Pencarian

Kecapi Perak Dari Selatan 2

Pendekar Naga Putih 16 Kecapi Perak Dari Selatan Bagian 2


bersenjata kecapi itu mulai merubah gerakan. Mereka yang pernah merasakan
kelihaian orang itu sudah mendapat firasat tidak enak melihat gerakan-gerakan
yang dilakukan si pemetik kecapi.
Ki Ranggit yang mengalami serangan secara langsung dari lawannya, menjadi
menggigil hebat.
Orang tua itu mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya untuk mempertahankan
isi dada yang seperti terguncang hebat akibat petikan kecapi.
Keringat nampak semakin banyak membanjiri tubuhnya. Wajahnya pucat dan merah
berganti-ganti.
Sepertinya tidak lama lagi orang tua itu akan mengalami nasib yang serupa dengan
murid-muridnya.
"Haaat..!"
Tiba-tiba saja, Ki Ranggit berteriak mengguntur disertai pengerahan seluruh
tenaga dalam. Saat itu juga tubuhnya meluncur melancarkan serangan.
Wuttt! Wuttt..!
Ki Ranggit terus bergerak maju sambil
menggerakkan kedua tangannya yang menimbulkan angin berkesiutan. Telapak tangan
yang jari-jarinya terbuka meluncur bergantjan secara bersilangan.
"Yeaaat..!"
Lelaki muda bersenjata kecapi perak itu berteriak
nyaring. Tubuhnya melayang menyambut serangan Ki Ranggit. Petikan kecapinya
semakin keras dan menggetarkan jantung.
Creeeng! "Aaargh...!"
Ki Ranggit menjerit ngeri ketika lawan semakin memperkuat tenaganya dalam
petikan kecapi itu.
Tubuh orang tua itu terlonjak ke belakang bagai disentakkan sebuah tenaga
raksasa yang tak tampak.
Selagi tubuhnya melambung ke udara, si pemetik kecapi segera melompat tinggi
disertai ayunan kecapi perak ke arah kepala Ki Ranggit.
Wukkk! Prakkk! "Hugkh...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, kepala orang tua itu kontan berderak pecah. Cairan
merah yang bercampur otak, berhamburan membasahi rerumputan di sekitar tempat
itu. Tubuh Ketua Perguman Jari Besi ambruk menimbulkan suara berdebuk keras.
Kini tewaslah Pendekar Jari Besi dalam keadaan yang lebih menyedihkan daripada
sahabatnya. "Mampuslah kau, Manusia Busuk! Susullah dua orang kawanmu yang telah pergi lebih
dulu," maki lelaki berambut meriap itu dengan suara dingin namun bernada maut.
Setelah berdiri beberapa saat sambil memandangi mayat lawan-lawannya, ia pun
melesat pergi meninggalkan tempat itu. Hanya dalam beberapa lompatan saja,
tubuhnya telah lenyap ditelan keremangan bayangan-bayangan pepohonan.
Tak lama setelah kepergian orang itu, Bangkil dan Wirja muncul dan berlari
mendatangi tempat itu.
Cepat diperiksanya sosok-sosok tubuh yang bergeletakan. Beberapa orang yang
masih bernapas bergegas dibawa masuk.
"Bangsat kau, Pemetik Kecapi! Tunggu saja pembalasanku nanti!" seru Bangkil
sembari memandang ke arah perginya orang bersenjata kecapi perak itu. "Marilah
kita kuburkan mereka, Adi.
Sedangkan yang masih hidup diobati nanti."
*** 3 Matahari semakin naik tinggi. Sinarnya memancar terik dan terasa panas menyengat
kulit. Sepertinya sang raja siang itu ingin menampakkan kekuasaan-nya pada
seluruh makhluk bumi.
"Huh.... Panas sekali udara siang ini," desis seorang gadis jelita berpakaian
hijau. Sebentar-sebentar dia menyusut peluh yang membasahi dahi dan lehernya. Wajahnya
yang bersih dan cantik nampak kemerahan. Namun keadaan itu malah semakin
menambah kecantikan parasnya.
"Yahhh. Seperti terpanggang di atas tumpukan bara api saja layaknya. Ayolah
bergegas, agar kita bisa tiba lebih cepat di desa depan sana itu," seorang
pemuda tampan berjubah putih yang berjalan di sebelahnya menimpali.
Seusai berkata demikian, pemuda itu pun
melangkah lebih cepat memasuki daerah hutan karet yang cukup luas.
Gadis jelita berpakaian hijau itu juga bergegas mempercepat langkahnya menjajari
pemuda berjubah putih. Mereka terus melangkah menyusuri jalan yang cukup lebar
di tengah-tengah hutan karet. Hawa panas yang menyengat kulit itu mulai
berkurang ketika angin berhembus menyegarkan.
"Masih jauhkah desa yang kau maksud itu, Kakang?" tanya gadis jelita itu, tak
sabar. Sepertinya ia kini ingin segera tiba di pedesaan untuk melepaskan rasa
lelahnya. "Entahlah, Kenanga. Aku hanya menduga-duga
saja. Tapi dengan adanya hutan karet ini, pasti ada perkampungan di daerah ini,"
sahut pemuda tampan berjubah putih yang tak lain adalah Panji atau yang lebih
dikenal berjuluk Pendekar Naga Putih.
"Huh! Kalau hanya menduga-duga saja, aku pun bisa," tukas gadis jelita itu,
cemberut. Panji hanya tersenyum saja melihat kekasihnya merajuk. Dibiarkannya saja ketika
gadis itu melangkah mendahuluinya. Pemuda itu tahu, Kenanga hanya merasa jengkel
dengan ucapannya tadi.
"Hei, Kakang. Lihat ini!" teriak Kenanga sambil membungkukkan tubuhnya seperti
menemukan sesuatu. Panji bergegas menghampiri. Dan memang jarak antara mereka terpisah sekitar
sepuluh tombak lebih, sehingga pemuda itu belum sempat mengetahui apa yang telah
ditemukan kekasihnya itu.
"Kenapa orang itu, Kenanga?" tanya Panji yang segera mempercepat langkahnya
ketika melihat gadis itu tengah memandangi sesosok tubuh yang
tergeletak tak bergerak.
"Ia telah meninggal, Kakang. Entah siapa yang telah berbuat sekejam ini" Seluruh
tubuhnya penuh luka bacokan," sahut Kenanga sambil memeriksa sosok mayat yang
sepertinya belum lama tewas itu.
"Hm.... Sepertinya sebelum tewas, ia telah disiksa mati-matian," gumam Panji
setelah memeriksa mayat itu beberapa saat. Sedangkan Kenanga sudah melangkah
lagi mengikuti ceceran darah yang telah hampir mengering.
"Rupanya orang itu telah berusaha melarikan diri, sebelum akhirnya tewas
kehabisan darah," duga gadis itu sambil terus mengikuti bercak-bercak darah
di atas permukaan tanah berbatu itu. "Kakang! Cepat kemari!" teriak Kenanga
keras. Mendengar seruan kekasihnya, Panji bergegas melesat meninggalkan sosok tubuh
yang telah kaku.
Dari teriakan gadis itu, Panji yakin kalau Kenanga telah menemukan sesuatu yang
lebih hebat lagi.
Pemuda itu semakin terkejut ketika melihat belasan sosok mayat bergelimpangan
beberapa tombak di depannya.
"Sepertinya mereka rombongan pemusik panggilan, Kakang. Lihat saja pedati-pedati
ini!" jelas Kenanga lagi sambil memperlihatkan beberapa alat musik terdapat di
dalam pedati itu.
"Hm... Apa yang telah terjadi dengan mereka?"
gumam Panji bertanya kepada dirinya sendiri.
Segera diperiksanya sosok-sosok mayat yang bergelimpangan tak karuan itu. Di
antaranya juga terdapat mayat wanita.
"Mungkinkah mereka telah bertemu perampok di tempat ini?" duga pemuda itu.
"Tidak mungkin, Kakang," Kenanga yang mendengar kata-kata pemuda itu cepat
menyahuti. "Karena semua barang-barang mereka sepertinya masih utuh. Dan lagi kalau betul
bertemu perampok, pasti wanita-wanita itu tidak akan dibunuh.
