Pencarian

Macan Tutul Lembah Daru 3

Pendekar Naga Putih 24 Macan Tutul Lembah Daru Bagian 3


kesempurnaan. "Hei" Ke mana Pendekar Naga Putih...?" tanya Begawa ketika tidak melihat Panji
di tempat itu. Sadar kalau pemuda lihai itu merupakan seorang pendekar sejati,
maka Begawa segera pergi dari situ untuk mengantarkan barang kiriman Macan
Terbang. *** 7 Lima orang laki-laki gagah tampak melangkah memasuki mulut Desa Pacitan. Sikap
mereka tampak angker dengan tatapan mata tajam menyiratkan kebengisan. Penduduk
desa yang kebetulan berpapasan dengan mereka bergegas menepi, dan hanya dapat
memandang bingung.
Di depan kelima orang laki-laki gagah itu tampak dua orang laki-laki berwajah
sembab berdarah. Pakaian mereka tampak lusuh dan kotor. Melihat perlakuan lima
orang laki-laki gagah itu, jelas kalau kedua orang itu adalah tawanan.
"Percepat sedikit jalanmu, Bedebah!" hardik salah seorang dari lima laki-laki
gagah itu. Dia memiliki bentuk tubuh kekar berotot. Wajahnya yang terhias kumis tebal,
tampak menyiratkan ketidak-sabaran. Dan hardikannya masih disertai pula dorongan
yang membuat salah seorang tawanan terjerunuk hampir jatuh.
Mendengar bentakan yang disertai dorongan keras, membuat kedua orang tawanan
mempercepat langkahnya.
Dengan setengah berlari, keduanya terus menyusuri jalan utama desa. Sekilas pun
mereka tidak berani menolehkan kepala kepada laki-laki gagah bertubuh kekar itu.
Tidak berapa lama kemudian, rombongan kecil itu tiba di depan sebuah bangunan
besar yang terhitung paling megah di Desa Pacitan.
"Hm.... Inikah rumah majikanmu...?" tegur laki-laki
berkumis lebat sambil melepaskan pandangan menilai rumah besar di depan matanya.
Sikap dan ucapannya jelas membayangkan ketidaksenangan.
"Betul..., Tuan...," sahut salah seorang laki-laki berwajah sembab itu,
menundukkan kepala.
"Hm.... Mengapa kami tidak lekas kau bawa masuk...?" gumam laki-laki gagah
berwajah keras yang mengenakan ikat kepala putih. Nada suaranya berat, bernada
teguran dan ancaman.
"Kami... Kami tidak berani, Tuan...," sahut salah seorang dari kedua tawanan
yang memiliki cambang tebal dan berperut gendut. Suaranya lebih mirip keluhan
daripada jawaban.
"Keparat! Rupanya kau lebih suka diperintah dengan ini!" bentak laki-laki
berkumis lebat sambil meluncurkan kaki kanannya, menghajar tubuh orang itu. Dia
memang merasa geram mendengar jawaban itu.
Desss! "Akh...!"
Tawanan berperut gendut itu mengeluh tertahan ketika sebuah tendangan telak
menghajar punggungnya.
Sehingga, tubuhnya langsung terjerembab beberapa langkah ke depan, dan jatuh
persis menghantam pintu gerbang rumah besar itu.
Suara berdebuk nyaring yang berasal dari depan gerbang itu membuat dua orang
penjaga bergegas menghampiri. Wajah keduanya berubah kelam melihat sesosok tubuh
dengan wajah bersimbah darah meringkuk kesakitan.
"Bagol...! Kaukah itu...?" tegur salah seorang penjaga
yang bertubuh tinggi kurus sambil membungkuk untuk memastikan dugaannya.
"Benar! Dia memang Bagol...!" seru penjaga bertubuh pendek, ketika kawannya
mengangkat wajah bersimbah darah itu. Jelas kalau kedua orang penjaga itu memang
telah mengenalnya dengan baik.
Saat keduanya tengah memeriksa tubuh laki-laki yang dipanggil Bagol itu,
terdengar jerit kesakitan yang disusul melayangnya sesosok tubuh lain ke arah
mereka. "Nih, satu lagi kukembalikan...!" terdengar seruan keras mengiringi sosok tubuh
yang tengah melayang.
Namun penjaga yang bertubuh tinggi kurus ternyata cukup sigap. Begitu melihat
sosok tubuh yang melayang ke arahnya, cepat kakinya melangkah mundur. Disertai
bentakan nyaring, tubuh jangkung itu melesat menyambut sosok tubuh yang tengah
mengapung di udara. Melihat dari sikapnya yang tanggap, jelas kalau seruan yang
ditujukan kepadanya tadi telah didengarnya.
Setelah berputar sebanyak dua kali di udara, tubuh tinggi kurus itu menjejakkan
kaki ke tanah. Menilik dari caranya menyambut dan menjatuhkan kaki di tanah
dengan beban di kedua lengan, jelas kalau kepandaiannya tidak bisa dipandang
rendah. "Bagus...!" seru laki-laki tinggi kekar berkumis tebal memuji tindakan penjaga
itu. Pujiannya masih disertai pula tepukan tangan yang cukup nyaring. Sayangnya,
suara pujian yang keluar dari mulut laki-laki gagah itu agak sedikit menyiratkan
kesinisan. "Terima kasih atas pujianmu, Kisanak, Bolehkah aku
tahu, siapa kalian sebenarnya" Dan mengapa sampai tega menyiksa kedua orang
kawan kami ini?" tegur laki-laki tinggi kurus itu dengan wajah angker. Sepasang
matanya tampak menyipit, seperti hendak menilai kelima orang laki-lagi gagah di
depannya. "Tidak perlu banyak cakap! Panggil saja majikanmu keluar! Katakan, sahabat-
sahabat Saudagar Prakosa ingin bertemu!" jawab laki-laki berkumis lebat yang
memang sudah tidak bisa menahan kemarahannya. Jelas kalau ucapannya mengandung
ancaman. "Hm.... Jangan disangka setelah menganiaya kedua orang kawan kami, kalian bisa
berbuat seenaknya!
Langkahi dulu mayat kami berdua, baru bisa menemui majikan kami," tantang laki-
laki tinggi kurus itu.
Kemudian dia segera mencabut keluar golok panjang di pinggangnya. Perbuatannya
diikuti penjaga lainnya, yang berdiri di sebelah kiri laki-laki tinggi kurus
itu. "Nah! Kalau begitu, matilah kalian...!" bentak laki-laki berkumis lebat yang
segera melompat disertai kibasan tangan ke arah dua orang penjaga pintu gerbang
itu. Wuttt! Serangkum angin menderu, berhembus mengiringi kibasan tangan laki-laki gagah
itu. Dari sambaran angin yang ditimbulkannya, jelas kalau ia memang hendak
menurunkan tangan maut kepada dua orang penjaga yang siap menyambutnya.
"Yeaaat..!"
Dibarengi teriakan keras, kedua orang penjaga itu bergegas mengibaskan senjata
menyambut serangan lawan. Tapi, laki-laki gagah itu ternyata cukup cerdik.
Maka, tangan kanannya yang mengibas itu berputar setengah lingkaran. Kemudian,
terus meluncur menyampok kedua senjata lawan.
Plak! Plak! "Akh...!"
Perubahan gerak yang cepat dan tak terduga dari laki-laki gagah itu, tak sempat
lagi dicegah lawan. Terdengar suara keras yang disusul seruan tertahan dari
kedua orang penjaga itu. Tubuh keduanya terjengkang ke belakang sejauh satu
tombak. Demikian kuatnya tenaga sampokan laki-laki gagah itu, sehingga senjata
mereka terlepas dari genggaman.
"Kurang ajar...!" umpat penjaga tinggi kurus yang segera melenting bangkit, dan
siap menghadapi pertarungan kembali.
