Macan Tutul Lembah Daru 2
Pendekar Naga Putih 24 Macan Tutul Lembah Daru Bagian 2
tentu saja tidak berani bersikap ceroboh. Maka ketika dorongan telapak tangan
itu hampir mencapai dadanya, cepat tubuhnya berkelit dan melakukan tangkisan
dengan lengan kiri.
Dukkk! "Uhhh...!"
Tangkisan perlahan yang dilakukan Nanggala dengan sedikit tenaga itu ternyata
sangat mengejutkan lawan.
Tubuh laki-laki berkumis lebat itu terjajar beberapa langkah ke belakang dengan
wajah merah. Melihat dari pijatan-pijatan yang dilakukan pada lengannya, jelas
kalau ia merasa kesakitan akibat tangkisan tadi.
"Bangsat! Rupanya kau memang sengaja mencari keributan!" bentak laki-laki
berkumis lebat itu geram.
Langsung pedang yang terselip di pinggangnya dicabut.
Sring! Perbuatan laki-laki berkumis lebat itu, diikuti pula oleh kawannya. Rupanya,
melihat keadaan itu, amarahnya kini bangkit. Maka kini kedua orang tukang pukul
Juragan Gerda Pasa itu langsung mengurung Nanggala dari kiri dan kanan.
"Sabarlah, Kisanak. Kedatanganku kemari, sama sekali bukan mencari keributan."
Nanggala berusaha mencegah terjadinya keributan.
Sebab biar bagaimanapun, ia merasa tidak enak bila hal itu terjadi. Padahal
kedatangannya ke tempat itu justru dengan maksud baik. Lalu apa kata Untari
nanti bila keributan itu terjadi" Dan itu sama sekali tidak diinginkannya.
"Sudah, jangan banyak cakap! Bersiap-siaplah melayang ke akhirat!" bentak laki-
laki berkumis lebat yang sepertinya mendendam sekali kepada Nanggala.
Hal itu wajar saja. Sebab, dua kali ia dibuat malu di depan kawannya. Dan itu
ingin ditebusnya dengan menyiksa pemuda itu sepuas-puasnya.
Kedua orang itu sudah siap menyerang Nanggala.
Kaki masing-masing sudah bergeser, siap melepaskan serangan.
"Berhenti...!"
Belum lagi kedua orang tukang pukul itu melancarkan serangannya, tiba-tiba
terdengar bentakan keras yang mengejutkan. Berbarengan bentakan itu, sesosok
tubuh ramping berpakaian serba putih melayang turun, dan langsung menjejakkan
kakinya di antara mereka.
Bentakan nyaring dan merdu itu sepertinya telah sangat dikenal kedua orang
penjaga gerbang rumah Juragan Gerda Pasa. Hal itu terlihat dari sikap keduanya
yang langsung melangkah mundur.
"Untari...!" desah Nanggala.
Pemuda itu langsung mengenali, siapa adanya sosok tubuh ramping berpakaian serba
putih itu. Dia memang Untari, gadis yang selama ini telah menyita seluruh
pikiran Nanggala.
"Ah! Kiranya kau yang datang, Kakang Nanggala.
Mengapa tidak memberitahukan aku sebelumnya. Kalau saja aku tidak keburu datang,
mungkin kedua orang penjaga gerbang rumah ayahku ini sudah menggeletak
menjadi mayat," kata Untari disertai senyum manisnya.
Bahkan gadis cantik itu telah memanggil kakang kepada Nanggala. Tentu saja
sebutan itu membuat dada pemuda gagah ini berdebar tak karuan.
"Maafkan aku, Untari. Aku tidak bermaksud mencari keributan di sini.
Kedatanganku pun dengan maksud baik-baik. Tapi, dua orang anak buah ayahmu
bersikap kasar padaku. Jadi, terpaksa aku membela diri. Oh, ya. Ada sesuatu yang
ingin kuceritakan kepadamu," pinta Nanggala.
Pemuda itu langsung saja mengutarakan keinginannya.
Kebetulan ini adalah kesempatan baik. Dan tentu saja, Nanggala tidak ingin
menyia-nyiakannya.
Mendengar permintaan pemuda itu, mau tak mau Untari menjadi heran. Tidak seperti
biasanya, kali ini Nanggala terlihat begitu tenang. Bahkan berani mengajaknya.
Tentu saja hal itu membuat Untari menduga-duga, apa gerangan yang ingin
disampaikan pemuda itu kepadanya.
"Mengapa tidak di sini saja, Kakang?" tanya Untari.
Kemudian, kepala gadis itu menoleh ke arah tukang pukul ayahnya yang tengah
memperhatikan. "Kalian boleh pergi," lanjut gadis cantik itu kepada mereka.
"Baik," sahut kedua tukang pukul itu serempak.
Tanpa berkata sepatah pun, keduanya langsung meninggalkan Untari dan Nanggala.
"Nah! Sekarang ceritakanlah, Kakang," ujar Untari menatap Nanggala penuh rasa
ingin tahu. "Mari, ikut aku...," ajak Nanggala.
Pemuda itu langsung berlari meninggalkan halaman luar tempat kediaman Juragan
Gerda Pasa. Langkah kakinya terlihat tidak terlalu cepat, karena mengharapkan
agar Untari mau mengikutinya.
Sejenak gadis cantik itu berdiri termangu melihat ketegasan sikap Nanggala.
Namun karena rasa keingin-tahuannya demikian kuat menggoda, maka tanpa ragu-ragu
lagi Untari bergegas mengikutinya.
Nanggala menghentikan langkahnya pada sebuah tempat sunyi. Kemudian, ia berdiri
menanti kedatangan Untari yang memang mengikutinya. Wajah pemuda itu terlihat
sedikit agak pucat. Ketegangan hatinya jelas terlihat dari caranya menarik napas
panjang beberapa kali.
"Ah! Kau ini ada-ada saja. Apa sih yang ingin diceritakan" Dan mengapa pula
harus di tempat yang sepi seperti ini" Apa kau berniat menculikku?" omel Untari
begitu tiba di tempat Nanggala berdiri.
Sedikit pun tidak terlihat rasa canggung ataupun khawatir pada wajah gadis itu.
Jelas kalau dia telah nenaruh kepercayaan penuh kepada Nanggala.
Nanggala atau si Macan Tutul Lembah Daru yang terkenal tidak pernah gentar
menghadapi ancaman maut sekali pun, kali ini terlihat agak gugup dan tegang.
Sebentar-sebentar, pemuda gagah yang amat disegani tokoh-tokoh persilatan itu
terlihat menarik napas panjang.
Bahkan hembusan napasnya terdengar berat dan bergemuruh. Jelas kalau hatinya
tengah dilanda ketegangan hebat.
Dengan langkah tenang, Untari datang menghampiri Nanggala. Senyum manis yang
biasanya sangat jarang
terlihat, kini tampak selalu menghiasi wajahnya. Meskipun ada sedikit rasa
ketegangan di hatinya, namun hal itu sama sekali tidak ditampakkan. Dan memang,
gadis cantik itu pandai sekali menyembunyikannya, sehingga Nanggala sendiri
tidak mengetahuinya.
"Ada apa, Kakang Nanggala...?" tanya gadis cantik itu pelan.
Kemudian, Untari berdiri di samping Nanggala yang duduk di bawah sebatang pohon.
Dengan sikap yang tetap tenang, tubuhnya disandarkan di pohon itu.
"Untari.... Dengan memberanikan diri, aku datang menemuimu. Aku tak tahu,
perasanku begitu gelisah setelah dua kali berjumpa denganmu. Dan perasaan itu
sepertinya harus kuungkapkan. Tapi...."
"Tapi apa, Kakang" Katakanlah! Bukankah kita telah saling mengenal" Kalau memang
ada sesuatu yang dapat kubantu, utarakanlah. Siapa tahu, aku dapat membantumu
dalam menghadapi masalah itu," desah Untari yang menjadi tidak sabar ketika
melihat Nanggala menghentikan ucapannya.
"Untari.... Aku..., rasanya aku jatuh cinta kepadamu.
Dan kumohon, jawablah sekarang juga. Apa pun jawabannya, aku telah siap
menerimanya," ungkap Nanggala tanpa ragu-ragu lagi
Dihembuskannya napas kuat-kuat. Macan Tutul Lembah Daru merasakan dadanya lapang
setelah dapat mengutarakan isi hatinya yang selama ini dipendam dalam-dalam.
"Hi hi hi..! Kau ini lucu, Kakang...," tawa Untari meledak mendengar ucapan
Macan Tutul Lembah Daru.
Gadis yang memang memiliki sifat aneh itu sama sekali tidak mempedulikan
Nanggala yang dihinggapi rasa bingung. Ia terus saja tertawa, seolah-olah apa
yang disampaikan pemuda itu memang benar-benar sesuatu yang sangat lucu.
Tentu saja tawa gadis cantik itu membuat Nanggala semakin pucat wajahnya.
Dipandanginya wajah gadis itu dengan sikap ketololan. Benar-benar sulit
dimengerti, mengapa Untari malah tertawa setelah mendengar pengakuannya" Apakah
ucapannya itu benar-benar patut ditertawakan"
"Aku memang bodoh, Untari. Tidak sepantasnya mengutarakan perasaanku ini
kepadamu. Aku memang pantas ditertawakan," keluh Nanggala bergetar penuh
kekecewaan. Betapa tidak" Kata-kata yang demikian sulit diucap-kannya itu malah ditertawakan
Untari. Tentu saja hal itu membuat hatinya terasa tertusuk-tusuk. Sadar kalau ia
telah salah menilai orang, maka dengan wajah kecewa, Nanggala bergegas
meninggalkan tempat itu.
"Hei" Kau mau ke pergi ke mana, Kakang" Bukankah kau belum mendengar jawabanku?"
tegur Untari menghentikan tawanya ketika melihat Nanggala melangkah hendak
meninggalkannya.
"Tidak perlu, Untari. Rasanya jawaban yang keluar dari mulutmu sudah dapat
kutebak. Maaf, aku telah mengganggu waktumu," ujar Nanggala tanpa menoleh
sedikit pun. Langkahnya kembali terayun perlahan.
"Tapi, bagaimana kalau aku juga memiliki perasaan yang sama denganmu" Apakah kau
akan tetap pergi" Kalau
itu maumu, pergilah!" sentak Untari dengan suara agak keras.
Setelah berkata demikian, gadis itu pun berbalik dan melangkah ke arah yang
berlawanan. Mendengar jawaban yang sama sekali tidak diduga, tentu saja langkah Nanggala
terhenti. Dan ketika melihat gadis itu berlari ke arah yang berlawanan, langsung
saja dikejarnya.
"Untari, tunggu...!" cegah Nanggala yang segera melesat menggunakan ilmu lari
cepatnya. Sehingga dalam beberapa saat saja, gadis itu telah dapat terkejar.
"Ada apa lagi" Kau tidak jadi pergi...?" tegur Untari dengan sepasang mata
membelalak marah.
"Untari.... Kau.... Katakanlah! Apakah kau juga men-cintaiku?" desak Nanggala.
"Sudah kau dengar jawabanku tadi. Kalau memang mau pergi, pergilah! Aku tidak
melarangmu!" ketus sekali jawaban yang keluar dari bibir indah itu.
"Tidak... Aku tidak akan pergi. Aku..., aku akan melamarmu. Jawablah! Sudikah
kau menjadi istriku?"
tanya Nanggala.
Pemuda itu merasa yakin dengan jawaban yang akan diterimanya. Apalagi, ketika
gadis itu sama sekali tidak berusaha melepaskan diri ketika Nanggala memegang
bahunya. Itulah yang meyakinkan dirinya kalau Untari memiliki perasaan yang sama
dengannya. "Tidak tahu malu! Melamar orang di tengah jalan! Apa kau kira aku tidak punya
orang tua!" jawab Untari, ketus.
Namun, sepasang mata gadis itu jelas menyiratkan kebahagiaan. Dan sebelum
Nanggala tersadar, gadis cantik
itu sudah meronta dari pegangannya. Kemudian, dia berlari meninggalkan Nanggala
yang tersenyum sendirian seperti orang gila.
"Hm.... Tunggulah! Aku akan melamarmu besok!"
seru Nanggala yang tidak berusaha mengejar Untari.
*** 5 Pada hari itu, rumah besar kediaman Juragan Gerda Pasa tampak diramaikan
berbagai kesibukan. Halaman depan yang luas, tampak semarak oleh berbagai hiasan
yang berwarna-warni. Sedangkan di halaman samping, beberapa orang laki-laki
tampak sibuk membuat panggung.
Panggung yang berukuran cukup luas itu dimaksudkan untuk pertandingan silat.
Sebagaimana umumnya seorang tokoh persilatan mengadakan keramaian, panggung adu
kekuatan selalu saja disediakan.
Demikian pula pesta pernikahan putri Juragan Gerda Pasa. Calon suaminya
merupakan tokoh terkenal di kalangan rimba persilatan. Jadi tidak heran kalau
juragan itu mengajukan usul agar disediakan sebuah panggung untuk meramaikan
pesta. Dan usul itu disetujui oleh Untari, sang pengantin wanita.
Nanggala atau yang lebih dikenal sebagai Macan Tutul Lembah Daru, semula tidak
begitu menyetujui usul mertuanya. Namun karena calon istrinya juga menyetujui
rencana itu, dia terpaksa mengalah.
Hari sudah menjelang sore ketika para undangan mulai berdatangan. Mereka tidak
hanya terdiri dari kalangan orang kaya saja. Banyak juga penduduk desa itu yang
datang memenuhi undangan Juragan Gerda Pasa.
Demikian pula tokoh-tokoh kalangan rimba persilatan.
Undangan yang disebar dengan mengatasnamakan Macan
Tutul Lembah Daru, membuat mereka berduyun-duyun mendatangi pesta pernikahan
pendekar muda itu. Maka, ramailah rumah kediaman Juragan Gerda Pasa oleh
berbagai kalangan.
Setelah semua undangan telah duduk di tempatnya masing-masing, seorang laki-laki
tinggi besar berwajah brewok melangkah naik ke atas panggung. Sejenak ia berdiri
merayapi sekitarnya disertai senyum lebar. Dialah yang bernama Juragan Gerda
Pasa. "Para sahabat sekalian," Juragan Gerda Pasa, mulai membuka pembicaraan. "Aku
mengucapkan terima kasih atas kesediaan sahabat sekalian untuk datang memenuhi
undangan ini. Dan silakan mencicipi hidangan yang telah disediakan. Semoga
sahabat sekalian tidak kecewa atas pelayanan kami yang mungkin kurang
memuaskan."
Perkataaan Juragan Gerda Pasa langsung disambut tepuk tangan riuh. Kemudian
laki-laki tinggi besar itu pun kembali melangkah turun dari atas panggung.
"Wah! Kau beruntung sekali, Gerda Pasa. Entah bagaimana caranya kau bisa
mendapatkan seorang menantu seperti Macan Tutul Lembah Daru. Iri rasanya aku
melihat keberuntunganmu ini," bisik salah seorang undangan.
Ia langsung saja datang menghampiri Juragan Gerda Pasa yang baru turun dari atas
panggung. Melihat dari sikap dan pakaiannya yang mewah, jelas kalau laki-laki
tinggi kurus itu seorang juragan juga. Matanya yang agak sipit itu kadang-kadang
melirik Untari yang duduk bersanding dengan Nanggala di sebelah kiri panggung.
Tampaknya, lelaki tinggi kurus itu seorang mata
keranjang. Hal itu dapat terlihat dari caranya memandang pengantin wanita.
Juragan Gerda Pasa hanya tersenyum dikulum mendengar pujian laki-laki tinggi
kurus itu. Setelah berbasa-basi sejenak, laki-laki tinggi besar berwajah brewok
itu pun melangkah ke tempatnya semula.
Dan kini para undangan mulai mencicipi hidangan yang telah disediakan. Sementara
beberapa tokoh kalangan persilatan yang berusia muda seringkali melirik ke arah
pasangan pengantin dengan sinar mata penuh rasa iri. Dan mereka hanya bisa
saling berbisik membicarakan keberuntungan Macan Tutul Lembah Daru yang dapat
mempersunting gadis cantik putri Juragan Gerda Pasa itu.
Bahkan ada di antaranya yang melontarkan kata-kata sinis.
Tentu saja ucapan itu merupakan ungkapan rasa iri saja.