Perampok-perampok itu pasti akan menawannya, karena wajah mereka cukup cantik-
cantik juga."
"Kalau bukan perampok, lalu siapa yang telah membantai mereka sedemikian kejam"
Rasanya tidak mungkin kalau mereka dibunuh tanpa sebab yang jelas?"
"Bisa saja rombongan pemusik lain yang merasa iri dengan mereka. Mungkin
robongan pemusik ini lebih terkenal dan lebih disukai daripada yang lainnya?"
sahut Kenanga. Gadis itu rupanya lebih mengerti soal rombongan-rombongan pemusik panggilan.
Karena sebagai putri kepala desa, semasa ayahnya masih hidup, ia pun sering
mengundang rombongan pemusik apabila ayahnya mengadakan pesta. Jadi ia pun tahu
pula kalau ada persaingan di antara rombongan pemusik panggilan itu.
"Hm.... Kalau hanya masalah persaingan mereka sampai dibantai habis begini,
rasanya sudah melewati batas. Dan ini sudah merupakan suatu kejahatan yang tidak
bisa didiamkan saja," sahut Panji geram.
*** Setelah sekian lama meneliti namun tidak juga mendapatkan petunjuk tentang
pembunuh rombongan pemusik itu, Panji yang dibantu kekasihnya segera membuat sebuah
lubang besar untuk mengubur belasan mayat itu.
"Kita harus menyelidikinya, Kakang. Pembunuh biadab itu tidak boleh bebas
berkeliaran begitu saja!
Terlalu enak bagi mereka! Kita harus memberikan hukuman yang setimpal!" tegas
gadis itu. Kenanga memang merasa marah, tapi tak tahu harus ke mana menyalurkannya.
Sepasang matanya yang indah nampak mengeluarkan sinar berkilat yang menggetarkan
jantung. Jemarinya yang lentik terkepal erat hingga menimbulkan suara berderak.
"Sabarlah, Kenanga. Masalah ini masih gelap bagi kita. Jadi kita tidak bisa
melemparkan tuduhan sembarangan. Bisa saja rombongan pemusik itu yang bersalah,"
bujuk Panji menyabarkan kekasihnya.
Dibelainya jemari gadis itu untuk menenangkan
kemarahan yang bergejolak dalam dada kekasihnya.
"Hhh...," Kenanga menghela napas panjang.
Kemarahan gadis itu terlihat mulai reda. Memang, ucapan pemuda itu ada benarnya
juga. Dan kemarahannya tidak boleh diumbar dalam menghadapi masalah yang sama sekali belum
diketahuinya Panji membelai rambut yang hitam lembut milik kekasihnya.
Dipandanginya wajah jelita yang sudah kembali seperti sediakala itu. Ia tahu
kalau Kenanga telah dapat menguasai perasaannya kembali. Panji pun tersenyum
melihatnya. "Maafkan aku, Kakang. Aku terlalu cepat mengambil kesimpulan. Padahal kita sama
sekali tidak mengetahui, apa masalahnya hingga orang-orang itu sampai terbunuh
secara kejam," desah Kenanga sambil merebahkan kepalanya di dada bidang milik
Panji. "Lupakanlah, Kenanga. Aku pun sempat merasakan, apa yang kau rasakan. Hanya saja
aku dapat lebih cepat menyadarinya," sahut Panji menghibur.
"Lebih baik kita mempercepat perjalanan agar tidak kemalaman di tengah hutan
karet yang luas ini."
"Ayolah, Kakang. Siapa tahu kita bisa mencari keterangan di desa-desa yang kita
temui nanti. Aku masih tetap penasaran kalau belum dapat meng-ungkapkan misteri
ini," sahut Kenanga yang rupanya masih belum puas.
Tidak lama kemudian, kedua pendekar muda itu telah berlari meninggalkan tempat
itu memper-gunakan ilmu meringankan tubuh. Sayang, pedati-pedati itu sudah tidak
ada kudanya lagi. Mungkin para pembunuh itulah yang telah mengusirnya.
Sehingga keduanya terpaksa harus mengerahkan ilmu lari cepat untuk tiba lebih
cepat di desa yang
dimaksud. Senja mulai menapak ketika kedua orang
pendekar muda memasuki mulut sebuah desa. Di jalan utama desa tampak ramai oleh
para petani dan pedagang yang pulang ke rumah masing-masing.
Kedua pendekar itu telah menghentikan larinya, agar tidak terlalu menarik
perhatian penduduk desa.
"Mudah-mudahan saja di desa ini ada
penginapan?" ujar Kenanga, berharap.
Gadis itu terus melangkah mengikuti Panji. Tidak dipedulikannya pandangan
beberapa orang pemuda yang menatapnya penuh kagum. Bahkan seperti terpesona. Dan
memang, kecantikan Kenanga sangat menyolok. Sehingga, hampir setiap lelaki yang
berpapasan dengannya selalu melempar pandangan meskipun sembunyi-sembunyi.
Sepertinya mereka merasa rugi kalau melewatkannya begitu saja.
"Kalaupun tidak ada, kita bisa menginap di sebuah rumah penduduk dengan
memberikan bayaran yang cukup. Mereka pasti akan menerimanya dengan senang
hati," usul Panji menyahuti kata-kata kekasihnya.
Setelah berkata demikian, Panji membelokkan langkahnya ke arah sebuah rumah.
Dihampirinya seorang wanita setengah baya yang nampak tengah menyapu halaman.
"Maaf, Nisanak. Apakah di desa ini ada sebuah penginapan?" tanya Panji, sopan.
Wanita setengah baya itu mengangkat wajahnya meneliti pemuda tampan berjubah
putih yang berdiri di depannya. Kemudian wanita itu menunjukkan apa yang
diinginkan Panji.
Setelah memperoleh petunjuk, Panji dan Kenanga kembali melangkah menyusuri jalan
utama desa. Menurut keterangan wanita setengah baya tadi, penginapan yang dimaksud terletak
hampir di tengah desa.
"Kalau saja wanita itu masih muda, kau tentu akan berlama-lama berbicara
dengannya. Sayang sekali, wanita itu sudah tua. Tadi sempat kulihat, bagaimana
ia memandangi wajahmu dengan sinar mata berseri-seri," goda Kenanga dengan
senyum dikulum.
"Yahhh, sayang sudah tua. Coba kalau masih muda sepertimu, mungkin akan
kutanyakan, apakah ia sudah bersuami" Dan kalau dijawab belum, pasti aku akan
melamarnya untuk menjadi istriku yang kedua," balas Panji dengan wajah sungguh-
sungguh. "Istri yang kedua" Memangnya kau sudah mempunyai istri pertama?"
"Oh, iya. Apakah aku belum melamarmu?" Panji balik bertanya hingga membuat
selebar wajah Kenanga menjadi merah karena jengah.
"Sudah, ah. Kakang semakin ngaco!" sergah gadis jelita itu, seraya menundukkan
wajahnya yang tersipu.
"Sayang ayahmu sudah tiada. Kalau tidak, tentu hari ini juga aku akan menghadap
beliau untuk melamarmu. Kira-kira, diterima apa tidak ya?" goda Panji lagi.
Kali ini Pendekar Naga Putih tersenyum sambil memandang wajah kekasihnya yang
tertunduk itu. Panji semakin senang melihat sepasang pipi yang kemerahan bagai buah tomat
masak. "Tidak tahu, ah...," ujar Kenanga sambil menepis-kan tangan Panji yang hendak
menggenggam tangannya. "Kita sudah sampai, Kakang. Jadi tidak kita menginap?"
Kenanga memang sengaja mengalihkan pem-
bicaraan untuk mengurangi rasa jengahnya. Bukan
saja jengah. Bahkan wajahnya semakin memerah.
"Ya..., jadilah," sahut Panji.
Kemudian, mereka bergegas memasuki rumah
penginapan itu. Kenanga mengetahuinya setelah membaca papan yang tergantung di
atas pintu rumah itu. Mereka lalu memesan dua buah kamar yang letaknya
berdampingan. Malam semakin larut ketika keduanya telah memasuki kamar masing-masing. Suara
binatang malam semakin ramai dan menyemarak. Hembusan angin bersilir lembut
membuat kedua orang pendekar itu cepat terlelap.