"Setan...!" maki penjaga yang bertubuh pendek.
Seperti kawannya, tubuh laki-laki pendek itu pun melenting bangkit dengan wajah
menyeringai kesakitan.
Tangan kanannya bergerak mengelus pinggul yang terasa linu. Dan memang, pada
saat terjatuh tadi, tubuhnya tepat menimpa batu sebesar kepalan tangan. Dan
tentu saja kemarahannya semakin menggelegak.
Laki-laki kekar berwatak berangasan itu rupanya tidak ingin berlama-lama. Begitu
kedua lawannya bergerak bangkit, dia langsung melompat disertai hantaman telapak
tangan ke arah penjaga tinggi kurus.
Bugk! "Hugkh...!"
Hantaman telapak tangan laki-laki kekar itu telak menghajar dada lawan yang tak
berdaging. Tanpa dapat
dicegah lagi, tubuh tinggi kurus itu tertolak ke belakang bagai dihentakkan
tenaga raksasa yang tak nampak.
Penjaga itu kemudian tewas, setelah terlebih dahulu menghantam dinding batu di
belakangnya. Sedangkan gerakan laki-laki kekar berkumis lebat itu ternyata masih
berkelanjutan. Begitu hantaman telapak tangannya mengenai sasaran, tubuhnya
segera berputar.
Langsung dilancarkannya tendangan lompat yang mengarah kepala penjaga satunya
lagi. Penjaga bertubuh pendek yang saat itu masih merasakan nyeri di pinggulnya, tentu
saja menjadi terkejut setengah mati. Belum lagi sempat menyadari, telapak kaki
yang mengandung tenaga dalam kuat itu telah singgah di kepalanya.
Krakkk! Bagaikan layang-layang putus, tubuh pendek itu melintir akibat kerasnya
tendangan lawan yang menghajar kepalanya. Darah segar kontan menyembur dari
mulutnya, disertai beberapa buah giginya yang tanggal. Sebelum tubuhnya sempat
terjatuh, kembali sebuah tamparan keras membuat napasnya langsung putus.
Plakkk! Tamparan keras yang telak menghajar pelipisnya, membuat penjaga bertubuh pendek
itu terbanting keras ke atas tanah. Darah seketika tampak mengalir dari luka
memanjang di pelipisnya. Tamparan yang menewaskan itu ternyata juga menimbulkan
luka yang mengalirkan darah.
Selesai menamatkan riwayat kedua lawannya, laki-laki tinggi kekar itu langsung
melompat melewati pintu gerbang.
"Adi Sempana, tunggu..!" seru salah seorang dari empat laki-laki gagah yang
berusia paling tua di antara mereka. Kemudian, tubuhnya langsung melesat
mengejar. Tiga orang laki-laki gagah lainnya, bergegas menyusul.
Gerakan mereka rata-rata gesit dan ringan, langsung bergerak memasuki pelataran
rumah itu. *** "Hey, siapa kalian"! Dan mau apa memasuki tempat ini..."!" terdengar bentakan
nyaring yang membuat langkah lima orang laki-laki gagah itu terhenti.
Begitu bentakan lenyap, delapan sosok tubuh berpakaian serba hitam berlompatan
mengurung lima orang itu. Sikap kedelapan orang itu terlihat galak, dan
memandang penuh ancaman. Senjata-senjata mereka pun telah dilolos dari
sarungnya. "Hm.... Cecunguk-cecunguk Gerda Pasa. Lebih baik kalian menyingkir sebelum
kesabaranku hilang!" ancam laki-laki bertubuh kekar yang bernama Sempana.
Sepasang matanya tampak menyorot tajam, membuat hati delapan orang itu bergetar
dan melangkah mundur tanpa sadar.
"Keparat sombong! Kurobek mulutmu yang lancang itu!" bentak salah seorang di
antara pengepung itu.
Sambil berkata demikian, ia melangkah maju dua tindak. Tangan kanannya mengibas
ke kiri dan kanan sebagai perintah kepada kawannya untuk mulai bergerak.
"Hmh...!"
Sempana menggeram gusar melihat kepungan itu.
Sebelum orang-orang itu bergerak, tubuhnya sudah
mencelat. Langsung dikirimkannya serangan ke arah dua orang yang berada di
depannya. "Heaaat..!"
Dua orang tukang pukul Juragan Gerda Pasa yang melihat datangnya serangan lawan,
cepat bergerak menghindar sambil mengibaskan senjata disertai pengerahan tenaga
dalam. Bettt! Bettt! Sempana sama sekali tidak peduli terhadap serangan dua orang lawannya. Tubuhnya
terus meluncur ke depan dengan pukulan-pukulan yang menimbulkan deru angin kuat.
Tentu saja hal itu membuat kedua orang lawan menjadi terkejut. Namun, mereka
tetap membabatkan senjatanya. Maksudnya, untuk membuntungi kedua lengan lawan.
Bagaikan seekor belut, sepasang tangan Sempana meliuk menghindari sambaran dua
batang senjata. Saat itu juga, tubuhnya mengegos ke kanan, dan langsung
mengirimkan sebuah tendangan kilat
Begk! "Hugkh...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh salah seorang lawan langsung terjungkal akibat
tendangan keras Sempana.
Darah segar langsung memercik membasahi pelararan rumah Juragan Gerda Pasa.
Seketika orang itu berkelojotan tewas akibat tendangan dengan pengerahan tenaga
dalam amat kuat.
Melihat tubuh kawannya terkapar tak bergerak, lawan yang seorang bergegas
menebaskan senjata ke leher Sempana. Terdengar suara berdesing nyaring yang
menandakan kalau sambaran golok itu cukup kuat.
Belum lagi sambaran golok itu tiba, seorang berseragam hitam lainnya meluruk
maju sambil menyabetkan pedang mengincar perut Sempana. Kekuatan sambaran itu
tidak kalah kuat dengan yang pertama. Sepertinya, kedua orang itu memang sengaja
hendak mengacaukan pikiran lawan dengan serangan dari dua arah yang berbeda.
Namun Sempana yang merupakan orang kedua dari lima tokoh berjuluk Lima Naga
Sungai Gombang, bukanlah orang sembarangan. Pengalamannya dalam rimba persilatan
tak terhitung lagi. Sehingga dalam menghadapi serangan dari dua arah itu, sama
sekali tidak gugup.
Bagaikan seekor ular, tubuh kekar itu meliuk dengan gerakan luwes. Sambil
melangkahkan kaki kanan ke depan, tubuhnya menekuk ke belakang dengan kedua
tangan hampir menyentuh tanah.
"Haiiit..!"
Sambil membentak nyaring, tubuh laki-laki kekar itu berbalik, setelah kedua
batang senjata lawan lewat satu jengkal di atas perutnya. Gerakan membalik itu
dibarengi tendangan kedua kakinya, langsung menghajar dagu dan dada lawan.
Bukkk! Desss! "Hugkh...!"
"Uhhh...!"
Tentu saja kedua orang lawan sama sekali tidak menduga gerakan itu. Mereka
langsung mengeluh dan langsung terpental. Lawan yang terhantam dadanya kontan
roboh pingsan, sedangkan yang seorang lagi melintir sambil memegangi dagu yang
remuk. Rupanya tendangan itu belum membuat hati Sempana puas. Tubuhnya kembali
melenting, setelah terlebih dahulu menjatuhkan kaki sebagai tolakan. Gerakannya
yang bagaikan lompatan kera itu membuat lawan menjadi terkesima. Belum lagi rasa
sakit akibat tendangan tadi lenyap, tahu-tahu sepasang kaki Sempana telah
menjepit tubuhnya. Seketika dua buah telapak tangan yang kuat langsung menghajar
kedua telinganya secara berbarengan.
Prakkk! "Aaargh...!"