Suara gaduh yang semula ramai menyemarakkan suasana pesta, mendadak lenyap
ketika seorang laki-laki gemuk pendek berdiri di atas panggung. Orang itu
langsung saja bertepuk tangan sebanyak tiga kali untuk menarik perhatian para
undangan. "Para sahabat sekalian!" seru orang pendek gemuk itu setelah suasana gaduh sima.
"Kami sebagai wakil tuan rumah, akan menyampaikan acara yang segera dapat kita
saksikan bersama nanti. Dan mudah-mudahan acara ini dapat menambah kegembiraan
kita semua."
Belum lagi ucapan laki-laki pendek gemuk itu selesai, para undangan segera
bertepuk tangan riuh. Beberapa di antara mereka, bahkan sudah berseru tidak
sabar. "Tenang, tenang...!" ujar laki-laki di atas punggung itu untuk menenteramkan
kebisingan yang tiba-tiba saja
pecah. "Baiklah. Akan segera ditampilkan dua orang kawan kami, yang akan segera
menghibur para sahabat sekalian!" lanjut laki-laki pendek gemuk itu untuk
menenteramkan kegaduhan yang tak juga berhenti.
"Haiiit...!"
Terdengar seruan nyaring ketika laki-laki pendek gemuk itu menyebut sebuah nama.
Berbarengan seruan itu, sesosok tubuh mengenakan pakaian serba merah melayang
naik ke atas panggung. Dengan gerakan lincah dan manis, kakinya mendarat di
dekat lelaki gemuk itu.
Sosok berpakaian serba merah itu langsung membungkukkan tubuhnya dalam-dalam.
Suara sorak-sorai pun bergemuruh menyambut orang itu.
"Terima kasih. ., terima kasih...," ucap sosok berpakaian serba merah itu.
Usianya sekitar empat puluh tahun. Wajahnya yang lonjong, tampak terhias kumis
dan jenggot tercukur rapi.
Jelas kalau dia merupakan seorang laki-laki pesolek. Usai memberi hormat,
kakinya melangkah ke sudut kiri panggung.
*** Tak lama setelah sosok berpakaian serba merah itu berdiri di sudut kiri
panggung, sesosok bayangan hitam melenting dan berjumpalitan sebelum mendaratkan
kakinya di lantai panggung.
"Namaku Panawa. Aku sengaja datang memenuhi undangan Macan Tutul Lembah Daru,
dan sekaligus ikut memeriahkan pesta. Semoga sahabat sekalian tidak
Pendekar Naga Putih 24 Macan Tutul Lembah Daru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kecewa dengan penampilanku yang jelek ini," kata laki-laki berusia tiga puluh
tahun yang mengenakan pakaian serba hitam itu, dengan suara lantang. Setelah
memperkenalkan diri, dia segera melangkah ke sudut kanan panggung.
Sosok berpakaian serba merah yang memperkenalkan diri dengan nama Ki Balung
bergegas melangkah ke tengah panggung. Demikian pula Panawa. Mereka berdiri
berhadapan setelah laki-laki pendek gemuk meninggalkan panggung.
Kedua orang tokoh rimba persilatan itu saling membungkuk memberi hormat.
Kemudian, mereka melangkah beberapa tindak ke belakang.
"Silakan, Sahabat..," kata Panawa sambil bersiap memasang kuda-kuda silang.
Tangan kanan laki-laki berpakaian hitam itu tampak berada di atas kepala dalam
sikap mengepal. Sedangkan tangan kirinya dengan jari-jari terbuka, berada
beberapa jengkal di depan dada. Sepasang matanya tampak menatap lurus ke depan.
"Hm...," Ki Balung menggeram sebelum membuka jurusnya.
Diiringi geraman, kaki kanan Ki Balung bergeser ke depan menyerong. Sepasang
tangannya bergerak naik ke atas kepala dengan kedua telapak merapat
"Yeaaat..!"
Ki Balung berseru nyaring mengiringi pukulan lurus dengan tusukan jari-jari
tangan kin mengarah dada lawan.
Dan belum lagi tusukan jari-jari yang ternyata tipuan itu tiba, tangan kanannya
bergerak menyusul. Sedangkan
tangan kirinya segera berputar setengah lingkaran untuk memancing perhatian
lawan. Wuttt! Dengan kecepatan mengejutkan, tahu-tahu saja tangan kanan Ki Balung yang semula
meluncur, tertarik ke belakang! Kemudian, disusul dengan meluncurnya tebasan
sisi telapak tangan miring menggunakan tangan kiri.
Hebat, dan tak terduga perubahan serangan yang dilancarkan Ki Balung itu.
Sehingga, lawannya sempat dibuat terkejut!
Namun, laki-laki gagah berpakaian serba hitam itu ternyata cukup gesit.
Datangnya sabetan sisi tangan miring lawan, disambut sebuah geseran ke kiri. Dan
gerakan mengelak itu masih disusul sebuah tendangan kilat yang cepat dan
bertenaga. Zebbb! Tendangan lurus yang mengancam lambung, berhasil dielakkan Ki Balung dengan
menarik tubuh ke belakang.
Dalam keadaan tubuh miring, lelaki tinggi kurus itu masih sempat juga menusukkan
jari-jari tangan untuk memapaki tendangan lawan.
Pertarungan pun berjalan semakin ramai ketika tusukan jari tangan Ki Balung
tidak mengenai sasaran.
Keduanya kembali saling serang menggunakan jurus-jurus terampuh yang dimiliki.
Sambaran-sambaran angin pukulan yang saling berkesiutan semakin menambah
semaraknya pertempuran.
Plakkk! Plakkk!
Pada jurus yang ketiga puluh, terdengar suara keras ketika telapak tangan
masing-masing saling berbenturan!
Sekejap kemudian, bayangan merah dan hitam saling terjajar mundur beberapa
langkah ke belakang. Hal itu menandakan kalau kekuatan masing-masing ternyata
berimbang. Kedua sosok tubuh yang saling berlaga di atas panggung itu saling
bertatapan sejenak. Sepertinya, mereka sudah memaklumi kekuatan masing-masing.
Sehingga, baik Ki Balung maupun Panawa terlihat lebih berhati-hati dalam
melancarkan serangan.
"Haaat..!"
Ki Balung yang sepertinya lebih penasaran, kembali melompat disertai hantaman
pukulan yang susul-menyusul mengincar bagian-bagian terlemah di tubuh lawan.
Dari sambaran-sambaran angin pukulan yang berkesiutan, jelas kalau laki-laki
tinggi kurus berpakaian serba merah itu telah menambah kekuatannya dalam
serangan kali ini.
Bettt! Bettt! Bettt!
Tiga buah pukulan yang bertubi-tubi, datang mengancam tubuh Panawa. Namun, itu
semua tidak membuatnya sibuk. Dengan sebuah gerakan manis, kakinya bergeser ke
kanan, sejauh setengah tombak.
Namun hal itu sepertinya sudah pula diperhitungkan Ki Balung. Maka begitu
serangkaian pukulan yang dilancarkannya lolos, kaki kanan lelaki tinggi kurus
itu sudah mencelat naik mengancam lambung Panawa. Begitu cepat dan mendadak
sekali! Maka....
Desss! "Hugkh...!"
Tendangan keras Ki Baking telak menghantam lambung Panawa. Tubuh laki-laki tegap
itu langsung terjengkang, dan hampir jatuh ke bawah panggung.
Untunglah kakinya masih sempat menjejak keras, dan tubuhnya melambung
berjumpalitan beberapa kali di udara.
Tapi, Ki Balung sepertinya tidak sudi memberikan peluang kepada lawannya. Saat
tubuh Panawa berputar di udara, laki-laki tinggi kurus itu sudah melompat
melancarkan sebuah tendangan terbang yang cepat dan kuat.
Tendangan yang dilancarkan Ki Balung tentu saja membuat Panawa terkejut.
Keadaannya saat itu sangat tidak menguntungkan. Dan akibatnya, dia menjadi
gugup. Sehingga.... Bugkh! "Ngkkk...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, tendangan keras itu pun tepat menghantam perut Panawa!
Maka seketika tubuh laki-laki tegap itu terpental, dan meluncur ke bawah
panggung. Brugk! Tubuh Panawa terbanting ke bawah panggung, sehingga menimbulkan suara berdebuk
keras! Tapi lelaki gagah itu berusaha bangkit kembali, meskipun susah payah.
Dari mulutnya tampak mengalir darah segar, yang menandakan kalau telah terluka
cukup parah! "Kau hebat, Ki Balung.... Aku mengaku kalah...," ucap Panawa terputus-putus.
Setelah membungkuk hormat ke arah laki-laki tinggi kurus yang berdiri tegak di
atas panggung, Panawa melangkah ke tempat duduknya semula. Meskipun telah
dikalahkan di depan orang banyak, namun sama sekali
tidak terlihat sinar dendam di matanya. Bahkan pujiannya terhadap Ki Balung pun
terdengar tulus.
"Kau pun hebat, Panawa. Kalau saja mataku tidak jeli, rasanya sukar sekali
menundukkanmu," sahut Ki Balung.
Dan memang, laki-laki tinggi kurus itu bukan orang sombong. Sikap dan ucapannya
tentu saja dimaksudkan agar Panawa tidak terlalu merasa malu. Kemudian laki-laki
tinggi kurus itu melangkah turun dari atas panggung, kembali ke tempat duduknya
semula. Dan kini terdengar tepukan bergemuruh, menyambut kemenangan Ki Balung.
Pertandingan kedua orang tokoh itu sepertinya telah membuat para tamu menjadi
puas. Terdengar suara berbisik ramai membicarakan pertarungan yang memang berlangsung
sangat seru tadi.
Masih ada beberapa pertunjukan lagi yang disajlkan tokoh-tokoh persilatan yang
berniat meramaikan pesta pernikahan. Namun dari sekian banyak pertarungan yang
disajikan, hanya pertarungan antara Ki Balung dan Panawalah yang paling menarik.
Sedangkan, pertarungan lainnya kebanyakan hanya mengandalkan tenaga kasar dan
tidak berseni. Banyak undangan yang mulai meninggalkan tempat itu.
Satu persatu mereka berpamitan. Padahal, acara belum seluruhnya selesai. Dan
ketika malam sudah semakin larut, rumah kediaman Juragan Gerda Pasa telah sepi.
Hanya beberapa orang pelayannya yang terlihat masih sibuk membereskan tempat
itu. Juragan Gerda Pasa sendiri telah memasuki kamarnya untuk beristirahat Tubuhnya
baru terasa lelah setelah pesta usai. Sebentar saja laki-laki tinggi besar
berwajah brewok itu sudah terlelap di atas pembaringannya.
Demikian pula halnya pasangan pengantin, Nanggala dan Untari. Mereka telah lebih
dahulu memasuki kamar, sebelum Juragan Gerda Pasa. Suasana malam yang semakin
dingin dan sunyi, membuat pasangan itu semakin terelap dalam lautan kemesraan
bagai tak bertepi.
*** 6 Kehangatan sinar matahari pagi memancar lembut mengiringi iring-iringan kereta
kuda. Tiga buah kereta yang masing-masing ditarik empat ekor kuda, bergerak
perlahan menyusuri jalanan lebar.
Di kiri-kanannya, tampak belasan orang mengenakan seragam biru muda tengah
berjejer. Melihat dari lambang bendera yang dipegang salah seorang penunggang
kuda terdepan, jelas kalau mereka merupakan pengawal pengantar barang. Dan
mereka dikenal sebagai kelompok Macan Terbang, yang merupakan kelompok pengawal
barang terkenal masa kini.
Sikap belasan orang berseragam biru muda itu rata-rata gagah dan berwibawa. Dan
tampaknya, mereka bukanlah orang lemah. Apalagi sebagai pengawal pengantar
barang. Tentu saja mereka rata-rata telah dibekali kepandaian silat demi lancarnya tugas
yang dijalankan.
Baru saja rombongan kereta kuda itu memasuki wilayah perbukitan tandus, tiba-
tiba terdengar bentakan keras mengejutkan.
"Berhenti...!"
Bersamaan terdengarnya bentakan keras itu, tiga sosok tubuh mengenakan seragam
hitam melayang menghadang perjalanan mereka. Melihat sikap ketiga sosok
berpakaian hitam yang rata-rata bengis, jelas kalau niat mereka tidak baik.
Laki-laki tinggi gagah yang sepertinya kepala
rombongan pengawal barang, bergegas melompat turun dari punggung kudanya. Dari
ketenangannya, jelas kalau ia sama sekali tidak merasa khawatir dengan
penghadangan itu.
"Bukankah kalian kelompok yang dipimpin Tiga Buaya Darat" Sampaikanlah hormat
kami kepada beliau. Dan izinkanlah kami meneruskan perjalanan. Dan sepertinya,
selama ini di antara kami dan ketiga ketua kalian telah terjalin persahabatan
erat," kata lelaki gagah itu sambil membungkukkan tubuhnya memberi hormat.
Tampaknya, dia telah mengenal baik orang yang berjuluk Tiga Buaya Darat itu.
"Benar! Kami adalah pengikut Tiga Buaya Darat. Tapi, hari ini beliau
memerintahkan agar kalian suka meninggalkan barang-barang di dalam kereta itu
kepada kami. Dan, setelah itu kalian boleh pergi dengan tenang," jawab salah
seorang berpakaian serba hitam itu dengan lagak sombong dan memandang rendah.
"Hei"! Mengapa begitu" Coba hadapkan aku kepada ketua kalian. Kalau begitu,
percuma setiap bulan aku selalu mengirimkan upeti kepada mereka," tukas lelaki
tinggi tegap itu dengan kening berkerut.
"He he he.... Benar kau selalu setia mengirimkan upeti kepada kami, Ludira. Tapi
kali ini dengan sangat terpaksa, kami harus mengambil barang-barang yang kalian
bawa itu. Maka, sebaiknya kalian tinggalkanlah ketiga kereta kuda itu.
Keselamatan kalian akan kami jamin," tiba-tiba terdengar suara berat yang
disusul munculnya tiga sosok tubuh berpakaian serba merah.
Tubuh mereka rata-rata pendek gemuk. Demikian pula
wajah ketiganya yang ditumbuhi cambang bauk. Sehingga, mereka tak ubahnya
bagaikan saudara kembar.
"Kakang Begawa, apa maksud ucapanmu" Bukankah kita telah lama bersahabat" Dan
biasanya, kalian selalu memperbolehkan kami lewat" Mengapa tiba-tiba berubah?"
bantah laki-laki tinggi tegap yang dipanggil Ludira itu penasaran. Jelas kalau
dia merasa keberatan atas permintaan itu.
"Sudahlah! Tidak perlu banyak tanya! Aku masih berbaik hati dengan membiarkan
kalian pergi. Tapi kalau keadaan memaksa, apa boleh buat," tegas salah seorang
dari tiga laki-laki gemuk yang mengenakan ikat kepala hitam.
Melihat dari sikap dan caranya, jelas kalau ia merupakan orang pertama dari Tiga
Buaya Darat. Orang itu pulalah yang dipanggil Begawa.
"Tidak bisa, Begawa!" bantah Ludira yang langsung membuang sebutan kakang ketika
melihat perubahan sikap orang itu yang dikenalnya selama ini.
Sambil berkata demikian, Ludira mengangkat kedua tangan sebagai isyarat pada
pengikutnya untuk bersiap menghadapi pertempuran.
Maka seketika itu terdengar suara gemerincing yang susul-menyusul ketika pedang-
pedang belasan orang pengawal barang Macan Terbang diloloskan dari sarungnya.
Serentak mereka berlompatan turun dari atas punggung kuda dengan pedang
terhunus. Namun pada saat yang hampir bersamaan, belasan orang bertampang kasar telah
berlompatan mengurung tempat itu. Mereka tak lain adalah para pengikut Tiga
Buaya Darat yang merupakan perampok terkenal dan sangat ditakuti.
Melihat keadaan itu, Ludira bergegas mundur ke arah kawan-kawannya seraya
menghunus senjata. Sadar kalau pertempuran tidak mungkin dihindari lagi, Ludira
segera mengibaskan tangannya ke kiri dan kanan.
Gerakan tangan lelaki gagah itu rupanya telah sangat dipahami anggotanya.
Serentak, belasan orang anggota Macan Terbang, bergerak menyebar.
"Serbuuu...!"
Begawa yang sudah menjadi marah, segera berteriak memberi perintah kepada para
pengikutnya. Maka tanpa dapat dicegah lagi, terjadilah pertempuran kecil namun
cukup sengit. "Heaaat..!"