*** 4 Seorang gadis yang berusia sekitar delapan belas tahun, melangkah riang
menyusuri jalan utama Desa Dadapan. Wajahnya yang bulat telur itu nampak selalu
dihiasi senyum cerah. Sepasang matanya bersinar bagaikan bintang dinihari.
Menandakan kalau gadis itu memiliki sifat periang dan jenaka.
Gadis cantik itu membelokkan langkahnya ketika melihat sebuah kedai makan yang
cukup besar. Sebentar kemudian, dimasukinya kedai itu. Beberapa orang pengunjung yang tengah
menikmati hidangan langsung menoleh sejenak. Beberapa di antaranya malah menyapa dengan
sikap hormat. Pemilik kedai makan yang semula tengah sibuk melayani pelanggan, bergegas
menyambut gadis itu dengan terbungkuk-bungkuk. Jelas sekali kalau gadis yang
baru datang itu sangat dihormatinya.
"Ah, Nini Kencana Wungu. Ada keperluan apa sampai-sampai Nini sendiri yang
datang ke tempat ini?" sambut pemilik kedai sambil membungkuk hormat. Wajahnya
yang tampak mulai dijamah ketuaan itu tampak berseri-seri.


Pendekar Naga Putih 16 Kecapi Perak Dari Selatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak ada keperluan apa-apa, Paman. Aku hanya ingin mengambil pesanan ayah.
Habis, pembantu ayah yang biasa mengambil pesanan sedang ada keperluan lain.
Apakah pesanan ayah sudah siap, Paman?" tanya gadis yang dipanggil Kencana Wungu
itu ramah. Kelihatan sekali kalau sikapnya tidak merasa sombong walaupun orang-
orang yang berada di dalam kedai sangat hormat kepadanya.
"Oh! Sudah, sudah. Sebentar Paman ambilkan.
Nini duduklah dulu," sahut lelaki berusia enam puluh tahun itu cepat. Kemudian
dia bergegas mengambil pesanan yang dimaksudkan oleh gadis cantik itu.
Kencana Wungu duduk tenang sambil merayapi sekelilingnya. Senyum manisnya tak
pernah lepas dan selalu menghias wajahnya. Sikapnya pun bebas lepas dan tidak
ragu-ragu menegur orang yang dikenalnya.
Maka wajar saja kalau penduduk Desa Dadapan menyukai dan menghormatinya. Apalagi
gadis itu adalah putri kepala desa.
Beberapa saat kemudian, pemilik kedai itu muncul kembali membawa pesanan kepala
desanya yang selalu disiapkan tengah hari. Dan itu sudah berlangsung lama. Hanya
bedanya, kali ini yang meng-ambilnya justru putri kepala desa itu sendiri. Sudah
pasti hal itu membuat pemilik kedai menjadi sibuk dibuatnya
"Terima kasih, Paman. Aku pulang dulu," pamit gadis itu setelah menerima sebuah
bungkusan yang diserahkan pemilik kedai.
"Ya, ya.... Sering-seringlah kemari, Nini. Paman akan merasa senang sekali,"
kata pemilik kedai sambil membungkuk hormat.
Kencana Wungu hanya tersenyum mendengar
ucapan orang tua itu. Kakinya segera melangkah melewati pintu kedai. Namun gadis
cantik itu menghentikan langkahnya sejenak ketika terdengar alunan musik kecapi
yang terbawa angin. Untuk beberapa saat ia terdiam, seolah-olah hendak mencari
sumber suara itu.
Setelah memastikan asal suara petikan kecapi yang mendayu-dayu itu, Kencana
Wungu bergegas menghampirinya. Hatinya sempat tergetar mendengar
alunan irama yang terasa menyentuh perasaan itu.
Merambah hutan membawa duka
Mendaki gunung membawa luka
Dari Selatan dendam membara
Mencari durjana penyebab sengsara
"Ihhh, Paman. Mengapa lagu yang kau nyanyikan demikian sedih dan menyeramkan"
Mengapa tidak memainkan lagu gembira saja" Bukankah ke-dengarannya akan lebih
enak?" Kencana Wungu yang tahu-tahu telah tiba di tempat si pemetik kecapi langsung
saja mencela. Diperhatikannya pemetik kecapi yang berambut meriap itu tanpa merasa takut
sedikit pun. Sepertinya gadis lincah ini sama sekali tidak berprasangka buruk
terhadap orang itu. Bahkan enak saja ia berjongkok di depan si pemetik kecapi.
Lelaki pemetik kecapi yang duduk di bawah pohon rindang di tepi jalan itu,
tersentak kaget. Karena yang menegur adalah seorang gadis. Terbawa rasa
penasaran, maka kepalanya segera diangkat. Dia ingin melihat, siapa gerangan
gadis yang telah berani menegurnya.
"Ahhh...!"
Lelaki pemetik kecapi itu tersentak kaget begitu melihat wajah gadis yang
menegurnya. Hampir saja tubuhnya terjengkang. Untung keseimbangan tubuhnya
segera terkuasai. Sepasang matanya yang sayu itu membelalak bagaikan melihat
hantu di siang bolong.
"Ada apa, Paman" Mengapa Paman memandang ku seperti itu" Maaf kalau aku telah
membuatmu terkejut," ucap Kencana Wungu, seraya bangkit
berdiri. Gadis itu benar-benar tidak mengerti, mengapa si pemetik kecapi sampai
sedemikian terkejutnya.
Padahal, kata-katanya tadi tidak terlalu keras. Gadis itu terus berpikir tak
habis mengerti.
"Siapa kau...?" tanya si pemetik kecapi. Suara laki-laki berusia tiga puluh
tahun itu bergetar dan hampir tidak terdengar. Dengan kedua kaki gemetar, dia
beranjak bangkit dan menyandarkan tubuhnya pada batang pohon.
"Kalau sikap Paman masih seperti itu, aku tidak sudi menjawabnya!" sungut
Kencana Wungu tanpa perasaan canggung sedikit pun.
Dan memang, dia sama sekali belum pernah
bertemu orang itu sebelumnya. Namun sikap yang ditunjukkan tak ubahnya tengah
berhadapan dengan orang yang telah lama dikenal. Bahkan sudah pula bisa
mengancam! Benar-benar gadis yang luar biasa.
"Ah! Aku..., aku..."
Si pemetik kecapi semakin gugup melihat sikap yang ditunjukkan gadis cantik
berpakaian kuning cerah itu. Cepat-cepat perasaannya yang memang tidak
semestinya itu ditekan. Setelah beberapa saat kemudian, barulah hatinya dapat
dikuasai. Itu pun belum sepenuhnya berhasil.
"Oh! Gadis ini benar-benar mirip Wirani. Sikapnya yang lincah dan matanya yang
bening itu hampir tidak berbeda sedikit pun! Tapi, tidak mungkin! Wirani telah
tewas sepuluh tahun yang lalu. Dan aku masih ingat dengan kejadian itu. Jadi,
siapakah gadis yang kini berada di depanku" Dan apa yang dikehendakinya dariku?"
bermacam pertanyaan timbul, memenuhi benak si pemetik kecapi. Sehingga untuk
beberapa saat lamanya ia hanya berdiri terpaku menatap gadis
itu. "Ada apa, Paman" Apakah wajahku aneh" Kalau tidak, mengapa Paman memandangku
seperti itu?"
tanya Kencana Wungu sambil bertolak pinggang.
Kemarahan gadis itu mulai timbul melihat sikap lelaki berambut meriap yang
sepertinya tidak waras itu. Atau mungkin orang ini memang kurang waras"
Rasanya kasihan sekali kalau orang segagah itu ternyata pikirannya terganggu.
Benak Kencana Wungu terus digayuti dugaan.
"Maafkan sikapku yang tidak pantas tadi, Nisanak.
Aku..., aku hanya merasa terkejut melihatmu yang tahu-tahu sudah berada di
depanku. Siapakah kau, Nisanak" Apakah ada sesuatu yang bisa kubantu?"
tanya lelaki itu menyadari kesalahannya.
Diam-diam ia merasa heran sendiri kepada dirinya.
