiga keping lagi!" pinta laki-laki
brewok yang mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam, sambil mengusap
gagang golok panjang yang tersembul di pinggangnya.
"Aduh. Kasihanilah kami, Tuan Maespati. Hanya itulah
yang baru kami dapat," jawab pemilik kedai, gemetar.
Seorang pemuda tampan berjubah putih yang duduk di sudut
sebelah kiri menolehkan kepalanya sejenak, kemudian kembali menikmati hidangannya dengan tenang.
"Baiklah kalau memang itu keinginanmu. Sekarang, cepatlah kau minta kepada tamu-
tamumu untuk segera membayar harga makanan yang mereka pesan. Cepat...!"
"Tapi mereka belum selesai, Tuan...!" ratap pemilik kedai itu lirih.
"Ahhh, banyak bacot!" bentak si brewok yang bernama Maespati itu sambil
mengayunkan kakinya menghantam pinggul pemilik kedai.
Buk! "Aduuuh...!"
Laki-laki setengah baya pemilik kedai itu terguling dan menjerit kesakitan.
Sambil mengusap-usap pinggulnya, kakinya melangkah terpincang-pincang. Dia
terpaksa menuruti perintah Maespati. Beberapa orang tamu segera membayar harga
makanannya dan langsung keluar
melalui pintu belakang.
"Katakan pada orang itu agar ia sendiri yang mengambil uang ini!" kata salah
seorang murid kepala Perguruan Delapan Naga. Sambil berkata demikian, ditekannya
tiga keping uang logam di tangannya ke atas permukaan meja, hingga melesak
sedalam dua rambut.
Menyaksikan kejadian yang tak disangka-sangka itu, maka pemilik kedai itu
terbelalak kaget. Dengan wajah pucat,
bergegas dihampiri laki-laki brewok yang menyuruhnya tadi. Diceritakanlah kejadian itu padanya.
"Hm...!"
Sambil mendengus kasar, Maespati melangkah lebar menghampiri meja tujuh tokoh
Perguruan Delapan Naga.
"Ayo, berikan uang harga makanan itu kepadaku!"
bentak Maespati kasar.
"Ambillah sendiri," jawab salah satu murid kepala Perguruan Delapan Naga yang
membenamkan uang itu ke permukaan meja. Setelah berkata demikian, ia pun segera
bangkit mengikuti yang lainnya keluar dari kedai makan itu.
Tinggallah Maespati berusaha setengah mati mencabut tiga keping uang logam yang
melesak di atas permukaan meja. Setelah agak lama mencongkel dengan ujung golok
panjangnya, barulah uang-uang itu berhasil dikeluarkannya.
"Bangsat! Rupanya mereka sengaja mempermainkan
aku. Kejar mereka!" perintah Maespati kepada dua orang kawannya.
Tanpa diperintah dua kali, mereka segera berlari mengejar tujuh orang murid
Perguruan Delapan Naga. Di belakangnya, Maespati ikut pula mengejar.
"Hei, tunggu! Berhenti kalian!" seru Maespati ketika melihat tujuh orang itu
beberapa langkah di depannya.
"Hm, mau apa lagi perampok kecil itu?" tanya salah seorang murid kepala yang
bercambang bawuk lebat.
Sementara, seluruh murid Perguruan Delapan Naga itu berhenti seketika, namun
tetap bersikap tenang.
"Ada apa, Kisanak?" tanya salah seorang ketika
Maespati sudah tiba di dekatnya.
"Huh! Kalian baru boleh pergi setelah menyerahkan pundi-pundi uang kalian itu
kepadaku," bentak Maespati dengan napas memburu.
"Bagaimana kalau kami tidak menuruti kemauanmu?"
kali ini yang bertanya adalah murid kepala yang bertubuh pendek gempal.
"Akan kupaksa dengan kekerasan!" teriak Maespati geram.
"Nah, kalau begitu lakukanlah!" tantang orang bertubuh pendek gempal itu.
"Bangsat! Rupanya kalian sengaja mencari kematian!
Mampuslah!"
sambil membentak keras, Maespati mengayunkan golok panjangnya ke leher si pendek gempal.
Hanya dengan memiringkan tubuhnya ke belakang, mata pedang lewat di depan wajah
murid utama Perguruan Delapan Naga itu.
Wajah Maespati semakin merah melihat serangannya dapat dielakkan secara mudah.