Para anggota perampok berteriak-teriak sambil mengibaskan senjatanya ke arah
belasan anggota Macan Terbang. Terdengar dentang senjata meningkahi teriakan-
teriakan nyaring dan jerit kesakitan.
Ludira sendiri sudah berhadapan langsung dengan Begawa. Pedang di tangannya
berkelebat cepat mengincar tubuh lawan. Sambaran angin pedangnya menderu-deru,
membuat Begawa tidak berani memandang remeh serangan laki-laki tegap itu. Maka,
penggadanya mulai digerakkan untuk mengatasi serangan Ludira.
Bettt! Bettt! Sambaran penggada Begawa yang menimbulkan deru angin keras itu, ternyata mampu
menindih gerakan pedang Ludira. Sehingga dalam waktu singkat, kepala perampok
itu telah dapat membuat lawan terdesak.
"Hahhh...!"
Memasuki jurus kedua puluh satu, Begawa melompat disertai bentakannya yang
mengejutkan. Gerakan itu masih disertai pula sambaran penggada yang mengarah
kepala lawan. Serangkum angin menderu mengiringi datangnya sambaran senjata itu.
Wuttt! Ludira yang merasa terkejut mendengar bentakan itu semakin pucat ketika melihat
datangnya hantaman lawan.
Cepat kakinya bergeser ke samping disertai egosan tubuhnya. Sayang gerakan
Ludira masih kalah cepat.
Sehingga, meskipun berhasil menyelamatkan kepalanya, tetap saja penggada Begawa
menghajar bahu kirinya.
Bugkh! "Aaakh...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh laki-laki tinggi tegap itu langsung terlempar
sejauh satu batang tombak lebih!
Belum lagi Ludira sempat berbuat seuatu, penggada lawan kembali meluncur deras
menuju batok kepalanya.
Wuttt! Prakkk! Terdengar suara berderak keras ketika penggada yang dihantamkan sekuat tenaga
itu telak menghantam pecah kepala Ludira. Darah segar yang bercampur cairan
putih, berhamburan membasahi batu-batu padas yang berdebu.
Ludira, kepala pengawal barang Macan Terbang tewas tanpa sempat berteriak lagi.
Tewasnya pimpinan pengawal barang Macan Terbang, tentu saja membuat para
anggotanya menjadi terkejut.
Keadaan mereka yang saat itu tengah terdesak hebat,
menjadi semakin kalang kabut.
Brettt! Crakkk!
"Aaargh...!"
Kembali dua orang anggota Macan Terbang menjerit ngeri! Tubuh mereka langsung
ambruk bermandikan darah segar. Setelah berkelojotan sejenak, dua orang anggota
itu pun diam tak bergerak-gerak lagi.
Tujuh orang anggota pengantar barang yang masih selamat bergegas melompat
mundur. Mereka berdiri berkelompok saling melindungi. Wajah-wajah mereka tampak
pucat, dan telah dibasahi peluh. Sepertinya tak ada harapan lagi untuk dapat
menyelamatkan diri. Para perampok Tiga Buaya Darat itu terkenal sangat kejam dan
tidak mengenal ampun.
"Bagaimana ini, Kakang...?" tanya salah seorang anggota Macan Terbang kepada
laki-laki berkumis tipis yang berada di sebelah kanannya.
"Tidak ada jalan lain, Adi. Barang-barang kiriman Juragan Bartala ini harus
dipertahankan dengan taruhan nyawa kita," sahut laki-laki gemuk berkumis tipis
Pendekar Naga Putih 24 Macan Tutul Lembah Daru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan suara bergetar.
"Bunuh mereka....!" terdengar perintah Begawa kepada para pengikutnya. Sedangkan
sebagian yang lain, telah berlari menyerbu kereta tanpa diperintah lagi.
"Heaaa...!"
Lima belas orang anggota perampok berteriak keras sambil berlari menyerbu
ketujuh orang anggota Macan Terbang yang sudah kehilangan keberanian. Wajah-
wajah para perampok itu terlihat menyeringai bagalkan seekor singa lapar.
Sadar kalau untuk meminta ampun sudah jelas tidak mungkin, maka ketujuh orang
sisa anggota Macan Terbang itu bertekad melawan sampai titik darah terakhir!
"Yeaaat..!"
Disertai sebuah teriakan parau, ketujuh orang sisa anggota Macan Terbang
menyambut serangan musuh-musuhnya. Sambaran-sambaran angin pedang menderu,
ditingkahi denting senjata beradu kembali terdengar.
Sebentar saja, ketujuh orang anggota Macan Terbang itu sudah terdesak hebat.
Beberapa di antara mereka nampak sudah terluka akibat sambaran senjata-senjata
lawan. "Haiiit..!"
Wuttt! Brettt! Brettt!
"Aaakh...!"
Terdengar jerit kematian yang disusul robohnya tubuh dua orang anggota Macan
Terbang! Kedua orang itu langsung tewas dengan isi perut terburai.
Robohnya kedua orang kawan mereka ternyata tidak mengurangi semangat tempur yang
lain. Kelima orang anggota Macan Terbang yang masih tersisa, berusaha
mempertahankan diri sebisa-bisanya.
Pada saat yang sangat berbahaya bagi kelima orang anggota Macan Terbang itu,
tiba-tiba dua sosok tubuh melayang dan langsung menjejakkan kakinya di tengah
arena pertempuran.
"Haiiit..!"
Begitu memasuki arena, sosok bayangan putih dan hijau itu langsung memporak-
porandakan para perampok yang mengurung kelima orang anggota Macan Terbang.
Plakkk! Bukkk! Desss!
"Aaah....!"
"Wuaaa...!"
Sekali mendorong telapak tangan saja, delapan orang anggota perampok beterbangan
bagai sehelai daun kering yang dihempas angin! Tubuh mereka langsung terbanting
dan pingsan seketika itu juga. Dari sudut bibir mereka tampak mengalir cairan
merah. Hebat sekali terjangan-terjangan yang dilakukan kedua sosok tubuh yang baru tiba
itu. Sehingga dalam beberapa jurus saja, para pengeroyok kelima orang anggota
Macan Terbang tergeletak rebah tanpa dapat bangkit lagi.
Kedatangan kedua sosok tubuh yang ternyata memiliki kepandaian tinggi, tentu
saja membuat kelima orang anggota Macan Terbang menjadi gembira. Dengan wajah
bersimbah peluh dan darah, mereka langsung menjatuhkan diri berlutut di depan
kedua sosok tubuh yang membelakangi mereka.
"Terima kasih kepada Tuan berdua yang telah menyelamatkan nyawa kami...," ucap
kelima orang itu bergantian sambil mengangguk-anggukkan kepala membentur tanah
berdebu. Dua sosok tubuh berpakaian putih dan hijau itu membalikkan tubuh ke arah lima
orang sisa anggota Macan Terbang. Sosok berjubah putih yang ternyata seorang
pemuda tampan itu bergerak melangkah dan membangunkan kelima orang yang masih
bersujud. "Bangkit, dan beristirahatiah kalian. Serahkan masalah ini kepada kami. Mudah-
mudahan kami dapat menyelesai-kannya dengan baik," ujar pemuda tampan berjubah
putih itu dengan suara halus dan wajah terhias senyum.
"Kereta barang kami..., mereka rampok...," tutur laki-laki berkumis tipis yang
dengan cerdik dapat memanfaatkan penolongnya.
"Sabarlah. Sahabatku ini akan membereskannya," sahut pemuda tampan itu sambil
menolehkan kepala kepada kawannya, yang ternyata adalah seorang dara jelita.
Mendengar ucapan pemuda berjubah putih, dara jelita berpakaian hijau itu pun
bergegas menghampiri kereta kuda yang tengah dikerubuti para perampok.
Sedangkan pemuda itu sendiri, sudah melangkahkan kaki mendekati tiga orang
lelaki pendek gemuk yang merupakan pimpinan para perampok.
*** Hadirnya kedua sosok tubuh yang langsung terjun ke dalam kancah pertarungan,
tentu saja membuat Tiga Buaya Darat menjadi terkejut. Apalagi setelah
menyaksikan kehebatan mereka. Bahkan hanya dalam beberapa gebrakan saja, para
pengikutnya dapat dibuat tak berdaya.
Tentu saja hal ini membuat ketiganya membelalak marah.
Begawa sebagai orang tertua dari Tiga Buaya Darat, langsung saja melangkah maju
menyambut kedatangan pemuda itu. Langkahnya terhenti dalam jarak satu setengah
tombak dari lawannya. Dengan tatapan seperti hendak menelan tubuh pemuda itu
bulat-bulat, Begawa menudingkan telunjuknya secara kasar.
"Siapa kau, Pemuda Setan! Mengapa begitu lancang mencampuri urusanku"!" bentak
Begawa dengan suara menggelegar.
Kemarahan Begawa dapat dimaklumi. Dan memang kedatangan pemuda berjubah putih
dan kawannya itu, telah membuat rencananya berantakan. Maka seluruh kemarahannya
ditumpahkan kepada pemuda itu.
"Hm...," gumam pemuda tampan itu pelan sambil meneliti ketiga sosok tubuh di
hadapannya. "Kaliankah yang telah membantai delapan orang yang tengah melewati
Hutan Branjangan?" tanya pemuda yang tak lain dari Panji, dengan pandangan penuh
selidik. Sedangkan pertanyaan Begawa sama sekali tidak dipedulikannya.
"Aku tidak tahu, apa yang kau maksudkan itu. Jawab saja pertanyaanku sebelum kau
menggeletak jadi mayat!"
bentak Begawa yang semakin memuncak amarahnya.
Karena pemuda tampan itu sepertinya sama sekali memandang remeh padanya.
"Dugaanku pasti tidak meleset Di sekitar daerah ini, hanya kalianlah para
perampok yang mengenakan seragam serba hitam. Sedangkan dua kelompok lainnya
menggunakan serba merah dan biru. Jadi, tidak perlu lagi kalian berdalih," ujar
Panji tanpa mempedulikan kemarahan Begawa.
Menilik dari sikap dan kata-katanya, jelas kalau Pendekar Naga Putih telah
menyelidiki komplotan para perampok di sekitar wilayah itu. Dan itu pula yang
membuatnya merasa yakin akan dugaannya.
"Kau jangan menuduh sembarangan, Kisanak! Bisa saja kelompok yang kau selidiki
itu berbohong, dan mereka melemparkan tuduhan kepada kami. Tapi jangan dikira
kami takut mengakuinya, kalau memang kami yang melakukan pembunuhan itu," sahut
Begawa. Laki-laki itu akhirnya terpaksa mengikuti arah pembicaraan Pendekar Naga Putih,
karena pertanyaan yang diajukannya sama sekali tidak dipedulikan.
"Hm..., kau masih ingin menyangkal?" gertak Panji yang segera melangkah maju
bersikap mengancam.
"Kakang! Mengapa harus meladeni bocah gila itu" Beset saja mulutnya, habis
perkara," sahut salah seorang dari dua kawan Begawa yang seperti tidak sabar
melihat perdebatan itu.
Setelah berkata demikian, laki-laki gemuk berikat kepala merah yang merupakan
orang kedua dari Tiga Buaya Darat, bergegas melompat dan menjejakkan kakinya
beberapa langkah di hadapan Panji. Di tangan kanannya tampak tergenggam sebatang
golok besar yang pada bagian matanya bergerigi.
"Mengapa tidak kau saja yang melakukannya, Kisanak?"
tantang Panji sambil tersenyum.
Di wajah Pendekar Naga Putih sama sekali terlihat kegentaran. Dan sikapnya pun
tetap tenang. Sama sekali tidak bersiap, sebagaimana biasanya orang yang akan
menghadapi pertarungan.
"Bangsat! Kurobek mulutmu yang lancang itu...!"
Dengan kemarahan menggelegak, lelaki gemuk berikat kepala merah itu langsung
melompat disertai sabetan senjata mengancam wajah Panji.
Wuttt! Sambaran golok besar itu lewat beberapa jengkal, ketika Pendekar Naga Putih
menggeser tubuhnya ke samping. Namun begitu senjatanya tidak mengenai sasaran,
laki-laki berikat kepala merah itu memutar
senjatanya dengan gerakan cepat dan kuat!
"Bagus...!" seru Panji yang mau tak mau harus memuji serangan lawan. Karena
gerakan orang itu memang cepat dan tak terduga, sehingga membuat Pendekar Naga
Putih mengaguminya.
Pujian yang dikeluarkan bukan berarti Pendekar Naga Putih tidak bisa mengatasi
lawan. Sambaran golok yang bagi orang lain terlihat sangat cepat dan berbahaya,
tentu saja bukan hal yang mencemaskan bagi Pendekar Naga Putih. Dengan gerakan
indah dan tak terduga, pemuda tampan itu menarik kaki depan sambil mendoyongkan
tubuh ke belakang. Dan begitu sambaran senjata lawan yang mengincar lehernya
lewat, kaki yang semula tertarik ke belakang langsung mencelat naik mengancam
lambung lawan. Zebbb! "Aihhh...!"
Serangan balasan pemuda itu ternyata telah membuat lawan kelabakan. Betapa
tidak" Sebab, datangnya tendangan yang dilancarkan Panji benar-benar tak
terduga. Tahu-tahu saja, ujung kaki pemuda itu telah berada beberapa jengkal di
depan lambung lawan.
Dengan gerakan agak gugup, laki-laki gemuk berikat kepala merah itu melempar
tubuh ke belakang. Langsung dia bersalto beberapa kali untuk menyelamatkan diri.
Sayang Pendekar Naga Putih tidak sudi lagi memberikan kesempatan kepada lawan
untuk melanjutkan pertarungan. Maka pada saat tubuh gemuk itu tengah melambung
di udara, pemuda itu bergegas mengejar disertai hantaman telapak tangan yang
langsung mengincar
dada lawan. Dan....
Bukkk! "Hugkh...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh orang itu terlempar deras ketika telapak tangan
Pendekar Naga Putih menghantam telak dadanya. Jeritan kesakitan yang disertai
semburan darah segar terlontar dari mulut lawannya.
Tubuh gemuk itu langsung terbanting ambruk di tanah keras sekali.
"Adi Jambrong...!"
Bukan main terkejutnya hati Begawa melihat adiknya dapat ditundukkan pemuda itu
hanya dalam beberapa jurus saja. Cepat ia berlari menghambur ke arah tubuh
Jambrong bersama saudaranya yang paling muda.
"Bedebah! Kubunuh kau...!" bentak Begawa marah ketika melihat cairan merah yang
mengalir di sudut bibir Jambrong.
Dengan kemarahan menggelegak, lelaki gemuk itu bangkit ketika mendapati adiknya
yang pingsan akibat pukulan Pendekar Naga Putih.
"Kita habisi saja dia, Kakang!" seru orang ketiga dari Tiga Buaya Darat dengan
wajah merah. Sambil berkata demikian, laki-laki berikat kepala biru itu langsung meloloskan
senjatanya, berupa sepasang badik berukuran satu setengah jengkal.
"Bagus! Majulah kalian bersama-sama, biar urusan ini cepat selesai," ujar Panji
dengan suara tenang dan bibir tersenyum.
Ucapan itu dimaksudkan Pendekar Naga Putih untuk membangkitkan kemarahan lawan.
Sebab, bila penyerangan dilakukan dengan penuh amarah, biasanya kewaspadaan pasti akan
berkurang. Dan itu akan mempermudah pekerjaannya.
"Setan...!"
Begawa yang merasa tertantang, bergegas melompat disertai ayunan penggadanya
yang menimbulkan deru angin keras! Dalam kemarahannya, laki-laki gemuk berikat
kepala hitam itu telah menggunakan seluruh tenaga dalam serangannya kali ini.
Orang ketiga dari Tiga Buaya Darat pun tidak mau ketinggalan. Tubuhnya segera
melesat menyusuli kakak seperguruannya. Sepasang badiknya bergerak cepat saling
susul-menyusul dengan kekuatan tidak bisa dipandang remeh.
Wukkk! Bettt! Bettt!
Serangan gencar bertubi-tubi yang dilepaskan kedua orang kakak beradik itu sama
sekali tidak membuat Pendekar Naga Putih gentar. Dengan langkah-langkah pendek
yang disertai gerakan tubuhnya, sambaran senjata lawan dapat dihindari dengan
mudah. Bahkan setelah pertarungan menginjak jurus kesepuluh, pemuda itu mulai
melancarkan serangan-serangan balasan yang cepat dan tak terduga.