Sebab, tidak bisanya ia berbicara begitu banyak dan lancar. Padahal, biasanya
dia enggan sekali mengeluarkan kata-kata. Dan itu sudah lama terjadi semenjak
tunangannya dibunuh secara kejam, setelah terlebih dahulu dinodai musuh-musuh
gurunya. Tapi menghadapi gadis ini, ia benar-benar merasa lain. Memang sulit
dicari penyebabnya
"Hm..., baiklah. Kumaafkan sikapmu tadi, Paman.
Dan sebaiknya kaulah yang lebih dulu mem-
perkenalkan namamu. Bukankah sudah sepantasnya demikian?" ujar Kencana Wungu
dengan sikap wajar.
Kemarahan di hati gadis itu telah lenyap ketika mendengar permintaan maaf laki-
laki yang semula disangka sinting itu. Diam-diam gadis itu mengagumi wajah
lelaki gagah yang tampak matang dan penuh garis-garis penderitaan itu.
"Ya, ya.... Memang begitu seharusnya. Namaku Rimang. Aku adalah seorang perantau
yang kebetulan lewat di desa ini," jawab si pemetik kecapi memperkenalkan dirinya.
"Namaku Kencana Wungu, dan biasa dipanggil Kencana saja. Aku adalah penduduk
desa ini yang kebetulan lewat dan tertarik dengan permainan kecapimu yang
menyedihkan itu. Mengapa sih, kau suka sekali menyanyikan lagu sedih" Hm....
Sebaiknya aku memanggilmu apa ya" Rasanya kau belum terlalu tua. Jadi, tidak
pantas menyebutmu paman.
Bagaimana kalau kau kupanggil dengan sebutan kakang saja. Setuju?" gadis yang
memang pandai bicara itu terus nyerocos, seperti tak mau berhenti.
Mendengar ucapan gadis cantik yang lincah dan pandai bicara itu, mau tak mau
Rimang tersenyum.
Kembali hatinya dijalari perasaan aneh" Buktinya, ia sudah bisa pula tersenyum!
Padahal, rasanya ia sudah lupa bagaimana caranya tersenyum. Dan memang, hal itu
sudah tidak pernah lagi dilakukannya. Yang ada, selama ini hanyalah kebekuan dan
hati yang mati. Tapi menghadapi gadis cantik ini, rasanya dirinya telah hidup
kembali. Gadis itu ternyata sanggup menghidupkan semangatnya yang telah mati.
Dan hal itu benar-benar membuatnya heran.
"Apa sebenarnya yang sedang terjadi pada diriku?"
tanya lelaki itu kepada dirinya sendiri.
*** "Kau tidak keberatan, Kakang Rimang?" tanya Kencana Wungu lagi, ingin penegasan.
Memang, gadis itu melihat Rimang hanya terpaku disertai pandangan mata kosong
dan menerawang jauh.
Sementara bibirnya mengulas senyum sehingga
membuat Kencana Wungu menahan tawanya.
"Oh! Eh, apa..., apa?" tanya Rimang tersentak dari lamunannya. Pemetik kecapi
itu menjadi rikuh menyadari sikapnya.
"Hi hi hi...!" gadis itu tak dapat lagi menahan tawanya melihat wajah Rimang
yang ketolol-tololan itu. "Aku tadi hanya bertanya, apa boleh memanggilmu dengan
sebutan kakang?"
"Oh...," desah Rimang lega. "Terserah bagaimana baiknya menurutmu, Kencana.
Bagiku tidak menjadi soal."
Rimang juga menjadi tersenyum melihat kegembiraan gadis itu.
"Nah! Sekarang, kuminta agar Kakang menyanyikan lagu gembira. Mau, kan" Aku
tidak suka lagu sedih, karena akan membuatku jadi teringat almarhum ibuku," ujar
gadis cantik itu seraya menundukkan wajahnya.
"Oh! Jadi, ibumu sudah tiada?" sentak Rimang.
Si pemetik kecapi itu menjadi iba melihat wajah yang semula riang itu mendadak
tertutup mendung.
Ingin sekali rasanya membelai rambut gadis itu dan menghiburnya agar tidak
bersedih lagi. "Ya, sejak aku berusia lima tahun," jawab Kencana Wungu seraya mengangkat
wajahnya. "Ah, sudahlah, Kakang. Untuk apa mengingat hal-hal yang sudah lalu.
Ayolah, mainkan kecapimu."
Melihat mendung di wajah gadis itu sudah mulai hilang, Rimang segera
menggerakkan jemarinya memetik dawai-dawai kecapi. Maka terdengarlah alunan
denting kecapi yang merdu merayu. Kencana Wungu memandangi jemari laki-laki itu
yang menari-nari lincah di atas papan kecapi. Matanya berbinar-binar memancarkan
kegembiraan yang amat sangat
Senyum di bibir Rimang semakin melebar melihat kegembiraan yang terpancar dari
sepasang mata indah itu. Maka dia semakin bersemangat memainkan lagu-lagu
gembira. Padahal selama ini lagu-lagu itu belum pernah dimainkannya. Rimang
merasa seolah-olah baru terlahir ke bumi, dan baru dapat melihat betapa indahnya
hidup ini. Dan yang membuatnya heran, adalah keinginan untuk berlama-lama
bersama gadis lincah yang baru dikenalnya itu.
Entah apa yang ada dalam diri gadis itu, sehingga membuatnya bersemangat dan
bergairah menghadapi hidup. Hanya saja Rimang jadi takut begitu mengetahui,
kalau dia memiliki suatu perasaan terhadap Kencana Wungu.
Dan kini kegembiraan dan kebahagiaan yang mereka rasakan itu tidak berlangsung
lama, dan tiba-tiba direnggut begitu saja oleh dua orang berseragam hitam yang
menghampiri mereka.
"Nini Kencana. Ayahmu menyuruh kami untuk segera menjemputmu," kata salah
seorang di antaranya, penuh hormat. Alisnya nampak berkerut ketika memandang
orang berambut meriap yang bersama putri majikannya itu.
Kencana Wungu menoleh kepada dua orang itu dengan kening berkerut. Sepertinya
gadis itu merasa tak senang dengan kehadiran kedua orang pembantu ayahnya yang
telah merusak kegembiraan itu.
"Nih! Bawalah pesanan ayah. Dan pulanglah! Aku akan menyusul nanti!" kata gadis
itu, ketus. Sambil berkata demikian, diserahkannya
bungkusan yang dibawa kepada kedua orang pembantu ayahnya yang nampak heran
dengan sikap putri majikannya itu.
"Tapi, kami juga disuruh menjemputmu, Nini
Kencana. Dan kami tidak berani kembali tanpa Nini,"
ucap salah satu dari kedua orang itu, bingung.
"Ya. Sebaiknya Nini pulang saja dulu agar kami tidak kena marah oleh beliau,"
timpal yang seorang lagi dengan nada memohon pengertian putri majikannya itu.
Kerutan di kening gadis itu nampak semakin dalam. Wajahnya yang selalu cerah
seketika berubah gelap setelah mendengar bantahan kedua orang pembantu ayahnya
itu. Kencana Wungu sudah bergerak bangkit dan siap menumpahkan
kemarahannya. Rimang yang melihat kemarahan pada wajah gadis cantik itu menjadi tidak enak
hati. Cepat-cepat dia bergerak bangkit untuk ikut membujuk Kencana Wungu agar
mengikuti kata-kata kedua orang yang diduga adalah pembantu-pembantu ayah gadis
itu. Hal itu tertangkap jelas dari pembicaraan maupun sikap kedua orang itu yang
terlihat hormat
"Pulanglah, Kencana. Jangan membuat cemas ayahmu. Siapa tahu beliau saat ini
tengah me-nunggumu dengan perasaan gelisah," desah Rimang sambil menghela napas
berat. "Jadi kau pun tidak menyukai kehadiranku di sini, Kakang" Kalau memang
kehadiranku telah membuatmu terganggu, baiklah. Aku akan pergi!" sahut Kencana
Wungu, seraya membalikkan tubuhnya menghadapi Rimang. Terlihat kekecewaan di
wajahnya. "Jangan salah mengerti, Kencana. Aku merasa sangat beruntung kau suka bersahabat
denganku. Dan sikap bersahabatmu telah membuat aku sadar kalau tidak seharusnya tenggelam
dalam kedukaan dan memandang dunia ini dari sisi yang pahit. Tapi,
kau juga harus pula memikirkan kekhawatiran ayahmu. Aku tidak ingin kau mendapat
marah hanya karena gara-gara aku. Pulanglah. Masih banyak waktu untuk kita
bertemu," bujuk Rimang mencoba memberi pengertian kepada Kencana Wungu.
