Pencarian

Kecapi Perak Dari Selatan 1

Pendekar Naga Putih 16 Kecapi Perak Dari Selatan Bagian 1


1 Merambah hutan membawa duka
Mendaki gunung membawa luka
Dari Selatan dendam membara
Mencari durjana penyebab sengsara
Suara nyanyian yang seperti menimbulkan kesan maut itu bergema, menyelusup ke
dalam hutan dan lembah. Alunan denting kecapi mengiringinya, dengan irama tidak
tetap. Terkadang petikan kecapi itu mengalun lembut laksana hembusan angin
gunung yang sejuk dan membawa kedamaian. Namun di lain saat, berubah garang
bagai amukan badai di lautan yang siap menelan korban.
Beberapa petani yang saat itu tengah mengerjakan sawahnya, berhenti sejenak
sambil mengerutkan kening. Mereka merayapi daerah sekitarnya, seolah-olah ingin
mencari asal nyanyian dan petikan kecapi itu.
"Nyanyian aneh" Petikan kecapinya pun terdengar aneh dan lain dari biasanya" Dan
yang lebih aneh lagi, suara itu seolah-olah berasal dari segala penjuru"
Mungkinkah yang membawakannya adalah manusia?" gumam salah seorang petani yang
berusia sekitar lima puluh tahun. Wajahnya yang kehitaman karena selalu
terpanggang sinar matahari itu tampak menegang, karena mencium sesuatu yang
tidak wajar dari nyanyian itu.
"Kau jangan berpikir yang bukan-bukan. Tentu saja yang memainkannya pasti
manusia! Lagi pula, mana
ada setan yang dapat memainkan kecapi" Apa lagi siang hari seperti ini.
Sudahlah! Lebih baik kita selesaikan pekerjaan ini, agar bisa pulang cepat,"
timpal petani lain yang bertubuh kurus bagaikan tulang terbungkus kulit.
Dari nada suara dan wajahnya yang agak
memucat, jelas sekali kalau dia mulai terpengaruh ucapan kawannya. Hanya saja
hal itu berusaha disembunyikannya agar tidak membuat panik yang lain.
"Hei" Mengapa kalian tampaknya begitu ketakutan" Dengarlah. Suara petikan kecapi
itu begitu merdu dan terasa menyegarkan!" seru petani yang lainnya lantang.
Memang, saat itu irama alunan kecapi itu
demikian merdu dan melenakan. Sehingga para petani yang semula merasa lelah,
terbangkit semangatnya. Dan kini mereka pun bekerja semakin giat.
"Wah! Hebat sekali kepandaian orang itu. Rasa-rasanya pemain-pemain kecapi di
desa kita tidak ada yang bisa menyamainya. Kalau saja kepala desa kita
mendengar, mungkin orang itu akan dijadikan pembantunya agar senantiasa
memainkan musik kecapi itu untuknya," ujar petani yang pertama kali membuka
pembicaraan. Dan kini rasa takutnya mulai hilang ketika mendengar petikan kecapi
yang bersuara merdu dan menyegarkan itu.
"Hm... Kurasa ia belum tentu mau. Karena, kalau melihat dari permainannya,
paling tidak ia biasa bermain di istana," timpal kawannya yang rupanya lebih
mengerti tentang kecapi.
Para petani itu pun menghentikan pembicaraan-nya ketika beberapa orang wanita
mendatangi mereka. Kalau dihhat dari bawaan para wanita itu, pastilah mereka adalah anak-
anak atau istri petani yang datang membawakan makanan. Dan kini para petani itu
terlihat bergegas naik dan mencuci tangannya yang penuh lumpur.
Para petani itu pun tidak menyadari kalau saat itu suara kecapi yang mereka
nikmati tadi telah lenyap.
Dan suasana pun kembali hening dan sepi.
*** Matahari sudah semakin naik tinggi. Sinarnya yang semula memancar garang, kini
tampak meredup.
Sesosok tubuh berambut meriap tampak duduk bersila di bawah sebatang pohon yang
berdaun rindang. Jari-jari tangannya tampak menari-nari di atas dawai kecapi di
depannya. Wajahnya menunduk dalam seolah benar-benar tengah menikmati alunan
musik yang dimainkannya itu.
Sesaat kemudlan, kepalanya terdongak menatap cakrawala biru. Terdengar tarikan
napasnya yang berat. Sesaat kemudlan, nyanyiannya kembali terdengar.
Merambah hutan membawa duka
Mendaki gunung membawa luka
Dari Selatan dendam membara
Mencari durjana penyebab sengsara
Suara nyanyian terdengar bergetar, seolah-olah apa yang tengah dirasakannya
ditumpahkan dalam nyanyian itu. Maka orang-orang yang mendengarnya seperti ikut
terhanyut dalam kedukaan. Tapi ketika orang mendengar nyanyian baris ketiga dan
keempat, bulu kuduk pun merinding. Bisa ditebak kalau suara lelaki itu terdengar jelas
mengandung dendam yang dalam!
Dua orang laki-laki berpakaian serba hitam melangkah dengan tergesa-gesa keluar
dari dalam gerbang Perguruan Jalak Hitam. Kemudian mereka menghampiri seorang
lelaki pemetik kecapi yang terpisah sejauh enam tombak dari pintu gerbang
perguruan itu. "Kisanak. Jika saja kau suka mengubah syairmu dengan kata-kata yang lebih indah,
aku yakin permainan musikmu akan lebih terasa kenikmatannya,"
tegur salah satu dari kedua orang itu ketika tiba di depan si pemetik kecapi.
"Benar, Kisanak. Syair-syair yang kau nyanyikan itu terasa tidak enak di hati
kami. Cobalah rubah dengan kata-kata yang lebih indah. Pasti nanti kami akan
memberi bayaran tinggi. Bagaimana?" usul orang yang bertubuh pendek dan gemuk.
Sambil berkata demikian, sepasang matanya menatap tajam ke arah kecapi yang
dimiliki orang itu.
Kecapi yang berwarna perak itu tampak berkilatan tertimpa cahaya matahari. Diam-
diam hatinya merasa heran melihat kecapi itu.
Lelaki berambut meriap itu sama sekali tidak menyahut. Jemarinya terus saja
digerakkan di atas dawai-dawai kecapi. Dan sepertinya, ia memang tidak peduli
dengan kedua orang itu.
"Kisanak. Apakah kau tuli sehingga tidak mendengar kata-kata kami?" tanya orang
yang bertubuh kurus, mulai merasa tersinggung karena ucapannya tidak ditanggapi.
"Sabarlah, Kakang. Siapa tahu orang ini benar-benar tuli," bujuk orang yang
bertubuh gemuk.
Kemudian tubuhnya pun dibungkukkan untuk
melihat lebih jelas wajah orang itu. Namun ia menjadi penasaran karena wajah
orang itu tertutup rambut yang meriap. Sehingga wajahnya tidak bisa terlihat
jelas. "Kisanak. Apakah kau memang tidak mendengar suara kami" Atau sengaja ingin
mempermainkan kami?" tanya orang bertubuh gemuk itu dengan suara agak keras.
Namun pemetik kecapi itu tetap saja membungkam, bahkan sama sekali tidak
mengangkat kepalanya.
"Huh! Aku tidak peduli apakah kau tuli atau tidak!
Sekarang cepat tinggalkan tempat ini, sebelum kesabaran kami hilang!" bentak
orang pertama, gusar. Wajahnya tampak gelap karena hawa
kemarahan telah naik ke kepalanya.
Mendengar bentakan itu, si pemetik kecapi perlahan-lahan mendongakkan kepalanya.
Sepasang matanya tampak mencorong tajam, membuat kedua orang itu bergerak mundur
tanpa sadar. "Hm.... Apakah kalian murid Ki Suta yang berjuluk Pendekar Pedang Sakti?" tanya
lelaki berambut meriap itu. Suaranya terdengar dingin dan kaku, sehingga membuat
tubuh kedua orang itu semakin gemetar hebat
"Siapa..., siapa kau" Apa maksudmu menanyakan guru kami?" tanya orang yang
bertubuh kurus dengan suara gagap. Sedangkan kakinya terus melangkah mundur
seraya meraba gagang pedang, meskipun dengan tangan gemetar.