Sebenarnya, kepandaian yang dimiliki dua orang dari Tiga Buaya Darat itu
termasuk cukup tinggi. Bahkan boleh dikatakan sampai saat sebelum berjumpa
Pendekar Naga Putih, mereka sama sekali belum terkalahkan. Tapi kali ini mereka
terpaksa harus menelan pil pahit. Sebab, pemuda tampan yang sama sekali tidak
mereka kenal telah membuat kalang-kabut! Tentu saja kenyataan itu
membuat mereka semakin penasaran.
Memasuki jurus kelima belas, serangan-serangan yang dilancarkan Panji tampak
semakin membuat kedua lawan kerepotan. Sehingga, mereka tidak sempat lagi
melancarkan serangan-serangan balasan. Dan memang, pukulan-pukulan yang
dilancarkan pemuda itu bagaikan datang dari berbagai penjuru dan mengurung
mereka. "Heaaah...!"
Pada suatu kesempatan baik, Panji membentak keras.
Akibatnya, kedua lawan terkejut. Dan sebelum mereka sempat menyadari keadaan,
sepasang tangan Pendekar Naga Putih bergerak cepat mengancam tubuh keduanya
sekaligus! Bettt! Bettt! "Ihhh...!"
Begawa dan adik seperguruannya tergagap melihat serangan yang meluncur mengancam
tubuh mereka. Cepat keduanya melempar tubuh ke belakang, dan langsung menjatuhkan diri
bergulingan menghindari serangan Pendekar Naga Putih.
Namun, kecepatan gerak Panji tidak dapat disamakan kecepatan mereka. Maka sekali
melompat saja, tubuh pemuda itu telah dapat menyusuli kedua lawannya. Dan ketika
tubuh mereka melenting bangkit, sepasang tangan pendekar muda itu telah
menghajar telak tubuh keduanya.
Bukkk! Desss! "Aaargh...!"
"Hugkh...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh kedua orang itu langsung terlempar sejauh satu
tombak lebih. "Uhhh...!"
Begawa, orang pertama dari Tiga Buaya Darat itu rupanya memiliki daya tahan yang
jauh lebih kuat daripada saudaranya. Lelaki gemuk berwajah brewok itu mencoba
bangkit berdiri disertai keluhan yang terdengar dari mulutnya. Sedangkan di
sebelah kanannya tampak tubuh saudaranya telah tergeletak pingsan.
Panji yang melihat Begawa bergerak hendak bangkit, cepat melompat. Langsung
ditekannya tubuh orang itu dengan menggunakan telapak kakinya. Hal itu dilakukan
dengan pengerahan tenaga dalamnya, sehingga Begawa merasakan tubuhnya bagai
dihimpit sebuah batu besar yang sangat berat
"Hm.... Sepertinya kau tidak akan pernah jera terhadap kelakuanmu selama ini.
Sebaiknya, orang sepertimu tidak boleh dibiarkan lama-lama, menikmati hidup
ini," geram Panji sambil menambah tekanan pada pijakan kakinya.
"Akh...!"
Merasakan tekanan telapak kaki lawan semakin bertambah berat dan menyakitkan,
Begawa kembali mengeluh. Cairan merah tampak mengalir semakin deras dari sudut
bibirnya. Panji menarik kakinya dari tubuh lawan. Sempat terlintas rasa iba di hatinya
melihat seringai kesakitan di wajah laki-laki gemuk itu. Setelah menatap wajah
orang itu sejenak, tangan kanannya diangkat, siap mengirim Begawa ke akhirat
"Tunggu, Kisanak...!" seru Begawa yang melihat pemuda itu hendak menghabisi
nyawanya. Seruan serak itu disusul suara batuk dan muntahan
darah segar. Jelas kalau Begawa telah terluka dalam cukup parah akibat pukulan
Panji tadi. "Hm.... Kau mempunyai pesan untuk kusampaikan kepada anak buahmu?" tanya Panji.
Pendekar Naga Putih segera menurunkan telapak tangannya yang siap menghunjam
tubuh gemuk itu.
Dipandanginya wajah Begawa yang saat itu juga tengah menatapnya dengan sinar
mata redup. "Aku..., aku sebenarnya hanya seorang pengikut Dan..., kami masih mempunyai
pimpinan lagi...," jelas Begawa dengan suara terpatah-patah.
"Pimpinan" Maksudmu...?" tanya Panji.
Pendekar Naga Putih segera mengangkat tubuh gemuk itu untuk bangkit duduk, lalu
disandarkannya pada sebatang pohon.
"Aku..., aku hanya orang suruhan..," aku Begawa lagi sambil menarik napas
panjang-panjang. Seringai di wajahnya tampak kembali menggurat. Tangan kanannya
bergerak menekap dada yang dirasakan semakin nyeri.
Tentu saja ucapan itu tidak sepenuhnya dipercaya Panji. Namun karena menurutnya
tidak ada ruginya mendengar keterangan itu, maka diberikannya obat luka dalam
Pendekar Naga Putih 24 Macan Tutul Lembah Daru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang selalu dibawa dalam buntalan pakaiannya kepada Begawa.
"Ceritakanlah...," pinta Panji. Pendekar Naga Putih telah menjejalkan obat luka
dalam berwarna putih salju ke dalam mulut Begawa. Ditunggunya beberapa saat
setelah obat pemberiannya menunjukkan gejala penyembuhan.
*** "Tiga tahun yang lalu, aku dan dua kelompok perampok lainnya di daerah ini
merupakan raja-raja kecil yang memiliki daerah kekuasaan. Sampai kemudian,
datang seorang laki-laki tinggi besar yang memiliki kepandaian sangat tinggi.
Orang yang berjuluk Hantu Teluk Jambe itu datang menaklukkan semua perampok di
daerah ini," Begawa menarik napas panjang dan menghentikan ceritanya sejenak.
"Kemudian, kami diperintah untuk membunuh setiap orang yang melewati daerah
kekuasaan kami dan merampas semua bawaan mereka. Setiap hasil yang di-dapatkan
harus dikirim ke Desa Pacitan. Hal itu kami lakukan dengan menyamar sebagai
pengawal barang, agar tidak menimbulkan kecurigaan penduduk desa itu," lanjut
Begawa. "Hm.... Siapakah orang itu" Dan apa jabatannya di Desa Pacitan?" tanya Panji
tetap bersikap tenang dan sabar.
Meskipun keterangan yang dibeberkan Begawa sangat jelas, namun Pendekar Naga
Putih tidak mau mempercayai begitu saja. Sebab, bukan tidak mungkin kalau kepala
rampok itu sengaja melontarkan fitnah untuk keselamatannya sendiri.
"Kau boleh tidak percaya dengan keteranganku ini, Kisanak. Tapi untuk
membuktikan kebenaran ceritaku ini, sebaiknya datanglah ke Desa Pacitan. Di
sana, kau boleh menyelidiki seorang juragan yang bernama Gerda Pasa.
Para penduduk desa itu memang tidak mengetahuinya.
Bahkan mereka menganggap Gerda Pasa sebagai orang
kaya yang baik hati. Kebusukannya disembunyikan di balik kebaikan hatinya dengan
memberi bantuan kepada para penduduk yang tidak mampu. Padahal, semua itu
dilakukannya untuk mengeruk keuntungan dari para petani yang dibantunya," tutur
Begawa kembali melanjutkan ceritanya.
"Hm.... Maksudmu, Gerda Pasa membantu dengan memberikan pinjaman kepada mereka.
Lalu, para petani diharuskan membayar berlipat ganda, begitu?" tanya Panji yang
memang telah sering mendengar ulah para juragan tamak terhadap para penduduk
desa. Baginya, cerita seperti itu sudah tidak aneh dan sering dijumpai dalam
perantauan. "Tidak! Gerda Pasa bahkan lebih licik dari itu. Ia memang memberi bantuan berupa
bibit-bibit tanaman dan segala keperluan para petani miskin. Tapi setelah tumbuh
subur, tanaman itu akan dirusaknya dengan menyebarkan racun, sehingga para
petani gagal panen. Setelah kejadian itu, tentu para petani miskin tadi tidak
akan sanggup membayar hutang-hutang mereka. Maka kemudian sawah atau ladang
mereka dibeli Juragan Gerda Pasa dengan harga murah. Lalu, para petani
disuruhnya menggarap sawah yang telah dibeli. Tentu saja mereka hanya sekadar
orang upahan yang tidak berhak mencicipi hasil sawah ladang itu."
"Hm.... Licik sekali orang itu. Dengan demikian, ia tidak akan dicurigai para
petani. Sudah berapa banyak orang yang terjebak tipu kejinya itu" Jelas,
kekayaan yang dimiliki Gerda Pasa semakin menumpuk," geram Panji sambil
mengepalkan tinjunya kuat-kuat
Seketika Pendekar Naga Putih teringat dengan pembunuhan keji yang ditemukannya
di Hutan Branjangan beberapa hari yang lalu.
"Jadi delapan orang yang kau bantai di Hutan Branjangan itu, juga tengah
mengantar barang?" tanya pemuda itu.
"Benar! Mereka adalah rombongan saudagar kaya yang hendak menjual hasil
tanamannya ke kadipaten. Mereka terpaksa kami bunuh untuk menghilangkan jejak.
Barang-barang bawaan mereka kami rampas, dan dikirimkan kepada Juragan Gerda
Pasa. Karena semua itu memang atas perintahnya," Begawa akhirnya mengakui segala
perbuatannya kepada Panji.
Semua itu dilakukan kepala perampok itu karena merasa benci terhadap Gerda Pasa
yang telah memperalat dirinya dan anggota gerombolannya. Padahal, mereka tidak
mendapatkan hasil sedikit pun dari pekerjaan itu.
Maka, Begawa segera mengadukannya kepada pemuda lihai yang tak dikenalnya itu.
Dengan harapan, Gerda Pasa dapat diringkus Pendekar Naga Putih.
"Hm..., baiklah. Sekarang, apa yang akan kau lakukan setelah semua kejadian ini"
Apakah kau ingin kembali merampok?" tanya Panji.
Pendekar Naga Putih merasa semua keterangan yang diperolehnya telah cukup.
Namun, matanya tetap menatap wajah Begawa penuh selidik.
"Entahlah, Kisanak. Aku tidak memiliki kebisaan lain, selain berkelahi. Rasanya
sulit sekali mencari nafkah dengan cara lain," sahut Begawa.
Kepala perampok itu sedikit heran mendengar per-
tanyaan pemuda di hadapannya. Sebab menurutnya, pertanyaan pemuda itu jelas
mengandung arti yang khusus baginya. Begawa tidak berani memikirkannya, karena
merasa telah terlalu kotor dan patut dihukum mati.
"Kau mau mendengar saranku...?" tanya Panji seraya menepuk lembut bahu laki-laki
gemuk itu Wajah pemuda itu sama sekali tidak memancarkan dendam. Bahkan seulas
senyum persahabatan tampak menghias wajah tampannya.
"Apa.... Apa maksudmu, Kisanak...?" suara Begawa terdengar tegang dan penuh
harap-harap cemas.
"Bergabunglah dengan mereka," jawab Panji seraya menudingkan telunjuknya ke arah
lima orang sisa anggota pengawal barang Macan Terbang yang hanya dapat memandang
bingung. Dan memang, mereka sama sekali tidak mendengar pembicaraan kedua orang
itu. "Maksudmu...?" tegas Begawa mencoba memastikan ucapan pemuda itu.
"Ya! Jadilah pengawal barang seperti mereka. Dan sebagai permulaan, kau dapat
mengantarkan kelima orang itu sampai ke tempat tujuan," jawab Panji seraya
tersenyum lembut
"Kau..., kau tidak akan membunuhku...?" tanya Begawa, seolah-olah tak percaya
dengan apa yang terdengar telinganya.
"Kalau kau memang telah bertobat dan berjanji untuk tidak melanjutkan
perbuatanmu yang lalu, tentu saja aku akan membebaskanmu," senyum Panji semakin
melebar melihat wajah Begawa yang berubah bagai orang tolol.
"Oh.... Terima kasih..., terima kasih, Kisanak. Aku...,
aku..., ah! Aku berjanji akan meninggalkan pekerjaan kotor ini, dan akan
menuruti nasihatmu. Semoga saja, apa yang kukerjakan nanti tidak akan
mendapatkan cemooh dari masyarakat," ucap Begawa.
Laki-laki itu segera menjatuhkan dirinya, berlutut di depan Panji. Air mata
tampak mengembang di pelupuk matanya. Jelas kalau dia yang selama ini terkenal
sebagai ketua gerombolan perampok ganas merasa terharu dengan apa yang dilakukan
pemuda itu terhadapnya.
"Mengantarkan kelima orang itu hanya sebagai permulaan, Kisanak. Setelah itu,
carilah tempat lain yang orang-orang tidak mengetahui masa lalumu. Dengan
demikian, kau tidak perlu merasa takut terhadap pandangan orang lain," sahut
Panji memberikan nasihat-nya.
Begawa semakin dalam menundukkan kepalanya.
Setelah cukup lama, baru laki-laki gemuk itu mengangkat kepalanya dan memandang
Pendekar Naga Putih penuh rasa syukur.
"Baiklah, Kisanak. Semua nasihatmu akan kujalankan.
Tapi, bolehkah aku mengetahui nama atau julukanmu"
Rasanya, janggal sekali kalau tidak mengetahui siapa orang yang telah
mengangkatku dari semua kehinaan ini.
Namaku adalah Begawa," pinta Begawa dengan suara parau karena rasa haru yang
dalam. "Namaku Panji. Sedangkan orang-orang rimba persilatan menjulukiku sebagai
Pendekar Naga Putih,"
sahut Panji tanpa rasa bangga ataupun sombong sedikit pun.
"Ah...! Pendekar Naga Putih...! Pantas saja kau dapat
menundukkan kami bertiga secara mudah! Ampunilah kami yang buta dan bodoh ini,
Pendekar Naga Putih.
Nama besarmu telah lama sampai ke telinga kami. Siapa sangka, hari ini aku
mendapatkan kehormatan besar dapat berbincang-bincang denganmu," desah Begawa
yang sama sekali tidak menyembunyikan rasa gembiranya.
Kembali laki-laki gendut itu menjatuhkan dirinya berlutut di hadapan Panji.
Sehingga, pemuda itu terpaksa mengangkat bangkit Begawa dengan sedikit paksaan.
"Sudahlah, Paman Begawa. Jangan terlalu melebih-lebihkan. Bisa-bisa kepala ku
menjadi sebesar gunung nanti," ujar Panji, mencoba bergurau sambil mengangkat
Begawa berdiri.
"Terima kasih, Pendekar Naga Putih. Sekarang juga aku akan melaksanakan segala
nasihatmu."
Setelah berkata demikian, Begawa melangkah ke arah lima orang anggota Macan
Terbang yang hanya bisa menatap bingung.
Sedangkan Panji sendiri sudah melangkah dan meng-obati semua anggota Tiga Buaya
Darat yang dilukainya.
Termasuk, dua orang pimpinannya yang masih tergeletak pingsan.
Kenanga sendiri sudah lama membereskan para perampok yang tengah mengerubuti
kereta kuda. Sebagaimana yang dilakukan Panji, gadis jelita itu pun menyadarkan lawan-
lawannya. Mereka yang hanya dibuat pingsan, kembali bangkit dan berkumpul di
dekat Begawa. "Mulai hari ini, pekerjaan keji ini harus ditinggalkan.
Dan kita akan mencari pekerjaan lain yang lebih bersih.
Siapa di antara kalian yang masih setia denganku, silakan
ikut. Tapi bagi yang tidak bersedia ikut denganku, tidak ada paksaan. Silakan
mencari jalan hidup sendiri-sendiri, asalkan bukan perbuatan jahat," ujar Begawa
lantang, sambil berdiri tegak di hadapan anggota gerombolannya.
Ternyata tidak seorang pun dari anggota perampok itu yang keluar dari barisan.
Jelas, mereka semua lebih suka mengikuti sang Pemimpin. Tentu saja hal itu
membuat Begawa tersenyum bangga.
Namun tanpa disadari mereka, Pendekar Naga Putih dan Kenanga telah berkelebat
cepat, menghilang dari situ.