Meskipun untuk mengucapkan kata-kata itu harus menahan rasa nyeri dalam hatinya,
namun Rimang sadar kalau tidak mempunyai hak untuk menahan gadis itu. Padahal
hatinya merasa berat untuk berpisah.
Mendengar ucapan Rimang, Kencana Wungu jadi sadar akan keadaan dirinya. Ia tahu
kalau ayahnya pasti akan marah apabila menemukannya tengah berduaan dengan orang
asing. Dan gadis itu tidak ingin kalau Rimang akan terkena kemarahan ayahnya
pula. "Maafkan sikapku yang kekanak-kanakan, Kakang.
Baiklah. Aku pulang dulu, dan besok akan kemari lagi.
Berjanjilah, bahwa Kakang akan menungguku di tempat ini," pinta Kencana Wungu
penuh permohonan.
"Aku berjanji," sahut Rimang cepat disertai senyuman.
Namun demikian, si pemetik kecapi itu berusaha menyembunyikan perasaan nyeri di
dadanya. Memang diakui kalau dirinya merasa berat berpisah dengan gadis yang telah mampu
membangkitkan kegembiraan dalam hidupnya yang telah kosong.
"Aku pergi dulu, Kakang," pamit gadis itu sembari melangkah mengikuti kedua
orang pembantu ayahnya. Beberapa langkah kemudian, Kencana Wungu
menoleh dan melemparkan senyumnya kepada
Rimang yang masih berdiri menatap kepergiannya.
Rimang melambaikan tangannya dengan keharuan yang menyesakkan dada. Diam-diam
hatinya mengeluh begitu menyadari kalau ada suatu perasaan terhadap gadis itu. Gadis itu
masih terlalu muda serta sangat polos. Sikapnya pun dapat berubah-ubah setiap
saat. Betapa mudahnya untuk jatuh cinta kepada gadis itu. Dan Rimang memang
tidak boleh berharap terlalu banyak. Hanya dia sendirilah yang tahu, perasaan
apa yang terkandung dalam dadanya. Dia tidak ingin Kencana Wungu mengetahuinya.
"Hhh..."
Rimang menghela napas berat menyadari kalau dirinya terlalu tua untuk gadis
seusia Kencana Wungu. Ia tidak ingin menderita kekecewaan untuk yang kedua kali.
"Aku tidak boleh menyalahartikan kebaikan serta sikap gadis itu. Siapa tahu dia
hanya merasa suka dengan permainan kecapiku dan bukan kepada diriku!" kata hati
Rimang kepada dirinya sendiri.
Setelah bayangan ketiga orang itu sudah tidak kelihatan, Rimang pun melangkahkan
kakinya meninggalkan tempat itu. Telah diputuskan kalau dia tidak akan menemui
gadis itu lagi setelah urusannya di Desa Dadapan ini selesai. Karena, Rimang
takut kalau-kalau perasaan cintanya terhadap gadis itu akan semakin berkembang.
Ia tidak ingin menderita kekecewaan lagi, yang mungkin saja akan jauh lebih
parah daripada yang pertama.
Rimang melangkah perlahan sambil memperhatikan bayangan tubuhnya yang memanjang.
Ditatapnya cakrawala yang sebentar lagi akan gelap. Kembali terdengar helaan
napas beratnya.
5 "Ampuni aku, Tuan. Apa salahku?" rintih seorang laki-laki setengah baya yang


Pendekar Naga Putih 16 Kecapi Perak Dari Selatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

wajahnya berlumuran darah.
Ia berusaha merangkak bangkit dengan susah-payah. Wajahnya menatap memohon belas
kasihan kepada seorang laki-laki tegap yang berdiri di hadapannya dengan kedua
kaki terpentang lebar.
"Hmh...! Merengeklah sepuasmu sebelum kubunuh, Tua Bangka! Siapa pun di dunia
ini yang memainkan alat kecapi, akan kubunuh!" bentak laki-laki tegap itu.
Wajahnya bengis dan penuh dendam. Ia sama sekali tidak tergerak hatinya melihat
wajah lelaki tua yang tampak sangat menderita akibat siksaannya.
Malah hal itu membuatnya semakin senang.
"Tapi, apa salahku kepada Tuan" Bukankah kita tidak saling mengenal dan belum
pernah bertemu sebelumnya," tukas lelaki setengah baya itu dengan seribu
pertanyaan yang tergambar di wajahnya.
Sepertinya ia memang tidak mengetahui sama sekali apa yang menyebabkan dirinya
sampai disiksa sedemikian rupa.
"Kau memang tidak bersalah, Orang Tua! Tapi jahanam keparat itu telah membunuh
guruku, kawan-kawanku, dan juga guru kawanku ini. Dan pembunuh itu juga seorang
pemain kecapi, tahu"! Pembunuh keji itu mengaku datang dari daerah Selatan, dan
memiliki sebuah alat musik kecapi berwarna perak!
Nah! Karena kesalahannya itulah, maka aku ber-sumpah untuk membunuh dan menyiksa
semua orang yang suka mainkan alat kecapi dan alat-alat lainnya. Kau boleh menyumpah
dan mengutuk keparat jahanam itu! Karena perbuatannya itulah, maka kau
menderita!" jelas laki-laki tegap itu lagi, tanpa rasa kasihan sedikit pun.
Setelah berkata demikian, kembali ditendangnya tubuh lelaki setengah baya yang
sudah hampir berdiri itu.
Desss! "Aaakh...!"
Lelaki setengah baya yang ternyata seorang pemain kecapi itu menjerit kesakitan.
Tubuhnya yang kurus terlempar dan menabrak bilik rumah hingga jebol. Darah segar
kembali menyembur dari mulutnya.
"Ya, Tuhan! Ada apa ini?" teriak seorang wanita bertubuh gemuk yang bergegas
memasuki rumah itu.
"Manusia biadab! Apa kesalahan suamiku hingga kau tega menyiksa sedemikian
kejam?" Wanita gemuk itu rupanya istri lelaki setengah baya yang tengah merintih dan
mengerang kesakitan.
"Mengapa..., mengapa kesalahan Kecapi Perak dari Selatan ditimpakan kepadaku,
Kisanak" Mengapa bukan orang itu saja yang kau cari dan kau siksa" Mengapa harus orang
lain yang tidak berdosa yang harus menanggung akibat perbuatannya itu?"
tanya lelaki setengah baya itu.
Sambil bertanya demikian, dia menekap
lambungnya yang terasa bagaikan remuk tulang-tulangnya. Sedangkan wanita gemuk
itu sudah menubruk suaminya yang sepertinya sudah tidak mampu bangkit lagi.
Wajah wanita gemuk itu telah dipenuhi air mata melihat penderitaan suaminya.
"He he he.... Baiklah. Aku tidak akan menyiksamu lagi, Ki. Dan aku pun akan
mengurangi rasa sakit yang kau derita itu!" tegas lelaki tegap itu dengan
wajah sinis, sambil mencabut keluar pedang yang tergantung di pinggangnya.
Sret! Sinar putih berkilatan langsung memendar ketika pedang lelaki itu tercabut dari
sarungnya. Tentu saja hal ini membuat suami istri itu semakin ketakutan.
Wajah mereka mendadak pucat bagai tak dialiri darah.
"Oh...! Binatang, kau! Mengapa kesalahan orang lain kau timpakan kepada
suamiku"! Apakah kau takut untuk membalas kepada orang itu?" teriak wanita gemuk
itu dengan wajah bersimbah air mata.
Dan tanpa mempedulikan keselamatan dirinya lagi, wanita itu segera menubruk si
lelaki tegap dan melontarkan pukulan.
"Nyai, jangan...!" teriak laki-laki setengah baya itu mencegah perbuatan
istrinya. Sambil mengerang menahan sakit, tubuhnya berusaha bangkit karena
mengkhawatirkan keselamatan istrinya.