"Jawab saja pertanyaanku kalau kau masih sayang nyawamu," sahut si pemetik
kecapi. Nada suaranya datar, namun mengandung ancaman maut
Setelah berkata demikian, jemari tangan kanannya
bergerak memetik dawai kecapi secara berbarengan.
Creeeng! "Aaah...!"
Dua orang itu berteriak kaget. Tubuh mereka langsung terjengkang bagai didorong
kekuatan hebat yang tak tampak.
Sambil menekap dada yang berguncang akibat suara petikan kecapi, keduanya
bergerak bangkit.
Wajah mereka nampak semakin pucat! Mereka benar-benar terkejut karena tidak
melihat orang itu menggerakkan tangannya. Kelihatannya kedua orang itu belum
tahu kalau yang membuat mereka jatuh adalah suara petikan kecapi.
"Katakan kepada gurumu kalau ada seorang pemetik kecapi yang datang menagih
hutang sepuluh tahun yang lalu. Pergilah sebelum aku berubah pikiran dan
menjatuhkan tangan kejam kepada kalian," ancam lelaki berambut meriap itu datar.
Setelah berkata demikian, wajahnya kembali ditundukkan. Sedangkan jemari
tangannya kembali menari-nari di atas dawai kecapi.
Tanpa berkata apa-apa lagi, kedua orang lelaki itu pun bergegas berbalik. Mereka
kemudian melangkah, masuk ke dalam perguruan. Dengan langkah lebar-lebar mereka
langsung menghadap guru besar mereka yang berjuluk Pendekar Pedang Sakti.
*** "Hm.... Apakah orang itu tidak menyebutkan nama dan daerah asalnya?" tanya Ki
Suta setelah mendengar penuturan kedua orang muridnya.
Lelaki gagah berusia sekitar lima puluh tahun itu beranjak dari kursinya. Ia
berjalan hilir mudik dengan
kening berkerut.
"Ampun, Guru. Kami tidak berani banyak bertanya, karena orang itu akan membunuh
kami," jawab salah satu dari dua orang murid yang melapor.
Wajah mereka tertunduk dalam-dalam, dan tidak berani menatap wajah Ki Suta yang
terlihat keruh itu.
"Bangkil, Wirja! Coba kalian lihat dan tanyakan, apa maunya orang itu menanyakan
aku. Kalau dia berbuat macam-macam, beri pelajaran agar lain kali tidak
meremehkan orang lain!" perintah Ki Suta kepada dua orang murid utama yang duduk
bersila di sampingnya.
Orang yang dipanggil Bangkil dan Wirja itu bergegas bangkit berdiri.
"Baik, Guru," sahut keduanya.
Mereka menjura untuk memberi hormat,
kemudian segera melangkah keluar. Setibanya di luar bangunan perguruan, kedua
orang itu mengisyaratkan kepada beberapa orang murid untuk mengikutinya.
"Hm... Diakah yang kalian maksud?" tanya Bangkil kepada kedua orang yang tadi
melaporkan kejadian itu.
"Betul, Kakang. Hati-hatilah! Sepertinya orang itu memiliki kepandaian tinggi.
Buktinya kami tadi dapat dijatuhkan dengan mudah," jawab laki-laki bertubuh
gemuk pendek itu setengah berbisik.
"Hm...."
Orang yang bernama Bangkil itu hanya bergumam tak jelas. Kelihatan sekali kalau
dia tidak memandang sebelah mata pun kepada lelaki berambut meriap yang masih
asyik memainkan kecapinya. Sepertinya kedatangan murid-murid Perguruan Jalak
Hitam sama sekali tidak diketahui. Kepalanya pun tetap saja
menunduk tanpa mempedulikan keadaan di
sekelilingnya. "Hm.... Siapakah di antara kalian yang berjuluk Pendekar Pedang Sakti?" tanya
lelaki pemetik kecapi itu tanpa mengangkat kepalanya sedikit pun. Sedangkan
jari-jarinya tetap saja menari-nari di atas dawai kecapi.
"Siapa kau, Kisanak. Dan apa keperluanmu mencari guruku"! Apakah kau sedemikian
pengecut-nya, sehingga tidak berani memperkenalkan nama"!"
bentak Bangkil.
Laki-laki berbadan tegap dan berusia sekitar tiga puluh tahun ini merasa
tersinggung sekali melihat cara orang itu menghadapinya. Wajahnya berubah gelap,
karena seumur hidupnya baru sekali inilah ada orang yang demikian rendah
memandangnya. Ingin rasanya Bangkil menebas putus leher orang itu kalau tidak
ingat pesan gurunya.
"Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian.
Sebaiknya panggil saja guru kalian," tegas orang itu lagi yang masih saja
memainkan kecapinya.
Meskipun dalam nada suaranya terdengar biasa, namun jelas sekali kalau dia telah
menganggap remeh orang-orang yang mendatanginya.
"Keparat, kau! Apakah kau kira dirimu raja yang dapat memerintah seenak
perutnya! Huh...! Kau memang pantas untuk diberi pelajaran!" bentak Bangkil yang
sudah menjadi kalap.
Srettt! Bangkil melolos pedangnya dengan sikap mengancam. Meskipun dalam keadaan marah,
namun Bangkil tetap saja tidak sudi berbuat curang. Laki-laki ini belum juga
melancarkan serangan, karena pemain kecapi itu masih saja menundukkan kepalanya.
Sikapnya benar-benar tidak peduli.
"Beri dia pelajaran agar lain kali tidak bersikap sombong dan memandang rendah
orang lain!"
perintah Bangkil mengisyaratkan beberapa orang murid Perguruan Jalak Hitam untuk
menghajar lelaki pemetik kecapi itu.
"Haaat..!"
Wuttt! Wuttt...!
Enam batang senjata berkelebat mengancam
seluruh tubuh lelaki berambut meriap itu. Namun dengan masih bersila, tubuh
orang itu mendadak melayang dan berpindah ke tempat lain. Maka senjata orang-
orang itu hanya membabat rerumputan kering.
"Hm.... Kuperingatkan sekali lagi, pergilah! Panggil gurumu! Jangan sampai
kesabaranku habis!" ancam lelaki berambut riapan, seraya berdiri tegak sambil
menenteng kecapinya.
Ternyata, orang itu baru berusia sekitar tiga puluh tahun. Wajahnya tampak
dingin dan kaku. Garis-garis penderitaan tampak jelas di wajahnya yang kokoh
itu. "Keparat kau, Jembel Busuk! Rupanya kau memang sengaja hendak mencari
keributan!" maki Bangkil, seraya melangkah maju dengan pedang terhunus.
"Hm...."
Dimaki demikian, orang itu sama sekali tidak menunjukkan kemarahan. Wajahnya
tetap datar tanpa perasaan. Hanya sepasang matanya saja yang mencorong
menggetarkan jantung. Maka tidak satu pun dari mereka yang berani menatap mata
lelaki itu secara langsung.
"Yeaaat..!"
Bangkil berseru nyaring disertai sambaran pedang
yang berdesing tajam. Nampaknya, murid utama Ki Suta ini sudah tidak
mempedulikan lagi, apakah serangannya dapat membunuh orang itu atau hanya
melukainya. Ia benar-benar telah marah melihat sikap angkuh yang diperlihatkan
pemetik kecapi itu.
Melihat saudara seperguruannya sudah mulai meneejang, Wirja juga bergegas
menyusul. Senjatanya yang juga berupa sepasang pedang, berkelebat cepat
mengancam beberapa bagian tubuh lawan yang mematikan.
Lelaki pemetik kecapi itu hanya menggeser tubuhnya sedikit untuk menghindari
sambaran pedang Bangkil. Kemudian tubuhnya diliukkan, menggunakan kuda-kuda
harimau. Maka, serangan Wirja hanya lewat beberapa jari di atas kepalanya.
Lalu secara tak terduga kaki kanannya terangkat naik menghantam punggung Wirja
yang saat itu sudah berada di depannya.
Zebbb! "Heaaah...!"