Dan memang, ilmu meringankan tubuh dua orang pendekar itu telah mencapai taraf
Pendekar Riang 15 Badai Awan Angin Pendekar Sejati (beng Ciang Hong In Lok) Karya Liang Ie Shen Pendekar Kidal 16
tentu saja tidak berani bersikap ceroboh. Maka ketika dorongan telapak tangan
itu hampir mencapai dadanya, cepat tubuhnya berkelit dan melakukan tangkisan
dengan lengan kiri.
Dukkk! "Uhhh...!"
Tangkisan perlahan yang dilakukan Nanggala dengan sedikit tenaga itu ternyata
sangat mengejutkan lawan.
Tubuh laki-laki berkumis lebat itu terjajar beberapa langkah ke belakang dengan
wajah merah. Melihat dari pijatan-pijatan yang dilakukan pada lengannya, jelas
kalau ia merasa kesakitan akibat tangkisan tadi.
"Bangsat! Rupanya kau memang sengaja mencari keributan!" bentak laki-laki
berkumis lebat itu geram.
Langsung pedang yang terselip di pinggangnya dicabut.
Sring! Perbuatan laki-laki berkumis lebat itu, diikuti pula oleh kawannya. Rupanya,
melihat keadaan itu, amarahnya kini bangkit. Maka kini kedua orang tukang pukul
Juragan Gerda Pasa itu langsung mengurung Nanggala dari kiri dan kanan.
"Sabarlah, Kisanak. Kedatanganku kemari, sama sekali bukan mencari keributan."
Nanggala berusaha mencegah terjadinya keributan.
Sebab biar bagaimanapun, ia merasa tidak enak bila hal itu terjadi. Padahal
kedatangannya ke tempat itu justru dengan maksud baik. Lalu apa kata Untari
nanti bila keributan itu terjadi" Dan itu sama sekali tidak diinginkannya.
"Sudah, jangan banyak cakap! Bersiap-siaplah melayang ke akhirat!" bentak laki-
laki berkumis lebat yang sepertinya mendendam sekali kepada Nanggala.
Hal itu wajar saja. Sebab, dua kali ia dibuat malu di depan kawannya. Dan itu
ingin ditebusnya dengan menyiksa pemuda itu sepuas-puasnya.
Kedua orang itu sudah siap menyerang Nanggala.
Kaki masing-masing sudah bergeser, siap melepaskan serangan.
"Berhenti...!"
Belum lagi kedua orang tukang pukul itu melancarkan serangannya, tiba-tiba
terdengar bentakan keras yang mengejutkan. Berbarengan bentakan itu, sesosok
tubuh ramping berpakaian serba putih melayang turun, dan langsung menjejakkan
kakinya di antara mereka.
Bentakan nyaring dan merdu itu sepertinya telah sangat dikenal kedua orang
penjaga gerbang rumah Juragan Gerda Pasa. Hal itu terlihat dari sikap keduanya
yang langsung melangkah mundur.
"Untari...!" desah Nanggala.
Pemuda itu langsung mengenali, siapa adanya sosok tubuh ramping berpakaian serba
putih itu. Dia memang Untari, gadis yang selama ini telah menyita seluruh
pikiran Nanggala.
"Ah! Kiranya kau yang datang, Kakang Nanggala.
Mengapa tidak memberitahukan aku sebelumnya. Kalau saja aku tidak keburu datang,
mungkin kedua orang penjaga gerbang rumah ayahku ini sudah menggeletak
menjadi mayat," kata Untari disertai senyum manisnya.
Bahkan gadis cantik itu telah memanggil kakang kepada Nanggala. Tentu saja
sebutan itu membuat dada pemuda gagah ini berdebar tak karuan.
"Maafkan aku, Untari. Aku tidak bermaksud mencari keributan di sini.
Kedatanganku pun dengan maksud baik-baik. Tapi, dua orang anak buah ayahmu
bersikap kasar padaku. Jadi, terpaksa aku membela diri. Oh, ya. Ada sesuatu yang
ingin kuceritakan kepadamu," pinta Nanggala.
Pemuda itu langsung saja mengutarakan keinginannya.
Kebetulan ini adalah kesempatan baik. Dan tentu saja, Nanggala tidak ingin
menyia-nyiakannya.
Mendengar permintaan pemuda itu, mau tak mau Untari menjadi heran. Tidak seperti
biasanya, kali ini Nanggala terlihat begitu tenang. Bahkan berani mengajaknya.
Tentu saja hal itu membuat Untari menduga-duga, apa gerangan yang ingin
disampaikan pemuda itu kepadanya.
"Mengapa tidak di sini saja, Kakang?" tanya Untari.
Kemudian, kepala gadis itu menoleh ke arah tukang pukul ayahnya yang tengah
memperhatikan. "Kalian boleh pergi," lanjut gadis cantik itu kepada mereka.
"Baik," sahut kedua tukang pukul itu serempak.
Tanpa berkata sepatah pun, keduanya langsung meninggalkan Untari dan Nanggala.
"Nah! Sekarang ceritakanlah, Kakang," ujar Untari menatap Nanggala penuh rasa
ingin tahu. "Mari, ikut aku...," ajak Nanggala.
Pemuda itu langsung berlari meninggalkan halaman luar tempat kediaman Juragan
Gerda Pasa. Langkah kakinya terlihat tidak terlalu cepat, karena mengharapkan
agar Untari mau mengikutinya.
Sejenak gadis cantik itu berdiri termangu melihat ketegasan sikap Nanggala.
Namun karena rasa keingin-tahuannya demikian kuat menggoda, maka tanpa ragu-ragu
lagi Untari bergegas mengikutinya.
Nanggala menghentikan langkahnya pada sebuah tempat sunyi. Kemudian, ia berdiri
menanti kedatangan Untari yang memang mengikutinya. Wajah pemuda itu terlihat
sedikit agak pucat. Ketegangan hatinya jelas terlihat dari caranya menarik napas
panjang beberapa kali.
"Ah! Kau ini ada-ada saja. Apa sih yang ingin diceritakan" Dan mengapa pula
harus di tempat yang sepi seperti ini" Apa kau berniat menculikku?" omel Untari
begitu tiba di tempat Nanggala berdiri.
Sedikit pun tidak terlihat rasa canggung ataupun khawatir pada wajah gadis itu.
Jelas kalau dia telah nenaruh kepercayaan penuh kepada Nanggala.
Nanggala atau si Macan Tutul Lembah Daru yang terkenal tidak pernah gentar
menghadapi ancaman maut sekali pun, kali ini terlihat agak gugup dan tegang.
Sebentar-sebentar, pemuda gagah yang amat disegani tokoh-tokoh persilatan itu
terlihat menarik napas panjang.
Bahkan hembusan napasnya terdengar berat dan bergemuruh. Jelas kalau hatinya
tengah dilanda ketegangan hebat.
Dengan langkah tenang, Untari datang menghampiri Nanggala. Senyum manis yang
biasanya sangat jarang
terlihat, kini tampak selalu menghiasi wajahnya. Meskipun ada sedikit rasa
ketegangan di hatinya, namun hal itu sama sekali tidak ditampakkan. Dan memang,
gadis cantik itu pandai sekali menyembunyikannya, sehingga Nanggala sendiri
tidak mengetahuinya.
"Ada apa, Kakang Nanggala...?" tanya gadis cantik itu pelan.
Kemudian, Untari berdiri di samping Nanggala yang duduk di bawah sebatang pohon.
Dengan sikap yang tetap tenang, tubuhnya disandarkan di pohon itu.
"Untari.... Dengan memberanikan diri, aku datang menemuimu. Aku tak tahu,
perasanku begitu gelisah setelah dua kali berjumpa denganmu. Dan perasaan itu
sepertinya harus kuungkapkan. Tapi...."
"Tapi apa, Kakang" Katakanlah! Bukankah kita telah saling mengenal" Kalau memang
ada sesuatu yang dapat kubantu, utarakanlah. Siapa tahu, aku dapat membantumu
dalam menghadapi masalah itu," desah Untari yang menjadi tidak sabar ketika
melihat Nanggala menghentikan ucapannya.
"Untari.... Aku..., rasanya aku jatuh cinta kepadamu.
Dan kumohon, jawablah sekarang juga. Apa pun jawabannya, aku telah siap
menerimanya," ungkap Nanggala tanpa ragu-ragu lagi
Dihembuskannya napas kuat-kuat. Macan Tutul Lembah Daru merasakan dadanya lapang
setelah dapat mengutarakan isi hatinya yang selama ini dipendam dalam-dalam.
"Hi hi hi..! Kau ini lucu, Kakang...," tawa Untari meledak mendengar ucapan
Macan Tutul Lembah Daru.
Gadis yang memang memiliki sifat aneh itu sama sekali tidak mempedulikan
Nanggala yang dihinggapi rasa bingung. Ia terus saja tertawa, seolah-olah apa
yang disampaikan pemuda itu memang benar-benar sesuatu yang sangat lucu.
Tentu saja tawa gadis cantik itu membuat Nanggala semakin pucat wajahnya.
Dipandanginya wajah gadis itu dengan sikap ketololan. Benar-benar sulit
dimengerti, mengapa Untari malah tertawa setelah mendengar pengakuannya" Apakah
ucapannya itu benar-benar patut ditertawakan"
"Aku memang bodoh, Untari. Tidak sepantasnya mengutarakan perasaanku ini
kepadamu. Aku memang pantas ditertawakan," keluh Nanggala bergetar penuh
kekecewaan. Betapa tidak" Kata-kata yang demikian sulit diucap-kannya itu malah ditertawakan
Untari. Tentu saja hal itu membuat hatinya terasa tertusuk-tusuk. Sadar kalau ia
telah salah menilai orang, maka dengan wajah kecewa, Nanggala bergegas
meninggalkan tempat itu.
"Hei" Kau mau ke pergi ke mana, Kakang" Bukankah kau belum mendengar jawabanku?"
tegur Untari menghentikan tawanya ketika melihat Nanggala melangkah hendak
meninggalkannya.
"Tidak perlu, Untari. Rasanya jawaban yang keluar dari mulutmu sudah dapat
kutebak. Maaf, aku telah mengganggu waktumu," ujar Nanggala tanpa menoleh
sedikit pun. Langkahnya kembali terayun perlahan.
"Tapi, bagaimana kalau aku juga memiliki perasaan yang sama denganmu" Apakah kau
akan tetap pergi" Kalau
itu maumu, pergilah!" sentak Untari dengan suara agak keras.
Setelah berkata demikian, gadis itu pun berbalik dan melangkah ke arah yang
berlawanan. Mendengar jawaban yang sama sekali tidak diduga, tentu saja langkah Nanggala
terhenti. Dan ketika melihat gadis itu berlari ke arah yang berlawanan, langsung
saja dikejarnya.
"Untari, tunggu...!" cegah Nanggala yang segera melesat menggunakan ilmu lari
cepatnya. Sehingga dalam beberapa saat saja, gadis itu telah dapat terkejar.
"Ada apa lagi" Kau tidak jadi pergi...?" tegur Untari dengan sepasang mata
membelalak marah.
"Untari.... Kau.... Katakanlah! Apakah kau juga men-cintaiku?" desak Nanggala.
"Sudah kau dengar jawabanku tadi. Kalau memang mau pergi, pergilah! Aku tidak
melarangmu!" ketus sekali jawaban yang keluar dari bibir indah itu.
"Tidak... Aku tidak akan pergi. Aku..., aku akan melamarmu. Jawablah! Sudikah
kau menjadi istriku?"
tanya Nanggala.
Pemuda itu merasa yakin dengan jawaban yang akan diterimanya. Apalagi, ketika
gadis itu sama sekali tidak berusaha melepaskan diri ketika Nanggala memegang
bahunya. Itulah yang meyakinkan dirinya kalau Untari memiliki perasaan yang sama
dengannya. "Tidak tahu malu! Melamar orang di tengah jalan! Apa kau kira aku tidak punya
orang tua!" jawab Untari, ketus.
Namun, sepasang mata gadis itu jelas menyiratkan kebahagiaan. Dan sebelum
Nanggala tersadar, gadis cantik
itu sudah meronta dari pegangannya. Kemudian, dia berlari meninggalkan Nanggala
yang tersenyum sendirian seperti orang gila.
"Hm.... Tunggulah! Aku akan melamarmu besok!"
seru Nanggala yang tidak berusaha mengejar Untari.
*** 5 Pada hari itu, rumah besar kediaman Juragan Gerda Pasa tampak diramaikan
berbagai kesibukan. Halaman depan yang luas, tampak semarak oleh berbagai hiasan
yang berwarna-warni. Sedangkan di halaman samping, beberapa orang laki-laki
tampak sibuk membuat panggung.
Panggung yang berukuran cukup luas itu dimaksudkan untuk pertandingan silat.
Sebagaimana umumnya seorang tokoh persilatan mengadakan keramaian, panggung adu
kekuatan selalu saja disediakan.
Demikian pula pesta pernikahan putri Juragan Gerda Pasa. Calon suaminya
merupakan tokoh terkenal di kalangan rimba persilatan. Jadi tidak heran kalau
juragan itu mengajukan usul agar disediakan sebuah panggung untuk meramaikan
pesta. Dan usul itu disetujui oleh Untari, sang pengantin wanita.
Nanggala atau yang lebih dikenal sebagai Macan Tutul Lembah Daru, semula tidak
begitu menyetujui usul mertuanya. Namun karena calon istrinya juga menyetujui
rencana itu, dia terpaksa mengalah.
Hari sudah menjelang sore ketika para undangan mulai berdatangan. Mereka tidak
hanya terdiri dari kalangan orang kaya saja. Banyak juga penduduk desa itu yang
datang memenuhi undangan Juragan Gerda Pasa.
Demikian pula tokoh-tokoh kalangan rimba persilatan.
Undangan yang disebar dengan mengatasnamakan Macan
Tutul Lembah Daru, membuat mereka berduyun-duyun mendatangi pesta pernikahan
pendekar muda itu. Maka, ramailah rumah kediaman Juragan Gerda Pasa oleh
berbagai kalangan.
Setelah semua undangan telah duduk di tempatnya masing-masing, seorang laki-laki
tinggi besar berwajah brewok melangkah naik ke atas panggung. Sejenak ia berdiri
merayapi sekitarnya disertai senyum lebar. Dialah yang bernama Juragan Gerda
Pasa. "Para sahabat sekalian," Juragan Gerda Pasa, mulai membuka pembicaraan. "Aku
mengucapkan terima kasih atas kesediaan sahabat sekalian untuk datang memenuhi
undangan ini. Dan silakan mencicipi hidangan yang telah disediakan. Semoga
sahabat sekalian tidak kecewa atas pelayanan kami yang mungkin kurang
memuaskan."
Perkataaan Juragan Gerda Pasa langsung disambut tepuk tangan riuh. Kemudian
laki-laki tinggi besar itu pun kembali melangkah turun dari atas panggung.
"Wah! Kau beruntung sekali, Gerda Pasa. Entah bagaimana caranya kau bisa
mendapatkan seorang menantu seperti Macan Tutul Lembah Daru. Iri rasanya aku
melihat keberuntunganmu ini," bisik salah seorang undangan.
Ia langsung saja datang menghampiri Juragan Gerda Pasa yang baru turun dari atas
panggung. Melihat dari sikap dan pakaiannya yang mewah, jelas kalau laki-laki
tinggi kurus itu seorang juragan juga. Matanya yang agak sipit itu kadang-kadang
melirik Untari yang duduk bersanding dengan Nanggala di sebelah kiri panggung.
Tampaknya, lelaki tinggi kurus itu seorang mata
keranjang. Hal itu dapat terlihat dari caranya memandang pengantin wanita.
Juragan Gerda Pasa hanya tersenyum dikulum mendengar pujian laki-laki tinggi
kurus itu. Setelah berbasa-basi sejenak, laki-laki tinggi besar berwajah brewok
itu pun melangkah ke tempatnya semula.
Dan kini para undangan mulai mencicipi hidangan yang telah disediakan. Sementara
beberapa tokoh kalangan persilatan yang berusia muda seringkali melirik ke arah
pasangan pengantin dengan sinar mata penuh rasa iri. Dan mereka hanya bisa
saling berbisik membicarakan keberuntungan Macan Tutul Lembah Daru yang dapat
mempersunting gadis cantik putri Juragan Gerda Pasa itu.
Bahkan ada di antaranya yang melontarkan kata-kata sinis.
Tentu saja ucapan itu merupakan ungkapan rasa iri saja.