Si lelaki tegap sudah kalap mendengar ucapan yang dilontarkan perempuan gemuk
itu tadi. Gerahamnya terdengar bergemeletuk menahan geram. Dan tanpa ragu-ragu lagi,
segera disambarnya tubuh perempuan itu dengan tendangan keras.
"Perempuan jelek! Rasakan ini, hih!"
Bukkk! "Aaah...!"
Tubuh perempuan malang itu langsung terlempar ke belakang ketika tendangan yang
keras itu hinggap di perutnya. Terdengar jerit kesakitan yang berbareng dengan
menyemburnya darah segar dari mulut perempuan itu.
Brakkk! Tubuh gemuk itu terus meluncur menabrak tiang
bambu yang menopang bilik rumahnya. Seketika dinding rumahnya yang terbuat dari
bilik itu langsung jebol menimbulkan suara ribut. Sedangkan tubuh perempuan itu
sendiri terlempar ke luar.
"Nyai...!" si suami berteriak parau.
Laki-laki itu segera berlari terpincang-pincang memburu tubuh istrinya.
Dipeluknya tubuh wanita gemuk yang rebah dengan napas satu-satu itu.
Rupanya perempuan itu telah pingsan karena tidak kuat menahan bobot tendangan
yang melebihi kekuatan tubuhnya.
"Biadab! Kalian benar-benar sudah seperti binatang! Tidak berperikemanusiaan!"
maki lelaki setengah baya itu yang menjadi kalap demi melihat istrinya telah
rebah tak bergerak.
Sambil berkata demikian, dia memeluk dan
memanggil-manggil nama istrinya dengan suara parau.
Dengan sorot mata penuh dendam, lelaki bertubuh tegap itu perlahan-lahan
melangkah keluar diikuti lima orang kawannya, dengan sikap mengancam.
Pedang telanjang di tangan kanannya ditimang-timang, membuat sepasang mata
lelaki setengah baya itu membelalak lebar. Karena dia tidak mampu berbuat apa-
apa lagi, dan hanya pasrah menanti datangnya maut.
"Bersiaplah untuk mati, Tua Bangka! Dan sumpahilah si Kecapi Perak dari Selatan
itu sepuasmu!" bentak lelaki tegap itu yang sudah tiba di dekat sepasang suami
istri yang malang. Dengan gerakan perlahan pedangnya diangkat tinggi-tinggi,
siap untuk memenggal leher orang itu. Namun tiba-tiba....
Wuttt! Trang! "Akh...!"
Tubuh lelaki tegap itu terjengkang ke belakang diiringi teriakan kagetnya.
Pedang di tangannya terlempar akibat benturan sebuah batu kecil yang melesat
dengan kecepatan tinggi. Cepat tubuhnya dilempar dan bersalto beberapa kali
hingga tidak sampai terbanting ke tanah.
Dengan wajah yang berubah pucat, lelaki itu melotot ke arah seorang pemuda
berjubah putih yang melangkah tenang menghampiri sepasang suami istri yang
tengah meringkuk menanti ajal. Bersama pemuda tampan itu, nampak seorang gadis
jelita berpakaian serba hijau. Sepasang matanya yang indah menatap geram kepada
lelaki tegap dan lima orang kawannya yang hanya mampu memandang bengong. Mereka
seperti terkesima melihat kecantikan gadis itu. Beberapa di antaranya bahkan
menelan air liur, penuh nafsu.
Untuk beberapa saat lamanya keenam orang itu tidak mampu mengucapkan sepatah
kata pun. Mereka hanya berdiri terpaku bagai patung.
Sementara itu, pemuda tampan berjubah putih membungkuk menyentuh tubuh lelaki
setengah baya yang masih memejamkan mata.
"Aaah...!"
Lelaki setengah baya itu terlonjak bagai tersengat kalajengking. Karena dikira,
sentuhan tangan itu adalah mata pedang yang siap memenggal lehernya.
Tubuh kurus itu pun semakin merungkut ketakutan.
Keringat dingin sudah membanjir membasahi pakaiannya.
"Bangunlah, Ki. Tidak ada lagi yang perlu ditakuti,"
ujar pemuda berjubah putih itu dengan suara lembut dan halus.
Perlahan-lahan lelaki setengah baya itu membuka matanya begitu mendengar suara
yang sangat jauh berbeda dari suara lelaki yang menyiksanya. Dan hatinya pun
merasa heran ketika melihat seraut wajah bersih dan tampan tengah membungkuk dan
memegang bahunya. Lalu ia pun bergerak bangkit sambil mengedarkan pandangannya.
Tampak keenam orang yang menyiksanya tengah berdiri terpaku berhadapan dengan seorang
gadis yang membelakanginya.
Dengan wajah yang hampir tidak percaya, orang tua itu kembali mengalihkan
pandangan matanya kepada pemuda berjubah putih yang mengangguk dan tersenyum
padanya. Kini sadarlah orang tua itu, kalau nyawanya telah diselamatkan kedua
orang muda itu.
"Marilah kita ke dalam, Ki," ajak pemuda itu sambil mengangkat tubuh wanita
gemuk yang masih
pingsan. Dengan langkah terpincang-pincang, lelaki setengah baya itu mengikuti langkah
pemuda tampan memasuki rumahnya. Ia pun duduk di tepi balai-balai bambu, tempat
tubuh istrinya dibaringkan pemuda tampan berjubah putih itu.
*** 6 Pemuda berjubah putih yang tak lain adalah Pendekar Naga Putih, bergegas
mengurut beberapa bagian jalan darah di tubuh perempuan gemuk.
Kemudian, diberikannya pengobatan kepada lelaki setengah baya yang terluka parah
itu. Setelah menyuruh orang tua itu agar beristirahat Panji bergegas melangkah
ke luar. Namun baru saja sampai di ambang pintu, laki-laki setengah baya itu
bangkit dan menghampirinya.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Anak Muda.
Kau telah menyelamatkan kami dari kematian," ucap orang tua itu, mencoba
tersenyum. Namun bagi Panji senyum itu terlihat seperti seringai kesakitan. Dan
pemuda itu membalasnya dengan senyum tulus.
"Sudah menjadi kewajiban kita untuk saling menolong, Ki. Sebaiknya
beristirahatlah dulu.
Sebentar lagi juga istrimu segera sadar. Biarlah mereka aku yang mengurusnya,
karena memang telah lama kucari-cari sehubungan dengan
pembunuhan-pembunuhan yang mereka lakukan,"
jelas Panji. Kemudian, Pendekar Naga Putih melangkahkan kakinya ke arah enam orang laki-laki
yang tengah berhadapan dengan gadis jelita berpakaian hijau yang sudah pasti
Kenanga adanya. Sementara laki-laki setengah baya itu kembali mendekati
istrinya. "Tidak salah lagi, Kakang, Merekalah yang telah melakukan pembunuhan terhadap
rombongan pemusik panggilan dan para pemetik kecapi," jelas
Kenanga begitu Panji mendekat. Gadis itu berbicara sambil tetap menatap keenam
orang calon lawannya.
"Aku pun telah menduganya," sahut Panji pelan.
Pendekar Naga Putih melangkah semakin mendekati keenam orang laki-laki yang
sepertinya dipimpin lelaki yang bertubuh tegap. Dialah yang baru saja hendak
memenggal kepala suami istri tadi.
"Siapakah kalian" Apa maksud kalian membunuhi dan menganiaya orang-orang yang
tak berdosa?"
tegur Panji, dingin.
Sepasang mata Pendekar Naga Putih mencorong tajam, menimbulkan perbawa yang
kuat. Maka seketika keenam orang itu melangkah mundur dengan sikap waspada.
Tangan-tangan mereka serentak meraba gagang senjata yang menyembul di balik
pakaian. "Bangsat! Mestinya akulah yang mengajukan pertanyaan kepadamu, manusia usil!
Mengapa kau mencampuri urusan kami" Lebih baik kau tinggalkan tempat ini sebelum
aku berniat jelek kepadamu!"
bentak lelaki tegap itu tak kalah gertak.