Tapi Wirja bukan orang bodoh. Mendapat
serangan yang tak terduga itu, dia segera bergulingan menjauhi lawan sambil
berteriak keras. Kemudian, cepat sekali pedangnya disabetkan ke a rah kaki
lawan. "Mampus kau!" teriak Wirja yang merasa yakin kalau babatan pedangnya itu pasti
akan memutuskan kaki lawan.
Namun untuk menjatuhkan si pemetik kecapi tidaklah semudah yang dibayangkannya.
Karena pada saat yang tepat, kaki si pemetik kecapi telah lebih dulu menendang
cepat ke arah punggung.
Bettt! Dugkh! "Aaakh...!"
Terdengar jerit kesakitan ketika ujung kaki lelaki pemetik kecapi itu menghantam
punggung Wirja tepat dan keras. Tubuh murid Perguruan Jalak Hitam itu langsung
terpental hingga beberapa tombak ke belakang. Wirja bergegas bangkit berdiri.
Wajahnya tam pak menyeringai menahan rasa nyeri yang hebat di punggung.
"Uhhh...! Bangsat kau...!" umpat Wirja sambil menggigit bibirnya kuat-kuat,
untuk menahan rasa sakit yang dideritanya.
*** Bangkil dan teman-temannya begitu terkejut
melihat Wirja dapat dilumpuhkan hanya dalam beberapa jurus saja. Dengan
kemarahan yang meledak-ledak, laki-laki bertubuh sedang itu kembali menyerbu.
Demikian pula enam orang murid lainnya, yang turut menerjang secara berbarengan.
Mereka ber-pencar dan bersiap menghabisi si pemetik kecapi dengan penyerangan


Pendekar Naga Putih 16 Kecapi Perak Dari Selatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari segala penjuru.
Tapi lelaki berambut meriap itu sama sekali tidak gentar. Dengan gerakan tenang,
ia malah duduk di atas rerumputan. Alat musik kecapi diletakkan di depannya.
Sesaat kemudian, jemari tangannya bergerak semakin cepat. Hingga permainan
kecapi itu tak ubahnya ombak samudera yang bergemuruh dahsyat!
"Aaa...!"
Seketika Bangkil dan enam orang murid Perguruan Jalak Hitam mendadak
menghentikan serangan. Dan memang, ternyata dari depan mereka seolah-olah
ada sebuah kekuatan yang mendorong ke belakang.
Bukan itu saja. Dada dan telinga mereka bagaikan digedor dari dalam. Akibatnya,
tubuh mereka bergetar hebat bagaikan terserang demam.
Ketujuh orang berseragam hitam itu berteriak dan menjerit-jerit kesakitan. Kedua
tangan mereka masing-masing menekap telinga yang terasa bagai hendak pecah,
disertai gerakan limbung. Seolah-olah, saat itu tengah terjadi gempa yang
mengguncangkan jagat!
Sedangkan alunan suara kecapi yang dimainkan orang itu semakin kacau dan tak
beraturan. Sebentar terdengar lambat, namun di lain saat berubah cepat dan
bergemuruh. Akibatnya ketujuh orang yang semula hendak mengeroyoknya semakin
kelabakan bagaikan cacing kepanasan.
"Hentikan...!"
Pada saat yang gawat itu, tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat disertai
bentakan menggelegar!
Bayangan itu menjejakkan kaki dalam jarak enam tombak dari lelaki pemetik kecapi
yang segera menghentikan permainannya. Rupanya bayangan itu adalah Ki Suta,
Ketua Perguruan Jalak Hitam. Dia juga ditemani beberapa muridnya.
Begitu irama permainan kecapi berhenti, ketujuh orang itu langsung roboh bagai
sebatang pohon lapuk. Mereka langsung bergeletakan pingsan, dan tidak ingat apa-
apa lagi. "Hm.... Sepertinya kau sengaja tidak bermaksud membunuh murid-muridku.
Sebenarnya kalau mau, kau dapat saja mengerahkan tenaga dalam lebih kuat lagi.
Maka akan tamatlah riwayat tujuh orang muridku itu. Mengapa tidak kau lakukan"
Apa sebenarnya yang kau inginkan dariku, Kisanak?" tanya sosok yang
baru datang itu dengan suara berwibawa. Lelaki setengah baya itu menatap wajah
si pemetik kecapi lekat-lekat Sepertinya dia tengah berusaha mengingat, siapa
gerangan tokoh ini.
"He he he.... Matamu ternyata tajam sekali, Ki Suta. Tapi apakah ingatanmu juga
setajam matamu?"
kata lelaki berambut meriap sambil tertawa dingin.
Meskipun bibirnya bergerak bagaikan orang tertawa, namun wajahnya tetap dingin
dan beku sehingga kesan yang ditimbulkan semakin menyeramkan.
"Tidak perlu berteka-teki denganku, Kisanak.
Sebut saja siapa namamu, dan apa keperluanmu mencariku" Cepatlah! Kalau kau
tidak mau berterus-terang, maka aku tidak akan sudi melayanimu!
Namun, kau tidak bisa pergi begitu saja. Kau harus bertanggung jawab atas
kekacauan yang kau timbulkan di tempat ini!" tegas Ki Suta. Meskipun nada
suaranya tetap terdengar tenang, namun nyata sekali kalau tersirat suatu
ancaman. "Hm.... Kalau kau memang sudah melupakannya, aku akan membantumu untuk
mengingat-ingatnya di akhirat nanti. Nah! Sekarang, bersiaplah untuk melayat ke
neraka!" ancam lelaki berambut meriap itu sambil memasang kuda-kuda, siap
menghadapi sebuah pertempuran mati-matian.
"Kurang ajar! Kau benar-benar tidak memandang muka kepadaku. Bedebah! Apakah kau
pikir aku akan takut melihat ilmu silat pasaran yang kau per-tunjukkan itu! Huh!
Jangan merasa sombong dulu, Kisanak. Kalau memang sebuah pertempuran yang
diinginkan, aku tidak akan menolaknya!" sahut Ki Suta sambil meraba gagang
pedangnya yang ter-sampir di punggung.
Srek! Perlahan-lahan selarik sinar kebiruan muncul ketika pedang Ki Suta mulai
tercabut. Rupanya sinar kebiruan itu muncul dari badan pedang, sehingga begitu
menyilaukan mata.
Cwiiit! Swiiing!
Terdengar suara sambaran angin tajam ketika Ki Suta menggerakkan senjata di
depan tubuhnya. Lalu lelaki setengah baya yang berjuluk Pendekar Pedang Sakti
itu melangkahkan kaki kanannya mundur ke belakang. Tubuhnya merendah dengan kaki
kiri menekuk. Pedangnya tampak melintang di depan muka dengan mata pedang menuju
ke bawah. Sedangkan tangan kirinya teracung lurus ke depan menunjuk wajah lawan. Itulah
pembukaan jurus 'Ilmu Pedang Delapan Arah Mata Angin' yang merupakan ilmu
andalan Ki Suta. Dan kini ilmu itu dikerahkan karena disadari kalau lawannya
bukanlah orang sembarangan. Dan itu sudah disaksikan ketika lelaki berambut
meriap itu tengah menghadapi keroyokan murid-muridnya.
"Hm...."
Lelaki gagah pemetik kecapi itu bergumam lirih, dan sepasang matanya mencorong
tajam meneliti setiap gerakan lawannya. Sepertinya ia sudah dapat menebak kalau
jurus yang akan digunakan Ki Suta bukanlah jurus-jurus pasaran, melainkan sebuah
ilmu silat tinggi yang tidak bisa dianggap remeh.
Sesaat kemudian, laki-laki muda berwajah dingin dan kaku itu menggeser tubuhnya
beberapa langkah ke belakang. Dengan pandangan mata tetap tertuju ke depan,
segera dibentuknya kuda-kuda serong dengan posisi menyamping. Kecapi yang
berwarna perak itu terangkat tinggi di atas kepalanya.
Sedangkan tangan kirinya yang jari-jarinya terbuka berada di sisi pinggang.
Rupanya si pemetik kecapi itu telah pula menyiapkan ilmu andalannya yang cukup
dahsyat Dan untuk beberapa saat lamanya kedua tokoh itu hanya saling pandang sambil
melangkah berputar ke arah yang berlawanan.
"Heaaat..!"