Sambil menggereng keras, kembali diayunkan goloknya ke pinggang lawan. Cepat-
cepat si pendek gempal menggeser kaki kirinya ke samping, disusul dengan sebuah
tendangan kilat ke dada Maespati.
Buk! "Hughk...!"
Tak ayal lagi tubuh Maespati terjengkang ke belakang.
Laki-laki brewok itu terduduk lemas sambil menekap dadanya yang terasa remuk.
Darah mengalir pelahan dari celah-celah bibirnya. Kelihatannya ia tak mampu
bangkit berdiri lagi.
Melihat keadaan Maespati yang kelihatan bisa dicundangi, maka dua orang kawannya serentak menerjang dengan bacokan mengancam tubuh si pendek gempal. Laki-laki pendek
murid kepala Perguruan Delapan Naga itu merendahkan tubuhnya disertai kembangan
kedua tangannya untuk menangkis serangan itu. Kemudian, kedua tangannya langsung berputar mendorong dua orang lawannya sambil mengerahkan separuh tenaga dalamnya.
Kedua orang kawan Maespati kontan terguling-guling akibat hantaman telapak
tangan yang mengandung tenaga tinggi itu. Mereka merintih kesakitan tanpa mampu
bangkit lagi. "Hm.... Sebelum aku berubah pikiran, sebaiknya kalian cepat-cepat minggat dari
hadapanku!" ancam si pendek gempal itu geram.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Maespati dan dua orang kawannya segera bergegas
meninggalkan tempat itu.
"Tunggulah pembalasan pemimpin besar kami. Asal tahu saja, pemimpin kami si Jari
Maut Pencabut Nyawa pasti tidak akan diam saja menerima penghinaan ini!"
teriak Maespati sambil melangkah tertatih-tatih.
Mendengar julukan itu disebut, Pendekar Kapak Maut segera menggenjot tubuhnya,
langsung melayang mengejar
ketiga orang itu. Dalam sekejap saja pendekar itu telah dapat mengejar Maespati
dan kawan-kawannya. Mereka langsung terkejut setengah mati.
"Di mana orang yang berjuluk Jari Maut Pencabut Nyawa itu berada"! Jawab!"
bentak Pendekar Kapak Maut sambil mencengkeram leher baju Maespati yang menjadi
ketakutan.
Pendekar Naga Putih 05 Jari Maut Pencabut Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku..., aku tidak tahu...," jawab Maespati dengan wajah pucat.
"Dusta! Kau tadi menyebut kalau si Jari Maut Pencabut Nyawa itu adalah pemimpin
besarmu. Mustahil kalau tidak mengetahui di mana orang itu berada."
"Aku betul-betul tidak tahu. Aku..., aku hanya mendengar namanya saja."
"Keparat!" maki Pendekar Kapak Maut berang.
Plak! "Aduhhh...!"
Tubuh Maespati terbanting keras akibat tamparan Pendekar Kapak Maut yang menjadi
jengkel karenanya.
Darah mengucur deras karena bibirnya telah pecah akibat tamparan keras itu.
"Sudahlah, Adi Barga. Rupanya ia hanya menakut-
nakuti saja. Mari kita pergi," ajak Pendekar Tombak Sakti sambil menepuk-nepuk
bahu Pendekar Kapak Maut yang ternyata bernama Barga itu.
"Huh!"
Pendekar Kapak Maut berbalik sambil mendengus
kasar, kemudian melangkah pergi bersama keenam orang kawannya meninggalkan
tempat itu. Tidak lama setelah kepergian tujuh orang tokoh
Perguruan Delapan Naga, seorang pemuda tampan yang mengenakan jubah putih
melangkah keluar dari dalam kedai. Jika melihat ciri-cirinya, jelas kalau pemuda
tampan itu adalah Pendekar Naga Putih.
"Pelahan dulu, Kisanak!" seru Panji menghentikan langkah Maespati yang dipapah
dua orang rekannya.
"Apa maksudmu menyuruh kami berhenti!?" bentak
Maespati marah. Rupanya kemarahannya ingin ditumpahkan kepada pemuda yang menghadang perjalanannya itu.
"Sabarlah, Kisanak. Aku hanya ingin bertanya sedikit,"
ujar Panji tersenyum sabar. Sambil berkata demikian, digerakkan tangannya ke
depan seolah-olah hendak menyabarkan hati si brewok itu.