Suara gaduh yang semula ramai menyemarakkan suasana pesta, mendadak lenyap
ketika seorang laki-laki gemuk pendek berdiri di atas panggung. Orang itu
langsung saja bertepuk tangan sebanyak tiga kali untuk menarik perhatian para
undangan. "Para sahabat sekalian!" seru orang pendek gemuk itu setelah suasana gaduh sima.
"Kami sebagai wakil tuan rumah, akan menyampaikan acara yang segera dapat kita
saksikan bersama nanti. Dan mudah-mudahan acara ini dapat menambah kegembiraan
kita semua."
Belum lagi ucapan laki-laki pendek gemuk itu selesai, para undangan segera
bertepuk tangan riuh. Beberapa di antara mereka, bahkan sudah berseru tidak
sabar. "Tenang, tenang...!" ujar laki-laki di atas punggung itu untuk menenteramkan
kebisingan yang tiba-tiba saja
pecah. "Baiklah. Akan segera ditampilkan dua orang kawan kami, yang akan segera
menghibur para sahabat sekalian!" lanjut laki-laki pendek gemuk itu untuk
menenteramkan kegaduhan yang tak juga berhenti.
"Haiiit...!"
Terdengar seruan nyaring ketika laki-laki pendek gemuk itu menyebut sebuah nama.
Berbarengan seruan itu, sesosok tubuh mengenakan pakaian serba merah melayang
naik ke atas panggung. Dengan gerakan lincah dan manis, kakinya mendarat di
dekat lelaki gemuk itu.
Sosok berpakaian serba merah itu langsung membungkukkan tubuhnya dalam-dalam.
Suara sorak-sorai pun bergemuruh menyambut orang itu.
"Terima kasih. ., terima kasih...," ucap sosok berpakaian serba merah itu.
Usianya sekitar empat puluh tahun. Wajahnya yang lonjong, tampak terhias kumis
dan jenggot tercukur rapi.
Jelas kalau dia merupakan seorang laki-laki pesolek. Usai memberi hormat,
kakinya melangkah ke sudut kiri panggung.
*** Tak lama setelah sosok berpakaian serba merah itu berdiri di sudut kiri
panggung, sesosok bayangan hitam melenting dan berjumpalitan sebelum mendaratkan
kakinya di lantai panggung.
"Namaku Panawa. Aku sengaja datang memenuhi undangan Macan Tutul Lembah Daru,
dan sekaligus ikut memeriahkan pesta. Semoga sahabat sekalian tidak
Pendekar Naga Putih 24 Macan Tutul Lembah Daru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kecewa dengan penampilanku yang jelek ini," kata laki-laki berusia tiga puluh
tahun yang mengenakan pakaian serba hitam itu, dengan suara lantang. Setelah
memperkenalkan diri, dia segera melangkah ke sudut kanan panggung.
Sosok berpakaian serba merah yang memperkenalkan diri dengan nama Ki Balung
bergegas melangkah ke tengah panggung. Demikian pula Panawa. Mereka berdiri
berhadapan setelah laki-laki pendek gemuk meninggalkan panggung.
Kedua orang tokoh rimba persilatan itu saling membungkuk memberi hormat.
Kemudian, mereka melangkah beberapa tindak ke belakang.
"Silakan, Sahabat..," kata Panawa sambil bersiap memasang kuda-kuda silang.
Tangan kanan laki-laki berpakaian hitam itu tampak berada di atas kepala dalam
sikap mengepal. Sedangkan tangan kirinya dengan jari-jari terbuka, berada
beberapa jengkal di depan dada. Sepasang matanya tampak menatap lurus ke depan.
"Hm...," Ki Balung menggeram sebelum membuka jurusnya.
Diiringi geraman, kaki kanan Ki Balung bergeser ke depan menyerong. Sepasang
tangannya bergerak naik ke atas kepala dengan kedua telapak merapat
"Yeaaat..!"
Ki Balung berseru nyaring mengiringi pukulan lurus dengan tusukan jari-jari
tangan kin mengarah dada lawan.
Dan belum lagi tusukan jari-jari yang ternyata tipuan itu tiba, tangan kanannya
bergerak menyusul. Sedangkan
tangan kirinya segera berputar setengah lingkaran untuk memancing perhatian
lawan. Wuttt! Dengan kecepatan mengejutkan, tahu-tahu saja tangan kanan Ki Balung yang semula
meluncur, tertarik ke belakang! Kemudian, disusul dengan meluncurnya tebasan
sisi telapak tangan miring menggunakan tangan kiri.
Hebat, dan tak terduga perubahan serangan yang dilancarkan Ki Balung itu.
Sehingga, lawannya sempat dibuat terkejut!
Namun, laki-laki gagah berpakaian serba hitam itu ternyata cukup gesit.
Datangnya sabetan sisi tangan miring lawan, disambut sebuah geseran ke kiri. Dan
gerakan mengelak itu masih disusul sebuah tendangan kilat yang cepat dan
bertenaga. Zebbb! Tendangan lurus yang mengancam lambung, berhasil dielakkan Ki Balung dengan
menarik tubuh ke belakang.
Dalam keadaan tubuh miring, lelaki tinggi kurus itu masih sempat juga menusukkan
jari-jari tangan untuk memapaki tendangan lawan.
Pertarungan pun berjalan semakin ramai ketika tusukan jari tangan Ki Balung
tidak mengenai sasaran.
Keduanya kembali saling serang menggunakan jurus-jurus terampuh yang dimiliki.
Sambaran-sambaran angin pukulan yang saling berkesiutan semakin menambah
semaraknya pertempuran.
Plakkk! Plakkk!
Pada jurus yang ketiga puluh, terdengar suara keras ketika telapak tangan
masing-masing saling berbenturan!
Sekejap kemudian, bayangan merah dan hitam saling terjajar mundur beberapa
langkah ke belakang. Hal itu menandakan kalau kekuatan masing-masing ternyata
berimbang. Kedua sosok tubuh yang saling berlaga di atas panggung itu saling
bertatapan sejenak. Sepertinya, mereka sudah memaklumi kekuatan masing-masing.
Sehingga, baik Ki Balung maupun Panawa terlihat lebih berhati-hati dalam
melancarkan serangan.
"Haaat..!"
Ki Balung yang sepertinya lebih penasaran, kembali melompat disertai hantaman
pukulan yang susul-menyusul mengincar bagian-bagian terlemah di tubuh lawan.
Dari sambaran-sambaran angin pukulan yang berkesiutan, jelas kalau laki-laki
tinggi kurus berpakaian serba merah itu telah menambah kekuatannya dalam
serangan kali ini.
Bettt! Bettt! Bettt!
Tiga buah pukulan yang bertubi-tubi, datang mengancam tubuh Panawa. Namun, itu
semua tidak membuatnya sibuk. Dengan sebuah gerakan manis, kakinya bergeser ke
kanan, sejauh setengah tombak.
Namun hal itu sepertinya sudah pula diperhitungkan Ki Balung. Maka begitu
serangkaian pukulan yang dilancarkannya lolos, kaki kanan lelaki tinggi kurus
itu sudah mencelat naik mengancam lambung Panawa. Begitu cepat dan mendadak
sekali! Maka....
Desss! "Hugkh...!"
Tendangan keras Ki Baking telak menghantam lambung Panawa. Tubuh laki-laki tegap
itu langsung terjengkang, dan hampir jatuh ke bawah panggung.
Untunglah kakinya masih sempat menjejak keras, dan tubuhnya melambung
berjumpalitan beberapa kali di udara.
Tapi, Ki Balung sepertinya tidak sudi memberikan peluang kepada lawannya. Saat
tubuh Panawa berputar di udara, laki-laki tinggi kurus itu sudah melompat
melancarkan sebuah tendangan terbang yang cepat dan kuat.
Tendangan yang dilancarkan Ki Balung tentu saja membuat Panawa terkejut.
Keadaannya saat itu sangat tidak menguntungkan. Dan akibatnya, dia menjadi
gugup. Sehingga.... Bugkh! "Ngkkk...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, tendangan keras itu pun tepat menghantam perut Panawa!
Maka seketika tubuh laki-laki tegap itu terpental, dan meluncur ke bawah
panggung. Brugk! Tubuh Panawa terbanting ke bawah panggung, sehingga menimbulkan suara berdebuk
keras! Tapi lelaki gagah itu berusaha bangkit kembali, meskipun susah payah.
Dari mulutnya tampak mengalir darah segar, yang menandakan kalau telah terluka
cukup parah! "Kau hebat, Ki Balung.... Aku mengaku kalah...," ucap Panawa terputus-putus.
Setelah membungkuk hormat ke arah laki-laki tinggi kurus yang berdiri tegak di
atas panggung, Panawa melangkah ke tempat duduknya semula. Meskipun telah
dikalahkan di depan orang banyak, namun sama sekali
tidak terlihat sinar dendam di matanya. Bahkan pujiannya terhadap Ki Balung pun
terdengar tulus.
"Kau pun hebat, Panawa. Kalau saja mataku tidak jeli, rasanya sukar sekali
menundukkanmu," sahut Ki Balung.
Dan memang, laki-laki tinggi kurus itu bukan orang sombong. Sikap dan ucapannya
tentu saja dimaksudkan agar Panawa tidak terlalu merasa malu. Kemudian laki-laki
tinggi kurus itu melangkah turun dari atas panggung, kembali ke tempat duduknya
semula. Dan kini terdengar tepukan bergemuruh, menyambut kemenangan Ki Balung.
Pertandingan kedua orang tokoh itu sepertinya telah membuat para tamu menjadi
puas. Terdengar suara berbisik ramai membicarakan pertarungan yang memang berlangsung
sangat seru tadi.
Masih ada beberapa pertunjukan lagi yang disajlkan tokoh-tokoh persilatan yang
berniat meramaikan pesta pernikahan. Namun dari sekian banyak pertarungan yang
disajikan, hanya pertarungan antara Ki Balung dan Panawalah yang paling menarik.
Sedangkan, pertarungan lainnya kebanyakan hanya mengandalkan tenaga kasar dan
tidak berseni. Banyak undangan yang mulai meninggalkan tempat itu.
Satu persatu mereka berpamitan. Padahal, acara belum seluruhnya selesai. Dan
ketika malam sudah semakin larut, rumah kediaman Juragan Gerda Pasa telah sepi.
Hanya beberapa orang pelayannya yang terlihat masih sibuk membereskan tempat
itu. Juragan Gerda Pasa sendiri telah memasuki kamarnya untuk beristirahat Tubuhnya
baru terasa lelah setelah pesta usai. Sebentar saja laki-laki tinggi besar
berwajah brewok itu sudah terlelap di atas pembaringannya.
Demikian pula halnya pasangan pengantin, Nanggala dan Untari. Mereka telah lebih
dahulu memasuki kamar, sebelum Juragan Gerda Pasa. Suasana malam yang semakin
dingin dan sunyi, membuat pasangan itu semakin terelap dalam lautan kemesraan
bagai tak bertepi.
*** 6 Kehangatan sinar matahari pagi memancar lembut mengiringi iring-iringan kereta
kuda. Tiga buah kereta yang masing-masing ditarik empat ekor kuda, bergerak
perlahan menyusuri jalanan lebar.
Di kiri-kanannya, tampak belasan orang mengenakan seragam biru muda tengah
berjejer. Melihat dari lambang bendera yang dipegang salah seorang penunggang
kuda terdepan, jelas kalau mereka merupakan pengawal pengantar barang. Dan
mereka dikenal sebagai kelompok Macan Terbang, yang merupakan kelompok pengawal
barang terkenal masa kini.
Sikap belasan orang berseragam biru muda itu rata-rata gagah dan berwibawa. Dan
tampaknya, mereka bukanlah orang lemah. Apalagi sebagai pengawal pengantar
barang. Tentu saja mereka rata-rata telah dibekali kepandaian silat demi lancarnya tugas
yang dijalankan.
Baru saja rombongan kereta kuda itu memasuki wilayah perbukitan tandus, tiba-
tiba terdengar bentakan keras mengejutkan.
"Berhenti...!"
Bersamaan terdengarnya bentakan keras itu, tiga sosok tubuh mengenakan seragam
hitam melayang menghadang perjalanan mereka. Melihat sikap ketiga sosok
berpakaian hitam yang rata-rata bengis, jelas kalau niat mereka tidak baik.
Laki-laki tinggi gagah yang sepertinya kepala
rombongan pengawal barang, bergegas melompat turun dari punggung kudanya. Dari
ketenangannya, jelas kalau ia sama sekali tidak merasa khawatir dengan
penghadangan itu.
"Bukankah kalian kelompok yang dipimpin Tiga Buaya Darat" Sampaikanlah hormat
kami kepada beliau. Dan izinkanlah kami meneruskan perjalanan. Dan sepertinya,
selama ini di antara kami dan ketiga ketua kalian telah terjalin persahabatan
erat," kata lelaki gagah itu sambil membungkukkan tubuhnya memberi hormat.
Tampaknya, dia telah mengenal baik orang yang berjuluk Tiga Buaya Darat itu.
"Benar! Kami adalah pengikut Tiga Buaya Darat. Tapi, hari ini beliau
memerintahkan agar kalian suka meninggalkan barang-barang di dalam kereta itu
kepada kami. Dan, setelah itu kalian boleh pergi dengan tenang," jawab salah
seorang berpakaian serba hitam itu dengan lagak sombong dan memandang rendah.
"Hei"! Mengapa begitu" Coba hadapkan aku kepada ketua kalian. Kalau begitu,
percuma setiap bulan aku selalu mengirimkan upeti kepada mereka," tukas lelaki
tinggi tegap itu dengan kening berkerut.
"He he he.... Benar kau selalu setia mengirimkan upeti kepada kami, Ludira. Tapi
kali ini dengan sangat terpaksa, kami harus mengambil barang-barang yang kalian
bawa itu. Maka, sebaiknya kalian tinggalkanlah ketiga kereta kuda itu.
Keselamatan kalian akan kami jamin," tiba-tiba terdengar suara berat yang
disusul munculnya tiga sosok tubuh berpakaian serba merah.
Tubuh mereka rata-rata pendek gemuk. Demikian pula
wajah ketiganya yang ditumbuhi cambang bauk. Sehingga, mereka tak ubahnya
bagaikan saudara kembar.
"Kakang Begawa, apa maksud ucapanmu" Bukankah kita telah lama bersahabat" Dan
biasanya, kalian selalu memperbolehkan kami lewat" Mengapa tiba-tiba berubah?"
bantah laki-laki tinggi tegap yang dipanggil Ludira itu penasaran. Jelas kalau
dia merasa keberatan atas permintaan itu.
"Sudahlah! Tidak perlu banyak tanya! Aku masih berbaik hati dengan membiarkan
kalian pergi. Tapi kalau keadaan memaksa, apa boleh buat," tegas salah seorang
dari tiga laki-laki gemuk yang mengenakan ikat kepala hitam.
Melihat dari sikap dan caranya, jelas kalau ia merupakan orang pertama dari Tiga
Buaya Darat. Orang itu pulalah yang dipanggil Begawa.
"Tidak bisa, Begawa!" bantah Ludira yang langsung membuang sebutan kakang ketika
melihat perubahan sikap orang itu yang dikenalnya selama ini.
Sambil berkata demikian, Ludira mengangkat kedua tangan sebagai isyarat pada
pengikutnya untuk bersiap menghadapi pertempuran.
Maka seketika itu terdengar suara gemerincing yang susul-menyusul ketika pedang-
pedang belasan orang pengawal barang Macan Terbang diloloskan dari sarungnya.
Serentak mereka berlompatan turun dari atas punggung kuda dengan pedang
terhunus. Namun pada saat yang hampir bersamaan, belasan orang bertampang kasar telah
berlompatan mengurung tempat itu. Mereka tak lain adalah para pengikut Tiga
Buaya Darat yang merupakan perampok terkenal dan sangat ditakuti.
Melihat keadaan itu, Ludira bergegas mundur ke arah kawan-kawannya seraya
menghunus senjata. Sadar kalau pertempuran tidak mungkin dihindari lagi, Ludira
segera mengibaskan tangannya ke kiri dan kanan.
Gerakan tangan lelaki gagah itu rupanya telah sangat dipahami anggotanya.
Serentak, belasan orang anggota Macan Terbang, bergerak menyebar.
"Serbuuu...!"
Begawa yang sudah menjadi marah, segera berteriak memberi perintah kepada para
pengikutnya. Maka tanpa dapat dicegah lagi, terjadilah pertempuran kecil namun
cukup sengit. "Heaaat..!"