Dibarengi teriakan menggelegar, tubuh lelaki pemetik kecapi itu melompat tinggi
hingga dua tombak. Kecapi perak di tangannya bergerak cepat membuat putaran.
Sesaat kemudian, kecapi itu meluncur deras menuju batok kepala lawan.
Wuttt! Ki Suta bukan tidak tahu akan bahaya yang tengah mengancamnya. Begitu melihat
lawannya mulai membuka serangan, pedangnya segera digerakkan membentuk gulungan
sinar biru yang berpendar dan membungkus tubuhnya. Dan begitu melompat
menyambut serangan lawan, ujung pedang di tangannya tiba-tiba saja muncul dari
dalam lingkaran dan langsung melancarkan serangan sebanyak lima kali berturut-
turut. Cwiiit! Swiiit...!
Mata pedang yang membentuk gulungan sinar biru itu meluncur mengancam lima buah
jalan darah di tubuh lawan.
Melihat serangan yang mematikan, lelaki muda berwajah dingin itu menarik pulang
serangannya. Cepat-cepat gerakannya dirubah untuk memapak lima buah serangan Ki Suta dengan
menggunakan badan alat musik kecapinya.
Trang! Trang! Trang!
"Aaah...!"
Terdengar benturan nyaring yang disusul teriakan kaget dari mulut Ki Suta. Tubuh
laki-laki setengah baya itu terpental ke belakang akibat tangkisan lawan. Namun
dengan sebuah gerakan indah, dia berputar sebanyak tiga kali di udara, dan
hinggap di atas tanah dengan indahnya. Hanya saja, wajahnya agak sedikit pucat
Sedangkan gerakan lelaki berambut meriap itu sama sekali tidak terpengaruh
benturan keras tadi.
Bahkan ia kembali meluncur dan melancarkan serangan yang mematikan ke arah
Pendekar Pedang Sakti.
Ki Suta yang belum sempat memperbaiki posisi-nya, bergegas melempar tubuh dan
bergulingan hingga sejauh tiga tombak. Kemudian ia kembali melenting bangkit dan
mengatur kuda-kudanya.
Begitu serangan lawan kembali datang, pedangnya diayunkan untuk menyambut
serangan lawan. Dan kini pertarungan pun kembali berlangsung semakin sengit.
Ketua Perguruan Jalak Hitam itu melancarkan serangannya dengan cepat dan ganas.
Sebagai seorang tokoh yang berjuluk Pendekar Pedang Sakti, tentu saja permainan
pedangnya tidak bisa dipandang rendah. Serangan-serangan yang dilancarkan tampak
demikian hebat dan menggetarkan.
Cahaya kebiruan yang terpancar dari batang pedangnya tampak bergulung-gulung dan
menyambar-nyambar di sekeliling tubuh lawan. Tampaknya Ki Suta telah menguras
seluruh kepandaiannya untuk mengalahkan orang itu.
Di lain pihak, lelaki berambut meriap itu ternyata memang bukan orang
sembarangan. Senjata yang digunakannya sebenarnya tidak lumrah bagi seorang
pesilat. Namun ternyata, ia dapat mengimbangi permainan lawan dengan baik.
Bahkan serangan-serangan balasannya tidak kalah berbahaya dengan sambaran pedang
lawan. Setelah menghabiskan kurang lebih lima puluh jurus, mulai nampak kalau ilmu yang
dimiliki lelaki berwajah dingin itu ternyata masih lebih tinggi dibanding Ki
Suta. Hingga memasuki jurus kelima puluh tiga, tampak Pendekar Pedang Kilat
semakin terdesak oteh serangan-serangan lawan yang semakin gencar dan berhawa
maut itu. Wukkk! "Aihhh...!"
Ki Suta berseru tertahan ketika pada jurus keenam puluh hampir saja tubuhnya
terkena hantaman kecapi perak lawan. Untunglah tubuhnya masih sempat
digulingkan, sehingga hantaman senjata lawan hanya mengenai tempat kosong.
Namun wajah Ketua Perguruan Jalak Hitam itu mendadak pucat. Karena pada saat
tubuhnya melenting bangkit, tahu-tahu saja kecapi yang terlapisi perak itu telah
meluncur mengancam kepalanya. Cepat orang tua itu meliukkan tubuhnya dengan
kuda-kuda rendah. Untunglah serangan itu lewat di atas kepalanya. Dan baru saja
Ki Suta hendak menarik napas lega, telapak tangan kiri lawan telah menggedor
dada kirinya. Blakkk! "Huaghkkk..!"
Pendekar Pedang Sakti langsung memuntahkan darah segar ketika hantaman telapak
tangan yang berisi tenaga dalam tinggi itu mengenai dadanya.
Tubuh orang tua itu terjengkang ke belakang tanpa dapat dicegah lagi. Belum lagi
tubuhnya terjatuh ke
tanah, kecapi perak di tangan lawan kembali terayun ke arah kepalanya.
Wukkk! Prakkk! "Hugkh...!"
Sungguh malang nasib orang tua itu. Kini kecapi perak itu telah menghantam
kepalanya hingga pecah!
Darah segar bercampur cairan putih kental langsung memercik membasahi bumi.
Tubuh tanpa kepala milik Ki Suta langsung ambruk ke atas tanah. Setelah
berkelojotan sesaat, tubuh Ketua Perguruan Jalak Hitam itu pun diam tak
bergerak-gerak lagi. Mati!
Lelaki berambut meriap itu berdiri tegak meng-awasi mayat lawannya. Bibirnya
tampak menyunggingkan senyum puas. Lalu tangannya diulurkan, merobek sabuk Ki
Suta. Dengan tenang, dibersih-kannya alat musik kecapi di tangannya dengan
sobekan kain itu. Setelah bersih, orang aneh itu pun melangkahkan kakinya
meninggalkan tempat itu.
"Guru...!"
Belasan orang laki-laki berseragam hitam dengan bagian dada bergambar burung
jalak itu menghambur ke arah mayat gurunya. Beberapa di antaranya berlari
memburu orang yang telah membunuh gurunya itu.
Rupanya mereka baru tersadar setelah melihat kepergian si pemetik kecapi.
Belasan orang murid yang menyaksikan pertarungan tadi sempat terkesima melihat
kematian Ki Suta. Mereka hampir tidak mempercayai kalau sang Guru telah roboh di
tangan orang itu.
"Jahanam! Mau lari ke mana kau, Pembunuh Keji"! Kau harus menebus kematian
guruku dengan darahmu!" bentak salah seorang murid yang telah mengepung lelaki
pemetik kecapi itu.
"Maaf. Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian. Lebih baik urus mayat gurumu
itu," kilah orang itu sambil terus melangkahkan kakinya tanpa mempedulikan
orang-orang yang menghadangnya dengan senjata terhunus.
"Huh! Enak saja bicara! Langkahi dulu mayat kami baru kau dapat meninggalkan
tempat ini!" teriak yang lainnya dengan kemarahan yang meluap-luap Dan tanpa
mempedulikan keselamatan lagi, orang itu pun melompat menerjang dengan sambaran
pedangnya. Wuttt! "Hm...."
Sambil tetap menenteng kecapi peraknya, lelaki itu melangkah mundur menghindari
sambaran pedang yang mengancam perutnya. Begitu sambaran pedang luput, kakinya
kembali bergerak melakukan tendangan ke dada murid Perguruan Jalak Hitam itu.
"Hugkh...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh penyerang itu terjungkal disertai semburan darah
dari mulutnya, dan langsung tergeletak tak berdaya dengan napas satu-satu.
Melihat kejadian itu, yang lainnya tanpa sadar bergerak mundur! Dan kesempatan
itu tidak disia-siakan lelaki berambut meriap. Sesaat kemudian, tubuhnya pun
melesat meninggalkan tempat itu disertai pengerahan ilmu meringankan tubuh yang
sudah cukup sempurna. Beberapa saat saja, tubuhnya hanya berupa bayangan samar
yang bergerak di antara pepohonan. Sedangkan murid-murid Ki Suta hanya dapat
memandang tanpa mampu mengejar-nya.
"Keparat! Tunggu saja pembalasanku nanti!" teriak
salah seorang murid, geram dan penuh dendam.