Maespati yang semula hendak menghajar pemuda itu tersentak kaget ketika
merasakan serangkum hawa dingin menahan tubuhnya. Tubuh Maespati menggigil
hebat. Sadar kalau pemuda di hadapannya ini bukan orang sembarangan, laki-laki brewok
yang biasanya ditakuti orang itu mengeluh putus asa.
"Apa.... Apa maumu, Anak Muda?" tanya Maespati tak bersemangat.
"Benarkah kau tidak mengetahui, di mana orang yang berjuluk Jari Maut Pencabut
Nyawa itu" Jawablah sejujurnya," ujar Panji tanpa meninggalkan senyumnya.
"Aku.... Aku benar-benar tidak tahu, Anak Muda! Aku hanya mendengar dari kawan-
kawanku kalau orang itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan mengerikan.
Kabarnya ia selalu mendatangi tokoh-tokoh persilatan yang berkepandaian tinggi
untuk menguji ilmunya."
"Apakah kau mengetahui ciri-cirinya?" tanya Panji lagi.
"Kalau tidak salah, orang itu masih muda dan selalu mengenakan pakaian mewah.
Dan ia juga selalu dikawal dua orang yang bertubuh tinggi besar. Hanya itulah
yang kuketahui, Anak Muda," jelas Maespati.
"Terima kasih atas keteranganmu, Kisanak. Satu lagi permintaanku," ujar Panji.
Kali ini sikapnya tampak tegas dan berpengaruh. "Tinggalkan pekerjaanmu selama
ini, karena hanya akan mendatangkan petaka bagi dirimu!
Camkan itu!"
Begitu ucapannya selesai, tubuh Panji berkelebat dan lenyap seketika di antara
lebatnya pepohonan.
Maespati dan kedua orang kawannya terbelalak. Mulut mereka ternganga seolah-olah
tak percaya dengan apa
yang disaksikannya.
"Apakah... apakah dia seorang dewa?" gumam Maespati bagai orang kehilangan
ingatan. Diam-diam hatinya berjanji untuk merubah sikapnya yang tercela selama
ini. *** Pendekar Naga Putih menghentikan larinya setelah
melewati mulut Desa Talang Sari. Pemuda sakti itu tidak terlalu
tergesa-gesa meneruskan perjalanannya. Dirayapinya daerah sekitarnya seolah ingin memastikan ke mana arah yang diambil
tujuh orang laki-laki gagah tadi.
Setelah berpikir sejenak, segera diambil keputusan untuk menyusuri jalan setapak
yang menuju sebuah hutan kecil. Panji mengerutkan keningnya ketika mencium bau
anyir darah yang masih segar, terbawa hembusan angin lembut.
Seluruh otot di tubuh pemuda itu
menegang! Secara alamiah tenaga saktinya mulai menyebar, bersiap-siap menghadapi kemungkinan yang bakal terjadi.
Tidak begitu lama Panji berjalan, di hadapannya terbentang sebuah padang rumput
yang cukup luas.
Pendekar Naga Putih berdiri terpaku menatap lima sosok tubuh
yang tergeletak berlumuran darah. Bergegas pemuda itu menghampiri dan memeriksanya.
"Hm, darah ini masih nampak segar. Berarti pertempuran yang terjadi di sini belum lama berlalu,"
gumam pemuda itu pelahan. "Hei!" Bukankah mereka adalah tujuh laki-laki gagah
yang kulihat di kedai" Tapi, mengapa mayat ini hanya berjumlah lima orang" Ke
mana yang dua orang lainnya?"
Belum lagi sempat Panji memikirkannya, tiba-tiba....
"Pembunuh keji! Terimalah hukuman dariku...!" bentak sesosok bayangan hijau yang
datang-datang langsung menyerang dengan sambaran pedang hitamnya.
Panji bergerak cepat menghindari sabetan pedang hitam yang menimbulkan hawa
mengerikan itu. Namun sungguh tidak disangka kalau gerakan pedang itu begitu
cepat. Setelah berhasil mengelakkan serangan yang pertama, tahu-tahu pedang hitam itu
berputar dan kembali menyerangnya tiga kali berturut-turut.
"Eh! Eh.... Sabar dulu, Nini...!" cegah Panji sambil mengelak dari sambaran
pedang lawan. "Huh! Manusia kejam sepertimu tidak perlu dikasih hati!" bentak pemilik suara
merdu itu yang terus mencecar tanpa menghiraukan ucapan Panji.
Plak! "Aihhh...!"