Darah segar segera membanjir keluar dari hidung, mulut, dan kedua telinga. Tubuh
orang itu ambruk, dan tewas setelah berkelojotan meregang nyawa.
Pada saat yang bersamaan, terdengar jerit kematian berturut-turut memecah
keheningan siang itu, disusul berjatuhannya empat orang berseragam hitam
terakhir. Mereka tewas di tangan empat orang Lima Naga Sungai Gombang, yang juga telah
menyelesaikan pertarungan.
"Kakang Gumparan! Apakah kita harus berpencar...?"
Sempana melangkah, menghampiri orang tertua di antara mereka.
"Tidak. Kita harus tetap bersama, Adi Sempana.
Kudengar, manusia keji Gerda Pasa telah mengangkat Macan Tutul Lembah Daru
sebagai menantu. Siapa tahu, pendekar muda itu akan membantunya. Sehingga, kita
harus berhadapan dengannya terlebih dahulu," sahut Ki Gumparan. Sinar matanya
tampak menyiratkan rasa gentar ketika mengucapkan nama Macan Tutul Lembah Daru.
"Hei" Benarkah ucapanmu itu" Mengapa pendekar
muda itu tidak mengundang kita?" tanya Sempana yang merasa terkejut juga ketika
mendengar keterangan saudara tertuanya.
"Hm.... Kita tidak pernah berjumpa dengan pendekar muda itu sebelumnya. Jadi,
wajar saja kalau tidak mengundang kita pada hari pernikahannya," jawab Ki
Gumparan dengan nada sedikit kecewa.
"Sudahlah. Biarpun Macan Tutul Lembah Daru membantu juragan berhati iblis itu,
kita tidak perlu mundur karenanya," sahut salah seorang dari tiga lainnya, tak
sabar. Jelas kalau ia merasa tidak suka pada nada gentar yang terkandung dalam ucapan
kedua saudaranya.


Pendekar Naga Putih 24 Macan Tutul Lembah Daru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ayolah...," ajak Ki Gumparan yang langsung melangkahkan kakinya menaiki undakan
anak tangga yang berhubungan ke pintu utama rumah besar itu.
"Gerda Pasa, keluar kau...! Kami utusan Saudagar Prakosa ingin meminta tanggung
jawabmu!" seru Ki Gumparan, lantang. Dan memang, suara itu dikirim lewat
pengerahan tenaga dalam. Maka, gemanya pun terdengar hingga ke bagian belakang
rumah besar itu.
Tak lama kemudian, terdengar suara berderit yang disertai terbukanya pintu utama
rumah besar itu. Seorang laki-laki tinggi besar yang wajahnya, dipenuhi cambang
bauk tampak berdiri tegak di ambang pintu.
"Siapa kalian" Dan apa maksudmu dengan tanggung jawab itu?" tanya orang yang tak
lain Gerda Pasa.
Suaranya berat dan berwibawa. Sepasang matanya yang bulat, tampak merayapi
kelima orang laki-laki gagah yang berdiri tegak dengan sikap mengancam
"Hm.... Jangan berpura-pura bodoh, Gerda Pasa.
Meskipun kau telah dapat menipu para petani dengan sikap dermawanmu, tapi
kebusukanmu akan terbongkar hari ini. Kau telah mengirim lima anak buahmu untuk
membakar perkebunan milik Saudagar Prakosa, sahabat baik kami. Dan tiga di
antaranya, terpaksa kami kirim ke neraka. Sedangkan dua lainnya berada di depan
pintu gerbangmu. Nah! Apakah kau masih ingin membantah?"
kata Ki Gumparan yang mewakili saudara-saudaranya.
Sikap laki-laki setengah baya itu terlihat tenang dan sama sekali tidak
menunjukkan amarah.
"He he he.... Berapa kepeng kalian dibayar Prakosa, sehingga bisa-bisanya
melemparkan fitnah keji itu kepadaku. Mengapa pula kalian mempercayainya?" sahut
Juragan Gerda Pasa.
Laki-laki setengah baya itu sama sekali tidak kelihatan gentar meskipun
pandangan kelima orang itu terlihat penuh ancaman. Malah ia melangkah mendekati
mereka disertai tawanya yang serak.
"Kau salah sangka, Gerda Pasa. Bukan Saudagar Prakosa yang melemparkan tuduhan
itu. Tapi, kami sendirilah yang memergoki dan membekuk kelima orang-orangmu
semalam. Kebetulan, saat itu kami tengah bertamu dan menginap di kediamannya.
Kalau saja kami tidak di sana semalam, mungkin saat ini saingan dagangmu telah
jatuh bangkrut," jelas Ki Gumparan sambil tersenyum penuh ejekan, karena apa
yang diduga Gerda Pasa ternyata salah.
"Hm.... Kalian datang tentu untuk meminta sumbangan, bukan" Kalau begitu,
biarlah. Aku akan
memberi sumbangan yang lebih besar kepada kalian.
Bagaimana" Dan, berapa yang kalian inginkan?" bujuk Juragan Gerda Pasa.
Kini dia merasa yakin kalau kelima orang laki-laki gagah itu memang benar-benar
telah mengetahui rahasianya. Maka, tanpa ragu-ragu lagi, ditawarkannya bayaran
yang lebih tinggi kepada mereka.
"Bagus! Tawaranmu kuterima!"
Sempana yang sudah tidak bisa menahan sabar, langsung saja maju ke depan.
"Dan kau boleh membayar dengan..., kepalamu!"
sambung laki-laki berwatak beringas itu sambil melompat, dan langsung menebaskan
sisi telapak tangan ke leher laki-laki tinggi besar itu.
Wuttt! Serangkum angin keras menderu, seiring sambaran sisi telapak tangan Sempana.
Menilik dari sambaran pukulan itu, jelas kalau ia memang hendak mematahkan
langsung batang leher Juragan Gerda Pasa yang masih berdiri tegak bagai tak
mengetahui bahaya.
Dan sebelum batang leher laki-laki tinggi besar itu patah akibat sambaran tangan
Sempana, sesosok tubuh melayang dan langsung memapak tebasan telapak tangannya.
Plakkk! "Uhhh...!"
Bukan main terkejutnya hati Sempana ketika lengannya bagai dihantam besi baja.
Tubuhnya terdorong mundur beberapa langkah ke belakang diiringi seruan kagetnya.
"Bangsat!" maki Sempana.
Laki-laki beringas itu tampak memijat-mijat lengannya yang terasa nyeri akibat
benturan tadi. Selebar wajahnya tampak memerah saking geramnya terhadap laki-
laki tinggi kekar itu.
"Macan Tutul Lembah Daru...!" seru Ki Gumparan dan keempat orang saudaranya,
termasuk Sempana.
Mereka benar-benar terkejut melihat sosok tubuh tinggi tegap berpakaian kulit
macan tutul. Siapa lagi pemuda itu kalau bukan Nanggala.
"Siapa mereka, Kakang...?" tanya wanita cantik berpakaian serba putih, yang
begitu tiba langsung memeluk tubuh Nanggala. Dia adalah Untari, istri Macan
Tutul Lembah Daru.
Rupanya suami istri yang menempati bagian belakang rumah besar itu bergegas ke
depan setelah mendengar teriakan Ki Gumparan tadi. Dan suami istri itu menarik
napas lega setelah mengetahui kalau orang tua mereka belum sempat dilukai kelima
orang laki-laki yang menyatroni rumah besar ini
"Kalau tidak salah, mereka adalah Lima Naga Sungai Gombang," jawab Nanggala.
Jawaban itu keluar setelah Macan Tutul Lembah Daru meneliti kelima orang laki-
laki gagah itu. Meskipun belum pernah berjumpa dengan mereka, namun nama kelima
orang itu telah lama didengar dan dikaguminya. Itulah sebabnya, mengapa Nanggala
terlihat agak sedikit segan terhadap mereka. Sebab biar bagaimanapun, kelima
orang itu masih segolongan dengannya. Dan hal itu membuatnya tidak menunjukkan
sikap permusuhan.