Tak lama kemudian, murid-murid Perguruan Jalak Hitam bergegas mengangkat tubuh
Bangkil dan tujuh orang lainnya yang masih tergeletak pingsan. Sedangkan murid
yang Iain membawa mayat guru mereka ke dalam bangunan perguruan. Sehingga dalam
beberapa saat saja, halaman depan gedung perguruan itu tampak sunyi dan hening.
*** 2 Di bawah siraman cahaya matahari pagi, tampak dua orang pengendara kuda bergerak
menuju ke arah Barat. Mereka menggebah kudanya agar berlari semakin cepat,
sehingga menimbulkan kepulan debu yang membumbung ke angkasa. Padahal, kuda-kuda
itu sudah mendengus-dengus kelelahan.
Kedua orang penunggang kuda itu menarik tali kekang ketika tiba pada sebuah
pertigaan jalan.
Untuk beberapa saat lamanya mereka mengamati jalan yang terbentang di depan
mereka. Sepertinya, keraguan mereka mulai timbul ketika melihat jalan yang
terpecah, antara belok kiri dan belok kanan.
"Mengapa berhenti, Kakang" Apakah kau telah lupa jalannya?" tanya penunggang
kuda yang bertubuh kurus seraya menatap wajah kawannya yang bertubuh kekar itu.
"Hm..., entahlah. Sebaiknya kita ambil jalan yang ke kiri saja. Kalau bertemu
desa nanti, aku akan bertanya kepada penduduk. Mari, kita berangkat!" ajak
lelaki bertubuh kekar itu.
Dia kemudian melarikan kudanya perlahan,
karena jalan yang dilewati itu banyak ditebari baru yang bertonjolan. Kalaupun
dipaksa cepat, mungkin kuda mereka akan terperosok.
"Huh! Jalanan rusak seperti ini, apa mungkin di depan sana ada pedesaan?" gumam
lelaki bertubuh kurus mengomel tak karuan.
"Seingatku, di depan sana memang terdapat sebuah desa, Adi," sahut lelaki
bertubuh kekar itu.
Tidak berapa lama kemudian, jalan yang dilalui kembali mulus. Dan mereka kembali
membedal kuda mereka agar berlari lebih cepat
"Nah, betulkan kataku. Lihatlah! Bukankah itu mulut sebuah desa," ujar lelaki
bertubuh kekar sambil menunjuk ke sebuah tanda yang menunjukkan adanya desa yang
hanya beberapa ratus batang tombak lagi.
Laki-laki kurus yang diajak bicara hanya mengangguk dengan wajah cerah.
Sepertinya hatinya merasa gembira karena apa yang diduga kawannya itu benar. Dan
kini desa itu tidak jauh lagi di depan mereka.
"Berarti perjalanan kita tidak akan lama lagi, bukan?" laki-laki bertubuh kurus
itu minta penegasan, seraya menyusut keringat yang menitik di kening.
"Hm...," gumam orang bertubuh gemuk itu meng-iyakan.
Kemudian kudanya segera digebah agar berlari semakin cepat. Sepertinya dia sudah
tidak sabar untuk mencapai mulut desa.
"Heya, heya, heyaaa...!"
Lelaki bertubuh kurus yang berada di belakang, bergegas membedal kuda, menyusul
kawannya yang telah melesat ke depan. Hingga tidak berapa lama kemudian, rumah-
rumah penduduk pun mulai
nampak. "Kita beristirahat dulu sejenak di kedai itu untuk menyegarkan tubuh. Setelah
itu, baru kita lanjutkan perjalanan," usul orang bertubuh kekar itu seraya
membelokkan kudanya ke arah kedai yang terlihat agak ramai oleh pengunjung.
Maka, kawannya pun bergegas mengikuti.


Pendekar Naga Putih 16 Kecapi Perak Dari Selatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

*** Laki-laki bertubuh kekar dan yang bertubuh kurus telah keluar dari kedai dengan
wajah lebih cerah dan segar. Mereka bergerak menuju kuda masing-masing.
"Kau tidak jadi bertanya kepada penduduk di sini, Kakang?" tanya si kurus
mengingatkan kawannya, sambil melangkah.
"Hm.... Tidak perlu! Karena setelah bertemu desa ini, aku yakin tujuan kita
sudah dapat ditemukan,"
sahut laki-laki bertubuh kekar itu.
Dia kemudian segera melompat ke atas punggung kuda, diikuti temannya. Begitu
ringannya gerakan mereka. Jelas, ilmu meringankan tubuh mereka telah cukup
tinggi. Kini kuda mereka kembali berlari menuju batas akhir desa itu.
Tidak berapa lama, kedua penunggang kuda itu tiba di sebuah bangunan yang cukup
besar. Kelihatannya bangunan itu adalah sebuah perguruan.
Mereka tampak berhenti sejenak sambil mengedarkan panda ngan ke sekitar tempat
itu, seolah-olah hendak meyakini kalau tempat itu memang yang dituju. Dan belum
lagi mereka berbuat sesuatu, tiba-tiba....
"Hei, berhenti! Siapa kalian"! Dan apa maksud kalian datang ke tempat ini"!"
tanya seorang laki-laki yang sepertinya penjaga pintu gerbang perguruan.
Sedangkan penjaga yang seorang lagi tampak menyelidiki wajah kedua orang itu
dengan teliti. "Namaku Bangkil, dan ini Wirja. Kami adalah utusan dari Perguruan Jalak Hitam.
Kedatangan kami kemari bermaksud akan menemui Ketua Perguruan Jari Besi," jawab
lelaki kekar yang ternyata adalah Bangkil itu. Tubuhnya yang tinggi besar tampak
membungkuk hormat kepada penjaga itu.
"Maksudmu, kau murid Pendekar Pedang Sakti!"
tanya si penjaga menegasi. Wajahnya tampak berubah begitu mendengar asal kedua
orang itu. "Benar. Dan kedatangan kami kemari membawa sebuah berita yang sangat penting!"
jawab Bangkil cepat.
"Ah! Kalau begitu, mari, mari silakan masuk!"
Kemudian Bangkil dan temannya bergegas
memasuki pintu perguruan itu, diiringi dua penjaga tadi.
"Kami akan melapor kedatangan kalian kepada guru kami. Jadi, tunggulah di sini,"
ujar penjaga itu lagi sambil melangkahkan kaki meninggalkan kedua orang tamunya
untuk melapor kepada guru mereka.
"Baik," jawab Bangkil dan Wirja sambil merayapi daerah sekitar bangunan besar
itu. Mereka menganggukkan kepala ke arah para
murid yang tengah hilir-mudik mengerjakan kesibukan masing-masing.
Tidak berapa lama kemudian, penjaga yang
melapor tadi telah muncul dan mempersilakan Bangkil dan Wirja memasuki bangunan
utama berguman.
Bangkil dan Wirja bergegas memasuki bangunan utama Perguruan Jari Besi.
Ternyata, di situ telah menunggu seorang laki-laki setengah baya yang berwajah
bulat. Dialah yang menjadi ketua perguruan di sini. Maka Bangkil dan Wirja
segera menjura memberi hormat layaknya orang persilatan.
"Hm.... Kalian murid utama Ki Suta" Pesan apa yang kalian bawa dari Ki Suta?"
tanya Ketua Perguman Jari Besi seraya mempersilakan duduk kedua tamunya.
Namun, dua orang murid Perguruan Jalak Hitam itu tidak segera menjawab. Mata
mereka malah terarah ke satu tempat. Di situ memang ada seorang lagi yang
usianya kira-kira empat puluh tahun.
"Tidak perlu khawatir. Dia ini juga sahabat gurumu!" lanjut lelaki setengah baya
itu seperti bisa membaca pikiran mereka.
Sinar keraguan di wajah Bangkil dan Wirja pun lenyap setelah mendapat keterangan
Ketua Perguruan Jari Besi. Lalu mereka segera menceritakan maksud kedatangan kepada
kedua orang sahabat guru mereka itu.
"Apa"! Guru kalian mati terbunuh"! Siapa yang telah membunuhnya?" tanya lelaki
setengah baya itu terbangkit dari kursinya.