Wanita berpakaian serba hijau itu berseru tertahan ketika Panji menepis
pergelangannya. Tubuhnya terdorong beberapa langkah ke belakang. Hawa dingin
menjalar melalui pergelangannya yang ditepis Pendekar Naga Putih.
Sementara itu Panji sudah melompat ke belakang
sejauh empat tombak. Pemuda itu berdiri tegak menatap seorang gadis cantik bagai
bidadari. Sejenak Panji mengerutkan keningnya, untuk mencoba mengingat-ingat
gadis di depannya. Mungkin saja, dia pernah bertemu sebelumnya.
Sedangkan wanita jelita yang mengenakan pakaian serba hijau itu berdiri terpaku
bagaikan patung. Gadis jelita
yang ternyata Kenanga itu menghentikan serangannya karena kenal betul terhadap tenaga berhawa dingin yang merasuk ke
tubuhnya tadi. Bibir yang indah itu bergetar membisikkan sebuah nama yang tak
pernah dilupakannya.
Air mata kerinduan mulai menetes membasahi pipinya.
"Kau.... Kau..., Kakang Panji...!" teriak gadis jelita itu serak.
Suaranya terdengar lirih karena butir-butir kerinduan yang menyesakkan dadanya.
Panji yang telah yakin akan penglihatannya, justru malah semakin tak percaya.
Dia seperti terpaku, tak tahu harus berbuat apa.
"Adik Kenanga...!"
seru Panji seolah-olah tak mempercayai pandangannya.
Entah siapa yang lebih dahulu bergerak, tahu-tahu saja
kedua muda-mudi itu telah berpelukan erat, seolah-olah tidak ingin berpisah
lagi. Panji membelai rambut wanita yang selalu diimpikannya itu. Dadanya terasa hangat oleh air mata yang menetes, membasahi
bajunya. Pelahan-lahan kedua tangan Pendekar Naga Putih bergerak mengangkat
wajah jelita itu. Dipandanginya wajah gadis idamannya yang dibasahi
air mata. Panji menundukkan wajahnya mengecup kedua mata indah yang menatapnya penuh rindu.
"Kakang, jangan tinggalkan aku lagi...!" desah gadis jelita itu lirih sambil
memandang wajah Panji.
"Tidak, Adikku... tidak akan...," bisik Panji. Kemudian dikecupnya bibir indah
itu penuh perasaan.
"Kakang, bukankah mereka adalah tokoh Perguruan Delapan Naga" Aku pernah
berjumpa dan berkenalan dengan mereka. Ternyata mereka adalah orang-orang yang
menjunjung tinggi kegagahan. Ah.... Sayang, mereka harus tewas di tangan
pembunuh biadab itu," ujar Kenanga penasaran.
"Maksudmu, kau tahu siapa yang melakukan ini
semua?" tanya Panji heran.
Bagaimana pemuda itu tidak heran melihat kekasihnya tahu-tahu
muncul dan memiliki kepandaian tinggi. Padahal, baru satu tahun mereka tak bertemu. Bukan itu saja. Gadis jelita itu
nampaknya sudah cukup lama berkecimpung dalam dunia persilatan. Buktinya, dia
mengenal tokoh-tokoh Perguruan Delapan Naga.
"Melihat orangnya secara langsung, memang aku belum pernah. Tapi jika mendengar
sepak terjangnya, aku yakin kalau mereka dibunuh oleh orang yang berjuluk Jari
Maut Pencabut Nyawa. Tokoh sesat yang baru muncul ini kepandaiannya hebat
sekali, Kakang. Entah sudah berapa banyak tokoh persilatan golongan putih yang
tewas di tangannya. Orang itu harus cepat-cepat dilenyapkan dari muka bumi.
Kalau tidak, ia akan terus seenaknya menyebar maut," jelas Kenanga geram.
"Kenanga...," panggil Panji tiba-tiba.
"Ya, Kakang...," sahut gadis jelita itu lembut.
"Kulihat kepandaianmu sudah maju sedemikian pesatnya. Siapakah yang mengajarkanmu" Dan bagaimana kabarnya
ayahmu sekarang?"
tanya Panji sambil memegang bahu gadis itu.
"Ahhh.... Panjang sekali ceritanya, Kakang. Tiga hari setelah kepergianmu, desa
kami didatangi segerombolan perampok. Lalu...."
Kenanga menceritakan kejadian yang dialaminya kepada pemuda pujaannya. Sementara Panji mendengarkan penuh perhatian.