*** "Benar, Macan Tutul Lembah Daru. Kami berlima dijuluki Lima Naga Sungai Gombang.
Dan kuharap, kau tidak ikut campur dalam masalah ini. Perlu kau ketahui, Gerda
Pasa telah melakukan perbuatan keji. Dia telah memakai tangan lima orang anak
buahnya untuk membakar perkebunan milik sahabat kami yang bernama Saudagar
Prakosa. Maka, kuharap kau menyingkir. Biar kami menyelesaikan urusan ini
dengannya," ujar Ki Gumparan, berwibawa.
Karena biar bagaimanapun, Ki Gumparan merasa tingkat kepandaiannya masih jauh
lebih tinggi daripada Nanggala. Menurutnya, pemuda itu hanya seorang tokoh muda
yang usianya baru seumur jagung. Maka, sudah sepatutnya kalau Macan Tutul Lembah
Daru bersikap lebih hormat kepadanya.
Nanggala bukan tidak memandang Lima Naga Sungai Gombang. Tapi karena mereka
hendak mencelakai ayah mertuanya, maka mau tak mau ia harus membela.
Apalagi, semua tuduhan itu belum tentu benar. Sebab, selama tinggal di tempat
kediaman ayah mertuanya, belum sekali pun orang tua itu terlihat berbuat jahat.
Bahkan ayah mertuanya sering dilihat menolong petani-petani miskin yang
kekurangan modal. Tentu saja Nanggala tidak bersedia mengikuti permintaan Ki
Gumparan. "Maaf, Ki. Kurasa hal itu hanya fitnah dari orang yang merasa tidak suka
terhadap ayah mertuaku. Jadi sebaiknya hal ini dibicarakan dulu dengan kepala
dingin. Mari, silakan masuk," ajak Nanggala sambil menggeser tubuhnya memberi jalan kepada
kelima orang itu untuk masuk.
"Tidak bisa. Apa yang kami katakan itu sama sekali bukan fitnah. Dan Gerda Pasa
sendiri sudah mengakuinya tadi," kembali Ki Gumparan melanjutkan ucapannya.
Wajah laki-laki setengah baya itu tampak sedikit gusar melihat sikap Nanggala
yang jelas-jelas berada di pihak Gerda Pasa. Hal itu tentu saja membuatnya
cemas. Tentu saja, karena pekerjaannya akan lebih sulit dengan adanya Macan
Tutul Lembah Daru di pihak lawan.
Nanggala tidak segera menjawab perkataan Ki Gumparan. Pemuda itu menolehkan
kepala ke arah ayah mertuanya. Dan Untari pun melakukan hal yang sama.
"Ayah, benarkah apa yang diucapkan orang itu?" tanya Untari meminta penjelasan
ayahnya. Wanita cantik itu sudah melangkah dan mendekati Gerda Pasa.
"Hhh.... Aku tidak bisa bilang apa-apa. Sekarang, tinggal terserah kalian
berdua. Apakah lebih mempercayai Ayah, atau kelima orang tukang pukul Prakosa
itu," sahut Gerda Pasa yang dengan pandainya bersandiwara berpura-pura sedih.
"Tapi, Ayah tidak melakukannya, bukan?" desak Untari, meminta kepastian ayahnya.
"Tidak...," jawab Gerda Pasa menggeleng lemah.
Kemudian, sambil menundukkan kepala, laki-laki setengah baya itu melangkah
menuju ke dalam rumahnya.
"Bedebah licik!" maki Sempana yang menjadi marah besar demi mendengar jawaban
Gerda Pasa. Dengan kemarahan yang meluap-luap, laki-laki kekar itu langsung melompat dan
menerjang Gerda Pasa yang
hendak meninggalkan tempat itu.
Macan Tutul Lembah Daru tentu saja tidak membiarkan ayah mertuanya dilukai
orang. Maka tubuhnya langsung bergerak menghalangi serangan Sempana.
Langsung tangan kanannya diangkat untuk memapak serangan laki-laki kekar itu.
Melihat sikap Macan Tutul Lembah Daru yang jelas-jelas hendak membela orang yang
dibencinya, Sempana pun menjadi gusar. Serangan yang semula ditujukan kepada
Gerda Pasa, kini beralih mengancam kepada Nanggala. Kepalan itu berputar cepat,
dan langsung menyambar dada pemuda berpakaian kulit macan tutul itu.
Nanggala pun tidak tinggal diam. Melihat perubahan serangan lawan yang kini
mengancam dadanya, cepat kakinya melangkah ke belakang menghindarinya. Begitu
serangan lawan luput, kaki yang semula berada di belakang itu langsung mencelat
naik melepaskan sebuah tendangan kilat yang tak terduga.
Zebbb! Sempana pun bukan tidak melihat tendangan itu.
Dengan memiringkan tubuhnya sedikit, maka serangan lawan pun menyambar angin
kosong. Gerakan mengelak yang dilakukan Sempana tidak hanya berhenti di situ
saja. Sepasang tangannya langsung menyambar telapak kaki lawan, dan bermaksud memuntir
patah. Gerakannya cukup cepat dan mengejutkan. Untunglah Nanggala menarik
kakinya lebih cepat, sehingga cengkeraman lawan tidak membawa hasil.
Sadar kalau pertarungan tidak mungkin dapat dihindari
lagi, Nanggala segera mempersiapkan ilmu andalannya.
Karena saat itu, Ki Gumparan dan yang lainnya sudah datang menyerbu. Maka,
repotlah Macan Tutul Lembah Daru menghadapi keroyokan Lima Naga Sungai Gombang
yang terkenal lihai.
Untari yang melihat suaminya tampak kerepotan, cepat menerjunkan diri ke dalam
kancah pertempuran. Pedang di tangannya langsung dikibaskan ke arah dua orang lawan yang paling dekat dengannya.
Wuttt! "Uts...!"
Dua orang dari Lima Naga Sungai Gombang yang tidak menduga akan kehebatan
Untari, menjadi terkejut setengah mati. Untunglah mereka masih sempat menarik
tubuh ke belakang, sehingga ujung pedang gadis cantik itu hanya merobek baju
pada bagian perut.
Kenyataan itu tentu saja membuat keduanya terkejut setengah mati. Seketika wajah
mereka pucat pasi. Untung saja pada saat-saat terakir, masih sempat menghindar.
Kalau tidak, pasti tubuh keduanya sudah tergeletak mandi darah.
"Kurang ajar kau, Perempuan Liar...!" maki salah seorang dari mereka yang
berwajah bulat dan berjenggot lebat.
Ia yang tadi sempat mendengar kalau wanita itu adalah putri Gerda Pasa, tentu
saja tidak menyangka kalau kepandaiannya tinggi. Mana mungkin anak seorang
juragan kaya dapat memiliki ilmu silat" Dan hal itu ternyata telah membuatnya
hampir tewas. "Hm.... Jangan mimpi untuk dapat menangkap ayahku,
Kambing Bandot! Menghadap pedangku saja, kau sudah seperti kakek-kakek kebakaran
jenggot!" ejek Untari.
"Huh! Jangan sombong dulu, Nisanak! Kau akan merasakan kerasnya pukulanku
nanti," lanjut laki-laki bertubuh tegap dan berdada bidang itu, geram.
Setelah berkata demikian, tubuhnya kembali bergerak mendekati Untari. Kedua
tangannya yang membentuk cakar naga, bergerak-gerak susul-menyusul. Langkah
kakinya terlihat mantap dan beraturan.
"Haiiit..!"