Sepertinya orang itu belum sepenuhnya mempercayai keterangan Bangkil. Karena ia
tahu betul sampai di mana kepandaian Ki Suta. Dan rasanya sulit dapat dipercaya
kalau ada orang yang berani membunuh sahabatnya itu.
"Betul, Ki. Kami melihatnya dengan mata kepala sendiri," timpal Wirja, ikut
menegaskan. "Dan kami tidak tahu, siapa orang yang telah membunuh guru kami. Karena dia sama
sekali tidak memberitahukan namanya. Menurut yang kulihat, orang itu memiliki
sebuah alat kecapi yang bagian luarnya dilapisi perak. Dalam sebuah syair yang
dinyanyikannya, disebut-sebut kalau ia membawa dendam dari Selatan. Entah, kami
tidak tahu apa maksud syair yang selalu dinyanyikannya itu," tutur Bangkil
melengkapi keterangannya.
"Hm.... Bersenjata sebuah kecapi perak dan datang dari daerah Selatan?" gumam
Ketua Perguruan Jari Besi mengerutkan keningnya, seraya
melangkah perlahan. Dia berusaha untuk mengingat seorang tokoh yang memiliki
senjata aneh itu. "Kau dapat menerka, siapa tokoh itu, Adi Sura?"
Laki-laki bertubuh sedang yang dipanggil Sura itu hanya menggelengkan kepalanya,
karena memang belum pernah mendengar tentang seorang tokoh yang bersenjatakan
sebuah kecapi berwarna perak.
"Entahlah, Kakang Ranggit. Mungkin orang itu tokoh yang baru muncul di dunia
persilatan! Rasanya aku sama sekali belum pernah mendengarnya?"
sahut Sura setelah berpikir beberapa saat. Sepertinya, hatinya juga merasa
penasaran ketika mendengar cerita Bangkil tadi.
"Bangsat! Siapa pula manusia keparat itu"! Ingin rasanya aku melihat wajahnya!"
ujar lelaki setengah baya yang bernama Ki Ranggit sambil mengepalkan tinjunya
kuat-kuat. Terdengar suara buku-buku jarinya berderak keras ketika tangannya
dikepalkan. "Hm.... Kalau memang Ki Suta sampai tewas di tangannya, berarti kepandaian orang
itu tidak bisa dipandang ringan, Kakang. Mungkin ia seorang tokoh tua yang baru
turun dari pertapaan. Entah, apa masalahnya hingga ia sampai bentrok dengan Ki
Suta?" gumam Sura yang telah bangkit berdiri.
Kakinya melangkah perlahan menghampiri Ki Ranggit
"Menurut penglihatanku, orang itu belum terlalu tua. Mungkin usianya sekitar
tiga puluh tahun. Dan rambutnya panjang meriap," Bangkil yang mendengar ucapan
orang bernama Sura itu kembali memberi gambaran tentang lelaki aneh yang telah
membunuh gurunya.
"Jadi orang yang membunuh gummu itu masih muda?" tanya Sura semakin bertambah
heran. "Betul! Aku melihat jelas ketika ia mengangkat
wajahnya yang selalu menunduk itu," jawab Bangkil cepat.
"Hm..., aneh!" gumam Ki Ranggit.
*** Merambah hutan membawa duka
Mendaki gunung membawa luka
Dari Selatan dendam membara
Mencari durjana penyebab sengsara
Pada saat Ki Ranggit dan Ki Sura tengah berpikir keras untuk mengingat tokoh
itu, tiba-tiba terdengar alunan musik kecapi disertai nyanyian yang menyelusup
masuk ke dalam ruangan bangunan Perguruan Jari Besi.
Mendengar suara nyanyian itu, tubuh Bangkil dan Wirja menggigil hebat. Wajah
mereka langsung pucat bagai tak berdarah.
"Itulah! Itulah nyanyian orang itu, Ki! Dialah orang yang telah membunuh guru
kami!" kata Bangkil dengan suara gemetar karena rasa takut dan tegang.
Ki Ranggit dan Sura yang semula hanya heran mendengar suara nyanyian itu, jadi
terkejut. Rasa penasaran dan kemarahan semakin melecut hati mereka. Tanpa
berkata apa-apa lagi, keduanya bergegas melangkah keluar.
"Sepertinya suara itu berasal dari samping perguruan," duga Sura begitu mereka
berhenti di depan bangunan utama untuk mencari sumber suara nyanyian dan alunan
kecapi itu. "Hm.... Mari kita lihat! Aku semakin tak mengerti, mengapa orang aneh itu bisa
sampai kemari?"
gumam Ki Ranggit sambil mempercepat langkahnya
melewati pintu gerbang perguruan.
Bangkil dan Wirja bergegas mengikuti kedua orang itu dari belakang. Mereka ingin
melihat, apa yang akan dilakukan oleh kedua orang sahabat gurunya itu.
Begitu tiba di halaman samping bangunan
perguruan, tampaklah seorang lelaki berambut meriap tengah asyik memetik
kecapinya di bawah sebatang pohon. Ki Ranggit pun melihat empat orang muridnya
sudah berada di situ. Namun, sepertinya si pemetik kecapi sama sekali tidak
mempedulikan ucapan dan bentakan empat murid Ki Ranggit.
Bahkan tetap saja menunduk sambil menggerakkan jemarinya dengan lincah dan
teratur. Keempat murid Perguruan Jari Besi menoleh ketika mendengar langkah kaki
mendatangi tempat itu. Begitu melihat kalau salah seorang dari mereka adalah
gurunya, keempat orang itu segera berlari menyambutnya.
"Ampun, Guru. Kami sudah berusaha mengusirnya.
Tapi orang itu sama sekali tidak peduli. Kami tidak tahu, apakah dia memang tuli
atau sengaja mem-bandel," lapor salah seorang murid Ki Ranggit yang sudah
bersimpuh di hadapan lelaki setengah baya itu.
"Hm.... Jadi dia memang sengaja tidak mau pergi?"
tanya Ki Ranggit penuh wibawa. Kemudian, jenggot-nya yang sudah mulai berubah
warna itu dielus-elusnya.
"Betul, Guru. Kami tidak tahu, dari mana datangnya. Karena tahu-tahu saja ia
telah duduk di bawah pohon itu dan memainkan kecapinya," jawab orang itu lagi.
"Kalian menyingkirlah! Biar kulihat, apa sebenarnya yang dikehendaki orang itu!"
ujar Ki Ranggit yang
segera melangkahkan kakinya mendekati orang itu.
Sedangkan si pemetik kecapi masih tetap saja menunduk, seolah-olah sama sekali
tidak mempedulikan kedatangan orang-orang itu. Kecapinya terus dipetik sambil
memperdengarkan nyanyian yang menimbulkan kesedihan dan keseraman itu.
"Kisanak. Apa sebenarnya tujuanmu datang ke tempat ini?" tanya Ki Ranggit sambil
meneliti sosok tubuh yang tengah duduk di hadapannya itu. Jarak keduanya
terpisah sekitar satu setengah tombak.
Mendengar teguran yang bernada mengancam itu, si pemetik kecapi segera
menghentikan permainannya. Setelah menghembuskan napasnya kuat-kuat, kepalanya
perlahan-lahan diangkat.
"Eh...!?"
Ki Ranggit berseru tertahan. Hatinya benar-benar terkejut melihat sinar mata
orang itu yang mencorong tajam dan mengandung kekuatan dahsyat.
"Hm.... Kau pasti si Jari Besi yang tersohor itu, bukan?" tanya lelaki pemetik
kecapi itu dengan suara dingin menyeramkan. Sedangkan wajahnya tetap beku dan
tidak menggambarkan perasaan apa-apa.
Hanya sinar matanya saja menyiratkan dendam dan sakit hati.
"Betul. Akulah si Jari besi. Kau sudah mengenalku, Kisanak" Siapakah kau
sebenarnya?" tanya Ki Ranggit lagi. Memang sejak tadi orang itu belum menjawab
pertanyaannya. "Hm.... Terserah, julukan apa yang hendak kau berikan kepadaku. Aku tidak
peduli! Yang pasti, kedatanganku kemari adalah untuk menagih hutang darah pada
sepuluh tahun silam!" sahut orang itu dengan wajah berubah gelap.
Setelah berkata demikian, jemari tangannya ber-
gerak memetik dawai kecapinya secara berbarengan.