Sambil berkata demikian matanya melirik ke arah Kenanga. Cepat pandang matanya
dialihkan begitu melihat sinar mata gadis itu yang tidak kalah tajamnya dengan
sepasang mata pemuda berjubah putih.
"Huh! Jangan banyak tingkah kau, Iblis Laknat!
Hari ini kau akan merasakan bagaimana rasanya sebuah siksaan! Bersiaplah!" geram
Kenanga. Gadis ini rupanya sudah tak dapat lagi menahan kemarahannya. Karena setelah
sekian lama menyelidiki, baru kali inilah bertemu pembunuh yang dicari-cari itu. Selama ini
ia dan Pendekar Naga Putih hanya menemukan bekas-bekas kejahatan yang
mereka lakukan. Dan hal itu tentu saja telah membangkitkan rasa penasaran di
hati gadis jelita ini.
Itulah sebabnya, mengapa Kenanga sudah tidak dapat menahan kesabarannya lagi
begitu bertemu orang-orang itu.
"Sabarlah, Kenanga. Biar aku yang akan menghadapi mereka."
Sambil berkata demikian, Pendekar Naga Putih menyentuh lembut bahu Kenanga untuk
menenangkan perasaannya. Dan memang, Panji ingin mengorek keterangan keenam
orang itu lebih dahulu.
Ia ingin tahu, apa sebabnya orang-orang itu berbuat demikian.
Melihat tingkah laku serta penampilan keenam orang itu, Pendekar Naga Putih tahu
kalau mereka tidak dapat disamakan dengan para penjahat atau perampok yang
pernah ditemuinya. Dan Panji merasa yakin kalau ada suatu sebab yang membuat
keenam orang itu melakukan kejahatan.
"Tidak, Kakang! Kali ini, berilah kesempatan padaku. Percayalah, aku tidak akan
membunuh mereka, tapi hanya memberi sedikit pelajaran agar lain kali tidak
sembarangan berbuat kejam," sahut Kenanga yang terpaksa membantah kata-kata
Pendekar Naga Putih. Hanya saja, nada suaranya hampir mirip permohonan. Demikian
juga dengan pandang matanya, yang seperti meminta pengertian Panji.
"Hm...," Panji hanya memperdengarkan gumaman yang tak diketahui maknanya.
Untuk beberapa saat lamanya, Pendekar Naga Putih menatap wajah Kenanga dengan
pandangan menyelidik. Sesaat kemudian, senyum di wajah pemuda itu pun mengembang
begitu melihat sinar
kesungguhan di mata kekasihnya. Dan Panji tahu kalau gadis itu akan menepati
janjinya untuk tidak sampai membunuh orang-orang itu.
"Kurang ajar! Apakah kalian pikir aku ini sebuah mainan yang dapat kalian
perebutkan begitu saja!"
teriak lelaki tegap itu, merah padam.
Hati laki-laki tegap itu benar-benar tersinggung melihat pembicaraan dua orang
di depannya. Dan memang jelas, mereka membicarakan dirinya dengan seenaknya
saja. Seolah-olah ia adalah seorang lemah yang tidak mempunyai daya sama sekali.
"Hm.... Kau pikir dirimu itu apa" Bagiku kau tak lebih dari orang sinting yang
harus segera diberi pengobatan. Dan akulah orang yang akan
mengobatimu!" sambut Kenanga yang sudah melangkah maju sehingga berjarak sekitar
dua batang tombak.
Bibir gadis itu menyunggingkan senyuman manis yang membuat wajah keenam orang
itu menjadi panas. Langkah kakinya dibuat sedemikian rupa laksana algojo yang
hendak melaksanakan hukuman.
Kedua tangannya bertolak pinggang dengan sikap santai.
"Keparat kau, Gadis Sombong! Kalau tertangkap, hmh.... Kau akan rasakan sendiri
akibatnya!" bentak yang lain. Mereka juga menjadi geram melihat sikap gadis itu
yang demikian meremehkan.
"Hi hi hi...! Laki-laki besar mulut yang hanya bisa menyiksa orang lemah! Ayo,
majulah! Ingin kulihat, sampai di mana kepandaianmu!" ejek Kenanga yang semakin
menjadi-jadi begitu melihat lawan-lawannya mencak-mencak bagai cacing kepanasan.
"Setan! Kuntilanak kuburan!" teriak lelaki bertubuh tegap yang sudah tidak bisa
menahan amarahnya.
Dibarengi sebuah teriakan nyaring, tubuhnya segera melayang disertai sambaran
pedang yang berputaran cepat
Wuttt! Wuttt..!
"Eit, tidak kena! Hayo tambah kecepatan, Kerbau Dungu! Mengapa demikian lamban"
Apakah kau merasa sayang untuk melukai tubuhku?"
Sambil mengejek memanaskan telinga lawan, tubuh gadis jelita itu meliuk
menghindari dua buah serangan lawan. Tentu saja hal itu membuat darah lawannya
semakin mendidih.
"Kubunuh kau!" bentak lelaki bertubuh tegap itu yang kemarahannya semakin
meledak-ledak. Sepertinya ia benar-benar sudah lupa kalau yang dihadapinya itu adalah seorang
dara jelita yang amat memikat. Sehingga serangan-serangannya tampak semakin
gencar dan menderu-deru.
"Yeaaat..!"
Lima orang kawan lelaki tegap itu segera
berlompatan mengeroyok Kenanga. Karena, mereka melihat betapa kawannya demikian


Pendekar Naga Putih 16 Kecapi Perak Dari Selatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sibuk menghadapi gadis jelita itu. Dan kini mereka memang baru sadar kalau
kepandaian gadis itu ternyata hebat sekali.
Meskipun serangan yang dilancarkan enam orang laki-laki itu demikian menderu-
deru, namun enak saja tubuh gadis itu menyelinap di antara sambaran senjata enam
orang lawan yang berbau maut itu. Dan anehnya, tak satu pun yang dapat menyentuh
pakaiannya. Apalagi menyentuh kulit tubuhnya.
Wuttt! Wukkk...!
"Eit.. sedikit lagi!" ejek Kenanga ketika dua buah senjata lawannya menyambar
dari kiri-kanan, dan berhasil dihindarinya. "Ayo, teruskan! Masak meng-
hadapi seorang wanita saja kalian tidak mampu berbuat apa-apa" Mana kehebatan
kalian" Ayo tunjukkan?"
Sambil terus berlompatan, mulut gadis jelita itu tak henti-hentinya mengejek.
Akibatnya hati keenam orang pengeroyoknya semakin kalap bagaikan kakek-kakek
kebakaran jenggot.
"Keparat! Heaaat..!"
Sambil berteriak memaki, salah seorang dari pengeroyok menusukkan pedang
membentuk garis lurus. Sinar pedang berpendar menyilaukan mata.
Sedangkan dari belakang, pengeroyok yang lainnya melompat tinggi sambil
membabatkan pedang menebas leher yang jenjang dan mulus itu.
Wuttt! Wuttt! Menghadapi dua buah serangan dari arah berbeda itu, sama sekali tidak membuat
Kenanga gugup. Dengan gerakan tenang, tubuhnya dimiringkan sambil kakinya diputar ke kanan.
Maka serangan dari depan itu pun mengenai tempat kosong.
Gerakan gadis itu tidak hanya sampai di situ saja.
Berikutnya, tubuhnya berputar dengan menggunakan tenaga pinggang dengan kepala
ikut berputar. Dengan demikian, bacokan pedang lawan yang mengancam kepala lewat beberapa jari
di atasnya. "Hi hi hi..! Kerbau-kerbau tolol! Masak kalian berenam tidak mampu
menjatuhkanku" Mana
kehebatan yang kalian bangga-banggakan itu?" ejek Kenanga kembali sehingga
membuat keenam orang pengeroyoknya semakin kalap.
"Keparat kau, Perempuan Siluman! Kau pun sejak tadi hanya bisa mengejek tanpa
mampu membalas serangan-serangan kami! Kalau memang hebat, tunjukkanlah
kehebatanmu!" teriak lelaki bertubuh
tegap, mencoba membalas ejekan lawan. Rupanya ia baru sadar kalau orang yang
mereka keroyok itu sama sekali belum pernah membalas serangan.