"Demikianlah, Kakang. Karena aku tidak mempunyai siapa-siapa lagi, maka aku
menerima ajakan Kakek Raja Pedang Pemutus Urat dan tinggal bersamanya," ujar
gadis jelita itu menutup ceritanya.
"Raja Pedang Pemutus Urat..."!" ulang Panji sambil mengerutkan keningnya.
"Apakah Kakek itu berusia sekitar tujuh puluh tahun, dan...," Panji menuturkan
semua ciri-ciri dan tempat tinggal Raja Pedang Pemutus Urat.
"Benar! Bagaimana Kakang mengetahuinya" Apakah
Kakang sudah mengenal guruku" Ah..., sudah hampir setahun dia tidak kukunjungi.
Entah bagaimana kabarnya Eyang sekarang," gumam Kenanga, matanya memandang jauh
bagaikan hendak melewati hamparan rumput dan bebukitan agar dapat mengetahui
keadaan gurunya.
Panji menarik napas dalam-dalam melihat sinar mata kekasihnya
yang berbinar
Pendekar Naga Putih 05 Jari Maut Pencabut Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ketika mendengar nama gurunya. Pendekar Naga Putih yang semula hendak menceritakan kejadian
sesungguhnya, terpaksa menelan kembali
kata-katanya karena tidak ingin merusak kebahagiaan gadis yang dicintainya itu.
"Tidak! Aku belum pernah berjumpa dengannya. Aku hanya mendengar tentang
kehebatan ilmu pedang beliau.
Ciri-ciri yang kuketahui pun juga dari Eyang Tirtayasa.
Hanya itu saja yang kuketahui, tidak lebih," kilah Panji,
terpaksa berbohong.
"Ah! Matahari sudah semakin tinggi. Ayolah kita kubur mayat-mayat ini, Kakang!
Setelah itu, baru kita lanjutkan perjalanan untuk mencari orang yang berjuluk si
Jari Maut Pencabut Nyawa itu," ajak dara jelita itu sambil menarik tangan Panji
dengan sikap manja.
"Baik, ayolah!" sahut Panji tersenyum bahagia.
*** 6 "Berhenti!"
Panji dan Kenanga yang tengah berjalan sambil
berpegangan tangan itu menghentikan langkahnya. Di hadapan mereka menghadang
sesosok tubuh tinggi tegap yang
mengenakan pakaian indah. Rambutnya yang panjang itu dibiarkan tergerai lepas. Sehelai sutra berwarna kuning, menghias
kepalanya. Wajahnya yang brewok tertata rapi, sehingga menambah kejantanannya.
"Hei, Paman! Lihatlah! Bukankah bidadari ini murid si Raja Pedang Pemutus Urat?"
tanya laki-laki yang tak lain adalah Jaya Sukma itu. Sengaja suaranya dibuat
keras, agar orang yang diajak bicara mendengarnya.
Dan tidak lama kemudian, muncullah dua orang
bertubuh tinggi besar menakutkan. Mereka adalah dua Gorilla Batu.
"Mana.... Mana, Tuan Muda" Ahhh..., benar! Tidak salah lagi, dialah murid kakek
peot itu. Wah, cocok sekali kalau dijadikan istri Tuan Muda," ujar Soma
bergelak. "Hei, kerbau kudisan! Lancang sekali ucapanmu!
Apakah kau tidak pernah diajar adat!?" bentak Kenanga dengan wajah merah. Kalau
saja saat itu Panji tidak mencegah,
tentulah gadis jelita ini sudah melesat menerjang laki-laki brewok yang menyebalkan itu.
"Ha ha ha...! Ternyata bidadari itu sangat liar, Tuan Muda. Tuan tentu akan
sukar sekali menjinakkannya!" kali ini Ludira yang berbicara.
"Ha ha ha...," Jaya Sukma tertawa terbahak-bahak.
"Bangsat! Kurobek mulutmu yang kotor itu!" teriak Kenanga, wajahnya semakin
memerah. "Sabarlah, Adikku. Kau lihatlah, siapa mereka itu," bisik Panji menyabarkan
kekasihnya. Sejenak gadis itu termangu sambil memperhatikan ketiga orang yang menghadang di
tengah jalan itu.
Pelahan-lahan wajah Kenanga berubah tenang ketika gadis jelita itu berusaha
menguasai hatinya.
"Kakang, apakah pemuda itu yang berjuluk Jari Maut Pencabut Nyawa?" tanya
Kenanga berbisik lirih.