Jreeeng! "Aaah...!"
Ki Ranggit berseru kaget karena tubuhnya terasa bergetar akibat serangan suara
kecapi itu. Cepat ia melompat mundur sambil menyedot napas dalam-dalam. Kemudian
tenaga dalamnya dikerahkan untuk melawan pengaruh suara petikan kecapi yang
telah menggetarkan dadanya itu. Diam-diam laki-laki setengah baya itu semakin
merasa terkejut melihat kehebatan tenaga dalam pemetik kecapi yang dapat
disalurkan melalui kecapinya.
Sedangkan orang-orang lain yang ada di sekitar situ sudah berlompatan mundur.
Memang suara itu juga mempengaruhi mereka. Bahkan empat orang murid Perguruan
Jari Besi sampai jatuh terjengkang.
Dari sudut bibir mereka nampak cairan merah merembes keluar. Hebat sekali tenaga
serangan yang dilontarkan melalui dawai-dawai kecapi itu.
"Kisanak. Mungkin kau salah alamat! Kami sama sekali tidak mengenalmu. Jadi,
bagaimana mungkin kalau mempunyai urusan denganmu" Jika kau memang sengaja ingin
mencari gara-gara, tidak perlu menggunakan alasan! Kami akan melayani
tantanganmu!" tegas Sura.
Sura yang sudah bangkit kemarahannya bergegas melangkah maju. Di tangannya telah
tergenggam dua batang tombak pendek yang kedua ujungnya runcing.
Sepertinya ia telah siap untuk menghadapi orang itu.
"Hm... Pendekar Tombak Kembar, jadi kau sudah berada di sini" Bagus kalau
begitu. Jadi aku tidak perlu susah-susah lagi mencarimu," kata lelaki berambut
meriap itu agak terkejut melihat adanya Sura di tempat itu. Rupanya tadi ia sama
sekali tidak memperhatikan keberadaan Sura.
Bukan main terkejutnya Sura ketika orang itu ternyata sudah mengenalnya. Dan hal
itu membuatnya semakin keheranan. Dan seingatnya, ia sama sekali belum pernah
bertemu pemetik kecapi itu.
"Siapakah kau sebenarnya, Kisanak" Dan dari mana kau mengetahui kalau aku adalah
Pendekar Tombak Kembar" Jangan jadi seorang pengecut yang mencari selamat,
dengan menyembunyikan nama atau julukan?" bentak Sura semakin penasaran.
Meskipun Sura telah berusaha mengingat, namun tetap saja tidak dapat menebak
lelaki aneh pemetik kecapi itu. Dan hatinya semakin heran, karena orang itu
mengenalinya. "Hm.... Tidak kusangka kalian telah menjadi seorang pengecut! Dan meskipun
kalian telah melupakan peristiwa berdarah di kaki Gunung Balak pada sepuluh
tahun yang lalu, bagiku hutang itu tetap harus dibayar lunas! Dan hari ini aku
datang menagihnya!" sahut orang itu yang tetap saja tidak bersedia menyebutkan
namanya. "Hei!"
Ki Ranggit dan Sura berseru kaget berbarengan.
Mereka melangkah mundur dengan wajah pucat.
Kedua tokoh itu seperti terpukul setelah diingatkan tentang kejadian itu.
"Dari.... Dari mana kau mengetahui peristiwa itu, Kisanak" Dan rasanya, kami
tidak mengenalmu?"
tanya Ki Ranggit.
Wajah orang tua itu nampak sedih. Sepertinya dia merasa menyesal dengan kejadian
yang telah membuat hati mereka terpukul.
"Maaf. Bukan aku ingin menyembunyikan namaku,
tapi memang telah lama tidak kuingat lagi. Sepuluh tahun aku menyembunyikan diri
untuk dapat membalaskan dendam sakit hati ini. Segala penderitaan dan
kesengsaraan tidak kupedulikan demi hutang darah yang telah kalian perbuat. Dan
kini aku datang menagihnya!" tegas orang itu. Suaranya bergetar, membayangkan
peristiwa berdarah yang masih melekat di benaknya.
"Kisanak. Kami memang bersalah saat itu. Dan rasa bersalah itu terus mengganggu
sehingga hidup kami tidak memperoleh ketenangan. Namun kami tidak mengelak dari
tanggung jawab. Marilah persoalan ini diselesaikan dengan ujung senjata,"
tantang Sura yang rupanya juga tidak mau tanggung-tanggung lagi. Dan sepertinya
ia pun tidak takut menerima pembalasan akibat perbuatan sepuluh tahun yang
silam. "Aku tidak peduli, apakah kalian sudah menyesal atau belum. Tugasku adalah
membalas dendam! Jadi jangan berharap dosa kalian akan kuampuni. Karena
penyesalan itu sudah tidak ada gunanya lagi!" tegas lelaki berambut meriap itu
yang segera bersiap menghadapi Ki Ranggit dan Sura.
"Kami tidak mengharap belas kasihanmu, Kisanak.
Dan kami pun tidak takut menerima hukuman, karena hal itu akan lebih baik lagi.
Dengan demikian perasaan berdosa itu akan berkurang," sahut Ki Ranggit yang juga
sudah bersiap menghadapi pembalasan yang akan dilakukan laki-laki pemetik kecapi
yang sama sekali tidak dikenal itu.
*** "Bersiaplah!" ujar lelaki bersenjata kecapi perak, memperingatkan kedua orang
lawannya. Sesaat kemudian, tubuhnya telah melesat disertai teriakan nyaring.
"Heaaat...!"
Melihat lawan sudah membuka serangan, Sura segera memutar sepasang tombak
pendeknya secara berlawanan. Kemudian tubuhnya melompat
menyambut serangan.
"Yeaaat...!"
Menyadari kalau lelaki berambut meriap itu bukan orang sembarangan, maka Ki
Ranggit sudah pula maju menyerbu. Meskipun hanya menggunakan tangan kosong,
namun serangannya jangan dianggap remeh. Karena jari-jari tangannya itu sanggup


Pendekar Naga Putih 16 Kecapi Perak Dari Selatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menembus tubuh lawan. Bahkan serangan tangannya dapat lebih berbahaya daripada
senjata tajam. Itulah sebabnya, mengapa dia dijuluki Pendekar Jari Besi.
"Heaaah...!"
Lelaki pemetik kecapi membentak keras dan melempar tubuhnya ke belakang. Karena
pada saat itu, serangan dari kedua orang lawannya datang secara berbarengan.
Begitu kakinya menginjak tanah, tubuhnya langsung melesat kembali ke arah lawan-
lawannya. Senjata di tangannya mengaung dahsyat bagai ribuan ekor lebah yang
sedang marah. Wuttt! Wuttt...!
Selarik sinar keperakan berkilatan menyilaukan mata ketika kecapi perak di
tangan laki-laki berambut meriap menyambar dengan kecepatan menggiriskan!
Ki Ranggit yang menjadi sasaran utama serangan itu, bergegas menarik mundur kaki
kanan sambil mendoyongkan tubuhnya ke belakang. Begitu serangan lawan luput,
kaki kanannya kembali
melangkah maju disertai tusukan jari-jari tangannya yang meluncur deras menuju
lambung dan iga lawan.
Namun hal itu sama sekali tidak membuat si pemetik kecapi gugup. Dengan tenang
kakinya digeser ke samping disertai gerakan tubuh. Sementara, tangan kirinya
langsung terlontar ke lambung lawan yang terbuka.
Tentu saja hati Ki Ranggit menjadi tercekat melihat gerakan yang sama sekali
tidak diduga itu.
Cepat kedua serangannya ditarik pulang dan langsung tubuhnya dilempar hingga
bergulingan beberapa tombak.
Pada saat yang bersamaan, serangan tombak kembar Sura meluncur datang. Dari
sambaran anginnya dapat ditebak kalau pendekar itu mengerahkan seluruh tenaga
dalamnya. Sepasang mata tombak kembar itu bergerak saling susul-menyusul dengan
kecepatan menggetarkan.
Swiiit! Swiiit...!
Si pemetik kecapi yang semula hendak mengejar Ki Ranggit, terpaksa menarik
tubuhnya. Ujung tombak kembar pertama lewat di depan tubuhnya beberapa jari.