Untari berseru nyaring sambil menggeser tubuh ke samping kanan. Begitu sambaran
tangan lawan lewat di sampingnya, pedang gadis itu berkelebat cepat mengincar
lambung lawan. Wuttt! Namun kali ini tidak mudah bagi Untari untuk menyentuh tubuh lawan. Pedang itu
ternyata hanya lewat dan tidak mengenai sasaran. Bahkan sebelum senjatanya
sempat ditarik pulang, cengkeraman tangan lawan sudah meluncur mengancam
bahunya. Melihat cengkeraman lawan datang, cepat Untari menarik mundur tubuhnya dengan
kuda-kuda rendah.
Dan belum lagi wanita itu sempat menarik napas lega, sebuah tendangan dari lawan
yang lain datang mengancam iganya. Karena sudah tidak mungkin lagi bergerak
menghindar, maka tubuhnya bergegas diputar dan dipapaknya tendangan lawan dengan
tangan kiri. Plakkk! "Uhhh...!"
Tangkisan Untari memang berhasil menggagalkan
tendangan lawannya. Tapi sayang, kedudukan gadis itu terlalu lemah. Sehingga,
tubuhnya terdorong ke samping sejauh satu batang tombak.
"Haiiit..!"
Namun, wanita cantik itu memang bukan orang sembarangan. Begitu terjajar mundur,
cepat-cepat tubuhnya melenting ke udara dengan menggunakan jejakan kaki ke
tanah. Kembali kedua kakinya mendarat selamat di tanah.
Kedua orang lawan Untari ternyata tidak hanya berhenti sampai di situ saja.
Begitu kaki wanita itu menjejak bumi, serangan mereka kembali tiba. Pertempuran
pun kembali berlanjut sengit.
*** 8 Sementara itu, pertarungan yang berlangsung antara Macan Tutul Lembah Daru
melawan tiga orang dari Lima Naga Sungai Gombang, masih berlangsung sengit.
Nanggala yang sadar kalau lawannya bukanlah orang-orang sembarangan, mengerahkan
seluruh kepandaian untuk menahan gempuran lawan. Jurus 'Macan Tutul' nya yang
telah mengangkat namanya dalam rimba persilatan, dikerahkan sepenuh tenaga. Maka
dapat dibayangkan, betapa hebatnya gempuran-gempuran yang dilancarkan Nanggala
terhadap ketiga lawannya itu.
Tubuh Macan Tutul Lembah Daru yang berkelebatan disertai serangan-serangannya,
benar-benar membuat Ki Gumparan dan kedua saudaranya kewalahan. Sehingga, mereka
harus mengerahkan seluruh ilmu yang dimiliki untuk menghadapi terjangan pendekar
muda itu. Tentu saja, pertarungan yang terjadi di antara mereka semakin seru dan
sengit. "Heaaat..!"
Ketika pertarungan menginjak jurus yang ketujuh puluh tiga, Nanggala berseru
nyaring disertai lesatannya.
Sepasang tangannya bergerak cepat membagi-bagi serangan ke titik-titik terlemah
di tubuh ketiga lawan.
Gerakannya cepat dan memiliki banyak perubahan yang tak terduga. Akibatnya Ki
Gumparan dan saudara-saudaranya benar-benar kelabakan.
Nanggala yang melihat lawan berlompatan mundur
dalam jarak yang terpisah, bergerak cepat mengejar Ki Gumparan. Pukulan 'Macan
Tutul'nya meluncur deras mengincar pelipis dan dada kiri lawan.
Bettt! Bettt! Pukulan yang dilancarkan Macan Tutul Lembah Daru benar-benar cepat dan
berbahaya. Sehingga, Ki Gumparan yang menjadi incaran serangan Nanggala menjadi
kerepotan dibuatnya. Dengan wajah agak pucat, laki-laki setengah baya itu
menggeser tubuhnya ke samping, menghindari serangan lawan.
Namun sepasang mata pemuda itu ternyata sangat jeli.
Melihat tubuh lawan bergeser ke samping, kedua serangannya segera ditarik
pulang. Dan sebelum Ki Gumparan sempat menyadari, sebuah tendangan keras telah
menghajar lambung kanannya.
Bukkk! "Aaakh...!"
Tendangan Nanggala yang sangat keras membuat tubuh Ki Gumparan terlempar hingga
dua batang tombak jauhnya. Sebelum orang tertua dari Lima Naga Sungai Gombang
itu dapat memperbaiki posisinya, tubuh Nanggala kembali melesat disertai tiga
buah pukulan beruntun.
Untunglah pada saat yang berbahaya bagi keselamatan Ki Gumparan, Sempana datang
memapak serangan Macan Tutul Lembah Daru. Laki-laki bertubuh kekar itu
mengerahkan segenap tenaga dalamnya, untuk menangkis serangan Nanggala.
Pada saat yang bersamaan, orang ketiga dari Lima Naga Sungai Gombang mengirimkan
pukulan ke tubuh
Nanggala. Laki-laki gemuk yang berada di bagian belakang itu melepaskan dua buah
pukulan sekaligus, mengarah ke bagian belakang Macan Tutul Lembah Daru. Tentu
saja dua buah sergapan yang dilakukan secara berbarengan sangat sulit untuk
dielakkan Nanggala.
Namun, nama Macan Tutul Lembah Daru memang bukan sekadar nama kosong. Dalam
menghadapi dua sergapan pengeroyoknya, dia sama sekali tidak gugup.


Pendekar Naga Putih 24 Macan Tutul Lembah Daru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seketika ditundanya serangan yang semula ditujukan ke arah Ki Gumparan. Dengan
sebuah gerakan menakjubkan, tubuh pemuda itu tiba-tiba saja mencelat naik
setinggi setengah tombak lebih. Tubuhnya yang dalam sikap tidur lurus, melakukan
dua buah tendangan ke arah Sempana sambil mendorongkan sepasang tangannya untuk
menyambut serangan lawan yang berada di belakang.
Hebat, dan benar-benar mengejutkan sekali apa yang dilakukan pendekar muda itu.
Sempana yang tengah melakukan tamparan mendatar itu tentu saja terkejut sekali.
Tangannya cepat berputar, melakukan tangkisan. Sayang apa yang dilakukan laki-
laki kekar itu tidak berhasil sepenuhnya. Selagi menangkis tendangan kaki kanan
lawan, kaki kiri Nanggala lebih dulu meluncur dan menghantam telak dadanya.
Pada saat yang bersamaan, sepasang tangan Nanggala yang berputar tak terduga itu
telah bersarang di dada laki-laki bertubuh gemuk.
Plakkk! Desss! Bresssh...!
"Hugkh...!"
"Akh...!"
Kedua orang lawan Macan Tutul Lembah Daru
berteriak kesakitan. Tubuh mereka terpental ke belakang, sejauh dua batang
tombak. Darah segar langsung menyembur dari mulut mereka.
"Keparat! Kau benar-benar telah menjadi iblis, Macan Tutul Lembah Daru! Hanya
karena seorang wanita cantik, kau telah berubah haluan dan membela orang salah!"
maki Ki Gumparan dengan wajah merah padam. Jelas kalau laki-laki setengah baya
itu merasa geram melihat luka yang diderita kedua saudaranya.
Ki Gumparan yang sudah bertambah kalap, segera melesat dan mengirimkan serangan-
serangan maut dengan sisa-sisa tenaganya. Sepertinya, ia hendak mengadu nyawa
dengan Macan Tutul Lembah Daru yang menurutnya telah salah jalan.
"Heaaat..!"
Terjangan Ki Gumparan yang disertai pengerahan tenaga sepenuhnya sama sekali
tidak membuat Nanggala gentar! Dengan tangkasnya, pemuda itu berkelit.
Langsung dilancarkannya serangan balasan yang tidak kalah berbahayanya.