Para anggota perampok berteriak-teriak sambil mengibaskan senjatanya ke arah
belasan anggota Macan Terbang. Terdengar dentang senjata meningkahi teriakan-
teriakan nyaring dan jerit kesakitan.
Ludira sendiri sudah berhadapan langsung dengan Begawa. Pedang di tangannya
berkelebat cepat mengincar tubuh lawan. Sambaran angin pedangnya menderu-deru,
membuat Begawa tidak berani memandang remeh serangan laki-laki tegap itu. Maka,
penggadanya mulai digerakkan untuk mengatasi serangan Ludira.
Bettt! Bettt! Sambaran penggada Begawa yang menimbulkan deru angin keras itu, ternyata mampu
menindih gerakan pedang Ludira. Sehingga dalam waktu singkat, kepala perampok
itu telah dapat membuat lawan terdesak.
"Hahhh...!"
Memasuki jurus kedua puluh satu, Begawa melompat disertai bentakannya yang
mengejutkan. Gerakan itu masih disertai pula sambaran penggada yang mengarah
kepala lawan. Serangkum angin menderu mengiringi datangnya sambaran senjata itu.
Wuttt! Ludira yang merasa terkejut mendengar bentakan itu semakin pucat ketika melihat
datangnya hantaman lawan.
Cepat kakinya bergeser ke samping disertai egosan tubuhnya. Sayang gerakan
Ludira masih kalah cepat.
Sehingga, meskipun berhasil menyelamatkan kepalanya, tetap saja penggada Begawa
menghajar bahu kirinya.
Bugkh! "Aaakh...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh laki-laki tinggi tegap itu langsung terlempar
sejauh satu batang tombak lebih!
Belum lagi Ludira sempat berbuat seuatu, penggada lawan kembali meluncur deras
menuju batok kepalanya.
Wuttt! Prakkk! Terdengar suara berderak keras ketika penggada yang dihantamkan sekuat tenaga
itu telak menghantam pecah kepala Ludira. Darah segar yang bercampur cairan
putih, berhamburan membasahi batu-batu padas yang berdebu.
Ludira, kepala pengawal barang Macan Terbang tewas tanpa sempat berteriak lagi.
Tewasnya pimpinan pengawal barang Macan Terbang, tentu saja membuat para
anggotanya menjadi terkejut.
Keadaan mereka yang saat itu tengah terdesak hebat,
menjadi semakin kalang kabut.
Brettt! Crakkk!
"Aaargh...!"
Kembali dua orang anggota Macan Terbang menjerit ngeri! Tubuh mereka langsung
ambruk bermandikan darah segar. Setelah berkelojotan sejenak, dua orang anggota
itu pun diam tak bergerak-gerak lagi.
Tujuh orang anggota pengantar barang yang masih selamat bergegas melompat
mundur. Mereka berdiri berkelompok saling melindungi. Wajah-wajah mereka tampak
pucat, dan telah dibasahi peluh. Sepertinya tak ada harapan lagi untuk dapat
menyelamatkan diri. Para perampok Tiga Buaya Darat itu terkenal sangat kejam dan
tidak mengenal ampun.
"Bagaimana ini, Kakang...?" tanya salah seorang anggota Macan Terbang kepada
laki-laki berkumis tipis yang berada di sebelah kanannya.
"Tidak ada jalan lain, Adi. Barang-barang kiriman Juragan Bartala ini harus
dipertahankan dengan taruhan nyawa kita," sahut laki-laki gemuk berkumis tipis
Pendekar Naga Putih 24 Macan Tutul Lembah Daru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan suara bergetar.
"Bunuh mereka....!" terdengar perintah Begawa kepada para pengikutnya. Sedangkan
sebagian yang lain, telah berlari menyerbu kereta tanpa diperintah lagi.
"Heaaa...!"
Lima belas orang anggota perampok berteriak keras sambil berlari menyerbu
ketujuh orang anggota Macan Terbang yang sudah kehilangan keberanian. Wajah-
wajah para perampok itu terlihat menyeringai bagalkan seekor singa lapar.
Sadar kalau untuk meminta ampun sudah jelas tidak mungkin, maka ketujuh orang
sisa anggota Macan Terbang itu bertekad melawan sampai titik darah terakhir!
"Yeaaat..!"
Disertai sebuah teriakan parau, ketujuh orang sisa anggota Macan Terbang
menyambut serangan musuh-musuhnya. Sambaran-sambaran angin pedang menderu,
ditingkahi denting senjata beradu kembali terdengar.
Sebentar saja, ketujuh orang anggota Macan Terbang itu sudah terdesak hebat.
Beberapa di antara mereka nampak sudah terluka akibat sambaran senjata-senjata
lawan. "Haiiit..!"
Wuttt! Brettt! Brettt!
"Aaakh...!"
Terdengar jerit kematian yang disusul robohnya tubuh dua orang anggota Macan
Terbang! Kedua orang itu langsung tewas dengan isi perut terburai.
Robohnya kedua orang kawan mereka ternyata tidak mengurangi semangat tempur yang
lain. Kelima orang anggota Macan Terbang yang masih tersisa, berusaha
mempertahankan diri sebisa-bisanya.
Pada saat yang sangat berbahaya bagi kelima orang anggota Macan Terbang itu,
tiba-tiba dua sosok tubuh melayang dan langsung menjejakkan kakinya di tengah
arena pertempuran.
"Haiiit..!"
Begitu memasuki arena, sosok bayangan putih dan hijau itu langsung memporak-
porandakan para perampok yang mengurung kelima orang anggota Macan Terbang.
Plakkk! Bukkk! Desss!
"Aaah....!"
"Wuaaa...!"
Sekali mendorong telapak tangan saja, delapan orang anggota perampok beterbangan
bagai sehelai daun kering yang dihempas angin! Tubuh mereka langsung terbanting
dan pingsan seketika itu juga. Dari sudut bibir mereka tampak mengalir cairan
merah. Hebat sekali terjangan-terjangan yang dilakukan kedua sosok tubuh yang baru tiba
itu. Sehingga dalam beberapa jurus saja, para pengeroyok kelima orang anggota
Macan Terbang tergeletak rebah tanpa dapat bangkit lagi.
Kedatangan kedua sosok tubuh yang ternyata memiliki kepandaian tinggi, tentu
saja membuat kelima orang anggota Macan Terbang menjadi gembira. Dengan wajah
bersimbah peluh dan darah, mereka langsung menjatuhkan diri berlutut di depan
kedua sosok tubuh yang membelakangi mereka.
"Terima kasih kepada Tuan berdua yang telah menyelamatkan nyawa kami...," ucap
kelima orang itu bergantian sambil mengangguk-anggukkan kepala membentur tanah
berdebu. Dua sosok tubuh berpakaian putih dan hijau itu membalikkan tubuh ke arah lima
orang sisa anggota Macan Terbang. Sosok berjubah putih yang ternyata seorang
pemuda tampan itu bergerak melangkah dan membangunkan kelima orang yang masih
bersujud. "Bangkit, dan beristirahatiah kalian. Serahkan masalah ini kepada kami. Mudah-
mudahan kami dapat menyelesai-kannya dengan baik," ujar pemuda tampan berjubah
putih itu dengan suara halus dan wajah terhias senyum.
"Kereta barang kami..., mereka rampok...," tutur laki-laki berkumis tipis yang
dengan cerdik dapat memanfaatkan penolongnya.
"Sabarlah. Sahabatku ini akan membereskannya," sahut pemuda tampan itu sambil
menolehkan kepala kepada kawannya, yang ternyata adalah seorang dara jelita.
Mendengar ucapan pemuda berjubah putih, dara jelita berpakaian hijau itu pun
bergegas menghampiri kereta kuda yang tengah dikerubuti para perampok.
Sedangkan pemuda itu sendiri, sudah melangkahkan kaki mendekati tiga orang
lelaki pendek gemuk yang merupakan pimpinan para perampok.
*** Hadirnya kedua sosok tubuh yang langsung terjun ke dalam kancah pertarungan,
tentu saja membuat Tiga Buaya Darat menjadi terkejut. Apalagi setelah
menyaksikan kehebatan mereka. Bahkan hanya dalam beberapa gebrakan saja, para
pengikutnya dapat dibuat tak berdaya.
Tentu saja hal ini membuat ketiganya membelalak marah.
Begawa sebagai orang tertua dari Tiga Buaya Darat, langsung saja melangkah maju
menyambut kedatangan pemuda itu. Langkahnya terhenti dalam jarak satu setengah
tombak dari lawannya. Dengan tatapan seperti hendak menelan tubuh pemuda itu
bulat-bulat, Begawa menudingkan telunjuknya secara kasar.
"Siapa kau, Pemuda Setan! Mengapa begitu lancang mencampuri urusanku"!" bentak
Begawa dengan suara menggelegar.
Kemarahan Begawa dapat dimaklumi. Dan memang kedatangan pemuda berjubah putih
dan kawannya itu, telah membuat rencananya berantakan. Maka seluruh kemarahannya
ditumpahkan kepada pemuda itu.
"Hm...," gumam pemuda tampan itu pelan sambil meneliti ketiga sosok tubuh di
hadapannya. "Kaliankah yang telah membantai delapan orang yang tengah melewati
Hutan Branjangan?" tanya pemuda yang tak lain dari Panji, dengan pandangan penuh
selidik. Sedangkan pertanyaan Begawa sama sekali tidak dipedulikannya.
"Aku tidak tahu, apa yang kau maksudkan itu. Jawab saja pertanyaanku sebelum kau
menggeletak jadi mayat!"
bentak Begawa yang semakin memuncak amarahnya.
Karena pemuda tampan itu sepertinya sama sekali memandang remeh padanya.
"Dugaanku pasti tidak meleset Di sekitar daerah ini, hanya kalianlah para
perampok yang mengenakan seragam serba hitam. Sedangkan dua kelompok lainnya
menggunakan serba merah dan biru. Jadi, tidak perlu lagi kalian berdalih," ujar
Panji tanpa mempedulikan kemarahan Begawa.
Menilik dari sikap dan kata-katanya, jelas kalau Pendekar Naga Putih telah
menyelidiki komplotan para perampok di sekitar wilayah itu. Dan itu pula yang
membuatnya merasa yakin akan dugaannya.
"Kau jangan menuduh sembarangan, Kisanak! Bisa saja kelompok yang kau selidiki
itu berbohong, dan mereka melemparkan tuduhan kepada kami. Tapi jangan dikira
kami takut mengakuinya, kalau memang kami yang melakukan pembunuhan itu," sahut
Begawa. Laki-laki itu akhirnya terpaksa mengikuti arah pembicaraan Pendekar Naga Putih,
karena pertanyaan yang diajukannya sama sekali tidak dipedulikan.
"Hm..., kau masih ingin menyangkal?" gertak Panji yang segera melangkah maju
bersikap mengancam.
"Kakang! Mengapa harus meladeni bocah gila itu" Beset saja mulutnya, habis
perkara," sahut salah seorang dari dua kawan Begawa yang seperti tidak sabar
melihat perdebatan itu.
Setelah berkata demikian, laki-laki gemuk berikat kepala merah yang merupakan
orang kedua dari Tiga Buaya Darat, bergegas melompat dan menjejakkan kakinya
beberapa langkah di hadapan Panji. Di tangan kanannya tampak tergenggam sebatang
golok besar yang pada bagian matanya bergerigi.
"Mengapa tidak kau saja yang melakukannya, Kisanak?"
tantang Panji sambil tersenyum.
Di wajah Pendekar Naga Putih sama sekali terlihat kegentaran. Dan sikapnya pun
tetap tenang. Sama sekali tidak bersiap, sebagaimana biasanya orang yang akan
menghadapi pertarungan.
"Bangsat! Kurobek mulutmu yang lancang itu...!"
Dengan kemarahan menggelegak, lelaki gemuk berikat kepala merah itu langsung
melompat disertai sabetan senjata mengancam wajah Panji.
Wuttt! Sambaran golok besar itu lewat beberapa jengkal, ketika Pendekar Naga Putih
menggeser tubuhnya ke samping. Namun begitu senjatanya tidak mengenai sasaran,
laki-laki berikat kepala merah itu memutar
senjatanya dengan gerakan cepat dan kuat!
"Bagus...!" seru Panji yang mau tak mau harus memuji serangan lawan. Karena
gerakan orang itu memang cepat dan tak terduga, sehingga membuat Pendekar Naga
Putih mengaguminya.
Pujian yang dikeluarkan bukan berarti Pendekar Naga Putih tidak bisa mengatasi
lawan. Sambaran golok yang bagi orang lain terlihat sangat cepat dan berbahaya,
tentu saja bukan hal yang mencemaskan bagi Pendekar Naga Putih. Dengan gerakan
indah dan tak terduga, pemuda tampan itu menarik kaki depan sambil mendoyongkan
tubuh ke belakang. Dan begitu sambaran senjata lawan yang mengincar lehernya
lewat, kaki yang semula tertarik ke belakang langsung mencelat naik mengancam
lambung lawan. Zebbb! "Aihhh...!"
Serangan balasan pemuda itu ternyata telah membuat lawan kelabakan. Betapa
tidak" Sebab, datangnya tendangan yang dilancarkan Panji benar-benar tak
terduga. Tahu-tahu saja, ujung kaki pemuda itu telah berada beberapa jengkal di
depan lambung lawan.
Dengan gerakan agak gugup, laki-laki gemuk berikat kepala merah itu melempar
tubuh ke belakang. Langsung dia bersalto beberapa kali untuk menyelamatkan diri.
Sayang Pendekar Naga Putih tidak sudi lagi memberikan kesempatan kepada lawan
untuk melanjutkan pertarungan. Maka pada saat tubuh gemuk itu tengah melambung
di udara, pemuda itu bergegas mengejar disertai hantaman telapak tangan yang
langsung mengincar
dada lawan. Dan....
Bukkk! "Hugkh...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh orang itu terlempar deras ketika telapak tangan
Pendekar Naga Putih menghantam telak dadanya. Jeritan kesakitan yang disertai
semburan darah segar terlontar dari mulut lawannya.
Tubuh gemuk itu langsung terbanting ambruk di tanah keras sekali.
"Adi Jambrong...!"
Bukan main terkejutnya hati Begawa melihat adiknya dapat ditundukkan pemuda itu
hanya dalam beberapa jurus saja. Cepat ia berlari menghambur ke arah tubuh
Jambrong bersama saudaranya yang paling muda.
"Bedebah! Kubunuh kau...!" bentak Begawa marah ketika melihat cairan merah yang
mengalir di sudut bibir Jambrong.
Dengan kemarahan menggelegak, lelaki gemuk itu bangkit ketika mendapati adiknya
yang pingsan akibat pukulan Pendekar Naga Putih.
"Kita habisi saja dia, Kakang!" seru orang ketiga dari Tiga Buaya Darat dengan
wajah merah. Sambil berkata demikian, laki-laki berikat kepala biru itu langsung meloloskan
senjatanya, berupa sepasang badik berukuran satu setengah jengkal.
"Bagus! Majulah kalian bersama-sama, biar urusan ini cepat selesai," ujar Panji
dengan suara tenang dan bibir tersenyum.
Ucapan itu dimaksudkan Pendekar Naga Putih untuk membangkitkan kemarahan lawan.
Sebab, bila penyerangan dilakukan dengan penuh amarah, biasanya kewaspadaan pasti akan
berkurang. Dan itu akan mempermudah pekerjaannya.
"Setan...!"
Begawa yang merasa tertantang, bergegas melompat disertai ayunan penggadanya
yang menimbulkan deru angin keras! Dalam kemarahannya, laki-laki gemuk berikat
kepala hitam itu telah menggunakan seluruh tenaga dalam serangannya kali ini.
Orang ketiga dari Tiga Buaya Darat pun tidak mau ketinggalan. Tubuhnya segera
melesat menyusuli kakak seperguruannya. Sepasang badiknya bergerak cepat saling
susul-menyusul dengan kekuatan tidak bisa dipandang remeh.
Wukkk! Bettt! Bettt!
Serangan gencar bertubi-tubi yang dilepaskan kedua orang kakak beradik itu sama
sekali tidak membuat Pendekar Naga Putih gentar. Dengan langkah-langkah pendek
yang disertai gerakan tubuhnya, sambaran senjata lawan dapat dihindari dengan
mudah. Bahkan setelah pertarungan menginjak jurus kesepuluh, pemuda itu mulai
melancarkan serangan-serangan balasan yang cepat dan tak terduga.