Sedangkan tombak yang lain bergerak menyilang ke arah leher.
"Hmh...!"
Sambil mendengus mengejek, si pemetik kecapi meliukkan tubuhnya berputar. Dan
tahu-tahu ia telah berada di belakang tubuh Sura. Saat itu juga kecapi peraknya
terayun deras menghantam punggung Pendekar Tombak Kembar.
Bugkh! "Huaaagkh...!"
Hantaman yang telak dan keras itu membuat tubuh Sura tersuruk ke depan, dan
langsung memuntahkan darah segar. Dan sebelum tubuhnya sempat mencium tanah, sebuah
tendangan keras kembali menghajar punggungnya.
Desss! "Hugkh...!"
Tubuh Sura langsung terpental deras ke depan.
Sepasang tombak yang semula tergenggam di tangannya kontan terpental entah ke
mana. Sedangkan tubuhnya terus meluncur dengan kepala terlebih dahulu mengarah ke
sebatang pohon besar.
Derrr! "Aaakh...!"
Terdengar bunyi berderak tulang patah, ketika kepala Pendekar Tombak Kembar
menghantam batang pohon itu. Diiringi jerit kesakitan, tubuhnya langsung ambruk ke tanah.
Darah segar kontan mengalir deras dari ubun-ubun kepalanya yang retak akibat
tumbukan yang keras tadi. Setelah meregang nyawa beberapa saat, tubuh Sura pun
diam tak bergerak-gerak lagi. Dia tewas dengan luka-luka yang amat parah di
bagian kepala. "Adi Sura...!" Ki Ranggit berteriak parau memanggil nama sahabatnya.
Tubuh laki-laki setengah baya itu menggigil hebat melihat kematian kawannya yang
mengenaskan. Untuk beberapa saat lamanya ia hanya dapat berdiri kaku dengan sepasang mata
membelalak dan wajah pucat
"Jahanam kau, Manusia Iblis! Kau harus bayar mahal kematian sahabatku itu!"
bentak Ki Ranggit dengan kemarahan menggelegak, memenuhi rongga dadanya.
Bagaikan orang kerasukan setan, Ki Ranggit menerjang lawannya dengan serangan-
serangan ganas.
"Yeaaat..!"
Sambil memekik nyaring, jari-jari sepasang tangannya yang terbuka menusuk susul-
menyusul. Swittt! Wuttt..!
Angin tajam berdesiran mengiringi tusukan jari tangan yang keras bagaikan besi
itu. Dalam waktu singkat saja, Ki Ranggit telah melancarkan tujuh buah serangan
mematikan. Kalau saja lawannya tidak berilmu tinggi, pasti sudah tergeletak
tewas dengan tubuh dipenuhi lubang.
Tapi sayang, kali ini Ki Ranggit harus menelan kenyataan pahit. Serangan-
serangannya yang demikian gencar itu, ternyata dapat dihalau lawan tanpa
kesulitan berarti. Gerakan lawan yang demikian lincah dan gesit, membuat
kemarahannya semakin meledak-ledak. Hatinya benar-benar merasa penasaran sekali
melihat serangan-serangannya sama sekali tidak ada artinya bagi si pemetik
kecapi. Sehingga hal itu semakin membuat Pendekar Jari Besi itu semakin kalap! Serangan-
serangannya pun semakin membabi buta dan tidak lagi terarah.
"Haaat..!"
Pada jurus yang keempat puluh, tiba-tiba lelaki berambut meriap itu mengeluarkan
bentakan keras dan mengejutkan. Bersamaan dengan itu, tubuhnya bergeser ke kiri
dan langsung mengirimkan sebuah tendangan kilat ke dada lawan. Tidak sampai di
situ saja. Kecapi perak di tangan kanannya juga terayun deras menyusuli
tendangannya. Zebbb! "Uh...!"
Ki Ranggit memiringkan tubuh untuk menghindari tendangan yang kekuatannya tidak
diragukan lagi itu.
Kemudian tubuhnya dilempar, lalu berputar beberapa
kali di udara untuk menghindari sambaran kecapi perak yang mengancam pinggulnya.
Begitu kedua kaki menjejak tanah, Ki Ranggit kembali bersalto ke belakang untuk
menjaga kalau-kalau lawan akan menyusuli serangan.
Tapi lelaki bersenjata kecapi perak itu sama sekali tidak berusaha mengejar
lawan. Dia malah berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang. Sepasang matanya
mencorong tajam menatap lawannya yang terpisah sejauh lima batang tombak. Tampak
lelaki aneh itu menarik napas panjang, disertai geseran kedua kakinya membentuk
kuda-kuda. Tubuhnya merendah dengan kedua lutut hampir bersentuhan.
Sepertinya ia tengah menyiapkan sebuah ilmu baru yang merupakan andalannya.
"Bersiaplah menghadapi ilmu 'Kecapi Maut Perenggut Sukma'ku, Jari Besi!
Berbanggalah kau!
Karena, kaulah orang pertama yang akan merasa-kannya!" desis si pemetik kecapi,
dingin. Wuuusss...! Tak lama kemudian, angin keras berhembus
memenuhi daerah sekitar pertarungan. Ki Ranggit terlihat gelisah karena
merasakan ada suatu pengaruh luar biasa yang menguasainya. Seketika itu juga
bulu kuduknya meremang karena dicekam kengerian hebat
"Gila! Ilmu iblis macam apa lagi ini...?" desis Ki Ranggit dengan perasaan
gentar dan ngeri. Dan tanpa malu-malu lagi, murid-muridnya segera diperintahkan
untuk mengeroyok lelaki aneh berambut meriap itu.
"Hei! Kenapa kalian diam saja seperti patung!
Serang dan bunuh manusia iblis, itu, Goblok!"
Puluhan murid Perguruan Jari Besi yang sejak tadi
sudah berkumpul di tempat itu, menjadi pucat ketika mendengar bentakan gurunya.
Dengan perasaan takut-takut, mereka segera mencabut senjata dan siap mengeroyok
laki-laki bersenjata kecapi perak itu.
Bahkan empat orang murid utama Ki Ranggit sudah mengambil kesempatan untuk
menerjang lebih dulu.
"Yeaaat...!"
Sambil berteriak keras, salah seorang dari mereka memberi isyarat untuk segera
menyerang. Empat batang pedang pun berkelebat mengancam dari empat penjuru.
Wuttt! Wuttt..!
Suara sambaran angin pedang sama sekali tidak mengganggu lelaki aneh itu. Bahkan
terus saja melaku-kan gerakan perlahan yang semakin lama semakin cepat. Sesekali
jemari tangan kanannya bergerak menyentil dawai-dawai kecapi yang terasa
menggetarkan dada.
Creeeng! Jreeeng!
Hembusan angin bergemuruh semakin keras
mengiringi alunan kecapi yang kini digunakan untuk menyerang. Pepohonan di
sekitar tempat itu berderak ribut bagaikan dilanda angin topan. Bahkan tembok-
tembok bangunan perguruan juga terlihat bergetar bagaikan hendak roboh.
"Aaakh...!"
Empat orang murid utama Ki Ranggit terpental balik bagaikan didorong sebuah
kekuatan yang tidak tampak. Tubuh mereka terbanting mencium tanah disertai
mengalirnya darah dari mulut, hidung, dan telinga. Tubuh keempat orang itu
berkelojotan bagai mengalami siksaan hebat!
Demikian pula halnya dengan puluhan orang murid yang tengah bersiap melakukan
pengeroyokan. Mereka berteriak dan menjerit-jerit kesakitan sambil menutupi daun telinga yang
terasa sakit bagaikan ditusuk-tusuk ratusan jarum. Tubuh mereka ber-jatuhan
bagaikan pohon lapuk. Bahkan beberapa belas orang di antaranya sudah diam tak
bergerak, tewas akibat serangan yang dilancarkan melalui petikan dawai kecapi.
Untunglah Bangkil dan Wirja sempat melarikan diri ketika melihat lelaki
Pendekar Panji Sakti 11 Gelang Perasa Serial Tujuh Senjata (4) Karya Gu Long Pendekar Cengeng 5
^