Pertarungan kali ini berjalan tidak seimbang. Ki Gumparan yang saat itu masih
dalam keadaan terluka, sepertinya tidak sanggup menahan gempuran-gempuran hebat
yang dilancarkan lawan. Sehingga dalam waktu kurang dari sepuluh jurus, laki-
laki setengah baya itu terpaksa harus menerima hantaman Nanggala yang menghajar
iganya. Desss! Ki Gumparan menjerit ngeri akibat pukulan jurus
'Macan Tutul' yang telak menghajar iganya. Tubuhnya
kembali terbanting di atas tanah, sehingga menimbulkan suara berdebuk keras.
Cairan merah nampak mengalir di sudut bibirnya.
Macan Tutul Lembah Daru menatapi ketiga orang lawannya yang tengah merintih
kesakitan. Dan memang, tidak ada niat di hatinya untuk membunuh mereka. Maka,
Nanggala pun tidak melanjutkan serangannya. Padahal kalau mau, hal itu sangat
mudah dilakukannya.
Tiba-tiba saja kepala Nanggala terdongak ketika mendengar suara jerit kematian
yang melengking membelah angkasa. Betapa terkejutnya hati pemuda itu ketika
melihat dua sosok tubuh terlempar mandi darah. Dan dikenalinya betul, kalau
kedua orang itu adalah orang yang mengeroyok istrinya. Tapi yang membuatnya
lebih terkejut adalah, sebatang pedang berlumur darah yang tergenggam di tangan
seorang laki-laki tinggi besar dan berwajah brewok.
"Ayah...! Mengapa harus membunuh mereka...?" tegur Macan Tutul Lembah Daru
ketika mengenali orang itu.
Sebab, laki-laki tinggi besar itu memang Gerda Pasa.
"Terpaksa kulakukan, Nanggala. Atau kau lebih suka istrimu yang menjadi mayat"
Seharusnya kau berterima kasih, bukannya menegurku?" sahut Gerda Pasa seraya
mengerutkan alisnya yang tebal mendengar teguran menantunya.
Nanggala tak mau menanggapi pertanyaan ayah mertuanya. Sebab biar bagaimanapun,
ia lebih suka mereka yang tewas ketimbang istrinya. Atau lebih baik lagi, kalau
mereka cukup dilukai saja dan diusir pergi.
Tapi, hal itu hanya ada dalam hatinya. Sedangkan
mulutnya tetap bungkam tanpa kata-kata.
"Sebaiknya ketiga orang itu pun harus dilenyapkan!
Mereka bisa mendatangkan kesulitan bagi kita di kemudian hari," ujar Gerda Pasa
lagi. Sambil berkata demikian, laki-laki tinggi besar itu melangkah mendekati tiga
orang lainnya yang hanya dapat memandang dengan sinar mata pasrah. Dan memang,
keadaan mereka tidak lagi memungkinkan untuk melanjutkan pertarungan.
"Tapi, Ayah...."
"Jangan terlalu lemah batinmu, Nanggala," potong Gerda Pasa.
Dia memang tidak ingin memberikan kesempatan kepada pemuda itu untuk
menyelesaikan kalimatnya.
"Orang seperti mereka tidak bisa diberi hati. Hari ini kita bebaskan, besok akan
kembali dengan kawannya yang lebih banyak. Apakah kau lebih suka kalau mereka
yang akan menyiksa kita nanti?" lanjut Gerda Pasa, menyudutkan pemuda itu.
Jelas kalau laki-laki setengah baya ini pandai bicara.
Sehingga, Nanggala tidak mampu membantahnya.
"Benar, Kakang. Tadi kalau ayah tidak keburu datang menolongku, mungkin aku
sudah jadi mayat," Untari yang melihat sinar keraguan di mata suaminya, ikut
pula membujuk. Macan Tutul Lembah Daru menoleh ke arah istrinya.
Dan kening pemuda itu berkerut dalam ketika melihat pakaian istrinya banyak
ternoda darah. Bahkan di sudut bibir wanita cantik itu masih tersisa lelehan
darahnya. Jelas, Untari telah mengalami luka-luka dalam setelah
menghadapi lawannya tadi.
"Kau.... Kau tidak apa-apa, Untari...?" tanya Nanggala cemas. Jemari tangannya
bergerak menghapus lelehan darah di sudut bibir istrinya.
"Untung ayah masih sempat menyelamatkanku. Nah, apakah sekarang kau masih merasa
tidak tega kepada orang-orang jahat itu?" kata wanita cantik itu seraya
mengerling tak senang.
Nanggala terpaksa membungkam. Rasa geramnya pun bangkit setelah melihat apa yang
terjadi pada wanita yang disayanginya. Maka, ia pun tidak berusaha membantah
ketika ayah mertuanya telah bersiap hendak menghabisi nyawa Ki Gumparan dan
kedua saudaranya.
"He he he.... Badut-badut tukang fitnah! Sekarang kalian boleh pergi dengan
tenang. Aku akan membebaskanmu dari kehidupan dunia ini. Percayalah, kalian
pasti akan lebih tenteram di alam sana," kata Gerda Pasa seraya menyeringai
tajam. Kata-kata itu sengaja diucapkan perlahan, agar tidak terdengar Nanggala
yang terpisah beberapa tombak di belakangnya.
"Keparat kau, Manusia Keji! Jangan dikira aku takut menghadapi kematian! Kalau
ingin membunuh, bunuhlah kami! Tidak perlu banyak cakap!" tantang Ki Gumparan
penuh kegeraman.
Setelah berkata demikian, laki-laki setengah baya itu bersiap mempertahankan
selembar nyawanya.
"Mampuslah...!" bentak Gerda Pasa.
Laki-laki itu benar-benar menjadi tidak sabar melihat sinar mata Ki Gumparan
yang jelas-jelas menantangnya.
Maka, golok besar di tangannya berkelebat cepat dengan
sambaran angin yang berkesiutan.
Wuttt! Suara sambaran golok yang berdesing nyaring itu membuat Ki Gumparan ternganga
tak percaya. Sungguh tak disangka kalau Gerda Pasa memiliki kepandaian silat
Maka hatinya kontan terkejut bukan main. Sebab, dari suara sambaran senjata itu,
dapat ditebak kalau kekuatan yang menggerakkannya pasti hebat sekali. Sehingga,
laki-laki setengah baya itu terpaku bagaikan orang pasrah menerima nasib.
"Tahan...!"
Pada saat maut sudah siap menjemput nyawa Ki Gumparan, tiba-tiba terdengar
bentakan nyaring menggelegar. Belum lagi gema suara itu lenyap, sesosok bayangan
putih berkelebat bagaikan kilat, dan langsung memapak tebasan golok dengan
pedangnya. Trang! Bunga api berhamburan diiringi dentang nyaring yang menulikan telinga. Tangkisan
sosok tubuh itu ternyata membuat Gerda Pasa terjajar mundur sejauh satu tombak
lebih. Meskipun demikian, golok besar di tangannya tetap tergenggam erat
Sedangkan sosok bayangan putih yang menyelamatkan Ki Gumparan dari kematian,
telah berdiri tegak dengan sorot mata menggiriskan. Wajahnya yang bersih dan
tampan, tampak tenang tanpa pancaran amarah sedikit pun.
"Hm.... Siapa kau, Anak Muda" Mengapa mencampuri urusanku?" tegur Gerda Pasa,
garang. Sepasang matanya yang bulat tampak berkilat tajam.
Ki Gumparan yang berada di belakang pemuda tampan itu kembali bergetar hatinya.
Memang, dari pancaran mata Gerda Pasa, dapat dinilainya kehebatan tenaga dalam
yang dimiliki laki-laki tinggi besar itu. Dan ia pun tahu, pancaran mata seperti
itu hanya terlihat pada orang-orang yang telah memiliki tenaga dalam hampir
sempuma. Tentu saja ia semakin tidak mengerti, mengapa sepasang mata seorang juragan bisa
demikian menggetarkan.