Mendengar ucapan lawannya, Kenanga hanya
tertawa terkikik. Sesaat kemudian wajahnya berubah galak. Dengan tatapan setajam
mata pedang, gadis itu berdiri tegak setelah melenting menjauhi para pengeroyok
itu. Sepertinya Kenanga sudah merasa puas mempermainkan musuh-musuhnya.
"Hm.... Kau menagih, Kerbau Dungu" Kalau begitu, bersiaplah untuk menerima
hajaranku!" kata gadis itu dengan suara da tar. Kemudian sepasang tangannya
bergerak, siap melancarkan serangan.
Mendengar ucapan gadis yang sudah berdiri dengan sepasang mata mengancam, mau
tak mau keenam lelaki itu melangkah mundur. Wajah mereka langsung berubah
tegang. Sewaktu gadis itu bertahan saja, mereka sudah merasa kewalahan sekali.
Entah apa jadinya kalau gadis itu mulai mengumbar pukulan dan tendangannya.
Sanggupkah mereka bertahan"
*** Kenanga yang tidak ingin keenam orang lawannya bergelut dengan pertanyaan-
pertanyaan, segera melesat dibarengi teriakan nyaring dan menggetarkan.
"Haiiit...!"
Bagaikan seekor elang yang siap menyambar anak ayam, tubuh gadis itu meluncur
dengan kecepatan kilat ke arah lawan-lawannya. Sepasang tangannya siap melakukan
cengkeraman-cengkeraman maut yang akan merenggut nyawa lawan.
Wuttt! Wuttt! "Aaakh...!"
Dua orang dari pengeroyok yang menjadi sasaran cengkeraman jari-jari mungil itu,
bergegas melempar tubuhnya ke belakang. Mereka terus melakukan beberapa kali
salto untuk menjaga dari serangan susulan yang mungkin masih akan mengancam.
Sedangkan lelaki tegap bersama kawannya yang pada tangan kanannya menggunakan
cakar baja, bergegas menyabetkan pedang untuk menahan serangan Kenanga. Mata
pedang dan cakar baja itu bergerak menyilang dan mendatar, memapak
serangan gadis itu.
Melihat ancaman yang cukup berbahaya, Kenanga menarik pulang tangannya. Dan
secepat kilat tubuhnya berputar sambil melontarkan tendangan kilat ke dagu si
lelaki tegap. Sedangkan, tangannya siap melakukan serangan susulan.
"Heaaah...!"
Dugkh...! "Aaakh...!"
Tubuh lelaki tegap itu terdongak ketika tendangan kaki Kenanga mencium dagunya.
Seketika terdengar jerit kesakitan. Darah pun menetes dari bibirnya yang pecah.
Kenanga tidak hanya berhenti sampai di situ saja.
Cakarnya yang memang siap terlontar itu segera meluncur ke arah seorang lagi
yang sama sekali tidak menduga ada serangan. Maka dia berusaha untuk
mengelakkannya. Tapi sayang, serangan yang dilakukan gadis itu terlihat demikian
matang dan penuh perhitungan. Apalagi kecepatan gerak lawan kalah cepat. Maka...
Brettt! "Aaakh...!"
Dibarengi jerit kesakitan, tubuh orang itu terlempar dan terbanrjng keras di
atas tanah. Darah segar tampak mengucur dari luka memanjang yang menghias
dadanya. Orang itu hanya dapat merintih sambil berusaha bangkit
Sementara itu, lelaki bertubuh tegap sudah bangkit berdiri dan slap melontarkan
pukulannya. Tapi sayang, gerakan yang dilakukan Kenanga masih jauh melebihi kecepatannya.
Sehingga pada saat baru bersiap melakukan penyerangan, tahu-tahu saja telapak
kaki gadis itu telah telak menghantam dadanya.
Bugkh! "Hugkh...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh orang itu kembali terbanting keras di atas
tanah. Darah segar semakin banyak mengucur membasahi pakaiannya. Ia hanya
telentang sambil menekap dadanya yang terasa remuk tulang-tulangnya.
Amukan gadis jelita itu tidak berhenti sampai di situ saja. Empat orang lainnya
ternyata juga mendapat bagian yang sama. Rupanya dalam hal mem-bagi pukulan dan
tendangan, gadis jelita itu dapat pula bersikap adil dan tidak pilih kasih.
Sehingga dalam beberapa jurus saja, keenam orang
pengeroyoknya sudah bergeletakan tanpa mampu bangkit. Dari mulut mereka
terdengar rintihan memelas.
"Ampunkan kami, Nini Pendekar. Kami lakukan ini terdorong rasa dendam yang tidak
mungkin dapat kami balas. Sehingga kami melakukan pembalasan dengan jalan
menyiksa dan membunuh orang-orang yang segolongan dengan musuh kami," rintih
lelaki tegap itu sambil menundukkan wajah dalam-dalam.
"Hm.... Aku tidak peduli dengan semua urusan kalian! Yang penting sekarang
kalian harus menerima hukuman atas perbuatan-perbuatan kejam yang telah
dilakukan!" bentak Kenanga.
Gadis itu sepertinya tidak mau memberi ampunan kepada keenam orang laki-laki
yang telah melakukan kejahatan dengan membunuh dan menyiksa orang-orang yang
menjadi pemusik. Terutama para pemain kecapinya.
"Sudahlah, Kenanga. Bukankah kau berjanji hanya akan memberikan pelajaran saja
kepada mereka"
Lalu, mengapa sekarang hendak membunuh
mereka?" tanya Panji mengingatkan gadis itu akan janjinya.
"Aku tidak menyalahi janjiku, Kakang. Dan yang akan memberi keputusan hukuman
bukan aku, tapi kau. Meskipun ingin rasanya aku membunuh mereka semua sekaligus!
Paling tidak mereka akan berpikir dua kali apabila hendak melakukan perbuatan
jahat lagi!" sahut Kenanga yang dari nada suaranya jelas masih belum puas dengan
apa yang telah dilakukannya terhadap keenam orang itu.
Panji hanya tersenyum memandangi wajah
kekasihnya yang cemberut itu. Kemudian kakinya melangkah menghampiri lelaki
tegap yang merupakan pimpinan keenam orang itu.
"Kisanak. Bersediakah kau menerangkan sebab-sebab perbuatanmu itu" Ceritakanlah.
Mungkin setelah mendengarnya, aku bisa mengambil
keputusan yang lebih baik," pinta Panji kepada orang itu.
Melihat sikap dan kata-kata pemuda itu yang halus dan sopan, lelaki tegap itu
melihat adanya kemungkinan untuk lolos dari kematian. Maka
meskipun dengan suara terpatah-patah, diceritakan-lah duduk persoalannya.
"Demikianlah. Karena tidak sanggup melawan Kecapi Perak dari Selatan yang memang
memiliki kesaktian hebat itu, maka kami melakukan pembalasan dengan cara kami
sendiri. Meskipun kami tahu kalau perbuatan itu salah," lelaki tegap yang
ternyata bernama Bangkil itu menutup ceritanya dengan helaan napas berat.
"Hm.... Apakah kalian tahu, apa yang menyebabkan guru kalian sampai dibunuh
orang itu?" tanya Panji kepada keenam orang yang tiga di antaranya adalah murid
Ki Ranggit dari Perguruan Jari Besi yang telah dihasut Bangkil dan Wirja.
"Entahlah, Kisanak. Kami tidak mengetahuinya.
Sebab menurut laki-laki pemetik kecapi itu, ia datang untuk menagih hutang pada
sepuluh tahun yang lalu,"
jawab Bangkil yang sempat mendengar ucapan Kecapi Perak dari Selatan sewaktu
berhadapan dengan gurunya.
"Bolehkan kami tahu nama ataupun julukan Kisanak?" tanya salah seorang murid Ki
Ranggit takut-takut
Mendengar pertanyaan itu, yang lain serentak memandang Panji. Rupanya mereka
baru tersadar ketika mendengar pertanyaan salah seorang kawannya.
"Huh...! Ketahuilah, orang yang berada di hadapan kalian itu adalah pendekar
muda yang saat ini telah menggemparkan dunia persilatan dengan ilmu silat
Naga Sakti Sungai Kuning 1 Pendekar Bloon 9 Anak Langit Dan Pendekar Lugu Pendekar Remaja 3
^