"Kurasa begitulah. Bukankah ciri-ciri Jari Maut Pencabut Nyawa itu adalah masih muda, tampan, berpakaian mewah, dan selalu dikawal dua orang tinggi besar. Nah! Bukankah ciri-
cirinya sudah betul"!" sahut Panji masih dengan suara pelan.
"Hei, apa yang kalian rundingkan"! Paman, tolong tangkap gadis itu untukku.
Sedangkan pemuda itu biarlah aku yang mengurusnya," perintah Jaya Sukma kepada
dua orang pengawalnya.
"Baik, Tuan Muda!" seru mereka gembira seolah diberi sebuah mainan menyenangkan.
"Tunggu...!" seru Kenanga keras dan tiba-tiba, sehingga kedua
orang laki-laki tinggi besar itu menunda langkahnya. "Hei, dua gorilla tolol! Kalian tahu, dengan siapa berhadapan saat ini"!" tanya
Kenanga sambil kepalanya dilayangkan ke arah Panji.
"Aku sudah tahu tentang dirimu, Bidadari Cantik! Dan aku tidak peduli dengan
bocah ingusan itu! Lebih baik menyerah saja secara baik-baik, Manis. Kelak kau
pasti akan senang bersama majikan kami. Ha ha ha...," sahut Soma seraya tertawa
menyebalkan. "Hm. Rupanya kau tidak peduli terhadap Pendekar Naga Putih!"
ujar Kenanga mencoba menggertak lawan bicaranya. "Eh! Apakah maksudmu bocah itu yang berjuluk
Pendekar Naga Putih"!" tanya Ludira tersentak mundur.
Biar bagaimanapun, nama Pendekar Naga Putih yang telah mengguncang dunia
persilatan cukup menggetarkan hati mereka.
Soma dan Jaya Sukma pun tidak kalah terkejutnya.
Hati mereka berdebar tegang sambil meneliti sosok Panji.
"Hm..., jadi kau yang berjuluk Pendekar Naga Putih?"
tanya Jaya Sukma ragu. "Tahukah kau siapa adanya aku?"
"Benar! Akulah Pendekar Naga Putih. Sedangkan kau adalah seorang pengecut yang
mengaku berjuluk Jari Maut Pencabut Nyawa. Apakah dugaanku keliru?" jawab Panji.
Suaranya terdengar tenang tanpa nafsu amarah sedikit pun.
"Eh...!"
Jaya Sukma sampai terlonjak mendengar dirinya
disebut sebagai pengecut. Wajahnya seketika menjadi merah bagaikan terbakar.
Kedua lengannya bergemeletuk karena tenaga saktinya mulai mengalir ke seluruh
otot-ototnya. "Bangsat! Rupanya kau memiliki kesombongan juga, Pendekar Naga Putih! Tapi
jangan dikira aku akan menjadi gentar mendengar nama besarmu itu. Nah! Sambutlah
seranganku! Hiaaat...!" tubuh Jaya Sukma meluncur ke arah Panji disertai
serangan dahsyat.
Wusss! Serangkum angin panas menyergap seluruh tubuh
Pendekar Naga Putih. Untunglah, tenaga saktinya sudah bergolak melindungi tubuh,
sehingga hawa panas yang menyerang Panji sama sekali tidak terasa. Cepat-cepat
pemuda itu menggeser tubuhnya ke kiri sambil melepaskan sebuah pukulan disertai hawa dingin menggigit. Cusss! Terdengar suara seperti bara api tersiram air ketika dua pasang lengan yang
sama-sama mengandung tenaga
dahsyat itu saling berbenturan keras. Tubuh mereka masing-masing terdorong
beberapa langkah ke belakang.
Ternyata pada pertemuan tenaga itu mereka berimbang.
Baik Panji maupun Jaya Sukma sama-sama terkejut setelah mengetahui kekuatan
masing-masing. Mereka kembali berdiri berhadapan dalam jarak sekitar enam
tombak. Kedua pemuda sakti itu saling tatap dengan sinar
mata mencorong tajam.
"Paman! Cepat tangkap gadis itu, dan bawa ke pondok tempat peristirahatanku!"
perintah Jaya Sukma kepada dua orang pengawalnya.
Tanpa diperintah dua kali, Soma dan Ludira segera bergerak menangkap Kenanga
yang juga sudah siap-siap membela diri dengan pedang hitam yang tergenggam erat
di tangan kanannya.