Sedangkan pemuda tampan yang tak lain dari Pendekar Naga Putih hanya berdiri
tegak sambil meneliti sosok Gerda Pasa. Seorang gadis jelita berpakaian serba
hijau sudah berdiri mendampingi Panji.
"Kau pasti orang yang berjuluk Hantu Teluk Jambe, dan bersembunyi di balik nama
Gerda Pasa, bukan" Tak perlu lagi berpura-pura di hadapanku, karena semuanya
tentang dirimu telah kuketahui," tebak Pendekar Naga Putih. Suaranya tetap
tenang, dan wajar. Hanya sepasang matanya saja yang mencorong tajam bagaikan
mata naga di kegelapan.
Gerda Pasa yang semula hendak marah karena pemuda itu tidak menjawab
pertanyaannya, tentu saja menjadi terkejut setengah mati. Sehingga, untuk
beberapa saat lamanya ia hanya bisa ternganga heran.
Bukan cuma Gerda Pasa yang merasa terkejut atas ucapan Panji. Bahkan semua yang
hadir di tempat itu pun terkejut mendengar disebutnya julukan Hantu Teluk Jambe.
Sebab, julukan itu telah menjadi momok beberapa tahun lalu. Namun karena julukan
itu lenyap begitu saja, maka orang-orang rimba persilatan pun mulai melupa-
kannya. Siapa sangka kini tiba-tiba saja terdengar kembali
julukan yang menggetarkan itu. Tentu saja mereka menjadi setengah tak percaya.
"He he he.... Apa yang kau ucapkan itu, Anak Muda"
Yang kau hadapi saat ini adalah juragan yang bernama Gerda Pasa. Dan aku sama
sekali tidak mengerti ucapan gilamu itu," ejek Gerda Pasa menyembunyikan rasa
terkejutnya. Hebatnya, wajah laki-laki tinggi besar itu pun telah wajar kembali.
"Hm.... Jangan banyak berlagak dungu, Hantu Teluk Jambe. Kau pikir, aku tidak
tahu dari mana harta bertumpuk-tumpuk yang kau dapatkan itu" Salah seorang
begundalmu yang berjuluk Tiga Buaya Darat telah kutaklukkan. Dan dari merekalah,
keterangan tentang dirimu kudapat. Nah! Apakah masih ingin menyangkal?"
desak Panji tidak mau kalah gertak.
"Ooo... Jadi kau mendapatkan keterangan palsu itu dari seorang raja perampok!
Tidak sadarkah kau, Anak Muda" Mereka telah menipumu mentah-mentah untuk mencari
selamat," bantah Gerda Pasa kembali. Sehingga, hal itu membuat semua orang
menjadi bingung. Termasuk juga Macan Tutul Lembah Daru yang mendengarkan
perdebatan itu.
"Siapa bilang aku berbohong...?" tiba-tiba terdengar suara parau yang membuat
Panji dan yang lain menoleh ke arah asal suara.
"Paman Begawa...!" seru Panji yang tentu saja menjadi gembira melihat kedatangan
orang tertua dari Tiga Buaya Darat.
"Maaf, Pendekar Naga Putih. Aku terpaksa menyusul kemari, karena aku tahu Hantu
Teluk Jambe akan
menyangkal semua tuduhanmu. Aku sengaja memberikan tugas mengantar barang itu
kepada kedua orang saudara-ku. Dan aku sendiri hadir di sini untuk menjadi
saksi!" kata laki-laki gemuk bercambang bauk yang melangkah menghampiri Panji.
Untuk yang kesekian kalinya, orang-orang yang berada di halaman itu ternganga
heran. Sama sekali tidak disangka kalau pemuda tampan berjubah putih itu adalah
Pendekar Naga Putih. Tentu saja semua pandangan orang yang ada di sini kini
beralih kepada Panji.
"Bedebah!"
Terdengar makian keras yang membuat orang-orang di sekitarnya kembali terkejut.
"Kau ternyata seorang pengkhianat Begawa! Dan untuk itu, kau harus menebus
dengan nyawamu!" ancam Gerda Pasa. Dengan hadirnya Begawa, Gerda Pasa tidak bisa
mengelak tuduhan itu lagi.
Gerda Pasa yang merasa kalau tidak ada gunanya lagi menyangkal, segera melompat
dan langsung menyerang Begawa. Golok besar di tangannya berputar cepat
menimbulkan desingan angin yang memekakkan telinga.
Jelas kalau Gerda Pasa atau si Hantu Teluk Jambe hendak menghabisi nyawa orang
itu sekali tebas.
Trang! Kembali terdengar benturan nyaring yang disertai percikan bunga api di udara.
Rupanya, Pendekar Naga Putih kembali memapaki tebasan golok besar itu dengan
Pedang Naga Langit yang dipegangnya. Tentu saja hal itu menimbulkan kemarahan
yang semakin berkobar di dada Gerda Pasa.
"Bangsat kau, Pendekar Naga Putih! Jangan dikira dengan nama besarmu itu kau
bisa bersikap sombong di hadapanku. Hmh...! Kau harus diberi pelajaran! Biar kau
tahu, siapa sebenarnya Hantu Teluk Jambe itu!" geram Gerda Pasa melihat campur
tangan Panji yang mencegah perbuatannya.
Sedangkan Macan Tutul Lembah Daru menjadi bingung. Ia tidak tahu, harus berpihak
ke mana" Sehingga, pemuda itu hanya terpaku bagai orang bodoh di samping
istrinya. Demikian pula Untari. Wanita itu memang sama sekali tidak tahu kalau ayahnya
memiliki julukan demikian seram. Tuduhan-tuduhan yang semula tidak dipercayai-
nya, kini membuatnya bingung. Akhirnya, ia hanya bisa memeluk tubuh suaminya
untuk mencari ketenangan.
Saat itu, Pendekar Naga Putih sudah terlibat dalam sebuah perkelahian sengit.
Keduanya saling serang dengan jurus-jurus andalan berbahaya. Sambaran-sambaran
angin pukulan mereka membuat orang-orang yang menyaksikan perkelahian segera
menjauhkan diri. Karena, tempat perkelahian itu sudah hampir tidak terlihat
lagi. "Heaaat..!"
Hantu Teluk Jambe memekik keras sambil mengirimkan pukulan jarak jauh dengan
tangan kiri. Terdengar suara mencicit tajam yang menandakan betapa berbahaya
serangannya. Wusss! Blarrr...!
Tembok tebal pagar halaman rumah besar itu ambrol akibat hantaman pukulan yang
dilancarkan Hantu Teluk Jambe. Kedahsyatan pukulan laki-laki tinggi besar itu
tentu saja membuat orang-orang yang menyaksikannya menggeleng-gelengkan kepala.
Betapa ngeri hati mereka membayangkan, apabila pukulan dahsyat itu sampai
mengenai tubuh Pendekar Naga Putih.
Panji sendiri sempat terkejut melihat kehebatan pukulan lawan. Kenyataan itu
membuatnya semakin berhati-hati, dan menambah pengerahan 'Tenaga Sakti Gerhana
Bulan' yang dimiliki. Hembusan angin dingin pun semakin keras bertiup, bersamaan
semakin melebarnya lapisan kabut bersinar putih keperakan yang menyelimuti tubuh
Pendekar Naga Putih.
"Heaaah...!"
Bagaikan seekor naga murka, Panji memekik nyaring disertai serangannya
menggunakan jurus 'Naga Sakti'.
Wuttt! Wuttt! Sambaran angin dingin yang menusuk tulang berhembus keras mengiringi serangan
Pendekar Naga Putih yang susul-menyusul. Pedang Naga Langit di tangannya
berkelebatan, tak ubahnya seekor naga yang bermain-main di angkasa. Sinar kuning
keemasan yang terpancar dari badan pedang, bergulung-gulung membentuk gundukan
sinar yang menyilaukan mata. Hebat sekali serangan pendekar muda itu, sehingga
lawannya terdesak mundur tanpa mampu melancarkan serangan balasan.