Sebenarnya, kepandaian yang dimiliki dua orang dari Tiga Buaya Darat itu
termasuk cukup tinggi. Bahkan boleh dikatakan sampai saat sebelum berjumpa
Pendekar Naga Putih, mereka sama sekali belum terkalahkan. Tapi kali ini mereka
terpaksa harus menelan pil pahit. Sebab, pemuda tampan yang sama sekali tidak
mereka kenal telah membuat kalang-kabut! Tentu saja kenyataan itu
membuat mereka semakin penasaran.
Memasuki jurus kelima belas, serangan-serangan yang dilancarkan Panji tampak
semakin membuat kedua lawan kerepotan. Sehingga, mereka tidak sempat lagi
melancarkan serangan-serangan balasan. Dan memang, pukulan-pukulan yang
dilancarkan pemuda itu bagaikan datang dari berbagai penjuru dan mengurung
mereka. "Heaaah...!"
Pada suatu kesempatan baik, Panji membentak keras.
Akibatnya, kedua lawan terkejut. Dan sebelum mereka sempat menyadari keadaan,
sepasang tangan Pendekar Naga Putih bergerak cepat mengancam tubuh keduanya
sekaligus! Bettt! Bettt! "Ihhh...!"
Begawa dan adik seperguruannya tergagap melihat serangan yang meluncur mengancam
tubuh mereka. Cepat keduanya melempar tubuh ke belakang, dan langsung menjatuhkan diri
bergulingan menghindari serangan Pendekar Naga Putih.
Namun, kecepatan gerak Panji tidak dapat disamakan kecepatan mereka. Maka sekali
melompat saja, tubuh pemuda itu telah dapat menyusuli kedua lawannya. Dan ketika
tubuh mereka melenting bangkit, sepasang tangan pendekar muda itu telah
menghajar telak tubuh keduanya.
Bukkk! Desss! "Aaargh...!"
"Hugkh...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh kedua orang itu langsung terlempar sejauh satu
tombak lebih. "Uhhh...!"
Begawa, orang pertama dari Tiga Buaya Darat itu rupanya memiliki daya tahan yang
jauh lebih kuat daripada saudaranya. Lelaki gemuk berwajah brewok itu mencoba
bangkit berdiri disertai keluhan yang terdengar dari mulutnya. Sedangkan di
sebelah kanannya tampak tubuh saudaranya telah tergeletak pingsan.
Panji yang melihat Begawa bergerak hendak bangkit, cepat melompat. Langsung
ditekannya tubuh orang itu dengan menggunakan telapak kakinya. Hal itu dilakukan
dengan pengerahan tenaga dalamnya, sehingga Begawa merasakan tubuhnya bagai
dihimpit sebuah batu besar yang sangat berat
"Hm.... Sepertinya kau tidak akan pernah jera terhadap kelakuanmu selama ini.
Sebaiknya, orang sepertimu tidak boleh dibiarkan lama-lama, menikmati hidup
ini," geram Panji sambil menambah tekanan pada pijakan kakinya.
"Akh...!"
Merasakan tekanan telapak kaki lawan semakin bertambah berat dan menyakitkan,
Begawa kembali mengeluh. Cairan merah tampak mengalir semakin deras dari sudut
bibirnya. Panji menarik kakinya dari tubuh lawan. Sempat terlintas rasa iba di hatinya
melihat seringai kesakitan di wajah laki-laki gemuk itu. Setelah menatap wajah
orang itu sejenak, tangan kanannya diangkat, siap mengirim Begawa ke akhirat
"Tunggu, Kisanak...!" seru Begawa yang melihat pemuda itu hendak menghabisi
nyawanya. Seruan serak itu disusul suara batuk dan muntahan
darah segar. Jelas kalau Begawa telah terluka dalam cukup parah akibat pukulan
Panji tadi. "Hm.... Kau mempunyai pesan untuk kusampaikan kepada anak buahmu?" tanya Panji.
Pendekar Naga Putih segera menurunkan telapak tangannya yang siap menghunjam
tubuh gemuk itu.
Dipandanginya wajah Begawa yang saat itu juga tengah menatapnya dengan sinar
mata redup. "Aku..., aku sebenarnya hanya seorang pengikut Dan..., kami masih mempunyai
pimpinan lagi...," jelas Begawa dengan suara terpatah-patah.
"Pimpinan" Maksudmu...?" tanya Panji.
Pendekar Naga Putih segera mengangkat tubuh gemuk itu untuk bangkit duduk, lalu
disandarkannya pada sebatang pohon.
"Aku..., aku hanya orang suruhan..," aku Begawa lagi sambil menarik napas
panjang-panjang. Seringai di wajahnya tampak kembali menggurat. Tangan kanannya
bergerak menekap dada yang dirasakan semakin nyeri.
Tentu saja ucapan itu tidak sepenuhnya dipercaya Panji. Namun karena menurutnya
tidak ada ruginya mendengar keterangan itu, maka diberikannya obat luka dalam
Pendekar Naga Putih 24 Macan Tutul Lembah Daru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang selalu dibawa dalam buntalan pakaiannya kepada Begawa.
"Ceritakanlah...," pinta Panji. Pendekar Naga Putih telah menjejalkan obat luka
dalam berwarna putih salju ke dalam mulut Begawa. Ditunggunya beberapa saat
setelah obat pemberiannya menunjukkan gejala penyembuhan.
*** "Tiga tahun yang lalu, aku dan dua kelompok perampok lainnya di daerah ini
merupakan raja-raja kecil yang memiliki daerah kekuasaan. Sampai kemudian,
datang seorang laki-laki tinggi besar yang memiliki kepandaian sangat tinggi.
Orang yang berjuluk Hantu Teluk Jambe itu datang menaklukkan semua perampok di
daerah ini," Begawa menarik napas panjang dan menghentikan ceritanya sejenak.
"Kemudian, kami diperintah untuk membunuh setiap orang yang melewati daerah
kekuasaan kami dan merampas semua bawaan mereka. Setiap hasil yang di-dapatkan
harus dikirim ke Desa Pacitan. Hal itu kami lakukan dengan menyamar sebagai
pengawal barang, agar tidak menimbulkan kecurigaan penduduk desa itu," lanjut
Begawa. "Hm.... Siapakah orang itu" Dan apa jabatannya di Desa Pacitan?" tanya Panji
tetap bersikap tenang dan sabar.
Meskipun keterangan yang dibeberkan Begawa sangat jelas, namun Pendekar Naga
Putih tidak mau mempercayai begitu saja. Sebab, bukan tidak mungkin kalau kepala
rampok itu sengaja melontarkan fitnah untuk keselamatannya sendiri.
"Kau boleh tidak percaya dengan keteranganku ini, Kisanak. Tapi untuk
membuktikan kebenaran ceritaku ini, sebaiknya datanglah ke Desa Pacitan. Di
sana, kau boleh menyelidiki seorang juragan yang bernama Gerda Pasa.
Para penduduk desa itu memang tidak mengetahuinya.
Bahkan mereka menganggap Gerda Pasa sebagai orang
kaya yang baik hati. Kebusukannya disembunyikan di balik kebaikan hatinya dengan
memberi bantuan kepada para penduduk yang tidak mampu. Padahal, semua itu
dilakukannya untuk mengeruk keuntungan dari para petani yang dibantunya," tutur
Begawa kembali melanjutkan ceritanya.
"Hm.... Maksudmu, Gerda Pasa membantu dengan memberikan pinjaman kepada mereka.
Lalu, para petani diharuskan membayar berlipat ganda, begitu?" tanya Panji yang
memang telah sering mendengar ulah para juragan tamak terhadap para penduduk
desa. Baginya, cerita seperti itu sudah tidak aneh dan sering dijumpai dalam
perantauan. "Tidak! Gerda Pasa bahkan lebih licik dari itu. Ia memang memberi bantuan berupa
bibit-bibit tanaman dan segala keperluan para petani miskin. Tapi setelah tumbuh
subur, tanaman itu akan dirusaknya dengan menyebarkan racun, sehingga para
petani gagal panen. Setelah kejadian itu, tentu para petani miskin tadi tidak
akan sanggup membayar hutang-hutang mereka. Maka kemudian sawah atau ladang
mereka dibeli Juragan Gerda Pasa dengan harga murah. Lalu, para petani
disuruhnya menggarap sawah yang telah dibeli. Tentu saja mereka hanya sekadar
orang upahan yang tidak berhak mencicipi hasil sawah ladang itu."
"Hm.... Licik sekali orang itu. Dengan demikian, ia tidak akan dicurigai para
petani. Sudah berapa banyak orang yang terjebak tipu kejinya itu" Jelas,
kekayaan yang dimiliki Gerda Pasa semakin menumpuk," geram Panji sambil
mengepalkan tinjunya kuat-kuat
Seketika Pendekar Naga Putih teringat dengan pembunuhan keji yang ditemukannya
di Hutan Branjangan beberapa hari yang lalu.
"Jadi delapan orang yang kau bantai di Hutan Branjangan itu, juga tengah
mengantar barang?" tanya pemuda itu.
"Benar! Mereka adalah rombongan saudagar kaya yang hendak menjual hasil
tanamannya ke kadipaten. Mereka terpaksa kami bunuh untuk menghilangkan jejak.
Barang-barang bawaan mereka kami rampas, dan dikirimkan kepada Juragan Gerda
Pasa. Karena semua itu memang atas perintahnya," Begawa akhirnya mengakui segala
perbuatannya kepada Panji.
Semua itu dilakukan kepala perampok itu karena merasa benci terhadap Gerda Pasa
yang telah memperalat dirinya dan anggota gerombolannya. Padahal, mereka tidak
mendapatkan hasil sedikit pun dari pekerjaan itu.
Maka, Begawa segera mengadukannya kepada pemuda lihai yang tak dikenalnya itu.
Dengan harapan, Gerda Pasa dapat diringkus Pendekar Naga Putih.
"Hm..., baiklah. Sekarang, apa yang akan kau lakukan setelah semua kejadian ini"
Apakah kau ingin kembali merampok?" tanya Panji.
Pendekar Naga Putih merasa semua keterangan yang diperolehnya telah cukup.
Namun, matanya tetap menatap wajah Begawa penuh selidik.
"Entahlah, Kisanak. Aku tidak memiliki kebisaan lain, selain berkelahi. Rasanya
sulit sekali mencari nafkah dengan cara lain," sahut Begawa.
Kepala perampok itu sedikit heran mendengar per-
tanyaan pemuda di hadapannya. Sebab menurutnya, pertanyaan pemuda itu jelas
mengandung arti yang khusus baginya. Begawa tidak berani memikirkannya, karena
merasa telah terlalu kotor dan patut dihukum mati.
"Kau mau mendengar saranku...?" tanya Panji seraya menepuk lembut bahu laki-laki
gemuk itu Wajah pemuda itu sama sekali tidak memancarkan dendam. Bahkan seulas
senyum persahabatan tampak menghias wajah tampannya.
"Apa.... Apa maksudmu, Kisanak...?" suara Begawa terdengar tegang dan penuh
harap-harap cemas.
"Bergabunglah dengan mereka," jawab Panji seraya menudingkan telunjuknya ke arah
lima orang sisa anggota pengawal barang Macan Terbang yang hanya dapat memandang
bingung. Dan memang, mereka sama sekali tidak mendengar pembicaraan kedua orang
itu. "Maksudmu...?" tegas Begawa mencoba memastikan ucapan pemuda itu.
"Ya! Jadilah pengawal barang seperti mereka. Dan sebagai permulaan, kau dapat
mengantarkan kelima orang itu sampai ke tempat tujuan," jawab Panji seraya
tersenyum lembut
"Kau..., kau tidak akan membunuhku...?" tanya Begawa, seolah-olah tak percaya
dengan apa yang terdengar telinganya.
"Kalau kau memang telah bertobat dan berjanji untuk tidak melanjutkan
perbuatanmu yang lalu, tentu saja aku akan membebaskanmu," senyum Panji semakin
melebar melihat wajah Begawa yang berubah bagai orang tolol.
"Oh.... Terima kasih..., terima kasih, Kisanak. Aku...,
aku..., ah! Aku berjanji akan meninggalkan pekerjaan kotor ini, dan akan
menuruti nasihatmu. Semoga saja, apa yang kukerjakan nanti tidak akan
mendapatkan cemooh dari masyarakat," ucap Begawa.
Laki-laki itu segera menjatuhkan dirinya, berlutut di depan Panji. Air mata
tampak mengembang di pelupuk matanya. Jelas kalau dia yang selama ini terkenal
sebagai ketua gerombolan perampok ganas merasa terharu dengan apa yang dilakukan
pemuda itu terhadapnya.
"Mengantarkan kelima orang itu hanya sebagai permulaan, Kisanak. Setelah itu,
carilah tempat lain yang orang-orang tidak mengetahui masa lalumu. Dengan
demikian, kau tidak perlu merasa takut terhadap pandangan orang lain," sahut
Panji memberikan nasihat-nya.
Begawa semakin dalam menundukkan kepalanya.
Setelah cukup lama, baru laki-laki gemuk itu mengangkat kepalanya dan memandang
Pendekar Naga Putih penuh rasa syukur.
"Baiklah, Kisanak. Semua nasihatmu akan kujalankan.
Tapi, bolehkah aku mengetahui nama atau julukanmu"
Rasanya, janggal sekali kalau tidak mengetahui siapa orang yang telah
mengangkatku dari semua kehinaan ini.
Namaku adalah Begawa," pinta Begawa dengan suara parau karena rasa haru yang
dalam. "Namaku Panji. Sedangkan orang-orang rimba persilatan menjulukiku sebagai
Pendekar Naga Putih,"
sahut Panji tanpa rasa bangga ataupun sombong sedikit pun.
"Ah...! Pendekar Naga Putih...! Pantas saja kau dapat
menundukkan kami bertiga secara mudah! Ampunilah kami yang buta dan bodoh ini,
Pendekar Naga Putih.
Nama besarmu telah lama sampai ke telinga kami. Siapa sangka, hari ini aku
mendapatkan kehormatan besar dapat berbincang-bincang denganmu," desah Begawa
yang sama sekali tidak menyembunyikan rasa gembiranya.
Kembali laki-laki gendut itu menjatuhkan dirinya berlutut di hadapan Panji.
Sehingga, pemuda itu terpaksa mengangkat bangkit Begawa dengan sedikit paksaan.
"Sudahlah, Paman Begawa. Jangan terlalu melebih-lebihkan. Bisa-bisa kepala ku
menjadi sebesar gunung nanti," ujar Panji, mencoba bergurau sambil mengangkat
Begawa berdiri.
"Terima kasih, Pendekar Naga Putih. Sekarang juga aku akan melaksanakan segala
nasihatmu."
Setelah berkata demikian, Begawa melangkah ke arah lima orang anggota Macan
Terbang yang hanya bisa menatap bingung.
Sedangkan Panji sendiri sudah melangkah dan meng-obati semua anggota Tiga Buaya
Darat yang dilukainya.
Termasuk, dua orang pimpinannya yang masih tergeletak pingsan.
Kenanga sendiri sudah lama membereskan para perampok yang tengah mengerubuti
kereta kuda. Sebagaimana yang dilakukan Panji, gadis jelita itu pun menyadarkan lawan-
lawannya. Mereka yang hanya dibuat pingsan, kembali bangkit dan berkumpul di
dekat Begawa. "Mulai hari ini, pekerjaan keji ini harus ditinggalkan.
Dan kita akan mencari pekerjaan lain yang lebih bersih.
Siapa di antara kalian yang masih setia denganku, silakan
ikut. Tapi bagi yang tidak bersedia ikut denganku, tidak ada paksaan. Silakan
mencari jalan hidup sendiri-sendiri, asalkan bukan perbuatan jahat," ujar Begawa
lantang, sambil berdiri tegak di hadapan anggota gerombolannya.
Ternyata tidak seorang pun dari anggota perampok itu yang keluar dari barisan.
Jelas, mereka semua lebih suka mengikuti sang Pemimpin. Tentu saja hal itu
membuat Begawa tersenyum bangga.
Namun tanpa disadari mereka, Pendekar Naga Putih dan Kenanga telah berkelebat
cepat, menghilang dari situ.
Dan memang, ilmu meringankan tubuh dua orang pendekar itu telah mencapai taraf
Pendekar Riang 15 Badai Awan Angin Pendekar Sejati (beng Ciang Hong In Lok) Karya Liang Ie Shen Pendekar Kidal 16