Melihat kekasihnya terancam, Pendekar Naga Putih melesat menyambut serangan dua
orang laki-laki bertubuh tinggi besar itu.
"Akulah lawanmu, Pendekar Naga Putih...!" sambil berseru demikian, tubuh Jaya
Sukma melesat memotong luncuran tubuh Panji.
Melihat lawan memotong gerakannya, Panji segera memutar lengannya menangkis
serangan itu. Mereka sama-sama kembali terpental ke udara. Namun dengan sebuah
gerakan berputar, masing-masing dapat mendaratkan kakinya ke tanah.
Begitu kakinya menyentuh tanah, Pendekar Naga Putih kembali melancarkan serangan
ke arah Jaya Sukma.
Selapis kabut bersinar putih keperakan mulai menyelimuti tubuhnya. Jelas, Panji
mulai mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya. Hawa sedingin salju pun segera
menebar memenuhi arena pertarungan.
Jaya Sukma cukup terkejut menyaksikan tubuh lawan mengeluarkan sinar yang benar-
benar di luar dugaannya.
Cepat-cepat dikerahkan tenaganya untuk mengusir hawa dingin yang terasa
menggigit kulitnya itu. Sekejap kemudian hawa panas pun mulai menebar dari tubuhnya.
Soma dan Ludira yang berusaha menangkap Kenanga, cepat-cepat
menjauhi arena pertempuran ketika merasakan hawa dingin dan panas berganti-ganti merasuk ke dalam tubuh. Dan
demikian pula dengan Kenanga.
Diam-diam ketiganya bergidik merasakan pengaruh pertarungan antara dua orang pemuda tampan yang sama-sama memiliki kepandaian
tinggi itu. Kenanga hanya dapat memandang kekasihnya dengan sinar mata cemas. Sesaat
kemudian, perhatian gadis itu tercurah kepada dua orang laki-laki tinggi besar
yang kembali menyerangnya. Secepat kilat digerakkan pedangnya untuk menghalau serangan lawan-lawannya.
Bahkan gadis itu juga menyusuli dengan tiga buah tendangan berantai.
Wuttt! Wuttt! Soma dan Ludira memiringkan tubuhnya sehingga
serangan gadis itu mengenai tempat kosong. Kemudian mereka membalas dengan
cengkeraman-cengkeraman yang tidak kalah cepatnya. Kenanga memang cukup
kewalahan menghindari serbuan dua pasang lengan yang besar dan berbulu lebat
itu. Sebenarnya kepandaian Soma maupun Ludira tidaklah lebih tinggi dari Kenanga.
Namun karena keduanya maju secara bersamaan, maka cukup kewalahan juga gadis
jelita itu dibuatnya. Sehingga, lama-kelamaan kedua orang bertubuh tinggi besar
itu mulai mendesaknya.
Singgg! Suatu ketika pedang hitam di tangan gadis jelita itu bergerak mendatar membabat
pinggang lawan. Suaranya mengaung disertai hawa maut yang menggetarkan jantung.
Ludira yang menjadi sasaran pedang hitam itu berseru kaget. Cepat-cepat dibuang
tubuhnya ke belakang untuk menghindari sambaran pedang yang menimbulkan hawa
mengerikan itu.
Crattt! "Aaakh...!"
Ludira menjerit kesakitan ketika pedang hitam di tangan
Kenanga masih juga menyerempet lengan kanannya. Tubuhnya bergulingan sampai beberapa tombak jauhnya. Kemudian dia berdiri limbung sambil memegangi luka akibat
goresan pedang yang terasa pedih bukan main!
"Kakang Soma, awas! Pedang gadis itu mengandung racun ganas...!" teriak Ludira
memperingatkan saudaranya
yang kini menjadi sasaran pedang hitam milik Kenanga.
Setelah berkata demikian, tangan Ludira bergerak mencabut golok besarnya. Sambil menggigit bibirnya kuat-kuat, diayunkan golok
besar itu membacok tangannya sendiri hingga putus sebatas siku.
Ludira berdiri limbung, dan tangan kanannya sibuk menotok untuk menghentikan
darah yang mengalir dari luka itu. Terpaksa tangan kirinya harus dikorbankan
kalau masih ingin hidup lebih lama. Karena, racun yang terkandung dalam pedang
gadis itu ternyata sangat ganas dan cepat daya kerjanya.
Desss! Tuk! Tuk!
Pendekar Naga Putih 05 Jari Maut Pencabut Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aaakh...!"