Wuttt! "Aihhh...!"
Hantu Teluk Jambe memekik tertahan. Hampir saja tubuhnya termakan mata pedang
lawan. Untung saja tubuhnya masih sempat ditarik ke kanan belakang,
sehingga ujung pedang itu lewat beberapa jengkal di samping kiri perutnya.
Laki-laki tinggi besar itu terus melempar tubuhnya dan melakukan beberapa kali
putaran salto untuk menghindari kejaran mata pedang lawan. Begitu kedua kakinya
menjejak tanah, golok besar di tangan kanannya berputar membentuk gulungan sinar
putih yang melindungi seluruh tubuhnya.
"Haaat..!"
Disertai teriakan yang membahana, tubuh Hantu Teluk Jambe meluncur deras
disertai sambaran golok besarnya.
Senjata di tangan Gerda Pasa meliuk dan berputar cepat mencari sasaran.
Sepertinya, tokoh sesat ini telah mengerahkan segenap kemampuan yang dimiliki


Pendekar Naga Putih 24 Macan Tutul Lembah Daru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk menundukkan Pendekar Naga Putih.
Sayang, kali ini Hantu Teluk Jambe harus berhadapan dengan pendekar muda yang
sudah sangat terkenal kehebatannya. Sehingga, meskipun pertarungan sudah
menginjak jurus yang keseratus empat puluh, laki-laki tinggi besar itu belum
juga berhasil mendesak lawan.
Bahkan beberapa kail tubuhnya nyaris tersayat ujung pedang Pendekar Naga Putih.
Tentu saja kenyataan pahit itu membuatnya semakin penasaran.
Demikian pula halnya Panji. Diam-diam ia semakin mengagumi kehebatan dan
keuletan lawannya. Maka pemuda itu bergegas melompat ke belakang, pada saat
pertarungan menginjak jurus yang keseratus lima puluh.
"Hm.... Mau lari ke mana kau, Pendekar Usil"!"
bentak Hantu Teluk Jambe.
Gerda Pasa mengira Panji hendak melarikan diri. Maka
ia cepat melompat mengejar tubuh Pendekar Naga Putih yang terpisah empat tombak
dari tempatnya berdiri.
"Jangan takabur dulu, Sobat. Sambutlah seranganku kali ini!" seru Panji
mengatasi kebisingan suara sambaran golok besar lawannya.
Usai berkata demikian, pemuda itu tampak menyilang-kan kedua tangannya di depan
dada. Sepasang matanya mencorong tajam, menimbulkan perbawa menggiriskan.
"Haiiit..!"
Dibarengi teriakan mengguntur, mendadak tubuh pemuda itu melenting naik.
Tubuhnya berputar bagaikan baling-baling, dan langsung meluruk ke arah lawan.
Bukan main terkejutnya hati Hantu Teluk Jambe ketika melihat gulungan sinar
keemasan yang berpendar menyilaukan mata. Cepat-cepat goloknya dikibaskan
memapak serangan aneh itu. Sayang, ia tidak mengetahui keistimewaan jurus 'Naga
Sakti Meluruk ke Dalam Bumi'
yang digunakan Pendekar Naga Putih. Seketika wajahnya pucat pias saat pedang
lawannya berputar setengah lingkaran dan langsung membabat perutnya.
Brettt! "Aaargh...!"
Hantu Teluk Jambe meraung dahsyat ketika mata pedang Panji membeset perutnya.
Darah segar kontan menyembur dari luka menganga yang panjang di perutnya. Dan
tanpa dapat dicegah lagi, tubuh tinggi besar itu pun ambruk menimbulkan suara
berdebuk keras.
"Keparat kau, Pendekar Naga Putih! Terimalah pembalasanku. .!" terdengar
teriakan parau yang disusul melesatnya sesosok tubuh tegap.
Begitu memasuki arena, sosok tubuh yang mengenakan pakaian kulit macan tutul itu
langsung menerjang Pendekar Naga Putih dengan pedang di tangan.
Trang! "Uhhh...!"
Sosok yang tak lain Macan Tutul Lembah Daru terpental balik akibat tangkisan
yang dilakukan Panji.
Namun dengan kemarahan yang semakin memuncak, Nanggala menggerakkan senjatanya,
siap melakukan penyerangan selanjutnya.
"Nanggala, jangan...!"
Tiba-tiba terdengar seruan parau yang lemah, namun terdengar cukup jelas. Tentu
saja seruan itu membuat gerakan Nanggala terhenti. Cepat-cepat kepalanya menoleh
ke arah asal suara itu. Ketika ayah mertuanya terlihat mengulapkan tangan,
pemuda tegap itu pun bergegas menghampiri.
"Ayah...," panggil Nanggala langsung menjatuhkan diri di samping Untari yang
tengah terisak sambil memeluk tubuh ayahnya.
"Nanggala, Untari.... Kalian jangan lanjutkan kesesatanku. Aku memang pantas
mendapatkan hukuman seperti ini. Satu hal yang perlu kau ketahui, Untari. Kau
bukanlah anak kandungku. Saat itu, kau baru berusia empat tahun, ketika nafsu
biadabku telah membuat ibu kandungmu bunuh diri. Karena merasa kasihan kepadamu,
maka kau kupelihara. Kemudian, aku pindah ke Desa Pacitan ini dan melakukan
kejahatan dengan menggunakan tangan orang lain. Hal itu kulakukan, agar kau
tidak merasa malu karena kejahatanku. Sayang, ketamakanku
membuat aku semakin gila dalam menumpuk harta. Dan kini, aku telah mendapatkan
balasan yang setimpal. Semua ini kuceritakan, karena aku sudah mendekati ajal."
Gerda Pasa berhenti sebentar, dan menarik napas panjang. Sepasang matanya tampak
terpejam rapat. Jelas kalau laki-laki itu tengah berusaha menahan keharuan yang
menyeruak hatinya.
"Pesanku, jangan kau mendendam atas apa yang terjadi pada diriku. Sedangkan
mengenai harta, tidak semuanya hasil kejahatan. Ambillah bagianmu untuk
kebutuhan hidup bersama suamimu. Sisanya, bagi-bagikanlah kepada orang yang
membutuhkan."
"Ayah..., Ayah harus sembuh. Ayah tidak boleh pergi.
Tari sangat mencintai Ayah, meskipun bukan ayah kandung...," ratap Untari.
Tangis Untari meledak ketika melihat mata Gerda Pasa masih saja terpejam.
Diguncang-guncangkannya tubuh Gerda Pasa dengan wajah bersimbah air mata.
Sepertinya, wanita cantik itu tidak lagi mempedulikan kalau laki-laki yang telah
sekarat itu adalah pembunuh ibu kandungnya.
"Nanggala.... Ja... jangan kau..., sia-siakan anakku...."
Selesai berpesan demikian, kepala Gerda Pasa terkulai di atas pangkuan putrinya.
"Ayaaah...!" tangis Untari semakin menjadi-jadi ketika mengetahui ayahnya telah
tiada. Panji, Kenanga, Begawa, dan tiga orang dari Lima Naga Sungai Gombang sama-sama
menundukkan kepala penuh haru. Hati mereka benar-benar tersentuh mendengar
tangis Untari yang memilukan. Sementara itu sang bayu bertiup lembut mengusap
wajah-wajah mereka yang
tertunduk lesu. Sepertinya, tiupan sejuk itu hendak menghibur hati mereka.
SELESAI Created ebook by
Scan & Convert to pdf (syauqy_arr) Edit Teks (paulustjing)
Weblog, http://hanaoki.wordpress.com Thread Kaskus:
http://www.kaskus.us/showthread.php"t=B97228
Hati Budha Tangan Berbisa 8 Pedang Kilat Membasmi Iblis Karya Kho Ping Hoo Pedang Kiri 3
^