Pedang hitam di tangan Kenanga terlempar akibat tangkisan Soma. Dan sebelum
gadis itu menyadari keadaannya, dua buah totokan telah melumpuhkan
tubuhnya. Tubuh gadis jelita itu roboh disertai sebuah keluhan pendek.
Bukan main cemasnya hati Panji ketika mendengar keluhan yang keluar dari mulut
kekasihnya. Cepat kepalanya menoleh untuk memastikan apa yang telah terjadi
terhadap dara pujaannya itu. Dan wajahnya terubah pucat ketika tampak tubuh
kekasihnya sudah berada
dalam pondongan salah seorang pengawal lawannya. "Bangsat! Lepaskan gadis itu!" tiba-tiba saja tubuh Pendekar Naga Putih melayang
meninggalkan lawannya.
Ternyata kesempatan yang hanya sekejap itu tidak disia-siakan Jaya Sukma. Selagi
tubuh Panji melesat melancarkan
serangan ke arah Soma yang tengah
memondong Kenanga, Jari Maut Pencabut Nyawa segera melepaskan sebuah tendangan
kilat yang begitu telak menghantam punggung Pendekar Naga Putih.
Desss! "Aaakh...! Huakkk...!"
Tak pelak lagi, tubuh Panji terlempar deras dan
memuntahkan darah segar seketika. Tulang punggungnya terasa remuk akibat
tendangan lawan yang mengandung tenaga dalam tinggi itu. Panji mencoba berdiri
tegak meskipun kepalanya rasanya seperti berputar. Pendekar muda itu rupanya
mengalami luka yang cukup parah.
"Pendekar Naga Putih! Kami datang membantu...!" tiba-tiba terdengar seruan
nyaring yang disertai berkelebatnya dua sosok tubuh ke arena itu.
Jaya Sukma yang semula sudah bersiap melontarkan pukulan selanjutnya, tertegun
sesaat. Hatinya bimbang ketika
mengenali dua orang pendatang itu. "Hm. Menghadapi Pendekar Naga Putih saja aku sudah merasa repot, apalagi kalau
ditambah mereka berdua," kata pemuda itu dalam hati.
"Paman, mari kita pergi...!" teriak Jaya Sukma sambil melontarkan pukulan 'Jari
Maut' ke arah dua orang yang baru datang itu. Namun dua orang yang menjadi
sasaran itu cepat bergulingan menghindarinya.
Glarrr! Pohon sepelukan orang dewasa yang berada di belakang dua orang itu berderak
patah ketika seberkas sinar kemerahan menghantamnya.
"Bangsat! Pemuda iblis itu berhasil meloloskan diri...,"
ujar orang bertubuh tinggi kekar yang ternyata adalah Pendekar Tombak Sakti
sambil membersihkan rumput kering yang melekat di pakaiannya.
"Hm.... Sampai ke ujung langit pun akan tetap kukejar!"
seru yang seorang lagi. Siapa lagi kalau bukan Pendekar Kapak Maut. Suaranya
terdengar geram sekali ketika mengucapkan kata-kata itu.
"Uhhh.... Kenanga..., maafkan aku. Aku tak dapat menolongmu. Kepandaian orang
itu memang hebat sekali.
Pantas saja kalau banyak tokoh persilatan tewas di tangannya," tiba-tiba
terdengar suara Pendekar Naga Putih.
"Ahhh, Pendekar Naga Putih! Menyesal sekali kami tidak dapat menyelamatkan gadis
itu," ucap Pendekar Tombak
Sakti penuh penyesalan.
"Tidak apa-apa, Paman. Aku maklum. Tapi, lihat
pembalasanku nanti! Oh, ya. Terima kasih atas pertolongan Paman berdua," jawab Panji sambil membungkuk hormat.
"Bagaimana lukamu, Pendekar Naga Putih?" tanya
Pendekar Kapak Maut secara sepintas.
"Sudah tidak terlalu mengkhawatirkan, Paman...,"
jawab Panji tersenyum, namun seperti dipaksakan. Pikirannya terpusat penuh pada keselamatan Kenanga.
Biar bagaimanapun, gadis itu harus cepat-cepat diselamatkan. Suasana berubah hening sejenak. Ketiga orang pendekar itu sama-sama termenung terbawa arus pikiran masing-masing.
Tugas Rahasia 8 Dewi Ular 48 Perempuan Penghisap Darah Dendam Iblis Seribu Wajah 24